Ceritasilat Novel Online

Bakti Pendekar Binal 2


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 2




   Bakti Pendekar Binal Karya dari Khu Lung

   
Itulah sebuah ruangan duduk.

   Siau-hi-ji merunduk maju sampai di bawah emper, dengan air ludah dia membasahi kertas penutup jendela dan membuat sebuah lubang kecil.

   Tertampak di tengah ruangan sedang duduk empat orang lagi minum arak.

   Ruangan duduk ini dengan sendirinya juga teratur sangat indah, hidangan di atas meja juga kelas tinggi, semuanya ini tidak diteliti oleh Siau-hi-ji, pada hakikatnya ia malah tidak menaruh perhatian.

   Yang diincarnya justru pada sudut kiri ruangan itu, di pojok sana penuh tertimbun bungkusan obat-obat sejenis Kuici, Lengka, Himta dan sebagainya.

   Terdengar seorang di antaranya sedang bicara.

   "Betapa pun juga saudara bertiga sudah berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi Cayhe, marilah kusuguh pula kalian secawan!"

   Orang ini duduk di bagian tuan rumah, tinggi kurus, bermuka lonjong seperti kuda, hidung besar mirip paruh kakak tua, pelipisnya menonjol, sorot matanya tajam, tampaknya berwibawa.

   Diam-diam Siau-hi-ji menduga orang ini tentu tuan rumah she Tio.

   Segera terdengar seorang menanggapi dengan tertawa.

   "Ucapan Tio-cengcu ini entah sudah diulang beberapa kali dan arak juga entah disuguh berapa cawan, kalau Tio-cengcu masih sungkan-sungkan begini sungguh kami bersaudara akan merasa tidak tenteram."

   "Padahal kami bersaudara dapat menjadi tetamu Tio-cengcu, inilah yang benar-benar suatu kehormatan bagi kami,"

   Ucap orang ketiga.

   "Sepantasnya kami yang mesti menyuguh secawan, kepada Tio-cengcu."

   Kedua orang tamu yang bicara ini mempunyai rupa yang sama, sama-sama berwajah bundar dan gemuk.

   Waktu tertawa matanya menyipit hingga tidak kelihatan biji matanya, cara bicaranya ramah tamah, bentuk mereka seperti pinang dibelah dua.

   Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli.

   "Kedua orang gemuk ini ternyata dicetak dari suatu klise yang sama. Meski banyak juga saudara kembar di dunia ini, tapi bentuknya yang benar-benar serupa seperti kedua orang ini tidaklah banyak."

   Ia tidak kenal ketiga orang tamu Tio-cengcu ini, ia lebih-lebih tidak tahu mengapa mereka meracuni Thi Sim-lan.

   Selagi menimang-nimang, mendadak dilihatnya orang keempat itu menoleh.

   Orang ini rambut dan jenggotnya sudah beruban, sikapnya angker, ternyata bukan lain dari pada Thi Bu-siang yang berjuluk "Ay-cay-ji-beng".

   Melihat orang ini, Siau-hi-ji benar-benar terperanjat.

   Kiranya yang menaruh racun ialah Thi Bu-siang, sungguh sukar dibayangkan olehnya.

   Pantas Thi Sim-lan percaya penuh dan tanpa sangsi makan panganan yang diantarkan padanya itu.

   "Ay-cay-ji-beng"

   Thi Bu-siang, dengan sendirinya setiap orang persilatan percaya penuh pada nama tokoh besar ini.

   Sungguh tidak nyana Thi Bu-siang sama dengan Kang Piat-ho, juga manusia munafik yang lahirnya berbudi tapi hatinya berbisa.

   Tapi mengapa dia meracuni Thi Sim-lan? Sesaat itu pikiran Siau-hi-ji telah bekerja keras, ia terkejut dan curiga, ia benar-benar tidak percaya, tapi bukti tertampang di depan mata.

   Dilihatnya Tio-cengcu itu sedang sibuk menuangkan arak, ia angkat cawan dan mengajak minum, katanya dengan tertawa.

   "Kalian bersaudara dan Thi-loenghiong adalah ksatria jaman ini, apa kepintaran dan kebaikanku Tio Hiang-leng sehingga mendapat perhatian kalian, mari, marilah, biar Cayhe menyuguh pula kalian secawan."

   Kedua saudara kembar gemuk itu lantas angkat cawan masing-masing, tapi Thi Bu-siang tidak bergerak sama sekali. Si gemuk yang duduk di sebelah kiri segera menanggapi dengan tertawa.

   "Kami bersaudara adalah angkatan muda dunia Kangouw, tergolong Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco), mana kami berani disejajarkan dengan Thi-locianpwe. Apabila tiada undangan Tio-cengcu, mana kami sesuai ikut minum arak bersama Thi-locianpwe."

   Yang seorang juga lantas menukas.

   "Betul, jika kawan-kawan Kangouw mendengar bahwa kami Lo Sam dan Lo Kiu dapat duduk bersama Thi-locianpwe dan ikut minum arak, sungguh entah betapa rasa kagum mereka."

   Mendadak Thi Bu-siang bergelak tertawa, katanya sambil angkat cawan.

   "Ah, kalian terlalu rendah hati, apa pun juga aku bukan orang tuli, pernah kudengar nama kebesaran Lo-si-hengte (persaudaraan Lo) di dunia Kangouw yang konon berbudi luhur, haha ... haha, untuk itu biarlah kuhormati kalian bersaudara satu cawan."

   Diam-diam Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, pikirnya.

   "Thi Bu-siang menganggap dirinya tokoh luar biasa, ternyata juga tidak tahan oleh sepatah dua kata sanjung puji saja. Kedua saudara Lo ini pintar mengumpak dan menjilat, agaknya mereka pun bukan manusia baik-baik."

   Dalam pada itu terdengar Tio Hiang-leng lagi berkata dengan tertawa.

   "Ah, kalian bertiga tidak perlu rendah hati, bahwasanya Thi-locianpwe jelas dikagumi oleh setiap orang, tapi kedua saudara Lo kan juga ksatria jaman kini."

   Lalu dia berpaling dan bicara pada Thi Busiang.

   "Mungkin Thi-locianpwe belum mengetahui bahwa kedua saudara Lo meski baru saja muncul di dunia Kangouw, tapi sekali turun tangan mereka lantas mengalahkan tujuh jagoan di Thay-ouw serta merobohkan lima tokoh di Soatang, lalu di Thay-heng-san mengobrak-abrik delapan belas kawanan bandit, semua ini telah menggemparkan dunia Kangouw."

   "Sungguh aneh, kejadian begitu, mengapa tak kuketahui,"

   Ucap Thi Bu-siang. "Agaknya Thi-locianpwe tidak paham kedua saudara Lo memang tidak suka menonjolkan diri, apa pun juga yang mereka lakukan sengaja tidak disiarkan, budi luhur begini sungguh jarang ada bandingannya,"

   Demikian tutur Tio Hiang-leng. "Bagus, bagus, sahabat begini harus kuikat dengan baik,"

   Ucap Thi Bu-siang dengan tertawa.

   "Cuma ... eh, kalian pasti saudara sekandung kembar, mengapa yang seorang berurutan Sam (tiga) dan yang lain Kiu (sembilan) ?"

   "O, nama kami hanya memakai angka hitungan, jadi tiada sangkut-pautnya dengan nomor urut tua dan muda,"

   Jawab Lo Sam dengan tertawa. "Padahal aku adalah saudara tua dan dia saudara muda,"

   Sambung Lo Kiu. "Haha, sungguh aneh dan lucu,"

   Seru Thi Bu-siang tertawa.

   "Setiap orang yang tahu nama kalian pasti tidak percaya yang bernama Kiu adalah kakak dan yang bernama Sam malah si adik."

   Setelah merandek sejenak, lalu katanya pula.

   "Kalian begini lihai, entah berasal dari perguruan mana? Dan entah mengapa pula sedemikian lambat kalian tampil di depan umum? Baru tiga tahun yang lalu mulai kudengar nama kalian."

   "Kami gemar ilmu silat sejak kecil,"

   Jawab Lo Kiu.

   "Makanya suka berlatih beberapa jurus cakar kucing di rumah, jadi tiada perguruan segala. Sampai berumur empat puluh mendiang ibu kami masih hidup, kami bersaudara tidak berani pergi jauh, baru setelah ibu wafat kami berani keluar."

   "Tak nyana kalian selain ksatria juga anak berbakti,"

   Ucap Thi Bu-siang dengan gegetun. "Ah, mana berani dipuji begitu,"

   Kata Lo Sam. "Mengingat kalian mampu malang-melintang ke sana sini sejak keluar rumah, jika kalian tidak mendapatkan didikan guru ternama, sungguh sukar dipercaya,"

   Kata Thi Bu-siang pula. "Di depan Locianpwe masakah kami berani berdusta,"

   Ujar Lo Kiu. "Jika begitu, kalian boleh dikatakan bakat yang sukar dicari, ilmu silat ciptaan sendiri ternyata lebih hebat, entah kalian sudikah mempertunjukkan sejurus dua bagiku?"

   "Mana kami berani pamer di depan tokoh besar seperti Thi-locianpwe,"

   Kata Lo Sam. "Jika kalian tidak sudi, sungguh aku akan tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur."

   "Tapi Wanpwe benar-benar tidak berani,"

   Jawab Lo Kiu dengan tertawa. "Kalian harus memberi muka kepadaku, memangnya kalian tidak menghargai permintaanku?"

   Kata Thi Bu-siang dengan sungguh-sungguh. Cepat Thio Hiang-leng menyela.

   "Thi-locianpwe berjuluk Ai-cay-ji-heng dan terkenal menyukai setiap orang muda berbakat, bisa jadi beliau menjadi tertarik oleh bakat kalian bersaudara, maka kalian janganlah mengecewakan keinginan Thi-locianpwe."

   Lo Sam menyengir, jawabnya.

   "Masakah Tio-cengcu juga ...."

   "Bicara terus terang, Cayhe memang juga ingin melihat pertunjukan kalian yang pasti menarik,"

   Ucap Tio Hiang-leng. "Jika begitu, terpaksa kami harus menurut,"

   Kata Lo Kiu sambil berbangkit. Meski badan kedua Lo bersaudara ini sangat gemuk, tapi juga sangat tinggi. Mereka terus menyingsing baju dan mulai "main"

   Di ruangan tamu ini.

   Maka bukan cuma Tio Hiang-leng dan Thi Bu-siang yang mengikutinya dengan cermat, bahkan Siau-hi-ji yang mengintip di luar jendela juga melotot, ia pun ingin tahu sampai di manakah taraf ilmu silat kedua Lo bersaudara itu dan berasal dari aliran mana.

   Terlihat permainan silat kedua Lo bersaudara itu memang sedap dipandang, Lo Kiu memainkan ilmu pukulan Siang-poan-ciang, sedangkan Lo Sam main ilmu pukulan Tay-heng-kun.

   Tampaknya memang tangkas, kuda-kudanya kuat, namun bagi kaum ahli jelas ilmu silat mereka itu cuma sedap dipandang dan tidak enak dimakan, artinya cuma ilmu silat kembangan belaka, ilmu silat mereka ini pada hakikatnya sangat umum, bahkan kusir dokar atau kuli tepi jalan terkadang juga dapat main.

   Thi Bu-siang seperti terkesima mengikuti permainan kedua Lo bersaudara itu, tapi bukannya kesima kagum akan lihainya ilmu silat mereka, sebaliknya heran akan rendahnya kepandaian mereka.

   Selesai main, tampaknya muka kedua Lo bersaudara rada merah, mereka memberi hormat dan berkata dengan rendah hati.

   "Mohon Thi-locianpwe suka memberi petunjuk."

   "Oo ... ehm ...."

   Thi Bu-siang tidak menanggapi dan tiada komentar. "Ilmu silat kedua saudara Lo sungguh teramat kuat, entah bagaimana pendapat Thi-locianpwe?"

   Tio Hiang-leng bertanya dengan tertawa. "Ehm, be ... betul, betul,"

   Kata Thi Bu-siang. Walaupun begitu ucapnya, namun tidak dapat menutupi nadanya yang merasa kecewa, dia benar-benar tidak tertarik lagi oleh kedua orang gemuk itu. Akan tetapi Siau-hi-ji justru sangat tertarik oleh kedua orang itu. Pikirnya.

   "Kedua orang ini pintar dan cerdik, mahir menyembunyikan sesuatu tanpa kelihatan pada lahirnya, sampai-sampai jago kawakan Kangouw seperti Thi Bu-siang juga kena dikelabui dan tak dapat melihat bahwa ilmu silat mereka sebenarnya tidak terbatas begitu saja. Tindakan mereka itu tidak saja menyembunyikan asal usul ilmu silat sendiri, bahkan juga menghilangkan rasa curiga orang lain sehingga tidak menaruh waswas kepada mereka. Jelas mereka lebih suka dianggap rendah oleh orang lain, sungguh suatu pikiran yang licin, betapa pun aku harus waspada terhadap orang macam begini. Walaupun Siau-hi-ji sudah dapat menerka sesuatu muslihat tersembunyi di balik kerendahan hati kedua orang gemuk itu, tapi ia pun tak dapat mengetahui dengan pasti akal busuk apa yang mereka atur. Dan dengan sendirinya pula ia tak dapat menerka asal usul mereka. Tadi ia bermaksud menerjang ke dalam untuk mengambil obat, kini demi melihat kelicinan kedua orang gemuk itu, seketika ia menjadi ragu-ragu. Terdengar Tio Hiang-leng sedang angkat cawan dan berkata pula.

   "Malam ini pasti kita tak dapat tidur karena diributkan oleh peristiwa tak terpecahkan itu, namun barusan dapat menyaksikan kehebatan kedua saudara Lo serta dapat mengiringi Thi-locianpwe minum semalam suntuk, sedikitnya terhibur juga rasa kesal semula."

   Diam-diam Siau-hi-ji jadi heran, entah apa "peristiwa tak terpecahkan"

   Yang dimaksud Tio Hiang-leng? Pada saat itulah di luar perkampungan tiba-tiba berkumandang suara ringkik kuda dan roda kereta. Serentak Thi Bu-siang berbangkit dan berseru.

   "Jangan-jangan telah datang pula!"

   Habis berkata, secepat terbang ia terus menerobos keluar.

   Di luar perkampungan memang betul telah datang sebuah kereta kuda, waktu pintu gerbang dibuka, kereta itu langsung dilarikan ke dalam, tapi di atas kereta tiada nampak seorang penghela pun.

   Tio Hiang-leng lantas memerintahkan centingnya menurunkan muatan kereta itu, begitu bungkusan muatan itu dibuka, serentak terendus bau obat-obatan.

   Ternyata isi bungkusan-bungkusan itu adalah Kuici, Bakui, Lengka, dan Himta ....

   Siau-hi-ji dapat melihatnya dengan jelas, kembali ia terkejut.

   Di bawah cahaya lampu kelihatan air muka Tio Hiang-leng dan Thi Bu-siang juga berubah.

   "Urusan apa-apaan ini? Semalaman berturut-turut beberapa kali tanpa sebab mengantar obat sebanyak ini ke sini, apakah ada orang sengaja bergurau denganku atau sengaja hendak main gila padaku?"

   Demikian omel Tio Hiang-leng. "Semua bahan obat-obatan ini berharga mahal, siapa yang mau bergurau dengan menggunakan benda berharga begini?"

   Ujar Thi Bu-siang. "Bagaimana kalau menurut pendapat Locianpwe?"

   Tanya tuan rumah. "Di balik urusan ini bukan mustahil ada sesuatu tipu muslihat keji,"

   Kata Thi Bu-siang setelah berpikir sejenak. "Tapi obat-obatan ini bukanlah racun melainkan obat kuat malah, dengan mengantar obat-obatan ini rasanya juga tiada maksud jahat,"

   Kata Tio Hiang-leng.

   "Apakah barangkali Lo-heng dapat menerka apa sebabnya?"

   "Thi-locianpwe berpengalaman luas dan berpengetahuan tinggi, apa yang diucapkannya pasti beralasan,"

   Ujar Lo Kiu dengan tertawa. "Betul, kalau tokoh seperti Thi-locianpwe tak dapat menerkanya, apalagi kami bersaudara ini?"

   Dengan tertawa Lo Sam menambahkan. "Sesungguhnya aku pun merasa bingung,"

   Ucap Thi Bu-siang. Meski dia merasa bingung, namun Siau-hi-ji sudah tahu jelas duduknya perkara. la membatin.

   "Bagus sekali, kiranya kalian sengaja mengatur tempat tukang tadahnya, kalian mengantar obat-obatan itu ke sini agar Hoa Bu-koat menyangka yang menaruh racun ialah Thi Bu-siang, rupanya kalian memakai tipu timpuk batu sembunyi tangan. Cuma sayang persoalan ini kebetulan kepergok olehku, maka apeslah kalian."

   Setelah berpikir dan mendapat akal, diam-diam ia lantas meninggalkan perkampungan keluarga Tio ini.

   Mumpung di waktu malam, ia mencari sebuah toko penjual sebangsa pupur bedak dan sebagainya, dia masuk dengan bertangan kosong, keluarnya sudah penuh "muatan", segala keperluannya dalam bungkusan-bungkusan sudah dibawanya.

   Kalau "Thian-hiang-tong, Te-leng-ceng"

   Saja dia dapat masuk keluar dengan leluasa seperti tiada penghuninya, dengan sendirinya toko sekecil ini bukan apa-apa baginya, apa yang dia perlukan tinggal ambil saja.

   Maka waktu fajar tiba, seperti ular habis mengelungsungi, Siau-hi-ji juga telah berganti rupa, kini wajahnya putih gemuk, malahan rada-rada tembem, matanya riap-riap seperti orang yang selalu mengantuk dan mulutnya rada monyong sehingga lebih mirip makelar di rumah pelacur.

   Kepandaian rias muka yang dipelajarinya dari To Kiau-kiau ternyata tidak sia-sia.

   Waktu pagi tempat yang paling ramai di dalam kota dengan sendirinya adalah rumah minum yang juga menjual sarapan pagi, Siau-hi-ji mencari sebuah rumah makan yang paling ramai.

   Biasanya, rumah makan yang ramai dikunjungi peminat hanya ada dua kemungkinan.

   Murah dan enak.

   Jika bukan harganya murah tentu hidangannya lezat.

   Itulah daya tarik langganan.

   Di rumah makan itulah Siau-hi-ji mengisi perut sekenyangnya, ia habiskan satu piring Siomoy dan beberapa potong Yucakue disertai satu mangkuk kuah panas.

   Ia tahu hari ini pasti akan banyak keluarkan tenaga, maka "tangki bensin"

   Juga perlu diisi penuh.

   Supaya menghasilkan tenaga besar manusia harus makan kenyang.

   Di luar rumah makan itu sudah ramai pasar pagi, orang berlalu lalang berjubel-jubel, seorang lelaki tinggi kurus dengan pelipis bertempelkan koyok dan tangan menjinjing sangkar burung tampak menerobos kian kemari di tengah-tengah khalayak ramai.

   Sebelah tangan lelaki jangkung itu membawa sangkar burung, tapi tangan lain juga tidak menganggur, sekali tangan terjulur, seketika isi saku orang lain sudah menjadi miliknya.

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang inilah yang diincar dan dikuntit Siau-hi-ji, ia mendekatinya dan memegang pundaknya sambil menegur dengan tertawa.

   "Gesit amat kerja tangan sahabat."

   Pencoleng itu menoleh dan merasa tidak kenal Siau-hi-ji, dengan gusar ia memaki.

   "Anak jadah, barangkali kau makan kekenyangan dan ingin digebuk?"

   Berbareng tangannya membalik terus menampar.

   Sudah pasti selama hidupnya jangan harap akan dapat memukul Siau-hi-ji.

   Hanya dengan dua jari saja Siau-hi-ji dapat menjepit pergelangan tangan pencoleng itu, sedikit dipencet dan dipuntir, seketika pencoleng itu meringis dan mengaduh.

   "Nah, siapa anak jadah?"

   Tanya Siau-hi-ji dengan tertawa. Keringat dingin membasahi dahi pencoleng itu, jawabnya dengan terputus-putus.

   "Aku ... aku sendiri anak jadah, aku sendiri anak haram. Tuan kecil, kakek kecil, ampun, ampunilah anak haram macamku ini, biarlah kuserahkan seluruh isi bajuku ini padamu."

   "Aku tidak mengincar isi kantongmu,"

   Ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

   "Asalkan kau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, malahan aku yang akan menambahkan isi sakumu sehingga penuh. Nah, mau tidak?"

   "Su ... sudah tentu mau,"

   Jawab pencoleng itu. Sambil menelikung tangan orang, Siau-hi-ji lantas tanya.

   "Tahukah tempat seperti Thian-hiang-tong, Te-leng-ceng?"

   "Tentu saja tahu, kalau tempat begitu saja tidak tahu, mana hamba dapat cari makan di sini."

   "Orang macam apakah Tio-cengcu itu?"

   "Tio-cengcu terkenal kaya raya, tangan terbuka pula, baik kawan kalangan putih maupun kalangan hitam mempunyai hubungan baik dengan dia. Cuma ... cuma sejak sayap Toan Hap-pui melebar ke sini, semua usahanya hampir jatuh kalah bersaing dengan Toan Hap-pui, dia bermaksud main kekerasan, tak tahunya Toan Hap-pui juga memiara sekawanan orang Kangouw, bahkan kelasnya lebih tinggi daripada jago-jago kumpulan Tio-cengcu."

   "Betul, jika demikian halnya,"

   Gumam Siau-hi-ji.

   "Sungguh Tio Hiang-leng mendatangkan Thi Bu-siang ke sini tentunya karena dia ingin menggunakan pengaruh tokoh tua itu untuk menindas Toan Hap-pui, di luar dugaannya usahanya ini justru kena diperalat oleh orang lain." .Pencoleng itu tidak paham apa yang dikatakan Siau-hi-ji, dengan menyengir ia cuma memohon.

   "Tuan kecil, Tuan besar, dapatkah engkau melepaskan hamba sekarang?"

   "Kerjamu setiap hari putar kayun kian kemari, kau tentu sangat paham keadaan kota ini, kukira Tio-keh-ceng (perkampungan keluarga Tio) tentu juga ada kenalan, asalkan kau mau membawaku menemui temanmu dan membiarkan aku ngendon sehari di sana, untuk itu akan kuberi tiga ratus tahil perak, kau mau tidak?"

   Tawaran menarik ini mustahil dia tidak mau? Untuk tiga ratus tahil perak ini sekalipun bininya juga pencoleng itu mau menjualnya.

   *** (.

   ) Tempat seperti Tio-keh-ceng dengan sendirinya terdapat orang bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang busuk.

   Di antara kaum pelayan dan pekerja dengan sendirinya terdapat golongan yang bertujuan cari-cari belaka dan orang-orang ini adalah kawan si pencoleng itu.

   Dengan sedikit akalnya Siau-hi-ji lantas dapat bergaul dengan mereka, tidak sampai setengah hari orang-orang itu pun sudah pandang Siau-hi-ji sebagai teman sendiri.

   Yang tidak terduga oleh Siau-hi-ji adalah pagi-pagi Tio Hiang-leng sudah berada di ruang depan dengan penuh semangat, sedikit pun tiada tanda-tanda kurang tidur karena habis pesta pora semalam suntuk.

   Tidak lama kemudian datanglah berturut-turut beberapa kelompok orang, tampaknya adalah kaum pedagang, semuanya bersikap sangat hormat kepada tuan rumah.

   Siau-hi-ji berdiri agak jauh, ia coba tanya salah seorang centeng siapakah orang-orang yang pagi-pagi menghadap Tio Hiang-leng itu.

   "Mereka adalah pemegang kuasa Cengcu kami yang diserahi mengawasi berbagai perusahaan di luar sana, setiap pagi mereka pasti datang memberi laporan kepada Cengcu mengenai perkembangan perusahaan, selain orang-orang ini biasanya Cengcu kami tidak menerima tamu,"

   Demikian tutur centing itu. "Ada sementara tamu mungkin mau tak mau harus diterima Cengcu kalian,"

   Ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum. Sudah tentu centing itu tidak paham maksud yang terkandung di balik ucapan Siau-hi-ji itu, jawabnya dengan tertawa.

   "Memangnya ada orang yang berani sembarangan menerjang masuk perkampungan kami ini?"

   Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian.

   "Bagaimana kalau tamu itu Toan Hap-pui adanya?"

   "Huh, babi gemuk itu maksudmu?"

   Jengek si centing.

   "Sudah lama Cengcu kami hendak memotong dagingnya untuk dibuat Ang-sio-bak."

   "O, kiranya Cengcu kalian bermusuhan besar dengan Toan Hap-pui?"

   Tanya Siau-hi-ji.

   "Soalnya persaingan, usaha Cengcu kami mestinya maju dan lancar, tapi sejak kedatangan Toan Hap-pui, dengan segala daya upaya dia selalu mengacau dan merusak."

   "Cara bagaimana dia mengacau dan merusak?"

   "Misalnya di mana Cengcu kami ada toko, di situ pula dia membuka toko yang serupa, setiap langganan Cengcu kami selalu diserobot olehnya, maka permusuhan Thian-hiang-tong kami dengan Toan Hap-pui boleh dikatakan adalah sedalam lautan."

   "Sungguh tidak nyana bahwa dunia dagang juga seperti medan perang,"

   Kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

   "Tampaknya permusuhan di kalangan dagang akan jauh lebih keras dari pada musuh di medan perang."

   "Orang dagang harus mengutamakan kejujuran, tapi cara kotor dan rendah seperti Toan Hap-pui itu pada hakikatnya bukan cara manusia,"

   Ucap si centing.

   Maklumlah, orang dagang pada jaman dahulu umumnya mengutamakan kejujuran, akan tetapi Toan Hap-pui ternyata memiliki otak dagang modern seperti jaman kini, dia menggunakan akal dagang bersaing dan main monopoli seperti sekarang untuk mengalahkan lawannya, dengan sendirinya caranya ini menimbulkan rasa benci pihak lawan.

   Dalam pada itu Tio Hiang-leng sudah menyelesaikan urusannya dengan para pegawainya.

   Ia menghirup teh yang sudah tersedia, lalu memberi perintah agar pelayan mengundang para tamunya ke ruangan tamu ini untuk minum.

   Siau-hi-ji putar kayun dulu ke perkampungan ini, sekembalinya ia lihat Thi Bu-siang, Lo Kiu dan Lo Sam sudah berada di ruangan tamu dan asyik membicarakan kejadian aneh semalam.

   Diam-diam Siau-hi-ji membatin.

   "Jika taksiranku tidak meleset, mungkin sudah saatnya dia akan tiba!"

   Maka ia lantas duduk di atas batu yang berada di bawah pohon yang rindang. Benar juga, tidak lama kemudian terdengarlah di pintu luar sana ada suara ramai, seorang berseru.

   "Antarkan kartu nama ini kepada Cengcu kalian, katakan Cayhe minta bertemu."

   Terdengar penjaga menjawab.

   "Maaf, sudah menjadi kebiasaan Cengcu kami di waktu pagi men ...."

   Mendadak ucapannya berhenti sampai di sini, seperti orang yang kaget demi melihat nama yang tertulis pada kartu yang disodorkan. "Itu dia sudah datang!"

   Demikian Siau-hi-ji bergumam dengan girang dan rada tegang pula demi mendengar suara orang tadi.

   Dalam pada itu buru-buru si penjaga menyampaikan kartu nama itu kepada sang majikan.

   Mula-mula Tio Hiang-leng mengerut kening karena kunjungan tamu di waktu pagi, tapi demi membaca kartu nama itu, seketika ia pun berubah sikap dan berseru.

   "He, Kang lam-tayhiap Kang Piat-ho datang!"

   Serentak Thi Bu-siang berbangkit, belum lagi dia buka suara, di luar ruangan sudah ada orang berseru lantang dengan tertawa.

   "Kang Piat-ho mohon bertemu, masa Cengcu tidak sudi menemuinya?"

   Dua orang tampak melangkahi undak-undakan batu ruangan tamu, orang yang berada di depan gagah angker, itulah dia Kang Piat-ho.

   Di belakangnya adalah seorang pemuda mahacakep.

   Lebih belakang lagi ada empat lelaki menggotong sebuah joli indah berkain beludru hijau, pintu joli tertutup tirai, entah siapa yang duduk di dalam joli itu.

   Cepat Tio Hiang-leng memburu maju untuk menyambut, sapanya sambil memberi hormat.

   "Cayhe tidak tahu akan kunjungan Kang-tayhiap sehingga tidak menyambut lebih dulu, harap sudi memberi maaf."

   "Waktu berkunjung kami ini kurang tepat, kamilah yang perlu minta maaf kepada Cengcu,"

   Jawab Kang Piat-ho tertawa. Setelah mempersilakan duduk tetamunya, dilihatnya air muka si pemuda cakep itu bersungut, ketika sorot mata kedua orang beradu, tanpa terasa Tio Hiang-leng mengkirik, ia menyapa.

   "Saudara ini entah ...."

   "Ini Hoa-kongcu, Hoa Bu-koat,"

   Sela Kang Piat-ho dengan tersenyum.

   Dia sengaja memperkenalkan Hoa Bu-koat dengan tawar, tapi bagi Tio Hiang-leng, Thi Busiang dan kedua saudara Lo itu menjadi terkesiap demi mendengar nama ini.

   Setelah memandang sekejap, Thi Bu-siang berkata dengan tertawa.

   "Kiranya saudara ini adalah Bu-koat Kongcu yang termasyhur akhir-akhir ini, ternyata memang ksatria muda yang cakap, sungguh beruntung dapat berjumpa."

   "Terima kasih,"

   Ucap Bu-koat dengan dingin-dingin saja. "Dan inilah Thi-locianpwe,"

   Dengan tertawa Tio Hiang-leng juga memperkenalkan jagonya. "Mungkin kalian sudah lama saling kenal, tapi kedua saudara Lo ini ...."

   Dengan sendirinya ia pun membumbu-bumbui lebih banyak ketika memperkenalkan kedua orang gemuk ini.

   Tapi Hoa Bu-koat seperti tidak mendengarkan uraiannya, yang menarik perhatiannya adalah hidungnya yang sedang mencium-cium sesuatu bau tertentu, mendadak lengan jubahnya mengebas, dengan enteng dia melesat ke sana.

   Semua orang cuma merasa ada bayangan berkelebat, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah melayang ke ruang samping, waktu bayangan berkelebat pula, cepat sekali dia sudah melayang balik, tangannya meraup segenggam obat dan air mukanya tampak pucat.

   "Ternyata betul terdapat di sini,"

   Demikian ucapannya dengan suara parau. "Apakah obat-obatan ini milik Hoa-kongcu?"

   Tanya Tio Hiang-leng.

   "Cayhe lagi bingung karena tidak tahu siapa yang mengirimkannya kemari, semalam ...."

   "Apakah Cengcu benar-benar tidak tahu siapa pengirimnya?"

   Tiba-tiba Kang Piat-ho menukas dengan senyum tak senyum.

   Tio Hiang-leng memandangnya-sekejap, kemudian memandang Hoa Bu-koat pula, dari air muka pemuda itu ia tahu di balik persoalan ini pasti menyangkut sesuatu urusan gawat Maka dengan menyengir kikuk ia menjawab.

   "Se ... sebenarnya bagaimana duduk perkaranya?"

   "Duduk perkara ini sebenarnya juga sangat sederhana,"

   Kata Kang Piat-ho.

   "Ada orang meracuni bakal istri Hoa-kongcu, tapi sengaja memborong habis semua obat penawar racun di setiap toko obat. Nah, bagaimana duduk perkaranya menurut pendapat Tio-cengcu?"

   "Jelas tujuannya hendak menamatkan hidup calon istri Hoa-kongcu,"

   Kata Tio Hiang-leng. "Betul, dan dengan demikian, orang yang sengaja menguras semua obat penawar di pasaran itu bukankah sama dengan orang yang menaruh racun itu?"

   Tanya Kang Piat-ho. "Ya, dengan sendirinya,"

   Jawab Tio Hiang-leng. "Bagus,"

   Ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum. Setelah berpikir, seketika air muka Tio Hiang-leng berubah pucat, serunya.

   "He, jadi obat ... obat penawar yang dimaksud itu kini berada di tempatku ini?"

   "Betul,"

   Kata Kang Piat-ho tegas. "Tapi ... tapi Cayhe benar-benar tidak tahu seluk-beluk urusan ini ...."

   Seru Tio Hiang-leng sambil melonjak.

   "Obat-obatan itu baru kemarin dikirim kemari."

   "Siapa pengirimnya?"

   Tanya Kang Piat-ho. "Cayhe juga tidak tahu,"

   Jawab Tio Hiang-leng. "Tidak tahu?"

   Jengek Kang Piat-ho.

   "Masa ada orang tanpa sebab mau mengirimkan obat-obatan yang bernilai mahal ini secara cuma-cuma kepada orang lain? Tio-cengcu bicara cara begini, memangnya kau anggap diriku ini anak kecil?"

   Bahwasanya kejadian ini memang aneh dan sukar dipercaya kalau diceritakan, dengan sendirinya Tio Hiang-leng tidak dapat memberi penjelasan lebih lanjut, hanya keringat dingin saja memenuhi dahinya. Mendadak Thi Bu-siang berdiri dan berseru.

   "Lohu bersedia menjamin Tio-cengcu dengan kehormatanku bahwa obat-obatan itu memang betul kiriman orang lain, Tio-cengcu memang betul tidak tahu-menahu siapa pengirimnya."

   Kang Piat-ho meliriknya sekejap, katanya dengan acuh.

   "Kalau Tio-cengcu tidak tahu, kurasa saudara pasti tahu."

   "Ap ... apa maksudmu?"

   Seru Thi Bu-siang dengan, gusar.

   Kang Piat-ho hanya mendengus saja dan tidak menanggapinya, bahkan tidak lagi memandang jago tua itu.

   Pada saat inilah baru Hoa Bu-koat menarik diri dari dalam joli, kiranya yang berada di dalam joli adalah Thi Sim-lan, Hoa Bu-koat telah menyuapi Thi Sim-lan dengan obat penawar yang diambilnya dari ruangan dalam tadi.

   Cara telan obat penawar mentah-mentah begitu meski tidak semanjur kalau minum obat cara biasa, tapi sedikitnya dapat menahan menjalarnya racun, apalagi ditambah bantuan tenaga dalam Hoa Bu-koat yang mahakuat, hanya sebentar saja di dalam joli lantas terdengar suara orang merintih perlahan.

   Hoa Bu-koat menghela napas lega, perlahan-lahan ia membalik tubuh, sorot matanya menyapu muka setiap orang, begitu tajam sinar matanya sehingga membuat orang yang ditatap olehnya merasa seram.

   "Siapa yang menaruh racunnya?"

   Dengan sekata demi sekata kemudian Hoa Bu-koat bertanya. "Cayhe ... Cayhe benar-benar tidak tahu,"

   Ucap Tio Hiang-leng sambil mengusap keringat di dahinya. "Ini pasti ada orang sengaja memfitnah!"

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Teriak Thi Bu-siang dengan suara keras. Kang Piat-ho memandang Lo Sam dan Lo Kiu sekejap, tiba-tiba ia berkata.

   "Memangnya obat-obatan ini bukan dibeli oleh Thi-loenghiong dan Tio-cengcu?"

   Lo Kiu dan Lo Sam saling pandang sekejap, lalu Lo Kiu menjawab dengan perlahan.

   "Kami bersaudara tidak tahu apa-apa."

   "Secara gamblang kalian mengetahui, semalam juga kalian menyaksikan sendiri, mengapa bilang tidak tahu apa-apa?"

   Bentak Thi Bu-siang gusar. "Kami bersaudara memang menyaksikan obat-obatan itu diantar sendiri ke sini dan tidak tahu siapa pengirimnya, bisa jadi pengirimnya ialah Ong Ji, atau Li Si, atau mungkin juga ...."

   Lo Sam memandang Thi Bu-siang sekejap dan tidak meneruskan lagi. "Atau mungkin juga dilakukan oleh anak murid Thi-loenghiong, begitu bukan?"

   Tanya Kang Piat-ho. Lo Sam dan Lo Kiu kembali saling pandang dan tidak menjawab seakan-akan mengakui kebenarannya secara diam. Sorot mata Kang Piat-ho lantas menatap tajam ke arah Thi Bu-siang, lalu bertanya dengan kalem.

   "Apalagi yang dapat saudara katakan?"

   Thi Bu-siang melotot gusar kepada kedua Lo bersaudara, bentaknya bengis.

   "Mengapa kalian berani bicara begitu?"

   "Kami bicara sejujurnya,"

   Ucap Lo Kiu. "Kalian bersaudara sungguh orang yang terpuji, sungguh Cayhe sangat kagum,"

   Ujar Kang Piat-ho.

   "Tapi Thi-loenghiong ternyata .... Hehe!"

   Thi Bu-siang menjadi murka, bentaknya.

   "Memangnya Lohu kenapa?"

   Kang Piat-ho tidak menjawab, ia mendekati joli dan memanggil perlahan.

   "Nona Thi! Apakah nona Thi sudah siuman?"

   Terdengar suara rintihan Thi Sim-lan di dalam joli.

   "O, aku ... aku kedinginan!"

   "Apakah nona tahu siapa yang meracuni dirimu?"

   Tanya Kang Piat-ho. Pertanyaan ini membuat orang merasa tegang, semuanya ingin tahu bagaimana jawabnya. Terdengar Thi Sim-lan menjawab dengan suara lemah.

   "Apakah aku ... aku keracunan? Aku pun tidak aku tidak tahu siapa yang menaruh racun ."

   Baru saja Tio Hiang-leng merasa lega terdengar Thi Sim-lan telah menyambung pula.

   "Yang jelas habis kumakan dua biji kurma antaran Thi Bu-siang, sekujur badan lantas kedinginan hingga menggigil, hanya sebentar saja aku lantas tidak sadarkan diri."

   Keterangan ini membuat air muka semua orang berubah. "Meng ... mengapa kau menista orang?"

   Seru Thi Bu-siang. "Jika saudara tetap menyangkal, apakah sikap ini terhitung lelaki sejati?"

   Kata Kang Piat-ho. "Kentut busuk!"

   Teriak Thi Bu-siang gusar.

   "Selamanya Lohu tidak kenal nona ini dan tiada permusuhan apa-apa, untuk apa kuracuni dia?"

   "Bagaimana pendapatmu atas jawaban ini, Hoa-kongcu?"

   Tanya Kang Piat-ho kepada Hoa Bu-koat. Betapa pun Hoa Bu-koat memang bukan pemuda biasa, dalam keadaan demikian dia masih tetap sabar, walaupun air mukanya tampak bersungut, tapi tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan kalem.

   "Sebelum kita bertindak harus membuat mereka menyerah lahir batin."

   "Ya, pantasnya memang harus begitu,"

   Ucap Kang Piat-ho dengan tertawa, mendadak ia memanggil salah seorang pemikul joli.

   "Coba kemari!"

   Pemikul joli itu mengiakan dan mendekat, katanya sambil membungkuk tubuh.

   "Entah ada pesan apa Kang-tayhiap? Sudah tentu semua orang tidak tahu untuk apakah Kang Piat-ho memanggil seorang kuli tukang pikul joli pada detik yang genting ini. Tertampak Kang Piat-ho menyeringai dan bertanya kepada pemikul joli itu.

   "Apa yang dikatakan Thi-locianpwe barusan ini sudah kau dengar bukan?"

   "Ya, hamba mendengar dengan jelas,"

   Sahut pemikul joli. "Coba katakan, adakah alasannya mencelakai nona Thi?"

   Tanya Kang Piat-ho pula. "Tidak ada,"

   Jawab pemikul joli.

   Maka hadirin jadi saling pandang dengan bingung, mereka merasa Kang Piat-ho sengaja main teka-teki, ada pula yang merasa Kang Piat-ho ini ingin untung malah menjadi buntung.

   Tapi Kang Piat-ho sendiri tidak menjadi marah oleh jawaban si pemikul joli, sebaliknya ia malah tertawa dan bertanya pula.

   "Jika demikian, jadi bukan Thi-locianpwe yang menaruh racunnya?"

   "Justru Thi-locianpwe yang menaruh racun itu,"

   Kata si pemikul joli. "Lho, mengapa sekarang kau bilang Thi-locianpwe yang menaruh racunnya?"

   Kata Kang Piat-ho. "Sebabnya, meski beliau tiada maksud mencelakai nona Thi, tapi ada niat membinasakan Hoa-kongcu,"

   Jawab pemikul joli.

   "Jadi sasaran racunnya sebenarnya Hoa-kongcu, hanya saja nona Thi yang ketiban pulung."

   Kang Piat-ho pura-pura mengernyitkan kening dan bertanya pula.

   "Selamanya Thi-locianpwe juga tiada permusuhan apa pun dengan Hoa-kongcu, untuk apa beliau meracuni Hoa-kongcu?"

   "Ya, tepat, untuk apa Lohu meracun orang yang tak kukenal?"

   Tukas Thi Bu-siang dengan murka. Tapi pemikul joli itu menjawab dengan tenang.

   "Maksud tujuan membunuh orang hanya ada beberapa alasan, misalnya iri, dendam, atau mungkin lantaran diri sendiri berbuat sesuatu dosa yang tak boleh diketahui orang lain ...."

   Dengan gusar Thi Bu-siang membentak.

   "Selama hidupku selalu bertindak sesuatu dengan terang-terangan, masa kau budak keparat ini berani menista diriku berbuat sesuatu yang takut diketahui orang?!"

   Bentakan Thi Bu-siang ini menggelegar sehingga para centing Te-leng-ceng sama pucat ketakutan. Tapi pemikul joli ini ternyata tidak jeri sedikit pun, dengan tenang ia malah tertawa dan menjawab.

   "Sekali-kali hamba tidak bilang begitu, Thi-locianpwe sendirilah yang berkata demikian."

   Bukan saja mulutnya tajam, bahkan nyali pemikul joli itu pun besar, malahan nada bicaranya yang terdengar menghormat itu terasa menusuk perasaan pula seakan-akan tidak mau kalah menghadapi Thi Bu-siang.

   Semua orang menjadi heran bahwa seorang pemikul joli "Kang-lam-tayhiap"

   Begitu lihai. Akan tetapi Siau-hi-ji sudah dapat melihat bahwa "pemikul joli"

   Ini seperti orang yang sudah sangat dikenalnya. Dalam pada itu, saking gusarnya Thi Bu-siang menjadi tertawa keras sambil menengadah, teriaknya.

   "Bagus, bagus, di hadapan kawan sebanyak ini Lohu justru ingin mendengar tuduhan budak keparat macam kau ini mengenai perbuatanku yang takut diketahui orang?"

   "Perbuatan yang tidak boleh dilihat orang juga terdiri dari macam-macam,"

   Ucap pemikul joli. "Umpamanya pencuri ayam atau sambar jemuran, ini terhitung kejahatan kecil, kalau merampok uang kiriman, membunuh orang, ini tergolong kejahatan besar."

   "Mak ... maksudmu Lohu pernah merampok uang kiriman siapa?"

   Bentak Thi Bu-siang. "Umpamanya milik Toan Hap-pui, Toan-loya,"

   Jawab pemikul joli. "Toan Hap-pui?"

   Teriak Thi Bu-siang dengan parau.

   "Kau ... kau ...."

   "Setiap penduduk kota ini tahu bahwa Toan-loyacu adalah saingan keras Tio-cengcu,"

   Kata si pemikul joli.

   "Kalau harta Toan-loyacu yang disiapkan untuk membeli barang dagangan dirampok sehingga barang dagangannya terlambat datang, bukankah Tio-cengcu akan kehilangan saingan berat sehingga dapat berusaha dengan leluasa, bahkan menaikkan harga dan untung besar."

   "Sekalipun begitu, lalu ada sangkut-paut apa dengan diriku?"

   Teriak Thi Bu-siang gusar. "Jika Thi-locianpwe berhasil merampas harta kiriman Toan-loyacu, untuk jasa besar ini tentu Tio-cengcu akan memberi imbalan setimpal, bahkan harta rampasan itu pun dapat dinikmati oleh Thi-locianpwe,"

   Ucap si pemikul joli dengan tertawa. Sungguh hampir meledak dada Thi Bu-siang saking murkanya, teriaknya.

   "Bagus, bagus, apalagi? ayo teruskan!"

   "Tentunya Thi-locianpwe mengira peristiwa ini takkan diketahui setan sekalipun, andaikan ada orang Kangouw yang menyelidiki kejadian ini juga takkan mencurigai Thi-locianpwe,"

   Si pemikul joli tertawa, lalu menyambung pula.

   "Di luar dugaan, Toan-loyacu ternyata dapat mengundang Hoa-kongcu kemari, dengan sendirinya Thi-locianpwe juga tahu Hoa-kongcu bukan tokoh sembarangan dan tentu khawatir peristiwa ini dibongkar oleh Hoa-kongcu, jika demikian jadinya, maka kelak Thi-locianpwe pasti tiada muka lagi buat berkecimpung di dunia Kangouw, sebab itu pula harus turun tangan lebih dulu, Hoa-kongcu harus dibinasakan sebelum dia bertindak sesuatu."

   Cara bicara pemikul joli makin lama makin mencolok, semula masih pakai istilah umpama dan misal segala, tapi sekarang cara terang-terangan ia menuduh Thi Bu-siang dengan pasti. Tentu saja tidak kepalang murka Thi Bu-siang, bentaknya.

   "Budak keparat, biar kuhancurkan dulu mulutmu ini!"

   Berbareng itu ia menubruk maju, di mana angin pukulannya menyambar, kontan pipi kanan kiri tukang pikul joli itu hendak ditempelengnya.

   Thi Bu-siang adalah tokoh dunia persilatan daerah Sam-siang, dengan sendirinya ilmu silatnya bukan jago pasaran biasa.

   Sekarang dia melancarkan serangan lihai itu terhadap seorang kuli tukang pikul joli, ibaratnya elang menyambar kelinci, semua orang menyangka serangannya pasti akan berhasil dengan mudah.

   Anehnya, Kang Piat-ho berdiri tepat di sebelah tukang pikul joli itu, tapi dia tetap diam saja meski menyaksikan anak buah sendiri hendak ditempeleng orang.

   Maka terdengar suara "plak"

   Yang keras disertai suara raungan dan bayangan seorang lantas mencelat.

   Ternyata secara keras tukang joli itu telah menangkis pukulan Thi Busiang, bahkan setelah adu tangan, yang mencelat bukan tukang pikul itu melainkan Thi Busiang sendiri malah.

   Keruan semua orang menjerit kaget.

   Sebenarnya Siau-hi-ji sedang merenungkan siapakah sebenarnya kuli pikul itu, tapi kini setelah melihat gaya pukulannya ternyata ilmu silat golongan murni, seketika tergerak pikirannya.

   "Ah, kiranya dia!"

   Dilihatnya Thi Bu-siang terpental hingga beberapa meter jauhnya, waktu hendak berdiri ternyata masih sempoyongan, untung Tio Hiang-leng memburu maju untuk memayangnya sebelum dia jatuh.

   Walaupun begitu wajah Thi Bu-siang yang merah itu pun berubah menjadi pucat dan dada berempas-empis, jelas terluka dalam yang tidak ringan.

   "Betapa pun Thi-locianpwe sudah tua,"

   Ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum. "Kau ... kau ...."

   Gemetar suara Thi Bu-siang hingga tak sanggup melanjutkan. "Apa yang ingin Cianpwe ucapkan, Cayhe siap mendengarkan,"

   Kata Kang Piat-ho.

   "Cayhe ingin tanya pula, coba jelaskan, apabila benar Thi-locianpwe yang menaruh racun, mengapa waktu mengantarkan oleh-oleh itu dia memakai namanya sendiri secara terang-terangan dan mengapa pula obat-obat penawarnya disimpan di sini, memangnya dia sengaja menunggu kedatangan kalian untuk menggerebeknya dengan bukti-bukti nyata?"

   Tanya Tio Hiang-leng. "Jika manusia biasa tentu takkan bertindak begini,"

   Si tukang joli tadi mendahului bicara.

   "Tapi Thi-locianpwe sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw dengan pengalaman yang luas, dia sengaja berbuat begini agar supaya orang lain tidak percaya bahwa dia yang melakukan tindakan keji ini."

   "Tapi ...

   tapi ...."

   Tio Hiang-leng tergagap-gagap juga. Biasanya ia pintar bicara dan banyak akalnya, tapi sekarang ternyata tak dapat menandingi debatan seorang kuli tukang pikul. "Urusan sudah kadung begini, bagaimana pendapat Hoa-kongcu?"

   Tiba-tiba Kang Piat-ho berpaling ke arah Hoa Bu-koat. Perlahan Hoa Bu-koat menyapu pandang semua hadirin, akhirnya dia menatap tajam Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, lalu berkata.

   "Saat ini tepat lohor, biarlah kuberi tempo setengah hari lagi bagi kalian berdua, boleh kalian berpikir cara bagaimana menyelesaikan persoalan ini. Petang nanti aku akan datang lagi ke sini."

   Habis berkata ia angkat tangan memberi tanda dan melangkah keluar. "Selama ini Cayhe juga kagum akan nama kebesaran Thi-locianpwe dan ingin sekali berkenalan, tak tahunya .... Ai!"

   Setelah menghela napas gegetun, segera Kang Piat-ho juga melangkah pergi bersama kuli joli tadi. Melihat mereka pergi begitu saja, semua orang jadi melongo, entah bersyukur, entah khawatir. Diam-diam Siau-hi-ji juga gegetun, pikirnya.

   "Betapa pun perginya kedua orang ini benar-benar sikap seorang pendekar sejati, cuma perginya Hoa Bu-koat itu timbul dari lubuk hati yang murni sedangkan Kang Piat-ho hanya sengaja berlagak demikian."

   Setelah menyaksikan kepergian Hoa Bu-koat dan Kang Piat-ho, sekonyong-konyong Thi Bu-siang menggerung.

   "Sungguh bikin gusar Lohu ...."

   Dan mendadak darah segar tersembur dari mulutnya.

   Kiranya dia telah terluka dalam yang parah akibat adu pukulan tadi, cuma dia bertahan sekuatnya, makanya sebegitu lama dia tidak ikut bicara, sebab khawatir tumpah darah dan kehilangan muka.

   Pedih juga hati Tio Hiang-leng melihat keteguhan hati Thi Bu-siang meski sudah berusia lanjut.

   Cepat ia berkata.

   "Silakan Cianpwe istirahat dulu ke ruang belakang untuk merawat lukamu ."

   "Petang nanti juga akan tiba ajal kita, apa gunanya sekalipun luka ini dapat disembuhkan?"

   Ujar Thi Bu-siang dengan senyum pilu. "Rasanya juga belum ... belum tentu akan terjadi, mereka ... mereka kan sudah pergi,"

   Kata Tio Hiang-leng. "Meski mereka sudah pergi, memangnya Lohu dapat melarikan diri?"

   Kata Thi Bu-siang. "Ai, tidak nyana kehormatan selama hidupku ini akhirnya harus mati dengan hina cara begini."

   Tio Hiang-leng menunduk sedih dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula.

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tahu dengan kedudukan Thi Bu-siang, orang tua itu lebih suka mati daripada melarikan diri.

   "Urusan sudah begini, Lohu sudah menghadapi jalan buntu, daripada menantikan tibanya ajal, lebih baik kuhabisi diriku sendiri saja!"

   Ucap Thi Bu-siang pula dengan menengadah, belum habis ucapannya air mata sudah bercucuran.

   Ksatria yang sudah lanjut usia harus menghadapi jalan buntu, sungguh mengharukan dan menimbulkan rasa simpatik orang.

   "Hendaklah Cianpwe jangan bertindak demikian,"

   Kata Tio Hiang-leng khawatir.

   "mungkin urusan masih bisa berubah ...."

   "Dalam keadaan demikian, jelas kita tidak dapat membantah terkecuali kalau dapat menemukan biang keladi yang sesungguhnya ...."

   Ujar Thi Bu-siang.

   "Tapi dunia seluas ini, ke mana biang keladi itu akan dicari? Apalagi kita hanya diberi waktu setengah hari saja."

   "Setengah hari ... sampai petang nanti ...."

   Demikian Tio Hiang-leng bergumam dengan murung. Waktu ia memandang keluar, sang surya sudah tampak mulai bergeser ke barat. "O, Kang Piat-ho! Wahai Hoa Bu-koat!"

   Seru Thi Bu-siang sambil menengadah.

   "Lohu juga tidak menyalahkan kalian, urusan sudah sejauh ini ... Hkhk, lumrah juga jika kalian bertindak begini ... Hk, hk ... kalian telah sudi memberi tempo setengah hari bagiku sudah terhitung baik hati dan berbudi luhur. Ya, Lohu ... hk-hk-hk ... Hk-hk!"

   Begitulah sambil berkata ia pun terbatuk-batuk sehingga pakaiannya penuh berlepotan darah.

   Dengan setengah bujuk dan setengah paksa Tio Hiang-leng menyuruh anak buahnya membawa jago tua itu ke ruang belakang, lalu ia pandang Lo Sam dan Lo Kiu, katanya dengan pedih.

   "Apakah kalian bersaudara juga tidak dapat memberi sesuatu petunjuk bagiku?"

   "Thi-locianpwe teramat sedih dan berduka, menurut pendapatku, persoalan ini sebenarnya cukup sederhana,"

   Kata Lo Kiu dengan tersenyum. Tio Hiang-leng bergirang, cepat ia tanya.

   "Lekas memberi petunjuk."

   Lo Kiu berlagak berpikir, lalu Tio Hiang-leng dibisikinya.

   "Asalkan ...."

   Karena suasana di ruangan sedang ribut, maka siapa pun tidak akan mendengar apa yang dibisikinya.

   Akan tetapi Siau-hi-ji sempat menyusup masuk di tengah keributan itu, orang lain tak dapat mendengar apa yang dikatakan Lo Kiu itu, namun betapa tajam indera pendengaran anak muda itu ditambah lagi dia melihat jelas gerak bibir orang, maka hampir sebagian besar apa yang dibisikkannya kepada Tio Hiang-leng itu dapat ditangkapnya.

   Rupanya Lo Kiu berkata.

   "Urusan sudah begini, asalkan kita turun tangan lebih dulu, kita tawan dulu Toan Hap-pui dan anak perempuannya agar Kang Piat-ho tidak berani sembarangan bertindak."

   Mendengar usul ini, sungguh Siau-hi-ji ingin, mendekati orang dan memberi beberapa kali gamparan. Usul macam apa ini? Pada hakikatnya hendak menjebloskan orang ke jurang. Tertampak Tio Hiang-leng berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Wah, cara demikian tidak boleh dilakukan, jika bertindak begini, tentu setiap orang Kangouw akan lebih yakin bahwa orang yang merampok harta kiriman dan menaruh racun adalah pihak kita dan tentu kita lebih-lebih tidak dapat membantah."

   Diam-diam Siau-hi-ji memuji tuan rumah yang bukan orang bodoh ini. Tapi Lo Kiu lantas membisiki Tio Hiang-leng pula.

   "Jika Cengcu tidak mau melaksanakan usulku ini, maka untuk menyelamatkan diri malam ini bagi Cengcu mungkin lebih sulit daripada terbang ke langit, suatu dan lain mengingat ilmu silat Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat yang mahatinggi itu."

   "Ya, apa boleh buat kalau begitu?!"

   Tio Hiang-leng tersenyum getir. Setelah termenung sejenak, lalu ia menyambung.

   "Cuma begundal Toan Hap-pui juga tidak sedikit, kalau kita hendak menawannya dari tempatnya mungkin juga bukan pekerjaan mudah, untuk ini diperlukan orang berkepandaian mahatinggi."

   "Untuk ini Cengcu tidak perlu khawatir,"

   Ucap Lo Kiu dengan tersenyum. Segera Lo Sam menyambung.

   "Saat ini Hoa Bu-koat dan Kang Piat-ho pasti tidak menyangka akan tindakan kita ini, dengan sendirinya mereka pun tidak pernah berpikir menjaga Toan Hap-pui dengan ketat. Selain kedua orang ini, rasanya yang lain-lain tidak perlu dikhawatirkan lagi."

   "Memangnya kedua saudara Lo sudi memberi bantuan?"

   Tanya Tio Hiang-leng dengan girang. "Kami telah mendapat perlakuan baik dari Cengcu, masa untuk persoalan begini saja kami tinggal diam?"

   Ucap Lo Kiu. "Atas budi kebaikan kalian, sungguh Cayhe tidak tahu cara bagaimana harus membalasnya,"

   Kata Tio Hiang-leng dengan menjura. Lekas Lo Kiu memegang pundak tuan rumah, katanya "Sudahlah, Cengcu jangan terlalu banyak adat."

   Sudah tentu, semua itu dapat disaksikan Siau-hi-ji dengan jelas, diam-diam ia berpikir.

   "Keji amat kedua saudara Lo ini, dengan muslihat mereka ini, jelas suasana akan bertambah kacau dan persoalan akan tambah ruwet, dengan demikian kalian pun dapat mengail ikan di air keruh."

   Dalam pada itu terdengar Lo Kiu lagi berkata.

   "Kalau mau bertindak harus cepat, sekarang juga kami lantas berangkat."

   "Apakah kalian memerlukan sesuatu, silakan bicara saja,"

   Kata Tio Hiang-leng. "Tidak ada, cukup Cengcu mengirimkan delapan centing dan membawa dua buah joli untuk ikut kami ke sana."

   "Ini mudah ...."

   Segera Tio Hiang-leng memberi perintah, serentak beberapa centing tampil ke muka.

   Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat akal, segera ia pun maju.

   Dalam keadaan kacau dan bingung, tentu tiada orang lagi yang memperhatikan siapakah Siau-hi-ji ini, apalagi menggotong joli bukan pekerjaan enak, kalau ada orang mendahului, tentu saja yang lain tinggal diam.

   Oleh karena itu Siau-hi-ji lantas menjadi tukang pikul joli darurat.

   Ketika dua joli sudah disiapkan, segera Lo Kiu mendahului masuk ke salah sebuah joli, katanya dengan tertawa.

   "Biarkan kami bersaudara menumpang joli ini, nanti giliran Toan Hap-pui dan anak perempuannya yang menjadi penumpang, mungkin mereka berdua tidak lebih ringan daripada kami."

   Setelah duduk anteng di dalam joli dan menutup tirainya, segera ia berseru kepada para centing pemikul.

   "Apakah kalian tahu jalannya ke perkampungan Toan Hap-pui?"

   Salah seorang centing menjawab dengan tertawa.

   "Sudah tentu tahu, beberapa kali kami berniat ke sana untuk membakar kampungnya."

   "Baik, berangkatlah sekarang,"

   Kata Lo Kiu.

   Tujuh orang centing ditambah Siau-hi-ji lantas melarikan dua joli itu ke arah perkampungan Toan Hap-pui.

   Tidak terlalu lama, dari jauh tampaklah perkampungan Toan Hap-pui yang megah itu.

   Terlihat di depan pintu gerbang duduk tujuh atau delapan lelaki kekar, di dalam pintu juga duduk beberapa orang lagi.

   "Itulah kandang babi Toan Hap-pui, apa yang harus kami kerjakan sekarang, Lo-ya?"

   Tanya salah seorang centing. "Masuk saja langsung!"

   Kata Lo Kiu. Siau-hi-ji sampai terkejut mendengar ucapan ini, pikirnya.

   "Masa mereka tidak takut kepada Kang Piat-ho."

   Dengan sendirinya centing tadi pun melengak, cepat ia berkata.

   "Wah, tidak sedikit anjing penjaga pintu Toan Hap-pui, kalau kami kena tergigit kan berabe!?"

   "Langsung saja masuk ke sana, kujamin kawanan anjing penjaga itu takkan mampu menggigit kalian,"

   Ucap Lo Kiu.

   Mula-mula para centing itu saling pandang dengan ragu-ragu, akhirnya mereka tabahkan hati, sekali berteriak mereka terus menerjang ke depan.

   Baru saja kedua joli itu sampai di depan pintu, seketika kawanan centing keluarga Toan memapaknya sambil membentak.

   "He, siapa kalian, mau apa? Berhenti! Lekas berhenti!"

   Timbul pula pikiran Siau-hi-ji, segera ia balas membentak.

   "Kami hendak menggotong babi ke sini, lekas enyah!"

   Sudah tentu tujuan Siau-hi-ji adalah mengacau agar Kang Piat-ho dipancing keluar dan usaha Lo Kiu akan gagal berantakan.

   Mengenai Thi Bu-siang dia sudah merencanakan sesuatu akal untuk menolongnya.

   Benar juga, para centing keluarga Toan lantas berteriak-teriak hendak mencegat.

   "Keparat, Setan alas! Apakah kalian cari mampus? ...."

   Karena menggotong joli, dengan sendirinya para centing keluarga Tio tak dapat memberi perlawanan apabila sampai dilabrak musuh.

   Selagi mereka merasa khawatir, sekonyong-konyong terdengar suara mendesir beberapa kali, beberapa centing keluarga Toan yang memapak tiba itu kontan roboh terjungkal.

   Orang lain tidak melihat apa-apa dan tahu-tahu para centing itu sudah terguling.

   Tapi mata Siau-hi-ji cukup tajam, ia lihat beberapa titik hitam menyambar keluar dari dalam joli, setiap centing itu kena satu dan kontan terguling.

   Cara turun tangan Lo Kiu ternyata tidak kenal ampun.

   Diam-diam Siau-hi-ji terkesiap, sudah tentu para centing keluarga Tio lebih-lebih heran dan melenggong.

   "Nah, anjing penjaga pintu tidak menggonggong lagi, kenapa kalian tidak lekas masuk ke sana?!"

   Seru Lo Kiu dengan tertawa.

   Serentak para centing mengiakan terus menerjang pula ke depan.

   Sementara itu beberapa centing yang duduk di dalam itu pun memburu keluar sambil membentak-bentak, tapi baru saja beberapa langkah, kembali terdengar suara mendesir beberapa kali, beberapa orang itu pun roboh terkapar.

   Sisa seorang tidak sampai melangkah keluar, melihat kejadian mengerikan ini, ia menjadi ketakutan, sekali menjerit ia terus lari ke dalam sambil berteriak.

   "Tolong! Di luar kedatangan setan!"

   Siau-hi-ji pikir dengan teriakan centing itu pasti Kang Piat-ho akan terpancing keluar, mustahil kedua Lo bersaudara tidak memikirkan kemungkinan ini? Tapi kedua Lo bersaudara itu ternyata tidak jeri akan munculnya Kang Piat-ho, malahan mereka sengaja berteriak.

   "Ayo kawan-kawan, maju terus!"

   Kini para centing pemikul joli sudah penuh semangat dan tidak takut-takut lagi, serentak mereka lari secepat terbang.

   Setelah menyusuri selapis halaman, di situ sudah siaga belasan orang bersenjata.

   Tapi begitu suara senjata rahasia mendesing pula, kontan belasan orang di depan roboh terguling lagi.

   Seorang berbaju biru di antaranya berteriak jeri.

   "He, di dalam joli ada pembidik gelap, mundur dulu para kawan!"

   Di tengah ramai-ramai itu tampak lima orang melompat keluar, semuanya membawa perisai, salah seorang lantas melemparkan sebuah perisai kepada si baju biru tadi dan berseru.

   "Robohkan dulu para penggotong joli itu!"

   Serentak enam orang lantas menerjang maju.

   Dari langkah mereka yang enteng dan mantap itu, Siau-hi-ji menduga mereka pasti jago rumah tangga Toan Hap-pui.

   Kekayaan Toan Hap-pui dapat menandingi negara, dengan sendirinya guru silat yang dia sewa tidak mungkin kaum keroco.

   Karena yang diincar adalah mereka, tentu saja para centing pemikul joli menjadi jeri.

   Tertampak keenam guru silat itu menerjang tiba dengan berlindung di balik perisai masing-masing, sesudah dekat seorang ayun golok terus membacok pemikul joli yang paling depan.

   Untunglah pada saat gawat itu seorang telah berseru.

   "He, tahan dulu!"

   Sesosok bayangan lantas melayang keluar dari joli, punggung centing pemikul joli itu ditariknya terus dilemparkan ke belakang joli sana.

   Dengan sendirinya bacokan guru silat tadi mengenai tempat kosong, selagi dia melengak, terlihat seorang gemuk dengan muka bulat sudah berdiri di depannya dengan tertawa.

   "Masa kalian tidak kenal diriku ini?"

   Demikian si gemuk bertanya dengan tertawa sambil menuding hidung sendiri.

   Para guru silat itu sama melenggong dan saling pandang, mereka mengira si gemuk ini mungkin teman sendiri, tapi sebelum mereka mengenalinya, dengan tertawa Lo Kiu sudah menyambung lagi.

   "Jika kalian tidak kenal diriku, terpaksa aku pun tidak kenal pada kalian!"

   Sambil bicara tangannya terus mencengkeram ke depan.

   "krek", dengan tepat pergelangan tangan guru silat yang bergolok tadi kena terpegang dan terpuntir patah. Guru silat itu menjerit ngeri, golok terjatuh ke tanah, orangnya juga roboh kelengar. Tentu saja kelima kawannya menjadi gusar dan terkejut pula, sebatang tombak, dua pedang dan dua golok serentak menyambar ke tubuh si gemuk alias Lo Kiu. "Tak tersangka di sini juga ada anak murid Nyo-keh-jiang (tombak keluarga Nyo). Jurus ini tampaknya duga tidak lemah!"

   Kata Lo Kiu dengan tertawa.

   Pemain tombak itu memang betul anak murid Nyo-keh-jiang yang terkenal, diam-diam ia terkejut melihat sekali gebrak saja asal usulnya sudah dikenali lawan.

   Karena itu gerak tombaknya menjadi rada lamban.

   Di luar dugaan, hanya sedikit merandek itulah tahu-tahu ujung tombaknya sudah terpegang oleh tangan musuh.

   Dengan tangan kanan memegang ujung tombak, tubuh Lo Kiu setengah memutar, ia gunakan gagang tombak lawan untuk menangkis pedang yang menyambar tiba dari kanan, berbareng ia menegur penyerang sebelah kiri yang berbaju biru.

   "Eh, apakah Peng Liam-co, Peng-suhu, baik-baik saja?"

   Peng Liam-co yang disebut itu adalah ketua Toan-bun-to yang terkenal permainan goloknya, dan lelaki baju biru ini adalah murid kesayangannya. Ia jadi melengak demi mendengar lawan menyebut nama gurunya, segera ia menjawab.

   "Apakah kau kenal beliau?"

   "Tidak kenal!"

   Kata Lo Kiu dengan tertawa.

   Baru habis ucapannya, kontan tangan kirinya menggaplok dada si baju biru sehingga tubuhnya yang besar itu mencelat jauh ke sana.

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada saat itu juga guru silat yang bertombak itu pun merasakan arus tenaga yang mahakuat membanjir tiba dari gagang tombak, cepat ia hendak melepaskan tombaknya, namun sudah terlambat.

   "Crat", gagang tombak menancap masuk dadanya. Ternyata tombaknya sendiri berbalik dijadikan senjata oleh lawan untuk menamatkan jiwanya. "Sekarang kalian bertiga kenal diriku tidak?"

   Tanya Lo Kiu pula sambil tepuk-tepuk tangannya yang kosong.

   Keruan sisa tiga guru silat itu pucat ketakutan, betapa pun mereka tidak berani sembarangan menyerang lagi.

   Hanya dalam sekejap saja disertai berseloroh ternyata Lo Kiu dapat membereskan tiga jago silat yang tangguh, betapa tinggi ilmu silatnya rasanya tidak perlu diperbincangkan, hanya mengenai ketajaman pandangannya yang mengenali setiap aliran persilatan serta betapa licinnya waktu bertempur dan betapa kejam caranya turun tangan, semua ini hampir tak pernah dilihat oleh Siau-hi-ji sejak dia meninggalkan Ok-jin-kok.

   Lo Kiu sekarang dengan Lo Kiu semalam ternyata berbeda seperti langit dan bumi.

   Meski sejak semalam Siau-hi-ji sudah menduga orang gemuk ini pasti licik dan licin, tapi tak tersangka akan sedemikian licin dan begini kejam, rasanya tidak kalah daripada kesepuluh top penjahat yang diketahuinya.

   Selagi Siau-hi-ji termenung sejenak, ketika guru silat itu tahu-tahu sudah roboh lagi satu, sisa dua orang menjadi gemetar ketakutan.

   "Nah, sekarang kalian berdua tentunya kenal diriku bukan?"

   Tanya Lo Kiu pula dengan tertawa. Tanpa terasa kedua orang itu menjawab dengan suara terputus-putus.

   "Ya, ken ... kenal ...."

   "Kalian kenal siapa diriku ini?"

   Tanya Lo Kiu pula. Kedua orang saling pandang dengan bingung, lalu menjawab.

   "Engkau ... engkau ...."

   "Aku she Lo, namaku Lo Kiu."

   "O, ya, betul engkau ini tuan Lo Kiu."

   "Karena kalian kenal diriku, maka kuharap kalian suka membawaku menemui Toan Hap-pui, Toan-loyacu, sekarang juga!"

   "Ini ... ini ...."

   Kembali kedua orang saling pandang dengan bingung. "Memangnya urusan sekecil ini saja kalian tidak mau membantu?"

   Tanya Lo Kiu dengan menarik muka. Kedua orang itu berpikir sejenak, akhirnya mereka menghela napas dan menjawab.

   "Baiklah, silakan ..."

   Belum habis ucapan mereka, tiba-tiba terdengar suara mendesing dua kali, dua titik cahaya menyambar tiba dari belakang dan tepat mengenai punggung mereka, kontan mereka menjerit dan roboh. Berbareng terdengar seorang tergelak-gelak dan berkata.

   "Toan-loyacu sudah kuundang keluar, kalian tidak diperlukan lagi!"

   Tertampak Lo Sam muncul dengan langkah lebar, tangan kiri menarik Toan Hap-pui, tangan kanan menggandeng Toan-samkohnio.

   Rupanya pada waktu Lo Kiu melabrak para guru silat tadi, diam-diam Lo Sam telah menerobos ke ruangan dalam.

   Meski Toan-samkohnio juga mahir ilmu silat, namun jelas bukan tandingan Lo Sam.

   Para centing keluarga Toan ada tiga puluh atau empat puluh orang, dengan gamblang mereka menyaksikan Lo Sam menyeret keluar majikan dan tuan putri mereka, tapi tiada seorang pun yang berani turun tangan lagi.

   Kedua Lo bersaudara yang misterius ini ternyata benar dapat menculik Toan Hap-pui dan anak perempuannya dengan mudah sekali, tentu saja Siau-hi-ji merasa heran dan terkesiap pula.

   "Kang Piat-ho? Ke mana Kang Piat-ho? Memangnya dia sudah mampus?"

   Demikian Siau-hi-ji tidak habis mengerti karena sejauh itu Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat tidak muncul.

   Dilihatnya Toan Hap-pui pucat pasi ketakutan, Lo Sam menyuruhnya berjalan segera ia berjalan, disuruh naik joli, cepat ia masuk ke dalam joli.

   Samkohnio itu melotot, namun tidak mampu melawan, dengan cengar-cengir Lo Sam mendorong nona gede itu ke dalam joli yang sama dengan ayahnya.

   "Nah, kawan-kawan, angkat joli dan berangkatlah!"

   Kata Lo Sam. "Joli ini tidak kecil, rasanya tidak terlalu sempit diduduki dua orang, hendaklah kawan-kawan bersusah payah sedikit!"

   Sela Lo Kiu dan mereka berdua juga berjubel di dalam joli yang lain.

   Sejak tadi kawanan centing keluarga Tio sudah memandang Lo Sam dan Lo Kiu seakan-akan malaikat dewata, betapa pun beratnya joli juga mereka rela menggotongnya, bukan saja tidak menggerundel, bahkan mereka merasa gembira.

   Tapi benak Siau-hi-ji mulai bekerja pula.

   Ia heran mengapa Kang Piat-ho tidak muncul, jangan-jangan tidak berada di dalam.

   Padahal seharusnya mereka sudah pulang, mengapa tidak kelihatan? Apakah sebelumnya dia sudah tahu bakal tindakan Lo Sam dan Lo Kiu ini dan sengaja menyingkir lebih dulu? Kalau Kang Piat-ho sengaja membiarkan Toan Hap-pui dan anak perempuannya diculik oleh Lo Sam dan Lo Kiu, maka persoalan akan semakin rumit dan sukar diselesaikan, Thi Busiang juga semakin tidak berdaya.

   "Tapi dari mana Lo Sam dan Lo Kiu mengetahui Kang Piat-ho tidak berada di tempat Toan Hap-pui ini? Jangan-jangan kedua Lo bersaudara ini diam-diam juga bersekongkol dengan Kang Piat-ho?"

   Demikian pikir Siau-hi-ji.

   Diam-diam ia gegetun akan kelihaian Kang Piat-ho, di antara tipu kejinya tersembunyi pula tipu keji yang lain.

   Di dunia ini selain aku Kang Siau-hi mungkin tiada orang lain yang mampu membongkar tipu muslihatnya ini? Tengah berpikir itulah, joli yang dipikulnya itu sudah membelok ke jalan yang lain.

   Tiba-tiba dari depan juga datang sebuah joli, salah seorang penggotongnya adalah si tukang pikul yang pintar bicara dan berkepandaian tinggi mengalahkan Thi Bu-siang itu.

   Di belakang joli menyusul dua penunggang kuda, yakni Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat.

   Kembali Siau-hi-ji terkejut, tiba-tiba timbul akalnya, ia sengaja membentak mendadak.

   "Hai, lekas menyingkir joli di depan itu! Tahukah kalian siapa yang berada di joli kami ini?"

   Para centing keluarga Tio sudah kebat-kebit ketika melihat Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat muncul di depan, bentakan Siau-hi-ji semakin membikin mereka ketakutan.

   Siapa tahu Kang Piat-ho benar-benar menyuruh joli yang dikawalnya itu memberi jalan.

   Tanpa sungkan Siau-hi-ji menerjang maju dengan joli yang dipukulnya, ia sengaja menyerempet si tukang pikul lawan itu sambil membisiknya.

   "Aku kenal kau, apakah kau kenal aku?"

   Tapi "tukang pikul"

   Yang lihai itu berlagak seperti tidak mendengarnya, dengan tunduk kepala ia lewat begitu saja.

   Hanya Kang Piat-ho tampak melototi Siau-hi-ji sekejap ketika kedua pihak bersimpang jalan.

   Setelah joli kedua pihak berlalu, para centing keluarga Tio merasa lega.

   "Hm, dugaanku ternyata tidak keliru, Kang Piat-ho memang berkomplot dengan kedua orang she Lo ini, makanya ia pura-pura tidak tahu meski jelas mengetahui siapa yang berada di dalam joli ini,"

   Demikian jengek Siau-hi-ji diam-diam.

   Dengan tindakan kedua Lo bersaudara ini jelas Thi Bu-siang telah dijebloskan ke jurang yang lebih dalam, kini biarpun jago tua itu bilang dirinya tiada sangkut-paut dengan perampokan harta kiriman Toan Hap-pui juga tiada seorang pun yang mau percaya lagi padanya.

   Bahwasanya Toan Hap-pui berhasil ditawan ke Te-leng-ceng, semangat para penghuni perkampungan itu, baik sang majikan maupun anak buahnya sama terbangkit, semuanya berseri gembira.

   Rupanya dendam mereka selama bertahun-tahun ini baru sekarang ini terasa terlampias.

   Meski Tio Hiang-leng merasakan tindakan ini rada-rada kurang enak, tapi terasa puas juga demi nampak musuh besarnya kini telah menjadi tawanannya.

   Jilid 2. Bakti Binal Hanya Siau-hi-ji yang diam-diam menggeleng kepala, pikirnya.

   "Ya, tertawalah kalian, tertawalah sepuasnya, tapi waktunya kalian menangis juga selekasnya akan tiba ...."

   Begitulah Toan Hap-pui dan Samkohnio lantas digusur masuk ke ruangan belakang, ayah beranak itu tertawan secara begini saja dan dengan sendirinya tidak terhindar dari siksaan.

   Tio Hiang-leng lantas mengadakan pesta besar untuk menghormati kedua Lo bersaudara, ia angkat cawan dan mengucapkan terima kasih kepada bantuan mereka.

   "Ah, hanya urusan kecil ini, kenapa mesti dibicarakan lagi,"

   Ujar Lo Sam dengan tertawa. "Cuma entah bagaimana keputusan Cengcu sekarang?"

   "Urusan sudah telanjur begini, yang kuharapkan adalah urusan besar dapat dikecilkan dan urusan kecil dapat dihapuskan,"

   Kata Tio Hiang-leng dengan gegetun.

   "Nanti kalau Kang Piat-ho datang bolehlah kita menjelaskan duduknya perkara, asalkan ia mau terima keterangan kita dan tidak mengusut lebih lanjut persoalan ini, maka Cayhe bersedia membebaskan Toan Hap-pui."

   "Hm, urusan sudah telanjur begini dan Cengcu masih mengharapkan urusan besar berubah menjadi urusan kecil segala?"

   Tiba-tiba Lo Kiu mendengus. Tertampak air muka Tio Hoang-leng rada berubah.

   "Memangnya ... memangnya tidak ...."

   "Urusan sudah kadung begini, kedua pihak sudah jelas bermusuhan, biarpun Cengcu menegaskan tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini juga takkan dipercaya oleh Kang Piat-ho,"

   Jengek Lo Kiu. "Jika ... jika begini kan berarti kalian telah membikin susah diriku?"

   Kata Tio Hiang-leng dengan ketakutan. "Kami bersaudara telah berusaha dengan mati-matian dan akhirnya cuma mendapatkan hadiah ucapan Tio Cengcu ini?"

   Jengek Lo Sam. Cepat Tio Hiang-leng minta maaf.

   "O, apabila ucapanku menyinggung perasaan kalian hendaklah sudi dimaafkan. Soalnya Cayhe benar-benar merasa bingung dan tak tahu bagaimana baiknya, untuk ini diharapkan kalian suka memberi petunjuk lagi."

   Lo Kiu tertawa, katanya.

   "Kalau tidak dapat berdamai, jalan lain hanya bertempur!"

   "Bertempur?!"

   Tio Hiang-leng menegas. "Ya, bertempur!"

   Jawab Lo Kiu. "Tapi ... tapi Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat itu teramat lihai, Cayhe tidak ... tidak ...."

   "Meski ilmu silat Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat memang lihai, tapi Cengcu juga tidak perlu takut,"

   Kata Lo Kiu dengan tersenyum. "Tidakkah Cengcu tahu, kalau tidak dapat melawan dengan kekuatan, kalahkan saja dengan akal,"

   Sambung Lo Sam. "Dengan akal apa?"

   Tanya Tio Hiang-leng.

   "Toan Hap-pui dan anak buahnya sudah berada di genggaman kita, untuk ini Kang Piat-ho harus berpikir dua kali sebelum bertindak, andaikan dia datang kemari juga tidak berani sembarangan turun tangan.

   Maka sekarang juga silakan Cengcu menyembunyikan Toan Hap-pui berdua."

   "Lalu bagaimana?"

   Tanya Tio Hiang-leng. Lo Kiu memandang para centing, lalu berkata dengan suara tertahan.

   "Para saudara di Te-leng-ceng sini juga bukan kaum lemah, Cengcu boleh mengadakan perangkap di sekeliling ruangan ini, siapkan busur panah yang kuat dan ...."

   "Dan bila Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat itu masuk ke sini, biarpun mereka berkepala tiga dan bertangan enam juga sukar keluar dengan hidup,"

   Sambung Lo Sam dengan tersenyum. Agaknya dia tidak pantang apa-apa, suara ucapannya sengaja diperkeras. Dari jauh Siau-hi-ji dapat mendengar semua itu dengan jelas, diam-diam ia memaki.

   "Usul kentut macam apa ini? Masa Kang Piat-ho mau terjebak dengan begitu saja? Kalau Tio Hiang-leng menuruti saran ini sama saja dia telah menambahi dosa sendiri, dengan demikian sekalipun Kang Piat-ho membunuhmu juga tiada orang Kangouw yang berani buka suara membelamu lagi."

   Tapi Tio Hiang-leng agaknya tertarik oleh usul itu, ia tanya.

   "Apakah akal kalian ini dapat dilaksanakan dengan baik?"

   "Sudah tentu dapat,"

   Kata Lo Kiu. Segera pula Lo Sam menyambung.

   "Setelah akal ini berhasil, maka nama Thian-hiang-tong Te-leng-ceng pasti akan mengguncangkan dunia, tatkala mana jangan-jangan kami akan diusir malah oleh Tio-cengcu."

   "Ah, mana Cayhe berani melupakan kalian berdua ...."

   Tanpa terasa Tio Hiang-leng tertawa senang, Tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung pula dengan ragu-ragu.

   "Cuma ... cuma cara demikian, bilamana gagal, bukankah akan ...."

   "Urusan sudah begini, masa Tio-cengcu masih ada pandangan lain?"

   Kata Lo Kiu dengan ketus. Tio Hiang-leng merenung sejenak, katanya kemudian dengan menyengir.

   "Ya, urusan sudah begini, rasanya tiada pilihan lagi, terpaksa kita harus menghadapi mereka sebisanya."

   "Itulah dia, ucapan Tio-cengcu ini barulah sikap ksatria sejati,"

   Ucap Lo Kiu dengan tertawa. "Baiklah, sekarang kita harus lekas-lekas bersiap, sebab kalau Kang Piat-ho mengetahui Toan Hap-pui dan putrinya diculik, tentu mereka akan segera menyusul kemari,"

   Sambung Lo Sam.

   Segera Tio Hiang-leng memerintahkan centingnya menyiapkan barisan panah dan bersembunyi di sekeliling ruangan, apabila cawan arak dibanting, itu tandanya harus turun tangan.

   Setelah mengatur perangkap, kemudian Lo Kiu dan Lo Sam minta tuan rumah mengundang keluar pula Thi Bu-siang.

   Nyata tipu muslihat yang diatur Kang Piat-ho berlangsung dengan sangat lancar, bukan saja Tio Hiang-leng setindak demi setindak melangkah masuk perangkapnya, bahkan Thi Bu-siang juga terseret dan ikut kejeblos.

   Dengan demikian Kang Piat-ho akan dapat menumpas pengaruh Thi Bu-siang dengan mudah sehingga kekuatan orang-orang Kangouw yang anti Kang Piat-ho juga semakin berkurang.

   Begitulah, secara tak jelas Thi Bu-siang telah dijadikan kambing hitam sebagai orang yang merampok harta kiriman Toan Hap-pui itu, kini setiap orang Kangouw malahan tidak ragu-ragu lagi terhadap persoalan ini.

   Jaring sudah mulai ditarik dan semakin kencang, ikan tak dapat lolos lagi ....

   Siau-hi-ji sedang merenungkan semua kejadian ini, ia bergumam sendiri.

   "Apakah tipu muslihat keji Kang Piat-ho kini benar-benar tiada lubang kelemahannya yang dapat digempur?"

   Petangnya, Thi Bu-siang sudah duduk di ruangan tamu yang luas itu, meski tubuhnya duduk tegak, tapi kelihatan lesu, sorot matanya pun kehilangan cahaya seperti biasanya.

   Sebaliknya Lo Kiu dan Lo Sam tampak penuh semangat, Tio Hiang-leng juga kelihatan giat mengatur ini dan itu, di sekeliling ruangan sudah bersembunyi puluhan pemanah kuat, di halaman sana juga siap berpuluh kelompok centing yang lain dengan senjata lengkap, Siauhi-ji juga berbaur di antara mereka.

   Suasana semakin mencekam, setiap orang merasa tegang.

   Tiba-tiba di luar perkampungan ada suara derapan kaki kuda yang ramai, serentak semua orang siap siaga.

   Mendadak suara kaki kuda itu berhenti, lalu masuklah tujuh pemuda dengan dandanan ringkas berpedang.

   Langsung ketujuh pemuda itu masuk ke ruangan tamu dan menyembah di depan Thi Bu-siang.

   Kiranya ketujuh pemuda ini adalah jago pilihan di antara kedelapan belas murid kesayangan Thi Bu-siang.

   Tentu saja jago tua itu merasa terhibur oleh datangnya anak murid ini, malahan Tio Hiang-leng juga kegirangan.

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terbeliak juga mata Siau-hi-ji demi melihat ketujuh anak muda ini, sebab satu di antaranya yang menjadi kepala itu bukan lain daripada si pemuda baju ungu bermuka pucat yang diam-diam bersekongkol dengan Kang Giok-long itu.

   Terdengar pemuda itu berkata dengan sangat hormat.

   "Tecu datang terlambat, mohon Suhu memberi maaf ...."

   Diam-diam Siau-hi-ji membatin.

   "Tidak, kau tidak terlambat, kedatanganmu tepat pada waktunya, memang sudah kutunggu kedatanganmu."

   Rasa girang tampak pada wajah Thi Bu-siang, tapi segera timbul pula rasa sedihnya, ia menghela napas panjang dan menjawab.

   "Meski kalian sudah datang, kurasa juga tiada berguna bagi persoalan ruwet ini .... Urusan ini tidak dapat lagi diselesaikan dengan kekerasan, maka sebentar kalian jangan sembarangan turun tangan agar tidak ...."

   Belum lenyap suaranya tiba-tiba terdengar seorang menjerit kaget.

   "Bluk", tahu-tahu sesosok tubuh melayang masuk dari luar jendela di belakang ruangan tamu dan terbanting di lantai, tubuh itu kaku dan tak bergerak lagi, berpakaian hitam ringkas, busur masih terpegang di tangannya, malahan satu kantong anak panah juga masih tersandang di punggungnya.

   Jelas dia salah seorang pemanah yang disembunyikan Tio Hiang-leng di sekitar ruangan ini.

   Seketika muka Tio Hiang-leng berubah pucat, Thi Bu-siang juga bersuara kaget.

   Menyusul terdengar jeritan pula, kembali seorang terlempar masuk ....

   Hanya sekejap saja terdengarlah jerit ngeri berbangkit berulang-ulang, di tengah ruangan sekarang telah bertumpuk belasan tubuh orang, semuanya sudah kaku menjadi mayat.

   "He, ba ...

   bagaimana terjadinya?"

   Seru Tio Hiang-leng bingung. "Ini ... ini ...."

   Thi Bu-siang juga kehilangan akal. "Ini namanya mau untung menjadi buntung akibat perbuatanmu sendiri,"

   Jengek seorang di luar.

   Dua bayangan orang lantas melayang masuk, siapa lagi kalau bukan Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat.

   "Bluk", Tio Hiang-leng jatuh terduduk lemas di kursinya dan tidak sanggup berdiri lagi.

   Kang Piat-ho berdiri dengan pongahnya di tengah ruangan, jengeknya.

   "Barangkali Thi-loenghiong mengira dengan menyembunyikan barisan pemanah ini akan dapat menjebak orang she Kang? Hehehe, teramat rendah sekali kalian menilai diriku."

   Dengan suara keras Thi Bu-siang menjawab.

   "Sesungguhnya apa yang terjadi ini sama sekali Lohu tidak tahu-menahu."

   "Tapi kalau tidak disetujui Thi-loenghiong rasanya Tio-cengcu juga tidak berani bertindak demikian,"

   Jengek Kang Piat-ho. Segera Thi Bu-siang berpaling kepada tuan rumah dan membentak dengan gusar.

   "Tio Hiang-leng, coba katakan, siapa yang suruh menggunakan cara rendah dan kotor ini?"

   "Ini ... ini ...."

   Tio Hiang-leng gelagapan dan menunduk. Sekonyong-konyong Lo Kiu berdiri dan berseru.

   "Kami bersaudara mengira Thi-locianpwe dan Tio-cengcu adalah ksatria sejati, makanya jauh-jauh kami datang ke sini, tak tahunya sekarang kalian menggunakan cara kotor begini ...."

   Dengan suara keras Lo Sam lantas menyambung.

   "Jelek-jelek kami bersaudara juga tidak sudi bergaul dengan manusia rendah begini. Mulai saat ini apa pun yang terjadi atas Te-leng-ceng sama sekali tiada sangkut-paut dengan kami bersaudara."

   "He, mengapa kalian berkata demikian, bukankah semua ini atas prakarsa kalian?"

   Teriak Tio Hiang-leng. "Hm, orang she Tio, setelah kepepet, kau berani menumplekkan semua persoalan kepada kami bersaudara?"

   Jengek Lo Kiu. "Biarpun kau menyangkal dengan cara apa pun juga tiada orang mau percaya,"

   Sambung Lo Sam. "Bagus, kau ... bagus ...."

   Tio Hiang-leng meraung dengan murka. "Aku tidak ingin membela pihak mana pun, tapi urusan sudah jelas begini, apa pula yang dapat kalian katakan?"

   Demikian Hoa Bu-koat membuka suara dengan tenang. "Lohu .... Ai, sungguh bikin gusar Lohu!"

   Seru Thi Bu-siang dengan menggereget, mendadak darah tersembur dari mulutnya.

   Saking gemasnya orang tua ini jadi pingsan.

   Anak muridnya menjadi kaget dan gusar pula, ada yang memburu maju untuk menolong sang guru, ada yang melolos pedang siap tempur.

   Pemuda baju ungu itu lantas berseru.

   "Sabar dulu, sebelum persoalan menjadi jelas, kita jangan sembarangan bertindak!"

   Dengan sikap kereng Kang Piat-ho berkata.

   "Betul, kalau sang guru tidak berbudi, anak murid tidak perlu lagi taat padanya. Kalian harus dapat membedakan antara yang benar dan salah, dengan demikian kalian pasti akan dihormati setiap orang persilatan."

   "Tapi urusan ini sesungguhnya bagaimana, kami ...."

   Pemuda baju ungu tampak ragu-ragu. "Urusan ini sudah jelas, bukti dan saksi sudah nyata, memangnya kalian masih tidak percaya?"

   Kata Kang Piat-ho dengan tegas. Mendadak pemuda baju ungu menghela napas sedih, katanya.

   "O, Suhu, janganlah engkau menyesali tindakan murid yang tak setia ini, soalnya engkau sendiri melakukan perbuatan yang tidak baik, demi kebenaran terpaksa Tecu ...."

   Dia merandek, setelah menggentak kaki, tiba-tiba ia menanggalkan pedangnya dan dilemparkan ke lantai.

   Perbuatan pemuda baju ungu ini sungguh amat lihai, kalau setiap orang Kangouw sudah mengetahui anak murid Thi Bu-siang sendiri juga mengakui kesalahan gurunya, lalu orang lain mau bilang apa lagi? Keenam murid Thi Bu-siang yang lain hanya taat kepada sang pimpinan, melihat tindakan pemuda baju ungu itu, tiga orang lainnya segera ikut membuang pedang, sebagian pedang yang tadinya terhunus siap tempur itu pun diturunkan ke bawah.

   Dengan suara lantang Kang Piat-ho lantas berseru.

   "Kecuali Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain, asalkan kalian tidak ikut-ikutan, maka pihak kami juga takkan membikin susah orang yang tak berdosa."

   Tio Hiang-leng ketakutan hingga giginya gemertuk, katanya dengan suara parau.

   "Sesungguhnya ada permusuhan apa antara kau dan aku, mengapa kau bikin susah diriku cara begini?"

   "Meski Cayhe tiada permusuhan apa-apa dengan kau, tapi demi kebenaran dan keadilan tak dapat kuampunimu."

   Mendadak Tio Hiang-leng menjadi nekat, teriaknya dengan menyeringai.

   "Baik, kutahu kau bela Toan Hap-pui dan bertekad hendak melenyapkan diriku, tapi kau pun jangan menyalahkan aku, sebab saat ini Toan Hap-pui sudah berada dalam genggamanku, kalau aku mati dia juga takkan hidup."

   "Apa betul?"

   Jengek Kang Piat-ho. Dia memberi tanda, segera dua joli digotong keluar dari ruangan belakang, pemikul joli bagian depan jelas adalah si tukang pikul yang pintar omong dan pandai berdebat itu. "Siapa yang berada di dalam joli, apakah kau ingin tahu?"

   Tanya Kang Piat-ho kepada Tio Hiang-leng. Waktu "tukang pikul joli"

   Itu menyingkap tirai joli, tertampak seorang gemuk duduk di dalam dengan tertawa, siapa lagi kalau bukan Toan Hap-pui.

   Sampai di sini Tio Hiang-leng benar-benar sudah kalah habis-habisan, dengan pedih ia memandang sekelilingnya, mendadak ia meraung sekali, seperti orang gila terus berlari keluar.

   Kang Piat-ho juga tidak mencegahnya, jengeknya.

   "Hm, memangnya kau masih ingin kabur?!"

   Baru saja Tio Hiang-leng lari keluar ruangan tamu itu, dari samping yang gelap tiba-tiba sebuah tangan menariknya, lalu membisiki beberapa patah kata di telinganya.

   Setelah mendengar bisikan itu, Tio Hiang-leng seperti habis minum obat mujarab, seketika semangatnya terbangkit.

   *** (.

   ) Sementara itu Thi Bu-siang sudah siuman.

   Dengan tenang Hoa Bu-koat berkata.

   "Mengingat namanya diperoleh dengan susah payah, biarlah dia membereskan dirinya sendiri saka."

   Walaupun menghadapi sesuatu keputusan besar, tapi sikap Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang dan sabar, seakan-akan segala urusan tidak begitu penting baginya.

   Segera Kang Piat-ho menjemput pedang yang dibuang si pemuda baju ungu tadi, perlahan-lahan ia sodorkan kepada Thi Bu-siang dengan pandangan tajam tanpa berucap.

   Dia memang tidak perlu lagi membuka suara.

   Thi Bu-siang lantas menghela napas panjang sambil menengadah, serunya dengan suara parau.

   "O, Tuhan, betapa pun matiku tidak rela."

   Sorot matanya yang penuh rasa pedih dan bengis itu menyapu pandang setiap anak muridnya, sampai-sampai pemuda baju ungu juga tidak berani menatapnya dan lekas menunduk. Mendadak Thi Bu-siang berteriak dengan suara kereng.

   "Ini Thi Bu-siang berdiri di sini, jika di antara kalian ada yang anggap aku berdosa dan ingin mencabut nyawaku, ayolah maju sekarang juga! Kuyakin Tuhan takkan mengampuni orang yang berdosa!"

   Di bawah cahaya lilin yang gemerlap tertampak sorot matanya tajam berapi, rambut jenggotnya seakan-akan berjengat, sikapnya yang murka penuh rasa duka itu membuat keder orang yang memandangnya.

   Tanpa terasa Kang Piat-ho mundur satu tindak.

   Tapi si "tukang pikul joli"

   Itu malah terus melompat maju sambil membentak.

   "Manusia yang tidak berbudi setiap orang boleh membunuhnya, kalau orang lain tidak tega turun tangan, biar aku saja yang membereskan kau."

   Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar seorang membentak.

   "Kang Giok-long, kau benar-benar berani turun tangan?!"

   "Tukang pikul"

   Itu tergetar, cepat ia membalik tubuh, terlihat Tio Hiang-leng masuk kembali dengan langkah lebar, meski wajahnya tetap pucat pasi, tapi dadanya sudah terbusung, bicaranya juga lantang, tidak lagi takut seperti tadi.

   Setelah Tio Hiang-leng sampai di tengah ruangan barulah semua orang melihat di belakangnya masih ikut satu orang lagi.

   Orang ini berjubah hijau dan berkaos kaki putih, kepalanya memakai sebuah kalo bambu untuk menutupi mukanya, jalannya bergoyang-goyang sehingga mirip "arwah halus"

   Yang menempel di tubuh Tio Hiang-leng seperti lakon yang biasa dimainkan di atas panggung, seram tampaknya sehingga membuat orang bergidik. Tapi hanya sekejap saja "tukang pikul"

   Itu terkejut, segera dia dapat tenangkan diri, dengan tertawa ia lantas menjawab.

   "Haha, apakah kau maksudkan diriku ini Kang Giok-long, Kang Siauhiap? Masakah pendekar muda kita yang termasyhur itu sudi menjadi tukang pikul joli seperti diriku, apa matamu tidak buta?"

   "Kang Giok-long,"

   Teriak Tio Hiang-leng.

   "Orang lain mungkin dapat dikelabui olehmu, tapi jangan harap dapat mengelabui aku. Kau telah merampas harta kiriman keluarga Toan, lalu cepat-cepat pulang ke sini untuk menyamar sebagai tukang pikul joli, tujuanmu sudah tentu hendak membunuh Thi-locianpwe, dengan caramu ini tentu setiap orang Kangouw akan menganggap Thi-locianpwe tewas di tangan seorang kuli tukang pikul, andaikan kelak ada orang yang ingin menuntut balas juga tidak perlu mencari ayah beranak Kang-lam-tayhiap yang munafik dan palsu itu .... Wahai, Kang Giok-long, tindak tanduk kalian ayah beranak memang harus diakui teramat rapi sehingga setitik lubang saja tidak kentara sama sekali."

   "Tukang pikul"

   Itu tergelak-gelak, katanya.

   "Nah, hadirin sudah dengar semua, keparat ini ternyata berani menuduh Kang-siauhiap sebagai perampok harta kiriman keluarga Toan .... Hehe, coba Toan-loyacu, tidakkah keparat ini orang gila sembarangan mengoceh?"

   Mata Toan Hap-pui yang menyipit itu sekilas gemerdep memancarkan cahaya yang licik, dengan tersenyum ia pandang Tio Hiang-leng, katanya dengan perlahan.

   "Mengapa kau berkata demikian? Padahal Kang-siauhiap sendiri yang merampaskan kembali harta kirimanku yang dirampok orang itu, jika dia yang merampok, kenapa pula dia merampasnya kembali?"

   "Waktu pertama kali harta kirimanmu itu dirampok adalah kerja sama antara Siang-say-piaukiok dengan Kang Giok-long, jika Kang Giok-long tidak pura-pura merampas kembali harta kirimanmu itu tentu Siang-say-piaukiok yang wajib memberi ganti rugi padamu,"

   Tutur Tio Hiang-leng. "Untuk apa mereka membuat begitu?"

   Tanya Toan Hap-pui. "Dengan berbuat begitu, tentu nama Kang Giok-long akan tambah tersohor dan terhormat di dunia Kangouw, apalagi ...."

   Sampai di sini Tio Hiang-leng sengaja merandek. Toan Hap-pui menjadi tidak sabar dan mendesak.

   "Apalagi bagaimana?"

   "Apalagi kalau terjadi harta kiriman dirampok untuk yang kedua kalinya, tentu orang lain takkan curiga atas diri Kang Giok-long,"

   Dengan perlahan Tio Hiang-leng menjelaskan. "Kalau begitu, lalu orang-orang Siang-say-piaukiok mengapa terbunuh pula?"

   "Untuk rapinya muslihat keji ini, dengan sendirinya orang-orang Siang-say-piaukiok harus dikorbankan,"

   Sambung Tio Hiang-leng.

   "Dengan sendirinya Kang Giok-long harus membunuh mereka untuk melenyapkan saksi. Apalagi kalau orang-orang Siang-say-piaukiok sudah mati semua, dengan sendirinya mereka tidak perlu ganti rugi lagi dan harta kiriman yang berjumlah besar itu akan jatuh ke tangan Kang-lam-tayhiap kita dengan aman sentosa."

   Kang Piat-ho mengernyitkan dahi dan melirik sekejap ke arah si "tukang pikul joli"

   Tadi. Dengan gusar "tukang pikul joli"

   Itu lantas membentak.

   "Dasar maling berteriak maling, sudah kepepet malah kau menggigit orang, betapa pun takkan kuampuni kau!"

   Di tengah bentakannya ia terus menubruk ke arah Tio Hiang-leng dengan cepat luar biasa.

   Tentu saja Tio Hiang-leng kaget dan tampak tidak sempat mengelak, pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah mengadang di depan si "tukang pikul".

   Pukulan "tukang pikul"

   Itu sudah telanjur dilontarkan dari sukar dikendalikan, tampaknya tubuh Hoa Bu-koat akan terpukul, tapi mendadak ia menggeser tubuh, tangan lain menepuk tangan yang lagi menghantam itu, dengan demikian tubuhnya lantas berputar dan pukulan juga menceng ke samping.

   Gerakan yang gesit dan cekatan ini sungguh luar biasa, kalau tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi tidak mungkin bertindak demikian, dan ini dapat dilakukan oleh seorang "tukang pikul joli".

   Tentu saja hati semua orang tergerak, sedang dahi Kang Piat-ho berkerut semakin rapat.

   Hoa Bu-koat juga berkata dengan tersenyum.

   "Ilmu silat bagus! Gerak tubuh yang hebat ...."

   "Tukang pikul joli"

   Itu memandangnya dengan terkesiap, tanyanya dengan tergagap.

   "Mengapa Hoa-kongcu ber ...."

   "Siapa pun yang ingin bicara harus kita terima dan dengarkan pendapatnya,"

   Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Hoa Bu-koat dengan tersenyum.

   "Sekalipun kita tidak percaya ucapannya juga harus memberi kebebasan bicara padanya. Betul tidak?"

   Terpaksa "tukang pikul"

   Itu mengiakan sambil menunduk. Hoa Bu-koat lantas berpaling kepada Tio Hiang-leng, tanyanya.

   "Kau berani bicara begitu, memangnya kau mempunyai buktinya?"

   Tio Hiang-leng termenung-menung sejenak, tapi segera ia berseru pula.

   "Bahwa orang-orang Siang-say-piaukiok terbunuh begitu saja tanpa melawan sama sekali, padahal kepandaian kedua ekor singa itu tidaklah lemah. Nah, sekarang Cayhe ingin tanya, seumpama orang berkepandaian tinggi seperti Hoa-kongcu, kalau sekaligus hendak membinasakan orang-orang itu, dapatkah engkau laksanakan tanpa mendapat perlawanan sama sekali dari mereka?"

   Hanya setelah termenung sejenak lalu ia dapat bicara dengan lancar dan tajam seakan-akan mendadak diberi petunjuk oleh seseorang. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan curiga Kang Piat-ho, sorot matanya yang tajam segera menyapu ke arah "badan halus"

   Yang berada di belakang Tio Hiang-leng itu. Dengan perlahan Hoa Bu-koat lantas menjawab.

   "Betul, seumpama orang berkepandaian lebih kuat daripadaku juga pasti akan mendapat perlawanan sekalipun dia dapat membinasakan mereka dengan mudah akhirnya."

   "Dan di dunia ini apakah masih ada orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada Hoa-kongcu?"

   "Andai kata ada juga tidak banyak jumlahnya,"

   Jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum. "Bagus, makanya persoalan ini hanya ada satu jawabannya,"

   Kata Tio Hiang-leng. "Bagaimana jawabannya?"

   Tanya Bu-koat.

   "Yang membunuh mereka itu pastilah orang yang sangat karib dengan kedua ekor singa she Li itu, karena mereka tidak menyangka orang itu bakal turun tangan keji padanya, maka mereka tidak berjaga-jaga dan karena itu pula tidak sempat melawan ...."

   Tio Hiang-leng menyeringai, lalu menyambung pula.

   "Dan tidak perlu ditanyakan pula bahwa orang itu dengan sendirinya ialah Kang Giok-long."

   "Tapi menurut saksi hidup si tukang kuda itu, katanya yang turun tangan keji itu adalah seorang kakek,"

   Kata Bu-koat. "Ilmu mengubah rupa di dunia Kangouw sekarang sudah bukan rahasia lagi, kalau dia dapat menyamar sebagai tukang pikul joli, mengapa dia tidak dapat menyamar sebagai seorang kakek ...."

   Dia merandek sejenak, lalu menyambung pula.

   "dia sengaja membiarkan si tukang kuda tetap hidup agar dari mulut tukang kuda itu bisa tersiar apa yang dilihatnya, kalau tidak dengan kepandaiannya masakah tukang kuda itu dapat mengelabui mata telinganya sungguhpun dia bersembunyi. Kecuali itu, setelah tukang kuda itu dapat menyelamatkan diri segera dia menyiarkan kejadian itu secara jelas dengan dibumbu-bumbui pula, coba pikir seorang yang terkejut mengalami kejadian ngeri itu masih dapat bicara sejelas itu, maka ... maka tukang kuda itu pasti juga sekomplotan dengan dia dan sebelumnya telah diberi petunjuk cara bagaimana dia harus menyiarkan peristiwa itu ...."

   Pada bagian-bagian ucapannya selalu dia berhenti sejenak seakan-akan sedang memperhatikan apa yang dibisikkan oleh si "badan halus"

   Yang berada di belakangnya itu. Dengan tatapan tajam Kang Piat-ho lantas mengejek.

   "Dan apa yang kau uraikan ini atas petunjuk siapa pula?"

   "Ini ... ini ... adalah hasil pemikiranku sendiri, aku ...."

   Sampai di sini kembali Tio Hiang-leng merandek pula, lalu menyambung dengan suara keras.

   "Oya, tadi aku keliru, bisa jadi si tukang kuda itu adalah samaran si tukang pikul joli sekarang ini, ialah Kang Giok-long, sedangkan yang turun tangan keji itu ialah Kang Piat-ho."

   Mendadak Kang Piat-ho terbahak-bahak sambil menengadah, katanya.

   "Sebelumnya aku tidak peduli akan jalan pikiranmu, tapi lantaran kau mengoceh sembarangan, terpaksa tak bisa kuampuni kau."

   Ucapannya ini ternyata tidak ditujukan kepada Tio Hiang-leng, matanya juga tidak memandang tuan rumah itu, tapi sorot matanya yang tajam justru menatap ke arah si "badan halus"

   Yang berada di belakang Tio Hiang-leng. Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan perlahan, entah sejak kapan si "tukang pikul joli"

   Itu sudah berada di belakang "badan halus", menyusul ia terus menubruk maju, secepat kilat telapak tangannya terus menghantam.

   Perhatian semua orang sama tertarik oleh ucapan Kang Piat-ho tadi sehingga tiada yang memperhatikan tindakan "tukang pikul joli"

   Itu, tahu-tahu dia menyerang secara tiba-tiba dan tampaknya pasti akan mengenai sasarannya. Tak terduga "badan halus"

   Itu seperti sudah memperhitungkan cara bagaimana dan dari arah mana akan diserang, tanpa menoleh sebelah tangannya lantas menampar ke belakang. Gerakan yang kelihatannya sepele itu ternyata menuju ke titik lemah serangan si "tukang pikul joli"

   Itu sehingga memaksa dia harus menyelamatkan diri lebih dulu sebelum sempat melukai lawan. Sebisanya ia menutul kedua kakinya dan melompat mundur, dengan terbelalak ia pandang "badan halus"

   Ini dengan sangat ketakutan seperti melihat setan.

   Padahal semua orang sudah menyaksikan betapa lihai ilmu silatnya ketika menyerang Thi Bu-siang tadi, kini dia dapat digempur mundur oleh gerakan sepele seorang yang tak menarik, tentu saja semua orang sama terkejut.

   Sudah tentu si "tukang pikul"

   Sendiri lebih-lebih tidak menduga bahwa serangannya yang pasti akan berhasil itu bisa berubah menjadi seperti permainan anak kecil saja bagi lawan. Dilihatnya "badan halus"

   Itu membalik tubuh perlahan, dengan terkekeh-kekeh menegurnya.

   "Apakah kau kenal aku?"

   "Sia ... siapa kau?"

   Tanya si tukang pikul dengan suara parau. "Kau tidak kenal aku, tapi kukenal kau ... mati pun takkan kulupakan dirimu,"

   Suaranya melengking tajam dan kedengaran rada-rada seram. Tanpa terasa "tukang pikul"

   Itu bergidik, katanya pula.

   "Sesungguhnya kau ini sia ... siapa?"

   "Sudah kukatakan sejak tadi, aku ini bukan manusia, tapi setan!"

   Sambil bicara selangkah demi selangkah ia terus mendekati orang dan tanpa terasa "tukang pikul"

   Itu pun mundur selangkah demi selangkah. Entah mengapa, suasana di tengah ruangan yang terang benderang itu mendadak berubah menjadi seram. Walaupun air muka "tukang pikul"

   Itu tidak kelihatan berubah, namun sinar matanya jelas menampilkan rasa takut luar biasa, wajah yang kaku tanpa perasaan itu disertai sorot mata yang ketakutan itu semakin menambah seram orang yang melihatnya.

   Hoa Bu-koat ternyata diam saja dan tiada tanda-tanda hendak turun tangan.

   Kang Piat-ho tampak mengedip, seperti memberi isyarat, habis itu lantas terdengar si pemuda baju ungu berteriak.

   "Wah, celaka! O, Suhu ... Suhu ... O, Suhu bunuh diri!"

   Karena teriakan ini, seketika pandangan semua orang beralih dari si "badan halus"

   Ke arah Thi Bu-siang, setelah melihat apa yang terjadi, semua orang ikut menjerit kaget.

   Thi Bu-siang kelihatan masih duduk tegak di kursinya, tapi pedang tadi kini telah menancap di lehernya, bajunya berlumuran darah.

   Karena lehernya tertembus pedang sehingga tak dapat berteriak, kedua tangannya tampak memegangi batang pedang, seperti hendak menusukkannya lebih dalam, tapi juga seperti ingin mencabutnya, namun tidak kuat.

   Kedua mata jago tua itu tampak melotot gusar, sorot mata sebelum ajalnya menampilkan rasa kaget, gusar dan penuh dendam, setelah mengembuskan napas terakhir, pandangannya yang masih penuh rasa benci dan dendam itu seakan-akan tetap menatap si pemuda baju ungu.

   "Thi Bu-siang tidak malu sebagai seorang ksatria,"

   Demikian Kang Piat-ho berkata dengan menghela napas menyesal.

   "Dia berani mengaku salah dan berani bertanggung jawab, dengan kematiannya ini, segala dosa dan nama busuk di waktu hidupnya boleh dikatakan sudah tercuci bersih."

   Mendadak "badan halus"

   Itu berteriak.

   "Kentut busuk! Thi Bu-siang sekali-kali bukan membunuh diri!"

   "Kalau Thi-locianpwe tidak bunuh diri, memangnya aku orang she Kang yang membunuhnya?"

   Damprat Kang Piat-ho dengan gusar. Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula.

   "Seumpama aku mau membunuh dia tentu sudah kulakukan sejak tadi, untuk apa menunggu sampai sekarang?"

   Tapi "badan halus"

   Itu pun mengejek.

   "Hm, kalau Thi Bu-siang mau membunuh diri tentu sudah lama dia lakukan, tidak nanti dia menunggu sampai sekarang. Kalau tadi dia tidak sudi mati penasaran, sekarang duduknya perkara sudah terang, lebih-lebih tidak mungkin dia membunuh diri."

   "Jika Thi-locianpwe bukan membunuh diri, lalu siapa lagi yang mampu membunuhnya tanpa mendapat perlawanan? Kematian Thi-locianpwe ini justru mati dengan putih bersih, memangnya kau ingin dia mendapat nama busuk setelah mati?"

   Bentak Kang Piat-ho dengan bengis. Dengan suara tidak kalah bengisnya "badan halus"

   Itu menjawab.

   "Kalau bertempur berhadapan, sudah tentu tiada seorang pun yang dapat membunuh Thi-locianpwe tanpa mendapat perlawanannya, tapi kalau membunuhnya secara gelap ...."

   "Memangnya aku Kang Piat-ho dapat membunuhnya secara menggelap?"

   Teriak Kang Piat-ho murka. "Sekali ini dengan sendirinya bukan perbuatanmu, kau sendiri tahu Thi Bu-siang sudah berjaga-jaga terhadap kecuranganmu, sekalipun kau hendak menyergapnya juga sukar berhasil,"

   Jengek pula badan halus itu. "Kalau bukan aku, habis apakah Hoa-kongcu?"

   Dengus Kang Piat-ho.

   "Kan sudah kukatakan, yang turun tangan pastilah orang yang paling karib dengan Thi Busiang, karena tidak tersangka orang ini akan menyerangnya secara gelap, maka dengan mudah dapat berhasil."

   "Siapa yang membunuh guruku, biar aku adu jiwa dengan dia!"

   Mendadak pemuda baju ungu berteriak. "Yang membunuh gurumu ialah kau sendiri!"

   Jengek badan halus itu. Tergetar badan pemuda itu, teriaknya dengan gusar.

   "Kentut busuk, betapa berbudi guruku terhadapku, mana bisa aku membunuh guruku sendiri, apa kau ... sudah ... sudah gila!"

   "Kau sendiri yang sudah gila!"

   Jengek orang itu.

   "Jika kau merasa utang budi kepada guru, seharusnya kau membalas kebaikannya itu, tapi kau justru membalas air susu dengan air tuba, diam-diam kau bersekongkol dengan orang she Kang. Tatkala perbuatanmu yang khianat ini akan terbongkar diam-diam kau menikam leher gurumu. Kau kira setelah gurumu mati tentu tiada saksi hidup lagi untuk membongkar perbuatanmu yang terkutuk ini, tapi kau lupa bahwa di sini masih ada aku!"

   "Kau ini siapa? Berani sembarang memfitnah orang?"

   Teriak pemuda baju ungu dengan parau.

   "Memangnya kau mau bukti?"

   "Mana buktinya? Coba perlihatkan!"

   "Orang lain tidak punya bukti, tapi bukti lengkap berada padaku.

   Aku sendiri yang menyaksikan kau yang menaruh racun di dalam arak waktu kalian hendak meracun Tio Coan-hay tempo hari."

   Tubuh pemuda baju ungu kembali bergetar, tapi ia membentak pula.

   "Kentut busuk! Guruku yang mengundang Tio-congpiauthau untuk didamaikan dengan Sam-siang-piaukiok, untuk apa aku meracuni Tio-congpiauthau malah?"

   "Soalnya kau telah bersekongkol dan diperintah berbuat begitu oleh Kang Giok-long agar perdamaian itu gagal dan sekaligus merusak nama baik gurumu, itu artinya sekali bertindak tiga korban, sungguh muslihat keji."

   "Kentut busuk! Siapa ... siapa yang mau percaya ocehanmu ini?"

   "Kau berani menyangkal lagi? Justru aku menyaksikan sendiri kau berunding dengan Kang Giok-long tentang muslihat keji itu di dapur restoran Su-hay-jun tempo hari."

   "Mana bisa kau menyaksikan sendiri? Kau ... kau sembarangan memfitnah orang, biar ku ... ku mampuskan kau!"

   Teriak pemuda baju ungu sambil menubruk maju. Tapi baru saja ia bergerak, mendadak "badan halus"

   Itu membuka kalo bambu yang menutupi mukanya itu dan menyeringai.

   "Coba pandanglah dengan jelas siapakah diriku ini?"

   Di bawah cahaya lampu tertampak wajahnya yang kotor, rambut semrawut sehingga seperti setan gentayangan.

   Seketika pemuda baju ungu tergetar mundur, serunya dengan suara gemetar "Kau ...

   kau ...."

   "Supaya tahu, aku adalah arwah halus orang yang kau bunuh bersama Kang Giok-long itu, kalian hendak menghilangkan saksi hidup dan membunuhku, aku mati penasaran, jadi setan juga akan kubongkar muslihat keji kalian, akan kutagih nyawa padamu."

   Belum habis ucapannya, seperti kesurupan pemuda baju ungu itu lantas menjerit.

   "Setan ... setan ... ada setan!"

   Berbareng ia terus mundur-mundur dan akhirnya lari terbirit-birit seperti orang gila.

   Tapi belum beberapa jauh ia lari, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, belum pemuda itu mencapai pintu sudah lantas jatuh tersungkur, sebilah pedang telah menembus tengkuknya hingga dia terpantek di tanah.

   Pemuda baju ungu itu tidak sempat menjerit dan tahu-tahu sudah mati terkapar.

   Tapi sekali ini semua orang menyaksikan dengan jelas, pedang itu tersambit dari tangan Kang Piat-ho.

   Tenang-tenang saja Kang Piat-ho, katanya dengan perlahan.

   "Orang ini menjadi tidak waras, kalau membiarkan dia pergi mungkin akan mengganggu ketenteraman umum, terpaksa aku membunuhnya."

   Tiba-tiba "badan halus"

   Tadi membentak.

   "Kang Piat-ho, kau membunuhnya untuk menghilangkan saksi hidup, tapi malah bicara muluk-muluk, terkutuklah kau!"

   "Huh, kau main sembunyi-sembunyi dan tidak berani memperlihatkan wajah aslimu, siapa yang mau percaya ocehanmu?!"

   Jawab Kang Piat-ho tersenyum. Ucapan ini dengan jitu mengenai titik kelemahan si "badan halus". Tidak perlu dijelaskan lagi.

   "badan halus"

   Ini dengan sendirinya ialah Siau-hi-ji, di depan Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia tidak berani memperlihatkan muka aslinya. Perlahan Kang Piat-ho berkata pula.

   "Seorang lelaki sejati harus berani bicara dan berani bertanggung jawab, jika apa yang kau katakan tadi menyangkut persoalan sepenting ini, seharusnya kau berani memperlihatkan muka aslimu di depan orang banyak."

   Tertegun juga Siau-hi-ji, akhirnya ia berteriak.

   "Asalkan apa yang kukatakan adalah betul, apa sangkut-pautnya dengan wajah asliku segala?"

   
Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nah, coba pikir, hadirin sekalian,"

   Segera Kang Piat-ho menambahkan.

   "jika perkataan orang ini memang betul, mengapa dia tidak berani menghadapi orang dengan muka aslinya."

   Waktu Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, tertampak sorot mata setiap orang sama menatap wajahnya dengan rasa sangsi. Dengan tenang Kang Piat-ho lantas berkata pula.

   "Orang ini sengaja main sembunyi-sembunyi, sembunyi kepala memperlihatkan ekor, mengoceh semaunya untuk menakut-nakuti orang lain, maksud tujuannya jelas tidak baik ...."

   Sembari bicara ia pun senantiasa memperhatikan sikap hadirin, sampai di sini tiba-tiba ia berkata kepada Hoa Bu-koat dengan sekata demi sekata.

   "Hoa-kongcu adalah orang bijaksana, apakah engkau tidak ingin tahu asal usul mereka?"

   "Mereka?"

   Hoa Bu-koat menegas. "Ya, selain bocah ini tentu masih ada pula si tukang pikul itu, Cayhe juga ingin tahu apakah dia memang anakku yang tak becus Giok-long sebagaimana dituduhkan orang ini."

   Ucapan Kang Piat-ho ini kedengaran adil dan tidak memihak.

   Maklumlah dalam waktu sesingkat ini suasana di ruangan ini sesungguhnya telah berubah terlalu banyak dan terlalu cepat.

   Di tengah kegaduhan tadi banyak orang sudah melupakan urusan si "tukang pikul joli"

   Itu. Kini setelah disebut oleh Kang Piat-ho, dengan sendirinya pandangan semua orang lantas mencari ke arah orang yang disebut, tapi bayangan "tukang pikul"

   Itu ternyata tidak nampak lagi, bahkan para tukang joli yang ikut serta Toan Hap-pui dan Samkohnio dengan kedua jolinya juga sudah menghilang entah sejak kapan.

   Tanpa terasa Siau-hi-ji menggentak kaki, meski dia pintar dan cerdik, tapi pengalaman masih cetek sehingga kurang rapi pengawasannya dan akibatnya terjadilah kelengahan yang fatal ini.

   Kang Piat-ho tampaknya menjadi gusar dan berteriak.

   "He, mengapa tukang pikul itu menghilang? Bilakah perginya?"

   Lo Kiu yang sejak tadi hanya menjadi penonton itu tiba-tiba menanggapi.

   "Badan Toan-loyacu kurang sehat, dia terlalu tegang dan tidak tahan melihat semua kejadian ini, maka sejak tadi dia suruh mereka menggotongnya pulang."

   "Orang kalau terlalu gemuk memang tidak boleh merasa tegang, jika sering tegang bisa kena angin duduk, kami bersaudara juga mempunyai penyakit begitu,"

   Demikian sambung Lo Sam dengan tertawa. Kang Piat-ho berlagak menyesali Lo Kiu, katanya.

   "Jika kalian melihat kepergian mereka, seharusnya tukang pikul itu ditahan di sini, kalau persoalan ini tidak dibikin terang, betapa pun Cayhe merasa tidak enak."

   "Huh, kau musang berbulu ayam ini, kalau bicara hal pura-pura dan berlagak, kau memang terhitung nomor satu di dunia,"

   Damprat Siau-hi-ji saking gemasnya. Kang Piat-ho balas mendengus.

   "Hm, bukan mustahil tukang pikul itu sekomplotan denganmu dan sengaja hendak memfitnah diriku, kalau tidak mengapa kau membiarkan dia kabur begitu saja?"

   Ternyata menghilangnya "tukang pikul"

   Itu berbalik digunakannya untuk menghantam Siauhi-ji dan cara bicaranya juga cukup beralasan, kini meski tidak semua orang percaya kepada ucapannya, sedikitnya sudah mulai meragukan tuduhan Siau-hi-ji tadi.

   Tentu saja Siau-hi-ji geregetan dan kelabakan, baru sekarang ia tahu Kang Piat-ho memang benar-benar bukan tokoh yang mudah dilayani, hanya beberapa patah kata saja suasana yang tidak menguntungkannya telah dapat diputar balik olehnya.

   Tanpa menggerakkan satu jari pun kini Siau-hi-ji telah didesaknya ke jalan buntu.

   Ruangan tamu ini sangat luas, banyak pintu dan jendelanya, kalau mau, dengan mudah sekali Siau-hi-ji dapat menerobos keluar.

   Tapi sekarang Siau-hi-ji tidak dapat pergi, sebab mata Hoa Bu-koat sekarang sedang menatap tajam padanya.

   Dengan tenang didengarnya Kang Piat-ho berkata pula.

   "Meski tukang pikul itu sudah kabur, tapi saudara mungkin tidak dapat lolos lagi, saudara ternyata tetap tidak sudi memperlihatkan wajah aslimu, jangan-jangan disebabkan kau telah berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?"

   Benak Siau-hi-ji terus bekerja, tapi tidak mendapatkan sesuatu akal yang baik. Tiba-tiba Hoa Bu-koat membuka suara.

   "Jika sahabat tidak sudi turun tangan sendiri, rasanya Cayhe perlu melakukannya bagimu."

   "Hoa Bu-koat,"

   Damprat Siau-hi-ji.

   "sebenarnya kuanggap kau ini orang pintar, siapa tahu kau ternyata sudi diperalat orang lain seperti boneka, sungguh aku merasa malu bagimu."

   Sama sekali Hoa Bu-koat tidak marah, ia malah tersenyum dan berkata.

   "Jika engkau bermaksud memancing kemarahanku, maka usahamu ini cuma sia-sia belaka."

   "Orang yang tidak bisa marah adalah orang yang tak berguna, memangnya ada harganya untuk dibuat bangga dan pamer?"

   "Bukannya aku tidak pernah marah, soalnya orang seperti kau ini belum ada harganya untuk kumarahi."

   Dengan tertawa Kang Piat-ho menukas.

   "Biarpun masih muda, tapi kesabaran Hoa-kongcu sungguh sangat terpuji, untuk bisa memancing kemarahannya kau harus ...."

   "Untuk memancing kemarahannya kau harus merebut Thi Sim-lan dari pelukannya, begitu bukan?"

   Teriak Siau-hi-ji. Air muka Hoa Bu-koat benar-benar rada berubah demi mendengar perkataan ini, dengan suara berat ia menjawab.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 12:25:34
oleh Saiful Bahri Situbondo


Pisau Terbang Li -- Gu Long Pedang Angin Berbisik -- Han Meng Anak Rajawali -- Chin Yung

Cari Blog Ini