Ceritasilat Novel Online

Rase Terbang Pegunungan Salju 3


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 3




   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung

   
"Aku yakin, bahwa kau bisa membukanya,"

   Ujarnya dengan halus dan disertai senyuman.

   Dengan terpaksa Hun Jang mengambil dan menempatkan kotak itu di atas meja.

   Ia tidak segera mencoba membukanya selaku Hun Ki tadi, sebaliknya ia hanya meraba-raba seluruh tutupnya, kemudian jari tangannya bergerak mengelilingi tepi kotak itu.

   Tiga kali ia mengulangi gerakan itu dan akhirnya ia menekankan jempolnya ke tengah dasar peti itu dari bawah.

   Hampir pada saat itu juga dengan mengeluarkan bunyi menjebelak, tutup peti itu seakan-akan meloncat.

   Segenap anggauta Thian Liong Bun yang berada di situ, menjadi heran.

   Mereka melirik ke arah Hun Jang dan dengan terheran-heran mereka menanya di dalam hati.

   "Siapa yang mengajarkannya, bagaimana ia harus membuka peti itu?"/ Tetapi mereka tidak memikirkannya lama-lama. Segera juga mereka sudah mendekati peti itu dan menjenguk ke dalamnya Isi peti itu, benar-benar sebilah golok yang masih berada dalam sarungnya. Po Si mengangkat golok itu dan menunjuk ke tepi sarungnya, di mana terdapat dua baris huruf- huruf kecil.

   "Coba periksalah,"

   Katanya. Sarung golok itu sudah berkarat dan penuh dengan lumut. Goloknya sendiri juga sebilah golok kuno biasa yang tidak ada tanda-tanda keistimewaanya, hanya arti huruf-huruf itu yang agak aneh.

   "Membunuh seorang kusamakan dengan membunuh ayahku, memperkosa seorang wanita kuanggap sama dengan memperkosa ibuku."

   Maksud tulisan itu sudah terang. Maksudnya adalah, melarang orang melakukan perbuatan tersesat, tetapi mengapa harus diukirkan kepada sarung golok itu? "Tahukah kalian, bagaimana asal-usul dua baris perkataan ini?"

   Tanya Po Si.

   "Entahlah,"

   Jawab semua hadirin berbareng.

   "Inilah hukum militer Cwan Ong Li Cu Seng, sedang golok ini adalah golok Cwan Ong, ketika dengan tentaranya yang berjumlah jutaan ia berusaha menegakkan kerajaannya untuk menolong negara dari kemusnaan."

   Semua hadirin memandang wajah Po Si dengan sikap heran.

   Agaknya mereka masih belum percaya akan kebenaran ceritanya.

   Ketika itu, Cwan Ong sudah meninggal ratusan tahun sebelumnya, tetapi sepak-terjangnya dan kewibawaannya masih diingat dan dikagumi semua orang gagah dan penyinta tanah air.

   "Jika kalian masih tidak percaya, lihatlah di sebelah sini,"

   Kata Po Si sambil membalikkan golok itu. Di sebelah itu, diukirkan tiga huruf yang agak besar.

   "Cwan Ong Li". Melihat tiga huruf itu, mau tak mau mereka harus percaya juga.

   "Dahulu, ketika para pahlawan dan puluhan ceecu (kepala perampok) berserikat untuk bergerak, Li Cu Seng telah diangkat menjadi pemimpin besar dan diberi gelar "Cwan Ong". Belasan tahun ia berjoang dengan susah-payah, akhirnya ia dapat merebut Pakkhia dan dinasti Beng berakhir dengan bunuh diri Kaisar Cong Ceng. Setelah itu ia dinobatkan sebagai raja baru dan nama kerajaannya adalah "Tay Sun". Jika bukan karena si penghianat Gouw Sam Kwi menjual negara dan membiarkan bahkan mengundang tentara Boan melewati Dinding Besar, memasuki tanah air kita, sampai hari ini pasti keturunannya masih berkuasa sebagai raja dan kita tidak harus menelan hinaan bangsa asing seperti sekarang. Sedari jaman purba, belum pernah ada yang dapat mengadakan gerakan besar-besaran seperti yang diselenggarakannya."

   Po Si berhenti sebentar dan menghela napas.

   "Sungguh sayang, bahwa ia menjadi kaisar hanya beberapa hari itu saja, belum sampai sebulan. Tahun Cong Ceng ke-tujuh belas tanggal 19 bulan tiga ia memasuki Pakkhia. Pada tanggal 12 bulan empat ia harus meninggalkan istananya untuk membendung serbuan tentara Boan di sebelah utara. Akhir bulan itu ia mengalami kekalahan besar dan ia harus mengundurkan diri ke sebelah barat daya. Sejak itu negeri kita dikuasai dan diilas-ilas bangsa asing dan bangsa kita terpaksa menelan saja hinaan penjayah yang semena-mena itu." (Kisah Cwan Ong merebut Pakkhia, bacalah buku "PEDANG ULAR EMAS atau KIM COA KIAM") Cerita Po Si ini sangat menusuk bagi Lauw Goan Ho, si gundal bangsa Boan. Dengan sikap gusar ia menatap wajah hweeshio itu. Di dalam hatinya ia berkata.

   "Besar benar nyalinya, ia berani mengucapkan kata-kata yang sukar diampuni."

   Ketika itu Po Si sudah mengembalikan golok itu ke dalam peti. Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan ceritanya.

   "Si penghianat Gouw Sam Kwi masih mengejar terus dan pada suatu hari, dalam suatu pertempuran yang sengit, Cwan Ong terluka parah. Setelah menderita kekalahan ini,/ ia sudah tak punya pengharapan lagi untuk merebut kemenangan. Dari Hoolam ia mundur ke Ouwpak. Sementara itu dalam keadaan putus-asa, banyak panglima dan perwiranya yang jadi bertengkar antara kawan sendiri, malah sampai ada yang saling membunuh. Dengan demikian tenaga angkatan perangnya jadi terpecah-belah dan banyak berkurang. Ia mundur terus, sehingga akhirnya ia terkepung rapat di bukit Kiu Kiong San di keresidenan Bu Ciang Hu. Dengan sisa tentaranya, yang terdiri daripada pengikut-pengikutnya yang paling setia, ia berulang-ulang berusaha menembusi kepungan musuh, tetapi karena tentaranya yang berjumlah kecil itu sudah letih sekali, segala daya-upayanya sia-sia saja."

   Po Si berhenti lagi sebentar.

   Biauw Yok Lan memandang golok itu dan ia membayangkan kepahlawanan dan kegagahan Cwan Ong, ia sangat ketarik dan pada saat ia mengingat kemusnaan tentara pahlawan itu dan tewasnya si pahlawan sendiri, ia sangat berduka dan wajahnya juga segera berubah menjadi guram.

   "Dalam menghadapi bahaya kemusnaan itu, Cwan Ong ? lul.impingi empat pengawalnya v.mg paling setia. Keempat-?m patnya mempunyai kepandaian v.mg sangat tinggi. Empat orang 11 u masing-masing she Ouw, lluuw, Hoan dan Tian. Dalam melindungi keselamatan Cwan Ong mereka selalu bekerja sama ? lengan erat, maka dalam tentara Cwan Ong mereka biasa disebut ? lengan Ouw Biauw Hoan Tian, gabungan she mereka."

   Di antara para hadirin, yang berotak cerdas sudah segera mengerti, bahwa empat orang ilu tentu mempunyai hubungan vnng erat dengan peristiwa yang mereka alami.

   Tian Ceng Bun melirik ke arah Biauw Yok Lan, yang pada saat itu sedang mengorek-ngorek api dalam perapian.

   Agaknya ia sedang melayangkan pikirannya ke jaman yang lampau itu di bawah pengaruh kisah yang baru didengarnya dari mulut Po Si.

   Sebelum meneruskan pula ceritanya, Po Si lebih dulu menatap wajah Lauw Goan Ho.

   Kemudian dengan suara nyaring yang bernada angker ia mulai berbicara lagi.

   "Entah sudah berapa banyak kesulitan dan bahaya yang telah dihadapi empat pahlawan itu, dan entah berapa kali mereka sudah menyelamatkan jiwa Cwan Ong. Karena jasa-jasa mereka yang dibuat dengan kesetiaan dan kejujuran tak tergoyangkan, tentu saja Cwan Ong jadi sangat mempercayai mereka. Dari empat orang yang gagah berani ini, si orang she Ouw berkepandaian paling tinggi, selain itu ia juga berotak cerdas sekali, la terkenal sebagai 'Hui Thian Ho Li' (Rase Terbang)."

   Kata-kata terakhir ini sangat mengejutkan bagi semua hadirin. Mereka mengeluarkan teriakan tertahan. Po Si sama sekali tidak menghiraukan seruan mereka itu. Ia terus mengisahkan riwayat itu tanpa menengok.

   "Sementara itu, keadaan Cwan Ong di atas Kiu Kiong San, sudah jadi sedemikian gentingnya. Berulang kali Cwan Ong mengirim orang untuk minta bala bantuan. Tetapi setiap kali sampai di kaki gunung, utusan itu sudah harus mengalami bencana. Pada saat-saat terakhir, karena keadaan sudah hampir tak tertahankan lagi, terpaksa ia mengirim tiga orang dari empat pengawal utamanya, yang she Biauw, she Hoan dan she Tian untuk mencari bala bantuan. Pengawal she Ouw itu ditinggalkan untuk mengawani dan melindungi keselamatan Cwan Ong seorang diri. Tiga orang itu berhasil menembusi kurungan musuh dan dapat pula kembali membawa bala bantuan. Berapa terkejutnya mereka, ketika setiba mereka ternyata Cwan Ong sudah mengalami nasib malang dan menurut kabar yang tersiar, sudah tewas terbunuh. Mereka menangis tersedu-sedu, bahkan dalam kedudukannya, pahlawan she Tian itu sudah hendak membunuh diri sebagai pernyataan setia kepada junjungannya. Untungnya ia keburu dicegah oleh dua kawannya. Mereka membujuknya dengan mengatakan, bahwa sakit hati yang sedalam laut itu harus dibalas dulu. Kemudian mereka menyelidiki tentang bencana yang telah menimpa Cwan Ong dan bagaimana ia telah tewas. Dari keterangan yang mereka kumpulkan dari sana-sini, mereka mendapat kesan, bahwa rekan mereka she Ouw itu masih hidup. Mengingat, bahwa kepandaian orang itu tiada taranya dan kecerdasannya juga sangat luar biasa, mereka berpendapat, bahwa dengan bimbingan rekan tersebut, mereka akan dapat juga melaksanakan pembalasan sakit hati itu. Dengan keyakinan ini, mereka lantas berichtiar mencari jejak rekan she Ouw itu."/ Po Si berhenti sebentar untuk menghirup tehnya.

   "Menurut cerita yang tersiar di antara kaum tua di kalangan Bulim (kalangan ahli-ahli silat) hasil usaha ketiga orang itu, yang mencari rekan mereka, telah berekor panjang, bahkan turun- menurun pesan mereka itu diturunkan kepada anak-cucu mereka, supaya peristiwa itu tidak dilupakan."

   Bercerita sampai di sini, Po Si menoleh kepada Biauw Yok Lan dan berkata.

   "Loolap adalah orang luar yang hanya mengetahui sedikit sekali tentang hal ini. Nona Biauw tentu mengetahui segala sesuatu yang mengenal kejadian itu dan jika ia yang bercerita, kisah ini tentu akan menjadi lebih menarik dan lebih lengkap."

   Yok Lan tidak menolak dan segera sudah mulai menggantikan si hweeshio bercerita tanpa mengangkat kepala.

   "Ketika aku genap berusia tujuh tahun, aku melihat pada suatu malam ayahku membersihkan dan mengasah pedang. Aku mengatakan, bahwa aku takut melihat senjata dan aku minta kepadanya supaya menyimpan dan tidak bermain lagi dengan senjatanya. Tetapi ayah mengatakan, bahwa ia masih membutuhkan pedang itu untuk membunuh seorang lagi dan jika ia sudah menyelesaikan itu, baru ia akan menyimpan pedangnya untuk selama-lamanya. Mendengar perkataannya itu, aku jadi semakin ketakutan. Karena berulang-ulang aku mendesak, supaya ia tidak membunuh orang, maka kemudian ia menceritakan kisah ini."

   "Ia menceritakan, bahwa pada suatu waktu, di masa dahulu, pernah terjadi, bahwa saking miskinnya, rakyat sampai tak dapat makan apalagi berpakaian. Ketika itu, kulit pohon sampai pun rumput dimakan oleh rakyat yang sangat kelaparan itu. Beribu-ribu orang harus mati kelaparan, tidak terkecuali bayi-bayi yang ibunya telah kekeringan air tetek. Akan tetapi, di tengah-tengah penderitaan rakyat jelata yang demikian hebatnya itu para pembesar negeri masih saja memeras rakyat dan memungut pajak yang berat-berat dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil bumi yang sudah ingat sedikit itu. Di samping mereka, kaum hartawan juga turut memberatkan beban si orang kecil dengan memungut uang tewa tanah yang sangat tinggi. Sungguh kasihan, mereka yang tak dapat memenuhi segala kemauan pembesar korup dan hartawan kejam itu, ditangkap-tangkapi dan disiksa untuk kemudian dibunuh. Jiwa rakyat kecil dianggap remeh sebagai juga jiwa semut. Ayah telah mengajarkan aku menyanyikan sebuah lagu yang menurut, katanya, adalah gubahan seorang "bun bu siang coan" (seorang ahli sastera yang juga mahir dalam hal silat). Perlukah aku mengulangi lagu itu?"

   Po Si sudah dapat menebak siapa yang dimaksudkan dengan "bun bu siang coan"

   Itu, yakni Li Giam, salah seorang perwira Li Cu Seng yang sangat terkenal. Tetapi hadirin yang lain agaknya belum tahu siapa yang dimaksudkan itu dan mereka segera mengatakan.

   "Silakan, nona."

   Lagu Li Giam itu melukiskan keadaan pada masa itu, membawakan amanat penderitaan rakjat, terutama kaum petani yang tertindas paling hebat.

   Dengan sedikit kata-kata yang sangat tepat, diceriterakannya, bagaimana panen gagal, harga-harga barang keperluan sehari-hari membubung tinggi, sehingga rakyat harus memakan rumput atau akar-akar tanaman.

   Dilukiskannya, dengan cara yang sangat mengharukan, bagaimana, di tengah-tengah kesengsaraan yang memuncak itu, pembesar-pembesar korup masih hidup mewah bahkan berlaku sangat sewenang-wenang, teladan mana segera sudah diikuti para hartawan.

   Masa itu tiada salahnya disebutkan "Jaman banjir air- mata dan darah."

   Dengan penuh perhatian para hadirin mendengarkan uraian Yok Lan mengenai syair lagu tersebut yang kemudian dinyanyikannya juga.

   Ketika itu adalah di pertengahan masa pemerintahan Kaisar Kian Liong dan keamanan dalam negeri sedang baiknya.

   Tetapi terhadap bencana alam sebagai banjir dan paceklik semua orang tak dapat melakukan sesuatu.

   Maka di daerah-daerah tertentu, yang setiap tahun harus mengalami malapetaka, penghidupan rakyat masih tiada bedanya dengan di masa yang dikisahkan dalam lagu itu.

   Banyak antara mereka yang sudah pernah melihat sendiri kejadian seperti itu.

   Lagi pula Yok Lan telah menguraikan dan membawakan lagu itu dengan cara dan suara yang sangat tepatnya, maka, segera juga semua/ hadirin seakan-akan merasakan sendiri apa yang dikisahkan.

   Mereka terpesona dan hati mereka jadi turut berduka karenanya.

   Beberapa saat kemudian Yok Lan sudah meneruskan lagi ceritanya.

   "Karena penderitaan itu yang berlarut-larut tanpa ada akhirnya, bahkan semakin lama kian hebat, maka akhirnya rakyat tak dapat bersabar lagi, apalagi setelah kemudian muncul seorang pahlawan yang berjiwa besar. Di bawah pimpinannya, tentara rakyat itu kemudian dapat menguasai Pakkhia (Peking) dan mengakhiri riwayat pemerintah kerajaan yang sangat lalim itu. Sungguh malang, bahwa tidak lama kemudian pemimpin yang sangat mulia itu dibunuh orang jahat. Sebagai tadi diceritakan Taysu, tiga pengawalnya kemudian mencari rekan mereka yang agaknya tidak turut tewas. Mereka berkeyakinan penuh, bahwa dengan pimpinannya, mereka akan dapat melaksanakan pembalasan sakit hati Cwan Ong."

   Dalam pada itu, bangsa Boan sudah berhasil menjayah seluruh tanah air kita.

   Di mana-mana semua simpatisan Cwan Ong dan patriot lain dikejar dan, bila saja ketangkap tentu disiksa sehingga tewas.

   Karena ancaman bahaya itu, maka untuk keselamatan mereka harus melaksanakan maksud mereka itu dengan menyamar.

   Seorang menyamar sebagai tabib keliling, seorang lagi sebagai pengemis dan yang ketiga sebagai kuli.

   Tiga orang ini dan rekan mereka yang sedang dicari itu adalah saudara-saudara angkat, dalam perhubungan mereka selama bertahun-tahun, keempat orang ini sudah menjadi sangat akrabnya, bahkan sampai melebihi hubungan antara saudara kandung.

   Selama delapan tahun mereka mencarinya tanpa mengenal lelah, tanpa dapat menemukan jejaknya.

   Akhirnya mereka berpendapat, bahwa rekan itu yang sekalian menjadi saudara angkat tertua mereka, tentu sudah tewas dalam pertempuran.

   Tak usah dijelaskan, betapa sedihnya mereka pada saat itu."

   Kata-kata Yok Lan diucapkan, sebagai juga ia sedang bercerita kepada anak kecil.

   Agaknya ia meniru gaya ayahnya krtika bercerita dahulu.

   Nada m laranya sangat sabar lagi halus, sebagai juga dengan itu ia hendak mengutarakan kasih sayangnya.

   Semua hadirin mendapat perasaan v.mg aneh dan mereka jadi mengerti bahwa 'Kim Bian Hud' bukan saja seorang pendekar yang biijiwa besar, tetapi juga seorang .iv.ih yang sangat baik.

   "Setelah lewat pula berapa tahun tanpa mendapat hasil sedikit jua, mereka menghentikan usaha mereka dan memutuskan untuk coba melaksanakan pembalasan sakit hati itu dengan bertiga saja. Sementara itu mereka sudah mengetahui, bahwa si penghianat, Gouw Sam Kwi, sudah diangkat menjadi raja muda di Inlam. Mereka bertekad bulat untuk membinasakannya dan mereka segera juga berangkat ke Inlam."

   Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian saling memandang.

   Yang seorang seakan-akan hendak mengecam sang kawan yang telah menyeretnya ke dalam peristiwa itu, sehingga ia harus mengalami atau mendengar kata-kata yang menusuk berulang-ulang.

   Sang sutee sebaliknya ingin mengetahui, bagaimana sikap suhengnya terhadap kata-kata itu.

   "Setelah mereka tiba di Kun Beng, ibu kota Inlam, mereka segera mencari keterangan tentang istana persemayaman penghianat keji itu dengan seksama. Maksud mereka adalah supaya dengan sekali bergerak saja mereka akan berhasil. Tak mau mereka mengeprak ular di antara rumput"

   "Pada tanggal 5 bulan tiga mereka sudah merasa cukup mengetahui hal istana itu dan dengan senjata lengkap mereka menyateroni istana si penghianat."

   "Penjagaan di sekitar tempat kediaman itu, ternyata sangat rapat, mungkin karena si penghianat memang sudah mengetahui, bahwa lambat dan lekas tentu juga akan ada yang mencoba membunuhnya. Karena penjagaan yang luar biasa kerasnya itu, maka ketiga saudara tadi hanya dapat mencapai halaman yang berdekatan dengan kamar tidur si penjual tanah air. Sebelum mereka dapat masuk ke dalam, mereka sudah kepergok dan harus bertempur melawan lebih duapuluh orang pengawal istana itu. Karena kepandaian mereka yang sudah jarang ada tandingannya, mereka dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan sangat cepatnya, setelah berapa orang di antara para pengawal itu sudah tewas atau terluka yang lain segera kabur serabutan. Tanpa membuang-buang waktu, mereka menyerbu ke dalam. Tetapi, agaknya/ memang belum ditakdirkan harus mati, pada saat penghianat itu sudah tak mungkin terlolos dari tangan mereka, mendadak dari suatu ruangan samping keluar seorang yang meloncat ke depan penghianat itu dan menghalang-halangi mereka turun tangan. Tak dapat dilukiskan betapa kagetnya tiga saudara itu, ketiga mereka mendapat kenyataan bahwa penghalang itu adalah kakak angkat mereka yang telah dicari siang-malam selama bertahun-tahun itu. Dengan kepandaiannya yang memang jauh lebih tinggi daripada mereka bertiga, kakak angkat itu dapat menghindarkan si penghianat dari kematian."

   "Dalam kekalapan mereka, tanpa memperdulikan segala apa, mereka segera menerjang si kakak. Dalam pada itu, para pengawal istana itu sudah datang membanjiri halaman di sekitar ruangan itu. Karena yakin, bahwa mereka tak akan dapat melawan begitu banyak orang, mereka menerjang keluar dengan membuka jalan darah. Tetapi dalam peristiwa itu, yang menyamar sebagai kuli itu telah tertawan. Gouw Sam Kwi memeriksa sendiri perkaranya. Karena ia tidak mau mengaku dan tetap membungkam terhadap segala pertanyaan, maka atas perintah si penghianat ia dihajar habis-habisan dan kedua tulang kakinya dipatahkan, kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara."

   "Mungkin karena menyesal atas perbuatannya sendiri, secara diam-diam kakak angkat mereka itu kemudian menolongnya secara diam-diam. Setibanya kembali di antara saudara-saudaranya, si kuli dan kedua saudara itu saling merangkul dengan mengucurkan entah berapa banyak air-mata. Di samping kegirangan mereka, karena dapat berkumpul lagi, mereka juga merasa sangat sedih, karena ternyata, bahwa kakak angkat yang sangat dipuja itu, telah menakluk kepada musuh dan menggagalkan usaha mereka yang telah disiapkan sekian lama dengan memeras sekian banyak keringat. Mengingat perubahan jiwa si kakak itu dari seorang pahlawan menjadi seorang budak musuh hati mereka dirasakan pedih sekali. Sebagai juga semua pengalaman ini belum cukup menyiksa mereka, tak lama kemudian mereka bahkan mendapat tahu terang halnya si kakak angkat bahwa kakak angkat itu telah membinasakan sendiri junjungan mereka, ketika sudah sekian lama, sia-sia menantikan kedatangan mereka kembali dengan bala bantuan. Kemudian ia telah menakluk kepada musuh dan karena dianggap berjasa, ia telah diberi pangkat yang tinggi dan sampai pada hari itu, pangkatnya sudah menanjak menjadi tootok (penguasa perang di suatu daerah tertentu). Kemudian, setelah mendapat kepastian akan kebenaran berita ini, mereka memutuskan untuk pertama-tama membuat perhitungan dengan bekas rekan ini dan baru setelah itu berusaha membunuh si penghianat lagi."

   Pada saat itu semua hadirin agak terkejut.

   Sepanjang pendengaran mereka, memang benar, bahwa Cwan Ong telah tewas karena penghianatan salah seorang sebawahannya, tetapi mereka sama-sekali tidak pernah menyangka, bahwa yang berhianat itu adalah "Hui Thian Ho Li", pengawal Cwan Ong yang sangat dipercaya.

   Setelah menghela napas panjang-panjang, Biauw Yok Lan melanjutkan pula kisah itu.

   "Karena memang sedari semula mereka sudah bukan tandingan si Rase terbang,"

   Tentu saja, setelah salah seorang di antara mereka bercacad, mereka tak dapat melawan bekas rekan itu.

   Tetapi ketika mereka sedang memikirkan akal untuk melaksanakan maksud mereka, si Rase Terbang telah mengirimkan surat undangan kepada mereka untuk datang di telaga Tinti pada tanggal 15 bulan tiga, untuk bersama-sama meminum arak.

   "Mereka beranggapan, bahwa undangan itu hanya tipu muslihat si kakak, tetapi mengingat, bahwa daerah itu berada di bawah kekuasaannya, sehingga tidak mungkin mereka dapat menghindari kejarannya. Maka, apa boleh buat, walaupun harus menghadapi bahaya yang bagaimana besar juga, mereka berangkat menjumpainya. Tetapi, diam-diam mereka membekal senjata. Ternyata si Rase Terbang sudah menantikan mereka. Agaknya ia hanya datang seorang diri tanpa membawa kawan, pakaian yang dikenakannya juga terbuat dari kain kasar, sebagai dahulu, ketika mereka masih bersama-sama menunaikan tugas dalam tentara rakyat. Segera setelah berkumpul, mereka membeli makanan dan minuman untuk bekal bertamasya di telaga di bawah sinar bulan purnama. Dilihat sepintas lalu, mereka sebagai juga sudah berbaik kembali seperti di masa bersama-sama berjuang."/ "Sambil menikmati arak dan makanan bekal mereka dan juga menikmati hawa sejuk di bawah sinar bulan purnama, mereka mengobrol, mengenangkan kembali segala sesuatu yang menggembirakan di masa yang lampau. Si kakak angkat sama sekali tidak menyebut-nyebut hal junjungan mereka. Ketiga saudara itu pun tidak berani menanyakan hal itu dan mereka juga hanya membicarakan hal-hal yang menyenangkan saja. Semangkuk demi semangkuk, si Rase terbang minum terus dan setelah lama sekali, setelah sang bulan naik tinggi, ia mendadak mendongak dan berseru, 'Saudara-saudara, sepuluh tahun kita berpisah dan baru sekarang kita dapat berkumpul lagi. Hari ini, aku merasa sangat berbahagia!"

   "Saudaranya yang menyamar sebagai tabib keliling tak dapat bersabar pula. Dengan tertawa mengejek ia menjawab, 'Hm! Dengan pangkatmu yang tinggi dan kehidupanmu yang mewah, tentu saja kau menjadi berbahagia! Hanya, entah bagaimana perasaan Goanswee pada saat ini.' Walaupun Cwan Ong akhirnya sudah naik takhta sebagai kaisar, tetapi karena sudah biasa sedari awal perjuangan, mereka menyebutnya sebagai Goanswee (Jenderal Besar), mereka tak dapat mengubah panggilan itu."

   "Dalam pada itu, demi mendengar kata-kata si tabib, si Rase Terbang menghela napas panjang-panjang dan mengatakan, bahwa beliau tentu merasa kesepian dan setelah urusan di tempat itu beres, ia akan menunjukkan jalan, agar mereka dapat menjumpainya. Seketika mendengar kata-katanya, ketiga saudaranya menjadi sangat gusar, karena mereka beranggapan, bahwa mereka akan ditunjukkan jalan ke akherat untuk menjumpai arwah Cwan Ong. Yang menyamar sebagai kuli sudah hendak mencabut senjatanya, tetapi keburu dicegah saudaranya yang menyamar sebagai tabib dengan kerlingan mata. Yang tersebut belakangan ini segera mengangkat botol dan menambahkan arak ke dalam cangkir toako mereka. Bersama dengan itu, ia menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Goanswee mereka, setelah tiga saudara angkat itu meninggalkan Kiu Kiong San. Si toako mengerutkan alisnya dan menjawab, bahwa undangannya hari itu memang dimaksudkan untuk membicarakan hal ini. Pada saat itu, mendadak yang menyaru sebagai pengemis menunjuk ke belakang si toako dan mengeluarkan seruan tertahan seakan-akan ia melihat seseorang mendatangi secara tak terduga."

   "Ketika sang kakak menoleh, dengan serentak si tabib dan si pengemis menyerangnya, dari belakang. Bokongan mereka ini menyebabkan toako itu kehilangan lengan kanannya dan punggungnya terluka berat. Dengan berseru kaget, kesakitan dan marah, si Rase Terbang menoleh dan mengulurkan sebelah tangannya. Dengan sekali bergerak saja ia sudah dapat merampas golok kedua penyerangnya yang segera dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika kemudian tangannya itu berkelebat sekali lagi, si tabib telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi."

   "Segera setelah itu ia berteriak, 'Kita berempat telah bersumpah sebagai saudara, mengapa kamu sekarang hendak mencabut nyawaku?' Seruan si Rase terbang ini dijawab saudaranya yang menyamar sebagai kuli. Katanya, 'Kau telah mencelakakan Goanswee, menjualnya kepada musuh untuk mendapat kemewahan, mengapa kau masih tidak malu menyebut-nyebut hal sumpah setia?' Menutup kata-katanya, ia segera menyerang juga, tetapi sang toako dapat mementalkan goloknya dengan tendangan dan senjatanya itu segera menyusul senjata-senjata dua saudaranya yang telah tenggelam ke dasar telaga lebih dahulu. Sebagai jawaban atas caci adik angkatnya ia tertawa dan mengatakan, 'Bagus, kamu setia, sangat setia!' Ketiga adik angkat itu tertegun lagi ketakutan, walaupun sudah terluka parah ditambah lagi sebelah tangannya sudah kutung, ia masih sangat gagah dan dapat mengalahkan mereka dalam serintasan saja. Sementara itu, si toako sudah menghentikan tertawanya dan kini justeru berbalik menangis, di antara tangisnya terdengar penyesalannya, bahwa karena perbuatan tiga saudaranya, rencana pekerjaan besarnya menjadi hancur berantakan."

   "Setelah mengucapkan kata-katanya itu, ia segera melepaskan si tabib. Karena menyangka, bahwa ia tentu tidak akan mau sudah begitu saja, maka pada saat yang sama, si pengemis menghantam dadanya. Serangan ini, yang sangat mendadak dilancarkannya dengan Seantero tenaganya dan tak dapat dielakkan lagi oleh si Rase Terbang, toako ini segera memuntahkan darah, tetapi berbareng dengan itu, ia mengangkat sebelah tangannya. Ketiga saudaranya/ terperanjat, tetapi sesaat kemudian ternyata, bahwa ia tidak bermaksud mencelakakan mereka. Ia menghajar dinding perahu yang lantas saja sompelak sebagian, sedang perahu itu jadi tergetar seluruhnya 'Meskipun aku sekarang sudah terluka berat, tetapi, jika aku mau, dengan mudah saja aku dapat mencabut tiga nyawa kalian, yang bagiku sama mudahnya dengan membalikkan sebelah tanganku,' ujarnya dengan ketawa getir."

   "Tiga orang itu takut bukan main. Mereka berkeyakinan, bahwa jiwa mereka tak akan dapat ditolong lagi. Maka, dengan tekad untuk menjual jiwa semahal-mahalnya, mereka mundur ke suatu sudut, di mana kemudian ketiga-tiganya berdiri bejajar, bersiaga, menantikan perkembangan selanjutnya. Akan tetapi untuk keheranan mereka, ia sama sekali tidak berusaha untuk melanjutkan serangannya, bahkan menarik napas panjang-panjang sambil menunduk dan berkata, 'Jagalah, jangan sampai kejadian malam ini tersiar di luar. Jika puteraku mendengar hal ini, ia tentu akan mencari kalian untuk balas, dan kupastikan, bahwa kalian bertiga bergabung, masih juga bukan tandingannya. Maka, untuk menghindarkan kalian daripada tuduhan membunuh kakak angkat sendiri, lebih baik aku membunuh diri saja"

   Dengan selesainya kata-kata ini, ia menghunus goloknya sendiri dan tanpa dapat dicegah oleh siapa juga ia sudah menggorok lehernya sendiri" 'Agaknya si kuli tidak tega melihat kakak itu akan menemui ajalnya secara begitu mengenaskan.

   Ia segera meloncat ke sampingnya dan hendak menolongnya.

   Tetapi ia terlambat tetapi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, kakak itu masih dapat berpesan.

   "Saudara yang baik, aku sudah akan berpulang. Golok kebesaran Goanswee banyak kegunaannya. Ia... Ia, orang tua, di Ciok Mui Kiap ____' Pada saat itu, sebelum dapat menyelesaikan pesannya, ia sudah keburu mangkat. Tiga adik angkatnya tak dapat mengucapkan sepatah kata dan untuk berapa saat mereka hanya memandang jenazahnya dengan terlongong-longong. Pelbagai macam perasaan mengaduk dalam alam pikiran mereka. Sedih, menyesal, kasihan tapi juga puas silih berganti menguasai perasaan mereka Sesaat kemudian mereka mendapatkan kembali kesadaran mereka dan mereka segera melihat, bahwa golok yang barusan digunakan menggorok lehernya sendiri oleh kakak mereka itu, adalah golok kebesaran Cwan Ong dahulu."

   Tanpa terasa semua mata beralih memandang golok yang berada di dalam peti itu. Entah apa yang terkilas dalam alam pikiran mereka, pada saat itu. Sedang yang lain masih diam dengan pikiran masing-masing, mendadak saja Lauw Goan Ho berteriak.

   "Aku tidak percaya!"

   To Pek Swee menjadi gusar.

   "Kau tahu apa!"

   Bentaknya "Aku tidak mau percaya, bahwa Li Cu Seng yang telah membuat banjir darah di suatu daerah yang ribuan li luasnya dapat mengadakan hukum militer sedemikian, sebagai empat belas huruf itu,"

   Katanya dengan menggelengkan kepalanya. Atas bantahannya ini tak ada yang dapat menjawab, setelah lewat beberapa lama, baru Ie koankee yang menjawabnya. Katanya.

   "Kau mengatakan, bahwa Cwan Ong telah membunuh orang bagaikan membabat rumput saja Kaukah, atau siapa yang telah melihat kejadian itu?"

   "Semua orang berkata begitu. Tak mungkin mereka semua bohong,"

   Bantah si gundal pemerintah Boan.

   "Kamu, golongan pembesar, memang selalu mengatakan, bahwa Cwan Ong sangat kejam. Tetapi, sebaliknya, Cwan Ong justeru telah berjuang untuk rakyat, bersama dengan rakyat dan dipilih serta didukung oleh rakjat. Memang banyak yang telah dibunuhnya Tetapi semua itu, adalah pembesar negeri atau hartawan lalim, penindas rakyat kecil. Maksud undang-undang empat belas huruf itu, ialah untuk melarang sebawahannya bertindak sewenang-wenang lebih- lebih membunuh orang yang tidak berdosa Sependengaranku, segala perintahnya telah diturut dengan taat"

   Sebenarnya Lauw Goan Ho masih akan membantah lagi, tetapi ketika melihat, bahwa sebagian besar para hadirin menentang pendiriannya, bahkan ada yang bersikap agak keras, ia menjadi kuncup sendiri dan segera menelan kembali kata-katanya yang sudah akan diucapkan barusan./ Untuk mengalihkan perhatian orang banyak, demi keselamatan suhengnya, Him Goan Hian segera meminta Yok Lan melanjutkan ceritanya Segera Yok Lan telah melanjutkan kisah itu.

   "Setelah dapat menguasai perasaannya, si kuli berkata, Ia mengatakan, bahwa Goanswee berada di Ciok Mui Kiap, apakah maksudnya?' Si tabib mengutarakan pendapatnya, bahwa mungkin sekali kakak itu hendak mengatakan, bahwa Goanswee mereka dikubur di tempat tersebut. Sebaliknya, si pengemis mempunyai pandangan lain lagi. Menurut ia, si Rase Terbang mungkin hanya menjusta, mengingat, bahwa ia itu mempunyai banyak akal. Bahwa ia tak percaya akan kejujuran kakak angkat mereka itu memang dapat dimengerti. Bukankah, setelah meninggalnya Cwan Ong, si penghianat Gouw Sam Kwi mengirimkan jenazahnya ke kota-raja untuk mendapat hadiah besar. Bukankah kepala pahlawan itu kemudian digantung di atas pintu gerbang kota-raja untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai dan bukankah setelah menempuh beribu macam bahaya, mereka bertiga akhirnya berhasil juga merampasnya kembali untuk kemudian dikubur di suatu tebing belukar yang sangat curam dan belum pernah diinjak orang? Tak mungkin mereka percaya kata kakak itu, yang agaknya hendak memberi kesan, bahwa beliau itu berada di Ciok Mui Kiap.

   "Setelah mereka berhasil menyingkirkan kakak angkat mereka, bertiga mereka segera coba membunuh si penghianat. Tetapi kali ini, penjagaan di istana itu sudah diperkuat, sehingga sukar sekali ditembusi. Beberapa kali mereka mencoba. Tetapi setiap kali mereka menampak kegagalan. Hal meninggalnya kakak angkat mereka segera tersiar di luar dan para orang gagah, memuji mereka - yang menurut pendapat umum sudah membunuh kakak angkat yang berdosa itu, tanpa ragu-ragu demi untuk menegakkan kewibawaan kaum Kang Ouw. Ketika berita itu akhirnya sampaijuga di kuping anak si kakak angkat yang malang, pemuda ini menjadi sangat sedih dan segera berangkat ke Kun Beng untuk menuntuk balas."

   "Putera itu telah membuat kesalahan besar. Walaupun sebagai anak, ia wajib menuntut balas bagi ayahnya tetapi ia harus mengingat, bahwa kejahatan dan dosa ayahnya itu sangat besarnya. Tidak selayaknya ia harus bertindak demikian,"

   Kata Po Si, memotong cerita Yok Lan.

   "Ayahku pun berpendapat demikian. Tetapi sebaliknya jalan pemikiran pemuda itu pun punya alasan-alasannya sendiri hingga sebenarnya sukar untuk kita menetapkan salah-benarnya Setibanya di Kun Beng ia segera mencari jejak ketiga paman angkat itu, yang tak lama kemudian dijumpainya di suatu kuil rusak. Melihat kedatangan pemuda itu, tiga orang itu terkejut bukan main. Segera juga mereka sudah bertempur dengan sengit. Tak usah ditunggu terlalu lama, ketika sudah ternyata, bahwa pemuda itu benar-benar sudah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya. Bertiga mereka masih tak mampu menandinginya. Tidak sampai setengah jam, ketiga paman itu sudah digulingkan seorang demi seorang. Ketiga-tiganya sudah tidak mengharap akan dapat meninggalkan tempat itu dalam keadaan masih bernyawa. Tetapi dugaan mereka meleset jauh. Setelah mereka jatuh tidak berdaya, si pemuda bukan lantas membinasakan mereka. Sebaliknya ia berujar, 'Pamanku, ayahku telah rela menerima hinaan dan ejekan sekian lamanya Ia dituduh sebagai penjual majikan. Ia dimaki sebagai penghianat rendah yang tamak kemewahan. Tetapi, tahukah kalian bahwa ia mempunyai suatu tujuan lain yang sangat penting dan tak dapat diceritakan kepada segala orang? Suatu rahasia yang besar sekali artinya. Biarlah, mengingat, bahwa kalian adalah saudara-saudara angkat ayahku, aku tidak akan mencabut jiwa kalian. Lekas- lekaslah kalian pulang dan tunggulah kedatanganku pada tanggal 15 bulan tiga, tahun depan.' Menutup kata-katanya, ia segera merebut kembali golok kebesaran Cwan Ong yang sudah berada di tangan mereka itu dan segera berlalu."

   "Kejadian itu adalah di awal musim semi. Tanpa ayal lagi ketiga-tiganya segera berangkat pulang ke utara. Setelah tiba di rumah masing-masing, mereka segera mengumpulkan seluruh keluarga mereka dan kemudian menceritakan pengalaman mereka yang sangat hebat itu. Semua anggauta keluarga mereka menyatakan, bahwa mereka tidak bersalah, karena sebagai penjual majikan dan sebagai pelindung musuh besar mereka, si penghianat Gouw Sam Kwi, sudah sepantasnya mereka bertindak untuk menyingkirkannya. Rata-rata para anggauta keluarga itu tidak percaya, bahwa dengan segala kenyataan itu, si Rase Terbang masih mempunyai maksud/ tertentu yang sangat penting. Mereka beranggapan, bahwa putera Si Rase Terbang hanya pandai memutar lidah. Lambat laun berita itu telah tersiar luas di antara sahabat-sahabat mereka. Pada tanggal yang telah dijanjikan, sahabat-sahabat itu beramai-ramai datang di tempat mereka untuk membantu menghadapi putera si Rase Terbang. Tepat sebagai janjinya, ia telah datang."

   "Hari ini juga tanggal 15 bulan tiga!"

   Teriak Tian Ceng Bun tertahan.

   Seketika itu, semua orang menjadi kaget dan mereka juga ingat, bahwa si Rase Terbang yang harus dihadapi mereka, menurut Ie koankee, juga akan datang seorang diri untuk menuntut balas.

   Agaknya antara kisah yang diceritakan Yok Lan dan kejadian yang mereka alami hari itu walaupun berbeda waktu lebih seratus tahun ada hubungannya.

   Karena sangat ingin tahu, dengan tak sabar mereka memandang Yok Lan, menantikan ia melanjutkan pula ceritanya.

   Tetapi pada saat itu Khim Ji telah datang dengan kantong sutera dan segera diletakkannya di atas pangkuan Yok Lan.

   "Nyalakan lagi sedikit dupa?"

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perintahnya kepada pelayan itu.

   Khim Ji segera melakukan perintah itu.

   Ia membawa sebuah hiolo kecil dari batu giok putih dan meletakkannya di atas meja di samping Yok Lan.

   Segera juga segulung asap yang harum sudah memenuhi seluruh ruangan, melegakan dada semua hadirin.

   "Jika aku berada seorang diri dalam ruangan ini, kau boleh menyalakan dupa ini. Tetapi sekarang begini banyak orang, mengapa kau menyalakan yang ini?"

   Yok Lan mencomel.

   "Benar bodoh, aku,"

   Kata Khim Ji sambil tertawa dan segera masuk untuk menggantikan dupa itu.

   Sedang para pendengarnya sudah tak sabar menantikannya, Yok Lan justeru melanjutkan memberi petunjuk kepada Khim Ji.

   Kali ini ia menyuruh Khim Ji melihat apakah hiolo itu sudah betul letaknya.

   Khim Ji bersenyum lagi dan segera memindahkan hiolo itu dengan melihat jurusan angin.

   Setelah itu ia menambahkan teh di cangkir nonanya dan kemudian haru pergi.

   Karena agak mendongkol, maka semua hadirin berkata di dalam hati.

   "Percuma 'Kim Bian Hud' disebut jago yang tiada tandingannya, sedang puterinya dimanjakannya sehingga menjadi begini aleman."

   Sesaat kemudian, Yok Lan mengangkat cangkirnya, memeriksa tehnya sebentar dan meletakkannya kembali, setelah minum sedikit. Para hadirin menduga, bahwa ia akan segera melanjutkan ceritanya, tetapi ia justeru berkata.

   "Kepalaku rasanya agak pening dan aku akan mengaso sebentar. Harap paman dan saudara sekalian memaafkan."

   Semua orang di situ jadi sangat mendongkol, tetapi mereka semua tak berani mengutarakan perasaan masing-masing dan hanya saling memandang tanpa mengucapkan sesuatu.

   Agaknya, setelah tercengangnya hilang, Co Hun Ki sudah hendak mengumbar amarahnya, tetapi Tian Ceng Bun masih keburu mencegahnya dan kata-kata yang sudah berada di ambang mulutnya tak jadi keluar.

   Tak lama, sedari Yok Lan meminta diri, ia sudah keluar pula.

   Ternyata ia sudah berganti pakaian dan pupur serta yancinya sudah dicuci hilang.

   Dalam kesederhanaan itu, ia bahkan kelihatan semakin cantik.

   Khim Ji berjalan di belakangnya dengan membawa sebuah bantal tersalut kulit rase putih, yang segera diletakannya di atas kursi nonanya.

   Yok Lan duduk dengan hati-hati dan kemudian baru bersiap-siap untuk melanjutkan ceritanya.

   "Malam itu, di rumah si tabib diadakan perjamuan besar yang dihadiri ratusan orang gagah dari seluruh kalangan Kang-ouw. Dengan tenang mereka menantikan kedatangan putera si Rase Terbang. Sekian lama mereka sia-sia menantikan kedatangannya dan banyak yang sudah menduga, bahwa ia tak berani datang karena banyaknya orang gagah yang hadir di situ. Tetapi, secara mendadak, dengan terdengarnya suatu bunyi yang sangat perlahan, menjelang tengah/ malam, di antara mereka itu sudah bertambah seorang yang berdiri di atas meja utama dan tak ketahuan dari mana datangnya. Di antara ratusan hadirin, yang hampir semua terdiri dari tokoh- tokoh kenamaan, tak seorang mengetahui bagaimana dan sejak kapan ia sudah tiba. Orang itu masih sangat muda, dilihat dari mukanya, agaknya ia baru berusia duapuluh tahun lebih sedikit. Ia mengenakan pakaian berkabung dan di punggungnya diselipkan sebilah golok. Tanpa memperdulikan ratusan orang itu, ia segera menghampiri ketiga paman angkatnya. 'Paman bertiga, dapatkah aku berbicara dengan kalian di suatu tempat tersendiri?' pintanya. Sebelum ketiga orang itu dapat mengucapkan jawaban mereka, seorang tokoh Ngo Bi Pay sudah mendahului berteriak, 'Laki-laki sejati, tak suka bersembunyi. Segala apa dibicarakannya dengan terus terang dan ia tak takut didengar orang banyak. Sebagai juga ayahmu, yang menjual majikan untuk keuntungannya sendiri, kulihat kau pun bukan orang baik-baik. Samwi jangan sampai terperangkap akal-bulusnya.' Begitu ia selesai mengucapkan kata-katanya ini, segera terdengar beberapa bunyi menggapelok yang nyaring. Ternyata jago Ngo Bi Pay itu sudah ditampar enam kali, mulutnya berdarah dan sekian banyak giginya sudah rontok karenanya."

   "Peristiwa ini tentu saja sangat mengejutkan para hadirin. Mereka tak mengerti mengapa anak muda itu dapat memiliki kepandaian setinggi itu dan mengapa gerak-geriknya demikian cepat. Dalam ketakutan mereka tak berani mengucapkan sepatah kata dan begitu juga dengan tokoh Ngo Bi Pay yang jumawa tadi. Kecuali tiga adik angkat si Rase Terbang itu, tak ada yang mengetahui, bahwa kepandaian pemuda itu didapat dari ayahnya dan kecepatannya bergerak yang tak dapat dilihat ratusan orang itu adalah kepandaiannya yang istimewa dan dinamakan 'Pek Pian Kwi Eng' (Bayangan Setan yang Berubah Ratusan Kali), bahkan agaknya si anak sudah melebihi ayahnya dalam kepandaian itu."

   "Sementara itu putera si Rase Terbang sudah berbicara lagi kepada ketiga saudara angkat ayahnya. Ia mengatakan, bahwa jika ia berniat membinasakan mereka, tak usah ia melepaskan mereka di kuil kuno itu dan menunggu sehingga hari itu. Ia menambahkan bahwa soal yang akan dibicarakannya, tak boleh dibicarakan di hadapan orang banyak. Karena alasannya itu sangat masuk di akal, maka si tabib memutuskan untuk menuruti permintaannya. Berempat, mereka pergi ke suatu tempat yang sunyi. Para tamu yang ditinggalkan dalam ruangan perjamuan itu, berhenti makan-minum dan hanya saling memandang dengan membungkam."

   "Kira-kira setengah jam kemudian, keempat orang itu sudah keluar kembali. Sedang para tamu itu menunggu perkembangan selanjutnya secara tak diduga, si tabib sudah menjura kepada mereka dan mengucapkan terima kasihnya atas setia kawan mereka yang harus dipuji. Kemudian, sebelum mereka dapat membalas penghormatan itu, ia dan kedua saudara angkatnya sudah mengangkat golok masing-masing dan menggorok leher mereka sendiri. Para hadirin benar-benar terperanjat melihat perbuatan nekat itu. Mereka beramai-ramai meloncat untuk mencegah, tetapi sudah terlambat."

   "Putera si Rase Terbang berlutut di hadapan jenazah tiga paman angkatnya sebagai lazimnya seorang muda menghormati arwah sanak yang lebih tua. Setelah itu, ia segera memungut tiga buah golok paman angkatnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninggalkan ruangan tersebut. Peristiwa ini terjadinya terlalu cepat dan ketika mereka dapat menetapkan hati mereka, anak muda itu sudah berlalu jauh sekali."

   "Berbondong-bondong mereka memburu keluar untuk mengejar dan mereka saling menganjurkan supaya jangan membiarkan 'penjahat' itu lolos. Tetapi, mana dapat mereka menyusulnya. Sementara itu, di dalam ruangan tadi, putera-puteri ketiga orang yang malang itu sudah merangkul mayat ayah masing-masing sambil menangis memilukan. Ketika para tamu itu kembali mereka menanyakan kepada seluruh keluarga tiga orang itu, bahkan menanya juga para pelayan rumah itu, apa yang telah dibicarakan anak si Rase Terbang tadi sehingga berakibat demikian hebat. Tetapi tak seorang dapat memberikan keterangan. Semua orang gagah yang berkumpul di situ merasa sangat kasihan melihat putera-puteri tiga orang itu dan mereka ramai- ramai mengambil ketetapan untuk memberikan bantuan agar keturunan tiga keluarga tersebut dapat melaksanakan pembalasan sakit hati. Kegusaran di kalangan Kang Ouw yang diterbitkan karena peristiwa itu sungguh hebat. Tetapi, seperginya dari rumah si tabib, putera si Rase/ Terbang telah menghilang, entah kemana. Untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan bersama pada malam itu, maka para orang gagah kemudian mendidik putera-puteri ketiga saudara itu. Berkat didikan sekian banyak orang pandai, akhirnya para keturunan itu jadi memiliki kepandaiannya yang sangat tinggi, dan kepandaian mereka bukan terbatas pada satu macam kepandaian saja."

   Berbicara sampai di sini, Yok Lan berhenti sebentar untuk menghela napas panjang-panjang dan memandang ke sekitarnya, memandang wajah para pendengarnya. Kemudian ia melanjutkan pula.

   "Semakin tinggi kepandaian mereka, bertambah kuat pula keinginan mereka untuk menuntut balas. Benar-benar harus disesalkan, ilmu silat, sebagai juga semua ilmu, dapat mendatangkan bahagia tetapi juga dapat menerbitkan bencana."

   Yok Lan mengucapkan kata-katanya yang terakhir itu dengan penyesalan.

   Untuk berapa lama ia tak dapat meneruskan ceritanya, ia hanya memandang api di anglo dengan sikap seakan-akan terpesona ceritanya sendiri.

   Karena melihat, bahwa yang lain semua menantikan lanjutan cerita itu dengan sikap tak sabar, maka Po Si menggantikan Yok Lan meneruskan kisah itu.

   "Cara nona Biauw menceritakan kisah itu benar-benar menarik. Walaupun ia tidak menyebutkan nama-nama, tetapi kuyakin bahwa kalian tentu sudah mengerti, bahwa tiga adik angkat si Rase Terbang adalah, yang menyaru sebagai tabib she Biauw, si pengemis she Hoan dan si kuli she Tian. Sebagai tadi sudah diceritakan, kemudian keturunan tiga saudara itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan masing-masing mendirikan partai sendiri. Kepandaian keluarga Biauw yang khas, kemudian terkenal sebagai "Biauw Kee Kiam Hoat"

   Sedang keluarga Hoan meneruskan tradisi penyamaran leluhurnya dan mendirikan "Hin Han Kay Pang" (partai pengemis) dan keluarga Tian mendirikan "Thian Liong Bun"

   Yang sejak itu sehingga sekarang masih dikenal sebagai kusebutkan barusan."

   Whi Su Tiong dan In Kiat, dua tokoh utama Thian Liong Bun pada dewasa itu, dua-dua merasa sangat malu, karena dalam kedudukan mereka itu, mereka juga tidak mengetahui asal-usul partai mereka sendiri. Dalam pada itu, Po Si sudah melanjutkan pula.

   "Ketika berapa puluh tahun kemudian keturunan orang-orang she Biauw, Hoan dan Tian itu dapat menemukan putera si Rase terbang, ia ini ternyata sudah sangat tua. Kepandaiannya sudah sangat mundur dan tenaganya sudah tidak ada lagi. Karena itu, ia tak dapat menandingi mereka dan dapat didesak, sehingga harus bunuh diri juga. Demikianlah, selanjutnya, keturunan empat keluarga itu balas-membalas bergiliran selama lebih seratus tahun terakhir ini dan sepanjang masa itu, turun-menurun setiap putera keluarga itu tak dapat hidup tenteram dan hampir selalu harus menemukan kematian tidak wajar. Dengan mata-kepalaku sendiri, aku telah menyaksikan pertempuran hebat antara mereka, yang sampai pada detik ini adalah pertempuran yang terakhir."

   Yok Lan mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Po Si.

   "Taysu, kisah ini sudah kudengar dari orang lain. Tak usah kau menceritakannya lagi,"

   Katanya.

   "Tetapi sahabat-sahabat ini belum pernah mendengarnya, maka silakan kau menceritakannya kepada mereka,"

   Jawab Po Si.

   'Ah, ketika itu, setelah selesai menceritakan kisah empat pengawal Cwan Ong itu, ayahku menceritakan suatu kejadian yang sangat memilukan dan sampai sekarang, setiap kali teringat kembali, hatiku menjadi sedih.

   Kata ayahku, karena kejadian itu, ia masih membutuhkan pedangnya, yang juga harus dipelihara ketajamannya, terutama untuk membunuh seorang lagi."

   Yok Lan berhenti sebentar untuk mengatasi perasaannya. Lewat berapa lama baru ia dapat meneruskan ceritanya.

   "Yang akan kuceritakan ini, telah terjadi sepuluh tahun sebelum aku dilahirkan. Entah bagaimana nasib anak yang harus dikasihani itu, selalu aku berdoa agar ia masih hidup dan keadaannya baik senantiasa."/ Para pendengarnya menjadi bingung, mereka tak mengerti, siapa sebenarnya "anak yang harus dikasihani"

   Itu.

   Juga, apa hubungannya dengan soal mereka itu, masih merupakan suatu teka-teki sulit bagi mereka.

   Dengan penuh pengharapan mereka sebentar memandang Yok Lan dan sebentar pula memandang Po Si dengan sikap seperti minta penjelasan.

   Mendadak saja, terdengar seorang hamba yang berdiri di samping berkata dengan suara serak.

   "Nona, karena hatimu begitu mulia, tentu doamu akan terkabul, kupercaya, bahwa 'anak yang harus dikasihani' itu masih hidup dan keadaannya juga baik."

   Semua hadirin menengok ke arah suara itu.

   Mereka melihat seorang yang sudah berusia lanjut, berambut jarang tanpa lengan kanan sedang menyanggah sebuah penampan dengan tangan kirinya.

   Mukanya mengerikan karena bekas luka yang panjang, menjalur dari alis kanannya sampai di sisi kiri mulutnya.

   Melihat wajahnya, semua orang merasa heran.

   Pikir mereka;

   "Setelah terluka begitu hebat, sungguh luar-biasa, bahwa ia masih dapat hidup terus sampai hari ini. Ketika mereka masih terheran-heran memandang wajah orang itu, Yok Lan sudah mulai bercerita lagi.

   "Di samping mendoa, agar ia selamat selalu, aku juga mengharapkan, supaya ia tidak belajar ilmu silat. Aku berdoa, supaya ia sebagai aku ini, sekelumit ilmu silat pun tidak mengerti. Aku yakin, bahwa ini paling baik bagi dirinya."

   Kata-kata Yok Lan yang terakhir ini sungguh di luar dugaan para hadirin.

   Mereka jadi tercengang dan dalam kurang percaya mereka berpikir, bahwa sebagai puteri kesayangan Biauw Jin Hong, tak mungkin ia tak mengerti ilmu silat, tetapi jika melihat tindak-tanduknya yang sangat lemah-lembut, memang agaknya ia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat.

   Yok Lan agaknya dapat menerka keragu-raguan mereka.

   Maka untuk menghilangkan kesangsian orang-orang itu ia menerangkan.

   "Menurut ayahku , empat keluarga, Ouw, Biauw, Hoan dan Tian telah dapat balas-membalas selama berapa keturunan, justeru karena mereka semua pandai silat. Betapa tinggi juga kepandaian seorang anggauta keluarga itu, akhirnya ia mesti mengalami kematian yang tidak wajar. Jika sefihak harus pusing memikirkan usaha membalas sakit hati orang tuanya, fihak yang lain harus selalu berjaga-jaga dengan hati kebat- kebit, karena lambat atau lekas, tentu akan ada yang datang mencarinya, untuk menuntut balas. Tak pernah ada keturunan keluarga itu yang dapat hidup tenang sampai datang saatnya dipanggil pulang oleh Yang Kuasa. Jika, karena kepandaiannya yang sangat tinggi, ia dapat terhindar dari kebinasaan di waktu mudanya, tentu di hari-hari terakhirnya, jika usianya sudah melampaui tujuh- puluhan, akan datang seorang mencari balas. Jelaslah, bahwa karena ilmu silat, empat keluarga itu harus menderita terus-menerus sampai entah berapa turunan. Karena itu, maka ayah telah menetapkan, bahwa setelah ia, seluruh keturunan keluarga Biauw tidak boleh belajar silat pula. Biarlah, ia akan menjadi orang she Biauw terakhir yang pandai silat Kurasa kata-katanya itu sangat benar dan aku juga yakin bahwa ilmu silat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi keluarga kami."

   "Ayahku telah berpikir sempurna. Jika kelak ia harus mati terbunuh keturunan keluarga Ouw, dengan aku sebagai puteri tunggalnya tak mengerti ilmu silat, permusuhan itu dapat berakhir sampai di situ saja dan walaupun kami tidak dapat membalas sakit hati itu, kami akan dapat melanjutkan hidup kami dengan tenteram."

   "Siancay, siancay,"

   Sabda Po Si sambil merangkap kedua tangannya.

   "Biauw Tayhiap benar- benar sangat bijaksana. Kesediaannya, membiarkan Biauw Kee Kiam Hoat yang tersohor tiada taranya, menjadi musna dan lenyap setelah ia pulang ke alam baka, membuktikan, betapa luhur budinya. Ia benar-benar tiada tandingannya dalam dunia ini."

   Secara kebetulan Yok Lan menengok ke arah pelayan yang tadi telah turut mengemukakan pendapatnya itu.

   Di dalam matanya, Yok Lan melihat suatu sinar yang luar biasa dan ia menjadi heran.

   Ketika itu, sebenarnya para hadirin sedang menantikan lanjutan ceritanya dengan sikap tidak sabar.

   Tetapi bukannya ia segera meneruskan bercerita, sebaliknya ia bahkan memberi/ hormat kepada semua orang itu, meminta diri dan segera bertindak masuk meninggalkan mereka dalam ketidakpuasan.

   Tetapi, sesaat kemudian Po Si sudah mengambil-alih tugas nona itu dan ia mulai bercerita dengan menerangkan, bahwa, karena berperasaan halus, Yok Lan tentu tak dapat mengatasi perasaannya, jika ia harus menceritakan kejadian yang memilukan itu.

   "Maka, biarlah loolap yang melanjutkan cerita ini,"

   Katanya.

   "Sejak awal permusuhan itu, karena orang she Ouw itu dikutuk kalangan Kang Ouw, sebagai penjual majikan karena tamak kemewahan, maka turunannya selalu harus menempati kedudukan terpencil yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tak pernah mendapat simpati kalangan Kang Ouw, bahkan selalu mereka dianggap sebagai sampah. Betapa tinggi juga kepandaian mereka, karena dalam pertempuran sengit selalu tidak ada yang berfihak kepada mereka, dengan sendirinya mereka jadi sudah kalah angin."

   "Hanya berkat kepandaian mereka yang benar-benar tiada taranya, mereka selalu masih dapat mewujudkan cita-cita mereka. Pula hampir setiap tingkat keturunan mereka tentu mempunyai seorang yang luar biasa. Di waktu tiba saatnya ia bertindak untuk memenuhkan pesan orang tuanya, tak perduli menang-kalahnya, tentu akan terjadi banjir darah."

   "Meskipun ketiga keluarga Biauw, Hoan dan Tian berjumlah lebih banyak dan dapat menghimpun tenaga lebih besar, lagi pula mendapat dukungan seluruh kalangan Kang Ouw, walaupun mereka selalu berjaga-jaga dengan sangat telitinya, tetapi dengan kecerdikan dan kepandaian serta kesabaran mereka, anak-cucu keluarga Ouw selalu dapat membobolkan penjagaan mereka dan melaksanakan pembalasan sakit hati turun-menurun itu."

   "Setiap kali salah-satu fihak berhasil membinasakan musuhnya, golok kebesaran Cwan Ong berpindah tangan. Begitulah semasa pemerintahan Khong Hi, empat keluarga itu terus-menerus berebut golok pusaka tersebut, juga antara keluarga Biauw, Hoan dan Tian sendiri kemudian terbit percekcokan karenanya. Di masa itu, justeru di fihak keluarga Ouw muncul dua orang yang berkepandaian luar biasa tingginya. Dalam suatu pertempuran sengit, dua saudara itu telah berhasil membunuh dan melukakan dua puluh tiga orang dari fihak lawannya. Tentu saja tiga keluarga yang asalnya berdiri sefihak dan kemudian bercekcok sendiri itu menjadi sangat cemas. Adalah keluarga Tian yang kemudian berhasil mengumpulkan sokongan dari banyak sekali orang- orang Kang Ouw. Berkat bantuan mereka itu, dengan beramai-ramai mengeroyok dua saudara Ouw itu, akhirnya dapat juga dua saudara itu dibinasakan. Setelah itu, semua orang gagah dari seluruh negeri berkumpul di Lokyang untuk membentuk perserikatan dan dalam pertemuan itu pula diputuskan, bahwa selanjutnya golok pusaka tersebut akan berada di bawah penilikan keluarga Tian. Selain itu, juga ditetapkan, bahwa bila saja keluarga Ouw berani datang untuk coba merebut kembali golok tersebut, maka keluarga Tian akan mengangkat golok tersebut sebagai pertanda untuk kalangan Kang Ouw, supaya berbondong-bondong datang membantu menghadapi musuh itu, tidak perduli mereka sedang menghadapi urusan pribadi yang betapa penting juga."

   "Pertemuan itu terjadi lebih kurang seratus tahun yang lalu, dan sedikit demi sedikit, sudah mulai terlupa sehingga sekarang sudah hampir tiada yang mengetahui lagi hal ini, hanya Ciang Bun Jin dari Thian Liong Bun yang masih menganggap golok itu penting sekali. Tetapi kemudian Thian Liong Bun sendiri terpecah menjadi cabang selatan dan utara. Kabarnya, setiap sepuluh tahun sekali kedua cabang tersebut saling menggantikan menyimpan golok tersebut. Whi heng dan In heng, benarkah kabar yang loolap dengar itu?"

   "Benar,"

   Jawab Whi Su Tiong dan In Kiat hampir bersama. Po Si tertawa. Ia senang sekali, mendapat kenyataan, bahwa perkataannya benar sesuai dengan kenyataan.

   "Sebagai tadi telah kukatakan, lambat-laun orang sudah lupa akan soal sebenarnya dan karena tidak tahu, anak-murid Thian Liong Bun kemudian menganggap golok tersebut sebagai pusaka partai mereka, tanpa mengetahui asal-usulnya. Tetapi dalam suatu hal, loolap masih berada dalam kegelapan, mengenai hal ini rasanya hanya Co heng yang dapat menerangkan."/ "Soal apa?"

   Tanya Hun Ki dengan lantang.

   "Sependengaran loolap, saban kali terjadi penggantian Ciang Bun Jin, Ciang Bun Jin yang lama selalu menceritakan asal-usul golok tersebut kepada penggantinya, tetapi mengapa Co heng yang sekarang menjadi Ciang Bun Jin tak dapat menjawab pertanyaan loolap mengenai golok itu, tadi? Apakah Tian Kui Long telah melupakan kebiasaan ini?"

   Tak tahu Hun Ki, bagaimana ia harus menjawab. Seluruh mukanya menjadi merah padam dan ia sudah hampir melontarkan kata-kata keras sekena-kenanya, untuk menutup malunya Tetapi dalam pada itu Tian Ceng Bun sudah keburu menyelak.

   "Kejadian ini telah disebabkan kemalangan keluarga kami. Sebelum bisa menjelaskan hal itu kepada Co suheng, ayahku mendadak sudah keburu dicelakakan orang,"

   Katanya "Pantas, pantas. Kali ini adalah untuk kedua kalinya aku melihat golok ini. Yang pertama kali adalah duapuluh tujuh tahun yang lalu."

   Mendengar ini, Ceng Bun menarik kesimpulan, bahwa kata-kata Po Si itu tepat dengan cerita Yok Lan. Pikirnya.

   "Tadi nona Biauw mengatakan, bahwa kejadian yang menyedihkan itu telah terjadi sepuluh tahun sebelum ia dilahirkan, sedang usianya sekarang kira-kira tujuh belas tahun. Tentunya hweeshio ini telah melihat golok itu untuk pertama kalinya ketika terjadinya peristiwa yang dimaksudkan nona Biauw."

   Sementara itu, Po Si sudah meneruskan ceritanya.

   "Ketika itu, loolap belum memeluk agama dan sedang menjalankan pekerjaan tabib di desa dekat kota Congciu. Penduduk Congciu rata-rata menyukai ilmu silat, tua-muda, hampir semua laki-laki di situ tentu sudah pernah mempelajari sejurus-dua jurus ilmu silat dan ketika itu, pekerjaan loolap adalah menyembuhkan luka-luka atau keseleo terkena pukulan atau karena jatuh. Juga loolap mengerti sedikit ilmu silat ajaran guruku dahulu."

   "Karena desa itu agak terpencil letaknya dan penduduknya hanya bilang ratus orang saja, maka penghasilan loolap sebagai tabib tentu tak mencukupi untuk dapat mendirikan rumah tangga. Pada suatu malam di akhir tahun itu, loolap sedang enak tidur sendiri, ketika mendadak saja loolap dikejutkan gedoran pada pintu rumah loolap. Di luar angin sedang bertiup dengan kencangnya, perapian dalam rumah sudah lama padam, maka dapat dimengerti, jika loolap jadi segan bangun menempuh hawa sedingin waktu itu. Akan tetapi, yang menggedor pintu itu, agaknya jadi kalap dan memukul semakin keras sambil berteriak-teriak, 'Hai! Tabib, tabib! Bangun!' Kian lama gedorannya juga teriakannya semakin keras. Dari suaranya loolap tahu, bahwa orang itu tentu bukan orang setempat, lagu suaranya sebagai lagu suara Kwansay (daerah perbatasan barat). Karena kuatir, jika pintu rumahku akan hancur, maka loolap lekas-lekas mengenakan baju dan hendak membuka pintu. Tetapi sedang tanganku baru mengangkat palangnya, pintu itu sudah menjebelak karena didorong entah dihajar dengan kerasnya dari sebelah luar. Jika bukannya aku masih keburu berkelit, tentu kepalaku sudah menjadi korban dan sedikitnya sudah akan menjadi benjol."

   "Orang yang menerjang masuk itu membawa obor. Di bawah penerangan apinya, loolap melihat wajahnya yang sangat gugup. Dan ketika itu ia masih saja berteriak, 'Tabib! Tabib!' Loolap segera menanyakan, mengapa ia begitu gugup dan membangunkan diriku tengah malam buta- rata."

   "Walaupun terang-terang ia sudah melihat, bahwa loolap sudah berdiri di hadapannya, masih saja ia menjawab dengan berteriak sekuat suaranya. Katanya ada yang sakit keras dan loolap harus berangkat seketika itu juga. Kata-katanya ditutup dengan melemparkan sepotong uang perak di atas meja. Yang dilontarkannya itu berj umlah tidak kurang daripada duapuluh tahil. Selama mengobati orang-orang sedesaku, paling banyak loolap menerima upah berapa ratus bun (sen) dan seumur hidupku aku belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Loolap tentu saja menjadi sangat terperanjat tetapi juga girang. Tanpa ayal pula kubereskan uang itu dan segera berangkat mengikutinya. Selama tanya-jawab tadi aku telah memperhatikan mukanya. Di wajahnya kelihatan sifat-sifat kesatria, sikapnya agak kasar dan agaknya ia beruang, tetapi/ tingkah-lakunya pada saat itu mencerminkan kekuatirannya yang sangat besar. Agaknya ia sangat tergesa-gesa, karena sebelum loolap selesai merapikan pakaian, ia sudah mengulurkan tangannya dan menyeret loolap sambil menyambar peti obatku dengan sebelah tangannya lagi. Loolap minta perkenan untuk menutup pintu dulu, tetapi ia segera menekankan agar loolap jangan kuatir, karena apa saja yang tercuri selama kepergianku akan digantinya semua. Ternyata ia membawa loolap ke penginapan "Peng An Khek Tiam,"

   Satu-satunya penginapan di desa itu.

   Meskipun penginapan itu tidak terlalu kecil, tetapi keadaannya sangat kotor lagi gelap.

   Loolap menjadi agak heran.

   Pikirku, mengapa orang beruang sebagai ia, mau menginap di tempat seburuk itu.

   Loolap tak sempat berpikir panjang-panjang, ia sudah segera menyeret loolap ke sebuah ruangan yang terang karena banyaknya lilin yang dinyalakan di situ.

   Loolap melihat empat- lima orang laki-laki berdiri di situ, agaknya sedang menantikan kembalinya.

   Seketika melihat kembalinya dengan membawa loolap, mereka tampak girang dan segera, beramai-ramai, menghantar diriku ke sebuah ruangan di sebelah timur."

   "Begitu melangkah masuk, loolap menjadi sangat terkejut. Di atas bale-bale, loolap melihat empat orang berbaring berjajar dengan badan penuh luka-luka berdarah. Di bawah penerangan sebatang lilin yang dibawakan salah seorang itu, loolap memeriksa mereka dengan terliti dan mendapat kenyataan, bahwa mereka semua telah terluka parah. Loolap menanyakan, mengapa bisa sampai kejadian begitu, tetapi yang membawa loolap ke situ membentak dengan bengisnya, supaya loolap segera mengobati mereka tanpa banyak rewel-rewel menanyakan urusan orang lain. Alangkah galaknya orang itu. Karena kuatir membangkitkan amarah mereka yang semua juga tampak bengis, loolap segera melakukan yang diminta atau, lebih benar, yang diperintahkannya. Baru loolap selesai membalut dan mengobati mereka, orang itu sudah membentak pula, mengatakan, bahwa di kamar sebelah masih ada lagi yang harus ditolong. Juga di kamar itu terdapat orang-orang yang terluka parah, salah-seorang di antara mereka bahkan seorang wanita. Agaknya mereka telah dilukakan dengan senjata tajam. Loolap bekerja sebaik-baiknya dan tak lama kemudian sudah berhasil menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka-luka itu. Berkat obat untuk meringankan sakit, mereka sudah segera tidur nyenyak."

   "Melihat hasil pekerjaanku, orang-orang itu rupa-rupanya menjadi gembira dan sikap mereka jadi berubah, mereka memperlakukanku dengan lemah-lembut. Selain itu mereka memerintah pelayan untuk menyediakan sebuah bale-bale darurat yang dibuat dengan daun pintu, agar dengan demikian loolap dapat berada di situ dan dapat pula diminta pertolonganku setiap waktu."

   "Ketika ayam berkokok, mendadak kembali loolap dikejutkan dari tidur nyenyak. Kali ini terdengar derap kaki kuda yang ramai sekali, orang yang tadi menyambut loolap segera keluar menyambut pendatang-pendatang baru itu. Aku pura-pura tidur terus, tetapi sesaat kemudian terdengar mereka sudah bertindak masuk kembali. Aku mengintip dari belakang selimut. Agaknya, yang disambut itu adalah dua orang yang kini berjalan di depan. Dua orang itu tentu berkedudukan tinggi, karena para penyambut itu berlaku sangat hormat terhadap mereka. Hanya, anehnya, dari dua orang itu, seorang berdandan sebagai pengemis tetapi pandangan matanya sangat tajam, sedang kawannya adalah seorang yang berwajah sangat cakap dan usianya juga belum seberapa."

   "Kedua orang itu lantas saja mendekati bale-bale untuk memeriksa penderita-penderita itu. Begitu melihat kedatangan mereka, semua penderita itu segera berbangkit dengan menahan sakit. Terang sekali bahwa mereka sangat menghormati dua orang itu. Kudengar mereka menyebutkan si pengemis dengan Hoan Pangcu dan si anak muda dengan Tian siangkong."

   Po Si berhenti sebentar untuk menoleh kepada Tian Ceng Bun dan berkata.

   "Ketika itu, pertama kali aku bertemu dengan ayahmu, nona belum dilahirkan. Ayahmu berotak cerdas dan sikapnya tegas serta kecakapannya mengambil keputusan dengan cepat, benar-benar sangat mengagumkan dan sampai hari ini masih kukagumi."

   Teringat ayahnya, Ceng Bun jadi sangat sedih.

   Sementara itu Po Si sudah melanjutkan lagi ceritanya./ "Dari antara orang-orang yang tidak terluka, seorang segera menerangkan kepada dua pendatang baru itu, bahwa seorang sahabat dari keluarga Thio telah mengikuti suami-isteri yang mereka inginkan, sedari masih berada di luar Dinding Besar dan mereka sudah berani memastikannya bahwa sebuah kotak besi yang agaknya menjadi pusat perhatian benar- benar berada pada suami-isteri tersebut."

   Mendengar kata-kata "kotak besi"

   Itu, para pendengarnya lantas saja mengerti, bahwa yang dimaksudkan, tentu bukan lain daripada kotak yang diperebutkan mereka juga.

   "Aku melihat Hoan Pangcu menganggukkan kepalanya, orang yang memberikan keterangan itu lalu melanjutkan keterangannya. Ia mengatakan, bahwa ia dan rombongannya sudah menantikan suami-isteri itu di Tong Koan Tun dan di samping itu juga mengirim seorang untuk memberitahukan hal itu kepada mereka dan Biauw Tayhiap. Selanjutnya ia menceritakan, bagaimana orang yang diincar itu, sudah mencium bau lebih dahulu dan pada suatu saat, sudah menegur para penguntitnya. Ia menanyakan, untuk apa orang-orang itu terus-menerus menguntit ia dan isterinya dan apakah mereka itu orang-orang suruan Biauw Hoan Tian tiga keluarga Agaknya si orang she Thio telah menjawab membenarkan, karena orang yang diincar itu sudah segera berubah wajahnya, dan dengan sekali bertindak, sudah merampas golok si Thio toako itu. Kemudian ia mematahkan golok itu dan membuangnya sebagai sampah. Segala itu telah terjadi dalam berapa detik saja. Sebelum si Thio toako itu hilang kagetnya orang yang dikuntit itu sudah membentak, Aku tidak mau mencelakakan banyak jiwa manusia, maka enyahlah dari sini!' Melihat betapa lihaynya orang itu, kawan-kawan si Thio toako segera maju beramai-ramai sedang si orang she Thio sendiri lalu coba menendang perut isteri orang itu, yang sedang mengandung. Karena perbuatan si Thio yang sangat kelewatan, sang suami menjadi sangat gusar dan sambil mendamperat ia merebut sebilah golok pula dari tangan salah seorang penguntitnya. Dalam serintasan saja ia sudah melukakan tujuh orang. Jika tadinya ia mengatakan, bahwa ia tidak mau mencelakakan orang, pada saat itu ia berlaku sangat ganas, saking gemasnya."

   "Tian siangkong menanyakan apa lagi yang dikatakan musuh itu. Si juru bicara menerangkan, bahwa musuh itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya dalam amarahnya ia sudah hendak melukakan lebih banyak orang, tetapi isterinya telah mencegah dengan mengatakan, bahwa demi keselamatan anaknya yang belum lahir, ia harus berlaku sedikit murah. Teriakan sang isteri telah menolong sisa rombongan penguntit itu. Sang suami segera menghentikan pertempuran itu dan mematahkan golok rampasannya."

   "Mendengar cerita itu, Tian siangkong agaknya jadi ketarik. Ia berpaling kepada Hoan Pangcu, seakan-akan hendak mengetahui pendapatnya, kemudian menanyakan pula, Benarkah ia mematahkan golok itu dengan tangannya saja?' Jawab si juru bicara, 'Benar, ketika itu aku berada di sampingnya dan aku telah melihat gerakannya dengan jelas sekali.' Karena jawaban yang memastikan itu, agaknya Tian siangkong menjadi bimbang. Hoan Pangcu segera menghiburnya. Ia mengatakan, bahwa Biauw Tayhiap tentu akan dapat menandinginya."

   "Ketika itu, juru bicara tadi sudah berbicara pula. Menurut pendapatnya, dalam perjalanannya ke Kanglam, musuh mereka itu tentu akan lewat di situ dan jika Tian siangkong dan Hoan Pangcu berdua mencegatnya, musuh itu tentu tak akan terlolos. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. Wajah mereka muram dan diliputi ketegangan, dengan suara tertekan mereka berunding sambil bertindak keluar."

   "Loolap menunggu sampai mereka sudah keluar, baru loolap pura-pura mendusin dan buru- buru menggantikan obat tujuh orang itu. Di dalam hati loolap terdapat pertanyaan, siapakah orang yang disebut musuh itu. Agaknya dalam keganasannya ia berhati murah, karena, walaupun luka- luka korbannya tidak enteng, tetapi tiada seorang yang terluka di tempat berbahaya."

   "Besok harinya, di waktu senja, sedang seluruh rombongan itu menghadapi makan malam, tiba-tiba datang seorang sambil berlari-lari dan berteriak, 'Sudah datang!' Seketika itu, wajah segenap anggauta rombongan menjadi tegang. Mereka segera meletakkan sumpit masing-masing dan berlari keluar sambil melolos senjata. Diam-diam loolap juga turut keluar untuk melihat/ keramaian yang agaknya akan segera terjadi, meskipun hatiku berdebar-debar sangat keras. Rasa ingin tahuku telah menekan perasaan takut."

   "Tiba di luar, loolap melihat sebuah kereta besar tengah mendatangi dengan meninggalkan segulung debu yang mengepul tinggi. Hoan pangcu dan Tian siangkong segera memimpin orang- orang mereka maju memapaki dengan senjata terhunus. Loolap juga mengikuti mereka dari kejauhan."

   "Setelah berhadapan dengan pencegatnya, kereta itu segera berhenti. Hoan Pangcu berseru, 'Orang she Ouw, keluarlah!' Dari dalam kereta itu terdengar jawaban seseorang, 'Kamu hendak minta sedekah bukan? Baiklah, setiap pengemis kuberi satu bun!' Belum habis kumandang kata- kata itu, ketika segera terlihat sekian banyak sinar kuning berkelebat disusul dengan terdengarnya teriakan kesakitan ramai. Berturut-turut, dari antara pencegat-pencegat itu sudah roboh sekian banyaknya. Juga Hoan Pangcu dan Tian siangkong yang berkepandaian sangat tinggi tidak terluput dari timpukan musuh mereka itu. Pergelangan tangan mereka kena dihajar dan senjata mereka, sebatang tongkat dan sebilah pedang, lantas saja jatuh di tanah."

   "Tian siangkong segera mengajak Hoan Pangcu mundur. Tetapi Pangcu itu yang berkepandaian sangat tinggi, tidak menghiraukan teriakannya. Ia mengangkat tongkat bajanya dan menghampiri kawan-kawan yang telah dirobohkan lawan itu. Ia coba membuka kembali jalan darah mereka yang tertutup karena timpukan yang sangat lihay itu. Loolap sendiri ketika itu juga sedikit-banyak mengetahui hal 36 jalan darah pada tubuh manusia dan melihat gerakan Hoan Pangcu itu, loolap yakin, bahwa Ketua partai pengemis itu akan dapat membebaskan kawan-kawannya dari totokan. Sungguh di luar dugaan, bahwa segala daya-upaya itu tidak menghasilkan apa-apa. Walaupun ia sudah memijat, mengurut dan menyentil dengan asjiknya, seorang jua tak dapat ditolongnya."

   "Orang yang di dalam kereta itu agaknya melihat, bahwa Hoan Pangcu sudah kehabisan akal. Gelak tertawanya menggema lagi disertai kata-katanya mengejek, 'Dasar pengemis, satu bun masih tidak terima. Baiklah kutambahkan satu bun masing-masing lagi.' Kata-kata itu ditutup dengan datangnya timpukan segenggam uang bun lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa, sekian banyak mata uang itu menyentuh jalan darah sekian banyak korbannya tadi, yang masih menggeletak malang-melintang di tanah. 'Mati kau!' pikir loolap. Tetapi dugaanku itu meleset jauh. Benar-benar luar biasa, begitu kesentuh, serentak mereka dapat berdiri lagi dan segera, tanpa menengok, melarikan diri secepat mungkin."

   "Karena tahu, bahwa fihaknya tak akan dapat menandingi musuh itu, Tian siangkong berseru kepada orang itu, 'Orang she Ouw, hari ini kami menyerah kalah, tetapi, jika kau benar laki-laki, janganlah kabur cepat-cepat!' Seruan itu tidak dijawab dengan kata-kata oleh musuhnya, hanya dengan sebuah mata uang pula yang tepat sekali menghajar ujung pedangnya. Tenaga orang she Ouw itu benar-benar luar biasa, dengan timpukan mata uang sekecil itu ia telah dapat mementalkan pedang Tian siangkong yang lalu melayang pergi untuk kemudian menancap di tanah. Ketika Tian siangkong mengangkat tangannya, loolap melihat, bahwa tangannya berdarah."

   "Tian siangkong sendiri juga menginsyafi, bahwa lawan itu terlalu tangguh dan bersama dengan Hoan Pangcu, ia melarikan diri menyusul kawan-kawannya yang sudah lari lebih dahulu Mereka lari ke penginapan itu, kemudian mereka keluar lagi dengan menggendong kawan-kawan yang terluka. Tanpa menoleh lagi mereka mengaburkan kuda masing-masing ke selatan."

   "Tian siangkong memang pemurah, sebelum pergi ia telah menghadiahkan dua puluh tahil perak kepadaku, dan wajahnya yang tampan meninggalkan kesan baik dalam pikiranku. Kupikir, bahwa orang yang berada di dalam kereta itu tentu juga seorang jahat yang berhati kejam bagaikan serigala. Bila tidak, mengapa seorang yang begitu baik seperti Tian siangkong bisa bermusuh dengannya? Sementara itu, kereta tersebut sudah tiba di depan penginapan. Rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan rasa takutku. Ingin sekali aku mengetahui rupa orang jahat itu. Aku berdiam di belakang meja pengurus hotel dan menantikan ia melangkah masuk."

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tampak tirai kereta disingkap. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap-kokoh menampakkan diri. Sungguh bengis lagi menakutkan wajah orang itu. Kulit mukanya hitam. Janggut dan kumis/ tebal memenuhi mukanya, kaku, berdiri tegak-tegak. Rambutnya terurai kusutnya. Dalam keseluruhannya, roman orang itu membangunkan bulu-roma." 'Ah, betapa terkejut hatiku pada saat itu. Dalam benak-pikiranku terkilas, 'Dari manakah datangnya setan jahat ini?' Dalam ketakutanku, aku sudah hendak buru-buru lari pulang, tetapi, sungguh aneh, tertatap matanya yang berpengaruh, aku tak dapat berkisar dari tempatku, terpesona, termangu-mangu."

   "Di dalam hatiku, aku sudah mencaci diriku, yang tak mau siang-siang pergi. Saat itu aku sudah tak bisa menghindarinya lagi. Kakiku lemas, bagaikan terkena ilmu siluman. Sementara itu, si orang berwajah menyeramkan bertanya, 'Saudara, adakah seorang tabib di sini?' Jawab pengurus penginapan, 'Dialah tabib desa ini,' Tangannya menunjuk kepadaku."

   "Dapatkah saudara-saudara mengerti, betapa gugup aku karenanya? Buru-buru aku menggoyangkan tanganku. 'Bukan, bukan,' sangkalku terputus-putus, dan tubuhku menggigil. Orang itu tertawa. 'Jangan takut, aku tak akan menelanmu,' katanya di antara tertawanya."

   "Aku semakin ketakutan, dan coba menyangkal semakin keras, tetapi semua itu tidak menghasilkan apa-apa. 'Jika aku mau, mudah saja bagiku untuk menelan kau hidup-hidup"

   Katanya dengan nada kurang senang."

   "Tentu saja aku semakin ketakutan, tetapi ia hanya tertawa terbahak-bahak melihat sikapku. Tahulah aku, bahwa kata-katanya tadi hanya diucapkan untuk bergurau. Dengan gusar aku menggumam, 'Kurang-ajar, apakah kau mengira, bahwa aku dilahirkan untuk dijadikan bulan- bulan kelakarmu yang tidak menyenangkan?' Tetapi, tentu saja kujaga supaya ia tak mendengar kata-kataku itu."

   "Orang itu kini berpaling kepada pengurus penginapan. Ia minta disediakan kamar kelas satu dan yang terbersih. Selain itu ia minta dicarikan dukun beranak, karena menurut katanya, isterinya akan melahirkan. Kemudian ia mengatakan kepadaku, supaya aku tetap di situ, karena mungkin sekali tenagaku akan dibutuhkan. Ia kuatir, jika isterinya telah terperanjat karena kejadian tadi, sehingga mungkin akan sukar melahirkan." 'Aku mendapat kesan, bahwa pengurus penginapan sebenarnya berkeberatan, jika isteri orang itu melahirkan di penginapannya, tetapi, agaknya sebagai juga aku, ia jeri melihat wajah orang itu yang demikian bengis. Ia tak menolak, tetapi ia lekas-lekas memberitahukan, bahwa dukun beranak di desa itu telah meninggal dunia berapa hari sebelumnya."

   "Semakin menyeramkan wajah orang itu, demi mendengar keterangan si pengurus rumah penginapan. Ia mengeluarkan sepotong uang perak. Diletakkannya uang itu di atas meja dan ia menyuruh si pengurus penginapan mencarikannya dukun beranak di tempat lain, lebih cepat lebih baik." 'Aku membelalakan mataku, dan berpikir keheran-heranan, mengapa dalam sehari itu aku bisa berjumpa dengan demikian banyak orang-orang royal yang bagaikan menganggap uang tiada harganya. Melihat uangnya, dalam hatiku aku sudah mengambil ketetapan akan menyediakan tenagaku untuknya."

   "Uangnya memang sangat membangkitkan selera. Juga pengurus serta para pelayan penginapan segera melakukan segala perintahnya dengan suka hati. Sebentar saja, kamar yang dipesannya sudah selesai disiapkan, dan laki-laki yang berwajah seperti setan jahat itu segera menurunkan isterinya dari kereta tersebut. Seluruh tubuh wanita itu terbungkus rapat-rapat dengan sehelai selimut kulit, tetapi wajahnya yang cantik tampak jelas, menyolok sekali di samping wajah suaminya yang sangat menyeramkan, ibarat Thio Hui beristerikan Tiauw Sian."

   "Besar sekali keherananku. Dalam hatiku aku berkata, bahwa wanita itu tentu telah dipaksa kawin dengan laki-laki ini. Jika bukannya karena dipaksa, menurut anggapanku tak mungkin ia mau menikah dengan suami yang begitu buruk tampangnya. Aku membandingkannya dengan Tian siangkong, dan kesimpulanku adalah, bahwa wanita itu lebih sesuai menjadi isteri orang she Tian itu."/ "Tiba-tiba terkilas dalam pikiranku, bahwa wanita itu tentu yang menjadi sebab permusuhan antara Tian siangkong dengan orang menakutkan ini. Mungkin sekali si pria buruk telah merebutnya dari tangan Tian siangkong, mungkin sekali wanita itu asalnya memang isteri Tian siangkong."

   "Tengah hari lewat sedikit, kulit wanita itu berkeringat karena menahan sakit, dan mulutnya tiada hentinya merintih. Pelayan yang disuruh mencari dukun beranak belum juga kembali. Si setan jahat tampak semakin gelisah. Ia menjadi sibuk sendiri. Ia sudah hendak pergi mencari dukun sendiri, tetapi isterinya tak mau ditinggalkannya seorang diri."

   "Lama sekali mereka menunggu, tetapi pelayan yang pergi mencari dukun itu tak juga muncul. Penderitaan wanita itu sudah semakin hebat. Agaknya, bayinya sudah tak bisa bersabar lagi. Maka si setan jahat tampak semakin menyeramkan dalam puncak kerisauannya, ia segera menyuruh aku yang menolong isterinya melahirkan. Saudara-saudara, coba kalian pikir, pantaskah permintaannya itu? Pantaskah aku melakukan, pekerjaan dukun beranak? Oleh sebab itu, tentu saja aku menolak keras-keras, karena aku yakin, bahwa aku akan bernasib malang sepanjang sisa hidupku, jika pekerjaan itu kulakukan juga."

   "Si setan tak mau menerima penolakanku. Ia segera mengeluarkan dua ratus tahil perak dari sakunya dan menjanjikannya sebagai hadiahku, jika aku mau menurut perintahnya. Selain memancing diriku dengan uang, ia juga memperlihatkan nasib apa yang akan kualami, jika aku tetap menolak. Perlahan-lahan ia. menepuk sudut meja, yang seketika itu juga sudah somplak sebagian. Dua contoh itu tentu saja hanya dapat memberikan ilham semacam kepadaku, yakni menurut perintahnya. Bagiku sudah tak ada jalan tengah, aku harus kehilangan jiwa serta uang sebanyak itu, atau aku bisa hidup terus dengan memiliki harta sebanyak belum pernah kupegang selama hidupku. Saudara-saudara tentu juga mengerti, bahwa aku segera mengambil keputusan, betapa pun takutku akan menjadi sial untuk selama-lamanya."

   "Demikianlah, aku telah melakukan pekerjaan dukun beranak dan menolong nyonya itu melahirkan seorang bayi yang montok-sehat. Walaupun baru dilahirkan, tangis bayi itu sangat nyaringnya. Seluruh wajahnya berbulu, dan matanya juga membelalak lebar-lebar. Romannya benar-benar mirip dengan roman ayahnya, sehingga aku berkeyakinan, bahwa setelah dewasa anak itu tentu juga akan sejahat ayahnya."

   "Sedang aku memikirkan segala itu, si setan jahat tampak kegirangan. Dengan wajah berseri- seri diberikannya kepadaku dua ratus tahil perak bagaikan uang itu tidak ada harganya. Juga isterinya memberikan hadiah kepadaku, serenceng uang emas yang harganya tak di bawah harga pemberian suaminya. Agaknya, mereka benar-benar merasa berbahagia, bahwa mereka telah memperoleh seorang putera yang sehat. Si setan bahkan segera melangkah keluar dengan membawa penampan yang berisikan uang perak untuk membagi-bagikan hadiah kepada semua pegawai penginapan."

   "Bagaikan semua itu dirasakannya belum cukup untuk merayakan kelahiran puteranya, si setan jahat kemudian mengajak semua orang makan-minum sepuasnya. Tanpa memilih bulu, semua orang yang kebetulan berada di situ, diajaknya serta dalam pesta itu, kuasa penginapan, orang yang kebetulan lewat dan semua kacung dan tukang sapu diundangnya hadir."

   "Semua orang menjadi girang sekali, tak ada yang tidak menghormatinya sekarang. Setelah mengetahui, bahwa ia she Ouw, semua orang memanggilnya 'Ouw toaya' (tuan besar Ouw.) Tetapi ia segera berkata, 'Benar aku she Ouw, dan sepanjang masa hidupku, jika aku menemukan suatu kejadian tak adil, aku segera turun tangan membereskan ketidakadilan itu dengan bacokan golokku. Setiap kali, satu bacokan sudah cukup, maka orang menyebutkan aku dengan 'It To' (Sekali Tabas). Aku juga asalnya orang miskin. Uang yang kumiliki sekarang juga kudapatkan dengan jalan mengambil alih sebagian dari kekayaan kaum kaya yang jahat. Sebagai perampok aku tentu tak pantas disebut toaya, maka sebutlah saja 'Ouw toako'. Sebagai telah kuceritakan, sedari saat pertama aku sudah yakin, bahwa ia bukannya seorang baik-baik. Dengan perkataannya sudah terbuktilah sangkaku itu."/ "Meskipun ia sendiri yang telah memintanya, tak seorang berani menyebutnya dengan Ouw toako. Baru setelah ia mendesak berulang-ulang, dan setelah keberanian para hadirin dibangkitkan oleh berapa cawan arak, semua menyebutnya dengan Ouw toako, sesuai dengan pintanya Semakin lama semakin riang suasana pesta itu."

   "Malam itu aku tak diijinkan pulang, dan harus menemaninya minum arak terus. Yang lain, semua sudah rebah, hanya aku yang masih bisa melayaninya minum semangkok demi semangkok. Sungguh menakjubkan kekuatannya minum arak. Semakin lama, ia bahkan semakin gembira, sehingga akhirnya ia membawa puteranya yang baru dilahirkan itu keluar."

   "Ia kembali ke tempat duduknya dan mencelupkan pada bibir bayi itu. Aku membelalakkan mataku, karena bayi itu segera menghisap jari ayahnya dengan nikmat sekali. Sungguh mengherankan, bahwa bayi yang baru berusia sehari sudah suka minum arak. Si setan jahat sebaliknya tambah semakin gembira dan segera mengulangi perbuatannya, sedang si bayi juga semakin asjik menghisap setiap kali jari ayahnya tiba di bibirnya. Benar-benar anak setan arak yang kelak akan menjadi setan arak juga."

   "Tiba-tiba dari arah selatan terdengar derap kaki kuda yang riuh. Agaknya, tak kurang dari dua- tiga puluh penunggang kuda yang datang ke arah mereka. Tak lama pula, tindakan-tindakan kuda itu berhenti di muka penginapan tersebut. Segera juga pintu penginapan sudah digedor keras- keras. Kuasa penginapan sudah mulai agak sadar kembali. Ia lekas-lekas berbangkit dan berjalan terhuyung-huyung membukakan pintu."

   "Berapa puluh laki-laki bersenjata lengkap serentak muncul di ambang pintu. Mereka tak segera masuk dan berdiam diri saja. Salah seorang di antara mereka kemudian melangkah masuk dan duduk di sebuah meja di dekat pintu. Sebuah bungkusan kuning diturunkan dari punggungnya ke atas meja Bungkusan itu bertuliskan tujuh buah huruf yang terbaca, 'Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu'."

   Demi mendengar Po Si menyebutkan bungkusan pendatang baru dalam ceritanya itu, semua pendengarnya serentak mengalihkan pandangan mata masing-masing ke arah papan yang digantungkan dalam ruang itu. Tetapi segera juga Po Si sudah melanjutkan ceritanya.

   "Kesukaan Biauw Tayhiap memakai gelar temberang itu, sekarang kuanggap sebagai kebiasaan memandang rendah kepada orang lain, tetapi malam itu aku terkejut bukan main. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tubuhnya tinggi kurus, kulit mukanya kuning-pucat, mirip dengan warna kulit seorang yang berpenyakitan. Sepasang tangannya lebar tetapi kurus, ibarat sepasang kipas rusak yang tinggal tulang-tulangnya saja. Ketika itu, aku belum tahu siapa namanya, tetapi gelarnya yang dituliskan pada bungkusannya sudah cukup mengecutkan."

   "Jika aku terperanjat dan memperhatikan kejadian itu, Ouw It To tampak sebagai juga tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menghiraukan kedatangan sekian banyak orang itu. Di fihak lain, juga Biauw Tayhiap tak mengucapkan sepatah kata, tetapi semua pengikutnya memperlihatkan pandangan penuh amarah kepada Ouw It To, yang masih terus memberikan arak kepada puteranya dengan asyiknya Setiap kali bayi itu sudah mengeringkan arak yang melekat pada jarinya, ia sendiri minum secawan. Tanpa memperhatikan, orang tak akan tahu, bahwa suasana dalam ruangan itu sudah tegang sekali, tetapi aku telah melihat segala apa, dan hatiku berdebar-debar dengan kerasnya. Kesunyian itu menambah ketegangan. Setiap saat salah seorang bisa mulai menyerang dan jika sudah demikian, pertempuran tentu sudah tak dapat dilakkan lagi."

   "Demikianlah sekian lama kedua orang itu hanya duduk diam di tempat masing-masing. Semakin lama kesunyian itu semakin menekan perasaan orang, dan sudah berulang kali, dalam khayalku, aku membayangkan, bagaimana salah seorang meloncat ke arah lawannya bagaikan seekor harimau menerkam mangsanya. Tiba-tiba kesunyian itu dipecalikan panggilan wanita itu dari dalam. Bayi itu seketika memperdengarkan tangisnya yang nyaring."

   "Seketika mendengar dua suara itu, tangan Ouw It To tampak bergetar mangkuk arak di tangannya jatuh, pecah berentakan di lantai. Wajahnya juga berubah. la segera berbangkit/ dengan memeluk bayinya. Biauw Tayhiap tertawa mengejek dan segera melangkah keluar tanpa mengucapkan sepatah kata. Orang-orangnya juga turut meninggalkan ruangan itu. Sesaat terdengar derap kaki kuda mereka yang riuh, dan kemudian semua sunyi kembali."

   "Semula kuduga, bahwa suatu pertempuran sengit tentu sudah tak akan dapat dihindarkan lagi, tetapi ternyata hanya karena tangis bayi itu, mereka jadi berpisah dengan begitu saja. Juga semua orang benar-benar tidak mengerti."

   "Sementara itu, Ouw It To telah masuk ke dalam kamar dengan puteranya. Kudendar isterinya menanyakan siapa yang baru berbicara dengannya. Ouw It To mengatakan, bahwa mereka hanya berapa penjahat kecil saja, yang sedikit pun tak usah ditakuti, dan ia menganjurkan supaya isterinya tidur saja dengan tenang. Sang isteri menghela napas dan berkata, bahwa ia sudah tahu, jika yang datang itu adalah Biauw Tayhiap. Kudengar pula, bagaimana Ouw It To coba membantah, dan bagaimana kemudian isterinya mengutarakan pendapatnya, bahwa jika bukan 'Kim Bian Hud' yang datang, sungguh mustahil, bahwa suara Ouw It To akan bergetar dan wajahnya tampak kuatir."

   "Ouw It To agaknya tak dapat menjawab atau menyangkal lebih jauh. Katanya kemudian sambil menghela napas, bahwa jika isterinya itu sudah tahu, tak dapat ia mengatakan suatu apa lagi dan selanjutnya ia berkata, bahwa ia juga tak takut kepada jago yang tiada tandingannya itu. Isterinya ternyata juga sangat berani, dan menganjurkan sang suami supaya menetapkan hatinya, karena, bila sajakarena mengingat isteri dan anaknya Ouw It To menjadi ragu-ragu, kedudukannya akan tidak menguntungkan jika kelak berhadapan dengan Biauw Jin Hong, bahkan mungkin sekali ia akan kalah."

   "Kudengar Ouw It To menghela napas lagi dan berkata, bahwa selamanya ia tak pernah takut kepada siapa juga, tetapi sungguh mengecewakan, bahwa malam itu ia menjadi agak jeri juga, entah karena apa. Ia mengakui pula, bahwa tadi, ketika 'Kim Bian Hud' meletakkan bungkusannya di atas meja dan melirik ke arah puteranya, ia jadi ketakutan dan sekujur badannya menjadi basah berkeringat. Ia membenarkan pendapat isterinya, bahwa ia memang telah menjadi takut kepada 'Kim Bian Hud'."

   "Isterinya coba menghiburnya dengan mengatakan, bahwa ketakutan Ouw It To itu bukannya ketakutan wajar, tetapi karena kuatir, jika puteranya akan dicelakakan lawannya. Terdengar jawab Ouw It To dengan suara ragu-ragu, bahwa ia tidak percaya, jika 'Kim Bian Hud' yang tersohor sebagai pendekar akan berlaku demikian keji, mencelakakan seorang wanita atau anak orok. Dari nada suaranya dapat diketahui, bahwa ia kurang yakin akan dapat menandingi lawannya. Tiba-tiba di dalam hatiku timbul rasa kasihan. Beda dengan rupa wajahnya, ternyata hati Ouw It To agak lemah."

   "Dalam pada itu, isterinya menganjurkan supaya Ouw It To membawa lari putera mereka itu ke utara, sedang dia sendiri kelak, bila sudah kuat, akan menyusul. Nada suaranya mengesankan kasih sayangnya yang besar sekali. Ouw It To tentu saja tak mau menyetujui saran isterinya. Ia berkata, bahwa daripada harus meninggalkan isterinya menghadapi bahaya seorang diri saja, lebih baik mereka sama-sama berdiam di situ, dan jika harus mati, mati juga bersama."

   "Isterinya menyesal sekali, bahwa tadinya ia telah merintangi maksud sang suami untuk pergi ke Kanglam, menantang 'Kim Bian Hud'. Jika tahu, akan terjadi demikian, lebih baik ia membiarkannya mencari 'Kim Bian Hud' ketika itu, ketika ia masih bebas."

   "Menurut Ouw It To, hari itu juga ia belum tentu kalah, hanya suaranya kurang meyakinkan. Agaknya, di dalam hatinya ia sendiri kurang percaya kepada perkataannya. Walaupun teraling dinding yang agak tebal, kudengar jelas-jelas, bahwa suaranya tergetar."

   "Tiba-tiba kudengar isterinya minta Ouw It To berjanji sesuatu kepadanya, dan ketika sang suami menanyakan apa yang harus dijanjinya, ia segera membentangkan maksud-nya, supaya menerangkan kedudukannya di waktu itu kepada 'Kim Bian Hud' secara terus-terang dan minta ia itu berlaku murah"/ "Ouw It To mengatakan, bahwa ia juga sudah berpikir begitu ketika melihat 'Kim Bian Hud' tadi, tetapi ia merasa, bahwa jika ia sendiri yang berbicara, agaknya sukar sekali berhasil, maka ia menyarankan untuk mengutus seorang lain saja. Sang isteri menyarankan aku, si tabib, yang dikatakannya cukup pintar dan menurut pendapatnya tentu bisa disuruh melakukan tugas itu."

   "Ouw It To kurang setuju, karena menurut pendapatnya, aku terlalu tamak, sehingga tak bisa dipercaya. Menurut isterinya, justeru karena sifat itu, jika dijanjikan hadiah yang besar, aku tentu akan berusaha melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Sungguh tepat kata mereka. Ketika itu, aku memang sangat tamak. Untuk memperoleh hadiah besar, tentu saja aku bersedia melakukan apa saja. Memang demikian sifatku di masa muda."

   "Demikian kemudian terjadinya. Setelah mereka berunding lagi sebentar, keluarlah Ouw It To untuk memanggil aku. Ia menyuruh aku besoknya pagi-pagi datang untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Biauw Tayhiap. Tanpa sangsi aku segera memberikan kesanggupan untuk melakukan tugas, yang menurut pendapatku, sama-sekali tak ada kesukarannya."

   "Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tibalah seorang pembawa surat Biauw Tayhiap untuk Ouw It To. Kudengar nyonya Ouw membacakan isinya, yakni tantangan untuk bertempur dan Biauw Tayhiap menyilakan Ouw It To memilih saatnya. Ouw It To segera menulis balasannya dan menyuruh aku turut pada pembawa surat Biauw Tayhiap untuk menyampaikannya."

   "Aku meminjam seekor kuda dan segera mengikuti pembawa surat itu. Tiga puluh li lebih kami berjalan ke arah selatan. Di sebuah rumah besar aku berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Juga Hoan Pangcu dan Tian siangkong berada di situ. Di samping mereka, kulihat banyak orang, laki- perempuan, toosu, hweeshio, nikouw dan lain-lain lagi."

   "Setelah surat itu dibaca, berkatalah Tian siangkong, bahwa mereka tak usah menantikan Ouw It To memilih hari lagi, dan sebaiknya mereka semua berangkat besoknya. Kepadaku ia berpesan, supaya Ouw It To siang-siang menyediakan tiga buah peti mati. Katanya, agar mereka tak usah berabe lagi nantinya."

   "Semua pengalamanku itu kusampaikan kepada Ouw It To suami-isteri. Tadinya kusangka, bahwa mereka tentu akan mencaci lawan-lawan itu sebagai orang-orang yang tak berprikemanusiaan. Ternyata tak demikian jadinya, mereka hanya saling memandang tanpa mengucapkan sepatah kata. Kemudian, keduanya hanya memperhatikan anak mereka dengan cinta yang berlimpa-limpa, mungkin karena sudah yakin, bahwa ajal mereka sudah di depan mata, dan dalam berapa waktu sisa hidup mereka itu, mereka hendak memberikan semua yang dapat diberikan."

   "Sepanjang malam itu aku tak dapat tidur tenang. Rupa-rupa mimpi buruk selalu datang mengganggu. Sebentar aku bermimpi, bagaimana Ouw It To membunuh Biauw Tayhiap. Sesaat pula, dalam mimpiku aku melihat, bagaimana Biauw Tayhiap membunuh orang she Ouw itu, atau tiba-tiba aku bermimpi, bahwa mereka berbalik hendak membunuhku. Lewat tengah malam, mungkin juga sudah menjelang pagi, tiba-tiba aku terjaga. Aku mendengar tangis seseorang dari balik dinding. Setelah kuperhatikan, aku mendapat kenyataan, bahwa yang kudengar itu adalah tangis Ouw It To. Sungguh tak kuduga, bahwa seorang yang berwajah begitu menyeramkan, lagi gagah perkasa juga bisa menangis, bahkan menangis begitu memilukan." 'Aku menganggap, bahwa ia takut mati, dan seketika itu pandanganku terhadapnya merosot. Kuanggap ia tak punya guna. Tetapi sesaat kemudian tahulah aku, bahwa ia menangisi nasib anaknya, yang dikatakannya sungguh malang, bahwa sekecil itu, ia sudah akan kehilangan ayahnya. Di antara tangisnya, aku mendengar ia berkata, 'Siapakah yang akan menyayangmu kelak?' Meskipun tadinya aku telah memakinya sebagai pengecut, lama-lama aku merasa kasihan juga, bahkan akhirnya aku mengagumi cintanya kepada anaknya. Sungguh tak kusangka, bahwa seorang kasar sebagainya bisa menyinta begitu mesra."

   "Terdengar isterinya menghiburnya, bahwa jika Ouw It To tewas di bawah senjata Biauw Tayhiap, ia yakin, bahwa ia sendiri tidak akan turut tewas, sehingga anak mereka tak akan terlantar. Sungguh besar makna kata-kata isterinya itu. Ouw It To menjadi girang dan/ semangatnya bangkit kembali. Suaranya sudah tidak bergetar lagi, ketika ia berkata, bahwa hatinya menjadi lega, karena ia tak usah kuatir, jika anaknya akan tanpa pelindung. Dengan nada tetap, dikatakannya, bahwa ia akan bisa bertempur dengan hati tenang, bahkan dengan gembira, mengingat bahwa lawan yang harus dihadapinya adalah seorang jago yang tiada tandingannya di dunia."

   "Saat itu aku sudah heran, tetapi lebih heran pula aku ketika kemudian aku mendengar ia tertawa terbahak-bahak, dan berkata, 'Moay Cu, mati tak sukar, bahkan membebaskan seseorang dari segala kesulitan. Tetapi kau yang akan hidup terus, tentu akan menemukan tak sedikit kesukaran dan kesengsaraan. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan kau seorang diri.' Njonya Ouw menjawab, bahwa dengan mengasuh anak mereka, ia tentu akan terhibur. Ia berjanji untuk mendidik anak itu supaya menjadi seorang pahlawan, seorang pahlawan sebagai juga bapaknya, yang selalu berusaha untuk membebaskan rakyat dari tindakan segala pembesar korup, hartawan jahat dan para buaya darat."

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo


Naga Kemala Putih -- Gu Long Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Lentera Maut -- Khu Lung

Cari Blog Ini