Bentrok Para Pendekar 4
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 4
Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long
"Trang", benda keras beradu, suaranya sungguh keras memekakkan telinga. Golok yang tajam luar biasa itu ternyata tidak mampu membelah kecapi, malah mental balik dengan getaran yang keras luar biasa. Meminjam getaran keras beradunya dua senjata itu, tubuh Siau Cap-it Long justru membal ke atas, di udara ia berjumpalitan meluncur sejauh empat tombak. Didengarnya Hamwan Sam-soat bergelak tertawa.
"Siau Cap-it Long, akhirnya kau meningalkan setitik darahmu di sini."
Hanya sekejap Siau Cap-it Long sudah meluncur belasan tombak, serunya.
"Darahku itu akan kubalas dengan darahmu juga."
Cepat sakali darah membeku.
Entah bagaimana dan darimana di bawah ketiak kiri Siau Cap-it Long tergores luka sepanjang tujuh delapan senti.
Lukanya tidak sakit, tidak terasa apa-apa.
Namun hati Siau Cap-it Long mencelos, perasaannya menjadi dingin.
Luka yang tidak sakit adalah luka yang berbahaya.
Tanpa sangsi goloknya bekerja, segumpal kulit daging di ketiak kirinya ia iris dengan golok, darah berhambur keluar dengan deras.
Sekarang baru luka terasa sakit lagi perih.
Tanpa melihat atau memeriksa, juga tidak dibalut, ia biarkan darah terus mengalir keluar.
Sebab Hong Si-nio perlu segera diberi pertolongan.
Waktu tongkat-tongkat patah itu menyemburkan asap, Hong Si-nio sempat menghirup sedikit hawa beracun.
Siau Cap-it Long sempat menutup jalan napasnya, meski cepat reaksinya, Hong Si-nio tetap keracunan.
Waktu Siau Cap-it Long menariknya tadi ia sudah merasakan badan orang yang lunglai, maka tanpa sangsi ia mengempitnya untuk menyingkir dari tempat itu.
Kini terasa badannya sudah mulai mengejang, mulai dingin.
Selebar mukanya sudah membeku kelabu.
Hong Si-nio tidak boleh mati.
Dengan cara apapun Siau Cap-it Long harus berusaha menolong jiwanya.
* * * * * Gedung yang besar lagi megah itu sepi lengang, api menyala benderang, namun tiada suara orang, sebab rumah ini kosong, tiada penghuninya.
Gedung ini sudah ia beli, umpama ia tidak berada di rumah, biasanya ditunggu dan dijaga belasan laki perempuan yang menjadi pembantunya.
Bukankah tadi Pin-pin bilang mau pulang dulu.
Dimana dia sekarang, satu orang pun tidak kelihatan, lalu dimana Pin-pin? Pin-pin pasti menunggunya di sini, tak mungkin dia pergi sendiri.
Kembali perasaan Siau Cap-it Long tenggelam.
Untunglah untuk menyembuhkan racun di badan Pin-pin.
ia melanglang buana mencari tabib sakti, walau ia tidak tahu racun jenis apa yang digunakan dalam asap beracun musuh, namun sifat racun asap ini rasanya tidak jauh berbeda dengan racun yang mengeram di tubuh Pin-pin.
Di gedung dimana ia merawat Pin-pin selama ini banyak disimpan berbagai jenis obat.
Lekas sekali ia bopong Hong Si-nio ke kamar dan membaringkannya di ranjang.
Lekas ia membuka laci di almari bawah ranjang Pin-pin, seketika ia berdiri melongo dan menjublek mematung, badannya seketika berkeringat dingin seperti terjeblos dalam gudang es.
Seluruh racikan obat yang tersimpan dalam laci-laci obat di sini seluruhnya kosong.
Rencana yang rapi, akal yang licik dan langkah yang tegas.
Selama ini Siau Cap-it Long adalah pemuda yang gagah, kukuh dan tabah, menghadapi bahaya dan kesulitan apapun tak pernah mengeluh, ia yakin dapat mengatasi dan pasti beres.
Kini ia menjublek seperti orang pikun, melenggong di pinggir ranjang, dengan nanar ia mengawasi Hong Sinio.
Membawanya lari mencari tabib untuk menyembuhkan? Atau meluruk Hamwan Sam-coat minta obat pemunahnya? Mencari tabib untuk mengobati tidak yakin dapat berhasil, karena tabib itu belum tentu punya obat pemunah racun dari jenis ini? Umpama ketemu tabib pandai, apa masih sempat menolongnya? Mencari Hamwan Sam-coat, apa dia masih di tempat itu? Apakah mau memberikan obat pemunahnya? Kalau orang menolak memberi, apakah Siau Cap-it Long yakin dapat memaksanya menyerahkan obatnya? Tidak tahu.
Samua tidak tahu, pikiran Siau Cap-it Long kalut, gundah perasaan, salah langkah berarti jiwa Hong Si-nio taruhahnya, betapapun ia tidak berani menyerempet bahaya.
Lalu apakah ia harus berdiri mematung di sini menunggu ajalnya tiba? Mendadak Siau Cap-it Long sadar, keringat dingin telah membuat sekujur badannya basah kuyup, ia sadar kini saatnya harus segera mengambil keputusan, bukan saja harus tegas mengambil keputusan, keputusan yang cepat lagi tepat.
Tapi Siau Cap-it Long tidak yakin, tidak punya keyakinan sedikitpun.
Mungkin karena ia amat memperhatikan keadaan Hong Si-nio.
Kalau di samping ada seorang yang bisa memberi saran dan usul yang baik, mungkin bisa membantunya mengambil keputusan.
Pada saat itulah di luar ia dengar seorang mengetuk pintu.
Apakah Pin-pin? Mungkinkah Pin-pin pulang? Dengan beringas Siau Cap-it Long memburu keluar, dengan keras ia buka pintu, kembali ia melenggong.
Seseorang berdiri di luar pintu, berdiri dengan sopan dan hormat.
Siapa lagi kalau bukan Hamwan Samseng.
Hamwan Sam-seng mengulum senyum, senyum lebar, senyum ramah dan hormat, senyum tulus, mirip pedagang yang siap datang memborong dagangan.
Membesi muka Siau Cap-it Long, desisnya dingin.
"Tak nyana berani kau datang kemari?"
Jari-jarinya tergenggam kencang, sedikit lagi siap menghajar dengan tinjunya. Hamwan Sam-seng mundur dua langkah, katanya dengan tertawa lebar.
"Aku datang bukan untuk berkelahi, Maksud kedatanganku baik, ingin membantu."
"Bermaksud baik? Manusia macammu punya itikad baik?"
Damprat Siau Cap-it Long.
"Terhadap orang lain mungkin tidak, terhadap kalian berdua ...."
Dari pundak Siau Cap-it Long ia melongok ke dalam mengawasi Hong Si-nio yang rebah di ranjang, sikapnya prihatin dan menguatirkan keadaannya, katanya setelah menghela napas.
"Terus terang aku tidak menyangka, engkohku yang tidak kenal kasihan tega turun tangan sekejam ini padamu."
Mencorong bola mata Siau Cap it Long.
"Jadi Hamwan Sam-coat adalah saudara kandungmu?"
Hamwan Sam-seng memanggut, tawanya getir.
"Tapi aku bukan orang yang telengas seperti dia."
Siau Cap-it Long amat gemas, sungguh ingin menggenjotnya remuk, terhadap manusia munafik yang durjana ini, sungguh ia kehabisan akal.
Tapi ia sadar dan mengerti, dalam kondisi sekarang untuk menolong jiwa Hong Si-nio, segalanya harus pasrah kepada orang ini.
"Kedatanganmu hendak menolong orang?"
Tanya Siau Cap-it Long. Hamwan Sam-seng manggut-manggut.
"Kau mampu menolongnya?"
Desak Siau Cap-it Long. Hamwan Sam-seng tertawa lebar.
"Kami bersaudara jarang bertemu, umpama kumpul juga tidak pernah bicara, maklum tabiat kami berbeda, kegemaran tidak sama."
"Dalam hal apa saja kalian tidak sama?"
"Dia suka membunuh orang, sebaliknya aku suka menolong orang. Siapa yang ingin dia bunuh, aku berusaha menolongnya."
Mendadak Siau Cap-it Long tertawa, tertawa lebar dan riang.
"Kelihatannya kau lebih pintar dari dia. Membunuh orang jelas tidak menguntungkan bagi diri sendiri, tapi menolong orang banyak manfaatnya."
Hamwan Sam-seng bertepuk tangan, serunya.
"Ucapan tuan sungguh tepat, tuan mengerti hatiku."
Siau Cap-it Long menarik muka, desisnya kereng.
"Untuk kali ini, keuntungan apa yang kau minta?"
"Manfaat apapun aku tidak mau, hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
"Kalau kau menanam pohon, kalau pohon itu berbuah, milik siapa buahnya itu?"
"Jelas milikku."
"Betul, jelas menjadi milikmu. Sebab kalau kau tidak menanam pohon, bahwasanya memang tiada buah."
Berubah pula air muka Siau Cap-it Long, tapi ia mengerti apa yang dimaksud Hamwan Sam-seng. Maka Hamwan Sam-seng melanjutkan.
"Kondisinya sekarang sudah mirip orang mati, kalau aku dapat menolongnya, berarti akulah ayah-bunda yang menghidupkannya kembali, maka mati hidupnya jelas akan menjadi urusanku."
"Kentutmu busuk!"
Damprat Siau Cap-it Long murka.
"Eeh, jangan marah. Jual beli batal hubungan tetap baik, umpama tidak setuju, tak perlu kau marah besar kepadaku."
Sampai di sini ia menyurut dua langkah sambil bersoja.
"Baiklah Cayhe mohon diri."
Habis bicara ia putar badan terus melangkah pergi. Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak membiarkannya pergi. Sekali lompat ia cegat jalan mundur orang. Tawar suara Hamwan Sam-seng.
"Tuan tidak mengizinkan aku menolong dia, terpaksa aku mohon diri, kenapa tuan menghalangi aku?"
"Kau harus menolongnya,"
Bentak Siau Cap-it Long.
"Aku tahu tuan punya kemampuan luar biasa,"
Demikian ujar Hamwan Sam-seng.
"kalau aku dipaksa menolong dia, aku tidak mampu melawan, hanya saja menolong orang berbada dengan membunuh orang."
"Dalam hal apa berbeda?"
"Membunuh orang cukup sekali tabas atau satu kali jotos, jiwa orang pasti melayang. Menolong orang harus teliti dan bekerja dengan seksama, membuang banyak tenaga dan pikiran, bila hati gelisah pikiran gundah, sedikit ceroboh akibatnya bisa fatal, lalu siapa yang harus bertanggung jawab?."
Siau Cap-it Long tidak bisa bicara. Hong Si-nio bisa ditolong atau bakal mati, kuncinya berada di tangan Hamwan Sam-seng, bila orang ini pergi dan tidak mau menolong, jiwa Hong Si-nio jelas tak bisa ditolong lagi.
"Pepatah ada bilang, anggaplah kuda mati sebagai praktek percobaan penyembuhan. Kondisi Hong Si-nio sekarang tidak beda dengan orang yang sudah mati, kenapa tidak tuan serahkan saja dia kepadaku?"
"Baiklah,"
Teriak Siau Cap-it Long sambil membanting kaki.
"kuserahkan dia kepadamu."
"Nah, begitu sudah gamblang, yang satu menyerahkan dengan tulus, yang menerima juga senang hati, satu dengan yang lain tiada ganjalan, tiada paksa memaksa."
Siau Cap-it Long bungkam. Hamwan Sam-seng berkata.
"Maka bila nanti kubawa dia pergi, kuharap tuan jangan menyesal, juga jangan menguntit di belakang. Kalau kau melanggar, jangan menyesal kalau aku biarkan dia mati saja."
"Lekas kau bawa dia pergi, untuk selanjutnya jangan sampai kau kepergok lagi di tanganku."
"Lewat hari ini aku akan lebih hati-hati,"
Ujar Hamwan Sam-seng tertawa.
"daripada bertemu lebih baik tidak bersua, apalagi orang segarang kau, tidak bertemu lebih baik."
Dengan tersenyum lebar penuh kemenangan ia bopong Hong Si-nio, terus dibawa lari keluar sipat kuping.
Siau Cap-it Long hanya mengawasi dengan mata melotot, tiada akal untuk berbuat apa-apa.
Jelas hatinya tidak rela, pantang menyerahkan Hong Si-nio ke tangan Hamwan Sam-seng.
Tapi Hamwan Sam-seng sudah membawa Hong Si-nio, bayangannya sudah tidak kelihatan lagi.
Siapa kiranya yang menculik Pin-pin, siapa pula yang menguras semua racikan obat? Pasti Hamwan Samseng, tadi lukanya tidak parah, setelah pergi ia tidak berlari jauh.
Dalam pertemuan yang tidak terduga, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio diliputi rasa senang dan kaget, maka mereka tidak memperhatikan keadaan di luar, apalagi hubungan mereka selama ini blak-blakan, tiada rahasia yang takut diketahui orang lain.
Mereka hanya ingih makan bakmi, lain tidak, kenyataan agak lama kemudian baru menemukan orang tua pincang yang berjualan bakmi.
Waktu sepanjang itu cukup lama bagi Hamwan Sam-seng untuk meringkus penjual bakmi tulen, lalu menyuruh Hamwan Sam-coat menyaru jadi penjualnya.
Siau Cap-it Long belum hapal seluk-beluk kota ini, jelas tidak kenal siapa sebenarnya penjual bakmi di pinggir jalan yang asli, apalagi hakikatnya ia tidak kanal dan belum pernah bertemu Hamwan Sam-coat.
Di Kangouw banyak perserikatan atau komplotan orang-orang cacad, setelah menjadi orang buta, Cia Thianciok masuk menjadi anggota komplotan cacad itu.
Hamwan Sam-coat kebetulan adalah pentolan dari kawanan orang cacad itu.
Bukan mustahil Jin-siang-jin juga adalah salah satu dari pentolan cabang mereka.
Dengan Jit-sat-tin atau barisan tujuh pembunuh yang mereka ciptakan, mereka pikir cukup mampu mengurung dan membunuh Siau Cap-it Long.
Ternyata lawan yang satu ini memang musuh bangkotan berkepandaian tinggi, rencana yang diatur rapi hanya berhasil setengah jalan, yaitu Hong Si-nio keracunan.
Waktu Pin-pin meninggalkan hotel dan pulang ke rumah, mungkin Hamwan Sam-seng menguntit di belakangnya, ilmu silatnya walau aneh dan lihai, tetapi kondisinya teramat lemah, maka dengan mudah ia dibekuk Hamwan Sam-seng.
Kepandaian Hamwan Sam-seng hakikatnya jauh lebih tinggi dari nilai lahirnya, setelah Hong Si-nio keracunan, dia yakin Siau Cap-it Long pasti akan membawanya pulang dan menolongnya di rumah.
Setelah pikiran tenang dan gejolak hatinya tenteram, Siau Cap-it Long bisa manduga dan meraba semua tipu daya yang diatur Hamwan Sam-seng, sekarang ia harus berusaha bagaimana menolong Hong Si-nio dari tangan Hamwan Sam-seng.
Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menemukan tempat tinggalnya? Hamwan Sam-seng adalah orang yang cermat dan teliti, dalam hal berpakaian dan penyamaran cukup ahli, penampilannya tidak banyak beda dengan kebanyakan orang.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rumah di kota ini ada ribuan, rumah sebanyak itu, mungkin ia tinggal di hotel, rumah atau toko kelontong, kedai nasi atau di loteng sebuah rumah plesiran.
Hamwan Sam-seng mungkin membuka toko kain sutra yang juga membuka tailor, atau rumah hiburan tingkat tinggi, mungkin juga tinggal di bungalau di pinggir kota yang dikelilingi hutan atau danau nan indah.
Penghuni kota mungkin tidak banyak yang kenal Hamwan Sam-seng, siapa Ang Ban-seng juga tiada yang kenal, kecuali juragan Gu dan Lu.
Sebagai orang yang cerdik pandai dan cermat, segala kelemahan dan kelebihan sudah diperhitungkan dan diatur dengan baik, siapa tahu rahasia mereka, mungkin sudah dibungkam mulutnya, alias dilenyapkan jiwanya.
Meski otaknya diputar kayun, pusing tujuh keliling, sukar juga bagi Siau Cap-it Long menebak dimana kirakira tempat tinggal Hamwan Sam-seng yang menyembunyikan Hong Si-nio.
Memangnya tiap rumah tiap keluarga ia geledah satu per satu? Bulan sabit bergantung di cakrawala, Siau Cap-it Long duduk di undakan batu, hawa terasa dingin, udara mulai berkabut.
Mendadak Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri terus menerjang keluar.
Akhirnya terpikir sebuah cara, suatu akal, meski bukan cara yang baik, apa salahnya dicoba.
XII.
NASIB MEMPERMAINKAN ORANG Peduli rumah makan besar kecil, ramai atau sepi, kalau malam setelah tutup pasti ada pelayan atau kacung yang tidur dan menunggu di sana.
Di antara para kacung itu pasti ada yang tahu dimana tempat tinggal para juragannya.
Sebab kalau ada keperluan penting, mereka harus pergi memberitahu sang juragan.
Bok-tan-lau jelas tidak terkecuali.
Sekali tendang Siau Cap-it Long membikin pintu besar Bok-tan-lau jebol, langsung ia menerjang masuk terus mencengkeram baju dada sang kacung yang tidur telentang di atas meja.
"Kalau tidak ingin mampus, segera kau bawa aku menemui juragan Lu, atau kau mampus di tanganku."
Siapa pun tak ingin mati.
Terutama orang yang sudah tua, Makin lanjut usia makin takut mati.
Apalagi lelaki tua ini kenal Siau Cap-it Long.
Seorang yang dengan gampang mengancam Liu-soh-ciu menjual anting, seorang lelaki yang royal duit dengan melempar laksaan uang ke jalanan, kapan saja dengan mudah bisa mencabut jiwanya.
Jawaban kakek tua yang ketakutan itu jelas dan pendek.
"Kuantar kau ke rumahnya."
"Juragan Lu tinggal di gang itu, rumah ketiga sebelah kiri."
Setelah bicara, kakek tua ini jatuh pingsan.
Esok harinya waktu ia siuman di pinggir jalan, ia dapatkan dirinya mengenakan pakaian yang kemarin melekat di badan Siau Cap-it Long, dalam kantong bajunya berisi uang lima ratus tahil uang kertas.
Setelah berganti baju dengan pakaian kakek itu, Siau Cap-it Long memburu masuk ke dalam gang, terus menggedor pintu dengan keras di rumah ketiga sebelah kiri.
Cukup lama kemudian baru ada suara orang dari dalam, suara perempuan yang uring-uringan.
"Siapa di luar yang menggedor pintu?"
Sengaja dengan napas memburu Siau Cap-it Long menjawab dengan keras.
"Inilah aku, Lau-thang dari hotel, juragan Lu kena perkara, menyuruh aku pulang memberi kabar orang di rumah."
Dua hal sudah ia perhitungkan dengan cermat.
Juragan Lu pasti tidak ada di rumah.
Orang di rumahnya pasti tidak semua mengenal siapa pelayan hotel atau restoran yang dibuka majikannya, umpama ada satu yang keliru perhitungan, rencananya bakal gagal total.
Ternyata dugaan Siau Cap-it Long betul.
Seorang perempuan tua usia pertengahan dengan rambut kepala awut-awutan memburu keluar dan bergegas membuka pintu.
"Ada urusan apa? Juragan Lu kena perkara apa?"
Siau Cap-it Long pura-pura gugup.
"Aku tidak tahu perkara apa, aku sudah tidur, mendadak juragan Lu masuk dari belakang, menyuruhku jangan bergerak, lalu dia mundur bersembunyi ke bawah meja. Kejap lain dua orang bermuka beringas memburu masuk, dengan mudah ia menemukan juragan Lu di bawah meja, mereka bertarung seru, akhirnya juragan Lu kalah, kebetulan roboh di atas badanku, dia berbisik menyuruhku pulang memberi kabar supaya mencari orang untuk menolongnya."
Perempuan setengah umur itu adalah bini juragan Lu, mendengar cerita sang pelayan, mukanya menjadi pucat ketakutan.
"Dia suruh aku mencari siapa? Menolongnya dimana?"
Siau Cap-it Long menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, baru dua patah kata berpesan, dia diseret kedua orang itu. Lebih baik sekarang aku pergi ke kantor opas saja."
Dalam hal ini ia memperhitungkan tiga hal.
Karena mendesak dan gelisah, keluarga atau bini juragan Lu tak mungkin mengecek kebenaran beriia itu.
Sebagai bini yang sudah sekian tahun menjalin keluarga, kalau sang suami melakukan perbuatan melanggar hukum di luar, umpama benar keluarganya tidak diberitahu, sedikit banyak sang bini tentu tahu liku-liku perbuatan sang suami.
Dalam keadaan segenting ini, mana berani melapor kepada pihak keamanan kota.
Bentrok Para Pendekar 08 Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 8 Sebagai orang yang berlaku teliti, mungkin biasanya juragan Lu memberitahu sang isteri, bila suatu ketika dirinya tersangkut perkara yang gawat, dia harus menghubungi seseorang untuk menolong dirinya.
Siau Cap-it Long sadar, kedua perhitungannya tidak meleset.
Baru saja da bilang akan melapor kepada opas, perempuan itu segera mencegah dirinya, lalu bersikap tenang, katanya dengan muka kaku.
"Aku sudah tahu urusannya, akan kuurus sendiri, kau tak usah ikut campur, lekas pulang dan jaga hotel."
"Blang", tanpa menunggu reaksi dan komentar Siau Cap-it Long, ia menutup pintu. Siau Cap-it Long pura-pura pamit. Jelas tidak pergi, tapi bersembunyi di ujung gang yang gelap, lalu melejit tinggi hinggap di wuwungan rumah tetangga. Hanya menunggu sebentar, bini juragan Lu tadi membuka pintu rumah, dengan langkah gopoh keluar dari gang. Jelas akan pergi memberi kabar entah siapa. Apakah Hamwan Sam-seng? Mendadak Siau Cap-it Long merasakan jantungnya berdebar kencang, jalur penyelidikannya ini adalah satusatunya yang dapat dipercaya, satu-satunya yang ada harapan. Setelah keluar dari gang tempat tinggalnya, nyonya Lu masuk ke gang lain di ujung jalan sana. Waktu Siau Cap-it Long membuntutinya ke sana, tampak dia sedang mengetuk pintu. Dari dalam pintu berkumandang suara seorang perempuan dengan nada tinggi.
"Siapa di luar, tengah malam buta menggedor rumah orang? Mau cari setan?"
"Eh, cepat buka, inilah aku, adik misanmu kena perkara, cepat buka pintu."
Rumah ini tempat tinggal keluarga juragan Gu, karena suaminya terlibat perkara, siapa lagi kalau tidak mencari bantuan kepada adik misannya? Seorang perempuan tengah baya kurus tinggi bergegas membuka pintu, suaranya ikut kuatir.
"Kena perkara apa? Bangkotanku juga tiada di rumah, wah bagaimana baiknya?"
Bahwa juragan Gu tidak di rumah, sudah dalam dugaan Siau Cap-it Long.
Entah apa yang dibicarakan dua perempuan tengah baya itu, mereka kasak-kusuk sekian lama entah persoalan apa yang dibicarakan, akhirnya mereka menyuruh seorang kacung menyiapkan gerobak, mereka segera pergi naik gerobak.
Karena terpaksa, akhirnya mereka seperti ingin mencari seseorang yang dipercaya dapat menyelesaikan persoalan ini.
Gerobak kuda itu cepat sekali dibedal ke arah timur, tujuannya jelas ke arah luar kota, saat itu tepat menjelang subuh, saat paling gelap waktu menjelang fajar, jalan sepi sekeliling senyap.
Dengan enteng Siau Cap-it Long melompat tinggi, lalu hinggap di belakang gerobak yang bergontai.
Dua wanita dalam gerobak ternyata tiada yang bersuara, suami kena perkara jelas hati mereka gundah, mana ada minat berbincang, tapi Siau Cap-it Long makin heran dibuatnya karena keadaan yang sunyi lagi terasa aneh.
Tengah ia pasang kuping, telinganya mendengar suara aneh, suara orang sedang makan sesuatu.
Perempuan Soh-ciu umumnya suka makanan serba manis, dari celah-celah jendela Siau Cap-it Long mengintip ke dalam, dilihatnya kedua perempuan tua ini lagi asyik menikmati permen jahe.
Kalau minat bicara saja tiada, kenapa malah mengunyah permen jahe begitu lahap? Jari jemari Siau Cap-it Long mendadak menjadi dingin.
Sekilas ia memikirkan beberapa hal yang tidak masuk akal.
Tengah ia menggedor pintu orang, yang membuka bagaimana mungkin istri pemilik rumah? Bukankah di rumah ada kacung atau pelayan, memangnya pergi kemana para pembantunya itu? Seorang perempuan baya di hadapan adik misan sendiri, mengapa menyebut suami sendiri sebagai bangkotan tua? Dalam kondisi seperti ini rela mengayun langkah mencari orang, mana mungkin membawa permen segala? Mendadak Siau Cap-it Long sadar, lima enam hal yang diperhitungkan tadi hakikatnya salah besar, jelas satu dengan yang lain tidak cocok dan pantas diragukan kebenarannya.
Tujuan mereka memancing dirinya ke tempat ini jelas adalah memancing harimau meninggalkan sarang, sengaja membawa dirinya keluar kota.
Bukan mustahil mereka sudah tahu siapa dirinya.
Jika demikian Hamwan Sam-seng pasti masih berada di kota, di suatu tempat yang tak terpikir dan diduga Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng sepertinya tahu benar titik kelemahan jiwa manusia umumnya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long melambung tinggi berjumpalitan mundur ke belakang, dengan kecepatan kilat memburu balik ke rumah juragan Lu.
Rumah ini terang benderang, terdengar percakapan orang.
"Entah juragan ada perkara apa, semoga sang junjungan melindungi dia pulang dengan selamat."
Perasaan Siau Cap-it Long kembali mengendap, hatinya mencelos, apakah dia salah perhitungan pula. Dari dalam rumah berkumandang suara perempuan tua berkata.
"Toanio keluar kota mencari orang, entah bisa ketemu tidak."
Apa benar mereka keluar pintu mencari orang? Saking gemas dan gegetun, ingin rasanya Siau Cap-it Long menggampar pipi sendiri, titik terang kembali bercahaya dalam sanubarinya.
Lu-toanio berdua naik gerobak langsung berangkat dari gang sebelah, menjelang berangkat juga tidak berpesan mau pergi kemana, dua orang perempuan di rumah ini darimana tahu mereka keluar kota? Mungkinkah jebakan yang mengaburkan, supaya orang salah menduga bila seseorang datang kembali, sehingga bingung dan sukar mengambil keputusan.
Hamwan Sam-seng memang seorang yang cermat lagi banyak tipu daya.
Di dapur ada dian menyala, saat seperti ini jelas takkan ada orang menyulut api untuk masak nasi.
Apalagi keluarga yang memperhatikan keselamatan tak mungkin menyulut dian semalam suntuk mengingat bahaya kebakaran.
Tanpa banyak pikir Siau Cap-it Long menerjang masuk.
Di dapur hanya ada dian, tiada orang.
Di pojok sana ada seonggok kayu bakar yang siap digunakan untuk memasak.
Tapi setelah diteliti, dalam tungku sudah penuh disiapkan batu bara.
Kalau biasa memasak nasi pakai batu bara, lalu untuk apa seonggok kayu bakar? Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya lega dan bersyukur, akhirnya ia menemukan tempat yang dicarinya.
Setelah ia pindahkan onggokan kayu bakar itu, di bawahnya ternyata adalah lubang yang menjurus ke lorong bawah tanah.
Terlebih dulu ia angkat sebuah ubin dan dipindahkan ke pinggir, baru kemudian beranjak turun menapak undakan batu.
Dalam lorong ada dua pintu, pintu terdepan terbuka lebar.
Belasan langkah kemudian Siau Cap-it Long dihadang sebuah pintu kayu, tebal dan berat, jelas amat kokoh, pintu tertutup dan dikunci dari dalam.
Perlahan Siau Cap-it Long mencabut golok, sekali bacok disusul tendangan dahsyat, segera dilihatnya Hamwan Sam-seng berada di situ.
Di dunia ini yakin takkan ada orang pernah melihat Hamwan Sam-seng terkejut, amat kaget, malah dengan terbeliak ia mengawasi Siau Cap-it Long, lama sekali baru menarik napas panjang.
"Akhirnya kau datang juga."
Kamar di bawah tanah ini dipajang mewah, indah lagi berseni, di ujung kanan masih ada sebuah ranjang besar yang empuk dengan seprei dan bantal guling yang bersulam indah.
Hong Si-nio tampak lelap di dalam selimut tebal, wajahnya masih kelihatan kelabu, pipinya sudah bersemi merah.
Siau Cap-it Long menarik napas panjang.
"Kau tidak menduga bukan?"
Akhirnya Hamwan Sam-seng menjadi tenang juga, katanya dengan tersenyum lebar.
"Sungguh tak pernah kuduga. Sebab sepantasnya kau tidak datang kemari."
"O?"
Siau Cap-it Long bersuara di hidung.
"Kau sudah berjanji padaku, pasti tidak ingkar dan tidak menguntitku."
"Aku tidak ingkar, juga tidak menguntitmu. Aku datang karena urusan lain."
"Urusan lain? Apa itu?"
"Akan kubunuh kau,"
Desis Siau Cap-it Long.
Jawabannya jelas tegas dan terus terang.
Golok sudah berada di tangan.
Sorot mata Hamwan Sam-seng beralih dari mata ke goloknya.
Mendadak ia merasa dirinya sudah terkurung dalam cahaya kemilau golok sakti dan tatapan mata orang yang berkilat.
Dingin suara Siau Cap-it Long.
"Kali ini jangan kau mengancam dengan jiwa dan raga Hong Si-nio. Sebab jika jarimu bergerak, golokku tidak akan memberi ampun kepadamu."
Hamwan Sam-seng tertawa.
"Sekarang Hong Si-nio sudah menjadi milikku, buat apa kugunakan dia untuk mengancammu?"
"Kalau kau sudah mampus, dia sudah bukan milikmu lagi."
Hamwan Sam-seng manggut-manggut, ia mengerti.
"Kalau demikian, kenapa tidak kau bunuh aku saja. Apa kau masih ingin keterangan Pin-pin?"
"Benar."
"Aku sudah akan mati, kenapa jejak Pin-pin harus kuberitahu kepadamu?"
"Waktu pertama aku melihat dirimu, aku tahu bahwa kau adalah musuh yang tidak mudah dihadapi, penglihatanku ternyata tidak salah."
"Aku toh pedagang, siapa saja kalau bicara jual beli dengan aku, urusan gampang diselesaikan."
"Maksudmu aku harus membebaskanmu baru kau akan menjelaskan jejak Pin-pin?"
"Kau tidak rugi dalam jual beli ini. Kan kau sendiri yang bilang, membunuh orang tidak menguntungkan untuk diri pribadi."
"Mana aku tahu kalau kau bicara jujur?"
"Modal utama seorang pedagang adalah kepercayaan, kalau aku tidak bisa dipercaya, siapa mau berdagang dengan aku?"
Memangnya Siau Cap-it Long tidak ingin membunuhnya.
"Baik,"
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya kemudian.
"Barter ini jadilah,"
"Nah, betul kan? Tidak sukar bukan berdagang dengan aku?"
"Pin-pin dimana?"
"Aku sudah menjualnya kepada orang lain."
Berubah air muka Siau Cap-it Long.
"Aku ini pedagang, pedagang harus berdagang, apalagi kulihat dia keracunan cukup parah, kalau kupertahankan, salah-salah aku malah sibuk mengurus jenazahnya."
"Kau jual kepada siapa?"
"Kemarilah, kau pindah kemari, biar aku berdiri di ambang pintu, nanti kujelaskan."
Terpaksa Siau Cap-it Long harus mengendalikan diri, dalam posisinya sekarang memang tiada pilihan lain, terpaksa ia menyingkir. Setelah beranjak ke pinggir pintu, barulah Hamwan Sam-seng berkata.
"Aku menjualnya kepada Hoa Jigiok."
Bergetar badan Siau Cap-it Long.
"Hoa Ji-giok berada dimana?"
"Aku tidak tahu,"
Sahut Hamwan Sam-seng.
"tapi aku tahu dia juga seorang pedagang, barang yang dia tarik kembali dengan harga tinggi pasti takkan dikangkangi sendiri, bila harga penawaranmu benar, mungkin dia mau mengembalikan Pin-pin kepadamu dalam keadaan sempurna alias segelnya belum terbuka."
"Tadi dia berada dimana aku tidak tahu, cara bagaimana harus mencarinya?"
"Jangan kuatir, nanti akan datang kesempatan untukmu, karena dia juga tahu kau ini pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi."
Dia sudah berada di luar pintu, mendadak putar balik lalu berkata dengan tertawa lebar.
"Ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu."
"Hal apa?"
Tawa Hamwan Sam-seng penuh misteri, katanya serius.
"Meski kau berhasi! merebut kembali Hong Si-nio, tapi kau akan menyesal sekali."
Siau Cap-it Long sudah menyingkap selimut, akhirnya ia turunkan kembali, dengan selimut tebal itulah ia membungkus badan Hong Si-nio dengan kecepatan tinggi.
Dia takut Hamwan Sam-seng menutup pintu lorong bawah tanah.
Ternyata Hamwan Sam-seng tiada niat seperti dugaannya, sebab ia sadar perbuatannya itu akan sia-sia, mengingat Siau Cap-it Long membekal golok sakti yang tajam luar biasa.
Siau Cap-it Long malah tidak mengerti dan menjadi bingung dibuatnya.
Ia tidak habis mengerti dalam hal apa ia bisa dibuat menyesal sekali.
Hong Si-nio yang dibungkus dalam selimut tebal itu mirip orok kecil yang telanjang bulat.
Sejauh ini dia masih pingsan.
Siau Cap-it Long tidak ingin kembali ke tempat semula, tidak akan kembali ke Lian-hun-lau, tempat itu tidak aman lagi.
Maklum kalau membawa seorang telanjang yang dibungkus selimut tebal, kemana saja pasti serba salah, apalagi saat akan mendekati fajar, memangnya dia harus membawa Hong Si-nio keluyuran di jalan raya? Maka terpaksa ia harus memilih tempat.
* * * * * Hotel kecil itu berada di daerah sepi di pinggiran kota, rumah petak yang rendah, gelap dan lembab, jendela ditutup kertas yang sudah buram menguning.
Duduk di pinggir ranjang, Siau Cap-it Long mengawasi Hong Si-nio, terasa kelopak matanya makin berat seperti diganduli benda berat.
Malam ini sungguh terasa amat panjang, hampir sepanjang malam dia tidak sempat bernapas lega, pengaruh arak juga sudah menjadi tawar.
Saat seperti ini memang waktu datangnya rasa penat dan kantuk.
Di rumah dan di kamar ini justru hanya terdapat sebuah ranjang, tidak besar, kotor dan lusuh, di pinggir ranjang ada bangku panjang, dia tidak mungkin tidur berdiri, tak bisa tidur di bangku panjang.
Hong Si-nio tak mungkin dibiarkan sendiri dalam kamar.
Entah kenapa rasa kantuk kali ini betul-betul susah ditahan, selama malang melintang di Kangouw, belum pernah ia merasa badan seletih kali ini, hal ini sungguh membuatnya tidak mengerti, kenapa dalam kondisi seperti ini dirinya justru berubah lemah tak berdaya, mungkin pengaruh luka di bawah ketiak yang banyak mengeluarkan banyak darah itu? Atau sisa racun di lukanya belum tuntas? Hal ini sudah tak dipikir lagi, akhirnya ia roboh, telentang di atas ranjang.
Ia yakin Hong Si-nio kawan lama yang berjiwa besar dan luhur, bila siuman nanti, dirinya tentu tidak disalahkan, apalagi saat itu dia masih tidur nyenyak.
Begitu jatuh di ranjang, begitu mata terpejam, Siau Cap-it Long langsung tertidur, sayup-sayup ia seperti mendengar rintihan Hong Si-nio, keluhan aneh yang merangsang, sayang ia sudah tidak bisa membedakan suara apakah itu.
Waktu merebahkan Hong Si-nio di ranjang tadi, melihat muka Hong Si-nio tampak merah, semu merah yang aneh, sayang ia tidak sempat memperhatikan.
Dalam kegelapan nan tenteram, asyik-masyuk, dirinya seperti jatuh dalam pelukan kekasih, dengan kencang mereka bergumul.
Mendadak suasana berubah menjadi dingin, di saat terasa dingin itulah, mendadak terasa adanya gumpalan halus yang membara jatuh dalam pelukannya, begitu halus, hangat berubah membara, bara yang tidak akan menghanguskan badan orang, hangat yang mengantar dirinya masuk surga dunia.
Sekuatnya ia berusaha membuka mata, lapat-lapat ia melihat bola mata Hong Si-nio.
Bola mata Hong Si-nio juga memancarkan bara yang menyala, dengan kencang dia memeluk dan menggeluti dirinya, sekujur badan bergetar saking bernafsunya, getaran yang tak bisa dibayangkan dengan nyata.
Badan yang telanjang nan montok serta seksi begitu membara bagai segumpal lahar yang berkobar.
Mendadak ia dapati dirinya juga sudah telanjang bulat.
Dengus napas Hong Si-nio yang merangsang seperti memohon, meminta, mencurahkan isi dan keinginan hatinya.
Selama ini belum pernah ia curahkan isi hatinya, belum pernah berani dinyatakan secara gamblang.
Memangnya sekarang dia sedang mabuk? Bukan mabuk, tapi lebih menakutkan daripada mabuk, Bahwasanya perawan yang sudah kelewat umur ini seperti tak mampu mengendalikan diri, kehilangan kesadaran, begitu ingin, perlu dan harus, membuatnya tak kuasa mengendalikan diri.
Badannya halus, harum mirip gadis belasan yang masih ingusan, tapi gerakgeriknya, dengus napas dan rintihannya mirip perempuan jalang yang dirasuk nafsu birahi.
Obat penawar racun yang diberikan Hamwan Sam-seng pasti dicampur obat lain yang membangkitkan nafsu yang selama ini tertekan.
Hamwan Sam-seng pasti tidak menyangka bahwa Siau Cap-it Long menolongnya.
Jelas semua persiapan ini diperuntukan kebutuhan Hamwan Sam-seng sendiri.
* * * * * Tapi nasib memang mempermainkan orang.
Takdir memang mempertemukan Hong Si-nio dengan Siau Cap-it Long.
Bahwasanya hubungan baik mereka selama ini terbatas dalam norma-norma santun, tak mungkin terjadi peristiwa tragis ini.
Kejadian kali ini memang tak pernah diduga sebelumnya.
Siau Cap-it Long bukan lagi mabuk arak, yang benar adalah mabuk asmara, bisakah mabuk asmara ia tolak, tidak bisa dan tidak ingin menolak, karena nafsu juga telah membakar birahinya, apakah ini dalam mimpi? Anggaplah benar dalam mimpi, memangnya kenapa kalau mimpi? Sayang sekali, seindah apapun mimpi akhirnya akan sadar, bila sudah tiba saatnya orang akan siuman.
Waktu Siau Cap-it Long terjaga dari tidurnya, sadar sesadar-sadarnya.
Dalam kamar tinggal dia seorang diri.
Apakah mimpi semalam memang kenyataan? Bau harum masih melekat di ranjang.
Napas Siau Cap-it Long masih merasakan bau harum di selimut, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siau Cap-it Long kala itu.
Sampai detik ini, dia masih belum memahami Hong Si-nio.
Ternyata ia orang pertama yang meniduri Hong Si-nio.
Apakah selama ini Hong Si-nio memang menanti dirinya? Kejadian yang tidak pantas terjadi, kenapa mendadak terjadi? "Kalau kau membawanya pergi, kau akan menyesal sekali."
Ucapan Hamwan Sam-seng terngiang di telinganya.
Baru sekarang ia paham arti perkataan ini, apa betul ia merasa menyesal? Perempuan seperti Hong Si-nio, berkorban karena dirinya; menelantarkan masa remajanya, mengabaikan hidup bahagia, akhirnya dia serahkan juga segalanya kepada dirinya.
Memangnya pantas dirinya menyesal? Kejap lain terbayang olehnya Sim Bik-kun, wajah Pin-pin nan molek dan harus dikasihani, bukankah kedua nona itu juga telah berkorban banyak bagi dirinya? Apakah mereka harus dilupakan, dicampakkan, lalu berumah tangga dengan Hong Si-nio? Atau sebaliknya meninggalkan Hong Si-nio? Seperti diiris-iris perasaan Siao Cap-it Long.
Persoalan ini jelas tak mungkin diselesaikan seadirian.
Kini dimanakah Hong Si-nio? Karena malu diam-diam dia minggat? Umpama benar minggat, ia tidak boleh mengabaikannya begitu saja, kejadian itu telah menjadi kenyataan, selama hidup akan selalu menjadi kenangan, kalau kenyataan ini ada, maka persoalan ini harus diselesaikan.
Siau Cap-it Long berkeputusan untuk menghadapi persoalan ini secara jantan, ia tidak akan lari dari tanggung jawab.
Pada saat itulah pintu kamar mendadak didorong terbuka dari luar, sebuah benda melayang masuk dari luar pintu.
Sebungkus pakaian.
Pakaian lengkap untuk seorang lelaki, maksudnya lengkap jelas termasuk pakaian dalam, kaos kaki, sepatu rumput, celana dan baju, semua serba baru, dari kain sutra yang bermutu tinggi.
Baru sekarang Siau Cap-it Long sadar, pakaian yang dipakainya waktu kemari, yaitu pakaian pelayan hotel yang ia lucuti sudah tidak kelihatan, hilang, tentu dipakai Hong Si-nio untuk keluar.
Sebungkus pakaian jelas tak mungkin melayang masuk sendiri, di luar jelas masih ada seseorang.
Dengan kecepatan yang paling cepat, Siau Cap-it Long mengenakan pakaian lengkap dengan kaos kaki dan sepatu, baru saja ia berdiri, Hong Si-nio sudah muncul di ambang pintu.
Cewek ini juga mengenakan pakaian serba baru, dengan bersolek, rambut disanggul serba rapi dan elok, mirip benar dengan seorang mempelai perempuan yang akan ke pelaminan.
Mempelai perempuan! Berdetak keras jantung Siau Cap-it Long, sikapnya menjadi kikuk, serba salah dan blingsatan, duduk salah berdiri juga tidak benar.
Biasanya ia seorang lugas, lelaki bertemperamen keras dan tegas, tak malu-malu, sekarang mendadak berubah menjadi serba salah, seperti kehabisan akal bagaimana ia harus bersikap menghadapi cewek yang satu ini.
Tapi Hong Si-nio seperti tidak berubah, bukan abadi, tapi dia lebih bebas dan wajar, masih ada sebungkus besar barang dijinjing di tangannya, entah apa isinya, begitu masuk kamar ia tuang bungkusan itu ke atas ranjang, katanya dengan tersenyum lebar.
"Sekarang aku baru mengerti, kenapa perempuan suka pergi belanja, ternyata berbelanja punya seni dan makna tersendiri, peduli barang yang kau beli berguna atau tidak, waktu kau membelinya, tindakanmu itu sudah merupakan kenikmatan, kepuasan tersendiri."
Siau Cap-it Long manggut-manggut. Menghamburkan uang memang sebuah kepuasan, kenikmatan, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan diresapi benar-benar oleh Siau Cap-it Long.
"Coba kau terka, aku beli apa saja? Kalau kau bisa menebak, terhitung kau memang jenius."
Siau Cap-it Long geleng-geleng, ia tak bisa menebak.
"Aku membeli sebuah cermin yang dipasang di atas pigura dengan ukiran kembang dan sepasang burung Hong, kubeli seperangkat kotak khusus untuk bahan-bahan kosmetik, kubeli sepasang patung orok kecil laki perempuan yang terbuat dari tanah liat buatan kota Bu-sik. Sebuah swan-lo yang biasa digunakan nenek untuk membakar kayu cendana, sebuah pipa cangklong yang biasa digunakan kakek untuk mengisap tembakau, kubeli juga lima pasang gambar hiasan kamar, sebuah topi bulu musang."
Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan.
"Padahal aku mengerti, barang-barang ini. semua tidak berguna buatku atau untukmu, tapi melihat barang-barang ini, tak tahan untuk tidak membelinya. Aku senang para pelayan waktu menjilat pantat membujukku untuk membelinya."
Siau Cap it Long hanya mendengarkan saja. Mendadak Hong Si-nio mengangkat kepala, melotot dan bertanya.
"Sejak kapan kau berubah menjadi gagu?"
"Aku ...."
Siau Cap-it Long menyengir tawa.
"aku tidak ...."
Hong Si-nio tertawa geli.
"Ternyata kau belum jadi gagu, tapi kulihat kau lebih mirip seorang pikun."
Sikapnya terhadap Siau Cap-it Long tidak berubah, lagak dan tindak-tanduknya tidak berubah. Kejadian semalam hakikatnya seperti tidak dirasakan, tidak disinggung sama sekali.
"Kau ...."
Sudah tak tahan Siau Cap-it Long ingin bicara. Seperti tahu apa yang hendak diucapkan orang, Hong Si-nio segera menyeletuk dengan mata mendelik.
"Aku kenapa, memangnya kau mau bilang aku juga pikun? Kau tak takut kepalamu kubuat berlubang?"
Melihat keadaannya, kejadian semalam seperti tidak pernah terjadi.
Hong Si-nio masih Hong Si-nio yang dulu.
Waktu ia mengawasi, melirik ke arah Siau Cap-it Long, juga adalah Siau Cap-it Long yang dahulu.
Asyik masyuk di atas ranjang semalam, sepertinya merupakan sebuah mimpi belaka.
Sepertinya ia berkeputusan untuk tidak mengungkap peristiwa yang memabukkan itu.
Sebab dia amat memahami jiwa Siau Cap-it Long, ia mengerti watak dan perangai Siau Cap-it Long, tahu orang macam apa pemuda yang dipuja banyak wanita dan dianggap berandal oleh sementara pihak yang membencinya.
Ia mengerti hubungan baik selama ini, dua pihak tidak menjadi kikuk, canggung dan merasa berdosa, kejadian itu harus dilupakan supaya tidak menambah risau, gundah dan menderita.
Mengawasinya, tak terperikan perasaan Siau Cap-it Long, ia kagum, memuji dan berterima kasih.
Umpama kejadian itu bisa dilupakan, rasa terima kasih dan hutang itu jelas selama hidup tak mungkin dilupakannya.
Hong Si-nio membalik badan, mendorong jendela.
Seperti ingin menyembunyikan rona mukanya di depan Siau Cap-it Long, ia tidak ingin orang lain tahu bagaimana gejolak perasaannya saat itu.
Ia rela menyembunyikan perasaan, mengendapkan gejolak hatinya ke tempat yang paling dalam, seperti para kolektor menyembunyikan benda antiknya yang paling berharga di tempat paling tersembunyi.
Di kala malam sepi tiada orang lain, baru ditampilkan untuk dinikmatinya sendiri.
Ia tidak mau peduli apakah itu derita, sengsara atau manis mesra, hal yang menyedihkan, yang melegakan umpamanya, biarlah dirasakan dan hanya ia sendiri yang tahu.
Waktu ia membalik badan lagi, sorot matanya sudah memancarkan cahaya, wajahnya dihiasi senyum khas yang khusuk, katanya sambil mengawasi Siau Cap-it Long.
"Apa kau masih ingin terus tinggal di tempat ini?"
"Tidak,"
Sahut Siau Cap-it Long tertawa.
"umpama sudah pikun, yang pasti aku bukan babi."
"Lalu kenapa kita tidak berangkat saja?"
Mengawasi barang-barang di atas ranjang, Siau Cap-it Long bertanya.
"Barang-barang ini kau tidak ingin membawanya ?"
"Tadi sudah kubilang, waktu membeli barang, aku merasa senang dan puas, kuanggap aku sudah menarik balik nilai yang kugunakan untuk membeli, untuk apa aku membawa barang-barang ini?"
Cahaya mentari cemerlang menguning emas, senja telah menjelang. Menyambut hembusan angin senja di awal musim rontok, Siau Cap-it Long menarik napas dalam.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang kemana kita akan pergi?"
"Makan dulu, baru mencari orang,"
Sahut Hong Si-nio.
"Mencari siapa?"
"Yang pasti mencari Sim Bik-kun,"
Kata Hong Si-nio tanpa menoleh.
"memangnya kau lupa?"
Jelas Siau Cap-it Long tidak lupa, sahutnya.
"Kau ingin mencarinya bersamaku?"
Hong Si-nio melotot, suaranya keras.
"Kenapa tidak kutemani kau mencarinya? Aku sudah berjanji kepadamu, kenapa aku harus ingkar janji? Memangnya kau kira aku ini pembohong?"
Siau Cap-it Long hanya menyengir mengawasinya.
Tawa yang tulus dari relung hati yang paling dalam.
Tapi bukan tawa riang, tawa senang, kecuali gembira, di sana terselip rasa simpati, terima kasih, dimana terkandung pengertian yang mendalam, meski terasa kecut, ia tak berani banyak bicara lagi.
Bilamana kau seorang pria, bila kau menjadi Siau Cap-it Long, kalau kau berhadapan dengan cewek seperti Hong Si-nio, apa yang bisa kau katakan? Tay-hong-lau.
Siau Cap-it Long kembali ke Tay-hong-lau.
Dari lantai satu, lantai dua, atas bawah, puluhan orang, tua muda, laki perempuan, semua mengawasinya dengan terbelalak kaget.
Untunglah yang kaget tidak lupa tugas, dengan munduk-munduk mereka maju menyapa dan melayani.
Terutama pemilik restoran yang sedang berendam di bak air panas, bergegas ia merangkak berdiri seperti kedatangan kakek moyangnya yang ingin berpesta di rumah makannya.
Jantung Hong Si-nio juga berdebar-debar, setelah memilih tempat duduk ia berbisik tanya.
"Kenapa kau ajak aku ke Tay-hong-Iau?"
Siau Cap-it Long tertawa.
"Karena aku seorang Tay-heng (jutawan), malah jutawannya jutawan."
Suara Hong Si-nio lebih lirih.
"Kau tahu barang-barang itu kubeli dengan apa?"
"Tahu, kau gunakan buah kancing batu Giok yang ada di kantong bajuku itu."
"Tapi sekarang aku tidak punya duit."
"Aku tahu."
"Kau akan berhutang dulu di sini?"
"Tidak."
Hong Si-nio tertawa getir.
"Urusan apa tidak pernah kukerjakan, tapi suruh aku gegares makanan gratis, terus terang sukar kulakukan."
"Aku sendiri juga rikuh."
"Memangnya kita tidak perlu makan?"
"Lho, ya makan. Makan sepuasnya."
"Setelah makan?"
"Setelah makan, ya bayar."
"Mana uangnya?"
"Uang? Nanti ada orang mengantar kemari."
"Siapa yang akan mengantar kemari?"
"Aku sendiri tidak tahu."
Hong Si-nio hampir berteriak.
"Kau tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
"Hm, ya, tidak tahu."
"Memangnya uang itu bakal jatuh dari langit?"
"Uang yang jatuh dari langit, aku harus membungkuk memungutnya, bisa berabe."
Dengan terbelalak Hong Si-nio mengawasinya.
"Memangnya ada urusan segampang itu untuk mendapat uang?"
"Ya, ada."
"Kulihat kau ini belum bangun dari mimpi...."
Belum habis ia bicara, dari bawah loteng memburu datang seorang lelaki pendek gemuk, dengan wajah bundar, jenggot kambing pendek, berpakaian serba lengkap dengan topi bundar di atas kepalanya, dengan munduk-munduk memberi hormat kepada Siau Cap-it Long, katanya dengan tertawa lebar.
"Apakah tuan adalah Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
"Sudan jelas kalau aku, masih bertanya lagi,"
Tawar suara Siau Cap-it Long. Orang itu munduk-munduk dengan tawa lebar, katanya ramah.
"Soalnya nominal rekening ini teramat besar jumlahnya, terpaksa Cayhe harus berlaku hati-hati."
"Apa kemarin kau sudah di sini?"
Tanya Siau Cap-it Long. Orang itu memanggut.
"Beberapa hari lalu sudah ada orang memberitahu ke bank kami, katanya dalam beberapa hari ini Siau-toaya membutuhkan uang, aku disuruh ke sini menunggu."
"Kau dari bank mana?"
"Kami dari bank Goan-po, dari kelompok Li-thong. Mohon petunjuk Siau-toaya."
"Bagaimana rekening koranku di bank kalian?"
"Mulai bulan dua tahun lalu, seluruhnya ada enam rekening koran Siau-toaya di bank kami, dari jumlah seluruhnya ada 66 laksa tiga ribu enam ratus tahil."
Dari lengan bajunya ia keluarkan sebuah buku catatan, lalu diangsurkan dengan dua tangan.
"Jumlah seluruhnya dicatat jelas di buku ini, mohon Siau-toaya memeriksa."
"Tak usah aku periksa,"
Ujar Siau Cap-it Long.
"tapi dua tiga hari ini aku memang perlu uang kontan."
"Sudah kami sediakan di bank, Siau-toaya butuh uang tunai atau cek kontan?"
"Cek kontan saja. Tentunya cek bank kalian bisa dipercaya bukan?"
"Mohon periksa Siau-toaya, bank kami banyak mendirikan cabang di berbagai kota, laporan yang diterima kantor pusat semua menyatakan selama seratus tahun lebih sejak bank kami berusaha, rekening koran Siau-toaya yang paling besar, langganan paling terpercaya."
Laki-laki ini seperti mengerti, lelaki senang diumpak di hadapan sang nyonya, dengan laku dibuat-buat ia membalik ke arah Hong Si-nio untuk menjelaskan.
"Waktu Siau-toaya setor uang ke bank kami tidak memerlukan tanda terima, rabatnya juga paling kecil, selama tiga puluh tahun bekerja di bank, baru sekali ini aku bertemu dengan pelanggan sebaik Siau-toaya, belum pernah ada orang kedua."
Hong Si-nio hanya tersenyum saja.
"Ya, dia memang jutawan, jutawannya jutawan."
"Ya, betul, memang tidak salah,"
Kata lelaki itu.
"entah Siau-toaya kali ini perlu pakai berapa duit?"
"Buatkan cek lima ratus tahil sebanyak dua ratus lembar."
"Jumlahnya tepat 10 laksa tahil."
"Buatkan pula lima laksa tahil 10 lembar."
Lelaki itu menarik napas, katanya gugup.
"Cek kontan bank kami tak beda dengan uang tunai, di cabang mana saja bisa diuangkan segera. Untuk membawa uang sebanyak ini apakah Siau-toaya tidak berabe?"
"Tak perlu kau pikirkan cara bagaimana aku membawa uang. Yang pasti dengan cepat aku bisa menggunakan uang itu."
Laki-laki itu merinding dibuatnya, belum pernah ia bertemu dengan orang seroyal ini memakai uang, bukan saja tidak pernah melihat, mimpi pun tak pernah terbayang olehnya. Siapa tahu persoalan yang tak pernah diimpikan masih terus berkembang.
"Sisanya yang enam laksa lebih itu,"
Demikian ucap Siau Capit Long sambil lalu.
"tak perlu dibukukan lagi, anggap saja kuberikan kepadamu."
Enam laksa tahil uang perak, secara umum uang sebanyak itu bisa digunakan keluarga biasa untuk biaya selama hidup, Siau Cap-it Long menganggap uang sebanyak itu sebagai persen diberikan dengan cumacuma kepada seorang pegawai bank.
Tangan lelaki itu kelihatan gemetar, jantungnya seperti hampir melonjak keluar dari rongga dada, segera ia membungkuk badan seraya berseru.
"Siaujin segera bukakan cek yang diperlukan dan segera mengantar kemari."
Bukan saja merubah panggilan, badannya yang buntak mirip bola waktu membungkuk hormat, selangkah demi selangkah mundur hingga anak tangga, hampir saja ia terpeleset di anak tangga saking gemetar lututnya.
"Nah, sudah kau lihat, lebih gampang bukan uang itu jatuh dari langit,"
Seru Siau Cap-it Long tertawa. Hong Si-nio mengawasinya tajam.
"Ada pertanyaan yang belum pernah kutanyakan kepadamu, sebab aku tak ingin kau anggap kemaruk harta, tapi hal ini perlu kutanyakan kepadamu."
"Boleh, silakan tanya."
"Tiga tempat harta terpendam itu, berapa yang sudah kau dapatkan?"
"Harta terpendam apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu harta terpendam apa?"
Pekik Hong Si-nio.
"Kecuali di waktu mimpi, harta terpendam macam apa yang kau maksud? Hakikatnya aku tidak pernah tahu dan tidak perlu tahu."
Kecuali dalam dongeng atau cerita dalam mimpi, apa benar di dunia ini ada harta terpendam, hal ini masih merupakan tanda tanya besar.
"Jadi uang sebanyak itu hasil curian?"
Damprat Hong Si-nio.
"Bukan,"
Jawab Siau Cap-it Long.
"Merampok atau hasil rampasan?"
"Juga bukan."
Padahal Hong Si-nio maklum, umpama merampok atau merampas uang milik orang, jumlahnya pasti tidak akan sebanyak itu. Tak tahan ia bertanya lagi.
"Lalu darimana saja uang sebanyak itu?"
"Tidak tahu."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, teriaknya.
"Tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long menghela napas.
"Bukan saja aku tidak tahu, sebetulnya apa yang telah terjadi ada kalanya aku sendiri tidak percaya bahwa urusan ini adalah kenyataan."
"Lalu bagaimana duduk perkara sebenarnya? Kau ...."
Mendadak ia tutup mulut, rona mukanya juga berubah.
Sebab mendadak ia melihat seorang beranjak naik ke loteng, orang yang bisa membuat muka Hong Si-nio berubah, bahwasanya bisa dihitung dengan jari tangan, bukan saja berubah mukanya, Hong Si-nio kontan menutup mulut, tiada orang kedua kecuali satu.
Ya, hanya satu di kolong langit, orang ini sudah beranjak ke loteng dan langsung menghampiri mereka.
Dari pucat berubah merah, dari merah berubah pucat muka Hong Si-nio, sepertinya kalau bisa dia ingin bersembunyi ke bawah meja, seperti takut atau malu melihat orang ini.
Ternyata Siau Cap-it Long juga berubah aneh mimik mukanya waktu melihat laki-laki ini menghampiri dirinya, sikapnya menjadi serba salah, apalagi saat itu ia berada bersama Hong Si-nio.
Siapakah dia sebenarnya? XIII.
MUNCULNYA SANG PENAGIH HUTANG Orang ini berwajah persegi, berpakaian hijau bersih dan rapi serta rajin, serba baru dan perlente mirip sebuah roti kering yang baru saja keluar dari panggangan.
Nyo Khay-thay.
Orang ini ternyata adalah Nyo Khay-thay.
Waktu berjalan, Nyo Khay-thay amat hati-hati seperti kuatir menginjak semut.
Mata tidak pernah melirik ke kanan atau kiri, ia datang langsung menghampiri meja, seperti di tempat itu ia tidak pernah melihat Hong Si-nio atau Siau Cap-it Long.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dia langsung berhenti di depan Siau Cap-it Long.
Hong Si-nio duduk mematung, sekujur badan seperti kaku dan kejang, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.
Padahal cewek yang satu ini biasa malang melintang sendiri, semua serba aku dan sesuai dengan kemauanku.
Bagaimana pandangan atau pendapat orang lain terhadap dirinya, persetan ia tidak peduli.
Tapi terhadap lelaki yang satu ini, dari relung hatinya yang paling dalam, ia merasa menyesal, malu dan berhutang.
Berhadapan dengan orang ini, dirinya ibarat berhadapan dengan seorang yang menagih hutang kepada dirinya.
Dia memang hutang dan tak terbayar selama hidup.
Jangan kata melihat, melirik pun Nyo Khay-thay tidak melihatnya, seperti lupa bahwa di dunia ini ada cewek ayu jelita yang sekarang lagi bersikap lucu melihat dirinya.
Terpaksa Siau Cap-it Long berdiri menyambut.
"Silakan duduk,"
Sapanya.
Nyo Khay-thay tidak duduk, terpaksa Siau Cap-it Long tetap berdiri.
Dari jarak dekat mendadak ia melihat lelaki berwajah persegi, bersih dan serba perlente ini mukanya mulai berkeriput tanda ketuaan, kelihatan lebih kurus dan pucat.
Umpama dia masih mirip roti kering yang baru dikeluarkan dari panggangan, kondisinya sudah bukan segagah, seganteng dan sesegar dahulu lagi.
Selama dua tahun ini, entah bagaimana ia melewatkan hari-hari kehidupannya.
Siau Cap-it Long sendiri amat mendelu, sukar dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang.
Terutama setelah adegan manis mesra semalam.
Mendadak Siau Cap-it Long menyadari dirinya sungguh mirip maling cilik yang kotor dan hina di hadapan orang ini, dirinya seperti tak mampu mengangkat kepala, hatinya merasa amat bersalah.
Nyo Khay-thay menatapnya sesaat, sorot matanya mirip ia mengawasi maling cilik, tiba-tiba ia berkata.
"Apakah tuan Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
Jelas dia mengenal Siau Cap-it Long, selama hidup takkan ia lupakan laki-laki yang satu ini, tapi sekarang pura-pura tidak kenal.
Siau Cap-it Long hanya mengangguk.
Dia maklum, mengerti kenapa Nyo Khay-thay berbuat demikian, dia merasakan getar perasaan Nyo Khay-thay saat itu.
Dengan wajah membesi Nyo Khay-thay berkata.
"Cayhe she Nyo, sengaja datang mengantar cek kontan yang diperlukan Siau-toaya."
Dari balik kantong bajunya ia keluarkan setumpuk lembaran cek yang utuh dan masih baru, dengan dua tangan ia angsurkan ke depan.
"Di sini ada dua ratus lembar senilai lima ratusan tahil, sepuluh lembar senilai lima laksa tahil, seluruhnya berjumlah enam laksa tahil, mohon Siau-toaya menghitungnya."
Tak mungkin Siau Cap-it Long menghitungnya satu per satu, bahwasanya ia rikuh untuk mengulur tangan menerima cek itu, namun mulutnya saja yang menggumam.
"Tak usah dihitung, yakin benar jumlahnya."
Nyo Khay-thay menarik muka.
"Jumlah ini tidak kecil, Siau-toaya harus menghitung dan periksa."
Sikapnya kukuh dan bertahan, menunggu reaksi Siau Cap-it Long. Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long terpaksa mengulur tangan menerima, lalu dibalik-balik sekenanya, bahwasanya ia tidak ingin bentrok atau cari perkara dengan orang yang satu ini.
"Ada yang kurang,"
Tanya Nyo Khay-thay.
"Tidak,"
Sahut Siau Cap-it Long.
"Setelah kau ambil dana sebesar ini,"
Kata Nyo Khay-thay lebih jauh.
"uang simpananmu yang masih ada di Li-thong dan Li-goan kedua bank itu masih ada seratus tujuh puluh dua laksa tahil."
Dia keluarkan pula se
Jilid buku rekening dan satu buku cek blanko.
"Inilah catatan jumlahnya dan cek yang masih kosong, bisa digunakan sewaktu-waktu. Silakan terima."
"Aku tidak ingin mengambil seluruhnya,"
Kata Siau Cap it Long. Membesi muka Nyo Khay-thay.
"Kau tidak ingin mengambilnya, aku justru ingin mengeluarkan."
"Kau?"
Tanya Siau Cap-it Long. Dingin sikap Nyo Khay-thay.
"Kedua bank tadi adalah milikku, mulai detik ini, aku tidak sudi berhubungan dengan orang macam dirimu."
Siau Cap-it Long mematung.
Tak terpikir olehnya rangkaian kata apa yang harus diucapkan.
Kalau Nyo Khay-thay mau segera pergi, ia tidak akan menahannya.
Tapi Nyo Khay-thay seperti belum mau pergi, dengan muka kaku, mata melotot, katanya dengan suara dingin.
"Sejak duelmu dengan Siau-yau-hou, banyak orang bilang kau adalah jago paling kosen di kolong langit."
Siau Cap-it Long terpaksa tertawa getir.
"Aku sendiri tidak pernah berpikir demikian."
"Tapi aku memikirkannya, aku tahu bukan tandinganmu."
Muka persegi yang kaku itu mendadak menampilkan mimik yang aneh, perlahan ia melanjutkan ucapannya.
"Sejak awal aku sudah tahu, dalam segala hal aku memang bukan tandinganmu."
Ibarat sebatang jarum, kata-katanya menusuk hulu hati Siau Cap-it Long, juga menusuk sanubari Hong Sinio.
Dan yang paling fatal adalah juga melukai dirinya sendiri.
Sejak tadi Hong Si-nio hanya menggigit bibir, mendadak ia mengangkat poci arak terus menuang arak ke dalam mulutnya.
Nyo Khay-thay tetap tidak meliriknya, suaranya lebih dingin.
"Kabarnya kemarin di tempat ini hanya dalam tiga jurus kau mengalahkan Auyang-hengte, betapa gagah kau ini tiada jago manapun di dunia ini yang sebanding denganmu. Orang macamku yang bernama Nyo Khay-thay bila ingin bertanding denganmu, orang pasti bilang aku ini tidak tahu diri."
Jari-jari tangannya terkepal, sepatah demi sepatah diucapkan dengan jelas.
"Sayangnya, aku orang yang tidak tahu diri, maka aku ...."
Maka aku mencintai Hong Si-nio. Ucapannya tidak ia lontarkan, tapi Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mengerti maksudnya.
"Kau ...."
Siau Cap-it Long tertawa getir.
"Maka hari ini aku datang,"
Nyo Khay-thay mendahului bicara.
"kecuali membuat perhitungan uang simpananmu, juga ingin bertanding melawan ilmu silatmu yang tiada taranya itu."
Setiap patah kata diucapkan perlahan, tapi jelas.
Padahal selama ini dia punya kebiasaan gagap kalau gugup atau bicara cepat.
Hari ini ia tidak perlu terburu-buru, sepertinya sudah berkeputusan, berkeputusan membuat perhitungan menyeluruh dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long mengerti perasaannya, tapi hatinya lebih perih.
"Kita bertanding di luar atau di tempat ini saja,"
Tantang Nyo Khay-thay. Siau Cap-it Long menghela napas.
"Aku tidak akan keluar, dan tidak akan melayanimu di sini."
"Apa maksudmu?"
Damprat Nyo Khay-thay murka.
"Maksudku adalah aku takkan bergebrak dangan kau."
Memang tak mungkin dia berkelahi dengan lelaki ini, sebab tak boleh menang tapi pantang kalah.
Dia maklum karena murka, waktu menyerang Nyo Khay-thay pasti nekad dan mengeluarkan, jurus-jurus mematikan, kalau ia mengalah dan sampai terluka, tak lama pasti ada orang yang meluruk datang menuntut jiwanya.
Dalam kondisi seperti sekarang, ia pun pantang kalah apalagi mati.
Mengawasinya dengan muka merah padam, Nyo Khay-thay berkata.
"Kau tidak sudi berhantam dengan aku? Karena aku tidak setimpal?"
"Bukan begitu maksudku."
"Peduli apa maksudmu, sekarang aku serang kau, kalau tidak membalas, kubunuh kau."
Biasanya Nyo Khay-thay orang yang suka mengalah, pengampun dan berbelas kasihan, orang yang tidak suka atau tidak bisa memaksa orang lain.
Tapi sekarang ia pojokkan posisi Siau Cap-it Long ke sudut yang tak mungkin menyingkir.
Hong Si-nio mengangkat kepala, selebar mukanya juga merah menyala, arak merangsang sifat garangnya, mendadak ia berjingkrak berdiri, pekiknya.
"Nyo Khay-thay, kutanya kau, apa sih maksud tingkahmu ini?"
Nyo Khay-thay tidak peduli padanya, tapi mukanya pucat.
"Memangnya kau kira dia takut padamu? Umpama takut juga jangan kau mengancamnya,"
Damprat Hong Si-nio. Nyo Khay-thay tetap tidak mempedulikan dia.
"Kau ingin membunuhnya?"
Seru Hong Si-nio beranjak maju.
"baik, bunuh aku lebih dulu."
Muka pucat Nyo Khay-thay berubah merah padam lagi, ia pun tak tahan lagi, serunya keras.
"Dia ... dia ... dia ini apamu? Kau ingin mati karena dia."
"Peduli siapa dia dan apa hubungannya denganku, kau tak berhak mencampuri urusanku."
"Aku ... aku ... aku tak boleh mencampuri? Memangnya siapa ... siapa yang harus ikut campur?"
Tampak otot besar menghijau menonjol di jidatnya.
Saking murka sampai sukar bicara.
Hong Si-nio juga amat murka, air mata hampir bercucuran.
Semua ini karena apa? Demi siapa? Sebetulnya mereka adalah sepasang suami isteri yang dapat menimbulkan iri orang lain, ya, mirip pasangan Lian Shiapik dengan Sim Bik-kun.
Tapi sekarang ....
Siau Cap-it Long tak kuasa menahan diri, tak tega melihat, tak tahan mendengar, posisinya memang mengharuskan mengambil satu jalan keluar.
"Baiklah, hayo kita keluar."
Tabir malam sudah menyelimuti alam semesta.
Toko-toko atau rumah-rumah di sepanjang jalan sudah memasang lentera.
Perlahan Siau Cap-it Long menuruni anak tangga, perlahan menuju ke tengah jalan, langkahnya berat, perasaannya lebih berat, dia tidak menyalahkan Nyo Khay-thay.
Bukan Nyo Khay-thay menyudutkan dirinya, Nyo Khay-thay sendiri juga disudutkan untuk menempuh jalan yang harus ditempuhnya ini.
Tekanan yang menakutkan memaksa mereka menjurus ke tapak yang harus ditempuh bersama.
Tekanan yang timbul akibat perang batin mereka sendiri.
Itukah yang dinamakan cinta? Atau benci? Suatu tragedi? Atau angkara murka? Siau Cap-it Long tak mau berpikir lagi, ia tahu, dipikir juga takkan menghasilkan penyelesaian.
Yang pasti ia sadar dirinya sudah berada di tengah jalan raya, ia berhenti.
Mendadak ia sadar dan tahu seluruh suara dan kegiatan di sekelilingnya semua berhenti.
Nyo Khay-thay juga sedang keluar dari Bok-tan-lau.
Sepi lengang.
Semua orang yang berada di jalan raya menyingkir jauh, semua melotot mengawasi mereka, semua berdiri mematung seperti orang pikun.
Siau Cap-it Long sadar, orang yang benar-benar pikun bukan para penonton itu, tapi adalah dia dan Nyo Khay-thay.
Dari atas loteng mendadak berkumandang suara barang-barang pecah berantakan, entah piring mangkuk atau poci cawan, semua dibanting luluh.
Setelah habis barung-barang dibanting menyusul berkumandang lolong tangis yang menyedihkan seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya.
Biasanya Hong Si-nio suka tertawa dan tertawa keras, kalau sedih menangis sesenggukan.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tidak ikut turun, tak berani turun, tak berani menonton, tapi ia tak kuasa mencegah peristiwa ini.
Dengan kencang Nyo Khay-thay menggenggam tangan, mukanya yang persegi berkerut menahan gejolak perasaan.
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, katanya mendelu.
"Kau ... kenapa semua ini kau lakukan."
Nyo Khay-thay melotot, raungnya keras.
"Kenapa tidak kau tanya pada dirimu sendiri."
Belum habis bicara, orangnya sudah menyerbu ke depan, serentak menyerang tiga jurus, seperti cara ia berjalan, tiap jurus dilakukan dengan rajin dan sungguh-sungguh.
Siau Cap-it Long berkeputusan, duel ini dirinya tidak boleh kalah juga tidak boleh menang.
Dia pikir bila Nyo Khay-thay sudah kehabisan tenaga dan tak mampu bergerak lagi, perkelahian ini harus segera dihentikan.
Tapi begitu menyerang Nyo Khay-thay sudah kesetanan, hal ini membuatnya mengerti urusan tidak semudah yang ia bayangkan semula, walau hatinya gundah, pikiran kalut, tapi jurus permainan Nyo Khaythay amat rajin, tidak kacau, gerak-gerik dan gayanya memang tidak enak dipandang, tapi tiap jurus serangannya sangat bermanfaat, berguna untuk pertahanan dan lancarnya perubahan, yang pasti tiap jurus serangannya dilandasi kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang menjadi landasan jurus permainannya banyak perubahan dan tidak boleh diremehkan.
Selama ini belum pernah Siau Cap-it Long berhadapan dengan lawan yang berlatih silat sedemikian kokoh dengan landasan kuat dan berakar.
Dua puluh jurus kemudian, permainannya makin lancar, tenaga yang dikembangkan sungguh amat dahsyat perbawanya, tiap langkah kakinya pasti meninggalkan bekas tapak dilantai jalan raya yang dilembari lempengan batu hijau.
Tapak kaki yang tidak banyak.
karena tiap gerak, tiap jurus yang dilancarkan amat rajin menurut aturan permainan, tiap langkah kakinya dari awal hingga jurus berikutnya tidak banyak perubahan.
Bekas tapak kaki tidak bertambah, tapi bekas tapak kaki itu makin dalam.
Banyak papan nama toko-toko di pinggir jalan berdetak dengan bunyi yang ramai oleh damparan tenaga pukulan hingga bergoyang gontai hampir jatuh.
Jidat Siau Cap-it Long sudah bermandi keringat.
Dengan jurus permainan ilmu silatnya, tidak sukar bagi Siau Cap-it Long untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebab gerak-gerik ilmu silat Nyo Khay-thay kalau mau dinilai ibarat permainan badut belaka.
Tapi ia tidak boleh menang.
Sementara jotosan demi jotosan Nyo Khay-thay terus menyerbu dengan gencar, tanpa tipu daya juga tiada variasi, tiada muslihat, maka ia sendiri juga tidak perlu berkelit segala.
Betapapun runcing sebuah paku akhirnya akan dipukul tumpul juga.
Demikianlah perasaan Siau Cap-it Long, dirinya seperti paku yang terus dipukul dan dipukul.
Yang menakutkan, tiba-tiba ia menyadari pahanya mulai kaku kejang, gerak-geriknya juga menjadi terhambat dan lambat.
Selama bertempur dengan musuh, belum pernah kalah karena ia yakin dirinya pasti menang.
Hari ini ia tidak punya tekad, karena ia tidak berniat menang, tapi ia juga tidak mau kalah.
Satu hal yang ia lupakan, dua orang bila sedang bertempur, kalau tidak menang ya harus kalah.
Menang atau kalah tidak bisa pilih-pilih lagi.
Umpama ingin menang, dalam kondisinya sekarang juga sudah terlambat.
Permainan pukulan Nyo Khay-thay, tenaga yang dikerahkan dan kayakinannya mencapai puncak paling tinggi, waktu menyerang boleh dikata ia sudah mengerahkan setaker tenaganya, meski tahu bukan tandingan lawan, tapi ia yakin dapat mengalahkan musuh, maka waktu menyerang tidak memikirkan keselamatan sendiri, yang penting nekad.
Bahwasanya ia sendiri tidak menyadari bahwa kemampuannya sudah mencapai tingkat yang sukar dicapai tokoh silat manapun.
Dalam kondisi sekarang, mungkin sedikit saja tokoh silat yang mampu mengalahkan dia.
Siau Cap it Long tahu jika dirinya akan kalah.
Ibarat sebatang paku yang dipukul amblas ke dalam tanah, ilmu silatnya sudah tidak mampu dikembangkan lagi.
Apalagi lukanya mulai kambuh.
Tapi faktor yang menentukan justru jalan pikirannya sendiri, hal yang tidak pernah terpikir olehnya sekarang bakal menjadi kenyataan.
Sebab selama hayat dikandung badan, ratusan pertarungan besar kecil melawan tokoh lihai sekalipun, belum pernah ia dikalahkan.
Kalau jalan pikirannya benar dan merasuk jiwa, berarti kekalahan itu sendiri bakal menjadi kunci dasar tenaga dan kekuatannya yang makin luluh dan lumpuh.
BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 9 Mendadak kaki kanan Nyo Khay-thay maju setapak, tepat menginjak di bekas tapak kakinya yang terdahulu, kepalan yang meninju malah tangan kiri dengan jurus Hek-hou-to-sim atau harimau hitam merogoh hati, yang diincar dada Siau Cap-it Long.
Hek-hou-to-sim adalah jurus umum yang sering dimainkan setiap pesilat, dilakukan dengan serius dan lurus, tanpa kembangan, tiada variasi, namun daya kekuatannya sungguh dahsyat.
Jago-jago silat zaman ini yakin takkan ada yang punya jurus pukulan sedahsyat yang dilancarkan Nyo Khaythay sekarang.
Umpama Siau Cap-it Long sendiri yang melancarkan pukulan jurus ini, pasti takkan punya perbawa sehebat ini.
Siau Cap-it Long tahu akan hal ini, terpikir olehnya akan kedahsyatannya, tapi kondisinya hampir tak mampu mengatasinya, berkelit apalagi menangkis serangan ini.
Pada detik yang menentukan itulah dari tengah udara meluncur seutas tambang panjang menggulung datang, melingkar dan menjerat kaki kiri Nyo Khay-thay.
Tali yang melingkar-lingkar itu ternyata bukan tambang, tetapi cambuk panjang, belum pernah orang melihat cambuk sepanjang itu, apalagi cambuk yang lincah dan enteng seperti hidup itu.
Seorang lelaki berlengan tunggal serta mahkota menghias di kepalanya, sepasang kakinya buntung sebatas lutut, tapi bercokol di atas kepala seorang lelaki gede yang bertelanjang dada, berada sejauh dua tombak, dengan lincah dan enteng memainkan cambuk panjang itu.
Begitu cambuk disendal dan dibalik, ia membentak.
"Roboh!"
Ternyata Nyo Khay-thay tidak jatuh.
Kekuatan pukulan tangannya ternyata beralih kaki, hingga kakinya menekan turun amblas ke dalam tanah, papan batu yang keras seperti menjadi seempuk tahu saja, kedua kakinya amblas melesak ke dalam bumi.
Otot hijau di jidat Jin-siang jin menonjol keluar, lengan tunggalnya mengencang, cambuk panjangnya juga ditarik kencang.
Tapi Nyo Khay-thay tidak bergeming, badannya berdiri kokoh seperti tiang batu yang ditanam dalam tanah.
Jin-siang-jin kembali menyendal serta menarik balik cambuknya.
Siapa tahu mendadak Nyo Khay-thay menggerakkan tangan, ujung pecut berhasil ditangkap, mendadak ia membentak sambil menarik dengan kekuatan penuh.
Badan Jin-siang-jin mencelat mumbul, melayang turun hampir menyentuh tanah, mendadak ia membentak pula, beruntun badannya jungkir balik tiga kali, secara enteng badannya mumbul kembali dan tepat duduk di kepala orang gede itu.
Tapi cambuk panjangnya terlepas dari tangannya.
Dengan gemas Nyo Khay-thay memutus cambuk itu menjadi lima bagian terus dibanting ke tanah, mukanya kaku dingin.
"Seharusnya kubunuh kau."
"Silakan turun tangan,"
Tantang Jin-siang-jin. Nyo Khay-thay menyeringai sombong.
"Selama hidup aku tidak pernah melawan orang cacad."
Dari wuwungan rumah sebelah samping, seorang menghela napas, katanya.
"Tidak malu orang ini diagulkan sebagai Kuncu. Sayang mukanya tebal sedikit."
"Siapa yang bicara?"
Bentak Nyo Khay-thay. Seorang kakek mata tunggal berkaki pincang berdiri sambil menggendong tangan di wuwungan rumah, ujarnya.
"Yang pasti aku bukan Kuncu, cacad lagi. Tapi kalau ada seorang mengalah dan tidak sudi melukai diriku, mukaku cukup tebal untuk terus ngotot hendak membunuhnya."
"Siapa yang kau maksud?"
Damprat Nyo Khay-thay.
"Yang kumaksud adalah engkau."
Kakek tua ini jelas adalah Hamwan Sam-coat.
"waktu kau menyerang sampai jurus ketujuh, mestinya Siau Cap-it Long mampu merobohkan kau tiga kali, memangnya kau sendiri tidak tahu?"
Merah padam muka Nyo Khay-thay.
Sejak turun tangan jurus pertama tadi, gerak-geriknya yang kaku dan bergerak menurut alur aturan, memang tiga kali ia menunjukkan lubang kelemahan.
Bukannya dia tidak tahu, meski tahu, ia pun tidak menyangkal.
Peduli Nyo Khay-thay seorang pikun atau benar-benar seorang Kuncu, yang pasti dia bukan Siau-jin, manusia rendah.
Di antara kerumunan orang di emper toko sana, seorang berbaju hijau tampil ke depan seraya berkata.
"Dalam hal ini kau tidak boleh menyalahkan Nyo-lote. Apa yang dia lakukan kan lumrah dan apa adanya."
Lalu dengan tersenyum lebar ia menambahkan.
"Nyo-lote ini juga seorang pedagang, seorang pedagang umumnya mengutamakan hati hitam kulit tebal. Kalau tanpa pedoman dagang begitu, keluarga Nyo mana mampu merebut prestasi sebagai keluarga kaya raya di kolong langit? Darimana ia bisa punya duit sebanyak itu?"
Nyo Khay-thay menatapnya beringas, mukanya merah padam, bibir bergerak ingin bicara tapi sepatah kata pun sukar keluar dari mulutnya. Hamwan Sam-seng bergelak tertawa.
"Aku pasti takkan menyalahkan engkau, aku juga berdagang, jangan kata dia memberi potongan tiga kali, umpama sepuluh kali juga tidak akan menjatuhkan dirimu, kau tetap boleh memukulnya mampus."
Mendadak Nyo Khay-thay melompat ke atas, setelah membanting kaki, segera putar badan terus tinggal pergi.
Karena tidak bisa bicara, tiada yang bisa dibicarakan.
Seorang Kuncu bertemu dengan Siau-jin, lebih baik menyingkir daripada banyak bacot mengotori mulut sendiri malah.
Hamwan Sam-seng membalik badan menghadapi Siau Cap-it Long, katanya dengan tersenyum lebar.
"Kau tak perlu berterima kasih kepada kami, umpama kami tidak datang menolongmu, belum tentu dia berniat membunuhmu."
Siau Cap-it Long bukan terhitung Kuncu, tapi juga tidak sudi menjadi Siau-jin. Ia maklum apa maksud Hamwan Sam-seng, tapi malas mengajaknya bicara. Kini ia sadar dan ingat apa yang pernah dikatakan Hoa Ji-giok memang tidak bohong.
"Hari ini kau bebaskan Hamwan Sam-seng, akan datang suatu hari kau akan menyesal". Mendadak Hamwan Sam-seng berseru.
"Para saudara yang hadir di sini, kalian sudah melihat jelas bukan? Tuan inilah pendekar gagah yang tiada taranya, pendekar besar Siau Cap-it Long."
Tidak ada orang berani bersuara. Orang yang betul-betul pikun di dunia ini tidak banyak jumlahnya, orang sering bilang, elmaut datang dari mulut, kenyataan memang demikian. Lebih jauh Hamwan Sam-seng berpidato.
"Mengingat dia seorang gagah, pendatang adalah tamu, maka kuberi kelonggaran tiga kali padanya, tapi hari ini, di hadapan kalian yang hadir di sini, aku akan membunuhnya."
Mendadak Siau Cap it Long tertawa.
Ia insaf bahwa dirinya tidak bodoh, mengenal betul siapa sebetulnya Hamwan Sam-seng.
Dia sudah menduga Hamwan Sam-seng menolong dirinya, tak lain karena ingin turun tangan sendiri.
Kalau dengan tangan sendiri memegang kepala Siau Cap-it Long, insan persilatan mana yang tidak menginginkannya.
Batok kepala Siau Cap-it Long, nilainya jelas teramat tinggi untuk diperebutkan.
Hamwan Sam-seng belum selesai bicara, katanya lebih jauh.
"Karena orang gagah kita ini meski kulitnya teramat tebal, hatinya hitam, seorang bergajul yang kemaruk paras ayu, ternyata suka membunuh orang, orang yang mati di tangannya tak terhitung banyaknya."
Hamwan Sam-coat ikut menimbrung.
"Bergajul suka paras elok, membunuh orang sebagai kegemaran, bukanlah perilaku seorang gagah?"
"Kalau dunia ada manusia sekotor ini, apakah insan persilatan bisa hidup tenteram?"
"Satu jurus membikin mata Ciangbunjin Tiam-jong buta, tiga jurus mengalahkan Tiong-pek-siang-hiap, konon diagulkan sebagai jago terkosen di dunia, kau mampu membunuh dia?"
Hamwan Sam-seng menghela napas gegetun.
"Seorang lelaki harus berani bertindak kalau dirasa tindakannya itu benar. Demi membela kebenaran, meski aku bukan tandingannya, meski harus berkorban jiwa, aku tetap akan mencobanya."
Hamwan Sam-coat juga menghela napas.
"Baik, bila kau mati, akan kukubur jenazahmu."
"Memangnya kau tidak ingin mencoba?"
"Aku ini sudah cacat, demi 'kebenaran dan keadilan', aku siap berkorban."
Hamwan Samseng bergelak tertawa.
"seorang lelaki hidup tidak perlu senang, mati tidak usah takut? Duelku hari ini, mati atau hidup, mendengar janjimu legalah hatiku, mati pun tidak menyesal."
Dua saudara berdialog seperti latihan main sandiwara, siapa yang mendengar, yang tidak tahu persoalan, yakin mereka memang sedang memerankan lakon yang patut dipuji. Siau Cap-it Long tertawa lebar, katanya.
"Bagus, laki-laki sejati."
"Ditantang laki-laki sejati, kau mampu melawan."
"Betul, aku akan melawan."
"Cabut golokmu,"
Tantang Hamwan Sam-seng.
"Baik."
Kejap lain goloknya telah keluar dari sarungnya.
"Itukah golok jagal rusamu?"
Tanya Hamwan Sam-seng.
"Betul."
"Konon golokmu itu pusaka tiada tandingan di dunia?"
Siau Cap-it Long menggerakkan golok di tangan, katanya tersenyum.
"Memang golok sakti, untuk menabas leher orang tidak perlu dua kali."
"Dengan golokmu itu kau kalahkan Tiong-pek-siang-hiong?"
"Bila perlu satu jurus aku kalahkan musuh."
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikap Hamwan Sam-seng tidak berubah, nadanya dingin.
"Baik, hari ini dengan sepasang tanganku ini, kulawan golok jagal rusamu. Aku akan mengalah tiga jurus."
"Kau mengalah tiga jurus?"
Siau Cap-it Long menegas.
"Tiga kali aku memberi kesempatan kepadamu, kenapa sekarang tidak memberi kelonggaran tiga jurus kepadamu?"
Kelihatannya ia amat yakin. Dia lihat Siau Cap-it Long sudah kehabisan tenaga, seperti dian yang hampir kehabisan minyak. Mengelus tajam goloknya, Siau Cap-it Long menghela napas.
"Sayang, sayang."
"Sayang apa?"
Tanya Hamwan Sam-seng.
"Sayang, golok saktiku ini terpaksa harus memenggal kepala orang macam dirimu."
"Untuk menabas kepalaku rasanya juga tidak mudah."
"Tadi tenagaku sudah habis, niatku padam, apalagi racun bekerja pada saatnya, jelas aku takkan mampu melawan."
"Memangya kenapa sekarang?"
"Sekarang jelas sudah berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Tadi yang harus kuhadapi seorang Kuncu, sekarang aku menghadapi Siau-jin."
Hamwan Sam-seng menyeringai sambil mendengus hidung.
"Golokku ini tidak membunuh Kuncu, tapi senang membunuh Siau-jin."
Begitu ia memutar tajam goloknya, cahaya seketika berkembang menyala seperti mengobarkan hawa membunuh.
Begitu keras tekanan hawa membunuh dengan cahaya golok yang menyilaukan, jantung Hamwan Samseng seperti menjadi dingin, raut mukanya juga berubah kelam.
Mengawasi Siau Cap-it Long, mendadak ia sadar orang seperti berubah menjadi orang lain hanya dalam waktu sekejap.
Dimana golok Siau Cap-it Long bekerja, kulit daging di tubuhnya ia iris secomot, darah segar mengalir deras, mengerut alis pun tidak, seperti tidak merasakan sakit sama sekali, suaranya malah garang.
"Kakiku ini setengah lumpuh, tapi membunuh orang bukan menggunakan kaki."
Kalau jidatnya basah keringat, sorot matanya malah mencorong terang, semangatnya bangkit malah. Jidat Hamwan Sam-seng juga berkeringat. Siau Cap-it Long menatapnya tajam.
"Tadi kau bilang akan memberi kelonggaran tiga jurus."
"Aku ... ya, aku pernah bilang,"
Tergagap jawaban Hamwan Sam-seng.
"Tapi kalau satu jurus aku tidak memaksamu turun tangan, anggaplah aku yang kalah, kalau tiga jurus aku tidak mampu memenggal kepalamu, anggap pula aku yang kalah, akan kupenggal kepalaku dan kuserahkan kepadamu."
Membesi hijau muka Hamwan Sam-seng.
"Nah, terima dulu sejurus golokku,"
Bentak Siau Cap-it Long.
Malam makin larut, cahaya lampu masih menyala terang benderang.
Waktu golok berkelebat cahayanya seperti menyala lebih benderang dari cahaya lampu di pinggir jalan, sinar golok bagai sabuk jagat meluncur ke sana, bayangan Hamwan Samseng ternyata sudah lenyap entah kemana.
Jago gagah yang pentang bacot mengagulkan diri tadi, begitu sinar golok Siau Cap-it Long berkelebat, tibatiba berubah selicin rase yang ketakutan, lari lintang pukang mencawat ekor.
Kerumunan orang banyak di sebelah sana tampak menjadi ribut, hanya sekejap bayangan sudah lenyap ditelan kegelapan.
Hamwan Sam-coat yang sejak tadi berdiri di wuwungan rumah sana juga tiba-tiba menghilang.
Cahaya golok seterang kilat menyinari muka Jin-siang-jin, air mukanya tampak pias seperti orang yang kehabisan darah.
Siau Cap-it Long mengangkat goloknya tinggi di atas kepala, dengan tajam ia mengawasi orang.
Jin-siang-jin tidak bergerak, tidak berani bergeming, kepala botak di bawahnya menyurut mundur dan mundur makin cepat, sekejap mata mereka sudah berada di ujung jalan serta lenyap dari pandangan mata.
Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya tertawa sekeras-kerasnya, serunya.
"Seorang laki-laki bisa melihat gelagat. Orang-orang itu memang betul adalah pendekar yang patut diagulkan."
Dari tengah kerumunan orang banyak, seorang menghela napas.
"Seorang gagah yang tidak tahu malu, Siau Cap-it Long yang gagah perwira." * * * * * Cahaya lampu tetap benderang di loteng Tay-heng-lau, tapi waktu orang banyak melihat kehadiran Siau Cap-it Long, semua berubah air mukanya. Hong Si-nio berdiri di pinggir pagar bambu, air mata di wajahnya sudah kering, namun sikapnya sukar ditebak, apakah sedih, malu atau merasa bangga berhadapan dengan lelaki yang perwira, atau sedih mengingat nasibnya yang jelek. Perlahan Siau Cap-it Long melangkah ke sana, lalu duduk, Tidak melirik atau melihatnya, ia paham dan mengerti betapa perasaan orang saat itu, dalam hati ia merasa banyak berhutang. Selama hidup hutang ini takkan mungkin bisa ia lunasi. Hong Si-nio duduk di depannya, tanpa suara mengisi cawan arak di depannya. Tanpa suara ia tenggak habis arak itu. Sesaat kemudian Hong Si-nio tiba-tiba tertawa, katanya.
"Tanpa menyerang satu jurus pun duel ini berhasil kau menangkan. Sejak dahulu kala, tiada orang yang menang lebih cemerlang dibanding kau, paling sedikit aku harus menyiapkan tiga puluh cawan arak untukmu."
Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang dipaksakan.
"Yang benar kau tidak perlu menghormat kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena mestinya aku tidak menang, kenyataan aku menang."
"Karena kau mestinya kalah tapi tidak kalah?"
"Kejadian tadi kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri."
"Tapi aku tidak mengerti."
"Tapi aku...."
"Bukankah kau mengharap dikalahkan oleh Nyo Khay-thay? Mengharap dia membunuhmu?"
Matanya menatap mukanya dengan tajam.
"Kau beranggapan setelah Nyo Khay-thay mengalahkan engkau, maka hatiku akan merasa lega, begitu?"
Siau Cap-it Long tidak menjawab, tidak bisa menjawab.
Yang pasti aku akan berhutang padamu, maka dengan cara ini aku membayar hutang padamu.
Cara ini tidak sempurna, tapi bisa mengurangi perasaan sedihku.
Perkataan ini tidak diucapkan, tak berani ia ucapkan, tapi ia yakin Hong Si-nio mengerti.
Dengan nanar ia mengawasinya, katanya dingin.
"Kalau kau tidak bisa menjawab, biar kuberitahu kepadamu. Kalau kau benar-benar kalah, kita tidak akan bisa merasa lega, Nyo Khay-thay sendiri juga tidak merasa senang."
Waktu menyebut nama Nyo Khay-thay, perasaannya tidak bergolak seperti sebelum ini, nama itu terlontar dari mulutnya seperti ia menyebut nama orang yang tidak dikenalnya.
Hati Siau Cap-it Long sebaliknya merasa mendelu, sebab ia mengerti perasaan Nyo Khay-thay, selama hidup jelas takkan bisa dilupakan, tapi perasaan ini akan selalu mengganjal dalam sanubari.
Tiada orang yang lebih meresapi pahit getir dan derita hati seorang seperti perasaan Siau Cap-it Long sekarang.
"Aku tahu kau berusaha membayar hutang,"
Ucap Hong Si-nio.
"Tapi cara yang kau gunakan salah, tujuannya juga keliru."
Jari-jari Siau Cap-it Long saling genggam.
"Aku pernah berjanji kepadamu, maka aku akan menemanimu mencari dia."
"Tapi sekarang...."
"Sekarang aku tetap akan mengajakmu pergi mencarinya."
Siau Cap-it Long mengangkat kepala, dengan tajam ia mengawasi. Hong Si-nio malah melengos menghindari tatapan matanya. Lama kemudian Siau Cap-it Long baru berkata.
"Kau ... sepertinya kau tak pernah berubah?"
"Selamanya takkan berubah,"
Sahut Hong Si-nio tegas.
Ia berpaling ke sana, memandang tabir malam di luar jendela, ia tidak ingin air mata yang meleleh dilihat olehnya.
Setumpuk cek kontan yang masih baru tergeletak di atas meja, tiada orang menyentuhnya, tiada orang berani memegang.
Bukan setumpuk kertas tak berguna, tapi setumpuk kekayaan yang nilai nominalnya luar biasa besarnya, kekayaan yang hanya diharapkan orang dalam mimpi.
Kekayaan yang dapat membuat orang tidak segan menjual diri, menjual keluarga sampai kakek moyang sekalipun.
Waktu mengawasi tumpukan cek kontan itu, rona mata Siau Cap-it Long seperti merasa jijik, hina dan rendah, tiba-tiba ia berkata.
"Kenapa tidak kau tanyakan padaku, darimana kuperoleh uang sebanyak ini?"
"Kalau kutanya, kau mau menjelaskan?"
Tanya Hong Si-nio.
"Kalau kujelaskan, kau percaya?"
"Kenapa aku tidak percaya?"
"Sebab aku sendiri tak tahu darimana datangnya uang ini."
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, air matanya sudah kering, selama ini ia mahir mengendalikan air mata, namun selama ini tak kuasa mengendalikan ocehannya, dengan keras ia berseru.
"Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut, katanya tertawa getir.
"Aku mengerti, persoalan ini juga akan membuatmu bingung."
"Memangnya apa yang telah terjadi?"
Ini kejadian brutal, kejadian tidak masuk akal, persoalan yang mestinya sederhana, bisa dijelaskan dengan sepatah dua patah kata.
"Uang itu pemberian orang kepadaku."
"Siapa yang memberimu?"
"Tidak tahu."
"Sebanyak itu orang memberimu uang, tapi siapa dia, kau tidak tahu?"
"Uang yang diberikan padaku, bukan hanya sebanyak itu."
"Berapa banyak dia berikan kepadamu?"
"Jumlah yang pasti aku juga tidak tahu."
"Memangnya amat banyak sampai tak bisa dihitung, begitu?"
"Bukan saja saking banyaknya hingga tak tahu jumlahnya, dihitung juga tidak sempat lagi."
"Maksudmu waktu dia memberi jumlahnya banyak dan berlangsung cepat?"
Siuw Cap-it Long memanggut.
"Dimana pun aku berada, tahu-tahu di bank setempat dia sudah menyiapkan uang untukku, jumlah yang tidak sedikit. Setiap kali aku berada di hotel, petugas bank lantas datang melapor kepadaku."
Hong Si-nio diam sejenak, lalu berkata.
"Tidak kau tanyakan pada petugas bank, siapa yang mengantar uang itu?"
Sudah tentu pernah Siau Cap-it Long tanyakan.
"Orang yang punya saldo di bank terdiri berbagai macam orang, jika ada pedagang yang menyimpan uangnya di bank, petugas bank jelas tak akan bertanya mereka siapa dan darimana."
"Ya, tapi mereka setor uang ke bank atas namamu, lalu menyuruh petugas bank menyerahkan uang itu kepadamu."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Petugas bank itu, cara bagaimana mereka tahu kalau kau adalah Siau Cap it Long?"
"Mereka tidak tahu, tapi setiap aku datang ke suatu tempat, mereka akan menerima sepucuk surat, sural yang ditulis atas namaku, menyuruh mereka mengantar uang kepadaku."
"Apa kau harus menerima?"
"Kenapa aku tidak mau terima?"
"Karena tanpa sebab musabab tak mungkin dia memberi uang sebanyak itu kepadamu."
"Aku maklum, jelas dalam hal ini ada maksud tertentu."
"Pernah terpikir olehmu, apa maksud tujuanya?"
"Sebab dia mengerti, orang lain pasti takkan percaya ada kejadian seaneh ini di dunia ini. Jadi dia ingin orang banyak beranggapan aku menemukan harta terpendam."
Dengan tertawa kecut lalu ia menyambung.
"Seorang yang menemukan harta terpendam, mirip tulang yang menusuk daging tubuhnya, semua anjing kecil besar, kenyang atau lapar, apapun macamnya, begitu mendengar berita, pasti akan meluruk datang untuk berebut makanan."
"Jadi maksudnya memusatkan perhatian seluruh orang Kang-ouw kepada dirimu?"
"Di kala orang banyak memusatkan perhatiannya meluruk diriku, setahap demi setahap dia mulai melaksanakan rencananya, menghamburkan sedikit uang baginya tidak masalah."
"Tapi yang dia berikan kepadamu bukan sekedar uang."
"Ya, memang bukan sekedarnya."
"Orang Bulim yang memiliki uang sebanyak itu tidak banyak jumlahnya, orang yang bisa memberi uang sebanyak itu kepada orang lain, sukar kutemukan orangnya."
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku hanya menduga satu orang."
"Siapa?"
"Siau-yau-hou sudah mati, tapi kumpulan rahasia itu tidak bubar, karena ada seorang menggantikan kedudukan ...."
"Kau kira orang itu yang memberi uang kepadamu?"
"Kukira hanya dia seorang yang mampu mengeluarkan uang sebanyak itu."
Siau-yau-hou sendiri kekayaannya sebanding kekayaan negara, orang-orang yang menjadi anggota perkumpulannya juga pantas berkuasa di daerahnya masing-masing.
Kalau harta kekayaan orang-orang itu dikumpulkan, jelas takkan kalah dibanding kekayaaan negara.
Umpama betul ada berita tentang tiga tempat harta terpendam ditemukan, jumlahnya belum tentu lebih banyak.
"Bukan saja orang itu telah menggantikan kedudukan Siau-yau-hou, seluruh harta bendanya juga telah diwariskan kepadanya."
"Tapi kau tidak tahu siapa dia, bagaimana asal-usulnya."
Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak tahu, hakikatnya tiada orang tahu rahasianya.
"Yang pasti dia seorang yang amat menakutkan, mungkin lebih menakutkan dibanding Siau-yau-hou,"
Demikian komentar Siau Cap-it Long.
"yang pasti dia lebih tenang dan mantap dalam melaksanakan rencana, otaknya lebih cerdik dan akalnya lebih licik, aku digunakan untuk mengalihkan sasaran orang banyak. Pemberian uang itu bermaksud membuatku gemuk, santai dan hidup berkecukupan. Setelah rencananya diatur matang, mungkin orang pertama yang akan disembelih adalah aku."
"Makanya kau harus cepat mencari tahu siapa dirinya."
"Sayangnya darimana aku harus mencari tahu, aku sendiri tidak tahu."
"Kurasa hanya dengan membawa Pin-pin, baru bisa kau menelusuri jejak orang-orang itu."
"Sayangnya pula, sekarang jejak Pin-pin juga tak kuketahui."
"Hanya Pin-pin yang kenal orang-orang itu."
"Ya, hanya dia yang kenal."
"Jadi hanya dia yang tahu akan rahasia ini?"
"Kecuali dia, tiada orang kedua yang percaya omonganku."
"Aku juga percaya,"
Kata Hong Si-nio,"
Suaranya lembut tapi teguh.
"tiap patah katamu aku percaya, sebab aku tahu kau orang macam apa, aku tahu jelas."
Darah seperti bergolak dalam rongga dada Siau Cap-it Long, haru dan lega menghayati sanubarinya, tanpa kuasa ia genggam kencang tangannya.
Rasa terima kasih tak kuasa diutarakan dengan kata-kata.
Perlahan Hong Si-nio menarik tangannya, disembunyikan di bawah meja, katanya dengan nada dingin.
"Sayang sekali orang yang memahami dirimu tidak banyak, bahwasanya kau sendiri tidak memerlukan kepercayaan orang."
Siau Cap-it Long mengawasi kedua tangannya, lama sekali ia tak kuasa bicara, entah apa yang berkecamuk dalam sanubarinya.
"Maka sekarang kita harus mencari Sim Bik-kun, juga harus mencari Pin-pin."
"Tapi kemana kita harus mencari mereka."
"Di kota ini bukankah kau memiliki sebuah rumah?"
"Itu bukan rumah, hanya sepetak bangunan,"
Sorot matanya menampilkan kesepian.
"Selama ini darimana kumiliki rumah?"
"Tapi sekarang kau punya banyak rumah."
"Di setiap kota hampir selalu ada."
"Kau sendiri yang beli rumah itu?"
"Kapan aku pernah punya uang untuk membeli rumah?"
Getir suara Siau Cap-it Long.
"hari ini ada yang memberi uang, hari ini pula aku hamburkan sampai habis."
"Ya, kabarnya untuk menebus seorang pelacur, tak segan kau menebusnya satu laksa tahil."
"Karena dia mau memberi, maka aku suka membeli, makin banyak aku pakai uang, makin besar jumlah yang dia berikan, makin banyak aku hamburkan uangnya, berarti menggerogoti kekuatannya."
Lalu dengan menyengir ia menambahkan.
"dalam hal menghamburkan uang aku kan ahlinya."
"Tapi kau tak pernah membeli rumah?"
"Buat apa aku beli rumah."
"Lalu darimana pula rumah-rumah milikmu itu?"
"Dia pula yang memberi, pernah aku menerima sekaligus 10 lembar sertifikat rumah dan seluruh isinya."
"Pin-pin pernah mampir ke rumah-rumah itu?"
"Banyak diantaranya pernah ke sana."
"Mungkin tidak timbul minatnya untuk bersembunyi di antara rumah-rumah itu."
"Kenapa harus bersembunyi?"
"Karena ingin mengasah otak, memikirkan nasib selanjutnya, mungkin dia ingin tahu apakah kau menguatirkan dia kalau tidak kelihatan beberapa hari."
"Kurasa tiada alasan dia berbuat demikian."
"Kau jelas takkan merasakan, kerena kau bukan perempuan."
Sorot mata Hong Si-nio kembali menampilkan rasa kangen, rindu dan gundah, suaranya lebih lirih.
"Aku juga perempuan, hanya perempuan yang dapat menyelami jalan pikiran perempuan ...."
"Jadi kau pikir juga akan bersembunyi beberapa hari begitu?"
"Akan kulakukan."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak senang melihat engkau berpesta arak dengan teman lamamu, membicarakan soal yang aku tidak tahu, aku disisihkan di pinggir tak dihiraukan. Karena aku tidak senang melihat kau sedih karena perempuan lain, karena aku ingin tahu apakah betul kau memperhatikan diriku, karena isi hatiku sedikit pun engkau tidak tahu."
"Tapi dia ... berbeda dengan kau, dia hanya kuanggap sebagai adik."
Hong Si-nio berpaling muka, mengawasi tabir malam di luar jendela, suaranya berubah tawar.
"Aku hanyalah kakakmu saja."
Siau Cap-it Long tak bicara lagi, kembali ia sadar, dirinya masih berhutang pada seseorang.
Hutang yang tidak tahu kapan dapat ia lunasi.
Terbayang olehnya waktu Pin-pin memandang dirinya, sikapnya yang aleman, bibirnya yang bergerak-gerak seperti ingin bicara tapi tidak terlontar kata-kata dari mulutnya, pandangan nan manis mesra begitu ...
tak tahan ia menarik napas panjang, tanyanya.
"Kalau kau adalah dia, kemana kau akan bersembunyi?"
"Tentunya ke rumah yang dia pernah pergi, kau pun pernah ke sana."
"Rumah-rumah itu dia pernah pergi, aku juga pernah ke sana."
"Makanya kita harus mencarinya ke sana,"
Ujar Hong Si-nio, ia tetap menghadap keluar, lalu menambahkan dengan suara enteng.
"Satu harapanku, setelah menemukannya, jangan kau anggap dia sebagai adikmu lagi."
XIV.
PERUBAHAN BU-KAU-SAN-CENG Sudah dua tahun, mungkin belum genap dua tahun, belum pernah Sim Bik-kun bisa tidur senyenyak ini.
Kereta itu bergoncang di jalan raya yang tidak rata.
Dia tidur meringkuk mirip orok, orok yang lelap dalam ayunan.
Maka waktu ia siuman, hampir melupakan semua duka dan lara, derita sengsara yang dialaminya selama ini.
Tidur lelap yang menenteramkan adalah obat mujarab bagi seorang yang sedang diliputi kesedihan yang berkepanjangan.
Waktu ia membuka mata, cahaya mentari di musim rontok terasa hangat, bayang-bayang pohon berkelebat di jendela.
Sang kusir sedang mengayun cemeti sambil berdendang lagu gembala yang amat disukainya sejak kecil, dimana waktu kecil ia menjadi penggembala sapi di kampung halaman, suara cemeti yang memecah kesunyian pagi, seolah menjadi irama yang mengasyikkan, membakar semangat hidup seorang kusir yang lagi menempuh perjalanan jauh.
Sepanjang hidup ini, Sim Bik-kun tidak pernah membayangkan, seorang yang dipandang rendah dan hina, wajah yang tidak simpatik, ternyata sudi melakukan perbuatan yang berbahaya, hanya seorang yang punya jiwa agung saja orang yang mau menolong jiwanya dari dera bahaya tanpa memikirkan imbalan dan tanpa tujuan yang munafik.
"Aku ini orang tidak berguna, tapi aku punya tiga anak, aku menolongmu demi anak-anakku itu, sepanjang hidupku ini, apa salahnya aku melakukan kerja bakti yang patut membanggakan harkat dan harga diriku."
Sim Bik-kun mengerti perasaannya, menyelami cita-citanya.
Walau dirinya tidak punya anak, tapi dia menyelami seorang yang jadi ayah bunda, yang penuh kasih sayang terhadap putra putrinya.
Peduli dia orang biasa, dari kalangan papa sekalipun, yang dipandang rendah dan hina, namun apa yang dia lakukan sungguh agung, sungguh terpuji.
Sebaliknya orang-orang yang suka mengagulkan diri sebagai pendekar, sering kali melupakan nilai-nilai luhur perasaan nan suci ini.
Maka bayangan Siau Cap-it Long merasuk dalam sanubarinya.
Siau Cap-it Long juga pernah menolong dirinya, tanpa imbalan, tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Waktu itu Siau Cap-it Long masih jejaka polos, bersih dan jenaka.
Entah sekarang, remuk redam hati ini merindukannya.
Seorang kenapa mendadak bisa berubah menjadi menakutkan? Apa benar kekuatan uang dapat mengatasi semua pengaruh ibiis? Kereta mendadak berhenti, baru saja Sim Bik-kun berduduk, dari luar berkumandang ketukan pintu.
Peklosam membuka pintu seraya berkata.
"Kurasa kau sudah bangun, satu hari satu malam kita menempuh perjalanan."
Sang kusir memang kelihatan mengantuk dan letih, perjalanan panjang memang melelahkan. Pelarian memang selalu membuat orang sengsara dan terasa panjang.
"Terima kasih,"
Ucap Sim Bik-kun dengan haru, kecuali ucapan terima kasih, hakikatnya tak mampu ia mengucapkan kata-kata lain untuk menghibur diri.
Pek-losam meliriknya dua kali lalu menunduk pula, sikapnya seperti ragu-ragu dan curiga.
Akhirnya ia mengangkat kepala dan berkata.
"Aku harus segera pulang merawat anak-anak. Aku hanya bisa mengantar kau sampai di sini."
"Di sini tempat apa?"
Tanya Sim Bik-kun bingung. Wajah Pek-losam yang berkeriput jelek itu mengunjuk mimik aneh, sorot mata nan dingin.
"Aku tahu kau pernah datang ke tempat ini, kenapa tidak kau turun dan melihat sendiri?"
Sim Bik-kun membetulkan letak sanggulnya, perlahan beranjak turun, berdiri di bawah sinar matahari.
Cahaya mentari terasa hangat, tapi sekujur badannya mendadak menjadi kaku dingin.
Di antara popohonan nan rindang berjajar dan berbaris di sana, di bawah terik matahari, di sana berdiri sebuah perkampungan, dari kejauhan mirip sebuah bangunan istana dalam dongeng.
Sudah tentu ia pernah datang ke tempat ini.
Karena tempat ini sebetulnya adalah rumahnya.
Rumah yang pasti membikin siapa saja yang melihat ingin tinggal dan memilikinya.
Bu-kau-san-ceng.
Di Bu-kau-san-ceng ada sepasang pendekar muda, pendekar muda lagi ganteng yang dihormati dan diagulkan insan persilatan, dan seorang perempuan yang cantik, ayu rupawan, mereka adalah sepasang suami isteri yang menjadi panutan dan dambaan banyak orang.
Tapi sekarang? Terbayang olehnya hari-hari bahagia yang dahulu dirasakan di perkampungan ini.
Sepanjang hidupnya dulu, walau kadang terasa kesepian, namun bebas, agung dan dihormati orang.
Lian Shia-pik bukan suami yang diangan-angkankan, tapi sepak terjangnya, perhatiannya, rasa hormatnya, sepanjang hidupnya ini tak pernah menjadi perbincangan orang lain.
Dirinya mungkin menjadi yang terpenting dalam hidupnya, tapi dia tidak pernah melupakan dirinya, dan tak mungkin mengabaikan apalagi meninggalkan dirinya.
Kenyataan justru dirinya yang meninggalkan dia, membuang segala miliknya, hanya karena seorang ...
Siau Cap-it Long.
Perasaan hatinya terhadap si dia, mirip lembaran sejarah yang ditulis dengan tinta merah.
Keangkeran wibawa dan rasa egoisnya seluruhnya dihanguskan menjadi abu.
Apalagi perasaan nan indah dan menggejolak itu, apakah benar cukup berharga untuk dikorbankan? Apa benar selama ini tak mampu dikendalikan dan bertahan lama? Air mata Sim Bik-kun berderai tak terbendung lagi.
Tangannya terangkat membetulkan sanggul kepala yang ditiup angin, perlahan ia menyeka air mata dengan lengan baju.
"Angin hari ini besar sekali."
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Angin tidak kencang, tapi di relung hatinya timbul hembusan angin yang menggejolak, membuat perasaannya tidak tenang, seperti ombak lautan yang berdebur menghantam karang.
Bagaimanapun masa lalu sudah lewat, peduli apa yang pernah ia lakukan benar atau salah, ia lakukan sendiri dengan suka rela.
Maka ia tidak menyesal, juga tidak pernah menggerundel.
Hidup senang atau sengsara pernah dirasakan, semua itu tanpa penyesalan.
Pek-losam berdiri di belakangnya, tidak melihat rona wajahnya, terdengar orang sedang menarik napas panjang, berkata penuh nada gegetun.
"Bu-kau-san-ceng memang sesuai dengan nama besarnya. Sudah puluhan tahun aku menjadi kusir kereta, laksaan li perjalanan pernah kutempuh, belum pernah aku datang ke tempat seindah ini."
"Perkampungan ini memang indah permai,"
Kata Sim Bik-kun menahan air mata.
Sayang perkampungan ini kini sudah bukan milikku, aku sudah tiada hubungan apa-apa dengan tempat ini.
Aku sudah bukan majikan perempuan tempat ini, tiada muka aku kembali lagi ke sini.
Isi hatinya jelas takkan diucapkan kepada Pek-losam.
Sekarang dia tidak ingin membuat orang repot, tidak ingin menjadi beban orang lain.
Ia insaf mulai hari ini harus berusaha hidup sendiri, sekali-kali tak boleh menjadi benalu hidup orang lain.
Diam-diam ia berkeputusan, tekadnya sudah bulat.
Air mata juga sudah kering.
Ketika Sim Bik-kun berpaling lagi, wajahnya sudah dihiasi senyum nan menawan.
"Terima kasih, kau telah mengantarku sampai di sini, terima kasih, kau telah menolongku ...."
Kembali Pek-losam menampilkan mimik aneh.
"Aku sudah bilang, tak perlu berterima kasih."
"Budi kebaikanmu terhadapku suatu hari pasti akan kubalas."
"Tidak perlu, aku menolongmu bukan ingin minta imbalan."
Mengawasi wajah orang yang buruk, timbul pula gejolak perasaan hati Sim Bik-kun, tak tahan hampir ia berlutut dan memeluknya, biar orang tahu betapa besar rasa terima kasih dirinya.
Tapi hal itu pantang ia lakukan, dia seorang rupawan, dahulu demikian, selanjutnya harus tetap rupawan.
Kecuali kepada Siau Cap-it Long, selama ini belum pernah ia melakukan perbuatan yang melanggar tata susila.
Maka ia hanya tertawa-tawa, katanya lembut.
"Titip salamku kepada bini dan anak-anakmu, aku yakin mereka kelak akan menjadi manusia yang luar biasa, karena mereka panutan seperti dirimu."
Sesaat Pek-losam masih mengawasi wajahnya, tiba-tiba ia membalik badan dan berlari ke kereta, terus pecutnya menggelegar, keretanya dilarikan kencang tak menoleh lagi.
Betapapun Pek-losam adalah laki-laki yang punya perasaan, tak berani tadi ia beradu pandang, hatinya terharu dan menyesal tak mampu berbuat lebih banyak lagi.
first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42
Golok Kumala Hijau -- Gu Long Ilmu Ulat Sutera -- Huang Ying Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long