Dendam Iblis Seribu Wajah 6
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 6
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung
Dia mengulurkan tangannya dan menarik tangan Tan Ki serta mengajaknya ke padang rumput di tengah pegunungan.
Untuk sesaat Tan Ki juga tidak mempunyai pertimbangan apa-apa.
Begitu ditarik oleh Liang Fu Yong, otomatis langkah kakinya pun mengikuti.
Liang Fu Yong mengajaknya berjalan beberapa langkah.
Mereka sudah sampai di padang rumput yang ditumbuhi ilalang tinggi-tinggi.
Dia mengedarkan pandangannya ke kiri dan kanan.
Tampaknya tempat ini cukup aman dan tersembunyi.
Dia mengajak Tan Ki rebah di sana.
Padang rumput ini ditumbuhi ilalang yang tinggi serta lebat.
Luasnya kurang lebih sepuluh depaan.
Apabila bersembunyi di dalamnya, orang yang ada di luar tentu tidak mudah menemukannya.
Hanya saja malam agak dingin dan kabut tebal.
Sehingga tanah di atasnya agak basah karena endapan embun.
Baru saja Liang Fu Yong merebahkan tubuhnya, dia merasa air embun membasahi punggungnya.
Rasanya dingin sekali, tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya agak gemetar.
"Dingin betul!"
Katanya.
Tubuhnya perlahan-lahan meringkuk, hatinya ingin sekali merapat pada tubuh Tan Ki agar terasa hangat.
Tan Ki tersenyum lembut.
Dia juga tidak mengatakan apa-apa.
Tubuhnya bergeser sedikit, lalu ditariknya Liang Fu Yong.
Sepasang lengannya bagai ranting pohon yang kokoh dan memeluknya erat-erat.
Perlahan-lahan dia memejamkan sepasang matanya kemudian menghimpun hawa murni sambil mengatur pernafasan.
Cahaya rembulan terasa sejuk.
Malam dingin belum berlalu.
Di dalam rumpun ilalang yang lebat ini, terbaring sepasang pemuda-pemudi.
Kepala mereka saling bersandar dengan mata terpejam.
Pada zaman yang kolot dan peradaban manusia belum seterbuka sekarang, apa yang mereka lakukan merupakan hal yang jarang terlihat dan dapat menimbulkan kesan yang bukan-bukan dalam tafsiran orang lain.
Cukup lama telah berlalu, Tan Ki membuka matanya menatap cahaya rembulan dan berkata dengan nada terharu.
"Dalam sepuluh tahun ini, dari seorang bocah cilik aku tumbuh menjadi pemuda dewasa. Sejak pertama berlatih ilmu silat sampai berkecimpung di dunia Kangouw, dari awal sampai akhir, rasanya aku belum pernah merasakan apa yang disebut santai. Kau lihat, walau bagaimana redupnya sinar rembulan, cahayanya masih dapat menerangi tempat sekitar sepuluh depaan. Walaupun tempat ini sunyi senyap, tetapi masih ada engkau dan aku yang terbaring di sini. Bukankah hal ini merupakan hal yang membangkitkan semangat? Selama sepuluh tahun ini, untuk pertama kalinya aku merasakan malam yang tenang dan syahdu"
Setelah berkata panjang lebar, dia tetap tidak mendengar sahutan dari Liang Fu Yong.
Dia merasa heran, wajahnya segera dipalingkan.
Begitu memandang, hatinya jadi terperanjat.
Entah sejak kapan, tahu-tahu ujung mata Liang Fu Yong telah mengalir dua bulir air mata yang cahayanya berkilauan.
"Tidak hujan tidak angin, kok tiba-tiba menangis lagi?"
Liang Fu Yong tertawa sumbang.
"Cepat-cepat dia mengangkat tangannya dan menghapus air mata yang masih mengalir.
"Siapa yang menangis, justru karena terlalu bahagia"
Tan Ki tak membiarkan dia meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu kau mengingat terus ocehan Tojin tadi, jadi merasa sedih."
Mendengar Tan Ki langsung bisa menebak isi hatinya, wajah Liang Fu Yong jadi merah padam. Air mata yang mulai mengering kembali mengalir lagi. Setelah beberapa saat dia baru menyahut.
"Aku yang dulu hanya tahu mengejar kesenangan. Ke mana-mana mencari laki-laki untuk dipermainkan. Aku tidak pernah tahu hal yang lainnya kecuali melampiaskan hasrat. Oleh karena itu, para sahabat di dunia Kangouw menjuluki aku Siau Yau Sian-li. Mereka bahkan memaki aku sebagai perempuan jalang. Sejak mengenal dirimu, baru aku menyesal atas kelakuanku di masa lalu. Aku berniat merubah kebiasaanku yang buruk dan menjadi orang baik-baik. Tidak terduga muncul ketiga murid Bu Tong Pai tadi yang langsung membuka mulut mencaci maki diriku. Mereka mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi perempuan yang lebih rendah daripada diriku. Dengan menggabungkan diri, mereka ingin menghukum mati diriku. Untung saja kau datang tepat pada waktunya sehingga aku belum sempat terluka sedikit-pun. Akupun terhindar dari kematian."
"Kalau Cici masih merasa benci terhadap mereka. Lain kali aku akan naik ke gunung Bu Tong untuk mengobrak-abrik perguruan mereka. Biar rasa sakit hatimu terlampiaskan, bagaimana?"
Tanya Tan Ki. Liang Fu Yong tertawa sumbang.
"Tidak perlu melakukan hal itu. Perguruan Bu Tong Pai terkenal sebagai golongan putih yang paling membenci segala macam kejahatan. Bertemu dengan manusia busuk seperti aku ini, tentu saja mereka tidak sudi melepaskan. Kalaupun tadi aku sempat terbunuh, mereka juga tidak dapat disalahkan. Tetapi karena masalah ini, aku teringat sebuah pepatah yang mengatakan.
"Sekali maling, selamanya tetap maling! Meskipun aku sudah berniat menjadi orang baik-baik, tetapi pandangan orang lain terhadapku tetap sebagai Siau Yau Sian-li, si perempuan jalang. Siapa yang mau tahu kesusahan dalam hatiku bahwa aku telah berubah?"
Kata-katanya diucapkan dengan ke-pedihan yang tidak terkira.
Dua butir air mata diiringi suara yang gemetar terus mengalir turun.
Seumur hidupnya, baru kali ini Tan Ki melanggar tata susila dengan rebah bersama seorang perempuan di atas rerumputan.
Bersama-sama menikmati cahaya rembulan.
Dia juga baru kali ini menghadapi perempuan yang menangis dengan tersedu-sedu.
Akibatnya dia jadi kelabakan, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Setelah termangu-mangu beberapa saat, cepat-cepat dia mengulurkan tangannya menghapus air mata Liang Fu Yong.
Bibirnya tersenyum lembut.
"Untuk apa kau berpikir banyak-banyak? Sama saja mencari kesulitan sendiri. Urusan orang lain kita tidak perlu turut campur, demikian pula urusan kita sendiri. Biar mereka mencerca dirimu, asal kau tetap berada di jalan yang lurus, suatu hari nanti, mereka pasti akan mengerti sendiri."
"Bicara memang mudah. Tetapi biar bagaimana sulit rasanya mencuci bersih dosaku di masa lampau."
Liang Fu Yong menarik nafas dalam -dalam.
Di wajahnya tersirat penderitaan yang tidak terperikan.
Mendengar nada suaranya, Tan Ki menyadari bahwa Liang Fu Yong hampir merasa putus asa menyongsong masa depannya yang tidak menentu.
Lambat laun dia semakin tertegun.
Tiba-tiba teringat olehnya bahwa kaum wanita maupun anak gadis, apabila mengalami suatu hal yang merupakan pukulan bathin, sering mengambil jalan pendek, umpamanya masuk biara untuk menjadi biarawati atau bunuh diri agar terlepas dari segala kesulitan.
Hatinya menjadi terkesiap.
Tangannya memeluk tubuh Liang Fu Yong erat-erat.
Seakan merasa takut kalau perempuan itu akan melarikan diri dari sampingnya.
Dia memaksakan dirinya untuk tersenyum.
"Tunggu sampai kita sudah menikah, aku ingin lihat siapa yang berani mencaci dirimu. Hm, hm kalau sampai terdengar oleh telingaku, jangan salahkan apabila aku merobek mulutnya!"
Mendengar kata-kata Tan Ki, hati Liang Fu Yong diliputi perasaan bahagia yang tidak ter-kirakan. Wajahnya yang muram jadi berseri-seri. Bibirnya pun tersenyum.
"Pernikahan adalah masalah seumur hidup. Bukan semacam permainan. Perkataanmu seperti yakin sekali bahwa bagaimanapun kau harus menikah dengan Cici. Apakah kau memang sudah mempertimbangkannya matang-matang atau karena perasaan iba yang timbul sesaat?"
Mendapat pertanyaan yang mendadak itu, Tan Ki jadi terpana.
Betul, mengapa aku tidak pernah memikirkan masalah ini.
Apakah aku memang mencin-tainya atau hanya kasihan kepadanya? tanyanya dalam hati.
Hatinya berpikir, otaknya bagai tersengat aliran listrik.
Dia merasa kedua macam pemikiran itu sama-sama memungkinkan.
Tapi kalau dipertimbangkan kembali, keduaduanya juga seperti benar namun juga salah.
Untuk sesaat dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Liang Fu Yong dapat melihat tampangnya yang serba salah.
Tiba-tiba hatinya seperti ter-tusuk puluhan jarum.
Semacam kesedihan yang aneh menyelinap dalam hatinya.
Perasaannya seperti hancur lebur.
Tetapi dia berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaan tersebut pada mimik wajahnya.
Bibirnya malah tersenyum lembut.
"Urusan sepenting ini saja tidak kau pikirkan baik-baik. Jangan ceroboh asal comot sehingga merusakkan kebahagiaanmu seumur hidup."
Setelah mempertimbangkan sesaat, tiba-tiba dia seperti telah mengambil keputusan yang tepat.
"Apapun yang kau katakan, aku tetap ingin hidup bersamamu sampai hari tua!"
Katanya tegas. Mata Liang Fu Yong mengerling ke kiri dan kanan. Kemudian tampak dia tersenyum lem-but.
"Apabila kau ingin aku menerimanya, boleh saja. Tapi ada syaratnya."
Sahutnya kemudian.
"Apa syaratnya? Coba kau katakan, biar aku pertimbangkan baik-baik."
"Syaratku ini aneh sekali. Belum tentu kau dapat mengabulkannya."
Dia berhenti sejenak. Tiba-tiba sepasang matanya terpejam. Dengan penuh rasa haru dia berkata.
"Ciumlah aku"
Mendengar ucapannya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Kemudian dia malah tertawa lebar.
"Aku kira urusan sebesar apa, rupanya begitu. Cici sengaja memutar arah pembicaraan sehingga aku jadi bingung. Kalau itu keinginanmu, Siaute terpaksa menurut."
Tangan kirinya segera mengangkat dagu Liang Fu Yong sedikit.
Agak lama juga dia memandangnya.
Dia melihat bibir itu begitu indah, menantang bahkan kemerahan walaupun tidak diolesi gincu.
Nafas yang keluar dari hidungnya sebentar lambat sebentar cepat.
Malah terendus keharuman yang khas.
Hatinya jadi tergerak, perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dan menekankan bibirnya di atas bibir tersebut.
Begitu sepasang bibir bertemu, Tan Ki segera merasa seluruh tubuhnya bagai disengat aliran listrik.
Dia agak gemetar.
Maklumlah, baru pertama kali ini dia mencium seorang perempuan.
Keempat anggota tubuhnya seperti kehilangan tenaga.
Ada semacam perasaan yang melenakan serta membuat dirinya merasa nyaman.
Tetapi dia tidak dapat menjelaskan bagaimana perasaan itu sesungguhnya.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, sepasang lengannya memeluk Liang Fu Yong semakin erat.
Pada saat itu juga, dia telah memejamkan matanya seakan sedang menikmati apa yang sedang berlangsung.
Entah sejak kapan, sepasang mata Liang Fu Yong yang juga terpejam mengalirkan dua bulir air mata.
Kalau saja Tan Ki tahu apa yang sedang tersirat dalam hatinya saat itu, maka ciuman itu menjadi ciuman yang paling mengenaskan.
Tampak sepasang lengannya yang indah memeluk leher Tan Ki erat-erat.
Ciumannya semakin mesra.
Rembulan masih bersinar.
Angin sejuk bertiup sepoi-sepoi.
Kurang lebih sepeminuman teh, Tan Ki mendorong tubuh Liang Fu Yong perlahan-lahan.
Dua pasang matapun bertemu.
Tanpa terasa wajah keduanya jadi merah padam.
Dengan gerakan yang lemah gemulai, Liang Fu Yong mengulurkan tangannya untuk memeluk sekali lagi.
"Sekali lagi"
Katanya lirih. Tan Ki tersenyum lembut. Dia menurut apa yang diminta oleh Liang Fu Yong dengan men-ciumnya sekali lagi.
"Sekali lagi"
Hal ini berlangsung terus. Entah berapa kali sudah bibir mereka saling bertautan. Tan Ki seperti terlena. Bahagianya bukan main. Akhirnya mereka saling melepaskan diri juga.
"Cici, sisakan untuk malam pernikahan kita. Hari sudah hampir terang, kita boleh melanjutkan perjalanan sekarang."
Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Rasanya seperti ingin memandang Tan Ki terus menerus.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dia tetap membungkam seribu bahasa.
Pada dasarnya, Tan Ki memang seorang pemuda yang berotak cerdas.
Pikirannya cepat tanggap terhadap suasana sekitar.
Tiba-tiba dia merasa ada yang tidak beres.
Dia merenungkan kembali gerak-geriknya sejak awal hingga akhir.
Semakin dipikirkan, hatinyapun semakin yakin akan dugaannya sendiri.
Perempuan itu pasti sudah merencanakan sesuatu.
Pandangan mata Liang Fu Yong tajam sekali.
Melihat sepasang bola mata Tan Ki terus bergerak memperhatikan dirinya lekat-lekat.
Hatinya menjadi panik.
Terdengar tarikan nafas perempuan itu.
Tarikan nafasnya seperti menyiratkan perasaan hatinya yang pedih.
Pada malam yang sesunyi ini, kedengarannya malah tambah menyayatkan hati.
Tepat pada saat perempuan itu selesai menarik nafas panjang, tiba-tiba tangannya terulur dengan cepat dan tahu-tahu dia menotok salah satu urat darah di tubuh anak muda tersebut.
Perubahan yang mendadak ini benar-benar di luar dugaan Tan Ki.
Hatinya menjadi tercekat.
Tiba-tiba urat nadinya terasa kesemutan dan seluruh tubuhnya jadi lemas tidak bertenaga.
Dia langsung membentak dengan suara keras.
"Apa yang kau lakukan?"
Meskipun dirinya sudah tertotok, tetapi cara turun tangan Liang Fu Yong memang sudah dipertimbangkan matang-matang. Jadi dia tetap dapat berbicara. Tampak Liang Fu Yong melonjak bangun. Bibirnya tersenyum.
"Dengan demikian kau tidak bisa mengejar aku lagi."
Dia membalikkan tubuhnya dan menghambur ke depan secepat kilat. Tetapi di kala tubuhnya baru bergerak, sudah terlihat air matanya mengalir dengan deras. Wajahnya tampak muram sekali. BAGIAN XV "Cici, kau hendak ke mana?"
Teriak Tan Ki panik.
"Dunia ini luas sekali, ke manapun aku bisa pergi"
Entah karena hati Tan Ki terlalu panik sehingga tidak dapat mendengar jelas ucapannya atau perasaan Liang Fu Yong yang terlalu pedih sehingga suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
Pokoknya setelah mengucapkan beberapa patah kata itu, orangnya sudah jauh sekali dan sekejap mata kemudian menghilang dari pandangan.
Yang tersisa hanya gema suaranya yang terdengar begitu menyayat dan mengandung penderitaan yang hebat.
Sampai saat ini Tan Ki baru tersadar.
Liang Fu Yong mendapat caci maki dari para murid Bu Tong Pai, hal ini membangkitkan kenangan masa lalunya yang gelap.
Dalam keadaan tertekan, juga pukulan bathin yang hebat.
Meskipun dirinya sendiri sudah berniat bertobat, tetapi dia seperti kehilangan rasa percaya diri.
Dengan terang-terangan dia minta dicium oleh Tan Ki, pada dasarnya hanya sebagai kenangan menjelang perpisahan.
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat dipertahankan lagi, dia memaki-maki dirinya sendiri.
Mengapa sampai hal sekecil ini dia juga tidak menyadarinya sejak semula? Sembari menyalahkan dirinya sendiri, matanya terus memandang arah di mana Liang Fu Yong pergi.
Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu.
Tiba-tiba wajahnya terasa sejuk.
Setetes embun menyadarkannya dari rasa sedih.
Dia mendongakkan kepalanya.
Di ujung langit telah terbit seberkas sinar.
Fajar sebentar lagi akan menyingsing, angin masih terasa sejuk.
Hal itu membuat perasaan anak muda itu semakin pilu.
Setelah berbaring sejenak, hatinya berpikir untuk membalikkan tubuhnya, tetapi tenaganya tidak ada sama sekali.
Keinginannya pun tidak dapat terkabul.
Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
Seandainya aku pernah mempelajari Lwe Kang, tentu aku dapat melancarkan hawa murni untuk menerobos urat yang tertotok.
Sayangnya Cici hanya menjelaskan sedikit pelajaran tersebut.
Sehingga totokan yang tidak seberapa berat ini pun membuat aku tidak berdaya! pikirnya dalam hati.
Tepat pada saat itu juga, telinganya menangkap kibaran pakaian yang sedang menuju ke tempatnya.
Cepat-cepat dia mengerlingkan matanya memandang.
Hatinya menjadi gembira bukan kepalang.
"Aku tahu kau pasti akan kembali."
Katanya sambil tersenyum. Liang Fu Yong hanya tertawa datar. Tampaknya dia tidak merasa heran. Wajahnya juga tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Tan Ki tersenyum.
"Kau meninggalkan aku terbaring seorang diri di tempat ini, apalagi aku tidak dapat bergerak sama sekali. Kalau aku sampai tergigit ular berbisa atau disantap binatang buas, tamatlah riwayatku. Aku rasa setelah kau pergi, tentu kau baru teringat akan hal ini. Itulah sebabnya kau kembali lagi."
Liang Fu Yong tertawa getir.
"Tekadku untuk pergi sejak semula sudah kupertimbangkan matang-matang. Meskipun gunung Thai San menjulang di hadapanku, niatku juga tidak akan berubah. Kali ini aku kembali, hanya untuk menyampaikan beberapa patah kata. Pertemuan kita terlalu lambat, dalam hal ini entah siapa yang harus disalahkan. Dunia memang penuh dengan tragedi. Mungkin ini adalah pertemuan kita yang terakhir kalinya"
Berkata sampai di sini, dia merandek sejenak. Dia membuka jubah panjang yang diberikan oleh Tan Ki. Dia menyelimuti anak muda tersebut dengan jubahnya sendiri. Kemudian dia mengeluarkan bendera merah yang terselip di pinggangnya.
"Bendera ini dinamakan Tiat Hiat (Darah Besi). Di lihat dari luar memang biasa-biasa saja. Tidak ada keistimewaannya sama sekali. Tetapi benda ini merupakan lambang perintah dari Barisan Jendral Langit. Keampuhannya sampai di mana, kau sudah pernah menyaksikan sendiri. Tetapi harap kau ingat baik-baik, si tua bangka Oey Kang merupakan manusia yang sangat licik. Ilmu senjata rahasianya tinggi sekali. Barisan Jendral Langit merupakan hasil didikannya langsung. Setiap orangnya dapat menimpukkan tiga macam senjata rahasia sekaligus. Apabila kelak kau kebetulan datang lagi ke Pek Hun Ceng, maka kau harus berhati-hati terhadap bokongan senjata rahasia mereka. Aku sudah berkhianat terhadap Pek Hun Ceng, bahkan mencuri Tiat Hiat Ki ini. Oey Kang pasti membenci aku sampai ke tulang sumsum. Kelak apabila aku sampai terjatuh ke tangannya. Hidup atau mati sulit ditentukan."
Otaknya segera membayangkan bagaimana Oey Kang membereskan seorang murid yang mengkhianatinya.
Cara turun tangannya yang demikian keji, rasanya tiada duanya lagi di dunia ini.
Tanpa terasa tubuhnya bergetar hebat.
Keringat dingin membasahi keningnya.
Sejenak kemudian dia meletakkan bendera tersebut di atas kepala Tan Ki.
"Baik-baiklah menjaga diri, aku pergi"
Kata-katanya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam.
Tan Ki yang mendengarnya sampai tertegun.
Dia melihat kaki Liang Fu Yong melangkah mundur setindak demi setindak.
Tampaknya sebentar lagi dia akan meninggalkan Tan Ki.
Hati anak muda itu menjadi panik.
Rasanya dia ingin berteriak sekeras-kerasnya agar Liang Fu Yong membatalkan maksudnya.
Tetapi dia tidak tahu kata-kata apa yang harus diucapkannya.
Dia hanya merasa ada segulung kepedihan yang memenuhi hatinya.
Perasaannya bagai hancur lebur.
Ingin rasanya dia mengorek hatinya sendiri agar Liang Fu Yong dapat melihat bagaimana khawatirnya dia saat itu.
Akhirnya, dia hanya melihat saja Liang Fu Yong meninggalkan dirinya setindak demi setindak.
Ketika akan melangkah pergi, Liang Fu Yong seperti merasa berat berpisah dengan Tan Ki.
Meskipun kakinya terus maju, namun setiap tiga langkah, dia pasti menoleh kembali.
Dari sinar matanya terpancar kerinduan dan kepedihan yang tidak terkirakan.
Sebagian sukma Tan Ki seakan dibawa pergi juga oleh perempuan itu.
Meskipun Liang Fu Yong sudah meninggalkannya cukup lama, namun dia masih memandangi arah kepergiannya dengan termangu-mangu.
Tampak air matanya mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya.
Yang Kuasa seperti mempermainkan nasib anak manusia.
Takdir memang tidak dapat ditolak.
Dia ingat ketika pertama kali bertemu dengan Mei Ling serta pelayannya Kiau Hun.
Meskipun, gadis itu hanya seorang budak, tetapi api asmara di dalam kalbunya juga berkobar-kobar.
Namun, gadis itu juga meninggalkan dirinya dengan membawa hati yang terluka Kalau dibandingkan, tampaknya penderitaan Liang Fu Yong lebih hebat, belum lagi pukulan bathin yang diterimanya, juga berlipat ganda! Berpikir sampai di sini, tanpa terasa dia menarik nafas panjang.
Air matanya mengalir semakin deras.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang dingin yang datang dari samping tubuhnya.
"Seorang laki-laki sejati lebih memilih terjun ke jurang yang dalam daripada cengeng seperti perempuan. Coba lihat dirimu, menangis tersedu-sedu, menarik nafas panjang pendek, masa pantas disebut seorang pendekar yang gagah?"
Sindir orang itu.
Mendengar ucapan orang itu, Tan Ki terkejut setengah mati.
Dirinya tenggelam dalam kesedihan sampai sedemikian rupa, sampai ada orang yang berdiri di sampingnya, dia tidak menyadarinya sama sekali.
Begitu terperanjatnya Tan Ki, sampai seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
Dia segera memalingkan wajahnya.
Si pengemis sakti Cian Cong dengan tubuhnya yang tinggi besar sudah berdiri dalam jarak kurang lebih lima langkah di sebelah kirinya.
Cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman.
"Locianpwe"
Sapanya. Belum lagi kumandang suaranya sirap, Cian Cong sudah mendengus dingin. Mulutnya langsung mengomel.
"Pagi-pagi buta ada tempat tidur tidak ditiduri, malah datang ke tempat ini dan purapura gila. Kau kira si pengemis tua tidak menjadi marah?"
Tiba-tiba sebelah kakinya terjulur dan ditendangnya Tan Ki keras-keras.
Orang ini memang tidak malu disebut sebagai salah satu dari dua tokoh sakti di dunia ini.
Pengetahuannya sangat luas.
Sekali pandang saja dia sudah tahu kalau Tan Ki dalam keadaan tertotok.
Tendangannya tadi begitu cepat, namun begitu sampai di tubuh Tan Ki, tidak terasa sakit sama sekali.
Malah jalan darahnya yang tertotok jadi terbuka.
Dengan pandangan kagum, Tan Ki langsung meloncat bangun.
Dia menggerakkan anggota tubuhnya yang terasa kaku.
Kemudian dia mengambil bendera merah yang ditinggalkan Liang Fu Yong dan menyelipkannya di pinggang.
Setelah itu dia menjura dalam-dalam kepada Cian Cong.
"Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Kalau tadi Locianpwe tidak menghadiahkan sebuah tendangan, entah sampai kapan Boanpwe harus terbaring di tempat ini."
Hatinya teringat kesedihan Liang Fu Yong ketika akan meninggalkannya. Hatinya masih terasa pilu. Tetapi di hadapan seorang tokoh sakti, dia tidak berani berlaku kurang ajar. Selesai berkata, sekali lagi dia membungkukkan tubuhnya rendah-rendah.
"Menurut Ciong San Suang-siu, kau mengejar Oey Kang. Sampai sekarang dua hari sudah berlalu, mengapa kau malah terbaring di tempat ini dan bermimpi yang bukanbukan?"
Tan Ki tertawa getir.
Dia menceritakan bagaimana dirinya ditolong oleh Mei Ling, sampai ia dibawa oleh Oey Kang.
Seluruhnya dikisahkan dengan jelas.
Tetapi dia menutupi nama busuk Liang Fu Yong di luaran, malah mengisahkan bagaimana dia mengorbankan diri sehingga diperkosa oleh Oey Kang.
Cian Cong mendengarkan dengan seksama.
Akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Di dunia ini ternyata ada seorang gadis yang begitu mulia hatinya. Pada suatu hari nanti, si pengemis ingin sekali belajar kenal dengannya."
Dia merandek sejenak. Kemudian mengalihkan pokok pembicaraan.
"Tua bang-ka itu benar-benar jahat. Mengapa tidak mencari wanita penghibur saja malah"
Dia tidak jadi melanjutkan kata-katanya.
Seperti ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya.
Rupanya orangtua ini memang membenci sekali segala macam kejahatan.
Dan wataknya juga agak aneh.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tindak-tanduknya kadang-kadang menyimpang dari jalur dan selalu di luar dugaan orang lain.
Sejak bertarung dengan Ciu Cang Po di atas genting Cui Sian Lau tempo hari, meskipun dia berhasil melukai nenek tua tersebut, namun dia juga dikejutkan oleh gerakan tubuh Oey Kang ketika datang dan pergi.
Dia menjadi kagum sekali.
Timbul perasaan menyayangkan dalam hatinya.
Saat ini, mendengar keterangan Tan Ki bahwa orang itu juga mata keranjang, memang tepat kalau disebut sebagai raja iblis nomor satu di dunia ini.
Hatinya menjadi tergerak, tanpa sadar dia menarik nafas panjang kembali.
Mendengar ucapannya yang sepotong itu, Tan Ki sudah paham isi hati tokoh tua tersebut.
Dia teringat saat-saat di mana Liang Fu Yong diperkosa oleh raja iblis itu, hawa amarahnya langsung meluap-luap.
Sepasang alisnya terjungkit ke atas.
"Sikap Locianpwe terhadap orang tersebut seakan menutupi sesuatu, hal ini benarbenar membuat Boanpwe tidak habis pikir"
Tiba-tiba dalam perutnya terdengar suara air yang beriak-riak.
Rupanya dia sudah kelaparan setengah mati.
Sudah dua hari dua malam dia tidak mengisi perut, malah dirinya tidak sadar akan hal ini.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Cian Cong malah seperti tidak mendengarkan.
Tampak dia tertawa terbahak-bahak.
"Mari ikut aku."
Katanya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia menghambur menuju lembah sebelah kiri.
Melihat tindak-tanduknya, mula-mula Tan Ki tertegun.
Tetapi pada dasarnya dia memang seorang pemuda yang cerdas.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia segera menggerakkan kakinya mengejar ke depan.
Meskipun si pengemis sakti Cian Cong tidak menolehkan kepalanya sama sekali.
Tetapi setiap gerak-geriknya dapat diketahui oleh tokoh sakti tersebut.
Begitu Tan Ki mengejar, dia pun menambali kecepatan langkahnya.
Tampaknya dia ingin mengadu kecepatan kaki dengan Tan Ki.
Langkahnya mendadak dipercepat, gerakan tubuhnya laksana terbang dan menerjang ke depan.
Sepasang alis Tan Ki bertaut erat.
Rupanya kau ingin menguji diriku? katanya dalam hati.
Dipertahankannya luka dalam yang dideritanya, kecepatan kakinya ditambah.
Dikerahkannya ilmu ginkang tingkat tinggi.
Tubuhnya pun seakan melayang di udara.
Pakaiannya berkibar-kibar, menimbulkan deruan angin.
Gerakan mengadu kecepatan kedua orang ini benar-benar seperti dua ekor kijang yang saling mengejar.
Di bawah sorotan terik matahari, tampak dua titik hitam yang berendeng dan melesat ke depan.
Dalam pandangan orang biasa, tentu tidak mengira bahwa kedua titik hitam itu merupakan dua orang tokoh silat kelas tinggi yang sedang berlari.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah berlari sejauh dua li.
Jarak diantara mereka tetap kurang lebih dua depa.
Tan Ki tidak dapat lebih dekat satu inci pun, dan Cian Cong juga tidak sanggup menarik jarak lebih jauh satu langkahpun.
Tiba-tiba tampak sepasang lengan Cian Cong bergerak sedikit, tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas setinggi satu depa.
Dia melayang melewati sebuah batu karang dan tahu-tahu hilang dari pandangan.
Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang ke daerah sekitar.
Dia melihat semak belukar di mana-mana.
Udara terasa agak lembab.
Rupanya kedua orang itu terus berlari dan tidak memperhatikan arah sama sekali.
Tahu-tahu mereka sudah sampai di pegunungan yang ditumbuhi rumput-rumput serta semak-semak belukar.
Mula-mula Tan Ki agak ragu, tetapi akhirnya dia melangkah perlahan-lahan memanjat batu karang.
Segulungan angin gunung menghembuskan bau harum arak dan daging bakar.
Tanpa sadar kakinya mengikuti sumber bau harum itu.
Begitu matanya memandang, dia melihat si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk ber-sandar di batang pohon.
Matanya terpejam, dia sedang beristirahat.
Di hadapannya terdapat tiga bongkah batu yang mana di atasnya menangkring sebuah panci.
Tungku api alami yang dibuatnya sudah menyala.
Uap mengebul-ngebul dari dalam panci.
Sehingga tutup di atasnya bergerak-gerak.
Entah apa yang dimasaknya.
Bau daging yang menusuk terendus dari panci tersebut.
Hidung Tan Ki mengendus bau harum masakan.
Dia memandang panci yang sedang mengepulkan uap panas tersebut.
Perutnya semakin keroncongan.
Matanya sampai berkunang-kunang.
Diam-diam dia meneguk air liur, tetapi tidak berani membuka mulut meminta makanan itu.
Setelah berdiri agak lama, terdengar suara bersin dari hidung si pengemis sakti.
Dengan gerak lambat dan kemalas-malasan, dia mengeluarkan tujuh delapan biji bakpao yang sudah gepeng karena terlalu sering tertekan.
Dia melemparkannya ke arah Tan Ki.
"Sambutlah!"
Caranya melempar bakpao itu seakan menggunakan ilmu yang khas.
Jarak bakpao itu kurang lebih masih kurang lebih dua inci, sudah terasa hembusan angin yang terpancar dari lemparannya.
Hati Tan Ki diam-diam merasa kagum.
Dengan cepat dia mengulurkan tangannya dan secara berturut-turut dia berhasil menangkap lima butir bakpao.
Tampak Cian Cong tersenyum simpul kepadanya.
"Gerakan yang bagus. Tampaknya mau tidak mau, kau harus ikut ke Pek Hun Ceng kali ini."
Tan Ki langsung tertegun.
Rupanya lemparan bakpao ini mempunyai maksud tersendiri.
Tampaknya kau ingin menguji kesigapanku dalam menyambut senjata rahasia. pikirnya dalam hati.
Begitu hatinya tergerak, tadinya dia bermaksud mengajukan beberapa pertanyaan.
Tetapi rasa lapar di perutnya tidak tertahankan lagi.
Dengan lahap dia menikmati makanan di tangannya.
Dalam waktu yang singkat, kelima butir bakpao tersebut sudah habis tertelan ke dalam perutnya.
Sementara itu, tangan kanan Cian Cong menggenggam sepotong paha ayam.
Sedangkan tangan kirinya memegang hiolo arak kesayangannya.
Setiap menggigit ujung paha ayamnya sekerat, dia pun minum araknya seteguk.
Tampaknya dia sangat menikmati cara makannya itu.
Tan Ki tahu, diantara tokoh-tokoh sakti di dunia Bulim, ada beberapa yang wataknya aneh.
Biasanya mereka tidak suka segala peradatan.
Melihat Cian Cong menikmati makanannya dengan lahap, dia jadi tidak enak hati mengganggunya dengan pertanyaanpertanyaan.
Diam-diam dia berdiri di samping dan menunggu kurang lebih setengah kentungan.
Akhirnya sepotong paha ayam dan sekendi arak itu habis juga.
Tan Ki baru berani menghampiri tokoh tua itu.
"Kalau mendengar kata-kata Locianpwe tadi, apakah yang dimaksudkan sebagai Pek Hun Ceng adalah tempat tinggal si raja iblis Oey Kang?"
"Tidak salah. Orang yang pergi ke sana bukan hanya si pengemis tua saja. Masih ada orang-orang dari lima partai besar yakni, Siau Lim, Bu Tong, Kun Lun, Go Bi dan Ceng Cen. Kalau seluruh Hwesio dan Tojin dihitung sekaligus, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang. Mereka semua berbondong-bondong menuju Pek Hun Ceng. Bahkan ada beberapa pendekar yang tidak termasuk perguruan maupun partai lima besar ikut mengambil bagian."
Selesai berkata, dia langsung mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.
"Dengan berkumpulnya tokoh-tokoh ini, tentu ada keramaian yang dapat disaksikan."
"Kalau para pendekar dunia Bulim semuanya menggabungkan diri, meskipun Oey Kang mempunyai kepandaian setinggi langit, juga tidak sanggup menghadapi kemarahan mereka. Satu Pek Hun Ceng yang demikian kecil, tentu tidak sanggup menahan"
Wajah Cian Cong menjadi serius. Dia segera menukas ucapan Tan Ki yang belum selesai.
"Si pengemis tua sengaja menerjunkan diri ke dunia Kangouw untuk kedua kalinya, karena mendengar gerak-gerik Cian bin mo-ong yang sudah keterlaluan. Itulah sebabnya, si pengemis tua tiba-tiba muncul di Lok Yang. Dalam beberapa hari ini, tidak terdengar berita si iblis seribu wajah itu, malah perasaan si pengemis tua semakin khawatir. Sekarang karena terdesak oleh keadaan, hati si pengemis tua malah dibebani persoalan yang lain"
Diam-diam Tan Ki merasa geli.
Cian bin mo-ong justru ada di hadapan kau, si pengemis sakti.
Sayangnya pandanganmu kurang tajam sehingga tidak mengenali katanya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan apapun.
"Apa persoalan yang lainnya itu?"
Tanyanya tenang.
"Ya, urusan Oey Kang itulah. Orang ini mempunyai berbagai macam kepandaian. Ilmunya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bukan si pengemis sakti memujinya, kalau suruh si pengemis tua bertarung dengannya tiga hari tiga malam juga tidak menjadi persoalan, tetapi dia mempunyai keahlian dalam senjata rahasia. Itulah yang membuat kepala si pengemis tua menjadi pusing tujuh keliling. Sekali bergebrak, senjata rahasianya langsung disambitkan ke mana-mana. Hebatnya, pukulan maupun totokan jarinya tidak berhenti melancarkan serangan. Hal ini membuat orang yang diserangnya tidak dapat menduga-duga atau mengadakan persiapan sebelumnya. Walaupun dapat meloloskan diri dari tiga batang pisaunya, atau sembilan keping uang logam emas, tetap sulit menghindar dari dua puluh tujuh jarum beracunnya. Malah pernah dengar orang mengatakan, sejak berhasil melatih ilmu tersebut, dia tidak pernah melancarkan ketiganya sekaligus."
Tan Ki seperti kurang percaya.
"Benarkah sampai sedemikian hebat ilmunya?"
"Benar atau tidaknya, asal sudah dicobakan bisa ketahuan. Kita juga sudah boleh berangkat. Kalau sampai terlambat mengikuti pertemuan, mungkin akhirnya bisa menyesal seumur hidup."
Orangtua itu segera berdiri kemudian menepis-nepis pantatnya yang kotor. Tan Ki tertawa lebar.
"Dengan adanya bantuan dari Locianpwe, kekuatan para pendekar menjadi berlipat ganda."
Sembari berkata, kedua orang itu segera mengerahkan ilmu ginkangnya.
Secepat kilat mereka berlari.
Tampak dua baris pepohonan yang ada di kiri dan kanan seakan bergerak mundur dengan pesat.
Angin terus menimbulkan suara dengungan di telinga.
Pada saat sedang berlari itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong berkata.
"Ulurkan tanganmu ke mari!"
Tan Ki segera mengikuti perkataannya dengan mengulurkan tangan kanan.
Dibiarkannya Cian Cong menggandeng tangannya itu meskipun dia tidak mengerti maksud si pengemis sakti tersebut.
Namun langkah kaki keduanya tidak berhenti, mereka terus berlari ke depan.
Mendadak dia merasa ada segulungan hawa panas mengalir dari telapak tangan orangtua itu yang mendorong masuk lewat tangannya lalu menyusup ke dalam dada serta isi perutnya.
Aliran hawa panas ini kuat sekali, setingkat demi setingkat, segulung demi segulung, terus mendesak ke dalam.
Setingkat demi setingkat bertambah panas, segulung demi segulung bertambah cepat.
Seluruh anggota tubuh terasa hangat, ada semacam kenyamanan yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
Tanpa dapat ditahan lagi, keringat segera membasahi seluruh tubuh Tan Ki.
Pikiran seakan menjadi lebih terang, nafaspun lebih teratur, luka yang dideritanya pun sudah pulih sebagian besar.
Rasa terkejut serta gembira bercampur aduk dalam hatinya.
Orangtua ini mempunyai watak yang aneh.
Kalau bicara selalu ceplas-ceplos yang mana sering membuat orang menjadi jengah dan serba salah.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi setiap tindak-tanduknya, tidak ada satupun yang tidak membuat orang menjadi kagum.
Bahkan terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya seperti aku ini, dia juga tidak sayang menyalurkan hawa murninya guna membantuku menyembuhkan luka dalam.
Tindakan yang demikian bijak dan berhati mulia, di dunia ini masih ada berapa orang yang bersedia melakukannya? Gerakan kakinya tetap tidak berhenti, sembari berlari dia sanggup menyalurkan hawa murni dengan lancar menerobos seluruh tubuh.
Hal ini membuktikan bahwa ilmu orangtua ini telah mencapai taraf yang tidak terkira tingginya.
Begitu pikirannya tergerak, dalam hati Tan Ki pun timbul rasa hormat kepada si pengemis sakti tersebut.
Tanpa sadar dia menolehkan kepalanya melirik Cian Cong beberapa kali.
Di wajahnya tersirat perasaan terima kasih serta haru yang tidak terkatakan.
Cara lari kedua orang itu demikian ringan dan cepat.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah sampai di sebuah hutan yang lebat sekali.
Sampai di tempat ini, mendadak Cian Cong menghentikan langkah kakinya.
Matanya menatap ke arah papan peringatan yang bertuliskan.
Sebelum masuk wilayah ini, urus dulu masalah penguburan. Cian Cong langsung tertawa dingin, dia menolehkan kepalanya dan berkata.
"Kau tunggu di sini, si pengemis tua ingin masuk ke dalam dan meninjau sebetulnya ada persiapan apa yang mengejutkan orang."
Tan Ki tahu orangtua itu merasa sayang kepadanya, dia tidak ingin dirinya terjerumus dalam bahaya, tetapi karena hatinya merasa kagum serta hormat kepada orangtua ini, tanpa sadar diapun mengkhawatirkan keselamatannya.
"Locianpwe hendak masuk ke sarang harimau, mana boleh Boanpwe ketinggalan.
Kalau memang mau meninjau, biar kita tinjau sama-sama, hidup atau mati kita jalani bersama.
Untung rugi kita bagi rata."
Mendengar ucapannya yang gagah, Cian Cong langsung tersenyum simpul. Dia segera menganggukkan kepalanya.
"Boleh juga, kalau si pengemis tua sampai pulang ke rumah kakek moyang, toh jadi tidak kesepian karena ada yang menemani."
Selesai berkata, dia langsung mendahului masuk ke dalam hutan tersebut.
Sejak mendapat saluran hawa murni dari si pengemis sakti, luka Tan Ki sudah hampir pulih.
Hanya saja dalam beberapa hari ini dia terus dikecewakan masalah cinta kasih, jadi tekanan bathinnya yang agak parah itu masih terasa.
Melihat Cian Cong sudah mendahului masuk ke dalam hutan, dia segera menghimpun hawa murninya guna melindungi tubuh.
Kakinya langsung berlari mengejar Cian Cong.
Baru saja sebelah kakinya menginjak ke dalam hutan, tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang.
Keadaan langsung berubah.
Tampak di depan belakang kiri maupun kanannya semua merupakan pepohonan.
Dirinya bagai terkepung.
Dia mempertajam penglihatannya memperhatikan, tetapi dirinya malah seperti berada di lautan luas yang tidak terlihat tepiannya.
Dia juga tidak berhasil menemukan arah dari mana dia masuk tadi.
Saat itu, tengah hari belum lagi tiba.
Matahari bersinar cerah.
Tetapi diri Tan Ki yang terperangkap dalam hutan itu malah tidak dapat melihat sinar sedikitpun.
Cahaya matahari yang terik itu seakan diselimuti oleh dedaunan serta pohon-pohon yang lebat sehingga tidak dapat menerobos sedikitpun.
Meskipun biasanya nyali Tan Ki sangat besar, menghadapi situasi seperti ini, diam-diam hatinya tercekat juga.
Perubahan ini memang terlalu aneh.
Ketika berdiri di luar, tampaknya hutan ini tidak ada kelainan apa-apa.
Mengapa begitu masuk ke dalam, semuanya jadi berubah? Kecuali tempat di mana aku berdiri, di manamana yang terlihat hanya bayangan pepohonan, bahkan sedikit tempat yang kosongpun tidak terlihat. pikirnya dalam hati.
Pada saat pikirannya dilanda kebingungan itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong mendengus dingin.
Tan Ki segera mengalihkan pandangannya.
Tampak mimik wajah orangtua itu kelam sekali.
Mulutnya terus bergerak-gerak, seakan sedang menghitung sesuatu.
Oleh karena itu, Tan Ki hanya berdiri di belakangnya tanpa berani menganggu pikiran si pengemis sakti.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, di wajah Cian Cong yang tadinya kelam mulai merekah seulas senyuman.
"Si maling tua Oey Kang itu ternyata memang bukan tokoh sembarangan. Dia sanggup menggabung perubahan Pat Kua dan Kiu Kong sehingga pengaruhnya lebih kuat. Hampir saja si pengemis tua tertipu olehnya."
Tiba-tiba dia menghimpun hawa murninya, kaki kiri digerakkan perlahan-lahan seakan takut ada jebakan yang terpasang di hadapannya.
Dengan hati-hati orangtua itu maju setengah langkah, orangnya pun segera membelok di balik sebatang pohon.
Tan Ki sadar dirinya tidak mengerti unsur langkah seperti Pat Kua maupun Kiu Kong.
Biasanya perubahan unsur-unsur ini memang ajaib sekali.
Dia takut kehilangan jejak Cian Cong, maka dari itu, cepat-cepat dia menyusul dari belakang.
Langkah kaki Cian Cong baru saja berhenti, Tan Ki sudah sampai di belakangnya.
Cian Cong menolehkan kepalanya dan tersenyum.
Kemudian dia melangkah ke dalam sejauh sembilan tindak.
Setelah itu menggeser ke kanan sejauh empat tindak.
Tan Ki terus mengikuti dengan ketat, ternyata memang tidak terdapat halangan apapun.
Dalam waktu yang singkat, mereka sudah masuk sejauh lima enam puluh depa, hati Tan Ki diam-diam menghitung.
Dia tahu apabila mereka melangkah beberapa tindak lagi, mereka segera dapat menerobos keluar dari bayangan pepohonan yang menyeramkan itu.
Tanpa terasa hatinya menjadi gembira.
Perasaan hormatnya kepada Cian Cong semakin bertambah.
Pikirannya melayang-layang, tetapi sebetulnya hanya sekejap mata.
Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut Cian Cong.
Langkah kakinya mendadak terhenti.
Wajahnya menyiratkan rasa terkejut serta penasaran.
Tan Ki jadi tertegun.
Baru saja dia ingin bertanya, sudah terdengar Cian Cong menarik nafas panjang.
"Tadinya pengemis tua mengira bahwa barisan pepohonan ini hanya merupakan gabungan dari unsur Pat Kua dan Kiu Kong, tidak tahunya masih banyak unsur lainnya yang terdapat di dalamnya. Malah Im dan Yang dapat diputar balikkan sehingga arahnya menjadi berubah"
Tan Ki terkejut sekali.
"Apa? Jadi kita sudah tersesat dan tidak dapat keluar lagi?"
Wajah Cian Cong berubah kelam kembali.
"Walaupun belum sampai tersesat, tetapi babak kali ini, si pengemis tua rela mengaku kalah. Memang sulit untuk keluar dari barisan pepohonan ini."
Tan Ki tersenyum simpul.
"Seseorang salah menduga, merupakan hal yang wajar. Kita bisa mundur kembali ke tempat semula dan mulai lagi dari awal."
Katanya menghibur.
Cian Cong tidak berkata apa-apa.
Dia hanya menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya kembali ke tempat semula.
Setelah berputar ke kiri dan membelok ke kanan beberapa kali, akhirnya mereka sampai di luar hutan.
Tan Ki melihat mimik wajah Cian Cong jauh berbeda dengan biasanya.
Kali ini sungguh tidak enak dipandang.
Hatinya jadi sedih.
Dia tetap membungkam seribu bahasa.
Perlu di ketahui, seorang tokoh Bulim, apabila namanya menjulang semakin tinggi, maka ia akan memandang harga dirinya semakin tinggi juga.
Si pengemis tua ini merupakan salah satu dari dua tokoh sakti di dunia Kangouw.
Nama besarnya sudah menggemparkan dunia persilatan.
Tapi justru dia terkurung di dalam barisan pepohonan ini dalam waktu yang dibilang lama juga tidak, tapi sebentar juga tidak.
Tentu saja dia merasa malu sekali.
Padahal dia orang yang optimis dan selalu berpandangan luas, tetapi kali ini mau tidak mau menelan seluruh kekesalan hatinya dalam-dalam.
Sementara itu, di sekeliling mereka kembali terkepung pepohonan dalam jumlah yang tidak terhitung.
Angin lembut berhembus.
Pikiran yang tegangpun seakan ikut terbang seiring dengan tiupan angin tersebut.
Tetapi wajah Cian Cong masih murung seperti tadi.
Keriangannya di waktu kemarin-kemarin seolah lenyap entah ke mana.
Mata Tan Ki segera beredar, tiba-tiba dari bagian depan terlihat belasan orang sedang berlari dengan tergesa-gesa ke arah mereka.
Gerakan setiap orang itu seperti burung camar yang terbang melayang.
Jarak yang masih empat puluh depaan, dalam sekejap mata, tahu-tahu sudah ada di hadapan mereka.
Orang yang paling depan, mungkin yang bertindak sebagai pemimpin, merupakan seorang pemuda berwajah tampan.
Alisnya bagus matanya bersinar terang.
Tampaknya dia melihat Cian Cong dan Tan Ki berjalan keluar dari hutan maka merasa di luar dugaan sehingga terkejut sekali.
Langkah kakinya pun otomatis terhenti.
Dia memperhatikan kedua orang itu dari atas kepala sampai ke bawah kaki.
Dari mulutnya terdengar suara keluhan yang lirih.
Kemudian dia merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura dalam-dalam.
"Yang ini mungkin si lengan koyak Cian Cong Locianpwe yang namanya sudah menggetarkan dunia Kangouw?"
Cian Cong mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya.
"Baju rombeng milik si pengemis tua ini, lengannya memang sudah koyak sebagian. Ini merupakan lambang gelar si pengemis tua."
Anak muda itu tersenyum lembut. Tiba-tiba sepasang alisnya mengerut di atas. Matanya beralih kepada Tan Ki.
"Kenapa kau kembali lagi?"
Tan Ki yang mendengar nada suaranya serasa tidak asing. Hatinya jadi tergerak. Dia segera maju dua langkah dan menjura dalam-dalam.
"Apakah Saudara ini yang bersembunyi di dalam hutan dan memberikan obat penyembuh luka kepadaku?"
Alis anak muda itu bergerak-gerak.
Dia seakan ingin mengatakan sesuatu namun seperti ada suatu ingatan yang melintas di benaknya.
Tiba-tiba dia mengibaskan ujung pakaiannya dan melesat ke tengah udara.
Dalam dua kali loncatan saja, tahu-tahu orangnya sudah berada dalam jarak dua depaan.
Melihat keadaan itu, Tan Ki jadi termangu-mangu.
Hatinya sedang berpikir mengapa anak muda itu tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa, dalam waktu yang bersamaan, telinganya menangkap suara panggilan Locianpwe! Locianpwe! sebanyak beberapa kali berturut-turut.
Kepalanya segera menoleh untuk melihat apa yang telah terjadi.
Entah sejak kapan Bu Ti Sin Kiam Liu Seng, Ciong San Suang-siu, Kok Hua-hong beserta delapan orang lainnya yang tidak dikenal oleh Tan Ki sedang mengerumuni Cian Cong.
Melihat kehadiran Liu Seng, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam hati Tan Ki meluap seketika.
Tubuhnya sampai gemetar melihat musuh yang membunuh ayahnya ada di depan mata dan apabila dia mengulurkan tangannya saja, tubuh orang itu dapat tersentuh.
Tetapi terasa begitu jauh dan hanya dapat dipandang saja.
Begitu bencinya perasaan Tan Ki terhadap orang yang satu ini, sampai-sampai matanya mendelik lebarlebar.
Dari dalamnya terpancar sinar yang dingin menusuk serta mengandung hawa pembunuhan yang tebal.
Dia menatap Liu Seng lekat-lekat.
Seakan setiap waktu dia sudah siap melancarkan serangan yang mematikan ke arah orang tersebut.
Tan Ki menggunakan berbagai samaran dengan nama Cian bin mo-ong hampir setengah tahun lamanya.
Tapi begitu pandai pemuda itu merahasiakan identitas dirinya.
Orang yang mengetahui masalah ini hanya Liang Fu Yong serta dua Tosu Bu Tong Pai yang sempat dibiarkan pergi oleh Tan Ki.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan tokoh sakti seperti Cian Cong dan lainlainnya tidak ada seorangpun yang tahu.
Malah mereka melakukan kesalahan berulang kali dengan menolong jiwa anak muda itu.
"Sebetulnya urusan apa yang membuat kalian mengejar pemuda tadi?"
Terdengar Cian Cong bertanya. Liu Seng segera maju satu langkah lalu menjura dalam-dalam.
"Pemuda tadi adalah anak angkat Oey Kang, yakni Pek I Tay-hiap (Pendekar Baju Putih) Oey Ku Kiong."
Cian Cong langsung tertawa dingin mendengar keterangannya.
"Usia semuda itu, memangnya pantas disebut segala Tayhiap?"
Tiba-tiba si gemuk pendek Cu Mei yang merupakan salah satu dari Ciong San Suang-siu terdengar menukas "Dia sendiri yang mengatakan hal ini kepada kita.
Itulah sebabnya kita bisa tahu.
Aku pikir, tadinya mungkin dia hanya ingin membanggakan dirinya sendiri agar pandangan kita terhadap harga dirinya jadi lebih tinggi."
Mendengar ucapannya, Cian Cong tampak berdiam diri. Seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan olehnya. Setelah agak lama baru dia berkata.
"Pertama kali melihat wajah tampan serta gagah dari pemuda tadi, pikiranku tiba-tiba teringat seorang sahabat lama yang sudah berpuluh tahun tidak pernah berjumpa lagi."
Dia menarik nafas panjang-panjang. Kemudian dia mengalihkan pokok pembicaraannya.
"Kalian datang ke Pek Hun Ceng untuk menolong orang. Lebih baik kalian pergi sekarang juga. Si pengemis tua kali ini dibuat bingung sekian lama, rasanya seluruh kegembiraan sampai kabur jauh-jauh. Diri si pengemis tua pun jadi enggan menemani lama-lama."
Tiba-tiba dia mengerahkan ginkangnya, dengan kecepatan tinggi dia melesat meninggalkan tempat itu.
Dalam sekejap mata saja, orangnya sudah menghilang dari pandangan.
Para hadirin tidak tahu kalau hati tokoh tua ini sedang penasaran.
Melihat dia tiba-tiba pergi begitu saja, mereka menjadi tidak mengerti sama sekali.
Oleh karena itu, semuanya saling pandang sekilas kemudian termangu-mangu untuk beberapa saat.
Justru ketika para hadirin masih termangu-mangu itulah, Tan Ki segera menggunakan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi secara diam-diam.
Orang-orang yang disekitarnya merupakan tokoh kelas tinggi di dunia Bulim.
Pendengaran mereka tajam sekali.
Ternyata mereka tidak sadar kapan Tan Ki pergi dari tempat tersebut.
Kalaupun ada yang melihat, juga mengira bahwa anak muda itu hendak menyusul Cian Cong, maka tidak ada yang mengajukan pertanyaan kepadanya.
Sebetulnya, Tan Ki pergi secara diam-diam, tujuannya sama sekali bukan menyusul Cian Cong.
Justru setelah melihat Liu Seng juga hadir di sana, gejolak kebenciannya membara di dada.
Dia ingin memikirkan cara membalas dendam, itulah sebabnya dia ngeloyor secara diam-diam.
Penderitaan di masa lalu menghasilkan watak yang luar biasa pada dirinya.
Tabah, angkuh dan dingin.
Harapan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya juga lebih dalam dari orang lain.
Sejak mendapat petunjuk dari Bu Beng Lojin (Orangtua tanpa nama) serta berhasil mencuri belajar dari kuburan para ketua Ti Cian Pang, keinginan dalam hatinya semakin bergejolak.
Itulah sebabnya, belum sampai setengah tahun dia terjun ke dunia Kangouw, secara berturut-turut dia telah membunuh dua puluh tujuh orang pendekar kenamaan.
Dia selalu beranggapan, pada mayat ayahnya terdapat empat puluh delapan jenis senjata rahasia, dari sini dapat dibuktikan bahwa musuh yang membunuh ayahnya ada empat puluh delapan orang.
Dalam perhitungannya saat ini, sisa musuh ayahnya tinggal dua puluh satu orang.
Nama Liu Seng sangat terkenal.
Lagipula dia juga termasuk seorang pendekar yang gagah serta menjunjung tinggi keadilan.
Meskipun dia sudah menggantung pedangnya sekian tahun, tapi kebesaran namanya tetap tersohor.
Sedangkan Hek Hong Ciam adalah senjata rahasia andalan keluarganya.
Ilmu tersebut hanya diwariskan kepada anak laki-laki dan tidak diwariskan kepada anak perempuan.
Justru senjata rahasia tersebut termasuk salah satu jenis yang membunuh ayahnya.
Hal ini pula yang akhirnya menimbulkan kegemparan di kota Lok Yang.
Sepanjang perjalanan dia terus berpikir, kakinya tidak pernah berhenti melangkah.
Tidak di sadari oleh Tan Ki bahwa dia malah kembali ke jalan semula.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya berkumandang suara tawa yang dingin.
Kemudian di susul dengan bentakan dari mulut seorang gadis.
"Berhenti!"
Mendapat bentakan yang tidak terduga-duga ini, hati Tan Ki terkejut sekali.
Lamunannya jadi tersentak.
Untuk sesaat dia tidak dapat mengendalikan diri, kakinya tetap melangkah maju dua tindak baru kemudian terhenti.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan memusatkan perhatiannya memandang.
Entah sejak kapan, di belakang punggungnya sudah berdiri seorang gadis berpakaian hitam dengan sebatang pedang panjang terikat di punggungnya.
Hati Tan Ki langsung tercekat.
"Apakah nona memanggil aku?"
Gadis berpakaian hitam itu tertawa dingin.
"Di sekitar ini tidak ada orang lainnya, kalau bukan kau yang dipanggil, habis siapa lagi?"
Diam-diam Tan Ki mengusap keringat yang membasahi keningnya.
Perempuan ini sungguh tidak tahu aturan.
Ketusnya bukan main.
Bahkan tokoh sakti seperti Cian Cong Locianpwe saja enggan mencari gara-gara dengannya pikirnya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi tampangnya tetap tenang.
Dia segera merang-kapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura kepada gadis tersebut.
"Kalau Nona memang memanggil, bolehkah Cayhe tanya untuk urusan apa gerangan?"
Gadis berpakaian hitam itu segera memalingkan wajahnya. Dia mendengus lirih.
"Rupanya kau memang pandai berpura-pura. Tempo hari kau ikut dengan kakekku pulang ke pondok kami. Kau justru menggunakan kesempatan di saat aku tidak ada untuk melarikan diri secara diam-diam. Hari ini ke-pergok olehku"
Semakin dibicarakan hatinya semakin kesal. Tubuhnya sampai gemetaran, Seakan baru saja mendapat penghinaan yang tidak kepalang pahitnya. Berbicara sampai di situ, dia tidak sanggup meneruskan lagi.
"Dengan seorang diri berada di daerah pegunungan seperti ini pasti membahayakan sekali. Apakah kakekmu tidak ikut bersamamu?"
Gadis berpakaian hitam itu tambah jengkel.
"Tidak perlu kau urus masalah ini. Kalau aku sampai mati, hatimu malah merasa tentram!"
Jantung Tan Ki sampai berdebar-debar mendengar perkataannya.
Mulai lagi, adatnya selalu keras kepala serta tidak tahu aturan kalau bicara. pikir Tan Ki dalam hati.
Tiba-tiba, dia seperti teringat sesuatu hal.
Sepasang kakinya berjinjit ke atas dan diedar-kannya pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Setelah yakin di sana tidak ada pihak ketiga, hatinya baru merasa tenang.
Memang ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curian dari kuburan para leluhur Ti Ciang Pang.
Dia menimbulkan huru hara di dunia Kangouw, selama ini boleh dibilang tidak ada yang ditakutinya.
Justru terhadap Pangcu Ti Ciang Pang, Lok Hong, dia merasa pusing tujuh keliling.
Setiap kali bertemu, hatinya pasti ketakutan.
Sedangkan gadis ini adalah cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang tersebut.
Mencari perkara dengannya sama saja mencari gara-gara dengan Lok Hong.
Berpikir sampai di situ, hatinya yang sudah agak tenang menjadi gelisah kembali.
Gadis berpakaian hitam itu melihatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun dalam jangka waktu sekian lama, tanpa terasa hatinya jadi marah kembali.
"Mengapa tidak bicara? Apakah mulutmu tiba-tiba menjadi bisu atau telingamu yang mendadak budek?"
"Perkataan Nona setiap kali selalu menyindir orang dengan tajam. Hal ini membuat aku jadi serba salah. Kalau aku diam saja, Nona malah marah kembali. Kalau aku lancang mengucapkan kata-kata yang salah, hasilnya sama saja."
Lok Ing menjadi kesal mendengar jawabannya.
"Aku justru ingin kau bicara!"
Pinggangnya meliuk ke samping, kemudian secara mendadak menegak kembali.
Tangannya diulurkan ke kiri lalu merentang ke depan.
Dalam waktu yang singkat dia sudah melancarkan empat buah pukulan dan satu buah totokan.
Serangan yang gencar ini, kecepatannya tidak terkirakan.
Empat buah pukulan diarahkan ke tempat yang berlainan.
Seiring dengan gerakan tubuhnya, serangan yang dilancarkan gadis itu pun menyerang datang.
Pukulannya belum sampai, angin yang ditimbulkannya sudah menerpa duluan.
Padahal Tan Ki sudah berusaha untuk tidak berurusan dengannya.
Melihat kekasaran gadis itu, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap.
Dia menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba kakinya mundur tiga langkah, menunggu gerakan tubuh Lok Ing hampir mencapai dirinya, sepasang telapak tangannya segera menghantam ke depan.
Tampak bayangan pukulan berkibar-kibar.
Angin yang terpancar keluar menderu-deru.
Dalam sekejap mata, dia sudah melancarkan dua belas pukulan secara berturut-turut.
Lok Ing mencibirkan bibirnya sambil tersenyum mengejek.
"Bagus, kau benar-benar ingin berkelahi?"
Dua jari tangannya terjulur keluar. Dengan kecepatan kilat meluncur ke arah urat darah di bagian pinggang sebelah kiri Tan Ki. Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas.
"Sifat Nona sungguh keras kepala. Kalau tidak mengajar adat padamu sekali-sekali, tentu kau tidak tahu kemarahan dalam hatiku."
Kegagahannya sebagai seorang laki-laki seakan terbangkit karena kata-katanya yang di-ucapkannya sendiri.
Untuk sesaat dia tidak berpikir panjang lagi.
Lengan kirinya menghimpun tenaga dalam dan menyambut totokan gadis itu.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, telapak tangannya terulur keluar melancarkan sebuah pukulan.
Dalam satu jurus dia melakukan dua gerakan.
Secara bergantian dikerahkannya, angin yang kencang segera terpancar keluar serta menimbulkan suara seperti siulan.
Terdengar suara keluhan dari mulut Lok Ing.
Tubuhnya sempoyongan dan langkah kakinya tergetar mundur lima tindak.
Bibirnya bergerak-gerak, dia seakan sedang bergumam kepada dirinya sendiri.
"Jurus Bintang-Bintang Berputaran ini baru diajarkan oleh Yaya beberapa hari yang lalu. Mengapa dia juga bisa?"
Hati Tan Ki jadi tercekat mendengar gu-mamannya.
Keringat dingin segera membasahi seluruh tubuhnya.
Gadis ini merupakan cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang, tentu saja dia dapat melihat ilmu yang kugunakan ini sama dengan yang dipelajarinya.
Dari kuburan para leluhur Ti Ciang Pang, Tan Ki berhasil mempelajari berbagai ilmu.
Kecuali Bu Beng Lojin yang sudah mati itu, tidak ada orang ketiga lagi yang mengetahui hal ini.
Kalau sampai karena kecerobohan sesaat, gadis itu berhasil membongkar rahasianya, tentu merupakan hal yang gawat bagi Tan Ki.
Hatinya mempertimbangkan bolak balik.
Akhirnya dia mengambil keputusan lebih baik melarikan diri saja.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang panjang.
Kumandangnya menimbulkan gema yang bergaung-gaung.
Lok Ing langsung tertawa lebar.
"Bagus, kakekku sudah datang. Lihat kau bisa kabur ke mana?"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati Tan Ki terkesiap mendengar kata-katanya.
Saat itu juga dia merasa sukmanya seperti terbang entah ke mana.
Seumur hidupnya dia tidak pernah merasa takut menghadapi apapun.
Justru terhadap kakek gadis itu, rasa gentarnya tidak terkirakan.
BAGIAN XVI Justru dalam waktu yang sekejap mata dari kejauhan, berkelebat tubuh seseorang.
Tampak pakaiannya yang berwarna hijau berkibar-kibar.
Tampangnya demikian tenang.
Tidak seperti orang yang sedang berlari kencang.
Begitu pandangan mata Tan Ki berhasil melihat orang yang mendatangi itu, hatinya langsung tercekat.
Perasaannya yang tidak tenang semakin menebal.
Seumur hidup memang dia tidak gentar menghadapi apapun.
Justru orang ini yang paling enggan ditemuinya.
Dalam sekejap mata, sebuah pikiran yang cemerlang segera melintas di otaknya.
Tibatiba dia memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.
Lok Ing segera tertawa dingin.
Dengan nada marah dia membentak "Dari tadi aku sudah mengatakan bahwa kakekku sedang menuju ke mari.
Pokoknya kau tidak bisa lari lagi!"
Kakinya langsung digerakkan untuk mengejar Tan Ki.
Ilmu Tan Ki memang hasil curian dari kuburan leluhur Ti Ciang Pang.
Sedangkan Lok Hong merupakan Pangcu Ti Ciang Pang generasi sekarang.
Apabila Tan Ki bertemu dengannya, ibarat maling kecil yang bertemu dengan pemilik barang.
Bagaimana dia tidak merasa takut? Tanpa berpikir panjang lagi, Tan Ki lari terbirit-birit.
Dia seperti dikejar setan gentayangan.
Ilmu silat Lok Ing masih kalah satu tingkat dengan Tan Ki, otomatis jarak di antara mereka semakin lama semakin jauh.
Hati gadis itu menjadi panik.
Oleh karena itu dia segera berteriak sekeras-kerasnya.
"Yaya, jangan biarkan dia kabur!"
Lok Hong tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak baik, kau tidak perlu khawatir."
Sambil berkata, dia menghimpun tenaganya.
Sepasang lengan bajunya bergerak-gerak.
Orangnya sendiri sudah mencelat ke tengah udara.
Tan Ki sedang dalam keadaan terluka.
Lewat pemberian obat si Pendekar Baju Putih Oey Ku Kiong dan penyaluran hawa murni si pengemis sakti Cian Cong, tampaknya sudah hampir pulih seperti sedia kala.
Saat ini dia ingin meloloskan diri dari kesulitan.
Oleh karena itu, gerakan kakinya pun berlari secepat kilat.
Tubuhnya bagai melayang di udara.
Siapa nyana, baru berlari kurang lebih dua belas depaan, tiba-tiba dia merasa kerah lehernya mengetat.
Tahu-tahu tubuhnya telah ditarik oleh Lok Hong.
Kakinya menggapai di atas tanah.
Dia tidak bisa bergerak sedikitpun.
Tampak lengan Lok Hong bergerak.
Mulutnya mengeluarkan suara bentakan.
"Pergilah!"
Dilemparkannya tubuh Tan Ki jauh-jauh.
Anak muda itu terkejut sekali.
Dia tidak berani menggunakan ilmu silatnya untuk berjungkir balik di udara.
Begitu dilempar oleh Lok Hong, tubuhnya bagai sebutir bola yang melayang di angkasa.
Terdengar suara Blukk! Yang memekakan telinga, tubuh Tan Ki terhempas di atas tanah.
Kaki tangannya terasa ngilu.
Sepasang matanya terasa berkunang-kunang.
Lok Ing tersenyum senang melihat keadaan itu.
Dia berjalan lambat-lambat menghampiri.
"Bagaimana? Begitu kakekku datang, meskipun di punggungmu tiba-tiba tumbuh sayap, kau juga tidak bisa lari ke mana-mana. Kata-kataku ini bukan sekedar omong besar bukan?"
Sindirnya tajam. Tulang belulang dalam tubuh Tan Ki seperti berpatahan. Tetapi dia memaksakan dirinya untuk bangun.
"Mengandalkan kehebatan orang lain, apa yang patut dibanggakan?"
Teriaknya marah.
Mula-mula Lok Ing tertegun.
Setelah sadar maksud ucapan Tan Ki, wajahnya segera berubah hebat.
Biar bagaimanapun, dia memang Seorang gadis yang angkuh, mana mungkin dia sudi menerima caci maki orang lain.
Kakinya sampai dihentak-hentakkan di atas tanah.
"Kau bilang aku mengandalkan nama besar kakekku untuk menghina dirimu. Baiklah, kita boleh mengulangi perkelahian kita. Lihat siapa diantara kita yang lebih unggul!"
Sepasang tangannya segera digerakkan.
Dengan kalap dia melancarkan serangan.
Yang digunakannya justru Bintang-Bintang Bertaburan yang dikerahkan Tan Ki tadi.
Tadinya dia mengira ilmu silat Tan Ki hampir seimbang dengan dirinya.
Serangan yang dilancarkannya kali ini sangat keji, tetapi dia tidak menyangka dapat melukai lawannya.
Matanya melihat Tan Ki tidak mengelak maupun menangkis, seakan memandang ringan serangannya itu.
Diam-diam hatinya jadi tergetar.
Mungkinkah dia sudah berhasil melatih semacam ilmu yang istimewa dan dapat memba-likkan tenaga seranganku?"
Tanyanya kepada diri sendiri.
Begitu ingatan itu melintas dalam benaknya, otomatis dia menarik kembali tenaga dalam yang terhimpun di telapak tangannya sebanyak sembilan bagian, tetapi gerakannya tidak berhenti.
Dengan gencar serangannya terus meluncur.
Kejadiannya berlangsung dengan cepat.
Terdengar suara Plak! Yang keras.
Dengan telak pukulan Lok Ing mendarat di dada lawannya.
Tubuh Tan Ki langsung terhuyunghuyung.
Kemudian tergetar mundur sejauh dua langkah.
Mulutnya terbuka diapun memuntahkan segumpal darah segar.
Tampak sepasang alisnya bertaut ketat.
Seolah sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan.
Tetapi dia tetap menggertakkan giginya serta memaksakan dirinya untuk berdiri tegak.
Lok Ing jadi termangu-mangu seketika.
"Mengapa kau tidak menghindar?"
Tanyanya penasaran.
"Siapa yang sudi dikasihani olehmu!"
Teriak Tan Ki sambil membalikkan tubuhnya.
Tanpa menoleh sekalipun dia langsung melesat meninggalkan tempat tersebut.
Lok Ing memandangi bayangan punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
Dia hanya merasa ada serangkum rasa pedih yang memenuhi hatinya.
Tapi dia tidak, dapat menjelaskan bagaimana rasanya.
Dan dia pun tidak turun tangan menghalangi kepergian Tan Ki.
Perlahan-lahan Lok Hong mendekatinya.
Dia menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Bibirnya tersenyum.
"Apa yang kau pikirkan? Mengapa sampai tertegun seperti itu?"
Nada suaranya mengandung kasih sayang yang dalam. Tanpa bergerak sedikitpun, Lok Ing berdiri termangu-mangu. Ditanya sedemikian rupa oleh Lok Hong, tanpa sadar dia menyahut.
"Aku sedang memikirkan dia"
Lok Hong tersenyum simpul.
"Apakah dia jahat sekali?"
Lok Ing menganggukkan kepalanya seperti burung pelatuk.
Kata-kata yang tercetus dari mulutnya seperti sedang bergumam seorang diri, tetapi seperti juga sedang memberikan jawaban atas pertanyaan kakeknya.
"Betul, dia memang jahat jahat sekali.
Menyebalkan tetapi, aku kok tidak tahu di mana letak kejahatannya?"
Di dasar hatinya yang paling dalam, Long Ing seakan sedang menimbun segudang rahasia.
Kata-kata ini diucapkan dengan terputus-putus.
Nada suaranya juga tidak menentu.
Kadang tinggi, kadang pula rendah.
Meskipun ilmu silat Lok Hong tinggi sekali, tetap saja ada beberapa patah yang kurang jelas tertangkap oleh telinganya.
Tetapi, biar bagaimanapun dia merupakan seorang pangcu dari sebuah perkumpulan yang sudah terkenal sekali.
Pengetahuan maupun pengalamannya sangat luas.
Gerakgerik Lok Ing yang seperti orang kehilangan kesadaran serta terlena dalam lamunan, sekali lihat saja dia sudah mengerti bahwa di dalam lubuk hati gadis itu pasti ada masalah.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya.
Pada dasarnya orangtua ini memang bukan orang yang bodoh.
Tampak dia menarik nafas panjang kemudian mengalihkan pokok pembicaraan.
"Mari kita berangkat. Pek Hun San Ceng merupakan tempat yang berbahaya. Boleh dibilang sebuah sarang harimau. Kepergian kita kali ini mungkin akan menghadapi ajang pembunuhan yang menyeramkan. Sebaiknya kau lebih berhati-hati dan jangan bertindak gegabah."
"Aku sudah tahu. Yaya, aku tidak akan menurunkan derajat perkumpulan kita."
Pada saat berbicara itu, keduanya sudah mengerahkan ilmu ginkangnya dan melesat secepat bidikan anak panah.
Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, mereka sudah keluar dari daerah pegunungan.
Begitu memandang dari kejauhan, tampak sebuah bangunan yang besar sekali.
Sekelilingnya ditumbuhi pepohonan yang merambat dan lebat sehingga temboknya hampir tertutup.
Justru ketika sedang berlari pesat melesat ke depan.
Dari balik sebatang pohon yang baru saja mereka lalui, muncul seorang pemuda berwajah tampan.
Dia tidak lain dari Cian bin mo-ong Tan Ki.
Tadinya dia berpikir, setelah meninggalkan rombongan Liu Seng, dia akan merias dirinya menjadi orang lain.
Dengan demikian, apabila dia ingin menolong orang atau pun membalas dendam, dia dapat bergerak dengan leluasa.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa tahu Lok Hong dan cucunya juga datang ke Pek Hun Ceng.
Meskipun dia mempunyai nyali sebesar apapun, tetap saja ia tidak berani bertemu lagi dengan Lok Hong.
Dia bermaksud menghindarkan diri dari orang ini sejauh-jauhnya.
Dengan demikian, hatinya bisa menjadi tenang.
Mana sudi dia pergi ke Pek Hun Ceng saat ini? Tetapi mengingat musuh besar yang membunuh ayahnya juga ada di dalam, kebencian di dalam hatinya semakin menjadi-jadi.
Rasanya sulit untuk memadamkan kobaran api kemarahan dalam dadanya.
Pikirannya melayang-layang.
Otaknya terus berputar.
Untuk sesaat dia merasa mundur salah, maju juga salah.
Hatinya gelisah luar biasa.
Kakinya melangkah ke depan, tetapi tidak membedakan utara selatan timur maupun barat.
Pokoknya dia hanya melangkah terus.
Matahari bersinar terik, angin hangat bertiup sepoi-sepoi.
Keadaan ini membuat perasaan orang jadi terlena.
Hati Tan Ki sedang gundah.
Dengan termenung-menung dia terus melangkah.
Telinga maupun matanya seperti kehilangan kepekaannya.
Entah sejak kapan, dari belakangnya terlihat mengikuti seorang gadis.
Wajahnya cantik jelita.
Penampilannya agung, langkahnya lemah gemulai.
Seperti hembusan angin yang lembut bergerak-gerak.
Diantara ketegarannya terselip kelembutan.
Gadis ini seperti selir Ong Sun Ping di masa lampau.
Di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota yang bertahtakan batu permata.
Cahayanya berkilauan.
Dandanan maupun pakaiannya mewah sekali.
Sekali lihat saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia bukan dari golongan orang biasa.
Tampaknya dia mempunyai maksud tertentu dengan mengikuti Tan Ki dari belakang.
Gerak-geriknya juga berani sekali.
Dia tidak menyembunyikan diri atau berjalan dengan mengendap-endap.
Jaraknya juga segitu-segi-tu saja.
Dia berjalan perlahan-lahan dalam batas lima langkah dengan Tan Ki.
Sudah cukup lama juga mereka berjalan.
Tiba-tiba, kedua orang itu melintasi sebuah padang rumput.
Pek Hun Ceng sudah mulai tampak di depan mata.
Dari belakang tubuh kedua orang itu mendadak berhembus segulungan angin.
Lamunan Tan Ki seperti tersentak.
Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya.
Kepalanya didongakkan dan hidungnya pun mengendus-endus.
Perempuan itu terkejut sekali.
Dia menundukkan kepalanya serta mencium-cium tubuhnya sendiri.
Kemudian dia mendengus dingin.
"Tidak perlu mencari lagi. Aku ada di sini!"
Tan Ki membalikkan tubuhnya dengan gerakan terperanjat. Begitu matanya memandang, tanpa dapat di tahan lagi dia terkejut sekali karena merasa hal itu di luar dugaannya.
"Kau, Kiau Hun?"
Kiau Hun tertawa dingin.
"Aku kira kau sudah lama melupakan namaku"
Ketika pertama kali berkenalan dengan Tan Ki, dia langsung tertarik dengan ketampanan serta kegagahan anak muda itu.
Malah tanpa memperdulikan keselamatan nyawanya sendiri, dia menolong pemuda itu sebanyak dua kali.
Akhirnya dia malah dikeluarkan dari perguruan oleh Ciu Cang Po yang merasa marah sekali akan tindakannya yang kurang ajar.
Kemudian mereka berjanji untuk bertemu kembali di sebelah barat kota Lok Yang.
Tidak disangka, bintang jodoh Tan Ki sedang bersinar terang, sekaligus sedang gelap.
Dia bertemu dengan kakek Lok Hong serta cucunya Lok Ing.
Waktu itu dia berhasil diringkus oleh mereka.
Kemudian dia berhasil ditolong Liang Fu Yong, keduanya terlibat berbagai masalah yang bersangkutan dengan hubungan antara pemuda-pemudi.
Bersamasama mereka menuju ke Cui Sian Lau yang mana menyebabkan salah paham di pihak Kiau Hun.
Gadis itu meninggalkan dirinya dengan hati yang marah.
Gadis ini mempunyai perasaan hati yang romantis namun selalu sirik dan cemburunya besar sekali.
Malah melebihi orang lain.
Begitu mengucapkan kata-kata tadi, tampangnya dingin dan datar sekali, namun di dalamnya terselip kepedihan yang disembunyikan.
Tan Ki tersenyum simpul.
"Cen Kouwnio, urusan hari itu sebetulnya hanya sebuah salah paham"
Kiau Hun tidak menunggu sampai dia menyelesaikan kata-katanya. Dia segera menukas.
"Kalau memang hanya kesalahpahaman, mengapa kau melamarnya?"
Kembali tertawa dingin, namun hatinya pilu tidak terkira.
"Kau hanya manis di bibir dan menganggap aku tidak tahu apa-apa."
Hati Tan Ki tergetar mendengar ucapannya.
"Tidak ada kejadian seperti itu. Aku menerima budi pertolongan Nona sebanyak dua kali, belum lagi aku sempat membalasnya. Mana mungkin aku mempunyai pikiran jahat? Meskipun Cayhe hanya seorang Bu Beng Siau-cut (Prajurit Tidak Ternama), tetapi tahu mengingat budi. Mendongak tidak memalukan langit, menunduk tidak meludah di atas tanah."
Mulut Kiau Hun bergerak-gerak.
Tadinya dia bermaksud mencaci maki anak muda itu sehingga kekesalan hatinya dapat terlampiaskan.
Ucapan sudah sampai di ujung bibir, bergerak-gerak, namun tiba-tiba membungkam seribu bahasa.
Ada segulungan kesedihan yang rumit terlihat pada sepasang alisnya yang berkerut.
Tan Ki maklum sekali perasaan gadis ini.
Asmaranya bagai kobaran api, keberaniannya tidak perlu diragukan lagi, kalau bukan mengalami urusan yang besar sekali, tampangnya pasti tidak akan demikian sedih dan tidak bersedia mengucapkan sepatah katapun.
Di pihak lain dia juga sadar bahwa kesalahpahaman di antara mereka bukan hal yang dapat dijelaskan dengan satu dua kalimat.
Tanpa terasa dia menundukkan kepalanya merenung.
Dia berusaha mencari jalan keluar yang baik agar semuanya dapat diselesaikan dengan tuntas.
Di hati mereka masing-masing terdapat berbagai masalah.
Untuk sesaat lamanya mereka tidak membuka suara.
Meskipun mereka berdiri berhadapan, tetapi suasananya seakan ruwet sekali.
Angin yang hangat berhembus, jubah panjang Tan Ki serta gaun Kiau Hun berkibar-kibar.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, Kiau Hun seperti teringat akan sesuatu hal.
Mulutnya mengeluarkan suara keluhan.
Dia segera mendongakkan kepalanya menatap langit.
"Hari sudah siang, aku akan pergi sekarang juga"
Dia merandek sejenak. Di wajahnya tersirat kepedihan menjelang perpisahan. Dengan lambat dia melanjutkan kata-katanya.
"Mengenai urusan kita, aku tidak berani berharap lagi."
Tenggorokannya seperti tercekat. Kata-kata yang belum selesai diucapkan tidak sanggup diteruskannya lagi. Perlahan-lahan dia berjalan ke depan. Tan Ki menjadi panik.
"Kau hendak ke mana?"
Mendengar pertanyaannya, tanpa sadar Kiau Hun menghentikan langkah kakinya.
Hatinya ingin sekali kembali dan bercakap-cakap dengan Tan Ki.
Tetapi rasanya sulit memuntahkan penderitaannya menjadi kata-kata.
Apabila dapat melihat wajah Tan Ki untuk terakhir kalinya, hati Kiau Hun sudah merasa puas.
Tetapi gadis ini mempunyai perasaan rendah diri yang dalam sekali.
Meskipun dia ingin berjalan kembali, tetapi hatinya terasa kesal.
Dia memaksakan dirinya menahan gejolak asmara dalam hati, perlahanlahan dia meneruskan langkah kakinya.
Perasaan hatinya saat ini sangat gundah.
Dia dibimbangkan dua pilihan antara kembali atau tidak.
Langkah kakinya pun semakin berat.
Jalannya bagai siput merayap.
Tan Ki berdiri membelakangi punggung gadis itu.
Dia tidak tahu dalam waktu yang singkat wajah gadis itu sudah berubah berapa kali.
Melihat dia berjalan pergi, hatinya menjadi panik.
"Cen Kouwnio, biarkan aku mengucapkan beberapa patah dahulu. Pada saat itu kalau kau tetap ingin pergi, juga belum terlambat. Kalau kesalahpahaman ini tidak dibikin terang, kau malah akan salah tanggap terhadap pribadiku sebagai seorang laki-laki. Dengan demikian, apakah kelak aku masih mempunyai muka untuk bertemu denganmu?"
Teriaknya gugup.
Kiau Hun tidak menyahut sepatah katapun.
Langkahnya terus dipercepat dan tubuhnya pun melesat ke depan.
Dia seakan takut mendengarkan penjelasan dari mulut Tan Ki.
Gerakannya seperti kilat.
Dalam sekejap mata, dia sudah melesat sejauh empat puluh depaan.
Tiba-tiba terasa kibaran pakaian melesat ke depan.
Tan Ki merentangkan kedua tangannya dengan kalap.
Dia menghadang di depan Kiau Hun.
Tubuh gadis itu sedang menerjang secepat kilat, tahu-tahu sudah teringkus olehnya.
Diam-diam Tan Ki merasa terkejut setengah mati.
Melihat gerakannya yang ringan dan mantap, rasanya tidak dipaksakan sedikitpun.
Meskipun sedang berlari begitu cepat, dia dapat menghentikan gerakannya pada tepat waktunya mungkinkah ilmu silatnya sudah mendapat kemajuan yang pesat? Kalau dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, tampaknya lebih hebat sepuluh kali lipat. pikirnya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, bibirnya tetap tersenyum simpul.
"Apakah kau benar-benar masih merasa marah terhadapku?"
Kiau Hun menghembuskan nafas panjang-panjang.
"Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Tetapi saat ini aku sedang tidak tenang, malas berbicara dengan siapapun."
"Kalau memang tidak tahu, mengapa kau tidak memperdulikan aku, malah memalingkan kepala dan pergi begitu saja?"
Tanya Tan Ki kembali.
Mendengar pertanyaannya, Kiau Hun jadi termangu-mangu.
Dia merasa di balik ucapan Tan Ki terselip semacam maksud yang aneh.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada dasarnya, dia memang seorang gadis yang mudah curiga.
Begitu pikirannya melintas, wajahnya jadi merah padam.
Setelah beberapa lama berlalu, dia tetap tidak dapat memberikan jawaban.
Tan Ki menunggu beberapa saat, tetapi Kiau Hun tetap diam saja.
Hatinya menjadi panik.
"Mengapa kau tidak berbicara?"
Kiau Hun menarik nafas dalam-dalam.
"Apa yang harus aku katakan?"
"Apa saja boleh, asal kau yang berbicara, soal apapun aku akan senang mendengarkannya."
Kiau Hun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sayangnya aku tidak mempunyai kegembiraan seperti itu. Maaf, aku tidak dapat menemani lebih lama lagi."
Perlahan-lahan dia melangkahkan kakinya dan lewat di samping Tan Ki.
Dari jawabannya yang dingin dan kaku, Tan Ki sadar salah paham yang terjadi di antara mereka sulit sekali diselesaikan.
Dia melihat Kiau Hun sama sekali tidak menolehkan kepalanya dan berjalan terus ke depan.
Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
Pengalaman yang berlangsung beberapa hari ini, tampaknya semua menyangkut jodoh yang tidak berkelanjutan dengan kaum perempuan.
Setiap orangnya mempunyai watak yang berlainan dan sulit dimengerti.
Keketusan Lok Ing membuat kepala menjadi pusing dan takut.
Kepedihan serta rasa tertekan dalam hati Liang Fu Yong ketika meninggalkan diriku Berpikir sampai di sini, pengalaman yang berbeda-beda selama beberapa hari ini melintas satu per satu di benaknya.
Tanpa terasa, kakinya terus melangkah ke depan, diam-diam dia mengikuti di belakang Kiau Hun.
Angin bertiup sepoi-sepoi.
Perhiasan di seluruh tubuh maupun pakaiannya menimbulkan suara gemerincing yang tiada berhenti.
Telinga Tan Ki seakan tidak mendengar suara apapun.
Dengan termangu-mangu dia terus mengikuti di belakang gadis itu.
Langkah kakinya bagai mayat hidup, tampang wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun.
Dia benar-benar seperti orang yang telah kehilangan kesadarannya.
Kiau Hun tahu Tan Ki mengikuti di belakangnya.
Tetapi dia tidak pernah menolehkan kepalanya sedikitpun.
Perasaan hatinya yang gundah, membuat sepasang alisnya mengerut.
Bibirnya sering digigit sendiri.
Hal ini membuktikan bahwa masalah yang memenuhi hatinya pasti besar sekali.
Begitu mata memandang, kurang lebih sepuluh depaan di depan sana, terdapat sebuah bangunan yang luas sekali.
Pintu gerbangnya sangat tinggi, juga lebar.
Cukup untuk tiga buah kereta yang keluar masuk sekaligus.
Di dalam halaman gedung itu terlihat kamarkamar yang berderetan.
Sebaris demi sebaris dari depan hingga belakang.
Ruangannya besar-besar dan dekorasinya indah.
Entah berapa luas tanah yang mencakup seluruh bangunan ini.
Tetapi kalau diperhatikan dari luar, dapat diketahui bahwa bangunannya sendiri begitu luas sehingga mengejutkan.
Kiau Hun menghentikan langkah kakinya dan menatap, sejenak.
Dari hidungnya terdengar suara dengusan yang dingin.
Dia membalikkan tubuhnya.
Tanpa dapat ditahan lagi, seseorang yang sedang berjalan dengan termangu-mangu di belakangnya langsung berbenturan dengan dirinya.
Perubahan yang mendadak ini benar-benar di luar dugaan keduanya.
Meskipun otaknya cerdas dan nyalinya besar sekali, tetapi dari mulutnya terdengar suara aduhan yang keras.
Secara refleks dia mengulurkan tangannya dan memeluk orang itu.
Rupanya, meskipun Tan Ki berjalan dengan mata terbuka lebar, tetapi pikirannya melayang-layang.
Dia terus melangkah tanpa memperhatikan apa yang ada di hadapannya.
Dengan tidak terduga-duga Kiau Hun menghentikan langkah kakinya lalu membalikkan tubuh, dia masih belum menyadari.
Dengan termangu-mangu dia terus melangkah.
Sampai Kiau Hun memeluk dirinya, lamunannya baru tersentak, dia langsung mengeluarkan suara aduhan, wajahnya yang tampan menjadi merah padam seketika.
Malunya bukan main.
Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepa-lanya dalam-dalam.
Saking kesalnya, Kiau Hun sampai menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali.
"Bagaimana sih kau ini? Tempat begini luas tidak memilih jalan yang lain malah menabrak badan orang!"
Bentaknya dengan nada jengkel. Tan Ki tersenyum cengar-cengir.
"Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa pemandangan di depan mata seakan samar-samar. Apapun tidak dapat terlihat dengan jelas. Mungkin karena masalah yang kupikirkan sudah terlampau banyak sehingga"
Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya menatap ke sekeliling. Mulutnya langsung mengeluarkan seruan heran. Jari tangannya menunjuk ke arah bangunan yang besar itu.
"Aneh, mengapa aku bisa kembali lagi ke Pek Hun San Ceng?"
"Benar-benar lucu! Kau sendiri yang mengikuti di belakangku. Setelah menempuh perjalanan sedemikian jauh, apakah kau masih tidak merasa?"
Tan Ki langsung menepuk batok kepalanya sendiri.
"Apakah tujuanmu memang bangunan ini?"
"Tidak salah!"
Sahut Kiau Hun dingin.
"Untuk apa?"
"Bukan urusanmu!"
"Aku menanyakanmu tentang hal ini hanya karena bermaksud baik. Sama sekali tidak ter-kandung niat lainnya. Mengapa kau selalu bicara dengan ketus dan nada dingin kepadaku? Pemilik bangunan ini merupakan raja iblis yang paling ditakuti di zaman ini. Di dalam bangunan ini, setiap langkah telah dipasang perangkap. Di mana-mana terdapat bahaya mengintai. Begitu masuk ke dalam, ibarat terjerat jaring maut, hidup tidak mungkin, mati sudah pasti. Meskipun kau sudah mendapat didikan ilmu silat dari Ciu Cang Po, namun tetap saja tidak boleh ceroboh. Dengan tidak berpikir panjang lagi langsung ini masuk ke dalam."
Kata Tan Ki menasehati.
Ucapan ini dicetuskan dengan lancar.
Maknanya sangat dalam dan keluar dari lubuk hati yang paling dalam.
Nadanya mengandung perasaan khawatir dan penuh perhatian.
Kiau Hun yang mendengarnya sampai terharu.
Hatinya terasa pilu, air matanya pun mengalir dengan deras.
Tetapi dia masih merasa kesal.
"Kau toh sudah mempunyai perempuan jahat itu, mengapa masih berpura-pura seakan penuh perhatian terhadap diriku?"
Tan Ki menarik nafas panjang.
"Aku sudah mengatakan bahwa semua itu hanya salah paham, kau masih juga tidak percaya. Apalagi yang dapat kulakukan?"
Di saat bicara itulah, tiba-tiba terdengar suara suitan yang panjang.
Dibawa oleh hembusan angin bagai kilat yang menyambar sebelum hari hujan.
Kumandangnya memecahkan keheningan.
Kedua orang itu merasa hatinya tercekat.
Jantungpun laksana diganduli beban yang berat.
Dalam waktu yang bersamaan, mereka memalingkan wajahnya, tampak sesosok bayangan sedang melesat keluar bagai terbang.
Kedua kakinya terus bergerak.
Kecepatannya bagai anak panah yang meluncur.
Dalam sekejap mata, dia sudah berdiri di atas jembatan yang terdapat di depan bangunan.
Kekuatan sinar mata kedua orang itu tajam sekali.
Meskipun jarak mereka masih kirakira empat puluh lima depaan, tetapi mereka dapat melihat dengan jelas, pakaian, raut wajah maupun senjata yang digunakan orang itu.
Orang itu adalah seorang nenek yang jelek dan sudah tua sekali.
Tubuhnya yang kurus berdiri di atas jembatan, seakan-akan bisa terbang melayang bila dihempas oleh angin yang agak kencang.
Tangannya menggenggam sebatang tongkat berbentuk aneh yang digunakan sebagai tumpuan.
Hati Tan Ki langsung tergetar.
"Suhumu sudah datang."
Katanya dengan suara lirih. Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas satu kali. Matanya memancarkan hawa pembunuhan yang tebal. Dia tertawa dingin.
"Nenek itu sudah mengusir aku dari perguruannya. Hubungan di masa lalu sudah hilang tanpa tersisa sedikitpun. Kalau dia berani menghalangi apapun yang akan kuperbuat, maka aku akan menyuruh dia mencoba barang dua jurus ilmu pukulanku ini."
Sahutnya ketus.
Baru saja kata-katanya yang terakhir diucapkan, tiba-tiba dia mengerahkan tenaga dalamnya dan melesat ke depan.
Tan Ki mengikuti di belakangnya dengan ketat.
Kecepatan mereka hampir seimbang.
Tetapi anak muda itu merasa gerakannya ringan dan cepat sekali.
Gaunnya yang berkibar-kibaran menentang angin menimbulkan suara yang berdesir-desir.
Di udara bagai ada serangkum kekuatan yang bergerak-gerak mengiringi berkelebat-nya tubuh Tan Ki dan mendesaknya dari dua arah.
Hati Tan Ki terkejut sekali.
Baru beberapa hari tidak berjumpa, ternyata ilmu silatnya sudah maju sedemikian pesat, katanya kepada diri sendiri.
Tepat pada saat pikirannya tergerak keduanya sudah melesat ke atas jembatan lalu menghentikan langkah kakinya.
Tampaknya untuk sesaat Kiau Hun agak bimbang.
Dia merasa serba salah.
Masuk atau jangan.
Tetapi tiba-tiba dia menggertakkan giginya eraterat.
Dengan wajah mendongak dan dada dibusungkan dia melangkah maju.
Dia membungkam seribu bahasa.
Langkah kakinya merapat ke arah Ciu Cang Po.
Meng-hadapi bekas gurunya, ini, perasaan Kiau Hun agak tenang.
Tampaknya dia juga tidak berani memandang ringan.
Cuaca yang cerah, udara yang lembut, tiba-tiba diselimuti dengan ketegangan yang luar biasa.
Tan Ki melihat kedua bekas guru dan murid itu sebentar lagi akan bergebrak, tanpa terasa seluruh tubuhnya dibasahi keringat dingin.
Hatinya bermaksud mendamaikan mereka, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dengan panik dia berdiri di samping sambil meremas kedua tangannya serta menghentakkan kakinya berulang kali.
Tetapi dia tidak berani maju ke depan.
Tiba-tiba terlihat Ciu Cang Po mengangkat lengannya ke atas.
Tongkatnya yang aneh di-rentangkan ke depan menghadang Kiau Hun.
Nenek itu sudah dicekoki obat Li Hun Tan (Pil Pelenyap Sukma) oleh Oey Kang.
Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun.
Tapi membawa kesan yang angker.
Meskipun berdiri di bawah sorotan terik matahari, namun ada semacam perasaan yang menyeramkan yang membuat seluruh tubuh gemetar dan hati menggidik.
Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau bermaksud menghadangku?"
Bentaknya marah.
Hawa murninya di himpun.
Tiba-tiba, dengan cepat dia maju dua langkah.
Dirinya menyongsong ke arah tongkat aneh di tangan Ciu Cang Po.
Ciu Cang Po telah dicekoki pil pelenyap sukma oleh Oey Kang.
Pikirannya hilang, tetapi ilmu silatnya tetap seperti biasa.
Melihat Kiau Hun menerjang ke arahnya, tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara raungan yang keras, lengannya disurutkan, tongkatnya pun tertarik ke belakang, pergelangan tangannya memutar, timbul beratus-ratus bayangan tongkatnya.
Dengan gencar dia menyerang ke arah dada Kiau Hun.
Nenek tua ini pernah bergebrak dengan Cian Cong sebanyak ratusan jurus.
Meskipun akhirnya dia dikalahkan oleh jurus Hui Siu-jut lin, tetapi dia menggunakan detik-detik yang membahayakan itu untuk menendang Cian Cong sehingga terluka.
Hal ini membuktikan bahwa ilmu silat nenek kurus ini tidak dapat dipandang ringan.
Kali ini, serangan tongkatnya ini mengandung kekuatan yang luar biasa.
Angin yang terpancar sangat keras, seiring dengan gerakan tangannya menimbulkan suara seperti siulan.
Pengaruh suara itu hebatnya bukan main.
Kiau Hun tertawa ringan, dihimpunnya hawa murni ke bagian dada, tiba-tiba dia melesat mundur kurang lebih tiga mistar.
Dengan tubuh agak membungkuk, tongkat di tangan Ciu Cang Po terus meluncur ke depan.
Ketika pergelangan tangannya bergerak, selalu membawa suara seperti siulan, tongkat ini mengincar salah satu urat darah Kiau Hun yang mematikan.
Gadis itu seperti sengaja mengalah.
Dia tidak pernah membalas menyerang, dengan gerak tubuh yang lemah gemulai, orangnya sudah sampai di ujung jembatan.
Tadinya dia menganggap Ciu Cang Po adalah manusia yang angkuh.
Tiga jurus dilancarkan, Kiau Hun seakan terdesak mundur, dia pasti menggunakan kesempatan itu untuk mendesak terus.
Tetapi dugaannya ternyata salah.
Ketika dirinya terus mencelat mundur dan sudah sampai di ujung jembatan, ternyata nenek itu tidak menyerang lagi.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri ke tempat semula.
Wajahnya yang datar dan tidak menunjukkan perasaan apa-apa masih terlihat.
Dia berdiri tegak dengan mencekal tongkat di tangannya erat-erat.
Kiau Hun jadi tertegun.
Tiba-tiba dia berteriak dan tubuhnya bergerak menerjang ke depan, dengan jurus Ci Yang Tian Bun (Terus Menerjang Menuju Pintu Langit), tangannya mengambil posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan.
Ciu Cang Po tetap membungkam.
Tongkatnya segera terulur ke depan.
Dengan jurus Menahan Gulungan Angin dikerahkannya tenaga dalam sebanyak sepuluh bagian seakan hendak mengadu kekerasan dengan Kiau Hun.
Gadis itu memperdengarkan suara tertawa yang dingin, pukulan di tangan kirinya terus menyerang tanpa perubahan apa-apa, pukulan di tangan kanannya segera menyusul di belakang.
Tahu-tahu dia mengganti jurus serangannya.
Yang dikerahkan sekarang adalah Daun-daun berguguruan di musim semi.
Ciu Cang Po mendapat tugas menjaga jembatan.
Dia tidak boleh membiarkan siapapun masuk ke dalam.
Jurus serangan Kiau Hun ini tampaknya merupakan ilmu yang biasabiasa saja.
Tetapi dalam satu jurus dia menggabungkan dua macam gerakan, begitu dilancarkan dapat meraih manfaat yang besar.
Tanpa diduga hal itu menambah kekuatan pengaruhnya.
Angin pukulan serta bayangan lengan memenuhi atas jembatan tersebut.
Sepasang kaki Ciu Cang Po berdiri tanpa bergerak, bagian atas tubuhnya bergeser sedikit untuk menghindari serangan Kiau Hun.
Tiba-tiba dia membentak dengan suara keras, lengan kanannya menambah kekuatan dan datangnya serangan begitu mendadak serta cepat tidak kepalang tanggung.
Terdengar suara beradunya pukulan yang menggelegar memecahkan keheningan.
Ternyata mereka memang mengadu kekerasan, hasilnya kedua orang itu tergetar mundur satu langkah.
Melihat keadaan itu, hati Tan Ki terkesiap.
Dengan tangan kosong, Kiau Hun mengadu kekerasan melawan tongkat Ciu Cang Po.
Nyatanya dia hanya tergetar mundur satu langkah.
Entah ilmu perguruan mana yang digunakan olehnya? pikirnya diam-diam.
Justru ketika otaknya sedang mereka-reka, dengan keberanian yang luar biasa, Kiau Hun yang baru mundur sudah maju kembali.
Sepasang telapak tangannya dirangkapkan.
Dengari jurus Dua Gulung Angin Berhembus Di Telinga, dia menerjang ke depan.
Pada saat yang hampir bersamaan, kaki kirinya terangkat ke atas serta mengirimkan sebuah tendangan ke arah perut lawan.
Begitu bergerak maju, dia langsung melancarkan dua buah serangan yang keji sekaligus.
Meskipun Ciu Cang Po sudah kehilangan kesadarannya karena dicekoki pil pelenyap sukma oleh Oey Kang, namun reaksi refleks yang terdapat di benaknya belum hilang secara keseluruhan.
Melihat Kiau Hun begitu berani, justru setelah mereka mengadu kekerasan dan bahkan tidak mengatur pernafasannya lagi, kembali menyerang dengan demikian keji.
Hati kecilnya agak tergetar, dia bermaksud menghindarkan diri, tiada kesempatan lagi baginya.
Terpaksa dia mengulurkan lengan kanannya, dalam posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan, dan sekali lagi mengadu kekerasan dengan hantaman Kiau Hun.
Paha kanannya juga mengerahkan sebuah tendangan menyambut tendangan kiri gadis itu.
Terdengar lagi suara benturan yang keras, tiga pukulan dan dua tendangan bertemu dalam saat yang hampir bersamaan.
Kembali hati Tan Ki tercekat.
Cara bertarung yang tidak perduli mati hidup ini, benar-benar merupakan hal yang belum pernah kudengar apalagi menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Apabila salah satu pihak tenaga dalamnya lebih tinggi sedikit saja, lawannya pasti akan terpukul mati pikirnya diam-diam.
Terdengar suara tertawa yang dingin dan dengusan hidung yang terpancar dalam waktu bersamaan, kedua orang itu sama-sama tergetar mundur tiga langkah.
Mengadu kekerasan secara berturut-turut sebanyak dua kali, membuat hawa murni di dalam mereka agak bergejolak, mereka sama-sama merasakan aliran darah seakan membalik dan membuat sesak nafas.
Begitu kakinya berdiri dengan mantap, Ciu Cang Po segera memejamkan matanya mengatur pernafasan.
Sedangkan Kiau Hun seakan sudah bertekad untuk menyelesaikan pertarungan tersebut.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia kembali menerjang ke depan.
Pergelangan tangannya terulur, jari tangannya membentuk totokan dan langsung dilancarkan ke dada lawan.
Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya dia menerjang kembali, benar-benar di luar dugaan orang.
Dalam perasaan Ciu Cang Po, pukulan yang dikerahkan oleh Kiau Hun tidak lebih kuat dari dirinya sendiri.
Tetapi setelah mengadu kekerasan sebanyak dua kali, hati kecilnya merasa dirinya tidak kuat bertarung lagi.
Oleh karena itu, berdasarkan anggapannya, dia mengira pihak lawannya juga pasti tidak kuat lagi meneruskan pertarungan.
Itulah sebabnya dia berani memejamkan mata mengatur pernafasan.
Siapa sangka kenyataannya benar-benar lain dari dugaannya.
Ketika dia tersadar, telapak tangan Kiau Hun sudah menghantam telak dadanya.
Nenek itu sedang dalam keadaan kehabisan tenaga, ditambah lagi kesadaran pikirannya yang hilang.
Tentu saja kegesitan ataupun kecepatan daya tangkapnya tidak dapat dibandingkan dengan biasanya.
Yang mana dia mempunyai akal untuk menentukan apa yang harus dilakukannya.
Saat ini sepasang matanya baru saja terbuka kembali, tahutahu dadanya sudah terkena pukulan Kiau Hun yang dahsyat.
Pada saat itu juga, dia seakan merasa dadanya terhimpit oleh beban yang berat.
Isi perutnya seperti menjungkir balik di dalam.
Sepasang kakinya tidak dapat dipertahankan lagi, mulutnya membuka dan diapun memuntahkan segumpal darah segar, tubuhnya sendiri langsung melayang sejauh tujuh delapan mistar.
Terdengar suara dentangan yang keras, tongkatnya yang aneh terjatuh ke samping jembatan.
Sedangkan nenek itu terhempas jatuh dalam posisi duduk di atas tanah.
Tan Ki melihat permukaan jembatan penuh dengan bercak darah.
Tiba-tiba hatinya menjadi khawatir, cepat-cepat dia menghambur maju ke tempat itu.
"Cen Kouwnio, meskipun suhumu tempo hari pernah berbuat hal yang menyakitkan hatimu, tetapi diantara kalian pernah terjalin hubungan yang dekat. Tidak seharusnya kau turunkan tangan sekeji ini dan membuatnya terluka sedemikian rupa. Kalau sampai urusan ini tersebar di luaran kelak, orang pasti akan menyalahkan dirimu. Aih! Sayangnya gerakanmu terlalu cepat, membuat orang yang berniat menolongpun tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Seandainya aku keburu"
Kiau Hun tertawa dingin.
"Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa di antara kami tidak ada hubungan apaapa lagi. Dia sudah mengusir aku dari pintu perguruan, di dalam hatiku juga tidak menganggapnya sebagai guru lagi. Aku tidak membunuhnya saja, dia sudah harus berterima kasih."
Sembari berkata, orangnya sendiri sudah berjalan sampai hadapan Ciu Cang Po.
Tanpa melirik sedikitpun, dia terus melangkah ke dalam bangunan tersebut.
Tampangnya demikian dingin serta angkuh.
Tan Ki menatap Ciu Cang Po sekilas.
Tampak wajahnya yang pucat pasi masih juga kaku dan datar.
Tidak menunjukkan perasaan apapun.
Angin terus bertiup sepoi-sepoi, bahkan menerpa diri nenek itu, tetapi dia seperti tidak merasakannya.
Sepasang matanya yang membelalak seperti orang yang termangu-mangu.
Dia tidak bergerak ataupun mengeluarkan suara.
Dengan terduduk di atas jembatan, dibandingkan dengan orang mati, dia hanya kelebihan satu hal, yakni nafasnya yang tersengal-sengal.
Kalau dipikir, biar bagaimanapun dia adalah seorang tokoh Bulim yang lihai sekali.
Namanya sudah terkenal.
Ilmu silatnya tinggi, tenaga dalamnya hebat, bahkan tidak jauh berbeda dengan si pengemis sakti Cian Cong.
Sekarang justru terjatuh dalam keadaan yang demikian mengenaskan.
Hati Tan Ki jadi iba.
Diam-diam dia menarik nafas panjang.
Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian meneruskan langkah kakinya menyusul Kiau Hun.
Begitu mata memandang, jalan setapak yang ditata rapi ternyata sunyi senyap.
Tetapi keheningan yang berlebihan itu malah menambah ketegangan yang tidak berwujud.
Jantungnya semakin berdebar-debar.
Dari luar tampangnya masih tenang seakan tidak merasakan apa-apa.
Tetapi sepasang alisnya terus mengerut menandakan hatinya yang tidak tenang.
Setelah meninggalkan rombongan Bu Ti Sin Kiam Liu Seng, tadinya dia hendak merubah dirinya sebagai Cian bin mo-ong kembali.
Dengan merias wajahnya dia akan masuk ke dalam Pek Hun Ceng seorang diri.
Tidak disangka-sangka dia malah bertemu lagi dengan Kiau Hun.
Terpaksa dia membatalkan rencananya semula.
Dia sudah pernah menghadapi barisan Jendral Langit yang dididik langsung oleh Oey Kang.
Kalau bukan karena otaknya segera mendapat ide pada saat dirinya terancam bahaya, yang mana kebetulan dia berhasil memecahkan sedikit perubahan Te Sa Jit-sut hampir saja dia tidak dapat menyelamatkan dirinya.
Meskipun demikian, hatinya sudah merasa ngeri terperangkap lagi dalam jebakan yang sama.
Dia takut tiba-tiba ketiga puluh enam orang yang membentuk barisan menyerang.
Jendral Langit itu muncul dengan tidak terduga di depan matanya.
Tanpa sadar dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Dia meningkatkan kewaspadaan dirinya.
Begitu kepalanya menoleh, dia melihat di wajah Kiau Hun tersirat mimik yang aneh.
Bibirnya tersenyum, namun seperti bukan niatnya sendiri untuk mengembangkan senyuman.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia melangkahkan kakinya dengan mantap.
Seakan mempunyai keyakinan tersendiri dalam menghadapi orang-orang di dalam Pek Hun San-ceng.
Hati Tan Ki jadi tergerak, tanpa dapat menahan rasa ingin tahu di dalam bathinnya, dia segera bertanya "Cen Kouwnio, aku mempunyai suatu masalah yang tidak dimengerti.
Bolehkah aku mohon tanya?"
Langkah kaki Kiau Hun tidak berhenti. Dengan gerakan yang sama dia terus berjalan ke depan. Bibirnya tersenyum licik.
"Yang ingin kau tanyakan, bukankah mengenai ilmu silatku yang tiba-tiba maju pesat dari sebelumnya?"
Tan Ki tertawa lebar.
"Cen Kouwnio memang cerdas sekali. Urusan sekecil ini mana mungkin dapat mengelabui dirimu? Tetapi aku memang tidak habis pikir, mengapa ilmu seseorang bisa berlainan? Padahal menurut apa yang kuketahui, biasanya ilmu seseorang itu dipelajari sedikit demi sedikit. Semakin lama latihannya, gerakannya pun semakin lancar, otomatis makin hebat. Meskipun mempunyai bakat yang tinggi, tetap tidak bisa berhasil dalam waktu tiga atau lima hari. Apalagi ilmu silat Cen Kouwnio merupakan hasil didikan Ciu Cang Po. Seandainya kau bisa mengalahkan dia, tetap bukan hal yang akan terwujud dalam tiga atau lima hari. Tetapi dalam tiga gebrakan tadi, kau sudah sanggup melukai Ciu Cang Po. Kalau aku tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku benar-benar tidak percaya bahwa hal ini merupakan kenyataan."
Kiau Hun tersenyum simpul.
"Seseorang yang menyimpan harapan, tentu tidak dapat terkabul dalam satu hari. Tetapi aku rasa kau sudah dapat menduga, aku memang bertemu dengan jodoh yang langka."
"Aku juga berpikir demikian. Tetapi entah bagaimana kejadian yang sesungguhnya, hatiku benar-benar penasaran."
Kiau Hun tersenyum lembut.
"Sebetulnya aku juga ingin menceritakannya. Tetapi keadaan di depan mata tidak memungkinkan untuk berbicara panjang lebar. Kelak apabila ada kesempatan, aku akan menceritakannya perlahan-lahan."
Kedua orang itu berjalan berdampingan.
Tampaknya kesalahpahaman yang terjadi sebelumnya sudah agak berkurang.
Kiau Hun juga tidak sedingin dan seketus sebelumnya.
Tampangnya mulai memperlihatkan perasaannya yang romantis.
Bibirnya sedikit-sedikit tersenyum.
Seakan banyak ucapan yang ingin disampaikannya kepada Tan Ki, tetapi kesempatan itu memang belum ada.
Ilmu silat kedua orang ini, boleh dibilang sudah termasuk jago kelas satu di dunia Kangouw.
Gerakan tubuh mereka melesat bagai sambaran kilat.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di bawah sebuah gedung yang bertingkat.
Belum lagi Tan Ki sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya, telinganya sudah mendengar suara tawa Kiau Hun yang merdu.
"Di sinilah tempatnya."
Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya dan berdiri tegak. Tan Ki termangu-mangu. Otomatis gerakan kakinya juga terhenti.
"Tempat apa ini?"
Tanyanya heran.
"Gedung tinggi di depan itu merupakan tempat si raja iblis menyambut tamunya."
BAGIAN XVII Sepasang alis Tan Ki mengerut beberapa kali. Tiba-tiba hatinya tergerak, dia merasa curiga sekali. Begitu Kiau Hun selesai berbicara, dia langsung mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
"Tampaknya kau jelas sekali mengenai seluk-beluk tempat ini? Malah tidak pernah tersesat sekalipun."
Dari sinar mata Kiau Hun terpancar kasih yang berkobar-kobar.
Dia melirik Tan Ki sekilas dan tersenyum penuh rahasia.
Tetapi dia belum memberikan jawaban.
Perlahanlahan dia melangkahkan kakinya dan dengan nyali yang besar masuk ke dalam gedung besar tersebut.
Hati Tan Ki sedang diliputi kecurigaan.
Saat ini dia malah tidak mengikuti Kiau Hun, tetapi berdiri di depan dengan termangu-mangu.
Dia terus merasa senyuman gadis itu tadi mengandung kemisteriusan yang tidak terkatakan.
Mungkin juga menyimpan rencana yang keji.
Kalau Kiau Hun memang murid Ciu Cang Po, mengapa dalam beberapa hari yang singkat saja ilmunya sudah melampui nenek tua itu? Hal ini benar-benar perlu direnungkan baik-baik.
Selain itu pengetahuannya tentang seluk beluk Pek Hun Ceng juga jelas sekali.
Memangnya siapa Oey Kang itu, mana mungkin dia membiarkan orang luar keluar masuk seenaknya menyelidiki tempat tinggalnya itu.
Kalau dipikirkan kembali, seandainya dia mengkhawatirkan keselamatan bekas suhunya yang disandera orang, maka dia menyusul ke mari, dalam waktu yang demikian singkat, dia juga tidak mungkin berhasil menyelediki sampai sedemikian mendetail.
Apalagi bukti sudah menyatakan bahwa dia sampai hati melukai Ciu Cang Po, berarti kedatangannya bukan karena nenek itu.
Namun suatu masalah yang perlu dicari jawabannya Otaknya terus tidak habis pikir, semakin direnungkan, kemungkinannya semakin banyak.
Hatinya juga makin curiga.
Setelah berdiri dengan diam-diam sekian lama, dia mendongakkan wajahnya memandang, tampak gedung itu dibangun dengan bentuk pat kua.
Ibarat pagoda yang bersusun tinggi.
Setingkat lebih mewah dari tingkat lainnya.
Jendelanya terbuat dari kaca.
Namun semuanya tertutup rapat.
Bagian yang paling dasar dikelilingi oleh rotan yang dijadikan sebagai pagar.
Di balik rotan tersebut terdapat berbagai pot bunga yang ditanami tumbuhan yang indah.
Se-juk dan segar rasanya.
Di tengah-tengahnya terdapat lantai yang didasari batu kumala putih.
Hati Tan Ki terasa nyaman.
Seakan-akan kegagahannya terbangkit karena mencium harum bunga tersebut.
Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam.
Kakinya pun melangkah lebar-lebar dan berjalan terus ke dalam gedung.
Diam-diam dia menghimpun tenaganya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Saat itu, matahari bersinar dengan terik.
Tetapi rupanya cara pembuatan bangunan ini sangat istimewa.
Baru saja dia melangkahkan kakinya ke bawah atap gedung dan berjalan masuk, dari dalam sudah terpancar hawa yang sejuk bahkan agak lembab sehingga tanpa sadar bulu kudukpun jadi merinding.
Begitu Tan Ki memusatkan perhatiannya, Kiau Hun sedang menempelkan telinganya ke dinding.
Tangannya berulang kali mengetuk-ketuk.
Setelah mendengarkan beberapa saat, dia berjalan maju beberapa langkah kemudian melakukan hal yang sama.
Entah apa yang sedang dicarinya.
Tan Ki jadi tertegun.
Perlahan-lahan dia berjalan menghampiri dan baru saja bermaksud mengajukan pertanyaan, tiba-tiba dia melihat wajah Kiau Hun kelam sekali.
"Coba kau perhatikan, di mana letak kejanggalan tempat ini?"
Tanyanya dengan suara lirih.
Sepasang mata Tan Ki segera mengedar memperhatikan dengan seksama.
Dia hanya merasa bahwa ruangan itu tidak terlalu besar namun ukurannya juga tidak kecil.
Hampir tidak berbeda dengan kamar di rumah-rumah lainnya.
Tetapi di dalamnya justru kosong melompong.
Hatinya sedang merasa heran, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan Kiau Hun pada dinding agak berat dan dalam, tanpa dapat tertahan lagi, Tan Ki terkesiap.
"Jangan-jangan dinding ini dilapisi logam sejenis besi?"
Kiau Hun tersenyum simpul.
"Kalau dibayangkan, si raja iblis Oey Kang itu, mana mungkin mempunyai tempat tinggal yang biasa seperti orang lainnya. Tembok di sekeliling ini bukan terlapis bahan besi, tetapi mempunyai jalan rahasia yang menembus ke tempat lain."
Hati Tan Ki langsung tergetar.
"Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa Pek Hun San-ceng ini penuh dengan jebakan dan di mana-mana terdapat alat rahasia Kiau Hun tampaknya tidak puas dengan ucapan ini. Wajahnya segera dipalingkan dan tertawa dingin.
"Sebuah gedung yang begini kecil, paling-paling hanya dipasangi beberapa permainan anak kecil. Apanya yang perlu diherankan?"
Tangannya terulur dan menekan pada celah dinding.
Dengan kecepatan kilat dia langsung mencelat ke belakang.
Tampaknya gadis itu sendiri takut kalau dugaannya salah.
Oleh karena itu dia menekan dinding itu lalu mencelat mundur.
Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Perguruan Sejati -- Khu Lung