Pendekar Kembar 6
Pendekar Kembar Karya Gan KL Bagian 6
Pendekar Kembar Karya dari Gan K L
Kata Yu Wi. Bok-ya meronta turun dari pondongan Yu Wi sambil berseru.
"Su-pepek!"
Baru sekarang Su Put ku menarik pandangannya ke depan sana, lalu menjawab dengan haru.
"Baik-baikkah Suhumu?"
"Ai, sudah lebih setahun beliau tak bertemu denganku,"
Jawab Bok-ya. Su Put-ku tidak mengacuhkan dia lagi, ia tanya Yu Wi.
"Apakah kau kenal perempuan berbaju hitam tadi?"
"Kenal,"
Jawab Yu Wi.
"Siapa dia?"
Tanya Su Put-ku cepat. Yu Wi menggeleng dan menyahut.
"Entah aku tidak tahu."
Su Put-ku menjadi gusar, damperatnya.
"Katamu kenal, mengapa tidak tahu siapa dia?"
Bok-ya mendongkol terhadap sikap Su Put ku yang tak mengacuhkan dia itu, berbeda seperti biasanya jika dia datang bersama sang guru, sedapatnya Su Put-ku berusaha membikin senang hatinya. Segera ia menyindir.
"Kaupun kenal padaku, tapi apakah kau tahu siapa diriku?"
Tanpa pikir Su Put-ku menjawab.
"Kau ini murid It-teng Sin-ni, masa aku tidak tahu."
"O, kukira kau tidak kenal lagi padaku karena yku tidak berada di samping Suhu."
Rok-yi beroIok-olok pula, Rupanya Su put-ku menjadi kheki juga, jengeknya.
"Hm, waktu itu lantaran ingin kuminta petunjuk kepada It teng Si-ni, makanya kubaiki dirimu, kalau tidak, untuk apa kugubris seorang budak cilik macam kau ini?"
Bok-ya lantas menggandeng tangan Yu Wi, katanya dengan mendongkol "Orang ini sangat busuk, aku takkan memanggil paman lagi padanya."
Segera ia menarik Yu Wi untuk berangkat, tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak kakinya terasa lemas dan jatuh terkulai. Cepat Yu Wi memondongnya lagi dan bertanya dengan kuatir.
"He, kenapa kau?"
"Hiat-to kelumpuhanku yang ditutuk perempuan ubanan tadi belum lagi terbuka,"
Tutur Bokya. Segera Yu Wi melancarkan Hiat-to si nona.
"Marilah kita pergi!"
Kata Bok-ya dengan perlahan. Yu Wi juga jemu terhadap Su Put ku, ia pikir orang telah memberi minum racun padanya dan hanya dapat hidup lagi dua tahun, untuk apa dia menggubrisnya lagi, Segera ia berjalan pergi dengan langkah lebar.
"He, Siaucu, sesungguhnya siapa perempuan berbaju hitam itu?"
Terdengar Su Put-ku berteriak pula. Tanpa berhenti Yu Wi menjawab dengan dinginj.
"Sebelum ini hanya dua kali aku bertemu dengan dia dan tidak tahu siapa dia."
Baru saja Yu Wi sampai di pinggir puncak gunung, mendadak dilihatnya dari bawah segulung bayangan merah menerjang ke atas, terdengar pula suara teriakan orang.
"Lekas menolong orang, lekas!"
Cepat Yu Wi mengegos ke samping dan memberi jalan, hampir saja dia tertumbuk Diam-diam ia mendongkol terhadap kecerobohan orang, masa berjalan tanpa pakai mata, main seruduk dan terjang.
Segera ia berpaling memandang siapa orang ini.
Dilihatnya bayangan merah itu berhenti di depan Su Put-ku, kiranya seorang paderi bertubuh tinggi besar, tangannya juga memondong satu orang, dengan suara lantang ia berseru.
"Apakah Sicu ini she Su?"
Dengan suara bengis Su Put-ku menjawab.
"Orang she Su tidak menolong orang, lekas kau bawa pergi dia!"
Yu Wi pikir menolong jiwa manusia seperti menolong kebakaran, sedetikpun tidak boleh ditunda, pantas Hwesio ini main seruduk dengan terburu-buru.
Tanpa urus apakah Su Put-ku akan menolong orang atau tidak, segera Yu Wi hendak melangkah pergi.
Tak terduga mendadak Ko Bok-ya berseru.
"Toako, coba kita putar bilik ke sana!"
Dilihatnya Hwesio jubah merah itu berumur antara 50-an, berkulit kehitaman, hidung besar dan mata cekung, tampaknya bukan bangsa Han, orang yang dipondongnya adalah seorang Kongcu yang berkulit putih pucat tiada warna darah sedikitpun.
Terdengar si Hwesio berkata dengan bahasa Tionggoan yang sangat fasih.
"Betapapun kau harus menolong orang ini."
"Tidak, sekali kubilang tidak menolong tetap tidak kutolong,"
Jawab Su Put-ku tegas.
"Sekalipun dia adalah raja yang bertahta sekarang juga takkan kutolong."
Habis berkata ia membalik tubuh terus hendak masuk ke dalam rumah. Cepat Hwesio itu menyelinap ke depan Su Put-ku dan memohon dengan sangat.
"Mohon Sicu sudi menolongnya sekali ini, kelak pasti akan kami balas budi kebaikanmu ini."
Su Put-ku bergelak tertawa, tanyanya.
"Hahaha, entah dengan cara bagaimana akan kau balas budi kebaikanku?"
Mendengar nada orang sudah dapat ditawar, dengan girang Hwesio jubah merah berkata.
"Apa pun yang Sicu minta pasti akan kami penuhi."
"Huh, kalau cuma harta benda saja kupandang seperti sampah belaka, lalu dengan barang apa akan kau balas kebaikanku?"
Jengek Su Put-ku.
"Konon Sicu gemar belajar ilmu silat, kudengar barang siapa dapat mengalahkan kau dengan kungfu sejati barulah Sicu mau menolong orang yang sakit, maka sekarang ada satu
Jilid kitab pusaka ilmu silat dapat kuhadiahkan kepada Sicu."
"Hm, jika demikian, jadi kau percaya akan dapat mengalahkan aku dengan ilmu silatmu?"
Jengek Su Put-ku pula.
"Orang sakit yang kubawa ini sudah sangat gawat dan perlu mohon pertolonganmu dengan teliti, apabila harus main kekerasan lebih dulu, andaikan kumenang dan Sicu terpaksa menolongmu kukira cara ini akan sangat berbahaya, sebab itulah kurela memberikan kitab pusaka yang kumaksud, isi kitab ini lain daripada yang lain, yang penting asalkan Sicu mau menyelamatkan orang."
"O, jadi kau kuatir apabila aku kalah bertanding, lalu takkan menolong dia dengan sepenuh tenaga"
Tanya Su Put-ku.
"Kalau aku tidak ingin bergebrak, tentu takkan terjadi kalah atau menang,"
Ujar si Hwesic "Tapi bila kau ingin ku tolong dia, tiada jalan lain kecuali kau kalahkan diriku dengan ilmu silat, jangankan cuma satu
Jilid kitab pusaka, biarpun kau bawa satu keranjang kitab pusaka juga aku tidak mau."
"Jadi harus bertempur?"
Hwesio jubah merah menegas dengan menyesal.
"Ya. tidak ada jalan lain!"
Jawab Su Put-ku. Hwesio jubah merah meletakkan Kongcu yang dipondongnya itu dengan telentang, lalu berkata.
"Jika begitu, bolehlah kita mulai. Dan kalau ku menang, benarkah Sicu pasti dapat menyembuhkan dia?"
Dengan congkak Su Put-ku menjawab.
"Jika kau tidak percaya, untuk apa kita bertempur? Boleh kau bawa dia pergi saja."
Si Hwesio lantas menyingkir ke sana, maksudnya supaya dalam pertarungan nanti orang sakit itu tidak terganggu, Su Put-ku tetap berdiri di tempatnya, terhadap orang sakit yang menggeletak di tanah itupun tama sekali tidak dipandangnya.
Setelah mengambil ancang-ancang, Hwesio jubah merah memberi hormat dan berkata.
"Silahkan Sicu mulai."
Baru sekarang Su Put-ku melirik sekejap ke arah si sakit dan dapat melihat jelas wajahnya mendadak air mukanya berubah, tanyanya kepada Hwesio jubah merah.
"Taysu orang darimana?"
"Aloyato, dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang),"
Jawab si Hwesio.
"Dan dia siapa?"
Tanya Su Put-ku pula sambil menuding si sakit.
"Dia... dia..."
Aloyato menjadi ragu-rag untuk menjawab.
"Apakah dia orang Turki?"
Tanya Su Put-k dengan bengis. Terpaksa Aloyato menjawab.
"Ya "
Segera Su Put-ku menukas.
"Lekas kau bawa dia pergi dari sini, sebab dia orang Turki, sekali pun nanti dapat kau kalahkan diriku juga takkan ku tolong dia."
Suku bangsa Turki di daerah barat (Sinkiang) bersifat keras dan ganas, sedikit-sedikit main bunuh, daerah Tionggoan sering mendapat gangguannya, banyak pula penduduk di daerah perbatasan juga menjadi korban keganasannya, Meski Su Put ku sudah lama mengasingkan diri, tapi bila bicara tentang suku bangsa Turki yang kejam itu, seketika timbul rasa bencinya, maka kalau dia disuruh menolong musuh yang banyak membunuhi bangsanya sendiri jelas dia tidak sudi.
Mau-tak-mau Yu Wi berseru memuji.
"Betul, untuk apa menolong kawanan anjing Turki."
Air muka Aloyato berubah beringas, tanyanya.
"Jadi Sicu benar tidak mau menolongnya?"
Dengan tegas Su Put-ku menjawab.
"Lekas kau bawa dia pergi dan jangan diperlihatkan padaku lagi, kalau tidak, jangan menyesal jika orang she Su terpaksa membunuh orang sakit."
Kini Yu Wi juga sudah melupakan kebencian dirinya terhadap Su Put-ku, serunya.
"Su-cianpwe, jika mereka tidak enyah, Cayhe akan bantu kau."
Tapi Su Put-ku lantas mendelik dan mendamperatnya.
"Siapa suruh kau ikut cerewet? Lekas enyah!"
Bok-ya jadi mendongkol, katanya.
"Toako, orang ini tidak kenal maksud baik orang, tidak usah menggubrisnya."
Pada saat itulah tiba-tiba si sakit berkata.
"Suhu, kalau dia tidak mau mengobati diriku, untuk sementara keadaan murid juga tidak beralangan, biarlah kita mencari jalan lain saja."
"Tidak, tidak boleh jadi,"
Kata Aloyato sambil menggeleng.
"penyakitmu yang aneh ini hanya di saja yang mampu menolongmu, apapun juga hari ini harus menyuruh dia menolong dirimu."
Sungguh tak terduga bahwa orang Turki yang tergeletak di tanah itupun fasih berbahasa Han, keruan Bok-ya heran, segera ia bertanya.
"He, kau belum mati?"
Tubuh Kongcu bangsa Turki itu tidak bisa bergerak, tapi kepalanya dapat bergoyang, ia menggeser kepalanya dan memandang Ko Bok-ya dengan tersenyum, jawabnya.
"Ai, nona ini suka bergurau, kalau Cayhe sudah mati, mana bisa kami datang ke mari untuk minta pengobatan?"
Bok-ya sengaja hendak mengejek Su Put-ki katanya.
"Ah, rupanya kau tidak tahu bahwa tuan kita yang tabib maha sakti itu dapat menghidupkan orang yang sudah mati. sekalipun kau sudah mati pasti juga akan ditolongnya hidup kembali, cuma sayang, karena kau tidak mati, rnakanya tidak bisa di tolong malah."
"Aneh, mengapa bisa begitu?"
Ujar si Kongcu sakit.
"Sebab tuan tabib kita sekarang hanya menolong orang mati saja, orang hidup takkan ditolongnya,"
Ujar Bok-ya dengan tertawa.
"Maka kalau ka ucerdik, hendaklah kau mati lebih dulu, bisa jadi dia akan segera menolong kau."
Si Kongcu sakit itu bertambah bingung. Dengan gusar Aloyato lantas berteriak.
"Jangan kau percaya ocehan budak itu, dia sengaja mengaco-belo."
Ko Bok-ya berpaling dan berkata kepada Su Put-ku dengan tertawa.
"Eh, Su-toaya, aku tidak sembarangan mengoceh bukan? sebentar bila mereka tetap tidak mau pergi, boleh kau bunuh saja mereka, bukankah berarti kau telah menolong mengirim arwah mereka ke alam baka."
"Jangan sembarang omong, Ya-ji,"
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat Yu Wi mendesis. Aloyato melotot benci kepada Ko Bok-ya, lalu berkata kepada Su Put-ku dengan suara bengis.
"Coba katakan lagi, Sicu mau menolong atau tidak?"
Su Put-ku tidak menjawab dan tidak menggubrisnya, ia membalik tubuh dan menuju pula ke rumah bambu. Mendadak Aloyato melompat maju, telapak tangannya terus menabas. Cepat Su Put-ku mengegos, dengan gusar ia bertanya.
"Apakah kau memang ingin orang she Su mengirim arwah kalian pulang ke rumah nenekmu?"
"Jika mampu boleh kau bunuh kami, kalau tidak mampu dan berbalik kutawan, mau-tak-may akan kupaksa kau menolong dia,"
Kata Aloyato.
"Hah, lucu, masa aku dapat kau tawan?"
Jawab Su Put-ku dengan angkuh, betapapun ia cukup yakin kepada kungfunya sendiri. Aloyato menabas sekali lagi dengan telapak tangannya sambil membentak.
"Kenapa tidak coba dulu!"
Segera Su Put-ku balas menyerang, maka terdengarlah suara "blang"
Yang keras, kedua tangan beradu, Aloyato berdiri tegak tak tergoyah, sebaliknya Su Put-ku tergetar mundur beberapa tindak baru dapat menahan tubuhnya.
Dari gebrakan ini sudah kentara tenaga dalam Su Put-ku bukan tandingan Aloyato, waktu Aloyato menghantam lagi, Su Put-ku tidak berani menangkis pula, cepat ia menggeser ke samping, lalu melancarkan serangan balasan.
Diam-diam Yu Wi membatin.
"Hebat benar tenaga paderi asing ini, sampai Su Put-ku yang tergolong jago tua juga tak dapat menandinginya."
Dengan kuatir ia lantas membisiki Ko Bok-ya.
"Wah, ce!aki, mungkin Su-cianpwe bukan tandingannya"
Meski berada dalam pondongan Yu Wi, Ko Bok-ya dapat mengikuti pertarungan itu, katanya.
"Ya, Su Put-ku pasti tak dapat melawannya."
"Darimana kau tahu?!"
Tanya Yu Wi.
"Dari Suhu pernah kudengar ceritanya bahwa Aloyato tergolong jago kelas satu negeri Thiantiok, ahli dalam Ciang hoat (ilmu pukulan tangan kosong, sejenis karate jaman kini), Su Put-ku sendiri bukan ahli ilmu pukulan, mana dia sanggup menandinginya?"
Demikian Bok-ya sengaja memberi komentar dengan suara agak keras.
Tentu saja ucapan Bok-ya itu dapat didengar oleh Su put-ku, diam-diam ia terkejut, seyogyanya dia harus berganti siasat dan mengeluarkan senjata, tapi dasar tinggi hati, ia masih penasaran, pikirnya.
"Biarpun bukan tandingannya juga tetap akan ku lawan, untuk bertahan sama kuatnya kukira tidak sulit."
Dengan cepat 20 jurus telah berlalu, ilmu pukulan Aloyato tidak ada sesuatu yang luar biasa, maka dapat ditahan oleh Su Put-ku dengan sama kuat Diam-diam Su Put-ku berbesar hati, ia pikir tokoh kelas satu negeri Thian-tiok ternyata juga cuma begini saja.
Segera ia ganti permainan kungfunya, ia keluarkan ilmu pukulan hasil pemikiran sendiri selama 20 tahun ini.
Ilmu pukulannya ini memang hebat, dengan pedang kayu besi Yu Wi saja tidak dapat menandinginya, maka diam-diam anak muda inipun percaya paderi jubah merah ini tak dapat mengalahkannya, Di luar dugaan, meski Aloyato masih tetap bertempur dengan ilmu pukulannya tadi, namun setelah berpuluh jurus tetap tidak ada tanda kalah sedikit pun, seperti ilmu pukulan Su Put-ku yang hebat itu tidak mendatangkan daya ancaman apapun terhadapnya.
Yu Wi menjadi heran, ia coba mengamati mereka dengan lebih seksama, selang sejenak barulah diketahuinya kelihayan Aloyato.
Kiranya ilmu pukulan paderi jubah merah itu sudah mencapai tingkatan yang ajaib dan dapat dimainkan sesuka hatinya, dengan ilmu pukulan yang sama, asalkan dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat, seketika daya tekan ilmu pukulannya itu juga akan tambah lihay sehingga cukup untuk menahan serangan Su Put-ku, sebab itulah kedua pihak kelihatan sama kuat, sedangkan Aloyato tampaknya belum lagi mengeluarkan segenap tenaganya.
Makin lama bertempur makin sedih hati Su Put-ku, tadinya ia mengira dengan kungfu hasil pemikirannya selama berpuluh tahun ini pasti dapat memberi hajaran kepada Aloyato, siapa tahu sekarang ternyata tidak bermanfaat sama sekali, jerih payah selama 20 tahun ini terbuang percuma, dengan sendirinya ia merasa sedih.
"Awas!"
Mendadak Aloyato membentak, tenaga pukulannya segera bertambah kuat dengan damparan angin yang menderu-deru.
Bukan saja tenaga pukulannya mendadak bertambah kuat, bahkan gerak perubahannya tambah bagus, nyata jauh berbeda daripada permainannya tadi.
hanya menangkis tiga-empat kali saja Su Put-ku sudah merasakan beratnya pukulan lawan dan terancam bahaya.
Mendadak Aloyato membentak pula.
"Kena!" - berbareng itu kesepuluh jarinya terpentang, secepat kilat ia mencengkeram ke dada lawan. Su Put-ku pikir apapun juga tidak boleh dada sendiri tercengkeram musuh, kalau tidak, malunya pasti akan habis-habisan, Karena itulah cepat ia sambut serangan lawan dengan mendorong kedua tangannya ke depan, meski menyadari tidak boleh keras lawan keras, namun keadaan sudah kepepet dan tidak memberi kesempatan berpikir lagi baginya. Aloyato tidak menyangka Su Put-ku akan menahan serangannya dengan keras lawan keras, bentaknya pula.
"Kau cari mampus!"
Seketika terdengarlah benturan keras, Su Put-ku mencelat ke udara seperti layangan putus benangnya, namun pikirannya masih cukup jernih, waktu jatuh ke bawah ia sempat melejit sehingga jatuhnya cuma terduduk dan tidak sampai terbanting, walaupun begitu kedua tangannya yang digunakan menahan di tanah terasa kaku pegal juga dan sukar diangkat lagi.
"Haha,"
Coba, tertawan tidak kau sekarang"
Ejek Aloyato dengan tertawa. Selangkah demi selangkah ia mendekati Su Put-ku. tampaknya seperti pasti dapat membekuk Su Put-ku dengan mudah. Ketika sudah dekat, mendadak Su Put-ku melompat bangun dan pasang kuda-kuda dengan mendelik.
"Masa kau berani bertempur lagi?"
Sindir Aloyato.
"Kenapa tidak berani!"
Jawab Su Put-ku pada saat itulah mendadak terdengar Ko Bok ya berseru.
"Langit membentang luas samudra sejejana mata..."
Seketika semangat Su Put-ku tergugah demi mendengar kata-kata Ko Bok-ya itu, segera ia memusatkan pikiran dan mendengarkan dengan cermat.
Kiranya dahulu guru Bok-ya, yaitu It-teng Sinni, membawa Bok-ya ke tempat Su Put-ku, Waktu itu usia Bok-ya baru sepuluh atau sebelas tahun, karena sejak kecil badan Bok-ya sangat lemah, selalu sakit-sakitan sehingga sukar untuk belajar silat, maka It teng Sin-ni membawanya ke Siaungo- tay-san untuk minta pengobatan pada Su Put-ku.
Sudah lama Su Put-ku sangat mengagumi ilmu silat It-teng yang maha sakti, ia lantas minta Nikoh sakti itu mengajarkan sejurus kungfu sebagai imbalannya akan mengobati Bok-ya hingga sehat dan kuat, selain itu iapun berjanji kelak akan menolong satu kali lagi kepada nona itu.
it teng sendiri tidak mampu menyehatkan badan Bok-ya yang pembawaannya memang lemah, terpaksa ia terima syarat Su Put-ku.
Kemudian kesehatan Bok-ya memang dapat dipulihkan seperti anak-mak umumnya.
Maka lt-teng juga menepati janjinya dan mengajarkan Kungfu yang diminta Su Put-ku, lebih dulu ia memberikan perlambang dengan menyebut "Langit membentang luas samudra seyojana mata"
Hanya satu Kalimat saja ia menyebut, dan tidak menyambungnya lagi, lalu buru-buru ia mengajarkan sejurus ilmu langkah ajaib kepada Su Put-ku, habis itu It-teng lantas pergi dengan membawa Ko Bok-ya.
Sudah hampir sepuluh tahun Su Put-ku berlatih ilmu langkah ajaran It-teng Sin-ni itu, tapi di mana letak intisari ilmu langkah itu belum lagi ditemukan, meski ada hasilnya sedikit, namun tidak dapat dikatakan sebagai ajaib, ia selalu merasa di dalam latihannya ini pasti ada bagian yang salah, maka teringatlah dia oleh perlambang yang pernah disebut oleh It-teng Sin-ni dahulu, ia pikir kunci utama dari pada ilmu langkah itu pasti terletak dalam perlambang itu, hanya saja perlambat itu entah mengapa tidak seluruhnya diuraikan olel.
It-teng Sin-ni.
Kini mendadak didengarnya satu-satunya murid pewaris It-teng Sin-ni mengucapkan pula perlambang itu, seketika ia menjadi lupa daratan, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mengikuti kata-kata perlambang yang diuraikan Ko Bok-ya dan tidak ambil pusing lagi terhadap Aloyato.
Dengan cermat ia mendengarkan kata-kata Bok-ya, makin lanjut makin terangsang perasaannya.
Aloyato sendiri bertekad akan menaklukkan Su Put-ku lahir-batin agar orang rela mengobati murid kesayangannya itu dengan sesungguh hati, maka ia tidak menyerang lagi ketika melihat lawan berdiam saja.
Cukup lama Ko Bok-ya menguraikan secara panjang lebar, akhirnya ia menyebut beberapa kalimat terakhir "...
di dalam perlambang inilah terletak kemujizatannya...."
Lalu habis dan berhenti. Serentak Su Put-ku berteriak.
"Aha, pahamlah aku sekarang!"
Berbareng ia terus melangkah ke depan Aloyato.
Cepat Aloyato mencengkeram pula ke dada lawan, tapi meleset, bahkan kehilangan bayangan Su Put-ku.
Keruan Aloyato terkejut, belum lagi sempat terpikir apa yang terjadi, tahu-tahu punggungnya kena digebuk dengan tepat oleh kepalan Su Put-ku, untung tangan Su Put-ku masih pegal karena jatuhnya tadi sehingga tenaganya banyak berkurang, maka Aloyato hanya terdorong sempoyongan ke depan dan tidak sampai jatuh tersungkur.
Cepat Aloyato membalik tubuh dan segera mendahului menyerang pula, serangannya sekarang tidak kenal ampun lagi dan sangat dahsyat.
Tapi Su Put-Ku seperti tidak mengacuhkan serangannya, ketika pukulannya sudah dekat, mendadak dia menggeser ke samping, pandangan Aloyato menjadi kabur, kembali lenyap pula bayangan Su Put-ku, bahkan punggungnya lagi-lagi kena digenjot dan hampir saja dia jatuh terjerembab.
Aloyato mengamuk, beruntun-runtun ia menyerang tujuh kali, tapi ujung baju Su Put-ku saja tak tersenggol, sebaliknya punggung sendiri kembali dihantam tujuh kali.
Meski hantaman tujuh kali ini tidak sampai melukai Aloyato, tapi telah meruntuhkan semangat tempurnya, ia menghela napas panjang terus melompat keluar kalangan, Kongcu sakit itu terus di angkatnya.
Su Put-ku sengaja menyindir.
"He, kenapa mau pergi? Apakah tidak ingin coba-coba beberapa kali gebukan lag?"
Dengan lantang Aloyato berkata.
"Pada suatu hari ilmu langkahmu itu pasti akan kupatahkan."
"Pada saat kau dapat mematahkannya mungkin jiwamu sudah melayang lebih dulu,"
Ko Bokya ikut berolok-olok dengan tertawa. Aloyato memandang lekat-lekat si nona sekejap, wajah Bok-ya diukirnya di dalam benaknya, lalu mendengus terus berlari pergi. Setelah Aloyato angkat kaki, kontan Su Put-ku lantas jatuh terduduk.
"Kau dapat memainkan ilmu langkah ajaran Suhu itu dengan selancar ini, boleh juga kau!"
Kata Bok ya. Su Put-ku mendengus.
"Hm, dahulu mengapa gurumu hanya mengajarkan cara melangkahnya dan tidak memberitahukan kuncinya?"
"Bilamana Suhu mengajarkan kunci rahasia ilmu langkah itu sejak mula, saat ini siapa lagi di dunia ini yang mampu menandingi kau?"
Ujar dengan tertawa.
Su Put-ku pikir alasan ini memang betul, buktinya sudah hampir sepuluh tahun dirinya berlatih ilmu langkah itu dan tiada sesuatu kemajuan yang berarti, tapi sekarang, hanya sebentar saja si nona memberitahukan kunci ilmu langkah itu, seketika dapat dimainkannya dengan ajaib, Apabila dahulu It-teng langsung mengajarkan segenap rahasia ilmu langkah itu kepadanya, memang betul saat ini dirinya pasti tiada tandingannya di dunia ini.
Berpikir sampai di sini, segera ia menjenigek.
"Hm, apakah gurumu kuatir aku akan malang melintang di dunia Kangouw sehingga kungfu yang diajarkan padaku menurut perjanjian itu hanya setengah-setengah saja?"
"Meski hanya setengah-setengah, apakah kau merasa tidak cukup?"
Jawab Bok-ya.
"Dan mengapa sekarang kau uraikan lagi kuncinya,"
Tanya Su Put-ku dengan suara rada gemetar.
"Kau menyelamatkan jiwaku dengan melanggar peraturanmu, dengan sendirinya harus kubalas satu kali kebaikanmu,"
Kata Bok-ya. Semakin hebat gemetar tubuh Su Put-ku, mukanya pucat, giginya gemertuk, suaranya juga terputus-putus.
"Han ... Han, ... tok ... ciang "
"Hah, apa katamu? Han-tok-ciang?"
Seru Yn Wi kaget.
Waktu ia periksa punggung tangan Su Put-ku, dilihatnya kedua tangan tabib sakti itu berlumut bunga es, teringat dia ketika Aloyato mengadu tangan dengan Su Put-ku sehingga tabib sakti ini terpukul mencelat.
Tentu pada saat itulah Aloyato menyalurkan racun dingin ke tangannya dan baru sekarang racun itu mulai bekerja.
Su Put-ku meronta bangun sekuatnya, lalu berjalan dengan lemah ke rumah bambunya, tapi hanya beberapa langkah ia lantas jatuh, bekerjanya Han-tok atau racun dingin itu ternyata sangat cepat, hanya sebentar saja sekujur badan Su Put-ku seolah-olah terbungkus oleh satu lapis es yang tipis.
Terdengar gemertuk gigi Su Put-ku semakin keras, ucapnya dengan lemah dan terputus-putus.
""Lek ... lekas ke ,. ke kamarku dan ... ambilkan Sam ... yang ..tan."
Tanpa pikir Yu Wi menurunkan Ko Bok-ya, lalu berlari masuk rumah bambu itu, diambilnya satu botol porselen kecil yang pada etiketnya tertulis "Sam-yang-tan".
"Ber .., berikan padaku , .. ,"
Seru Su Put-ku, Begitu Yu Wi menyodorkan botol kecil itu, serentak Su Put-ku merampasnya, dengan tangan gemetar ia membuka tutup botol dan menuang tiga biji pil warna putih dan ditelan sekaligus, lalu berduduk sambil memejamkan mata.
Mujarab benar ketiga pil itu, hanya sebentar saja, lapisan es tadi cair seluruhnya sehingga membasah-kuyupi baju Su Put-ku seperti baru saja diguyur, sejenak kemudian, gemetar badannya juga hilang, ia membuka mata dan berkata.
"Lihai amat, Akhirnya sebagian besar racun dingin dapat dicairkan!"
Yu Wi masih menungguinya di samping, tiba2 ia bertanya.
"Ada berapa orang yang mahir Han tok-ciang di dunia ini?"
Mendadak Su Put-ku seperti sudah melupakan pertolongan Yu Wi yang telah mengambilkan obat tadi, dengan menarik muka ia menjawab.
"Kenapa kalian belum pergi?"
Kontan Bok-ya mendamperat.
"Dasar manusia tidak tahu kebaikan orang, jika kami pergi sejak tadi dan Toako tidak mengambilkan obat bagimu, saat ini mungkin kau sudah mampus terbeku dan masakah masih mampu bicara segarang ini?"
Su Put-ku tetap tidak perduli, jengeknya "Obat ini kan milikku, bocah itu hanya mengambilkan saja, apa susahnya?"
"Huh, dasar manusia tidak punya liangsim (hati nurani),"
Omel Bok-ya pula dengan gemas.
"Liangsim apa segala,"
Jengek Su Put-ku.
"hakikatnya gurumu tidak pernah membalas kebaikanku. Bangsat It-teng itu seharusnya mengajarkan sejurus kungfu padaku, tapi dia hanya mengajarkan setengah bagian padaku, sekarang baru kau uraikan lagi setengah bagian lain, hal ini smna seperti kau tebus kesalahan gurumu padaku..."
"Kau berani memaki Suhuku?!"
Teriak Bok-ya dengan mendelik. Su Put-ku tidak menggubrisnya, ia melanjutkan pula.
"Tapi sesungguhnya akupun tidak dapat dikatakan telah menolong kau..."
"Kau tidak menolongku, habis siapa yang menawarkan racun biru hantu dalam tubuhku?"
Tanya Bok-ya heran.. Kuatir Su Put-ku menceritakan apa yang terjadi cepat Yu Wi mendahului berseru.
"Memang dia yang menyembuhkan kau, siapa lagi? Ayolah kita pergi saja!"
Segera ia hendak memondong Bok-ya pula. tapi dilihatnya nona itu telah berdiri sendiri. Su Put-ku lantas, menjengek.
"Sebaiknya kau jangan bergerak dulu, dengarkan baik-baik ceritaku ini. Kau tahu, jiwamu sekarang diperoleh dengan tukar menukar...."
"Kau berani omong?!"
Bentak Yu Wi.
"Sekarang aku takkan dikalahkan lagi olehmu setelah kupahami "Leng-po-wi-poh" (langkah ajaib sang bidadari) seuruhnya,"
Kata Su Put-ku. Bok-ya mendesak maju sambil berkata.
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba ceritakan, cara bagaimana jiwaku diperoleh dengan tukar menukar?"
Baru beberapa langkah.
"bluk", mendadak ia jatuh terkulai.
"Sudah kukatakan jangan bergerak dulu, tidak salah bukan?"
Kata Su Put-ku.
"He, kenapa dia?"
Seru Yu Wi kuatir. Su Put-ku tertawa terkekeh-kekeh, katanya.
"Unuk apa kau eduli dia, meski dia tak dapat bergerak dengan beas, sedikitnya kan lebih baik daripada jiwamu yang hanya dapat bertahan dua tahun saja."
Dia sengaja hendak melukai hati pasangan kekasih itu, asalkan dapat menyaksikan batin mereki tersiksa, dalam hatinya akan mendapatkan kepuasan yang sukar dicari. Dengan suara sedih dan kuatir Bok-ya bertanya.
"Toako, jadi jiwaku ini kau tukar dengan jiwamu?"
"Jangan kau percaya ocehannya,"
Jawab Yu Wi "Eh, kenapa kau tidak dapat bergerak?"
"Hehe, apa gunanya kau tanya dia, betapapun dia juga tidak tahu,"
Jengek Su Put-ku. Terpaksa Yu Wi bicara dengan ramah dan setengah memohon.
"Dapatkan Cianpwe menyembuhkan dia?"
Su Put-ku menggeleng, katanya.
"Akupun tak berdaya, racun biru hantu itu terlambat dipunahkan, selama hidupnya kedua kakinya jangan harap akan dapat pulih seperti sediakala lagi."
"Aku tidak percaya di dunia ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kaki Ya-ji,"
Kata Yu Wi dengan penuh keyakinan.
"Ada sih ada, tapi cara bagaimana akan kau dapatkan obat itu kalau cuma mengandalkan tenagamu saja?"
Kata Su Put-ku.
"Obat apakah itu?"
Cepat Yu Wi bertanya.
"Aku tidak berkewajiban memberitahukan padamu."
"Kau bicara atau tidak?"
Dengan berang Yu Wi melolos pedangnya.
"Sudahlah Toako jika dia tidak mau menerangkan,"
Seru Bok-ya.
"Kau sendiri hanya tahan hidup dua tahun lagi, apa gunanya biarpun nanti kakiku dapat disembuhkan?"
"Dia ngaco-belo, jangan kau percaya,"
Kata Yu Wi.
"Aku akan hidup lagi beberapa puluh tahun, kakimu pasti dapat disembuhkan, kalau dia tidak mengobati kau, aku bersumpah takkan menyudahi urusan ini dengan dia."
"Hehehe,"
Su Put-ku terkekeh pula.
"apa gunanya kau dustai dia? Pil yang kuberikan itu adalah racun maha lihay, dua tahun kemudian pasti akan bekerja, tatkala mana sekalipun Hoa-To (tabib sakti di jaman Sam Kok) hidup kembali juga tak berdaya menyelamatkan kau."
"Apakah lantaran diriku, maka Toako menelan pil racun itu?"
Tanya Bok-ya dengan getir. Kuatir si nona akan berduka, Yu Wi menyangkal katanya.
"Tidak, tidak pernah terjadi hal demikian. Justeru lantaran kukalahkan dia dengan ilmu pedangku, terpaksa dia menolong kan," - Lalu ia berpaling ke arah Su Put-kti dan berteriak.
"Apakah kau berani menyangkal tidak kukalahkan dan mau-tak-rnau kau sembuhkan Ya-ji"
Hal ini memang fakta, mau-tak-mau Su Put ku harus mengakuinya.
"Ya, betul, tapi..."
Tanpa memberi kesempatan bicara lebih lanjut segera pedang Yu Wi menusuk ke dada orang.
Su Put-ku tahu ilmu pedang Yu Wi sangat lihay, ia tidak berani gegabah, cepat ia melompat untuk berkelit.
Tusukan Yu Wi mengenai tempat kosong bahkan bayangan Su Put-ku lantas menghilang.
"Awas, Toako, kembali dia memainkan leng-po-wi-pohl"
Seru Bok-ya.
Yu Wi terkejut, tanpa berpaling.
ia membalik terus menusuk pula ke belakang Namun kedua tangan Su Put-ku sempat menyampuk batang pedang kayu itu.
Kini tenaga Su Put-ku sudah pulih, dalam keadaan tak terduga, Yu Wi tidak kuat lagi memegang pedang kayu itu, kontan pedang kayu itu tergetar mencelat.
Sekali serangannya berhasil, Su Put-ku tidak memberi kelonggaran pula, dengan langkah ajaib Leng-po-wi-poh, kedua tangannya segera menabas lagi.
Karena langkah lawan yang aneh, Yu Wi tak dapat meraba ke arah mana dirinya harus balas menyerang, Dilihatnya bayangan tangan Su Put-ku menyerang dari berbagai penjuru.
Dalam keadaan kepepet, mendadak teringat olehnya tiga jurus pukulan sakti ajaran Kan Ciau-bu dahulu, buru-buru ia melancarkan tiga jurus itu.
Dalam keadaan kepepet, ketiga jurus pukulan itu memang sangat efektif, Maklumlah, Thian-lo sam-ciau atau tiga jurus jaring langit itu adalah ilmu pukulan yang maha dahsyat, sedangkan sekarang Yu Wi tidak tahu di mana beradanya musuh, dari segenap penjuru hanya bayangan musuh belaka, terpaksa ia balas menyerang dengan tiga jurus yang dahsyat itu untuk menyelamatkan diri.
Begitu ketiga jurus itu dilancarkan, betapapun Su Put-ku tidak mampu mendekat, terpaksa kedua nya saling gebrak berhadapan sehingga belasan kaki.
Tenaga dalam Yu Wi kalah kuat, setelah menahan beberapa kali serangan Su Put-ku, darah dalam rongga dadanya bergolak hebat karena guncangan tenaga pukulan lawan itu, hampir saja ia tidak tahan dan jatuh pingsan.
Untung racun dingin yang mengeram di tubuh Su Put-ku itu belum lenyap seluruhnya, setelah mengadu pukulan beberapa kali, darah mengalir lebih cepat, racun dingin itupun kumat lagi.
Karena rasa dingin yang semakin bertambah hebat, Su Put-ku tidak berani bertempur lebih lama lagi, terpaksa ia tarik kembali serangannya dan berhenti dengan sikap yang dibuat setenangnya, Ia pandang Yu Wi sambil tertawa dingin, lagaknya seperti sengaja mengalah pada anak muda itu.
Yu Wi menghela napas lega, iapun berdiri tenang untuk mengatur napas, sejenak kemudian barulah pergolakan darah dapat diredakan, ia menyadari dirinya masih sukar melawan Su Put-ku, tapi ia pantang menyerah, ia menantang lagi.
"Apa obatnya yang kau maksudkan itu? Lekas katakan, kalau tidak, ayolah kita bertempur pula!"
Mendadak Ko Bok-ya berseru.
"Toako, sekarang Leng-po wi-poh dapat dimainkannya dengan semakin lancar, sukar kau mengalahkan dia, tidak perlu bertempur lagi."
"Tidak, kalau dia tidak menerangkan nama obat itu, matipun harus kutempur dia,"
Seru Yu Wi dengan bandel.
"Aku tidak menghendaki kakiku sembuh, aku cuma menginginkan dipondong kau setiap hari..."
"Tapi satu hari kakimu tidak sembuh, satu hari pula aku tidak tenteram!"
Kata Yu Wi dengan pedih, sambil bicara segera ia mendekati Su Put-ku dan siap tempur lagi.
"Toako, apakah kau tidak suka memondong diriku? Apakah kau hendak melukai hatiku?"
Cepat Bok-ya berkata pula dengan sayu. Yu Wi menghentikan langkahnya, dan berkata.
"Aku pasti tidak akan melukai hatimu."
Bok-ya kuatir Yu Wi mengalami cedera, ia talu betapa hebatnya langkah ajaib Leng-po-wi-poh, dengan rawan ia berkata pula.
"Jika kau bertempur lagi berarti akan melukai hatiku..."
Kesempatan itu segera digunakan oleh Su Put--cu. dia sengaja menantang pula.
"Ayolah, kalau berani lekas bertempur lagi, jika dapat kau kalahkan diriku akan segera kuberitahukan nama obat itu."
Inilah akal "ingin mundur malah maju", padahal keadaannya sekarang juga berbahaya, sebenarnya ia sangat berharap kedua muda-mudi itu selekas-lekas pergi saja, kalau tertahan lebih lama tentu penyakitnya akan ketahuan, sebab saat ia rasa dingin dalam tubuhnya telah bertambah hebat dan hampir sukar tertahan lagi.
Yu Wi tidak ingin melukai hati Ko Bok-ya, iapun tahu bila bertempur lagi juga akan sukar mendapat kemenangan, maka pedang kayu lantas dijemputnya dan diselipkan lagi pada pinggangnya, Ko Bok-ya dipondongnya sambil berucap dengan tersenyum pedih.
"Aku pasti akan menyembuhkan kakimu!"
Habis berkata ia terus melangkah ke tepi puncak gunung. Tapi sebelum dia turun ke bawah, mendadak Su Put-ku berteriak.
"Obat itu adalah Thian-liong cu, pusaka kerajaan Turki."
Yu Wi sangat girang, serunya.
"Cara, bagaimana menggunakannya?"
Su Put-ku mendengus "Hm, lantaran kebaikanmu mengambilkan obat tadi, maka kuberitahukan padamu..."
Sampai di sini mendadak ia berhenti, Selagi Yu Wi hendak putar balik untuk tanya, tiba-tiba Su Put-ku berseru lagi.
"Digilas menjadi bubuk dan diminum bersama arak..."
Setelah tahu cara menggunakan obat yang dimaksud, Yu Wi tidak mau tinggal lebih lama lagi di sini, segera ia melayang turun gunung secepat terbang.
Saat itu Su Put-ku telah menggigil kedinginan giginya gemertuk, sekuatnya ia mengucapkan kalimat terakhir tadi dan hampir saja ketahuan penyakitnya, cepat ia menuang lagi tiga biji pil putih dan ditelan, ilmu pertabibannya memang maha sakti, untuk menyembuhkan racun dingin itu tentu bukan pekerjaan sulit baginya.
oo^ oo- -oo0oo- -~oo^oo- Setiba di kaki gunung, Ko Bok-ya bertanya.
"Toako, kita akan ke mana?"
"Ke negeri Turki,"
Jawab Yu Wi.
"Bagaimana kalau kita tidak pergi ke sana?"
"Sebab apa?"
Bok-ya menempelkan kepalanya di dada anak muda ini dan berkata dengan suara lembut.
"Biarlah kita hidup bersama dengan baik-baik selama dua tahun ini..."
Tergetar perasaan Yu Wi, teringat olehnya jiwanya hanya tahan dua tahun saja, dari nada ucapan si nona, agaknya Bok-ya bersedia menyerahkan diri kepadanya.
Terharu hati Yu Wi.
Tapi lantas terpikir olehnya, jiwanya yang cuma tersisa dua tahun itu mana boleh digunakan merusak kebahagiaan selama hidup si nona, Maka dengan tegas ia menjawab.
"Tidak, kita harus pergi ke Turki!"
Pelahan Bok-ya menggeleng, katanya.
"Jagoan Turki tak terhitung jumlahnya, sedang Thianliong cu (mutiara naga langit) adalah benda pusaka kerajaan Turki, masa begitu mudah mendapatkannya. Untuk apa engkau harus menghadapi bahaya besar bagiku untuk mencari Thian-liong cu yang tak berguna itu?"
"Kenapa tidak berguna? Thian-liong-cu lm dapat menyembuhkan kakimu?"
Seru Yu Wi.
"Tidak, aku tidak ingin kakiku sembuh!"
"Hah, seperti anak kecil saja,"
Ujar Yu Wi dengan tertawa.
"Di dunia ini mana ada orang yang suka menjadi cacat?"
Mendadak Bok-ya berucap pula dengan aleman "Tidak, aku tidak ingin kakiku sembuh! Aku tidak ingin sembuh!..."
Yu Wi menganggap si nona bicara seperti anak kecil, tanpa menanggapi ia terus mempercepat langkahnya.
Tak lama kemudian sampailah mereka di suatu kota, banyak orang berlalu lalang, maka Bokya tidak enak untuk main aleman lagi, ia menempelkan mukanya rapat-rapat di dada Yu Wi.
Maklumlah, seorang anak perempuan dipondong seorang pemuda di depan umum, betapapun tentu merasa malu.
Yu Wi berhasil menyewa sebuah kereta kuda, mereka lantas naik kereta dan memberi pesan kepada kusir ke arah mana kereta itu menuju, sejenak kemudian kereta lantas dilarikan secepat terbang.
Di dalam kereta, tiba-tiba Bok-ya berkata.
"Kenapa tadi kau tanya Su Put-ku di dunia ini ada berapa orang yang mahir menggunakan Han-tok-ciang..."
""Sebab waktu ayahku meninggal keadaannya menggigil seperti terkena Han-tok-ciang itu, tapi tidak diketahui siapa yang menyerang beliau?"
Tutur Yu Wi dengan berduka.
"Suhu pernah bercerita tentang Han-tok-ciang, katanya Han-tok-ciang adalah kungfu khas negeri Thian-tiok, di daerah Tionggoan tidak ada orang yang mahir menggunakannya,"
"Tampaknya di antara pembunuh ayahku itu pasti juga terdapat orang Thian-tiok,"
Kata Yu Wi dengan menyesal.
"Jangan-jangan Aloyato itulah pembunuhnya".
"Tapi dalam buku daftar nama pembunuh pemberian ayahmu itu tidak terdapat nama Aloyato."
"Apakah tidak ada catatan prihal pihak Turki mengirim orang untuk membunuh ayahku?"
"Ada, bahkan belasan kali."
"Jika begitu, tentu tidak salah lagi, Aloyato pasti juga pernah diutus oleh kerajaan Turki untuk membunuh ayahku, bisa jadi lantaran kepandaiannya sangat tinggi sehingga tidak tertangkap oleh paman Yu, maka di dalam daftar tidak tercatat namanya."
Yu Wi pikir keterangan ini cukup masuk di akal, apalagi murid Aloyato itu tampaknya adalah bangsawan Turki, jika Aloyato bekerja bagi kerajaan Turki, tentu ada kemungkinan pernah di utus untuk melakukan pembunuhan terhadap Ko Siu.
Bok-ya bertutur pula.
"Bisa jadi tatkala mana Aloyato belum berhasil meyakinkan Han-tokciang, dia bukan tandingan paman Yu, sebaliknya dilukai paman Yu dan kabur, setelah berhasil meyakinkan Han-tok-ciang, lalu Aloyato datang lagi menuntut balas terhadap paman Yu."
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin dipikir Yu Wi merasa cerita Bok-ya itu makin masuk di akal, mendadak ia berucap dengan tegas.
"Jika begitu, aku lebih-lebih harus pergi ke Turki."
Sebenarnya maksud Bok-ya ingin mencegah agar anak muda itu jangan pergi ke Turki dan menyerempet bahaya baginya, sekarang Yu Wi bertekad pergi ke sana demi menuntut balas, maka Bok-ya tidak berani merintanginya lagi.
Teringat kepada kematian ayahnya yang mengenaskan, hati Yu Wi menjadi berduka, ia duduk dengan diam.
Dalam pada itu tabir kereta telah dilepaskan, selang sekian lama, Bok-ya merasa kesal, ia coba menggulung tabir pintu kereta, mendadak pemandangan sepanjang jalan dapat terlihat, ternyata kereta itu menuju ke arah timur, ke daerah Tionggoan, keruan Bok-ya terkejut dan heran, tanyanya.
"He, Toako, kereta ini menuju ke mana?"
Pulang ke Pakkhia,"
Jawab Yu Wi.
"Mengapa pulang ke Pakkhia?"
Tanya Bok-ya.
"Setelah ku antar kau pulang ke rumah, segera Toako sendiri akan berangkat ke Turki."
"Kau tidak mau ku ikut pergi ke sana?"
Ti.iv Bok-ya dengan sedih.
"Betapa bahayanya kepergianku ke Turki dapatlah dibayangkan sedangkan kakimu belum bebas..."! Ya, memang,"
Bok-ya tersenyum getir.
"Ikut pergi, bukannya membantu, sebaliknva akan menjadi beban bagimu malah."
"Makanya kau istirahat saja di rumah, selekasnya Toako pasti akan pulang,"
Kata Yu Wi. Dengan sendu Bok-ya berkata.
"Toako ke Turki untuk menuntut balas pada Aloyato dan tidak perlu lagi mencari Thian-liong-cu."
"Seb... sebab apa?"
Tanya Yu Wi denaan melengak.
"Habis, nanti kalau Toako pulang, tentu aku sudah mati, apa gunanya Thian-liong-cu?"
"Omong kosong! Kau baik-baik saja, mana bisa mati!"
Omel Yu Wi. Mendadak si nona menjatuhkan diri ke pangkuan Yu Wi, ratapnya dengan menangis.
"Aku tidak mau berpisah dengan Toako."
Yu Wi tepuk-tepuk bahu si nona dengar perlahan dan menghiburnya "Jangan menangisi Jangan menangisi.
Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar, orang hidup pasti ada kalanya harus berpisah, Kita hanya berpisah untuk sementara saja pasti selekasnya akan bertemu lagi!"
Mendadak Bok-ya duduk tegak lagi sambil mengusap air matanya, lalu berkata dengan tegas.
"Jika Toako mengantarku pulang, engkau pasti takkan bertemu denganku lagi."
"He, ap ... apa yang akan ... akan kau lakukan?"
Tanya Yu Wi kuatir.
"Aku tidak ingin hidup lagi,"
Jengek Bok-ya. Yu Wi terkejut.
"He, kau ...
"
Bila teringat watak Bok-ya yang keras, apa yang dikatakannya bukan mustahil akan dilaksanakan dengan menghela napas terpaksa ia berkata.
"Baiklah, boleh kau boleh pergi bersamaku!"
Karena maksud tujuannya tercapai, Bok-ya tertawa cerah, serunya dengan gembira.
"Jika begitu lekas kereta disuruh putar balik!"
Tiada jalan lain, terpaksa Yu Wi memerintahkan kusir memutar kereta dan dilarikan menuju ke barat dan keluar tembok besar.
ia tidak tahu bahwa Ko Bok-ya menyadari harapan pulangnya Yu Wi sangat tipis apabila anak muda itu jadi pergi ke Turki, dengan sendirinya ia tidak rela berpisah begitu saja, ia bertekad kalau mati harus mati bersama dengan sang Toako.
Sekeluarnya Giok-bun-koan, yaitu pintu gerbang tembok besar di ujung barat, seyojana mah hanya gurun pasir belaka.
Di jaman dahulu, kalau keluar dari Giok-bun-koan ibaratnya sudah masuk pintu neraka, sebab itulah saudagar Tionggoan umumnya jarang yang melintasi tembok besar, apalagi kalau kepergok orang Turki yang terkenal ganas dan kejam, jarang yang dapat pulang dengan selamat.
Suku bangsa Turki di daerah sinkang adalah suku Uigur yang kita kenal sekarang, sebelum ke luar Giok-bun-koan, lebih dulu Yu Wi sudah mencari keterangan sekitar adat kebiasaan orang Turki dengan harga tinggi ia menyewa seorang saudagar yang biasa bertualang ke luar perbatasan dan mengajarkan bahasa Uigur padanya dan Bok-ya.
Setelah kursus kilat bahasa-Uigur dan telah menguasai percakapan bangsa Turki yang sederhana, saudagar itu lantas membawa mereka ke luar perbatasan dengan menyamar sebagai orang Turki Karena kulit badan Yu Wi dan Bok-ya memang cukup putih, setelah berdandan, tampaknya mereka!a memang memper orang Turki.
Saudagar itu bernama Li Ju, masih muda usia 30-an umurnya, berdarah campuran bangsa Han dengan orang Turki, sangat jujur, benar-benar seorang pedagang yang lugu.
Begitulah mereka bertiga masing-masing menunggang seekor unta dan pelahan memasuki gurun pasir yang luas seakan-akan tak bertepi itu.
Sepanjang jalan kepergok juga beberapa kelompok perajurit Turki yang berpatroli, tapi setelah Li Ju bicara dengan mereka, biarpun perajurit Turki itu kelihatan buas, ternyata tidak mengganggu suku bangsanya sendiri sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan aman.
Terkadang merekapun ketemu badai gurun yang ganas, tapi Li Ju sudah berpengalaman, ia menguasai setiap perubahan cuaca di gurun pasir, maka segala bahaya dapat pula dihindarkan mereka.
Dengan Li Ju sebagai penunjuk jalan, segalanya dirasakan aman dan lancar oleh Yu Wi dan Bok-ya.
Sebulan kemudian, sampailah mereka di daerah pemukiman suku bangsa Turki, yaitu di sekitar lembah sungai IH.
Kini di mana-mana dapat terlihat perkemahan orang Turki, tertampak setiap orang Turki pasti lahir menunggang kuda, sampai anak kecil juga bermain di atas kuda.
Diam-diam Yu Wi membatin.
"Pantas perajurit Tionggoan tidak mampu menandingi perajurit Turki, bangsa Turki memang tangkas dan kuat secara umum, sebaliknya rakyat Tionggoan tidak mahir menunggang kuda dan memanah, orang mudanya setiap hari hanya berfoya-foya belaka, minum arak dan main perempuan, paling-paling hanya menggubah syair dan tenggelam di kamar baca, mana sanggup mereka disuruh bertempur di medan perang?"
Yu Wi minta Li Ju mencari keterangan tentang Aloyato.
Tapi tanya ke sana dan ke sini, kebanyakan orang Turki itu hanya menggeleng kepala, Keruan Yu Wi menjadi lesu dan kesal, ia pikir Aloyato adalah bangsa Thian-tiok, dengan sendirinya tidak dikenal orang Turki.
Ia teringat pada murid Aloyato, kalau muridnya ditemukan tentu dapat pula menemukan gurunya.
Tapi ia tidak tahu siapa nama Kongcu sakit yang pernah dibawa Aloyato ke Siau-ngo-taysan itu, terpaksa ia hanya melukiskan bagaimana bentuk wajah murid Aloyato itu dan minta keterangan kepada orang Turki.
Namun jumlah orang Turki berjuta-juta banyaknya, kalau ingin mencari orang berdasarkan bentuk wajah tentu saja sangat sulit seperti mencari jarum yang tenggelam di dasar lautan.
Karena tanya sini dan tanya sana, akhirnya perbuatan mereka menimbulkan curiga orang Turki.
Maklumlah, bahasa Uigur yang diucapkan Yu Wi dan Bok-ya kurang fasih, setiap kali mencari keterangan selalu Li Ju saja yang ditonjolkan sebagai juru bahasa, mereka berdua sedapatnya membisu.
Para penggembala bangsa Turki menjadi heran, mereka berdandan sebagai saudagar, mengapa tidak melaksanakan jual-beli, tapi selalu mencari keterangan seseorang, Bahkan dua di antara tiga orang mirip bangsa Han, tidak bicara mainkan selalu mengamat-amati orang di sekitarnya, Padahal orang dagang umumnya justeru mengutamakan mulutnya, tanpa bicara, apa yang didagangkan? Untunglah Li Ju cukup tahu kewajiban, dia mendapat upah besar, maka juga bekerja keras, Apa yang diminta Yu Wi pasti dilakukannya Karena orang yang dicari belum diketemukan, diam
KANG ZUSI website
http.//kangzusi.com
diam iapun gelisah bagi Yu Wi.
Namun ia juga tidak banyak bertanya apa maksud tujuan mereka mencari Aloyato.
Tak dapat menemukan Aloyato, Yu Wi lantas minta Li Ju membawa mereka ke kotaraja Turki.
Li Ju bertanya siapa yang akan dicarinya lagi, Yu Wi mengatakan ingin bertemu dengan raja Turki.
Diam-diam Li Ju terkesiap, tidak sulit mencari raja Turki, kerajaan Turki juga tanpa ibukota kebanyakan orang Turki bermukim di sekitar Kim-san atau gunung emas, Maka mereka bertiga lantas melarikan untanya ke sana.
Maksud Yu Wi hendak menemui raja Turk dan membeli Thian-liong-cu dengan harga tinggi soal harga tidak menjadi soal baginya, sebab dia banyak membawa benda mestika tinggalan Ji Pek liong di makam keluarga Kan sana.
Suatu hari, sampailah mereka di daerah hulu sungai lli, sejauh mata memandang warna hijau belaka, rumput menghijau permai meliputi bumi.
Pada umumnya di daerah gurun sangat jarang ada tempat indah begini.
Tertampak air sungai ili mengalir tenang dan jernih sehingga menimbulkan hasrat orang untuk berendam di situ.
Sudah lama Bok-ya tidak mandi sepuas-puasnya, melihat air sejernih itu, tentu saja ia sangat senang.
Tanpa diminta segera Yu Wi tahu isi hati si nona, ia perintahkan Li Ju membawa mereka ke tepi sungai.
Setiba di tepi sungai, tertampak serombongan orang Turki yang berdandan sebagai pemburu berkerumun menjadi dua baris dan sedang menyaksikan dua orang Turki yang berdandan sebagai bangsawan lagi berlomba memanah.
Saat itu salah seorang di antaranya yang berhidung besar dan bermata siwer, perawakannya juga tinggi besar, sedang mementang busurnya dan siap memanah sebuah semangka yang berada pada jarak beberapa ratus langkah jauhnya.
Semangka itu hanya setengah kepaja manusia besarnya, di sunggih oleh seorang penggembala, tampaknya penggembala itu rada-rada takut sehingga kakinya gemetar, dengan sendirinya semangka yang tersunggih di atas kepalanya juga ikut ber-gerak2.
"Kena!"
Mendadak bangsawan Turki yang mementang busur itu membentak, anak panah terus meluncur ke depan.
"bles,"
Dengan tepat menembus semangka itu sehingga semangka itu pecah menjadi dua, air semangka mengucuri muka penggembala.
Serentak terdengarlah suara sorak sorai memuji, tapi penggembala yang menyunggih semangka itupun jatuh semaput, bangsawan Turki itu terbahak-bahak, serunya.
"Hahaha! sekarang giliranmu!"
Sorak-sorai orang banyak telah berhenti, salah seorang bangsawan yang lain mengangkat busurnya, perawakan orang ini sedang-sedang saja, hidungnya juga tidak besar, kulit badannya rada kekuningan, tidak mirip orang Turki, Namun gerak geriknya tampak agung, pakaiannya juga terbuat dari kulit berbulu putih yang sangat mahal, dandanannya mutlak seperti orang Turki sehingga orang tak dapat menyangsikan dia bukan orang Turki.
Terdengar dia berseru dengan tertawa.
"Asna-tuya, kepandaianmu memanah sudah maju pesat!"
Orang tadi yang bernama Asnatuya tertawa lebar, jawabnya.
"Ah, siapa yang tidak tahu ilmu memanah Cepe nomor satu di dunia, betapapun pesat kemajuanku juga tak dapat menandingi kau."
Semua orang sama tahu orang yang mirip bangsa Han dan bernama Cepe itu memang terkenal sebagai ahli memanah, mereka menjadi tidak sabar dan berseru.
"Ayolah, Cepe, pertunjukkan kemahiranmu!"
Dengan tenang Cepe angkat busurnya dan mencoba dulu daya jepretnya, lalu berkata.
"Dan siapa yang akan membantu pertunjukanku?"
Ucapannya ini jelas menghendaki seorang penggembala untuk menjadi sasaran panahnya seperti penggembala yang menyunggih semangka tadi, penggembala itu sampai saat ini masih menggeletak tak sadarkan diri. Tapi beberapa orang segera berebut menjawab.
"Aku! ... aku!"
Mereka yakin panah Cepe pasti tidak meleset maka saling berebut untuk dijadikan pembantu. Dengan tertawa Cepe memilih salah seorang di antaranya. Asnatuya tampaknya rada iri.
"Mereka hanya percaya kepadamu, kalau aku yang minta, tiada seorangpun yang mau."
Dengan lugas Cepe berkata.
"Kalau kau minta diriku, tentu akan kubantu tanpa pikir!"
Karena ucapan ini, tertawalah Asnatuya.
Segera Cepe menyuruh sukarelawan tadi membawa tiga buah semangka yang lebih kecil dan menuju ke tempat yang berjarak kira-kira lima ratus langkah, setiba di tempat yang di tunjuk, orang itu menaruh sebuah semangka di atas kepala, kedua tangan masing-masing memegang sebuah semangka dan terjulur lurus ke samping.
Cepe mengeluarkan tiga anak panah dan berdiri mungkur.
Setelah memasang anak panah dan busur dipentang, mendadak ia membalik tubuh.
"ser"ser-ser", sekaligus tiga anak panah itu menyambar ke depan, Hampir pada saat yang sama, ketiga buah semangka yang dipegang pembantu di kejauhan sana juga pecah seluruhnya. Betapa cepat dan jitu cara memanah itu sungguh sudah mencapai tingkatan yang sukar dibayangkan. Para penonton sama terkesima dan belum sempat bersorak memuji.
"Panah bagus!"
Tanpa terasa Yu Wi berteriak memuji.
Sejak kecil Yu Wi dibesarkan di Hek-po, ilmu silat tidak diperoleh, tapi kepandaian memanah telah dipelajarinya dengan cukup mahir.
Tapi kalau dia disuruh membidik tiga sasaran sekaligus jangankan bisa, membayangkan saja tidak pernah Maka tidaklah heran jika tanpa terasa ia bersuara memuji.
Dia lupa pada saat itu dia berada di negeri Turki, dia memuji dalam bahasa Han, tentu ia Li Ju terkejut dan takut setengah mati, untung serentak sorak-sorai lantas bergemuruh sehingga tiada yang memperhatikan mereka.
Hanya Cepe saja yang kelihatan memandang sekejap ke arah Yu Wi.
Setelah suara sorakan mereda, Asnatuya menepuk bahu Cepe dan berkata.
"Sungguh hebat! Kepandaianku memanah memang berselisih jauh dibandingkan kau!"
"Kepandaian memanah adalah hasil latihan, pada suatu hari kau pasti dapat mengejar kepandaianku"
Kata Cepe dengan rendah hati.
"Andaikan kepandaianku ada kemajuan, tapi kan kau juga terus maju, jelas selama hidupku ini tak dapat menyusul dirimu,"
Ujar Asnatuya dengan menyesal.
Karena pertandingan memanah itu sudah berakhir penonton mulai bubar dan kembali ke kemah masing-masing.
Mungkin rombongan ini adalah kaum bangsawan Turki yang sedang berburu, perlombaan memanah antara Cepe dan Asnatuya itu mungkin cuma pertunjukan selingan saja.
Melihat orang Turki berkemah di tepi sungai, Yu Wi tidak dapat membiarkan Bok-ya berenang di sungai, segera ia memutar untanya hendak pergi.
Tak Terduga tiba-tiba Cepe berlari tiba dan menegurnya.
"Apakah kau bangsa Han?"
Pasih benar bahasa Han yang diucapkannya. Cepat Li Ju menyeletuk dengan bahasa Turki, Kami kaum pedagang dan bukan mata-mata bangsa Han!"
"Aku kan tidak menuduh kalian ini mata-mata?"
Ujar Cepe dengan tertawa, ia tetap bicara dalam bahasa Han. Pada umumnya, seorang pahlawan akan cepat mengenal sesama pahlawan, tanpa sangsi Yu Wi lantas menjawab terus terang.
"Ya, aku bangsa Han, kami ingin mencari Aloyato."
"Oo?"
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepe tampak agak heran.
"Yang kau cari itu seorang paderi Thian-tiok, bukan?"
"Ya, ya, kau kenal dia?"
Yu Wi mengangguk dengan girang.
"Kukenal,"
Jawab Cepe.
"Akan kubawa kalian kepadanya."
Sementara itu Asnatuya juga sudah menyusul tiba, melihat kecantikan Ko Bok-ya yang lain daripada yang lain, ia jadi kesima, tanpa terasa ia memandangnya seperti kuatir kehilangan lagi.
Bok-ya menjadi kikuk, ia pikir orang ini pasti sebangsa bergajul, mungkin belum pernah melihat wanita cantik bangsa Han.
Cepat ia berkata kepadi Yu Wi.
"Toako, marilah kita pergi saja!"
Sepintas lalu Cepe memandang Bok-ya sekejap lalu berpaling lagi ke arah Yu Wi, sikapnya sungguh agung sesuai seorang ksatria sejati.
"Bilakah hendak kau bawa kami pergi mencari Aioyato?"
Tanya Yu Wi kepada Cepe.
"Aloyato tinggal di Kim-san (gunung emas), sebentar kami akan berangkat pulang ke sana, boleh kalian ikut kami ke sana, setiba di Kim-san akan kubawa kau menemui dia,"
Jawab Cepe. Yu Wi merasa kebetulan, setiba di Kim-san, sekaligus dapat dilaksanakan dua pekerjaan Selain mencari Aloyato, dapat pula membeli Thian-liong-cu, Maka ia lantas berpaling dan berkata kepada Bok-ya.
"Kita berangkat sebentar lagi, Ya-ji!"
Sebenarnya tiada maksud Bok-ya hendak berangkat dengan segera, ia cuma kikuk dipandang oleh Asnatuya secara menjemukan, maka dia sengaja mengajak pergi.
Asnatuya tidak paham bahasa Han, ia hanya tahu nama Aloyato disebut-sebut, maka ia tanya Cepe dengan bahasa Turki.
"Mereka mencari Aloyato?"
Cepe mengangguk dan menjawab.
"Ya, sebentar kalau kita pulang ke Kim-san akan kita bawa serta mereka."
Lalu ia berpaling dan berkata kepada Yu Wi.
"Perkemahanku terletak di sana, ikutlah dan istirahat sebentar, sesudah bebenah segera kita berangkat."
Karena bahasa Han orang sangat lancar, orangnya juga lugu, Yu Wi jadi sangat senang bersahabat dengan Cepe, Tanpa pikir mereka ikut ke kemahnya, sembari berjalan kedua orang masih terus pasang omong dengan asyiknya.
Setiba di perkemahan Cepe, Yu Wi sudah saling memberitahukan nama masing-masing dengan kenalan baru ini, Cepe juga mempunyai nama Han, yakni Li Tiau.
sebenarnya Yu Wi bermaksud tanva apakah dia bangsa Han atau bukan, tapi tidak enak untuk membuka mulut.
Pajangan di dalam kemah sangat mewah, sekeliling kemah adalah hiasan kulit yang mahal, begini bagus kemah seorang yang sedang berburu, maka betapa kaya-rayanya dapatlah dibayangkan.
Yu Wi tidak berani lagi bertanya apakah Li Tiau bangsa Han atau bukan, sebab dipandang dan segala sesuatu di kemahnya ini, jelas keluarga Li Tiau adalah bangsawan terhormat di negeri Turki, bangsa Han tidak mungkin hidup menyolok begini di negeri asing ini.
Asnatuya juga mempunyai kemah sendiri, dia tidak pulang ke sana, sebaliknya ikut ke kemah Cepe alias Li Tiau, malahan berulang-ulang melirik Bok-ya.
Di dalam kemah ada sebuah meja pendek, mereka duduk bersila di tanah yang dilapisi permadani kulit beruang yang sangat tebal, duduknya menjadi sangat enak.
Li Ju tidak berani duduk bersama di situ, ia mengundurkan diri ke luar kemah.
Tengah bercengkerama itulah tiba-tiba Yu Wi berkata.
"Di negeri kalian sini adakah benda yang bernama Thian-liong-cu?"
Li Tiau terkejut mendengar nama Thian-liong-cu, tanyanya.
"Kalian mencari Thian-liong-cu?"
"Ya, aku perlu satu biji saja,"
Jawab Yu Wi. Mendadak Li Tiau tertawa, katanya.
"Ai, Yu heng jangan bergurau, Di seluruh negeri Turki ini paling-paling juga cuma ada satu biji Thian-liong-cu, memangnya Yu-heng mengira Thian-liong-cu ada berapa banyak?"
"Hah, Thian-liong-cu hanya ada satu biji saja?"
Yu Wi menegas dengan terkejut. Mendadak Asnatuya bertanya.
"Apa yang mereka katakan?"
Lantaran cara bicara Yu Wi kelihatan terkejut, Asnatuya jadi ingin tahu apa yang dipercakapkan mereka. Maka dengan bahasa Turki Li Tiau menjawab pertanyaan Asuatuya.
"Mereka ingin mencari satu biji Thian liong-cu.""
"Thian-liong-cu?"
Asnatuya menegas, lalu ia bergelak tertawa dan berkata pula.
"Jadi mereka berani menghendaki Thian-liong-cu?"
Yu Wi paham kata-kata Turki itu, mendengar nada orang seperti menyindir Yu Wi merasa kurang senang, katanya.
"Bila perlu kami bersedia membeli Thian-liong-cu itu dengan harga mahal."
Sekali ini Yu Wi bicara dengan bahasa Turki, meski kaku kedengarannya, tapi maksudnya dapat dipahami Asnatuya, ia berhenti tertawa dan menjengek.
"Aku ada Thian-liong-cu, kau berani beli dengan emas berapa banyak?"
"Benar kau punya Thian-liong-cu?"
Yu Wi menegas dengan kejut dan girang. Dengan angkuh Asnatuya menjawab.
"Di seluruh dunia ini hanya ada satu biji Thian-liong-cu, dan Thian-liong-cu satu-satunya ini berada di rumahku."
"Dengan emas berapa banyak baru dapat ku-beli Thian-liong-cu yang di rumahmu itu?"
Tanva Yu Wi. Asnatuya menduga Yu Wi tidak nanti membawa emas terlalu banyak, maka sekenanya ia menjawab.
"Selaksa selongsong emas lantas ku jual Thian-liong-cu padamu."
"Hah! Selaksa selongsong emas?!"
Seru Bok-ya terkejut Meski dia puteri seorang panglima angkatan perang yang kaya raya, tapi satu biji mutiara harus dibeli dengan emas selaksa selongsong, hal ini sukar untuk dipercaya, ia pikir Yu Wi tidak mempunyai harta benda apapun, jual beli ini tentu batal.
Maklumlah, berat satu selongsong emas ada 24 tahil, selaksa selongsong berarti 24 laksa tahil, siapapun tidak mungkin menyediakan jumlah emas sekian banyak dalam waktu singkat.
Li Tiau juga tahu Yu Wi pasti tidak membawa 24 laksa tahil emas, ia tahu Asnatuya hanya sengaja menggoda Yu Wi saja, maka secara bergurau ia tanya Asnatuya.
"Masa kau berani menjual Thian-liong-cu?"
Sambil memandang hina terhadap Yu Wi, Asnatuya menjawab dengan tertawa.
"Kalau dia dapat membayar kontan 24 laksa tahil emas, akupun berani mengambil keputusan menjual Thianliong- cu kepadanya."
Yu Wi tampak tenang-tenang saja, tanyanya pelahan.
"Apakah harus dibayar dengan emas?"
Seperti tidak acuh Asnatuya berkata.
"Emas 14 laksa tahil, ditarik dengan sepuluh ekor unta saja tidak kuat, kalau diberikan padaku juga tak mampu ku angkut."
"Jadi maksudmu boleh juga dibayar dengan barang lain"
Yang nilainya sama?"
Tanya Yu Wi cepat. Melihat Bok-ya lagi memandang ke arahnya, Asnatuya berlagak murah hati dan menjawab.
"Ya, tentu saja boleh!"
Air muka Li Tiau berubah, ditatapnya Asnatuya tajam-tajam, katanya.
"Kau tahu ada pribahasa Hau yang bilang. Kata-kata seorang Kuncu . .."
"Laksana lari kuda yang sukar dikejar!"
Tukas Asnatuya dengan tertawa, Dengan pongah ia melirik Ko Bok-ya seakan-akan hendak menyatakan.
"Coba, akupun paham istilah pribahasa Han ini!"
Bok-ya menunduk, ia benci pada lagak Asnatuva yang sombong itu, katanya di dalam hati.
"Apabila di Pakkhia, tentu ayah dapat menyediakan 24 laksa tahil emas, satu tahil demi satu tahil ditumpuk di atas kepala orang yang angkuh ini."
Tiba-tiba Yu Wi bertanya kepada Li Tiau.
"Li heng, apakah di sini ada ahli barang antik?"
Diam-diam Li Tiau mengeluh bagi Asnatuya terpaksa ia menjawab.
"Ada seorang putera saudagar batu permata, dapat kusuruh orang memanggilnya kemari."
Bergegas ia berjalan keluar, tidak lama kemudian masuk lagi bersama seorang muda, ayah anak muda ini adalah saudagar batu permata yang paling terkenal di negeri Turki ini, Pada jari tangan anak muda ini penuh hiasan cincin berbatu mutu manikam yang gemerlapan, jelas semuanya sukar dinilai harganya.
Sesudah semua orang berduduk, Yu Wi lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kain kuning dan disodorkan kepada putera saudagar emas intan itu, katanya.
"Coba kau periksa, kira-kira bernilai berapa tahil emas?"
Anak muda itu bernama Yafo, pengetahuannya terhadap benda mutu manikam cukup luas dan terpercaya, Pelahan ia membuka bungkusan kain kuning itu.
Semua orang memandang jari tangan anak muda itu, tertampaklah cahaya gemerlapan yang menyilaukan mata, Yafo malahan sengaja menggerakkan jarinya sehingga batu permata yang dipakainya itu tambah mempesona.
Diam-diam Bok-ya tertawa geli, pikirnya.
"Mungkin orang ini kuatir batu permata yang dipakainya itu tidak dilihat orang. Apabila jari kakinya juga boleh dipamerkan, bisa jadi akan dipakainya juga sepuluh cincin bermata intan pada ke sepuluh jari kakinya."
Setelah bungkusan kuning itu dibuka, pelahan Yato menuang isinya, kontan pandangan semua orang menjadi silau, tanpa terasa Yato menjerit "Uaaah!"
Dia hanya sanggup berseru "uaah"
Saja dan tidak menyatakan rasa kagum atau celanya, seolah-oleh terkesima oleh benda yang dilihatnya sehingga sukar mengucapkan kata-kata lain.
Tertampak kelima cincin permata yang dipakainya, yang semula menjadi benda kekaguman orang, kini seolah-olah bintang ketemu matahari seketika suram tanpa bersinar.
Kini yang terlihat oleh semua orang adalah mutu manikam yang gemerlapan milik Yu Wi itu dan tidak terlihat lagi cahaya yang terpancar dari batu permata yang dipakai Yato.
Air muka Asnatuya berubah pucat juga, ia coba bertanya.
"Bernilai berapa?"
Kelima jari tangan kiri Yato diacungkan ke depan, tangan kanan digunakan merabai bendabenda mestika itu dengan penuh rasa kasih sayang. Menghadapi benda berharga begitu, bicara saja dia lupa.
"Masa cuma bernilai lima ribu tahil?"
Teriak Asnatuya. Yato menggeleng.
"O, lima laksa?"
Seru Asnatuya pula. Kembali Yato hanya menggeleng saja, Tambah pucat wajah Asnatuya, dengan mendongkol ia memaki.
"Persetan! Apakah kau bisu? Kenapa tidak bicara?"
Baru sekarang Yato terkejut dan mendusin melihat Asnatuya marah-marah, cepat ia menjawab dengan gelagapan.
"O, berni ... bernilai lima ..lima juta . .. ."
"Apa? Lima juta?"
Teriak Asnatuya, suaranya rada gemetar.
"Lima juta apa maksudmu?"
Cepat Li Tiau i'0rtanya. Setelah menenangkan hatinya, berkatalah Yato dengan jelas.
"Bernilai lima juta tahil emas."
"Omong kosong!"
Bentak Asnatuya dengan gusar, Cepat Yato menjelaskan "Mana hamba berani sembarangan omong! Mutiara ini adalah benda ajaib di daerah Tionggoan, namanya "Pah-gan" (mata harimau tutul), satu biji saja nilainya sama dengan sebuah kota, di sini ada 12 biji, nilainya sukar lagi ditaksir, kalau cuma lima juta tahil emas saja kukira masih belum memadai,"
Li Tiau menyokong pendapat juru taksir itu, katanya.
"Yato berasal dari keluarga ahli permata, taksirannya pasti tidak meleset."
Asnatuya menghela napas dengan lemas, air mukanya bertambah pucat. Melihat gelagat tidak menguntungkan cepat Yato memberi hormat dan mohon diri, sebelum pergi dia masih memandangi ke-12 biji "mutu harimau tutul"
Dengan perasaan berat. Yu Wi menyodorkan semua "mata harimau tutul"
Itu ke depan Asnatuya dan berkata.
"Nah, semuanya untukmu!"
Termangu-mangu Anastuya memandangi mutiara mestika itu, mendadak ia berkata dengan air muka pucat.
"Thian-liong-cu tidak kujual!"
Sedapatnya YuWi bersikap tenang, ucapnya.
"Masa kau lupa pada pribahasa Han tadi?"
"Memangnya kenapa kalau lupa?"
Jawab Asnatuya, jelas hendak mungkir janji.
"Saudara Asna, jangan"
Kau lupa pada kedudukanmu,"
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Tiau ikut bicara dengan serius. Mendadak Asnatuya membungkus ke-12 biji mutiara "Pah-gan"
Itu dan dimasukkan ke dalam baju, lalu mendengus.
"Baik, ku jual Thian-liong-sin!"
"Dan di mana Thian-!iong-cu?"
Tanya Yu Wi.
"Tidak kubawa sekarang, akan kuserahkan padamu setelah tiba di Kim-san,"
Jawab Asnatuya tidak kalah ketusnya. Li Tiau lantas menukas.
"Jangan kuatir, Yu-heng, setelah saudara Asna menerima ke-12 biji mutiaramu, setiba di Kim-san tentu Thian-liong-cu pasti di serahkannya kepadarnu."
"Kupercaya kepada Li-heng,"
Ujar Yu Wi dengan lugu.
"Maksudmu tidak dapat mempercayai diriku?"
Jengek Asnatuya. Habis berkata, tanpa permisi ia terus melangkah pergi dengan marah. Dengan tertawa Ko Bok-ya bertanya.
"Toako, darimana kau peroleh benda mestika sebanyak itu?"
Yu Wi tidak menyangka nilai "Peh-gan"
Ternyata sedemikian tingginya, ia hanya ambil sebagian kecil saja dari harta karun yang ditinggalkan Ji Pek liong di makam kuno itu, baru sedikit sekali yang digunakan biaya hidup dan perjalanan selama ini.
ke 12 biji mutiara mestika yang indah itu sengaja disimpannya, bahwa sekarang benda itu ternyata berdaya guna sebesar ini, hal inipun tak tersangka olehnya.
Mengingat Thian-liong-cu selekasnya akan diperoleh dan kaki Ya-ji yang lumpuh akan dapat disembuhkan, hati Yu Wi tidak kepalang girangnya, dengan tertawa ia lantas menjawab.
"Barang itu adalah tinggalan guruku."
"Toako menukar satu biji Thiao-liong-Cu dengan Pah-gan yang bernilai tinggi itu, apakah tidak merasa menyesal?"
Tanya Bok-ya.
"Betapa banyak Pah-gan juga tak dapat di bandingkan satu jari Ya ji kita yang manis,"
Jawab Yu Wi. Alangkah sedap dan bahagia hati Bok-ya demi mendengar ucapan anak muda itu. Seperginya Asnatuya, Li Tiau tampak murung dan kesal. Yu Wi memberi hormat padanya dan berkata.
"Terima kasih atas bantuan Li-heng tadi, kalau Li heng tidak ikut bicara, sukar bagiku untuk mendapatkan Thian liong-cu."
Apakah Yu Wi berhasil membarter Thian-liong-cu dengan mutiara mestikanya itu untuk menyembuhkan kaki Ko Bok-ya? Peristiwa unik apa pula yang akan ditemuinya di negeri Turki yang serba keras itu Bacalah
Jilid ke-8 -
Jilid ke-8
"Mengapa Yu-heng bertekad iuuus mendapatkan Thian-liong-cu,"
Tanya Li Tiau dengan gegetun. Yu Wi lantas menceritakan seluk-beluknya, Li Tiau manggut-manggut, katanya kemudian.
"Ya, Thian-liong-cu memang betul dapat menyembuhkan kaki Ko-siocia,"
Sebelumnya Yu Wi juga yakin Su Put-ku pasti tidak menipunya, tapi ia tetap tidak mengerti, tanyanya pula.
"Apakah betul di dunia ini hanya ada satu biji Thian-liong-cu saja?"
"Apakah Yu-heng tahu Thiak-liong-cu itu barang apa?"
Tanya LiTiau.
"Mungkin semacam mutiara yang sangat berharga,"
Kata Yu Wi. Li Tiau menggeleng, tuturnya.
"Thian-liong-cu bukan mutiara mestika segala, tapi "Lwe-tan (barang dalam perut) seekor Thian- liong (naga langit),"
Baru sekarang Yu Wi paham duduknya perkara, ia pikir untuk melihat "naga"
Saja sukar, mungkin kebetulan di negeri Turki diketemukan seekor Thian liong, setelah dibunuh, dari dalam perutnya diambil balurnya, Pantas di seluruh dunia cuma ada satu balur isi perut Thian liong ini dan khasiatnya untuk pengobatan dengan sendirinya juga sangat mujarab.
Pada saat itulah, mendadak di luar terdengar suara "tut-tut", suara terompet tanduk.
Segera Li Tiau berkata.
"Pasukan segera akan berangkat pulang ke Kim-san."
Cepat Yu Wi membantu mereka mengakui kemahnya, setelah makan kenyang, rombongan pemburu yang terbentuk dari ratusan orang ini lantas berangkat, menuju Kim-san.
Sepanjang jalan Yu Wi dan Li Tiau asyik bercakap-eakap, keduanya merasa sangat cocok satu sama yang lain, meski baru kenal, rasanya seperti sahabat lama saja.
Menjelang magrib, seorang pemuda bangsawan datang mengundang Li Tiau.
Tidak lama kemudian tampak Li Tiau kembali dengan wajah muram dan tidak bicara apa-apa, Yu Wi juga tidak enak bertanya.
Hari mulai gelap, rombongan berkemah pula, esok paginya baru akan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan pulang ke Kim-san diperlukan waktu beberapa hari, Yu Wi dan Bok-ya mempunyai tenda sendiri dengan format kecil, selesai mereka memasang tenda, datanglah pesuruh Li Tiau memanggil mereka untuk makan malam.
Di dalam kemah Li Tiau sudah tersedia sarapan pilihan, tapi selain Li Tiau sendiri tiada terdapat orang lain lagi, Anehnya seharian Asnatuya, juga tidak keiihatan.
Melihat kejujuran Li Tiau, Yu Wi tidak curiga, sesudah berduduk, keduanya makan minum sepuasnya.
Bagi Ko Bok-ya, asalkan tidak hadir orang menjemukan semacam Asnatuya, japun suka minum barang dua-tiga cawan.
lantaran senang mendapkan sahabat baik seperti Li Tiau, Yu Wi minum arak sepuasnya, sampai santapan habis, sedikitnya berpuluh cawan telah ditenggaknya sehingga dia mabuk tak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lamanya, ketika Yu Wi mendusin, ia merasa keadaan sekelilingnya sudah berbeda daripada semula, bukan lagi berada di dalam tenda Li Tiau melainkan di dalam sebuah gua yang guram.
Keruan ia terkejut, orang pertama yang dipikirkannya ialah Bok-ya.
Ke mana perginya.
Yan-ji?.
Dengan gugup ia merangkak bangun dan berteiak.
"Ya-ji!...Ya-ji ..."
Gema suara memenuhi udara gua itu dan seperti suara berpuluh orang berteriak sekaligus. Setelah berteriak-teriak dan tetap tiada jawaban Ko Bok-ya, tiba-tiba terdengar seorang berkata dengan suara parau.
"Setelah siuman, kenapa gembar-gembor tidak keruan, mengganggu kenyenyakan tidurku!"
Di dalam gua sangat gelap, juga tidak ada cahaya api, dengan sendirinya Yu Wi tidak dapat melihat orang yang bicara itu, dengan terkejut ia tanya.
"Siapa kau?"
"Tahanan dalam penjara!"
Jawab orang itu.
"Apakah tempat ini penjara di bawah tanah"
Tanya Yu Wi pula.
"Jadi kau sendiri tidak mengetahui dirimu berada di dalam penjara?"
Lambat laun Yu Wi sudah dapat memandang di tempat gelap, Maklumlah, dahulu ia tinggal cukup lama di dalam makam keluarga Kan dan dapat melihat sesuatu benda tanpa pcnerangan, kini gua ini masih ada cahaya yang remang-remang, setelah berdiam sejenak, pandangannya kini tidak banyak berbeda seperti di siang hari.
Dilihatnya tempat ini adalah sebuah gua karang seluas puluhan tombak persegi, pembicara itu berduduk di pojok sana, usianya sudah tua, rambut dan jenggotnya kelihatan putih, mata terpejam.
"Losiansing (tuan tua), terletak di manakah penjara ini?"
Tanya Yu Wi.
"Kim-san!"
Jawab si kakek beruban. Air muka Yu WI berubah hebat, serunya kaget.
"He, Kim-san? jadi di dalam negeri Turki?"
"Di dunia ini hanya terdapat sebuah Kim-san, dengan sendirinya berada dalam negeri Turki."
Kata si kakek. Yu Wi menggeleng tidak percaya, katanya.
"Tidak, tidak mungkin! Kuingat kemarin kami masih berada di lembah sungai Ili."
"Kemarin kau sudah meringkuk di sini dan satu langkah pun tidak meninggalkan penjara ini,"
Jengek si kakek.
"Lantas jka ....kapan kudatang ke sini?"
Seru Yu Wi terkejut.
"Tiga hari yang lalu kau digotong kemari,"
"Tiga hari yang lalu?"
Yu Wi menegas dengun terkejut ia pikir dari sungai lli ke Kim-san diperlukan perjalanan empat atau lima hari, masa setelah mabuk minum arak tempo hari, sampai sekarang sudah berselang tujuh atau delapan hari lamanya.
Didengarnya si kakek berkata pula.
"Ketika kau digotong kemari, badanmu bau arak yang menusuk hidung, tentu kau telah minum arak Pek jit cu (arak mabuk seratus hari)."
Mendadak terdengar suara "blang"
Yang keras sehingga gua itu seakan-akan gempa.
"Apakah kau yang menghantam dinding gua"!"
Tanya si kakek.
"Blang", kembali Yu Wi menghantam terlebit keras.
"Kuat amat!"
Puji si kakek.
"Li Tiau!"
Teriak Yu wi mendadak dengan murka.
"Sungguh manusia rendah dan licik kau!"
Teringat kepalsuan orang yang pura-pura bersahabat dengan dirinya, dengan marah-marah terus melangkah keluar gua, setelah membelok satu tikungan, terlihat mulut gua teralang oleh terali besi Di luar terali besi tidak ada penjaganya, hanya terdapat sebatang lilin besar di lorong depan sana.
Lorong itu sangat panjang sehingga tidak kelihatan keadaan di luar sana.
Yu Wi mendekati terali besi itu, dipegang batang terali sambil membentak.
"Buka!" , Kini kekuatannya tidak terbatas ribuan kali saja, namun kedua batang terali besi itu tidak bergeming sedikitpun, Waktu diperiksanya dengan cermat, kiranya bukan batang besi, entah terbuat dari logam apa. Apabila terali ini terbuat dari besi, rasanya tidak sulit bagi Yu Wi untuk memuntirnya hingga patah. Dua-tiga kali ia mengerahkan tenaga dan tetap tidak mampu membukanya, ia menghela napas lesu dan melepaskan tangannya. Teringat tujuh atau delapan hari sudah lalu, keadaan Ya-ji entah bagaimana? ia pikir waktu Li Tiau mengundangnya makan-minum bersama Ya-ji, diam-diam telah mencampurkan Pek-jit-cu di dalam arak yang diminumnya, jelas tindakannya memang perangkap yang berencana, Tapi entah sebab apa dia sengaja menjebaknya. Apakah disebabkan Ya-ji diketahui sebagai puteri Ko Siu atau akibat menaksir kecantikan nona itu? Tiba-tiba teringat olehnya mata Asnatuya yang selalu melirik Ya-ji itu, jangan-jangan orang bermaksud jahat itu, ia jadi ingat sebelum terjebak, Li Tiau telah di undang pergi oleh seorang pemuda bangsawan Turki, kembalinya Li Tiau kelihatan murung. Maka pahamlah Yu Wi sekarang akan duduknya perkara, Pantas hari itu tidak kelihaian batang hidung Asnatuya, tentu karena kuatir perbuatanku akan dicurigai, maka diam-diam Li Tjau disuruh menjebak dirinya, Karena dirinya percaya penuh ke pada pribadi Li Tiau, akhirnya terperangkap oleh "Pek-jit-cui". Mengingat Ya-ji juga ikut minum "Pek-jit-cui", kalau sampai jatuh ke dalam cengkeraman Asnatuya, maka akibatnya tentu dapat dibayangkan. Karena itulah hati Yu Wi menjadi sedih dan sangat gelisah, Berulang-uIang ia berteriak.
"Hai, adakah orang di situ? Aku minta bertemu dengan Li Tiau! Ada orang tidak di situ? Aku ingin bertemu LiTiau!.."
Sambil berteriak, kedua telapak tangannya juga menghantam terali dengan kuat sehingga menggema suara "trang-treng"
Yang keras, namun terali itu tetap tidak rusak sedikitpun.
Setelah memukul sekian lamanya, akhirnya tangan Yu Wi sendiri menjadi merah bengkak, suaranya juga serak, namun ia tidak berhenti, ia masih terus berteriak dan menghantam sehingga suara kering dan tenaga habis, lalu ia jatuh lunglai ke tanah...
Pada saat itulah dari belakang terjulur sebuah tangan dan menepuk pundaknya sambil berkata.
"Jangan merusak badan sendiri, anak muda!"
Waktu itu kedua jangan Yn Wi masih terus menghantam terali, akan tetapi karena kehabisan tenaga, hantamannya itu lebih tepat dikatakan meraba saja, suara hantamannya juga hampir tidak terdengar. Orang di belakangnya menghela napas dan berucap.
"Terali ini terbuat dari perunggu, jangan harap akan dapat kau patahkan dengan bertangan kosong!"
Waktu Yu Wi berpaling, entah sejak kapan si kakek sudah berada di belakangnya, Melihat orang menaruh simpatik kepadanya, dengan lemas Yu Wi berkata.
"Losiansing, aku ingin menemui Li Tiau, ingin kutanyai dia sebab apa dia menjebak diriku."
Si kakek menggeleng, ucapnya.
"Aku tidak tahu siapa Li Tiau yang kau maksudkan, biarpun kau gembar-gembor lebih keras lagi juga takkan didengarnya."
"Meski dia tak mendengar, tentu ada orang akan melaporkan kepadanya,"
Kata Yu Wi.
"Gua ini berada di tengah gunung, kecuali seorang Turki tua yang bisu lagi tuli yang setiap hari mengirim rangsum untuk kita, jarang ada orang datang ke sini,"
Tutur si kakek. Yu Wi menjadi sedih, katnnya.
"Apakah benar tak ada orang lain yang datang ke sini?"
"Sudah hampir sembilan tahun aku dikurung di sini,"
Tutur si kakek dengan gegetun.
"Dan baru pertama kali sekarang ada orang mengantar kau ke sini, sebelum ini tidak pernah terjadi."
Diam-diam Yu Wi merasa ngeri, ia pikir apakah selanjutnya dirinya akan dikurung di sini selamanya serupa si kakek? Lalu sakit hati orang tua, janji perguruan dan keselamatan Ya-ji, siapa yang akan melaksanakan dan mengurusnya? Tidak! Apapun juga dirinya harus berusaha, seketika timbul jiwa keperkasaannya, dengan suara lantang ia berteriak.
"kita harus berusaha dengan sabar dan pelahan, pada suara hari kelak kita pasti dapat lolos keluar terali ini!"
"Kau ada akal,"
Tanya si kakek.
"Gada besi juga dapat diasah hingga menjadi jarum, biarlah kita berusaha dengan sabar, dikitdikit menjadi bukit. lama-Iama tentu segalanya tidak menjadi soal lagi."
Si kakek rnenggeleng, katanya.
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selama sembilan tahun ini macam-macam jalan sudah kucoba tapi semuanya gagal. Maka kukira tidak perlu lagi kau memeras otak dan buang tenaga percuma."
"Tanpa berusaha, apakah kita harus menunggu ajal belaka?"
Ujar Yu Wi dengan berduka.
"Ya, apa boleh buat,"
Kata si kakek dengan tersenyum getir.
"apabi!a ada jalannya, siapa yang ingin hidup sia-sia di sini?!"
Mendadak terdengar suara langkah orang, dari lorong sana datanglah seorang tua dengan tubuh bungkuk dan membawa satu nampan makanan, setiba di depan terali, makanan dalam nampan lantas disodorkan satu persatu.
Pada saat makanan terakhir sudah disodorkan, mendadak Yu Wi mencengkeram tangan kakek bungkuk itu sambil membentak.
"Di mana Asnatuya? Di mana Cepe?"
Kakek bungkuk itu berulang-ulang menuding telinga dan mulut sendiri sebagai tanda dia tuli dan bisu.
Yu Wi menghela napas lemas, ia melepaskan cengkeramannya.
Sebenarnya ia bermaksud mengompres pengakuan si kakek cara bagaimana membuka pintu terali itu, tapi demi melihat orang yang sudah tua renta dan perlu dikasihani itu, ia menjadi tidak tega turun tangan.
Si kakek ubanan seperti tahu isi hati Yu Wi, ucapnya dengan gegetun.
"Hanya ada satu orang yang dapat membuka pintu terali ini, siapapun tak dapat membuka tanpa mendapat kuncinya."
"Siapa orang itu?"
Tanya Yu Wi.
"Yaitu, saudara tua Asnatuya yang kau sebut tadi,"
Tutur si kakek. Yu Wi menghela napas, katanya.
"tampaknya semua ini adalah tipu muslihat Asnatuya."
"Ada permusuhan apa antara kau dengan Asnatuya?"
Tanya kakek itu. Semula Yu Wi masih menyangsikan meminum "Pek-jit-cui"
Itu adalah atas perintah Asnutuya, kini setelah mengetahui kunci pintu penjara ini dipegang oleh kakaknya, maka lenyaplah rasa sangsinya, Teringat Bok-ya pasti jatuh dalam cengkeramannya, hatinya menjadi sedih dan bingung, seketika pertanyaan si kakek jadi tidak diperhatikan olehnya.
Melihat Yu Wi termangu dan tidak menjawab pertanyaannya, si kakek juga tidak mengacuhkan ia lantas duduk di lantai dan mulai makan.
Beberapa macam makanan yang diantarkan ini masih terhitung santapan pilihan, si kakek tampak makan dengan nikmatnya.
Meski Yu Wi juga merasa lapar, tapi mana ada seleranya untuk makan, seperti orang linglung saja ia berduduk di situ, pikirannya terasa kusut...
Mendadak si kakek menegurnya.
"He, kenapa kau tidak makan?"
Aku tak bernafsu makan,"
Jawab Yu Wi dengan menunduk dan menghela napas pelahan.
"Ayolah makan sedikit, kalau tidak nanti kusikat habis seluruhnya,"
Kata si kakek.
Tanpa permisi lagi si kakek lantas makan pula bagian Yu Wi juga mulai disabet.
Diam-diam Yu Wi pikir orang tua im sungguh bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Dalam penjara terpencil begini, nafsu makannya ternyata sangat besar.
Tanpa terasa ia lantas memandangi orang tua itu.
Dilihatnya kedua matanya tetap terpejam meski waktu makan, namun gerik geriknya sangat cepat dan cekatan, makan dengan mata tertutup tampaknya sudah terbiasa baginya.
Setelah menghabiskan sebagian besar makanan itu, si kakek tepuk-tepuk perutnya yang kenyang, katanya.
"Ada pameo yang menyatakan manusia adalah baja, nasi adalah perunggu. Untuk hiduip orang harus makan"
Maksud si kakek ingin menggugah selera makan Yu Wi, tapi tiba-tiba didengarnya Yu Wi bangkit dan melangkah ke dalam gua, Segera si kakek ikut berbangkit dan kembali ke tempatnya tadi, Hati Yu Wi terasa cemas dan gelisah, namun mulut membungkam, sebaliknya si kakek terus mencerocos bicara macam-macam kepadanya, melihat minatnya berbicara itu seakan-akan hendak bayar utang karena sudah sembilan tahun tidak pernah bicara dengan siapa pun.
Satu kata saja Yu Wi tidak menanggapi, Namun si kakek juga tidak peduli, baginya asalkan ada orang yang mendengarkan ocehannya, apakah ocehannya diterima orang atau tidak bukan soal baginya.
Setelah mengoceh sendirian sampai lama, diketahuilah oleh Yu Wi bahwa lantaran si kakek tidak sudi mengajar ilmu silat kepada kakak Asnatuya, maka sembilan tahun yang lalu kakek ini telah ditangkap dan sejak itu dikurung di gua ini.
Bicara tentang ilmu silat, tampaknya si kakek menjadi bergairah, dia mengobrol betapa hebat kemajuan Lwekangnya yang dicapai selama sembilan tahun ini, cuma sayang katanya, tidak dapat dipraktekkan.
Tiba-tiba perhatian si kakek tercurah kepada Yu Wi, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa.
"Dari tenaga hantamanmu pada dinding gua tadi, jelas Lwekangmu tidak lemah, apakah mau kita cobacoba mengadu pukulan sebentar?"
Yu Wi diam saja dan si kakek terus menerus memohon. Karena tidak sanggup direcoki, akhirnya Yu Wi berkata dengan menyesal.
"Hatiku sangat kesal,"
Sudilah engkau membiarkan kutenangkan pikiran dulu."
"Ai, orang muda apa yang kau kesalkan?"
Ujar si kakek dengan tertawa.
"Hendaklah kau berpikir panjang dan menghadapi kenyataan, kalau tidak, satu hari saja kau tidak tahan tinggal di sini."
"Kalau pribadiku sih tidak menjadi soal, sesungguhnya Ya-ji yang membikin hatiku kuatir"
Kata Yu Wi "Ya-ji? Siapa itu Ya-ji?"
Tanya si kakek.
"Ya-ji seorang perempuan, seorang nona."
Si kakek jadi ingat waktu siuman tadi Yu Wi lantas berteriak-teriak memanggil Ya-ji, jelas nona itu senantiasa dirindukan oleh anak muda ini, dengan tertawa ia lantas tanya.
"Apakah dia pacamu?"
Yu Wi menghela napas panjang dan tidak menjawabnya.
"Kenapa kau dikurung di sini?"
Tanya si kakek, tampaknya ia sangat tertarik oleh peristiwa ini.
Pada umumnya, bilamana pikiran seseorang lagi kesal, biasanya akan suka diutarakan kepada orang lain untuk melampiaskan kekesalannya.
Karena itulah dengan rasa sedih Yu Wi lantas mengisahkan pengalamannya, dimulai Ko Bok-ya kena racun biru hantu, lalu minta pengobatan kepada Su Put-ku, kemudian datang ke negeri Turki ini untuk mencari Thian-liong-cu, akhirnya terjebak oleh "Pek jit cui", semua itu satu persatu diceritakannya dengan jelas.
Selesai mendengarkan cerita Yu Wi, si kakek merasa seperti habis mengikuti suatu kisah roman yang menyedihkan, ia menaruh simpati besar dan sangat ingin bisa membantunya menolong Ko Bok ya dari cengkeraman maut.
Akan tetapi sebuah pintu terali telah memisahkan mereka dari dunia lain, ingin keluar saja tidak dapal, cara bagaimana pula dapat menolong orang? Terpaksa si kakek menghibur Yu Wi.
"Untuk sementara ini hendaklah kau bersabar menunggu kesempatan, kuyakin kau takkan terkurung selama hidup di sini."
"Tapi bilakah kesempatan ini akan datang?"
Ujar Yu Wi dengan murung.
"Ya, bisa jadi cuma beberapa tahun, mungkin juga beberapa puluh tahun,"
Kata si kakek. Yu Wi menyengir, katanya.
"Beberapa tahun? Setahun lagi kalau aku tak dapat keluar dari sini, maka aku akan menjadi orang berdosa karena tak dapat memenuhi janjiku kepada Suhu. Bilamana beliau mengetahuinya pasti akan berduka luar biasa."
Air muka si kakek mendadak berubah pucat, terdegar dia berguman sendiri.
"Setahun lagi? Setahun lagi?"
Mendada ia tanya Yu Wi,"
Eh, hari apa sekarang ini?"
"Kalau tidak salah, kemarin adalah hari Tiong-ciu,"
Jawab Yu Wi.
"Hah, kemarin jatuh hari Tiongciu?"
Seru si kakek terkejut "Wah, kalau begitu, hanya tinggal... setahun lagi..."
Mendadak ia melompat bangun dan melayang ke mulut gua, ia pegang terali dan ditarik sekuatnya sambil membentak, akhirnya serupa Yu Wi tadi, pintu terali itu tidak bergeming sedikitpun. Yu Wi menyusul keluar dan bertanya.
"Apakah kau ingin merusak terali ini?"
"Memang sudah lama ingin kuhancurkan terali ini, tapi selalu gagal"
Tutur si kakek dengan geregetan.
"Sudah hampir lima tahun tidak pernah kucoba, hari ini pasti dapat kuhancurkan dia!"
Segera ia berjongkok dengan tangan menyanggah satu terali besi, dia mengerahkan tenaga dalam sekuatnya sambil membentak, namun terali itu tetap tidak bergerak sama sekali, tetap kukuh seperti semula.
Sedikitpun si kakek tidak patah semangat sekali, dua kali, berulang-ulang ia mencobanya lagi, setiap kali ia berusaha mengangkat pintu terali, air mukanya pasti berubah merah membara, semua ini menandakan tenaga yang dikerahkan sungguh luar biasa dan habis-habisan.
Diam-diam Yu Wi menggeleng, ada maksudnya hendak membantu, tapi merasa tenaga sendiri sudah habis ketika dikerahkan merusak pintu terali itu tadi, Kalau sekarang ia membantunya, bukannya berhasil, mungkin malah membikin urusan bertambah runyam.
Sekonyong-konyong terdengar si kakek membentak sangat keras, suara bentakan yang menggelegar dan memekak teiinga, sungguh sangat mengejutkan.
Habis itu dia membentak lagi sekali, habis bentakan ini darah segar lantas tersembur dari mulutnya.
Yu Wi menjadi kuatir, cepat ia berseru.
"He... Losiansing.... Lo-siansing!"
Segera ia bermaksud memapah tubuh si kakek yang hampir roboh, tapi kakek itu lantas menggeleng dan berseru.
"Minggir..."
Terlihat dia membentak lebih keras lagi, sekali ini darah segar yang tersembur juga tambah banyak, tapi pintu terali itupun bergoyang sedikit.
Tanpa ayal lagi si kakek membentak berulangulang lagi" , Setiap membentak tentu menumpahkan darah, akan tetapi tenaga yang dikerahkan untuk membetot pintu terali juga bertambah kuat.
Keadaan menjadi sangat mengenaskan dan dahsyat, saking terharu sampai air mata Yu Wi bercucuran, ia tahu dalam ilmu silat ada semacam kungfu yang disebut "Hiat-kang" (ilmu darah)", kalau kungfu ini dikeluarkan akan sama seperti membunuh diri, Sebab tenaga yang dikeluarkan akan jauh melebihi kekuatan aslinya, lebih-lebih bila darah segar tersembur, kekuatannya juga bertambah dahsyat.
Begitulah mendadak terdengar suara gemuruh, pintu terali jebol berikut dinding batu, si kakek ubanan juga ikut roboh, batu kerikil yang berhamburan sama menguruk di atas tubuhnya.
Cepat Yu Wi menyingkirkan timbunan batu dan mengangkat tubuh si kakek dilihatnya sekujur badan kakek penuh berlumuran darah, hanya dari mulutnya tiada mengeluarkan lagi darah setetes pun, melihat gelagatnya seolah-olah darahnya sudah habis tersembur tadi.
Dengan menangis Yu Wi berkata.
"Losiansing bukalah matamu dan pandanglah diriku!"
Ia kuatir kalau si kakek menghembuskan napas terakhir begitu saja, maka dia berusaha menjernihkan pikiran orang. Namun kakek itu lantas menggeleng, ucapnya.
"Aku tidak punya mata, cara bagaimana membuka mata...?"
Baru sekarang Vu Wi tahu sebabnya si kakek tidak pernah mementangkan matanya adalah karena matanya memang buta, diam-diam ia merasakan juga demi melihat semangat si kakek masih cukup kuat, segera ia memondongnya dan berkata "Akan kubawa kau untuk mencari tabib Turki mengobati penyakitmu,"
"
Tidak, turunkan diriku, biarkan kududuk saja."
Pinta si kakek. Yu Wi tahu watak orang sangat keras, iai tidak berani membantah, segera ia mendudukkan si kakek di tanah. Pelahan kakek itu mengeluarkan secarik kulit yang tipis dan diberikan kepada Yu S\i, katanya.
"Kutahu jiwaku tak dapat hidup lebih lama lagi, ada suatu urusan perlu kuminta baniuanmu."
Dengan airmata berlinang Yu Wi menjawab.
"Silahkan Losiansing menerangkan, tentu akan kulaksanakan sekuat tenaga..."
"Sebabnya kakak Asnatuya mengurung diriku di sini, tujuannya adalah ingin memaksa kuajarkan satu jurus ilmu pedang padanya,"
Demikian tutur si kakek. Tergerak hati Yu Wi, pikirnya.
"Jangan-jangan ilmu pedang yang diincar kakak Asnatuya itu adalah..."
Tapi lantas terdengar si kakek telah menyambung.
"Sudah tentu aku tidak sudi mengajarkan satu jurus ilmu pedangku yang maha lihay ini kepada bangsa asing, Maka berkeras aku menolak permintaannya. Sayang, waktu itu aku mengidap penyakit dalam sehingga dapat ditawan oleh anak buahnya terus dikurung di sini hingga sembilan tahun lamanya..."
Baru sekarang Yu Wi yakin kakek ini adalah salah seorang Jit-can-so, yaitu Bu-bok so atau kakek tak bermata, Apabila tiada terjadi pertarungan sengit antara ketujuh kakek cacat itu sehingga mengakibatkan ketujuh kakek sama-sama terluka parah, tentu Bu-bok-so takkan tertawan dan terkurung sekian lama di gua ini.
Terdengar si kakek buta lagi bercerita pula.
"Meskipun menyadari tidak ada harapan untuk menerjang keluar pintu terali ini, tapi akupun tidak tega ilmu saktiku terpendam di sini, maka kupotong kulit pantatku, setelah kering, kutisik kunci rahasia ilmu pedangku di atas kulit ini, sekarang kuberikan kulit ini padamu, kuharap dalam wakli setahun dapatlah kau latih dengan baik, habis itu..."
"Losiansing..."
Seru Yu Wi mendadak.
Sebenarnya, ia bermaksud memberitahukan bahwa dirinya adalah murid Ji Pek-liong dan dengat sendirinya tak dapat mewakili dia menghadiri janji pertemuan ke tujuh kakek cacat itu, tapi ia tidak tega membuat orang mati kecewa, maka sedapat nya ia menahan kata-kata yang hampir dilontarkan itu.
Setelah si kakek berhenti bicara dan tidak mendengar jawaban Yu Wi, ia lantas menyambung pula.
"Kemudian kau harus mewakili diriku, hadir pada pertemuan di Ma siau-hong di timur Hokkian pada hari Tiongciu tahun depan, bila bertemu dengan keenam kakek cacat lainnya, katakan saja Bu-bok-so sudah meninggal..."
Diam-diam Yu Wi menghela napas gegetun kalanya dalam hati.
"Tatkala mana tidak mungkin hadir lagi keenam kakek cacat lainnya, yang jelas Suhu dan si kakek buntung tangan juga tak dapat hadir, jadi tinggal empat orang saja yang mungkin akan hadir..."
Meski semangat si kakek buta tampaknya masih segar, tapi itu hanya rontakan terakhir sebelum ajalnya, Setelah selesai memberi pesan, ia lantas menghembuskan napas terakhir.
Setelah mati, sekujur badan si kakek buta tampak putih pucat tak berdarah, Dengan berduka Yu Wi memondongnya dan menyusuri lorong gua itu, setiba di luar, cahaya matahari tampak terang benderang, pepohonan menghijau permai, suasana segar bergairah.
Yu Wi memilih suatu tempat bagus dan mengubur si kakek, diberinya sepotong batu sebagai nisan, dan diberi ukiran huruf yang berbunyi "Kuburan Bu-bok-so"..
pada samping bawah tertulis nama Yu Wi sendiri selaku murid.
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kelompok suku bangsa Turki itu tersebar di sekitar Kim-san, suku bangsa ini terkenal sebagai kaum gembala yang hidupnya berpindah-pindah, maka suku bangsa ini tidak mempunyai tempat menetap yang tertentu.
Tempat tinggal terdiri dari tenda, hanya sejumlah kecil bangsawan yang mampu membangun perumahan sederhana di sekitar Kim-san yang subur itu sehingga berbentuk suatu kota kecil.
Setelah turun dan Kim-san.
Yu Wi terus berlari ke arah kota kecil itu mengingat Asnatuya juga bangsawan Turki tentu dia berdiam di sana.
Setiba di tempat tujuan, hari sudah menjelang tengah rnalam, pada umumnya suku bangsa penggembala tidur lebih dini, di jalan sudah jarang orang berlalu.
Ginkang Yu Wi cukup tinggi, meski di jalanan sering ada perajurit yang berpatroli, nanum tidak ada yang memergoki dia.
Dia tidak tahu Asnatuya bertempat tinggal di mana, sedangkan penduduk kota kecil ini sedikitnya ada seribu keluarga, kalau mencarinya serumah demi serumah, biarpun beberapa jam juga belum bisa ditemukan.
Selagi Yu Wi mondar-mandir dengan bingung tiba-tiba dari sebelah sana berkumandang suara orang membaca, ia menjadi heran bahwa di negeri Turki ini ada juga kaum terpelajar Ketika ia mendengarkan lebih cermat, ternyata yang dibacanya adalah sastra Han.
Sungguh sukar dimengerti bahwa di negeri Turki ada orang giat belajar kesusasteraan Tionghoa, Karena heran, Yu Wi lantas melayang ke arah suara itu.
Itulah sebuah rumah yang seluruhnya bergaya Han, Bagian tengah adalah ruang tamu, kedua sisinya kamar tidur, suara bacaan itu berkumandang keluar dari kamar sebelah kiri.
Dengan gerakan enteng Yu Wi mendekati kamar itu, ia mengintai melalui jendela, dipandang dari atas, segala sesuatu di dalam kamar dapat terlihat dengan jelas.
Tertampaklah seorang pemuda berpakaian Han duduk dekat jendela dengan memegang se
Jilid kitab dan asyik membaca, yang dibacanya adalah syair kuno gubahan pujangga ternama.
Waktu Yu Wi mengamatinya lebih cermat, pemuda berdandan bangsa Han ini ternyata Li Tiau adanya.
Yu Wi merasa kebetulan karena ada niatnya mencari Li Tiau, dengan penuh rasa dendam segera ia menghimpun tenaga dan bermaksud menerjang ke dalam kamar, hajar dulu pemuda itu dan perkara belakang, kalau perlu bunuh saja manusia rendah dan munafik ini.
Tapi sebelum ia bertindak, mendadak cahaya lampu di ruangan tengah dinyalakan dan masuklah seorang pemuda Turki ke dalam kamar dengan membawa Cek tai (tatakan lilin) sehingga wajahnya kelihatan jelas, rupanya rada-rada mirip Li Tiau, hanya kulit badannya, mata dan hidungnya yang tidak sama, Li Tiau lebih mirip bangsa Han, sedangkan pemuda ini jelas orang Turki asli.
Pemuda itu masuk kamar dan menyapa.
"Toako belum tidur?" - Yang diucapkan adalah bahasa Turki. Li Tiau menurunkan kitabnya, dengan bahasa Turki ia rnenjawab.
"Masih dini, belum kantuk, baca dulu. Ayah ibu sudah tidur?"
"Sudah,"
Jawab pemuda Turki itu,"
Ada suatu urusan ingin kutanya Toako."
"O, urusan apa?"
Tanya Li Tiau. Pemuda Turki itu berduduk di depan Li Tiau, lalu berkata.
"Tentang bangsa Han yang she Yu itu, apakah Toako membiarkan dia terkurung di penjara sana?"
"Ya, bila teringat kepada urusan ini hatiku menjadi berduka,"
Ujar Li Tiau dengan menyesal. pemuda Turki itu tampak kurang senang, katanya.
"Kudengar, Toako yang menaruh Pek-jit-cui di dalam arak dan membius pasangan muda-mudi Han itu dan menawannya hidup-hidup!"
Nadanya jelas menyalahkan Li Tiau, masa sekarang Li Tiau menyatakan berduka segala?.
"Kau pikir, leluhur kita juga bangsa Han apakah aku dapat berbuat demikian?"
Kata Li Tiau.
"Kuyakin Toako pasti takkan berbuat demikian, makanya ingin kutanyai Toako,"
Ujar pemuda Turki itu.
Yu Wi pikir tentu leluhur mereka bekerja bagi bangsa asing, lalu kawin dengan perempuan setempat dan menurunkan mereka, namun mereka masih berdarah Han sehingga kedua saudara ini yang satu mirip orang Han dan yang lain mirip orang Turki.
Tapi entah siapa leluhur mereka dan mengapa bekerja bagi bangsa asing? Terdengar Li Tiau lagi berkata.
"Perkenalanku dengan orang she Yu itu seketika menjadi akrab sehingga seperti sahabat lama, sekarang dia dipenjarakan, meski akulah yang menaruh Pek-jit-cui dalam araknya, tapi perencananya bukanlah diriku, Selama beberapa hari ini hatiku tidak pernah tenang, Pada suatu hari aku harus berdaya membebaskan dia."
"Lalu bagaimana dengan nona bangsa Han itu"
Tanya si pemuda Turki.
"Aku tidak dapat menolongnya,"
Jawab Li Tiau dengan menyesal.
"Justeru lantaran dia, maka aku dipaksa menaruh Pek-jit-cui dalam arak."
"Apakah Asnatuya yang penujui nona Han itu?"
Tanya pemuda Turki.
"Bila dia yang menaksir nona Han itu dan aku disuruh menaruh Pek-jit-cui, tidak nanti akan kulakukan,"
Kata Li Tiau.
"Yang penujui nona Han itu justeru adalah junjungan kita."
"Apa? Asnatuci maksudmu?"
Pemuda Turki ini mencgas dengan terkejut.
"Ya, memang Asnatuci,"
Jawab Li Tiau dengan menyesal.
"Dahulu kita sama-sama kecil dan bermain bersama, segala sesuatu boleh berbuat dengan bebas, Tapi sekarang dia adalah raja kita, kalau junjungan kita sudah penujui nona itu, apakah aku dapat membangkang perintahnya agar menaruh Pek-jit-cui dalam arak mereka?"
Keterangan mereka ini sungguh di luar dugaan Yu Wi, sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa Asnatuya adalah adiknya raja Turki.
Diam-diam ia merasa heran, Raja Turki itu tidak pernah melihat Ya-ji, mengapa dia bisa jatuh hati kepada nona itu? Jangan-jangan tipu muslihat Asnatuya belaka yang memalsukan titah raja."
Dilihatnya pemuda Turki tadi menggeleng-geleng kepala dan menyatakan rasa tidak percayanya, katanya.
"Tidak, tidak mungkin! Selamanya Sri Baginda tidak pernah melihat nona Han itu, pasti Asnatuya yang berdusta kepada kakaknya, dia kuatir Toako tidak mau tunduk kepada tipu muslihatnya, maka nama junjungan kita ditonjolkan agar Toako mau tunduk kepada perintahnya dan menaruh Pek-jit-cui dalam arak,"
"Hal inipun sudah kupikirkan,"
Kata Li Tiau.
"telah kutanya dengan jelas bahwa yang penujui nona Han itu memang benar-benar Sri Baginda, sekarang juga nona Han itu sudah berada dalam istana Sri Baginda."
"Jika betul demikian, tentu Toako tak dapat disalahkan,"
Kata si pemuda Turki "Dan entah dengan cara bagaimana Toako akan menolong pemuda she Yu itu?"
"Orang percaya penuh padaku dan memandang diriku sebagai sahabat karib, sebaliknya diamdiam aku telah menjebaknya dan membikin pasangan mereka terpisah, sungguh kakak merasa sangat tidak enak,"
Kata Li Tiau.
"Besok juga aku akan menghadap Sri Baginda dan memohon diberi kunci penjara sana untuk membebaskan dia."
"Apabila Sri Baginda tidak berkenan, lalu bagaimana?"
Tanya si pemuda Turki.
"Bila Sri Baginda menolak permintaanku pasti akan kumohon dengan pengorbanan jiwaku,"
Kata Li Tiau tegas.
"Bagus!"
Puji pemuda Turki itu.
"Besok aku akan ikut bersama Toako untuk menghadap Sri Baginda, Mengingat pergaulan kita dengan Sri Baginda semenjak kecil, kukira beliau pasti akan meluluskan permohonan Toako,"
"Baiklah, boleh kau pergi tidur, jangan lupa bersujud dulu di depan pemujaan leluhur kita,"
Kata Li Tiau.
Pemuda Turki itu mengangguk dan meninggalkan kamar Li Tiau dengan membawa cektai tadi.
Ruangan tengah itu hanya terpisah oleh sebuah dinding dengan kamar Li Tiau, waktu Yu Wi melongok ke sana, dilihatnya setiba di ruangan tengah, pemuda Turki itu lantas menaruh cektai di atas meja sembahyang.
Di bawah cahaya lilin yang terang, kelihatan lukisan yang dipuja yang tergantung di dinding itu adalah seorang panglima bangsa Han dengan wajah yang kereng dan berwibawa, busur besar tersandang di punggung, tangan meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang, di atas lukisan ada satu baris huruf besar yang tertulis.
"Pemujaan Li Leng dari dinasti Han". Di samping kanan kiri lukisan pemujaan terdapat dua baris sajak yang memuji kebesaran jiwa Li Leng ketika diutus memerangi negeri Hun di gurun pasir, di sana karena menghadapi macammacam kesukaran, pengikutnya kebanyakan meninggal, pada akhirnya terpaksa ia menyerah dan mengabdi bagi bangsa asing. Tujuannya semula menyerah kepada musuh adalah karena terpaksa dan untuk mencari kesempatan memberontak dan pulang kembali ke negeri leluhur, Akan tetapi kaisar Han tidak dapat memaklumi jiwanya itu, dia dihukum sebagai pengkhianat, ibu dan anak isterinya dihukum mati selurhnya. Dengan demikian terpaksa Li Leng tidak dapat lagi pulang ke negeri asalnya, terpaksa mengabdi kepada negeri Hun dengan setengah hati, ia sangat dihormati oleh raja Hun dan dipungut menjadi menantu, maka banyak keturunannya yang tersebar di tanah airnya yang kedua ini. Suku bangsa Turki adalah salah satu kelompok suku bangsa Hun, kedudukan Li Tiau sangat tinggi di kerajaan Turki ini, bukan cuma dia saja, setiap anggota keluarga Li, semuanya dianugerahi sebagai bangsawan di segenap kelompok suku bangsa Hun. Kedudukan mereka tetap teguh abadi di tengah-tengah kelompok suku bangsa Hun itu juga ada sebabnya. Keluarga Li dimulai dari leluhur mereka yang termasyhur sebagai ahli panah, yaitu Li Kong, ilmu memanah mereka turun temurun tetap tiada bandingannya, sedangkan suku bangsa gurun pasir ini paling gemar belajar memanah. Rahasia ilmu memanah keluarga Li selamanya dirahasiakan dan tidak dapat dipelajari orang luar, Maka tidaklah heran jika kepandaian khas keluarga li ini sangat dihormati dan diberi kedudukan istimewa di tengah suku bangsa asing ini. Begitulah, setelah pemuda Turki tadi bersembahyang di depan lukisan pemujaan, lalu dia pulang ke kamarnya dan tidur. Mestinya Yu Wi hendak membunuh Li Tiau, tapi setelah mengetahui jalan pikiran dan kesucian Li Tiau, bahkan diketahuinya sebagai keturunan keluarga Li yang dihormati itu, seketika maksudnya membunuh lantas lenyap seluruhnya. Maka tanpa mengusiknya, diam-diam Yu Wi meninggalkan tempat kediaman Li Tiau itu, sudah sekian jauhnya, sayup-sayup masih terdengar suara Li Tiau yang asyik membaca itu. Dengan cepat ia mengitari kota itu, ditemuinya sebuah bangunan yang berbentuk istana, Ia pikir tentu di sinilah raja Turki itu berdiam, ia tidak tahu apakah Bok-ya juga terkurung di sini. Istana ini jauh lebih kecil dibandingkan Thian-ti-hu keluarga Kan, maka tidak terlalu sulit bagi Yu Wi untuk mencarinya. Setiba di bagian belakang, dilihatnya suatu tempat cahaya lampu masih terang benderang, segera ia menunduk ke sana dan melongok ke dalam melalui jendela. Pajangan di dalam rumah seluruhnya bergaya Han, berbaring telentang di tempat tidur yang empuk dan indah seorang perempuan yang tampaknya sedang tidur nyenyak. Girang sekali Yu Wi telah melihat jelas perempuan itu, kiranya dia ialah Ko Bok-ya. Selagi ia hendak melayang masuk melalui jendela untuk membangunkan Bok-ya, mendadak dari ruangan dalam sana ada suara orang berjalan dan muncul seorang Kongcu berdandan sebagai bangsa Han, berjubah ringan dan berikat pinggang. Segera Yu Wi mengenalnya sebagai pemuda Turki murid Aloyato yang dilihatnya di Siau-ngo tay-san dahulu, ia menjadi heran.
"Masa penyakitnya sudah sembuh? Mengapa dia berada di sini. Jangan-jangan..."
Segera iapun paham duduknya perkara, jelas orang inilah kakak Asnatuya, yaitu Asnatuci, raja Turki."
Pantas dia penujui Bok-ya, dahulu waktuk bertemu di Siau-ngo-tay-san, berulang ulang ia sudah memandang Bok-ya dengan terpesona, kini Ya-ji tertawan di sini, entah perbuatan apa yang akan dilakukannya terhadap nona itu.
Terlihat dia duduk di tepi ranjang dan memandangi gaya tidur Ya-ji yang menggiurkan ini, dia diam saja dan memandangnya sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia berkata.
"Ehm. kau memang sangat cantik!"
Ia menghela napas, lalu berkata pula.
"Bilakah baru kau akan siuman?"
Tapi Bok-ya masih tertidur nyenyak dan tidak menjawab. Maka dia berkata pula sendirian.
"Sejak kecil aku mengidap penyakit yang aneh, bila kumat rasanya tak tahan dan akan mati, penyakit ini sudah sekian lama mengganggu kini usiaku sudah 30 lebjh selama ini tidak perduli kuperhatikan perempuan manapun. Tak terduga ketika penyakitku baru-baru ini kumat dan Suhu membawaku mencari tabib ke Siau-ngo-tay-san, di sana telah kulihat dirimu.
"Belum pernah kulihat wanita secantik kau, maka ketika melihat dirimu, bagiku seperti melihat bidadari belaka, penyakitku lantas berkurang, sepulangnya ke sini tetap tak dapat kulupakan dirimu.
"Sering kusebut-sebut kecantikanmu di depan saudaraku, dia bilang gadis cantik di dunia ini teramat banyak, kenapa mesti selalu teringat padamu. Dia lantas mencari seorang gadis yang wajahnya menyerupai dirimu untuk menghibur aku, akan tetapi meski gadis-gadis pilihan adikku itu memang rada mirip dirimu, tapi tidak terdapat gayamu yang khas itu, sedikitpun aku tidak tertarik oleh mereka sebaliknya semakin menimbulkan rasa rinduku kepadamu.
"Sudah beberapa bulan kukira tak dapat melihat dirimu lagi, tak tersangka saudaraku bisa bertemu dengan kau. Tidak seharusnya dia memberi Pek-jit-cui dalam minumanmu sehingga sampai saat ini kau belum lagi siuman. Tapi kalau kan tidak diberi minum Pek-jit-cui, cara bagaimana pula dapat ku dampingi kau di sini dan memandangi dirimu sepanjang hari?!..."
first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:32:02
Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Warisan Jenderal Gak Hui -- Chin Yung