Rahasia Hiolo Kumala 1
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 1
Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long
Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com
Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com RAHASIA HIOLO KUMALA "Xia Ke Qian Qiu"
Karya . Gu Long / Khu Lung Disadur . Tjan I.D
Jilid 1 Di perkampungan Liok-soat sanceng yang letaknya dibukit In-tiong-san dalam bilangan propinsi San-se, hiduplah seorang pendekar besar yang namanya tersohor dimana-mana.
Pendekar besar itu she Hoa bernama Thian-hong, ilmu silatnya tinggi dan tiada tandingannya di kolong langit, orang persilatan menyebutnya dengan julukan Thian-cu-kiam, pedang raja langit.
Dua puluh tahun berselang, kaum iblis dan manusia jahat menguasai dunia persilatan waktu itu suasana dalam sungai telaga tak aman, kejahatan merajalela, banyak pertikaian dan perselisihan terjadi dimana-mana.
Seorang diri dengan kekuatan yang dimilikinya Hoa Thian-hong telah tampilkan diri untuk menegakkan keadilan serta kebenaran.
Setelah berulangkali mengalami kejadian-kejadian besar yang mempertaruhkan jiwanya, hawa sesat dan hawa iblis dapat dilenyapkan dari muka bumi, dunia persilatan telah memasuki babak kehidupan baru.
Selama dua puluh tahun terakhir, dunia persilatan aman tenteram tak pernah terjadi peristiwa apapun, keamanan dan kedamaian tersebut boleh dibilang berkat kebijaksanaan serta kebesaran jiwa Hoa Thian-hong.
Tahun ini Hoa Thian-hong telah memasuki usia setengah baya, ilmu silatnya mencapai tingkatan yang lebih tinggi dan nama besarnya ibarat matahari ditengah awan, setiap umat persilatan memandangnya sebagai tulang punggung sungai telaga, malahan para pekerja dan rakyat kecilpun mengenal siapakah Hoa Thian-hong itu.
Tengah hari baru lewat, sebuah kereta kuda tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dan dilarikan secepat cepatnya menuju tanah perbukitan In-tiong-san....
Di bawah terik sang surya yang menyengat badan, kusir itu sudah bermandi keringat, tapi tak mengenal lelah, cambuknya diayun berulang kali mengiringi hardikan-hardikan pendek, kudanya dilarikan amat kencang.
Selang sesaat, kereta itu sudah menembusi sebuah lembah yang dalam, dan perkampungan Liok-soat sanceng pun muncul di depan mata.
Kusir itu tidak mengurangi kecepatan lari keretanya, malahan ia mengayun cambuknya semakin gencar.
Derap kaki kuda, gelindingan roda kereta yang ramai memekikkan telinga, sehingga mengejutkan penghuni perkampungan itu, Tiong Liau pelayan tua perkampungan itu cepat memburu keluar dari halaman.
Ketika melihat sebuah kereta kuda menerjang masuk ke dalam perkampungan dengan kecepatan tinggi, cepat menjura sambil menyapa.
"Tahan! Tolong tanya tamu dari mana yang telah berkunjung......?"
"Nona Suma dari kota Lam-yang!"
Sahut laki-laki kusir kereta itu dengan lantang.
Tiong Liau, pelayan tua itu tampak tertegun, sementara ia belum mengucapkan sesuatu, kereta kuda itu sudah menerjang tiba dengan cepatnya, terpaksa dia menyingkir ke samping.
Dengan disertai suara derap kuda dan gelindingan roda yang ramai, kereta itu lewat di sisinya dan menerjang masuk ke dalam perkampungan.
Sementara itu beberapa orang telah muncul di depan pintu gerbang dipaling depan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan memakai jubah berwarna hijau, dialah tuan rumah perkampungan ini atau lebih dikenal sebagai pedang raja langit Hoa Thian- hong.
Di samping laki-laki itu menyusul putra sulungnya yang bernama Hoa Si, kemudian dipaling belakang adalah beberapa orang pelayan.
Sekejap mata kemudian kereta itu sudah tiba di depan pintu gerbang, ketika dilihatnya kusir kereta itu tak mampu mengendalikan lari kudanya, seorang pelayan segera melompat ke depan, sepasang telapak tangannya segera direntangkan dan serentak kedua ekor kuda itu mengangkat sepasang kaki depannya ke atas, Liong Liau si pelayan tua yang telah memburu datang, segera menarik tali les kuda itu dan keretapun tertahan secara paksa.
Setelah kereta berhenti, hordenpun tersingkap menyusul dua orang gadis berpakaian kabung meloncat turun sambil memayang seorang gadis berbaju putih blaco dengan sepasang mata yang merah membengkak kebanyakan menangis.
Mengetahui siapa yang datang, Hoa Thian-hong amat terperanjat, cepat ia maju menyongsong sambil menegur.
"Si-moay, apa yang telah terjadi....?"
Gadis berbaju putih blaco itu bernama Suma Jin, dia adalah putri tunggal dari Suma Tiang-cing, seorang pendekar persilatan yang amat tersohor namanya dalam sungai telaga.
Suma Tiang-cing adalah saudara angkat ayah Hoa Thian-hong, oleh sebab itu walaupun usia Suma Jin masih muda, ia berada satu tingkatan dengan Hoa Thian-hong, dan merekapun saling menyebut saudara dalam tingkat kedudukan yang seimbang.
Bertemu dengan Hoa Thian-hong, gadis Suma Jin tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, ia menangis tersedu-sedu, sambil memberi hormat serunya dengan nada pilu.
"Ooh....toako..."
Tiba-tiba gadis itu mundur dengan sempoyongan, kemudian roboh tak sadarkan diri di atas tanah. Dua orang gadis berkerudung yang ada di sisinya cepat memburu maju dan memayang Suma Jin yang pingsan.
"Ikuti aku,"
Kata Hoa Thian-hong kemudian sambil ulapkan tangannya dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Sewaktu berjalan melewati sebuah serambi, seorang dayang cantik baju hijau muncul dan memberi hormat, kemudian berkata.
"Lapor toaya, Lo Taykun ada perintah untuk mengundang nona Suma masuk ke ruang dalam untuk minum teh!"
Dalam pada itu Suma Jin telah sadar kembali dari pingsannya, Hoa Thian-hong lantas membawa mereka mengitari sebuah serambi samping, menembusi sebuah jalan setapak yang dikelilingi semak dan pepohonan siong yang rindang, akhirnya masuk ke dalam sebuah bangunan megah.
Di dalam bangunan megah inilah Bun Taykun ibu Hoa Thian-hong berdiam, waktu itu kedua orang istrinya yakni Chin si atau nama aslinya Chin Wan hong dan Pek-si atau nama aslinya PekKun-gi menyambut di depan pintu.
Berjumpa dengan kedua ensonya, kembali Suma Jin merasakan suatu pukulan batin yang keras, ia menjerit.
"Oooh, enso...."
Untuk kesekian kalinya dara itu menangis tersedu- sedu dengan sedihnya.
Dua orang nyonya itu jadi terperanjat, cepat mereka membimbing Suma Jin masuk kedalam ruangan.
Bun Taykun yang sudah beruban rambutnya duduk bersila di atas sebuah kursi terbuat dari kayu cendana, sebelum nyonya tua itu buka suara Suma Jin telah menjatuhkan diri berlutut seraya menangis tersedu-sedu, bagaikan bendungan yang jebol air matarya jatuh bercucuran membasahi pipi dan bajunya.
"Anak Jin, jangan menangis dulu!"
Ujar Bun Taykun dengan wajah setenang- tenangnya "Coba terangkan, mengapa kau datang kemari dengan mengenakan pakaian berkabung? Janganjangan.."
"Oooh, bibi....!"
Jerit Suma Jin sambil menangis sedih.
"Ayah dan ibu.. mereka...."
Tiba-tiba gadis itu jatuh semaput lagi.
Toa-hujin (nyonya pertama) Chin Wan-hong segera maju memayang bangun Suma Jin dan mendudukkan di kursi, secepat kilat ia menotok tiga buah jalan darah penting di depan dada gadis itu.
Selang sesaat kemudian, Suma Jin tarik napas panjang dan sadar kembali dari pingsannya, seorang dayang cantik lari ke kamar belakang dan mengambil sebutir obat penenang, Chin-si lantas melolohkan obat tersebut ke mulut dara itu.
Dari sikap serta tindak tanduk yang ditunjukkan Suma Jin secara lapat-lapat semua orang sudah mendapat firasat jelek, mereka menduga bahwa keluarga Suma sudah tertimpa tragedi yang memilukan hati, perasaan hati mereka mulai tak tenang.
Setelah Suma Jin dapat sadar kembali, Bun taykun nyonya tua itu barulah bertanya.
"Anak Jin, apa yang telah terjadi? Siapa yang tertimpa kemalangan? Engkau harus berbicara dengan hati tenang, hilangkan dulu rasa sedihmu, dan kisahkan apa yang telah terjadi?"
Suma Jin masih terisak katanya tersendat-sendat.
"Ayah dan ibu... mee... mereka berdua...te... telah mati dibunuh orang....!"
"Apa?!"
Seru Bun Taykun dengan terperanjat.
Suma Jin menggetarkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi hanya isak tangis yang kedengaran, sambil meninju dada sendiri kembali dara itu menangis menggerung-gerung.
Kendatipun semua orang sudah mendapat firasat bahwa keluarga Suma telah tertimpa bencana namun setelah berita itu muncul sendiri dari mulut Suma Jin, tak urung semua orang terkesiap juga dibuatnya, sekejap mata semua orang berdiri dengan kepala tertunduk, ditengah keagungan yang mencekam ruangan itu hanya isak tangis yang kedengaran.
Tiba-tiba Suma Jin meronta bangun, sambil jatuhkan diri berlutut di hadapan Bun Taykun, keluhnya sambil menangis.
"Ayah dan ibu Jin-ji telah mati dibunuh orang, Jin-ji mohon sudilah kiranya bibi mengingat hubungan keluarga kami, agar mengambilkan keputusan bagi keponakan perempuanmu ini!"
Titik air mata jatuh berlinang di atas pipi Bun Taykun yang keriput, ia menghela napas panjang dan sahutnya.
"Bagaimanapun juga, sakit hati harus dituntut balas, aku akan mengaturkan tindak pembalasan ini bagimu, cuma... engkau tak boleh terlalu bersedih hati, karena kepedihan dapat merusak kesehatan tubuhmu!"
Suma Jin masih tetap menangis, katanya.
"Keponakan tak dapat menahan rasa pedih yang serasa menyayat-nyayat hatiku..."
Air mata mulai mengembang dikelopak mata Hoa Thian-hong, ujarnya pula.
"Adikku, janganlah terlalu bersedih hati, kisahkan dulu apa yang telah terjadi, setelah kami tahu duduknya persoalan, akan kami susunkan rencana besar untuk melakukan pembalasan dendam."
Terkenang kembali kematian yang mengenaskan dari ayah dan ibunya, Suma Jin merasa hatinya sakit seperti ditusuk pisau, sambil menahan isak tangisnya ia menyahut.
"Ibu tidur dalam kamar belakang sedang ayah tidur di kamar luar, kedua orang itu dibunuh orang secara bersamaan dalam semalaman!"
Bun Taykun tidak langsung menanggapi, ia berpikir dalam hati.
"Kasihan bocah ini, saking sedihnya karena ketimpa bencana, sampai bicarapun tak karuan..."
Ia menghela nafas panjang, lalu bertanya.
"Kapan terjadinya peristiwa ini??"
"Empat hari berselang!"
Sahut Suma Jin sambil menyeka air matanya yang meleleh keluar.
"Apakah di atas layon paman dan bibi terdapat bekas-bekas luka yang kentara?"
Tanya Hoa Thian-hong. Sambil menggigit bibir menahan emosi sahut Suma Jin.
"Luka-luka itu semuanya berada di atas tenggorokan... luka... luka itu bekas gigitan yang rata, seakan-akan seperti digigit oleh sejenis makhluk yang buas"
Bun Taykun berkerut kening, lama sekali dia termenung lalu baru berkata lagi.
"Kiu-mia-kiam-kek (jago pedang bernyawa sembilan) merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi, tak nanti jenis makhluk buas macam apapun sanggup melukai tenggorokannya, apalagi sampai merenggut selembar jiwanya!"
Suma Jin dapat menangkap bahwa dibalik ucapan Bun Taykun terdapat banyak hal yang patut dicurigai, ia menangis semakin menjadi.
"Lelayon ayah dan ibu hingga kini belum dikubur..."
Rintihnya. Mendadak seperti teringat akan sesuatu, ia menengadah dan melanjutkan lagi kata- katanya.
"Oooh iya...pembunuh keji itu meninggalkan sebuah tanda lambang......"
"Apakah tandanya itu?"
Bua Taykun cepat bertanya. Dengan air mata masih bercucuran Suma Jin menjawab.
"Sebuah hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau!"
Dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar sebuah hiolo kecil kumala hijau yang tingginya dua inci dan lebarnya beberapa inci, indah dan menarik sekali bentuk serta ukiran benda itu.
Paras muka Bun Taykun, Hoa Thian-hong beserta kedua orang nyonya yakni Pek-si dan Chin-si segera menunjukkan perubahan hebat, wajah maupun sikap mereka penuh diliputi emosi.
Suasana dalam ruangan itu jadi sunyi tak kedengaran sedikit suarapun, jarum yang jatuhpun mungkin kedengaran amat jelas! Bun Taykun berempat hanya bisa saling berpandangan, delapan buah sorot mata sama-sama tertuju pada hiolo kumala yang berada ditangan Suma Jin, rasa murung, heran, bingung, gelisah dan tercengang bercampur aduk dalam perasaan hati mereka, dapat melihat betapa kalut dan kacaunya pikiran keempat orang itu.
Suasana serba misterius dan aneh dengan cepat menyelimuti seluruh ruangan yang sepi itu, mereka yang merasa tingkat kedudukannya rendah tak berani buka suara ataupun mengajukan pertanyaan, ini menyebabkan setiap orang merasa tak tenang, setiap orang merasa tegang dan memandang serius masalah yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba Suma Jin menangis menjadi semakin menjadi, katanya sambil menahan isak tangis.
"Apa sebabnya kalian membungkam? Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini, masih ada orang yang ditakuti dan disegani oleh keluarga Hoa.?"
Makin dipikir gadis itu merasa makin sedih, isak tangis yang memecahkan kesunyianpun kedengaran makin mengenaskan hati. Dengan lembut Bun Taykun berkata.
"Nak, engkau tak usah banyak memikirkan soal yang bukan-bukan, ketahuilah bahwa apa yang telah kujanjikan selamanya tak akan kuingkari kembali, tadi aku kan sudah berjanji akan balaskan dendam sakit hati atas kematian ayah ibumu..."
"Oooh.,.. bibi, beritahu kepadaku, siapakah pembunuh yang telah membinasakan ayah ibu Jin-ji? Lambang siapakah hiolo kumala kecil ini....? Bibi jawablah pertanyaanku ini!"
"Suatu tanda yang begini kecil belumlah cukup untuk membuktikan bahwa pemilik benda inilah pembunuh orang tuamu, kau harus tahu bahwa manusia dalam dunia persilatan kebanyakan licik dan banyak tipu muslihatnya, mereka gemar memutar balikkan duduknya persoalan, maka sebelum urusan ini dibuktikan sampai jelas, lebih baik tak usah bersikeras untuk menjatuhkan tuduhan atas diri seseorang!"
"Benar, engkau tak usah terlalu kuatir"
Chin Wan-hong, nyonya pertama menanggapi pula dengan wajah serius.
"Setelah dia orang tua berjanji, maka walaupun harus menghadapi kesulitan macam apapun, dendam sakit hati dari paman Suma pasti akan dituntut balas!"
Pek Kun-gi, nyonya kedua tiba-tiba berpaling ke arah suaminya, kemudian bertanya.
"Apakah engkau dapat membuktikan bahwa hiolo kumala ini adalah barang asli?"
Hoa Thian-hong agak tertegun sesudah mendengar pertanyaan itu kemudian katanya.
"Si-moay, bolehkah kau pinjamkan hiolo kumala itu padaku?"
Buru-buru sama Jin serahkan hiolo kumala itu kepada saudaranya, setelah menerima benda itu Hoa Thian-hong menelitinya dengan seksama, kemudian meletakkan benda itu di atas sebuah meja kecil.
Mendadak ia gigit jari tengah sendiri sampai robek, darah segar yang meleleh keluar segera di tampung ke dalam hiolo kumala tersebut.
Tinggi hiolo kumala itu tak lebih cuma beberapa inci, dengan sendirinya takaranpun kecil sekali sebentar kemudian darah segar telah memenuhi isi hiolo tersebut.
Dengan sorot mata setajam sembilu, Hoa Thian-hong mengawasi hiolo kumala itu tanpa berkedip, rupanya ia sedang memperhatikan sesuatu yang sangat menarik.
Diantara sekian banyak orang yang hadir dalam ruangan itu, hanya Hoa Thian-hong seorang yang mengenal sifat dan keistimewaan hiolo kumala itu, Bun taykun sendiripun tak tahu maka ketika melihat ia penuhi hiolo tersebut dengan darah, semua orang lantas menunjukkan wajah tercengang dengan tatapan mata tak berkedip mereka awasi terus hiolo kumala kecil itu.
Lama...
lama sekali...
hiolo kumala itu masih tetap berwarna hijau tua, sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun, namun paras muka Hoa Thian-hong makin lama semakin memucat akhirnya sekujur badannya ikut gemetar keras.
Kiranya pada permukaan bagian luar dari hiolo kumala itu muncullah beberapa baris titik merah yang makin lama semakin nyata, oleh karena Hoa Thian-hong menghadapkan bagian yang bertitik merah itu ke hadapannya sendiri, tentu saja kecuali dia seorang, orang lain tidak berhasil menemukan sesuatu apapun.
Setelah sekian lama dibiarkan, garis-garis merah yang timbul diluar permukaan hiolo tersebut makin kelihatan jelas, dan akhirnya terbawalah empat baris syair dengan masing- masing baris terdiri dari lima buah huruf.
Tentu saja huruf-huruf merah itu kecil sekali, sebab hiolonya sendiri cuma beberapa inci, dengan sendirinya tulisan pada permukaannyapun jauh lebih lembut.
Kendatipun begitu, huruf-huruf yang kecil itu bukan suatu hitungan bagi Hoa Thiia-hong untuk membacanya, dengan tenaga dalam yang sempurna dia memiliki pula ketajaman mata yang melebihi orang lain, mata terbacalah tulisan tersebut berbunyi demikian.
"Bibit cinta adalah kebencian, pedang mustika menghibur hati yang duka, setitik air mata kepedihan, kutitipkan pada orang yang tak setia pada cinta."
Membaca isi bait syair tersebut, Hoa Thian-hong tak dapat mengedalikan kepedihan hatinya lagi, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia bergumam.
"Setitik air mata kepedihan, kutitipkan pada orang yang tak setia pada cinta..."
"Blaaanng!"
Mendadak ia menghantam meja kecil itu keras-keras sehingga hiolo kumala itu mencelat ke udara, darah segar yang berada dalam hiolo itupun berhamburan ke empat penjuru dan menodai sekujur badan Hoa Thian-hong.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang terperanjat sementara Chin-Wan hong dan Pek Kun-gi segera menghampiri suaminya dan menghibur dengan kata-kata yang lirih.
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya mencegah ke dua orang istrinya buka suara, dia alihkan sorot matanya ke wajah ibunya, sementara rasa gugup bercampur menyesal menghiasi raut wajahnya.
Dengan sorot mata dalam Bu Taykun menatap wajah putranya, kemudian seraya menggelengkan kepala ia berkata.
"Engkau tak usah gelisah ataupun terbawa oleh emosi, akan kuatur sendiri semua persoalan ini hingga beres!"
Dengan sedih Hoa Thian-hong tundukkan kepala, lalu menghela napas panjang.
Seorang dayang cantik baju hijau muncul dari ruang dalam dengan membawa satu stel baju baru, kemudian melayani majikannya untuk menggantikan baju yang ternoda oleh darah itu dengan pakaian yang baru.
Sementara itu, suasana dalam ruangan tercekam kembali dalam kesunyian, tak kedengaran sedikit suarapun disana, Bun Taykun duduk sambil memejamkan mata, ditengah keheningan semua orang-orang terbuai oleh jalan pemikirannya masing-masing, siapapun tak berani buka suara untuk mengacaukan suasana disaat itu.
Tiba-tiba Suma Jin meraba hatinya dingin separuh, suatu perasaan hampa dan kecewa yang aneh dari dasar lubuk hatinya dan menyelimuti seluruh perasaan hati dara itu.
Dahulu ia menganggap Hoa Thian-hong dan ibunya lebih agung dan lebih hebat dari malaikat dalam anggapannya kelihayan Hoa Thian-hong dan ibunya sudah mencapai puncak yang tak terhingga sehingga siapapun tak akan berani mengusik mereka.
Maka tatkala ayah dan ibunya dibunuh orang, tidak menunggu sampai layon mereka dikebumikan, gadis itu segera berangkat ke perkampungan Liok-soat sanceng.
Dalam pikirannya, asal ia dapat berjumpa dengan Hoa Thian-hong berdua niscaya sakit hati kematian orang tuanya bakal terbalas.
Tapi sekarang ia mulai sangsi, ia mulai merasa bahwa duduknya persoalan tidak segampang apa yang diduga semula meskipun untuk sesaat ia belum dapat menebak sebab musababnya tapi secara lapat-lapat dara itu sudah mempunyai suatu perasaan, suatu firasat bahwa soal pembalasan dendam akan mengalami banyak kesulitan, tidak semudah dan selancar apa yang diduganya semula.
Tiba-tiba Bun Taykun membuka matanya kembali, setajam sembilu sinar mata nyonya tua itu, ujarnya dengan lambat.
"Aaak Jin, tahukah engkau sampai dimana akrabnya hubungan kekeluargaan antara keluarga Hoa kami dengan keluarga Suma kalian??"
Suma Jin agak tertegun, lalu sahutnya agak gelagapan.
"Keponakan hanya tahu bahwa ayah dan empek Hoa adalah saudara sehidup semati!"
"Itu berarti hubungan mereka sudah melampaui hubungan antara sesama saudara kandung bukan?"
Sambung Bun Taykun dengan suara dalam, sesudah berhenti sebentar, ujarnya pula.
"Tiga puluh tahun berselang, golongan lurus dan golongan sesat telah mengadakan suatu pertemuan besar di Pak-beng-hwe, dalam pertarungan yang kemudian terjadi banyak jago silat dan kaum pendekar dari golongan lurus yang menemui ajalnya, termasuk pula empek Hoa mu, dia tewas dalam pertempuran yang amat seru itu!"
Menyinggung kembali peristiwa lama, semua anggota keluarga Hoi jadi bersedih hati, air mata jatuh bercucuran, kaum wanitanya malahan menahan isak tangis. Terdengar Bun Taykun berkata lebih jauh.
"Pada waktu itu, aku dengan menahan rasa sedih dan benci menerjang keluar dari kurungan musuh, dan selanjutnya selama sepuluh tahun belakangan bersama Hoa toakomu berdiam dibukit Hu ou san, di sana kami hidup mengasingkan diri, setiap hari kerjanya hanya melatih dari dengan tekun dan rajin. Belasan tahun kemudian kami baru muncul kembali di dunia persilatan, sekali lagi kami bertarung melawan golongan sesat dan golongan hitam, Akhirnya setelah melampaui pertarungan di lembah Cu bu kok, kaum lurus dan golongan pendekar dapat menongol kembali dalam dunia persilatan...." (Untuk mengetahui cerita tersebut, silahkan membaca cerita silat yang berjudul. Bara Maharani, disadur oleh penyadur yang sama).
"Keponakan sudah seringkali mendengar ayah menceritakan tentang kegagahan dan kehebatan bibi serta Hoa toako, sewaktu ayah masih hidup, beliau paling mengagumi kalian berdua,"
Ujar Suma Jin dengan pedih. Bun Taykun tertawa ewa.
"Kata kagum lebih baik tak usah kau singgung lagi. Aku bercerita demikian adalah berharap agar engkau mengerti bahwa keluarga Hoa bukanlah keluarga yang melupakan mana budi mana dendam, dimana kebenaran itu harus ditegakkan kami berani pertaruhkan jiwa dan raga kami untuk membangunnya kembali, ketahuilah aku dan Hoa toakomu bukan manusia-manusia sebangsa kurcaci yang takut menghadapi kematian."
"Tentang soal ini, keponakan telah mengetahuinya,"
Kembali Suma Jin mengangguk.
"Kalau engkau sudah tahu itu lebih bagus lagi,"
Ujar Bun Taykun dengan serius.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu, engkau berharap kami yang balaskan dendam bagimu, ataukah kau sendiri yang akan membalaskan dendam bagi kematian orang tuamu? Ambillah keputusan yang tegas!"
"Keponakan..."
Gadis she Suma ini tak sanggup melanjutnya lagi, air matanya bercucuran dengan derasnya. Bun Taykun melanjutkan ucapannya.
"Dengarkan dulu ucapanku hingga selesai, Bila kau berharap agar kamilah yang membalaskan dendam bagimu, maka dalam satu tahun mendatangi aku akan bertanggung jawab untuk serahkan batok kepala pembunuh itu kepadamu, sebaliknya bila kau ingin membalas sendiri dendam sakit hati orang tuamu itu, maka engkau harus mengikuti aku selama tiga tahun. Dalam dua tahun yang pertama, akan kuwariskan semua silatku, kemudian pada setahun yang terakhir engkau belajar pedang dari Hoa toakomu, setelah tiga tahun melatih diri, aku tanggung ilmu silat yang kau miliki pasti jauh di atas kepandaian pembunuh itu, dan soal membalas dendam hanyalah suatu, pekerjaan yang sangat mudah!"
Mendengar ucapan tersebut, tanpa berpikir panjang lagi Suma Jin menyahut.
"Dendam sakit hati orang tua lebih dalam samudra, hidup sebagai putri manusia, siapa yang tak ingin membalas sendiri sakit hati orang tua..? Keponakan rela mengikuti bibi selama tiga tahun, keponakan ingin manfaatkan waktu yang ada untuk memperdalam ilmu silat kemudian akan kubunuh musuh besarku dengan tanganku sendiri."
"Bagus! bagus! Anak baik, kau punya semangat"
Puji Bun Taykun dengan senyum dikulum "mulai sekarang engkau harus dapat mengendalikan emosi, simpanlah rasa sedihmu itu dalam-dalam pusatkan semua perhatian dan pikiran untuk berlatih ilmu, akulah yang akan mengatur segala sesuatunya bagimu."
Suma Jin mengiakan berulang kali, dia lantas jatuhkan diri berlutut dan mengucapkan rasa terima kasihnya karena akan diberi didikan ilmu silat. Terdengar Bun Taykun berkata lagi.
"Selama beberapa hari ini kau selalu dicekam oleh kesedihan, apalagi harus menempuh pula perjalanan jauh untuk datang kemari, sekarang pergilah untuk beristirahat, jangan biarkan badanmu diserang oleh penyakit yang akan melemahkan diri sendiri."
Lalu sambil berpaling pada cucu laki dan cucu perempuannya, ia menambahkan.
"Kalian semua boleh segera mengundurkan diri, temani bibi Jin untuk pergi beristirahat"
Mendengar perkataan itu, terpaksa Suma Jin harus mohon diri untuk berlalu dari sana, sementara Hoa Thian-hong dengan memimpin adik-adiknya mengundurkan diri pula untuk menemani Jin kokohnya.
Sepeninggalnya beberapa orang itu, dalam ruangan tinggal Bun Taykun, Hoa-Thian- hong, kedua orang hujinnya serta dayang cantik baju hijau itu.
Tampak Bun Taykun termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam.
"Agaknya beban yang amat berat ini terpaksa harus dilimpahkan di atas bahu loji!"
"Ibu...."
Chin Wan hong berseru tertahan, tampaknya ia terkejut oleh keputusan ibu mertuanya. Bun Taykun menatap sekejap pada menantunya lalu berkata lagi.
"Kecuali berbuat demikian, rasanya tiada jalan lain yang lebih baik, yaa.... apa boleh buat?"
Paras muka Chin Wan hong diliputi kemurungan, ia melirik sekejap ke arah suaminya, waktu itu Hoa Thian-hong sendiripun tampak sangat murung, maka sorot matanya dialihkan kembali ke arah ji hujin Pek Kun gi.
Waktu itu Pek Kun-gi sedang duduk menjublak di atas kursinya, seperti disambar guntur disiang hari bolong, nyonya cantik itu duduk termangu air matanya seperti layang-layang putus benang meleleh membasahi pipinya yang halus.
"Panggil Ji kongcu untuk menghadap!"
Kembali Bun Taykun berseru dengan suara dalam. Dayang cantik baju hijau itu mengiakan. ia lantas mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
"Ibu!"
Kata Pek Kun-gi kemudian sambil menahan isak tangisnya.
"Anak Liong nakal dan tak bisa bekerja, kalau biarkan dia berkelana seorang diri dalam dunia persilatan, apa... apakah tidak terlalu berbahaya?"
Bun Taykun menghela napas panjang.
"Aaai...! Ketika Thian-hong mulai berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, ia baru berusia enam-tujuh belas tahunan, sedang Liong-ji kendatipun nakal dan tak tahu aturan, tapi dengan usianya sekarang sudah sepantasnya untuk berkelana dalam dunia persilatan serta melakukan beberapa buah perbuatan mulia untuk kepentingan umat manusia."
"Apakah dalam persoalan ini tak dapat diwakilkan kepada menantu saja untuk diselesaikan?"
Pinta Pek Kun gi.
"Aaai....! Bila engkau dapat menyelesaikan persoalan ini, berarti aku pun bisa menyelesaikan pula masalah ini bukan begitu?"
Air mata bercucuran makin deras dipipi Pek Kun gi, ia berpaling ke arah suaminya dan menatapnya dengan penuh permohonan.
Hoa Thian-hong menggerakkan bibir ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan dan kepalanya tertunduk rendah-rendah, meskipun ia merasa berat hati untuk melepaskan putranya pergi, tapi apa boleh buat? Tiba-tiba dayang cantik baju hijau itu masuk kembali ke dalam ruangan dengan langkah tergesagesa, katanya.
"Lapor Lo Taykun, Ji kongcu tidak berada dalam perkampungan budak telah mengutus orang untuk keluar kampung mencari jejaknya."
"Apa nona-nona sekalian ada di dalam perkampungan?"
Tanya Bun Taykun setelah berpikir sebentar dengan dahi berkerut.
"Semua nona berada dirumah!"
Bun Taykun kembali terpikir lalu katanya lagi.
"Di lembah bukit sebelah selatan tinggal sekeluarga pemburu mereka mempunyai seorang anak perempuan yang bernama...."
"Ji- kongcu sudah tidak bermain lagi dengan nona itu......"
Cepat dayang cantik baju hijau itu menukas.
"Walau begitu budak telah mengutus orang untuk mencarinya kesitu!"
"Apakah dia punya kenalan nona-nona cantik diluar bukit?"
Tanya Wan-hong mendadak.
"Ada memang ada, cuma Ji kongcu jarang pergi mencari mereka, adalah nona nona itu yang sering datang mengganggu Ji kongcu!"
"Blaammm.....!"
Tiba-tiba terdengar suara meja di pukul keras-keras, menyusul Hoa Thian-hong berseru gemas.
"Binatang cilik, benar-benar bikin hatiku jadi keki!"
Semua orang dibikin terperanjat oleh tindakan tersebut, Bun Taykun menatap putranya sekejap dengan pandangan dingin, dibalik sinar matanya itu penuh mengandung nada menegur, Hoa Thian-hong merasa sangat tak enak hati, dengan tundukkan kepalanya ia memohon maaf.
"Ananda telah hilaf, harap ibu jangan marah!"
Bun Taykun mendengus dingin, sorot matanya beralih kembali ke wajah Chin Wan- hong, katanya kemudian.
"Aku punya rencana untuk mengutus Liong-ji segera berangkat, ambillah kaus kutang pelindung badan itu."
Ch|n Wan-hong tampak tertegun, tapi ia segera beranjak seraya menyahut.
"Menantu terima perintah!"
Diapun mengundurkan diri dari ruangan itu, sepeninggal Chin-si, Pek Kun-gi juga berkata.
"Ibu, menantu ingin membenahkah sedikit bekal untuk anak Liong, sebentar aku kembali lagi kesini."
"Cepatlah pergi dan cepat kembali kesini,"
Sahut Bun Taykun sambil ulapkan tangannya.
"berkelana dalam dunia persilatan berbeda dengan melakukan perjalanan untuk melancong, sebilah pedang yang tajam sudah lebih dari cukup!"
Pek Kun-gi mengiakan berulang kali, diapun berlalu dari ruangan tersebut. Sementara itu Hoa Thian-hong sudah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia berkata kepada ibunya.
"Ibu, Liong-ji terlalu romantis dan suka pelesiran, ia nakal dan lagi susah dididik...."
Mendadak ia temui paras muka ibunya agak tidak beres, maka kata selanjutnya lantas ditelan kembali. Dengan dingin Bun Taykun berkata.
"Kejadian yang ada didunia ini ibaratnya orang yang bermain catur, seringkali tanpa diminta seseorang akan mengalami kejadian yang sama sekali diluar dugaan. Bayangkan sendiri dengan tabiatmu yang polos dan sederhana, toh setiap kali menghadapi kejadian yang hebat maka urusan dapat kau selesaikan dengan sendirinya? itulah sebabnya aku berani mengutus Liong-ji untuk menyelesaikan persoalan ini, karena sampai dimanakah kemampuan Liong-ji, kita kan tak dapat menerka sebelumnya??"
Hoa Thian-hoag menghela nafas panjang.
"Aaaaii....! Bagaimanapun juga, ananda selalu merasa bahwa kecerdikan binatang itu ada batasnya, ketebalan imannya masih kurang teguh dan dia bukan seorang yang berbakat untuk diserahi tugas berat, aku kuatir kalau dia tak akan mampu untuk memikul beban seberat ini."
"Aaaai! sekalipun tak mampu untuk memikulnya, dia harus memikulnya juga!"
Sahut Bun Tay kun dengan suara dalam, keresahan terlintas di atas wajahnya. Hoa Thian-hong tertegun, katanya lagi dengan tergagap.
"Ananda tetap merasa, lebih baik ananda sendiri yang menyelesaikan persoalan ini...."
Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya dengan wajah sedingin salju Bun Taykun, telah mendengus dingin, dengan ketakutan buru-buru Hoa Thiau-hong membungkam dan tundukkan kepalanya.
Melihat keadaaan puteranya, Bun Taykun kembali menghela nafas panjang, kepada dayang cantik berbaju hijau itu katanya.
"Ambilkan kotak kayu cendana itu!!"
"Baik..."
Jawab sang dayang dengan cepat.
Ia lari masuk ke dalam ruangan, selang sesaat kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah kotak kayu cendana warna merah dan diletakkan dihadapan Bun Taykun.
Menyusul kemudian toa-hujin Chin Wan-hong masuk ke dalam ruangan dengan membawa kaos kutang pelindung pedang, dan akhirnya Pek hujin masuk dengan membawa sebilah pedang antik yang panjangnya empat depa.
Bun Taykun lantas berkata lagi kepada dayang baju hijau itu.
"Perbanyak orang- orang yang melakukan pencarian, sebelum matahari tenggelam di langit barat, Ji kongcu sudah harus ditemukan!"
Dayang baju hijau itu mengiakan, buru-buru ia berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan itu, empat orang duduk membungkam di sana sambil menunggu Ji kongcu Hoa yang kembali.
Suasana dalam ruanganmu ibaratnya gendewa yang sudah ditarik hingga menegang, begitu sesaknya hingga sukar digunakan untuk bernapas.
Mendadak Hoa Thian-hong buka suara keras sekali nadanya.
"Bagaimanapun juga, aku tetap beranggapan bahwa binatang cilik itu kurang cerdik, susah untuk diserahi tugas seberat ini."
Chin Wan hong berpaling dan memandang mertuanya, lalu berkata dengan suara lirih.
"Apa salahnya kalau kita utus anak Si saja? Ibu, Si-ji adalah putra sulung kita, usianya jauh lebih tua, sepantasnya kalau dia kita kirim untuk mencari pengalaman.
"Kalian hanya tahu satu tak tahu dua, latar belakang yang menyelimuti masalah ini sebetulnya sangat ruwet dan sukar diraba dengan kata-kata, meskipun Si-ji lebih tua dan lebih matang, tapi kurang cekatan menghadapi setiap perubahan, jika kita suruh dia yang memikul tugas ini, maka keadaannya akan jauh lebih berbahaya lagi."
Suara langkah manusia berkumandang dari luar kamar, menyusul seseorang berseru dengan nyaring.
"Nek! Nek....! Engkau yang mencari aku? Liong-ji sudah pulang..."
Seorang pemuda tampan dengan jubah warna hijau dan menggoyangkan sebuah kipas muncul dalam ruangan itu, senyum manis tersungging di ujung bibirnya.
Pemuda tampan ini tak lain adalah putra kedua dari Hoa Thian-hong yang bernama Hoa Yang dengan nama kecil In-liong, seharian dipanggil Liong-ji atau anak Liong, tahun ini berusia delapan sembilan belas tahunan, dibandingkan toakonya Hoa Si, lebih mudah dua tahun.
Semuanya Hoa Thian-hong mempunyai tiga orang putra dan dua orang putri, Putra sulung, putra bungsu dan dua orang putrinya dilahirkan oleh Chin Wan-hong istri pertamanya, sedangkan putranya kedua In-Liong dilahirkan oleh Pek kun gi istrinya yang kedua.
Semasa masih muda, Pek Kun-gi adalah seorang dara yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bahkan terkenal sebagai Bu-lim-tit-it-bi-jin atau, perempuan yang tercantik di dunia persilatan.
Hoa In-liong dilahirkan oleh ibunya yang cantik, tak heran kalau wajahnya tampan dan memiliki daya pesona yang gampang membuat orang jatuh hati kepadanya.
Bun Taykun tersohor karena memiliki peraturan rumah tangga serta sistim pendidikan yang ketat dan keras sedang Hoa Thian-hong adalah lelaki yang jujur, bijaksana dan sangat berbakti pada orang tuanya.
Putranya yang sulung Hoa Si merupakan seorang pemuda pendiam yang lebih mirip dengan watak ayahnya, putranya yang bungsu Hoa Wi baru berusia empat belas tahun, meskipun merupakan kesayangan semua orang, namun tiap gerak-geriknya harus pula menurut aturan.
Sedangkan mengenai nona-nona lainnya, oleh karena merupakan kaum hawa, maka dapat dibayangkan betapa ketatnya mereka harus mengikuti peraturan dan pendidikan kampung.
Hanya Hoa In-liong seorang yang tak pernah dikekang, semenjak kecil ia sudah suka pelesir dan bermain sebebas-bebasnya, ia tak mengenal apa artinya peraturan serta larangan, setelah menginjak dewasa, sifatnya jadi amat romantis, seringkali ia terbitkan keonaran di sana sini, main perempuan ganti pacar sudah merupakan acara tetapnya setiap hari.
Tentu saja wataknya ini sangat tidak serasi dengan cara berpandangan serta sistim pendidikan yang diterapkan nenek serta orang tuanya, baik Bun Taykun sendiri maupun Hoa Thian-hong suami istri telah berusaha dengan segala daya upaya untuk merubah sifat romantisnya ini namun usaha tersebut selalu sia-sia belaka.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya untungnya walaupun ia romantis dan suka berganti pacar, pada hakekatnya tidak cabul dan melanggar tata kesopanan, maka meskipun wataknya tak disukai orang tuanya, dari pihak orang tuapun tak bisa berkutik terhadap putranya ini.
Dengan begitu, lama kelamaan wataknya ini jadi suatu kebiasaan, suatu kebiasaan yang merupakan "Trade mark"
Dari Hoa In-liong.
Sementara itu dengan wajah berseri-seri Hoa In-liong berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi tiba-tiba ia merasa gelagat tidak beres, ditemuinya bekas air mata masih menodai wajah ibunya diam-diam ia terkejut.
Sambil jatuhkan diri berlutut, serunya kemudian.
"Liong-ji menghujuk hormat untuk nenek!"
"Bangun!"
Kata Bun Taykun hambar. Hoa In-liong makin gugup, ia putar badan dan memberi hormat kepada Hoa Thian- hong.
"Liongji memberi hormat untuk ayah!"
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya tanpa menjawab. Maka Hoa In-liong pun berpaling ke arah Chin si hujin sembari memanggil.
"Ibu!"
Air mata masih mengembang dalam kelopak mata Chin-si hujin, ujarnya dengan lembut.
"Anak Liong, kau tentu lelah bukan? Duduk dan beristirahatlah sebentar.,."
Hoa In-liong mengiakan, dia melangkah maju dan berdiri di samping ibunya, sementara sinar mata yang tajam menyapu sekejap kaus kutang mustika, pedang mustika beserta hiolo kumala yang masih berisi darah segar di atas meja kecil.
Selang sesaat kemudian, ia baru bertanya dengan lirih.
"Ibu, persoalan apakah yang telah membuat hatimu jadi sedih, apakah ananda telah melakukan keonaran lagi??"
Ji-hujin Pek Kun-gi menggeleng, ucapnya tersendat.
"Kau jangan ribut dulu, nenek ada perkataan hendak disampaikan kepadamu....!"
Berbicara sampai di situ, tak kuasa lagi dua titik air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya. Terdengar Bun Taykun berkata dengan serius.
"Liong-ji, tahukah kau bahwa keluarga Suma siokya mu dikota Lam-yang-hu telah tertimpa bencana besar??"
Hoa In-liong terkejut, capat ia menggeleng. "Liong-ji tak tahu, waktu itu ananda sedang bersama-sama seorang teman di puncak bukit sebelah belakang, ananda dengar Tiong Liau..."
"Panggil Lo-koan-keh!"
Bentak Hoa Thian-hoig penuh kegusaran.
"Baik!"
Cepat Hoa In-1iong menyahut dengan lirih.
"ananda dengar lo-koan-keh memanggil ananda untuk pulang, maka Liong-ji pun lantas pulang ke rumah, sepanjang perjalanan tidak kutemui siapapun, karenanya tidak tahu pula apa yang sebetulnya telah terjadi."
Berbicara sampai disitu, kebetulan dayang cantik baju hijau itu sedang masuk ke ruangan, cepat Hoa In-liong alihkan sorot matanya ke arah dayang itu dengan tatapan ingin tahu apa gerangan yang terjadi ditempat tersebut.
Tentu saja dayang baju hijau itu tak berani menanggapi pertanyaannya, cepat kepalanya ditundukkan.
"Kau berlutut lebih dulu!"
Tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak dengan suara berat.
"nenek hendak memberikan sesuatu padamu!"
Paras muka Hoa In-liong berubah hebat, dengan agak takut ia maju ke muka lantas jatuhkan diri berlutut di atas tanah.
Agaknya Bun Taykun sedang merasakan suatu kepedihan yang tak terkatakan, lama sekali ia murung sebelum akhirnya menghela napas dan berkata.
"Liong-ji, ingatlah baik- baik! Suma siokya serta siok-cu-bo mu itu telah dibunuh orang dikala sedang tertidur nyenyak, mulut lukanya berada di tenggorokan dengan bekas gigitan yang nyata, agaknya mereka mati digigit oleh sejenis makhluk binatang."
"Aaah.,. jadi ada peristiwa seperti ini?"
Seru Hoa In-liong sambil berkerut kening.
"bukankah Suma siok-ya adalah seorang tokoh persilatan yang punya nama besar selama puluhan tahun, dengan ilmu silat yang dimilikinya jarang sekali ada orang yang bisa menandingi kehebatannya lagi."
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya Bun Taykun segera menukas dengan dingin.
"Ketahuiah di atas langit masih ada langit, di atas manusia yang pintar masih ada manusia yang lebih pintar, kata-kata tanpa tandingan merupakan suatu perkataan yang terlalu berlebihan!"
Ji-hujin Pek Kun-gi cepat menambahkan.
"Liong-ji, di dalam dunia yang amat lebar ini, manusia pintar tokoh lihay banyaknya sukar dihitung dengan jari tangan, apa yang kau lihat dalam dunia persilatan tak lebih hanya merupakan sebagian kecil saja, dan sebagian kecil yang kau lihat belumlah mencakup keseluruhannya, bila di kemudian hari berkelana dalam dunia persilatan, kata-kata tersebut haruslah kau ingat selalu di dalam hati!"
"Lioag-ji akan mengingatnya selalu!"
Sahut Hoa In-Uong seraya mengangguk. Setelah berhenti sebentar, dengan kening berkerut ujarnya lagi.
"Menurut apa yang Liong-ji ketahui Suma siok-ya bukanlah seorang manusia sembarangan, paling sedikit ia memiliki ilmu silat yang bisa digunakan untuk membela diri, makhluk binatang apakah yang dapat mencelakai jiwanya? Benar-benar satu kejadian yang aneh!" "Yaa.... api mau dikata bila kenyataan mengatakan demikian? sekalipun tidak percaya, terpaksa kita harus mempercayainya juga, apalagi apa yang kita ketahui justru diceritakan sendiri oleh Jin kokoh mu!"
"Sekarang Jin kokoh berada dimana?"
Tanya si anak muda itu kemudian dengan muka tercengang.
"Sekarang dia berada dalam kampung kita, oleh sebab kesedihan yang mencekam hatinya sudah terlampau mendalam, kuperintahkan dirinya untuk pergi beristirahat"
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, dengan pandangan yang tajam ia melirik sekejap ke arah Hiolo kumala hijau di atas meja. Sebelum pemuda itu buka suara, Bun Taykun telah berkata lebih dahulu.
"Hiolo kumala itu adalah tanda yang ditinggalkan pembunuh Suma-siok-yamu, bila ingin menyelidiki jejak dari pembunuh tersebut maka benda itulah merupakan satu-satunya pertanda yang bisa kau selidiki."
Hoa Thian-hong mengambil hiolo kumala itu dan diletakkan di atas tangannya, kemudian berkata pula.
"Benda ini adalah sebuah hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau, ingat saja bentuknya di dalam hati, tak usah kau bawa serta benda tersebut."
Mendengar perkataan itu kembali Hoa In-liong mengerutkan dahinya, diam-diam berpikir dihati.
"Kalau toh aku Hoa Yang yang bakal diutus untuk melakukan penyelidikan atas terjadinya peristiwa pembunuhan ini, sepantasnya kalau hiolo kumala hijau itu diserahkan kepadaku, atau paling sedikit aku diberi kesempatan untuk memeriksanya dengan seksama...."
Sebagaimana telah kita ketahui, di atas permukaan hiolo kumala hijau itu terukir empat bait syair Hoa Thian-hong tak ingin putranya mengetahui isi syair tersebut, maka selesai berbicara dia lantas ambil keluar secarik sapu tangan dan membungkus hiolo kecil itu dengan hati-hati.
Hoa In-liong bukan seorang manusia bodoh, tentu saja ia dapat menebak bahwa dibalik kejadian itu tentulah ada hal-hal yang tidak beres, namun ia tidak memaksa lebih jauh, kemala neneknya ia berkata.
"Nek ada urusan apakah nenek mengundang kedatangan Liong-ji kemari? Apakah nenek suka menerangkan?"
Bun-Taykun menghela napas panjang, sahutnya.
"Keluarga Suma telah tertimpa bencana besar, menurut pandanganmu, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang keluarga Hoa kita untuk mengatasi masalah ini?"
Tanpa berpikir panjang Hoa In-liong menjawab.
"Dendam terbunuhnya orang tua lebih dalam dari samudra, apa bila Jin kokoh punya semangat, dia pasti berharap akan membunuh pembunuh tersebut dengan tangannya sendiri sehingga sakit hati ini bisa terlampiaskan...!"
"Jin kokohmu memang bermaksud begitu."
"Kalau toh memang begitu, sudah sepantasnya kalau nenek menahannya untuk berdiam di sini serta mewariskan beberapa macam ilmu silat kepadanya, agar ia mempunyai kekuatan untuk membalas dendam dan membinasakan pembunuh besarnya itu, hanya saja..."
Tiba-tiba pemuda itu membungkam.
"Hanya saja kenapa?"
Tanya Bun Taykun dengan nada ewa. Hoa In-liong termenung dan berpikir sejenak lalu menjawab.
"Sekalipun membinasakan pembunuh keji itu adalah tugas dan kewajiban dari Jin kokoh, bagaimanapun juga sudah sepantasnya kalau kita orang-orang keluarga Hoa menyumbangkan pula segenap tenaga dan pikiran untuk membantu bibi untuk melaksanakan pembalasan dendam ini, dengan begitu kitapun tidak sampai menyia-nyiakan hubungan antar kekeluargaan yang telah dipupuk selama ini."
Perlahan-lahan Bun Taykun mengangguk.
"Aku sendiripun mempunyai pendapat demikian,"
Katanya.
"atau paling sedikit kita harus melakukan penyelidikan lebih dulu siapakah pembunuh keji tersebut, dengan begitu bila Jin kokoh-mu akan melakukan pembalasan dendam di kemudian hari, diapun tak usah kelabakan untuk mencari tahu siapa gerangan musuh besarnya."
Tiba-tiba Hoa Thian-hong menyela dengan ketus.
"Nenekmu dan aku telah mengambil keputusan engkaulah yang akan kami utus untuk memikul tugas berat ini, kaulah yang harus melakukan penyelidikan siapakah pembunuh yang telah melakukan pembunuhan secara demikian kejinya ini."
Hoa In-liong mengerutkan kening, dalam hati ia berpikir.
"Peristiwa ini sungguh aneh dan mencengangkan hati....aku tak tahu duduknya perkara, darimana bisa melakukan penyelidikan..."
Rupanya Pek-si hujin atau Pek Kun-gi mengetahui kesulitan putranya, cepat ia menimbung.
"Liong-ji, bila engkau menjumpai hal-hal yang menyulitkan, katakan saja kepada nenek, siapa tahu kalau nenek akan merombak kembali semua rencana besarnya."
Bisa dimaklumi betapa erat dan akrabnya hubungan antara anak dan ibu, apalagi anak kandung yang keluar dari rahim sendiri, tidak heran kalau Pek Kun-gi amat menyayangi putra tunggalnya ini.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, dalam hati ia berpikir.
"Berbicara menurut aturan, semestinya neneklah yang harus turun tangan sendiri untuk melakukan penyelidikan, apalagi dalam adanya nenek dan ayah, aku Hoa Yang masih jauh ketinggalan dengan kehebatan toako, tapi... Apa sebabnya bukan yang diutus untuk melakukan tugas ini, melainkan pilihan terjatuh pada aku Hoa Yang? Sudah pasti dibalik kesemuanya ini ada hal-hal yang lebih mendalam artinya."
Terpikir sampai disitu, mendadak dia berkata dengan lantang.
"Ibu, tahun ini Liong-ji sudah meningkat dewasa, sudah sepantasnya kalau Liong-ji mendapat tugas untuk melaksanakan pekerjaan yang sungguh-sungguh karena dengan begitu maka pengalaman dan pengetahuan Liong-ji pasti akan peroleh banyak kemajuan."
Ji-hujin Pet-Kun-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun niat itu akhirnya dibatalkan perempuan tersebut tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, air mata tampak mengambang dalam kelopak matanya dan perlahan-lahan meleleh ke bawah.
Bun Taykun mendehem ringan, mendadak serunya dengan suara lantang.
"Liong-ji, dengarkan baik-baik perkataanku."
"Katakanlah nenek, cucunda akan mendengarkannya dengan seksama!"
Dengan wajah serius, Bun Taykun berkata.
"Dua puluh tahun berselang! dalam dunia persilatan terdapat seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dia she Ku bernama Ing-Ing, orang persilatan menyebutnya sebagai Giok-teng hujin (nyonya hiolo kumala), benda hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal miliknya.
"Asal nama dan she-nya sudah diketahui, persoalan ini tentunya lebih gampang untuk diselesaikan!"
Seru Hoa In-liong tanpa terasa dengan semangat berkobar.
"Hmmm! Kalau persoalannya semudah ini, tak nanti kami utus dirimu untuk melakukan penyelidikan,"
Kata Bun Taykun dengan ketus.
"justru menurut apa yang berhasil kami ketahui, sudah lama Giok-teng hujin meninggalkan dunia yang fana ini."
"Aaaa.....! Jadi ia sudah mati?"
Kata Hoa In-liong tercengang.
"berita itu hanya berdasarkan cerita yang beredar dalam dunia persilatan, ataukah ada orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri??"
"Ehmm...tak nyana kau cukup teliti dan seksama dalam mengupas setiap persoalan yang sedang dihadapi, dengan begitu kamipun dapat merasa berlega hati."
Tiba-tiba dia menepuk kotak kayu cendana yang berada di atas meja kecil, kemudian lanjutnya terlebih jauh, Giok-teng hujin pernah mengirim sepucuk surat kepada kami dan sekarang surat tersebut masih tersimpan disini, menurut isi surat tersebut, tentu saja kami menganggap bahwa ia telah meninggalkan dunia yang fana ini dan telah berpulang ke alam baka."
Hoa In-liong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian menjawab.
"Jadi kalau begitu, pembunuh dari Suma siok-ya kalau bukan ahli waris dari Giok-teng hujin, tentu ada orang telah menggunakan tanda pengenalnya itu untuk mengelabuhi serta membohongi mata dan pendengaran umat manusia di dunia ini."
"Aaaai...! Tentang soal ini, sulit sekali untuk dikatakan,"
Ucap Bun Taykun sambil menghela napas. Hoa Thian-hong yang berada disisinya, cepat menyambung.
"Untuk membahas dan memecahkan setiap persoalan yang berhubungan dengan dunia persilatan, janganlah kau mengupasnya menurut keadaan pada umumnya, sebab seringkali kenyataannya berbeda jauh dengan kejadian yang kita anggap umum. Demikian pula dengan masalah Giok teng hujin, kemungkinan juga bahwa sampai sekarang dia masih hidup di dunia ini."
"Kenapa dengan Giok-teng hujin?"
Pikir Hoa In-liong dihati.
"Sekalipun dia masih hidup di dunia ini, toh tak akan membuat jeri kita anggota keluarga dari perkampungan Liok- soat-sanceng!"
Tampaknya Bun Taykun dapat menebak apa yang sedang dipikirkan si anak muda itu cepat katanya dengan dingin.
"Ketahuilah, hubungan budi dan dendam antara Giok-teng hujin dengan keluarga Hoa kita sukar untuk diketahui siapa benar siapa tidak, dan keputusan yang tegas tak mungkin bisa dijatuhkan Sebab alasan dari persoalan ini tak mungkin bisa diterangkan dengan sepatah-dua-patah kata saja atau tegasnya andaikata Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini, maka kendatipun kita memiliki ilmu silat yang maha tinggi, juga tak mungkin untuk melangsungkan pertarungan dengan dirinya."
Chin-si-hujin atau Wan-hong yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba menambahkan dengan air mata bercucuran.
"Dalam suatu masalah kita telah berbuat salah padanya, kami merasa tak pernah punya muka untuk berjumpa muka dengan dirinya!"
Ucapan ini sangat menggetarkan hati Hoa In-liong, serunya agak terbata-bata.
"Laan... lantas bagaimana baiknya?"
Dengan tegas Bun Taykun menjawab.
"Bagi kita orang-orang keluarga Hoa, lebih baik kepala dipenggal darah berceceran daripada melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, aai.... cuma, kadangkala takdir memang mempermainkan orang, ada kalanya sekalipun hati ada keinginan namun tenaga tidak mengijinkan, dalam keadaan begitu.... yaa apa boleh buat lagi......."
Sementara perasaan Hoa In-liong jauh lebih ringan daripada semula, perlahan- lahan berkata.
"Kalau toh kita tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan siapapun, persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan."
Bun Taykun tertawa getir, perlahan-lahan dia membuka kotak kayu cendana itu dan mengambil keluar sepucuk surat lama yang ditaksir sudah berusia dua puluh tahun, sebab kertas surat itu sudah berubah warnanya menjadi kuning.
Seterang sang surya sorot mata Hoa In-liong, cepat serunya dengan nada lantang.
"Inikah surat yang ditulis sendiri oleh nyonya yang bernama Giok-teng hujin itu?"
"Benar!"
Sahut Bun Taykun dengan serius "tapi engkau tak boleh mencuri lihat isi surat ini, bila berani melanggar pantangan tersebut, maka selamanya engkau bukanlah anak cucu dari keluarga Hoa kami!"
Hebat sekali perubahan wajah Hoa In-liong buru-buru dia menyahut pula dengan serius.
"Sepanjang masa cucunda tak berani melupakan peringatan dari nenek ini...."
Bun Taykun mengangguk, dia serahkan surat tersebut kepada dayang baju hijau yang ada disisinya lalu memerintahkan.
"Bungkuslah sampul surat ini dengan selapis kain berminyak kemudian jahit dibalik kaus kutang pelindung badan itu!"
"Biar aku saja yang menjahitnya!"
Seru Pek-si hujin segera.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buru-buru dayang baju, hijau itu serahkan surat tersebut kepada nyonya majikannya setelah menyiapkan kain minyak, jarum dan benang maka Pek Kun-gi turun tangan sendiri untuk menjahit bungkusan berisi surat itu dilapisan paling bawah dari kaus kutang pelindung badan itu.
Sejak awal sampai sekarang Hoa In-liong berlutut terus dihadapan Bun Taykun, oleh karena neneknya tidak menitahkan kepadanya untuk bangkit, maka pemuda itu terpaksa harus berlutut terus tanpa bergerak.
Ji-hujin amat sedih melihat keadaan putranya, cepat dia menjahit surat itu di lapisan bawah kaus kutang pelindung badan, kemudian katanya.
"Surat itu penting sekali artinya, sekarang juga kenakanlah kaus kutang pelindung badan ini!"
Hoa In-liong mengiakan dan bangkit berdiri, setelah melepaskan baju bagian atasnya, ia kenakan kaus kutang pelindung badan tersebut di tubuhnya.
"Hayo berlutut lagi!"
Tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak.
"Ya ayah!"
Sahut Hoa In-liong dengan kepala tertunduk sekali lagi ia berlutut di hadapan neneknya. Dengan lembut Bun taykun berkata.
"Mengertikah kau apa yang diharapkan ayahmu dari sikapnya ini? Kau harus mengerti bahwa kejadian yang telah menimpa kita pada hari ini menyangkut soal kejayaan serta kehancuran bagi keluarga Hoa kita, di samping itu mempengaruhi juga soal mati hidup kita semua, dan tanggung jawab yang amat berat ini telah kami bebankan di atas pundakmu, jika engkau mengerjakan tugas ini semaunya sendiri, maka hancurlah nama baik keluarga Hoa kita di tanganmu!"
Tercekat perasaan Hoa In-liong setelah mendengar perkataan ini, jantungnya berdebar keras.
"Liong-ji tak berani bertindak secara gegabah!"
Segera sahutnya dengan serius. Bun Taykun menghela napas panjang.
"Aaai....! Kaus kutang pelindung badan ini adalah hadiah dari kawan-kawan persilatan wilayah Kanglam ketika toakomu genap berusia satu tahun, besar sekali manfaatnya bagimu. pertama bisa dipakai untuk melindungi badan, dan kedua dikala musim dingin kau tak akan kedinginan, di musim panas kau tak akan kepanasan, janganlah kau anggap remeh kehebatan mustika tersebut "
"Liong-ji mengerti, Bagaimana dengan suratnya?"
Kata pemuda itu dengan kepala tertunduk. Suara Bun Taykun makin nyaring, paras mukanya makin serius, sahutnya.
"Tujuanmu mengarungi dunia persilatan kali ini adalah mencari tahu siapakah pembunuh sebenarnya yang telah mengakibatkan kematian Suma Siok-yamu berdua. Andaikata pembunuhnya hanya ahli waris dari Giok-teng hujin atau ada orang yang mencatut nama baiknya, maka persoalan ini pun menjadi sederhana sekali."
"Seandainya Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini dan dialah yang merupakan otak dari pembunuhan ini, apa yang harus Liong-ji lakukan??"
Tanya sang pemuda.
"Andaikata begitu kejadiannya maka dihadapan mukanya kau serahkan kembali surat tersebut kepadanya."
"Kemudian...?"
Paras muka Bun Taykun jadi murung, setelah menghela nafas panjang sambungnya.
"Kejadian selanjutnya sukar untuk diduga, terpaksa kita harus nantikan saja, perubahan yang bakal terjadinya."
Dengan wajah murung Pek-si hujin berkata pula.
"Dalam dunia persilatan pasti akan terjadi peristiwa yang jauh lebih besar dan hebat, engkau harus bertindak dengan hati- hati dan setiap masalah dihadapi dengan serius, pusatkan saja semua perhatianmu untuk menyelidiki persoalan ini, tak usah mencampuri urusan orang yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu."
"Dan masih ada satu lagi yakni kebiasaanmu yang jelek itu,"
Sambung Hoa Thian- hong dengan dingin.
"lebih baik rubahlah kebiasaan tersebut sehingga tidak mendatangkan kesulitan bagimu!"
"Ananda akan mengingatnya selalu!"
Jawab Hoa In-liong dengan penuh rasa hormat.
Bun Taykun menghela napas panjang, ia mengerling sekejap ke arah Pek Kun gi, lalu angkat tangan kirinya dan memberi tanda.
Mendadak air mata bercucuran membasahi pipi Pek-si hujin yang cantik, dengan tangan gemetar ia cabut keluar pedangnya, kemudian berseru sambil menahan isak tangisnya.
"Liong-Ji... kee.. kemarilah......"
Hoa In-liong bangkit berdiri dan menghampiri ibunya, ia bertanda dengan wajah keheranan.
"Ibu, mengapa kau kuatir? Liong-ji pasti akan menghadapi setiap persoalan dengan otak dingin tak usahlah kau bersedih hati!"
"Aaaai...! Kun-gi, serahkan saja pedang mustika itu kepadaku!"
Tiba-tiba Bun Taykun berkata sambil menghela nafas. Pek-si hujin tampak agak tertegun, kemudian sambil menyeka air mata menyahut.
"Biar menantu lakukan sendiri!"
Semua tindak tanduk dan perkataan yang aneh ini mencengangkan hati Hoa In-liong, dalam hati ia lantas berpikir.
"Sungguh aneh kejadian ini, selama hidup aku tahu bahwa ibu adalah seorang perempuan yang keras hati, sekalipun dikala sedih dia mengucurkan pula air matanya.
"tapi kesedihannya pada hari ini luar biasa sekali, mungkinkah dia sedih lantaran aku akan meninggalkan dirinya pergi jauh? Atau kah mungkin disebabkan oleh alasan lain??"
Sementara Hoa In-liong masih termenung, Pek si hujin dengan pedang terhunus telah menghampirinya, kemudian berkati sambil menahan sesenggukan.
"Anakku, rentangkan telapak tangan kirimu kemudian angkatlah ke depan dada, apa yang hendak kau lakukan?"
Meskipun keheranan bercampur curiga pemuda itu merentangkan juga telapak tangan kirinya.
"LIONG-JI, ibu hanya ingin mengukir sebuah huruf di atas telapak tanganmu itu,"
Sahut Pek-si hujin dengan pedih.
"Engkau masih ingat dengan gaya tulisannya?"
Terdengar Bun Taykun bertanya.
"Menantu masih ingat!"
Pek-si hujin mengangguk. Hoa In-liong pun berkata dengan lembut.
"Ibu, ukirlah tulisan tersebut ditanganku, hanya siksaan sekecil itu tak nanti Liong-ji pikirkan dihati."
Dengan air mata meleleh dipipinya, Pek-si hujin angkat pedangnya ke depan, ujung senjata itu tertuju pada telapak tangan putranya, setelah menenangkan hatinya, tiba-tiba ia menggigit bibir, pergelangan tangannya tergetar keras dan cahaya kilatpun menyambar lewat.
Menyusul kemudian Ji-hujin membuang pedang itu ke tanah, dan sambil mendekap muka sendiri ia menangis tersedu-sedu.
Hoa In-liong sendiri hanya merasakan telapak tangannya jadi dingin, tatkala ia membentangkan kembali telapak tangannya itu, maka terbacalah sebuah huruf "BENCI"
Yang masih berdarah.
Dalam pada itu Toa hujin Chin Wan hong serta dayang baju hijau itu sudah maju menghampirinya, luka yang menggores di telapak tangan itu diberi selapis salep, kemudian di bungkus dengan kain putih.
Tiba-tiba wajah Hoa In-liong berubah jadi pucat pasi, bisiknya dengan hati tercekat.
"Ibu, kau membenci Liong-ji?"
"Tidak..."
Jawab Pek Kun-gi sambil menggeleng. Bun Taykun yang ada disisinya segera menukas pula dari samping.
"Tak ada seorang ibu yang membenci putra kandungnya sendiri, Liong-ji! jangan berpikir yang bukan-bukan."
Sementara itu Pek Kun-gi telah berkata lagi dengan air mata bercucuran membasahi wajahnya.
"Makna yang sebenarnya dari tulisan itu akan kau pahami dengan sendirinya, sekarang tak usahlah banyak bertanya!"
Hoa In-liong mengangguk.
"Asal ibu tidak membenci pada Liong-ji, tentu saja ukiran huruf itu tak akan menjadi soal bagi ku!"
Tiba-tiba Bun Taykun menengadah, lalu menegur.
"Apakah Siau-wan-ji di situ?"
Selembar wajah kecil mungil yang cantik muncul dari luar pintu. menyusul bocah itu menyahut dengan suara manja.
"Nenek, aku ingin masuk!"
Nona kecil itu adalah putri bungsu dari Hoa Thian-hong, dihari-hari biasa sangat disayang, oleh karena banyak persoalan mengusik pikiran nenek tua ini, tentu saja diapun tidak berhasrat untuk bermain dengan cucu perempuannya.
Sambil berkerut kening, ia lantai ulapkan tangannya sambil menghardik.
"Nenek sedang ada urusan, bermain ke depan sana!"
Siau-wan-ji tampak agak tertegun menyaksikan paras neneknya yang keren, setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan itu, pergilah nona cilik itu dari sana. Tiba-tiba Bun Taykun membentak lagi.
"Liong-ji, dengarkan baik-baik!"
"Silahkan nenek memberi perintah!"
Sahut Hoa In-liong sambil tundukkan kepala.
"Ada beberapa persoalan harus kau ingat dengan sebaik-baiknya. Pertama, kecuali dikembalikan langsung kepada Giok-teng hujin, siapapun tak boleh melihat atau membaca isi surat yang kuberikan kepadamu itu, bilamana keadaan terpaksa, hancurkan dan musnahkan saja surat itu!"
"Cucunda tak akan melupakan pesan ini!"
"Kedua, siapapun yang bertanya kepadamu tentang ukiran tulisan yang berada di telapak tangan kirimu itu, maka kau harus menjawab bahwa tulisan tersebut sudah ada semenjak dari kecil!"
Sekali lagi Hoa In-liong mengangguk "Akan cucunda ingat pula nasehat ini!"
Setelah berhenti sebentar, Bun Taykun berkata lagi.
"Jikalau ada orang menanyakan berapa usiamu, maka engkau harus memberitahukan satu tahun lebih tua, katakan bahwa engkau dilahirkan pada tahun Jin-seng bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, jadi tahun ini berusia delapan belas tahun lebih, ingat!"
"Yaa ingat!"
Sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut.
"Liong-ji sudah mengingatnya baik-baik aku dilahirkan tahun Jin-seng bulan cia-gwe tanggal sembilan belas dan berusia delapan balas tahun lebih!"
Tiba-tiba Bun Taykun menghela nafas panjang.
"Aai...... Di antara anak cucu keluarga Hoa hanya engkaulah gemar berbohong dan engkau pula yang suka bicara tak jujur, maka sekarang kami akan mengandalkan kemampuan berbohongmu itu untuk bekerja!"
Merah padam wajah Hoa In-liong setelah mendengar sindiran tersebut, dengan gelagapan sahutnya.
"Bila tugas ini telah Liong-ji selesaikan, maka selamanya Liong-ji tak akan berbohong lagi!"
Bun Taykun mengangguk.
Jilid 02
"SETELAH kepergianmu mengarungi dunia persilatan, maka segala sesuatunya tergantung pada kemampuanmu sendiri, ketahuilah sekalipun engkau menghadapi mara bahaya, belum tentu kami dapat menyelamatkan jiwamu."
"Liong-ji mengerti dan Liong-ji akan baik-baik menjaga diri."
Mendadak terdengar suara langkah kaki berkumandang dari luar ruangan, menyusul suara Hoa Si menggema memecahkan kesunyian.
"Lapor nenek, cucunda ingin berjumpa!"
"Ada urusan apa?"
Tanya Bun Taykun. Sambil tetap berdiri di depan pintu, sahut Hoa Si.
"Mendengar dari ucapan Ngo-moay (adik kelima), katanya Ji-te ada urusan akan pergi jauh, cucunda..."
"Urusan itu tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, kau boleh segera mengundurkan diri!"
Bentak Bun Taykun. Hoa Si tampak agak tertegun, tapi dengan cepat sahutnya.
"Yaa nenek!"
Ia putar badan dan segera mengundurkan diri. Sepeninggal Hoa Si, Bun Taykun tundukkan kepalanya dan berpikir lagi beberapa waktu, kemudian sambil menatap wajah Hoa In-liong katanya.
"Sekarang coba pikirlah dengan teliti, apakah masih ada hal-hal yang mencurigakan, bila sudah tak ada lagi, kau boleh segera berangkat"
Tanpa berpikir panjang, si anak muda itu menjawab.
"Liong-ji masih ada satu hal yang merasa kurang begitu paham."
"Dalam hal apa?"
"Apakah diantara Suma siok-ya dengan Giok teng hujin mempunyai perselisihan atau dendam sakit hati??"
Bun Taykun segera menggeleng.
"Sama sekali tak ada perselisihan atau dendam sakit hati, malahan pada hakekatnya Suma siokya mu justru berhutang budi kepada Giok-teng hujin."
"Liong-ji ingin sekali berjumpa dengan Jin kokoh, ingin kutanya lagi dirinya dengan lebih seksama."
"Tak usah"
Tukas Bun Taykun dengan cepat.
"apa yang dia ketahui telah kau ketahui semuanya."
Mendengar jawaban tersebut Hoa In-liong lantas berpikir dihati.
"Aku lihat dalam masalah ini banyak terdapat hal-hal yang mencurigakan serta bagian-bagian yang tidak jelas, kalau toh nenek tak mau memberi penjelasan, terpaksa aku harus melakukan penyelidikan sendiri ditempat luaran."
Berpikir sampai disini, diapun lantas memberi hormat seraya berkata.
"Apabila nenek tiada petunjuk lain, Liong-ji ingin segera mohon diri.."
"Cita cita seorang pria sejati berada di empat penjuru, melakukan perjalanan dalam dunia persilatan bukanlah suatu peristiwa yang besar, baik-baiklah menjaga diri."
Hoa In-liong mengiakan berulang kali, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali. Bun Taykun mengangguk, ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong dan berkata.
"Hantar dia sampai diluar lembah, tak usah membuang banyak waktu lagi."
Buru-buru Hoa Thian-hong bangkit berdiri, sementara dua orang ibunya juga sudah menghampiri pemuda itu.
Pek Kun-gi dengan air mata bercucuran mengikatkan pedang putranya, sementara Chin Wanhong menyerahkan tiga buah botol porselen kepada pemuda itu yang mana segera disimpan baik-baik dalam sakunya.
Setelah itu ia baru pamitan kepada kedua orang ibunya kemudian berlalu dari ruangan itu dengan mengikuti dibelakang ayahnya.
Dibawah pelataran samping, pengurus perkampungan Tiong Liau telah menyiapkan seekor kuda jempolan berwarna merah membara, Hoa si, Hoa Wi serta saudara-saudara lainnya berdiri menghantar disitu selain itu terdapat pula seorang dayang yang montok dan berparas cantik.
Hoa Thian-hong tidak berhenti disana, ia langsung menuju keluar perkampungan, melihat itu semua orangpun dengan mulut membungkam ikut menuju keluar perkampungan.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dayang montok yang berwajah cantik itu bernama Pek Giok.
dia adalah dayang kepercayaan dari Pek Kun-gi menggunakan kesempatan yang ada diam-diam ia mendekati Hoa In-liong, kemudian sambil mengangsurkan kipas indah, bisiknya lirih.
"Dalam buntalan di atas kuda terdapat seuntai mutiara, ditaksir harganya mencapai tiga ribu tali emas, sewaktu bermalam dan bersantap harap siau koan-jin baik-baik menjaga diri."
Hoa In-liong melirik sekejap ke arah ayahnya yang berjalan di depan, lalu memberi tanda kepada Pek Giok untuk memperkecil bisiknya.
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar pintu perkampungan, waktu itu pelbagai pikiran sedang berkecamuk dalam benak Hoa Thian-hong, ditambah pula menyaksikan gaya Hoa In-liong yang mirip anak hartawan itu, sikapnya yang begitu acuh tak acuh membuat ia semakin murung.
Akhirnya sambil ulapkan tangannya, ia berseru.
"Hayo naik kuda dan berangkat, aku tidak akan menghantar engkau lebih jauh lagi."
Dalam perkiraan Hoa-In liong, sebelum berangkat ayahnya pasti akan melontarkan pelbagai nasehat dan peringatan yang kurang sedap didengar, apa mau dikata ternyata dugaan itu sama sekali meleset, bukan saja ayahnya tidak mengucapkan sesuatu, malahan menyuruh dia cepatcepat berangkat.
Tindakan ini membuat perasaan jauh lebih lega, cepat dia berpamitan kepada ayahnya, kemudian melompat naik ke atas kuda dan melarikannya cepat cepat...
Beberapa hari kemudian ketika senja baru tiba, Hoa In-liong, tuan muda nomor dua dari perkampungan Liok-soat-sanceng telah muncul diluar pintu utara kota Lam-yang-hu.
Meskipun dandanan si anak muda itu amat sederhana, namun keserhanaan itu tak dapat menutupi ketampanan wajahnya.
Pedang yang tersoren, kuda yang jempolan serta kipas yang mahal harganya membuat dandanan pemuda itu tak ubahnya seperti dandanan seorang putra pembesar atau seorang putra usahawan kaya raya, wajahnya sedikit pun tidak nampak letih walaupun baru saja menempuh perjalanan yang sangatjauh.
Waktu itu malam sudah menjelang tiba, lampu lentera yang terang benderang telah menghiasi setiap rumah dalam kota itu sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, pemuda itu menikmati keindahan malam yang sejuk dengan senyuman dikulum.
Ramai sekali manusia yang berlalu lalang dalam kota itu, sebagaimana tuannya, kuda itupUn berjalan dengan gagah perkasa, suara keleningan yang berbunyi tang-ting tang- ting mendatangkan suatu kewibawaan yang membuat orang tak berani beradu pandang dengan mereka.
Selang sesaat kemudian, kuda merah yang tinggi besar itu berhenti di depan pintu gerbang sebuah rumah penginapan yang memakai merek "Ko-seng-kek"
Dengan dikerumuni oleh pelayan, Hoa In-liongpun dipersilahkan untuk masuk kedalam.
Ko-seng-kek merupakan rumah penginapan mewah yang terbagus dan terindah di kota Lamyang shia, setelah mendapat kamar dan cuci muka, hidanganpun telah datang.
Sebelum pelayan tersebut mengundurkan diri dari kamarnya, tiba-tiba Hoa In-liong menggape sembari berkata.
"Pelayan, jangan pergi dulu, aku hendak mengajukan satu pertanyaan kepadamu."
Pelayan itu tertawa paksa, sambil menghampiri tanyanya.
"Kongcu-ya ingin bertanya apa??"
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia teguk dulu isi cawannya satu tegukan, kemudian baru sahutnya.
"Aku ingin mencari tahu tentang diri seseorang "
"Ooooh....siapa yang hendak kongcu-ya cari??"
Senyum yang menghiasi wajah pelayan itu semakin dibuat buat.
"
Orang itu bukan manusia sembarangan, dia punya nama besar yang amat tersohor dikota ini, she-Suma dan bernama Tiang-cing...."
"Kongcu-ya "
Mendadak pelayan itu berseru dengan tergagap. paras mukanya berubah hebat. Hoa In-liong menunjukkan sikap yang keren kembali bentaknya dengan keras.
"Gampangnya saja, katakan rumah kediaman dari Suma wangwe?"
Pelayan itu agak tertegun, akhirnya ia berbisik dengan lirih.
"Dijalan besar sebelah timur, keluar dari pintu berbelok kekanan, jalanan ketiga itulah letaknya di depan rumahnya."
"Cukup,"
Tukas Hoa In-liong sambil ulapkan tangannya. Kemudian ia serahkan sekeping perak kepada pelayan itu sambil menambahkan.
"Itu, ambillah persen buatmu."
Betapa gembiranya pelayan itu menerima persenan, sambil mengucapkan banyak terima kasih dia mengundurkan diri dari situ. Sambil bersantap dan minum arak Hoa In-liong diam-diam memutar otak memikirkan persoalan itu, batinnya.
"Berita tentang terbunuhnya Suma siok-ya sudah tersebar luas diseluruh kolong langit, tentu kejadian itu merupakan berita yang sangat menggemparkan kota Lam- yang-shia ini, aaai... banyak manusia banyak ragam pula ceritanya, entah siapa yang benar entah siapa yang salah, semua orang tak tahu siapakah pembunuh yang sebenarnya, tampaknya untuk menemukan siapa pembunuh yang sebenarnya bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang..."
Kentongan ketiga baru saja lewat, suara kentongan baru kedengaran berkumandang dari tengah jalan, Hoa In-liong segera menggembel pedangnya dipunggung, menutup pintu kamarnya dan diam-diam menyelinap keluar dari penginapan tersebut menuju kejalan raya sebelah timur.
Selang sesaat kemudian, ia sudah menemukan gedung tempat tinggal dari Suma Thiang-cing, dengan gerakan yang enteng pemuda itu melayang masuk kedalam halaman rumahnya.
Gedung itu gelap gulita dan sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, begitu heningnya sehingga mendatangkan perasaan seram dan bergidik bagi siapapun yang mendekati gedung tersebut.
Hoa In-liong berputar menuju ke bangunan sebelah belakang, setelah berputar satu lingkaran dan membuktikan kalau isi gedung itu benar-benar kosong, dia baru berputar kembali keruang depan dan membuka pintu.
Ruang dalam itu gelap gulita, bau minyak cati dan batu kapur yang tajam tersiar keluar dari ruangan tersebut, baunya tak enak dan sangat menusuk hidung.
Pemuda itu seakan-akan mencium bau kematian, bau elmaut yang menyeramkan, membuat sekujur tubuhnya bergidik dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, serentak ia ambil keluar api dan memasang ober.
Sinar terang memancar keempat penjuru, mengusir kegelapan yang mencekam ruangan tersebut, pandangannya yang pertama terbentur pada sebuah kain horden yang terkulai jatuh kebawah lantai, dibalik horden tersebut terbujurlah dua buah peti mati.
Di depan horden terletak sebuah meja sembahyangan disitu terletak papan nama dari Suma Tiang-cing suami istri, di sampingnya terletak sebuah lampu lentera, ketika lentera tersebut diamati ternyata minyaknya sudah kering, disisi lain terdapat tempat lilin, cuma lilinnya sudah habis dan tinggal dua gumpalan ampas lilin yang membeku.
Hoa In-liong berulang kali mengerutkan keningnya, dengan tatapan tajam ia menyapu kembali sekeliling tempat itu, dilantai ia temukan setumpuk uang kertas emas dan perak yang belum habis terbakar, maka dia lantas menyulut kertas-kertas itu dan membakarnya, cahaya api yang berkobar digunakan sebagai sinar penerangan.
Suma Tian-cing bergelar Kiu-mia-kiam-kek (jago pedang berjiwa sembilan), semenjak masih muda sudah mempunyai nama yang amat tersohor, dia adalah saudara angkat dari kakek Hoa In-liong.
Diam-diam pemuda itu berpikir lagi.
"Bagaimanapunjuga toh aku sudah sampai disini, sudah sepantasnya kalau kusumbang dan ku hormati lelayon mereka."
Karena berpendapat begitu, maka diapun menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati itu dan menyembahnya beberapa kali.
Si anak muda itu ingin mengucapkan sepatah dua patah kata doa, tapi oleh karena kertas uang itu sudah habis dan apipun akan padam, cepat ia bangkit dan mengambil kertas uang lagi untuk membakarnya.
"Blaaang...,"
Tiba-tiba berkumandang suara benturan keras, pintu ruangan terhembus angin hingga terpentang lebar, angin dingin yang sangat menggidikan berhembus masuk ke dalam ruangan mengobrak-abrik kertas uang yang akan dibakar itu hingga tersebar ke empat penjuru, kobaran apipun seketika menjadi padam.
Hoa In-liong sangat terperanjat, timbul rasa bergidik dalam hati kecilnya, disaat abu kertas uang beterbangan d iempat penjuru dan jilatan api hampir padam, tiba-tiba ia menemukan sesuatu, hampir saja ia menjerit kaget.
Sesosok bayangan manusia muncul dari balik kain horden, bayangan itu berwarna putih dan jelas seorang perempuan...
dia berdiri kaku di samping peti mati tersebut.
Cepat Hoa In-liong menekan perasaan ngerinya, sambil berusaha untuk menenangkan diri dan menyeka keringat dingin pada telapak tangannya menegur.
"Siapa yang berada di belakang horden sana?"
Suasana hening sesaat, kemudian dari balik kain horden muncul suara jawaban, suara itu memilukan hati.
"Aku yang rendah adalah Yu-si, boleh aku tahu siapa nama kongcu?"
"Aku bernama Hoa Yang, berasal dari perkampungan Liok-soat-sanceng..."
Sahut pemuda itu berkerut kening.
"Oooh, kiranya Ji kongcu yang telah datang."
Cahaya api berkilat menerangi seluruh ruangan dari belakang kain horden itu perlahan-lahan muncul seorang nyonya berbaju kabung putih, mukanya murung dan penuh diliputi kesedihan.
Perempuan itu masih muda dan sedang mencapai usia mekar-mekarnya bunga, cantik jelita paras muka perempuan itu, meski memakai baju berkabung yang serba putih, namun tidak menutupi kecantikannya wajahnya yang menawan hati.
Waktu itu Hoa In-liong berdiri di depan meja sembahyangan, ketika ia menatap kemuka, tampaklah Yu-si berdiri dengan tangan kanan memegang lampu lentera, tangan kiri membopong sesosok makhluk seperti bayi, satu ingatan cepat melintas dalam benaknya.
"Nyonya yang mengaku she-Yu ini mengenakan pakaian berkabung yang lengkap. itu menunjukkan kalau dia masih sanak keluarga dari su ma siok-ya, lalu bayi siapa yang dibopongnya itu, apa bayinya Suma siok-ya dengan perempuan ini? Sementara si anak muda itu masih termenung, Yu-si telah meletakkan lampu lentera itu, di atas meja kemudian perlahan-lahan memutar badan. Hoa In-liong segera mengalihkan sorot matanya ke arah "bayi"
Yang berada dalam pelukan nyoaya itu, tapi apa yang dia lihat? Hampir saja pemuda itu meloncat saking kaget.
Makhluk kecil yang dibopong nyonya Yu itu bukan bayi apa yang dia sangka, tapi makhluk ke cii itu tak lain adalah seekor kucing, seekor kucing berwarna hitam pekat.
Bulu kucing itu hitam gelap dan bersinar mengkilat begitu hitamnya sehingga boleh dibilang tak ada warna lainnya, dibawah sorot cahaya lampu, tampaklah sepasang biji matanya yang berwarna emas memandang kesana kemari dengan jelalatan.
sementara itu Nyonya Yu sudah memberi hormat sambil menegur.
"Ji kongcu, apakah kedatanganmu kemari adalah lantaran mendapat tugas dari orang tuamu?"
Hoa In-liong menenang kang perasaan hatinya yang kalut, kemudian balas menghormat.
"Betul, aku mendapat perintah dari ayahku untuk datang memberi hormat kepada lelayonnya Suma siok-ya."
"Apakah nona kami juga sudah tiba diperkampungan Liok-soat-san-cung??"
Hoa In-liong mengangguk.
"Suma kokoh sudah sampai disana, boleh aku tahu apa hubungan nyonya dengan Suma siok-ya ku itu?"
Nyonya Yu menatap sekejap ke arah pemuda itu lalu sambil menundukkan kepalanya ia menjawab.
"Aku yang rendah adalah bini peliharaan dari lo-wangwe"
"Ooooh Rupanya dia adalah gundiknya Suma siok-ya."
Begitulah Hoi In-liong membatin.
"Yaaa... memang tak bisa disalahkan kalau Suma siok-ya pelihara gundik, habis dia sangat menginginkan anak laki, tapi istrinya melahirkan seorang putri dan kemudian tak punya anak lagi, siapa tahu dari gundiknya ini ia bisa beranak lagi..."
Setelah mengetahui kalau nyonya itu adalah istri muda Suma siok-yanya, kembali pemuda itu memberi hormat.
"Aaah... rupanya engkau adalah Ji-hujin (nyonya kedua), maaf bilamana boanpwe kurang hormat kepadamu."
"Aku yang rendah tak berani menerima penghormatan sebesar ini dari Ji kongcu."
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar kemudian tanyanya lagi.
"Apakah dalam gedung ini hanya tinggal ji hujin seorang diri?"
Nyonya Yu menghela napas panjang.
"Aaaai... sebelum nona meninggalkan rumah, semua dayang dan pelayan telah ia bubarkan, oleh karena aku yang rendah masih teringat oleh budi kebaikan dari lo-wangwe maka kuputuskan untuk tetap menjaga lelayonnya seorang diri."
Ji-hujin dapat mengingat kebaikan orang, sungguh hal ini merupakan suatu sikap yang baik, boanpwe merasa kagum sekali, kata pemuda itu makin menghormat.
Kembali Nyonya Yu menghela napas panjang, ia seperti hendak mengucapkan kata- kata merendah tapi niat tersebut akhirnya diurungkan, kepalanya ditundukkan rendah- rendah, lama sekali baru katanya lagi.
"Ji kongcu, maksud kedatanganmu kemari kecuali untuk menghormati jenasah dari lo wangwe kami ini, apakah masih ada urusan yang lain."
"Boanpwe mendapat tugas dari ayahku untuk menyambangi jenasah Suma siok-ya, selain itu juga hendak mencari tahu siapakah pembunuh yang telah menghabisi nyawa Suma siok-ya kami itu."
"Jadi Hoa tayhiap tidak turun tangan sendiri untuk mengatasi peristiwa ini?"
Tanya nyonya Yu dengan dahi berkerut.
"Ayah telah serahkan tanggung jawab ini kepada boanpwe, jadi boanpwelah yang akan mewakili dia orang tua untuk mencari tahu siapa gerangan pembunuh sadis itu."
Suatu perobahan yang sangat aneh menghiasi paras muka nyonya Yu sehabis ia mendengar perkataan tersebut, tapi hanya sebentar saja sikap aneh itu sudah lenyap kembali tak berbekas, sebagai gantinya ia tunjukkan kembali wajah yang kesal dan murung.
Melihat itu Hoa In-liong berpikir dalam hati.
"la nampak murung sekali, pastilah dia anggap aku terlalu muda dan kepandaianku terbatas, maka tugas berat ini tak dapat kupikul "
Sementara masih termenung, tiba-tiba pemuda itu merasakan sesuatu yang aneh, ia merasa kucing hitam yang berada dalam pelukan nyonya Yusedaag mengawasi dirinya tajam- tajam, sinar mata berwarna keemas-emasan itu melotot ke arahnya dengan penuh sikap permusuhan, hal ini lantas menggerakkan hatinya.
Ia tertawa nyaring, kemudian menegur.
"Rupanya nyonya suka dengan kucing?"
"Aaai... Rumah hancur manusia pada binasa, sekarang aku hidup sebatang kara, Hek- ji inilah satu satunya sahabat karibku."
"Oooh... rupanya kucing hitam itupun punya nama benar-benar menarik hati..."
Pikir pemuda itu Terdengar nyonya Yu berkata lebih jauh.
"Lo-wangwe kami adalah seorang pendekar besar yang kenamaan dalam dunia persilatan, meskipun ilmu silat yang dimilikinya belum setanding dengan kehebatan ayahmu, akan tetapi ia terhitung juga seorang tokoh silat kelas satu dalam dunia persilatan, itu berarti pula bahwa orang yang bisa membunuh wangwe kami pastilah bukan manusia sembarangan. sekarang, Hoa tayhiap tak sudi turun tangan sendiri melainkan hanya mengutus Ji kongcu untuk menyelidiki persoalan ini, apakah hal ini..."
Tampaknya perempuan itu tak ingin banyak bicara, belum selesai ucapan tersebut, tiba-tiba dia menghela nafas dan membungkam... Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong segera tersenyum, katanya.
"Tentang soal ini nyonya tak perlu kuatir, kendatipun boanpwe bodoh dan tak berkemampuan apa-apa, akan kucoba untuk menggunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk memecahkan misteri ini, dan aku percaya tugas ini pasti dapat ku laksanakan dengan baik."
"Aaai..."
Nyonya Yu menghela nafas lagi "
Kalau toh Ji kongcu sudah mempunyai keyakinan setebal itu, aku yang rendahpun tidak akan banyak bicara lagi."
"Semoga nyonya suka memberi petunjuk kepadaku."
"Hmmm Apa yang kuketahui terbatas sekali dan aku rasa nona kamipun tentu sudah menceritakan segala sesuatunya kepadamu,"
Sahut nyonya Yu dingin. Hoa In-liong dapat memaklumi keketusan orang ia berpikir.
"Biasanya, kalau seseorang baru ketimpa bencana maka wataknya jadi lebih kasar dan berangasan demikian pula dengan nyonya Yu ini, maklum kalau ia begitu kasar dan dingin sikapnya padaku...."
Karena berpikir begitu, maka diapun berkata.
"Menurut apa yang berhasil boanpwe dengan katanya sebab kematian yang menimpa Suma siokya adalah bekas gigitan yang berada pada tenggorokannya..."
"Nyonyapun mengalami nasib yang sama."
Nyonya Yu menambahkan dengan cepat.
"Mumpung tutup peti mati belum dipaku, ingin sekali boanpwe periksa keadaan luka yang berada pada teng gorokan mereka."
"Silahkan,"
Kata nyonya Yu hambar.
"yang ada disebelah kiri adalah jenasah dari nyonya."
Seraya berkata dia ambil kembali lampu lentera itu dari meja, kemudian menghampiri peti mati itu.
Hoa In-liong sendiripun tidak sungkan-sungkan ia menghampiri peti mati yang ada disebelah kiri, sepasang tangannya lantas mencengkeram tutup peti mati itu dan siap membukanya .
Ketika itu nyonya Yu berada disebelah kanan Han in-liong, tangan kirinya masih membopong Hek-ji kucing hitam itu, sedang lentera ditangan kanannya dipegang tinggi- tinggi.
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak si anak muda itu membatalkan niatnya untuk membuka, sebab secara tiba- tiba ia mengendus sesuatu, mengendus bau harum pupur yang tipis tapi cukup menarik perhatiannya.
Pupur tersebut adalah sejenis pupur keraton yang mahal harganya, tidak sembarangan orang bisa memakai pupur seperti itu, dan lagi sekalipun punya uang banyak belum tentu orang bisa mendapatkannya.
Hoa In-liong berasal dari keluarga kenamaan, sejak kecil ia sudah romantis dan paling suka bermain dan bergaul dengan kaum hawa yang suka memakai pupur wangi seperti itu, maka dengan sendirinya diapun ahli sekali dalam soal jenis pupur yang sering dipakai kaum hawa.
Ia tampak agak tertegun, ketika coba diperiksa asal mula bau tersebut, segera ditemuinya bahwa bau itu berasal dari tubuh nyonya Yu, ini membuat anak muda kita diam-diam tertawa geli, batinnya.
"Tak heran kalau nyonya Yu bisa menarik perhatian Suma siok-ya sehingga akhirnya dikawini menjadi istri mudanya, memang perempuan ini memiliki kelebihan dari pada perempuan biasa...."
Sementara ia masih termenung, tiba-tiba nyonya Yu berkata lagi.
"Ji kongcu, kenapa engkau ragu ragu...?"
Hoa-In liong tertawa tawa, hawa murninya lantas disalurkan kedalam telapak tangan dan sekuat tenaga ia coba mengangkat tutup peti mati itu. Mendadak... satu ingatan kembali melintas dalam benaknya.
"Aaai... tidak benar gejala ini Kalau toh nyonya Yu benar-benar berkabung oleh karena kematian suaminya, mengapa ia masih memakai pupur wangi. Padahal Suma siok-ya sudah mati belasan hari, sekalipun masih ada sisa baupupur dari tubuhnya, tak mungkin kalau bau tersebut seharum dan setajam ini... jelas pupur itu belum lama dipakai pada tubuhnya."
Menyusul kemudian ia berpikir lebih lanjut.
"Eehmm... kalau kuteliti pula sikap serta gerakgeriknya, gejala ini makin tak beres, kalau toh perempuan ini benar- benar bersedih hati karena kematian suaminya, maka dia tak akan memusingkan masalah lain, jangankan memakai pupur, sisir rambutpun belum tentu berminat. ...tapi sekarang, bukan saja nyonya Yu mengenakan pupur wangi, diapun kesana kemari membopong kucing hitam, macam apakah itu??"
Pada dasarnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang aneh, kalau toh pada mulanya ia belum curiga maka segala sesuatunya tidak terpikir olehnya, tapi sekarang, setelah timbul kecurigaan dalam hati kecilnya, serta-merta banyak hal yang tak beres ditemukan secara beruntun, dia merasa makin diperhatikan semakin banyak persoalan yang berlawanan dengan keadaan pada umumnya.
Sementara itu nyonya Yu sudah berkata lagi sambil menghela nafas.
"Keadaan lo- wangwe menjelang saat ajalnya mengerikan sekali, lebih baik Ji kongcu tak usah melihatnya lagi."
"Benar-benar, perkataan nyonya memang sangat tepat"
Sahut Hoa In-liong sambil mengangguk berulang kali. Tiba-tiba dia alihkan pokok pembicaraan kesoal lain katanya.
"Sepantasnya kalau dalam ruangan sembahyangan ini diberi serentetan lampu lentera yang bersusun-susun, kenapa tak ada benda tersebut ditempat ini....?"
Mula-mula nyonya Yu agak tertegun, menyusul kemudian sambil menghela napas sedih sahutnya.
"Setelah terjadinya peristiwa ini, aku yang rendah dibikin kalang kabut dan kebingungan sendiri, sampai segala sesuatunya jadi kelupakan., aaai maklumlah kalau orang lagi kesusahan."
"Sekalipun kau lagi berpura-pura, sepantasnya kalau air matamu ikut perkuat sandiwaramu itu,"
Pikir Hoa In-liong dihati.
"masa bodoh sampai detik ini tak kulihat engkau mengucurkan air mata.... kan aneh toh kalau seorang istri walaupun cuma istri muda tidak melelehkan air mata karena kematian suaminya..."
Tiba-tiba ia membentak keras.
"Nyonya, hati-hatilah kau, boanpwe akan membuka peti mati ini!"
Sekali disendat, tutup peti mati itu segera terangkat olehnya, setelah tutup peti mati itu terbuka, bau kapur segera tersebar keempat penjuru diantara bau kapur yang tajam dan menusuk penciuman itu secara lapat-lapat terselip bau harum bunga yang tipis.
Perlu diketahui daya penciuman Hoa In-liong sangat tajam dan melebihi daya penciuman siapa pun, begitu tercium bau campur aduk yang aneh dan tak sedap itu, pikirannya lantas terbuka dan menjadi terang, cepat dia berteriak dengan logat yang aneh.
"Aduuuuh mak....harum sungguh harum."
Sengaja ia mengeryitkan hidungnya dan tarik napas panjang beberapa kali.
Nyonya Yu tertegun menyaksikan peristiwa itu dia heran mengapa hawa racun yang tersiar keluar dari balik peti mati itu tidak berhasil merobohkan pemuda tersebut Dalam kagetnya telapak tangan kanannya segera ditekan kebawah, lalu menghantam batok kepala Hoa In-liong dengan lampu lentera, sementara kaki kirinya melancarkan sebuah tendangan kilat ke arah pinggang si anak muda itu.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia putar telapak tangan kanannya dan secara tiba-tiba mencengkeram lengan nyonya Yu, kemudian menyeret perempuan itu dan ditekannya kedalam peti mati tersebut.
Sejak penutup peti mati itu dibuka, nyonya Yu sudah menutup semua pernapasannya, tapi sekarang oleh karena lengannya yang dicengkeram terasa amat sakit, dalam kaget dan cemasnya dia menjerit tertahan, serta-merta hawa racun itu terkesiap masuk ke lubang hidungnya, kontan saja perempuan itu roboh tak sadarkan diri.
Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata baru saja Hoa In-liong menaklukkan nyonya Yu, tiba-tiba terasa segulung desingan angin tajam menyergap punggungnya dari belakang.
Sungguh kaget dan tercekat hati Hoa In-liong untung dalam gugup dan cemasnya ia tak sampai gelagapan secepat kilat badannya menyusup ke arah samping untuk menghindar.
"Breeet..."
Kendatipun pemuda itu sudah menghindar dengan cepat, tak urung robek juga sebagian baju yang dikenakannya.
Sementara itu suasana dalam ruangan tengah jadi gelap gulita, sukar melihat kelima jari tangan sendiri, sebelum Hoa In-liong sempat berdiri tegak.
desingan angin tajam itu kembali menyergap dari belakang.
Buru-buru si anak muda itu berkelit ke samping dengan manis ia menghindarkan diri dari sergapan maut itu.
Sebagai keturunan jago kenamaan, Hoa In-liong memang cukup mengagumkan, kendatipun harus bertarung ditengah kegelapan yang sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri, dia masih sanggup untuk melayani dengan sebaik-baiknya.
Detik itu juga, ia dapat mengetahui siapakah penyergapnya itu, ternyata "Dia"
Tak lain adalah "Hek-ji"
Kucing hitam yang berada dalam bopongan nyonya Yu tadi.
Rasa mangkel, jengkel dan geli bercampur aduk dalam hati pemuda itu, tatKala untuk ketiga kalinya kerlipan sinar tajam itu menyusup datang segera ia berkelit kesamping, lalu melancarkan sebuah tendangan kilat ketubuh kucing itu.
Kalau lawannya hanya kucing biasa, tendangan itu niscaya akan menghancur lumatkan tubuhnya tetapi kucing ini bukan kucing sembarangan, kucing hitam ini keluaran wilayah se-ih yang termasuk sejenis makhluk buas, karena sudah mendadak pendidikan yang lama, maka tubrukan serta sergapannya secepat kilat dan jarang meleset dari sasarannya.
Baru saja Hoa In-liong melepaskan tendangan itu gagal mencapai sasaran, malahan sekarang kucing hitam itu menerjang paha kanannya.
Si anak muda itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh....haaahhh...haahhh..... Binatang cilik hari ini saya akan menangkapmu hidup-hidup " Timbul kembali sifat kekanak-kanakannya dalam hati kecil pemuda ini, tiba-tiba ia bertekuk lutut dan berjongkok kebawah, sementara tangan kirinya meraba pakaiannya yang robek tercakar tangan kanan yang menganggur secepat sambaran petir mencengkeram leher kucing hitam itu. Tiba-tiba... dari balik horden berkumandang suara suitan tajam yang tinggi melengking. Suitan tajam itu sangat pendek tapi nyaring, begitu mendengar suitan tersebut, Hek-ji segera mendekam di tanah, lalu menyusup masuk kebalik horden.
"Bangsat mau kabur kemana?"
Bentak Hoa In-liong.
Ia menerkam ke depan, ekor Hek-ji lantas di sambarnya dengan cepat, apa mau dikata tiba-tiba Hek-ji putar badannya sambil menggigit.
Si anak muda itu jadi amat terperanjat sambil menjerit kaget ia tarik kembali tangannya ke belakang.
Suara langkah kaki manusia bergema dari belakang bangunan, sekejap kemudian suasana pulih kembali dalam kesunyian.
Secepat sambaran petir Hoa In-liong menerjang ke depan, ia temukan dibalik horden terdapat sebuah pintu kecil, dibalik pintu terdapat sebuah lorong yang panjang, ketika dia mengejar sampai kedalam lorong itu, bayangan musuh sudah lenyap tak berbekas, Hek-ji si kucing hitampun lenyap entah kemana perginya.
Kejadian ini membuat Hoa In-liong jadi terperangah, ia mencoba untuk memeriksa keadaan dl sekitar tempat itu namun tidak berhasil menemukan sesuatu, tiba-tiba teringat kembali akan perempuan "nyonya Yu"
Yang masih pingsan ditepi peti mati.
Cepat-cepat pemuda itu kabur kembali keruang tengah, setelah pasang lentera diperiksanya sekitar sana, namun apa yang dilihat hanya peti mati belaka, sedangkan nyonya Yu entah sedari kapan telah dibawa kabur oleh rekan-rekannya.
Tutup peti mati itu masih terbuka, bau kapur yang tajam bercampur harum bunga kui yang tipis menciptakan suatu campuran bau yang aneh memuakkan dan bikin orang pingin muntah.
Sambil menutup pernafasannya Hoa In-liong mendekati peti mati itu dan melongok kedalam, jenasah Suma Tiang-cing telah di make-up sehingga tidak nampak sesuatu yang aneh atau mencurigakan.
Ketika pemuda itu menyingkap bajunya, maka tampaklah pada tenggorokannya terdapat sebuah lubang sebesar cawan arak.
di sekitar lubang itu tertera nyata bekas gigitan yang tajam dan rata, sudah pasti bekas gigitan dari sebangsa makhluk binatang buas, karena saluran pernafasannya telah tergigit putus, tentu saja korbannya mati sesak nafas.
"Sreeeett..."
Tiba-tiba muncul lagi sesosok bayangan manusia, bayangan itu keluar dari bawah kolong meja, dengan kecepatan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya ia melayang ke udara kemudian kabur menuju keluar pintu, Hoa In-liong segera tertawa tergelak katanya.
"Haaahhh..... haaahhhh.... haaahhh.... nyali kalian memang benar-bsnar besar sekali, Hmm Apakah tindakanmu itu tidak kelewat pandang rendah jiwa mu?"
Tidak menunggu sampai menutup kembali peti mati itu, ia lantas melompat keudara dan secepat kilat meluncur ke muka melakukan pengejaran.
Dibawah cahaya bintang, tampaklah bayangan itu mempunyai tubuh yang ramping menawan hati, ia mengenakan baju ketat warna hitam gelap.
sebilah pedang pendek tersoren dipinggang, usianya masih amat muda, dari gadis ini berparas cantik.
Hoa In-liong melompat dia mengejar dengan cepatnya, dalam beberapa kali lompatan ia sudah mencapai di samping dara tersebut, sambil menepuk bahunya pemuda itu menegur.
"Hey, kenapa tidak segera berhenti?"
Dengan langkah sempoyongan gadis itu maju beberapa langkah lagi ke depan hampir saja ia jatuh terjengkang ke atas tanah, untungnya di depan sana adalah sebuah dinding pekarangan, cepat ia memegang dinding tersebut sehingga tubuhnya tak sampai jatuh tertelungkup.
Tiba-tiba ia mengambil keluar secarik sapu tangan dan menutupi bibirnya yang kecil, kemudian berbatuk-batuk keras sampai air matapun ikut jatuh berlinang.
Kiranya gadis itu bersembunyi di bawah meja sembahyangan sambil menutup napas, karena letaknya tertutup oleh kain, kolong meja sembahyangan memang merupakan tempat persembunyian yang sukar ditemukan orang.
Tetapi karena terlalu lama menahan panas, dan lagi hawa racun yang tersebar keluar dari peti mati itu kian lama kian menebal, akhirnya gadis itu tak sanggup mengendalikan diri lagi, ia dipaksa untuk meninggalkan tempat persembunyiannya guna menghirup udara segar.
Dalam pada itu Hoa In-liong telah mengawasi gadis baju hitam itu dengan pandangan tak ber kedip.
diam-diam ia membatin, Dara ini punya pinggang yang ramping, tubuh yang tinggi semampai serta kulit yang putih halus....eehm, memang tak salah lagi kalau disebut gadis cantik bak bidadari dari kahyangan."
Meskipun dalam hati ia sedang berpikir, mulutnya tidak membungkam, tegurnya sambil tertawa.
"Eeh.... eeh..., kenapa kok menangis? aku toh tidak sampai melukai dirimu mau apa kau mengucurkan air mata?"
Bersemu merah selembar wajah dara baju hitam itu, mendadak ia cabut keluar pedang pendeknya lalu berseru dengan suara dalam.
"Nona mu sama sekali tak ada hubungannya dengan kematian dari anggota keluarga Suma, keadaan kita ibaratnya air sungai yang tidak melanggar air sumur, biarkanlah aku pergi dari sini."
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh kalau toh engkau tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pembunuhan ini mau apa kau bersembunyi di bawah kolong meja sembahyangan?"
Gadis berbaju hitam itu mendengus dingin, ia melejit dan melayang ke arah pintu gerbang. Sekali lagi Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh... haaah... haaaah... kau toh belum menjelaskan duduknya persoalan, mau apa buru buru pergi dari sini??"
Sekali melompat, ia sudah menghadang kembali jalan pergi dari dara baju hitam itu.
Agaknya gadis berbaju hitam itu sudah menduga bahwa musuhnya bakal berbuat demikian, pedang pendek yang sudah diloloskan mendadak ditusuk ke depan, bersamaan itu pula sepasang kakinya menjejak tanah dan melayang keudara, kemudian meluncur melewati tembok pekarangan.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
ditengah gelak tertawa yang amat nyaring itu, ia melancarkan sebuah cengkeraman dan menangkap ujung pedang pendek itu.
Kilatan cahaya tajam memancar keluar dari balik pedang pendek itu, memang senjata itu merupakan sebilah pedang mustika yang tajam sekali, namun dalam cekalan Hoa In- liong seakan-akan pedang mustika itu bukan sebuah senjata yang tajam melainkan cuma pedang kayu yang tumpul.
Padahal waktu itu gadis baju hitam tadi sedang melambung diudara, karena merasa berat hati untuk membuang senjatanya, terpaksa dia tarik nafas panjang dan melayang kembali ke tanah.
Karena gadis itu sudah melayang turun, maka Hoa In-liong pun melepaskan cengkeramannya ia tertawa lalu berkata.
"Nona bolehkah aku tahu siapa nama nona?"
Kejut dan gelisah bercampur aduk dalam hati gadis baju hitam itu, bukan menjawab ia malah berseru dengan marah.
"Berulang kali aku kan sudah menerangkan bahwa aku sama sekali tak tersangkut dengan peristiwa pembunuhan atas keluarga Suma, buat apa engkau musti banyak bertanya?"
Hoa In-liong tidak marah, meskipun nada gadis itu kasar malahan dengan senyum dikulum ujarnya.
"Selama hidup aku paling suka berhubungan dengan anak gadis, bila nona tidak memberi penjelasan seterang-terangnya, jangan harap bisa tinggalkan tempat ini dengan begitu saja."
Gadis berbaju hitam itu agak tertegun, lalu makinya.
"Huuh, katanya saja keturunan dari keluarga kenamaan tak tahunya cuma manusia tengik yang suka menggoda kaum lemah."
"Haaah haaah haah kalau kakakku. memang keturunan tulen dari keluarga kenamaan, sedangkan adikku Hoa Wijuga benar-benar seorang keturunan keluarga bernama besar, sedangkan aku sendiri...haaah...haaahh...."
"Kenapa dengan kau?"
Seni gadis itu ketus. Dengan wajah bersungguh-sungguh Hoa In-liong berkata.
"Aku tak pernah memperdulikan ocehan orang lain, watakku paling aneh dan aku paling suka berbuat sesuatu menurut suara hatiku sendiri, nona manis....wahai nona manis... setelah kau terjatuh ketangan Hoa jiya, maka itu sama artinya bahwa kau bakal sial"
Perkataan itu membuat gadis baju hitam tersebut jadi melengak. Ia lantas berpikir.
"Orang she-Hoa ini memang kukoay dan anehnya luar biasa, ia berilmu silat tinggi, jelas aku bukan tandingannya, mau kabur juga tidak bisa... bagaimana aku sekarang? Apa yang harus kulakukan??"
Otaknya berputar keras dan berusaha untuk menemukan jalan untuk melarikan diri, Mendadak.
satu perasaan aneh muncul dalam hati kecilnya, merah padam selembar wajahnya, dengan wajah kemalu-maluan ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang sangat tampan, ketampanannya begitu menawan hati membuat setiap nona yang bertemu dengannya boleh dibilang lebih banyak terpikat daripada tidak.
Kebetulan dara berbaju hitam itu sudah mencapai usia dewasa, dan lagi semenjak kecil jarang bergaul dengan kaum lelaki lawan jenisnya, maka sewaktu ia merasa bahwa pihak lawannya adalah seorang pemuda yang sangat tampan, serta-merta hatinya yang baru mekar jadi terpikat, kontan saja jantungnya berdebar keras, suatu perasaan jengah yang aneh muncul dari hati kecilnya.
Melihat keadaan sang dara itu, Hoa In-liong tertawa, dari sakunya dia mengeluarkan kipas bergagang emasnya, kemudian sambil menggoyang-goyangkan kipas itu tegurnya lagi.
"Nona, siapa namamu?"
Dara berbaju hitam itu menengadah dan memandang sekejap ke arah sang pemuda kemudian sahutnya dengan lirih.
"Kita toh tidak saling mengenal, buat apa musti saling menyebutkan nama?"
"Haaahhh.... haaahhh ....haaahhh kalau memang nona merasa keberatan untuk mengucapkan namamu, akupun tidak akan memaksa lebih jauh"
Tiba-tiba ia simpan kembali kipasnya, kemudian sambil menunjukkan sikap mempersilahkan tamunya masuk. Ia menambahkan "Mari nona, kita berbicara dalam ruang tengah situ saja."
Gadis berbaju hitam itu agak tertegun, lalu menjawab.
"Dalam peti mati itu ada racun kejinya, sekalipun kongcu tidak takut dengan racun tersebut, siau li tak kuat untuk menahan diri,"
Kali ini nada perkataannya jauh lebih lunak lagi daripada ucapannya pertama kali tadi.
"Darimana kau bisa tahu kalau dalam peti mati itu ada racun kejinya...?"
Tiba-tiba pemuda itu balik bertanya.
"Sudah berulang kali kukunjungi tempat ini, sewaktu mereka mengatur jebakan tersebut, secara diam-diam dapat kulihat semuanya."
"Mau apa nona datang kesini??"
Sekilas lasa sedih dan kesal melintas di wajah dara baju hitam itu, selang beberapa saat kemudian dia baru menjawab.
"Siau-Ii msmpuayai kesulitan yang tak bisa di katakan kepada orang lain, pokoknya aku sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pembunuhan di keluarga Suma."
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar kemudian katanya pula.
"Baiklah, akan kututup peti mati itu agar hawa racun tak sampai menyebar kemana-mana, ikutilah aku."
first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pemanah Rajawali -- Jin Yong Duri Bunga Ju -- Gu Long Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung