Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 14


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 14




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
"Oooh....jadi Si-Nio dan majikanmu juga kena dipaksa oleh pihak Mo-kauw untuk membalas dendam kepadaku"

   Pikir Hoa In-liong dengan cepat.

   "Jadi kalau begitu, keputusanku untuk membantu mereka berdua merupakan suatu tindakan yang bersifat demi kepentingan umum maupun demi keuntungan pribadi,"

   Dihati ia berpikir demikian, diluaran segera jawabnya.

   "Ehmmm.... ditinjau dari rencana Mo-kauw kaucu yang begitu sempurna dan tersusun rapi, dapat kita ketahui betapa licik, buas dan busuknya manusia tersebut. Aku Hoa Yang pasti akan mencari kesempatan untuk berkelahi dengannya. Nona Wan apalagi yang sempat kau dengar?"

   Betapa cemas dan gelisahnya Wan Hong-giok ketika dilihatnya pemuda itu sama tak acuh terhadap ancaman yang datang. Meski begitu si nona juga rikuh untuk memperlihatkan kegelisahannya, maka sesudah merenung sebentar sahutnya dengan sedih.

   "Kentongan pertama kemarin dulu malam seorang laki-laki berkerudung datang menjumpai Hong Seng. Orang itu mengakui dirinya sebagai anak buah Hian-beng kau. Setelah ia pergi, Hong Seng lantas menurunkan perintah untuk membekuk diriku dan menyiksanya dengan penyiksaan paling keji. Bila kubayangkan kembali semua kejadian tersebut, pastilah sudah bahwa antara dua perkumpulan itu tentu sudah bersekongkol"

   "Macam apakah laki-laki itu?"

   Tanya Hoa In-liong sambil megerdipkan matanya.

   "Dan siapa pula namanya? Apakah nona pernah menyaksikan pula orang-orang Kiu-Im kau berhubungan dengan mereka?"

   "Orang itu berperawakan sedang, langkah tubuhnya tegap dan gagap, tampaknya ia belum terlampau tua. Aku tak tahu siapa namanya. Mengenai orang-orang Kiu-im kau, sampai detik terakhir aku tak pernah menjumpainya...."

   Tiba-tiba Hoa Si menjura dan memberi hormat.

   "Terima kasih banyak nona atas keteranganmu"

   Serunya kemudian.

   "Aku harus buru-buru turun gunung hingga tak bisa menemani engkau lebih lama lagi. Jika kau membutuhkan bantuan kami, silahkan dirundingkan dengan adikku, aku pasti akan berusaha dengan sepenuh tenaga"

   Lalu ia berpaling kepada Hoa In-liong dan berpesan lebih jauh.

   "Jite, temanilah rona Wan bercakap-cakap. Cuma ilmu silat yang dimiliki nona Wan sudah punah, badannya jadi sangat lemah dan tak kuat berbicara terlalu lama. Kau sendiri juga tak boleh terlalu keras kepala, bila betul-betul kau miliki simhoat tenaga dalam yang istimewa, cepatlah coba di praktekkan"

   Sejak dipengaruhi racun ular sakti, ketajaman mata Hoa In-liong sangat berkurang.

   Dia tak tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Wan Hong-giok telah punah.

   Maka ketika mendengar hahwa ilmu silat yang dimiliki Wan Hong-giok sudah musnah, ia jadi kaget dan setengah percaya setengah tidak.

   Cepat ia berpaling dan diamatinya wajah si nona dengan seksama.

   Lantaran begitu, ia jadi tidak mendengar apa yang selanjutnya diucapkan Hoa Si.

   Coa Wi-wi yang secara tiba-tiba melihat Hoa Si berlalu dengan terburu-buru justru dia yang jadi curiga, maka sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, dengan gelisah ia lantas berseru.

   "Toako, ada urusan apa yang membuat kau terburu-buru?. Kenapa kau tergesa- gesa turun gunung?"

   Hoa Si memeriksa dulu keadaan cuaca, kemudian sambil alihkan pandangan matanya ia menjawab.

   "Gi-heng sudah mengadakan janji dengan Kiu-im kaucu di kota Ci-tin. Padahal sekarang sudah mendekati tengah hari. Bila tidak segera berangkat, aku kuatir kalau sampai mengingkari janji. Adik Wi, setelah aku pergi nanti, tolong aturlah perlindungan atas Jite dan nona Wan"

   Begitu mendengar disinggungnya soal "Kiu-im Kaucu"

   Hoa In-liong merasakan sekujur tubuhnya bergetar keras ia berpaling dengan wajah tercengang.

   "Apa?"

   Demikian teriaknya dengan gelisah.

   "Toako ada janji dengan Kiu-im kaucu? Ia menunggu dikota Ci-tin?"

   "Yaa benar"

   Hoa Si mengangguk tanda membenarkan.

   "Sebelum fajar tadi, Kiu-im kaucu dan seorang manusia berkerudung telah munculkan diri disini, Ia berpesan agar aku ajak kau bertemu muka di kota Ci-tin"

   "Ka.... kalau begitu, aku harus ikut"

   Seru Hoa In-liong sambil meronta dan berusaha bangun.

   "Tidak, kau tak boleh pergi "cepat Coa Wi-wi membimbingnya sambil berseru dengan cemas.

   "Sebelum racun ular yang bersarang ditubuhmu berhasil dipunahkan, apa gunanya engkau pergi?"

   "Kau tak tahu, perempuan itu terlalu sombong, dingin dan kukoay"

   Teriak Hoa In- liong cemas.

   "Padahal Toako terlalu jujur dan polos...."

   "Jite, aku toh baru saja menyuruh engkau jangan terlalu mencari menangnya sendiri, apa kau sudah lupa? "tukas Hoa Si dengan wajah yang amat serius.

   "Tentang soal ini....

   "

   Hoa In-liong tergagap dan berusaha memberi penjelasan. Tapi sebelum kata-kata tersebut berkelanjutan, Hoa Si telah menukasnya kembali seraya berkata.

   "Tak perlu kau katakan lagi, sekalipun Kiu-im kaucu itu dingin, sombong dan kukoay, aku yakin masih sanggup untuk menghadapinya. Bila kau masih belum melupakan nasehat keluarga, lebih baik beristirahatlah disini dergan hati yang tenang, tunggu sampai aku kembali"

   "Nasehat keluarga "dua patah kata itu sangat berbobot. Seketika itu juga Hoa In- liong berdiri terbelalak dan untuk sesaat lamanya tak mampu berkata-kata lagi. Dalam pada itu, selesai mengucapkan kata-katanya, Hoa Si pun berseru kepada Wan Hong-giok.

   "Baik-baiklah jaga dirimu nona!"

   Lalu kepada Coa Wi-wi dia berkata pula.

   "Merepotkan nona untuk melindungi mereka!"

   Kemudian dengan langkah lebar dia tinggalkan kuil bobrok tersebut dan turun gunung dengan cepatnya.

   Sepeninggal Hoa Si, Hoa In-liong masih tetap duduk tak berkutik bagaikan sebuah patung arca.

   Untuk memecahkan kesunyian yang mencekam, Coa Wi-wi segera memerintahkan Ki-ji untuk mengambil rangsum kering dan dibagikan kepada beberapa orang itu.

   Selesai bersantap, untuk mencari bahan pembicaraan, maka berkatalah Coa Wi-wi.

   "Enci Wan, kesemuanya ini adalah gara-gara ketidak becusan siau-moay sehingga mengakibatkan kau kehilangan ilmu silatmu, tentunya kau tak menyalahkan aku bukan?"

   Hoa In-liong yang mendengar ucapan tersebut jadi tertegun, dia lantas berpaling dan memandang kearahnya dengan termangu. Tapi dara itu pura-pura tidak tahu, dengan matanya yang jeli dia menatap wajah Wan Hong-giok menyahut.

   "Bila hian-moay berkata demikian, itu sama artinya dengan sengaja menyindir aku. Berkat bantuan kalian majikan pembantu dua oranglah nyawaku berhasil diselamatkan. Untuk itupun aku belum mengucapkan terima kasihku. Budi kebaikan tersebut sudah terukir dalamdalam dilubuk hatiku dan sepanjang masa tak akan lupakan kembali. Bila diam-diam aku menyalahkan diri hian-moay lantaran ilmu silat musnah, bukankah aku ini lebih rendah dari seekor binatang!"

   Maksud Coa Wi-wi bukan begitu, tapi ia pura-pura berseri, katanya lagi sambil tertawa.

   "Kalau memang begitu, siau-moay pun berlega hati. Enci Wan, badanmu sangat lemah...."

   Tapi sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, mendadak Hoa In-liong menuding kearahnya sambil berseru.

   "Aaah.... Sekarang aku sudah ingat, bukankah kau adalah...."

   Suara "Aaah!"

   Itu diucapkan sangat keras, baik Coa Wi-wi maupun Wan Hong-giok sampai tertegun dibuatnya. Coa Wi-wi angkat kepalanya, tapi ketika dilihatnya Hoa In-liong sedang menuding kearahnya, ia lantas berseru dengan suara dalam.

   "Kau.... Kau apa? Aku mengira selamanya kau tak dapat buka suara lagi!"

   Hoa In-liong sama sekali tidak menggubris atas sikap marah-marah dari gadis itu, serunya lebih jauh.

   "Rupanya kau adalah adik perempuan dari saudara Cong-gi. Haa.... haa.... haa.... Mirip betul penyamaranmu!"

   Sambil berkata ia lantas menyambar ikat kepala yang dikenakan oleh Coa Wi-wi.

   Begitu ikat kepalanya terlepas, rambut yang hitam dan panjangpun terurai kebawah.

   Mula-mula Coa Wi-wi rada tertegun, tapi kemudian mukanya berubah jadi merah padam.

   Ia jadi malu bercampur gelisah, tangannya mencakar sana sini, sedang badannya segera dijatuhkan kedalam pelukan Hoa In-liong.

   "Kau.... Kau...."serunya manja. Hoa In-liong terbahak-bahak, sepasang tangannya segera direntangkan untuk menangkap sepasang lengannya. Pemuda ini adalah seorang yang berpikiran moderen dan tidak terlampau terikat olah peraturan. Penemuan tersebut sangat menggirangkan hatinya. Seluruh awan mendung yang menyelimuti benaknya juga tersapu tanpa bekas. Ia sudah bersiap-siap untuk menggoda Coa Wi- wi habishabisan agar suasana jadi riang. Siapa tahu selama racun ular sakti masih mengeram dalam tubuhnya, tenaga yang ia miliki jauh dibawah garis normal. Ketika Coa Wi-wi menubruk ke dalam tubuhnya, ia tak kuat menahan berat badan gadis itu, diiringi teriakan kesakitan robohnya pemuda itu ke atas tanah. Teriakan tersebut sangat mengejutkan Coa Wi-wi. Cepat ia meronta dan bangkit berdiri. Dalam gugupnya ia tak mengira kalau sewaktu jatuh badannya dalam posisi miring. Maka begitu dia meronta dan berusaha bangun, bukan saja gadis itu gagal untuk bangkit berdiri, malahan tubuh Hoa In-liong tertindih dibawah tubuhnya.

   "Adik Wi!"

   Wan Hong giok segera berseru dengan cemas.

   "Racun ular sakti yang mengeram di tubuh Hoa kongcu belum punah. Kau tak boleh sembarangan bergerak, hati-hati kalau sampai melukai dirinya"

   Masih mendingan kalau ia tidak berteriak.

   Mendengar teriakan tersebut, Coa Wi-wi semakin malu dibuatnya.

   Kalau bisa sekali depak dia ingin mendepak perempuan itu hingga terlempar dari hadapannya.

   Ki-ji cepat bertindak dengan membangunkan Hoa In-liong dari atas tanah, sementara Coa Wi-wi sendiripun cepat-cepat menekan permukaan tanah dengan tangannya dan melompat bangun.

   "Kau.... kau.... kau telah menganiaya diriku"

   Serunya sambil membenahi rambutnya yang kusut. Tiba tiba ia putar badan, lalu menutup mukanya dengan kedua belah tangan dan menangis tersedu. "Aku.... aku.... masa.... masa.... aku...."

   Hoa In-liong gelagapan setengah mati.

   "Apa lagi yang hendak kau katakan? Kalau bukan kau aniaya diriku, lalu apa namanya?"

   Dengan gemas Coa Wi-wi mendepak-depakkan kakinya keatas tanah.

   "Aku.... aku.... betul-betul tidak kuat menahan badanmu.... hian....hian.... moay"

   Tiba-tiba Coa Wi-wi berhenti menangis dan putar badannya menghadap kearah pemuda itu.

   "Baik! Sekarang katakanlah, kau harus memberi suatu keadilan...."

   Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, mulutnya yang melongo tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

   Rupanya setelah mengalami perontaan tadi, Hoa In-liong kehabisan tenaga.

   Waktu itu ia berada dalam keadaan yang mengenaskan.

   Sepasang alis matanya bekernyit, bibirnya gemetar, otot-otot hijau pada jidatnya pada menongol keluar, kulit wajahnya mengejang.

   Jelas racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhnya telah kambuh dan sekarang ia sedang merasakan suatu siksaan yang luar biasa.

   Wan Hong-giok mesti tak dapat menyaksikan perubahan wajahnya, tapi menyaksikan sikap Coa Wi-wi yang tertegun lantaran kaget, hatinya kontan saja jadi kecut.

   Jilid 22 SEDIKIT banyak usia Wan Hong-giok jauh lebih besar dibandingkan Coa Wi-wi.

   Apalagi dia adalah seorang perempuan yang sudah berpengalaman dalam pelbagai peristiwa besar.

   Maka walaupun dihati ia gugup dan terkejut, perasaan tersebut masih dapat ia kendalikan secara baik.

   Pelan-pelan ia bangkit berdiri, lalu maju ke muka.

   Dihampirinya Coa Wi-wi dan dibelainya bahu dara itu.

   "Adik Wi tak boleh terlalu sedih"

   Hiburnya dengan muka serius.

   "Caramu begini bukan saja tak ada manfaatnya bagi keadaan Hoa kongcu, justru amat merugikan kesehatan badanmu sendiri. Ayoh bangun, mari kita rundingkan, siapa tahu kalau kita bisa temukan cara yang baik untuk mengatasi keadaan tersebut"

   "Tapi.... Tapi dia tak mau turuti perkataan kita!"

   Keluh Coa Wi-wi sambil angkat kepalanya, air mata masih berlinang membasahi seluruh wajahnya. Wan Hong-giok mengangguk lirih.

   "Maksud adik Wi, Hoa kongcu enggan mengerahkan tenaganya untuk mengusir sari racun dari tubuhnya?"

   Coa Wi-wi sesenggukan menahan isak tangisnya yang kian menjadi.

   "Ia sendiri yang bilang, katanya racun tersebut mungkin bisa didesak keluar dengan menggunakan suatu jenis sim-hoat tenaga dalam yang istimewa, tapi.... tapi...."

   Belum selasai perkataan itu, tiba-tiba Hoa In-liong berbisik dengan suara yang sangat lemah.

   "Bi....biarlah aku....akan.... mencobanya...."

   Mendengar ucapan itu, dua orang dara tersebut sama-sama jadi tertegun dan melongo. Selang sesaat kemudian, Coa Wi-wi telah tersenyum kembali, dia lantas menggerutu.

   "Aaah.... kamu ini, setan binal!"

   Seraya menggerutu dia lantas ulapkan tangannya, memberi tanda kepada Ki-ji untuk mengundurkan diri sedang dia sendiri segera melompat bangun dengan enteng.

   Lalu setelah membisikkan sesuatu disisi telinga Wan Hong-giok, diapun mundur dan menyingkir kesamping.

   Jelas ia telah memikul tanggung jawab sebagai pelindung dari Hoa In-liong selama pemuda itu melakukan semedinya.

   Walaupun demikian, sepasang matanya yang jeli menatap wajah Hoa In-liong lekat lekat, rupanya ia sedang mengawasi perubahan wajah sang pemuda dan berusaha memberikan penilaiannya.

   Waktu Coa Wi-wi dan Wan Hong-giok berdiri beriring Coa Wi-wi di depan dan Wan Hong-giok di belakang.

   Dengan begitu Wan Hong-giok tak dapat menyaksikan perubahan wajah dari nona tersebut, tapi ia dapat mendengar detak jantungnya yang amat keras.

   Selang sesaat kemudian, detak jantung Coa Wi-wi makin lama kedengaran makin nyaring.

   Nafasnya juga makin lama semakin memburu hingga akhirnya mendekati tersengkal.

   Keadaan tersebut jelas menunjukkan bahwa keadaannya luar biasa.

   Wang Hong-giok terkesiap, cepat-cepat ia beranjak dan berusaha menengok keadaan dari Hoa In-liong.

   Seluruh ilmu silat yang dimiliki gadis itu baru saja punah, ketajaman matanya secara otomatis juga jauh berkurang.

   Mula-mula dia mengira keadaan Hoa In-liong bertambah kritis.

   Tapi setelah diamatinya dengan seksama, ternyata ia tidak menemukan suatu gejala yang kurang beres pada air muka anak muda itu, maka sinar matanya lantas dialirkan ke atas wajah Coa Wi-wi.

   Paras muka Coa Wi-wi juga tidak menunjukkan perubahan apa-apa, cuma bibirnya gemetar seperti mau mengucapkan sesuatu.

   Dadanya bergelombang matanya memancarkan cahaya tajam, ia sedang mergawasi Hoa In-liong tanpa berkedip.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
oooOOOOooo DITINJAU dari semua gejala tersebut, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa bergelombangnya dada nona itu serta memberatnya dengusan napas adalah dikarenakan tekanan jiwa yang teramat sangat.

   Setelah melihat jelas keadaan dari dua orang tersebut, Wan Hong-giok mengerutkan dahinya lalu diam-diam menghembuskan napas panjang.

   "Aaaai.... Dasar bocah, apa gunanya bersikap tegang seperti itu....?"

   Demikian ia berpikir.

   Belum habis ingatan tersebut melintas, satu ingatan tiba-tiba berkelebat dalam benaknya.

   Kenangannya ketika berjumpa dengan Hoa In-liong di kota Lok yang kembali terbayang kembali dalam benaknya.

   Itulah suatu tanah berbukit diluar kota Lok-yang, ketika itu fajar baru menyingsing.

   Si-nio-pun baru saja kabur terbirit-birit.

   Di atas bukit hanya tinggal dia dan Hoa In-liong dua orang.

   Memandang kegagahan dan ketampanan wajah Hoa In-liong, ia merasa begitu terpikat, begitu terpesona, sehingga jantungnya berdebar keras, sehingga napasnya memburu dan hampir saja tak mampu bernapas lagi.

   Sejsk itulah batinnya seakan-akan sudah terbelenggu disisi Hoa In-liong.

   Setiap waktu, setiap saat ia selalu mengenang diri Hoa In-liong.

   Terbayang kembali kenangan masa lalu, tiba-tiba saja Wan Hong-giok merasa bahwa keadaannya ketika itu ternyata tidak jauh berada dengan keadaan Coa Wi-wi sekarang ini.

   Terbayang sampai disana, tanpa sadar iapun berpaling kearah Coa Wi-wi Kali ini ia telah merasakan, merasa bahwa Coa Wi-wi sudah bukan seorang bocah lagi.

   Dalam pandangan Wan Hong-giok, seolah-olah secara tiba-tiba Coa Wi-wi telah tumbuh jadi dewasa.

   Tumbuh jadi seorang gadis cantik rupawan yang memiliki daya pikat yang hebat.

   Yang bisa meruntuhkan hati setiap laki-laki manapun....

   Suatu keanehan segera dirasakan kembali, tiba-tiba Wan Hong-giok merasa bahwa kehadiran gadis yang cantik jelita itu seolah-olah merupakan suatu daya kekuatan yang menekan diatas tubuhnya.

   Kekuatan itu mencapai ribuan kati beratnya.

   Ini membuat Wan Hong-giok merasakan kakinya jadi lemas, badannya jadi sempoyongan dan hampir saja tak sanggup berdiri tegap...., Yaa....

   maklumlah, ia sampai ternoda, sampai menderita, bahkan ilmu silatnya sampai musnah kesemuanya itu lantaran apa? Atau tenaganya saja, ia sampai merasa rendah diri, sampai tak pantas untuk mendampingi Hoa In-liong.

   Dari sini dapat kita ketahui betapa mendalamnya perasaan cinta gadis itu terhadap sang pemuda sehingga boleh dibilang sudah mencapai puncaknya.

   Dan secara tiba-tiba menyaksikan bagaimanakah sikap Coa Wi-wi terhadap Hoa In- liong, betapa cintanya gadis itu terhadap pujaan hatinya.

   Tentu saja pukulan tersebut dirasakan semakin berat lagi, terutama dalam keadaan seperti ini.

   Setelah termangu-mangu beberapa waktu lamanya, ia merasa sepasang kakinya bertambah lemas, badannya jadi semboyongan.

   Hampir saja ia jatuh terjerembab.

   Siau-ki buru-buru menghampiri dan membimbing tubuhnya, kemudian bisiknya dengan lirih.

   "Nona Wan, kenapa kau? Apakah masih bisa bertahan? Apakah badanmu merasa kurang enak?' "Hey, jangan berisik!"

   Tiba-tiba Coa Wi-wi menegur sambil ulapkan tangannya.

   Meskipun mulutnya berbicara dengan nada tajam, sinar matanya sama sekali tidak beralih dari tempat semula.

   Kenyatan tersebut semakin melemaskan tubuh Wan Hong-giok.

   Paras mukanya semakin pucat, kelompok matanya jadi berat.

   Dengan lemas tak bertenaga sedikitpun ia bersadar ditubuh Ki-ji dan menghela napas berulang kali.

   Yaa, berbicara sesungguhnya semua gerak gerik, semua tingkah laku Coa Wi-wi dengan jelas menunjukan bahwa dalam hatinya, dalam pikirannya hanya ada Hoa In-liong seorang.

   Sikap semacam itu adalah suatu sikap penaruh perhatian yang mendalam, suatu sikap kuatir yang amat sangat.

   Wan Hong-giok adalah seorang perempuan yang berpengalaman, sudah tentu keadaan semacam itu cukup dipahami olehnya.

   Hanya saja Coa Wi-wi lebih muda dari padanya.

   Lebih cantik darinya dan lagi diapun berhutang budi atas pertolongan yaug telah menyelamatkan jiwanya.

   Bukan saja ia tak boleh menjadi musuh cintanya, iapun tak boleh berebut cinta dengannya....

   Yaaa, padi hakekatnya keadaan dara ini terlalu mengenaskan.

   Ia betul-betul berada dalam keadaan terjepit, bayangkan saja, bagaimana caranya kesulitan ini harus diatasi? Ki-ji tidak paham akan perasaan si nona.

   Dianggapnya nona itu kurang sehat badan, maka sambil membimbingnya duduk kesamping dia bertanya.

   "Wan siocia, bagian manakah badanmu yang kurang sahat? Biar Ki-ji memijatkan, mau kan?"

   "Aku.... aku...."pelan-pelan Wan Hong-giok membuka kembali matanya. Tapi pandangan matanya kemudian dialihkan kearah Coa Wi-wi dan memandang bayangan punggungnya dengan terpesona. Ki-ji tidak memahami perasaan orang, dengan dahi yang berkerut dia berseru.

   "Nona-Wan! Yang paling penting adalah urusi dulu badanmu!. Serahkan saja soal Ji-kongcu kepada nonaku, kau tak usah mengurusinya. Nona seorang rasanya masih cukup uituk mengatasi segala kesulitan!"

   Wan Hong-giok tidak menjawab. Pada hakekatnya ia tidak mendengar apa yang dikatakan dayang itu, dihati kecilnya ia sedang berpikir.

   "Aaaia.... Aku hanya sekuntum bunga yang mulai layu dan rontok. Dapatkah aku dibandingkan dengan sekuntum bunga yang masih segar....? Aku.... aku.... harus...."

   Sekilas keteguhan hati yang tebal melintas di atas wajahnya, mendadak ia bangkit berdiri.

   "Eeeeeh.... Kau.... Kau mau apa?"

   Ki-ji segera menegur dengan kaget. Sambil berusaha mengendalikan perasaannya yang kalut, Wan Hong giok tertawa getir.

   "Nona Ki- ji, banyak terima kasih atas usahamu yang beberapa kali menyelamatkan jiwaku. Meski saat ini Wan-Hong-giok tak sanggup membalas budi kebaikan itu, namun budi tersebut akan selalu terukir dalam hati sanubariku"

   Tentu saja Ki-ji membuat pusiug tujuh keliling dan tak habis mengerti oleh ucapan-ucapan semacan itu. Dia malah melongo dan berdiri tercengang dibuatnya.

   "Aneh betul kau nona Wan. Tiada hujan tiada angin kenapa kau singgung urusan tersebut? Toh urusan semacam itu pada dasarnya tiada harganya untuk disinggung! "demikian ia berseru.

   "Yaaa, apa boleh buat, terpaksa aku harus tinggalkan tempat ini"

   Bisik Wan Hong- giok dengan mata yang menjadi merah.

   "Setelah aku pergi nanti, tolong sampaikan salamku kepadanya, katakan saja bahwa aku...."

   "Enci Wan! Cepat lihat, dia...."

   Teriak kegirangan dari Coh Wi-wi mendadak memotong perkataannya yang belum diucapkan hingga selesai itu....

   Tapi ketika Goa Wi-wi tidak menemukan teman berbicaranya ada disisinya, kontan saja nona itu menghentikan kata-katanya.

   Wan Hong-giok tertegun, tanpa sadar ia berpaling ke arah mana berasalnya suara itu.

   Dikala empat mata saling beradu, badan Coa Wi-wi yang separuh berputarpun terhenti ditengah jalan.

   Dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti ia berpaling serta menatap tajamtajam wajahnya.

   "Siocia, dia mau pergi katanya!"

   Ki-ji berteriak dengan suara penuh kegelisahan.

   "Kenapa? Kenapa kau hendak pergi?"

   Dengan langkah terburu-buru, Coa wi-wi lari menghampirinya.

   "Enci Wan, kenapa kau? Hendak kenapa kau?"

   "Aaaai.... Selama manusia masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidupnya, aku tak dapat mengatakan kemana kuakan pergi. Aku hanya tahu sampai dimana aku pergi, sampai disitu pula kehidupanku"

   Jawab Wan Hong- giok diiringi helaan napas sedih.

   "Aaaai.... Tidak boleh, kau tidak boleh pergi!' teriak Coa Wi-wi sambil berkerut kening.

   "Apalagi badanmu begitu...."

   Tiba-tiba ia meresa dibalik perkataan gadis itu terselip suatu nada kesedihan yang luar biasa.

   Ini menyebabkan ia jadi bingung dan tidak habis mengerti, maka sampai ditengah jalan katakatanya terhenti, ditatapnya dara itu dengan wajah termangu.

   Noda air mata masih membasahi pipi Wan Hong-giok, hal ini semakin mencengangkan Coa wi-wi, ia sampai berdiri melongo.

   "Enci Wan, kau menangis? "tanyanya agak tercengang. Mendengar itu, cepat Wan Hong-giok menyeka air matanya.

   "Aku.... Aku.... Merasa sangat berhutang budi kepada adik Wi, aku merasa tak mampu untuk membalas budi itu...."

   "Oooh.... Maka Enci Wan lantas mau pergi?"

   Tukas Coa Wi-wi setelah berseru perlahan. Setelah berhenti sebentar, ditatapnya gadis itu dengan tajam, kemudian ia mengomel.

   "Enci Wan ini juga keterlaluan, pertolongan macam begitu itu terhitung budi macam apa? Buat apa mesti bikin hatimu jadi risau dan ingin pergi secara diam-diam?"

   Wan Hong-giok tertawa getir dihati. Mesti ada persoalan tersebut sulit rasanya untuk diutarakan keluar, terpaksa sahutnya dengan cepat.

   "Perkataan adik Wi-wi terlampau serius. Aku tidak ingin kabur tanpa pamit, aku cuma tak ingin mengganggu konsentrasimu...."

   "Aku tak ambil perduli, pokoknya kau tak boleh pergi dari sini!"

   Sekali lagi Coa Wi-wi menukas dengan bibir yang dicibirkan, boleh dibilang ia agak enggan untuk mendengarkan perdebatan itu.

   Ketika mengucapkan kata-kata tersebut seratus persen gayanya masih merupakan gaya seorang gadis remaja.

   Wan Hong-giok merasa dalam hatinya muncul sebuah bisul besar, ia enggan untuk mengumbar hawa amarahnya maka sambil tertawa gaeir, dia berusaha untuk menahan emosi hatinya.

   "Dengarkan dulu perkataanku adik Wi"

   Kata-nya kemudian.

   "Kini aku hanya seorang perempuan cacad. Aku hanya akan menjadi beban selama Mengikuti kalian. Akupun mengerti bahwa tugas kalian berat, banyak urusan penting yang harus dikerjakan. Terutama tugas kalian untuk menyapu hawa iblis dari muka bumi dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan. Aku tak mau menjadi beban kalian, akupun tak ingin menjadi perintang dari cita-cita kalian sebab baik dalam urusan pribadi maupun demi kepentingan umum, kehadiranku hanya menambah beban kalian!" Sebenarnya perkataan tersebut bertolak belakang dengan apa yang menjadi beban pikirannya, tapi pada hakekatnya kata-kata itu mengandung kebenaran yang tak bisa dibantah oleh siapapun. Sayang jalan pikiran Coa Wi-wi berbeda. Ia tidak menggubris perkataan itu, sebaliknya sambil angkat kepala dan mengernyitkan dahi ujarnya kembali.

   "Apa itu beban, apa itu perempuan cacad? Kalau berkata bahwa cita-cita kita adalah menyapu hawa siluman. Kalau dibilang tugas kita berat, sekali pun engkau betul-betul cacad juga sepantasnya ikut memikirkan keselamatan dunia persilatan. Lebih-lebih lagi kami, sudah sepatutnya kalau melindungi keselamatanmu. Tahukah engkau tanggung jawab bukanlah tugas. Sudahlah, pokoknya apapun yang kau katakan, aku tetap tidak porkenankan engkau pergi"

   Kalau perkataannya tadi masuk diakal, maka perkataan ini lebih masuk diakal.

   Dalam katakatanya itu meski ada nada jengkel, namun dibalik kejengkelan ada nada hangat.

   Untuk sesaat Wan Hong-giok malah dibikin tertegun setelah mendengar perkataan itu.

   Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya, sesudah merenung sebentar, ujarnya kembali.

   "Adik Wi, aku tidak bertindak karena turuti emosi, ketahuilah bencana besar telah menyelimuti dunia persilatan. Setiap waktu setiap saat kemungkinan besar kita dapat bertemu dengan kaum iblis dan siluman setan. Bila aku ikut hadir pada waktu itu, sudah pasti perhatian kalian aku bercabang. Bila sampai dimanfaatkan kesempatan itu oleh musuh, bukankah lebih berabe?"

   "Sudah....sudah ah.... Kau tak usah banyak berbicara lagi", potong Coa Wi-wi rada mangkel.

   "Apa nya yang perlu dikuatirkan? Pokoknya aku tak akan biarkan aku pergi, bicara seratus kalipun juga sia-sia belaka"

   "Adik...."

   Sambil tertawa getir Wan Hong-giok gelengkan kepalanya berulang kali. Tampaknya Coa Wi-wi mulai tak sabar, dengan kening berkerut dan nada mangkel dia menukas.

   "Cerewet amat kau enci Wan, kenapa kau hanya memikirkan dirimu sendiri? Pikirkan dulu keadaan orang sebelum memikirkan dirimu pribadi! Jika kau pergi dengan begitu saja bukankah sama artinya dengan tidak setiap kawan terhadap Jiko? Bagaimana pula tanggung jawabku terhadap Jiko nanti? Terus terang kukatakan kepadamu, aku sudah mempunyai susunan rencana yang matang. Asal Jiko telah pulih kembali kesehatannya, kita akan berkunjung ke bukit Im Tiong-san lebih dulu. Konon tempo haripun Lo-tay-kun dari keluarga Hoa pernah kehilangan ilmu silatnya, tapi kemudian ilmu silatnya berhasil dipulihkan kembali. Dengan pengalaman serta kemampuan yang dimiliki dia orang tua, aku percaya beliau pasti akan banyak membantu untuk dirimu. Makanya kalau ingin pergi, kau harus tunggu sampai berjumpa dulu dejgan dia orang tua"

   Perkataan itu ada benarnya juga.

   Dalam peristiwa tersebut banyak orang yang memuji akan ketangguhan Hoa lo-hujin, terutama kemampuannya untuk memulihkan kembali kepandaiannya yang telah punah.

   Hampir setiap umat persilatan memujinya.

   Semua orang menganggap kejadian itu merupakan peristiwa paling aneh dalam sejarah ilmu silat.

   Sebelum terjun kedalam dunia persilatan, Wan Hong-giok sudah pernah mendengar tentang kisah cerita itu.

   Maka ketika persoalan tersebut disinggung kembali oleh Coa Wi- wi, hatinya jadi rada bergerak, timbullah sebercak harapan dalam hatinya.

   Tapi ketika sinar matanya terbentur kembali dengan raut wajah Coa Wi-wi yang cantik jelita, ia jadi terbungkam dalam seribu basa, bahkan hatipun ikut tergetar keras.

   Menyaksikan nona itu tertegun, tiba-tiba Coa Wi-wi tertawa cerah, dicekalnya lengan Hong-giok dan dibisiknya dengan lembut.

   "Sungguh, enci Wan! Kita dapat memohon kepada Lo taykun dari keluarga Hoa untuk memulihkan kembali ilmu silatmu yang hilang. Kalau tidak Jiko tentu akan selalu murung dan kaupun selalu kesal oleh kejadian ini. Oh Enci ku yang baik! Turutilah perkataanku, jangan pergi dari sini....mau kan?"

   Ketika, dimohon dengan suara lembut, Wan-Hong giok jadi kelabakan, akhirnya dia menghela napas.

   "Aaai.... Adik Wi, kau tidak akan mengerti!"

   Katanya.

   "Aku mengerti!"

   Coa Wi-wi angkat mukanya.

   "Aku tahu enci Wan, kau sangat baik terhadap Jiko"

   "Aaaai.... Apa yang kau mengertikan?"

   Batin Wan Hong giok setengah mengeluh.

   "Disisi pembaringan, apakah kau ijinkan kehadiran perempuan lain? Sekalipun Wan Hong- giok amat mencintai dirinya, aku toh bukan tandinganmu"

   Mendadak ia merasa bahwa perkataan itu diucapkan dengan nada bersungguh-sungguh, maka dia pun jadi tertegun. Maka sesudah merenung sejenak, kembali pikirnya.

   "Yaaa. Benar bocah ini masih setengah mengerti setengah tidak. Sekalipun dia cintai Hoa kongcu, namun tidak mengerti untuk cemburu kepadaku, Aku.... Aku....aai.... hati itu merah. Aku lebih-lebih tak boleh merintangi hubungan mereka"

   Berpikir sampai disitu, niatnya untuk meninggalkan, tempat itu semakin mantap, kembali dia angkat muka dan tertawa.

   "Adik Wi", demikian katanya.

   "Jika semua orang didunia ini dapat mempunyai perasaan yang suci dan tak ternoda seperti kau, alangkah ramainya dunia kita ini"

   "Kau.... apa kau bilang?"

   Coa Wi-wi tertegun dan tidak habis mengerti arti dari perkataan itu. Sambil tersenyum Wan Hong-giok menepuk bahunya.

   "Maksudku", katanya.

   "Jika semua orang didunia ini berpikiran polos dan jujur seperti kau niscaya banyak perselisihan dan pertikaian yang tak berguna dapat dihindari!"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aaaai.... masih jauh!"

   Coa Wi-wi tertunduk dengan kemalu-maluan.

   "Enci Wan, bila kau tidak terlalu jemu dengan kebinalanku, harap jangan pergi tinggalkan kami. Sungguh bila ilmu silatmu dapat pulih kembali, langsung kita menggrebeg bareng bajingan-bajingan itu di Seng-sut-hay. Kita ganyang semua orang Mo-kau sampai ludas, biar mereka merasa kapok dan tahu diri"

   Lincah, manja, polos dan hangat, begitulah nada ucapan nona tersebut, bikin hati orang yang lebih keras dari bajapun akan menjadi lumer dibuatnya.

   Menghadapi keadaan seperti ini, disamping rasa gembira, Wan Hong giok merasakan pula kegetiran dan kepedihan.

   "Adik Wan tahukah kau bahwa engkau cantik?"

   Tiba-tiba ia bertanya setelah berpikir sebentar. Coa Wi-wi terbelalak dengan wajah tercengang.

   "Eeeeeh.... Apa yang telah terjadi? Enci Wan, masa bicara pulang pergi pokok pembicaraan ditimpakan pada diriku lagi. Bukankah makin berbicara kau menarik pokok pembicaraan semakin jauh?"

   Agaknya Wan Hong-giok mempunyai rencana yang cukup matang dengan pembicaraannya, pelan pelan katanya kembali.

   "Adik Wi, aku hendak mengucapkan sepatah dua patah gurauan kepadamu. Dulu lantaran aku sedang bersedih hati, wajah dan gerak gerikmu tidak terlalu kuperhatikan. Tapi setelah kuperhatikan sekarang, aku benar-benar sedikit merasa terkejut. Sungguh, kecantikan dari seorang gadis cantik adalah paling memikat hati, aku sebagai seorang perempuan-pun ikut terpikat rasanya oleh kecantikanmu"

   Coa Wi-wi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi sejenak kemudian tiba-tiba ia tertawa cekikikan.

   "Jadi kau iri hati?"

   Godanya dengan nakal.

   "Yaa, aku iri hati"

   Wan Hong-giok mengakuinya.

   "kau memiliki mata yang jeli bagaikan bintang timur, mempunyai bibir yang mungil bagaikan delima merekah. Apalagi kulit badanmu yang putih bersih, potongan badan yang ramping tapi padat berisi, terutama tindak tanduknya yang lincah, hatimu yang polos dan manja serta kelakuanmu yang halus berbudi. Coba bayangkan, siapa yang tidak merasa iri?"

   "Nah, kalau memang demikian, tidak seharusnya kau merusak makhluk alam!"

   Jawab Coa Wi-wi sambil mengerling manja. Menyaksikan "kerlingan yarg memikat itu, tanpa terasa Wan Hong-giok ikut tertawa.

   "Coba lihat tampangmu, ternyata berani mengomeli orang!"

   "Sesungguhnya, apa yang kau ucapkan barusan justru merupakan kelebihan yang kau miliki"

   Kata Coa Wi-wi dengan wajah serius.

   "Cuma, dewasa ini kau rada kurusan sedikit. Bila tubuhmu sudah sehat kembali dan pulih seperti sedia kala, tentu kau akan lebih cantik, jauh lebih cantik dari pada aku...."

   "Aaah.... cukup, tak usah kita bicarakan soal semacam itu lagi"

   Tukas Wan Hong- giok sambil tersenyum.

   "Mari kita bicarakan tentang soal-soal yang lain saja"

   "Kalau begitu kau sudah setuju bukan kalau tidak akan pergi?"

   Coa Wi-wi menatapnya dengan pandangan mengharap. Wan Hong-giok tetap menggelengkan kepalanya.

   "Aku harus pergi, bagaimanapun juga aku harus pergi dari sini"

   Sahutnya tegas.

   "Waaah....setengah harian sudah kita buang tenaga untuk berbicara, tapi akhirnya kau toh ngotot ingin pergi juga. Buat apa kita berbicara lebih lanjut?"

   Dengan agak mendongkol Coa Wiwi mencibirkan bibirnya yang mungil. Dengan cepat dia memutar badannya dan tidak menggubris gadis itu lagi.... Cepat Wan Hong-giok menangkap bahunya dan memutar badannya dengan paksa, pintanya.

   "Adik Wi dengarkan dulu perkataanku...."

   "Ogah.... ogah.... aku tak mau dengarkan perkataanmu...."

   Teriak Coa Wi-wi sambil menutup telinga dengan kedua belah tangannya. Wan-Hong-giok tidak menggubris teriakan itu malah sambil tersenyum ia bertanya.

   "Aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau amat menyukai dirinya?"

   Mula-mula Coa Wi-wi agak tertegun, menyusul kemudian tanyanya agak tercengang.

   "Siapa yang kau maksudkan?"

   "Hoa kongcu!"

   Mula-mulaCoa Wi-wi agak tertegun, menyusul kemudian sahutnya tergagap.

   "Aku.... Aku...."

   Warna merah dengan cepat menjalar diatas wajahnya.

   Tanpa sadar ia tertunduk dengan wajah malu.

   Untuk sesaat gadis itu merasa gelagapan dan tak sanggup meneruskan kata- katanya.

   Dipegangnya dagu nona itu dengan tangan kanan, lalu diangkatnya wajah Coa Wi-wi hingga bertatapan muka dengannya, kemudian berkatalah Wan Hong-giok.

   "Tak usah malu- malu adik Wi. Laki-laki mencintai kaum wanita kaum wanita mencintai laki-laki kejadian tersebut sudah lumrah. Kau menyukainya?"

   Semakin jengah Coa Wi-wi dibuatnya dengan muka merah ia meronta dari cekalan tangannya kemudian tundukkan kepalanya rendah-rendah.

   "Aku.... Aku.... Bukankah kau juga menyukainya?"

   Tiba-tiba ia balik bertanya. Wan Hong-giok tersenyum.

   "Yaa, aku memang menyukainya, karena itu aku harus membicarakan persoalan ini denganmu"

   "Apa lagi yang musti kita bicarakan?"

   Dengan perasaan heran, tidak habis mengerti Coa Wi-wi menengadah.

   "Engkau menyukainya, aku juga menyukainya, apakah tidak cemburu kepadaku?"

   "Cemburu kepadamu?"

   Coa Wi-wi mengerdipkan matanya dengan keheranan "Kenapa aku musti cemburu kepadamu?"

   "Itulah persoalan yang hendak kubicarakan denganmu. Selain daripada itu...."

   "Aaaah.... Masalah apalagi yang perlu kita bicarakan!"

   Sela Coa Wi-wi dengan hati berkerut.

   "Aku tahu bahwa kau berkenalan lebih dulu dengan Jiko. Kalian adalah teman, apalagi kau baik sekali kepada Jiko, selalu berusaha untuk membantunya. Setelah kuketahui kesemuanya itu, hatiku semakin berterima kasih kepadamu"

   "Bukankah kau berterima kasih kepadaku lantaran itu maka kau melarang aku pergi dari sini?"

   Desak Wan Hong-giok sambil menggut-manggut. Coa Wi-wi mengangguk tanda membenarkan.

   "Yaa, kalau toh aku menyukai Jiko maka semua sahabat Jiko adalah sahabatku juga. Semua musuh Jiko adalah musuhku juga. Kau baik sekali kepada Jiko lantaran Jiko hingga musti mengalami musibah seberat ini. Tentu saja aku tak boleh membiarkan kau pergi. Sebab kalau tidak demikian, berarti aku tidak menyukai Jiko. Sebaliknya, bila aku harus cemburu kepada orang yang memperhatikan Jiko, bukankah hal ini membuat aku jadi terlalu egois, terlalu mementing diri sendiri? Manusia macam begitu berhargakah untuk dicintai Jiko?"

   Kata-kata itu terlalu polos, tarlalu bersifat kekanak-kanakan tapi sedap didengar.

   Bila Hoa In-liong berprinsip bahwa cinta itu harus dimiliki untuk semua orang, maka cocoklah kalau pandangan itu ditrapkan dengan jalan pemikiran Coa Wi-wi.

   Entahlah bagaimana reaksi Hoa In-liong seandainya ia mendengar kata-katanya itu.

   Hal ini berbeda pula dengan reaksi dari Wan Hong-giok.

   Ketika mendengar perkataan itu, dia gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang.

   "Aaaai.... Adik Wi, kau terlalu polos, terlalu berpandangan kekanak-kanakan. Cinta antara muda dan mudi tak bisa ditinjau dari keadaan pada umumnya!"

   "Tapi.... Aku rasa semua orang juga berpandangan demikian! Bukankah bersahabat adalah salah satu kewajiban utama sebagai manusia?"

   Tertawa geli Wan Hong-giok mendengar ucapan itu.

   "Dasar bocah....!"

   Serunya.

   "Mana ada hubungan antara laki dan perempuan yang dilakukan seperti kau? Aaah.... kamu ini setengah mengerti setengah tidak. Bila kau campur baurkan antara hubungan laki perempuan dengan hubungan persahabatan, siapapun yang mendengar perkataanmu tentu akan ikut tergelak sampai gigipun menjadi copot"

   "Kenapa?"

   Coa Wi-wi tertegun dengan wajah tidak mengerti.

   "Masa dibalik hubungan tersebut masih ada hal-hal yang istimewa?"

   "Banyak sekali kalau menyinggung soal hal-hal yang istimewa, misalnya saja, bila kurebut Jiko mu, Apakah kau tidak membenci kepadaku? Masa kau tidak cemburu kepadaku?"

   "Tentang soal ini...."

   Coa Wi-wi tertegun dan mengerdipkan matanya berulang kali. Wan Hong-giok tersenyum, lanjutnya.

   "Tentunya kau akan cemburu bukan? Tentunya? kau akan membenci aku kan? Jika engkau tidak merasakan gejala tersebut berarti kau tidak menyukai Jiko mu dengan sungguh hati. Nah, disinilah letak persahabatan, sudah mengerti bukan?"

   Coa Wi-wi bukan seorang gadis yang bodoh.

   Setelah dijelaskan Wan Hong-giok secara terperinci, apalagi ditanyai dengan cermat, tentu saja ia jadi paham.

   Bukan saja ia paham.

   Bahkan selapis lebih dalam kepahamannya itu.

   Sorot matanya dengan tajam dialihkan keatas wajah Wan Hong giok.

   Setelah ditatapnya beberapa kejap, sekulum senyuman segera terlintas dan menghiasi bibirnya.

   "Ooooh.... Sekarang aku baru mengerti"

   Teriaknya setengah menjerit.

   "Rupanya kau.... kau sedang cemburu kepadaku!"

   Jeritannya yang lengking itu seketika mengejutkan hati Ki-ji yang berada disisinya. Dengan agak gelagapan karena terkejut ia pun berseru lirih.

   "Ssst.... Siocia, bagaimana sih kamu ini? Kok jeritjerit seperti anak kecil, bagaimana coba kalau sampai mengejutkan Ji kongcu?"

   Teguran tersebut membuat Coa Wi-wi terkesiap dengan cepat dia berpaling dan memandang kearah Hoa In-liong.

   Wan Hong giok ikut terkejut, tanpa terasa dia ikut berpaling kearah si anak muda itu.

   Tapi ketika dilihatnya Hoa In-liong tidak apa-apa, hatinya jadi lega dan tatapan matanya segera ditarik kembali.

   Sementara itu Coa Wi-wi telah menjulurkan lidahnya memperlihatkan muka setan, lalu berbisik.

   "Sialan, aku sampai kaget setengah mati.

   "Eeh.... Enci Wan! Ayoh ngaku terus terang, bukankah kau lagi cemburu kepadaku?"

   Wajah Wan Hong giok yang semula pucat pias seketika itu jua berubah jadi semu merah.

   "Yaa, memang kuakui, semula aku memang rada cemburu kepadamu!"

   Jawabnya kemudian setengah berbisik. Dasar Coa Wi-wi yang polos dan masih kekanak-kanakan, kontan saja ia tertawa cekikikan.

   "Hiiik.... hiik.... hiikk.... Enci Wan ini lucu amat, kalau cemburu yaa cemburu, masa cuma sedikit? Masa semula cemburu sekarang tidak?" Wan Hong-giok betul-betul menjadi tobat menghadapi kebinalan si nona cantik itu, akhirnya dengan gemas ditudingnya ujung hidung dara itu sambil tertawa geli.

   "Aaaah.... Kamu ini....adaada saja...."

   Coa Wi-wi- semakin cekikikan.

   "Kenapa aku? Aku toh tak pernah cemburu kepadamu, kaulah yang dalam hati ada setannya."

   Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba dengan wajah serius ujarnya lebih lanjut.

   "Aku ingin bertanya kepadamu, enci Wan! Sekarang kau harus bicara yang sesungguhnya, tentunya kau tak akan pergi lagi bukan?"

   Sambil berkata dia angkat muka dan menantikan jawaban dari Wan Hong-giok dengan penuh pengharapan.

   "Tidak! Aku harus pergi"

   Wan Hong-giok berseru kemudian sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

   Coa Wi-wi jadi tak senang hati.

   Sepasang alis matanya berkenyit, matanya melotot besar, tampaknya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.

   Melihat gelagat kurang baik, buru-buru Wan Hong-giok berseru.

   "Dengarkan dulu perkataanku adik Wi. Aku bersikeras ingin pergi dari sini bukan lantaran cemburu kepadamu, tapi dikarenakan oleh alasan-alasan lain"

   Coa Wi-wi mendengus dingin.

   "Hmmmm! Kamu ini selamanya sudah diajak bicara kalau memang ada alasan lain cepatlah katakan, aku segan untuk banyak cingcong lagi dengan dirimu"

   Wan Hong-giok sama sekali tidak tersinggung oleh perkataan itu, dia malahan tersenyum.

   "Baik, aku akan berbicara. Tolong tanya sudah berapa lama adik Wi berkenalan dengan Hoa kongcu?"

   "Eeeh.... Sebetulnya akal setan apalagi yang sedang berputar dalam benakmu itu? "tegur Coa Wi-wi dengan wajah tercengang.

   "Kenapa yang kau tanyakan selalu persoalan persoilan yang tak penting?"

   Wan Hong-giok tersenyum.

   "Harap jangan kau tanyakan dulu persoalan itu. Sekarang beritahukan saja kepadaku, sudah berapa lama engkau berkenalan dengan Jiko mu itu...."

   Sebetulnya Coa Wi-wi tak mau menjawab tapi ketika dilihatnya pertanyaan itu diajukan dengan wajah serius, ia jadi tak tega untuk mendiamkan terus. Akhirnya setelah merenung sebentar, dia menjawab singkat.

   "Sejak kemarin!"

   "Sejak kemarin....?"

   Wan Hong-giok keheranan, bahkan hampir tak mempercayainya.

   "Masa kalian baru sehari lamanya berkenalan?"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau kenalnya sih sudah lama, cuma sejak kemarin baru mengadakan pembicaraan secara resmi"

   "Oooh.... Jadi kalau begitu, kalian boleh dibilang jatuh cinta pada pandangan yang pertama". "Siapa bilang begitu?"

   Coa Wi-wi mengerutkan dahinya dengan sengit.

   "Ketika berjumpa untuk pertama kalinya tempo hari, aku malah ingin sekali memberi hajaran kepadanya"

   "Aaaah.... Masa iya?"

   Tanya Wan Hong-giok agak tertegun.

   "'Buat apa kau kubohongi?"

   Coa Wi-wi berkerut kening.

   "Waktu itu engkohku memuji-muji dia. Kongkong-ku juga memuji-muji dia, seakan-akan dia itu manusia super yang tiada taranya di bumi dan tiada keduanya dikolong langit. Huuh....! Aku jadi gemas rasanya, maka pingin kuberi pelajaran yang setimpal kepadanya agar dia tahu rasa!"

   "Oooh.... Jadi begitu ceritanya"

   Pelan-pelan Wan Hong-giok mengangguk.

   "Jadi rasa simpatikmu kepada Jiko dan rasa senangmu kepadanya baru tumbuh dengan pelan-pelan setelah berlangsungnya pembicaraan kemarin?"

   "Aku sendiri juga kurang jelas"

   Jawab Coa Wi-wi sambil putar otak tiada hentinya.

   "Ketika kutemui dirinya kemarin, sebenarnya ingin sekali kuhajar adat kepadanya, cuma kemudian.... kemudian...."

   "Kemudian kau terpikat oleh kegagahannya dan membatalkan niatmu itu?"

   Sambung Wan Honggiok sambil tertawa.

   "Aaah.... bukan begitu!"

   Seperti baru sadar dari kenangan, Coa Wi-wi mengerdipkan matanya beberapa kali. Lalu setelah berpikir sebentar, tiba-tiba ia tertawa dan berkata.

   "Sekarang aku teringat sudah, semuanya itu adalah lantaran kau, selain tentu saja terpengaruh oleh Toako"

   "Lantaran aku? "

   Wan Hong-giok tertegun, ia merasa tercengang dan tidak habis mengerti. Coa Wi-wi mengangguk tanda membenarkan.

   "Yaa! Empat hari berselang, aku berjumpa dengan Hoa Si Toako. Waktu itu Toako mendapat tugas menuju kota Kim-leng, maka akupun menemani Toako berangkat ketimur. Tujuanku hanya satu yakin ingin mengajar Jiko. Sepanjang jalan lantaran tak ada urusan maka aku banyak menanyakan urusan tentang diri Jiko. Toako yang jujur dan baik bati selalu menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan. Ia membicarakan kelebihan-kelebihan dari Jiko tapi menyinggung juga kekurangan- kekurangannya. Maka jika kupikirkan kembali, kesanku atas diri Jiko mungkin didapatkan semenjak itu dan untungnya kesan tersebut adalah kesan yang semakin baik"

   Setelah berhenti sebentar, diapun berkata lebih jauh.

   "Dua bari berselang, kami telah berjumpa dengan rombongan kakakku di kota Si-sian. Dari mereka kamipun tahu kalau engkau ada janji dengan Jiko. Kebetulan Toako mendapat perintah dari empek Hoa untuk memperingatkan Jiko agar lebih waspada dan kalau bisa jangan bentrok dulu dengan orang-orang Mo-kau. Sedang dikota Kim-leng pun kebetulan terjadi peristiwa yang membutuhkan bantuan orang. Toako jadi kelabakan dan gelisah sekali, sebab seorang diri tak mungkin baginya untuk mengatasi dan kejadian ditempat yang berbeda. Maka ketika kulihat ada kesempatan segera kuajukan diri untuk memikul tugas tersebut dan memburu kebukit Sian-san, maksudku hendak menghalangi Jiko untuk datang memenuhi janji...."

   Menyinggung soal janji dibukit Sian-san, Wan Hong-giok merasa murung bercampur kesal. Ia menghela napas sedih.

   "Kesemuanya ini.... Akulah yang bersalah"

   Keluhnya.

   "Hanya satu hal yang kuherankan, secara bagaimana rahasia tersebut dapat diketahui musuh? Aku tak dapat menebak teka-teki ini"

   "Urusan toh sudah lewat buat apa kau pikirkan lagi"

   Hibur Coa Wi-wi cepat. Wan Hong-giok mengangguk.

   "Yaa.... Perkataan adik Wan memang ada benarnya. Ayo, ketika kau memburu kebukit Sian-san, ingatan untuk menghajar Hoa kongcu tentu masih terbayang terus dalam benakmu bukan?"

   "Siapa bilang tidak! Ketika kujumpai dirinya disebuah warung teh dikota Ci-tin, dengan segala tipu daya aku berusaha untuk menjengkelkan hatinya. Siapa tahu ia cukup supel dan gagah perkasa. Setiap hari menghadapi dampratan-dampratanku yang tajam, ia selalu melayaninya dengan ramah tamah. Pembicaraan yang kurang enak dihati segera dibelokkan dengan manisnya...."

   "Karena itu maka kau berubah rencana? "desak Wan Hong-giok sedikit kurang sabar.

   "Aku sendiri juga tak tahu kenapa bisa berubah pikiran. Pokoknya setelah kutak berhasil mencari gara-gara akhirnya maksud hatipun kuutarakan secara terus terang, malah sengaja kutuduh dirinya terpikat oleh kecantikan perempuan, tak sudi menuruti nasehat saudara. Diapun tahu dia memang keras kepala, bicara baik-baik atau bicara kasar, ia tetap kukuh dengan pendiriannya. Aku dibikin kehabisan akal terpaksa akupun memohonnya dengan kata-kata yang lembut dan halus. Aaaai.... Kalau dibicarakan betul-betul menjengkelkan hati, tahukah kau apa yang dia katakan waktu itu?"

   "Dia bilang bagaimana?"

   "Dia bilang begini, 'Saudaraku, dengarkan dulu kata-kataku, cinta adalah cinta, setia kawan adalah setia kawan, kukabulkan permintaanmu karena cinta, kupenuhi janjiku dibukit Sian-san karena setia kawan. Sebagai manusia yang hidup didunia, kita harus dapat membedakan apakah itu cinta dan apakah itu setia kawan. Sekarang aka ingin bertanya kepadamu, apakah kau masih memaksa aku untuk membatalkan janjiku dibukit Sian-san? Padahal waktu itu aku sudah menyebutnya sebagai Jiko.' Sungguh tak kusangka kalau orang ini tidak doyan kekerasan juga tak doyan cara lembut, malahan akulah yang betul-betul ketanggor batunya"

   Tersenyum Wan Hong-giok mendengar perkataan itu.

   "Sepintas lalu orang itu tampaknya setengah sungguh-sungguh setengah berpura pura. Padahal dia adalah seorang laki- laki sejati yang mengutamakan kebajikan serta kesetia kawanan, kadangkala bahkan rada keras kepala...."

   "Yaaa.... Kemudian akupun berpikir sampai ke situ"

   Ujar Coa Wi-wi sambil mengangguk.

   "Justru lantaran aku berpikir sampai ke situ, maka....maka...."

   Tiba-tiba ia jadi gelagapan dan tak mampu melanjutkan kembali kata katanya, pipi yang semu merah pun bertambah memerah, ia tertunduk dengan wajah jengah.

   "Maka dari itu kau jadi menyukainya dan menaruh perhatian kepadanya, bukankah demikian?"

   Sambung Wan Hong giok sambil tersenyum. Coa Wi wi menundukkan kepalanya semakin rendah, ia makin tersipu sipu di buatnya.

   "Aku....Aku....aku merasa bahwa dia adalah seorang laki laki yang pegang janji. Manusia semacam ini biasanya tak pernah menyia-nyiakan perhatian orang"

   Wan Hong-giok yang sudah memperhatikan mimik wajahnya semenjak tadi, segera berpikir didalam hati.

   "Benih cinta dalam hati bocah ini baru saja tumbuh. Sungguh tak nyana begitu cepat ia sudah ada niat untuk menyerahkan dirinya untuk diperistri...."

   Berpikir sampai disitu, diapun membelai rambutnya yang mulus dengan tangan kanannya, kemudian berkata.

   "Adik Wi, tak usah malu. Aku juga perempuan. Hanya perempuanlah yang dapat menyelami perasaan kaum perempuan. Yaa, Hoa-kongcu memang gagah dan tampan. Bukan begitu saja dia pun punya nyali, punya daya pikat, memandang tinggi soal hubungan dengan seseorang dan manusia macam begini biasanya tak bermain licik, bertanggung jawab dan memang seorang pemuda yang dapat dipercaya"

   Setelah berhenti sebentar, diapun melanjutkan kembali kata katanya.

   "Adik Wi, sekarang aku paham, rupanya cinta kasihmu kepada Hoa-kongcu tumbuh dari rasa penasaran dan mendongkol yang meluap-luap. Itu berarti datangnya cinta telah mengalami pelbagai liku liku percobaan. Bukan saja halus, lembut bahkan jauh lebih berkesan. Jauh bedanya kalau dibandingkan dengan aku yang jatuh cinta pandangan pertama. Yaa.... dari sini dapatlah kita analisa bahwa cintamu jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan cintaku. Cintamu lebih berakar lebih berbobot dan lebih berarti"

   Merah jengah Coa Wi-wi dibuatnya, tapi ia angkat juga mukanya dan memandang ke arah gadis itu dengan muka tertegun.

   "Enci Wan lagi menggoda aku? Apa itu dalam cetek? pula berbobot atau tidak. sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan. Kenapa kau katakan secara ringkasnya saja? Putar sana putar kemari hanya bikin aku jadi pusing saja"

   Wan Hong-giok tertawa ringan.

   "Nah.... Naah.... Keadaanmu semacam itulah yang dinamakan orang jatuh cinta sampai lupa diri! Kau begitu polos, begitu sederhana, yang dipikirkan hanyalah berusaha berdiri segaris dengan Hoa kongcu. Sebentar ingin tidak menyalahi aku, sebentar ingin menahan diriku. Apakah kau tidak tahu bahwa tetap tinggalnya aku disini adalah suatu tindakan yang hanya mendatangkan kerugian belaka bagi Hoa kongcu? Kalau toh engkau cinta kepadanya, kenapa tidak berusaha mencari suatu tempat yang nyaman dan berpikirlah sedikit demi Hoa kongcu?"

   "Mencari tempat yang nyaman....?"

   Coa Wi-wi tertegun dengan dahi berkerut.

   "Masa.... Masakan aku salah?".

   "Pada hakekatnya engkau juga tidak terhitung salah, cuma kau telah mengetrapkan pikiran sendiri menjadi pendapat orang. Aku sudah mengalami sendiri betapa parah dan menderitanya orang yang terluka. Aku dapat memegang teguh pendapat yang mengatakan bahwa.

   "Jika badan tak utuh, bulupun tak akan tumbuh. Kini dunia persilatan sedang terancam oleh bahaya maut, padahal Hoa kongcu adalah panglima membuka jalan. Pelbagai persoalan yang serius dan menyulitkan perlu diatasi semuanya olehnya. Bila engkau harus bertambah seorang semacam aku ini, bukankah sama halnya dengan menambah kerepotan dirinya?"

   Meskipun alasan itu tidak berbobot akan tetapi memiliki alasan-alasan yang kuat untuk dipercayainya.

   Apalagi ketika Wan Hong-giok mengucapkan kata-kata tersebut, ia sama sekali tidak mengutarakan kata-kata yang kurang sedap didengar, seketika itu juga Coa Wi-wi dibuat amat terperanjat.

   "Yaa, benar.... Kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu?"

   Kemudian ia membatin.

   "Dewasa ini situasi amat kritis, banyak urusan harus diselesaikan. Padahal Jiko bukan seorang manusia yang melupakan teman. Kendatipun ia secara langsung menuju bukit Im Tiong-san, sedikit banyak kaum bajingan yang membayanginya pasti akan coba melakukan penghadangan. Bukankah itu berarti banyak kesulitan yang harus dihadapi, tapi.... tapi.... walaupun begitu, ilmu silat enci Wan toh sudah punah, kalau membiarkan ia melakukan perjalanan sendiri pasti akan sangat berbahaya!"

   Untuk sesaat lamanya ia jadi serba salah, dia tak tahu bagaimana musti mengatasi kesulitan tersebut. Wan Hong-giok menghela napas lirih, kembali ia berkata.

   "Aaaai.... Sekalipun cara kita berpandangan berbeda, tapi berbicara soal kasih sayang kita terhadap Hoa kongcu boleh dibilang tak jauh berbeda. Adik Wi, bila kau mencintainya, kau harus berpikir demi dirinya pula. Apakah masih tetap menahan diriku untuk tetap tinggal ditempat ini....?"

   Waktu itu Coa Wi-wi sedang dibuat serba salah, setelah didesak terus menerus maka diapun bertanya.

   "Lantas bagaimana dengan kau? Apa yang hendak kau lakukan?"

   "Tak usah merisaukan diriku"

   Wan-Hong-giok tertawa sedih.

   "Bila adik Wi sudah dapat memahami, itu lebih bagus lagi"

   "Tidak bisa, tidak bisa!"

   Teriak Coa Wi-wi dengan gelisah.

   "Sebetulnya apa rencanamu selanjutnya? Sedikit banyak harus kau terangkan dulu kepadaku!"

   Wan Hong-giok pejamkan matanya berpikir sebentar, kemudian menyahut dengan lirih.

   "Aku ingin melakukan perjalanan menuju keluar perbatasan. Disitu aku hendak mencari guruku!"

   "Siapakah gurumu?"

   Coa Wi-wi masih juga merasa kuatir.

   "Apakah dia dapat membantu dirimu untuk memulihkan kembali ilmu silatmu yang telah punah itu?"

   Wan Hong-giok bertujuan menghindari yang berat dan mencari yang enteng, menghadapi pertanyaan tersebut iapun menyahut dengan hambar.

   "Asal alirannya sama aku pikir masih ada harapannya!"

   Tampaknya ia sudah bulatkan tekad untuk pergi dan situ, maka diapun enggan untuk banyak berbicara lagi, pokok pembicaraan segera dialihkan ke soal lain, tiba tiba ujarnya.

   "Adik Wi, Hoa kongcu kuserahkan perawatannya kepadamu. Bila lain hari masih berjodoh, kita pasti akan berkumpul kembali!"

   Berbicara sampai disitu hatinya jadi kecut dan amat sedih, tak bisa dicegah lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. Coa Wi-wi juga tak dapat membendung rasa sedih, dia ikut mengucurkan air matanya sambil sesenggukan.

   "Kau.... kau.... apakah kau.... bersikeras ingin pergi juga dari tempat ini ?"

   Bisiknya. Wan Hong- giok tertawa terpaksa, cepat ia menyeka air mata yang membasahi pipinya.

   "Omongan anak kecil,"

   Katanya.

   "kalau tidak pergi mana bisa? Terus terang saja kukatakan, seandainya bukan memikirkan kepentingan Hoa kongcu, memangnya aku tega untuk berpisah kembali setelah berkumpul? Tak usah terlalu kekanak-kanakan. Pergilah! Coba tengok bagaimana keadaan Hoa-kongcu sekarang ini"

   Sambil berkata pelan-pelan dia memutar badan Coa Wi-wi dan mendorongnya maju ke muka. Terdorongnya oleh tenaga si nona tak kuasa Coa Wi-wi maju beberapa langkah, tapi ia memutar kembali badannya. "Eaci Wan, katakan kepadaku siapakah gurumu itu?"

   Pintanya.

   "Bila ada kesempatan, aku tentu akan berangkat ke perbatasan untuk mencari dirimu...."

   "Tidak usah!. Suatu ketika datang mencari sendiri"

   Tampik Wan Hong-giok cepat.

   Sampai disitu, dengan cepat dia mengerling sekejap ke arah Hoa In-liong kemudian putar badan dan cepat-cepat berlalu dari pintu gerbang kuil bobrok itu.

   Coa Wi-wi memburu beberapa langkah seperti hendak mengucapkan sesuatu, Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya.

   Ia merasa tak ada gunanya banyak berbicara, maka sambil keraskan hati ia hentikan langkah kakinya dan membiarkan Wan Hong-giok keluar dari pintu gerbang menuruni bukit dan lenyap dibawah cahaya matahari.

   Pada ketika yang terakhir ini.

   bati kecilnya seakan-akan kelihatan sesuatu, tapi seakan-akan kekurangan juga sesuatu, padahal benaknya terasa kosong.

   Sekalipun ada perasaan, diapun tak bisa merasakan perasaan apakah itu.

   Sementara dia masih tertegun, tiba-tiba Ki-ji berbisik memecahkan keheningan disekeliling tempat itu.

   "Wan siocia sudah pergi jauh"

   "Aaah...."

   Sekarang Coa Wi-wi baru sadar kembali dari lamunannya, ditatapnya wajah Ki-ji berulang kali, tiba tiba ia berseru.

   "Cepat.... cepat.... kau susul dirinya.

   "Kenapa musti disusul? "tanya Ki-ji seperti tertegun dengan ucapan tersebut.

   "Hantar dia sampai diperbatasan"

   Tukas Coa Wi-wi sambil ulapkan tangannya berulang kali.

   "Cepat.... cepat.... ayoh cepat pergi?"

   "Dihantar sampai perbatasan? "ulang Ki-ji terperanjat. Kontan saja Coa Wi-wi melotot besar.

   "Masa hanya sepatah katapun kurang jelas? Kalau tidak pergi lagi, bila Wan siocia sampai terjadi sesuatu, engkaulah yang harus bertanggung jawab."

   Ki-ji makin terperanjat lagi.

   "Lantas kau.... kau.... siapa yang akan meladeni kau?"

   "Aaah.... kamu ini cerewet amat, siapa yang suruh engkau meladeni aku? Ayoh cepat berangkat!"

   Setelah didesak berulangkali, terpaksa Ki-ji hanya bisa mencibirkan bibirnya.

   "Pergi yaa pergi. Cuma ilmu silatku cetek sekali. Bila sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, aku tak mau tanggung jawab"

   Ki-ji adalah dayang kepercayaan dari Coa Wi-wi.

   Sejak kecil ia dibesarkan disisi Coa Wi-wi maka kalau dia disuruh meninggalkan nonanya tentu saja sangat keberatan.

   Sebab itulah meski dimulut ia menjawab, tubuhnya sama sekali tidak beranjak.

   Coa Wi-wi sendiripun sebetulnya tak tega membiarkan dayangnya pergi jauh.

   Apa mau dikata di situ tiada orang lain yang bisa disuruh dan lagi diapun amat menguatirkan keselamatan Wan Hong-giok yang harus pergi jauh.

   Sebab itulah keputusan tersebut dibikin pada saat yang terakhir dan kini perkataan yang sudah disiapkan ibaratnya anak panah diatas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga.

   Maka dengan wajah berubah serius dan pura-pura marah dia berkata lebih jauh.

   "Betul-betul mengherankan, kau lagi ngambek yaa? Terus terang kukatakan kepadamu, bagaimanapun jua kau harus menghantar nona Wan sampai di perbatasan, sepanjang jalan kau harus layani nona Wan secara baik-baik tak boleh berayal. Meski dia tak mau dihantar, kau juga mesti mengintilnya secara diam-diam hantar sampai di tempat tujuan, mengerti?"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mengerti!"

   Ki-ji mencibirkan bibirnya makin tinggi.

   Meskipun mulutnya menjawab, badan masin belum juga berajak dari tempat semula.

   Tidak tega rasanya Coa Wi-wi mengurusi dayangnya itu, namun dalam keadaan apa boleh buat tertaksa dia harus pura-pura melotot marah.

   "Kalau sudah mengerti keadaan tidak cepat lari? Memangnya ingin digebuk....?"

   Bentaknya sambil berkata dia ayun tangannya pura- pura hendak menghantam dayang tersebut. Mula-mula Ki-ji agar tertegun, kemudian serunya "Yaaa.... aku pergi! Aku pergi!"

   Dengan gemas dia mendepak-depakkan kakinya kebawah, lalu putar badan dan tinggalkan tempat itu.

   Sekejap kemudian tubuhnya sudah lenyap di bawah bukit sana.

   Memandang bayangan punggungnya yang lenyap dari pandangan, Coa Wi-wi menghela napas berulang kali, gumamnya.

   "Semoga Ki-ji menuruti perkataan. Semoga enci Wan tidak mengalammi kejadian apapun jua"

   Sambil bergumam pelan-pelan ia putar badannya, lalu dengan penuh rasa kuatir menghampiri diri Hoa In-liong.

   Sementara itu keadaan dari Hoa In-liong sudah jauh membaik.

   Kulit badannya ketika itu sudah bertambah bersih, napasnya mulai panjang-panjang.

   Tampangnya yang keren, serius menunjukkan bahwa ia sudah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya dalam semedinya itu, atau dengan perkataan lain, kendatipun racun ular sakti yang diidapnya belum punah sama sekali, namun sim-hoat tenaga dalam yang dikatakan "istimewa"

   Itu telah memberikan kemanjuran yang mengagumkan.

   Pada dasarnya Coa Wi-wi memang seorang dara yang lincah dan periang.

   Dia adalah seorang nona yang tak pernah merasa risau.

   Tentu saja perasaannya jadi lega dan nyaman setelah menyaksikan keadaan Hoa In-liong ketika itu.

   Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya.

   Diamatinya air muka Hoa In-liong beberapa kejap, kemudian bibirnya bergetar entah apa yang dibisikkan.

   Setelah itu sambil tersenyum ia berjongkok dan duduk dihadapan Hoa In-liong.

   Matahari telah tenggelam dilangit barat, akhirnya Hoa In-liong mendusin dari semedinya, pelanpelan ia menghembuskan napas panjang, lalu membuka matanya dan bangkit berdiri.

   Melihat itu.

   buru-buru Coa Wi-wi ikut bangkit berdiri, teriaknya dengan penuh kegirangan.

   "Sudah sembuhkah engkau Jiko? Sungguh tak kusangka kalau engkau telah bertemu dengan kongkong"

   Ternyata ilmu semedi yang dilukiskan sebagai "istimewa"

   Itu bukan lain adalah ilmu Bu-kek-tengheng-sim-hoat ajaran Goan-cing taysu.

   Sim-hoat tenaga dalam ini merupakan salah satu dari ilmu silat keluarga Coa Wi- wi.

   Sebagai orang yang berbakat lagipula pernah mendengarnya, hanya sekali pandangan saja ia sudah memahaminya.

   Tampaklah Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sahutnya.

   "Racun ular sakti itu terlampau ganas. Meski sudah kucoba untuk mendesaknya keluar, toh hanya bisa mendesak racun itu untuk mengumpul di satu sudut belaka"

   "Kau desak racun itu dimana? Tidak apa-apa bukan?"

   Seru Coa Wi-wi dengan hati bergetar keras. Hoa In-liong alihkan sorot matanya dan mengawasi wajahnya beberapa kejap, tiba- tiba ia tertawa.

   "Rupanya adalah Wi.... Oh, seharusnya kupanggil dirimu dengan sebutan apa? Adik Wi?"

   "Aaah.... kamu ini jadi orang tidak serius"

   Coa Wi-wi mengomel dengan dahi berkerut.

   "aku kan lagi bertanya, racun ular itu kau kumpulkan dimana? berbahaya tidak? Bukannya menjawab, malah melantur kemana-mana...."

   Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dicekalnya tangan gadis itu kemudian ditariknya mendekat.

   "Racunnya sudah kukumpulkan dijalan darah Gi-li dan Gi-bi-hiat, tidak berbahaya lagi. Hayo beri tahu kepadaku sekarang, aku harus memanggil apa kepadamu?"

   Coa Wi-wi berusaha meronta, tapi tak berhasil melepaskan diri dari cekalan pemuda itu, maka dengan muka semu merah karena malu omelnya.

   "Cepat lepas tangan, kau mau menganiaya aku lagi?"

   Mendengar tuduhan tersebut. Hoa In-liong terkesiap, cepat-cepat ia mengendorkan cekatannya.

   "Aku memang keterlaluan, aku memang keterlaluan, kembali aku lupa diri....

   "

   Rada lega juga Coa Wi-wi melihat kepanikan orang.

   "Aku bernama Wi-wi"

   Katanya kemudian.

   "Toako menyebutnya sebagai adik Wi...."

   "Kalau begitu, akupun akan meninggikan kedudukanku sendiri dengan menyebut dirimu sebagai adik Wi"

   Kata Hoa In-liong cepat, lega juga hatinya ketika didapatkan gadis itu tidak marah.

   Selesai berbicara, sekali lagi dia celingukan kesana-kemari, seakan akan urusan yang sudah lewat, asal sudah menyesalpun urusan jadi bsres.

   Ketika gadis itu menyaksikan si anak muda tersebut celingukan, ia lantas bertanya.

   "Engkau sedang mencari enci Wan?"

   "Yaa!"

   Hoa In-liong mengangguk.

   "Kenapa nona Wan tidak kelihatan?. Oya, dimana Toako? Apa Toako belum kembali?"

   "Enci Wan katanya hendak mencari gurunya, sedang Toako juga sehat dan tenang, aku pikir tak mungkin bakal terjadi hal-hal yang diluar dugaan"

   Meskipun dimulut ia berkata demikian, namui hatinya mulai kalut dan gugup juga setelah Hoa Si yang ditunggunya selama ini belum kembali juga.

   "Nona Wan sudah pergi!"

   Hoa In-liong berseru dengan nada terkejut.

   "Kemana dia akan mencari gurunya? Dia...."

   Dari nada ucapannya maupun sikapnya yang begitu gelisah, dapat diketahui bahwa pemuda itu sangat mencemaskan keselamatan gadis tersebut. Untunglah Coa Wi-wi sudah menduga sampai kesitu, maka dengan kalem dan sedikitpun tidak gugup ia menyahut.

   "Katanya dia hendak pergi ke perbatasan untuk mencari gurunya. Siapa nama gurunya ia tak mau menerangkan. Cuma aku telah mengutus Ki-ji untuk menghantarnya sampai ke tempat tujuan. Jangan dilihat Ki-ji masih kecil tapi otaknya cukup cerdas. Aku rasa tak mungkin meraka sampai menemui musibah"

   Hoa In-liong agak tertegun sehabis mendengar perkataan itu. Dengan tatapan mata yang tajam diawasinya wajah Coa Wi-wi beberapa kejap, kemudian diapun tersenyum.

   "Kukira kenapa Ki-ji kok hilang, tak tahunya dia lagi menghantar nona Wan. Haa.... haa.... haa....Adik Wi pandai sekali mengatasi pelbagai persoalan, akupun jadi lega rasanya"

   Diam-diam Coa Wi-wi mengerutkan dahinya dan berpikir dihati.

   "Tampaknya perkataan enci Wan ada benarnya juga, ia tidak terlalu menaruh perhatian terhadap kepergian enci Wan...."

   Sementara dia masih melamun, Hoa In-liong telah maju kedepan dan menggandeng lengan kanannya sambil berkata.

   "Adik Wi, bagaimana kalau kita pun turun gunung?"

   "Kau hendak menyusul Toako?"

   Seru Coa Wi-wi dengan wajah tercengang dan mata yang dikerdipkanr berulang kali., Hoa -In-liong mengangguk.

   "Yaa, Toako sudah pergi lama sekali, namun sampai sekarang belum kembali juga. Kita harus pergi menengoknya"

   Maka ditariknya tangan Coa Wi-wi yang lembut dan diajaknya berlalu dari ruang kuil bobrok tersebut. Jalan tersanding disisinya, tiba-tiba Coa Wi-Wi berpaling dan ujarnya dengan lembut.

   "Sebelumnya kau musti berjanji dulu. Andaikata Toako menjumpai halangan apa-apa, maka selama racun ular masih bersarang dalam tubuhmu, kau tak boleh bertindak menuruti hawa napsu. Segala sesuatunya kau musti diam, berjanji?"

   "Aaah....selama kau ada disisiku, apalagi yang musti kukuatirkan? "seru Hoa In- liong tersenyum. Tiba-tiba Coa Wi-wi menghentikan langkah kakinya lalu menarik pula lengan Hoa In-liong hingga berhenti, katanya dengan serius.

   "Kau musti berjanji dulu, sampai waktunya kau tak boleh sembarangan turun tangan. Segala sesu-atunya serahkan saja padaku. Janji?"

   Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terbahak- bahak.

   "Haa.... haa.... haa.... baik, terserah padamu, terserah padamu.... Kiu-im Kaucu orangnya sombong, dingin dan kejam, jika kita tak segera berangkat dan seandainnya Toako benar- benar menghadapi musibah. Bila Kiu-im Kaucu juga angkat langkah seribu, akan kulihat kau bisa berbuat apa lagi?"

   Terperanjat Coa Wi-wi mendengar ucapan tersebut, segera teriaknya dengan gelisah.

   "Kalau begitu....ayoh kita segera berangkat!"

   Di tangkapnya lengan Hoa In-liong, kemudian mereka berdua segera melompat kedepan dan melayang turun dari bukit tersebut.

   Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coa Wi wi betul-betul sudah mencapai pada puncak kesempurnaan.

   Sepanjang perjalanan ia bergerak secepat sambaran petir.

   Sekali loncat tiga lima kaki sudah dilampaui, seakan-akan semua gerakan tersebut dilakukan tanpa membuang tenaga barang sedikitpun juga.

   Hoa In-liong yang berjalan mengiringi di sisinya hanya merasakan desingan angin tajam menderu-deru disisi telinganya.

   Pemandangan disekitar tempat itu hampir boleh dibilang tak sempat dilihat jelas.

   Akhirnya dia menarik kembali segenap hawa murninya dan membiarkan tubuhnya bergerak karena diseret gadis itu.

   Nyatanya Coa Wi-wi tidak merasa kepayahan karena musti menarik sebuah beban berat.

   Kecepatan geraknya bukan saja tidak bertambah lambat, sebaliknya justru malah bertambah cepat.

   Tak ada pemuda yang tidak ingin tahu.

   Hoa In-liong pernah menyaksikan kelincahan Coa Wi-Wi ketika berada di bukit Ciong-san.

   Waktu itu nona tersebut melayang turun dari langit bagaikan bidadari turun dari kahyangan, rasa herannya ketika itu sudah amat besar.

   Maka setelah menyaksikan kejadian tersebut, rasa ingin tahunya makin lama makin bertambah besar.

   oooOOOOooo AKHIRNYA si anak muda itu tak dapat mengendalikan rasa ingin tahunya itu, maka dia pun bertanya.

   "Eeeeh....adik Wi, siapakah yang mengajarkan ilmu meringankan tubuhmu? Apakah ibumu?"

   "Ehmmmm....!"

   Jawab Coa Wi-wi tak acuh. Selang sesaat kemudian tiba-tiba ia berbaling sambil bertanya pula.

   "Oya....dimanakah kau telah berjumpa dengan kongkongku?"

   "Kongkong mu?"

   Hoa In-liong tertegun dan bertanya dengan wajah tercengang.

   "Iya.... Ilmu Bu-kek-teng-heng-sim-hoat tersebut bukankah ajaran dari kongkong ku?"

   "Bu-kek-teng-heng-sim-hoat....?"

   Hoa In-liong makin tercengang.

   "Oh.... maksud adik Wi, ilmu sim-hoat tenaga dalam yang kugunakan untuk mendesak keluar racun dari tubuhku tadi bernama Bu-kek-teng-heng-sim-hoat?"

   "Aneh betul!"

   Coa Wi-wi merasa keheranan juga.

   "Sim-hoat tunggal dari keluarga kami itu tak pernah diwariskan kepada orang lain, juga tak pernah diwariskan kepada seseorang secara rahasia. Kalau didengar dari ucapannya tadi tampaknya kau belum pernah berjumpa dengan kongkong. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Masa didunia ini masih terdapat ilmu sim-hoat lain yang serupa dengan kepandaian tersebut?"

   "Aku tidak tahu, ilmu itu diwariskan seorang tokoh sakti kepadaku, waktu itu...."

   Coa Wi-wi ingin buru-buru membuka tabir rahasia tersebut, ia tak sabar untuk mendengarkan obrolan orang, segera tukasnya.

   "Coba kau baca isi pelajaran sim-hoat itu kepadaku!"

   Hoa In-liong merasa bahwa cara itu ada benarnya juga. maka diapun lantas menghapalkan isi pelajaran tersebut diluar kepala.

   "Badan ini bukan utuh, hati ini bukan utuh. Dunia jagad sejak dulu, berbaur dan mengumpul tiada hentinya...."

   Pelajaran sim-hoat itu bukan lain adalah ajaran dari Goan-cing Taysu. Coa Wi-wi tentu saja hapal sekali, maka hanya mendengar beberapa patah kata saja ia sudah tersenyum senyum seraya menukas.

   "Bergerak dan tengan mengikuti tay-kek, aliran terbalik mendatangkan tenaga.... cukup.... cukup! Itulah pelajaran sim-hoat tenaga dalam dari keluarga kami. Berarti kongkong lah yang mengajakan pelajaran itu kepadamu, tak usah kau baca lagi"

   Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong juga merana sangat gembira, ia jadi tertarik sekali, maka serunya kemudian.

   "Bagus! Mari kita membicarakan soal ilmu silat dari aliran keluargamu...."

   "Jangan membicarakan soal semacam itu disaat seperti ini"

   Tukas Coa Wi-wi serius.

   "Kita harus cepat pergi, soal lain kita bicarakan setelah bertemu dengan Toako nanti"

   Ia benar-benar menambah tenaga dalamnya beberapa bagian, sekejap mata kemudian ia sudah berada puluhan kali jauhnya dari tempat semula....

   Sebenarrya Hoa In-liong masih mempunyai banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepada gadis itu, seperti misalnya siapa nama Goan-cing Taysu.

   Asal-usul ilmu silat dari keluarga Coa, juga tentang ilmu silat Coa Cong-gi yang cetek padahal Coa Wi- wi berilmu sangat tinggi.

   Apa yang sebenarnya terjadi di balik kesemuanya itu? Tapi oleh Coa Wi-wi berbicara serius, lagi pula yang dikuatirkan adalah Toakonya juga, maka ia harus bersabar untuk menyimpan kembali semua pertanyaan itu didalam hati.

   Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh keluarganya, dia pun bergerak menuruni bukit dengan mengintil disisi Coa Wi-wi.

   Setelah kedua orang itu sama-sama mengerahkan tenaga dalam, kecepatan gerak merekapun berlipat ganda.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam sekejap mata mereka sudah tiba di kaki bukit.

   Selang sesaat kemudian mereka sudah berada dekat dengan kota Ci-tin, tiba-tiba Hoa In-liong memperlambat langkahnya lalu berkata.

   "Adik Wi lepaskan jubah panjangmu itu!"

   "Kenapa?"

   Tanya Coa Wi-wi dengan wajah tertegun, cepat ia menghentikan langkah kakinya. Hoa In-liong juga ikut berhenti.

   "Kita tidak tahu Toako mengadakan janji dimana. Itu perlu kita tanyakan setibanya dikota nanti. Tapi kalau jubah itu tidak kau copot, pada hal ikat kepalamu sudah tertinggal dipuncak bukit, modalmu yang laki tidak laki perempuan tidak perempuan itu tentu akan ditertawakan orang"

   Kiranya sejak ikat kepala yaug dikenakan Coa Wi-wi terlepas, menyusul kemudian terjadinya keributan, Hoa In-liong mengerahkan tenaganya untuk mengusir racun, Wan Hong- giok ribut mau pergi dan Hoa In-liong akhirnya selesai dengan semedinya, Coa Wi-wi telah melupakan sama sekali akan kejadian tersebut.

   Jilid 23 MAKA setelah ditegur, gadis itupun berseru tertahan dan buru buru melepaskan ikat pinggangnya. Tapi baru melepas sampai tengah jalan, mendadak paras mukanya berubah jadi merah, sambil mendorong pemuda itu kemuka teriaknya marah.

   "Sana, menghadap kesitu, awas jangan mengintip yaa!"

   "Baiklah, aku akan berjalan pelan-pelan, tapi kau harus cepatan sedikit...."' Selesai berkata, ia benar benar putar badan dan pelan-pelan maju kemuka. Waktu itu senja telah lewat, malam yang gelap mencekam seluruh jagad, dari kejauhan tampak cahaya lampu yang lapat-lapat memancar dari arah kota Ci-tin, kadangkala terdengar juga suara tertawa orang, suasana amat tenang dan nyaman. Sambil berjalan Hoa In-liong kembali berpikir sudah berapa ratus langkah ia lanjutkan perjalanannya tapi Coa Wi-wi belum menyusul juga.

   "Perempuan memang paling merepotkan"

   Pikirnya kemudian.

   "Untuk melepaskan sebuah jubah luarnya makan waktu selama ini"

   Sementara dia masih berpikir, mendadak Coa Wi-wi sedang membentak keras.

   "Siapa itu? Hayo cepat berhenti!". Hoa In-Hong merasa terkesiap tak ssmpat berpikir panjang lagi, buru-buru ia menjejakkan kakinya ke tanah dan melayang kembali ke tempat semula. Tampaklah sesosok bayangan abu-abu sedang kabur menuju kearah timur, agaknya Coa Wi-wi termangu sesaat sebelum akhirnya melakukan pengejaran yang ketat. Gerakan tubuh orang itu amat cepat, meski permukaan tanah tidak rata namun dalam beberapa kali lompatan saja sudah hampir lenyap di balik pepohonan yang luas. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coa Wi-wi memang amat sempurna, tapi lantaran ia agak terlambat sewaktu melakukan pengejaran, maka tak berhasil disusulnya. Hoi In-liong sangat gelisah, cepat-cepat sepasang kakinya menggunting lalu menerobos masuk ke dalam hutan, hardiknya.

   "Sahabat, ayoh hentikan langkahmu!". Pemuda itu berada lebih jauh lagi jaraknya dengan orang itu apalagi bergerak jauh lebih lambat. Untuk menyusul orang tersebut sudah, jelas lebih-lebih tak mungkin lagi. Siapa sangka ketika bayangan abu-abu itu tiba ditepi hutan yang lebat itu, mendadak ia berhenti dan malahan memutar badannya seraya menegur.

   "Apakah yang datang adalah adik In- liong?"

   Didengar dari nada suaranya jslas orang itu sangat dikenal olehnya dan tak bisa diragukan lagi orang itupun menghentikan gerakan tubuhnya setelah mengenali suara teguran dari Hoa Inliong.

   Hoa In-liong juga agak tertegun sesudah mendengar seruan tersebut, tanpa menghentikan gerakan tubuhnya dia menyahut.

   "Yaa, aku adalah Hoa loji, siapakah saudara?"

   "Aaaai....Payah sekali aku mencari dirimu"

   Teriak bayangan abu-abu itu dengan nada kegirangan. Cepat dia melompat kedepan dan menyongsong kedatangan anak muda itu. Hoa In-liong yang bermata jeli segera dapat mengenali pula siapa gerangan bayangan abu-abu itu, diapun tampak amat kegirangan.

   "Oooh.... Kiranya Saudara Ek-hong, haa.... haa.... haa.... Ibaratnya air bah menggenangi kuil raja naga, orang keluarga sendiripun tidak dikenali"

   Seraya berkata ia buru-buru maju ke muka dan menyongsong pula kedatangan orang itu.

   "Tunggu sebentar!"

   Tiba-tiba Coa Wi-wi membentak dengan suara yang dingin.

   "Kenapa?"dengan wajah tercengang dan setengah tertegun Hoa In-liong berpaling.

   "Masa kalian tidak saling mengenal? Dia kan saudara Wan Ek-hong? "Tentu saja kenal"

   Sahut Coa Wi-wi tetap berdiri kurang lebih satu kali dihadapan pemuda itu.

   "Aku hanya ingin bertanya kepadamu, mengapa kau main sembunyi dengan cara yang sangat mencurigakan, menegurpun tidak apalagi bersuara?"

   "Oooh.... Rupanya adik dari keluarga Coa?"

   Seperti baru tahu Wan Ek-hong segera menyapa.

   "Aku kira.... aku kira.... aiaai! Kalau begitu akulah yang telah salah melihat orang"

   Coa Wi-wi mendengus dingin, tampaknya rasa dongkol dan marahnya belum mereda.

   Bibirnya kembali gemetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun yang sampai meluncur keluar.

   Hoa In-liong dapat merasa keadaan yang kurang harmonis, buru-buru serunya sambil tertawa.

   "Adik Wi, malam sudah kelam apalagi suasana diliputi gelap gulita, salah melihat orang itu lumrah, aku rasa kaupun tak usah...."

   "Kamu tak usah turut campur"

   Belum habis pemuda itu berbicara, Coa Wi-wi sudah menukas dengan mata melotot.

   "Sedari dulu waktunya memang sudah begitu. Dia paling suka mempermainkan aku. Hmmm! Ini hari aku tidak akan menyudahi urusan sampai disitu saja. Bagaimanapun jua dia musti memberi penjelasan yang seterang-terangnya kepadaku"

   Berbicara sampai disitu dia lantas berbaling dan ditanya Wan Ek-hong dengan mata melotot.

   "Hayo jawab!"

   Kembali bentaknya.

   "Mengapa kau bersembunyi dibelakang batu tanpa bersuara? Mau mempermainkan aku yaa?"

   Wan Ek-hong dibuat jadi serba kikuk dan serba jengah. Mukanya jadi merah seperti kepiting rebus, senyum yang menghiasi bibirpun senyuman yang teramat getir.

   "Hian-moay, janganlah menuduh aku dengan tuduhan yang bukan-bukan"

   Pintanya.

   "Jangan bikin aku jadi penasaran. Aku betul-betul tidak tahu kalau engkau yang berada disitu!"

   "Huuuh....! Setan baru percaya dengan obrolanmu"

   Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya.

   "Kami sudah bercakap-cakap, sedang kau bersembunyi dibelakang batu hanya tiga kaki jauhnya dari tempat kami berbicara, masa suara kamipun tidak kedengaran?. Apalagi diantara Kim-leng ngo-kongcu engkaulah yang paling lihay dalam hal ilmu silat. Sekalipun tidak dapat mengenali suara kami rasanya juga tak usah kabur. Hmmm! Kau tak berlagak pilon, mau tipu orang mesti lihat dulu siapa yang hendak kau tipu. Hendak membohongi aku? Huuuh! jangan mimpi disiang hari bolongi"

   Hoa In-liong yang menyaksikan percekcokan itu diam-diam tertawa geli, pikirannya dalam hati.

   "Adik Wi betul-betul tidak pakai aturan. Itu namanya orang yang tidak salah dituduh berbuat salah. Berbicara sampai tiga hari tiga malampun tak akan ada habisnya. Yaa, mungkin kedua orang itu memang sudah tidak cocok sedari dulu, atau mungkin gurauan saudara Ek- hong dimana dulu sedikit keterlaluan, maka akibatnya adik Wi sampai sekarang masih merasa mendongkol"

   Sementara dia masih terpikir, Wan Ek-hong telah tertawa serak untuk menutupi perasaan jengahnya.

   "Aaaaai....! Kalau dibicarakan sungguh bikin hati menjadi menyesal. Aku benar-benar tidak tahu kalau engkau yang berada disana. Terus terang saja kuakui, andaikata pada dari yang terakhir kukenali suara teguran tersebut sebagai suara diri adik In-liong, mungkin semenjak tadi aku sudah kabur ke dalam hutan dan melenyapkan jejakku disana"

   "Hee....hee.... hee.... Mungkinkah kau bisa lolos dari cengkeraman?"

   Ejek Coa Wi-wi sambil tertawa dingin, mukanya tampak sinis sekali. Agak tertegun Wan Ek-hong ketika menghadapi pertanyaan tersebut.

   "Bisa kabur atau tidak, itu urusan lain. Pada hakekatnya andaikata aku sudah tahu bahwa orang yang ada disitu adalah engkau buat apa aku musti melarikan diri? Bukan begitu adik In-liong?"

   "Tidak boleh bertanya kepadanya"

   Coa Wi-wi sangat marah.

   "Kau juga tak boleh menghindari yang sedang berkecamuk didalam benakmu?"

   Nada tegurannya kian lama kian bertambah keras dan nyaring, seakan-akan gadis itu tak mau menyadari persoalan tersebut sebelum urusan menjadi jelas keseluruhnya. Lama-lama Hoa In-liong merasa tak tega, cepat selanya dari samping.

   "Adik Wi, jangan keterlaluan! Kita semua toh mempunyai hubungan persaudaraan yang erat. Masa saudara Ekhong bakal mempunyai ingatan jahat terhadap dirimu...."

   "Aaaah....! Kamu ini tahu apa?"

   Kembali Coa Wi-wi menukas.

   "Tampangnya saja seperti orang yang tahu sopan santun dan halus budinya. Padahal. Huuuuh! otaknya busuk, pikirannya jahat dan semua akal busuknya hanya bertujuan untuk perbuatan yang terkutuk...."

   "Sudah....sudah....cukup, jangan seperti anak anak lagi"

   Hoa In-liong segera menukas pula sambil tersenyum.

   "Saudara Ek-hong adalah saudara angkat dari kakakmu Cong-gi. Dia memandang engkau sebagai adik sendiri juga. Kalau cuma bergurau atau menggoda dirimu itu lumrah dan tak bisa dihindari. Buat api kau musti pikirkan di dalam hati, apalagi menggunakan kata-kata yang kurang didengar untuk mencari maki dirinya, itu kurang baik"

   Berbicara sampai disitu diapun lantas berpaling ke arah Wan Ek-hong seraya bertanya.

   "Saudara Ek-hong, karena urusan apa engkau datang kemari? Apakah kau sedang mencari diri siau-te?"

   Tentu saja tujuannya mengalihkan pokok pembicaraan adalah untuk menghilangkan suasana kaku yang mencekam suasana disitu. Siapa tahu sebelum Wan Ek-hong sempat menjawab pertanyaan tersebut, Coa Wi-wi sudah menerjang kemuka sambil berteriak lagi.

   "Tunggu sebentar, biar dia menjawab dulu pertanyaanku. Sebenarnya apa maksud dan tujuannya engkau bersembunyi dibelakang batu disana?"

   Hoa In-liong tertegun.

   "Apa sebenarnya yang telah terjadi?"

   Demikian pikirnya.

   "Kenapa kali ini adik Wi demikian keras kepala? Meskipun saudara Ek- hong berbuat salah, sepantasnya kalau ia memberi sedikit muka kepadanya, agar dia tak sampai benar-benar kehilangan muka. Mungkinkah.... Mungkinkah kepribadian dan akhlak saudara Ek-hong memang benar-benar ada penyakitnya? Tapi...."

   Berpikir sampai disitu, tanpa sadar sinar matanya ikut dialihkan pula keatas wajah Wan Ek-hong. Diperhatikan orang dengan cara begini, Wan Ek-hong semakin kikuk dan serba salah. Ia tertawa getir, lalu ujarnya dengan perasaan apa boleh buat.

   "Baiklah! Kalau toh hian- moay memaksa aku untuk mengakuinya, akupun tak akan melindungi nama baikku lagi untuk mengaku terus terang. Yaa, pada hakekatnya aku sedang dikejar kejar oleh beberapa orang perempuan hingga kehilangan jalan. Dengan susah payah aku baru saja berhasil lolos dari kejaran mereka. Aku merasa lelah dan kehabisan tenaga, ibaratnya burung yang ketakutan oleh bidikan. Baru saja aku bersemedi mengatur tenaga dibelakang batu itu. Ketika kalian da-tang maka akupun tak berani berbisik. Aku kuatir kalian adalah orang-orang yang mengejar diriku itu. Hian- moay, aku sudah mengakui kelemahanku yang amat memalukan ini, ibaratnya kulit mukaku sudah kau sayat, puaskah kau?"

   Begitu pengakuan diberikan, Hoa In-liong jadi tertegun bercampur kaget, ia segera bertanya dengan nada terkejut.

   "Beberapa orang perempuan? Apakah mereka adalah anak buah dari Kiuim kau?"

   "Huuuh....! Siapa yang tahu kalau cerita itu sungguhan atau bohong"

   Coa Wi-wi kembali mengejek.

   "Aku tidak percaya kalau dengan andalkan beberapa orang perempuan, dia bisa dibikin kalang kabut ketakutan selengah mati!"

   "Tapi apa yang kuceritakan adalah kenyataan"

   Seru Wan Ek-hong agak penasaran.

   "Jika kau tidak percaya, silahkan ke belakang batu sana dan periksa sendiri. Disitu ada sebuah kain putih, bila bukan lantaran desingan dari baju, mungkin aku belum sadar dari samadiku!"

   "Tak usah dilihatpun aku juga tahu"

   Kata Coa Wi-wi dengan alis mata berkenyit.

   "Kain itu adalah baju luarku. Hanya sebuah jubah luar sana sudah bikin kau ketakutan sampai kabur terbirit-birit. Hmmm! siapa yang akan percaya dengan obrolanmu?"

   "Aku adalah ibaratnya burung yang baru kena dibidik"

   Keluh Wan Ek-hong dengan muka yang mengenaskan.

   "Apalagi aku dibikin samar ditengah kegelapan...."

   "Huuuh....! hanya bertemu dengan seorang perempuan saja sudah dibikin ketakutan setengah mati?"

   Ejek Coa Wi-wi sambil mencibirkan bibirnya.

   "Hmmm, sayang seribu kali sayang, bila ingin suruh aku percaya lebih baik karanglah alasan lain yang lebih tepat lagi"

   Wan Ek-hong tertegun, dia alihkan pandangan matanya ke sekeliling tempat tersebut, kemudian sesudah berpikir sebentar ujarnya, '"Aaaai....! berkata begini tidak percaya, berkata begitu tidak percaya, tampaknya aku harus mohon diri saja dari tempat ini".

   Coa Wi-wi mendengus dingin.

   "Hmmm! Mau pergi kek, mau tidak pergi kek, siapa yang sudi mengurusi dirimu?"

   Hoa In-liong makin tercengang lagi sudah menyaksikan kejadian itu, dahinya berkerut.

   "Sebenarnya apa yang terjidi?"

   Demikian pikirnya.

   "Dengan susah payah ia memaksa orang untuk menjawab, seakan-akan sebelum urusan dibuat terang ia tak mau menyudahi urusan dengan begitu saja. Tapi setelah orang mau pergi, dia tidak menahannya, aneh benar kejadian ini"

   Sementara itu Wan Ek-hong telah menghela napas panjang.

   "Aaaaai! Baiklah kalau toh demikian. Baiknya aku mohon diri saja dari sini!"

   "Eeeeh.... Jangan pergi.... Jangan pergi"

   Dengan terkejut Hoa In-liong berusaha menghalangi kepergiannya.

   "Adik Wi masih terlampau muda, harap saudara Ek hong jangan...."

   Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, Coa Wi-wi kembali sudah menukas.

   "Kalau dia mau pergi, kenapa kau musti menahan dirinya lebih lanjut....?"

   Hoa In-liong tertegun, sambil berpaling teriaknya.

   "Adik Wi...."

   Sekilas rasa benci dan gemas melintas diatlas wajah Wan Ek-hong, segera sambungnya.

   "Adik Liong tak usah banyak berbicara lagi, aku sudah mengenali watak adik Wi. Sekalipun kau paksa untuk menahan diriku juga percuma, paling-paling hanya membuat dia semakin marah saja. Untuk sementara waktu biar aku menyingkir saja lebih dulu"

   Coa Wi-wi mendengus dingin, ia melengos ke arah lain dan tidak menggubris lagi. Hoa In-liong kuatir dia benar-benar akan pergi, segera ujarnya pula.

   "Aiaai, perkataan apa itu, adik Wi tak ada alasan untuk marah. Harap saudara Ek-hong juga tak usah tersinggung. Hayo berangkat,kita bercakap-cakap dalam kota saja"

   Wan Ek-hong menggerakkan tubuhnya menyingkir ke samping, cepat tampiknya sambil tersenyum.

   "Tak usah, melihat kau berada dalam keadaan segar bugar, hatiku juga ikut lega, urusan lain kita bicarakan lain waktu saja!"

   Selesai berkata ia lantas memberi hormat, kemudian putar badan dan berlalu dari situ. Hoa In-liong betul-betul amat gelisah melihat kepergian pemuda itu, sebab masih banyak urusan yang bendak dia tanyakan.

   "Eeeh.... tunggu sebentar!"' teriaknya kemudian.

   "Kau hendak pergi kemana?". Cepat kakinya menjejak tanah dan siap mengejar kemuka, tapi sebelum ia sempat bergerak, tangannya sudah terlanjur ditangkap Coa Wi-wi.

   "Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi"

   Terdengar Wan Ek-hong sambil lari sambil berteriak "Saudara Siau-lam sudah berangkat ke barat, aku harus menyusulnya dengan segera"

   "Saudara Siau-lam mau apa berangkat ke barat?"

   Hoa In-liong semakin gelisah, sehingga ia mendepak-depakkan kakinya berulang kali keatas tanah. Makin lari Wan Ek-hong berlalu semakin cepat. Dari kejauhan sempat terdengar suaranya mengalun tiba.

   "Konon empek Yu ditangkap orang orang Mokau, mati hidupnya belum ketahuan"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meski orangnya sudah sangat juah, tapi suaranya lapat-lapat masih kedengaran, tapi sampai akhirnya suara itu tak terdengar lagi.

   Hoa In-liong tak berani menggunakan tenaga terlampau besar, maka ketika ia gagal untuk melepaskan diri dari cengkeraman Coa Wi-wi, kakinya didepak-depakkan keatas tanah dengan gelisah.

   "Lepaskan tanganku adik Wi. Persoalan ini bukan permainan anak-anak, kita musti menyusul saudara Ek-hong dengan cepat!"

   Tapi Coa Wi-wi tetap memegang tangannya erat-erat, malahan sambil menatap wajah pemuda itu dia berseru.

   "Kau amat percaya dengan perkataannya?"

   Hoa In-liong menghela napas panjang.

   "Aaai.... Kau terlalu nakal. Urusan ini menyangkut mati hidup empek Yu, masa bisa kabar bo-hong belaka?"

   "Lantas, kau tidak akan mengurusi urusan Toako lagi? "Tiba-tiba Coa Wi-wi menegur. Hoa In-liong tertegun, ia jadi serba salah, malahan untuk menjawabpun bingung. Tiba-tiba Coa Wi-wi bertanya lagi.

   "Tahukah kau, orang she-Wan itu pergi kemana?"

   Kembali Hoa In-liong tertegun.

   "Bukankah dia bilang mau menyusul saudara Siau- lam?"

   Pemuda itu balik bertanya.

   "Berarti dia seharusnya ke barat bukan? Sayang dia mengatakan mau ke barat padahal sekarang mungkin ada di timur. Kalau tidak percaya, silahkan kau susul dirinya"

   Tangannya direntangkan menunjukkan sikap terserah, lalu pelan-pelan dia berangkat ke kota Citin.

   Hoa In-iong makin serba salah dibuatnya, jangan toh dia niscaya tak tega meninggalkan urusan Hoa Si, sekalipun sekarang disusul juga bayangan tubuh dari Wan Ek-hong sudah lenyap tak berbekas.

   Apa lagi dibalik ucapan Coa Wi-wi terkandung arti yang amat mendalam.

   Sebagai seorang pemuda yang pandai membawa diri, setelah berpikir sebentar dan mengetahui bahwa disusulpun tak ada gunanya, dia memutuskan untuk menyelesaikan dulu masalah yang menyangkut Toakonya Hoa Si.

   Karena itulah dia percepat langkah kakinya dan menyusul diri Coa Wi-wi....

   Ketika dilihatnya pemuda itu menyusul datang Coa Wi-wi segera tertawa cekikikan, seraya berpaling tegurnya.

   "Kenapa tidak kau susul dirinya?"

   "Lebih baik kita cari Toako lebih dulu!"

   "Seharusnya memang begitu"

   Coa Wi-wi berkata dengan wajah berseri.

   "Orang she- Wan itu adalah manusia paling busuk, semua perkataannya tidak dapat dipercaya"

   Mendengar perkataan tersebut, Hoa In-liong segera mengerutkan alisnnya.

   "Adik Wi! Tampaknya engkau menaruh prasangka jelek yang amat mendalam atas diri saudara Ek-hong?"

   "Prasangka jelek?"

   Ejek Coa Wi-wi, sambil berkerut kening.

   "Hmmm.... Manusia macam begitu itu lain dimulut lain dihati. Aku paling benci kepadanya. Andaikata saudaraku tidak mempunyai hubungan baik dengannya, hee.... hee.... heee sejak dulu dulu aku sudah memberi pelajaran yang setimpal kepadanya"

   "Lain dimulut lain dihati?"

   Ulang Hoa In-liong dengan wajah makin tercengang.

   "Aku lihat saudara Ek-hong itu...."

   "Aaaah.... Engkau tak usah menyebut saudara Ek-hong saudara Ek-hong melulu. kalau bisa aku malah menganjurkan dirimu untuk putus hubungan dan tak usah berhubungan dengan dirinya lagi"

   Tukas Coa Wi-wi dengan nada jemu. Hoa In-liong semakin berkerut kening, diapun berpikir.

   "Benar-benar suatu kejadian aneh. Tampaknya rasa benci adik Wi terhadap dirinya bukan terbatas cuma benci saja, bahkan sudah meningkat menjadi suatu dendam kesumat, yang seakan-akan sedang berhadapan dengan musuh bebuyutan saja. Apa yang telah terjadi? Aku lihat saudara Ek-hong tampan, gagah dan setia kawan. Dia tidak mirip seorang manusia yang busuk atau memuakkan"

   Walaupun ia sudah putar otak dan memikirkan persoalan itu berulang kali, namun pikirannya tak pernah dia bawa ke bagian yang jelek.

   Dia selalu beranggapan bahwa Coa Wi-wi masih muda, berdarah panas, dan rasa sentimennya terhadap Wan Ek-hong hanya lantaran pandangannya yang tidak cocok.

   Karena itu meski dihati ia berpikir demikian, senyum manis masih tersungging diujung bibirnya.

   "Adik Wi, engkau suruh aku putus hubungan dengannya, tentu anjuran ini disebabkan oleh alasan yang kuat bukan? Nah, tolong ajukanlah suatu contoh yang membuktikan bahwa dia adalah seorang manusia lain dimuka lain dihati. Jika ada dasar, buktimu itulah akan kupertimbangkan haruskah hubunganku dengannya diputuskan atau tidak". Coa Wi-wi segera mencibirkan bibirnya.

   "Aku sudah tahu kalau kamu ini manusia yang susah diberitahu. Baiklah! Akan kuberitahukan kepadamu. Orang itu luarannya saja yang gagah dan tampan, seakan-akan dia itu manusia yang jujur. Manusia yang gagah perkasa, terutama didepan kakakku sekalian waduh.... Lagaknya macam orang yang sok mulia, sok bijaksana dan sok setia kawan.... Padalah hanya, huuh.... ! Dia adalah seorang busuk, manusia munafik, manusia rendah tak tahu malu"

   "Kau punya bukti?"

   Tanya Hoa In-liong kemudian setelah tertegun dan melongo. Coa Wi-wi manggut-manggut.

   "Tentu saja! Bukan saja kusaksikan dengan mata kepala sendiri, bahkan mengalaminya juga sendiri. Oleh karena dia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan kakakku sekalian, dulu akupun memanggilnya sebagai "Wan-suko". Siapa tahu dia selalu saja menggoda aku. Waktu itu meski aku rada jemu dan sebal, itupun hanya terbatas pada rasa sebal belaka. Hingga pada suatu ketika.... hingga.... hingga pada suatu ketika...."

   Tiba-tiba ia jadi tergagap dan tak mampu menerusnya kembali kata-katanya.

   "Kenapa? Apakah dia kurangajar kepadamu?"

   Coa Wi-wi mendengus dingin.

   "Hmmm! Dia berani? Kalau dia berani kurang ajar kepadaku, sejak dulu dulu aku sudah beri pelajaran yang paling pahit kepadanya"

   Mendengar jawaban itu, Hoa In-liong merasa agak lega, dia menghembuskan napas lega.

   "Bagus sekali, lanjutkan ceritamu!"

   "Aaaah.... tak usaH diceritakan lagi,!"

   Coa Wi-wi gelengkan kepalanya beberapa kali.

   "Dibayangkan saja keki, apalagi diceritakan!"

   Hoa In-liong mengerdipkan matanya berulang kali, diam-diam ia mulai berpikir.

   "Agaknya saudara Ek-hong adalah seorang laki-laki yang gemar main perempuan dan mata keranjang. Mungkin ada sesuatu perbuatan jeleknya yang ketangkap basah oleh adik Wi. Karena malu maka adik Wi segan untuk menceritakan kembali...."

   Walaupun masih banyak persoalan yang mencurigakan hatinya, namun persoalan persolan itu tak sampai diutarakan keluar.

   Dia hanya melanjutkan perjalanannya dengan mulut membungkam.

   Melihat pemuda itu membungkam dalam seribu bahasa, tiba-tiba Coa Wi-wi berkata lagi.

   "Apakah engkau masih belum percaya? Baiklah akan kuceritakan kepadamu. Dia telah mempermainkan dayang dari Ko Samko, Ko Siong-peng. Dayang tersebut dia totok jalan darahnya, tapi ketika hendak melucuti gaun dayang tersebut telah ketahuan aku. Sejak itulah aku tak sudi menyebut Suko lagi kepadanya. Coba bayangkan, manusia macam begitu apa patut disebut laki-laki sejati? Tampangnya saja gagah, padahal diam-diam melakukan perbuatan terkutuk yang sangat memalukan. Tidak pantaskah kalau manusia seperti itu disebut manusia munafik? Jika engkau tak mau putuskan hubungan dengannya, lain kali kau musti akan merasakan pahit getir di tangannya"

   Perkataan itu diucapkan dengan tegas dan sungguh-sungguh.

   Bahkan makin berbicara semakin panas hatinya.

   Sekalipun orang lain yang mendengar, tidak percaya juga akhirnya jadi percaya.

   Tapi lain halnya dengan Hoa In-liong.

   Dia tak mempercayai perkataan orang dengan begitu saja.

   Sekalipun dia lebih percaya lagi beberapa bagian atas kisah tersebut, sekalipun ia merasa terkejut dihati.

   Tapi lantaran kejadian itu tidak disaksikan sendiri, maka diapun tak ingin memberi tanggapan atau komentar apapun jua.

   Sesudah termenung sebentar, akhirnya iapun berkata.

   "Adik Wi, kita tak usah membicarakan tentang dia lagi. Hayo kita percepat perjalanan kita"

   Coa Wi-wi tertegun.

   "Kenapa kau masih tidak percaya juga? Kau masih akan berhubungan lagi dengannya?"

   Hoa In-liong tersenyum.

   "Asal aku lebih waspada kan beres"

   Sahutnya.

   "Pepatah bilang. Siapa yang tidak jujur berarti dia sedang bunuh diri. Andaikata dia benar-benar seorang manusia yang jahat dan busuk, lain kali akulah yang pertama-tama tak akan lepaskan dia, tak usah kuatir"

   Coa Wi-wi termenung sejenak, akhirnya diapun menghela napas.

   "Baiklah! Terserah kepadamu. Kau mempunyai pandangan sendiri sedang aku tak bisa memaksakan pandanganku kedalam pandanganmu. Cuma kalau bertemu lagi lain kali, kuharap engkau bersedia meningkatkan kewaspadaanmu. Jangan sampai kau tertipu oleh akal muslihatnya"

   Hoa In-liong hanya bisa manggut-manggut belaka.

   Maka kedua orang itupun melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.

   Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba kembali d kota Ci-tin, tepatnya di loteng Cwan-senglo.

   Waktu itu Coa Wi-wi mengenakan pakaian wanita, maka pelayan yang bernama Go Bei- ci sudah tidak mengenalnya lagi.

   Berbeda dengan Hoa In-liong yang mengenakan pakaiah sama, hanya mantelnya sekarang penuh debu.

   Maka hanya sekilas pandangan saja pelayan itu sudah mengenalinya kembali.

   Dengan wajah penuh senyuman pelayan itu buru-buru maju menyongsong kedatangannya.

   "Kongcu-ya sudah kembali? "sapanya.

   "Kiong-hi, tidak sia-sia rasanya perjalananmu kali ini. Haa.... haa.... haa.... silahkan.... silahkan naik ke oteng"

   Jelas ia telah salah menganggap Coa Wi-wi sebagai Wan Hong-giok. Hoa In-liong sendiripun tidak memberi penjelasan lebih jauh. Sambil naiki tangga loteng dia berkata sambil tersenyum.

   "Tak nyana engkau masih mengenali diriku. Tolong tanya apakah selama dua hari belakangan ini ada orang yang menyolok mata berkunjung kemari?"

   "Orang-orang yang menyolok? Oooh...."

   Pelayan yang menyusul dari belakang itu mendadak berseru tertahan, lalu sambil merendahkan suaranya dia berbisik.

   "Ada beberapa orang, bahkan sekarang masih berada di atas loteng!"

   Mendengar kabar tersebut dengan kaget Hoa In-liong menghentikan langkah kakinya, kemudian ikut berbisik.

   "Ada berapa orang? Bagaimana dandanan mereka?"

   Pelayan itu mengerling sekejap ke atas loteng, lalu sambil pura-pura sok misterius sahutnya.

   "Tiga orang nona cantik, potongan, badannya menggiurkan, parasnya juga menarik. Belum pernah kota ini dikunjungi nona secantik itu, mereka mirip.... mirip...."

   Dia ada maksud menggunakan Coa Wi-wi sebagai perumpamaan.

   Siapa tahu begitu sorot matanya terbentur dengan wajah gadis tersebut, seketika itu juga ia merasakan bahwa kecantikan Coa Wi-wi tiada tandingannya dikolong langit.

   Maka pelayan itu hanya bisa menjulurkan lidahnya gelagapan dan tak mampu melanjutkan kembali kata-kata.

   Ketika Coa Wi-wi mendengar bahwa di atas loteng hanya beberapa orang bocah perempuan saja, ia lantas membentak nyaring, kemudian melanjutkan langkahnya keatas loteng.

   Hoa In-liong juga tertawa rawan, sambil ulapkan tangannya dia berkata kemudian.

   "Sediakan saja beberapa sayur, selesai bersantap kira masih harus melanjutkan perjalanan. Siapkanlah buat kami"

   Habis berkata pemula itu memutar badannya dan pelan-pelan naik ke atas loteng. Loteng itu hampir penuh oleh tamu yang sedang bersantap. Coa Wi-wi sedang berdiri didepan tangga sambil celingukan kesana-kemari. Sementara tiga orang "bocah perempuan"

   Yang dimaksudkan pelayan duduk disudut barat dekat jendela.

   Bila ditinjau dari dandanan mereka, memang wajahnya cakup ayu dan menarik hati.

   Disuatu sudut timur dekat jendela ia mencari tempat duduk lalu menggandeng tangan Coa Wi-wi untuk duduk.

   Menggunakan kesempatan tersebut matanya memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk memeriksa apakah disekitar sana ada orang persilatan yang menyolok pandangan mata atau tidak.

   Ternyata tamu yang bersantap disana sebagai besar adalah penduduk kota.

   Yang bisa disebut sebagai "rnenyolok"

   Memang tak lain hanya tiga orang "bocah perempuan itu".

   Nona nona tersebut tidak terlalu besar usianya.

   Yang paling tuapun baru berusia delapan sembilan belas tahunan.

   Diantaranya satu mengenakan baju warna hijau pupus, satu mengenakan baju warna merah menyala dan terakhir mengenakan baju warna kuning telur.

   Mereka itu sama-sama memakai gaun panjang dengan celana ketat.

   Ikat pinggangnya memakai warna yang sama.

   Pada sanggulnya memakai pita kupu-kupu dengan warna yang sama.

   Kecuali berdandan sebagai gadis remaja, tiada tanda-tanda lain yang istimewa.

   Selang sesaat kemudian, pelayan muncul menghidangkan sayur dan arak, maka sekali lagi Hoa In-liong berseru.

   "Eeeh.... pelayan, tolong tanya, tengah hari tadi apakah ada seorang kongcu berbaju biru yang mampir dikedai ini?"

   Pelayan itu termenung dan berpikir sebentar, kemudian balik bertanya.

   "Apakah dia manyoren pedang dan usianya agak sedikit tua dari kongcu....?"

   Diam-diam Hoa ln-liong merasa gembira. Cepat dia mengangguk berulang kali.

   "Yaaa, Betul. Betul. Apakah kau tahu setelah berlalu dari warung ini dia telah pergi kemana?"

   Pelayan itu segera menggeleng.

   "Kongcu itu bertampang keren dan penuh wibawa, berbeda dengan engkau yang ramah dan suka bergaul. Hee.... hee.... hee.... karenanya hambapun tidak berani banyak bertanya"

   "Lantas dia pergi ke arah mana? Apakah kau masih ingat?"

   Desak Hoa In-liong lebih jauh dengan wajah sedih. Pelayan itu segera tertawa serak.

   "Maaf, seribu kali maaf, hamba betul-betul tidak memperhatikannya!"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hoa In-liong merasa hatinya makin tercekam kemurungan, akhirnya ia ulapkan tangannya dengan sedih.

   "Terima kasih atas pemberitahuanmu. Lanjutkanlah pekerjaanmu...."

   Katanya kemudian.

   "Yaa.... yaa...."

   Pelayan itu mengiakan berulang kali sambil membungkukkan badannya, kemudian mengundurkan diri dari situ. Setelah gagal untuk mencari tahu kabar berita tentang kakaknya, Hoa In-liong berpikir sebentar sambil menatap wajah Coa Wi-wi katanya.

   "Mari kita bersantap dulu, kemudian kita putar mengelilingi kota. Coba lihat adakah sesuatu tanda yang mencurigakan?"

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Kuda Putih Karya Okt Perkampungan Hantu -- Khu Lung Lentera Maut -- Khu Lung

Cari Blog Ini