Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 16


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 16




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Oleh sebab itu ia stop perkataannya sampai di tengah jalan, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu harus maju atau mundur, tertegun dan berdiri melongo.

   Perlu diketahui, Tiang-heng Tookoh sampai nekad mencukur rambut jadi pendeta dan menggunakan "Tiang-heng"

   Sebagai gelarnya, bahkan dewasa ini diapun tak mau menyanggupi permohonan dari Hoa In-liong, hal ini bukan dikarenakan rasa cintanya sudah menipis, rasa bancinya makin menebal.

   Juga bukan lantaran wataknya sudah berubah dan ia jadi orang yang tak tahu adat.

   Sebaliknya kesemuanya itu justru karena perasaan hatinya yang saling bertentangan.

   Atau tegasnya, hal ini dikarenakan rasa rendah dirinya yang menebal menyebabkan perasaannya jadi sensitif, gampang tersinggung dan akhirnya terciptalah sikap jaga gengsi yang berlebihan.

   Seandainya ia dapat menghilangkan sikap jaga gengsinya, hilanglah rasa rendah dirinya, maka semua kemurungan dan kebencian secara otomatis akan ikut lenyap pula dengan sendirinya Teringat ketika peristiwa pencarian harta dibukit Kiu-ci-san tempo hari, Chin Wan-hong hujin pernah mendapat perintah dari Bu lo-tay-kun untuk berangkat ke bukit Kiu-ci-san dan membicarakan tentang hubungan antara Hoa Thian-hong dengan diri Tiang-heng Tookoh ketika itu.

   Dengan watak Chin Wan-hong hujin yang luwes dan halus, ia telah memberi banyak penjelasan tentang budi, cinta, setia kawan dan cengli terhadap diri Tiang-heng Tookoh ketika itu.

   Bahkan diapun telah menyampaikan pesan dari Bu lo-tay kun yang mengundang dirinya untuk berdiam di perkampungan Liok-soat-san-ceng.

   Ketika itu Giok-teng hujin (Tiang-heng Tookoh) pernah berkata demikian.

   "Kakak benar-benar tak punya keberanian untuk melangkahkan kakiku memasuki gerbang keluarga Hoa!"

   Diapun berkata pula demikian.

   "Bukannya aku tak mau. Pada hakekatnya aku merasa malu, merasa rendah diri untuk berbuat demikian!"

   Waktu itu, berada dihadapan Chin Wan-hong yang lembut dan luwes, boleh dibilang semua perkataan yang diutarakan keluar.

   Muncul secara jujurnya dan benar-benar keluar dari sanubari yang murni.

   Namun tak bisa dihindari pula rasa malu dan rendah dirinya makin terbuka pula dalam kata-kata itu.

   Sebab itulah ketika pencarian harta karun di bukit Kiu ci-san telah berakhir, bukan saja ia tidak menerima tawaran dari Chin Wan-hong hujin untuk berdiam sementara waktu di pasanggrahan keluarga Hoa yang ada dipulau Si-soat-to dilautan Tang-hay.

   Bahkan sebaliknya ia malah bergelandangan kesana kemari dan berusaha sedapat mungkin menghindari pertemuannya dengan setiap orang yang berhubungan dengan keluarga Hoa.

   Ia berbuat demikian pada mulanya bermaksud demi kebaikan Hoa Thian-hong, juga ingin memutuskan rasa kangen Hoa Thian-hoeng terhadap dirinya.

   Siapa tahu sama kini dia berbuat demikian rasa kangen dan cintanya kepada Hoa Thian-hong yang bertambah dalam.

   Memang hatinya pernah tergerak untuk berdiam di pasanggrahan keluarga Hoa di pulau Si-soat to namun ia selalu tak mempunyai keberanian untuk melangkah ke bukit Im Tiong- san.

   Yaa, cinta yang terlampau ditekan lama kelamaan memang bisa menimbulkan akibat sampingan.

   Akhirnya ia mulai berpikir bahwa jelek-jelek Hoa Thian-hong seharusnya turun gunung untuk menengok dirinya.

   Tidak seharusnya kalau ia berdiam diri belaka seakan-akan telah melupakan sama sekali terhadap seorang perempuan yang bernama Giok-teng hujin.

   Akibatnya rasa kesal yang menumpuk menimbulkan kebencian.

   Dengan menahan rasa benci dan dendam diapun memutuskan untuk cukur rambut jadi pendeta dengan gelar "Tiang- heng" (benci yang berkepanjangan).

   Tapi sekarang, Hoa Thian-hong datang mencarinya, bahkan datang dengan membawa tugas.

   Jelas yang dimaksudkan dengan "membawa tugas"

   Adalah tugas yang diberikan Bun Lo tay-kun kepadanya, dengan demikian membuktikan pula bahwa orang-orang keluarga Hoa pada hakekatnya tak pernah melupakan dirinya.

   Hal ini bukankah sama artinya dengan dia sendirilah yang sebetulnya sudah salah sangka? Untuk sesaat lamanya, Tiang-heng Tookoh betul betul merasakan pikirannya kalut dan murung.

   Belum pernah pikirannya sekalut ini.

   Berbeda dengan Hoa In-liong, diam diam ia gembira karena siasatnya sudah mendatmgkan hasil, katanya kembali.

   "Bibi Ku, kau sedang menanyakan soal ayahku? Terus terang saja sebenarnya aku tak ingin mengatakannya kepadamu. Daripada kau kira aku sedang membohongi dirimu, tapi sekarang toh aku sudah terlanjur mengatakannya keluar, maka aku pun tak ingin mengelabuhi dirimu lagi. Yaa benar bibi Ku, ayahku sedang mencarimu. Liong-ji ingin bertanya sekarang seandainya kau telah bertemu dengan ayah, apakah bibi Ku masih tetap akan keras kepala seperti ini?"

   Ia memang bermaksud untuk membakar hati rahib itu, maka tak segan-segannya untuk bicara bohong, berbicara menurut perasaannya.

   Tujuan kali ini pasti akan berhasil, siapa tahu cara lain pun tak mempan, apalagi hanya mengandalkan sepatah dua patah kata saja? Tiang-heng Tookoh termenung dan berpikir sebentar, kemudian pelan-pelan bangkit berdiri, ujarnya dengan lembut.

   "Baiklah kalau begitu tolong sampaikan kepada ayahmu. Katakanlah Ku Ing-ing yang dulu sudah mati banyak tahun. Yang masih hidup didunia sekarang ini tak lebih hanyalah Tiang-heng Tookoh. Kenangan lama bagaikan asap di udara, harap dia tak usah mencari diriku lagi"

   Perkataan itu diurapkan dengan sikap yang serius, nada yang kalem dan sama sekali tak nampak emosi. Sikap seperti ini tentu saja mencengangkan Hoa In-liong. Ia tertegun dan ikut bangkit berdiri.

   "Kenapa?"

   Serunya.

   "kau.... kau...."

   Tiang-heng Tookoh tertawa ewa, sambil ulapkan tangannya ia menjawab.

   "Selamat tinggal anak liong. Kau sangat cerdik, semoga kau baik-baik menjaga diri dan jangan lupa dengan pesan pinto!"

   Kemudian kepada Coa Wi-wi diapun berseru.

   "Selamat tinggal!"

   Kemudian sambil mengebaskan ujung jubahnya, ia putar badan dan berlalu dari situ. Hoa In-liong jadi termangu.

   "Bibi Ku!"

   Teriaknya.

   "Kau...."

   Namuh Tiang-heng Tookoh tidak berpaling lagi, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Hoa In-liong siap menerjang, tapi Coa Wi-wi segera menarik tangannya seraya berbisik.

   "Percuma, tak mungkin dapat kau susul lagi. Jiko! Biarkan dia pergi...."

   Hoa In-liong termenung sebentar akhirnya ia menghela nafas panjang.

   "Aaaai.... Akulah yang terlalu bernafsu. Akulah yang tak dapat mengendalikan emosiku. Aaaai! Siapa tahu kalau ia akan pergi sambil memutuskan hubungan. Begitu mengatakan mau pergi segera juga ia pergi!"

   "Siapa bilang kalau dia pergi sambil memutuskan hubungan? Justru lantaran dia jadi bingung, gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan, maka dia putuskan untuk pergi saja dari sini. Tak usah kuatir Jiko! Pada hakekatnya ia sudah kau buat tergerak perasaan hatinya. Aku dapat melihatnya. Bila kalian berjumpa lagi dikemudian hari, aku yakin kau pasti berhasil"

   "Aaaai!.... Kalau musti menunggu sampai bertemu lagi dikemudian hari, siapa bilang kalau aku akan berhasil dengan gampang?"

   "Aaaah.... Kenapa kau jadi tolol begitu?"

   Omel Coa Wi-wi dengan dahi berkerut.

   "Kemarikan telingamu, akan kuberi tahu duduk persoalan yang sesungguhnya!"

   Melihat perempuan itu sok rahasia, terpaksa Hoa In-liong tundukkan kepalanya dan menempelkan telinganya disisi bibir gadis itu.

   Coa Wi-wi meninggikan tumitnya dan membisikkan sesuatu disisi telinga pemuda itu.

   Entah apa yang telah ia bisikkan.

   Tapi yang jelas, setelah mendengar bisikan tersebut, Hoa In-liong mengangguk berulang kali.

   "Yaa.... apa boleh buat, terpaksa memang harus begitu, semoga saja apa yang kau duga memang tepat!"

   "Pasti!"

   Sahut Coa Wi-wi dengan wajah bersungguh-sungguh.

   "Bila kau tidak percaya, bagaimana kalau kita bertaruh saja?"

   Hoa In-liong tertawa geli.

   "Bertaruh apaan? Anggap sajalah aku percaya kepadamu, mari kita berangkat!"

   Maka kedua orang itupun tinggalkan hutan menuju ketepi sungai sambil bergandengan tangan.

   Ketika fajar baru menyingsing, kedua orang itu sudah tiba di dermaga penyeberangan Wu-kang.

   Selesai bersantap pagi, mereka mencari perahu dan berangkat menuju kota Kim- leng.

   Inipun merupakan usul dari Coa Wi-wi.

   Ia bilang dengan menempuh perjalanan memakai perahu maka mereka akan berhindar dari pengawasan orang serta mengurangi datangnya banyak kesulitan yang tak perlu.

   Selesai itu diapun beralasan lantaran racun keji yang mengeram ditubuh Hoa In- liong belum lenyap, maka menggunakan kesempatan menumpang perahu ia dapat bersemedi untuk memaksa keluarnya racun dari badan.

   Padahal, setelah mereka berdua naik perahu, Coa Wi-wi malahan bertanya kesana bertanya kemari tiada hentinya.

   Pokoknya ia bagaikan seekor burung kecil yang manja, meskipun agak bawel dan bertanya terus, cukup menggembirakan hati orang.

   Hoa In-liong bukanlah seorang pemuda yang pemurung.

   Apa yang mereka rencanakan semulapun segera dikesampingkan untuk sementara waktu.

   Di hadapan sigadis yang manja itu dia bersikap penurut.

   Semua pertanyaan yang diajukan kepadanya segera dijawab sampai memuaskan hatinya.

   Sementara persoalan yang menyangkut keselamatan Hoa Si pun untuk sementara waktu dikesampingkan.

   Perahu yang berjalan mengikuti arus ternyata bergerak lebih cepat dari psrjalanan di darat.

   Ketika senja menjelang tiba, perahu sudah tiba di dermaga Hee-kwan.

   Kedua orang itupun naik kedataran dan masuk kota.

   Menurut rencana Hoa In-liong, dia segera akan kembali ke persoalan yang nyata.

   Tapi setelah merenung sebentar, akhirnya diapun berkata begini.

   "Adik Wi, lebih baik kau pulang dulu, aku hendak menengok keadaan dirumah pelacuran Gi-sim-wan"

   "Tidak!"

   Belum saja kata-katanya selesai, Coa Wi-wi sudah menukas dengan cepat.

   "Aku tak mau pulang, lebih baik kita pergi bersama sama saja!"

   "Tapi.... Tapi.... Masa kau mau ikut pergi ke tempat semacam itu? Kan tidak pantas?"

   Sahut Hoa In-liong sambil menunjukkan sikap keberatan.

   "Aaaah.... Siapa yang bilang kalau aku tak pantas berkunjung kesana?"

   Teriak Coa Wi-wi cemberut.

   "Pokoknya aku tak mau tahu. Toh kau telah berjanji, kemanapun kau pergi aku akan mengikuti terus. Kau jangan salah janji!"

   Hoa In-liong mengerutkan dahinya, pusing, tapi setelah berpikir sebentar katanya kembali.

   "Adik Wi sayang, mesti menurut. Banyak urusan yang musti kita kerjakan saat ini. Bagaimana pun juga semua pekerjaan tersebut harus kita lakakan secara terpencar. Pulanglah dulu ke rumah, coba tengok apakah kakakmu masih dirumah. Bila ada maka suruhlah dia tunggu sebentar, aku akan segera menyusul ke sana"

   "Percuma, tak usah ditengok!"

   Coa Wi-wi gelengkan kepalanya kembali.

   "Aku cukup memahami wataknya itu. Apa yang katakan Wa Ek-hong pasti tak bakal salah lagi dia, pasti sudah pergi menemani Yu toako"

   "Tapi kakakmu adalah seorang laki-laki yang pegang janji. Ketika kami berpisah, ia telah berjanji akan menunggu aku di kota Kim-leng. Padahal keadaan yang sebenarnya mengenai keluarga Yu hanya diketahui oleh kakakmu seorang. Aku tidak kenal siapa-siapa disini, rasanya tidak gampang bagiku untuk menemukan jejaknya...."

   "Kau tidak kenal siapa-siapa aku toh kenal"

   Kembali Coa Wi-wi menukas dengan cepat.

   "Aku bisa membawa kau pergi mencarinya. Kalau tidak apa salahnya kalau kita langsung berkunjung ke telaga Hian-bu-ou?"

   "Bila kakakmu kita temukan, mati tak perlu berkunjung ke Hian-bu-ou. Ketahuilah adik Wi menolong orang bagaikan menolong kebakaran, kita harus bekerja cepat"

   "Walau begitu, toh tak ada gunanya musti bergelisah atau bercemas-cemas? urusan musti kita selesaikan satu demi satu. Hayolah, kita cari dulu alamat dari markas Cian-li- kau. Setelah keadaan Toako dapat kita ketahui maka kita baru pergi mencari kakakku dan menyelidiki kejadian yang sebenarnya mengenai keluarga Yu. Asal dia ditemukan, bukankah kepergian Yu toako juga bakal kita ketahui?"

   "Baiki"

   Kata Hoa In-liong dengan kening berkerut.

   "Kalau toh engkau sudah tahu bahwa tujuanku adalah mencari markas Cian-li kau, itu berarti aku bukan pergi untuk mencari gara-gara apa lagi yang kau kuatirkan?. Ketahuilah, rumah pelacuran Gi-sim-wan adalah tempat yang rendah dan bejat. Sebagai seorang anak dara tidak pantas bagimu untuk mengunjunginya.... Mengerti?"

   "Hmmm! Darimana kau bisa tahu kalau tak akan terjadi pertarungan?"

   Seru Coa Wi- wi tak mau kalah.

   Seandainya sampai terjadi bentrokan kekerasan, lantas bagaimana? Kau bilang anak dara tak boleh berkunjung ke situ, bila ku saru sebagai orang pria kan urusan jadi beres? Aku tidak percaya kalau didunia ini terdapat pula tempat-tempat yang tak boleh kukunjungi"

   Hoa In-liong benar-benar mati kutunya, ia tak mampu memberikan alasan lagi kepada si nona yang cerdik.

   Yaa, memang rada pusing setelah bertemu dengan seorang nona setengah matang setengah ke kanak-kanakan macam Coa Wi-wi.

   Bukan saja ia tak dapat menerangkan Gi sim-Wan itu tempat yang bagaimana, diapun tak dapat menarik muka sambil memaksanya pulang dulu ke rumah.

   Apalagi apa yang diucapkan Coa Wi-wi bukannya sama sekali tak beralasan.

   Sekalipun ia cerdik, sekalipun ia banyak akal musliat, tapi sekarang anak muda itu benar-benar keok benar-benar mati kutunya dan tak sanggup berkata-kata lagi.

   Maka diapun meneruskan perjalanannya dengan membungkam, sedang Coa Wi-wi mengikutinya pula di belakang dengan mulut membungkam juga.

   Begitulah....

   dalam suasana bening dan tutup mulut, kedua orang itu masuk ke dalam kota.

   Tak lama setelah mereka masuk kota, dari depan sana tiba-tiba muncul seorang pengemis kecil yang menghampirinya.

   Begitu sampai dihadapan Hoa In-liong sambil tertawa pengemis kecil itu berseru.

   "Kongcu, apakah kau she-Pek?".

   "Ada urusan apa....?"

   Tanya Hoa In-liong dengan wajah tertegun, ia heran. Pengemis kecil itu segera tertawa cekikikan.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hiih.... hiii.... Bila engkau benar- benar she Pek, tolong hadiahkan setahil perak untukku!"

   Ketika Coa Wi-wi mengetahui bahwa orang itu cuma seorang pengemis yang minta persen, kontan saja matanya melotot besar, rupanya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.

   Berbeda dengan Hoa la-liong, setelah berpikir sebentar ia merasa urusan ini sedikit mencurigakan.

   Maka diambilnya setail perak dan diberikan kepada pengemis itu.

   "Nih, hadiah untukmu, kalau ada perkataan cepat disampaikan!"

   Serunya. Setelah menerima uang itu dan ditengoknya sebentar, pengemis cilik itu kembali tertawa cekikikan.

   "Hii.... hii.... hiih.... Kalau begitu perempuan-perempuan itu tidak salah bicara. Kongcuya tentulah orang she Pek yang dimaksudkan. Nih Untukmu...."

   Tangannya yang dekil segera merogoh ke dalam sakunya dan nenyusupkan segumpal kertas ketangan Hoa In-liong setelah itu diapun putar badan dan berlalu dari sana dengan wajah terseri-seri.

   Mula mula Hoa In-liong agak tertegun, kemudian kertas itu dibentangkan dan isinya dibaca.

   Coa Wi-wi ikut menyusul kedepan dan membaca pula isi surat tersebut....

   Terbcalah surat itu berbunyi demikian.

   "Anak Si tidak apa apa, baik-baiklah jaga diri"

   Dibawah kertas itu terdapat sebuah tanda pengenal, sebuah lingkaran bukit yang mempunyai sebuah ekor. Tentu saja Coa Wi-wi jadi tercengang menyaksikan tanda gambar itu. Sambil menuding tanda tersebut serunya.

   "Gambar apa itu? Masa mirip kecebong?"

   "Huusss! Itu bukan gambar kecebong!"

   Seru Hoa In-liong.

   "Itu lukisan sebuah kipas bundar, senjata andalan dari Cu-yaya"

   Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi memperhatikan sekali lagi, betul juga, lukisan itu memang mirip sebuah kipas, maka diapun tertawa.

   "Bisa menggunakan sebuah kipas sebagai senjata andalan, ilmu silat yang dimiliki Cu-yaya itu pasti tinggi sekali!"

   "Cu-yaya bergelar Siau-yau-sian (dewa yang suka kelayapan). Dia adalah supek dari enthio ku. Tentu saja ilmu silat yang dimilikinya sangat lihay"

   Sahut Hoa In-liong dengan suara ewa. Ketika didengarnya suara pembicaraan si anak muda itu dingin dan ewa, Coa Wi-wi melongo.

   "Eeeeh.... kenapa kamu?"

   Serunya.

   "Masih marah yaa sama aku?"

   "Siapa yang marah kepadamu?"

   Sahut Hoa In-liong tertegun. Ia tampak agak tercengang.

   "Aku memaksa kau, bersikeras ingin ikut dirimu pergi ke Gi-sim-wan, marah bukan kepadaku?"

   Hoa In-liong berseru tertahan kemudian tertawa geli.

   "Nah, itulah dia kalau jadi orang banyak curiga. Aku kan tahu bahwa kau bermaksud baik. Memangnya aku ini orang yang bodoh dan suka marah-marah kepada orang yang baik kepadaku?"

   "Kalau bukan lagi marah, kenapa kau berdiri melongo seperti orang kehilangan semangat?. Sampai-sampai suara jawabanmu kedengaran begitu tawar dan ogah-ogahan?"

   Sekarang Hoa In-liong baru sadar.

   "Oooh.... Rupanya begitu, aku lagi memikirkan urusan lain. Aku tahu bahwa Cu-yaya itu orangnya suka bercanda. Tapi tulisan yang ia tinggalkan kali ini begitu singkat dan terburu-buru, sebenarnya apa yang telah terjadi. Kejadian apakah yang sudah membuat dia orang tua harus tinggalkan kebiasaannya dan terburu-buru?". Mendengar perkataan itu, sekali lagi Coa Wi-wi menengok keatas kertas surat. Betul juga, tulisan itu miring kesana kemari dan ditulis amat terburu-buru. Tapi ia segera tertawa.

   "Aaaah.... engkau ini juga keterlaluan, bukankah kau sendiri pernah berkata, bila perahu sampai diujung jembatan dia akan lurus dengan sendirinya? Kalau tak bisa kau pecahkan yaa tak usah dipikirkan terus menerus!"

   Hoa In-liong berpikir sebentar, ia merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka diapun mengangguk.

   "Yaa, perkataan dari adik Wi memang benar. Aku lihat Gi-sim-wan juga tak usah dikunjungi lagi. Hayo bawa jalan, kita lewati saja gang-gang yang sempil dan jarang dilewati orang". Ketika itu magrib sudah menjelang tiba. Disaat-saat seperti ini jalan raya penuh dengan manusia yang berlalu-lalang. Sebaliknya jalan yang sempit dan gang-gang yang sepi, jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka bisa berjalan lebih cepat lagi. Sejak kecil Coa Wi-wi dibesarkan di kota Kim-leng, sudah tentu dia hapal sekali dengan jalanjalan di kota tersebut. Maka ketika ia disuruh membawa jalan, dengan langkah lebar gadis itu berjalan memasuki sebuah lorong yang sepi. Setelah berjalan kesana kemari sekian lama, mereka mampir dulu di rumah penginapan "Banliong?"

   Untuk membayar rekening serta mengambil buntalan milik Hoa In-liong.

   Setelah itu baru menuju ke jalan raya sebelah timur ke gedung keluarga Coa.

   Congkoan dari gedung Coa bernama Kok Hong-sen.

   Dia adalah seorang kakek kekar yang berusia lima puluh tahunan.

   Setibanya di rumah, Coa Wi-wi memanggil Kok Hong-seng untuk menghadap.

   Dari si kakek inilah mereka baru tahu kalau Yu Siau-lam memang benar-benar sudah menuju kebarat.

   Meski Coa Cong-gi tidak ikut dalam perjalanan tersebut, akan tetapi sudah dua hari dia juga tak diketahui kemana perginya.

   Begitu Coa Wi-wi mendapat tahu kalau kakaknya masih dikota Kim-leng, ia segera memerintahkan kepada Kong Hong-seng untuk mengutus orang mencarinya.

   Kemudian memerintahkan pula pelayan untuk menyiapkan hidangan dan mempersilahkan Hoa In- liong bersihkan badan serta berganti pakaian.

   Pelayan yang bekerja di keluarga Coa banyak sekali jumlahnya.

   Gedung itupun sangat luas.

   Selesai bersantap malam, mereka berduapun duduk di ruang tengah sambil bercakap- cakap dan menunggu kembalinya Coa Cong-gi.

   Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi dikeluarga Yu agar bisa disusun rencana kerja selanjutnya.

   Berbicara menurut keadaan Hoa In-liong dewasa ini, sebenarnya ia tidak berminat untuk banyak bicara atau duduk tersantai-santai.

   Pertama oleh karena Coa Wi-wi yang manja menambah gairahnya.

   Kedua setelah berada di kota Kim-leng ia merasa tak enak untuk tidak mencari tahu keadaan keluarga Yu.

   Maka daripada kesal menunggu orang, ia memutuskan untuk bercakapcakap sambil mengusir kekesalan dalam hatinya.

   Lain halnya dengan Coa Wi-wi, dalam hati kecilnya saat itu cuma ada Hoa In-liong seorang.

   Soal budi dendam dalam dunia persilatan, pergolakan dan pertumpahan darah diantara umat Bu-lim, baginya merupakan persoalan nomer dua.

   Maka bicara punya bicara akhirnya merekapun membicarakan tentang racun ular sakti yang mengeram di tubuh anak muda itu.

   Menyusul kemudian membicarakan pula tentang Goan-cing Taysu beserta asal-usul keluarga Coa.

   Asal usul keluarga Coa memang cukup tersohor dan punya nama besar.

   Tiga ratus tahun berselang siapapun yang menyinggung tentang kebajikan serta kelihayan ilmu silat Bu-seng (Rasul Ilmu Silat) Im Ceng, mereka pasti akan tunjukkan sikap menghormati dan acungkan ibu jarinya.

   Cuma, Hoa In-liong bukan seorang laki-laki yang suka menyanjun orang lain.

   Sekalipun dia pernah mendapat warisan ilmu Bu kek-teng-eng- im-hoat dari Goan-cing Taysu, itu pun hanya menimbulkan rasa terima kasih dalam hatinya saja.

   Sebaliknya begitu dia tahu kalau ayah Coa Wi-wi, Coa Coan-hua telah lenyap sejak lima belas tahun berselang, ia jadi terkejut bercampur terharu, bahkan luapan emosinya dihati hampir saja sukar dikembalikan lagi.

   Hal ini disebabkan karena pertama ia mempunyai hubungan persahabatan yang akrab dengan keluarga Coa terutama Coa Cong-gi dan Coa Wi wi.

   Kedua dari mulut Wan Hong-giok diapun pernah mendengar bahwa pihak Mo-kau dari Seog-sut-hay sedang "menguasai sejumlah Bu-lim cian-pwe yang berilmu tinggi untuk dijadikan penyerang terdepan mereka.

   "Andaikata Coa Coanhua tidak beruntung benar-benar terjatuh ke tangan orang Mo- kau, maka andaikata dua bersaudara Coa diancam dengan ayah mereka sebagai sandera, bukankah kedua orang ini benar benar akan tersiksa lahir batinnya hingga akhirnya mungkin akan mati karena kesal?"

   Haruslah diketahui, Hoa In-liong yang sudah dididik sebagai seorang manusia terpelajar, pada hakekatnya mempunyai rasa setia kawan yang amat tebal.

   Apalagi setelah dia menghadapi tekanan demi tekanan yang diakibatkan oleh pelbagai peristiwa besar serta merta terciptalah suatu ambisi, atau katakanlah suatu cita-cita untuk mengikuti jejak ayahnya yang membasmi hawa siluman dari muka bumi dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan.

   Maka ketika secara tiba-tiba ia mengetahui bahwa ayah Coa Wi-wi yang berilmu telah lenyap semenjak lima belas tahun berselang, rasa terperanjat dan golakan emosi yang timbul dalam hatinya bukan dikarenakan kepentingan pribadi saja, melainkan juga demi keamanan umat persilatan pada umumnya.

   Ia merasa kejadian itu sangat gawat dan serius bagaimana jua persoalan diselidiki hingga meujadi jelas.

   Oleh karena itulah, dalam pembicaraan yang berlangsung lama, dalam hati kecilnya diam-diam ia mengambil tiga keputusan, Pertama.

   Teka-teki yang menyelubungi mati hidup Coa Goan-hua harus disingkap secepatnya.

   Seandainya ia betul-betul sudah terjatuh ke tangan orang orang Mo-kau maka dia harus berusaha dengan segala kemampuan untuk menyelamatkannya.

   Ini untuk menghindari penyiksaan seterusnya serta penunggangan pihak Mo-kau kaucu yang memanfatkan kemampuannya untuk memusuhi umat persilatan di daratan Tionggoan.

   Kedua.

   Menurut apa yang diucapkan Coa Cong-gi tempo hari, tampaknya baik perkumpulan Hiang-beng-kau mempunyai rencana yang matang untuk menghadapi para Bu lim cianpwe.

   Oleh sebab itu dia harus berusaha untuk mengadakan suatu pertemuan dengan Pui Che- giok, ketua Cian-li-kau untuk mengawasi gerak-gerik dari kedua partai serta menyelidiki tempat tinggal para Bu lim cianpwe baik dari golongan lurus maupun dari golongan sesat agar bisa memberitahukan kepada mereka untuk lebih waspada, jangan sampai kena dicelakai atau kena dibujuk oleh mereka hingga kekuatannya dipergunakan mereka.

   Ketiga.

   Ia merasa bahwa kekuasaan kaum sesat dewasa ini telah menyelimuti seluruh dunia, bahkan masing-masing telah berkuasa disuatu wilayah yang cukup luas.

   Dia harus berusaha mencari akal untuk menghadapi mereka serta membasmi mereka semua hingga keakar- akarnya.

   Walaupun ketiga buah keputusan tersebut hanya merupakan garis besarnya belaka, namun boleh di bilang sudah meliputi semua bagian yang penting.

   Atau tegasnya keputusannya yang ketiga bukanlah terhitung suatu keputusan, melainkan suatu keharusan yang musti dilakukan demi lancarnya keputusan-keputusan yang lain.

   Tapi, keadaan situasi dewasa ini berbeda jauh dengan keadaan dalam dunia persilatan tempo dulu dimana dunia ketiga musuh dikuasai oleh tiga kekuatan maha besar.

   Sewaku Hoa Tiang-hong malang-melintang dalam dunia persilatan, kekuasaan serta kekuatan tiga maha besar sudah cukup jelas.

   Sebaliknya situasi dewasa ini masih belum tetap.

   Walaupun hawa iblis telah menyelimuti seluruh dunia, namun posisi mereka belumlah jelas.

   Maka untuk menanggulangi bahaya tersebut, si anak muda itu selain harus mengadakan penyelidikan, diapun musti berusaha membasminya.

   Maka bila ia tidak berusaha dengan cara lain, niscaya semua usahanya akan mengalami kegagalan total.

   Yaaa, pada hakekatnya Hoa In-liong terhitung seorang laki laki yang berotak cerdik dan cekatan.

   Sebab bukan urusan yang gampang bagi seseorang untuk berpikir sampai disitu.

   Demikianlah, kendatipun dalam hati kecilnya ia telah mengambil keputusan, hal mana tidak ia utarakan keluar, lebih-lebih lagi tak pernah ia rundingkan dengan Coa Wi-wi.

   Selang beberapa saat kemudian, para pegawai gedung keluarga Coa yang diutus untuk mencari Coa Cong-gi secara beruntun telah kembali semua.

   Namun orang yang dicari belum juga munculkan diri.

   Lama kelamaan habis juga kesabaran Coa Wi-wi, dia lantas bertanya kepada Hoa In- liong.

   "Bagaimana ini? Kita bicarakan besok pagi saja? Ataukah sekarang juga kita berkunjung ke pasanggrahan pertabiban untuk melakukan penyelidikan....?"

   Hoa In-liong termenung sebeatar, lalu menjawab.

   "Mari kita selidiki tempat itu!"

   "Baik...."Coa Wi-wi mengangguk.

   "Berdandan sebagai pria lebih leluasa. Aku akan ganti pakaian laki dulu, tunggu aku di ruang depan....!"

   Tengah malam itu, dengan pakaian ringkas berangkatlah kedua orang itu menuju telaga Hian-buou.

   Memandang dari kejauhan, tampak peaaangrahan pertabiban sudah musnah menjadi abu.

   Ketika semakin dekat makin jelaslah sudah pemandangan yang tertera didepan mata.

   Sebuah gedung perubahan yang megah dan kokoh, kini tinggal puing-puing yang berserakan, mengenaskan sekali tampaknya.

   Gedung itu merupakan tempat bermain Coa Wi-wi dimasa lalu.

   Hoa In-liong juga dua kali pernah berkunjung ke situ, malahan pernah menginap semalam.

   Kini berhadapan dengan puing yang berserakan, terutama bau angus yang terbawa hembusan angin, tak terasa lagi mereka menggertak gigi sambil menahan rasa benci yang tak terkirakan.

   Selang sesaat kemudian, Coa Wi wi mendengus dingin.

   "Benar-benar perbuatan terkutuk dari manusia yang berhati bisa. Jiko! Empek Yu adalah seorang Tabib sosial, bukan saja banyak orang yang telah ditolong jiwanya. Dihari-hari biasapun tak pernah membuat perselisihan dengan siapapun. Tapi sekarang, bukan saja rumahnya dibakar sampai habis, dia orang tuapun ikut diculik. Perbuatan semacan ini apakah masih bisa diampuni? Apakah manusia yang melakukan itu sudah tidak berperi kemanusiaan lagi?" Rasa benci yang berkecamuk dalam benak Hoa In-liong tak kalah dengan cara bencinya. Mendengar perkataan itu dia ikut mendengus.

   "Hmmm....! Bila mereka masih merapunyai peri kemanusiaan, tak nanti perbuatan gila yang terkutuk ini dilakukan. Kini banyak bicarapun tak ada gunanya, lebih baik kira selidiki dulu puing-puing tersebut. Siapa tahu kalau ditempat itu kita bisa mendapatkan sedikit titik terang?"

   Berbicara sampai disini, dia lantas bergerak lebih dulu kedepan.

   Coa Wi-wi juga tidak banyak berbicara, cepat ia menyusul pula dari belakang.

   Begitulah, semua puing mereka bongkar, semua abu mereka singkap.

   Dari paling depan sampai serambi samping.

   Ruang belakang mereka periksa dengan teliti, siapa tahu walaupun sudah diperiksa sampai di halaman paling belakang pun mereka tak berhasil menemukan apa-apa.

   Kenyataan tersebut membuktikan bahwa urusannya luar biasa.

   Diam-diam Hoa In- liong merasa terkejut "Otak yang memimpi pembakaran ini pastilah seorang manusia yang luar biasa"

   Demikian ia berpikir.

   "Masa begini besar gedung yang mereka bakar ternyata tak berhasil ditemukan sesuatu nada apapun yang mencurigakan hati"

   Berpikir demikian matanya lantas celingukan ke sana kemari untuk memperhatikan keadaan.

   Mendadak dari bawah gunung-gunungan diujung timur sana terlihat seberkas cahaya lampu.

   Cahaya itu tampaknya muncul secara tiba-tiba dan lagi berasal dari sudut yang tak gampang ditemukan orang.

   Begitu melihat cahaya tersebut, Hoa In-liong merasa terkejut bercampur gembira cepat-cepat ia menarik tangan Coa Wi-wi berbisik dengan lirih.

   "Adik Wi, ikutlah aku. Tapi harus berhati-hati!"

   Meskipun Coa Wi-wi adalah seorang gadis yang tak takut langit atau bumi, setelah mendengar perkataan itu, ia tak berani gegabah.

   Cepat pedang pendeknya disembunyikan ke belakang punggung, lalu dengan hati-hati sekali ia mengikuti di belakang Hoa In-liong mendekati gununggunungan tersebut.

   Itulah sebuah gunung-gunungan yang terbentuk dari kumpulan batu cadas sekelilingnya terdiri dari air kolam, disebelah timur dan barat masing-masing terdapat sebuah jembatan batu yang menghubungkan tempat itu dengan daratan.

   Luas kolam tidaklah sama, yang paling sempitpun mencapai satu tombak lebih lima enam kaki hingga terbentuklah suatu permukaan telaga yang sempit tapi memanjang.

   Disudut utara permukaan telaga terdapat lima-enam buah gundukan tanah baru.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rupanya sebuah kuburan yang dipakai untuk mengubur orang-orang yang tewas belum lama berselang.

   Di sebelah selatan merupakan sebidang tanah berumput yang memanjang.

   Lewat kesana adalah sebuah kebun bunga.

   Diujung kebun adalah sebuah serambi panjang yang berhubungan dengan gedung ruang belakang, dimana bisa berhubungan langsung dengan gedung utama.

   Dua orang muda mudi itu berkeliling dulu diseputar itu, lalu setelah yakin kalau disana tak ada orang, mereka baru menyeberangi permukaan air dari arah timur menuju keatas gununggunungan tersebut.

   Gunung-gunungan itu tingginya beberapa tombak, luasnya mencapai lima tombak lebih.

   Oleh karena permukaannya tidak datar dan penuh ditumbuhi pepohonan bambu, cemara dan semak belukar, maka setibanya diatas bukit itu, cahaya tadi malah sama sekali tidak terlihat lagi.

   Untunglah Hoa In-liong memiliki mata yang tajam dan lagi sumber cahaya itupun sudah diingat ingat didalam hati.

   Maka setelah berdiri sebentar diatas tebing, dengan suatu gerakan yang enteng tubuhnya berkelebat ke samping barat dari gunung-gunung itu.

   Ternyata di sudut barat gunung-gunungan itu tumbuhlah sebaris bambu.

   Dibagian utara dari dinding barat merupakan sebuah jendela yang luasnya tiga depa.

   Jendela tersebut terbuat dari kayu dan waktu itu tertutup rapat.

   Cahaya api menembus dari balik jendela itu, ini menunjukkan bahwa sinar yang tampak dari kejauhan tadi berasal dari celah-celah jendela itu.

   Tapi lantaran dihadapannya tumbuh pohon bambu yang rimbun, tak aneh kalau tempat itu sukar ditemukan.

   Orang bilang.

   "Bila ada jendela tentu ada rumah, bila ada rumah tentu ada pintu"

   Menemukan segala sesuatunya itu, Hoa In-liong jadi kegirangan setengah mati. Cepat ia menggape ke arah Coa Wi-wi, kemudian sambil menunjuk kearah jendela bisiknya.

   "Coba lihat adik Wi. Dari dalam sana muncul cahaya lampu. Itu berarti disitu terdapat ruangan batu. Berjaga-jagalalah disini, aku akan mencari pintu masuknya"

   Coa Wi-wi sudah mengetahui kalau disana ada jendela. Maka setelah mendengar bisikan itu dia lantas mengangguk.

   "Tidak, jangan kau pergi dari sini. Lebih baik aku saja yang mencari pintu masuknya, sedang kau bekerja disini. Bila aku sudah memberi tanda nanti, kau baru membongkar tempat persembunyiannya"

   Habis berkata dia lantas putar badan dan siap menelusuri tanah perbukitan tersebut.

   "Eeeeh.... tunggu sebentar!"

   Buru buru Hoa-In liong mencegah.

   "Menurut perglihatanku, orang ini belum tentu berasal dari sekomplotan dengan para pengacau. Kalau tidak, kenapa ia berani bercokol terus ditempai ini?".

   "Aaaai....! Belum tentu"

   Bantah sinona.

   "Siapa tahu kalau mereka memang bernyali dan tak takut mati...."

   Belum habis ucapan tersebut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang sangat merdu berkumandang datang memecahkan kesunyian.

   "Terima kasih atas pujianmu. Aku berada disini, kalian tak perlu menemukan pintu masuknya lagi"

   Teguran tersebut munculnya sangat mendadak ini membuat Hoa In-liong jadi terperanjat.

   Dengan cepat dia berpaling, maka tampaklah sesosok bayangan putih berdiri diatas lapangan berumput di sebelah sana.

   Meskipun udara gelap dan cahaya bintang amat redup, namun dengan ketajaman mata yang dimiliki Hoa In-liong, ia dapat melihat kesemuanya itu dengan amat jelasnya.

   Tampaklah orang itu mengenakan baju warna putih, ditangannya memegang sebuah tongkat berkepala sembilan.

   Wajahnya cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi sikapnya dingin, kaku dan menggidikkan hati.

   Dia bukan lain adalah Bwee Su-yok, ketua baru dari Kiu-im kau.

   oooOOOOooo TIDAK tampak bagaimana caranya Coa Wi-wi menghimpun tenaga, tahu-tahu badannya segesit turun lewat sudah melintasi kolam dan melayang turun kurang lebih satu tombak dihadapan Bwee Su-yok.

   Ketika ada dibukit Ciong-san tempo hari, gadis ini pernah bertemu dengan Bwee Su-yok, meskipun tak pernah melangsungkan pembicaraan atau pun tegur sapa.

   Tapi setelah kejadian seringkali ia mendengar tentang diri gadis itu baik dalam pembicaraannya dengan Hoa In-liong maupun dengan kakaknya.

   Meski demikian, dengan wataknya yang polos dan lincah, dara itu tak pernah menaruh kesan jelek terhadap Bwee Su-yok, malah sebaliknya ia merasa simpatik dan kasihan.

   Begitulah, sambil tertawa diapun menyapa.

   "Eeeh cici, apakah kau adalah enci Bwee?. Oooh.... Sungguh cantik nian wajahmu!"

   Ketika Bwee Su-yok menyaksikan cara gadis itu melayang turun ke atas tanah, diam-diam hatinya bergidik.

   Apalagi ketika gadis itu menerjang ke arahnya, disangkanya ia sedang diserang, maka segenap kekuatan yang dimilikinya segera dihimpun untuk siap siaga menghadapi segeia kemungkinan yang tak diinginkan.

   Siapa tahu bukan serangan yang datang sebaliknya Coa Wi-wi malah mengajukan pertanyaan dengan senyum dikulum.

   Memandang wajahnya yang cantik serta senyum yang polos.

   Untuk sesaat Bwee Su-yok merasa agak sungkan untuk menghadapinya dengan sikap yang dingin.

   Maka setelah tertegun sejenak, dengan sikap yang lebih lembut dia menyahut.

   "Akulah Bwee Suyok!"

   Meskipun sikapnya telah lembut, tapi mukanya yang dingin masih jelas kentara. Ini semua menyebabkan Coa Wi-wi kurang senang hati, pikirnya.

   "Waduh.... agaknya sok amat, memangnya apa yang diandalkan? Hmmm! Sombongnya.... bukan kepalang!". Hoa In-liong kuatir rekannya jadi jengkel dan melancarkan serangan ketika menghadapi sikap dingin dan sombong dari musuhnya, dengan cepat dia melayang turun disamping Coa Wi-wi, lalu menjura.

   "Nona Bwee, atas keberhasilanmu menduduki jabatan sebagai seorang ketua, aku harus mengucapkan selamat kepadamu!"

   Dengan sombong Bwee Su-yok mendengus, bukan membalas hormat dia malahan berkata.

   "Seharusnya untuk bersedih hatipun kau tak sempat!"

   Hoa In-liong mengerti apa yang dimaksudkan, tapi ia pura pura tertegun seperti tak mengerti.

   "Apa maksud nona Bwee berkata demikian?"

   Tanyanya.

   Bwee Su-yok menggerakkan bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu, tapi tiba tiba ia batalkan niatnya itu dan mendengus dingin.

   Kemudian melengos ke arah lain.

   Dari mimik wajahnya orang akan tahu bahwa ia sedang iri atau cemburu karena menyaksikan Hoa In-liong berdiri berjajar dengan Coa Wi-wi.

   Apalagi yang laki ganteng rupawan sedang yang perempuan cantik jelita bak bidadari.

   Dalam pikiran yang kalut ia jadi tak dapat membedakan apakah harus cemburu ataukah marah.

   "Apa maksud nona Bwee dengan kata-katanya itu? Apakah aku boleh mengetahuinya?"

   Desak Hoa In-liong. Bwee Su-yok berusaha mengendalikan perasaannya.

   "Apakah anak keturunan dari keluarga Hoa adalah manusia-manusia yang tak tahu adat sopan santun?"

   Dia menegur.

   Perlu diterangkan, saat itu dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar.

   Kedudukan itu luar biasa sekali, tapi Hoa In-liong ternyata menyebut dirinya sebagai "nona Bwee".

   Hal ini benar-benar dirasakan olehnya sebagai suatu tindakan yang kurang sopan.

   Tapi, pada hakekatnya Hoa In-liong memang sengaja berbuat demikian.

   Teguran dari Bwee Suyok pun sudah ada dalam dugaannya semula, maka setelah mendengar perkataan itu dia menjawab dengan nyaring.

   "Semua anak keturunan keluarga Hoa adalah orang orang yang tahu akan sopan santun, kecuali aku...."

   "Kenapa dengan kau?"

   Desak Bwee Su-yok. Coa Wi-wi mengerutkan dahinya, dia tarik ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik.

   "Jiko, lagak kaucu ini terlalu sekali, lebih...."

   Tapi sebelum menyelesaikan kata-katanya Hoa In-liong telah memberi tanda kepadanya agar mengikuti perubahan dengan tenang.

   Sebenarnya gadis itu merasa tak senang karena Hoa In-liong bukannya menanyakan peristiwa pembakaran pesanggrahan pertabiban setelah berjumpa dengan Bwee Su-yok, sebaliknya buang waktu untuk persoalan yang tidak berarti, maka ia memperingatkan dirinya.

   Tapi setelah Hoa In-liong memberi tanda, sebagai gadis yang cerdik dia lantas tahu kalau anak muda itu mempunyai tujuan tersebut.

   Oleh sebab itulah ia benar-benar tutup mulut.

   Setelah menghalangi Coa Wi-wi berbicara, Hoa ln-liong baru berkata lagi.

   "Aku? Oooh.... Aku adalah seorang manusia yang tak usah dilukiskan suka mencari muka. Tengiknya banyak lagi kebusukan yang tak usah dilukiskan satu demi satu"

   Ternyata ia telah mengulangi kata-kata makian dari Bwee Su-yok sewaktu ada di bukit Ciongsan. Tentu saja hal ini membuat Bwee Su-yok jadi Tertegun. Dia tak tahu musti girang atau marah.

   "Sungguh tak nyana keluarga Hoa mempunyai seorang keturunan semacam kau. Hmmm! Sudah sepantasnya kalau kekuasaannya berakhir sampai disini saja"

   Serunya. Hoa In-liong tertawa berderai derai, pikirnya.

   "Sebelum mati, Yu Boh mengatakan ada segerombolan manusia yang tak diketahui asal usulnya telah membakar pesanggrahan pertabiban. Padahal jika perbuatan ini dilakukan oleh orang Kiu-im-kau, sekilas pandangan saja siapa pun tahu. Perduli bagaimanapun jua jelas Bwee Su-yok tahu siapa yang telah melakukan kesemuanya ini.... Hmmm! dan lagi, si budak ingusan itu sengaja berdian disini, hal itu pasti ada sebabnya. Sekarang dia sudah merupakan seorang kaucu dari Kiu-im-kau jelas dia tak akan datang hanya seorang diri. Tapi dimanakah anak buahnya?"

   Pelbagai ingatan dengan cepatnya melintas dalam benak.

   Secara ringkas ia analisa semua situasi yang ada didepan mata, kemudian terasalah olehnya bahwa titik terang pada diri Bwee Su-yok tak boleh dilepaskan dengan begitu saja.

   Tapi jelas kalau persoalan tersebut ditanyakan secara langsung, Bwee Su-yok tak akan menjawab sejujurnya.

   Sebab itu harus dicarikan sebuah akal untuk menjebaknya.

   Begitulah, selesai tertawa iapun berkata.

   "Nona Bwe, tidakkah kau rasakan bahwa sebutan nona jauh lebih mesra kedengarannya daripada membahasai dirimu dengan sebutan kaucu...."

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Bwee Su-yok dengan mata mendelik.

   Hoa In-liong benar-benar tutup mulut, malah di tatapnya wajah Bwee Su-yok sambil tertawa cengar-cengirr, terutama lirikan matanya, seakan akan mengandung maksud tertentu.

   Ditatap seperti ini, Bwee Su-yok merasa pipinya berubah jadi semu merah.

   Jantungnya berdebar keras, cepat-cepat dia melengos ke arah lain.

   Tapi secara tiba-tiba ia merasa tindakan tersebut terlampau menunjukkan kelemahan pribadi, maka dengan sorot mata setajam sembilu dia balas menatap pemuda itu, malah sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah ia membentak keras.

   "Hoa In-liong, kau ingin mampus?"

   "Mampus? Aaaah.... Itu kan kejadian biasa"

   Ejek sang pemuda ewa. Coa Wi-wi berkerut kening, diapun ikut berpikir.

   "Kurang ajar. Apa yang kau bicarakan dengannya omongan yang tak berguna. Kalau begini caranya, mana bisa kau temukan kabar tentang pembakaran ini?"

   Berpikir demikian, cepat cepat dia menyela.

   "Siapa mampus siapa hidup lebih baik ditentukan secara kekerasan saja, buat apa banyak bicara? Tapi sebelum itu, kau harus memberi pertanggung jawaban lebih dulu tentang peristiwa yang menimpa keluarga yu". Bwee Su-yok tertawa dingin.

   "Heeh.... heeh.... heeh.... Jadi kau anggap aku yang melakukan kesemuanya ini?"

   "Sekalipun bukan kau yang melakukan, Kiu-im-kau...."

   "Adik Wi, jangan sembarangan omong"

   Tukas Hoa In-liong tiba-tiba.

   "Kiu-im-kau toh sebuah perkumpulan nomor satu didunia, masa mereka sudi melakukan perbuatan membunuh dan membakar macam tindak tanduk kaum pencoleng dan bandit?"

   "Hmmm! mencari muka, kurang ajar, tengik. Benar-benar menggemaskan....!"

   Teriak Bwee Suyok dengan gemas. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka kala-kata selanjutnya segera terhenti ditengah jalan. Coa Wi-wi tak mau mengalah dengan begitu saja dia berseru pula dengan lantang.

   "Kalau aku omong kosong, memangnya hanya kata-kata yang merupakan kata-kata sesungguhnya?"

   Menyaksikan situasi sudah mulai panas Hoa In-liong berpikir dalam hatinya.

   "Adik Wi telah membakar suasana dengan kata-katanya yang kaku, ini berarti tak mungkin begitu untuk menyingkat duduknya perkara dengan cara memancing kata katanya"

   Berpikir demikian dia lantas tersenyum.

   "Aku rasa nona Bwee pasti mengetahui dengan jelas duduknya peristiwa"

   Ia berkata lembut.

   "Dan akupun sangat berharap bisa mengetahui jejak dari empek Yu suami istri. Maka bila kau bersedia memberi keterangan aku merasa berterima kasih sekali"

   Selesai berkata kembali ia menjura dan memberi hormat nona cantik tersebut. Bwee Su-yok sama sekali tidak tergerak hatinya oleh tindak tanduk anak muda itu, katanya.

   "Kenapa kau musti berterima kasih kepadaku? "Yaaa.... tolonglah beri penjelasan.... Membantu pasti mau kan?"

   Hoa In-liong menjura berulang kali.

   Ditinjau dari tampang serta tindak tanduknya seakan-akan ia sedang mengajak teman untuk merundingkan sesuatu saja dan rasanya Ho Jiya dari keluarga Im Tiong-san saja yang mampu melakukan hal tersebut.

   Bwee Su-yok betul-betul dibuat kheki dan gemas, mau tertawa sungkan mau menangis tak bisa, maka sesudah merenung sebentar gerutunya.

   Cca Wi-wi tak dapat mengendalikan rasa gelinya lagi ia tertawa cekikikan.

   Apalagi setelah menyaksikan Hoa In-liong yang kocak, rasa gelinya makin tak tertahan.

   Tiba-tiba Bwee Su-yok bertanya.

   "Jadi.... kau sangat ingin mengetahui siapa yang membakar pasanggrahan dari Kanglam Ji-gi (Tabib Sosial dari Kanglam)?"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hoa In-liong merasa terkejut bercampur curiga. Bila Bwee Su-yok bersedia memberitahu kepadanya dimanakah Kanglam Ji-gi terkurung, kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang tak masuk diakal. Meskipun curiga, ia menjawab juga.

   "Bila nona bersedia memberi petunjuk, tentu saja aku merasa amat berterima kasih"

   "Hmmm....! Tak ada gunanya ucapan terima kasih, aku minta suatu pembayaran yang setimpal"

   Kata Bwee Su-yok dengan nada ketus.

   "Pembayaran apa?"

   "Pembayaran itu tinggi nilainya, aku kuatir kau tak sanggup untuk membayarnya"

   "Aku tak akan segan-segan membayar permintaan apapun yang kau harapkan"

   Sedingin salju paras muka Bwee Su-yok, katanya kemudian dengan suara tajam.

   "Aku menghendaki nyawamu, sanggupkah engkau untuk membayarnya?"

   "Kentut busuk!"

   Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia membentak nyaring.

   "Kau sedang mengigau. Kau tak usah omong yang tak genah...."

   Bwee Su-yok sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Ia malah menatap wajah Hoa In-liong dengan pandangan dingin.

   "Adik Wi, kenapa kau musti marah?"

   Kata Hoa In-liong dengan suara hambar.

   "Sekalipun permintaannya kelewat tinggi kita kan bisa menawar sesuai dengan uang pokok yang kita miliki. Jika permintaannya belum cocok kita toh bisa merundingkannya secara pelan-pelan"

   "Tidak ada kesempatan untuk berunding"

   Tukas Bwee Su-yok lagi dengan ketus.

   "Kalau mau begitu, kalau tidak mau ya sudah!"

   "Waaaah.... Kalau tidak jadi radaan susah...."

   Hoa In-liong pura-pura mengernyitkan alis matanya.

   "Lantas selembar nyawaku ini musti kupersembahkan dengan kedua belah tangan sendiri, ataukah nona yang akan mengambilnya sendiri?"

   "Pinginnya kusuruh kau persembahkan sendiri. Tapi kalau dilihat dari sifatmu yang takut mampus, agaknya hal ini tak mungkin terjadi...."

   Hoa In-liong tertawa ewa, ia sama sekali tidak gusar meskipun sudah diejek musuhnya. Berbeda dengan Coa Wi-wi dia jadi naik pitam.

   "Kalau engkau tak takut mampus, kenapa tidak kau serahkan dulu nyawamu itu kepadaku?"

   Teriaknya. Bwee Su-yok sama sekali tidak menggubris teriakan orang, kembali ujarnya dengan lantang.

   "Tentunya engkau sudah tahu bukan dimana letaknya kantor cabang perkumpulan kami di kota Kim-leng?"

   "Oooh.... tentu saja tahu"

   Hoa In-liong tertawa.

   "Entah bagaimana dengan pohon kui yang telah kugunakan untuk menggantung diri selama tiga hari itu? Masih seperti sedia kala atau telah berubah?"

   Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang cerdik.

   Tentu saja dia tahu kalau pemuda itu sedang menyindir kebodohan Kiu-im kaucu dimana sampai sampai pohon sebesar itupun berhasil dirobohkan oleh Ko Thay dengan pukulannya.

   Ia merasa sangat mendongkol, sebenarnya dia pun hendak menyindir Hoa In-liong dimana pemuda itu pernah digantung selama tiga hari, tapi ketika dirasakan kemudian bahwa kejadian itu kurang begitu menguntungkan nama baiknya, diapun membatalkan niatnya itu.

   Setelah tertegun sejenak, dia lantas berkata.

   "Aku adalah seorang yang terhormat, tak sudi aku berdebat dengan gelandangan macam kau...."

   "Huuhh.... tak tahu malu"

   Tukas Coa Wi-wi.

   "Kiu-im-kau sendiri juga sebuah perkumpulan kaum sesat, apanya yang luar biasa?"

   Mencorong sinar marah dari sepasang mata Bwee Su-yok, tapi ia masih juga tidak memperdulikan ocehan gadis tersebut, katanya lantang.

   "Besok sore kunantikan kedatanganmu diruang tengah. Jika kau ingin mengetahui berita tentang Kanglam Ji-gi, datanglah seorang diri...."

   Meski binal, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang berotak cermat, sedikit kesempatan yang ada, tak disia-siakan dengan begitu saja. Mendengar kata-kata itu cepat ia berseru.

   "Aku ingin tahu lebih dulu, bila aku datang memenuhi janji, apakah nona Bwe juga segera memberi tahukan jejak empek Yu suami istri kepadaku...."

   "Bila kau ingin tahu, datang saja tepat pada waktunya"

   Jawab Bwee Su-yok ketus.

   "Soal bicara atau tidak, tergantung apakah besok hatiku sedang gembira atau tidak"

   Hoa In-liong tidak marah oleh kata-kata itu, dia malah berpikir.

   "Jika didengar dari ucapan dayang tersebut tampaknya ia tidak berniat jujur dengan janjinya. Aku musti berhati-hati....". Maka sambil tertawa katanya.

   "Nona Bwee, aku rasa cara semacam ini tidaklah adil!".

   "Kalau merasa kurang adil janganlah datang. Tapi kalau sudah mau datang maka sekalipun harus mampus juga musti rela. Aku sama sekali tidak I bermaksud memaksa dirimu"

   Jawaban ini benar-benar membuat Hoa In-liong kehabisan akal dia jadi ngenes sendiri.

   "Waaah.... Waaah.... Cara semacam ini namanya memaksa orang pandai amat caramu berbicara!"

   "Hmmm.... Asal kita tangkap budak busuk itu, masa dia tak mau bicara?"

   Tiba-tiba Coa Wi-wi berteriak marah.

   Apa yang dikatakan kemudian dibuktikan.

   Dengan cepat, dengan telapak tangan kanannya ia melepaskan sebuah pukulan tipuan kemudian dengan kedua jari tengahnya dan telunjuknya ia melepaskan satu totokan maut yang dibarengi dengan gerakan tubuh yang menerkam ke muka.

   Bwee Su-yok tak berani gegabah sekalipun yang terlihat olehnya hanya suatu ancaman yang menyerupai suatu ilmu pukulan tapi bukan ilmu pukulan, ilmu totokan jari bukan ilmu totokan jari.

   Meski bergerak tanpa arah satu.

   Walaupun kelihatan seperti tak berkekuatan, tapi nyatanya serangan itu sudah mengancam hampir seluruh tubuhnya terutama bagian dada dan lambung.

   Jalan darah seperti Ing-cuang-hiat, Ki-bun-hiat Sin-hong-hiat, dan Hu-ciat-hiat sudah terkurung semua dalam ancaman.

   Ini semua membuat dara tersebut tercengang.

   "Jurus serangan apa ini?"

   Demikian ia berpikir.

   Sudah tentu ancaman yang datang tak dapat dibiarkan dengan begitu saja.

   Dengan jurus Kui-imcuang-cuang (Cahaya Iblis Bergoncang- goncang) tongkat kepala setannya melancar sebuah serangan balasan dengan sepenuh tenaga.

   Sekejap mata, seluruh angkasa telah diliputi cahaya hitam yarg menyilaukan mata.

   Desingan tajam mendesis di udara dan memekakkan telinga.

   Kesembilan buah kepala setan di ujung tongkat seakan-akan berubah jadi sembilan buah setan hidup.

   Sambil unjukkan tarirg dan cakarnya siap menerkam mangsa yang ada didepannya.

   Bagaimanapun jua, Coa Wi-wi masih muda.

   Apalagi seorang gadis, terhadap ancaman yang tiba ia masih tak terlalu dipikirkan dalam hati.

   Tapi bayangan setan diujung tongkat membuat dara itu menjerit lengking karena ngerinya, cepat cepat dia kabur dan mundur ke belakang.

   Dengan tindakan tersebut, sama artinya kalau ia kena didesak oleh serangan orang.

   Coa Wi-wi kontan merasa kehilangan muka, pipinya yang putih berubah jadi semu merah.

   "Bagus sekali"

   Teriaknya dengan nada malu bercampur marah.

   "Permainan tongkatmu memang cukup hebat dan anggap saja jurus Pian-tong-put-ki (Berusaha Tanda Pindah) ku tadi berhasil kau terima. Nah! Sekarang coba rasakan sebuah seranganku lagi, akan kulihat apakah kau mampu untuk menyambut jurus Ciu-liu-lak-si (Bergelombang dan berpusing memenuhi enam kekosongan) ku ini". Bwee Su-yok tahu, serangan yang bakal dilancarkan pasti suatu serangan geledek yang mempunyai daya kekuatan luar biasa. Ia tak sempat mengejek lagi, tongkat saktinya cepat diputar sedemikian rupa untnk melindungi keselamatan jiwanya.

   "Adik Wi, tahan!"

   Tiba-tiba Hoa In-liong berseru.

   Sebenarnya Coa Wi-wi sudah melancarkan serangannya dengan telapak tangan kanan, dimana jari tengahnya sudah dikeraskan bagaikan sebuah tombak.

   Tapi setelah mendengar seruan tersebut, ia tarik kembali posisinya lalu berpaling dengan keheranan.

   Jilid 26

   "ADA apa jiko?"

   Hoa In-liong tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut, sebaliknya sambil memberi hormat kepada Bwe Su-yok katanya.

   "Sampai waktunya aku pasti akan datang memenuhi janji, silahkan Bwe kaucu berlalu lebih dulu"

   Secara tiba-tiba ia merubah panggilannya dari "nona"

   Jadi "kaucu, perubahan tersebut segera disambut Bwee Su-yok dengan perasaan yang bergetar keras, ia merasa seolah-olah kehilangan sesuatu hingga semangatnya secara terbang tinggalkan raga.

   Untunglah perasaan semacam itu hanya berlangsung sebentar, pikiran yang bercabang dengan cepat dapat disatukan kembali.

   "Baik, akan kutunggu kedatanganmu!"

   Katanya kemudian. Dia lantas putar badan dan berpaling kearah Coa Wi-wi.

   "Engkau adalah adiknya Coa Con-gi? Siapakah namamu?"

   Tegurnya.

   Sudah dua kali mereka saling berjumpa, tapi ke dua kalinya Coa Wi-wi berdandan sebagai pria dengan nama samaran Cwan Wi, meski potongannya waktu itu perempuan bukan perempuan, laki bukan laki, ketika bertemu kembali untuk ke tiga kalinya, ia segera mengenalinya kembali dalam pandangan pertama.

   Kendati begitu, ia tidak mengetahui nama Coa Wi-wi yang sebenarnya, dia hanya tahu namanya menggunakan huruf "Wi", sebab begitulah Hoa In-liong memanggil dirinya.

   Coa Wi-wi tidak senang dengan sikapnya yang sombong, maka sahutnya pula dengan suara yang ketus.

   "Aku bernama Coa Wi-wi, ingat baik-baik namaku itu!"

   Bwe Su-yok tidak banyak bicara lagi dia pun lantas berlalu dari situ, tampaklah ujung gunanya yang berwarna putih salju berkibar terhembus angin, sekilas pandangan seakan- akan lambat padahal cepatnya bukan kepalang, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik puing-puing bangunan.

   Sepeninggalnya gadis itu, Coi Wi-wi baru mengomel.

   "Jiko, kenapa kau bicarakan orang itu pergi dari sini"

   Hoi In liong tertawa, apalagi gadis itu tampak lebih cantik dan mempesona hati dalam sikap cemberutnya ini, ia semakin terlena oleh kecantikan si nona yang jarang dijumpainya itu.

   Sambil membelai rambutnya yang hitam putus, berkatalah anak muda itu dengan lembut.

   "Bwe Su-yok bukan anak kemarin sore, dia mempunyai perhitungan yang matang dalam setiap tindak tanduknya, memang kau anggap dia berani kerkunjung kemari...."

   "Aaah....omong kosong, kecuali dia, kita kan tak melihat sesosok bayangan manusiapun?"

   Bantah si nona.

   Siapa tahu baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, mendadak terdengar suara pekikan yang amat nyaring menggema diudara, menyusul kemudian suara pekikan lain berkumandang saling bersahutan, suara itu ada yang nyaring ada pula yang rendah dan berat, tapi yang pasti semua pekikan tersebut disertai pencaran tenaga dalam yang sempurna, jelas suara-suara itu berusal dari sekawanan jago silat yang amat tangguh.

   "Bagaimana....?"

   Goda Hoa In-liong tertawa. Merah padam wajah Coa-Wi-wi karena jengah.

   "Tidak aneh...."

   Sahutnya tak mau kalah.

   "aku rasa Kiu im-kaucu juga hanya begitu- begitu saja, sekalipun semua anak buahnya di bawa serta aku juga tidak takut, paling-paling kuhajar mereka semua sampai kocar kacir...."

   "Jangan takebur! Ketahuilah, semua jago yang tergabung dalam perkumpulan Kiu-im- kauw memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, Bwee Su-yok sendiri merupakan seorang musuh yang kosen, apabila mereka sampai maju bersama, bagi kita soal mundur memang bukan persoalan, tapi kalau ingin cari keuntungan dari pertarungan itu....waah, sulit! Sulit! Benar-benar amat sulit, makanya.... adik Wi tak boleh memandang enteng pihak mereka"

   Padahal alasan yang dikemukannya itu hanya merupakan alasan nomor dua, yang terpenting baginya adalah lantaran penyakit sayangnya terhadap gadis she Bwe itu.

   Ia tahu sebagai seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, apalagi dengan wataknya yang congkat dan tinggi hati, seandainya Bwee Su-yok sampai cedera atau dikalahkan oleh Coa Wi-wi, sembilan puluh persen dalam jengkelnya gadis itu pasti akan bunuh diri.

   Bila gadis itu sampai nekad mengambil keputusan pendek, berarti juga berita tentang Kanglam jigi akan hilang dengan begitu saja.

   Karena itu ia merasa lebih baik kalau peristiwa yang tak diinginkan itu jauh sebelumnya dicegah lebih dulu.

   Sudah tentu rahasia hatinya ini tak sampai di katakan kepada Coa Wi-wi, sebab bagaimanapun juga hati perempuan memang paling sukar diduga dalamnya.

   Meski begitu, Coa Wi-wi bukan orang bodoh, dengan perasaan halusnya sebagai seorang gadis, secara lapat-lapat ia merasakan sesuatu, biji matanya lantas berputar.

   "Jiko!"

   Katanya kemudian.

   "sejak tadi kau main mata dan saling mengerling dengan Bwee Suyok....

   "Huuuuss....! Ngaco belo, siapa yang bilang aku main mata?"

   Bentak Hoa In-liong sambil tertawa. "Lantas kalau kau menatap dia dan dia menatapmu, jika bukan main mata lalu apa namanya?"

   Kata Coa Wi-wi dengan nada bersungguh-sungguh. Hoa In-liong tertawa geli.

   "Masa begitu saja disebut main mata? Kamu ini sianak kecil, tidak tahu urusan juga berani ngomong sembarangan"

   "Anak kecil? Huuhh....memangnya kau sendiri yang sudah dewasa?"

   Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya. Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia lantas alihkan pembicaraan kesoal lain, katanya.

   "Adik Wi, ilmu pukulan apa yang barusan kau gunakan? Jurus Ciu-liu luk si yang kau pakai tadi mirip dengan Ci yu jit ciat (Tujuh Kupasan dari Cu-yu) bagian kedua, boleh kan beri tahu kepadaku?"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kenapa tidak boleh? Jujur kedua yang baru kupakai adalah Su siu hua heng ciang (Ilmu pukulan empat gajah berubah bentuk) gerakan kedua dan ketujuh, ilmu pukulan tersebut merupakan inti sari dari himpunan seluruh jurus pukulan terbagus dari dunia persilatan yang dihimpun Im cousu kami, puluhan tahun beliau harus bersusah payah memeras keringat sebelum berhasil menciptakan ilmu pukulan tersebut, disamping tenaga sim hoat Bu kek teng heng. Jiko! Kalau pingin belajar, nanti kuajarkan ilmu kepandaian tersebut kepadamu"

   "Itu kan ilmu rahasia dari keluargamu, mana boleh diwariskan kepada orang lain?"

   Ujar Hoa Inliong dengan wajah serius. Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Tidak apa-apa! Toh Kongkong ku telah wariskan ilmu Bu kek teng heng sim hoat kepada jiko, itu berarti beliau ada hasrat untuk waris kan kepandaian silatnya kepada jiko, maka seandainya kuwariskan pula ilmu Su siu hua heng ciang kepadamu, tidak berarti kuwariskan kepandaian keluargaku secara pribadi. Apalagi Cousu pernah berpe san, bila bertemu dengan seseorang yang cocok dengan karakter kita, atau seseorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, boleh saja orang itu diterima menjadi murid perguruan kami, ataupun mendapat warisan ilmu silat aliran kami tanpa harus menjadi anggota perguruan kami"

   Tertarik juga Hoa In-liong oleh perkataan tersebut tapi ia tak sudi menerima pelajar silat dari Coa Wi-wi, maka setelah merenung sebentar berkatalah dia "Urusan tersebut lebih baik bicarakan nanti saja, sekarang yang penting adalah memeriksa dulu ruang batu dimana cahaya terang itu berasal...."

   Selesai berkata ia lantas melayang ke udara, menyeberargi permukaan air dan balik keatas bukit dimana jendela kayu itu ditemukan. Coa Wi-wi Segera menyusul dari belakang.

   "Aku rasa sudah tak ada waktu lagi sekarang, kata pemuda itu kemudian sambil berpaling. Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi berjalan dengan kepala tertunduk, mukanya aras- arasan dan tidak bersemangat, jelas gadis itu lagi ngambek dan tak senang hati. Menyaksikan sikapnya itu, pemuda kita jadi tercengang, diapun menegur dengan lembut.

   "Kenapa kau? Lagi ngambek lantaran perkataan ku barusan? Jangan sok serius aah...."

   "Jii....! jiko...."

   Bisik Coa Wi-wi sambil menarik wajah, suaranya agak tersendat.

   "Kenapa adik Wi?"

   Jawab Hoa In-liong lembut.

   "jika kurang puas terhadap jikomu, katakanlah terus terang!"

   "Bukan, bukannya tidak puas!"

   Kata Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Aneh benar....!"

   Pikir Hoa In-liong dalam hati, tapi diluaran cepat ia bertanya.

   "Lantas karena apa?"

   Coa Wi-wi berpikir sebentar, kemudinn sahutnya.

   "Jiko, tahukah kau tentang kisah kehidupan Im cousu-ku dimasa yang lalu?"

   Secara tiba-tiba gadis itu membawa pokok pembicaraan ke soal yang tiada sangkut pautnya dengan kejadian didepan mata, Hoa In-liong jadi tertegun dibuatnya.

   "Aku kurang begitu tahu"

   Sahutnya. Coa Wi-wi tarik napas panjang, lalu katanya.

   "Ketika Im cousu terjun ke dunia persilatan untuk pertama kalinya dulu, ilmu silat yang dimilikinya amat rendah, bahkan ilmu silat kelas tiga pun tidak dikuasahi olehnya, beliau dapat mempela jari tenaga dalam pun karena secara kebetulan berhasil mempela-jarinya dari sari kepandaian Lo ho sim hoat, jurus pukulan yang dimilikinya boleh dibilang adalah ajaran dari Coa bo semua, kendatipun demikian toh kejadian ini tak sampai mempengaruhi kebesaran namanya sebagai Bu seng (Rasul Silat)...."

   Kiranya ketika Bu-seng terjun kedalam dunia persilatan untuk pertama kalinya dulu, dia hanya bisa serangkaian ilmu pukulan Kay-sim ciang(pukulan pembuka hati) belaka, ilmu pukulan tersebut begitu umumnya sehingga seorang jagoan kelas satupun tak mampu ia kalahkan.

   Kemudian, oleh tay hujinnya (Istri Pertama) Ko Cing ia diberi pelajaran pelbagai ilmu pukulan yang sangat lihay, tak sampai setahun kemudian, Bu seng benar-benar sudah menjadi seorang manusia yang amat tangguh....

   Ketika dara tersebut menyinggung kembali kejadian, dengan cepat Hoa In-liong dapat memahami maksud katinya, timbullah rasa kasihan dalam hati kecilnya setelah menyaksikan kesengsaraannya si nona hanya dikarenakan dirinya menolak untuk menerima ajaran ilmu silat dirinya.

   Memang raut wajahnya yang cantik jelita, untuk sesaat anak muda itu lupa untuk buka suara.

   Sementara itu Coi Wi wi telah berkata kembali.

   "Aku rasa untuk berhasil mencapai sukses dalam masalah yang besar, orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, jiko! Kau...."

   Ucapannya kembali terputus ditengah jalan, sedang biji matanya yang jeli menatap wajah anak muda itu tanpa berkedip.

   Walaupun perkataan itu amat sederhana dan umum, tapi terutama kata-kata yang menyatakan bahwa untuk mencapai sukses dasar masalah besar yang orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, ibaratnya suatu gelombang dahsyat dengan cepatnya menerjang masuk ke lubuk hati anak muda itu.

   "Yaa, benar juga perkataan itu", teriaknya dalam hati.

   "untuk berhasil dalam suatu masalah, aku tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, bila kabut iblis telah bermunculan dari mana-mana, suatu badai pembunuhan sudah mengancam seluruh dunia persilatan, inilah saatnya bagiku untuk memperkuat diri, jika hal-hal yang kecilpun ikut kurisaukan, bukankah masalah besar akan terbengkalai dengan begitu saja....?"

   Harus diketahui, meskipun pemuda ini suka bermain cinta ditempat luar, diam-diam ia menaburkan benih cinta dan gerak geriknya mirip seorang laki-laki hidung bangor, pada hakekatnya setiap waktu setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya untuk meneruskan cita-cita ayahnya, membasmi hawa jahat serta menegakkan keadilan serta kebenaran dalam muka bumi.

   Dan kini hawa iblis sudah muncul dari mana-mana, dalam pandangannya inilah kesempatan yang terbaik baginya untuk mewujudkan cita-citanya itu meski sebagai anak muda ia gemar urusan, tapi sifat gagah sifat jantan dan bijaksana dari keluarga Hoa tetap mengalir dalam tubuhnya, membangun dunia yang aman damai adalah cita-cita luhur yang sebenarnya dari pemuda tersebut.

   Begitulah, meskipun dalam hati kecilnya timbul suatu gelombang yang amat besar, tapi ia berusaha untuk mengendalikan pergolakan itu.

   Dalam pada itu, disangkanya ia menolak penawarannya, lama sekali anak muda itu tak berkatakata, disangkanya ia menolak penawarannya, tak tertahan lagi air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.

   "Saa....salahkah perkataanku?"

   Bisiknya lirih.

   "Adik Wi, hubungan kita bagaikan terhadap saudara sekeluarga, memangnya aku musti mengucapkan terima kasih dulu kepadamu?"

   Ujar Hoa In-liong sambil merangkul pinggangnya yang ramping. Setelah mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi baru tertawa gembira.

   "Oooh....jiko....!"

   Serunya.

   Meskipun wajahnya berseri, butiran air mata masih mengembang dalam kelopak matanya, ibaratnya sekuntum bunga yang basah oleh air hujan, kecantikan dari itu sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Semakin dilihat Hoa In-liong merasa makin tertarik, akhirnya ia tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, dipeluknya dara itu erat-erat, diciumnya butiran air mata yang membasahi pipinya lalu dikecupnya bibir yang mungil itu dengan penuh kemesraan.

   Sekujur badan Coa Wi-wi tergetar keras, ia mendesis lirih lalu jatuhkan diri kedalam rangkulan Hoa In-liong dan bersandar didadanya yang dingin.

   Sekalipun ia belum tahu akan hubungan antara laki dan perempuan, toh usianya tahun ini sudah mencapai tujuh belasan, ibaratnya sekuntum bunga yang mekar, ia telah siap dihisap madunya oleh kumbang-kumbang yang beterbangan di sekelilingnya.

   Maka, dikala bibirnya dikecup dengan mesra, untuk sesaat anak dara itu merasakan suatu perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bagaikan kena aliran listrik bertegangan tinggi ia merintih lirih lalu mendekap anak muda itu lebih kencang.

   Harus diterangkan disini, walaupun sebelumnya antara mereka berdua telah berlangsung suatu perselisihan, namun keadaan waktu itu jauh berbeda dengan perselisihan- perselisihan yang pada umumnya terjadi, sebab itu Coa Wi-wi sama sekali tidak merasakan sesuatu ganjalan.

   Sebelum itu, sekalipun dihati kecil sang dara hanya terhadap Hoa In-liong seorang, gambaran tersebut masih terlalu samar baginya, tapi sekarang gambaran itu sudah semakin nyata, secara otomatis pula perasaan cinta antara muda mudi ikut berkembang dihatinya.

   Lama....

   lama sekali, dua orang itu akhirnya sadar dari impian indah, Hoa In-liong angkat mukanya lebih dulu dan berbisik lembut.

   "Adik Wi!"

   Coa Wi-wi masih membenamkan kepalanya dalam pelukan pemuda itu, mukanya merah dadu karena jengah, ia hanya mendesis lirih kemudian membungkam terus dalam seribu bahasa. Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong lantas berpikir.

   "Adik Wi baru mekar dan masih malumalu, aku tak boleh membuat dia lebih jengah lagi...."

   Berpendapat demikian, iapun berbisik disisi telinga Coa Wi-wi dengan suara lirih.

   "Tunggulah sebentar disini adik Wi, lihatlah bagaimana caraku menangkap pencoleng!"

   Setelah melepaskan rangkulannya atas gadis itu dia berseru nyaring.

   "Sobat, sabar amat engkau, setelah bersembunyi sekian lama, sekarang tiba waktunya bagimu untuk menampakkan diri!"

   Sembari berseru, telapak telapak tangannya segera diayun ke muka melepaskan sebuah pukulan dahsyat yang menghancurkan jendela kayu itu.

   Hancuran kayu berhamburan kemana mana, dibawah sorotan cahaya lampu tiba-tiba muncul sekilas rentetan tajam, menyusul kemudian tampaklah sebilah pedang langsung membacok kearah pergelangan tangan kanannya....

   Kiranya orang yang bersembunyi baik untuk melancarkan mengetahui akan kelihayan Hoa Inliong maka dia lantas menutup semua pernapasannya sambil menunggu ada kesempatan baik untuk melancarkan sergapan.

   Siapa tahu tunggu punya tunggu Hoa In-liong tidak masuk juga kedalam ruangan, pernapasan yang ditutup jadi sesak rasanya, hingga akhirnya tak bisa ditahan lagi ia bernapas berat.

   Hoa In-liong bukan seorang jago sembarangan, dengan ketajaman pendengarannya serta hembusan napas berat itu dapat terdengar olehnya dengan nyata.

   Kini, menghadapi serangan maut dari musuhnya ia lantas mendengus dingin, tangan kanannya dengan menggunakan ilmu Menyerang sampai ma ti bagian pertama secepat kilat melepaskan sebuah totokan maut ke arah urat nadi pada pergelangan musuh.

   Orang itu menjerit kesakitan termakan oleh totokan tersebut pedangnya terlepas dari cekalan dan terjatuh ke tanah.

   Hoa In-liong tidak ragu-ragu lagi, begitu senjata musuh berhasil dirontokkan, ia lantas bergerak ke muka dan menerobos masuk melalui jendela itu.

   Coa Wi-wi agak tertegun sebentar, kemudian dengan perasaan malu bercampur mendongkol dia ikut menerobos masuk ke dalam ruangan.

   Padahal, berbicara dari kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya ia sudah mengetahui akan kehadiran seseorang disana semenjak tadi, tapi lantaran pertama pengalamannya kurang banyak, kedua segenap perhatian dan perasaannya tertuju pada Hoa Inliong seorang, otomatis urusan lain terkesampingkan olehnya dan sama sekali tidak peroleh perhatian apa-apa.

   Tapi sekarang setelah mengetahui bahwa ada orang mengacau kemesraan mereka, dari rasa malunya gadis itu jadi marah, hawa napsu membunuh yang belum pernah terlintas dalam benaknya segera menyelimuti seluruh wajahnya yang cantik.

   Ruang batu itu luasnya cuma dua kaki, dalam ruanganpun hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja, tiga empat buah kursi, sebuah lampu lentera diatas meja dan tiada benda lainnya lagi.

   Orang yang barusan melancarkan serangan adalah seorang laki-laki kekar berbaju ungu, cukup dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera mengenali kembali orang itu sebagai salah seorang diantara delapan lelaki kekar yang muncul bersama Ciu-Hoa di ruang peti mati keluarga Suma Tiang-cing.

   Lengan kanan laki-laki itu terkulai lemas kebawah, mukanya diliputi rasa takut, ngeri yang luar biasa, matanya celingukan kesana kemari, tampaknya ia bermaksud kabur dari situ.

   Diam-diam Hoa In-liong mendengus dingin, namun diluaran sambil tersenyum sapanya.

   "Sahabat, agaknya kita pernah berjumpa muka bukan? Siapa namamu?"

   Laki-laki berbaju ungu itu agak tertegun, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia putar badan dan kabur lewat pintu ruangan. Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan suatu gerakan yang cepat ia menghadang dihadapannya, lalu mengejek lagi.

   "Sobat, masa sebelum mengucapkan sepatah katapun kau sudah ingin kabur dari sini? Oooh.... atau mungkin kau merasa bahwa Hoa loji ti dak pantas bersahabat denganmu?"

   "Enyah kau bangsat dari sini!"

   Teriak laki-laki berbaju ungu itu kaget bercampur marah.

   Telapak tangan kanannya dengan membawa desiran angin tajam melepaskan sebuah pukulan kencang kedada Hoa In-liong.

   Coa Wi-wi mendengus dingin, jari tangannya setengah tombak disodok kemuka, dengan kepandaian silatnya yang sangat lihay tentu saja laki-laki berbaju ungu itu tak sanggup menghindarkan diri....

   Diiringi dengusan tertahan, jalan darah Ping hong hiat di tubuhnya terkena totokan, tak ampun badannya segera roboh terjungkal.

   Melihat itu Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... sobat, itulah yang dinamakan arak kehormatan kau tolak arak hukuman kau raih, siapa suruh mencari penyakit buat diri sendiri?"

   Laki-laki berbaju ungu itu menggertak gigi sambil melotot gusar, ia membungkam dalam seribu bahasa.

   "Jiko, aku rasa sebelum digunakan siksaan dia tak akan buka suara...."

   Seru Coa Wi-wi lagi Hoa In-liong cukup memahami perasaan si gadis tersebut, ia tahu Coa Wi-wi lagi tak senang hati berhubung kemesraan mereka diketahui orang tapi diapun tak ingin sampai gadis itu ternoda oleh kejadian itu sehingga kelembutan dan kemuliaannya sebagai seorang dara tersinggung.

   Maka sambil tersenyum ujarnya.

   "Adik Wi, bagaimana kalau urusan ini kuselesaikan, hati kecilnya mengatakan segan toh ia mundur juga selangkah. Setelah gadis itu mundur, Hoa In-liong baru berpaling lagi dengan muka lebih serius.

   "Sobat, engkau berasal dari marga mana?"

   "Tan"

   Sahut laki-laki itu ketus, agaknya ia tahu bahwa tiada harapan lagi untuk melarikan diri maka pertanyaan yang diajukan kepadanya harus dijawab.

   "Lantas siapakah namamu?"

   Tanya pemuda itu lagi dengan raut wajah yang jauh lebih lembut.

   "Beng-tat!"

   "Tan Beng-tat, ehmm.... sebuah nama yang bagus, lalu apa kedudukan saudara Tan didalam perkumpulan Hian-beng-kauw?"

   "Maaf, hal ini tak dapat dijawab"

   Hoa In-liong tidak menjadi gusar oleh jawaban tersebut, dia malah tersenyum.

   "Jadi kalau begitu, orang-orang dari perkumpulan kalianlah yang sudah membakar pesanggrahan pertabiban ini?"

   Tan Beng-tat termenung sebentar, kemudian baru menjawab dengan nada dingin.

   "Yaa, benar!"

   Mendengar pengakuan tersebut, Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan amarahnya lagi, ia berteriak keras.

   "Dendam sakit hati apakah yang telah terjalin antara empek Yu dengan kamu semua? Mengapa kalian berbuat sekeji ini terhadap mere ka semua? Sebenarnya kalian masih memiliki sifat kemanusiaan atau tidak?"

   Dengan sinar mata yang jelalatan Tan Beng-tat melotot kearah gadis itu, bibirnya sudah bergetar seperti mau melontarkan caci makinya, tapi ketika ditemuinya Coa Wi-wi tampak cantik jelita bak bidadari dari kahyangan kendatipun berada dalam keadaan gusar, kontan saja ia terbungkam dan tak mampu melanjutkan kata-kata makiannya, Hoa In-liong sendiri sebetulnya juga marah sekali setelah mendengar ucapan tadi, namun dia masih sanggup mengendalikan perasaannya.

   "Lantas empek Yu kami itu kini berada dimana?"

   Tanyanya lebih jauh.

   "apakah saudara Tao bersedia memberi tahukan kepada kami?"

   "Aku tidak tahu!"

   Sahut Tan Beng-tat dengan suara yang dingin, kaku dan tak sedap didengar. Hoa In-liong tersenyum.

   "Saudara Tan, rupanya kau sudah menganggap aku Hoa Yang terlampau pelit sehingga tiada sayur mayur dari hidangan lezat untuk menjamu dirimu, maka engkaupun segan memberi petunjuk kepadaku?"

   Tan Beng tai terkesiap, dia bukan orang goblok tentu saja maksud yang sebenarnya dari ucapan tersebut diketahui juga olehnya, segera pikirnya di hati.

   "Bajingan, keparat ini jelas adalah seorang Siau bin hau (harimau bermuka tertawa), entah siksaan kejam apakah yang hendak ia limpahkan terhadapku?"

   Ia jadi nekad, segera teriaknya dengan suara melengking.

   "Bocah keparat dari keluarga Hoa, kau mempunyai permainan busuk apa saja? hayo keluarkan semua dan silahkan dihadiahkan kepada toaya mu, jika toaya mu sampai berkerut kening, anggap saja bahwa aku bukan seorang laki-laki sejati"

   Coa Wi-wi semakin gusar lagi sehabis mendengar kata-kata musuhnya yang tak senonoh, ia segera membentak keras.

   "Bangsat, rupanya sebelum diberi siksaan mulutmu tetap kotor, bagus, tidak ada susahnya kalau kau memang ingin mencicipi bagaimana rasanya kelihaiyanku"

   Berbicara sampai disitu, tangannya yang putih mulus lantas di ayun kebawah siap melancarkan serangan.

   "Eeeh....tunggu sebentar adik Wi!"

   Buru-buru Hoa In-liong mengghalangi perbuatannya. Kemudian dengan wajah serius dia berseru.

   "Hayo jawab, siapa-siapa saja yang terlibat dalam peristiwa pembakaran terhadap pesanggrahan pertabiban ini!"

   "Kau ingin tahu?"

   Ejek Tan Beng-tat dengan wajab licik.

   "Sambil menyeringai seram berkatalah Tan Beng-tat.

   "Mereka adalah Jin Hian, Thian Ik cu, Kiuim-kauwcu selain tentu saja yayamu sendiri puas bukan?"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hoa In-liong betul-betul amat gusar menghadapi perlakuan seperti ini,pikirannya.

   "Bajingan ini terlalu keras kepala dan sombong agaknya jika tidak diberi sedikit pelajaran yang setimpal, dia tak mau mengakuinya secara berterus terang...."

   Berpikir demikian diapun tertawa tergelak.

   "Haaahhh.... haaahhh.... haaah....puas. puas, aku merasa puas sekali....!"

   Secara beruntun tangan kanannya melancarkan beberapa totokan keatas jalan darah ditubuh Tan Beng-tat.

   Termakan oleh beberapa totokan tersebut, seketika itu juga Tan Beng-tat merasakan sekujur badannya linu dan gatal, seakan-akan ada semut yang beribu-ribu banyaknya berjalan didalam tubuhnya.

   Mula-mula ia masih bertahan sambil menggigit bibir, tapi akhirnya ia merasa sekujur badannya seperti digigit oleh berjuta-juta ekor semut, sakitnya masih bisa ditahan tapi rasa gatalnya, benar-benar sudah merasuk sampai ke dalam, bukan hatinya saja yang gatal bahkan semua isi perutnya ikut menjadi gatal.

   Sedemikian menderitanya rasa gatal itu, kalau bisa dia ingin mengorek keluar semua isi perutnya agar rasa gatal itu berkurang, bayangkan sendiri sampai ke tingkat yang bagaimanakah penderitaan tersebut? Padahal ketika itu jalan darahnya tertotok, jangankan merangkak bangun, untuk bergerakpun tak mampu, bisa dimengerti kalau laki-laki itu akhirnya tak tahan juga.

   "Anak jadah she Hoa.... anak anjing budukan, laki perempuan bangka.... kalau punya kepandaian ayoh bunuh aku kalau berani....!"

   Makinya kalang kabut.

   Apa yang diharapkan pada keadaan seperti ini hanyalah satu yakni kematian, untuk mewujudkan keinginannya itu maka terlontarlah segala macam kata-kata makian yang paling kotorpun.

   Hoa In-liong tidak menjadi marah karena itu, malah ejeknya.

   "Ayoh makilah, maki terus sampai tua, haahh.... haahh.... haahh.... semakin banyak kata-kata kotormu, semakin lama pula penderitaan yang akan kau rasakan"

   Melihat makiannya tidak mendatangkan hasil, Tan Beng-tat segera berganti taktik, ia mulai merengek-rengek.

   "Hoa Yang, berbuatlah sedikit kejadian, bunuhlah aku dengan sekali bacokan, kalian keluarga Hoa...."

   Berbicara sampai disini, kembali ia tak dapat mengendalikan rasa sakitnya hingga merintih ngeri.

   "Diam-diam Hoa liong mengerutkan dahinya dan berpikir.

   "Entah siapakah Hian-beng Kaucu ini? Betapa ketatnya peraturan perkumpulan mereka, sampai-sampai dalam keadaan demikianpun Tan Beng-tat tak berani membocorkan rahasia perkumpulannya...."

   Coa Wi-wi Juga merasa tak tega melihat keadaan tersebut, terutama setelah jalan darah Pinghong-hiat ditubuh Tan Beng-tat tertotok, sekalipun badannya tak mampu bergerak, tapi seluruh kulit wajahnya mengejang keras dan rintihannya semakin mengenaskan.

   Sebagai seseorang yang berhati mulia, akhirnya toh gadis itu merasa tak tega, katanya kemudian.

   "Jiko, aku pikir...."

   Tapi dengan cepat ia membungkam kembali".

   Hoa In-liong berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya bibir gadis itu bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan, bahkan Wajahnya menunjukkan rasa tak tega, dia lantas tahu bahwa gadis itu sedang memintakan ampun bagi Tan Beng-tat.

   Namun un cukup merasakan betapa pentingnya masalah tersebut, bagaimanapun jua tak mungkin korban tadi dilepaskan dengan demikian saja.

   Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia menghela napas, secara beruntun ditepuknya beberapa buahjalan darah ditubuh orang itu hingga siksaan "digigit berjuta-juta ekor semut"

   Pun ikut lenyap dengan sendirinya.

   "Tan Beng at!"

   Bentaknya kemudian.

   "empek Yu ku itu masih hidup atau sudah mati?"

   Teringat berapa tersiksanya digigit semut, setelah sangsi sejenak Ta Beng at menyahut juga.

   "Masih hidup!"

   "eandainya aku bertanya dimanakah empek Yu berada, ku yakin kau tak berani mengatakannya, bahkan belum tentu mengetahuinya, maka aku hanya ingin bertanya kepadamu, ada utusan apa kau seorang diri datang kemari....?"

   Tan Beng at kelihatan seperti tertegun.

   "Darimana kau bisa tahu kalau aku datang kemari seorang diri?"

   Ia balik bertanya. Hoa In ng tidak langsung menjawah diam-diam ia membatin.

   "Orang ini keras diluar lunak didalam, jelas kedatangannya kemari mempunyai tugas tertentu, akan kulihat apa yang dia lakukan disini?"

   Sambil menengadah ia pun tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... baiklah akupun tak akan menanyakan kepada kau datang kemari, tapi dimanakah Ciu kongcu mereka berada tentunya kau tahu bukan?"

   Tan Beng-tat tidak menduga kalau secara tiba-tiba musuhnya bersikap selembut itu, ia benarbenar merasa kaget bercampur curiga selang sejenak kemudian dia baru menyahut.

   "Pokoknya ada dikota Kim-leng, Hoa jiya kan orang yang hebat dan punya kemampuan luar biasa kenapa tidak berusaha mencari sendiri?"

   "Beritahu kepadaku akan kuperkenankan kau berlalu dari sini! ujar Hoa In-liong lagi dengan wajah serius. Janji tersebut benar-benar ada diluar dugaan Tan Beng-tat, dia melongo.

   "Bagaimana caranya aku bisa mempercayai dirimu?"

   Serunya kemudian dengan nada sangsi.

   "Dengan dasar nama baik keluarga Hoa kami, memangnya aku akan membohongi dirimu?"

   Seru pemuda itu lagi dengan wajah makin serius.

   Yaa, memang! Pada hakekatnya keluarga Hoa semenjak dari kakek Hoa In-liong yang bernama Hoa goan siu sudah merupakan tonggak atau tulang punggung bagi kaum pendekar dari golongan putih, setiap perkataan yang mereka ucapkan mau pun setiap tindakan yang mereka lakukan secara otomatis merupakan tindakan resmi dari seluruh umat persilatan golongan putih yang didunia ini, hingga serta-merta pihak lawan pun hampir semuanya mempercayai apa yang dikatakan orang-orang keluarga Hoa.

   Tan Beng-tat agak sangsi sebentar, kemudian tanyanya.

   "Bila kukatakan tapi engkau tidak percaya, apa pula yang musti kulakukan?"

   "Asal kau bersedia mengatakannya, benar atau tidaknya aku Hoa loji dapat menentukan sendiri, tak perlu kau musti repot-repot meresahkannya bagiku!"

   Berkilat sepasang mata Tan Beng-tat sehabis mendengar perkataan itu, ia bertanya lagi.

   "Jadi aku diperbolehkan pergi dari sini tanpa kekurangan sesuatu bendapun diri semua yang kubawa?"

   "Goblok.

   "pikir Hoa Tn liong dengan gelinya.

   "dengan perkataanmu itu, bukankah sama halnya dengan kau beritahukan rahasiamu kepadaku?"

   Ia menengok kearah Coa Wi-wi, kebetulan gadis itu lagi memandang kearahnya, merekapun saling berpandangan sambil tertawa. "Jiko!"

   Bisik Coa Wi-wi kemudian dengan ilmu menyampaikan suaranya.

   "perlukah kita geledah dulu isi sakunya?"

   "Tidak usah!"

   Jawab Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan suara juga.

   "aku mempunyai perhitungan sendiri"

   Dsngan wajah serius ia menyahut.

   "Boleh saja permintaanmu itu, Nah, katakanlah!"

   Tan Beng-tat termenung sebentar, lalu menjawab.

   "Mereka berada di istana Tiau thin-kiong, percaya atau tidak terserah padamu"

   "Omong kosong, kau sedang membohong "Coa Wi-wi segera membentak nyaring.

   "istana Tiau thian kioag adalah tempat umum yang dapat dikunjungi setiap orang, masa mereka bersembunyi disana?"

   Tan Beng-tat kuatir Hoa In-liong turun tangan menyiksa dirinya lagi, cepat-cepat ia berseru.

   "Kami masuk dengan memanjat dinding pekarangan, istana itu luas sekali, disanapun merupakan tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, lagipula jarang ada orang yang masuk sampai tengah istana, sudah tentu jejak kami sulit diketahui orang"

   "Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi.

   "Semua jago tangguh dari perkumpulan kami telah tiba semua disini, aku rasa tiada keharusan bagiku untuk mengelabuhi kalian semua"

   Tapi setelah perkataan itu meluncur keluar, ia merasa sangat menyesal, untuk dibatalkan kembali jelas tak mungkin, maka diapun membungkam dalam seribu basa. Hoa In-liong termenung sejenak, lalu berpikir.

   "Kalau dilihat dari gerak- geriknya, apa yang di katakan memang dapat dipercaya, coba kuselidiki lebih lanjut rahasia perkumpu- lannya"

   Berpikir lebih lanjut, diapun bertanya kembali.

   "Siapa saja yang telah datang? Apakah ke delapan orang Ciu Hoa juga sudah berkumpul semua disini? bagaimana dengan kaucu kalian?"

   Waktu itu Tan Beng-tat sedang gelagapan lantaran salah berbicara, mendengar perkataan itu ia jadi paik pitam.

   "Wahai orang she Hoa!"

   Demikian teguran "engkau toh cuma menanyakan dimana kongcu kami bersembunyi, dan aku telah menjawab sejujurnya, Hoa In-liong tertawa terbahak- bahak tangannya bergerak cepat menepuk bebas jalan darah peng hong hiat yang tertotok itu.

   "Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi!"

   Katanya Mimpipun Tan Beng-tat tak pernah percanya kalau dirinya bakal dilepaskan dengan begitu saja tanpa musti melalui prosedur yang menyulitkan, tidak banyak berbicara lagi dia segera melompat bangun dan berdiri tertegun.

   "Apa lagi?"

   Tegur Coa Wi-wi dengan suara ketus.

   "sudah tak pingin pergi? Bagus sekali, kalau begitu tinggal saja disini!"

   Tan Beng-tat amat terkejut, dia kuatir Hoa In-liong berubah pikiran, karenanya tanpa berani mengucapkan sepatah katapun ia kabur ke pintu ruangan, kemudian setelah menatap sekejap kearah musuhnya dengan penuh kebencian, buru-buru dia angkat kaki dan kabur dari situ.

   Begitu Tan Beng-tat meninggalkan ruangan tersebut, Coa Wi-wi lantas berbisik lirih.

   "Jiko, ayoh kejar!"

   "Tak mungkin lolos dari kejaran kita, tunggu saja sebentar lagi"

   Kata Hoa-In liong sedikitpun tidak gugup.

   Dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, setelah mengamatinya beberapa waktu, akhirnya pemuda itu berkesimpulan bahwa keempat kaki pembaringan yang terbuat dari bambu itulah merupakan bagian yang paling mencurigakan diantara sekian benda dalam ruangan tersebut.

   Semenjak kecilnya pemuda ini memang bandel dan nakal, soal mencari barang yang disembunyikan sesuatu benda boleh dikata merupakan keahliannya yang terutama, maka bila seseorang hendak menyembunyikan sesuatu dihadapannya, tak mungkin benda tersebut dapat lolos dari ketajaman sepasang matanya.

   Begitulah, setelah menaruh curiga pada suatu bagian tempat itu, pemuda itu pun maju menghampiri pembaringan, berjongkok ditepinya dan mulai melakukan percarian dengan seksama, ia berusaha menemukan sesuatu yang aneh dari tempat itu.

   Betul juga, ternyata diantara kaki pembaringan yang terbuat dari bambu, ada satu ruas diantaranya yang dapat dibuka, oleh karena pandangan yang dilakukan secara sempurna, hal ini tak gampang ditemukan orang.

   Tapi apa yang ditemukan? Ketika ruas bambu itu dibuka, ternyata isinya kosong, tiada sesuatu benda apapun di situ.

   Kendatipun demikian, Hoa In-liong tidak menyerah dengan begitu saji, dengan jari tengah dan telunjuknya ia coba mengorek tabung bambu vang kosong tadi.

   Melihat tingkah laku Hoa In-liong yang tiada bosan-bosannya mengorek tabung bambu yang kosong, habislah kesabaran Coa Wi-wi.

   "ia maju kesisinya lalu menegur.

   "Ayoh berangkat! Aaaai.... kamu ini memang keterlaluan, andaikata benar-benar ada barangnya sudah pasti barang itu telah dibawa lari, masa harus menunggu sampai aku datang untuk mengam bilnya?"

   Hoa In lioag tertawa lirih, merasa ucapan dari gadis itu ada benarnya juga, ia siap bangkit berdiri.

   Tapi....secara tiba-tiba satu ingatau melintas dalam benaknya, ia merasa dalam tabung bambu itu seakan-akan telah menyentuh suatu benda yang licin, jelas benda tersebut bukan merupakan lembaran bambu.

   Dalam keadaan begini, ia segan untuk membuang tenaga lagi, sekali bacok tabung bambu itu dihajarnya sampai hancur.

   Betul juga dugaannya, begitu tabung bambu terhajar pecah, dari hancuran bambu muncullah sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya hijau muda, menyilaukan sekali cahaya tersebut.

   Cepat dipungutnya benda tersebut, ternyata adalah sebuah penggaris kemala, diatas penggaris terukir enam huruf besar yang berbunyi.

   Istana Kiu ci kiong, tempat penyimpanan kitab.

   Selain keenam huruf besar itu, diatas penggaris terukir pula penuh huruf kecil yang lembut dan sebesar lalat, selain itu terukir juga lukisan manusia dilam posisi yang bsraneka ragam.

   Dalam sekilas pandangan saja, pemuda itu segera mengetahuinya sebagai benda peninggalan Kiu-ci Sinkun, hanya entah apa sebabnya ternyata bisa disimpan secara rahasia disitu.

   "Apakah itu? Sebuah Giok pek-ci (Penggaris Kemala Hijau)?"

   Tanya Coa Wi-wi sambil menghampiri dari belakang. Hoa In-liong tak sempat meneliti lebih jauh, seraya angsurkan benda itu kepadanya ia menyahut.

   "Bukan batu kemala, sebab kalau kemala hijau, sudah pasti tak akan tahan oleh pukulan tanganku!"

   Selesai berkata, ia melanjutkan kembili penggeledahannya dengan menghancurkan tabungtabung bambu lainnya namun tiada sesuatu apapun yang ditemukan.

   Dengan patahnya keempat buah Laki pembaringan tersebut, maka dikala anak muda itu melepaskan pegangannya, ambruklah pembaringan itu ketanah sementara, ia sendiri lantas bangun.

   "Istana Kiu ci kioag itu terletak dimana?"

   Coa Wi-wi bertanya lagi. Sambil putar badan jawab Hoa In-Iiong.

   "Istana Kiu ci-kiong di dirikan oleh seorang jago silat yang bernama Kiu-ci Sinkun, letaknya ada dibakit Kiu ci-san karesidenan Sam kang-siam propinsi Kwang-see!"

   Setelah berhenti ssjenak. ia berkata lagi.

   "Sepanjang hidupnya Kiu-ci Sinkun mempunyai banyak pengalaman yang menarik, lain hari akan kuceritakan kesemuanya itu kepadamu, juga tentang kisah penggalian harta Karun dibukit Kiu ci-san yang berlangsung sampai tiga kali, penuh dihiasi oleh kejadian-kejadian yang ramai dan tegang, cuma seluruh harta karun yang tersimpan dalam istana Kiu ci-kiong akhirnya habis terkuras dalam penggalian yang diadakan untuk ketiga kalinya...."

   Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi sedang mengawasi penggaris kemala hijau itu dengan penuh semangat, ia lantas bertanya dengan tercengang.

   "Ada apanya sih penggaris kemala hijau itu? Kok serius amat caramu memperhatikan?"

   "Jiko, cepat libat, lukisan orang-orangan yang ada dipenggaris tersebut agaknya merupakan pelajaran ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam yang amat dahsyat "teriak Coa Wi-wi dengan nada sangat gembira.

   "Aaaah....! Masa iya?"

   Seru Hoa In-liong pula dengan nada tercengang.

   "Benar jiko, cuma ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam itu ditulis tak berurutan, kacau kalau tak karuan hingga sukar diikuti dengan sebaik-baiknya"

   Seraya berkata, dengan hati berkerut gadis itu menyerahkan kembali penggaris kemala hijau itu kepada Hoa In-liong. Hoa In-liong menerima benda itu dan menyahut.

   "Bila dugaanku tak salah, ilmu pukulan dan simhoat tenaga dalam itu tentulah peninggalan dari Kiu-ci Sinkun, atau mungkin juga penggaris kemala hijau ini adalah batas bukunya" Setelah menyimpannya kedalam saku, ia berkata lagi.

   "Sekarang tak ada waktu lagi bagi kita untuk menduga lebih jauh, lebih baik kita percepat lakukan pengejaran...."

   Ia merasa sudah terlalu banyak waktu yang terbuang, karenanya pemuda itu tak berani berayal lebih jauh, setelah keluar dari ruang batu, mereka memanjat sebuah pohon besar diatas bukit gunung-gunungan tersebut, dari situ mereka arahkan pandangannya jauh kedepan.

   Tiba-tiba Coa Wi-wi menunjuk kearah timur sambil berseru.

   "Disebelah sana ada sesosok bayangan hitam sedang bergerak, mungkin dia adalah Tan Beng-tat!"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hoa In-liong tahu bahwa ketajaman mata sidara manis ini jauh melebihi kemampuannya, kalau toh ia berkata demikian, maka boleh dibilang perkataannya itu tak bakal salah.

   Mereka berdua tak berani berayal lagi, dengan cepat dilakukan pengejaran ketat kedepan.

   Terhadap benda penemuan yang diperolehnya tanpa sengaja itu baik Hoa In-liong mampu Coa Wi-wi sama-sama tidak menaruh perhatian, padahal mereka tak menyangka kalau benda itu justru merupakan modal yang paling diandalkan Hoa In-liong dalam usahanya melenyapkan hawa iblis dari muka bumi di kemudian hari.

   Yaa, kalau takdir telah menentukan demikian, siapa lagi yang dapat membantah? Apa yang diucipkan Hoa In-liong tadipun hanya merupakan suatu dugaan belaka, tapi apa yang diduganya itu memang sembilan puluh persen persis seperti kenyataannya, Dahulu, penggarisan kedalam hijiu itu memang digunakan Kiu-ci Sinkun sebagai batas bukunya, apa yang diperolehnya setiap hari boleh dibilang dicatat semua diatas penggaris tadi.

   Kiu-ci Sinkun dapat berbuat demikian, boleh dibilang masih membawa suatu tujuan tertentu, oleh sebab dia adalah seorang yang latah, ia berharap setiap benda yang pernah digunakannya dimasa lalu akan dipandang sebagai benda pusaka oleh mereka yang menemukannya kembali dikemudian hari, maka semua kepandaian yang diperolehnya pada waktu itu hampir boleh dibilang tercatat semua di sana.

   Penggaris kemala hijau sebagai batas bukunya itu ia selipkan di salah satu kitab-kitab pusaka yang dimilikinya, dan secara kebetulan terselip di dalam kitab pusaka Hoa to cin keng yang didapatkan Yu Siang tek.

   Pada hakekatnya kitab pusaka yang ditemukan dalam penggalian harta pusaka di bukit Kiu ci san itu tak terhitung banyaknya, dalam keadaan demikian, sudah tentu siapapun tidak menaruh perhatian atas sebuah batas buku.

   Menanti Yu Siang-tek menemukan keistimewaan tersebut, operasi pencarian harta karun telah berakhir, semua orang sudah saling berpisah untuk menuju ke rumahnya masing- masing.

   Sayang tenaga dalamnya amat cetek, lagipula catatan ilmu pukulan dan sim hoat tenaga dalam yang tertera diatas penggaris kemala hijiu itu kalut dan tidak beraturan, banyak keistimewaan dan keampuhan dari sari kepandaian itu tak berhasil ia pahami.

   Timbul kemudian satu ingatan untuk mengirim benda itu keluarga Hoa dibukit Im- tiong-san, tapi diapun merasa kuatir benda yang tak seberapa nilainya itu akan menimbulkan gelak tertawa orang.

   Akhirnya setelah mempertimbangkannya berulang kali, ia putuskan untuk menyimpan saja benda tersebut sambil menunggu kesempatan baik dikemudian hari.

   Kebetulan kali ini Hoa In-liong berkunjung ke selatan, sebenarnya benda itu hendak diserahkan kepada anak muda tersebut, tapi kemudian Hoa In-liong berlalu dengan tergesa gesa, hingga benda mustika tersebutpun untuk sementara waktu ditangguhkan penyerahan-nya.

   Siapa tahu selelah mengalami pelbagai rintangan dan persoalan, akhirnya toh penggaris kemala hijiu tersebut terjauh kembali ke tangan Hoa In-liong, boleh dibilang memang begitulah takdir berbicara.

   "Begitulah, dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, kedua orang itu melakukan pengejaran kemuka, sekejap kemudian mereka berhasil menyusuli laki laki itu. Benar juga, dari kejauhan tampak Tan Beng-tat melanjutkan perjalanannya sambil bersembunyi, ia selalu memilih tempat yang gelap dan tersembunyi untuk menyembunyikan jejaknya, bahkan sering kali menoleh ke belakang rupanya ia kuatir kalau perjalanannya dibuntuti orang. Sampai detik itu, mau tak mau Hoa In-liong harus memuji ketajaman mata Coa Wi- wi, berganti orang lain, mungkin sulit untuk menemukan jejak laki-laki itu. Tiba-tiba Coa Wi-wi menempelkan bibirnya ke sisi telinga anak mudi itu, lalu berbisik.

   "Bajingan ini sedang berbohong, kalau benar istana Tiau thian-kiong semestinya dia lewat pintu kota sebelah barat, karena letak istana tersebut adalah Hu see sak shia, padahal dia perginya ke arah bukit Ciong san pingit, sekali kubacok bangsat itu sampai modar. Hoa In-liong tertawa.

   "Kau tak usah begitu marah, pokoknya asal kita tak sampai tertipu, itu kan cukup"

   Hiburnya. 00000O00000 TIBA-TIBA ia menarik ujung baju Coa-Wi-wi sambil berseru.

   "Eeeh....tunggu sebentar!"

   Ternyata mereka berdua telah menyusul sampai jarak sepuluh kaki dibelakang sasaran, Hoa Inliong takut pembuntutan yang terlampau dekat bakal diketahui Tan Beng-tat, maka dia usulkan untuk berhenti lebih dulu.

   "Jiko"

   Kata Coa Wi-wi kemudian.

   "lebih leluasa buat kita untuk mengawasinya dari atas pohon bagaimana menurut pendapatmu?"

   Hoa In-liong mengawasi lebih dulu sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sekeliling tempat itu adalah sebuah hutan yang luas, ia menyadari bahwa pengejaran yang dilakukan dari atas tanah gampang kehilangan sasaran, maka setelah mempertimbangkannya sejenak akhirnya pemuda itupun mengangguk.

   Coa Wi-wi tidak banyik berbicara lagi, ia menarik tangan Hoa In-liong dan diajak naik keatas dahan pohon.

   Hoa In-liong membiarkan dirinya ditarik, tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun, tubuhnya sudah melambung ke udara dan hinggap diatas dahan pohon.

   Ketika ia berpaling ke arah Coa-Wi-wi, terlihat gadis itu tetap wajar dan sama sekali tidak kelihayan payah, kenyataan tersebut membuat pemuda kita jadi kagum.

   "Adik Wi!"

   Pujinya.

   "sim hoat tenaga dalam dari perguruanmu benar-benar hebat sekali"

   Yaa, betapapun juga, tenaga dalam yang dimiliki Coa Wi-wi memang patut dikagumi.

   "Ehmm....!"

   Sahut sang dara.

   "kecuali sim-hoat tenaga dalam yang hebat, masih ada lagi sebab sebab lainnya"

   "Oya? Kalau begitu kau pernah makan obat mustika atau bahan obat yang mujarab?"

   "Yaa, aku pernah minum cairan sari buah yang tak ternilai harganya...."

   Sahut Coa Wi-wi serius. Hoa In-liong tertawa.

   "Ooh.... kalau begitu, tentunya Leng ci beruSaha seribu tahun?"

   Ujarnya kembali. Coa Wi-wi tertawa cekikikan.

   "Bukan Leng ci, melainkan buah Tho dsri perjamuan See-ong-bo di nirwana...."

   Tentu saja Hoa In-liong tahu kalau gadis tersebut sedang bergurau. Ini membuat timbulnya sifat binal dalam hati kecil anak muda itu.

   "Waaah.... kalau begitu adik Wi adalah Dewi cantik dari Nirwana?"

   Godanya.

   "aku si manusia sederhana dari bumi, sungguh merasa amat beruntung dapat berkenalan dengan dirimu"

   Mendengar godaan tersebut Coa Wi-wi tertawa berseri-seri.

   "Kau tidak percaya yaa dengan perkataanku? Baik, sampai dirumah nanti akan kuberikan juga cairan itu untukmu, tanggung sesudah minum cai-tay tersebut tenaga dalammu akan bertambah sepuluh kali lipat dari keadaan sekarang ini"

   "Waaah.... kalau bisa mengalami kejadian semacam itu, sembilan keturunanku pasti akan selalu memperoleh rejeki"

   Hoa In-liong mendesis setengah percaya setengah tidak. Melihat pemuda itu masih tidak percaya, Coa Wi-wi mengalihkan kembali pembicaraannya ke soal pokok.

   "Jiko, kalau toh engkau sudah tahu bahwa pihak Hian-beng-kauw lah yang telah menculik empek Yu, aku rasa janjimu dengan Bwee Su-yok besok malam tak usah dipenuhi lagi"

   Katanya. Hoa In-liong tersenyum.

   "Aku rasa kurang baik kalau kita terbuat demikian!"

   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara lembut, tapi nadanya tegas dan mantap. Tidak berhasil membujuki pemuda itu untuk membatalkan pertemuannya dengan Kiu- im-kauwcu, Coa Wi-wi berpikir sebentar lalu bertanya lagi.

   "Jiko, seandainya Kiu-im-kauwcu bersedia meninggalkan yang sesat untuk kembali kejalan yang benar, gembirakah jiko menghadapi keadaan tersebut?"

   "Sudah tentu sangat gembira, cuma.... haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... aku rasa hal ini takmungkin terjadi"

   "Aku mempunyai suatu akal yang bagus sekali, bukan saja dapat membuat Kiu-im- kauwcu meninggalkan jalan yang sesat kembali kejalan yang benar, bahkan dia malahan akan membantu pihak kita. Apakah jiko ingin mengetahuinya?"

   Hoa In-liong tidak tahu permainan apa lagi yang sedang dipersiapkan anak gadis itu, tapi ketika dilihatnya dara tersebut bicara dengan wajah bersungguh-sungguh, ia toh tertawa juga.

   "Kalau engkau memang ada akal bagus, hayolah katakan kepadaku, coba kulihat sampai dimanakah kebagusan akalmu itu!"

   "Sejak dulu sampai sekarang, perbuatan paling sulit didunia ini adalah menasehati orang untuk berbuat kebajikan, tentunya kau juga pernah mendengar bukan orang berkata begini. Mencuci muka membersihkan hati adalah perbuatan yang sulit diatas sulit...."

   "Yaa, aku sudah tahu, merubah orang sesat menjadi orang budiman adalah perbuatannya yang paling sukar didunia ini"

   Tukas Hoa In ling.

   "oleh sebab amat sukar, maka kalau engkau punya cara yang bagus, hayolah cepat katakan kepadaku"

   Coa Wi-wi tidak langsung menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dengan nada serius ia berceramah kembali.

   "Sekalipun dapat menyuruh orang jahat melepaskan golok pembunuhnya dan bertobat, orang yang memberikan nasehatnya itu entah harus menelan berapa banyak penderitaan dan pahit getir, dulu orang pernah bilang begini. Nasehat Malaikat, membuat batu yang keraspun menganggukkan kepala. Dari sini dapat diterangkan betapa penderitaannya dan betapa banyaknya, pengorbanan yang harus dikeluarkan Hoah-su itu sebelum berhasil membuat batu yang bandel menganggukkan kepalanya belaka"

   Mendengarkan ceramah tentang betapa sukarnya orang menasehati seseorang yang berbuat kejahatan menjadi orang baik, Hoa In-liong tertawa lebar.

   "Sudah, sudahlah, sebetulnya engkau mempunyai pusaka apa lagi? Ayo tunjukkan semua kepadaku, memangnya aku bakal berbuat pahala dengan dirimu?"

   Coa Wi-wi tertawa cekikikan.

   "Caraku ini bukan saja merupakau cara paling jitu diseluruh dunia, bila berhasil, bukan saja akan mendapat pahala besar, bukan su atu rejeKi nomplok yang tak terkirakan besarnya"

   Begitu mendengar ucapan yang terakhir itu, Hoa In-liong segera menebak isi fikiran dari dara tersebut, sambil menarik muka ia lantai tepuk lengannya sambil pura-pura marah.

   "Omong sembarangan, lihat saja kuberi pelajaran yang setimpal tidak kepadamu"

   "Tapi aku bicara yang sesungguhnya! Bwe Su-yok cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, jika kau berhasil mempersunting dirinya, bukankah tindakan ini sama halnya dengan sekali tepuk dapat dua lalat?"

   "Haahh.... haahh.... haah.... , agaknya kau sedang mengigau disiang bari boloag "kami Hoa Inliong sambil tertawa. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, ia merasa perkataan dari Coa Wi- wi ada benarnya juga. Haruslah diterangkan disini, pada dasarnya Hoa In-liong memang gemar bergaul dengan para gadis, ia binal, bertindak menurut suara harinya dan tak pernah menurut peraturan. Baginya asal perasaan mengatakan benar maka itu berarti, dengan waktu semacam ini tentu saja ia tak berani berbuat yang sembarangan susila, menipu perasaan orang lain. Meski begitu, pada dasarnya bukannya ia tidak berminat terhadap Bwe Su-yok. Tapi dengan dasar waktunya yang romatis, ia lebih suka bermain perempuan kesana kemari dari pada menitik beratkan perhatiannya khusus untuk mencari istri. Rasa cintanya terhadap Bwee Su-yok adalah suatu letupan cinta yang murni, dalam benaknya ia hanya terbatas ingin mengajak gadis itu pesiar bersama saja soal mengawininya boleh dibilang belum pernah ia pikirkan. Bercanda, bergurau ataupun pesiar bersama bukan suatu perbuatan yang melanggar hukum tapi kalau meningkat selangkah lebih kedepan, itu sudah menjurus perbuatan cabul. Mendekati ia teringat kembali akan peringatan dari gwakongnya Pek Siau thian sendiri"

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Sukma Pedang -- Gu Long Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung

Cari Blog Ini