Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 8


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 8




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Untunglah disaat yang amat kritis itu terdengar Kiu-im-kaucu membentak nyaring.

   "Aku menginginkan yang hidup!"

   Bentakan tersebut penuh bernada kemarahan yang memuncak.

   Bwee-Su-yok terperanjat, gerakan tangannya segera terhenti ditengah jalan.

   Menggunakan kesempatan itu Hoa In-liong menjejakkan kakinya dan mundur delapan depa ke belakang, dengan demikian loloslah dia dari ancaman tersebut.

   Hoa In-liong memang jauh berbeda dengan manusia biasa, bila orang biasa yang baru lolos dari ancaman bahaya maut, niscaya nyalinya akan pecah dan peristiwa itu akan mengakibatkan kemarahan yang mendekati kalap.

   Sebaliknya Hoa In-liong tetap tenang, dipandangnya sekejap sekeliling arena pertarungan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia membentak nyaring.

   "Tahan!"

   Bentakan itu diutarakan dengan tenaga penuh, kerasnya bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, membuat jantung orang bukan saja berdebar keras, telingapun jadi sakit rasanya.

   Jangan dibilang Coa Cong-gi yang memang keteter hebat, Si Nio berdua yang sedang bertarung melawan Kek Thian-tok pun berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.

   Ketika mendengar bentakan tadi, semuanya terkejut dan serta merta juga pertarungan pun terhenti.

   Paras muka Kiu-im-kaucu agak berubah, diam-diam pikirnya didalam hati kecil.

   "Hebat juga tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, rasanya tidak berada dibawah kemampuan Hoa Thianhong. Aku tak boleh terlalu memandang enteng orang ini!"

   Sementara dihati kecil dia berpikir demikian, diluaran segera tegurnya dengan lantang.

   "Ada apa? Ada persoalan yang hendak kau ucapkan....?"

   Hoa In-liong tidak menggubris pertanyaan itu, dia berpaling ke arah Si Nio yang masih berdiri dengan muka menyeringai dan serunya.

   "Kau boleh temani nonamu untuk, berlalu lebih dulu dari sini!"

   Si Nio tertegun, kemudian serunya mendadak.

   "Dengan dasar apakah engkau memerintah aku....?"

   "Persoalan yang sedang kami hadapi sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diri kalian berdua maka kuanjurkan janganlah mencampuri urusan ini!"

   Maksud dari ucapan anak muda itu cukup jelas, ia telah bersiap sedia melangsungkan pertempuran mati-matian, maka diharapkan orang yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian itu dipersilahkan untuk berlalu lebih dulu.

   "Tidak....!"

   Si nona baju hitam itu segera menampik.

   "Kalau mau pergi, kita harus pergi bersamasama!"

   "Nona tak usah kuatir"

   Kembali Hoa In-liong membujuk, aku kan sudah berkata bahwa urusan ayahmu tak akan kucampuri? Pokoknya bila persoalan ditempai ini sudah selesai, aku pasti akan mencari nona untuk merundingkan lagi tentang persoalan ini"

   "Huuuh......"

   Enak benar kalau bicara, bagaimana kalau seandainya kau mampus?"

   Sela Si Nio dengan suara parau.

   "Ngaco-belo!"

   Bentak nona baju hitam dengan muka dingin.

   "Siapa yang suruh engkau mencampuri urusan ini? Sana menyingkir jauh jauh dari sini"

   "Aku tidak mengapa ada, semua perkataanku adalah sejujurnya. Andaikata dia sampai mati terbunuh Kiu-im-kaucu, bukankah kita akan menggigit jari?"

   Tentu saja dibalik semua persoalan itu, sebetulnya terdapat suatu hubungan yang aneh sekali dan hubungan itu cukup membingungkan mereka mereka yang terlibat.

   Tak bisa diragukan lagi, si nona baju hitam itu menaruh kesan yang sangat mendalam terhadap Hoa In-liong, akan tetapi diapun menguatirkan keselamatan ayahnya, karena itu perasaannya jadi serba salah, caranya berbicarapun jadi mengarah dua bagian.

   Sebaliknya Si Nio amat setia kepada majikannya.

   Apa yang dikuatirkan cuma keselamatan majikan tuanya.

   Selain itu diapun kuatir majikan mudanya terjebak dalam jaring cinta, maka setiap saat dia berusaha menyakiti hati Hoa In-liong, sedang keputusan dan caranya berpandangan pun sangat tegas.

   Hoa In-liong pribadi hakekatnya tidak mempunyai prasangka apa-apa.

   Dia mengira apa yang diucapkan Si Nio adalah kata-kata yang sejujurnya dan tujuan si nona baju hitam membantu dirinya serta menguatirkan keselamatan jiwanya juga tak lain demi keselamatan ayahnya, sebab itu dia cuma tertawa ewa.

   "Sudah..... pergi!, pergi sana!"

   Serunya sambil ulapkan tangan.

   "Aku yakin masih mempunyai kemampuan untuk menjaga diri, kalian tak usah menyia-nyiakan waktu bagi urusan yang tak penting lagi!"

   Terdengar Bwee Su-yok mendengus dingin dengan bibir dicibirkan, sedangkan Siau Ciu yang selama ini hanya membungkam terus, sekarangpun berseru sambil tertawa seram.

   "Heeeh.... hee...... heee...... mau pergi? Aku rasa tak akan segampang itu!"

   Hoa In-liong mengalihkan pandangan matanya kesekeliling gelanggang, lalu tersenyum.

   "Ooooh....! Rupanya saudara Siau juga terhitung salah seorang anggota Kiu-im-kau. Suatu kejadian yang sama sekali tak terduga bagiku!"

   Ejeknya. Lantaran soal Wan Hong-giok yang dicintainya Siau Ciu merasa benci sekali terhadap Hoa Inliong boleh dibilang rasa bencinya itu sudah merasuk kedalam tulang sumsum. Mendengar itu, dia celingukan kesana kemari, kemudian katanya.

   "Hmmm! Engkau gemar bermain perempuan kesana kemari, berani menggaet juga sumoay aku orang she Siau....."

   Mendadak perkataannya terputus sampai ditengah jalan, dia menjura kepada Kiu-im- kaucu dan berkata.

   "Hamba minta ijin untuk turun ke gelanggang"

   "Kau hendak beradu tenaga dengan Hoa siau-hiap?"

   Tanya Kiu-im-kaucu dengan sangsi.

   "Hamba minta ijin untuk menahan perempuan itu!"

   Jawab Siau Ciu dengan hormat.

   "Huuuh.... kamu itu manusia macam apa?"

   Maki Hoa In-liong dengan suara mendongkol. Siau Ciu menengadah lalu menjawab.

   "Aku hendak menggunakan cara yang sama untuk menghadapi dirimu. Kau telah merampas pacarku, maka sekarang aku orang she Siau juga akan bunuh kekasihmu ini, akan kusuruh engkau bagaimana sengsaranya orang patah hati!"

   Hoa In-liong betul-betul dibuat menangis tak bisa tertawapun tak dapat, tapi ia masih berusaha mengendalikan hawa amarahnya. Dalam keadaan begini ia betul-betul segan untuk memberi perjelasan.

   "Hmmmm.....! Bagus, bagus sekali"

   Serunya sambil mendengus dingin "kalau engkau memang merasa bernyali, kenapa tidak bertempur saja melawan diriku?"

   "Hmmm, engkau adalah milikku, kenapa musti cerewet?"

   Tukas Bwee Su-yok dari samping dengan dingin "Kalau ingin turun tangan, ayolah kulayani keinginanmu itu!"

   Telapak tangannya segera diayun kedepan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera meluncur kedepan. Hoa In-liong miringkan badannya menghindarkan diri dari ancaman tersebut, kemudian hardiknya.

   "Tunggu sebentar!"

   Setelah berhenti sejenak, dengan sinar maita yang tajam tiba-tiba ia berpaling ke arah Kiu-imkaucu, lanjutnya.

   "Sebelum terjadi peristiwa apa-apa, hendak kuperingatkan lebih dulu kepadamu, andaikata ada orang hendak menyusahkan Si Nio berdua, Heeh.... hee.... hee..... Kaucu! Jangan salahkan kalau aku akan bertindak kejam!"

   Tiba-tiba nona berbaju hitam itu berseru.

   "Siapapun jangan harap bisa menyuruh aku tinggalkan tempat ini, kalau tidak...... Aduh!"

   Rupanya tanpa menimbulkan sedikit suarapun Si Nio menotok jalan darah kakunya.

   Begitu majikannya terkulai, dengan gerakan paling cepat disambarnya nona itu, lalu sambil mengempitnya dengan gerakan cepat perempuan jelek itu meluncur turun ke bawah bukit.

   Siau-Ciu menggerakkan tubuhnya akan mengejar tapi Kiu im kaucu keburu berseru dengan lantang.

   "Kembali! Biarkan mereka pergi...."

   Siau Ciu tak berani membangkang, terpaksa dia menghentikan gerakan tubuhnya dan melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan gemas. Hoa In-liong sendiri pura pura tidak melihat, dia malah berpaling ke arah Cong- gi sambil berkata.

   "Saudara Cong-gi, engkau juga harus pergi dari sini!"

   "Kenapa musti pergi?"

   Teriak Cong-gi dengan mata melotot dan dan alis mata berkenyit.

   "Memangnya kau anggap aku adalah seorang pengecut yang takut mampus?"

   Hoa In-liong tersenyum.

   "Tentu saja tidak!"

   Sahutnya.

   "Kiu-im-kaucu hendak menangkap siaute. Sekalipun aku tak tahu apa maksud tujuannya, tentu saja siaute tak dapat menyerah dengan begitu saja, maka siaute akan bertempur mati matian melawan mereka!"

   "Kalau memang begitu, ayolah kita kerjakan!"

   Teriak Coa Cong-gi dengan lantang.

   "Sekalipun harus mampus, delapan belas tahun kemudian aku juga akan hidup lagi sebagai seorang lakilaki"

   "Saudara Cong-gi, aku kagum sekali oleh kegagahanmu, akan tetapi sebagaimana pun juga....."

   "Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi, kalau mau bertempur ayoh kita lakukan sekarang juga!"

   "Dengarkan dulu perkataanku"

   Bujuk In-liong "Jika aku mati kaulah yang berkewajiban untuk membalaskan dendam bagiku, apalagi....

   Yaa, harap saja saudara Cong-gi jangan tersinggung, hakekatnya ilmu silatmu bukan apa-apaku.

   Bila engkau turut campur bukannya membantu malah justru akan memecahkan perhatianku.

   Aku justru malahan tak bisa pusatkan perhatian untuk ber-tempur melawan mereka"

   Perkataan semacam itu boleh dibilang sangat blak-blakan dan berterus terang, andaikata orang lain yang diucapi kata-kata seperti itu, sedikit banyak mereka akan berpikir dua kali.

   Apa mau di bilang Coa Cong-gi adalah pemuda yang setia kawan.

   Dia tak mau tahu soal lain kecuali tujuannya.

   Maka berbicara dengannya sama juga seperti tidak berbicara sama sekali.

   Tampak sinar matanya berkilat, lalu dengan suara tak senang hati teriaknya.

   "Kenapa? Memangnya cuma kau saja yang boleh tunjukkan kebolehannya sedang orang lain tidak boleh? Kalau kau suruh aku kabur meninggalkan teman, lantas jadi apakah aku Coa Cong-gi dimata orang?"

   Melihat kekerasan hati rekannya itu. Hoa In-liong jadi cemas, serunya lagi.

   "Tapi dalam soal ini bukan soal setia kawan atau tidak, situasi yang kita hadapi sekarang......"

   "Sudah, tak usah banyak bicara lagi, aku tak mau mendengarkan!"

   Tukas Coa Cong- gi tiba-tiba dengan suara keras.

   Begitu selesai berteriak, dia lantas melompat ke depan Seng Sin-sam dan langsung mengayunkan kepalanya untuk menyerang.

   Setelah beristirahat sebentar, tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti sedia kala, otomatis tenaga serangannya juga amat hebat pula.

   Seng Sin-sam cepat berkelit kesamping menghindarkan diri dari serangan musuh yang lihay, kemudian sambil menerjang maju kedepan dia balas melancarkan serangan berantai.

   Begitulah, pertarungan pun segera berkobar.

   Dua orang itu saling menyerang dengan gencarnya.

   Angin pukulan bayangan telapak tangan memenuhi seluruh angkasa, untuk sesaat mereka bertempur dalam keadaan seimbang dan sama kuat.

   Melihat rekannya sudah bertempur, Hoa In-liong pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, dia lantas berpikir.

   "Rasa setia kawannya setinggi langit, Yaa... aku harus kagum dan berterima kasih kepada dia"

   Lapun berpaling kepada Kiu-im-kaucu, lalu ujarnya dengan dingin.

   "Aku ingin mergisahkan semua cerita, bersediakah kaucu untuk mendengarkan?"

   "Eeee... dalam keadaan semacam inipun kau masih berniat untuk bercerita?"

   Tanya Kiu-im-kaucu keheranan.

   "Ooooh....Ceritanya pendek sekali, tak akan makan waktu terlalu banyak untuk mengisahkannya!"

   Kiu-im-kaucu tersenyum.

   "Kalau engkau memang punya kegembiraan untuk berbuat demikian, ceritakanlah, aku akan mendengarkannya dengan seksama!"

   "Dulu, ketika raja Chu Pah-ong menderita kekalahan total disungai Wu-kang, Han Ko-cou yang cerdik dan bijaksana tiada bermaksud memaksa lawannya untuk bunuh diri. Dalam hati kecilnya dia hanya bermaksud untuk mendesaknya hingga tak ada jalan kabur lagi dan suruh dia menyerah kalah dan dipakai tenaganya"

   Kiu-im-kaucu tertawa terbahak-bahak setelah mendengar cerita itu.

   "Haaa..... haa..... haa..... Engkau memang pandai sekali memutar balikkan duduknya perkara, setelah mengalami kekalahan demi kekalahan ditangan Siang Yu, hakekatnya rasa benci Lau Pang kepadanya sudah mencapai taraf ingin mendahar dagingnya, menghirup darahnya, mana mungkin ia berniat untuk menerimanya sebagai pembantu? Apalagi setelah menderita kekalahan yang total Siang Yu toh akhirnya gorok diri dan mati? Cerita seperti itu bukan cerita lagi namanya, tapi merupakan catatan sejarah"

   "Dalam sejarah hanya tercatat bagaimana akhir dari kejadian itu, padahal Chu Pah ong mempunyai kekuatan yang bisa mencabut bukit. Dia merupakan seorang jendral yang tangguh dalam usaha mempersatukan semua daratan Han-Ko cou membutuhkan manusia-manusia berbakat semacam itu, dari mana kaucu bisa mengatakan bahwa ia bermaksud untuk membunuhnya?"

   Kiu-im-kau tertawa, sahutnya.

   "Lau pang tidak mempunyai kebijaksanaan untuk mengampuni musuh-musuhnya, setelah Siang-Yu mati, duniapun jadi aman, apa perlunya dia musti menerima jendral musuh sebagai panglimanya?"

   Tiba-tiba seperti baru saja memahami sesuatu, ia berhenti sejenak, lalu sambil berpaling ke arah pemuda itu lanjutnya.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa maksudmu mengucapkan kata-kata semacam itu? Apakah engkau telah mengambil keputusan hendak beradu jiwa denganku?"

   "Haaah..... haa..... haa..........Akhirrnya kaucu mengerti juga maksudku......! Seru Hoa In- liong sambil tersenyum. Setelah berhenti sejenak, dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya lebih jauh.

   "Keluarga Hoa cuma mempunyai anak cucu yang rela kehilangan kepala, tapi tak akan mempunyai keturunan yang sudi ditawan. Sekalipun aku sudah tersudut dan tak ada jalan pergi lagi, akan kugunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk melakukan perlawanan hingga titik darah peng habisan. Aku lebih rela mati konyol daripada ditawan dan dihina olehmu. Kalau toh kaucu sudah memahami perkataan itu, hal ini jauh lebih baik lagi. Tapi sebelumnya hendak kuterangkan dulu kepadamu, bila ada yang terluka atau sampai tewas, maka semuanya adalah tanggung jawab kaucu sendiri. Sebab setelah bertempur narti, aku tidak akan berlaku sungkan sungkan lagi."

   Mula-mula kiu im kaucu tertegun, menyusul kemudian diapun tersenyum geli.

   "Aaah... kamu ini selalu ada-ada saja!"

   Tegurnya.

   "Urusan tak akan berubah jadi demikian seriusnya. Aku kan bukan Lau pang sedang engkau juga bukan Siang Yu dari kerajaan Chu. Tidak mungkin kau akan kudesak hingga kehilangan jalan mundur!"

   "Hmm, ucapan semacam itu hanya perkataan yang sama sekali tak ada artinya"

   Tukas Hoa Inliong "Demi dendam kematian Suma siok-yamu, juga dengan mencegah ambisi Kiu-im-kau kalian merajai dunia persilatan dan menciptakan badai pembunuhan, bagaimanapun juga harus mencampuri urusan ini.

   Tapi karena semenjak kecil aku sudah dididik ketat, aku tak ingin bertindak secara gegabah.

   Seandainya aku kalah maka aku pun akan berusaha untuk mengundurkan diri dari sini, jika kaucu bermaksud menangkap hidap-hidup diriku....

   Heee...

   hee.....

   hee......

   Lebih baik jangan bermimpi disiang hari bolong"

   "Hmm! Engkau ingin beradu jiwa?", jengek Bwee Su-yok dengan dingin "Justru nona tak akan membiarkan engkau mampus!"

   Hoa In-liong tersenyum, pelan-pelan dia alihkan pandangan matanya ke arah gadis itu, kemudian sahutnya.

   "Bukannya aku sengaja berbicara sombong, jika kalian hendak main kerubut maka untuk membunuh aku gampang, tapi mau menangkap aku....? Huuh, bukan urusan gampang"

   "Seandainya aku turun tangan sendiri?"

   Tanya Kiu-im-kaucu secara tiba-tiba.

   "Kau maju sendiri juga sama saja!"

   Jawab Hoa In-liong dingin, ucapannya sangat tegas.

   Mendengar jawaban tersebut, paras muka Kiu-im-kaucu berubah hebat, ia tertawa dingin tiada hentinya.

   Haruslah diketahui, Kiu-im-kaucu adalah seorang manusia yang berpandangan picik dan amat menitik beratkan soal dendam dan sakit hatinya.

   Tapi sikapnya selama ini terhadap Hoa In-liong bisa ramah hal ini dikarenakan pertama, usianya sudah makin lanjut, otomatis watak dan sikapnya juga jauh lebih ramah, kedua dimasa lalu dia mempunyai kesan yang baik terhadap ayah ibu Hoa In-liong, yakni rasa kagumnya terhadap Hoa Thian-hong dan rasa sayangnya terhadap Pek Kun-gi.

   Hoa In-liong sangat mirip dengan ayah ibunya.

   Lagipula sebagai seorang angkatan yang lebih muda ditambah pemuda itu bukan sasaran dari gerakannya kali ini, maka untuk mempertahankan gengsinya sebagai seorang angkatan tua, dia berusaha untuk mengendalikan sifat ganasnya.

   Tapi sekarang sikap Hoa In-liong yang serius dan suaranya yang dingin telah menyinggung perasaan serta gengsinya.

   Sebagai seorang manusia yang berpandangan sempit tentu saja paras mukanya berubah hebat, karena gusarnya dia tertawa seram.

   Hoa In-liong tetap berdiri tanpa perubahan, sementara hawa murninya diam-diam telah disiapkan, berjaga-jaga atas sergapan yang tiba-tiba akan dilakukan Kiu im kaucu.

   Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling puncak bukit itu, tiba-tiba terdengar suara seruan merdu berkumandang datang.

   "Disini....! Disini.....! Ibu, ayoh cepat sedikit...."

   Suara itu berasal dari sisi kanan puncak bukit itu, tanpa sadar Hoa In-liong berpaling ke arah mana berasalnya suara tadi, terlihatlah sesosok bayangan merah melayang turun dari tengah udara.

   Di belakang bayangan merah tadi mengikuti seorang nyonya setengah baya yang memakai baju warna hijau.

   Ketajaman mata Hoa In-liong luar biasa, meskipun ia berdiri dipuncak bukit enam- tujuh puluh kaki jauhnya dari bayangan itu, cukup dalam sekilas pandangan ia dapat melihat bahwa perempuan setengah baya itu sangat cantik dan berwajah agung, usianya antara empat puluhan.

   Sedangkan bayangan merah didepannya adalah seorang gadis muda yang berparas cantik jelita.

   Keayuan nona itu menandingi kecantikan Bwee Su-yok, cuma dia lebih lincah dan penuh gairah hidup, jauh berbeda dengan Bwee Su-yok yang dingin kaku bagaikan salju.

   Hoa In-liong yang romantis.

   Dalam keadaan begitu tidak bernafsu lagi untuk menikmati kecantikan paras mukanya, ia lebih terkesima oleh keindahan gerak tubuh yang didemontrasikan nona tadi.

   Ketika melayang turun dari udara, tubuhnya lurus dan tidak bergeser barang sedikitpun ke samping.

   Keindahan dan kelincahannya melebihi bidadari dari kahyangan.

   Ini menunjukkan kalau ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan.

   Usia nona itu baru enam tujuh belasan, tapi dengan usia semuda itu ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan.

   Siapa yang akan percaya dengan kejadian ini bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri? Termangu-mangu Hoa In-liong melihat kelihayan orang, dalam hati dia lantas berpikir.

   "Murid siapakah gadis itu? Sungguh tak kusangka dalam dunia persilatan masih terdapat kepandaian sakti yang jauh melebihi keampuhan keluarga Hoa kami!"

   Ketika masih melayang diudara, tanpa mengurangi daya luncur badannya tiba-tiba saja nona itu berseru.

   "Ibu, coba lihatlah! Masa untuk melawan seorang tua bangka pun koko tak mampu untuk memenangkannya, betul-betul memalukan sekali! Sekembalinya disini dia musti dihukum berlutut selama tiga hari dan tak boleh makan!"

   "Kau yang musti dihukum berlutut didepan altar selama tiga puluh hari tanpa boleh makan!"

   Teriak Coa Cong-gi dengan geram. Si-nona cantik itu tertawa cekikikan.

   "Siapa suruh kau tidak pulang semalaman, tapi lari kesini dan berkelahi dengan orang? Kau telah bikin susah diriku saja..... Mendingan kalau menang, Huuh! Mengalahkan pun tak mampu...... Kau musti dihukum untuk berlatih lebih tekun lagi"

   Setelah melayang keatas tanah, dua orang itu pelan-pelan maju ketengah gelanggang.

   "Wi-ji, jangan ribut dulu"

   Seru nyonya setengah baya itu.

   "Kita berlatih ilmu silat adalah untuk menguatkan badan. Ilmu silat bukan dipakai untuk cari nama atau ribut-ribut dengan orang"

   Setelah berhenti sebentar, lanjutnya.

   "Anak Gi, cepat berhenti! Ayoh pulang!"

   Coa Cong-gi tidak menguasai tenaga dalamnya secara sempurna, sejak pertama kali tadi sudah keteter hebat.

   Keadaannya pada saat ini mengenaskan sekali.

   Peluh membasahi sekujur badannya, untuk berbicara rasanya sulit sekali.

   Karena itu dia hanya membungkam belaka walau mendengar seruan dari ibu dan adiknya.

   Semua kekuatan dan pikirannya hanya terpusat untuk mematahkan serangan-serangan dahsyat dari lawannya.

   Hoa In-liong hampir tak percaya dengan pendengaran sendiri, ditatapnya kedua orang perempuan itu dengan termangu-mangu, sementara dalam hati kecilnya merasa kaget sekali.

   "Yaa ampun, jadi perempuan itu adalah ibu dan adiknya saudara Cong-gi? Benar- benar diluar langit masih ada langit, diatas manusia masih ada manusia!"

   Kiu-im-kaucu lebih-lebih terkejut lagi, diapun berpikir.

   "Jadi perempuan itu adalah ibunya bocah she Coa itu? Waah..... tampaknya apa yang kuharapkan sukar tercapai hari ini, aku harus mencari akal untuk mengatasi persoalan ini"

   Perempuan ini licik dan berakal panjang, sebelum tujuannya tercapai dia segan untuk berhenti ditengah jalan.

   Sekalipun dia telah sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki pendatang itu lihay sekali dan mungkin ilmu silatnya bukan tandingan tapi ia tak sudi berhenti sampai disitu saja.

   Diapun tahu perempuan itu adalah ibunya Coa Cong-gi, sedang Coa Cong-gi yang setia kawan adalah sahabat karib Hoa In-liong.

   Bila dia ingin menangkap Hoa In-liong, serta merta akan bentrok juga dengan ibu dan putrinya itu, padahal keyakinan untuk menang tak ada, dapat dibayangkan betapa kacaunya pikiran kaucu itu.

   Kendati begitu, air mukanya tetap tenang dan kalem, sedikitpun tak nampak panik atau bingung dari sini semakin kentaralah bahwa watak Kiu-im-kaucu memang keras sekali.

   Selang sesaat kemudian, diam-diam ia memberi tanda kepada anak buahnya dengan kode yang tidak dimengerti orang lain, serentak kawanan jago dari Kiu-im-kau itu bersiap- siap untuk mengundurkan diri dari tempat kejadian.

   Dalam pada itu, Hoa In-liong masih belum merasa apa-apa, sedang Coa Cong-gi juga lagi bertempur dengan sungguh-sungguh.

   Lama kelamaan nyonya setengah baya itu mulai merasa tak sabaran, dia melirik sekejap ke arah putrinya, kemudian berkata.

   "Anak Wi, pergi kesana dan gantikan engkoh-mu, tapi jangan lukai orang!"

   Gadis cantik yang disebut anak Wi itu mengiakan, dengan langkah yang lembut ia masuk ke dalam arena.

   Pada saat itulah, dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat Kiu- im-kaucu menerjang kedepan, jari tangannya langsung menotok jalan darah Ji-keng-hiat didada kiri Hoa In-liong.

   Mimpipun si anak muda itu tak menyangka kalau dia bakal disergap, tak ampun tubuhnya jadi lemas dan roboh ke tanah dalam keadaan tak sadar.

   Kiu-Im-kaucu yang telah menyusun siasatnya, cepat mengempit tubuh si pemuda itu dan kabur ke depan, serunya.

   "Ayoh mundur!"

   Dengan menutulkan ujung toyanya keatas permukaan tanah, ia kabur menuju hutan lebat disebelah kiri.

   Sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

   Melihat ketuanya sudah mengundurkan diri, kawanan jago dari Kiu-im-kau ikut berseru pula dengan nyaring, masing-masing segera menggerakkan tubuhnya ikut kabur juga dari sana.

   Tak terkirakan rasa kaget Coa Cong-gi menyaksikan kejadian itu, segera bentaknya.

   "Eeeh..... mau lari kemana kalian? Tinggalkan dulu orang itu!"

   Ujung kakinya segera menjejak permukaan tanah, dengan gerakan yang cepat dia ikut mengejar kedalam hutan. Tapi baru beberapa kaki dia berlalu "Wi-ji"

   Bagaikan bayangan sudah menyusul dihadapannya, sambil menghadang jalan pergi kakaknya dia berseru nyaring.

   "Eeeh... mau apa kamu? mau coba kabur yaa?"

   "Minggir, minggir Aku harus menolong temanku itu..."

   Teriak Coa Cong-gi dengan paniknya.

   Dia menyusup kesamping dan mencoba untuk kabur lewat samping tubuh adiknya.

   Siapa tahu gerakan tubuh Wi-ji jauh lebih cepat dari padanya, baru saja badan pemuda itu bergerak, tahu-tahu nona itu sudah menghadang lagi dihadapannya.

   "Siapakah orang itu?"

   "Siapakah orang itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kita"

   Tukas nyonya setengah baya itu tiba-tiba "Anak Gi ayoh kembali!"

   Mendengar panggilan dari ibunya itu, Coa Cong-gi tak berani membangkang, terpaksa dia menyahut.

   "Tapi.... Tapi.... Ibu, orang itu adalah putranya Hoa tayhjap, dia adalah sahabat karibku"

   "Siapa sih Hoa tayhiap itu?"

   Sela Wi-ji.

   "Aaah....! Kamu anak perempuan, lebih baik jangan banyak bertanya"

   Tukas Coa Cong- gi cepat apalagi dia sedang menguatirkan keselamatan rekannya. Jawaban tersebut kedengaran ketus sekali. Kontan saja Wi-ji mengerutkan dahinya.

   "Eeeh..... eeehh...... Koko, kau berani galak yaa?"

   Teriaknya dengan penasaran "Tak usah bertanya yaa tak usah bertanya, siapa yang pingin tahu?"

   Dengan bibir dicibirkan dia lantas berdiri bertolak pinggang dan persis menghadang jalan perginya, tampaknya gadis itu berprinsip demikian, 'Boleh saja aku tak usah banyak bertanya, tapi engkaupun jangan harap bisa lewat dari hadapanku.' Rupanya Coa Cong-gi cukup mengetahui sifat binal dari adiknya ini, bukan saja dimanja ibunya ilmu silatnya berkali-kali lipat lebih lihay dari kepandaian sendiri, pemuda itu segera menyadari kekeliruan sendiri.

   Terpaksa dengan muka merengek katanya.

   "Oooh... adikku yang baik, koko sudah salah bicara, maafkanlah daku..... berilah jalan kepadaku agar aku bisa lewat. Ketahuilah orang itu adalah sahabat karib kokomu dan sekarang dia sudah ditangkap orang. Bila koko tidak berusaha untuk menyelamatkan jiwanya, tentulah aku akan dianggap sebagai manusia pengecut yang takut mati. Aku pasti akan dituduh orang bukan laki-laki yang setia kawan"

   "Lalu apa sangkut pautnya dengan aku?"

   Jengek Wi-ji dengan sinar mata tajam memancar ke luar dari matanya.

   "Bagaimana sih tak ada hubungannya dengan kau? bagaimanapun juga aku kan saudara kandungmu"

   Seru Coa Cong-gi dengan gelisah. Tiba-tiba hatinya agak bergerak, cepat ujarnya lagi.

   "Baiklah, kuberitahukan kepadamu semua yang kuketahui. Hoa tayhiap bernama Hoa Thian-hong orang menjulukinya sebagai Thian-cukiam. Ia berdiam di perkampungan Liok Soat Sanceng yang ada dibukit In- tiong-san dalam bilangan propinsi San-see. Dia adalah seorang pendekar besar yang bijaksana dan berbudi luhur. Sedang sahabat koko tadi bernama Hoa Yang alias In-liong. Dia dilahirkan pada tahun Jin-seng, bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, tahun ini berusia delapan belas tahun, dia adalah putra nomor dua dari Hoa-tayhiap. Orangnya gagah, romantis dan supel menarik sekali dalam pergaulan....."

   Dasar berangasan dan lagi sedang cemas, Coa Cong-gi hanya tahunya berusaha untuk melepaskan diri dari hadangan adiknya.

   Otomatis apa yang diucapkan juga sembarangan tanpa dipikir lebih jauh, bukan saja tanggal lahir Hoa In-liong disebut, malahan wataknya yang romantis juga disinggung.

   Pemuda itu tentu saja mengucapkan kata-kata itu tanpa disertai maksud tertentu, berbeda dengan ibunya.

   Amarahnya kontan memuncak sehabis mendengar perkataan tadi, sebelum putranya menyelesaikan kata-katanya itu dia sudah menukas.

   "Anak Gi, kau lagi ngaco belo apaan?"

   "Aku tidak ngaco belo, semua perkataanku adalah kata kata yang sejujurnya"

   Sahut Coa Cong-gi dengan mata terbelalak karena panik bercampur gelisah.

   "Kalau tidak, kenapa tanggal lahir orang lain pun kau sebutkan dihadapan adikmu?"

   "Apa salahnya? Hoa loji kan bukan orang luar. Dia dan aku adalah sahabat....."

   "Mengherankan! Benar-benar mengherankan!"

   Tukas nyonya setengah baya itu dengan wajah be-rubah.

   "Dari dulu sampai sekarang, lagakmu selalu ketolol-tololan. Sampai kapan kecerdikanmu itu baru muncul?"

   Sekali lagi Coa Cong-gi tertegun, setelah hening sejenak, tiba-tiba ia baru teringat bahwa ka anan jago dari Kiu-im-kau telah lenyap dari pandangan, sekarang dia baru gelisah.

   Dalam keadaan seperti ini, si anak muda itu segan untuk mengurusi perkataan ibunya lagi, teriaknya cepat.

   "Sudah..... Sudahlah, ibu tak usah mengurusinya lagi pelan-pelan toh aku bakal cerdik sendiri, yang penting sekarang adalah menyelamatkan jiwa orang!"

   Badannya lantas menyusup kesamping dan siap menerobos lewat dari sisi Wi-ji untuk kabur ke arah hutan. Kali ini Wi-ji tidak menghalanginya, tapi ibunya telah membentak dengan nyaring.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Berhenti!"

   Mau tak mau Coa Cong-gi berhenti juga, serunya dengan wajah setengah merengek.

   "Mau apa lagi ibu? Sekarang aku harus pergi menolong temanku itu. Kalau gagal maka aku akan malu untuk berjumpa dengan teman-teman yang lain dan akupun jangan harap bisa tampilkan diri lagi didalam dunia persilatan!"

   Menyaksikan tampang putranya yang mengenaskan itu, nyonya setengah baya tersebut akhirnya jadi tak tega, diam-diam dia menghela napas panjang.

   "Aaaa.....! Bagaimanapun jua, dia toh sudah pergi jauh, sekalipun kau kejar juga tak ada gunanya. Kemarilah dulu, aku ada persoalan hendak dibicarakan dengan dirimu"

   Coa Cong-gi merasa perkataan itu ada benarnya juga, hutan itu lebat sekali.

   Sedang orang-orang Kiu-im-kau kabur dengan menerobosi hutan lebat itu.

   Dia tak tahu ke arah manakah mereka telah pergi? Jelek- jelek Coa Cong-gi bukan seorang anak yang tidak berbakti.

   Sekalipun gelisah juga tak ada gunanya, terpaksa dengan uring-uringan dia menghampiri ibunya.

   "Anak-Gi!"

   Kata nyonya setengah baya itu kemudian dengan lembut.

   "Benarkah engkau sangat berhasrat untuk melakukan perjalanan didalam dunia persilatan?"

   "Kakek moyang kita kan orang persilatan semua?"

   Seru Cong-gi dengan cepat. Nyonya itu mengangguk.

   "Sekalipun demikian, tapi diantara turun-temurun juga tinggal ibumu seorang yang masih hidup. Sejak kongcou mu meninggalkan pesan yang melarang anak cucunya melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, sudah lima generasi yang menaatinya dengan sungguh-sungguh, apakah pesannya ini harus dilanggar olehmu saat ini?"

   "Ananda mana berani melanggar pantangan dari kongcou. Akan tetapi aku selalu beranggapan bahwa sebagai keturunan orang persilatan, sepantasnya kalau kita gunakan ilmu silat yang miliki untuk melenyapkan kaum durjana dari muka bumi. Sepantasnya kita melakukan perbuatan mulia yang menguntungkan orang banyak, dengan demikian baru beranilah kehidupan kita sebagai anggota persilatan di dunia ini!"

   Nyonya setengah baya itu tersenyum.

   "Janganlah kau anggap ibumu tidak mengerti dengan jalan pikiranmu itu...."

   Katanya.

   "Tapi kaupun harus tahu, sebagai anggota persilatan maka kehidupan kita sepanjang hari adalah bergelimpangan diantara mayat dan darah. Sekali terlibat dendam sakit hati, jangan harap perselisihan itu bisa diakhiri dengan begitu saja. Kehidupan keluarga kita sekarang meski sederhana dan tidak mencampuri urusan orang, toh bagaimanapun juga keluarga kita terhitung sebagai keluarga pemuka persilatan yang cukup tersohor di kota Kimleng. Asal kita menuruti selalu peringatan dari kongcoumu, orang tak akan menyusahkan diri kita, apa salahnya kalau kita hidup tenang?"

   Coa Cong-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat ia berkata, Wi-ji yang cantik telah menimbrung dari samping.

   "Ibu! Kalau toh engkau telah membicarakan persoalan itu, maka akupun hendak mengucapkan pula sesuatu kepada ibu!"

   Nyonya itu tersenyum.

   "Kalau ingin bicara, katakanlah cepat!"

   Katanya. Dengan wajah bersungguh-sungguh Wi-ji lantas berkata.

   "Aku rasa Kongcou bisa meninggalkan pesan semacam itu, mungkin hal ini dikarenakan ada hubungannya dengan jumlah anggota keluarga kita bukan?"

   "Sebenarnya apa yang hendak kau ucapkan? Kenapa musti berputar kayun? Mengapa tidak kau utarakan saja berterus terang?"

   "Baik!"

   Ucap Wi-ji setelah ragu-ragu sejenak.

   "Kalau ibu ingin aku bicara terus terang, biarlah aku bicara secara blak-blakan. Aku rasa keturunan ada sangkut pautnya dengan nasib, maka pesan dari kongcu ini kurang begitu sesuai rasanya!"

   Mula-mula nyonya setengah baya itu agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, menyusul kemudian sambil tersenyum katanya.

   "Dihari-hari biasa engkau selalu menuruti perkataanku, selalu setuju dengan caraku berpikir. Sungguh tak kusangka rupanya dalam hati kecilmu kau mempunyai cara berpikir yang tak berbeda dengan kokomu"

   "Tapi caraku berpikir kan masuk diakal"

   Tukas Coa Cong-gi tidak terima.

   Belum habis ia berkata, dengan sinar mata berkilat dan muka dingin menyeramkan nyonya berusia setengah baya itu telah menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu.

   Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba terdengar seseorang berseru nyaring memuji keagungan Buddha.

   0000O0000

   "OMITOHUD, apa yang diucapkan Siau Gi-ji mungkin ada betulnya, biarkan dia melanjutkan katakatanya itu!"

   Semua orang terkejut dan berpaling ke arah mana berasalnya suara itu.

   Didepan hutan sebelah kiri terlihatlah seorang hweesio tua yang berjenggot panjang berdiri tegap disitu dengan senyuman dikulum.

   Hweesio itu sudah tua sekali, mukanya banyak keriput, badannya kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang.

   Bajunya warna abu-abu dengan sepatu terbuat dari rumput, dia tak lain adalah padri tua yang menguntil dibelakang Hoa In-liong dan Coa Cong-gi sejak berada di bukit Cing liang-an tadi.

   Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa kenal dengan padri tua itu, tapi lupa- lupa ingat.

   Ia tak tahu padri tersebut pernah ditemuinya di mana, untuk sesaat matanya jadi mendelong dan dia mengawasi padri itu dengan wajah termangu-mangu.

   Pelan-pelan hweesio itu maju kedepan, lalu katanya sambil tertawa.

   "Sian-ji, sudah lupa dengan aku? Ketika Siau gi-ji berusia setahun tempo dulu, aku kan pernah pulang...."

   Belum habis padri itu menyelesaikan kata-katanya, nyonya setengah baya itu sudah menubruk kehadapannya dan menjatuhkan diri berlutut.

   "Oooh..... kiranya engkau orang tua!"

   Ia berseru dengan wajah kegirangan.

   "Oooh..... Tahukah kau bahwa anak Sian sudah amat kangen dengan engkau orang tua?"

   "Haa...... haa...... haaa..... Bangun!"

   Seru hweesio tua itu sambil terbahak-bahak.

   "Putriku sudah berusia setengah baya, kenapa tingkah lakumu masih seperti anak kecil? Jangan sampai perbuatanmu itu ditertawakan orang!"

   Serasa berkata lengannya lantas digape ke muka, nyonya setengah baya itu segera merasakan munculnya segulung tenaga kekuatan yang lembut menarik badannya secara paksa, mau tak mau badannya lantas meninggalkan permukaan tanah.

   Dalam keadaan begini terpaksa nyonya itu harus bangkit dari atas tanah dan berdiri.

   Coa Cong-gi dan adiknya yang menyaksikan kejadian itu merasa terkejut bercampur curiga, mereka lantas berpikir.

   "Padri lihay dari manakah orang ini? Agaknya dia adalah angkatan tua dari keluarga kita. Padahal ilmu silat yang dimiliki ibu sudah terhitung luar biasa hebatnya. Sungguh tak nyana tenaga dalam yang dimiliki padri ini jauh lebih hebat"

   Sementara mereka masih termangu-mangu, nyonya setengah baya itu telah berpaling seraya berseru.

   "Ayoh cepat kemari semua, beri hormat kepada kongcou luar kalian!"

   Coa Cong-gi tertegun karena kaget, bibirnya ternganga matanya terbelalak lebar, untuk sesaat.....

   Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.....

   Berbeda dengan Wi-ji yang lincah dan supel, setelah tertegun sejenak, ia lantas menerjang ke depan sambil teriaknya dengan penuh kegembiraan.

   "Hoore..... hoore..... Kiranya engkau adalah kongkong ku, eeeh..... Kongkong, kenapa kau jadi hweesio?"

   "Wi-ji, makin hari engkau makin edan, tahu aturan tidak?"

   Damprat ibunya dari samping. Hweesio tua itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haa.... haa.... haa...... Bagus, bagus sekali! Manusia adalah burung hong dimalam bulan purnama, hati yang bersih bagaikan cermin yang tak berdebu. Anak manis siapa namamu?"

   Lengan kanannya segera merangkul pinggang Wi-ji dan menariknya kedalam pelukan, jelas te lihat kalau padri tua itu merasa gembira sekali dengan pertemuan tersebut.

   Wi-ji sendiripun sangat gembira, dengan muka berseri ia mempermainkan jenggot kakeknya, lalu ujarnya sambil tertawa.

   "Aku bernama Wi Wi, ibu memanggil Wi-ji kepadaku!"

   "Tahun ini Wi-ji umur berapa?"

   Tanya hweesio tua itu lagi.

   "Enam belas tahun! Eeeh.........Kenapa? Masa kongkong tidak tahu umur wi-ji.....?"

   Sambil mengerdipkan matanya yang jeli, gadis itu memandangi si hweesio tua itu dengan termangu-mangu.

   Tampangnya kelihatan sekali kalau ia sedang tercengang.

   Meskipun pandangan itu penuh kecengangan, akan tetapi dalam pandangan padri tua itu terlihat kepolosan dan kemanjaan dari seorang bocah mungil, hal ini semakin menggirangkan hatinya.

   Sambil menowel ujung hidungnya yang mancung itu, katanya dengan hati gembira.

   "Kongkong seringkali berkelana ke seluruh penjuru dunia, dari mana bisa mengingat begitu banyak persoalan?"

   Coa Wi Wi gelengkan kepalanya berulang kali dia meronta dan melepaskan diri dari cekalan, kemudian dengan alis berkenyit keluhnya.

   "Aaai......! Kongkong mengapa kau musti berkelana terus diseluruh jagad.....?"

   "Kongkong kan seorang hweesio? Lebih baik jangan diteruskan saja kongkong....!"

   Pinta Coa Wiwi dengan bibir cemberut.

   Mendengar permintaannya yang lucu itu, hweesio tua tersebut tak dapat menahan diri lagi, akhirnya dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya.

   Coa Cong-gi yang selama ini hanya berdiri di samping dengan mulut membungkam, kini tak dapat menahan diri lagi, segera tegurnya.

   "Adik Wi, perkataan semacam itu tidak pantas kauucapkan, Huuh..... ngaco belo tak karuan!"

   "Siapa yang suruh kau urusi aku?"

   Teriak Coa Wi-wi sambil berpaling dengan mata mendelik.

   "Perkataanmu barulah perkataan yang ngaco belo!"

   Melihat adiknya berang, Coa Cong-gi tersenyum.

   "Eeeh... Jangan galak-galak ah, cepat atau lambat engkau kan musti dicarikan jodoh, rasain nanti setelah kawin, akan kulihat kau bakal masih galak-galak atau tidak?"

   Godanya. Coa Wi-wi semakin mendongkol, ia tuding kakaknya lalu berteriak dengan suara lengking.

   "Engkaulah yang akan dicarikan jodoh! Kau yang akan dikawinkan! Kau...... kau yang akan dicarikan seorang kuntilanak!"

   Makin berbicara semakin mendongkol, akhirnya seluruh wajahnya berubah jadi merah padam.

   Melihat gadis itu marah-marah yang lain malahan tertawa tergelak, suara tertawa yang nyaring serasa membelah angkasa.

   Ditengah gelak tertawa itu nona setengah baya tersebut segera menegur lirih.

   "Wi-ji, ayoh turun! Jangan merecoki kongkongmu terus"

   Coa wi-wi mencibirkan bibirnya tidak menurut sedang hweesio tua itu tiba-tiba berkata dengan muka sedih.

   "Omitohud! Lolap sudah menjadi murid Buddha tapi hakekatnya hubungan kekeluargaan masih belum dapat kuputuskan sama sekali. Aaaai.....! Itu namanya aku tidak terlalu memusatkan pikirannya pada pelajaran agama!"

   Sambil berkata, pelan-pelan ia turunkan Coa Wi-wi dari dalam pelukannya. Melihat hweesio tua itu tiba-tiba menghela napas, nyonya setengah baya itu jadi terperanjat, dengan ketakutan segera serunya.

   "Sian-ji pantas dihukum mati! Sian-ji telah salah berbicara, harap kau orang tua jangan murung"

   Hweesio tua itu tertawa getir.

   "Kau tak usah menyesali dirimu. Lolap tak bisa memusatkan semua pikiranku untuk agama, itu berarti aku bukan murid Buddha yang sejati. Aaai...! Manusia bukanlah malaikat, mana bisa melupakan hubungan kekeluargaan? Apalagi kalian adalah darah dagingku"

   "Ajaran Buddha tak bertepian, kan tiada larangan yang mengharuskan seseorang untuk memutuskan semua hubungan kekeluargaan?"

   Sela nyonya setengah baya itu dengan cepat.

   "Sekarang Sian-ji hidup menyendiri, apa salahnya kalau engkau orang tua melepaskan jubah pendeta itu, agar Sian-ji dapat menunaikan kewajiban kebaktianku untuk merawat kau orang tua hingga akhir tua nanti?"

   Hweesio tua itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

   "Anak-Sian! Anak keturunan keluarga kita tidak subur. Keturunan kita sejak sembilan generasi yang lalu telah berakhir sampai disini. Bukan saja tinggal keturunan perempuan, keturunan laki-laki hampir musnah tak berbekas. Yaa... Keturunan nenek moyang kita hanya bisa dilanjutkan dengan bersandar dari keturunan perempuan belaka. Aaai...! Ketika lolap akan menjadi pendeta tempo hari, sebenarnya aku bermaksud hendak berbuat banyak amal sehingga bisa mendapat keturunan lelaki. Tapi sekarang setelah lama mengikuti ajaran Buddha, aku merasa semua pikiran dan perasaanku telah melebur menjadi satu dengan ajaran itu. Kenapa aku harus memutuskannya ditengah jalan? Soal melepaskan jubah pendeta lebih baik tak usah kau singgung lagi!"

   "Kalau begitu... Kalau begitu.... Sian-ji akan mendirikan sebuah kelenteng untuk kau orang tua agar kau orang tua....."

   Kata-katanya itu penuh nada permohonan dan muncul dari hati sanubari yang jujur, siapapun dapat merasakan betapa mengharapnya nyonya itu agar permintaannya bisa terkabul.

   Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, hweesio tua itu sudah menukas sambil tertawa nyaring.

   "Anak Sian, buat apa kau melakukan perbuatan bodoh? Aku datang menjumpaimu bukanlah suruh engkau dateng mengurusi aku!"

   "Tapi Sian-ji hidup sebatang kara, tiada sanak tiada keluarga..."

   Bisik nyonya itu sambil terisak.

   "Engkau terlalu mengekang diri, terlalu mentaati pesan kongcou, tidak dapat melihat gelagat, tak dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan, hidupmu yang terkekang itulah yang membuat engkau kesepian, hidup terpencil dan tiada sanak tiada keluarga"

   "Maksud kau orang tua...."

   Nyonya setengah baya itu tampak agak tertegun.

   "Maksud lolap, engkau harus perbanyak mengadakan hubungan persahabatan dengan orang lain perbanyak melakukan gerakan ditempat luaran dan tak ada halangannya melakukan sedikit perbuatan yang melindungi keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan. Hanya dengan berbuat begi itulah kehidupanmu baru berarti, kegembiraanmu akan berlipat ganda, kau tak akan merasa kesepian, tak akan merasa tiada sanak tiada keluarga dan hidupmu akan lebih segar dengan aneka kenangan baru"

   Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa tercengang setelah mendengar wejangan tersebut, dengan mata terbelalak tercengang serunya.

   "Kenapa musti begitu? Bukankah kau orang tua suruh Sian-ji memegang teguh pesan kongcou?"

   Kembali hweesio tua itu tersenyum.

   "Pesan kongcoumu itu adalah menyangkut soal budi dendam yang seringkah terjadi dalam dunia persilatan. Kongcou bila keturunan kita akan terseret kedalam lembah kehancuran sehingga mengakibatkan mereka tak dapat melepaskan diri lagi, maka kongcou kuatir keturunannya akan mengalami banyak kesulitan. Tapi sekarang kalau kita pikir kembali, manusia toh hanya hidup puluhan tahun saja, apa artirya hidup jika kita mengekang diri terus-menerus? Apalagi hidup matinya manusia kan berada ditangan Thian. Siapa yang dapat menentang kekuasaannya? Maka aku rasa, hidup sebagai manusia sudah sepantasnya kalau kita melakukan perbuatan seperti apa yang dilakukan juga oleh manusia lainnya"

   "Tapi ini...... Ini......."

   Saking gugupnya nyonya setengah baya itu jadi tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya itu.

   Haruslah diketahui, pada jaman itu pesan dari kakek moyangnya merupakan kata- kata emas yang tak bisa diganggu gugat lagi, seakan-akan orang beranggapan bahwa, 'Jika kaisar mati panglimanya musti mati, bila ayah suruh putranya mati, putranya mau tak mau musti mati juga.' Orang menganggap bila pesan dari kakek moyangnya dilanggar, maka perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang melanggar adat istiadat dan merupakan perbuatan orang yang tidak berbakti.

   Padahal hweesio itu bukan saja adalah seorang pendeta, dia juga terhitung kakek luar dari "Sian ji".

   Ditinjau dari hal inilah tak heran kalau nyonya setengah baya itu menjerit kaget sehabis mendengar perkataan dari kakeknya.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hooree...."

   Perkataan itu memang sangat beralasan!"

   Sokong Coa Cong-gi kegirangan.

   "Mati hidup manusia memang ada ditangan Thian. Apa yang bisa manusia perbuat tentang mati hidupnya? Sejak dulu sampai sekarang kita adalah keturunan orang persilatan. Apa gunanya kita belajar silat kalau tidak digunakan untuk melakukan suatu usaha besar dalam dunia persilatan? Apa gunanya kalau tidak dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran"

   Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, nyonya setengah baya itu sudah berhasil menenangkan hatinya, dia lantas membentak nyaring.

   "Tidak tahu aturan, orang tua lagi bicara kau juga ikut menimbrung..... Hmm! Peraturan darimana itu?"

   "Jangan maki dia, orang muda itu memang sepantasnya memiliki semangat untuk mengejar cita citanya!"sela hweesio tua itu lagi. Nyonya setengah baya itu berpaling, ditatapnya hweesio itu dengan alis berkerut, kemudian tanya-nya lagi.

   "Benarkah engkau orang tua mempunyai pikiran demikian?"

   Hweesio itu tertawa hambar.

   "Lolap telah memikirkan masalah ini dalam-dalam, aku merasa kalau toh Buddha menurunkan firmannya bagi kehidupan manusia maka dia pasti mempunyai harapan pula bagi kesejahteraan hidup umatnya, maka aku berharap anak keturunanku bisa berjuang dan melakukan suatu usaha besar bagi kepentingan umat manusia lainnya sekalipun jalan pikirannya ini keliru. Sekalipun aku bakal diganjar masuk keneraka, aku juga rela untuk menerimanya"

   Coa-wi-wi yang ada disampingnya segera berteriak.

   "Tidak mungkin! Kongkong tak mungkin diganjar masuk neraka, sebab melenyapkan kaum durjana dari muka bumi adalah suatu perbuatan mulia! Apalagi kongkong sebagai murid Budha mengutamakan keselamatan dan kesejahte raan umatnya......."

   "Wi-ji, jangan banyak bicara!"

   Untuk kesekian kalinya nyonya setengah baya itu menukas.

   "Sian-ji, apakah engkau merasa bahwa perbuatanku ini tidak pantas?"

   Tiba-tiba hweesio tua itu berpaling seraya menegur. Mendapat pertanyaan itu, sinyonya setengah baya tersebut jadi gelagapan.

   "Sian- ji tidak berani. Sian-ji cuma merasa bahwa pesan yang ditinggalkan Kongcou......"

   "Engkau terlalu kolot Sian-ji"

   Tukas sihweesio dengan cepat "Pikiranmu tidak terbuka dan terlampau kukuh pada satu pendirian.

   Aku lihat Siau Wi-ji adalah seorang gadis yang punya rejeki besar dan mempunyai anak cucu yang banyak.

   Sedang Siau gi-ji mempunyai bakat yang bagus, mempunyai garis-garis muka yang baik.

   Lolap berani memastikan bahwa soal keturunan sudah bukan menjadi masalah lagi.

   Kenapa engkau musti kuatir karena melanggar pesan kongcou?"

   Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia alihkan pembicaraan kesoal lain tanyanya.

   "Beberapa tahun belakangan ini apakah engkau sudah mendapat kabar berita tentang Hou-ji?"

   Tiba-tiba sekujur badan nyonya setengah baya itu bergetar keras, mula-mula agak terkejut bercampur heran, menyusul kemudian titik-titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

   Melihat keadaan cucunya perempuannya itu, kembali si hweesio tua itu menghela napas panjang.

   "Aaaai.... Berbicara yang sesungguhnya, lolap tidak terhitung seorang pendeta sungguhan, karena semua urusan dalam keluarga selalu kupikirkan dan kukuatirkan"

   Mendengar sampai di situ, nyonya setengah baya itu tak dapat menguasai rasa pedih didalam hatinya lagi, ia lantas mendekap mukanya sendiri dan menangis tersedu-sedu. Kiranya orang yang disebut "Hoa-ji"

   Tadi adalah suami nyonya setengah baya itu dia bernama Coa Goan-hou.

   Pada lima tahun berselang, ketika suatu hari Coa Goan-hou pergi berkelana, ternyata sampai kini tiada kabar beritanya lagi, seakan-akan orang itu lenyap dengan begitu saja dari muka bumi.

   Nyonya setengah baya ini berwatak halus dan setia, bukan saja pada waktu itu harus menuruti pesan kongcou-nya, ketika itupun dia sedang menyusui anaknya.

   Maka sekalipun tiap hari mengharapkan suaminya kembali, namun rasa rindunya itu hanya selalu disimpan didalam hati.

   Tapi sekarang, secara tiba-tiba hweesio tua itu menyinggung kembali persoalan itu, sontak pertanyaan tadi menyentuh luka dalam hatinya.

   Untuk sesaat ia tak dapat menguasai perasaan hatinya lagi, dan meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati.

   Nyonya setengah baya ini bernama Swan Bun-Sian.

   Ayahnya bernama Swan Tiong-siang dan ibunya bernama Su Beng-wan.

   Hweesio tua ini bukan lain adalah ayahnya Su Beng- wan, Sebelum jadi padri dulu bernama Su Tiong-kian, sedang setelah jadi pendeta bergelar Goan-cin.

   Istrinya Cin Wan-kun adalah keturunan dari Ko Hoa seorang pemuka persilatan dari kota Kimleng pada tiga ratus tahun berselang.

   Putri tunggal dari Ko Hoa bernama Ko Cing dengan nama kecil Bun-ji.

   Ia menikah dengan ahli waris dari Pak-to-kiam (pedang bintang utara) Thio Cu-hun yang bernama Bu-seng (malaikat silat) In Ceng.

   Malaikat silat In Ceng sendiri mempunyai dua orang istri dan melahirkan seorang putra dan seorang putri.

   Putranya mati sewaktu masih muda sedang putrinya dilahirkan oleh Ko hujin Ko Cing.

   Sejak itulah turun temurun anak cucunya diwariskan dari putrinya itu, hingga keturunan yang ketujuh Cing Tong Ti adalah ayah mertua dari Su Tiong kian atau si padri tua itu.

   Putra tunggal dari Su Tiong-kian sendiri mati ketika sedang melerai suatu pertikaian dunia persilatan.

   Dalam sedihnya itulah Cing Tong Ti lantas menurunkan larangannya bagi anak cucunya untuk berkelana dalam dunia persilatan.

   Karena peristiwa itu Su Tiong- kian lantas keluar dari rumah itu dan mencakur rambut jadi pendeta.

   Padri berusia lanjut itu....Goan-sing Taysu kendatipun sudah bertahun-tahun hidup sebagai pendeta, namun cara berpikir orang awam masih amat jelas melekat dalam benaknya.

   Sehingga terhadap pelajaran agama Buddha yang pernah diterimanya, ia mempunyai sistim pengetrapan yang jauh berbeda dengan orang lain.

   Ketika dilihatnya cucu kesayangannya merasa begitu sedih dan murungnya, tak kuasa lagi ia menghela napas panjang.

   "Anak Sian, tak usah menangis lagi!"

   Hiburnya.

   "Anak Hou bukan termasuk orang yang berusia pendek. Sekalipun ia sudah lenyap selama lima belas tahun, lolap percaya sampai saat inipun dia masih hidup segar bugar didunia. Apalagi serangkaian ilmu silat yang dimilikinya mendapat pendidikan langsung dari keluarganya. Soal keselamatan jiwanya lolap rasa bukan merupakan hal yang perlu kita kuatirkan"

   Tapi sebelum kata-kata tersebut sempat diselesaikan, nyonya setengah baya itu.... Swan Bun-sian telah berseru dengan hati terperanjat dan nada sesenggukan menahan isak tangisnya.

   "Apa maksud kau orang tua dengan ucapan tersebut? Ataukah Goan-hou benar-benar sudah disekap seseorang?"

   "Sekilas pandangan, selama puluhan tahun belakangan ini dunia persilatan memang tampaknya terang dan aman. Aaai......! Padahal dalam kenyataan telah terjadi pergolakan yang maha dahsyat. Suasana perebutan kekuasaan dan pengaruh selalu melanda dalam dunia persilatan ini. Yaa, anak Hou memiliki ilmu silat yang sangat lihay, itulah sasaran yang terutama dari kawanan jago yang ingin mengangkat diri menjadi seorang pemimpin. Padahal semenjak kecil anak Hou sudah dididik untuk berbakti kepada orang tua, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Lolap yakin dia tak akan berani menghianati pelajaran keluarga yang pernah diterimanya. Siapa tahu lantaran pembangkangnya ini maka dia disekap orang selama belasan tahun? Aaaaai.....! Pada hakekatnya apapun memang bisa terjadi dalam dunia ini".

   "Kalau..... Kalau dia disekap orang, lantas dia....... Dia.... Telah disekap dimana?"

   Swan Bun-sian berpekik dengan nada yang memilukan hati. Selama ini Coa Wi Wi hanya mengikuti jalannya pembicaraan dengan mulut membungkam, tapi sekarang, ia tak dapat mengendalikan pergolakan hatinya lagi, cepat dia menyela.

   "Mama! Engkau harus berusaha untuk mententeramkan hatimu. Perkataan kongkong tak bakal salah. Ilmu silat ayah memang lihay sekali, selembar jiwanya tak mungkin akan terancam marabahaya!"

   Coa Cong-gi yang berangasan tak dapat menerima perkataan itu, dia lantas membantah.

   "Apa gunanya mententeramkan hati dan berlagak tenang? Kalau ayah kita memang betul- betul disekap orang, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari jejaknya sampai ketemu Hoa Tayhiap yang berdiam dibukit Im-tiong-San adalah seorang tokoh silat yang bijaksana dan suka menolong kaum yang lemah. Dia adalah seorang pendekar besar yang disanjung dan dihormati setiap umat persilatan. Asal kita bersekongkol dengan keluarga Hoa, apa susahnya menemukan kembali jejak ayah kita?"

   Teka teki yang menyelimuti soal mati hidup suaminya ini untuk sesaat membuat Swan Bun-siao kehilangan akal dan pikirannya, dia cuma bisa memandang sekejap ke arah putranya tanpa mengucapkan sepatah jua.

   "Ehmm... Apa yang dikatakan Siau Gi-ji memang benar,"

   Goan-cin Taysu membenarkan sambil mengangguk.

   "Menurut pengamatan lolap secara diam-diam, memang kenyataan membuktikan bahwa dewasa ini hanya keluarga Hoa dari bukit Im-tiong-san yang tetap menjaga keadilan dan kebenaran dengan sebaik-baiknya. Hanya merekalah yang tetap bersikap bijaksana dan mulia kepada setiap orang. Aaai.....! Tahukah kalian semua, heboh tentang munculnya tokoh-tokoh silat dipelbagai tempat sebenarnya bertujuan satu yakni memusuhi keluarga Hoa mereka? Karena itu, perduli tindakan kita ini demi mencari tahu jejak anak Hou yang lenyap, ataukah demi melindungi pelajaran nenek moyang kita yang menyuruh kita mengutamakan keadilan serta kebenaran, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk bekerja sama dengan keluarga Hoa, sebab hanya tindakan inilah merupakan tindakan yang paling tepat untuk mengatasi masalah tersebut"

   Berserilah air muka Coa Cong-gi setelah Goan cing Taysu menyetujui usulnya itu.

   "Yaa, memang begitulah!"

   Serunya pula.

   "Sekalipun ananda belum pernah bertemu muka dengan Hoa Thianhong tayhap, tapi ji-kongcu dari Hoa Tayhiap Hoa In-liong adalah sahabat karibku. Bukan saja romantis, jadi orangpun gagah perkasa dan suka menolong kaum yang lemah. Dia pun berjiwa besar, periang dan berwatak terbuka, diantara kami Kim-leng-ngo-kongcu, tak seorangpun yang dapat menandingi kegagahannya".

   "Yang kau maksudkan sebagai Hoa-ji-kongcu itu apakah pemuda yang kena diculik pergi tadi?"

   Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Coa-wi-wi telah menukas.

   "Huuuh.....Semuanya ini adalah gara-gara kau!"

   Omel Coa Cong-gi setengah mendongkol.

   "Coba kalau kau tidak menghalangi diriku, belum tentu Hoa loji kena diculik orang!"

   "Eeee....eeeh....kok jadinya aku yang diomeli?"

   Seru Coa-wi-wi dengan dahi berkerut.

   "Kan ilmu silatnya yang tidak becus, kenapa aku yang kau salahkan?"

   "Apa kau bilang? Ilmu silatmu tak becus?"

   Coa Cong-gi melototkan matanya bulat- bulat.

   "Hmmm! Jangan kau anggap ilmu silatmu luar biasa sekali. Sekalipun ada tiga orang Coa Wi-wi, belum tentu bisa menandingi seorang Hoa In-liong!"

   

   Jilid 13

   "COA WI-WI segera mengernyitkan alis matanya lalu dengan bibir yang dicibirkan dia mengejek.

   "Hmmm....! Memang luar biasa.... memang luar biasa.... Akhirnya dia sendiri pun diculik orang. Hmmm.... sahabatmu memang hebat sekali!"

   "Kau.... kau.... semuanya ini adalah gara-gara ulahmu!"

   Coa Cong-gi semakin mendongkol sehingga ia berteriak-teriak keras.

   "Coba kalau bukan garagara kau sehingga perhatiannya bercabang, Hmm! Kiu-im Kaucu itu manusia macam apa? Dengan andalkan kepandaiannya tak nanti ia sanggup...."

   "Tak dapat memusatkan perhatian untuk menghadapi musuh sudah merupakan pantangan yang paling besar lagi seorang jago silat. Sekalipun ilmu sifatnya maha dahsyat, tapi kalau pantangan tersebutpun tidak diperhatikan, lalu apa gunanya?"

   Tukas Coa-wi-wi dengan suara yang tak kalah lantangnya.

   Coa Cong-gi jadi semakin mendongkol sehingga untuk sesaat ia tak mampu berkata- kata.

   Selang sejenak kemudian ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, akan tetapi ibunya Swan Bun-sian yang lagi murung dan kesal jadi jengkel.

   Semua rasa murungnya segera dilampiaskan keluar dengan membentak keras.

   "Jangan ribut terus! Apa sangkut pautnya antara tinggi rendahnya ilmu silat orang lain dengan diri kita?"

   Goan-cing Taysu segera tersenyum.

   "Anak Sian, kembali engkau keliru"

   Katanya dengan lembut.

   "Hoa In-liong benar-benar seorang pemuda yang luar biasa. Bukan saja gagah perkasa dan berjiwa besar. Wataknya juga jujur, disiplin dan bijaksana, dia merupakan seorang laki-laki yang berani berbuat, berani pula bertanggung jawab. Ditambah lagi otaknya memang cerdik dan pandai menghadapi segala perubahan dengan cekatan, justru dialah yang dikemudian hari akan memikul tanggung jawab untuk membasmi siuman dari muka bumi serta menegakkan keadilan dan kebenaran bagi dunia persilatan kita semua"

   Berbicara sampai disini, sinar matanya seperti sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah "Wiji". Coa Wi-wi segera merasa adanya satu ingatan melintas dalam benaknya, dia lantas berseru.

   "Kongkong, kalau engkaupun berani berkata demikian, bukankah itu berarti bahwa dia adalah seorang manusia yang betul-betul sempurna?"

   Goan-cing Taysu mengangguk.

   "Yaa, tentu saja ada juga kejelekan-kejelekan, cuma kejelekan yang dimilikinya terlampau kecil sehingga sama sekali tidak mempengaruhi wibawanya untuk memimpin dunia persilatan dikemudian hari. Bila dikemudian hari ada kesempatan, lolap harap engkau dapat bersahabat dengan lebih akrab lagi dengannya"

   Kontan Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya yang kecil.

   "Huuh! Siapa yang sudi bersahabat dengannya? Bila dikemudian hari ada kesempatan, justru anak Wi ingin menantang dia berkelahi. Ingin kubuktikan apakah ilmu silatnya benar-benar amat luar biasa atau tidak!"

   Goan-cing taysu tersenyum ia tidak menanggapi kata kata dari gadis itu lagi, sambil berpaling ke arah Swan Bun-sian, dia pun berkata lebih lanjut.

   "Anak Sian, bagaimana pendapatmu? Lolap rasa apa yang diucapkan Siau Gi-ji memang sangat tepat, baik untuk menyelidiki jejak dari anak Hou ataukah melaksanakan kewajiban sebagai seorang yang pernah belajar silat. Engkau harus banyak melakukan perjalanan didunia luar. Mengurung diri dalam rumah tak akan mendatangkan keuntungan serta manfaat apa-apa bagimu!"

   Swan Bun-sian tidak langsung menjawab, dia tampak termenung sejenak, kemudian baru sahutnya.

   "Pikiran dan perasaan anak Sian pada saat ini sedang kalut dan tidak tenang, aku tak bisa mengambil keputusan"

   "Haaa.... haa.... haa.... Kalau memang begitu, demikian saja"

   Kata Goan-cing Tay su setelah tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya.

   "Engkau berangkatlah ke barat dan temuilah Hoa Thian-hong serta ibunya. Hoa Thian-hong mempunyai kenalan yang tersebar diseantero jagad. Ini sangat membantu usahamu untuk mencari tahu jejak dari anak Hou. sedang lolap sendiri biarlah sementara waktu bersama anak Gi dan anak Wi pergi menolong nyawa Hoa In- liong"

   "Aaaah.... Tidak mau, tidak mau. Wi-ji ingin bersama ibu saja.... Wi-ji tak mau ikut Kongkong"

   Buru-buru Coa wi-wi berseru dengan nada amat gelisah.

   "Bukankah engkau hendak menantang Hoa In-liong untuk berduel....?"

   Goda Goan Cing Taysu sambil tersenyum.

   "Sekalipun aku pingin menantangnya untuk berduel, toh tidak musti dilakukan sekarang, lain kesempatan masih panjang"

   Sahut Coa Wi-wi.

   "Wi ji tak tega membiarkan mama pergi jauh seorang diri, biarlah wi-ji menemani dia orang tua!"

   Goan-cing Taysu segera mengangguk sambil memuji.

   "Ehmmm.... Sungguh tak kusangka kalau engkau sangat berbakti kepada ibumu, Nah! Kalau memang begitu, ikutlah ibumu pergi!"

   Setelah perundingan berakhir, sekalipun Swan Bun-sian tidak berkenan dengan keputusan itu, akan tetapi diapun tidak membantah lebih jauh....

   Selama ini Coa Cong-gi sendiri selalu menguatirkan keselamatan Hoa In- liong, ia jadi gelisah sekali.

   Dengan pelbagai cara serta perkataan ia mendesak ibunya agar cepat mengambil keputusan dibawah desakan putranya yang bertubi-tubi, akhirnya Swan Bun-sian kewalahan juga, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia mengangguk.

   Maka cucu dan kakek berempat pun melakukan perjalanan dan menuruni bukit Ciong- san tersebut.

   OOOOoooOOOO Dalam pada itu, Kiu-im kaucu yang berhasil dengan sergapannya segera mengempit tubuh Hoa In-liong kabur ke dalam hutan.

   Dari situ dengan tergopoh-gopoh dia pimpin semua anak buahnya kabur kebukit Ciong-san sebelah barat dan menuju ketepi sungai Yang-cu- kang.

   Ditepi sungai berdirilah sebuah bangunan besar yang megah.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bukan saja gedung itu tersusunsusun memanjang ke dalam, bahkan bangunan tersebut tampak masih baru, seperti selesai dibangun belum lama berselang.

   Tak usah diragukan lagi disinilah letak kantor cabang kota Kim-leng dari perkumpulan Kiu-imkauw.

   Rombongan jago itu setibanya di tepi sungai segera memasuki gedung baru itu.

   Sejak jalan darahnya tertotok tadi selama ini Hoa In-liong berada dalam keadaan tak sadar.

   Tentu saja terhadap segala yang terjadi diapun tidak tahu.

   Ketika mendusin kembali dari pingsannya, ia baru temukan kalau dirinya berada dalam sebuah ruangan yang besar, megah, indah dan sangat mewah.

   Lampu keraton bergantungan disana-sini.

   Dinding yang berwarna kuning keemas- emasan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.

   Dengan senyuman dikulum Kiu-im kaucu duduk diatas kursi kebesarannya yang dilapisi kulit harimau.

   Yu-beng-tiancu Bwee Su- yok yang berwajah kaku dan sedingin salju berdiri dibelakangnya, sementara Tiancu ruang penyiksaan dan para Tongcu lainnya berjajar dikedua belah sisinya, suasananya waktu itu amat serius dan penuh dengan kewibawaan.

   Diam-diam Hoa In-liong mengerahkan tenaga dalamnya mengelilingi seluruh badan, ia merasa semua jalan darahnya sudah bebas semua, dan lagi sekujur badannya tidak menunjukkan tandatanda yang tak beres.

   Kenyataan ini membuat perasaannya jadi lebih tenang, otaknya lantas berputar keras untuk mencari jalan keluar dalam masalah tersebut.

   Sementara dia masih termenung, tiba-tiba terdengar olehnya Kiu-im Kaucu sedang berkata dengan suara lembut.

   "Hoa siau-hiap, dengan suatu sergapan yang tidak terdugalah aku baru berhasil membekuk diri mu, tentunya engkau tidak menyalahkan perbuatanku yang terlampau rendah dan tak tahu malu bukan?"

   "Ooooh.... Jadi engkau juga tahu toh kalau main sergap adalah suatu perbuatan yang rendah dan memalukan?"

   Ejek Hoa In-liong dengan dahi berkerut. Bwee Su-yok yang selama ini membungkam, tiba-tiba mendengus dingin.

   "Hmm....! Sebagai musuh yang sedang berhadapan muka, sudah jamak atau kalau masing-masing pihak berusaha adu tenaga maupun kecerdikan. Bila engkau tidak puas, ayolah! Kita beradu kepandaian lagi disini juga"

   Mendengar ucapan tersebut, berkobarlah hawa amarah Hoa In-liong tapi ketika sinar matanya saling membentur dengan sepasang biji mata Bwee Su-yok yang jeli tapi dingin itu, tiba-tiba saja hawa amarahnya sirna dengan begitu saja, malah diapun berpikir lebih jauh.

   "Sebagai seorang lelaki sejati aku harus pandai menyesuaikan diri. Bila aku bersikeras mengumbar emosi saja, sudah pasti kerugianlah yang kuperoleh, aku harus mencari akal untuk berusaha meloloskan diri dari tempat ini"

   Pemuda ini jadi orang bersikap terbuka dan tidak terlampau terikat oleh segala adat istiadat yang tetek bengek, apalagi setiap kali berjumpa dengan ancaman bahaya maut, dia selalu tenang dan menggunakan otaknya untuk menghadapi keadaan.

   Tapi sekarang, setelah ia tertawan, otomatis jalan pemikirannya juga ikut mengalami perubahan itulah yang dinamakan orang.

   Siapa yang tahu gelagat dan keadaan, dialah seorang manusia yang cerdas.

   Dan rasanya Hoa In-liong memang cocok sekali dengan keadaan tersebut.

   Padahal, berbicara yang sesungguhnya, selain alasan-alasan diatas masih ada lagi sebab musabab lain yang rasanya lebih cocok, yakni kecantikan Bwee Su-yok.

   Tampaknya kecantikan wajah si nona itu sudah terlampau melekat dalam hatinya membuat pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini tak mampu mengutarakan kemarahannya dihadapan gadis cantik itu, meski amarahnya sudah mencapai pada puncaknya.

   Ketika pemuda itu teringat kembali tentang kegagahannya sebagai seorang pria, sepasang matanya yang tajam segera memandang wajah Bwee Su-yok lekat-lekat, sedikitpun tidak nampak berkedip.

   Bagi pandangan orang lain, maka sorot mata tersebut dapat berarti dua perasaan.

   Yang satu adalah perasaan tenang, hambar, seakan-akan perasaan hatinya setenang air, terhadap suasana yang serta menegangkan disekelilingnya sama sekali tidak terpengaruh.

   Sedang perasaan kedua adalah suatu perasaan marah yang meluap, orang akan menganggap dia sedang marah dan tersinggung oleh perkataan Bwee Su-yok, tapi lantaran ia sudah tertawan, maka rasa gusarnya tak berani diutarakaan keluar.

   Sebaliknya bagi pandangan Bwee Su-yok, sorot mata semacam itu justru mendatangkan perasaan yang lain daripada yang lain dengan rekan-rekannya.

   Walaupun wajah Bwee Su-yok dingin dan kaku tapi sorot mata dari Hoa In-liong itu justru merupakan kobaran api yang membara.

   Ketika mereka berdua saling berpandangan tanpa berkedip, maka lama kelamaan Bwee Su-yok merasakan suatu perasaan yang sangat aneh.

   Dia merasa tubuhnya bergetar keras, jantungnya berdebar lebih keras dari keadaan semula.

   Suatu perasaan yang belum pernah dialaminya selama ini dengan cepat menyelimuti seluruh benaknya dan tanpa diketahui sebabnya tiba-tiba saja mukanya jadi merah.

   Tapi hanya sejenak, dia segera mendengus dan melengos kesamping lain.

   Setelah merah wajahnya kemudian mendengus pula, apa alasannya demikian? Tentu saja kecuali mereka berdua, orang lain tidak akan memahaminya.

   Dalam pada itu, Kiu-im kaucu telah berkata lagi sambil tertawa seram.

   "Hoa siau- hiap, kalau berbicara tentang soal tingkat kedudukan, perbuatanku dengan cara menyergap menotok jalan darahmu tadi memang kurang pantas dan sedikit menurunkan gengsi sendiri. Tapi akupun mempunyai kesulitan yang memaksa diriku harus berbuat demikian. Coba bayangkan saja betapa sayangnya aku terhadap ibumu, padahal tujuanku turun gunung kali ini adalah untuk merebut tempat kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan. Selama ibumu masih berada di bukit Im-tiong-san bagaimana mungkin aku dapat melanjutkan rencanaku untuk memusuhi keluarga Hoa kalian?"

   Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang cerdik.

   Dari pembicaraan Kiu-im kaucu yang bolak balik tak menentu itu, dia segera mengetahui bahwa pihak musuhnya mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, maka diapun mengerling sekejap ke arah perempuan tua yang angker itu seraya berseru.

   "Huuuh! Kalau bicara saja enak kedengarannya, padahal siapa tahu bagaimanakah kesungguhannya? Benarkah kaucu benar-benar tidak bermaksud sesuatu?"

   Kiu-im kaucu tidak tersinggung oleh perkataan tersebut, kembali ujarnya.

   "Bila kubicarakan secara blak-blakan, mungkin saja engkau tak akan mempercayainya, tahukah engkau bahwa didalam peristiwa pembunuhan berdarah atas diri Suma tayhiap beserta istrinya bukan saja aku ikut mengambil bagian. Pihak perkumpulan Hian-beng-kauw juga ikut ambil bagian bahkan Ku Ing-ing, si Giok-teng hujin itupun turut ambil bagian. Jika engkau hanya menaruh rasa benci dan dendam terhadap aku seorang, tidakkah kau merasa bahwa tindakanmu tersebut bukan saja tidak bijaksana bahkan merupakan suatu keputusan semena-mena yang tidak adil?"

   Diam-diam Hoa In-Iiong merasa terperanjat sekali sehabis mendengar pekataan itu, pikirnya.

   "Dengan begitu terus terang dia mengemukakan latar belakang peristiwa berdarah itu kepadaku, sudah pasti ia memang mempunyai rencana untuk membinasakan diriku"

   Meskipun dalam hati merasa kaget, diluaran dia tetap bersikap tenang, setelah mengerling sekejap katanya kemudian.

   "Dewasa ini Hoa In-liong sudah menjadi tawananmu, mau bunuh mau jagal terserah pada diri kaucu, buat apa kau ucapkan kata-kata seperti itu....?"

   "Aku hanya suruh engkau percaya saja"

   Sahut Kiu-im kaucu sambil tersenyum.

   "Aku tidak bermaksud apa-apa terhadap diri siauhiap"

   "Hoa In-liong bukan anak kecil yang berusia tiga tahun, jangan harap bujuk rayu dan kata-kata manismu akan mendatangkan hasil bagimu"

   Kata Hoa In-liong kemudian dengan tenang.

   "Maka kuanjurkan kepadamu lebih baik berbicaralah terus terang bila ingin mengutarakan sesuatu, asal aku Hoa In-liong mampu untuk menjawab, pertanyaan itu tentu akan kujawab, jika tak sanggup kujawab, sekalipun kau rantai badanku dengan borgol sebesar apapun jangan harap bisa memaksa aku untuk mengutarakan sepatah katapun juga"

   Seng-Sin-sam yang kerdil dan menjabat sebagai Tongcu penerimaan anggota baru itu tiba-tiba menyela sambil tertawa seram.

   "Heeehh.... heehh.... hee.... Terus terang kuberitahukan kepadamu, pada hakekatnya kamipun tiada pertanyaan yang hendak diajukan kepadamu. Aku menjabat sebagai ketua ruang penerimaan anggota baru. Andaikata engkau berhasrat masuk menjadi anggota perkumpulan kami, asal aku mengutarakan beberapa patah kata yang indah dihadapan kaucu kami, tanggung engkau pati akan ke terima menjadi anggota kami"

   Berbicara menurut keadaan pada umumnya yang berlaku dalam dunia persilatan, peraturan dari tiap perguruan ataupun partai yang ada didunia ini rata-rata ketat dan disiplin.

   Biasanya bilamana seorang kaucu hadir dalam suatu ruangan, maka sebagai anak buah tak seorangpun berani menyela atau menimbrung pembicaraan yang berlangsung sebelum diminta oleh ketuanya.

   Tapi sekarang, bukan saja Tongcu she-Seng itu berani menyela suatu pembicaraan, bahkan berani pula mengemukaan sebuah usul, sementara Kiu-im kaucu sendiri sedikitpun tidak menunjukkan sikap kurang senang hati, dari sini dapatlah diketahui betapa terhormatnya kedudukan Seng Sin-sam dalam perkumpulan Kiu-im-kauw.

   Hoa In-liong yang binal tapi cerdik segera memutar otaknya, selang sesaat kemudian ia sudah mendapat akal bagus, maka pemuda itupun tertawa nyaring.

   "Haa.... haa.... haa.... Begitupun ada baiknya, setelah menjadi anggota Kiu-im-kauw, bukan saja aku Hoa Loji dapat menciptakan suatu pekerjaan yang besar, akupun setiap harinya bisa berkumpul dengan nona Bwee.... Haa.... haa.... haa.... Ada gadis cantik dalam rangkulan, masa depanku juga cemerlang, bukan saja aku Hoa Loji akan hidup penuh kebahagian, nama dan kedudukanku juga termashur.... Tentu saja ide ini bagus sekali!"

   Merah padam wajah Bwee Su-yok karena jengahb cepat dia menghardik dengan nyaring.

   "Hey, apa yang kau ocehkan terus?"

   "Hoa siauhiap!"

   Kiu-im kaucu yang selama ini membungkam tiba-tiba berkata "Andaikata engkau benar-benar berhasrat untuk membantu diriku, tentu saja dengan senang hati anak Yok akan kujodohkan kepadamu!"

   Bwee Su-yok jadi sangat gelisah, cepat dia menyela.

   "Suhu.... Orang she-Hoa ini usil amat mulutnya, ia jahat dan tak bisa dipercaya. Anak Yok.... anak Yok...."

   Tapi sebelum gadis cantik itu menyelesaikan kata-katanya, Kiu-im Kaucu telah mengulapkan tangannya seraya berkata.

   "Gurumu sudah mempunyai rencana yang sangat bagus, engkau tak usah menimbrung lagi!"

   "Huuuh.... apa rencanamu itu?"

   Jengek Hoa In-liong cepat dengan wajah berubah serius.

   "Palingpaling juga menyelidiki jejak serta tindak tanduk orang tua dari aku orang she-Hoa atau menahan aku orang she-Hoa sebagai sandera. Hmm....! Mengulangi kembali siasat lama yang pernah dipraktekkan dua puluh tahun berselang, sayang rencanamu itu sama sekali tak berguna bagi diriku"

   Diam-diam Kiu-im kaucu merasa terkejut setelah mendengar perkataan itu, dengan dahi berkerut katanya.

   "Benarkan sama sekali tak berguna terhadap dirimu?"

   Hoa In-liong mencibirkan bibirnya.

   "Huuh....! Aku orang she-Hoa tak bakal terpikat oleh cantiknya wajah perempuan, tak akan bertekuk lutut oleh kehebatan ilmu silat orang lain. Sekalipun kau mempunyai beribu macam akal muslihat, berjuta macam bentuk siksaan, jangan harap kau dapat memaksa aku orang she-Hoa tunduk pada perintahmu"

   Betapa mendongkolnya Bwee Su-yok sehabis mendengar perkataan itu, dengan ketus dia lantas menimbrung.

   "Hmmm.... ! Bukankah tadi engkau selalu berteriak bahwa engkau lebih suka terbunuh daripada tertawan? Sekarang toh engkau sudah menjadi tawananku, kenapa tidak berusaha untuk bunuh diri membereskan nyawamu sendiri?"

   "Nona Bwe, apakah diantara kita terikat dendam sakit hati?"

   Tiba-tiba Hoa In- liong berkata dengan lembut.

   Sinar matanya yang terang bagaikan bintang fajar itu seperti senyum, tak senyum memandang wajah gadis itu lekat-lekat.

   Ketika sorot mata Bwee Su-yok saling bersentuhan kembali dengan pandangan matanya, sekali lagi gadis itu merasakan jantungnya berdebar keras.

   Untuk sesaat, dia tertegun, tapi selanjutnya jawabnya dengan nada dingin.

   "Yaa, diantara kita ada ikatan dendam, suatu ikatan dendam yang lebih dalam dari samudra, kenapa?"

   Kembali Hoa In-liong tertawa.

   "Sekalipun antara nona Bwe dengan aku ada ikatan dendam, caramu memanaskan hatiku tak bakal mendatangkan apa-apa. Ketahuilah aku Hoa loji jauh berbeda dengan orang lain. Tahukah engkau apa yang sedang kupikirkan sekarang?"

   Seraya berkata kepalanya sengaja dimiringkan kesamping berlagak seperti seorang bocah yang pura-pura sok rahasia.

   Gayanya yang mengejek ini kontan saja menggemaskan Bwee Su-yok hingga membuat giginya saling bergermerutukan menahan emosi.

   Kalau bisa dia ingin menggigit pemuda itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya.

   Sambil menggigit bibir, dia lantas berseru dengan gemas.

   "Aku tak ambil perduli apa yang kau pikirkan pokoknya nonamu cuma tahu bahwa engkau harus mampus!"

   Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Haaa.... haa.... haa.... Aku orang she Hoa mana boleh mati. Kalau aku sampai mati lebih duluan, bukankah engkau akan...."

   Sebetulnya dia hendak mengatakan.

   "Bukankah engkau akan menjadi seorang janda kembang?"

   Kata-kata itupun mengiringi ucapan Kiu-im kaucu yang hendak menjodohkan anak Yok-nya kepada dia.

   Tapi bagaimanapun juga dia adalah keturunan seorang pemuda persilatan yang punya nama besar ketika ucapan tersebut sudah berada diujuag bibir, tiba-tiba dia merasa bahwa perkataan itu terlalu tengik dan kurang sopan.

   Lantaran ia kuatir kalau ucapan tersebut sampai menyinggung perasaan halus Bwee Su-yok, maka tiba-tiba saja dia membungkam dan menelan kembali kata-kata tersebut ke dalam perutnya.

   Perlu diketahui disini, walaupun Hoa In-liong termasuk seorang pemuda yang romantis, sekalipun dia binal dan nakal, tapi bukan berarti cabul atau tak tahu sopan santun.

   Apalagi kecantikan Bwee Su-yok dan keagungan gadis itu belum pernah dijumpai seumur hidup.

   Sekalipun dara itu bersikap angkuh dan dingin, lagipula mereka berhadapan sebagai musuh, tapi bila Hoa In-liong disuruh benar-benar melukai perasaan Bwee Su-yok, dengan watak yang dimiliki pemuda itu, belum tentu dia bersedia untuk melakukannya.

   Kalau toh diapun begitu, tentu saja keadaan tersebut berlaku juga bagi diri Bwee Su-yok.

   Orang bilang gadis yang cantik selalu menjaga gengsi.

   Gengsi ini mencakup pula terhadap orangorang yang melakukan hubungan dengannya.

   Keadaan tersebut tak ubahnya ibarat seorang hartawan yang kaya raya tak sudi berhubungan dengan kaum pengemis.

   Seorang gadis yang betul-betul cantik, selain dia selalu menjaga gengsi, disamping itu diapun selalu berharap setiap orang yang berhubungan dengannya memiliki kecantikan atau keayuan yang setaraf dengan kecantikannya, terutama dengan lawan jenisnya, hal ini akan tampak semakin kentara.

   Kebetulan sekali Hoa In-liong terhitung seorang pemuda yang gagah dan tampan, orangnya juga amat romantis.

   Berbicara soal kegantengan maupun karakternya boleh dibilang setingkat lebih tinggi dari orang lain atau dengan perkataan lain pemuda tersebut benar-benar merupakan ssorang pemuda yang tampan.

   Bwee Su-yok yang terhitung pula sebagai seorang gadis cantik.

   Bila dikatakan ia tidak tertarik oleh pemuda setampan dan segagah itu, maka hal tersebut merupakan kata-kata yang bohong dan tak bisa dipercaya.

   Ia tertarik juga merasakan pergolakan yang hebat, tapi sayang oleh karena pendidikan yang keliru membuat terciptanya suatu watak membenci kepada laki-laki tampan dalam hati sidara ayu ini ditambah lagi Hoa In-liong memang binal sukar diurus, yang kebetulan sekali merupakan watak yang paling dibenci olehnya dihari-hari biasa, apalagi Hoa In-liong menunjukkan sikap hambar dan seolah-olah sama sekali tidak tertarik oleh kecantikannya, kesemuanya ini membuat nona itu semakin berang hingga berulang kali mengatakan hendak membunuh dirinya dan bersumpah tak mau hidup berdampingan dengannya.

   Padahal bila kita bahas keadaan tersebut dengan lebih mendetail, maka dapatlah kita ketahui bahwa tindakan tersebut disebabkan karena perasaan tak puas si nona itu terhadap lawannya, cuma gadis itu sendiripun tidak menyadari akan keadaan tersebut.

   Sementara itu, sorot mata Bwee Su-yok sudah memancarkan sinar dingin yang menggidikkan hati.

   Kalau dilihat dari gayanya jelas gadis itu sudah siap akan melancarkan serangan.

   Tapi lantaran perkataan dari Hoa In-liong tiba-tiba berhenti ditengah jalan, dimana tindakan semacam itu justru sama sekali berada diluar dugaannya, maka gadis itu jadi tertegun untuk sesaat lamanya.

   "Ayoh teruskan kata-katamu itu!"

   Bentaknya kemudian "Kenapa tidak kau lanjutkan?"

   "Aaaah.... Lebih baik tak usah kulanjutkan lagi!"

   Bwee Su-yok jadi makin mendongkol, teriaknya dengan nyaring.

   "Tidak! Bagaimanapun juga engkau harus mengatakan keluar, kalau tidak kau lanjutkan kata-katamu itu, lidahmu akan segera kupotong sampai kutung"

   "Baiklah!"

   Ucap Hoa In-liong kemudian sambil mengangkat bahunya "Aku akan mengatakannya keluar. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri dari sini, percayakah kau?"

   Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Bwee Su-yok kontan jadi terbelalak lebar, sedang kawanan jago lainnya tak dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka tertawa terbahak-bahak.

   Tak aneh kalau mereka tertawa geli, bayangkan saja bukannya ia sudah kena ditawan orang, bahkan berada pula dilingkungan musuh musuhnya yang tangguh tapi pemuda itu telah mengucapkan kata-kata yang tidak bersemangat, selain itu diapun malah bertanya apakah orang mau percaya dengan perkataan itu, bayangkan saja siapa yang tidak geli dibuatnya.

   Bwee Su-yok sendiri pun diam-diam berpikir dihati.

   "Manusia macam apaan orang ini? Kalau dilihat dari wajahnya yang tampan dan tindak tanduknya yang gagah perkasa, sudah pasti dia terhitung seorang laki-laki yang tinggi hati. Tapi mengapa mengucapkan kata-kata macam perkataan bocah cilik? Apakah.... Apakah dia merasa yakin sekali kalau dirinya memiliki kemampuan untuk meloloskan diri?"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pada itu, Hoa In-liong duduk dikursi tepat dihadapannya dengan senyuman dikulum, sikapnya amat tenang, tidak tampak sikap malu, atau menyesal, juga tidak menunjukkan tandatanda kalau ia merasa amat yakin.

   Sikapnya yang begitu santai, begitu kalemnya mengingatkan orang bahwa dia seakan-akan berada dilingkungan sahabat-sahabat sendiri, kehambaran dan ketenangannya cukup membuat orang jadi tercengang.

   Haruslah diketahui, keketusan dan kehambaran sikap Bwee Su-yok jauh berbeda dengan manusia biasa.

   Seringkali manusia dengan pendidikan yang kaku dan dingin semacam ini memiliki pandangan yang lebih agresif terhadap segala macam bentuk rasa sayang maupun rasa benci.

   Waktu itu dia masih belum menemukan rasa cintanya terhadap Hoa In-Liong, maka ia merasa setiap gerak-gerik dari si anak muda itu mendatangkan rasa benci baginya.

   Menurut jalan pikirannya, andaikata manusia semacam ini dibiarkan lolos dari cengkeramannya, maka kejadian ini akan dianggapnya sebagai suatu penghinaan yang luar biasa besarnya, otomatis tak bisa disalahkan pula bila ia mempunyai cara berpikir yang bertolak belakang dengan orang biasa.

   Seng Sin-sam, tongcu bagian penerimaan anggota baru yang kerdil pada hakekatnya adalah seorang manusia yang licik dan banyak tipu muslihatnya.

   Sambil tertawa tergelak tiada hentinya, dengan mata yang tajam dia mengawasi gerak-gerik Hoa In-liong, Kemudian ia berseru dengan nada dingin.

   "Lapor kaucu, aku lihat Hoa In-liong adalah seorang manusia kurcaci yang tak berguna. Ia tidak memiliki kegagahan dan kejantanan seperti Hoa Thian-hong. Menurut pendapat hamba, lebih baik kita tak usah membuang banyak tenaga dan pikir-an lagi"

   Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua gelak tertawa terhenti dan sorot mata semua orang pun sama-sama dialihkan keatas wajah Hoa In-liong.

   Si anak muda itu masih tetap duduk dengan sennyuman dikulum, Tubuhnya yang duduk sekokoh batu karang tampak begitu tenang dan kalemnya, seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh ancaman yang membahayakan jiwanya itu.

   Huan Tong Si Tongcu bagian propaganda segera menyela dari samping ruangan.

   "Hamba juga mempunyai pendapat demikian, asal yang kecil kita jagal, tentu si kura-kura tua terpaksa harus menongolkan diri. Bagaimanapun jua kita toh hendak memimpin dunia persilatan dan bersikap musuhan dengan Hoa Thian-hong, nanti juga bentrok sekarang juga bentrok, kenapa tidak kita jagal saja bangsat cilik ini baru kemudian melakukan pertarungan besar dengan sepuas-puasnya"

   Orang ini sangat suka mencari nama dan pahala.

   Dia paling tidak percaya kalau dikatakan Hoa Thian-hong itu lihay, maka dalam penbicaraanpun bukan saja sama sekali tidak menunjukkan perasaan jeri, bahkan penuh dengan semangat yang menyala-nyala.

   Hoa In-liong tidak biasa dengan gayanya yang sok itu, cepat dia menimbrung sambil tertawa tergelak.

   "Haaa.... haa.... haaa.... Ayohlah kalau mau turun tangan! Aku orang she-Hoa kan duri dalam mata bagi kalian semua, kenapa tidak segera turun tangan?"

   Lie Kiu-it, tiamcu dari ruang siksa menyahut dengan suara yang dingin dan tajam.

   "Cepat atau lambat kita pasti akan turun tangan. Asal kaucu ada perintah, pertama-tama akan kusuruh kau cicipi bagaimana rasanya kalau sekujur badan diselomoti dengan batang hio yang menyala!"

   Lie Kiu-it yang menjabat sebagai ketua istana ruang penyiksaan ini memang memiliki tampang "kriminal".

   Bukan saja kepalanya botak, tubuhnya tinggi besar, biji matanya yang putih lebih banyak daripada yang hitam.

   Malahan mata itu semu merah menyala.

   Tampang semacam ini tak bisa dibatalkan lagi kalau dikatakan sebagai tampang seorang manusia yang buas dan berjiwa kejam.

   Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong lantas berpikir didalam hatinya.

   "Orang ini adalah seorang penjagal yang melanjutkan hidup dengan kerjanya menjagal manusia, tampang semacam ini persis dengan tampang pembantu Gwa-kong ku yang kejam itu. Biasanya manusia seperti itu bukan saja buas, juga tidak berperi kemanusian. Manusia macam begini tak dapat dibiarkan hidup lebih jauh. Bila sampai bertempur nanti, akan kucabut lebih dahulu se-lembar jiwanya"

   Kek Thian-tok yang menjabat sebagai Tongcu bagian tata cara dan disiplin perkumpulan merupakan anggota Kiu-im-kauw yang paling tua, diapun paling paham dengan jalan pemikiran kaucunya.

   Ketika pendapat mulai diutarakan simpang siur, tiba-tiba dia melangkah keluar dari rombongan dan memberi hormat kepada kaucunya seraya berkata.

   "Hamba mengetahui betapa terkenangnya kaucu terhadap sahabat-sahabat lama, terutama kesan yang begitu mendalam terhadap sanak keluarganya Hoa In-liong. Sayang bocah she Hoa ini begitu tak tahu diri dan menganggap dirinya sebagai sok jagoan hingga bersikap kurang sopan kepada kaucu. Menurut hamba, orang ini terlampu binal dan aneh. Rasanya untuk menundukkan perasaannya dengan mengenang kembali kesan dan hubungan persahabatan dimasa lampau, hal ini sukar untuk terpenuhi dengan mudah!"

   Selama orang lain mengajukan usul dan pendapatnya yang beraneka ragam, Kiu-im kaucu selalu membungkam dalam seribu bahasa tanpa memberi komentar apa-apa, ini menunjukkan bahwa jalan pemikiran mereka tidak sesuai dengan jalan pemikirannya.

   Tapi setelah Kek Thian-tok yang menjadi Tong cu bagian tata cara dan disiplin perkumpulan ini mengutarakan kata-katanya, pelan-pelan diapun mengangguk.

   Meskipun telah mengangguk, tapi mulutnya tetap membungkam, sementara otaknya masih berputar memikirkan sesuatu.

   Haruslah diketahui, Kiu-im kaucu adalah seorang manusia yang cerdik dan banyak tipu muslihatnya, sekalipun wataknya agak keras pada hakekatnya dia adalah seorang manusia yang buas, ganas dan berbahaya.

   Dimasa lampau, dia pernah menaruh kesan baik atas diri Pek Kun-gi sebagai muridnya, meskipun pada akhirnya keinginan hatinya itu tak sampai keturutan, tapi bayangan dari Pek-Kun-gi masih selalu melekat dalam-dalam dihatinya.

   Apalagi dimasa lalu dia mempunyai suatu cita-cita yang lain, yakni bila Pek Kun- gi dapat ia terima sebagai muridnya, otomatis Hoa Thian-hong akan tertarik juga untuk menjadi anggota Kiu-imkauw.

   Asal orang-she-Hoa itu sudah tunduk dibawah perintahnya, dengan gampangnya pula tahta pemimpin dunia persilatan akan terjatuh ketangannya.

   Meskipun kejadian itu sudah lewat banyak tahun, tapi sampai sekarang ambisinya itu belum pernah padam, tentu saja dalam gerakan turun gunungnya kali ini juga diselilingi dengan maksud-maksud tertentu.

   Apa mau dikata ketika baru saja terjun ke dalam dunia persilatan, dia telah bertemu lebih dulu dengan putranya Pek Kun-gi.

   Sebagaimana diketahui Hoa In-liong mempunyai wajah yang mirip dengan ayah ibunya, maka dipakainya siasat yang bersifat lembut untuk menggaet perasaan simpatik dihati anak muda itu.

   Pikirnya asal Hoa In-liong bisa ditarik kesan baiknya sehingga antara pihaknya dengan keluarga Hoa Thian-hong dapat terjalin hubungan, maka cita-citanya untuk menjagoi dunia persilatan tak akan terlampau sulit untuk dicapai.

   Maka bila diteliti lebih mendalam, boleh dibilang ia memang sedarg mengulangi kembali sia-sat lamanya.

   Tentu saja dibalik kesemuanya itu terdapat suatu alasan yang amat sensitif sifatnya, yaitu Kiu-im kaucu menaruh rasa jeri dan ngeri terhadap Hoa Thian-hong, ayahnya Hoa In-liong.

   Tegasnya Kiu-im kaucu sampai sekarang masih tak dapat melupakan dendam sakit hatinya dimasa lampau, terutama keberhasilan Hoa Thian-hong memimpin dunia persilatan dan menghancurkan ambisinya untuk menguasai seluruh jagad.

   Sakit hati semacam ini tentu saja tak dapat dia lupakan untuk selamanya.

   Betapa besarnya rasa dendam dan sakit hati Kiu-im kaucu terhadap diri Hoa Thian- hong dapat terlihat jelas misalnya saja dalam pembunuhan terhadap Suma Tiang-cing beserta istrinya Kwa Gi-hun dan tindakannya menciptakan Bwee Su-yok yang dingin dan kaku.

   Boleh dibilang kesemuanya itu dilakukan khusus untuk ditujukan buat keluarga Hoa.

   Sekalipun demikian, Kiu-im kaucu termasuk juga seseorang yang lebih memperhatikan tercapainya tujuan daripada memikirkan cara pelaksanaannya.

   Ia merasa apalagi bisa menarik kesan baiknya Hoa In-liong sehingga antara pihaknya dengan pihak Hoa Thian-hong terjalin hubungan baik dan cita-citanya dapat tercapai tanpa harus terjadi kontak senjata, bukankah cara tersebut jauh lebih baik? Walaupun dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, namun daripada itu diapun merasa tak mempunyai keyakinan untuk menangkan musuhnya maka kalau bisa dia berusaha ingin mencapai tujuan dengan cara yang halus dan baik-baik.

   Sayang sekali perempuan tua itu sudah salah menafsirkan diri Hoa In-liong.

   Sekilas pandangan pemuda ini memang tampaknya acuh tak acuh dan tidak begitu menaruh perhatian terhadap setiap persoalan.

   Padahal justru dia merupakan seorang berotak encer, ditambah lagi kecerdikannya wataknya yang terbuka dan tidak terikat adat istiadat yang tetek bengek, serta pandai memutar kemudi mengikuti hembusan angin, kesemuanya itu membuat orang jadi sukar untuk meraba maksud tujuan serta jalan pemikiran yang sebenarnya.

   Karena persoalan ini Kiu-im kaucu pernah merasakan kesulitan, bahkan nafsu membunuhnya pernah menyelimuti pula benaknya, terutama sewaktu berada dibukit Ciong-san, ia pernah dibuat marah oleh persoalan itu.

   Sebagai seorang yang berhati kaku, dia enggan untuk merubah cara berpikirnya, tapi sekarang setelah diberi petunjuk oleh Kek Thian-tok, dan lagi apa yang diucapkan juga begitu luwes tanpa menyinggung gengsinya, maka setelak termenung sebentar dia alihkan pandangannya kewajah orang itu.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   Tanyanya kemudian.

   "Menurut pendapat hamba lebih baik untuk sementara waktu kita sekap saja pemuda ini. Sementara kabar tentang penangkapan ini kita siarkan luas diluaran. Coba kita lihat saja bagaimanakah reaksi dari ayah ibunya, selain itu kitapun mengirim kabar kepada Hian-beng kaucu agar segera datang ke suatu tempat yang kita janjikan untuk bersama sama merundingkan rencana besar kita selanjutnya dalam menghadapi Hoa Thian-hong. Bagaimanapun juga kita toh sudah keluar gunung, cepat atau lambat akhirnya kita pasti akan melangsungkan suatu pertarungan habis-habisan melawan Hoa Thian-hong dan konco- konconya. Maka menurut pendapat hamba, selama Hoa In-liong ini masih bisa dipakai kita pakai saja, tapi kalau sudah tak dapat kita pakai lagi, sampai waktunya kita lenyapkan saja bocah kunyuk ini dari muka bumi, urusan kan menjadi beres?"

   Yang dimaksudkan sebagai "bisa dipakai"

   Disini adalah digunakan sebagai sandera. Sebelum Kiu-im kaucu sempat memberikan reaksinya, Hoa In-liong sudah tertawa terbahakbahak.

   "Haaa.... haa.... haa.... Suatu ide yang sangat bagus! Suatu idee yang bagus sekali? Kalau toh semua pihak akan berdatangan semua untuk menyelesaikan masalah ini, rasanya aku Hoa loji tak perlu repot-repot lari kesana kemari lagi!"

   Habis berkata dia lantas bangkit berdiri dan berjalan menuju keruang belakang. Dengan suatu gerakan yang sangat cepat Bwee Su-yok melayang kedepan dan menghadang jalan perginya, kemudian bentaknya keras-keras.

   "Hey, mau apa kamu?"

   "Mau apa? Tentu saja pergi beristirahat! Bukankah kalian hendak menyekap diriku?"

   Sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut. Bwee Su-yok segera mendengus dingin.

   ""Hmmm....! Enak benar kalau berbicara, memangnya kasu anggap disekap itu enak yaa?"

   Hoa In-liong mengangkat bahunya seraya tertawa.

   "Meskipun katanya saja disekap! Tentunya kau tidak akan memborgol tangan dan kakiku bukan macam buronan penjahat besar dalam penjara kota....?"

   Mengangkat bahu sambil tertawa sebenarnya merupakan suatu gerakan melucu, tapi lantaran orangnya memang tampan dan binal, maka gerakan melucunya ini justru mendatangkan suatu daya rangsangan yang lain dari pada yang lain.

   Menyaksikan semua gerakannya itu, Bwee Su-yok merasa dirinya seakan-akan kena ditampar, makin dilihat semakin tak enak rasanya, tak kuasa lagi dia mendengus dingin berulang kali.

   Ditengah dengusan tersebut tiba-tiba tubuhnya berputar menghadap ke arah Kiu-im kaucu, kemudian serunya.

   "Suhu, apakah engkau sudah mengambil keputusan yang tetap?"

   Rupanya Kiu-im kaucu cukup memahami betapa marah dan mendongkolnya gadis itu. Dengan nada tercengang dia balik bertanya.

   "Mengambil keputusan tentang soal apa?"

   "Menyekap orang she-Hoa ini disini!"

   "Oooh....! Soal itu toh.... ada apa? Apakah engkau mempunyai pendapat lain?"

   "Tidak ada, anak Yok cuma berharap bilamana suhu telah mengambil keputusan maka harap engkau orang tua suka menyerahkan orang she-Hoa itu kepadaku?"

   Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba Hoa In-liong berteriak aneh.

   "Bagus.... Bagus sekali? Ada perempuan yang mau menemani aku, berarti rejeki yang amat besar bagi aku Hoa- loji.... haaa.... haa.... haa.... Syukurlah kalau nona memang demen sama aku!"

   Kiu-im kaucu tertawa dingin, sinar matanya segera dialihkan ke wajah muridnya dan berkata.

   "Kenapa harus kuserahkan kepadamu? Orang ini aneh sekali dan banyak tipu muslihatnya"

   "Aku tidak takut kebinalannya, juga tidak takut tipu muslihatnya, aku akan suruh dia merasa-kan pahit getirnya ditanganku"

   Kiu-im Kaucu tidak langsung menyanggupi, dia berpikir sebentar kemudian baru menjawab.

   "Baiklah! Memang ada baiknya juga membiarkan dia merasakan sedikit kelihayanmu. Tapi kau musti hati-hati, jangan sampai membuat badannya menjadi cacad, sebab aku masih mempunyai kegunaan lainnya"

   "Yaa suhu!"

   Bwee Su-yok mengiakan, dia lantas putar badan dan berseru lagi dengan dingin.

   "Ayoh jalan!"

   Hoa In-liong sama sekali tidak memikirkan ancaman lawan malahan dengaa sikap yang mengejek ia membuat gerakan mempersilahkan nona itu berjalan lebih dulu.

   "Silahkan nona manis! Harap engkau suka mem bawa jalan bagi diriku!"

   Katanya sambil tertawa. Bwee Su-yok mendengus dingin, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia putar badan dan berjalan menuju ke arah pintu ruangan sebelah belakang. Hoa In-liong segera menjura kepada diri Kiu-im kaucu, kemudian katanya.

   "Bila dari pihak ayah ibuku sudah ada kabar, tolong kaucu bersedia memberi kabar kepadaku, maaf tak dapat menemani terlampau lama....!"

   Dengan langkah lebar dan sikap yang amat santai dia lantas berlalu dari situ dan menuju ke ruang belakang mengikuti langkah Bwee Su-yok.

   Menyaksikan sikap Hoa In-liong yang begitu santai dan sama sekali tidak merasa takut itu, Lie Kiu-it si tiamcu ruang penyiksaan dan para tong-cu lainnya sama-sama menunjukkan senyuman yang menyeringai.

   Agaknya mereka senang sekali karena musuhnya sudah dibawa pergi untuk disekap sementara waktu.

   Hanya Kiu-im kaucu seorang yang mengerutkan dahiaya, dalam hati dia berpikir.

   "Bagaimanakah watak si bangsat itu yang sebenarnya? Benarkah dia tidak takut disiksa dan tak takut mati? Ataukah dia emang memiliki sesuatu kekuatan yang bisa diandalkan...."

   Semakin dipikir hatinya semakin gundah, akhirnya dengan suara keras dia berseru.

   "Bubar! Kita laksanakan tugas masing-masing sesuai dengan rencana, Kek-tongcu! Bawalah orang dan segera mengadakan kontak dengan Hian-beng kaucu"

   Begitu selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri lebih dahulu dari tempat itu.

   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bwee Su-yok berjalan didepan menelusuri serambi yang pa jang dan menuju keruang belakang.

   Hoa In-liong mengikuti tanpa berbicara juga, hanya bedanya kalau si nona berwajah dingin dan serius.

   Sementara si anak muda itu berjalan dengan wajah penuh senyuman.

   Kendatipun demikian perbedaan sikap itu sama sekali tidak mengurangi ketampanan dan kecantikan wajah mereka berdua.

   Begitu menariknya raut wajah kedua orang itu sehingga mirip dewa- dewi yang baru turun dari kahyangan.

   Setelah mencapai ujung serambi tersebut, mereka melewati sederetan bangunan rumah dan akhirnya tibalah disebuah halaman yang terpencil letaknya jauh dlbelakang sana.

   Disinilah tempat tinggal Bwee Su-yok, letaknya disudut tenggara bangunan utama.

   Halaman itu bertengger persis dibawah tanah perbukitan Ciong-san.

   Didepan pintu membujur sebuah selokan kecil yang meliuk-liuk kesana-kemari, menciptakan suatu pemandangan yang sangat indah dan sedap dilihat.

   Setelah memasuki halaman tersebut, seorang dayang kecil yang memakai baju berwarna hijau pupus menyambut kedatangan mereka.

   Bwee Su-yok mendengus dingin, katanya kemudian dengan ketus.

   "Siapkan tali dan bawa kedalam ruangan!"

   Tanpa menghentikan langkah kakinya dia langsung masuk kedalam sebuah bangunan yang mungil didepan sana.

   Dengan langkah yang santai dan wajah diliputi senjuman Hoa In-liong mengikuti terus dibelakang gadis itu, ketika lewat disamping dayang cilik itu ia lantas menunjukkan muka setan.

   Dayang itu agak tertegun melihat sikap tamunya, matanya jadi terbelalak lebar.

   Untuk sesaat dia jadi lupa untuk melaksanakan perintah majikannya.

   "Kenapa berdiri melulu?"

   Bwee Su-yok membentak sambil putar badannya.

   "Sudah kau dengar belum perkataanku tadi?"

   Dengan rada kaget dayang itu buru-buru menyahut.

   "Sudah dengar.... Sudah dengar...."

   Dengan langkah cepat dia lantas kabur dari situ.

   oooOOOOooo S ETIBANYA didalam ruangan, dengan gaya yang sok Bwee Su-yok duduk dikursi kebesaran dalam ruangan itu.

   Sedang Hoa In-liong masih berlagak santai, makanya celingukan kesana kemari mengamati bangunan tersebut.

   Bangunan itu cukup megah, sekalipun tidak begitu besar tapi cukup mewah dan mentereng.

   Ditengah-tengah bangunan merupakan sebuah ruangan tamu, kedua belah sisinya merupakan tempat tinggal Bwee Su-yok, kamar baca dan ruangan untuk bersemedi.

   Dibelakang ruang semedi adalah tempat tidur dayang itu.

   Semua perabot yang ada disana terbuat dari kayu jati pilihan.

   Modelnya bagus, bikinannya ju-ga halus.

   Lukisan-lukisan kenamaan tergantung dikedua sisi dinding ruangan dan semuanya berada dalam keadaan bersih.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ini menunjukkan kalau Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang suka akan kebersihan.

   Pada waktu itu senja lelah menjelang tiba, selang sesaat kemudian dayang tadi muncul sambil membawa baki berisi cawan air teh dan seutas tali besar.

   Melihat itu.

   Bwee Su-yok langsung melototkan matanya lebar-lebar, bentaknya dengan gusar.

   "Siapa yang suruh kau hidangkan air teh?"

   "Kan ada tamu nona? Biarlah kesuluh lampu "

   Jawab dayang itu sok pintar. Setelah meletakkan baki air teh dimeja dan meletakkan tali dilantai, ia putar badan siap mengambil api.

   "Omong kosong! Siapa yang menjadi tamu kita?"

   Bentak Bwee Su-yok lagi dengan marah.

   Dayang cilik itu jadi terbelalak makin tercengang, sebentar dia memandang ke arah Bwee Suyok, sebentar memandang pula ke arah Hoa In-liong.

   Wajahnya jelas menunjukkan sikap kebingung an dan tidak habis mengerti.

   Dayang cilik itu berusia dua tiga belas tahunan, dia adalah seorang bocah perempuan yang cilik.

   Mukanya bulat dengan mata yang besa.

   Meskipun sifat kanak-kanaknya belum hilang dan polos sekali, dia terhitung seorang nona yang cerdik dan lincah.

   Dihari-hari biasa amat disayang oleh Bwee Su-yok hingga sikapnya juga jauh lebih akrab.

   Sementara nona cilik itu masih termangu keheranan, tiba-tiba Hoa In-liong berkata sambil tertawa.

   "Aaah.... Jiwa nona memang terlampau sempit. Sekalipun aku bukan tamu, apalah artinya secawan air teh? Kenapa kau musti mengumbar hawa amarah terhadap seorang bocah cilik?"

   Dengan pandangan yang dingin Bwee Su-yok melirik sekejap ke arahnya, kemudian kepada dayang cilik itu katanya lagi.

   "Peng-ji, kenapa kamu....? Ayoh panggil Siau-kian dan Siau-bi suruh kemari, kemudian baru memasang lampu!"

   Tampaknya Peng-ji masih merasa bingung dan tidak habis mengerti, apalagi dihari biasa selalu dimanja, bukannya melaksanakan perintah itu, dengan dahi berkerut dia malah membantah.

   "Kenapa musti panggil mereka? Peng-ji kan dapat melakukan semua perintah nona sendirian!"

   "Suruh panggil mereka yaa, panggil mereka, kenapa musti cerewet melulu?"

   Bentak Bwee Su-yok dengan muka berubah.

   "Memangnya kau sanggup untuk mengikat orang itu sendirian?"

   Peog-ji semakin tertegun, segera pikirnya.

   "Aneh benar siocia kita ini. Kenapa orang itu harus diikat? Memangnya dia.... dia sudah menyalahi siocia?"

   Sementara dia masih berpikir, Hoa In-liong telah berkata sambil tertawa nyaring.

   "Haa.... haa.... haa.... Kau anggap dengan seutas tali maka aku dapat terikat sehingga tak bisa berkutik?"

   "Tak usah banyak bicara lagi, nanti toh kau akan tahu sendiri"

   Jawab Bwee Su-yok dingin. Hoa In liong tersenyum. 'Sekalipun tali itu bisa membelenggu tubuhku, jika aku tak mau menyerahkan diri untuk diikat, sekalipun nona turun tangan sendiri rasanya keinginanmu itu belum tentu dapat keturutan!"

   Bwee Su-yok mendengus dingin.

   "Hmm, kecuali kalau engkau bukan seorang enghiong. Siau-kian dan Siau-bi hanya setahun lebih tua dari Peng-ji, boleh saja kalau ingin mencobanya"

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Renjana Pendekar -- Khulung Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Anak Berandalan -- Khu Lung

Cari Blog Ini