Rase Terbang Pegunungan Salju 1
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 1
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com Karya . Chin Yung Saduran . OKT Djvu sumber . Dimhad Website Ebook oleh . Dewi KZ
http.//kangzusi.com
atau
http.//
http.//dewikz.byethost22.com
CATATAN PENTING .
Ini adalah versi asli memang berakhir dengan open ending (menggantung) Ada buku KISAH SI RASE TERBANG versi bajakan kisahnya lebih panjang tetapi tidak nyambung karena ditempel kisah masa lalu Ouw Hui dan bukan lanjutan dari Soat San Hui Ho, yang juga dapat download di
http.//kangzusi.com
ini juga (Dewi kz) Soat-san Hui-hauw (Kisah si Rase Terbang) Karya .
Chin Yung Diceritakan oleh.
Siang Jin (O.K.T) Penerbit.
Anjaya Books/ KATA PENGANTAR Ketika diminta untuk memberikan Kata Pengantar untuk buku ini, terus terang, saya merasa sebenarnya belum layak.
Mengingat buku ini merupakan salah satu novel yang terbaik untuk jenisnya dan dapat dikatakan merupakan buah karya dua Maestro yang sudah diakui pada bidangnya masing-masing.
Novel ini sendiri, menurut saya merupakan salah satu yang terunik dan terbaik dari Louis Cha, atau yang lebih dikenal sebagai Jinyong (Chin Yung), salah satu novelis dalam bahasa Mandarin yang paling berpengaruh.
Dengan sederhana dan unik, dari hanya satu lokasi cerita utama, mengalirlah berbagai kilas balik kejadian (flash back) yang dramatis.
Kita menjadi terbius dan sakaw (baca.
ketagihan) oleh berbagai keterkejutan dan ketegangan yang membawa kita pada suatu akhir yang luar biasa.
Semuanya begitu apik dan harmonis, menunjukkan kejeniusan Jinyong dalam mengelola konflik dan tempo dalam cerita yang padat ini dan sangat kaya dengan berbagai karakter manusia.
Akhirnya secara misterius, tanpa menggurui, cerita ini telah membawa saya dalam suatu perjalanan spiritual.
Semua di atas hanya dimungkinkan oleh jerih-payah Uy Kim Tiang, atau yang lebih terkenal dengan singkatan O.
K.
T.
- penerjemah novel khususnya genre silat paling besar dan produktif.
Melalui bahasanya yang efektif, efisin dan luwes, beliau, telah membuat edisi Indonesia novel ini menjadi sesuatu yang lain dan begitu komunikatif dengan pembacanya.
Beliau dengan begitu tekun dan teliti melakukan riset dan memberikan keterangan, sehingga kita bisa menikmati bagian terkecil novel ini sekalipun.
Karenanya kita bisa menikmati puisi-puisi maupun konteks kebudayaan (Tionghoa) pada novel ini.
Saya rasa belum pernah ada penerjemah yang se-intens beliau sampai saat ini.
Pada akhirnya saya sangat menyambut baik penerbitan kembali novel ini.
Sebagai penikmat bacaan khususnya novel genre silat, saya mengharapkan buku ini dapat menjadi alternatif bacaan khususnya novel silat yang bermutu.
Bagi Anda yang sedang memegang buku ini dan berpikir-pikir untuk mencobanya, saya jamin Anda akan mendapatkan sesuatu sensasi yang berbeda.
"Tak Kenal maka Tak Sayang"
Salam, Danny Njoman Bekerja di bidang Komunikasi Data Anggota Masyarakat Cersil (MCersil) Penikmat bacaan khususnya novel (sastra) silat 0oo0oo0 Musim dingin belum menyingkir dari daerah utara Gunung Tiang Pek San masih mengenakan mantel salju yang putih bersih.
Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu permata tersebar di situ.
Suasana tenang-tenteram, damai dan suci seakan-akan hendak mengesankan bahwa dunia ini sungguh indah, bila saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara.
Tetapi, di sini pun tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari balik gunung di sebelah timur dan melayang ke tengah angkasa.
Dari bunyi mendesisnya anak panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi nyaring itu, dapat diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.
Anak panah tersebut dengan sangat tepat menembusi seekor belibis yang sedang terbang bebas.
Terbawa anak panah yang menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju./ Pada saat itu, dari jurusan barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat.
Ketika mendadak terdengar mendesisnya panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera terhenti semua Menampak betapa tepatnya belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan di dalam hati mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang tangkas itu.
Akan tetapi, setelah sekian lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang yang dinantikan, mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat.
Ternyata orang yang ditunggu itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri.
Seorang di antara rombongan penunggang kuda itu bertubuh kurus-jangkung, wajahnya mencerminkan kecerdasan, usianya sudah agak tua.
Ia mengerutkan kening demi mendengar pemanah tadi kabur.
Segera ia mengeperak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah timur, diikuti tiga kawannya Setelah melewati suatu tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak jauh, mungkin sudah satu li dari tempat mereka.
Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas ditinggalkan di permukaan salju dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda mereka itu.
Teranglah sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.
"In suheng, agak aneh juga kejadian ini,"
Kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar kawan-kawannya menghampiri ia.
Yang dipanggil In suheng ini juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis tebal menghiasi bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai saudagar kaya- raya.
Setelah menyaksikan apa yang dilihat si kurus-jangkung tadi, ia menganggukkan persetujuannya atas pendapat kawan itu.
Kemudian ia membilukkan kudanya untuk segera dilarikan kembali ke dekat bangkai belibis tadi.
Ia mengayunkan cambuknya dan dengan menerbitkan bunyi "taimil"
Yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke atas.
Ketika kemudian ia menyabet pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut.
Dengan tangannya yang sebelah lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang segera diperiksanya "Hai!"
Serunya, sebagai terperanjat. Mendengar seruan tiba-tiba itu, ketiga kawannya segera mengeperak kuda mereka dan menghampiri si orang she In.
"Whi suheng, coba periksa ini?"
Seru yang disebut "In suheng"
Sambil melemparkan belibis serta anak panah itu kepada si kurus-jangkung. Dengan mudah saja ia ini menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa batang panah itu. Segera terdengar ia berseru juga.
"Eeeh, benar dia, lekas-lekas kita kejari"
Teriaknya bernapsu.
Dengan tergesa-gesa ia membilukkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan.
Lereng gunung itu seluruhnya berlapiskan salju putih bersih, di sekeliling sudah tidak ada orang lain lagi, maka mengikuti jejak orang yang mereka kejar itu bukannya soal sulit.
Kecuali dua orang tua tadi, dua orang yang lain masih muda dan sedang kuat-kuatnya, seorang bertubuh tinggi-tegap dan kelihatan lebih gagah lagi duduk di atas kudanya yang juga tinggi besar.
Yang seorang lagi berbadan sedang, wajahnya putih kehijau-hijauan dan sungguh menyolok, hidungnya bahkan merah mencorong, mungkin telah menjadi beku kedinginan.
Ketiga orang yang masih tertinggal ini bersiul sekali dan segera memacu kuda untuk menyusul dengan cepat./ Hari itu adalah tanggal 15, bulan 3, tahun ke-empat puluh lima masa pemerintahan Kaisar Kian Liong dari dinasti Ceng.
Di daerah Kanglam bunga-bunga sudah mekar meriangkan suasana musim semi, tetapi di daerah utara di sekitar gunung Tiang Pek San yang terpencil ini, timbunan salju justeru baru akan mulai lumer, belum ada gejala-gejala dekat tibanya musim semi.
Dalam pada itu, sang surya baru saja mengintip dari belakang gunung di sebelah timur.
Sinarnya yang kuning keemas-emasan menyorot terang, tetapi tidak membawakan hawa hangat sedikit juga.
Meski hawa di daerah pegunungan itu sangat dinginnya, tetapi karena empat penunggang kuda tadi memiliki kepandaian yang tinggi semua, tiada seorang di antara mereka yang terganggu karenanya dan mereka terus melarikan kuda mereka secepat terbang.
Sebelum berselang lama, dari kepala mereka sudah keluar uap dan pemuda yang bertubuh tinggi tegap itu melepaskan mantelnya.
Ia mengenakan baju kulit dilapis dengan sutera hijau, di pinggangnya digantungkan sebatang pedang, alisnya dikerutkan hingga hampir bersambung dan matanya berapi-api, tiada hentinya ia memacu kudanya agar berlari lebih cepat.
Pemuda ini bernama Co Hun Ki, kalangan Kang Ouw mengenalnya sebagai "Teng Liong Kiam".
Ia adalah Ciang Bun Jin partai Thian Liong Bun cabang utara yang berkedudukan di Liau Tang.
Ciang hoat (ilmu silat tangan kosong) dan kiam hoat (ilmu silat pedang) yang merupakan dua pelajaran utama partai Thian Liong Bun, kedua-duanya sudah cukup dalam diselaminya.
Yang bermuka putih itu adalah suteenya (adik seperguruannya), namanya Ciu Hun Jang dan ia bergelar "Hwi Liong Kiam".
Dalam hal kiam hoat partainya, kepandaiannya sudah cukup sempurna.
Si orang tua tinggi-kurus adalah susiok (paman guru) mereka, yakni "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong, tokoh tertua dalam partai Thian Liong Bun. Orang tua yang berlagak sebagai saudagar kaya adalah Ketua Thian Liong Bun cabang selatan, In Kiat namanya dengan gelar "
Wi Cin Thian Lam" (Kekuasaan yang Menggoncangkan Daerah Selatan).
Kali ini, untuk memenuhi permintaan cabang utara, jauh-jauh dari tempat kedudukannya, ia telah datang ke utara untuk bantu menghadapi musuh tangguh.
Tunggangan mereka adalah kuda pilihan semua dari daerah luar Dinding Besar.
Maka sesudah mereka mengejar hingga tujuh-delapan li, lima penunggang kuda yang sedang dikejar, sudah mulai kelihatan.
Lewat berapa saat lagi mereka sudah menyusul cukup dekat.
"Hai, sahabat berhentilah!"
Teriak Co Hun Ki dengan nyaring sambil melampaui kawan- kawannya. Lima orang yang di depan itu tidak menggubris seruannya, mereka bahkan membedal kuda mereka semakin kencang.
"Jika kalian tidak mau lekas berhenti, janganlah kalian kelak menyalahkan kami karena tidak berlaku sopan!"
Berkumandang pula teriakan Hun Ki dengan suara garang.
Sebagai jawaban terdengarlah seorang di antara rombongan itu mengatakan sesuatu.
Orang itu mendadak menahan kudanya untuk menunggu, sedang empat kawannya tetap memacu kuda mereka tanpa menengok sama sekali.
Seorang diri Co Hun Ki maju ke depan mendahului rombongannya, iamelihatorangitu sudah menantikan kedatangannya dengan bidikan busur dan anak panah yang dijujukan tepat ke dadanya.
Akan tetapi, Hun Ki yang sudah tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya, tak dapat digentarkan sikap mengancam orang itu.
'Apakah To suheng yang berada di depan?"
Teriaknya menyapa./ Wajah orang itu tampan, alisnya tegak memanjang, usianya antara duapuluh tiga-duapuluh empat tahun, pakaiannya serba ringkas. Seruan Hun Ki yang terakhir dijawabnya dengan gelak tertawa.
"Awas, panah!"
Serunya sebagai peringatan.
Dengan mengeluarkan bunyi mendesis tiga kali, tiga batang anak panah susul-menyusul sudah meluncur menuju ke tiga bagian tubuh Co Hun Ki, atas, tengah dan bawah Co Hun Ki tidak menyangka bahwa tiga batang panah itu dapat dilepaskan beruntun secepat itu, maka di saat itu ia terperanjat juga.
Lekas-lekas ia mengayunkan cambuknya Dua batang anak panah yang masing-masing menyerang sebelah atas dan tengah segera dapat dipukul jatuh, menyusul mana ia menggentak kendali kudanya hingga hewan itu berjingkrak ke atas dan anak panah ketiga itu lewat di bawah selangkangan kudanya.
Pemuda she To itu bergelak ketawa sekali lagi dan sesaat kemudian membilukkan kudanya yang segera dikaburkan pula ke depan.
Karena kelakuan orang yang sungguh menantang itu, saking gemasnya, maka Co Hun Ki menjadi merah padam.
Ia memacu kudanya segera hendak mengudak lagi, tetapi "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong sudah keburu mencegahnya.
"Sabar Hun Ki, tidak nanti ia bisa kabur ke langit, janganlah kuatir,"
Susiok itu menasehatkan.
Sesudah itu ia turun dari kudanya dan mengangkat tiga batang panah yang berserakan di atas salju.
Tiga batang panah itu ternyata benar-benar serupa dengan panah yang menancap di leher belibis.
Karena bukti ini yang sudah tidak usah disangsikan lagi, muka In Kiat sudah segera berubah.
"Benar, memang bocah itu!"
Katanya dengan suara di hidung.
"Coba tunggu sumoay dulu, lihat apa yang bisa dikatakannya lagi,"
Demikian pendapat Co Hun Ki. Semua setuju dan mereka lantas berdiam. Tetapi setelah menunggu agak lama dan masih saja belum terdengar sumoay itu mendatangi, Co Hun Ki menjadi habis sabar.
"Coba kutengok di mana ia!"
Katanya. Ia segera menjalankan kudanya berbalik kembali ke jurusan dari mana mereka datang.
"Ia memang tak dapat disalahkan!"
Kata Whi Su Tiong sambil mengikuti bayangan si pemuda dengan kedua matanya dan menghela napas. 'Apakah arti kata-katamu, Whi suheng?"
Tanya In Kiat yang belum mengerti.
Whi Su Tiong tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, setelah melalui lebih-kurang satu li, Co Hun Ki melihat seekor kuda kelabu tanpa penunggang serta tidak jauh dari hewan itu seorang gadis dengan pakaian putih seluruhnya, setengah berlutut seakan-akan sedang mencari sesuatu di salju.
"Apakah yang kau cari, sumoay?"
Tanya Hun Ki.
Gadis itu tidak menjawab, hanya sesaat kemudian ia mendadak berbangkit dan tangannya menggenggam sesuatu yang kuning-kuning berkilau menyilaukan disoroti cahaya matahari.
Co Hun Ki turun dari kudanya dan mendekati sang sumoay untuk melihat benda berkilau itu yang ternyata adalah sebatang pit (alat tulis Tionghoa) kecil dari emas mumi.
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panjangnya tidak cukup tiga dim, tetapi ujungnya tajam sekali, pada batangnya diukirkan sebuah huruf 'An".
Hun Ki mengerutkan alisnya, mukanya segera berubah setelah melihat huruf itu.
"Dari mana kau dapat benda ini?"
Tanyanya./ "Setelah kalian berangkat, tidak lama lagi aku berangkat menyusul, di tempat ini mendadak aku mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakang, dalam sekejap saja kuda itu sudah dapat menyusul bahkan melampaui aku.
Pada saat itu penunggangnya sekonyong-konyong mengayun tangannya menimpukkan sebatang senjata rahasia kepadaku, sehingga aku ...
aku____"
Sumoay ini tidak dapat meneruskan ceritanya dan wajahnya segera menjadi merah.
Co Hun Ki menjadi agak bercuriga dan ia menatap wajah si gadis yang agaknya sedang kemalu-maluan.
Kulit gadis itu putih-bersih lagi halus dengan suatu sinar dadu yang seakan-akan menerobos keluar dari bawah kulit wajahnya.
Matanya, sebagai juga mukanya, ditujukan ke bawah dan dalam malunya gadis itu kelihatan semakin cantik "Tahukah kau, kita sedang mengejar siapa?"
Tanya Hun Ki.
"Entahlah,"
Jawab si gadis.
"Hm, benarkah kau tidak tahu?"
Tanya Hun Ki dengan suara dingin.
"Mengapa aku harus tahu?"
Berbalik si gadis menanya.
"Karena orang itu adalah kekasihmu!"
Jawab Hun Ki.
"To Cu An ... ?"
Teriak gadis itu dengan hati cemas. Entah bagaimana perasaan Hun Ki pada waktu itu, hanya yang nyata adalah, bahwa mukanya seketika itu berubah seakan-akan tertutup awan. 'Aku tidak menyebut lain daripada "jantung hatimu"
Dan kau lantas saja menyebut nama To Cu An"
Teriaknya dengan gusar. Muka si gadis kembali menjadi merah dan matanya menjadi basah karena air-mata yang segera juga sudah turun berketel-ketel.
"Ia ... ia ... I"
Ia berteriak-teriak tanpa bisa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkan itu. Dalam gusarnya ia tak dapat menguasai diri lagi dan membanting-banting kaki.
"Ia ... ia ... mengapa ia?"
Tanya Hun Ki dengan bernapsu.
"Ia adalah bakal suamiku, bukan hanya jantung hatiku!"
Teriak gadis ini yang tak dapat menahan amarahnya lagi.
Co Hun Ki juga menjadi gusar kini, mendadak ia melolos pedangnya dengan sikap mengancam.
Tetapi gadis yang berada di depannya itu tidak menjadi gentar, dengan sikap menantang ia ini bahkan melangkah maju.
"Jika berani, bunuhlah aku!"
Gadis itu menjerit dengan kalap. Karena kenekatan gadis itu, Hun Ki merandek, dengan mengertak gigi ia menatap wajah si nona, sesaat kemudian perasaan halusnya timbul dan hatinya menjadi lemah.
"Sudahlah, apa boleh buat!"
Ia berteriak dan senjatanya segera dijujukan ke ulu-hatinya sendiri. Tetapi sebelum maksudnya tercapai, gadis itu dengan cepat sudah melolos pedangnya dan menyampok pedang Hun Ki, hingga perbuatan nekat pemuda ini tidak sampai terlaksana.
"Di dalam hatimu sudah tidak ada tempat untuk diriku, guna apa kau mau menyiksa aku lebih lama pula?"
Kata Hun Ki dengan sedih dan penasaran. Tanpa menjawab, gadis itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya.
"Sebagaimana kau juga tahu, ayah merangkap jodoku dengan ia, dalam hal ini apakah yang dapat kubuat? Kenapa kau hendak juga mempersalahkan aku?"
Kata si gadis dengan lemah lembut.
Jawaban ini seakan-akan memberikan sedikit sinar terang kepada Hun Ki./ "Aku rela untuk mengikuti kau pergi ke mana saja asal dapat terus berdampingan dengan kau, biarpun harus mengasingkan diri di puncak gunung yang sunyi ataupun di pulau yang jauh dari pergaulan manusia,"
Kata Hun Ki selanjutnya.
"suheng, aku sudah mengetahui perasaan hatimu, aku tidak tolol dan aku mengingat semua kebaikanmu. Tetapi kau adalah Ketua Thian Liong Bun cabang utara, maka jika sampai terjadi sebagai yang kau katakan tadi, nama partai kita akan hancur berantakan dan kita akan kehilangan muka semua,"
Kata si gadis sebagai jawaban.
"Meskipun harus hancur-lebur, asal untuk kau aku masih rela juga!"
Teriak Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai diri lagi.
"Langit ambruk pun aku tak perduli, apalagi segala Ciang Bun Jin ...!"
Sikap pemuda ini membikin si gadis bersenyum.
"Justeru sifatmu yang keras dan nekat-nekatan tanpa menghiraukan segala apa ini yang tak kusukai,"
Kata sang sumoay sambil menjabat tangan suhengnya dengan halus. Ditunjukkan kelemahannya, Hun Ki tak dapat mengumbar napsunya yang berapi-api lagi, ia hanya dapat menghela napas panjang-panjang. Tetapi agaknya ia masih kurang puas, tanyanya.
"Mengapa kau diam-diam menganggap pemberiannya sebagai mestika saja?"
"Pemberiannya? Kapan aku berjumpa dengan ia!"
Bantah sumoay ini.
"Hm! Namanya jelas-jelas diukirkan di batang pit emas ini,"
Hun Ki menuduh, sehingga si gadis jadi bersungut-sungut.
"Dasar kau suka menuduh secara ngawur, lebih baik jangan bicara lagi dengan aku!"
Si gadis membalas berteriak.
Ia berlari-lari menghampiri kudanya dan dengan sekali berlompat ia sudah berada di atas pelana.
Segera juga kudanya yang berwarna kelabu itu, sudah dilarikan kencang.
Buru-buru Hun Ki menyempelak kudanya dan mengejar sumoaynya, ia memacu tunggangannya terus-menerus dan sebelum berselang lama ia sudah dapat menyusul sumoay itu, kuda siapa segera ditahannya dengan sebelah tangan, sambil berseru.
"Sumoay, dengarlah perkataanku dulu!"
Nona itu tidak menggubris dan segera juga mengangkat cambuknya, memukul tangan Hun Ki.
"Lepas! Pantaskah kelakuanmu ini jika dilihat orang!"
Ia membentak.
Mungkin karena pukulan pertama tadi tidak terlalu keras, maka Hun Ki belum mau melepaskan pegangannya pada kendali kuda si nona.
Ia ini menjadi gusar benar-benar dan segera mengulangi mencambuk, tetapi kali ini dengan keras.
Seketika itu suatu jalur merah keungu-unguan lantas saja kelihatan pada tangan Hun Ki.
Tetapi, agaknya pemudi itu menyesal dan merasa kasihan, demi melihat tanda merah bekas pukulannya tadi.
Dengan suara yang berubah lunak kembali, ia mengatakan.
"Mengapa kau terus menggoda?"
"Baik, aku menerima salah. Coba pukul sekali lagi,"
Kata si pemuda. Dengan disertai senyum manis, gadis itu menjawab.
"Tanganku sudah lelah dan tak kuat mengangkat cambuk lagi."
"Kalau begitu, mari kuurut tanganmu yang letih itu."
Sambil mengucapkan kata-kata ini, Hun Ki sudah lantas saja hendak menarik tangan si gadis.
Di luar dugaannya, sumoay itu menyambut tangannya dengan mencambuk sekali lagi Tetapi kali ini Hun Ki sudah berwaspada, dan dengan sedikit mengegos ia dapat menghindari pukulan tersebut.
Kemudian, dengan tertawa ia menegur.
"Tanganmu sudah tidak lelah lagi?"
"Kularang kau menyentuh aku!"
Jawab si gadis dengan muka memberengut./ "Baiklah, sekarang coba terangkan dari siapa kau dapat pit emas itu!"
"Dari jantung hatiku, namanya jelas-jelas diukirkan pada batang pit emas ini, bukan?"
Demikian dengan tertawa si gadis mengulangi kata-kata Hun Ki tadi.
Mendengar kata-kata ini hati Hun Ki kembali dirasakan pilu, sesaat kemudian tabiatnya yang keras aseran timbul lagi.
Tetapi demi melihat si gadis tertawa, sehingga wajahnya sebagai juga bunga sedang mekar, melihat betapa indahnya bibir si gadis yang berwarna merah mengelilingi sebaris gigi laksana mutiara, segera juga hatinya lumer sebagai salju terkena sinar matahari yang hangat.
"suheng, sedari kecil kau merawat aku dengan penuh kecintaan melebihi saudara kandung, aku bukan tidak berterima kasih dan sedapat mungkin aku akan membalas budimu itu, tetapi ... sekarang ini kedudukanku serba salah. Kau selalu memperhatikan aku, selalu menyayang, tetapi pada saat ini kita semua sedang menghadapi ujian yang maha berat, ayah telah meninggal secara mengenaskan dan Thian Liong Bun kita menghadapi bahaya keruntuhan. Bukankah soal- soal ini lebih penting dari pada soal-soal pribadi? Mengapa kau masih belum dapat memahami perasaanku?"
Hun Ki termangu-mangu mendengarkan uraian sumoaynya itu, tak dapat ia membantah segala kenyataan ini.
"Yah, memang kau selalu berada di pihak yang benar dan aku selalu bersalah. Marilah kita lekas-lekas berangkat,"
Katanya dengan lesu. Sumoay itu menjadi tertawa sendiri melihat sikap suheng ini.
"Jangan terburu-buru!"
Katanya menahan. Ia mengeluarkan sapu-tangan dan tanpa ragu-ragu menyusut keringat yang membasahi muka Hun Ki.
"Di atas padang salju ini, jika keringatmu tidak lekas-lekas disusut, kau bisa masuk angin atau mendapat penyakit lain yang lebih berbahaya,"
Ujarnya.
Mendapat perlakuan ini tentu saja amarah Hun Ki menjadi buyar seakan-akan asap ketiup angin.
Dengan muka mencerminkan kegirangan ia mengangkat cambuknya dan memukul kuda si nona dengan perlahan.
Dalam suasana baik mereka mengaburkan tunggangan mereka dengan berendeng.
Nama gadis ini adalah Tian Ceng Bun, puteri Tian Kui Long, Ciang Bun Jin (Ketua) Thian Liong Bun yang baru meninggal belum lama berselang.
Oleh sebab itu ia mengenakan pakaian berkabung.
Usianya masih sangat muda, tetapi di daerah Kwan Gwa (di luar Dinding Besar) namanya sudah agak tersohor juga Disamping berparas cantik, ia pun mempunyai otak yang cerdik dan banyak akalnya, maka oleh orang-orang Kang Ouw ia diberi julukan "Giok Bin Ho" (Rase dengan Paras Kumala).
Berkat lari kuda mereka yang cepat, tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat kawan- kawan mereka sedang menunggu.
"Lama juga kau pergi, apakah kau menemukan sesuatu?"
Tanya Whi Su Tiong sambil melirik keponakan muridnya ini. Muka Hun Ki menjadi merah. Untuk seketika ia tak dapat menjawab, tetapi akhirnya keluar juga dari mulutnya.
"Tidak, aku tidak menemukan apa-apa."
Setelah ini mereka tidak berayal pula dan tanpa banyak bercakap-cakap mereka mengaburkan masing-masing tunggangannya dengan kencang.
Beberapa li sudah mereka lalui, keadaan lereng gunung di depan mereka sudah mulai curam dan berbahaya.
Kadang-kadang kuda mereka terpeleset di atas salju yang membeku, maka selanjutnya mereka tak berani membedal kuda mereka.
Perjalanan kini dilanjutkan dengan perlahan-lahan./ Sesudah melalui dua lereng gunung lagi, jalan bahkan menjadi semakin berbahaya.
Tiba-tiba terdengar kuda meringkik dengan nyaring di sebelah kiri mereka.
Dengan gesit dan tangkas Hun Ki meloncat dari atas pelana ke belakang sebuah pohon siong yang besar.
Dari tempat bersembunyinya ini ia mengintip ke arah suara kuda tadi.
Ia melihat lima ekor kuda ditambatkan pada berapa batang pohon di lereng bukit sebelah sana, di permukaan salju terdapat bekas-bekas kaki manusia yang lurus menuju ke atas bukit.
"Jiwi susiok, agaknya penjahat kecil itu kini berada di atas bukit itu. Mari kita susul cepat- cepat!"
Kata Hun Ki dengan suara tegang. Dari empat orang itu In Kiat adalah yang paling berhati-hati.
"Mungkin mereka telah sengaja memancing kita kemari dan mungkin juga di atas gunung ini telah diatur jebakan."
Demikian pendapatnya.
"Tidak perduli sarang naga atau guha macan, hari ini kita hanya boleh mengenal maju tak boleh mundur!"
Kata Hun Ki bernapsu. Melihat sifat pemuda ini yang sangat ceroboh, In Kiat merasa kurang senang.
"Whi suheng, bagaimana menurut pikiranmu?"
Tanyanya kepada Whi Su Tiong. Tetapi Whi Su Tiong sudah didahului Tian Ceng Bun yang mengatakan, 'Ada 'Wi Cin Thian Lam' In susiok di antara kita, kita tidak usah takut kepada jebakan mereka meskipun bagaimana lihay juga."
In Kiat agaknya senang mendengar umpakan ini, ia bersenyum puas.
"Melihat cara-cara mereka yang begitu terburu-buru agaknya mereka tidak berniat menjebak kita. Tetapi ada baiknya jika kita berhati-hati, kita naik ke atas dengan jalan memutar dan menyerang dari jurusan yang tak mereka duga sama sekali,"
Katanya.
Hun Ki mengatakan persetujuannya, disusul yang lain-lain.
Mereka turun dan lantas menambat kuda mereka pada pohon-pohon siong (cemara) yang banyak terdapat di situ.
Setelah meringkaskan pakaian, mereka berjalan memutar dan mendaki bukit itu dari jurusan lain.
Seluruh lereng bukit itu ditumbuhi pohon dan batu cadas yang besar-besar menonjol di sana-sini.
Tetapi, berkat ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi, segala aral itu tidak menjadikan rintangan, bahkan merupakan alingan yang baik sekali sehingga kedatangan mereka tidak mudah diketahui musuh.
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mula-mula mereka masih merupakan iring-iringan yang tidak terputus, tetapi setelah berselang berapa waktu, disebabkan kepandaian mereka masing-masing tidak sama, maka In Kiat dan Whi Su Tiong sudah meninggalkan Co Hun Ki lebih setombak di belakang mereka.
Tian Ceng Bun dan Ciu Hun Jang ketinggalan lebih jauh lagi, kira-kira tiga-empat tombak di belakang suheng mereka.
"In susiok adalah Ketua cabang kita di selatan, entah bagaimana tingkat kepandaian cabang selatan itu jika dibandingkan dengan kita dari cabang utara. Sebentar lagi dapat dilihat kepastiannya,"
Pikir Hun Ki sembari mengikuti kedua susioknya itu. Sesaat kemudian seakan- akan hendak memamerkan kepandaiannya ia mempercepat tindakannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya, ia menyerobot ke depan melewati dua-dua susiok itu.
"Bagus sekali kepandaianmu, Co sutit. Enghiong benar-benar munculnya di antara kaum muda,"
Puji ln Kiat. Co Hun Ki puas, tetapi karena kuatir kesusul, ia tak berani menoleh. Jawabnya hanya.
"Aku masih mengharapkan banyak petunjuk susiok."
Kata-kata ini diucapkannya tanpa memperlambat gerakan kakinya.
Sesaat kemudian ia tidak mendengar pula tindakan kaki di belakangnya, ia menoleh dan seketika itu ia terperanjat bukan main.
Ternyata In Kiat maupun Whi Su Tiong masih tetap sangat dekat di belakangnya, hanya terpisah kira-kira setindak dari punggungnya.
Kembali ia mengerahkan ilmu mengentengkan tubuhnya untuk mempercepat pula larinya.
Dalam sekejap ia sudah melalui berapa tombak lagi./ In Kiat bersenyum melihat kelakuan sutitnya ini.
Ia terus mengikuti Hun Ki dari belakang tanpa mempercepat atau memperlambat tindakannya.
Tidak lama kemudian Hun Ki sudah agak lelah dan larinya pun mulai lambat.
Mendaki gunung memang jauh lebih berat daripada berjalan di tanah datar dan memang kepandaian Hun Ki belum mencapai tingkat tertinggi.
Pada suatu saat sekonyong-konyong ia merasakan tengkuknya seakan-akan ditiup orang dan ketika ia hendak menengok, pundak kanannya ditepuk seseorang.
"Hayo, anak muda, bergiatlah!"
Terdengar anjuran In Kiat dengan ketawa Tentu saja Hun Ki menjadi sangat terkejut berbareng mendongkol.
Dengan nekat ia mengerahkan seluruh tenaganya dan melesat ke depan.
Ia dapat meninggalkan kedua susioknya agak jauh di belakang, tetapi napasnya kini sudah tersengal-sengal dan keringat sudah berketel- ketel membasahi badannya.
Dengan lengan bajunya ia menyusut keringat di mukanya dan ia segera teringat bagaimana Tian Ceng Bun telah melakukannya untuk ia tadi.
Dengan timbulnya bayangan ini, tanpa terasa mukanya jadi berseri-seri.
Sedang ia asyik melamun, mendadak di belakangnya terdengar lagi tindakan kaki orang.
Ternyata dua susioknya sudah menyusul dekat di belakangnya pula.
Melihat lari Hun Ki yang mula-mula begitu cepat untuk tidak lama kemudian menjadi lambat dan napasnya sudah tersengal-sengal, In Kiat mengetahui bahwa dalam hal ilmu mengentengkan tubuh, sutitnya ini masih jauh daripada dapat menandingi ia.
Hanya Whi Su Tiong yang masih tetap berlari sejajar dengan ia, tanpa bersuara.
Jika In Kiat memperlambat larinya, Whi Su Tiong pun melambatkan gerakan kakinya dan saban kali ia berlari cepat saudara seperguruan ini juga turut berlari cepat.
Agaknya ilmu mengentengkan tubuh Whi Su Tiong adalah setara dengan ia.
In Kiat menyadari, bahwa dua orang susiok-sutit itu ingin menguji kepandaiannya, maka segera ia mengerahkan tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuhnya "Teng Peng Touw Sui"
Atau menginjak kapu-kapu menyeberang sungai, ia melesat ke depan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah lagi.
Thian Liong Bun didirikan di awal dinasti Ceng.
Mula-mula hanya terdapat satu cabang, tetapi pada masa Kaisar Khong Hi telah terjadi persengketaan antara dua orang murid tertua dari partai tersebut, maka sebegitu lekas Ciang Bun Jin pada masa itu meninggal dunia, Thian Liong Bun terpecah menjadi dua cabang, satu di selatan yang lain di utara.
Cabang selatan itu terkenal dalam hal kegesitan dan ketangkasan, sebaliknya cabang utara mengutamakan kekuatan dan ketenangan.
Pada hakekatnya ilmu silat kedua cabang itu tidak berbeda, hanya penggunaannya dalam pertempuran yang agak berbeda.
Walaupun bertubuh gemuk, sesuai dengan keistimewaan cabang selatan, In Kiat dapat mendaki bukit itu dengan kecepatan luar biasa, melebihi kegesitan kera.
Sebelum berselang lama Hun Ki sudah ketinggalan jauh di belakangnya.
Tetapi, dalam pada itu, Whi Su Tiong masih tetap mendampingi ia, seakan-akan ingin menjadi bayangannya.
Berkali-kali In Kiat berusaha meninggalkan kawan ini, tetapi senantiasa ia menampak kegagalan.
Saban kali ia dapat meninggalkan rekan ini, segera juga ia sudah disusul lagi.
Demikian, dengan berendeng, mereka telah tiba pada suatu tempat yang terpisah hanya dua- tiga li dari puncak.
Mendadak In Kiat berkata.
"Whi suheng, mari kita berlomba mulai dari sini sampai ke puncak, coba siapa yang akan tiba terdahulu."
Meskipun kata-katanya diucapkan sambil tertawa, sebenarnya ucapannya itu mengandung tantangan yang agak terang-terangan.
"Mana aku dapat menandingi In suheng,"
Kata Whi Su Tiong, merendah.
"Ah, janganlah terlalu merendah,"
Jawab In Kiat, yang sudah segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Badannya meluncur cepat sekali ke depan laksana anak panah yang baru terlepas dari busurnya.
Belum sampai berselang lama ia sudah tinggal hanya terpisah berapa tombak saja dari puncak bukit.
Ia menoleh, dan melihat bahwa Whi Su Tiong hanya terpisah setindak-dua tindak dari ia.
Ketika ia sedang mengumpulkan tenaganya untuk menambah kecepatannya, Whi Su Tiong sudah meloncat maju dan tiba di sampingnya./ "Kudengar suara orang di sana,"
Kata Whi Su Tiong sambil menunjuk ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.
Melihat kegesitan kawan ini, In Kiat mau ataupun tidak, harus mengakui juga keunggulan kawannya dalam hal ilmu mengentengkan tubuh.
Sementara itu Whi Su Tiong sudah bergerak maju dengan membongkokkan badan dan berindap-indap.
Dengan hati-hati sekali ia menghampiri gerombolan pohon tersebut.
In Kiat mengikuti di belakangnya dan setiba mereka di ujung gerombolan tersebut, mereka bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Dari tempat pengintaian ini mereka melihat lima orang di dalam lembah di sebelah bawah.
Tiga orang di antara mereka sedang menjaga tiga buah jalan yang menuju ke tempat mereka dengan senjata terhunus.
Agaknya mereka hendak mencegah orang lain datang ke tempat itu.
Dua kawan mereka sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar, seorang memegang sekop, yang lain menggunakan pacul.
Agaknya mereka mengetahui, bahwa saban saat dapat terjadi kedatangan musuh-musuh tangguh yang telah menguntit di sepanjang jalan.
Maka kedua orang yang menggali itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menyelesaikan pekerjaan me-icka secepat mungkin.
Setelah mengamat-amati dengan seksama beberapa saat, In Kiat berkata.
"Tidak salah, memang bapak dan anak she To dari Eng Ma Coan, tetapi siapakah tiga kawan mereka itu?"
"Tiga ceecu dari Eng Ma Coan juga, kelima-limanya lawan keras semua,"
Whi Su Tiong menerangkan.
"Sungguh kebetulan, lima melawan lima,"
In Kiat berpendapat.
"Kau, aku dan Hun Ki memang tidak usah kuatir, tetapi Hun Jang dan Ceng Bun merupakan kelemahan fihak kita. Lebih baik kita menyerang mereka secara mendadak sebelum mereka dapat bersiap dan lebih dahulu membinasakan seorang-dua orang di antara mereka. Sisanya akan lebih mudah dilayani,"
Kata Whi Su Tiong. In Kiat mengerutkan alisnya, ia agak sungkan menurut usul itu. Katanya.
"Jika perbuatan kita ini teruar di luaran dan kalangan Kang Ouw mengetahui bahwa kita telah membokong orang, Thian Liong Bun akan menjadi bulan-bulanan ejekan orang."
Whi Su Tiong tidak memperdulikan keberatan kawannya. Ia berpendapat lain, yang segera juga dinyatakannya.
"Dalam hal ini kita harus mengingat sakit hati Tian suheng. Kita harus membasmi rumput sampai ke akar-akarnya, seorang jua tidak boleh dibiarkan hidup. Maka jika kita semua menutup mulut, orang luar tidak akan mengetahui apa yang telah terjadi."
"Benarkah, mereka itu sukar dilayani secara terang-terangan?"
Tanya In Kiat yang masih ragu- ragu. Sebagai jawaban Whi Su Tiong hanya mengangguk. Sesaat kemudian baru ia membuka suara pula.
"Bertempur satu lawan satu, siauwtee tidak mungkin menang."
Mendengar pengakuan ini, In Kiat baru mau percaya.
Sebagai tokoh utama dalam Thian Liong Bun cabang utara, Whi Su Tiong biasanya agak sombong dan sungkan mengakui keunggulan orang lain, bahkan di masa hidupnya, Tian Kui Long sendiri, menyegani suteenya ini.
Hampir dapat dipastikan, bahwa kepandaian Whi Su Tiong masih berada di atas kepandaian Gn Kiat) sendiri, maka selanjutnya In Kiat tidak membantah lagi dan menyerahkan kepada Whi Su Tiong untuk mengambil keputusan.
Sikapnya yang semula ragu-ragu itu, tak terluput dari perhatian Whi Su Tiong.
Di dalam hatinya Whi Su Tiong mengejek.
"Hm, kau ingin menjadi enghiong, biarlah aku yang menjadi pengecutnya."
Tetapi ejekan ini hanya dikandung di dalam hatinya, mulutnya tidak mengeluarkan sepatah kata.
Sementara itu Co Hun Ki sudah tiba di tempat mereka dan tak lama lagi Ciu Hun Jang dan Tian Ceng Bun juga telah sampai pula./ Setelah semua berkumpul, Whi Su Tiong membentangkan siasatnya "In suheng, kau, aku dan Hun Ki terlebih dahulu menyerang dan membereskan tiga orang yang meronda itu dengan tok cui (bor beracun), setelah itu kita bertiga maju dengan serentak mengerubuti dua orang she To ayah dan anak itu.
Hun Jang dan Ceng Bun baru boleh bergerak, kalau kita sudah dapat "mengikat"
Kedua orang itu."
Segera juga mereka bergerak maju dengan sangat hati-hati. Mendadak Tian Ceng Bun yang berada di belakang Whi Su Tiong berbisik.
"Whi susiok, hendaknya ayah dan anak she To itu ditangkap hidup-hidup."
Whi Su Tiong menjadi gusar sekali. Ia menoleh dan dengan melotot ia membentak dengan suara tertahan.
"Kau masih coba membela bangsat kecil To Cu An itu?"
"Kurasa ia tidak bersalah,"
Bantah si nona. Bantahan ini menyebabkan muka Whi Su Tiong menjadi merah-padam, kegusarannya meluap. Ia mencabut anak panah yang diselipkan di ikat-pinggangnya untuk diangsurkan kepada Ceng Bun.
"Coba kau bandingkan sendiri, inilah yang digunakan si penjahat kecil untuk memanah belibis tadi."
Tian Ceng Bun menyambuti panah itu, seketika itu juga tangannya bergemetar.
Co Hun Ki yang sejak tadi memandang wajah si gadis sebaliknya daripada mengincar musuh melihat berubahnya sikap ini.
Ia merasa girang, karena ia berpendapat bahwa sebentar lagi To Cu An sudah pasti akan kehilangan jiwanya.
Tetapi di samping itu ia juga mendongkol, melihat betapa besarnya kecintaan Ceng Bun kepada To Cu An.
Co Hun Ki memang bertabiat berangasan, maka makin lama berpikir ia menjadi semakin jengkel, sehingga akhirnya saking gemasnya ia sudah mengeluarkan kata-kata menyindir.
Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, pundaknya sudah ditepuk oleh Whi Su Tiong.
Orang tua itu menunjuk seorang musuh yang meronda di sebelah timur.
Ketika itu Ceng Bun dan Hun Jang berdua sudah bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Whi Su Tiong segera mengajak In Kiat dan Hun Ki maju bersama-sama sambil menyiapkan tiga buah tok cui di tangan masing-masing.
Secara perlahan dan hati-hati sekali mereka merayap maju menghampiri musuh, masing-masing mengincar seorang.
Bor beracun adalah senjata rahasia istimewa yang telah turun-menurun merupakan senjata andalan Thian Liong Bun.
Racun yang dipoleskan pada ujungnya bekerjanya begitu ganas, sehingga, sesuatu korban, begitu terkena, akan segera terkancing tenggorokannya dengan akibat napasnya akan menjadi sesak dan ia akan tewas dalam jangka waktu satu jam.
Karena lihaynya dan ganasnya, senjata rahasia ini diberi julukan "Tui Beng Tok Liong Cui" (Bor Naga Beracun Pengejar Jiwa).
Walaupun tidak diutarakan dengan kata-kata, tetapi di dalam hatinya, Co Hun Ki mempunyai perhitungan lain daripada pendapat susioknya.
"Biarlah, akan aku mampuskan dulu To Cu An si bangsat kecil, untuk membalaskan sakit hati suhu sekalian menyingkirkan duri di mataku. Jika ia ditangkap hidup-hidup, entah gara-gara apa lagi yang akan dibuat sumoay."
Dengan keputusan ini, ia maju lebih jauh Lewat berapa waktu lagi mereka sudah berada tak jauh dari musuh.
Mereka kini mendekam bersembunyi di antara semak-semak.
Tanpa berkesip Hun Ki mengincar To Cu An yang sedang asyik sekali menggali.
Dengan tak sabar ia menantikan isyarat Whi Su Tiong untuk menyerang.
Mendadak terdengar bunyi beradunya dua benda keras yang nyaring.
Ternyata cangkul To Cu An telah membentur sesuatu yang keras di dalam tanah.
Saat itu Whi Su Tiong mengangkat tangannya, tetapi ketika ia akan memberikan isyarat untuk menyerang, dari lain jurusan mendadak terdengar mendesirnya sekian banyak senjata rahasia yang seakan-akan dimuntahkan bukit salju di seberang mereka dengan beruntun-runtun, ditujukan kepada To Cu An berlima./ Ilmu silat ayah dan anak she To itu sudah sangat tinggi, maka walaupun senjata-senjata rahasia itu dilepaskan dari jarak dekat, berkat ketangkasan mereka, semua senjata rahasia yang mengancam itu sudah dapat disampok jatuh dengan cangkul masing-masing.
Tiga kawan mereka tidak begitu beruntung, seorang di antara mereka masih sempat menggulingkan tubuhnya di atas salju sehingga nyaris mengalami kecelakaan akibat dua batang panah kecil, yang sebuah menyerempet kepalanya dan sebuah lagi lewat dekat sekali di sisi lehernya.
Dua peronda yang lain mengalami nasib terlebih buruk lagi, dengan telak sekali dua batang senjata rahasia menancap di punggung mereka dan tanpa bersuara kedua-duanya roboh untuk tidak berkutik lagi.
Kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan, sehingga bukan saja To Cu An dan bapaknya, tetapi juga Whi Su Tiong dan kawan-kawan menjadi sangat terperanjat.
"Kawanan tikus, berani benar kamu membokong!"
Terdengar cacian dari bawah.
Yang mencaci adalah ayah To Cu An, yakni "Tin Kwan Tang" (Penindas dari Sebelah Timur Tembok Besar) To Pek Swee.
Suaranya bergemuruh laksana geledek, sesuai dengan perangainya dan julukannya.
Segera setelah itu, empat orang dengan senjata terhunus dan berkilau-kilau meloncat keluar dari antara tumpukan salju di bukit seberang itu.
Agaknya empat orang itu sudah mengetahui, bahwa bapak dan anak keluarga To itu akan datang di tempat tersebut dan sudah menunggu mereka, sambil bersembunyi di dalam suatu lobang yang telah mereka gali di bawah salju.
Mulut lobang itu ditutup dengan batang-batang kayu yang kemudian tertutup pula oleh salju, sehingga pekerjaan mereka itu sudah tiada bekas- bekasnya lagi.
Hanya berapa lobang kecil mereka tinggalkan untuk bernapas dan mengintip keluar.
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"To Si Hu Cu"
Sementara itu sudah meletakkan cangkul dan sekop mereka dan mencabut senjata masing-masing.
Senjata To Pek Swee adalah kang pian (cambuk baja) yang beratnya ada enam belas kati.
To Cu An menggunakan sebilah golok Ma ceecu yang tadi telah menjatuhkan diri ke dalam tanah legok, telah berguling berapa kali karena kuatir musuh melanjutkan serangan dengan senjata rahasia, seperti tadi.
Setelah itu baru ia melompat bangun.
Senjata yang berada di tangannya adalah lian cu tui, yakni sepasang martil yang dihubungkan satu pada yang lain dengan rantai.
Dari empat penyerang gelap itu, yang paling depan adalah seorang tinggi-kurus berkulit hitam.
Orang ini adalah Cong Piauw Thauw (Kepala Perusahaan Pengawalan) "Peng Thong Piauw Kiok"
Di Pakkhia (Peking), namanya Him Goan Hian. Ia terkenal karena ilmu goloknya "Tee Tong To"
Dan ia menjagoi di wilayah "Hoo Siok" (daerah di sekitar sungai Huang Ho).
Berapa tahun sebelumnya, kawanan Eng Ma Coan itu pernah merampas suatu kiriman barang- barang berharga yang berada di bawah pengawalan piauw kiok tersebut Him Goan Hian telah berusaha sebisa-bisanya, tetapi ia tidak berhasil meminta kembali barang-barang itu.
Gara-gara peristiwa itu mereka telah jadi bermusuh.
Orang kedua yang berjalan di belakang Him Goan Hian adalah seorang wanita.
Usianya kira-kira tigapuluh dua-tiga tahun.
Ma ceecu juga kenal siapa dia itu, ialah "Siang To"
The Sam Nio, sepasang golok andalannya telah menyebabkan ia mendapat julukannya itu. Mendiang suaminya adalah seorang anggauta-pegawai "Peng Thong Piauw Kiok"
Yang telah tewas ketika terjadi peristiwa perampasan tersebut.
Dua orang kawan mereka yang lain adalah seorang hweeshio gemuk, bersenjatakan kai to (golok suci paderi Buddhis) dan seorang laki-laki dengan wajah hitam keungu-unguan.
Senjatanya adalah sepasang thi koay (gaitan besi yang tajam ujungnya.) Di antara fihak Eng Ma Coan tiada seorang yang mengenal dua orang ini.
Mungkin mereka adalah jago-jago undangan "Peng Thong Piauw Kiok"
Untuk membantu mereka menuntut balas./ "Kusangka siapa, tak tahunya pecundang-pecundangku dahulu. Kecuali kawanan tikus di bawah pimpinan tikus besar she Him, memang rasanya sudah tiada lagi yang dapat melakukan perbuatan serendah itu,"
Bentak To Pek Swee demi melihat keluarnya empat musuh itu. Dengan suara lemah-lembut Him Goan Hian menjawab bentakan orang tua itu, katanya.
"To ceecu, mari kuperkenalkan kau dengan Ceng Ti Hweeshio dari "Pek Hwee Si"
Di Shoatang dan ini adalah suhengku Lauw Goan Ho, Lauw Tayjin.
"Tay To Si Wi" (Pengawal Istana Kelas Satu) dari kota-raja."
Bentakan To Pek Swee tadi sebenar-benarnya hanya ditujukan kepada rombongan Him Goan Hian yang telah membokongnya tadi.
Tetapi bagi In Kiat, kata-kata itu dirasakan sebagai juga ditujukan kepada fihaknya, mukanya dirasakan panas dan ia coba melirik kepada Whi Su Tiong.
Sebaliknya kawan ini menganggap sepi saja kata-kata To Pek Swee, seakan-akan ia tidak mendengarnya sama sekali.
Matanya tetap mengawasi orang-orang yang berada di lembah sebelah bawah itu dan yang pada saat itu sudah berhadap-hadapan.
Sebagai juga memang sedari dilahirkan sudah ditakdirkan harus bertentangan, To Pek Swee dan Him Goan Hian berbeda dalam segala-galanya.
Si orang tua bertubuh kuat-kekar dan suaranya nyaring menggetarkan.
Sebaliknya Him Goan Hian bertubuh kurus lemah sesuai dengan suaranya yang lemah lembut.
"Bagus, majulah beramai-ramai, kita berbicara dengan senjata,"
Suara To Pek Swee kembali menggetarkan seluruh lembah dan sebelum lenyap kumandang suaranya, ia mengayun-ayun cambuk bajanya yang mengeluarkan angin menderu-deru, membuktikan betapa besar tenaganya.
Meski adanya pameran kekuatan yang sungguh menantang ini, Him Goan Hian masih tetap berlaku tenang.
Dengan suara tidak meninggalkan nada lemah-lembutnya ia menjawab.
"Cayhee (aku yang rendah) adalah pecundang To ceecu, maka tak berani aku melawan ceecu lagi. Aku hanya mengharap agar kau suka berlaku murah dan sudi menghadiahkan suatu barang kepadaku." 'Apakah maksudmu?"
Teriak To Pek Swee yang menjadi agak heran, walaupun kegusarannya tidak menjadi reda karenanya Sebelum menjawab, Him Goan Hian lebih dulu menuding ke dalam lobang galian To Pek Swee dan anaknya. Menyusul itu ia baru menjawab.
"Itu, itulah barang yang kumaksudkan"
To Pek Swee tidak mau membuang kata-kata lagi, setelah mengerti maksud si Piauw Thauw. Dengan cambuknya ia segera menyerang orang she Him itu.
"Tahan dulu!"
Teriak yang diserang ini sambil mengelakkan serangan lawan.
"Kau hendak mengatakan apa lagi!"
Menggelegar pula suara To Pek Swee.
"Cayhee sudah sengaja menunggu kedatangan ceecu beramai selama tiga hari di dalam guha salju itu. Jika bukan karena memandang muka kalian, barang ini tentu telah kuambil siang-siang. Barang ini asalnya pun pengawasan kaum Thian Liong Bun, kini setelah ketelanjur berada di sini jika benda itu pindah ke lain tangan pun tidak mengapa. Harap ceecu suka memahami kata- kataku ini."
"Jangan mengaco, salju beku tebal-tebal menutupi pegunungan ini seluas ribuan li. Jika benar- benar kamu sudah mengetahui di mana barang ini disimpan, mustahil sekali kamu tidak mengangkatnya siang-siang."
The Sam Nio tidak dapat bersabar lagi, memang maksud sertanya dalam rombongan Him Goan Hian, adalah semata-mata untuk membalas sakit hati suaminya. Sambilmenghamburkan tiga batang hui to (golok terbang) ke arah Ma ceecu ia berseru.
"Apa gunanya membuang kata-kata, labrak saja, habis perkara!"
Dengan martilnya, Ma ceecu menyampok jatuh dua buah golok terbang Sam Nio dan dengan rantai penghubung kedua martil itu ia menahan golok yang ketiga.
Segera setelah menghalau ketiga-tiga senjata rahasia itu, ia menyerang muka si nyonya dengan sebelah martilnya./ The Sam Nio ternyata juga cukup gesit, dengan membongkokkan badannya ia dapat mengelakkan sambaran martil lawannya.
Berbareng dengan itu dua-dua goloknya dengan gerakan "Soan Hong Sit" (Angin Puyuh) telah melayang ke arah perut Ma ceecu, yang segera menggerakkan sebelah martilnya lagi untuk menghalaukan serangan si nyonya.
Hweeshio gemuk itu juga tidak mau tinggal diam menonton saja.
Goloknya segera melayang ke arah kepala To Pek Swee.
Jago tua ini tidak berusaha mengelakkan serangan musuh, bahkan ia sengaja memapaki senjata lawan dengan cambuknya, untuk mengadu tenaga.
Kedua senjata itu beradu dengan menerbitkan bunyi nyaring dan si hweeshio merasakan tangannya panas tergetar, goloknya yang telah menjadi gumpil, hampir-hampir terlepas dari genggemannya.
Saat itu To Cu An j uga sudah tidak dapat berdiri menonton saja.
Ia lantas saja memilih Him Goan Hian sebagai sasaran goloknya yang diputar kencang.
Enam orang itu, terbagi dalam tiga pasang musuh bertempur dengan sengit sekali di atas padang salju itu.
Tinggal Lauw Goan Ho yang saat itu belum mendapat lawan, maka dengan menggenggam sepasang gaitannya ia bersiap-siap di sisi kalangan pertempuran.
Tetapi sesaat kemudian ia juga sudah tidak dapat menahan napsunya lagi.
"Taysu, silakan mundur, berikanlah aku ketika untuk berkenalan dengan Tin Kwan Tang',"
Serunya ketika ia melihat, bahwa si hweeshio sudah agak kewalahan Tetapi agaknya hweeshio itu masih penasaran, ia tidak mau mundur.
Lauw Goan Ho yang sudah melangkah maju, tiba-tiba membentur sebelah pundaknya.
Karena tak menyangka, bahwa ia akan dibentur kawan sendiri, maka ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir jatuh celentang.
Sedang ia berusaha bertahan sebisa-bisanya, sekonyong-konyong ia merasakan sambaran angin dingin di belakangnya.
Dengan hati bercekat, buru-buru ia menundukkan kepalanya dan sebilah golok melayang beberapa jari saja di atas kepalanya.
Itulah golok To Cu An yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengelu-elukannya dengan bacokan golok.
Ceng Ti Hweeshio bermandikan keringat dingin karena terkejutnya, tetapi sesaat kemudian timbul pula kegusarannya.
Setelah dapat menenangkan hatinya, ia segera membantu Him Goan Hian mengerojok To Cu An.
Lauw Goan Ho, yang sedang terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan To Pek Swee, ternyata jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada sutee-nya.
Ketika pada sesuatu saat cambuk baja To Pek Swee yang berat, datang menyambar ia tidak berkelit, hanya gaitannya digerakkannya untuk menangkis, keras lawan keras.
Terbukti betapa kuat Lauw Goan Ho ini.
Sedikitpun ia tidak berkisar dari tempatnya.
Ia benar-benar dapat menandingi kekuatan si jago tua, bahkan pada saat itu juga ia dapat menekan cambuk lawan itu dengan gaitannya yang kanan, sedang gaitan kirinya segera meluncur ke arah kepala musuh.
Sebaliknya To Pek Swee juga bukan anak kemarin dan ia tak tinggal diam saja.
Ia tahu, bahwa hari itu ia menemukan lawan yang tidak lemah.
Semangatnya dipusatkan dan seluruh tenaganya dikerahkan untuk melayani musuh itu dengan ilmu silat cambuknya "Liok Hap Pian Hoat".
Tetapi usianya yang sudah tinggi itu bukannya tidak meninggalkan bekas.
Sedang di sebelah sana Ma ceecu sudah mulai berada di atas angin, To Pek Swee justeru sudah mulai terdesak.
Ia lebih banyak menangkis, daripada melancarkan serangan-serangan.
Juga keadaan To Cu An yang seorang diri harus melayani dua musuh sudah agak menguatirkan.
Harapan satu-satunya adalah agar Ma ceecu dapat cepat-cepat merobohkan The Sam Nio untuk kemudian lekas-lekas memaksa Him Goan Hian meninggalkan Cu An dan melayani ia.
Jika satu lawan satu, rasanya Cu An tidak akan menampak kesukaran untuk menjatuhkan si hweeshio.
Sungguh malang, agaknya The Sam Nio telah mengerti, bahwa, jika ia bertahan lebih lama.
"To Si Hu Cu"
Pasti akan roboh binasa berturut-turut.
Maka ia segera berganti siasat, pembelaan diri sekarang diutamakannya dan sepasang goloknya diputarkan untuk melindungi tubuhnya rapat- rapat, sehingga betapa hebat juga serangan-serangan Ma ceecu, ia ini belum dapat menyentuh apalagi melukakan The Sam Nio./ Setelah lewat beberapa puluh jurus, biar bagaimana juga The Sam Nio mulai merasakan beratnya tekanan musuh.
Berkali-kali ia harus mundur dan napasnya sudah mulai tersengal- sengal.
Tentu saja Ma ceecu tidak mau memberikan ketika untuk bernapas kepadanya, ia bahkan menyerang dengan lebih ganas pula.
Pada suatu saat ia melihat gerakan golok The Sam Nio agak terlambat dan di antara penjagaannya terdapat suatu lowongan.
Ia tak mau mengabaikan kesempatan baik ini dan dengan girang ia segera maju menyerbu dengan sepasang martilnya untuk menyelesaikan si nyonya.
Tetapi, sungguh di luar dugaan, mendadak ia merasakan kakinya kehilangan landasan ternyata ia telah menginjak lobang persembunyian Him Goan Hian dan kawan-kawan yang sebelah atasnya masih tertutup salju, sehingga seketika itu juga ia jatuh terperosok ke dalamnya.
Inilah hasil siasat The Sam Nio yang cerdik, dalam keadaannya yang terdesak ia telah sengaja memancing Ma ceecu ke jurusan lobang tersebut dan dalam kegirangannya Ma ceecu telah berlaku lengah dengan akibat terperosoknya ke dalam guha bikinan itu.
Di dalam lobang itu Ma ceecu mengeluh.
"Celaka!"
Dengan hati penasaran ia berusaha meloncat keluar.
The Sam Nio telah berjaga-jaga di tepi lobang dan ketika badan Ma ceecu terapung, ia segera membacok.
Tanpa dapat dicegah lagi, lengan Ma ceecu telah dipisahkan dari tubuhnya.
Dengan memperdengarkan jeritan yang mengerikan, ia jatuh lagi dalam keadaan pingsan.
The Sam Nio tidak berhenti sampai di situ saja, ia segera menyusul turun ke dalam lobang dan dengan membacok sekali lagi ia menghabiskan riwayat Ma ceecu.
Demi mendengar jeritan Ma ceecu, To Cu An lantas saja mengerti betapa buruknya keadaan bagi fihaknya pada saat itu.
Tetapi, apa yang dapat dibuatnya? Dikerubuti Him Goan Hian dan Ceng Ti, ia sudah hampir kehabisan daya.
Setelah membinasakan musuhnya, The Sam Nio mengaso sebentar sambil membereskan rambutnya.
Kemudian, setelah selesai mengikat kepalanya dengan sehelai saputangan putih ia maju pula ke medan pertempuran untuk membantu Lauw Goan Ho mengerojok To Pek Swee.
Tak usah dikatakan lagi bagaimana buruknya keadaan kedua orang, bapak dan anak itu.
Kalau saja To Pek Swee masih duapuluh tahun lebih muda, dalam pertempuran satu lawan satu tadi, Lauw Goan Ho sekali-kali bukan tandingannya.
Di masa yang lampau jago tua itu terkenal karena tenaganya dan daya serangannya yang benar-benar dahsyat sekali.
Tetapi pada saat itu, dalam usianya yang sudah lanjut, melawan Lauw Goan Ho seorang saja sudah dirasakannya berat sekali.
Ditambah dengan turut sertanya The Sam Nio yang saban-saban melancarkan serangan demi ada ketikanya, keadaannya benar-benar sangat berbahaya.
Mendadak Lauw Goan Ho membentak.
"Kena!"
Ketika itu, dengan gerakan "Liong Siang Hong Bu" (Naga Melingkar Burung Hong Menari), dua-dua gaitannya telah menyerang bersama-sama.
Buru-buru To Pek Swee menangkis, tetapi dalam pada itu The Sam Nio juga menyerang dari samping.
To Pek Swee tentu saja tak dapat menangkis empat batang senjata yang datangnya berbareng itu.
Karena memang sudah tidak ada jalan lain lagi, maka ia terpaksa harus melakukan suatu tindakan yang sangat berbahaya.
Sambil membentak nyaring ia mengangkat kaki kirinya dan menendang The Sam Nio.
Nyonya ini sama sekali tidak menduga bahwa orang tua ini akan menjadi demikian nekat.
Ia kurang waspada dan kini harus menjadi korban tendangan jago tua ini.
Tetapi, di lain fihak To Pek Swee juga tidak dapat menghindarkan pundak kirinya daripada bahaya terluka lagi, luka yang agak lebar itu segera sudah mengeluarkan darah.
Salju di bawahnya sudah segera juga berwarna merah.
Ternyata orang tua ini memiliki daya tahan yang menakjubkan, walaupun sudah terluka, ia masih dapat mengayun cambuknya dengan tangkas dan ia tidak mau mundur sama sekali.
To Cu An mengerti, bahwa fihaknya sudah tiada harapan menang lagi.
Buru-buru ia menghalau Ceng Ti dengan tiga serangan beruntun.
Bersama dengan mundurnya Ceng Ti, tiba-tiba ia juga/ meloncat ke belakang sambil berseru.
"Baiklah, kami ayah dan anak menyerah kalah. Kamu menghendaki jiwa atau harta kami?"
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun musuh terang-terang sudah menyerah kalah, tetapi The Sam Nio masih belum mau sudah, dengan hati penasaran ia masih menyerang To Pek Swee terus-menerus. Dalam kalapnya, ia membalas berteriak.
"Hartamu, jiwamu, dua-dua kuinginkan!"
Him Goan Hian tidak sependapat dengan nyonya ini.
Ia mempunyai perhitungan lain.
Tahun yang lalu, karena hilangnya barang-barang yang dikawalnya, ia harus mengganti penuh seluruh harga barang-barang tersebut.
Peristiwa itu telah menyebabkan ia bangkrut.
Maka pada saat itu ia ingin menyuruh musuh-musuh yang sudah menyerah itu, menyerahkan seluruh harta kekayaan mereka untuk menebus jiwa mereka.
"Baik, berhentilah dulu. Dengarlah kata-kataku!"
Serunya.
Lauw Goan Ho bukannya orang tolol dan The Sam Nio memang sudah biasa menurut kepada pemimpinnya ini.
Kedua orang ini segera juga menghentikan desakannya kepada To Pek Swee.
Sebaliknya Ceng Ti adalah seorang hweeshio yang beradat kasar.
Ketika itu keadaan fihaknya sedang menguntungkan.
Maka, mana mungkin ia mau berhenti begitu saja? Sambil memutar- mutarkan goloknya kencang-kencang ia sudah segera menyerbu pula ke arah To Cu An.
"Ceng Ti taysu! Ceng Ti taysu!"
Teriak Him Goan Hian dengan gugup. Akan tetapi Ceng Ti seakan-akan tidak mendengar seruannya itu. Melihat sikap hweeshio yang sangat kasar ini, To Cu An akhirnya menjadi jengkel juga dan membuang senjatanya ke atas salju.
"Beranikah kau membunuh aku?"
Tantangnya sambil membusungkan dada. Di waktu Cu An berteriak tadi Ceng Ti sebenarnya sudah mengangkat goloknya, tetapi setelah melihat sikap lawannya itu, ia menjadi tertegun dan ragu-ragu, goloknya tidak jadi diturunkan.
"Keparat gundul! Anjing!"
Caci Cu An saking gemasnya melihat sikap si hweeshio, yang dianggapnya sangat keterlaluan.
Menyusul kata-katanya, tinjunya melayang dan telak sekali menghajar hidung si hweeshio.
Ceng Ti sama sekali tidak menduga, bahwa ia akan diserang dengan begitu mendadak.
Maka dapat dimengerti, jika ia jadi gelagapan dan jatuh terduduk seketika itu juga.
Hidungnya juga berdarah berketel-ketel.
Setelah hilang kagetnya, hawa amarahnya serentak meluap-luap lagi.
Dengan kalap ia merayap bangun dan lantas saja menerjang Cu An sambil memperdengarkan geraman yang seram.
Akan tetapi Him Goan Hian masih keburu menarik dan menahan ia.
"Sabar dulu, taysu, sabar,"
Ujarnya.
Ketika Him Goan Hian sedang coba menyabarkan Ceng Ti, Cu An sudah melompat ke dalam lobang galiannya.
Setelah mencangkul berapa kali lagi ia melemparkan alat ini dan mengangkat sebuah kotak besi yang kira-kira empat kaki panjangnya.
Kotak besi ini dibawanya ke atas.
Melihat kotak besi itu, wajah Lauw Goan Ho dan kawan-kawannya berseri kegirangan.
Beramai- ramai mereka maju berapa langkah mendekati To Cu An.
Dalam pada itu Whi Su Tiong telah memikirkan suatu siasat lain.
"In suheng, kau dan Hun Ki menghajar mereka dengan tok cui, aku akan coba merebut pusaka itu,"
Bisiknya kepada In Kiat dan Hun Ki.
"Siapa yang harus kita serang?"
Tanya In Kiat dengan berbisik juga. Sebagai jawaban, Whi Su Tiong hanya menunjuk ke-enam orang di bawah itu, dengan kata- kata, jelaslah bahwa maksudnya adalah semua, enam orang itu, tanpa kecuali. 'Alangkah kejamnya,"
Pikir In Kiat diam-diam.
Tetapi kemudian ia menganggukan kepalanya tanda kesetujuannya dan tok-cui di kedua tangannya sudah siap untuk dilepaskan.
Kemudian ia/ melirik ke arah Hun Ki.
Ia melihat, bahwa pemuda ini tidak pernah mengalihkan pandangan matanya dari To Cu An.
Agaknya ia tidak memperdulikan lima orang yang lain.
"Hari ini, kami telah terjebak akal licik, pusaka idam-idaman kalangan Bulim ini, tentu saja akan kami serahkan dengan kedua tangan, hanya masih ada suatu hal yang aku masih belum mengerti dan mohon diterangkan,"
Kata Cu An dengan suara lantang.
"Apa lagi yang hendak ditanyakan siauw ceecu?"
Tanya Him Goan Hian sambil melirik.
"Bagaimana kamu dap.it mengetahui, bahwa kotak besi ini disimpan di sini dan apakah sebabnya kamu mengetahui, bahwa dalam berapa hari ini kami tentu akan datang menggalinya?"
"Pada upacara pengunduran diri Ketua Thian Liong Bun hari itu, banyak sekali yang datang menghadiri perjamuannya. Sebagai menantu keluarga Tian, siauw ceecu tentu hadir juga bukan?"
Kata Him Goan Hian. Setelah To Cu An menganggukkan kepalanya ia meneruskan.
"suhengku ini adalah seorang di antara sekian banyak tamu hari itu, hanya saja siauw ceecu usianya masih muda ketika itu, dan dengan kedudukanmu yang mulia, tentu saja kau tidak melihat kehadiran Lauw suheng."
"Mertuaku mengadakan perjamuan untuk sahabat-sahabat, tidak tahunya telah keliru mengundang juga mata-mata musuh,"
Jawab To Cu An dengan senyuman mengejek. Kata-kata To Cu An yang menusuk ini tidak membuat Him Goan Hian menjadi naik darah, ia ini bahkan masih melanjutkan pula pembicaraannya dengan suara lemah lembut. Katanya.
"Sekali- kali bukan begitu. Lauw suheng telah mendengar nama siauw ceecu yang sangat tersohor, tentu saja ia menjadi ketarik dan pada hari itu kedua mata Lauw suheng selalu mengikuti gerak-gerik siauw ceecu. Ini semua adalah berkat nama Eng Ma Coan yang sudah tersiar ke mana-mana."
"Baik! Baik! Memang sudah sepantasnya kotak ini dipersembahkan kepada Lauw Tayjin,"
Kata Cu An lagi dan ia mengangkat tinggi-tinggi kotak tersebut untuk diangsurkan kepada Lauw Goan Ho.
Tanpa curiga, Lauw Goan Ho sudah hendak menerima kotak itu, ketika secara tak terduga Cu An mendadak telah menjebelakkan tutup kotak itu.
Tiga batang anak panah melesat keluar laksana kilat dan menyamber dada Lauw Goan Ho.
Agaknya, dalam jarak sedekat itu, serangan anak panah tersebut sudah tidak dapat dilakkan lagi.
Akan tetapi Lauw Goan Ho ternyata lihay sekali, dalam keadaan terancam ini ia masih sempat menarik Ceng Ti Hweeshio ke depannya untuk dijadikan tameng hidup.
Kasihan Ceng Ti ini, dengan mengeluarkan teriakan serak jiwanya melayang seketika itu juga.
Dua daripada tiga batang anak panah itu menancap di tenggorokannya.
Panah ketiga yang jurusannya agak ke samping sedikit lewat di samping tubuh hweeshio sial ini dan tepat sekali mengenai pundak kiri Him Goan Hian.
Anak panah itu menancap dalam sekalilebih separuh ke dalam tubuhnya, dapat dimengerti, bahwa lukanya ini tidak enteng.
Kejadian ini lebih-lebih tidak terduga daripada pembokongan atas rombongan Eng Ma Coan oleh Him Goan Hian dan kawan-kawannya tadi.
Rombongan Whi Su Tiong juga tidak kurang kagetnya, bahkan Tian Ceng Bun sampai berteriak.
Begitu mendengar teriakan itu, Lauw Goan Ho yang licik tidak menghiraukan lagi dua musuh she To itu maupun kawan-kawannya, buru-buru ia meloncat ke belakang sebuah batu besar untuk berlindung dan dari tempatnya ini ia menantikan perkembangan selanjutnya.
"Turun tangani"
Terdengar teriakan Whi Su Tiong kepada rombongannya sambil mendahului melompat maju.
Co Hun Ki segera mengayun tangannya dan tiga batang tok cui menyamber ke arah To ju An yang memang sedari tadi telah diincarnya terus-menerus.
Mungkin sekali Tian Ceng Hun memang sudah dapat menyelami pikiran si pemuda M.ika ketika ia ini mengayunkan tangannya, Ceng Bun telah menyenggol pundaknya.
Karena ini tubuh Hun Ki/ jadi tergoncang dan tiga senjata rahasianya menyeleweng arahnya, sehingga jatuh di atas salju tanpa menemui sasarannya.
"Barang kembali kepada pemiliknya! Kembali kepada pemiliknya!"
Seru Whi Su Tiong berulang- ulang dan dengan jarinya yang bagaikan ceker garuda ia coba mengorek kedua mata To Cu An, sementara itu tangannya yang sebelah lagi sudah memegang tepi kotak yang diperebutkan.
Pada saat itu In Kiat juga sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Lauw Goan Ho.
Mereka sudah pernah berjumpa dalam perjamuan Thian Liong Bun yang disebut-sebut Him Goan Hian tadi.
Mereka sama-sama mengetahui, bahwa lawannya adalah tokoh kenamaan dalam kalangan Kangouw.
Setelah bertempur berapa jurus mereka mengetahui bahwa nama itu bukan hanya nama kosong dan mereka jadi saling mengagumi.
Dengan pedang terhunus Ciu Hun Jang menyambut Him Goan Hian yang sudah maju juga menghampiri kalangan pertempuran.
Tian Ceng Bun memilih lawan sejenis, yakni The Sam Nio.
Co Hun Ki yang sudah sampai juga bukannya melayani To Pek Swee yang masih menganggur, tetapi justeru menyerang To Cu An dengan pukulan "Pek Hong Koan Jit" (Pelangi Putih Menembus Matahari).
Serangan ini adalah serangan yang sangat hebat dan ganas.
Karena ketika itu tidak memegang senjata, maka To Cu An terpaksa harus melepaskan kotak besi itu dan meloncat ke belakang.
Kemudian ia memungut goloknya dan segera hendak merebut kembali kotak yang sudah terjatuh ke dalam tangan musuh itu.
'Anak durjana, karena temaha akan barang pusaka Thian Liong Bun, kau telah membunuh mertuamu sendiri secara pengecut, secara membokong!"
Demikian, sambil memegang kotak besi itu, Whi Su Tiong memaki dengan sengit Tuduhan ini tak dapat diterima To Cu An. Dengan suara yang tidak kalah sengitnya ia membantah.
"Siapa mengatakan, bahwa aku membunuh gakhu (mertua laki-laki)!"
Selama itu goloknya tidak pernah mengaso, ia merangsak terus dengan maksud supaya bisa lekas-lekas merebut kembali kotak itu.
Dengan terjatuhnya kotak besi itu ke dalam tangan Whi Su Tiong, sebenarnya To Cu An sudah harus mengerti, bahwa baginya sudah tidak ada pengharapan lagi untuk dapat merebutnya kembali.
Biarpun Whi Su Tiong tidak bersenjata, tetapi dengan tangan kosong juga ia sudah bukan tandingan To Cu An.
Apa lagi pada saat itu Co Hun Ki membantu susioknya dari samping dan saban-saban melancarkan serangan bila saja ada lowongan.
Mendengar tuduhan kepada anaknya itu, To Pek Swee berteriak.
"Hai, orang she Whi, Tian cinkee (besan laki-laki) telah menyerahkan kotak ini dengan tangan sendiri kepada anakku. Mungkinkah kau tidak menerima atau mempunyai maksud lain?"
Kata-katanya ini ditutup dengan mengayunkan cambuk bajanya ke arah kepala Whi Su Tiong Dengan sangat mudah Whi Su Tiong dapat mengelakkan serangan ini.
Ia melompat pergi dan sampai di samping Tian Ceng Bun.
Tanpa mengucapkan sepatah kata ia terus saja hendak mengempelang kepala The Sam Nio dengan kotak besi itu.
The Sam Nio telah menyaksikan sendiri, bagaimana anak panah-anak panah tadi melesat keluar dari dalam kotak itu.
Ia takut jika kotak itu akan menyemburkan anak panah lagi, maka ia buru- buru berkelit sambil membongkokkan badan.
Di luar dugaannya, serangan itu hanyalah akal Whi Su Tiong saja, supaya Tian Ceng Bun menjadi bebas dan dapat diserahi tugas memegang dan menjaga kotak itu.
"Jaga kotak ini baik- baik, biarlah aku yang melayani musuh,"
Pesannya kepada si gadis.
Kemudian ia menghampiri lagi To Pek Swee untuk melanjutkan pertempuran yang tertunda tadi.
Kepandaian jago Thian Liong Bun ini ternyata masih lebih tinggi daripada yang lain-lain.
Dengan cambuknya yang berat dan dengan tenaganya yang kuat, To Pek Swee tidak dapat berbuat banyak terhadap lawan yang bertangan kosong ini, sehingga terus-menerus ia terdesak mundur./ Juga Ciu Hun Jang sudah berada di atas angin.
Karena Him Goan Hian selama ini belum mendapat kesempatan untuk mencabut panah yang menancap di pundaknya, maka saban kali ia menggunakan tenaga, pundaknya yang terluka ini dirasakan sakit sekali dan ia tak leluasa melawan Hun Jang yang tidak lemah kepandaiannya.
Di antara lawan-lawan kaum Thian Liong Bun ini hanya Lauw Goan Ho saja yang masih dapat melayani lawannya tanpa terdesak.
Agaknya ia memang tandingan yang setimpal dengan In Kiat.
Sedang mereka sengit sekali bertempur, Tian Ceng Bun sudah lari ke jurusan barat laut sambil membawa kotak besi itu.
Melihat Ceng Bun kabur, To Cu An segera menggertak Co Hun Ki dengan suatu bacokan dahsyat dan ketika lawan ini hendak menangkis, ia menarik kembali serangannya.
Sesaat kemudian ia sudah mengejar si gadis dengan mengerahkan seantero tenaganya.
Tindakan To Cu An ini telah membangkitkan amarah Co Hun Ki.
Maka pemuda ini pun segera membalikkan tubuh dan mengubar dengan kencang.
Akan tetapi, ketika ia baru mengejar berapa langkah ia telah disambut dengan bacokan golok oleh The Sam Nio yang telah mencegatnya.
Tentu saja Hun Ki jadi sangat mendongkol, apalagi karena melihat Cu An sudah kabur semakin jauh.
Segera ia menyerang dengan serangan-serangan yang lihay dan ganas.
Meski kepandaian The Sam Nio masih belum seberapa, tetapi ia telah meyakinkan suatu ilmu yang khusus untuk membela diri terhadap musuh yang lebih tangguh, yakni "Tiat Bun Coan" (Palang Pintu Besi) yang mempunyai tiga puluh enam macam gerakan.
Oleh sebab ini, maka Co Hun Ki tidak dapat mengalahkannya cepat-cepat, meskipun dengan tipu-tipu serangan yang sangat lihay.
Dalam pada itu Ceng Bun sudah kabur lebih dari satu li, ia menengok dan melihat To Cu An sudah tidak berapa jauh di belakangnya.
Inilah memang yang diinginkannya, dan setelah melewati sebuah bukit, ia berhenti menunggu.
"Untuk apa kau mengejar aku?"
Tanyanya seakan-akan kurang senang, tetapi wajahnya mencerminkan kegirangan hatinya.
"Ceng moay, lebih baik kita bersatu melawan kawanan penjahat itu, persoalan kita sendiri, nanti saja kita selesaikan dengan baik-baik."
"Siapakah adikmu, mengapa kau membunuh ayahku?"
Demi mendengar teguran ini, To Cu An lantas saja berlutut.
"Thian yang di atas, jika benar aku, To Cu An, telah mencelakakan Tian loocianpwee Ciang Bun Jin Thian Liong Bun, biarlah aku kelak mati ditembusi berpuluh ribu batang anak panah dan mayatku dicincang berantakan!"
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia bersumpah sambil menunjuk ke atas. Melihat Cu An berani mengangkat sumpah, Ceng Bun jadi tidak bersangsi lagi dan ia segera mengulurkan tangannya.
"Baik, ternyata memang bukan kau, sudah sejak semula aku tidak percaya, bahwa kau adalah pembunuhnya, tetapi mereka ... mereka____"
Sebelum si gadis dapat menyelesaikan ucapannya, To Cu An sudah melompat bangun dan menggenggam tangannya sambil berkata.
"Ceng moay____"
Mendadak Cu An menghentikan perkataannya, ia melihat wajah nona itu mendadak berubah, ia mengerti, bahwa tentu ada orang datang ke jurusan mereka. Buru-buru ia membalikkan badan dan seketika itu ia mendengar bentakan.
"Mengapa kamu berdua bersembunyi di sini?"
Bentakan itu sangat menusuk hati Ceng Bun, sehingga ia ini menjadi sangat gusar dan membalas mendamperat,/ "Bersembunyi, katamu? Benar? Mulutmu harus dicuci bersih!"
Sementara itu To Cu An juga sudah mengetahui siapa pendatang baru itu, ialah Co Hun Ki. Lekas-lekas ia coba memberikan keterangan.
"Co suheng, janganlah kau salah mengerti,"
Katanya. Bersabar memang bukan pembawaan Co Hun Ki. Ia, yang berkepala batu, mana mau mendengarkan keterangan orang yang dianggapnya sebagai musuh itu. Dengan mata melotot ia membentak pula.
"Salah mengerti apa!"
Bersama dengan diucapkannya perkataan ini ia melancarkan serangan, sehingga To Cu An juga tidak dapat berbuat lain daripada segera mengangkat goloknya untuk menangkis pedang saingannya.
Baru berapa jurus mereka bertempur, ketika mendadak di antara gemerincing senjata beradu terdengar tindakan kaki dan sesaat kemudian kelihatan The Sam Nio berlari secepat angin menghampiri mereka.
"Perempuan bangsat, anjing, keparat, kau selalu hendak merintangi saja!"
Terdengar serentetan caci Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai napsunya lagi.
Ia benar-benar sebal melihat perempuan itu yang selalu membuntuti dan menghalang-halangi segala gerak-geriknya.
Tanpa membuang-buang tempo lagi, ia menyerang si nyonya.
The Sam Nio tidak tinggal berpeluk tangan, ia menangkis dan goloknya yang sebelah lagi segera membalas serangan lawan.
Pada saat itu, dari jurusan lain golok To Cu An juga sudah melayang ke arahnya dengan gerak tipu "Ciu Liang Hoan Cu".
Meskipun ia kini harus melawan dua musuh, Hun Ki tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia menganggap ini sebagai ketika yang baik sekali untuk mempamerkan ketangkasannya di hadapan gadis pujaannya, maka ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bertempur dengan mati- matian Ketangkasannya menimbulkan kekaguman di hati To Cu An.
"Kiam hoat bagus!"
Pujinya. Tetapi pada saat yang sama juga ia menyerang selangkang Co Hun Ki dengan gerakan "Siang Po Liauw Im"
Sambil setengah berjongkok.
Menurut dugaan The Sam Nio, Co Hun Ki tentu akan mengangkat senjatanya ke atas untuk menangkis dan penjagaannya di sebelah bawah akan terluang.
Sungkan menyia-nyiakan ketika yang baik ini, ia segera membacok dengan kedua-dua goloknya.
Tak pernah ia menyangka, bahwa To Cu An akan berganti siasat secara tiba-tiba sekali.
Dengan gerak tipu "Twe Po Cam Ma To"
Dan gerakan pergelangan tangan, goloknya bukan mengenai Co Hun Ki, tetapi sebaliknya melukakan paha The Sam Nio.
"Roboh!"
Bentak Cu An berbareng dengan itu.
Sungguh keji tipu ini dan benar-benar di luar dugaan datangnya serangan ini, sehingga seorang ahli yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada The Sam Nio, juga tak akan dapat mengelakkan serangan Cu An ini.
Maka dapat dimengerti jika The Sam Nio roboh seketika itu juga.
Belum puas dengan hasil ini, To Cu An masih memburu maju lagi dan sudah akan menabas leher nyonya celaka ini.
Tetapi pada detik yang sangat berbahaya bagi The Sam Nio itu, mendadak Co Hun Ki menyelak dan menangkis golok Cu An.
"Kau tidak takut kehilangan muka?"
Tanya Hun Ki mengejek.
"Dalam pertempuran tidak ada soal tipu-menipu, dalam hal ini aku hanya ingin membantu kau!"
Jawab Cu An dengan tertawa.
Sebelum Hun Ki dapat menjawab pula, Lauw Goan Ho, In Kiat, To Pek Swee, Whi Su Tiong dan yang lain-lain telah datang semua.
Agaknya mereka semua mempunyai pikiran yang sama.
Setelah melihat Tian Ceng Bun kabur sambil menggondol kotak besi itu, mereka serentak kehilangan napsu bertempur dan segera menyusul beramai-ramai.
'Ayah, Thian Liong Bun adalah sahabat kita, janganlah bertempur lagi dengan Whi susiok!"
Teriak To Cu An kepada ayahnya./ Sebelum To Pek Swee menjawab seruan anaknya itu, Co Hun Ki sudah keburu menyelak dan mengatakan.
"Kau telah mencelakakan suhu, tak sudi aku menjadi sahabatmu!"
Tanpa menunggu kata-katanya habis diucapkan, ia sudah melancarkan lagi serangan-serangan bertubi-tubi.
To Cu An belum berjaga-jaga dan ia dibuat kelabakan karenanya.
Dua serangan yang pertama telah ditangkisnya, tetapi serangan yang ketiga hampir-hampir tak dapat dihindarkannya.
Meski ia buru-buru mengegos ke kiri, pedang lawan itu masih juga lewat dekat sekali di sisi kanan kepalanya.
Sedetik saja terlambat, kepalanya tentu akan tertembus dan otaknya berarakan.
Walaupun ia sudah terluput dari bahaya, tetapi saking terkejutnya ia jadi bermandikan keringat dingin dan mukanya menjadi pucat Ketika ia hendak membuka suara, mendadak Tian Ceng Bun berteriak, 'Ai!"
Bersama dengan terdengarnya teriakan Ceng Bun ini, Cu An melihat sebuah senjata rahasia lewat di samping kepalanya dan sesaat kemudian ia merasakan punggungnya terkena senjata tajam.
Ternyata semua ini adalah gara-gara The Sam Nio.
Setelah ia roboh dengan menderita luka, diam-diam ia menunggu kesempatan untuk membalas pembokongan itu.
Maka pada saat Cu An mundur dengan gugup karena serangan Hun Ki yang tak diduganya, The Sam Nio telah segera menggunakan kesempatan ini dengan baik.
Ia meloncat maju sambil membacok kepala si pemuda.
Untungnya Tian Ceng Bun, yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Cu An, telah melihat datangnya serangan nyonya itu.
Dengan kecepatan bagaikan kilat ia menimpukkan sebatang bor beracunnya yang segera menancap di dada kiri The Sam Nio.
Karena ini, maka daya serangan goloknya menjadi hilang, sehingga To Cu An jadi terhindar dari bahaya maut.
"Perempuan hina yang busuk!"
Teriak To Cu An dengan kalap sambil memutarkan tubuh.
Setelah mana sebilah goloknya di timpukkan ke arah dada atau leher pembokongnya barusan.
Karena dekatnya jarak antara kedua orang itu, agaknya The Sam Nio sudah tidak akan dapat terhindar lagi dari kebinasaan tanpa ada seorang yang dapat menolongnya.
Tetapi pada saat semua orang sedang menantikan terpanteknya tubuh nyonya itu dengan golok di atas salju, dengan mata membelalak kesima, mendadak terdengar bunyi seakan-akan siulan panjang dan sesaat kemudian sebutir senjata rahasia yang sangat kecil telah membentur golok Cu An dengan menerbitkan bunyi nyaring.
Benturan ini menyebabkan golok itu berubah arah dan menancap di salju dekat pada badan The Sam Nio.
Demi melihat betapa tepatnya senjata rahasia itu mengenai golok pembawa maut itu, meskipun agaknya telah dilepaskan dari tempat yang agak jauh, semua orang tanpa kecuali menjadi terkejut serta kagum.
Tahulah mereka, bahwa kepandaian orang yang melepaskannya sudah sukar diukur lagi.
Serentak mereka menengok ke jurusan, darimana datangnya senjata rahasia itu.
Mereka melihat seorang hweeshio yang kumis maupun jenggotnya sudah putih semua, mendatangi dengan perlahan sambil menenteng tasbih dan berulang-ulang bersabda.
"Siancay, siancay."
Setibanya di tempat itu, si hweeshio lantas saja berjongkok memungut sesuatu yang langsung dirangkaikan pada tasbihnya.
Ternyata, senjata rahasia tadi adalah sebutir biji tasbih.
Serenceng biji-biji tasbih itu agaknya dibuat dari kayu atau bambu.
Bahwa barang itu bukan barang berat, sudah ternyata karena angin pagi yang tidak kencang itu dapat menyebabkannya terayun.
Maka dapat dibayangkan betapa kuat tenaga jari hweeshio itu yang sudah dapat menyentil sebutir biji tasbih kecil dari jarak berapa puluh tombak untuk membentur golok baja yang berat sehingga terpental.
Sesaat kemudian, dari tercengang, semua orang-orang itu menjadi gentar dan sudah segera berhenti bertempur.
Tanpa mengedipkan mata mereka semua mengawasi si hweeshio tua.
Ia ini telah menghampiri The Sam Nio untuk diangkat bangun dan setelah mana ia mencabut bor beracun yang menancap di dada nyonya itu.
Seketika itu, dari luka si nyonya, mengalir darah kehitam-hitaman dan rasa sakit yang sangat hebat nyonya ini menyebabkan segera jatuh pingsan./ Dari sakunya, si hweeshio segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah, yang lantas dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio.
Kemudian ia menatap wajah semua orang yang berada di sekitarnya dan berkata.
"Obat ini hanya dapat menghilangkan rasa sakit Tok Liong Cui adalah senjata rahasia istimewa dari Thian Liong Bun, maka loolap (sebutan diri seorang hweeshio) tak berdaya terhadapnya."
Kemudian, sambil menatap wajah Whi Su Tiong, ia melanjutkan.
"Tuan adalah tokoh utama Thian Liong Bun. Melihat muka hweeshio, atau kalau tidak, melihat muka sang Buddha, harap Tuan suka berlaku murah hati."
Ucapannya ini ditutup dengan mengangkat tangannya, memberi hormat kepada orang she Whi itu.
Whi Su Tiong dan The Sam Nio belum saling mengenal, di antara mereka juga tidak ada ganjelan atau dendaman sakit hati, lagi pula yang meminta adalah si hweeshio tua yang kepandaiannya telah disaksikannya sendiri.
Jika ia tidak bersedia memberikan obatnya, perkembangan selanjutnya mungkin sekali akan tidak menguntungkan dirinya.
Ia berpengalaman luas dan dapat melihat gelagat, maka seketika hweeshio itu memberi hormat ia juga tidak berayal pula membalasnya.
"Jika taysu yang memerintahkan, tentu saja aku menurut,"
Katanya.
Ia segera merogoh sakunya dan mengeluarkan dua botol kecil.
Dari salah sebuah botol itu, ia lalu mengeluarkan sepuluh butir pil berwarna hitam, yang lantas saja dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio.
Botol yang lain diangsurkannya kepada Tian Ceng Bun sambil berkata.
"Oleskan obat ini pada lukanya."
Tian Ceng Bun menurut, kotak besi itu diserahkannya kepada susioknya dan ia menerima botol itu untuk kemudian dibubuhkan pada luka The Sam Nio.
"Syukur, syukur, sicu (tuan yang berbudi) berbelas kasihan,"
Katanya sambil memberi hormat sekali lagi. Kemudian ia bertanya.
"Sebab apakah Tuan-Tuan saling melabrak di sini? Sebenarnya tidak ada soal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka loolap memberanikan diri untuk memberikan jasa baik dan mendamaikan Tuan-Tuan."
Mendengar kata-kata si hweeshio ini semua orang jadi saling memandang. Sebagian dari antara mereka tetap berlaku tenang, tetapi sebagian pula terutama Co Hun Ki sudah segera menunjukkan kegusaran.
"Bangsat kecil ini telah membunuh guruku dan mencuri pusaka partai kami, taysu, coba pikirkan pantas tidaknya, jika ia diharuskan mengganti dengan jiwanya?"
Teriak Hun Ki sambil menuding To Cu An. Selama berbicara ia mengayun-ayunkan pedangnya, sehingga senjata ini menggetar.
"Siapakah gurumu?"
Tanya si hweeshio.
"Mendiang guruku she Tian dan di masa hidupnya ia menjadi Ketua partai kami cabang utara."
"Ah! Kui Long telah mangkat? Sayang, sungguh sayang!"
Seru hweeshio tua itu terperanjat Agaknya ia mengenal Tian Kui Long, bahkan ia seakan-akan menganggap dirinya dari tingkatan lebih tua.
Ketika Tian Ceng Bun, yang baru saja selesai mengobati luka The Sam Nio, mendengar ucapan si hweeshio, ia segera tampil ke muka sambil menjura dan menangis terisak-isak.
'Aku mohon pertolongan Taysu untuk mencarikan pembunuhnya dan membalaskan sakit hati ayahku,"
Katanya dengan sedih. Sebelum hweeshio itu dapat menjawab, Co Hun Ki sudah berteriak.
"Pembunuh yang mana lagi? Dengan adanya bukti-bukti yang cukup ini, bukankah sudah ternyata, bahwa bangsat kecil ini benar-benar pembunuhnya?"
To Cu An menjawab tuduhan ini dengan hanya tertawa dingin. Tetapi, sebaliknya To Pek Swee tak dapat bersabar pula. Dengan hati mendidih ia membentak.
"Berpuluh-puluh tahun aku bersahabat rapat sekali dengan Tian cinkee, dan antara kami ada hubungan keluarga, mengapa kami harus mencelakakan beliau!"
"Mengapa? Tentu saja untuk mencuri pusaka kami!"
Bentak Hun Ki lagi./ Tuduhan berat yang terus-menerus dilontarkan Hun Ki ini makin membangkitkan amarah To Pek Swee.
Dengan dada serasa mau meledak ia melompat ke arah pemuda kepala batu itu dan terus saja menyerangnya.
Sedang Co Hun Ki hendak menangkis serangan cambuk itu, si hweeshio sudah menggerakkan tasbihnya, yang segera melibat cambuk To Pek Swee.
Gerakan cambuk itu segera terhenti dan ketika, sesaat kemudian, si hweeshio menggerakkan tasbihnya dengan perlahan ke atas, senjata jago Eng Ma Coan ini terpental kembali dan terlepas dari tangannya.
Agaknya hweeshio itu tidak menggunakan banyak tenaga, tetapi gerakannya itu ternyata mengandung tenaga yang dahsyat sekali, sehingga To Pek Swee merasakan tangannya kesemutan dan kesakitan.
Mau tak mau ia harus melepaskan pegangannya sambil melompat ke samping dan cambuknya itu jatuh melesak di salju.
Tadinya semua orang itu berdiri dekat di sekitar si hweeshio, tetapi demi melihat cambuk baja itu melayang kembali dan terlepas dari tangan pemiliknya, serta merta mereka meloncat mundur dan mengawasi hweeshio itu dengan sikap tertegun.
Pada saat itu mereka semua berpikir sama "Tin Kwan Tang sudah lama terkenal karena tenaganya yang besar sekali, tetapi kini dengan suatu gerakan tasbih yang perlahan, senjatanya telah dibentur terlepas oleh hweeshio ini."
Tak usah ditanyakan lagi betapa malunya To Pek Swee, mukanya menjadi merah seketika itu juga dan tak lama pula rasa malunya berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bagus, hweeshio. Tak tahunya kau adalah pembantu undangan Thian Liong BunI"
Teriaknya dengan suara bergetar karena marah. Walaupun dicaci dan dituduh terang-terangan di hadapan orang banyak, si hweeshio tetap tenang-tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah lenyap dari mulutnya.
"Sicu sudah berusia lanjut, mengapa masih saja berdarah panas. Tidak salah, jika sicu mengatakan loolap datang di Tiang Pek San ini atas undangan orang, hanya, yang mengundang bukannya Thian Liong Bun."
Mendengar ucapan si hweeshio yang terakhir ini, kedua-dua rombongan Thian Liong Bun maupun "To Si Hu Cu"
Menjadi terkejut sekali.
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantas ia menolong The Sam Nio tadi. Agaknya dia adalah undangan fihak 'Peng Thong Piauw Kiok', rasanya kotak pusaka itu sudah sukar dipertahankan lagi,"
Pikir mereka Karena itu, Whi Su Tiong jadi berjaga-jaga Ia mundur setindak dan Co Hun Ki serta In Kiat segera meloncat ke samping kiri-kanannya untuk bantu melindungi pusaka itu.
Hweeshio itu tidak menghiraukan tindakan mereka, ia seakan-akan tidak melihat apa-apa.
"Di sini tidak ada kayu untuk menyalakan api, juga tidak ada makanan dan minuman, ditambah lagi dengan hawa dingin yang menusuk ini. Yang mengundang loolap, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Tuan-tuan sekalian adalah sahabat-sahabat loolap, maka lebih baik kita bersama- sama menuju tempatnya untuk mengaso. Tuan rumah pasti akan menerima kita dengan segala senang hati. Bagaimana pendapat Tuan-Tuan?"
Kata-katanya ini diakhiri dengan tertawa terbahak- bahak, sebagai juga ia tidak memikirkan lagi pertempuran sengit antara orang-orang itu tadi.
Karena ini maka kekuatiran orang-orang itu menjadi reda Mereka melihat, bahwa roman hweeshio itu mencerminkan welas-asih dan sikap maupun lagu suaranya ramah-tamah selalu.
"Cianpwee siapakah tuan rumah, yang Taysu sebutkan tadi?"
Tanya In Kiat.
"Tuan rumah itu tidak mengijinkan loolap menyebutkan namanya, harap sicu sudi memaafkan. Loolap memang biasa suka mengundang tamu. Siapa saja yang telah diundang, tetapi tidak mau hadir, loolap menganggapnya sebagai sengaja tidak mau memberikan muka."
Di antara sekian orang itu, agaknya Lauw Goan Ho mempunyai pendapat lain. Ia melihat tingkah-laku hweeshio tua itu agak aneh dan hatinya lantas saja menjadi sangsi./ "Maaf Taysu, heekoan (pegawai negeri yang rendah) mohon diri,"
Katanya Setelah memberi hormat ia membalikkan tubuh dan segera hendak berlalu.
"Sungguh beruntung, di tempat pegunungan yang sangat sepi ini masih juga aku dapat berjumpa dengan pembesar negeri, benar-benar beruntung,"
Kata hweeshio itu dengan tertawa.
Ia menunggu sampai Lauw Goan Ho sudah berlari berapa lama Kemudian sekonyong-konyong ia meloncat, mengejar si pembesar.
Jubah pertapaannya yang berwarna kelabu, melambai-lambai di atas salju yang putih itu.
Larinya kelihatan tidak berapa cepat, walaupun demikian dalam sekejap saja ia sudah dapat mendahului Lauw Goan Ho.
"Loolap mengharap agar Tayjin suka memberi muka,"
Katanya dengan tertawa setelah berhadapan muka dengan Lauw Goan Ho ini.
Tanpa menunggu jawaban lagi ia mengulurkan tangannya dan memegang tangan kanan Lauw Goan Ho.
Jago pembesar ini merasakan separoh tubuhnya mendadak linu dan tidak bertenaga karena telah kena dipencet urat nadinya.
Seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mengalami kejadian serupa itu.
Dalam gugupnya, tanpa berpikir lagi, ia segera mengayun tinju kirinya, menjotos muka si hweeshio.
Sungguh tidak diduganya, bahwa dengan serangannya ini, ia seakan-akan mencari penyakit sendiri.
Tadi hweeshio itu memegang tangan Lauw Goan Ho dengan jempol dan telunjuknya.
Melihat datangnya serangan, ia segera menggerakkan tangannya itu ke atas berikut tangan Lauw Goan Ho.
Dengan tiga jarinya yang lain ia menyambut tangan Lauw Goan Ho yang datang menyerang itu untuk terus dijepit juga.
Dua-dua tangan Lauw Goan Ho sudah terjepit di dalam genggamannya kini, tangan kanannya masih tetap memainkan rencengan tasbih itu dan dengan perlahan serta berseri-seri ia kembali ke tempat tadi.
Melihat, bagaimana Lauw Goan Ho dipermainkan dan diseret kembali, tentu saja fihak Thian Liong Bun dan "To Si Hu Cu"
Menjadi girang sekali.
Tetapi di samping kegirangan itu karena kini ternyata, bahwa hweeshio itu bukan pembantu undangan "Peng Thong Piauw Kiok", mereka juga terkejut, karena kepandaian sebagai yang dimiliki si hweeshio belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Ketika itu, dengan masih tetap menyeret Lauw Goan Ho, si hweeshio sudah tiba kembali di antara mereka.
"Lauw Tayjin kini sudah menyanggupi akan memberi muka kepadaku, kurasa demikian juga dengan kalian,"
Katanya sembari memandang mereka semua.
Dengan peristiwa barusan ini sebagai contoh, meskipun semua orang itu bercuriga dan tak rela turut, tak ada seorang yang berani menolak, mereka semua menginsyafi, bahwa penolakan akan berarti kerugian bagi mereka sendiri, sebagai dengan halnya Lauw Goan Ho.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi dan tetap saja menyeret Lauw Goan Ho, hweeshio tua itu sudah segera mendahului berjalan dengan perlahan-lahan.
Tetapi sesaat kemudian, setelah berjalan berapa tindak, ia menoleh dan mengatakan.
"Suara apakah itu?"
Ternyata, jika didengarkan dengan penuh perhatian, lapat-lapat dari jurusan lembah tadi, terdengar suara bentakan-bentakan yang terputus-putus.
Agaknya di sana masih berlangsung pertempuran mati-matian.
Mendadak Whi Su Tiong teringat akan Ciu Hun Jang.
"Hun Ki lekas pergi membantu Hun Jang,"
Katanya dengan tergesa-gesa./ "Ah, aku juga telah melupakannya,"
Jawab Hun Ki yang lantas saja membalikkan tubuhnya dan menuju ke tempat itu, diikuti si hweeshio yang masih tetap belum mau melepaskan Lauw Goan Ho.
Tak usah ditunggu lama-lama, ketika ternyata betapa besarnya perbedaan antara kepandaian Lauw Goan Ho dan hweeshio itu.
Walaupun pembesar jagoan ini mengerahkan Seantero tenaganya, tak urung ia tak dapat menandingi lari si hweeshio dan ia terus-menerus harus manda diseret.
Percuma saja ia coba melepaskan pegangan hweeshio itu yang laksana belenggu baja.
Makin ia meronta genggaman si hweeshio jadi semakin keras.
Lewat lagi berapa saat, Lauw Goan Ho sudah kehabisan tenaga, sebaliknya si hweeshio mempercepat lagi larinya Karena itu pembesar celaka ini jatuh, tetapi tangannya masih tetap dipegang erat-erat oleh hweeshio itu.
Seakan-akan sekerat balok tubuhnya kini diseret di sepanjang jalan bersalju itu.
Tentu saja Lauw Goan Ho menjadi sangat mendongkol serta malu.
Ingin sekali ia mengangkat kakinya dan menendang penyiksanya, tetapi maksudnya ini tetap merupakan angan-angan saja.
Tambah lama si hweeshio berlari semakin cepat, sehingga Lauw Goan Ho tak dapat mewujudkan maksudnya itu.
Sementara itu semua orang itu sudah juga mengikuti jejak mereka, maka sebelum berselang lama mereka sudah beramai-ramai tiba kembali di tempat itu.
Suatu pemandangan yang menggelikan segera terlihat mereka, di samping lobang galian To Cu An tadi kelihatan Ciu Hun Jang dan Him Goan Hian sedang bergumul di atas salju.
Senjata mereka sudah sama-sama terlepas dan kini mereka menggunakan apa saja yang diberikannya dari alam, yakni tangan, kaki, siku, lutut, kepala dan gigi.
Pertempuran mereka ini sudah tidak ada miripnya lagi dengan pertempuran antara ahli-ahli silat.
Mereka saling menyodok, menggigit, menjambak dan menumbuk secara sekena-kenanya saja.
Menuruti adatnya, Co Hun Ki sudah segera hendak maju dan menusukkan pedangnya ke dalam tubuh Him Goan Hian, tetapi pada saat itu mereka masih terus berguling-guling tidak keruan.
Karena ini, Hun Ki menjadi ragu-ragu.
Ia kuatir melukakan suteenya sendiri.
Sebaliknya si hweeshio tanpa ragu-ragu melangkah maju dan menjamberet tengkuk Ciu Hun Jang.
Him Goan Hian yang seakan-akan melekat pada tubuh lawannya turut terangkat.
Pemandangan yang dapat dilihat sekarang benar-benar merupakan puncak kelucuan.
Seorang hweeshio tua, dengan tangan kiri masih mengikat kedua tangan Lauw Goan Ho yang masih terduduk di atas salju di sampingnya, mengangkat tinggi-tinggi seorang lain (Ciu Hun Jang) pada tubuh siapa melekat seorang lagi (Him Goan Hian) dan kedua orang ini saling menggigit, menumbuk, menjambak dan saling menyodok, meskipun sudah tidak berada di atas tanah lagi.
Tak mengherankan, jika si hweeshio jadi tertawa terbahak-bahak.
Mungkin juga yang lain-lain akan turut tertawa, jika mereka bukan sedang cemas dan bimbang.
Sesaat kemudian tanpa berhenti tertawa, si hweeshio menggoncangkan badan kedua orang yang masih bergulat terus.
Seketika itu juga, mereka merasakan kaki tangan mereka kesemutan dan pegangan mereka pada tubuh masing-masing jadi terlepas.
Him Goan Hian terpental pergi sejauh beberapa tombak dan j.ituh dengan menerbitkan bunyi bergedebuk yang nyaring.
Setelah ini si hweeshio melepaskan Ciu Hun Jang dan Lauw Goan Ho.
Karena sudah terlalu lama tergencet, maka tangan Lauw Goan Ho menjadi kaku dan tak dapat digerakkan.
Di pergelangan tangannya kelihatan bekas yang legok ke dalam dan berwarna merah.
Setelah pengalamannya tadi dan melihat bekas jari yang mengerikan ini, nyalinya menjadi ciut.
Sementara itu si hweeshio sudah berkata.
"Mari kita lekas berangkat, mungkin masih keburu turut makan pagi dengan tuan rumah."
Lagi-lagi semua orang itu saling memandang dengan hati penuh keraguan, tetapi mereka menurut juga.
Sebagai kepala rombongannya dan tanpa memperdulikan lagi adat istiadat antara wanita dan pria, Him Goan Hian segera menggendong The Sam Nio yang sudah menjadi sangat lemah karena terluka parah tadi./ Kecuali mereka, juga "To Si Hu Cu"
Dan Ciu Hun Jang telah terluka dan sampai saat itu luka- luka mereka masih mengeluarkan darah, maka di atas salju di sepanjang jalan yang mereka lalui, kelihatan bintik-bintik merah.
Berjalan belum berapa li, mereka yang terluka sudah merasa payah sekali, bahkan ada yang sudah tak kuat bertahan lagi.
Agaknya Tian Ceng Bun merasa kasihan melihat penderitaan orang-orang itu, ia mengeluarkan sepotong baju dari buntalannya untuk kemudian dirobek dijadikan berapa potong kain pembalut, yang lalu diberikannya kepada Ciu Hun Jang dan "To Si Hu Cu".
Tindakan Ceng Bun ini merupakan duri di mata Co Hun Ki, tetapi sebelum ia dapat mengutarakan kedongkolannya, Ceng Bun sudah mengedip kepadanya.
Biarpun tidak mengerti maksud si gadis, Hun Ki mengurungkan juga maksudnya melontarkan kata-kata yang kurang enak didengarnya, ia hanya mengeluarkan suara mengejek dari lobang hidungnya.
Lewat berapa li pula mereka harus mendaki sebuah bukit.
Lapisan salju di tempat ini lebih tebal dan kaki mereka ambelas di dalamnya sebatas lutut.
Perjalanan menjadi luar biasa beratnya, meskipun mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang tidak rendah.
Mereka jadi mengeluh dan berpikir.
"Entah masih berapa jauh kita harus berjalan."
Sebagai juga dapat menebak pikiran mereka, mendadak si hweeshio menunjuk ke puncak gunung yang menjulang tinggi di sebelah depan.
"Sudah dekat, di puncak sana,"
Katanya.
Semua orang-orang itu menjadi putus asa, karena gunung itu berdiri hampir tegak lurus di permukaan bumi.
Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi melihat curamnya yang luar biasa itu, agaknya bukit tersebut tak mungkin dipanjat biar oleh seekor kera juga, apa lagi manusia "Seorang yang berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahan- lahan dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika ada orang yang mau tinggal di atas puncak itu,"
Kata mereka di dalam hati yang penuh kesangsian.
Si hweeshio tidak menghiraukan sikap mereka irii dan mendahului berjalan di depan.
Ia pun tidak berhenti bersenyum.
Setelah melalui dua buah bukit lagi, mereka tiba di tepi rimba pohon cemara.
Pohon-pohon siong (cemara) itu rata-rata sudah tua sekali, yang termuda juga sudah berusia ratusan tahun.
Cabang-cabangnya yang lebat dan malang-melintang telah menampung sebagian salju yang turun dari langit dan di bawahnya hanya terdapat sedikit salju.
Maka perjalanan di dalam rimba itu menjadi lebih mudah.
Rimba itu luas juga, setelah berjalan setengah jam baru mereka tiba di ujungnya yang sebelah sana dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah tiba di kaki bukit yang dituju itu.
Dipandang dari dekat puncak tersebut lebih-lebih lagi mematahkan semangat.
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo
Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Pengelana Rimba Persilatan -- Huang Yi