Ceritasilat Novel Online

Rase Terbang Pegunungan Salju 5


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 5




   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung

   
Di dalam kamar, putera 'Hui Thian Ho Li' telah memberitahukan ketiga pamannya, bahwa rahasia itu baru dapat dibuka pada tahun It Yu, yaitu seratus tahun kemudian.

   Biar bagaimana panjang pun jua usianya Cwan Ong, pada waktu itu ia tentu sudah meninggal dunia.

   Manakala rahasia tersebut dibocorkan terlalu siang, pemerintah Ceng bisa mengadakan penyelidikan dan jiwa Cwan Ong bisa terancam.

   Rahasia besar itu hanya diketahui oleh turunan keluarga Ouw.

   Turunan keluarga Biauw, Hoan dan Tian tetap tinggal gelap.

   Waktu turunan keluarga Ouw tiba pada Ouw It To Ouw toaya, batas waktu seratus tahun sudah lewat, sehingga oleh karenanya, Ouw toaya berani meminta pertolongan Giam Ki untuk menyampaikan rahasia itu kepada Biauw Jin Hong.

   "Hal yang kedua adalah sebab-musabab dari kebinasaan ayah 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong. Belasan tahun yang lalu, kedua orang tua itu bersama-sama pergi ke Kwan Gwa dan telah lenyap dengan begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan nama mereka telah menggetarkan dunia Kangouw. Maka itu diduga pasti, bahwa mereka telah dibinasakan oleh seseorang yang berkepandaian tinggi juga. Apa mau, waktu itu Ouw toaya justeru berada di Kwan Gwa dan dengan mengingat, bahwa keluarga Ouw adalah musuh turunan keluarga Biauw dan Tian, maka siapa pun jua tentu akan menduga, bahwa Ouw toayalah yang sudah membunuh mereka. Beberapa kali 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong pergi ke Kwan Gwa/ untuk menyelidiki. Tapi mereka bukan saja tidak bisa mendapat keterangan apa-apa, bahkan Ouw toaya pun tidak dapat dicari. Karena tidak berdaya, 'Kim Bian Hud' sudah sengaja memakai gelar 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' untuk dirinya, supaya Ouw toaya menjadi gusar dan mau menemuinya. Ouw toaya mengerti maksudnya, tapi ia tidak meladeni. Diam-diam ia sendiri berusaha untuk mencari kedua orang tua itu. Menurut keinginannya, sesudah berhasil, barulah ia mau menemui 'Kim Bian Hud' untuk mencuci bersih tuduhan yang dijatuhkan atas dirinya."

   "Langit selalu memberkahi usaha manusia yang sungguh-sungguh. Sesudah mencari-cari beberapa tahun, Ouw toaya akhirnya mendapat keterangan jelas mengenai nasibnya kedua orang tua itu. Waktu itu Ouw Hujin hamil. Ia asal Kanglam dan begitu mengandung, ia ingin sekali pulang ke kampung asalnya. Maka itu, kedua suami-isteri lantas saja berangkat ke Selatan. Setibanya di Tong Koan Iim-ii, lebih dahulu Ouw toaya bertempur melawan orang she Hoan dan she Tian dan kemudian barulah ia bertemu dengan 'Kim Bian Hud'. Pesan yang ia minta Giam Ki menyampaikan kepada Biauw Jin Hong adalah begini, Kalau 'Kim Bian Hud' ingin mencari jenazah mendiang ayahnya, ia bisa membawanya ke tempat itu sesudah mengantarkan isterinya. Dengan melihat jenazah, Biauw Jin Hong akan tahu, cara bagaimana ayahnya menemui kebinasaan. Oleh karena kedua orang tua itu mati dalam cara yang agak memalukan, maka Ouw toaya merasa kurang enak untuk memberitahukan dengan mulutnya sendiri. Maka itu, sebaiknya biar 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong yang melihat dengan mata sendiri."

   "Hal ketiga, mengenai golok komando Cwan Ong. Dalam golok itu bersembunyi rahasia dari harta karun yang tidak mungkin disebutkan berapa besar harganya. Harta itu meliputi perak, emas, batu pertama, mustika dan sebagainya dalam jumlah yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya."

   Pada paras muka semua orang lantas saja terlihat rasa heran yang sangat besar.

   "Jika kalian dengar pesan Ouw toaya kepada Giam Ki, kalian tentu tak akan merasa heran lagi,"

   Kata pula Peng Ah Si.

   "Begitu lekas Cwan Ong memukul pecah kota Pakkhia, sanak-keluarga dan menteri- menteri kerajaan Beng lantas saja menakluk. Mereka itu kaya-raya. Cwan Ong segera mengeluarkan pengumuman, bahwa untuk mendapat pengampunan, mereka harus menyerahkan harta. Dalam beberapa hari saja, emas, perak dan lain-lain sudah bertumpuk bagaikan gunung. Belakangan pada waktu Cwan Ong mundur dari Pakkhia, ia memerintahkan seorang panglima kepercayaannya untuk menyembunyikan harta itu di suatu tempat yang aman, supaya dapat digunakan untuk keperluan angkatan perang di hari kemudian."

   "Tempat penyimpanan harta dilukiskan dalam sebuah peta, akan tetapi kunci untuk mencari harta itu terletak pada golok komando tersebut. Pada waktu kalah perang di Kiu Kiong San, Cwan Ong menyerahkan peta dan golok kepada 'Hui Thian Ho Li' dan sesudah 'Hui Thian Ho Li' dibinasakan, peta dan golok itu jatuh ke dalam tangan ketiga adik angkatnya. Tapi tak lama kemudian, kedua barang itu dirampas pulang oleh puteranya 'Hui Thian Ho Li'."

   "Sesudah berebutan selama seratus tahun, golok komando dipegang oleh keluarga Tian dari Thian Liong Bun, sedang peta jatuh ke dalam tangan keluarga Biauw. Akan tetapi, baik Tian maupun Biauw sama sekali tak tahu adanya rahasia itu dan itulah sebabnya mengapa mereka tak berusaha untuk mencarinya. Yang tahu rahasia itu hanyalah turunan she Ouw, tapi mereka pun tidak berdaya sebab tidak memiliki golok dan peta.

   "Dengan membuka rahasia kepada 'Kim Bian Hud', Ouw toaya ingin supaya Biauw Jin Hong menggali harta tersebut untuk menolong sesama manusia dan kalau bisa, menggunakannya untuk mengusir penjajah Boan dan merampas pulang tanah air kita."

   "Ketiga hal itu penting semuanya. Maka itu, ia merasa heran, mengapa sesudah diberitahukan, Biauw Jin Hong masih juga mau bertempur dengannya. Sampai pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, Ouw toaya belum dapat memecahkan teka-teki itu. Apakah 'Kim Bian Hud' bukan kesatria tulen? Entahlah. Apakah 'Kim Bian Hud' tidak percaya pemberitahuan itu? Entahlah."

   Berkata sampai di situ, Peng Ah Si menghela napas panjang./ To Pek Swee yang sedari tadi terus mendengari tanpa membuka mulut, tiba-tiba berkata.

   "Aku tahu mengapa Biauw Jin Hong tetap mau bertanding dengan Ouw It To. Tapi untuk sementara aku tak mau bicarakan hal itu. Sekarang aku mau tanya, perlu apa kau datang ke sini?"

   Itulah pertanyaan yang ingin diajukan oleh semua orang.

   "Aku datang untuk membalas sakit hatinya Ouw toaya,"

   Jawabnya.

   "Membalas sakit hati?"

   Menegas To Pek Swee.

   "Terhadap siapa?"

   Peng Ah Si tertawa dingin.

   "Terhadap manusia yang sudah mencelakai Ouw toaya,"

   Jawabnya. Paras muka Biauw Yok Lan berubah pucat-pasi.

   "Hanya sayang ayahku belum datang kemari,"

   Katanya dengan suara perlahan.

   "Bukan, bukan terhadap ayahmu,"

   Kata Peng Ah Si dengan lepat "Orang yang mencelakai Ouw toaya bukan 'Kim Bian Hud', tapi seorang yang dahulu menjadi sinshe tukang mengobati luka-luka kepukul dan sekarang berubah menjadi pendeta. Dia sekarang dikenal sebagai Po Si!"

   Po Si berbangkit dan tertawa terbahak-bahak.

   "Bagus!"

   Serunya.

   "Kalau kau mempunyai kepandaian, turun tanganlah sekarang juga!" 'Aku sudah turun tangan,"

   Kata Peng Ah Si dengan tenang.

   "Terhitung dari hari ini, jiwamu tidak lebih panjang daripada tujuh hari dan tujuh malam lagi."

   Semua orang kaget, lebih pula Po Si. Tapi biarpun hatinya ketakutan, mulutnya mencaci.

   "Binatang, apakah yang bisa diperbuat olehmu terhadapku?"

   "Bukan saja kau, tapi semua orang, lelaki, perempuan, tua dan muda yang berada di sini juga tak akan bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam!"

   Teriak Peng Ah Si dengan suara bernapsu. Semua orang terkesiap ada yang berbangkit dari tempat duduknya, ada pula yang mengawasi Peng Ah Si dengan mata membelalak. 'Apa kau menaruh racun dalam air teh dan makanan kami?"

   Tanya Po Si dengan gusar.

   "Mana bisa kau mampus begitu enak?"

   Katanya dengan suara mengejek.

   "Kau bakal mati perlahan-lahan, mati kelaparan."

   "Mati kelaparan?"

   Menegas Co Hun Ki, To Pek Swee dan The Sam Nio dengan berbareng.

   "Benar,"

   Jawabnya dengan adem.

   "Di puncak ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk sepuluh hari. Sekarang, sebutir beras pun sudah tak ada lagi. Semuanya sudah dilemparkan ke bawah gunung olehku!"

   Pernyataan itu disambut dengan teriakan tertahan.

   Po Si melompat dan menyengkeram tangan kiri Peng Ah Si.

   Dia tidak melawan, sedang pada bibirnya tetap tersungging senyuman dingin.

   Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang mendekati, siap-sedia untuk menyerang jika Peng Ah Si melawan.

   Dengan tersipu-sipu Ie koankee masuk ke belakang dan tidak lama kemudian, ia keluar lagi dengan paras muka pucat "Taysu,"

   Katanya dengan suara gemetar.

   "Semua beras, kerbau- kambing, ayam-bebek dan sayur-mayur yang berada di sini semua sudah di lemparkan ke bawah gunung!"

   "Buk!"

   Co Hun Ki meninju dada Peng Ah Si yang lantas saja muntahkan darah Tapi ia tetap bersenyum dingin.

   "Apakah dalam gudang makanan dan di dapur tidak ada manusianya?"

   Tanya Po Si dengan mendongkol. 'Ada tiga orang, tapi mereka semua diikat oleh bangsat itu,"

   Jawabnya.

   "Hai! ... Waktu kedua setan kecil itu membikin ribut di ruangan ini, kita semua keluar untuk melihatnya. Tak dinyana, itu merupakan tipu memancing harimau keluar dari gunung. Biauw Kouwnio, semula kami menganggap, bahwa dia adalah orangmu yang dibawa olehmu kemari."/ Biauw Yok Lan menggelengkan kepala "Bukan,"

   Katanya.

   "Sebaliknya aku sendiri menduga, bahwa dia adalah pengurus rumah dari perkampungan ini."

   "Apakah tak ada makanan yang ketinggalan?"

   Tanya Po Si. Ie koankee menggoyang-goyangkan kepalanya. Dengan gusar Co Hun Ki mengangkat pula tinjunya.

   "Co toaya, tahan!"

   Kata nona Biauw.

   "Dia masih memeluk nama ayahku. Dia tidak boleh diganggu oleh siapa pun jua."

   Tinju itu berhenti di tengah udara. Sambil mengawasi si nona dengan mata merah, Co Hun Ki berkata.

   "Kita semua bakal mampus dalam tangannya Mengapa ... mengapa kau____"

   "Soal mati-hidup merupakan suatu soal, soal yang barusan dikatakan olehku merupakan lain soal,"

   Kata si nona.

   "Dia telah melemparkan semua makanan ke bawah gunung dan oleh karena perbuatannya itu, kita semua menghadapi kebinasaan. Tapi dia pun akan mati bersama-sama kita. Kalau seseorang berani melakukan suatu perbuatan tanpa menghiraukan jiwa sendiri, dia tentu mempunyai alasan teguh untuk melakukannya. Po Si Taysu, Co toaya, hidup atau mati adalah takdir. Kita bingung pun tiada gunanya. Paling benar kita membiarkan dia bicara terus, supaya kita bisa menimbang-nimbang, apa benar kita pantas mati di sini."

   Si nona bicara dengan suara tenang dan ramah-tamah, tapi entah bagaimana, suara itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Po Si segera melepaskan cengkeramannya, sedang Co Hun Ki pun kembali pada kursinya.

   "Peng Ya, kau ingin kita semua mati kelaparan,"

   Kata Yok Lan. 'Apakah kau bisa memberitahukan, sebab-musabab dari perbuatanmu itu? Bukankah dengan berbuat begitu, kau ingin membalas sakit hatinya Ouw It To pehpeh?"

   "Panggilan 'Peng Ya' (Paduka Tuan Peng) tak dapat diterima olehku,"

   Kata Peng Ah Si.

   "Seumur hidup, aku selalu menggunakan istilah 'Ya' untuk orang lain, tapi orang lain belum pernah menggunakan panggilan itu terhadapku. Biauw Kouwnio, bahwa Ouw toaya sudah menghadiahkan perak kepadaku dan menolong jiwa serumah-tanggaku, aku merasa sangat, sangat berterima kasih. Tapi di samping itu masih ada lain hal yang membuat aku lebih-lebih merasa berterima kasih. Apakah itu? Hm____Semua orang memanggil aku sebagai si A Si yang kepalanya budukan. Semua orang menghina aku. Hanyalah Ouw toaya yang memanggil aku 'saudara kecil' dan ia mendesak supaya aku memanggilnya dengan menggunakan istilah 'toako'."

   "Seumur hidup, aku, Peng Ah Si, selalu dihina orang. Hanyalah Ouw toaya seorang yang mengatakan, bahwa di dalam dunia pada hakekatnya tidak ada manusia tinggi atau manusia rendah. Semua sama. Dalam mata Langit, semua manusia adalah sama. Mendengar perkataan itu, kedua mataku seperti baru melek sesudah buta belasan tahun. Sesudah mendengar itu, kedua mataku melihat sinar yang terang. Hanya dalam sehari aku bertemu dengan Ouw toaya. Tapi di dalam hati, aku sudah menganggap ia sebagai anggauta keluarga sendiri."

   "Selama beberapa hari Ouw toaya bertanding dengan 'Kim Bian Hud', tanpa ada keputusannya. Selama beberapa hari itu aku tentu saja berkuatir akan keselamatan Ouw toaya. Belakangan, Ouw toaya binasa sebab racun golok, dan Ouw Hujin pun membunuh diri. Kejadian itu telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri dan tak dapat aku melupakannya. Giam tayhu, pada hari itu tangan kirimu menenteng peti obat-obatan, sedang dalam buntalanmu yang digendong di punggungmu, terdapat belasan potong perak. Bukankah benar begitu? Hari itu kau mengenakan baju kulit kambing dan memakai tudung warna kuning. Bukankah begitu?"

   Muka Po Si jadi pucat pasi, tangan kanannya yang mentekcl biji-biji tasbih kelihatan bergemetaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Peng Ah Si dengan mata membelalak.

   "Kemarin malamnya, Ouw toaya dan 'Kim Bian Hud' tidur seranjang,"

   Peng Ah Si melanjutkan penuturannya./ "Dengan berdiri di luar jendela, tabib Giam mendengari pembicaraan mereka.

   Dari dalam kamar 'Kim Bian Hud' mengirim tinju, sehingga hidung Giam tayhu bocor dan mukanya berdarah-darah.

   Menurut pengakuannya, sesudah dipukul, ia pergi tidur.

   Tapi dalam pengakuan itu ada sesuatu yang tidak disebutkan.

   Dengan mata sendiri aku melihat, bahwa sebelum tidur, lebih dahulu ia melakukan serupa pekerjaan.

   Pekerjaan apa? Dari dalam peti obat-obatan, ia mengeluarkan semacam obat cair yang lalu dipoleskan pada golok dan pedang yang digunakan Ouw toaya dan 'Kim Bian Hud'.

   Waktu itu aku masih anak-anak, baru berusia belasan tahun.

   Aku tak tahu, bahwa ia sedang melakukan perbuatan terkutuk.

   Sesudah Ouw toaya meninggal dunia, barulah aku mendusin, bahwa Giam tayhu telah melabur racun di atas kedua senjata itu.

   Dia mengharap supaya Ouw toaya dan Biauw Jin Hong mati bersama-sama.

   Giam tayhu, oh Giam tayhu, isi perutmu sungguh beracun!"

   "Bahwa dia mengharapkan kebinasaan 'Kim Bian Hud', dapatlah dimengerti. Dia tentu mau membalas sakit hati, sebab dipukul. Tapi dengan Ouw toaya, dia sama sekali tidak bermusuhan. Mengapa dia melabur juga racun di pedangnya Biauw Jin Hong? Aku terus memutar otak untuk menjawab pertanyaan. Hm ... tak bisa salah lagi, manusia itu ingin memiliki kotak besi Ouw toaya.

   "Giam tayhu mengatakan, bahwa ia tak tahu apa isinya kotak besi itu. Justa! Dia tahu! Pada waktu Ouw toaya menyerahkan kotak besi itu kepada Hujin, ia menuang semua isinya di atas meja Mutiara dan barang permata. Adikku,' kata Ouw toaya, 'dengan kepandaian yang dimiliki olehmu, jika kau memerlukan uang, dengan mudah kau bisa mengambil emas-peraknya pembesar rakus atau hartawan kejam. Tapi kalau perbuatan itu dilakukan terlalu sering, suatu kesalahan mungkin l.ik akan dapat dilakkan. Aku ..aku ...,' Mendengar perkataan suaminya, Hujin berkata, toako, legakanlah hatimu. Manakala terjadi sesuatu atas dirimu, aku akan memusatkan seluruh perhatianku guna memelihara anak kita. Dengan menjual perlahan-lahan barang-luung permata ini, ibu dan anak bisa hidup cukup untuk seumur hidup. Aku tidak akan bertempur lagi dengan orang dan tidak akan Mencuri lagi. toako, bagaimana pendapatmu?' Seraya tertawa besar Ouw toaya berkata, 'Bagus!' Ia mengambil se

   Jilid kitab dan berkata pula, 'Kitab ini adalah Kun Keng To Po (Kitab Ilmu Silat Tangan Kosong dan Ilmu Silat Golok), yang ditulis dengan tangan oleh leluhurku.' Hujin bersenyum.

   'Bagus sungguh!' katanya.

   'Seluruh kepandaian 'Hui Thian Ho Li' tertulis dalam kitab ini.

   Sungguh pandai kau menyembunyikan, sehingga aku sendiri sampai tak tahu.' Ouw toaya tertawa terbahak-bahak.

   'Menurut pesan leluhurku, kitab itu boleh diturunkan kepada anak lelaki, tidak boleh diturunkan kepada anak perempuan, boleh diturunkan kepada keponakan, tidak boleh diturunkan kepada isteri,' katanya.

   Itulah sebabnya mengapa ilmu silat golok itu dinamakan Ouw Kee To Hoat' Hujin berkata, 'Nanti, sesudah anak kita mengenal surat, aku akan menyerahkan kitab itu kepadanya.

   Aku berjanji tidak akan mencuri belajar.' Ouw toaya menghela napas.

   Ia memasukkan pula barang-barang itu ke dalam kotak besi yang ditaruh di bawah bantal kepala Hujin.

   Belakangan, sesudah Hujin membunuh diri, cepat-cepat aku masuk ke kamarnya.

   Tapi di luar dugaan Giam tayhu sudah lebih dulu berada di situ dan tangannya mendukung bayi Ouw toaya."

   "Dengan hati berdebar-debar, buru-buru aku bersembunyi di belakang pintu. Tangan kiri Giam tayhu memeluk anak itu, sedang tangan kanannya menarik keluar kotak besi dari bawah bantal. Sesudah menekan keempat sudut dan bagian bawah kotak, tutup kotak lantas saja terbuka sendirinya. Dengan satu tangannya ia mengangkat barang-barang permata itu, satu demi satu, sedang ilernya menetes di lantai. Karena tak puas dengan hanya menggunakan satu tangan, ia lalu menaruh bayi itu di lantai dan kemudian mengambil Kun Keng To Po yang lalu dibulak-balik lembarannya. Karena tidak didukung lagi, anak itu menangis. Giam tayhu kuatir orang mendengarnya dan ia lalu menarik selimut dan menutupi si bayi, dari kepala sampai di kaki." 'Aku kaget bukan main, sebab anak itu bisa mati mengap. Mengingat budi Ouw toaya, aku segera mengambil keputusan untuk merebut anak itu. Tapi aku masih kecil, tidak mengerti ilmu silat dan bukan tandingan Giam tayhu. Tiba-tiba kulihat palang pintu yang bersandar di tembok. Indap-indap aku mengambilnya dan indap-indap pula, aku mendekati tabib itu. Kemudian, aku menghantam batok kepalanya dengan palang pintu itu./ 'Aku menghantam dengan Seantero tenaga dan tanpa mengeluarkan suara, Giam tayhu terguling. Barang permata yang dipegangnya berhamburan di lantai. Cepat-cepat aku membuka selimut dan mendukung anak itu. Kutahu, bahwa semua orang yang berada di situ adalah musuh- musuhnya Ouw toaya. Jalan satu-satunya ialah membawa anak itu pulang ke rumah dan menyerahkannya kepada ibuku untuk dirawat. Aku juga tahu; bahwa kitab ilmu silat itu sangat penting dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Maka itu aku segera membungkuk dan mengambilnya dari tangan Giam tayhu. Di luar dugaan, dalam kedaaan pingsan, dia masih mencekelnya erat-erat. Dengari bingung aku membetotnya. 'Brett!' dua lembarannya tersobek dan tetap tercekel dalam tangan si tabib. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Itulah suara Biauw Jin Hong dan beberapa orang yang coba mencari anak itu. Buru-buru aku lari ke belakang dan kabur dari pintu belakang."

   "Semenjak hari itu sehingga hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Giam tayhu. Tak dinyana, sekarang ia sudah menjadi pendeta. Apakah ia ingin menebus dosa dosa yang bertumpuk-tumpuk? Dengan bantuan dua lembar kitab ilmu silat itu, ia memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh nama besar dalam kalangan Kang Ouw. Ia rupanya menganggap bahwa di dalam dunia tak seorang pun tahu asal-usulnya. Ia sama-sekali tak pernah mimpi, bahwa orang yang dahulu menghantam batok kepalanya dengan palang pintu, sampai sekarang masih hidup di dalam dunia. Giam tayhu, coba kau memutar badan, supaya semua orang dapat melihat bekas luka di batok kepalamu. Tanda itu adalah akibat pukulan dari si tukang menyalakan api di dapur."

   Perlahan-lahan Po Si berbangkit. Semua orang mengawasinya sambil menahan napas. Mereka menduga p.isti, bahwa pendeta itu akan menyerang. Tapi di luar dugaan, ia Ininya menyebut.

   "Omitohud,"

   Dan kemudian berduduk lagi.

   "Selama dua puluh tujuh tahun, aku tak tahu siapa yang sudah memukul kepalaku,"

   Katanya dengan suara perlahan.

   "Hari ini teka-teki telah terpecahkan."

   Semua orang merasa heran Mereka tidak menduga, bahwa Po Si akan mengakui kebenarannya ceritera Peng Ah Si.

   "Tapi bagaimana nasibnya anak itu?"

   Tanya Biauw Yok Lan.

   "Baru saja aku lari keluar dari pintu belakang, di belakangku sudah terdengar bentakan, 'Hei, buduk! Bawa kembali anak itu!'"

   Kata Peng Ah Si.

   "Aku tak meladeni dan lari makin keras. Orang itu mencaci dan mengubar dan dalam sekejap, ia sudah mencekel lenganku untuk merampas anak itu. Aku bingung. Aku menggigit belakang tangannya, sehingga berdarah."

   "Guruku!"

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memutus Co Hun Ki. Tian Ceng Bun melirik dan ia merasa menyesal, tapi tak berguna lagi karena perkataan itu sudah keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak sebab semua orang mengawasinya dengan sorot mata menanya.

   "Tak salah, orang itu memang Tian siangkong adanya,"

   Kata Peng Ah Si.

   "Sampai sekarang di belakang tangannya masih terlihat tanda bekas luka akibat gigitan. Tapi ia tentu tak akan memberitahukan orang, siapa yang menggigitnya dan mengapa tangannya sampai digigit."

   Tian Ceng Bun, Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan Ciu Hun Yang saling mengawasi.

   Di dalam hati, mereka mengakui, bahwa memang benar Tian Kui Long belum pernah menceriterakan hal gigitan itu.

   'Aku menggigit secara nekat, tanpa memperdulikan keselamatan jiwaku' kata pula Peng Ah Si.

   "Biarpun berkepandaian tinggi, Tian siangkong tak kuat menahan gigitan itu, mukanya berubah pucat pasi. Ia menghunus pedang dan membacok mukaku, kemudian membacok pula lenganku, sehingga putus. Dalam gusarnya ia menendang, sehingga tubuhku terbang dan tercebur ke dalam sungai. Meskipun satu lenganku sudah putus, lengan yang satunya lagi tetap memeluk erat-erat putera Ouw toaya." 'Ah!"

   Biauw Yok Lan mengeluarkan teriakan perlahan./ "Begitu tercebur, aku pingsan,"

   Peng Ah Si melanjutkan penuturannya "Waktu tersadar, aku rebah di atas sebuah perahu.

   Aku mengerti, bahwa jiwaku telah ditolong orang.

   Anak! Anak!' teriakku.

   Seorang wanita tertawa seraya berkata, Akhirnya dia tersadar juga.

   Anakmu ada di sini.' Aku mendongak dan melihat, bahwa putera Ouw toaya sedang disusui oleh wanita itu.

   Belakangan baru kutahu, bahwa aku baru tersadar sesudah berada di perahu itu enam hari enam malam lamanya.

   Aku tahu, bahwa aku sudah berada jauh dari kampung halamanku.

   Sebab kuatir musuh Ouw toaya mencelakai anak itu, aku tak berani pulang.

   Didengar keterangan Biauw Kouwnio, Biauw Tayhiap sendiri menganggap, bahwa anak itu sudah mati."

   "Benar,"

   Kata si nona.

   "Kalau begitu, ia masih hidup. Bukankah begitu? Kalau ia tahu, ayah pasti akan merasa girang sekali. Di mana dia sekarang? Bolehkah kau mengantarkan aku untuk menemuinya?"

   Ia bicara dengan menggunakan istilah "anak". Di lain saat ia ingat, bahwa untuk puteranya Ouw It To.

   "anak"

   Itu sebenarnya sudah berusia dua puluh tujuh tahun, lebih tua sepuluh tahun daripada usianya sendiri. Mengingat begitu, paras mukanya lantas saja bersemu dadu.

   "Tak dapat lagi,"

   Jawab Peng Ah Si.

   "Orang-orang yang berada di sini tak akan bisa turun dengan masih bernyawa"

   "Thia-thia pasti akan datang kemari untuk menolong kita,"

   Kata nona Biauw.

   "Sedikit pun aku tak kuatir." 'Ayahmu dikenal sebagai seorang yang tiada tandingannya di dalam dunia,"

   Kata Peng Ah Si.

   "Tapi yang dipukul, dirobohkan olehnya, hanyalah manusia, manusia biasa. Meskipun berkepandaian tinggi, ia tentu tak akan bisa merobohkan puncak gunung yang tingginya berlaksa tombak." 'Apakah anak itu yang menyuruh kau melakukan perbuatan ini?"

   Tanya Biauw Yok Lan. Peng Ah Si menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tidak! ... Tidak! ..."

   Serunya.

   "Anak itu seorang kesatria, tiada bedanya seperti mendiang ayahnya. Kalau ia tahu tipu-dayaku yang sangat beracun ini, ia pasti akan mencegah."

   "Bagus sekali!"

   Bentak Co Hun Ki.

   "Kalau begitu kau pun tahu, bahwa perbuatanmu sangat beracun."

   "Bagaimana anak itu, apa dia orang baik?"

   Tanya Yok Lan.

   "Siapa namanya? Apa ilmu silatnya tinggi? Apa pekerjaannya?"

   Semenjak kecil, setiap tahun ia menyaksikan ayahnya menyembahyangi suami-isteri Ouw It To dan setiap kali bersembahyang.

   "Kim Bian Hud"

   Selalu mengatakan rasa menyesalnya, bahwa ia tidak dapat memelihara anak itu. Peng Ah Si menghela napas dan menjawab.

   "Biauw Kouwnio, jika aku tidak membakar tambang, hari ini kau bisa bertemu dengannya."

   "Apa?"

   Menegas si nona.

   "Ia telah berjanji untuk bertemu dengan majikan perkampungan ini,"

   Menerangkan Peng Ah Si.

   "Pertemuan itu akan dilakukan pada waktu ngo si (antara jam 11 dan 1 siang). Sekarang waktu itu sudah hampir tiba dan mungkin sekali ia sudah berada di bawah puncak ini."

   Semua orang terkesiap.

   "Soat San Hui Ho?"

   Seru mereka hampir berbareng.

   "Benar,"

   Jawabnya.

   "Ia bernama Ouw Hui, bergelar 'Soat San Hui Ho', putera mendiang Ouw It To, Ouw toaya."

   Sesudah mendengar riwayat Ouw It To, semua orang merasa kagum. Sekarang, setelah mengetahui, bahwa "Soat San Hui Ho"

   Putera Ouw It To, mereka ingin sekali bisa berjumpa dengan pemuda itu.

   Mengingat, bahwa majikan perkampungan itu telah mengundang banyak jago untuk menghadapinya, maka mungkin sekali si Rase Terbang tidak kalah gagahnya dari mendiang ayahnya./ "Celaka!"

   Tiba-tiba Biauw Yok Lan berteriak.

   "Pembantu-pembantu yang diundang oleh majikan perkampungan ini dan ayahku belum datang. Jika bertemu dengan Soat San Hui Ho di kaki gunung, mereka pasti akan bertempur. Ayahku tak tahu, bahwa dialah putera Ouw pehpeh. Bagaimana kalau ayah membunuh dia?"

   Peng Ah Si tertawa tawar.

   "Biarpun Biauw Tayhiap bergelar 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu', kurasa tak gampang ia bisa membunuh Ouw siangkong."

   Karena di mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok yang sangat panjang, maka begitu tertawa, otot-ototnya tertarik dan mukanya kelihatan sangat menyeramkan. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi.

   "Hari ini Ouw siangkong ingin datang untuk bertanding dengan Biauw Tayhiap guna membalas sakit hatinya. Tapi karena sudah menyaksikan sendiri kecintaan antara Ouw It To Ouw toaya dan Biauw Tayhiap dan juga karena kutahu, bahwa kebinasaan Ouw toaya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Biauw Tayhiap, sebisa-bisa aku sudah coba mencegahnya Tapi ia tetap pada pendiriannya dan tak mau mendengar segala bujukanku. Belakangan, di kaki gunung kulihat Giam tayhu. Aku segera menguntit dia kemari dan akhirnya membakar tambang dan membuang semua makanan supaya kita semua bisa mati kelaparan bersama-sama Dengan berbuat begini, aku ingin membalas budi Ouw toaya yang sangat besar."

   Semua orang saling mengawasi.

   Mereka merasa, bahwa kalau Po Si mesti mati kelaparan, hal itu memang sepantasnya saja sebagai pembalasan dari kejahatannya.

   Tapi, bahwa mereka, yang tak bersangkut-paut dengan peristiwa itu, harus mati bersama-sama, sungguh-sungguh harus dibuat penasaran.

   Melihat sikap bermusuhan dari orang-orang itu, Po Si segera berbangkit dan membentak.

   "Hari ini kita semua berada di dalam satu perahu dan kita semua harus mencari daya-upaya untuk turun dari gunung ini. Penjahat itu ...."

   Belum habis perkataannya, seekor merpati putih tiba-tiba terbang masuk ke dalam ruangan itu dan hinggap di atas meja 'Ah! Putih, kau pun turut datang kemari,"

   Kata nona Biauw, yang lantas saja mendekati dan memegang burung itu.

   Ia mendapat kenyataan, bahwa pada sebelah kaki merpati itu terikat selembar benang.

   Ia lalu menariknya dan benang itu ternyata sangat panjang, sebab sesudah menarik beberapa lama, belum juga kelihatan ujungnya Dengan heran, ia terus menarik.

   Tian Ceng Bun menghampiri dan membantu.

   Sesudah benang itu tertarik beberapa puluh tombak, tarikannya berubah berat, seperti juga ada serupa benda yang diikatkan pada ujungnya "Kita ketolongan!"

   Kata Yok Lan dengan girang.

   "Bagaimana kau tahu?"

   Tanya semua orang dengan serentak.

   "Merpati putih ini adalah kesayangan keluargaku,"

   J awabnya.

   "Ayah sering membawa-bawanya untuk menyampaikan warta dari satu ke lain tempat. Aku merasa pasti, sekarang ayah sudah berada di kaki gunung dan pada ujung benang ini diikatkan serupa benda yang dapat menolong kita"

   Paras muka Peng Ah Si berubah pucat. Seraya menggeram, ia melompat untuk memutuskan benang itu. Tapi In Kiat yang berdiri di dekatnya sudah mendahului dan lalu mendorongnya, sehingga roboh di lantai.

   "Cici, hati-hati jangan sampai benang itu putus,"

   Kata Tian Ceng Bun.

   Yok Lan mengangguk dan menarik terus.

   Biarpun halus, benang itu sangat kuat.

   Makin lama, benda yang ditarik mereka jadi makin berat, tapi benang itu tetap tidak menjadi putus.

   Sesudah menarik lagi beberapa lama, nona Biauw kelihatannya capai.

   "Biauw Kouwnio, kau mengasolah,"

   Kata To Cu An.

   "Biar aku yang menariknya."

   Seraya berkata begitu, ia menyambuti benang itu dari tangan si nona.

   Sementara itu, Whi Su Tiong, Co Hun Ki, Lauw Goan Ho dan beberapa orang lain sudah keluar dari pintu untuk melihat penolong apa yang diikatkan pada ujung benang.

   Sesudah menarik lagi beberapa lama, di luar pintu sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dan hampir berbareng, To/ Cu An dan Tian Ceng Bun merasa tarikannya enteng.

   Semua orang segera memburu keluar.

   Mereka lihat Whi Su Tiong dan Co Hun Ki berdiri di pinggir tebing dengan kedua tangan bergerak- gerak tak hentinya, seperti sedang menarik sesuatu.

   Ternyata, pada ujung benang terikat selembar tambang yang agak kasar dan sesudah tambang itu ditarik habis, pada ujungnya terikat pula tambang yang lebih kasar lagi.

   Semua orang kegirangan.

   Dengan cepat mereka mengikat ujung tambang di badan pohon siong yang tumbuh di tepi tebing.

   "Mari kita turun, biarlah aku yang turun lebih dahulu,"

   Kata Lauw Goan Ho. Seraya berkata begitu, ia mencekel tambang dan ingin segera menyerosot ke bawah.

   "Tahan!"

   Bentak To Pek Swee.

   "Enak saja kau! Kalau kau turun lebih dahulu, kau bisa main gila."

   Lauw Goan Ho mendelik.

   "Bagaimana maunya kau?"

   Tanyanya dengan aseran.

   To Pek Swee terkejut.

   Ia lantas saja ingat, bahwa setiap orang yang berada di puncak itu mempunyai kepentingan pribadi dan saling tidak mempercayai.

   Siapa jua pun yang turun lebih dahulu, yang lain tentu hercuriga.

   Maka itu, ditanya begitu ia tak dapat menjawab.

   "Biarlah orang-orang perempuan turun lebih dahulu,"

   Kata Co Hun Ki.

   "Untuk kita, orang-orang lelaki, diundi saja"

   "Begini saja,"

   Kata Him Goan Hian.

   "Orang Thian Liong Bun, Eng Ma Coan dan Peng Thong Piauw Kiok turun bergiliran, satu demi satu. Yang lain saling menjaga. Dengan begitu, kita tak usah takut ada yang main gila"

   "Begitu pun baik,"

   Kata Whi Su Tiong.

   "Po Si Taysu, pulangkanlah kotak besi itu."

   Sambil berkata begitu, ia menghampiri Po Si dan mengangsurkan tangannya Pada waktu menghadapi bahaya, semua orang hanya memikiri soal mati-hidupnya.

   Sekarang, sesudah bahaya lewat, mereka ingat lagi kepada mustika yang luar biasa itu.

   Semula mereka hanya tahu, bahwa di dalam kotak besi itu terdapat sebuah mustika luar biasa dalam Rimba Persilatan.

   Mengapa benda itu dianggap sebagai mustika dan mengapa dikatakan luar biasa, mereka tak tahu.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sesudah mendengar keterangan Peng Ah Si, bahwa golok komando itu mempunyai sangkut-paut dengan harta karun Cwan Ong, barulah mereka mengerti keluarbiasaannya dan mereka jadi mata merah.

   Sepanjang ceritera, sesudah Cwan Ong masuk di kota Pakkhia, seorang jenderalnya yang bernama Lauw Cong Bin telah memeras sanak-keluarga dan menteri-menteri kerajaan Beng dan emas permata yang didapat bertumpuktumpuk bagaikan gunung.

   Tak lama kemudian Cwan Ong kalah perang dan harta itu tak ketahuan lagi kemana perginya.

   Sekarang terdapat harapan, bahwa dari golok komando itu, orang bisa dapat mencari harta karun tersebut.

   Maka itu, bagaimana orang tak jadi mata merah? Po Si tertawa dingin.

   "Loolap ingin mengajukan satu pertanyaan,"

   Katanya "Apakah kemuliaan dan kemampuan Thian Liong Bun, sehingga kamu mau mengangkangi golok mustika ini? Thian Liong Bun sudah memegangnya hampir seratus tahun. Adalah sepantasnya saja jika sekarang golok ini menukar majikan."

   Whi Su Tiong terkejut. Dengan serentak (n Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang bergerak dan berdiri di samping Whi Su Tiong. Po Si tertawa terbahak-bahak. 'Apa kamu mau berkelahi?"

   Tanyanya.

   "Dahulu, dengan menggunakan golok, Thian Liong Bun mendapat mustika. Hari ini, di ujung golok Thian Liong Bun kehilangan mustika. Adil, itulah ingat adil."

   Whi Su Tiong gusar bukan main.

   Kalau menuruti napsunya, ia tentu sudah menerjang untuk membinasakan pendeta tua itu.

   Tapi karena tahu Po Si berkepandaian tinggi, ia tak berani bergerak Bukan saja tidak berani maju, ia bahkan mundur beberapa tindak karena diawasi Po Si dengan sorot mata bagaikan kilat.

   Untuk beberapa saat, puncak itu diliputi kesunyian yang menakuti./ Sekonyong-konyong, Khim Ji, pelayan Biauw Yok Lan, menuding ke bawah seraya berteriak.

   "Siocia, lihat! Siapa itu?"

   Semua orang terkejut dan pergi ke tepi tebing untuk menyelidiki. Mereka lihat seorang lelaki yang mengenakan pakaian putih sedang memanjat tambang bagaikan seekor kera.

   "Biauw cici, apa itu ayahmu?"

   Tanya Ceng Bun. Yok Lan menggelengkan kepala.

   "Bukan, ayah tak pernah mengenakan pakaian putih,"

   Jawabnya. Sementara itu, orang itu sudah datang makin dekat.

   "Hei! Siapa kau?"

   Teriak Ie koankee.

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, begitu nyaring sehingga puncak dan lembah seolah-olah tergetar.

   Melihat Po Si berdiri di tepi jurang dengan kedua tangan memegang kotak besi, diam-diam Whi Su Tiong menarik tangan Co Hun Ki dan memberi isyarat sambil menuding punggung pendeta itu.

   Co Hun Ki mengangguk sedikit, sebagai tanda, bahwa ia sudah mengerti maksud paman gurunya.

   Dengan serangan membokong, Po Si pasti akan dapat dilontarkan ke bawah tebing.

   Biarpun ia memiliki kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi, kalau jatuh ke bawah, ia pasti tak akan bisa menyelamatkan jiwa.

   Sesudah Po Si binasa, kotak besi itu yang tentu tak akan rusak, bisa dicari dengan perlahan.

   Demikianlah, sesudah saling mengangguk, dengan berbareng Whi Su Tiong dan Co Hun Ki melompat ke punggung Po Si dan memukul dengan sekuat tenaga.

   Sesaat itu, Po Si berdiri kira-kira satu kaki dari pinggir tebing dan Seantero perhatiannya ditujukan kepada orang yang sedang memanjat tambang.

   Ia tak pernah menduga, bahwa dirinya akan dibokong orang.

   Maka itulah, ia kaget tak kepalang ketika dengan mendadak ia merasa sambaran angin di punggungnya.

   Pada detik bencana, ia masih keburu menggunakan ilmu Tiat Pan Kio dan badannya tiba-tiba rebah ke depan.

   Tiat Pan Kio adalah serupa ilmu yang sangat lihay untuk menolong diri dari serangan senjata rahasia.

   Senjata rahasia biasanya menyambar cepat, sehingga, kadang-kadang orang yang diserang tidak keburu berkelit atau melompat.

   Dalam keadaan begitu, dengan ilmu Tiat Pan Kio, ia merebahkan badannya, yang dibikin kaku bagaikan mayat, ke belakang dengan kedua kaki tetap menancap di tanah.

   Dengan demikian, senjata rahasia itu akan lewat di atas tubuhnya Makin tinggi ilmunya seseorang, makin dekat tubuhnya kepada tanah.

   Ilmu itu dinamakan Tiat Pan Kio sebab kaki bagaikan besi (tiat), badan kaku seperti papan (pan) dan tubuh rebah seakan-akan jembatan (kio).

   Tapi Tiat Pan Kio yang digunakan Po Si agak berbeda dengan yang biasa.

   Sebaliknya daripada rebah ke belakang, yaitu rebah celentang, ia rebah ke depan, rebah tengkurup, sehingga sebagian badannya berada di tengah udara, di luar tebing.

   Dalam serangan itu, Whi Su Tiong dan Co Hun Ki menggunakan seantero tenaganya Melihat si pendeta tidak bersiap-siaga, mereka kegirangan, tapi hampir pada detik itu juga, hati mereka mencelos sebab mereka sudah memukul angin.

   Whi Su Tiong yang berkepandaian lebih tinggi dapat menolong diri.

   Dengan berjumpalitan, ia berhasil melompat ke samping.

   Tapi Co Hun Ki menyelonong terus dan "bluss!"

   Tubuhnya roboh ke dalam jurang! Semua orang berteriak. Dengan tangan memegang tasbih, Po Si berkata.

   "Omitohud! Takdir! ... sudah takdir."

   Tian Ceng Bun roboh pingsan dan To Cu An buru-buru membangunkannya.

   Yang lain mengawasi ke bawah, mengawasi tubuh Co Hun Ki yang tinggi-besar melayang ke kuburannya! Mendadak, mendadak saja, si baju putih menggaetkan kedua kakinya kepada tambang, tangan kirinya menolak tembok puncak dan bagaikan orang main ayunan, tubuhnya terbang ke arah Co Hun Ki.

   Waktu dan tenaga yang digunakan semua tepat.

   Dengan sekali menjambret, ia sudah menyengkeram punggung Co Hun Ki./ Di luar dugaan, dengan suara "bret!"

   Baju Co Hun Ki lobek, badannya terlepas dari cengkeraman si baju putih dan terus melayang ke bawah.

   Hal ini sudah terjadi sebab tubuh Co Hun Ki sangat berat, ditambah lagi dengan tenaga jatuhnya yang sangat hebat.

   Hampir berbareng, kedua kaki si baju putih juga terlepas dari tambang dan badannya sendiri jatuh ke bawah.

   Pada detik yang sangat, sangat berbahaya, tangan si baju putih kembali menjambret dan ia berhasil menangkap kaki kanan Co Hun Ki.

   Dengan mata membelalak, semua orang mengawasi kedua orang itu yang terus melayang ke bawah.

   Dengan tambang berada dalam jarak kira-kira setombak, biarpun si baju putih berkepandaian lebih tinggi lagi, ia pasti tak akan bisa menolong jiwanya.

   Untuk menolong sesama manusia, ia mesti korbankan jiwa sendiri! Di luar dugaan, tangan kanannya mendadak terangkat dan seperti orang menyabetkan senjata, ia menyabet tambang itu dengan tubuh Co Hun Ki.

   Ketika itu Co Hun Ki sudah berada dalam keadaan lupa-ingat.

   Begitu menyentuh tambang, kedua tangannya segera menyengkeram tambang itu.

   Bagaikan seorang yang kelelep tiba-tiba bertemu dengan sebatang rumput, ia mencekel tambang mati-matian.

   Dalam waktu biasa, tenaga Co Hun Ki tak cukup besar untuk menahan tenaga jatuhnya dua orang dari tempat yang begitu tinggi.

   Tapi dalam menghadapi kebinasaan, entah dari mana, tenaganya bertambah berlipat ganda Di lain saat, tambang itu terayun ke kiri dengan dua tubuh manusia yang menggelantung.

   Dengan meminjam tenaga tambang, si baju putih mengerahkan lweekang pada pinggangnya.

   Tubuhnya lantas saja terangkat naik dan tangan kirinya segera mencekel tambang itu.

   Sambil menepuk pundak Co Hun Ki, ia berbisik.

   "Naiklah ke atas."

   Mendengar bisikan itu, Co Hun Ki tersadar.

   Cepat-cepat ia menarik tambang dengan kedua tangannya dan memanjatnya dengan menggunakan Seantero tenaga.

   Semua orang yang berdiri di tepi menyaksikan kejadian itu sambil menahan napas.

   Tak lama kemudian Co Hun Ki sudah tiba di atas dan In Kiat bersama Ciu Hun Jang segera bantu mengangkatnya.

   "Siapa orang yang pakai baju putih itu?"

   Tanya mereka dengan berbareng. Sesudah meredakan napasnya yang tersengal-sengal, Co Hun Ki menyahut.

   "Orang gagah itu minta aku menyampaikan kepada kalian, bahwa 'Soat San Hui Ho' Ouw Hui sudah tiba di tempat ini."

   Semua orang yang sudah dipengaruhi oleh kejadian barusan, mencelos hatinya.

   "Celaka!"

   Teriak seorang sambil lari masuk ke dalam gedung.

   Tanpa memikir panjang-panjang, yang lainnya turut memburu ke pintu.

   Apa mau, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan Whi Su Tiong tiba di mulut pintu dengan berbareng dan karena mereka berlomba-lomba dengan penuh ketakutan, maka setibanya di mulut pintu, mereka saling dorong seperti anak kecil.

   Co Hun Ki dan To Cu An berebut mau menolong Tian Ceng Bun yang pingsan dan sekali lagi mereka hampir-hampir bertempur.

   Dalam sekejap orang-orang "gagah"

   Yang tadi berkumpul di luar pintu sudah tak kelihatan mata- hidungnya lagi.

   Ie koankee dan Khim Ji yang mengiring Biauw Yok Lan dan berjalan paling belakang, hampir-hampir tidak dapat pintu.

   Dengan tergesa-gesa Him Goan Hian menutup pintu, sedang In Kiat lalu mengambil palang dan memalangnya keras-keras.

   Karena kuatir belum cukup kuat, To Pek Swee buru-buru mengambil sepotong balok yang lalu digunakan untuk mengganjal pintu.

   Ketika itu Tian Ceng Bun sudah tersadar.

   '"Soat San Hui Ho' belum pernah mengenal dia, mengapa kalian jadi begitu ketakutan?"

   Katanya Whi Su Tiong mengeluarkan suara di hidung.

   "Hm! ... Belum pernah mengenal kita?"

   Ia menegas.

   "Ayahmu dan ayahnya adalah musuh besar. Apa kau kira dia akan mengampuni jiwamu?"

   "Sesudah kita melukai Peng Ah Si, dia pasti tak mau sudah,"

   Menyambung Lauw Goan Ho. Mendadak To Cu An mendongak dan berkata.

   "Kita sudah mengunci pintu, apa dia tidak bisa datang dari atas?"/ "Benar,"

   Kata Whi Su Tiong.

   "To siheng, sebaiknya kau naik ke genteng dan menjaga di atas."

   To Cu An tertawa dingin.

   "Whi susiok berkepandaian tinggi,"

   Katanya.

   "Paling benar Whi susiok yang menjaga di utas."

   Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan yang sangat keras dan ...

   palang pintu patah, kedua daun pintu terbuka lebar! Seraya mengeluarkan teriakan ketakutan, semua orang kabur ke belakang dan di lain saat, ruangan yang besar itu sudah tiada manusianya.

   Semula, setelah mendengar ceritera Peng Ah Si, mereka ingin sekali bertemu muka dengan putera Ouw It To.

   Tapi sesudah menyaksikan kelihayan "Soat San Hui Ho"

   Dan mengingat, bahwa sedikit-banyak mereka mempunyai permusuhan dengan keluarga Ouw, nyali mereka berubah ciut.

   Perasaan takut sangat menular.

   Melihat yang satu kabur, yang lain ikut-ikutan.

   Orang-orang itu yang biasanya sangat galak sekarang seolah-olah tikus-tikus yang diubar kucing.

   Ie koankee coba mencari Po Si untuk minta bantuannya, tapi sesudah dicari di sana-sini, pendeta itu tak kelihatan bayang-bayangannya.

   "Cujin (Majikan) telah menyerahkan perkampungan ini dalam pengurusanku,"

   Pikirnya.

   "Biarpun mesti mati, aku haruslah menjaga mukanya"

   Ia mendekati Yok Lan dan berkata dengan suara perlahan.

   "Nona, pergilah ke kamar Hujin dan bersembunyi dalam kamar rahasia di bawah tanah bersama-sama Hujin. Rahasiakanlah hal ini terhadap siapa pun jua. Orang-orang yang berada di sini, tak satu pun berhati baik. Biar aku sendiri yang menemui 'Soat San Hui Ho'."

   Si nona melirik The Sam Nio dan Tian Ceng Bun.

   "Bolehkah aku membawa kedua cici itu?"

   Tanyanya Ie koankee menggelengkan kepala "Tidak,"

   Jawabnya.

   "Mereka bukan orang baik. Nona dan Hujin adalah orang-orang yang berharga ribuan emas. Tak usah nona memperdulikan orang lain."

   "Apakah kau bisa menahan orang she Ouw itu, jika dia mau membunuh dan membakar?"

   Tanya pula Yok Lan. Sambil mencekel gagang golok yang tergantung di pinggangnya, Ie koankee menjawab dengan suara parau.

   "Hari ini aku akan mengorbankan jiwa untuk membalas budinya Cujin. Aku hanya berdoa supaya Hujin dan nona tidak kurang suatu apa."

   Sesudah memikir sejenak, si nona berkata.

   "Sebaiknya kita berdua, aku dan kau, yang menemui dia."

   Ie koankee jadi bingung.

   "Biauw Kouwnio, apakah kau tidak dengar perkataan pendeta itu?"

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanyanya. 'Ayahmu, Biauw Tayhiap, dan dia mempunyai permusuhan besar. Jika kau jatuh ke dalam tangannya, maka____"

   Yok Lan bersenyum dan berkata.

   "Sedari mendengar ceritera ayah mengenai Ouw pehpeh, aku selalu mengharap-harap supaya anak itu masih hidup di dalam dunia dan juga, mengharap-harap, supaya pada suatu hari aku akan bisa bertemu dengannya. Kalau hari ini aku tidak bisa bertemu dengan dia, maka aku akan merasa menyesal seumur hidup."

   Suara si nona lemah lembut, tapi penuh dengan tekad yang tak dapat diubah lagi.

   Ie koankee kagum bukan main.

   Ia merasa, bahwa biarpun tidak bisa silat, nona Biauw tak malu menjadi puterinya "Kim Bian Hud".

   Membandingkan dengan nona yang lemah itu, orang-orang yang mempunyai gelaran-gelaran hebat, tapi yang sudah mabur seperti kawanan tikus, dengan sesungguhnya mempunyai muka yang sangat tebal.

   Tadi ia merasa sangat ketakutan.

   Tapi sekarang, sesudah menyaksikan sikap si nona yang sedemikian tenang, sebagian besar rasa takutnya telah menghilang.

   Ia segera menuang dua cangkir teh dan berjalan keluar dengan diikut Yok Lan.

   "Kami tidak dapat menyambut Ouw toaya dari tempat jauh, harap dimaafkan!"

   Seru Ie koankee.

   Ia memberi hormat dengan membawa secangkir teh./ Ketika itu, si baju putih berdiri menghadap keluar dengan badan agak membungkuk di samping sebuah meja, entah sedang mengerjakan apa Begitu mendengar seruan Ie koankee, ia memutar badan dan ia kaget karena melihat seorang wanita yang cantik dan ayu.

   Yok Lan pun kaget sebab melihat seorang pemuda yang menyeramkan.

   Muka Ouw Hui penuh berewok kasar dan kaku, rambutnya tebal dan tidak tersisir, seperti juga segunduk rumput.

   Sedari kecil ia sudah menanam rasa kasihan terhadap putera Ouw It To, tapi di luar dugaan, orangnya begitu kasar dan ganas kelihatannya.

   Tapi sejenak kemudian, ia berkata dalam hatinya.

   "Ouw It To pehpeh juga mempunyai paras muka yang sangat angker, sehingga dapatlah dimengerti kalau puteranya beroman bengis. Ah, aku sendiri yang sudah membayang-bayangkan secara keliru."

   Ia merangkap kedua tangannya dan berkata seraya membungkuk.

   "Siangkong, selamat bertemu."

   Pada waktu naik ke puncak itu.

   "Soat San Hui Ho"

   Ouw Hui bersiap-sedia untuk melakukan pertempuran mati-matian melawan orang-orang yang berada di situ. Maka itu, ia heran ketika ternyata, bahwa yang menyambutnya hanyalah seorang wanita cantik.

   "Tipu apa yang sedang dijalankan oleh mereka?"

   Tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan berkata.

   "Aku yang rendah bernama Ouw Hui. Bolehkah aku mendapat tahu she nona yang mulia?"

   Buru-buru Ie koankee memberi isyarat dengan kedipan mata, supaya Yok Lan menyebutkan she palsu. Tapi si nona seperti juga tidak mengerti maksud orang dan segera menjawab.

   "Ouw siheng, kita adalah sahabat turunan, hanya kita belum pernah bertemu muka. Aku she Biauw."

   Ouw Hui terkejut, tapi paras mukanya tidak berubah.

   "Pernah apakah nona dengan 'Kim Bian Hud' Biauw Tayhiap?"

   Tanyanya Ie koankee bingung, dengan tangan bergemetaran ia menarik tangan baju si nona yang tetap tidak memperdulikannya. '"Kim Bian Hud' adalah ayahku,"

   Jawabnya dengan tenang. Ouw Hui mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

   "Sungguh beruntung! Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan nona,"

   Katanya.

   "Tapi mengapa ayah nona tidak muncul untuk menemui aku?"

   Ie koankee mencekel gagang golok sebab kuatir pemuda itu menyerang. Waktu ia melirik, nona Biauw masih tenang-tenang saja.

   "Gila sungguh!"

   Pikirnya "Dalam menghadapi musuh besar, ia memperlihatkan muka sendiri."

   "Ayah belum tiba,"

   Jawab si nona.

   "Kalau ia tahu, bahwa Ouw siheng adalah putera sahabatnya, biarpun ada urusan yang bagaimana besar pun jua, ia tentu buru-buru datang untuk bertemu dengan Ouw siheng."

   Ouw Hui heran.

   "Nona sendiri sudah tahu asal-usulku, tapi mengapa ayahmu masih belum tahu?"

   Tanyanya.

   "Aku tahu sebab tadi kudengar penuturan sahabatmu, Peng kun (tuan Peng),"

   Jawabnya.

   "Aha! Peng sisiok juga berada di sini?"

   Seru pemuda itu.

   "Mana dia?"

   Ie koankee terkejut. Ia menengok ke sana-sini, tapi Peng Ah Si tidak kelihatan bayang- bayangannya. Apa yang dilihatnya hanya darah yang belum kenng.

   "Mungkin waktu semua orang memperhatikan merpati yang membawa benang, dia kabur dari puncak ini,"

   Pikirnya "Dia adalah tuan penolong Ouw Hui, sehingga kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, bencana yang bakal menimpa akan lebih hebat lagi."

   Melihat Ie koankee mengawasi darah, paras muka pemuda itu lantas saja berubah. 'Apa itu darah Peng sisiok?"

   Tanyanya dengan suara keras.

   "Benar,"

   Jawab Ie koankee.

   Semenjak ditinggal oleh kedua orang tuanya, Ouw Hui dipelihara oleh Peng Ah Si dan di antara mereka terdapat kecintaan seperti antara bapak dan anak.

   Maka, dapatlah dimengerti kalau jawaban Ie koankee mengejutkan sangat hatinya.

   Dengan sekali melompat, ia menyengkeram lengan kanan Ie koankee.

   "Di mana ia?"

   Bentaknya.

   'Apa ...

   apa sudah terjadi atas dirinya?"/ Ie koankee merasakan kesakitan hebat di lengannya yang seperti juga dijepit dengan gelang baja.

   Sambil menggigit gigi ia menahan sakit, sehingga keringat sebesar-besar kacang muncul pada dahinya.

   Paras mukanya pucat-pasi dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

   "Ouw siheng jangan bingung,"

   Kata Yok Lan dengan suara lemah lembut.

   "Peng sisiok berada di sana."

   Seraya berkata begitu, ia menuding sebuah kamar samping di sebelah timur.

   Ouw Hui segera melepaskan cekelannya dan dengan beberapa lompatan saja, ia sudah berada di depan pintu yang lalu ditendangnya, sehingga terpental.

   Ia lihat Peng Ah Si rebah di ranjang dengan napas tersengal-sengal.

   "Sisiok, bagaimana keadaanmu?"

   Tanyanya dengan girang.

   "Tak apa-apa, jangan kuatir,"

   Jawabnya dengan suara lemah Pemuda itu mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa muka paman itu pucat bagaikan kertas. Rasa girangnya yang barusan lantas saja berubah menjadi rasa kuatir.

   "Sisiok, siapa yang melukai kau?"

   Tanyanya.

   "Kalau mau diceriterakan sangat panjang,"

   Sahutnya.

   "Kalau tidak ditolong Biauw Kouwnio, aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan kau."

   Ternyata, pada waktu semua mang memburu keluar dari toathia (ruangan tengah) karena dalangnya merpati yang membawa benang, Biauw Yok Lan dan Khim Ji menggunakan kesempatan itu untuk membawa Peng Ah Si ke sebuah kamar kosong di samping gedung.

   Belakangan Po Si coba mencarinya untuk dibinasakan, tapi tidak bisa diketemukan.

   Sebab tengah menghadapi bahaya, dia tidak keburu mencari terlebih teliti dan oleh karena begitu, jiwa Peng Ah Si ketolongan.

   Mendengar keterangan sang paman, Ouw Hui manggut-manggutkan kepala dan lalu mengeluarkan sebutir yowan merah dari sakunya.

   Sambil memasukkan pel itu ke dalam mulut sang paman, ia berkata.

   "Sisiok, telanlah dahulu obat luka ini."

   Sesudah Peng Ah Si menelannya, hatinya agak lega dan lalu kembali ke ruangan tengah Sambil menyoja dengan membungkuk, ia berkata.

   "Biauw Kouwnio, terima kasih atas pertolonganmu kepada Peng sisiok."

   Nona Biauw buru-buru membalas hormat.

   "Peng siya adalah seorang mulia dan siauwmoay merasa sangat kagum,"

   Katanya.

   "Bantuan itu tak cukup berharga untuk dibicarakan."

   Ouw Hui bersenyum dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam.

   Tiba-tiba ia lihat lian kayu yang huiul hurufnya ditulis oleh Biauw D|in Hong dan ia merasa heran karena lian itu bersandar di meja, sedang lian yang satunya lagi tergantung di tengah tembok (lian biasanya sepasang dan dinamakan "tui lian").

   Ia bersenyum dan lalu membacanya dengan suara nyaring.

   "Dalam bahaya besar hanya mengandalkan sebatang pedang, Ribuan emas datang hanya dengan sekali melemparkan dadu."

   Ia menceguk teh dan berkata.

   "Huruf-huruf yang ditulis ayahmu sangat indah dan angker. Walaupun bukan seorang pintar, aku ingin menyambut dengan sepatah dua patah. Kuharap kau jangan mentertawai aku."

   Nona Biauw mengangguk seraya menyahut.

   "Bagus! Aku merasa beruntung bisa menerima pelajaran dari siangkong."

   Di dalam hati ia merasa girang, sebab biarpun kelihatannya kasar, Ouw Hui ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seorang terpelajar.

   Sambil tertawa Ouw Hui menepuk tembok dan sebatang paku yang menancap di dinding lantas saja menonjol keluar! Ia lalu menjepitnya dengan jempol dan jari tengah dan dengan menggunakan sedikit tenaga, paku itu sudah tercabut.

   Ie koankee mempunyai pengalaman luas dalam dunia Kang Ouw, tapi belum pernah ia mendengar ceritera tentang kekuatan jari tangan yang begitu hebat.

   Dengan menggunakan paku/ itu, Ouw Hui lalu menulis huruf-huruf di atas sebuah meja persegi dan setiap coretan masuk di papan kira-kira setengah cun dalamnya.

   Meja itu terbuat daripada kayu merah yang sangat keras dan bahwa Ouw Hui dapat berbuat begitu, dengan sesungguhnya merupakan kejadian luar biasa dalam Rimba Persilatan.

   Kalau Ie koankee, sebagai seorang ahli silat, terpesona oleh tenaga jari tangan pemuda itu, Yok Lan mengagumi huruf-huruf yang ditulisnya, yang berbunyi seperti berikut.

   "Sedari lahir tulangnya bukan tulang sembarang orang, Belum berkumis sudah menjadi seorang taytianghu, *) Dalam menghadapi bahaya hanya mengandalkan sebatang pedang, Ribuan emas datang hanya dengan sekali melempar dadu. Janganlah nyanyikan lagu kedukaan, Dunia ini hanya merupakan sebuah impian."

   Menulis sampai di situ, ia berhenti dan mendongak mengawasi genteng untuk memikirkan dua baris yang berikutnya. Tiba-tiba Yok Lan berkata.

   "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau lawan."

   "Benar,"

   Kata pemuda itu sambil tertawa. Sesudah selesai menulis, ia mengulangi dengan suara kagum.

   "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau lawan."

   "Dari tempat jauh Ouw siheng datang di sini, tapi menyesal di gedung ini tak ada makanan untuk menjamu kau,"

   Kata si-nona.

   "Khim Ji, ambillah arak."

   "Majikan rumah ini telah berjanji untuk bertemu dengan aku pada waktu ngo si, tapi mengapa dia masih belum muncul?"

   Tanya Ouw Hui.

   "Karena ada urusan penting, ia turun ke bawah dan sampai sekarang belum kembali,"

   Jawab si nona.

   "Untuk pelanggaran janji itu, siauwmoay terlebih dahulu ingin meminta maaf."

   Melihat sikap dan mendengar perkataan nona Biauw, bukan main rasa herannya Ouw Hui.

   "Kata orang, keluarga Biauw, Hoan dan Tian terdiri dari jago-jago lihay,"

   Katanya di dalam hati.

   "Tapi mengapa semua lelaki bersembunyi dan mereka mengajukan seorang wanita lemah untuk menghadapi aku? Nona ini sedikit pun tidak mengunjuk rasa takut. Apakah ia memiliki ilmu silat sangat tinggi yang sengaja disembunyikan?"

   Selagi ia bersangsi, Khim Ji sudah keluar dengan sebelah tangan menyangga sebuah nampan, yang terisi sebuah poci arak dan cangkir. Ia menaruh nampan itu di atas meja dan sambil menuang arak ke cangkir, ia berkata seraya tertawa.

   "Ouw siangkong, ayam, bebek, ikan, daging, sayur dan bebuahan di puncak ini semuanya telah dilemparkan ke bawah oleh Peng siya-mu. Maaf. Kami hanya bisa menyuguhkan kau secawan arak putih."

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sehabis berkata begitu, Khim Ji mengangsurkan nampan dan pada detik nampan itu berada di antara Ouw Hui dan Yok Lan, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan kirinya dan mendorong nampan tersebut ke arah pundak si nona.

   Dorongan itu sangat enteng, tapi disertai tenaga dalam, sehingga jika tidak dilawan dengan tenaga dalam jua, orang yang tersentuh seperti juga ditusuk senjata tajam.

   Yok Lan yang tidak mengerti ilmu silat hanya mengangkat kedua tangannya dalam gerakan biasa untuk mendorong balik nampan itu.

   Ie koankee terkesiap.

   Ia tahu, bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh dan andaikata ia mau coba menolong, pertolongan sudah tidak keburu lagi.

   "Celaka!"

   Ia mengeluarkan seruan tertahan.

   Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilat tangan Ouw Hui menyambar dan menjepit nampan itu dengan kedua jarinya.

   Gerakannya tepat sekali dan nampan tertahan pada saat/ menyentuh pakaian si nona.

   Yok Lan sama sekali tak pernah mimpi, bahwa barusan, dari hidup ia menuju ke kebinasaan, dan dari kebinasaan, ia hidup kembali.

   "Ayahmu adalah seorang yang ilmu silatnya tiada tandingan dalam dunia ini, tapi mengapa ia tidak mengajar ilmu itu kepada nona?"

   Tanya Ouw Hui.

   "Karena ayah ingin mengakhiri permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad,"

   Jawabnya.

   "Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengajar Biauw Kee Kiam Hoat kepada siapa pun jua"

   Ouw Hui terkejut, sehingga cawan yang sudah diangkatnya berhenti di tengah udara. Sesaat kemudian, barulah ia menceguk isi cawan itu.

   "Biauw Jin Hong! Oh, Biauw Jin Hong! Kau sungguh pantas mendapat gelar Tayhiap!"

   Serunya "Kuingat ceritera thia-thia mengenai pertemuannya dengan ayahmu,"

   Kata si-nona.

   "Waktu itu, ayahmu mengundang ayahku untuk minum arak. Ada orang menasehati supaya ayah berjaga-jaga akan kemungkinan ditaruhnya racun di dalam arak. Kata ayah, 'Ouw It To adalah seorang gagah pada jaman ini. Tak mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu.' Hari ini aku menyuguhkan arak dan Ouw siheng pun sudah minum tanpa ragu-ragu. Apa kau tidak kuatir diracuni?"

   Ouw Hui tertawa dan mengeluarkan sebutir pel merah dari mulutnya 'Ayahku binasa karena diakali orang,"

   Katanya.

   "Jika tidak berhati-hati, bukankah aku seorang tolol? Yowan ini dapat memunahkan segala rupa racun. Tapi sekarang, sesudah mendengar perkataan nona, aku jadi malu dan merasa bahwa pemandanganku sempit sekali."

   Sehabis berkata begitu, ia menuang pula secawan arak yang lalu diceguk sehingga kering.

   "Di gunung ini tidak ada makanan untuk minum arak,"

   Kata Yok Lan.

   "Siauwmoay merasa malu, karena tidak bisa menyuguhkan siheng secara selayaknya. Orang jaman dahulu minum arak sambil membaca kitab Hansu. Siauwmoay ingin menabuh Hankhim untuk menggembirakan siheng, tapi kukuatir siheng akan menertawai."

   Ouw Hui girang.

   "Bagusi"

   Serunya "Cobalah, cobalah! Aku ingin sekali mendengar lagu-lagu merdu yang ditabuh nona."

   Tanpa menunggu perintah, Khim Ji segera masuk ke dalam dan keluar dengan membawa sebuah khim yang lalu ditaruh di atas meja Ia pun segera menyulut sebatang hio wangi dan menancapkannya di hiolo. Yok Lan menabuh lagu "Sian Ong-Sian Ong."

   Sesudah memetik beberapa saat, ia menyanyi.

   "Hari yang mendatang diliputi kesukaran, Mulut membakar, lidah kering, Hari ini penuh kebahagiaan, Ramai-ramai bergembira-ria, Gunung tinggi-tinggi, Cico menari-nari, Dewa Ong Kiauw, Menghadiahkan sebutir yowan."

   Sampai di situ ia berhenti menyanyi, tapi suara khim berkumandang terus. Ouw Hui tahu, bahwa yang dinyanyikan si nona adalah sajak "Sian Cay Heng,"

   Sebuah sajak yang melukiskan pembicaraan antara tuan rumah dan tamu dalam sebuah perjamuan di jaman dahulu.

   Semenjak ahala Han dan Gui, sajak itu sudah jarang dikenal orang.

   Sungguh tak dinyana, dalam usahanya untuk membalas sakit hati di kali ini, ia mendengar sajak yang tua itu.

   Empat kalimat yang di depan melukiskan ajakan tuan rumah supaya tamunya minum arak, sedang empat kalimat yang belakangan ialah pemberian selamat panjang umur dari pihak tamu.

   Tadi Ouw Hui mengulum yowan (pel) untuk memunahkan racun.

   Dalam nyanyian itu kebetulan terdapat kata-kata "cico" (rumput lengci yaitu rumput dewa) dan "yowan."

   Sambil mengawasi sebatang pedang yang tergantung di dinding, Ouw Hui berkata, 'Ada arak, ada nyanyian. Ada khim tidak bisa tidak ada pedang."

   Seraya berkata begitu, ia mengambil senjata itu dan menghunusnya.

   Hawa dingin menyambar dari badan pedang yang berkilau-kilauan dan ia tahu, bahwa senjata itu senjata mustika/ Ia segera menuang secawan arak dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel cawan dan tangan kanan memegang pedang, ia mulai menari-nari sambil menyanyikan lagu seperti berikut.

   "Hanya sayang tangan bajuku pendek, Lenganku terbuka dan kedinginan, Kumalu tak punya sesuatu. Untuk membalas Tio Soan"

   Nyanyian itu berarti, bahwa si tamu merasa malu tidak bisa membalas budi tuan rumah, karena ia sangat miskin dan tak punya sesuatu yang berharga (tangan baju pendek dan lengan kedinginan berarti miskin). Mendengar jawaban dari sajak "Sian Cay Heng"

   Juga, Yok Lan jadi girang.

   "Dia ternyata 'Bun Bu Siang Coan' (mahir ilmu surat dan ilmu silat),"

   Katanya di dalam hati.

   "Jika thia-thia tahu, bahwa Ouw pehpeh mempunyai putera yang begitu pintar dan gagah, ia tentu akan bersyukur."

   Karena hatinya senang, sambil bersenyum si nona lalu menyanyi pula.

   "Rembulan menyelam, Bintang Pak Tauw naik, Sahabat di ambang pintu, Lapar tidak keburu makan,"

   Sajak itu berarti, bahwa karena kunjungan seorang sahabat, ia jadi begitu bergirang sehingga ia lupa makan, biarpun perutnya sangat lapar. Sambil bersilat, Ouw Hui segera menyambungi.

   "Kesenangan terlalu sedikit, Kejengkelan terlampau banyak, Bagaimana melupakan kedukaan? Tabuh-tabuhan, arak dan nyanyian. Pat Kong dari Hoaylam, Luar biasa, Mengendarai kereta enam naga, Pesiar di angkasa."

   Empat kalimat yang belakangan adalah untuk memberi selamat panjang umur kepada tuan rumah dan merupakan jawaban pada sajak tuan rumah yang lebih dahulu.

   Sesudah menyanyi, sambil melontarkan pedang ke udara, Ouw Hui menceguk arak dan kemudian menangkap gagang pedang yang melayang turun.

   Tiba-tiba terdengar suara "cring!"

   Dan si nona pun berhenti memetik khim. Mereka berdiri berhadapan dan saling memberi hormat. Ouw Hui lalu memasukkan pedang ke dalam sarung dan menggantungnya kembali di dinding.

   "Karena tuan rumah belum pulang, biarlah besok kudatang lagi,"

   Katanya sambil menuju ke kamar samping di sebelah timur dengan tindakan lebar.

   Ia keluar lagi dengan menggendong Peng Ah Si dan sesudah membungkuk kepada Yok Lan, segera bertindak ke arah pintu.

   Si nona mengantarnya sampai di ambang pintu.

   Dengan sekali berkelebat, pemuda itu sudah mulai merosot turun dari tambang yang menggelantung.

   Yok Lan berdiri terpaku dan bagaikan linglung, ia mengawasi gunung yang tertutup salju.

   "Siocia, apa yang dipikir olehmu?"

   Tanya Khim Ji.

   "Masuklah. Di sini dingin sekali."/ 'Aku tak dingin,"

   Jawabnya.

   Ia pun tak tahu, apa yang dipikirnya Sesudah didesak dua kali lagi, barulah ia memutar badan dan kembali ke gedung dengan tindakan perlahan.

   Di ruangan tengah sudah berkumpul banyak orang orang-orang yang tadi bersembunyi.

   Begitu Yok Lan masuk, mereka berbangkit dan berebut mengajukan pertanyaan.

   "Apa dia sudah pergi ?"

   "Apa yang dikatakan dia ?"

   "Kapan dia kembali ?" 'Apa dia datang untuk membalas sakit hati!'"

   "Siapa yang dicari dia?"

   Di dalam hati, si nona memandang mereka sebagai manusia-manusia rendah yang bernyali tikus. Dalam menghadapi bahaya, mereka kabur dan meninggalkan seorang wanita untuk menghadapi musuh. Maka itu, ia menjawab dengan suara dingin.

   "Ia tidak mengatakan apa pun jua." 'Aku tak percaya,"

   Po Si.

   "Kau telah menemani dia laa sekali. Biar bagaimana pun juga, mesti ada sesuatu yang dinyatakan olehnya."

   Sambil menunjuk meja, Yuk Lan berkata, 'Apa yang ingin dikatakan olehnya sudah ditulis di atas meja itu."

   Tulisan itu siang-siang sudah dilihat Po Si yang merasa tidak enak waktu membaca kalimat yang berbunyi.

   "Dalam pertemuan. tanya dahulu kawan atau lawan"

   Mendengar jawaban Yuk Lan ia tidak berani membuka mulut lagi. Melihat paras muka orang-orang itu yang penuh rasa takut di dalam hati si nona lantas saja timbul ingatan untuk menggertak mereka.

   "Menurut katanya saudara Ouw itu, kedatangannya adalah untuk membalas sakit hati karena ayahnya telah dibunuh orang,"

   Katanya.

   "Hanya sayang, musuh telah menyembunyikan diri. Sekarang ia menjaga di kaki gunung untuk membinasakan musuh yang turun ke bawah turun satu, bunuh satu, turun dua, bunuh sepasang."

   Semua orang terkesiap.

   Mereka benar-benar tengah menghadapi kebinasaan.

   Di atas, tak ada makanan, di bawah, menunggu setan pembetot jiwa.

   Dalam permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian, masih ada beberapa hal yang belum terang bagi Biauw Yok Lan, yang ingin sekali mengorek rahasia dengan menggunakan kesempatan tersebut.

   Maka itu, ia berkata.

   "Ouw siheng mengatakan, bahwa semua orang yang berada di sini bermusuhan dengan dirinya. Tapi permusuhan itu berbeda-beda tingkatannya, ada berat, ada enteng. Pembalasan sakit hatinya pun berbeda-beda, berat terhadap yang berat dan enteng terhadap yang enteng. Supaya tidak mencelakai orang secara serampangan, ia minta aku menanya kalian, mengapa kalian berkumpul di tempat ini? Apakah kalian ingin mengeroyok dia?"

   Kecuali Po Si, semua orang lantas saja membantah. Mereka menolak anggapan itu. Sedang nama "Soat San Hui Ho"

   Baru pernah didengar mereka, sedang mereka pun tidak pernah bermusuhan dengan si Rase Terbang, perlu apa mereka mengeroyok pemuda itu? Sesudah semua orang mengeluarkan bantahannya, Yok Lan menengok ke arah To Pek Swee dan berkata.

   "To pehpeh, ada sesuatu yang tidak terang bagi titli (keponakan perempuanmu) dan titli hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Apa boleh?"

   "Tentu saja boleh,"

   Jawabnya.

   "Tadi,"

   Kata si nona.

   "Peng Ah Si Peng siya memberitahukan, bahwa Ouw It To Ouw pehpeh telah minta bantuan Po Si Taysu untuk menyampaikan tiga hal kepada ayahku. Tapi thia-thia belum pernah menyebutkan hal itu. Barusan To pehpeh menyatakan bahwa pehpeh tahu sebab- musababnya. Apakah pehpeh sudi memberitahukan sebab-musabab itu kepadaku?"/ "Ya,"

   Jawabnya.

   "Biarpun nona tidak menanya, aku memang mau memberitahukan."

   Sambil menuding Whi Su Tiong, In Kiat, Co Hun Ki dan yang lain-lain, ia berteriak.

   "Jago-jago Thian Liong Bun itu telah menuduh, bahwa puteraku telah mencelakai Tian Kui Long cinkee! Huh-huh!"

   Suara si tua memang nyaring. Dalam gusarnya, suaranya lebih nyaring lagi. Sesudah berdiam sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu, ia berkata pula.

   "Aku akan berceritera dari kepala sampai di buntut. Aku ingin minta pendapat kalian, siapa yang salah, siapa yang benar."

   "Bagus!"

   Kata In Kiat.

   "Kami memang ingin minta penjelasan dari To loocianpwee."

   "Di waktu masih muda, dengan Tian Kui Long, aku jual-beli tanpa modal,"

   Demikian To Pek Swee mulai.

   Semua orang tahu, bahwa To Pek Swee seorang liok lim (rimba hijau artinya kalangan perampok), toaceecu (pemimpin pertama) dari sarang perampok Eng Ma Coan.

   Tapi mereka belum pernah mendengar, bahwa dahulu Tian Kui Long pun pernah menjadi perampok.

   Semua orang kaget dan saling mengawasi dengan sorot mata menanya.

   "Justa!"

   Teriak Co Hun Ki.

   "Guruku adalah seorang gagah dalam Rimba Persilatan. Jangan ngaco! Tak boleh kau menodai nama baik guruku!"

   "Kau memandang rendah orang-orang gagah dari hek to (jalanan hitam atau perampok), tapi para enghiong dari hek to pun memandang rendah segala orang gagah bebodoran yang bermacam seperti kau!"

   Kata si tua dengan suara keras.

   "Kami mencari nafkah dengan golok dan pedang. Apa bedanya dengan orang-orang seperti kamu yang menjadi centeng, piauwsu dan sebagainya?"

   Co Hun Ki berbangkit dengan darah meluap, tapi sebelum ia membuka mulut lagi. Tian Ceng Hun sudah menarik tangan bajunya seraya berkata "Suko, sudahlah! Biarkan dia menutur terus."

   Dengan muka merah-padam, Co Hun Ki mengawasi To Pek Swee, tapi perlahan-lahan ia duduk kembali.

   "Sedari kecil aku To Pek Swee menjadi perampok dan aku belum pernah membohong,"

   Kata pula si tua.

   "Seorang laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya."

   "To pehpeh,"

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kala Yok Lan.

   "ayahku juga pernah mengatakan, bahwa di dalam rimba hijaupun terdapat enghiong dan hoohan (orang gagah), yang tidak boleh dipandang rendah, oleh siapa pun jua. Sekarang sebaiknya pehpeh meneruskan ceritera mengenai Tian sioksiok."

   "Kau dengarlah!"

   Kata To Pek Swee sambil menuding Co Hun Ki.

   "Biauw Tayhiap sendiri mengatakan begitu. Apa kau lebih pintar daripada Biauw Tayhiap?"

   Co Hun Ki mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak mengatakan suatu apa lagi.

   "Aku dan Tian Kui Long telah melakukan banyak perampokan besar dan sesudah menikah, barulah kita mencuci tangan,"

   Kata si tua dengan suara terlebih sabar.

   "Kalau dia memandang rendah orang-orang hek to, tak nanti ia sudi menjodohkan puteri tunggalnya dengan puteraku. Tapi ... entahlah. Memang mungkin sekali ia berbesan denganku bukan karena baik hati. Bisa jadi dia mempunyai maksud tertentu. Mungkin ia ingin menutup mulutku, supaya aku tidak membuka satu rahasia besar."

   "Pada waktu Tian Kui Long dan Hoan Pangcu mencegat suami-isteri Ouw It To di Congciu, aku menjadi pembantu Tian Kui Long. Di antara orang-orang yang ditimpuk jalan darahnya dengan kim chi piauw oleh Ouw It To dari kereta, terdapat To Pek Swee. Belakangan, dalam pertempuran di atas genteng, Ouw Hujin telah merobohkan banyak orang dengan selendang sutera dan di antara orang-orang yang roboh juga terdapat To Pek Swee."

   Mendengar sampai di situ, tanpa merasa nona Biauw mengeluarkan seruan "ah!"

   To Pek Swee melanjutkan penuturannya, 'Aku turut menyaksikan meninggalnya suami-isteri Ouw It To.

   Kejadian itu sesuai dengan penuturan nona Biauw dan Peng Ah Si.

   Ceritera Po Si Taysu hanya omong-kosong.

   Nona Biauw bertanya, jika Biauw Tayhiap mengetahui, bahwa Ouw It To bukan musuh yang telah membunuh ayahnya, mengapa ia tetap mencari Ouw It To untuk/ bertanding? Kalian pasti akan menduga, bahwa semua itu karena gara-gara Po Si yang tidak menyampaikan pesan Ouw It To kepada Biauw Tayhiap."

   Semua orang memang menduga begitu, tapi sebab Po Si berada di situ, mereka tak berani mengiakan. To Pek Swee menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Salah, salah sekali jika kalian menduga begitu,"

   Katanya.

   "Pikirlah. Giam Ki hanya seorang tabib, sebenarnya bukan tabib, hanya tukang mengobati luka-luka yang kedudukannya sangat rendah. Mana dia berani main gila di hadapan kedua jago itu? Ia telah menjalankan perintah, sesuai dengan keinginan Ouw It To. Hanya Biauw Tayhiap tidak pernah mendengar ceriteranya. Waktu dia pergi ke gedung itu, Biauw Tayhiap kebetulan keluar dan dia diterima oleh Tian Kui Long. Kepada Tian Kui Long-lah, dia menyampaikan ketiga hal yang dipesan Ouw It To. 'Baiklah, kau pulang saja kata Tian Kui Long. Aku akan memberitahukan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Kalau kau bertemu dengan Biauw Tayhiap, janganlah disebut-sebut lagi. Jika ditanya Ouw It To, katakan saja, bahwa kau sudah menyampaikan pesannya kepada Biauw Tayhiap.' Sehabis berkata begitu, ia menghadiahkan tigapuluh tahil perak. Melihat uang, mulut Giam Ki lantas saja bungkam."

   "Mengapa Biauw Tayhiap tetap cari Ouw It To? Karena Tian Kui Long tidak menyampaikan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Mengapa Tian Kui Long tidak menyampaikan? Kalian pasti akan menjawab begini, sebab Tian Kui Long bermusuhan dengan Ouw It To, maka dia ingin meminjam tangan Biauw Tayhiap untuk membinasakan Ouw It To. Jawaban itu hanya benar sebagian. Memang benar, Tian Kui Long mengharapkan binasanya Ouw It To. Tapi dia lebih-lebih ingin meminjam tangan Ouw It To untuk membunuh Biauw Tayhiap,"

   Keterangan itu diterima dengan rasa sangsi oleh para hadirin.

   Tian Kui Long ingin meminjam tangan Biauw Jin Hong untuk membunuh Ouw It To, guna membalas sakit hati.

   Ini memang masuk akal.

   Tapi terlalu gila jika dikatakan, bahwa dia mengharapkan kebinasaannya Biauw Jin Hong.

   "Kalian tak percaya?"

   Tanya To Pek Swee.

   "Baiklah. Aku akan memberi penjelasannya. Biauw Tayhiap ..."

   "To pehpeh, tak usah diceriterakan lagi,"

   Memutus nona Biauw. 'Aku tahu mengapa dia ingin membunuh ayahku."

   "Hml ... memang lebih baik aku tidak menjelaskan,"

   Kata si tua.

   "Secara diam-diam Tian Kui Long menyerahkan secepuk racun kepadaku dan minta supaya aku berusaha untuk melabur racun itu di senjata Ouw It To dan Biauw Tayhiap. Sebab sukar, aku segera menyerahkannya kepada Giam Ki. Coba kalian pikir. Ouw It To adalah seorang gagah yang jarang tandingan. Jika kena racun biasa, mana bisa ia gampang-gampang mati? Giam Ki hanya tukang mengobati luka-luka. Dia tentu tak punya racun yang lihay dan mahal harganya. Kalian pasti akan menanya, Ouw It To kena racun apa? Racun Thian Liong Bun yang tiada keduanya dalam dunia ini. Pasti Tui Beng Tok Liong Cui yang sangat ditakuti, mendapat nama besarnya karena racun itu."

   Mendengar sampai di situ, orang-orang yang semula bersangsi lantas saja mulai percaya.

   Mereka melirik Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan lain-lain anggauta Thian Liong Bun, yang biarpun gusar, tidak berani mengumbar napsu amarahnya.

   Sesudah berdiam sejenak, To Pek Swee melanjutkan penuturannya, 'Hari itu, pada waktu Tian Kui Long menutup pintu dan menyimpan pedang dan mengadakan perjamuan besar, ia mengundang ratusan orang gagah dalam dunia Kang Ouw.

   Sebagai besan, aku tiba beberapa hari lebih dahulu dari tamu biasa untuk memberi bantuan sekedarnya.

   Menurut peraturan Thian Liong Bun, sesudah pemimpin Pak Cong menyimpan pedang, maka kitab pedang, Cong Tiap dan kotak besi yang menjadi pusaka partai, harus diserahkan kepada Lam Cong.

   In heng, apakah aku tidak salah?"

   In Kiat mengangguk beberapa kali./ "In toacaycu (hartawan) yang bergelar 'Wi Cin Thian Lam' adalah Ciang Bun dari Lam Cong,"

   Kata pula To Pek Swee.

   "Seperti aku, ia pun tiba terlebih siang di gedung Tian Kui Long. Apakah Tian Kui Long menyerahkan kitab pedang, Cong Tiap dan kotak besi kepada Lam Cong, sebaiknya diceriterakan oleh In heng sendiri."

   Sesudah batuk-batukbeberapa kali, In Kiat berbangkit.

   "Jika urusan ini tidak dibuka oleh To ceecu, aku sungkan membicarakannya di hadapan orang luar,"

   Katanya.

   "Urusan ini berbelit-belit dan memang juga, kalau aku terus menutup mulut, mungkin sekali para suheng dari Pak Cong akan merasa curiga. Beginilah kejadiannya, hari itu, sesudah menjamu para tamu, Tian suheng masuk ke ruangan dalam. Menurut peraturan partai, ia sekarang sudah boleh mengumpulkan anggauta-anggauta Pak Cong dan Lam Cong dan sesudah bersembahyang di hadapan sinwi Cwan Ong, ia harus segera menyerahkan kotak besi kepadaku. Tapi sesudah masuk ke ruangan dalam, ia tidak keluar lagi. Aku menunggu sampai tengah malam, sampai semua tamu bubar. Tiba-tiba Tian Ceng Bun titli keluar dan memberitahukan, bahwa karena kurang enak badan, maka penyerahan pusaka partai akan dilakukan pada keesokan harinya. 'Aku merasa sangat heran. Tadi, waktu melayani tamu, Tian suheng tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit. Mengapa mendadak ia kurang enak badan? Di samping itu, penyerahan pusaka sangat sederhana hanya perlu bersembahyang. Mengapa harus ditunda sampai besok? Apa Tian suheng tidak rela menyerahkannya?"

   "In suheng, dugaanmu tidak benar,"

   Sela Whi Su Tiong.

   "Jika tujuanmu hanya untuk menerima kitab dan kotak, Tian suko tentu sudah siang-siang menyerahkannya kepadamu. Perlu apa kau mengajak begitu banyak jago? Kau tentu mengandung maksud yang kurang baik."

   In Kiat tertawa dingin.

   "Hrn! Maksud jelek apa bisa dipunyai olehku?"

   Tanyanya "Aku tahu segala niatanmu,"

   Jawabnya.

   "Begitu lekas kitab dan kotak berada dalam tanganmu, kau akan menggunakan kekerasan untuk mempersatukan Pak Cong dan Lam Cong, supaya kau bisa menjadi Ciang Bun Jin dari seluruh Thian Liong Bun."

   Paras muka In Kiat berubah merah.

   "Bahwa Thian Liong Bun dipecah menjadi Pak Cong dan Lam Cong asal-mulanya adalah untuk memudahkan pengurusan partai,"

   Katanya "Waktu memegang pimpinan atas Pak Cong, Tian suheng sendiri juga ingin sekali mempersatukan kedua bagian itu.

   Dalam usahaku, tujuanku yang satu-satunya adalah untuk memakmurkan partai kita dan menurut pendapatku, maksud ini maksud yang baik.

   Biar bagaimana pun jua, tindakanku banyak lebih terhormat daripada tindakan Whi suheng yang kasak-kusuk dengan Hun Ki untuk merampas kedudukan Ciang Bun Jin."

   Mendengar kedua belah pihak saling membuka rahasia busuk, semua orang tertawa di dalam hati. Yok Lan yang sungkan mendengar lebih jauh perebutan kekuasaan itu, lantas saja berkata.

   "Habis bagaimana?" 'Aku segera pergi ke kamarku dan berdamai dengan para sutee,"

   Jawab In Kiat.

   "Mereka berpendapat, bahwa Tian suheng pasti bermaksud tidak baik dan mereka mendesak supaya aku menyelidiki.

   "Aku segera pergi ke kamar tidur Tian suheng dengan berlagak mau menanya penyakitnya. Aku bertemu dengan Tian Ceng Bun titli, yang dengan mata merah karena menangis, berdiri di ambang pintu. Ayah sudah tidur. In siokhu kembali saja. Terima kasih atas kebaikanmu,' katanya. Melihat sikapnya yang luar biasa, aku jadi heran. Andaikata Tian suheng benar sakit, ia pun tak perlu menangis begitu hebat. Aku segera balik ke kamarku dan berselang setengah jam, sesudah menyalin pakaian, aku kembali dan berdiri di depan pintu kamar Tian suheng untuk menengok penyakitnya..."

   "Buk!"

   Whi Su Tiong menumbuk meja.

   "Huh! Menengok penyakit!"

   Bentaknya. 'Apakah seorang yang mau menengok kawan yang sakit, berdiri di luar pintu?"

   In Kiat bersenyum tawar.

   "Kalau aku mencuri dengar pembicaraan, mau apa kau?"

   Tanyanya dengan kaku.

   "Benar aku bersembunyi di depan jendela dan mendengari pembicaraan di dalam/ kamar. 'Kau tak usah mendesak aku,' kata Tian suheng. 'Hari ini aku menutup pintu dan menyimpan pedang dan di hadapan semua orang gagah, aku sudah menyerahkan kedudukan Ciang Bun Jin dari Pak Cong Thian Liong Bun kepada Hun Ki. Pengumuman ini tak dapat diubah lagi.' Di lain saat kudengar Whi Su Tiong, Whi suheng, berkata, 'Bagaimana aku berani mendesak suko? Tapi sesudah Hun Ki dan Tian Ceng Bun berlaku begitu busuk sehingga mereka mendapat anak mana bisa orang-orang kita takluk terhadapnya?'"

   Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan.

   Ternyata, Tian Ceng Bun jatuh bersama- sama kursi dan ia rebah dalam keadaan pingsan.

   Tanpa mengatakan suatu apa, To Cu An segera membacok kepala Co Hun Ki dengan goloknya.

   Karena tidak bersenjata, Hun Ki menangkis dengan kursi Mendengar calon menantunya melakukan perbuatan yang sebusuk itu, To Pek Swee berteriak-teriak bagaikan kalap Ia mengangkat kursi dan turut menyerang Co Hun Ki.

   Terhadap luar, orang-orang Thian Long Bun biasanya bersatu-padu.

   Tapi sekarang, karena yang bertempur adalah orang-orang sendiri yang saling membuka rahasia busuk, tak satu pun yang bergerak.

   Keadaan lantas saja menjadi kalut.

   "Berhenti!"

   Teriak Biauw Yok Lan.

   "Semua orang berhenti! Duduk!"

   Entah mengapa, perkataan si nona mempunyai pengaruh luar biasa. To Cu An kelihatan terkejut dan segera menarik pulang goloknya, tapi To Pek Swee masih mengamuk terus dengan kursinya. Sambil mencekel kursi itu, To Cu An berkata.

   "Thia, berhentilah dahulu. Biarlah semua orang mendengar ceritera ini sampai di akhirnya, supaya mereka bisa menimbang, siapa salah, siapa benar."

   Mendengar perkataan puteranya, si tua lantas berhenti mengamuk.

   "Khim Ji,"

   Kata pula Yok Lan.

   "Ajaklah nona Tian ke kamar untuk mengaso."

   Perlahan-lahan Tian Ceng Bun tersadar. Dengan paras muka pucat, ia berjalan masuk ke ruangan dalam sambil menundukkan kepala. Semua orang lantas saja mengawasi In Kiat dan mengharap supaya ia meneruskan penuturannya. Kata In Kiat.

   "Kudengar Tian suheng menghela napas dan berkata, 'Pembalasan! Inilah pembalasan!' Sesudah menghela napas lagi berulang-ulang, barulah ia berkata dengan suara perlahan, 'Biarlah kita berdamai lagi besok. Pergilah! Minta Cu An datang kemari. Aku ingin bicara dengan dia.'"

   Seraya mengawasi ayah dan anak she To itu, In Kiat melanjutkan penuturannya.

   "Whi suheng masih mau bertengkar, tapi Tian suheng sudah lantas menepuk ranjang dan membentak dengan gusar. Apa kau mau mendesak sampai aku mampus?' Dibentak begitu Whi suheng tidak berani bersuara lagi dan sambil berjalan keluar lalu membuka pintu. Karena aku mencuri dengar pembicaraan orang dan juga sebab pembicaraan itu tiada sangkut-pautnya dengan Lam Cong, maka buru-buru aku kembali ke kamarku supaya jangan sampai berpapasan dengan Whi suheng."

   Whi Su Tiong tertawa dingin dan berkata.

   "Malam itu, begitu bertindak keluar, kulihat berkelebatnya bayangan hitam. Anjing dari mana berani mencuri dengar pembicaraan orang?' bentakku. Aku tidak mendapat jawaban dan aku menduga, bahwa bayangan itu adalah bayangan sebangsa anjing geladak. Tak dinyana, orang itu In suheng adanya. Maaf, maafkan aku."

   Seraya berkata begitu, ia menyoja. Walaupun mulutnya meminta maaf, ia sebenarnya mencaci In Kiat yang paras mukanya lantas saja berubah. Tapi In Kiat sabar luar biasa. Ia membalas hormat dan berkata sambil tertawa.

   "Tidak tahu tidak bersalah. Whi suheng jangan berlaku begitu sungkan."

   "Sekarang giliranku,"

   Kata To Cu An.

   "Sesudah beramai-ramai membuka rahasia, aku pun mau membuka mulut. Aku ... aku____"

   Ia tidak bisa meneruskan perkataannya karena hatinya bergoncang keras, sedang air mata mengalir turun di kedua pipinya.

   Melihat menangisnya seorang pemuda gagah, semua orang jadi merasa kasihan.

   Mereka melirik Co Hun Ki dengan rasa sedikit mendongkol./ "Kau sungguh tolol! Perlu apa kau memperlihatkan kelemahanmu di sini?"

   Bentak sang ayah.

   "Untung juga kau belum menikah, sehingga perbuatan terkutuk itu tidak menodai keluarga kita."

   Sesudah menyusut air mata dengan tangan bajunya, To Cu An berkata pula.

   "Dulu-dulu, setiap kali aku datang berkunjung ke rumah ... ke rumah ... Tian pehhu Mendengar Cu An menggunakan panggilan "pehhu" (paman) dan bukan "gakhu" (mertua), diam-diam Co Hun Ki merasa girang.

   "Aku girang bocah itu tidak mengakui Ceng moay sebagai isterinya,"

   Katanya di dalam hati. To Cu An melanjutkan penuturannya.

   "Kalau ada orang, Ceng moay selalu menyingkir jauh-jauh dengan paras muka kemerah-merahan dan tidak mau bicara denganku. Tapi kalau tak ada orang lain, ia mau beromong-omong dengan sikap menyinta. Saban aku memberikan sesuatu kepadanya, ada saja balasannya, misalnya dompet uang, baju ma kwa dan sebagainya____"

   Muka Co Hun Ki tak enak dilihat. Ia mendongkol mendengai pengakuan saingannya.

   "Waktu Tian pehhu bikin pesta, dengan penuh kegembiraan, aku mengikuti ayah,"

   Kata pula To Cu An.

   "Begitu melihat Ceng moay, aku kaget. Mukanyu pucat dan kurus, seperti baru saja sembuh dari penyakit berat. Aku merasa kasihan dan di mana ada kesempatan, aku selalu coba menghibur padanya. Aku tanya ia sakit apa. Bermula jawabannya tak terang. Belakangan, waktu aku mendesak, ia jadi gusar dan menyemprot aku dengan perkataan pedas dan kemudian tak mau meladeni aku lagi. Aku bingung dan jengkel. Tentu saja aku tak punya kegembiraan untuk makan- minum. Secara kebetulan aku bertemu dengan ia di taman bunga. Ia ternyata baru habis menangis kedua matanya merah. Aku segera meminta maaf. 'Ceng moay, akulah yang salah,' kataku. Kau jangan marah' Tiba-tiba ia bergusar. 'Jangan rewel! Aku ingin mati!' bentaknya. Aku makin bingung. Waktu kembali ke kamarku, hatiku makin tak enak. Aku memutar otak untuk mencari sebab-musabab dari kegusarannya. Perlahan-lahan aku bangun dan pergi ke kamarnya. Aku mengetuk tiga kali di bawah jendela. Itulah pertandaan yang digunakan kalau kita ingin saling bertemu. Tapi kali ini, sesudah mengetuk berulang-ulang, aku tidak mendapat jawaban. Aku menarik jendela yang ternyata tidak dikunci dan lantas terbuka. Kamar gelap-gulita. Karena sangat ingin bicara dengannya, aku segera masuk dengan melompati jendela____"

   "Perlu apa kau masuk ke kamar seorang gadis di tengah malam buta?"

   Bentak Co Hun Ki. Sebelum To Cu An keburu menjawab, Khim Ji sudah mendahului.

   "Perlu apa kau campur- campur? Mereka adalah tunangan."

   Sambil mengawasi budaknya Yok Lan, To Cu An manggut-manggut dan lalu berkata pula.

   "Di depan ranjang kulihat sepasang sepatu. Dengan memberanikan hati aku menyingkap kelambu dan meraba-raba. Tiba-tiba tanganku menyentuh satu bungkusan, tapi Ceng moay sendiri tidak berada di ranjang itu. Rasa heranku makin menjadi-jadi dan aku lalu meraba-raba lagi bungkusan itu. Tiba-tiba hatiku mencelos. Bayi! ... Mayat bayi yang sudah mati lama juga, karena badannya sudah dingin. Rupanya bayi itu mati mengap"

   "Trang!"

   Cangkir teh yang dicekel Yok Lan jatuh dan paras muka si nona berubah pucat.

   "Kalian kaget?"

   Tanya To Cu An.

   "Kalau sekarang kalian kaget, kagetku di waktu itu lebih-lebih lagi. Hampir-hampir aku berteriak. Sekonyong-konyong kudengar tindakan kaki dan seorang masuk ke dalam kamar. Buru-buru aku bersembunyi di kolong ranjang. Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Ceng moay sendiri, duduk di pinggir ranjang dan menangis. Ia mendukung mayat bayi dan menciumnya berulang-ulang. Anak, janganlah kau gusari ibumu yang sudah membunuh kau. Hati ibumu seperti disayat pisau. Tapi kalau kau hidup, ibu tak bisa hidup. Ibumu memang kejam.' Bulu romaku bangun semua. Dengan anjing geladak dari mana dia membikin perhubungan rahasia? Akhirnya, dia bangun dan sesudah menutup bayi itu dengan mantel, ia keluar dari kamarnya. Aku pun merangkak keluar dari kolong ranjang dan mengikuti dari belakang. Waktu itu, aku sedih dan marah. Aku mengambil keputusan untuk mencari tahu siapa kecintaannya. Ia pergi ke belakang taman dan keluar dengan melompati tembok. Dari jauh aku menguntit terus. Sesudah berjalan kira-kira setengah li, ia tiba di satu tempat pekuburan. Dari bawah mantel ia mengeluarkan cangkul pendek. Baru saja mau mencangkul, tiba-tiba terdengar suara benterokan antara besi dan batu. Ada seorang lain menggali tanahl Ia kaget dan buru-buru/ mendekam. Selang beberapa saat, ia merangkak dan mendekati suara itu. Indap-indap aku mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian kulihat sebuah lentera di samping satu kuburan dan dengan pertolongan sinar lentera, kulihat satu bayangan hitam sedang menggali tanah. Orang itu membuat lubang. 'Apa dia juga mau mengubur bayi?' tanyaku di dalam hati. Sesudah beres menggali, orang itu menjemput sebuah bungkusan panjang dari atas tanah, bentuk bungkusan sangat menyerupai mayat bayi. Ia menaruh bungkusan itu di dalam lubang dan kemudian menguruknya dengan tanah. Tiba-tiba ia menengok ke jurusanku. Aku terkesiap sebab orang itu bukan lain daripada 'Hui Liong Kiam' Ciu Hun Jang, Ciu suheng."

   Muka Ciu Hun Jang yang sedari tadi sudah pucat, sekarang jadi makin pucat.

   To Cu An melanjutkan penuturannya, 'Aku sungguh bingung.

   Apa bangsat she Ciu itu yang main gila dengan Ceng moay? Mengapa ia pun mengubur bayi? Melihat dia, Ceng moay buru-buru merebahkan dirinya di tanah dan tidak maju lagi.

   Sementara itu, Ciu suheng menginjak-injak tanah urukan, menanam rumput di atasnya dan menyebar batu-batu di atas rumput, supaya orang tidak mengenali galian itu.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sesudah beres, barulah ia menyingkir.

   Begitu lekas Ciu suheng berlalu, cepat-cepat Ceng moay menggali lubang dan mengubur bayinya.

   Sesudah itu, ia menghampiri kuburan yang tadi dibuat Ciu suheng dan lalu menggalinya untuk menyelidiki benda yang berisi di dalamnya.

   Apa celaka, baru saja Ceng moay mencangkul beberapa kali, Ciu suheng balik kembali.

   'Ceng moay bikin apa kau?' tanyanya.

   Ternyata ia seorang yang sangat berhati-hati.

   Tadi ia hanya berlagak menyingkir dan sekarang balik kembali untuk memeriksa tanamannya.

   Ceng moay kaget dan melompat, ia melemparkan cangkul di tanah dan tidak dapat menjawab pertanyaan Ciu suheng.

   Ciu suheng tertawa dingin.

   Adik Ceng Bun,' katanya.

   'Kau tahu aku tanam apa, aku pun tahu kau tanam apa Kalau rahasia mau disimpan, kita menyimpan bersama-sama.

   Kalau mau dibuka, kita membuka bersama-sama.' 'Baik,' kata Cengmoay.

   Kalau begitu, kau bersumpahlah.' Ciu suheng lantas saja bersumpah, begitu juga Ceng moay.

   Sesudah itu, mereka segera kembali ke gedung.

   Melihat lagak kedua orang itu, aku tersangsi.

   Kutak tahu perhubungan apa terdapat di antara mereka Diam-diam aku menguntit dengan tangan menggenggam senjata rahasia beracun.

   Aku mengambil keputusan, asal mereka menunjukkan lagak seperti kecintaan atau mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar, aku akan segera menimpuk.

   Tapi mereka bernasib baik.

   Dari pekuburan ke gedung, mereka berjalan dengan terpisah jauh satu sama lain dan mereka tidak mengeluarkan sepatah kata.

   Ceng moay kembali ke kamarnya dengan menangis segak-seguk.

   Sambil berdiri di bawah jendela, macam-macam niatan masuk ke dalam otakku.

   Aku ingin menerobos masuk dan membacok mampus dadanya, aku ingin membakar perkampungan keluarga Tian sampai menjadi rata dengan bumi, aku ingin membeber rahasianya Akhirnya aku mengambil satu keputusan.

   Sebelum bertindak lebih jauh, aku akan menyelidiki siapa adanya lelaki bangsat itu.

   Dengan badan dingin aku balik ke kamarku.

   Ayah sudah menggeros.

   Aku berdiri seperti patung.

   Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Whi susiok memanggil aku dan memberitahukan, bahwa Tian pehhu ingin bicara denganku.

   'Inilah dia!' kataku di dalam hati.

   'Coba kudengar apa yang akan dikatakan olehnya.

   Apa dia mau membujuk supaya aku membatalkan pernikahan? Apa dia akan berlagak pilon?' Sesudah menyampaikan keinginan Tian pehhu, Whi susiok segera berlalu.

   Karena kuatir terjadi sesuatu yang hebat, aku membangunkan ayah dan minta supaya ia berjaga- jaga.

   Dengan membawa senjata dan senjata rahasia, bahkan gendewa dan anak panah yang disembunyikan dalam jubah, aku segera menuju ke kamar Tian pehhu.

   Begitu masuk, kulihat Tian pehhu rebah di ranjang dengan mata mengawasi langit-langit pembaringan.

   Ia mencekel selembar kertas putih dalam tangannya dan ia rupanya tak tahu masuknya aku.

   Aku batuk-batuk dan menegur, A-thia!' Ia kelihatan kaget dan buru-buru memasukkan kertas putih itu di bawah kasur.

   Ah, Cu An, kau?' katanya.

   Aku mendongkol.

   Bukankah dia sendiri yang memanggil aku? Tapi melihat mukanya, aku yakin, bahwa ia benar- benar sedang ketakutan hebat.

   Ia menyuruh aku memalang pintu, tapi belakangan meminta aku mementang jendela, sebab ia kuatir ada orang yang bersembunyi di luar jendela.

   'Cu An,' katanya.

   'Jiwaku terancam dan aku minta pertolonganmu.'"/ Sekonyong-konyong Co Hun Ki berbangkit dan membentak seraya menuding Cu An.

   "Omong kosong! Tak bisa jadi guruku meminta bantuan bocah cilik seperti kau! Apa kepandaianmu?"

   Tanpa meladeni bentakan itu, Cu An meneruskan penuturannya.

   "Mendengar perkataan itu, aku kaget. 'Gakhu, apa pun jua yang diperintah olehmu, biarpun mesti masuk di dalam api, aku pasti tak akan menolak.' Tian pehhu manggut-manggutkan kepalanya. Dari bawah selimut, ia mengeluarkan satu bungkusan sutera sulam yang panjang dan memberikannya kepadaku. 'Bawalah barang ini dan malam ini juga kau pergi keluar Tembok Besar,' katanya. 'Pendamlah di tempat yang tidak ada manusianya. Jika tidak diketahui orang, mungkin sekali kau akan bisa menolong jiwaku.' "Aku menyambuti. Bungkusan itu ternyata berat sekali, seperti juga besi. 'Gakhu, apa ini?' tanyaku. 'Siapa yang maui jiwamu?' Tian pehhu mengibas tangannya Ia kelihatannya lelah sekali. 'Pergi lekas-lekas!' katanya 'Malah kepada ayahmu sendiri, kau tidak boleh beritahukan hal ini. Kalau terlambat, mungkin tak keburu lagi. Aku melarang keras kau membuka bungkusan itu.' Aku tidak berani menanya lagi. Aku memutar badan dan segera bertindak keluar. Tapi baru tiba di ambang pintu, Tian pehhu mendadak berkata, 'Cu An, apa yang disembunyikan di dalam jubahmu?' Aku terkesiap. Matanya sungguh lihay! 'Senjata, gendewa dan anak panah,' jawabku. 'Sebab hari ini banyak tamu dan karena kuatir ada orang jahat, maka aku membekal senjata untuk menjaga terjadinya sesuatu.' Ia mengangguk dan berkata, Bagus. Kau sangat hati-hati. Kalau Hun Ki bisa turut ketelitianmu, aku akan merasa terlebih senang. Serahkanlah gendewa dan anak panah itu kepadaku.' Aku segera mengeluarkan dan menyerahkan apa yang diminta Ia mengambil sebatang anak panah, yang sesudah dibulak-balik beberapa kali, lalu dipasang pada gendewa. 'Kau pergilah!' katanya Melihat paras mukanya, aku sangat berkuatir. Kukuatir, selagi berjalan keluar, ia memanah punggungku! Maka itu, dengan berlagak memberi hormat sambil membungkuk, aku jalan mundur dan sesudah keluar dari pintu, dengan mendadak aku memutar badan dan berjalan cepat-cepat. Sebab kepingin tahu, sekali lagi aku menengok. Ternyata, ia menjuju anak panah ke arah mulut jendela Dengan penuh kecurigaan, aku balik ke kamarku. Di samping rasa ketakutan, dari paras mukanya, Tian pehhu seperti juga sedang menyembunyikan sesuatu. Aku merasa pasti, ia mengandung maksud tak baik terhadapku. Maka itu, aku segera menceritakan pengalamanku kepada ayah. Tapi sebab kuatir ia marah, maka halnya Ceng Bun moaycu tidak disebut-sebut olehku. 'Paling benar kita buka bungkusan itu,' kata ayah. Aku menyetujui dan kami segera membukanya. Di dalam bungkusan ternyata berisi kotak besi itu. Kotak besi itu adalah mustika dari Thian Liong Bun. Aku sudah pernah mendengar penuturan Ceng moay. Ayah dan Tian pehhu adalah kawan lama dan dengan mata sendiri, pernah lihat, cara bagaimana Tian pehhu merampasnya dari tangan ahli waris Ouw It To. Belakangan ia menaruh golok komando Cwan Ong di dalam kotak ini. 'Sungguh mengherankan,' kata ayah. 'Mengapa dia menyerahkan kotak ini kepadamu.' Ayah tahu, bahwa pada kotak ini di pasang anak panah yang bisa melesat sendiri dan juga tahu cara membuka kotak. Ia segera membukanya. Di lain saat, kami mengawasi dengan mata membelalak tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Ternyata kotak itu kosong. Apa artinya ini?' kata ayah. Aku sudah menduga artinya. Aku menduga pasti, bahwa Tian pehhu ingin mencelakai diriku. Ia menyembunyikan golok mustika di tempat lain dan menyerahkan kotaknya kepadaku. Ia tentu sudah memerintahkan orang mencegat dan membekuk aku di tengah jalan. Aku tentu akan dituduh mencuri golok dan jika aku tidak bisa mengeluarkan golok mustika itu, aku pasti akan dibunuh. Dengan demikian, pernikahanku dengan Ceng moay akan batal sendirinya dan Ceng moay bisa menikah dengan Co suheng. Ayah yang belum tahu latar belakang itu, tentu saja tidak bisa menduga maksud Tian pehhu."

   "Justa!"

   Teriak Co Hun Ki.

   "Kau sudah membinasakan guruku dan mencuri golok mustika. Sekarang kau mengeluarkan omongan gila-gila"/ To Cu An tertawa dingin.

   "Biarpun Tian pehhu sudah meninggal dunia, aku masih memegang bukti,"

   Katanya. Co Hun Ki berjingkrak-jingkrak bahna gusarnya.

   "Bukti?"

   Teriaknya.

   "Bukti apa? Keluarkan, supaya semua orang bisa melihatnya!"

   "Kalau sudah tiba waktunya aku pasti akan mengeluarkan bukti itu,"

   Jawabnya dengan tenang.

   "Tuan-tuan, sebab Co suheng selalu memutuskan penuturanku, maka lebih baik dia saja yang menggantikan bicara."

   "Co Hun Ki,"

   Kata Po Si.

   "Tadi kau coba menggulingkan loolap ke bawah gunung dan loolap belum berhitungan denganmu."

   Pemuda itu ketakutan dan tidak berani membuka mulut lagi. Cu An melanjutkan penuturannya.

   "Kutahu keadaan sudah mendesak. Begitu keluar dari pintu keluarga Tian dengan membawa kotak besi, aku bisa mati. Bukan saja mati, namaku pun akan menjadi rusak. 'Thia, hal ini ada latar belakangnya yang berbelit-belit,' kataku. 'Paling selamat aku mengembalikannya kepada Gakhu.' Aku segera membungkus lagi kotak itu dengan bungkusannya dan menyiapkan beberapa perkataan untuk menyentil Tian pehhu. Tapi waktu tiba di depan kamarnya, lampu sudah dipadamkan dan jendela tertutup rapat 'Gakhu! Gakhu!' aku memanggil. Tapi tak dapat jawaban. Aku bercuriga. Tian pehhu memiliki kepandaian tinggi dan biarpun lagi pulas, ia tentu sudah tersadar kalau dipanggil-panggil. Apa dia sengaja tidak mau. meladeni aku? Makin lama aku makin ketakutan. Apa murid-murid Thian Liong Bun sudah bersembunyi di sekitar aku dan akan segera menyergap aku? Maka itu, sambil mengetuk-ngetuk pintu, aku berkata, 'Gakhu! Aku pulangkan bungkusan. Kami mempunyai urusan penting dan tidak bisa menjalankan perintahmu.' Tapi tetap tidak terdengar jawaban. Aku bingung. Dengan golok aku mengorek palang pintu dan sesudah pintu teihuka. aku masuk ke kamal yang gelap gulita Aku segera menyalakan api dari menyulut lilin. Tiba-tiba aku terkesiap. Kulihat Tian pehhu-rebah di pembaringan tanpa bernyawa lagi, sedang di dadanya tertangkap sebatang anak panah yaitu anak panahku yang barusan kuberikan kepadanya. Mukanya menakuti, seperti juga ia telah melihat pemandangan hebat pada sebelum menutup mata. Untuk beberapa saat, aku berdiri bagaikan patung. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana Jendela terkunci. Cara bagaimana pembunuh bisa masuk ke dalam kamar? Aku mendongak, tapi semua genteng tetap utuh Hal ini membuktikan, bahwa pembunuh tidak menggunakan jalan dari atas genteng. Baru saja aku mau menyelidiki lagi, tiba tiba kudengar tindakan kaki beberapa orang di lorong di luar kamar. Aku kaget. Tian pehhu mati dengan dada tertancap sebatang anak panahku. Jika ada orang masuk ke kamar, bagaimana aku bisa meloloskan diri? Buru-buru aku mengambil gendewa yang menggeletak di atas selimut Baru saja aku mau mencabut anak panah yang menancap di dada, dengan bantuan sinar lilin kulihat dua rupa benda di atas pembaringan. Hatiku mencelos, tanganku bergemetaran, ciaktay jatuh dan lilin padam. Apakah kalian bisa menebak kedua benda yang dilihat olehku? Kalian pasti tak akan bisa menebak. Yang satu golok mustika, yang lain mayat yang mati dikubur oleh Ceng moay! Dalam otakku berkelebat anggapan, bahwa bayi itu keluar dari kuburannya untuk minta ganti jiwa karena penasaran. Dalam bingung, aku menjemput golok mustika dan lantas kabur. Baru saja tiba di ambang pintu, mendadak kuingat serupa hal. Dengan memberanikan hati, aku kembali lagi dan meraba-raba di bawah kasur Tian pehhu. Benar saja aku dapatkan selembar kertas putih. Aku merasa pasti, bahwa kertas itu mempunyai sangkut-paut dengan kebinasaan Tian pehhu. Aku tak berani menyalakan lilin lagi dan segera memasukkan kertas itu ke dalam saku. Selagi mengangsurkan tangan untuk mencabut anak panah, kupingku menangkap suara tindakan kaki dan tiga orang bertindak ke ambang pintu. Celaka! Jika ketahuan, aku pasti akan binasa, pikirku. Dalam menghadapi bahaya, bagaikan kilat aku masuk ke kolong ranjang. Ketiga orang itu mendorong pintu dan lantas masuk. Mereka adalah Whi susiok, Co suheng dan Ciu suheng. 'Suko!' memanggil Whi susiok. Karena tak dijawab, ia segera menyuruh Ciu suheng menyulut lilin. Aku ketakutan setengah mati. Begitu lekas lilin menyala, mereka akan tahu kebinasaan Tian pehhu dan/ kalau mereka menggeledah kamar, jiwaku pasti akan melayang. Mengingat begitu, jalan satu- satunya bagiku adalah coba kabur waktu kamar masih gelap. Whi susiok dan Co suko memiliki kepandaian tinggi. Seorang diri, aku pasti tak akan bisa melawan mereka Tapi jika kukabur dengan tiba-tiba, mungkin sekali aku masih bisa meloloskan diri. Aku tidak boleh bersangsi lagi. Perlahan-lahan aku merangkak ke pinggir ranjang. Baru saja aku mau melompat keluar, tanganku mendadak menyentuh muka seorang! Ada seorang lain yang bersembunyi di situ! Karena kaget, hampir hampir aku berteriak. Bagaikan kilat, orang itu menyengkerani nadiku. Aku mengeluh. Tapi dia segera menulis huruf-huruf begini di telapak tanganku, 'Kita keluar bersama-sama.' Aku girang. Selesai itu, kamar terang benderang Ciu suko menenteng sebuah teng. Dari kolong ranjang orang itu melepaskan senjata rahasia yang berhasil memadamkan lilin teng. Dengan sekali membalik tangan, ia merampas golok mustika yang dicekal olehku. Dengan bergulingan aku keluar dari kolong ranjang dan lalu kabur sekuat tenagaku. Orang itu juga turut keluar. 'Bangsat!' bentak Whi susiok sambil menghantam. Whi susiok berkepandaian tinggi. Orang itu mungkin tak akan bisa meloloskan diri. Dengan terbirit-birit aku kembali ke kamar, membangunkan ayah dan malam-malam kami meninggalkan gedung keluarga Tian. Itulah pengalamanku. Kotak besi itu telah diberikan kepadaku oleh Tian pehhu yang memerintahkan, supaya aku memendamnya di luar Tembok Kosar. Aku sudah melakukan perintah itu. Di lain pihak, karena menemukan anak panahku di dada Tian pehhu, para susiok dan suheng dari Thian Liong Hun sudah menduga bahwa Tian pehhu dibunuh olehku. Aku tidak dapat menyalahkan mereka. Hanya sayang aku tak tahu siapa adanya orang yang bersembunyi di kolong ranjang bersama-sama aku. Kalau kutahu, aku tentu bisa mencarinya untuk dijadikan saksi. Tapi biarpun begitu, aku tahu siapa yang sudah membunuh Tian pehhu. Tuan-tuan, sekarang lihatlah. Selembar kertas yang akan segera dikeluarkan olehku adalah kertas yang disembunyikan di bawah kasur oleh Tian pehhu. Sebab takut dibunuh oleh musuhnya, ia mementang gendewa yang ditujukan ke jendela. Yang ditunggu olehnya adalah orang itu. Tapi orang itu toh datang juga dan Tian pehhu tak bisa terlolos."

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo


Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Lentera Maut -- Khu Lung Kait Perpisahan -- Gu Long

Cari Blog Ini