Ceritasilat Novel Online

Rase Terbang Pegunungan Salju 6


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 6




   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung

   
Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan satu kantong sulam dari sakunya.

   Semua orang tahu, bahwa kantong itu yang sangat indah sulamannya, dibuat oleh Tian Ceng Bun.

   Tanpa merasa mereka menengok ke arah Co Hun Ki.

   To Cu An membuka kantong dan mengeluarkan selembar kertas.

   Semula ia bergerak untuk menyerahkannya kepada Po Si, tapi sesudah bersangsi sejenak, ia mengangsurkan kertas itu kepada Biauw Yok Lan.

   Si nona segera membuka lipatan kertas dan begitu melihatnya, ia mengeluarkan seruan kaget.

   Ternyata, di atas kertas itu tertulis dua baris huruf.

   "Selamat kepada Tian loocianpwee yang hari ini menutup pintu dan menyimpan pedang. Kekayaan dan umur semua berpulang. Boanpwee Ouw Hui akan datang untuk memberi hormat."

   Huruf-huruf itu indah sekali, tiada bedanya dengan huruf-huruf di atas tiap yang diantar oleh sepasang bocah. Tak bisa salah lagi, itulah tulisan tangan dari "Soat San Hui Ho"

   Ouw Hui. Dengan tangan agak bergemetar Yok Lan memegang kertas itu "Apa dia?"

   Katanya dengan suara hampir tak kedengaran. Whi Su Tiong mengambil kertas itu dari tangan Yok Lan dan sesudah membaca, ia berkata.

   "Benar tulisan Ouw Hui. Dengan begini kita sudah salah menyangka Cu An."

   Tiba-tiba ia berpaling kepada Lauw Goan Ho dan berkata.

   "Lauw Tayjin, perlu apa kau bersembunyi di kolong ranjang Tian sutee? Apa kau disuruh oleh 'Soat San Hui Ho'?"

   Semua orang kaget, berikut juga Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang.

   Malam itu, orang yang bersembunyi di kolong ranjang telah bertempur beberapa jurus dengan Whi Su Tiong, tapi akhirnya dia bisa melarikan diri.

   Sebegitu lama, mereka tidak bisa menebak siapa adanya orang itu.

   Mengapa sekarang Whi Su Tiong mendadak menuduh Lauw Goan Ho? Lauw Goan Ho sendiri tertawa dingin, tapi tidak menjawab pertanyaan Whi Su Tiong./ "Malam itu, dalam kegelapan, aku tak bisa lihat mukanya,"

   Kata pula Whi Su Tiong.

   'Aku merasa sangat takluk akan kepandaiannya yang sangat tinggi.

   Kami bertiga, paman guru dan dua keponakan murid, tidak berhasil membekuknya Bukan saja begitu, kami bahkan tak tahu siapa manusianya Tapi hari ini, dalam pertempuran di atas salju, aku telah mendapat kehormatan untuk melayani Lauw Tayjin beberapa jurus.

   Ternyata, Lauw Tayjin adalah orang yang dahulu bersembunyi di kolong ranjang.

   Huh-huh! Selamat bertemu.

   Sungguh sayang) Sungguh sayang!"

   Ciu Hun Yang mengerti, bahwa untuk mencaci Lauw Goan Ho, paman gurunya harus mendapat bantuan. Maka itu ia lantas saja bertanya.

   "Susiok, sayang apa?"

   "Sayang sungguh, bahwa seorang yang berkedudukan begitu tinggi sebagai 'Gi Cian Si Wi' Lauw Tayjin bisa melakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing."

   Teriaknya. Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak.

   "Tepat sungguh cacian Whi toako!"

   Katanya.

   "Orang yang malam itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long memang aku sendiri. Tak salah kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing."

   Berkata sampai di situ, paras mukanya berseri-seri.

   "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas perintah Hongsiang (Kaisar)!"

   Ia menambahkan."

   Semua orang kaget tak kepalang.

   Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi di lain saat, mereka ingat, bahwa memang benar dia seorang si wi, pengawal kaisar dalam keraton, sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi.

   Mungkin sekali ia telah menerima firman untuk menghadapi Thian Liong Bun.

   Orang-orang Eng Ma Coan yang memang berseteru dengan pembesar negeri, tidak menjadi gentar.

   Tapi para anggauta Thian Liong Bun rata-rata mempunyai rumah tangga dan perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan besar dalam propinsi Kwitang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw Goan Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.

   Melihat perkataannya sudah berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang lagi.

   "Sebab keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara."

   Katanya.

   "Mungkin sekali kalian belum pernah lihat barang ini."

   Seraya berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop besar yang berwarna kuning dan yang di atasnya tertulis dua huruf.

   "Perintah Rahasia."

   Ia membuka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya dengan suara nyaring.

   "Berdasarkan firman Seri Baginda, Lauw Goan Ho, Gi Cian Si Wi kelas satu yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai dengan siasat yang telah diberikan Congkoan Say."

   Sesudah membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa memeriksanya.

   In Kiat, To Pek Swee dan beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui, bahwa yang menandatangani perintah itu adalah Congkoan (Kepala) dari para si wi, yang bernama Say Siang Gok.

   Say Congkoan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku-bangsa Boan dan sangat disayang oleh Kaisar Kian Liong.

   "Whi toako,"

   Kata Lauw Goan Ho.

   "kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau diceriterakan, asal-mula urusan ini sebenarnya adalah karena gara-garanya suhengmu juga, yaitu Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini, pada suatu hari, Say Congkoan menjamu delapan belas si wi di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat, delapan belas si wi ini digelarkan sebagai 'Delapan belas ahli silat yang berkepandaian tinggi dalam istana'. Sebenar-benarnya mereka hanya mempunyai kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang berkepandaian tinggi?' Tapi sebab gelaran itu diberikan oleh sahabat-sahabat yang ingin menempelkan emas di muka kami, maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah begitu? Begitu tiba di gedung Say Congkoan, pemimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami akan diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami segera menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Congkoan hanya bersenyum dan tidak mau memberitahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia mengajak seorang pria yang potongan badannya kekar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua pelipisnya sudah beruban, orang itu, yang berparas sangat tampan, masih gagah sekali. 'Saudara-saudara,' kata Say Congkoan, 'inilah Ciang/ Bun dari Thian Liong Bun bagian Pak Cong, Tian Kui Long, Tian toako, gunung Thay San atau bintang Pak Tauw dalam Rimba Persilatan.' Kami agak terkejut. Nama besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh Thian Liong Bun tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say Congkoan sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam perjamuan, dengan bergiliran kami mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian toako bersikap sangat sungkan. Dengan perkataan-perkataan manis, ia merendahkan diri dan memuji-muji kami. Tapi tak satu perkataan pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab-musabab dari kunjungannya ke kota-raja. Sesudah selesai bersantap, Say Congkoan mengundang kami ke kamar samping sebelah timur untuk minum teh. Di situlah mereka baru memberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian toako.

   "Ternyata, meskipun Tian toako pernah menjadi perampok, kesetiaannya terhadap negeri tidak lebih kurang daripada kami, orang-orang yang menjadi pegawai negeri. Kedatangannya ke kota- raja adalah untuk mempersembahkan sebuah harta karun kepada Hongsiang (Kaisar). Harta ini ialah harta yang telah dikumpulkan oleh pengkhianat Li Cu Seng pada waktu ia menduduki Pakkhia Menurut katanya Tian toako, untuk mendapatkan harta ini, orang harus memperoleh dua rupa petunjuk. Kedua petunjuk itu harus dipersatukan. Yang satu adalah golok komando Li Cu Seng. Golok itu berada dalam tangan Thian Liong Bun dan sekarang turut dibawanya. Petunjuk yang satunya lagi agak sukar didapatkan. Petunjuk tersebut merupakan peta bumi gudang harta yang, dari satu turunan, disimpan oleh keluarga Biauw Kee Kiam. Kalau orang bisa mendapatkan kedua petunjuk itu. maka harta tersebut bisa dicari secara mudah, seperti orang merogo saku sendiri. Biarpun kami pegawai negeri, tapi sebagai orang dari Rimba Persilatan, kami mengenal nama 'Biauw Kee Kiam'. Kami tahu lihaynya 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' Biauw Jin Hong. Siapa berani main gila terhadapnya? Melihat paras muka kami yang menunjuk rasa putus harapan, Tian toako bersenyum. 'Jika aku belum mempunyai daya untuk menghadapi Biauw Jin Hong, mana berani aku datang mengganggu kalian?' katanya. Dengan suara perlahan ia segera menuturkan tipu-dayanya. Kami mengangguk- angguk tipu itu memang bagus sekali. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, kalian akan tahu apa adanya tipu-daya Tian toako. Sekarang aku tak usah menceriterakan. Besoknya Tian toako meninggalkan Pakkhia. Say Congkoan segera memerintahkan kami untuk bekerja sesuai dengan tipu Tian toako. Belakangan, sesudah memikir bulak-balik, Say Congkoan merasa sangsi. Dalam mempersembahkan tipu-dayanya, Tian toako tidak menghendaki pangkat dan juga tidak bermaksud untuk mengeduk keuntungan. Ia mengantarkan hadiah besar itu secara cuma-cuma. Dalam dunia, di mana ada manusia yang begitu mulia? Mungkin sekali, di dalam urusan ini terselip sesuatu yang tidak diketahui. Memikir begitu, Say Congkoan diam-diam memerintahkan beberapa orang untuk pergi menyelidiki, antaranya aku sendiri. Baru saja meninggalkan kota-raja, aku segera mendengar, bahwa Tian toako mengadakan pesta untuk merayakan hari menutup pintu dan menyimpan pedang. Aku lantas saja menyediakan barang antaran dan datang berkunjung. Bertemu dengan aku, Tian toako girang sekali. Ia menarik tanganku ke tempat yang sepih dan dengan bisik-bisik meminta bantuanku. In toako, kuharap kau tidak marah. Ia minta bantuanku untuk melaporkan kepada pembesar negeri, menjatuhkan tuduhan berat atas dirimu, supaya kau dipenjarakan."

   In Kiat mencelat dari kursinya.

   "Tian suheng dapat melakukan perbuatan yang sebusuk itu?"

   Tanyanya dengan mata membelalak.

   "Untung sungguh Lauw Tayjin menaruh belas kasihan dari aku pasti akan membalas budi yang besar."

   "Bagus, bagus,"

   Kata Lauw Goan Ho.

   "Ketika itu aku segera menanya, apa di antara Tian toako dan In toako terdapat permusuhan. Permusuhan tidak ada, jawabnya, tapi menurut peraturan Thian Liong Bun, pada hari Ciang Bun Jin Pak Cong menutup pintu dan menyimpan pedang, maka golok komando Li Cu Seng harus diserahkan kepada Lam Cong. Kalau golok itu jatuh ke tangan In toako, maka sukar sekali bisa diambil pulang,"

   Katanya./ "Walaupun keterangan itu masuk akal, kecurigaanku jadi makin besar.

   Aku segera memberi jawaban samar-samar, tidak mengiakan dan juga tidak menolak.

   Aku segera memasang mata.

   Malam itu, aku menyaksikan pertengkaran antara Tian toako dan In toako karena urusan penyerahan golok komando.

   Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dalam otakku, untuk membantu Tian toako.

   Jika kucuri golok itu, Tian toako tidak akan bisa menyerahkannya kepada In toako.

   Biar pun In toako bergusar, ia tak akan bisa berbuat apa pun jua.

   Di samping itu, aku sendiri berjasa besar untuk membalas budinya Hongsiang.

   Memikir begitu, diam-diam aku masuk ke kamar Tian toako.

   Tapi baru saja aku mau cari golok mustika itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan Tian toako kembali ke kamarnya.

   Sebab tidak bisa melarikan diri lagi, aku segera menyembunyikan diri di kolong ranjang.

   Begitu masuk di kamarnya, Tian toako membuka sebuah peti kayu dan mengeluarkan satu kotak besi.

   Mendadak ia berseru, 'Ih! ...

   Di mana golok itu?' la pasti tidak berpura-pura sebab nada suaranya menunjuk rasa kaget yang sangat hebat.

   Dengan lantas ia memanggil puterinya, Tian Kouwnio, dan menanyakan.

   Tian Kouwnio, yang tidak tahu apa-apa, juga turut bingung.

   Beberapa saat kemudian, Whi toako masuk.

   Karena urusan mengangkat Ciang Bun Jin baru, antara kedua saudara seperguruan terjadi percekcokan hebat.

   Dengan gusar Tian Kouwnio keluar dari kamar itu, sebab urusan percintaannya dengan Co Hun Ki Co siheng disebut-sebut.

   Belakangan To Cu An, To siheng, dipanggil dan Tian toako menyerahkan kotak besi kosong kepadanya, dengan permintaan supaya ia mengubur kotak itu di luar Tembok Besar.

   Dengan berdiam di kolong ranjang, aku bisa mendengar setiap perkataan.

   Diam-diam aku merasa geli karena To siheng benar-benar tolol dan sudah masuk dalam jebakan.

   Sesudah To siheng keluar, kudengar Tian toako menghela napas berulang-ulang dan berkata seorang diri 'Ouw It To! Biauw Jin Hong!' Ketika itu aku hanya menduga, bahwa ia jengkel sebab Biauw Jin Hong sudah mencuri goloknya.

   Kutak tahu, bahwa ia telah menerima tiap dari Ouw Hui putera Ouw It To dan ia merasa, bahwa ia tak akan bisa terlolos lagi.

   Selang beberapa lama Tian Kouwnio masuk lagi dengan tersipu-sipu.

   'Thia aku tahu di mana adanya golok mustika itu,' katanya Tian toako melompat bangun dan bertanya, 'Di mana?' Tian Kouwnio mendekati dan berbisik, 'Dicuri Ciu suheng.' Apa benar?' menegas Tian toako.

   'Di mana dia sekarang? Di mana golok itu?' Jawab Tian Kouwnio, 'Dengan mata sendiri kulihat dia memendamnya di satu tempat.' 'Bagus,' kata Tian toako, 'kau ambillah sekarang juga.' Tian Kouwnio berkata, 'Thia, aku mau melakukan sesuatu dan kuharap kau tidak gusar.' Apa,' tanya Tian toako.

   'Kau panggil Ciu suheng kemari dan aku akan bersembunyi di belakang pintu,' jawabnya 'Begitu berhadapan, kau tanya, apa benar dia curi golok itu.

   Kalau dia mengaku, aku akan segera menimpuk dengan Tok Liong Cui.' 'Aku bergidik.

   Jahat benar perempuan itu,' pikirku.

   'Patahkan saja kedua tulang betisnya, tak usah kita mengambil jiwanya,' kata Tian toako.

   Kata Tian Kouwnio, 'Jika kau tidak mau menuruti kehendakku, aku tak akan ambil golok itu.' Sesudah berpikir sejenak, Tian toako berkata, 'Baiklah.

   Pergilah ambil.

   Sesudah kau memperlihatkannya kepadaku, kau boleh berbuat sesuka hati.' Tian Kouwnio lantas saja berlalu.

   Waktu itu aku menduga, bahwa di antara Tian Kouwnio dan suhengnya terdapat permusuhan hebat.

   Hari ini, sesudah mendengar penuturan To siheng, barulah kutahu, bahwa Tian Kouwnio mau membunuh kakak seperguruannya untuk menutup mulut kakak itu, supaya dia tidak bisa membuka rahasia tentang penguburan bayi Tian Kouwnio.

   Aku berdiam terus di kolong ranjang.

   Kuingin menyaksikan akhirnya sandiwara ini.

   Aku pun mau menunggu kembalinya golok mustika.

   Di samping itu, dengan Tian toako di atas ranjang, mana bisa aku keluar? Tak lama kemudian Tian Kouwnio balik dengan tindakan cepat.

   'Thia,' katanya dengan suara bergemetar, 'golok itu sudah diambil dia Aku sungguh bodoh.

   Aku terlambat.

   Dia juga ...

   juga____'/ 'Dia kenapa?' tanya Tian toako.

   Tian Kouwnio sebenarnya ingin mengatakan, 'Orokku turut dikeduk juga.' tapi kata-kata itu tak dapat keluar dari mulutnya.

   Ia bengong beberapa saat dan kemudian berseru, 'Aku cari dia!' Ia loncat keluar, tapi roboh di pinggir pintu, mungkin sebab kegoncangan hati yang melewati batas.

   Bukan main mendongkolnya hatiku.

   Ketika itu, aku sebetulnya ingin sekali padamkan penerangan dan kabur, akan tetapi, melihat puterinya roboh, Tian toako sama sekali tidak bergerak dari pembaringannya, ia Cuma menghela napas panjang.

   Perlahan-perlahan Tian Kouwnio bangun berdiri sambil pegangi pinggiran pintu.

   Beberapa saat kemudian, Tian toako turun dari pembaringannya dan sesudah kunci pintu kamar, ia lalu duduk di atas kursi.

   Ia taroh pedangnya di atas meja, tangannya menyekal busur dan anak panah, sedang mukanya yang pucat pias menakuti sekali.

   Hatiku berdebar-debar.

   Jika ia mengetahui aku bersembunyi di kolong ranjang, jiwaku mungkin tak akan dapat ditolong lagi.

   Sesudah selang setengah jam, lilin sudah jadi pendek sekali.

   Selama setengah jam itu, Tian toako duduk menjublek di kursinya, badannya tak bergerak bagaikan patung, cuma kedua matanya berkilat-kilat.

   Keadaan sunyi-senyap, cuma kadang-kadang kesunyian malam dipecahkan oleh suara menyalaknya anjing di tempat jauh.

   Mendadak seekor anjing kedengaran menggonggong di tempat yang sangat dekat, disusul dengan satu jeritan hebat dan lalu berhenti menyalak.

   Rupanya binatang itu dipukul mati.

   Tian toako loncat berdiri, dibarengi dengan suara terketuknya pintu.

   Sungguh cepat kedatangannya orang itu! Barusan saja anjing itu terkuing-kuing dan ia sudah tiba di depan pintu! Suara Tian toako seram ketika ia menanya, 'Ouw Hui, kau datang juga?' Tapi jawabnya orang itu begini, 'Tian Kui Long, kau kenal aku siapa?' Mukanya Tian toako jadi pucat bagaikan mayat.

   'Biauw ...

   Biauw Tayhiap!' katanya tergugu.

   'Benar, aku!' jawab orang yang di luar.

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
'Biauw Tayhiap, untuk apa kau datang di sini?' tanya Tian toako.

   'Kau toh sudah berjanji tak akan celakakan aku.' 'Hm!' kata orang itu.

   'Aku bukan mau celakakan kau, aku cuma ingin kasikan serupa barang padamu.' Tian toako agak bersangsi, tapi sesaat kemudian, ia taruh busur dan anak panahnya dan membuka pintu.

   Seorang yang berbadan tinggi-kurus dan bermuka kuning masuk ke dalam.

   Aku mengintip dari kolong ranjang.

   Angker sekali paras mukanya orang itu, yang dikenal sebagai jago nomor satu dalam Rimba Persilatan.

   Tangannya menyekal dua rupa barang yang panjang, yang lalu ditaruh di atas meja.

   'Ini golok wasiatmu, ,ini, cucu luarmu (gwasun)!' kata ia.

   Badannya Tian toako gemeteran dan roboh di atas kursi.

   'Muridmu telah pedayai kau dan pendam golok itu,' kata Biauw Tayhiap.

   'Puterimu kelabui kau dan pendam anak haramnya.

   Semua dilihat olehku dan sekarang aku bayar pulang.' 'Terima kasih,' sahut Tian toako.

   Aku...

   keluargaku tak beruntung.

   Kejadian itu sungguh memalukan.' Kedua matanya Biauw Tayhiap merah, seperti orang mau menangis.

   Tiba-tiba parasnya berubah, paras pembunuhan yang menyeramkan.

   'Bagaimana caranya dia binasa?' tanya Biauw Tayhiap dengan keluarkan perkataannya satu demi satu."

   Mendadak terdengar suara nyaring.

   Semua orang berpaling dan lihat cangkir tehnya Biauw Yok Lan jatuh hancur.

   Heran sungguh, kenapa seorang yang begitu tenang sebagai Yok Lan, tak dapat pertahankan dirinya setelah mendengar penuturan itu.

   Khim Ji buru-buru keluarkan sapu-tangan untuk menyeka air teh yang berhamburan di bajunya Yok Lan.

   "Siocia,"

   Katanya.

   "Pergi mengasohlah, jangan dengar lagi segala cerita itu."

   "Tidak,"

   Sahut si nona. 'Aku hendak dengar sampai akhirnya"

   Lauw Goan Ho lirik Yok Lan dan teruskan penuturannya.

   "Mendengar pertanyaan itu, Tian toako menyahut, 'Hari itu ia dilanggar pilek dengan sedikit batuk-batuk. Aku panggil tabib dan tabib bilang tidak kenapa, cuma kelanggar pilek sedikit, makan sebungkus obat juga sudah sembuh. Tak dinyana, ia buang obat yang sudah dimasak dengan mengatakan obat itu terlalu pahit dan juga tak mau menelan nasi. Dengan begitu, penyakitnya menjadi berat. Aku panggil tabib lagi, tapi ia tetap tak mau makan obat dan makan nasi."/ Mendengar sampai di situ, Yok Lan menangis dengan perlahan. Him Goan Hian dan yang lain-lain merasa heran. Mereka tak tahu siapa adanya wanita itu dan hubungan apa terdapat antara wanita tersebut dan Tian Kui Long serta Biauw Tayhiap. Tapi To Pek Swee ayah dan anak serta orang- orang Thian Liong Bun mengetahui, bahwa wanita itu adalah isteri Tian Kui Long. Mereka hanya tidak mengetahui, ada hubungan apa antara nyonya itu dengan Biauw Tayhiap dan kenapa Yok Lan jadi begitu sedih. Apa nyonya Tian anggauta keluarga Biauw? Sementara itu, Lauw Goan Ho kembali sambung ceritanya.

   "Ketika itu aku merasa sangat mendongkol, lantaran tak tahu, siapa yang mereka maksudkan. 'Kalau begitu, ia sendiri yang sudah bosan hidup?' tanya Biauw Tayhiap. Jawab Tian toako, 'Yah! Aku berlutut di hadapannya dan memohon-mohon, tapi sedikit pun ia tak menggubris.' 'Apa ia tinggalkan pesanan?' Biauw Tayhiap menanya pula. 'Ia minta jenazahnya dibakar dan abunya disebar di tengah jalan, supaya diinjak-injak orang,' sahutnya. Biauw Tayhiap loncat seraya membentak, 'Dan kau turut?' Aku turut sebagian,' sahut Tian toako. 'Jenazahnya aku bakar, tapi abunya ada di sini.' Ia hampiri pembaringan dan keluarkan satu guci, yang lantas ditaroh di atas meja. Biauw Tayhiap lirik guci itu dengan paras sedih dan gusar, la cuma melirik satu kali, sesudah itu, ia pelengoskan mukanya. Tian toako rogo sakunya dan keluarkan satu tusuk konde burung hong yang tertata mutiara. Ia taroh perhiasan itu di atas meja dan berkata, 'Ia minta aku pulangkan tusuk konde ini kepada kau atau kepada Tian Kouwnio. Ia kata, barang ini adalah miliknya keluarga Biauw.'"

   Semua mata segera ditujukan kepada Yok Lan. Di kondenya nona Biauw kelihatan tertancap tusuk konde burung hong yang indah dengan beberapa butir mutiara yang bundar dan besar.

   "Biauw Tayhiap ambil tusuk konde itu,"

   Demikian Lauw Goan Ho.

   "Ia cabut selembar rambutnya yang lantas ditusukkan ke dalam mulutnya burung hong dan rambut itu tembus. Ia pegang kedua ujung rambut dan tarik dengan perlahan. Mendadak sebagian kepala burung terbuka! Biauw Tayhiap tunggingkan tusuk konde itu dan segumpal kertas loncat keluar dari lubang itu. Ia buka kertas itu dan berkata dengan suara dingin, 'Kau lihatlah!' Mukanya Tian toako jadi semakin pucat. Lewat beberapa saat, ia menghela napas panjang. 'Siang-malam tak hentinya kau putar otak buat coba rampas peta bumi ini,' kata Biauw Tayhiap. 'Tapi ia tak sudi membuka rahasia dan akhirnya pulangkan barang ini kepada keluarga Biauw. Peta bumi harta karun tersimpan dalam perhiasan ini ... hm! Mungkin ngimpi pun kau tak pernah mengimpi!' Ia masukkan pula kertas itu ke dalam kepala burung dan tarik rambutnya sehingga lubangnya tertutup pula. Ia taroh tusuk konde itu di atas meja seraya berkata, 'Kau sudah tahu cara membuka kepala burung. Ambillah dan carilah harta karun itu!' Tapi Tian toako mana berani ambil? Di kolong ranjang, hatiku berdebar-debar. Peta bumi dan golok sudah berada bersama- sama, tapi dapat dilihat, tak dapat dipegang. Adalah pada ketika itu, Biauw Tayhiap lakukan satu perbuatan mengejutkan. Ia buka guci, tuang air teh ke dalamnya dan lalu minum isinya!"

   Mukanya Biauw Yok Lan jadi pias. Ia mendekam di atas meja sambil menangis sesenggukan. Lewat beberapa saat, Lauw Goan Ho berkata pula.

   "Sesudah Biauw Tayhiap hirup isinya guci, Tian toako tepuk meja dan berkata dengan suara nyaring, 'Biauw Tayhiap, bunuhlah aku! Sedikit pun aku tak merasa menyesal.' Biauw Tayhiap tertawa terbahak-bahak. 'Kenapa juga aku mesti membunuh kau?' katanya. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati. Tempo hari, beberapa hari beruntun aku telah bertempur melawan Ouw It To dan akhirnya kedua suami- isteri itu jadi binasa Aku sendiri hidup terus, tapi selama hidup, aku menderita. Ouw It To suami- isteri hidup bersama-sama dan mati bersama-sama dan sungguh-sungguh mereka lebih beruntung daripada aku. Hm! Harta sudah berada dalam tanganmu, toh kau pulangkan kepadaku. Buat apa aku bunuh kau? Biarlah kau menyesal seumur hidupmu! Bukankah itu lebih baik daripada ambil jiwamu?' Sehabis berkata begitu, ia sembat tusuk konde itu dan keluar dengan tindakan lebar./ Sesaat kemudian terdengar pula suara terkuing-kuingnya sang anjing. Ternyata, binatang itu bukan dibinasakan, tapi cuma ditotok jalan darahnya, dan sembari lewat, Biauw Tayhiap rupanya sudah buka totokannya. Tian toako menghela napas beberapa kali. Ia taroh mayat orok dan golok di atas pembaringan dan lalu mengunci pintu. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati,' ia menggerendeng. Lama ia duduk di atas ranjang. 'Lan! Ah, Lankatanya dengan suara menyayatkan hati. 'Untukku, kau terpleset. Untuk kau, aku terpleset. Benar-benar kita menderita!' Berbareng dengan itu terdengar suara serupa benda masuk di daging, disusul dengan berkelejetnya Tian toako dan kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Aku kaget, buru-buru keluar dari kolong ranjang. Di dadanya Tian toako tertancap sebatang anak panah dan napasnya sudah berhenti. Saudara-saudara, Tian toako mati bunuh diri, bukannya dipanah mati oleh siapa juga. Bukan dibinasakan oleh To Cu An atau Ouw Hui. Ia binasa dengan tangannya sendiri! Ia sama sekali tak menyintai To Cu An atau Ouw Hui dan tentu tak dapat dikatakan ingin membela mereka. Aku tiup lilin dan niat kabur dengan membawa golok itu. Tapi, sebelum maksudnya kesampaian, To siheng mengetuk pintu. Terpaksa aku menyelesap pula ke kolong ranjang. Kejadian selanjutnya sudah dituturkan oleh To siheng. Ia ambil golok wasiat itu dan kabur ke Kwan Gwa. Sesudah mengetahui segala rahasia, cara bagaimana aku bisa berpeluk tangan?"

   Sehabis berkata begitu, ia keprik-keprik bajunya dengan kedua tangan, seperti juga mau membersihkan debu yang menempel waktu bersembunyi di kolong ranjang.

   Ia cegluk dua cangkir teh dan ia kelihatannya legah sekali.

   Sesudah mendengar cerita panjang-lebar itu, perasaan herannya semua orang sudah hilang sebagian besar, diganti dengan rasa lapar.

   Semakin banyak minum teh, semakin lapar rasanya.

   "Sekarang semua orang sudah mengetahui, bahwa golok itu telah diserahkan kepada anakku oleh Tian Kui Long sendiri,"

   Kata To Pek Swee dengan suara keras.

   "Maka itu, saudara-saudara tak berhak coba merebut pula."

   "Apa yang diserahkan kepada To siheng oleh Tian toako adalah kotak besi kosong,"

   Kata Lauw Goan Ho sembari tertawa.

   "Jika kau inginkan kotak kosong, aku sama-sekali tidak berkeberatan. Tapi golok wasiat bukannya bagianmu"

   "Tak usah direwelkan lagi, golok itu mesti pulang kepada Thian Liong Lam Cong (cabang selatan dari Thian Liong)"

   Kata In Kiat.

   "Mana boleh?"

   Membantah Whi Su Tiong.

   "Sebelum dibikin upacara penyerahan golok oleh Tian suheng, golok itu masih jadi miliknya cabang utara."

   Demikian mereka tarik urat, masing-masing sungkan mengalah.

   "Saudara-saudara!"

   Po Si mendadak berseru dengan keras.

   "Aku mau tanya, Apakah sebenarnya tujuan perebutan golok itu?"

   Mendengar pertanyaan itu, semua orang jadi bungkam.

   "Dahulu, kalian cuma tahu, golok itu berharga besar sekali, tapi tak mengetahui, bahwa pada golok tersebut tersimpan rahasia dari suatu harta karun,"

   Berkata pula Po Si.

   "Sekarang, sesudah rahasia terbuka, setiap orang jadi mata merah, ingin punyakan harta tersebut. Tapi, aku kembali mau menanya, tanpa peta buminya, apa gunanya golok itu?"

   Semua orang terkejut.

   Benar sekali perkataannya Po Si dan semua matanya lantas ditujukan kepada tusuk kondenya Biauw Yok Lan.

   Yok Lan adalah suatu gadis lemah.

   Sekali gerakkan tangan, tusuk konde itu pasti dapat dirampas.

   Akan tetapi, setiap orang mengetahui, ayahnya Yok Lan tak boleh dibuat gegabah.

   Jika ayahnya datang, siapa berani melawan? Maka itu, walaupun mudah dirampas, tak barang satu orang berani meraba./ Lauw Goan Ho melirik, pada parasnya terlukis kesombongan.

   Ia hampiri Yok Lan, tangan kanannya bergerak dan tusuk konde itu sudah pindah ke dalam tangannya.

   Yok Lan malu tercampur gusar, ia mundur dua tindak dengan muka pucat.

   Semua orang kaget melihat keberaniannya Lauw Goan Ho.

   'Aku datang ke sini dengan membawa firmannya Kaisar,"

   Kata Lauw Goan Ho dengan suara nyaring.

   "Takuti apa segala Biauw Tayhiap? Hm! Buat bicara terang-terangan, sekarang ini, orang yang bergelar 'Kim Bian Hud"

   Itu belum ketentuan mati-hidupnyal"

   "Kenapa begitu?"

   Beberapa orang menanya dengan berbareng. Lauw Goan Ho nyengir. 'Andaikata 'Kim Bian Hud' masih hidup, sepuluh-sembilan ia sudah terborgol kaki-tangannya. dan sedang mendekam di dalam penjara istana,"

   Katanya dengan suara angkuh. Yok Lan terkesiap. Hatinya berdebar-debar.

   "Cobalah kau bicara secara lebih terang,"

   Meminta Po Si.

   Mendengar itu, Lauw Goan Ho jadi ingat pengalamannya ketika naik ke puncak itu, cara bagaimana ia sudah menerima hinaan di atas salju.

   Tapi begitu dengar ia datang dengan perintahnya firman Kaisar, sikapnya Po Si segera berubah dan majukan permintaan itu.

   Hatinya girang bukan main, hampir-hampir ia membuka rahasia.

   "Po Si Taysu,"

   Ia berseru.

   "Terlebih dahulu aku mau tanya, siapakah adanya majikan tempat ini?"

   Semua orang yang belum mengetahui siapa adanya majikan tempat itu, sangat menyetujui pertanyaan Goan Ho.

   "Jika kalian bicara terus-terang, loolap pun harus bicara terus-terang,"

   Sahut Po Si sembari tertawa.

   "Majikan tempat ini she Touw bernama Sat Kauw, seorang yang sangat lihay dalam Rimba Persilatan."

   Semua orang jadi saling lihat-lihatan, oleh karena mereka belum pernah dengar nama itu. PoSi mesem dan berkata pula.

   "Tingkatannya Touw enghiong sangat tinggi dan sungkan bergaul dengan sembarangan orang. Oleh karena begitu, meskipun ilmu silatnya sangat tinggi, orang biasa tak pernah dengar namanya. Tapi jago-jago kelas satu dari kalangan Kang Ouw, semuanya kagumi ia."

   Ucapannya Po Si yang mengandung hinaan, sudah membikin semua orang jadi kurang senang. Mukanya In Kiat, Whi Su Tiong dan yang lain-lain jadi berubah merah. Antara mereka, adalah Lauw Goan Ho yang bicara paling dahulu.

   "Pada waktu kita naik ke sini,"

   Katanya.

   "pengurus ini memberitahu, bahwa majikannya telah pergi ke Leng Ko Tha untuk mengundang 'Kim Bian Hud' dan ke Pakkhia guna mengundang Hoan Pangcu dari Kay Pang. Keterangan ini agak aneh dan tak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, oleh karena siauwtee mengetahui, Hoan Pangcu sudah kena dibekuk di kota Kayhong, propinsi Holam, dan dalam peristiwa itu, siauwtee malahan sudah turut menyumbang sedikit tenaga."

   "Hoan Pangcu ditangkap?"

   Menegasi beberapa orang dengan terkejut.

   "Ini semua adalah berkat tangannya Say Congkoan,"

   Menerangkan Lauw Goan Ho dengan sikap menengik "Kita membekuk Hoan Pangcu cuma guna dijadikan dia sebagai umpan, untuk pancing seekor ikan emas.

   Ikan emas itu adalah Biauw Jin Hong.

   Majikan di sini katanya pergi ke Leng Ko Tha guna mengundang Biauw Jin Hong, tapi tujuan yang sebenarnya adalah pergi ke Pakkhia untuk menolongi Hoan Pangcu.

   Hm! Di Pakkhia Say Congkoan sudah pasang Thian Loo Tee Bong (Jaring Langit Jala Bumi) untuk tunggu kedatangannya Biauw Jin Hong! Kalau dia tak masuk jebakan, yah kami pun tak berdaya untuk membekuknya.

   Tapi kalau dia berani datang di Pakkhia, hm! Ini namanya burung masuk di jaring!"

   Ketika Yok Lan mau berpisahan dengan ayahnya, memang juga Biauw Jin Hong sedang mau berangkat ke Pakkhia untuk mengurus serupa urusan.

   Ketika itu, sang ayah pesan, supaya ia pergi dahulu ke Soat Hong (Puncak Salju).

   Mendengar perkataan Lauw Goan Ho, hatinya si nona jadi/ bergoncang keras dan menduga ayahnya tentu sudah masuk dalam perangkap.

   Mendadak, matanya gelap, kakinya lemas dan ia jatuh duduk di atas kursi.

   Melihat penderitaan si nona.

   Lauw Goan Ho senang benar hatinya.

   "Sekarang kita sudah mempunyai peta bumi dan sudah mempunyai juga golok wasiat,"

   Kata ia.

   "Sekarang juga kita harus pergi untuk menggali harta karunnya Li Cu Seng dan mempersembahkan itu kepada Hongsiang (Kaisar). Saudara-saudara yang berada di sini. sudah tentu akan mendapat ganjaran dan pangkat yang setimpal"

   Sehabis berkata begitu, matanya menyapu semua orang.

   Ia lihat ada yang berparas girang, tapi ada juga yang mengunjukkan kesangsian.

   Ia mengetahui, bahwa orang-orang seperti To Pek Swee memandang harta lebih penting daripada pangkat, dan oleh karena begitu, lantas saja ia berkata pula.

   "Harta karun itu katanya bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung. Setibanya di situ, tidak halangan kalau kita masing-masing mengambil seorang sedikit guna menjaga hari tua. Bukankah baik begitu?"

   Satu sorakan terdengar, sebagai tanda menyetujui usul yang bagus itu.

   Tian Ceng Bun yang bersembunyi dalam kamar dengan kemalu-maluan, juga dengar sorakan itu.

   Ia tahu orang sudah tidak bicarakan lagi urusan busuknya, maka indap-indap ia keluar dan berdiri di pinggir pintu.

   Sesaat itu Lauw Goan Ho sudah cabut selembar rambutnya dan seperti contohnya Biauw Jin Hong, ia kasi masuk rambut itu ke dalam mulut burung dari tusuk kondenya Yok Lan.

   Dengan sekali tarik, sebagian kepala burung terbuka dan keluarlah segumpalan kertas.

   Ia buka kertas itu dan beber di atas meja, dikerumuni oleh semua orang.

   Kertas itu, tipis bagaikan sayap tonggeret, masih utuh, walaupun usianya sudah tua sekali.

   Di situ terlukis satu puncak gunung yang dan lempeng, menjulang ke langit.

   Di sampingnya terdapat perkataan yang seperti berikut.

   "Di belakangnya puncak Giok Pit Hong, gunung Ouw Lan San." 'Ah!"

   Berteriak Po Si.

   "Sungguh kebetulan! Tempat ini, di mana sekarang kita ramai-ramai berdiri, adalah puncak Giok Pit Hong dari gunung Ouw Lan San!"

   Peta puncak yang tertulis di atas kertas itu, sedikit pun tiada bedanya dengan Puncak Salju (Soat Hong). Tiga pohon siong tua yang tumbuh di pinggir tebing atas puncak, juga terdapat atas peta itu.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Majikan dari perkampungan ini, Touw lounghiong, adalah seorang yang berpengetahuan luas sekali,"

   Berkata pula Po Si. 'Apakah tak mungkin, Touw lounghiong sudah mengetahui rahasia itu dan sengaja mendirikan perkampungan ini? Jika bukannya begitu, guna apa ia mau menempuh kesukaran yang sedemikian besar?"

   "Celaka!"

   Berseru Lauw Goan Ho."Benar katamu! Perkampungan ini sudah didirikan lama sekali, sehingga mungkin harta itu sudah dikuras habis!"

   Po Si mesem dan berkata pula, 'Ah, belum tentu begitu. Lauw Tayjin, cobalah kau pikir. Kalau benar harta itu sudah diketemukan, ia tentu sudah pindah ke lain tempat dan tak bisa jadi, ia mau berdiam di sini terus-menerus."

   Lauw Goan Ho tepuk dengkulnya keras-keras.

   "Benar! Benar!"

   Katanya.

   "Hayo! Sekarang juga kita pergi ke belakang gunung!"

   "Bagaimana dengan Biauw Kouwnio dan para penghuni perkampungan ini?"

   Tanya Po Si sembari menunjuk Yok Lan. Lauw Goan Ho balik badannya, tapi Ie koankee dan lain bujang sudah tak kelihatan mata- hidungnya. Saat itu, Tian Ceng Bun munculkan diri dari belakang pintu seraya berkata.

   "Entah bagaimana, semua penghuni di sini, lelaki dan perempuan, semuanya sudah pada menghilang."

   Mendadak Lauw Goan Ho sembat sebatang golok dan hampiri Yok Lan seraya berkata.

   "Semua pembicaraan kita sudah didengar olehnya. Tak dapat kita kasi dia tinggal hidup buat jadi bibit/ penyakit di belakang hari."

   Ia angkat goloknya yang mau segera disabetkan ke kepalanya nona Biauw.

   Sekonyong-konyong, satu bayangan manusia berkelebat.

   Bayangan itu adalah Khim Ji, yang pada detik berbahaya, sudah lompat sambil memeluk, akan kemudian gigit pergelangan tangannya Lauw Goan Ho.

   Diserang secara tak diduga, Lauw Goan Ho berteriak dan goloknya jatuh di atas tanah.

   "Manusia umur pendek!"

   Khim Ji mencaci secara berani.

   "Kalau kau berani langgar selembar rambutnya siocia, Looyaku pasti akan cabut uratmu dan keset kulitmu! Semua manusia di sini tak barang satu yang akan dapat selamatkan diri!"

   Bukan main gusarnya Lauw Goan Ho. Ia angkat tangannya dan menjotos mukanya Khim Ji. Tapi kepalan itu keburu disampok oleh Him Goan Hian yang lantas berkata.

   "Suko, yang paling penting adalah cari harta itu. Untuk apa membunuh orang1?"

   Kenapa Him Goan Hian kesudian menolong Khim Ji? Berbeda dengan Lauw Goan Ho yang bekerja sebagai pengawal Kaisar dan pandang jiwa manusia bagaikan rumput, Him Goan Hian adalah seorang piauwsu yang nyalinya kecil dan takut banyak urusan.

   Mendengar ancaman Khim Ji, hatinya jadi keder.

   Andaikata ayahnya Yok Lan benar dapat loloskan diri, celakalah dia! In Kiat, yang juga sependapat dengan Goan Hian, lantas turut membujuk.

   "Sudahlah Lauw suheng,"

   Katanya.

   "Mari kita cari harta karun itu."

   Lauw Goan Ho melotot dan membentak sambil tuding Yok Lan.

   "Tapi, bagaimana harus kita perlakukan binatang itu?"

   Sembari mesem Po Si maju beberapa tindak dan totok jalanan darahnya si nona yang lantas saja rebah di atas kursi.

   Ia gusar dan malu, tapi tak dapat bicara lagi.

   Khim Ji yang kuatir pendeta itu celakakan siocianya, lantas menubruk dan cekal tangannya Po Si.

   Tapi dengan sekali membalik tangan, pendeta itu sudah totok jalanan darahnya Khim Ji yang lantas juga rubuh seperti majikannya.

   "Biauw moay duduk di situ tak begitu bagus kelihatannya,"

   Kata Tian Ceng Bun sambil menghampiri dan pondong badan orang.

   "Enteng benar. Seperti tak bertulang,"

   Katanya, tertawa.

   Ia pergi ke kamar di sebelah timur dan tolak pintunya.

   Kamar itu adalah kamar tetamu yang diperaboti lengkap.

   Ceng Bun rebahkan nona Biauw di atas pembaringan, buka sepatunya dan baju luarnya, sehingga hanya baju dalam yang menempel pada badannya, selimutkan padanya dan kemudian turunkan kelambu.

   Biauw Yok Lan mengawasi dengan sorot mata gusar, tapi ia tak dapat berbuat suatu apa.

   Sesudah itu, sambil pegang baju orang, ia keluar seraya berkata dengan tertawa.

   'Aku sudah buka baju luarnya.

   Walaupun jalanan darahnya terbuka sendiri sesudah lewat tempo, ia tentu tak berani keluar!"

   Semua orang jadi tertawa mendengar omongan itu.

   "Berangkat!"

   Lauw Goan ho memberi perintah dengan suara yang dibuat-buat. Ia jalan paling dahulu, diikut oleh yang lain-lain. Selagi mau turut jalan, matanya Co Hun Ki mendadak dapat lihat golok wasiat itu yang menggeletak di atas meja.

   "Coba aku lihat golok itu. Ada apanya sih?"

   Kata ia sembari ambil golok tersebut. Ia lihat, selain komando yang berbunyi.

   "Membunuh satu orang seperti membunuh ayahku, menodai satu orang seperti menodai ibuku"

   Dan "Cwan Ong Li"

   Yang tertata di atas sarung tak terdapat lain keistimewaan. Dengan tangan kiri menyekal sarungdan tangan kanan memegang gagang, ia mencabut golok itu. Sinar hijau yang berhawa dingin memencar ke empat penjuru sehingga tanpa merasa, ia bergidik. 'Ah!"

   Demikian terdengar seruan tertahan dari mulutnya beberapa orang.

   Mendengar seruan itu, Lauw Goan Ho yang sudah berjalan sampai di ruangan tengah, lantas hentikan tindakannya./ Semua orang berkerumun meneliti golok itu.

   Di satu muka, golok itu licin, di lain mukanya, terdapat guratan-guratan yang merupakan dua ekor naga, satu besar, satu kecil, lukisannya begitu jelek, sehingga kalau dikatakan naga, bukannya naga, dikata ular bukannya ular, lebih mirip kalau dikatakan semacam binatang berbulu.

   Akan tetapi, ciu (mutiara) yang diperebutkan oleh kedua binatang itu sepotong giok (batu pualam) merah yang bersinar terang.

   "Ada apa herannya ' kata Co Hun Ki "Kedua binatang itu tentulah juga mempunyai sangkut paut dengan gudang harta,"

   Kata Po Si.

   "Paling benar kita segera pergi ke gunung belakang guna menyelidiki. Serahkan padaku!"

   Ia angsurkan tangannya guna menyambuti golok itu. Tanpa berkata suatu apa, Co Hun Ki mengebas golok itu untuk melindungi diri dan lalu lari keluar. Po Si gusar bukan main.

   "Mau kemana kau?"

   Ia membentak sembari mengubar begitu keluar dari pintu besar, Po Si mengayun tangan dan serenceng tasbih menyambar jalanan darah "Kian Ceng Hiat", di pundaknya Co Hun Ki.

   Begitu kena, lengannya kesemutan dan golok itu jatuh di atas salju.

   Dengan beberapa kali loncatan lebar, Po Si sudah memungut golok mustika itu.

   Co Hun Ki tak berani banyak tingkah lagi dan dengan kemalu-maluan, ia minggir ke pinggir.

   Demikianlah dengan jalan berendeng dengan Lauw Goan Ho, yang membawa peta bumi, Po Si segera menuju ke gunung belakang sambil menengteng golok itu.

   Ketika itu, Whi Su Tiong, Tian Ceng Bun dan yang lain-lain pun sudah keluar dari pintu tengah dan mengikuti dari belakang."

   "Lauw Tayjin,"

   Berkata Po Si sembari tertawa.

   "Barusan loolap telah berlaku kurang ajar, harap Tayjin tidak menjadi gusar."

   Lauw Goan Ho jadi merasa girang sekali.

   "Ilmu silat Taysu tinggi sekali dan aku merasa sangat kagum,"

   Ia memuji.

   "Di kemudian hari, satu ketika aku tentu perlu bantuan Taysu."

   Po Si segera mengucapkan beberapa perkataan merendahkan diri dan mereka lalu berjalan terus dengan riang-gembira.

   Sesudah berjalan lagi beberapa lama, di pinggiran puncak sudah tidak terdapat jalanan lagi, di seputar mereka hanya salju yang berwarna putih.

   Walaupun mengetahui, bahwa harta karun itu tersimpan di puncak Giok Pit Hong, di mana mereka harus mencarinya? Andaikata mereka menggunakan tenaganya ribuan orang, dalam setahun belum tentu mereka dapat memacul habis es dan salju yang menutup puncak tersebut.

   Puluhan tahun Touw Sat Kauw berdiam di situ, tapi ia pun belum berhasil mendapatkan gudang harta itu.

   Mereka berdiri di bawah tebing dengan perasaan masgul dan putus harapan.

   Tiba-tiba Tian Ceng Bun menuding satu gundukan salju yang merupakan bukit, di kaki puncak.

   "Lihat!"

   Ia berseru. Semua mata ditujukan ke jurusan yang ditunjuk, tapi mereka tak dapat lihat apa-apa yang luar biasa.

   "Coba kalian perhatikan bentuknya bukit itu,"

   Kata Tian Ceng Bun.

   "Bukankah mirip dengan gurat-guratan yang terdapat di atas goloknya Cwan Ong?"

   Semua orang lantas saja menjadi sadar.

   Mereka segera mengawasi dengan terliti.

   Di situ ternyata terdapat dua rentetan bukit, yang satu dari utara timur menjurus ke selatan barat, yang satunya lagi, dari selatan ke utara.

   Di tempat bertemunya kedua rentetan bukit tersebut, terdapat satu puncak bundar yang tidak tinggi.

   Po Si mengawasi bukit itu dan kemudian memperhatikan guratan di atas golok.

   Benar saja, kedudukannya bukit-bukit itu bersamaan dengan lukisan dua ekor "naga", sedang puncak bundar itu bersamaan duduknya dengan "cu"

   Yang diberebuti oleh kedua "naga"

   Itu.

   "Tak salah"

   Ia berseru dengan suara girang.

   "Harta karun itu tentu berada di puncak bundar!"

   "Hayolah!"

   Mengajak Lauw Goan Ho./ Ketika itu, semua orang bersatu hati untuk mencari gudang harta dan tidak lagi mempunyai niatan untuk saling mencelakakan.

   Mereka segera membuka baju yang lalu disambung-sambung sehingga merupakan tambang, dan dengan pegangan tambang itu mereka mulai turun gunung.

   Yang paling dulu turun adalah Lauw Goan Ho, yang paling akhir In Kiat.

   Dari jauh, puncak bundar itu kelihatannya dekat sekali.

   Tapi, sesudah didekati, jaraknya masih kurang-lebih dua puluh li.

   Mereka semua adalah ahli silat yang mempunyai ilmu entengkan badan tinggi dan belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di depan puncak.

   Mereka lalu berkeliaran di seputar itu, tapi sesudah mencari lama juga, gudang harta yang dicari masih belum dapat diketemukan.

   Mendadak To Cu An menunjuk ke barat sambil berseru.

   "Siapa itu?"

   Semua orang menoleh dan lihat satu bayangan wanita abu abu yang melesat di atas salju bagaikan anak panah cepatnya, dan dalam tempo sekejap, sudah tiba di kakinya Giok Pit Hong. '"Soat San Hui Ho'!"

   Po Si berseru.

   "Tak dinyana anaknya Ouw It To begitu lihay!"

   Sehabis berkata begitu, mukanya lantas saja berobah pucat.

   Selagi semua orang berdiri bengong, Tian Ceng Bun mendadak menjerit.

   Semua orang buru- buru memutar badan ke arah jeritan itu.

   Pada tanjakan puncak bundar terlihat satu lubang, sedang Tian Ceng Bun sudah tak kelihatan bayangannya lagi.

   To Cu An dan Co Hun Ki, yang berdiri di dekat Ceng Bun, terkejut bukan main ketika lihat wanita itu kejebelos ke dalam lubang.

   "Ceng moay!"

   Mereka berteriak sembari bergerak untuk loncat menolong. To Pek Swee tarik tangan puteranya dan membentak.

   "Mau apa kau?"

   Sang putera tidak meladeni, sambil menggentak tangannya, ia loncat ke lubang bersama-sama Co Hun Ki.

   Tak dinyana, lubang itu sangat cetek.

   Kaki mereka menginjak badannya Ceng Bun dan ketiga orang itu berteriak dengan berbareng.

   Kawannya yang menyaksikan, jadi merasa geli dan segera tarik mereka ke atas.

   "Mungkin harta karun itu berada di sini,"

   Berkata Po Si.

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tian Kouwnio, apakah yang kau lihat?"

   "Gelap, tak kelihatan apa juga,"

   Sahutnya sembari mengusap-usap badannya yang kepukul batu.

   Po Si loncat turun dan nyalakan bahan api.

   Lubang itu belum ada setombak dalamnya, dindingnya adalah batu-batu dan es.

   Sesudah memeriksa beberapa lama, ia loncat naik pula.

   Tiba-tiba terdengar suara teriakannya Ciu Hun Jang dan The Sam Nio yang mendadak kejebelos ke dalam lubang.

   Whi Su Tiong dan Him Goan Hian, yang berdiri paling dekat, buru-buru angkat mereka naik.

   Dilihat gejalanya, tempat itu agaknya penuh lubang, sehingga semua orang yang kuatir turut kejebelos, tak berani berjalan sembarangan dan berdiri tetap di tempatnya.

   "Puluhan tahun Touw chungcu berdiam di Giok Pit Hong, tapi ia masih belum dapat menemukan gudang harta itu,"

   Berkata Po Si sambil menghela napas.

   "Sekarang kita sudah tahu terang, bahwa harta itu tersimpan di dalam bukit ini, tapi toh kita pun tidak berdaya. Dibanding- banding, kita masih lebih tolol daripada Touw chungcu."

   Mereka semua sudah lelah sekali dan lalu pada duduk di atas salju.

   Sambil menggigit gigi, The Sam Nio mengusap-usap dengkulnya yang luka dan sakit sekali.

   Tiba-tiba, ketika ia memutar kepala, matanya mendapat lihat sinar berkilauan dari batu mustika di golok komando.

   Banyak tahun ia mengikuti suaminya menjadi piauwsu dan macam-macam batu mustika ia sudah pernah lihat.

   Tapi mustika di golok itu adalah lain dari yang lain.

   Hatinya jadi tergerak dan segera berkata.

   "Taysu, bolehkah aku lihat golok itu?"

   Po Si yang tidak takuti Sam Nio, segera angsurkan golok itu./ Sam Nio mengawasi dengan terliti. Matanya yang berpengalaman lantas saja mendapat tahu, bahwa mustika itu "diikat"

   Dengan "pantat"

   Ke atas. (Sebagaimana diketahui, batu permata biasanya mempunyai dua muka, yaitu "muka,"

   Yang seharusnya di atas, dan "pantat"

   Yang seharusnya di bawah. Mustika di golok itu "diikat"

   Dengan "pantat"

   Menghadap ke atas. Matanya orang biasa tak akan dapat mengetahui perbedaan tersebut, akan tetapi The Sam Nio yang banyak pengalamannya sudah segera mendapat lihat keanehan itu).

   "Taysu,"

   Katanya "Mustika ini diikat dengan pantat ke atas. Mungkin ada apa-apa yang tersembunyi."

   Po Si yang sedang tidak berdaya, lantas saja mengambil putusan untuk menyelidiki. Ia ambil pulang golok itu dan mencabut pisau belatinya yang lantas digunakan untuk mengorek mustika itu dari "ikatannya."

   Begitu dicongkel, mustika itu jatuh dan Po Si buru-buru memungut, lalu diteliti dengan membulak-balik. Lama juga ia memperhatikan mustika itu, tapi tak dapat lihat apa juga yang luar biasa Dengan perasaan putus harapan, ia mengawasi lubang "ikatan"

   Mustika di golok itu. Tiba-tiba ia berseru, 'Ah, di sini!"

   Ternyata, dalam lubang "ikatan"

   Itu terdapat guratan-guratan yang mengunjuk tempat menyimpan harta.

   Di sebelah utara timur terlihat guratan huruf "Po" (mustika) yang sangat kecil.

   Po Si menjadi sadar.

   Ia mengetahui, bahwa tengah lubang merupakan atasnya puncak bundar itu.

   Lantas saja ia memperhatikan keadaan di seputarnya dan menghitung-hitung jaraknya Setindak demi setindak ia berjalan maju dan benar saja, begitu sampai di tempat yang menurut perhitungan adalah tempat menyimpan harta, kedua kakinya kejebelos di lubang.

   Po Si segera nyalakan bahan api dan mengetahui, ia berada di depannya sebuah guha.

   Sesaat itu, Lauw Goan Ho dan yang lain-lain pun sudah loncat ke bawah.

   Belum jalan berapa jauh, obornya Po Si sudah menjadi padam.

   Guha itu amat panjang dan belat-belit.

   "Tuan-tuan tunggulah di sini,"

   Kata Co Hun Ki.

   "Aku mau keluar untuk mengambil cabang- cabang kering."

   Ia lalu berjalan keluar dan balik kembali dengan seikat kayu kering, yang lalu disulut.

   Co Hun Ki yang adatnya tidak sabaran, lantas saja jalan paling dulu dengan tindakan lebar.

   Di seputar dinding guha melekat es yang ribuan tahun tak pernah lumer, dan di beberapa tempat, kepingan-kepingan es berbentuk tajam bagaikan golok dan pedang.

   Dengan tangan menyekal satu batu, sembari jalan To Pek Swee menggempur es yang tajam itu.

   Baru saja mereka biluk di satu tikungan lagi, Tian Ceng Bun mendadak mengeluarkan seruan kaget, sambil menuding serupa benda kecil berwarna kuning, yang menggeletak di sebelah depannya Co Hun Ki.

   Co Hun Ki membungkuk dan pungut benda itu yang ternyata adalah sebatang pit (pena Tionghoa) kecil, dibuat dari emas murni, dan pada batangnya terukir satu huruf 'An."

   Pit itu tiada bedanya dengan pit yang pernah dipegang oleh Tian Ceng Bun, sebelum mereka mendaki Giok Pit Hong. Bukan main herannya Co Hun Ki. Ia berpaling kepada To Cu An, seraya berkata.

   "Hm! Kalau begitu, kau sudah pernah datang ke sini!"

   "Siapa bilang?"

   Kata Cu An, mendongkol.

   "Kau toh lihat, sudah lama guha ini tak pernah disatroni manusia!" 'Apa ini bukan milikmu?"

   Menanya Co Hun Ki dengan aseran, sembari memperlihatkan pit emas itu.

   "Di situ terang-terangan terukir namamu."

   "Tidak, aku belum pernah lihat,"

   Jawabnya, sambil menggelengkan kepala. Co Hun Ki jadi gusar sekali./ Ia melepaskan pit itu yang lantas jatuh di tanah dan menjambak bajunya Cu An.

   "Masih menyangkal?"

   Ia membentak dan meludahi muka orang.

   "Dengan mata sendiri, aku lihat dia (Tian Ceng Bun) pegang itu pit yang kau berikan kepadanya."

   Sempitnya guha itu membikin Cu An tidak dapat berkelit, sehingga ludanya Co Hun Ki mampir tepat di kedua matanya.

   Bagaikan kalap, ia menendang dan jitu kempungannya Hun Ki dan berbareng menghantam dengan kedua tangannya.

   Co Hun Ki lemparkan obornya dan mengirim satu jotosan dengan tangan kanannya yang mengenakan tepat hidungnya To Cu An.

   Sesaat itu, obor padam, sehingga guha jadi gelap-gulita.

   Mereka terus bertempur dengan seru dan akhirnya bergulingan di atas tanah.

   Semua orang jadi mendongkol, berbareng geli.

   Mereka coba membujuk, tapi mana didengar oleh kedua orang yang sedang sengit? Tiba-tiba Tian Ceng Bun berteriak dengan suara nyaring.

   "Siapa yang tidak mau berhenti, aku tak akan bicara lagi dengan ia."

   Co Hun Ki dan To Cu An terkejut, tanpa merasa mereka berhenti bertempur.

   "Eh, kalian jangan gebuk aku, Him Goan Hian,"

   Demikian kedengaran suaranya orang she Him di tempat gelap. 'Aku mau cari obor."

   Sesudah meraba-raba beberapa lama, ia mendapatkan obor itu yang lalu disulut.

   Semua orang jadi geli, melihat Co Hun Ki dan To Cu An benapas sengal- sengal, dengan muka babak-belur dan matang-biru.

   Sementara itu, Tian Ceng Bun mengeluarkan sebatang pit emas dari sakunya dan kemudian memungut pit yang menggeletak di atas tanah.

   "Kedua pit ini benar sangat bersamaan,"

   Kata Ceng Bun kepada Co Hun Ki.

   "Siapa yang beritahukan kau, bahwa dialah (To Cu An) yang memberikan kepadaku?"

   Co Hun Ki jadi tergugu.

   "Kalau bukan dia, dari mana kau dapatkan itu?"

   Ia menanya.

   "Ada sangkut-paut apa dengan kau?"

   Menanya Ceng Bun dengan tawar. Mukanya Co Hun Ki lantas saja berobah merah.

   "Kau ... kau "

   Katanya menuding Ceng Bun. To Pek Swee ambil sebatang pit dari tangannya Ceng Bun dan lalu berkata kepada Co Hun Ki.

   "Gurumu adalah Tian Kui Long. Siapa sucouwmu (kakek guru)?"

   "Sucouw?"

   Co Hun Ki menegasi dengan perasaan kaget.

   "Sucouw adalah ayahnya suhu. Namanya, di atas An, di bawah Pa."

   "Benar! Tian An Pa!"

   Kata To Pek Swee.

   "Senjata rahasia apa yang ia biasa gunakan?"

   "Aku ... aku belum pernah bertemu sucouw,"

   Jawabnya dengan suara tak lampias.

   "Yah, memang juga kau belum pernah bertemu dengan sucouwmu,"

   Kata pula To Pek Swee.

   "Whi susiokmu telah menerima pelajaran ilmu silat dari Tian An Pa. Coba tanya dia."

   "Hun Ki! Sudahlah jangan rewel,"

   Kata Whi Su Tiong.

   "Sepasang pit emas itu adalah senjata rahasianya Sucouwmu."

   Co Hun Ki tak dapat berkata apa-apa lagi, tapi hatinya sangsi bukan main.

   "Jika kalian mau berkelahi, pergilah keluar!"

   Berkata Po Si.

   "Yang lain mau mencari harta."

   Mendengar perkataan Po Si, sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Him Goan Hian segera bertindak paling dulu, diikut oleh yang lain-lain.

   Sesudah membiluk pula di satu tikungan, jalanan jadi semakin sempit dan kate, sehngga mereka harus berjalan sembari membungkuk.

   Berjalan sedikit jauh lagi, mereka sudah harus merangkak.

   Dengkul dan tangan mereka dirasakan sakit oleh karena menempel dengan es, tapi harapan mendapat harta sudah membikin mereka lupakan rasa sakit itu./ Sesudah merangkak kira-kira seminuman teh, jalanan depan terpepat dengan dua batu, satu batu bundar di bawah, satu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat lapisan es yang sangat keras.

   Him Goan Hian menoleh ke belakang.

   "Bagaimana sekarang?"

   Ia menanya Po Si. Po Si menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa memberi jawaban. Antara jagoan-jagoan itu, In Kiat-lah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata.

   "Dua batu yang menempel itu, pasti dapat digerakkan. Persoalannya hanya terletak kepada es yang memegang kedua batu itu."

   "Benar,"

   Kata Po Si dengan girang.

   "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."

   Him Goan Hian lantas saja mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es.

   Lauw Goan Ho, Whi Su Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan membawa lebih banyak cabang-cabang kering.

   Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas tanah.

   Sesudah sebagian besar es menjadi lumer, Po Si yang merasa tidak sabaran, segera mendorong batu itu dengan kedua tangannya, tapi sedikitpun tidak bergerak.

   Pembakaran dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po Si mendorong pula.

   Sekali ini ia berhasil! Setelah bergoyang-goyang beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan terbukalah satu pintu batu, buatan alam.

   Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan girang memecah kesunyian guha.

   Dari tumpukan api, Po Si sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu, diikut oleh kawan-kawannya yang masing-masing menyekal obor.

   Begitu masuk di pintu, satu pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di depan mata mereka! Sinar emas yang gilang-gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga matanya setiap orang menjadi silau.

   Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apakah yang mereka lihat? Mereka berada dalam satu ruangan guha yang sangat besar dan luas.

   Di depan mereka bertumpuk-tumpuk potongan-potongan emas dan perak, mutiara dan macam-macam batu permata yang beraneka-warna, yang tak dapat dihitung berapa banyaknya! Akan tetapi, semua barang berharga itu berada di dalam es.

   Dapat diduga, bahwa pada ketika orang-orangnya Cwan Ong sudah menaruh emas-permata itu di dalam guha, mereka lalu menyiram dengan banyak sekali air yang kemudian lalu membeku.

   Demikianlah sekarang harta karun itu seperti juga tersimpan di bawahnya batu kristal raksasa.

   Setiap orang mengawasi dengan mata mendelong.

   Mereka kesima dan untuk sejenak, tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

   Tiba-tiba, dengan serentak mereka bersorak, bagaikan kalap menubruk es raksasa itu.

   Mendadak Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget.

   'Ada orang!"

   Ia berseru sambil menunjuk ke dalam.

   Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan manusia yang berdiri di dekat tembok.

   Semua orang kaget bagaikan disambar geledek.

   Mereka tak mengimpi, bahwa dalam guha itu terdapat lain manusia.

   Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi satu.

   Lewat beberapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.

   "Siapa?"

   Po Si membentak, tapi tidak mendapat jawaban. Semua orang jadi merasa terlebih heran.

   "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) siapakah yang berdiri di situ,"

   Berkata pula Po Si.

   "Harap suka keluar untuk berkenalan."

   Suaranya Po Si yang nyaring berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang itu tetap bungkam dan tidak bergerak./ Sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Po Si mendekati beberapa tindak.

   Setelah mengawasi beberapa saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua bayangan hitam itu berdiri di sebelah luarnya satu lapisan es, yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan itu menjadi dua, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang.

   Sambil membesarkan nyali, ia maju pula beberapa tindak.

   Hatinya berani, tapi kakinya mau lari, dan oleh karena begitu, ia berpaling dan berseru.

   "Eh, kalian mari! Ikut aku!"

   Dengan diikuti kawan-kawannya, Po Si menghampiri tembok es dan menyuluhi mukanya kedua orang itu.

   Begitu melihat tegas, bulu badannya bangun semua Ternyata kedua orang itu bukannya manusia hidup, akan tetapi mayat-mayat yang sudah meninggal dunia dalam tempo lama.

   Hampir berbareng The Sam Nio dan Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget.

   Mereka mendekati kedua mayat itu yang masing-masing tangannya menyekal sebilah pisau belati, yang satu amblas di dada, yang satunya lagi menancap di kempungan.

   Tiba-tiba Whi Su Tiong berlutut dan berkata sambil menangis.

   "Insu (guru yang budinya sangat besar!) Tak dinyana, kau berada di sini."

   Kawan-kawannya terkejut dan lalu ajukan berbagai pertanyaan.

   "Siapa dua orang ini?"

   "Dia gurumu?"

   "Kenapa bisa berada di sini?"

   Dan lain-lain pertanyaan. Sambil menyusut air-matanya, Whi Su Tiong menunjuk kepada mayat yang badannya lebih kate.

   "Ia adalah guruku, An Pa,"

   Ia menerangkan.

   "Pit emas yang tadi dipungut oleh Hun Ki, adalah miliknya."

   Dari paras mukanya, Tian An Pa kelihatannya masih muda, belum cukup empatpuluh tahun usianya, lebih muda dari Whi Su Tiong.

   Bermula semua orang merasa heran, akan tetapi segera juga mereka sadar, bahwa kedua mayat itu sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan pada beberapa puluh tahun berselang dan sudah membeku oleh karena hawa yang luar biasa dingin, sehingga kelihatannya seperti juga baru meninggal satu-dua hari.

   "Susiok,"

   Kata Co Hun Ki sembari menunjuk mayat yang satunya lagi.

   "Siapa dia? Kenapa dia binasakan sucouw?"

   Sembari berkata begitu, ia menendang mayat itu yang potongan badannya kurus-jangkung.

   "Dia adalah ayahnya 'Kim Bian Hud',"

   Menerangkan sang paman.

   Waktu masih kecil, ia panggil ia Biauw ya dan hubungannya dengan guruku, sebenarnya baik sekali.

   Aku ingat, di tahun itu mereka berdua sama-sama bikin perjalanan ke Kwan Gwa.

   Kami tak tahu, mereka pergi untuk apa.

   Apa yang kami mengetahui, hanya mereka pergi dengan gembira sekali.

   Tapi sekali pergi, mereka tidak balik kembali.

   Belakangan tersiar desas-desus, bahwa mereka berdua telah dibinasakan oleh jago Liauw Long, Ouw It To.

   Itulah sebabnya, kenapa belakangan 'Kim Bian Hud' dan Tian suheng sama-sama pergi mencari Ouw It To guna menuntut balas.

   Tak dinyana, ini ...

   orang she Biauw telah dibikin gelap mata oleh harta karun ini dan sudah turunkan tangan jahat terhadap Insu."

   Untuk mengunjuk rasa marahnya, sehabis berkata begitu, Whi Su Tiong menendang mayat ayahnya 'Kim Bian Hud', tapi tak bergeming lantaran kakinya sudah menempel keras dengan lantai, dengan bantuannya selapis es.

   Mendengar omongannya Whi Su Tiong yang seenaknya saja, semua orang jadi mesem dalam hatinya.

   "Siapa tahu bukan gurumu yang gelap mata dan turunkan tangan terlebih dulu?"

   Pikir mereka. Sementara itu, To Pek Swee menghela napas beberapa kali dan lalu berkata.

   "Dulu Ouw It To pernah minta seorang sahabatnya memberitahu Biauw Tayhiap dan Tian Kui Liong, bahwa dia (Ouw It To) mengetahui sebab-sebab kebinasaan kedua orang tua itu. Akan tetapi, oleh karena cara binasanya kedua orang itu sangat menyedihkan dan memalukan, dia sungkan membuka rahasia sendiri dan bersedia mengajak Biauw Tayhiap serta Tian Kui Long pergi melihat dengan matanya sendiri. Sekarang ternyata, perkataannya Ouw It To tidaklah justa. Dilihat begini, Ouw It To sendiri pernah datang ke guha ini, tapi sungguh heran, ia tidak angkut harta karun ini."/ "Hari ini aku menemui satu urusan yang sangat mengherankan,"

   Menyeletuk Tian Ceng Bun.

   "Apa?"

   Menanya Whi Su Tiong.

   "Pagi ini kita mengejar ia ..."

   Sembari berkata begitu, ia monyongkan mulutnya ke jurusan To Cu An, sedang mukanya, bersemu merah.

   "Susiok, kau mengejar paling dulu, sedang aku mengikuti dari belakang____"

   "Kudamu paling jempol, kenapa jadi kebelakangan?"

   Membentak Co Hun Ki.

   "Kau ... kau memang sungkan bertempur dengan manusia she To itu!"

   Dengan sikap acuh tak acuh, Ceng Bun menyahut.

   "Kau sudah mencelakakan seluruh penghidupanku, apa sekarang ingin mempersakiti pula diriku? Boleh! Boleh berbuat sesukamu! To Cu An adalah suamiku! Aku memang sudah berlaku sangat tidak pantas terhadapnya. Walaupun ia sudah tak menyintai aku, akan tetapi, selain ia, dalam lubuk hatiku tidak terdapat lain manusia." 'Aku tetap menyintai kau, Ceng moay! Aku tetap menyintai kaul"

   Berseru To Cu An.

   "Kau maui perempuan hina-dina itu?"

   Membentak To Pek Swee.

   "Tapi aku tak sudi mempunyai menantu yang macamnya begitu!"

   "Binatang!"

   Berteriak Co Hun Ki.

   "Kalau kau mempunyai kepandaian, bunuhlah aku terlebih dulu!"

   Tian Ceng Bun menunduk mengawasi tanah dan sehabis mereka berteriak-teriak, barulah ia berkata pula dengan suara perlahan.

   "Meskipun kau masih menyintai aku, aku sendiri tak ada muka untuk mengikuti kau. Sesudah keluar dari guha ini, biarlah kita berdua jangan bertemu muka lagi."

   "Tidak, tidak, Ceng moay!"

   Berkata Cu An dengan suara bingung.

   "Memang dia yang terlalu busuk. Dia hinakan kau, persakiti kau. Biarlah aku binasakan padanya."

   Ia angkat goloknya dan terjang Co Hun Ki.

   "Eh!"

   Lauw Goan Ho loncat menyelak.

   "Kalau kau orang mau bertempur, pergilah keluar!"

   Ia tangkap pergelangan tangannya To Cu An dan rampas goloknya yang lalu dilemparkan di atas tanah.

   Co Hun Ki pun sudah loncat maju, tapi ia juga kena dihalangi oleh In Kiat.

   Melihat caranya Ceng Bun mengadu dan mempermainkan kedua jagoan itu, semua orang jadi merasa geli dalam hatinya.

   "Tian kouwnio,"

   Berkata Po Si.

   "Kau merdeka untuk menikah dengan siapa juga, tapi kau tentu tak akan mau menikah dengan aku, si hweeshio tua. Maka itu, aku hanya perlu menanya kau, urusan heran apakah yang kau ketemui di pagi tadi?"

   Semua orang tertawa terbahak-bahak, sedang Tian Ceng Bun pun jadi mesem simpul.

   "Kudaku yang larinya perlahan tak dapat menyusul rombongan susiok,"

   Ia menerangkan.

   "Selagi enak larikan kuda, mendadak aku dengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Satu tangannya penunggang kuda itu menyekal poci arak yang besar. Ia dongak dan gelokgok isinya poci itu. Aku lihat, mukanya penuh brewok dan badannya bergoyang-goyang lantaran sinting. Tanpa merasa, aku tertawa. 'Eh, apakah kau anak perempuannya Tian Kui Long?' mendadak ia menanya. 'Benar,' jawabku. 'Siapakah tuan?' Tanpa menjawab, ia mementil dengan dua jerijinya dan sebatang pit emas menyambar aku. Aku berkelit, tapi pit itu sudah sambar putus satu anting- antingku. Aku kaget bukan main, tapi orang itu sudah kaburkan kudanya. Hatiku heran, tak tahu kenapa ia berikan pit itu kepadaku."

   "Kau kenal dia siapa?"

   Menanya Po Si. Tian Ceng Bun manggutkan kepalanya.

   "Dia adalah 'Soat san Hui Ho' Ouw Hui yang tadi naik ke gunung,"

   Katanya.

   "Ketika ia memberikan pit itu, aku tentu saja tak kenal padanya, Tapi tadi, sesudah ia bicara dengan adik Biauw, aku kenali suaranya."/ Co Hun Ki kembali jadi curiga.

   "Pit itu adalah miliknya sucouw,"

   Kata ia.

   "Dari mana Ouw Hui dapatkan itu? Kenapa dia berikan kepadamu?"

   Tian Ceng Bun yang selalu berlaku manis terhadap lain orang, lantas saja berobah paras mukanya begitu mendengar perkataannya Hun Ki. Ia merengut dan tidak menjawab. 'Aku percaya Ouw It To pernah datang ke guha ini,"

   Kata Lauw Goan Ho.

   "Tentu juga ia mendapatkan pit itu di atas tanah atau di badannya Tian An Pa. Akan tetapi, ia meninggal dunia ketika Ouw Hui baru saja berusia beberapa hari. Cara bagaimana ia dapat mewarisi pit itu kepada oroknya?"

   "Mungkin sekali Ouw It To tinggalkan pit itu di rumahnya dan sesudah Ouw Hui menjadi dewasa, ia dapat menemukan senjata rahasia itu di antara barang-barang peninggalan ayahnya,"

   Him Goan Hian ajukan pendapatnya.

   "Yah, memang mungkin sekali,"

   Berkata Whi Su Tiong sambil manggutkan kepalanya.

   "Pit itu berlubang di tengah-tengahnya dan kepalanya dapat ditekuk ke bawah. Ceng Bun, coba kau lihat kalau-kalau di dalamnya tersimpan apa-apa yang luar biasa."

   Tian Ceng Bun segera menekuk kepala pit yang didapat dari jalanan guha, tapi di dalamnya tidak terdapat apa pun juga.

   Sesudah itu, barulah ia menekuk kepala pit yang diberikan Ouw Hui, dan benar saja, di dalamnya terdapat segulung kecil kertas.

   Semua orang segera menghampiri untuk melihat isinya kertas itu.

   Mereka merasa sjukur, bahwa Whi Su Tiong berada di situ, sebab jika tidak, mereka tentu tidak mengetahui adanya alat rahasia yang sedemikian halus pada pit tersebut.

   Ceng Bun lantas saja membuka gulungan kertas itu, yang ternyata terdapat tulisan yang bunyinya seperti berikut.

   "Tuan-tuan dari Thian-liong, beramai-ramai datang di Liauw Tong, datangnya menunggang kuda, pulangnya menunggang angin."

   Di bawahnya kertas itu terdapat gambar rase bersajap, sedang tulisannya adalah buah kalamnya "Soat San Hui Ho", atau si Rase Terbang. Sesaat itu, paras mukanya Whi Su Tiong mengunjuk kegusaran hebat.

   "Hm!"

   Katanya.

   "Belum tentui"

   Tapi, sedang mulutnya berkata begitu, hatinya mengakui, bahwa kepandaiannya Ouw Hui memang bukan main tingginya dan ia mengetahui segala gerak-geriknya orang-orang Thian Liong Bun. Mengingat, ia bergidik dan bulu badannya bangun semua.

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"susiok, apa artinya 'pulang menunggang angin?'"

   Menanya Co Hun Ki.

   "Hm! Dia mengatakan, kita semua akan binasa di Liauw Tong,"

   Menerangkan sang paman guru.

   "Kita semua dikatakan bakal menjadi setan-setan yang akan pulang ke rumah dengan menunggang angin."

   "Binatang!"

   Memaki Co Hun Ki.

   Sedang orang-orang Thian Liong Bun mengawasi kertas kecil itu dengan perasaan mendongkol dan berkuatir, adalah Po Si, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan yang lain-lain sudah memusatkan perhatiannya kepada harta karun itu.

   Po Si segera mencabut golok dan membacok es beberapa kali.

   Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam emas dan batu-batu permata.

   Disoroti sinar obor, emas-permata itu mengeluarkan sinar berkilauan, sehingga tanpa menunggu tempo lagi, yang lain-lain lantas mencabut senjata dan turut membacok kalang- kabutan.

   Sambil membacok, mereka masukkan "bebolehannya"

   Ke dalam saku dan semakin padat saku mereka, semakin giat mereka membacok.

   Tapi tak lama kemudian, golok dan pedang sudah menjadi gompal dan bacokan-bacokannya tak begitu gencar lagi seperti tadi.

   Harus diketahui, bahwa golok dan pedang itu adalah senjata-senjata biasa yang mereka sembat dari rumahnya Touw Sat Kauw.

   Senjata mereka sendiri, sebagaimana diketahui, telah dikutungkan oleh sepasang kacungnya Ouw Hui.

   "Lebih baik kita ambil kayu bakar untuk melumerkan es ini,"

   Berkata Tian Ceng Bun.

   Semua orang segera menyetujui.

   Cara tersebut sebenarnya sudah harus diingat sedari tadi, akan tetapi, begitu melihat emas-permata, mata mereka berkunang-kucang dan lalu mengambil jalan yang paling pendek.

   Usulnya Ceng Bun disetujui oleh semua orang, tapi tak ada satu pun/ yang mau bergerak untuk mengambil kayu bakar.

   Setiap orang merasa kuatir, bahwa selagi pergi mengambil kayu, orang lain sudah kantongi lebih banyak harta.

   Po Si menyapu semua orang dengan matanya dan lalu memberi perintah.

   "Ciu siheng, To siheng dan Him Piauw Thauw, kalian bertiga pergilah keluar mengambil kayu bakar. Yang menunggu di sini semua mengaso, siapa juga tak diperbolehkan mengambil emas-permata ini."

   Ketiga orang itu merasa sangsi, tapi oleh karena segani Po Si, dengan ogah-ogahan mereka lalu berjalan keluar. oo "Soat San Hui Ho"

   Ouw Hui sudah berjanji dengan Touw Sat Kauw chungcu untuk bertanding di puncak Giok Pit Hong pada sha gwee capgo (bulan ketiga, tanggal lima belas.) Ketika naik ke puncak pertama kali, Touw chungcu belum pulang dan ia bertemu dengan Biauw Yok Lan.

   Sesudah turun dari puncak, hatinya selalu berdebar-debar, paras mukanya Biauw Yok Lan selalu berbayang di depan matanya, suara khim dan nyanyiannya si nona berkumandang dalam telinganya.

   Bersama Peng Ah Si dan kedua kacungnya, ia mengaso di dalam satu guha dan makan makanan kering yang dibawa.

   Lukanya Peng Ah Si berat, tapi tidak membahayakan jiwanya, sehingga Ouw Hui jadi terhibur.

   Ia rebahkan dirinya di atas tanah dan lalu meramkan kedua matanya.

   Begitu lekas meramkan mata, paras dan gerak-geriknya nona Biauw kembali berbayang-bayang.

   Dengan uring-uringan, ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan mengawasi dinding batu dari guha itu.

   Di lain saat, suara nyanyiannya Biauw Yok Lan sayup-sayup masuk ke dalam telinganya, seperti juga keluar dari dinding batu itu.

   Ouw Hui menghela napas.

   'Ah, kenapa juga aku jadi seperti orang edan?"

   Katanya di dalam hati.

   'Ayahnya adalah musuh besarku yang sudah membunuh ayahku.

   Meskipun waktu itu, ayahnya tidak bermaksud membinasakan ayah, tetapi sama saja, ayahku sudah binasa lantaran gara-gara ayahnya.

   Aku hidup sebatang kara, tak punya ayah, tak punya bunda, dan itu semua adalah gara-gara ayahnya.

   Untuk apa aku pikiri dia?"

   Tapi baru saj a memikir begitu, lain pikiran datang kepadanya.

   "Ketika itu, ia belum dilahirkan,"

   Pikir Ouw Hui.

   "Sakit hati itu mengenai orang tuanya dan tiada sangkut-pautnya dengan dia. Hai! Dia adalah ciankim siocia (nona yang berharga ribuan tahil emas, berarti nona bangsawan atau hartawan)! Sedang aku? Aku hanyalah lelaki gelandangan dari dunia Kang Ouw. Untuk apa aku cari-cari urusan?"

   Akan tetapi, walaupun hatinya berkata begitu, ibarat orang yang kejebelos di dalam lumpur, semakin lama Ouw Hui tenggelam semakin dalam.

   Memang juga, jika ikatan cinta dapat diputuskan dengan begitu saja, ikatan itu bukannya ikatan cinta.

   Tak kurang sejam, Ouw Hui menggelisah.

   Macam-macam pikiran datang kepadanya.

   'Apa tak bisa jadi, lantaran takut keok, lawanku sudah memasang 'Bi Jin Kee' (tipu dengan menggunakan wanita cantik)?"

   Ia menanya dalam hatinya. Tapi segera juga ia sesalkan pikiran itu, yang seolah- olah menghina Biauw Yok Lan.

   "Tidak!"

   Ia menggerendeng.

   "Dia mulia bagaikan dewi. Mana bisa dia jadi begitu rendah? Tidak! Akulah yang picik, yang mempunyai pikiran rendah!"

   Ketika itu, siang sudah mulai terganti dengan malam, la mendekati Peng Ah Si seraya berkata.

   "Sisiok, aku mau naik ke puncak lagi. Kau mengasolah di sini."

   Tanpa menunggu jawaban, badannya sudah melesat keluar dan lalu berlari-lari ke arah puncak dengan menggunakan ilmu entengkan badan.

   Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di kaki puncak dan lalu naik dengan menggunakan tambang./ Begitu tiba di depan pintu, hatinya berdebar-debar.

   Ia masuk ke ruangan depan., tapi di situ tidak terdapat barang satu manusia.

   Dengan heran, ia berseru.

   "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) ingin berjumpa. Apakah Touw chungcu sudah pulang?"

   Ia berteriak beberapa kali, tapi tak mendapat jawaban. Ia mesem dan berkata dalam hatinya.

   "Percuma Touw Sat Kauw dikenal sebagai jagoan Liauw Tong. Biar pun kau memasang jebakan, aku Ouw Hui sedikit pun tidak merasa jeri."

   Ia duduk dengan niatan segera turun bukit, sesudah menulis beberapa perkataan untuk mengejek Touw Sat Kauw.

   Tapi segera juga ia mengurungkan niatan untuk lantas turun.

   Entah kenapa ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu.

   Tanpa tujuan, ia pergi ke kamar samping yang letaknya di sebelah timur.

   Ia masuk ke dalam kamar itu, yang ternyata adalah satu kamar buku yang diperaboti dengan indah sekali.

   Ia duduk, ambil se

   Jilid buku dan lalu coba membaca.

   Tapi segera juga ia lepaskan buku itu oleh karena artinya tak dapat masuk ke dalam otaknya.

   Tak lama kemudian, cuaca menjadi gelap dan Ouw Hui lalu mengeluarkam bahan api untuk menyulut lilin.

   Mendadak, kupingnya menangkap suatu tindakan yang sangat enteng di atas salju.

   Ia terkejut dan mengetahui, bahwa orang itu berkepandaian tinggi.

   Di atas tanah, dengan tidak terlalu sukar, hampir setiap orang dapat berjalan tanpa mengeluarkan suara.

   Akan tetapi jika seseorang berjalan di atas salju, biar bagaimana pun juga, ia tak akan dapat menghilangkan suara tindakannya.

   Perbedaannya hanya terletak atas kepandaiannya, Jika ia berkepandaian tinggi, tindakannya enteng dan suaranya halus, jika berkepandaian rendah, tindakannya berat dan suaranya keras.

   Ouw Hui lantas saja urungkan niatan untuk menyulut lilin dan masukkan bahan api itu ke dalam sakunya.

   Sesaat kemudian, ia mengetahui, bahwa di belakangnya orang yang pertama, mengikuti beberapa orang lain, yang semuanya mempunyai ilmu silat yang tidak rendah.

   Ouw Hui lalu menghitung dan ternyata jumlah mereka adalah lima orang.

   Tiba-tiba terdengar tiga tepukan tangan, yang disambut dengan tiga tepukan tangan pula dari luar rumah.

   Tidak lama kemudian, di luar rumah itu datang enam orang lain.

   Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, nyalinya Ouw Hui sangat besar.

   Akan tetapi, berkumpulnya sebelas orang yang rata-rata berilmu tinggi, sudah membikin ia menghitung- hitung juga.

   "Paling benar aku berlalu dulu dari rumah ini, supaya tidak masuk ke dalam jebakan,"

   Katanya di dalam hati.

   Ia lalu berjalan keluar, tapi pada sebelum menggenjot badan, di atas genteng sekonyong-konyong terdengar suara kresekan dan dengan kupingnya yang sudah terlatih, ia segera mengetahui, bahwa kembali ada beberapa tetamu yang datang berkunjung.

   Buru-buru ia balik ke dalam kamar.

   Ia dapat kenyataan, bahwa rombongan yang baru datang itu tidak kurang dari tujuh orang.

   Di atas genteng terdengar tiga tepukan tangan, dibalas dengan tiga tepukan juga dari luar rumah Sesaat kemudian, tujuh orang itu melayang turun dan lalu menghampiri kamar samping di mana Ouw Hui berada.

   Oleh karena jumlah musuh terlalu besar, Ouw Hui jadi gentar juga dan lalu memutar otaknya untuk mencari siasat baik guna merebut kemenangan.

   Memang ia sudah menduga bahwa Touw Sat Kauw akan mencari pembantu-pembantu guna menghadapi dirinya, akan tetapi sama-sekali ia tidak nyana, orang she Touw itu mempunyai "muka yang begitu besar" (sangat dipandang,) sehingga dapat mengundang begitu banyak orang pandai.

   Begitu lekas ketujuh orang itu menghampiri pintu kamar, Ouw Hui segera loncat ke belakang sekosol untuk mencari tahu, jebakan apa yang mereka sedang pasang.

   Tiba-tiba ia dengar suara orang menghidupkan bahan api.

   Ia terkesiap sebab mengetahui, begitu lekas lilin disulut, ia tak dapat sembunyikan dirinya lagi di belakang sekosol.

   Sekali menyapu kamar itu dengan matanya, ia dapat lihat satu ranjang yang kelambunya diturunkan, tapi di depannya tidak terdapat sepatu, sehingga dapat dipastikan, pembaringan itu tidak sedang ditiduri orang.

   Dengan cepat ia loncat ke depan tempat tidur itu, membuka/ kelambunya dan lalu masuk ke dalam selimut.

   Gerakannya itu luar biasa cepat dan enteng, sehingga meskipun ketujuh orang itu mempunyai kepandaian tinggi, tak ada satu pun yang mengetahui.

   Begitu masuk ke dalam selimut sulam, bukan main terkejutnya Ouw Hui, lantaran tangannya tersentuh dengan tubuh manusia dan hidungnya mengendus bebauan yang sangat harum.

   Tak bisa salah lagi, manusia itu adalah manusia wanita! Selama hidup duapuluh tujuh tahun lamanya, belum pernah ia menyenggol badannya seorang wanita.

   Maka itu, tidaklah heran, ia kaget bagaikan dipagut ular.

   Ia ingin segera merosot turun, akan tetapi, lilin sudah disulut dan malahan satu orang menghampiri sekosol sambit melongok- longok, dengan satu tangan memegang ciaktay (tempat menancap lilin).

   "Di sini tidak ada manusia, kita boleh bicara,"

   Katanya sambil menghampiri kursi. Apa yang membikin Ouw jadi lebih kaget lagi adalah bebauan harum yang dindus olehnya. Wewangian itu adalah wewangian yang digunakan Biauw Yok Lan.

   "Apakah Biauw Kohnio?"

   Ia menanya dirinya sendiri dengan hati berdebar-debar 'Ah! Kedosaanku benar-benar besar! Tapi ...

   tapi, jika aku keluar sekarang, beberapa orang itu, yang melihat aku tidur bersama-sama Biauw Kouwnio, tentu akan menyiarkan omongan gila-gila.

   Dengan demikian, namanya Biauw Kouwnio yang suci-bersih, dirusak olehku.

   Ah! Tak lain jalan daripada terus menanti sampai mereka keluar dari kamar ini.

   Sesudah itu, barulah aku memohon maaf dan berlalu dan sini."

   Setelah mengambil putusan itu, ia lalu menggeser badannya sejauh mungkin dari nona Biauw.

   Meskipun tak dapat bergerak akibat totokan pada jalanan darahnya, kesadaran Biauw Yok Lan sedikit pun tidak berkurang.

   Ketika Ouw Hui masuk ke dalam pembaringan, kagetnya bagaikan disambar geledek.

   Dalam keadaan yang tidak berdaya, ia meramkan kedua matanya dan pasrahkan nasibnya kepada Tuhan.

   Akan tetapi, sesudah lewat beberapa saat, ia dapat kenyataan bukan saja pemuda itu tidak berlaku kurang ajar, tapi malahan menjauhkan dirinya.

   Hatinya menjadi agak lega dan timbullah perasaan herannya.

   Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya dan apa mau, pada saat itu, Ouw Hui pun sedang mengawasi padanya.

   Sementara itu, di luar sekosol sudah terdengar suara orang bicara.

   "Say Congkoan,"

   Kata satu orang.

   "Benar-benar perhitunganmu jitu seperti perhitungan dewa. Itu 'Kim Bian Hud', yang disohori sebagai manusia yang tiada tandingannya dalam dunia ini, tanpa merasa masuk ke dalam jebakan dan walaupun dia mempunyai sayap, tak nanti dia bisa terbang mabur."

   Orang yang menyuluhi kamar dengan membawa ciaktay lantas saja tertawa terbahak-bahak.

   "Thio hiantee (adik),"

   Kata ia.

   "Jangan kau terlalu memuji-muji aku. Sesudah usaha kita berhasil, aku tentu tak akan melupakan kalian semua."

   Mendengar begitu, bukan main kagetnya Ouw Hui dan Yok Lan, orang-orang itu ternyata sedang mengatur jebakan untuk mencelakakan Biauw Jin Hong.

   Nona Biauw yang tidak mengenal selak-beluknya Kang Ouw, masih belum seberapa kaget.

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia menganggap ayahnya yang mempunyai ilmu silat luar biasa tinggi, tak akan dapat dicelakakan oleh siapa juga.

   Adalah Ouw Hui yang terkejut bagaikan disambar petir.

   Ia mengetahui, bahwa Say Congkoan adalah ahli silat nomor satu di dalam kerajaan bangsa Boan, dengan mempunyai lweekang dan gwakang yang bersamaan tingginya.

   Di sebelahnya itu, dengar kelicikannya dan kehcinannya, entah sudah berapa banyak ksatria penyinta negeri yang celaka dalam tangannya.

   Ia adalah wisu utama yang paling dipercaya oleh Kaisar Kian Liong.

   Sekarang, dengan membawa begitu banyak pembantu, ia sendiri datang di Giok Pit Hong, sehingga Ouw Hui merasa sangat kuatir Biauw Jin Hong sukar terlolos dari tangannya.

   Sesaat itu juga, Ouw Hui segera mengambil putusan yang sangat berani.

   Dengan cepat ia membuka kelambu dan sambil mengerahkan tenaga dalam, ia mengebaskan tangannya ke arah api lilin.

   Dengan satu suara "bet,"

   Lilin itu padam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, bahwa itu adalah perbuatannya seorang tetamu malam./ 'Ah! Lilin padam!"

   Berkata satu orang. Pada waktu itulah, dari luar kembali masuk sejumlah orang.

   "Lekas sulut lilin!"

   Berkata seorang lain.

   "Nyalakan lampu saja,"

   Kata orang ketiga. 'Aku rasa, lebih baik kita omong-omong dalam kegelapan,"

   Demikian terdengar suaranya Say Congkoan.

   "Biauw Jin Hong sangat licin. Jika ia lihat sinar api, mungkin sang ikan yang sudah menelan umpan, akan dapat meloloskan diri."

   Semua orang lantas saja menyetujui pikiran itu.

   "Pemandangan Congkoan adalah sangat jauh dan bekerja secara sangat hati-hati,"

   Kata seorang.

   Sekosol diisarkan dan kamar penuh orang, ada yang duduk di pinggir ranjang.

   Ouw Hui sangat berkuatir, kalau-kalau dalam capenya, ketiga orang itu merebahkan dirinya di atas pembaringan.

   Maka itu, lantas saja ia menggeser badannya sampai ke tepi belakang ranjang.

   Waktu itu, Ouw Hui sudah mengambil suatu keputusan pasti, bahwa jika tempat sembunyinya diketahui orang, walaupun harus membuang jiwa, ia akan binasakan itu delapan belas orang.

   Seorang pun ia tak akan kasi hidup terus untuk mencegah ternodanya nama Biauw Yok Lan.

   Tapi untung ketiga orang itu duduk tetap di pinggir ranjang.

   Ouw Hui belum mengetahui, bahwa Yok Lan kena ditotok jalanan darahnya.

   Ia berkuatir berbareng girang, ketika melihat nona Biauw tidak mengisarkan diri.

   "Saudara-saudara,"

   Demikian terdengar pula suaranya Say Congkoan.

   "Sekarang biarlah Touw chungcu lebih dulu memperkenalkan kalian." 'Aku merasa sangat bersukur dan berterima kasi, bahwa saudara-saudara sudah sudi berkunjung kemari,"

   Kata Touw Sat Kauw.

   "Yang ini adalah Congkoan Gi Cian Si Wi (Pemimpin Pasukan Pengawal Pribadi Kaisar) Say Tayjin. Namanya Say Tayjin sudah lama menggetarkan Rimba Persilatan dan aku rasa kalian semua juga sangat ingin berjumpa dengan ianya."

   Semua orang lantas saja mengeluarkan kata-kata pujian dan mengumpak-umpak.

   Mendengar nama-nama yang diperkenalkan Touw Sat Kauw, lebih-lebih terkejutnya Ouw Hui.

   Di sebelahnya Say Congkoan dan tujuh Gi Cian Si Wi itu, setiap orang adalah jago kenamaan dalam kalangan Kang Ouw, antaranya Hian Beng Cu dari Ceng Cong Pay, Leng Ceng Ki Su dari Kun Lun San, Chio lookunsu (guru silat) dari Thay Kek Bun di Holam dan sebagainya.

   Ouw Hui memasang kupingnya.

   Ia merasa sangat heran, oleh karena Touw Sat Kauw sudah berhenti, setelah ia selesai memperkenalkan enam belas orang.

   Dalam kamar itu terdapat delapanbelas orang, sehingga, di sebelahnya dia sendiri, seharusnya ada tujuh belas orang.

   Siapa yang satunya lagi? Selainnya Ouw Hui, beberapa orang lain juga sadar akan kekurangan itu.

   "Masih kurang satu orang,"

   Kata seorang.

   "Siapa saudara itu?"

   Agak luar biasa, Touw Sat Kauw tidak menjawab. Sesudah lewat beberapa saat, adalah Say Congkoan yang membuka mulut.

   "Baiklah! Aku yang memberitahukan. Saudara itu adalah pemimpin Hin Han Kay Pang, Hoan Pangcu!"

   Semua orang terkesiap.

   Beberapa antaranya yang kupingnya terang, sudah dapat mendengar, bahwa Hoan Pangcu kena dibekuk oleh pembesar negeri.

   Beberapa orang lainnya mengetahui, bahwa pemimpin partai pengemis itu selalu bermusuhan dengan pihak kerajaan dan munculnya dengan bergandengan tangan dengan rombongan si wi, sudah membikin semua orang menjadi heran.

   "Duduknya persoalan adalah begini,"

   Menerangkan Say Congkoan sembari tertawa.

   "Hari ini saudara-saudara datang ke sini atas undangan Touw chungcu untuk menghadapi 'Soat San Hui/ Ho'. Akan tetapi pada sebelum kita merubuhkan si Rase Terbang, lebih dulu kita ingin membekuk seorang 'Pousat'." '"Kim Bian Hud'?"

   Menanya seorang sembari tertawa.

   "Benar,"

   Sahut Say Congkoan.

   "Kami sudah banyak menyusahkan Hoan Pangcu dengan tujuan memancing Biauw Jin Hong supaya dia pergi ke kota-raja guna menolongi Pangcu yang dikatakan tertangkap pembesar negeri. Akan tetapi, ikan besar itu luar biasa licinnya dan tidak mencaplok pancing."

   Di antara ketujuh si wi itu ada seorang yang mendehem, akan tetapi tidak berkata apa-apa.

   Dalam keterangannya itu, Say Congkoan telah menyembunyikan suatu hal.

   Duduknya urusan yang sebenarnya adalah begini, begitu mendengar Hoan Pangcu dipenjarakan, seorang diri Biauw Jin Hong menyatroni penjara istana guna memberi pertolongan.

   Usahanya itu gagal, akan tetapi pedangnya yang lihay sudah membinasakan sebelas si wi dan malahan Congkoan sendiri mendapat luka.

   Dalam memasang jebakannya, Say Congkoan sudah membikin persiapan sangat hati-hati.

   Akan tetapi, apa mau dikata, kepandaiannya Biauw Jin Hong adalah sedemikian dahsyat, sehingga ia dapat menoblos keluar dari lubang jarum.

   Kejadian itu dianggap oleh Say Congkoan sebagai kejadian yang sangat memalukan dan sungkan menceritakan kepada lain orang.

   "Touw chungcu dan Hoan Pangcu adalah orang-orang yang mempunyai pribudi sangat tebal dan sudah berjanji akan membantu kami,"

   Kata lagi Say Congkoan. 'Aku berterima kasi tak habisnya dan sesudah usaha kita berhasil, aku tentu akan memberi laporan kepada Hongsiang, agar semua orang mendapat ganjaran dan hadiah yang setimpal dengan jasanya____"

   Baru berkata sampai di situ, di sebelah kejauhan mendadak terdengar suara tindakan yang cepat dan enteng sekali. Kupingnya Say Congkoan sangat tajam. '"Kim Bian Hud'!"

   Katanya, hampir berbisik.

   "Kami bersembunyi, saudara-saudara lainnya pergilah menyambut dia."

   Touw Sat Kauw, Hian Beng Cu, Leng Ceng Ki Su dan yang lain-lain segera bangun dan berjalan keluar, meninggalkan tujuh wisu yang bersembunyi di dalam kamar.

   Dalam sekejap, suara tindakan sudah berada di luar pekarangan rumah.

   Kecepatan bergeraknya orang itu sungguh sukar dilukiskan dengan sang kalam.

   Bagaikan seorang pelaut yang tengah menghadapi badai, Say Congkoan dan enam rekannya berdebar-debar hatinya dan tanpa merasa, lalu mencabut senjata.

   "Sembunyi!"

   Memerintah Say Congkoan. Satu wisu menghampiri ranjang dan bergerak untuk membuka kelambu, dengan niatan bersembunyi di tempat tidur itu.

   "Tolol!"

   Membentak Say Congkoan.

   "Sembunyi di ranjang seperti juga tidak bersembunyi!"

   Orang itu urungkan niatannya dan ketujuh pengawal Kaisar tersebut segera mencari tempat sembunyi yang dirasa baik, ada yang masuk ke kolong ranjang, ada yang menutup dirinya di dalam lemari, ada yang melingkar di rak buku dan sebagainya.

   Ouw Hui tertawa geli.

   "Kau maki orang tolol, tapi kau sendiri yang tolol,"

   Katanya di dalam hati.

   Sementara itu, di luar kamar sudah terdengar suara tertawanya Touw Sat Kauw dan Chio lookunsu, dan beberapa saat kemudian, mereka mengantar seorang tetamu masuk ke dalam kamar samping itu.

   Diam-diam Touw Sat Kauw mendongkol berbareng heran.

   Kenapa tak ada satu pun bujang yang munculkan diri? Akan tetapi, berhubung dengan mendesaknya keadaan, ia tak mempunyai tempo lagi untuk menyelidiki hal itu.

   Touw Sat Kauw melirik Biauw Jin Hong.

   Paras mukanya jago itu ternyata tetap tenang, seperti juga tiada kejadian suatu apa yang luar biasa.

   Sesudah semua orang mengambil tempat duduk, Touw Sat Kauw segera berkata.

   "Biauw heng! Aku dan 'Soat San Hui Ho' telah mengadakan perjanjian untuk mengadu silat di tempat ini, pada hari ini. Bantuan yang diberikan oleh Biauw heng dan beberapa saudara lainnya, aku hanya dapat mengucapkan ribu-ribu terima kasih. Sekarang siang sudah terganti malam, tapi 'Soat San Hui Ho'/ belum juga muncul. Mungkin sekali, mendengar kedatangannya saudara-saudara, dia jadi ketakutan dan sembunyikan buntut rasenya."

   Bukan main gusarnya Ouw Hui. Kalau menuruti adatnya, saat itu juga ia sudah keluar menerjang. Biauw Jin Hong hanya mengeluarkan satu suara "hm". Ia berpaling kepada Hoan Pangcu seraya berkata.

   "Hoan heng. Aku tak tahu, kau belakangan dapat juga meloloskan diril"

   Hoan Pangcu bangun dan menyoja.

   "Tanpa perdulikan keselamatan jiwa sendiri, Biauw ya sudah menyatroni penjara guna menolong aku,"

   Katanya dengan sikap menghormat.

   "Budi ini, sampai mati tak akan aku dapat melupakan. Pada ketika Biauw ya membinasakan belasan pengawal istana, keadaan menjadi kalut dan dengan menggunakan kesempatan itu, para persakitan pada menerjang keluar. Berkat keangkeran Biauw ya, akhirnya aku pun dapat menoblos keluar."

   Omongan Hoan Pangcu justa belaka.

   Sesudah Biauw Jin Hong gagal dalam usahanya menolong orang she Hoan itu, Say Congkoan pergi menemui Kepala Pengemis itu di penjara.

   Dengan ancaman dan dengan harta, ia coba membujuk supaya Hoan Pangcu mengambil pihak pemerintah, tapi sesudah berusaha beberapa hari, masih juga belum berhasil.

   Say Congkoan adalah ahli membaca hatinya orang.

   Sesudah berkutet beberapa hari, ia segera mengetahui kelemahannya Hoan Pangcu yang kepala batu itu.

   Ia mengetahui, bahwa pemimpin Kay Pang itu senang sekali diumpak-umpak.

   Demikianlah, pada suatu hari, ia sendiri pergi ke penjara dan ajak Hoan Pangcu berdiam dalam rumahnya sendiri, sebagai seorang "tahanan"

   Terhormat.

   Ia pilih beberapa wisu yang pandai menjilat-jilat guna menemani Hoan Pangcu.

   Selang beberapa hari, orang she Hoan itu, yang setiap hari dijejal dengan umpakan dan jilatan, sudah menjadi lumer hatinya dan mau omong-omong dengan beberapa wisu itu.

   Say Congkoan diam-diam merasa girang sekali.

   Belakangan, sesudah tawanannya menjadi jinak, Say Congkoan lalu turun tangan sendiri dan menemani orang she Hoan itu.

   Pada suatu hari, mereka berdua merundingkan jago-jago pada jaman itu.

   Meskipun Hoan Pangcu seorang sombong, akan tetapi ia masih mengakui, bahwa Biauw Jin Hong lah yang mempunyai ilmu silat paling tinggi di kolong langit.

   "Pangcu terlalu merendahkan diri,"

   Kata Say Congkoan.

   "Menurut pendapatku, biarpun 'Kim Bian Hud mendapat julukan 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu', belum tentu ia dapat menangkan Pangcu."

   Diangkat secara begitu, bukan main senangnya orang she Hoan itu.

   Lantas saja ia merasa, bahwa kepandaian Biauw Jin Hong benar-benar tidak seberapa dan jika benar-benar bergebrak, ia pasti tidak akan kalah.

   Mereka bicara uplek sekali, seluruh malam mereka tak merasa cape.

   Tiba-tiba Say Congkoan bicarakan ilmu silatnya sendiri.

   Sesaat itu, seperti sudah diatur terlebih dulu, beberapa wisu datang menimbrung.

   Mereka menceritakan pertempuran antara Say Congkoan dan Biauw Jin Hong ketika terjadi peristiwa pembongkaran penjara.

   Kata mereka, dalam seratus jurus yang pertama, kekuatan kedua belah pihak dapat dibilang berimbang.

   Sesudah itu, Say Congkoan berada di atas angin, dan jika Biauw Jin Hong tidak buru-buru kabur, ia pasti akan dapat dibikin rubuh.

   Hoan Pangcu mesem-mesem hatinya tak percaya.

   "Sudah lama aku dapat dengar, bahwa ilmu golok Ngo Hongto dari Pangcu, yang mempunyai delapan puluh satu jalan, tiada bandingannya di dalam dunia,"

   Kata Say Congkoan.

   "Kali ini, meskipun benar kami menerima firmannya Hongsiang, akan tetapi, rekan-rekan k.inu juga sesungguhnya ingin bel.i|.u kenal dengan ilmu silat Paiiglju. Demikianlah sesudah merangkap tenaganya delapan belas si wi kelas satu, barulah kami dapat mengundang Pangcu datang ke sini. Kami semua merasa sangat menyesal belum mendapat kesempatan untuk menerima pelajaran/ dari Pangcu dengan satu melawan satu. Sekarang, sedang kita lagi bergembira, marilah kita main- main beberapa jurus."

   Mendengar begitu, Hoan Pangcu segera berkata.

   "Sedang Biauw Jin Hong sendiri masih bukan tandingan Congkoan, aku kuatir diriku bukan tandingan."

   "Ah! Pangcu terlalu merendahkan diri,"

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Say Congkoan sembari tertawa.

   Sesudah bicara lagi sedikit, mereka lalu bergebrak di gedung Congkoan.

   Hoan Pangcu menggunakan golok, Say Congkoan menggunakan tongkat long gee pang (tongkat gigi anjing hutan) yang gagangnya pendek.

   Tenaga Say Congkoan sangat besar dan serangannya hebat dan sesudah bertempur kurang-lebih tiga ratus jurus, belum juga ada yang keteter.

   Sesudah bertanding pula kira-kira semakanan nasi, Say Congkoan kelihatan mulai lelah dan kena didesak sampai di pojok rumah.

   Beberapa kali, ia coba menerjang keluar, tapi selalu tak dapat menobloskan kurungan sinar goloknya Hoan Pangcu.

   Di lain saat, ia berseru.

   "Pangcu sungguh lihay! Aku menyerah kalah!"

   Dengan hati bunga, sambil tertawa, Hoan Pangcu loncat mundur, sedang Say Congkoan segera melemparkan kedua tongkatnya di atas tanah, dengan bikin laga seperti orang mendongkol. 'Ah!"

   Katanya, menghela napas.

   "Dahulu aku menganggap diri sebagai orang gagah yang tak ada tandingannya. Sekarang baru aku tahu, bahwa di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia lain."

   Ia menyusut keringatnya, yang berketel-ketel dan napasnya sengal-sengal. Sesudah merebut "kemenangan"

   Itu, orang she Hoan itu lalu diangkat sampai di awang-awang.

   Mulai waktu itu, ia bergaul semakin rapat dengan para si-wi dan ta'luk terhadap si Congkoan yang dianggap sebagai seorang manis budi, seorang berpangkat tinggi yang tak sombong.

   Sebagai satu manusia kasar, Hoan Pangcu sama sekali tak mengetahui, bahwa semua itu adalah siasatnya Say Congkoan yang sudah sengaja berlaga keok.

   Jika sama-sama mengeluarkan kepandaian, dalam seratus jurus saja, ia sudah rubuh di bawah long gee pang.

   Tapi kenapa, sedang kepandaiannya Hoan Pangcu masih belum mencapai puncak yang paling tinggi, si Congkoan sudah mau capekan hati begitu rupa, untuk menarik dia ke pihaknya? Sebabnya adalah begini, meskipun Hoan Pangcu tidak terlalu lihay, ia mempunyai semacam ilmu turunan yang tidak dipunyai oleh orang lain.

   Ilmu itu adalah "Houw Jiauw Kin Na Chiu" (ilmu menangkap dengan tangan cara cengkeraman harimau).

   Tak perduli bagaimana tinggi kepandaiannya sang lawan, begitu kena dipegang atau dicengkeram bagian tubuhnya yang berbahaya, jangan harap bisa terlepas lagi.

   Dengan mendengar omongannya Tian Kui Long, Say Congkoan telah memasang jebakan untuk membekuk Biauw Jin Hong, dalam usaha mendapatkan harta karun.

   Tapi jebakannya yang sudah diatur sedemikian rapi, akhirnya mendapat kegagalan.

   Maka itu, ia ingin meminjam tangannya Hoan Pangcu untuk merubuhkan Biauw Jin Hong, dengan "Houw Jiauw Kin Na Chiu".

   Akan tetapi, berhubung dengan lihaynya 'Kim Bian Hud', Hoan Pangcu pasti akan gagal jika harus bertempur secara terang-terangan.

   Itulah sebabnya, kenapa mereka ramai-ramai datang ke Giok Pit Hong guna meringkus Biauw Jin Hong dengan tipu membokong.

   Mendengar pernyataan terima kasihnya Hoan Pangcu, Biauw Jin Hong segera membalas hormat.

   "Orang bagaimana sih itu 'Soat San Hui Ho'?"

   Menanya ia. 'Ada ganjelan apakah antara Touw heng dan dia. Bolehkah aku mendapat tahu?"

   Mukanya Touw Sat Kauw lantas saja berobah merah.

   "Aku sebenarnya tidak mengenal dia,"

   Sahutnya.

   "Entah kenapa, mungkin lantaran mendengar segala desas-desus, ia telah menyatroni beberapa kali dan meminta pulang barang mustikanya yang katanya diwarisi oleh leluhurnya. Aku/ mengetahui, ia mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan mengingat diriku bukan tandingannya, ditambah dengan usiaku yang sudah lanjut, maka aku lalu mengundang saudara- saudara datang kemari. Jika dia terus berkepala batu, aku mohon bantuan saudara-saudara untuk ajar adat bocah yang kurang ajar itu"

   "Dia kata, Touw heng telah mengambil mustika leluhurnya,"

   Kata pula Biauw Jin Hong.

   "Bolehkah aku mendapat tahu, mustika apa?"

   "Mustika apa? Semuanya justa!"

   Sahut Touw Sat Kauw dengan suara mendongkol.

   Dalam persahabatannya dengan Touw Sat Kauw, Biauw Jin Hong mengetahui, sahabat itu adalah satu manusia serakah.

   Bahwa ia sekarang berumah di Giok Pit Hong juga adalah untuk mencari harta.

   Maka itu, tuduhan "Soat San Hui Ho"

   Mungkin bukan hanya tuduhan belaka. Sambil mengawasi tuan rumah, ia memikir beberapa saat.

   "Kalau benar mustika itu adalah miliknya 'Soat San Hui Ho', jika sebentar dia datang kemari, baiklah Touw heng membayar pulang saja,"

   Kata 'Kim Bian Hud' dengan suara tawar Touw Sat Kauw jadi mendongkol.

   "Tidak! Justa!"

   Ia berseru.

   "Mana dia mustikanya? Dari mana aku harus membayar pulang?"

   Hoan Pangcu lihat keadaan sudah mendesak. Biauw Jin Hong adalah seorang yang sangat cerdas otaknya. Ia berkuatir, jika 'Kim Bian Hud' duduk lama-lama, jebakan yang dipasang akan dindus olehnya. Maka itu, lantas saja ia mendekati seraya berkata.

   "Touw chungcu! Perkataannya Biauw ya adalah benar. Sesuatu barang mempunyai majikan, apalagi mustika warisan leluhur. Lebih baik chungcu kasi pulang padanya. Guna apa angkat senjata?"

   Dalam bingungnya, Touw Sat Kauw jadi gusar.

   "Kau pun berkata begitu? Apa kau tak percaya padaku?"

   Ia menanya dengan mata melotot. 'Aku tak mengetahui asal-usulnya urusan ini,"

   Kata Hoan Pangcu. 'Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Biauw ya mestinya benar. Banyak tahun aku berkelana di dunia Kang Ouw dan tidak percaya omongan siapa juga. Hanya omongan Biauw ya seorang yang aku percaya."

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo


Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Legenda Kematian -- Gu Long

Cari Blog Ini