Ceritasilat Novel Online

Arwah Candi Miring 1


Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Bagian 1


CANDI MIRING DI BUKIT GERSANG Udara petang terasa tidak enak.

   Sang surya sebentar lagi akan tenggelam, menyoroti cahaya kuning kemerahan sementara hujan yang dibawa angin dari selatan mulai turun ke bumi.

   Bau tanah yang dibasahi air hujan membuat udara terasa pengap, menyekat jalan pernafasan.

   Di satu lereng bukit kecil ditumbuhi pohon jati berusia puluhan tahun berlari cepat seorang lelaki bertubuh jangkung, mengenakan baju dan celana hitam.

   Orang itu memiliki sepasang tangan luar biasa panjang.

   Gerakannya berlari sungguh mengagumkan karena dua kaki tampak hanya sesekali menjejak tanah.

   Padahal saat itu di bahu kirinya dia memanggul satu sosok besar mengenakan jubah hijau yang dari ujudnya sulit diduga entah manusia entah mahluk jejadian.

   Dari tenggorokan mahluk yang dipanggul itu keluar suara mengorok berkepanjangan.

   Lebih aneh, orang yang dipanggul tidak memiliki mata, telinga, hidung maupun mulut, tetapi hanya merupakan sayatan panjang yang dijahit dengan benang kasar berwarna hitam.

   Muka yang angker itu jadi tambah ngeri menggidikkan karena disitu terdapat dua puluh empat robekan luka mengucurkan darah.

   Dan yang membuat kepala serta wajah itu jadi luar biasa lebih mengerikan adalah karena darah yang mengucur bukan berwarna merah tetapi hijau pekat! Tiba-tiba dibawah deru hujan, dari mulut cabik dan dijahit serta penuh robekan keluar ucapan.

   Walau parau diselingi suara menggorok tapi masih cukup jelas.

   "Aku merasakan cahaya matahari. Ada air hujan... Sebentar lagi surya akan tenggelam. Kalau malam tiba sebelum kau mencapai candi, tamat riwayatku! Lebih baik kau menggebuk kepalaku sampai hancur saat ini juga!"

   "Kanjeng, jangan khawatir. Percaya padaku. Kita berada di kaki bukit Karangdowo sebelah timur. Selewatnya pedataran ditumbuhi alang-alang kita sudah sampai di candi itu..."

   Siapa kedua orang itu? Yang berlari sambil memanggul mahluk aneh berjubah hijau bernama Setunggul Langit.

   Dia adalah anak buah dari mahluk yang dipanggulnya, bernama Gendadaluh dan pada masa itu di Bhumi Mataram lebih dikenal dengan julukan Arwah Muka Hijau.

   Diriwayatkan dalam "Perawan Sumur Api", Arwah Muka Hijau adalah orang yang mendapatkan gading pertama dari empat Gading Bersurat.

   Pada tubuh gading tertera tulisan berupa petunjuk bahwa di Bhumi Mataram akan lahir dua bayi.

   Sang ibu konon berusia tujuh belas tahun dan merupakan perempuan yang telah dipilih Para Dewa, berasal dari desa di sekitar Prambanan.

   Walau kelak melahirkan dua bayi sang ibu tetap akan perawan sepanjang masa.

   Disebutkan pula ada empat buah Gading Bersurat yang menjadi sumber berita atas kejadian.

   Berdasarkan Gading Bersurat yang ada padanya, yang merupakan Gading Bersurat pertama, ditambah dari kabar yang berhasil disirap dari berbagai penjuru Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau memerintahkan dua orang anak buahnya yakni Setunggul Bumi dan Setunggul Langit untuk menyelidiki serta mencari anak perawan pilihan Para Dewa tersebut yang kabarnya diketahui tinggal di Desa Sorogedug di kawasan Prambanan sebelah selatan, bernama Ananthawuri.

   Tugas mereka selanjutnya adalah menculik lalu menyekap si gadis sampai kelak tiba saatnya dia melahirkan.

   Dengan demikian jika kelak dua bayi lahir dia akan menguasai dua anak yang dianggap luar biasa bahkan sakii serta keramat Itu.

   Suatu malam dua anak buah Arwah Muka Hijau itu sampai di Desa Sorogedug namun Ananthawuri telah meninggalkan rumah tanpa seorangpun tahu kemana tujuannya.

   Kedua anak buah Arwah Muka Hijau berusaha menyelidik dan akhirnya mengetahui kalau Ananthawuri tengah dalam perjalanan menuju Candi Prambanan yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang.

   Karena memiliki pantangan tidak boleh menginjakkan kaki di lantai candi, Setunggul Bumi dan Setunggul Langit tidak meneruskan pengejaran masuk ke dalam candi.

   Keduanya menunggu di halaman candi sampai Ananthawuri keluar.

   Saat itu di halaman candi mereka bertemu dengan seorang tua bernama Dhana Padmasutra yang mereka duga bertindak sebagai pelindung Ananthawuri.

   Selain itu orang tua ini adalah seteru bebuyutan dari Arwah Muka Hijau.

   Setunggul Bumi dan Setunggul Langit segera menyerang si orang tua.

   Setunggul langit membunuh Dhana Padmasutra dengan ilmu Serat Arang, yakni berupa sinar sakti yang keluar dari batu segi tiga yang menempel di keningnya.

   Sementara Itu di dalam candi, Ananthawuri secara gaib oleh Patung Loro Jonggrang diberikan sebuah batu merah sakti bernama Batu Kaiadungga Setelah batu ditelan maka siapa saja orang yang berniat jahat terhadap anak perawan dari Desa Sorogedug ini, orang tersebut tidak mampu melihat ujudnya.

   Sewaktu Ananthawuri keluar dari Candi Loro Jonggrang, gadis ini menemui Dhana Padmasutra dalam keadaan kepala hangus.

   Sementara sekarat orang tua ini menyuruh Ananthawuri mengambil Kitab Weda dan tongkat kayu miliknya dan memerintahkan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

   Tanpa terlihat ujudnya oleh Setunggul Bumi dan Setunggul Langit, Ananthawuri lakukan apa yang diperintahkan Dhana Padmasutra.

   Walau sosok si gadis tidak kelihatan namun dua orang anak buah Arwah Muka Hijau dapat melihat Kitab Weda dan tongkat kayu melayang di udara.

   Keduanya segera mengikuti benda-benda itu.

   Seperti dikatakan oleh orang tua bernama Dhana Padmasutra, tongkat kayu akan menuntun Ananthawuri kemana dia harus pergi.Ternyata sang tongkat membawa si gadis ke Sumur Api yang letaknya di satu rimba belantara antara Prambanan dan Kali Dengkeng.

   Di tempat ini Ananthawuri mendengar suara gaib Roh Agung.

   Suara itu menyuruhnya menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Bumi dan Setunggul Langit dengan cara menceburkan diri masuk ke dalam Sumur Api.

   Setelah ragu sesaat akhirnya anak perawan ini terjun ke dalam Sumur Api.

   Karena gagal mendapatkan Ananthawuri dan khawatir akan menerima hukuman dari Arwah Muka Hijau maka Setunggul Langit menyuruh Setunggul Bumi tetap berjaga-jaga dekat Sumur Api.

   Siapa tahu Ananthawuri yang tidak jelas keadaannya apakah sudah mati dalam sumur atau masih hidup tahu-tahu muncul keluar kembali.

   Setunggul Langit sendiri kemudian pergi menemui Arwah Muka Hijau untuk memberi tahu apa yang terjadi.

   Arwah Muka Hijau marah besar mendengar keterangan Setunggul Langit.

   Apa lagi salah satu kancing baju Setunggul Langit tanggal dan lenyap sewaktu bertarung melawan Dhana Padmasutra.

   Sebagai hukuman Arwah Muka Hijau cabut batu berbentuk segi tiga yang menempel di kening Setunggul Langit yang merupakan batu sakti sumber kekuatan ilmu yang disebut Serat Arang.

   Diantar oleh Setunggul Langit, Arwah Muka Hijau sampai di Sumur Api.

   Setunggul Bumi yang seharusnya berjaga-jaga di dekat sumur tidak kelihatan.

   Arwah Muka Hijau tidak berusaha mencari d i mana atau apa yang telah terjadi dengan Setunggul Bumi.

   Selagi dia mencari jalan rahasia masuk ke dalam sumur Api tiba-tiba ada suara perempuan disusul melayang jatuhnya tubuh Setunggul Bumi yang telah jadi mayat tanpa kepala.

   Setunggul Langit berteriak kaget.

   Sesaat kemudian menyusul kepala Setunggul Bumi mengelinding di tanah.

   Didahului suara tertawa kemudian muncul seorang perempuan gemuk bermuka buruk, berkulit hitam mengenakan kemben merah.

   Pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang berkerincing.

   Perempuan ini dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Ada yang menyebutnya sebagai Ratu Meong karena kebiasaannya setiap muncul perempuan ini selalu membawa binatang peliharaannya yakni seekor kucing berbulu merah.

   Konon kucing ini bukan kucing biasa dan luar biasa ganas.

   Dalam banyak kejadian binatang peliharaan inilah yang membunuh musuh-musuhnya.

   Baik Arwah Muka Hijau maupun Ratu Dhika Gelang Gelang saling berusaha mencari tahu maksud apa masing-masing pihak berada di Sumur Api.

   Setelah terjadi perang mulut saling sindir dan cemooh Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit segera menyerang perempuan gemuk berkulit hitam itu.

   Atas isyarat yang diberikan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit keluarkan ilmu yang disebut Bubu ikan Berbisa.

   Ratu Dhika Gelang Gelang berhasil dijerat masuk ke dalam bubu dan tak mungkin keluar lagi.

   Namun perempuan cerdik ini mampu membalikkan keadaan.

   Dengan cara menipu lawan dia menarik Arwah Muka Hijau ke dalam jebakan ikan lalu loloskan diri dari dalam perangkap berbisa itu dengan mempergunakan sosok Arwah Muka Hijau sebagai penjebol jalan keluar.

   Senjata makantuan! Bubu ikan hancur berantakan.

   Kepala dan wajah Arwah Muka Hijau robek sebanyak dua puluh empat robekan.

   Dari luka-luka mengerikan itu mengucur darah aneh berwarna hijau kental.

   Karena bubu ikan mengandung bisa ganas, jika obat penangkalnya tidak didapat sebelum malam tiba maka Arwah Muka Hijau akan menemui ajalnya secara mengenaskan.

   Menyadari hal ini Arwah Muka Hijau memerintahkan Setunggul Langit.

   "Lekas bawa aku ke Candi Miring Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di candi itu! Cepat! Sebelum malam datang aku harus ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong lagi! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"

   Setunggul Langit berpacu dengan waktu.

   Hujan yang turun mulai mereda ketika dia mencapai ujung kawasan yang ditumbuhi alang-alang.

   Sinar sang surya telah lama redup.

   Walau belum tenggelam namun udara mulai beranjak gelap.

   Begitu keluar dari rumpunan terakhir alang-alang ada satu bukit gersang dan dia atas bukit ini tampak sebuah bangunan candi.

   Candi ini menurut riwayatnya didirikan pada masa tahta Raja Kedua Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkara.

   Walau sudah berusia puluhan tahun namun keadaan bangunan masih tampak kokoh.

   Hanya saja candi yang menghadap ke timur ini berdiri dalam keadaan miring ke kiri pada sisi sebelah selatan.

   Konon mengapa candi ini sampai berdiri miring, menurut para sepuh yang masih hidup penyebabnya adalah ketika pekerjaan pembangunan mulai dilaksanakan ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi.

   Antara lain mahluk gaib, semacam mahluk halus dan roh yang konon berada dibawah kekuasaan para arwah dan lebih dulu menjadi penghuni kawasan itu merasa tidak dimintakan izin, tidak diberikan sesajen sebagaimana mustinya.

   Karena begitu candi selesai dibangun para arwah yang ada di tempat itu memberi peringatan akan ketidak senangan mereka dengan cara mendorong candi ke arah selatan hingga kedudukannya menjadi miring.

   Atas kejadian itu maka candi tersebut tidak pernah digunakan apa lagi dihuni.

   Bahkan namanyapun tidak sempat diberikan.

   Karenanya penduduk di sekitar kawasan itu memberi nama sendiri yaitu Candi Miring.

   Karena mengetahui kalau candi tersebut menjadi hunian para mahluk halus dan sering terjadi hal-hal gaib yang menyeramkan maka tidak pernah ada orang yang berani mendekat, apa lagi masuk ke dalamnya.

   Namun anehnya walau di luar bangunan candi diselimuti debu dan tampak kotor bahkan ada bagian-bagian yang tertutup lumut, di sebelah dalam, kata orang-orang yang pernah melihat dari kejauhan, keadaan candi tampak bersih.

   "Hujan telah reda. Sang surya segera lenyap di arah barat. Setunggul Langit, apakah..."

   Arwah Muka Hijau yang tergeletak di panggulan bahu kiri Setunggul Langit keluarkan suara.

   "Kanjeng Arwah Muka Hijau Jangan khawatir. Kita sudah sampai di depan candi.Tepat di hadapan pintu gerbang yang menghadap ke arah timur."

   Setunggul Langit cepat menyahuti ucapan Arwah Muka Hijau.

   "Kanjeng, aku akan membaringkan dirimu di tanah. Setelah itu harap berikan petunjuk dimana Kanjeng menyimpan obat penangkal bisa bubu ikan itu."

   Setunggul Langit membungkuk.

   Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Arwah Muka Hijau di tanah.

   Lalu telinga kanannya didekatkan ke mulut berjahit mahluk yang dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng itu.

   Mulut berupa sayatan berjahit benang kasar hitam dan dilumur darah hijau bergerak sedikit.

   "Masuk dari pintu barat... Dibawah potongan lantai batu yang ketiga dari depan pintu sebelah tengah....ada sebuah lobang. Di dalam lobang terdapat satu lipatan kain berwarna kuning. Di dalam lipatan itu aku menyimpan obat penangkal bisa bubu ikan. Ingat! Kau punya pantangan tidak boleh menginjak lantai candi. Kau mampu melakukan sesuatu menghindari pantangan itu? "Mohon petunjukmu Kanjeng."

   Jawab Setunggul Langit.

   "Perhatikan keadaan sekelilingmu. Apakah kau melihat pohon-pohon pisang?"

   Setunggul Langit memandang berkeliling.

   "Aku melihat hanya satu pohon pisang Kanjeng. Keadaannya nyaris mengering..."

   "Patahkan tiga daun pisang. Jadikan sebagai tumpuan kakimu. Kau mengerti?"

   "Aku mengerti Kanjeng."

   "Ada sesuatu yang belum kau mengerti dan kau tidak menanyakan! Manusia tolol!"

   Arwah Muka Hijau membentak.

   "Mohon maafmu Kanjeng. Hal apakah itu?"

   Tanya Setunggul Langit.

   "Potongan batu di lantai candi! Kau hanya bisa mengangkatnya dengan mengerahkan ajian Menempel Bumi Menarik Roh!"

   "Terima kasih Kanjeng. Aku akan melaksanakan petunjukmu."

   Kata Setunggul Langit pula.

   "Begitu aku menemukan lipatan kain kuning berisi obat penangkal racun bubu ikan, aku akan menyerahkan padamu."

   Sekali berkelebat Setunggul Langit sudah melesat ke arah pohon pisang, satu-satunya pohon yang tumbuh di bukit gersang itu.

   ARWAH KETUA Setunggul Langit bertindak cepat.

   Begitu sampai di pintu barat Candi Miring yang terletak di puncak bukit gersang dia segera lemparkan tiga pelepah daun pisang ke lantai candi.

   Daun pisang bertebar membentuk segi tiga mengelilingi potongan batu lantai ke tiga sebelah tengah dari arah ambang pintu.

   Dengan gerakan ringan anak buah Arwah Muka Hijau ini melesat masuk ke dalam candi.

   Pada saat melayang turun dua kaki tak bersuara di atas dua daun pisang setengah kering yang menutupi lamtai.

   Perlahan-lahan manusia bertangan panjang seperti beruk ini membungkuk, kepala dan pandangan diarahkan pada potongan batu lantai candi yang diapit tiga daun pisang.

   Di bawah batu ini ada sebuah lobang dimana tersimpan obat penangkal racun bubu ikan milik Arwah Muka Hijau, dikemas dalam lipatan kain kuning.

   Seperti yang dipesankan Arwah Muka Hijau, mulut Setunggul Langit mulai berkomat-kamit merapal ajian Menempel Bumi Menarik Roh.

   Tangan kanan diulur ke bagian atas batu lalu sedikit demi sedikit diturunkan hingga akhirnya telapak tangan menyentuh dan menempel di batu lantai.

   Begitu telapak tangan bersentuhan dengan potongan batu lantai Setunggul Langit merasa ada getaran disusul rambasan hawa panas.

   Hawa panas ini bukan saja menyengat telapak tangan, tapi menjalar sampai ke bahu lalu menebar ke seluruh tubuh.

   Sosok Setunggul Langit bergetar, terhuyung ke depan dan dalam waktu sekejapan telah basah oleh keringat! Ada kekuatan aneh keluar dari potongan batu lantai.

   Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.

   Kalau sampai terjerembab dan kakinya menyentuh lantai candi bukan saja dia yang akan celaka tapi Arwah Muka Hijau juga akan menemui ajal! Begitu berhasil mengimbangi tubuh dan menekan hawa aneh yang keluar dari potongan batu lantai, didahului bentakan keras Setunggul Langit sentakkan tangan kanannya ke atas.

   "Kraaakkk!"

   Potongan batu hitam berbentuk empat persegi panjang tertarik ke atas lalu hancur berkeping-keping.

   Di lantai kini kelihatan sebuah lobang batu sedalam dua jengkal.

   Dari dalam lobang mengepul asap kuning hingga untuk beberapa lama Setunggul Langit tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya, termasuk tentu saja benda yang dicari.Tidak sabaran anak buah Arwah Muka Hijau ini meniup keras ke dalam lobang.

   Tiupan disertai pengerahan tenaga dalam.

   Asap kuning tersibak namun tiba-tiba menderu ke atas menghantam muka Setunggul Langit.

   Anak buah Arwah Muka Hijau ini menjerit kesakitan.

   Mukanya tampak berubah kuning dan ada butir-butir darah membersit di kulit lalu membasahi wajahnya.

   Rambut hitam mengkilat yang tadi digulung di atas kepala kini terlepas awut-awutan.

   Dalam keadaan terkejut dan kesakitan masih untung dia bisa menahan diri hingga tidak jatuh terjengkang.

   Setelah mengusap muka beberapa kali dia memandang ke bawah.

   Asap kuning tak ada lagi.

   Kini kelihatan jelas keadaan di dalam lobang batu.

   Pada salah satu sudut lobang tampak satu lipatan kain kuning seukuran setengah telapak tangan.

   "Obat penangkal bisa bubu ikan,"

   Ucap Setunggul Langit dengan suara bergetar. Sepasang mata mengkilat.

   "Kalau Kanjeng Arwah Muka Hijau bisa sembuh, aku akan bebas dari hukuman. Ilmu kesaktian Serat Arang akan aku dapat kembali "Tidak menunggu lebih lama tangan kanannya yang panjang seperti tangan beruk cepat menyambar lipatan kain kuning. Namun nyawanya seolah putus ketika dan dasar lobang tiba-tiba melesat sebuah lengan luar biasa besar dan penuh bulu dengan lima jari tangan seukuran pisang tanduk. Lima kuku membentuk kepala manusia berkepala botak, berkumis menjulai dan berjanggut lebat berkeluk. Bersamaan dengan itu terdengar suara mengorok berkepanjangan. Setunggul Langit kerahkan tenaga, berusaha lepaskan lengan kanan dari cekalan tangan besar. Namun semakin dia mengerahkan kekuatan lima jari tangan semakin bertambah besar. Lima kuku yang membentuk kepala ikut membesar. Lima buah mulut menyeringai dan lima pasang mata yang lebih banyak putihnya menatap angker menggidikkan.

   "Celaka! Mahluk iblis apa ini!"

   Setunggul Langit angkat tangan kiri, siap menghantam. Tapi! "Kreekkk!"

   Setunggul Langit menjerit keras ketika tulang lengan kanannya yang dicekal berderak remuk lalu tubuhnya terangkat ke udara.

   Bersamaan dengan melesatnya lengan yang mencekal ke atas, lima kuku berbentuk kepala berubah sepuluh kali lebih besar lalu luar biasa sekali lima kepala itu bergerak saling mendekat dan bergabung membentuk satu kepala seukuran tiga kali manusia biasa! Bersamaan dengan itu muncul bentuk leher, menyusul tubuh lengkap dengan kaki tinggi besar.

   Dalam Candi Miring kini berdiri ujud satu mahluk raksasa berkepala botak, berkumis menjulai, berjanggut hitam panjang berkeluk.

   Sepasang mata besar menjorok keluar, lebih banyak putihnya karena lensa mata yang hitam hanya berupa titik kecil.

   Demikian tingginya empat menara candi.

   Mahluk itu mengenakan jubah biru gelap.

   Bagian atas tidak dikancing hingga tampak dadanya yang penuh bulu.

   Di atas kepalanya yang botak ada sebuah tanduk yang setiap saat memijar cahaya merah.

   "Arwah Ketua!"

   Berseru Setunggul Langit. Suara bergetar, tubuh menggigil. Ketakutan setengah mati. Mahluk yang disebut Arwah Ketua menyeringai. Dari mulut terus keluar suara mengorok. Hembusan nafasnya membuat mata Setunggul Langit terasa perih.

   "Manusia puntung neraka, kebencian Para Dewa tujuh lapis langit tujuh lapis bumi! Lipatan kain kuning di dalam lobang adalah milik Arwah Muka Hijau! Apakah dia yang menyuruhmu kesini untuk mengambilnya?! Jawab dan jangan berani berdusta!"

   "Arwah Ketua! Ampuni diriku! Ucapanmu betul. Arwah Muka Hijau yang memerintahkan diriku mengambil benda itu.Tapi bukan untuk maksud jahat. Dia dalam keadaan sakarat terkena racun bubu ikan."

   "Bukan maksud jahat! Kejahatan telah lahir sebelum malapetaka menimpah dirinya. Hukum Karma Para Dewa bukan main-main. Jangankan Arwah Muka Hijau. Sri Baginda Maharaja Kerajaan Matarampun tidak bisa melawan hukum Sang Hyang Agung!"

   "Arwah Ketua..."

   Kata Setunggul Langit, masih ketakutan.

   "Pimpinan Arwah Muka Hijau dalam keadaan sakarat akibat terkena bisa bubu ikan."

   "Bisa bubu ikan! Bukankah itu ilmu kesaktian milik kalian sendiri?!"

   "Benar Arwah Ketua. Saat ini..."

   "Aku tahu. Saat ini dia di luar menunggumu! Mahluk satu itu sudah banyak berbuat salah!"

   "Ampuni kami berdua. Mohon Arwah Ketua menolong pimpinanku terlebih dulu. Kalau dia memang bersalah na!nti bisa Arwah Ketua jatuhi hukuman..."

   Arwah Ketua menyeringai.

   "Kata-katamu menunjukkan kau sama belutnya dengan pimpinanmu!"

   "Arwah Ketua, aku mohon dengan sangat. Kalau malam keburu datang dan Arwah Muka Hijau belum mendapatkan obat dalam lipatan kain kuning, dia akan menemui ajal..."

   Arwah Ketua keluarkan suara mengorok lalu tertawa mengekeh.

   "Majikanmu pantas menemui ajal karena menyalahi perintah, akibat dari keserakahan sendiri. Dia bakal menerima hukuman berat dariku! Saat ini biar kau yang lebih dulu aku pesiangi!"

   "Arwah Ketua! Kau mau berbuat apa! Ampuni diriku. Aku memang mahluk tidak berguna. Namun jika aku kau biarkan hidup aku akan berjanji berbuat kebajikan dijalan yang diterangi Dewa..."

   Teriak Setunggul Langit yang saat itu tangan kanannya masih dicekal dan tubuhnya terangkat sampai satu setengah tombak di udara.

   "Dewa Agung memberikan cahaya terang pada semua umat manusia agar tidak tersesat. Tapi kau dan Arwah Muka Hijau sengaja mencari jalan kegelapan!"

   Sambil berucap Arwah Ketua angkat tubuh Setunggul Langit tinggi-tinggi.

   "Ampun! Aku mohon..."

   Arwah Ketua tidak perdulikan jeritan Setunggul Langit.

   Tubuh anak buah Arwah Muka Hijau itu dibantingkan ke lantai hingga terkapar, meraung keras menggeliat-geliat karena tulang punggungnya hancur.

   Dengan kesaktian Setunggul Langit mampu menyembuhkan bagian tubuh yang cidera lalu bangkit berdiri.

   Namun tanpa disadari saat itu dua telapak kakinya tidak menjejak di atas daun pisang setengah kering namun telah bergeser menginjak lantai batu Candi Miring.

   Pantangan besar telah dilanggar! Saat itu juga tubuh kurus Setunggul Langit mengepulkan asap hitam.

   Jeritannya masih mengaung di dalam bangunan batu itu sementara ujudnya perlahan-lahan mulai dari kaki terus ke atas berubah menjadi cairan hitam.

   Lelehan cairan hitam merambas masuk ke dalam tanah melalui celah-celah sambungan potongan batu-batu lantai dan akhirnya lenyap tak berbekas.

   SERATUS TAHUN JADI PENGGANJAL CANDI Mahluk bernama Arwah Ketua menghembus nafas panjang, mengorok keras lalu tertawa bergelak.

   Perlahan-lahan kemudian dia membungkuk.

   Dengan tangan kiri dia mengambil lipatan kain kuning di dalam lobang batu.

   Lalu melesat ke udara.

   Di lain kejab dia sudah berada di halaman samping, di depan pintu candi sebelah barat dimana tergeletak tubuh Arwah Muka Hijau dalam keadaan sekarat.

   Hidung dan mulut yang berupa benang kasar hitam dari Arwah Muka Hijau bergerak-gerak.

   Darah hijau kental masih terus mengucur dari dua puluh empat robekan luka, di kepala, muka, leher serta sebagian tubuh.

   Sementara matahari mulai menggelincir masuk ke ufuk tenggelamnya.

   "Aku merasa bau matahari akan segera tenggelam..."

   Ucapan Arwah Muka Hijau tersendat-sendat.

   "Aku mencium bau.... Setunggul Langit... Bukan... Bukan kau yang datang! Aku mendengar suara mengorok."

   Muka mengerikan Arwah Muka Hijau menggembung lalu menciut."Arwah Ketua...!"

   Mahluktinggi besar berjubah biru tertawa tergelak. Tanduk di atas kepala yang botak berpijar terang.

   "Arwah Ketua...Tolong...Aku mencium bau obat penangkal racun bubu ikan. Apakah kau membawanya. Tolong... berikan padaku cepat...Aku mohon..."

   Suara mengorok berhenti. Lalu terdengar suara Arwah Ketua.

   "Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh! Kau inginkan obat penangkal racun bubu ikan ini?!"

   Sambil bertanya kain lipatan kuning di tangan kiri lalu dia membungkuk dan kipas-kipaskan lipatan kain kuning di depan mata berjahit Arwah Muka Hijau.

   "Benar... berikan cepat.Tolong. Aku merasakan matahari akan segera tenggelam. Malam akan datang. Nyawaku hanya tinggal beberapa kejapan mata saja. Arwah Ketua, aku mohon..."

   "Kau takut mati rupanya. Ha..ha..ha! Jangan kawatir Arwah Muka Hijau. Aku telah menyediakan tempat sangat baik untukmu jika kelak kau benar-benar sudah menjadi arwah. Tapi aku kira kau tidak perlu dibuat mati cepat-cepat. Lain dari itu kau juga tidak perlu dibuat mati benaran..."

   "Arwah Ketua, apa maksudmu.Tolong... Berikan... obat penangkal racun itu."

   "Aku akan memberikan.Tapi katakan dulu dimana kau sembunyikan Gading Bersurat yang kau curi dariku!"

   Kata Arwah Ketua pula lalu mengorok panjang. Tanduk di kepala memancar cahaya merah terang pertanda ada kemarahan dalam diri mahluk bertubuh menyerupai raksasa ini.

   "Aku...aku tidak mencuri. Demi Para Dewa aku bersumpah, aku tidak mencuri!"

   "Mahluk terkutuk tujuh lapis langit tujuh lapis bumi!"

   Arwah Ketua menggembor marah.

   "Beraninya kau bersumpah menyebut nama Para Dewa Agung! Berarti kau tak perlu menunggu tenggelamnya matahari, tidak perlu menanti datangnya malam. Mahluk terkutuk tidak berguna! Biar kuhabisi kau sekarang juga!"

   Lima jari tangan Arwah Ketua yang luar biasa besar mencuat lurus mengeluarkan suara berkeretekan.

   Tangan itu seolah berubah menjadi tombak baja bermata lima! Jangankan tubuh manusia, batu gunung-pun bisa hancur berantakan jika sampai kena ditusuk! Ilmu Tombak Arwah Mata Limal Melihat ancaman mengerikan itu Arwah Muka Hijau jadi ciut nyalinya.

   "Arwah Ketua! Mohon ampunmu. Aku akan mengatakan dimana beradanya Gading Bersurat itu!"

   Arwah Ketua menggembor keras. Mulut menyeringai, mata berputar dan tanduk berpijar. Tubuh perlahan-lahan diluruskan.

   "Aku menunggu penjelasanmu!"

   "Gading Bersurat itu aku simpan di lantai Goa Lumut di barat Kali Gondang."

   Arwah Muka Hijau akhirnya membuka mulut memberi keterangan.

   "Demi Dewa Agung kau tidak berdusta?!"

   Tanya Arwah Ketua.

   "Aku bersumpah, aku tidak berdusta,"

   Jawab Arwah Muka Hijau.

   "Kita akan lihat!"

   Kata Arwah Ketua pula lalu tangan kanan diangkat ke atas, lima jari terpentang, telapak membuka seolah siap menerima atau menangkap sesuatu.

   Mata besar menjorok dipejam.

   Mulut keluarkan suara mengorok panjang.

   Setelah hembuskan nafas panjang dia lalu berucap perlahan.

   "Lantai Goa Lumut! Barat Kali Gondang! Angin bertiup. Udara bergelombang. Segala sesuatu kembali pada pemiliknya! Manusia punya rencana. Para Dewa punya keputusan!"

   Arwah Ketua sentakkan tangan kanannya ke belakang.

   Di kejauhan mendadak terdengar suara mendengung nyaring lalu dari arah timur sebuah benda putih panjang tampak melayang di udara, melesat dan masuk ke dalam genggaman tangan kanan Arwah Ketua.

   Benda putih panjang itu ternyata adalah Gading Bersurat yang rupanya dicuri dan dipendam Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh di lantai batu Goa Lumut.

   Arwah Ketua buka sepasang mata besar dan putih.

   Sesaat dia meneliti benda yang ada di tangan kanan lalu berkata.

   "Ternyata kau tidak berdusta Arwah Muka Hijau!"

   "Kalau begitu saatnya kau menyerahkan obat penangkal racun itu padaku..."

   Kata Arwah Muka Hijau sambil coba mengulurkan tangan kiri namun karena sangat lemah tangan itu terkulai jatuh.

   "Aku harus mengamankan lebih dulu Gading Bersurat ini agar jangan terjadi keserakahan dan kejahatan untuk kedua kalinya. Para Dewa di Swaga-loka, aku Arwah Ketua, penjaga Candi Miring warisan leluhur Sri Banginda Maharaja Kerajaan Bhuml Mataram, mohon pertolongan dan perlindungan."

   Selesai mengeluarkan ucapan Arwah Ketua lalu buka mulutnya lebar-lebar.

   Perlahan-lahan Gading Bersurat yang besar dan panjang sekitar tujuh jengkal itu dimasukkan ke dalam mulut hingga akhirnya mendekam di dalam perut! "Arwah Ketua, aku mohon! Aku telah bicara jujur.

   Aku telah minta maaf dan ampun.

   Kau telah mendapatkan Gading Bersurat.

   Mohon berikan obat penangkal racun itu...Matahari sudah...sudah teng...tenggelam.

   Ah...! Dari kepala Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh yang penuh luka robekan mengepul asap hijau.

   Lalu reekkk...rekkk...rekkk! Jahitan benang kasar hitam pada bagian dimana terletak mata, telinga, hidung dan mulut berputusan.

   Keadaan mahluk ini semakin mengerikan.

   "Arwah Muka Hijau! Kau inginkan kehidupan. Aku akan berikan kehidupan padamu! Tapi untuk keserakahan dan kejahatanmu kau tetap akan menerima hukuman!"

   Tangan kiri Arwah Ketua bergerak.

   Lipatan kain kuning berisi obat sakti mujarab penangkal bisa bubu ikan melesat masuk ke dalam mulut Arwah Muka Hijau yang kini berupa sayatan terbuka.

   Di saat yang sama di arah barat sang surya telah tenggelam, kegelapan mulai turun.

   "Hekkk!"

   Arwah Muka Hijau keluarkan suara tercekik namun dengan cepat dia menelan lipatan kain berisi obat ada dalam mulutnya.

   Saat itu juga tubuh mahluk ini memancarkan cahaya biru.

   Dua puluh empat robekan luka di kepala, wajah, leher dan sebagian tubuhnya serta merta bertaut.

   Darah hijau di kepala, muka dan tubuh lenyap.

   Sungguh luar biasa kehebatan obat penangkal racun bubu ikan itu.

   "Arwah Ketua, aku berterima kasih kau telah menolongku! Aku bersumpah akan melakukan apa saja yang kau perintahkan!"

   Dengan satu lompatan kilat Arwah Muka Hijau tegak terhuyung lalu jatuhkan diri, berlutut di hadapan mahluktinggi besar berjubah biru itu. Arwah Ketua tertawa bergelak.

   "Arwah Muka Hijau! Kau memang harus melakukan sesuatu untuk menebus dosa kesalahanmu!"

   "Aku pasrah Arwah Ketua,"

   Jawab Arwah Muka Hijau. Arwah Ketua angguk-anggukan kepala. Mengumbar suara mengorok lalu memerintah.

   "Berdiri lurus-lurus di hadapanku!"

   Arwah Muka Hijau cepat bangun dan berlutut lalu tegak lurus-lurus.

   Arwah Ketua meniup.

   Kejaban itu juga sekujur tubuh Arwah Muka Hijau menjadi kaku tegang tak bisa bergerak.

   Dia hendak berteriak namun ternyata mulutnyapun tak bisa bersuara! Maki rutuk carut marut menggelegar di dalam dada mahluk ini.

   Arwah Ketua geserkan kaki kiri kanan ke tanah.

   Dua larik asap hitam mengepul.

   Dari balik kepulan asap muncul dua mahluk kembar tinggi hitam berpakaian putih-putih, lengkap dengan destar putih menyerupai sorban tipis.

   Begitu berdiri di depan Arwah Ketua keduanya membungkuk lalu sama-sama keluarkan ucapan.

   "Kami Arwah Kembar Candi Miring siap melaksanakan perintah Arwah Ketua."

   "Benamkan mahluk satu ini di sisi selatan dasar candi. Dia akan menjadi ganjalan Candi Miring selama seratus tahun Saka sebagai hukuman kesalahan yang telah dibuatnya!"

   Arwah Muka Hijau berteriak marah.

   Tapi suara teriakannya tidak keluar.

   Dua mahluk kembar membungkuk.

   Lalu dengan gerakan sangat cepat mereka menggotong tubuh Arwah Muka Hijau dan membawanya ke bagian selatan bangunan candi.Tubuh Arwah Muka Hijau secara aneh disusupkan ke dalam tanah di bagian bawah dinding candi yang miring.

   "Reeerrrr!"

   Dinding candi bergetar. Tubuh Arwah Muka Hijau lenyap tak kelihatan lagi! Arwah Ketua mengorok panjang. Arwah Kembar mendatangi dan bertanya.

   "Arwah Ketua, apakah ada lagi tugas yang harus kami kerjakan?"

   "Awasi Candi Miring dan semua arwah yang gentayangan. Siang apa lagi malam hari. Bilamana kalian melihat ada kejanggalan lekas memberi tahu aku. Aku tak ingin ada lagi pengkhianatan di candi leluhur yang keramat ini. Sekarang kalian boleh pergi."

   Arwah Kembar membungkuk lalu tubuh mereka berubah jadi asap hitam dan menyusup lenyap ke dalam tanah pada kaki kiri dan kanan Arwah Ketua.

   Arwah Ketua sendiri kemudian melesat ke udara, melayang turun di bagian tengah Candi Miring dan lenyap dari pemandangan bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang cukup keras membuat tanah kering menebar abu ke berbagai penjuru.

   TUJUH BULAN KANDUNGAN GAIB Sumur Api.

   Di dalam kamar tempat kediamannya di dasar Sumur Api, Ananthawuri terbangun lebih pagi dari biasanya.

   Hari itu hari bulan ketujuh dari kehamilan gaib yang terjadi atas anak perawan dari Desa Sorogedug ini.

   Ketika terbangun dari tidur, begitu menyalangkan mata hidungnya mencium bau harum semerbak di dalam kamar.

   "Apakah semalam aku tertidur di dalam taman penuh bunga-bunga yang tengah berkembang dan menebar bau harum?"

   Fikir Ananthawuri.

   Perlahan-lahan anak gadis ini bangkit dan duduk di tepi pembaringan.

   Dia memandang seputar kamar.

   Dibawah keremangan cahaya pelita kecil pandangan nya melihat sesuatu di meja bulat batu pualam yang terletak di sudut kanan kamar.

   Ananthawuri segera turun dari tempat tidur, melangkah mendekati meja.

   Di atas meja ada dua nampan bagus terbuat dari anyaman bambu.

   Di atas nampan pertama tersusun tujuh macam buah-buahan segar.

   Lalu di atas nampan kedua terdapat tujuh rupa bunga.

   Bunga-bunga inilah yang menebar bau harum di dalam kamar.

   Ananthawuri merenung sejenak.

   Mengusap perutnya yang besar lalu tersenyum.

   "Ibundaku sayang, pasti dia yang menyiapkan buah dan bunga ini. Dia tahu kalau hari ini adalah hari pertama bulan ketujuh kandunganku. Betapa Ibu sangat memperhatikan diriku. Aku harus mengucapkan terima kasih pada Ibu."

   Gadis ini lalu melangkah ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan perempuan yang merawat dan mengurus segala keperluannya Ananthawuri dan saat itu tengah membersihkan ruangan di luar kamar menegur hormat.

   "Ajeng Ayu, pagi-pagi sudah bangun. Padahal diluar masih gelap. Mau kemanakah?"

   "Mbok Wariti, saya ingin menemui Ibu. Atau biar saya saja yang membangunkan.."

   Ananthawuri lalu melangkah ke ujung ruangan dimana terletak kamar Sukantili, ibunya.

   Wariti walau merasa agak heran namun seperti yang disuruh meneruskan pekerjaannya membersihkan ruangan.

   Di dalam kamar Ananthawuri menemukan sang ibu masih tertidur pulas.

   Perlahan-lahan gadis ini duduk di tepi ranjang lalu membungkuk mencium kening ibunya.

   Ciuman itu membuat Sukantili terbangun dari tidurnya.

   "Anakku Ananthawuri, ada apakah?"

   Sukantili bertanya dengan pandangan menyatakan rasa heran.

   "Saya ingin mengucapkan terima kasih. Ibu sangat memperhatikan saya..."

   "Aku ibumu. Tentu saja memperhatikan dirimu. Apalagi sejak kita berdua berada di tempat ini... Dan kau tengah hamil pula. Kau ingin berterima kasih? Berterima kasih untukapa?"Tanya Sukantili pada anak gadisnya. Ananthawuri tersenyum.

   "Ibu pura-pura. Bukankah Ibu yang meletakkan buah tujuh macam buah dan bunga tujuh rupa di atas meja batu pualam dalam kamar saya sebagai pertanda kandungan saya memasuki usia ke tujuh bulan?"

   Sukantili terkejut.

   "Sang Hyang Batara Dewa, Maha Pengasih Maha Penyayang."

   Sukantili bangun dan duduk di atas tempat tidur lalu memeluk puterinya.

   "Ibu merasa berdosa anakku. Ibu tahu kau sedang hamil.Tapi tidak ingat kalau kandunganmu hari ini telah memasuki bulan ketujuh..."

   "Tapi Ibu meletakkan tujuh macam buah dan tujuh rupa bunga di dalam kamar saya."

   "Ananthawuri..."

   Sukantili menggeleng."Ibu tidak melakukan hal itu, anakku."

   Perempuan ini turun dari tempat tidur, memegang lengan puterinya lalu berkata.

   "Bagaimana bisa terjadi? Anakku, antarkan Ibu ke kamarmu..."

   Sampai di dalam kamar anaknya, Sukantili tertegun di depan meja batu pualam di sudut kamar.

   Matanya memandang tak berkesip pada bunga dan buah segar yang terletak di atas dua buah nampan terbuat dari anyaman bambu.

   Sesaat kemudian perempuan ini berpaling pada Ananthawuri.

   "Ibu tidak melakukan ini anakku. Ibu tidak meletakkan buah dan kembang ini."

   "Lalu siapa yang meletakkan?"

   Tanya Ananthawuri yang masih tidak percaya ucapan sang ibu.

   Saat itulah tiba-tiba ada suara berucap.

   Wahai ibu dan Anak Kasih Para Dewa tidak perlu diper-tanyakan Hari ini kandungan gaib memasuki bulan ke tujuh Makanlah tujuh macam buah walaupun hanya satu gigitan Bersiramlah dengan kembang tujuh rupa walau hanya satu siraman Kelak anak yang dilahirkan akan membawa kebajikan Merupakan rakhmat bagi seluruh ummat "Roh Agung, saya memberanikan diri bertanya.

   Apakah Kau yang barusan bicara?"

   Ananthawuri keluarkan ucapan. Tak ada jawaban.

   "Roh Agung, siapakah Kau sebenarnya?"

   "Ananthawuri, kita pernah bertemu."

   Mendadak ada jawaban.

   "Apakah...Apakah kau orang tua bernama Dhana Padmasutra?"

   Tak ada jawaban. Sepi. Ananthawuri dan ibunya tahu siapapun yang tadi bicara saat itu dia sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu. Sukantili pegang lengan anak gadis.

   "Anakku, kita harus bersyukur. Para Dewa agaknya selalu memperhatikan dirimu. Selagi hari masih gelap, Ibu akan mengantarkanmu ke pancuran. Mandi bersiram dengan bunga tujuh rupa pemberian Yang Kuasa dan Yang Pengasih. Ibu akan meminta pelayan membantumu. Selesai mandi kau kembali ke sini dan menyantap buah-buahan itu."

   "Saya menurut apa kata Ibu saja,"

   Sahut Ananthawuri.

   "Namun izinkan dulu saya membaca satu halaman indah dari Kitab Suci Weda yang diberikan orang tua bernama Dhana Padmasutra itu."

   Ananthawuri mengeluarkan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra dari dalam sebuah lemari.

   Di dalam lemari ini pula dia menyimpan tongkat kayu milik si orang tua, yang telah menuntunnya hingga sampai ke Sumur Api.

   Sementara Ananthawuri membaca Kitab dengan khusuk dan suara halus perlahan, sang ibu memperhatikan.

   Tidak disadari air mata menggulir jatuh ke pipi.

   Hatinya berkata.

   "Kalau saja saudagar Narotungga tidak berlaku keji terhadap mendiang suamiku, diriku serta anak gadisku, pasti saat ini aku dan Ananthawuri masih berada di desa Sorogedug dalam keadaan aman tenteram. Walau hidup miskin namun tinggal di desa merupakan berkat kebahagiaan Dewa Agung yang tiada taranya."

   SUATU malam, tiga puluh hari setelah Ananthawuri bersiram mandi di pancuran di dasar Sumur Api, Sukantili tidak bisa memincingkan mata.

   Malam telah melewati pertengahan, mulai menjelang pagi.

   Ibu Ananthawuri ini masih larut dalam kegelisahan hati dan pikiran.

   Sejak siang entah mengapa ingatannya selalu tertuju pada kampung halamannya di Desa Sorogedug.

   Terbayang rumah dan halaman walau rumah itu kini hanya tinggal puing-puing hitam reruntuhan akibat dibakar kaki tangan Narotungga.Teringat akan sawah ladang walau kini tidak ada yang memelihara dan telah berubah ditumbuhi semak belukar serta alang-alang liar.

   Yang paling menyamak hati perempuan itu adalah telah sekian lama dia tidak pernah lagi menyambangi makam Panggaling, almarhum suaminya.

   Semasa tinggal di Sorogedug, satu kali dalam seminggu dia selalu datang menziarahi kuburan ayah Ananthawuri itu.

   Dia seolah merasa berdosa karena sejak berada di dasar Sumur Api dia tidak mungkin lagi berziarah.

   Bagaimana keadaan makam suaminya itu saat ini.

   Pasti sudah ditumbuhi rumput .dan ilalang liar karena tidak terpelihara.

   Sebagaimana terjadi dengan diri anak gadisnya begitu pula yang akan dialami Sukantili.

   Yaitu dia tidak bisa meninggalkan tempat itu untuk selama-lamanya, kecuali Yang Maha Kuasa menentukan lain.

   Begitu ucapan yang disampaikan Roh Agung sebelum Ananthawuri menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Langit dan Setunggul Bumi dengan cara menceburkan diri ke dalam Sumur Api.

   Walau di tempat itu dia hidup senang bersama anak gadisnya namun sebagai manusia dan perempuan yang punya perasaan dan hati sanubari kadang-kadang muncul keinginan dalam diri perempuan ini untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa keluar dari dasar Sumur Api.

   Seandainya dia bisa keluar, meski hanya beberapa ketika, ingin dia pergi ke Sorogedug, melihat reruntuhan rumahnya, mendatangi makam Panggaling mendiang suaminya.

   Namun keinginan itu tidak pernah terlaksana.

   Karena walaupun tampaknya bebas akan tetapi ada perasaan terkungkung dalam diri perempuan ini.

   Dan dia tidak pernah tahu bagaimana cara bisa keluar dari tempat itu.

   Malam itu setelah tidak dapat menahan gelisah Sukantili keluar dari kamar, pergi ke taman.

   Dia duduk di satu batu datar.

   Udara malam terasa dingin tapi segar.

   Paling tidak lebih segar dari keadaan di dalam kamar tidurnya.

   Di kejauhan terdengar suara curahan air pancuran yang terletak di ujung taman pada satu lereng tanah menurun.

   Memang dia serasa hidup di alam nyata.

   Namun dia juga merasakan ada kegaiban membayangi suasana di tempat itu.

   Bosan duduk di batu Sukantili berjalan seputar taman.

   Dia hentikan langkah sewaktu mendengar suara menggelepar di atas kepalanya.

   Seekor burung berbulu kuning dan merah terbang di udara.

   Binatang ini hinggap, arahkan kepalanya pada Sukantili seolah sengaja memandang perempuan itu lalu melayang turun di sela bunga-bunga yang sedang mekar dan lenyap dari pemandangan.

   Sukantili menunggu beberapa lama namun burung itu tidak kunjung keluar.

   "Heran, kemana perginya burung itu? Tidak mungkin ada burung bersarang di dalam tanah atau di akar pohon."

   Penuh perasaan ingin tahu Sukantili mendekati pohon berbunga Jingga. Keadaan di tempat itu gelap, dia tidak melihat apa-apa. Dia tidak menemukan burung berbulu merah kuning tadi.

   "Aneh, kemana lenyapnya burung tadi?"

   Kata Sukantili dalam hati.

   Dia memutar tubuh hendak tinggalkan tempat itu.

   Namun saat itu sepasang bola matanya yang telah lebih biasa memperhatikan ke arah kegelapan tiba-tiba saja melihat satu benda putih sebesar batang kelapa dengan tinggi sekitar selutut manusia.

   Dia memperhatikan lebih teliti.

   Ternyata benda putih itu adalah sebuah batu.

   Sesaat kemudian baru disadarinya kalau akar pohon berbunga Jingga ternyata masuk ke dalam batu putih itu.

   "Pohon tumbuh di batu...Tidak pernah kejadian..."

   Membatin Sukantili.

   Dari hanya berdiri Sukantili kini membungkuk, lalu berlutut di tanah.

   Malah tangan kanan diulur ke arah batu putih.

   Perempuan ini seperti tidak punya perasaan takut sama sekali.

   Namun dia terkejut besar, tersentak kaget karena begitu tangannya menyentuh batu putih tiba-tiba terdengar suara menderu halus.

   Di saat yang sama batu putih memancarkan cahaya terang lalu bergerak berputar.

   Pada satu kali putaran penuh batu putih dan pohon berbunga Jingga naik ke atas.

   Di tanah bekas tegaknya batu putih terlihat satu lobang batu memancarkan cahaya terang kebiruan.

   Dan di dalam lobang Sukantili melihat ada tangga batu ke arah atas, entah menuju ke mana.

   Saat itu pula telinga ibu Ananthawuri ini mendengar suara alunan gamelan yang datang dari dalam lobang bercahaya biru.

   Sukantili berdiri.

   Memandang berkeliling dia tidak melihat apa-apa kecuali lobang batu di hadapannya.

   TAKDIR SANG IBU Di dalam lobang batu yang diterangi cahaya biru udara terasa sejuk.

   Sukantili melangkah menuju ke atas.

   Anak tangga batu seolah tidak ada habis-habisnya tapi Sukantili tidak merasa letih sedikit-pun.

   Ketika suara alunan gamelan terdengar perlahan perempuan ini melihat cahaya terang.

   Ternyata dia telah sampai pada anak tangga yang terakhir yang merupakan ujung lorong batu.

   Di depan lorong batu terdapat satu pohon kering sangat besar tak berdaun Pohon ini tumbuh miring di atas satu pedataran pasir berwarna coklat.

   Di sebelah atas langit membentang biru.

   Sekelomp k burung melayang terbang ke arah timur.

   Walau cahaya matahari terasa terik dan menyilaukan namun pemandangan yang terbentang indah sekali.

   "Waktu di dasar Sumur Api keadaan masih tengah malam. Di dalam lobang batu aku berjalan tidak lebih lama dari membaca tiga halaman kitab. Mengapa keadaan di luar sini siang hari terang benderang?"

   Sukantili terheran-heran. Perlahan-lahan dia menjejakkan kaki di atas batang pohon kering, melangkah ke arah pucuk. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara.

   "Perempuan berpikiran gelisah Hentikan langkah Putar tubuhmu Jangan meneruskan meniti di pohon kering Kembalilah sebelum terlambat Dirimu bukan lagi insan duniawi Kau berada dalam alam Dewani Kembalilah ke dasar Sumur Api Maka Dewa Agung akan melindungimu Yang Maha Kuasa akan memberkahimu"

   Sukantili tertegun.

   Namun hanya sesaat.

   Dilain ketika kakinya kembali melangkah ke arah pucuk pohon kering.

   Dia seperti tidak memperdulikan suara gaib itu.

   Dia lebih banyak mengingat kampung halamannya.

   Desa Sorogedug.

   Hasratnya untuk melihat rumah dan makam suaminya mendorong dua kakinya melangkah terus di atas batangan pohon kering.

   Mendadak langit biru bersih berubah hitam.

   Cahaya sang surya yang tadi terik menyilaukan kini menjadi redup.

   Keadaan hampir tidak beda dengan malam hari.

   Lalu ada suara tiupan angin luar biasa kencang.

   Pasir di pedataran menggebubu ke udara, bergulung-gulung membentuk ujud-ujud mengerikan.

   Di atas batang pohon kering tubuh Sukantili bergoyang-goyang.

   Perempuan ini mulai ketakutan.

   Dia berusaha membalikkan badan namun saat Itu satu gelombang angin luar biasa dahsyat menyapu dirinya hingga terpental ke udara.

   Sukantili menjerit lalu pingsan tak sadarkan diri.

   KETIKA siuman Sukantili dapatkan dirinya terbujur di tanah.

   Keadaan sekitarnya gelap gulita.

   Di atas langit terbentang kelam pertanda saat itu malam hari.

   Perlahan-lahan perempuan ini bangun.

   Memandang berkeliling dia keluarkan seruan tertahan, tersendat setengah menangis.

   Saat itu ternyata dia tengah terduduk di halaman rumah kediamannya di desa Sorogedug yang kini tinggal puing-puing hitam.

   "Dewa Jaganatha Batara Agung. Kau membawaku kembali ke rumah kediamanku..."

   Sukantili berdiri. Masih kurang percaya dia berjalan mengelilingi reruntuhan rumah.

   "Tidak keliru...Aku masih bisa mengenali walau sudah runtuh tak berbentuk begini rupa. Ini rumahku..."

   Ucap Sukantili.Tiba-tiba perempuan ini ingat akan mendiang suaminya.

   Tidak menunggu lebih lama dia segera lari ke arah selatan desa hingga akhirnya sampai di satu perkuburan.

   Jika seseorang berada malam hari di tempat seperti itu pastilah akan merasa ngeri.

   Namun dalam diri Sukantili tidak ada perasaan takut sama sekali.

   Dia sampai di hadapan sebuah makam yang sangat tidak terawat.

   Tanah makam dalam keadaan miring.

   Rumput liar dan alang-alang bertumbuhan di mana-mana.

   Batu nisan yang seharusnya menancap di kepala makam kini terguling di tanah.

   Pada masa itu kebanyakan jenasah di bakar dan abunya ditabur di laut atau di sungai.

   Namun ada juga jenasah yang di makamkan termasuk jenasah Panggaling, mendiang suami Sukantili.

   "Kanda Panggaling..."

   Terisak-isak Sukantili jatuhkan diri di atas kuburan.

   "Keadaan memisahkan kita sekian lama. Maafkan diriku karena tidak menziarahi makammu. Kanda, anak kita Ananthawuri. Sesuatu telah terjadi dengan dirinya. Aku..."

   Perempuan ini tidak dapat melanjutkan ucapan karena tangis yang sejaktadi tertahan kini menyembur keluar.

   Didera oleh derita batin serta keadaan tubuh yang tiba-tiba terasa letih, suara tangis Sukantili perlahan-lahan mereda dan akhirnya lenyap sama sekali.

   Dini hari ketika suasana di perkuburan dipalut kesunyian dan dinginnya udara terasa mencucuk tulang, tiba-tiba dari langit di arah barat tampak satu sinar putih memancar.

   Tepat di atas perkuburan cahaya putih ini melayang turun lalu menyapu tubuh Sukantili yang masih tertidur di atas makam Panggaling.

   "Perempuan bernama Sukantili bangunlah"

   Tiba-tiba terdengar satu suara menggema di kegelapan malam tanah pekuburan.

   Saat itu juga Sukantili tersentak bangun dari tidurnya.

   Dia belum sempat menyadari kalau dirinya masih di atas kuburan, belum sempat mengingat apa yang sebelumnya terjadi, suara menggema tadi kembali memecah kesunyian.

   "Wahai perempuan desa, sungguh sangat disayangkan Para Dewa telah mengangkat derajat dirimu Namun belum ada ketulusan dan kepasrahan dalam jiwamu Larangan Para Dewa Yang disampaikan melalui Roh Agung Telah kau abaikan Padahal sudah ditakdirkan bahwa dirimu Akan menjadi penghuni Sumur Api Selama hayat dikandung badan Kau meninggalkan Sumur Api Kau meninggalkan puterimu yang sedang mengandung Yang seharusnya kau dampingi dan jaga baik-baik Kesalahanmu sungguh besar Namun Para Dewa berlaku bijaksana Kau pergi karena kecintaan pada kampung halaman Desa kediamanmu Kau pergi karena kecintaan dan hormatmu pada Mendiang suamimu Malam ini Para Dewa telah mengabulkan keinginanmu Malam ini kau telah berada di Desa Sorogedug Malam ini kau telah melihat bekas rumah kediamanmu Malam ini pula kau telah menziarahi makam suamimu Sekarang saatnya kehendak Para Dewa Akan berlaku atas dirimu Kau akan menjadi penghuni pemakaman ini Mendampingi suamimu untuk selama-lamanya Kecuali di suatu hari kelak Para Dewa menentukan lain"

   Sukantili terkesiap. Perempuan ini sadar apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukannya. Cepat-cepat dia jatuhkan diri.

   "Dewa Agung, saya mengaku bersalah berani melanggar pantangan, berani melawan takdir. Saya bersedia kembali ke Sumur Api..."

   Kata Sukantili hanya sampai di situ.

   Tiba-tiba cahaya putih yang tadi lenyap kini muncul kembali.

   Memancar di sekujur tubuhnya.

   Perlahan-lahan tubuh perempuan ini terangkat ke arah kepala makam.

   Cahaya putih lenyap.

   Sosok Sukantili juga sirna.

   Bersamaan dengan itu di kepala kuburan Panggaling kini terlihat satu pohon melati besar yang puluhan bunganya tengah mengembang.

   Udara di pemakaman serta merta di penuhi bau harum semerbak kembang melati.

   Seekor burung hantu yang sejak tadi mendekam di cabang pohon Kemboja keluarkan suara menguik halus, kembangkan sayap lalu cepat-cepat melayang terbang tinggalkan pemakaman.

   Keesokan paginya bau harum mewangi yang di tebar kembang melati menarik perhatian orang tua penjaga kuburan yang berada di tempat itu bersama cucunya seorang anak perempuan.

   Setelah memeriksa kian kemari akhirnya orang tua ini menemukan sumber bau wangi itu.

   "Cucuku, setahu kakek di tempat ini tidak pernah tumbuh pohon bunga melati. Sekarang..."

   "Bunganya putih bagus. Besar-besar dan harum. Aku mau memetiknya Kek..."

   Kata si cucu pula.

   "Jangan, ini bunga keramat. Jangan dipetik. Aku sudah sering melihat kembang melati.Tapi tidak ada yang sebesar dan seharum ini... Aku harus menjaga bunga ini baik-baik.Tidak boleh ada tangan jahil yang menyentuhnya."

   "Ah kakek, pelitnya."

   Kata si cucu dengan wajah cemberut lalu tinggalkan kakeknya, mengejar seekor capung yang terbang rendah di sampingnya.

   PERTAPA GUNUNG MERBABU Malam itu hujan lebat mencurah bumi.

   Angin bertiup kencang menebar hawa dingin, membuat nepohonan bergoyang keras dan menimbulkan suara menderu menggidikan berkepanjangan.

   Di alam gua batu di lereng Gunung Merbabu, pertapa tua Sedayu Galiwardhana tidak mampu mempertahankan kekhusukan semedinya.

   Bukan hujan lebat atau hembusan angin deras menggila yang membuat tapanya terganggu.

   Namun dalam bayangan pelupuk kedua matanya ada dua titik merah yang sejak setengah malaman menyorot memperhatikan gerak-geriknya.

   Sedayu Galiwardhana bukan orang sembarangan.

   Ketinggian ilmu agama dan kesaktiannya sudah diketahui semua orang di Bhumi Mataram.

   Kerajan sering meminta bantuan dari pertapa yang diam di Gunung Merbabu ini.

   Namun sekali ini entah kekuatan apa yang ada pada dua titik merah hingga semedi sang pertapa mampu di ganggu dari luar.

   Karena tidak sanggup lagi bertahan, pertapa ini sudahi semedinya.

   Sebelum membuka ke dua mata dia berkata dalam hati.

   "Para Dewa Agung di Swargaloka. Aku Sedayu Galiwardhana, pertapa di lereng Gunung Merbabu, mohon maaf beribu maaf, mohon ampun beribu ampun. Aku yang lemah ini tidak dapat meneruskan semedi. Ada kehendak alam yang mengganggu diriku. Bukan hujan lebat itu wahai Dewa, bukan pula suara keras tiupan angin. Yang Maha Kuasa, aku mohon untuk keluar meninggalkan alam gaib, meninggalkan alam penuh keramat, ciptaanMu..."

   Beberapa saat kemudian orang tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu perlahan-lahan membuka kedua matanya.

   Begitu mata terbuka dia langsung melihat sosok seseorang berdiri di ambang mulut goa, berbasah-basah oleh terpaan air hujan, berdingin-dingin oleh sapuan angin.

   Dia tidak bisa melihat jelas siapa adanya orang itu, apa lagi mengenali wajahnya karena keadaan yang gelap.

   Yang kemudian serta merta menjadi perhatian Sedayu Galiwardhana adalah dua titik merah yang seperti nyala bara di atas kepala orang yang tegak menutupi mulut goa.

   Dua titik merah inilah yang semalaman tadi menembus tabir alam gaib mengganggu semedinya.

   Hati sang pertapa berdebar.

   Dia belum berani memastikan.

   Maka diapun membuka mulut menyampaikan sapa teguran dengan suara sopan serta lembut.

   "Tamu yang berdiri di depan goa. Salam sejahtera untukmu. Semoga Para Dewa memberkati. Hujan begitu deras, angin sangat kencang. Mengapa berdiri di luar sana berbasah-basah berdingin-dingin. Masuklah ke dalam goa."

   Dua titik menyala di atas kepala orang yang tegak di depan goa bersinar terang.

   Orang itu tidak membalas salam atau mengucapkan sesuatu, namun seperti yang diminta sang pertapa dia melangkah masuk ke dalam goa.

   Lima langkah dari tempat sang pertapa duduk, sang tamu berhenti.

   Bersamaan dengan itu baru dia keluarkan ucapan.

   "Pertapa Gunung Merbabu. Berkat Dewa untuk semua ummat.Termasuk dirimu. Sedayu, apakah kau tidak mengenali diriku?"

   Suara yang bicara adalah suara orang perempuan. Debaran di hati sang pertapa merebak ke jantung, membuat jantungnya berdetak keras.

   "Tadi aku tidak berani memastikan.Tapi sekarang setelah mendengar suaramu baru aku merasa yakin. Izinkan diriku menyebut namamu. Sri Sikaparwathi. Aku sangat gembira dan ini merupakan rakhmatYang Maha Kuasa hingga kita bisa berjumpa lagi. Maafkan keadaan goaku yang gelap. Bolehkah aku meminjam cahaya terang dari dua mata insan yang ada di atas kepalamu?"

   Kau seorang sakti. Dengan kesaktian mu kau bisa berbuat apa saja. Silahkan Sedayu. Aku memang sudah lama tidak melihat kehebatanmu."

   "Maafkan diriku. Orang tua buruk ini tidak bermaksud memamerkan ilmu kepandaian. Aku hanya ingin goa ini dalam keadaan terang agar lebih layak menyambut kedatanganmu. Selain itu aku juga ingin melihat wajahmu. Terakhir kali aku melihat dirimu adalah sekitar enam puluh tahun silam. Apakah kau mengizinkan?"

   Perempuan di hadapan pertapa Sedayu Galiwardhana menghela nafas dalam lalu tertawa.

   "Ah, suara tawamu tidak berbeda dengan dulu-dulu yang pernah aku dengar. Tapi, apa yang membuatmu tertawa Sri Sikaparwathi?"

   Bertanya Sedayu Galiwardhana.

   "Aku tertawa karena mengapa kita bicara berbasa-basi, memakai segala peradatan seolah kita Ini adalah orang-orang penghuni Keraton Mataram!"

   "Maafkan diriku. Bukan maksud berbasa-basi. Bukan pula ingin merajuk hati. Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, kau tahu-tahu datang menyambangi. Aku berbahagia, sangat berbahagia. Namun dalam kebahagiaan itu aku mengerti bagaimana menjaga diri. Aku khawatir mungkin saja ada perubahan dalam pikiran dan perubahan dalam sikap."

   "Sedayu Galiwardhana. Kau mendengar suaraku. Kau mendengar tawaku. Apa ada perubahan?"

   "Aku mendengar dan aku merasakan. Seperti kataku tadi, tak ada perubahan pada suara dan tawamu. Para Dewa memberikan berkat padamu..."

   Jawab Sedayu Galiwardhana Namun dalam batin pertapa ini berkata.

   "Suara dan tawa tidak berubah. Namun bagaimana dengan sesuatu yang ada di lubuk hati, yang di balut dengan perasaan?"

   "Kalau begitu apa lagi yang kira-kira menjadi kekhawatiran dalam dirimu. Apa lagi yang menjadi ganjalan dalam hatimu..."

   "Sri Sikaparwathi, terima kasih. Kau memberi keyakinan yang aku khawatirkan berubah dalam diriku. Aku akan membuat terang goa ini agar dapat melihat wajahmu. Izinkan diriku..."

   "Izinkan aku duduk di hadapanmu,"

   Kata perempuan bernama Sri Sikaparwathi mendahului.

   Lalu perlahan-lahan dia duduk di lantai goa, tiga langkah di hadapan sang pertapa.

   Setelah memperhatikan wajah yang masih tersembunyi dalam kegelapan itu, Sedayu Galiwardhana angkat tangan kanan ke atas, telapak di kembang, diarahkan pada dua titik cahaya merah di atas kepala Sri Sikaparwathi.

   Dua titik merah pancarkan sinar terang benderang ketika tersentuh dengan getaran halus yang keluar dari telapak tangan Sedayu Galiwardhana.

   Secara aneh titik bercahaya merah yang tadi hanya ada dua kini bertambah dua lagi menjadi empat.

   Dua berada di tempat pertama, dua lagi menggantung di udara.

   Pertapa tua gerakkan pergelangan tangan kanan, mainkan lima jari tangan seperti jari-jari penari.

   Perlahan-lahan dua titik merah yang menggantung di udara bergerak ke arah tangannya.

   Sejarak dua jengkal lagi akan menyentuh telapak tangan, si orang tua gerakan lagi pergelangan tangan, telapak ditadahkan lalu dinaikkan ke atas.

   Dua titik merah serta merta melesat ke atas, melekat pada atap goa, memancarkan cahaya kemerahan.

   Goa itu kini menjadi terang benderang.

   Perempuan di dalam goa mengerenyit, lindungi mata dengan tangan menahan silaunya cahaya merah terang.

   "Sedayu, sungguh luar biasa tenaga dalammu. Bukankah kau barusan menerapkan ilmu yang disebut Tangan Dewa Menerangi Bumi?"

   Sedayu Galiwardhana seolah tidak mendengar pujian orang. Saat itu sepasang matanya menatap tak berkesip, memperhatikan wajah perempuan yang duduk tiga langkah di hadapannya. Hati orang tua ini diharu biru oleh seribu perasaan. Dalam hati dia berucap.

   "Enam puluh tahun lalu, wajah ini begitu cantik. Enam puluh tahun lalu setelah dimakan usia, kecantikan itu belum pupus. Rambut yang dulu hitam legam berkilat, kini putih seperti perak, masih tetap dijalin dan digulung di atas kepala. Membuat penampilannya begitu anggun. Raden Cahyo Kumolo, kura-kura sakti di atas kepala sungguh sahabat sangat setia yang menemaninya lebih dari setengah abad. Kesetiaan yang mungkin tidak di dapat dalam diri manusia.Termasuk diriku terhadap dirinya..."

   "Sri Sikaparwathi, usia memang membuat manusia tua. Namun dalam kekuatan dirimu aku tidak melihat banyak perbedaan pada wajahmu sejak terakhir aku melihatmu enam puluh tahun silam..."

   "Sedayu, kau keliwat memuji. Kau seperti membuang segenggam garam ke dalam air laut yang sudah asin. Aku merasa malu.Tapi aku senang dengan sikapmu. Seperti dulu-dulu kau bicara apa adanya. Maafkan kalau aku telah mengganggu dan memutus semedimu."

   "Kehendak dan jalan dari Dewi Agung mempertemukan kita. Apakah perlu ada yang disesalkan?"

   Ujar sang pertapa sambil tersenyum.

   Orang duduk di hadapan Sedayu Galiwardhana itu adalah seorang perempuan tua berjubah panjang warna Jingga.

   Seperti apa yang dilihat sang pertapa, walau telah dimakan usia tujuh puluh tahunan, namun wajah perempuan ini tidak beda dengan wajah perempuan separuh baya.

   Di pinggang melilit sehelai selendang berwarna kuning.

   Rambut yang putih panjang dijalin lalu digulung di atas kepala membentuk lingkaran.

   Dan ini hebatnya! Di atas kepala itu bertengger seekor kura-kura hijau yang memiliki sepasang mata bercahaya merah.

   Cahaya merah dua mata inilah yang sejak malam tadi memandang menyoroti Sedayu Galiwardhana yang tengah bertapa bersemadi.

   Begitu hebatnya sorotan cahaya sepasang mata hingga sang pertapa tidak mampu meneruskan semedinya.

   Pertapa tua ini maklum kalau cahaya merah yang memancar dari dua mata kura-kura dialiri dengan tenaga dalam mengandung hawa sakti tinggi yang dimiliki perempuan yang menjunjungnya.

   "Sri Sikaparwathi, kedatanganmu seolah memberi kehidupan baru padaku. Aku seperti kembali ke alam enam puluh tahun silam..."

   Perempuan itu tertawa panjang.

   "Kau masih pandai berolok-olok. Sedayu, ketahuilah aku membutuhkan waktu hampir tiga purnama untuk mencari dirimu. Aku bertanya pada penghuni Keraton Bhumi Mataram. Mereka semua tahu dirimu namun tidak tahu dimana keberadaanmu..."

   "Kalau orang lain yang mencari diriku, aku tidak peduli. Tapi kalau seorang perempuan bernama Sri Sikaparwathi yang mencariku, itulah satu kebahagiaan yang tiada taranya. Nah, bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membuat Dewa Agung menuntun dirimu datang ke goa burukku ini?"

   Sri Sikaparwathi memperbaiki duduknya yang bersimpuh di lantai goa. Setelah menatap wajah orang di hadapannya beberapa ketika baru dia menjawab.

   "Sedayu, aku rasa perlu menjernihkan satu hal. Aku datang bukan untuk membicarakan persoalan kita yang tidak terselesaikan di masa muda..."

   Pertapa tua balas menatap, alis bergerak naik tapi mulut terkancing. Dia seperti sengaja menunggu kelanjutan ucapan orang.

   "Aku menyesali sikap kerasku ketika kau meminangku, saat itu aku meminta dirimu bersabar sampai Lingga Pati kakak lelakiku menikah lebih dulu. Aku tidak berdaya melawan kemauan orang tua dan juga kungkungan adat.Tapi Lingga Pati tidak kunjung menikah. Kemudian terjadi bencana alam meletusnya gunung berapi yang disusul banjir besar menimpa negeri. Kita terpisah belasan tahun tanpa kabar, tanpa tahu dimana rimba masing-masing. Kemudian Yang Maha Kuasa beberapa kali mempertemukan kita. Namun dari kabar-kabar yang sampai ke telinga kita, telah terjadi saling kesalah pahaman. Aku mendengar kau telah menikah dan kau mendengar aku telah kawin. Kenyataan buktinya lain. Aku tak pernah menikah dengan lelaki manapun. Dan kau tidak pernah kawin dengan perempuan siapapun..."

   Ketika Sri Sikaparwathi hentikan ucapannya, Sedayu Galiwardhana pergunakan kesempatan untuk bertanya.

   "Semua telah terjadi diluar kemampuan kita. Takdir Yang Maha Kuasa lebih berlaku dari pada kehendak manusia. Aku yakin diantara kita sebenarnya tidak ada penyesalan. Karena diantara kita tidak ada yang salah dan tidak ada kedustaan."

   "Terima kasih kau berkata begitu Sedayu. Namun demikian aku tetap merasa semua terjadi karena sikapku yang terlalu patuh pada orang tua dan sangat menghormati adat, tidak mau memberi malu keluarga..."

   Sedayu Galiwardhana coba tersenyum.

   "Bukankah itu sikap yang sangat terpuji?"

   Kata pertapa sakti ini kemudian. Perempuan tua di hadapan sang pertapa tidak menjawab.

   "Sri Sikaparwathi, tadi kau mengatakan bahwa kau datang bukan untuk membicarakan persoalan kita di masa lalu. Mulai saat ini kita tidak akan mengutik dan mengungkap lagi semua itu. Sekarang bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membawamu hingga sampai ke goadi lereng Gunung Merbabu ini?"

   "Peristiwanya terjadi sekitar delapan bulan yang lalu. Sebelum itu telah tersiar kabar di Bhumi Mataram. Apakah kau pernah mendengar riwayat tentang sebuah sumur yang disebut Sumur api?"

   "Aku pernah mendengar tapi tidak terlalu memperhatikan. Apa lagi menyelidiki..."

   Jawab Sedayu Galiwardhana.

   "Lalu apakah kau juga pernah mendengar riwayat empat buah Gading Bersurat?"

   Sedayu Galiwardhana tidak segera menjawab.

   Dua matanya untuk kesekian kali melirik ke arah dua kaki Sri Sikaparwathi yang bersilang duduk bersilah.

   Pada telapak kaki kanan perempuan itu, di belakang ibu jari kaki, dia melihat ada satu tahi lalat hitam seujung jari kelingking.

   Pertapa ini coba mengingat-ingat.

   "Aku merasa pasti ...Tapi semuanya aku lihat begitu sempurna. Kalau memang ada yang sanggup melakukan benar-benar sakti luar biasa."

   Sedayu Galiwardhana membatin sambil menatap wajah perempuan di depannya. Kemudian dia sadar kalau barusan orang bertanya. GADING BERSURAT KE EMPAT Setelah mendehem beberapa kali Sedayu Galiwardhana membuka mulut.

   "Aku merasa kisah Empat Gading Bersurat itu bukan rahasia lagi di kalangan orang cerdik pandai dan tokoh rimba persilatan di Bhumi Mataram. Kau bertanya, apakah aku tertarik akan hal itu?"

   "Aku tidak mau berdusta.Terus terang aku memang tertarik. Aku sempat mengetahui kalau Gading Bersurat yang pertama ada di tangan seorang bernama Gendadaluh yang juga biasa disebut Arwah Muka Hijau. Namun dikabarkan sejak beberapa waktu yang lalu Arwah Muka Hijau lenyap tak tahu rimbanya..."

   "Apakah Gading Bersurat yang ada padanya juga ikut lenyap?"

   "Betul sekali, Sedayu. Selain itu dua orang anak buah Arwah Muka Hijau juga dikabarkan hilang secara aneh. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal."

   Sri Sikaparwathi hentikan ucapannya sejenak lalu melanjutkan.

   "Aku memiliki salinan tulisan yang tertera pada Gading Pertama."

   "Apakah kau membawanya saat ini?"

   Perempuan tua itu mengangguk.

   Dari saku jubah jingga sebelah kanan dia mengeluarkan secarik kain putih.

   Lipatan kain putih dibuka lalu dibentang di lantai goa di hadapan Sedayu Galiwardhana.

   Di atas kain itu terdapat tulisan hitam dalam huruf Palawa.

   Apa yang tertulis di atas kain putih itu memang sama dengan apa yang tertulis di Gading Bersurat Pertama yang pernah berada di tangan Arwah Muka Hijau.

   "Setahuku Gading Bersurat yang ada pada Arwah Muka Hijau adalah milik penghuni Candi Miring di kawasan induk Kali Dengkeng sebelah timur."

   Perempuan tua di hadapan Sedayu Galiwardhana tampak setengah tercengang mendengar ucapan sang pertapa.

   "Kalau begitu besar kemungkinan Gading Bersurat yang pertama itu kini sudah berada kembali di tangan penghuni Candi Miring?"

   "Bisa jadi,"

   Kata Sedayu Galiwardhana pula. Pertapa ini diam-diam menduga agaknya Sri Sikaparwathi sudah tahu hubungan antara Arwah Muka Hijau dengan penghuni Candi Miring.

   "Sedayu, apakah kau tidak ingin membaca apa yang tertulis di kain putih ini?"

   Tanya Sri Sikaparwathi. Sang pertapa menggeleng.

   "Aku sudah lama tidak mencampuri urusan duniawi "jawab Sedayu Galiwardhana sambil untuk kesekian kali matanya melirik lagi ke tahi lalat di telapak kaki kanan perempuan tua itu. Sri Sikaparwathi lipat potongan kain putih dan masukkan kembali ke saku jubah. Lalu dia berkata.

   "Aku butuh pertolonganmu Sedayu."

   "Dalam hal apa?"

   "Walau tidak melihat apa lagi memiliki Gading Bersurat yang pertama namun aku telah tahu isinya melalui salinan tulisan di kain putih tadi. Kelak di Bhumi Mataram akan lahir dua anak lelaki yang akan menjadi Kesatria-Kesatria tangguh. Riwayat dan petunjuk selanjutnya ada pada tiga buah Gading Bersurat lainnya. Seorang tokoh bernama Giring Waleyan, berjuluk Raja Ulok diketahui memiliki Gading Bersurat yang ke tiga. Sayang aku tidak tahu apa yang tertulis di situ. Selain itu Giring Waleyan sendiri sudah menemui ajal di bunuh oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Gading Bersurat yang ke tiga ikut lenyap bersama kematian Giring Waleyan."

   Ratu Dhika Gelang Gelang. Setahuku dia telah lama tidak muncul dan seperti diriku dia juga tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia, kecuali jika kerajaan membutuhkan bantuannya."

   "Sedayu, urusan yang kita bicarakan ini justru memang ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Mataram di kemudian hari. Ratu Dhika Gelang Gelang bukan cuma terlibat tapi juga memiliki Gading Bersurat yang ke dua."

   "Bagaimana kau tahu hal itu?"

   Tanya Sedayu Galiwardhana. Yang ditanya tidak menjawab. Sang pertapa lalu berkata.

   "Ah, aku tidak seharusnya menanyakan hal itu padamu. Sekarang katakan pertolongan apa yang kau harapkan dariku?"

   "Kau benar-benar mau dan bersedia menolongku, Sedayu?"

   "Apakah kau meragukan? Seandainya kau minta nyawaku sekalipun pasti akan aku berikan,"

   Kata pertapa sakti dari Gunung Merbabu yang kekasih di masa muda Sri Sikaparwathi dan saat itu terbawa hanyut oleh perasaan cintanya terhadap Sri Sikaparwathi.

   "Aku sungguh bahagia dan berbangga hati mendengar kata-katamu. Aku tahu hatimu tidak pernah berubah terhadap diriku. Kalau kau ingin tahu, begitu juga hati dan perasaanku terhadapmu."

   Sedayu Galiwardhana merasa sangat tersentuh hatinya.

   Perlahan-lahan dia ulurkan kedua tangan memegang dan membelai tangan kanan perempuan yang duduk bersila di hadapannya seraya berkata lirih.

   Sri Sikaparwathi balas mengusap meremas jari-jari tangan sang pertapa.

   "Katakanlah, pertolongan apa yang kau inginkan."

   "Gading Bersurat yang ke empat. Itu merupal Gading yang paling penting. Merupakan penutup sekaligus kunci petunjuk apa yang akan terjadi atau apa yang harus dilakukan. Apakah kau mengetahui dimana keberadaan Gading Bersurat yang ke empat itu Sedayu? Siapa yang memilikinya?"

   Pertapa tua berusia delapan puluh tahun itu terkesiap mendengar ucapan dan lebih-lebih pertanyaan Sri Sikaparwathi. Namun sikapnya ini segera disembunyikan dibaiik senyum walau dadanya terasa berdebar. Dalam hati dia membatin.

   "Kalau perempuan ini akan menanyakan hal itu, sungguh aku telah kelepasan ucapan. Apakah aku harus berdusta? Dewa akan mengutuk diriku."

   "Sikaparwathi,"

   Kata Sedayu Galiwardhana dengan suara bergetar.

   "Aku tahu dimana keberadaan Gading Bersurat yang ke empat yang kau tanyakan itu. Namun aku tidak mungkin mengatakan padamu. Aku telah berjanji. Bagiku janji sama dengan sumpah..."

   "Sedayu, kau tadi berkata bahwa kau tidak lagi mau mencampuri urusan duniawi..."

   "Betul sekali Sika...Ah, sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini..."

   "Berarti kau tidak bersedia menolongku. Lalu apa gunanya tadi kau berkata penuh gagah. Seandainya aku minta nyawamu sekalipun pasti kau berikan. Aku tidak menduga kau mau berlaku seperti itu padaku."

   Sri Sikaparwathi tampak sedih. Dia duduk tak bergerak sambil tundukkan kepala.

   "Sika, baiklah...Aku akan mengatakan setengah hal yang benar padamu namun tidak mengatakan hal yang setengahnya lagi. Kalau ini merupakan satu dosa aku minta maaf padamu dan mohon ampun pada Yang Maha Kuasa."

   "Bukan, bukan suatu dosa Sedayu, tapi kemunafikan pada diri sendiri..."

   Pertapa tua itu serasa ditempelak telak pada mukanya. Sesaat dia terdiam lalu akhirnya berkata.

   "Aku mengerti sikapmu, tapi harap kau juga mengerti sikapku."

   "Aku ingin tahu apa setengah dari kebenaran yang hendak kau katakan."

   Ujar Sri Sikaparwathi pula dengan nada suara agak sinis.

   "Gading Bersurat yang ke empat ada padaku."

   Sepasang mata Sri Sikaparwathi nampak membesar dan menyorotkan cahaya.

   Di atas kepalanya kura-kura hijau bernama Raden Cahyo Kumolo ulurkan kepala sementara dua mata yang merah tampak bersinar lebih terang.

   Binatang ini miringkan kepala sedikit seperti tengah memasang telinga, siap mendengarkan ucapan kedua orang itu.

   "Dimana kau menyimpan Gading Bersurat yang keempat itu, Sedayu?"

   "Itulah bagian ke dua dari kebenaran yang tidak dapat aku katakan,"

   Jawab Sedayu Galiwardhana pula. Perempuan tua itu terdiam beberapa jurus. Tak selang beberapa lama dia berkata dengan suara bernada sedih.

   "Baiklah kalau kau tidak mau mengatakan dimana Gading Bersurat yang ke empat itu berada. Sekarang beri tahu aku apa tulisan yang tertera di gading itu."

   "Benda itu adalah benda keramat titipan seseorang. Aku tak pernah membaca tulisan yang ada di badan gading."

   "Siapa yang menitipkan Gading Bersurat itu padamu?"

   "Aku tidak bisa mengatakan..."

   Sri Sikaparwathi tertawa.

   "Berarti besarnya kebenaran yang kau sembunyikan adalah dua pertiga, bukan setengah."

   "Aku minta maaf dan mohon pengertianmu..."

   "Sedayu, ketahuilah. Maksudku bertanya adalah baik. Semata-mata untuk mendapat petunjuk dalam menjaga keselamatan dua anak yang akan lahir. Sekaligus menyumbangkan sedikit bakti pada Kerajaan Mataram. Tapi jika kau tidak mau mengatakan tidak jadi apa. Aku berterima kasih untuk pertemuan ini. Aku juga sangat berterima kasih untuk sepertiga ucapan kebenaran itu. Sekarang aku mohon diri..."

   "Diluar masih hujan. Angin masih kencang. Malam sangat gelap dan dingin. Tunggulah sampai hujan reda."

   "Aku sebenarnya ingin berlama-lama di dalam goa ini. Namun masih banyak urusan yang harus kutangani. Aku datang ketika hujan mencurah deras dan angin bertiup kencang serta malam membutakan pemandangan. Kalau aku meninggalkan tempat ini dalam keadaan yang sama, apakah yang harus di takutkan?"

   Sri Sikaparwathi bangkit berdiri.

   Sedayu Galiwardhana ikut bangun dari duduknya.

   Tiba-tiba dari mulut perempuan tua berjubah Jingga itu keluar suara siulan keras yang berupa satu isyarat rahasia! Saat itu juga seett! Kura-kura besar hijau di atas kepalanya memasukan kepala kedalam tubuh lalu wuuuttt! Binatang sakti ini melesat ke atas.Tubuhnya yang keras menghantam langit-langit goa.

   "Braaakkk!"

   Atap goa yang merupakan batu tebal dan keras terbongkar hancur berantakan menguak sebuah lubang besar.

   Kura-kura hijau terus melesat melewati lobang.

   Sementara air hujan mencurah masuk dan keadaan di dalam goa gelap karena dua titik merah bercahaya ikut musnah.

   Saat itu samar-samar tampak sebuah benda putih panjang terjatuh dari bagian atap goa yang runtuh dan berlubang.

   Gading Bersurat ke empat! Sri Sikaparwathi segera melompat menyambar benda tersebut lalu melesat menembus lobang besar di atap goa! "Sika! Jangan! Kembalikan gading itu!"

   Teriak Sedayu Galiwardhana menggelegar.

   Dia tidak bisa percaya orang yang dicintai dan mencintai itu akan Berbuat sekeji itu.

   Mencuri Gading Bersurat ke empat yang disimpannya di dalam lapisan batu tebal atap goa.

   Namun perempuan itu sudah lenyap melewati lobang.

   Sedayu Galiwardhana tidak membuang waktu.

   Dia segera pula melesat ke udara mengejar Sri Sikaparwathi.

   Begitu keluar dari lobang di atap goa dan sampai di teppat terbuka, dia hanya melihat kegelapan di bawah curahan hujan lebat.

   Namun dia tahu kalau perempuan itu masih berada di sekitar situ.

   Maka diapun berteriak.

   "Sika! Aku mohon kembalikan Gading Bersurat! Itu benda titipan orang yang harus aku pertanggung jawabkan!"

   Di dalam gelap terdengar suara tertawa panjang.

   Sedayu Galiwardhana memandang berkeliling.

   Berusaha mencari tahu dari mana datangnya sumber tertawa.

   Dia juga berusaha mencari dua titik merah menyala yaitu sepasang mata kura-kura hijau yang ada di atas kepala Sri Sikaparwathi.

   Namun dia tidak mampu menjajaki.

   "Sedayu! Manusia munafik bermulut ular! Kau bilang tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Nyatanya kau memiliki Gading Bersurat!"


Pendekar Rajawali Sakti Teror Topeng Merah Pendekar Rajawali Sakti Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol

Cari Blog Ini