Dendam Manusia Paku 2
Wiro Sableng Dendam Manusia Paku Bagian 2
Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya.
Dua larik sinar hijau yang membawa angin sederas topan prahara menyambar Pendekar 212.
Pukulan Sinar Matahari menghantam amblas beberapa pohon dan semak belukar yang serta merta kemudian dikobari api.
Sebaliknya, dua larik pukulan yang dilepaskan Dewi Ular membuat Pendekar 212 seperti ditindih gunung.
Dia berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan "Tameng Sakti Menerpa Hujan"
Dan "Benteng Topan Melanda Samudra."
Akibat yang terjadi luar biasa.
Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke atas berbuntalbuntal disertai letusan-letusan keras.
Kelihatannya dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro mampu memusnahkan serangan lawan.
Nyatanya tidak, karena dikejapan berikutnya ketika tubuhnya masih melayang di udara, Dewi Ular dorongkan dua telapak tangannya ke bawah.
Dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro berbalik menyerang dirinya sendiri.
"Celaka! Jahanam ini ternyata luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!"
Keluh Wiro sambil menjauh cari selamat.
"Bummmm! Bummm!"
Serangan Dewi Ular menghantam.
Tanah, pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan.
Di tanah kelihatan dua buah lobang sedalam dua jengkal.
Wiro merasa kedua lututnya goyah ketika dia berusaha bangkit.
Dari sela bibirnya kelihatan ada darah keluar.
Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua langkah di depannya.
Wiro kertakkan rahang.
Tangan kanannya bergerak ke pinggang.
Siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Tapi Dewi Ular bergerak mendahului.
Kedua tangannya dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di bagian tengah.
Perut Dewi Ular tersingkap polos dan putih.
Pusarnya menyembul.
Wajahnya kelihatan menjadi kaku, pandangan matanya menyorot mengidikkan.
Tiba-tiba dari pusar perempuan itu melesat sebuah benda yang ternyata adalah seekor ular hitam berkepala putih.
Binatang ini melesat ke arah Wiro langsung mematuk bagian dadanya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi.
Dada pakaiannya yang robek tampak basah oleh darah.
Kepalanya pening.
Tubunya mendadak terasa sangat dingin hingga dia menggigil dan akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Letih berteriak minta diturunkan dan dilepaskan, akhirnya Anggini hanya bisa berdiam diri.
Dalam kegelapan malam menjelang pagi, Sandaka melarikannya laksana terbang.
Anggini sendiri memiliki ilmu lari cepat dan dia pernah melihat beberapa orang tokoh silat berlari sangat cepat, namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki Sandaka.
Lama-lama tanpa disadarinya akhirnya gadis itu tertidur.
Pemuda bercawat itu memanggul dan melarikannya ke arah Barat.
Ketika Anggini terbangun dari tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus membawanya lari.
Dalam hati murid Dewa Tuak ini membatin.
"Luar biasa! Sejak malam sampai siang begini dia masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan kecepatannya pun tak berkurang. Apa dia tidak haus dan lapar? Apa dia tidak akan berhenti untuk istirahat? Anehnya lagi, sekujur tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan keringat...
"
"Apa yang ada dalam benakmu?!"
Tiba-tiba Sandaka bertanya membuat Anggini terkejut.
"Dia mempunyai kepandaian membaca pikiran orang. Sudah berapa kali kejadian setiap aku berpikir dan membatin dia lantas bertanya."
Lalu gadis itu berkata.
"Kau lari secepat setan. Hendak kau bawa ke mana aku ini? Apa kau tidak mau melepasku? "
"Sekarang ini apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskanmu. Sudah aku katakan aku perlu teman untuk bicara, untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan banyak bicara agar kita lekas sampai.
"
"Sampai ke mana?"
Tanya Anggini.
"Lihat saja nanti. Perjalanan masih cukup jauh, mungkin malam hari kita baru sampai.
"
Anggini terdiam.
Dalam benaknya muncul berbagai pikiran.
Dari yang dilihatnya pemuda bernama Sandaka itu tak sejahat seperti kata orang.
Walau dia tidak tahu mau dibawa ke mana tapi entah mengapa dia merasa aman.
Lalu tiba-tiba muncul wajah Wiro di pelupuk matanya.
Bagaimana keadaan pemuda itu sekarang? Terakhir sekali dilihatnya pemuda itu terbanting ke tanah akibat bentrokan pukulan sakti dengan Sandaka.
"Siapa yang sedang kau pikirkan?"
Pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.
"Lagi-lagi dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu,"
Kata gadis itu dalam hati.
"Aku tahu kau pasti memikirkan pemuda itu. Aku dengar kau menyebut namanya Wiro...
"
"Kau telah mencelakainya! "
"Dia mencari penyakit. Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya?! "
"Aku bukan miliknya, Juga bukan milikmu!"
Jawab Anggini. Sandaka menyeringai dan terus berlari.
"Dia memiliki pukulan sakti yang hebat. Kalau aku lambat bertindak, bisa celaka... Sudahlah. Aku tak suka membicarakan pemuda itu. Lebih baik kau tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.
"
Dalam hati Anggini mengumpat. Namun saat itu dia memang tidak punya daya. Kedua tangannya masih meregang kaku. Dia coba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu gelagat cepat mengancam.
"Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku, jangan kira aku tidak tega mematahkan tulang keringmu! "
Dalam kesal dan tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Anggini memilih tidur saja. Kedua matanya dipejamkan. Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas bahu Sandaka. Sewaktu dia bangun, didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap.
"Lama sekali aku tertidur. Di mana aku berada saat ini?"
Anggini berpikir-pikir sambil memandang berkeliling. Gelap. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam lainnya.
"Pemuda itu, di mana dia...?"
Anggini bertanya-tanya dalam hati.
Dia memandang lagi berkeliling dan didapatinya dirinya terbaring di satu tempat.
KemudiaN disadarinya kedua tangannya tidak meregang kaku lagi.
Segera dia bangkit berdiri.
Ketika diperhatikan lebih seksama tempat dia berbaring tadi, ternyata sebuah gundukan tanah ditumbuhi rumput liar.
Dia memperhatikan lebih seksama lagi.
Astaga! Gundukan tanah itu adalah sebuah makam! Kuburan! Dia keluarkan pekik kecil.
Dengan rasa tegang dia dekati salah satu ujung gundukan di mana terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk.
Di situ tertera sebaris tulisan.
Selain keadaan yang gelap, tulisan itu juga sudah tidak kentara lagi.
Anggini membungkuk mencoba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.
Tiba-tiba satu tangan dingin memegang bahunya.
Si gadis terlompat dan berseru kaget.
"Namanya Mantili..."
Terdengar satu suara berkata di belakangnya. Anggini putar tubuh dengan cepat.
"Ah, dia rupanya.."
Desis murid Dewa Tuak ini sedikit lega.
"Si... siapa orang yang bernama Mantili yang barusan kau sebutkan itu? "
"Kau ingin tahu nama di papan nisan itu bukan? Orang yang dikubur di sini seorang gadis bernama Mantili.
"
"Apa maksudmu membawa aku ke tempat ini? Kau sengaja membaringkan aku di atas kuburan! Siapa gadis bernama Mantili itu? "
"Pertanyaanmu banyak sekali. Akan kujawab satu per satu!"
Sahut Sandaka.
"Pertama, maksudku membawamu ke mari karena kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling aman di dunia. Kedua, aku sengaja membaringkan kau di atas kubur agar kau menyadari bahwa sebenarnya hidup manusia itu dekat sekali dengan liar kubur alias kematian! "
"Jangan-jangan dia hendak membunuhku..."
Pikir Anggini.
"Katakan apa yang ada dalam benakmu!"
Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak berkedip.
"Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis bernama Mantili itu...
"
Sepasang mata Sandaka kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup, wajah pemuda ini kelihatan sedih, lalu terdengar suaranya perlahan.
"Gadis itu kekasihku. Kami sudah merencanakan kawin. Tapi dia keburu menemui ajal. Mati dibunuh orang!"
Wajah Sandaka berubah tegang membesi. Dua bola matanya memancarkan kilatan sinar hijau.
"Siapa yang membunuhnya?"
Tanya Anggini ingin tahu.
"Aku!"
Jawab Sandaka keras tapi wajahnya biasa saja. Anggini memandang membeliak pada pemuda bercawat itu.
"Katamu gadis bernama Mantili ini kekasihmu. Bahkan kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya? Apa dia mengkhianatimu?"
Sandaka menggeleng.
"Aku membunuhnya karena diperintah Dewi Ular!"
Kini bukan saja dua mata Anggini yang membeliak, tapi mulutnya juga terbuka lebar mendengar ucapan Sandaka.
"Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya karena diperintah Dewi Ular! Aku tidak mengerti manusia macam apa kau ini adanya!"
Sandaka menatap Anggini dengan pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua mata pemuda ini menggidikkan membuat si gadis tersurut dua langkah.
"aku tidak gila! Aku hanya tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular...
"
"Apa kau tidak punya niat untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari kekuasaannya yang keji? "
"Aku tidak melakukannya. Aku tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam terhadapnya! Dendam tapi juga suka! "
"Aneh! "
"Apa yang aneh?!"
Tanya Sandaka dengan suara bergetar.
"Kini otakmu kelihatannya seperti waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari membunuh kekasihmu itu...
"
"Sejak beberapa waktu lalu memang ada kelainan dalam diriku. Otakku sepertinya berubah jernih walau sangat perlahan...
"
"Mungkin pengaruh jahat Dewi Ular atas dirimu mulai lenyap...
"
"Itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari perempuan itu. Aku menyukainya. Dia membuat diriku benar-benar jadi lelaki perkasa...
"
"Tadi kau bilang ada kelainan dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan saat ini...?"
Tanya Anggini.
"Hmmmm... Tidak ada hal lain. Kecuali aku mulai mengantuk. Ingin tidur tapi belum bisa. Kalau aku tidur, kau harus menjagaku...
"
Murid Dewa Tuak terdiam. Dia berpikir.
"Kalau dia benar-benar tidur, berarti ini kesempatan baik bagiku untuk melumpuhkannya...
"
"Apa yang ada di benakmu? Kau merancang sesuatu yang licik?!"
Tanya Sandaka curiga. Anggini cepat gelengkan kepala.
"Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi aku tidak tahu berapa lama kau tidur. Satu hari, satu minggu atau satu bulan? "
"Sekalipun aku tidur satu tahun, kau tetap harus menjagaku! Awas jika kau berani membantah! Tanganku sudah agak lama tidak memecahkan batok kepala manusia! "
"Manusia edan!"
Maki Anggini dalam hati.
"Bagaimana ada manusia berkeadaan seperti dia di dunia ini?! "
"Aku tahu kau memaki dalam hatimu!"
Terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka lebarlebar. Dia menguap.
"Mungkin saatnya aku mulai mencoba tidur...
"
Lalu dia melangkah mendekati makam kekasihnya. Sesaat dia memandang pada Anggini. Setelah itu direbahkannya tubuhnya di atas kuburan itu.
"Tolong jaga diriku. Tempat ini paling aman namun jika ada orang yang muncul dan bermaksud jahat, kau tahu apa kewajibanmu! "
"Kewajiban apa?! "
"Membunuh orang itu! "
"Gila! "
Sandaka menyeringai. Sambil pejamkan kedua matanya, pemuda ini berkata.
"Jangan coba melarikan diri dari sini. Jangan coba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan menyesal! "
Sandaka menguap lebar-lebar. Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah bangkit dia lalu memandang pada gadis di dekatnya lalu berkata.
"Kau tahu namaku, aku belum tahu namamu...
"
"Aku sudah mengatakannya padamu. Namaku Anggini...! "
"Anggini... Oh ya... Anggini ..."
Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas makam kekasihnya itu. Dalam hati Anggini menduga-duga pemuda ini mulai linglung entah diserang kantuk atau memang otaknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika dia dengar Sandaka mendengkur.
"Ngorok... berarti dia sudah mulai pulas..."
Membatin Anggini. Dia berpikir keras tindakan apa yang harus dilakukannya.
"Sebaiknya kulumpuhkan dulu dirinya dengan totokan. Kalau dia sudah tidak berdaya, baru aku pikirkan apa yang selanjutnya akan kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan mudah. Yang paling mudah menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai dengan cepat dan dunia persilatan terbebas dari malapetaka besar.
"
Memikir sampai di situ Anggini melangkah dengan hati-hati.
Tanpa suara mendekati Sandaka.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya diluruskan.
dipentang sedemikian rupa hingga memiliki kekuatan seperti dua potong besi.
Sebagai murid Dewa Tuak yang merupakan salah seorang dedengkot rimba persialatan, gadis ini membekal ilmu totokan tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya karena sanggup melumpuhkan, jangankan manusia biasa, seekor gajah pun bisa kaku tegang dibuatnya.
Sandaka ngorok terus.
Anggini mendekat cepat tanpa suara.
Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah dada kiri pemuda yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya.
Anggini sengaja melakukan totokan ke urat besar yang berada di dekat jantung pemuda itu.
Ini memang satu totokan dahsyat dan sangat berbahaya.
Sekali seseorang kena ditotok di bagian ini, pasti sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu.
Namun jika meleset dari titik kelumpuhan itu, maka orang yang ditotok bisa meregang nyawa karena totokan akan membuat jantungnya pecah! Inilah totokan yang oleh Dewa Tuak dinamakan "Seribu Lumpuh Seribu Ajal".
Hanya seujung kuku totokan dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka ketika tibatiba satu cahaya hijau pekat menyambar keluar dari dada pemuda itu.
Anggini keluarkan seruan tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke lengan terus menjalar ke siku terasa seperti disengat hawa sangat panas.
Gerakannya menotok tertahan seolah dia menusuk tembok baja.
Ketika dia mengerahkan tenaga dalam penuh untuk melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak terlihat, tubuhnya terpental sampai tiga langkah.
Kalau dia tidak cepat mengimbangi diri, gadis ini pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat dia tertegun pandangi Sandaka yang tampak masih terbaring pulas dan terus mengorok, sementara dia sendiri pergunakan tangan kiri untuk mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.
Cahaya hijau di atas dada Sandaka tampak meredup lalu senyap seolah amblas masuk ke dalam dada pemuda itu.
"Sulit kupercaya dalam keadaan tidur seperti itu dia bisa melindungi diri bahkan menghantamku..."
Membatin Anggini.
Dia berpikir sejenak.
Lalu perlahan-lahan dia tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya.
Benda ini adalah senjata andalan murid Dewa Tuak.
Pada salah satu ujungnya tertera angka 212.
Angka itu dibuat Wiro dengan ujung jarinya beberapa tahun lalu, pada suatu malam sehabis mereka memadu cinta.
Mau tak mau Anggini sekilas teringat apa yang terjadi di antara dia dengan Pendekar 212 malam itu.
Mukanya berubah merah dan terasa panas.
"Gila! Mengapa dalam keadaan seperti ini aku mengingat dirinya dan kejadian malam itu?!"
Anggini memaki sendiri dalam hati.
(Untuk membaca hubungan apa yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan gadis murid Dewa Tuak itu, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Maut Bernyanyi di Pajajaran) "Aku tidak suka melakukan ini.
Tapi agaknya tak ada jalan lain.
Tak mungkin dilumpuhkan.
Terpaksa aku harus membunuhnya!"
Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke selendang yang dipegangnya.
Walau masih kelihatan lembut, tapi sebenarnya selendang itu telah berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi! Selangkah demi selangkah gadis itu mendekati sosok Sandaka yang mendengkur.
Tangan kanannya diangkat ke atas.
Dalam jarak yang sangat dekat, Anggini lalu hantamkan selendang suteranya ke arah kepala Sandaka.
"Wutttt!"
Sinar ungu berkelebat.
Ujung selendang sekeras besi menderu ke arah kening Sandaka.
Jangankan kepala manusia, batu pun pasti akan hancur berantakan dihantam selendang tersebut.
Namun itu tidak terjadi.
Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran, keluar cahaya hijau terang sekali, menghantam ke atas.
Anggini terpekik.
Tubuhnya mencelat.
Selendang di tangannya terlepas.
Bobot berat dan kerasnya lenyap.
Selendang ini melayang lembut di udara lalu jatuh ke tanah, robek besar di ujungnya yang tadi dipakai menghantam kepala Sandaka.
Anggini sendiri saat itu tergeletak di tanah.
Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan, mendenyut sakit bukan kepalang dan hampir tidak bisa digerakkan lagi.
Di hadapannya, di atas kuburan itu sosok Sandaka sama sekali tidak bergerak.
Suara dengkurannya menggema dalam kegelapan malam.
Walau menahan sakit yang amat sangat, saat itu mau tak mau Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski dia maklum kehebatan pemuda itu banyak ditentukan oleh Dewi Ular yang menguasainya.
Terhuyunghuyung Anggini bangkit.
Pada saat itulah dia mendengar suara orang tertawa mengekeh disusul berkelebatnya satu sosok berjubah merah.
Seorang kakek bermata juling tegak di depan Anggini, di seberang kuburan di mana Sandaka masih enak-enakan tidur mendengkur.
Orang tua ini bertubuh pendek dan di punggungnya ada punuk besar.
Di keningnya terikat sehelai kain merah.
Tangan kirinya buntung sebatas bahu.
Di bagian ini, jubahnya tampak seperti hangus dan ada noda darah mengering.
Yang hebatnya di atas kepalanya manusia ini menjunjung sebuah peti besi.
Kedua matanya yang juling bergerak-gerak kian ke mari, menatap pulang balik dari Anggini kepada sosok Sandaka.
Murid Dewa Tuak yang tadinya hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan perhatikan orang tua di depannya dengan penuh waspada, sambil menduga-duga siapa adanya orang tua berpunuk, bertubuh pendek dan mengenakan jubah robek berwarna merah menyala di seberang kuburan itu.
Orang tua pendek goyangkan kepalanya sedikit.
Peti besi yang ada di kepalanya melayang ke bawah.
Peti ini disambutnya dengan kaki kiri lalu dengan perlahan-lahan peti diletakkannya di atas tanah.
"Aku tidak yakin tua bangka itu pemain akrobat!"
Kata Anggini dalam hati. Lalu dia ajukan pertanyaan.
"Kek! siapa kau?"
Mata juling orang yang ditanya berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan tawa.
"Gadis cantik tapi tolol! Seharusnya aku yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau yang punya hak menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan tua bangka lain, gadis secantik kamu bisa jadi lalapannya! Ayo bilang, siapa dirimu! Apa sangkut pautmu dengan pemuda yang sedang ngorok di atas makam sana?"
Waktu memaki dan berucap, si kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap memandang ke arah Sandaka denga mata berlikat-kilat. Beberapa kali dia leletkan lidah basahi bibir. Dalam hati dia berkata.
"Luar biasa! Belum pernah aku melihat tubuh muda sekokoh ini! Ah, bagaimana ini? Apa aku kerjai atau urusan besar ini aku selesaikan lebih dahulu?"
Si kakek buntung melirik ke arah Anggini lalu berkata.
"Aku tidak suka kau berada di sini. Kau kubebaskan pergi. Lekas sebelum aku berubah pikiran!"
"Kau tidak punya hak mengusirku. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan pemuda itu untuk menjaganya selama dia tidur!"
Kakek berpunuk tertawa mengekeh.
"Hemmm... benar dugaanku. Jadi kau ada hubungan apa-apa dengan pemuda di atas makam. Dengar gadis tolol! Aku tidak hanya berhak mengusirmu tapi juga membunuhmu pun aku punya seribu hak! Sekarang terserah kepadamu. Mau mencari selamat dan pergi cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur di tempat ini!?"
"Manusia buntung!"
Tiba-tiba ada suara membentak.
"Gadis cantik itu biar aku yang mengurus! Kau tua bangka buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum dia marah dan mematahkan batang lehermu?!"
"Kurang ajar!"
Teriak kakek berpunuk.
"Siapa berani menghina cari perkara!"
Dia memutar tubuhnya lalu kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.
"Wuttt! Wusss!"
Satu sinar merah menderu.
Sosok yang baru saja muncul bergerak cepat menghindari serangan kakek berpunuk mata juling.
Sambaran merah menghantam batang pohon kamboja besar hingga patah-patah dan roboh.
Di hadapan Anggini dan kakek berpunuk, tegak seorang tua bermuka belang celemongan mengempit sebatang tongkat terbuat dari seekor ular kuning hitam dikeringkan.
Dia mengenakan pakaian rombengan penuh tambalan.
Di tanan kirinya dia memegang sebuah kantong ungu.
Mulutnya senyum tiada henti.
Sikapnya menunjukkan dia berotak kurang waras.
Anggini segera kenali si kakek.
Lagi pula kantong ungu adalah miliknya yang berisi senjata rahasia paku perak.
"Pengemis sinting Muka Belang!"
Teriak Anggini.
"Pencuri keparat! Lekas kau kembalikan kantong itu padaku!"
Si kekek tua belang tertawa lebar.
"Gadis cantik, gara-gara dirimu cucuku menemui ajal di tangan pemuda itu! Kau minta kantong berisi paku ini? Baik! Aku pasti mengembalikan, malah dengan tambahan satu paku sorga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha.. ha!"
"Dajal bermulut kotor!"
Teriak Anggini marah sekali.
Sekali dia berkelebat serangannya berupa tendangan mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang.
Di tua menunggu sesaat lalu tangannya bergerak mencabut tongkat ular dari kepitannya.
Ketika tongkat itu dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat menyongsong serangan Anggini.
Sebelum kedua sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras disertai sinar merah menyambar.
Pengemis Sinting Muka Belang, keluarkan seruan tertahan dan cepat melompat mundur ketika dirasakannya kepala tongkat ularnya bergetar keras.
Dengan wajah berubah dipandangnya kakek berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya orang itu.
Selama ini hampir tidak ada orang yang bisa menandingi kehebatan tongkat ular.
Maka dia pun membentak.
"Tua bangka buntung berpunuk! Siapa kau?"
Yang ditanya ganda tertawa, lalu mendongak seraya berkata.
"Sejak tangan kiriku buntung, banyak cecunguk dan segala macam kecoa tidak lagi mengenali diriku. Namun aku tetap aku. Kau pernah mendengar seorang tokoh yang dipanggil Yang Mulia?"
Kakek buntung turunkan kepalanya, menatap tajam pada Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka Belang jadi berubah.
"Kau... jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang?!"
Si Buntung tertawa panjang. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah orang di hadapannya berkata.
"Kau datang membawa sebuah kantong. Apa isi kantong itu?"
Pengemis Sinting Muka Belang tidak menjawab.
"Tidak menjawab pun aku sudah tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah paku? Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan lalu bisa menguasai pemuda yang tidur di atas makam itu?"
"Keparat! Bagaimana dia bisa tahu...!"
Menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang. Yang mulia Datuk Bululwang keluarkan kantong dari balik jubah merahnya. Benda ini ditimangtimangnya sebentar lalu berkta.
"Paku yang kau bawa itu tidak ada apa-apanya, ini paku yang asli!"
"Hah!?"
Pengemis Sinting Muka Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling pada Anggini. Gadis ini tercekat dalam keadaan tegak.
"Kakek sinting, jangan bermimpi kau akan jadi raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini lebih lama. Jika paku dalam kantong itu memang milik gadis ini, lekas kau kembalikan padanya lalu cepat minggat dari sini!"
Pengemis Sinting Muka Belang mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun dia tidak mau kalah sebelum bertanding.
"Datuk Bululawang, siapa tidak kenal padamu. Tapi jangan terlalu mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai momok yang doyan menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku! Puah!"
Pengemis Sinting Muka Belang lalu meludah ke tanah. Paras Datuk Bululawang berubah sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang sekeras batu karang.
"Penghinaan sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut pemcabut nyawamu sendiri!"
Sang Datuk simpan kantong kain yang dipegangnya.
Di lain kejap tubuhnya melesat ke depan.
Anggini hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat di depannya.
Sesaat kemudian terjadilah perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan.
Pengimis Sinting Muka Belang kiblatkan tongkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan.
Sinar hitam kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk.
Sesekali terdengar suara mendesis dan dari mulut tongkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.
Datuk Bululawang cepat tutup jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun tongkat ular di tangan lawan.
Dua jurus pertama dia layani semua gempuran Pengimis Sinting Muka Belang dengan tenang.
Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara.
Memasuki jurus ketiga gerakan sang datuk berubah ganas.
Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan deru angin deras.
Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari.
Setiap gerakan tangan mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin.
Jurus kelima dia mulai membuka serangan.
Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat.
Tangan kanan yang menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk bayang-bayang lebih dari satu.
"Celaka! Aku tidak dapat mengetahui mana tangan yang asli!"
Keluh Pengemis Sinting Muka Belang.
Di mulai gugup menghadapi lawan.
Karenanya dia mulai mengeluarkan jurusjurus mautnya.
Sambil menghantam dengan tongkat ularnya dari mulutnya keluar jerit pekik teriakan aneh yang bukan saja menyakitkan telinga tepi bisa membuat kacau serangan musuh.
Namun Datuk Bululawang yang sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.
"Orang lain bisa kacau balau oleh pekik gilamu itu! Tapi aku Yang Mulia Datuk Bululawang mana bisa tertipu! Ha... ha... ha...! Lihat serangan!"
Teriak Datuk Bululawang.
Tangan kanannya untuk kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga buah.
Tangan pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah anggota rahasianya.
Tangan kedua berkelebat ke leher, laksana sebuah tali besar siap membelit tenggorokannya.
"Pesssttt!"
Pengemis Sinting Muka Belang semburkan racun dari mulut tongkat ularnya.
Bersamaan dengan itu dia melompat ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.
Saat itu mendadak dengkur Sandaka terputus.
Lalu terdengar pemuda itu terbatuk-batuk beberapa kali.
"Celaka kalau dia sempat bangun kacau semua urusanku!"
Kata Datuk Bululawang penuh khawatir.
"Aku harus bergerak cepat!"
Tetapi sesaat kemudian dia jadi lega karena dengkur Sandaka terdengar lagi. Namun dia tidak mau lagi membuang-buang waktu.
"Wuttt! Bettt!"
"Krakkk!"
Pengemis Sinting Muka Belang menjerit keras.
Tubuhnya terpental.
Tongkat ularnya terlepas.
Ujung tongkat itu masih dalam genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi kutungan patah akibat hantaman keras Datuk Bululawang.
Lalu terjadilah hal mengerikan.
Selagi Pengemis Sinting Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan, sang datuk mendatanginya.
Tangan kanannya melesat ke depan.
"Crasss! Krakkk!"
Perut Pengemis Sinting Muka Belang jebol.
Tulang-tulang iganya berpatahan.
Ketika tangan itu ditarik, isi perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut merojol keluar.
Ia menjerit setinggi langit.
Datuk tertawa terkekeh.
Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke muka Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini tampak mengerikan.
Anggini sampai mengernyitkan wajahnya, merinding melihat hal itu.
Dia memandang ke jurusan lain ketika tubuh Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah, menggelepar beberapa kali lalu tidak bergerak lagi.
Ketika gadis itu berpaling kembali, Datuk tengah melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur.
Dari mulutnya terdengar suara merapal seperti tengah membaca mantera.
"Apa yang tengah dilakukan orang ini...?"
Bertanya Anggini dalam hati.
Dia memungut selendangnya yang tercampak di tanah lalu cepat-cepat mendekati mayat Pengemis Sinting Muka Belang.
Dari balik pakaian orang ini ditemukan kantong berisi paku perak yang merupakan senjata rahasianya.
Sambil menimang kantong itu dia memandang ke arah sosok Sandaka di atas kuburan.
Gadis ini berpikir cepat lalu dia bergerak mendekati makam.
Dari dalam kantong dikeluarkannya tujuh buah paku perak.
Melihat yang dilakukan Anggini, Datuk menghentikan langkahnya.
Mulutnya berhenti membaca mantera lalu berkata.
"Kau hendak melumpuhkan pemuda itu dengan pakupakumu? Jangan mimpi. Aku sudah bilang agar cepat kau lekas pergi dari sini! Atau kau akan menyesal sendiri!"
Dihina senjata rahasianya sebagai paku butut dan dicap mimpi, murid Dewa Tuak jadi marah.
Dengan kertakkan rahang dia kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku lalu paku itu bergerak.
Terdengaar suara berdesing di udara malam.
Tujuh perak melesat hampir tidak kelihatan.
Tujuh bagian tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari batok kepalanya sampai pergelangan kaki.
Sesaat lagi tujuh buah paku perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh Sandaka tiba-tiba dari dalam tubuh pemuda itu memacar cahaya hijau.
Begitu ujung paku mencapai ujung cahaya semuanya mencelat mental, ada yang menancap di pohon atau menyangkut di semak belukar.
Anggini terkejut bukan kepalang.
Dia dekati paku yang mental lalu jatuh ke tanah.
Ternyata senjata rahasianya itu telah bengkok dan leleh mengepulkan asap.
Datuk Bululawang tertawa mengekeh.
"Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih dari paku butut! Kalau kurang puas, apa kau mau coba lagi?"
Meski marah tapi Anggini tutup mulut.
Dilihatnya sosok Datuk Bululawang melangkah mengelilingi sosok Sandaka di atas makam sambil mulutnya meracau entah merapal apa.
Dia hentikan langkah ketika kaki kirinya menginjak sebuah benda keras.
Mulut manusia berpunuk itu menyeringai.
Dengan ibu jari kaki kirinya dicongkelnya benda itu.
Ternyata sebuah batu hitam sebesar dua kali kepalan.
"Paku sudah di tangan, palu sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah aku ketahui! Apa lagi yang aku tunggu?!"
Datuk Bululawang keluarkan kantong berisi paku baja putih murni dari balik jubah merahnya.
Lalu diambilnya batu hitam yang barusan dicongkel dari dalam tanah.
Setelah itu dia bergerak mendekati sosok Sandaka di arah kepala.
Anggini maklum apa yang akan terjadi.
Datuk Bululawang hendak melumpuhkan Sandaka lalu menguasai pemuda itu! "Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia persilatan tidak akan lolos dari malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai pemuda itu!"
Tanpa berpikir panjang lagi murid Dewa Tuak itu langsung berkelebat, menyerang Datuk Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus "Bumbung Sakti Membelah Akhirat!"
Karena tangan kanannya masih sakit, dia pergunakan tangan kiri untuk menyerang. Tangan kiri itu diangkat tinggi ke atas untuk menyerang ke batok kepala Datuk Bululawang. Serangan angin dasyat ini segera terasakan oleh Datuk Bululawang.
"Gadis kurang ajar!"
Gertak si kakek. Tangan kanannya yang memegang batu dan kantong kain berisi paku digoyangkan. Ujung jubahnya mengebut.
"Wusss!"
Angin dasyat menyambar.
Anggini terpekik.
Sesaat tubuhnya seperti mengapung di udara.
Ketika Datuk Bululawang putar tangan kanannya, tak ampun lagi gadis ini menelungkup di tanah.
Dia mengerang sebentar lalu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi.
Entah pingsan atau mati.
Datuk Bululawang menyeringai buruk.
Kantong paku dibukanya.
Sinar terang putih memancar keluar.
Ia tuang tiga puluh paku di tanah.
Paku-paku itu seperti menyala dalam kegelapan malam.
Diam-diam tengkuknya terasa dingin dan agak bergeming juga ketika paku pertama ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka.
Lalu dengan mempergunakan batu, dipantekkannya paku sampai masuk setengah di kening pemuda itu.
Kepala dan tubuh Sandaka kelihatan bergerak sedikit.
Bahkan matanya seperti membuka.
Dengkurannya terhenti.
Namun kemudian tubuh itu diam lagi, suara mendengkur terdengar kembali dan dua buah mata si pemuda berlahan-lahan terkatup lagi.
Sementara darah kelihatan mengucur dari kening yang dipaku itu! Datuk Bululawang cepat mengambil paku kedua.
"Aku pasti berhasil! Pasti!"
Paku kedua dipantekkan tepat di ubun-ubun Sandaka.
Sepasang kaki Sandaka tersentak lalu diam.
Paku ketiga sampai ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala pemuda itu.
Darah mengucur.
Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat mengerikan.
Terlebih ketika empat lagi paku dipantekkan di wajah Sandaka.
Sisa paku baja putih murni dipantekkan di dada, perut dan kaki sandaka.
Ketika paku terakhir dihujamkan di kaki kanan Sandaka, mendadak dari mulut pemuda itu keluar suara mengerang panjang.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di depan Datuk Bululawang.
Orang tua berpunuk ini sampai melompat mundur tiga langkah saking kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri.
Kepala, wajah dan sekujur tubuh Sandaka sampai ke kaki basah oleh darah.
Sepasang matanya memancarkan cahaya hijau.
Memandang berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.
Betapapun hebatnya sang datuk diam-diam hatinya bergetar juga.
"Tiga puluh paku sudah kupantek! Apakah dia sekarang berada dalam kekuasaanku? Pandangan matanya yang hijau sangat buas. Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau tiga puluh paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku, celaka diriku!"
Datuk Bululawang angkat tangan kanannya.
"Anak muda! Katakan siapa namamu!"
Orang tua bertangan buntung itu ajukan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam saja. Malah kilatan cahaya yang keluar dari matanya semakin tajam menyorot.
"Kau punya telinga tidak mendengar aku bertanya? Kau punya mulut mengapa kau tidak menjawab?! Kau berada dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak ada siapa pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk Bululawang yang menentukan masa depanmu! Jadi kau harus tunduk dan patuh terhadap perintahku! Kau dengar?!"
Mulut Sandaka masih tidak bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak membuat gerakan mengangguk. Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega.
"Katakan siapa namamu?"
"Aku Sandaka..."
"Bagus!"
Ujar Datuk Bululawang penuh girang.
"Katakan kepada siapa kau harus tunduk dan patuh!"
"Hanya kepadamu..."
"Siapa diriku? Siapa namaku?"
"Kau... kau adalah Yang Mulia Datuk Bululawang...!"
Datuk Bululawang tertawa mengekeh.
"Ternyata semua berjalan sesuai aku harapkan. Tapi aku harus mengujinya sekali lagi..."
Kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu dia menunjuk pada sosok Anggini yang menelungkup di atas tanah.
"Kau kenal siapa gadis itu?"
"Aku tidak mengenal Datuk..."
"Berarti jalan pikirannya tidak bisa berjalan ke masa lampau,"
Kata Datuk dalam hati.
"Kalau aku perintahkan kau membunuh gadis itu apa jawabmu?!"
"Aku akan melakukan perintahmu sekarang juga!"
Jawab Sandaka. Dua matanya seperti menyala. Lalu kakinya hendak melangkah mendekati sosok Anggini. Datuk Bululawang angkat tangan kananya.
"Tak usah sekarang!"
Katanya.
Sandaka berhenti melangkah.
Kini sang Datuk yang mendatangi.
Kalau tadi sosok pemuda itu sangat mengerikan baginya, kini tiba-tiba ada perubahan aneh.
Tubuh berlumuran darah itu justru membuatnya merangsang.
Nafasnya memburu.
Darahnya mengalir cepat dan panas.
Sesaat setelah memandangi sosok Sandaka, Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba dada dan perut Sandaka.
Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir.
Mata julingya bergerak liar dan tenggorokannya turun naik.
"Tanggalkan cawatmu!"
Perintah Datuk Bululawang.
Kali ini suaranya tidak lagi membentak tapi berubah lembut.
Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk itu.
Datuk Bululawang seperti terbakar oleh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam tubuhnya melihat sosok telanjang Sandaka.
"Berbaringlah di tanah..."
Bisiknya. Sandaka kembali lakukan apa yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di tanah. Datuk Bululawang menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu dia berbaring di samping tubuh Sandaka.
"Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau harus melayaniku... kau suka...?"
Bisik Datuk Bululawang.
"Apa yang Datuk Bululawang suka, aku juga suka..."
Jawab si pemuda. Tua bangka perpunuk itu tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur tubuh Sandaka. Keringat seperti membakar Datuk Bululawang. Nafasnya memburu.
"Kau hebat Sandaka. Kau akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia persilatan..."
Bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka. Baru saja tua bangka yang mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan sesuatu tibatiba terdengar suara pekikan keras perempuan merobek kesunyian malam.
"Terlambat! Celaka aku datang terlambat!"
Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas menghantam ke arah Datuk Bululawang. Secepat kilat orang tua itu melompat.
"Jahanam! Siapa yang berani menyerang diriku!"
Teriak Datuk Bululawang marah sekali.
"Sandaka! Bersiaplah membunuh korban pertamamu!"
Ketika siuman, Wiro mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur berkasur empuk dilapisi kain penutup indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah terbuat dari kain hijau.
"Siapa yang memberi aku pakaian ini...?"
Pikir Pendekar 212 seraya memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali. Udara sekelilingnya menebar bau harum semerbak menyegarkan.
"Aneh..."
Kata Wiro dalam hati.
"Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali tidak ada jendela dan pintunya?"
Lalu dia berpikir lagi.
"Berapa lama aku berada di tempat ini? Mungkin belum lama. Buktinya perutku tidak terasa lapar dan aku tidak kehausan..."
Wiro bangkit.
Sesaat dia duduk di tepi tempat tidur.
Otaknya mulai bekerja.
Dia ingat apa yang telah dialaminya.
Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular.
Si kakek roboh akibat racun dua ekor ular iblis peliharaan Dewi Ular.
Entah bagaimana keadaan orang tua itu sekarang.
Jangan-jangan sudah menemui ajalnya.
Dia sendiri juga jatuh ke tangan Dewi Ular setelah dipatuk oleh ular hitam kepala putih yang keluar dari pusar perempuan itu.
Ingat sampai di situ, Wiro singkap jubahnya di bagian dada, tempat ular mematuknya.
"Aneh, tak ada tanda apa-apa. Tubuhku malah sehat-sehat saja, malah segar bugar. Siapa yang mengobati diriku... Siapa yang membawaku ke mari? Tak pelak lagi, pasti perempuan iblis itu!"
Wiro memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat masing-masing sebuah tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiran-ukiran itu menampilkan sosok ular berbagai rupa, mulai dari yang kecil sampai besar.
"Dewi Ular membawaku ke tempat ini. Pasti dia mengandung maksud jahat seperti yang dikatakannya padaku. Dia ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa tokoh silat. Si Raja Penidur, bahkan guruku Eyang Sinto Gendeng! Gila! Aku harus mencari jalan keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak berjendela!"
Pendekar 212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk kepala.
"Agaknya aku harus menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti!"
Maka Wiro segera salurkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara halus merdu menegur.
"Kekasihku Pendekar 212, rupanya kau sudah sadar? Aku gembira melihat kau segar bugar..."
Wiro melengak. Dia membuka mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan. Sama sekali dia tidak melihat sosok orang yang berbicara itu.
"Eh, siapa yang barusan bicara menyebutku sebagai kekasih?!"
Ujar Wiro dengan suara dikeraskan.
"Kalau bangsa manusia, terus terang aku tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus jejadian apalagi!"
Terdengar suara tawa merdu.
"Akan kita lihat apakah kau menolak jadi kekasihku setelah aku unjukkan diri..."
Sepasang telinga Wiro menangkap ada suara desiran halus, seperti sesuatu meluncur.
Dia berpaling ke belakang.
Astaga! Kejut murid Sinto Gendeng bukan kepalang.
Tadi dia tidak melihat binatang itu di sana.
Kini mengapa tahu-tahu ada di situ? Di salah satu tiang kayu besar meluncur turun seekor ular hijau besar dan panjang luar biasa.
Bersamaan dengan itu bau harum semerbak semakin santar.
Sampai di lantai ruangan binatang ini menggelungkan tubuhnya.
Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan kepala hingga mencapai ketinggian kepala manusia.
Wiro tegak di sudut kamar dengan dada berdebar dan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu menyerangnya.
Malah tiba-tiba secara anehnya wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna membentuk bayang-bayang.
Bayang-bayang ini kemudian menjelma menjadi sosok tubuh seorang perempuan mengenakan pakaian hijau, tegak membelakangi Wiro.
Pakaian hijau yang melekat di tubuhnya demikian tipisnya, hingga auratnya sebelah belakang kelihatan seperti bugil.
Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.
Wiro merasakan jantungnya seperti mau copot.
Perempuan di hadapannya ternyata memiliki wajah cantik luar biasa.
Di kepalanya yang rambutnya dikonde, ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular.
"Dewi Ular..."
Desis Wiro tercekat. Matanya hampir tak berkesip melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.
"Kau mengenaliku, aku senang sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau tidak merasa bahagia?"
Wiro terdiam sesaat. Lalu dia berkata.
"Kau membunuh kakekku, orang tua bergelar Kakek Segala Tahu itu..."
"Ah, rupanya pikiranmu masih pada jembel tua itu! Tak perlu kau merisaukannya. Racunracun ularku tidak sampai membuatnya mati..."
"Kau merencanakan menguasai dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak manusia bernama Sandaka itu. Kau hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh tokoh silat Si Raja Penidur dan guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng...!"
Dewi Ular tertawa perlahan Dia goyangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung dalam bentuk konde terbuka jatuh menjulai, tergelai di punggungnya.
"Aku tidak membantah bahwa aku memang ingin menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas diri beberapa tokoh silat, termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan memperbudak dan memperalat pemuda bernama Sandaka itu. Aku juga tidak menolak tuduhanmu bahwa aku akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih, saling bantu adalah lumrah saja. Bukankah begitu?"
"Siapa bilang aku kekasihmu? Aku justru punya tugas untuk melenyapkanmu dari muka Bumi ini!"
Dewi Ular tertawa panjang.
Bahunya digoyangkan, menyusul pinggulnya.
Murid Sinto Gendeng merasa lututnya goyah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat bagaimana Dewi Ular kini tak mengenakan apa-apa lagi.
Gerakan bahu dan pinggulnya tadi telah membuat pakaian sutera tipisnya merosot dan jatuh ke lantai kamar.
Dua kaki melangkah perlahan mendekati Wiro.
Dua buah paha mulus bergerak menggoyang pinggul dan pinggang langsing.
Di sebelah atas, dua buah payudara yang kencang bergoyang menantang.
Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wiro Sableng.
"Wiro, banyak orang lelaki membenci diriku karena tidak tahu apa yang aku bisa berikan pada mereka. Kau salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar lagi kita akan lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka..."
Perlahan-lahan Dewi Ular tanggalkan jubah yang melekat di tubuh Wiro.
Pendekar merasakan tubuhnya laksana terbakar.
Darahnya menggelegak.
Nafsunya berkobar.
Entah sadar entah tidak, akhirnya dia membalas rangkulan Dewi Ular.
Sesaat kemudian keduanya sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur.
Nafas Dewi Ular panas memburu.
Wiro merasa tubuhnya seperti meledak-ledak oleh guncangan nafsu.
Namun ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, yang membuat Dewi Ular jadi sangat kecewa dan marah dalam gejolak birahinya.
"Manusia tidak berguna! Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!"
Murid Sinto Gendeng menggeram. Dia memandang ke bagian bawah tubuhnya. Mukanya tampak merah.
"aneh... Nafsuku menggelegak tapi mengapa..."
"Manusia tidak berguna! Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di Sumur Seratus Ular!"
Dewi Ular melompat turun dari atas ranjang.
Tubuhnya yang harum basah oleh keringat.
Tiba-tiba di salah satu dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang secara perlahan berubah menjadi kemerahan lalu membentuk lingkaran yang berkelip-kelip.
Paras Dewi Ular tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu.
Dia menyambar pakaian hijaunya, mengenakannya dengan cepat.
Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati dalam kamar.
Sepasang tangan dan kedua kakinya digelungkan pada tiang itu.
Perlahan-lahan tubuhnya menjadi samar lalu berubah menjadi ular besar hijau.
Binatang ini menjalar cepat ke atas langit-langit kamar lalu menghilang dari pemandangan.
Begitu sosok ular lenyap, terdengar suara.
"Manusia tak berguna! Kau beruntung umurmu masih kuperpanjang beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak niscaya saat ini sudah kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular."
Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah tiang di mana tadi sosok Dewi Ular berubah jadi ular hijau dan lenyap.
Suara angin laksana topan prahara melanda kamar itu.
Tempat tidur dan semua benda yang ada dalam kamar hancur berantakan.
Tapi tiang kayu dan dinding kamar serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wiro sendiri jatuh jungk ir balik di lantai akibat terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya.
Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang-kunang.
"Keparat! Bagaimana aku bisa keluar dari ruangan celaka ini?!"
Keluh Pendekar 212.
"Apa yang terjadi hingga perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini?!"
Wiro duduk terkulai di lantai, tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya.
Kalau dia menghantam lagi ruangan dengan pukulan sakti lainnya, bukan mustahil dia sendiri bisa celaka bahkan mati konyol di tempat itu.
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu, sekilas dia teringat apa yang barusan dialaminya.
"Aneh, aku begitu bernafsu pada perempuan itu. Tapi kenapa aku jadi tiba-tiba tidak mampu? Hilang kejantanan? Aneh... Benar-benar aneh!"
Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang ke bawah.
"Jangan-jangan... Eh, jangan-jangan ini perbuatan Kakek Segala Tahu yang memberikan obat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga aku tak sanggpu melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular. Berarti aku diselamatkan dari cairan tubuh perempuan terkutuk itu! Kalau tidak, nasibku akan sama dengan Sandaka! Tapi... Ya Tuhan! Gila! Sampai berapa lama aku kehilangan kejantanan seperti ini? Seumur hidupku?! Celaka! Benar-benar celaka! Aku harus mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja dia benar-benar belum menemui ajal. Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja aku tidak mampu! "
Selagi dia terhenyak duduk tak berdaya seperti itu, tiba-tiba terdengar suara halus entah datang dari mana.
"Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan terkutuk itu, lekas keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Hantam salah satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu penyanggahnya rapuh terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini! "
Wiro berdiri.
"Eh, siapa yang barusan bicara?!"
Dia berseru.
"Setan! Turut saja apa yang aku bilang! Kalau kau buang waktu, semua urusan bisa jadi kapiran! Dunia persilatan tak bakal bisa diselamatkan!"
Kembali terdengar suara halus. Wiro garuk-garuk kepala.
"Eh yang bicara ini apakah... Guru! Eyang! Engkaukah itu?! "
"Budak tolol! Lekas kau lakukan apa yang aku perintah! "
Pendekar 212 tertawa lega.
"Pasti itu Eyang Sinto Gendeng..."
Serunya.
Lalu segera saja dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti.
Sekali mata kapak dan batu hitam diadu satu sama lain, satu lidah api menyembur ke arah tiang besar di sebelah kiri.
Sesaat kemudian kamar itu sudah dibuncah api.
Terdengar suara berkereketan.
"Celaka! Aku bisa terpanggang hidup-hidup di tempat ini!"
Teriak Wiro.
Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara berdentum.
Atap ruangan hancur berantakan.
Ada angin merambas masuk.
Di sebelah atas Wiro dapat melihat langit malam.
Lalu muncul sosok kurus kering bungkuk bermuka reot menyeramkan.
Di kepalanya ada lima buah tusuk konde berwarna perak.
"Guru! Benar kau rupanya!"
Seru Wiro seraya hendak menjura memberi hormat.
"Anak tolol! Bukan saatnya memakai segala peradatan! Lekas melompat keluar dari dalam kamar itu! Atau kau memang sudah kepingin mampus ditembus api?! "
"Eyang! Terima kasih kau telah menolongku!"
Seru Pendekar 212 lalu sekali dia menggenjot tubuhnya melayang ke atas. Begitu dia menginjakkan kaki di tanah. Eyang Sinto Gendeng sudah tegak di hadapannya.
"Kita harus segera mengejar ke arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!"
Eyang Sinto unjukkan dua buah benda yang dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu berwarna kuning seperti terbuat dari emas.
"Benda apa itu Eyang?"
Tanya Wiro.
"Dua buah paku emas! "
"Paku emas?! "
"Ya, ini satu-satunya benda yang mampu menolong pemuda bernama Sandaka itu untuk lepas dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup membunuh Dewi Ular, makhluk setengah manusia setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada dua di dunia. Kalau salah atau meleset memakainya, maka akan celaka umat Tanah Jawa ini. Memakainya juga tidak bisa sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka, paku harus menancap di kepala anggota rahasianya...
"
"Gila! Bagaimana aku bisa melakukannya?! "
"Aku tidak mau susah payah memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!"
Bentak Eyang Sinto Gendeng.
"Lalu bagaimana cara menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?"
Tanya Wiro pula.
"Perempuan itu jelas tidak punya kemaluan seperti Sandaka! "
"Anak setan sialan!"
Maki Eyang Sinto Gendeng.
"Tentu saja mana ada perempuan yang anggota rahasianya seperti laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan tepat di pusar perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu! "
Wiro terdiam. Sebetulnya dia mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sinto Gendeng hendak susupkan dua paku emas itu ke tubuh Wiro, tapi seolah baru melihat kalau sang murid saat itu tidak berpakaian sama sekali.
"Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari pakaian. Aku tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak! "
Wiro segera bergerak.
"Tunggu!"
Seru Eyang Sinto Gendeng. Dia mengeluarkan sebuah benda bulat hitam seujung kelingking.
"Lekas kau telan ini! "
"Apa itu Nek?"
Tanya Wiro.
"Sebelumnya aku telah berjumpa dengan Kakek Segala Tahu...
"
"Ah, bagaimana keadaan orang tua itu. Dewi Ular telah...
"
"Dia tak kurang suatu apa. Untung keburu kutemui, dan sebelumnya dia juga telah menjaga diri dengan obat penolak racun. Dia kutinggal di sebuah pondok di tengah hutan. Saat ini mungkin masih ngorok..."
Menerangkan Sinto Gendeng.
"Aku mendapat penjelasan darinya bahwa kau diberikan obat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa manggutmanggut... Kalau tidak, darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni cairan tubuh Dewi Ular...
"
"Astaga!"
Kejut Wiro dengan muka berubah.
"Jadi itu rupanya kekuatan obat yang disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap..."
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah ini! Lekas telan obat ini!"
Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu pada Wiro. Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu dia bertanya.
"Nek, obat yang barusan aku telan ini untuk apa? Mau membuat burungku jadi lebih rapuh? "
Si nenek gelengkan kepala.
"Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar kau nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan! "
"Jadi... jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu dia mencelekai diriku? "
"Kau mau tidur dengan dia sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi ingat, kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu, tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular...
"
"Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?"
Tanya Wiro.
"Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!"
Sahut Eyang Sinto Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia berkelebat pergi. Begitu orang yang memekik menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke hadapannya. Ternyata yang muncul adalah Dewi Ular.
"Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu! Celaka!"
Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki serta penuh gelimangan darah.
"Kekasihku..."
Ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan hendak merangkul pemuda itu.
"Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini...
"
"Sandaka!"
Datuk Bululawang berteriak.
"Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan biarkan dia memelukmu! "
"Sandaka!"
Balas berteriak Dewi Ular.
"Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ayo lekas pergi! "
Dewi Ular yang hendak memeluk si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat.
Wajah dan tubuhnya yang berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan.
Itulah hawa dan tanda pembunuhan! "Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia hanya mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua bangka keparat ini!"
Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya.
Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menderu ke arah Datuk Bululawang.
Sang datuk cepat menyingkir.
Namun lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek.
Baru saja dia mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan jotosan ke pelipis kirinya.
Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh .
Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya.
Dia seperti membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan.
Namun diam-diam tangan kanannya melesat ke perut Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.
Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal.
Dia tekankan kedua tumitnya ke tanah.
Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas.
Dari rongga bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ekor ular hijau.
Dua binatang jejadian ini langsung melesat ke arah Datuk Bululawang.
"Desss! Prakkk!"
Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang.
Namun dia tidak mampu menghantam ular kedua ataupun menghindar.
Binatang ini mematuk ke arah matanya.
Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar hijau menyambar.
Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkeping-keping.
Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur.
Dadanya mendenyut sekali.
Dia memandang ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker.
Dewi Ular tahu pemuda itulah yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari kedua matanya.
"Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini aku terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul! "
"Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!"
Teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.
Manusia paku yang kini berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang menggereng keras.
Dengan satu kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan Dewi Ular.
Dia kedipkan kedua matanya.
Dua larik sinar hijau menyambar.
Dewi Ular melompat ke balik sebatang pohon seraya menghantam dengan tangan kanan.
"Wusss!"
"Braaak!"
Batang pohon besar hancur berantakan. Pohon tumbang dengan suara bergemuruh. Seluruh kulit sampai ke ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman.
"Kejar dia Sandaka! Jangan sampai lari! Dia harus mati di tanganmu!"
Teriak Datuk Bululawang.
Di balik pohon yang tumbang, Dewi Ular robek pakaiannya di bagian perut.
Pusarnya menyembul di antara keputihan perutnya.
Ketika Sandaka muncul di depan sana untuk mengejarnya, Dewi Ular gerakkan perutnya.
Seekor ular hitam berkepala putih melesat keluar dari pusar perempuan itu.
Binatang jejadian ini kelihatannya memiliki panjang yang tidak terbatas karena tubuhnya terus memanjang sampai akhirnya mencapai tempat Sandaka berada, sementara ekornya masih berada dalam perut Dewi Ular! "Wuuuuutttt!"
Kepala ular putih menyambar.
Mulutnya mematuk ke muka Sandaka.
Pemuda ini cepat merunduk lalu membalik.
Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular jejadian itu dan langsung dicengkeram.
Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan kepala.
Saat itulah Sandaka kedipkan kedua matanya.
"Wusss! Wussss!"
Dua larik sinar hijau berkiblat.
Dewi Ular menjerit panjang ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur lebur.
Perutnya terasa panas.
Cepat dia pegang perutnya di bagian pusar.
Sebelum Sandaka datang mengejar, perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.
"Kejar dia Sandaka! Cepat! Jangan biarkan lolos!"
Teriak Datuk Bululawang.
Sandaka segera berkelebat.
Namun saat itu ada dua bayangan menghadangnya.
Satu seorang nenek tua berbadan bongkok bermuka perot dan berkulit sangat hitam.
Satunya lagi seorang pemuda gendeng aneh mengenakan pakaian seperti pakaian perempuan.
Kedua orang ini bukan lain adalah guru dan murid Eyang Sinto Gendeng si nenek sakti dari Gunung Gede, dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Datuk! Ada yang coba menghadangku!"
Kata Sandaka. Datuk Bululawang telah melihat kehadiran kedua orang itu. Dia segera mengenali si nenek, tapi tak mampu mengenali Wiro. Tanpa pikir panjang dia berteriak beri perintah.
"Singkirkan mereka Sandaka! Bunuh! "
Sandaka menggerang.
"Wiro! lekas kau hantam dia dengan salah satu dari dua paku emas itu!"
Eyang Sinto Gendeng berbisik.
"Aku memang sudah siap melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia mengenakan cawat. Mana aku bisa menduga yang mana kepala anggota rahasianya!"
Menyahuti Wiro sementara paku emas sudah berada dlaam genggamannya.
"Sialan! Yang menonjol itu pasti kepalanya!"
Kata si nenek setengah berteriak.
"Mungkin benar. Tapi kalau bukan bagaimana? Kita bisa celaka semua! Nek, aku minta kau menyerang kakek buntung yang menguasai pemuda itu. Sandaka pasti bertindak menolongnya. Aku akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau merorotkan cawatnya..."
"Anak setan! Akalmu kuterima!"
Jawab Eyang Sinto Gendeng sambil tertawa cekikikan lalu dengan tongkat butut di tangannya dia menyerbu Datuk Bululawang.
"Tua bangka tolol! Jauh-jauh dari Gunung Gede kau datang hanya mencari mampus!"
Teriak Datuk Bululawang seraya kebutkan lengan jubah kanannya.
Ujung tongkat butut di tangan si nenek bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan.
Sinto Gendeng ganda tertawa.
Dia sengaja lepaskan tongkatnya.
Selagi tongkat ini melayang ke atas, dia cabut dua buah tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.
"Wutttt! Wuuuuut!"
Dua tusuk konde melesat ke arah Datuk Bululawang.
Dari samping, Sandaka berkelebat menghadang serangan Sinto Gendeng.
Dengan tangan kirinya, tusuk konde yang pertama dihantamnya sampai mental.
Tusuk konde kedua dengan tenang diterimanya dengan tubuhnya.
Tusuk konde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka.
Sambil menyeringai, Sandaka cabut tusuk konde itu lalu meremasnya hingga hancur.
Saat itu tongkat yang melayang ke atas telah turun dan cepat ditangkap oleh Sinto Gendeng.
Begitu tongkat berada dalam genggamannya, dia kembali menyerbu sang datuk.
Sekali ini si nenek menyerang bukan hanya dengan tongkat.
Tangan kirinya ikut bergerak dan menghantam dengan "Pukulan Sinar Matahari"
Yang dahsyat.
Lima jari tangannya didorongkan sambil membuat gerakan mencengkeraman.
Biasanya sekali jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh lawan, pasti langsung bisa dibuat jebol lalu disentakkan kembali.
Tapi sekali ini bagaimanapun dia kerahkan tenaga luar dan dalam, jari tangannya tidak mampu menjebol.
Padahal tubuh nenek kurus kering itu tinggal kulit pembalut tulang.
Keringat dingin mengucur dan kedua matanya yang juling berputar-putar.
Sinto Gendeng tertawa berlagak.
"Bagaimana Datuk...? Kau tak sanggup menjebol tubuhku? Mustahil!! Kau manusia sakti luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba persilatan. Masak menjebol perut tipis peot begini saja kau tidak sanggup?!"
"Jahanam!"
Maki Datuk Bululawang. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Sinto yang memiliki wajah seperti tengkorak tertawa.
"Ilmu siluman apa yang hendak kau keluarkan Datuk busuk?"
Ejek Sinto.
Dia menahan nafas.
Tangan Datuk Bululawang lengket dan disedot.
Bagaimanapun sang Datuk Bululawang kerahkan tenaga berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja.
Malah rasa panas tiba-tiba menjalar dari perut si nenek, terus mengalir ke tangan, lengan dan sekujur tubuhnya.
"Datuk Bululawang! Saat kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun di masa lalu kebejatanmu sudah terkenal. Kau merusak anak-anak muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh orang-orang persilatan tanpa sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!"
"Dajal tua! Aku memilih mati bersama!"
Teriak Datuk Bululawang.
Mulutnya didekatkan ke leher Sinto Gendeng.
Maksudnya dia hendak menggigit putus urat leher si nenek.
Tapi lebih cepat dari gerakan kakek berpunuk ini, dua tangan Sinto Gendeng berkelebat ke atas kepalanya mencabut dua buah tusuk konde perak.
Lalu secepat kilat tusuk konde itu ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.
"Crass!"
"Crass!"
Dua bola mata Datuk Bululawang pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit setinggi langit! "Sialan!"
Maki Sinto Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka tengkoraknya. Tangan kanannya dikemplangkan ke batok kepala Datuk Bululawang. Saat itu Sandaka meloncat dan berseru.
"Jangan bunuh! Beri aku kesempatan balas dendam kesumat sakit hati!"
Sinto Gendeng hentikan gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang berpaku-paku pemuda lalu menyeringai.
"Manusia paku aku luluskan permintaanmu! Silahkan lakukan apa yang kau mau!"
Kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang ke perutnya.
Sandaka mendekat.
Semula Sinto mengira Sandaka akan memukul hancur kepala atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang.
Ternyata tangan kanannya menyelinap ke bawah jubah Datuk Bululawang.
Terdengar sesuatu hancur dalam remasan Sandaka.
Datuk Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika anggota rahasianya diremas hancur oleh Sandaka.
Sinto Gendeng merinding mendengar suara berderak hancur anggota rahasia Datuk Bululawang.
Segera ia lepaskan tangan Datuk Bululawang dari sedotan perutnya.
Dalam keadaan limbung Datuk Bululawang akhirnya jatuh terkapar di tanah, menjerit dan melejanglejang tiada henti.
"Kau tidak membunuhnya?"
Tanya nenek dengan mulut dimencongkan.
"Kematian terlalu enak bagi dia. Biarkan dia hidup seperti itu. Lebih hina seperti binatang,"
Jawab Sandaka. Tempat itu sunyi beberapa ketika. Sinto Gendeng bangkit dari peti yang didudukinya. Dia berpaling kepada muridnya.
"Anak setan, kurasa tugasku sudah selesai. Selanjutnya kuserahkan kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan..."
Dengan ujung tongkat, nenek ketuk-ketuk peti besi di dekatnya.
"Aku yakin ada sesuatu yang sangat berharga dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya, serahkan kepada murid Dewa Tuak untuk membantu!"
Lalu Sinto berpaling kepada Anggini.
"Sampaikan salam hormatku kepada gurumu. Katakan aku tidak dapat menyambanginya. Aku harus cepat-cepat kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan nafas dan dadaku karena sudah terlalu kotor!"
Anggini hanya menunduk tidak berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku pergi sekarang..."
"Eyang! Ada yang hendak saya tanyakan..."
Wiro cepat berkata. Anggini ikut menimpali.
"Benar, saya pun ada sesuatu yang ingin dipertanyakan. Sekalian menyampaikan pesan guru saya...."
Sinto Gendeng seperti sudah maklum apa yang akan ditanyakan oleh kedua pemuda pemudi ini, yakni menyangkut perjodohan mereka yang terkatung-katung sejak lama. Setelah batuk beberapa kali Sinto berkata.
"Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan apa yang hendak kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya menyelesaikan urusan besar daripada membicarakan masalah ini. Biar aku sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk menuntaskan persoalan!"
Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi. Anggini berpaling pada Wiro dan berkata.
"Kau dengar, dia akan menemui guruku untuk membicarakan kita? Aku yakin sampai sepuluh tahun ke depan tidak akan melakukannya. Kalaupun berjumpa guru pasti ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!"
Wiro tegak garuk-garuk kepala, tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Kemudian baik Anggini dan Wiro sama-sama menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.
"Ke mana dia? "
"Kurasa mengejar Dewi Ular,"
Jawab Anggini.
"Bagaimana kau bisa tahu? "
"Dendam kesumatnya kepada perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan. Dia membunuh kekasih calon istrinya sendiri akibat pengaruh jahat Dewi Ular. Yang di sana itu makamnya....
"
"Dia pantas membalas dendam, tapi aku rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu lagi. Dia akan dibunuh oleh Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar dan menolongnya, tapi ke mana? "
"Ke tempat kamu pernah disekap dulu,"
Ujar Anggini.
"Tempat itu sudah hancur porak poranda....
"
Anggini berpikir sebentar.
"Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya tempat di sebuah pegunungan Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi Lor Ampenan....
"
"Candi Lor Ampenan, aku tahu tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusia-manusia aneh yang berpesta sambil berhubungan badan di tempat terbuka...
"
"Ah, pengalamanmu sungguh luas rupanya,"
Ujar Anggini, membuat wajah Wiro memerah.
"Aku akan mengejar ke sana!"
Wiro mengambil keputusan.
"Tunggu dulu! Bagaimana dengan peti itu?"
Tanya Anggini.
"Peti itu? Eh, itu menjadi urusanmu!"
Jawab Wiro.
"Enak saja! Dari pada berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja...
"
Wiro memandang peti itu sambil garuk-garuk kepala. Dia lalu melangkah mendekati peti itu. Dengan sebuah batu gerendel pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka, terlihat tumpukan batangan emas memancarkan sinar kuning benderang.
"Setelah tahu isinya, kau masih mau meninggalkan peti besi ini di sini?"
Tanya Wiro sambil tertawa, lalu tanpa menunggu jawaban si gadis dia berkelebat cepat ke arah barat.
Meski berhasil mencapai Candi Lor Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan mengandung batu pualam di pantai selatan, namun sampai pagi muncul dan matahari naik, Pendekar 212 Wiro Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular.
Apalagi tidak diketahui jelas apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau goa.
Dengan perasaan jengkel murid Sinto Gendeng kembali ke Candi Lor Ampenan.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Pikir sang pendekar sambil duduk di tangga batu, bersandar pada tubuh sebuah stupa berbentuk naga.
Melihat bentuk stupa ini murid Sinto Gendeng ingat pada senjata saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga.
Disibakkannya pakaiannya.
Baru dia sadar bahwa sampai saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan.
Pakaian ini ditemukannya direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana dia disekap.
Daripada telanjang lebih baik dia kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.
Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya.
Sesaat kapak itu hanya diletakkan di pangkuan sambil diusap-usap.
Kemudian dia ingat kalau senjata ini juga merupakan suling keramat.
Wiro angkat kapak sakti dan mendekatkan mulut kapak ke bibirnya lalu mulai meniup.
Dia tidak tahu lagu apa yang dimainkan dan berapa lama dia bersuling ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum semerbak.
"Dia datang..."
Suara hati Wiro bergetar.
"Dari jurusan kiriku...."
Seolah tidak mengetahui murid Sinto Gendeng terus meniup sulingnya.
Dia tidak menunggu lama.
Satu bayangan hijau berkelebat.
Di lain kejab Dewi Ular telah berdiri di hadapannya.
Wajahnya yang cantik tampak seperti tidak berdarah dan tatapannya penuh selidik.
"Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira aku akan menerima seperti dulu? Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?"
Wiro berhenti meniup sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum amarahnya meledak dia ajukan pertanyaan.
"Bagaimana kau bisa lolos dari tempat itu? Bagaimana kau dapatkan pakaian itu? Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa otakmu sudah miring? "
Wiro turunkan Kapak Naga Geni 212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti baru menyadari, Dewi Ular perhatikan senjata itu dengan seksama.
"Waktu di kamar aku terlalu bodoh tidak mengamankan senjata itu....
"
"Dewi, nenek sakti yang jadi guruku menolongku dari sekapanmu di kamarmu yang indah. Lalu karena pakaianku lenyap akibat ledakan dan kobaran api dan hanya mendapatkan pakaian ini, ya aku gunakan seadanya. Lalu mengenai otakku, kalau kau nanya apakah otakku sudah miring, kurasa belum...
"
"Kenapa kau datang ke tempat ini?! Sengaja mencariku dengan maksud jahat?! "
"Kau betul. Aku kemari memang sengaja mencarimu. Untuk membuktikan aku sebenarnya bukan lelaki banci. Bukan pemuda yang sudah kehilangan kejantanannya...
"
"Eh, apa maksudmu..?! "
"Kalau Dewi Ular masih bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih, aku akan buktikan bahwa aku bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin...
"
Paras Dewi Ular berubah kemerahan. Kedua matanya memandang bagian bawah pemuda itu seolah mau menembusnya.
"Pendekar 212, waktu aku menarik diri dari perkelahian dengan Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira aku kehilangan keberanian dan kesaktian. Aku masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Jadi jika kau bermaksud menipuku, sekarang nyawamu sudah dalam genggamanku!"
"Dewi, aku berkata apa adanya. Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau tidak berkenan lagi melihatku, izinkan aku pergi..."
Wiro membuat suaranya seperti orang sedih, lalu perlahan-lahan dia berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular memperhatikan Wiro yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.
"Wiro! Tunggu!"
Dewi Ular berseru.
"Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan diriku! Ternyata kau bukan seorang jantan yang aku idamkan?! "
"Aku rela kau bunuh menurut sukamu. Dicincang, dibakar, diapakan saja! "
Dewi Ular tersenyum. Dia melangkah mendekati pemuda itu lalu merapatkan tubuhnya lekatlekat dan merangkul Wiro kencang-kencang.
"Dia menguji kelakianku..."
Membatin murid Sinto Gendeng.
Dia segera simpan Kapak Naga Geni 212 lalu balas merangkul Dewi Ular, malah sambil tangannya disusupkan ke balik pakaian hijau tipis perempuan cantik itu.
Dewi Ular merasa badannya menggeletar ketika diam-diam dia merasakan memang ada kelainan pada diri Wiro.
Digigitnya dada Wiro dengan beringas hingga Wiro kesakitan.
"Tempatku tidak jauh dari sini, ikuti aku..."
Kata Dewi Ular sambil melihat ke arah bagian bawah tubuh Wiro.
Tempat yang dikatakan Dewi Ular itu adalah sebuah bangunan terbuat dari Batu pualam beratap ijuk, terletak di lereng bebukitan batu.
Tepat di depan bangunan ada sebuah jurang sedalam hampir enam puluh kaki.
Bagian depan bangunan terbuka sehingga dapat melihat bebas ke pemandangan yang menawan.
Dewi Ular bersandar ke dinding batu pualam, menghadap ke bagian depan bangunan.
Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka untuk memancing.
Murid Sinto Gendeng beringsut mendekat.
Dalam hati membatin.
"Kalau aku tidak kuat menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan mungkin aku sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sinto Gendeng...
"
"Tempat ini agak panas... aku mulai keringatan. Dewi, apakah aku boleh membuka pakaian?"
Dewi Ular tersenyum lalu tertawa merdu.
"Seharusnya dari tadi kau buka pakaian itu. Setelah itu tolong kau bukakan pakaianku..
"
Tubuh Wiro menggelora menahan rangsangan yang membuat nafasnya memburu dan panas.
Selesai membuka pakaiannya, dia melakukan apa yang dikatakan Dewi Ular, yaitu membuka kain sutera hijau itu.
Selagi Wiro menanggalkan pakaiannya, sepasang mata wanita itu tidak lepas-lepasnya menatap ke bagian bawah tubuh Wiro.
Sambil berbisik dia berkata.
"Kau tidak berdusta, sekarang aku melihat sendiri kau benar-benar seorang lelaki....
"
Dewi Ular menggayutkan kedua tangannya ke leher Wiro. Lalu dengan penuh nafsu wanita itu mendorong tubuh Wiro ke lantai dan menindihnya.
"Aku tidak menyesal kehilangan Sandaka. Kau pengganti yang lebih hebat...
"
"Kita belum melakukannya Dewi. Aku belum membuktikan..."
Bisik Wiro yang membuat Dewi Ular mengerang lirih lalu menindih pemuda itu kuat-kuat.
"Kalau begini terus aku tidak punya kesempatan melakukan hal itu..."
Wiro membatin. Lalu pura-pura seperti orang yang dirangsang nafsunya membolak-balik tubuhnya. Bersamaan dengan itu tangannya mengambil paku emas yang diikatkan di balik rambutnya yang gondrong.
"Dewi, aku akan melakukannya..
"
"Lakukan cepat Wiro! Tubuhku seperti kau panggang..."
Tangan Wiro meluncur ke bawah. Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan itu mengusap perutnya. Wiro memegang paku emas erat-erat. Usapannya sampai ke pusar Dewi Ular.
"Wiro, aku merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau..."
Ucapan Dewi Ular hanya sampai di situ. Paku emas di tangan Wiro menusuk deras dan amblas ke dalam pusarnya. Dewi Ular menjerit keras. Dia memandang ke bawah ke arah pusarnya.
"Paku emas!!"
Teriak Dewi Ular dengan muka pucat.
"Manusia keparat!"
Sepasang mata Dewi Ular menyorong garang.
Sinar hijau berkilauan, tapi serta merta lenyap.
Dia kedipkan matanya, tidak ada sinar maut yang keluar.
Dia coba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher pemuda itu untuk mencekik.
Tapi dengan mudah Wiro menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.
Darah mengucur dari pusar Dewi Ular yang berlubang.
Di antara kucuran darah kelihatan kepulan asap hitam berbau busuk.
Wiro cepat bangkit dan cepat jambak rambut perempuan itu lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding batu.
Mahkota kepala ularnya menggelinding jatuh ke lantai batu.
"Bangsat penipu...!"
Kutuk Dewi Ular.
Dia mengumpulkan sisa kekuatannya.
Didahului satu jeritan dia lancarkan tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup telak sehingga murid Sinto Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai.
Dewi Ular cepat bangkit.
Dia menyambar Kapak Naga Geni 212 yang diletakkan Wiro di bagian depan bangunan.
Wiro tak mau berlaku ayal.
Dia cepat melompati perempuan itu dan hantamkan tangan kanan memukul lengannya.
Dewi Ular menjerit kesakitan.
Senjata mustika yang sempat dipegangnya terpaksa dilepaskan dan jatuh berkerontang di lantai pualam.
Sambil menahan sakit Dewi Ular berusaha berdiri.
Darah berbau busuk semakin banyak mengucur dari pusarnya yang ditancapi paku emas.
"Pendekar 212..."
Desis Dewi Ular. Dia bersandar ke dinding sambil sedikit demi sedikit bergeser menuju bagian depan bangunan.
"Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati, penuhi dulu satu permintaanku..."
Dia bergerak lagi menuju bagian depan bangunan.
"Katakan apa permintaanmu!"
Ujar Wiro.
"Tiduri diriku. Di sana, dekat jurang sana. Kalau sudah kau lakukan, kau boleh membunuhku dan membuang mayatku ke dalam jurang!"
Pendekar 212 kernyitkan kening.
"Jangan takut... Aku tidak akan meracuni tubuhmu seperti kulakukan terhadap Sandaka. Saat ini aku..."
Ucapan Dewi Ular putus sampai di situ. Dengan satu gerakan kilat, perempuan ini jatuhkan diri meluncur di atas lantai batu pualam yang licin menuju bagian depan bangunan di mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.
"Sial! Mengapa aku tidak cepat mengamankan senjata itu!"
Rutuk Wiro menyesali kebodohannya sendiri.
Dia berusaha mengejar.
Namun gagang kapak telah keburu dipegang oleh Dewi Ular.
Begitu dia hendak mengangkat senjata sakti ini, tiba-tiba sebuah kaki yang ditancapi paku dan bergelimang darah menginjak badan kapak.
Dewi Ular terpekik dan melompat menjauhi diri.
Sosok tubuh yang menginjak kapak membungkuk mengambil senjata itu.
Sandaka! Wiro hendak berteriak agar Sandaka segera menyerahkan senjata itu padanya.
Namun sesaat dia jadi bimbang.
Kemudian dilihatnya Sandaka melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 didepan dada.
Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu kelihatan luar biasa mengerikan.
"Kekasihku.... Jangan....! Apa yang hendak kau lakukan?!"
Seru Dewi Ular. Sandaka tidak menjawab. Mukanya semakin angker.
"Sandaka kekasihku... Dengar... Kita bisa hidup seperti dulu lagi...
"
"Perempuan iblis! Tutup mulutmu!"
Bentak Sandaka menggeledek.
"Kau tipu diriku dengan kecantikan dan tubuhmu. Kau racuni badan dan otakku lalu kau kuasai.! Di bawah pengaruh jahatmu kau perintahkan aku membunuh orang-orang tak berdosa. Kekasihku Mantili. Guruku Eyang Gusti Kelud Agung...
"
"Kau salah sangka Sandaka. Semua itu aku lakukan demi masa depan kita. Bukankah kita ingin sama-sama menguasai dunia persilatan? "
"Perempuan durjana! Kau tak akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan mengirimmu ke liang akhirat lebih dulu! "
Kapak sakti di tangan Sandaka menderu. Sinar terang memancar dan suara seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi tempat itu.
"Sandaka! Jangan...!"
Teriak Dewi Ular. Mata kapak berkiblat menghantam bahu kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit keras. Darah berwarna kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.
"Sandaka... jangan bunuh diriku..."
Dewi Ular memohon sambil meratap. Kapak di tangan Sandaka berkelebat lagi.
"Crasss! "
Senjata itu menghujam telak di dada Dewi Ular.
Kembali terdengar jeritan mengerikan di tempat itu.
Tubuh Dewi Ular bergulingan di lantai, menggelinding ke tanah lalu berhenti dekat pinggiran jurang.
Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah, Dewi Ular mencoba bangkit dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.
"Ampun Sandaka! Jangan bunuh diriku...!"
Sandaka melompat turun dari bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar .
"Tolong...!"
Jeritnya memelas. Sandaka sampai di hadapannya. Kaki kanan manusia paku ini berkelebat.
"Bukkk! "
Tendangan yang keras menghantam tepat bagian dada Dewi Ular yang robek besar.
Tak ampun lagi, tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang.
Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang batu itu.
Untuk beberapa lamanya Sandaka masih tegak di tepi jurang.
Kemudian perlahan-lahan tubuhnya membalik.
Kapak Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat.
Dia melangkah ke hadapan Wiro mengulurkan tangan menyerahkan senjata sakti itu.
Wiro cepat mengambilnya.
Tanpa berkata apa-apa, Sandaka putar kembali tubuhnya.
Dia melangkah lagi ke tepi jurang.
"Apa yang ada di benak manusia ini?!"
Pikir Wiro. Tiba-tiba dia berteriak keras.
"Sandaka! Jangan!"
Wiro berusaha mengejar.
Tapi sia-sia saja.
Sandaka keburu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu.
Murid Sinto Gendeng baru memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam enam puluh kaki itu ketika telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi.
Si penunggang kuda ternyata gadis berpakaian ungu yang bukan lain adalah Anggini.
"Apa yang terjadi di sini...?"
Tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di mana-mana.
Dia bertanya dengan muka dipalingkan ke jurusan lain.
Astaga! Wiro baru sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak berpakaian.
Dia segera menghambur masuk ke dalam bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.
Keluar dari bangunan, dia baru menceritakan apa yang terjadi pada Anggini.
Gadis ini hanya bisa menarik nafas dalam.
"Satu malapetaka besar telah lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari mendatang...? "
Kata Anggini perlahan.
"Peti berisi batangan-batangan emas itu,"
Ujar Wiro.
"Kau tinggalkan di mana? "
"Jangan khawatir. Kutanam di makam Mantili, kekasih Sandaka..."
Jawab Anggini. Gadis ini memandang ke langit yang tiba-tiba saja berubah mendung.
"Sebentar lagi akan turun hujan agaknya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro...
"
"Kau pergilah duluan. Di kaki bukit batu ini tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu aku di sana.
"
"Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua...
"
Wiro tersenyum.
"Badan dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan...
"
"Kau betul. Badan dan pakaianmu kotor. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh sekali. Namun satu hal aku tahu. Hatimu bersih...
"
Wiro gigit bibirnya.
"Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!"
Pendekar Pedang Matahari Iblis Bukit Setan Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat