Ceritasilat Novel Online

Perawan Sumur Api 2


Satria Lonceng Dewa Perawan Sumur Api Bagian 2



Gadis ini terkejut.

   Dia mengenal sekali siapa adanya perempuan itu.

   Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya.

   Dua mata diusap berulang kali.

   "Apakah ini suatu sihir? Atau apakah aku tengah bermimpi?"

   Ananthawuri gigit bibirnya sendiri.Terasa sakit.

   "Aku tidak bermimpi."

   Lalu dia mengucap menyebut nama Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna.

   "Ini bukan sihir..."

   "Ibu!"

   Pekik Ananthawuri memanggil. Perempuan di ujung lorong membalas.

   "Ananthawuri anakku."

   Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya bertemu lalu sama berpelukan.

   "Dewa Maha Besar.Terima kasih wahai Para Dewa. Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku dengan Ibundaku tercinta..."

   Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri.

   "Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

   "Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..."

   Perempuan berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan air mata.

   ooOOOoo 7.

   NAROTUNGGA DESA -Sorogedug.

   Sebuah desa kecil di sebelah selatan Prambanan.

   Penduduk rata-rata hidup bertani.

   Setiap keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur untuk ditanami.

   Sampai tengah malam banyak penduduk desa masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam dihias rembulan dan bintang gumintang.

   Namun ketenteraman orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda berdestardan berpakaian serba hitam.

   Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah, memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita.

   Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak.

   Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan pintu.

   Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin begitu berada di depan pintu langsung menendang.

   "Braakkk!"

   Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong.

   "Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu tidak ada di sini."

   Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke dalam kamar pada dua temannya.

   "Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani ibunya yang lagi sakit."

   Kata si kumis melintang mendahului melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang lusuh.

   Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek dan tanggal dari gantungannya.

   Di dalam kamar yang diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur tipis terbaring seorang perempuan separuh baya.

   Perempuan ini dalam keadaan sakit.

   Sudah dua hari menderita demam dan batuk.

   Wajahnya pucat.

   Dia tidak dalam keadaan tidur dan dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di sampingnya dengan penuh rasa takut.

   Sambil batuk-batuk perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat tidur, rapatkan dada pakaiannya.

   Dia menatap pada lelaki berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai hutang.

   "Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk dengan cara merusak pintu....?"

   "Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini dari pada nyawamu!"

   Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak. Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya.

   "Raden, apa maksudmu..."

   "Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri?!"

   "Kau...kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada di kamarnya..."

   Jawab perempuan bernama Sukantili yang sedang sakit.Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang.

   "Tapi...Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam buta begini rupa. Apakah..."

   "Diam! Tidak perlu banyak bertanya!"

   Hardik Panangkaran.

   "Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau sembunyikan dimana anak itu?!"

   Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak.

   "Saya tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar ini dalam keadaan sakit..."

   "Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke mana perginya! Orang tua macam apa kau?! Katakan dia pergi ke mana? Sembunyi di mana?!"

   "Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu pergi kemana anak itu."

   Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan ini menggigil gemetaran.

   "Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili?!"

   "Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak berdusta..."

   Panangkaran memperkencang jambakannya hingga Sukantili mengerang kesakitan.

   "Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat! Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"

   "Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu."

   Kata Sukantili terbata-bata.

   "Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!"

   Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya. Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul dan membawanya keluar rumah. Sukantili menjerit.

   "Saya mau dibawa ke mana? Lepaskan! Saya sedang sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana? Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak? Tolong....!"

   Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah lalu dilempar ke atas atap.

   Sesaat kemudian gubuk itu telah tenggelam dalam kobaran api.

   Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu.

   Banyak tetangga yang mendengar.

   Namun mereka tidak berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan.

   Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing hanya itu yang bisa mereka lakukan.

   Jangankan rakyat biasa, prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu tidak akan berbuat apa-apa.

   Karena mereka tahu siapa adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja.

   ooOOOoo GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah barat laut desa Sorogedug.

   Gedung ini tidak beda seperti satu istana kecil.

   Terdiri dari satu bangunan besar dan lima bangunan kecil.

   Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi.

   Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut.

   Para pengawal meronda berkeliling sepanjang malam.

   Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah kamar kosong, dibaringkan di lantai.

   Kalau dipegang tubuhnya panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat kedinginan, menggigil gemetaran.

   Selain itu rasa takut yang amat sangat menyelubungi dirinya.

   Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu, seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan memberi minuman secangkir teh hangat.

   Setelah itu pelayan keluar.

   Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek, mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan berjanggut tipis.

   Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi.

   Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan hidung tinggi bengkok.

   Dua telinga dicantel anting-anting bulat terbuat dari emas.

   Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun keladi lebar.

   Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia mengipasi wajahnya yang pucat.

   Tiga dari lima jari tangan kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar.

   Lelaki berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris menyerupai hantu inilah Narotungga.

   Saudagar muda yang tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya Panggali.

   Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan diri.

   Setengah meratap dia memohon.

   "Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya dilepas..."

   Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan sikap congkak dia berkata.

   "Aku muak mendengar ocehan perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak perempuannya!"

   Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini disandarkan ke dinding lalu dibentak.

   "Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri berada. Cepat!"

   "Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua malam terbaring sakit di dalam kamar..."

   "Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak perempuanmu?"

   "Tentu saja.. ..Saya".

   "Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."

   "Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..."

   Jawab Sukantili.

   "Cukup!"

   Hardik Narotungga.

   "Bawa masuk kemari lelaki penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!"

   Habis berkata begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari dalam kamar.

   Panangkaran memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di pintu.

   Lelaki ini segera tinggalkan kamar.

   Tak lama kemudian dia kembali membawa seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan cawat.Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan koreng dan kudis.

   Dua matanya merah, digenangi cairan nanah.Tubuh menebar bau busuk luar biasa.

   "Kalian mau melakukan apa?!"

   Tiba-tiba Sukantili berteriak amat ketakutan.

   "Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini?!"

   Tanya Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan cawat "Ha...hu...ha...hu!"

   Ternyata orang korengan ini gagu tak bisa bicara.

   "Menurutmu apakah dia cantik?"

   Tanya Panangkaran lagi.

   "Ha...hu...ha...hu!"

   "Kau suka padanya?"

   Kembali manusia korengan menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala.

   "Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!"

   Lelaki korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti.

   "Perempuan dungu!"

   Teriak Panangkaran.

   "Aku masih bisa menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana keberadaan anak gadismu!"

   "Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari penganiayaan keji ini."

   Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada Tungkaduara.

   "Perkosa perempuan ini!"

   "Ha...hu...ha...hu!"

   Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran dan meratap.

   "Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya. Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..."

   Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan perempuan itu.

   "Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya, saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu, cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!"

   Gelak tawa Panangkaran semakin keras.

   Bersama dua anak buahnya dia tinggalkan kamar itu.

   Pintu dipasak dari luar.

   ooOOOoo 8.

   MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika saudagar itu muncul dan menendang kakinya.

   Panangkaran terkejut.

   Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan dua anak buahnya.

   "Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu enak-enakan tidur!"

   "Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami keletihan, semalam tidak tidur..."

   "Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas?!"

   Bentak sang saudagar.

   "Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang Kalimundu!"

   "Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang mayat mereka kalau memang sudah tewas."

   Jawab Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak kehormatan Sukantili.

   Pasak pintu dibuka.

   Daun pintu didorong.

   Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran bersama dua anak buahnya berseru kaget.

   "Gusti Narotungga!"

   Panangkaran berteriak. Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi.

   "Ada apa?!"

   Tanyanya setengah membentak.

   "Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan. Harap Gusti menyaksikan sendiri."

   Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar.

   Wajahnya yang garang tampak ketakutan.

   Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu.

   Dua kakinya laksana dipaku di lantai.

   Dua mata membeliak.

   Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau menyembur muntah! Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian.

   Kepala pecah mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi lantai kamar.

   Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu! Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf Palawa.Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat! Anak manusia bernama Narotungga Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa Mengapa dipakai untuk berbuat nista Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram Hari ini sebelum sang surya tenggelam Bertobatlah dan pergilah membawa diri Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya Jangan berani kembali Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya.

   Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas.

   Saat itu juga tawa lelaki ini berhenti.

   Di langit-langit kamar dia melihat satu lobang besar.

   "Ada setan di gedung ini!"

   Teriak Narotungga keras.

   "Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan darah!"

   Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia berpaling pada kepala pengawal.

   "Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini semua kehendak dan perbuatan Para Dewa."

   "Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu! Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu! Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!"

   Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama.

   "Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..."

   "Minta ampun pada setan yang membawa kabur perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang menulis di tembok dengan darah!"

   Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh lalu tinggalkan tempat itu.

   Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri.

   Sepasang matanya tampak menyala seperti dikobari api.

   Diikuti dua anak buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga.

   Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.

   "Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan melakukannya malam nanti!"

   Panangkaran berpaling pada dua orang anak buahnya.

   "Kalian ikut?"

   "Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa yang kau lakukan akan kami lakukan."

   Jawab salah seorang anak buah Panangkaran sementara yang satunya mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam. Panangkaran menyeringai.

   "Kita bunuh saudagar itu. Kita kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan uang emas dan berbagai macam perhiasan."

   OoOOOoo DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya samasama mengusap wajah mengeringkan air mata.

   "Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu."

   Berkata Ananthawuri.

   "Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah, darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu merasa ada orang yang mendukung Ibu.Tapi Ibu tidak bisa melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langitlangit ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintangbintang. Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang terbakar atau cidera.Tak selang berapa lama berada di tempat ini, Ibu melihatmu..."

   "Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..."

   Kata Ananthawuri.

   "Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan pertolongan..."

   "Ibu juga yakin memang begitu adanya."

   Kata Sukantili pula.

   "Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang diturunkan Dewa atas kita? Ketika manusia biasa tidak memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari bencana."

   Ibu dan anak kembali saling berpelukan.

   ooOOOoo 9.

   MURKA DEWA JADI KENYATAAN KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga.

   Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta.

   Kerabat dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan Mataram diundang datang.

   Di ruang dalam gedung yang luas dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh molek.

   Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang semuanya adalah lelaki.

   Sebelum pesta dimulai konon Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia delapan buah kamar.

   Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat menerima pesta penuh kemesuman itu.

   Menjelang tengah malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak berubah.

   Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam.

   Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi keras disertai deru menakutkan.

   Pohon-pohon besar berderakderak, cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan, dedaunan luruh ke tanah.

   Petir menyambar mendebar dada, guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali.

   Anehnya hujan tidak turun-turun.

   Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat minta diri.

   Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar.

   Sekejapan seluruh tempat terang benderang.

   Lalu terdengar letupan keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan wuuusss! Api besar berkobar di atap gedung.

   Suasana pesta jadi kacau.

   Belasan prajurit kerajaan yang membantu mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api.

   Namun kebakaran malah semakin hebat.Tiupan angin yang luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa tempat di atas atap gedung.

   Sebentar saja seluruh atap gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah tenggelam dalam kobaran api.

   Ketika beberapa bagian atap mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain berwarna hitam.

   Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara menegur.

   "Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."

   Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahanlahan dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan sikap berkacak pinggang.

   "Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi! Mengapa berani muncul kembali?!"

   Ucap Narotungga dengan suara keras membentak.

   "Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk membantu Gusti Narotungga,"

   Jawab Panangkaran. Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.

   "Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!"

   Narotungga marah besar merasa dihina.Tapi diam-diam hatinya mulai kecut. Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak tawanya.

   "Kalian rupanya minta aku hajar!"

   Narotungga mengancam.

   "Narotungga,"

   Kata Panangkaran.

   "Aku dan teman-teman sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan gedung kediamanmu ini? Sekarang masih belum terlambat. Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"

   Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu tertawa gelak-gelak.

   Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di lantai.

   Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus.Tujuh warna membersit keluar dari tubuh keris.

   Senjata ini bukan senjata sembarangan karena merupakan keris bertuah dan mengandung racun mematikan.

   Namun Narotungga sebagai seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat sekalipun silat luar.

   Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan kesaktian.

   Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan para pegawai seperti Panangkaran.

   "Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!"

   Narotungga acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya. Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu berkata.

   "Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat! Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!"

   Kata Panangkaran pula.

   "Saatnya kalian menerima kematian!"

   Teriak Narotungga dengan mata mendelik.

   "Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka! Ha...ha...ha!"

   Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak Panangkaran cabut golok besar di pinggang.

   Dua anak buahnya lakukan hai yang sama.

   Sebelum tiga orang itu bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang.

   Serangannya berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada Panangkaran.

   Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan serangan.

   Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir.

   Saat itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga.

   Walau golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan.

   Dalam jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! Ini merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga.

   Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan.

   Namun agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya tidak sampai sebatas meludah saja! "Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!"

   Teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis dengan golok.

   "Traangg!"

   Begitu bentrokan senjata terjadi Panangkaran putar golok demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar dan akhirnya terlepas mental.

   Saudagar ini melompat mundur dengan muka pucat.

   Panangkaran mendatangi, dua anak buahnya bergerak dari samping.Tiga golok besar terpentang siap untuk dibacokkan.

   "Kalian bertiga! Dengar..."

   Ucap Narotungga dengan suara gemetar, wajah pucat tubuh menggigil.

   "Kalian boleh ambil salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"

   Panangkaran menyeringai.

   "Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini kau adalah tukang peras!"

   Tangan kanan Panangkaran yang memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar tampak sangat menyeramkan.

   "Kalau...kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu dua-duanya."

   Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya. Panangkaran tertawa bergelak.

   "Narotungga. Kau memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu yang pergi lebih dulu."

   Tangan kanan Panangkaran bergerak.

   Dua anak buahnya melakukan hal yang sama.

   Tiga bilah golok besar menderu.

   Narotungga menjerit keras.

   Dalam keadaan bersimbah darah tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.

   Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang tercampakdi lantai.

   ooOOoo 10.

   ARWAH MUKA HIJAU SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam, membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa angker.

   Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka manusia karena rata licin.

   Di bagian yang seharusnya terletak sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar berwarna hitam.

   Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti lidi, berwarna hijau.

   Demikian juga dua tangan dan sepasang kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau.

   Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus jejadian.

   Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang gading gajah berukuran besar.

   Pada seputar badan gading terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali dibaca dan saat itu kembali dibaca.

   Walau mulut hanya merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar seperti orang biasa membaca.

   Hanya saja suara itu disertai getaran gema halus yang terdengar menggidikan.

   Di masa Sri Maharaja Bakai Kayu wangi Dyah Lokapala memegang tahta Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari sebuah desa kecil di selatan Prambanan Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa Kelak dua anak akan menjadi kesatria Mengabdi pada Kerajaan Mataram Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat Melalui empat Gading Bersurat Untuk kemaslahatan seluruh ummat Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar goa.

   Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia berkata.

   "Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui? Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan mungkin lebih celaka dari itu."

   Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas batu hijau.

   "Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan memohon ampun..."

   "Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!"

   Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.

   "Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."

   Hening beberapa saat. Lalu makhluk di atas batu berucap.

   "Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan hukuman!"

   Setungul Langit bangkit berdiri.

   "Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita. Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro Jonggrang..."

   Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa, pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang barusan diucapkan Setunggul Langit.

   "Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol! Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari candi!"

   Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.

   "Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."

   Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik ke atas.

   "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?"

   "Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar."

   Jawab Setunggul Langit.

   "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi ujudnya tidak terlihat mata..."

   "Hemmm..."

   Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa.

   "Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak perawan dari Sorogedug itu."

   Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika lalu berkata.

   "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku, tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi kemudian."

   "Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara, bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah sumur api..."

   "Sumur api?"

   "Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari dalam sumur,"

   Jawab Setungul Langit.

   "Di daerah mana tepat letaknya?"

   Tanya Arwah Muka Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu yang berkobar.

   "Tepat seperti gambar yang digurat di gading ini..."

   Ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang pada anak buah yang berdiri di depannya. Setunggul Langit memberi tahu.

   "Sumur api itu terletak di arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."

   "Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada. Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"

   "Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal, tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"

   "Mati?!"Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut "Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk memberi tahu."

   Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu, jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari petunjuk..."

   Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak dan suara nafasnyapun tidak terdengar.

   Selang beberapa lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah."Anak perawan itu memang tidak menemui kematian.

   Dia ada di satu tempat aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."

   "Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api itu, aku akan mengantarkan ke sana."

   Kata Setunggul Langit pula. Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan dada pakaian Setunggul Langit.

   "Aku melihat satu hal lagi. Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"

   Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya.

   "Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudahmudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."

   Arwah Muka Hijau menggeleng.

   "Aku punya dugaan seseorang telah menemukan kancing itu,"

   Katanya. Makhluk serba hijau itu lalu sambung ucapan.

   "Sebelum aku menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi, aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang aku berikan padamu!"

   Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.

   Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul Langit merasa jantungnya ikut dibetot.

   Lelaki bertubuh tinggi kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.

   Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai batu.

   Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.

   "Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."

   Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit segera berdiri lalu melangkah ke luar goa.

   Sampai di luar goa dia jatuhkan diri menelungkup di tanah.

   Arwah Muka Hijau berdiri di punggung anak buahnya.

   Setunggul Langit ulurkan dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping.

   Saat itu juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.

   ooOOOoo Ebook dibuat oleh Dewi KZ Berdasarkan djvu yg dibuat Syaugy_ar
http.//kangzusi.com/ 11.

   RATU DHIKA GELANG GELANG KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan.

   Setelah lebih dahulu memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau berpaling pada Setunggul Langit.

   "Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"

   Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang kali tidak ada jawaban.

   "Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"

   Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak mendengar ucapan Arwah Muka Hijau.

   "Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?"

   Tanya Setunggul Langit.

   "Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar tempat ini"

   Jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas sumur.

   "Wusss!"

   Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak tangan itu tidak cidera.

   "Wusss!"

   Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah api.

   Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya.

   Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya, makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibaskibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap! "Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini.

   Aku tak mungkin masuk ke dalam sumur,"

   Katanya pada Setunggul Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi.

   "Ada dua cara untuk bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini. Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana beradanya jalan rahasia itu."

   "Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti. Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran jenazahnya."

   Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.

   "Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?"

   Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.

   Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang berkeliling.

   Mereka sama merasakan tanah agak bergetar sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara tertawa Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.

   Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali.

   Lalu dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.

   "Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus jejadian.Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara memakai ilmu membuka mulut memindah suara."

   "Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga. Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa risih dihati?Hik...hik...hik."

   "Makhluk pengecut!"

   Memaki Arwah Muka Hijau.

   "Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan dirimu."

   Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian menyambung ucapannya.

   "Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."

   Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk! Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata membeliak.

   "Mana kepalanya!"

   Setunggul Langit berteriak. Tubuh pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada! Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam keterkejutannya.

   "Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman walaupun sudah jadi mayat."

   Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi! Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya Arwah Muka Hijau.

   Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah datangnya kepala yang menggelinding.

   Selarik cahaya hijau disertai deru kerasi menyambar.

   "Braakkk... braaakk!"

   Dua pohon besar patah bertumbangan.

   Semak belukar terbongkar berhamburan.

   Namun siapapun orang yang jadi sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu.

   Malah tibatiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga makhluk ini menyumpah habis-habisan.

   Benda yang menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi.

   Setunggul Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau.

   Dia lebih memperhatikan jenazah sahabatnya Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon.

   Lalu dia mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu.

   Karena bingung mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul Bumi.

   Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.

   "Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa salah sahabatku hingga kau mem Hening beberapa lamanya. Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah. Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok. Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat, menusuk jalan pernafasan. Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan keluarkan suara berkerincing.


Pendekar Rajawali Sakti Darah Dan Asmara Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka

Cari Blog Ini