Samurai Pengembara III 3
Shugyosa Samurai Pengembara III Bagian 3
"Tampaknya ilmu pedang Saburo Mishima semakin hebat,"
Kata salah seorang samurai tersebut pada temannya.
"Sampai saat ini dia selalu berhasil lolos, bahkan dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Dari berita yang kudengar, pemain pedang Ryoken itu dibinasakannya hanya dengan satu kali gebrakan. Padahal kalian tahu, samurai Ryoken itu murid-murid perguruan yang sangat diandalkan."
"Permainan pedang Saburo memang hebat,"
Sahut temannya yang berkumis lebat.
"Tetapi dia tak mungkin melawan seratus samurai yang mengejarnya. Beta-pa pun kekuatannya terbatas. Suatu saat ia pasti le-ngah."
"Pembantaian yang dilakukan terhadap pasukan Seichi Okawa, merupakan bukti bahwa dia tidak mau menyerah begitu saja."
"Anehnya, kenapa Saburo tidak membunuh Oka-wa?"
"Entahlah, barangkali dia menganggap cukup de-ngan memenggal lengan anak itu."
"Kau mendengar bagaimana reaksi Shogun Nobu-naga ketika mengetahui samurai andalannya dikutungi lengannya?"
"Dia sangat marah. Matanya melotot berapi-api, kemudian dengan kemarahan yang sama, ia meme-rintahkan Konishiwa mengumpulkan samurai lebih ba-nyak lagi."
"Untuk mengejar Saburo?"
"Ya. Sesudah kebakaran yang ditimbulkan oleh Ishi-da Mitsunari, kekalahan Okawa itu benar-benar mem-buat Shogun kalang kabut. Selain meminta bantuan Yagyu, dia telah mengirimkan Hosokawa ke Suruga."
"Untuk apa?"
"Nobunaga memperkirakan Saburo lari ke arah Su-ruga."
"Kemungkinan dugaan itu benar, sebab pembu-nuhan yang dilakukan terhadap Denchiro terjadi di te-pi jalan menuju Suruga. Kelihatannya, Saburo ingin bersembunyi di sana meminta perlindungan Imagawa."
"Mungkinkah Imagawa bersedia melindunginya?"
"Mungkin saja. Sebab ketika dulu Yoshimasa masih hidup, bukan hanya sekali dua kali Saburo memimpin samurai Ashikaga untuk memusnahkan para ronin dan perusuh di Suruga. Jadi dia mengenal Imagawa."
Seorang samurai yang bertubuh kurus menimpali.
"Tetapi kalau Imagawa berani melindungi Saburo, keadaan bakal panas. Bukan mustahil Nobunaga akan menyerang Imagawa. Dan kalian tahu sendiri, pe-nguasa Suruga itu tidak pandai berperang. Sepanjang hari dia hanya melukis dan menulis syair. Tangannya tidak pernah digunakan menggenggam senjata."
Samurai yang berkumis menjawab.
"Tetapi jangan lupa, di sana ada Mayeda Toyotomi, komandan perang yang sangat berbakat. Dia seorang samurai yang luar biasa."
"Tetapi mungkinkah Imagawa mau mengambil resi-ko demi persahabatannya dengan Saburo?"
"Bukan Saburo."
"Lalu?"
"Putra Ashikaga. Natane Yoshioka."
"Apakah anak itu masih bersama dengan Saburo?"
"Entahlah. Kalau menurut beberapa saksi mata, Saburo selalu bepergian dengan seorang anak kecil. Mungkin saja Yoshioka."
"Tetapi dia juga mempunyai anak laki-laki seusia Yoshioka, apakah tidak mungkin anak itu anaknya?"
Samurai yang berbadan kurus menukas.
"Buat kita sama saja. Siapa pun dia, kalau kita berhasil me-menggal kepalanya, Nobunaga akan membayar dengan harga tinggi. Buat apa kita pusingkan apa dia anak Saburo atau anak Ashikaga."
Pembicaraan itu berhenti. Kelima samurai itu meli-hat gadis-gadis yang tadi berendam berjalan mening-galkan kolam.
"Sudah selesai, Anak manis?"
Samurai yang berku-mis menggoda.
"Kenapa tidak menemani kami dulu?"
"Benar,"
Sahut yang kurus.
"Kami sudah lama ber-kelana."
Gadis-gadis itu berlari ke kamar ganti sambil terta-wa cekikikan. Punggungnya yang halus dan basah tampak berkilauan. Pembicaraan kemudian beralih pada soal lain.
"Bagaimana dengan Ishida Mitsunari?"
Tanya samu-rai yang berkumis.
"Apakah ada berita tentang laki-laki itu?"
"Tidak,"
Jawab samurai yang paling muda.
"Sejak membakar rumah pelacuran itu, dia lenyap seperti angin. Tak seorang pun tahu di mana laki-laki itu berada. Meskipun Hosokawa sudah memerintahkan lebih dari dua ratus samurai mencarinya, Ishida tak pernah ditemukan."
"Mungkin dia ketakutan dan bersembunyi di hutan."
"Hampir semua hutan wilayah kekuasaan Nobu-naga sudah disusuri, namun dia tak pernah ditemu-kan."
"Mungkinkah dia bunuh diri?"
"Mungkin saja. Sesudah kematian istrinya, tampak-nya Ishida sangat terpukul. Bahkan ketika mening-galkan Kamakura, dia tertawa-tawa seperti orang gila."
Ishida Mitsunari hanya diam. Mencoba tak berge-rak. Ia memejamkan mata, meresapi air panas sambil terus memasang telinga mendengarkan perbincangan itu.
"Nasib Ishida memang tragis,"
Kata samurai termuda penuh tekanan.
"Rupanya dia telah dikorbankan oleh Nobunaga. Setelah diusir dari Kamakura, istrinya diperkosa, lalu dijual sebagai pelacur. Saya benar-benar dapat membayangkan bagaimana kehancuran hatinya. Nobunaga benar-benar mencampakkannya."
"Tetapi saya dengar sejak dulu memang terjadi per-saingan antara Ishida dengan orang-orang Nobunaga, seperti Konishiwa dan Hosokawa. Mereka rupanya me-ngail di air keruh ketika Ishida mengalami kegagalan dalam penyergapan itu. Dan sesudah ia terusir, orang-orang itu menggunakan kesempatan untuk sekaligus menghancurkan perasaannya."
"Siapa yang memperkosa istrinya?"
"Hosokawa. Dia pula yang menjual wanita itu ke rumah pelacuran."
Tanpa sadar Mitsunari mendesis.
"Hosokawa...."
Kelima samurai itu seketika berpaling.
Mereka me-natap Mitsunari dengan heran.
Saat itu Mitsunari membuka mata, kemudian memandang samurai di de-pannya dengan pandangan tajam mengancam.
Kelima orang itu masih belum menyadari bahaya di depan ma-ta mereka.
Lewat air yang berkilauan, mereka mencoba melihat kaki lelaki di hadapannya.
Di dalam kolam, terlihat kaki besi melengkapi kaki Mitsunari yang terpenggal.
"Ishida!"
Pekik samurai termuda dengan wajah pu-cat pasi.
"Sialan!"
Rutuk yang kurus dengan tubuh gemetar.
Menyadari bahaya yang mereka hadapi, serempak kelima samurai itu menyebar untuk mengambil pedang masing-masing.
Tetapi terlambat.
Mitsunari sudah ber-kelebat dengan cepat.
Pedang yang sejengkal dari tangannya, tahu-tahu sudah menebas dan mengayun sehingga membuat kelima samurai itu menjerit lalu ambruk ke kolam dengan darah menyembur dari lu-kanya.
Tidak lebih dari setengah menit, kelima samurai itu telah mengapung.
Air kolam yang tadi biru jernih, kini berubah menjadi merah.
"Hosokawa...,"
Desis Mitsunari lirih.
Kemudian ia berjalan tertatih-tatih keluar dari kolam yang airnya telah bercampur darah.
*** Ishida Mitsunari meninggalkan pemandian Shuzenji menuju ke Suruga.
Sekarang ia menempuh jalan naik menuju ke Amagi.
Sambil menikmati pemandangan pegunungan sekitarnya, Ishida membayangkan perte-muannya dengan Saburo Mishima.
Kalau benar saat ini Saburo sedang menuju wilayah Imagawa, mereka pasti akan bertemu di sana.
Pertemuan itu akan mela-hirkan pertarungan hidup dan mati.
Tanpa ampun.
Saburo akan kuberi kejutan pada akhir hidupnya.
Dia akan kubunuh dengan kakiku.
Dia tak akan pernah menduga kaki yang ia penggal dapat menikam jantung-nya.
Setelah Saburo, Mitsunari akan menantang Hoso-kawa.
Beruntung dia mampir ke pemandian Shuzenji, sehingga mendengar berita tentang perkembangan terakhir perburuan terhadap dirinya.
Kalau benar, Nobunaga telah mengerahkan dua ratus samurai, jelas sekarang ia harus lebih waspada.
Setiap saat akan muncul samurai mata duitan yang menginginkan kema-tiannya.
Jalan-jalan itu sekarang terjal dan berkerikil.
Me-nanjak ke arah Bukit Amagi yang tampak menghijau.
Awal musim semi telah menyebabkan pohon-pohon memperoleh kesuburannya.
Bunga sakura yang ber-warna merah dan kuning terlihat indah.
Dari jauh mirip kain sutera yang direntangkan.
Ketika Mitsunari sampai di ujung tanjakan, tiba-tiba muncul delapan samurai di belakangnya.
Mereka berlari cepat mencoba menyusul.
"Berhenti!"
Salah seorang samurai berteriak.
Ishida Mitsunari berhenti, lalu menoleh.
Dilihatnya kedelapan samurai itu telah mencabut pedang dan bersikap menantang.
Suara langkah kakinya berderap seperti sepasukan babi hutan yang dikejar pemburu.
Ketika melihat Mitsunari berhenti, para samurai yang beringas itu langsung mengepung.
Mereka masih berusia muda, karena itu tampak sangat bernafsu.
"Engkaukah yang membunuh kelima saudara per-guruan kami?"
Salah seorang samurai yang rupanya pemimpin mereka bertanya.
"Dari penjaga pemandian Shuzenji kami diberitahu bahwa pembunuhnya berka-ki satu."
"Memang aku yang membunuh mereka,"
Jawab Mit-sunari tenang.
"Hal itu terpaksa kulakukan, sebab kalau bukan aku yang membunuh, merekalah yang akan membunuhku. Mereka menginginkan hadiah No-bunaga dengan memenggal kepalaku."
"Kalau begitu, karena mereka gagal, biarlah kami yang memenggal kepalamu!"
"Coba saja kalau kalian dapat melakukannya."
"Tahukah engkau siapa kami?"
"Kalian seperti ronin liar."
"Keliru. Kami dari perguruan Yukata. Kau tentu pernah mendengar nama perguruan itu."
Mitsunari pura-pura berpikir.
Padahal ia tahu per-sis perguruan Yukata Kempo, sebuah perguruan yang sangat disegani karena ilmu pedangnya sangat khas.
Yukata Kempo memulai hidup sebagai pedagang kain, pencelup sutera, tetapi dengan tak henti-henti mengu-lang irama dan gerak mencelup kain, ia menemukan suatu gaya bermain pedang yang unik.
Selain permainan yang mempertaruhkan kelenturan tubuh, ia me-nemukan gaya permainan pedang pendek yang tak ada duanya.
Sesudah mempelajari cara mempergunakan tombak dari pendeta Hozoin, dan memadukan dengan teknik pedang Kurama, akhirnya Yukata Kempo mela-hirkan gayanya sendiri yang luar biasa.
Permainan pedang panjang dan pedang pendek secara bergantian.
Beberapa kali Shogun Ashikaga mengundang Yukata ke Kamakura, untuk mengajar para panglima pe-rangnya.
Ishida Mitsunari sempat beberapa kali mengikuti pelajaran yang diberikan Yukata Kempo.
Kini, di depannya ada delapan murid perguruan Yu-kata Kempo yang masing-masing menggenggam pe-dang panjang dan pendek.
Mereka bergerak menge-pung dengan sinar mata haus darah.
Pelan-pelan Mitsunari mengeluarkan pedangnya, seluruh otot di tubuhnya menegang.
Kekejaman dan hasrat pembalasan dendam di dalam dirinya menyem-bul di wajahnya.
Ia tahu delapan samurai Yukata, sa-ma dengan enam belas samurai biasa.
Mereka bukan lawan yang dapat diremehkan.
Karena itu Mitsunari segera mempersiapkan diri, menunggu serangan.
Udara seketika riuh rendah oleh pekikan dan lolo-ngan kematian.
Pada saat para samurai itu mulai menyerbu, Mitsunari tidak menghindar, namun justru menyongsong terjangan mereka.
Pedangnya bergerak menyerang, sementara penyangga kakinya menyabet ke kanan ke kiri.
Kaum samurai itu tidak menduga se-belumnya bahwa penyangga kaki Mitsunari ternyata senjata yang sangat mematikan.
Mereka menyadari ketika satu per satu sahabatnya tumbang bersimbah darah.
Mitsunari mengamuk seperti harimau lapar.
Ia me-nerjang ke depan, kemudian berbalik ke belakang sambil mengayunkan penyangga kakinya.
Setiap kali bergerak, terdengar jerit kematian yang menyayat hati.
Pakaiannya yang berwarna coklat telah terpercik darah, namun ia tidak peduli.
Hasrat pembunuhan di dalam dirinya menggelegak, seperti kobaran api yang siap membakar apa saja.
Hulu pedangnya telah lengket ka-rena darah, tetapi itu tak mengganggunya sama sekali.
Ia terus menebas dan menyayat musuh-musuhnya.
Tak lebih setengah jam, kedelapan samurai itu telah bergelimpangan di tanah.
Masih ada di antaranya yang mengerang, namun maut terlalu dekat dengan dirinya.
"Sayang, kalian harus mati muda,"
Kata Mitsunari sambil mengibaskan pedangnya. Kemudian ia berlalu dari tempat tersebut sepertinya tidak pernah terjadi pembantaian yang mengerikan itu.
"Kalian hanya menghambat jalanku ke Suruga." *** TERTANGKAPNYA MATA-MATA HUTAN ilalang itu seperti membeku. Langit juga beku. Udara beku. Hanya ada desau angin. Shogun Nobunaga duduk di atas pelana kuda. Diam mendengarkan desau angin yang membawa bau babi hutan. Tangan kirinya memegang kendali, sedang ta-ngan kanannya menggenggam tombak sepanjang tiga meter. Di belakang Nobunaga, dalam jarak sekitar lima meter, Konishiwa dan Hosokawa tampak bersikap waspada. Masing-masing memegang tombak, siap untuk menikam binatang buruan. Dua puluh samurai berja-jar di belakang rumpun ilalang itu sambil menggenggam pedang. Bilah pedang itu berkilauan tertimpa sinar surya. Suasana sunyi itu berlangsung beberapa lama. Wa-jah Nobunaga berpaling cepat. Hidungnya mengendus bau babi hutan. Sedetik berikutnya kebekuan itu pecah ketika Nobunaga menarik kekang kuda kemudian memacu ke arah lembah. Seketika hutan ilalang itu menjadi riuh rendah dengan sorak-sorai samurai yang mengikuti kuda Nobunaga. Seekor babi hutan tersuruk-suruk berlari mene-robos ilalang dengan cepat. Suara lengkingannya yang memekakkan telinga tertutup pekik dan jerit para samurai yang memburu binatang itu sambil mengacau-ngacaukan pedang mereka. Sorak-sorai itu demikian gegap gempita sehingga mirip keriuhan para prajurit yang menang perang. Nobunaga terus memacu kudanya, mengikuti arah lari binatang buruannya. Pelan-pelan ia mengangkat tombaknya, kemudian dengan sekuat tenaga ia lem-parkan tombak itu. Terdengar lengkingan babi hutan ketika binatang itu terjungkal dengan tombak Nobunaga menembus lehernya.
"Kenaaa!"
Teriak Nobunaga sambil memberi aba-aba agar para samurai berhenti bersorak-sorai.
Babi hutan itu menggelepar-gelepar sekarat.
Ia berusaha berdiri, namun tombak sepanjang tiga meter itu menggagalkan usahanya.
Darah membasahi rumpun ilalang di sekitarnya, sementara keempat kaki binatang itu mengejang-ngejang sekarat.
Nobunaga turun dari kudanya.
Dengan langkah pasti, ia mendekati binatang itu.
Pelan-pelan ia meng-hunus pedang, lalu berdiri persis di samping tubuh babi hutan tersebut.
Dengan kedua tangannya, Nobunaga mengangkat tinggi-tinggi pedangnya.
Ia memusatkan enerji ke dalam genggaman tangannya.
Lalu dalam ayunan yang sangat cepat, ia menebas leher babi hutan itu hingga kepalanya terpisah dari badannya.
Darah menyembur membasahi tanah di sekitarnya.
"Seperti binatang ini nasib Saburo Mishima,"
Kata Nobunaga bergetar.
"Akan kupenggal kepalanya de-ngan tanganku sendiri."
Nobunaga mengibaskan pedangnya, sehingga darah di bilah pedang tersebut muncrat ke tanah.
Dengan kecepatan yang menakjubkan, pedang itu sudah ma-suk ke dalam sarungnya kembali.
*** Malamnya, dataran di tepi hutan ilalang itu riuh ren-dah.
Lampu-lampu dinyalakan di seputar tenda yang didirikan pasukan Nobunaga.
Seratus orang samurai yang mengiringi Nobunaga dalam perburuan itu, kini duduk melingkar mengelilingi api unggun.
Para samurai itu tersenyum dan tertawa sambil menikmati da-ging binatang hasil buruan mereka.
Ada tiga ekor babi hutan, seekor rusa, dan delapan kelinci yang malam itu jadi hidangan lezat.
Empat orang tukang masak istana, memasak binatang tersebut dengan resep kesu-kaan Nobunaga.
Penari-penari Izu melengkapi malam hiburan itu.
Sebagian besar penari itu masih sangat muda, sehing-ga para samurai berteriak-teriak untuk menarik perhatian mereka.
Semua penari itu mengenakan kimono fu-risode, dan wajahnya tertutup topeng.
Mereka terus bergerak mengikuti irama genderang dan kecapi yang dimainkan tiga pemusik pengiring.
Nobunaga menuang saos ke dalam irisan daging babi, lalu memasukkan daging itu ke dalam mulutnya.
Ia mengunyah, menikmati kelezatan binatang hasil buruannya.
Matanya sesekali memandang para penari di arena, sambil sesekali ia turut bertepuk tangan.
Naoko yang duduk di sampingnya, mencoba mela-yani Nobunaga dengan sebaik-baiknya.
"Siapa yang mengundang para penari itu?"
Tanya Nobunaga dengan mulut berdecap penuh daging babi.
"Aku,"
Jawab Naoko.
"Sudah lama aku ingin menon-ton penari-penari dari Izu. Mereka sangat terkenal dan katanya menjadi kesenian yang sangat disukai Imagawa."
Nobunaga menatap heran pada Naoko.
"Imagawa?"
"Benar. Aku ingin mengetahui kenapa dia menyukai tarian itu."
"Itu bukan urusan kita. Aku juga mendengar kabar bahwa Imagawa senang melukis dan menulis syair, tetapi apa hubungannya denganku? Apakah kaupikir aku harus meniru Imagawa?"
Naoko tersenyum mesra.
"Bukan itu maksudku,"
Kata Naoko sambil membelai paha Nobunaga.
"Kalau kita mengetahui apa kesukaannya, kita bisa memaha-mi jalan pikirannya. Dan kalau kita dapat memahami jalan pikirannya, dengan mudah kita akan mengalah-kannya."
Nobunaga menatap Naoko penasaran.
"Apa mak-sudmu?"
"Maksudku, kita akan mencoba mengerti jalan piki-ran Imagawa lewat para penari Izu. Sesudah itu, kita tinggal menunggu kesempatan untuk mengalahkan-nya."
"Kaupikir kita dapat menaklukkan Imagawa hanya dengan penari itu?"
"Mungkin saja."
"Bagaimana mungkin?"
"Aku belum tahu bagaimana caranya, tetapi para penari ini pasti dapat membantu."
Nobunaga mengambil sake, lalu menenggaknya sampai habis. Masih dengan mulut basah oleh sake, ia mengambil daging babi, lalu menjejalkan ke dalam mulutnya. Matanya yang bundar menatap para penari bertopeng di tengah arena.
"Kita mempunyai pasukan lebih banyak dibanding Imagawa, jadi jangan terlalu kaurisaukan. Kalau saja dia tidak mencoba menjalin hubungan baik denganku, kupastikan dia akan menyesalinya. Dengan pasukan penuh, aku akan menggempurnya."
Nobunaga tertawa lepas, lalu menarik Naoko ke da-lam pelukannya. Laki-laki itu mencium bibir Naoko dengan penuh gairah. Ketika ciuman itu lepas, Naoko berkata.
"Kudengar Imagawa mempunyai seorang panglima perang yang sangat cakap. Namanya Mayeda Toyotomi."
"Jangan kaupikirkan. Apa artinya seorang panglima perang dibanding ratusan, bahkan ribuan pasukanku."
"Tetapi...."
"Bagaimana kalau kita tidak usah membicarakan soal Imagawa?"
Nobunaga menukas.
"Biarlah soal itu dibicarakan para samurai. Mereka kumiliki untuk berperang dan memperkuat kekuasaanku. Sedang kau kumiliki untuk melayaniku... dan sekarang, aku meng-inginkannya."
Nobunaga tertawa bergelak-gelak.
Wajahnya me-merah karena mabuk.
Dalam keadaan sadar dan tidak sadar, ia menarik Naoko berdiri.
Kemudian dengan terhuyung-huyung lelaki itu menyeret Naoko ke ten-danya.
Pada saat itu, seorang samurai mengendap-endap mendekati tenda Nobunaga.
Dengan sangat hati-hati ia berbaring di tanah, mendengarkan perbincangan di tenda itu.
Sampai di tenda, Nobunaga sudah tidak kuat berdi-ri.
Ia ambruk di tempat tidur dengan mulut terus ber-ceracau.
Naoko mulai melepaskan pakaiannya satu persatu, sambil sesekali menciumi tubuh Nobunaga yang terbaring seperti buah nangka.
Lelaki tersebut hanya mendesis dan sesekali tergial karena nikmat.
"Oh, oh, aku menyukaimu,"
Kata Nobunaga sambil membelai rambut Naoko.
"Rasanya engkau perempuan milikku yang paling kusayang."
"Benarkah?"
"Sesungguhnya kukatakan itu dengan sepenuh hati."
"Kalau begitu kenapa aku tidak kaukawini?"
"Kawin?"
"Ya. Aku ingin menjadi istrimu."
Nobunaga membuka mata, lalu tertawa.
Naoko mem-buka pakaiannya, ia berdiri polos di tengah ruangan itu.
Tubuhnya yang mulus dan sangat menggairahkan, membuat Nobunaga berdecap-decap.
Ia mengulurkan tangan, tidak sabar lagi.
Naoko berjalan mendekat, menyingkap selimut, lalu masuk ke dalamnya.
Sebentar kemudian terdengar desis dan desah napas Nobu-naga yang terengah-engah.
Saat itu, orang yang tadi mengendap-endap, me-langkah mundur.
Tetapi malang, dia menyentuh pa-pan-papan yang ada di sekitar tempat itu sehingga menimbulkan suara berisik.
Seorang samurai yang menjaga tenda Nobunaga, berpaling, lalu berlari mendekatinya.
"Hei, siapa di situ?"
Samurai pengintai itu tidak memberi jawaban, teta-pi justru mengirim tebasan menyilang hingga penjaga itu menjerit.
Tubuhnya melambung ke atas, lalu ambruk ke tanah tanpa nyawa.
Jeritan tersebut meng-ubah suasana pesta menjadi kengerian.
Berpuluh-puluh samurai yang tadi sedang duduk menikmati ta-ri-tarian, segera berlari mengepung.
Pertarungan segera terjadi.
Namun kekuatan yang tidak seimbang itu menyebabkan samurai pengintai tersebut terdesak.
Konishiwa menerobos ke depan sambil menggeng-gam pedangnya.
Ia menuding samurai tersebut dengan marah.
"Siapa kamu?"
Samurai itu tidak menjawab, ia justru mengangkat pedangnya, lalu menghunjamkannya ke perutnya sen-diri.
Terdengar suara mendesis, lalu disusul ambruknya samurai itu ke tanah.
Pada saat itu, Naoko muncul di tempat itu hanya dengan selimut menutupi tubuhnya.
"Ada apa?"
Ia bertanya pada Konishiwa.
"Seorang mata-mata."
"Mata-mata, apa maksudmu?"
"Entah siapa telah mengirim mata-mata ini untuk mendengarkan pembicaraan Tuanku Nobunaga. Seo-rang pengawal berhasil memergokinya."
"Apakah dia mengaku?"
"Dia memilih bunuh diri."
Naoko menatap tubuh samurai pengintai itu, tubuh-nya meringkuk seperti bangkai anjing. Wajahnya tak kelihatan, hanya rambutnya yang dikuncir berantakan menjelaskan bahwa dia seorang ronin. Bukan samurai prajurit.
"Konishiwa-san,"
Berkata Naoko dengan nada tegas. Suaranya tajam penuh ancaman.
"Dia jelas mata-mata musuh. Bagaimana dia dapat menerobos masuk? Keamanan Tuanku Nobunaga berada di tanganmu. Seha-rusnya kau tak membiarkan seekor lalat pun memba-hayakan jiwanya."
"Baik,"
Jawab Konishiwa sambil membungkukkan badan.
"Saya akan memeriksa semua orang yang men-curigakan di tempat ini."
Sambil mendengus, Naoko berbalik.
Punggungnya yang putih mulus tampak sangat menggairahkan.
Konishiwa menatapnya tanpa berkedip.
Jiwanya terbakar kemarahan dan kekaguman sekaligus.
Pertama kali dalam hidupnya, ia menghadapi perempuan segalak itu.
Sikap yang membuatnya tersentak kaget, namun sekaligus membuatnya terpesona.
Suatu saat, aku ingin menidurinya, bisik Konishiwa dalam hati.
Lalu berbalik, membubarkan pasukannya.
*** PERSEKONGKOLAN UDARA jernih di atas Puri Tazumi.
Langit senjakala berwarna biru, mirip air sungai yang bening.
Cahaya matahari yang keperakan memantulkan panorama di sekitar puri itu.
Mayeda Toyotomi keluar dari salah satu ruang di puri itu, berjalan bergegas menuju ruang pertemuan.
Wajahnya yang memancarkan ambisi, seperti lempeng-an baja yang dibakar untuk ditempa.
Raut mukanya membara, sinar matanya memancarkan nafsu dan se-mangat yang menyala-nyala.
Ia berjalan gagah dengan dua pedang panjang terselip di pinggangnya.
Sandal jerami yang dikenakan menapaki lantai papan berpelitur dalam irama tegap penuh percaya diri.
Tazumi berjalan di belakang Mayeda.
Langkahnya juga cepat, menyeret kain yang melebar di belakang kimononya.
Ia mengenakan geta (terompah kayu yang dicat warna-warni).
Gerakannya yang halus, penuh wibawa, menjadikan ia tampak seperti peri yang berjalan melayang dengan cepat.
Hanya suara genta yang beradu dengan lantai saja yang mengisyaratkan bahwa wanita tersebut seorang manusia.
Ketika melihat kedatangan Mayeda dan Tazumi, dua samurai yang berjaga di depan fusuma (pintu sorong yang terbuat dari kertas) menarik pintu disusul dengan gerak membungkukkan kepala.
Kaki Mayeda melewati pintu itu dengan cepat.
Di tengah ruangan, saat itu tampak tiga orang yang langsung membungkukkan badan menyambut kedatangan Mayeda Toyotomi.
Dari pakaian yang dikena-kan, dapat diketahui orang-orang itu dari kalangan bangsawan.
Kenji Yamagita, seorang samurai propinsi yang sa-ngat berpengaruh.
Bukan saja karena ilmu pedangnya cukup tinggi, tetapi dia orang yang kaya raya di daerah Suruga.
Ayahnya dulu seorang bangsawan di bawah kekuasaan Yoshimasa, dan Kenji sebagai anak tunggal mewarisi kekayaan ayahnya.
Di daerah Suruga, ia memiliki lebih dari dua ratus samurai yang setia padanya.
Kenji berwajah tampan, selalu berpakaian rapi.
Ca-ra bicaranya sopan dan ramah, sehingga orang-orang cepat akrab dengannya.
Hanya sedikit orang mengetahui, sesungguhnya Kenji seorang pembalas den-dam.
Di dekat matanya, terdapat bekas luka sepanjang dua sentimeter.
Itu adalah bekas yang ditinggalkan Imagawa ketika mereka bertarung dalam sebuah per-tandingan kendo di masa kecil.
Namun luka yang tak akan pernah hilang itu, bagi Kenji, sudah cukup untuk membuat dirinya bertekad untuk membunuh Imagawa.
Tinggal soal waktu saja.
Maka ketika Mayeda Toyotomi mengajaknya bersekutu menggulingkan Imagawa, ia langsung menyetujui.
"Luka di wajah saya tidak akan hilang,"
Kata Kenji ketika Mayeda menemuinya.
"Seperti juga dendam ke-sumat di hatiku. Tidak ada yang lebih memuaskan dibanding aku dapat menyayat-nyayat wajah Imagawa."
Taro Seijuro, seorang samurai yang kini menjadi pedagang tembikar.
Ketika Yoshimasa membuka hubu-ngan perdagangan dengan luar negeri, terutama Cina dan India, Seijuro menjadi orang kepercayaan shogun tersebut untuk melaksanakan perdagangan itu.
Langkah itu ternyata tepat, Seijuro bukan saja berhasil menjual dan membeli tembikar, tetapi juga porselen serta rempah-rempah.
Usahanya yang maju menyebabkan ia meletakkan pedang, lalu menekuni usaha dagang itu.
Seijuro tahu, keberhasilannya saat ini tak terlepas dari bantuan Tazumi.
Wanita itulah yang dahulu mendorong Yoshimasa untuk memberi Seijuro kesempatan berdagang.
Tazumi pula yang memesan tembikar, keramik, dan porselen Cina dalam jumlah yang sangat besar.
Seijuro bertubuh gemuk, dengan pakaian sutera da-ri corak yang paling mahal.
Seperti umumnya peda-gang, ia seorang yang ingin melihat segala-galanya sempurna.
Karena itu ketika Mayeda menyampaikan ajak-an Tazumi memerangi Imagawa, Seijuro yang meminta agar diadakan pertemuan seluruh orang yang akan terlibat dalam pemberontakan itu.
Ia ingin tahu secara mendetil apa rencana Mayeda Toyotomi.
"Sejak Imagawa berkuasa dan dia mulai membatasi jumlah pengiriman tembikar maupun porselen dari Ci-na, usaha saya terus-menerus mengalami penurunan keuntungan. Lebih-lebih usahanya mendirikan pusat kerajinan di Sazuko, sungguh mengancam usaha saya. Karena itu saya setuju kalau dia dijatuhkan... asal peluang impor nanti dibuka lagi."
Dempachi, seorang samurai bertubuh kekar dan paling berantakan wajahnya.
Selain pernah menderita sakit cacar, wajah Dempachi ditumbuhi bisul sebesar kerikil yang hingga kini belum ada obatnya.
Hanya ke-kejamannya yang membuat orang tidak berani bersi-kap sembarangan terhadapnya.
Ilmu pedangnya yang tinggi membuat lelaki itu sangat ditakuti.
Dulu, Dempachi adalah algojo Yoshimasa.
Seorang pelaksana hukuman mati yang mengerikan.
Tetapi ketika Imagawa berkuasa, hukuman mati dihapuskan.
Akibatnya Dem-pachi disingkirkan.
Perlakuan ini menumbuhkan benih dendam dalam jiwanya.
Setiap hari ia selalu memikirkan hari depannya yang suram, dan terus memu-puk dendam dalam dirinya.
Maka ketika Mayeda meng-ajak bergabung, tanpa bimbang sedikit pun Dempachi menyetujuinya.
"Saatnya aku melakukan pembalasan pada Ima-gawa,"
Kata Dempachi pada Mayeda.
"Saya ingin me-menggal kepala laki-laki jahanam itu."
Mayeda dan Tazumi duduk di depan ketiga orang itu. Pembicaraan pun dimulai. Mayeda berkata.
"Saya baru saja mendengar, seo-rang samurai mata-mata kita tertangkap. Dia tewas. Peristiwa ini sangat saya sayangkan, karena pasti akan membuat Nobunaga bertambah waspada. Dia akan memperkuat penjagaan dirinya, dan bersikap tidak terbuka. Karena itu saya meminta pada Anda semua, un-tuk bertindak lebih hati-hati, dan meningkatkan ke-waspadaan. Betapa pun rencana yang telah kita su-sun, tetap harus dilaksanakan."
Kenji bertanya.
"Apakah rencana kunjungan ke Ka-makura telah dijadwalkan waktunya?"
Mayeda menjawab.
"Ya. Minggu pertama tahun baru nanti, Shogun Imagawa akan mengunjungi Nobunaga. Saat itulah kita bertindak."
Dempachi bertanya.
"Setelah Nobunaga menangkap mata-mata kita, mungkinkah dia membatalkan renca-na kunjungan Tuanku Imagawa?"
Mayeda menjawab.
"Sampai saat ini, tidak ada pem-beritahuan mengenai hal itu. Jadi kurasa tidak akan ada perubahan waktu dari rencana semula. Aku akan berusaha meyakinkan Tuanku Imagawa bahwa kun-jungan ke Kamakura sangat penting artinya untuk keamanan wilayahnya. Beberapa waktu lalu telah ku-katakan kepadanya, kekuatan militer Nobunaga saat ini semakin kuat. Tidak sebanding dengan kekuatan kita. Karena itu aku telah menyarankan untuk menjalin hubungan persaudaraan dengannya. Karena itu kunjungan ke Kamakura sangat strategis sifatnya."
Dempachi bertanya.
"Kalau begitu bagaimana kita melaksanakannya?"
"Aku akan mengatur sedemikian rupa, agar Tuanku Imagawa mengunjungi Kamakura dengan pengawalan tak lebih seratus orang. Setelah selama beberapa hari berpesta, mereka pasti mengalami keletihan. Pada saat mereka pulang itulah, engkau harus bertindak. Lakukan penyergapan di hutan Uzugi, di wilayah Nobunaga, sehingga muncul kesan bahwa merekalah yang menyerang. Ini perlu dilakukan, untuk menghindari keka-cauan di Suruga. Pada saat yang sama akan dilakukan pembersihan di istana."
Dempachi berkata.
"Membinasakan seratus samurai tentu tidak mudah. Kita membutuhkan suatu kekua-tan besar."
"Kau akan memimpin dua ratus samurai."
"Tetapi bagaimana caranya? Kedatangan dua ratus samurai di wilayah Nobunaga, pasti akan sangat me-narik perhatian. Dan kalau sampai mereka tahu, segalanya akan sulit dilaksanakan."
"Lakukanlah penyamaran,"
Kata Mayeda tegas.
"Be-rangkatkan dua ratus samurai jauh sebelum tahun ba-ru tiba. Biarkan mereka berada di Kamakura sebagai ronin, sehingga tidak akan menarik perhatian Nobunaga."
"Di sana mereka membutuhkan makan dan mi-num...."
"Seijuro akan menyediakan uang untuk bekal me-reka. Soal itu jangan kaurisaukan."
"Baiklah kalau begitu. Aku mengerti tugasku."
"Bagaimana dengan Anda, Seijuro-san?"
"Seperti sudah saya katakan, saya bersedia menye-diakan uang untuk rencana ini. Tetapi saya tak ingin terlibat di dalamnya. Berapa pun uang yang dibutuhkan, akan saya sediakan, Anda tinggal mengatakan kapan waktunya."
"Terima kasih, Seijuro-san."
"Selain itu, saya memiliki satu permintaan."
"Katakanlah."
"Sesudah kemenangan Anda peroleh, saya ingin di-beri hak monopoli untuk melakukan perdagangan de-ngan luar negeri. Anda harus berjanji, tidak memberikan hak ini kepada orang lain kecuali keluarga Seijuro."
"Anda menginginkan monopoli?"
"Itulah imbalan yang saya minta."
"Baiklah. Saya setuju."
Seijuro kemudian mengeluarkan selembar kertas yang berisi pernyataan hak monopoli perdagangan itu. Lelaki tersebut menyodorkannya pada Mayeda Toyo-tomi. Dari saku kimononya, Seijuro mengeluarkan tinta dan kuas.
"Saya mohon Anda menandatanganinya."
Mayeda membaca sekilas surat perjanjian itu, ke-mudian dia menyingsingkan lengan kimononya, dan membubuhkan tanda tangan di bawah surat pernya-taan tersebut. Seijuro menyodorkan kertas itu pada Tazumi.
"Saya mohon, Anda juga membubuhkan tanda ta-ngan di sini."
Tazumi menandatanganinya. Seijuro menatap surat itu dengan puas. Setelah diam sejurus, Mayeda Toyotomi berkata.
"Kalau begitu, mari sekarang kita bicarakan detail pe-laksanaan penyergapannya." *** Pertemuan itu berakhir menjelang larut malam. Kemu-dian setelah Kenji, Seijuro, dan Dempachi pulang, Tazumi menarik Mayeda Toyotomi ke kamarnya. Dengan bernafsu ia menciumi lelaki itu. Meskipun sudah cukup tua, namun pijar-pijar kecantikan wanita itu masih bersinar terang. Mayeda dapat merasakan denyut-denyut kewanitaan Tazumi memerangkapnya dalam irama permainan cinta tak terlupakan. Tubuhnya yang kencang dan menggairahkan, membuat Mayeda ber-sumpah untuk memiliki wanita itu. Dan satu syarat yang pernah diungkapkan Tazumi, ia ingin mendam-pingi Mayeda sebagai shogun menggantikan Imagawa. Ciuman-ciuman itu menyebabkan kelenjar tubuh Mayeda meregang. Ia menarik Tazumi ke dalam deka-pannya, lalu menghimpitnya dengan kuat. Gerakan mereka liar dan penuh gairah. Ibarat permainan pedang, Mayeda menikam-nikam musuhnya dengan buas. Namun semakin lelaki itu bersikap buas, Tazumi semakin tergila-gila. Ranjang itu telah porak-poranda, sprei dan bantal berserakan di lantai, namun kegairahan kedua orang tersebut terus berkobar. Sampai akhirnya Tazumi tidak tahan. Kuku-kuku jarinya menghunjam ke punggung Mayeda Toyotomi, sehingga lelaki itu melenguh -merasakan kesakitan sekaligus kenikmatan! Keringat dan darah mereka bercampur menjadi satu. Tazumi segera mendekap Mayeda, kemudian menji-lati darah yang meleleh dari lukanya. Setengah jam berikutnya, Tazumi berkata.
"Kenapa kita bersedia membubuhkan tanda tangan di surat Seijuro? Bukankah itu dapat membahayakan kesela-matan kita?"
Mayeda Toyotomi menjawab tegas.
"Aku sudah me-mikirkannya. Kita sekarang butuh uangnya untuk membiayai rencana kita. Bila nanti sudah terlaksana, aku akan memenggal kepalanya."
Tazumi bernapas lega.
Ia menatap mata kekasihnya, kemudian mulai menciuminya kembali dengan mesra.
*** MEDAN TANTANGAN SEPANJANG jalan setapak berbatu yang menuju Suru-ga, berdiri deretan rumah dengan atap jerami.
Rumah-rumah kumuh yang bukan saja telah berlumut, tetapi juga sudah rusak di sana-sini.
Di bawah sinar matahari siang yang terik, jalanan itu semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas arang.
Natane Yoshioka yang berjalan di depan Saburo, berkali-kali menghirup bau ikan bakar itu dengan mulut berdecap.
"Baunya enak sekali,"
Kata Yoshioka mengomentari.
"Kau sudah lapar?"
"Ya. Gara-gara bau itu perutku jadi keroncongan."
"Kalau begitu sebaiknya kita mencari warung untuk makan."
"Masih ada uang?"
Saburo tersenyum.
"Masih cukup untuk makan tiga hari. Bekal yang diberikan Yuriko-san cukup banyak."
"Baik sekali ibu itu."
"Ya."
"Apakah kita akan ke sana lagi?"
"Tidak."
Yoshioka menarik topeng dari pinggangnya -topeng kayu itu selalu diikat tergantung di pinggang Yoshioka -kemudian mengamatinya dengan puas.
Berhari-hari ia memperhatikan topeng itu, dan ia tak pernah merasa bosan.
Semakin lama dipandangi, topeng itu tampak semakin indah.
Ada semacam kekuatan magis yang membuatnya memukau.
"Aku ingin bisa menari,"
Tiba-tiba Yoshioka berkata.
"Suatu saat aku akan belajar menari."
Saburo hanya tersenyum.
Ia memperhatikan saja ketika Yoshioka memakai topeng itu, lalu menggerak-gerakkan kepala dan tangannya menirukan gerakan penari.
Caranya bergerak tampak lucu, sehingga Sabu-ro tak dapat menahan ketawa.
Yoshioka langsung mencopot topeng di wajahnya.
"Kenapa tertawa?"
"Kau lucu."
"Lucu atau bodoh?"
"Keduanya."
Yoshioka pura-pura cemberut sambil mengentak-entakkan kaki dengan manja.
Kemanjaan anak kecil yang ingin diperhatikan.
Saburo segera memeluk ba-hunya, kemudian menariknya agar terus berjalan.
Mereka sekarang melewati perkampungan pembuat keramik.
Sejak Shogun Yoshimasa membuka pintu perdagangan, Jepang seperti diserbu hasil kerajinan Cina.
Porselen, tembikar, dan keramik mengalir dari Laut Cina Timur.
Para daimyo terpikat dengan hasil kerajinan itu, karenanya dengan meniru keramik Cina, di wilayah Suruga tumbuh desa-desa kerajinan semacam itu.
Para petani banyak yang belajar membuat keramik, untuk mengisi waktu luang sambil menunggu musim panen tiba.
Saburo melihat orang-orang membuat keramik di tepi jalan.
Sebagian yang lain tengah menjemur atau mewarnai keramik yang akan dibakar.
Saburo sebenarnya ingin mencoba membuat keramik dari tanah liat itu.
Sejak kecil ia menyukai pekerjaan tangan.
Dalam pikirannya, ia merasa pasti dapat membuat mangkuk teh yang sederhana.
Namun justru waktu itu, tukang keramik yang umurnya hampir lima puluh ta-hun, membuat mangkuk teh di depan matanya.
Ter-nyata barang sederhana itu membutuhkan keahlian khusus untuk membuatnya.
Melihat bagaimana orang tua itu menggerakkan jari-jarinya di atas kape, menyadarkan Saburo bahwa ia terlalu tinggi menilai kemampuan dirinya.
Ternyata dibutuhkan keahlian, teknik, dan imajinasi untuk membuat barang sederhana itu.
Persis ilmu pedang! Berhari-hari Saburo memperhatikan tukang kera-mik itu bekerja.
Sampai akhirnya ia menyadari tidak memiliki bakat atau ketabahan untuk melakukan pekerjaan itu.
Di depan sebuah warung, tampak hasil kerajinan keramik dipamerkan; piring, sloki sake, kendi, dan pot bunga.
Barang-barang itu diatur sedemikian rupa sehingga tampak keindahannya.
Dibanding dengan ru-mah-rumah bobrok para pengrajin keramik itu, Saburo tersentak oleh ironi yang ia saksikan.
Betapa tidak, barang-barang ciptaan pengrajin itu suatu saat akan di-pajang di rumah-rumah mewah para daimyo, atau bahkan rumah shogun dan kaisar.
Tetapi kehidupan pembuatnya tak pernah beranjak dari kemiskinan.
Mereka tetap hidup dalam kehina-dinaan, tanpa harapan memperbaikinya.
Yoshioka melihat warung di tepi jalan, ia berseru kegirangan.
"Lihat, ada warung! Kita dapat istirahat sambil makan di sana!"
"Jangan makan banyak-banyak. Uang kita hanya sedikit."
"Jangan takut. Aku hanya ingin makan nasi dengan sekerat ikan bakar."
Mereka sedang menuju warung itu ketika terdengar suara memanggil.
"Hei, ronin!"
Saburo berhenti lalu menoleh. Ia melihat seorang laki-laki ragu-ragu mendekatinya.
"Apakah Anda memanggil saya?"
Tanya Saburo.
"Apakah Anda Tuan Saburo Mishima?"
Saburo kaget.
Namun berusaha menekan perasa-annya.
Nalurinya seketika menyuruhnya bersikap waspada.
Ia memandang lelaki itu.
Melihat pakaian katun-nya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat di tangannya, orang itu tentu petani biasa.
Tak ada gambaran sedikit pun bahwa dia seorang samurai.
"Tuan, apakah benar Tuan Saburo Mishima?"
Sekali lagi orang itu bertanya.
"Benar."
"Terima kasih."
Orang itu kemudian berbalik dan berjalan mening-galkan tempat itu. Saburo merasa heran melihat kela-kuannya.
"Siapa orang itu?"
Yoshioka bertanya.
"Entahlah. Mungkin seseorang telah menyuruhnya menanyakan namaku."
"Seseorang? Siapa?"
"Siapa pun dia, sebentar lagi pasti datang mene-muiku. Kita harus berhati-hati."
Karena ditunggu beberapa saat ternyata orang itu tidak muncul lagi, Saburo akhirnya mengajak Yoshioka memasuki warung itu.
Mereka duduk di bangku papan yang kosong, kemudian memesan nasi dengan lauk-pauknya.
Saburo meminta sesloki sake untuk menye-garkan tenggorokan.
Pemilik warung itu seorang pe-rempuan setengah baya.
Meski sudah berumur, na-mun masih tetap cantik.
Ia melayani Saburo dengan senyum ramah.
Ketika makanan dihidangkan, Yoshi-oka langsung makan.
Dari caranya makan Saburo ta-hu anak itu sudah kelaparan.
Setiap kali memasukkan nasi ke mulutnya, Yoshioka mengambil cangkir tanah, lalu minum.
Ia tampak bernafsu melahap semua yang ada di piringnya.
Saburo sendiri makan dengan tenang.
Namun piki-rannya berkecamuk mempertimbangkan kemungkinan adanya serangan.
Bagaimanapun pertanyaan orang tadi mengusik hatinya.
Tidak mungkin seseorang akan menanyakan namanya bila ia tak punya kepentingan.
Sekarang persoalannya, apa kepentingan lelaki itu? Apa yang membuatnya menanyakan namanya? Apa yang dipikirkan Saburo terbukti menjadi kenya-taan.
Baru saja ia selesai makan, terdengar seseorang memanggil namanya.
Saburo menoleh, ia melihat lelaki tadi berdiri di samping dua orang samurai.
"Saburo Mishima!"
Kata salah seorang samurai itu lantang.
"Akhirnya kita bertemu."
Kedua samurai itu melangkah dengan tegap.
Wajah mereka membeku, dengan sinar mata bengis.
(Bersambung ke buku keempat.) *** Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline LAHIRNYA SHUGYOSA *** AWAL PERTENTANGAN BARU *** *** PEMBANTAIAN *** *** *** BEBAN SEBUAH NAMA *** IMAGAWA *** *** PEMANDIAN SHUZENJI *** *** TERTANGKAPNYA MATA-MATA *** *** PERSEKONGKOLAN *** *** MEDAN TANTANGAN ***
Rajawali Emas Geger Batu Bintang Kabut Di Lereng Tidar Karya Danang HS Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut