Ceritasilat Novel Online

Wasiat Dewa 2


Wiro Sableng Wasiat Dewa Bagian 2



"Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka..."

   Kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan onak duri.

   Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari.

   Sangat beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.

   "Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan..."

   "Apa yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pesolek..."

   "Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!"

   Kata Ekang Setan pula.

   "Jangan dulu putus asa.

   "kata Tiga Bayangan Setan.

   "Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu..."

   "Menjebak bagaimana?"

   Tanya Elang Setan.

   "Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab tersebut...."

   "Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan..."

   Kata Elang Setan. Tiga Bayangan Setan tertawa.

   "Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang kubur..."

   Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang benderang.

   Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur Gunung Merapi.

   "Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!"

   Kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati beratap rumbia.

   Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga.

   Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga.

   Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.

   "Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!"

   Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.

   "Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!"

   Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati.

   "Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam,"

   Kata Elang Setan. Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.

   "Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!"

   Kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti. Namun baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.

   "Pangeran Matahari!"

   Seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu menjura dalam-dalam. Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di bagian dada.

   "Hemmm...cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!"

   Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.

   "Hemmm... Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan Setan, kau yang menjelaskan!"

   Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.

   "Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng..."

   Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.

   "Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!"

   "Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng."

   "Dimana dan bagaimana kejadiannya!"

   Ujar Pangeran Matahari.

   "Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis itu.

   "jawab Tiga Bayangan Setan.

   "Nyawanya amblas setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Hemmm..."

   Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya. Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja.

   "Setahuku dari ubun-ubun di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh Pendekar 212?"

   "Yang sebelah kiri, Pangeran.

   "jawab Tiga Bayangan Setan.

   "Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?"

   Bertanya lagi Pangeran Matahari.

   "Kepala atau tubuh?!"

   "Tepat di bagian dadanya Pangeran."

   Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding.

   "Apa yang ada di benak manusia ini...?"

   Membatin Tiga Bayangan Setan.

   "Dia seolah tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!"

   "Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!"

   Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang.

   "Tapi Pangeran,"

   Yang menjawab adalah Elang Setan.

   "Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu..."

   "Elang Setan, tutup mulutmu!"

   Bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan.

   "Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak ditanya!"

   "Maafkan aku Pangeran.

   "kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam. Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.

   "Apa jawabanmu?!"

   Bentaknya.

   "Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas... Tapi kami punya sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat riwayatnya!"

   "Apa sesuatu itu?!"

   Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar. Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.

   "Kapak Maut Naga Geni 212!"

   Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia keluarkan sebuah batu hitam empat persegi. Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!"

   Kembali Pangeran Matahari berseru. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilat-kilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.

   "Kalian berdua memang hebat!"

   Memuji Pangeran Matahari.

   Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara.

   Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas.

   Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.

   "Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan kami?!"

   Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya. Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.

   "Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantu-pembantu, sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah satu pekerjaan yang besar!"

   Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia bertanya.

   "Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?"

   "Memang ada Pangeran,"

   Jawab Elang Setan.

   "Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu. Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan diri!"

   "Hemmm... Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup keras..."

   Ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai.

   "Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi yang hendak kalian katakan?!"

   "Mengenai obat penawar itu.

   "kata Tiga Bayangan Setan pula.

   "Bukankah Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?"

   "Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!"

   Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak.

   "Ambil seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung sampai sepuluh!"

   Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke dalam mulut dan segera menelan.

   Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak.

   Mendadak saja dua orang itu merasa syak.

   "Pangeran..."

   Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.

   "Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!"

   Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak sontak pucat putih sperti kertas.

   "Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas...!"

   Ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang meluap.

   "Kau menipu kami Pangeran!"

   Ujar Elang Setan. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Pangeran Matahari semakin keras tawanya.

   "Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!"

   "Sesuai perjanjian...."

   "Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!"

   Sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan.

   "Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng, bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!"

   Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut.

   "Pangeran, bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan binatang buas...."

   "Plakkkk!"

   Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus. Pangeran Matahari menyeringai.

   "Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !"

   Ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan. Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata.

   "Mari kita tinggalkan tempat ini...."

   Katanya. Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah panggung.

   "Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu. Ha...ha...ha...!"

   "Jahanam keparat!"

   Maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.

   "Krakkkkk!"

   Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan berseru.

   "Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!"

   Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis.

   Begitu turun ke lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari.

   Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu.

   Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis.

   Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih.

   Tiba-tiba mulutnya dibuka.

   Si gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.

   * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa SEMBILAN Gadis bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu.

   Untuk beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.

   Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati.

   "Dulu Kitab Wasiat Iblis menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita sama. Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini."

   Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu.

   "Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia ingin membunuhku apa artinya..."

   Puti Andini naik ke atas batu.

   Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang dipegangnya agak licin.

   Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu.

   Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu.

   Akhirnya perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya.

   Dua tangan saling bersentuhan.

   Sepuluh jari saling mencengkram.

   Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam dirinya.

   Detak jantungnya mendadak lebih cepat.

   Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja.

   Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai.

   Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu.

   "Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu..."

   Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan auratnya.

   Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.

   "Kau mau kemana?!"

   Tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.

   "Aku.... Aku harus pergi,"

   Jawab si gadis.

   "Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?"

   "Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!"

   "Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi... Kuharap kau mau..."

   "Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!"

   "Hemmm... Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!"

   Ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia berseru.

   "Lihat batu!"

   Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.

   "Wussss!"

   "Braakkk...byaar!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.

   "Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!"

   Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.

   "Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!"

   Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu.

   "Gadis tengil...!"

   "Apa itu tengil?!"

   Tanya Puti Andini tidak mengerti. Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya.

   "Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!"

   "Hemmm, begitu...? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?"

   "Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau lihat?"

   "Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan mengenakan pakian biru...."

   "Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!"

   "Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu...?"

   Ujar Puti Andini dengan wajah berubah.

   "Kau kenal mereka...?"

   Puti Andini menggeleng.

   "Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus dimusnahkan!"

   "Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!"

   Si gadis tidak menjawab.

   "Apa lagi yang ingin kau tanyakan..."

   "Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan menyelamatkan diriku..."

   "Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!"

   Jawab Puti Andini. Wiro menyeringai lebar. Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang harus dilakukannya.

   "Siapa gurumu...?"

   Puti Andini tidak menjawab.

   "Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa...?"

   "Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya gara-gara patah hati..."

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri.

   (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang) "Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan...."

   "Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!"

   Jawab Puti Andini.

   "Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan agar kau membunuhku?!"

   Tukas Wiro Sableng.

   "Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu..."

   "Sialan... Enak saja kau bicara!"

   Kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.

   "Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!"

   "Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!"

   "Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau tidak percaya coba berkaca di air sungai!"

   Si gadis lalu tertawa panjang. Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal! "Puti Andini !"

   Teriak Wiro. 'Jangan kau berani bicara main-main!"

   "Wiro Sableng!"

   Balas berteriak si gadis.

   "Eh, bagaimana kau tahu namaku?!"

   Wiro keheranan.

   "Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya...."

   Jawab Puti Andini pula.

   "Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini. Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!"

   "Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna hitam itu akan serta merta lenyap..."

   "Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus..."

   Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala.

   "Kau bicara seperti anak kecil. Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau udara mendung!"

   "Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!"

   Pikir Wiro lalu garuk-garuk kepalanya berulang kali.

   "Kau masih ada pertanyaan?!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Ya...ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur."

   "Selatan,"

   Jawab Puti Andini pendek.

   "Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!"

   "Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga Bayangan Setan itu!"

   Kata Puti Andini.

   "Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya nyawa rangkap!"

   Jawab Wiro meradang.

   "Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!"

   "Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu?!"

   Tanya Wiro menahan gusar.

   "Mengenai diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!"

   "Apa maksudmu?!"

   Tanya Wiro.

   "Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya lebih dulu!"

   "Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?"

   Tanya Pendekar 212.

   "Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!"

   Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala.

   Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah.

   Enam payung yang menancap di tanah melesat ke atas.

   Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah.

   Payung merah yang dipegangnya naik ke atas.

   Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke udara.

   Wiro hendak mengejar.

   "Jangan kau berani mengikuti!"

   Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu sudah naik setinggi kepala.

   "Dasr sableng keras kepala!"

   Terdengar Puti Andini mengumpat.

   Tangan kirinya bergerak membuat gerakan berputar.

   Enam buah payung yaitu payung biru, kuning, hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang dahsyat.

   Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar 212.

   Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan perut! Wiro berseru tegang.

   Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat.

   Tempat jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair jernih.

   Sesaat sosok tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air.

   Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti Andini bergantung.

   Wiro geleng-geleng kepala.

   Dadanya agak sesak dan sedikit sakit.

   Memandang ke udara dia berkata.

   "Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!"

   Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.

   Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur...

   Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!"

   Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.

   * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa SEPULUH Muara Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut.

   Para nelayan sibuk memunggah ikan.

   Para tengkulak hilir mudik memborong ikan dengan harga semurah mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan.

   Dalam keadaan seperti itu Wiro berusaha mencari perahu sewaan.

   Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu pun pemilik yang mau disewa.

   Selain mereka letih, rata-rata saat itu mereka sudah mengantongi uang cukup banyak.

   Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu pada seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal, berkulit dan bermuka hitam jelek pula! Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong.

   Pemiliknya tengah mengumpulkan barang -barangnya.

   Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini.

   Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya.

   "Muka pantat dandang, kau masih belum dapat perahu sewaan?"

   Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang.

   Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini.

   Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.

   "Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?"

   "Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?"

   "Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?"

   Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu.

   "Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!"

   Wiro garuk-garuk kepala berulang kali. Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata.

   "Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui..."

   "Apa?!"

   Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.

   "Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!"

   Kata Wiro pula. Dia berpaling pada nelayan di sampingnya.

   "Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan ingin kau beritahu?"

   Nelayan pemilik perahu tertawa lebar.

   "Memang ada,"

   Jawabnya.

   "Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut..."

   "Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?"

   "Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!"

   "Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?"

   "Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan...1"

   Sambil tertawa-tawa pemilik perahu tinggalkan Wiro. Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala.

   "Kalau memang dia yang mau dan tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia muncul."

   Lima hari berlalu .

   Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul.

   Satu hari lagi berlalu.

   Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah.

   Kini memasuki hari ketujuh.

   Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi.

   Ombak besar-besaran menggemuruh dan memecah di pantai.

   Mungkin hujan turun di tengah laut.

   Angin bertiup kencang.

   Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya."Aku akan menunggu sampai sore nanti.

   Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini.

   Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini, urusan nantilah!"

   Wiro menghela nafas dalam.

   Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak pagi-pagi.

   Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik.

   Wiro memandang ke tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar.

   Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.

   Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih.

   Makin lama makin besar dan bergerak menembus gelombang menuju tepi pantai.

   Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali lalu terus memperhatikan.

   Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar.

   Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat kearah pantai.

   Di atasnya hanya ada seorang penumpang.

   Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh.

   Orang di atas perahu mengenakan sebuah caping lebar.

   Wajahnya ditutup dengan sehelai kain.

   Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya.

   Dia kelihatan duduk berjuntai di samping kiri perahu putih.

   Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari.

   Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara gemuruh gelombang.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!"

   Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa.

   Hujan rintik mulai melebat.

   Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.

   Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas.

   Perahu yang ditumpanginya tiba-tiba berputar, membalik ke arah tengah laut.

   Pada saat itu justru sebuah gelombang besar muncul.

   Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada.

   "Astaga! Hai! Awas! "

   Teriak Wiro. Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja perahu itu pun lenyap.

   "Pasti amblas ke dalam laut!"

   Pikir Wiro.

   "Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari mati. Bunuh diri!"

   Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.

   "Eh...."

   Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah kuyup.

   "Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!"

   Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu satu gelombang besar.

   Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit.

   Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima tombak.

   Penumpangnya ikut mental lebih tinggi.

   Begitu jatuh ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera! "Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!"

   Membatin murid Sinto Gendeng. Mendadak.

   "Hai!"

   Wiro berseru kaget.

   Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut.

   Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri kanan perahu.

   Dua tangannya disilangkan di depan dada.

   Kepalanya manggut-manggut mengikuti yang dialun ombak.

   Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai.

   Wiro berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.

   "Wusss!"

   Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya.

   Lalu terdengar suara braaakk! Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala.

   Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung.

   Gubuk hancur berantakan.

   Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh! "Eh, di mana orang bercaping itu?"

   Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali.

   Wiro cepat bangkit berdiri.

   Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut.

   Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya.

   Wajahnya ditutupi kain.

   Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah.

   Ketika angin bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.

   Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh.

   Tubuh itu seperti seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu! "Hancur kepalamu!"

   Seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai.

   Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.

   "Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi...."

   Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng dengan cepat perhatikan orang itu.

   "Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya...astaga! Dia menderita penyakit kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!"

   Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.

   "Bapak bercadar...Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul..."

   Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.

   "Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau melihatnya! Hik...hik...!"

   Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu berwarna merah dan basah di bagian mulut.

   "Tak pelak lagi! Memang dia!"

   Kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan bernanah! "Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu.

   Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan.

   Dengar, aku butuh pertolonganmu.

   Tunggu...

   Mari kubantu menyeret perahumu ke laut..."

   "Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!"

   Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.

   "Aku butuh pertolonganmu... Kau pasti bisa menolongku!"

   "Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!"

   Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Pendekar .

   "Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian?!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!"

   Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah dan warna merah.

   "Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya adalah kau sendiri!"

   "Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk menyelamatkan dunia persilatan!"

   Kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan bicara.

   "Oh begitu....? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!"

   Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu.

   Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam laut.

   Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping langsung melompat naik.

   Wiro tak menunggu lebih lama.

   Dia segera pula melompat.

   Pemilik perahu jadi marah.

   Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.

   "Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!"

   "Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru Angin!"

   "Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!"

   Hardik orang bercaping.

   "Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!"

   Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu tertawa gelak-gelak.

   "Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!"

   Hilang sabarnya Wiro berteriak.

   "Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol perahumu!"

   Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu.

   "Braak!"

   Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang.

   Tangan kanan Wiro sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku.

   Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam air laut.

   Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini jadi terkejut.

   Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.

   "Celaka! Bagaimana bisa begini?!"

   Ujar Wiro dalam hati.

   Dia melirik ke samping.

   Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu.

   Kedua kakinya yang penuh koreng cacar dimasukkannya ke dalam air.

   Sementara Wiro berkutat berusaha mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan kedua kakinya.

   Perlahan-lahan perahu mulai bergerak.

   Makin lama makin kencang.

   "Gila! Tanganku!"

   Teriak Wiro. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Ha..ha...!"

   Orang bercaping tertawa.

   "Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut runcing seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan. Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha...ha...ha!"

   "Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!"

   Teriak Pendekar 212. Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyang-goyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu melesat tambah cepat.

   "Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!"

   Teriak Wiro mengancam.

   "Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri?!"

   "Mengapa tidak?!"

   Jawab murid Sinto Gendeng.

   Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti.

   Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak.

   Wiro jadi kalap.

   Dengan tenaga penuh dia hantamkan tangan kirinya.

   Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup.

   Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh.

   Setelah itu dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya.

   Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.

   "Ha...ha...ha! Ha...ha...ha...!"

   Orang bercaping tertawa panjang.

   Perahu melesat semakin kencang.

   Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah! Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut.

   Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak.

   Untuk beberapa lama dua perahu meluncur bersisi-sisian.

   Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.

   "Heh... penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang...! Astaga!"

   Wiro terkejut tapi juga gembira.

   "Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!"

   Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang sedikitpun! "Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!"

   Wiro merutuk setengah mati.

   "Kuharap gadis itu bisa melihatku... Nah, perahunya agak mendekat. Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pertolonganmu!"

   Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.

   "Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!"

   Wiro sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran.

   "Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi..."

   Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat itu hitam legam Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa mulai dari kepala sampai ke kaki.

   "Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali dan terus saja pergi? Hik...hik!"

   "Jahanam!"

   Maki murid Sinto Gendeng.

   "Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu?!"

   Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut.

   Tepian pantai mulai tampak samar-samar di kejauhan.

   * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa SEBELAS Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah dipanggang.

   Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping perahu enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil.

   Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.

   "Hendak dibawa kemana aku ini...?"

   Pikir Wiro."Orang ini benar-benar menjadi bala bagiku!"

   Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.

   "Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!"

   Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya.

   Mendadak saja kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling.

   Hati sang Pendekar menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar manusia! Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala.

   Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya dingin.

   "Tanganku..."

   Kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut.

   "Sekali ikan-ikan itu menyambar pasti bunting!"

   "Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikan-ikan itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha...ha...ha...!"

   Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping.

   "Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!"

   Ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut.

   "Tanganku luka! Warna merah itu pasti darahku...! Celaka! Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku..."

   Wiro jadi gemetar membayangkan apa yang akan segera terjadi.

   Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras.

   Ikan-ikan hiu di dalam laut telah melihat dan mencium bau darah .

   Beberapa di antara mereka menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing.

   Makin lama goncangan makin keras.

   Air laut mulai masuk.

   Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja.

   "Selamat tinggal anak muda!"

   "Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!"

   Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi dilengkapi dua utas tali.

   Ternyata selembar papan.

   Dengar cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat.

   Dia berpaling pada Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala.

   "Sekali lagi, selamat tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha...ha...ha!"

   Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu melompat ke dalam laut.

   Papan Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa injakkannya mengapung di atas air.

   Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan! "Jahanam betul!"

   Rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat di depan matanya.

   "Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku...!"

   Begitu Wiro berkata setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan.

   Bayangan-bayangan orang yang paling dekat muncul di depannya.

   Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu.

   Menyusul Si Raja Penidur.

   Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan Tua Gila.

   Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat.

   Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari.

   "Bidadari Angin Timur... Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya..."

   "Braaaakk!-Braaakk!"

   Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah, terbelah dua.

   Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping.

   Tangan Wiro yang terjepit kini terlepas bebas.

   Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.

   Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip.

   Binatang-binatang haus darah ini menyerbu ke arahnya! Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa kali.

   Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara menggemuruh amat dahsyat.

   Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat.

   Tabir itu ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai tiga kali besarnya tubuh manusia.

   Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini.

   Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap.

   Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut.

   Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya.

   Mereka ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.

   * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa PERTAMA sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu.

   Hidungnya mencium bau harum semerbak.

   Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya.

   Memandang ke atas lalu melihat berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.

   "Ruangan apa ini...?"

   Pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya.

   "Eh, kakiku bisa bergerak..."

   Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu.

   "Dimana aku ini?"

   Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda.

   Langit-langit kamar terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat.

   Wiro angkat tangan kanannya.

   Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal lengan.

   Dia coba berpikir.

   Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa yang telah dialaminya sebelumnya.

   "Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul tabir kelabu aneh..."

   Wiro pandangi lagi lengan kanannya.

   "Luka di tanganku di taburi sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku..."

   "Srett...srett...srett...srettt!"

   Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak berkesip.

   "Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga... Buktinya saat ini aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus. Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya aku ini betulan di sorga?"

   Wiro garuk-garuk kepalanya.

   "Dosaku bertumpuk. Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini...?"

   Wiro memandang berkeliling. Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam yang ketat, terbelah di bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul, lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.

   "Cantik semua. Kalian ini siapa...Aku berada dimana?"

   Tanya Wiro lalu perlahan-lahan dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu.

   "Jangan-jangan para gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu..."

   Selintas pikiran muncul dan membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.

   "Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi...?"

   Wiro memperhatikan berkeliling.

   Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping.

   Dari celah di antara keduanya melangkah maju seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat besar.

   Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam.

   Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk.

   Karena dada pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih kencang seperti hendak melompat keluar.

   Murid Eyang Sinto Gendeng merasa jantungnya seperti mau tanggal menyaksikan! "Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami bawa ini."

   Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga kotor dan bau.

   "Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini..."

   Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik... hik! Mereka sama-sama tertawa.

   "Kenapa tertawa?"

   Tanya Wiro heran.

   "Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam. Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah dengan kulit kalian itu...!"

   Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis berguncang-guncang sewaktu mereka tertawa. Salah seorang dari para gadis lalu berkata.

   "Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan kotor serta bau itu..."

   "Ratu ...Ratu...apa...?"

   Wiro jadi heran.

   "Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian,"

   Gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.

   "Ya... ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat ini..."

   Kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada di atas nampan kerang.

   "Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti pakaian di depan kami..."

   "Hah ! Apa?!"

   Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan.

   "Kalau begitu biar aku tidak jadi ganti pakaian!"

   "Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah. Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama..."

   "Walah! Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan, makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa?!"

   "Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala penderitaanmu..."

   "Gila!"

   Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.

   "Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita membuka pakaian di hadapan kalian!"

   "Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!"

   Kata salah seorang dari dua belas dara cantik.

   "Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!"

   Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah. Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang.

   "Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih..."

   "Aku suka kalau kalian mengeroyokku..."

   Ujar Wiro masih bergurau.

   Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk.

   Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya.

   Telapak yang Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa terkembang diarahkan pada Wiro.

   Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212.

   Saat itu juga terdengar jeritan Wiro.

   Tubuhnya laksana berpijar-pijar.

   Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.

   Wusss...

   wusss...

   wussss.

   Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap.

   Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget.

   Dia memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di tubuhnya tapi tak berhasil menemukan.

   Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke aurat sebelah bawah.

   Dua belas gadis cantik tertawa cekikian.

   Yang membawa nampan berisi pakaian hitam berkata.

   "Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?"

   "Kalian ini... Ah!"

   Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya.

   Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya.

   Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali.

   Ruangan itu ramai lagi dengan suara tawa para gadis! "Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!"

   Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wiro.

   Dia mengenakan sambil berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu.

   Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan.

   Jadi kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-gadis cantik itu.

   Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian.

   Sambil memakai destar dia bertanya.

   "Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana...bagus?!"

   "Hitam semua!"

   Celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan itu. Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi dikenakannya.

   "Jangan khawatir,"

   Jawab gadis yang berjalan di depannya.

   "Kelak jika kau meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?"

   Wiro tertawa.

   Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu.

   Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia sewaktu-waktu ingin bertemu atau meminta bantuannya.

   (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).

   "Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan,"

   Kata Wiro sambil melangkah mengikuti gadis-gadis cantik itu.

   Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan pakaian.

   Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya.

   Wiro lalu teruskan maksudnya bertanya.

   "Kita ini berada dimana...? Di daratan atau di dasar laut?"

   "Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang,"

   Seorang gadis kemudian menjawab.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Ini yang aku tidak mengerti.

   Seingatku aku jatuh ke dalam laut...Mengapa kini kau katakan berada di awang-awang? Mana mungkin aku bisa berjalan di udara..."

   "Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti..."

   "Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?"

   "Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu menunggu."

   "Ratu..."

   Mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara.

   "Di laut utara ada Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang paling cantik antara keduanya..."

   Kata murid Sinto Gendeng konyol.

   (Harap baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara) * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa DUA BELAS Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan itu berada di awang-awang.

   Sementara itu suara petikan kecapi merdu terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.

   Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker.

   Sekeliling ruangan, mulai dari pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke ruangan itu.

   Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi seseorang yang duduk di bawahnya.

   Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari manik-manik berwarna putih perak berkilauan.

   Seperti pakaian para gadis lainnya, baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul.

   Kecantikan yang satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ.

   Namun kalau para gadis lain banyak senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak menunjukkan air muka ramah.

   Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang terbuat dari kerang tapi berwarna merah.

   Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah ketika memandang mata orang itu.

   Sepasang bola matanya berwarna biru dan memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker.

   Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.

   "Ini rupanya Sang Ratu..."

   Kata Wiro dalam hati. Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi penghormatan. Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata.

   "Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan..."

   Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan.

   "Ratu Duyung...? Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia. Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan..."

   "Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!"

   Satu cara mengancam di belakang Wiro.

   Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah.

   Dia melangkah maju ke hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam.

   Namun sambil membungkuk matanya yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang tersingkap.

   Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu.

   Di atas meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum.

   Di samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab.

   Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu.

   Namun mendadak saja dadanya berdebar.

   Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu.

   Setelah membungkuk dia berkata.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan.

   Perintah telah kami jalankan.

   Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami antarkan ke hadapanmu.

   Kami menunggu petunjuk lebih lanjut."

   Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit.

   Dia memandang pada Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.

   Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah.

   Walaupun dia terpesona melihat kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan.

   Karena dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku.

   Kitab Putih Wasiat Dewa! Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja bulat.

   Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda berkulit hitam itu.

   Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya.

   Ketika jari-jari tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu.

   Terdengar suara desingan halus.

   Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas.

   Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher.

   Kini hanya kepalanya saja yang tersembul di lantai ruangan.

   Secara aneh tapi mengerikan empat dinding lantai batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan diri keluar dari lobang itu! Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya.

   Cermin bulat yang terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu.

   Lalu dia melangkah anggun mendekati lobang tempat Wiro terjerumus.

   Berhenti tepat di tepi lobang itu.

   Dalam keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan menggiurkan bagi Wiro.

   Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh dan tak mampu keluar selamatkan diri.

   "Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang..."

   Kata Ratu Duyung.

   "Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!"

   Ujar Wiro.

   "Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!"

   Sang Ratu sunggingkan senyum sinis.

   Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah tombol di bawah meja bulat.

   Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca.

   Jika bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai ruangan.

   Wiro maklum bahaya maut kini kembali mengancamnya.

   "Ratu! Aku akan jelaskan..."

   "Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu..."

   "Kau benar dan aku tidak berdusta.

   "

   Jawab Wiro.

   "Tadi aku begitu terkejut dan lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang aku cari. Bukan untuk mengambilnya!"

   Ratu Duyung tertawa.

   "Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol! Jika kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil! Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya menyadari budi orang malah hedak mencuri!"

   "Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu seharusnya berada di tempat lain....!"

   "Begitu?!"

   Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima belas jengkal.

   "Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan...."

   "Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua golongan yang kau katakan!"

   Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia memberi tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu.

   "Lekas bawa masuk tamu kita yang datang malam tadi!"

   Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu.

   Tak selang berapa lama dia muncul kembali.

   Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata sipit hampir merupakan garis.

   Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala.

   Dia mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu dikenakan Wiro.

   Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil tiada hentinya tertawa-tawa.

   Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini.

   Dia hendak berseru memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh.

   Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir akan keselamatan dirinya.

   Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin mendekati kepalanya! Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada sang Ratu.

   "Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana?! Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan."

   Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk. Pada saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.

   "Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa itu....?"

   Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum. Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata.

   "Bukan, bukan dia orangnya... Ha...ha.. ha!"

   "Jadi kau tidak mengenalinya?"

   Tanya Ratu Duyung. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!"

   Lalu kembali orang ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.

   "Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!"

   Maki Wiro dalam hati.

   "Apa matanya sudah lamur tidak mengenali diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka gosong. Tapi eh...!"

   "Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!"

   Bertanya Ratu Duyung.

   "Perduli apa dengan nyawanya!"

   Jawab si gendut lalu tertawa mengekeh.

   "Kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu!"

   Kata Ratu Duyung pula. Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak.

   "Dewa Ketawa! Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak kenal diriku!"

   Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki.

   "Anak setan muka hitam itu tahu darimana namaku!"

   Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang sipit.

   "Siapa kau?!"

   Tanyanya sambil tertawa-tawa.

   "Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali diriku?!"

   "Puah!"

   Si gendut tertawa gelak-gelak.

   "Wiro Sableng Pendekar 212?!"

   "Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!"

   Sambung Wiro. Dia mendongak ke atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya. Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga matanya yang sipit kucurkan air mata.

   "Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku sudah buta?!"

   "Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!"

   Teriak Wiro.

   "Manusia bermuka hitam!"

   Membentak Ratu Duyung.

   "Jangan lancang berani menghina tetamuku!"

   "Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku. Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang milik Keraton yang dicuri orang?!"

   Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir.

   "Ya aku ingat! Waktu itu kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah jadi mayat hidup...!"

   "Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan....?!"

   "Eh!"

   Si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.

   "Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng, Pendekar 212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa...."

   "Tidak bisa..."

   Kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!"

   Ujar Wiro hampir berteriak karena di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari batok kepalanya.

   "Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui diriku!"

   "Sesuatu terjadi dengan diriku!"

   Jawab Wiro.

   Lalu dia menjelaskan peristiwa perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.

   Juga kemunculan seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang parah.

   Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan wajahnya menjadi hitam legam.

   Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

   "Dewa Ketawa!"

   Teriak Wiro. Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata.

   "Pendekar 212 yang aku kenal memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu!"

   "Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!"

   "Hemmm... Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?"

   Ujar Dewa Ketawa seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu.

   "Hemmm...Aku ingat ada rajahan angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa menolong...."

   "Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!"

   "Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan di dalam liang batu itu!"

   Kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.

   "Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!"

   Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat jengkal! "Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar 212..."

   "Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus batok kepalaku!"

   Teriak Wiro.

   "Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang celaka itu apa sebutanku memanggilmu? Nah ayo lekas kau jawab!"

   "Sobatku Muda!"

   Teriak Wiro.

   "Begitu kau memanggil diriku!"

   "Eh, memang benar!"

   Kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata.

   "Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng!"

   "Gila! Apa lagi maumu?!"

   Teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya tinggal tiga jengkal.

   "Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu?!"

   Tanya Dewa Ketawa. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Apa sulitnya mengingat!"

   Jawab Wiro.

   "Kau kupanggil Sobatku Gendut!"

   Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!"

   "Ha...ha...ha...!"

   Tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.

   "Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha...ha...ha!"(Siapa adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti) "Kalau begitu!"

   Ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya.

   "Lekas minta pada tuan rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!"

   "Ratu Duyung..."

   Ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah ketakutan setangah mati.

   "Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan benda kematian itu!"

   Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih dulu.

   "Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar Pendekar 212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?"

   "Ya...ya...ya! Memang dia!"

   Jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak.

   Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu.

   Dia menekan tombol di bawah meja.

   Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro.

   Murid Sinto Gendeng menarik nafas lega.

   Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas! "Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!"

   Kata Dewa Ketawa.

   "Aku belum seluruhnya selamat!"teriak Wiro.

   "Eh, apa maksudmu?!"

   Tanya Dewa Ketawa.

   "Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!"

   Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung.

   "Ratu Duyung, kurasa kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi pergedel!"

   Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum.

   Lalu jari-jari tangannya menekan salah satu bagian lengan kursi batu.

   Empat dinding batu yang menggencet tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang.

   Begitu ada kesempatan Wiro segera melompat keluar.

   Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada di atas meja.

   "Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!"

   Terdengar Ratu Duyung berucap.

   Sesaat Wiro merasa ragu.

   Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ.

   Dilirik seperti itu si Gendut sunggingkan tawa lebar.

   Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja bulat.

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Ternyata kitab sakti ini berada di sini.

   Tidak seperti yang diterangkan Kakek Segala Tahu..."

   Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.

   "Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!"

   Kata Wiro. Tawa bergelak.

   "Pendekar 212,"

   Ujar Sang Ratu.

   "Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar. Kedua, perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah pangkal segala keselamatan!"

   Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.

   "Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini pasti aku sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada beberapa hal yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli? Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai tamu seperti si Gendut itu..."

   Dewa Ketawa tertawa bergelak.

   "Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan di tempat ini,"

   Berucap Ratu Duyung.

   "Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadis-gadis cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!"

   Yang bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.

   Wiro garuk-garuk kepala.

   Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata."Pertemuan hari ini cukup sampai di sini.

   Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok.

   Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!"

   Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya.

   Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung.

   Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya.

   Namun di pintu keluar dia ditunggui oleh Dewa Ketawa.

   "Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat....Ha...ha...ha...!"

   "Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di awang -awang?"

   "Memangnya kau tak percaya?"

   Balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar biasa itu.

   "Akalku tak bisa menerima..."

   "Ha...ha...ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan pikiran bagi kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam nanti....Ha...ha...ha!"

   Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Wasiat Dewa "Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa... Betul?"

   Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.

   "Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?"

   Tanya Pendekar 212.

   "Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok...."

   Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di satu tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.

   "Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku. Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi....Apakah kau juga disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?"

   Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha...ha...ha...! Cuma denganmu mereka lebih untung!"

   Apa maksudmu?"Tanya Wiro.

   "Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih kencang....! Ha...ha...ha!"

   Pendekar 212 pencongkan mulutnya.

   Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.

   TAMAT Ikuti serial .

   WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 Berikutnya berjudul.

   WASIAT SANG RATU SEMUA HAK CIPTA DAN COPY RIGHT ADA PADA PENGARANG (ALM.

   BASTIAN TITO) Komentar dan saran .

   mrcnry_007@yahoo.com atau pada thread Wiro Sableng di www.kaskus.us sub forum Book Review.

   

   

   

Shugyosa Samurai Pengembara II Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Shugyosa Samurai Pengembara II

Cari Blog Ini