Ceritasilat Novel Online

Death Du Jour 7


Kathy Reichs Death Du Jour Bagian 7



habisnya darah akibat luka tusukan.

   Luka di dada dengan sayatan halus dibuat oleh pisau yang memotong beberapa pembuluh darah utama.

   Karena pembusukan, ahli patologi tidak merasa yakin mengenai penyebab luka sayatan lainnya.

   Kulewati hari itu dalam suasana gelisah.

   Kutuliskan laporan tentang Jennifer Cannon dan korban Murtry lainnya, kemudian beralih ke data CAT scan, berhenti beberapa kali untuk mendengarkan apakah Kathryn kembali ke rumah.

   Ryan menelepon jam dua untuk mengabarkan bahwa berita tentang Jennifer Cannon telah meyakinkan seorang hakim dan surat izin penggeledahan sudah diterbitkan untuk menggeledah padepokan Saint Helena.

   Dia dan Baker akan ke sana segera setelah surat itu sampai.

   Kuceritakan hilangnya Kathryn dan mendengarkan suaranya yang berusaha meyakinkanku bahwa itu bukan salahku.

   Aku juga menceritakan kembalinya Birdie.

   "Setidaknya ada berita bagus."

   "Ya. Sudah ada kabar tentang Anna Goyette?"

   "Belum."

   "Texas?"

   "Masih menunggu. Akan kukabarkan nanti apa yang terjadi di sini."

   Saat menutup telepon, kurasakan belaian bulu di pergelangan kakiku dan melihat ke bawah, ke Birdie yang sedang membuat guratan angka delapan di antara kedua kakiku.

   "Ayo Bird. Bagaimana kalau kita makan?"

   Kucingku kadang-kadang senang dengan mainan anjing yang bisa digigit-gigit.

   Aku pernah mencoba menjelaskan bahwa semua mainan itu sebenarnya untuk anjing, tapi dia tidak peduli.

   Kuambil sebuah mainan tulang kecil dari laci lemari dapur dan melemparkannya ke ruang duduk.

   Birdie berlari menyeberangi ruangan, mengintai, kemudian menerkam mangsanya.

   Dia menegakkan tubuhnya, memosisikan barang itu di antara kedua cakar depannya, dan mulai menggigit-gigit barang buruannya itu.

   Aku mengamatinya, bertanya dalam hati, apa yang menarik dari barang yang licin itu.

   Kucingku mengunyah ujungnya, kemudian membalikkan mainan itu dan menggigiti benda itu dari satu ujung ke ujung lainnya.

   Benda itu terjatuh dan Bird menariknya kembali dan menancapkan taringnya ke kulitnya.

   Aku mengamatinya, terpaku.

   Apakah itu penyebabnya? Kudekati Birdie, berjongkok, dan menarik benda mainannya itu.

   Birdie meletakkan cakar depannya di lututku, berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan mencoba merebut kembali hadiahnya itu.

   Degup jantungku semakin kencang saat aku melihat kulit yang sudah dikoyak-koyak itu.

   Ya Tuhan.

   Kubayangkan luka yang tidak jelas penyebabnya di kulit Jennifer.

   Sayatan buatan.

   Koyakan yang bergerigi, Aku berlari ke ruangan duduk, mencari kaca pembesar, bergegas ke dapur dan meraih fotofoto itu kembali.

   Kupilih foto kepala dan mengamatinya dari balik kaca pembesar itu.

   Daerah yang botak itu bukan disebabkan oleh pembusukan.

   Rambut yang tersisa masih menempel dengan kuat di kulit kepala.

   Bagian kulit dan rambut yang terlepas berbentuk segi empat, ujungnya tampak robek dan bergerigi.

   Kulit kepala Jennifer Cannon telah dirobek dari batok kepalanya.

   Aku memikirkan apa arti semua itu.

   Dan aku memikirkan hal lainnya.

   Apakah aku memang benarbenar bodoh? Apakah pola pikirku yang sudah ditentukan sebelumnya telah membutakan mataku akan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas? Kuraih kunci dan tasku, kemudian berlari keluarn rumah.

   Empat puluh menit kemudian, aku sudah berada di universitas.

   Tulangbelulang korban Murtry yang belum teridentifi kasi menatap dari meja labku.

   Bagaimana aku bisa begitu ceroboh? "Jangan pernah mengasumsikan sumber luka."

   Katakata guruku muncul kembali dalam ingatanku setelah sekian puluh tahun tertanam di benakku.

   Aku telah masuk perangkap.

   Ketika melihat hancurnya tulang, aku ingat pada rakun dan burung pemakan bangkai.

   Aku tidak melihatnya dengan jelas.

   Aku tidak mengukurnya.

   Sekarang aku akan melakukannya.

   Walaupun ada kerusakan yang luas di batok kepala sebagai ulah para pemakan bangkai, luka lainnya sudah ada sebelumnya.

   Dua lubang di bagian belakang tengkorak adalah luka yang paling jelas.

   Masing-masing berukuran lima milimeter, dengan jarak tiga puluh lima milimeter di antara keduanya.

   Luka ini tidak disebabkan oleh burung pemakan bangkai, dan pola itu terlalu besar sehingga tidak mungkin ulah rakun.

   Luka ini disebabkan oleh anjing yang cukup besar.

   Begitu juga goresan yang sejajar di tulang kepala dan lubang-lubang kecil yang sama di bagian bahu dan rusuk.

   Jennifer Cannon dan rekannya telah diserang oleh binatang, mungkin anjing besar.

   Gigi binatang itu telah merobek daging keduanya dan menembus tulangnya.

   Beberapa gigitan cukup kuat sehingga mampu menembus tebalnya tulang tengkorak.

   Pikiranku melompat.

   Carole Comptois, korban di Montreal yang digantung di pergelangan tangannya dan disiksa, juga diterkam seekor binatang.

   Kesimpulan yang bagus, Brennan.

   Ya.

   Tidak masuk akal.

   Tidak, ujarku kepada diri sendiri.

   Justru sebaliknya.

   Sebelumnya, sikapku yang skeptis tidak membantu korban-korban ini.

   Aku begitu ceroboh ketika memerhatikan luka akibat serangan binatang ini.

   Aku meragukan hubungan antara Heidi Schneider dan Dom Owens, dan aku juga tidak berhasil melihat hubungan lelaki itu dengan Jennifer Cannon.

   Aku juga tidak menolong Kathryn atau Carlie, dan aku tidak melakukan apa pun untuk mencari Anna Goyette.

   Mulai sekarang, jika diperlukan, aku akan melakukan sesuatu.

   Jika ada kemungkinan sekecil apa pun bahwa Carole Comptois dan para wanita di Pulau Murtry ada hubungannya, aku akan membuka pikiranku untuk menerima kemungkinan itu.

   Kutelepon Hardaway, tidak terlalu berharap dia bekerja di Sabtu sore seperti ini.

   Dia tidak ada di kantornya.

   Begitu juga dengan LaManche, ahli patologi yang telah melakukan autopsi atas Comptois.

   Kutinggalkan pesan untuk keduanya.

   Dengan gemas, kuambil sebuah buku dan kutuliskan hal-hal yang telah kuketahui.

   Baik Jennifer Cannon maupun Carole Comptois berasal dari Montreal.

   Keduanya tewas akibat serangan binatang.

   Tulangbelulang yang dikuburkan dengan Jennifer Cannon juga memiliki tanda bekas gigitan binatang.

   Korban itu tewas dengan kadar Rohypnol yang sangat tinggi, menyiratkan keracunan akut.

   Rohypnol ditemukan pada kedua korban yang ditemukan bersama Heidi Schneider dan keluarganya di St-Jovite.

   Rohypnol ditemukan pada beberapa mayat di lokasi pembunuhan/bunuh diri kelompok Order of the Solar Temple.

   The Solar Temple beroperasi di Quebec dan Eropa.

   Ada panggilan telepon dari rumah di St-Jovite ke komune Dom Owens di Saint Helena.

   Keduanya property milik Jacques Guillion, yang juga pemilik property di Texas.

   Jacques Guillion adalah orang Belgia.

   Salah seorang korban di St-Jovite, Patrice Simonnet, juga orang Belgia.

   Heidi Schneider dan Brian Gilbert bergabung dengan kelompok Owens di Texas dan kembali ke sana untuk melahirkan kedua bayinya.

   Mereka meninggalkan Texas dan dibunuh.

   Di St-Jovite.

   Korban St-Jovite tewas kira-kira tiga minggu yang lalu.

   Jennifer Cannon dan korban yang belum teridentifi kasi tewas tiga sampai empat minggu yang lalu.

   Carole Comptois mati kurang dari tiga minggu yang lalu.

   Kutatap halaman itu.

   Sepuluh.

   Sepuluh orang tewas.

   Kembali frasa aneh itu melesat di dalam benakku, Death du jour, Kematian hari ini.

   Kami menemukannya hari demi hari, tetapi semuanya tewas pada saat yang bersamaan.

   Siapa yang berikutnya? Lingkaran setan apakah yang sedang kami masuki saat ini? etibanya di rumah, segera kuhidupkan komputer untuk merevisi laporanku tentang mayat Murtry dengan menyertakan luka akibat serangan binatang.

   Kemudian, kucetak dan kubaca ulang perbaikan yang baru kuketik.

   Setelah selesai, jam menyanyikan lagu Westminster yang lengkap, kemudian terdengar enam dentingan.

   Perutku menggeram, menandakan bahwa aku belum makan apa-apa sejak roti bagel dan kopi di pagi hari.

   Aku beranjak ke beranda, memetik daun kemangi dan bawang putih.

   Kemudian, kuiris lapisan keju, mengambil dua telur dari lemari es, dan menumis semuanya.

   Kupanggang sekerat roti bagel, menuangkan segelas Diet Coke, dan kembali ke meja di ruangan duduk.

   Ketika melihat catatan yang kubuat di universitas, sebuah pikiran yang mengkhawatirkan muncul dalam benakku.

   Anna Goyette juga menghilang kurang dari tiga minggu yang lalu.

   Rasa laparku langsung hilang.

   Kutinggalkan meja dan duduk di sofa.

   Aku berbaring dan membiarkan pikiranku melayang, membiarkan berbagai hubungan yang mungkin terjadi untuk mengambang ke permukaan.

   Kuurutkan berbagai nama.

   Schneider.

   Gilbert.

   Comptois.

   Simonnet.

   Owens.

   Cannon.

   Goyette.

   Tidak ada hubungannya.

   Usia.

   Empat bulan.

   Delapan belas.

   Dua puluh lima.

   Empat puluh.

   Tidak ada pola.

   Tempat.

   St-Jovite.

   Saint Helena.

   Hubungan? Saint, Apa itu bisa menjadi penghubung? Aku menuliskan catatan.

   Tanya Ryan lokasi properti milik Guillion di Texas.

   Kugigit-gigit kuku jempolku.

   Apa yang membuat Ryan sedemikian lama? Mataku melayang ke beberapa rak yang merapat ke enam dinding ruangan untuk berjemur, yang semuanya berjumlah delapan dinding.

   Buku disusun dari lantai sampai langitlangit.

   Itu adalah hal yang tidak pernah bisa ku-singkirkan.

   Aku benarbenar harus memilah-milah dan membuang buku yang tidak terpakai lagi.

   Aku memiliki belasan dokumen yang tidak pernah kubaca lagi, beberapa dari masa aku masih kuliah dulu.

   Universitas.

   Jennifer Cannon.

   Anna Goyette.

   Keduanya mahasiswa di McGill.

   Aku memikirkan Daisy Jeannotte, dan katakata aneh yang diucapkannya tentang asistennya.

   Mataku mendarat di komputer.

   Screen saver berbentuk tulang belakang yang meliuk-liuk seperti ular di sekeliling monitor.

   Tulang panjang menggantikan tulang belakang, kemudian tulang rusuk, pinggul, dan layar pun menjadi gelap.

   Pertunjukan dimulai lagi dengan menampakkan tengkorak yang berputar perlahan.

   Email.

   Ketika aku dan Jeannotte bertukar alamat, aku memintanya untuk menghubungiku saat Anna sudah kembali.

   Aku belum memeriksa pesan di komputerku selama berharihari.

   Kubuka internet, mengunduh surat, dan memindai nama para pengirim.

   Tidak ada satu pun dari Jeannotte.

   Keponakanku, Kit, mengirimkan tiga pesan.

   Dua dikirim minggu yang lalu dan satu dikirim pagi ini.

   Kit tidak pernah mengirimiku email.

   Kubuka suratnya yang terakhir.

   Dari.

   khoward Kepada.

   tbrennan Subjek.

   Harry Bibi Tempe.

   Aku meneleponmu, tapi sepertinya Bibi tidak ada di rumah.

   Aku benarbenar khawatir tentang Harry.

   Tolong telepon aku.

   Sejak usia dua tahun, Kit memanggil ibunya dengan namanya saja.

   Walaupun orangtuanya tidak setuju, anak itu tidak mau mengubahnya.

   Harry terdengar lebih cocok di telinganya.

   Saat aku berusaha mencari pesan-pesan sebelumnya dari keponakanku, kurasakan emosi yang bercampur-aduk.

   Mengkhawatirkan keselamatan Harry.

   Kesal karena sikapnya yang sembarangan.

   Rasa iba pada Kit.

   Rasa bersalah karena aku sering tidak peduli.

   Dia pasti menelepon ketika aku sedang berbicara dengan Kathryn.

   Aku masuk ke ruangan duduk dan menekan tombol mesin penjawab telepon.

   Hi, Bibi Tempe.

   Ini Kit.

   Aku menghubungimu untuk membicarakan Harry.

   Waktu aku menelepon ke apartemenmu di Montreal, dia tidak mengangkatnya dan aku tidak tahu ke mana dia pergi.

   Aku tahu dia masih di sana sampai beberapa hari yang lalu.

   Pause.

   Saat terakhir kalinya kami berbicara, dia kedengarannya aneh, lebih aneh daripada biasanya.

   Tawa gugup.

   Apakah dia masih di Quebec? Kalau tidak, apakah Bibi tahu di mana dia? Aku khawatir.

   Aku belum pernah mendengar suaranya seaneh ini.

   Tolong telepon aku.

   Bye.

   Kubayangkan keponakanku, dengan matanya yang hijau dan rambutnya yang kecokelatan.

   Sungguh sulit dipercaya bahwa Howard Howard telah memberikan kontribusi gennya kepada Harry.

   Dengan tinggi lebih dari dua meter dan kurus seperti tangga, Kit adalah jelmaan ayahku.

   Kuputar pesan itu sekali lagi dan memikirkan apa ada sesuatu yang tidak beres.

   Tidak, Brennan.

   Tetapi, mengapa Kit sedemikian khawatirnya? Telepon dia.

   Harry baikbaik saja.

   Kutekan tombol otomatis.

   Tidak ada jawaban.

   Kucoba menelepon rumahku di Montreal.

   Sama saja.

   Kutinggalkan pesan.

   Pete.

   Dia belum mendapat kabar dari Harry.

   Tentu saja.

   Dia menyenangi adikku sama seperti dia menyenangi jamur kuku.

   Harry juga tahu itu.

   Cukup, Brennan.

   Kembali ke korban-korban tadi.

   Mereka membutuhkanmu.

   Kukembalikan pikiranku ke adikku.

   Harry sudah pernah pergi tanpa berita.

   Aku harus mengasumsikan bahwa dia baikbaik saja.

   Aku kembali ke sofa dan berbaring.

   Saat terbangun, aku masih memakai baju yang tadi, telepon berdering di atas dadaku.

   "Terima kasih karena sudah menelepon, Bibi Tempe, aku mungkin aku terlalu cemas berlebihan, tapi ibuku terdengar seperti sangat —tertekan saat terakhir kalinya kami bicara. Dan sekarang dia menghilang.Tidak seperti Harry. Maksudku, biasanya dia tidak pernah terdengar begitu tertekan."

   "Kit, aku yakin dia baikbaik saja."

   "Bibi mungkin memang benar, tapi, yah, kami sudah menyusun rencana. Dia selalu mengeluhkan bahwa kami tidak pernah menghabiskan waktu bersama-sama lagi, jadi aku berjanji untuk pergi naik kapal dengannya minggu depan. Boleh dikatakan aku sudah selesai melaksanakan renovasi itu, jadi aku dan Harry akan berlayar di Teluk selama beberapa hari. Kalau dia berubah pikiran, dia 'kan bias meneleponku."

   Kurasakan amarah yang biasa kurasakan saat berhadapan dengan kecuekan adikku.

   "Dia pasti menghubungimu, Kit. Waktu aku meninggalkannya, dia sibuk dengan pelatihannya. Kamu tahu 'kan sifat ibumu?"

   "Ya."

   Dia berhenti sejenak.

   "Tapi, justru itu. Dia kedengarannya seperti ..."

   Dia mencaricari katayang tepat.

   "Datar. Tidak seperti Harry."

   Aku teringat malamku yang terakhir dengan Harry.

   "Mungkin karena ada hal baru yang ditemukannya. Ketenangan yang indah."

   Katakataku bahkan terdengar tidak masuk akal untuk diriku sendiri.

   "Yah. Mungkin begitu. Apakah dia pernah mengatakan mau ke mana?"

   "Tidak. Kenapa?"

   "Katakatanya membuatku berpikir bahwa dia sedang merencanakan untuk pergi ke suatu tempat. Tapi, sepertinya, bukan idenya sendiri, atau dia memang tidak mau pergi? Ah, entahlah."

   Dia menghela napas. Dalam benakku, kulihat keponakanku menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya, kemudian mengelus bagian atas kepalanya. Itu yang dilakukan Kit kalau sedang frustrasi.

   "Apa katanya?"

   Walaupun sudah membuat kesimpulan, aku mulai gelisah.

   "Aku tidak ingat jelasnya, tapi begini kira-kira. Tidak ada bedanya apa yang dia pakai atau bagaimana penampilannya. Apakah itu kedengarannya seperti ibuku?"

   Tidak. Sama sekali tidak.

   "Bibi Tempe, apakah Bibi tahu tentang pelatihan yang sedang diikuti Harry?"

   "Hanya namanya saja. Inner Life Empowerment, kalau tidak salah. Apakah kamu merasa lebih baik kalau aku mencari tahu?"

   "Ya."

   "Dan aku akan menelepon tetanggaku di Montreal dan menanyakan apakah mereka pernah melihat Harry. Ok?"

   "Ya."

   "Kit. Kamu masih ingat ketika dia bertemu dengan Striker?"

   Hening sejenak.

   "Ya."

   "Apa yang terjadi?"

   "Harry pergi mengikuti perlombaan balon udara, pergi selama tiga hari, dan tahu-tahu sudah menikah."

   "Ingat betapa khawatirnya kamu saat itu?"

   "Ya. Tapi, dia tidak lupa membawa alat pengikal rambutnya waktu itu. Tolong minta dia menghubungi aku ya? Aku sudah meninggalkan pesan, tapi mungkin dia memang sedang marah atau apa. Siapa tahu?"

   Kututup gagang telepon dan melihat jam.

   Jam dua belas lewat lima belas menit.

   Aku mencoba menghubungi Montreal.

   Harry tidak menjawabnya, jadi aku meninggalkan pesan lagi.

   Saat berbaring di kegelapan, pikiranku menyediakan diri untuk ditanyai sekali lagi.

   Mengapa aku tidak menghubungi ILE? Karena tidak ada alasan untuk melakukan hal itu.

   Harry ikut pelatihan itu melalui sebuah lembaga yang sah, dan tidak ada alasan untuk menjadi khawatir.

   Lagi pula, kalau aku ingin mengetahui semua rencana Harry, aku butuh waktu penyelidikan yang lama.

   Besok.

   Aku akan menelepon besok.

   Tidak malam ini.

   Kuakhiri penyelidikan ini.

   Kunaiki tangga, membuka baju dan merebahkan diri di bawah seprai.

   Aku butuh tidur.

   Aku butuh istirahat dan melepaskan diri dari segala kekacauan yang mendominasi pikiranku.

   Di atas kepala, kipas di langitlangit berdengung dengan suara lembut.

   Kubayangkan kamar makan Dom Owens, dan walaupun aku berusaha keras menyingkirkannya, semua nama itu melayang-layang kembali.

   Brian.

   Heidi.

   Brian dan Heidi adalah mahasiswa.

   Jennifer Cannon adalah mahasiswa.

   Anna Goyette.

   Perutku melilit.

   Harry.

   Harry mendaftarkan diri mengikuti seminar pertamanya di North Harris County Community College.

   Harry seorang mahasiswa.

   Vang lain dibunuh atau hilang saat berada di Quebec.

   Adikku ada di Quebec.

   Atau apakah dia memang di sana? Ke mana sih Ryan? Saat akhirnya Ryan menelepon, perasaan khawatirku meningkat menjadi rasa takut yang nyata.[] 1•HT~)ergi? Maksudmu pergi bagaimana?"

   Aku sudah terti-JL dur nyenyak, dan ketika Ryan membangunkanku di pagi buta, aku sedikit pusing dan masih belum bangun sepenuhnya.

   "Ketika kami sampai ke sana dengan membawa surat izin penggeledahan, tempat itu sudah ditinggalkan."

   "Dua puluh enam orang menghilang begitu saja?"

   "Owens dan seorang wanita mengisi bensin mobilnya sekitar pukul tujuh pagi kemarin. Tukang pompa bensinnya ingat karena hal itu di luar kegiatan rutin mereka. Aku dan Baker mengunjungi komune itu sekitar pukul lima sore. Antara kedua waktu itu sang pendeta dan para pengikutnya pergi dari tempat itu."

   "Mereka pergi begitu saja?"

   "Baker sudah mengeluarkan APB (semacam perintah kepada kepolisian untuk melacak penjahat), tapi sejauh ini belum ada yang melaporkan melihat mobil van itu."

   "Ya ampun."

   Aku tidak memercayai apa yang kudengar.

   "Sebenarnya, ada berita yang lebih buruk lagi."

   Aku menunggu.

   "Sekitar delapan belas orang lainnya telah menghilang di Texas."

   Aku merasa diriku membeku.

   "Ternyata ada sekelompok orang lainnya di dalam properti milik Guillion di sana. Kantor Sheriff Fort Bend County telah mengawasi mereka selama beberapa tahun dan tidak berkeberatan mengunjungi tempat itu. Sayangnya, saat tim polisi tiba di sana, mereka sudah menghilang. Mereka menemukan seorang lelaki tua dan seekor anjing cocker spaniel bersembunyi di bawah beranda."

   "Apa katanya?"

   "Lelaki itu sekarang ditahan, tapi entah dia itu sudah pikun atau tolol, dia belum memberikan keterangan apa pun."

   "Atau mungkin sangat ketakutan."

   Kuamati langit kelabu di luar jendelaku yang semakin terang.

   "Sekarang bagaimana?"

   "Sekarang aku akan menggeledah padepokan Saint Helena dan berharap polisi setempat bisa menemukan petunjuk ke mana Owens membawa mereka pergi."

   Kulirik jam. Tujuh lewat sepuluh dan aku sudah dihadapkan pada situasi berat begini.

   "Bagaimana ceritamu?"

   Kuceritakan tentang bekas gigitan di tulang dan kecurigaanku tentang Carole Comptois.

   "Bukan modus operandi yang tepat."

   "Modus operandi apa? Simonnet ditembak, Heidi dan keluarganya disayat-sayat dan digorok, dan kita belum tahu apa penyebab kematian yang dua orang di lantai atas. Cannon dan Comptois keduanya diserang binatang dan pisau. Itu bukan kejadian yang biasa kita temui."

   "Comptois dibunuh di Montreal. Cannon dan temannya ditemukan hampir dua ribu kilometer di selatan tempat itu. Apa anjing itu naik pesawat?"

   "Aku tidak mengatakan bahwa mereka diserang oleh anjing yang sama. Hanya dengan pola yang sama."

   "Kenapa?"

   Aku sudah mengajukan pertanyaan itu kepada diriku sepanjang malam.

   Dan siapa? "Jennifer Cannon adalah mahasiswi McGill.

   Begitu juga Anna Goyette.

   Heidi dan Brian juga sedang kuliah saat mereka bergabung dengan kelompok Owens.

   Apa kamu bisa mencari informasi apakah Carole Comptois kuliah di kampus mana? Apa dia mengambil kursus atau bekerja di kampus?"

   "Dia seorang WTS."

   "Mungkin dia memenangkan beasiswa,"

   Tukasku. Sikap nya yang negatif mulai membuatku kesal.

   "Ok, Ok. Jangan marah-marah seperti itu dong,"

   "Ryan ..."

   Aku ragu-ragu, tidak mau membuat ketakutanku menjadi kenyataan dengan mengungkapkannya dalam katakata. Dia menunggu.

   "Adikku mendaftar untuk ikut seminar di univesitas swasta di Texas."

   Untuk sejenak, hening.

   "Anaknya meneleponku kemarin karena dia tidak bisa menghubungi ibunya. Aku juga begitu."

   "Dia mungkin sedang dikucilkan sebagai bagian dari pelatihan itu. Kamu tahu 'kan, seperti retret begitu. Mungkin dia sedang merenung dan melakukannya dengan menyendiri. Tapi, kalau kamu benarbenar khawatir, telepon kampusnya saja."

   "Iya juga ya."

   "Meskipun dia mendaftar di Lone Star State tidak berarti-"

   "Aku tahu, aku seperti orang paranoid, tapi katakata Kathryn membuatku ketakutan, dan sekarang Dom Owens sedang merencanakan entah apa dan entah di mana."

   "Kita akan menangkapnya."

   "Aku tahu."

   "Brennan, entah bagaimana mengatakannya."

   Dia m narik napas panjang kemudian mengembuskannya.

   "Adikmu sedang mengalami sebuah transisi, dan sekarang ini dia membuka diri untuk menerima hubungan baru apa pun. Dia mungkin bertemu dengan seseorang dan pergi selama beberapa hari."

   Tanpa membawa alat pengikal rambutnya? Kegelisahan menghujam seperti gundukan salju tebal yang beku di dalam dadaku.

   Setelah kami memutuskan hubungan telepon, kucoba lagi menelepon Harry.

   Di dalam kepalaku kulihat telepon berdering di apartemenku yang kosong.

   Dia pergi ke mana sih jam tujuh di hari Minggu pagi begini? Minggu.

   Sialan! Aku bahkan tidak bisa menghubungi kampusnya sampai besok.

   Kuseduh kopi, kemudian menelepon Kit, walaupun di Texas baru jam enam pagi.

   Dia terdengar sopan, tetapi sekaligus gugup, dan tidak mengikuti alur pertanyaanku.

   Ketika akhirnya memahami perkataanku, dia tidak yakin apakah pelatihan yang diikuti ibunya itu merupakan mata kuliah rutin dari kampusnya.

   Dia ingat pernah melihat beberapa bukunya dan berjanji akan ke rumah ibunya untuk memeriksa.

   Aku tidak bisa duduk diam begitu saja.

   Kubuka koran Observer, kemudian jurnal Belanger.

   Aku bahkan mencoba menonton pendeta yang berkhotbah di Minggu pagi.

   Baik berita kejahatan, Louis-Phillipe, ataupun khotbah itu tidak bisa menarik perhatianku.

   Jiwaku bersembunyi di jalan buntu tanpa bisa keluar.

   Karena suasana hatiku tidak enak, kukenakan sepatu olahraga dan keluar rumah.

   Langit terlihat cerah, udara lembut dan lembap saat kususuri Queens Road West, kemudian memotong di Princeton menuju Freedom Park.

   Bulir keringat mengalir deras seperti anak sungai ketika sepatu Nike-ku dipacu mengelilingi laguna.

   Bebek-bebek kecil meluncur dalam satu barisan di belakang ibu mereka, suara mereka mengiringi cuaca di Minggu pagi itu.

   Pikiranku tetap kacau dan tidak menentu, para tokoh dan berbagai kejadian selama minggu-minggu terakhir ini berputarputar di benakku.

   Aku mencoba memusatkan perhatian pada irama sepatuku, irama napasku, tetapi ucapan Ryan terus terngiang-ngiang di telingaku.

   Hubungan baru.

   Itukah sebutan yang diciptakannya bersama Harry untuk malam di Hurley itu? Itukah sebutan untuk petualanganku dengannya di Melannie Tessl Kuseberangi taman, berlari ke utara menuju klinik, kemudian menyusuri jalanan sempit di Myers Park.

   Kulewati taman-taman yang indah dan pekarangan untuk parkir mobil, di sana-sini diurus dengan apiknya oleh pemilik rumah.

   Aku baru saja menyeberangi Providence ketika bertabrakan dengan lelaki bercelana cokelat, berkemeja merah muda, dan jaket olahraga yang kusut yang sepertinya asli dari Sears.

   Dia menjinjing tas kerja yang sudah usang dan tas kanvas yang menggelembung berisi korsel untuk slides.

   Ternyata Red Skyler.

   "Sedang menggelandang di tenggara sini?"

   Tanyaku, mencoba mengatur napas kembali. Red tinggal di sisi lain dari Charlotte, di dekat universitas.

   "Aku mengajar di Myers Park Methodist hari ini."

   Dia menunjuk sebuah kompleks bangunan abuabu di seberang jalan.

   "Aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan s//cfe-nya."

   "Oh oke."

   Aku sudah basah oleh keringat dan rambutku menempel ke kulit. Kucubit kaus oblongku dan melepaskannya dari tubuhku.

   "Bagaimana kemajuan kasusmu?"

   "Tidak baik. Owens dan para pengikutnya menghilang ditelan bumi."

   "Mereka bersembunyi?"

   "Rupanya begitu. Red, boleh aku tanya sehubungan dengan pernyataanmu kemarin?"

   "Tentu saja."

   "Ketika kita mendiskusikan sekte, kamu katakana ada dua jenis sekte pada umumnya. Kita asyik membicarakan satu jenis sekte sampai lupa membicarakan jenis yang satunya lagi."

   Seorang lelaki berlari melewati kami sambil membawa anjing poodle Standard yang hitam. Keduanya samasama perlu dicukur.

   "Kamu bilang, ada program pengenalan diri yang dikomersialkan dalam defi nisimu tentang sekte."

   "Ya. Kalau mereka mengandalkan perubahan pola pikir untuk mendapatkan dan mempertahankan anggotanya."

   Dia menaruh tasnya di trotoar dan menggaruk-garuk hidungnya.

   "Kalau tidak salah, kamu bilang kelompok semacam ini mendapatkan anggotanya dengan membujuk pengikutnya untuk mengikuti kursus secara terusmenerus dan membayar?"

   "Ya. Tidak seperti sekte yang kita diskusikan kemarin, berbagai program ini tidak bermaksud untuk menahan orangorang ini selamanya. Mereka mengeksploitasi para pengikutnya sepanjang mereka mau membeli berbagai kursusnya itu. Dan membawa orang lain mengikuti kursus tersebut."

   "Jadi, kenapa kamu menganggap mereka sebagai sekte?"

   "Pengaruh yang dipaksakan dalam program pengembangan diri ini sungguh luar biasa. Mereka melakukan hal yang sama, pengendalian tingkah laku melalui perubahan pola pikir."

   "Apa yang terjadi dalam program pelatihan pengenalan diri ini?"

   Red melirik jam tangannya.

   "Aku akan selesai pukul sepuluh lewat empat puluh lima. Kita bisa bertemu untuk sarapan dan akan kuceritakan semua yang kuketahui tentang program itu." !!t~) rogram itu dikenal sebagai pelatihan pengenalan diri Jl kelompok besar."

   Sambil berbicara, Red mengoleskan saus merah kejagung bakarnya. Kami sedang berada di restoran Anderson's dan melalui jendela bisa kulihat gedung Presbyterian Hospital.

   "Program itu dikemas sedemikian rupa sehingga mirip dengan seminar, atau kursus di perguruan tinggi, tapi semua sesi dirancang untuk membuat para siswa tergugah secara emosional dan secara psikologis. Bagian itu tidak disebutkan dalam brosurnya. Begitu juga fakta bahwa orangorang yang ikut akan dicuci otak untuk menerima pandangan dunia yang sangat baru."

   Dia menusuk sekeping daging panggang.

   "Bagaimana cara kerjanya?"

   "Kebanyakan program berjalan selama empat sampai lima hari. Hari pertama bertujuan untuk menetapkan kekuasaan sang pemimpin. Banyak kegiatan yang membuat siswa merasa malu dan diserang secara lisan. Hari berikutnya mereka dijejali fi losofi baru. Para pelatih meyakinkan siswanya bahwa hidup mereka tidak berguna dan satu-satunya jalan keluaradalah menerima pola pikir yang baru."

   Jagung bakar.

   "Hari ketiga biasanya dipenuhi dengan berbagai pelatihan. Menimbulkan keadaan setengah sadar. Mem belokkan kenangan. Bayangan yang dituntun. Pelatih membuat semua orang mengungkapkan kekecewaan, penolakan, kenangan buruk. Ajarannya berfungsi agar siswa mengungkapkan semua emosi dalam dirinya. Kemudian, di hari berikutnya dilakukan curhat yang hangat antara sesama siswa, dan pemimpin berubah dari sosok pemberi tugas yang keras menjadi ibu atau ayah yang penuh kasih. Ini adalah awal dari serangkaian kursus atau mata kuliah berikutnya. Hari terakhir biasanya diisi dengan bersenang-senang dan kegembiraan, banyak yang berpelukan, berdansa, musik, dan permainan. Kemudian penawaran berikutnya yang lebih berat."

   Sepasang suamiistri berpakaian warna khaki dan kemeja golf yang sama masuk ke bilik di sebelah kanan kami. Yang lelaki memakai kemeja bercorak kerang dan yang wanita berwarna hijau busa.

   "Yang berbahaya adalah karena berbagai kursus ini bisa membuat orang menjadi sangat tertekan, baik secara fi sik maupun psikologis. Banyak orang tidak tahu akan seberapa besar tekanannya. Kalau saja mereka tahu, mungkin mereka tidak akan pernah mau ikut."

   "Apakah para siswa tidak membicarakan program itu setelah selesai mengikuti kursus?"

   "Mereka diharuskan menjaga kerahasiaan, bahwa mendiskusikan eksperimen itu akan mengganggu orang lain. Mereka disuruh menggembar-gemborkan kehidupan mereka telah berubah, tapi menutup-nutupi prosesnya yang sarat benturan dan mengguncang jiwa."

   "Mereka biasanya merekrut peserta di mana?"

   Aku merasa sudah bisa menebak jawabannya.

   "Di mana saja. Di jalanan. Dari pintu ke pintu. Di sekolah, tempat bisnis, klinik kesehatan. Mereka beriklan di berbagai surat kabar, majalah New Age-"

   "Bagaimana dengan kampus atau universitas?"

   "Lahan yang sangat subur. Di papan buletin, di asrama dan ruang makan, di hari pendaftaran kegiatan ekstrakurikuler. Beberapa sekte menyuruh anggotanya bercokol di pusat konseling kampus untuk mencari mahasiswa yang datang sendirian. Sekolah tidak menyetujui atau memberi dukungan kepada orangorang seperti ini, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya. Bagian administrasi membuang iklan mereka dari papan buletin, tapi iklan itu selalu muncul kembali."

   "Tapi, ini perkara yang berbeda 'kan? Seminar pengenalan diri ini berbeda dengan jenis sekte yang kita diskusikan kemarin."

   "Tidak juga. Beberapa program digunakan untuk menarik anggota ke dalam organisasi yang ada di belakangnya. Kita ikut kursus itu, kemudian mereka mengatakan bahwa kinerjamu bagus sehingga kita dipilih untuk mengikuti tingkat yang lebih tinggi, atau bertemu dengan sang guru, atau semacamnya."

   Katakata itu menghantamku seperti tumbukan ke dada. Makan malam Harry di rumah sang pemimpin.

   "Red, orangorang macam apa yang biasanya masuk ke dalam perangkap semacam ini?"

   Kuharap suaraku terdengar lebih tenang dari perasaanku.

   "Penelitianku menunjukkan adanya dua factor utama."

   Dia mengacungkan dua jarinya.

   "Depresi dan hubungan yang memburuk."

   "Maksudmu bagaimana?"

   "Seseorang yang sedang dalam transisi biasanya sendirian dan kebingungan, sehingga biasanya rentan."

   "Dalam transisi?"

   "Mereka yang baru lulus SMU dan akan masuk perguruan tinggi, mereka yang lulus dari perguruan tinggi dan sedang mencari pekerjaan. Baru bercerai. Baru dipecat."

   Katakata Red mulai kabur dari hadapanku. Aku harus berbicara dengan Kit. Ketika memusatkan perhatianku kembali, kulihat Red sedang menatapku dengan aneh. Aku tahu bahwa aku sebaiknya mengatakan sesuatu.

   "Kurasa adikku mungkin terlibat dalam salah satu kelompok pelatihan ini. Inner Life Empowerment."

   Dia mengangkat bahu.

   "Banyak kelompok semacam ini. Aku belum pernah mendengar yang satu itu."

   "Sekarang kami kehilangan jejaknya. Tidak ada yang bisa menghubunginya."

   "Tempe, kebanyakan program ini biasanya tidak berbahaya. Tapi, sebaiknya kamu harus berbicara dengannya. Efeknya bisa sangat berbahaya untuk beberapa orang tertentu."

   Seperti Harry. Campuran antara rasa takut dan kesedihan meresap ke dalam diriku. Kuucapkan terima kasih kepada Red, membayar bon makanan. Di trotoar, aku teringat akan satu pertanyaan lagi.

   "Kamu pernah mendengar seorang sosiolog bernama Jeannotte? Dia meneliti gerakan keagamaan."

   N "Daisy Jeannotte?"

   Salah satu alisnya terangkat, membuat kerutan menghiasi dahinya.

   "Aku bertemu dengannya di McGill beberapa minggu yang lalu dan aku penasaran tentang penilaian rekan-rekannya terhadap dirinya."

   Dia terlihat ragu.

   "Ya. Kudengar dia berada di Kanada."

   "Kamu mengenalnya?"

   "Aku mengenalnya bertahuntahun yang lalu."

   Suaranya terdengar datar.

   "Jeannotte tidak termasuk aliran mainstream."

   "Oh?"

   Kuamati wajahnya, tetapi tidak bisa membaca apa-apa.

   "Terima kasih untuk ham dan jagung bakarnya, Tempe. Kuharap kamu mendapatkan apa yang kamu cari."

   Tawanya terlihat dipaksakan. Kusentuh lengannya.

   "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Red?"

   Senyumannya menghilang.

   "Apa adikmu ini murid Daisy Jeannotte?"

   "Bukan. Kenapa?"

   "Jeannotte menjadi pusat kontroversi beberapa tahun yang lalu, Aku tidak tahu dengan jelas ceritanya dan aku tidak mau menyebarkan gosip. Berhatihatilah kalau menghadapinya."

   Aku ingin bertanya lebih banyak lagi, tetapi setelah mengatakan itu, ia hanya mengangguk dan berjalan menuju mobilnya.

   Aku berdiri di bawah terpaan matahari dengan mulut terbuka.

   Apa maksudnya dengan mengatakan itu? Setiba di rumah, kulihat Kit telah meninggalkan pesan.

   Dia menemukan katalog pelatihan itu, tetapi tidak ada informasi mengenai pelatihan yang diikuti Harry di daftar North Harris County Community College.

   Namun, dia berhasil menemukan selebaran Inner Life Empowerment di meja ibunya.

   Di kertas itu ada lubang bekas paku payung, dan dia menduga selebaran itu didapatkan dari papan buletin.

   Dia menghubungi nomor yang tercantum, tapi sudah tidak berfungsi lagi.

   Pelatihan Harry tidak ada hubungannya dengan kampus itu! Katakata Red bertautan dengan katakata Ryan, semakin mencekam kalbuku.

   Hubungan baru.

   Dalam transisi.

   Tidak berafi liasi.

   Rentan, Selama sisa hari itu, aku meloncat-loncat dari satu tugas ke tugas lainnya, konsentrasiku selalu buyar oleh perasaan khawatir dan tidak menentu, yang terus menghantui.

   Kemudian, saat bayang-bayang rumah memanjang di beranda, aku menelepon seseorang yang akhirnya membuat pikiranku tersusun dengan baik kembali.

   Kudengarkan dengan tercengang saat dia bercerita, kemudian aku mengambil keputusan.

   Kuhubungi dekan fakultas dan mengatakan bahwa aku akan pergi lebih cepat dari yang direncanakan.

   Karena aku telah mengambil cuti untuk menghadiri konferensi antropologi fi sik, maka mahasiswaku hanya akan kehilangan satu jam pelajaran saja, Aku menyesal, tetapi aku harus pergi.

   Setelah kami memutuskan hubungan telepon, aku langsung melesat ke atas untuk membereskan tas.

   Bukan menuju Oakland, tetapi Montreal.

   Aku harus menemukan adikku.

   Aku harus menghentikan kegilaan yang berputarputar seperti guntur di Piedmont.[] 1•Saat pesawat lepas landas, kupejamkan mata dan kusandarkan tubuh ke kursi, terlalu kelelahan karena tidak bisa tidur nyenyak sehingga tidak punya tenaga untuk memerhatikan keadaan di sekelilingku.

   Biasanya aku menikmati perasaan yang dialami saat pesawat lepas landas dan mengamati dunia di bawah menjadi mengecil, tetapi tidak begitu perasaanku pada saat itu.

   Katakata seorang lelaki tua yang ketakutan melompat-lompat di benakku.

   Kuregangkan tubuhku, dan kakiku mengetukngetuk kotak yang kuletakkan di bawah tempat duduk.

   Dijinjing.

   Selalu terlihat olehku.

   Barang itu harus selalu ada dalam kepemilikanku.

   Di sampingku, Ryan membuka-buka majalah USAirways.

   Karena tidak berhasil mendapatkan tiket penerbangan dari Savannah, dia mengemudikan mobil ke Charlotte untuk mengejar penerbangan nomor enam tiga puluh lima.

   Di bandara dia menjelaskan pernyataan yang didapatnya dari Texas.

   Lelaki tua itu melarikan diri untuk melindungi anjingnya.

   Seperti Kathryn, pikirku, mengkhawatirkan bayinya.

   "Apakah dia mengatakan dengan jelas apa rencana mereka?"

   Tanyaku dengan suara rendah. Pramugari sedang menunjukkan cara mengenakan ikat pinggang dan masker oksigen. Ryan menggelengkan kepala.

   "Lelaki itu Cuma menumpang. Dia berada di peternakan itu karena diberi tempat tinggal dan diizinkan memelihara anjingnya. Dia sebenarnya tidak tertarik pada pengajaran mereka, tapi dia memetik cukup banyak pelajaran."

   Majalah itu dijatuhkan ke pangkuannya.

   "Dia mengoceh tentang energi kosmik, dewi penolong, dan penghabisan yang berapi."

   "Maksudnya kiamat?"

   Ryan mengangkat bahunya.

   "Katanya orangorang yang tinggal bersamanya tidak cocok untuk tinggal di dunia ini. Sepertinya mereka memerangi kekuatan jahat selama ini dan sekarang sudah waktunya untuk pergi. Hanya saja dia tidak boleh membawa Fido."

   "Jadi, dia bersembunyi di bawah beranda."

   Ryan mengangguk.

   "Siapa yang dimaksudkannya dengan kekuatan jahat itu?"

   "Dia sendiri tidak tahu."

   "Dan dia tidak bisa mengatakan ke mana perginya orangorang suci itu?"

   "Utara. Ingat, kakek ini sudah tidak begitu jelas lagi ingatannya."

   "Dia tidak pernah mendengar nama Dom Owens?"

   "Tidak pernah. Pemimpinnya bernama Toby."

   "Tidak ada nama belakang."

   "Nama belakang hanya berlaku di dunia ini saja. Tapi, bukan itu yang membuatnya ketakutan. Tampak nya, hubungan antara Toby dan kakek itu baikbaik saja. Ada seorang wanita yang membuatnya sangat ketakutan."

   Apa yang pernah dikatakan oleh Kathryn? "Bu-kan Dom. Tapi wanita itu."

   Ada wajah berkelebat di hadapanku.

   "Siapa wanita itu?"

   "Dia tidak tahu namanya, tapi katanya wanita itu berkata kepada Toby bahwa Anti-Kristus sudah musnah dan kiamat sudah dekat. Itulah saatnya kereta gerbong akan melaju."

   "Dan?"

   Aku merasa kebas.

   "Anjing itu tidak ikut diundang."

   "Tidak ada lagi?"

   "Katanya wanita itu benarbenar pemimpin tertinggi."

   "Kathryn juga pernah berkata tentang seorang wanita."

   "Namanya?"

   "Aku tidak menanyakannya. Saat itu aku tidak begitu menyadari perlunya menanyakan namanya."

   "Apa lagi yang dikatakan Kathryn?"

   Kuulangi semua percakapan kami yang bias kuingat. Ryan meletakkan tangannya ke atas tanganku.

   "Tempe, kita tidak tahu apa-apa tentang Kathryn. Kecuali bahwa dia menjalani seluruh hidupnya bersama masyarakat sekte itu. Dia muncul di tempatmu, mengatakan bahwa dia menemukan alamatmu dari direktori universitas. Padahal menurutmu alamatmu tidak terdaftar. Pada hari yang sama, empat puluh tiga orang teman terdekatnya kabur dari dua Negara bagian dan wanita itu juga menghilang."

   Benar. Ryan pernah mengungkapkan kecurigaannya tentang Kathryn.

   "Kamu tidak berhasil menemukan siapa yang mengancammu dengan pura-pura membunuh kucing itu?"

   "Tidak."

   Kutarik tanganku, kemudian memainkan kuku jempolku. Untuk sejenak, kami berdua tidak berkata apaapa. Kemudian, aku teringat pada suatu hal.

   "Kathryn juga mengatakan sesuatu tentang sang Anti-Kristus."

   "Bagaimana?"

   "Katanya Dom tidak percaya pada Anti-Kristus."

   Ryan tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Kemudian.

   "Aku pernah bicara dengan para petugas yang menyelidiki kematian Solar Temple di Kanada. Kamu tahu apa yang terjadi di Morin Heights?"

   "Aku hanya tahu bahwa ada lima orang yang mati. Waktu itu aku sedang di Charlotte dan media Amerika memusatkan perhatian pada kejadian di Swiss. Kejadian di Kanada tidak terlalu banyak diberitakan."

   "Mari kuceritakan apa yang terjadi. Joseph DiMambro mengirimkan sekelompok pembunuh untuk membunuh seorang bayi."

   Dia berhenti untuk membiarkan katakatanya meresap ke dalam pikiranku.

   "Morin Heights menjadi pemicu kejadian yang terjadi di luar negeri. Sepertinya kelahiran anak itu tidak disetujui oleh Pemimpin Besarnya, jadi dia menilai bayi itu sebagai Anti-Kristus. Setelah bayi itu mati, para pengikutnya bebas melaksanakan penyeberangan."

   "Va Tuhan. Apakah Dom Owens salah seorang anggota The Solar Temple?"

   Ryan mengangkat bahunya kembali.

   "Atau mungkin hanya meniru-niru saja. Sungguh sulit mengetahui apa arti ocehannya di Adler Lyons sampai para psikolog menafsirkannya."

   Sebuah buku catatan ditemukan di padepokan Saint Helena. Dan sebuah peta Provinsi Quebec.

   "Tapi, aku tidak peduli siapa yang memimpin kalau orangorang yang tidak berdosa itu antre menuju ke jurang kematian. Akan kutangkap bajingan itu dengan tanganku sendiri, lalu menggoroknya dan menggorengnya sendiri."

   Otot rahangnya mengeras saat dia memungut majalah itu.

   Kupejamkan mata dan mencoba beristirahat, tetapi bayangan itu tidak mau pergi juga.

   Harry, yang santai dan penuh kehidupan.

   Harry yang memakai baju olahraga tanpa riasan wajah sedikit pun.

   Sam, yang gemas karena pulaunya ada yang mengganggu.

   Malachy.

   Mathias.

   Jennifer Cannon.

   Carole Comptois.

   Seekor kucing yang terbakar.

   Isi paket yang sekarang ada di dekat kakiku.

   Kathryn, yang sorot matanya memelas.

   Seakanakan aku bisa menolongnya.

   Seakanakan, aku bias menarik jiwanya dan membuatnya menjadi lebih baik.

   Atau apakah fi rasat Ryan yang benar? Apakah aku sedang dijebak? Apakah Kathryn dikirim untuk tujuan tertentu yang tidak kusadari? Apakah Owens yang bertanggung jawab atas pembunuhan kucing itu? Harry sudah pernah berbicara tentang kelompoknya.

   Kehidupannya menyebalkan dan kelompok itu akan membantunya memperbaiki dirinya.

   Begitu juga dengan Kathryn.

   Katanya kelompoknya memengaruhi semua pengikutnya.

   Brian dan Heidi kabur dari kelompok itu.

   Kelompok apa? Kelompok kosmik? Sebuah kelompok keagamaan? The Order of the Solar Temple? Aku merasa seperti seekor ngengat di dalam toples, menabrak kaca toples dengan berbagai pemikiran yang berseliweran, tetapi tidak mampu melarikan diri dari keter -batasan pemikiranku sendiri.

   Brennan, kamu membuat dirimu menjadi gila! Tidak ada yang bisa kamu lakukan dari ketinggian tiga puluh tujuh ribu kaki.

   Aku memutuskan untuk melepaskan diri dengan mundur ke seratus tahun yang lalu.

   Kubuka tas kerjaku, meraih buku harian Belanger, dan meloncat ke bulan Desember 1844, berharap harihari liburan membuat suasana hati Louis-Philippe menjadi lebih baik.

   Dokter yang baik itu menikmati makan malam Natal di rumah Nicolet, menyukai pipa barunya, tetapi tidak menyetujui rencana adiknya untuk kembali menjadi penyanyi.

   Eugenie diundang untuk menyanyi di Eropa.

   Louis-Philippe memang tidak punya rasa humor, tetapi dia sangat gigih.

   Nama adiknya sering ditulis di beberapa bulan pertama tahun 1845.

   Kentara sekali bahwa dia sering mengungkapkan pandangannya.

   Tetapi, sang dokter sangat gusar karena Eugenie tidak mau dibujuk.

   Dia akan berangkat pada bulan April, ikut dalam konser di Paris dan Brussel, kemudian menghabiskan musim panas di Prancis, kembali ke Montreal di akhir Juli.

   Sebuah suara memerintahkan meja dan kursi ditegakkan kembali dan dikunci posisinya karena pesawat sebentar lagi akan mendarat di Pittsburgh.

   Satu jam kemudian, setelah pesawat terbang kembali, kubaca sekilas musim semi 1945.

   Louis-Philippe disibukkan dengan rumah sakit dan masalah kota, tetapi masih sempat melakukan kunjungan mingguan kepada adik iparnya.

   Rupanya Alain Nicolet tidak ikut ke Eropa bersama istrinya.

   Aku jadi penasaran, bagaimana hasil tur Eugenie.

   Tampaknya Paman Louis-Philippe tidak peduli, karena dia tidak begitu sering menyebut-nyebut hal itu selama bulan-bulan itu.

   Kemudian, sebuah catatan menarik perhatianku.

   17 Juli 1845.

   Karena keadaan yang tidak biasanya, Eugenie akan tinggal lebih lama di Prancis.

   Semua persiapan telah dilakukan, tetapi Louis-Philippe tidak begitu jelas menceritakan apa penyebabnya.

   Kutatap awan putih di luar jendela.

   "Keadaan yang tidak biasanya"

   Seperti apakah yang membuat Eugenie harus tinggal lebih lama di Prancis? Aku menghitung-hitung.

   Elisabeth dilahirkan pada bulan Januari.

   Astaga.

   Selama musim panas dan musim gugur, Louis-Philip-pe hanya sedikit bercerita tentang adiknya.

   Surat dari Eugenie.

   Semuanya baikbaik saja.

   Ketika roda pesawat kami menyentuh landasan di Bandara Dorval, cerita tentang Eugenie muncul kembali.

   Dia juga telah kembali ke Montreal.

   16 April 1846.

   Bayinya berusia tiga bulan.

   Nah itu dia.

   Elisabeth Nicolet dilahirkan di Prancis.

   Alain pasti bukan ayahnya.

   Tetapi, kalau begitu, siapakah ayahnya? Aku dan Ryan turun dari pesawat tanpa berkata apa-apa.

   Dia memeriksa pesan-pesannya, sementara aku menunggu koper.

   Saat kembali, wajahnya menunjukkan bahwa ada kabar yang tidak baik.

   "Van itu ditemukan dekat Charleston."

   "Kosong."

   Dia mengangguk.

   Eugenie dan bayinya menghilang, dan aku kembali ke abad ini.

   Langit tampak mendung dan hujan rintik-rintik menerpa cahaya lampu ketika aku dan Ryan melaju di sepanjang Highway 2D.

   Menurut pilot, suhu di Montreal sekitar tiga derajat Celcius dengan cuaca sejuk.

   Kami mengemudikan mobil dengan membisu karena telah sepakat tentang apa yang akan kami lakukan selanjutnya.

   Aku sebenarnya ingin segera sampai ke rumahku, untuk mencari adikku dan menyingkirkan fi rasat yang sudah terpendam begitu lama dalam diriku.

   Namun, akan kulakukan apa yang diminta Ryan.

   Kemudian, aku akan melaksanakan rencanaku sendiri.

   Kami memarkir mobil di Parthenais, lalu aku dan Ryan berjalan menuju gedung itu.

   Aroma ragi tercium di udara, berasal dari tempat pembuatan bir Molson.

   Minyak menghiasi genangan air di trotoar yang tidak rata.

   Ryan keluar di lantai pertama, dan aku terus naik ke kantorku di lantai lima.

   Setelah melepaskan jaket, kutekan sebuah nomor ekstensi di dalam gedung.

   Mereka sudah menerima pesanku dan kami bisa memulainya kalau aku sudah siap.

   Aku langsung ke laboratorium.

   Kukumpulkan pisau bedah, penggaris, lem, dan penghapus sepanjang enam puluh cm, lalu meletakkan semua barang itu di atas meja kerjaku.

   Kemudian, kubuka paket yang tadi kujinjing, membukanya, lalu memeriksa isinya.

   Tengkorak dan rahang korban Murtry yang tidak teridentifi kasi itu sama sekali tidak rusak selama perjalanan.

   Aku sering juga penasaran, apa yang dipikirkan para petugas bandara ketika memindai barang-barangku yang berisi tengkorak manusia.

   Kuletakkan tengkorak itu di atas cincin gabus di tengah meja.

   Kemudian, kupencet dan kumasukkan lem ke dalam sendi rahang, lalu meletakkan rahang itu di tempatnya.

   Sementara menunggu lem mengering, kuambil buku panduan ketebalan kulit wajah wanita Amerika berkulit putih.

   Setelah rahang terasa cukup padat, kuletakkan tengkorak itu ke sebuah pegangan, menyesuaikan tingginya, dan mengencangkannya dengan penjepit.

   Lubang mata yang kosong menatap kedua mataku ketika aku mengukur dan memotong tujuh belas cincin karet kecil dan menempelkannya ke tulang wajah.

   Dua puluh menit kemudian, kubawa tengkorak itu ke ruangan kecil di ujung koridor.

   Sebuah plakat mengindikasikan bahwa ruangan itu adalah Section d'Imagerie.

   Seorang teknisi menyambutku dan mengatakan bahwa sistem sedang berjalan.

   Tanpa membuang waktu, kuletakkan tengkorak itu pada sebuah copy stand (pegangan untuk memotret), merekam gambarnya dengan kamera video, dan mengirimkannya ke komputer.

   Kulakukan evaluasi gambar digital di monitor dan memilih orientasi wajah dari bagian depan.

   Kemudian, dengan menggunakan stylus dan papan untuk menggambar yang menyatu dengan komputer, aku mulai menghubung-hubungkan tanda dari cincin karet kecilkecil yang tadi kutempelkan pada tengkorak itu.

   Saat aku mengarahkan silang-kawat di seluruh layar, sebuah siluet yang mengerikan mulai muncul.

   Setelah puas dengan bentuk wajahnya, kulanjutkan ke bagian yang lain.

   Dengan menggunakan daftar tulang yang ada di komputer sebagai panduan, kucari contoh mata, telinga, hidung, dan bibir dari bank data program tersebut, dan menempelkan semua bagian wajah yang cocok ke tengkorak tersebut.

   Kemudian, kupilih rambutnya, menambahkan gaya rambut yang menurutku paling sederhana.

   Karena tidak mengetahui apa pun tentang korban itu, aku memutuskan lebih baik untuk tampak samar daripada salah.

   Ketika sudah puas dengan berbagai komponen yang kutambahkan pada gambar kepala itu, kugunakan stylus untuk menyatukan semuanya dan membuat rekonstruksi itu menjadi lebih hidup.

   Semua proses itu memakan waktu kurang dari dua jam.

   Kusandarkan tubuhku dan mengamati hasil kerjaku, Sebuah wajah menatap dari layar.

   Mata yang sayu, hidung yang mancung, dan tulang pipi yang tinggi dan lebar.

   Semuanya terlihat kaku, tanpa ekspresi sedikit pun.

   Dan entah mengapa, tampaknya cukup kukenal.

   Aku menelan ludah.

   Kemudian, dengan sentuhan stylus, kuubah gaya rambutnya.

   Potongan pendek.

   Poni! Kutahan napas.

   Apakah rekonstruksiku itu mirip dengan Anna Goyette? Atau, apakah aku telah menciptakan wajah seorang wanita muda pada umumnya dan memberikan potongan rambut yang pernah kukenal? Kukembalikan rambut itu ke gaya sebelumnya dan mengevaluasi kemiripannya.

   Ya? Tidak? Entahlah.

   Akhirnya, kusentuh sebuah perintah dalam menu drop-down dan empat kerangka muncul di layar.

   Kuban-dingkan gambar yang satu dengan yang lainnya, mencari tanda ketidakcocokan antara gambar yang kubuat dengan tengkorak itu, Pertama-tama, tengkorak yang tidak diubah dengan rahangnya.

   Berikutnya gambar yang terkelupas, dengan tulang di sebelah kiri tengkorak, dan di sebelah kanan tampak daging dan kulit yang menempel.

   Ketiga, wajah yang kuciptakan bertumpang tindih dengan bayangan tembus pandang yang mengerikan di atas tulang dan penanda jaringan.

   Yang terakhir, perkiraan bentuk wajah yang sudah selesai.

   Kusentuh gambar yang terakhir dengan mengklik mouse, sehingga memenuhi layar komputer dan menatapnya selama beberapa saat.

   Aku masih belum yakin.

   Kucetak gambar itu, kemudian menyimpannya, lalu bergegas ke kantorku.

   Ketika meninggalkan gedung, kuletakkan beberapa salinan gambar itu di meja Ryan.

   Kertas catatan yang kutempelkan berisi dua kata.

   Murtry, Inconnune, Tidak dikenal.

   Aku masih memikirkan banyak hal lainnya.

   Saat aku turun dari taksi, hujan sudah reda, tetapi suhu telah menukik tajam.

   Lapisan es tipis terbentuk di permukaan genangan air dan membeku di sejumlah kabel dan dahan pohon.

   Apartemen terlihat remang-remang dan hening seperti kuburan.

   Setelah meletakkan jaket dan tasku di ruang duduk, aku langsung ke kamar tidur tamu, Peralatan rias wajah Harry tampak tergeletak di atas meja rias.

   Apakah dia menggunakannya tadi pagi atau minggu kemarin? Baju.

   Sepatu lars.

   Pengering rambut.

   Majalah.

   Tidak ada petunjuk yang menunjukkan ke mana Harry atau kapan dia meninggalkan tempat ini.

   Aku sudah menduga hal itu.

   Yang tidak kuduga adalah rasa kekhawatiran yang mencengkeramku saat aku mencari dari kamar ke kamar.

   Kuperiksa mesin penjawab telepon.

   Tidak ada pesan.

   Tenang.

   Mungkin dia menelepon Kit.

   Ternyata tidak.

   Charlotte? Tidak ada kabar dari Harry, tetapi Red Skyler telah menelepon dan mengatakan bahwa dia sudah menghubungi Jaringan Kewaspadaan Sekte (Cult Awareness Net -work, CAN), Tidak ada informasi mengenai Dom Owens, tetapi ada sebuah laporan mengenai Inner Life Empowerment (ILE).

   Menurut CAN, kelompok itu sah, ILE berkiprah di beberapa negara bagian, menawarkan seminar yang tidak berguna, tetapi tidak berbahaya.

   Hadapi dirimu sendiri dan hadapi orang lain.

   Omong-kosong semuanya, tetapi mungkin tidak berbahaya dan aku tidak perlu terlalu khawatir.

   Kalau ingin mendapatkan informasi lebih banyak lagi, aku bisa menghubungi Red atau CAN.

   Dia meninggalkan kedua nomor yang bias dihubungi.

   Aku tidak begitu memerhatikan pesan-pesan lainnya.

   Sam, minta diberi kabar.

   Katy melaporkan bahwa dia sudah kembali ke Charlottesville.

   Jadi, ILE tidak berbahaya dan Ryan mungkin benar.

   Harry sedang pergi berkencan lagi.

   Amarah membuat pipiku terasa panas.

   Seperti robot, kugantungkan jaket dan menyeret koper ke dalam kamar tidurku.

   Kemudian, aku duduk di pinggir tempat tidur, memijat pelipisku, dan membiarkan pikiranku mengembara.

   Digit di jamkupelan-pelan menunjukkan menit demi menit.

   Beberapa minggu terakhir ini telah menjadi masamasa yang paling sulit sepanjang karierku.

   Penyiksaan dan mutilasi yang dialami berbagai korban ini jauh melampaui apa yang biasa kulihat sebelumnya.

   Dan aku tidak bisa mengingat kapan aku pernah menangani sedemikian banyak korban kematian dalam jangka waktu yang demikian pendek.

   Bagaimanakah hubungan antara pembunuhan di Murtry dengan pembunuhan di St-Jovite? Apakah Carole Comptois dibunuh dengan tangan sadis yang sama? Apakah pembantaian di St-Jovite hanyalah awalnya saja? Pada saat ini apakah ada seorang maniak yang sedang merencanakan pembantaian yang terlalu mengerikan untuk bisa dibayangkan? Harry harus menyelesaikan masalahnya sendiri.

   Aku tahu apa yang akan kulakukan berikutnya.

   Paling tidak, aku tahu di mana aku harus memulainya.

   Hujan sudah turun lagi dan kampus McGill diselimuti bunga es yang tipis dan membeku.

   Gedung itu tampak seperti siluet hitam, satu-satunya cahaya di sore hari yang kelam dan basah ini berasal dari deretan jendelanya.

   Di sana-sini, tampak sosok tubuh yang bergerak di dalam kotak yang terang, seperti boneka kecil di pentas wayang.

   Cangkang es yang berlubang-lubang kecil tampak remuk di undakan tangga ketika aku menggenggam pegangan tangan menuju Birks Hall.

   Gedung itu kosong, ditinggalkan oleh para penghuninya yang takut akan terjadinya badai salju.

   Tidak ada jaket di tiang gantungan, tidak ada sepatu lars yang sedang mencair di sepanjang dinding.

   Mesin cetak dan fotokopi tidak ada yang memakai, satu-satunya suara hanyalah ketukan air hujan di kaca.

   Langkah kakiku bergema saat menaiki tangga ke lantai tiga.

   Dari koridor utama, aku bisa melihat bahwa pintu kantor Jeannotte tertutup.

   Aku memang tidak berharap dia akan berada di kantornya, tetapi memutuskan untuk mencari tahu.

   Dia tidak menduga kedatanganku dan orang biasanya akan mengatakan hal yang aneh saat didatangi di luar jam biasanya.

   Saat membelok di sudut, kulihat lampu kuning menyala dari bawah pintu.

   Aku mengetuk, tidak yakin apa yang akan kutemui.

   Ketika pintu kubuka, mulutku ternganga karena kehe -Sekeliling kelopak matanya tampak memerah, kulitnya terlihat pucat dan penampilannya lesu.

   Tubuhnya menegang saat melihatku, tetapi gadis itu tidak berkata apa-apa.

   "Apa kabar, Anna?"

   "Oke."

   Dia mengedipkan matanya dan poninya tampak tersentak.

   "Aku Dr. Brennan. Kita pernah bertemu beberapa minggu yang lalu."

   "Aku tahu."

   "Ketika aku ke sini lagi, katanya kamu sedang sakit."

   "Aku baikbaik saja. Aku hanya sedang pergi beberapa waktu lamanya."

   Aku ingin menanyakan pergi ke mana, tetapi memutuskan untuk menahan diri.

   "Dr. Jeannotte ada?"

   Anna menggelengkan kepalanya. Dia pelan-pelan merapikan rambutnya, ke belakang telinganya.

   "Ibumu cemas memikirkanmu."

   Dia mengangkat bahu, gerakannya perlahan dan hampir tidak terlihat. Dia tidak bertanya mengapa aku tahu tentang keluarganya.

   "Aku sedang menangani sebuah proyek bersama bibimu. Dia juga khawatir."

   "Oh."

   Dia menunduk sehingga aku tidak bias melihat wajahnya. Kejutkan dia dengan kabar itu.

   "Kata temanmu, kamu mungkin terlibat dalam sesuatu yang mungkin membuatmu gelisah."

   Matanya kembali menatap mataku.

   "Aku tidak punya teman. Siapa yang berkata begitu?"

   Suaranya terdengar kecil dan datar.

   "Sandy O'Reilly. Dia menggantikan kamu bekerja hari itu."

   "Sandy menginginkan jam kerjaku. Kenapa kamu ke sini?"

   Pertanyaan yang bagus.

   "Aku mau bicara denganmu dan dengan Dr. Jeannotte."

   "Dia tidak ada."

   "Kamu punya waktu untuk bicara denganku?"

   "Tidak ada yang bisa kamu lakukan untukku. Hidupku adalah urusanku sendiri."

   Nadanya yang datar membuatku miris.

   "Kuhormati hakmu itu. Tapi, sebenarnya aku berpendapat bahwa justru kamu yang bisa menolongku."

   Lirikannya mengarah ke koridor, kemudian kembali kepadaku.

   "Menolongmu bagaimana?"

   "Kamu mau menemaniku minum kopi?"

   "Tidak."

   "Bisakah kita ngobrol di tempat lain?"

   Dia menatapku beberapa lama, sorot matanya tampak datar dan kosong.

   Kemudian, dia mengangguk, mengambil syal dari tiang gantungan jaket, dan mendahuluiku menuruni tangga, lalu keluar lewat pintu belakang.

   Sambil membungkuk untuk menghindari hujan, kami bergegas menaiki bukit menuju pusat kampus, kemudian berputar kembali ke Redpath Museum.

   Anna mengambil kunci dari sakunya, membuka pintu, dan berjalan di depanku menyusuri koridor yang remang-remang.

   Tercium bau lumut dan bau apek di udara.

   Kami naik ke lantai dua dan duduk di sebuah bangku kayu, dikelilingi oleh tulangbelulang makhluk yang sudah lama mati.

   Di atas kepala kami tergantung seekor paus beluga, korban keganasan zaman Pelistocene.

   Debu melayang di bawah terpaan cahaya yang terang.

   "Aku sudah tidak lagi bekerja di museum, tapi masih sering ke sini untuk merenung."

   Dia melirik ke rusa besar Irlandia.

   "Semua makhluk ini hidup di dunia yang berbeda jutaan tahun lamanya dan di lokasi dengan jarak ribuan kilometer, namun sekarang disatukan di sini, tidak bergerak dalam ruang dan waktu. Aku suka itu."

   "Ya."

   Itu salah satu cara pandang terhadap makhluk yang sudah punah.

   "Stabilitas adalah hal yang jarang ditemui di zaman sekarang."

   Dia menatapku dengan pandangan aneh, kemudian kembali menatap tulangbelulang itu. Kuamati bentuk wajahnya saat dia mengamati koleksi museum itu.

   "Sandy bercerita tentang kamu, tapi aku tidak terlalu menyimak."

   Dia berbicara tanpa memandangku.

   "Aku tidak tahu siapa kamu atau apa yang kamu inginkan."

   "Aku teman bibimu."

   "Bibiku orang baik."

   "Ya. Ibumu khawatir kamu mungkin terlibat dalam kesulitan."

   Dia tersenyum pahit. Rupanya katakataku bukan sesuatu yang menyenangkan hatinya.

   "Kenapa kamu peduli kalau ibuku khawatir?"

   "Aku khawatir karena suster Julienne cemas karena kamu menghilang. Bibimu tidak tahu bahwa sebelumnya kamu juga pernah kabur dari rumah."

   Matanya beralih dari tulangbelulang itu dan kembali menatapku.

   "Apa lagi yang kamu ketahui tentang diriku?"

   Dia mengibaskan rambutnya. Mungkin udara dingin telah membuatnya lebih terjaga. Atau mungkin juga karena telah menjauh dari bayangan gurunya. Dia sepertinya lebih hidup dibandingkan dengan ketika berada di Birks.

   "Anna, bibimu memohon kepadaku untuk menemukanmu. Dia tidak ingin ikut campur, dia hanya ingin bisa menenangkan hati ibumu."

   Dia terlihat tidak yakin.

   "Karena kamu sepertinya telah membuat diriku sebagai salah satu proyekmu, kamu juga pasti sudah tahu bahwa ibuku gila. Kalau aku terlambat sepuluh menit saja, dia langsung menghubungi polisi."

   "Menurut polisi, kamu biasanya hilang lebih dari sepuluh menit.1 Matanya tampak sedikit memicing. Bagus, Brennan. Sudutkan dia.

   "Dengarlah, Anna. Aku tidak mau ikut campur. Tapi, kalau ada yang bisa kubantu, aku akan sangat senang melakukannya."

   Aku menunggu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Balikkan lagi. Mungkin dia akan membuka diri.

   "Mungkin kamu yang bisa menolongku. Seperti yang kamu tahu, aku bekerja sama dengan koroner, dan beberapa kasus baru-baru ini membuat kami kebingungan. Seorang wanita muda bernama Jennifer Cannon menghilang dari Montreal beberapa tahun yang lalu. Tubuhnya ditemukan minggu yang lalu di South Carolina. Dia mahasiswi McGill."

   Ekspresi wajah Anna tidak berubah.

   "Kamu mengenalnya?"

   Dia masih diam seperti kerangka fosil di sekeliling kami.

   "Tanggal tujuh belas Maret, seorang wanita bernama Carole Comptois dibunuh dan dibuang di Yle des Soeurs. Usianya delapan belas tahun."

   Tangannya mengelus rambut.

   "Jennifer Cannon tidak mati sendirian."

   Tangannya terjatuh ke pangkuannya, kemudian kembali ke telinganya.

   "Kami belum berhasil mengidentifi kasi orang yang dikuburkan bersamanya."

   Kukeluarkan gambar ciptaanku dan menunjukkannya kepada Anna, Dia mengambilnya, matanya menghindari mataku. Kertas itu bergetar sedikit saat dia menatap wajah ciptaanku itu.

   "Apa ini wajah sungguhan?"

   "Bentuk wajah adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu. Tidak ada yang pernah bisa meyakini ketepatannya."

   "Kamu membuat gambar ini dari sebuah tengkorak?"

   Ada sebuah getaran di dalam nadanya.

   "Ya."

   "Rambutnya salah."

   Hampir tidak terdengar.

   "Kamu kenal wajah ini?"

   "Amelie Provencher."

   "Kamu mengenalnya?"

   "Dia bekerja di pusat konseling."

   Dia tetap menghindari kontak mata.

   "Kapan terakhir kalinya kamu melihat dia?"

   "Dua minggu yang lalu. Mungkin lebih lama lagi, aku tidak yakin. Aku tidak ada di sini."

   "Dia mahasiswi di sini?"

   "Apa yang mereka lakukan kepadanya?"

   Aku ragu-ragu, tidak yakin seberapa banyak yang harus kuungkapkan. Suasana hati Anna yang berubah-ubah membuatku menduga dia sedang teler karena obatobatan atau sedang tidak stabil. Dia tidak menunggu ja-wabanku.

   "Mereka membunuhnya?"

   "Siapa, Anna? Siapa 'mereka' itu?"

   Akhirnya, dia menatapku. Pupilnya tampak berkilauan di bawah cahaya lampu.

   "Sandy bercerita tentang apa yang kamu bicarakan. Dia memang benar sekaligus juga salah. Ada sebuah kelompok di kampus ini, tapi mereka tidak ada hubungannya dengan Setan. Dan, aku tidak ada hubungannya dengan mereka. Amalie yang berhubungan dengan mereka. Dia mendapatkan pekerjaan di pusat konseling karena mereka menyuruhnya melamar pekerjaan itu."

   "Kamu bertemu dengan Amalie di sana?"

   Dia mengangguk, menyekakan buku jari ke bawah matanya yang kiri dan kanan, kemudian menyekanya ke celana.

   "Kapan?"

   "Aku tidak ingat lagi. Sudah lama. Waktu itu aku sedang benarbenar frustrasi, jadi kupikir mungkin ada baiknya mencoba konseling. Saat aku mendatangi pusat konseling itu, Amelie selalu berusaha mengobrol denganku, bersikap benarbenar penuh perhatian. Dia tidak pernah membicarakan dirinya sendiri atau masalahnya. Dia benarbenar mendengarkan apa yang kukatakan. Kami memiliki banyak kesamaan, jadi kami akhirnya berteman."

   Aku teringat katakata Red. Para pengikut biasanya diperintahkan untuk mempelajari calon anggota, untuk meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki kesamaan, dan mendapatkan rasa percayanya.

   "Dia bercerita tentang kelompok yang diikutinya, mengatakan bahwa kelompok itu telah membuat hidupnya berubah. Aku akhirnya menghadiri salah satu pertemuan mereka. Kelihatannya baikbaik saja."

   Dia mengangkat bahu.

   "Ada yang memberikan ceramah, lalu kami makan, melakukan latihan pernapasan, dan sebagainya. Mulamula aku tidak begitu tertarik, tapi aku kembali beberapa kali karena semua orang bersikap seakanakan mereka benarbenar menyukaiku."

   Hujan kasih sayang.

   "Lalu, mereka mengundangku ke daerah pedesaan. Sepertinya asyik, jadi aku pun memutuskan untuk ikut. Kami ikut dalam permainan dan mendengarkan ceramah, berdoa, dan melakukan latihan. Amelia menyukainya, tapi tidak cocok untukku. Menurutku semuanya hanya omong kosong belaka, tapi kita tidak bisa menyatakan ketidaksetujuan kita. Lagi pula, mereka tidak pernah membiar-kanku sendirian. Semenit pun aku tidak diizinkan untuk sendirian.

   "Mereka ingin aku mengikuti pelatihan yang waktunya lebih lama lagi dan ketika aku menolak, sepertinya mereka marah. Aku harus bersikap benarbenar menyebalkan supaya boleh pulang ke kota. Setelah itu, kuhindari Amalie, tapi aku masih bertemu dengannya beberapa kali lagi."

   "Apa nama kelompoknya?"

   "Entahlah."

   "Apa menurutmu mereka yang membunuh Amalie?"

   Dia menyeka tangannya di kedua sisi pahanya.

   "Ada seorang lelaki yang kukenal waktu di sana. Dia mendaftarkan diri dari tempat lain. Nah, setelah aku pergi, dia masih tetap tinggal di sana, jadi lama juga aku tidak melihatnya. Mungkin setahun. Kemudian, aku bertemu dengannya di sebuah konser di Yle Notre Darne. Kami sering pergi bersama untuk beberapa waktu, tapi tidak ada kelanjutannya."

   Dia mengangkat bahunya kembali.

   "Saat itu, dia telah meninggalkan kelompok itu, tapi dia punya banyak cerita seram tentang apa yang terjadi di sana. Tapi juga dia tidak mau banyak bercerita tentang hal itu. Dia benarbenar ketakutan."

   "Siapa namanya?"

   "John, dan aku tidak tahu nama belakangnya."

   "Di mana dia sekarang?"

   "Entahlah. Kalau tidak salah, dia sudah pindah."

   Dia menyeka air mata dari bulu mata sebelah bawah.

   "Anna, apakah Dr, Jeannotte ada hubungannya dengan kelompok ini?"

   "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

   Suaranya terdengar serak pada kata yang terakhir. Kulihat pembuluh darah biru kecil menonjol di lehernya.

   "Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, di kantornya, kamu sepertinya sedikit gugup saat berada dekat Dr. Jeannotte."

   "Dia benarbenar baik kepadaku. Dia lebih baik untukku dibandingkan dengan meditasi dan latihan pernapasan itu."

   Dia mengembuskan napas.

   "Tapi, dia juga banyak menuntut dan aku selalu khawatir, jangan sampai berbuat salah."

   "Katanya kamu sering menghabiskan waktu dengannya?"

   Matanya kembali menatap tulangbelulang itu.

   "Bukankah kamu ingin tahu tentang Amalie dan orangorang yang sudah mati itu?"

   "Anna, maukah kamu berbicara dengan orang lain? Apa yang kamu katakan kepadaku sangat penting dan polisi pasti ingin menindaklanjuti hal ini. Seorang detektif bernama Andrew Ryan sedang menyelidiki semua pembunuhan ini. Dia orang yang sangat baik dan menurutku kamu akan menyukainya."

   Dia menatapku dengan kebingungan, lalu menarik rambut di belakang kedua telinganya.

   "Tidak ada yang bisa kuceritakan kepadamu. John yang bisa banyak bercerita, tapi aku tidak tahu ke mana perginya orang itu."

   "Kamu masih ingat di mana tempat diadakannya seminar itu?"

   "Seperti di sebuah peternakan. Kami naik mobil van dan tidak memerhatikan keadaan sekitar karena mereka mengajakku bermain game. Sewaktu pulang, aku tidur sepanjang perjalanan. Mereka membuat kami selalu terjaga dalam waktu lama, membuatku sangat kelelahan. Selain John dan Amalie, aku tidak pernah melihat mereka lagi. Dan sekarang kamu bilang dia-"

   Di lantai bawah terdengar sebuah pintu terbuka, kemudian terdengar suara orang.

   "Siapa di sana?"

   "Bagus. Sekarang kunciku pasti akan dia ambil,"

   Bisik Anna.

   "Memangnya kita tidak boleh berada di sini?"

   "Tidak juga. Ketika berhenti bekerja di museum, aku tidak mengembalikan kuncinya."

   Gawat.

   "Biar aku yang menghadapinya,"

   Ujarku sambil bangkit dari bangku itu.

   "Siapa di sana?"

   Aku berseru.

   "Kami ada di sini."

   Terdengar langkah kaki di undakan tangga, kemudian seorang satpam muncul di pintu.

   Topinya tampak dilesak -kan ke dekat matanya, dan sebuah syal yang basah hampir tidak bisa menutupi perutnya yang buncit.

   Napasnya terengah-engah dan giginya tampak kuning di bawah cahaya ungu.

   "Syukurlah, akhirnya kamu muncul juga,"

   Ujarku berlebihan.

   "Kami sedang menggambar Odocoileus virginianus dan kelupaan waktu. Semua orang pulang duluan karena hujan salju, dan tampaknya mereka lupa bahwa kami masih ada di dalam. Kami terkunci."

   Aku memberikan senyuman malu-malu.

   "Aku baru saja mau menelepon keamanan."

   "Kalian tidak boleh ada di sini sekarang. Museum nya sudah tutup,"

   Ujarnya. Rupanya aktingku tidak ada gunanya.

   "Ya, aku mengerti. Kami harus segera pergi. Suaminya pasti akan mengkhawatirkan dia,"

   Ujarku sambil mengangguk ke arah Anna yang menganggukangguk seperti kura-kura mainan. Satpam itu mengalihkan matanya yang berair dari Anna kepadaku kembali, kemudian menganggukkan kepalanya ke tangga.

   "Kalau begitu, ayo pergi."

   Kami tidak membuang-buang waktu lagi.

   Di luar, hujan masih turun.

   Tetesannya sekarang sudah semakin lebat, seperti es serut Slushies yang pernah kubeli bersama adikku dari tukang es serut di musim panas.

   Wajahnya berkelebat di hadapanku.

   Di manakah kamu, Harry? Di Birks Hall, Anna menatapku dengan pandangan aneh.

   "Odocoileus virginianus?"

   "Nama itu muncul di kepalaku begitu saja."

   "Tidak ada rusa berekor putih di dalam museum."

   Apakah sudut mulutnya membentuk senyuman atau hanya karena cuaca dingin? Aku mengangkat bahu.

   Dengan enggan, Anna memberikan nomor telepon rumah dan alamatnya.

   Kami berpisah dan aku meyakinkan dirinya bahwa Ryan akan segera menghubunginya.

   Saat bergegas menuju Universitas, sesuatu membuatku membalikkan tubuh.

   Anna tampak berdiri di bawah bangunan tua bergaya Gothic, tidak bergerak, seperti teman-temannya dari zaman Cenozoic.

   Setiba di rumah, aku langsung menekan nomor pager Ryan.

   Beberapa menit kemudian, telepon berdering.

   Kukatakan kepadanya bahwa Anna sudah muncul lagi dan kuceritakan secara garis besar percakapan kami tadi.

   Dia berjanji akan menghubungi koroner, sehingga sebuah pencarian dapat dimulai berdasarkan catatan medis dan gigi milik Amalie Provencher.

   Dia segera menutup gagang telepon karena berniat untuk menghubungi Anna sebelum dia meninggalkan kantor Jeannotte.

   Dia akan meneleponku kembali untuk menceritakan apa yang telah dialaminya sepanjang hari tadi.

   Aku makan salad nigoise dan roti croissant untuk makan malam, kemudian mandi agak berlamalama, dan memakai pakaian olahraga yang sudah agak usang.

   Aku masih merasa kedinginan dan memutuskan untuk menyalakan perapian.

   Aku telah menggunakan kayu terakhir yang kumiliki sehingga kubuat surat kabar menjadi gumpalan bola dan meletakkannya di dalam perapian.

   Es mengetukngetuk jendela saat aku menyalakan api dan mengamatinya melahap gumpalan surat kabar itu.

   Jam delapan lewat empat puluh menit.

   Kuraih jurnal Belanger dan memilih acara TV "Seinfeld", berharap irama dialog dan tawa dalam acara itu bias membuatku tenang.

   Bila dibiarkan, aku tahu pikiranku akan menerawang seperti seekor kucing di malam hari, mengeong dan mengerang, dan meningkatkan kegelisahanku ke tingkat di mana aku tidak mungkin bisa tidur.

   Tidak ada gunanya.

   Jerry dan Kramer (pemain dalam film seri Seinfeld) sudah berusaha sekeras mungkin, tetapi aku tidak bisa memusatkan perhatian.

   Mataku mendarat ke perapian.

   Apinya telah meredup sehingga yang tersisa hanya beberapa jilatan api mengelilingi bagian bawah perapian.

   Kudekati perapian, memisah-misahkan gumpalan surat kabar, merobeknya dan membentuk gumpalan bola lagi, kemudian memasukkannya lagi ke dalam perapian.

   Aku sedang mencolok-colok potongan kayu saat sesuatu meletup dalam benakku.

   Surat kabar! Aku sudah melupakan mikrofi Im itu! Aku kembali ke tempat tidur, menarik halaman surat kabar yang aku fotokopi dari McGill dan membawanya ke sofa.

   Aku hanya membutuhkan beberapa detik saja untuk menemukan sebuah artikel di La Presse.

   Artikel itu singkat, persis seperti yang kuingat.

   20 April 1845.

   Eugenie Nicolet berlayar ke Prancis.

   Dia akan menyanyi di Paris dan Brussel, menghabiskan musim panas di Prancis, dan kembali ke Montreal pada bulan Juli.

   Ada daftar orangorang yang menyertainya, begitu juga tanggal-tanggal konsernya.

   Lalu, ada ringkasan kariernya dan berbagai komentar tentang bagaimana orangorang pasti akan merindukannya.

   Uang receh yang kumiliki untuk memfotokopi salinan hanya cukup sampai tanggal 26 April.

   Kubaca semua yang telah kucetak, tetapi nama Eugenie tidak pernah muncul lagi.

   Kemudian aku mundur lagi, mencaricari di setiap cerita dan pengumuman.

   Artikel yang kucari kutemukan pada tanggal 22 April.

   Ada orang lain yang muncul di Paris.

   Bakat lelaki ini bukanlah di musik, tetapi pidato.

   Dia sedang melakukan tur untuk berpidato, menentang penjualan manusia dan menggalakkan perdagangan dengan Afrika Barat.

   Dia dilahirkan di Gold Coast, melanjutkan pendidikan di Jerman, dan mengajar di bidang fi losofi di Universitas Halle.

   Dia baru saja menyelesaikan serangkaian kuliah di McGill School of Divinity.

   Aku mundur terus dan menjelajahi sejarah.

   Delapan belas empat puluh lima.

   Perbudakan sedang mencapai puncaknya di Amerika Serikat, tetapi telah dilarang di Prancis dan Inggris.

   Kanada waktu itu masih menjadi koloni Inggris.

   Gereja dan kelompok misionaris memohon negara Afrika untuk menghentikan penjualan penduduknya, dan mendorong orang Eropa untuk terlibat dalam perdagangan yang mematuhi hukum dengan Afrika Barat untuk menggantikan perdagangan budak.

   Apa istilah yang mereka gunakan? "Perdagangan yang sah."

   Kubaca nama para penumpang dengan semangat yang semakin terpacu.

   Dan nama kapalnya.

   Eugenie Nicolet dan Abo Gabassa menyeberang dengan menggunakan kapal yang sama.

   Aku bangkit untuk menusuk-nusuk api di perapian.

   Apakah itu jawabannya? Apakah aku telah menemukan rahasia yang telah tersembunyi selama seratus lima puluh tahun lamanya? Eugenie Nicolet dan Abo Gabassa? Sebuah perselingkuhan? Kukenakan sepatu, mendekati pintu bergaya Prancis, mengangkat pegangannya, dan mendorong pintu itu.

   Pintu itu terkunci, beku karena udara dingin.

   Kudorong dengan pahaku sampai kaitannya terlepas.

   Tumpukan kayu tampak membeku dan aku menghabiskan waktu cukup lama untuk melepaskan potongan kayu dengan menggunakan sekop taman.

   Saat akhirnya kembali ke dalam rumah, aku menggigil dan tubuhku berselimutkan butiran es kecilkecil.

   Sebuah suara menghentikan langkahku ketika aku berjalan menuju perapian.

   Bel pintuku tidak berdering, tetapi berkicau.

   Dan sekarang kicauan itu terdengar, kemudian tiba-tiba berhenti, seakanakan orang itu telah menyerah.

   Kujatuhkan potongan kayu, bergegas menuju kotak pengaman, dan menekan tombol video.

   Di layar, kulihat sesosok tubuh menghilang di pintu depan.

   Kuraih kunci, berlari ke lobi, dan membuka pintu menuju ruang depan.

   Pintu luar masih berada di tempatnya.

   Kutekan lidah pintu dan membukanya lebar-lebar.

   Dasiy Jeannotte tergeletak di atas undakan tangga gedung apartemenku.[] i•Sebelum aku sempat meraih tubuhnya, dia sudah bergerak lebih dahulu.

   Pelan-pelan dia menarik tangannya, berguling, dan mengambil posisi duduk, membelakangiku.

   "Kamu terluka?"

   Kerongkonganku begitu keringnya sehingga suaraku terdengar melengking. Dia meringis mendengar suaraku, kemudian membalikkan tubuh.

   "Es ini benarbenar membahayakan. Aku tergelincir, tapi tidak apa-apa."

   Kuulurkan tangan dan dia menerima bantuanku sehingga bisa berdiri lagi. Dia tampak gemetaran dan kondisinya terlihat tidak begitu baik.

   "Ayo, masuklah ke dalam dan akan kubuatkan teh."

   "Tidak, aku tidak bisa lamalama. Ada yang menungguku. Aku seharusnya tidak keluar di malam yang membahayakan seperti ini, tapi aku harus bicara denganmu."

   "Ayo masuk dulu, di dalam lebih hangat."

   "Tidak. Terima kasih."

   Nadanya sama dinginnya dengan suhu di luar. Dia membetulkan syalnya, kemudian menatap mataku tajam-tajam. Di belakangnya, curahan es menembus cahaya lampu. Batang pohon terlihat berkilauan hitam di antara uap natrium dari lampu jalan.

   "Dr. Brennan, kamu tidak boleh mengganggu mahasiswiku. Aku sudah berusaha membantumu, tapi tampaknya kamu malah menyalahgunakan kebaikanku. Kamu tidak bisa mengejar anakanak muda itu dengan cara seperti ini. Dan, memberikan nomor teleponku kepada polisi dengan tujuan untuk mengganggu asistenku benarbenar keterlaluan."

   Tangan yang dibalut sarung tangan menyeka matanya, meninggalkan goresan hitam di pipinya. Amarahnya berkobar seperti kompor di dapur. Lenganku kusilangkan di atas pinggangku dan melalui kemeja fl anel aku merasa kukuku menancap ke kulit.

   "Apa maksudmu? Aku tidak mengejar Anna."

   Aku membalas ucapannya.

   "Ini bukan proyek penelitian! Sejumlah orang ditemukan mati! Yang sudah pasti ada sepuluh orang, hanya Tuhan yang tahu berapa banyak lagi yang akan jadi korban."

   Butiran es mengenai dahi dan lenganku. Aku tidak merasakannya sama sekali. Katakatanya membuatku murka dan kuluapkan semua perasaan putus asa dan frustrasi yang telah terpendam selama beberapa minggu terakhir ini.

   "Jennifer Cannon dan Amalie Provencher adalah mahasiswi McGill. Mereka dibunuh, Dr. Jeannotte. Tapi, bukan hanya dibunuh. Tidak. Pembunuhan saja belum cukup untuk orangorang itu. Orang gila itu melemparkan mereka menjadi mangsa binatang, kemudian menonton di kala kulit mereka dirobek-robek dan tengkorak mereka digigit sampai menembus otaknya."

   Aku terus mengoceh, tidak lagi mengendalikan suaraku. Kulihat beberapa orang mempercepat langkah kaki mereka, walaupun berjalan di atas trotoar yang licin.

   "Satu keluarga dibantai dan tubuhnya dipotongpotong, dan seorang wanita tua ditembak di kepalanya sekitar dua ratus kilometer dari sini. Bayi! Mereka membantai dua bayi mungil! Seorang gadis berusia delapan belas tahun dirobek, dimasukkan ke dalam bagasi dan dibuang di kota ini. Mereka semua mati, Dr. Jeannotte, dibunuh oleh sekelompok orang gila yang menganggap diri mereka teladan moral yang paling baik."

   Aku merasa pipiku memerah, walaupun dalam cuaca sedingin ini.

   "Nah, sekarang aku mau mengatakan sesuatu kepadamu."

   Kuacungkan jariku yang gemetaran.

   "Akan kutemukan para bajingan ganas yang merasa dirinya benar itu, akan kubuat mereka menghentikan semua perbuatannya, tidak peduli seberapa banyak anak gereja, atau pembimbing konseling, atau orang yang mengoceh tentang kitab suci di jalanan yang harus kuganggu! Dan itu termasuk murid-muridmu! Dan mungkin termasuk dirimu!"

   Wajah Jeannotte tampak pucat seperti hantu di tengah kegelapan malam, maskara yang luntur mengubah wajahnya menjadi sebuah topeng.

   Sebuah gundukan terbentuk di atas mata kirinya, menyebabkan timbulnya bayang-bayang sehingga menjadikan mata sebelah kanannya tampak lebih terang.

   Kuturunkan jariku dan kembali melingkarkan lenganku di tubuhku.

   Aku sudah terlalu banyak bicara.

   Ledakan emosiku sudah usai sehingga sekarang cuaca dingin membuatku menggigil kedinginan.

   Tidak ada orang di jalanan dan sekarang semuanya hening.

   Aku bisa mendengar napasku sendiri.

   Aku tidak tahu apa yang kuharap terjadi selanjutnya, tetapi bukan pertanyaan yang kemudian muncul dari bibirnya.

   "Kenapa kamu menggunakan perumpamaan seperti itu?"

   "Apa?"

   Apa dia mempertanyakan keteranganku tadi? "Kitab suci, tukang mengoceh, dan anak gereja. Kenapa kamu menggunakan istilah seperti itu?"

   "Karena aku yakin bahwa para pembunuh ini didorong oleh orangorang fanatik yang berkedok agama."

   Jeannotte tampak diam. Ketika berbicara, suaranya terdengar lebih dingin dari malam itu dan katakatanya membuatku lebih beku daripada cuaca di luar.

   "Kamu benarbenar keterlaluan, Dr. Brennan. Kuperi-ngat kan dirimu untuk tidak ikut campur."

   Matanya yang tidak berwarna menusuk mataku.

   "Kalau kamu terus memaksa, aku terpaksa akan bertindak."

   Sebuah mobil menyusuri lorong di seberang gedung apartemenku dan berhenti.

   Saat membelok ke jalanan, lampunya menyorot, menyapu blok dan untuk sejenak menyinari wajah Jeannotte.

   Tubuhku menegang, dan kuku jariku semakin menghujam tubuhku.

   Astaga.

   Ternyata bukan ilusi yang diciptakan oleh bayangan.

   Mata kanan Jeannotte terlihat sangat pucat.

   Karena tidak memakai riasan, alis dan bulu matanya tampak putih diterangi cahaya lampu mobil.

   Dia mungkin melihat sesuatu di wajahku karena dia langsung menarik syalnya ke atas, membalikkan tubuhnya, dan bergegas menyusuri jalanan.

   Dia tidak pernah menoleh ke belakang lagi.

   Ketika masuk kembali ke dalam, lampu di mesin penjawab telepon tampak menyala.

   Ryan.

   Aku meneleponnya kembali dengan tangan yang masih gemetaran.

   "Jeannotte terlibat,"

   Ujarku tanpa membuang waktu lagi.

   "Dia baru saja datang ke sini dan menyuruhku mundur. Sepertinya teleponmu kepada Anna benarbenar membuatnya panik. Ryan, ketika kita kembali ke Saint Helena, kamu masih ingat lelaki yang rambutnya beruban?"

   "Ya. Lelaki kurus, sekurus boneka pengusir burung, tinggi. Dia masuk untuk berbicara dengan Owens."

   Ryan terdengar kelelahan.

   "Jeannotte memiliki pola kulit putih yang sama, mata yang sama. Tadinya tidak begitu jelas karena dia menyembunyikannya dengan rias wajah."

   "Berkas rambut putih yang sama?"

   "Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, mungkin karena dia memakai cat rambut. Pasti ada hubungan di antara keduanya. Kesamaan itu terlalu aneh sehingga tidak mungkin hanya kebetulan belaka."

   "Mereka kakak-beradik?"

   "Aku tidak menaruh perhatian waktu itu, tetapi kupikir lelaki di Saint Helena itu terlalu muda untuk menjadi ayahnya dan terlalu tua untuk menjadi anaknya."

   "Kalau Jeannotte berasal dari pegunungan di Tennessee, maka ada kemungkinan kesamaan genetik."

   "Ih, menyebalkan."

   Aku sedang tidak dalam suasana untuk bercanda.

   "Bisa saja seluruh klan mewarisi gen yang sama."

   "Ini serius, Ryan."

   "Kamu tahu, garis yang berbeda terdapat pada orang yang berbeda."

   Dia meniru katakata Jeff Foxworthy (pelawak AS yang terkenal).

   "Kalau garismu sama dengan adikmu, maka mungkin-"

   Garis. Sesuatu tentang garis membuatku sadar.

   "Apa kamu bilang?"

   "Orang, bukankah itu yang kalian-"

   "Berhenti bercanda dong\ Aku baru saja teringat akan sesuatu. Kamu masih ingat apa yang dikatakan ayah Heidi Schneider tentang tamu mereka?"

   Hubungan telepon sunyi beberapa saat lamanya.

   "Dia mengatakan bahwa orang itu kelihatan seperti seekor sigung. Seekor sigung yang jelek."

   "Sialan. Jadi, mungkin si Ayah bukannya sok puitis."

   Di latar belakang kudengar telepon berdering beberapa kali. Tidak ada yang menjawabnya.

   "Apakah Owens mengirim si Rambut Putih itu ke Texas?"

   Tanya Ryan.

   "Tidak, bukan Owens. Kathryn dan lelaki tua itu membicarakan seorang wanita. Mungkin maksudnya Jeannotte. Dia mungkin mengendalikan pertunjukan dari sini dan memiliki beberapa wakil di perkampungan yang lainnya. Kurasa dia juga menarik orangorang di kampus melalui acara seminar dan sebagainya."

   "Apa lagi yang bisa kamu ceritakan tentang Jeannotte?"

   Kuceritakan semua hal yang kuketahui, termasuk perilakunya terhadap para asistennya, dan bertanya apa yang dia dapatkan dari percakapannya dengan Anna.

   "Tidak banyak. Kurasa dia memendam banyak rahasia. Anak itu sangat tidak stabil."

   "Dia mungkin pecandu obat terlarang."

   Deringan telepon berbunyi lagi.

   "Kamu sendirian di situ?"

   Selain bunyi deringan telepon, kantor polisi itu sepertinya terdengar terlalu sunyi.

   "Semua orang sudah pulang karena badai salju ini. Apa kamu juga menghadapi masalah?"

   "Maksudmu?"

   "Kamu tidak mendengarkan berita? Badai salju ini benarbenar parah. Bandara ditutup, dan banyak jalan yang tidak bisa dilewati. Aliran listrik juga terganggu sepanjang hari dan sepanjang pantai selatan sangat dingin dan gelap. Pemerintah kota mulai mengkhawatirkan para lansia. Dan juga penjarah."

   "Sejauh ini aku baikbaik saja. Apakah anak buah Baker menemukan sesuatu yang menghubungkan Saint Helena dengan kelompok di Texas?"

   "Tidak juga. Orang tua yang punya anjing itu banyak berbicara tentang pertemuan dengan dewi penolongnya. Sepertinya Owens dan para pengikutnya memiliki pemikiran yang sama. Semuanya ada di dalam buku harian mereka."

   "Buku harian?"

   "Va. Rupanya beberapa pengikutnya kreatif juga."

   "Dan?"

   Aku mendengarnya menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan.

   "Cepat ceritakan dongV "Menurut beberapa ahli di sini, mereka membicarakan hari kiamat dan bahwa saatnya sudah dekat. Mereka menunggu kiamat besar. Sheriff Baker tidak mau mengambil risiko. Dia telah menghubungi FBI."

   "Dan FBI juga tidak menemukan petunjuk ke mana tujuan mereka? Maksudku, tujuan di bumi ini."

   "Untuk bertemu dengan dewi penolong dan menyeberang ke tempat yang lebih baik. Itulah berita konyol yang sedang kita hadapi. Tapi, mereka benarbenar terorganisasi dengan baik. Rupanya perjalanan itu telah lama direncanakan."

   "Jeannotte! Kamu harus menemukan Jeannotte! Pasti dia! Dialah dewi penolong yang mereka sebutsebut itu!"

   Aku tahu, suaraku pasti terdengar histeris, tetapi aku tidak bisa menahan diri.

   "Ok. Aku sependapat. Sudah waktunya untuk mengejar sang bidadari. Kapan dia meninggalkan tempatmu?"

   "Lima belas menit yang lalu."

   "Ke mana perginya?"

   "Entahlah. Katanya dia akan bertemu dengan seseorang."

   "OK, aku akan menemukannya, Brennan. Kalau duga-anmu benar tentang ini, profesor kecil itu adalah wanita yang sangat berbahaya. Jangan, kuulangi, jangan kau lakukan apa-apa sendiri. Aku tahu kamu mengkhawatirkan Harry, tapi seandainya Harry terjebak dalam kekusutan ini, dibutuhkan seorang ahli untuk menyelamatkannya. Kamu mengerti?"

   "Bolehkah aku menggosok gigi? Atau itu juga dianggap berisiko?"

   Ujarku ketus. Sikapnya yang melindungiku membuatku kesal.

   "Kamu tahu apa maksudku. Coba cari lilin. Aku akan kembali menghubungimu begitu ada kabar baru."

   Kututup gagang telepon dan berjalan mendekati pintu bergaya Prancis.

   Aku ingin berada di ruangan yang lebih luas, lalu kugeser gordennya.

   Halaman di luar seperti sebuah taman mitologi, pepohonan dan semak-semak tampak seperti kaca.

   Ram nyamuk menutupi balkon di lantai atas dan menjuntai ke atas batu bata perapian dan dinding.

   Kucari lilin, korek api, dan lampu senter, kemudian mencari radio dan headphone dari tas olahraga dan meletakkan semua barang itu di atas meja dapur.

   Kembali ke ruangan duduk, kuhenyakkan tubuhku ke sofa dan memasang berita CTV.

   Ternyata Ryan benar.

   Badai itu menjadi berita utama.

   Aliran listrik mati di seluruh provinsi dan Hydro-Quebec tidak dapat memastikan kapan listrik akan hidup lagi.

   Suhu terus menurun dan hujan salju akan semakin lebat.

   Kukenakan jaket dan bolakbalik tiga kali mengambil potongan kayu.

   Kalau sampai listrik mati, aku masih mendapatkan kehangatan.

   Berikutnya, kuambil selimut tambahan dan meletakkannya di tempat tidur.

   Saat kembali ke ruangan duduk, pembaca berita yang tampak murung itu sedang menjabarkan berbagai peristiwa yang dibatalkan penyelenggaraannya.

   Itu adalah ritual yang sering kudengar dan anehnya membuatku merasa nyaman.

   Jika ada salju yang mengancam di Selatan, sekolah ditutup, kegiatan masyarakat berkurang, dan pemilik rumah yang panic memborong barang di toko.

   Biasanya badai salju tidak muncul ataupun seandainya pun salju turun, salju itu langsung hilang keesokan harinya.

   Di Montreal, persiapan menghadapi badai dilakukan secara tertib dan teratur, bukan dengan kepanikan, didominasi dengan aura "kita bisa menghadapinya".

   Persiapanku menghabiskan waktu lima belas menit.

   TV menarik perhatianku selama sepuluh menit berikutnya.

   Istirahat sejenak.

   Ketika mematikan televisi, kegelisahan kembali melanda.

   Aku merasa tidak berdaya, seperti kumbang ditusuk jarum.

   Ryan memang benar.

   Tidak ada yang bisa kulakukan dan ketakberdayaanku membuatku lebih gelisah.

   Aku kembali melakukan rutinitasku di malam hari, berharap bisa menyingkirkan pemikiran buruk lebih lama lagi.

   Saat menyusup ke balik selimut, arus kegelisahan menerjang dengan hebatnya.

   Harry.

   Mengapa aku tidak menyimak ceritanya? Bagaimana aku bisa begitu egois? Ke mana perginya adikku itu? Mengapa dia tidak menelepon anaknya? Mengapa dia tidak meneleponku? Daisy Jeannotte.

   Siapa yang akan ditemuinya? Rencana gila apa yang sedang disusunnya? Berapa banyak nyawa tidak bersalah yang akan diajaknya pergi bersamanya? Heidi Schneider.

   Siapa yang merasa terancam oleh kehadiran bayi kembar Heidi sehingga mengakibatkan pembunuhan bayi yang sedemikian sadisnya? Apakah kematian mereka menjadi pertanda akan terjadinya pertumpahan darah yang lebih banyak lagi? Jennifer Cannon.

   Amalie Provencher.

   Carole Comptois.

   Apakah pembunuhan mereka merupakan bagian dari kegilaan ini? Kebiasaan setan apakah yang telah mereka langgar? Apakah kematian mereka hanyalah akibat dari ritual setan? Apakah adikku akan mengalami nasib yang sama? Saat telepon berdering, aku langsung meloncat sehingga lampu senter jatuh ke lantai.

   Ryan, kataku penuh harap.

   Semoga Ryan dan dia sudah menangkap Jeannotte.

   Suara keponakanku muncul di seberang saluran telepon.

   "Aduh, Bibi Tempe. Kurasa aku benarbenar bodoh. Harry pernah menelepon. Aku menemukan pesannya di kaset yang lain."

   "Kaset lain?"

   "Mesin penjawabku adalah mesin jenis lama yang berisi kaset perekam. Kaset yang mulamula kupasang ternyata kurang bagus putaran pitanya, jadi aku memasukkan kaset baru. Aku sudah lupa pada kaset yang lama itu, sampai seorang teman perempuanku datang berkunjung. Aku benarbenar khawatir karena kami seharusnya pergi bersama minggu kemarin, tapi ketika aku menjemputnya, dia tidak ada di rumah. Ketika dia mampir malam ini, aku benarbenar marah dan dia bersikeras bahwa dia sudah meninggalkan pesan. Kami akhirnya berdebat, jadi kukeluarkan kaset lama dan memutarnya. Ternyata, dia memang meninggalkan pesan dan begitu juga Harry. Persis di akhir kaset."

   "Apa yang dikatakan ibumu?"

   "Dia sepertinya marah. Kamu tahu bagaimana Harry 'kan. Tapi, dia juga sepertinya ketakutan. Dia sedang berada di sebuah peternakan atau entah apa, dan ingin pulang, tapi tidak ada yang mau mengantarkannya ke Montreal. Jadi, kurasa dia masih berada di Kanada."

   "Apa lagi katanya?"

   Jantungku berdebar demikian keras sehingga keponakanku pasti mendengarnya juga.

   "Katanya keadaan menjadi semakin mengerikan dan dia ingin pergi, Kemudian, kaset itu terputus atau mungkin sambungan teleponnya yang terputus atau entah apa. Aku tidak yakin. Pesan itu berakhir seperti itu,"

   "Kapan dia meneleponmu?"

   "Pam menelepon hari Senin. Pesan Harry sesudah itu."

   "Tidak ada tanda tanggalnya?"

   "Mesin ini mesin kuno."

   "Kapan kamu mengganti kaset itu?"

   "Mungkin hari Rabu atau Kamis. Aku tidak yakin. Tapi, aku yakin sebelum akhir pekan."

   "Coba pikir lagi, Kit!"

   Sambungan telepon berdengung.

   "Kamis. Waktu aku pulang dari kapal, aku merasa lelah dan kaset itu tidak mau diputar mundur, jadi aku mengeluarkannya dan menyimpannya. Itulah saat aku memasukkan kaset yang baru. Sialan, itu berarti dia meneleponku setidaknya empat hari yang lalu, mungkin sudah enam hari. Va Tuhan, kuharap dia baikbaik saja. Dia terdengar panik sekali, tidak seperti kebiasaannya."

   "Kurasa aku tahu dia bersama siapa. Dia akan baikbaik saja."

   Aku sendiri tidak memercayai katakataku itu.

   "Kabari aku begitu kamu berhasil bicara dengannya. Katakan kepadanya aku menyesali semua ini. Aku benarbenar ceroboh.1 Aku berjalan ke jendela dan menempelkan wajahku ke kaca. Es yang membeku membuat lampu jalanan menjadi matahari kecil dan jendela tetanggaku menjadi segi empat yang berpendar. Air mataku meleleh di pipi saat memikirkan adikku, entah di mana di tengah badai salju. Kuseret tubuhku ke tempat tidur, menyalakan lampu, dan duduk diam menunggu telepon dari Ryan. Sesekali cahaya meredup, mati, kemudian kembali normal. Waktu berlalu. Telepon tetap bungkam. Aku tertidur. Mimpiku memberikan petunjuk terakhir. [] i•Aku berdiri menatap gereja tua itu. Sekarang musim dingin dan pepohonan tampak telanjang. Walau pun langit tampak kelam, dahandahan membuat bayang-bayang layaknya sarang laba-laba merambat di atas bebatuan berwarna abu-abu. Tercium aroma salju, dan keheningan yang biasanya mendahului badai terasa mencekam di sekelilingku. Di kejauhan kulihat sebuah danau yang membeku. Sebuah pintu terbuka dan sesosok tubuh diterpa cahaya lampu berwarna kuning. Ia tampak ragu-ragu, kemudian berjalan ke arahku, kepala ditundukkan menentang angin. Sosok itu semakin dekat dan kulihat bahwa dia seorang wanita. Kepalanya berkerudung dan dia memakai gaun hitam yang panjang. Saat wanita itu mendekat, serpihan salju pertama muncul dari langit. Dia membawa sebuah lilin dan baru aku sadar bahwa dia membungkuk untuk melindungi nyala api. Entah berapa lama lilin itu bias bertahan menyala dalam cuaca seperti ini. Wanita itu berhenti dan memberikan isyarat dengan anggukan kepalanya. Sekarang, kerudungnya sudah dipenuhi salju. Aku berusaha mengenali wajahnya, tetapi tampak tidak jelas, seperti bebatuan yang berada di dasar kolam. Dia membalikkan tubuh dan aku mengikutinya. Wanita itu berjalan semakin jauh ke depan. Aku kaget dan mencoba mengejarnya, tetapi tubuhku tidak mau mendengarkan perintah otakku. Kakiku terasa berat dan aku tidak bisa mempercepat langkahku. Kulihat dia menghilang di balik pintu itu. Aku memanggilnya, tetapi tidak keluar suara apa pun dari mulutku. Kemudian, aku sudah berada di dalam gereja dan semuanya tampak redup. Dinding terbuat dari batu dan lantai dari tanah. Jendela besar-besar menghilang di kegelapan di atas kepala. Dari celah jendela, kulihat tetesan salju melayang seperti asap. Aku tidak ingat mengapa aku datang ke gereja ini. Aku merasa bersalah karena pasti aku ke situ karena ada sesuatu yang penting. Seseorang menyuruhku ke situ, tetapi aku tidak ingat siapa yang menyuruh. Saat berjalan dalam kegelapan sore, aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa kakiku tidak memakai alas kaki. Aku malu karena tidak ingat di mana kutinggalkan sepatuku. Aku ingin pergi, tetapi tidak tahu jalannya. Aku merasa bahwa jika aku menelantarkan tugasku, aku tidak bisa pergi dari tempat ini. Kudengar suara bergumam dan membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ada sesuatu di lantai, tetapi tidak jelas, sebuah bayangan yang tidak bisa kukenali. Aku bergerak mendekat dan bayangan itu berubah menjadi beberapa benda. Sebuah lingkaran kepompong yang dibungkus, Kuamati kepompong itu. Semuanya terlalu kecil sehingga tidak mungkin berisi tubuh manusia, tetapi bentuknya seperti tubuh manusia. Kudekati salah satu di antaranya dan mengendurkan salah satu ujungnya. Terdengar suara dengungan. Kutarik kain itu dan kawanan lalat menyeruak dan terbang ke jendela. Kaca itu beku oleh salju dan kuamati kawanan serangga itu mengumpul di sekitarnya, tahu bahwa mereka tidak akan bisa terbang dalam cuaca dingin. Mataku kembali ke bungkusan itu. Aku tidak terburu-buru karena aku tahu ini bukan mayat. Orang mati tidak dibungkus seperti ini. Tapi, ternyata memang itulah yang kutemukan. Dan aku mengenali wajahnya. Amalie Provencher menatap diriku, bentuknya seperti lukisan kartun yang dilukis dengan berwarna abu-abu. Namun, aku masih tidak bisa bergerak cepat. Aku bergerak dari satu bungkusan ke bungkusan yang lain, membuka kainnya dan menyebabkan lalat terbang ke kegelapan malam. Semua wajah itu terlihat putih, mata menatap lurus ke depan, tetapi aku tidak mengenali mereka. Kecuali satu. Aku bisa mengenali ukurannya sebelum membuka bungkusannya. Ia terlihat lebih kecil dari yang lainnya. Aku tidak mau melihat, tetapi tidak mungkin berhenti. Tidak! Aku mencoba menyangkal, tetapi tidak ada gunanya. Carlie berbaring menelungkup, jari-jemarinya terlipat menjadi kepalan tinju yang mengarah ke atas. Kemudian, kulihat dua sosok lainnya, kecil, berdampingan dalam lingkaran itu. Aku menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Sebuah tangan menyentuh lenganku. Aku mendongak dan melihat wanita yang membimbingku. Dia berubah, atau paling tidak terlihat lebih jelas. Ternyata seorang biarawati, kerudungnya berjuntai dan ditutupi jamur. Saat berjalan, bisa kudengar suara rosarionya dan bau tanah serta bau apek. Aku bangkit dan melihat kulitnya yang cokelat ditutupi butiran merah yang bernanah. Aku tahu ini Elisabeth Nicolet.

   "Siapa kamu?"

   Aku memikirkan pertanyaan itu, tetapi dia menjawabnya.

   "Semuanya ada di gaun gandum yang paling gelap."

   Aku tidak memahaminya.

   "Kenapa kamu ada di sini?"

   "Aku datang dengan hati berat untuk menjadi pengantin Kristus."

   Kemudian, kulihat sosok lainnya.

   Sosok wanita itu berdiri di kejauhan, cahaya salju yang remang-remang mengaburkan bentuk tubuhnya dan membuat rambutnya berwarna abu-abu.

   Matanya menatap mataku dan dia berbicara, tetapi katakatanya tidak dapat kupahami.

   "Harry!"

   Aku menjerit, tetapi suaraku terdengar lirih.

   Harry tidak mendengarku.

   Dia menjulurkan kedua lengannya dan mulutnya bergerak, sebuah lubang hitam merupakan wajahnya.

   Kembali aku berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

   Dia berbicara lagi dan aku mendengar suaranya, walaupun katakatanya terdengar jauh, tetapi suaranya mengalir seperti air sungai.

   "Tolong! Aku sedang sekarat."

   "Tidak!"

   Aku mencoba berlari, tetapi kakiku tidak mau kuajak bergerak.

   Harry masuk ke jalan yang tidak kulihat sebelumnya.

   Di atasnya kulihat sebuah tulisan.

   DEWI PENOLONG.

   Dia menjadi sebuah bayangan yang menyatu dengan kegelapan.

   Kupanggil-panggil dia, tetapi dia tidak menoleh lagi.

   Aku mencoba mengejarnya, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak, tidak ada yang bergerak, kecuali air mata yang mengalir di pipiku.

   Temanku berubah.

   Sayap berbulu yang gelap muncul dari punggungnya dan wajahnya tampak pucat dan retak-retak.

   Matanya menggumpal menjadi batu.

   Ketika kutatap, irisnya menjadi bening dan warnanya menghilang dari alis dan bulu matanya.

   Seberkas warna putih muncul di rambutnya dan memanjang ke belakang, mengiris kulit kepala dan membuatnya melayang tinggi ke udara.

   Kulit itu mendarat ke lantai dan lalat menyerbu dari jendela, mengumpul di atasnya.

   "Sekte tidak boleh diacuhkan."

   Suara itu dating dari sekelilingku, tetapi entah dari mana.

   Latar belakang dalam mimpi berganti ke tanah pertanian.

   Cahaya matahari membelah lumut Spanyol dan bayangan besar menarinari di antara pepohonan.

   Cuaca terasa panas dan aku sedang menggali.

   Aku berkeringat saat menyendok tanah berwarna darah kering dan melemparkannya ke tumpukan di belakangku.

   Sekop menyentuh sesuatu dan aku menggali bagian pinggirnya, perlahan-lahan mengungkapkan apa yang terkubur di situ.

   Bulu putih bercampur tanah berwarna merah bata.

   Kuikuti punggung yang melengkung.

   Sebuah tangan berkuku merah yang panjang.

   Kugali sampai ke lengan bagian atas.

   Jumbai koboi.

   Semuanya berkilauan di panas yang terik ini.

   Aku melihat wajah Harry dan memekik.

   engan jantung berdebar kencang dan bermandikan keringat, aku duduk tegak.

   Aku membutuhkan beberapa saat untuk sadar kembali.

   Montreal.

   Tempat tidur.

   Badai es.

   Lampu masih menyala dan ruangan itu terasa sunyi.

   Kulihat jam.

   Jam tiga lewat empat puluh dua menit.

   Tenang.

   Mimpi hanyalah mimpi.

   Mimpi sering kali mencerminkan rasa takut dan kegelisahan, bukan kenyataan.

   Lalu, pikiran lain muncul.

   Telepon Ryan.

   Apakah aku tertidur saat dia menelepon? Kulemparkan selimut dan berjalan ke ruangan duduk.

   Mesin penjawab telepon tampak gelap.

   Kembali ke tempat tidur, kubuka bajuku yang basah.

   Ketika menjatuhkan celanaku ke lantai, bias kulihat bekas kuku yang melingkar di telapak tanganku.

   Aku memakai jins dan sweter tebal.

   Sepertinya aku tidak akan bisa tidur lagi, jadi aku ke dapur dan mendidihkan air.

   Aku merasa mual akibat mimpi itu.

   Aku tidak mau mengingatnya lagi, tetapi bayangan itu telah melepaskan sesuatu ke dalam pikiranku, dan aku harus menangkap apa artinya.

   Kubawa cangkir tehku ke sofa.

   Mimpiku biasanya bukanlah mimpi yang menyenangkan, tapi juga bukan mimpi yang menakutkan atau mengerikan.

   Biasanya terdiri atas dua jenis.

   Biasanya di dalam mimpi aku tidak bisa menelepon, melihat jalan, atau naik pesawat terbang.

   Aku harus ikut ujian, tetapi tidak pernah mengikuti kuliahnya.

   Artinya mudah ditebak.

   gelisah.

   Akhir-akhir ini, pesan mimpiku semakin membingungkan.

   Alam bawah sadarku membawa materi yang terkumpul dalam pikiranku dan memintalnya menjadi sebuah kisah yang tidak nyata.

   Aku harus menafsirkan apa yang dikatakan alam bawah sadarku.

   Mimpi buruk malam ini benarbenar sebuah tekateki.

   Kupejamkan mata untuk melihat apa yang bias kupecah-kan.

   Bayangan berkelebat-kelebat, seperti mengintip melalui pagar kayu.

   Wajah Amalie Provencher buatan komputer.

   Bayibayi yang mati.

   Daisy Jeannotte yang bersayap.

   Aku teringat katakataku kepada Ryan.

   Apakah dia benarbenar malaikat pembawa kematian? Gereja.

   Mirip dengan biara di Lac Memphremagog.

   Mengapa otakku memasukkan unsur itu ke dalam mimpiku? Elisabeth Nicolet.

   Harry, meminta pertolongan, kemudian menghilang ke lorong yang gelap.

   Harry, mati dengan Birdie.

   Apakah Harry berada dalam bahaya? Seorang pengantin yang enggan.

   Apa artinya itu? Apakah Elisabeth dipaksa? Apakah itu bagian dari kenyataan yang ada? Aku tidak punya waktu untuk menggalinya lebih dalam lagi, karena saat itu suara bel berbunyi.

   Teman atau musuh, pikirku saat berjalan tersaruk-saruk ke panel keamanan dan mengangkat gagangnya.

   Tubuh Ryan yang tinggi dan langsing memenuhi layar.

   Kupencet tombol agar dia bisa masuk dan mengamati melalui lubang pengintip saat dia berjalan menyusuri koridor.

   Dia kelihatan seperti orang yang baru saja tercebur ke sungai.

   "Kamu kelihatannya lelah sekali."

   "Aku sibuk sekali dan sekarang masih harus kerja lembur. Aku bekerja sendiri, gara-gara badai sialan ini."

   Ryan menggosok-gosokkan sepatu larsnya di keset, lalu membuka risleting jaketnya.

   Es meluncur ke lantai saat dia melepaskan topi rajutnya.

   Dia tidak bertanya mengapa aku berpakaian lengkap pada jam empat pagi dan aku tidak bertanya mengapa dia dating sepagi ini.

   "Baker menemukan Kathryn. Wanita itu berubah pikiran pada saat-saat terakhir dan meninggalkan Owens."

   "Bayinya?"

   Jantungku berdegup kencang.

   "Ada bersamanya."

   "Di mana?"

   "Ada kopi?"

   "Yah, ada."

   Ryan melemparkan topinya ke atas meja dan mengikutiku ke dapur. Dia terus bicara saat aku menggerus biji kopi dan mengukur air.

   "Dia bersembunyi bersama seorang lelaki bernama Espinoza, Kamu masih ingat tetangga yang menghubungi Social Service sehubungan dengan Owens?"

   "Bukankah tetangganya itu sudah mati?"

   "Memang. Ini putranya. Dia adalah salah seorang anggota yang setia, tapi dia masih memiliki pekerjaan dan tinggal di rumah ibunya di ujung jalan."

   "Bagaimana Kathryn bisa mendapatkan Carlie kembali?"

   "Anak itu sudah ada di sana. Kamu siap mendengar cerita selanjutnya? Seseorang mengemudikan van itu ke Charleston ketika kelompok itu menginap di rumah Espinoza. Mereka semua berada di sana selama ini. Kemudian, ketika suasana sudah aman, mereka pergi."

   "Bagaimana caranya?"

   "Mereka menyebar dan semua orang pergi dengan cara yang berbedabeda. Ada yang naik kapal, ada yang ikut mobil atau bersembunyi di bagasi. Seperti nya Owens memiliki taktik hebat. Dan seperti orang bodoh, kita hanya memburu mobil van itu saja."

   Kusodorkan cangkir yang panas kepadanya.

   "Kathryn seharusnya pergi dengan Espinoza dan seorang lelaki lainnya, tetapi wanita itu membujuknya untuk tidak pergi."

   "Ke mana lelaki yang satunya lagi?"


Pendekar Rajawali Sakti Ratu Bukit Brambang Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan

Cari Blog Ini