Paket Bergambar Tengkorak 1
Detektif Stop Paket Bergambar Tengkorak Bagian 1
Ebook by Syauqy_arr -OCR by Raynold I.
Penjambretan di Taman Bismarck ANGIN bertiup kencang.
mengguncang-guncang dahan-dahan pohon di taman itu.
Salju yang turun terus-menerus sejak semalam, telah mengubah pemandangan menjadi serba putih.
Hanya sedikit orang yang berjalan-jalan dalam cuaca dingin seperti itu.
Salah seorang di antara mereka adalah Sporty.
Anak itu memang menyukai suasana musim dingin.
Berpakaian hangat, ia berjalan-jalan di dalam taman, sambil memperhatikan tingkah burung-burung gereja yang sibuk mencari makan.
Musim dingin merupakan masa sulit untuk burung-burung itu, Tetapi untungnya, ada saja penyayang binatang yang membawakan sisa sisa roti untuk mereka.
Tiba-tiba Sporty terperanjat.
"Tolooong ,.. Tolooong!"
Terdengar teriakan ketika angin mereda.
Namun sebelum Sporty dapat menentukan dari mana suara itu berasal.
angin kembali menderu-deru.
Sporty agak ragu-ragu.
Benarkah ia baru saji mendengar teriakan minta tolong? Atau barangkali hanya dipermainkan oleh khayalannya Sendiri? Tiupan angin kadang-kadang memang dapat menimbulkan suara yang aneh-aneh.
Sporty mempercepat langkahnya.
Ia harus menemukan sumber suara tadi.
Jelas ia akan menyelidiki persoalan ini sampai tuntas.
Keberanian dan rasa ingin tahu yang besar termasuk sifat-sifat yang paling menonjol pada dirinya.
Ia bergegas menyusuri jalan setapak.
Ketika melewati sebuah belokan, langkahnya mendadak terhenti.
Adegan yang terjadi di depannya membuatnya menahan napas.
Sporty merasa bahwa burung-burung gereja pun turut mengomel melihat tindakan sewenang-wenang yang sedang terjadi.
Seorang kakek sedang diserang oleh dua orang.
Yang satu berbadan tegap.
Temannya lebih tinggi, tetapi ceking.
Orang tua itu melawan sekuat tenaga, tetapi ia tidak berdaya menghadapi kedua pengeroyoknya.
Salah seorang memegangnya dari belakang.
Yang lain menghantam dada orang tua itu dengan tinjunya.
Kemudian ia merampas dompet si kakek dengan suatu gerakan secepat kilat.
"Berhenti!"
Teriak Sporty.
Sebenarnya ia tidak bermaksud berteriak.
Namun kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Kedua penjahat itu tersentak kaget.
Segera mereka menoleh ke arah Sporty.
Wajah mereka tersembunyi di balik topeng badut.
Hanya mata mereka saja yang kelihatan melalui celah-celah sempit.
Walaupun demikian, Sporty merasa pasti bahwa kedua penjahat itu anak muda.
Soalnya masing-masing mengenakan jeans belel, sepatu lars yang terbuat dan kulit, serta jaket seperti yang biasa dipakai oleh para penerbang.
Keduanya agak lebih tinggi daripada Sporty.
Anak muda yang memukul orang tua tadi adalah yang berbadan tegap.
Kedua belah tangannya terbungkus sarung tangan berwarna merah, yang sepintas mirip sarung tinju, Tetapi Sporty tahu bahwa sarung tangan seperti itu merupakan perlengkapan pemain ski.
Sarung tangan itu merupakan model yang paling baru dan paling mahal.
Hanya toko-toko olahraga terkemuka yang menjual barang seperti itu.
"Tolong! Jambret!"
Orang tua tadi berseru ke arah Sporty, Ia sudah kehabisan tenaga, tetapi pemuda bertopeng itu masih memeganginya.
"Cepat, Nak... panggil bantuan."
Bantuan? pikir Sporty. Tanpa bantuan pun aku bisa mengatasi kejadian ini Mereka tidak tahu bahwa aku jago judo. Apa gunanya aku sudah memegang ban biru. Tanpa ragu-ragu, Sporty berlari mendekat.
"Pergi!"
Pemuda berbadan tegap itu membentaknya.
Namun kemudian ia nampak terkejut.
Ia mengenaliku, terlintas di benak Sporty.
Berarti seharusnya aku juga mengenalnya, dan...
Sporty tidak sempat berpikir panjang lebar, Pemuda berbadan tegap tadi menyambutnya dengan sebuah pukulan.
Namun tinju itu tidak mengenai sasarannya, karena Sporty telah melangkah ke samping.
Dengan gesit ia kemudian menangkap lengan lawannya, dan memelintirnya sekuat tenaga.
Penyerangnya berteriak kesakitan.
Sporty baru melepaskan pegangannya ketika pemuda itu terjatuh dan tergeletak di salju sambil mengerang-erang.
"Awas, Nak!"
Si kakek tiba-tiba berseru.
Segera saja Sporty berbalik badan.
Namun ia terlambat sepersekian detik.
Sebuah kepalan tinju mendarat telak di wajahnya.
Untuk beberapa detik mata Sporty berkunang-kunang.
Tetapi tidak percuma Sporty menjadi bintang olahraga di sekolahnya.
Dengan sebuah gerakan refleks, ia melangkah mundur.
Lawannya segera memburunya Pandangan Sporty kembali jelas.
Ia melihat pria yang menjadi korban penjambretan itu membungkuk dan meraih tongkatnya yang terjatuh tadi.
Pemuda bertopeng itu melayangkan tinjunya.
Sporty menghindar.
Detik berikutnya keduanya telah bergumul di atas salju.
Tetapi Sporty ternyata lebih kuat, jauh lebih kuat dari lawannya yang berbadan kurus itu.
Tanpa kemahiran bela diri pun, ia pasti akan berhasil keluar sebagai pemenang.
Dengan sebuah teknik kuncian, Sporty mencekik lawannya.
"Masih melawan?"
Sporty menghardiknya.
"Sudah... sudah... aku tak bisa napas...,"
Pemuda bertopeng itu mendesah. Tanpa kesulitan, Sporty membuat lawannya tidak dapat bergerak. Namun tepat pada saat itu kakek tadi turut campur.
"Aku akan membantumu!"
Ia berseru pada Sporty.
"Awas. kepala!"
Sporty tidak mengerti apa yang terjadi kemudian.
Tahu-tahu tongkat orang tua itu sudah menghantam punggungnya.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, Untuk beberapa saat Sporty tidak dapat menarik napas.
Kedua belah tangannya seakan-akan lumpuh.
Ia terpaksa melepaskan pemuda bertopeng itu.
Sambil berjongkok di atas salju, Sporty berusaha menghirup udara.
"Ya, Tuhan!"
Ia mendengar suara, kakek itu.
"Aku.., aku keliru!"
Wah, habis aku! pikir Sporty. Mereka akan menghajarku, dan juga orang tua itu. Kedua lengannya belum juga dapat digerakkan Sporty melihat pemuda yang baru saja dicekiknya, bangkit kembali "Ayo. Toni! Cabut!"
Ia berseru pada temannya yang berbadan tegap.
"Mereka kabur!"
Sporty bersyukur dalam hati.
"Untung saja! Rupanya mereka sudah kapok!"
Suara langkah terdengar menjauh.
Kedua pemuda itu kabur seperti dikejar setan Burung-burung gereja kembali ribut, seolah-olah hendak mengejek kedua penjahat itu.
Beberapa saat kemudian, kondisi Sporty telah pulih.
Dengan sigap ia berdiri.
Ia menepiskan salju yang menempel di pakaiannya, lalu menghadap ke orang tua tadi.
"Kalau saja Bapak tidak turut campur... Mereka sudah tak berdaya tadi. Aku hampir saja berhasil membuka kedok mereka, eh, tahu-tahu Bapak malah menghantamku!"
"Nak, saya benar-benar tidak bermaksud mencelakakanmu,"
Kata orang tua itu penuh penyesalan. Ia mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan hidung.
"Saya hanya ingin membantu. Dan... Yah, saya memang sudah tidak berguna. Begitulah kejadiannya kalau kita sudah berumur delapan puluh tahun."
Orang tua itu terdiam. Ia memasukkan sapu tangannya ke kantung mantelnya.
"Saya sama sekali tidak menduga bahwa Bapak telah berusia delapan puluh tahun,"
Sporty mencoba menghibur orang tua itu. Namun kakek itu tidak menanggapinya. Kekesalan yang dirasakannya harus dilampiaskannya dulu.
"Dasar bandit!"
Ia mengomel.
"Makin lama makin berani. Di taman ini pun kita sudah tidak aman lagi. Saya hanya bermaksud memberi makan burung-burung gereja. Tiba-tiba saja kedua bajingan itu datang. Bertopeng lagi! Mereka hendak merampas dompet saya. Nah. itu dia!"
Orang tua itu memungut dompet yang tergeletak di salju, lalu memeriksa isinya.
Baru sekarang Sporty sempat memperhatikan kakek yang nyaris menjadi korban kejahatan itu.
Ia berpakaian rapi.
Ujung tongkatnya dihiasi ukiran yang terbuat dari perak.
Wajah orang tua itu kurus, dagunya lancip dan hidungnya bengkok.
Penampilannya meyakinkan.
Sporty menduga bahwa orang itu mungkin saja merupakan keturunan bangsawan.
"Saya Kolonel Grewe,"
Pria berusia lanjut itu berkata pada Sporty.
"Namun tentu saja saya sudah pensiun. Keberanianmu sangat mengesankan, Nak. Dan caramu membereskan mereka juga luar biasa, Padahal kedua pemuda itu tentu lebih tua, dan juga lebih besar dibandingkan denganmu. Siapa namamu?"
"Nama saya Spor... eh, maaf,"
Anak itu berkata sambil tertawa.
"Itu hanya nama panggilan saja. Sporty, maksud saya. Semua teman saya memanggil begitu. Nama saya sebenarnya adalah Peter Carsten."
"Aha!"
Kolonel itu berkata.
"Panggilan Sporty memang cocok untukmu."
Pendapat itu memang benar.
Sporty memperoleh julukannya itu antara lain karena ia sangat gemar berolahraga.
Mungkin juga karena rambutnya yang keriting dan berwarna gelap.
Atau karena kulitnya yang selalu coklat terbakar matahari, Dibandingkan dengan umurnya yang baru tiga belas tahun, ia termasuk tinggi.
Sporty mempunyai sepasang mata berwarna biru, dan di kelasnya -kelas 9 b -ia merupakan murid yang paling menonjol dalam pelajaran olahraga dan matematika.
"Kamu bukan orang asli daerah ini?"
Kata Kolonel Grewe.
"Logatmu lain."
"Benar. Saya tinggal di asrama sekolah,"
Jawab Sporty sambil menunjuk ke belakang.
Sekolah Sporty terletak beberapa kilometer di luar kota.
Sekolah itu terkenal karena mutunya tinggi.
Untuk menampung murid-murid yang berasal dari luar kota.
para pengurus sekolah menyediakan sebuah asrama yang dibangun di belakang sekolah.
Asrama itu hanya dihuni oleh murid laki-laki saja, tetapi dalam satu kelas juga terdapat murid perempuan, walaupun hanya tiga atau empat orang.
Setiap pagi mereka datang dengan bis sekolah khusus, Kehadiran murid perempuan membuat suasana belajar di sekolah itu menjadi lebih menyenangkan, Kehidupan di asrama tidak pernah membosankan.
Apalagi untuk seorang remaja yang penuh energi seperti Sporty.
Jarak dari sekolah ke kota tidak jauh.
hanya sekitar dua puluh menit berlari santai.
Sebuah jalan menghubungkan sekolah itu dengan keramaian kota.
"Aha!"
Kolonel Grewe kembali berkata.
"Saya.., eh.., hendak mengatakan sesuatu. Tapi... dasar pelupa! Oh, ya! Saya ingin mengucapkan terima kasih, Seandainya kamu tidak muncul, Sporty, para penjahat itu pasti akan berhasil merampas dompet saya."
"Pak Kolonel, saya yakin bahwa tanpa bantuan saya pun, Bapak pasti akan berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan milik Bapak."
"Berjuang? Ya, berjuang! Tetapi kini pejuang zaman dulu telah loyo. Begitulah pengaruh usia. Bagaimana saya dapat membalas kebaikanmu, Nak?"
"Saya tidak mengharapkan imbalan, Pak Kolonel!"
Jawab Sporty.
"Saya hanya membantu karena Bapak mengalami kesulitan, itu saja."
Kolonel Grewe mengangguk-angguk. Ia membuka dompet yang masih dipegangnya. Sporty hampir tidak percaya ketika orang tua itu menyodorkan selembar uang 100 Mark. Mula-mula anak itu tidak mau menerima uang itu. Tetapi kolonel itu memaksanya.
"Saya akan sakit hati kalau kamu tidak mau menerima pemberian ini,"
Katanya.
Tentu saja Sporty tidak menghendaki hal itu.
Sambil tersenyum ia mengantungi uang itu, lalu mengucapkan terima kasih.
Kolonel Grewe sekali lagi berterima kasih.
Kemudian ia menyebutkan alamat rumahnya, dan mengundang Sporty untuk berkunjung sekali waktu, Akhirnya orang tua itu mengeluarkan sebuah kantung plastik berisi makanan burung.
Kolonel Grewe rupanya sudah melupakan kejadian tadi.
Perhatiannya kini sepenuhnya tercurah pada burung-burung gereja yang kelaparan.
Kelihatannya ia sama sekali tidak berniat menghubungi polisi.
Hebat juga, orang tua itu, pikir Sporty ketika ia berlalu dari tempat itu.
Orang lain seumur Pak Kolonel pasti sudah kalang kabut kalau mengalami kejadian seperti tadi.
Tenaganya juga masih lumayan.
Punggungku sampai sekarang masih terasa sakit.
Keheningan kembali menyelimuti Taman Bismarck.
Salju masih saja turun.
Seekor tupai berwarna hitam melintas di depan Sporty.
Matahari bersinar redup, seakan-akan tidak sanggup menembus awan yang menggantung rendah di langit.
Siapa kedua pemuda tadi? pikir Sporty.
Apakah aku mengenal mereka? Kalau tidak keliru, salah seorang di antara mereka menyebut nama Toni tadi.
Hm, bukan suatu nama yang jarang terdengar.
Tapi -berapa banyak sih orang yang bernama Toni? Di sekolah ada lima atau enam orang.
Aku akan menyelidiki mereka satu per satu.
Lagi pula...
rasanya aku mengenal temannya itu.
Cara berjalannya khas.
Aku yakin bahwa aku pernah melihat orang itu.
Gila! Dua murid sebuah sekolah terkemuka merampok orang tua? Seperti penjahat sungguhan saja! Mendadak Sporty berhenti.
Ia membungkuk dan memungut sebuah kantung kulit yang tergeletak di depannya.
Ritsluitingnya macet, tetapi akhirnya Sporty berhasil membuka kantung itu.
Terheran-heran anak itu menatap isinya.
sebuah sendok, sebuah belahan jeruk nipis yang disimpan dalam kantung plastik, sebuah geretan, dan sebuah alat suntik yang sudah sangat kotor.
Alat suntik itu begitu kotor sehingga dalam keadaan darurat pun takkan dipergunakan oleh seorang dokter.
Sporty termangu-mangu.
Isi kantung kulit itu ternyata perlengkapan milik seorang morfinis.
Sporty selama ini hanya mengenal barang-barang itu dari poster-poster yang disebarluaskan oleh dinas kepolisian dalam rangka kampanye anti-narkotika.
Tetapi ia tidak ragu-ragu, barang-barang itu memang merupakan perlengkapan untuk menyuntikkan heroin ke dalam tubuh seorang pecandu narkotika.
Tiba-tiba Sporty sadar, bahwa kantung itu milik salah seorang dan kedua pemuda bertopeng tadi.
Berarti keduanya telah kecanduan heroin.
Mereka berniat merampas dompet orang tua itu untuk memperoleh uang.
Uang yang akan dibelikan narkotika.
2.
Petra Membuka Salon Anjing SPORTY memang senang tinggal di asrama.
Prestasinya di sekolah juga baik.
Tetapi semua itu belum lengkap tanpa ketiga temannya.
Kekompakan keempat sahabat itu tidak tergoyahkan dan sudah menjadi rahasia umum di sekolah mereka.
Oskar Sauerlich adalah teman sekamar Sporty.
Kamar mereka diberi nama SARANG RAJAWALI Anak-anak yang tinggal di asrama itu memang mempunyai kebiasaan memberi nama kamar masing masing.
Oskar sendiri dijuluki si Gendut.
Orang tuanya kaya-raya.
Mereka memiliki sebuah pabrik coklat Walaupun kedua orang tuanya tinggal di kota dekat sekolah, Oskar memilih untuk tinggal di asrama saja.
Ia berpendapat bahwa suasana di rumahnya terlalu sepi dibandingkan dengan keadaan di asrama yang selalu ramai.
Thomas Vierstein, alias Komputer, bukan anak asrama.
Ia tinggal di kota bersama orang tuanya.
Ayahnya profesor matematika, dan mengajar di Universitas di kota.
Thomas memiliki daya ingat yang luar biasa.
Ia tidak pernah melupakan sesuatu Karena itu ia memperoleh julukan Komputer.
Satu-satunya anak perempuan dalam kelompok itu adalah Petra Glockner.
Umurnya tiga belas tahun lewat sedikit.
Ia juga tinggal di kota bersama orang tuanya.
Nama kelompok keempat sahabat itu diambil dari huruf awal nama masing-masing.
S untuk Sporty, T untuk Thomas, 0 untuk Oskar, dan P untuk Petra-STOP, sebuah nama yang singkat dan mudah .
diingat.
Setiap ada waktu luang -berarti pada sore hari dan pada akhir pekan -keempat sahabat itu bertemu di rumah Petra.
Itu telah menjadi kebiasaan mereka.
Sporty kini sedang menuju rumah Petra.
Pertemuan dengan temannya itu selalu dinantikannya dengan berdebar-debar.
Bagi orang yang mengenal Petra, hal itu tidak mengherankan.
Gadis itu mempunyai sepasang mata berwarna biru yang dihiasi bulu mata yang lentik.
Rambutnya yang halus berwarna pirang, dan dibiarkan tumbuh panjang.
Petra dikenal sebagai perenang yang tangguh, khususnya dalam gaya punggung.
Di samping itu, ia juga jago bahasa Prancis.
Sporty sangat menyukai Petra.
Ia tidak pernah menunjukkannya secara terang-terangan, tetapi dalam hati ia berjanji bersedia berbuat apa saja demi gadis itu.
Seperti sebagian besar temannya, Sporty berpendapat bahwa Petra merupakan murid paling cantik di sekolah mereka.
Petra sangat sayang pada binatang, terutama anjing.
Semua anjing yang ditemuinya, pasti diajaknya bersalaman.
Anehnya, semua anjing itu menurut saja, bahkan yang paling galak sekalipun.
Karena kebiasaannya itu, Petra dijuluki Salam oleh teman-temannya.
Gadis itu juga mempunyai binatang piaraan, seekor anjing spanil bernama Bello.
Anjing itu sangat lucu, tetapi juga sangat rakus.
Sambil berlari kecil, Sporty melewati rumah-rumah tua di jalan sempit itu.
Ia memang ingin cepat sampai ke tujuannya.
Rumah keluarga Glockner berada di jalan itu.
Bu Glockner mempunyai sebuah toko kecil yang menjual bahan-bahan makanan.
Pak Glockner adalah komisaris polisi.
Ia teman akrab keempat sahabat itu.
Mereka memang sering membutuhkan dukungannya, karena akibat kebiasaan Sporty, keempat anak itu selalu saja terlibat dalam petualangan yang rnenegangkan dan penuh bahaya.
Sporty menekan bel di samping pintu rumah.
Tetapi tidak ada yang membuka pintu.
Di tingkat dua, di mana keluarga Petra tinggaI.
juga tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Toko Bu Glockner berada di lantai bawah.
Sporty memandang melalui kaca etalase.
Toko itu sepi.
Tidak seorang langganan pun nampak.
Bu Glockner sedang mengatur barang-barang di rak.
Segera saja Sporty masuk.
"Permisi, Bu Glockner,"
Ia menegur dengan sopan.
"Petra ada?"
"Oh, kau, Sporty,"
Wan ita itu membalas sambil tersenyum.
"Petra ada di halaman belakang."
Bu Glockner adalah seorang wanita yang cantik dan ramah. Ia sangat mirip dengan putrinya. Sporty sering membayangkan bahwa tampang Petra setelah dewasa akan menyerupai wajah ibunya sekarang.
"Ia sedang mengurus anjing,"
Bu Glockner menambahkan.
Kemudian ia mengambil sebuah apel besar warna merah segar dari rak berisi buah-buahan.
Melihat gelagat itu, Sporty ingin cepat-cepat menghilang.
Tetapi Bu Glockner memanggilnya kembali, dan memaksanya untuk menerima apel tadi.
Hal semacam itu selalu dialaminya apabila ia masuk ke toko itu.
Sporty sampai malu sendiri.
Tetapi Petra toh pernah memberitahunya bahwa ibunya menganggap Sporty seperti anak sendiri.
Melalui pintu belakang, Sporty memasuki sebuah lorong yang menuju halaman belakang.
Lantai halaman seluruhnya ditutupi lempengan batu.
Walaupun demikian, di tengah-tengah halaman itu sebatang pohon apel tumbuh subur.
Semua penghuni rumah mengurus pohon itu dengan telaten.
Tingginya kini empat meter, Setiap musim gugur pohon itu berbuah.
Tidak pernah lebih dari sembilan buah apel-rekor tahun lalu itu belum terpecahkan -tetapi lumayan juga.
Dan setiap kali panen, keluarga Glockner mengadakan pesta kecil-kecilan, Siapa yang memperoleh buah-buah apel itu? Tentu saja Petra.
Buah-buaah itu ia bagi-bagi bersama ketiga temannya.
Pembagian itu tidak selalu berjalan lancar, terutama kalau apelnya berjumlah tujuh atau sembilan buah, sedangkan peminatnya ada empat orang.
Di bawah pohon apel terdapat sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu.
Petra telah meletakkan sebuah bantal di atas bangku, agar ia dapat duduk dengan lebih nyaman.
Enam ekor anjing duduk di hadapannya.
Keenam anjing itu membentuk setengah lingkaran.
Sambil mengibas-ngibaskan ekor masing-masing, mereka menatap Petra penuh harap.
Siapa tahu gadis itu dapat dibujuk untuk menyisir dan membelai mereka sekali lagi.
Sporty mengenal anjing-anjing itu, Semuanya milik tetangga Petra, Semua, kecuali seekor anjing spanil bemama Bello.
Anjing itu milik Petra sendiri.
Gadis itu sedang sibuk membersihkan sebuah sikat rambut dari bulu-bulu anjing.
"Lalu siapa yang akan menyisir rambutku?"
Tanya Sporty.
"Kalau kau mau duduk dengan tenang, kau akan dapat giliran juga.
"
Jawab Petra sambil tertawa.
"Tapi waku untuk menyisir sudah habis. Paling-paling aku blsa memberikan obat cacing padamu."
"Terima kasih banyak. Aku tidak ingin merebut jatah langganan-langgananmu itu. Lagi pula aku lebih berminat terhadap apel pemberian ibumu. Kalau..."
Sporty tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Bello telah mengetahui kedatangannya dan menyerbu mendekat. Bello mmang sangat menyukai Sporty. Setiap kali bertemu, Ia menyambut sahabat majikannya itu dengan gembira.
"Tunggu sebentar, Sporty,"
Ujar Petra.
"Aku sudah hampir selesai."
"Ada yang ingin kuceritakan padamu. Aku mungkin telah menemukan jejak dua penjahat yang kecanduan narkotika.
"
"Apa?!"
Tanya gadis itu sambil menoleh ke arah Sporty.
"Dan kalau aku tidak salah, mereka juga murid di sekolah kita,"
Anak itu menambahkan.
"Aku tidak dapat mengenali kedua orang itu, karena wajah mereka tersembunyi di balik topeng. Tetapi tangan salah seorang di antara mereka sempat terbaret ketika ia bergumul denganku. Luka kecil itu memang tidak membuktikan apa-apa, namun setidak-tidaknya dapat membantu kita menemukan orangnya."
Sporty melaporkan peristiwa yang ia alami tadi. Dengan mata terbelalak Petra mengamati isi kantung kulit yang ditunjukkan oleh temannya.
"Kau benar, peralatan seperti ini biasanya dipakai oleh para morfinis."
Sporty merasa heran.
"Dari mana kau tahu?"
Tanyanya.
"Dari ayahku. Ia sekarang memimpin satuan khusus yang bertugas memberantas penyalahgunaan narkotika. Kata Ayah, akhir-akhir ini keadaan di kota ini semakin rawan. Jumlah pecandu heroin meningkat dengan cepat. Padahal heroin termasuk jenis narkotika yang paling berbahaya, Para pecandu pada umumnya tidak dapat diselamatkan lagi. Tetapi ada beberapa kasus di mana seorang morfinis dapat menghilangkan ketergantungannya pada obat bius itu."
"Bagaimma heroin itu bisa sampai di sini?"
Sporty bertanya.
"Itu sedang diselidiki polisi. Kemungkinan besar kota-kita sekarang telah menjadi salah satu pusat perdagangan narkotika, Tetapi identitas para penjahat, baik gembong-gembongnya, maupun para pengedar kelas teri, sampai saat ini belum diketahui. Peristiwa yang kaualami bersama Kolonel Grewe tadi telah belasan kali terjadi. Soalnya, para pecandu itu membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk membeli heroin. Sebagian besar dari mereka akhirnya terlibat dalam kejahatan. Mereka mencuri, merampok atau menjadi pengedar. Mereka membuat orang-orang lain kecanduan, lalu menjual heroin pada orang-orang itu."
"Aku tidak mengerti apa maunya orang-orang itu,"
Kata Sporty sambil geleng-geleng.
"Seperti tidak ada kerjaan yang lebih bermanfaat. Coba, kita bisa berolahraga, berbincang-bincang dengan teman-teman, beprgian, membaca buku, memelihara binatang, dan maslh banyak lagi. Kenapa selalu saja ada orang-orang tolol yang merasa tidak puas? Bahwa anak-anak dan remaja-remaja merokok seperti kereta api dan mabuk-mabukan itu saja sudah parah. Sekarang mereka malah mulai bermain-main dengan narkotika. Aku sih tidak sudi. Setiap orang tahu bahwa heroin merusak kesehatan. Kadang-kadang aku berpikir, bahwa para pecandu itu membenci diri mereka sendiri. Mereka sepertinya tidak peduli pada berita-berita mengenai para korban narkotika yang ditemukan dalam keadaan tewas.
"
"Barangkali orang-orang itu mengira bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi pada mereka,"
Petra berkomentar.
"Lalu, bagaimana pendapat ayahmu? Kenapa anak-anak muda menjadi pecandu heroin?"
"Alasannya macam-macam. Antara lain karena merasa bosan, atau karena merasa takut terhadap sesuatu, Mungkin juga mereka membenci diri sendiri -seperti yang kaukatakan tadi-atau orang tua mereka. Kadang-kadang mereka hanya didorong oleh rasa ingin tahu. Tetapi itu merupakan langkah pertama menuju ketergantungan. Banyak korban narkotika yang pada awalnya hanya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak mempunyai perhatian khusus terhadap sesuatu. Akhirnya mereka terjerumus."
"Menurut dugaanmu, apakah ada murid sekolah kita yang ketagihan obat-obat terlarang itu?"
"Jelas."
"Kenapa?"
"Ayahku yang memberitahuku, Memang belum diketahui siapa orangnya. tetapi tanda-tandanya sudah ada, katanya."
"Brengsek! Tadinya aku tidak menduganya sama sekali. Di sekolah kita, Petra?! Rasanya seperti ada seorang pengkhianat di antara kita."
Petra kmbali menyisir anjing spanilnya.
"Begitulah kenyataannya,"
Katanya kemudian.
"Tapi aku tidak bisa menerima hal itu,"
Jawab Sporty.
"Gila, kalau ada murid sekolah kita yang ketagihan, kita semua akan kena getahnya. Itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kita harus mengambil tindakan. Kita harus mencari orangnya, lalu membantunya agar ia dapat melepaskan diri dari barang terkutuk itu. Dan, yang paling penting, kita harus menemukan siapa yang menjual heroin itu. Siapa yang menjerumuskan murid-murid sekolah kita. Aku berpendapat tindakannya termasuk kejahatan yang paling keji. Awas kalau aku berhasil menemukan orang itu...."
Sporty terdiam.
Ia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya.
Biasanya ia memang cinta damai, seperti semua orang.
Tetapi lain halnya apabila ia menemukan ketidakadilan dan kejahatan.
Tanpa mengenal lelah ia akan berusaha menyelesaikan masalah itu sampai tuntas.
"Aku yakin kau akan mencari jejak kedua penjahat bertopeng tadi,"
Kata Petra.
"Tapi setidak-tidaknya tunggulah sampai ibumu tiba."
Sporty mengangguk dan melihat jam.
"Ibuku malah belum sampai di sini. Sejam lagi kereta api baru akan tiba. Tetapi sepuluh menit sebelumnya, aku harus sudah ada di stasiun. Kalau Thomas dan si Gendut terlambat, salah mereka sendiri."
"Tenang saja, mereka pasti datang,"
Ujar Petra.
"Kau kan tahu, mereka selalu menepati janji. Ibumu akan kita sambut dengan meriah."
Sporty tersenyum.
Wah, sejam lagi! katanya dalam hati.
Aku sudah tidak sabar menunggu.
Sayang Ibu jarang-jarang dapat mengunjungiku di sini.
Untung ada kesempatan seperti ini.
Ibu Sporty telah bertahun-tahun hidup menjanda.
Enam tahun lalu, ayah Sporty, seorang insinyur, meninggal dalam suatu kecelakaan.
Sejak itu mereka hidup pas-pasan.
Bu Carsten harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah putranya.
Walaupun demikian, ia telah memilih sekolah yang paling baik dan paling mahal untuk putra kesayangannya.
Sebelum menikah, Bu Carsten bekerja sebagai sekretaris.
Setelah kecelakaan yang merenggut jiwa suaminya, ia kembali ke bangku sekolah.
Ia mengikuti berbagai kursus.
Setelah lulus, ia diterima sebagai pegawai bagian keuangan pada sebuah perusahaan besar.
Rumah Sporty berlainan kota dengan sekolahnya.
Perjalanan dengan kereta api paling tidak memakan waktu empat jam.
Karena karcisnya cukup mahal, Sporty hanya dapat mengunjungi ibunya setiap liburan saja.
Jarang sekali ia bisa pulang untuk berakhir pekan.
Oleh karena itu ia sangat gembira ketika kemarin menerima telepon dan mendengar ibunya akan datang hari ini.
Bu Carsten mempunyai urusan dinas di salah satu kantor cabang perusahaan tempat ia bekerja.
Kebetulan saja perjalanan menuju kantor cabang itu melewati kota di mana Sporty bersekolah.
Kesempatan itu dipergunakan Bu Carsten untuk berjumpa dengan putranya.
Sayang sekali ia hanya mempunyai waktu untuk berakhir pekan.
Tetapi waktu yang singkat itu sudah memadai untuk saling melepaskan rindu.
Sporty langsung memesan sebuah kamar di Hotel Kaiserhof, sebuah hotel yang de kat dengan stasiun kereta api.
"Nah, selesai,"
Kata Petra sambil meletakkan sisir.
"Salon anjing ditutup untuk hari ini. Mudah-mudahan semuanya merasa puas. Ayo, semuanya harus berterima kasih."
Keenam langganannya diajak bersalaman satu per satu. Semuanya menurut. Kemudian gadis itu memasang rantai ikat leher anjing-anjing itu.
"Kau mau membantuku, Sporty?"
Tanya Petra.
"Tolong kembalikan anjing-anjing ini ke majikan masing-masing. Aku harus membereskan kamarku dulu sebelum kita berangkat ke stasiun. Soalnya Evi akan datang hari ini."
"Aku kira besok."
"Rencananya berubah. Ia akan datang dengan kereta api jam 18.00 dari Frankfurt."
"Ibuku tiba jam empat. Kalau begitu, kau nanti sekalian tunggu Evi saja."
Evi adalah saudara sepupu Petra.
Umurnya sudah tujuh belas tahun.
Hampir setahun kedua gadis itu tidak bertemu.
Evi kini telah lulus SMA.
Bulan April mendatang rencananya ia akan masuk Akademi Perawat.
Sporty belum kenai gadis itu.
Ia cuma pernah melihatnya dari di foto yang dipajang di rumah Petra.
Walaupun di foto itu Evi nampak cantik, Sporty tidak terlalu bersemangat untuk berkenalan dengannya.
3.
Kasak-kusuk di Stasiun Kereta Api STASIUN kereta api terletak di pusat kota.
Setiap hari, ratusan, bahkan ribuan orang lalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing.
Aneka macam suara dan bunyi saling tumpang tindih, menyiksa telinga orang-orang yang peka terhadap kebisingan.
Gemuruh kereta api yang datang dan pergi bercampur dengan tiupan peluit kepala stasiun yang terdengar nyaring.
Panggilan melalui pengeras suara, bunyi ketukan palu para tukang yang sedang memperbaiki atap seng yang bocor, semua itu membuat suasana bertambah hiruk-piruk.
Tetapi STOP sama sekali tidak merasa terganggu oleh kesibukan di sekitar mereka.
Hanya Bello saja yang tidak tenang.
Sebentar-sebentar ia dikejutkan oleh suara-suara yang terasa asing baginya.
Sambil melirik kiri-kanan dengan cemas, ia merapatkan diri ke kaki Petra.
Untung saja anak-anak itu bergantian membelainya untuk menenangkannya.
Mereka menunggu di peron nomor sembilan Mata Sporty bersinar cerah.
Tangannya menggenggam seikat bunga mawar.
Berulang kali ia menengok ke arah jam besar yang tergantung di bawah atap stasiun.
"Masih tujuh belas menit lagi,"
Kata Oskar Sauerlich, ketika melihat tingkah temannya itu.
"Tapi aku juga sudah mulai kedinginan."
Cepat-cepat ia memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya.
Coklat adalah kegemaran utamanya, Hal itu memang segera terlihat.
Bukan tanpa alas an Oskar dijuluki si Gendut oleh teman-temannya.
Badannya serba bulat, sehingga ia kadang-kadang sulit bergerak dengan leluasa.
Ia tidak suka olahraga.
Wajahnya yang mirip bulan pumama cocok dengan potongan tubuhnya.
Tapi ia teman yang dapat diandalkan.
Jujur dan selalu riang gembira.
"Kita bisa beku di sini kalau keretanya terlambat,"
Ujar Thomas, si Komputer. Thomas adalah kebalikannya Oskar. Kurus, jangkung, dengan wajah memanjang yang dihiasi sebuah kaca mata tebal.
"Aku juga kedinginan,"
Kata Petra. Ia mulai melompat-lompat di tempat. Gadis itu mengenakan jaketnya yang berwarna biru, jaket kesayangannya yang mempunyai lapisan dari bulu domba, Tetapi jaket itu tidak membantu menghangatkan kakinya.
"Kau tidak merasa dingin?"
Petra bertanya pada Sporty. Anak itu tidak menjawab.
"He, Tuan Carsten! Saya berbicara dengan Anda!"
Sambil bergurau gadis itu menyikut temannya.
"Aduh!"
Kata Sporty.
"Diam dong. Jangan bercanda saja! Lihat tuh, di sebelah sana!"
Dengan mata setengah terpejam, Sporty memandang ke peron seberang. Ketegangan tercermin di wajahnya.
"Ada apa?"
Tanya Oskar.
"Aku hanya melihat kios penjual makanan kecil, tapi..."
"Ssst!"
Sporty mendesis.
Sekitar seratus orang berdiri di peron nomor sebelas, Kuli-kuli berjalan bolak-balik sambil mengangkat kopor-kopor besar.
Orang-orang yang akan berpergian berjabatan tangan dengan para pengantar mereka.
Seorang pria duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.
Seorang wanita setengah baya sibuk membenahi isi tasnya yang berhamburan di lantai peron.
Beberapa pemuda memperhatikan gerak-geriknya, tetapi tak seorang pun berusaha membantu.
Namun bukan keramaian itu yang menarik perhatian Sporty.
Anak itu menatap tajam ke arah seorang pemuda kurus tinggL Orang itu mengenakan sepatu lars, jeans belel, dan sebuah jaket penerbang berwarna biru.
Rambutnya panjang, lebih panjang dari rambut pemuda-pemuda pada umumnya, tetapi masih berkesan rapi.
Ia berdiri membelakangi Sporty, sehingga wajahnya tidak terlihat.
"Perhatikan orang yang mengenakan jaket biru itu,"
Ujar Sporty.
"Aku yakin ia salah satu dari kedua penjahat bertopeng itu."
"Hah?"
Ujar Oskar.
"Siapa? Di mana? Oh, yang itu maksudmu. He, tunggu sebentar! Rasanya aku sudah pernah melihatnya.
"
"Kau tidak keliru, Sporty?"
Tanya Thomas.
"Itu Detlef Egge, murid kelas 11a di sekolah kita. Anaknya memang brengsek. Aku tidak akan heran kalau ia memang terlibat dalam kejahatan."
"Pantas aku yakin bahwa aku sudah pernah melihatnya,"
Kata Sporty.
"Ayahnya pemilik sebuah pabrik peralatan berat,"
Petra menjelaskan.
"Salah seorang terkaya di kota ini. Tapi-tidak begitu disenangi."
Pemuda yang sedang dibicarakan oleh keempat sahabat itu berbalik badan.
Wajahnya pucat, dan berkesan sombong.
Rambutnya yang agak berombak menutupi sebagian dahi.
Dari seberang rei kereta api, matanya kelihatan jemih seperti air.
Sporty tiba-tiba ingat bahwa wajah itu pernah menarik perhatiannya di halaman sekolah.
Sporty ingat, ketika itu ia merasa heran melihat mata kiri pemuda itu berkedip-kedip seakan-akan tak terkendali.
Gejala seperti itu biasanya ditemui pada orang-orang yang selalu merasa cemas dan gelisah, tetapi tidak lumrah bagi seorang remaja.
"Berapa umurnya?"
Tanya Sporty.
"Sekitar tujuh belas tahun,"
Jawab Thomas.
"Kelihatannya ia tidak berniat berpergian. Barangkali ia hendak menjemput seseorang."
Tepat pada saat itu, sebuah kereta api memasuki stasiun dengan suara guruh.
Detlef Egge mundur beberapa langkah.
Kepalanya menoleh ke kiri-kanan.
Rupanya mencari seorang penumpang kereta api itu.
Tetapi ia tidak menemukannya.
Setidak-tidaknya kesannya demikian.
Namun kemudian seorang pria berpapasan dengannya.
Dekat sekali.
Untuk sesaat, kedua orang itu bertukar pandang, dan Detlef mengangguk.
Lalu pria itu kembali berjalan.
Detlef tetap berdiri di tempat semula.
Tanpa menengok lagi akhirnya ia melangkah ke arah jalan keluar, Sporty cepat-cepat melirik jam tangannya.
Empat belas menit lagi kereta api yang ditumpangi ibunya tiba.
"Ada yang tidak beres,"
Ujarnya terburu-buru.
"Apakah kalian juga memperhatikan pria bertopi hitam tadi? Orang itu dan Detlef-ayo, kita buntuti mereka. Barangkali kita akan menemukan sesuatu."
Sporty dan kawan-kawannya bergerak dengan hati-hati.
Sesekali mereka berhenti dan pura-pura sibuk berbincang-bincang, agar tidak menimbulkan kecurigaan Detlef atau pria bertopi hitam itu.
Namun sedetik pun kedua orang itu tidak terlepas dari pengawasan mereka, Detlef Egge berjalan menuju kantin stasiun.
Pria bertopi hitam itu tiba-tiba membelok dan menghilang di balik sebuah pintu.
Di balik pintu itu terdapat sebuah tangga yang menuju ruang bawah tanah yang digunakan sebagai tempat penitipan barang.
"Ia akan menitipkan tasnya,"
Oskar menduga-duga.
"Aneh, padahal hanya sebuah tas kantor. Kenapa tidak dibawa saja?"
Mereka melihat Detlef Egge memasuki kantin.
Rupanya ia memesan segelas bir, karena pelayan kantin kemudian mengambil sebotol bir dan menuangkan isinya ke dalam gelas, padahal tidak ada pengunjung lain, Detlef kemudian tetap berdiri di depan meja layan.
Anak-anak mengambil tempat di samping sebuah jendela, Dari tempat itu mereka dapat memperhatikan gerak-gerik pemuda itu, tanpa terlihat olehnya, Tidak lama setelah itu pria tadi kembali, tetap menenteng tas kantornya.
Kesannya tas itu sudah lebih ringan daripada sebelumnya.
Secara sembunyi-sembunyi, Sporty memperhatikan wajah pria itu.
Ia takkan pernah melupakannya.
Wajah orang itu ternyata seperti wajah para penjahat dan bajingan dalam film-film detektif.
Hidungnya miring dan mancung ke dalam, matanya keeil, pandangan matanya menyorot.
Wajahnya berkerut-kerut.
Tetapi nampaknya kerut-kerut itu bukan diakibatkan oleh usia, sebab pria itu belum begitu tua.
Umurnya kira-kira antara empat puluh sampai lima puluh tahun.
Mulutnya penuh gigi emas.
Setiap kali ia membuka mulut, giginya kelihatan berkelip-kelip, Dengan giginya itu ia menggigit sebuah cerutu "Hi hi", cetus Petra.
"Seandainya tidak berpakaian rapi, pasti ia sudah dihampiri oleh satpam stasiun."
"Pakaian memang dapat mempengaruhi penilain orang, Sporty berkomentar.
"Kadang-kadang membuat penampilan seseorang menjadi tidak menyolok, tetapi kadang-kadang juga sebaliknya, seperti sekarang ini. Orang itu blsa saja berpakaian mahal dan rapih tetapi wajahnya tetap sama. Tuan Hidung Bengkok itu pastl tldak begitu menarik perhatian seandainya ia mengenakan pakaian yang lusuh."
Si Hidung Bengkok ternyata masuk ke kantin stasiun.
Anak-anak memperhatikannya melalui jendela.
Seakan-akan bingung mencari tempat duduk.
Ia berjalan di antara meja-meja yang kosong.
Akhirnya ia menghampiri meja layan.
Detlef masih saja berdiri di tempat itu.
Si Hidung Bengkok meletakkan tas kantornya, lalu mengatakan sesuatu pada pelayan kantin.
Jarak antara Detlef dengannya tidak sampai satu meter.
Keduanya tidak saling memperhatikan.
"Awas!"
Bisik Sporty.
"Sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Pasti ada maksud tertentu mereka berdiri berdekatan seperti itu."
Sedetik kemudian dugaan Sporty terbukti benar.
Detlef meletakkan sebelah tangan pada meja kasir.
Ketika ia menarik kembali tangannya anak-anak melihat sebuah anak kunci tergeletak di atas meja.
Segera saja si Hidung Bengkok bertindak.
Ia mengulurkan tangan, meraih anak kunci itu, lalu diam selama beberapa detik.
Kemudian dimasukkannya tangannya ke dalam kantung mantel bersama dengan anak kunci tadi.
"Aha!"
Ujar Oskar.
"Jadi begltu caranya. Tetapi apa tujuan mereka?"
"Mereka pura-pura tidak saling kenal,"
Kata Sporty yang tetap mengawasi kedua orang itu.
"Barangkali salah seorang dari mereka takut kalau-kalau ia dibuntuti. Atau mungkin juga ini suatu tindakan pengamanan yang biasa dipakai di lingkungan para penjahat. Tetapi menurut pendapatku, tingkah mereka terlalu dibuat-buat.
"
Detlef Egge mereguk birnya sampai habis.
Pelayan kantin sedang membelakanginya.
Si Hidung Bengkok juga menghabiskan minumannya dergan sekali teguk.
Sekaligus ia mengeluarkan sesuatu dari kantung mantel sebelah kanan dan meletakkannya di atas meja, Ketika ia menarik tangannya kembali, Oskar terheran-heran.
"Lagi-lagi sebuah anak kunci,"
Katanya.
"Mungkin yang tadi juga."
"Bukan, pasti anak kunci lain,"
Sporty berpendapat.
"Tetapi serupa dengan yang pertama. Mereka telah saling menukar kunci, Apa lagi kalau bukan kunci kotak penitipan barang?! Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi Detlef akan mengambil sesuatu yang dimasukkan ke dalam salah satu kotak penitipan oleh si Hidung Bengkok. Dan si Hidung Bengkok akan mengambil barang yang disimpan oleh Detlef. Rupanya salah seorang dari mereka telah membeli sesuatu yang ditawarkan oleh yang lainnya, Nah, Detlef sudah membayar minumannya. Dan sekarang si Hidung Bengkok juga mengeluarkan dompet. Hmm, sebaiknya kita berpencar saja. Thomas dan Oskar, kalian mengawasi si Hidung Bengkok. Aku akan membuntuti Detlef."
"Jadi Bello dan aku dianggap tidak ada?"
Tanya Petra dengan nada kesal.
"Jangan marah dulu, Non,"
Jawab Sporty.
"Ingat pepatah lama, gadis-gadis cilik dan anjing-anjing yang rakus sebaiknya tidak terlibat dalam kegiatan yang mengandung bahaya."
"Gadis cilik? Enak saja!"
Petra memprotes.
"Kau hanya beberapa bulan lebih tua dari aku, dan itu tidak ada artinya."
"Ada yang tersinggung,"
Oskar berkomentar sambil nyengir lebar. Tetapi rupanya ia melontarkan gurauan pada saat yang salah.
"Diam, Gendut!"
Gadis itu membentaknya.
"Atau kau sudah bosan menikmati coklat kesukaanmu? Jadi, bagaimana, Sporty?"
"Ya sudah, ikut saja, Tetapi aku tetap tidak setuju. Kalau Detlef Egge memang salah seorang dari kedua peampok bertopeng itu, maka aku yakin ia mengenaliku, Aku ingin ia menyadari bahwa aku mengawasi gerak-geriknya. Supaya ia gelisah. Mungkin ia akan nunjukkan reaksi. Tetapi usaha ini tidak tanpa resiko, Karena itu, Petra, aku sebenarnya... Awas! Mereka keluar."
Hampir bersamaan kedua orang itu meninggalkan kantin stasiun. Si Hidung Bengkok langsung berjalan menuju tempat penitipan barang di ruang bawah tanah. Detlef berhenti di depan sebuah kios majalah.
"Ayo, kita berangkat,"
Ujar Thomas sambil menarik Oskar.
"Aku dan Bello ikut denganmu,"
Kata Petra dengan matanya yang biru ia memandang temannya.
"Supaya kau tidak bertindak sembrono."
"Wah terima kasih banyak. Dari mana slh kau memperoleh sifat keras kepala itu?"
Petra tidak sempat menjawab karena tepat pada saat itu sebuah pengumuman berkumandang melalui pengeras suara. Sporty mencoba untuk menangkap isi pengumuman itu. Petra ikut medengarkannya.
"Kereta api yang ditumpangl Ibumu terlambat sepuluh menit,"
Ujar gadis itu kemudian. Sporty mencium-cium karangan bunga yang terbungkus kertas tipis.
"Kalau begini caranya, bunga-bunga ini keburu layu,"
Katanya serius.
"Ngaco! Dalam cuaca dingin seperti ini1, bunga-bunga tetap segar,"
Petra berkomentar.
"Ketahuan kau tidak tahu apa-apa tentang bunga."
Sporty tersenyum. Dari semua teman-temannya, hanya Petra yang berani berbicara seperti itu.
"Awas,"
Ujar Sporty tiba-tiba.
"Detlef mulal berjalan."
Di belakang serombongan anak muda yang membawa ransel dan kopor, Sporty dan Petra membuntuti Detlef.
Pemuda itu berjalan pelan-pelan.
Sikapnya agak ragu-ragu.
Beberapa kali ia menengok ke belakang.
Rupanya hendak memastikan bahwa ttdak ada yang memperhatikannya.
Ia menghilang di balik pintu yang menuju tangga ke ruang bawah tanah.
Selama beberapa detik Sporty dan Petra menunggu.
Ketika akhirnya berjalan menuruni tangga, mereka berpapasan dengan beberapa orang.
Salah satu di antara orang-orang itu adalah si Hidung Bengkok.
Ia tetap saja membawa tas kantornya seperti tadi.
Tidak ada barang bawaan lain.
Cerutu yang masih diisapnya sudah hampir habis.
Wajahnya yang berkerut-kerut memancarkan rasa puas.
Sepertinya ia baru saja memperoleh sesuatu yang sangat menyenangkan hatinya, Sporty, Petra, dan Bello menuruni anak tangga demi anak tangga.
Lantainya kotor.
Di depan mereka Detlef telah sampai di ujung tangga.
Thomas dan Oskar berdiri di sana.
Mereka menengok ke belakang, seakan-akan menunggu seseorang.
Tetapi ketika Detlef sudah lewat, kedua anak itu bergegas menyambut teman-teman mereka.
Thomas menggosok-gosokkan jempol dan telunjuk tangan kirinya, seperti sedang menghitung uang.
"Coba tebak,"
Katanya terburu-buru.
"apa yang diambil si Hidung Bengkok dari kotak penitipan barang itu?"
"Sekarang bukan waktunya untuk main-main.
"
Balas Sporty.
"Apakah ia mengambil uang?"
"Hebat, kau berbakat jadi peramal,"
Ujar Oskar.
"Tapi... Ah, kau curang, Thomas sudah memberitahukannya padamu melalui gerakan tangannya tadi."
Ia mengulang gerakan jempol dan telunjuk yang dilakukan Thomas tadi.
"Berapa jumlahnya?"
Tanya Petra yang tidak tahan melihat tingkah Oskar. Thomas mengangkat bahu.
"Pokoknya banyak. Di dalam kotak itu hanya terdapat sebuah amplop. Si Hidung Bengkok tadi membuka amplop itu lalu menghitung lembaran-lembaran uang yang ada di dalamnya. Aku belum pernah melihat uang segitu banyak. Paling sedikit jumlahnya beberapa ribu Mark. Dan...
"
"Kalian tunggu di sini."
Kata Sporty tiba-tiba, memotong ucapan Thomas.
"Kelihatannya Detlef telah menemukan kotak yang dicarinya,"
Memang benar.
Pemuda itu dari tadi mencari-cari nomor kotak yang sesuai dengan nomor yang tertera pada anak kunci yang ia pegang.
Kini ia sedang memasukkan anak kuncinya.
Ketika Detlef membuka kotak itu, Sporty telah berdiri di belakangnya.
Detlef tidak mengetahuinya.
Ia memasukkan tangannya ke dalam kotak tadi.
Sporty berusaha mengintip.
Di dalam kotak penitipan barang itu ia melihat sebuah paket yang terbungkus kertas berwarna abu-abu.
Besarnya kira-kira setengah ukuran kardus pembungkus sepatu.
Si pengirim telah membuat sebuah gambar tengkorak pada kertas itu dengan spidol berwarna hitam.
Namun gambar itu tidak memperlihatkan kesan seram.
Malah sebaliknya, tengkorak itu kelihatan tersenyum ramah.
Detlef mengeluarkan sebuah tas plastik dari saku jaketnya.
Cepat-cepat ia memasukkan paket tadi ke dalamnya.
Ketika berbalik badan, ia hampir bertabrakan dengan Sporty.
"Oh, maaf,"
Ujar Sporty sambil mengamankan karangan bunga yang dipegangnya. Detlef Egge terbelalak. Wajahnya menjadi pucat. Matanya yang ternyata memang bening seperti air, setengah dipejamkannya sampai menyeruai celah sempit.
"Apakah kotak ini masih dipakai?'"
Tanya Sporty. Ia membalas pandangan pemuda itu sambil tersenyum.
"Apa? Apa yang...?"
"Apakah kotak ini masih dipakai?"
Sporty mengulangi pertanyaannya.
"Ah, tapi kenapa harus kotak ini? Yang lain juga masih banyak yang kosong. Maaf kalau saya mengganggu."
Tanpa berkata apa-apa, Detlef Egge menyelinap pergi.
Tangan kirinya menggenggam tas plastik berisi paket tadi.
Dengan terburu-buru ia menuju tangga.
Hampir saja ia lari pontang-panting.
Sporty merasa puas bahwa usahanya ternyata membuahkan hasil.
Detlef terpaksa melewati teman-teman Sporty yang berdiri di kaki tangga.
Mereka menatapnya dengan pandangan menusuk.
Bahkan Bello pun ikut-ikutan.
"Bagaimana?"
Tanya Petra ketika Sporty datang.
"Ia mengambil sebuah paket. Sebuah paket dengan gambar tengkorak."
"Jangan-jangan racun!"
Oskar berkomentar.
"Heroin mungkin,"
Kata Sporty.
"Gambar tengkorak itu hanya dibuat untuk berjaga-jaga apabila paket itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi itu hanya dugaanku saja. Siapa tahu isinya sama sekali bukan seperti yang kita duga."
"Aku yakin Detlef tadi kaget setengah mati ketika ia berbalik dan melihatmu,"
Ujar Petra. Sporty mengangguk.
"Ia memang terkejut. Bukan karena aku memergokinya ketika ia mengambil paket itu, tetapi karena perkelahianku dengannya. Sekarang aku yakin bahwa Detlef salah seorang dari kedua penjahat bertopeng itu. Dan kita juga akan mengetahui siapa rekannya itu. Dan siapa lagi yang terlibat dalam jual-beli narkotika ini. Mungkin kita akan berhasil membongkar jaringan pengedar yang diceritakan oleh ayah Petra."
"Berurusan dengan penjahat-penjahat?"
Tanya Oskar seakan-akan tak percaya.
"Wah. Gawat! Kalau begitu aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan kenaikan kelas. Kemungkinan riwayatku sudah tamat sebelumnya!"
Tetapi Oskar hanya bergurau.
Sporty langsung berkomentar "Untukmu, bahaya mati kegemukan seratus kali lebih besar daripada itu.
Ayolah, lima menit lagi ibuku tiba." 4.
Berkenalan dengan Bu Carsten DENGAN suara menderu-deru, kereta api memasuki stasiun.
Orang-orang yang sejak tadi berdiri di peron, kini sibuk mencari anggota keluarga atau teman-teman yang hendak mereka jemput.
Dengan cermat.
Sporty mengamati penumpang-penumpang yang meninggalkan kereta.
Akhirnya ia melihat ibunya turun dari gerbong nomor tiga.
Sebelum wanita itu sempat menginjakkan kaki di peron, Sporty sudah memanggil-manggilnya sambil berlari mendekat.
Sesaat kemudian Sporty telah merangkul ibunya erat-erat.
Sporty gembira sekali.
Ia begitu gembira, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.
Sebenarnya ia ingin memeluk dan mencium ibunya, tetapi ia merasa canggung di hadapan teman-temannya dan para penjemput lain.
Ketiga temannya berdiri agak jauh.
Oskar hanya cengar-cengir.
Thomas salah tingkah.
Sedangkan Petra memegang karangan bunga.
Tanpa berkedip ia memandang adegan pertemuan antara ibu dan anak itu.
Bu Carsten berumur tiga puluh delapan tahun.
Tubuhnya langsing, dan penampilannya sangat menarik.
Petra menyukai potongan rambut wanita itu.
Rambutnya yang berwarna pirang kecoklat-coklatan dibiarkan lepas sampai sebatas bahu.
Potongannya sederhana, tapi enak dilihat.
Bu Carsten mempunyai wajah sempit dan sepasang mata berwarna coklat yang memancarkan keramahan.
"Hati-hati, Peter,"
Ujarnya sambil tertawa.
"Ibu tidak bisa bernapas."
Sporty melepaskan rangkulannya, lalu mengangkat kopor dan menjepit map yang dibawa ibunya. Kemudian ia menggandeng tangan ibunya.
"Teman-temanku ikut menjemput. Ibu kan belum mengenal mereka. Oh ya, aku juga membawa bunga untuk Ibu. Eh, sebentar ya..."
Sporty kebingungan karena kedua belah tangannya sedang sibuk. Untung saja Petra cepat tanggap. Sambil tersenyum cerah, gadis itu mendekati Bu Carsten dan menyerahkan karangan bunga itu.
"Bunga-bunga ini dari Sporty, Bu Carsten. Ia sendiri yag memilihnya, Dan nama saya Petra Glockner."
"Aku sudah menduganya,"
Jawab ibu Sporty sambil menjabat tangan Petra.
"Wajahmu persis seperti yang Ibu bayangkan. Sporty selalu bercerita mengenaimu dalam surat-suratnya. Tentang kalian juga,"
Tambahnya sambil menyalami Thomas dan Oskar "Ibu senang sekali kalian menyempatkan diri ikut menjemput ke stasiun. Sudah lama Ibu ingin berkenalan dengan kalian, Dan kau pasti Bello, bukan?"
Anjing itu duduk di hadapan Bu Carsten dan meatapnya terus-menerus. Tiba-tiba ia mengangkat kakl kanannya untuk memberi salam. Petra. tertawa.
"Biasanya ia hanya memberi salam kalau disuruh saja."
Bu Carsten mengelus-elus kepala Bello.
"Halo, anjing manis. Kau lucu sekali. Kau pasti betah punya majikan seperti Petra."
"Aku mengambilnya dari tempat penitipan anjing,"
Ujar Petra cepat-cepat.
"Bekas majikan Bello telah mengusirnya. karena sebelah matanya buta."
"Oh, Ibu sama sekali tidak memperhatikan hal itu,"
Kata Bu Carsten.
"Tetapi setahu Ibu, penglihatan tidak begitu besar pengaruhnya bagi anjing-anjing. Mereka lebih tergantung pada daya penciuman. Kalau seekor anjing menjadi buta, itu hampir sama dengan manusia yang kehilangan indria penciumannya."
Sporty harus berusaha keras agar tetap kelihatan tenang.
Ia tidak ingin teman-temannya mengetahui bahwa ia begitu mengagumi ibunya.
Namun sebenarnya ia tidak perlu menyembunyikan perasaannya, sebab Petra, Thomas, dan Oskar juga merasakan hal yang sama.
Mungkin mereka kini baru memahami mengapa Sporty begitu menyayangi ibunya.
Bu Carsten diapit oleh Keempat anak itu.
Sambil berbincang-bincang, mereka menuju jalan keluar.
Ketika rombongan kecil itu melewati kios majalah, Bu Carsten menegur Sporty.
"Peter, hati-hati dengan map itu, Isinya dokumen-dokumen penting yang harus Ibu bawa ke kantor cabang di Salzburg. Ibu harus bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa dengan dokumen-dokumen itu."
Sporty baru saja hendak mengatakan bahwa ibunya tidak perlu khawatir, ketika ia menyadari bahwa ia sedang diperhatikan oleh seseorang yang berdiri di samping kios majalah.
Sporty menoleh, tetapi orang itu segera mundur, seakan-akan takut terlihat.
Orang itu ternyata Detlef Egge! Pemuda itu menatap tajam ke arah Sporty.
Kebencian tercermin di matanya Dengan geram ia mengepalkan tangan.
Kelihatannya Detlef hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian ia berubah pikiran.
Cepat-cepat ia berbalik badan.
Dengan langkah-langkah panjang ia menghilang di balik kios majalah.
Paket tadi sudah tidak dibawanya.
Bawaan lain juga tidak ada.
Aku harus waspada, pikir Sporty.
Mungkin saja Detlef ingin membalas den dam karena peristiwa di taman tadi.
Atau karena aku memergokinya ketika ia mengambil paket tadi.
Apa artinya semua ini? Tadi ia mencoba merampas dompet Kolonel Grewe.
Lalu aku menemukan kantung kulit berisi alat suntik itu.
Dan sekarang Detlef menukar sejumlah besar uang dengan paket bergambar tengkorak yang dibawa si Hidung Bengkok.
Hm, aku takkan heran kalau Detlef terlibat dalam jual-beli heroin.
Tapi aneh, kalau ia pengedar, seharusnya ia punya uang.
Lagi pula ia anak orang kaya.
Jadi untuk apa ia melakukan perampasan? Hasilnya tidak seberapa dan risiko tertangkap cukup besar.
"Kita ke mana sekarang?"
Tanya ibunya tiba-tiba.
"Ke Hotel Kaiserhof."
Jawab Sporty cepat-cepat.
"Aku sudah memesan kamar untuk Ibu."
Salju mulai turun kembali ketika mereka meninggalkan stasiun kereta api.
Awan tebal menutupi langit.
Suhu udara mendekati titik beku.
Suasana di pusat kota sangat ramai.
Karyawan-karyawan mulai meninggalkan kantor-kantor yang terdapat di sekitar stasi un.
Mereka bergega menuju tujuan masing-masing.
Tidak ada yang berjalan santai sambil berbincang-bincang Semua ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Cuaca memang tidak nyaman.
Sebagian dari mereka menggunakan kendaraan pribadi, sisanya memanfaatkan jasa angkutan umum.
Bergerombol mereka menunggu di halte bis.
Beberapa petugas berseragam kuning cerah terlihat menyebarkan garam di jalanan dan trotoar.
Maksudnya untuk mencairkan lapisan salju yang menutupi permukaan jalan.
Lapisan salju yang sangat licin membahayakan para pengemudi kendaraan bermotor dan pejalan kaki.
Usaha itu membuat jalanan jadi becek, karena salju yang sudah setengah cair tidak segera dibersihkan.
Tiba-tiba saja Bello melolong kesakitan.
Ia duduk dan mengangkat kaki kirinya.
Dengan memelas ia memandang ke arah Petra.
Gadis itu langsung mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan telapak kaki Bello.
"Kasihan, kakinya perih terkena garam yang disebarkan oleh petugas-petuga itu,"
Ujar Bu Carsten sambil membelai kepala anjing itu.
"Mereka seharusnya lebih hati-hati."
"Aneh, aku tidak pernah merasakan apa-apa kalau tanganku terkena garam di dapur,"
Ujar Oskar terheran-heran.
"Kalau begitu Bello harus pakai sepatu, dong.
"
"Apa sebenarnya yang kausebut garatn itu?"
Tanya Thomas, si Komputer.
"Huh, begitu saja pakai nanya. Padahal semua orang tahu bahwa garam adalah bumbu dapur yang digunakan jika makanan terasa kurang asin,"
Jawab Oskar.
"Ditinjau dari segi ilmiah, penjelasanmu belum lengkap, Oskar. Secara umum, garam memang selalu diartikan sebagai garam dapur. Tetapi keterangan yang lebih terperinci adalah sebagai berikut Yang disebut garam adalah semua zat elektrolit yang tidak termasuk asam atau basa. Berarti, semua zat yang terdiri dari kation dan anion. Selanjutnya garam dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu yang bersifat netral, asam, atau basa. Bumbu dapur yang kaugunakan untuk menambah rasa asin adalah natriumklorida. Rumus kimianya adalah NaCl. Yang dipakai untuk mencairkan salju di jalanan adalah garam dapur yang telah didenaturalisasi dengan zat besi yang dioksidasikan."
Oskar hanya terbengong-bengong.
Tidak percuma Thomas dijuluki si Komputer.
Tetapi teman-temannya segera maklum bahwa Thomas hanya ingin memamerkan kepandaiannya di depan ibu Sporty, walaupun ia sama sekali tidak melihat ke arah wanita itu selama menyampaikan ceramah singkatnya.
Dan Bu Carsten ternyata memang terkagum-kagum.
"Julukan si Komputer memang cocok untukmu,"
Katanya memuji.
"Daya ingatmu sungguh luar biasa."
Thomas tersenyum bangga.
"Ah,"
Katanya pura-pura merendah.
"semua orang dapat melatih daya ingat mereka. Yang penting hanyalah latihan secara teratur. Aku berlatih setiap hari, paling tidak setengah jam. Aku mencoba menghafalkan hal-hal yang menarik dari semua bidang ilmu pengetahuan, walaupun sebenarnya minatku terutama tertuju pada ilmu pengetahuan alam."
"Lalu ia memanfaatkan pengetahuannya untuk membuat kami jengkel dengan ceramah-ceramah seperti tadi,"
Petra berkomentar.
Ucapan gadis itu disambut dengan tawa oleh yang lain, termasuk Thomas.
Hotel Kaiserhof merupakan sebuah hotel yang kecil tetapi nyaman.
Letaknya di sebuah jalan sepi, tidak jauh dari stasiun kereta api.
Begitu mereka masuk, Sporty langsung menuju resepsionis dan menanyakan kamar yang telah ia pesan untuk ibunya.
Petugas penerima tamu dengan ramah mengatakan bahwa kamar untuk Bu Carsten telah siap.
Ia menyerahkan kunci kamar, lalu memanggil seorang pelayan untuk mengangkat kopor Bu Carsten.
Sementara menunggu ibu Sporty mengatur barang-barangnya di kamar, keempat sahabat itu menunggu di restoran.
Dari tempat duduk mereka, anak-anak melihat bahwa petugas yang ramah itu sedang melayani seorang pria yang rupanya hendak meninggalkan hotel.
Sporty memandang sekelilingnya.
Restoran itu nyaris kosong, karena saat itu memang bukan jam makan.
Kecuali anak-anak itu, hanya ada tiga pengunjung lain.
Sepasang suami-istri yang sudah berusia lanjut sedang minum teh -si suami sambil membaca koran, sedangkan istrinya sibuk membolak-balik halaman sebuah majalah.
Meja di sebelah mereka ditempati oleh seorang pria yang sedang menulis-nulis di buku catatannya.
Seorang pelayan menghampiri meja anak-anak dan menanyakan apa yang hendak mereka pesan.
Oskar tidak perlu berpikir panjang.
Ia langsung minta susu coklat panas, minuman kegemarannya, Petra memesan teh manis plus jeruk nipis.
Sporty dan Thomas sama-sama memilih kopi.
Untuk ibunya, Sporty minta kopi susu.
Bello berbaring di bawah meja.
"Ibumu hebat,"
Petra membuka percakapan.
"Aku tidak menduga bahwa kau memiliki ibu seperti itu."
Thomas dan Oskar mengangguk setuju.
Sporty tidak menjawab, Ia hanya tersenyum lebar.
Secara kebetulan pandangannya mengarah ke luar jendela.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa sesosok tubuh berdiri di depan jendela itu.
Orang itu sedang menatap ke arahnya.
Menyadari bahwa kehadirannya telah diketahui, orang itu menghilang sebelum Sporty sempat mengenali wajahnya.
Sporty tidak dapat memastikannya, tetapi ia yakin orang itu Detlef Egge, Hampir saja ia memberitahukan hal itu pada teman-temannya, namun akhirnya ia berubah pikiran.
Ah, percuma, ia berkata dalam hati.
Belum tentu orang itu Detlef.
Kalaupun dia, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berurusan dengannya.
Beberapa saat kemudian pelayan tadi mengantarkan pesanan anak-anak.
Dan tidak lama setelah itu, ibu Sporty kembali bergabung dengan mereka.
Ia telah berganti pakaian.
Gaun berwarna putih yang dikenakannya membuatnya kelihatan anggun.
Sporty langsung berdiri dan menarik sebuah kursi untuk ibunya.
Anak itu sama sekali tidak bermaksud untuk sok sopan di depan teman-temannya.
Tindakannya itu hanya merupakan ungkapan kasih sayangnya pada ibunya.
Sporty berpendapat bahwa seharusnya semua orang memperhatikan ibu mereka seperti dia.
"Oh ya, aku hampir lupa,"
Ujarnya kemudian.
"Kali ini aku yang traktir. Kalau lapar, jangan ragu-ragu, Katanya sih, kue-kue di sini enak sekali,"
"Hus, Peter, apa-apaan sih kau?"
Ibunya menyela sambl1 tertawa.
"Kalian kan tamu Ibu semua. Lebih baik uang sakumu itu disimpan untuk hal-hal yang lebih perlu."
"Tetapi aku lagi kaya,"
Sporty membela diri.
"Aku punya uang 100 Mark. Sudahlah, kali ini aku yang mentraktir semuanya."
"100 Mark?"
Tanya Bu Carsten terheran-heran, sambil meletakkan kunci kamarnya di atas meja. Ia tinggal di kamar nomor 211. Angka itu tertulis besar-besar pada gantungan kunci kamarnya.
"Sporty telah menyelamatkan seorang pensiunan kolonel dari sergapan dua penjahat yang hendak merampas dompetnya.
"
Petra langsung bercerita dengan semangat menggebu-gebu.
"Sporty menggagalkan rencana kedua orang itu lalu memberi pelajaran pada mereka. Tetapi sayang sekali mereka berhasil meloloskan diri. Keduanya mengenakan topeng, sehingga wajah mereka tidak terlihat. Sebagai tanda terima kasih, pensiunan kolonel itu menghadiahkan 100 Mark pada Sporty."
"Astaga, Peter!"
Seru Bu Carsten terkejut. Wajahnya pucat.
"Bagalmana seandainya terjadi sesuatu pada dirimu?"
"Mereka tidak bersenjata,"
Jawab Sporty dengan tenang.
"Biarpun tidak bersenjata, itu kan bukan urusan anak kecil. Memang, Ibu mengakui keberanianmu, tetapl kau kan baru berumur tiga belas tahun. Dan melawan dua penjahat... Wah, Ibu tidak berani membayangkan apa yang mungkin terjadi! Kenapa kau tidak menghubungi polisi saja? Lain kali, kau jangan ikut campur. Hubungi polisi saja."
"Kebetulan tidak ada polisi di sekitar tempat kejadian. Telepon umum juga tidak ada. Kalau aku tidak bertindak, orang tua itu pasti sudah jadi korban kekejaman kedua penjahat itu. Mereka sudah berhasil merampas dompetnya. Lagi pula, aku juga memakai perhitungan. Percuma dong aku belajar judo."
Sporty lalu menceritakan kejadian itu pada ibunya Tetapi ia tidak mengatakan bahwa peristiwa itu belum tuntas. Ia tidak ingin ibunya diliputi kecemasan. Ibunya tidak perlu tahu bahwa ia berurusan dengan sebuah komplotan pengedar obat bius.
"Sukar dipercaya,"
Ibunya berkomentar setelah Sporty selesai bercerita. Ia merasa bangga, tetapi sekaligus khawatir akan keselamatan anaknya.
"Jadi, kau tidak menghubungi polisi setelah kejadian itu?"
"Itu kan urusan si ko1onel."
"Kau sering jalan-jalan sendirian di tempat itu?"
Sporty tertawa.
"lbu jangan terlalu khawatir. Biasanya taman itu aman-aman saja. Sejak lama sudah tidak terjadi kejahatan di sana. Di samping itu, aku tidak pernah bawa uang banyak-banyak. Tidak ada gunanya merampas dompetku."
"Tapi kau harus berhati-hati, mengerti?"
Sporty mengangguk.
Kemudian topik pembicaraan beralih ke soal sekolah, guru-guru, dan keadaan di asrama.
Bu Carsten juga bertanya tentang apa saja yang telah dialami oleh Sporty dan kawan-kawannya selama ini.
Penuh perhatian ia mendengarkan cerita anak-anak itu.
Mereka berbincang-bincang dengan akrab.
Sporty akhirnya berhasil memaksa Oskar dan Petra -masing-masing -memesan sepotong kue.
Oskar memilih sepotong kue coklat.
Petra lebih suka kue tart.
Suasana sangat menyenangkan.
Semua menikmati pertemuan sore itu.
Tetapi bencana ternyata mengancam mereka.
Begitu melihat seorang pria memasuki restoran itu, Sporty langsung menyadari bahwa akan terjadi sesuatu.
Sesuatu yang tidak menyenangkan.
Sebab, pria itu ternyata -si Hidung Bengkok! 5.
Pencurian Licik SPORTY.
sangat terkejut ketika melihat pria bertopi hitam itu.
Tetapi ia berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.
Seakan-akan tidak terjadi sesuatu, ia ikut tertawa ketika Oskar menceritakan sebuah lelucon.
Namun pandangan matanya tetap tertuju pada si Hidung Bengkok.
Pria itu menuju meja resepsionis.
Ia mengatakan sesuatu pada petugas penerima tamu.
Tangan kirinya memegang tas kantor.
Tangan kanannya dimasukkan ke dalam kantung mantelnya.
Sebuah cerutu terselip di antara kedua bibirnya.
Nampaknya ia sedang memesan sebuah kamar.
Petugas penerima tamu tadi mengangguk dan menyodorkan selembar kertas, sebuah formulir yang harus diisi oleh setiap tamu.
Si Hidung Bengkok mengeluarkan sebuah bolpen dan mulai mengisi formulir itu.
Sporty merinding.
Penjahat itu ternyata akan menginap di hotel yang sama dengan ibunya! Apakah ini hanya suatu kebetulan? Tetapi laki-laki itu memang membutuhkan tempat untuk bermalam.
Sulit membayangkan ia menginap di rumah Detlef Egge.
Orang tua pemuda Itu takkan gembira mendapat tamu seperti dia.
Sedangkan Detlef dan si Hidung Bengkok nampaknya juga ingin merahasiakan hubungan mereka.
Itu terbukti dari cara mereka saling menukar kunci di stasiun tadi.
Berbagai pikiran berkecamuk di benak Sporty.
Apa sebaiknya Ibu pindah ke hotel lain saja? Tetapi bagaimana dengan kamar yang telah terlanjur kupesan? Ah, paling-paling si Hidung Bengkok hanya akan menginap semalam -lalu besok pagi pulang dengan kereta api pertama.
Mudah-mudahan saja! Mungkin saja aku terlalu mencurigainya.
Tetapi bagai mana kalau ia memang berniat jahat? Sporty tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Dengan hati-hati Petra menyentuh kaki Sporty dengan kakinya.
Gadis itu ternyata juga melihat si Hidung Bengkok.
Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat, Sporty menggelengkan kepala.
Kemudian ia kembali mengarahkan perhatiannya pada percakapan yang sedang berlangsung.
Sekali-sekali ia melirik ke arah meja resepsionis.
Untung Thomas dan Oskar tidak dapat melihat si Hidung Bengkok dari tempat duduk mereka.
Thomas pasti cepat tanggap.
Tetapi si Gendut belum tentu.
Kemungkinan besar ia keceplosan ngomong sehingga menimbulkan kecurigaan ibu Sporty.
Lalu Sporty akan terpaksa memberi tahu ibunya apa yang sesungguhnya terjadi.
Akibatnya mudah ditebak.
Bu Carsten akan diliputi kecemasan, Dan itu yang hendak dicegah Sporty.
Bagaimanapun juga, Ibu tidak boleh tahu siapa si Hidung Bengkok itu sebenarnya.
Aku ingin ia menikmati akhir pekan ini.
Jangan sampai ia tidak dapat tidur dengan tenang.
Ibu selalu bekerja keras, malah sering lembur.
Aku tidak ingin merepotkannya, kata Sporty dalam hati.
Dari sudut matanya, Sporty melihat si Hidung Bengkok mengeluarkan dompet.
Pria itu kemudian menyerahkan sejumlah uang pada petugas penerima tamu.
Ia langsung membayar uang sewa kamarnya! Petugas itu menghitung jumlah uangnya, lalu menyerahkan kuitansi sambil tersenyum lebar.
Melihat gayanya, Sporty menduga bahwa ia telah memperoleh uang persenan yang cukup besar dan si Hidung Bengkok.
Oh, kelihatannya si Hidung Bengkok tidak akan bermalam di sini, Sporty berpikir.
Dalam hati ia merasa agak lega.
Mungkin orang itu akan pulang dengan kereta api ekspres malam, dan sekarang hanya ingin berbaring untuk beberapa jam.
Dan karena itu, ia melunasi uang sewa kamarnya agar nanti tidak repot.
Ia tinggal mengembalikan kunci kamar lalu langsung menuju stasiun kereta api.
Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tetapi kenapa Detlef Egge mengawasiku melalui jendela tadi? Ah, belum tentu juga dia.
Siapa tahu aku hanya salah lihat.
Sporty kembali melibatkan diri dalam percakapan.
Teman-temannya sedang membicarakan sebuah film seru yang kemarin malam disiarkan melalui televisi.
"Kau nonton film itu?"
Thomas ditanya oleh Oskar.
"Kemarin aku tidak sempat,"
Jawab anak itu.
"Tetapi aku sudah pernah melihat film itu, bulan Oktober tahun lalu, dan waktu liburan Paskah, juga ketika kita libur musim panas, Film itu kan selalu diulang-ulang. Seperti tidak ada film lain saja!"
Bu Carsten tertawa.
"Kau benar, Thomas,"
Katanya.
"Siaran ulangan itu lama-lama menjengkelkan juga,"
"Di asrama kami ada seorang anak yang keranjingan nonton film,"
Oskar bercerita "Setiap film yang agak bermutu ia tonton berkali-kali.
Sampai-sampai ia dapat menirukan percakapan antara para pemain film itu.
Dan itu memang selalu dilakukannya.
Masih mending kalau ia mengucapkannya berbarengan dengan para pemain film.
Ini tidak! Selalu ia mendahului mereka.
Akhirnya tidak ada lagi yang mau nonton bersamanya.
"
Bu Carsten mengemukakan sesuatu, tetapi Sporty tidak mendengarnya.
Perhatiannya sepenuhnya tertuju pada si Hidung Bengkok yang sedang memasuki restoran itu.
Petra juga melihatnya.
Gadis itu langsung menundukkan kepala.
Wajahnya menjadi pucat.
Sporty memutar-mutar cangkir kopi di hadapannya.
Ia bingung.
Apa yang harus dilakukannya? Si Hidung Bengkok masih berdiri di ambang pintu.
Ia menoleh ke kiri-kanan, seakan-akan mencari seseorang.
Pandangan matanya menyapu kelima orang yang sedang berbincang-bincang dengan santai itu, tetapi nampaknya ia tidak tertarik pada mereka.
Matanya kecil sekali! pikir Sporty, Dan tidak bisa diam, terus saja bergerak-gerak.
Sepertinya ia selalu curiga.
Kalau diperhatikan, matanya mirip dengan mata si Pongo, Pongo adalah seekor gorila jantan yang menghuni kebun binatang kota itu.
Sporty sering mengunjungi kebun binatang, dan ia tidak pernah lupa membawakan beberapa buah pisang untuk si Pongo.
Si Hidung Bengkok ternyata tidak menemukan orang yang dicarinya, Tetapi ia masih penasaran.
Ia berjalan mendekat.
Perlahan-lahan ia menuju ke meja yang ditempati oleh rombongan kecil itu.
Sporty merasakan seluruh ototnya menegang.
Ia telah bersiap-siap untuk berdiri dan bertindak seandainya diperlukan.
Dekat sekali si Hidung Bengkok melewati meja mereka.
Petra tegang sekali.
Sambil menunduk, ia menggigit-gigit bibir, Thomas mengangkat kepala, lalu terbelalak, tetapi pandangan Sporty segera menyadarkannya.
Langsung ia berusaha untuk bersikap biasa.
Oskar sedang berbicara dengan ibu Sporty.
Penuh semangat ia menguraikan cara pembuatan coklat di pabrik milik ayahnya.
Si Hidung Bengkok berhenti dua langkah di belakang Sporty.
Oskar belum juga mengetahui kehadiran pria itu.
"Maaf "
Laki-laki itu menegur seorang pelayan yang sedang engatur meja. Suaranya terdengar serak.
"Saya punya janji dengan Pak Lamprecht. Apakah ia sudah datang?"
"Belum, saya rasa. Tetapi saya akan menyampaikan bahwa Tuan menanyakannya -bila beliau datang. Boleh saya tahu nama Tuan?"
"Zaulich, Fritz Zaulich,"
Jawab si Hidung Bengkok.
"Untuk sementara saya tinggal di hotel ini. Tolong beri tahu petugas penerima tamu jika Pak Lamprecht datang dan mencari saya."
"Baik, Tuan."
Pria itu kelihatan puas, Ia kembali melewati meja tadi.
Asap cerutunya meninggalkan bau yang tidak enak.
Si Hidung Bengkok ternyata bernama Zaulich, Apakah mungkin ia menyebutkan nama seandainya ia memang berniat jahat? Tentu saja tidak.
Tetapi di pihak lain-siapa yang dapat menjamin bahwa ia tidak menggunakan nama palsu? Sporty memperhatikan si Hidung Bengkok sampai pria itu keluar dari restoran.
Ia tidak bereaksi ketika Petra menyentuh kakinya dengan hati-hati.
Thomas setengah memutar badannya agar dapat melihat pria itu meninggalkan ruangan.
Oskar memandang ibu Sporty sambil tersenyum cerah.
Ia sama sekali tidak menyadari apa yang telah terjadi.
Setelah meninggalkan restoran, si Hidung Bengkok belok ke kanan dan berjalan ke arah tangga yang menuju kamar-kamar.
Seharusnya aku bisa tenang sekarang, ujar Sporty dalam hati.
Ia punya janji dengan seseorang.
Ia juga menyebutkan namanya.
Dan kelihatannya ia sama sekali tidak memperhatikan kami.
Walaupun demikian, perasaan tidak enak tetap menghantui pikiran anak itu.
Sporty kembali berbincang-bincang dengan ibunya.
Tidak ada kesempatan untuk membicarakan kedatangan si Hidung Bengkok dengan teman-temannya.
Ketika ia melihat jam tangannya, ternyata sudah pukul enam kurang seperempat.
Bu Carsten mengatakan, ia belum makan sejak pagi, dan ingin mengundang anak-anak untuk makan malam bersama.
Namun hanya Sporty yang dapat memenuhi permintaannya.
Teman-temannya terpaksa menolak.
"Maaf, Bu Carsten,"
Ujar Petra.
"saya harus menjemput Evi, saudara sepupu saya, di stasiun kereta api. Ia akan tiba pukul 18.00. Evi akan menginap di rumah kami selama satu minggu. Tetapi tidak pernah kurang dari tiga kopor besar dibawanya apabila bepergian, karena itu saya minta bantuan Thomas dan Oskar."
"Kalau begitu kalian cepat-cepat saja ke stasiun. Kasihan kan sepupumu kalau sampai harus menunggu lama-lama,"
Kata Bu Carsten.
"Ibu kan masih dua hari tinggal di sini, dan besok kita juga masih akan bertemu, bukan ?"
Thomas dan Oskar sebenarnya ingin memenuhi ajakan ibu Sporty, namun mereka sudah berjanji untuk membantu Petra mengangkat kopor-kopor saudara sepupunya.
Sebelum pergi ke stasiun, mereka masih sempat mengusulkan acara untuk besok.
Akhirnya semua sepakat untuk berjalan-jalan di pusat kota dan selanjutnya mengunjungi beberapa museum.
Ketika Petra, Thomas, dan Oskar hendak berpamitan, si Hidung Bengkok yang ternyata bernama Zaulich itu muncul kembali.
Tas kantornya tetap dibawanya.
Tetapi kali ini ia tidak memasuki restoran, ia langsung menuju meja resepsionis.
Setelah menyerahkan kunci kamarnya pada petugas penerima tamu, ia berjalan menuju pintu keluar.
Aneh, pikir Sporty, kenapa ia malah pergi? Katanya ia sedang menunggu seseorang.
"Sampai besok,"
Petra, Thomas, dan Oskar berkata serempak. Ketika sampai di pintu, mereka berhenti sejenak dan melambaikan tangan, kemudian kembali berjalan.
"Teman-temanmu sangat menyenangkan,"
Kata ibu Sporty sambil menatap anaknya penuh kasih sayang.
"Mudah-mudahan kalian tetap akrab seperti tadi. Dan Petra adalah seorang gadis yang hebat. Bukan hanya luar biasa cantik, tetapi juga pandai dan baik hati."
"Dan berani,"
Sporty menambahkan.
"Tidak semua anak laki-laki dapat menyainginya dalam hal keberanian. Tetapi kadang-kadang sifat keras kepalanya cukup merepotkan." .
"Ibu juga mengenal seseorang yang keras kepala,"
Ibunya berkomentar sambil membelai rambutnya.
Bersama-sama mereka menikmati makan malam.
Keduanya memesan bistik dengan kentang goreng.
Bu Carsten minum air putih, sementara Sporty minta dibawakan segelas Coca-Cola.
Sekali lagi Sporty bermaksud mentraktir ibunya, tetapi kali ini Bu Carsten memperlihatkan bahwa bukan hanya Petra dan Sporty yang mempunyai sifat keras kepala.
"Dalam suratmu yang terakhir, kau menulis bahwa kau ingin membeli sepatu roda. Nah, uangmu lebih baik kausimpan untuk itu saja. Dan Ibu juga membawakan sesuatu untukmu. Barangnya masih tersimpan di dalam kopor."
Jam dinding yang tergantung dekat meja mereka menunjukkan pukul setengah tujuh kurang beberapa menit.
Seharunya Ibu tinggal di kota ini saja, pikir Sporty dalam hah.
Berarti kami bisa menghemat pengeluaran untuk biaya asrama.
Dan dengan demikian aku juga tidak perlu pindah sekolah Aku akan tetap berkumpul dengan Petra, Thomas, dan Oskar.
Tapi apakah Ibu di sini akan mendapat pekerjaan yang setaraf dengan pekerjaannya sekarang? Ah, aku,sudah cukup beruntung.
Tidak ada yang perlu dikeluhkan.
Sporty dan ibunya meninggalkan restoran itu.
Mereka baru saja hendak naik tangga menuju kamar ibu Sporty, ketika anak itu melihat Thomas berdiri di depan pintu hotel sambil menepis-nepiskan salju dari jaketnya.
"Sebentar ya. Bu,"
Kata Sporty cepat-cepat.
"Mungkin Thomas ingin menyampaikan sesuatu. Kamar 211, ya?" , Bu Carsten membalik. Ia mengangguk dan dengan ramah melambaikan tangan ke arah Thomas, yang baru saja memasuki hotel Kemudian ia mulai menaiki tangga tadi.
"Ada apa?"
Tanya Sporty ketika ia menghampiri Thomas.
"Eh, kami melihat si Hidung Bengkok, si Zaulich itu. Baru saja. Kereta api yang ditumpangi Evi ternyata juga terlambat. Tepat sewaktu kami keluar dari stasiun sambil membawa kopor-kopornya, si Hidung Bengkok turun dari taksi. Aku rasa tidak mungkin ia naik taksi dari hotel ini ke stasiun. Jaraknya terlalu dekat. Berarti sebelumnya ia mampir ke tempat lain."
"Mungkin ia menemui si Lamprecht, yang katanya ada janji dengannya."
"Hm, mungkin juga. Pokoknya, Zaulich tidak melihat kami. Karenanya aku dapat membuntutinya dengan leluasa ketika ia masuk ke stasiun. Percaya atau tidak, si Hidung Bengkok itu telah pergi."
"Apa? Pergi?"
"Ya, dengan kereta api ekspres tujuan Hamburg. Begitu masuk stasiun, ia langsung beli karcis, jalan ke peron, lalu naik ke gerbong kelas utama. Tiga menit kemudian keretanya berangkat. Aku yakin benar bahwa Zaulich berada di atas kereta api itu. Hanya itu yang ingin kuceritakan padamu."
"Terima kasih, Thomas! Sekarang aku bisa bernapas dengan lega. Soalnya pria itu tadi juga memesan sebuah kamar. Kau tidak dapat melihatnya waktu itu. Tapi untung ia telah pergi. Aku sudah curiga, jangan-jangan ia memang berniat jahat."
Thomas membuka kaca mata, dan menggosok-gosoknya.
Kemudian langsung berlari kembali ke stasiun, sebab teman-teman yang lain masih menunggu di sana.
Tanpa bantuannya, Oskar tidak mungkin dapat membawa kopor-kopor Evi.
Thomas memang sengaja tidak menyinggung gadis itu di hadapan Sporty, soalnya ia menyangka temannya itu takkan peduli.
Cepat-cepat Sporty berlari ke kamar ibunya yang terletak di lantai dua, lalu mengetuk pintu dan membukanya.
Sambil tersenyum lebar ia melangkah ke dalam kamar.
Kamar itu cukup besar Perabotnya terdiri dari sebuah tempat tidur untuk dua orang, sebuah lemari pakaian, sebuah meja tulis, dan dua buah kursi.
Sebuah tirai bermotif bunga-bunga menutupi jendela.
Tetapi mendadak senyumnya hilang.
Ia menemukan ibunya sedang duduk di atas tempat tidur.
Wajah wanita itu pucat-pasi.
Dengan mata terbelalak ia memandang ke arah Sporty.
Kedua belah tangannya gemetar.
Sporty terperanjat.
Langsung ia duduk di samping ibunya.
Dengan hati-hati ia meletakkan tangannya kanan melingkari bahu ibunya.
"Ada apa, Bu?"
Ia bertanya dengan lembut "Apakah Ibu merasa kurang sehat?"
"Peter... map yang berisi dokumen-dokumen penting itu hilang."
"Apa?"
Sporty melihat ke sekelilingnya. Kopor ibunya masih berdiri di samping tempat tidur.
"Bagaimana mungkin? Aku melihat sendiri Ibu membawa map itu waktu naik ke kamar untuk membereskan barang dan berganti pakaian."
Ibunya mengangguk lemah.
"Ibu memasukkan map itu ke dalam lemari pakaian. Kemudian Ibu juga menggantung mantel Ibu dalam lemari itu. Mantelnya masih ada, tapi..."
"Barangkali pelayan..."
Bu Carsten menggeleng.
"Pelayan yang membawa naik kopor Ibu langsung turun setelah meletakkan kopor di samping tempat tidur. Ia tidak membawa apa-apa ketika keluar dari kamar. Ibu kemudian membereskan barang-barang dan berganti pakaian. Setelah mengunci pintu, Ibu lalu turun untuk menemui kalian."
"Apakah Ibu yakin telah mengunci pintu kamar?"
"Ya. Waktu Ibu kembali ke kamar, pintunya maih dalam keadaan terkunci. Ibu benar-benar tidak mengerti bagaimana map itu bisa hilang."
Berbagai pikiran melintas di kepala Sporty, Semua membentuk suatu gambaran yang sangat jelas mengenai kejadian itu.
"Map itu tidak mungkin menguap begitu saja,"
Kata Sporty dengan nada datar.
"Berarti seseorang telah masuk ke kamar ini. Orang itu memiliki kunci cadangan, Dompet Ibu masih ada?"
"Masih. Ibu membawanya sewaktu menemui kalian di restoran, Tidak ada yang hilang selain map itu."
"Tetapi untuk apa pencurinya mengambil map itu? Dokumen-dokumen yang terdapat di dalam map itu tidak akan berguna baginya, bukan?"
Bu Carsten menundukkan kepala.
Dengan kedua belah tangan ia menutupi wajahnya.
Sporty menyadari bahwa ibunya sedang menangis.
Rasanya ini pertama kalinya ia melihat ibunya menangis setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, Langsung ia merangkul ibunya kembali dan mencoba menghiburnya.
Dengan tangan kiri Sporty mengeluarkan sapu tangan dari saku celana, lalu berusaha untuk mengeringkan air mata yang membasahi pipi ibunya.
Wanita itu mencoba tersenyum.
Tapi air matanya masih saja mengalir.
Sporty kebingungan.
Ia tahu bawa ibunya biasanya tidak mudah menangis.
"Dokumen-dokumen di dalam map itu sangat penting, Peter,"
Ibu Sporty berkata dengan terbata-bata.
"Untuk orang luar memang tidak ada gunanya. Tetapi kertas-kertas itu sangat berarti bagi Ibu. Dan bagi perusahaan tempat Ibu bekerja. Dokumen-dokumen itu berisi rencana pengembangan di masa mendatang. Bapak Direktur tidak berani mengirimkan dokumen-dokumen itu melalui pos. Risikonya terlalu besar katanya. Kemudian ia memberi kepercayaan pada ibu untuk mengantarkan dokumen-dokumen ke kantor cabang di Salzburg. Kalau ternyata map itu hilang, maka... mungkin saja Ibu dipecat."
"Tapi kejadian ini kan bukan salah ibu,"
Ujar Sporty cepat-cepat. Ibu kan tidak tahu bahwa map itu akan dicuri di sini!"
Anak itu tidak sampai hati melihat ibunya berurai air mata.
"Persoalannya tidak semudah itu, Peter. Orang-orang di kantor Ibu tidak tahu bahwa Ibu mampir di sini utuk mengunjungimu. Hal itu sebenarnya tidak dilarang. Dan ongkos hotelnya juga Ibu tanggung sendiri. Tetapl bukan itu masalahnya. Apakah kau sudah pernah mendengar istilah mata-mata industri? Istilah itu merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia perusahaan tertentu. Sering kali mereka menggunakan cara yng tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mungkin kau tahu bahwa perusahaan-perusahaan besar mempunyai pengetahuan khusus di berbagai bidang, bidang pemasaran atau manajemen misalnya. Pengetahuan itu bersifat rahasia, karena justru pengetahuan itulah yang menyebabkan mereka dapat menang melawan saingan mereka. Di sinilah mata-mata industri berperan. Mereka mencari informasi mengenai rahasia-rahasia itu, lalu menjual informasi itu pada perusahaan saingan. Dengan hilangnya map berisi dokumen-dokumen itu, mungkin saja Pak Direktur menyangka bahwa Ibu telah memberikan dokumen-dokumen itu pada salah satu perusahaan saingan."
"Maksudnya, lbu bisa dituduh melakukan keglatan mata-mata?"
Tanya Sporty seakan-akan tidak percaya.
"Mungkin tidak segawat itu,"
Jawab ibunya.
"Tetapi situasinya amat tidak menguntungkan buat Ibu."
Sporty terdiam.
Secara tidak sadar ia mengepalan tangan.
Ia tahu persis apa latar belakang pencurian map itu.
Bukan ibunya yang hendak dirugikan.
Pencuri itu sebenarnya bermaksud memberi pelajaran pada Sporty.
Pada Sporty dan teman-temannya.
Rupaya itulah sebabnya si Hidung Bengkok datang ke hotel itu, Rupanya Detlef Egge mendengar perkataan ibu mengenai dokumen-dokumen itu ketika ia berdiri samping kios majalah di stasiun kereta api tadi.
Kemudian pemuda itu memberitahukan halltu pada Si Hidung Bengkok, yang lalu mencuri map berii dokumen itu.
Dasar penjahat! Tetapi untuk apa Ia melakukan pencurian itu? Itu juga sudah jelas.
Detlef Egge merasa terancam.
Ia membutuhkan sesuatu yang dapat memaksa Sporty dan teman-temannya.
untuk tidak menceritakan apa yang mereka ketahui pada polisi Barang itu kini telah diperolehnya.
Si Hidung Bengkok yang mengantarkan barang itu pada Detlef.
Semuanya salahku, pikir Sporty, Akulah yang menyebabkan kesulitan yang dialami Ibu sekarang.
Sial! Apa yang akan kulakukan sekarang? Apakah sebaiknya aku menceritakan apa yang telah terjadi pada Ibu? Tapi jangan, itu hanya akan menambah bebannya.
Ia pasti akan langsung menghubungi polisi, dan dengan demikian urusannya akan bertambah rumit.
Bukti-bukti saja aku tidak punya! Dan menggeledah rumah Detlef juga tidak ada gunanya, soalnya obat bius dan map berisi dokumen-dokumen itu pasti ia sembunyikan di tempat lain.
Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Pendekar Pedang Matahari Iblis Bukit Setan Shugyosa Samurai Pengembara III