Ceritasilat Novel Online

Kekayaan Yang Menyesatkan 3


Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 3



"Tapi uangnya tidak banyak."

   "Edward memuakkan, Micky menakutkanku, dan Tonio punyamu."

   "Jadi, tinggal Solly."

   "Entahlah."

   "Kalau kaubiarkan dia lolos, seumur hidup kau cuma akan menyusuri Piccadilly dan berpikir, 'Mestinya aku bisa tinggal di rumah itu sekarang."' "Ya, barangkali aku akan begitu."

   "Lalu, kalau bukan Solly, siapa? Paling-paling nanti kau kawin dengan pedagang kelontong setengah umur berbadan kecil yang menjengkelkan, yang membuatmu selalu kekurangan uang dan berharap kau akan mencuci sendiri sepraimu."

   Maisie masih termenung memikirkan prospek itu tatkala mereka sampai di ujung barat Piccadilly dan berbelok ke utara, ke Mayfair.

   Barangkali ia bisa membujuk Solly untuk mengawininya, kalau ia benar-benar bertekad demikian.

   Tidak terlalu sulit baginya memainkan peran seorang wanita terhormat.

   Mula-mula, ia harus bisa bicara dengan gaya kalangan elite, dan ia pintar meniru.

   Namun menjebak Solly yang baik ke dalam suatu perkawinan tanpa cinta membuatnya muak.

   Ketika mengambil jalan pintas melalui sebuah lorong belakang, mereka melewati sebuah istal kuda yang sangat SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY besar.

   Maisie teringat nostalgia di sirkus dulu, dan berhenti untuk mengelus seekor kuda jantan berwarna cokelat kemerahan.

   Kuda itu dengan segera menyentuhkan hidung ke tangannya.

   Terdengar suara seorang laki-laki.

   "Redboy biasanya pantang disentuh orang yang asing baginya."

   Maisie berpaling dan melihat seorang lelaki setengah baya mengenakan jas hitam dengan rompi kuning.

   Setelan itu sangat berlawanan dengan wajahnya yang kasar dan cara bicaranya yang kurang berpendidikan.

   Maisie menduga lelaki itu dulu seorang pekerja istal kuda yang kini memulai bisnisnya sendiri dan usahanya berjalan lancar.

   Maisie tersenyum.

   "Kuda ini tidak keberatan saya sentuh, bukankah begitu, Redboy?"

   Katanya.

   "Tapi saya rasa Anda takkan sanggup menungganginya. Bagaimana, sanggupkah Anda?"

   "Menunggang kuda ini? Saya sanggup menungganginya tanpa pelana, juga berdiri tegak di punggungnya. Kuda ini milik Anda?"

   Lelaki itu mengangguk kecil dan berkata.

   "George Sammies, siap melayani Anda, Nona-nona; pemilik istal ini, seperti terpampang di situ."

   Ia menunjuk ke arah namanya yang tertulis di atas pintu. Maisie berujar.

   "Saya tidak sepantasnya menyombong, Mr. Sammies, tapi saya sudah empat tahun ikut rombongan sirkus, jadi mungkin saya bisa menunggangi apa saja yang ada di istal Anda."

   "Benar?"

   Ucapnya sungguh-sungguh.

   "Boleh juga."

   April menyelingi percakapan mereka.

   "Bagaimana menurut pikiran Anda, Mr. Sammies?"

   Laki-laki itu ragu-ragu.

   "Mungkin agak mendadak, tapi hati saya bertanya, apakah nona ini mungkin tertarik pada tawaran bisnis saya."

   Maisie bertanya-tanya, ada apa setelah ini. Semula ia menganggap percakapan itu tak lebih daripada gurauan tanpa maksud apa-apa.

   "Teruskan."

   April berkata secara sugestif.

   "Kami selalu berminat pada tawaran bisnis."

   Namun Maisie merasa Sammies tidak seperti yang dikira April.

   "Saya bermaksud menjual Redboy,"

   Kata laki-laki itu.

   "Tapi saya tak bisa menjualnya dengan mengurungnya di istal. Akan lebih memancing perhatian jika kuda itu dibawa mengelilingi taman selama lebih kurang satu jam oleh seorang nona cantik seperti Anda, maaf kalau saya lancang. Dengan demikian, ada kemungkinan cepat atau lambat seseorang akan bertanya pada Anda, berapa Anda ingin menjual kuda itu."

   Apakah ini akan menghasilkan uang, Maisie bertanya dalam hati. Apakah dengan menerima tawaran ini ia bisa membayar sewa rumah tanpa mesti menjual diri atau jiwanya? Namun ia tidak mengajukan pertanyaan yang ada dalam pikirannya. Ia hanya berkata.

   "Kemudian saya akan berkata pada orang itu, 'Mari kita temui Mr. Sammies di Curzon Mews, untuk menawar kuda tuanya ini'. Itukah maksud Anda?"

   "Pas sekali, tapi daripada menjuluki Redboy kuda tua, Anda boleh menyebutnya 'makhluk cantik ini', atau 'kuda jenis unggul ini', atau yang semacam itulah."

   "Mungkin,"

   Ucap Maisie, tapi memutuskan ia akan menggunakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata Sammies.

   "Sekarang kita kembali bicara bisnis."

   Ia tak bisa lagi berpura-pura bersikap tidak sungguh-sungguh tentang uang.

   "Berapa Anda akan membayar saya?"

   "Menurut Anda berapa mestinya?"

   Maisie menyebut suatu jumlah yang tidak wajar.

   "Satu pound sehari."

   "Terlalu tinggi,"

   Kata lelaki itu dengan sigap.

   "Saya akan membayar Anda separuhnya."

   Maisie hampir tak percaya pada nasib mujurnya. Sepuluh shilling sehari adalah gaji yang besar, gadis-gadis seusianya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga sudah beruntung kalau memperoleh satu shilling sehari. Jantungnya berdetak lebih cepat.

   "Jadi,"

   Ucapnya cepat, takut laki-laki itu berubah pikiran.

   "Kapan saya mulai?"

   "Masuklah besok, jam sepuluh tiga puluh."

   "Saya akan berada di sini."

   Mereka berjabatan tangan dan kedua gadis itu pergi. Sammies berkata padanya.

   "Jangan lupa, kenakan pakaian yang Anda pakai hari ini... menarik sekali."

   "Jangan khawatir,"

   Ucap Maisie.

   Memang hanya itulah pakaian miliknya.

   Namun tentu saja ia tidak mengatakan hal itu pada Sammies.

   [HI] KERAMAIAN LALU-LINTAS DI TAMAN KEPADA REDAKTUR THE TIMES Dengan hormat, Di Hyde Park akhir-akhir ini sekitar jam sebelas tiga puluh setiap pagi terlihat kemacetan kereta kuda, begitu parah sehingga kita tak bisa maju sampai satu jam.

   Telah banyak diajukan penjelasan; seperti, bahwa terlalu banyak penduduk dari pedalaman pergi ke kota untuk menikmati Masa Liburan; atau bahwa London sudah begitu makmur, sehingga bahkan para istri pengusaha memiliki kereta kuda dan menaikinya untuk berjalan-jalan di Taman; namun hal yang sesungguhnya belum disinggung.

   Kesalahannya terletak pada seorang wanita, yang namanya tidak diketahui, tapi oleh para pria dijuluki "Singa Betina", mengingat warna rambutnya yang kuning kecokelatan; makhluk memikat, berbusana indah, mengendalikan dengan mudah dan penuh semangat kuda-kuda yang bisa melumpuhkan lelaki; dan mengemudikan dengan sama mudahnya kereta yang ditarik oleh pasangan-pasangan kuda yang sangat serasi.

   Ketenaran kecantikannya dan keberaniannya berkuda begitu mengagumkan, sehingga semua penduduk London pindah ke Hyde Park pada jam tersebut ketika ia berada di situ; dan begitu mereka berada di situ, lalu lintas macet.

   Tidak bisakah Anda, yang tugasnya adalah mengetahui segala sesuatunya dan setiap orang, dan mungkin, karenanya, mengetahui identitas sebenarnya sang Singa Betina, membujuknya untuk menghentikan ulahnya sehingga taman kembali normal, hening seperti semestinya dan lalu lintasnya lancar? Hormat saya, PENGAMAT Surat itu pasti lelucon, pikir Hugh sambil meletakkan koran.

   Singa Betina itu memang benar ada ia mendengar ceritanya dari para karyawan Pilasters Bank yang —membicarakannya, namun ia bukanlah penyebab kemacetan lalu lintas.

   Meskipun demikian, ia jadi penasaran.

   Ia melemparkan pandang melalui jendela berlapis timah hitam Whitehaven House ke arah taman.

   Sekarang hari libur.

   Matahari bersinar dan sudah banyak orang berjalan-jalan dan naik kereta kuda.

   Hugh berpikir untuk pergi ke taman, dengan harapan bisa menyaksikan apa yang diributkan orang selama ini.

   Bibi Augusta juga mempunyai rencana untuk pergi ke taman.

   Keretanya diparkir di depan rumah.

   Kusirnya mengenakan wig dan pelayan berseragam siap berkuda di belakang.

   Augusta berkereta di taman pada jam seperti ini hampir setiap hari, sebagaimana dilakukan oleh semua wanita kelas atas dan para lelaki yang berleha-leha.

   Kata mereka, itu dilakukan untuk menghirup udara segar dan berolah raga, namun yang lebih penting lagi, SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY taman ini merupakan tempat untuk melihat dan dilihat.

   Penyebab kemacetan yang sebenarnya adalah mereka yang menghentikan kereta untuk bergosip, sehingga menghambat jalan.

   Hugh mendengar suara bibinya.

   Ia bangkit meninggalkan meja makan dan masuk ke ruang utama.

   Seperti biasa, Bibi Augusta berbusana indah.

   Hari ini ia mengenakan gaun ungu dengan baju atas ketat dan hiasan renda-renda di bawahnya.

   Tapi topinya tidak serasi.

   topi jerami miniatur, tak lebih dari tiga inci melintang, bertengger di atas tatanan rambut di bagian depan.

   Ini merupakan mode mutakhir, dan pada gadis cantik topi itu memang tampak menarik; namun Augusta sama sekali tidak cantik, dan di kepalanya topi itu tampak janggal.

   Ia tidak sering melakukan kesalahan semacam itu; kalau itu terjadi, penyebabnya karena ia terlalu setia mengikuti mode.

   Ia sedang berbicara dengan Paman Joseph.

   Seperti biasa, Paman sering tampak kesal kalau berbicara dengan Augusta.

   Ia berdiri di depan istrinya, setengah berpaling, sambil mengelus cambangnya yang lebat dengan tak sabar.

   Hugh bertanya dalam hati, adakah rasa cinta di antara mereka.

   Pasti ada, dulu sekali mungkin, karena mereka telah dikaruniai Edward dan Clementine.

   Mereka jarang menunjukkan kemesraan, namun kadang-kadang, menurut pendapat Hugh, Augusta melakukan sesuatu yang menunjukkan perhatian pada Joseph.

   Ya, menurut Hugh mungkin saja mereka masih saling mencintai.

   Augusta berbicara seakan-akan Hugh tidak ada di situ, yang memang merupakan kebiasaannya.

   "Seluruh keluarga khawatir,"

   Wanita itu berkata sengit, seolah-olah Paman Joseph menyiratkan hal yang sebaliknya.

   "Mungkin akan timbul skandal."

   "Tapi situasi itu apa pun yang mungkin terjadi telah berlangsung bertahun-— —tahun, dan tak seorang pun menganggapnya skandal."

   "Sebab Samuel bukan Mitra Senior. Orang biasa dapat melakukan banyak hal tanpa menarik perhatian. Tapi Mitra Senior Pilasters Bank adalah pemuka masyarakat."

   "Tapi masalahnya mungkin tidak mendesak. Paman Seth masih hidup dan sehat, entah sampai kapan."

   "Aku tahu itu,"

   Ujar Augusta, kentara sekali nada frustrasi dalam suaranya.

   "Aku kadang-kadang berharap..."

   Ia berhenti sebelum terlalu banyak membeberkan dirinya.

   "Cepat atau lambat dia akan menyerahkan kendali. Mungkin terjadi besok. Sepupumu Samuel tak bisa berpura-pura bahwa tak ada yang mesti dikhawatirkan."

   "Barangkali,"

   Kata Joseph.

   "Tapi kalau dia tetap saja berpura-pura begitu, aku tak yakin apa yang bisa kita lakukan."

   "Seth mungkin harus diberitahu mengenai hal itu."

   Hugh bertanya dalam hati, sampai di mana pengetahuan Old Seth tentang kehidupan anaknya. Di hatinya mungkin ia tahu hal yang sebenarnya, namun mungkin tak pernah mengakuinya, terhadap dirinya sekalipun. Joseph tampak cemas.

   "Jangan sampai terjadi."

   "Memang sayang sekali,"

   Ucap Augusta dengan kemunafikan yang kentara.

   "Tapi kau harus membuat Samuel mengerti, kalau dia tidak mengalah, ayahnya harus dipanggil, dan bila itu terjadi, Seth akan segera mengetahui semua fakta mengenai dirinya."

   Hugh tak dapat menahan kekagumannya akan kelicikan dan kekejian wanita itu.

   Augusta ingin menyampaikan pesan pada Samuel.

   Pecatlah sekretarismu, atau kami akan memaksa ayahmu menghadapi realitas bahwa putranya kawin dengan seorang laki-laki.

   Sebenarnya wanita itu sama sekali tak peduli tentang Samuel dan sekretarisnya.

   Ia cuma ingin membuat Samuel tak bisa menjadi Mitra Senior, sehingga baju kebesaran itu akan jatuh pada suaminya.

   Keji sekali, dan Hugh bertanya dalam hati, apakah Joseph mengerti sepenuhnya apa yang dilakukan Augusta.

   Kini Joseph berkata dengan cemas.

   "Aku harus menyelesaikan masalah ini tanpa tindakan yang drastis."

   Augusta merendahkan suaranya menjadi gumaman bernada akrab. Ketika melakukan ini, sikapnya jelas tidak tulus, pikir Hugh, seperti seekor naga yang mencoba mengembik.

   "Aku yakin sekali kau bisa melakukan hal itu,"

   Katanya. Ia tersenyum memelas.

   "Kau mau naik kereta denganku hari ini? Aku sangat ingin kau menemaniku."

   Suaminya menggelengkan kepala.

   "Aku harus pergi ke bank."

   "Sayang sekali, terkungkung dalam kantor berdebu pada hari seindah ini."

   "Ada kepanikan di Bologna."

   Hugh jadi penasaran. Semenjak terjadinya "Krach"

   Ambruknya bursa saham Wina, — —sudah beberapa bank ditutup dan perusahaan yang dilikuidasi di berbagai bagian Eropa, tapi ini merupakan "kepanikan"

   Pertama.

   Sampai sejauh ini, London lolos dari dampak negatifnya.

   Pada bulan Juni, tingkat suku bunga di London, termometer dunia keuangan, telah naik tujuh persen belum bisa dikatakan —sehat dan sekarang telah turun menjadi enam persen.

   Meskipun demikian, mungkin —hari ini agak memanas kembali.

   Augusta berkata.

   "Aku percaya kepanikan itu tak akan mempengaruhi kita."

   "Selama kita berjaga-jaga, tidak akan,"

   Ucap Joseph.

   "Tapi ini hari libur. Tak ada orang di bank yang akan membuatkan teh untukmu!"

   "Kurasa aku bisa bertahan setengah hari tanpa minum teh."

   "Aku akan menyuruh Sara ke sana dalam waktu satu jam. Dia telah membuat kue ceri kesukaanmu. Dia akan membawakanmu sedikit dan membuatkan teh untukmu "

   Hugh melihat kesempatan.

   "Boleh saya ikut, Paman? Paman mungkin memerlukan karyawan administrasi."

   Joseph menggelengkan kepala.

   "Aku tidak membutuhkanmu."

   Augusta berkata.

   "Kau mungkin membutuhkan bantuannya, Sayang."

   Hugh berkata sambil tersenyum.

   "Atau mungkin Paman membutuhkan nasihat saya."

   Joseph tidak menanggapi gurauan itu.

   "Aku cuma mau membaca telegram dan memutuskan apa yang harus dilakukan bila bursa buka lagi besok pagi."

   Dengan tolol Hugh bersikeras.

   "Tapi saya tetap ingin ikut ke bank karena —tertarik saja."

   Salah sekali jika coba-coba menentang Joseph.

   "Sudah kukatakan aku tidak membutuhkanmu,"

   Katanya kesal.

   "Pergilah ke taman dengan bibimu, dia memerlukan pendamping."

   Ia mengenakan topinya dan pergi. Augusta berkata.

   "Kau memang ada bakat untuk menjengkelkan orang, Hugh. Padahal itu tak perlu. Ambil topimu, aku siap pergi."

   Hugh sebenarnya tidak ingin naik kereta dengan Augusta, namun pamannya telah memerintahkannya demikian, dan ia ingin melihat si Singa Betina, karenanya ia tidak mendebatnya.

   Putri Augusta.

   Clementine, muncul, sudah berpakaian untuk bepergian.

   Hugh suka bermain dengan sepupunya ketika mereka masih kecil, dan Clementine selalu menjadi tukang lapor.

   Pada usia tujuh tahun, Clementine meminta Hugh memperlihatkan "itu"-nya, kemudian menceritakan pada ibunya apa yang telah dilakukan Hugh; akibatnya Hugh dihukum.

   Kini dalam usianya yang dua puluh tahun, Clementine mirip ibunya, tapi kalau Augusta suka menggurui, maka Clementine licik.

   Mereka semua pergi ke luar.

   Pelayan berseragam mengantar mereka ke kereta.

   Sebuah kereta baru yang dicat warna biru cerah dan ditarik oleh sepasang kuda abu-abu cantik yang telah dikebiri kereta kuda yang pantas untuk istri seorang —bankir besar.

   Augusta dan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Clementine duduk menghadap ke depan, dan Hugh duduk menghadap mereka.

   Atap kereta dibuka karena mentari bersinar terang, tapi para wanita itu membuka payung mereka.

   Kusir mengentakkan cemetinya dan mereka berangkat.

   Tak lama kemudian, mereka sudah berada di South Carriage Drive.

   Tempat ini penuh sesak sebagaimana dikatakan oleh pengirim surat ke koran The Times.

   Ada beratus-ratus ekor kuda yang ditunggangi oleh para pria bertopi tinggi dan wanita berpelana samping; berpuluh-puluh kereta kuda berbagai tipe, terbuka dan tertutup, dua dan empat roda; ditambah dengan anak-anak yang menunggang kuda poni, pasangan-pasangan yang berjalan kaki, para pengasuh bayi yang mendorong kereta bayi, dan mereka yang menuntun anjing.

   Kereta-kereta kuda itu berkilau karena catnya masih baru, kuda-kudanya disikat dan disisir, para prianya mengenakan pakaian pagi lengkap dan wanitanya mengenakan semua warna cemerlang yang dapat dihasilkan oleh cat kimia yang baru.

   Setiap orang bergerak perlahan-lahan, agar lebih nyaman mengamati kuda dan kereta, busana dan topi.

   Augusta bercakap-cakap dengan putrinya, dan percakapan mereka tidak memerlukan dukungan dari Hugh selain sesekali tanda mengiakan.

   "Itu Lady St. Ann dengan topi Dolly Varden!"

   Clementine berseru.

   "Topi itu sudah tidak mode lagi setahun yang lalu,"

   Ujar Augusta.

   "Ya, ya,"

   Gumam Hugh.

   Sebuah kereta lain berhenti di samping, dan Hugh melihat bibinya, Madeleine Hartshorn.

   Seandainya wanita itu memiliki cambang, ia persis kakaknya, Joseph, pikir Hugh.

   Ia merupakan sekutu Augusta yang paling akrab.

   Bersama-sama mereka mengendalikan kehidupan sosial keluarga.

   Augusta merupakan tenaga pendorong, dan Madeleine pengikutnya yang setia.

   Kedua kereta kuda itu berhenti, dan kedua wanita itu bertukar salam.

   Mereka merintangi jalan, dan dua atau tiga kereta berhenti di belakang mereka.

   Augusta berkata.

   "Pindahlah ke kereta kami, Madeleine, aku ingin bicara denganmu."

   Pelayan Madeleine membantunya turun dari keretanya sendiri dan masuk ke dalam kereta Augusta, lalu kereta mereka bergerak kembali.

   "Mereka mengancam akan menceritakan pada Old Seth tentang sekretaris Samuel,"

   Kata Augusta.

   "Oh, tidak!"

   Suara Madeleine meninggi.

   "Mereka tidak boleh melakukannya!"

   "Aku sudah bicara pada Joseph, tapi mereka tak bisa dicegah,"

   Sambung Augusta. Nada kecemasannya yang tulus membuat Hugh terenyak. Bagaimana ia melakukan ini? Mungkin ia meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang dikatakannya pada saat kapan pun, itulah kebenarannya.

   "Aku akan bicara pada George,"

   Kata Madeleine.

   "Bisa-bisa Paman Seth yang sangat kita sayangi terkejut sekali."

   Sambil lalu Hugh mempertimbangkan untuk melaporkan percakapan mereka pada Paman Joseph.

   Tentu Joseph akan terkejut mengetahui dirinya dan mitra-mitra lainnya dimanipulasi oleh istri-istri mereka.

   Tapi mereka tidak akan percaya pada Hugh.

   Ia bukan orang penting; itulah sebabnya Augusta tidak peduli apa yang dikatakannya di depan pemuda itu.

   Kereta mereka bergerak lambat, nyaris berhenti.

   Beberapa kuda dan kereta tertahan di depan.

   Augusta berkata kesal.

   "Ada apa?"

   "Pasti Singa Betina itu,"

   Ucap Clementine bersemangat. Hugh mengamati kerumunan itu dengan penuh rasa ingin tahu, namun tak bisa melihat penyebab kemacetan itu. Ada beberapa kereta bermacam jenis, sembilan atau sepuluh ekor kuda. dan beberapa pejalan kaki. Augusta berkata.

   "Apa sebenarnya Singa Betina itu?"

   "Oh, Ibu, orang ramai membicarakannya!"

   Ketika kereta Augusta mendekat, sebuah kereta kuda model victoria yang kecil dan sangat elok muncul dari kerumunan manusia dan kendaraan, ditarik oleh sepasang kuda poni yang melangkah tinggi dengan sais seorang wanita.

   "Si Singa Betina!"

   Clementine berseru.

   Hugh memandang wanita yang mengemudikan kereta itu dan terkesima setelah mengenalinya.

   Wanita itu adalah Maisie Robinson.

   Ia mengentakkan cemeti dan kedua kuda poninya berlari semakin kencang.

   Gadis itu mengenakan kostum wol warna cokelat dengan rumbai-rumbai sutra; sebuah dasi berwarna jamur dengan ikat model kupu-kupu melekat di lehernya.

   Di kepalanya bertengger sebuah topi kecil penuh gaya, dengan pinggiran berbentuk ikal.

   Rasa marah Hugh terhadapnya timbul lagi karena ucapannya dulu mengenai ayahnya.

   Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang keuangan dan tak punya hak menuduh orang tidak jujur dengan seenaknya.

   Namun ia tak kuat melawan pikiran bahwa gadis itu cantik sekali.

   Ada daya pikat yang tak bisa dilawan pada sosoknya yang kecil dan rapi di tempat duduk sais, pada letak topinya yang miring, bahkan pada caranya memegang pecut dan mengguncang tali kekang.

   Ternyata si Singa Betina adalah Maisie Robinson! Tapi bagaimana mungkin ia memiliki kuda dan kereta? Apakah ia baru menerima warisan? Apa yang diincarnya? Sementara Hugh masih terpukau, terjadi kecelakaan.

   Seekor kuda jenis unggul yang sedang gugup berlari dan melewati kereta Augusta dikejutkan oleh salakan seekor anjing terrier kecil.

   Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya dan pengendaranya jatuh ke jalan, persis di depan kereta yang dikendarai Maisie.

   Dengan cepat gadis itu mengubah arah, memperlihat^ kan kemahirannya yang mengesankan dalam menguasai kendaraannya, dan berhenti melintang jalan.

   Karena berusaha menghindari tabrakan, keretanya jadi berada tepat di depan kuda-kuda Augusta; kusirnya menarik tali kekang dan mengeluarkan sumpah serapah Gadis itu menghentikan keretanya dengan tiba-tiba.

   Semua orang menatap pengendara kuda yang terlempar itu.

   Ia tampaknya tidak mengalami cedera.

   Ia bangkit tanpa dibantu, mengibaskan-ngibaskan debu dari tubuhnya, dan melangkah untuk menangkap kudanya sambil mengutuk.

   Maisie mengenali Hugh.

   "Hugh Pilaster, kau rupanya!"

   Teriaknya. Wajah Hugh memerah.

   "Selamat pagi,"

   Ujarnya, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

   Hugh segera sadar bahwa dia telah melakukan pelanggaran tata krama yang serius.

   Ia tidak sepatutnya menunjukkan bahwa ia kenal dengan Maisie sementara ia bersama kedua bibinya, karena tak mungkin ia mengenalkan orang seperti itu pada mereka.

   Hugh seharusnya tidak mengacuhkannya.

   Meskipun demikian, Maisie tidak mencoba menyapa wanita-wanita itu.

   "Senangkah kau dengan kuda-kuda poni ini?"

   Tanyanya. Gadis itu kelihatannya telah melupakan pertengkaran mereka. Hugh benar-benar serba salah oleh gadis cantik yang mengherankan ini, oleh kemahirannya mengendarai kereta, dan sikapnya yang berani.

   "Kuda-kuda itu indah sekali,"

   Kata Hugh tanpa memandang kedua hewan itu.

   "Kuda-kuda ini mau dijual."

   Bibi Augusta berkata dingin.

   "Hugh, katakan pada orang ini kita mau lewat!"

   Maisie memandang Augusta untuk pertama kali.

   "Diam kau, cerewet tua,"

   Katanya santai.

   Clementine terenyak dan Bibi Madeleine menjerit kaget.

   Hugh ternganga.

   Busana Maisie yang indah dan keretanya yang mahal membuat orang mudah lupa bahwa gadis itu adalah anak dari daerah pemukiman kumuh.

   Kata-katanya begitu kasar, hingga sejenak Augusta terkesima tak mampu menjawab.

   Tak seorang pun berani bicara seperti itu padanya.

   Maisie tidak memberi kesempatan bagi Augusta untuk pulih.

   Sambil berpaling pada Hugh, ia berkata.

   "Katakan pada sepupumu Edward bahwa dia harus membeli kuda-kuda poniku!"

   Kemudian ia melecutkan cemetinya dan keretanya menjauh. Meledaklah kemarahan Augusta.

   "Lancang benar kau, mengeksposku pada orang seperti itu!"

   Ucapnya murka.

   "Berani sekali kau melepaskan topimu untuk memberi hormat padanya!"

   Hugh menatap Maisie, memperhatikan punggungnya yang rapi dan topinya yang penuh gaya pergi menjauh, semakin mengecil sepanjang jalan itu. Bibi Madeleine menimpali.

   "Bagaimana kau sampai kenal dia, Hugh?"

   Ujarnya.

   "Pemuda keturunan baik-baik tidak akan kenal wanita seperti itu! Dan kelihatannya kau malah telah mengenalkannya pada Edward!"

   Edward-lah yang telah mengenalkan Maisie pada Hugh, namun Hugh tak ingin mencoba menimpakan kesalahan kepada orang lain. Walau bagaimanapun, mereka tak akan mempercayainya.

   "Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengannya,"

   Kata Hugh. Clementine penasaran.

   "Di mana kau bertemu dia?"

   "Di suatu tempat, namanya Argyll Rooms."

   Augusta merengut pada Clementine dan ujarnya.

   "Aku tak mau tahu hal-hal seperti itu. Hugh, katakan pada Baxter, kita pulang."

   Hugh berkata.

   "Saya ingin jalan-jalan sebentar."

   Ia membuka pintu kereta.

   "Kau pasti mengincar wanita itu!"

   Ucap Augusta.

   "Tidak akan kubiarkan!"

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Jalanlah, Baxter,"

   Kata Hugh sambil melangkah turun.

   Kusir kereta mengguncang tali kekang, roda kereta berputar, dan Hugh melepaskan topinya ketika kedua bibinya yang marah dibawa pergi oleh kereta itu.

   Ia belum tahu akhir kejadian ini.

   Akan ada kesulitan lagi nanti.

   Paman Joseph akan diberitahu, dan segera semua mitra akan tahu bahwa Hugh bergaul dengan wanita rendahan.

   Tapi ini hari libur, mentari bersinar, taman penuh sesak dengan orang-orang yang bersenang-senang, dan Hugh sanggup menghilangkan rasa cemasnya akan kemarahan bibinya hari ini.

   Ia merasa senang ketika melangkah menyusuri jalan setapak.

   Ia menuju ke arah berlawanan dengan yang diambil Maisie.

   Orang-orang mengendarai kereta kuda berputar-putar, karenanya mungkin saja ia bertemu lagi dengan gadis itu.

   Ia ingin bicara lebih jauh padanya.

   Ia ingin menjelaskan duduk perkaranya mengenai ayahnya.

   Cukup aneh juga bahwa ia tidak marah lagi padanya sehubungan dengan ucapannya itu.

   Gadis itu cuma salah paham, pikirnya, dan ia akan mengerti kalau hal itu diterangkan padanya.

   Walau bagaimanapun, sekadar berbicara sudah cukup menggairahkan.

   Hugh sampai di Hyde Park Corner dan membelok ke utara, menyusuri Park Lane.

   Ia melepaskan topinya pada banyak kerabat dan kenalan.

   Young William dan Beatrice yang menaiki kereta kuda model brougham.

   Paman Samuel yang menunggang kuda betina cokelat kemerahan, Mr.

   Mulberry dengan istri dan anak-anaknya.

   Maisie mungkin berhenti di ujung sana, atau mungkin telah pergi kini.

   Hugh mulai merasa ia takkan bertemu lagi dengan gadis itu.

   Tapi ternyata mereka bertemu lagi.

   Gadis itu baru saja beranjak menyeberangi Park Lane.

   Tak salah lagi, itu pasti dia, yang mengenakan dasi sutra berwarna jamur.

   Gadis itu tidak melihat Hugh.

   Mendadak Hugh mengikutinya menyeberangi jalan, membelok ke Mayfair, dan menyusuri sebuah lorong belakang sambil berlari agar tidak tertinggal.

   Gadis itu menghentikan keretanya hingga ke suatu istal dan meloncat turun.

   Seorang pengurus kuda keluar dan menolongnya menangani kuda-kuda itu.

   Hugh mendekati gadis itu dengan napas terengah-engah.

   Ia bertanya-tanya, mengapa ia melakukan ini.

   "Halo, Miss Robinson,"

   Ucapnya.

   "Halo!"

   "Aku mengikutimu,"

   Katanya, meski ia tak perlu menyampaikan hal itu. Gadis itu melemparkan pandangan terus terang.

   "Mengapa?"

   Tanpa berpikir, kata-katanya terloncat dari mulutnya;

   "Maukah kau pergi denganku suatu malam, kapan-kapan?"

   Gadis itu memalingkan kepalanya ke satu sisi dan agak cemberut, mempertimbangkan tawaran Hugh.

   Ekspresinya ramah, seolah-olah ia menyukai gagasan itu, dan Hugh mengira ia akan menerimanya.

   Namun kelihatannya ada pertimbangan lain yang membuatnya tidak segera mengiyakan.

   Gadis itu memalingkan wajah darinya, dahinya berkerut sedikit; kemudian ia tampak membulatkan pikirannya.

   "Kau takkan sanggup mengajakku,"

   Katanya dengan pasti; ia membalikkan punggung dan melangkah memasuki istal.

   [IV] Peternakan Cammel Cape Colony Afrika Selatan 14 Juli 1873 Hugh yang baik, Senang sekali menerima kabar darimu! Kami agak terkucil di sini, dan kau tak bisa membayangkan kegembiraan yang kami dapatkan dari sepucuk surat panjang berisi berita ringan dari kampung halaman.

   Mrs.

   Cammel, yang dulunya adalah Yang Mulia Amelia Clapham hingga dia kawin denganku, khususnya senang sekali membaca ceritamu tentang Singa Betina.

   Aku tahu aku agak terlambat menyampaikan hal ini, tapi aku sangat terkejut mendengar berita kematian ayahmu.

   Anak sekolah tidak biasa menulis ucapan belasungkawa.

   Dan tragedimu agak tersisih karena Peter Middleton mati tenggelam pada hari itu juga.

   Tapi percayalah padaku, sebagian besar dari kami memikirkan dan membicarakanmu setelah kau dibawa pergi dengan tiba-tiba oleh ibumu dari sekolah....

   Aku gembira kau menanyakan Peter.

   Aku merasa berdosa sejak hari itu.

   Aku sebenarnya tidak melihat anak malang itu meninggal, tapi aku cukup lama menyaksikan kejadian itu, dan karenanya bisa menduga kelanjutannya.

   Sepupumu Edward, sebagaimana kaugambarkan dengan jelas sekali, lebih busuk daripada bangkai kucing.

   Kau berhasil mendapatkan sebagian besar pakaianmu dari air dan melarikan diri, tapi Peter dan Tonio tidak segesit itu.

   Aku berada di seberang, dan kurasa Edward dan Micky bahkan tidak memperhatikanku.

   Atau mungkin mereka tidak mengenalku.

   Pokoknya, mereka tak pernah berbicara padaku tentang insiden itu.

   Setelah kau pergi, perlakuan Edward terhadap Peter semakin menjadi-jadi.

   Dia membenamkan kepala Peter ke dalam air dan mencipratkan air ke mukanya.

   sementara anak malang itu berusaha dengan susah payah mendapatkan kembali pakaiannya.

   Aku mengerti keadaan tak terkendali lagi, namun aku benar-benar pengecut.

   Aku seharusnya menolong Peter, tapi tubuhku kalah besar dibanding mereka, tentu saja bukan tandingan Edward dan Micky Miranda, dan aku juga tak ingin pakaianku basah.

   Apakah kau ingat hukuman kalau kita melanggar batas kawasan sekolah? Dua belas kali didera dengan Striper, namun aku tidak berkeberatan mengaku bahwa aku lebih takut pada itu ketimbang yang lainnya.

   Kusambar pakaianku dan menyelinap tanpa menarik perhatian.

   Aku menoleh ke belakang sekali, dari tepi tambang batu dan pasir.

   Aku tidak tahu apa yang terjadi sementara itu, tapi Tonio menaiki tebing dalam keadaan telanjang dan menyambar seikat pakaian basah.

   Edward berenang menyeberangi kolam mengejarnya, meninggalkan Peter yang megap-megap kehabisan napas di tengah kolam.

   Kupikir Peter tidak apa-apa, tapi ternyata aku keliru.

   Dia pasti kehabisan tenaga.

   Sementara Edward mengejar Tonio, dan Micky menyaksikan mereka, Peter mati lemas tanpa ada seorang pun yang memperhatikannya.

   Tentu saja aku tidak tahu hingga beberapa lama kemudian.

   Aku kembali ke sekolah dan menyelinap ke kamarku.

   Pada waktu guru-guru mulai mengajukan pertanyaan, aku bersumpah aku tidak ke mana-mana siang itu.

   Ketika cerita menakutkan itu mulai mencuat, aku tak pernah berani mengaku bahwa aku melihat apa yang telah terjadi.

   Bukan cerita yang layak dibanggakan.

   Hugh.

   Tapi menceritakan hal sebenarnya akhirnya membuatku merasa lebih lega....

   Hugh meletakkan surat Albert Cammel dan menatap ke SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY luar jendela kamar tidurnya.

   Surat itu sedikit banyak menerangkan apa yang dibayangkan Cammel.

   Surat itu menerangkan betapa jauhnya Micky Miranda telah merasuki keluarga Pilaster, sampai-sampai ia melewatkan setiap masa liburan bersama Edward dan semua pengeluarannya ditanggung oleh orangtua Edward.

   Tidak disangsikan lagi, Micky telah bercerita pada Augusta bahwa Edward sebenarnya telah menghabisi nyawa Peter.

   Namun di pengadilan, Micky berkata Edward telah mencoba menyelamatkan anak yang tenggelam itu.

   Dan dengan menyampaikan kisah bohong, Micky telah menyelamatkan keluarga Pilaster dari aib yang diketahui oleh masyarakat luas.

   Augusta sangat berterima kasih dan barangkali juga takut —kalau-kalau suatu hari Micky nanti berbalik menentang mereka dan membeberkan hal sebenarnya.

   Hugh merasa agak takut mengetahui hal ini.

   Albert Cammel tanpa sadar telah mengungkapkan bahwa hubungan Augusta dengan Micky sangat dalam, jahat, dan korup.

   Namun masih ada suatu teka-teki.

   Sebab Hugh mengetahui sesuatu tentang Peter Middleton yang hampir tidak diketahui orang lain.

   Peter memiliki fisik lemah dan semua anak laki-laki memperlakukannya sebagai anak lemah.

   Karena malu dengan keadaannya, ia menjalani suatu pelatihan, dan latihan utamanya adalah berenang.

   Ia berenang menyeberangi kolam itu jam demi jam, mencoba membina fisiknya.

   Usahanya tidak berhasil.

   seorang anak tiga belas tahun takkan bisa memiliki bahu bidang dan dada kekar, kecuali setelah tumbuh menjadi lelaki dewasa, dan proses itu tak bisa dipaksakan.

   Satu-satunya hasil yang diperolehnya adalah ia jadi seperti ikan dalam air.

   Ia sanggup menyelam ke dasar kolam, menahan napas selama beberapa menit, mengapung dengan punggungnya, dan membuka matanya di dalam air.

   Diperlukan lebih dari sekadar Edward Pilaster untuk membuatnya mati lemas.

   Lalu mengapa ia tewas? Hugh yakin Albert Cammel telah menceritakan yang sebenarnya, sepanjang pengetahuannya.

   Namun pasti ada hal-hal lain.

   Sesuatu yang lain telah terjadi di siang yang panas terik itu di Bishop's Wood.

   Seorang perenang yang tidak pandai mungkin bisa terbunuh secara tak sengaja, mati lemas karena tak sanggup menahan hantaman Edward yang bertubi-tubi.

   Tapi bergelut secara biasa-biasa saja tak mungkin sampai menewaskan Peter.

   Dan kalau tidak sengaja, berarti kematiannya pasti direncanakan.

   Dan itu berarti pembunuhan.

   Hugh merinding.

   Hanya ada tiga orang di tempat kejadian.

   Edward, Micky, dan Peter.

   Peter pasti telah dibunuh oleh Edward atau Micky.

   Atau oleh keduanya.

   [VI AUGUSTA sudah mulai bosan dengan perabot Jepang miliknya.

   Ruang duduk itu penuh dengan penyekat ruangan dari belahan dunia timun perabot berlekuk dengan kaki kecil, kipas dan pot bunga Jepang dalam lemari berpernis hitam.

   Semuanya mahal, namun tiruannya yang lebih murah sudah muncul di toko-toko di Oxford Street, dan penampilannya tidak lagi eksklusif, khususnya bagi rumah semewah milik Augusta.

   Malangnya Joseph tidak membolehkan dilakukan dekorasi ulang begitu cepat, jadi Augusta harus puas dengan perabot yang semakin umum selama beberapa tahun.

   Ruang duduk merupakan tempat Augusta mengadakan pertemuan pada acara minum teh setiap hari kerja.

   Para wanita biasanya hadir lebih dulu.

   ipar-iparnya, Madeleine dan Beatrice, dan putrinya Clementine.

   Para mitra biasanya datang dari bank sekitar jam lima.

   Joseph, Old Seth, suami Madeleine, George Hartshorn, dan sekali-sekali Samuel.

   Jika bisnis sedang sepi, putra-putra mereka hadir juga.

   Edward, Hugh, dan Young William.

   Satu-satunya tamu tetap yang bukan anggota keluarga dan pada acara minum teh adalah Micky Miranda, tapi adakalanya mereka menerima kunjungan seorang pendeta Methodist, mungkin seorang misionaris yang tengah mencari dana untuk melakukan kegiatan agama di Laut Selatan, Malaya, atau Jepang yang baru saja dikembangkan.

   Augusta berusaha keras agar para anggota keluarga rajin menghadiri pertemuan.

   Semua anggota keluarga Pilaster suka makanan yang manis-manis, jadi ia menyediakan kue-kue enak dan teh terbaik dari Assam dan Sailan.

   Rencana untuk acara-acara besar seperti liburan keluarga dan perkawinan disusun selama pertemuan seperti ini, sehingga siapa pun yang tidak hadir, pasti tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di lingkungan keluarga.

   Meskipun demikian, kadang-kadang salah satu anggota keluarga merasa ingin melepaskan diri dari semacam keharusan menghadiri pertemuan.

   Contoh terbaru adalah istri Young William, Beatrice, kurang-lebih setahun yang silam, setelah Augusta agak bersikeras memasalahkan bahan pakaian pilihan Beatrice yang tidak sesuai dengan selera Augusta.

   Bila terjadi hal seperti ini, Augusta biasanya membiarkan mereka sebentar, kemudian kembali mengambil hati mereka dengan kedermawanannya.

   Dalam kasus Beatrice, Augusta mengadakan pesta mahal untuk merayakan ulang tahun ibu Beatrice yang sudah tua, nyaris pikun, dan hampir-hampir tak bisa dibawa tampil di hadapan para tamu.

   Beatrice merasa bersyukur untuk ini.

   Ia segera melupakan soal bahan pakaian itu, persis seperti keinginan Augusta.

   Dalam acara-acara minum teh ini Augusta jadi tahu apa yang terjadi dalam lingkungan keluarga dan Pilasters Bank.

   Kini ia sedang mencemaskan Old Seth.

   Dengan hati-hati ia mengarahkan para anggota keluarga untuk menerima gagasan bahwa Samuel tak mungkin menjadi Mitra Senior berikutnya, namun Seth tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengundurkan diri, kendati kesehatannya semakin memburuk.

   Augusta kesal sekali karena rencananya yang sudah matang jadi tak menentu oleh kegigihan seorang laki-laki tua.

   Pada akhir bulan Juli, London kian lengang.

   Kaum aristokrat pergi ke luar kota pada waktu ini; mereka sedang dalam perjalanan ke kapal pesiar mereka di Cowes atau pondok perburuan di Skotlandia.

   Mereka biasa tinggal di pedalaman, membantai burung, berburu rubah dan rusa hingga sesudah hari Natal.

   Antara Februari dan Paskah mereka mulai balik, dan pada bulan Mei Musim London ramai kembali.

   Keluarga Pilaster tidak mengikuti kebiasaan ini.

   Kendati jauh lebih kaya ketimbang sebagian besar kaum aristokrat tersebut, mereka adalah usahawan dan tidak mempunyai pikiran untuk bermalas-malasan selama setengah tahun membantai satwa yang tak berdaya di hutan-hutan pedalaman Skotlandia.

   Meskipun demikian, para mitra biasanya dapat dibujuk untuk berlibur pada bulan Agustus selama hampir sebulan penuh, asal tidak terjadi gejolak dalam dunia perbankan.

   Pada tahun ini, selama musim panas keluarga Pilas* ter ragu untuk berlibur, karena ada badai yang berkecamuk mengancam pusat-pusat keuangan Eropa; namun keadaan yang paling buruk tampaknya sudah berlalu, tingkat Suku Bunga Bank turun menjadi tiga persen, dan Augusta telah menyewa sebuah puri kecil di Skotlandia.

   Ia dan Madeleine merencanakan berangkat dalam waktu kurang-lebih satu minggu, dan para pria akan menyusul satu atau dua hari kemudian.

   Beberapa menit menjelang jam empat, tatkala ia berdiri di ruang duduk, kecewa pada perabotnya dan sikap keras kepala Old Seth, Samuel melangkah masuk.

   Seluruh anggota keluarga Pilaster berwajah buruk, namun Samuel-lah yang paling jelek, pikir Augusta.

   Hidungnya besar, tapi mulutnya lemah seperti mulut perempuan, dan giginya tidak rata.

   Lelaki ini cerewet/ necis, teliti sekali akan kebersihan makanannya, sayang kucing dan benci anjing.

   Tapi yang membuat Augusta tidak menyukainya adalah dari semua lelaki dalam keluarga, ia paling sulit dibujuk.

   Augusta dengan daya tariknya sanggup mempengaruhi Old Seth yang lemah terhadap wanita memikat, kendati usianya sudah lanjut; Augusta mampu menangani Joseph dengan mengikis kesabarannya; George Hartshorn takluk pada Madeleine dan karenanya bisa dipengaruhi secara tidak langsung; yang lainnya masih muda dan dapat diintimidasi, meski Hugh kadang-kadang menyulitkannya.

   Samuel tak mempan terhadap apa pun...

   khususnya daya tarik kewanitaan Augusta.

   Sangat menjengkelkan caranya menertawakan Augusta ketika wanita itu merasa telah menunjukkan sikap pintar tak kentara.

   Samuel memberikan kesan bahwa wanita ini tak perlu ditanggapi dengan serius, dan hal itu sangat melukai perasaan Augusta.

   Ia jauh lebih tersinggung karena sikap Samuel yang diam-diam mencemooh, ketimbang dijuluki wanita tua oleh seorang wanita murahan di taman.

   Meskipun demikian, hari ini Samuel tidak menyunggingkan senyumnya yang menyiratkan keraguan.

   Ia tampak marah, begitu marah, hingga sesaat Augusta merasa waswas.

   Lelaki ini jelas datang lebih awal dengan maksud menemuinya ketika ia sendirian.

   Terlintas dalam benak Augusta bahwa selama dua bulan ia telah berkom-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY plot untuk menjatuhkan Samuel, padahal membunuh orang hanya perlu waktu singkat.

   Samuel tidak menjabat tangannya, tapi berdiri di depannya dalam setelan abu-abu mutiara dan dasi merah anggur, sosoknya menguarkan semerbak cologne.

   Augusta mengangkat tangannya dalam sikap defensif.

   Samuel mengeluarkan tawa hambar dan menjauh.

   "Aku tidak bermaksud memukulmu, Augusta,"

   Ujarnya.

   "Meskipun Tuhan tahu kau layak dicambuk."

   Tentu saja ia tak akan menyentuh Augusta. Samuel seorang yang lemah lembut, yang menolak mendanai ekspor senapan. Rasa percaya diri Augusta pulih seketika dan ia berkata dengan penuh penghinaan.

   "Berani sekali kau mengritikku!"

   "Mengritik?"

   Ucap lelaki itu amarah kembali terpancar di matanya.

   "Aku tak akan merendahkan diri untuk mengritikmu."

   Ia diam sejenak, kemudian berbicara kembali dengan terkendali.

   "Aku sama sekali tidak menghormatimu."

   Augusta tak bisa diintimidasi untuk kedua kali.

   "Apakah kau datang ke sini untuk memberitahukan bahwa kau bersedia menghentikan cara hidupmu yang keji?"

   Ujarnya dengan suara melengking.

   "Cara hidupku yang keji?"

   Ulang Samuel.

   "Kau bersedia menghancurkan kebahagiaan ayahku dan menyengsarakan hidupku, semua demi ambisimu, tapi kau masih bisa bicara tentang cara hidup-/.Å¥ yang keji! Kurasa kau sudah begitu keji, sampai-sampai kau lupa apakah kekejian itu."

   Ia begitu yakin dan bernafsu, sehingga Augusta bertanya dalam hati, mungkinkah dirinya benar-benar keji telah mengancam Samuel. Kemudian ia sadar bahwa lelaki ini mencoba menggoyahkan tekadnya dengan mengeksploitasi simpatinya.

   "Aku cuma prihatin memikirkan nasib bank keluarga kita,"

   Katanya dingin.

   "Itukah dalihmu? Itukah yang akan kaukatakan pada Tuhan yang Maha Kuasa pada hari kiamat, bila Tuhan menanyaimu mengapa kau memerasku?"

   Tanya Samuel sengit.

   "Aku hanya melakukan kewajibanku."

   Kini Augusta mampu mengendalikan diri dan hatinya bertanya-tanya mengapa lelaki ini datang ke sini.

   Apakah untuk menerima kekalahan...

   atau untuk menentangnya? Seandainya lelaki ini mengalah, Augusta bisa memastikan dirinya akan menjadi istri Mitra Senior.

   Namun alternatif tersebut membuatnya ingin menggigit kukunya.

   Kalau lelaki ini menentangnya, Augusta harus berjuang dengan susah payah dan lama, tanpa kepastian akan hasilnya.

   Samuel melangkah ke jendela dan melihat ke taman.

   "Aku ingat ketika kau masih seorang gadis mungil yang cantik,"

   Ujarnya merenung. Augusta menggerutu tak sabar.

   "Kau biasa pergi ke gereja mengenakan gaun putih dengan pita putih di rambutmu,"

   Ia melanjutkan.

   "Pita itu tak bisa membodohi orang. Kau bahkan sudah sok mengatur ketika itu. Dulu orang-orang biasa berjalan-jalan di taman setelah acara kebaktian, dan anak-anak lain takut padamu, tapi mereka bermain denganmu karena kau mengatur permainan itu. Kau bahkan meneror orangtuamu. Kalau keinginanmu tidak dipenuhi, kau mengamuk berteriak-teriak, sehingga orang menghentikan kereta mereka untuk mengetahui apa yang terjadi. Air muka ayahmu, semoga arwahnya beristirahat dalam kedamaian, menunjukkan bahwa dia selalu memikirkanmu. Dia tak bisa mengerti, bagaimana dia telah menghadirkan setan seperti dirimu ke dunia ini."

   Apa yang dikatakan Samuel memang mendekati kenyataan, dan hal itu membuat Augusta tidak nyaman.

   "Itu semua terjadi puluhan tahun yang lalu,"

   Ujarnya sambil memalingkan wajah. Samuel meneruskan ucapannya, seolah-olah wanita itu tidak berbicara.

   "Bukan untuk kepentinganku aku cemas. Aku ingin menjadi Mitra Senior, tapi aku bisa hidup tanpa'jabatan itu. Aku mampu menjadi Mitra Senior yang baik; mungkin tidak sedinamis ayahku, tapi lebih merupakan pekerja tim. Namun Joseph tidak memenuhi syarat untuk memegang jabatan itu. Temperamennya buruk dan tindakannya juga tidak dipikirkan dengan matang. Dia tak mampu mengambil keputusan yang tepat, dan ulahmu membuat keadaan semakin parah. Kau mengipas-ngipasi ambisinya dan mengaburkan visinya. Dia memang bagus dalam kelompok, karena * yang lain bisa membimbingnya dan mengerem tindakannya yang salah. Tapi dia tak bisa menjadi pemimpin, penilaiannya tidak cukup bagus. Dalam jangka panjang, dia akan merugikan bank keluarga kita. Apa kau tidak memedulikan hal itu?"

   Selama sesaat Augusta bertanya dalam hati, apakah lelaki ini benar.

   Apakah dirinya akan membahayakan kelangsungan hidup bank keluarga? Namun bank itu memiliki cadangan uang begitu banyak, sehingga mereka tak mungkin menghabiskan semuanya, walaupun mereka tidak bekerja lagi.

   Walau bagaimanapun, tidak masuk akal beranggapan bahwa Joseph tidak tepat bagi kelangsungan hidup bank.

   Tugas para wanita tidak terlalu sulit.

   Mereka masuk kerja, membaca nibrik keuangan di koran, meminjamkan uang, dan mengumpulkan bunganya.

   Joseph sanggup melakukan semua itu sama baiknya dengan mereka.

   "Kalian kaum lelaki selalu berpura-pura bahwa seluk-beluk bank itu rumit dan misterius,"

   Kata Augusta.

   "Tapi kau tak bisa mengelabui-ku."

   La sadar bahwa ia berada dalam posisi bertahan.

   "Aku membenarkan diriku di-hadapan Tuhan, bukan di hadapanmu,"

   Katanya lagi.

   "Apakah kau benar-benar akan mendatangi ayahku seperti ancamanmu?"

   Tanya Samuel.

   "Kau tahu itu bisa membunuhnya."

   Wanita itu ragu hanya sesaat.

   "Tak ada pilihan lain,"

   Katanya tegas. Lelaki itu lama memandangnya.

   "Kau setan betina, aku percaya kau akan melakukannya,"

   Ujarnya.

   Augusta menahan napas.

   Apakah lelaki ini akan mengalah? Wanita itu merasa kemenangan hampir berada dalam genggamannya, dan dalam khayalannya ia mendengar seseorang berkata penuh hormat.

   Perkenankan saya memperkenalkan Mrs.

   Joseph Pilaster, istri Mitra Senior Pilasters Bank....

   Lelaki itu bimbang, kemudian berbicara dengan nada penuh ketidaksenangan.

   "Baiklah. Akan kukatakan pada yang lain bahwa aku tak ingin menjadi Mitra Senior bila nanti ayahku mengundurkan diri."

   Augusta menahan senyum kemenangannya. Ia telah meraih kemenangan. Ia berpaling untuk menyembunyikan luapan kegembiraannya.

   "Nikmatilah kemenanganmu,"

   Kata Samuel dengan getir.

   "Tapi ingat, Augusta, kita semua punya rahasia, bahkan kau juga. Suatu hari nanti seseorang akan menggunakan rahasiamu untuk mencelakakanmu dengan cara seperti ini, dan kau akan ingat apa yang pernah kau lakukan terhadapku."

   Augusta merasa heran. Apa maksudnya? Tanpa alasan apa pun, pikiran tentan Micky Miranda terlintas dalam benaknya, namun ia menyisihkan hal itu.

   "Aku tidak punya rahasia yang memalukanku,"

   Ujarnya.

   "Tidak punya?"

   "Tidak!"

   Tantangnya, namun keyakinan Samuel mencemaskannya. Samuel melemparkan pandangan aneh.

   "Seorang pengacara muda bernama David Middleton menemuiku kemarin."

   Sejenak Augusta tidak mengerti.

   "Haruskah aku mengenalnya?"

   Nama itu tak asing dan hal ini menggelisahkannya.

   "Kau pernah bertemu dengannya, tujuh tahun yang lalu, dalam suatu penyidikan."

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Sekonyong-konyong Augusta merasa dingin. Middleton. nama anak yang mati lemas itu. Samuel berkata.

   "David Middleton yakin saudaranya dibunuh... oleh Edward."

   Augusta ingin sekali duduk, namun, pantang baginya membiarkan Samuel melihatnya tak bisa menguasai diri.

   "Mengapa dia mencoba menimbulkan kesulitan sekarang, setelah tujuh tahun berlalu?"

   "Dia berkata padaku bahwa dia tak puas dengan penyidikan itu, tapi dia diam karena takut hal itu malah menambah penderitaan orangtuanya. Tapi ibunya meninggal tak lama kemudian, menyusul Peter, dan ayahnya meninggal tahun ini."

   "Mengapa dia mendekatimu, bukan aku?"

   "Dia anggota klubku. Dia telah membaca ulang arsip penyidikan, dan katanya ada beberapa saksi mata yang tak pernah dipanggil untuk memberikan bukti."

   Pasti ada, pikir Augusta cemas.

   Salah seorang adalah Hugh Pilaster yang nakal; seorang pemuda Amerika Latin bernama Tony, atau kurang-lebih begitulah namanya; dan ada orang ketiga yang belum pernah diidentifikasi.

   Kalau David Middleton bisa menghubungi salah seorang dari mereka, seluruh cerita akan muncul, ke permukaan.

   Samuel tampak merenung.

   "Dari sudut pandangmu, sayang sekali penyidik sebab kematian mengeluarkan pendapat tentang heroisme Edward. Hal itu membuat orang curiga. Mereka lebih percaya kalau dikatakan Edward berdiri bimbang di tepi kolam, sementara seorang anak sekarat di air. Tapi setiap orang yang pernah mengenalnya tahu betul bahwa dia takkan menyeberangi jalan untuk menolong seseorang, apalagi menyelam ke dalam kolam untuk menyelamatkan temannya yang tenggelam."

   Percakapan ini benar-benar tak masuk akal, juga merupakan penghinaan.

   "Berani benar kau,"

   Ujar Augusta, namun ia tak mampu memulihkan nada berwibawanya yang biasa. Samuel tidak mengacuhkannya.

   "Teman-teman sekolahnya tidak percaya sama sekali. David bersekolah di situ juga beberapa tahun sebelumnya, dan dia banyak kenal dengan murid-murid yang lebih senior. Setelah berbicara dengan mereka, dia semakin curiga."

   "Semua gagasan itu tidak masuk akal."

   "Middleton orang yang tidak mudah puas, seperti semua pengacara,"

   Kata Samuel tanpa memedulikan protesnya.

   "Dia takkan mendiamkan hal ini."

   "Dia sama sekali tidak membuatku takut."

   "Bagus, karena aku yakin dia akan segera mengunjungimu."

   La melangkah ke pintu.

   "Aku berhalangan menghadiri acara minum teh. Selamat siang, Augusta."

   Augusta terenyak di salah satu sofa.

   Ia tidak mengantisipasi hal ini.

   Bagaimana bisa sampai demikian? Kemenangannya atas Samuel sirna.

   Persoalan lama itu mencuat lagi tujuh tahun kemudian, ketika ganjalan itu seharusnya sudah dilupakan sama sekali! Ia takut sekali akan apa yang mungkin terjadi atas Edward.

   Ia tidak tahan jika suatu bencana menimpa Edward.

   Ia memegangi kepalanya agar tidak lagi berdenyut keras.

   Apa yang bisa dilakukannya? Hastead, kepala pelayannya, masuk, diikuti oleh dua pelayan wanita yang membawa baki teh dan kue.

   "Permisi, Madam,"

   Katanya dengan aksen Welsh. Mata Hastead selalu memandang ke arah lain dan orang tak pernah yakin ke mana harus memusatkan perhatian. Pada awalnya hal ini mencemaskan, namun sekarang Augusta sudah terbiasa. Ia mengangguk.

   "Terima kasih, Madam,"

   Kata pelayan itu, dan mereka mulai menata perlengkapan makan-minum yang terbuat dari porselen.

   Kadang-kadang Augusta bisa terhibur oleh kelakuan Hastead yang penurut dan para pelayan yang mengerjakan perintahnya; tapi hari ini itu semua tak bisa meng-157 gugah perasaannya.

   Ia bangkit dan pergi ke jendela kaca yang terbuka.

   Taman yang bermandikan sinar mentari juga tak mampu menenangkan perasaannya.

   Bagaimana ia akan mencegah David Middleton? Ia sedang mencari jalan keluar ketika Micky Miranda tiba.

   Ia gembira melihat pemuda itu.

   Micky tampak menarik, seperti biasa, dengan mantel hitam dan celana bergaris-garis, kerah putih bersih di sekeliling lehernya, * dan dasi satin hitam.

   Ia melihat Augusta sedang gundah dan segera menunjukkan simpatinya.

   Ia melintasi ruangan dengan keanggunan dan kesigapan seekor kucing hutan, dan suaranya begitu lembut.

   "Mrs. Pilaster, apa yang merisaukan Anda?"

   Augusta bersyukur pemuda itu yang pertama datang. Digenggamnya lengan Micky.

   "Sesuatu yang.menakutkan telah terjadi."

   Tangan pemuda itu bertumpu di pinggang Augusta, seakan-akan mereka tengah berdansa, dan wanita itu merasakan getaran nikmat ketika jemari Micky menekan pinggulnya.

   "Jangan sedih,"

   Ujar pemuda itu menghibur.

   "Ceritakan pada saya."

   Ia merasa lebih tenang.

   Pada saat-saat seperti ini, ia sangat senang pada Micky.

   Hal ini mengingatkannya pada perasaannya terhadap Earl Strang yang muda itu, ketika ia masih seorang gadis.

   Micky sangat mengingatkannya pada Strang.

   gerakan tubuhnya yang anggun, sikapnya yang penuh perhatian, pakaiannya yang indah, dan terutama caranya bergerak, kelenturan dan mekanisme tubuhnya yang mulus.

   Strang berkulit cerah dan sangat Inggris, sedangkan Micky berkulit gelap dan orang Amerika Latin, namun keduanya mampu membuatnya merasa begitu feminin.

   Ia ingin menarik pemuda itu ke tubuhnya dan menyandarkan pipi ke bahunya....

   Ia melihat para pelayan menatapnya keheranan, dan menyadari bahwa agak tak patut Micky berdiri di situ dengan kedua tangan di pinggulnya, la melepaskan diri dari pemuda itu, memegang lengannya, dan menuntunnya melalui jendela kaca, menuju taman.

   Di situ percakapan mereka tidak akan terdengar oleh pelayan.

   Udara hangat dan lembut.

   Mereka duduk berdekatan di bangku kayu, di tempat yang rindang.

   Augusta memiringkan tubuh untuk memandang pemuda itu.

   Ia ingin sekali memegang tangannya, tapi itu tidak pantas.

   Pemuda itu berkata.

   "Aku melihat Samuel pergi. Apakah dia ada hubungannya dengan soal ini?"

   Augusta berbicara perlahan, dan Micky mendekatkan tubuh untuk mendengar ucapannya, demikian dekat hingga Augusta bisa menciumnya nyaris tanpa menggerakkan badan.

   "Dia datang untuk mengatakan padaku bahwa dia tidak mengincar jabatan Mitra Senior."

   "Berita bagus!"

   "Ya. Artinya jabatan itu pasti akan jatuh ke tangan suamiku."

   "Dan Papa bisa mendapatkan senapannya."

   "Begitu Seth mengundurkan diri."

   "Aku jengkel sekali melihat Old Seth bertahan hidup!"

   Seru Micky.

   "Papa terus-menerus menanyaiku, kapan si tua Seth meninggal."

   Augusta tahu mengapa Micky begitu cemas. ia takut ayahnya akan menyuruhnya pulang ke Kordoba.

   "Kurasa Seth tidak akan bertahan lebih lama lagi,"

   Ujar wanita itu menghiburnya. Micky memandang matanya.

   "Tapi bukan itu yang merisaukan Anda."

   "Bukan. Tapi soal anak yang mati tenggelam di sekolahmu Peter Middleton. Samuel—bercerita padaku bahwa kakaknya, David si pengacara, mulai mengajukan pertanyaan."

   Wajah Micky yang mulus menjadi gelap.

   "Sesudah sekian tahun ini?"

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ternyata dia sengaja berdiam diri demi kepentingan orangtuanya, tapi mereka sekarang telah meninggal."

   Micky merengut.

   "Seberapa besar masalah ini?"

   "Kau mungkin lebih tahu daripada aku."

   Augusta bimbang. Ada pertanyaan yang harus diajukannya, namun ia takut akan jawabannya. Ia mengencangkan sarafnya.

   "Micky, apakah menurutmu karena kesalahan Edward-lah anak muda itu mati?"

   "Ehm..."

   "Katakan ya atau tidak!"

   Perintahnya. Micky diam, kemudian akhirnya berkata.

   "Ya."

   Augusta memejamkan matanya. Teddy buah hatiku, pikirnya, mengapa kaulakukan ini? Micky berkata perlahan.

   "Peter tidak begitu pandai berenang. Edward tidak membuatnya mati lemas, tapi dia menguras tenaga anak itu. Peter masih hidup ketika Edward meninggalkannya untuk mengejar Tonio. Tapi aku percaya anak itu terlalu lemah untuk berenang ke tepi, dan dia mati lemas sementara tak seorang pun memperhatikannya."

   "Teddy tidak bermaksud membunuhya."

   "Tentu tidak."

   "Ini cuma canda kasar anak sekolah."

   "Edward tidak bermaksud mencelakakannya."

   "Jadi, itu bukan pembunuhan."

   "Kurasa itu pembunuhan,"

   Ucap Micky sungguh-sungguh, dan jantung Augusta seakan berhenti berdetak.

   "Jika seorang pencuri membanting seseorang ke tanah dengan maksud untuk merampoknya, tapi orang itu terkena serangan jantung dan meninggal, maka pencuri itu bersalah melakukan pembunuhan, meskipun dia tidak berniat membunuh."

   "Dari mana kau tahu ini?"

   "Aku menanyakan kepastiannya pada seorang pengacara, beberapa tahun yang lalu."

   "Mengapa?"

   "Aku ingin tahu posisi Edward."

   Augusta membenamkan wajah ke tangannya.

   Kejadian itu lebih buruk daripada yang dibayangkannya.

   Micky meraih tangan wanita itu, menjauhkannya dari wajahnya, dan menciumnya satu demi satu.

   Gerakannya begitu lembut, hingga Augusta ingin menangis.

   Sambil terus memegang tangan wanita itu, Micky berkata.

   "Orang yang berakal sehat takkan menghukum mati Edward karena sesuatu yang terjadi ketika dia masih kanak-kanak."

   "Tapi apakah David Middleton punya akal sehat?"

   Augusta menangis.

   "Barangkali tidak. Tampaknya dia telah memupuk obsesinya selama beberapa tahun ini. Semoga kekerasan hatinya tidak menuntunnya untuk membuka tabir tragedi di kolam itu."

   Augusta bergidik membayangkan segala akibatnya.

   Akan pecah skandal; koran sensasional akan berkoar.

   AHLI WARIS BANK RAHASIAKAN AIB; polisi akan datang; Teddy tersayang yang malang mungkin akan diadili; dan bagaimana kalau ia dinyatakan bersalah karena menyebabkan Peter mati tenggelam? "Micky, aku ngeri memikirkan ini!"

   Bisiknya.

   "Kalau begitu, kita harus melakukan sesuatu."

   Augusta meremas tangan pemuda itu, kemudian melepaskannya dan berpikir keras.

   Ia jadi sadar, betapa seriusnya problem ini.

   Ia telah melihat bayang-bayang tiang gantungan melingkari leher putranya satu-satunya.

   Bukan waktunya lagi menimbang-nimbang, harus segera diambil tindakan.

   Syukurlah Edward mempunyai teman sejati Micky.

   "Kita harus pastikan penyidikan David Middleton gagal. Berapa —orang yang mengetahui hal sebenarnya?"

   "Enam,"

   Kata Micky dengan segera.

   "Edward, Anda, dan aku jadi tiga orang, tapi kita tak akan mengatakan apa pun padanya. Lalu ada Hugh."

   "Dia tidak berada di sana ketika anak itu mati."

   "Memang tidak, tapi cukup banyak yang dilihatnya. Dia tahu bahwa apa yang kita ceritakan pada penyidik kematian itu bohong. Dan karena kita berbohong, kita akan kelihatan bersalah."

   "Kalau begitu, Hugh jadi masalah. Yang lainnya?"

   "Tonio Silva menyaksikan seluruh kejadian ini."

   "Dia tidak berkata apa-apa waktu itu."

   "Dia terlalu takut padaku waktu itu. Tapi aku tidak yakin dia masih takut sekarang."

   "Dan yang keenam?"

   "Kami tak pernah tahu siapa dia. Aku tidak melihat wajahnya waktu itu, dan dia tak pernah menghubungi pihak berwajib. Sayang sekali kita tak bisa berbuat apa-apa sehubungan dengan dia. Tapi jika tak ada yang tahu siapa dia, kukira dia tidak akan membahayakan kita."

   Augusta merasakan lagi getaran rasa takut, ia tidak yakin mengenai hal itu. Bahaya selalu ada bahwa saksi yang tak dikenal akan tampil. Namun Micky benar, mereka tak bisa berbuat apa-apa.

   "Kalau begitu, yang dua orang bisa kita tangani. Hugh dan Tonio."

   Mereka diam berpikir.

   Hugh tak bisa lagi dianggap gangguan kecil, pikir Augusta.

   Keuletannya membuatnya naik daun di bank keluarga itu, dan Teddy kelihatan lamban dibandingkan dia.

   Augusta berhasil menyabot percintaan antara Hugh dan Lady Florence Stalworthy.

   Namun kini Hugh merupakan ancaman bagi Teddy dengan cara yang jauh lebih berbahaya.

   Harus dilakukan sesuatu sehubungan dengan pemuda itu.

   Tapi apa? Ia salah seorang anggota keluarga Pilaster, meski nasibnya kurang beruntung.

   Augusta memeras otak, tapi tidak menemukan jalan keluarnya.

   Micky yang tengah berpikir keras berkata.

   "Tonio punya kelemahan."

   "Ya?"

   "Dia penjudi berat. Berani memasang taruhan lebih besar daripada kesanggupannya, dan kalah terus."

   "Barangkali kau bisa atur suatu permainan judi. Bagaimana?"

   "Barangkali."

   Terlintas dalam pikiran Augusta bahwa Micky mungkin tahu bagaimana menipu dalam permainan kartu. Namun, ia tak mungkin bisa memintanya; menyiratkan hal itu saja sudah merupakan penghinaan besar bagi lelaki mana pun. Micky berkata.

   "Mungkin perlu dana besar. Maukah Anda menyediakan uang kalau aku berjudi dengannya?"

   "Kau perlu berapa?"

   "Kurasa seratus pound."

   Augusta tidak ragu. Nyawa Teddy terancam.

   "Baik,"

   Ujarnya. Ia mendengar suara riuh di dalam rumah; tamu-tamu acara minum teh mulai berdatangan. Ia bangkit.

   "Aku tidak yakin bagaimana harus menangani Hugh,"

   Sambungnya cemas.

   "Aku harus benar-benar memikirkannya. Kita mesti ke dalam."

   Saudara iparnya, Madeleine, sudah berada di sana, dan mulai berbicara begitu mereka masuk.

   "Penjahit itu membuatku kehausan. Dua jam untuk mengepas baju. Aku ingin sekali minum secangkir teh... oh, dan kau masih punya kue almond yang lezat itu, kan? Aduh, cuacanya panas sekali, ya?"

   Augusta meremas tangan Micky penuh arti, dan duduk untuk menuangkan teh.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY BAB EMPAT Agustus LONDON panas dan lembap, penduduknya mendambakan udara segar dan lapangan-lapangan terbuka.

   Pada hari pertama bulan Agustus, semua orang pergi ke gelanggang pacuan kuda di Goodwood.

   Mereka bepergian dengan kereta api khusus dari Stasiun Victoria di selatan London.

   Berbagai kelas masyarakat Inggris tercermin jelas dalam tatanan transportasi penumpang.

   Masyarakat kelas atas menempati gerbong-gerbong mewah kelas satu dengan tempat duduk berlapis kulit, para pemilik toko dan guru sekolah memenuhi gerbong kelas dua yang cukup nyaman, para pekerja pabrik dan pelayan rumah duduk berdesakan di bangku-bangku kayu keras di gerbong kelas tiga.

   Turun dari kereta, golongan aristokrat meneruskan perjalanan dengan kereta kuda, kelas menengah naik bus yang ditarik oleh kuda, dan para pekerja berjalan kaki.

   Bekal piknik orang kaya telah dikirim dengan kereta sebelumnya.

   puluhan keranjang yang dibawa oleh para pelayan muda yang kekar, berisi barang pecah-belah dari porselen dan kain linen untuk alas, masakan ayam dan mentimun, sampanye dan buah persik yang dibudidayakan di rumah kaca.

   Bagi yang tidak begitu kaya ada kios-kios yang menjual sosis, kerang, dan bir.

   Mereka yang tak mampu, membawa bekal roti dan keju yang dibungkus dengan sapu tangan.

   Maisie Robinson dan April Tilsley pergi bersama Solly Greenbourne dan Tonio Silva.

   Kedudukan mereka dalam hierarki masyarakat menjadi kabur.

   Solly dan Tonio jelas termasuk kelas satu, tapi Maisie dan April seharusnya termasuk kelas tiga.

   Solly berkompromi dengan membeli tiket kelas dua, dan mereka naik bus yang ditarik oleh kuda dari stasiun melintasi Downs ke gelanggang pacuan.

   Meskipun demikian, Solly tidak mau makan makanan yang dibeli di kios, jadi ia telah menyuruh empat pelayannya pergi lebih dulu untuk mengangkut bekal berupa ikan salmon dingin dan anggur putih yang diberi es.

   Mereka menghamparkan alas meja seputih salju di tanah dan duduk mengitarinya di rumput tebal.

   Maisie menyuapi Solly sedikit demi sedikit.

   Gadis itu semakin menyukai Solly.

   Pemuda itu baik pada setiap orang, ceria, dan enak diajak bicara.

   Satu-satunya sifat buruknya adalah rakus.

   Maise masih belum membiarkan Solly melampiaskan kehendaknya, namun tampaknya semakin gigih gadis itu menampiknya, semakin mesra sikap pemuda itu terhadapnya.

   Pacuan kuda dimulai sesudah makan siang.

   Ada seorang pembantu bandar di dekat mereka, berdiri di atas sebuah kotak dan meneriakkan angka taruhan.

   Ia mengenakan pakaian manyala, dasi sutra yang berkibar-kibar, setangkai bunga besar di lubang kancingnya, dan topi putih.

   Ia membawa sebuah kantong kulit penuh uang yang disampirkan di bahunya dan berdiri di bawah spanduk bertulisan.

   "Wm. Tucker, the King's Head, Chichester". Tonio dan Solly bertaruh pada setiap pacuan. Maisie menjadi bosan. satu pacuan sama saja dengan pacuan lainnya kalau kita tidak bertaruh. April tak ingin beran -jak dari sisi Tonio, namun Maisie memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat. Kuda bukanlah satu-satunya daya tarik. Kawasan Downs di sekitar pacuan kuda penuh dengan tenda, kios, dan gerobak. Ada kios judi, pertunjukan makhluk aneh, dan orang gipsi berkulit gelap dengan ikat kepala berwarna cemerlang tengah meramal. Ada pula para penjual gin, sari apel, pie daging, jeruk, dan Alkitab. Suara organ putar dan kelompok pemusik saling ber-* saing, dan di antara kerumunan orang, para pemain sulap, pemain ketangkasan, dan akrobat menunjukkan kebolehan, berharap penonton akan memberi uang pada mereka. Ada anjing berjoget, orang kerdil, manusia berbadan besar, dan orang yang berjalan dengan galah. Suasana karnaval yang meriah itu sangat mengingatkan Maisie pada rombongan sirkusnya dulu. Ia jadi terkenang masa lalunya dan merasa agak menyesal telah meninggalkannya. Para penghibur berada di sini untuk menyedot uang dari masyarakat dengan cara apa pun yang dapat mereka lakukan, dan hati Maisie tergugah menyaksikan keberhasilan mereka. Ia tahu bahwa ia seharusnya mengambil lebih banyak dari Solly. Bodoh kalau mau begitu saja pergi dengan salah seorang terkaya di dunia dan tinggal terkungkung dalam satu kamar di kawasan Soho. Mestinya ia sudah mengenakan berlian dan busana bulu yang mahal, dan sudah memikirkan sebuah rumah kecil di pinggiran kota di St. John's Wood atau Clapham. Pekerjaannya menunggang kuda milik Sammies akan segera berakhir. Musim London hampir usai dan mereka yang mampu membeli kuda sudah mulai pergi ke pedalaman. Namun selama ini ia hanya mau menerima bunga dari Solly. Hal ini membuat April jengkel. Maisie melewati sebuah tenda besar. Di luar ada dua orang gadis berpakaian sebagai pembantu bandar dan seorang laki-laki bersetelan hitam yang berteriak.

   "Satu -satunya kepastian pacuan di Goodwood hari ini adalah datangnya Hari Kiamat! Percayalah pada Yesus, dan imbalannya adalah kehidupan kekal."

   Interior tenda tersebut tampak sejuk dan teduh, dan secara spontan Maisie masuk.

   Sebagian besar mereka yang duduk di bangku tampaknya telah menjadi pemeluk agama baru.

   Maisie mengambil tempat duduk dekat pintu keluar dan mengambil sebuah buku nyanyian.

   Ia bisa mengerti mengapa orang pergi ke kapel dan berkhotbah pada acara pacuan kuda.

   Hal ini membuat mereka merasa tergabung dalam sesuatu, merasa memiliki.

   Rasa memiliki adalah godaan sebenarnya yang ditawarkan Solly.

   bukan berlian dan busana bulu, tapi harapan akan menjadi wanita simpanan Solly Greenbourne, dengan tempat tinggal dan penghasilan tetap dan kedudukan sebagaimana mestinya.

   Bukan kedudukan terhormat, juga tidak permanen semua akan berakhir .

   begitu Solly —bosan padanya, namun semua itu jauh lebih baik daripada keadaannya saat ini.

   Para jemaat bangkit untuk menyanyikan sebuah himne.

   Himne tentang dimandikan dengan darah domba.

   Ini membuat Maisie merasa tak enak.

   la keluar.

   Ia melewati sebuah pertunjukan sandiwara boneka yang sedang mencapai klimaks.

   Tokoh boneka Mr.

   Punch dipukul dari satu sisi panggung kecil ke sisi satunya oleh istrinya yang menggenggam pentungan.

   Maisie mengamati kerumunan manusia itu dengan tatapan seorang ahli.

   Pertunjukan Punch dan Judy tidak akan memperoleh banyak uang jika diselenggarakan dengan jujur; sebagian besar penonton akan menyelinap pergi tanpa membayar, dan yang lainnya hanya akan membayar masing-masing setengah penny.

   Namun ada cara lain untuk menguras uang pelanggan.

   Setelah beberapa saat, ia melihat seorang anak di belakang tengah mencopet seorang lelaki bertopi tinggi.

   Setiap orang kecuali Maisie tengah menonton pertunjukan tersebut, dan tak seorang pun melihat tangan kecil yang kotor itu menyelinap ke dalam saku rompi lelaki itu.

   Maisie tidak berniat mencegahnya.

   Pemuda kaya dan tidak hati-hati layak kehilangan jam saku, dan maling yang berani pantas mendapatkan jarahannya, begitu pendapatnya.

   Namun ketika memperhatikan si korban dengan lebih saksama, ia mengenal rambut hitam dan mata biru Hugh Pilaster.

   Ia ingat April bercerita padanya bahwa Hugh tak punya uang.

   Ia tak sanggup menanggung beban kehilangan jam sakunya.

   Spontan Maisie memutuskan untuk menyelamatkannya dari kecerobohannya.

   Ia bergegas memutar ke belakang kerumunan manusia.

   Pencopet itu adalah seorang anak lelaki lusuh berambut cokelat kekuningan, berumur kurang-lebih sebelas tahun, persis usia Maisie ketika ia kabur dari rumah.

   Anak itu dengan perlahan sekali menarik rantai jam Hugh dari rompinya.

   Terdengar tawa riuh penonton pertunjukan, dan pada saat itulah si anak mengendap-endap kabur dengan menggenggam jam di tangannya.

   Maisie menyambar pergelangannya.

   Pencopet itu mengeluarkan teriakan kecil penuh ketakutan dan mencoba melepaskan diri, namun Maisie terlalu kuat baginya.

   "Berikan padaku dan aku takkan bilang apa-apa,"

   Katanya perlahan dengan suara tajam. Anak itu ragu sesaat. Maisie melihat rasa takut dan ketamakan bercampur di wajahnya yang kotor. Lalu dengan sikap pasrah ia menjatuhkan jam itu ke tanah.

   "Pergi sana. Curi jam orang lain saja,"

   Kata Maisie.

   Ia melepaskan tangan anak itu, yang menghilang seketika.

   Maisie memungut jam itu.

   Sebuah jam saku emas.

   Ia membuka penutupnya dan memeriksa jam berapa sekarang.

   sepuluh tiga puluh.

   Di bagian belakangnya ada tulisan grafir.

   SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tobias Pilaster dari istrimu tercinta Lydia 23 Mei 1851 Jam itu merupakan hadiah dari ibu Hugh kepada ayahnya.

   Maisie senang telah menyelamatkan benda ini.

   Ia menutupnya lagr dan menepuk pundak Hugh.

   -Pemuda itu berbalik, kesal karena ada yang mengalihkan perhatiannya dari hiburan itu; lalu mata birunya yang cemerlang terbelalak penuh keheranan.

   "Miss Robinson!"

   "Jam berapa sekarang?"

   Kata Maisie. Pemuda itu dengan sendirinya meraba-raba mencari jamnya. Ternyata sakunya kosong.

   "Lho..."

   Ia melihat ke sekeliling, seolah-olah mungkin saja jamnya jatuh.

   "Mudah-mudahan aku tidak..."

   Maisie mengacungkan jam itu.

   "Wow!"

   Serunya.

   "Bagaimana kau bisa menemukannya?"

   "Kulihat kau kecopetan, dan kuselamatkan jam ini."

   "Mana malingnya?"

   "Sudah kulepaskan. Cuma seorang anak laki-laki kecil."-"Tapi...."

   Ia terkesima.

   "Semula akan kubiarkan dia mengambil jam itu, tapi aku tahu kau takkan bisa beli lagi."

   "Kau bercanda."

   "Tidak. Dulu aku biasa mencuri, waktu masih anak-anak, kapan saja aku bisa lolos."

   "Menakutkan sekali."

   Maisie merasa jengkel lagi terhadapnya. Menurutnya pemuda itu mempunyai sikap merasa benar sendiri. Gadis itu berkata.

   "Aku ingat pemakaman ayahmu. Waktu itu udara dingin dan sedang hujan. Ayahmu meninggal dan masih punya utang pada ayahku... meski -pun demikian kau punya mantel pada hari itu, sedangkan aku tidak. Adilkah itu?"

   "Entahlah,"

   Ujar Hush dengan kejengkelan yang muncul tiba-tiba.

   "Aku baru berusia tiga belas tahun ketika ayahku jatuh bangkrut, apakah itu berarti aku harus berpura-pura tak acuh terhadap ketidakadilan dan kejahatan selama hidupku?"

   Maisie tersentak. Tidak sering laki-laki berbicara kasar padanya, dan dengan kejadian ini Hugh telah dua kali melakukannya. Namun ia tak mau lagi bertengkar dengan pemuda itu. Disentuhnya lengan Hugh.

   "Maaf,"

   Katanya.

   "Aku tidak bermaksud mengritik ayahmu. Aku cuma ingin kau mengerti mengapa seorang anak sampai mencuri."

   Sikap pemuda itu segera menjadi lunak.

   "Aku sendiri belum berterima kasih karena kau telah menyelamatkan jamku. Jam ini kado perkawinan ibuku untuk ayahku, jadi jauh lebih bernilai ketimbang harganya."

   "Dan anak itu akan mencari orang bodoh lain yang bisa dia copet."

   Pemuda itu tertawa.

   "Aku belum pernah bertemu dengan orang seperti kau!"

   Katanya.

   "Bagaimana kalau kita minum bir? Aku kepanasan."

   Justru itu yang diinginkan Maisie.

   "Ya, mari."

   Beberapa meter dari situ ada sebuah gerobak beroda empat yang berat, sarat dengan tong-tong besar.

   Hugh membeli dua pot bir keras yang hangat.

   Maisie menikmati birnya dengan satu tenggakan panjang, ia haus sekali.

   Rasanya lebih nikmat ketimbang anggur Prancis yang dibawa Solly.

   Pada gerobak itu ada tulisan dengan batu kapur dalam huruf besar yang kasar, bunyinya.

   YANG COBA-COBA MENCURI POT MINUMAN AKAN TAHU RASA AKIBATNYA.

   Air muka Hugh yang biasanya ceria tampak merenung dan setelah beberapa lama ia berkata.

   "Sadarkah kau bahwa kita berdua adalah korban bencana yang sarn,a?"

   Gadis itu tidak menyadarinya.

   "Maksudmu?"

   "Pada tahun 1866 terjadi krisis keuangan. Ketika krisis itu terjadi, perusahaan-perusahaan yang benar-benar jujur jatuh bangkrut... seperti pada waktu seekor kuda dalam satu tim jatuh dan menyeret yang lainnya bersamanya. Bisnis ayahku ambruk karena orang berutang kepadanya dan tidak membayar; dan dia begitu menderita, sampai-sampai dia mengakhiri hidupnya dan meninggalkan ibuku sebagai janda dan aku sebagai anak yatim dalam usia tiga belas tahun. Ayahmu tak bisa memberimu makan karena orang berutang kepadanya dan tak mampu membayar, dan kau kabur dari rumah dalam usia sebelas tahun."

   Maisie mengerti logika perkataan Hugh, namun hatinya takkan memperkenankannya untuk sependapat; ia sudah terlalu lama membenci Tobias Pilaster.

   "Itu tidak sama,"

   Ia mengajukan protes.

   "Kaum pekerja tidak mengendalikan semua ini. Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan. Boslah yang punya kuasa. Merekalah yang salah kalau keadaan tidak berjalan dengan semestinya." .Hugh tampak berpikir keras.

   "Entahlah, barangkali kau benar. Bos tentu memperoleh imbalan lebih besar. Tapi setidaknya aku yakin akan satu hal. apakah dia bos atau karyawan, anak-anak mereka tak bisa disalahkan."

   Maisie tersenyum.

   "Sulit dipercaya akhirnya kita sependapat tentang satu hal."

   Keduanya menghabiskan minuman mereka, mengembalikan tempat minuman, dan berjalan menuju komidi putar yang terdiri atas kuda-kuda kayu.

   "Mau naik?"

   Ucap Hugh. Maisie tersenyum.

   "Tidak."

   "Kau ke sini sendirian?"

   "Tidak, aku dengan... teman-teman."

   Karena suatu alasan, ia tak ingin pemuda itu tahu ia diajak ke sini oleh Solly.

   "Dan kau? Kau ke sini dengan bibimu yang seram itu?"

   Hugh merengut.

   "Tidak. Pengikut Methodist tidak suka dengan pacuan. Dia akan murka kalau ia tahu aku berada di sini."

   "Apakah dia menyukaimu?"

   "Sama sekali tidak."

   "Lalu mengapa dia membolehkanmu tinggal bersamanya?"

   "Dia suka kalau orang tak lepas dari penglihatannya, sehingga dia bisa mengawasi mereka."

   "Apakah dia mengawasimu?' "Dia mencoba mengawasiku."

   Hugh tersenyum.

   "Kadang-kadang aku lolos."

   "Pasti sulit hidup bersamanya."

   "Aku tak sanggup hidup dengan penghasilanku sendiri. Aku harus sabar dan bekerja keras di bank milik keluarga. Akhirnya aku akan naik pangkat, kemudian bisa mandiri."

   Ia tersenyum lagi.

   "Kemudian aku akan menyuruhnya diam seperti yang kaulakukan."

   "Kuharap kau tidak menghadapi kesulitan karena aku."

   "Memang aku dalam kesulitan, tapi aku senang bisa melihat ekspresi wajahnya waktu itu. Pada saat itulah aku mulai menyukaimu."

   "Itukah sebabnya kau mengajakku makan malam?"

   "Ya. Mengapa kau menolak?"

   "Karena April bilang kau tak punya satu penny pun atas namamu."

   "Uangku cukup untuk membeli dua iris daging dan puding buah plum."

   "Bagaimana seorang gadis bisa menolak ajakan itu?"

   Kata Maisie mengejek. Hugh tertawa.

   "Mari kita pergi malam ini. Kita ke Cremorne Garden dan berdansa."

   Maisie tergoda, tapi ia memikirkan Solly dan merasa berdosa. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tidak, terima kasih."

   "Mengapa tidak?"

   Maisie menanyai dirinya dengan pertanyaan serupa.

   Ia tidak mencintai Solly dan tidak mengambil uangnya; mengapa ia mencadangkan dirinya untuk pemuda itu? Aku berusia delapan belas tahun, pikirya, dan kalau aku tak bisa pergi berdansa dengan seorang pemuda yang kusukai, untuk apa aku hidup? "Baiklah."

   "Kau bersedia?"

   "Ya."

   Hugh tersenyum. Gadis itu telah membuatnya bahagia.

   "Apakah aku harus menjemputnmu?"

   Maisie tak ingin Hugh melihat kawasan kumuh Soho tempat ia tinggal satu kamar dengan April.

   "Tidak usah, kita bertemu di suatu tempat."

   "Baiklah. Kita akan pergi ke dermaga Westminster dan naik kapal ke Chelsea."

   "Ya."

   Ia merasa lebih bergairah daripada yang dirasakannya selama beberapa bulan ini.

   "Jam berapa?"

   "Jam delapan?"

   Maisie berhitung dengan cepat.

   Solly dan Tonio ingin tinggal hingga pacuan terakhir, kemudian mereka harus naik kereta api kembali ke London.

   Ia akan mengucapkan selamat tinggal pada Solly di Stasiun Victoria dan berjalan ke Westminster.

   Rasanya ia sanggup melakukannya.

   "Tapi kalau aku terlambat, kau mau menunggu?"

   "Semalaman, jika perlu."

   Memikirkan Solly membuatnya merasa berdosa.

   "Lebih baik aku kembali kepada teman-temanku sekarang."

   "Akan kuantar kau,"

   Kata Hugh dengan bergairah. Maisie tidak menginginkan hal itu.

   "Sebaiknya tidak."

   "Baiklah, terserah kau."

   Maisie mengeluarkan tangan dan mereka berjabatan. Aneh rasanya begitu formal.

   "Sampai nanti malam,"

   Ujarnya.

   "Aku akan berada di sana."

   Maisie berjalan pergi.

   Ia merasa pemuda itu memperhatikannya.

   Mengapa kulakukan itu? pikirnya.

   Apakah aku ingin pergi dengannya? Apakah aku benar-benar menyukainya? Pertama kali bertemu, kami bertengkar hingga pesta kami bubar, dan hari ini ia siap bertengkar lagi kalau tidak kuajak berbaikan.

   Kami sebenarnya tidak serasi.

   Kami takkan bisa berdansa bersama.

   Mungkin aku tidak jadi pergi.

   Tapi mata birunya indah.

   Ia bertekad tidak akan memikirkan hal itu lagi.

   Ia telah setuju untuk bertemu dengan Hugh dan akan menepatinya.

   Ia mungkin akan menikmatinya dan mungkin juga tidak, namun tak ada gunanya menyusahkan diri sebelumnya.

   Ia harus mencari-cari alasan untuk meninggalkan Solly.

   Pemuda itu menantinya untuk membawanya makan malam.

   Tapi Solly tak pernah menanyainya selalu menerima—dalihnya, betapa pun tidak masuk akalnya.

   Tapi Maisie akan mencoba mencari alasan yang meyakinkan, karena ia merasa tak enak meyalahgunakan sifat Solly yang tak mudah marah.

   Teman-temannya belum beranjak dari tempat ia meninggalkan mereka tadi.

   Mereka menghabiskan sepanjang siang itu antara pagar pacuan dan pembantu bandar yang berpakaian khusus.

   April dan Tonio tampak ceria dan penuh kemenangan.

   Begitu melihat Maisie, April berkata.

   "Kami menang seratus sepuluh pound. Hebat bukan?"

   Maisie gembira atas kemujuran April memperoleh uang sebesar itu tanpa susah —payah.

   Ketika ia sedang mengucapkan selamat pada mereka, muncul Micky Miranda, berjalan santai dengan kedua ibu jari di saku rompinya yang kelabu.

   Maisie tidak merasa heran melihat pemuda itu; setiap orang pergi ke Goodwood.

   Kendati Micky sangat tampan, Maisie tidak menyukai -nya.

   Pemuda itu mengingatkannya pada kepala arena sirkus yang menganggap setiap wanita pasti bangga diajaknya bercinta, dan tersinggung sekali jika dirinya ditolak.

   Micky, seperti biasa, diikuti oleh Edward.

   Maisie ingin tahu latar belakang hubungan mereka.

   Kedua orang itu sangat berbeda.

   Micky ramping, necis, penuh percaya diri; Edward bertubuh besar, canggung, egois, dan tamak.

   Mengapa mereka demikian akrab? Namun sebagian besar orang tertarik pada Micky.

   Tonio memandangnya dengan rasa hormat yang dalam bercampur takut, bagaikan seekor anak anjing terhadap tuannya yang bengis.

   Di belakang mereka ada seorang laki-laki yang lebih tua dan seorang wanita muda.

   Micky memperkenalkan lelaki itu sebagai ayahnya.

   Maisie mengamatinya dengan penuh minat.

   Ia sama sekali tidak mirip Micky.

   Tubuhnya pendek, kakinya melengkung, bahunya sangat bidang, dan wajahnya kasar tertempa cuaca.

   Beda dengan anaknya, ia tidak tampak nyaman mengenakan kerah kaku dan topi tinggi.

   Wanita yang mendampinginya bergayut seperti seorang kekasih, namun ia pasti lebih muda tiga puluh tahun dibandingkan lelaki itu.

   Micky memperkenalkannya sebagai Miss Cox.

   Mereka semua berbicara tentang kemenangan mereka.

   Baik Edward maupun Tonio banyak memperoleh kemenangan dengan memasang taruhan pada seekor kuda bernama Prince Charlie.

   Solly mula-mula menang, kemudian kalah lagi, tapi tampaknya menikmati semuanya.

   Micky tidak membicarakan jumlah kemenangan yang diperolehnya, dan Maisie menduga ia tidak bertaruh sebanyak yang lain.

   ia terlalu hati-hati, terlalu penuh perhitungan untuk bisa menjadi penjudi berat.

   Meskipun demikian, beberapa saat kemudian pemuda itu menimbulkan keheranannya.

   Ia berkata pada Solly.

   "Kami akan mengadakan permainan judi kelas berat malam ini, Greenbourne... minimum satu pound. Mau ikut?"

   Terlintas dalam benak Maisie. postur Micky yang tampak tenang ternyata menyembunyikan perasaan tegang yang mendalam. Pemuda itu memang misterius. Solly biasanya setuju saja.

   "Aku ikut,"

   Ujarnya. Micky berbalik pada Tonio.

   "Kau mau ikut?"

   Nadanya yang tegas tampak tidak wajar bagi Maisie.

   "Percayalah,"

   Kata Tonio penuh semangat.

   "Aku akan datang!"

   April tampak risau dan berkata.

   "Tonio, jangan malam ini, kau sudah janji padaku."

   Maisie menduga Tonio tidak sanggup bermain apabila taruhan minimumnya satu pound.

   "Aku janji apa?"

   Kata Tonio dengan satu kedipan mata pada teman-temannya. April membisikkan sesuatu, dan semua laki-laki itu tertawa. Micky berkata.

   "Ini permainan besar terakhir dalam musim ini, Silva. Kau akan menyesal kalau tidak ikut."

   Maisie heran mendengarnya. Di Argyll Rooms ia mendapatkan kesan bahwa Micky tidak menyukai Tonio. Mengapa kini ia mengajaknya main kartu? Tonio berkata.

   "Aku mujur hari ini. Lihat berapa banyak aku menang dalam taruhan pacuan kuda! Aku akan main kartu malam ini."

   Micky melirik pada Edward sekilas, dan Maisie menangkap rasa lega di matanya. Kata Edward.

   "Bagaimana kalau kita makan malam di klub?"

   Solly menatap Maisie, dan ia sadar bahwa ia jadi punya alasan untuk tidak berkencan dengan Solly malam ini.

   "Makan malamlah dengan mereka, Solly,"

   Katanya.

   "Aku tidak keberatan."

   "Kau yakin?"

   "Ya. Aku telah menikmati siang ini. Kau boleh menikmati malamnya di klubmu." .

   "Beres, kalau begitu."

   Ujar Micky. Ia dan ayahnya, Miss Cox dan Edward mohon diri dan berpisah dengan mereka. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tonio dan April memasang taruhan lagi pada pacuan berikutnya. Solly menggandeng Maisie dan berkata.

   "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?"

   Mereka berjalan-jalan menyusuri pagar bercat putih yang membatasi jalur pacuan. Mentari hangat dan udara pedesaan terasa menyegarkan. Setelah beberapa saat, -Solly bertanya.

   "Kau suka padaku, Maisie?"

   Gadis itu menghentikan langkahnya, berjinjit, dan mencium pipi Solly.

   "Suka sekali."

   Pemuda itu memandang matanya, dan Maisie heran melihat air mata di balik kacamatanya.

   "Solly sayang, ada apa?"

   Tanyanya.

   "Aku juga menyukaimu,"

   Kata Solly.

   "Lebih daripada siapa pun yang pernah kutemui."

   "Terima kasih."

   Maisie terharu. Tidak biasanya Solly memperlihatkan luapan perasaan yang lebih kuat daripada antusiasme seadanya. Lalu pemuda itu bertanya.

   "Maukah kau kawin denganku?"

   Gadis itu takjub.

   Ini benar-benar di luar dugaan.

   Laki-laki dari golongan Solly tidak biasanya melamar gadis seperti dirinya.

   Laki-laki semacam itu biasanya merayunya untuk bercinta, memberinya uang, menjadikannya wanita simpanan, dan punya anak, namun tidak mengawininya.

   Ia terkesima, tak mampu berbicara.

   Sambung Solly.

   "Aku akan memberimu apa saja yang kauinginkan. Katakanlah ya."

   Kawin dengan Solly! Maisie sadar, siapa pun takkan percaya bahwa ia akan kaya untuk selama-lamanya.

   Tempat tidur empuk setiap malam, nyala api di perapian dalam setiap kamar, dan mentega sebanyak yang sanggup dinikmatinya.

   Ia akan bangun tidur sesukanya, bukan kapan ia mesti bangun.

   Ia takkan kedinginan lagi, takkan menahan lapar, takkan berpakaian lusuh lagi, takkan letih lagi.

   Kata Ya bergetar di ujung lidahnya.

   Ia memikirkan kamar April yang kecil di kawasan Soho, dengan sarang tikus di dalam temboknya; ia memikirkan betapa kakusnya mengeluarkan bau busuk pada hari-hari panas; ia memikirkan malam-malam yang mereka lewatkan tanpa makan; ia memikirkan betapa kakinya sakit setelah seharian menjelajahi jalan-jalan.

   Ia menatap Solly.

   Seberapa sulitnya kawin dengan"

   Laki-laki ini? Pemuda itu berkata.

   "Aku sangat mencintaimu, aku mendambakanmu."

   Pemuda ini benar-benar mencintainya, Maisie yakin.

   Dan itulah masalahnya.

   Maisie tidak mencintainya.

   Pemuda itu layak mendapatkan yang lebih baik.

   Ia layak mendapatkan istri yang benar-benar mencintainya, bukan seorang gadis keras hati yang miskin.

   Kawin dengan pemuda itu berarti menipunya.

   Dan pemuda itu terlalu baik; ia tak sampai hati melakukannya.

   Gadis itu nyaris menangis.

   Katanya.

   "Kau lelaki paling baik dan paling lembut yang pernah kutemui..."

   "Jangan berkata tidak,"

   Ujar Solly, memotong pembicaraan.

   "Jika kau tak sanggup mengatakan ya, jangan katakan apa-apa. Pikirkanlah, paling tidak sehari, atau mungkin lebih lama lagi."

   Maisie menarik napas panjang. Ia sadar, ia seharusnya menampiknya, dan lebih mudah melakukannya sekarang juga. Namun pemuda itu begitu tulus sewaktu memohon kepadanya.

   "Akan kupikirkan."

   Ucapnya. Pemuda itu tersenyum. 'Terima kasih."

   Ia menggelengkan kepala dengan sedih.

   "Apa pun yang terjadi, Solly, aku yakin aku takkan pernah dilamar oleh lelaki yang lebih baik darimu."

   HUGH dan Maisie naik kapal pesiar bertenaga uap yang ongkosnya satu penny dari Dermaga Westminster ke Chelsea.

   Senja itu hangat dan terang, dan sungai yang keruh itu ramai dengan kapal suplai, tongkang, dan feri.

   Kapal itu membawa mereka ke hulu, di bawah jembatan baru jalur kereta api untuk Stasiun Victoria, melewati Rumah Sakit Chelsea Christopher Wren di pantai utara dan, di selatan, Lapangan Battersea, tempat duel tradisional kota London.

   Jembatan Battersea adalah struktur kayu yang sudah lapuk dan terancam ambruk.

   Di ujung selatannya berdiri pabrik-pabrik, namun di sisi hadapannya rumah-rumah yang asri menjamur di sekitar Gereja Lama Chelsea, dan anak-anak telanjang bermain-main di bagian sungai yang dangkal.

   Mereka turun sekitar satu mil dari jembatan dan berjalan menyusuri dermaga, menuju gerbang Cremorne Gardens yang bersepuh.

   Taman itu terdiri atas dua belas ekar pepohonan dan gua buatan, taman bunga dan lapangan rumput, tanaman pakis dan pepohonan kecil di antara sungai dan King's Road.

   Hari sudah senja ketika mereka tiba; ada lampion Cina di pepohonan dan lampu gas sepanjang jalan setapak yang berkelok-kelok.

   Tempat itu dipadati pengunjung, banyak orang muda yang baru saja menonton pacuan kuda memutuskan untuk melewatkan hari mereka di sini.

   Setiap orang mengenakan pakaian terbaik, dan mereka berjalan-jalan santai di taman itu, tertawa dan mencari pasangan kencan, gadis-gadis berjalan dua-dua, para pemuda berjalan dalam kelompok yang lebih besar, pasangan muda-mudi bergandengan.

   Cuaca sepanjang siang tadi cerah, mentari bersinar dan udara hangat, namun kini malam terasa panas dan gelegar guntur menandakan akan datang badai.

   Hugh merasa senang, sekaligus gugup.

   Ia merasa bergairah menggandeng Maisie, namun juga merasa tak menentu karena tak tahu aturan permainan yang tengah dilakukannya.

   Apa yang diharapkan gadis ini? Apakah gadis ini akan membiarkannya menciumnya? Membiarkannya berbuat apa saja yang ia inginkan? Hugh ingin sekali menyentuh tubuhnya, tapi tidak tahu dari mana harus mulai.

   Apakah gadis ini akan membiarkannya melakukan apa saja? Ia ingin, namun belum pernah melakukannya dan ia takut akan salah tingkah.

   Para karyawan Pilasters Bank banyak berbicara tentang gadis-gadis jalanan, apa yang akan dan tidak akan mereka lakukan, namun menurut dugaan Hugh sebagian besar omongan mereka tak lebih dari bualan.

   Tapi Maisie tak bisa diperlakukan sebagai gadis murahan.

   Ia lebih kompleks daripada mereka.

   Hugh juga agak cemas dipergoki oleh seseorang yang dikenalnya.

   Keluarganya akan menentang habis-habisan apa yang tengah diperbuatnya sekarang.

   Cremorne Gardens bukan hanya tempat kelas rendah, tapi juga menggalakkan kemaksiatan, menurut pandangan pengikut Methodist.

   Kalau ia sampai ketahuan, Augusta akan memanfaatkannya untuk mencelakakannya.

   Edward bisa saja membawa perempuan nakal ke tempat-tempat mesum.

   ia putra dan ahli waris.

   Beda dengan Hugh yang miskin, berpendidikan rendah, dan diyakini akan gagal seperti ayahnya; mereka akan berkata bahwa tempat-tempat maksiat adalah habitatnya yang alami, dan ia segolongan dengan karyawan administratif, pengrajin, dan gadis seperti Maisie.

   Hugh sedang menghadapi tahap yang menentukan dalam kariernya.

   Ia akan dipromosikan menjadi karyawan bagian koresponden dengan gaji 150 poundsterling setahun, lebih dari dua kali gajinya sekarang, dan itu bisa terancam oleh laporan tentang perilaku bejat.

   Ia memandang dengan cemas para laki-laki lain di jalan setapak yang berkelok-kelok itu, di antara bunga-bunga, takut akan mengenali seseorang.

   Ada segelintir laki-laki kelas atas, sebagian menggandeng gadis-gadis, namun mereka semua dengan hati-hati menghindari pandangan mata Hugh.

   Ia menyadari bahwa mereka juga waswas akan dipergoki.

   Rupanya orang-orang yang dikenalnya juga ingin merahasiakan hal ini, sama seperti dirinya, dan ia merasa lega.

   Ia merasa bangga pergi dengan Maisie.

   Gadis ini mengenakan gaun biru-hijau berpotongan leher rendah dan bustle di belakang; sebuah topi pelaut bertengger penuh gaya di rambutnya yang ditata tinggi.

   Banyak yang kagum memandangnya.

   Mereka melewati sebuah teater balet, sebuah rombongan sirkus dari timur, sebuah arena boling Amerika, dan beberapa tempat menembak, kemudian masuk ke sebuah restoran untuk menikmati makan malam.

   Ini merupakan pengalaman pertama bagi Hugh.

   Kendati restoran-restoran sudah semakin umum, kebanyakan pengunjungnya adalah kelas menengah; golongan kelas atas masih belum menyukai gagasan makan di tempat umum.

   Kawula muda seperti Edward dan Micky cukup sering makan di luar, namun mereka menganggap hal itu sekedar keisengan dalam bersenang-senang, dan hanya melakukannya ketika mengincar atau telah mendapatkan perempuan nakal untuk menemani mereka.

   Selama makan, Hugh mencoba tidak memikirkan payudara Maisie.

   Bagian atasnya tampak menonjol menggairahkan di atas garis leher gaunnya, dan payudara itu sangat pucat, berbintik-bintik.

   Ia pernah melihat payudara tanpa penutup, cuma sekali...

   di Nellie's beberapa minggu yang lalu.

   Tapi ia belum pernah menyentuhnya.

   Keraskah seperti otot, atau lembek? Bila seorang wanita menanggalkan korsetnya, apakah payudaranya bergerak-gerak ketika ia berjalan, atau tetap kaku? Kalau disentuh, apakah benda itu akan melentur atau keras SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY seperti tempurung lutut? Apakah gadis itu akan membiarkannya menyentuh payudaranya? Kadang-kadang ia bahkan berpikir untuk menciumnya, seperti lelaki di riimah bordil mencium payudara pelacur itu, namun keinginan terpendam ini membuatnya malu.

   Sebenarnya ia agak malu memiliki semua perasaan ini.

   Tampaknya sangat vulgar hanya memikirkan tubuh wanita yang bersamanya, seakan-akan ia tak peduli pada wanita itu, tapi hanya ingin memperalatnya.

   Namun ia tak kuasa menahan diri, khususnya dengan Maisie yang begitu menggoda.

   Sementara mereka makan, ada pertunjukan kembang api di bagian lain taman.

   Bunyi dan kilatan cahayanya mengejutkan singa dan harimau di kebun binatang, dan satwa-satwa itu meraung karena merasa terganggu.

   Hugh ingat bahwa Maisie pernah bekerja di sirkus, dan ia bertanya seperti apa rasanya.

   "Kau jadi mengenal orang dengan baik bila kau tinggal begitu berdekatan,"

   Katanya sungguh-sungguh.

   "Ada baiknya dalam beberapa hal, dan ada buruknya. Mereka selalu saling tolong. Ada skandal cinta, banyak pertengkaran, kadang-kadang ada perkelahian. Terjadi dua kali pembunuhan dalam tiga tahun aku ikut rombongan sirkus."

   "Astaga."

   "Dan penghasilan dari sirkus tak bisa diandalkan."

   "Mengapa?"

   "Bila orang ingin berhemat, hiburanlah yang mula-mula dihentikannya."

   "Itu tak pernah terpikir olehku. Aku harus ingat, jangan sampai menanamkan uang bank dalam bentuk bisnis hiburan."

   Gadis itu tersenyum.

   "Apakah kau selalu memikirkan masalah keuangan?"

   Tidak, pikir Hugh, aku selalu memikirkan payudaramu. Katanya.

   "Kau harus mengerti, aku putra seorang pembawa sial dan penyebab aib dalam keluarga. Aku lebih tahu tentang perbankan daripada generasi muda keluarga Pilaster, tapi aku harus bekerja mati-matian untuk membuktikan kemampuanku."

   "Mengapa begitu penting membuktikan dirimu?"

   Pertanyaan bagus, pikir Hugh. Ia menimbang-nimbang sejenak, lalu berkata.

   "Aku selalu demikian, kukira. Di sekolah aku harus menjadi bintang kelas. Dan kegagalan ayahku membuat keadaan semakin buruk; setiap orang berpendapat aku akan melakukan hal yang sama, dan harus kutunjukkan bahwa mereka keliru."

   "Dalam satu hal, aku merasa sama. Aku tak mau menempuh hidup seperti ibuku, selalu berada di ambang kepapaan. Aku akan punya banyak uang, tak peduli apa yang harus kulakukan."

   Dengan selembut mungkin Hugh berkata.

   "Itukah sebabnya kau kencan dengan •Solly?"

   Gadis itu cemberut, dan sejenak Hugh mengira ia akan marah, tapi ternyata ia menyunggingkan senyum ironis.

   "Kukira pertanyaan itu wajar. Kalau kau ingin tahu hal yang sebenarnya, aku tidak membanggakan hubunganku dengan Solly. Aku telanjur memberinya... harapan."

   Hugh heran. Apakah itu berarti ia tidak bertindak terlalu jauh dengan Solly? "Kelihatannya dia menyukaimu."

   "Dan aku menyukainya. Tapi bukan persahabatan yang diinginkannya, sejak dulu. Aku sudah lama tahu itu."

   "Aku mengerti maksudmu."

   Hugh menyimpulkan gadis itu melakukan segala-galanya dengan Solly, dan itu berarti mungkin ia tidak mau melakukannya dengannya.

   Ia merasa kecewa sekaligus lega.

   kecewa karena ia begitu bernafsu pada gadis itu, lega karena ia begitu gugup sehubungan dengan hal ini.

   "Kau tampaknya senang karena sesuatu,"

   Ujar Maisie.

   "Kurasa aku senang mendengar kau dan Solly cuma berteman."

   Gadis itu kelihatan sedih, dan Hugh bertanya-tanya apakah ia telah mengatakan sesuatu yang salah.

   Ia membayar makan malam mereka.

   Sangat mahal, tapi ia membawa uang tabungannya untuk membeli pakaian baru, sembilan belas shilling, karenanya ia mempunyai banyak uang saat ini.

   Pada waktu mereka meninggalkan restoran, orang-orang di taman tampaknya sudah lebih riuh, pasti karena mereka telah banyak menenggak bir dan gin malam ini.

   Mereka beranjak ke lantai dansa.

   Berdansa bukan masalah bagi Hugh.

   itulah satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan dengan baik di Folkestone Academy.

   Ia menuntun Maisie ke lantai dansa dan memeluknya untuk pertama kali.

   Ujung jemarinya serasa tersengat ketika ia meletakkan tangan kanannya di lekukan punggung Maisie, di atas bustle-nya.

   Ia bisa merasakan kehangatan tubuh gadis itu melalui pakaiannya.

   Dengan tangan kirinya ia memegang tubuh gadis itu, dan gadis itu meremasnya; perasaan yang menggairahkan aliran urat darahnya.

   Pada akhir dansa pertama, Hugh tersenyum senang padanya, dan ia heran sekali karena gadis itu mengulurkan tangan dan menyentuh mulutnya dengan ujung jari.

   "Aku suka kalau kau tersenyum,"

   Katanya.

   "Kau tampak seperti anak kecil."

   "Seperti anak kecil"

   Bukanlah kesan yang ingin diberikan Hugh, tapi saat ini apa pun yang menyenangkan gadis itu tidak menjadi masalah baginya.

   Mereka berdansa lagi.

   Mereka memang pasangan dansa yang serasi.

   kendati Maisie pendek, Hugh cuma sedikit lebih tinggi, dan kaki mereka lincah.

   Ia telah berdansa dengan puluhan gadis, ratusan malah, tapi belum pernah ia merasakan senikmat ini.

   Ia merasa seolah-olah baru sekarang menemukan kenikmatan memeluk tubuh seorang wanita, bergerak dan berayun mengikuti irama musik, dan melakukan langkah-langkah rumit secara berbarengan.

   "Kau lelah?"

   Tanyanya pada Maisie ketika dansa berakhir.

   "Tentu tidak!"

   Mereka berdansa lagi.

   Pada acara dansa pergaulan, tidaklah patut berdansa dengan gadis yang sama lebih dari dua kali.

   Kau harus menuntunnya meninggalkan lantai dansa dan menawarkan diri untuk mengambilkannya sampanye atau sorbet.

   Hugh selalu jengkel dengan aturan-aturan semacam itu, dan sekarang ia senang dan bebas menjadi pedansa tak dikenal pada acara dansa umum ini.

   Mereka terus melantai hingga tengah malam, ketika musik tidak lagi dimainkan.

   Semua pasangan meninggalkan lantai dansa dan beranjak ke jalan setapak di taman.

   Hugh memperhatikan kebanyakan laki-laki itu tetap melingkarkan lengan ke tubuh pasangan mereka, walaupun mereka tak lagi berdansa; jadi, dengan-agak waswas ia melakukan hal serupa.

   Maisie tampaknya tidak keberatan.

   Pesta itu jadi tak terkendali.

   Di sisi jalan setapak kadang-kadang ada kabin, seperti boks di gedung opera.

   Di sini orang bisa duduk dan makan sambil memperhatikan orang-orang yang lewat.

   Sebagian dari kabin itu telah disewa oleh kelompok-kelompok mahasiswa tahun pertama yang kini sedang mabuk.

   Topi seorang laki-laki yang berjalan di depan Hugh dipukul hingga melayang dari kepalanya, dan Hugh sendiri harus merunduk guna menghindari sepotong roti yang dilemparkan seseorang.

   Ia merapatkan Maisie ke tubuhnya untuk melindunginya, dan ia senang sekali karena Maisie melingkarkan lengan ke pinggangnya dan meremasnya.

   Banyak pepohonan dan tanaman menjalar yang rindang di pinggir jalan setapak utama, dan samar-samar Hugh melihat pasangan-pasangan di bangku kayu, kendati ia tidak yakin apakah mereka sedang berpelukan atau cuma duduk bersama.

   Ia terkejut ketika sejoli yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY berjalan di depan mereka menghentikan langkah dan berciuman penuh nafsu di tengah jalan setapak itu.

   Ia menuntun Maisie mengitari mereka dengan perasaan kikuk.

   Tapi setelah sesaat ia mampu mengatasi rasa kikuknya dan mulai terangsang.

   Beberapa menit kemudian, mereka melewati pasangan lain yang sedang berpelukan.

   Ia melihat mata Maisie, dan gadis itu tersenyum padanya, seolah memberikan dorongan.

   Tapi ia tidak berani menuruti keinginannya mencium gadis itu.

   Taman itu kian gaduh.

   Mereka harus mengambil jalan memutar untuk menjauhi perkelahian yang melibatkan enam atau tujuh orang anak muda, yang semuanya berteriak-teriak dalam keadaan mabuk, saling pukul dan merobohkan.

   Hugh mulai memperhatikan sejumlah wanita yang datang tanpa teman, dan bertanya dalam hati apakah-mereka pelacur.

   Suasana berubah menjadi agak tegang dan ia merasa perlu melindungi Maisie.

   Kemudian sekitar tiga sampai empat puluh anak muda datang menyerbu, melayangkan topi orang-orang, mendorong para wanita ke samping, dan membanting laki-laki ke tanah.

   Tak ada yang sanggup meloloskan diri dari mereka; mereka berpencar melintasi lapangan rumput pada kedua sisi jalan setapak.

   Hugh dengan sigap bertindak.

   Ia berdiri di depan Maisie dengan punggung menghadap ke arah datangnya serangan, lalu melepaskan topinya dan melingkarkan kedua lengannya ke tubuh gadis itu dan memeluknya erat-erat.

   Para perusuh itu lewat.

   Ada yang menghantamkan bahunya yang berat ke punggung Hugh.

   Pemuda itu oleng, masih memeluk Maisie, namun ia berhasil untuk tetap tegak.

   Di satu sisinya seorang gadis tergeletak, dan di sisi lain seorang lelaki ditinju wajahnya.

   Kemudian para berandalan itu berlalu.

   Hugh mengendurkan genggamannya dan menunduk memandang Maisie.

   Gadis itu balas menatapnya dengan penuh harap.

   Dengan ragu-ragu Hugh merendahkan kepalanya dan mencium bibir Maisie.

   Bibir itu terasa nikmat, lembut, dan bergerak-gerak.

   Hugh memejamkan matanya.

   Telah bertahun-tahun ia menunggu ini.

   ciuman pertamanya.

   Menyenangkan, seperti yang diimpikannya.

   Ia menghirup bau tubuh.

   Bibir gadis itu bergerak lembut menekan bibirnya.

   Hugh sama sekali tak ingin menghentikan ciumannya.

   Maisie melepaskan diri.

   Ia menatap Hugh dengan tajam, kemudian memeluknya erat-erat, menarik tubuh Hugh rapat-rapat.

   "Kau bisa menghancurkan semua rencanaku,"

   Ujarnya perlahan. Hugh tak mengerti apa maksudnya. Ia melihat ke sisi jalan setapak. Ada sebuah tempat berteduh dengan tempat duduk kosong. Hugh memberanikan diri berkata.

   "Bagaimana kalau kita duduk?"

   "Baiklah."

   Mereka berjalan menembus kegelapan dan duduk di tempat kosong itu.

   Hugh menciumnya lagi.

   Kali ini ia tidak begitu ragu.

   Ia melingkarkan lengan ke bahu Maisie dan merengkuh tubuh gadis itu, dan dengan tangannya yang lain ia mengangkat dagunya, menciumnya dengan lebih bernafsu, menekankan bibirnya ke bibir gadis itu kuat-kuat.

   Gadis itu membalas dengan antusias, membusungkan dadanya sehingga Hugh dapat merasakan payudara Maisie menyatu dengan dadanya.


Pendekar Rajawali Sakti Kemelut Pusaka Leluhur Fear Street Kucing Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Sungai Ular

Cari Blog Ini