Batu Mazarin 1
Sherlock Holmes Batu Mazarin Bagian 1
Buku Kasus Sherlock Holmes BATU MAZARIN Download Ebook Jar Lainnya di http.//inzomnia.wapka.mobi http.//mobiku.tk Batu Mazarin DR. WATSON senang dapat kembali mengunjungi ruang duduk berantakan di lantai atas Baker Street itu. Banyak petualangannya yang luar biasa dimulai dari ruangan ini. Matanya menelusuri benda-benda yang ada di sekelilingnya grafik-grafik ilmiah yang tergantung di tembok, bangku yang berlepotan cairan kimia, biola yang tersandar di sudut, kotak berisi pipa dan tembakau. Akhirnya, pandangannya tertuju ke wajah Billy yang cerah dan sedang tersenyum. Pemuda ini masih muda, tapi penampilannya cerdas dan penuh akal. Dengan adanya pemuda ini, detektif kondang yang wajahnya lebih banyak cemberut itu jadi tak begitu kesepian.
"Semua tampaknya tak ada yang berubah, Billy. Kau juga masih seperti dulu. Kuharap dia pun begitu?"
Billy menoleh ke pintu kamar tidur yang masih tertutup dengan agak khawatir.
"Saya rasa dia masih tidur," katanya. Waktu itu pukul tujuh malam di musim panas yang ceria, tapi Dr. Watson sudah maklum benar akan gaya hidup sahabatnya yang kadang-kadang tak menentu. Jadi dia tak heran sedikit pun.
"Berarti ada kasus yang sedang ditanganinya?"
"Ya, Sir, dia sibuk sekali. Saya mengkhawatirkan kesehatannya. Dia jadi agak pucat dan semakin kurus, karena dia tak mau makan. Ketika Mrs. Hudson menanyakan kapan dia mau makan, dia menjawab, 'Lusa jam setengah delapan.' Anda pasti sudah kenal wataknya kalau sedang serius menangani kasus."
"Ya, Billy, aku sangat paham akan hal itu."
"Dia sedang mengincar seseorang. Kemarin dia keluar sambil menyamar sebagai pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Tadi dia menjadi wanita tua. Saya masih terheran-heran melihat tindak-tanduknya, padahal saya sudah cukup lama mengenalnya."
Billy menunjuk payung usang yang tersandar di sofa. "Itu salah satu perlengkapan wanita tua yang dipakainya," katanya.
"Tapi, ada apa sebenarnya, Billy?"
Billy melembutkan suaranya. "Saya tak keberatan mengatakannya kepada Anda, Sir, tapi Anda harus merahasiakannya. Ini mengenai kasus berlian Kerajaan."
"Apa? Berlian bernilai seratus ribu pound yang dirampok itu?"
"Ya, Sir, mereka harus mendapatkannya kembali. Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri sendiri yang menghubungi Mr. Holmes. Bayangkan, mereka duduk di sofa itu! Mr. Holmes menenangkan mereka dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin. Tapi Lord Cantlemere..."
"Ah!"
"Ya, Sir, Anda pasti tahu apa artinya. Dia kaku dan angkuh, begitulah menurut saya. Perdana Menteri maupun Menteri Dalam Negeri cukup ramah, Sir, tapi bangsawan yang satu itu, sungguh tak tahan saya terhadap sikapnya. Begitu juga Mr. Holmes, Sir. Anda tahu, Lord Cantlemere tak percaya pada kemampuan Mr. Holmes dan bahkan tidak setuju kasus ini diserahkan kepada Mr. Holmes. Dia pasti berharap agar Mr. Holmes gagal."
"Dan Mr. Holmes tahu itu?"
"Mana ada hal yang luput dari pengamatan Mr. Holmes, Sir?"
"Yah, semoga saja dia berhasil sehingga Lord Cantlemere dipermalukan. Tapi, Billy, untuk apa tirai itu dipasang di situ?"
"Mr. Holmes yang memasangnya tiga hari yang lalu. Di baliknya ada sesuatu yang aneh."
Billy melangkah maju dan menarik tirai yang mengelilingi bagian dalam jendela lengkung itu.
Dr. Watson berteriak keheranan. Di muka jendela duduk patung sahabatnya lengkap dengan pakaian tidurnya. Wajahnya menunduk sedikit seperti sedang membaca buku, sementara tubuhnya tenggelam di kursi malas. Billy melepaskan kepala patung itu dan mengangkatnya.
"Kami mengubah-ubah posisinya, sehingga tampak seperti orang sungguhan. Saya tak akan berani menyentuhnya kalau kerai jendela terbuka, sebab patung ini terlihat dari seberang jalan."
"Kami pernah melakukan tipuan seperti ini."
"Sebelum saya kerja di sini, ya?" kata Billy. Dia menyingkapkan kerai lalu melongok ke jalan.
"Ada beberapa orang yang mengawasi kita dari bawah sana, salah satunya berdiri di depan jendela. Coba lihatlah sendiri."
Watson baru maju selangkah ketika pintu kamar terbuka, dan muncullah sosok Holmes yang tinggi kerempeng. Wajahnya pucat dan letih, namun langkah dan sikapnya penuh semangat sebagaimana biasanya. Dengan satu lompatan dia sudah sampai ke dekat jendela, lalu ditutupnya kerai.
"Begitu seharusnya, Billy," katanya. "Kau membahayakan jiwamu, Nak, padahal aku masih membutuhkanmu. Well, Watson, senang sekali melihatmu di sini lagi. Kau kemari tepat pada saat yang kritis."
"Kelihatannya memang begitu?"
"Kau boleh pergi, Billy. Anak muda ini membuatku repot, Watson. Sampai sejauh mana aku berhak membahayakan dirinya?"
"Membahayakan bagaimana, Holmes?"
"Dia bisa menemui ajalnya tanpa diduga. Aku sedang menantikan sesuatu malam ini."
"Apa itu, Holmes?"
"Pembunuhan terhadap diriku, Watson."
"Ah, kau bercanda!"
"Walaupun rasa humorku terbatas, masa aku bercanda senaif itu? Nah, mari santai saja sekarang. Kau boleh menenggak minuman keras? Korek dan rokok ada di tempat biasa. Aku ingin melihatmu kembali duduk di kursi malas itu. Kuharap kau tak melarangku merokok, aku perlu rokok sebagai ganti makanan akhir-akhir ini."
"Kenapa kau tak makan?"
"Karena otakku akan lebih tajam kalau perutku kosong. Sebagai dokter, kau pasti tahu, sobatku Watson, sel-sel darah yang dipakai untuk membantu pencernaan sebenarnya mengurangi jatah yang untuk ke otak. Bagian terpenting dari tubuhku kan otak, Watson, bagian lain cuma pelengkap. Jadi otaklah yang kuutamakan."
"Tapi siapa sebenarnya yang ingin membunuhmu, Holmes?"
"Ah, ya, sebaiknya kau mengingat-ingat nama dan alamat pembunuhku, kalau-kalau itu kelak diperlukan. Kau dapat meneruskan informasi ini ke Scotland Yard, diiringi salam perpisahanku. Namanya Sylvius Count Negretto Sylvius. Ayo tulis, sobat, tulis! Alamatnya Moorside Gardens Nomor 136, N.W. Sudah?"
Wajah Watson yang lugu dipenuhi kecemasan. Dia tahu benar risiko-risiko yang harus dihadapi Holmes sehubungan dengan pekerjaannya. Dia pun sadar sahabatnya tidak mengada-ada, malah boleh jadi bahaya yang menghadangnya lebih besar dari yang diungkapkannya. Keprihatinan dan kesetiakawanan Watson langsung timbul.
"Aku akan mendampingimu, Holmes. Aku sedang nganggur selama satu-dua hari ini."
"Kau tak bisa membohongiku, Watson, kelihatan jelas kau dokter yang benar-benar sibuk."
"Tapi tak ada kasus mendesak yang harus kutangani, sungguh! Aku tak mengerti mengapa tak kautangkap saja orang itu!"
"Sebenarnya aku memang bisa menangkapnya, dan itulah yang membuatnya kuatir."
"Jadi, kenapa tak kaulakukan?"
"Karena aku belum tahu di mana dia menyembunyikan berlian itu."
"Oh ya, Billy sudah bercerita soal itu permata Kerajaan yang hilang."
"Ya, batu Mazarin besar berwarna kuning itu. Aku sudah memasang pancing, dan ikannya pun sudah kena. Tapi aku belum menemukan batunya. Jadi untuk apa aku menangkap mereka? Dunia memang akan lebih aman kalau mereka mendekam di penjara, tapi saat ini ada hal yang penting. Aku ingin mendapatkan batunya."
"Apakah Count Sylvius salah satu dari ikan-ikan yang kaupancing?"
"Ya, bahkan dia ikan yang paling besar... hiu. Lainnya adalah Sam Merton, petinju. Sam sebenarnya tidak jahat, tapi dia diperalat Count. Sam bukan hiu yang menggigit, dia cuma si keras kepala bodoh yang berbadan besar."
"Ada di mana Count Sylvius sekarang?"
"Sepanjang pagi tadi aku berhasil menguntitnya. Kau pernah melihatku menjadi wanita tua, Watson, dan aku bisa memerankannya dengan sangat meyakinkan. Dia bahkan sempat mengambil payungku yang terjatuh. 'Silakan, Madam,' katanya dengan logat Itali yang amat sopan, padahal di saat lain dia bisa bersikap seperti iblis. Hidup ini penuh dengan hal-hal yang lucu, Watson."
"Kelucuan yang bisa berubah menjadi tragedi."
"Well, bisa saja. Aku mengikutinya ke bengkel tua milik Straubenzee di Minories. Straubenzee adalah pembuat senapan angin yang andal, dan hasil karyanya kini siap dibidikkan dari jendela seberang. Sudah kaulihat bonekaku? Setiap saat, kepalanya yang bagus itu bisa ditembus peluru. Ah, Billy, ada apa?"
Pelayan muda itu telah muncul kembali di ruangan, membawa kartu nama di atas nampan.
Holmes membaca kartu itu sambil menaikkan alisnya dan tersenyum gembira.
"Orang itu sendiri. Aku sungguh tak menduga. Siapka n senjatamu, Watson! Orang ini sangat tak sabaran. Kau mungkin pernah mendengar tentang reputasinya sebagai jago tembak yang termasyhur. Dan prestasinya akan mencapai puncak kalau dia berhasil menembakku. Kedatangannya membuktikan dia resah karena aku terus membuntutinya."
"Panggil polisi saja."
"Mungkin bisa begitu. Tapi tidak sekarang. Tolong kaulihat dari jendela, Watson, apakah ada orang yang berkeliaran di jalan."
Dari balik kerai Watson mengamati keadaan di sekitar apartemen Holmes.
"Ya, ada seorang pria yang tampaknya galak berdiri di dekat pintu."
"Itu pasti Sam Merton. Di mana orang yang memberikan kartu nama ini, Billy?"
"Menunggu di bawah, Sir."
"Persilakan dia naik kalau bel kubunyikan."
"Ya, Sir."
"Kalaupun nanti aku tak berada di sini, tetap persilakan dia masuk."
"Baik, Sir."
Watson menunggu sampai pintu ruangan itu tertutup kembali, lalu menoleh ke sahabatnya dengan serius.
"Holmes, ini benar-benar tak masuk akal. Orang itu sangat kejam dan sedang terdesak. Dia bisa saja membunuhmu."
"Memang."
"Pokoknya aku akan menemanimu di sini."
"Kau hanya akan menjadi penghalang."
"Menghalangi niat busuknya, maksudmu?"
"Tidak, sobat menghalangi rencanaku."
"Well, aku tak mungkin meninggalkanmu."
"Harus, Watson, kalau kau mau menolongku. Orang ini datang karena punya rencana tertentu, tapi lihat saja, yang akan dia jalankan justru rencanaku." Holmes mengambil buku catatannya dan menuliskan beberapa kalimat. "Pergilah ke Scotland Yard dan serahkan surat ini kepada Youghal dari bagian CID. Lalu kembalilah kemari bersamanya. Polisi tinggal menangkap penjahat itu."
"Akan kulaksanakan dengan senang hati."
"Sementara itu aku akan berusaha mencari tahu di mana batu mulia itu disembunyikan." Dia membunyikan bel. "Kita keluar lewat kamar tidur saja. Pintu keluar cadangan ini benar-benar bermanfaat, Watson. Aku lebih suka memperhatikan buruanku sementara dia tak menyadarinya barangkali kau masih ingat caraku biasa melakukannya?"
Ketika tak lama kemudian Count Sylvius diantarkan ke tempat kami, dia berhadapan dengan ruang kosong. Jago tembak itu berperawakan besar, dengan kumis lebat yang menutupi bibir tipisnya yang terlihat angker. Hidungnya mancung dan bengkok, seperti paruh burung elang. Dia berpakaian rapi, namun dasinya yang ramai dan jepit dasinya yang berkilauan menimbulkan kesan norak, apalagi ditambah dengan deretan cincin yang menghiasi jemarinya. Pandangannya yang tajam menelusuri sekitarnya, seolah-olah dia mengharapkan jebakan di setiap sudut. Dia sangat terkejut ketika melihat kepala dan kerah pakaian tidur yang menyembul dari kursi malas di dekat jendela. Lalu ekspresinya yang seakan tak percaya berubah, matanya bersinar-sinar penuh hasrat membunuh. Dia melihat sekelilingnya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa dia tak sedang diawasi, lalu dengan berjingkat-jingkat dia mendekati sosok yang dikiranya Holmes itu. Dia baru saja hendak mengayunkan tongkatnya ketika terdengar suara yang dingin dan sinis dari pintu kamar tidur yang mendadak terbuka.
"Jangan dihancurkan, Count! Jangan dihancurkan!"
Pembunuh itu melangkah mundur, wajahnya memancarkan rasa terkejut yang amat sangat.
Selama beberapa saat, dia sepertinya hendak mengalihkan ayunan tongkatnya ke arah Holmes yang asli, tapi pandangan tajam dan senyum sinis sahabatku membuatnya menurunkan tongkat itu.
"Sayang kalau patung sebagus ini dihancurkan," kata Holmes sambil menghampiri tiruannya itu. "Dibuat oleh Tavernier, pematung Prancis. Kemahirannya membuat patung lilin sehebat teman Anda Straubenzee membuat senapan angin."
"Senapan angin, Sir? Apa maksud Anda?"
"Tolong taruh topi dan tongkat Anda di meja samping itu. Terima kasih! Silakan duduk. Bagaimana kalau Anda juga melepaskan pistol Anda? Oh, baiklah kalau Anda lebih suka mendudukinya. Kunjungan Anda kemari benar-benar kebetulan, karena saya sangat ingin berbicara sebentar dengan Anda."
Wajah pria bergelar count itu memberengut, kedua alisnya mengerut.
"Saya pun ingin menyampaikan sesuatu kepada Anda, Holmes. Itulah sebabnya saya kemari. Saya tak menyangkal bahw a saya tadi bermaksud menyerang Anda."
Holmes menaikkan kakinya ke meja.
"Saya kira Anda memang bermaksud begitu," katanya. "Boleh saya tahu alasannya?"
"Saya sangat terganggu karena ulah Anda. Anda telah menyuruh orang-orang Anda membuntuti saya."
"Orang-orang saya! Tidak sama sekali!"
"Omong kosong! Saya sudah menyuruh orang mengikuti mereka. Kita saling menguntit, Holmes."
"Sebelum kita melanjutkan pembicaraan, Count Sylvius, harap Anda perhatikan satu hal kecil. Anda tentunya mengerti bahwa dalam tugas rutin saya, nama saya sudah biasa disebut dengan sopan, dan saya sangat tersinggung kalau Anda tidak melakukannya!"
"Baiklah, Mr. Holmes!"
"Bagus! Nah, saya ingin meyakinkan Anda bahwa tak benar saya punya agen-agen seperti yang Anda duga."
Count Sylvius tertawa dengan nada merendahkan.
"Orang lain pun bisa melakukan pengamatan jeli, Mr. Holmes. Kemarin saya dibuntuti pria tua, hari ini wanita tua."
"Wah, saya benar-benar merasa tersanjung, Sir! Pada malam sebelum dihukum gantung, Baron Dowson sempat mengungkapkan bahwa dunia panggung rugi besar karena saya terjun ke bidang kriminal. Dan sekarang Anda secara tak langsung memuji kehebatan akting saya."
"Anda menyamar... mereka sebenarnya Anda sendiri?"
Holmes mengangkat bahu. "Payung kumal di sudut ruangan itulah saksinya. Anda sempat memungutkannya untuk saya, kan?"
"Kalau saja saya tahu, Anda takkan..."
"Pernah kembali ke rumah ini. Saya sadar akan hal itu. Kita memang sering menyesal karena telah melewatkan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Yang jelas, waktu itu Anda tak tahu, kan? Jadilah kita bertemu di sini sekarang ini!"
Alis Count mengerut semakin dalam, matanya memancarkan ancaman. "Ucapan Anda malah memperburuk keadaan. Mereka bukan orang-orang suruhan Anda, tapi Anda sendiri yang sok turut campur urusan orang! Jadi Anda mengakui telah menguntit saya. Untuk apa?"
"Ayolah, Count. Anda kan dulunya sering menembak singa di Algeria."
"Lalu?"
"Untuk apa?"
"Untuk apa? Tentu saja untuk olahraga kegemaran menantang bahaya!"
"Juga untuk membasmi hama?"
"Benar!"
"Persis seperti alasan saya!"
Count itu terlonjak, tangannya tanpa sadar meraba kantong celananya.
"Duduk dulu, Sir, duduk dulu! Ada satu alasan praktis lagi. Saya ingin mendapatkan berlian kuning itu!"
Count Sylvius menjatuhkan diri di kursi sambil tersenyum sinis.
"Saya tak mengerti arah pembicaraan Anda," katanya.
"Anda tahu justru karena itu saya mengejar Anda, dan Anda kemari untuk mengorek informasi seberapa jauh saya tahu tentang kasus ini dan perlukah saya disingkirkan. Harus saya akui bahwa dilihat dari sudut pandang Anda, saya mestinya dilenyapkan, karena semuanya sudah saya ketahui kecuali satu hal, yang sebentar lagi akan Anda ungkapkan."
"Oh, begitu! Fakta apa gerangan yang belum Anda ketahui?"
"Di mana berlian Kerajaan itu disimpan saat ini?"
Count menatap lawan bicaranya dengan tajam. "Oh, Anda ingin tahu itu? Bagaimana saya bisa membantu Anda sedangkan saya sendiri tak tahu-menahu?!"
"Anda bisa, dan Anda pasti akan mengatakannya."
"Begitu, ya!"
"Anda tak bisa mengelabui saya, Count Sylvius." Mata Holmes menatapnya dengan sangat menusuk. "Anda benar-benar tembus pandang. Saya bisa membaca pikiran Anda."
"Kalau begitu, Anda tahu di mana batu itu berada!"
Holmes bertepuk tangan dengan gembira, lalu diacungkannya telunjuknya. "Nah, benar kan Anda tahu tempatnya. Anda baru saja mengakuinya!"
"Saya tak mengakui apa-apa."
"Sekarang, Count, kalau Anda bersedia bekerja sama, kita bisa menyelesaikan urusan ini. Kalau tidak, Anda sendiri yang rugi."
Count Sylvius memutar-mutar bola matanya.
"Sekarang Anda yang mencoba mengelabui saya!" katanya. Holmes menatapnya sambil berpikir keras, bagaikan jago catur yang sedang mempertimbangkan langkah kemenangan akhir yang akan dilakukannya. Lalu dia membuka laci mejanya dan mengambil buku notesnya yang tebal.
"Tahukah Anda apa yang saya catat di buku ini?"
"Tentu saja tidak."
"Anda."
"Saya!"
"Ya, Sir. Anda! Semua sepak terjang Anda dalam hidup Anda yang jahat dan penuh bahaya tertulis di sini."
"Terkutuklah kau, Holmes!" teriak Count dengan mata menyala-nyala. "Kesabaranku ada batasnya!"
"Benar, Count. Semuanya tercatat di sini. Fakta-fakta tentang kematian Mrs. Harold yang mewariskan tanah di Blymer kepada Anda, yang lalu Anda habiskan di meja judi."
"Anda mimpi!" "Lalu kisah hidup Miss Minnie Warrender..."
Pendekar Rajawali Sakti Siluman Pemburu Perawan Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Shugyosa Samurai Pengembara II