Dia Tanpa Aku 3
Esti Kinasih Dia Tanpa Aku Bagian 3
Mengamati Citra dan tingkah lakunya dari kejauhan.
Seperti yang sedang dilakukannya saat ini.
Di kantin, Reinald memilih duduk di antara siswa-siswa kelas lain yang tidak dikenalnya agar tidak perlu bicara.
Dengan begitu ia bisa tenang memerhatikan Citra.
Dengan piring gado-gado ditangan masing-masing, Citra dan Loni menghampiri salah satu teman sekelas mereka, Hani, lalu duduk di depannya.
Hani itu religius banget.
Anak-anak lain sih kalau mau makan ya makan aja.
Kalaupun sebelumnya pake acara berdoa, paling berdoa ala kadarnya.
Kalau Hani lain.
Berdoanya khusyuk.
Pakai acara nunduk segala.
Matanya merem, lagi.
Sudah begitu bacaannya banyak pula.
Selain berterima kasih karena Tuhan telah memberinya berkat makanan ini, ia juga berdoa untuk orang-orang disekitarnya, terutama mereka yang kesusahan.
Memohon pada Tuhan agar mereka juga diberikan berkat makanan.
Hani lupa bahwa di depannya ada setan.
Dua, lagi.
Begitu cewek itu selesai berdoa dan membuka mata...
berkat makanannya sudah hilang! Yang raib bagian yang paling enak, lagi.
Nasi sama sayurnya sih masih utuh.
Tapi ayamnya telah menghilang.
Tanpa meninggalkan jejak.
Dengan bingung Hani menatap piringnya, kemudian mencari-cari di lantai dan kolong meja.
Tatapannya beralih ke Citra dan Loni yang duduk di depannya.
Ia ingin bertanya tapi urung, karena dilihatnya kedua temannya itu sedang berdoa.
Lebih khusyuk daripada doanya sendiri tadi.
Saking baiknya si Hani ini, sampai tidak terlintas dalam pikirannya bahwa orang yang sedang berdoa dengan sangat khusyuk pun patut dicurigai.
Apalagi kalau yang berdoa si Citra.
Baru setelah Citra dan Loni selesai berdoa dan membuka mata, Hani menanyakan ayamnya yang telah menghilang itu.
Tentu saja jawaban yang diterimanya adalah gelengan kepala.
Citra dan Loni lalu membantu Hani mencari ayam gorengnya yang raib itu.
Citra yang paling semangat.
Ia sampai mencari-cari keluar kantin segala.
Alasannya.
"Kan lo tau sendiri, ayam suka lari-larian."
"Inikan ayam goreng gitu lho, Cit,"
Kata Hani kesal.
Dari tempat duduknya, Reinald menyaksikan peristiwa itu.
Cowok itu tersenyum geli tanpa sadar.
Namun tak lama senyum itu menghilang.
Reinald merasa tidak seharusnya ia melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan Ronald.
Kalau Ronald sih punya alasan kuat.
Citra kan tidak kenal dia.
Sementara Reinald mengenal Citra.
Lagi pula, masa sih harus mengamati terus cewek yang setiap hari duduk bersamanya, cuma setengah meter di sebelahnya! Ketika kembali ke kelas, kembali Reinald bertekad harus harus bisa membuat Citra bicara padanya.
Harus bisa membuat Citra menoleh dan menatapnya.
Harus bisa! Dan apa yang diinginkan Reinald terjadi, tapi sama sekali tidak seperti yang diharapkannya.
Sandy, teman sebangku Ian, minta izin untuk pulang.
Sekarang Ian duduk sendiri.
Cowok itu lalu mengajak Citra duduk bersamanya.
Citra jelas langsung setuju karena ia bisa terbebas dari Reinald.
Sesuatu yang indah banget! Reinald jadi gusar saat mendadak sendirian dan sekarang Citra sekarang ada di pojok, di sebelah Ian.
Citra, cewek yang ditaksir Ronald.
Karena sang kakak itu sekarang sudah tidak ada, bagi Reinald satu-satunya tempat untuk Citra adalah di sebelahnya.
"Citra, balik sini. Jangan duduk di situ!"
Perintahnya.
"Apa sih tu orang?"
Citra melirik malas.
"Nggak bagus cewek duduk di belakang gitu. Di pojok, lagi. Balik sini!"
Perintah Reinald lagi, jadi semakin gusar.
"Lo kenapa sih, Ren? Segitu galaknya. Biarin aja. Terserah dia mau duduk di mana, lagi,"
Kata Ian, Reinald tidak menggubris ucapan Ian.
"Kalo lo nggak mau duduk di sini, balik ke bangku lo sana!"
"Gimana bisa, lagi?"
Citra menjawab dengan kesal.
"Gue mau duduk di mana? Bangku gue ditempati temen lo gitu. Kan elo yang nyuruh dia dudukin bangku gue."
Reinald langsung mengarahkan tatapannya ke Roni. Teman-teman sekelas lainnya juga menatap ke arah Roni dengan bingung.
"Ron, lo balik sini!"
Seru Reinald.
"Nggak, ah!"
Roni menilak seketika.
"Balik sini, Ron. Please banget. Biar Citra duduk di situ."
Intonasi suara Reinald menurun, berusaha membujuk Roni agar bersedia pindah.
Tapi Roni tatap menolak.
Jelaslah.
Yang membuatnya jadi bersemangat berangkat ke sekolah setiap pagi kan karena duduk sebangku sama Loni, cewek pujaannya itu.
Balik ke belakang lagi, duduk di antara kaum sejenis lagi, bakalan bikin garing dan bego, karena kebanyakan bercanda daripada belajar.
Guru darang.
Reinald terpaksa menghentikan usahanya, terpaksa pasrah membiarkan Citra sebangku dengan Ian, dan terpaksa ia duduk sendirian.
Sementara itu seisi kelas kembali bingung saat melihat Reinald begitu marah hanya karena Citra menolak duduk di sebelahnya.
Berarti asumsi yang dulu itu, bahwa Citra naksir Reinald, salah.
Yang betul adalah sebaliknya.
Reinald yang naksir Citra! Untuk menghindari Reinald dan kemarahannya yang tidak jelas itu, lima menit sebelum bel pulang Citra sudah membereskan buku dan alat tulisnya.
"Lo mau langsung kabur, ya?"
Bisik Ian.
"He-eh."
Citra meringis.
"Gue lagi males berantem. Mending pulang. Makan trus tidur."
"Kenapa sih dia? Segitu marahnya?"
"Tau tuh. Nggak jelas."
Begitu bel pulang berbunyi, Citra lansung ngibrit ke luar kelas.
Reinald hanya bisa menatapnya geram.
Ia tidak bisa mengejar karena propertinya masih berantakan, ditambah belum selesai mencatat pula.
*** Kesempatan itu datang keesokan harinya.
Reinald mendapati Citra sedang berdiri di depan Loni dengan tampang panik.
Dari pembicaraan kedua cewek itu yang tidak sengaja tertangkap olehnya, ternyata Citra lupa membawa buku cetak Pendidikan Kewarganegaraan.
Sialnya, hari ini jelas yang punya jadwal pelajaran itu cuma kelas mereka.
Citra pantas panik.
Soalnya Bu Emi, guru PKN, memang paling antipati dan paling ngamuk kalau ada murid yang tidak membawa buku cetak pada jam pelajarannya.
Tidak peduli apa pun alasannya.
Informasi itu berdasarkan sumber-sumber yang sangat bisa dipercaya, yaitu para murid yang pernah tidak membawa buku cetak PKN karena berbagai alasan kemudian merasakan amukan Bu Emi.
Merasa telah menemukan celah untuk meruntuhkan dinding yang dibangun Citra, Reinald tidak lagi mencoba mengajaknya bicara.
Baru setelah pergantian jam pelajaran dan giliran PKN tiba, Reinald buka mulut.
"Kenapa?"
Tanya Reinald.
"Lo nggak bawa buku cetak PKN, ya?"
"Lupa!"
Jawab Citra. Suara pertama yang ditunjukan untuk Reinald, setelah berhari-hari bungkam. Ketus. Kasar. Namun Reinald bersyukur karena bibir cewek itu akhirnya terbuka juga untuknya.
"Sama saja. Tetap aja judulnya nggak bawa, kan?"
Citra semakin kesal. Kalau tadi ia meladeni Reinald dengan tatapan ke depan, sekarang cewek itu menoleh dab menatap mata Reinald langsung.
"Trus kenapa? Lo mau ikutan marahin gue juga? Boleh aja. Nggak apa-apa. Tapi tunggu giliran, ya? Bu Emi duluan, baru elo."
"Nih!"
Reinald meletakan buku cetak PKN-nya di depan Citra.
"Lo pake aja. Sekarang cariin gue pinjeman buku cetak apa aja. Yang penting depannya bersampul."
Citra terpana menatap Reinald. Tampang judesnya langsung hilang.
"Buruan!"
Perintah Reinald galak.
"Malah bengong, lagi. Nanti keburu Bu Emi dateng!"
"Iya! Iya!"
Cepat-cepat Citra bangkit berdiri. Tidak sulit mencari buku cetak yang bersampul. Tak lama ia kembali dengan buku cetak matematika milik Hani.
"Stroberi!?"
Reinald melotot.
"Ada pita-pitanya, lagi. Lo gimana sih? Ini sama aja langsung ngasih tau Bu Emi kali ini bukan buku gue."
"Lo bilang tadi yang depannya bersampul?"
"Ya jangan stroberi pake pita dong, Cit. Mana warnanya pink pula. Ini kan cewek banget. Kecuali kalo selama ini gue punya gejala homo."
"Nggak ada lagi. Bukunya Meisya, sampulnya gambar permen warna-warni. Bukunya Indah, sampulnya malah Winnie The Pooh."
Reinald memandangi buku cetak matematika milik Hani lalu mendecakkan lidah.
"Ampun deh!"
Katanya sambil geleng-geleng kepala. Senyum pasrah tergambar dibibirnya. Melihat ekspresi Reinald, Citra jadi tidak bisa menahan geli. Tiba-tiba tawanya lepas berderai. Reinald meliriknya.
"Ketawa, lagi!"
Reinald mendengus, membuat Citra semakin terkekehkekeh.
"Oh, iya!"
Seru Citra kemudian.
"Semua bukunya Giri kan disampul cokelat tuh."
"Oh, iya!"
Reinald menjentikkan jari.
"Buruan, Cit. Pinjemin satu. Buku cetak apa aja. Tapi jangan matematika. Angka doang soalnya."
"Iya, udah tau. Buku cetak yang banyak hurufnya, kan?"
Seru Citra, yang saat itu sudah berjalan dengan langkah-langkah cepat menuju bangku Giri.
"Sip!"
Reinald berseru balik.
Berhubung giri selalu menuliskan namanya dan nama buku pelajaran yang bersangkutan di sampul depan, terpaksa Reinald dan Citra melepaskan sampul cokelat dan membaliknya -bagian dalam jadi bagian luar-untuk menyembunyikan nama sang pemilik buku dan tulisan "Bahasa Indonesia"
Yang tertera di sana.
Beres sudah! Buku tersebut sekarang sedang berpurapura sebagai buku PKN.
Reinald dan Citra mengembuskan napas lega bersamaan.
Tidak satu pun dari mereka menyadari bahwa ketegangan di antara mereka telah mencair.
Kemarahan menghilang dan semua pertengkaran yang pernah terjadi terlupakan.
Namun beberapa saat kemudian keduanya tersadar.
Dengan meminjam buku Giri, itu sama saja langsung mengatakan pada Bu Emi bahwa buku yang sekarang ada ditangan Reinald itu bukan buku PKN.
Karena di kelas mereka, yang buku-bukunya disampul cokelat cuma bukunya si Giri.
Dan Giri tidak mungkin punya dua buah buku PKN.
Jadi salah satu dari dua buku yang saat ini bersampul cokelat pasti palsu.
Dan bisa dipastikan, buku yang sedang berpurapura sebagai buku PKN adalah buku yang sekarang sedang dipegang Reinald! "Gue pinjam lagi bukunya Hani yang tadi deh.
Nih, buku lo."
Citra mengembalikan buku PKN Reinald lalu bangkit berdiri. Terlambat! Bu Emi sudah muncul di ambang pintu. Citra langsung duduk kembali.
"Udah, lo pake aja,"
Bisik Reinald sambil menggeser kembali bukunya ke depan Citra.
"Trus lo gimana?"
Bisik Citra. Ditatapnya Reinald dengan kecemasan sarat.
"Ya doain aja mudah-mudahan ntar nggak ketauan. Soalnya kalo ketauan, gue bakalsn abis diomelin."
Kemudian, mengikuti seisi kelas, Reinald membuka buku di depannya pada halaman yang diperintahkan Bu Emi.
"Muka lo jangan keliatan cemas gitu dong. Ntar gue malah langsung ketauan,"
Bisiknya saat tak sengaja menoleh sekilas dan melihat Citra sedang meliriknya dengan ekspresi cemas yang terlihat jelas.
Cewek itu buru-buru mengubah air mukanya.
Selanjutnya adalah bagian yang paling berat.
Kalau sedang menerangkan pelajaran, Bu Emi tidak pernah diam di satu tempat.
Selalu sambil jalan ke sana kemari.
Makanya Reinald kembali menutup bukunya, karena susunan paragraf dan letak subjudulnya yang berbeda akan membuat siapa pun yang melihat bahkan dari kejauhan-tahu bahwa yang ada di depan Reinald itu bukan buku PKN.
Tapi sampul cokelat memang sudah menjadi trademarks Giri.
Jadi begitu di kelas itu ada dua buku bersampul cokelat, Bu Emi langsung tahu, buku yang dipegang Reinald adalah buku Giri.
Entah buku cetak pelajaran apa, yang jelas buku tersebut sekarang sedang menyamar sebagai buku cetak pelajaran PKN.
Dengan wajah yang perlahan berubah dingin, Bu Emi menancapkan pandangannya pada Reinald lalu memberi perintah dengan nada tajam.
"Kamu yang di belakang, siapa namamu?"
Bu Emi yang berdiri bersandar di meja guru segera meraih buku absensi murid dari meja di sebelahnya.
"Reinald. Coba kamu baca tiga paragraf pertama!"
"Mampus gue!"
Desis Reinald.
"Ketauan juga. Cepet, lagi!"
Diiringi Citra yang meliriknya dengan tatapan cemas dan rasa bersalah, Reinald mengangkat kepala.
"Saya lagi sakit gigi, Bu,"
Ucapnya dengan suara dibuat semelas mungkin. Jelas Bu Emi tidak percaya. Selain karena beliau sudah tahu yang dipegang Reinald bukan buku mata pelajaran yang diajarkannya, juga karena tampang Reinald tidak sepeti tampang orang yang lagi sakit gigi.
"Membaca pelan-pelan saja kalau begitu,"
Ucap Bu Emi dengan nada manis.
"Eeemmm...."
Reinald kebingungan.
"Kamu tidak bawa buku, kan? Buku yang kamu pegang sekarang itu bukan buku pelajaran saya, kan?"
Nada manis dalam suara Bu Emi menghilang dan berubah galak. Tatapannya lurus dan tajam ke arah Reinald. Reinald sadar, percuma mengelak. Hanya akan memperburuk keadaan.
"Iya, Bu. Saya lupa bawa buku."
Diiringi keterperangahan Citra, Reinald mengangguk.
Begitu Reinald mengaku, Bu Emi langsung ngomel panjang lebar dan dengan nada berapi-rapi pula.
Dimulai dengan mengatakan Reinald tidak menghargai pelajaran yang dia berikan, dan berujung pada kenyataan bahwa Reinald adalah model generasi muda yang sama sekali tidak menghargai nilai-nilai perjuangan para pahlawan dan arti kemerdekaan bagi suatu bangsa.
Reinald baru tahu, juga Citra dan seluruh isi kelas yang mengikuti jalannya peristiwa Bu Emi mengomel itu dengan sangat seksama, bahwa tidak membawa buku PKN ternyata termasuk bentuk penghianatan terhadap perjuangan para pahlawan yang rela gugur demi Kemerdekaan Negara Indonesia.
Kesimpulannya, tidak membawa buku cetak pada jam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah satu bentuk kejahatan yang sangat serius, dan kalau saja ada undang-undangnya, mungkin Reinald sudah masuk penjara.
Setelah mengomel panjang lebar begitu, ternyata masih belum cukup.
Bu Emi kemudian memerintahkan Reinald untuk meninggalkan kelas.
Citra tersentak.
Ia sudah hendak buka mulut, akan mengakui dialah yang tidak membawa buku.
Namun Reinald segera mengulurkan tangan.
Disentuhnya tangan kanan Citra yang terletak dipangkuan, lalu diremasnya sesaat dan pelan, mengisyaratkan agar jangan bicara apa-apa.
Kemudian Reinald bangkit berdiri dan berjalan ke luar kelas, diiringi tatapan bersalah Citra dan tatapan iri cowok-cowok di deretan belakang.
Asyik banget si Reinald, nggak belajar.
Curang tuh anak, nggak ngajak-ngajak.
Jam pelajaran PKN berakhir bertepatan dengan istirahat kedua.
Begitu Bu Emi meninggalkan kelas, Citra langsung berlari menuju kantin.
Dugaannya tepat.
Reinald ada di sana.
Cowok itu menyambut kedatangan Citra yang tergesa-gesa itu dengan senyum.
Senyum yang terlihat masih agak kikuk, karena ini pertama kali Citra menghampirinya tanpa raut dingin, cemberut, marah atau ekspresi-ekspresi nggak enak lainnya.
"Maaf ya tadi? Maaf banget. Seharusnya tadi biar aja gue ngaku."
Ucap Citra begitu sampai di depan Reinald.
"Trus, lo nongkrong sendirian di sini selama dua jam pelajaran, ya? Apalagi tadi kepsek lewat. Trus, lo langsung ngumpet, kan?"
Seru Citra seketika.
"Nggak ada gunanya. Emang nggak ada laporan, apa? Gue dikeluarin dari kelas gini,"
Ucap Reinald, mendengar itu Citra jadi semakin merasa bersalah.
"Bayaran somay sama minum gue deh. Biar tampang lo nggak feeling guelty banget gitu."
"Oke!"
Citra langsung mengangguk. Dia tersenyum dan balik badan. Tak lama dia kembali dengan sepiring somay dan segelas air mineral.
"Nih!"
Dia sodorkan seplastik kacang kulit ke hadapan Reinald.
"Buat iseng sambil nemenin gue makan."
Kata-kata Citra itu membuat Reinald tercengang. Kebetulan banget! Reinald juga sedang memikirkan alasan untuk menemani Citra makan.
"Bego ya kita? Kok bisa-bisanya nggak sadar kalo Giri itu mungkin satusatunya anak SMA diseluruh Indonesia yang buku-bukunya disampulin cokelat,"
Ucap Reinald sambil mebuka plastik pembungkus kacang kulit. Mendengar itu, Citra batal menyuaupkan potongan somay ke mulutnya. Dia mengangguk kuat-kuat.
"Iya emang. Ini semua gara-gara Giri!"
Keduanya lalu tenggelam dalam obrolan tanpa sekat.
Pertama kali berdekatan tanpa bertengkar.
Pertama kali makan di kantin berdua.
Dan pertama kali merasa dekat satu sama lain.
BAB 10 MALAMNYA, Reinald terduduk dalam diam dikursi milik Ronald yang ditariknya menjauh dari meja belajar.
Kedua matanya tertancap lurus pada secarik kertas di dinding di atas meja.
Catatan Ronald tentang Citra.
Perlahan Reinald bangkit berdiri dan berjalan menghampiri meja belajar Ronald.
Dilepasnya kertas itu dari dinding lalu dimasukkannya ke salah satu laci.
Sudah tidak diperlukan lagi.
Karena semua yang tertulis di kertas itu sudah terjadi di depan matanya.
Citra jauh lebih berharga.
Sebab dia adalah kenangan yang hidup.
Dan satusatunya tempat untuk Citra adalah di sebelahnya.
Sampai semuanya terbayar.
Setiap usaha Ronald.
Setiap waktu yang dia habiskan.
Setiap kesabaran sekaligus ketidaksabarann ya.
Setiap kecemasan dan harapannya.
Dan segala yang terjadi di dalam penantian yang panjang itu.
Untuk pertama kalinya sejak kematian Ronald, Reinald berani membalik foto sang kakak yang selama ini digantungnya dalam posisi terbalik.
Karena sekarang ruang kosong itu sebagian telah terisi.
Dan untuk pertama kalinya pula Reinald menatap kembali wajah Ronald yang tersenyum lebar di dalam pigura.
Ia menarik napas panjang dan dalam, kemudian bicara dengan suara tenang namun penuh tekad.
"Gue tahan cewek lo di sebelah gue. Dan gue jamin, dia nggak bakalan bisa ke mana-mana!"
BAB 11
"REINAAALD...!"
Reinald menghentikan langkah dengan kaget. Dilihatnya Citra keluar dari kerimbunan pepohonan tidak jauh dari halte bus, lalu menghambur ke arahnya.
"Lama banget sih datengnya? Gue sampe digigitin semut, tau!"
"Lo ngirim SMS, gue udah di bus. Emang lo kira gue bayar ongkos berapa, bisa maksa sopirnya ngebut. Ngapain ngumpet di situ?"
Citra meringis lebar lalu terkekeh-kekeh geli.
Tidak dijawabnya pertanyaan Reinald.
Namun dari cara Citra yang meraih lalu menggenggam lengan kiri Reinald dengan kesepuluh jari dan berjalan agak sedikit di belakangnya, siap menjadikan punggungnya sebagai perisai, Reinald sudah bisa menduga.
Telah sebulan berlalu sejak mereka makan di kantin berdua, setelah Reinald kena marah Bu Emi.
Reinald tidak membiarkan Citra menjauh darinya dengan cara.
siap menjadi bodyguard tiap kali cewek itu mendapatkan kesulitan karena sifat isengnya.
Satu cara halus yang membuat Citra tanpa sadar membutuhkan kehadiran Reinald.
"Lo ngisengin orang lagi, kan?"
Tanyanya. Citra meringis.
"Mereka aja yang sense of humor-nya nggak bagus kayak gue."
"Sense of iseng, kali?"
Dengus Reinald.
Citra terkikik geli.
Begitu sampai sekolah, Reinald jadi tahu kenapa Citra bersembunyi di belakang pepohonan tidak jauh dari halte dan menungguinya.
Di ambang pintu kelas, Giri, yang punya nama lengkap Giri Yasa Jaya, berdiri sambil bertolak pinggang.
"Hai, Giriii!"
Citra menyapa dan tersenyum manis.
"Nggak usah senyum-senyum!"
Sentak Giri. Tapi itu malah membuat Citra tertawa geli.
"Tadi gue samperin ke halte, lo nggak ada. Ngumpet di mana lo?"
"Lo kenapa sih pagi-pagi ngamuk?"
Tanya Reinald.
"Mau tau!?"
Giri menatap Reinald dengan mata melotot maksimal.
"Sini!"
Giri berjalan ke mejanya. Reinald mengikuti dengan kening berkerut. Sementara Citra mengekor di belakang Reinald, masih sambil memegangi lengangnya. Ekspresi muka cewek itu khas kalau habis melakukan keisengan. Polos.
"Lo liat tuh kerjaan si tukang iseng!"
Giri menunjuk dengan dagu ke arah dua buku tulisnya yang tergeletak di meja.
Giri tuh rapi banget.
Semua bukunya disampul cokelat.
Namanya yang unik selalu ditulis dengan rapi di sudut kanan atas.
Sementara nama mata pelajaran di tengah-tengah.
Reinald mengambil kedua buku itu, membaliknya dan nyaris saja tawanya meledak.
Dibawah setiap tulisan nama Giri, Citra memberikan tambahan.
GIRI YASA JAYA Jakarta -Yogya pulang-pergi Sementara di buku satunya.
Giri Yasa Jaya Jakarta -Surabaya Via Tegal, Semarang, Brebes, Solo Tulisan itu sama sekali tidak bisa dihapus karena Citra menulisnya dengan sepidol.
Melihat keributan itu, seketika teman-teman sekelas merubung ingin tahu.
Kedua buku itu kemudian berpindah-pindah tangan, dan setiap kali berpindah selalu membuat yang melihatnya tertawa geli.
"Lo iseng banget sih, Cit? Nulisnya pake sepidol, lagi. Kan nggak bisa dihapus."
Reinald melirik Citra yang berdiri di belakangnya. Seperti biasa, Citra langsung ngeles.
"Ini salah Giri, lagi. Abis namanya kayak bus malem gitu. Coba kalau biasabiasa aja, kan gue juga nggak bakalan iseng."
Reinald berlagak berpikir sebentar, kemudian mengangguk.
"Iya, bener. Elo yang salah, Gir. Kenapa juga nama lo kayak nama bus gitu. Bikin orang pengin iseng aja."
"Apa!? Coba bilang sekali lagi!"
Giri melotot. Apalagi teman-teman sekelas membenarkan argumen Citra itu.
"Gue nggak mau tau! Pokoknya gue minta sampulnya diganti. Sekarang juga!"
Katanya, nyaris teriak.
"Warnanya cokelat juga?"
Tanya Citra berlagak bego.
"Ya iyalah!"
Giri melotot gemas.
"Oke deeeh."
Citra mengangguk manis.
Bel masuk masih setengah jam lagi.
Masih ada waktu untuk ke koperasi dan membeli sampul cokelat buat Giri.
Sebenarnya Citra bisa sendiri, tapi ia minta ditemani Reinald.
Masih sambil menggenggam lengan Reinald, Citra melangkah ke koperasi diiringi tatapan kesal Giri dan cengiran teman-teman mereka.
*** Urusan dengan Giri beres.
Tapi tampaknya Citra belum puas mengisengi teman-temannya.
Esok harinya, dua puluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai, Citra memasuki kelas.
Tangan kanannya menggenggam amplop cokelat berukuran lumayan besar.
Cewek itu berjalan menuju mejanya lalu meletakkan tasnya di sana.
Sepasang matanya langsung menatap ke salah satu sudut belakang, ke tempat beberapa cowok sedang duduk berkelompok dan asyik mengobrol.
Senyum samar seketika mengembang dibibirnya.
Dihampirinya kerumunan cowok itu.
Walaupun setiap kali akan melakukan keisengan Citra jarang menceritakan niatnya, insting Reinald langsung bekerja.
Cowok itu, yang juga berada di antara kerumunan cowok yang didatangi Citra, seketika memecah perhatiannya.
Sebagian tetap mengikuti obrolan ramai di depannya, sementara sebagian lagi memperhatikan gerak-gerik Citra.
Citra, yang tahu bahwa Reinald mengawasinya, balas menatap sambil meringis lebar.
Keberadaan cowok itu justru membuatnya merasa aman.
Karena itu, dengan tenang disibaknya kerumunan cowok yang sedang asyik ngobrol itu.
"Eh, gue punya gambar telanjang...,"
Bisiknya. Bisikan itu cukup keras hingga seketika mampu menghentikan suara riuh. Lingkaran manusia di depannya kontan hening. Semua mata menatapnya. Terbelalak maksimal.
"Apa lo bilang?"
Tanya Ian. Tanpa sadar bertanya dengan bisikan, saking tidak percayanya ada yang berani membawa gambar telanjang ke sekolah. Dan cewek pula! "Gue punya gambar telanjang!"
Ulang Citra.
"Nggak mungkin!"
Bantah Ian.
"Bohong, lo. Paling lo mau iseng lagi."
Yang lain mengangguk mengiyakan.
"Ya udah kalo nggak percaya. Bener nih, nggak mau ngeliat? Hot, tau nggak?"
Gaya santai dan cuek yang diperlihatkan Citra untuk membungkus hasutannya berhasil. Wajah-wajah tak percaya itu kini mulai ragu.
"Beneran yang lo bawa itu gambar telanjang?"
Tanya Didot pelan.
"Yeee..."
Citra belagak kesal.
"Kan tadi udah gue bilang?"
Sikap Citra yang seakan jengkel karena dituduh bohong menghapuskan keraguan teman-temannya. Lingkaran cowok di depannya seketika mengecil dan merapat. Semua mata terpusat kepada Citra dan amplop cokelat di tangannya.
"Bener itu gambar telanjang, Cit?"
Tanya Sandy lirih.
"Sumpah! Makanya gue segel amplopnya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan."
"Mana? Mana? Buruan liat!"
Didot langsung mengulurkan kedua tangannya.
Yang lain mengikuti dengan sangat antusias.
Ada yang menggosok-gosokan telapak tangan.
Ada yang mendecak-decakkan lidah.
Ada juga yang berusaha merebut amplop cokelat itu dari tangan Citra.
Tapi cewek itu mempertahankan dengan sigap.
Citra lalu melirik ke sekeliling dengan waspada, kemudian dengan gerakkan cepat diserahkannya amplop cokelat itu pada Ian, yang tepat berada di sebelahnya.
Cowok itu menerima dengan sangat antusias.
"Lo ternyata rusak banget ya, Cit? Gue nggak nyangka,"
Ucapnya.
"Lo ngatain gue rusak banget, tapi lo terima juga. Berarti lo juga sama rusaknya, kan?"
Balas Citra. Ian meringis. Ia sudah siap merobek salah satu tepi amplop, tapi Citra buruburu mencegah.
"Tunggu! Tunggu! Jangan dibuka sekarang. Gue nggak mau dituduh udah nyebarin gambar porno di sekolah."
Citra cepat-cepat berlari ke luar kelas. Kerumunan cowok yang baru saja ditinggalkannya menatapnya heran.
"Emang udah jelas-jelas dia yang nyebarin kok. Ngapain juga pake dituduh?"
Kata Ian, membuat teman-temannya tertawa.
Sementara itu Reinald hanya bisa menatap Citra dalam ketercengangan yang benar-benar hebat.
Cowok itu sampai tidak mampu bersuara.
Asli, ini gila banget! Udah bener-bener kelewatan! Citra sinting! Kerumunan cowok di depan Reinald semakin merapat, lalu terdengar suara amplop disobek, dan sedetik kemudian terdengar...
seruan marah bercampur sumpah serapah! Citra, yang berdiri di luar dan mengawasi dari balik jendela, lansung berlari menjauh sambil tertawa keras-keras.
Kerumunan cowok di depan Reinald langsung buyar.
Ekspresi dongkol, geram, jengkel, kesal, bahkan marah, terpusat pada Citra.
Mereka kemudian berjalan kelua r karena mendapati Citra sudah tidak ada lagi di koridor tempat dia tadi berdiri.
Di sana, kembali cowokcowok itu menyumpahi Citra.
Beberapa sambil mengacung-acungkan jari telunjuk atau kepalan tinju.
"Citra sialan! Kurang ajar! Kirain gambar telanjang betulan!"
"Awas lo, Cit, ya! Liat aja ntar! Jangan dikira bisa selamet!"
Namun ancaman itu justru membuat tawa terbahak Citra semakin menjadijadi.
Di ujung koridor, di dekat tangga, cewek itu sampai terbungkuk-bungkuk karena tawanya yang tak putus membuat perutnya sakit.
Reinald meraih amplop cokelat yang tergeletak di meja, lalu mengeluarkan isinya.
Seketika tawanya meledak keras.
Citra tidak bohong.
Dia benar-benar membawa gambar telanjang.
Tepatnya, foto telanjang.
Tapi foto ayam.
Ayam potong yang benar-benar montok yang mungkin dibeli mamanya di tukang sayur, diatur dalam posisi duduk.
Satu pahanya menyilang di atas paha yang lain.
Kedua sayapnya diatur seolah sedang bertolak pinggang.
Lalu difoto close up.
Sambil geleng-geleng kepala dan tertawa tanpa suara, Reinald memasukkan kembali foto itu ke amplop.
Setelah puas menyumpah-nyumpah dan melontarkan ancaman yang belakangan diwarnai senyum geli, para cowok itu kembali masuk kelas.
Kali ini menuju bangku masing-masing, karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Tak lama ponsel Reinald berbunyi.
Ada SMS masuk.
Dari Citra.
Ren, gw udh bs msk kls blm? Sambil menahan senyum, Reinald segera membalas.
Blm! Mrk mlh blg, kl lo brani msk kls, Lo mo ditelanjangin! Sedetik kemudian ponsel Reibald berdering, dengan ringtone yang menandakan itu dari Citra.
Begitu diangkat, langsung terdengar jeritan dari sang penelpon.
"Masa sih!? Orang gue cuma bercanda kok. Pada nggak asyik nih. Bercanda gitu doang kok marah."
"Mereka ngomongnya gitu kok."
Reinald menyeringai.
"Di mana posisi lo sekarang?"
"Di depan tangga. Gimana dong, Ren? Bentar lagi bel nih."
"Lo tunggu di situ. Nanti gue jemput."
Jawan Reinald, kemudian menutup telepon tanpa menunggu jawaban Citra. Citra menyambut kedatangan Reinald dengan cengiran lebar, yang segera berubah menjadi tawa gelak. Reinald hanya bisa geleng-geleng kepala tapi akhirnya ikut tertawa.
"Elo tuh ya..."
Reinald tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Spechlees. Sadar dirinya kini terlindung, begitu sampai kelas, sambil ketawa geli, Citra menggoda teman-teman yang telah sukses dijailinya.
"Pahanya oke banget, kan? Montok dan seksi! Kayaknya itu ayam oriental deh, soalnya putih. Kalo ayam Afrika, item kali, ya? Makanya nggak gue pilih. Secara di tukang sayur juga nggak ada. Lagi pula kalo ayam Afrika, takutnya pas difoto pahanya kurang keliatan jelas gitu."
Cowok-cowok itu menatap Citra dengan tatapan dongkol, gemas, juga merasa blo"on.
Kok bisa-bisanya mereka tertipu padahal sudah jelas-jelas Citra itu tukang ngisengin orang.
Reinald menoleh.
Ditatapnya Citra dengan sorot mata agak kesal.
Citra malah jadi terkekeh geli melihat muka Reinald.
"Gue punya gambar telanjang yang lain. Mau liat lagi, nggak?"
Sambungnya kepada teman-temannya yang masih menatapnya itu. Reinald berhenti melangkah.
"Bener-bener gue tinggal lo, Cit, ya?"
Ancamnya.
"Gue pindah duduk nih?"
"Eh, jangan! Jangan!"
Serta-merta Citra mencekal satu larangan Reinald.
Diikutinya langkah cowok itu menuju meja mereka.
Setelah duduk manis di bangkunya selama beberapa saat dan teman-teman yang tadi diusilinya masih juga menatapnya, Citra mengangkat kedua jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf V.
"Peace! Peace! Damaaaiii!"
Ketika wajah-wajah itu tidak menunjukan reaksi, Citra tertawa geli.
BAB 12 KELAS hening total.
Senyap sempurna.
Hal ini selalu terjadi di kelas mana pun yang dimasuki Pak Asril.
Guru fisika ini sebenarnya jarang marah, tapi beliau memang punya sense of kill yang berbeda dengan guru-guru killer lainnya.
Dia tidak "membunuh"
Muridnya dengan omelan panjang atau tugas menumpuk, apalagi surat "ngadu"
Ke orangtua murid tersebut.
Cukup dengan tatapan mata.
Kalau Pak Asril menatap tajam, setiap objek tatapannya akan langsung menciut dan seketika yakin hidup mereka dalam bahaya besar.
Dan untuk keluar dari bahaya besar tersebut hanya ada dengan satu cara, yaitu menjadi murid yang baik.
Contohnya.
duduk manis pada jam fisika selanjutnya, mendengarkan setiap penjelasan Pak Asril dengan ekspresi tekun dan penuh perhatian, mencatat dengan lengkap dan rapi, serta mengerjakan setiap PR yang diberikan.
Hal ini harus terus dikerjakan sampai sang guru lupa bahwa murid tersebut pernah melakukan kesalahan dan kredibilitasnya kembali baik.
Kali ini nasib malang itu menimpa Didot, yang punya nama asli Dodo.
Di tengah keheningan sempurna itu, yang hanya terisi suara goresan kapur yang digerakkan Pak Asril di papan tulis, mendadak terdengar suara Citra.
Tidak terlalu keras dan terdengar wajar, seakan Citra tidak bermaksud apa-apa.
"Didot, bolpoin lo gue pinjam deh. Nggak lo pake, kan? Soalnya elo kan nggak nyatet."
Seketika semua kepala terangkat, dan semua aktifitas mencatat terhenti.
Termasuk Pak Asril.
Beliau langsung menghentikan kesibukannya memenuhi seluruh permukaan papan tulis dengan berbagai rumus dan contoh soal yang bikin kepala cepat kisut.
Didot langsung pucat pasi, menegang di kursinya.
Sumpah demi seisi jagat raya, ini benar-benar bencana! Seisi kelas menyaksikan dengan tegang saat Pak Asril meletakkan buku yang dipegangnya, lalu melangkah mendekati meja Didot dengan tatapannya yang mematikan, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara.
Sesampainya di meja tujuan, dengan tatapan yang masih tertancap pada Didot, Pak Asril meraih buku catatan Didot yang tergelatak di meja dan membuka lembaran-lembarannya.
Wajah yang kaku dan dingin semakin bertambah menakutkan saat mendapati kenyataan bahwa terakhir kali Didot mencatat pelajarannya kira-kira tahun 1500 SM.
Dan inilah kecanggihan Pak Asril.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, cukup dengan menatap tajam dan menjulangkan tubuhnya yang tinggi besar di depan si murid bermasalah, persoalan akan selesai saat itu juga.
Dan itulah yang terjadi pada Didot.
Disaksikan semua mata yang ada, yang menatap antara geli dan kasihan -termasuk mata sang pencipta hura-hura, Citra-Didot meminta maaf pada Pak Asril dengan kepala tertunduk dan suara terbata.
Dia berjanji akan secepatnya melengkapi buku catatannya yang isinya cuma tulisan "FISIKA"
Gede-gede di halaman pertama dan "BAB SATU"
Di halaman berikutnya.
Di jam fisika-fisika seterusnya, Didot jadi objek tawa geli dan bahan ledakan teman-teman sekelasnya.
Soalnya begitu Pak Asril masuk kelas, Didot langsung bersikap bak pelajar teladan atau murid langganan juara kelas.
Tekun, rajin mencatat, dan mengerjakan PR, serta mendengarkan setiap penjelasan Pak Asril dengan serius.
Dengan sikap tubuh sempurna, kata-kata guru killer itu disimaknya habis-habisan.
Suatu pagi, sepuluh menit sebelum pelajaran fisika, Ian tertawa terbahakbahak saking gelinya.
"Mampus lo, Dot!"
Serunya. Didot menoleh. Ditatapnya Ian dengan dongkol. Tatapannya kemudian beralih ke Citra. Lebih dongkol lagi.
"Awas lo, Cit, ya. Tunggu pembalasan gue!"
Ancamnya.
Entah sudah berapa puluh kali Didot melontarkan ancaman itu.
Sampai saat ini yang bisa dilakukannya memang hanya sebatas mengancam.
Karena keisengan Citra kali ini lumayan gawat, lumayan tidak lucu sebenarnya, Reinald terpaksa menjaga cewek itu dengan ketat.
Tak peduli dengan semua protes Citra yang jadi terkekang karena terlalu diproteksi.
Yang jelas, Didot juga tidak bisa berbuat apa-apa karena Reinald-lah yang pertama harus dihadapi kalau ingin membalas keisengan Citra.
Citra meringis lalu memamerkan buku catatan dan PR fisikanya dengan sangat demonstratif.
"Nggak bakalan ada kesempatan lo balas dendam ke gue. Soalnya gue selalu mencatat dengan rajin dan menyontek PR lebih rajin lagi."
Mendengar itu, Ian tambah terbahak-bahak.
Reinald ikut tertawa mendengar jawaban Citra.
Namun ia tahu, Didot tidak main-main dengan ancamannya.
*** Benar.
Didot dendam.
Meskipun sekarang nilai fisikanya lumayan, yang namanya jadi perhatian guru killer tetap bikin stres dan jantung deg-degan.
Pokoknya hidup jadi nggak tenang dan nggak indah lagi deh.
Didot merasa hidupnya baru bisa kembali tenang kalau sudah berhasil membalas keisengan Citra.
Demi dendamnya terbalas itulah perhatian Didot pada Citra tak pernah lengah, meskipun tidak kentara.
*** Suatu pagi Citra melangkah masuk ke kelas tanpa semangat.
Hari ini sebenarnya malas masuk.
Tamu bulanannya datang.
Dan hari ini hari kedua.
Hari banjir bandang dalam siklus bulanannya.
Sayangnya hari ini ada pelajaran kimia dan matematika.
Jenis mata pelajaran yang terus diikuti tanpa absen saja masih sering nggak mudeng, alias susah dipahami, apalagi pakai acara bolong-bolong.
Dan sialnya, kedua mata pelajaran itu adanya di ujung-ujung.
Matematika dua jam pertama, dan kimia di dua jam terakhir.
Artinya, Citra terpaksa kudu sekolah full time sampai menjelang sore.
Tidak bisa minta izin.
"Kenapa? Kok lesu?"
Tanya Reinald. Citra tersenyum datar.
"Mm... nggak enak badan,"
Jawabnya.
Jawaban itu membuat Reinald sejenak menatap Citra sebelum meneruskan kembali obrolannya dengan Roni.
Berhubung sedang banjir bandang, mau tidak mau Citra harus bolak-balik ke kamar mandi untuk ganti pembalut.
Reinald, yang tidak mengerti, jadi khawatir.
Ia menyarankan untuk pulang.
Jelas saja Citra menolak.
"Nggak apa-apa? Pulangnya masih lama nih, Cit."
"Nggak apa-apa. Tenang aja."
Citra tersenyum.
Senyum tidak yakin.
Ternyata emang apa-apa.
Di jam terakhir, di pembalut terakhir pula, justru terjadi pancak banjir bandang.
Citra yang bisa merasakan terjadinya luberan yang tidak tertampung langsung panik.
Tapi kepanikan itu ditekannya matimatian, hingga tinggal berbentuk kegelisahan.
Kegelisahan yang amat sangat, karena ini masalah besar.
Gimana nanti caranya bisa pulang!? Kegelisahan itu tertangkap mata Didot.
Percuma saja ia punya empat kakak cewek kalau tidak tahu dengan segera apa penyebab kegelisahan Citra.
Sebulan sekali, setiap tanggal-tanggal tertentu, keempat kakaknya itu hobi sekali mondar-mandir ke kamar mandi.
Persis seperti yang dilakukan Citra sekarang.
Jadi, mondar-mandirnya cewek itu sudah pasti karena urusan khas cewek, bukan karena perut mules atau mencret-mencret.
Dan jangan-jangan kasusnya kayak lumpur Lapindo.
Meluber! Hahaha! Didot tertawa girang dalam hati.
Sementara itu Citra berpikir keras mencari siapa teman cewek yang bisa dimintai tolong karena -kayaknya ini memang hari sialnya-Loni nggak masuk.
Paling tidak, ia perlu sesuatu untuk menutupi bagian belakang roknya yang terkena bercak darah mens.
Di saat yang sama, Didot juga sedang berpikir keras bagaimana caranya memanfaatkan situasi ini untuk membalaskan dendamnya.
Begitu bel pulang berbunyi, Citra langsung sibuk menoleh ke sana kemari.
Didot langsung tahu Citra sedang mencari pertolongan.
Saat itu juga Didot mendapatkan ide yang menurutnya benar-benar brilian.
Cepat-cepat dihampirinya Citra, sebelum cewek tukang iseng itu sempat menemukan dewi penolong.
Didot menarik sebuah bangku ke sisi meja Citra, dan langsung nyerocos dengan heboh dan berapi-api.
"Cit, katanya lo suka komik jepang, ya? Kakak gue juga ada yang suka. Maniak malah. Dia punya koleksi komik jepang banyak banget. Dari zaman dulu, waktu komik jepang baru masuk Indonesia. Yang judulnya apa, ya? Candy-Candy, kalo nggak salah. Trus sampe sekarang dia masih ngumpulin terus tuh!"
Citra dan Reinald sampai nyaris terlonjak karena kaget. Otomatis kesibukan Citra mencari pertolongan jadi terhenti.
"Eh, sori. Sori. Kaget, ya?"
Kata Didot, berlagak menyesal.
"Ya kagetlah. Tiba-tiba lo muncul di sebelah gue, terus suara lo kenceng banget, lagi."
Jawab Citra kesal. Sementara itu Reinald meneruskan kembali kesibukannya memasukan semua buku dan alat tulisnya ke tas. Namun instingnya memberi peringatan, hadirnya Didot bukan tanpa tujuan.
"Iya itu tadi, Cit. Kakak gue yang nomer dua, yang sekarang udah gawe, koleksi komiknya banyak buanget. Sampe dia nyediain satu ruangan khusus buat nyimpen,"
Didot segera meneruskan ceritanya.
Dengan intonasi yang tetap berapi-api.
Bibir Citra sudah terbuka untuk menghentikan cerita nggak penting banget itu.
Sayangnya Didot nyerocos terus tanpa titik atau koma.
Betul-betul tanpa jeda.
Jadi, jangankan untuk menghentikan hujan deras katakata itu, untuk sekedar menoleh ke kiri atau pun ke kanan saja Citra sudah tidak punya kesempatan.
Sambil memasukkan diktat kimianya ke dalam tas, Reinald melirik Didot, mencoba menebak-nebak apa sebenarnya tujuan cowok itu.
Sayang ia tidak berhasil.
Lewat sudut mata, Didot menangkap kecurigaan Reinald, tapi purapura tidak tahu.
"Gitu, Cit. Jadi kalo lo mau pinjem komik, bilang aja yah? Oke deh, gue balik dulu. Yuk, dah!"
Cerita Didot mendadak berakhir. Cowok itu berdiri lalu berjalan ke luar kelas setelah melambaikan tangan sesaat. Citra dan Reinald menatap kepergiannya dengan bingung.
"Apa sih tu orang? Nggak jelas gitu. Siapa juga yang pingin pinjem komik kakaknya?"
Gerutu Citra. Cewek itu segera teringat kembali masalah besar yang sedang dihadapinya. Ia menoleh ke sekeliling dan seketika mukanya pucat pasi.
"Yaaah, udah kosooong!"
Jeritnya tanpa sadar.
"Elo kenapa sih?"
Reinald menatapnya bingung.
"Ya jelas kosonglah. Udah bel dari tadi. Yuk, balik."
"Mmm...."
Citra menggigit bibir. Mukanya kembali pucat.
"Ada apa?"
Tanya Reinald.
Jadi cemas melihat raut pucat Citra.
Sementara itu Didot diam-diam bersembunyi di belakang daun pintu yang terbuka, di luar kelas.
Begitu didengarnya jeritan Citra, cowok itu langsung berlari meninggalkan persembunyiannya sambil menyeringai lebar.
"Yes! Yes! Yes!"
Serunya begitu sudah jauh. Dia berlari sambil tertawa-tawa.
"Ada apa?"
Reinald mengulangi pertanyaannya. Jadi semakin cemas karena Citra tidak juga menjawab.
"Mmm...."
Kembali Citra menggigit bibir. Mukanya yang tadi pucat kini bersemu merah. Ditatapnya Reinald. Hanya sesaat. Lalu ia menunduk, tampak sangat malu.
"Ada apa sih?"
Tanya Reinald gemas.
"Gue udah mau balik nih. Gue tinggal ya?"
"Yah, jangan dong!"
Jawab Citra serta-merta.
"Makanya ngomong. Ada apa?"
"Gue nggak tau gimana cara bisa pulang,"
Ucap Citra memelas. Wajahnya semakin bersemu merah. Kening Reinald mengerut rapat.
"Kenapa? Kehabisan ongkos?"
"Bukan."
"Trus kenapa?"
"Mm... gue tembus,"
Jawab Citra lirih.
"Tembus apa?"
Tanya Reinald bodoh. Namun tak lama kemudian cowok itu mengerti. Selama tiga tahun di SMP, ia sering mendengar teman-teman sekelasnya yang cewek bertanya pada sesamanya dengan satu kata itu. Dengan intonasi yang juga selalu sama. Harap-harap cemas.
"Ups!? Sori. Sori, Cit."
Reinald buru-buru meralat kebodohannya. Kini mukanya jadi ikut bersemu merah. Namun dengan cepat ia menormalkan kembali.
"Jadi dari tadi lo bolak-balik ke kamar mandi gara-gara ini? Sama sekali bukan karena sakit?"
"Iya."
Citra mengangguk.
"Jadi sekarang gimana? Emang parah banget, ya?"
Sambil menggigit bibir dan menahan napas, Citra bangkit perlahan.
Perlahan pula ia menengok ke belakang bagian roknya.
Tanpa sadar, Reinald jadi ikut menahan napas.
Dan begitu berhasil mengetahui dengan pasti sebesar apa luberan tamu bulanannya, Citra langsung lemas.
Wajahnya menyiratkan keputusasaan.
"Gimana?"
Reinald bertanya tak sabar. Kembali muka Citra jadi bersemu merah. Sambil menunduk, perlahan cewek itu memutar tubuh. Seketika Reinald terperangah.
"Itu darah semua!?"
Tanyanya takjub.
"Gila! Kok kalian cewek-cewek bisa nggak mati lemes sih, ngeluarin darah segitu banyak?"
"Udah deh. Itu nggak penting. Sekarang gimana caranya gue bisa pulang nih?"
Reinald berdecak. Jadi bingung juga.
"Kenapa sih nggak lo antisipasi? Bawa sweter, gitu?"
"Panasnya lagi kayak di gurun gini, mana kepikiran?"
"Ck! Tas lo ransel pula,"
Reinald berdecak. Keduanya terdiam. Sama-sama kebingungan. Akhirnya Reinald mengambil keputusan nekad.
"Ya udah. Mau gimana lagi? Terpaksa kita terobos."
Citra langsung menggeleng kuat-kuat.
"Nggak! Nggak! Gila apa!? Pasti di lapangan depan rame banget deh. Anakanak pada nongkrong, gitu."
"Trus gimana? Mau nunggu sampe malem baru pulang? Pasti darahnya udah ke mana-mana. Bisa-bisa ntar malah dikira abis kecelakaan."
Reinald meraih tas ransel Citra. Dia kendurkan salah satu talinya.
"Coba pake. Bisa nutupin nggak?"
Dia ulurkan ransel itu ke Citra, yang langsung menyampirkannya di bahu. Cewek itu kemudian balik badan.
"Keliatan?"
Tanyanya, harap-harap cemas.
"Hmm...."
Reinald menyipitkan mata sesaat.
"Pas-pasan banget sih. Tapi mau gimana lagi? Cuma ini satu-satunya solusi. Yuk."
Reinald meraih ranselnya sendiri. Melihat Citra masih ragu, Reinald memegang kedua bahu cewek itu dari belakang, lalu mendorongnya ke luar kelas.
"Gue bantu tutupin dari belakang."
Keduanya berjalan menyusuri koridor yang sudah lengang, dengan formasi seperti anak kecil yang sedang bermain kereta-keretaan.
"Sori ya, Ren. Hari ini gue jadi ngerepotin elo,"
Ucap Citra pelan.
"Elo tuh tiap hari selalu ngerepotin gue, lagi. Bukan cuma hari ini. Atau elo baru sadarnya hari ini, ya?"
"Iya, ya?"
Citra seperti tersadar. Lalu ia meringis malu.
"Kelewatan!"
Reinald geleng-geleng kepala.
"Maaf deh,"
Ucap Citra sambil terkekeh geli.
Tapi kemudian tawa geli cewek itu menghilang.
Tidak mungkinlah dirinya tidak menyadari.
Ia justru sangat menyadari betapa sering dirinya merepotkan Reinald, sejak pertengkaran mereka berakhir.
Yang tidak ia mengerti dan selalu menjadi pertanyaan adalah.
Reinald sepertinya sangat mengenal dirinya.
Sebelum Citra sempat menanyakan, ia keburu merasa nyaman.
Nyaman dengan keberadaan Reinald di sebelahnya.
Nyaman dengan cara cowok itu memperlakukannya.
terlebih, nyaman dengan perlindungan yang diberikan Reinald tiap kali ia mendapat masalah akibat sifat isengnya.
Dan pertanyaan itu akhirnya terlupakan.
Koridor yang mereka telusuri telah lengang, ruang-ruang kelas juga sudah kosong.
Namun lapangan utama, yang terletak di depan sekolah, masih penuh tebaran siswa.
Ruang-ruang sekretariat ekskul yang berjajar di sisi kiri dan kanan lapangan juga ramai oleh para siswa yang ngumpul selepas jam sekolah usai.
Menjelang mendekati lapangan, Reinald melepaskan tangan kanannya dari bahu Citra dan menyantaikan sikapnya.
Jangan sampai ada yang tahu bahwa ada yang tidak beres dengan Citra.
"Santai, Cit. Jangan keliatan nervous,"
Bisiknya.
Citra mengangguk.
Ia membetulkan letak ranselnya yang menutupi rok bagian belakang.
Keduanya mencoba melangkah sesantai dan sewajarnya mungkin.
Sayangnya, itu pasti sia-sia.
Di tepi lapangan, Didot duduk di antara segerombolan cowok.
Kedua matanya sontak berkilat begitu dilihatnya sang target akhirnya muncul.
Ia berdiri, siap menyambut.
Ketika Reinald dan Citra tinggal beberapa langkah di depannya, Didot segera menghadang.
"Mau pulang, ya?"
Tanyanya manis. Dua orang di depannya tidak mengacuhkan.
"Minggir, Dot. Kami mau lewat,"
Ucap Reinald.
"Sayangnya saya tidak bisa membiarkan kalian berdua lewat. Karena ini wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia!"
Suara Didot berubah lantang.
"Dan kalian berdua adalah pengkhianat! Mata-mata! Kaki tangan penjajah!"
Muka Citra mulai pucat.
Ia sadar sekarang, ternyata ini penyebab Didot mendadak aneh di kelas tadi.
Cowok ini menghalangi kesempatan Citra mencari bantuan agar dapat mempermalukannya di depan umum.
Tapi Reinald tidak terlalu kaget.
Tindakan Didot ini merupakan bukti konkret atas kecurigaannya tadi.
"Bercandanya besok-besok aja deh, Dot. Kami buru-buru banget nih."
"Siapa yang bercanda? Gue nggak bercanda, karena ini masalah serius!"
Tandas Didot.
"Di mana-mana, masalah kedaulatan negara adalah masalah yang sangat serius!"
Suara Didot tambah lantang lagi.
Sementara itu, ulah Didot mulai menarik perhatian.
Sebagian anak-anak menonton dari tempat mereka duduk atau berdiri, dan sebagian lagi mulai bergerak menghampiri.
Mulailah terbentuk kerumunan manusia, dengan Reinald, Citra dan Didot sebagai titik pusatnya.
Dengan girang Didot menatap berkeliling.
Kerumunan manusia ini melebihi harapannya.
Benar-benar cara balas dendam yang sempurna.
Dan asyik pula.
"Kalian tau nggak!?"
Seru Didot keras-keras.
"Mereka berdua ini mata-mata tentara Dai Nippon. Tapi yang pasti, yang cewek ini nih yang mata-matanya. Yang cowok, kaki tangan doang!"
Para siswa yang berkerumun itu seketika mengerutkan kening.
Untuk membuat para penonton itu mengerti, Didot lalu mementaskan drama khas tujuh belas agustusan, yang sewaktu zaman SD dulu selalu ia dipentaskan bersama teman-teman sebaya di lingkungan RT.
Namun kali ini Didot berakting sendirian.
Seperti peran-perannya dulu, Didot menjadi pejuang Indonesia.
Sebelum memulai dramanya, salah seorang teman Didot mengulurkan penggaris panjang, pura-puranya jadi bambu runcing.
Sekarang Didot siap berakting.
"Kowe ekstrimis, kan!?"
Serunya keras-keras. Menunjuk-nunjuk Citra dengan penggaris itu.
"Woi, ekstrimis tuh kalo Belanda!"
Seorang penonton nyeletuk.
"Kalo Jepang, sodara tua Indonesia. Lo nggak pernah nonton film perang Indonesia zaman dulu, ya?"
"Whatever-lah!"
Didot mengibaskan tangan.
"Ayo, ngaku! Elo mata-mata Dai Nippon, kan? Gue tau, soalnya lo bawa-bawa bendera Jepang!"
Begitu Didot bilang "bendera Jepang", Citra lansung pucat, tanpa sadar, cewek itu semakin menempelkan ranselnya rapat-rapat ke rok belakangnya, lupa bahwa Reinald selalu berdiri di belakangnya.
Sebagian besar juga jadi tahu, terutama yang cewek-cewek.
Sementara cowok-cowok yang nggak ngeh langsung mendapatkan penjelasan.
Tak lama, hampir semua siswa yang mengikuti adegan itu memandangi Citra sambil senyum-senyum.
Beberapa bahkan mulai mencoba melihat bagian belakang roknya.
"Hayo, tunjukan benderamu!"
Seru Didot.
"TUNJUKKAN! TUNJUKKAN!"
Dasar orang Indonesia, gampang banget terprovokasi, tak lama terdengar koor kompak dan membahana dari seluruh sisi lapangan.
"TUNJUKKAN! TUNJUKKAN! TUNJUKKAN!!!"
Habis sudah! Muka Citra merah padam.
Cewek yang biasanya cuek banget, kebal ledakan dan jago ngeles itu, sekarang tak mampu berkutik.
Reinald sampai memeluknya.
Menyembunyikan wajah Citra di dadanya, karena cewek itu sudah hampir menangis.
Reinald benar-benar tak tahu lagi bagaimana cara menyelamatkan Citra.
Mereka terjebak di tengah lapangan sekolah.
Menjadi fokus perhatian begitu banyak mata dan kepala.
Di sekeliling mereka berdua, Didot dan teman-temannya, yang sebagian adalah teman-teman sekelas mereka juga, menari-nari seperti Indian menang perang sambil mengacung-acungkan tangan.
"YIHAAA!! JEPANG KALAAAH!!!"
Didot berteriak-teriak girang, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya dendamnya terbalaskan! Terprovokasi ulah Didot, Reinald menguraikan pelukannya.
Apa boleh buat, di depan begitu banyak mata yang tersebar di penjuru lapangan, juga yang menonton dari koridor-koridor dan jendela-jendela ruangan sekretariat ekskul, cowok itu melepaskan baju seragamnya.
Ia memasangkannya di rok Citra, untuk menutupi noda darah di rok belakang cewek itu.
Diselipkannya kerah dan lengan kemeja putihnya di pinggang rok Citra.
Untung Reinald selalu memakai T-shirt putih sebagai dalaman.
Coba kalo singlet, wah, badannya yang nggak sekekar Ade Rain kan bisa bikin malu.
"Nyantai aja, Cit,"
Ucap Reinald pelan.
"Kalo gugup gitu, sama sekali nggak sukses. Yang ada malah kita dipermalukan."
Cowok itu mencoba tertawa, pelan tapi geli, biar Citra nggak nervous.
Setelah yakin noda darah di bagian rok belakang Citra sudah tertutupi, Reinald berdiri di hadapan Citra.
Dilihatnya cewek di depannya terus menunduk, dengan wajah masih merona.
Reinald kembali tertawa pelan.
"Angkat mukanya dong. Nunduk terus nggak bakalan bikin lo ngilang mendadak dari sini, atau bikin kejadian ini nggak terjadi. Dan sampai nanti lulus-lulusan, kayaknya kita akan terus diledekin gara-gara ini. Jadi siap-siap aja."
Akhirnya Citra mengangkat muka. Reinald menangkap kelegaan di wajah cewek itu. Setelah sejenak mengusap lembut lengan Citra, Reinald balik badan.
"PUAS!?"
Teriaknya ke seantero lapangan. Sebagai jawaban, langsung terdengar tepuk tangan bergemuruh dan suitan-suitan nyaring di sana-sini.
"YEEE, ROMANTIS!!!"
"ASYIIIK!!!"
"KAYAK FILM KOREA, OIII!!!"
"COCOK! PASANGAN OKE!!!"
"JODOH KAYAKNYA NIH! BAKALAN SAMPE TUA!!!"
Reinald menanggapi reaksi-reaksi heboh itu dengan senyum, jadi geli juga dia.
"KALO GITU KAMI PULANG DULU, YA!?"
Serunya. Seisi lapangan serentak menjawab manis, tapi sambil ketawa-ketawa geli.
"IYAAA...."
"ATI-ATI DI JALAN YAAA...."
"DADAAAHHH...."
Reinald merangkul Citra dan menggiringnya berjalan menuju gerbang sekolah.
Kepergian dua orang itu dilepas dengan tepuk tangan meriah dan suitansuitan keras di sana-sini.
Yang cewek-cewek kontan iri setengah mati pada Citra.
Mereka menganggap tu cewek lucky banget.
Dan rentetan pujian untuk Reinald langsung terlontar dari bibir mereka.
"Gila, tu cowok gentle banget!"
"Tampangnya lumayan, lagi."
"Baru kelas satu SMA aja udah gitu. Gimana ntar kalo udah kuliah atau udah kerja."
Dan sederet pujian lagi. Tinggal Didot berdiri bingung. Lho? Lho? Lho? Kok jadi begini? Di detik-detik terakhir sebelum Citra benar-benar meninggalkan sekolah, Didot berusaha merebut kembali kemenangannya.
"CITRA! JAJANIN KITA DOOONG! ELO KAN DAPET BULANAN!!!"
Didot berteriak dengan volume gila-gilaan. Tapi yang menoleh untuk menjawab teriakan itu adalah Reinald.
"BESOK! SAMA GUE URUSANNYA, YA?"
Sambung Reinald sambil menunjuk dada.
Berhubung mereka berdua telah menjadi pusat perhatian dan dihujani berjuta pujian pula, kayaknya nggak keren banget kalau pulangnya naik bajaj.
Mau tidak mau harus disesuaikan dengan atmosfer yang ada.
Terpaksa Reinald menyetop taksi.
Soal argo, terpaksa begitu sampai rumah nanti ia akan todong mamanya, yang kebetulan hari ini cuti kerja.
Sudah pasti dirinya bakalan dapat omelan panjang, karena dianggap sudah menghambur-hamburkan uang.
Tapi masih mending begitu, daripada ia membayar dengan uang sakunya sendiri, karena bisa terancam tidak bisa jajan selama satu minggu.
Kembali terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan suitan-suitan nyaring saat pasangan itu akan menghilang ke dalam taksi.
Didot jadi tambah kesal lagi.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang juga, tidak jadi nongkrong sampai menjelang sore, karena yang terjadi sama sekali tidak seperti yang ia harapkan.
"Gue balik, ah!"
Serunya pada teman-temannya. Ia langsung balik badan dan pergi dengan tampang cemberut. BAB 13 USAI makan malam, Citra mendekati mamanya yang sedang santai di depan TV, lalu duduk di sebelahnya.
"Ma, besok aku nggak sekolah, ya? Aku malu banget tadi."
"Ya jelas aja malu. Masa tembus sampai sebanyak itu sih?"
"Makanya. Aku besok nggak sekolah, ya? Malu banget nih."
"Memang ceritanya gimana sih?"
Tanya mama Citra sambil melirik putrinya. Saat Citra menceritakan kejadian itu, reaksi mamanya adalah tertawa terpingkal-pingkal.
"Mama kok ketawa sih?"
"Ya kamu o"on sih,"
Jawab mamanya santai.
"Kayak baru dapat mens pertama kali aja. Kayak mama nggak pernah ngajarin mesti gimana."
"Namanya juga salah perhitungan. Ya, ma? Besok aku nggak sekolah, ya?"
"Oke, satu hari aja. Nanti mama buatkan surat izin buat guru piket. Tapi lusa, mau nggak mau kamu harus hadapin. Biar nggak masuk setahun, orang tetap nggak akan lupa. Tetep akan ada yang ngeledekin kamu."
"Iya. Iya. Satu hari aja."
Citra cepat-cepat mengangguk. Lusa biar urusan lusa deh. Yang penting besok selamet! Baru lima menit Citra merasa gembira, telepon di meja kecil di sudut ruangan berdering. Dari Reinald, dan cowok itu langsung ke permasalahan.
"Cit, lo besok masuk, kan?"
"Hah?"
Citra tercengang.
"Lo besok masuk, kan?"
Ulang Reinald.
"Nggak ngumpet di rumah?"
"Kenapa lo ngomong begitu?"
Tanya Citra takjub.
"Nggak tau. Feeling aja. Kalo nggak gue telepon lo sekarang, kayaknya gue besok bakalan duduk sendirian."
Citra makin tercengang. Akhirnya ia mengaku.
"Iya sih. Besok gue nggak pengin masuk. Sehari aja kok. Abis malu banget."
"Benerkan feeling gue?"
Di seberang Reinald tertawa.
"Masuk dong. Ya?"
"Gue malu banget, Ren. Sumpah!"
"Yang dibikin malu kan kita berdua. Trus besok lo mau ngebiarin gue malu sendirian, gitu? Nggak bertanggung jawab banget lo."
"Yaaah...."
Citra bingung.
"Besok lo gue jemput deh. Kita berangkat bareng,"
Ucap Reinald, mengagetkan Citra. Cewek itu sampai tidak bisa bicara.
"Oke, ya? Besok gue jemput."
"Naik apa?"
"Bus!"
Jawab Reinald pendek.
"Sampe besok, ya. Bye!"
Terdengar suara telepon ditutup. Citra meletakan gagang telepon. Masih setengah tak percaya.
"Besok jadi bolos, nggak?"
Goda mamanya.
"Nggak."
Citra meringis.
"Ada yang takut sendirian,"
Sambungnya, malu.
"Baru aja masuk SMA, udah punya pacar. Awas kalau nilai-nilai kamu jadi jelek, ya,"
Ancam mamanya. Citra tertegun. Bukan karena ancaman itu.
"Idih. Emang siapa yang bilang dia pacar aku sih?"
Ralatnya kemudian. Tapi setengah hati. Mamanya berlagak tidak mendengar. Begitu Citra berjalan ke kamarnya dan akan menghilang di sana, sang mama mengulangi ancamannya.
"Awas ya kalau nilai-nilai kamu jadi jelek."
Citra menutup pintu kamarnya.
Tampangnya cemberut.
Dan begitu sendirian, ia menyadari satu hal.
Satu keadaan yang sama sekali baru.
Dirinya gelisah.
Sangat gelisah.
Mendadak semuanya jadi serbasalah.
Tidak satu pun usahanya untuk menghilangkan kegelisahan pekat itu -untuk membuat dirinya tenang sebentar saja-berhasil.
Usaha pertama, nonton TV.
Dengan volume untuk orang yang kurang pendengaran, dan nontonnya dengan jarak yang cocok untuk orang yang matanya kena katarak.
Tapi gagal! Citra tetap gelisah.
Usaha kedua, belajar.
Persiapan buat esok.
Citra meraih salah satu buku dari tumpukan di depannya.
Bahasa Inggris.
Pelajaran besok yang paling berat.
Dibukanya bab yang telah dipelajari minggu sebelumnya.
Kemudian ia mencoba berkonsentrasi untuk mengingat kembali pelajaran terakhir yang diberikan guru.
Jelas lebih gagal! Nggak ada masalah aja, masuk ke otaknya susah.
Apalagi ditambah ada masalah.
Dengan kesal Citra menutup buku di depannya.
"Belagu banget sih gue!"
Desisnya, mencela diri sendiri. Kemudian dipandangnya seisi kamar, mencari-cari usaha lain. Dan matanya tertumbuk pada keranjang rotan kecil di kolong tempat tidurnya. Terkadang mamanya suka menemaninya belajar sambil menyulam.
"Coba nyulam, ah!"
Serunya, dan lansung bangkit dari kursi.
Ditariknya keranjang itu dari kolong tempat tidur.
Tak lama, Citra sudah asyik menyulam, berbekal pelatihan singkat yang pernah diberikan mamanya dengan paksa.
Dan ternyata....
berhasil! Berhasil membuat sulaman mamanya yang sudah hampir selesai itu jadi kacau! Citra buru-buru meletakkannya kembali ke dalam keranjang.
Tentu saja dengan bagian yang rusak itu tersembunyi dengan sangat baik.
Akhirnya cewek itu menyerah dari usaha menenangkan diri.
Gantinya, ia duduk di lantai dengan punggung bersandar di dinding.
Mencoba mencari akar penyebab kegelisahannya itu.
Besok pagi Reinald akan menjemputnya dan untuk pertama kalinya mereka akan berangkat sekolah bersama.
Cuma itu sih sebenarnya.
Citra tercenung.
Tapi kok gue jadi nggak jelas gini ya? Keluhnya dalam hati.
Citra tidak menyelesaikan analisisnya, karena tiba-tiba teringat hal lain yang menurutnya lebih mendesak.
"Wah, besok gue pake apa, ya?"
Desisnya sambil buru-buru berdiri.
Dibukanya lemari tempat ia menyimpan semua tasnya.
Lalu bibukanya laci tempat semua aksesoris tersimpan.
Kemudian Citra berjalan ke sudut ruangan, ke rak sepatu.
Ditatapnya koleksi sepatunya satu per satu.
Mendadak semua tas yang dimilikinya nggak ada yang bagus.
Semunya jelek! Semua sepatu berikut kaus kakinya juga jelek.
Semua koleksi aksesorinya nggak ada satu pun yang keren.
Citra menatap semua propertinya dengan mata terbelalak.
"Gila!"
Desisnya.
"Jadi selama ini gue ke sekolah pake barang-barang jelek ini? Kok gue nggak sadar, ya?"
Ia menggelengkan kepala sambil berdecakdecak.
Kalau tadi Citra gelisah karena besok Reinald akan menjemputnya, sekarang cewek itu kebingungan karena merasa tidak ada satu pun barang-barangnya yang keren dan layak dipakai jalan bareng cowok! Sayangnya, untuk masalah yang satu ini, yang menurut Citra malah lebih gawat, tidak ada solusinya sama sekali.
Ia terpaksa menerima keadaan, karena kalaupun ia minta uang sama mama dan dikasih, ia tidak tahu apa yang harus dibeli lebih dulu.
Soalnya ya itu tadi, barang-barangnya nggak ada yang keren.
Akhirnya Citra mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
"Nggak apa-apa deh barang-barang gue nggak ada yang oke, yang penting besok gue keliatan cakep!"
Putusnya setelah bercermin, mengamati wajahnya beberapa saat.
Jadi malam ini Citra tidak belajar, karena sibuk mempercantik diri.
Sibuk dan heboh, hingga menarik perhatian kedua orangtuanya, apalagi sang mama.
Mama Citra hanya memperhatikan tingkah anaknya itu dengan senyum.
Tidak berusaha melarang, karena ini bagian dari proses yang memang harus dilalui setiap anak perempuan.
Jatuh cinta untuk yang pertama kali kadang membuat cewek dengan sadisnya menghakimi diri sendiri, menganggap diri jelek sementara semua cewek di seluruh dunia cakep-cakep.
Selanjutnya, mereka berusaha keras menjadi orang lain.
Pengin kayak si A yang artis, si B yang model, atau yang lain, tapi tetap dalam kategori cewek populer.
Cewek yang bijak biasanya menyadari kelebihan diri sandiri, bahkan bangga dan akhirnya mengerti bahwa cantik, keren, atau oke, bentuk dan versinya ternyata bisa banyak sekali.
Bahkan sering kali nggak ada hubungannya sama wajah atau bodi.
Proses ini bisa terjadi berulang kali.
Bisa sebentar, tapi bisa juga makan waktu bertahun-tahun.
Yang pasti, bisa sangat menyakitkan.
Namun, itulah hidup.
Mencari dan menemukan.
Mama Citra kemudian meninggalkan anaknya yang sedang menggeletak.
Telentang di karpet di depan radio, dengan muka tertutup masker tebal.
Wanita itu tahu, sebentar lagi anak perempuannya akan membutuhkan bukan saja pendengar yang baik, tapi juga penasehat yang tepat.
*** Di saat yang bersamaan, di dalam kamarnya yang kini hanya dihuninya sendirian, Reinald berdiri di depan meja belajar Ronald.
Ada perasaan bersalah menyusupi hatinya, karena ia mulai naksir cewek kakaknya.
Sebenarnya nggak bisa dibilang cewek Ronald juga, karena Citra tidak pernah mengenal Ronald.
Reinald kaget sendiri ketika hati kecilnya kemudian langsung meralat.
Bukan nggak pernah kenal, tapi nggak sempat.
Kecelakaan itu membuat Citra tak sempat mengenal Ronald.
Namun logikanya segera memberikan bantahan.
Tidak sempat atau apa pun namanya, yang jelas Citra tidak mengenal Ronald.
Titik! Jadi dirinya tidak bisa dibilang telah merebut pacar sang kakak.
Reinald menghela napas.
Panjang dan berat.
Masalahnya adalah, ia tahu banyak setiap usaha Ronald demi cewek yang sudah lama diincernya itu.
Meskipun pengamatan itu lebih sering dilakukan Ronald sendirian -kadangkadang ditemani Andika-Ronald selalu menceritakan perkembangannya.
Sekecil apa pun.
Kalau sedang merasa sangat gembira, Ronald bahkan akan menceritakannya pada Raina.
Meskipun adik bungsunya itu jelas-jelas tidak tertarik.
Kalau sedang sangat bahagia, Ronald akan menceritakan semua kisah yang sudah pernah ia ceritakan.
Dengan heboh dan berapi-api pula.
Bukan hanya tentang pengamatannya yang terakhir, tapi juga pengamatan-pengamatan yang sebelumnya.
Lengkap dengan semua perkembangannya.
Ronald sama sekali tidak peduli meskipun pendengarnya sudah muak dengan ceritanya itu.
Masih terngiang di benak Reinald percakapannya dengan Ronald waktu itu, ketika tenyata Citra satu sekolah dengan Reinald.
"Awas kalo lo berani-berani naksir cewek gue!"
"Emang dia cewek lo! Kenal juga nggak."
"Ya kan ntar kalo dia udah nggak pake putih-biru lagi, udah kelar MOS, gue mau ke rumahnya. Kenalan."
"Emang kalo udah kenalan trus langsung jadi pacar, gitu? Jadi temen dulu, lagi. Di mana-mana juga gitu. Lagian juga belom tentu dia mau jadi cewek lo."
"Harus mau!"
Tandas Ronald.
"Enak aja. Gue udah nungguin lama-lama. Sering gue tongkrongin di sekolahnya pula."
"Kalo ternyata tu cewek nggak mau juga?"
Reinald masih ingat benar. Pertanyaan yang terakhir kemudian membuat Ronald mendekatkan mukanya, sambil mendesis, tajam, dan berang.
"Pokoknya tu cewek harus mau jadi cewek gue. Gimana kek caranya!"
Saat teringat kembali percakapan itu, tanpa sadar Reinald tersenyum sendiri.
Namun kemudian senyumnya menghilang perlahan.
Bagi Reinald, awalnya Citra adalah bagian dari Ronald yang masih tertinggal, yang masih hidup, yang masih bisa dilihat dan disentuhnya.
Kadang, saat rasa kangennya pada Ronald tak bisa lagi ditahan, Reinald berkhayal kakaknya itu muncul tiba-tiba di hadapannya, lalu berteriak di depan mukanya.
"Hei! Jangan di pegang-pegang. Itu cewek gue!"
Seperti yang selalu dilakukan Ronald tiap kali Reinald menyentuh foto-foto Citra yang diambilnya dengan diam-diam.
Kini, meskipun rasa itu masih ada, Reinald sudah tidak ingin mengelak lagi.
Sekarang tidak lagi murni seperti itu.
Ia tidak ingin melepaskan Citra, tapi terlebih, tidak ingin lagi menjaganya sebagai Ronald"s legacy.
Perlahan, Reinald melangkah mendekati potret Ronald yang tergantung di dinding tepat di atas kepala tempat tidur sang kakak.
Beberapa saat Reinald hanya berdiri diam di sana.
"Gue suka cewek lo,"
Ucapnya kemudian. Suaranya lirih dan bergetar, sambil berusaha menentang foto Ronald.
"Boleh nggak, dia buat gue?"
Reinald meneruskan kalimatnya dengan susah payah.
Hening.
Tidak ada suara apa pun yang terdengar di malam yang mulai larut itu, kecuali suara jantungnya sendiri yang berdetak sangat kencang.
Namun, ada perasaan lega dan tenang saat akhirnya kalimat itu telah terucapkan.
*** Besoknya, Citra bangun sebelum subuh.
Ritualnya agak berbeda.
Kalau biasanya selesai mandi ia merapikan diri dulu baru sarapan, sekarang agak lain.
Selesai mandi dan masih di balut mantel handuk -tentu saja sebelumnya ia memakai underwear-Citra langsung sarapan.
Kali ini hanya dengan teh manis dan roti tawar.
Mamanya, yang baru saja bangun jadi terheran-heran melihat anaknya sudah selesai mandi dan sarapan.
"Kayak tukang sayur aja, subuh-subuh udah siap,"
Goda mamanya saat citra meletakan piring dan gelas bekas sarapan di bak cuci piring.
Cewek itu melirik mamanya sambil meringis malu.
Selesai sarapan, Citra menghabiskan waktu yang masih tersedia dengan berkutat di dalam kamar.
Sibuk memusingkan diri dengan masalah-masalah yang baru ia sadari pagi ini.
Kira-kira hari ini pake tas yang mana ya? Yang pasti yang paling mendingan di antara tas-tasnya yang jelek itu.
Begitu juga sepatu dan kaus kaki.
Terus, bagusnya hari ini rambutnya digimanain? Dikucir, dijepit, atau dibandana? Atau dibiarin terurai gitu aja, tanpa hiasan.
Citra langsung mengenyahkan pilihan yang terakhir.
Kok miskin banget ya kesannya? Rambut nggak dikasih hiasan apa-apa.
Tapi sesaat kemudian cewek itu meralat sendiri pendapatnya.
Bukan miskin deng.
Tapi sederhana.
Miskin sama sederhana itu beda.
Setelah hampir menghabiskan waktu satu jam, Citra tidak juga bisa memutuskan.
Bukannya mendapatkan jalan keluar, ia malah tambah pusing.
Akhirnya Citra menyerah.
"Ah, udah deh. Biasa-Biasa aja kayak kemaren-kemaren. Ntar kalo mendadak heboh, malah ketauan kalo gue nervous, lagi. Lagian ini Reinald, gitu loh. Tiap hari juga ketemu."
Citra bicara sendiri.
Dirapikannya barangbarangnya yang berserakan.
Mamanya, yang diam-diam mengawasi dari celah pintu yang terbuka, tersenyum tipis, kemudian pergi tanpa suara.
Citra duduk menunggu Reinald di teras dengan hati tenang.
Soalnya ia yakin banget, wajahnya pagi ini pasti tampak cerah, kencang, bersih tidak bernoda, seperti janji produsen masker yang tertulis di pembungkus produk mereka.
Kegelisahan dan kegugupannya agak berkurang.
Apalagi semalam, setelah selesai maskeran ia juga langsung luluran.
Menghabiskan waktu hampir satu jam di kamar mandi, dan membuat seluruh isi rumah terpaksa menunggu giliran.
Citra masih belum tahu bahwa efek masker dan lulur itu tidak sama dengan operasi plastik.
Tidak bisa membuat orang yang melihat langsung pangling alias tidak mengenali, apalagi kalau pake masker dan lulurnya baru sekali ini, seajaib apa pun masker dan lulur itu.
Reinald muncul lima belas menit kemudian.
Penampilannya tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Citra jadi bersyukur dirinya nggak jadi tampil beda.
"Hai, pagi,"
Cowok itu menyapa.
Tersenyum seperti biasanya.
Ternyata masker dan lulur semalam nggak berefek.
Citra langsung gugup.
Bukannya menjawab salam Reinald, ia malah langsung masuk ke rumah, mencari mamanya.
Reinald jadi mengernyitkan kening, tapi kemudian tersenyum tipis.
Ia mengira sikap aneh Citra itu masih ada kaitannya dengan peristiwa kemarin.
Tak lama Citra keluar bersama mamanya.
Kegugupannya agak berkurang.
"Ini Reinald, Ma,"
Katanya, memperkenalkan Reinald yang berdiri di teras, yang lupa ia persilahkan duduk.
Reinald tersenyum dan mengangguk sopan.
Ia mengulurkan tangan sambil menyebut nama, dilanjutkan dilanjutkan dengan basa-basi menanyakan kabar mama Citra.
Mama Citra balas tersenyum.
Agak lega karena kesan pertama yang ia peroleh adalah Reinald bukan model cowok tengil.
"Kami mau langsung berangkat, Tante. Waktunya mepet, takut telat."
"Titip Citra, ya?"
Pesan mama Citra.
"Iya, Tan. Permisi."
Kembali Reinald tersenyum dan megangguk sopan.
"Dah, Mamaaah!"
Citra melambaikan tangan sambil mengekor langkah Reinald ke luar pagar.
Ia mulai gugup dan gelisah lagi.
Sang mama cuma tersenyum geli sambil membalas lambaian putrinya.
Citra dan Reinald melangkah menuju halte dalam diam.
Ini Reinald! Ini Reinald! Please dooong! Berkali-kali dalam hati Citra mengecam dirinya sendiri.
Tapi tidak berhasil membuat hatinya menjadi lebih tenang.
Sekarang malah ditambah malu.
Padahal cowok ini selama hampir dua bulan terakhir duduk di sebelahnya.
Dan tanpa disadarinya, Reinald telah menjadi orang yang paling dekat, yang pertama kali dicarinya setiap kali tiba di sekolah, apalagi kalau lagi dapat masalah.
Sekarang, jangankan untuk meraih lalu memeluk lengan Reinald seperti kemarin-kemarin, untuk berjalan terlalu dekat saja mendadak Citra jadi malu banget.
Cewek yang biasanya senang berceloteh itu mendadak jadi pendiam.
Jauh tersembunyi di dalam sikap tenangnya, Reinald sebenarnya sama gugupnya.
Tapi ia memang tidak separah Citra.
Mungkin karena ia sudah "mengenal"
Cewek ini berbulan-bukan sebelum akhirnya melihat Citra untuk pertama kalinya.
Sama sekali bukan tanpa alasan jika selama ini Reinald membiarkan sifat iseng Citra merajalela.
Karena hanya dengan cara itu ia mendapatkan kepastian bahwa cewek itu tidak akan berada terlalu jauh darinya.
Sifat usil dan isengnya yang kadang keterlaluan membuat Citra memerlukan perisai yang selalu siap setiap saat.
Dan seperti itulah Reinald memosisikan dirinya selama ini.
Membiarkan Citra datang atau berlari padanya setiap kali butuh perlindungan atau pembelaan.
Kalau kemarin-kemarin demi Ronald, maka mulai pagi ini Reinald melakukannya demi dirinya sendiri! "Elo kenapa sih, Cit? Kok diem aja dari tadi?"
Reinald mengusik cewek itu, yang sampai mereka akan turun dari bus pun tetap belum mengeluarkan suara.
Citra sibuk menghindar agar tidak menatapnya, dengan cara menunduk atau melihat sesuatu entah apa di luar jendela.
Citra cuma menoleh sebentar.
Tersenyum tanpa makna, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela.
"Takut diledekin lagi kayak kemaren, ya? Kan ada gue?"
Reinald menepuk lengan Citra pelan.
"Yuk, turun. Udah sampe."
Dari halte ke sekolah, lagi-lagi Citra tidak mengeluarkan suara.
Ia juga lebih sering berjalan dengan kepala menunduk.
Karena Citra terus menunduk itulah akhirnya Reinald menggodanya dengan mengarahkan jalan mereka tepat ke sebuah dahan pohon melintang tidak jauh di depannya, sambil tetap mengajak cewek itu ngobrol.
Sedikit demi sedikit Reinald menggeser langkah, hingga akhirnya dahan pohon itu tepat berada di jalur Citra melangkah.
Tepat menjelang kepala Citra dan dahan pohon itu akan berbenturan, Reinald menjentikkan jari di depan wajah tertunduk Citra dan langsung merentangkan lengan kirinya di depan kepala cewek itu.
Citra tersentak.
Ia mengangkat kepala dan langkahnya terhenti saat itu juga.
Tercengang saat mendapati dahan pohon, besar dan kasar, melintang tepat di depan mukanya.
"Kenapa sih dari tadi nunduk aja? Lo sadar nggak kalo gue ajak muter? Aturan kita udah sampe sekolah dari tadi."
Reinald menatap dengan kedua alis bertaut heran. Citra memandang berkeliling.
"Eh, iya. Kita sekarang ada di mana nih?"
Tanyanya bingung.
"Tuh, kan? Nggak sadar, kan?"
Reinald geleng-geleng kepala.
"Lo kenapa sih jadi aneh begini? Pendiam banget. Kayak bukan elo aja."
"Nggak apa-apa."
Citra menggeleng.
"Ya kalo nggak apa-apa jangan diem aja dong. Gue jadi kayak jalan sama cewek yang nggak gue kenal nih."
Tiba-tiba Reinald teringat sesuatu.
"Oh iya. Gue bawa sweter. Buat antisipasi."
"Jangan diingetin lagi kenapa sih?"
Muka Citra langsung memerah.
"Lagian juga nggak akan dua kali lah. Bego bener gue kalo sampe kejadian kayak kemaren lagi. Malunya bisa dua kali lipat."
Seketika Citra menutupi mukanya dengan kedua tangan. Reinald menatapnya, tersenyum geli.
"Kalo muka lo ditutupin gitu, ntar tercebur comberan gue nggak tanggung jawab, ya?"
Ucapnya sambil berjalan pergi. Citra menurunkan kedua tangannya. Dikejarnya Reinald, tapi tetap ia tidak berani bila posisi tubuh mereka terlalu sejajar. Menjelang sampai gerbang sekolah, Reinald menoleh ke Citra.
"Perlu punggung gue buat ngumpet, nggak?"
Tanyanya.
"Nggak."
Citra menggeleng dan menjawab pelan.
"Oke kalo gitu."
Begitu keduanya sampai di gerbang sekolah, beberapa anak yang sedang nongkrong di sisi lapangan menyambut dengan senyum lebar.
"Pasangan Jepang udah dateng nih."
"Yo"i. Pagi."
Reinald balas tersenyum lebar dan menyapa singkat. Begitu sampai kelas, reaksi teman-teman mereka lebih meriah. Komentar, pertanyaan, seruan, suitan-suitan menggoda bahkan tepuk tangan, seketika menyambut keduanya.
"Cieeeh, yang kemaren sore bikin sekolah heboh!"
"Kemaren waktu ditanya ngeles melulu. Nggak jadian, nggak jadian. Nggak taunya..."
"Emang jadiannya sebenarnya kapan sih? Cerita dong! Pasti bukan sejak masih sering berantem itu, kan?"
"Ah, nggak usah! Bikin bete aja dengerin cerita orang jadian. Traktir aja!"
"Iya dong! Traktir dong!"
"Kira-Kira hari ini ada bendera Jepang lagi, nggak?"
"Si Citra suka iseng, jangan-jangan otaknya elo ya, Ren?"
"Berarti besok-bedik kalo Citra iseng, yang kita gebukin Reinald aja!"
Reinald menanggapi reaksi teman-temannya dengan santai sambil cengengesan.
Sementara Citra sibuk mengatasi rasa malunya yang, sayangnya, tidak begitu sukses.
Akibatnya, di kelas pun ia jadi pendiam.
Tidak banyak bicara apalagi melakukan keisengan seperti hari-hari biasanya.
Akibat yang lain, Citra terus jadi bahan ledakan, dari pagi sampai jam pulang.
Reinald jadi tak tega meninggalkannya sendirian.
Terpaksa dikawalnya Citra ke mana pun, dan kalau dilihatnya cewek itu mulai kewalahan, Reinald segera pasang badan, menanggapi ledakan itu dengan senyum, tawa, atau komentar-komentar asal.
*** Siang itu mereka pulang bersama.
Dan perjalanan seperti pagi tadi terulang.
Perjalanan yang hening.
Sesak dengan rasa malu, jengah dan asing.
Citra hari ini bukan lagi Citra yang kemarin-kemarin.
Mungkin mereka berdua sudah tidak bisa kembali lagi ke hari-hari kemarin.
Reinald tidak lama di rumah Citra.
Hanya menemui mama Citra untuk pamit dan mengantarkan anak perempuannya.
Citra sama sekali tidak keberatan Reinald nggak mampir.
Kebeneran malah.
Ia betul-betul ingin secepatnya bebas dari rasa gugup dan malu yang sudah menekannya sejak tadi malam.
Begitu Reinald sudah pamit dan hilang dibalik pagar, Citra langsung menarik napas.
Panjang dan dalam.
Sikap tubuhnya langsung rileks, membuat mamanya jadi tersenyum geli.
"Gimana komentarnya?"
"Komentar apa?"
Tanya Citra sambil mengekor langkah mamanya ke dalam.
"Ya komentar soal muka sama kulit kamu dong."
"Wah!"
Citra tersentak. Langsung inget lagi.
"Wah, iya. Lupa! Dia nggak komentar apa-apa tuh."
"Masa?"
Mama Citra berlagak kaget juga.
"Nggak sopan juga cowok itu, ya? Padahal kamu udah hampir ngabisin lulur mama. Sampe mama harus beli lagi tadi. Apalagi semalam kamu maskerannya tebel banget. Jatah untuk tiga kali kamu pakai."
"Wah, iya, ya?"
Citra sampai berhenti melangkah.
"Kok dia nggak ngomong apa-apa ya, Ma? Berarti dia nggak meerhatiin aku dong?"
"Memangnya dia bilang kalau muka sama kulit kamu belang, jadi perlu digosok biar warnanya rata, gitu?"
"Nggak sih."
"Ya udah. Santai aja kalau begitu. Buktinya, walaupun kamu udah maskeran dan luluran, dia tetap nggak sadar, kan?"
"Iya sih. Emang dasar tu cowok nggak sensi."
"Dia ada yang berubah nggak hari ini?"
"Ng...."
Citra mengingat-ingat.
"Nggak ada sih kayaknya."
"Berarti kamu juga nggak merhatiin dia dong? Siapa tau rambutnya agak pendekan. Atau kaus kakinya baru. Atau mungkin seragamnya disetrika lebih licin dibandingkan kemarin-kemarin."
Ucapan mamanya itu membuat Citra tertegun. Mamanya menoleh, menatapnya sambil mengangkat alis, lalu tersenyum.
"Kamu nggak merhatiin dia, atau yang penting buat kamu... dia ada?"
Citra makin tertegun. Ditatapnya sang mama dalam keterpanaan. Wanita itu tersenyum semakin lebar, kemudian balik badan, berjalan ke arah dapur sambil bicara, lagi-lagi dengan nada sambil lalu.
"Buat cowok itu begitu juga. Yang penting kamu ada."
BAB 14 REINALD memasuki rumah dengan senyum cerah.
Dengan wajah ceria dan bahagia, ia melangkah menuju kamar.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar.
Namun langkahnya terhenti seketika.
Wajahnya sontak memucat.
Tubuhnya membeku tegang.
Kedua matanya menatap dengan sorot ketakutan, dan dengan gerakan liar ditelusurinya seisi kamar.
Reinald mencium bau parfum Ronald! Sedetik kemudian, tanpa sadar Reinald menutup pintu dengan bantingan.
Dadanya berdetak sangat kencang.
Suara keras itu membuat Bi Minah datang tergopoh-gopoh, dan heran melihat anak majikannya itu membeku tegang di depan pintu kamarnya yang tertutup.
"Mas Reinald, ada apa?"
Tanyanya cemas. Reinald tidak mendengar. Kedua matanya masih tertuju tajam dan lurus ke pintu tertutup di depannya.
"Mas Reinald, ada apa?"
Bi Minah mengulangi pertanyaannya. Ia menghampiri Reinald lalu menepuk satu bahu karena pertanyaannya masih tidak terjawab. Tepukan itu membuat Reinald terlonjak kaget dan tanpa sadar melompat mundur.
"Bibi nih, bikin kaget aja!"
Serunya kemudian.
"Kok bisa? Wong Bibi nanyanya pelan. Ada apa toh?"
Mulut Reinald sudah terbuka, tapi kemudian ia urung mengatakan.
"Nggak ada apa-apa."
Ia menggeleng cepat.
"Nggak sengaja pintunya tadi kebanting. Bibi masak apa? Aku makannya di dapur aja deh."
Reinald berjalan ke dapur.
"Nggak ganti baju dulu, Mas?"
Bi Minah menyusulnya dengan kening berkerut.
"Ng..."
Reinald bingung menjawab. Kemudian, saat melewati ruang setrika di dekat dapur, ia bertanya.
"Bibi lagi nyetrika, ya? Di keranjang situ ada baju sama celana pendekku, nggak?"
"Adanya celana katun yang udah bule itu."
"Apa aja deh. Yang penting judulnya aku nggak makan dengan badan telanjang."
Ketika Reinald keluar dari kamar mandi setelah berganti baju, Bi Minah sudah memindahkan piring-piring lauk di meja makan ke meja dapur, yang juga sering digunakan untuk makan bersama.
Meskipun heran, perempuan paru baya itu tidak bertanya.
Sementara itu Reinald menyantap makan siangnya dalam kondisi yang bisa dibilang tidak sadar.
Mulutnya mengunyah secara otomatis karena ada makanan masuk.
Sementara indra pengecapnya seperti tidak bekerja.
Seandainya tiba-tiba ia ditanya apa yang sedang dimakannya, pasti ia takkan bisa langsung menjawab.
Reinald saat ini benar-benar tegang.
Dadanya berdegup kencang, karena baru saja, meskipun sesaat, kembali ia mencium wangi parfum yang biasa dipakai Ronald.
Diliriknya Bi Minah yang sedang menyetrika.
Perempuan itu terlihat biasa-biasa saja.
Berarti dia tidak merasakan adanya keganjilan.
"Raina mana, Bi?"
"Ke sebelah. Tadi Vini dateng, bilang ada komik baru."
Berarti tidak ada teman yang bisa diajaknya menemani masuk ke kamar....
Tiba-tiba Reinald merasa malu pada dirinya sendiri.
Dengan seragam sekolah yang sekarang sudah putih abu-abu, ia merasa sudah mulai dewasa.
Namun ternyata ia ketakutan setengah mati hanya mencium bau parfum kakaknya yang sudah "pergi".
Padahal orang yang sudah meninggal takkan pernah bisa kembali.
Tapi kalaupun bisa, itu kan kakaknya sendiri.
Selesai makan, mau tidak mau, Reinald harus ke kamar, karena PR fisika yang diberikan Pak Asril minggu lalu dan harus dikumpulkan besok belum ia kerjakan.
Ia tidak ingin mengalami nasib seperti Didot atau murid-murid lain yang namanya terekam dalam memori otak Pak Asril karena pernah membuat masalah.
Jangan sampai deh! Tanpa itu pun jam fisika sudah sangat mengesalkan.
Dengan perasaan yang semakin tegang dan dada yang berdetak semakin kencang, Reinald memberanikan diri melangkah menuju kamar.
Dirasakannya tubuhnya mendingin saat perlahan dibukanya pintu kamar.
Tidak lagi tercium bau parfum Ronald.
Kamar itu lengang, seperti yang selalu dirasakan Reinald sejak kematian Ronald.
Kamar itu juga selalu dalam keadaan rapi, karena tanpa sadar Reinald tak ingin membuat kamar itu berantakan.
Percuma.
Sudah tidak ada lagi orang yang akan berteriak "Lo jangan naro baju kotor sembarangan dong!"
Atau "Kenapa sih lo kalo pulang sekolah, ngelempar tas sama buku-bukunya selalu ke kasur gue? Kenapa nggak ke kasur lo sendiri?"
Namun Ronald kadang juga suka main tuduh seenaknya. Seperti pernah terjadi...
"Kalo di luar ujan, jalan becek trus sepatu jadi kotor, tu sepatu taro di belakang dong. Jangan dimasukin kamar. Ubin kamar jadi kotor tuh!"
Namun detik berikutnya Ronald sadar bahwa itu sepatunya sendiri. Dan saat adiknya kemudian menatapnya sambil mengangkat kedua alis tinggi-tinggi, Ronald menyeringai lalu terkekeh-kekeh geli.
"Itu sepatu kets gue deng. Gue kirain sepatu elo,"
Kilahnya enteng. Reinald ingat ia cuma bisa mendegus kesal saat itu.
"Maap. Maap. Hehehe..."
Ronald malah semakin terkekeh-kekeh.
Kenangan-kenangan itu....
Reinald jatuh terduduk tanpa sadar.
Ia menangis terisak.
Ia kangen Ronald.
Ia kangen kakak satu-satunya itu.
Seandainya bisa bertemu lagi, sebentar juga nggak apa-apa.
Reinald memohon lirih, namun sadar permohonan itu musykil.
Hanya akan semakin melukai dirinya sendiri.
Kemudian ia memaksa dirinya untuk menghentikan tangis.
Sambil mengusap air mata dengan kedua lengan kaus, Reinald bangkit berdiri.
Diraihnya kotak plastik di kolong tempat tidur, tempat ia menaruh seluruh koleksi CD, DVD, dan MP3-nya.
Pilihannya jatuh pada kumpulan musik rock dan heavymetal, agar kamar ini tidak terlalu sepi.
Namun begitu lagu pertama terdengar, langsung terngiang suara Ronald.
"Nyetel musik jangan kenceng-kenceng, kenapa sih? Emangnya yang punya kuping elo doang?"
Kenangan yang lain lagi....
Kembali air mata Reinald jatuh.
Kali ini ia buru-buru menghapusnya karena didengarnya suara Raina.
Cepat-cepat ia menutup pintu kamar dan menguncinya perlahan.
Ia tidak ingin adiknya itu melihatnya menangis, karena Raina juga pasti sedih, sangat kesepian.
Sekarang sudah tidak ada lagi kakak yang sering menggodanya, yang senang membuatnya menjerit-jerit dengan segala macam cara.
"PR fisika buat besok banyak banget nih, Ron. Jangan ganggu gue dulu, ya? Guru fisika gue galak soalnya,"
Ucap Reinald, bicara pada kakak yang dibiarkannya tetap hidup dalam pikirannya.
Namun entah kenapa, penyangkalan atas kematian Ronald yang dilakukan Reinald dengan sadar itu justru membuatnya tenang.
Dari barisan buku di rak di depannya, Reinald mencari buku-buku yang diperlukannya.
Diktat fisika, buku catatan, dan buku PR.
Dengan mata sembap namun dengan hati yang perlahan menjadi tenang, Reinald mulai mengerjakan PR fisiknya.
*** Pukul lima dini hari, beker berdering.
Jadwal yang biasa, tapi hari ini tidak biasa.
Hari ini berbeda.
Begitu membuka mata, Reinald langsung bisa merasakan ia tidak sendirian di dalam kamar.
Tempat tidur Ronald masih rapi, tidak pernah digunakan sejak hari kematiannya, namun sang pemilik ada di dalam kamar ini! Tanpa sadar bulu kuduk Reinald meremang.
Tetapi tidak seperti kontak pertama kemarin sore, kali ini dia tidak lagi ketakutan.
Yang muncul justru perasaan kangen.
Kangen bertengkar dengan Ronald.
Kangen berebut komik.
Kangen saling memekik dan meneriakkan tuduhan karena masing-masing merasa lebih sering merapikan kamar, sementara yang lainnya lebih sering membuat kamar jadi berantakan.
Kalau sudah begitu, biasanya mereka akan membuat garis di lantai dengan kapur tulis.
Membagi kamar itu menjadi dua teritori.
Masing-masing dengan otonomi penuh.
Seluruh sisa ketakutan Reinald kini menghilang.
Saat memandangi dinding kamar, cowok itu tersenyum tanpa sadar.
Kalau pertengkaran mereka sedang menghebat, biasanya dengan penuh nafsu mereka berdua akan membuat garis batas teritorial itu sampai ke dinding.
Akibatnya, mereka harus keluar-masuk kamar dengan posisi badan dimiringkan, karena masing-masing hanya berhak atau jarak setengah ambang pintu.
Suara ketukan di pintu menyadarkan Reinald.
Kepala Raina, adiknya yang masih di bangku SD kelas tiga, menyembul di sana.
"Sekolah nggak sih? Udah jam setengah enam nih,"
Katanya, lalu langsung menghilang tanpa menunggu jawaban sang kakak. Reinald bangkit dari posisi berbaring, lalu ia tepekur di tepi tempat tidur.
"Sialan!"
Desisnya pedih.
"Gue bener-bener kangen Ronald."
Perasaan pedih dan kehilangan yang mendadak sangat terasa itu membuat Reinald berangkat ke sekolah dengan langkah gontai.
Memang, kontak-kontak itu hanya sesaat, namun Reinald merasa seperti Ronald kembali.
Ia bisa merasakan kehadirannya walaupun kakaknya itu kini tidak lagi kasat mata.
Sesampainya di kelas, Reinald mendapati Citra sedang duduk di bangkunya.
Ekspresi muka cewek itu agak aneh.
Seperti bingung.
"Ada apa?"
Tanya Reinald cemas. Citra tampak ragu. Mulutnya sudah terbuka tapi segera tertutup kembali. Kemudian ia menggeleng.
"Perasaan gue aja kali, ya? Tapi emang rada aneh sih. Gue kan kalo ngerjain PR suka sambil dengerin radio. Cari yang penyiarnya kocak atau cari lagu-lagu yang asyik gitu. Tapi semalem, masa setiap kali gue pindah channel, selalu lagu itu yang lagi diputer atau mau diputer. Sama! Lo tau nggak, Ren, itu lagunya siapa?!"
Citra berdecak lalu mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat.
"Oh iya!"
Serunya kemudian.
"Lagunya Glenn Fredly sama Dewi Sandra. Itu tuh, yang judulnya When I Fall in Love. Iya. Iya. Bener!"
Reinald tersentak.
Wajahnya sontak memucat.
Karena naksir cewek ini, Ronald yang fans fanatik 50 cent, Ludacris, dan semua rapper kulit hitam, mendadak jadi melankolis abis! Dan lagu duet Glenn Fredly-Dewi Sandra itu memang jadi lagu favorit Ronald menjelang kepergiannya.
"Bener lagu itu, Cit? Lo yakin?"
Desis Reinald dengan suara tetcekat.
"Ya yakin lah!"
Citra mengangguk.
"Lo pasti nggak percaya kalo semalem, selama gue nyetel radio dan pindah-pindah channel, cuma lagu itu yang gue denger. Barangkali tujuh atau delapan kali. Sumpah!"
Citra mengangkat tangan kanannya.
"Atau... jangan-jangan sekarang lagu itu jadi lagu wajibnya stasiunstasiun radio? Kudu diputer serentak, gitu?"
Reinald menggeleng. Kalut. Ingin mengatakan bukan, tapi berucap lain.
"Nggak tau deh. Iya mungkin."
"Iya kali, ya?"
Citra mengangguk-angguk.
Ia tidak menangkap kekalutan Reinald, karena cowok itu buru-buru memalingkan mukanya.
Tak salah lagi.
Ronald memang datang.
Dia kembali.
Dia pulang.
Dan sudah bisa dipastikan...
itu untuk Citra! *** Reinald jadi kacau.
Konsentrasinya pada pelajaran benar-benar hilang.
Jangankan bisa menyimak setiap penjelasan guru, memindahkan apa yang sudah tertulis rapi dan jelas di papan tulis ke buku catatan saja bisa berantakan tidak keruan.
Kekacauan itu terus menyerang Reinald sampai bel pulang berbunyi.
Sedikit pun cowok itu tidak berhasil membuat dirinya tenang, meskipun hanya untuk sesaat.
Citra yang bisa merasakan kegelisahan Reinald itu akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Lo kenapa sih?"
Tanyanya pelan.
"Mmm... mendadak gue nggak enak badan nih."
Reinald memilih berbohong. Citra menghentikan kesibukannya menyalin catatan dari papan tulis. Ditatapnya Reinald dengan pandang khawatir.
"Pulang aja gih."
"Tanggung."
Reinald menggeleng. Ketika Citra masih juga menatapnya dengan pandang khawatir, cowok itu menegaskan dengan kalimat yang dibarengi senyum.
"Cuma nggak enak badan dikit. Nggak terlalu masalah."
Namun saat mereka berjalan bersisian menuju halte sepulang sekolah, Reinald tidak sanggup lagi berpura-pura.
"Cit, kalo nanti nemuin sesuatu yang aneh-aneh, ceritain ke gue, ya? Jangan sampe nggak."
"Yang aneh-aneh gimana maksudnya?"
"Yah, misalnya lo denger lagunya Glen-Dewi di radio sampe berkali-kali."
"Oh? Iya sih, aneh banget. Tapi untuk apa?"
Citra menoleh dan menatap Reinald dengan kening berkerut.
"Pengin tau aja. Soalnya aneh,"
Reinald berkilah.
"Bener, ya?"
"Gitu, ya?"
Kerutan di kening Citra semakin rapat.
"I-iya deh,"
Sambungnya.
Bus yang ditunggu Citra telah datang, dan mereka harus berpisah.
Citra lalu menaiki tangga bus.
Dilambaikannya tangan sambil tersenyum saat bus mulai bergerak.
Reinald membalas senyum dan lambaian tangan itu.
Ketika Citra sudah tak terlihat lagi, Reinald juga tak lagi berusaha menekan keresahannya.
Dibiarkannya rasa itu keluar dan terlihat jelas pada raut wajah dan sorot matanya.
Meskipun berasal dari sekolah yang sama, ia tidak mengenal satu pun siswa-siswa yang menunggu bus bersamanya.
Jadi ia tidak perlu merasa cemas akan ada yang bertanya.
Ketika turun di halte tidak jauh dari rumahnya, keresahan Reinald berubah menjadi waswas yang menusuk.
Terlebih saat kedua kakinya menapaki halaman.
Ia tak mampu menahan debar jantungnya.
Kedua matanya menatap waspada.
Kedua telinganya juga tanpa sadar berada dalam kondisi yang sama.
Siap menangkap bunyi atau suara yang tidak biasa.
Sekecil atau sesayup apa pun.
Kewaspadaan Reinald semakin meningkat saat ia membuka pintu rumah, dan memuncak saat membuka pintu kamar.
Tanpa sadar kedua matanya bergerak liar menatap ke sekeliling.
Namun tidak terjadi sesuatu yang aneh.
Semuanya terlihat seperti biasa.
Normal.
Wajar.
Tidak tercium bau parfum Ronald.
Tidak terasa suasana yang berbeda.
Malam harinya Reinald mengikuti kebiasaan Citra, belajar sambil mendengarkan radio.
Sebentar-sebentar cowok itu memutar tuning dan berhenti di setiap stasiun yang ada.
Namun tetap, ia tidak menemukan sesuatu yang ganjil.
Semuanya normal.
Ia sama sekali tidak mendengar lagu When I Fall in Love yang kata Citra diputar serentak dan berkali-kali di seluruh stasiun radio.
Tetap itu tak mampu menghilangkan kewaspadaan Reinald.
Sampai saat tubuhnya terbaring di tempat tidur, menjelang jam sebelas malam, cowok itu masih memerhatikan keadaan di sekelilingnya dengan cermat.
Kewaspadaannya mengendur pelan-pelan seiring sepasang matanya yang perlahan menutup karena kantuk.
*** Keesokan paginya, saat Reinald terbangun karena jeritan beker, kewaspadaannya langsung muncul kembali.
Dengan tatap tajam dicermatinya seisi kamarnya di pagi dini hari itu.
Sekali lagi, tidak ada sesuatu yang ganjil.
Semua terlihat wajar dan biasa.
Akhirnya kewaspadaan Reinald mengendur.
Sebagai gantinya, muncul sedikit perasan malu terhadap diri sendiri.
"Kayaknya gue nih yang terlalu parno,"
Desisnya sambil meraih handuk lalu berjalan ke luar kamar.
Ketika sampai di sekolah, kewaspadaan Reinald semakin menguap.
Cowok itu malah mulai yakin bahwa kemarin sampai tadi pagi ia memang terserang paranoid akut.
Dan ia tahu pasti penyebabnya.
Rasa bersalahnya terhadap Ronald! Ketika memasuki kelas dan mendapati Citra sedang ngobrol asyik dengan Loni sambil tertawa-tawa, kewaspadaan dan keresahan Reinald lenyap sama sekali.
Ia benar-benar yakin itu hanya ketakutannya sendiri.
Apalagi setelah lima belas menit sebelum bel, Citra meninggalkan Loni lalu duduk di sebelahnya.
Masih dengan sisa-sisa tawa.
Sepertinya semuanya memang baikbaik saja.
"Ngobrolin apaan sih? Seru banget,"
Tanya Reinald sambil mengeluarkan buku-buku untuk pelajaran jam pertama.
"Oh, itu. Acara semalem di radio,"
Jawab Citra sama tertawa kecil.
"Ada apa di radio?"
Pelan, alarm di kepala Reinald mulai berdering.
"Cerita-cerita lucu gitu. Sebenernya sih itu radio untuk dewasa. Untuk orang-orang yang udah pada kerja atau udah merit gitu. Tapi acaranya semalem lucu banget. Tentang nostalgia. Orang-orang bergiliran nelepon trus cerita gimana mereka ketemuan pertama kali sama istri atau suami meraka. Atau sama pacar mereka, buat yang belom merit. Gimana cara mereka PDKT atau gimana mereka waktu zaman pacaran dulu."
Ucapan Citra terhenti. Ia sibuk menggores-goreskan bolpoinnya yang macet ke selembar kertas.
"Terus?"
"Terus ada satu penelpon. Cowok. Dia cerita, waktu SMA dia pernah naksir cewek tapi nggak berani PDKT. Takut diledekin temen-temennya soalnya tu cewek masih SMP. Jadi dia cuma berani ngeliatin tu cewek dari jauh."
Reinald tersentak. Kepalanya menoleh cepat.
"Apa!?"
Desisnya tajam.
"Lo yakin begitu yang lo denger!?"
Ditatapnya Citra dengan mata melebar. Sesaat Citra tertegun, karena inilah sorot mata Reinald yang paling tajam yang pernah dilihatnya.
"Mmm..."
Citra tergagap.
"Citra!? Lo yakin itu yang lo denger!?"
Tanya Reinald lagi. Terdorong oleh rasa kaget, nada suaranya jadi agak membentak.
"Iya. Lo kenapa sih?"
"Dia cuma merhatiin dari jauh?"
"Iya."
"Dia catet semua kebiasaan tu cewek? Semua ciri-ciri fisiknya? Dan dia juga motret cewek itu diem-diem. Iya?"
"Iya. Kok tau sih? Dengerin juga ya?"
Sepasang alis Citra terangkat. Kemudian ia tertawa geli.
"Lucu ya tu orang? Maksud gue, sampe segitunya. Trus dari suaranya ketauan kalo dia malu banget waktu nyeritainnya. Lama lho dia ngamatin diem-diem gebetannya itu. Iya, kan?"
"Nggak tau!"
Tanpa sadar Reinald menjawab dengan nada getas.
"Lho? Elo bukannya dengerin juga?"
"Nggak!"
"Kok lo tau ceritanya?"
"Mirip cerita sodara gue!"
"Ooooh."
Citra sama sekali tidak menyadari arti kalimat terakhir yang baru saja terucap dari mulut Reinald. Bagi Reinald, mengucapkan kalimat itu telah membuatnya terguncang, sehingga cowok itu tak sanggup menatap Citra dan terpaksa memalingkan muka.
"Jam berapa lo denger acara itu?"
"Biasa, jam tujuh. Biasa jam segitu gue mulai belajar."
Reinald terenyak! Waktu yang sama.
Gelombang-gelombang yang sama.
Bukan cuma dua-tiga kali ia memutar tuning bolak-balik.
Berkali-kali.
Bagaimana bisa dirinya tidak menangkap siaran itu? Ketenangan sesaat yang tadi sempat hadir, seketika menghilang.
Kembali Reinald dicekam kegelisahan yang kini mulai bercampur dengan ketakutan.
Tapi belum tentu, bisiknya kemudian dalam hati.
Barangkali tu orang punya story yang sama kayak Ronald.
Itu jenis cerita yang klasik kok.
"Siapa nama tu cowok?"
Tanyanya kemudian.
"Nggak tau. Gue dengerinnya udah telat."
"Trus, ending-nya gimana? Mereka jadian?"
"Itu dia yang gue kesel! Huh!"
Citra mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
"Di rumah gue semalem mati lampu! Cuma sebentar sih. Kira-kira sepuluh menit. Tapi begitu listriknya nyala lagi, cerita tu cowok udah selesai. Yang cerita udah penelpon berikutnya. Sebel! Padahal gue penasaran banget sama ending-nya."
Sementara muka Citra cemberut karena kesal tidak mengetahui ending cerita yang didengarnya semalam, muka Reinald justru pucat pasi.
Ketiadaan nama dan ketiadaan ending....
Tidak diragukan lagi.
Semuanya sudah jelas.
Ronald memang telah kembali! Reinald kacau.
Jauh lebih kacau daripada kemarin.
Cowok itu berusaha menutupinya, meskipun dengan susah payah.
Saat bel istirahat berbunyi, Reinald segera berdiri.
Tanpa peduli mejanya masih berantakan dan tanpa mengatakan apa-apa pada Citra, cowok itu berjalan ke luar kelas.
Citra mengikutinya dengan pandangan heran dan bertanya-tanya.
Reinald berjalan dengan langkah cepat menuju toilet.
Dimasukinya salah satu bilik lalu dikuncinya dari dalam.
Kemudian ia menyalakan keran agar tidak ada orang yang tahu bahwa ia tidak melakukan apa-apa.
Hanya ingin berdiam diri.
Merenung.
Berpikir.
Tanpa khawatir mengundang keheranan dan pertanyaan.
Cowok itu berdiri diam dengan punggung bersandar di salah satu sisi dinding.
Kedua tangannya terlipat di depan dada.
Di tengah kecemasan, kegalauan, juga ketakutan yang semakin menikam, Reinald terus berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, apakah Ronald memang betul-betul datang kembali namun tak lagi kasatmata.
Tak lagi terlihat.
Tak lagi teraba.
Pertanyaan itu jelas takkan menemukan jawaban yang pasti.
Meskipun Reinald sudah menghabiskan seluruh jam istirahat dengan berdiam diri di salah satu bilik toilet, ketika ia keluar toh pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan.
Tidak ada jawabah yang berhasil ia dapatkan kecuali kalau ia mau percaya intuisinya sendiri.
Menjelang jam istirahat berakhir, Citra kaget melihat Reinald berjalan masuk kelas dengan muka sangat pucat.
"Lo sakit, ya?"
Tantanya cemas.
"Muka lo pucet banget."
"He-eh."
Reinald menjawab singkat.
"Punya makanan, nggak? Gue nggak sempet ke kantin tadi."
"Ada, Bengbeng. Tapi tinggal dua menit lagi bel nih."
"Cukup kok. Mana?"
Citra mengeluarkan Bengbeng yang tadinya akan dibawanya pulang itu dari dalam tas dan menyerahkannya pada Reinald. Cowok itu segera merobek bungkusannya lalu melahap isinya dengan cepat.
"Thanks,"
Ia tersenyum dikunyahan terakhir. Ditepuknya bahu Citra.
"Sekarang gue udah sehat,"
Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring