Child Called It 5
Dave Pelzer A Child Called It Bagian 5
"Aku tak sanggup lagi menanggung semua ini. Semuanya. Ibumu, rumah ini, dirimu. Aku betul-betul tak sanggup lagi". Sebelum ia menutup pintu kamar, aku masih sempat mendengar ia bergumam, "Ma... Ma... Maafkan aku". Makan malam Thanksgiving tahun itu berantakan. Demi menunjukkan sikap baik sebagai orang beriman, Ibu mengizinkan aku makan di meja bersama keluarga. Aku tenggelam di kursiku. Aku mencoba tenang, berusaha keras untuk tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang bisa membuat Ibu marah. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kedua orangtuaku. Mereka hampir tidak berbicara sama sekali, sementara kakak-kakak dan adikku mengunyah makanan mereka dengan diam. Hampir saja makan malam itu berakhir ketika kata-kata kasar mulai saling dilontarkan. Setelah cekcok itu selesai, Ayah pergi. Ibu mengambil botol minumannya, lalu duduk sendirian di sofa, dan menikmati gelas demi gelas minuman ber-alkoholnya. Aku membereskan meja makan dan mencuci semua peralatannya. Pada saat itu aku berpikir bahwa kelakuan Ibu pada malam itu tidak hanya mempengaruhi diriku. Tampaknya saudara-saudara kandungku pun merasakan rasa takut yang sama seperti yang selama bertahun-tahun ini kurasakan. Selama beberapa waktu, Ibu dan Ayah sama-sama berusaha menahan diri. Namun menjelang Natal, kedua orangtuaku itu merasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan sikap di antara mereka. Menahan diri, mencoba bersikap baik satu sama lain tak lagi bisa mereka pertahankan. Saat duduk di anak tangga atas, sementara saudara-saudara kandungku membukai bungkusan-bungkusan hadiah Natal mereka, bisa kudengar Ibu dan Ayah cekcok lagi. Aku berdoa, memohon agar mereka berbaikan, meskipun untuk satu hari yang istimewa itu saja. Pada pagi Hari Natal itu aku sadar bahwa kalau Tuhan menginginkan Ibu dan Ayah bahagia, maka aku harus mati. Beberapa hari kemudian, Ibu mengepak semua pakaian Ayah ke dalam beberapa kardus, lalu bermobil bersama semua anaknya, termasuk aku, menuju suatu tempat beberapa blok setelah tempat kerja Ayah. Di sana, di depan sebuah motel yang kumuh, Ayah berdiri menunggu kami. Raut wajahnya memperlihatkan rasa lega. Hatiku menciut. Setelah bertahun-tahun berdoa tanpa hasil, akhimya aku tahu bahwa hal itu terjadi juga-kedua orangtuaku berpisah. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, sampai aku merasa seakan-akan jari-jariku akan merobek telapak tanganku. Pada saat Ibu dan saudara-saudara kandungku masuk ke kamar Ayah di motel itu, aku duduk saja di mobil sambil mengutuki Ayah berulang kali. Aku benci sekali padanya karena melarikan diri dari keluarganya. Tetapi mungkin juga bukan rasa benci. Mungkin aku lebih merasa iri pada Ayah karena ia berhasil menyelamatkan diri, sedangkan aku tidak. Aku masih harus hidup bersama Ibu. Sebelum Ibu menjalankan mobilnya, Ayah membungkukkan badannya pada jendela yang terbuka di samping tempatku duduk, kemudian ia memberiku sebuah bun gkusan. Katanya, bungkusan itu berisi informasi yang ia janjikan kepadaku, untuk bahan pembuatan laporan yang sedang kukerjakan di sekolah. Aku tahu Ayah lega bisa melepaskan diri dari Ibu, tetapi sekaligus bisa kulihat kesedihan pada sorot matanya ketika mobil Ibu beranjak pergi. Perjalanan pulang ke Daly City hening. Kalau saudara saudaraku berbicara, mereka melakukan itu dengan suara setengah berbisik dan seadanya saja, supaya tidak membuat Ibu marah. Ketika sampai di batas kota, Ibu mencoba membuat suasana riang dengan mentraktir anak-anaknya makan di McDonald's. Seperti biasa, aku duduk menunggu di mobil sementara mereka masuk ke dalam rumah makan itu. Kupandangi langit melalui kaca jendela mobil yang terbuka. Selimut awan abu-abu rata menutupi seluruh permukaan langit, dan bisa kurasakan titik-titik kecil air dingin dari kabut jatuh ke wajahku. Kuamati kabut itu, dan aku merasa takut. Aku tahu, tidak ada lagi yang bisa menahan Ibu. Sedikit harapan yang pemah kumiliki, pergi sudah. Tak lagi aku punya kemauan untuk melanjutkan hidupku. Aku merasa seperti terhukum yang menanti saat hukuman mati, entah kapan itu akan terjadi. Rasanya ingin aku melarikan diri dari mobil itu, namun untuk bergerak sedikit saja aku takut. Aku membenci diriku sendiri karena kelemahan itu. Bukannya melarikan diri, aku malah mendekap bungkusan yang diberikan Ayah kepadaku sambil berusaha mencium cologne yang dipakai Ayah. Tak ada sedikit pun aroma Ayah yang bisa kucium pada bungkusan itu, maka aku pun terisak pelan. Pada saat itu, Tuhanlah yang paling aku benci dari segala sesuatu yang ada di dunia ini maupun di dunia lain. Tuhan tahu segala perjuanganku selama bertahun-tahun, namun Ia berdiam diri saja, membiarkan keadaan berubah semakin buruk. Ia bahkan tidak memberiku sedikit pun aroma Old Spice After Shave yang biasa dipakai Ayah. Tuhan merampas satu-satunya harapan terbesarku. Dalam hati, aku mengutuk nama-Nya, dan berharap aku tak pemah dilahirkan. Di luar, bisa kudengar suara Ibu dan anak-anak lelakinya berjalan mendekati mobil. Cepat-cepat kuhapus air mataku dan kembali kepada kekerasan hatiku yang membuat aku merasa terlindung. Sambil menjalankan mobilnya keluar dari pelataran parkir McDonald's, Ibu menoleh sebentar ke belakang, ke arahku, dan berkata.
"Sekarang kau sepenuhnya jadi milikku. Sayang sekali ayahmu tidak bisa melindungimu."
Aku tahu, segala pertahananku akan sia-sia. Aku tak mungkin bertahan hidup. Aku tahu Ibu akan membunuhku, kalau bukan hari ini, besok. Bila saat itu tiba, aku berharap Ibu mengasihani aku, dan membunuhku secepat mungkin.
Sementara kakak-kakak dan adikku menikmati hamburger mereka, tanpa mereka sadari aku mengatupkan kedua tanganku, kutundukkan kepalaku, kupejamkan mataku, dan aku berdoa dengan sepenuh hatiku. Ketika station wagon Ibu masuk pekarangan rumah, aku merasa waktuku sudah tiba. Sebelum kubuka pintu mobil, kutundukkan kepalaku lebih dalam lagi, dan dengan perasaan damai dalam hatiku, aku berbisik.
"...dan Bebaskanlah aku dari yang jahat".
"Amin." ******** EPILOG SONOMA COUNTY, CALIFORNIA Aku merasa begitu hidup. Aku berdiri, berhadapan dengan keindahan Lautan Pasifik yang membentang tanpa batas. Udara sejuk sore hari berembus dari perbukitan di belakangku. Selalu hari yang indah. Matahari semakin turun. Sebuah pesona akan segera mulai. Langit mulai berubah warna jadi semburat terang, dari biru lembut menjadi jingga tua terang. Ke arah barat, aku memandang dengan takjub kedahsyatan ombak. Sebuah gulungan ombak semakin membesar, lalu menghantam pantai dengan suara berdebur. Udara basah yang tak terlihat mengusap wajahku, beberapa saat sebelum air berbuih putih nyaris membenam seluruh bagian kakiku. Riak putihnya dengan cepat surut kembali. Tiba-tiba sepotong kayu yang terapung mendarat di pasir pantai. Bentuknya berpilin aneh. Potongan kayu itu berlubang, halus, dan warnanya kusam akibat lama terpapar sinar matahari. Aku membungkuk untuk memungutnya. Sebelum jariku sempat menyentuhnya, lidah air lebih dulu menangkap potongan kayu itu dan menariknya kembali ke laut. Selama beberapa saat, poto ngan kayu itu tampaknya berusaha keras untuk tetap bisa berada di pantai. Ia meninggalkan bekas-bekasnya di pasir pantai, sebelum akhirnya masuk kembali ke air, di mana ia terombang-ambing hebat untuk kemudian menyerah pada kekuatan laut. Pandanganku terpaku pada potongan kayu itu-betapa kayu itu mengingatkan aku pada kehidupanku sebelumnya. Awal kehidupanku sedemikian kejam, penuh dengan tarikan dan dorongan ke segala arah. Semakin menyiksa situasi yang kualami, semakin kurasakan seakan-akan ada kekuatan sedemikian besar yang menarikku masuk ke pusaran arus bawah air. Aku berjuang membebaskan diri sekuat tenaga, namun putaran itu rasanya tak pernah berakhir. Lalu, secara tiba-tiba saja tanpa peringatan lebih dulu, aku terbebas. Aku merasa sangat beruntung. Masa laluku yang hitam sudah kutinggalkan. Seburuk apa pun masa laluku itu, aku jadi tahu bahwa hidupku sepenuhnya terserah padaku. Dulu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa bila aku bisa keluar hidup-hidup dari situasi yang menimpaku, aku harus berhasil melakukan sesuatu. Aku harus menjadi yang terbaik sesuai kemampuanku. Begitulah aku hari ini. Aku memastikan bahwa masa laluku sudah kulepaskan, dengan menerima fakta bahwa bagian dari kehidupanku itu hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kehidupanku. Aku sadar bahwa lubang hitam itu ada di sana, senantiasa menunggu untuk mengisap aku dan mengendalikan nasibku selamanya-tetapi itu kalau aku membiarkannya. Aku melakukan kontrol positif atas hidupku. Aku merasa diberi anugerah. Segala tantangan yang biasa kuhadapi di masa lalu membentuk kekuatan yang sangat besar di dalam diriku. Aku beradaptasi dengan cepat, dengan belajar bagaimana bertahan hidup di dalam situasi yang buruk. Aku tahu bagaimana membangun motivasi di dalam diri sendiri. Pengalamanku memberi aku kemampuan untuk melihat hidup ini secara berbeda, yang mungkin tidak dilihat oleh orang pada umumnya. Aku memiliki penghargaan yang sangat besar terhadap berbagai hal yang mungkin oleh orang lain dianggap biasa saja. Tentu saja aku membuat beberapa kesalahan, tetapi untunglah aku menjadi semakin baik lagi setelah kukoreksi kesalahan itu. Aku tidak berdiam di masa lalu, tetapi aku mempertahankan fokus yang sama yang kuajarkan pada diriku sendiri bertahun-tahun sebelumnya ketika aku hidup di basement, bahwa Allah yang baik selalu melindungi, diam-diam memberiku keberanian dan kekuatan pada saat-saat aku paling membutuhkannya. Anugerah yang kuterima termasuk pertemuanku dengan begitu banyak orang yang memiliki pengaruh positif terhadap hidupku. Begitu banyak wajah yang mendorong aku, mengajari aku untuk membuat pilihan-pilihan yang benar, serta membantu aku dalam usahaku mengejar keberhasilan. Mereka mendukung niatku untuk mengembangkan diri. Dalam usahaku memperkaya wawasan, aku mendaftarkan diri ke United States Air Force. Di situ aku menemukan nilai-nilai historis dan menanamkan dalam diriku rasa bangga dan rasa memiliki yang baru pada saat itulah aku menyadarinya. Setelah berjuang bertahun-tahun lamanya, tujuanku semakin nyata di situ; di atas segalanya, aku menyadari bahwa Amerika benar-benar menjadi tempat di mana seseorang dengan bekal awal yang sangat minim dapat menjadi pemenang berkat dirinya sendiri. Terpaan tiba-tiba riak ombak membuyarkan lamunanku. Potongan kayu yang sejak tadi kuperhatikan, tenggelam ditelan gerakan air laut. Aku berbalik, dan segera menuju mobilku. Beberapa saat kemudian aku sudah memacu truk Toyota-ku melalui banyak tikungan berkelok-kelok seperti tubuh ular. Aku bergegas menuju tempat idamanku yang selama ini tak kuberitahukan kepada siapa pun. Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku hidup dalam kegelapan, aku selalu mendambakan tempat rahasia itu. Kini, setiap kali ada kesempatan, aku selalu mengunjungi sungai itu. Setelah berhenti untuk mengambil bawaanku yang tak temilai harganya di Rio Villa, dekat Monte Rio, aku kembali memacu kendaraanku. Bagiku, aku berpacu dengan waktu, karena matahari hampir terbenam dan salah satu impian seumur hidupku tak lama lagi menjadi kenyataan. Begitu memasuki kota Guerneville yang tenang, aku harus menjalankan Toyota-ku perlahan-lahan. Sampai pada sebuah persimpangan, aku berbelok ke kanan, menapaki jalan menuju Riverside. Dari jendela mobil yang kacanya kuturunkan, kuhirup dalam-dalam udara beraroma manis dan bersih dari pepohonan redwood, yang daunnya melambai-lambai. Kuhentikan mobil di depan rumah yang sama, yang dulu sekali dipakai kami sekeluarga menginap selama liburan musim panas-17426 Riverside Drive. Sama seperti banyak hal lainnya, rumah itu pun sudah berubah. Bertahun-tahun yang lalu, dua kamar tidur kecil ada di belakang perapian. Terlihat ada bekas upaya yang asal-asalan untuk melebarkan dapur yang sempit sebelum terjadi banjir pada tahun 1986. Bahkan pohon besar dan kokoh, yang bertahun-tahun lalu kami, aku dan saudara-saudaraku-panjati selama berjam-jam, kini membusuk. Yang tak berubah tinggal langit-langit cabin dari kayu pohon cedar berwarna gelap dan perapian yang terbuat dari batu kali. Ada rasa sedih muncul dalam diriku ketika aku hendak menapaki jalan setapak berpasir dan berkerikil. Kemudian, sambil berusaha untuk tidak mengganggu siapa pun di situ, ku-tuntun anak lelakiku, Stephen, melalui jalan sempit di samping rumah yang sama. Di jalan itulah dulu, bertahun-tahun yang lalu, orangtuaku menuntun aku dan saudara-saudaraku. Aku kenal pemiliknya, dan aku yakin ia tidak keberatan aku dan anakku lewat situ. Tanpa sepatah kata pun, aku dan anakku memandang ke arah barat. Russian River tak pernah berubah, hijau gelap dan selicin kaca, airnya tiada henti mengalir lembut ke Samudra Pasifik yang maha besar. Burung-burung blue jay bersahut-sahutan saat mereka menari di udara, untuk kemudian menghilang di antara pepohonan redwood. Langit di atas kami sudah bermandikan alur-alur warna jingga tua dan biru. Sekali lagi kuhirup napas panjang dan kupejamkan mata, sepuas mungkin kunikmati saat-saat itu seperti dulu, bertahun-tahun yang lalu. Setetes air mata mengalir di pipiku ketika aku membuka mataku. Aku berlutut, kurengkuh Stephen ke dalam pelukanku. Ia memberiku ciuman.
"Aku menyayangimu, Ayah."
"Aku juga menyayangimu," jawabku. Anak lelakiku menengadah, memandangi langit yang beranjak gelap. Matanya membelalak saat ia tersentak oleh pesona pemandangan yang mengiringi terbenamnya matahari.
"Inilah tempat yang paling kusukai di seluruh dunia!"
Stephen berkata mantap. Tenggorokanku tercekat. Air mata mengambang di pelupuk mataku.
"Aku juga," jawabku.
"Aku juga."
Stephen masih dalam usia seorang anak kecil yang polos, namun sifat bijaksananya melampaui usianya. Bahkan saat itu, ketika air mata yang asin membasahi wajahku, Stephen tersenyum, memberiku kesempatan untuk mempertahankan harga diriku. Dan ia tahu mengapa aku menangis. Stephen tahu air mataku adalah air mata bahagia.
"Aku menyayangimu, Ayah."
"Aku juga menyayangimu, Nak."
Aku bebas.
CHILD ABUSE BEBERAPA SUDUT PANDANG DAVE PELZER KORBAN SELAMAT Sebagai anak yang hidup dalam kegelapan, saya merasa takut seumur hidup dan saya kira hanya saya seorang diri yang hidup seperti itu. Kini, setelah dewasa, saya tahu bahwa saya bukan satu-satunya anak yang mengalami kehidupan seperti itu, ada ribuan anak lain korban penyiksaan.
Ada beragam sumber informasi, tetapi diperkirakan satu dari lima anak mengalami penyiksaan fisik, emosional, dan seksual di negara kami (Amerika Serikat). Sayangnya, sebagian masyarakat yang tidak memperoleh cukup informasi beranggapan bahwa kebanyakan tindakan penyiksaan tidak lebih daripada sekadar tindakan agak berlebihan orangtua dalam menjalankan "hak" mereka untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Boleh jadi mereka juga beranggapan bahwa penegakan disiplin yang berlebihan pada masa kanak-kanak tidak mempengaruhi sikap mereka setelah dewasa. Informasi seperti itu sangat menyesatkan, bahkan bisa berakibat tragis.
Pada setiap saat, seorang dewasa yang pernah menjadi korban penyiksaan di masa kecilnya mungkin saja melampiaskan rasa frustrasinya kepada lingkungan sosial-nya atau kepada orang-orang yang ia cintai. Menyangkut kasus-kasus yang luar biasa, masyarakat luas biasanya cepat mengetahuinya. Peristiwa-peristiwa yang meng hebohkan menjadi santapan media, yang pada gilirannya menaikkan peringkat media bersangkutan. Kita mendengar kejadian tentang seorang ayah yang pengacara yang meninju anaknya sampai pingsan lalu meninggalkan si anak tergeletak begitu saja di lantai, sementara ia sendiri kemudian pergi tidur. Kita mendengar kejadian tentang seorang ayah yang membenamkan kepala anaknya yang masih kecil ke toilet. Kedua anak itu tewas.
Bahkan ada kasus yang lebih menghebohkan lagi, yakni ibu dan ayah masing-masing membunuh seorang anaknya lalu menyembunyikan mayat kedua anak itu selama empat tahun. Ada kisah-kisah lain yang juga menggemparkan, seperti seorang anak korban penyiksaan yang tumbuh menjadi seorang pria pembantai dengan menembaki orang-orang tak berdaya di McDonald's, sehingga polisi terpaksa menembaknya mati.
Yang lebih umum terjadi adalah anak-anak yang tak dikenal yang menghilang begitu saja, seperti anak tunawisma yang tinggal di bawah jembatan layang dan menggunakan kardus sebagai rumahnya. Setiap tahun ribuan anak perempuan korban penyiksaan kabur dari rumah mereka lalu menjual diri untuk bertahan hidup. Ada juga mereka yang memberontak, lalu menjadi anggota geng-geng dan sepenuhnya melibatkan diri dalam tindakan kejam serta merusak.
Banyak anak korban penyiksaan menyembunyikan masa lalu mereka dalam-dalam di dalam dirinya, sedemikian dalam sampai-sampai kemungkinan mereka sendiri menjadi orang dewasa penyiksa sangat tak terduga.
Mereka hidup normal, menjadi suami atau istri, membangun rumah-tangga, dan membangun karier.
Namun persoalan sehari-hari sering memaksa mereka yang dulunya adalah anak korban penyiksaan bertingkah laku seperti tingkah laku yang mereka terima saat kanak-kanak. Pasangan dan anak-anaknya sendiri kemudian menjadi sasaran rasa frustrasinya, dan tanpa disadari terbentuklah suatu lingkaran kemarahan yang sempuma, tak ada habisnya.
Beberapa anak korban penyiksaan berdiam diri dalam tempurung mereka, tak berbuat apa-apa. Mereka melihat ke arah lain, karena mereka percaya bahwa dengan tidak mengakui masa lalu mereka maka semua peristiwa masa lalu itu akan hilang dengan sendirinya. Tampaknya mereka percaya bahwa yang terpenting adalah menjaga Kotak Pandora tetap tertutup rapat.
Di Amerika Serikat, setiap tahun jutaan dolar disumbangkan kepada badan-badan perlindungan anak.
Seluruh dana tersebut disalurkan ke berbagai fasilitas seperti asrama yatim piatu (foster homes) dan penampungan remaja (juvenile halls). Ada juga dana yang disalurkan ke ribuan badan swasta yang mempunyai misi antara lain upaya pencegahan dini penyiksaan terhadap anak, konseling bagi orangtua yang abusive dan anak-anak mereka yang menjadi korbannya. Setiap tahun jumlah kasus penyiksaan anak terus meningkat. Pada tahun 1990, di Amerika Serikat, ada 2,5 juta kasus penyiksaan anak yang dilaporkan. Pada tahun 1991 angka itu meningkat jadi lebih dari 2,7 juta kasus. Dan ketika artikel ini saya tulis, angka itu sudah melebihi 3 juta kasus.
Mengapa? Apa yang menyebabkan tragedi penyiksaan anak terjadi? Apakah kasusnya seburuk yang dilaporkan? Dapatkah tragedi itu dihentikan? Dan mungkin pertanyaan yang paling penting diajukan adalah, seperti apakah penyiksaan itu dari sudut pandang anak kecil? Yang baru saja selesai Anda baca adalah kisah tentang sebuah keluarga biasa yang menjadi berantakan akibat rahasia yang tersembunyi di antara mereka. Kisah itu dipaparkan dengan dua tujuan. pertama, memberikan informasi kepada pembacanya bagaimana orangtua yang penuh cinta dan penuh perhatian bisa berubah menjadi monster tanpa belas kasihan dan abusive, yang melampiaskan segala rasa frustrasi kepada seorang anak kecil yang tak berdaya; kedua, menunjukkan keberhasilan untuk tetap bertahan hidup serta kemenangan semangat hidup manusia dalam mengalahkan berbagai perlakuan ganjil yang seakan-akan tak terkalahkan.
Ada pembaca yang akan merasakan bahwa kisah ini tidak nyata dan membuat perasaan tidak nyaman, tetapi penyiksaan terhadap anak-anak atau child abuse adalah sebuah gejala yang memang menimbulkan rasa tidak nyaman dan itu sungguh terjadi di masyarakat kita.
Penyiksaan anak memiliki efek domino, saling terkait, yang menyentuh semua pihak yang berhubungan dengan keluarga bersangkutan. Yang menanggung penderitaan terbesar adalah si anak sendiri, baru kemudian terbagi di antara para anggota keluarga langsung sampai pasangan hidup, yang sering kali merasa tercabik dalam memihak antara si anak dan pasangan hidupnya. Dari situ, penderitaan menyebar kepada anak-anak lain dalam keluarga bersangkutan yang tidak tahu-menahu tetapi juga merasakan ketakutan yang diakibatkannya. Yang juga terlibat dalam efek domino itu adalah para tetangga yang mendengar teriakan atau jeritan namun tidak berbuat apa-apa, para guru yang melihat luka-luka atau memar-memar dan harus berurusan dengan murid yang mengalami kesulitan menangkap pelajaran, lalu para sanak keluarga yang berniat membantu namun tidak ingin kehilangan tali persaudaraan.
Kisah ini lebih daripada sebuah kisah mempertahankan kelangsungan hidup. Kisah ini merupakan sebuah cerita kemenangan. Bahkan dalam saat-saat yang paling kelam pun, kemauan hiduplah yang berusaha tak kunjung padam.
Perjuangan fisik mempertahankan kelangsungan hidup memang penting, tetapi yang lebih penting dan bermakna lagi adalah mempertahankan semangat agar tetap hidup.
Kisah ini merupakan kisah hidup saya dan saya sendirilah yang mengalaminya. Selama bertahun-tahun saya dikurung dalam kegelapan, dikucilkan dari pikiran dan perasaan saya sendiri, merasa sendirian, serta menjadi anak yang selalu dikalahkan. Pada mulanya saya sekadar ingin menjadi seperti orang-orang lain pada umumnya, namun motivasi saya berkembang terus. Saya ingin menjadi "pemenang". Selama lebih dari 13 tahun saya mengabdikan diri bagi negara sebagai anggota militer.
Sekarang saya mengabdi negara dengan cara memberikan berbagai seminar dan workshop kepada mereka yang membutuhkan, untuk membantu mereka memutuskan mata rantai yang mengekang mereka. Sebagai salah satu korban child abuse yang mampu bertahan, saya membawa pesan bagi anak-anak yang mengalami penyiksaan dan bagi mereka yang mendampinginya. Saya membawa sebuah perspektif yang saya peroleh melalui kenyataan brutal sebagai korban dan berharap bahwa perspektif itu memupuk harapan bagi masa depan yang lebih baik. Yang lebih penting lagi, saya berhasil memutus lingkaran setan kemarahan dan menjadi seorang ayah yang membuat satu-satunya kesalahan, yaitu memberikan terlalu banyak kasih sayang dan dukungan bagi anak lelakinya.
Dewasa ini di Amerika Serikat terdapat jutaan orang yang sangat membutuhkan bantuan. Menjadi tugas saya mendampingi mereka yang membutuhkan bantuan itu.
Saya yakin kita perlu tahu bahwa apa pun yang pernah kita alami di masa lalu, kita pasti mampu mengalahkan sisi gelapnya dan menuju dunia yang lebih terang. Memang kedengaran seperti sebuah paradoks bahwa tanpa pengalaman sebagai anak yang mengalami penyiksaan, saya mungkin tidak pernah menjadi diri saya sekarang ini.
Masa gelap yang saya alami ketika masih kanak-kanak memberi saya kemampuan yang sangat baik untuk menghargai hidup. Saya beruntung memiliki kemampuan mengubah tragedi menjadi sebuah kemenangan. Itulah kisah saya.
Mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika sebuah keluarga mengalami tekanan seperti saat ini.
Berbagai perubahan di bidang ekonomi dan sosial telah mendesak keluarga sampai ke batasnya, dan situasi itu membuat penyiksaan terhadap anak lebih mungkin terjadi.
Jika masyarakat memiliki pengaruh langsung terhadap persoalan child abuse, itu harus diungkapkan. Dan jika berhasil diungkapkan, berbagai penyebab terjadinya child abuse dapat dipahami dan barulah dukungan benar-benar bisa diberikan. Masa kanak-kanak seharusnya penuh keceriaan, bermain dalam terang sinar matahari; bukannya hidup dalam mimpi menakutkan yang bersumber dalam kegelapan jiwa.
STEVEN E. ZIEGLER GURU Bulan September 1992 bagi saya adalah bulan dimulainya lagi kegiatan belajar di sekolah. Dengan pengalaman 22 tahun mengajar sampai pada tahun itu, saya selalu bisa merasakan suasana hiruk-pikuk yang melelahkan dan sedikit kebingungan yang menjadi wama khas saat-saat sepert i itu. Ada hampir 200 siswa baru yang nama-namanya dan catatan-catatan mengenai diri mereka harus saya pelajari; belum lagi beberapa anggota staf pengajar baru yang harus diperkenalkan pada segala sesuatu yang harus mereka ketahui. Saat itu juga berarti selamat tinggal liburan musim panas, selamat datang tambahan beban tugas yang harus dikerjakan, dan berbagai laporan dari Sacramento menyangkut dana bagi sekolah-sekolah.
Tampaknya tidak ada yang berbeda pada setiap awal dimulainya kegiatan sekolah, sampai akhimya saya menerima sebuah pesan telepon tanggal 21 September, yang membuat saya merasakan kembali rasa sedih 20 tahun sebelumnya.
"Seseorang bemama David Pelzer berharap Anda sudi menghubungi agennya untuk membicarakan laporan mengenai child abuse yang pemah Anda tangani 20 tahun yang lalu". Masa lalu berputar balik terlalu cepat. Ya, saya tidak akan lupa David Pelzer. Waktu itu saya baru lulus perguruan tinggi, menjadi guru baru, dan kalau saya tengok ke belakang, sebetulnya tidak banyak yang saya ketahui tentang kenyataan sesungguhnya dari karier yang saya pilih itu. Dan di situlah, hal yang paling tidak saya ketahui adalah mengenai child abuse. Pada awal tahun 1970-an saya tidak tahu bahwa child abuse sungguh-sungguh terjadi. Dan kalaupun itu benar-benar terjadi, semuanya akan tersimpan di dalam "lemari pakaian" seperti halnya gaya hidup atau kelakuan masyarakat kita pada saat itu. Banyak yang sudah kita ketahui, tetapi baru sedikit yang kita perbuat. Kenangan saya kembali ke Thomas Edison School di Daly City, California, pada bulan September 1972. David Pelzer adalah salah satu murid saya di kelas lima. Temyata, dulu itu saya memang naif. Bagaimanapun, tampaknya saya dianugerahi kepekaan yang membisiki saya bahwa ada yang sangat tidak beres dalam hidup David. Makanan yang hilang dari bekal makan siang murid-murid lain bila ditelusuri mengarah pada anak yang kurus dan berwajah sedih itu. Luka-luka dan memar-memar yang mengundang tanda tanya tampak jelas pada beberapa bagian anggota tubuhnya yang tak tertutup pakaian. Semua itu menjadi jelas mengarah pada satu hal. anak ini dipukuli dan dihukum sedemikian rupa, jauh melampaui batas praktek pengasuhan anak oleh orangtua. Baru beberapa tahun kemudian saya tahu bahwa yang saya saksikan di kelas saya sebelumnya itu adalah kasus child abuse nomor tiga terparah yang tercatat di seluruh negara bagian California. Saya sama sekali tidak punya hak untuk memaparkan kembali rincian data mengenai apa yang kami lihat dengan mata kepala sendiri, yang kemudian saya susun bersama sejumlah guru lain sebagai laporan yang kami serahkan kepada pihak berwenang bertahun-tahun yang lalu. Bagian itu akan tetap menjadi hak istimewa David dan peluang baginya untuk ditulis dalam buku ini. Sungguh menjadi peluang yang tak temilai bahwa orang muda ini berani tampil dan memaparkan kisahnya kepada kita sehingga masyarakat dapat mencegah penderitaan yang tidak semestinya bagi anak-anak lain. Saya sungguh mengagumi keberaniannya melakukan itu. Saya selalu mengharapkan yang terbaik bagimu, David. Tak ada sedikit pun keraguan dalam diri saya bahwa kau sungguh menjadi yang terbaik. ******** VALERIE BIVENS PEKERJA SOSIAL Sebagai anggota Social Worker for Child Protective Services, California, dengan sendirinya saya memantau frekuensi dan situasi yang mengenaskan akibat tindak kriminal terhadap anak-anak. Buku ini merupakan laporan tertulis mengenai kisah penyiksaan di luar batas yang menimpa diri seorang anak. Kita bisa mengetahui persepsi si anak selama ia berada dalam situasi menakutkan yang terus-menerus, dari kehidupan di sebuah keluarga ideal menjadi seorang "tawanan perang" di rumahnya sendiri. Kisah ini dipaparkan kepada pembacanya oleh seorang survivor, korban yang selamat, dari penyiksaan oleh ibu kandungnya sendiri, berkat keberanian serta keteguhan hati yang luar biasa. Sayang sekali bahwa masyarakat pada umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse ini. Sangat jarang anak-anak korban tindakan kriminal berani menceritakan kisahnya atau melawan mereka yang menyiksanya. Rasa marah d an sakit yang diderita anak-anak ini dan yang tidak berani mereka ungkapkan, pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri atau orang-orang lain yang dekat dengan mereka. Maka, lingkaran kemarahan yang menciptakan peluang bagi terjadinya child abuse terus berlanjut dan berulang. Dewasa ini semakin sering kita mendengar peristiwa child abuse. Film-film dan artikel-artikel di majalah-majalah yang mengupas persoalan itu semakin banyak beredar, namun kasus-kasus di situ sering dipaparkan secara sensasional sehingga kita semakin tidak paham apa dan bagaimana sesungguhnya child abuse itu, apa yang sesungguhnya dialami dan diderita oleh anak yang menjadi korbannya. Buku ini membuka wawasan kita, mencerahkan, dan mendidik. David mengajak kita ikut mengalami rasa takutnya, rasa kekalahannya, rasa kesendiriannya, rasa sakitnya, dan rasa marahnya, sampai pada harapan terakhimya. Dengan masuk ke dalam alur itu, menjadi jelas bagi kita betapa menyakitkannya dunia gelap yang diderita anak-anak korban child abuse. Bahkan secara lebih detil, kita bisa merasakan tangisan anak-anak itu melalui mata, telinga, dan badan David Pelzer. Juga dengan membaca buku ini kita bahkan bisa merasakan keteguhan hati David untuk keluar dari siksaan yang tak kunjung henti menuju kemenangan. ******** GLENN A. GOLDBERG MANTAN EXECUTIVE DIRECTOR OF THE CALIFORNIA CONSORTIUM FOR THE PREVENTION OF CHILD ABUSE Pengalaman David Pelzer pantas diungkapkan agar kita dapat menggerakkan rakyat Amerika untuk menciptakan sebuah negara yang tidak akan menyakiti anak-anak kecil. Jutaan anak-anak kita, sumber daya alam kita yang paling berharga, menjadi korban wabah child abuse dan penolakan orangtua yang tragis dan sulit diterima akal sehat. Baik tingkat maupun intensitas pola pengasuhan anak secara keliru meningkat tajam dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Kisah David Pelzer dapat membantu siapa saja untuk memahami bahwa krisis child abuse menjalar sedemikian cepat dan sudah jauh melampaui batasnya. Setiap tahun ratusan ribu anak yang tak berdaya diperlakukan kasar dan mengalami penyiksaan fisik, emosional, dan seksual. Setiap tindakan penyiksaan anak berpengaruh jauh sampai ke masa yang akan datang; kalau seorang anak menderita, holeh jadi kita semua akan menanggung akibatnya. David Pelzer adalah korban yang mampu membebaskan diri dari perlakuan kasar yang ia terima ketika masih kanak-kanak, dan kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Bagaimanapun, kita tidak pemah boleh melupakan puluhan ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi. Maka, menjadi harapan besar bagi saya bahwa buku ini bisa membantu mengarahkan prakarsa yang dilakukan oleh semakin banyak pihak untuk mencegah terjadinya segala bentuk child abuse. Tak Pernah Kutahu Tak pernah kutahu seburuk apa; Tapi kudengar itu ada. Kelakuan kriminal yang membuatku ngeri dan marah Karena merampas perkembangan Pada bagiannya yang paling bemas. Tak pernah kutahu seberapa sakit; Memar dan luka tak tampak. Dan mengapa di situ titik pada garis kehidupan, Penyiksaan brutal harus kau tanggung Tak pernah kutahu seperti apa perasaanmu; Kau seperti tak punya kehendak. Yang kutahu kau tak ke mana-mana, Tak pernah sempat kau ungkapkan perasaanmu. Tak pemah kutahu sesuatu yang bisa kulakukan; Yang mungkin bisa membantu barang sedikit. Sebab yang kaubutuhkan cuma seorang sahabat; Siapa pun yang mau menjadikanmu sahabat. Tetapi sekarang aku tahu Bahwa aku bisa berbuat sesuatu; Bahkan membuat sesuatu jadi lain. Aku akan tegak bersamamu; Aku akan berteriak bersamamu, Maka orang-orang lain tak mungkin lagi berkata.
"Tak pemah kutahu."
Cindy M. Adams TENTANG PENULIS Dave adalah pensiunan Angkatan Udara Amerika Serikat, yang pemah ambil bagian dalam operasi Just Cause, Desert Shield, dan Desert Storm. Saat masih aktif di Angkatan Udara itu ia terlibat dalam aktivitas di Juvenile Hall dan dalam berbagai program lain seputar "Remaja yang Terancam" di seluruh pelosok neg ara bagian California.
Sebagai pengakuan atas prestasi-prestasi istimewanya, Dave dianugerahi berbagai bentuk penghargaan, termasuk pujian secara pribadi dari dua mantan presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan dan George Bush. Tahun 1990 ia menerima J.C. Penney Golden Rule Award. Pada Januari 1993 ia mendapat penghargaan sebagai salah satu dari Ten Outstanding Young Americans. Ia bergabung dalam sebuah kelompok alumni terkemuka yang antara lain beranggotakan John F. Kennedy, Richard Nixon, Anne Bancroft, Orson Welles, Elvis Presley, Walt Disney, dan Nelson Rockefeller.
Pada November 1994 ia menjadi satu-satunya warga Amerika yang dianugerahi penghargaan sebagai salah satu dari Outstanding Young Persons of the World, di Kobe, Jepang, atas upayanya meningkatkan kewaspadaan akan perlakuan kasar terhadap anak-anak dan pencegahannya, juga atas kegigihannya yang tanpa kenal henti dalam menanamkan pentingnya bersikap tabah. Dave memperoleh penghargaan membawa api Olimpiade, yang mencerminkan kegigihan semangat dalam pawai arak-arakan membawa api Olimpiade 1996.
Dave adalah penulis buku The Lost Boy, buku yang kedua dari rangkaian tiga-buku atau trilogi, dan buku penutupnya yang berjudul A Man Named Dave.
Di waktu luang, Dave sering melakukan perjalanan bersama anaknya, Stephen, atau tinggal di rumahnya yang bersuasana tenang bersama istri dan seekor kura-kura bernama Chuck, di Rancho Mirage, California.
PERTANYAAN Bagi kebanyakan orang, membaca buku ini A Child Called "It"-bisa mengusik emosi, juga memunculkan banyak pertanyaan. Mungkin banyak pertanyaan tersebut bisa terjawab dalam dua buku selanjutnya dalam trilogi ini, yakni The Lost Boy dan A Man Named Dave.
Bila Anda masih mempunyai pertanyaan atau komentar, silakan mengirimkan surat Anda ke alamat di bawah ini.
Jangan lupa menyertakan dalam surat Anda tersebut amplop yang sudah berperangko dan mencantumkan alamat Anda. Bila tidak, surat Anda tidak akan kami balas, mengingat begitu banyaknya surat yang kami terima.
D-ESPRIT P.O. Box 1846 Rancho Mirage, CA 92270 Terima kasih.
tamat
Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur