Ceritasilat Novel Online

Alice In Wonderland 4


Lewis Carroll Alice In Wonderland Bagian 4



"Belum. Aku memang belum pernah merasakannya," lanjut Alice, "seperti apa tarian itu?"

   "Jadi," sela si Griphon, "saat itu awalnya kamu buat garis sepanjang pantai itu. Iya 'kan, kura-kura..?"

   "Dua buah garis," jerit si kura-kura, "aku buat bersama si anjing laut, teman-teman sesama kura-kura, si Ikan Salmon dan teman-temanku yang lain. Kemudian ketika kau telah menghalau si ubur-ubur-"

   "Biasanya itu butuh waktu beberapa saat lamanya." "Kau lalu melangkah, maju ke depan dua kali". Tiap kali dengan berpasangan dengan si udang lauti" teriak si Gryphon.

   "Ya,"

   Kata si kura-kura. "Maju dua kali, berpasangan -" "Ganti si udang, dan kemudian melangkah mundur lagi dengan aba-aba bersamaan -"

   "Lalu, kamu tahu 'kan," lanjut si kura-kura, "kau lempar si -" "Si udang!" teriak si Gryphon, dengan melompat. "Sejauh-jauhnya ke laut"

   "Sejauh yang bisa kau kejar dengan merenanginya!" jerit si Gryphon.

   "Lalu jungkir balik di laut itu!" teriak si kura-kura sembari melonjak-lonjak liar kesana-kemari.

   "Ganti si udang lagi!" seru si Gryphon.

   "Lalu kembali ke pantai lagi, dan begitulah gerakan pertamanya," kata si kura-kura, suaranya tiba-tiba merendah dan kedua mahluk itu, yang tadi jungkir balik berjumpalitan, kembali duduk dengan sedih dan keduanya sama-sama terdiam, menatap Alice.

   "Pasti tarian itu sangat bagus," kata Alice dengan lirih.

   "Kamu ingin melihat tarian itu sebentar saja?" tanya si kura-kura.

   "Wah, mau sekali."

   "Kalau begitu, mari kita coba gerakan pertama!" ajak si kura-kura pada si Griphon, "kita tetap bisa melakukannya meskipun tanpa si udang. Bagaimana bila sambil menyanyi saja?"

   "Baiklah. Kalau begitu, kamu saja yang nyanyi," usul si Griphon, "sebab aku sudah lupa syairnya."

   Lalu mereka mulai menari dengan sepenuh hati berputar dan berputar, Alice kadang-kadang mengetukkan kakinya ketika mereka melintas terlalu dekat, dan si Griphon melambaikan ujung cakarnya untuk menandai hitungan, sementara si kura-kura menyanyikan lagu di bawah ini dengan pelan dan sedih.

   Bisakah kau berjalan lebih cepat? Tanya si ikan laut kecil pada siput.

   Lumba-lumba mengikut di belakang kita, dan ia sedang menyusul aku punya buntut Lihat betapa bergairah si udang dan kura-kura maju ke depan.

   Mereka pun sudah menunggu di batu karang itu- maukah kau datang kesana dan ikut menari bersama meliukkan badan? Maukah kau, tak maukah kau, maukah kau, tak maukah kau, maukah kau ikut menari bersama meliukkan badan.

   Maukah kau, tak maukah kau, maukah kau, tak maukah kau ikut meliukkan badan menari bersama.

   Kau tak bisa bayangkan betapa menyenangkan Ketika mereka mengangkat tubuh kami dan melemparkannya, jauh ke tengah laut dengan si udang! Tapi siput menjawab-terlalu jauh, terlalu jauh! dengan tatapan mata curiga -ia berterima kasih atas kebaikan hati si ikan laut kecil itu, tapi ia tak akan ikut bergabung menari, tak akan, tidak bisa, tak akan, tak bisa, ia tak akan ikut menari tak akan, tak bisa, tak akan, tak bisa, ia tak bisa ikut menari "Apa masalahnya dengan jarak yang jauh itu?" Tanya temannya yang bersisik itu.

   Masih ada pantai lain, kau tahu, di sisi lain laut itu. Makin jauh dari Inggris makin dekat ke Perancis sana-Kalau begitu jangan sedih, siput sayangku, ayolah dan ikut menari saja.

   Maukah kau, tak bersediakah kau, maukah kau, tak bersediakah kau ikut menari saja ? Maukah kau, tak bersediakah kau, maukah kau, tak bersediakah kau ikut menari saja? "Terima kasih. Sungguh tarian yang memikat," kata Alice, merasa senang pada akhirnya tarian itu selesai; dan aku sangat suka dengan lagu soal ikan laut kecil yang aneh itu! "Oh - soal ikan laut kecil itu, kata si kura-kura, "mereka -ah, pasti kau sudah pernah melihat mereka?"

   "Ya," kata Alice, "aku sering melihatnya di rumah makan," ia meralat dirinya sendiri dengan tergesa gesa.

   "Aku tak tahu rumah makan itu dimana," kata si kura-kura, "tapi bila kau sudah sering melihatnya, tentunya kau sudah tahu seperti apa mereka."

   "Aku yakin juga begitu," jawab Alice hati-hati. "Ekornya ada di mulut - dan mereka hanya remah kecil-kecil dan jumlahmya sedikit"

   "Kau salah menyebut mereka remah kecil dan sedikit," kata si kura-kura. "Kalau kecil dan sedikit tentu mereka semua sudah hilang di laut. Tapi benar, mereka memang memiliki ekor di bagian mulutnya dan penyebabnya adalah -" pada bagian ini si kura-kura menguap dan menutup matanya -"katakan penyebabnya pada gadis ini dan semuanya," katanya pada si Gryphon.

   "Penyebabnya adalah," kata si Gryphon, "karena mereka mau pergi menari bersama si udang. Mereka pun dilempar ke laut Jarak lemparan itu sangat jauh. Jadi mereka bergegas menempelkan ekor itu ke mulut. Tapi kemudian mereka tak bisa melepaskannya lagi . Begitulah alasannya."

   Terima kasih, kata Alice, "sangat menarik. Aku tidak tahu banyak soal ikan laut kecil itu sebelumnya."

   "Bila kau mau, aku bisa memberitahumu lebih banyak," kata Gryphon. Tahukah kamu kenapa mereka disebut ikan laut kecil?"

   "Aku tak pernah memikirkannya," kata Alice, "kenapa?"

   "Karena mereka memakai boot dan sepatu," jawab si Gryphon sungguh sungguh. Alice benar benar bingung. "Boot dan sepatu!" ulangnya tak percaya.

   "Kenapa memangnya, terbuat dari apa sepatumu?" Tanya Gryphon. "Maksudku, apa yang membuatnya berkilat?"

   Alice melihat sepatu yang dipakainya, dan berpikir sejenak sebelum menjawab, "dilapisi dengan semir."

   "Boot dan sepatu untuk dipakai di dasar laut," lanjut Gryphon dengan suara berat, "dilapisi dengan ikan kecil itu. Apakah sekarang kau paham."

   "Sepatu itu terbuat dari apa?" Tanya Alice penasaran.

   "Tentu saja dari ikan lidah dan hiu," jawab Gryphon dengan agak tidak sabar. "Belut mana saja yang bisa memberitahumu soal itu."

   "Kalau aku jadi si ikan kecil itu," kata Alke, pikirannya masih melayang di lagu itu, "pasti aku akan berkata pada si hiu, menjauhlah. kami tak ingin kau dekat dengan kami!"

   "Hiu itu memang diminta untuk menyertai ikan kecil itu," kata si kura-kura. "Tak ada ikan yang cukup bijaksana bila pergi tanpa dikawal seekor hiu."

   "Benar begitukah?" kata Alice sangat terkejut.

   "Tentu saja tidak," kata si kura-kura. "Karena, bila ada ikan datang padaku dan mengatakan dia akan melakukan perjalanan, aku akan bertanya, apa dengan hiu?"

   "Maksudmu?" kata Alice.

   "Maksudku adalah persis dengan apa yang kukatakan tadi," jawab si kura-kura dengan nada tersinggung. Dan si Gryphon menambahkan, "sekarang, mari kita dengarkan saja kisah petualanganmu." "Aku bisa menceritakan petualanganku - mulai pagi ini, kata Alice sedikit malu-malu; tapi tak ada gunanya dengan kemarin, karena aku adalah orang yang berbeda dengan kemarin."

   "Jelaskan maksudnya," kata si kura-kura.

   "Oh tidak, tidak! petualangannya..," kata si Gryphon tak sabar. "Penjelasan hanya akan menghabiskan waktu saja."

   Lalu Alice menceritakan kisah petualangannya sejak pertama kali ia melihat si kelinci putih. Pada awalnya ia merasa agak kikuk, dua mahluk itu mendekatinya, memepetnya dari dua sisi, dan membuka mulut dan mata mereka lebar-lebar, tapi ia kemudian bisa mengatasi kekikukannya itu. Kedua mahluk pendengar kisah Alice itu awalnya diam hingga Alice sampai pada bagian mengulang-ulang kata "kau sudah tua Pak William," serta bagian ia bertemu dengan si ulat, tapi kini ia mengucapkannya berbeda, lalu si kura-kura mengambil nafas panjang, dan berkata, "itu sangat aneh."

   "Semuanya hanyalah masalah bagaimana membuatnya seaneh mungkin," kata Gryphon.

   "Semuanya beda!" ulang si kura-kura. "Aku senang untuk mendengarnya kembali dan mengulang sesuatu sekarang. Katakan padanya untuk mulai." Dia menatap si Gryphon saat ia anggap si Gryphon itu punya kekuasaan untuk menyuruh Alice.

   "Berdiri dan ulangi kata-kata ini. "Ini adalah suara pemalas," kata si Gryphon.

   "Cara mahluk ini menyuruh seseorang dan memintanya untuk mengulangi pelajaran!" cerna Alice; "mengingatkanku seperti saat aku di sekolah dulu." Meski begitu, Alice kemudian berdiri, dan mulai mengulanginya, tapi kepalanya penuh dengan bayangan tarian lobster, yang membuatnya susah mengerti apa yang sedang Ia ucapkan, dan kata-kata itu terucap dengan sangat aneh. Ini suara lobster; begitu aku mendengarnya menyeru, kau telah membakarku terlalu matang, dan aku mesti menggulai rambutku, seperti bebek dengan alisnya, begitu juga dia dengan hidungnya memotong ikat pinggang dan kancing bajunya, dan melepaskan keluar jari kakinya.

   "Berbeda dengan yang biasanya aku ucapkan di masa kecil," kata si Gryphon "Aku malah belum pernah mendengarnya," kata si kura-kura, "tapi terdengar tak masuk akal."

   Alice tidak berkata apa-apa. ia duduk dengan kepala ditutupi tangannya, ingin semuanya kembali berjalan seperti biasa.

   "Aku minta semua hal itu dijelaskan," kata si kura-kura.

   "Dia tidak bisa menjelaskannya," kata Gryphon, "lanjutkan saja dengan bait berikutnya."

   "Tapi bagaimana dengan k akinya?" Tanya si kura-kura. "Bagaimana ia bisa melepaskannya dari hidungnya, kau tahu?"

   "Posisi pertama ketika menari," kata Alice; tapi ia sangat dibingungkan oleh semua hal itu dan ingin mengubah bahan pembicaraan.

   "Lanjutkan dengan bait berikutnya," ulang si Gryphon tak sabar. "Dimulai dengan aku melintasi taman miliknya."

   Alice tak berani membantah, meski ia yakin pasti akan salah, dan ia melanjutkan dengan suara gemetar. -Aku melintasi taman miliknya, dan memperhatikan dengan sebelah mata, Betapa burung hantu dan harimau kumbang itu sedang berbagi kue bersama.

   "Apa gunanya mengulanginya lagi," sela si kura-kura, "kalau kau tak menjelaskan maksudnya? sampai sekarang, itu semua membuatku bingung!"

   "Ya, kupikir kau lebih baik berhenti mengulanginya," kata si Gryphon dan Alice gembira karenanya.

   "Akankah kita coba gerakan tari lobster yang lain?" lanjut si Gryphon, "atau sukakah kau bila si kura-kura menyanyikan sebuah lagu?"

   "Oh, nyanyikan saja, bila si kura-kura mau melakukannya," jawab Alice, dengan bersemangat ketika si Gryphon menyatakan, dengan agak tersinggung, "Hm! jangan pikirkan soal selera! maukah kau nyanyikan untuknya lagu sup kura-kura, teman?"

   Si kura-kura mendesah panjang, dan mulai, dengan suara kadang diselingi isakan, menyanyikan lagu ini.

   Sayur sop yang enak, segar dan merangsang lidah sudah terhidang di mangkuk besar dan indah Oh siapakah yang tak ingin mencicipi? Sop di sore hari, sop enak sekali! Sop di sore hari, sop enak sekali! Uee-naak sopp-nya Uee-naak sopp-nya Sop di sore hari Sop yang sangat enak sekali! Sop yang merangsang lidah! Siapa yang akan teringat pada ikan, Permainan, dan makanan lain? Siapakah yang tidak akan menukarkannya dengan dua poundsterling demi sup itu ? Harga yang pantas untuk sop enak So-op yang ue-nak! So-op yang ue-nak! So-op di sore hari SOP ENAK sekali ! "Diulang lagi!" teriak si Griphon. Namun ketika si kura-kura hendak melakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan di kejauhan sebagai tanda dimulainya pengadilan.

   "Ayo!" ajak si Griphon tergesa-gesa menggandeng tangan Alice. Tentu saja lagu itu tidak jadi dinyanyikan lagi.

   "Itu sidang apa?" tanya Alice terengah-engah. Tapi si Griphon hanya menjawab. "Ayo, cepat!" Dan iapun terus berlari dan dari belakang masih terdengar nyanyian sayup-sayup bersama angin. Sop di sore hari Sop yang enak sekali! pencurian Kue Tart SANG Raja dan Ratu duduk di singgasana ketika mereka tiba di ruang sidang dengan kerumunan di sekeliling mereka - kelompok burung dan berbagai jenis binatang, semuanya seperti kartu remi; sementara Jack si pembohong berdiri di hadapan Raja dan Ratu dalam keadaan terantai, dengan seorang prajurit penjaga di sisinya; dan di samping sang Raja berdiri si kelinci putih, tangan kanannya memegang sebuah terompet, dan tangan kirinya menggenggam gulungan kertas perkamen. Di tengah ruang pengadilan itu berdiri sebuah meja dengan kuetart besar di atasnya. nampak sangat lezat, membuat Alice merasa sangat lapar saat memandanginya - "kuharap mereka sudah selesai bersidang," pikirnya, "dan akan membagikan hidangan itu!" tapi tampaknya kesempatan seperti itu tak pernah ada. Untuk melewatkan waktu Alice pun mulai meneliti apa saja yang ada di ruangan itu dengan pandangan matanya. Alice tak pernah berada di ruang pengadilan sebelumnya, tapi pernah membacanya di sejumlah buku, dan ia amat gembira tahu nama-nama apa saja yang ada di situ. "Itu jaksanya," katanya pada diri sendiri, "karena ia memakai wig besar."

   Tentu saja, jaksa itu tak lain adalah sang Raja sendiri; dan karena Raja memakai mahkotanya di atas wig itu, ia kelihatan tidak nyaman, dan sungguh sangat tak pantas.

   "Dan itu tempat para juri," pikir Alice, "mereka semua ada dua belas mahluk." (Alice menyebut mereka mahluk, karena beberapa di antara mereka memang terdiri dari para binatang dan sisanya burung-burung.). "Kupikir merekalah para juri itu." Dia mengucapkan kalimat itu dua atau tiga kali pada dirinya sendiri, dan menjadi bangga karenanya; sebab ia pikir, pastilah sangat sedikit gadis kecil seumurannya tahu soal itu. Para juri itu telah siap semua d engan pekerjaannya. Kedua belas juri itu semuanya sibuk menulis sesuatu di kertas. "Apa yang sedang mereka tuliskan?" bisik Alice pada si Gryphon. "Mereka belum punya apa-apa untuk di tulis, sidangnya saja belum dimulai, kok."

   "Mereka menuliskan nama-nama mereka sendiri," Gryphon menjawab dengan berbisik, "karena mereka takut lupa menuliskannya sebelum sidang berakhir." "Bodoh!" Kata Alice dengan suara keras dan mantap, tapi ia buru-buru berhenti, karena si kelinci itu berteriak, "diam!" Lalu sang Raja memakai kaca matanya dan memandang ke seluruh ruangan dengan gelisah, mencari-cari siapa yang berteriak itu. Alice bisa melihat, dengan mengintip dari atas bahu mereka, para juri itu sedang menuliskan kata-kata bodoh! pada kertas di tangan mereka dan ia juga yakin bila salah satu dari mereka tak bisa mengeja kata bodoh itu dan harus bertanya pada sebelahnya, "kertas mereka akan penuh coretan sebelum persidangan itu selesai!" pikir Alice Salah seorang dari juri itu punya pensil yang ujungnya berderit. Tentu saja Alice tak tahan mendengarnya, lalu ia berjalan mengitari ruangan hingga berada tepat di belakang juri, dan berkesempatan untuk merebut pensilnya. Alice melakukannya sangat cepat sehingga juri malang itu (si kadal Bill) tak menyadarinya; lalu setelah mencari kesana-kemari, kadal itu terpaksa menulis dengan menggunakan jari-jemarinya; dan tentu saja itu sia-sia karena tak akan membekaskan apa-apa pada kertas.

   "Umumkan dan bacakan tuntutannya!" perintah sang Raja. Lalu si kelinci putih meniup terompetnya tiga kali, membuka gulungan kertas dan membaca tuntutan seperti ini. Ratu Hati telah membuat kue tart Semuanya dilakukan saat musim panas. Lalu Jack si pembohong, dia telah mencuri kue tart, Dan membawa lari dengan bergegas "Pikirkan putusan anda," kata sang Raja pada juri.

   "Jangan dulu, belum, belum waktunya!" sela si-kelinci dengan terburu-buru. "Masih ada runtutan penjelasan lain sebelum itu!" "Panggil saksi pertama," perintah .sang Raja, dan kelinci, itu meniup terompetnya tiga kali dan menyeru, "saksi pertama!"

   Saksi pertama itu ternyata adalah si Hatter. Dia maju ke tempat saksi dengan secangkir teh di tangan kanannya serta sepotong roti mentega di tangan kirinya. "Maafkan saya, Yang Mulia," dia berkata, "karena telah membawanya ke sini. tapi saya belum selesai minum teh.."

   "Mestinya kau sudah minum teh itu. kapan kamu tadi mulai minum teh?"

   Si Hatter menatap ke arah si March Hare, yang juga ikut ke pengadilan bersamanya dan bergandengan tangan dengan si Dormouse. "Hari keempatbelas bulan Maret, sejak itulah kukira," katanya.

   "Kelimabelas," kata si March Hare.

   "Enambelas," tambah si Dormouse.

   "Catat itu," kata sang Raja pada juri, dan merekapun bergegas mencatat ketiga pernyataan itu di kertas, kemudian menjumlahkan ketiganya dan menuliskan hasilnya dalam bentuk angka mata uang.

   "Lepaskan topimu," kata sang Raja pada si Hatter.

   "Topi itu bukan milikku," kata si Hatter.

   "Curian!" seru sang Raja, menoleh pada para juri. Serta merta mereka pun mencatatnya.

   "Saya menyimpannya untuk dijual," tambah si March Hare menjelaskan. "Saya tak memilikinya satupun, karena saya adalah seorang penjual topi."

   Pada saat itu, sang Ratu memakai kacamatanya dan mulai menatap ke arah si Hatter yang berubah pucat dan gugup.

   "Berikan buktinya," perintah sang Raja; "dan jangan gugup atau aku akan menghukummu."

   Perintah itu sama sekali tidak membuat si saksi menjadi berani-dari tidak gugup, ia masih saja berdiri dengan satu kaki berpindah-pindah, menatap sang Ratu dengan gugup dan khawatir. Dan dalam kebingungannya ia malah menggigit tepian cangkir itu dan bukannya roti menteganya.

   Tepat pada saat itu Alice merasakan suatu sensasi yang sangat aneh dan membuatnya jadi bingung sebelum akhirnya ia menyadarinya. Tubuhnya sudah membesar lagi. Awalnya ia berpikir untuk berdiri dan meninggalkan saja ruang pengadilan itu tapi kemudian ia memutuskan untuk tetap berada di situ selama masih ada tempat yang cukup bagi dirinya.

   "Semoga tubuhmu tidak akan menghimpitku," kata si Dormouse yang duduk di sebelahnya. "Aku jadi susah bernafas."

   "A ku tak bisa menghindarinya," kata Alice tanpa berusaha membantah. "Aku sedang tumbuh menjadi besar."

   "Kau tak punya hak untuk tumbuh besar disini," kata Dormouse.

   "Jangan ngawur," sahut Alice dengan lebih terbuka, "kau juga pasti pernah mengalaminya."

   "Ya, tapi aku tumbuh besar secara normal," kata Dormouse. "Tidak dengan cara yang menggelikan seperti itu." Dan binatang itupun berdiri dengan sangat sebal lalu melangkah ke sisi lain ruang sidang itu. Sementara sang Ratu tak pernah berhenti menatap si Hatter dan ketika si Dormouse sedang melintas, sang Ratu berkata pada salah satu petugas pengadilan, "bawakan aku daftar nama penyanyi di pertunjukkan terakhir!" Si Hatter langsung gemetar, dan ia melepas sepatunya.

   "Berikan bukti yang kau punya," perintah sang Raja dengan marah, "atau aku akan menghukummu, tak perduli kau gugup atau tidak."

   "Saya orang miskin, Yang Mulia," si Hatter berucap dengan suara gemetar-"dan saya belum minum teh. Lebih dari seminggu ini roti dan mentega habis - dan kelap-kelip cahaya teh itu -"

   "Kelap-kelip apa?" Tanya sang Raja. "Awalnya teh," jawab si Hatter yang terdengar sang Raja seperti menyebut huruf T.

   "Tentu saja berawalan huruf T!" sergah sang Raja tajam. "Apakah kau menganggapku bodoh? Ayo katakan!"

   "Saya orang miskin," lanjut si Hatter, "banyak yang berkelap-kelip sesudah itu - hanya kata si March Hare -"

   "Saya tidak mengatakan apa-apa!" sela si March Hare dengan buru-buru.

   "Kau mengatakannya!" kata si Hatter.

   "Saya menyangkal telah mengatakannya!" kata si March Hare.

   "Dia menyangkalnya," kata sang Raja. "Hilangkan saja bagian itu."

   "Baiklah, pada dasarnya, kata si Dormouse-" lanjut si Hatter, hati-hati melirik si Dormouse untuk mengecek apakah dia juga akan menyangkalnya. Tapi ternyata si Dormouse tidak melakukannya, karena sudah tertidur lagi.

   "Setelah itu," lanjut si Hatter, "saya potong beberapa buah roti mentega-"

   "Tapi apa kata Dormouse?" Tanya salah seorang juri.

   "Saya tak ingat," kata si Hatter.

   "Kau harus ingat," tegas sang Raja, "kalau tidak, aku akan menghukummu."

   Si Hatter yang menyedihkan itu menjatuhkan teh dan roti menteganya kemudian berlutut. "Saya orang miskin, Yang Mulia," pintanya.

   "Kau saksi yang payah," kata sang Raja. 133 Pada saat itu si babi Guinea bersorak, dan segera didiamkan oleh petugas pengadilan (karena agak sulit diungkapkan dengan kata-kata, saya hanya akan menjelaskan cara mereka melakukannya. Mereka memiliki karung kain, yang ujungnya diikat dengan tali, di karung inilah babi itu kemudian dimasukkan, kepalanya dulu, dan kemudian mereka mendudukinya).

   "Aku senang mereka melakukannya," pikir Alice. "Aku sering baca di Koran, pada akhir persidangan, ada yang mencoba bertepuk tangan tapi kemudian segera ditindak oleh petugas pengadilan, dan aku tak bisa memahami sebabnya hingga sekarang."

   "Bila hanya itu yang kau ketahui, kau boleh merendahkan diri."

   "Aku tak bisa lebih rendah lagi," kata si Hatter. "Aku sudah berlutut di lantai."

   "Kalau begitu kau boleh duduk," jawab sang Ratu. Babi lainnya bersorak tapi segera ditindak oleh petugas pengadilan.

   "Ayolah, hukum babi itu!" pikir Alice. "Kita teruskan saja dengan bukti lain yang lebih baik."

   "Saya lebih suka bila disuruh menyelesaikan minum teh saja," kata si Hatter, dengan pandangan khawatir ke arah Alice yang sedang membaca daftar penyanyi.

   "Kau boleh pergi," kata sang Raja, dan si Hatter bergegas meninggalkan pengadilan, bahkan tanpa sempat memakai sepatunya.

   "Dan lepaskan topinya itu di luar," tambah sang Raja pada salah satu petugas pengadilan. namun si Hatter sudah lenyap tak terkejar sebelum petugas itu sampai di pintu. "Panggil saksi berikutnya!" perintah sang Raja. Saksi berikutnya ternyata adalah tukang masak si permaisuri. Dia masuk ruangan dengan membawa sekotak lada. Alice bisa menebak siapa saksi itu, bahkan sebelum tukang masak itu memasuki ruang sidang, karena semua yang berada di dekat pintu serentak mulai bersin.

   "Katakan buktimu," kata sang Raja.

   "Aku tak akan memberikannya," kata si tukang masak. Sang Raja menatap kelinci putih dengan cemas. Saat itu si kelinci berucap lirih, "

   Yang Mulia tetap harus memeriksa kesaksian saksi ini."

   "Baiklah, kalau begitu," kata sang Raja dengan murung. Setelah melipat tangannya dan memberengut pada si tukang masak itu hingga matanya hampir tak kelihatan, sang Raja bertanya dengan suara berat dan dalam, "terbuat dari apa kue tart itu?"

   "Lada" Jawab si tukang masak.

   "Sirup," terdengar sebuah suara mengantuk menyeru di belakangnya.

   "Tangkap Dormouse itu," teriak sang Ratu. "Penggal Dormouse itu, keluarkan dia dari ruang sidang, tekan dia, jepit dia! cabuti sungutnya!"

   Untuk beberapa saat semua yang ada di ruang itu sibuk mengusir si Dormouse, dan ketika masalah itu terselesaikan, si tukang masak sudah menghilang.

   "Tak masalah!" kata sang Raja, sangat lega. "Panggil saksi berikutnya." Dan dia menambahkan dengan suara lembut pada sang Ratu, "sungguh, sayangku, kau saja yang periksa saksi berikutnya. Hal ini sudah membuat kepalaku pening!"

   Alice melihat si kelinci putih itu ragu-ragu membaca daftar saksi. Alice sangat penasaran siapakah saksi berikutnya itu, "saksi-saksi sebelumnya belum memberikan bukti-bukti yang cukup," gumam Alice pada dirinya sendiri. Bayangkan bagaimana kagetnya Alice, ketika si kelinci itu membaca keras-keras, dengan suara melengking tinggi, nama. "Alice!" Bukti Kesaksian Alice "YA, aku disini!" seru Alice, lupa karena bingung dengan perubahan tubuh yang ia alami. Tubuhnya kini sudah membesar dan dengan tergesa ia meloncat hingga ia merobohkan tempat saksi dengan ujung bajunya, menjungkirkan kepala para juri itu ke bawah hingga merekapun tergeletak dan lintang pukang berjumpalitan, mengingatkannya pada akuarium bulat ikan masnya yang tidak sengaja telah ia tumpahkan seminggu sebelumnya.

   "Oh saya mohon maaf!" serunya cemas, dan mulai bergegas memunguti para juri itu lagi. Peristiwa penumpahan ikan mas itu masih membekas di benaknya, dan samar-samar diingatnya, ia harus mengumpulkan dan meletakkan para juri itu kembali ke tempat semula, sebab kalau tidak, mereka bisa mati karenanya.

   "Sidang tidak bisa dilanjutkan," kata sang Raja dengan sesal, "sampai semua juri kembali ke tempatnya semula - semuanya," dia mengulang dengan penuh tekanan, menatap tajam ke arah Alice. Alice kembali memandangi tempat juri dan yakin bahwa sesuai keinginannya, dia telah menaruh si kadal dengan kepala di bawah. Binatang malang itu pun menggoyang-goyangkan ekornya dengan sedih, karena tak bisa bergerak. Segera Alice mengeluarkannya lagi dari tempat itu dan menaruhnya dengan posisi yang benar. "Itu tak penting," katanya pada diri sendiri. "Tapi kupikir itu akan penting bila dimaksudkan untuk menjajarkan posisi dan derajat semua yang ada di ruang sidang."

   Tak lama setelah para juri agak pulih dari kekagetan mereka, dan kertas serta pensil sudah mereka pegang kembali, para juri kembali rajin menuliskan urutan peristiwa tadi. Semuanya, kecuali si kadal, yang nampaknya tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dengan mulut terbuka, memandangi langit-langit ruang sidang.

   "Apa yang kau tahu soal persidangan ini?" Tanya sang Raja pada Alice.

   "Tak ada," kata Alice.

   "Tak tahu sama sekali?" tegas sang Raja.

   "Sama sekali tidak," kata Alice.

   "Ku sangat penting," kata sang Raja, beralih menatap para juri. Para juri itu baru saja mulai menuliskan ucapan Raja itu, ketika kelinci putih menyela. "Tidak penting, maksud sang Raja, tentu saja," dengan nada penuh hormat, tapi seraya memberengut menatap sang Raja.

   "Tentu saja, maksudku, tidak penting" ralat sang Raja buru-buru, dan meneruskan pada dirinya sendiri dengan menggumam, "penting-tidak penting, penting -tidak penting," seolah mencari-cari mana yang lebih baik. Beberapa juri menuliskannya penting sebagian lainnya menuliskannya tidak penting. Alice bisa melihatnya karena berdiri cukup dekat untuk bisa melihat isi kertas para juri itu. "Tapi itu tak masalah," pikirnya dalam benaknya sendiri. Pada saat itu sang Raja, yang untuk beberapa saat sibuk menulis di buku catatannya, berteriak, "diam!" dan membaca keras-keras buku catatannya, "aturan nomor empatpuluh dua. Siapa saja yang tinggi tubuhnya lebih dari satu mil keluar dari ruang sidang."

   Semua langsung menatap Alice.

   "Tinggiku tidak satu mil," kata Alice. Tinggimu segitu," kata sang Raja. "Bahkan hampir dua mil," tambah sang Ratu. "Apapun alasannya, aku tidak akan pergi," kata Alice, "disamping itu, aturan itu tidak umum. Kau baru mengarangnya tadi." "Itu aturan paling tua di dalam catatan buku ini." Bantah sang Raja dengan tegas.

   "Kalau begitu mestinya jadi aturan nomor satu," kata Alice. Sang Raja berubah pucat, dan buru-buru menutup buku catatannya. "Buat keputusan kalian," perintahnya pada para juri dengan suara lemah dan gemetar.

   "Mestinya harus ada bukti-bukti tambahan, Yang Mulia," kata kelinci putih, melompat maju dengan tergesa; "amplop ini baru saja diambil dan dibawa kemari."

   "Isinya apa?" kata sang Ratu.

   "Saya belum membukanya," kata si kelinci putih, "tapi sepertinya isinya surat, yang ditulis oleh tahanan kepada-seseorang."

   "Pasti begitu," kata sang Raja, "bila tidak ditujukan untuk siapa-siapa, itu tidak wajar."

   "Ditujukan pada siapa?" Tanya salah satu anggota juri.

   "Tak ditujukan pada siapa pun," kata kelinci putih, "nyatanya, tak ada tulisannya di sampul luar." Dia membuka surat itu sembari bicara, dan menambahkan, "isinya bukan surat ternyata. Tapi serangkaian puisi."

   "Apakah gaya tulisannya milik tahanan?" Tanya anggota juri yang lain.

   "Tidak, tidak," kata si kelinci putih, "dan itulah anehnya." (para juri nampak kebingungan);

   "Tahanan itu pasti telah memalsukan tulisan tangan orang lain," kata sang Raja. (dan wajah para juri pun mulai ceria lagi).

   "Yang Mulia," kata Jack si pembohong,"saya tidak menulisnya, dan mereka tidak bisa membuktikan kalau yang menulis itu adalah saya. Tidak ada nama tertera di situ."

   "Bila kau tidak menuliskan namamu di situ," kata sang Raja, "itu berarti hanya akan membuat masalahnya tambah buruk. Kau pasti punya maksud tersembunyi. Kalau tidak tentu kau sudah menuliskan namamu layaknya seorang yang jujur."

   Tepuk tangan terdenga. sungguh hal cerdas pertama kali yang diucapkan sang Raja selama persidangan itu.

   "Dengan begitu terbukti sudah kesalahannya," putus sang Ratu.

   "Itu tak membuktikan apapun!" bantah Alice. "Kau bahkan tak tahu apa isinya!"

   "Bacakan isinya." Perintah sang Raja. Si kelinci putih lalu memakai kacamatanya. "Darimanas aya mesti memulainya, Yang Mulia?" tanyanya.

   "Mulai saja dari awal," kata sang Raja geram, "teruskan sampai akhi. kemudian berhenti."

   Di bawah ini adalah puisi yang dibacakan si kelinci. -mereka memberitahuku kau telah pergi menemuinya, dan menyebutku di hadapannya dia telah memberiku sifat yang baik tapi dikatakannya aku tak bisa berenang.

   Dia mengirimi mereka dengan kata-kata yang tidak kulupakan (kita tahu benar begitu) bila masalah itu akan dia teruskan apa jadinya dirimu? aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua kau memberi kami tiga atau lebih; akan kembali dari tangannya ke tanganmu semuanya meski sebelumnya semua itu milikku bila aku atau dia punya kesempatan terlibat dalam urusan ini dia mempercayakan padamu agar dia dibebaskan, sama bebasnya dengan kami dugaanku adalah bahwa telah kau (sebelum dia kejam dan suka marah begitu) beri satu penghalang antara aku dia, kami sendiri dan makanan itu.

   Jangan biarkan ia tahu bila dia sangat menyukainya Karena ini baginya Rahasia, jaga semuanya, Antara kau dan aku saja.

   "Itulah bukti berharga yang telah kita dengar," kata sang Raja, dengan menggosok-gosok tangannya; "jadi sekarang biarkan para juri-"

   "Kalau saja ada yang bisa menjelaskan puisi itu," kata Alice, (tubuhnya sangat besar pada menit-menit terakhir hingga ia pun sama sekali tidak takut untuk menyela). "Saya akan memberinya enam sen. Saya tak yakin rangkaian puisi itu punya arti tertentu."

   Para juri semuanya menulis di kertas masing-masing. "Dia tidak percaya rangkaian puisi itu punya arti," tapi tetap saja tak satupun dari mereka berusaha menjelaskan isi puisi itu.

   "Kalau tak ada artinya," kata sang Raja, "berarti selesailah semua masalahnya. Karena kita tak perlu untuk mencarinya. Dan saya belum tahu itu," lanjutnya dengan membentangkan puisi itu di pangkuannya, membacanya dengan sebelah mata. "Sepertinya saya menemukan arti dalam puisi ini."- dikatakan aku tak bisa berenang-' kau tidak bisa berenang, 'kan?" ia bertanya pada Jack si pembohong Dengan sedih Jack si pembohong itu menggeleng. "Apakah aku terlihat seperti 'itu?" tanyanya (tentu saja ia tidak begitu, karena tubuh Jack si pembohong ftu seperti kartu remi).

   "Sampai sejauh ini benar," kata sang Raja, dan dia terus menggumamkan puisi itu. "Kami tahu itu benar- "itu pasti suara para juri - "aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua-" ya, itu pasti yang ia sedang lakukan dengan kue tart itu-"

   "Tapi kelanjutannya "roti-roti itu semua akhirnya kembali dari dia ke tanganmu, "kata Alice.

   "Ya, karena kue itu ada disana sekarang!" kata sang Raja dengan puas karena merasa menang, sembari menunjuk kue tart yang ada di atas meja.

   "Semuanya sudah jelas. Kemudian lagi - "sebelum dia kejam dan suka marah begitu- kupikir kau pasti tak pernah marah, sayangku?" katanya pada sang Ratu.

   "Tidak pernah!" jawab sang Ratu dengan sangat marah, melempar tempat tinta ke arah si kadal, (si kadal kecil yang malang itu sudah tidak lagi menulisi kertasnya dengan jarinya, karena tidak membekaskan apa-apa; tapi pada saat itu juga ia mulai melakukannya lagi dengan terburu-buru, menggunakan tinta yang melumuri dan menetes dari wajahnya, sebelum tinta itu habis.) "Lalu kau pun tak pantas marah seperti itu," kata sang Raja, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang sidang dengan tersenyum. Semuanya diam mencekam. "Hanya permainan kata-kata!" ralat sang Raja merasa tersudut, dan semua yang ada di ruang itu pun kemudian tertawa. "Biarkan para juri yang membuat keputusannya," kata sang Raja, ia sudah mengulangi kata itu selama empat puluh kali hari itu.

   "Tidak, tidak!" kata sang Ratu. "Hukumannya dulu - baru keputusannya."

   "Kejam dan tidak masuk akal!" teriak Alice, "untuk menetapkan hukumannya dulu!"

   "Jaga mulutmu!" bentak sang Ratu, wajahnya berubah ungu.

   "Tidak bisa!" kata Alice.

   "Penggal kepalanya!" teriak sang Ratu sekeras-kerasnya. Tak satupun yang ada di ruangan itu berani bergerak.

   "Siapa yang peduli denganmu?" kata Alice, (pada saat ini tubuhnya sudah tumbuh membesar dengan ukuran yang sesuai). "Toh kalian tak lebih hanyalah sekumpulan kartu remi!"

   Lalu seluruh kartu remi itu berhamburan ke udara dan melayang jatuh menerpa wajah Alice. Alice berteriak karena ketakutan dan marah serta berusaha memukul-mukulnya. Namun sesaat kemudian, Alice mendapati dirinya sedang tertidur dalam pangkuan kakaknya di tepian sungai. Kakaknya segera membersihkan guguran daun-daun di wajah Alice.

   "Bangun, Alice sayang!" bujuk kakaknya, "kamu sudah tertidur lama sekali."

   "Oh.. Aku baru saja mimpi aneh!" kata Alice. ia lalu menceritakan seluruh petualangannya di negeri ajaib yang mampu ia ingat - seperti kisah yang kalian baca ini -. Sehabis bercerita, Alice dicium kakaknya. "Sungguh mimpi yang sangat indah! Tapi Alice, kau harus minum tehmu dulu. Nanti keburu dingin."

   Alice bergegas berlari mengambil teh dan meminumnya seraya membayangkan betapa indah mimpi yang baru saja ia alami.

   Sementara untuk beberapa lama, kakaknya masih duduk di tempatnya semula, di tepian sungai itu. ia sandarkan kepala di tangannya, menikmati pancaran cahaya matahari sambil membayangkan petualangan adiknya di dunia mimpi. Hingga akhirnya, ia sendiripun ikut-ikutan bermimpi, dan beginilah mimpinya.

   Awalnya ia bermimpi menjadi Alice dengan tangan kecilnya memeluk lutut. Sebuah sorot mata berbinar menatapnya - ia bisa mendengar suaranya yang merdu, dan kepalanya yang bergoyang-goyang berusaha menyibakkan rambut yang menutupi matanya -dan ketika ia terus mendengarkan, mendengarkan suara itu, tempat itu menjadi hidup dan diceriakan oleh kehadiran mahluk-mahluk aneh seperti yang ada dalam mimpi adiknya.

   Rumput-rumput menggersik di kakinya ketika kelinci putih itu melintas - sementara tikus yang ketakutan itu berenang di sebuah genangan- dia dengar denting cangkir teh ketika March Hare dan si Hatter sedang melakukan perjamun tanpa akhir mereka dan suara menggeletar sang Ratu memerintahkan hukuman pen ggal kepala pada para tamu kerajaan - sekali lagi anak babi itu bersin di pangkuan permaisuri, sementara piring dan panci berhamburan ke arah mereka -terdengar juga pekikan si Gryphon dan juga deritan pensil si kadal kecil serta batuk batuknya si babi Guinea ketika babi itu dimasukkan karung dan di duduki oleh petugas pengadilan. Suara-suara itu sesekali diselingi isakan si kura-kura palsu.

   Dia masih duduk melamun, dengan mata terpejam, dan setengah percaya bila dirinya tengah berada di dunia mimpi penuh fantasi itu, meski ia tahu ia mesti membuka matanya dan kembali menemui kehidupan nyata yang menjemukan - rumput itu akan berubah menjadi rumput biasa yang bergoyang tertiup angin dan suara genangan itu hanya suara riak gelombang biasa- dentingan cangkir teh itu akan berubah menjadi hanya dentang bel kalung domba dan suara parau sang Ratu itu sebenarnya hanyalah teriakan seorang pengembala - dan bersin bayi babi itu, jerit si Gryphon dan suara-suara aneh itu, akan berubah (seperti yang ia sudah tahu) menjadi hanya suara keriuhan lahan persawahan - dan lenguhan ternak di kejauhan akan menggantikan isakan si kura-kura palsu.

   Akhirnya, ia bayangkan pada dirinya sendiri bagaimana akhirnya nanti bila si Alice itu kemudian tumbuh jadi perempuan dewasa seperti dirinya. Bagaimanakah ia akan menyimpan, dalam tahun-tahun yang akan dihadapinya, kesederhanaan dan kelembutan masa kecilnya yang telah berlalu? Dan bagaimana ia akan berkumpul bersama anak-anak yang ia lahirkan kelak serta membuat mata anak-anak itu berbinar dengan cerita-cerita yang ia kisahkan pada mereka. Termasuk juga pengalaman di dunia mimpi di masa kanak-kanaknya itu. Bagaimanakah Alice yang sudah menjadi ibu Ku kelak akan terharu dengan kesedihan dan juga berbahagia dengan kebahagian anak-anak yang ia lahirkan, ketika ia mengenang masa kecilnya sendiri di musim yang membahagiakan itu Salam Paskah bagi anak anak pecinta Alice BAYANGKANLAH, seolah kalian sedang membaca surat dari seorang sahabat lama. Seorang sahabat yang tengah berbisik kepadamu, seperti yang kutuliskan di saat Paskah dengan sepenuh hati ke dalam surat ini.

   Tahukah kalian perasaan penuh mimpi yang dialami seseorang di suatu pagi musim panas, dengan kicau burung dan angin sepoi bertiup melalui jendela - perasaan yang hadir saat ia berbaring bermalas-malasan dengan mata agak terpejam, seolah melihat ranting pohon melambai, atau air beriak memantulkan cahaya keemasan? Sungguh perasaan itu merupakan suatu kenikmatan yang begitu dekat dengan kesedihan dan mampu menumpahkan airmata layaknya sentuhan keindahan sebuah puisi atau lukisan. Bukankah tangan lembut dan merdu suara ibumu yang telah membukakan tirai jendela dan membangunkanmu? Karena kau telah dibangunkan hingga kau bangkit dan melupakan mimpi buruk yang menakutkan dalam gelap malam lalu disambut cerah cahaya matahari, serta bangkit untuk merayakan hari baru yang bahagia itu, kau mesti mensyukuri kehadiran teman tak tampak itu, yang telah mengirimkan cahaya matahari yang indah itu? Bukankah aneh kata-kata itu sudah diungkapkan oleh seorang yang telah menulis kisah seperti halnya kisah "Alice"? Dan tak pantaskah surat seperti ini ada dalam buku yang berisi bukan apa-apa itu? bisa jadi begitu. Beberapa orang mungkin akan me-nyalahkanku karena telah menggabungkan dua hal yang berlainan yakni kesedihan dan keriangan sekaligus; sementara sebagian lain mungkin akan tersenyum dan menganggap aneh dan ganjil bila semua orang sepantasnya harus tidak membicarakan hal-hal yang baik, kecuali saat di gereja dan pada hari minggu saja. tapi kupikir - tidak harus begitu, saya yakin - sebagian anak-anak akan membacanya dengan perasaan lembut dan penuh cinta, sama seperti semangat yang saya rasakan saat menuliskannya.

   Itu karena saya tidak percaya Tuhan jahat pada kita dengan membagi kehidupan ini menjadi dua sisi yang saling bertentangan-mesti berwajah sedih di hari minggu, dan berpikir bahwa adalah tidak pada tempatnya untuk selalu menyebut namaNya tiap hari. Apakah kau mengira Tuhan hanya sayang pada umatnya yang taat beribadah saja, dan hanya mau me ndengar suara para pendoa - dan dia tidak suka melihat Isa melangkah riang gembira di bawah cahaya matahari, serta mendengar suara riang anak-anak, ketika mereka bergulingan di rerumputan? Tawa tak berdosa anak-anak itu sama merdunya di telinga tuhan.

   Apakah hal itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan suara nyanyian gereja paling agung yang terdengar dari kerdip lilin di sejumlah katedral yang agung? Dan bila saya menuliskan sesuatu seperti surat ini untuk menambahi kisah-kisah lugu dan penuh kegembiraan di dalam buku anak-anak, itu karena saya mengharapkan untuk bisa mengenangnya tanpa diliputi rasa malu dan kesedihan (karena betapa banyak kehidupan yang mesti diingat kembali) ketika tiba saatnya bagiku untuk berjalan melalui lembah penuh bayang-bayang itu.

   Cahaya Paskah ini akan menyinarimu, anak-anak, merasakan kehidupan di tiap tiap bibirnya dan ingin segera berlari keluar menyambut udara pagi yang segar - dan hari-hari Paskah lain akan tiba lagi dan berlalu, sebelum kau menjadi renta, dan beruban, melangkah perlahan dan tertatih untuk sekali lagi berjemur riang gembira di bawah sinar matahari - tapi menurutku bagus, bahkan untuk saat ini, untuk berpikir sesekali tentang pagi yang luar biasa itu ketika cahaya penuh berkah akan bersinar dengan kemilau di sayap-sayapnya.

   Tentu saja kegembiraanmu tidak perlu membuat kalian berpikir bahwa kau suatu hari nanti akan melihat senja yang lebih indah dari ini - ketika pemandangan yang lebih indah akan tampak di matamu melebihi derai angin di reranting dan kilauan riak-riak air itu - ketika tangan malaikat akan membuka tirai jendelamu, dan suara yang lebih merdu dari suara ibumu akan membangunkanmu dan mengantarmu pada hari baru yang lebih gilang-gemilang -dan ketika semua kesedihan, dan dosa, yang menyelimuti kehidupan di muka bumi ini, akan terlupakan seperti mimpi-mimpi malam hari yang telah lewat! Teman yang selalu menyayangimu Lewis Carroll Paskah, 1876 Salam natal dari Si Musang pada anak anak nona, bila si musang boleh istirahat mengesampingkan sejenak saja tipuan-tipuan licik dan permainan jahat disini di gelombang suasana natal yang bahagia.

   kita telah mendengar anak-anak berkata -anak-anak yang baik hati, anak-anak yang kita cintai -pada hari natal dulu kala tibalah pesan dari atas bumi tetap masih sama, dengan suasana natal di sekeliling kita, mereka pun mengingatnya lagi dan terus menggemakan suara-suara penuh suka cita damai di bumi, kebaikan untuk umat manusia di bumi hati kita mestinya seperti hati anak-anak itu tempat tamu-tamu surga berumah, hingga anak-anak, dengan kegembiraan mereka itu, mencipta hari-hari dalam tahun itu menjelmakan suasana natal jadi, dengan melupakan tipuan dan permainan untuk sejenak, gadis kecilku, kami ucapkan padamu, bila diijinkan, selamat natal dan tahun baru Natal, 1887 Biografi Singkat Lewis Carroll (1832 - 1898) LEWIS CARROLL bernama lengkap Charles Lutwidge Dogson, menyelesaikan studi matematika di gereja kristen Oxford dan sempat mengajar di almamaternya meski akhirnya berhenti. Dia juga sempat, sebagai pendeta, memberikan kotbah di gereja tersebut. Meski inipun tidak berlangsung lama.

   Selain menulis novel Alice's Adventures Under Ground (lebih dikenal dengan Alice in Wonderland, setelah mengalami revisi beberapa kali), Lewis juga menulis buku-buku matematika dan sejumlah buku komik. Buku Alice's Adventures Under Ground merupakan bukunya yang sangat sukses dan berhasil merombak kesusastraan anak-anak pada jaman Victoria yang kering imaginasi dan kaku.

   Selain menulis, ia juga memiliki kegemaran di bidang fotografi. Sukses Alice's Adventures Under Ground kemudian di ikuti dengan karya-karyanya yang lain. Diantaranya Through The Looking Glass And What Alice Found There (1871) serta kumpulan puisi The Hunting of The Snark[1876).

   tamat

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Iblis Tangan Tujuh Goosebumps Napas Vampir Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti

Cari Blog Ini