Malaikat Dan Iblis 11
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 11
Di mata Vittoria, Langdon dapat melihat apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh perempuan itu .... Akulah yang kehilangan ayahku. Akulah yang membantunya membuat senjata pemusnah masal itu. Nasib orang ini milikku ....
Langdon merasa usahanya akan sia-sia saja, jadi dia mengikuti keinginan perempuan itu. Dia berjalan di samping Vittoria dengan berhati-hati ke arah timur serambi itu. Ketika mereka melewati ceruk bertirai plastik yang pertama, Langdon merasa tegang, seperti seorang peserta dalam sebuah permainan khayalan. Aku akan membuka tirai nomor tiga, pikirnya.
Gereja itu sunyi karena dinding batu yang tebal itu menghalangi suara-suara dan pemandangan dari dunia luar. Ketika mereka bergegas melewati satu kapel dan yang lainnya, sebentuk benda pucat seperti manusia bergoyang-goyang seperti hantu di balik gemerisik tirai plastik. Pualam yang diukir, kata Langdon pada dirinya sendiri sambil berharap dia benar. Saat itu pukul 8.06 malam. Apakah pembunuh itu tepat waktu saat melakukan rencananya sehingga sekarang dia sudah menyelinap keluar sebelum Langdon dan Vittoria masuk? Atau apakah dia masih di dalam? Langdon tidak yakin skenario mana yang dia sukai.
Mereka melewati apse kedua, Langdon merasa tidak nyaman berjalan seperti itu di dalam katedral yang gelap. Malam bergulir dengan cepat sekarang dan suasananya diperjelas oleh warna suram dari jendela-jendela kaca berwarna di sekitar mereka. Ketika mereka bergegas, tirai plastik di samping mereka tiba-tiba bergerak seolah tertiup angin.
Langdon bertanya-tanya, apakah ada seseorang telah membuka pintu.
Vittoria memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di depan ceruk ketiga. Dia mengacungkan senjatanya sambil menunjuk dengan kepalanya ke sebuah pilar dengan tulisan di samping apse. Terukir dua kata pada batu granit.
CAPELLA CHIGI Langdon mengangguk. Tanpa menimbulkan suara, mereka bergerak ke sudut pintu, lalu menempatkan diri mereka di belakang pilar. Vittoria mengarahkan senjatanya ke arah sebuah sudut yang ditutupi oleh tirai plastik. Kemudian dia memberi isyarat pada Langdon untuk menyingkap tirai itu.
Waktu yang tepat untuk mulai berdoa, pikir Langdon. Dengan enggan dia mengulurkan tangannya melalui bahu Vittoria. Dengan sehati-hati mungkin, dia mulai menyingkap tirai plastik itu ke samping. Plastik itu terkuak satu inci kemudian berderik keras. Mereka berdua membeku. Sunyi. Setelah sesaat, mereka bergerak lagi dengan sangat lambat. Vittoria mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengintai melalui celah sempit. Langdon melihat dari belakang bahu Vittoria.
Untuk sesaat napas mereka seperti tercekat.
"Kosong," akhirnya Vittoria berkata sambil menurunkan senjatanya. "Kita terlambat."
Langdon tidak mendengarnya. Dia sedang terpaku dan dengan sekejap beralih ke dunia lain. Seumur hidupnya dia tidak pernah membayangkan sebuah kapel akan tampak seperti ini. Dengan semua bagian dilapisi oleh pualam berwarna kecokelatan, Kapel Chigi terlihat sangat mengagumkan.
Langdon langsung menyusuri kapel itu dengan matanya. Warna kecokelatan dari kapel itu mengingatkannya akan warna tanah. Seolah ini memang sebuah kapel yang telah dirancang oleh Galileo dan Illuminati sendiri.
Di atas, kubahnya bersinar karena dipasangi bintang dengan sinarnya yang terang dan tujuh planet astrono mi. Di bawahnya terdapat lambang dua belas zodiak-simbol Pagan yang bersifat duniawi dan berasal dari astronomi. Zodiak itu terikat langsune pada Bumi, Udara, Api, dan Air ... kuadran yang mewakili kekuatan, kecerdasan, semangat dan perasaan. Bumi mewakili kekuatan, kata Langdon dalam hati.
Sementara itu di dinding, Langdon melihat penghormatan kepada empat musim-primavera, estate, autunno, inverno. Tetapi yang jauh lebih hebat dari itu adalah dua struktur besar yang mendominasi ruangan tersebut. Langdon menatap mereka dalam diam karena kagum. Tidak mungkin, pikirnya. Betul-betul tidak mungkinl Tetapi itu mungkin saja. Di sisi lain dari kapel itu, terlihat dua buah piramida pualam setinggi sepuluh kaki yang berdiri dengan sangat simetris.
"Aku tidak melihat seorang kardinal pun," bisik Vittoria. "Atau seorang pembunuh." Lalu dia menyibakkan plastik itu dan masuk. Mata Langdon seperti terpaku pada kedua piramida itu. Untuk apa ada dua buah piramida di dalam kapel Kristen? Tapi ternyata masih ada lagi yang lebih hebat. Tepat di tengah-tengah kedua piramida, di sisi depannya, terdapat medali emas ... medali yang jarang sekali dilihat Langdon ... berbentuk elips sempurna. Cakram yang dipelitur berkilauan di bawah matahari sore yang memancar dari kubah kapel. Elips Galileo? Piramida-piramida? Kubah berbintang? Ruangan itu memiliki simbol-simbol Illuminati lebih banyak daripada yang dapat dibayangkan Langdon dalam benaknya.
"Robert," seru Vittoria, suaranya serak. "Lihat!"
Langdon terkejut, dunia nyata menariknya kembali ketika matanya melihat ke arah apa yang ditunjuk Vittoria. "Sialan!" seru Langdon sambil terlonjak ke belakang.
Sebuah mosaik dari pualam bergambar kerangka manusia seolah tersenyum pada mereka. Gambar itu menceritakan perjalanan arwah ke alam baka. Kerangka manusia itu membawa sebuah lempengan berisi piramida dan bintang seperti yang sudah mereka lihat sebelumnya. Tapi bukan gambar itu yang membuat Langdon merinding, tapi kenyataan bahwa mosaik yang terletak di atas lempengan batu yang berbentuk bundar-sebuah cupermento-sudah diangkat dari lantai seperti tutup got. Kini lempengan itu meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
"Lubang iblis," kata Langdon terkesiap. Dia tadi begitu terpesona pada langit-langit ruangan ini sehingga tidak melihat ke bawah. Langdon lalu bergerak ke arah lubang itu. Aroma yang keluar tidak tertahankan. Vittoria meletakkan tangannya di mulutnya. "Che puzza."
"Effluvium," kata Langdon, "aroma dari tulang-belulang yang membusuk." Langdon bernapas dengan lengan menutupi hidungnya ketika dia melongok ke lubang hitam di bawah sana. "Aku tidak dapat melihat apa pun."
"Kamu pikir ada orang di bawah? "Bagaimana aku tahu?"
Vittoria menunjuk ke sisi lain dari lubang itu di mana terdapat sebuah tangga kayu yang sudah lapuk yang akan membawa mereka ke dalam.
Langdon memandang Vittoria dengan lekat. "Jangan bercanda."
"Mungkin ada senter di dalam kotak peralatan para tukang yang ditinggalkan di sini." Nada suara Vittoria terdengar seperti alasan untuk melarikan diri dari bau busuk yang menyengat itu.
"Aku akan melihatnya."
"Hati-hati!" Langdon memperingatkan. "Kita tidak tahu pasti apakah si Hassassin itu-"
Tetapi Vittoria sudah menghilang. Perempuan yang keras kepala, pikir Langdon. Ketika dia menoleh kembali ke arah sumur itu, dan merasa pusing karena bau menyengat yang keluar dari sana. Sambil menahan napasnya, Langdon meletakkan kepalanya ke dekat tepian lubang dan melongok ke dalam kegelapan di bawahnya. Perlahan, matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Lalu dia mulai dapat melihat ada bentuk samar-samar di bawah. Lubang itu ternyata memiliki ruang kecil. Lubang iblis. Dia bertanya-tanya, berapa generasi keluaga Chigi yang telah dimakamkan tanpa upacara pemakaman di sini. Langdon memejamkan matanya, menunggu, sambil memaksa bola matanya untuk membesar sehingga dia dapat melihat dengan lebih baik ke dalam kegelapan. Ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat sesosok pucat tanpa bersuara melayang-layang dalam kegelapan. Langdon bergidik, tapi dia melawan instingn ya untuk mengeluarkan kepalanya dari lubang itu. Apakah aku sedang melihat sesuatu? Apakah itu mayat? Sosok itu memudar. Langdon memejamkan matanya lagi dan menunggu, kali ini lebih lama sehingga matanya dapat menangkap sinar yang paling samar sekali pun.
Dia mulai merasa pusing, dan pikirannya melayang-layang dalam kegelapan. Beberapa detik lagi saja. Langdon tidak yakin apakah karena dia mencium bau yang menyengat dari dalam lubang itu atau karena posisi kepalanya yang terjulur ke bawah yang membuatnya pusing. Tetapi yang pasti, dia mulai merasa mual. Ketika akhirnya dia membuka matanya lagi, sosok di depannya menjadi sulit untuk dilihat.
Sekarang dia menatap ke ruang bawah tanah yang tiba-tiba bermandikan cahaya kebiruan. Samar-samar terdengar suara mendesis yang menggema di dalam telinganya. Sinar itu memantul di dinding terowongan di bawahnya. Tiba-tiba sebuah bayangan panjang muncul membayanginya. Dengan sangat terkejut Langdon berdiri.
"Awas!" seseorang berteriak di belakangnya. Sebelum Langdon dapat memutar tubuhnya, leher belakangnya terasa sakit. Dia berputar dan melihat Vittoria membawa sebuah obor las. Sinar kebiruan yang mengeluarkan suara mendesis itu, menyinari seluruh kapel. Langdon memegang lehernya. "Apa yang kamu lakukan?"
"Aku tadi menerangimu," katanya, "tapi langsung kamu berdiri tanpa melihat ke belakang."
Langdon melihat obor las di tangan Vittoria sambil melotot.
"Hanya ini yang dapat kutemukan," kata Vittoria. "Tidak ada senter."
Langdon menggosok lehernya yang masih terasa sakit. "Aku tidak mendengarmu datang."
Vittoria memberikan obor itu kepadanya sambil meringis ke arah lubang yang bau itu. "Kamu pikir aroma itu dapat terbakar?"
"Mudah-mudahan tidak."
Langdon mengambil obor dari tangan Vittoria dan bergerak perlahan ke arah lubang itu lagi. Dengan berhati-hati dia maju ke bibir lubang dan mengarahkan api yang dipegangnya ke dalam lubang untuk menerangi dinding di dalamnya. Ketika dia mengarahkan sinar itu, matanya menyusuri dinding ruang bawah tanah itu. Ruangan itu berbentuk bundar dan berdiameter kira-kira dua puluh kaki dengan kedalaman tiga puluh kaki. Sinar obornya menerangi lantai ruangan tersebut. Dasarnya gelap dan berantakan. Tanah. Kemudian Langdon melihat tubuh itu.
Instingnya mengatakan untuk pergi dari situ tapi nalarnya yang menahannya. "Dia di sini," kata Langdon sambil memaksa dirinya untuk tidak lari dari situ. Sosok itu terlihat pucat di atas lantai tanah di bawahnya. "Sepertinya dia ditelanjangi." Tiba-tiba teringat dengan mayat Leonardo Vetra yang ditelanjangi.
"Apakah itu salah satu dari kardinal itu?"
Langdon tidak tahu, tetapi dia tidak dapat membayangkan siapa lagi yang mungkin terbaring di tempat seperti ini. Dia menatap ke bawah ke arah sesosok tubuh yang pucat itu. Dia terlihat tidak bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi ... Langdon ragu-ragu. Ada yang sangat aneh pada posisi sosok itu. Dia tampak ....
Langdon berseru. "Halo?"
"Kamu pikir dia masih hidup?"
Tidak ada jawaban dari bawah.
"Dia tidak bergerak," kata Langdon. "Tetapi dia tampak .... "
Tidak, tidak mungkin.
"Dia tampak apa?" sekarang Vittoria juga ikut melongok ke bawah. Langdon menyipitkan matanya untuk melihat ke dalam kegelapan. "Dia seperti berdiri."
Vittoria menahan napasnya dan menurunkan wajahnya ke arah bibir lubang agar dapat melihat dengan lebih jelas. Setelah sesaat, dia menarik diri. "Kamu benar. Dia berdiri. Mungkin dia masih hidup dan memerlukan pertolongan!" Dia berseru ke dalam lubang. "Halo? Mi puy sentire?"
Tidak ada gema dari bagian dalam ruangan yang berlumut itu. Hanya kesunyian.
Vittoria menuju ke tangga yang sudah reyot itu. "Aku mau turun."
Langdon menangkap lengannya. "Tidak. Itu berbahaya. Aku saja."
Kali ini Vittoria tidak membantah.
CHINITA MACRI MARAH sekali. Dia duduk di bangku penumpang di van BBC ketika mobil itu berhenti di sudut jalan Via Tomacelli. Gunther Glick sedang memeriksa peta Roma ditangannya. Nampaknya mereka tersesat. Seperti yang ditakutkan oleh Macri, beberapa saat yang lalu penelepon misterius itu menele pon Glick kembali. Kali ini dia memberikan informasi baru.
"Piazza del Popolo," Glick berkeras. "Tempat itulah yang kita cari. Ada gereja di sana. Dan di dalamnya ada bukti."
"Bukti." Chinita berhenti menggosok lensa kameranya yang berada di tangannya dan berpaling ke arahnya. "Bukti bahwa seorang kardinal telah dibunuh?"
"Itu yang dikatakannya."
"Kamu percaya semua yang kamu dengar?" Chinita selalu herharap kalau dirinyalah yang memimpin tugas ini. Bagaimanapun juga seorang videografer harus mengikuti tingkah gila para reporter ketika mereka mengejar berita. Kalau Gunther Glick ingin mengikuti petunjuk meragukan yang diberikan oleh penelepon misterius itu, Macri harus mengikutinya seperti anjing yang dibawa berjalan-jalan oleh majikannya. Kini, Macri menatap Glick yang duduk di bangku pengemudi sambil mengeraskan rahangnya. Macri menyimpulkan orang tua lelaki itu pasti pelawak yang putus asa. Tidak ada orang tua normal yang memberi nama anak mereka Gunther Glick. Tidak heran kalau lelaki itu selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Walau keberuntungannya biasa-biasa saja dan semangatnya untuk mendapat pengakuan kadang mengganggu orang lain, Glick sebetulnya lelaki yang manis ... memesona walau sedikit lembek.
"Kita kembali saja ke Basilika Santo Petrus, ya?" kata Macri sesabar mungkin. "Kita bisa memeriksa gereja misterius itu lain waktu. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Bagaimana kalau para kardinal itu sudah menetapkan paus yang baru sementara kita tidak berada di sana?"
Tampaknya Glick tidak mendengarnya. "Kukira kita harus belok ke kanan dari sini." Dia mengangkat peta itu dan mempelajarinya lagi. "Ya, kalau aku membelok ke kanan ... dan kemudian langsung ke kiri." Dia mulai menjalankan mobil menuju ke jalan sempit di depan mereka.
"Awas!" teriak Macri. Dia adalah juru kamera dan tidak heran kalau matanya tajam. Untunglah, Glick juga tak kalah sigap. Dia menginjak pedal rem dan tidak jadi berbelok di perempatan itu tepat ketika empat buah mobil Alfa Romeo muncul dari kegelapan dan membelah jalanan dengan cepat. Begitu mobil-mobil itu berlalu, terdengar bunyi rem yang mendecit, mereka terlihat mengurangi kecepatan lalu berhenti satu blok di depannya. Mereka mengambil jalan yang sama dengan yang akan dilalui oleh Glick.
"Dasar orang gila!" teriak Macri. Glick tampak gemetar. "Kamu lihat itu tadi?"
"Ya, aku melihatnya! Mereka hampir membunuh kita!"
"Bukan itu. Maksudku, mobil-mobil itu," kata Glick. Suaranya tiba-tiba terdengar sangat bersemangat. "Mereka semua sama."
"Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya imajinasi."
"Mobil-mobil itu juga penuh." "Lalu memangnya kenapa?"
"Empat mobil yang sama dan semuanya berisi empat penumpang."
"Kamu pernah mendengar arak-arakan mobil?"
"Di Italia?" kata Glick sambil memeriksa perempatan di hadapan mereka. "Mereka bahkan belum pernah mendengar ada bensin tanpa timbal." Dia lalu menginjak pedal gas dan melesat mengikuti mobil-mobil itu. Macri tersentak ke belakang di atas bangkunya. "Apa yang kamu lakukan?"
Glick memacu mobilnya dan membuntuti keempat Alfa Romeo itu. "Aku punya perasaan kalau kita berdua bukan satu-satunya orang yang pergi ke gereja sekarang." LANGDON TURUN PERLAHAN-LAHAN.
Dia menjejakkan kakinya satu per satu di atas anak tangga yang reyot ... ke dalam dan lebih dalam lagi ke ruang bawah tanah di Kapel Chigi. Masuk ke lubang iblis, pikirnya. Badannya menghadap ke dinding sementara punggungnya menghadap ke ruangan itu. Langdon bertanya-tanya berapa banyak ruangan gelap dan sempit yang bisa muncul dalam satu hari untuk penderita claustophobia seperti dirinya. Tangga itu berderit setiap kali kaki Langdon menginjaknya. Sementara itu aroma menyengat dari bau daging yang membusuk dan udara pengap hampir membuat Langdon sesak. Lelaki itu bertanya-tanya di mana gerangan Olivetti.
Tubuh Vittoria masih terlihat di atas, memegangi obor gas, menerangi jalan Langdon. Ketika Langdon turun semakin dalam di ruang gelap itu, sinar kebiruan di atas menjadi semakin samar. Satu-satunya yang bertambah tajam adalah bau men usuk itu.
Dua belas anak tangga ke bawah sudah terlalui. Sekarang kaki Langdon menyentuh bagian yang licin karena lapuk sehingga membuatnya limbung. Secara refleks, Langdon menangkap tangga dengan lengan bawahnya agar tidak tersungkur ke dasar ruangan. Sambil menyumpahi lengannya yang terasa sakit, Langdon berusaha menyeret tubuhnya ke tangga dan mulai bergerak turun kembali.
Tiga anak tangga membawanya lebih dalam dan Langdon hampir terjatuh lagi. Kali ini bukan karena anak tangganya, tetapi karena ledakan ketakutannya. Dia turun melewati sebuah ceruk yang terdapat di dinding di depannya dan tiba-tiba dia berhadapan dengan sekumpulan tengkorak. Ketika dia dapat bernapas lagi, dia sadar kalau pada kedalaman ini terdapat ceruk berlubang-lubang seperti rak-rak-rak pemakaman, dan semuanya berisi kerangka manusia. Dalam sinar kebiruan yang menyinarinya dari atas, kumpulan tulang-tulang iga yang menakutkan dan membusuk itu tampak berkelip-kelip di sekitarnya.
Kerangka yang bersinar dalam gelap, dia tersenyum masam ketika menyadari kalau dia pernah mengalami hal yang sama bulan lalu. Ketika itu dia hadir dalam acara Semalam Bersama Tulang Belulang dan Pendar Api. Acara tersebut adalah sebuah acara makan malam yang diterangi nyala lilin, yang diselenggarakan oleh Museum Arkeologi New York, dan diadakan untuk pengumpulan dana. Hidangan malam itu adalah ikan salmon flambe yang disajikan dalam bayangan kerangka brontosaurus. Langdon menghadirinya karena undangan dari Rebecca Strauss, seorang model fesyen yang sekarang menjadi kritikus seni di majalah Times. Malam itu Nona Strauss mengenakan gaun beledu hitam yang memesona, ketat, dan memamerkan buah dadanya dengan agak berani. Setelah malam itu, Nona Strauss meneleponnya dua kali Tapi Langdon tidak membalasnya. Sangat tidak sopan bagi seorang lelaki, caci Langdon pada dirinya sendiri sambil bertanya-tanya berapa lama Rebecca Strauss dapat bertahan di dalam sumur berbau busuk seperti ini.
Langdon merasa lega ketika anak tangga terakhir membawanya ke tanah yang lunak. Tanah di bawah sepatunya terasa lembab. Setelah meyakinkan diri kalau dinding di sekitarnya tidak akan menguburnya, dia memutar tubuhnya ke arah ruangan bawah tanah itu. Ruangan tersebut berbentuk bundar, dan memiliki garis tengah sebesar dua puluh kaki. Sambil menutupi hidungnya dengan lengannya, Langdon mengarahkan matanya pada sosok itu. Dalam keremangan, sosok itu tampak kabur. Kulitnya yang berwarna putih terlihat jelas. Sosok itu menghadap ke arah yang lain. Tidak bergerak. Tidak bersuara.
Langdon melangkah maju di dalam ruang bawah tanah yang suram itu, dan mencoba untuk mengerti apa yang sedang dilihatnya sekarang. Punggung orang itu menghadap ke arahnya sehingga Langdon tidak dapat melihat wajahnya. Tetapi jelas, lelaki itu berdiri.
"Halo?" kata Langdon dengan suara seperti tercekik dari balik lengan yang menutupi hidungnya. Tidak ada jawaban. Ketika dia melangkah mendekat, dia sadar kalau lelaki itu sangat pendek. Terlalu pendek ....
"Apa yang terjadi?" tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan menggerak-gerakkan obor gasnya. Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk dapat melihat semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa yang dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat tubuh seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau setidaknya setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam hingga sebatas pinggangnya. Orang tua itu berdiri tegak dengan separuh badannya terkubur di dalam tanah. Dia ditelanjangi. Tangannya terikat di belakang punggungnya dengan ikat pinggang kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang seperti karung tinju yang mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah memohon pertolongan dari Tuhan.
"Apakah dia sudah mati?" seru Vittoria bertanya. Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan orang itu sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata ora ng itu menengadah ke atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. "Ya, Tuhan!"
"Apa?"
Langdon hampir saja muntah. "Dia memang sudah meninggal. Aku baru saja melihat penyebab kematiannya." Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut lelaki itu dibuka paksa dan tersumbat dengan lumpur padat. "Seseorang telah mengisi mulutnya dengan segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam tenggorokannya. Dia pasti mati tercekik."
"Lumpur?" tanya Vittoria. "Maksudnya ... tanah?"
Langdon heran sekali. Tanah? Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah, Udara, Api, Air. Pembunuh itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap korbannya. Cap yang menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen pertama adalah tanah. Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ... Langdon merasa pusing karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri untuk melihat bagian depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan simbologi di dalam jiwanya berteriak dan menuntut untuk melihat perwujudan ambigram yang mistis itu. Tanah? Bagaimana mungkin mereka visa membuat cap seperti itu? Lalu dengan sekejap, simbol itu sudah ada di depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah berabad-abad itu berputar-putar di dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu gosong dan memperlihatkan ambigram yang simetris. Dagingnya terlihat kehitaman. La lingua pura ...
Langdon sedang menatap cap tersebut dan merasa ruangan itu seperti mulai berputar.
"Earth, tanah" Langdon berbisik, sambil memiringkan kepalanya untuk melihat simbol itu secara terbalik. "Earth."
Kemudian, dengan ketakutan luar biasa yang tiba-tiba muncul, Langdon sadar. Masih ada tiga cap lainnya lagi.
WALAU LILIN MEMANCARKAN sinar lembut di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati tetap saja merasa tegang. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Dan acara itu dimulai dengan cara yang paling tidak lazim.
Setengah jam yang lalu, pada jam yang sudah ditentukan, Camerlegno Carlo Ventresca memasuki kapel. Dia berjalan menuju altar dan memimpin doa pembukaan. Kemudian dia membuka tangannya dan berbicara kepada para kardinal lainnya dengan ketegasan yang belum pernah didengar Mortati dari altar Kapel Sistina itu.
"Anda sekalian pasti menyadari," kata sang camerlegno, "bahwa empat preferiti kita tidak hadir dalam rapat pemilihan paus saat ini. Saya memohon, atas nama mendiang Paus, kepada Anda sekalian untuk melanjutkan acara ini ... dengan keyakinan dan tujuan. Semoga hanya Tuhan yang ada di depan mata Anda sekalian." Lalu dia berpaling untuk beranjak pergi.
"Tetapi," salah satu kardinal berseru, "di mana mereka?"
Sang Camerlegno berhenti. "Itu tidak dapat saya katakan dengan terus terang."
"Kapan mereka akan kembali?"
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka baik-baik saja?"
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka akan kembali?"
Ada sunyi yang panjang.
"Doakan agar mereka kembali," kata sang camerlegno. Kemudian dia berjalan keluar ruangan. Seperti tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, pintu-pintu yang menuju Kapel Sistina sudah dikunci dengan dua rantai berat dari luar. Empat orang Garda Swiss berjaga-jaga di koridor. Mortati tahu satu-satunya yang dapat membuat pintu itu terbuka sebelum paus yang baru terpilih adalah ada kardinal yang jatuh sakit, atau ketika sang preferiti tiba. Mortati berdoa agar yang terakhirlah yang akan terjadi, walau ketegangan yang dirasakannya membuatnya menjadi tidak yakin kalau harapannya akan terkabul. Lanjutkan seperti seharusnya, Mortati memutuskan kemudian mengambil alih acara tanpa mampu menghilangkan nada tegas dan sang camerlegno tadi dari benaknya. Sang camerlegno sudah meminta kami untuk melakukan pemilihan itu sekarang. Apa lagi yang dapat kami lakukan? Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan ritual persiapan sebelum pemungutan suara dilakukan. Mortati menunggu dengan sabar di altar utama ketika setiap kardinal, sesuai dengan urutan kesenioran mereka, datang mendekat dan melakukan prosedur pemilihan khusus. Sekarang, akhirnya kardinal terakhir telah tiba di depan altar dan berlutut di depan Mortati.
"Saksiku adalah," kata kardinal itu, persis sama dengan para kardinal sebelumnya, "Yesus Kristus yang akan menjadi hakimku sehingga suara yang kuberikan adalah bagi seorang yang pantas di hadapan Tuhan."
Kardinal itu berdiri. Kemudian dia memegang surat suaranya tinggi di atas kepalanya agar semua orang dapat melihatnya. Setelah itu dia menurunkan surat suaranya ke altar di mana sebuah piring diletakkan di atas sebuah piala yang biasa digunakan dalam misa suci. Dia meletakkan surat suaranya itu di atas piring tersebut. Lalu dia mengambil piring tersebut dan menggunakannya untuk menjatuhkan surat suaranya ke dalam piala. Penggunaan piring itu adalah untuk memastikan agar tidak ada seorang pun yang meletakkan lebih dari satu surat suara.
Setelah kardinal tadi memasukkan surat suaranya, dia kemudian meletakkan piring itu kembali di atas piala, lalu membungkuk di depan salib dan kembali ke tempat duduknya. Surat suara terakhir telah diberikan.
Sekarang waktunya bagi Mortati untuk melakukan kewajibannya.
Dengan membiarkan piring itu tetap berada di atas piala, Mortati mengocok surat suara itu sehingga teraduk. Kemudian dia membuka piring itu dan mengeluarkan satu surat suara yang diambilnya secara acak. Dia membuka lipatannya. Surat suara itu lebarnya dua inci. Dia membaca dengan keras sehingga semua kardinal dalam ruangan itu dapat mendengarnya.
"Eligo in summum pontificem ... " dia berkata, lalu membaca teks yang tertulis pada bagian atas setiap surat suara. Paus ouct pilihanku adalah ... Kemudian dia mengumumkan nama calon yang tertulis di bawahnya. Setelah Mortati menyebutkan nama calon tersebut, dia meraih sebuah jarum jahit dan menusuk surat suara itu menembus kata Eligo, lalu dengan berhati-hati dia meluncurkan surat suara itu pada benang. Setelah itu dia mencatat suara di sebuah buku catatan. Kemudian dia mengulangi seluruh prosedur itu. Dia memilih satu surat suara dari piala, membacanya dengan keras, lalu menjahitnya seperti tadi dan mencatatnya dalam buku catatan. Mortati segera dapat merasakan bahwa pemilihan ini akan gagal. Tidak ada konsensus. Dia baru membuka tujuh surat suara, dan ketujuh surat suara tersebut menyatakan nama kardinal yang berbeda. Seperti yang biasa terjadi, tulisan tangan di setiap surat suara disamarkan dengan huruf cetak atau tulisan indah. Dalam hal ini, penyamaran itu ironis karena para kardinal menuliskan namanya sendiri. Mortati tahu, keangkuhan ini tidak ada hubungannya dengan ambisi pribadi. Ini hanyalah pola untuk mengulur waktu. Sebuah manuver pertahanan. Sebuah taktik untuk meyakinkan bahwa tidak ada seorang kardinal pun yang bisa mendapatkan suara yang cukup banyak untuk menang ... sehingga terpaksa diadakan pemilihan lagi. Kardinal-kardinal itu sedang menanti preferiti mereka... Ketika surat suara terakhir dihitung, Mortati menyatakan kalau pemilihan ini gagal menentukan paus yang baru. Dia kemudian mengambil benang yang merangkai semua surat suara itu dan mengikat kedua ujungnya sehingga menjadi sebuah kalung. Kemudian dia meletakkan kalung tersebut di atas sebuah nampan perak. Dia menambahkan zat kimia khusus lalu membawa nampan itu ke cerobong asap kecil di belakangnya. Di situ dia membakar surat-surat suara tersebut. Ketika surat-surat suara itu terbakar, zat kimia yang tadi ditambahkannya membuat asap hitam. Asap itu naik melalui sebuah pipa lalu masuk ke cerobong asap yang terletak di atap kapel. Dari situ asapnya akan keluar dan semua orang dapat melihatnya. Kardinal Mortati baru saja mengirimkan komunikasi pertamanya ke dunia luar. Satu kali pemungutan suara. Tidak ada paus yang terpilih. LANGDON HAMPIR SESAK napas karena aroma menyengat di sekitarnya sementara dia berjuang untuk menaiki tangga menuju ke arah cahaya di atas sumur. Di atas, dia mendengar suara-suara, tetapi tidak ada yang terdengar masuk akal. Kepalan ya dipenuhi dengan gambaran kardinal yang dicap. Tanah... Tanah... Ketika dia terus memanjat, pandangan matanya mengabur dan dia takut akan pingsan dan jatuh. Dua anak tangga lagi dari atas dan keseimbangannya pun goyah. Dia menggapai ke atas, mencoba untuk meraih bibir sumur, tetapi masih terlalu jauh. Dia kehilangan pegangannya di tangga dan hampir terjatuh lagi ke dalam kegelapan. Langdon merasa sakit di lengan bawahnya, dan tiba-tiba dia melayang, kakinya terayun bebas di atas lubang. Ternyata tangan dua orang Garda Swiss yang kuat meraih lengan bawahnya dan menariknya ke luar. Sesaat kemudian kepala Langdon muncul dari Lubang Iblis. Dirinya tersedak dan megap-megap. Kedua Garda Swiss itu menariknya menjauh dari bibir lubang, kemudian membaringkannya di atas lantai pualam yang dingin. Untuk sesaat, Langdon tidak yakin dia berada di mana. Di atasnya dia melihat bintang-bintang ... planet-planet yang mengorbit. Sosok-sosok samar yang berkejaran. Orang-orang berteriak. Dia terbaring di dasar sebuah piramida batu dan mencoba untuk duduk. Suara galak yang sudah akrab di telinganya menggema di dalam kapel itu dan kemudian Langdon ingat dia sedang berada di mana. Olivetti berteriak pada Vittoria. "Kenapa kalian tidak mengetahuinya dari awal?"
Vittoria mencoba menjelaskan situasinya.
Olivetti menyelanya di tengah kalimat dan kemudian meneriakkan perintah kepada anak buahnya. "Keluarkan mayat itu! Geledah seluruh gedung ini!"
Langdon berusaha lagi untuk duduk. Kapel Chigi yang dipenuhi oleh Garda Swiss. Tirai plastik di depan kapel telah disobek dan udara segar mulai mengisi paru-parunya. Ketika akal sehatnya kembali muncul, Langdon melihat Vittoria berjalan mendekatinya. Vittoria berlutut, wajahnya terlihat seperti malaikat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Vittoria sambil memegang tangan Langdon dan meraba denyut nadinya. Tangan Vittoria terasa lembut di kulitnya.
"Terima kasih," kata Langdon setelah benar-benar duduk. "Olivetti marah."
Vittoria mengangguk. "Sudah sepantasnya dia marah. Kita menggagalkannya."
"Maksudmu, aku menggagalkannya."
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita akan menangkapnya lain waktu."
Lain waktu? Langdon berpendapat itu adalah komentar yang jahat. Tidak ada lain waktu! Kita sudah gagal menembak sasaran kita! Vittoria memeriksa jam tangan Langdon. "Mickey mengatakan kita masih punya waktu empat puluh menit lagi. Kumpulkan tenagamu dan bantu aku untuk menemukan petunjuk berikutnya."
"Sudah kukatakan padamu, Vittoria, patung-patung itu sudah hilang. Jalan Pencerahan sudah-" Suara Langdon tertahan. Vittoria tersenyum lembut. Tiba-tiba dengan susah payah Langdon berdiri. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu dan mengamati karya seni di sekelilingnya. Piramida-piramida, planet-planet, elips-elips. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Inilah altar ilmu pengetahuan yang pertama itu! Bukan Pantheon! Langdon sekarang menyadari betapa sempurnanya kapel ini sebagai kapel Illuminati. Jauh lebih tersamar dan daripada Pantheon yang terkenal di dunia itu. Kapel Chigi adalah ceruk yang berbeda, benar-benar sebuah lubang di dalam dinding sebuah tanda penghormatan bagi seorang pemuka ilmu pengetahuan, dan didekor dengan simbologi duniawi yang menggambarkan unsur tanah. Sempurna. Langdon bersandar di dinding supaya tidak limbung dan menatap patung piramida besar itu. Vittoria sangat benar. Kalau kapel ini adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama, berarti ada patung yang menjadi petunjuk berikutnya. Langdon merasakan hadirnya aliran harapan. Kalau petunjuk itu ada di sini, dan mereka dapat mengikutinya ke altar ilmu pengetahuan yang berikutnya, mereka mungkin memiliki kesempatan sekali lagi untuk menangkap pembunuh itu. Vittoria bergerak mendekatinya. "Aku tahu siapa pematung Illuminati misterius itu."
Kepala Langdon berputar. "Apa?"
"Sekarang kita hanya harus mengetahui patung yang mana yang merupakan-"
"Tunggu sebentar! Kamu tahu siapa pematung Illuminati itu?" Langdon sudah bertahun-tahun mencari informasi itu. Vittoria tersenyum. "Pematung itu adalah Bernini." Dia berhenti. "Bernini y ang itu."
Langdon langsung tahu kalau Vittoria salah. Tidak mungkin Bernini. Gianlorenzo Bernini adalah pematung paling terkenal sepanjang masa. Ketenarannya hanya dapat dikalahkan oleh Michelangelo sendiri. Selama tahun 1600-an, Bernini menciptakan patung lebih banyak daripada pematung lainnya. Sayangnya, pematung yang mereka cari adalah seorang pematung yang tidak terkenal, bukan siapa-siapa.
Vittoria mengerutkan dahinya. "Kamu tidak tampak bersemangat."
"Tidak mungkin Bernini."
"Kenapa tidak? Bernini adalah pematung yang sezaman dengan Galileo. Dia pematung yang brilian."
"Dia adalah pematung yang sangat terkenal dan seorang Katolik yang taat."
"Ya," sahut Vittoria. "Betul-betul seperti Galileo."
"Tidak," bantah Langdon. "Sama sekali tidak seperti Galileo. Galileo adalah duri dalam daging bagi Vatican. Sementara Bernini adalah anak kesayangan mereka. Gereja mencintai Bernini. Dia terpilih sebagai pemegang otoritas artistik di Vatican. Dia bahkan tinggal di dalam Vatican City sepanjang hidupnya!"
"Sebuah penyamaran yang sempurna. Penyusupan Illuminati."
Langdon merasa putus asa. "Vittoria, anggota Illuminati menyebut seniman rahasia mereka itu sebagai il maestro ignoto- maestro tak dikenal."
"Ya, tidak dikenal oleh mereka. Ingat kerahasiaan kelompok Mason-hanya anggota tingkat atas saja yang tahu semua rahasia. Bisa saja Galileo menyembunyikan jati diri Bernini yang sesungguhnya dari anggota-anggota lainnya ... untuk keamanan Bernini sendiri. Dengan begitu Vatican tidak pernah tahu."
Langdon tidak yakin, tetapi dia mengakui jalan pikiran Vittoria masuk akal juga walau terdengar aneh. Kelompok Illuminati terkenal dengan kemampuan mereka dalam menyimpan informasi rahasia secara tertutup, dan hanya membuka rahasia kepada para anggota tingkat atas. Karena itulah kerahasiaan mereka terjaga ... hanya sedikit orang yang tahu keseluruhan cerita tentang kelompok mereka itu.
"Dan keterlibatan Bernini dengan Illuminati," tambah Vittoria sambil tersenyum, "menjelaskan kenapa dia merancang kedua piramida itu."
Langdon berpaling pada kedua patung piramida besar itu dan menggelengkan kepalanya. "Bernini adalah seorang pematung religius. Tidak mungkin dia membuat piramida-piramida itu."
Vittoria mengangkat bahunya. "Katakan itu kepada tanda di belakangmu."
Langdon berputar dan melihat sebuah plakat.
SENI KAPEL CHIGI Raphael adalah arsitek bangunan ini sementara seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini Langdon membaca plakat itu dua kali, dan masih tetap tidak percaya. Gianlorenzo Bernini terkenal karena kerumitan karyanya, seperti patung-patung suci Bunda Maria, malaikat-malaikat, nabi-nabi, paus-paus. Kenapa dia harus membuat piramida? Langdon menatap monumen yang menjulang tinggi dan merasa sangat bingung. Dua buah piramida, masing-masing dengan dua medali berbentuk elips. Keduanya adalah patung yang sama sekali tidak bersifat Kristen. Piramida-piramida itu memiliki bintang di atasnya yang merupakan lambang zodiak. Seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini. Langdon baru sadar, kalau itu benar berarti Vittoria pasti tidak keliru. Jadi, Bernini adalah maestro Illuminati yang tak dikenal; tidak ada seniman lain yang menyumbangkan karya seni di kapel ini. Pemikiran itu datang terlalu cepat untuk dicerna oleh Langdon.
Bernini adalah anggota Illuminati.
Bernini merancang ambigram Illuminati.
Bernini yang meletakkan Jalan Pencerahan.
Langdon hampir tidak dapat berbicara. Mungkinkah di sini, di dalam Kapel Chigi yang kecil ini, Bernini yang terkenal itu menempatkan sebuah patung yang mengarahkan kita ke arah altar ilmu pengetahuan yang berikutnya? "Bernini," kata Langdon. "Aku tidak pernah mengira."
"Siapa lagi selain seorang seniman Vatican terkenal yang mempunyai kekuasaan untuk meletakkan karya seninya di kapel Katolik tertentu di sekitar Roma dan menciptakan Jalan Pencerahan. Pasti bukan seniman kacangan."
Langdon mempertimbangkan perkataan Vittoria tadi. Dia menatap kedua piramida itu sambil bertanya-tanya apakah salah satu dari mereka menjadi petunjuk ke altar ilmu pengeta huan selanjutnya. Mungkin juga keduanya? "Kedua piramida itu menghadap ke sisi yang berlawanan," kata Langdon, tidak yakin apa artinya itu. "Mereka juga sama persis, jadi aku tidak tahu yang mana .... "
"Kukira kedua piramida itu bukan petunjuk yang kita cari."
"Tetapi mereka adalah satu-satunya patung di sini."
Vittoria menyelanya dengan menunjuk Olivetti dan beberapa penjaga yang masih berkerumun di dekat Lubang Iblis itu.
Langdon mengikuti arah yang ditunjuk oleh Vittoria. Pada awalnya dia tidak melihat apa-apa. Lalu seseorang bergerak, dan Langdon melihat sesuatu. Pualam putih. Sebuah lengan. Sebuah patung dada. Dan pahatan wajah. Sebagian tersembunyi di dalam ceruknya. Dua buah patung manusia dengan ukuran yang sesungguhnya, saling terjalin. Denyut nadi Langdon menjadi cepat. Dia tadi begitu tercengang oleh dua piramida dan lubang iblis sehingga dia tidak melihat patung itu. Dia menyeberangi ruangan tersebut dan melewati kerumunan Garda Swiss. Ketika dia semakin dekat, Langdon mengenali karya itu sebagai karya Bernini yang asli-komposisi artistik yang kuat, kerumitan wajah dan pakaian yang melambai, semuanya terbuat dari pulam putih murni yang hanya bisa dibeli oleh uang Vatican. Baru ketika Langdon berada hampir di depan patung itu, dia mampu mengenali patung tersebut. Dia memandang wajah kedua patung itu dan terkesiap.
"Siapa mereka?" tanya Vittoria ketika dia tiba di belakang Langdon. Langdon berdiri dan memandangnya dengan tatapan terpesona. "Habakkuk dan malaikat," sahut Langdon dengan suara yang hampir tidak terdengar. Karya seni itu dikenal sebagai karya Bernini walau tidak terlalu banyak dibicarakan dalam buku-buku sejarah seni. Langdon lupa kalau karya itu ditempatkan di sini.
"Habakkuk?"
"Ya. Nabi yang meramalkan penghancuran bumi."
Vittoria tampak tidak tenang. "Kamu kira ini juga sebuah petunjuk?"
Langdon mengangguk dengan kagum. Selama hidupnya dia belum pernah merasa seyakin ini. Ini adalah petunjuk pertama Illuminati. Tidak diragukan lagi. Langdon memang berharap patung itu akan menunjukkan altar ilmu pengetahuan selanjutnya, tapi dia tidak mengira kalau patung tersebut akan menunjukkannya sejelas ini. Tangan malaikat dan tangan Habakkuk terulur dan menunjuk ke suatu arah yang jauh.
Langdon tiba-tiba tersenyum. "Tidak terlalu tersamar, bukan?"
Vittoria tampak gembira sekaligus bingung. "Aku memang melihat mereka menunjuk, tetapi mereka menunjukkan arah yang berlawanan. Sang malaikat menunjuk ke satu arah, dan sang nabi ke arah yang lain."
Langdon tertawa. Apa yang dikatakan Vittoria memang benar. Walau kedua sosok itu menunjuk ke arah yang jauh, mereka menunjuk ke arah yang berlawanan. Tapi tampaknya Langdon sudah mendapatkan jawabannya. Dengan bersemangat Langdon berjalan menuju ke pintu.
"Mau ke mana kamu?" tanya Vittoria sambil beseru.
"Keluar gedung ini!" Kaki Langdon terasa ringan ketika dia berlari ke arah pintu. "Aku harus melihat ke arah mana patung itu menunjuk!"
"Tunggu! Bagaimana kamu tahu jari siapa yang harus kamu ikuti?"
"Puisi itu," seru Langdon tanpa berhenti bergerak. "Baris terakhir!"
"'Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencanan muliamu'?" Vittoria melihat ke jari sang malaikat. Tiba-tiba tatapannya kabur. "Kita sial kalau membuat kesalahan lagi." GUNTHER GLICK DAN CHINITA Macri duduk di dalam van BBC yang diparkir di dalam kegelapan di ujung Piazza del Popolo. Mereka sampai tidak lama setelah keempat mobil Alfa Romeo itu tiba. Gunther merasa beruntung karena tepat waktu untuk menyaksikan rangkaian peristiwa yang tak dapat terbayangkan olehnya. Chinita masih tidak tahu apa arti semua itu, tetapi dia tetap merekamnya. Begitu mereka tiba. Chinita dan Glick melihat sepasukan orang muda menghambur dari dalam mobil Alfa Romeo lalu mengepung gereja. Beberapa dari mereka mengeluarkan senjatanya. Salah satu dari mereka, yang tampak tua dan kaku, memimpin regu itu untuk menaiki tangga depan gereja. Para serdadu mengeluarkan senjatanya dan menembak kunci pintu depan gereja itu. Macri tidak mendengar suara apa pun. Dia tahu mereka pasti menggunakan peredam suara. Kemudian serdadu-serdadu itu masuk. Chinita memutuskan untuk duduk tenang di dalam mobil dan merekam dari kegelapan. Lagi pula, senjata tetaplah senjata, dan mereka berhasil mendapatkan gambar aksi tersebut dengan jelas dari dalam mobil. Sekarang mereka melihat orang-orang bergerak keluar-masuk gereja. Mereka berteriak satu sama lain. Chinita mengatur kameranya untuk mengikuti mereka ketika regu itu menggeledah sekeliling area itu. Walau semuanya mengenakan pakaian preman, tapi mereka bergerak dengan ketepatan militer. "Menurutmu mereka itu siapa?" tanya Macri pada Glick.
"Mana aku tahu." Glick tampak terpaku. "Kamu merekam semuanya?"
"Setiap gerakan."
Kemudian suara Glick terdengar puas. "Masih ingin kembali untuk menunggu Paus?"
Chinita tidak yakin harus mengatakan apa. Yang pasti di sini sedang terjadi sesuatu. Dia sudah cukup lama makan asam garam dunia jurnalisme sehingga tahu pasti ada penjelasan membosankan untuk berbagai peristiwa menarik seperti yang satu ini. "Mungkin ini tidak berarti apa-apa," katanya. "Mungkin saja orang-orang itu juga mendapatkan petunjuk yang sama denganmu dan sekarang mereka hanya memeriksa tempat itu. Bisa juga itu hanya peringatan palsu."
Glick mencengkeram lengan Chinita. "Di sana! Fokus." Glick menunjuk lagi ke arah gereja itu.
Chinita mengarahkan kameranya kembali ke puncak tangga gereja. "Halo!" katanya sambil terus mengarahkan kameranya ke arah seorang lelaki yang keluar dari gereja.
"Siapa lelaki gaya itu?"
Chinita mengatur lensanya untuk mengambil gambar closeup. "Belum pernah melihatnya." Dia terus mengarah ke wajah lelaki itu dan tersenyum. "Tetapi aku tidak keberatan untuk bertemu dengannya lagi."
Robert Langdon berlari menuruni tangga di luar gereja dan berlari ke tengah piazza. Sekarang hari sudah mulai gelap. Matahari musim semi terbenam agak lambat di Roma sebelah selatan. Matahari telah surut di sekitar gedung-gedung di kota ini dan bayangan mulai tampak di lapangan itu.
"Baik, Bernini," katanya keras pada dirinya sendiri. "Katakan padaku ke mana malaikatmu menunjuk?"
Dia berputar dan memeriksa sekeliling gereja dari arah dia keluar tadi. Dia membayangkan Kapel Chigi di dalam gereja beserta patung malaikat yang ada di sana. Tanpa ragu-ragu dia berpaling ke arah barat, ke arah kilau matahari yang akan terbenam. Waktu berjalan sangat cepat.
"Barat Daya," katanya sambil cemberut ke arah gedung-gedung pertokoan dan apartemen yang menghalangi pandangan. "Petunjuk berikutnya ke arah sana."
Sambil memeras otaknya, Langdon membayangkan halaman demi halaman dari sejarah seni Roma. Walau dia sangat akrab dengan karya-karya Bernini, dia tahu pematung itu memiliki karya patung yang terlalu banyak sehingga tidak seorang ahli pun yang dapat mengenali semua karyanya. Walau demikian, dengan menimbang petunjuk pertama yang cukup terkenal itu-Habakkuk dan sang malaikat-Langdon berharap petunjuk kedua adalah karya yang dapat diingatnya.
Tanah, Udara, Api, Air, pikirnya. Tanah. Di dalam Kapel Tanah mereka sudah menemukannya Habakkuk, seorang nabi yang meramalkan penghancuran bumi.
Udara adalah petunjuk berikutnya. Langdon memaksa dirinya untuk berpikir. Sebuah karya Bernini yang berhubungan dengan Udara! Langdon sama sekali tidak dapat mengingatnya. Tapi dia merasa sangat bersemangat. Aku berada di Jalan Pencerahan! Semua petunjuknya masih lengkap! Sambil menatap ke arah barat daya, Langdon berusaha untuk mencari sebuah menara atau puncak katedral yang tersembul melebihi gedung-gedung yang menghalanginya. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Dia membutuhkan peta. Kalau peta tersebut menunjukkan ada gereja yang terletak di barat daya dari tempat ini, mungkin salah satunya dapat membangkitkan ingatan Langdon. Udara, dia memaksa dirinya untuk berpikir. Udara. Bernini. Patung. Udara. Berpikirlah! Langdon berpaling dan berlari menuju ke tangga katedral itu kembali. Di bawah menara perancah dia bertemu dengan Vittoria dan Olivetti.
"Barat Daya," kata Langdon sambil terengah-engah. "Gereja berikutnya berada di sebelah barat daya dari sini."
Kata-kata Olivetti terucap seperti bisikan dingin. "Kamu yakin kali ini?"
Langdon tidak menanggapinya. "Kita membutuhkan peta. Peta yang memperlihatkan semua gereja di Roma."
Sang komandan menatapnya sesaat, air mukanya tidak pernah berubah.
Langdon melihat jam tanganya. "Kita hanya mempunyai waktu setengah jam."
Olivetti bergerak melewati Langdon dan menuruni tangga menuju ke arah mobilnya yang diparkir tepat di depan katedral. Langdon berharap Olivetti akan mengambil sebuah peta.
Vittoria tampak bersemangat. "Jadi sang malaikat menunjuk ke arah barat daya? Kamu tidak tahu gereja apa yang ada di barat daya?"
"Aku tidak dapat melihat melewati gedung-gedung sialan itu," kata Langdon sambil berpaling dan menghadap ke lapangan itu lagi. "Dan aku tidak terlalu tahu tentang gereja-gereja di Roma-" Dia berhenti. Vittoria tampak heran. "Apa?"
Langdon menatap piazza itu lagi. Setelah menaiki tangga, sekarang dia berdiri lebih tinggi sehingga pandangannya lebih baik. Dia masih tetap tidak dapat melihat apa pun, tetapi dia tahu dia sedang bergerak ke arah yang benar. Matanya mendaki menara perancah yang tinggi namun tampak reyot itu. Menara itu setinggi enam tingkat, hampir setinggi jendela gereja itu, jauh lebih tinggi daripada gedung-gedung di sekitar lapangan. Dia segera tahu ke mana dia harus pergi.
Di seberang lapangan, Chinita Macri dan Gunther Glick duduk dan seperti terpaku ketika menatap keluar melalui kaca depan van BBC itu.
"Kamu mengambil yang ini?" tanya Gunther. Bidikan Macri sekarang mengikuti lelaki yang sedang memanjat menara perancah di hadapan mereka. "Dia berpakaian agak terlalu rapi untuk pura-pura menjadi Spiderman kalau kamu bertanya pendapatku."
"Lalu siapa Spidey, si laba-laba merah itu?" Chinita melihat sekilas ke arah seorang perempuan cantik di bawah menara perancah itu. "Aku bertaruh, kamu pasti ingin mengetahuinya."
"Kamu pikir aku harus menelepon redaksi?"
"Belum. Kita lihat saja dulu. Lebih baik kita tahu apa yang kita dapatkan di sini sebelum melapor kalau kita sudah meninggalkan peliputan rapat pemilihan paus."
"Kamu pikir seseorang betul-betul sudah membunuh salah satu kakek-kakek itu di sana?"
Chinita tergelak. "Kamu benar-benar akan masuk neraka."
"Dan aku akan membawa Pulitzer bersamaku." MENARA PERANCAH ITU tampaknya semakin tidak stabil ketika Langdon bergerak semakin tinggi. Tapi pandangan Langdon akan kota Roma menjadi lebih baik setiap kali dia memanjat semakin tinggi. Dia terus memanjat. Langdon mulai sulit bernapas ketika mencapai tingkat yang lebih tinggi. Dia akhirnya tiba di landasan, lalu membersihkan dirinya dari serpihan semen yang menempel di tubuhnya, kemudian dia berdiri tegak. Ketinggian itu sama sekali tidak membuatnya takut. Itu malah membuatnya segar. Pemandangan di bawahnya mengejutkannya. Terbentang di depan mata Langdon, terlihat atap gedung-gedung yang terbuat dari genteng berwarna merah, dan berkilau tertimpa cahaya matahari yang mulai terbenam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon melihat Roma sebagai Citta di Dio-Kota Tuhan, di antara polusi dan lalu-lintas kota Roma. Sambil menyipitkan matanya ke arah matahari terbenam, Langdon mengamati atap gedung-gedung itu untuk mencari atap gereja atau menara lonceng. Tetapi saat dia melihat ke kejauhan menuju cakrawala, dia tidak menemukan apa pun. Ada ratusan gereja di Roma, pikirnya. Pasti ada satu gereja yang terletak di sebelah barat daya ini! Kalau saja gereja itu terlihat. Dia kemudian mengingatkan dirinya sendiri. Sialan, itu juga kalau gereja itu masih berdiri! Ketika memaksakan matanya untuk menelusuri pemandangan itu dengan perlahan-lahan, dia berusaha untuk mencari lagi. Tentu saja dia tahu kalau tidak semua gereja mempunyai menara yang terlihat, terutama gereja kecil yang tidak seperti rumah suci biasa. Apalagi Roma telah berubah secara dramatis sejak tahun 1600an, ketika hukum mengharuskan gereja menjadi gedung tertinggi di Roma. Tapi sekarang, Langdon melihat gedung-gedung apartemen, gedung-gedung pencakar langit, dan menara-menara TV menjulang lebih tinggi daripada gereja. Untuk kedua kalinya, mata Langdon menyentuh cakrawala tanpa menemukan apa yang dicarinya. Tidak ada satu menara pun. Dari kejauhan, di sisi lain kota Roma, kubah karya Michelangelo yang besar menutupi pemandangan matahari yang sedang tenggelam. Itu Basilika Santo Petrus. Vatican City. Langdon bertanya-tanya bagaimana para kardinal melanjutkan rapat pemilihan paus, dan apakah Garda Swiss berhasil menemukan antimateri yang berbahaya itu. Firasatnya mengatakan kalau mereka belum dan tidak akan menemukannya. Puisi itu berdengung lagi di dalam kepalanya. Dia memikirkannya dengan seksama, baris demi baris. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Mereka telah menemukan makam Santi. Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis. Elemen-elemen mistis adalah Tanah, Udara, Api, Air. Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci. Jalan Pencerahan ditunjukkan oleh patung-patung karya Bernini. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu.. Malaikat itu menunjuk ke arah barat daya ....
"Tangga depan!" seru Glick sambil menunjuk dengan tidak sabar di balik kaca depan mobil van BBC. "Ada yang terjadi!"
Macri mengalihkan bidikannya kembali ke jalan masuk utama. Memang ada yang sedang terjadi di sana. Di dasar tangga, lelaki yang bertampang seperti seorang militer itu menuju ke salah satu dari Alfa Romeo di dekat tangga dan membuka bagasinya. Kini dia mengamati lapangan seolah memeriksa apakah ada orang yang melihatnya. Sesaat, Macri mengira lelaki itu akan melihat mereka, tetapi mata lelaki itu terus bergerak. Tampaknya lelaki itu merasa puas, lalu dia mengeluarkan walkie-talkie-nya. dan berbicara dengan menggunakan alat itu.
Nyaris saat itu juga, sekelompok serdadu keluar dari gereja. Serdadu-serdadu itu berbaris dengan rapi di bagian teratas tangga gereja. Lalu mereka bergerak seperti tembok manusia untuk menuruni tangga. Di belakang mereka, hampir tertutup oleh tembok bergerak itu, empat orang serdadu tampak membawa sesuatu. Sesuatu yang berat dan kaku.
Glick mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apakah mereka mencuri sesuatu dari gereja?"
Chinita lebih mempertajam bidikannya dengan menggunakan telefoto untuk menembus tembok manusia itu dan mencari celah. Celah satu detik saja, serunya dalam hati. Satu frame saja. Hanya itu yang kubutuhkan. Tetapi orang-orang itu bergerak dengan serempak. Ayolah! Macri terus membidik, dan dia akhirnya mendapatkan hasilnya. Ketika para serdadu itu berusaha mengangkat benda itu ke dalam bagasi, Macri mendapatkan celah yang dicari-carinya. Ironisnya, benda berat itu ternyata seorang lelaki tua. Kejadian itu hanya sekejap, tapi berlangsung cukup lama. Marcri mendapatkan gambar yang dicarinya. Sebetulnya, dia mendapatkan gambar lebih dari sepuluh frame.
Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis Pendekar Rajawali Sakti Siluman Muka Kodok