Malaikat Dan Iblis 14
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 14
Vittoria mendongak. Robert! Vittoria tidak percaya bagaimana tiba-tiba dia berharap lelaki itu ada di sini bersamanya.
Para penjaga itu saling bertatapan dengan bingung. Salah satu dari mereka menarik radio itu dari ikat pinggangnya. "Pak Langdon, Anda ada di saluran tiga. Komandan sedang menunggu kabar dari Anda di saluran satu."
"Aku tahu dia ada di saluran satu, sialan! Aku tidak mau berbicara dengannya. Aku ingin bicara dengan sang camerlegno. Sekarang, tolong carikan dia untukku!"
Di dalam keremangan ruang Arsip Rahasia, Langdon berdiri di antara serpihan kaca dan mencoba bernapas dengan baik. Dia merasakan ada cairan hangat di tangan kirinya. Dia tahu tangannya berdarah. Suara sang camerlegno segera terdengar dan mengejutkan Langdon.
"Ini Camerlegno Ventresca. Ada apa?"
Langdon menekan tombol, jantungnya masih berdebar. "Kukira seseorang baru saja ingin membunuhku!"
Ada kesunyian dalam saluran itu. Lalu Langdon melanjutkan. "Aku juga tahu di mana pembunuhan berikutnya akan terjadi."
Suara yang menjawabnya bukanlah suara sang camerlegno. Tetapi suara Komandan Olivetti. "Pak Langdon, jangan bicara lagi." JAM TANGAN LANGDON yang sekarang bernoda darah, menunjukkan pukul 9.41 malam ketika dia berlari melintasi Courtyard of Belvedere dan mendekati air mancur di luar markas Garda Swiss. Tangannya sudah tidak mengeluarkan darah tapi kini terasa sangat sakit. Ketika dia tiba, tampaknya semua orang sedang berkumpul. Olivetti, Rocher, sang camerlegno, Vittoria dan sejumlah penjaga.
Vittoria bergegas menyambutnya. "Robert, kamu terluka." Sebelum Langdon dapat menjawab, Olivetti sudah berdiri di depannya. "Pak Langdon, saya senang Anda tidak apa-apa. Saya minta maaf karena ada sinyal bersilang di ruang arsip."
"Sinyal bersilang?" tanya Langdon marah. "Anda pasti tahu-"
"Itu kesalahan saya," kata Rocher sambil melangkah ke depan. Suaranya terdengar menyesal. "Saya tidak tahu Anda berada di ruang arsip. Dua zona putih bersilang di gedung arsip. Kami memperluas pencarian kami. Sayalah yang memadamkan listrik. Kalau saya tahu .... "
"Robert," kata Vittoria sambil mengambil tangan Langdon yang terluka dan mengamatinya. "Paus memang diracun. Illuminati membunuhnya."
Langdon mendengar kata-kata itu tetapi hampir tidak dapat mencernanya. Kepalanya terasa sangat penuh. Satu-satunya yang bisa dirasakannya hanyalah kehangatan tangan Vittoria.
Sang camerlegno mengeluarkan sapu tangan sutera dari saku jubahnya dan memberikannya kepada Langdon sehingga Langdon dapat membersihkan diri. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa. Mata hijaunya seperti terisi oleh semangat baru.
"Robert," Vittoria mendesak, "kamu tadi mengatakan kamu tahu di mana kardinal berikutnya akan dibunuh?"
Langdon merasa agak pusing. "Ya. Di-"
"Jangan," Olivetti menyela. "Pak Langdon, ketika saya memintamu untuk tidak berbicara satu kata pun di walkie-talkie, itu ada alasannya." Dia lalu berpaling ke arah sejumlah serdadu di sekitarnya. "Mohon tinggalkan kami, Bapak-bapak."
Serdadu-serdadu itu lalu menghilang ke dalam markas. Tidak ada kemarahan. Hanya ada kepatuhan.
Olivetti kembali memandang orang-orang yang masih berada di sana. "Walau saya berat untuk mengatakan ini, tapi saya harus mengakui kalau kematian Paus hanya dapat dilakukan dengan bantuan seseorang di dalam tembok ini. Untuk kebaikan semua orang, kita tidak dapat memercayai siapa pun. Termasuk penjaga kami." Tampaknya dia merasa sangat terpaksa ketika mengucapkan kata-katanya itu.
Rocher tampak cemas. "Persekongkolan di dalam artinya-"
"Ya," kata Olivetti. "Kesungguhanmu dalam pencarian itu adalah hal yang bagus. Tapi ini adalah taruhan yang harus kita jalani. Carilah terus."
Rocher tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah berpikir sebentar, dia mengurungkan niatnya. Dia kemudian berlalu.
Sang camerlegno menarik napas dala m. Dari tadi dia belum mengatakan apa-apa. Langdon merasakan adanya kekuatan baru di diri laki-laki ini seperti titik balik baru saja dia lewati.
"Komandan?" nada suara sang camerlegno terdengar sangat tegas. "Aku akan membatalkan rapat pemilihan paus."
Olivetti merapatkan bibirnya dan terlihat masam. "Saya menganjurkan untuk tidak melakukan itu. Kita masih memiliki dua jam dan dua puluh menit."
"Dan ketegangan yang menyelimutinya."
Nada suara Olivetti sekarang seperti menantang. "Apa yang akan Anda lakukan? Memindahkan kardinal-kardinal itu sendirian?"
"Aku berniat untuk menyelamatkan gereja dengan tenaga yang diberikan Tuhan padaku. Bagaimana caraku, itu bukan urusanmu."
Olivetti menjadi lebih tegas. "Apa pun yang akan Anda kerjakan .... " Dia berhenti. "Saya tidak punya kewenangan untuk menghalangi Anda. Terutama karena kegagalan saya sebagai kepala keamanan. Saya hanya meminta Anda untuk menunggu. Tunggulah dua puluh menit lagi ... hingga setelah pukul sepuluh. Kalau informasi dari Pak Langdon ini benar, mungkin saya masih mempunyai kesempatan untuk menangkap pembunuh itu. Masih ada kesempatan untuk melindungi protokol dan tradisi."
"Tradisi?" sang camerlegno tertawa tertahan. "Apa yang kita hadapi ini sudah terlalu melanggar kesopanan, Komandan. Mungkin kamu belum tahu, ini adalah perang."
Seorang penjaga muncul dari markas dan memanggil sang camerlegno. "Signore, saya baru saja menerima berita kalau kami telah menahan wartawan BBC itu, Pak Glick."
Sang camerlegno mengangguk. "Bawa keduanya, lelaki itu dan juru kameranya, untuk bertemu aku di luar Kapel Sistina."
Mata Olivetti membelalak. "Apa yang akan Anda lakukan?" 503 DAN BROWN "Dua puluh menit, Komandan. Hanya itu yang dapat kuberikan padamu." Dia lalu menghilang.
Ketika mobil Alfa Romeo yang dikendarai Olivetti melesat keluar dari Vatican City, kali ini tidak ada barisan mobil tanpa plat nomor yang mengikutinya. Di bangku belakang, Vittoria membalut tangan Langdon dengan perlengkapan P3K yang ada di dalam kotak penyimpan sarung tangan.
Olivetti memandang mereka melalui kaca spion. "Baik, Pak Langdon. Ke mana kita pergi?" WALAU SEKARANG MENGGUNAKAN sirene dan lampu polisi, mobil Alfa Romeo yang dikendarai Olivetti tampak tidak terlihat ketika melesat menyeberangi jembatan untuk menuju ke jantung kota Roma tua. Semua lalu lintas bergerak ke arah yang berbeda, ke arah Vatican, seolah Tahta Suci tiba-tiba menjadi hiburan terpanas di Roma saat itu.
Langdon duduk di bangku belakang sementara berbagai pertanyaan terus menghampiri benaknya. Dia bertanya-tanya tentang pembunuh itu, apakah mereka dapat menangkapnya kali ini, apakah pembunuh itu mau mengatakan apa yang mereka ingin ketahui, apakah itu semua sudah terlambat. Berapa lama sebelum sang camerlegno mengatakan kepada orang-orang di Lapangan Santo Petrus bahwa mereka dalam bahaya? Kejadian di ruangan arsip masih mengganggunya. Sebuah kesalahan? Olivetti tidak pernah menginjak rem ketika mereka berbelok-belok dengan mobil Alfa Romeo yang meraung menuju ke Gereja Santa Maria della Vittoria. Pada hari yang normal, Langdon pasti merasa tidak nyaman dengan kecepatan seperti itu. Tapi saat ini, dia seperti mati rasa. Hanya denyutan di tangannya saja yang membuatnya sadar dia sedang berada di mana.
Di atas kepalanya, sirene terus meraung-raung. Seperti pengumuman kalau kita akan datang, ejek Langdon. Tapi mereka tiba di tempat dalam waktu yang sangat singkat.
Langdon mengira Olivetti akan mematikan sirene itu ketika mereka sudah dekat.
Kini ketika memiiiki kesempatan untuk duduk dan merenung, Langdon merasa heran ketika berita tentang pembunuhan Paus akhirnya dapat tercerna oleh otaknya. Pemikiran itu sulit untuk dipahami, tapi sepertinya sangat masuk akal. Penyusupan selalu menjadi kekuatan dasar Illuminati- mereka mengatur kekuatan yang mereka miliki dari dalam. Dan kejadian seperti pembunuhan Paus bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Kabar angin tentang pengkhianatan sudah begitu banyak sehingga tidak terhitung lagi, walau demikian tanpa otopsi sulit untuk memastikan kalau seorang p aus sudah menjadi korban pembunuhan. Bahkan sampai sekarang. Beberapa saat yang lalu, para akademisi mendapatkan izin untuk melakukan pemeriksaan dengan sinar X di makam Paus Celestine V yang diduga meninggal di tangan penerusnya yang terlalu bersemangat untuk mengambil alih kekuasaan, Boniface VIII. Para peneliti berharap pemeriksaan dengan sinar X itu bisa mengungkapkan setitik petunjuk mengenai kecurangan, seperti misalnya patah tulang atau yang lainnya. Hebatnya, sinar X tersebut berhasil menemukan adanya sebuah paku berukuran sepuluh inci yang ditusukkan pada tengkorak sang paus.
Langdon sekarang ingat serangkaian kliping surat kabar yang dikirimkan oleh seorang kawan penggemar Illuminati beberapa tahun yang lalu. Pada awalnya Langdon menganggap kliping itu hanyalah lelucon belaka sehingga dia memeriksa koleksi microfiche Harvard untuk memastikan kalau artikel tersebut asli. Ternyata artikel-artikel itu memang asli. Sekarang Langdon menyimpannya di atas papan buletinnya sebagai contoh bagaimana koran-koran yang terpandang sekalipun kadang-kadang bisa berlebihan dalam menanggapi ketakutan yang tidak beralasan yang menyangkut Illuminati. Tiba-tiba kecurigaan media saat itu tampak beralasan. Langdon dapat mengingat artikel-artikel itu dalam benaknya ....
THE BRITISH BROADCASTING CORPORATION 14 Juni 1998 Paus John Paul I, yang wafat pada tahun 1978, ternyata menjadi korban dari sebuah persekongkolan P2 Masonic Lodge ... Kelompok rahasia P2 memutuskan untuk membunuh John Paul I ketika kelompok itu mengetahui sang paus berniat untuk memecat seorang uskup agung asal Amerika, Paul Marcinkus dari jabatannya sebagai Presiden Bank Vatican. Bank tersebut diduga memiliki transaksi gelap dengan Masonic Lodge ....
THE NEW YORK TIMES 24 Agustus 1998 Mengapa mendiang John Paul I mengenakan kemeja hariannya di tempat tidur? Mengapa kemeja itu sobek? Pertanyannya tidak berhenti sampai di situ saja. Tidak ada penyelidikan medis yang dilakukan untuk mengetahui penyebab kematiannya. Kardinal Villot melarang otopsi dengan alasan tidak seorang paus pun yang pernah divisum setelah meninggal dunia. Yang menarik adalah obat-obatan John Paul I menghilang secara misterius dari meja di sisi tempat tidurnya, seperti juga kacamatanya, sandal dan surat wasiatnya.
LONDON DAILY MAIL 27 Agustus 1998 ... sebuah persekongkolan yang melibatkan kelompok Mason yang berkuasa dan kejam dengan jaringannya yang mampu menyusup ke dalam Vatican.
Ponsel di dalam saku Vittoria berdering sehingga menghapus kenangan itu dalam benak Langdon.
Vittoria menjawabnya dan tampak bingung karena tidak tahu siapa yang meneleponnya. Walau dari jarak beberapa kaki, Langdon mampu mengenali suara yang berbicara dengan kaku yang terdengar dari telepon itu.
"Vittoria? Ini Maximilian Kohler. Kamu sudah menemukan antimateri itu?"
"Max? Kamu tidak apa-apa?"
"Aku melihat berita itu. Tidak ada yang menyebut-nyebut CERN atau antimateri. Itu bagus. Apa yang terjadi?"
"Kami belum menemukan tabung itu. Keadaannya rumit. Robert Langdon sangat membantu. Kami mendapatkan petunjuk untuk menangkap pembunuh kardinal-kardinal itu. Sekarang kami sedang menuju-"
"Nona Vetra, Anda sudah berbicara cukup banyak!" Olivetti membentaknya. Vittoria menutup teleponnya dengan tangannya dan merasa terganggu. "Komandan, ini Presiden CERN. Jelas dia punya hak untuk-"
"Dia memang punya hak," bentak Olivetti, "untuk berada di sini dan menangani kekacauan ini. Anda berbicara di jalur seluler terbuka. Anda berbicara cukup banyak."
Vittoria menghela napas dalam. "Max?"
"Mungkin aku punya informasi untukmu," kata Max. "Tentang ayahmu ... aku mungkin tahu kepada siapa dia menceritakan soal antimateri itu."
Airmuka Vittoria menjadi muram. "Max, ayahku bilang kalau dia tidak mengatakannya kepada siapa pun."
"Vittoria, aku khawatir kalau ayahmu memang menceritakannya kepada orang lain. Aku harus memeriksa catatan keamanan. Aku akan menghubungimu lagi dengan segera." Lalu sambungan itu putus. Vittoria tampak kaku ketika dia menyimpan kembali ponselnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Langdon. Vitt oria mengangguk, tapi jemari tangannya yang gemetar menunjukkan kalau dia berbohong.
"Gereja itu berada di Piazza Barberini," kata Olivetti sambil mematikan sirenenya dan melihat jam tangannya. "Kita masih punya sembilan menit."
Ketika Langdon pertama kali menyadari letak petunjuk ketiga itu, posisi gereja itu samar-samar mengingatkannya akan sesuatu. Piazza Barberini. Ada sesuatu yang akrab dengan nama itu sesuatu yang tadinya tidak dapat diingatnya. Sekarang Langdon tahu apa itu. Piazza itu mengingatkannya tentang pemberhentian kereta bawah tanah yang kontroversial. Dua puluh tahun yang lalu, pembangunan terminal kereta api bawah tanah membuat para ahli sejarah seni khawatir penggalian di bawah Piazza Barberini akan merubuhkah obelisk dengan berat ratusan ton yang berdiri di tengah-tengah piazza itu. Perencana Tata Kota akhirnya memindahkan obelisk itu dan menggantinya dengan sebuah air mancur kecil yang disebut Triton.
Langdon sekarang baru menyadarinya. Pada masa Bernini, Piazza Barberini memiliki sebuah obelisk! Sekarang Langdon tidak ragu lagi, tempat ini memang letak petunjuk ketiga Illuminati.
Satu blok dari piazza, Olivetti membelok masuk ke sebuah gang, meluncur turun dengan kecepatan tinggi dan memberhentikan mobilnya di tengah jalan dengan cepat. Dia kemudian melepas jaketnya, menggulung lengan kemejanya, dan mengisi senjatanya.
"Aku tidak ingin kalian berisiko untuk dikenali," katanya. "Kalian berdua sudah muncul di televisi. Aku ingin kalian berada di seberang piazza dan bersembunyi. Amati pintu masuk di depan piazza. Aku akan masuk dari belakang." Lalu dia mengeluarkan pistol yang sudah pernah mereka lihat sebelumnya dan menyerahkannya pada Langdon. "Untuk berjaga-jaga," demikian katanya. Langdon mengerutkan keningnya. Itu berarti sudah dua kali dalam satu hari ini dia diberi senjata. Langdon menyelipkan pistol itu ke dalam saku jasnya. Ketika dia melakukannya, Langdon baru sadar kalau dia masih membawa lembaran folio Diagramma. Langdon tidak percaya kalau dirinya sudah lupa untuk mengembalikannya kembali. Dia membayangkan Bapa Jaqui, sang kurator Arsip Rahasia Vatican yang kaku itu akan murka kepadanya ketika mengetahui harta berharganya dibawa-bawa berkeliling Roma seperti peta pariwisata. Kemudian Langdon memikirkan kerusakan seperti dinding kaca yang pecah dan dokumen yang bertebaran yang ditinggalkannya di ruang arsip tadi. Kurator itu pasti tidak akan memaafkan dirinya. Itu juga kalau arsip itu bisa bertahan malam ini. Olivetti keluar dari mobilnya dan menunjuk ke arah mereka masuk tadi. "Piazza itu ke arah sana. Waspadalah dan jangan sampai terlihat." Dia menyentuh ponselnya di ikat pinggangnya. "Nona Vetra, coba tes kembali sambungan otomatis telepon kita."
Vittoria mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor sambungan otomatis yang sudah mereka program ketika di Pantheon. Ponsel di ikat pinggang Olivetti bergetar dalam mode diam.
Komandan itu mengangguk. "Bagus. Kalau Anda melihat apa pun hubungi saya." Dia mengeluarkan senjatanya. "Saya akan berada di dalam dan menunggu. Si bedebah itu milikku."
Pada saat itu juga, dalam jarak yang sangat dekat, sebuah ponsel lainnya berdering. Si Hassassin menjawab. "Halo?"
"Ini aku," kata suara itu. "Janus."
Si Hassassin tersenyum. "Halo, Tuan."
"Posisimu mungkin sudah diketahui. Ada yang datang untuk menghentikanmu."
"Mereka terlambat. Aku sudah membuat persiapan di sini."
"Bagus. Pastikan kamu akan lolos dalam keadaan hidup. Masih ada pekerjaan yang harus kamu lakukan."
"Mereka yang menghalangiku akan mati."
"Mereka yang menghalangimu itu sudah terkenal."
"Kamu berbicara tentang sarjana Amerika itu? "Kamu sudah tahu tentang dia?"
Si Hassassin tertawa. "Dia orang yang tenang tapi agak naif. Dia berbicara padaku di telepon tadi sore. Dia bersama seorang perempuan yang sepertinya memiliki sifat yang bertolak belakang dengannya." Pembunuh itu merasa terpancing gairahnya ketika ingat betapa pemarahnya anak perempuan Leonardo Vetra itu.
Ada kesunyian sesaat dalam sambungan itu, keraguan yang pertama kali si Hassassin rasakan di diri majik an Illuminatinya. Akhirnya Janus berbicara lagi. "Bunuh mereka jika perlu."
Pembunuh itu tersenyum. "Anggap saja sudah dikerjakan." Dia merasakan gairah yang mulai mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu, aku akan menyimpan perempuan itu sebagai hadiah.
PERANG TELAH DIMULAI di Lapangan Santo Petrus.
Piazza itu telah berubah menjadi ajang hiruk-pikuk agresi. Mobil-mobil media berusaha memasuki tempat itu seperti kendaraan perang berebut tempat mendarat. Para wartawan menggelar perlengkapan elektronik berteknologi tinggi seperti serdadu yang dipersenjatai untuk berperang. Di sekeliling tepian piazza, berbagai jaringan televisi mencari posisi yang bagus sambil berlomba mendirikan senjata terbaru mereka dalam dunia penyiaran-display layar datar.
Display layar datar adalah layar video yang sangat besar yang dapat dipasang di atas atap mobil atau menara perancah portabel. Layar itu berguna sebagai semacam iklan billboard bagi jaringan TV mereka karena alat tersebut menyiarkan apa yang diliput jaringan itu berikut logo mereka seperti bioskop drive-in. Kalau layar tersebut ditempatkan di posisi yang baik, misalnya di depan tempat kejadian, jaringan pesaingnya tidak bisa mendapatkan gambar tanpa menayangkan logo mereka.
Dalam waktu singkat, lapangan itu tidak saja menjadi pameran multimedia, namun juga menjadi tontonan umum yang dipenuhi oleh banyak orang. Para penonton berdatangan dari berbagai arah. Tempat terbuka di lapangan yang biasanya tidak terbatas sekarang dengan cepat menjadi tempat yang sangat berharga. Orang-orang berkerumun di sekitar berbagai display layar datar yang menjulang sambil mendengarkan laporan langsung dengan ketegangan yang mengasyikkan.
Hanya beberapa ratus yard jaraknya dari tempat itu, di dalam tembok tebal Basilika Santo Petrus, dunia terasa tenang. Letnan Chartrand dan tiga penjaga lainnya bergerak di dalam gelap. Sambil mengenakan kacamata infra merah, mereka menyebar ke arah ruang tengah gereja sambil mengayunkan alat pendeteksi di depan mereka. Sejauh ini, pencarian di area publik di Vatican City belum menampakkan hasil yang menggembirakan..
"Sebaiknya kamu tanggalkan kacamatamu di sini," kata penjaga senior itu. Chartrand sudah melakukannya. Mereka sekarang mendekati Niche of the Palliums, yang merupakan bidang cekung di tengah-tengah gereja. Tempat itu diterangi oleh 99 lampu minyak sehingga dengan kaca mata infra merah yang memperkuat penglihatan, sinar lampu itu akan menjadi terlalu terang dan menyilaukan. Chartrand menikmati kebebasannya dari kacamata infra merah yang berat itu. Dia kemudian menjulurkan lehernya ketika mereka menuruni lantai ruangan yang cekung untuk memeriksanya. Ruangan itu indah ... keemasan dan berkilauan. Dia belum pernah berjaga sampai ke sini. Sepertinya sejak Chartrand tiba di Vatican City, dia selalu mempelajari hal-hal baru yang misterius. Lampu-lampu minyak itu adalah salah satunya. Lampu itu berjumlah tepat 99 yang selalu menyala sepanjang waktu. Ini adalah tradisi. Para pastor dengan rajin mengisi ulang lampu-lampu itu dengan minyak suci sehingga mereka tidak pernah mati. Kabarnya lampu-lampu itu akan terus menyala hingga kiamat. Atau setidaknya hingga tengah malam nanti, pikir Chartrand dan merasa tenggorokannya kembali tercekat. Chartrand mengayunkan detektornya ke arah lampu-lampu minyak itu. Tidak ada yang tersembunyi di sini. Dia tidak heran. Menurut tayangan video, tabung itu disembunyikan di tempat yang gelap. Ketika dia bergerak melintasi ceruk itu, dia melihat sebuah pagar pembatas yang menutup sebuah lubang di lantai. Lubang itu memperlihatkan sebuah tangga yang sempit dan curam yang menuju ke bawah. Dia pernah mendengar berbagai kisah tentang apa yang ada di bawah sana. Untunglah mereka tidak perlu turun ke sana. Perintah Rocher jelas. Pencarian hanya di daerah publik, abaikan zona putih.
"Bau apa ini?" tanyanya sambil memalingkan wajahnya dari pagar itu. Ceruk itu mengeluarkan aroma yang luar biasa harum.
"Itu aroma yang dikeluarkan dari asap lampu-lampu ini," salah seorang dari mereka menyahut. Chartrand heran. "Bau nya lebih seperti minyak wangi daripada minyak tanah."
"Itu memang bukan minyak tanah. Lampu-lampu ini dekat dengan altar kepausan, jadi mereka menggunakan campuran bahan bakar khusus yang terdiri atas etanol, gula, butan dan parfum."
"Butan?" Chartrand menatap lampu-lampu itu dengan cemas. Penjaga itu mengangguk. "Jadi jangan sampai tumpah. Baunya memang harum seperti surga, tetapi bisa membakar seperti neraka."
Para penjaga telah menyelesaikan pencarian di Niche of the Palliums dan sedang bergerak melintasi gereja kembali ketika walkie-talkie mereka berbunyi.
Ini adalah berita terbaru. Para penjaga itu mendengarkan dengan sangat terkejut.
Tampaknya ada perkembangan baru yang membingungkan, yang tidak dapat dijelaskan melalui radio. Sang camerlegno telah memutuskan untuk melanggar tradisi dan memasuki ruangan rapat untuk berpidato di depan para kardinal. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tapi kemudian, Chartrand menyadari kalau memang Vatican belum pernah berhadapan dengan senjata nuklir sepanjang sejarahnya.
Chartrand merasa lega ketika dia tahu sang camerlegno telah mengambil alih keadaan. Sang camerlegno adalah orang dalam Vatican yang paling dihormati olehnya. Beberapa orang penjaga menganggap sang camerlegno sebagai beato-seorang religius fanatik yang cintanya kepada Tuhan adalah obsesi baginya. Tapi kemudian mereka setuju ... ketika berhadapan dengan musuh-musuh Tuhan, sang camerlegno adalah orang yang akan bersikap tegas dan keras.
Para Garda Swiss menjadi sering bertemu dengan sang camerlegno pada minggu ini untuk mempersiapkan rapat pemilihan paus. Semua orang berkomentar bahwa pastor muda itu tampak agak cepat marah dan mata hijaunya bersinar lebih tajam daripada biasanya. Tapi itu bukan komentar yang mengherankan mengingat sang camerlegno harus bertanggung jawab terhadap perencanaan rapat pemilihan paus yang rumit, dan juga masih berduka atas meninggalnya Paus yang sudah menjadi mentornya selama ini.
Chartrand baru beberapa bulan bertugas di Vatican ketika dia mendengar kisah tentang bom yang membunuh ibu sang camerlegno di depan mata anak itu sendiri. Sebuah bom di dalam gereja ... dan sekarang semuanya terjadi sekali lagi. Sayangnya, pemerintah tidak pernah berhasil menangkap penjahat yang meletakkan bom itu ... banyak orang bilang mereka adalah kelompok anti-Kristen. Tapi kemudian kasus itu menguap begitu saja. Tidak heran kalau sang camerlegno membenci sikap apatis.
Beberapa bulan yang lalu, pada sore hari yang tenang di dalam Vatican City, Chartrand berpapasan dengan sang camerlegno. Sang camerlegno tampaknya mengenali Chartrand sebagai penjaga baru dan mengundangnya untuk menemaninya berjalan-jalan.
Mereka berbincang tentang hal-hal sepele, dan sang camerlegno membuatnya merasa nyaman berada di dekatnya.
"Bapa," kata Chartrand, "boleh saya mengajukan pertanyaan yang tidak lazim?"
Sang camerlegno tersenyum. "Hanya kalau aku boleh memberimu jawaban yang tidak lazim juga."
Chartrand tertawa. "Saya telah bertanya ke setiap pastor yang saya kenal, dan saya masih belum juga mengerti."
"Apa yang membuatmu bingung?" Sang camerlegno memimpin jalan dengan langkah pendek dan cepat. Jubahnya melambai ke depan ketika pastor itu berjalan. Menurut Chartrand, sepatu hitam dengan sol tipis yang dikenakannya tampak cocok dengan pastor ini, seperti memantulkan kemurnian hatinya ... modern tapi sederhana dan menunjukkan selera yang elegan. Chartrand menarik napas dalam. "Saya tidak mengerti sifat Tuhan yang mahakuasa dan maha pengasih."
Sang camerlegno tersenyum. "Kamu pasti pernah membaca kitab suci."
"Saya mencoba untuk membacanya."
"Kamu bingung karena Alkitab menggambarkan Tuhan dengan sifat mahakuasa dan maha pengasih?"
"Betul."
"Mahakuasa dan maha pengasih berarti Tuhan memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan memiliki kasih yang melimpah."
"Saya mengerti konsep itu. Hanya saja ... seperti ada kontradiksi di sana."
"Ya. Kontradiksi itu menyakitkan. Orang kelaparan, peperangan, penyakit .... "
"Tepat!" Chartrand tahu sang camerlegno akan mengerti. "Banyak hal mengerikan yang terjadi di dunia ini. Tragedi yang terjadi pada manusia seperti membuktikan bahwa Tuhan tidak bisa memiliki kedua sifat itu; memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan memiliki kasih yang berlimpah. Kalau Dia mencintai kita dan memiliki kekuasaan untuk mengubah situasi seperti ini, Dia akan berusaha mencegah penderitaan kita, bukan?"
Sang camerlegno mengerutkan keningnya. "Betulkah begitu?"
Chartrand merasa resah. Apakah dia sudah keterlaluan? Apakah pertanyaan tadi adalah pertanyaan yang seharusnya tidak boleh ditanyakan? "Yah ... jika Tuhan mencintai kita, maka Tuhan akan melindungi kita. Memang begitu seharusnya. Sepertinya Dia Mahakuasa tapi tidak pedulian, atau Maha Pengasih tetapi tidak berdaya untuk menolong."
"Kamu punya anak, Letnan?"
Chartrand merasa malu. "Tidak, signore."
"Bayangkan kamu mempunyai seorang anak lelaki berumur delapan tahun ... apakah kamu mencintainya?"
"Tentu saja."
"Apakah kamu akan melakukan apa saja dengan kekuasaanmu untuk mencegah kesengsaraan dalam hidupnya?"
"Tentu saja."
"Apakah kamu akan membiarkannya bermain papan luncur?"
Chartrand bingung. Sang camerlegno memang terlihat terlalu mengikuti perkembangan zaman untuk ukuran seorang pastor. Akhirnya dia berkata, "Tentu saja, saya akan membiarkannya main papan luncur tapi saya akan menyuruhnya untuk berhati-hati."
"Jadi sebagai seorang ayah kamu akan memberikan nasihat kepadanya dan membiarkannya bermain dan membuat kesalahannya sendiri?"
"Saya tidak akan terus-menerus membuntutinya dan memanjakannya kalau itu yang Anda maksudkan."
"Tetapi bagaimana kalau dia jatuh dan lututnya terluka?"
"Dia akan belajar untuk menjadi lebih berhati-hati."
Sang camerlegno tersenyum. "Jadi, walaupun kamu memiliki kekuasaan untuk ikut campur dan mencegah agar anakmu tidak menderita, kamu lebih memilih untuk memperlihatkan cintamu dengan membiarkannya mempelajari kesalahannya sendiri?"
"Tentu saja. Rasa sakit adalah bagian dari bertumbuh. Begitulah kita belajar."
Sang camerlegno mengangguk. "Tepat sekali." LANGDON DAN VITTORIA mengamati Piazza Barberini dari kegelapan di sebuah gang kecil di sudut sebelah barat. Gereja itu berdiri di depan mereka dengan sebuah kubah suram yang mencuat dari kumpulan bangunan yang terlihat kabur di seberang lapangan. Malam itu terasa dingin dan Langdon heran karena lapangan itu sunyi. Di atas mereka, terlihat dari jendela gedung apartemen yang terbuka, terdengar suara televisi yang sedang menyiarkan berita. Langdon segera tahu penyebab kenapa semua orang seperti menghilang.
"... belum ada komentar dari Vatican ... Illuminati membunuh dua kardinal ... setan hadir di Roma ... spekulasi tentang penyusupan yang lebih dalam .... "
Berita itu telah tersebar seperti api Kaisar Nero. Penduduk Roma duduk terpaku, seperti juga masyarakat di bagian dunia lainnya. Langdon bertanya-tanya apakah mereka benar-benar dapat menghentikan kereta api yang melesat tanpa kendali itu. Ketika dia mengamati piazza itu dan menunggu, Langdon menyadari walaupun gedung-gedung modern yang berdiri di sekitarnya menghalangi pandangan, piazza itu masih terlihat berbentuk elips. Menjulang ke angkasa seperti kastil modern milik seorang ksatria, terlihat papan neon berkedip-kedip di atas sebuah hotel mewah. Vittoria tadi menunjukkannya kepada Langdon. Anehnya, tanda itu tampak sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
HOTEL BERNINI "Jam sepuluh kurang lima," kata Vittoria setelah meraih pergelangan tangan Langdon untuk melihat jam tangannya sambil terus mengamati sekitar lapangan dengan matanya yang tajam. Setelah itu dia menarik Langdon ke dalam kegelapan lagi. Dia menunjuk ke bagian tengah lapangan.
Langdon mengikuti tatapan mata Vittoria. Ketika dia melihatnya, tubuhnya terasa menjadi kaku.
Dua sosok hitam muncul sambil menyeberangi lapangan di depan mereka dan berjalan di bawah lampu jalanan. Keduanya mengenakan mantel, kepala mereka terbungkus dengan kerudung tradisional yang biasa dikenakan oleh para janda Katolik. Langdon menerka mereka adalah dua orang perempuan, tetapi dia tidak dapat memastikannya dalam gelap. Ya ng pertama tampak tua dan berjalan dengan membungkuk seolah sedang kesakitan. Yang lainnya, bertubuh lebih besar dan tampak lebih kuat, membantunya.
"Berikan pistol itu padaku," kata Vittoria.
"Kamu tidak bisa begitu saja-"
Dengan tangkas, Vittoria memasukkan dan mengeluarkan tangannya dari saku jas Langdon. Pistol itu berkilauan di dalam tangannya. Kemudian tanpa suara sama sekali, seolah kakinya tidak menyentuh batu-batu di bawahnya, Vittoria sudah berbelok ke kiri dalam gelap, dan memutar ke arah lapangan itu, kemudian mendekati pasangan itu dari belakang. Langdon berdiri terpaku ketika Vittoria menghilang. Kemudian dia menyumpahi dirinya sendiri dan menyusulnya.
Pasangan yang mencurigakan itu bergerak lambat sehingga Langdon dan Vittoria tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berada di belakang mereka dan membuntuti keduanya.
Vittoria menyembunyikan pistolnya di balik kedua lengannya yang disilangkan dengan santai di depan dadanya. Pistol itu tidak terlihat, namun dapat dengan cepat dikeluarkan. Vittoria tampak berjalan semakin cepat mendekati mereka sementara Langdon masih harus berjuang untuk mengejarnya. Ketika sepatu Langdon menginjak batu dan menimbulkan bunyi, Vittoria melotot padanya dari jauh Tetapi pasangan itu tampaknya tidak mendengar. Mereka sedang bercakap-cakap.
Pada jarak tiga puluh kaki, Langdon mulai dapat mendengar suara. Bukan kata-kata, hanya gumam lirih. Di sampingnya Vittoria bergerak semakin cepat. Kedua lengan Vittoria tampak mengendur sehingga pistol itu terlihat. Dua puluh kaki. Suara itu terdengar lebih jelas-yang satu lebih keras dari yang lain. Marah. Kasar. Langdon menduga itu suara seorang perempuan tua. Serak. Agak seperti lelaki. Dia berusaha untuk mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi ada suara lain yang memecah kesunyian.
"Mi scusi!" suara ramah Vittoria memecah keheningan di sekitar mereka. Langdon merasa tegang ketika pasangan bermantel itu tiba-tiba berhenti dan mulai berputar. Vittoria terus berjalan ke arah mereka, bahkan sekarang lebih cepat, dan hampir berlari kecil. Mereka tidak akan sempat untuk bereaksi. Langdon baru menyadari kalau kedua kakinya sudah berhenti bergerak. Dari belakang, dia melihat lengan Vittoria mengendur, dan pistol itu terayun ke depan. Kemudian lewat bahu Vittoria, Langdon melihat seraut wajah yang disinari lampu jalan. Kepanikan mengalir ke kakinya, dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Vittoria, jangan!"
Tapi, Vittoria ternyata mempunyai ketangkasan yang tidak diduga oleh Langdon. Dalam gerakan yang sangat alami, lengan Vittoria terangkat lagi, dan pistol itu pun seketika menghilang. Vittoria mengepit tangannya seperti orang yang kedinginan akibat udara malam. Langdon tiba di sampingnya dengan langkah terhuyung dan hampir menabrak kedua orang bermantel di depan mereka.
"Bueno sera," sapa Vittoria, suaranya terdengar ragu-ragu. Langdon menarik napas lega. Dua orang perempuan tua berdiri di depan mereka. Suara gerutuan mereka terdengar dari balik kerudung yang mereka kenakan. Yang satu terlalu tua sehingga hampir tidak dapat berdiri. Yang lainnya membantunya. Keduanya memegang rosario. Mereka tampak bingung karena diganggu dengan tiba-tiba. Vittoria tersenyum walau dia tampak gemetar. "Dove la chiesa Santa Maria della Vittoria? Di mana Gereja-"
Kedua perempuan itu bersama-sama menunjuk pada bayangan besar dari sebuah bangunan yang terletak di pinggir jalan tanjakan di mana mereka tadi berasal. "E la."
"Grazie" kata Langdon sambil meletakkan tangannya di bahu Vittoria dan dengan lembut menariknya ke belakang. Dia tidak percaya kalau mereka hampir saja menyerang nenek-nenek.
"Non si pud entrare," salah seorang dari perempuan tua itu berkata. "E chiusa temprano."
"Ditutup lebih awal?" Vittoria tampak heran. "Perche?"
Kedua perempuan itu menjelaskan bersama-sama. Suara mereka terdengar kesal. Langdon hanya mengerti sebagian dari gerutuan dalam bahasa Italia itu. Tampaknya lima belas menit yang lalu, kedua perempuan itu tadi berada di dalam gereja untuk berdoa bagi Vatican yang sedang berada dalam cobaan berat. Kemudian, dat ang seorang lelaki dan mengatakan kepada mereka bahwa gereja ditutup lebih awal.
"Hanno conosciuto I'uomo?" Vittoria bertanya dengan suara tegang. "Anda mengenali lelaki itu?"
Kedua perempuan itu menggelengkan kepala mereka. Menurut mereka, lelaki itu adalah straniero crudo dan lelaki itu menyuruh dengan paksa agar orang-orang di sana segera pergi, bahkan termasuk pastor muda dan petugas kebersihan yang berkata akan menelepon polisi. Tetapi orang itu hanya tertawa dan meminta mereka untuk memastikan polisi membawa serta kamera mereka.
Kamera? Langdon bertanya-tanya.
Kedua perempuan itu marah dan menyebut lelaki itu bararabo. Kemudian sambil mengomel, mereka melanjutkan perjalanan mereka.
"Bar-arabo?" tanya Langdon kepada Vittoria. "Orang barbar?"
Tiba-tiba Vittoria tampak tegang. "Bukan. Bar-arabo adalah permainan kata dengan maksud menghina. Artinya Arabo... Arab."
Langdon merasa merinding dan berpaling ke arah gereja. Ketika dia menatapnya, matanya menangkap sesuatu dari kaca berwarna yang terdapat di gereja itu. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya sangat terkejut.
Tanpa menyadari apa yang terjadi, Vittoria mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol sambungan otomatis. "Aku akan memperingatkan Olivetti."
Dengan mulut seperti terkunci, Langdon mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Vittoria. Dengan tangan yang lainnya, Langdon menunjuk ke arah gereja itu.
Vittoria terkesiap.
Di dalam gedung, berkilau seperti mata setan yang terlihat melalui kaca berwarna jendela gereja itu ... kilatan api bersinar semakin besar.
LANGDON DAN VITTORIA berlari ke pintu utama gereja Santa Maria della Vittoria dan mengetahui kalau pintu kayu itu terkunci. Vittoria menembak tiga kali dengan pistol semi-otomatis milik Olivetti ke arah gerendel kuno itu hingga rusak.
Gereja itu tidak memiliki ruang depan, sehingga ruang suci langsung terbentang begitu Langdon dan Vittoria membuka pintu utama. Pemandangan di depan mereka sungguh tidak terduga, begitu aneh sehingga Langdon harus mengedipkan matanya berkali-kali agar mampu mencernanya.
Dekorasi gereja itu bergaya barok dan sangat mewah ... dinding dan altarnya disepuh. Tepat di tengah-tengah ruang suci yang berada di bawah kubah utama, bangku-bangku kayu ditumpuk tinggi dan sekarang terbakar dengan api yang berkobar-kobar seperti tumpukan kayu bakar pemakaman dalam kisah epik. Terlihat api unggun yang membubung tinggi ke arah kubah. Ketika mata Langdon mengikuti arah api itu ke atas, pemandangan mengerikan yang sebenarnya muncul dengan cepat.
Tinggi di atas sana, dari sisi kiri dan kanan langit-langit, tergantung dua kabel pengharum-kabel yang digunakan untuk mengayunkan bejana pengharum dari kayu-kayuan di atas jemaat. Tapi kabel-kabel itu sekarang tidak digunakan untuk menggantung pengharum ruangan. Kabel-kabel itu juga tidak berayun. Kedua kabel tersebut digunakan untuk menggantung benda lain.
Sesosok tubuh tergantung oleh kabel itu. Seorang lelaki tanpa busana. Masing-masing pergelangan tangannya diikat dengan kabel dari dua sisi, kemudian dikerek ke atas hingga bisa membuatnya putus. Kedua lengannya terentang seperti sepasang sayap rajawali, seolah tangannya dipaku pada salib yang tidak terlihat dan tergantung tinggi di rumah Tuhan.
Langdon merasa seperti lumpuh ketika dia menatap ke atas. Sesaat kemudian, dia menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan. Lelaki tua itu masih hidup. Dia masih bisa mengangkat kepalanya. Sepasang mata itu memandang ke bawah dengan sorot mata ketakutan dan minta pertolongan. Di dadanya terlihat luka bakar. Dia telah dicap. Langdon tidak dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia sudah tahu apa tulisan yang tertera di sana. Ketika api itu menyala lebih tinggi sehingga menjilat kaki lelaki itu. Kardinal yang malang itu menjerit kesakitan, tubuhnya gemetar.
Seperti digerakkan oleh kekuatan yang tidak terlihat, tiba-tiba tubuh Langdon bergerak dan berlari ke arah gang utama ke arah lautan api yang berkobar-kobar. Paru-parunya dipenuhi dengan asap ketika dia berusaha mendekat. Sepuluh kaki dari panas yang luar biasa itu, Langdon sepe rti menabrak dinding api. Kulit mukanya terasa seperti terbakar, dan dia terjengkang. Lelaki itu melindungi matanya dan jatuh di atas lantai pualam. Langdon berdiri lagi dengan terhuyung-huyung, lalu memaksa maju lagi. Kini kedua tangannya terulur ke depan untuk melindungi diri.
Namun dia segera tahu, api itu terlalu panas.
Langdon bergerak mundur dan mengamati dinding kapel itu. Permadani yang berat, pikirnya. Kalau aku dapat menutupi tubuhku dengan .... Tetapi dia tahu tidak ada permadani di sini. Ini kapel bergaya barok, Robert, bukan kastil Jerman! Berpikirlah! Dia memaksakan diri untuk melihat lelaki yang tergantung itu.
Di atas langit-langit, asap dan api berputar di dalam kubah. Kabel penggantung pengharum ruangan itu terentang dari pergelangan tangan lelaki malang itu, dan dikerek ke langit-langit. Kabel tersebut melewati sebuah kerekan lalu turun lagi ke sebuah kaitan dari logam yang terdapat pada kedua sisi ruangan gereja itu. Langdon menatap pada salah satu kaitan itu. Kaitan itu terpasang tinggi di dinding, tetapi dia tahu kalau dia dapat meraihnya dan mengendurkan salah satu kabel itu, regangan di lengan lelaki itu akan berkurang tetapi orang itu akan terayun ke dalam kobaran api.
Tiba-tiba lidah api menjilat lebih tinggi, dan Langdon mendengar suara jeritan tajam dari atas. Kulit kaki orang itu mulai melepuh. Kardinal itu akan terpanggang hidup-hidup. Langdon terus menatap pada kaitan itu dan berlari ke arahnya.
Sementara itu, di bagian belakang gereja, Vittoria mencengkeram punggung bangku gereja sambil berpikir. Pemandangan di atas itu sangat mengerikan. Dia memaksakan matanya untuk tidak melihatnya. Lakukan sesuatu! Dia bertanya-tanya ke mana Olivetti. Apakah Olivetti sudah melihat pembunuh itu? Apa dia sudah tertangkap? Ke mana mereka sekarang? Vittoria bergerak ke depan untuk membantu Langdon, tetapi ketika itu ada suara yang menghentikannya.
Suara gemertak api tiba-tiba menjadi lebih keras, tetapi ada suara kedua yang lebih keras lagi. Sebuah getaran dari benda logam dan berada tidak jauh dari dirinya. Bunyi yang berulang-ulang itu sepertinya berasal dari ujung deretan bangku di sebelah kirinya. Suara itu berderak-derak seperti bunyi telepon, tapi lebih keras dan tajam. Dia mencengkeram pistolnya erat-erat dan bergerak ke arah datangnya suara. Suara itu semakin keras. Hilang dan timbul seperti gelombang yang naik turun.
Ketika Vittoria mendekati ujung gang, dia merasa suara itu berasal dari lantai di sekitar ujung deretan bangku. Ketika dia bergerak maju dengan pistol teracung di tangan kanannya, Vittoria sadar kalau dia juga memegang sesuatu di tangan kirinya. ponselnya. Dalam kepanikan yang dirasakannya, Vittoria lupa ketika di luar tadi dia menggunakannya untuk menelepon sang komandan ... dalam mode diam, getaran yang muncul dari ponsel itu berfungsi sebagai peringatan. Vittoria mengangkat ponselnya ke telinganya. Masih berdering. Sang komandan tidak pernah menjawab teleponnya. Tiba-tiba, dengan ketakutan yang semakin meningkat, Vittoria tahu apa yang menimbulkan suara itu. Dia melangkah maju dengan tubuh gemetar.
Dia merasa seluruh lantai gereja itu tenggelam di bawah kakinya ketika matanya menangkap sosok tak bergerak di atas lantai. Tidak ada darah yang keluar dari tubuh itu. Tidak ada daging yang ditato dengan kejam. Yang ada hanya kepala sang komandan dengan posisi yang mengerikan ... diputar ke belakang, melintir 180 derajat ke arah yang salah. Vittoria berusaha mengusir bayangan jasad ayahnya yang juga mati dengan cara yang menyedihkan.
Ponsel yang tergantung di ikat pinggang Komandan Olivetti tergeletak di atas lantai dan terus bergetar di lantai pualam yang dingin. Ketika Vittoria mematikan ponselnya, dering itu pun berhenti. Di dalam kesunyian, Vittoria mendengar suara baru. Suara napas dari balik kegelapan di belakangnya.
Dia mulai berputar dengan pistol teracung, tetapi dia tahu itu sudah terlambat. Rasa panas seperti menyeruak dari bagian atas kepalanya dan menjalar sampai ke ujung kaki ketika siku si pembunuh menghantam bagian belakang lehernya.
"Sekarang, kamu mili kku," suara itu berkata. Kemudian semuanya menjadi gelap. Di ruang suci yang terletak di sisi kiri dinding gereja, Langdon menyeimbangkan diri di atas bangku kayu dan berusaha meraih kaitan itu. Kabel itu masih berada enam kaki di atas kepalanya. Paku seperti itu biasa berada di dalam gereja, dan diletakkan tinggi untuk menghindari perusakan. Langdon tahu para pastor menggunakan tangga kayu yang disebut piumli untuk mencapai kaitan tersebut Pembunuh itu pasti telah menggunakan tangga gereja itu untuk mengerek korbannya. Jadi, di mana sekarang tangga itu! Langdon melihat ke bawah, dan mengamati lantai di sekitarnya. Dia samar-samar teringat kalau melihat sebuah tangga di suatu tempat di dalam ruangan ini. Tetapi di mana? Sesaat kemudian dia merasa sangat kecewa. Dia sadar di mana dia tadi melihat tangga itu. Dia berpaling ke arah api unggun yang berkobar-kobar di depannya. Jelas sekali, tangga kayu itu berada di tumpukan paling atas, dan sudah tertelan oleh api. Dengan perasaan putus asa, Langdon lalu mengamati seluruh ruang gereja dari pijakannya yang sekarang lebih tinggi dan mencari apa saja yang dapat digunakan untuk meraih kaitan logam itu. Ketika matanya mencari-cari dalam ruangan gereja, tiba-tiba dia ingat sesuatu. Ke mana Vittoria? Vittoria menghilang. Apakah dia pergi mencari bantuan? Langdon berteriak memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban. Dan di mana Olivetti? Terdengar teriakan kesakitan dari atas, dan Langdon merasa dirinya sudah terlambat. Ketika matanya memandang lagi ke atas dan melihat korban yang sedang terpanggang perlahan-lahan, Langdon hanya ingat satu hal. Air. Yang banyak. Padamkan api itu. Setidaknya kurangi jilatan apinya. "Aku butuh air, sialan!" dia berteriak keras.
"Itu yang berikutnya," sebuah suara menggeram dari bagian belakang gereja. Langdon berputar, hampir jatuh dari atas bangku gereja. Berjalan di antara barisan bangku dan langsung menuju ke arahnya, muncul sesosok lelaki menyeramkan dan berkulit gelap. Bahkan dalam kilatan nyala api yang berkobar-kobar sekalipun, matanya masih terlihat begitu hitam. Langdon mengenali pistol yang ada di tangan lelaki itu sebagai pistol yang tadinya berada di saku jasnya ... pistol yang dibawa Vittoria ketika mereka masuk ke dalam gereja. Kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya adalah ketakutan yang luar biasa. Naluri pertamanya adalah keselamatan Vittoria. Apa yang telah dilakukan bajingan ini padanya? Apakah dia terluka? Atau lebih buruk lagi? Pada saat itu juga, Langdon mendengar orang di atasnya berteriak dengan lebih keras. Kardinal itu akan mati. Tidak mungkin untuk menolongnya sekarang. Kemudian ketika si Hassassin menodongkan pistolnya ke arah dada Langdon, kepanikannya berubah menjadi kesiagaan. Ketika pistol itu meledak, dia bereaksi menurut nalurinya. Langdon menjatuhkan diri, lengannya menimpa bangku-bangku. Dia merasa seperti berenang di lautan bangku-bangku gereja. Ketika dia jatuh menimpa bangku-bangku itu, dia jatuh lebih keras dari yang diduganya. Dengan segera Langdon bergulingan ke lantai. Pualam menerima tubuhnya seperti bantalan dari besi dingin. Langkah kaki mendekati tubuhnya dari sebelah kanan. Langdon memutar tubuhnya ke arah pintu depan gereja dan mulai merangkak di bawah bangku-bangku gereja semampunya untuk menyelamatkan nyawanya. Tinggi di atas lantai kapel, Kardinal Guidera mengalami siksaan terakhirnya dalam keadaan setengah sadar. Ketika dia melihat ke bawah, ke sekujur tubuhnya yang tanpa busana, dia melihat kulit kakinya melepuh dan mulai terkelupas. Aku di neraka, pikirnya. Tuhan, mengapa Kau abaikan aku? Dia tahu ini pasti neraka ketika dia melihat cap di atas dadanya dengan posisi terbalik ... entah kenapa, seolah-olah disebabkan oleh kekuatan setan, tulisan itu terlihat sangat masuk akal sekarang. PEMILIHAN SUARA KETIGA. Belum ada paus yang terpilih. Di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati mulai berdoa memohon keajaiban. Kirimkan pada kami calon-calon terpilih itu! Penundaan ini telah berjalan terlalu lama. Kalau hanya satu orang kardinal yang hilang, Mortati masih bisa memahaminya. Tetapi bagaimana mungkin bisa empat kardinal pilihan hilang tak tentu rimbanya? Mereka kini tidak mempunyai pilihan lagi. Dalam situasi seperti ini, untuk meraih suara mayoritas dengan dukungan dua pertiga dari semua kardinal yang hadir hanya bisa terjadi dengan campur tangan Tuhan. Ketika kunci pintu mulai berderak terbuka, Mortati dan seluruh Dewan Kardinal memutar tubuh mereka bersamaan ke arah pintu masuk. Mortati tahu, pintu yang terbuka itu hanya memiliki satu arti. Menurut hukum, pintu itu hanya dapat terbuka karena dua alasan. untuk mengeluarkan kardinal yang sakit keras, atau menerima para kardinal yang datang terlambat. Preferiti itu datang! Harapan Mortati membubung tinggi. Rapat pemilihan paus berhasil diselamatkan. Tetapi ketika pintu itu terbuka, suara yang menggema bukanlah suara kegembiraan. Mortati menatap dengan sangat terkejut. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang camerlegno baru saja melanggar aturan suci rapat pemilihan paus setelah mengunci pintu. Apa yang dipikirkannya! Sang camerlegno berjalan ke altar dan berpaling untuk berbicara kepada para hadirin yang masih terkejut. "Signori," katanya. "Saya sudah menunda kabar ini semampu saya. Kini, Anda berhak untuk mengetahuinya." LANGDON TIDAK TAHU ke mana dirinya menuju. Gerak refleks adalah satu-satunya kompas yang dimilikinya untuk membawanya menjauh dari bahaya. Siku dan lututnya seperti terbakar ketika dia merangkak di bawah bangku-bangku gereja itu. Namun dia terus merangkak. Firasatnya mengatakan dia harus membelok ke kiri. Kalau kamu dapat mencapai gang utama, kamu bisa berlari ke pintu keluar. Tapi dia tahu itu tidak mungkin. Ada lautan api yang menghalangi gang utama! Otaknya memilah-milah berbagai pilihan untuk keluar dengan cepat. Langdon masih terus merangkak tanpa mengetahui arah dengan pasti. Sekarang suara langkah kaki itu terdengar lebih cepat dari arah sebelah kanan. Ketika hal itu terjadi, Langdon tidak siap. Dia pikir masih ada barisan bangku sejauh sepuluh kaki lagi sampai dia menemukan pintu depan gereja. Ternyata dugaannya salah. Tiba-tiba, bangku-bangku di atasnya telah habis. Dia langsung membeku karena tubuhnya setengah terlihat di bagian depan ruang gereja itu. Langdon berdiri dan berbelok ke sebuah ceruk yang berada di sisi kirinya. Dari tempat persembunyiannya, Langdon melihat benda besar yang membuatnya berlari ke situ untuk bersembunyi. Dia sama sekali lupa. The Ectasy of St. Teresa karya Bernini menjulang seperti gambar pornografi yang tidak bergerak ... orang suci itu berbaring terlentang dengan punggung melengkung karena kenikmatan yang dirasakannya, mulutnya mengerang terbuka, dan di atasnya, sesosok malaikat mengarahkan tombak apinya. Sebutir peluru meletus di bangku dan melewati kepala Langdon. Dia merasa tubuhnya melenting seperti pelari cepat melintasi gawang. Seperti diberi bahan bakar yang hanya berupa adrenalin, Langdon dengan setengah tidak sadar tiba-tiba berlari, membungkuk dengan kepala tertekuk ke bawah, menghambur ke bagian depan ruang gereja lalu membelok ke kanan. Ketika butiran peluru itu meletus di belakangnya, Langdon membungkuk lebih dalam lagi, dan meluncur tak terkendali di atas lantai pualam dan akhirnya menabrak pagar sebuah ceruk di dinding sebelah kanannya dengan keras. Ketika itu Langdon melihat Vittoria. Perempuan itu terkulai seperti sebuah tumpukan di belakang gereja. Vittoria! Kaki telanjangnya tertekuk di bawah tubuhnya, tetapi Langdon masih melihatnya bernapas. Sayangnya, dia tidak punya waktu untuk menolongnya. Tanpa basa-basi, si pembunuh segera memutari deretan bangku di ujung sebelah kiri ruang gereja itu dan mengejarnya tanpa ampun. Pada saat itu Langdon merasa yakin kalau inilah akhir hidupnya. Pembunuh itu lalu membidikkan pistolnya, dan Langdon hanya dapat melakukan satu hal. Dia berguling melewati pagar dan memasuki ceruk itu. Ketika dia menumbuk lantai di dalam ceruk, pilar yang terbuat dari pualam meledak karena dihantam peluru. Langdon merasa seperti seekor hewan yang tersudut ketika dia merangkak di dalam ruangan kecil berbentuk setengah lingkaran itu. Di depannya, satu-satunya isi dari ceruk itu terlihat sungguh ironis di matanya-sebuah peti mati dari batu. Mungkin inilah peti matiku, kata Langdon dalam hati. Peti mati itu terlihat cocok. Peti itu adalah sebuah scatola-kotak pualam kecil tanpa hiasan. Pemakaman dengan biaya minim. Peti mati itu terletak lebih tinggi dari lantai dengan dua balok pualam yang menyangga sisi-sisinya. Langdon melihat celah di bawah peti tersebut dan bertanya-tanya apakah dia dapat menyelinap masuk ke dalamnya. Suara langkah kaki bergema di belakangnya. Tanpa memiliki pilihan lain, Langdon merapatkan tubuhnya pada lantai dan merayap ke bawah peti mati itu. Sambil berpegangan pada dua balok pualam yang menyangga peti mati itu dengan kedua tangannya, Langdon bergerak seperti seorang perenang gaya dada, dan mendorong tubuhnya memasuki ruangan di bawah peti mati itu. Suara letusan pistol terdengar lagi. Bersamaan dengan senjata yang masih memuntahkan pelurunya dengan ganas, Langdon merasakan sebuah sensasi yang belum pernah dirasakannya seumur hidupnya ... sebutir peluru menyerempet tubuhnya. Dia mendengar suara desing angin dan seperti suara ledakan cambuk; peluru itu menerjang angin dan menghantam pualam sehingga menimbulkan debu tebal. Didorong oleh insting untuk bertahan hidup, Langdon mendorong tubuhnya dan melewati bagian bawah peti mati itu. Sambil meraba-raba di lantai pualam, Langdon menarik tubuhnya agar keluar dari peti mati di belakangnya dan bertemu dengan sisi lain dari ruangan itu. Buntu. Kini Langdon berhadapan dengan dinding belakang ceruk itu. Tidak diragukan lagi, ruangan kecil di belakang makam ini akan menjadi kuburannya. Begitu cepat, katanya dalam hati ketika dia melihat laras pistol muncul dari celah di bawah peti mati tadi. Si Hassassin membidikkan senjatanya ke arah tubuh Langdon dan mengarah ke perutnya. Tidak mungkin luput. Langdon masih merasakan sisa-sisa insting untuk mempertahankan diri di dalam alam bawah sadarnya. Dia memutar tubuhnya agar sejajar dengan peti mati. Dengan wajah menghadap ke bawah, dia meletakkan tangannya di lantai. Luka akibat pecahan kaca yang dideritanya di ruang arsip seperti terbuka kembali. Sambil mengabaikan sakit yang dirasakannya, Langdon terus mendorong dan mengangkat tubuhnya seperti push-up dengan gaya yang aneh. Langdon mengangkat perutnya tepat sebelum pistol yang memburunya itu menembakinya. Dia merasakan desiran angin ketika peluru yang ditembakkan si Hassassin meluncur di bawahnya dan menghancurkan bebatuan berpori-pori di belakangnya. Sambil menutup matanya dan berusaha melawan rasa letih yang dideritanya, Langdon berharap rentetan tembakan itu berhenti. Dan doanya terjawab. Gemuruh suara tembakan diganti dengan suara "klik" dari tempat peluru yang sudah kosong. Langdon membuka matanya perlahan-lahan, seakan takut gerakan kelopak matanya dapat menimbulkan suara. Dengan melawan rasa sakitnya, dia menahan posisi tubuhnya yang melengkung seperti kucing. Untuk bernapas pun dia tidak berani. Walau gendang telinganya terasa tuli karena suara letusan peluru, Langdon berusaha mendengarkan tanda-tanda apa saja yang menunjukkan bahwa pembunuh itu sudah pergi. Sunyi. Dia ingat Vittoria dan sangat ingin menolongnya. Ternyata suara selanjutnya sangat memekakkan telinganya. Hampir tidak seperti suara manusia, terdengar teriakan serak dari pengerahan tenaga. Peti mati batu di atas kepala Langdon tiba-tiba seperti terangkat bagian sampingnya. Langdon terjatuh ke lantai ketika ratusan pon batu diungkit ke arahnya. Daya tarik bumi mempercepat pergerakan itu, dan tutup peti mati batu itu meluncur lebih dulu ke lantai di samping Langdon. Peti matinya menyusul, berguling dari penyangganya dan runtuh ke arah Langdon. Ketika kotak batu itu berguling, Langdon tahu dia akan terkubur di dalam kotak batu itu atau tergencet oleh sisinya. Sambil menarik kaki dan kepalanya, Langdon menekuk tubuhnya dan merapatkan lengannya ke tubuhnya. Kemudian dia menutup matanya dan menunggu suara hantaman yang menyakitkan itu. Ketika itu terjadi, seluruh lantai bergetar di bawahnya. Sisi tera tas peti itu mendarat hanya beberapa milimeter dari kepalanya sehingga membuat giginya bergemertak. Lengan kanannya yang semula diduga akan tergencet, ajaibnya ternyata masih utuh. Dia membuka matanya untuk melihat seberkas cahaya. Sisi kanan peti batu itu tidak jatuh bersamaan ke lantai dan masih tertahan di atas penyangganya. Di atasnya, Langdon betul-betul melihat seraut wajah mayat. Penghuni asli makam itu masih menempel di dasar peti matinya seperti jenazah pada umumnya, tapi kini dia tertahan di atas tubuh Langdon. Kerangka itu bergantungan sesaat seperti ragu-ragu. Kemudian dengan suara merekah, kerangka itu mulai terlepas dari dasar peti matinya karena ditarik oleh gravitasi. Mayat itu jatuh dan memeluk Langdon yang berada di bawahnya. Sementara itu serpihan tulang-belulang dan debu masuk ke mata dan mulutnya. Sebelum Langdon dapat bereaksi, sebuah lengan masuk dari celah di bawah peti mati itu dan meraba-raba, terjulur dari mayat itu seperti ular piton yang kelaparan. Begitu tangan itu menemukan leher Langdon, dia lalu mencengkeramnya dengan erat. Langdon berusaha melawan cekikan tangan sekeras besi yang sekarang meremas kerongkongannya dengan keras, tapi dia kemudian menyadari lengan bajunya terjepit di bawah sisi peti mati. Dia hanya memiliki satu tangan yang bebas dan ini adalah pertempuran yang tidak mungkin dimenangkannya. Dengan kaki tertekuk di dalam ruang sempit itu, Langdon berusaha mencari pijakan di dasar peti mati yang melingkupinya. Dia menemukannya. Sambil bergelung, dia menjejakkan kakinya. Kemudian, ketika tangan yang berada di lehernya itu meremas lebih keras lagi, Langdon menutup matanya dan mendorong pijakannya dengan sepenuh tenaga. Peti mati itu bergeser sedikit, tapi itu sudah cukup. Dengan suara seperti geraman, peti mati itu tergelincir dari penyangganya dan jatuh di lantai. Pinggiran peti mati itu menimpa lengan si pembunuh dan terdengarlah teriakan kesakitan. Tangan itu kemudian terlepas dari leher Langdon, menggeliat dan ditarik keluar dari kegelapan di sekelilingnya. Ketika si pembunuh akhirnya menarik lengannya keluar dari gencetan peti mati, peti itu jatuh dengan suara berdebum di atas lantai pualam. Gelap gulita lagi. Lalu sunyi senyap. Tidak ada gedoran putus asa di peti mati itu. Tidak ada usaha untuk masuk lagi. Tidak ada apa-apa. Ketika Langdon berbaring di dalam gelap di antara tumpukan tulang-belulang yang melingkupinya, dia memerangi perasaan tidak nyaman yang dirasakannya di antara kegelapan yang menyelimutinya dengan memikirkan Vittoria. Vittoria, masih hidupkah kamu? Kalau Langdon tahu keadaan yang sebenarnya-kengerian yang akan segera dialami Vittoria begitu tersadar-lelaki itu pasti berharap Vittoria lebih baik mati saja. DUDUK DI DALAM Kapel Sistina di antara rekan-rekan kardinal yang juga terkejut, Kardinal Mortati mencoba memahami kata-kata yang didengarnya. Di depannya, dengan hanya diterangi oleh cahaya lilin, sang camerlegno baru saja menceritakan sebuah kisah tentang kebencian dan ancaman yang membuat Mortati gemetar. Sang camerlegno berbicara tentang keempat kardinal yang diculik, dicap, dan dibunuh. Dia juga berbicara tentang kelompok kuno Illuminati; sebuah nama yang membangkitkan kembali kengerian yang sudah terlupakan, berikut kebangkitan mereka serta sumpah balas dendam mereka kepada gereja. Dengan nada terluka dalam suaranya, sang camerlegno berbicara tentang mendiang Paus ... yang menjadi satu korban pembunuhan yang dilakukan Illuminati dengan cara diracun. Dan akhirnya, dengan suara yang terdengar hampir seperti bisikan, dia juga menceritakan tentang sebuah teknologi baru yang mematikan, antimateri yang terancam akan meledak dan menghancurkan Vatican City dalam waktu kurang dari dua jam lagi. Ketika dia sudah selesai berbicara, yang ada hanya keheningan seolah setan telah menghisap udara di ruangan itu. Tidak seorang pun dapat bergerak. Kata-kata sang camerlegno seperti menggantung di dalam kegelapan. Satu-satunya suara yang dapat didengar Mortati hanyalah dengung aneh dari sebuah kemera televisi di belakang yang merupakan kehad iran peralatan elektronik pertama dalam sejarah penyelenggaraan rapat pemilihan paus. Tapi kehadiran mereka berdasarkan permintaan sang camerlegno. Sambil mengundang gumam keheranan dari para kardinal, sang camerlegno memasuki Kapel Sistina bersama-sama dengan dua orang wartawan BBC, satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, dan mengumumkan bahwa mereka akan menyiarkan pernyataan sang camerlegno langsung ke seluruh dunia. Kini, sambil berbicara langsung ke arah kamera, sang camerlegno melangkah ke depan. "Kepada kelompok Illuminati," katanya, suaranya terdengar dalam, "dan kepada mereka, para ilmuwan, izinkan aku mengatakan ini." Dia berhenti sejenak. "Kalian telah memenangkan peperangan ini."
Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa