Ceritasilat Novel Online

Masalah Besar 2


Goosebumps Masalah Besar Bagian 2



"Hmm, saya kira tak ada salahnya kalau saya memberitahu Anda. Saya menyuntikkan hormon pertumbuhan ke plankton di perairan sini. Ikan-ikan yang makan plankton itu lalu tumbuh menjadi besar sekali. Hasilnya sudah Anda lihat sendiri."

   Dr. D. mengangguk.

   "Tapi apa hubungannya dengan masalah dunia?"

   "Pada dasarnya saya orang baik,"

   Dr. Ritter berkata.

   "Saya tak bermaksud mencelakakan siapa pun. Saya justru ingin menolong segenap umat manusia! Saya akan membiakkan ikan-ikan raksasa sebagai pangan untuk seluruh dunia. Mulai sekarang takkan ada orang yang kelaparan!"

   "Lepaskan aku!"

   Teriak Sheena. Adam masih memegangnya kuat-kuat.

   "Yang ini ribut sekali,"

   Adam menggerutu.

   "Lepaskan saja,"

   Ujar Dr. Ritter.

   "Untuk sementara."

   Adam menurunkan tangannya. Tapi ia tetap berdiri di belakang Sheena.

   "Eksperimen Anda menarik sekali, Dr. Ritter,"

   Ujar pamanku.

   "Saya ingin mengetahui lebih banyak. Apakah sudah ada kemajuan?"

   Dr. Ritter tersenyum. Kelihatan jelas bahwa ia suka berbicara mengenai pekerjaannya.

   "Hmm, saat ini masih ada beberapa kekurangan. Tapi tidak ada yang tak bisa saya atasi."

   "Apa yang akan Anda lakukan pada kami?"

   Sheena menyela. Dr. Ritter menatapnya sambil mengerutkan kening.

   "Sayangnya kalian tahu terlalu banyak."

   "Tapi saya ilmuwan,"

   Kata Dr. D.

   "Saya takkan menceritakan hasil karya Anda pada orang lain. Saya berjanji."

   "Janji Anda tidak berarti apa-apa,"

   Dr. Ritter menggeram. Ia mulai naik pitam. Wajahnya menjadi merah.

   "Saya tidak akan membiarkan siapa pun mencuri ide saya."

   "Saya tidak mungkin mencuri!"

   Pamanku berkeras.

   "Soal itu akan saya pastikan,"

   Dr. Ritter menyahut dengan dingin. Ia berpaling kepada kedua asistennya.

   "Bawa mereka."

   Sebelum aku dan Sheena sempat bergerak, Mel dan Adam sudah menyergap kami dan membawa kami ke kapal mereka.

   Aku sempat melepaskan diri.

   Buru-buru aku menghampiri tangga untuk naik ke Cassandra.

   Tapi sebelum aku sempat naik, Dr.

   D.

   juga ditahan dan dipaksa pindah ke kapal itu.

   Mel memotong tali pengikat kapal dengan pisaunya.

   Adam menyalakan mesin.

   Semuanya terjadi begitu cepat.

   Kami tidak sempat berbuat apaapa.

   Dr.

   Ritter melompat ke kapal mereka dan meraih kemudi.

   Ia mengarahkan kapal ke tengah laut.

   "Kami mau dibawa ke mana?"

   Seruku.

   "Kami mau diapakan?"

   Chapter 19

   "AYO, turun!"

   Adam mendorong Dr. D. ke dalam kabin yang sempit. Aku dan Sheena menyusul sambil terhuyung-huyung. Dan kami dibuntuti Mel.

   "Kalian mau apa?"

   Aku kembali bertanya.

   "Lihat saja nanti,"

   Adam menggeram. Kami melewati dapur kecil. Mel dan Adam menggiring kami melewati pintu mungil, yang menuju ke kabin pengap berisi meja dan beberapa kursi. Mel mengikat Dr. D. ke salah satu kursi.

   "Ini benar-benar tak perlu,"

   Kata pamanku pelan. Tampak jelas bahwa ia memaksakan diri untuk tetap tenang.

   "Silakan protes pada Dr. Ritter,"

   Balas Mel. Adam mengikat Sheena, lalu aku.

   "Jangan kencang-kencang dong!"

   Seruku. Tanpa pikir panjang aku mencondongkan badan ke depan dan menggigit lengan Adam.

   "Bagus, Billy!"

   Sorak Sheena.

   "Hei!"

   Adam langsung mundur dan mengusap-usap tangannya.

   "Aku digigit anak ini!"

   "Balas gigit saja,"

   Balas Mel. Adam memamerkan giginya. Tapi tidak menggigitku Juga tidak mengencangkan ikatan. Rencanaku berhasil. Aku memang terikat ke kursi -tapi tidak sekencang yang dibayangkan Adam. Mel dan Adam menatap kami.

   "Oke. Urusan ini sudah beres,"

   Ujar Mel.

   "Ayo, kita makan siang dulu."

   Mereka keluar dari kabin, dan menutup pintu.

   Aku mendengar mereka sibuk mengambil piring dan sendok di dapur kecil.

   Aku melirik lewat jendela di kananku.

   Kapal yang kami tumpangi sedang melaju kencang, menjauhi Cassandra.

   Menuju ke laut lepas.

   Aku memutar-mutar tangan untuk mengendurkan tali.

   Kalau saja talinya bisa kutarik sedikit...

   "Kira-kira apa maunya Dr. Ritter itu?"

   Tanya Dr. D. Sebenarnya ia tidak bertanya pada aku dan Sheena, melainkan pada dirinya sendiri.

   "Plankton yang diciptakannya benar-benar membuat ikan tumbuh lebih besar,"

   Ujarnya.

   "Ciptaannya bisa membantu mengatasi kekurangan pangan di dunia."

   "Bukankah itu bagus, Dr. D.?"

   Kata Sheena Aku kembali menarik-narik tali. Ayo, mengendur dong, kataku dalam hati.

   "Mungkin bagus,"

   Sahut Dr. D.

   "Tapi mungkin juga buruk. Tindakan ini bisa mengacaukan keseimbangan alam."

   Tarik, tarik, tarik.

   Aku mencoba meregangkan tali pengikat.

   Apakah sudah bertambah kendur? "Coba pikir, apa yang akan dimakan ikan-ikan raksasa itu? Semakin banyak plankton? Ikan-ikan itu bisa saja melahap semua ikan kecil.

   Atau bahkan memangsa manusia.

   Siapa tahu?"

   Aku kembali memutar-mutar tanganku. Hei, simpulnya agak mengendur! Aku berusaha menarik lepas sebelah tanganku. Hmm, ternyata masih terlalu kencang.

   "Dr. Ritter juga menyinggung beberapa kekurangan,"

   Pamanku melanjutkan.

   "Katanya ada beberapa masalah. Entah apa yang dimaksudnya."

   Aku pasang telinga untuk mendengar apa yang sedang dilakukan Mel dan Adam di dapur.

   Sepertinya mereka telah pindah ke geladak untuk makan siang.

   Tali pengikat kusentakkan.

   Rasanya sih sudah bertambah kendur.

   Kuputar-putar pergelanganku untuk membebaskan sebelah tangan.

   Kulitku sampai lecet karena goresan tali.

   Tarik, tarik...

   Berhasil! Aku berhasil membebaskan sebelah tanganku! "Dr.

   D.!"

   Bisikku. Aku memperlihatkan tanganku yang telah terlepas.

   "Bagus, Billy,"

   Sahutnya. Aku membebaskan tanganku yang satu lagi, lalu bangkit untuk membuka ikatan pamanku.

   "Billy, cepat!"

   Desak Sheena.

   "Siapa tahu kita bisa kabur sekalian!"

   Sekonyong-konyong pintu terbentang.

   "Kalian mengganggu makan siangku,"

   Dr. Ritter berkata sambil menggelengkan kepala.

   "Itu tidak sopan."

   Ia berdiri di ambang pintu. Mel dan Adam mengambil posisi di kedua sisinya.

   "Kalian mau turun dari perahuku?"

   Ia bertanya.

   "Itu bisa diatur. Mel, Adam. Bawa mereka ke geladak!"

   Dr.

   Ritter memerintahkan.

   Mel dan Adam membuka ikatan Sheena dan Dr.

   D., lalu menyeret mereka ke atas.

   Makan siang Dr.

   Ritter -roti isi dan salad -masih utuh di meja.

   Mel dan Adam menggiring kami ke sisi kapal.

   Aku memandang ke bawah.

   Laut tampak bergolak.

   Tidak ada kapal lain di sekitar kami.

   Daratan pun tidak kelihatan.

   Tak ada apa pun yang bisa menyelamatkan kami.

   Tak ada apa pun selain laut -laut yang dalam, dan tanpa batas.

   Dan makhluk-makhluk raksasa yang kelaparan.

   "Siapa yang mau melompat lebih dulu?"

   Tanya Dr. Ritter.

   "Atau kalian lebih suka terjun bersama-sama?"

   Aku menatap ombak yang berkejar-kejaran.

   Kemudian aku menarik napas dalam-dalam....

   Dan mengambil ancang-ancang untuk melompat.

   Chapter 20 OMBAK bergulung-gulung di bawahku.

   Jantungku berdegup begitu keras sehingga dadaku terasa nyeri.

   Aku menghela napas.

   Bisa jadi ini terakhir kali aku menghirup udara.

   "Stop!"

   Seru Dr. D.

   "Biar aku saja yang melompat, Ritter. Biarkan kedua keponakanku. Mereka tak bisa mengganggu eksperimenmu."

   "Menurutku, suatu keluarga harus selalu bersama-sama,"

   Ujar Dr. Ritter.

   "Terutama keluarga mata-mata."

   "Kami bukan mata-mata!"

   Sheena memprotes.

   "Bukan salah kami, dong, kalau kami melihat ikan-ikan besarmu. Kami kan tak sengaja!"

   "Kami takkan memberitahu siapa pun! Sungguh!"

   Seruku. Dr. Ritter mencondongkan badan ke arah Sheena.

   "Barangkali kau ingin terjun duluan?"

   Sheena melotot pada orang itu, tapi kulihat ia gemetaran. Aku tahu ia takut sekali. Padahal adikku hampir tidak pernah ngeri.

   "Jangan ganggu dia,"

   Dr. D. berkata dengan tegas.

   "Bawalah kami ke pulau dan turunkan kami di sana -di pulau mana saja. Terserah kau. Dengan begitu kami takkan bisa memberitahu orang lain tentang eksperimen plankton yang kaulakukan di sini."

   Dr. Ritter memberengut.

   "Di sekitar sini tak ada pulau. Dan aku tak mau mengambil risiko. Sori."

   Dr.

   D.

   belum mau menyerah.

   Ia terus berusaha mengulur-ulur waktu sambil mencari jalan keluar dari masalah yang kami hadapi.

   Tapi tidak ada jalan keluar.

   Itu sudah jelas.

   Ayo, gunakan otakmu! Gunakan otakmu! aku berkata dalam hati.

   Pasti ada jalan untuk kabur.

   Pasti ada.

   Aku memandang berkeliling.

   Aku mencari-cari sesuatu yang mungkin berguna, apa saja.

   Mungkin jaket pelampung! Mestinya kan ada jaket pelampung di kapal! Kalau saja aku mendapatkan benda yang bisa mengambang di air, kami masih mungkin selamat.

   Tapi aku tidak melihat apa pun.

   Aku sampai memanjangmanjangkan leher agar bisa melihat sampai ke buritan.

   Tiba-tiba detak jantungku bertambah cepat.

   Yes! Ternyata ada sekoci penyelamat dari bahan karet.

   "Ada apa kau celingukan ke kanan-kiri, heh?"

   Geram Mel.

   "Kaupikir di sini ada kapal penjaga pantai? Percayalah, tak ada siapasiapa selain kita, jadi lupakan saja."

   "A-aku tak bermaksud apa-apa,"

   Sahutku tergagap-gagap. Saking ngerinya, aku nyaris tidak bisa bernapas.

   "Sudahlah, jangan buang-buang waktu,"

   Dr. Ritter menyela.

   "Simpanlah napas kalian. Kalian akan membutuhkannya nanti. Sebab sekarang sudah waktunya untuk berenang."

   Sheena menjerit ketakutan.

   "Lepaskan dia!"

   Seru Dr. D. Pundakku dicengkeram sepasang tangan yang kuat sekali.

   "Tolong!"

   Jeritku.

   "Jangan! Jangan!"

   Tapi sia-sia saja aku memohon-mohon.

   Aku tetap saja didorong ke laut.

   Chapter 21 AKU memejamkan mata dan bersiap-siap mencebur ke air.

   Tapi ternyata aku tidak jatuh.

   Kedua tangan itu tidak melepaskanku.

   Aku merasa diriku ditarik kembali ke kapal -tepat ketika sesosok bayangan gelap melintas di atas.

   "Hah?"

   Aku berkedip-kedip.

   Apakah memang ada bayangan -atau aku yang salah lihat? Aku mendengar bunyi yang memekakkan telinga.

   Bunyi berkepak-kepak.

   Aku berpaling kepada Dr.

   D.

   Ia dan yang lain sama-sama memandang ke atas.

   Mungkinkah helikopter? tanyaku dalam hati.

   Mungkinkah ada heli yang akan menyelamatkan kami? Bukan.

   Bunyi berkepak-kepak itu bukan bunyi baling-baling heli.

   Kapal Dr.

   Ritter kembali dilewati bayangan besar.

   Dan kemudian terdengar pekikan nyaring memecahkan keheningan.

   RRRAAAAA.K! RRAAAAAAAK! "Oh, ya ampun!"

   Seru Dr. D.

   "Awas, mereka datang!"

   Aku melindungi mata dengan sebelah tangan.

   Lalu aku melihat apa yang dimaksud pamanku.

   Sepasang burung raksasa menukik rendah.

   Burung camar.

   Burung camar sebesar anjing herderku di rumah! RRRAAAAAK! RRAAAAAK! Suara burung-burung itu melengking tinggi.

   Telingaku sampai sakit.

   "Ini dua lagi korban eksperimenmu, Ritter,"

   Pamanku berteriak untuk mengalahkan bunyi kepak sayap kedua burung itu.

   "Burung-burung ini pasti sempat makan plankton ciptaanku!"

   Seru Dr.

   Ritter.

   Ä’BYKYLάWάS.BOGÅžPOT.ÄŒOM Kedua burung camar itu terbang mengelilingi kapal.

   Keduanya menghasilkan bayangan yang besar sekali.

   Sayap mereka yang terentang menyerupai layar.

   Tiba-tiba keduanya berhenti berputar-putar.

   Dan menurunkan cakar.

   Jangan-jangan mereka sedang cari makan! aku berkata dalam hati sambil menatap cakar besar yang berkilau-kilau.

   Jangan-jangan kami yang mau dijadikan makanan! Sebelum kami sempat merunduk atau mencoba bersembunyi, kedua burung raksasa itu telah menukik ke arah kami.

   Keduanya melesat kencang.

   Sambil memekik nyaring.

   Dan siap menyambar mangsa.

   Chapter 22 AKU berdiri mematung karena panik.

   Suara burung itu berdenging-denging di telingaku.

   Saking nyaringnya, kepalaku serasa mau pecah.

   Aku menatap cakar yang siap menyambarku.

   Bayangan burung-burung lewat di atasku.

   Dan kemudian aku merasa ada tangan kuat mendorongku ke bawah.

   Mendorongku sampai tiarap di geladak.

   Aku menoleh dan melihat pamanku.

   Rahangnya terkunci, dan pandangannya tertuju ke langit.

   Ia mendorong aku dan Sheena ke bawah.

   Kemudian ia membungkuk di atas kami dan melindungi kami berdua.

   Aku tidak bisa melihat apa-apa.

   Tapi aku mendengar bunyi benturan keras ketika kedua burung camar itu mendarat di kapal.

   Kemudian aku mendengar seruan-seruan Dr.

   Ritter dan kedua anak buahnya.

   Seruan-seruan gusar, bercampur baur dengan pekik burung camar.

   Aku menoleh.

   Berusaha melihat.

   Tapi Dr.

   D.

   mendorong kepalaku ke bawah lagi.

   Ia terus memeluk aku dan Sheena.

   Suasana di belakang kami hiruk-piruk.

   Aku mendengar kepak sayap yang berat.

   Meja terbalik.

   Piring-piring berjatuhan ke lantai.

   Seseorang memekik kesakitan.

   "Cepat, anak-anak... ini kesempatan kita!"

   Bisik Dr. D. Ia membantu kami berdiri. Kemudian, sambil melindungi kami dengan punggungnya, ia menggiring aku dan adikku ke sekoci penyelamat.

   "Billy, bantu Paman melepaskan talinya!"

   Dr. D. memerintahkan. Cepat-cepat kami berusaha melepaskan tali yang mengikat sekoci itu ke geladak.

   "Cepat!"

   Dr. D. mendesak.

   "Sebelum mereka tahu rencana kita!"

   "

   RRRAAAAAK!"

   Aku menoleh dan melihat salah satu burung camar mencengkeram Adam dengan cakarnya yang tajam. Mel dan Dr. Ritter berupaya menyelamatkan rekan mereka.

   "Simpul ini sudah terbuka!"

   Kata Sheena.

   Ia mulai membuka simpul lain.

   Aku menarik-narik simpul di hadapanku.

   Saking ngerinya, aku tidak bisa berpikir dengan jernih.

   Jariku terasa kaku dan kikuk.

   Cepat! kataku pada diri sendiri.

   Cepat -sebelum mereka melihat kita! Akhirnya aku berhasil membongkar simpul terakhir.

   Sekoci itu bisa diangkat.

   Dr.

   D.

   segera melemparkannya ke laut.

   "Oke. Lompat! Cepat!"

   Aku berpegangan pada pagar kapal dan bersiap-siap melompat.

   "Hei!"

   Kudengar seruan kaget di belakang. Aku menoleh dan melihat Mel mendelik kepada kami.

   "Hei... mereka mau kabur!"

   Ia memberi isyarat agar kami berhenti.

   "Stop!"

   Serunya. Mel meraih senapan tombak untuk berburu ikan.

   "Jangan bergerak!"

   Hardiknya. Aku terdiam. Ujung tombak itu tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari. Mungkinkah dia menembak kami? "Ayo, anak-anak! Cepat!"

   Seru Dr.

   D.

   Mel membidikkan senapan tombak pada pamanku -dan menarik picu.

   Chapter 23 WUUSSS! Aku tidak bisa melihatnya.

   Tombak itu melesat begitu kencang, sehingga aku hanya bisa mendengar bunyi yang ditimbulkannya.

   Aku terbelalak ketika Dr.

   D.

   terjatuh ke geladak.

   "Kau... kau menembaknya!"

   Jeritku.

   "Dr. D.! Dr. D.!"

   Aku dan Sheena bergegas menghampiri Paman. Pamanku duduk tegak.

   "T-tombak itu meleset!"

   Ia tampak terkejut. Tapi kemudian ia segera berdiri.

   "Masuk ke sekoci, anak-anak!"

   Serunya.

   Seekor burung camar memekik.

   Aku mendengar Adam berteriak.

   Mel berbalik untuk menolongnya.

   Aku mengambil ancang-ancang, memejamkan mata, lalu melompat dari kapal.

   PLOP! Aku mendarat di perahu karet yang empuk.

   Sheena segera menyusul.

   Lalu Dr.

   D.

   "Stop, atau kalian kutembak!"

   Ancam Dr. Ritter. Ia meraih senapan tombak Mel dan membidikkannya ke arah kami. Sayap salah satu burung camar menyambar lengannya, sehingga senjata itu terjatuh ke laut. Kami segera mulai mendayung dengan tangan untuk menjauhi kapal Dr. Ritter.

   "Kalian tak bisa lolos!"

   Dr. Ritter berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju.

   "Kalian akan merasakan akibatnya!"

   Dr.

   D.

   meraih dayung yang tergeletak di dasar sekoci.

   Ia mulai mendayung dengan sekuat tenaga.

   Arus laut juga ikut mendorong.

   Ombak berbuih tampak berkejar-kejaran di sekeliling kami.

   Angin bertambah kencang, dan dalam sekejap saja kami sudah terbawa ke tengah laut.

   Kapal Dr.

   Ritter menghilang di kejauhan.

   "Hmm, kita berhasil lolos,"

   Ujar Sheena sambil menghela napas.

   "Tapi mau ke mana kita sekarang?"

   Di sekeliling kami sama sekali tidak terlihat daratan. Tak ada tanda-tanda kapal lain. Tak ada apa pun selain laut. Laut yang bergolak dan ombak yang bergulung-gulung. Perahu karet kami terombang-ambing dipermainkan gelombang.

   "Awas, anak-anak,"

   Seru Dr. D.

   "Ada ombak besar!"

   Aku berpegangan pada bibir sekoci ketika sekoci kami terangkat gelombang itu. GUBRAK! Kami terempas di lembah antara dua gelombang. Lalu kami tersapu gelombang berikutnya. Aku menggigil. Bajuku basah kuyup.

   "Semuanya baik-baik saja?"

   Tanya Dr. D. Aku dan Sheena mengangguk. Kemudian gelombang besar menerjang kami dari belakang. Sekoci kami terangkat tinggi ke udara. Aku berpegangan erat-erat. Tapi tangan Sheena tergelincir. Ia terlempar -lalu hilang ditelan buih putih.

   "Sheena!"

   Jeritku.

   "Dia jatuh ke laut!"

   Kepalanya menyembul ke permukaan.

   "T-t-tolong!"

   Ia megapmegap.

   Ia kembali terbenam, lengannya menggapai-gapai.

   Aku menunggu agar ia muncul lagi.

   Menunggu.

   Menunggu.

   Ayo dong, ujarku dalam hati.

   Dan kemudian aku melihatnya.

   Aku mencondongkan badan ke depan.

   Semakin jauh.

   Semakin jauh...

   Aku meraih tangannya dan menariknya kembali ke sekoci.

   "Kau tak apa-apa, Sheena?"

   Tanya Dr. D. Adikku terbatuk-batuk. Air mengalir di wajahnya.

   "Rasanya sih tak apa-apa."

   Dr.

   D.

   memeluk kami ketika gelombang berikutnya menerjang.

   Kami meringkuk di sekoci.

   Kami semua basah, menggigil, lapar, dan capek.

   Air menggenang di dasar sekoci.

   Rasanya seperti duduk di kolam dangkal untuk anak kecil.

   Langit semakin gelap.

   Sebentar lagi malam akan turun.

   Kusadari kami harus bermalam di sini.

   Di tengah lautan luas.

   Dan kami takkan bisa beristirahat.

   Ombaknya terlalu besar.

   Kalau kami lengah sebentar saja, bisa-bisa kami terlempar ke laut.

   Kami tidak punya persediaan makanan maupun air minum.

   "Keadaan kita tak mungkin tambah parah lagi dari ini, kan?"

   Aku bertanya.

   "Ya, kan?"

   Sheena bersin.

   Dr.

   D.

   diam saja.

   Keadaan tak mungkin bertambah parah, aku berkata dalam hati.

   Tapi ternyata aku keliru.

   Chapter 24 LANGIT menjadi gelap gulita.

   Lalu petir mulai menyambarnyambar.

   DUAAAR! Gemuruh guntur membuat sekoci terguncang-guncang.

   Hujan turun dengan deras.

   Air hujan terasa dingin sekali.

   "Aduh, sekarang ini, lagi!"

   Sheena meratap.

   Ia menyingkirkan rambut basah yang menempel pada wajahnya.

   Kami duduk termenung di sekoci yang menjadi bulan-bulanan ombak.

   Angin bertiup kencang.

   Hujan terus mengguyur kami.

   Petir membelah kegelapan malam.

   Dr.

   D.

   menatap lapisan awal yang tebal.

   Ia mengerutkan kening.

   "Badai ini bakal lama,"

   Katanya. Brengsek. Sementara itu, sekoci semakin penuh air. Dr. D. berusaha menciduk air dengan tangan.

   "Bantu Paman, anak-anak!"

   Ia memerintahkan.

   "Kita akan tenggelam kalau airnya terlalu banyak!"

   Sambil kalang kabut kami mulai membuang air.

   Tapi hujan terlalu deras, sehingga air di dalam sekoci tidak berkurang sedikit pun.

   Apa yang harus kami lakukan? Aku membuka sebelah sepatuku dan menggunakannya sebagai ciduk.

   Lumayan, daripada memakai tangan.

   Dr.

   D.

   dan Sheena segera mengikuti contohku.

   Selama berjam-jam hujan tak kunjung mereda.

   "Aku capek sekali,"

   Ujarku. Kucampakkan sepatuku dengan kesal.

   "Aku tak kuat lagi. Aku tak kuat."

   "Jangan menyerah, Billy,"

   Dr. D. menegurku.

   "Kita pasti berhasil."

   Tapi sepertinya ia sendiri meragukan ucapannya itu.

   "Jangan kuatir,"

   Ia berseru untuk mengalahkan gemuruh guntur.

   "Kita pasti selamat."

   Mana mungkin, pikirku dengan perasaan galau.

   Kalu tidak mati kelaparan, kami bakal tenggelam.

   Tak ada siapa pun di sini yang bisa menyelamatkan kami.

   Tak ada siapa pun...

   Akhirnya hujan berhenti.

   Malam telah tiba, dan kami diselubungi kegelapan yang pekat.

   Tak ada bulan.

   Tak ada bintang.

   Hanya langit hitam yang tertutup awan tebal.

   "Aku kedinginan,"

   Sheena merengek.

   "Aku lapar,"

   Aku menambahkan.

   "Dan Paman mabuk laut!"

   Dr. D. berterus terang.

   "Aku merasakan semuanya,"

   Ujarku.

   "Ditambah haus, capek, dan basah kuyup."

   Kami semua tertawa.

   Apa lagi yang bisa kami lakukan? Kalau keadaan menjadi seburuk ini, segalanya mendadak berkesan konyol! Kami duduk merapat untuk saling menghangatkan.

   Perutku keroncongan.

   Tapi aku sangat capek...

   capek sekali.

   Aku tidak kuat memaksa mataku agar tetap terbuka.

   Lama-lama aku pun tertidur.

   Aku terbangun karena kaget.

   Sekoci kami menabrak sesuatu.

   Aku membuka mata.

   Dan menatap dunia yang serba keperakan dan pucat.

   Ini pasti cuma mimpi, pikirku.

   Kembali kupejamkan mataku.

   Tapi kemudian aku merasa bajuku yang basah melekat pada kulitku.

   Bukan, aku menyadari.

   Ini bukan mimpi.

   Aku membuka mata.

   Sheena dan Dr.

   D.

   juga sudah bangun.

   Mereka sedang menguap sambil meregangkan otot-otot.

   "Apa yang terjadi?"

   Sheena bergumam.

   "Sekoci ini tak bergerak,"

   Jawabku.

   "Kita berhenti."

   Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh laut di sekeliling kami. Tapi ternyata jariku mengenai pasir. Daratan! "Hei!"

   Seruku.

   "Kita sampai di daratan!"

   Langit mulai terang. Matahari baru mau terbit. Samar-samar aku melihat keadaan di sekeliling kami.

   "Daratan!"

   Seru Sheena. Ia langsung melompat-lompat kegirangan.

   "Hore! Daratan! Kita selamat! Kita selamat!"

   Dr. D. bangkit dan meluruskan kaki.

   "Wow! Rasanya enak benar."

   Matahari semakin cerah. Aku menjatuhkan diri ke pasir.

   "Bersinarlah seterang-terangnya, matahari!"

   Ujarku sambil menarik napas lega.

   "Hmm, di mana kita?"

   Dr. D. bergumam sambil memandang berkeliling.

   "Moga-moga ada makanan di sini,"

   Sheena menambahkan. Sekoci kami terdampar di pantai berpasir. Tidak jauh dari batas air ada beberapa pohon palem. Tapi selain itu tidak ada apa-apa. Tidak ada dermaga, tidak ada kapal, tidak ada rumah.

   "Tak ada tanda-tanda kehidupan,"

   Ujar Dr. D.

   "Paman akan memeriksa keadaan."

   "Aku ikut,"

   Kataku.

   "Aku juga!"

   Seru Sheena. Kami mengikuti Dr. D. Bertiga kami menyusuri tepian air.

   "Lihat! Ada pohon kelapa!"

   Sheena menunjuk pohon tinggi di pantai. Di bawahnya ada beberapa buah kelapa yang tergeletak di pasir.

   "Coba kupas satu,"

   Sheena mendesak.

   "Aku lapar sekali!"

   Dr. D. meraih salah satu kelapa dan membenturkannya ke batu karang. Buah itu langsung terbelah. Aku dan Sheena makan dengan lahap.

   "Bagaimana?"

   Tanya Dr. D.

   "Sudah lebih enak?"

   Aku menyeka air kelapa yang menetes-netes dari daguku.

   "Lumayan sih,"

   Kataku.

   "Tapi aku bakal lebih senang lagi kalau bisa makan hamburger. Apalagi ditambah kentang goreng dan saus tomat."

   "Atau piza,"

   Sheena menambahkan.

   "Nanti kita cari ikan,"

   Dr. D. berjanji.

   "Kita akan membuat api unggun untuk memanggang hasil tangkapan kita."

   Kami lalu mengelilingi pulau.

   "Siapa tahu ada restoran di sini,"

   Sheena berharap-harap. Tapi sekitar sepuluh menit kemudian, Dr. D. tiba-tiba mengerang.

   "Oh, gawat."

   "Ada apa?"

   Tanyaku.

   "Lihat saja."

   Ia menunjuk ke depan. Sekoci kami. Kami telah kembali ke tempat kami berangkat tadi.

   "Jadi cuma segitu pulau ini?"

   Tanyaku.

   "Kita sudah melihat seluruh pulau dalam waktu sepuluh menit?"

   "Kelihatannya begitu,"

   Dr. D. mendesah.

   "Pulau ini ternyata kecil sekali."

   Sheena juga mendesah.

   "Aku masih lapar. Tapi aku tak mau makan kelapa lagi!"

   "Kelihatannya kita terdampar di pulau yang tak berpenghuni,"

   Ujar Dr. D.

   "Tapi jangan kuatir. Kita pasti akan mendapatkan sesuatu untuk dimakan."

   Aku menyentuh wajahku.

   Kulitku terasa panas sekali.

   Mulamula sinar matahari memang terasa enak -tapi sekarang aku sudah mulai gosong.

   Sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang berkecamuk dalam benakku.

   Tapi saking laparnya, aku berusaha menyingkirkannya dari pikiranku.

   "Billy, coba lari ke pohon palem itu,"

   Dr. D. menyuruhku.

   "Coba lihat apakah kau bisa mengumpulkan kayu untuk membuat api unggun."

   Aku bergegas untuk mencari kayu bakar.

   Tapi ternyata hanya sedikit yang kutemukan.

   Yang banyak hanya tanaman rambat.

   Dan pertanyaan tadi masih juga menghantui pikiranku.

   Kami terdampar di pulau kecil, dan kendaraan yang kami miliki cuma perahu karet.

   Dan pertanyaan yang enggan kuajukan keras-keras adalah.

   Bagaimana kami bisa pergi dari sini? Chapter 25 AKU menemukan beberapa tongkat dan membawa semuanya ke pantai.

   Dr.

   D.

   sedang menggali lubang untuk api unggun.

   "Bagus, Billy."

   Ia mengambil alih kayu bakar yang kubawa.

   "Untuk sementara ini cukup."

   Sheena berjalan-jalan di air dangkal. Aku sendiri duduk di pasir.

   "Dr. D....,"

   Aku angkat bicara.

   "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita jauh dari Cassandra?"

   Dr. D. menghela napas.

   "Terus terang, Paman tak tahu di mana kita berada,"

   Ia mengakui.

   "Jadi... bagaimana selanjutnya? Apakah kita harus sampai bulukan di pulau ini?"

   Aku tahu kami takkan sanggup bertahan lama. Sampai sekarang kami belum mendapatkan makanan apa pun selain kelapa. Dr. D. menggosokkan dua ranting kayu untuk membuat api unggun.

   "Barangkali ada yang melihat api unggun kita. Mungkin ada pesawat yang melintas, atau kapal yang lewat di sini. Atau mungkin ada yang menemukan Cassandra dalam keadaan kosong lalu mencari kita."

   Aku merebahkan diri di pasir dan menatap langit yang kosong.

   "Tapi itu bakal makan waktu!"

   Seruku.

   "Tak seorang pun tahu kita hanyut! Kecuali Dr. Ritter -dan aku tak mau ditemukan dia!"

   Tiba-tiba terdengar pekikan. Aku menoleh dan melihat Sheena berlari-lari di pantai sambil melambai-lambaikan sesuatu dengan sebelah tangan.

   "Lihat! Hei... coba lihat ini!"

   Ia berseru.

   "Aku dapat ikan! Aku berhasil menangkap ikan dengan tangan kosong!"

   Ia memperlihatkan ikan kecil yang menggeliatgeliut.

   "Wah, kecil sekali,"

   Aku berkomentar.

   "Memangnya kau bisa menangkap yang lebih besar?"

   Kata Sheena. Dr. D. meraih ikan itu dan menaruhnya di pasir.

   "Lebih baik daripada tak ada sama sekali."

   "Aku akan menangkap ikan yang lebih besar,"

   Aku menegaskan. Aku dan Sheena berlari ke air. Kami maju sampai air setinggi pinggang. Beberapa ikan kecil berenang di sekitar kami.

   "Semuanya kecil-kecil,"

   Aku mengeluh.

   "Kita perlu plankton Dr. Ritter supaya ikan-ikan ini bertambah besar."

   "Aku takkan mau makan ikan raksasa itu,"

   Sheena berkomentar sambil meringis.

   "Idih."

   "Mungkin kita harus ke air yang lebih dalam untuk mendapatkan ikan yang lebih besar,"

   Aku menduga-duga. Kami maju pelan-pelan. Seekor ikan keperakan dengan garis hitam berenang melewatiku.

   "Yang itu agak lebih besar,"

   Kataku.

   Aku berusaha menangkapnya.

   Tapi meleset.

   Aku mencoba sekali lagi.

   Aku berenang menjauhi pantai untuk mengejar ikan itu.

   Sekonyong-konyong kakiku terasa nyeri sekali.

   Mula-mula kupikir aku dicubit Sheena.

   Tapi rasa sakit itu segera menjalar sampai ke paha.

   "Hei... ada apa ini?"

   Teriakku. Aku memandang ke bawah -dan menjerit ngeri. Chapter 26

   "OH! Aduuuh!"

   Erangku.

   Aku memandang ke dalam air -memandang makhluk yang merayap di dasar laut itu.

   Aku melihat punggung berbulu.

   Cangkang berwarna cokelat keunguan.

   Dan sepasang capit yang besar sekali.

   Seketika aku tahu bahwa aku ditangkap kepiting raksasa! Kepiting itu seukuran meja untuk main kartu.

   Dan ibu jari kakiku dijepitnya dengan capitan yang sebesar kunci Inggris! "Tolong!"

   Jeritku.

   "Ohhh, tolong!"

   Kepiting itu menggerak-gerakkan capitnya. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik kaki. Secepat mungkin aku kembali ke pantai.

   "Ada kepiting raksasa!"

   Teriakku.

   "Hei... awas! Dia mengejarku!"

   Sheena memekik. Terburu-buru ia keluar dari air. Kepiting raksasa itu naik ke pasir. Makhluk tersebut berjalan menyamping. Kakinya tampak bergerak cepat.

   "Astaga!"

   Seru Dr. D. Kepiting itu menghampiri kami dengan kecepatan luar biasa. Capitnya menyambar-nyambar. Klik... klik... KLIK.

   "Lari ke pepohonan! Cepat!"

   Dr.

   D.

   memberi instruksi.

   Kami berlari ke rumpun pohon palem.

   Aku segera memanjat salah satu batang pohon, keluar dari jangkauan kepiting itu.

   Sheena naik di belakangku.

   Dr.

   D.

   memilih batang pohon lain.

   Kepiting itu mengawasi kami dari bawah.

   Makhluk itu mengangkat capitnya yang berbulu, seakan-akan hendak menjangkau kami.

   Klik...

   KLIK! "Kalau saja kepiting itu bisa kita masak!"

   Sheena berseru kelaparan.

   "Hasilnya pasti cukup untuk seminggu!"

   "Kepiting itu pasti makan plankton ciptaan Dr. Ritter! Dia jadi besar dan lapar sekali!"

   Kepiting itu masih terus menggerakkan capit untuk menangkap kami. Tubuhnya tampak kembang-kempis secara berirama. Rasanya makhluk itu berdiri selama berjam-jam di bawah pohon.

   "Apa dia tak pernah menyerah?"

   Tanyaku. Dr. D. mengangkat bahu.

   "Entahlah."

   Tiba-tiba terdengar bunyi krak.

   Mula-mula kupikir itu bunyi capit si kepiting.

   Sekali lagi, krak.

   Terlalu dekat untuk bunyi capit.

   Bunyi itu berasal tepat dari bawahku dan Sheena.

   Batang pohon itu.

   Krak.

   Serta-merta aku sadar bahwa aku dan Sheena terlalu berat untuk batang pohon itu.

   Batangnya bakal patah.

   Dan aku dan adikku bakal disambut capit kepiting yang sudah menunggu dari tadi.

   Chapter 27 AKU memekik kaget dengan mengangkat kedua tangan.

   Aku berusaha meraih dahan di atas kami.

   Tanganku menggapai...

   menggapai...

   Aduh.

   Lenganku terlalu pendek.

   "K-kita jatuh!"

   Sheena memekik. Kraaaaak. Kami meluncur ke bawah... berjumpalitan di udara... menimpa punggung kepiting yang penuh bulu. Tapi bukan. Kami jatuh ke pasir yang panas.

   "Hah?"

   Aku memekik kaget dan langsung berbalik. Kepiting itu telah menjauh. Aku melihatnya bergegas kembali ke air. Sheena duduk tegak. Ia tampak kebingungan. Dr. D. turun dari pohon.

   "Kalian tak apa-apa?"

   Kami memperhatikan makhluk raksasa itu kembali ke tempat asalnya.

   "Aku tak mau masuk air lagi,"

   Ujarku.

   "Siapa tahu masih ada monster lain yang menunggu di sana!"

   "Tapi bagaimana kita bisa menangkap ikan kalau begitu?"

   Dr. D. tidak menghiraukan kami. Ia telah berbalik dan berjalan menyusuri pantai.

   "Oh, ya ampun!"

   Ia berseru.

   "Laut sudah mulai pasang! Sekoci kita!"

   Kami langsung berlari ke tempat kami meninggalkan sekoci. Tapi perahu karet itu telah lenyap. Aku menatap ke laut -dan melihat satu titik kuning di kejauhan. Sekoci kami. Sekoci kami telah terbawa arus pasang.

   "Sekarang kita tak bakal bisa meninggalkan pulau brengsek ini!"

   Gerutuku. Dr. D. tidak menyahut. Ia tidak perlu mengatakan apa-apa. Tampang cemas yang dipasangnya sudah menjawab semua pertanyaanku. ********************************** Sisa hari itu kami lewatkan di tempat teduh sambil makan kelapa.

   "Aku tak mau lagi makan kelapa,"

   Sheena merengek.

   "Biarpun berbentuk permen!"

   Kami tidak banyak bicara. Rasanya memang tidak ada yang perlu dibicarakan. Malam pun tiba. Kami menyaksikan langit berubah warna dari biru menjadi ungu lalu hitam. Dr. D. mendadak duduk tegak.

   "Kalian dengar itu?"

   Ia bertanya. Aku ikut duduk tegak. Dan pasang telinga.

   "Ada apa?"

   Tanya Sheena.

   "Suara itu berasal dari pantai,"

   Ujar Dr. D. Kami segera menuju ke tepi laut. Dua hewan besar tampak bermain-main di air.

   "Paus!"

   Seru Sheena.

   "Bukan... bukan paus,"

   Balas Dr. D.

   "Itu lumba-lumba!"

   Aku tahu lumba-lumba itu pasti juga habis makan plankton.

   "Hei, mereka main-main dengan benda kuning,"

   Ujar Sheena.

   "Kelihatannya seperti..."

   "Ya!"

   Seruku.

   "Sekoci kita! Mereka membawanya kembali ke sini."

   Tali penambat sekoci melilit di perut salah satu lumba-lumba. Ke mana pun lumba-lumba itu berenang, sekoci kami mengikutinya.

   "Ayo, kita selamatkan!"

   Seru Dr.

   D.

   Tanpa pikir panjang ta masuk ke air.

   Aku dan Sheena segera menyusul.

   Kami tidak punya waktu untuk memikirkan kepiting raksasa.

   Kami harus mengamankan sekoci.

   Kami berenang ke tempat kedua lumba-lumba bermain.

   Sepertinya mereka sama sekali tidak takut dengan kedatangan kami.

   Dan kenapa mereka harus takut? Mereka jauh lebih besar dari kami! Itu cuma lumba-lumba, kataku dalam hati.

   Lumba-lumba tak pernah menyakiti orang.

   Tapi aku tetap agak ngeri.

   Terutama setelah kejadian dengan kepiting raksasa tadi.

   Dr.

   D meraih pinggiran sekoci.

   Aku dan Sheena segera naik "Sekarang kita tinggal melepaskan tali yang melilit di perut lumba-lumba itu...,"

   Ujar Dr. D. Ia menarik talinya. Lumba-lumba itu mulai berenang.

   "Aduh, kita terseret!"

   Kata Sheena.

   "Tunggu, lumba-lumba! Berhenti!"

   Lumba-lumba itu tidak berhenti. Ia malahan menambah kecepatan dan berenang semakin kencang. Dr. D. ikut naik ke sekoci. Pulau tadi tertinggal jauh di belakang. Kami takkan sanggup berenang ke sana! Lumba-lumba itu telah membawa kami ke tengah laut.

   "Ya sudah. Kita nikmati saja perjalanan ini,"

   Kata Dr. D.

   "Tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain itu." ********************************** Si lumba-lumba menarik kami sepanjang malam. Untung saja laut sudah kembali tenang, sehingga kami bisa tidur di sekoci. Ketika aku terbangun, semuanya tampak kelabu. Berkabut. Aku mendengar suara si lumba-lumba. Makhluk itu berceloteh, seakan-akan hendak mengajak kami bicara. Matahari baru akan terbit. Laut terselubung lapisan kabut tebal. Si lumba-lumba mengintip ke dalam sekoci. Tali yang semula melilit di perutnya sudah terlepas. Ia telah bebas. Lumba-lumba itu mengibaskan ekornya dan berenang menjauh. Dalam sekejap saja kami sudah tidak bisa melihatnya karena terhalang kabut. Aku memicingkan mata. Saking tebalnya kabut, ujung sekoci pun nyaris tidak kelihatan. Kami masih di tengah-tengah laut. Tapi sepertinya aku melihat sesuatu di dekat kami. Sesuatu yang besar dan putih. Kelihatannya seperti kapal. Aku langsung lemas. Oh-oh, pikirku. Rasanya aku sudah pernah melihat kapal ini. Aku memejamkan mata sambil berharap aku cuma bermimpi. Sesaat kemudian aku kembali membuka mata. Tapi kapal itu tetap ada. Aduh! Tak mungkin! Ini keterlaluan! Aku mengguncang-guncang Dr. D.

   "Bangunlah!"

   Seruku.

   "Coba lihat di mana kita!"

   Dr. D. membuka mata.

   "Hah?"

   Ia bergumam.

   "Di mana kita?"

   "Lumba-lumba itu membawa kita kembali!"

   Aku meratap.

   "Kembali ke kapal Dr. Ritter!"

   Chapter 28

   "ADUH!"

   Rengek Sheena.

   "Kok jadi begini!"

   "Apa yang harus kita lakukan?"

   Tanyaku.

   "Ssst!"

   Bisik Dr. D.

   "Tenang dulu. Mereka tak tahu kita di sini. Barangkali kita bisa kabur lagi."

   "Kabur?"

   Seruku tertahan.

   "Kabur ke mana?"

   "Aku sudah tak tahan naik sekoci ini!"

   Kata Sheena.

   "Aku mau pulang."

   "Ini semua karena lumba-lumba konyol itu!"

   Gerutuku.

   "Tadinya kupikir lumba-lumba begitu pintar Bisa-bisanya dia menarik kita ke kapal Dr. Ritter."

   Kabut mengelilingi kami bagaikan tirai kelabu Kabut itu kadang-kadang menebal, kadang-kadang menipis, sehingga kapal Dr.

   Ritter pun bergantian muncul dan menghilang dari pandangan Sekoci kami terdorong arus ke arah kapal Dr Ritter.

   Aku hampir bisa menyentuh haluannya Rasanya aku melihat sebuah kata tertulis di situ Ya, benar.

   Nama kapal itu.

   Aku memicingkan mata untuk membacanya Huruf-huruf yang pertama tampak samar-samar.

   C-A-S...

   Hah? "Dr.

   D!"

   Seruku.

   "Ini bukan kapal Dr. Ritter. Ini kapal kita! Ini Cassandra!"

   Dr. D. memicingkan mata.

   "Ya!"

   Serunya.

   "Kau benar, Billy!"

   Kami selamat! Aku dan Sheena langsung bangkit dan melompat-lompat kegirangan.

   "Kita selamat! Selamat! Selamat!"

   Kami menyanyi-nyanyi. Sekoci kami sampai oleng.

   "Hei!"

   Aku berseru. Kami nyaris terbalik! "Duduklah, anak-anak,"

   Kata Dr. D.

   "Sebentar lagi kita sudah aman. Jangan cari perkara!"

   Kami merapatkan perahu karet ke samping kapal dan segera naik ke geladaknya. Aku capek sekali. Tapi aku tetap menari-nari begitu menjejakkan kaki di geladak Cassandra. Sheena mengajakku ber-high five.

   "Tak ada yang bisa menghalangi kita!"

   Serunya dengan gembira.

   "Biar ada badai di tengah laut, biar kita terdampar di pulau terpencil, kita tetap pantang menyerah!"

   Dr. D. tertawa.

   "Paman sudah tak sabar untuk mandi dan tidur. Tapi sebelumnya -Paman akan menyiapkan sarapan untuk kita semua."

   "Kue dadar!"

   Aku mengusulkan.

   "Kue dadar dan wafer!"

   Sheena menimpali.

   "Sepertinya sarapan kalian terpaksa ditunda dulu,"

   Terdengar suara berat. Kami semua langsung terdiam. Dr. Ritter keluar dari kabin.

   "Tapi jangan kuatir,"

   Katanya sambil menyeringai.

   "Sebentar lagi kalian sudah takkan merasa lapar."

   Chapter 29

   "AKU tak tahan kalau begini!"

   Sheena meratap. Air matanya mulai menggenang.

   "Diam!"

   Dr. Ritter membentaknya. Dr. D. meraih pundak Sheena untuk menenangkannya.

   "Mana anak buahmu?"

   Ia bertanya pada Dr. Ritter.

   "Itu bukan urusanmu. Untuk sementara aku tak memerlukan mereka. Kalian bisa kuurus sendiri,"

   Sahut Dr. Ritter.

   "Kalian semua pasti capek dan letih, kan? Termasuk kau, Dr. Deep. Begitulah akibatnya kalau kau tak makan selama dua hari."

   Aku melirik ke arah Dr. D. Ternyata memang benar. Pamanku tampak letih sekali.

   "Ayo,"

   Dr. Ritter menantang.

   "Kembalilah ke sekoci. Silakan."

   Aku menatap perahu karet itu. Dr. Ritter tahu persis apa yang dilakukannya. Aku lebih suka makan isi perut ikan campur acar daripada kembali ke sekoci.

   "Kau mau apa, Ritter?"

   Suara Dr. D. terdengar letih, namun marah.

   "Kenapa kau menunggu kami di sini?"

   Dr. Ritter tampak marah.

   "Aku tak bisa membiarkan kalian hidup. Kalian tahu terlalu banyak tentang plankton ciptaanku."

   "Kami sudah berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun!"

   Seru Sheena.

   "Lihat... aku bersumpah!"

   Ia membuat gerakan menyilang di dadanya lalu mengangkat tangan. Dr. Ritter tertawa.

   "Kau lucu sekali. Aku menyesal karena kita harus berpisah seperti ini. Sungguh."

   Sinar matahari akhirnya berhasil menerobos lapisan kabut. Aku menggigil. Sebenarnya aku sudah tidak kedinginan dan basah. Tapi Dr. Ritter membuatku bergidik.

   "Semuanya... turun ke lab!"

   Dr. Ritter memerintahkan.

   "Cepat!"

   Ia menggiring kami ke bawah. Ke lab pamanku. Dr. Ritter berhenti di depan salah satu lemari-lemari yang berisi botol-botol plankton.

   "Sepertinya inilah contoh-contoh plankton yang kaukumpulkan, Dr. Deep,"

   Ia berkata.

   "Betul, tidak?"

   Dr. D. mengangguk.

   "Oke. Nah, kau sempat menanyakan efek sampingan eksperimenku, Dr. Deep. Tentang masalah-masalah yang belum berhasil kuatasi. Kukira sudah waktunya untuk memperlihatkan semuanya padamu."

   Dr. Ritter membuka pintu lemari kaca itu.

   "Kalau plankton ini dimakan ikan, ikan tersebut akan tumbuh jadi besar sekali."

   Ia menunjuk deretan botol di rak.

   "Kau sudah sempat melihatnya, kan? Nah, kira-kira apa yang akan terjadi kalau plankton ini dimakan manusia? Billy? Kau bisa menebaknya?"

   Tanya Dr. Ritter. Aku mencoba menjawab.

   "Ehm... apakah orang itu jadi raksasa?"

   "Salah!"

   Seru Dr. Ritter.

   "Sheena? Bagaimana menurutmu?"

   Sheena mengangkat bahu.

   "Aku tak peduli."

   "Jangan begitu, Sheena,"

   Ujar Dr. Ritter.

   "Sebab itu juga akan terjadi pada dirimu."

   Ia berpaling pada pamanku.

   "Dr. Deep? Kau punya dugaan? Ataukah kau sudah menemukan jawabannya melalui penelitianmu?"

   "Katakan saja apa yang akan terjadi, Ritter,"

   Dr. D. menyahut dengan ketus.

   "Baiklah. Aku akan memberitahu kalian. Kalau plankton ciptaanku dimakan manusia, orang itu akan berubah jadi ikan!"

   "Apa?"

   Seruku.

   "Dongeng macam apa ini?"

   Pamanku berkomentar. Dr. Ritter tidak menghiraukan kami.

   "Orang itu akan berubah menjadi ikan!"

   Ulangnya.

   "Hampir seketika itu juga! Dan dia akan tetap berwujud ikan -sepanjang hidupnya."

   "Tak mungkin!"

   Dr. D. memprotes.

   "Kau sudah gila, Ritter. Biarkan kami membawamu ke darat, supaya kau bisa mendapatkan perawatan yang kaubutuhkan."

   "Jangan sembarangan menuduh,"

   Balas Dr. Ritter.

   "Akan kubuktikan bahwa aku benar!"

   Ia mencengkeram tengkukku.

   "Hei! Lepaskan aku!"

   Teriakku. Dr. Ritter tidak menanggapiku. Ia menggiringku ke lemari kaca. Kemudian ia merapatkan wajahku ke deretan botol. Botol demi botol berisi plankton berwarna cokelat keruh.

   "Ambil satu botol, Billy,"

   Ia memerintahkan.

   "Yang mana saja."

   Ia kembali mendorongku, sampai keningku nyaris menjatuhkan sebuah botol. Kemudian ia melepaskanku.

   "Ayo,"

   Ia berkata sekali lagi.

   "Pilih salah satu."

   "Untuk apa?"

   Tanyaku.

   "Kenapa aku harus memilih satu botol?"

   "Mau tahu kenapa?"

   Balas Dr. Ritter.

   "Karena kau akan mereguk isinya, Billy. Sampai habis."

   Chapter 30 AKU menatap deretan botol di hadapanku.

   "Ambil satu, Billy,"

   Dr. Ritter mendesak.

   "Atau aku yang akan mengambilnya dan menuangkan isinya ke mulutmu."

   Aku tidak punya pilihan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil botol terakhir dari rak tengah. Aku menatap isinya -gumpalan menjijikkan berwarna cokelat kehijauan.

   "Hormon pertumbuhan menghasilkan reaksi yang aneh pada plankton,"

   Dr. Ritter menjelaskan.

   "Begitu mereguknya, Billy akan berubah menjadi ikan. Proses perubahannya hanya makan waktu satu atau dua menit."

   Ia mengambil botol itu dari tanganku. Kemudian membukanya dan mengembalikannya padaku.

   "Minum."

   Botol itu kutempelkan ke bibir.

   "Jangan!"

   Pekik Sheena. Dr. D. menutupi mulut botol dengan tangannya.

   "Tunggu, Billy,"

   Katanya.

   "Ini tak masuk akal, Dr. Ritter. Hentikanlah kegilaan ini. Dan biarkan kami pergi."

   "Tak bisa. Alasannya sudah kujelaskan tadi,"

   Sahut Dr. Ritter.

   "Kau butuh pertolongan, Dr. Ritter,"

   Ujar Dr. D.

   "Kau tak bisa berpikir dengan jernih. Kau orang yang cemerlang. Sebenarnya kau mampu menjadi ilmuwan yang luar biasa."

   "Aku memang ilmuwan yang luar biasa,"

   Dr. Ritter berkeras.

   "Dan aku akan membuktikannya sekarang juga. Minum, Billy!"

   Tangan Dr. D. tetap menutupi mulut botol itu.

   "Bagaimana mungkin kau menganggap dirimu ilmuwan besar kalau kau mencelakakan orang lain,"

   Dr. D berkeras.

   "Lepaskan kami. Kami akan mengupayakan pertolongan yang kaubutuhkan. Setelah itu kau bisa mengubah dunia."

   "Kau memang bodoh, Dr. Deep,"

   Dr. Ritter mencemooh.

   "Setelah ini giliranmu berubah menjadi ikan. Begitu urusanku dengan Billy selesai."

   Ia menepis tangan Dr. D.

   "Habiskan plankton itu, Billy. Sekarang juga,"

   Ia memerintahkan.

   "Atau kalian semua akan kulemparkan ke laut."

   Aku menggoyangkan cairan cokelat di dalam botol.

   Kemudian menelan ludah.

   Kelihatannya benar-benar menjijikkan.

   Tapi aku harus bagaimana? Tenggelam atau minum...

   Tanganku gemetaran ketika aku menempelkan botol itu ke bibirku.

   Dan mereguk isinya sampai habis.

   Chapter 31 AKU meringis.

   Seluruh tubuhku gemetaran.

   Kemudian aku berdiri kaku.

   Setiap ototku menegang.

   Aku menunggu.

   Yang lainnya menatap tanpa berkedip.

   Tak seorang pun bergerak.

   Dagu Sheena gemetaran.

   "Aku tak rela kalau kau berubah jadi ikan, Billy! Kenapa kau minum plankton itu? Kenapa kau tak membuangnya ke lantai saja?"

   "Kalaupun kulemparkan, dia tinggal mengambil botol lain buatku,"

   Aku menjawab dengan parau. Aku masih bisa merasakan cairan itu di lidahku. Satu menit berlalu. Dan satu menit lagi.

   "Oke,"

   Ujar Dr. Ritter.

   "Perubahannya akan terjadi -sekarang!"

   Ia menunjuk. Aku tetap berdiri. Aku tetap berwujud anak lakilaki.

   "Rasanya tak ada perubahan,"

   Dr. D. berkomentar.

   "Tunggu semenit lagi,"

   Dr. Ritter berkeras.

   "Aku tahu ini akan berhasil. Semalam aku sudah mengujikannya pada asistenku -Mel. Sekarang dia sedang berenang di laut dan bermain kejar-kejaran dengan ikan marlin biru!"

   Suasana menjadi hening ketika semua orang menunggu aku berubah menjadi ikan. Perutku terasa agak kurang enak. Tapi selain itu tidak ada reaksi apa-apa. Aku menghela napas.

   "Sudah lebih dari lima menit, Ritter,"

   Kata Dr. D.

   "Kelihatannya planktonmu tak seampuh yang kaukira."

   Dr. Ritter memasang tampang cemberut.

   "Tak mungkin! Planktonku mujarab! Mujarab!"

   Ia menyambarku dan mengguncang-guncangku.

   "Ikan! Kau harus berubah jadi ikan!"

   Aku mendorongnya. Ia mundur terhuyung-huyung. Dr. D. segera menerjangnya.

   "Kena kau!"

   Dr. Ritter mengelak. Cepat-cepat ia meraih sebotol plankton. Botol itu diangkatnya tinggi-tinggi.

   "Awas, Dr. D.!"

   Pekik Sheena. Dr. Ritter mengayunkan botol itu. Dr. D. merunduk. Aku merebut botol itu dari tangan Dr. Ritter. Pamanku menerjang Dr. Ritter. Tapi Dr. Ritter mengelak dan bergegas keluar dari lab.

   "Dia naik ke geladak!"

   Seru Sheena. Kami berlari mengejarnya. Dr. D. menyergap Dr. Ritter dari belakang. Dr. Ritter berguling ke samping, lalu menerjang Dr. D. Mereka bergulat. Botol plankton itu kutaruh di geladak.

   "Lepaskan dia!"

   Seruku. Aku berusaha menarik Dr. Ritter dari pamanku. Dr. Ritter menyikutku. Dr. D. mencengkeramnya. Mereka berguling-gulingan di geladak.

   "Dr. D.... awas!"

   Teriakku. Ia nyaris terjatuh ke laut. Dr. D. bangkit sambil mengerang. Sekali lagi ia menerjang Dr. Ritter, dan kali ini berhasil melumpuhkan lawannya.

   "Cepat! Ambil tali, Billy!"

   Perintahnya. Aku meraih tali pertama yang kulihat.

   "Ikat dia!"

   Ujar Dr. D.

   "Sheena... bantu Paman menahannya."

   Sheena mengambil ancang-ancang dan melompat ke perut Dr. Ritter.

   "Aduh!"

   Erang Dr.

   Ritter.

   Sheena lalu mendudukinya.

   Dr.

   D.

   memegangi tangannya.

   Dan aku mengikat pergelangan tangannya dengan tali tambang.

   Pada liburan musim panas tahun lalu, Dr.

   D.

   telah mengajariku bagaimana membuat simpul pelaut.

   Sekarang aku berusaha mengingat-ingatnya.

   Bagaimana caranya? pikirku dengan panik.

   Lewat atas, lewat bawah, berputar? Dr.

   Ritter meronta-ronta.

   "Cepat, Billy!"

   Kata Sheena dengan galak.

   "Aku sudah berusaha!"

   Sahutku.

   "Semuanya sudah berakhir, Ritter,"

   Kata Dr. D.

   "Kau akan kami serahkan pada Patroli Keamanan Laut Internasional."

   Lewat atas, lewat bawah, lewat atas? "Hah, kata siapa!"

   Seru Dr.

   Ritter.

   Ia kembali memberontak, dan berhasil menjatuhkan Sheena.

   Sheena jatuh ke geladak.

   Dr.

   Ritter melepaskan tali dari pergelangannya, lalu mendorong Dr.

   D.

   keras-keras.

   Simpul yang kubuat sama sekali tidak berguna.

   Dr.

   D.

   berusaha menangkap Dr.

   Ritter.

   Tapi Dr.

   Ritter menghindar dengan gesit.

   Cepat-cepat ia menyambar botol plankton yang kutaruh di bawah.

   Ia bangkit dan mengacung-acungkan botol itu.

   "Kalian takkan bisa menyerahkanku pada polisi!"

   Serunya. Kemudian ia membuka botol itu, menempelkannya ke mulut, dan mereguk isinya sampai habis. Chapter 32

   "PLANKTONKU mujarab!"

   Seru Dr. Ritter.

   "Akan kubuktikan!"

   Ia mencampakkan botol yang telah kosong. Botol itu pecah berantakan di geladak.

   "Kau tak bisa mengelabui kami, Dr. Ritter,"

   Kata Sheena.

   "Kami sudah tahu plankton itu tak berkhasiat apa-apa. Buktinya, Billy tetap Billy."

   Tapi tubuh Dr. Ritter mulai gemetaran. Dalam sekejap saja kulitnya menggelap. Warnanya berubah menjadi kelabu kebiruan.

   "Dia mulai berubah!"

   Seru Dr. D. Kulit Dr. Ritter mulai bersisik. Kami melihatnya berkilau-kilau terkena sinar matahari. Tubuhnya mengerut. Pakaiannya berjatuhan. Rambutnya rontok. Kepalanya menjadi pipih. Seluruh tubuhnya mengecil dan menjadi gepeng.

   "Ternyata bisa!'' seruku tertahan.

   "Dia berubah jadi ikan!"

   Lengan Dr. Ritter berubah menjadi sirip. Kakinya menyatu dan membentuk ekor ikan. Ia jatuh ke geladak. Sebelah matanya memandang ke atas ketika ia menggoyang-goyangkan ekor.

   "Dia jadi ikan!"

   Seru Sheena.

   "Ya ampun!"

   Ikan di hadapan kami menggelepar-gelepar, lalu terjun ke laut. Kami memperhatikannya menyelam ke laut yang dalam.

   "Tahan dia!"

   Seruku.

   "Dia mau kabur! Dia tak boleh lolos!"

   Cepat-cepat aku mengambil peralatan selamku. Tapi aku dicegah Dr. D.

   "Jangan, Billy. Biarkan saja."

   "Hah? Kenapa?"

   "Kaudengar sendiri apa yang dikatakannya tadi. Dr. Ritter akan berwujud ikan untuk selama-lamanya,"

   Dr. D. menjelaskan.

   "Dia tak bisa mencelakakan siapa pun."

   Aku menatap ikan keperakan itu.

   "Wow,"

   Ujar Sheena. Kedua tangannya menempel pada pipinya. Dr. D. memeluk kami.

   "Kelihatannya petualangan ini sudah berakhir,"

   Katanya sambil menghela napas.

   "Seumur hidup, Paman belum pernah setakut ini."

   Aku dan Sheena sependapat dengannya.

   "Aku ngeri -dan sekaligus takjub,"

   Aku berkata pada pamanku.

   "Segala hal aneh yang kita lihat selama seminggu ini takkan pernah kulupakan."

   Kami mengikuti Dr. D. ke bawah untuk membantunya menyiapkan sarapan. Ia mampir di labnya.

   "Huh, berantakan sekali,"

   Gerutunya.

   "Tapi nanti saja Paman bereskan."

   Sheena menghampiri lemari yang berisi botol-botol plankton. Ia berpaling padaku dan menatapku sambil memicingkan mata.

   "Hei, Billy... kau juga minum sebotol plankton, kan?"

   Kuangkat bahuku.

   "Ya. Kenapa memangnya?"

   "Kenapa kau tak berubah jadi ikan seperti Dr. Ritter?"

   Ia bertanya.

   "Kau tahu apa sebabnya,"

   Sahutku sambil nyengir.

   "Aku tak tahu."

   "Jangan pura-pura. Kau tahu aku bukan manusia biasa. Aku manusia super."

   Ia menonjok perutku.

   "Ayo, ceritakan alasan sebenarnya."

   Dr. D. menyilangkan tangan di depan dada.

   "Ya, Billy. Paman juga ingin tahu."

   Aku nyengir lebar.

   "Ehm, sebenarnya ini semua berkat kau, Sheena."

   "Berkat aku?"

   "Ya. Aku kesal sekali waktu kau berhasil mengelabuiku dengan menaruh kepala boneka di tempat ikan emasku."

   Sheena cekikikan.

   "Ha-ha. Lucu sekali. Setelah itu aku terus memutar otak untuk balas dendam."

   "Seperti biasa,"

   Sheena berkomentar..Aku mengetuk-ngetuk pintu lemari kaca.

   "Akhirnya aku mendapat ide bagus. Kuambil salah satu botol plankton dan kubuang isinya."

   Dr. D. langsung meringis.

   "Apa?"

   "Maaf, Dr. D.,"

   Ujarku.

   "Kupikir persediaan Paman cukup banyak, sehingga Paman takkan tahu kalau botol-botol itu berkurang satu."

   "Aku tetap belum mengerti,"

   Kata Sheena.

   "Bagaimana kelanjutannya?"

   "Botol itu kucuci. Kemudian kuisi dengan es teh,"

   Aku menjelaskan.

   "Tadinya mau kubawa ke kabinmu, supaya aku bisa bilang, 'Hei, Sheena! Mau lihat aku minum plankton?' Habis itu aku akan menenggak es teh itu sampai habis, biar kau jadi mual!"

   "Kata siapa aku bakal mual kalau begitu?"

   Sheena memprotes.

   "Hah, kau pasti bakal muntah-muntah!"

   "Enak saja!"

   Dr. D. menyela.

   "Kautaruh botol berisi es teh itu di lemari plankton. Dan waktu Dr. Ritter menyuruhmu mengambil salah satu botol..."

   "Ya!"

   Seruku.

   "Kupilih botol yang berisi es teh!"

   Sheena tertawa. Saking kerasnya tertawa, ia nyaris tersedak.

   "Aku tahu ini memang lucu,"

   Kataku.

   "Tapi kau tak perlu terbahak-bahak seperti itu!"

   "Aduh, Billy!"

   Serunya sambil berusaha menahan tawa.

   "Ternyata pikiran kita semakin sama."

   "Apa maksudmu?"

   "Aku merencanakan trik yang sama untuk mengelabuimu!"

   Sahutnya.

   "Trik yang persis sama! Aku juga menaruh es teh di dalam botol. Lihat!"

   Ia mengambil salah satu botol, membuka tutupnya, dan mereguk isinya sampai habis. Dr. D. dan aku menatapnya sambil terbengong-bengong. Sheena memasang tampang aneh. Matanya terbelalak. Ia memegangi perutnya.

   "Oh, wow,"

   Erangnya.

   "Jangan-jangan aku salah mengambil botol!"END

   

   

   

Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah

Cari Blog Ini