Ceritasilat Novel Online

Misteri Kereta Api Biru 1


Agatha Christie Misteri Kereta Api Biru Bagian 1


THE MYSTERY OF THE BLUE TRAIN by Agatha Christie MISTERI KERETA API BIRU Alih bahasa.

   Ny.

   Suwarni Penerbit.

   PT Gramedia Cetakan kelima.

   Juli 1999 Katherine duduk sambil mengingat-ingat kembali seluruh kejadian itu.

   Dia merasa seolah-olah dia mengkhianati kepercayaan orang, tetapi dengan kata 'pembunuhan' yang mendengung di telinganya, dia tak berani merahasiakan apa-apa.

   Mungkin terlalu banyak yang tergantung pada penjelasan yang akan diberikannya itu.

   Maka sedapat-dapatnya diulanginyalah kata-kata percakapan dengan wanita yang sudah meninggal itu.

   "Menarik,"

   Kata Komisaris sambil memandang pada yang seorang lagi.

   "Menarik bukan, M. Poirot? Apakah itu ada kaitannya dengan kejahatan itu -"

   Dia tidak menyelesaikan kalimat itu.

   "Tak mungkinkah itu suatu perkara bunuh diri?"

   Kata Katherine ragu.

   "Tidak,"

   Kata Komisaris.

   "itu tak mungkin suatu perbuatan bunuh diri. Dia dijerat dengan seutas tali hitam."

   Bab LELAKI BERAMBUT PUTIH Menjelang tengah malam seorang laki-laki menyeberangi Place de la Concorde.

   Tubuhnya yang kurus terbungkus mantel dari bulu binatang yang bagus, namun dia memberikan kesan sangat lemah dan tak berarti.

   Seorang laki-laki kecil yang berwajah seperti tikus.

   Seorang laki-laki, yang dapat dikatakan, tidak akan pernah bisa memerankan suatu bagian yang berarti, atau meningkat mencapai suatu tempat yang terkemuka dalam bidang apa pun juga.

   Namun, seseorang yang melihatnya, yang kemudian mengambil kesimpulan seperti itu, akan keliru.

   Karena laki-laki itu, meskipun tampak remeh dan tak berarti, memainkan suatu peran yang penting dalam nasib dunia.

   Dalam suatu kerajaan yang dikuasai tikus, dialah raja tikus-tikus itu.

   Kini pun suatu kedutaan sedang menantikan kedatangannya kembali.

   Tetapi dia harus menyelesaikan urusannya lebih dulu -urusan yang tak diketahui secara resmi oleh kedutaan itu.

   Di bawah sinar bulan, wajahnya tampak putih berkilat dan tajam.

   Hidungnya yang lancip hampir-hampir tak berlekuk.

   Ayahnya seseorang yang berdarah campuran Yahudi-Polandia, seorang penjahit keliling.

   Urusan yang membawanya ke luar negeri malam itu adalah urusan yang akan disukai ayahnya pula.

   Dia tiba di Sungai Seine, menyeberangi sungai itu, lalu memasuki salah satu daerah hitam di Paris.

   Di situ dia berhenti di depan rumah yang tinggi dan tak terpelihara, lalu dia naik ke sebuah apartemen di lantai empat.

   Baru saja dia mengetuk, pintu segera dibuka oleh seorang wanita yang nyata-nyata sedang menantikan kedatangannya.

   Wanita itu tidak menyapanya, melainkan membantunya melepaskan mantelnya, lalu mendahuluinya berjalan menuju ke ruang tamu yang perabotnya murahan.

   Lampu listriknya dilindungi bahan berbunga-bunga merah muda yang kotor, yang melembutkan cahaya lampu itu, tetapi tak mampu menyamarkan wajah gadis yang dibedaki tebal dengan bahan murahan itu.

   Cahaya lampu itu tak pula dapat menyembunyikan wajahnya yang lebar khas orang Mongol.

   Baik pekerjaan maupun kebangsaan Olga Demiroff tak perlu diragukan lagi.

   "Baik-baik sajakah semua, Anak manis?"

   "Semuanya baik-baik saja, Boris Ivanovitch."

   Laki-laki itu mengangguk sambil bergumam.

   "Kurasa aku tidak dibuntuti."

   Tetapi nada bicaranya mengandung kekuatiran. Dia pergi ke jendela, menyingkap tirai jendela sedikit, lalu mengintip ke luar dengan berhati-hati. Dia cepat-cepat mundur.

   "Ada dua orang laki-laki -di trotoar di seberang sana. Kelihatannya -"

   Dia berhenti berbicara lalu mulai menggigit-gigit kukunya -suatu kebiasaan bila dia sedang kuatir. Gadis Rusia itu menggeleng perlahan-lahan, tetapi meyakinkan.

   "Mereka sudah ada di situ sebelum kau datang."

   "Meskipun demikian, kurasa mereka sedang mengamat-amati rumah ini."

   "Mungkin,"

   Kata gadis itu tak acuh.

   "Tapi lalu -"

   "Lalu apa? Meskipun mereka tahu -pasti bukan kau yang akan mereka buntuti dari sini."

   Senyum tipis dan kejam muncul di bibir lelaki itu.

   "Memang,"

   Katanya membenarkan.

   "memang bukan."

   Dia termangu sejenak, lalu berkata.

   "Orang Amerika sialan itu -dia bisa menjaga dirinya sebaik siapa pun juga."

   "Kurasa begitu."

   Laki-laki itu pergi ke jendela lagi.

   "Orang-orang hebat,"

   Katanya tergelak.

   "Kurasa sudah dikenal polisi. Yah, kuucapkan saja selamat berburu pada si Bandit."

   Olga Demiroff menggeleng.

   "Bila orang Amerika itu memang sehebat yang dikatakan orang, maka akan diperlukan lebih banyak bandit pengecut-pengecut begitu untuk mengalahkannya."

   Gadis itu diam sebentar.

   "Aku ingin tahu -"

   "Ya, apa?"

   "Tak apa-apa. Tapi malam ini ada seorang laki-laki yang dua kali melewati jalan ini -seorang laki-laki berambut putih."

   "Lalu mengapa?"

   "Begini. Waktu dia melewati kedua orang itu, dia menjatuhkan sarung tangannya. Salah seorang di antara kedua orang itu memungutnya lalu mengembalikannya. Suatu tanda pengenal yang sudah usang."

   "Maksudmu -orang berambut putih itu -majikan mereka?"

   "Kira-kira begitulah."

   Orang Rusia itu kelihatan ketakutan dan gelisah.

   "Yakinkah kau -bahwa bungkusan itu aman? Apakah tidak terganggu? Orang terlalu banyak bicara... terlalu banyak bicara."

   Dia menggigit-gigit kukunya lagi.

   "Nilailah sendiri."

   Gadis itu membungkuk ke perapian, lalu menggeser arang dengan cekatan.

   Dari bawah arang itu, di antara gumpalan-gumpalan kertas surat kabar, dari bagian tengahnya, diambilnya sebuah bungkusan persegi panjang yang dibungkus dengan surat kabar yang kotor, lalu diberikannya pada laki-laki itu.

   "Pandai sekali,"

   Kata laki-laki itu, sambil mengangguk memuji.

   "Apartemen ini sudah dua kali digeledah. Kasur tempat tidurku sampai disobek."

   "Seperti telah kukatakan,"

   Gumam laki-laki itu.

   "Orang terlalu banyak bicara. Soal tawar-menawar harga -itu keliru."

   Laki-laki itu telah membuka surat kabar pembungkus tadi.

   Di dalamnya ada sebuah bungkusan kertas coklat kecil.

   Bungkusan kecil itu dibukanya lagi, dia memeriksa isinya, lalu cepat-cepat membungkusnya lagi.

   Sedang dia berbuat demikian, bel berbunyi nyaring.

   "Orang Amerika itu tepat benar pada waktunya,"

   Kata Olga sambil melihat jam.

   Dia meninggalkan kamar itu.

   Sebentar kemudian dia kembali diikuti oleh seorang asing, seorang laki-laki besar, berdada bidang, dan jelas kelihatan bahwa dia berasal dari seberang Samudra Atlantik.

   Dengan pandangan tajam dia melihat pada kedua orang itu bergantian.

   "M. Krassnine?"

   Tanyanya dengan sopan.

   "Sayalah orangnya,"

   Kata Boris.

   "Saya harus minta maaf -karena tempat pertemuan yang tak baik ini. Tapi kita harus amat berahasia. Saya -saya tak mau disebut-sebut berhubungan dalam urusan ini."

   "Begitukah?"

   Kata orang Amerika itu dengan sopan.

   "Anda mau bersumpah, bukan, bahwa jual-beli ini tidak akan diumumkan? Itu merupakan salah satu syarat -pembeliannya."

   Orang Amerika itu mengangguk.

   "Itu sudah merupakan perjanjian,"

   Katanya tak acuh.

   "Nah, sekarang Anda barangkali mau menyerahkan barang itu."

   "Apakah uangnya ada pada Anda -dalam bentuk uang kertas?"

   "Ya,"

   Sahut lawan bicaranya.

   Tetapi dia sama sekali tidak bergerak akan memberikannya.

   Krassnine bimbang sebentar, lalu menunjuk ke arah bungkusan kecil di atas meja.

   Orang Amerika itu membuka kertas pembungkusnya.

   Dibawa isinya ke dekat lampu listrik dan diperiksanya dengan teliti sekali.

   Setelah merasa puas, dikeluarkannya dompet kulit tebal dari sakunya, lalu dikeluarkannya seikat uang kertas.

   Uang itu diserahkannya pada orang Rusia yang lalu menghitungnya dengan teliti.

   "Betul?"

   "Terima kasih, Monsieur. Semua sudah beres."

   "Ya!"

   Kata lawan bicaranya. Bungkusan kertas coklat itu diselipkannya sembarangan saja ke dalam sakunya. Dia mengangguk pada Olga.

   "Selamat malam, Nona. Selamat malam, M. Krassnine."

   Dia keluar sambil menutup pintu. Kedua orang yang tinggal di dalam kamar itu saling berpandangan. Yang laki-laki membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.

   "Aku ingin tahu -apakah dia akan bisa kembali ke hotelnya?"

   Gumamnya.

   Keduanya secara serentak menoleh ke jendela.

   Tepat sekali mereka melihat orang Amerika itu keluar ke jalan di bawah.

   Dia membelok ke kiri dan berjalan dengan langkah-langkah pasti tanpa menoleh sekali pun.

   Dua bayangan menyelinap ke luar dari sebuah pintu, lalu membuntuti tanpa bersuara.

   Yang mengejar dan yang dikejar hilang ditelan malam.

   Olga Demiroff berkata.

   "Dia akan kembali dengan selamat,"

   Katanya.

   "Kau tak perlu takut -atau berharap."

   "Mengapa kau berpikir bahwa dia akan selamat?"

   Tanya Krassnine ingin tahu.

   "Laki-laki yang sudah berhasil mengumpulkan uang sebanyak dia, tak mungkin bodoh,"

   Kata Olga.

   "Dan berbicara tentang uang -"

   "Eh?"

   "Bagianku, Boris Ivanovitch."

   Dengan enggan, Krassnine menyerahkan dua lembar dari uang kertas tadi. Wanita itu berterima kasih hanya dengan mengangguk, tanpa memperlihatkan perasaan apa-apa sedikit pun, lalu menyimpannya di dalam kaus kakinya.

   "Bagus,"

   Katanya dengan puas. Laki-laki itu memandangnya dengan rasa ingin tahu.

   "Tidakkah kau menyesal, Olga Vassilovna?"

   "Menyesal? Mengapa?"

   "Mengenai barang yang telah kausimpankan itu. Ada perempuan -kebanyakan perempuan, kurasa -tergila-gila akan barang seperti itu."

   Gadis itu mengangguk sambil merenung.

   "Benar katamu itu. Kebanyakan wanita memang tergila-gila. Aku tidak. Kini -aku ingin tahu -"

   Dia tiba-tiba terhenti.

   "Apa?"

   Tanya yang seorang ingin tahu.

   "Orang Amerika itu akan selamat membawa barang itu -ya, aku yakin. Tapi setelah itu -"

   "Apa yang kaupikirkan?"

   "Dia tentu akan memberikannya pada seorang wanita,"

   Kata Olga sambil merenung terus.

   "Aku ingin tahu, apa gerangan yang akan terjadi kelak...."

   Wanita itu menggeleng tak sabaran lalu pergi ke jendela. Tiba-tiba dia berseru dan memanggil temannya.

   "Lihat, dia ada di jalan lagi sekarang -laki-laki itu, maksudku."

   Keduanya menatap ke bawah.

   Sesosok tubuh langsing perlente sedang berjalan dengan langkah-langkah santai.

   Dia memakai topi model opera dan mantel.

   Waktu dia melewati lampu jalanan, cahayanya menerangi rambutnya yang tebal berwarna putih.

   Bab M.

   MARQUIS Laki-laki berambut putih itu melanjutkan perjalanannya, tanpa bergegas, dan agaknya tak peduli akan sekelilingnya.

   Dia membelok ke kanan dan kemudian ke kiri.

   Sekali-sekali dia bersenandung.

   Tiba-tiba dia berhenti dan memasang telinga.

   Dia mendengar bunyi.

   Mungkin bunyi ban yang meletup, atau mungkin juga -tembakan.

   Sejenak tampak seulas senyum di bibirnya.

   Kemudian dia melanjutkan perjalanannya dengan santai.

   Waktu membelok di sebuah tikungan dia melihat suatu peristiwa penuh kekacauan.

   Seorang penegak hukum sedang membuat catatan dalam buku sakunya, dan seorang atau dua orang yang lewat berkumpul di tempat itu.

   Laki-laki berambut putih itu meminta penjelasan dengan sopan pada salah seorang di antaranya.

   "Ada sesuatu yang terjadi rupanya?"

   "Benar, Tuan. Dua orang bandit mengejar seorang Amerika yang sudah setengah baya."

   "Apakah mereka tidak melukainya?"

   "Tidak."

   Laki-laki itu tertawa.

   "Orang Amerika itu punya pistol di sakunya, dan sebelum mereka sempat menyerangnya, dia menembakkan beberapa tembakan ke sekelilingnya dan kedua pengejarnya itu pun lari ketakutan. Dan seperti biasa polisi datang terlambat!"

   "Oh!"

   Kata si penanya.

   Dia sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa.

   Dengan tenang dan tanpa kuatir apa-apa dia melanjutkan perjalanan malamnya.

   Kemudian dia menyeberangi Sungai Seine, dan tiba di daerah elite Paris.

   Dua puluh menit kemudian dia tiba di depan sebuah rumah, di jalan raya daerah kaum ningrat yang sepi.

   Toko itu, karena rumah itu memang merupakan toko, biasa-biasa saja dan sederhana.

   D.

   Papopolous, seorang pedagang barang-barang antik, sudah begitu terkenal hingga dia tak perlu memasang iklan, dan perdagangannya memang tidak dilakukan melalui meja penjualan.

   Tuan Papopolous mempunyai apartemen sendiri yang sangat bagus, menghadap ke Champs ElysEes, dan sepantasnyalah orang menduga bahwa pada pukul sekian, dia ada di tempat itu dan tidak di tempatnya berdagang -tetapi laki-laki berambut putih itu agaknya yakin benar akan keberhasilannya waktu dia menekan bel yang tersembunyi letaknya, setelah dia terlebih dulu melihat ke kiri ke kanan di jalan yang sudah sepi itu.

   Dia memang tidak keliru.

   Pintu terbuka dan seorang pria berdiri di celah pintu.

   Dia memakai anting-anting emas dan wajahnya kehitam-hitaman.

   "Selamat malam,"

   Kata orang yang tak dikenal tadi.

   "Adakah majikan Anda di rumah?"

   "Ada, tapi beliau tak bisa menerima sembarang pengunjung pada malam selarut ini,"

   Sergahnya.

   "Saya rasa dia mau menemui saya. Katakan padanya bahwa sahabatnya, M. Marquis, yang datang."

   Laki-laki itu membukakan pintu agak lebar lagi dan mengizinkan tamu itu masuk.

   Laki-laki yang menamakan dirinya M.

   Marquis itu melindungi mukanya dengan tangan ketika berbicara.

   Waktu pelayan itu kembali untuk memberitahukan bahwa Tuan Papopolous senang menerima dia, rupa orang asing tadi sudah mengalami perubahan lagi.

   Mungkin pelayan itu tak tanggap atau mungkin pula dia sudah demikian terlatih, hingga dia tak kelihatan heran melihat kedok satin hitam kecil yang menyembunyikan wajah tamu itu.

   Dia berjalan mendahuluinya ke arah sebuah pintu di ujung lorong rumah, dibukanya pintu itu lalu memberitahukan dengan hormat.

   "M. Marquis."

   Orang yang bangkit menerima tamu yang tak dikenal itu bertubuh besar.

   Tuan Papopolous memberikan kesan patut dihormati dan anggun.

   Dahinya luas dan melengkung dan jenggotnya bagus serta putih warnanya.

   Sikapnya seperti sikap seorang biarawan dan dia ramah-tamah.

   "Sahabatku,"

   Kata Tuan Papopolous. Dia menggunakan bahasa Prancis yang bernada penuh dan manis.

   "Saya minta maaf,"

   Kata tamunya.

   "karena saya datang selarut malam ini."

   "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,"

   Kata Tuan Papopolous -"saat yang menarik. Mungkin Anda telah mengalami sesuatu yang menarik malam ini?"

   "Secara pribadi tidak,"

   Kata M. Marquis.

   "Secara pribadi tidak,"

   Ulang Tuan Papopolous.

   "Tidak, tentu tidak. Lalu apakah ada berita?"

   Dia memandang tamunya dengan tajam dari samping, pandangan yang sama sekali tidak lagi seperti pandangan seorang biarawan dan tidak pula ramah.

   "Tak ada berita. Usaha itu gagal. Saya memang sudah menduga begitu."

   "Memang begitu,"

   Kata Tuan Papopolous.

   "sesuatu yang kasar itu -"

   Dia melambaikan tangannya, menyatakan betapa tak sukanya akan kekasaran dalam bentuk apa pun.

   Tuan Papopolous memang tak punya potongan kasar, demikian pula barang-barang yang diperdagangkannya.

   Dia terkenal dalam kalangan kebanyakan istana di Eropa, dan secara bercanda raja-raja menamakannya Demetrius.

   Dia punya nama baik, karena pertimbangan-pertimbangannya yang tepat.

   Ditambah lagi dengan keanggunan pembawaannya, maka dia telah berhasil dalam beberapa urusan jual-beli yang sangat berarti.

   "Serangan yang langsung itu -"

   Kata Tuan Papopolous. Dia menggeleng.

   "Kadang-kadang memang berhasil -tapi jarang sekali."

   Lawan bicaranya mengangkat bahu.

   "Cara itu menghemat waktu,"

   Katanya.

   "dan bila gagal tak berarti apa-apa -yah, boleh dikatakan tidak apa-apa. Rencana yang satu lagi -tidak akan gagal."

   "Begitukah?"

   Kata Tuan Papopolous, sambil memandang tajam padanya. Tamu itu mengangguk perlahan-lahan.

   "Saya percaya benar akan -eh -keberhasilan Anda,"

   Kata pedagang barang-barang antik itu. M. Marquis tersenyum kecil.

   "Saya rasa saya boleh berkata, bahwa keyakinan Anda itu tidak akan keliru,"

   Gumamnya.

   "Anda memang punya kesempatan yang istimewa,"

   Kata yang lain dengan nada iri.

   "Itu saya usahakan,"

   Kata M. Marquis. Dia bangkit lalu mengambil mantel yang tadi dilemparkannya sembarangan saja di sandaran kursi.

   "Anda akan saya kabari terus, M. Papopolous, melalui jalur-jalur yang biasa -tapi Anda tak boleh mungkir janji."

   Tuan Papopolous tersinggung.

   "Saya tak pernah mungkir janji,"

   Katanya.

   Tamunya tersenyum, dan tanpa kata perpisahan dia meninggalkan kamar itu, sambil menutup pintu.

   Tuan Papopolous termangu sebentar sambil membelai jenggotnya yang bagus, lalu dia pergi menuju ke sebuah pintu lain, membukanya ke arah dalam.

   Waktu dia memutar gagang pintu itu, seorang gadis yang rupanya sedang bersandar di situ dengan telinga tertempel di lubang kunci, jatuh terkapar di kamar.

   Tuan Papopolous tidak keheranan dan tidak pula cemas.

   Kelihatannya hal itu sudah biasa.

   "Bagaimana, Zia?"

   Tanyanya.

   "Saya tidak mendengar dia pergi,"

   Zia menjelaskan. Dia seorang gadis cantik, bertubuh indah dan anggun, bermata hitam yang memancar, dan secara umum tampak persamaannya dengan Tuan Papopolous, hingga mudah dikatakan bahwa mereka adalah ayah dan anak.

   "Menjengkelkan sekali,"

   Katanya lagi merajuk.

   "kita tak bisa mengintip melalui lubang kunci sambil sekaligus memasang telinga dari lubang itu pula."

   "Itu juga sering menjengkelkan aku,"

   Kata Tuan Papopolous singkat.

   "Jadi, itu rupanya M. Marquis itu,"

   Kata Zia.

   "Apakah dia selalu memakai kedok, Ayah?"

   "Selalu."

   Mereka diam.

   "Urusannya tadi itu saya rasa mengenai batu-batu delima, ya?"

   Tanya Zia. Ayahnya mengangguk.

   "Bagaimana pendapatmu, Nak?"

   Tanyanya, dengan bayangan senang di matanya yang hitam bagai merjan.

   "Mengenai M. Marquis itu?"

   "Ya."

   "Saya rasa,"

   Kata Zia perlahan-lahan.

   "jarang sekali ada orang Inggris yang berpendidikan baik, yang sepandai dia, berbahasa Prancis."

   "Oh!"

   Kata Tuan Papopolous.

   "Jadi begitu pendapatmu."

   Seperti biasa dia tidak berkata apa-apa, tetapi dia memandangi Zia dengan pandangan membenarkan yang lembut.

   "Saya juga berpikir,"

   Kata Zia.

   "bahwa bentuk kepalanya aneh."

   "Pepat,"

   Kata ayahnya -"agak pepat. Tapi memang selalu begitu akibatnya kalau memakai rambut palsu."

   Mereka berpandangan lalu tersenyum. Bab HEART OF FIRE Rufus Van Aldin melalui pintu putar dari Hotel Savoy, lalu berjalan ke meja resepsionis. Petugas di situ menyapanya dengan hormat sambil tersenyum.

   "Saya senang Anda telah kembali, Tuan Van Aldin,"

   Katanya. Jutawan Amerika itu membalas sapaan itu sepintas dengan mengangguk.

   "Semua baik-baik saja?"

   Tanyanya.

   "Ya, Tuan. Mayor Knighton ada di atas, di kamar Anda."

   Van Aldin mengangguk lagi.

   "Ada surat-surat?"

   Tanyanya ramah.

   "Semuanya sudah dikirim ke atas, Tuan Van Aldin. Oh! Tunggu sebentar."

   Dia membungkuk ke sebuah lubang di dinding yang merupakan kotak surat, lalu mengeluarkan sepucuk surat.

   "Ini baru saja datang,"

   Dia menjelaskan.

   Rufus Van Aldin menerima surat itu, dan waktu dilihatnya tulisan tangannya, tulisan tangan wanita, wajahnya tiba-tiba berubah.

   Garis-garis keras di wajah itu menjadi lembut, dan garis kaku di mulutnya mengendor.

   Dia menjadi seperti orang lain.

   Dia berjalan ke seberang, ke tempat lift, dengan surat itu dan senyum yang masih menghiasi bibirnya.

   Di ruang tamu utama dari kamar hotelnya, seorang pria muda sedang duduk di meja tulis, menyusun surat-surat dengan cekatan, karena sudah sangat terlatih.

   Dia bangkit melompat waktu Van Aldin masuk.

   "Halo, Knighton!"

   "Saya senang Anda sudah kembali, Tuan. Sudah cukup terhiburkah Anda?"

   "Lumayan!"

   Kata jutawan itu tanpa emosi.

   "Paris sekarang tidak menarik lagi. Tapi -aku sudah mendapatkan apa yang kucari di sana."

   Dia tersenyum masam sendiri.

   "Saya rasa Anda memang biasa berhasil,"

   Kata sekretarisnya, tertawa.

   "Memang,"

   Majikannya membenarkan. Dia berbicara sebagaimana adanya, seperti seseorang mengucapkan suatu kenyataan yang sudah diketahui umum. Sambil mencampakkan mantelnya yang berat, dia mendekati meja tulis.

   "Ada yang mendesak?"

   "Saya rasa tidak ada, Tuan. Kebanyakan surat-surat biasa saja. Saya belum selesai memilihnya."

   Van Aldin mengangguk singkat.

   Dia adalah orang yang jarang mempersalahkan atau memuji.

   Caranya menghadapi orang-orang yang bekerja padanya sederhana saja.

   mereka itu dicobanya dulu, lalu bila mereka kurang terampil, mereka segera dipecat.

   Caranya memilih pegawai tidak menurut kebiasaan.

   Knighton, umpamanya, ditemuinya sepintas lalu di tempat pariwisata di Swiss dua bulan sebelumnya.

   Dia menyukai anak muda itu, dia melihat catatan masa perang anak muda itu, dan dalam catatan itu dia menemukan penjelasan mengapa anak muda itu pincang jalannya.

   Knighton berterus terang bahwa dia sedang mencari pekerjaan, dan dengan malu-malu bertanya kalau-kalau jutawan itu tahu ada lowongan pekerjaan.

   Van Aldin ingat, sambil tersenyum geli, betapa terkejutnya anak muda itu ketika dia ditawari pekerjaan sebagai sekretaris orang besar itu sendiri.

   "Tapi -tapi saya tak punya pengalaman urusan dagang,"

   Gagapnya.

   "Itu sama sekali tak apa-apa,"

   Sahut Van Aldin.

   "Aku sudah punya tiga orang sekretaris untuk mengurusi soal-soal itu. Tapi mungkin aku akan berada di Inggris selama enam bulan yang akan datang ini, dan aku memerlukan seorang Inggris yang -yah, tahu tata cara -dan bisa mengurus segi kemasyarakatan dari segala urusan bagiku."

   Sampai sekarang Van Aldin merasa bahwa penilaiannya tentang anak muda itu memang tepat.

   Knighton telah membuktikan bahwa dia terampil, cerdas, dan penuh prakarsa, serta punya daya tarik.

   Sekretaris itu menunjuk ke tiga atau empat pucuk surat yang semuanya telah diletakkan di tempatnya masing-masing di atas meja tulis.

   "Barangkali, sebaiknya Tuan melihat sebentar ke surat-surat ini,"

   Sarannya.

   "Yang di atas sekali mengenai perjanjian dengan Colton -"

   Tetapi Rufus Van Aldin mengangkat tangannya menolak.

   "Malam ini aku tak mau melihat apa pun juga,"

   Katanya.

   "Semuanya itu biar besok saja. Kecuali yang ini,"

   Ditambahkannya sambil melihat surat yang sedang dipegangnya. Dan lagi-lagi di wajahnya terbayang senyum aneh yang mengubah air mukanya. Richard Knighton tersenyum penuh pengertian.

   "Nyonya Kettering?"

   Gumamnya.

   "Beliau menelepon kemarin dan hari ini. Agaknya beliau sangat ingin segera bertemu dengan Anda, Tuan."

   "Begitukah!"

   Senyuman lenyap dari wajah jutawan itu.

   Dibukanya amplop yang sedang dipegangnya dengan menyobeknya, lalu dikeluarkannya kertas yang ada di dalamnya.

   Waktu dia membacanya wajahnya menjadi suram, mulutnya terkatup rapat, jadi garis yang begitu dikenal orang-orang di pusat perdagangan Wall Street, sedang alisnya bertemu menjadi satu.

   Knighton tahu diri, lalu memalingkan mukanya, dan terus membuka surat-surat serta menyusunnya.

   Jutawan itu mengumpat, dan dengan tinjunya dia menghantam meja keras-keras.

   "Aku tidak akan mendiamkan hal ini,"

   Gumamnya sendiri.

   "Kasihan anakku yang malang, beruntung dia masih punya ayah yang tua ini di belakangnya."

   Beberapa saat lamanya dia berjalan hilir-mudik di kamar itu, dengan alis yang tetap bertaut mengerikan.

   Knighton masih tetap menunduk dan bekerja dengan rajinnya di meja tulis.

   Tiba-tiba Van Aldin berhenti.

   Diambil mantelnya dari kursi tempat dia tadi melemparkannya.

   "Apakah Anda akan keluar lagi, Tuan?"

   "Ya, aku akan keluar, ke rumah anakku."

   "Bila orang-orang dari perusahaan Colton menelepon -"

   "Suruh mereka pergi ke neraka,"

   Kata Van Aldin.

   "Baiklah,"

   Kata sekretaris itu tanpa emosi. Kini Van Aldin telah mengenakan mantelnya. Sambil menghenyakkan topinya ke kepalanya, pergilah dia ke arah pintu. Tiba-tiba dia berhenti lagi sambil memegang gagang pintu.

   "Kau orang baik, Knighton,"

   Katanya.

   "Kau tidak menggangguku kalau aku sedang marah-marah."

   Knighton tersenyum kecil tetapi tidak menjawab apa-apa.

   "Ruth adalah putriku satu-satunya,"

   Kata Van Aldin.

   "dan di dunia ini tak seorang pun tahu betapa besar arti anakku itu bagiku."

   Seulas senyum kecil membuat wajahnya berseri. Ia memasukkan tangan ke saku mantelnya.

   "Maukah kau melihat sesuatu, Knighton?"

   Dia mendekati sekretaris itu.

   Dari sakunya tadi dikeluarkannya sebuah bungkusan yang terbungkus sembarangan saja dalam kertas coklat.

   Bungkusan itu dibuangnya, lalu dikeluarkannya sebuah kotak dari kain beludru merah, yang besar dan sudah usang.

   Di tengah-tengah kotak itu tercantum huruf-huruf awal suatu nama yang melingkar-lingkar dan di atasnya dihiasi mahkota.

   Ditekannya sebuah kenop dan kotak itu terbuka -sekretaris itu menahan napasnya.

   Dalam cahaya putih yang agak suram di kamar itu, batu itu memancar bagaikan darah.

   "Ya, Tuhan! Tuan,"

   Kata Knighton.

   "apakah -apakah permata-permata itu asli?"

   Van Aldin terkekeh geli.

   "Aku tak heran kau bertanya begitu. Di antara batu-batu delima, yang tiga inilah yang terbesar di dunia. Ratu Catherine dari Rusia pernah memakainya, Knighton. Yang di tengah-tengah ini terkenal dengan nama Heart of Fire. Batu itu sempurna -tak bercacat."

   "Tapi,"

   Gumam sekretaris itu.

   "harganya tentu mahal sekali."

   "Empat atau lima ratus ribu dolar,"

   Kata Van Aldin tak acuh.

   "belum lagi kalau diingat nilai sejarahnya."

   "Dan Anda membawanya begitu saja -ke mana-mana, dalam saku Anda."

   Van Aldin tertawa geli.

   "Memang begitu. Ini hadiahku untuk Ruthie."

   Sekretaris itu tersenyum dengan sopan.

   "Sekarang saya mengerti mengapa Nyonya Kettering kedengarannya begitu mendesak waktu menelepon,"

   Gumamnya. Tetapi Van Aldin menggeleng. Wajahnya tampak keras lagi.

   "Kau keliru,"

   Katanya.

   "Dia tak tahu tentang barang ini -permata-permata ini akan merupakan kejutan baginya."

   Kotak itu ditutupnya lagi, lalu dibungkusnya lagi perlahan-lahan.

   "Memang sulit, Knighton,"

   Katanya.

   "sedikit sekali yang bisa kita perbuat untuk orang-orang yang kita cintai. Aku bisa saja membelikan setengah dari bumi ini untuk Ruthie, bila itu akan ada gunanya baginya, tapi tidak. Barang-barang ini bisa saja kugantungkan di lehernya dan menyenangkan hatinya barang sejenak, barangkali, tapi -"

   Dia menggeleng.

   "Bila seorang wanita tak bahagia dalam rumah tangganya -"

   Kalimat itu tak diselesaikannya.

   Sekretarisnya mengangguk, dengan sopan.

   Dia tahu benar, kelakuan Tuan Derek Kettering.

   Van Aldin mendesah.

   Sambil memasukkan bungkusan tadi ke dalam sakunya, dia mengangguk pada Knighton, lalu meninggalkan kamar itu.

   Bab DI CURZON STREET Nyonya Derek Kettering tinggal di Curzon Street.

   Penjaga pintu yang membukakan pintu segera mengenali Rufus Van Aldin dan menyapanya dengan tersenyum sopan.

   Petugas itu berjalan mendahuluinya, naik ke lantai atas, ke ruang tamu istimewa yang besar di lantai dua.

   Seorang wanita yang sedang duduk di dekat jendela terlompat sambil berteriak.

   "Aduh, Ayah, inilah kejutan yang paling hebat daripada segalanya! Sepanjang hari ini aku menelepon Mayor Knighton untuk mencoba berbicara dengan Ayah, tapi dia tak bisa mengatakan dengan pasti kapan Ayah akan kembali."

   Ruth Kettering berumur dua puluh delapan tahun.

   Dia tak dapat dikatakan cantik, bahkan manis pun tidak, namun dia menarik perhatian karena warna rambut dan matanya.

   Van Aldin selalu dinamakan 'Wortel' waktu masih kecil gara-gara warna rambutnya, sedang rambut Ruth merah kecoklatan.

   Disertai pula dengan bola mata yang berwarna hitam dan bulu mata yang hitam legam -warna-warna itu lebih ditonjolkan lagi dengan pemakaian alat-alat kecantikan.

   Dia jangkung dan ramping, dan geraknya gemulai.

   Bila dipandang sekilas, wajahnya seperti Madona lukisan Raphael.

   Hanya bila diperhatikan benar orang baru akan melihat garis rahang dan dagunya yang serupa dengan yang ada pada wajah Van Aldin, yang menunjukkan kerasnya dan ketetapan hatinya.

   Hal itu sesuai bagi sang ayah, tetapi kurang cocok bagi wanita itu.

   Sejak masa kanak-kanak hingga dewasa Ruth Van Aldin terbiasa dituruti kemauannya, dan setiap orang yang pernah menentangnya segera menyadari bahwa putri Rufus Van Aldin itu tak pernah mau menyerah.

   "Knighton memang mengatakan bahwa kau menelepon,"

   Kata Van Aldin.

   "Baru setengah jam yang lalu aku kembali dari Paris. Ada apa dengan si Derek ini?"

   Muka Ruth Kettering merah karena marah.

   "Keterlaluan! Sudah melewati batas,"

   Serunya.

   "Dia -dia sudah tak mau mendengarkan apa pun yang kukatakan."

   Terdengar nada kebingungan dan kemarahan dalam suaranya.

   "Dia akan mendengar apa yang kukatakan,"

   Kata jutawan itu dengan keras. Ruth melanjutkan.

   "Selama bulan terakhir ini aku hampir-hampir tak pernah bertemu dengannya. Dia berkeliaran dengan perempuan itu terus."

   "Dengan perempuan yang mana?"

   "Mirelle. Penari di Parthenon itu. Ayah tahu kan?"

   Van Aldin mengangguk.

   "Minggu yang lalu aku ke Leconbury. Aku -aku bicara dengan mertuaku, Lord Leconbury. Beliau baik sekali padaku, mengerti keadaanku sepenuhnya. Katanya dia akan memberi peringatan pada Derek."

   "Ah!"

   Kata Van Aldin.

   "Apa maksud Ayah dengan 'Ah!' itu, Ayah?"

   "Sama benar dengan apa yang kauduga, Ruthie. Pak tua Leconbury yang malang itu sudah tak berarti apa-apa lagi. Tentu dia memberi pengertian padamu, tentu dia membujukmu. Karena anak dan ahli warisnya menikah dengan putri salah seorang yang terkaya di Amerika Serikat, dia tentu saja tak mau sampai terjadi kekacauan. Tapi umurnya sudah tak akan lama lagi, semua orang tahu itu, dan apa pun yang dikatakannya tidak akan dipedulikan Derek."

   "Apakah Ayah tak bisa berbuat apa-apa?"

   Desak Ruth sebentar kemudian.

   "Bisa saja,"

   Kata jutawan itu. Dia diam dan berpikir sebentar, lalu berkata lagi.

   "Ada beberapa hal yang bisa kulakukan, tapi hanya satu yang ada faedahnya. Berapa besar keberanianmu, Ruthie?"

   Ruth memandangnya dengan terbelalak. Ayahnya membalas pandangan itu lalu mengangguk.

   "Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku. Apakah kau punya keberanian untuk menyatakan pada seluruh dunia bahwa kau telah berbuat kekeliruan. Hanya ada satu jalan ke luar dari kekacauan ini, Ruthie. Putuskan hubunganmu dengan dia dan mulailah lagi dari awal."

   "Maksud Ayah -"

   "Bercerai."

   "Bercerai!"

   Van Aldin tersenyum hambar.

   "Kauucapkan perkataan itu, Ruthie, seolah-olah kau tak pernah mendengarnya. Padahal teman-teman di sekelilingmu melakukannya setiap hari."

   "Ah, saya tahu. Tapi -"

   Ruth berhenti sambil menggigit bibirnya. Ayahnya mengangguk penuh pengertian.

   "Aku tahu, Ruth. Kau seperti aku, kau tak suka melepaskan sesuatu. Tapi aku sudah sadar, dan kau juga harus belajar, bahwa ada waktunya, itulah satu-satunya jalan ke luar. Aku bisa saja mendapatkan jalan untuk memanggil Derek kembali dengan mudah, tapi akhirnya kelak akan sama saja. Dia itu tak beres, Ruth, dia itu busuk, benar-benar busuk. Dan harus kauingat, aku menyesali diriku karena telah membiarkan kau kawin dengan dia. Tapi kau waktu itu seperti sudah yakin benar ingin mendapatkan dia, dan dia pun agaknya seperti ingin mengubah cara hidupnya -dan yah, aku memang pernah mengecewakanmu, Sayang...."

   Van Aldin tidak memandang anaknya waktu dia mengucapkan kata-kata yang terakhir itu. Seandainya dia memandang anaknya, dia akan melihat bahwa wajah anaknya itu bersemu merah.

   "Memang,"

   Katanya dengan nada keras.

   "Dan waktu itu aku tak sampai hati untuk mengecewakanmu untuk kedua kalinya. Tapi sekarang, tak terkatakan sesalku tidak berbuat demikian. Dalam tahun-tahun terakhir ini kau telah menjalani hidup penuh sakit hati, Ruth."

   "Memang tidak menyenangkan -"

   Kata Nyonya Kettering membenarkan.

   "Sebab itu kukatakan hal ini harus dihentikan!"

   Dibantingnya tangannya kuat-kuat di meja.

   "Mungkin kau masih suka pada laki-laki itu. Hapuskan itu. Hadapilah kenyataan. Derek Kettering mengawinimu karena uangmu. Hanya itu saja. Singkirkan dia, Ruth."

   Beberapa saat lamanya Ruth Kettering menunduk memandangi lantai, kemudian tanpa mengangkat kepalanya dia berkata.

   "Seandainya dia tak mau?"

   Van Aldin memandangnya dengan terkejut.

   "Dia tak akan bisa angkat bicara dalam hal ini."

   Muka Ruth memerah dan dia menggigit bibirnya.

   "Tidak -tentu tidak. Maksudku -"

   Dia berhenti. Ayahnya memandangnya dengan tajam.

   "Apa maksudmu?"

   "Maksudku -"

   Dia berhenti lagi untuk memilih kata-katanya dengan berhati-hati.

   "Dia tidak akan mau menerimanya begitu saja."

   Terdongak dagu jutawan itu.

   "Maksudmu dia akan melawan dalam perkara itu? Biar saja. Tapi bila dilihat kenyataannya, kau keliru. Dia tidak akan melawan. Pengacara mana pun juga yang dimintainya pendapat akan menyatakan padanya bahwa dia tak punya kekuatan."

   "Ayah kan tidak berpikir -"

   Dia ragu-ragu -"maksudku -hanya dengan maksud menyakiti hatiku -dia mungkin, yah, membuat perkara itu jadi bertambah buruk?"

   Ayahnya memandangnya dengan terkejut lagi.

   "Melawan dalam perkara itu, maksudmu?"

   Dia menggeleng.

   "Sangat tak mungkin. Untuk itu dia harus punya dasar."

   Nyonya Kettering tak menyahut. Van Aldin memandangnya dengan tajam.

   "Ayolah, Ruth, ceritakanlah. Ada sesuatu yang menyusahkanmu -apa itu?"

   "Tidak ada, tak ada apa-apa."

   Tetapi suaranya tak meyakinkan.

   "Kau takut beritanya akan tersebar luas? Itukah? Serahkan itu padaku. Semuanya akan kuurus demikian lancarnya, hingga tidak akan ada macam-macamnya."

   "Baiklah, Ayah, bila menurut Ayah itu yang terbaik."

   "Apakah kau masih cinta pada laki-laki itu, Ruth?"

   "Tidak."

   Kata itu diucapkan dengan tekanan yang meyakinkan. Van Aldin kelihatan puas. Ditepuknya pundak putrinya itu.

   "Semuanya akan beres, Nak. Jangan kuatir. Nah, sekarang mari kita melupakan semuanya ini. Aku membawa oleh-oleh dari Paris untukmu."

   "Untukku? Sesuatu yang bagus sekali?"

   "Mudah-mudahan kau berpendapat begitu,"

   Kata Van Aldin dengan tersenyum. Diambilnya bungkusan dari saku mantelnya, lalu diberikannya pada anaknya. Dengan penuh keinginan putrinya itu membukanya, kemudian membuka kotaknya. Dia menyerukan kata "Oh"

   Dengan panjang. Ruth Kettering sangat suka perhiasan -dari dulu sampai sekarang.

   "Ayah -indah sekali!"

   "Tak ada bandingnya, bukan?"

   Kata jutawan itu dengan rasa puas.

   "Kau suka?"

   "Suka? Oh, Ayah, permata-permata ini luar biasa sekali. Bagaimana Ayah sampai bisa mendapatkannya?"

   Van Aldin tersenyum.

   "Ah itu rahasiaku. Permata-permata seperti itu tentu harus dibeli secara diam-diam. Permata-permata itu termasyhur. Kaulihat batu yang di tengah-tengah itu? Barangkali kau pernah mendengar tentang itu, itulah yang terkenal dalam sejarah dengan nama Heart of Fire."

   "Heart of Fire!"

   Ulang Nyonya Kettering.

   Permata-permata itu dikeluarkan dari kotaknya lalu didekap di dadanya.

   Sang jutawan memandanginya saja.

   Dia sedang mengenang rangkaian wanita yang pernah memakainya.

   Juga rasa sakit hati yang mereka alami, putus asa, dan iri dengki.

   Seperti juga batu-batu permata yang terkenal, Heart of Fire telah meninggalkan tragedi dan kekerasan.

   Dalam genggaman tangan Ruth Kettering yang mantap, permata itu seolah-olah kehilangan kekuatannya sebagai penyebab kejahatan.

   Dengan sikapnya yang dingin dan tenang, wanita dari dunia barat ini agaknya akan terhindar dari tragedi atau sakit hati itu.

   Ruth mengembalikan permata-permata itu ke dalam kotaknya, lalu dia melompat dan merangkul ayahnya.

   "Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Ayah. Permata-permata itu indah sekali! Ayah memang selalu memberi aku hadiah-hadiah yang paling istimewa."

   "Sudahlah,"

   Kata Van Aldin, sambil menepuk bahu putrinya.

   "kaulah satu-satunya milikku, Ruthie."

   "Ayah makan malam di sini, ya?"

   "Kurasa tak bisa. Kau kelihatannya akan keluar."

   "Ya, tapi bisa saja kutunda. Tidak begitu penting dan tidak begitu menyenangkan."

   "Jangan,"

   Kata Van Aldin.

   "Penuhilah janjimu. Aku banyak urusan. Sampai besok, Sayangku. Mungkin besok kau akan kutelepon, dan kita bisa bertemu di kantor Galbraith?"

   Messrs. Galbraith, Galbraith, Cuthberson & Galbraith adalah penasihat-penasihat hukum Van Aldin.

   "Baiklah, Ayah."

   Ruth ragu-ragu.

   "Kurasa -urusan ini tidak akan menghalangi kepergianku ke Riviera, bukan?"

   "Kapan kau akan berangkat?"

   "Tanggal empat belas."

   "Oh, bisa. Urusan-urusan seperti ini makan waktu lama. Omong-omong, Ruth, sebaiknya delima-delima itu jangan kaubawa ke luar negeri. Tinggalkan saja di bank."

   Nyonya Kettering mengangguk.

   "Aku tak ingin kau sampai dirampok atau dibunuh gara-gara Heart of Fire itu,"

   Kata jutawan itu melucu.

   "Padahal Ayah sendiri membawanya ke mana-mana begitu saja di dalam saku,"

   Tukas putrinya dengan tersenyum.

   "Ya -"

   Ruth melihat sesuatu, suatu keraguan pada ayahnya.

   "Ada apa, Ayah?"

   "Tak apa-apa."

   Dia tersenyum.

   "Aku teringat akan suatu petualangan kecil di Paris."

   "Suatu petualangan?"

   "Ya, pada malam waktu aku membeli barang-barang ini."

   Dia menunjuk kotak permata itu.

   "Aduh, ceritakan Ayah."

   "Tak ada yang patut diceritakan, Ruthie. Beberapa orang bandit ingin berbuat kurang ajar, lalu kutembak dan mereka lari. Itu saja."

   Ruth memandang ayahnya dengan rasa bangga.

   "Ayah ini memang sulit dikalahkan."

   "Jelas, Ruthie."

   Dicium anaknya itu dengan penuh kasih sayang, lalu pergi. Setibanya kembali di Savoy, diberikannya perintah singkat pada Knighton.

   "Cari orang yang bernama Goby. Alamatnya bisa kautemukan di dalam buku pribadiku. Suruh dia kemari jam setengah sepuluh besok pagi."

   "Baik, Tuan."

   "Aku juga ingin bertemu dengan Kettering. Cari dia sampai ketemu. Coba cari di klubnya -pokoknya, bagaimanapun juga, temukan dia, dan atur supaya dia bisa menemuiku besok pagi. Sebaiknya agak siang, kira-kira jam dua belas. Orang-orang seperti dia tak bisa bangun pagi."

   Sekretarisnya mengangguk tanda mengerti semua instruksi itu.

   Van Aldin lalu meminta pelayan melayani dirinya.

   Air mandinya sudah disiapkan, dan sedang dia duduk dengan nyaman dalam air panas, pikirannya melayang kembali pada percakapannya dengan putrinya.

   Pada umumnya dia merasa puas.

   Pikirannya yang tajam sudah sejak lama menerima kenyataan bahwa perceraian adalah satu-satunya jalan ke luar.

   Ruth telah menyetujui penyelesaian yang diusulkannya dengan kesediaan yang lebih besar daripada yang diharapkannya.

   Namun, meskipun Ruth telah memberikan persetujuannya tanpa membantah, dia masih merasa kuatir.

   Dia merasa bahwa ada sesuatu dalam gerak-gerik Ruth yang tak wajar.

   Dia mengerutkan alisnya.

   "Mungkin aku hanya berkhayal,"

   Gumamnya.

   "tapi -aku yakin ada sesuatu yang tak dikatakannya."

   Bab SEORANG PRIA YANG BERGUNA Rufus Van Aldin baru saja menyelesaikan sarapannya yang sederhana, -yang terdiri dari kopi dan roti panggang kering, satu-satunya jenis makanan yang selalu dimakannya untuk sarapan -ketika Knighton masuk.

   "Tuan Goby menunggu Anda di lantai bawah, Tuan."

   Jutawan itu melihat ke jam. Tepat pukul setengah sepuluh.

   "Baiklah,"

   Katanya singkat.

   "Dia boleh naik."

   Satu-dua menit kemudian, Tuan Goby memasuki kamar. Dia seorang pria setengah baya yang bertubuh kecil, berpakaian kumal, dan matanya memandang ke sekeliling kamar dengan cermat, serta tak pernah memandang orang yang sedang berbicara dengannya.

   "Selamat pagi, Goby,"

   Kata jutawan itu.

   "Silakan duduk."

   "Terima kasih, Tuan Van Aldin."

   Tuan Goby duduk dengan tangan di pangkuannya, dan menatap radiator dengan penuh perhatian.

   "Ada pekerjaan untukmu."

   "Ya, Tuan Van Aldin."

   "Mungkin kau tahu bahwa putriku menikah dengan Derek Kettering."

   Tuan Goby mengalihkan pandangannya dari radiator ke laci meja yang sebelah kiri, dan wajahnya dihiasi senyum pahit. Tuan Goby banyak tahu, tetapi dia tak pernah mau mengakuinya.

   "Atas nasihatku, putriku itu akan mengajukan permintaan untuk bercerai. Itu tentu urusan penasihat hukum. Tapi demi alasan-alasan pribadi, aku ingin informasi yang paling sempurna."

   Tuan Goby mengalihkan pandangannya ke tirai lalu menggumam.

   "Tentang Tuan Kettering?"

   "Tentang Tuan Kettering."

   "Baiklah, Tuan."

   Tuan Goby bangkit.

   "Kapan bisa selesai?"

   "Apakah Anda ingin cepat-cepat, Tuan?"

   "Aku selalu ingin cepat-cepat,"

   Kata jutawan itu. Tuan Goby tersenyum penuh pengertian pada besi pelindung perapian.

   "Bagaimana kalau jam dua siang ini, Tuan?"

   Tanyanya.

   "Bagus,"

   Lawan bicaranya memuji.

   "Selamat pagi, Goby."

   "Selamat pagi, Tuan Van Aldin."

   "Orang itu memang berguna sekali,"

   Kata jutawan itu setelah Goby keluar dan sekretarisnya masuk.

   "Dia memang seorang ahli dalam bidangnya sendiri."

   "Apa bidangnya?"

   "Informasi. Beri dia dua puluh empat jam dan dia akan mampu memberi kita informasi tentang kehidupan pribadi Uskup Agung dari Cantebury sekalipun."

   "Memang orang yang berguna,"

   Kata Knighton, tersenyum.

   "Sudah dua atau tiga kali dia berguna bagiku,"

   Kata Van Aldin.

   "Nah, Knighton, aku sudah siap untuk bekerja."

   Dalam beberapa jam berikutnya sejumlah besar pekerjaan diselesaikan dengan cepat.

   Pukul setengah satu telepon berdering, dan Tuan Van Aldin diberi tahu bahwa Tuan Kettering telah datang.

   Knighton memandang Van Aldin, dan menafsirkan anggukan singkat majikannya itu.

   "Persilakan Tuan Kettering naik."

   Sekretaris itu mengumpulkan kertas-kertasnya, lalu pergi. Dia berpapasan dengan tamu itu di ambang pintu, dan Derek Kettering menyisih untuk memberi jalan pada Knighton. Lalu dia masuk sambil menutup pintu.

   "Selamat pagi, Pak. Saya dengar Bapak ingin sekali bertemu dengan saya."

   Suara yang bernada malas dengan bunyi ke dalam dan ironis itu menimbulkan kenangan pada Van Aldin.

   Suara itu punya daya tarik -yah memang selamanya punya daya tarik.

   Dipandang menantunya itu dengan tajam.

   Derek Kettering berumur tiga puluh empat tahun, bertubuh langsing, berwajah kecil dengan mata yang hitam, yang hingga kini masih tampak kekanakan.

   "Masuklah,"

   Kata Van Aldin singkat.

   "Duduklah."

   Kettering menghempaskan dirinya dengan lembut ke sebuah kursi. Dia memandang ayah mertuanya dengan manis.

   "Sudah lama saya tidak bertemu dengan Bapak,"

   Katanya ringan.

   "Saya rasa sudah kira-kira dua tahun. Sudahkah Bapak bertemu dengan Ruth?"

   "Sudah, kemarin malam,"

   Sahut Van Aldin.

   "Dia kelihatan segar, bukan?"

   Kata menantunya santai.

   "Aku tak yakin kau punya kesempatan untuk menilainya."

   Kata Van Aldin datar. Derek Kettering mengangkat alisnya.

   "Oh, kami kadang-kadang bertemu di sebuah klub malam tanpa sengaja,"

   Katanya seenaknya.

   "Aku tak mau bertele-tele,"

   Kata Van Aldin singkat.

   "Aku telah menasihati Ruth supaya mengajukan permintaan bercerai."

   Derek Kettering kelihatan tak terpengaruh.

   "Tegas sekali!"

   Gumamnya.

   "Bolehkah saya merokok, Pak?"

   Dia menyalakan sebatang rokok, lalu menghembuskan segumpal asap sambil berkata lagi dengan tak acuh.

   "Lalu apa kata Ruth?"

   "Ruth mau menuruti nasihatku,"

   Kata ayah Ruth.

   "Apakah dia benar-benar mau?"

   "Hanya itukah yang dapat kaukatakan?"

   Kata Van Aldin tajam. Kettering menjentikkan abu rokoknya ke tempat abu perapian.

   "Saya rasa, Bapak pun tahu,"

   Katanya mengelak.

   "bahwa dengan demikian dia akan membuat kesalahan besar."

   "Ditinjau dari segimu sendiri, dia memang keliru,"

   Kata Van Aldin tegas.

   "Ah, cobalah pikir,"

   Kata sang menantu.

   "janganlah kita terlalu bersikap sendiri-sendiri. Saat ini pun saya tidak memikirkan diri saya sendiri. Saya memikirkan Ruth. Bapak pun tahu bahwa ayah saya tidak akan lama lagi hidup -semua dokter berkata begitu. Sebaiknya Ruth bersabar beberapa tahun lagi, sampai saya menjadi Lord Leconbury, dan dia akan menjadi nyonya besar di Leconbury. Bukankah untuk itu dia menikah dengan saya dulu."

   "Aku tak mau mendengar kelancanganmu itu,"

   Sergah Van Aldin. Derek Kettering tersenyum padanya tanpa perasaan.

   "Saya sependapat dengan Bapak. Itu memang pikiran kuno,"

   Katanya.

   "Zaman sekarang ini, gelar tak ada artinya. Namun Leconbury suatu tempat yang bagus dan sudah tua, apalagi kami adalah salah satu keluarga yang tertua di Inggris ini. Ruth tentu akan sakit hati bila kelak dia bercerai dari saya dan melihat saya menikah lagi, lalu melihat seorang wanita lain yang menjadi ratu di Leconbury dan bukan dia."

   "Aku bersungguh-sungguh, Anak muda,"

   Kata Van Aldin.

   "Demikian pula saya,"

   Kata Kettering.

   "Keadaan keuangan saya memang menyedihkan sekali, saya akan sulit sekali kalau Ruth sampai menceraikan saya. Lalu, bagaimanapun juga, kalau dia sudah bertahan selama sepuluh tahun ini, apa salahnya menahan sebentar lagi? Saya berani bertaruh bahwa ayah saya tidak akan bertahan delapan belas bulan lagi, dan, seperti yang telah saya katakan tadi, sayang sekali kalau Ruth tidak mendapatkan apa yang menjadi tujuannya menikah dengan saya."

   "Kau mengatakan bahwa putriku kawin denganmu demi gelar dan kedudukanmu?"

   Derek Kettering tertawa, tawanya sama sekali bukan tawa yang lucu.

   "Masa Bapak berpikir bahwa perkawinan kami didasarkan atas saling cinta?"

   Katanya.

   "Aku hanya tahu,"

   Kata Van Aldin lambat-lambat.

   "bahwa bicaramu lain sekali di Paris sepuluh tahun yang lalu."

   "Benarkah begitu? Mungkin juga begitu. Ruth begitu cantik -seperti bidadari atau orang suci atau sesuatu yang turun dari lemari penyimpanannya di gereja. Saya pun punya gagasan yang baik. Bapak tentu ingat bahwa saya punya niat untuk memutar haluan, akan hidup tenang dan menyesuaikan diri dengan tradisi orang Inggris yang tertinggi dalam berumah tangga, dengan seorang istri cantik yang mencintai saya."

   Dia tertawa lagi, tawa yang sumbang.

   "Tapi saya yakin Bapak tidak percaya, bukan?"

   Katanya.

   "Aku tak pernah ragu bahwa kau kawin dengan Ruth demi uangnya,"

   Kata Van Aldin tanpa emosi.

   "Dan bahwa dia kawin dengan saya demi cinta?"

   Kata menantunya dengan sindiran tajam.

   "Tentu,"

   Kata Van Aldin. Derek Kettering menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk sambil termangu.

   "Rupanya Bapak yakin akan hal itu,"

   Katanya.

   "Saya pun demikian pula pada waktu itu. Tapi dapat saya pastikan, Ayah mertuaku yang baik, bahwa dalam waktu singkat saja saya telah tak bisa dikelabui lagi."

   "Aku tak tahu apa maksudmu,"

   Kata Van Aldin.

   "dan aku tak peduli. Kau telah memperlakukan Ruth dengan buruk sekali."

   "Memang begitu,"

   Kettering membenarkan.

   "Tapi dia keras, Bapak tahu itu. Dia putri Anda. Di balik semua kelembutannya, dia itu sekeras batu karang. Kata orang, Bapak terkenal sebagai orang yang keras, tapi Ruth lebih keras dari Bapak. Bagaimanapun juga masih ada satu orang yang lebih Bapak cintai daripada diri Bapak sendiri. Pada Ruth tak ada itu, dan tak akan pernah ada."

   "Cukup,"

   Kata Van Aldin.

   "Kau kusuruh datang kemari supaya aku bisa mengatakan padamu dengan jujur dan terus terang, apa yang akan kulakukan. Putriku harus mendapatkan kebahagiaan, dan ingatlah selalu, aku berdiri di belakangnya."

   Derek Kettering bangkit lalu berdiri di dekat para-para perapian. Rokoknya dilemparkannya. Suaranya tenang sekali waktu dia berbicara.

   "Apa sebenarnya maksud Bapak?"

   Tanyanya.

   "Maksudku, supaya sebaiknya kau tidak membela diri dalam perkara ini,"

   Kata Van Aldin.

   "Oh,"

   Kata Kettering.

   "apakah itu suatu ancaman?"

   "Kau bisa menafsirkannya sesukamu,"

   Kata Van Aldin. Kettering menarik sebuah kursi ke dekat meja. Dia lalu duduk menghadapi jutawan itu.

   "Dan seandainya,"

   Katanya dengan lembut.

   "hanya sekedar supaya terjadi pertikaian, saya tetap membela diri dalam perkara itu?"

   Van Aldin mengangkat bahunya.

   "Kau tak punya kekuatan apa-apa, Anak muda tolol. Tanya saja pada para penasihat hukum, mereka akan segera memberi tahu padamu. Kelakuanmu selama ini sudah terkenal buruk, sudah menjadi buah bibir di London."

   "Saya rasa Ruth telah menyebarluaskan tentang Mirelle. Tolol sekali dia. Saya tak pernah mengganggu teman-teman laki-lakinya."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Van Aldin dengan tajam. Derek Kettering tertawa.

   "Rupanya Anda tak tahu seluruhnya, Pak,"

   Katanya.

   "Tentu saja Bapak lalu berprasangka."

   Diambil topi dan tongkatnya lalu berjalan ke arah pintu.

   "Memberikan nasihat bukanlah bidang saya."

   Dia memberikan tusukan terakhir.

   "Tapi dalam hal ini saya nasihatkan benar-benar agar ada keterusterangan yang murni antara ayah dan anak."

   Dengan cepat dia keluar dari kamar dan menutup pintunya, tepat pada saat jutawan itu bangkit melompat.

   "Huh, apa maksudnya itu?"

   Kata Van Aldin waktu terhenyak kembali ke kursinya. Semua rasa kuatirnya muncul kembali. Kini ada sesuatu yang tak diketahui dasarnya. Pesawat telepon terletak di sikunya, ditangkapnya telepon itu, lalu minta dihubungkan ke nomor telepon putrinya.

   "Halo! Halo! Apakah itu Mayfair 81907? Apakah Nyonya Kettering ada? Oh, dia keluar. Oh, pergi makan. Jam berapa dia kembali? Anda tak tahu? Ya, baiklah. Tidak, tak ada pesan apa-apa."

   Dihempaskannya gagang telepon itu kembali dengan marah. Pukul dua siang dia berjalan hilir-mudik dalam kamarnya, menunggu kedatangan Goby dengan penuh harapan. Goby diantar masuk pukul dua lewat sepuluh.

   "Bagaimana?"

   Sergah jutawan itu dengan garang.

   Namun Tuan Goby yang kecil itu tak bisa diburu-buru.

   Dia duduk, mengeluarkan buku saku yang lusuh, lalu mulai membaca dari buku itu dengan suara datar.

   Jutawan itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan perasaan lega.

   Goby berhenti membaca, lalu melihat dengan penuh perhatian ke keranjang sampah.

   "Hm!"

   Kata Van Aldin.

   "Meyakinkan sekali. Perkaranya akan berjalan lancar sekali. Bukti dari hotel itu benar, kan?"

   "Barang murni,"

   Kata Goby, sambil memandangi sebuah kursi yang bersepuh emas dengan pandangan jahat.

   "Dan keadaan keuangannya buruk sekali. Dia sekarang sedang mencoba mencari pinjaman, katamu? Semua yang bisa diharapkannya dari ayahnya boleh dikatakan sudah digadaikannya. Begitu berita tentang perceraian itu tersiar, dia tidak akan bisa lagi mendapatkan pinjaman barang sesen pun. Bukan hanya itu, surat-surat berharganya pun akan bisa dibeli semua, lalu dari segi itu kita akan bisa menekannya. Dia sudah ada di tangan kita, Goby, dia sudah terjepit di tangan kita."

   Dihantamnya meja kuat-kuat dengan tinjunya. Wajahnya keras dan penuh kemenangan.

   "Rupanya,"

   Kata Tuan Goby dengan suara halus.

   "informasi saya memuaskan."

   "Sekarang aku harus pergi ke Curzon Street,"

   Kata Jutawan itu.

   "Terima kasih banyak, Goby. Kau memang hebat."

   Di wajah pucat pria yang kecil itu terulas senyum mengandung rasa terima kasih.

   "Terima kasih, terima kasih, Tuan Van Aldin,"

   Katanya.

   "saya akan berusaha keras lagi."

   Van Aldin tidak langsung pergi ke Curzon Street.

   Dia pergi ke pusat kota dulu, di mana dia menanyai dua orang lagi dan memperoleh jawab yang menambah kepuasannya.

   Dari sana dia naik kereta api bawah tanah ke Down Street.

   Waktu dia berjalan di Curzon Street, seseorang keluar dari rumah nomor seratus enam puluh, dan membelok ke arahnya, sehingga mereka berpapasan di trotoar.

   Sesaat, jutawan itu menyangka bahwa laki-laki itu adalah Derek Kettering sendiri -tinggi dan potongan badannya serupa.

   Tetapi waktu mereka berhadap-hadapan, dia menyadari bahwa dia tak kenal pada orang itu.

   Tetapi -tidak, bukannya tak kenal -wajah orang itu membangkitkan rasa kenal pada jutawan itu, dan kenangan itu jelas berhubungan dengan sesuatu yang tak menyenangkan.

   Dia memeras otaknya benar-benar, namun tak ada kenangan yang muncul.

   Dia mencoba lagi, sambil menggoyang-goyang kepalanya dengan jengkel.

   Dia tak suka mengalami kegagalan.

   Jelas bahwa Ruth Kettering sedang mengharapkan kedatangannya.

   Wanita itu berlari mendapatkannya lalu menciumnya waktu dia masuk.

   "Nah, Ayah, bagaimana semuanya?"

   "Baik-baik saja,"

   Kata Van Aldin.

   "tapi ada beberapa hal yang harus kubicarakan denganmu, Ruth."

   Hampir tanpa disadarinya, jutawan itu melihat perubahan pada Ruth -keceriaan putrinya waktu menyambut kedatangannya tadi berganti menjadi sesuatu yang tajam dan waspada. Dia lalu duduk di sebuah kursi yang besar.

   "Nah, Ayah?"

   Tanyanya.

   "Ada apa?"

   "Aku sudah berbicara dengan suamimu tadi pagi,"

   Kata Van Aldin.

   "Ayah berbicara dengan Derek?"

   "Ya. Bicaranya banyak, tapi kebanyakan omong kosong. Tapi pada saat dia akan pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat aku jadi tak mengerti. Aku dianjurkannya supaya mengadakan pembicaraan terus terang antara ayah dan anak. Apa maksudnya itu, Ruthie?"

   Nyonya Kettering bergerak sedikit di dalam kursinya.

   "Aku -aku tak tahu, Ayah. Bagaimana aku bisa tahu?"

   "Pasti kau tahu,"

   Kata Van Aldin.

   "Ada lagi sesuatu yang dikatakannya, mengenai dia dan teman-temannya dan tak pernah mencampuri urusanmu dengan teman-temanmu. Apa maksudnya itu?"

   "Aku tak tahu,"

   Kata Ruth Kettering lagi. Van Aldin duduk. Mulutnya terkatup rapat.

   "Sadarilah, Ruth. Aku tak mau memulai urusan ini dengan mata tertutup. Aku sama sekali tak yakin bahwa suamimu itu tak punya niat untuk mengacaukan. Yah, dia memang tak bisa berbuat demikian, aku yakin itu. Aku punya cara untuk menutup mulutnya, untuk membungkamnya selama-lamanya, tapi aku harus tahu apakah ada manfaatnya memakai jalan itu. Apa maksudnya mengatakan bahwa kau punya teman-teman tersendiri?"

   Nyonya Kettering mengangkat bahunya.

   "Temanku banyak sekali,"

   Katanya tanpa keyakinan.

   "Aku tak tahu apa maksudnya, sungguh."

   "Kau tahu,"

   Kata Van Aldin. Kini bicaranya seperti dia sedang berbicara dengan lawan usahanya.

   "Kutegaskan lagi. Siapa laki-laki itu?"

   "Laki-laki yang mana?"

   "Laki-laki itu. Itulah yang dimaksud Derek. Seorang laki-laki tertentu yang menjadi temanmu. Kau tak perlu kuatir, Sayang -aku tahu itu pasti tak ada apa-apanya, tapi kita harus menghadapi segala sesuatu sebagaimana yang bakal muncul dalam sidang. Kau kan tahu bahwa mereka biasanya suka mengorek-ngorek banyak hal. Aku ingin tahu siapa laki-laki itu, dan berapa jauh persahabatanmu dengan dia."

   Ruth tak menjawab. Dia memeras-meras tangannya dalam kegugupannya.

   "Ayolah, Sayang,"

   Kata Van Aldin lemah lembut.

   "jangan takut pada ayahmu sendiri. Aku kan tak pernah terlalu keras padamu, juga tidak waktu di Paris itu? -Astaga!"

   Dia terhenti bagai disambar petir.

   "Dialah itu!"

   Gumamnya sendiri.

   "Sudah kupikir, aku kenal wajah itu."

   "Bicara tentang apa Ayah ini? Aku tak mengerti."

   Jutawan itu mendatangi anaknya dengan langkah panjang-panjang lalu mencengkam pergelangannya erat-erat.

   "Akuilah, Ruth, apakah kau berhubungan dengan laki-laki itu lagi?"

   "Laki-laki yang mana?"

   "Laki-laki yang telah membuat kita pusing bertahun-tahun yang lalu di Paris. Kau pasti tahu siapa yang kumaksud."

   "Maksud Ayah,"

   Dia ragu -"maksud Ayah, Comte de la Roche?"

   "Comte de la Roche!"

   Dengus Van Aldin.

   "Sudah kukatakan padamu waktu itu bahwa laki-laki itu tak lebih dari seorang penipu. Waktu itu kau telah melibatkan dirimu dengan dia secara mendalam, tapi aku bisa melepaskanmu dari cengkeramannya."

   "Memang Ayah waktu itu berhasil,"

   Kata Ruth dengan getir.

   "Dan aku menikah dengan Derek Kettering."

   "Kau yang mau,"

   Tukas jutawan itu dengan tajam. Ruth mengangkat bahunya.

   "Dan sekarang,"

   Kata Van Aldin lambat-lambat.

   "kau berhubungan lagi dengan dia -setelah kuberi peringatan. Hari ini pun dia baru saja dari rumah ini. Aku berpapasan dengan dia di luar -sejenak aku tak ingat siapa dia."

   Ruth Kettering kini menemukan kembali sikapnya.

   "Satu hal akan kukatakan, Ayah, Ayah keliru mengenai Armand -maksudku Comte de la Roche. Memang, aku pun tahu, telah terjadi beberapa peristiwa yang patut disesalkan waktu dia remaja -dia sendiri yang menceritakan hal itu padaku -tapi, yah, dia selalu sayang padaku. Patah hatinya waktu Ayah memisahkan kami di Paris, dan sekarang -"

   Kata-katanya terputus oleh dengus kemarahan ayahnya.

   "Jadi kau tergiur oleh hal-hal begituan, ya? Kau putriku seorang! Ya Tuhan!"

   Dia mengangkat kedua belah tangannya.

   "Perempuan memang bisa jadi begitu goblok!"

   Bab MIRELLE Derek Kettering keluar dari kamar Van Aldin demikian tergesanya, hingga dia bertabrakan dengan seorang wanita yang sedang berjalan menyeberangi lorong hotel.

   Dia meminta maaf, dan wanita itu memaafkannya dengan meyakinkan sambil tersenyum lalu berjalan terus, meninggalkan pada Kettering suatu kesan yang menyenangkan tentang seorang pribadi lembut dengan mata bagus yang berwarna abu-abu.

   Meskipun dia bersikap tak acuh, percakapan dengan ayah mertuanya tadi telah menyebabkan guncangan hebat, meskipun dia tak mau memperlihatkannya.

   Dia makan siang seorang diri, dan setelah itu -tetap dengan alis yang masih bertaut -dia pergi ke sebuah rumah susun yang mewah, tempat tinggal wanita yang bernama Mirelle.

   Seorang wanita Prancis yang langsing menyambutnya dengan tersenyum lebar.

   "Silakan masuk, Tuan. Nyonya sedang beristirahat."

   Dia dipersilakan masuk ke sebuah kamar panjang yang perabotnya bergaya Timur.

   Kamar itu sudah sangat dikenalnya.

   Mirelle sedang berbaring di depan, ditopang bantal kursi banyak sekali, semuanya berwarna merah bata dengan bermacam-macam variasi, supaya selaras dengan kulitnya yang berwarna kuning.

   Penari itu bertubuh indah sekali, dan kalaupun wajah di bawah polesannya yang kuning itu sebenarnya agak kuyu, namun wajah itu punya daya tarik yang kuat, dan bibirnya yang jingga tersenyum pada Derek Kettering dengan cara yang mengundang.

   Derek menciumnya, lalu menghempaskan dirinya ke sebuah kursi.

   "Apa yang sedang kaulakukan? Baru bangun tidur, ya?"

   "Tidak,"

   Kata penari itu.

   "Aku baru saja habis bekerja."

   Dengan tangannya yang panjang dan pucat, dia menunjuk ke piano, di mana kertas-kertas musik berserakan.

   "Ambrose tadi dari sini. Dia memainkan lagu untuk opera yang baru itu."

   Kettering mengangguk tanpa menaruh perhatian.

   Dia sama sekali tak tertarik pada Claud Ambrose, juga tidak pada rencana operanya yang berjudul Peer Gynt karangan Ibsen.

   Mirelle pun sebenarnya demikian pula -dia hanya menganggapnya penting karena dia mendapatkan kesempatan istimewa untuk memerankan Anitra.

   "Tarian itu luar biasa,"

   Gumamnya.

   "Akan kulibatkan semua gairah gurun pasir ke dalam tarian itu. Aku akan menari dengan seluruh tubuhku digantungi perhiasan -aduhai! Dan, omong-omong, Mon ami, kemarin aku melihat sebutir mutiara di Bond Street -sebutir mutiara hitam."

   Dia berhenti, lalu memandang Kettering dengan sikap mengundang.

   "Gadisku sayang,"

   Kata Kettering.

   "tak ada gunanya berbicara tentang mutiara hitam denganku. Saat ini, semua kekayaanku boleh dikatakan sudah punah."

   Mirelle cepat menanggapi nada bicara Derek. Dia duduk, matanya yang besar membelalak.

   "Apa katamu, Derek? Apa yang terjadi?"

   "Ayah mertuaku yang mulia,"

   Kata Kettering.

   "sedang bersiap-siap untuk menghancurkan hidupku habis-habisan."

   "Ha?"

   "Dengan kata lain, dia ingin Ruth menceraikan aku."

   "Bodoh sekali!"

   Kata Mirelle.

   "Mengapa dia mau menceraikan kau?"

   Derek Kettering menyeringai.

   "Terutama gara-gara kau, Sayang!"

   Katanya.

   "Bodoh sekali,"

   Kata Mirelle tegas.

   "Sangat bodoh memang,"

   Derek membenarkan.

   "Apa yang akan kaulakukan sekarang?"

   Tanya Mirelle.

   "Gadisku, apalah yang bisa kulakukan? Di satu pihak ada laki-laki yang tak terhitung jumlah uangnya, sedang di pihak lain ada laki-laki yang tak terhitung jumlah hutangnya. Ini bukan soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang."

   "Orang-orang Amerika itu luar biasa,"

   Kata Mirelle.

   "Padahal istrimu itu kelihatannya sayang sekali padamu."

   "Yah,"

   Kata Derek.

   "apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   Mirelle memandangnya dengan pandangan bertanya. Derek mendatanginya lalu menggenggam kedua belah tangannya.

   "Apakah kau akan tetap setia padaku?"

   "Apa maksudmu? Setelah -?"

   "Ya,"

   Kata Kettering.

   "Setelah itu, bila orang-orang yang berpiutang berdatangan seperti serigala kelaparan. Aku cinta setengah mati padamu, Mirelle. Apakah kau akan meninggalkan aku?"

   Mirelle menarik tangannya dari genggaman Derek.

   "Kau tahu aku memujamu, Derek."

   Derek mendengar nada mengelak dalam suara itu.

   "Jadi begitu rupanya, ya? Di hari panas lupa kacang akan kulitnya."

   "Aduh, Derek!"

   "Katakan,"

   Katanya dengan keras.

   "kau akan melemparkan aku, kan?"

   Mirelle mengangkat bahunya.

   "Aku suka sekali padamu, Mon ami -sungguh, aku suka padamu. Kau menarik sekali -kau pria yang tampan, tapi itu tak banyak manfaatnya."

   "Kau biasa dengan laki-laki kaya yang mewah, ya? Begitu, kan?"

   "Jika kau mau menafsirkannya begitu."

   Dia bersandar pada bantal-bantal, kepalanya ditelentangkannya.

   "Bagaimanapun juga, aku suka sekali padamu, Derek."

   Derek pergi ke jendela dan berdiri di sana beberapa lamanya, melihat ke luar, membelakangi Mirelle. Lalu penari itu bertelekan pada sikunya dan menatapnya dari belakang dengan rasa penuh ingin tahu.

   "Apa yang sedang kaupikirkan, Mon ami?"

   Derek menoleh ke belakang, memandangnya lalu tersenyum, suatu senyuman yang aneh, yang membuat Mirelle agak gelisah.

   "Kebetulan, aku sedang memikirkan seorang wanita, Sayang."

   "Seorang wanita?"

   Mirelle menyerangnya dengan sesuatu yang baru ditanggapinya.

   "Kau sedang memikirkan seorang wanita lain, begitukah?"

   "Ah, kau tak perlu kuatir, hanya sekedar suatu bayangan angan-angan. 'Bayangan seorang wanita yang bermata abu-abu'."

   Mirelle bertanya dengan nada tajam.

   "Kapan kau bertemu dengan dia?"

   Derek Kettering tertawa, dan tawanya mengandung bunyi sindiran yang mengejek.

   "Aku berpapasan dengan seorang wanita di lorong Hotel Savoy."

   "Lalu apa katanya?"

   "Sepanjang ingatanku, aku berkata, 'Maafkan saya,' dan dia menjawab, 'Tidak apa-apa,' atau kata-kata lain semacam itulah."

   "Kemudian?"

   Penari itu mendesak terus. Kettering mengangkat bahunya.

   "Lalu -tak apa-apa. Itulah akhir peristiwa itu."

   "Sepatah pun aku tak mengerti apa yang kaukatakan itu,"

   Kata penari itu.

   "Bayangan seorang wanita yang bermata abu-abu,"

   Gumam Derek sambil merenung.

   "Rasanya tak mungkin aku akan bertemu dengannya lagi."

   "Mengapa?"

   "Dia mungkin pembawa bencana bagiku. Wanita biasanya begitu."

   Diam-diam Mirelle meninggalkan sofanya, lalu pergi mendatangi Derek, dan melilitkan tangannya bagai seekor ular ke lehernya.

   "Kau bodoh, Derek,"

   Gumamnya.

   "Kau tolol sekali. Kau memang pria tampan, dan aku memujamu, tapi aku tak bisa hidup miskin -tidak, aku benar-benar tak bisa hidup miskin. Sekarang dengarkan aku. Semuanya sederhana sekali. Kau harus berdamai dengan istrimu."

   "Kurasa itu tak akan bisa dilaksanakan,"

   Kata Derek datar.

   "Apa katamu? Aku tak mengerti."

   "Van Aldin tidak akan menyerah, Sayang. Dia terkenal sebagai orang yang pandai mengambil keputusan dan kemudian tetap berpegang pada keputusan itu."

   "Aku pernah mendengar tentang dia."

   Penari itu mengangguk.

   "Dia kaya sekali, bukan? Hampir merupakan orang yang terkaya di Amerika. Beberapa hari yang lalu di Paris, dia membeli delima yang paling indah di dunia -namanya Heart of Fire."

   Kettering tidak menjawab. Penari itu berkata lagi sambil merenung.

   "Permata itu indah sekali -permata yang seharusnya menjadi milik seorang wanita seperti aku. Aku suka sekali permata, Derek. Aduhai! Memakai permata delima seperti Heart of Fire itu."

   Dia mendesah pendek, lalu menjadi serius lagi.

   "Kau tidak mengerti soal seperti ini, Derek, kau hanya seorang laki-laki. Kurasa Van Aldin akan memberikan permata delima itu kepada putrinya. Apakah dia putri tunggalnya?"

   "Ya."

   "Bila Van Aldin meninggal, dia tentu akan mewarisi semua kekayaannya. Dia akan menjadi wanita yang kaya sekali."

   "Sekarang pun dia sudah seorang wanita kaya,"

   Kata Derek datar.

   "Ayahnya telah memberinya beberapa juta dolar pada waktu perkawinannya."

   "Beberapa juta! Alangkah banyaknya. Lalu bila perempuan itu tiba-tiba meninggal? Apakah semuanya itu akan jatuh padamu?"

   "Kalau dilihat keadaannya sekarang,"

   Kata Kettering perlahan.

   "memang begitu. Sepanjang pengetahuanku Ruth belum membuat surat wasiat."

   "Ya, Tuhan!"

   Seru penari itu.

   "Bila dia meninggal, betapa akan bagus penyelesaiannya."

   Mereka diam sebentar, lalu kemudian Derek Kettering tertawa terbahak.

   "Aku suka pikiranmu yang sederhana dan praktis itu, Mirelle, tapi aku takut apa yang kaudambakan itu tidak akan tercapai. Istriku itu wanita yang benar-benar sehat."

   "Eh bien!"

   Seru Mirelle.

   "Bukankah ada kecelakaan."

   Derek memandang tajam padanya tetapi tidak menjawab. Wanita itu melanjutkan lagi.

   "Tapi kau benar, Mon ami, kita tak boleh berharap pada kemungkinan-kemungkinan. Coba lihat, Derek sayang, jangan bicarakan soal perceraian itu lagi. Istrimu harus menghentikan gagasan itu."

   "Dan bila dia tak mau?"

   Penari itu memicingkan matanya, hingga hanya merupakan garis saja.

   "Kurasa dia mau, Sahabatku. Dia orang yang tak suka dirinya dijadikan bahan berita. Ada satu atau dua cerita yang bagus tentang dirinya dan dia tentu tak mau sampai dibaca orang di surat-surat kabar."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Kettering tajam. Mirelle tertawa dengan kepala terdongak.

   "Parbleu! Maksudku pria yang bernama Comte de la Roche itu. Aku tahu semua tentang dia. Ingat, aku ini orang Paris. Bukankah laki-laki itu kekasihnya sebelum dia kawin dengan kau?"

   Kettering menangkap pundak wanita itu kuat-kuat.

   "Itu bohong,"

   Katanya.

   "Dan jangan lupa, bagaimanapun juga, orang yang kauceritakan itu masih tetap istriku."

   Mirelle agak sadar.

   "Kalian orang Inggris ini aneh,"

   Keluhnya.

   "Yah, kau memang benar, orang-orang Amerika itu tak punya perasaan, bukan? Tapi izinkanlah aku berkata, Mon ami, bahwa putri Van Aldin itu mencintai Comte de la Roche sebelum dia kawin dengan kau, lalu ayahnya bertindak dan mengusir Comte itu. Dan Nona kecil kita menangis sedih. Tapi dia patuh. Namun, kau pasti tahu juga, Derek, bahwa sekarang lain lagi ceritanya. Hampir setiap hari dia bertemu dengan kekasihnya itu, dan pada tanggal empat belas nanti dia akan pergi ke Paris untuk menjumpainya."

   "Bagaimana kau bisa tahu semuanya itu?"

   Tanya Kettering.

   "Aku? Aku punya teman-teman di Paris, Derek sayang, yang kenal baik pada Comte itu. Semuanya sudah diatur. Istrimu mengatakan dia akan ke Riviera, tapi sebenarnya Comte akan menemuinya di Paris -siapa tahu! Sungguh, percayalah, itu semuanya sudah diatur."

   Derek Kettering berdiri tanpa bergerak.

   "Nah,"

   Penari itu merayu.

   "bila kau pintar, perempuan itu ada dalam genggamanmu. Kau akan bisa membuat segalanya jadi kacau baginya."

   "Ah, demi Tuhan, diamlah,"

   Seru Kettering.

   "Tutup mulutmu yang terkutuk itu!"

   Mirelle menghempaskan badannya ke sofa lagi sambil tertawa.

   Kettering mengambil topi dan mantelnya lalu meninggalkan tempat itu sambil membanting pintu.

   Penari itu tetap duduk di sofa dan tertawa sendiri.

   Dia puas dengan hasil usahanya.

   Bab SURAT-SURAT "Nyonya Samuel Harfield menyampaikan salamnya pada Nona Katherine Grey dan ingin memberitahukan bahwa dalam keadaan sekarang ini Nona Grey mungkin tak tahu -"

   Setelah menulis sampai di situ dengan lancar, Nyonya Harfield tiba-tiba berhenti, tertahan oleh sesuatu yang merupakan kesulitan besar bagi kebanyakan orang -yaitu, kesulitan untuk menulis dengan lancar sebagai orang ketiga.

   Setelah bimbang beberapa saat, Nyonya Harfield merobek kertas itu lalu mulai lagi.

   "Nona Grey yang terhormat, -Sambil menyampaikan penghargaan saya atas pengabdian Anda yang cukup besar terhadap saudara sepupu saya Emma (yang kematiannya baru-baru ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi kami semua), saya hanya bisa merasa -"

   Nyonya Harfield terhenti lagi.

   Sekali lagi surat itu terlempar ke keranjang sampah.

   Setelah empat kali gagal memulai surat, barulah Nyonya Harfield berhasil membuat surat yang memuaskan hatinya.

   Surat itu direkat dan diberinya perangko sebagaimana mestinya, lalu dialamatkannya pada Nona Katherine Grey, Little Crampton, St.

   Mary Mead, Kent, dan esok paginya pada waktu sarapan, surat itu sudah terletak di sebelah piring Katherine, bersama dengan sepucuk surat yang kelihatannya lebih penting, dalam sebuah amplop panjang berwarna biru.

   Katherine Grey membuka surat Nyonya Harfield lebih dulu.

   Beginilah bunyi surat hasil tulisan Nyonya Harfield itu.

   "Nona Grey yth. -Saya dan suami saya ingin menyatakan terima kasih kami kepada Anda atas layanan Anda terhadap saudara sepupu saya Emma, yang malang. Kematiannya merupakan pukulan hebat bagi kami, meskipun kami tentu sudah tahu bahwa sudah beberapa lama pikirannya agak kurang waras. Saya dengar, surat wasiatnya yang terakhir, aneh sekali sifatnya, dan oleh karenanya surat wasiat itu tentu tidak akan bisa berlaku di pengadilan mana pun. Saya yakin bahwa Anda yang biasanya berpikiran sehat, tentu sudah menyadari hal itu. Kata suami saya, bila urusan-urusan semacam itu bisa diselesaikan secara pribadi, akan jauh lebih baik. Kami akan senang sekali memberikan surat keterangan yang memuji supaya Anda bisa mendapatkan pekerjaan yang serupa, dan berharap agar Anda mau menerima pemberian kecil dari kami. Percayalah pada saya, Nona Grey yang baik. Salam hangat, Mary Anne Harfield"

   Katherine Grey membaca surat itu sampai selesai, tersenyum kecil, lalu membacanya lagi untuk kedua kalinya.

   Waktu dia meletakkan surat itu setelah selesai membacanya untuk kedua kalinya, tampak jelas dari wajahnya bahwa dia merasa geli.

   Kemudian dia mengambil surat yang kedua.

   Setelah membacanya sebentar surat itu diletakkannya dan dia menatap lurus-lurus ke depan.

   Kali ini dia tidak tersenyum.

   Siapa pun yang memperhatikannya pasti akan sulit menebak perasaan yang tersembunyi di balik pandang renungannya yang tenang itu.

   Katherine Grey berumur tiga puluh tiga tahun.

   Dia berasal dari suatu keluarga baik-baik, tetapi ayahnya telah kehilangan semua uangnya, dan Katherine sudah harus mencari nafkah sendiri sejak masih muda.

   Dia baru saja berumur dua puluh tiga tahun, waktu dia datang pada Nyonya Harfield tua dan bekerja sebagai pendampingnya.

   Sudah menjadi rahasia umum bahwa Nyonya Harfield tua itu orang yang 'sulit'.

   Pendamping-pendampingnya datang dan pergi silih berganti dalam waktu yang sangat singkat.

   Mereka datang dengan penuh harapan dan mereka pergi biasanya dengan bercucuran air mata.

   Tetapi sejak Katherine Grey menjejakkan kakinya di Little Crampton, sepuluh tahun yang lalu, keadaannya aman damai.

   Tak seorang pun tahu bagaimana hal itu mungkin terjadi.

   Kata orang, pawang ular adalah suatu pembawaan sejak lahir, bukan hasil didikan.

   Katherine Grey memang dilahirkan dengan kemampuan untuk mengatur wanita-wanita tua, anjing, dan anak laki-laki yang masih kecil, dan kelihatannya hal itu dilakukannya tanpa ketegangan.

   Pada usia dua puluh tiga tahun, dia adalah seorang gadis pendiam yang bermata indah.

   Pada umur tiga puluh tiga, dia adalah seorang wanita yang tenang, dengan mata yang berwarna abu-abu itu juga, yang bersinar dan memandang dunia dengan mantap, disertai semacam ketenangan yang mengandung kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh apa pun.

   Apalagi, dia dilahirkan dengan rasa humor, yang sampai sekarang masih dimilikinya.

   Waktu dia duduk sarapan dengan menatap ke depan itu, bel rumah berdering, disusul oleh bunyi pengetuk pintu yang diketukkan kuat-kuat.

   Sebentar kemudian pelayan kecil membuka pintu lalu memberi tahu dengan agak terengah.

   "Dr. Harrison."

   Dokter setengah baya yang bertubuh besar itu masuk dengan langkah-langkah mantap dan bersemangat, hal mana sudah ditandai sebelumnya oleh ketukannya yang kuat pada pintu.

   "Selamat pagi, Nona Grey."

   "Selamat pagi, dr. Harrison."

   "Saya datang pagi-pagi,"

   Kata dokter itu.

   "saya takut Anda sudah mendapat berita dari salah seorang sepupu-sepupu Harfield itu. Dia menamakan dirinya Nyonya Samuel -orang yang benar-benar seperti ular berbisa."

   Tanpa berkata apa-apa, Katherine mengambil surat Nyonya Harfield yang terletak di meja dan memberikannya pada dokter itu.

   Dengan perasaan geli sekali dia memperhatikan dokter itu membaca dan mempertautkan alisnya yang tebal.

   Dengan gertak dan geramnya terasa kebenciannya yang hebat.

   Kemudian surat itu dihempaskannya di meja.

   "Benar-benar busuk,"

   Katanya geram.

   "Jangan sampai surat itu membuat Anda kuatir, Anak baik. Mereka itu bicara seenaknya saja. Pikiran Nyonya Harfield almarhum sama beresnya dengan akal kita berdua, dan tak seorang pun yang akan membantah Anda dalam hal itu. Mereka sama sekali tak punya kekuatan dan mereka sebenarnya tahu itu. Semua pembicaraan mereka yang mengatakan akan membawa hal itu ke pengadilan, hanya gertak saja. Dan semua usaha mereka itu tipuan belaka. Dan dengar, Anakku, jangan pula Anda biarkan mereka menipu dengan cara yang halus. Jangan bayangkan bahwa Anda berkewajiban menyerahkan uang itu, atau berbuat bodoh karena ingin berbasa-basi."

   "Saya rasa, saya tak punya niat untuk berbasa-basi,"

   Kata Katherine.

   "Semua orang itu adalah sanak jauh dari suami Nyonya Harfield, dan mereka tak pernah mendatanginya atau mempedulikannya selama hidupnya."

   "Anda seorang wanita yang bijak,"

   Kata dokter itu.

   "Saya tahu benar, bahwa Anda telah menjalani hidup yang luar biasa kerasnya selama sepuluh tahun terakhir ini. Anda berhak sepenuhnya untuk menikmati hasil tabungan wanita tua itu, seutuhnya."

   Katherine tersenyum sambil termangu.

   "Seutuhnya,"

   Ulangnya.

   "Tak tahukah Anda berapa jumlahnya, Dokter?"

   "Yah -saya rasa cukuplah untuk menghasilkan kira-kira lima ratus setahun."

   "Begitulah saya pikir,"

   Katanya.

   "Sekarang bacalah ini."

   Katherine memberikan surat yang telah dikeluarkannya dari amplop biru tadi kepada dokter. Dokter itu membacanya, lalu berseru keras karena benar-benar terperanjat.

   "Tak mungkin,"

   Gumamnya.

   "Tak mungkin."

   "Almarhumah adalah salah seorang pemegang saham yang pertama dari perusahaan Mortaulds. Empat puluh tahun yang lalu, dia tentu berpenghasilan delapan sampai sepuluh ribu setahun. Padahal saya yakin, dia tak pernah membelanjakan lebih dari empat ratus setahun. Beliau selalu amat cermat dengan uang. Saya selalu menyangka bahwa dia memang harus berhati-hati mengeluarkan setiap penny."

   "Dan selama ini penghasilan itu tentu telah menumpuk dengan adanya bunga-berbunga. Anakku, Anda akan menjadi seorang wanita yang kaya-raya."

   Katherine Grey mengangguk.

   "Ya,"

   Katanya.

   "begitulah."

   Katherine berbicara dengan nada seolah-olah dia sedang membicarakan orang lain, seolah-olah dia sedang meninjau persoalan itu dari luar.

   "Nah,"

   Kata dokter sambil bersiap-siap untuk pulang.

   "kuucapkan selamat yang setulus-tulusnya."

   Dijentiknya surat Nyonya Harfield itu dengan ibu jarinya.

   "Jangan kuatir tentang wanita itu, juga dengan suratnya yang berbisa itu."

   "Surat itu sebenarnya bukan surat yang berbisa,"

   Kata Nona Grey dengan pengertian.

   "Dalam keadaan seperti ini, saya rasa wajar mereka berbuat demikian."

   "Saya kadang-kadang curiga sekali,"

   Kata dokter.

   "Mengapa?"

   "Mengenai apa-apa yang menurut Anda wajar itu."

   Katherine Grey tertawa. Dokter Harrison menceritakan kembali berita besar itu pada istrinya pada waktu makan siang. Istrinya gembira sekali mendengarnya.

   "Bayangkan Nyonya Harfield tua itu -dengan uang sebanyak itu. Aku senang dia mewariskannya pada Katherine Grey. Gadis itu seperti orang suci."

   Muka dokter itu menjadi masam.

   "Aku selalu membayangkan orang-orang suci itu sebagai orang-orang yang sulit. Katherine Grey itu terlalu manusiawi untuk disebut orang suci."

   "Dia seorang suci dengan rasa humor,"

   Kata istri dokter itu sambil berkedip.

   "Dan, kurasa kau tak pernah menyadarinya, dia itu cantik sekali."

   "Katherine Grey?"

   Dokter itu benar-benar terkejut.

   "Matanya bagus, itu aku tahu."

   "Ah, kalian laki-laki ini!"

   Seru istrinya.

   "Buta seperti kelelawar. Dasar-dasar kecantikan ada pada Katherine. Dia hanya memerlukan pakaian!"

   "Pakaian? Apa yang kurang pada pakaiannya? Dia selalu kelihatan manis."

   Nyonya Harrison mendesah putus asa, dan dokter itu bangkit serta bersiap-siap untuk melakukan kunjungan keliling.

   "Sebaiknya kau pergi menjenguknya, Polly,"

   Dokter itu menganjurkan pada istrinya.

   "Aku memang akan pergi,"

   Kata Nyonya Harrison segera. Kunjungan itu dilakukannya pada kira-kira pukul tiga.

   "Aku senang sekali, Anak manis,"

   Katanya dengan hangat, sambil menjabat tangan Katherine.

   "Dan semua orang di desa ini tentu juga senang."

   "Baik sekali Anda mau datang dan mengatakan hal itu,"

   Kata Katherine.

   "Saya memang mengharapkan Anda datang, karena saya ingin tahu tentang Johnnie."

   "Oh! Johnnie. Yah -"

   Johnnie adalah putra bungsu Nyonya Harrison.

   Sesaat kemudian mulailah wanita itu menceritakan riwayat panjang-lebar yang membesar-besarkan penyakit adenoid dan tonsil Johnnie itu.

   Katherine mendengarkan dengan penuh perhatian.

   Kebiasaan memang sulit menghilangkannya.

   Mendengarkan memang sudah merupakan makanannya selama sepuluh tahun.

   "Nah, sudah pernahkah aku menceritakan tentang pesta Angkatan Laut di Portsmouth? Waktu itu Lord Charles mengagumi gaunku."

   Dan dengan sabar dan manis Katherine akan menyahut.

   "Kalau tak salah, sudah, Nyonya Harfield, tapi saya sudah lupa. Maukah Anda menceritakannya lagi?"

   Maka wanita tua itu pun akan mulai dengan penuh semangat, dengan banyak pembetulan, terhenti-henti, serta hal-hal terperinci yang teringat kembali.

   Dan Katherine mendengarkan dengan pikiran setengah-setengah, sambil mengatakan sesuatu yang tepat bila wanita tua itu terhenti....

   Kini dia mendengarkan Nyonya Harrison dengan perasaan ganda yang aneh itu.

   Setelah setengah jam berlalu, Nyonya Harrison tiba-tiba sadar.

   "Aku berbicara tentang diriku saja selama ini,"

   Serunya.

   "Padahal aku kemari untuk berbicara tentang kau dan rencana-rencanamu."

   "Saya tak yakin apakah saya sudah punya rencana."

   "Anak manis -kau kan tidak akan tinggal di tempat ini terus?"

   Katherine tersenyum mendengar nada ngeri wanita itu.

   "Tidak, saya rasa, saya ingin bepergian. Anda pun tahu, bahwa banyak bagian dunia ini yang belum pernah saya lihat."

   "Kurasa memang begitu. Hidupmu selama ini tentunya tidak menyenangkan, ya, terkurung saja di sini selama bertahun-tahun."

   "Entahlah,"

   Kata Katherine.

   "Saya malah merasa mendapatkan banyak kebebasan."

   Melihat teman bicaranya tersentak keheranan, wajahnya agak memerah.

   "Mungkin kedengarannya tolol sekali -berkata begitu. Tentu, saya tidak mendapatkan kebebasan lahiriah dalam arti sebenarnya -"

   "Memang tak ada,"

   Nyonya Harrison membenarkan. Dia ingat bahwa Katherine jarang sekali mendapatkan hari libur.

   "Tapi bagaimanapun juga, karena secara lahiriah terikat, kita lalu mendapatkan banyak pandangan-pandangan mental. Kita selalu bebas berpikir. Saya menemukan perasaan indah bahwa saya punya kebebasan mental."

   Nyonya Harrison menggeleng.

   "Aku tak mengerti."

   "Ah! Bisa saja bila Anda berada di tempat saya. Tapi bagaimanapun juga, saya merasa memerlukan suatu perubahan. Saya ingin -ingin sekali mengalami suatu kejadian. Bukan, bukan atas diri saya sendiri -bukan itu maksud saya. Melainkan berada di tengah-tengah keadaan -hal-hal yang mendebarkan -biarpun saya hanya penontonnya saja. Anda pun tahu bahwa di St. Mary Mead ini tak ada kejadian apa-apa."

   "Memang tidak,"

   Kata Nyonya Harrison membenarkan.

   "Pertama-tama saya akan pergi ke London,"

   Kata Katherine.

   "Saya sekaligus harus menjumpai para penasihat hukum. Setelah itu saya rasa, saya akan pergi ke luar negeri."

   "Menyenangkan sekali."

   "Tetapi, sebelum semuanya itu, tentulah -"

   "Apa?"

   "Saya harus membeli pakaian."

   "Itulah yang kukatakan pada Arthur tadi pagi,"

   Seru istri dokter itu.

   "Ketahuilah, Katherine, kau benar-benar bisa jadi cantik sekali -bila kaucoba."

   Nona Grey tertawa tanpa merasa terbuai.

   "Ah! Saya rasa saya tidak akan bisa dipercantik lagi,"

   Katanya dengan tulus.

   "Tapi saya akan senang mempunyai pakaian yang benar-benar bagus. Ah, terlalu banyak saya membicarakan diri saya sendiri."

   Nyonya Harrison memandang lekat padanya.

   "Pengalaman ini tentu akan luar biasa sekali bagimu,"

   Katanya datar. Katherine minta diri pada Nona Viner tua sebelum meninggalkan desa itu. Nona Viner dua tahun lebih tua daripada Nyonya Harfield, dan pikirannya terpusat pada keberhasilannya hidup lebih lama daripada temannya yang sudah meninggal itu.

   "Kau tentu tak menyangka bahwa aku akan hidup lebih lama daripada Jane Harfield, ya?"

   Katanya dengan rasa kemenangan pada Katherine.

   "Dia dan aku satu sekolah. Dan beginilah keadaannya sekarang, dia dipanggil dan aku ditinggalkan. Siapa sangka?"

   "Anda selalu makan roti dari gandum merah setiap malam, bukan?"

   Gumam Katherine menuruti kebiasaannya.

   "Bayangkan, kau bisa mengingatnya, Nak. Ya, kalau saja Jane Harfield mau makan seiris roti dari gandum merah setiap malam dan minum sedikit obat kuat setiap kali makan, dia sekarang tentu masih hidup."

   Wanita tua itu berhenti bicara, sambil mengangguk dengan sikap kemenangan -lalu karena tiba-tiba teringat dia berkata lagi.

   "Jadi kau sekarang mendapat uang banyak, kudengar. Yah, jaga baik-baik. Lalu apakah kau akan pergi ke London untuk bersenang-senang? Tapi kurasa kau tidak akan kawin, karena kau tak mau. Kau bukan orang untuk menarik perhatian laki-laki. Apalagi umurmu juga sudah agak lanjut. Berapa umurmu sekarang, ya?"

   "Tiga puluh tiga,"

   Kata Katherine.

   "Yah,"

   Tukas Nona Viner ragu.

   "belum terlalu kasip. Hanya kau tentu sudah kehilangan kesegaran remaja."

   "Saya rasa begitulah,"

   Kata Katherine, dia merasa geli sekali.

   "Tapi kau gadis yang manis sekali,"

   Kata Nona Viner dengan ramah.

   "Dan aku yakin banyak laki-laki akan merasa beruntung bila memperistri dirimu, daripada mengambil salah seorang gadis genit zaman sekarang yang berkeliaran saja dan suka menunjukkan terlalu banyak kakinya, daripada yang diizinkan Tuhan. Selamat jalan, Anakku, kuharap kau akan menikmati perjalananmu. Tapi berhati-hatilah, karena banyak hal yang tidak asli dalam hidup ini."

   Dengan rasa senang karena peringatan-peringatan itu, Katherine mohon diri. Setengah isi desa datang ke stasiun untuk mengantarnya -termasuk pelayan kecilnya, Alice, yang membawa sebuah karangan bunga yang kaku, lalu menangis terang-terangan.

   "Tak banyak orang seperti dia,"

   Isak Alice waktu kereta api akhirnya berangkat.

   "Waktu Charlie mengkhianati aku dan main-main dengan gadis dari pabrik pembuat susu itu, tidak ada yang lebih baik daripada Nona Grey. Dan meskipun dia agak cerewet mengenai barang-barang kuningan dan debu, dia pulalah yang selalu bisa melihat bila kita telah menggosok sesuatu secara istimewa. Kapan saja aku akan mau berbuat apa saja baginya. Bagiku, dia selalu seorang wanita utama."

   Demikianlah keberangkatan Katherine dari St. Mary Mead. Bab LADY TAMPLIN MENULIS SURAT "Wah,"

   Kata Lady Tamplin.

   "wah."

   Diletakkannya surat kabar Daily Mail edisi daratan Eropa, lalu menatap ke air Laut Mediterania yang biru.

   Setangkai bunga mimosa berwarna keemasan yang berjuntai di kepalanya, menjadi pelengkap yang tepat untuk suatu gambaran yang indah.

   Seorang wanita yang berambut pirang keemasan, bermata biru, dan mengenakan baju rumah yang indah sekali.

   Tak dapat disangkal bahwa rambut yang pirang keemasan dan kulit muka yang dadu bercampur putih itu adalah buatan, namun warna mata yang biru adalah pemberian alam, dan pada usia empat puluh empat, Lady Tamplin masih tergolong wanita cantik.

   Lady Tamplin yang begitu menarik itu, baru saat itulah tidak sedang memikirkan dirinya sendiri.

   Artinya dia tidak sedang memikirkan penampilannya.

   Dia sedang asyik memikirkan soal yang lebih penting.

   Lady Tamplin adalah tokoh yang terkenal di Riviera, dan pesta-pesta yang diselenggarakannya di Vila Marguerite, dibesarkan orang sebagaimana mestinya.

   Dia seorang wanita yang punya pengalaman cukup banyak, dan sudah empat orang suaminya.

   Suaminya yang pertama hanyalah hasil perkawinan yang tak bijaksana, dan oleh karenanya jarang disebut-sebut oleh wanita itu.

   Pria itu cukup arif dan meninggal pada saat yang tepat sekali, dan setelah itu jandanya menikah dengan seorang pemilik pabrik kancing yang kaya.

   Yang kedua ini pun meninggal setelah perkawinan mereka berumur tiga tahun -kata orang setelah berpesta-pora dengan teman-temannya sealiran.

   Setelah itu datang Viscount Tamplin, yang telah memantapkan Rosalie ke kedudukan tinggi yang memang diingininya.

   Gelar yang didapatnya dari perkawinannya yang ketiga itu, dipakainya terus setelah dia menikah untuk keempat kalinya.

   Perkawinan yang keempat ini dilakukannya semata-mata untuk bersenang-senang.

   Tuan Charles Evans, seorang pria muda yang sangat tampan, yang baru berumur dua puluh tujuh, bertingkah laku menyenangkan, sangat menyukai olahraga, dan suka akan barang-barang yang bagus, sebenarnya sama sekali tak punya uang.

   Lady Tamplin pada umumnya merasa puas dan senang dengan hidupnya, tetapi dia kadang-kadang agak cemas mengenai keadaan keuangannya.

   Pemilik pabrik kancing telah mewariskan pada jandanya harta yang cukup banyak, tetapi, seperti yang sering dikatakan Lady Tamplin.

   "Ada-ada saja soalnya -" (salah satu di antaranya turunnya harga nilai saham akibat peperangan, dan yang lain adalah pemborosan yang telah dilakukan oleh Almarhum Lord Tamplin). Dia masih mempunyai kekayaan cukup banyak. Tetapi kalau hanya cukup banyak saja, kurang memuaskan bagi seseorang seperti Rosalie Tamplin. Maka, pada pagi hari yang istimewa dalam bulan Januari itu, dibukanya matanya yang biru itu lebar-lebar waktu dia membaca sebuah berita dan hanya dapat mengucapkan satu suku kata seru tanpa arti.

   "Wah". Hanya ada seorang lain yang ada di balkon itu bersamanya, yaitu putrinya, Nona Lenox Tamplin. Seorang putri seperti Lenox itu bagaikan duri di sisi Lady Tamplin -dia seorang gadis yang tak kenal tenggang rasa, yang berwajah lebih tua daripada umurnya, dan sifat humornya yang aneh dan penuh sindiran, sekurang-kurangnya bisa disebut tidak menyenangkan.

   "Sayang,"

   Kata Lady Tamplin.

   "coba bayangkan."

   "Ada apa?"

   Lady Tamplin mengambil Daily Mail tadi, diberikannya pada putrinya, lalu menunjuk dengan bersemangat bagian berita yang menarik itu. Lenox membacanya tanpa semangat seperti yang ditunjukkan ibunya. Surat kabar itu dikembalikannya.

   "Apa istimewanya berita itu?"

   Tanyanya.

   "Hal-hal seperti itu sering terjadi. Wanita-wanita tua yang kikir selalu meninggal di desa dan meninggalkan kekayaannya yang berjuta-juta pada pendampingnya yang papa."

   "Benar, aku tahu itu,"

   Kata ibunya.

   "dan aku yakin kekayaan itu biasanya tidaklah sebesar yang diberitakan -surat-surat kabar itu sering tak teliti. Tapi biar tinggal separuh jumlah itu sekalipun -"

   "Yah,"

   Sela Lenox.

   "harta itu kan tidak diwariskan pada kita."

   "Secara langsung tidak, Sayang,"

   Kata Lady Tamplin.

   "tapi gadis ini, Katherine Grey ini, sebenarnya saudara sepupuku. Salah seorang warga Grey dari cabang Worchestershire, di sebelah Edgeworth. Sepupuku sendiri! Bayangkan!"

   "Oh -begitu,"

   Kata Lenox.

   "Lalu aku jadi berpikir -"

   Kata ibunya.

   "Apakah kita akan mendapatkan bagian juga,"

   Sambung Lenox dengan senyum mencibir yang selalu sulit dipahami ibunya.

   "Ah, Sayang,"

   Kata Lady Tamplin, dengan nada teguran yang tak tegas. Teguran itu memang hanya samar-samar saja, sebab Lady Tamplin sudah terbiasa akan kelancangan mulut putrinya dan dengan apa yang disebutnya cara bicara Lenox yang tak menyenangkan.

   "Aku sedang berpikir,"

   Kata Lady Tamplin sambil mengerutkan alisnya yang digambar dengan bagus sekali.

   "apakah -oh, selamat pagi, Chubby sayang, apakah kau akan main tenis? Baik sekali!"

   Orang yang biasa dipanggil 'Chubby' itu tersenyum ramah, berkata sebagaimana mestinya.

   "Kau kelihatan cantik sekali memakai baju berwarna buah peach itu,"

   Lalu berjalan terus melewati mereka dan menuruni tangga.

   "Kekasihku itu,"

   Kata Lady Tamplin, sambil memandangi suaminya dari belakang dengan penuh kasih sayang.

   "Oh ya, apa kataku tadi? Oh!"

   Pikirannya diputarnya kembali pada urusannya tadi.

   "Aku sedang berpikir -"

   "Aduh, demi Tuhan, teruskanlah kata-kata itu. Sudah tiga kali Ibu berkata begitu."

   "Ya, Sayang,"

   Kata Lady Tamplin.

   "kupikir, alangkah baiknya bila aku menulis surat pada Katherine yang baik itu dan mengajaknya mengunjungi kita di sini. Dia memang kurang biasa hidup dalam masyarakat. Akan lebih baik jika dia dibiasakan bergaul dalam masyarakat dengan diantar oleh salah seorang sanaknya sendiri. Suatu keuntungan baginya, juga bagi kita."

   "Menurut Ibu, berapa dia akan memberi Ibu?"

   Tanya Lenox. Ibunya melihat padanya dengan pandangan menegur lalu menggumam.

   "Kita tentu akan bisa mengatur segi keuangannya. Soalnya selalu ada-ada saja -peperanganlah -mana ayahmu yang malang itu."

   "Dan sekarang Chubby,"

   Kata Lenox.

   "Dia itu suka kemewahan."

   "Sepanjang ingatanku, Katherine itu seorang gadis yang manis,"

   Gumam Lady Tamplin, mengikuti jalan pikirannya lagi -"pendiam, tak pernah ingin menonjolkan diri, tidak cantik dan tak pernah suka mengejar laki-laki."

   "Oh, kalau begitu, dia tidak akan mengganggu Chubby, ya?"

   Kata Lenox. Lady Tamplin memandangnya dengan menyalahkan.

   "Chubby tidak akan pernah mau -"

   Dia mulai.

   "Tentu tidak,"

   Kata Lenox.

   "Saya rasa dia memang tidak akan mau -dia kan tahu betul siapa yang menghidupinya."

   "Ah, kau,"

   Kata Lady Tamplin.

   "caramu menyatakan sesuatu selalu kasar."

   "Maaf,"

   Kata Lenox. Lady Tamplin mengambil surat kabar Daily Mail tadi, sebuah tas alat-alat kecantikan, dan beberapa pucuk surat, lalu mengangkat bajunya.

   "Aku akan segera menulis surat pada Katherine yang baik itu,"

   Katanya.

   "dan mengingatkannya kembali pada masa lalu yang menyenangkan di Edgeworth."

   Dia masuk ke rumah, dengan mata yang memancarkan cahaya yang mengandung suatu tekad.

   Penulisan surat itu dilakukan dengan lancar sekali tidak seperti Nyonya Samuel Harfield.

   Empat halaman dipenuhinya tanpa berhenti atau bersusah payah, dan setelah membacanya kembali dilihatnya bahwa dia tak perlu mengubah barang sepatah kata pun.

   Katherine menerima surat itu pada pagi hari kedatangannya di London.

   Tak seorang pun tahu apakah terbaca olehnya apa yang tersirat dalam apa yang tersurat.

   Dimasukkannya surat itu ke dalam tasnya lalu keluar untuk memenuhi janji pertemuannya dengan para penasihat hukum Nyonya Harfield.

   Perusahaan itu sudah lama didirikan, bertempat di Lincoln's Inn Fields.

   Dua puluh menit kemudian, Katherine diantar masuk ke ruang salah seorang pemimpin yang sudah tua -seorang pria tua yang baik, bermata biru tajam, dan bersikap kebapakan.

   Selama dua puluh menit mereka membahas surat wasiat Nyonya Harfield dan beberapa soal lain, lalu Katherine memberikan surat Nyonya Samuel pada pengacara itu.

   "Saya rasa sebaiknya saya perlihatkan surat ini pada Anda,"

   Katanya.

   "meskipun sebenarnya tak masuk akal."

   Pengacara itu membacanya, lalu tersenyum kecil.

   "Sungguh, suatu perbuatan yang kasar, Nona Grey. Saya rasa saya tak perlu lagi memberi tahu Anda, bahwa orang-orang ini sama sekali tak punya hak sedikit pun atas peninggalan itu. Dan bila mereka berusaha untuk menuntut surat wasiat itu, tak satu pengadilan pun mau menerima pengaduan itu."

   "Saya pun berpikir begitu."

   "Sifat manusia memang tidak selamanya baik. Bila saya berada di tempat Nyonya Samuel Harfield, saya akan lebih cenderung mengharapkan kemurahan hati Anda."

   "Itulah salah satu hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Saya ingin agar suatu jumlah tertentu diberikan pada orang-orang itu."

   "Tak ada keharusan untuk itu."

   "Saya tahu."

   "Dan mereka tidak akan menerimanya dengan pengertian yang Anda maksud. Mereka mungkin akan menganggapnya sebagai suatu usaha untuk menyuap mereka, meskipun mereka tidak akan menolaknya."

   "Saya mengerti, dan kita tak bisa berbuat apa-apa."

   "Saya ingin menasihati Anda, Nona Grey, sebaiknya Anda buang gagasan itu dari pikiran Anda."

   Katherine menggeleng.

   "Saya tahu, Anda pasti benar, namun bagaimanapun saya tetap ingin hal itu dilaksanakan."

   "Mereka akan menerkam uang itu dan sesudah itu akan makin mencaci-maki Anda."

   "Yah,"

   Kata Katherine.

   "biarkan saja mereka kalau mereka suka. Kita semua punya cara masing-masing untuk menghibur diri. Bagaimanapun juga, hanya merekalah sanak Nyonya Harfield, dan meskipun mereka membencinya karena miskinnya dan tak pernah memperhatikannya waktu dia masih hidup, saya rasa tidaklah adil bila mereka disisihkan tanpa mendapatkan apa-apa."

   Katherine tetap berpegang pada pendiriannya, meski pengacara itu masih enggan.

   Kemudian dia keluar ke jalan di London dengan perasaan senang, karena dia akan bisa membelanjakan uang dengan bebas dan membuat rencana apa saja yang disukainya untuk masa depannya.

   Yang pertama-tama dilakukannya adalah mengunjungi gedung tempat seorang penjahit yang terkenal.

   Seorang wanita Prancis kecil yang sudah berumur, yang serupa dengan seorang bangsawan wanita yang sedang bermimpi, menyambutnya, dan Katherine berbicara seperti orang yang tak tahu apa-apa.

   "Kalau boleh saya ingin mempercayakan diri saya pada Anda. Selama hidup saya, saya miskin sekali dan tak tahu apa-apa tentang pakaian. Tetapi sekarang saya mendapat uang dan ingin benar-benar berpakaian bagus."

   Wanita Prancis itu merasa tertarik.

   Dia mempunyai rasa seni, dan dia merasa pagi itu rasa seninya telah dinodai gara-gara kedatangan seorang ratu daging dari Argentina, yang berkeras akan membeli baju yang modelnya sama sekali tak cocok dengan kecantikannya yang menyolok.


Pendekar Slebor Lembah Kutukan Rajawali Emas Dewi Karang Samudera Roro Centil Empat Iblis Kali Progo

Cari Blog Ini