Ceritasilat Novel Online

Berjalan Dalam Tidur 3


Fear Street Berjalan Dalam Tidur Bagian 3



"Jangan cemas. Dr. Sterne akan menolong menemukan penyebabnya, dan sementara ini kau dapat tidur di kamarku,"

   Mrs.

   Barnes berkata.

   Namun melihat bibirnya yang gemetar dan air mata yang menggenang di sudut matanya, Mayra tahu ibunya sama ketakutan dan sama bingungnya dengan dia sendiri.

   *********************************** Kedua resepsionis rumah sakit itu, yang duduk di dalam lingkaran meja di tengah-tengah lobi, lebih tertarik untuk ngobrol sendiri daripada melayani orang-orang yang datang menanyakan arah serta informasi.

   "Aku tak tahu, Barbara. Sungguh, aku tak tahu,"

   Ucap wanita yang lebih kecil berulang-ulang kepada yang lebih besar, yang berulang kali menggeleng.

   Mayra, mengenakan celana pendek dan T-shirt kuning berlengan panjang, menunggu dengan sabar, bersandar ke meja resepsionis.

   Setelah beberapa saat ia merasa harus menyela jika tak ingin terlambat sampai di ruangan Dr.

   Sterne.

   "Boleh saya tahu di mana ruangan Sterne?"

   "Lantai empat,"

   Sahut resepsionis yang bernama Barbara, hanya memandangnya sekilas.

   "Pakai lift sebelah kiri,"

   Tambah temannya, yang ternyata punya perhatian juga. Mayra mengucapkan terima kasih dan melangkah ke lift sebelah kiri. Meskipun belum pukul sembilan pagi, orang-orang sudah berkerumun menunggu di depan pintu lift.

   "Oh. Maaf!"

   Mayra menabrak seorang wanita yang kakinya digips.

   "Hati-hati."

   Wanita itu memelototi Mayra dan menjauh, bersandar pada kruk logamnya.

   Aku begitu gelisah, sampai tak memperhatikan apa-apa lagi, pikir Mayra.

   Aku tak ingin berada di sini.

   Aku tidak sakit.

   Kenapa aku ada di rumah sakit? Ia ingin tahu ibunya ada di mana.

   Barangkali di lantai enam.

   Mrs.

   Barnes ingin menemani Mayra ke Dr.

   Sterne, namun banyak pasien yang harus ditanganinya di atas sana.

   Kenapa di sini panas sekali? Mayra heran.

   Disibakkannya rambut ke belakang bahu.

   Seandainya saja ia membawa jepit rambut.

   Akhirnya pintu lift membuka dan semua orang berdesakan masuk, kelihatan sama sekali tidak nyaman.

   Di lantai dua masuk lagi dua dokter yang memakai seragam bedah hijau lengkap dengan topinya, mereka sedang membicarakan pasien dengan suara rendah.

   Ketika lift mencapai lantai empat, Mayra mendesak dari belakang.

   "Mau keluar!"

   Teriaknya. Tapi kelihatannya tak seorang pun mendengar.

   "Tolong... saya mau keluar."

   Pintu mulai menutup ketika ia mendorong orang-orang di kirikanannya dan mendekati pintu lift.

   Ia nekat meloncat dan akhirnya berhasil keluar tepat saat pintu membanting menutup.

   Sekarang aku di mana? tanyanya pada diri sendiri.

   Ia menyusuri dinding berwarna hijau pucat sampai menemukan papan bertulisan PSIKIATRI.

   Ada anak panah di samping tulisan itu, menunjuk ke arah kanan, jadi Mayra berjalan ke kanan, melewati dua pintu ayun, dan masih terus berjalan.

   Kamar-kamar pasien berderet di sepanjang kedua sisi lorong sempit itu.

   Lewat pintu-pintu yang setengah menutup Mayra dapat melihat para pasien berbaring di ranjang mereka.

   Beberapa sedang tidur.

   Beberapa memandang pesawat TV yang tampaknya digantung di langit-langit.

   Lalu terdengar gema pertandingan olahraga.

   Mungkin aku salah belok, pikir Mayra.

   Orang-orang ini kelihatannya sakit.

   Mereka tidak mirip pasien psikiatri.

   "Bisa saya bantu?"

   Seorang mantri bertubuh besar yang sedang membawa setumpuk nampan muncul di depannya.

   "Oh. Ya. Saya mencari ruangan Dr. Sterne."

   "Dia di Psikiatri."

   "Yeah. Saya tahu. Saya..."

   "Kembalilah melewati pintu-pintu itu, lalu belok ke kanan."

   "Oke. Terima kasih banyak."

   Ia berbalik dengan tidak yakin dan mencoba mengikuti petunjuk mantri itu. Setelah melewati pintu-pintu itu ia membelok ke kanan dan melewati lorong yang sejenis, hanya kali ini berdinding biru pucat.

   "Aku harus keluar dari sini,"

   Kata Mayra keras-keras.

   Ia berbalik lagi dan dengan cepat melewati sederetan pintu ayun yang lainnya.

   Ada lagi papan bertulisan PSIKIATRI.

   Sebuah anak panah menunjuk lurus ke depan.

   Seorang perawat yang mendorong sekereta nampan sarapan tersenyum tenang padanya ketika berpapasan.

   Merasa jadi sedikit berani, Mayra melanjutkan berjalan, membaca papan-papan nama di samping setiap pintu.

   Ia sampai di ruang jaga tempat seorang perawat yang tampaknya kecapekan terkulai di balik meja, matanya terpejam.

   Ketika baru akan menanyakan letak ruangan Dr.

   Sterne, Mayra terhenti -dan tersentak.

   Cowok di sana itu...

   Cal.

   Ia mengenali rambut pirangnya yang cepak.

   Matanya yang melotot.

   Lehernya yang besar.

   Cowok itu mula-mula tidak melihat Mayra.

   Ia sedang duduk di sofa di dekat ruangan perawat, matanya sedang memandangi papan penunjuk yang bertulisan PSIKIATRI.

   Namun kemudian ia menengok dan melihat Mayra, dan pandangan mereka bertemu.

   Mayra langsung mengalihkan pandangannya ke bawah, lalu melihat gelang nama di lengan orang itu.

   Oh, tidak! Ia segera menyadari mengapa Cal ada di situ.

   Dia pasien sakit jiwa! Chapter 18

   "HEI... kau!"

   Dalam sekejap Cal mengenali Mayra.

   Ia kelihatan bingung, pusing.

   Ia berusaha berdiri, dan Mayra melihat untuk pertama kalinya bahwa ia memegang tongkat.

   Mayra memutar badannya, mencari jalan untuk lari.

   Muka Cal memerah.

   Ekspresinya berubah dari terkejut menjadi marah.

   "Hei... berhenti!"

   Teriakannya membangunkan perawat itu, yang langsung melonjak dari kursinya. Antara Mayra dan Cal ada meja perawat itu. Mayra cepat-cepat melangkah menjauh.

   "Hei... berhenti!"

   Cal mengejar Mayra, mukanya merah padam, matanya melotot marah. Mayra mulai berlari. Hampir saja ia menabrak kereta yang penuh dengan nampan-nampan makan siang.

   "Hei... kalau jalan lihatlihat!"

   Seru seorang mantri memperingatkan. Mayra menoleh ke belakang. Cal sedang mendekatinya, melangkah terseok-seok disangga tongkatnya, dan melambailambaikan tangan ke Mayra dengan kacau.

   "Berhenti... kau! Hentikan cewek itu!"

   Teriak cowok itu. Mayra berbelok di sudut, mencari-cari tempat persembunyian. Ia menyelinap ke dalam sebuah kamar.

   "Halo? Bisa saya bantu?"

   Seorang wanita muda cepat-cepat bangun, duduk di tempat tidurnya di dekat jendela.

   "Oh. Maaf. Saya salah masuk kamar,"

   Kata Mayra. Ia menyelinap keluar kembali ke koridor.

   "Nah, sekarang!"

   Cal bersorak, muncul dari belokan.

   "Stop. Kau takkan bisa ke mana-mana lagi!"

   "Kau mau apa? Pergi kau!"

   Jerit Mayra. Cal menyerbu ke depan dengan canggung, berusaha matimatian menangkap Mayra. Tiba-tiba muncul dua perawat di kirikanan Cal, menyergapnya, menahan tubuhnya.

   "Tolol! Lepaskan aku!"

   Serunya.

   Lalu Mayra melihat papan penunjuk di dekat sebuah pintu yang terbuka.

   DR.

   LAWRENCE STERNE.

   Seorang laki-laki muda berambut warna tembaga keriting berdiri di depan pintu.

   Ia mengenakan setelan berwarna cokelat gelap dan sedang membolakbalik kertas pada clipboard.

   Mendengar Cal ribut memberontak dari pegangan para perawat tadi, Mayra melesat ke belakang orang itu dan menyerbu masuk ke dalam ruangan kantor yang kosong.

   Ia akan menutup pintu di belakangnya, tapi orang itu menahan daun pintu dengan clipboardnya.

   Ä’BYKYLάWάS.BOGÅžPOT.ÄŒOM "Maaf, Nona,"

   Ia berkata, tampak terkejut sekali.

   "Anda sedang apa?"

   "Saya... uh... saya ada janji dengan Dr. Sterne,"

   Mayra tergagap-gagap.

   "Ini kantornya, kan?"

   "Ya, betul."

   Laki-laki itu ikut masuk dan meletakkan clipboardnya di atas meja yang berantakan.

   "Aku Dokter Sterne."

   "Tapi Anda terlalu muda!"

   Ucapan itu hampir terlontar dari mulut Mayra. Tapi ia berhasil menghentikannya. Namun ia tidak bisa menghentikan gerakan mulutnya yang menganga heran.

   "Aku tidak seperti yang kaubayangkan, ya?"

   Dr. Sterne berkata sambil memandangi Mayra dari atas ke bawah.

   "Well, ya,"

   Mayra mengakui.

   "Aku pernah mencoba memelihara jenggot supaya kelihatan lebih tua,"

   Kata psikiater itu.

   "tapi tumbuhnya tidak keruan. Malahan membuatku mirip musang."

   Ia tersenyum pada Mayra, namun ekspresinya segera berubah.

   "Kenapa kau lari ke sini seperti itu?"

   "Ada orang mengejar saya. Salah satu pasien sakit jiwa."

   "Pasien sakit jiwa?"

   Dr. Sterne melangkah keluar ke koridor dan menengok ke kiri-kanan.

   "Dia besar dan pirang. Lehernya besar."

   "Lehernya besar?"

   Tanya Dr. Sterne dari koridor.

   "Ella? Kau lihat seseorang yang berleher besar di luar sini?"

   Seorang perawat berbadan tinggi kurus, berambut hitam lurus, serta berkacamata dengan gagang tanduk hitam, muncul di koridor di samping Dr. Sterne. Ia bukan perawat yang telah menolong Mayra membebaskan diri dari sergapan Cal.

   "Tidak, saya tidak melihat siapa-siapa,"

   Sahut perawat itu.

   "Apakah dia pasien Anda?"

   "Bukan. Bukan. Terima kasih,"

   Dr. Sterne menjawab sambil menggaruk dagu. Ia kembali masuk ke kantornya, lalu memandang Mayra dengan sorot tidak percaya.

   "Dia benar-benar ada di sana,"

   Kata Mayra.

   "Dia sudah pernah mengejar saya sebelumnya."

   "Orang berleher besar itu?"

   "Ya. Dia mencari tahu tentang saya pada teman saya. Dan suatu hari dia membuntuti saya. Dan sekarang saya baru tahu dia pasien sakit jiwa di sini dan..."

   Dr. Sterne mengangkat kedua tangannya.

   "Woo. Tenang. Biar kuperjelas dulu. Katamu orang berleher besar itu membuntutimu di luar sana padahal dia pasien di rumah sakit ini?"

   "Ya. Anda tak percaya, kan?"

   Tanya Mayra, tiba-tiba ia merasa marah.

   "Aku baru menyadari siapa kau,"

   Kata Dr. Sterne sambil duduk di kursi kulit hitam yang tinggi di balik mejanya yang kacau.

   "Kau putri Amy Barnes. Mayra -betul, kan?"

   Mayra merasa malu sekali karena beberapa alasan. Orang ini teman ibunya, dan sekarang orang ini berpikir ia benar-benar sinting, membayangkan ada yang membuntutinya.

   "Ya. Kata Mom..."

   "Kau sering berjalan dalam tidur."

   "Mom menceritakan semuanya?"

   "Ya. Tapi aku lebih suka mendengarnya dari kau sendiri."

   Dr. Sterne menyuruh Mayra duduk di kursi berlengan dari bahan kulit hijau di seberang mejanya.

   "Bukankah mestinya saya berbaring di sofa atau sesuatu?"

   "Mestinya aku botak, tua, berlogat asing, dan kau mestinya berbaring di sofa."

   Dr. Sterne tertawa kecil.

   "Well, maaf. Aku tak punya logat asing, dan aku tak punya sofa. Kukira kau dapat bicara denganku sambil duduk, kan?"

   Mayra tersenyum untuk pertama kalinya. Paling tidak dokter ini bisa bercanda. Mayra menjatuhkan dirinya ke kursi dan mengembuskan napas lega.

   "Kau takut?"

   Dr. Sterne bertanya sambil memajukan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja. Ia membalik lembaran kosong di sebuah notes kuning panjang.

   "Tidak. Maksud saya, ya. Maksud saya, bukan pada Anda."

   Psikiater itu kelihatan kecewa.

   "Kau tidak menganggapku orang yang mengerikan?"

   "Tidak juga,"

   Sahut Mayra.

   "Anda berusaha bersikap manis pada saya supaya saya tenang, bukan?"

   "Betul,"

   Dr. Sterne langsung mengakuinya.

   "Mau melihatku menyulap tiga apel?"

   Mayra tertawa.

   "Tidak. Sungguh tidak. Sekarang saya merasa lebih baik. Sungguh."

   "Kau kelihatannya kecapekan,"

   Kata dokter itu.

   "Apa kau cukup tidur?"

   "Tidak. Saya takut tidur."

   "Takut kau akan berjalan dalam tidur lagi?"

   "Ya."

   "Ayo kita mulai dari awal,"

   Kata Dr. Sterne sambil mencatat di notesnya.

   "Ceritakan padaku tentang saat pertama kali kau mengalami berjalan dalam tidur. Setiap detail yang dapat kauingat. Bayangkan semuanya. Pejamkan matamu kalau kau mau. Coba bayangkan semua yang kaukatakan."

   Mayra memejamkan matanya, namun cepat-cepat membukanya kembali.

   "Tidak. Nanti saya bisa ketiduran."

   Sambil menerawang ke arah jendela di belakang meja si dokter, Mayra mulai menceritakan sebanyak mungkin, diawali dengan mimpi aneh yang dialaminya setiap kali.

   Membutuhkan waktu lama untuk menguraikan semuanya itu.

   Ketika Mayra selesai mengatakan semua yang dialaminya -ditarik keluar dari danau, tercekik, dan hampir tenggelam -Dr.

   Sterne telah memenuhi lembaran notes dengan tulisannya.

   "Apakah saya gila atau apa?"

   Mayra bertanya, terkejut karena menyadari bahwa suaranya bergetar. Dikiranya ia akan merasa lega setelah mengeluarkan semuanya kepada psikiater itu, namun ternyata ia merasa lebih gelisah dan lebih takut daripada yang pernah dialaminya.

   "Kau tidak gila,"

   Sahut Dr. Sterne sambil mengerutkan wajah.

   "Berhentilah mengira begitu. Kupikir ada sesuatu yang membebani pikiranmu, sangat meresahkanmu. Tapi menurutku kau tidak perlu cemas terkena penyakit jiwa. Bukan itu yang menyebabkan kau berjalan dalam tidur."

   "Lalu apa penyebab sebenarnya?"

   Desak Mayra.

   "Kuduga ini akibat trauma yang terpendam,"

   Sahut Dr. Sterne.

   "Apa? Tolong Anda jelaskan. Saya belum mendapat pelajaran psikologi di sekolah."

   "Ada sesuatu yang mengganggumu,"

   Jelas dokter itu.

   "Sesuatu yang sangat mengguncang. Kau mencoba mengatasinya ketika tidur, karena kau tahu sulit mengatasinya saat terjaga."

   Mayra menatap dokter itu, memikirkan apa maksudnya.

   "Sesuatu yang mengguncang mengganggu saya?"

   Dr. Sterne mengangguk.

   "Alam bawah sadarmu berusaha mengatasinya."

   "Tapi jika masalah itu sangat mengguncang, bukankah aku pasti ingat?"

   Dr. Sterne membuka laci mejanya, dengan cepat mencari-cari sesuatu, lalu menutupnya kembali. Ia menatap mata Mayra.

   "Kau punya ide kira-kira masalah apa itu?"

   Mayra menggeleng.

   "Tidak. Saya tidak tahu apa yang telah sedemikian mengguncang saya. Saya sangat tidak menyukai pekerjaan saya selama liburan ini, tapi itu bukan masalah besar."

   Mayra baru menyadari bahwa ia belum menceritakan kepada Dr.

   Sterne tentang Mrs.

   Cottler, atau tentang kecurigaannya bahwa Mrs.

   Cottler -atau Stephanie -menyihirnya hingga ia berjalan dalam tidur.

   Kalau kukatakan, dia pasti benar-benar menyangka aku gila, kilah Mayra.

   "Saya putus dengan cowok saya belum lama ini. Tapi saya tidak begitu peduli. Sekarang saya sudah punya cowok baru."

   Dr. Sterne melihat jam tangannya.

   "Oh, aku sungguh-sungguh menyesal. Hari ini pertemuan kita cuma bisa sampai di sini,"

   Katanya. Mayra berdiri.

   "Maaf. Saya..."

   "Aku ingin kau kembali lagi minggu depan,"

   Kata dokter itu. Ia berdiri dan mengantar Mayra ke pintu.

   "Kau mau kembali ke sini dan ngobrol lagi lebih banyak?"

   "Saya... ya."

   "Dan aku tak ingin kau kuatir otakmu terganggu, atau kau mengidap penyakit serius, atau sejenisnya. Tunggu sebentar."

   Dr. Sterne kembali ke meja dan mencoret-coret pada notes. Lalu ia merobek dan memberikannya pada Mayra.

   "Apa ini?"

   Mayra tidak dapat membacanya sedikit pun.

   "Itu resep. Supaya kau dapat tidur. Dosisnya sangat ringan. Tidak menyebabkan kecanduan. Minumlah setiap malam, setengah jam sebelum kau tidur. Sudah terbukti keberhasilannya. Seorang pasienku juga sering berjalan dalam tidur, dan obat itu berhasil menghentikannya."

   "Tapi saya..."

   "Kau perlu tidur. Kau benar-benar kecapekan, Mayra. Dan menurutku kalau bisa menenangkan pikiranmu, mungkin kau dapat menemukan masalahmu, biang keladi kebiasaanmu berjalan dalam tidur."

   Mayra memasukkan resep itu ke kantong celana pendeknya.

   "Jadi itukah nasihat Anda? Tidur?"

   Dr. Sterne tersenyum.

   "Paling tidak aku tak mengatakan, 'Minumlah dua aspirin dan telepon aku besok pagi.'" ************************************* "Kau kelihatan mendingan hari ini,"

   Mayra berkata pada Donna, lalu dengan letih menjatuhkan diri ke kursi lipat di samping tempat tidur temannya.

   "Maksudmu aku sudah setengah sadar dan tak lagi tidak sadar?"

   "Maksudku kondisimu tampak lebih baik. Paling tidak, slangslang itu sudah tidak ada."

   "Yeah. Aku kembali menjadi diriku lagi sekarang,"

   Kata Donna sinis.

   "Aku bukan Frankenstein lagi. Tapi sekarang aku jadi mumi. Lihat perban-perban ini!"

   Mayra bergidik. Mungkin akulah yang seharusnya tergeletak di ranjang rumah sakit ini, pikirnya. Akulah sasaran sebenarnya. Maniak di dalam pickup itu -dikiranya dia berhasil menyodokku keluar dari jalan.

   "Apa kabar dunia di luar sana?"

   Tanya Donna.

   Mayra sedang memikirkan Dr.

   Sterne, penjelasannya mengenai kasus berjalan dalam tidur.

   Ada sesuatu yang mengganggu Mayra, katanya.

   Sesuatu yang begitu mengguncang hingga Mayra tidak dapat memikirkannya waktu terjaga.

   Kira-kira masalah apa ya itu? "Hei, Mayra...

   kau melamun, ya?"

   Suara Donna membuyarkan lamunannya.

   "Oh. Sori."

   "Bagaimana pekerjaanmu? Kau masih mengira Mrs. Cottler yang mengguna-gunaimu?"

   "Ya,"

   Jawab Mayra cepat.

   "Eh, tidak. Maksudku, aku tak tahu."

   "Well, setidaknya kau yakin mengenai hal itu."

   Donna tertawa.

   "Aduh! Jangan bikin aku ketawa. Sakit sekali!"

   "Aku berjalan dalam tidur lagi,"

   Kata Mayra, mendadak ia merasa sangat lelah.

   "Kali ini aku nyaris tenggelam."

   "Oh, ya ampun. Mayra, sori. Di mana?"

   "Di danau. Di belakang hutan Fear Street. Kau tahu, yang di dekat rumah Mrs. Cottler."

   "Kau berjalan sejauh itu sambil tidur?"

   "Yeah. Mula-mula aku mimpi tentang danau, lalu aku berjalan ke sana. Aneh sekali. Kau tahu, Mrs. Cottler kehilangan anaknya di danau itu. Aku ingin tahu apakah itu ada hubungannya dengan..."

   Pikirannya melayang. Ia tidak melanjutkannya.

   "Apa yang terjadi ketika kau sampai di danau?"

   Tanya Donna.

   "Waktu aku sampai di sana, kukira aku tetap berjalan."

   "Dan kau tidak terbangun di dalam air?"

   Wajah Donna tampak penuh rasa ngeri dan prihatin.

   "Tidak. Sampai seorang pemancing datang dan menarikku keluar. Jika dia tidak ada di sana, aku..."

   Donna mengulurkan sebelah tangan dan meraih tangan Mayra.

   "Mayra, kau harus mengatakan pada seseorang tentang Mrs. Cottler. Kau harus mengemukakan kecurigaanmu."

   "Aku baru saja mengunjungi psikiater di lantai di bawah rumah sakit ini. Makanya aku pagi sekali datang ke sini."

   "Dan kau katakan padanya..."

   "Tidak, aku tak bisa melakukannya. Kupikir psikiater tidak akan percaya soal klenik, ya kan?"

   "Tidak, kukira tidak. Tapi, Mayra, ini mengerikan sekali. Lain kali..."

   Mayra melepaskan tangannya dari pegangan Donna dan melangkah ke jendela.

   Ia memandangi tempat parkir yang penuh sesak di bawah, sambil berpikir keras.

   Danau itu.

   Ia harus berpikir tentang danau itu.

   Selama ini ia telah memikirkan segala sesuatu kecuali danau itu.

   Tapi sekarang danau itu kelihatan begitu penting.

   Danau itu pasti kunci semua persoalan yang terjadi pada dirinya -mengapa ia berjalan dalam tidur.

   Ada sesuatu yang mengganggunya, kata Dr.

   Sterne.

   Sesuatu yang membebaninya, yang berusaha ia atasi dalam tidur.

   Sesuatu yang membebaninya...

   tentang danau itu.

   "Aku harus ambil tindakan,"

   Cetusnya dengan keras tanpa sadar.

   "Hah?"

   Seru Donna dari tempat tidur.

   "Mayra, ke sini. Aku tak bisa melihatmu."

   "Aku akan ke danau itu."

   "Apa katamu?"

   "Aku akan ke danau itu. Nanti malam."

   "Hebat. Selamat bersenang-senang,"

   Kata Donna kebingungan.

   "Aku selalu ke sana dalam tidurku. Nanti malam aku akan ke sana dalam keadaan terjaga. Barangkali dengan cara begitu aku dapat mempelajari sesuatu, Donna. Mungkin danau itu akan memberitahuku."

   "Danau itu akan memberitahumu?"

   Donna tampak makin kebingungan.

   "Tunggu saja,"

   Kata Mayra dengan semangat menggebu-gebu.

   "Kau akan aku kasih kabar."

   "Oke,"

   Kata Donna kesal, melihat temannya terburu-buru pergi.

   "Aku masih tetap di sini. Aku takkan ke mana-mana." ************************************ Udara malam itu panas dan lembap. Katak-katak pohon mengerik tanpa henti di pepohonan. Di suatu tempat jauh dari hutan itu, seekor anjing melolong sedih, menunggu jawaban, lalu melolong lagi.

   "Ow!"

   Mayra menepuk seekor nyamuk. Ia mendongak ke arah pepohonan, masih sepi, sesepi foto. Ia melangkah masuk lebih dalam ke hutan Fear Street, senternya menerangi jalan setapak yang sempit dan berumput lebat di depannya.

   "Aku senang Walker tidak ikut,"

   Katanya pada diri sendiri. Ia mencabut segenggam rumput tinggi yang menghalangi jalannya. Mayra telah menelepon Walker sesudah makan malam tadi dan meminta pemuda itu menemaninya ke danau.

   "Ke danau? Buat apa?"

   Walker terdengar kebingungan.

   "Cuma buat senang-senang,"

   Sahutnya, ia tidak ingin menjelaskan tujuan kepergiannya lewat telepon. Bagaimanapun, sebenarnya Mayra tidak yakin dengan tujuannya ingin ke danau. Ia hanya tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu.

   "Jalan-jalan di hutan Fear Street pada malam hari kedengarannya tidak asyik buatku,"

   Kata Walker.

   "Tapi danau itu pasti sangat indah nanti malam,"

   Mayra beralasan.

   "Sekarang hampir bulan purnama."

   "Aku tak bisa, Mayra. Aku telah janji pada sepupuku untuk menjaga anak kembarnya nanti malam."

   "Benar?"

   Tanya Mayra curiga.

   "Sungguh. Aku akan menemanimu kalau bisa. Begini saja... kita pergi ke danau itu lain kali, oke?"

   "Well..."

   "Kau takkan pergi sendirian, kan?"

   "Well..."

   "Tidak. Sungguh. Aku tak ingin kau pergi sendirian. Itu konyol."

   "Well..."

   "Mayra? Ayolah. Aku sangat menguatirkanmu."

   Mayra menimbang-nimbang apakah ia akan memberitahu Walker mengenai tujuan sesungguhnya pergi ke sana malam ini, dan akhirnya memutuskan pemuda itu pasti tidak akan mengerti.

   "Aku akan meneleponmu nanti,"

   Katanya.

   "untuk melihat bagaimana kau bertahan menghadapi teror keponakan kembarmu itu."

   Kemudian ia meletakkan pesawat telepon.

   Mula-mula Mayra kecewa Walker tidak dapat menemaninya.

   Namun kemudian ia menyadari bahwa memang lebih baik pergi tanpa Walker.

   Jika ada sesuatu yang ditemukannya di danau itu, barangkali lebih baik kalau ia mengetahuinya sendirian.

   Sinar bulan remang-remang menembus pepohonan lebat.

   Kerlap-kerlipnya yang keperakan membuat hutan itu tampak tidak nyata, seperti sebuah tempat dalam dongeng seram.

   Suasana sangat hening, Mayra dapat mendengar setiap tarikan napasnya.

   Sekonyongkonyong katak pohon berhenti mengerik.

   Sekarang satu-satunya suara lain yang terdengar adalah gemeresak sepatu karetnya yang tersaruksaruk di tanah lembut, sepanjang perjalanannya melewati jalan setapak yang berkelok-kelok di dalam hutan.

   Rasa takut menyergapnya seketika, seolah-olah mengendapendap dari belakang dan menerkamnya.

   Ia berhenti dan berusaha menghalaunya.

   Namun seluruh tubuhnya gemetaran.

   Kakinya lemas seperti kertas.

   Kepalanya berdenyut-denyut.

   Apa yang tengah terjadi padaku? ia bertanya-tanya.

   Mungkin ini akibat ia sendirian berada di tengah hutan Fear Street, tempat banyak peristiwa mengerikan dan misterius terjadi.

   Mungkin karena ia sudah dekat dengan danau tempat ia nyaris tenggelam kemarin malam.

   Mungkin Mrs.

   Cottler sedang mengirimkan guna-guna dengan memakai kekuatan sihir, untuk mencegah agar Mayra tidak mendekati danau itu, supaya Mayra tidak menemukan apa yang sedang dicarinya.

   Aku harus tetap terus, pikir Mayra.

   Ia mengarahkan senternya ke arah jalan setapak dan mulai melangkah lagi, memaksa kakinya maju, memaksa diri mengabaikan badannya yang gemetaran dan kepalanya yang berdenyut-denyut.

   Tak lama kemudian ia sudah melihat danau itu.

   Tampak keabuabuan di bawah langit gelap.

   Airnya menerpa tepi danau yang berlumpur, nyaris tanpa bunyi.

   Setelah lega terbebas dari hutan, Mayra mulai berlari melintasi rerumputan tinggi menuju air.

   Danau itu kelihatan lebih besar daripada biasanya, begitu luas, kedua sisinya lenyap dalam kegelapan.

   Fear Island, pulau kecil di tengah danau, hanya berupa bayangan yang menonjol di kejauhan.

   Mayra menghela napas dalam-dalam.

   Apa yang kaurahasiakan dariku, danau? Mengapa aku selalu memimpikanmu? Mengapa aku selalu mendatangimu dalam tidurku? Mengapa Mrs.

   Cottler membawaku kepadamu? Rahasia mengerikan apa yang kausembunyikan dariku? Ia duduk di tepi dermaga kayu kecil yang menjulur beberapa meter ke air.

   Rasa takut sudah menghilang, namun ia belum berhenti gemetar.

   Air di bawah begitu indah, begitu menyejukkan.

   Ia hampir melepaskan sepatu karetnya dan memasukkan kaki ke air ketika ia mendengar langkah kaki di atas rumput di belakangnya.

   Ternyata ia tidak sendirian.

   Chapter 19

   "

   SIAPA itu?"

   Suara Mayra hanya berupa bisikan. Tubuhnya seolah membeku. Ia bernapas dengan susah payah. Sebelah sepatunya terlepas, sebelah lagi masih menempel di kakinya. Sambil berusaha mengenakan kembali sepatunya yang terlepas, ia memandangi kegelapan.

   "Siapa di situ?"

   Tali sepatunya masih tersimpul, sehingga ia tidak dapat memasukkan kakinya.

   Dan tangannya sangat gemetar sampai-sampai ia tak sanggup menguraikan simpul tali itu.

   Mayra meloncat turun dari dermaga, menenteng sepatunya yang sebelah, dan mencari tempat untuk sembunyi.

   Ada segerumbul semak beberapa puluh meter dari tepi danau.

   Ia mendengar bunyi ranting berkeretak.

   Langkah-langkah kaki di tanah gembur.

   "Siapa itu?"

   Panggilnya dengan suara aneh, tenggorokannya tercekik oleh rasa takut. Bunyi langkah lagi, makin keras. Lalu...

   "Hei!"

   Seru sebuah suara. Terlambat untuk lari.

   "Hei!"

   Suara yang sudah akrab di telinganya. Jantung Mayra berdegup kencang. Ia mengangkat sepatunya, seakan menggunakannya sebagai senjata. Tiba-tiba ia muncul, melangkah keluar dari kegelapan menuju sinar bulan yang keperakan.

   "Link!"

   "Hai, Mayra."

   "Link! Kenapa kau di sini?"

   "Aku melihatmu. Di Fear Street. Aku sedang di dalam mobil. Lalu kuputuskan untuk mengikutimu. Aku cemas. Maksudku, apa yang kaukerjakan di sini sendirian?"

   "Ini bukan urusanmu!"

   Beberapa detik tadi Mayra merasa gembira melihat Link.

   Tapi ketika Link menyebut mobilnya, Mayra tersentak.

   Mayra membayangkan Donna yang sedang tergeletak di rumah sakit, lengannya penuh slang.

   Rasa takut itu muncul kembali.

   Mayra gemetar.

   Pusing.

   Akhirnya Mayra memutuskan menutupi ketakutannya itu dengan marah-marah.

   Ia takkan membiarkan Link tahu bahwa ia ketakutan.

   "Apakah kau berjalan dalam tidur lagi?"

   Link bertanya, seulas senyum ganjil menghiasi wajahnya.

   "Tidak,"

   Sahut Mayra dingin.

   "Bagaimana kau tahu tentang hal itu?"

   Link mengangkat bahu. Senyumnya hilang. Matanya yang hitam menatap Mayra tajam.

   "Seharusnya kau tidak sendirian di hutan Fear Street, Mayra. Kau sudah cukup lama tinggal di Shadyside untuk tahu tentang hal ini."

   Apakah perhatiannya ini tulus? Apakah ada maksud terselubung? "Aku bisa menjaga diriku sendiri,"

   Mayra berkata sambil membalikkan badan membelakangi Link. Ia duduk di atas tunggul kayu dan berusaha menguraikan simpul tali sepatunya.

   "Aku sudah bosan kaukuntit terus-terusan. Aku ingin kau berhenti -mulai saat ini."

   "Tapi aku sungguh-sungguh mencemaskanmu, Mayra."

   "Well, cemaskanlah yang lainnya,"

   Tukas Mayra. Ia mendongak melihat cowok itu. Wajah Link penuh perhatian.

   "Kau tak seharusnya ada di sini,"

   Link mengulangi ucapannya, tanpa menghiraukan kemarahan Mayra.

   "Aku janji ketemu Walker,"

   Mayra berbohong.

   "Kuharap kau tak ada di sini ketika dia datang nanti."

   "Kalian janji ketemu di sini?"

   "Yeah. Memangnya kenapa?"

   Cowok itu tertawa.

   "Apanya yang lucu?"

   "Ini bukan tempat yang asyik untuk kencan, kan? Lihat saja. Kau tidak menemukan pasangan lain yang melewati hutan itu untuk kencan di sini."

   "Well... aku dan Walker suka hal-hal yang sedikit menegangkan. Mayra tahu alasannya terdengar lemah, namun hanya itulah yang dapat dikatakannya. Link mengerutkan dahi dan menyibakkan rambutnya yang panjang, seakan tidak mempercayai ucapan Mayra.

   "Kenapa kalian berdua tidak datang ke sini bersama-sama?"

   Link bertanya.

   "Pergilah, Link. Aku sungguh-sungguh ingin sendirian di sini."

   "Mayra, sori. Sungguh. Aku benar-benar sedang naik mobil lewat Fear Street, lalu aku melihatmu. Aku tahu seharusnya aku tak boleh mengikutimu, tapi... aku tak tahu."

   "Apakah kau pernah membawa mobilmu ke jalan raya menuju Waynesbridge, Link?"

   Pertanyaan itu meluncur keluar begitu saja dari mulutnya. Mayra harus mengetahui jawabannya. Ia harus tahu apakah pickup Link yang nyaris membunuh Donna.

   "Hah?"

   "Kau dengar pertanyaanku. Minggu lalu. Betulkah itu kau?"

   "Mayra, apa yang sedang kaubicarakan?"

   Mayra menatap mata Link yang hitam, berusaha mencari kebenaran di situ.

   "Sebuah pickup merah telah menabrak Donna di jalan itu. Dia sedang membawa Toyota ibuku dan..."

   Link tampak benar-benar bingung.

   "Donna? Bagaimana keadaannya? Mayra, kau kenapa? Omonganmu tidak dapat dimengerti."

   Mayra menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Ia tidak tahu apakah Link sedang berpura-pura tidak tahu apa-apa ataukah ia memang tidak bersalah.

   Jika itu memang mobilnya, tentu ia takkan mengakuinya sekarang.

   Mayra menyesal telah menanyakan hal tersebut pada Link.

   Tiba-tiba Link membungkuk dan meraih lengan Mayra.

   "Mayra... ayo kuantar kau pulang."

   Mayra langsung meloncat berdiri dan menarik tangannya dari pegangan cowok itu.

   "Lepaskan aku!"

   "Aku sangat rindu padamu,"

   Kata Link. Ia melangkah maju dan memegangi Mayra dengan kedua tangannya. Mayra berusaha menarik lepas tangannya, tapi pegangan cowok itu terlalu kencang. Matanya tampak liar.

   "Aku begitu merindukanmu,"

   Ulang Link. Suaranya terdengar tegang, aneh. Dia mulai ngaco, pikir Mayra.

   "Link... lepaskan!"

   "Tidak!"

   Teriak Link.

   "Aku tak mau!"

   Ia mengencangkan pegangannya, menarik Mayra ke arahnya.

   "Tidak sampai kau mengakui kau juga merindukanku!"

   Lengan Link memeluk pinggang Mayra.

   "Link... jangan!"

   Pelukan Link pada pinggang Mayra makin kencang. Link semakin mempererat pelukannya.

   "Jangan... Link! Jangan!"

   Mayra menoleh. Wajah Link bersinggungan dengan pipi Mayra.

   "Lepaskan aku!"

   Mayra meninju telinga kiri Link. Kepala Link tersentak ke belakang, ia terperanjat.

   "Hei..."

   Cepat-cepat Mayra membungkuk, meloloskan diri dari Link yang masih terkejut.

   "Mayra, tunggu..."

   Mayra berlari tunggang-langgang ke arah dermaga, menoleh, dan melihat Link mengejarnya.

   "Tunggu... aku tak bermaksud apa-apa...!"

   Seru Link.

   Matanya kacau dan liar.

   Yang terpikir oleh Mayra hanyalah melarikan diri, ia meloncat dari dermaga ke dalam air.

   Oh! Dingin sekali! Mayra megap-megap, sekonyong-konyong lumpuh karena serangan rasa dingin itu.

   Lalu ia ingat peristiwa itu....

   Chapter 20 SEMUANYA kembali terbayang.

   Malam yang mengerikan itu, lebih dari sebulan lalu.

   Serangan hawa dingin mengembalikan ingatannya.

   Dan ketika Mayra berjuang kembali ke tepi danau, sekonyong-konyong ia ingat semuanya.

   Dan ia mendengar jerit ketakutan itu lagi.

   "Mayra... kau kenapa?"

   Panggil Link. Dilihatnya ekspresi wajah Mayra. Tangan Mayra menutupi kedua telinganya, mencoba meredam jeritan yang baru ia ingat dan yang tak mau menyingkir.

   "Antar aku pulang,"

   Mayra berhasil mengatakannya.

   "Pokoknya antar aku pulang."

   Link membantu Mayra berjalan melalui hutan Fear Street.

   Kemudian Mayra terpuruk di kursi mobil, dan Link mengendarai pickupnya tanpa mengatakan apa-apa.

   Ketika sampai di rumahnya, Mayra tak ingat lagi perjalanan itu.

   Ia lupa mengucapkan selamat malam pada Link.

   Ia tak ingat menaiki tangga menuju kamarnya, mengganti pakaiannya, dan naik ke tempat tidur.

   Ia mengenang kembali malam Minggu itu, tenggelam dalam ingatannya, masih merasakan ketegangan itu, ketegangan yang begitu cepat berubah menjadi mimpi buruk.

   Sekali lagi jeritan itu terdengar.

   Seseorang memanggilmanggilnya dengan sangat panik, minta tolong.

   Ia menutupi kedua telinganya dan memejamkan mata.

   Ketika membuka matanya kembali, ia berada di dalam kamarnya, mengenakan pakaian tidur, aman di atas ranjang.

   Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apakah ini juga mimpi? Kamar itu mulai berputar-putar.

   "Apakah ini nyata?"

   Mayra bertanya keras-keras. Malam yang sangat menyeramkan itu -apa ia sekarang mengingatnya? atau apa itu juga mimpi? Apakah itu benar-benar terjadi? "Mulai lagi dari awal,"

   Katanya pada diri sendiri, mencoba menata pikirannya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebur kencang, mencoba menghentikan kamarnya yang berputar-putar.

   Ia rebah kembali di tempat tidur, memejamkan mata, dan berusaha memunculkan kembali peristiwa malam Minggu itu.

   Walker.

   Di mana ia bertemu Walker? Mayra berpikir keras.

   Di Division Street Mall.

   Mereka akan nonton film.

   Itu kencan mereka yang ketiga atau keempat.

   Ia ingat, waktu itu Walker bertingkah aneh.

   Mulanya, hari itu beberapa anak mengejeknya aneh.

   Mereka mengolok-olok tipuan sulap yang sedang dipertunjukkan Walker kepada mereka.

   Mayra menyuruhnya melupakan hal itu, namun Walker tampaknya tidak dapat melakukannya.

   "Sungguh tidak gampang punya sikap berbeda di Shadyside,"

   Kata Walker pahit.

   "Semua orang ingin aku bersikap seperti yang lain. Mereka menganggapku aneh karena aku lebih tertarik pada hal-hal gaib dibanding pada grup-grup heavy-metal dan pesta."

   "Ayo kita nonton,"

   Kata Mayra. Tetapi Walker menolak.

   "Aku punya usul yang lebih baik."

   Pipinya merah merona. Matanya liar. Bicaranya cepat. Jalannya ngebut, hingga Mayra terbirit-birit mengikutinya.

   "Walker... pelan sedikit. Kau mau apa?"

   Mayra mulai merasa gelisah. Ia sebenarnya belum begitu mengenal pemuda itu. Walker belum pernah bertingkah seperti itu. Mayra mengikuti Walker ke salah satu tempat parkir mall. Walker mulai melongok-longok ke dalam mobil yang berderet di sana.

   "Ini dia,"

   Katanya, setelah memeriksa beberapa baris. Kunci kontaknya masih tertancap. Ayo masuk."

   Oldsmobile model baru. Berwarna merah mirip mobil pemadam kebakaran. Benarkah Walker akan mencuri mobil ini? "Walker... jangan."

   Walker tertawa.

   "Aku hanya menggodamu, Mayra."

   "Apa maksudmu?"

   "Ini mobil ibuku. Aku cuma bercanda. Ayo. Masuk."

   "Kau benar-benar membuatku gelisah,"

   Kata Mayra sambil tertawa.

   "Tingkahmu aneh sekali. Kupikir kau mau mencuri mobil ini."

   Mayra duduk di depan.

   "Aku aktor jempolan,"

   Kata Walker, lalu ia duduk di belakang kemudi. Digesernya tempat duduk ke belakang, karena kakinya terlalu panjang.

   "Penyulap harus pandai berakting."

   Walker memundurkan mobil keluar tempat parkir dan membawanya menuju pintu keluar.

   "Pakai sabuk pengamanmu,"

   Katanya.

   "Rasanya aku mau ngebut."

   "Kita mau ke mana?"

   Tanya Mayra ketika Walker membelokkan mobil dengan tajam ke Division Street, membuat ban mendecit.

   "Entahlah. Ke mana saja."

   Ia melesat melewati lampu merah. Tatapan liar itu kembali muncul di matanya.

   "Tunggu sebentar,"

   Kata Mayra curiga.

   "Ini mobil ibumu? Kau membawanya ke mall?"

   "Yeah."

   "Lalu kenapa tadi kau memundurkan jok?"

   Walker tertawa. Tawa yang belum pernah didengar Mayra, tawa menyeramkan. Mayra sama sekali tidak menyukainya.

   "Oke, oke. Memang kita meminjam mobil ini sebentar."

   "Walker... turunkan aku!"

   "Aku akan mengembalikannya ke tempat parkir itu. Aku janji."

   "Walker... bisa-bisanya kau..."

   Walker mengangkat bahunya.

   "Pokoknya aku senang. Kau tak pernah berbuat menuruti kata hatimu, ya?"

   Mobil itu berdecit lagi di belokan, nyaris menghantam taksi. Sopir taksi marah-marah sambil mengklakson. Walker menginjak gas.

   "Wow! Mobil ini bisa lari juga. Pasti V-enam."

   "Walker..."

   "Aku tahu, aku tahu. Aku janji. Satu lagi putaran cepat, dan kita segera kembali ke tempat parkir itu."

   "Memang tepat katamu, putaran cepat. Kenapa kau ngebut seperti ini?"

   Walker tidak menjawab, malah melanggar lampu merah lagi.

   "Ups. Aku tak lihat yang itu."

   Tak lama kemudian mereka melaju cepat menuju River Ridge di jalan sempit berkelok-kelok dengan pemandangan ke Conononka River. River Ridge merupakan tempat kencan yang paling sering dikunjungi anak-anak Shadyside High.

   "Ayo kita lihat ada apa di atas sini pada malam hari,"

   Kata Walker.

   "Pelan-pelan!"

   Teriak Mayra.

   Tapi peringatannya terlambat.

   Mula-mula Mayra melihat lampu besar di tikungan jalan.

   Lalu ia melihat mobil kuning kecil itu.

   Walker membanting setir, tapi tidak tepat waktunya.

   Semuanya seolah terjadi dalam gerak lamban.

   Mayra dapat melihat apa yang sedang terjadi, namun tak ada yang dapat ia perbuat untuk menghentikannya.

   Bahkan ia tak sempat mengangkat lengan untuk menutupi matanya.

   Oldsmobile merah mereka menyeruduk sisi pengemudi mobil kuning itu.

   Tabrakan itu bunyinya memekakkan, seperti ledakan bom.

   Mayra merasakan satu hantaman keras, lalu satu guncangan pelan.

   Dan kemudian ia mendengar jeritan.

   Jeritan ketakutan yang melengking berasal dari mobil kuning itu.

   Jeritan yang akan selalu didengarnya berulang-ulang.

   Tanpa daya Mayra memandangi mobil kuning itu terjungkir keluar bahu jalan.

   "Tidak! Walker! Tidak!"

   Mayra menjerit-jerit tanpa sadar.

   Akhirnya Oldsmobile itu bergetar berhenti.

   Mayra sejenak duduk membeku dan menyadari dirinya baik-baik saja.

   Ia meloncat keluar dari mobil dan berlari ke tepi jalan.

   Di bawahnya, dengan cepat mobil kuning itu tenggelam ke dalam sungai, gelembung-gelembung besar timbul seiring lenyapnya sosok mobil itu.

   "Walker... kita harus menolong!"

   Teriak Mayra.

   "Walker!"

   Di mana dia? Mayra menoleh dan melihat Walker duduk di belakang kemudi, memberi isyarat pada Mayra agar kembali ke dalam mobil.

   "Walker... cepat! Paling tidak ada dua orang dalam mobil itu!"

   Di mana mereka? Mengapa mereka tidak cepat-cepat berenang ke permukaan? "Walker... kita harus menolong mereka! Mereka tenggelam!"

   Dengan bunyi tersedot yang keras, atap mobil itu menghilang ke dalam air.

   Mayra terpana memandang ke bawah dari pinggir jalan, membeku dalam kepanikan.

   Naiklah.

   Naik.

   Cepat naik.

   Akhirnya seseorang mengapung keluar dari mobil tenggelam itu.

   Oke.

   Sudah satu, pikir Mayra.

   Mungkin mereka tak apa-apa.

   Sambil berkecipakan orang itu berusaha berenang ke tepi sungai.

   Tidak lama kemudian ia berhasil keluar dari air dan melangkah di tanah tepi sungai.

   Sambil terbatuk-batuk dan tersedaksedak ia mendongak menatap ke tepi jalan -dan melihat Mayra.

   "Walker... cepat!"

   Teriak Mayra.

   "Cepat turun dari mobil! Orang itu... dia memanggil-manggilku, tapi aku tak bisa mendengarnya!"

   Laki-laki itu memberi tanda pada Mayra dengan panik, lalu meloncat kembali ke dalam air, barangkali untuk menyelamatkan seorang lagi yang masih ada di dalam mobil.

   "Walker... kita harus cepat-cepat menolong! Walker..."

   Sekonyong-konyong Walker sudah ada di samping Mayra. Tapi ia tidak menoleh ke bawah, melainkan meraih lengan Mayra dan mulai menariknya kembali ke mobil.

   "Walker... kau mau apa?"

   Walker tidak menjawab, malahan mengencangkan cengkeramannya pada lengan Mayra.

   "Ow! Aduh!"

   Walker tidak menghiraukan teriakan Mayra, didorongnya gadis itu masuk ke mobil.

   Yang diingat Mayra hanyalah mereka kemudian ngebut.

   Dan lalu...

   Dan lalu apa? Mayra masih berbaring, matanya terpejam rapat, ia berusaha menggali ingatannya dalam-dalam.

   Lalu apa yang terjadi? Ia ingat waktu itu ia menangis.

   Menangis dan protes.

   Minta Walker kembali ke tempat itu.

   Lalu apa? Apa yang kami lakukan? Mengapa aku tidak ingat sedikit pun sampai malam ini? Serangkaian pertanyaan muncul bertubi-tubi.

   Tapi anehnya, Mayra merasa lega.

   Sekarang ia tahu mengapa ia selalu berjalan dalam tidur menuju air.

   Sekarang ia tahu apa yang mengganggu pikirannya, apa yang selalu ia coba selesaikan di alam bawah sadarnya ketika tidur.

   Dan sekarang ia yakin sudah tahu mengapa peristiwa malam mengerikan itu hilang dari ingatannya selama berminggu-minggu.

   Ia merasa telah berhasil mengungkapkan semuanya.

   Ia tinggal membuktikannya.

   Sambil menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, Mayra meraih pesawat telepon.

   Sudah malam -hampir tengah malam -tapi apa boleh buat? Mayra menekan nomor telepon Walker.

   Nada panggil berbunyi sekali, dua kali.

   Walker mengangkat pesawat telepon dan mengucapkan halo, suaranya terdengar mengantuk.

   Ketika Mayra meminta Walker menemuinya di rumah Mrs.

   Cottler besok pagi, pemuda itu terdengar terkejut.

   "Uh... aku tak bisa besok. Bagaimana kalau..."

   "Bagaimana kalau besok malam saja? Aku harus mengatakan sesuatu yang sangat penting padamu."

   Walker segera setuju. Chapter 21 WALKER meraih tangan Mayra dan menariknya ke bawah, ke sampingnya, di tepi danau berumput. Walker berusaha memeluk Mayra.

   "Jangan,"

   Kata Mayra sambil mendorong Walker menjauh.

   Gadis itu duduk di samping Walker, menatap ke arah air danau yang berona abu-abu.

   Malam yang dingin.

   Udara terasa lebih mirip musim gugur daripada musim panas.

   Pepohonan dan semak-semak menghilang ke balik sosok kelabu malam hari, bayang-bayangnya menyelubungi tanah.

   Jauh di danau, hampir di Fear Island, dua ekor burung menukik dan menyelam, menangkap ikan untuk makan malam, ketika segumpal kabut tertiup ke tepi danau.

   Mayra telah cukup banyak tidur sore itu.

   Tidur nyenyaknya yang pertama kali setelah berminggu-minggu.

   Namun ia tidak merasa sepenuhnya segar waktu bangun tidur.

   Ia mengganti pakaiannya dengan jins belel ketat serta kaus rugbi bergaris hijau-putih, lalu bergegas menuju rumah Mrs.

   Cottler.

   Hazel telah menunggunya di dekat pintu.

   Ketika Mayra selesai memberi makan kucing itu dan menyirami tanaman Mrs.

   Cottler, Walker mengetuk pintu belakang.

   Ia mengenakan celana katun kusut dan sweter abu-abu.

   Rambutnya tidak disisir.

   Walker akan melangkah masuk, namun Mayra keluar dan menarik pintu hingga menutup.

   "Malam ini dingin dan indah. Ayo kita ke danau,"

   Kata Mayra.

   Walker tampak kebingungan, tapi ia mengikuti Mayra menuruni lereng yang curam berumput menuju danau yang gelap dan sunyi.

   Sekarang Mayra duduk di samping Walker, memandangi pemuda itu yang sedang berbaring di rerumputan tinggi.

   Sepanjang hari Mayra telah menyiapkan dan melatih apa yang akan dikatakannya pada cowok itu.

   Tapi sekarang semua terasa itu tidak pas.

   "Ada apa?"

   Tanya Walker sambil masih memegangi tangan Mayra.

   "Kau kelihatan kacau. Kau berjalan dalam tidur lagi?"

   "Tidak,"

   Jawab Mayra. Dan matanya kembali menatap Fear Island di tengah danau yang sekarang seluruhnya terselubung kabut.

   "Kau sudah bisa tidur?"

   Walker tampak prihatin.

   "Tidak. Aku belum bisa tidur,"

   Mayra berbohong.

   "Aku terlalu takut untuk tidur."

   "Karena berjalan dalam tidur?"

   "Ya. Setiap kali hampir terlelap, aku memaksakan diri untuk tetap terjaga. Aku ketakutan setiap malam. Aku benar-benar kacau, Walker. Aku sungguh-sungguh perlu bantuanmu."

   Walker duduk, masih memegangi tangan Mayra.

   "Bantuanku?"

   "Ya. Aku memerlukanmu untuk membuatku tenang."

   Walker melepaskan tangan Mayra.

   "Maksudmu..."

   "Aku memerlukanmu untuk menghipnotisku supaya aku tenang. Ingat, kau pernah menawariku, kan?"

   "Well, ya. Kukira aku bisa. Aku tak tahu."

   Walker menyibakkan rambut pirangnya ke belakang dengan kedua tangan.

   "Aku sudah sering berlatih."

   "Itu tak berbahaya, kan?"

   Tanya Mayra sambil menggigit bibir bawahnya.

   "Tidak, sama sekali tidak. Aku sudah menguasainya dengan baik. Alice, sepupuku, kuhipnotis beberapa bulan lalu supaya berhenti merokok. Seharusnya tidak susah menggunakan pengaruh hipnotis untuk mengurangi kecemasanmu.

   "Well, aku sudah putus asa, Walker. Sungguh,"

   Kata Mayra.

   "Tadi malam hal ini terpikir olehku sebelum meneleponmu. Aku ingat kau pernah menawarkan untuk menghipnotisku dan...

   "

   "Well, gampang sekali, sungguh."

   Walker merogoh kantong celananya dan menarik keluar sebuah pemantik.

   "Pertama-tama, aku akan membuatmu merasa sangat ngantuk."

   "Cuma merasa?"

   "Yeah. Kau cuma merasa seperti sedang terlelap."

   "Bagus kalau begitu,"

   Kata Mayra sedih.

   "Sudah lama aku tidak bisa tidur. Sejak aku mulai kerja di rumah Mrs. Cottler..."

   "Dia akan kembali sebentar lagi, kan?"

   "Betul."

   "Kau harus menghindari dia,"

   Kata Walker berapi-api.

   "Gunagunanya padamu itu... hei...jangan kau kira aku bisa menghilangkan kebiasaanmu berjalan dalam tidur dengan hipnotis."

   "Tidak. Tentu saja tidak,"

   Kata Mayra, dengan gugup ia mencabut segenggam rumput, dan membuka kembali kepalannya hingga potongan rumput lembap itu berjatuhan lewat sela-sela jemarinya.

   "Aku cuma ingin kau membuatku merasa tenang. Itu saja."

   "Oke."

   Walker tersenyum meyakinkan Mayra.

   "Dalam sekejap kau pasti akan merasa lebih baik, Mayra. Mula-mula, lemaskan ototototmu. Nah, begitu. Sekali lagi. Lebih rileks lagi."

   Mayra mengendurkan otot-otot leher, dan kepalanya terkulai ke depan. Walker menyalakan pemantik. Api memercik, lalu menyala merah terang.

   "Sekarang aku ingin kau mengikuti nyala geretan ini,"

   Katanya.

   "Mungkin kau pernah melihat ini di TV dalam acara sulap. Tapi ini sungguh-sungguh. Sekarang, kosongkan pikiranmu, oke? Jangan pikirkan apa pun kecuali nyala api ini. Berkonsentrasilah pada nyalanya. Pusatkan seluruh perhatianmu pada nyalanya. Ikutilah. Nah, begitu. Ikuti ke sini... lalu ke sini."

   Mata Mayra mengikuti geretan itu dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah. Kelopak matanya mulai terasa berat.

   "Kau mulai merasa ngantuk. Itu bagus. Biarkan saja,"

   Bisik Walker.

   "Kau mulai memejamkan mata sekarang. Akan enak rasanya kalau kau pejamkan matamu. Teruskan. Teruslah tidur. Tutup matamu. Kalau kau buka matamu nanti, kau akan merasa sangat tenang, sangat santai, sangat damai."

   Mayra memejamkan matanya. Walker terus berbisik beberapa lama. Mayra menanggapinya dengan mengangguk-angguk. Tapi tidak membuka mata. Lengannya tergantung lurus di sisi.

   "Sebentar lagi aku akan menyuruhmu buka mata, kau akan merasa santai. Seakan kau baru saja menjalani tidur ternyenyak selama hidupmu. Dan kau akan merasa benar-benar damai dengan dirimu sendiri. Kegelisahan yang membingungkanmu akan terlupakan. Kau akan benar-benar tenang."

   Mayra, dengan kelopak mata mengatup ringan, mengangguk pelan, tenang.

   "Dan ketika kau buka matamu,"

   Kata Walker masih dengan suara sangat lirih.

   "kau akan tetap melupakan peristiwa malam itu di River Ridge. Kau takkan diganggu bayangan mobil kuning itu. Kau takkan ingat sedikit pun tentang kecelakaan itu, tentang mobil kuning itu, tentang pergi ke River Ridge denganku. Waktu kau buka matamu..."

   Mayra membuka mata dan seluruh tubuhnya tegang. Ia meloncat dan merenggut bagian depan sweter Walker dengan kedua tangannya.

   "Dasar brengsek!"

   Jerit Mayra.

   "Aku tahu itulah yang kaulakukan padaku di malam mengerikan itu! Aku berjalan dalam tidur -kaulah biang keladinya -dan kau sudah sejak awal mengetahuinya!"

   Chapter 22 MULUT Walker ternganga dan bulatan pink di kedua pipinya berubah menjadi merah tua. Walker mulai beranjak berdiri, namun Mayra mendorongnya hingga ia terduduk lagi. Mayra berdiri di hadapannya dengan kemarahan berkobar-kobar.

   "Jadi kau cuma pura-pura, ya?"

   Tanya Walker.

   "Betul. Aku harus terjaga, untuk mendengarkan apa yang kauomongkan."

   "Ini cuma perangkap, ya?"

   "Cepat juga kau sadar. Kau tak berhak melakukannya padaku, Walker, menghipnotisku malam itu dan membuatku melupakan kecelakaan itu. Kau tak punya hak mengacaukan pikiranku seperti itu."

   "Waktu itu kau ingin melapor ke polisi,"

   Kata Walker dingin.

   "Aku tak dapat membiarkanmu melakukannya. Aku tak dapat membiarkanmu merusak hidup kita berdua karena sebuah kecelakaan konyol."

   "Kecelakaan konyol? Mungkin ada orang yang mati dalam mobil itu, Walker! Kita bahkan tak tahu berapa banyak orang yang ada dalam mobil itu, kan? Karena kau kabur. Kau tak berbuat apa pun untuk menolong. Kaubiarkan orang itu mati."

   "Satu orang,"

   Kata Walker membuang muka.

   "Seorang pria mati. Aku membacanya di koran. Yang satu lagi, saudaranya, masih hidup."

   "Tapi aku tak membaca beritanya, kan?"

   Kata Mayra pahit, ia menendang segumpal rumput ke arah Walker.

   "Sebab aku bahkan tidak ingat pernah ada di sana. Kau telah mengatur semuanya!"

   "Harus. Masa depan indah menungguku. Aku takkan membiarkannya hancur karena satu kesalahan konyol."

   "Kesalahan konyol? Kau pelaku tabrak lari, Walker!"

   Teriak Mayra. Ia tahu ia tidak dapat mengendalikan diri lagi, namun ia tak sanggup menghentikannya.

   "Dan selama ini kau tahu kenapa aku berjalan dalam tidur. Kau tahu apa masalahku, kenapa aku selalu berjalan dalam tidur menuju air. Aku tak dapat mengatasinya secara sadar karena kau telah menghipnotisku malam itu."

   "Aku cuma berniat membuatmu tenang. Kau bahkan setuju,"

   Kata Walker, ia menghindari tatapan Mayra.

   "Jadi, aku menghipnotismu, dan... uh...well..."

   "Dan selama berminggu-minggu ini kau membiarkanku berprasangka buruk pada wanita tua malang yang tidak bersalah itu hanya supaya kau terhindar dari kecurigaan!"

   Walker terpaku menatap danau dan tidak menanggapi.

   "Kau sama sekali tak peduli padaku, kan? Ya, kan?"

   Desak Mayra. Walker melompat berdiri dan melangkah menjauhi Mayra.

   "Sekarang aku sudah pacaran dengan Suki,"

   Katanya.

   "Semua orang di dunia sudah tahu. Aku berada dekatmu cuma untuk memastikan ingatanmu tak pulih."

   Kedua tangan Mayra mengepal. Ia ingin menghajar Walker sampai babak belur, tapi ia menahan tangannya supaya tetap berada di samping.

   "Aku punya berita buruk buatmu, Walker,"

   Katanya sambil mengertakkan gigi.

   "Ingatanku sudah pulih. Seluruhnya. Dan aku akan menelepon polisi sekarang juga."

   "Tidak."

   Mata Walker tampak liar, persis seperti pada malam ia mencuri mobil itu, malam terjadinya kecelakaan itu. Sekonyong-konyong ia bergerak maju serta meringkus kedua tangan Mayra, menahannya di samping tubuh gadis itu.

   "Hei... lepaskan!"

   Jerit Mayra. Walker lebih kuat daripada yang ia kira. Walker mengangkat tubuh Mayra ke atas pundak dan membawanya menuju danau.

   "Turunkan aku! Kau mau apa?"

   "Aku tak bisa membiarkanmu menelepon polisi,"

   Kata Walker dengan sangat tenang, terlalu tenang.

   "Aku tak bisa membiarkanmu menghancurkan hidupku. Aku akan menjadi penyulap tenar. Aku tak bisa membiarkanmu menghancurkannya."

   Mayra meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Walker bagaikan tang.

   Walker menjatuhkan Mayra dari dermaga kecil ke dalam danau, lalu membungkuk, merenggut kepala dan leher Mayra, serta mendorong wajah Mayra ke dalam air.

   Mayra meronta-ronta berusaha tetap berada di permukaan, berusaha menghirup udara.

   "Walker, tolong..."

   "Sori,"

   Kata Walker, masih terdengar tenang menakutkan.

   "Tadi seharusnya kau biarkan aku menghipnotismu. Akan jauh lebih gampang."

   "Kau sungguh-sungguh akan menenggelamkanku?"

   Jerit Mayra.

   Walker tidak menyahut.

   Ia malahan kembali mendorong kepala Mayra ke dalam air dan menahannya di sana.

   Chapter 23 KAKI Mayra menendang-nendang, ia berusaha melepaskan diri.

   Namun Walker tetap bertahan di tepi dermaga, memegangi kepalanya, menekannya ke bawah.

   Mayra mencoba berputar, mengira barangkali ia dapat lolos.

   Tapi pegangan Walker terlampau kencang.

   Paru-paru Mayra serasa akan meledak.

   Aku tenggelam di danau ini untuk kedua kalinya, pikir Mayra.

   Lalu cengkeraman Walker melonggar.

   Mayra mendengar cowok itu berteriak.

   Mayra mengangkat kepalanya dan menelan air.

   Apa yang terjadi? Walker sudah sama sekali melepaskannya.

   Mayra berguling menjauh, berusaha berdiri sempoyongan di tepi danau yang basah.

   Walker sedang bergulat dengan sesuatu.

   Mayra menyibakkan rambutnya yang basah dari matanya.

   Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengulanginya sekali lagi.

   Hazel! Kucing hitam itu berada di bahu Walker, menggeram keras, mencakari muka dan leher Walker.

   "Pergi! Pergi!"

   Raung Walker.

   Bagaimana Hazel bisa berada di sini? Mayra terheran-heran.

   Apakah dia tadi ikut menyelinap keluar ketika aku pergi dengan Walker? Karena meronta-ronta mencoba melepaskan cakaran kucing itu, Walker jatuh terjengkang.

   Mayra tidak menunggu untuk melihat apa yang terjadi kemudian.

   Inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri.

   Ia segera berlari melintasi rerumputan tinggi, pakaiannya yang basah kuyup terasa membebani langkahnya.

   Sepatu karetnya tergelincir di rumput.

   Ia tersandung, tapi cepatcepat bangkit lagi.

   Sambil berlari sekencang-kencangnya, Mayra meraba-raba kantong jins, mencari kunci rumah Mrs.

   Cottler.

   Apakah ia membawanya? Ia harus masuk ke rumah itu.

   Ia harus menelepon polisi.

   Kunci.

   Kunci.

   Di mana sih? Ini dia! Ia merasakan benda itu dalam kantongnya.

   Rasanya sudah berjam-jam, padahal kurang dari semenit kemudian Mayra sudah berkutat dengan kunci pintu belakang.

   Lalu ia bergegas masuk rumah, napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.

   Ia kembali mengunci pintu itu dan memasang telinga.

   Ia tidak mendengar suara Walker ataupun kucing itu dari sini.

   Telepon.

   Mayra bergegas ke telepon dapur dan sambil menyibakkan rambut panjangnya yang basah dari wajahnya, menekan nomor 911.

   Ia benar-benar kehabisan napas dan harus mengulang semua yang dikatakannya paling tidak dua kali, namun ia yakin telah menyampaikan pesannya ke suara di seberang sana.

   Polisi sedang dalam perjalanan.

   Mayra merasa sedikit lega, lalu menyandarkan diri ke meja dapur.

   "Hei!"

   Hazel sedang berbaring di atas permadani kecil di depan bak cuci piring, sambil menjilati kakinya.

   "Bagaimana kau bisa sampai di sini begitu cepat?"

   Aneh sekali.

   Tak sampai dua menit yang lalu kucing itu berada di tepi danau.

   Bagaimana cara binatang itu kembali ke dalam rumah ini? Tampaknya dia sudah lama berada di sini.

   Mayra tidak sempat lama memikirkan kucing itu.

   Ia menjerit ketika sebongkah batu melayang ke dalam dapur, menghancurkan kaca jendela.

   "Tidak!"

   Jeritnya sambil mundur menjauh.

   Chapter 24 MAYRA melotot ketakutan ketika sebuah kaki muncul di jendela, menendang pecahan kaca yang masih tertancap di sana.

   Lalu sebelah kaki lagi mengayun masuk ke dapur.

   Dengan wajah berlumuran darah akibat cakaran, Walker melangkah masuk.

   Ia mengusap darah di pipinya dengan lengan baju dan menatap tajam ke arah Mayra.

   "Kali ini kau takkan bisa lepas."

   "Walker, kau terlambat. Aku sudah menelepon polisi."

   Walker berdiri di samping tembok, napasnya memburu. Ia maju selangkah mendekat, sepatunya menggerus pecahan kaca jendela yang bertebaran di lantai. Darah bekas cakaran kucing mengalir turun di pipinya, membentuk alur gelap. Matanya liar.

   "Seharusnya kau tak melakukannya."

   Ia maju selangkah lagi.

   "Kau berdarah,"

   Kata Mayra. Walker menyeka mukanya lagi dengan lengan baju yang sudah ternoda darah.

   "Seharusnya kau tak melakukannya,"

   Ulangnya sambil maju makin dekat.

   "Jangan maju lagi,"

   Mayra memperingatkan. Ia mencari-cari senjata, apa saja yang dapat dipakainya untuk membela diri.

   "Biar kubersihkan mukamu."

   Barangkali ia dapat membujuk Walker dengan bersikap manis padanya.

   "Kau akan menghancurkan hidup kita,"

   Kata Walker.

   "Walker, dengar, biarkan aku membantumu membersihkan luka itu."

   Walker tampaknya tidak mendengar kata-kata Mayra. Ia melangkah lagi ke arahnya. Hazel tiba-tiba berdiri, memandangi Walker dengan waspada. Kepalanya miring dan ia mengeong keras seakan mengancam, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-gigi tajam.

   "Aku takkan membiarkanmu menghancurkan hidup kita,"

   Ulang Walker.

   Di belakang Walker, Mayra melihat pisau daging besar milik.

   Mrs.

   Cottler, tergeletak di meja di samping bak cuci piring.

   Chop, chop, chop.

   Mayra seolah mendengar lagi suara tulang dipotong.

   Mengapa pisau itu digeletakkan begitu saja? Seakan-akan sengaja disediakan di situ untuk Mayra.

   "Mundur, Walker,"

   Katanya.

   Walker melangkah lagi melintasi dapur.

   Aku harus mempertahankan diri, pikir Mayra.

   Dia benar-benar sudah gila.

   Dia sudah sekali mencoba membunuhku.

   Tapi bagaimana cara meraih pisau itu? Aku harus melewati dia.

   Kemudian, sambil meraung keras, Walker menerkam Mayra.

   Gadis itu menghindar, merunduk, dan tangannya menjulur.

   Walker berbalik, terkejut melihat Mayra meraih pisau berat itu.

   Entah mengapa, ia menyeringai.

   Kembali ia menyeka lukanya dengan lengan baju.

   Napasnya sekarang makin memburu, mendengus-dengus.

   "Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu, Mayra?"

   Mayra mengangkat pisau itu di depannya, terkejut menyadari beratnya.

   "Pokoknya mundur,"

   Katanya, suaranya bergetar.

   "Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?"

   Ulang Walker sambil maju mendekati Mayra.

   "Aku serius, Walker. Mundurlah."

   Mayra semakin tinggi mengangkat pisau berat itu.

   "Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?"

   Walker berlari ke arah Mayra, mengagetkannya. Mayra tahu ia tak dapat menggunakan pisau itu.

   "Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?"

   Walker berteriak. Ia meraih pisau itu, berusaha melepaskannya dari tangan Mayra. Mereka bergumul berusaha menguasai benda itu, kedua lengan mereka terangkat di atas kepala.

   "Tidak!"

   Jerit Mayra.

   "Lepaskan! Tidak!"

   Ternyata, di luar dugaan Mayra, Walker sangat kuat. Mayra tidak dapat mempertahankan pisau itu lagi. Walker menarik benda itu dari genggamannya.

   "Tidak!"

   Jerit Mayra, tenggorokannya tercekik rasa ngeri. Mayra mendorong perut Walker kuat-kuat, dan melesat lari keluar dapur, melewati koridor menuju pintu depan. Ia dapat mendengar langkah Walker tepat di belakangnya.

   "Tidak!"

   Ia harus keluar dari sana.

   Ia menarik pintu membuka.

   Dan menjerit.

   Cal sedang berdiri di pintu masuk.

   Ia memandangi Mayra, mukanya keruh, merah padam karena marah.

   Ia mengenakan jins longgar dan jaket denim belel, sambil memegangi tongkat kayu besar.

   Di belakangnya, Mayra melihat pickup merah yang diparkir di pinggir jalan.

   Pickup merah Cal.

   Rupanya dialah yang menabrak Donna waktu itu.

   Aku terkepung, pikir Mayra.

   Aku kalah.

   Chapter 25 CAL memelototinya, mukanya merah padam.

   Badannya kaku, kakinya terpentang lebar seakan siaga.

   "Siapa kau? Kau mau apa?"

   Teriak Mayra. Walker, yang mendekat dari belakang Mayra, segera berhenti begitu melihat mimik wajah Cal.

   "Siapa kau? Apa maumu? Jawab!"

   Jerit Mayra. Namun di luar dugaan Mayra, Cal mendorongnya ke samping dan melewatinya untuk mendekati Walker.

   "Kau membunuh saudaraku!"

   Seru Cal.

   Walker tersentak dan mulai mengacungkan pisau daging.

   Cal bergerak cepat.

   Ia mengayunkan tongkat kuat-kuat, dan pisau daging itu terpental dari tangan Walker.

   Kemudian Cal memukulnya.

   Walker terjengkang jatuh ke karpet di koridor, dan Cal menjepitnya di bawah, menekankan tongkat itu ke dadanya.

   "Kau membunuh saudaraku,"

   Ulang Cal.

   "Berhenti. Aku... aku tak bisa bernapas,"

   Erang Walker. Cal tidak menghiraukannya. Otot-ototnya yang kuat bertonjolan ketika ia menahan Walker tetap di bawah dengan tongkat itu. Cal mendongak ke Mayra, yang masih terdiam kaget di pintu.

   "Jangan bunuh dia!"

   Jerit Mayra ketika Cal menekankan tongkat itu ke tenggorokan Walker.

   "Jangan bunuh dia... tolong! "Selama ini kupikir kau yang membunuh saudaraku,"

   Cal berkata terengah-engah, mengabaikan permintaan Mayra.

   "Lalu tadi aku ada di dekat rumah ini. Kudengar kalian bertikai danau itu, sehingga aku tahu kejadian sebenarnya. Aku tahu dialah yang membunuh saudaraku dan melarikan diri. Aku mendengar semua ucapanmu. Lalu aku melihat dia berusaha menenggelamkanmu. Aku bermaksud menolongmu. Tapi aku tak bisa bergerak cepat dengan tongkat ini -terutama di rumput. Untunglah, kau bisa lolos."

   "Tolong... lepaskan aku,"

   Walker tersedak.

   "Aku takkan melakukan apa-apa. Sumpah."

   Cal tidak memedulikannya.

   "Maksudmu kau...,"

   Kata Mayra.

   Namun ia berhenti ketika mendengar bunyi gaduh di pintu depan.

   Ia berbalik dan melihat dua polisi berwajah galak.

   Tangan keduanya dalam keadaan siaga di atas sarung pistol.

   Salah satu polisi menarik pintu kasa, dan mereka berdua melangkah masuk.

   "Apa sebenarnya yang terjadi di sini?"

   Tanya salah satu polisi. Cal cepat-cepat melepaskan Walker dan berdiri, bertopang pada tongkat kayunya. Walker tidak bergerak untuk bangun. Polisi itu membungkuk ke arahnya.

   "Kau tak apa-apa, Nak?"

   "Kau yang ada di mobil kuning itu?"

   Mayra bertanya pada Cal, merasa lega ia telah selamat, ingin segera mendengar seluruh kisah itu.

   "Saudaraku Jerry dan aku ada dalam mobil itu,"

   Jawab Cal cepat, nyaris tak bernapas.

   "Aku melihatmu di pinggir jalan. Kupikir kaulah sopirnya. Kukira kau akan menolongku menyelamatkan Jerry. Tapi kau malah melarikan diri."

   "Aku ingin menolong,"

   Kata Mayra.

   "Tapi Walker menarikku pergi."

   "Saudaraku tenggelam. Sesudah itu, sepertinya aku jadi agak sinting. Kau selalu terbayang di benakku. Aku tak dapat melupakan wajahmu. Kusangka kaulah yang membunuh saudaraku, jadi aku berniat mencarimu."

   "Aku sangat menyesal,"

   Kata Mayra. Kedua polisi itu berpandangan, tidak mengerti sedikit pun.

   "Lalu aku keluar rumah dan tiba-tiba bertemu denganmu di luar rumah nyonya tua di Fear Street itu,"

   Cal melanjutkan.

   "Aku tak percaya bisa benar-benar menemukanmu. Aku sudah mengenal Mrs. Cottler bertahun-tahun, jadi ketika aku mengarang cerita bahwa aku memerlukanmu untuk menjaga keponakanku, dia memberiku alamatmu, tidak susah."

   "Dan kemudian kau mencoba membunuhku dengan pickupmu?"

   Tanya Mayra, mendadak ia merasa lemas, dan bersandar pada langkan.

   "Kupikir kaulah yang ada dalam mobil itu. Aku cuma ingin menakut-nakutimu,"

   Sahut Cal.

   Tapi jalan itu ternyata sangat basah dan licin, aku tak bisa mengendalikan mobilku lagi.

   Aku tak bermaksud menabrak.

   Aku sendiri harus dirawat di rumah sakit karena pergelangan kaki dan lututku patah.

   Itulah sebabnya aku memakai tongkat ini."

   "Oh, ya ampun. Waktu aku melihatmu di sana, kukira kau pasien sakit jiwa!"

   Mayra berseru.

   "Mungkin seharusnya begitu,"

   Kata Cal dengan muka suram.

   "Aku tak percaya aku telah mengejar orang yang salah selama ini. Aku... aku sangat tertekan -sejak Jerry meninggal."

   "Berhentilah ngobrol dan tolong ceritakan pada kami apa yang terjadi di sini,"

   Salah satu polisi itu meminta dengan tidak sabar.

   "Ceritanya panjang,"

   Kata Mayra padanya. Chapter 26 SEMINGGU KEMUDIAN "KUAKUI. Aku memang menyebalkan."

   "Aku setuju,"

   Kata Mayra. Link memandangnya dengan sedih.

   "Aku tak bermaksud bertingkah menyebalkan,"

   Katanya lirih.

   "Sesungguhnya tidak menyebalkan,"

   Goda Mayra.

   "Satu-satunya alasan kenapa aku begitu menyebalkan adalah karena aku sangat sayang padamu."

   Mayra tertawa.

   "Oh, jadi aku yang salah kau bertingkah menyebalkan begitu."

   "Betul,"

   Link langsung mengiyakan. Cepat-cepat ia mendekati Mayra di sofa dan melingkarkan lengan ke bahu gadis itu.

   "Memang kau suka begitu,"

   Kata Mayra.

   "Apa? Aku tak dengar. Katamu, 'Aku suka kau'?"

   "Tidak. Bagaimana aku bisa suka kau? Kau menyebalkan. Sudah terbukti menyebalkan."

   Link menarik Mayra dan memeluknya dengan kedua lengannya yang hangat.

   "Oke, mungkin aku suka kau sedikit,"

   Kata Mayra setelah berpikir sejenak. Link memeluknya lagi, kali ini lebih lama.

   "Mungkin aku suka orang-orang yang menyebalkan, Mayra mengaku. Ia melirik jam tangannya.

   "Hei... aku tak punya waktu untuk ini. Aku harus ke rumah Mrs. Cottler. Dia sudah kembali. Katanya aku mesti datang dan mengambil gajiku."

   "Gaji? Asyik! Kau harus mentraktirku makan siang!"

   Link berdiri dan mengikuti Mayra keluar ruangan.

   "Ayo. Kuantar kau ke rumah Bibi Lucy. Mereka keluar lewat pintu depan. Link berlari ke pickup merahnya di halaman. Melihat pickup merah itu, Mayra berhenti.

   "Kau pasti menganggapku benar-benar tolol karena menuduhmu mencoba menabrakku."

   "Tidak, sama sekali tidak,"

   Bantah Link, sambil meraih tangan Mayra dan menariknya ke mobil.

   "Aku menyebalkan, ingat? Orang menyebalkan tidak dapat mengatai orang lain tolol. Tidak boleh."

   "Tapi Stephanie pasti mengira aku sungguh-sungguh sinting. Maksudku, aku hampir menuduhnya tukang sihir!"

   "Sudah kujelaskan semuanya pada Stephanie,"

   Kata Link sambil membukakan pintu mobil untuk Mayra.

   "Dan?"

   "Dan kau betul. Dipikirnya kau memang sinting!"

   Link tertawa dan menutup pintu. Dia kelihatan keren sekali kalau ketawa begitu, kata Mayra dalam hati.

   "Stephanie ingin sekali baikan lagi denganmu."

   Link menghidupkan mesin dan memundurkan mobil.

   "Dia kan sedang memantrai sesuatu waktu aku nyelonong ke dalam kamarnya,"

   Kata Mayra membela diri.

   "Well, aku dan dia sama-sama tertarik pada hal-hal gaib,"

   Kata Link.

   "Menurutku mungkin karena pengaruh Bibi Lucy."

   "Mrs. Cottler betul-betul penyihir?"

   Link tercengang, mulutnya ternganga.

   "Hah?"

   Dipandanginya Mayra.

   "Perhatikan jalanan,"

   Mayra memperingatkan.

   "Bibi Lucy penyihir? Kau bercanda, ya? Dia itu profesor terkenal. Bergelar Ph.D. Dia mengajar mata kuliah ilmu gaib di beberapa universitas sampai pensiun beberapa tahun lalu. Sekitar sepuluh bukunya tentang ilmu gaib sudah diterbitkan!"

   Mayra ingin tertawa.

   "Wah, rupanya aku salah sangka. Mungkin aku masih berjalan dalam tidur!"

   Tak lama kemudian mereka disambut hangat oleh Mrs. Cottler, yang tampak sangat gembira melihat mereka berdua.

   "Aku takkan lama menahan kalian, anak-anak muda,"

   Katanya ramah.

   "Ini hari Sabtu yang indah. Pasti kalian tak ingin menghabiskan waktu dengan si tua yang membosankan ini."

   Ia menyerahkan honor Mayra.

   "Oh. Aku hampir lupa, Sayang. Aku punya sesuatu untukmu."

   Mrs. Cottler menghilang ke ruangan lain sambil bertopang pada tongkatnya. Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa kotak yang diserahkannya kepada Mayra.

   "Ini kalung manik-manikmu. Semuanya sudah dirangkai kembali. Kukerjakan selama aku berada di rumah saudaraku. Sori lama sekali. Semoga kau tak mengira aku melarikannya!"

   Mayra mengangkat kalung manik-manik itu dan mengagumi hasil rangkaian Mrs. Cottler.

   "Aduh, manis sekali! Terima kasih!"

   Lalu dikalungkannya rangkaian manik-manik itu ke lehernya.

   "Kau pembaca yang sangat bagus, Mayra,"

   Kata Mrs. Cottler.

   "Aku tak bisa menunggu sampai Senin. Mungkin kita akan mulai dengan buku baru."

   "Kayaknya menyenangkan,"

   Kata Mayra.

   "Kayaknya ide yang bagus buatmu ya, Hazel?"

   Mayra membungkuk ke arah kucing itu, yang sedang berjemur di depan jendela dapur.

   Kucing ajaib, kata Mayra dalam hati.

   Bagaimana dia bisa turun ke danau untuk menyelamatkanku dari Walker? Dan bagaimana dia bisa kembali ke rumah sebelum aku? Mayra memandangi Hazel.

   Kucing itu memiringkan kepala dan balas memandang Mayra.

   Kukira itu merupakan salah satu misteri yang takkan pernah terungkap, pikir Mayra.

   Dan ia mengikuti Link keluar pintu menuju Fear Street.

   END KENANGAN Reras daun kering Helai demi helai Dan kau pun terdiam Kulihat di matamu kala itu Sebuah cerita lain Bukan tentang pedang ataupun padang gersang Bukan pula cinta dan lara Hanya sebuah pemahaman, karna kau tahu Saat itu hampir tiba Lalu wajahmu pun tak bisa kubaca menerawang jauh dan tenggelam.

   Kala surya sinari engkau, bayangmu jatuh dengan enggan.

   Tegarlah tegak, Cantik.

   Luka yang kugoreskan kelak kan hilang Dan kau pun tersadar.

   Aku tlah menghilang.

   

   

   

Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing

Cari Blog Ini