Masalah Besar 1
Goosebumps Masalah Besar Bagian 1
Chapter 1 AKU datang lagi.
Itulah yang kupikirkan ketika aku kembali menjejakkan kaki di geladak Cassandra untuk menghabiskan liburan musim panas.
Ya, aku, William Deep, Jr., sang penjelajah bawah laut yang terkenal di seantero dunia, telah kembali lagi.
Satu tahun lebih tua.
Satu tahun lebih bijak.
Satu tahun lebih matang.
Aku menghirup udara laut yang asin.
Kemudian aku menatap Laut Karibia berwarna hijau jernih di sekelilingku.
Adik perempuanku, Sheena, berdiri di sampingku.
Tapi aku sengaja tidak menggubrisnya.
Kehadirannya agak merusak suasana.
Cassandra adalah kapal milik pamanku, yang digunakan sebagai laboratorium terapung.
Pamanku, Dr.
George Deep, ahli biologi kelautan.
Orangtuaku menyuruh aku dan Sheena mengunjungi Paman George selama liburan musim panas.
Sama seperti tahun lalu.
Sepanjang tahun Dr.
D.
tinggal di atas kapalnya di kawasan Karibia sambil meneliti ikan tropis.
Ini sangat menyenangkan bagi kami, karena kami jadi bisa berenang terus dan sebagainya.
Pamanku baik sekali.
Dan orangtuaku menganggap kami akan belajar banyak tentang ilmu pengetahuan dan kehidupan laut selama kunjungan kami.
Musim panas tahun lalu aku menemukan sesuatu yang paling menggemparkan, dalam sejarah biologi kelautan.
Aku menemukan putri duyung.
Ya, putri duyung sungguhan.
Tapi tentu saja, tak seorang pun percaya.
Aku bukan ilmuwan dewasa.
Aku cuma anak umur dua belas yang sedang berlibur di Laut Karibia.
Sheena si-sok-tahu mengira aku berbohong.
Pamanku, Dr.
D., menganggap aku hanya mengada-ada.
Ia tidak percaya putri duyung memang ada.
Sampai aku membuktikan bahwa ia keliru.
Kami tidak memberitahu siapa pun tentang para putri duyung.
Soalnya ada sekelompok penjahat yang mau menangkap makhlukmakhluk ajaib itu dan memasukkan mereka ke kurungan.
Untuk para putri duyung, Sheena, Dr.
D., dan aku bersepakat untuk merahasiakan keberadaan mereka.
Jadi dunia takkan pernah tahu...
Dan sekarang aku balik lagi! ujarku dalam hati.
Billy Deep, salah satu penjelajah tersohor di tujuh samudra.
Dan aku bukan lagi anak dua belas tahun.
Aku tiga belas tahun.
Dan musim panas ini, aku akan menemukan sesuatu yang luar biasa.
Sesuatu yang bahkan lebih mencengangkan daripada putri duyung.
Kali ini, seluruh dunia akan tahu.
Kali ini aku bakal terkenal.
Mudah-mudahan.
******************************* Karang api itu tampak merah manyala.
Aku menyelam di dekatnya, sambil berhati-hati untuk tidak menyentuhnya.
Aku pernah menginjak karang api.
Waktu itu kakiku langsung seperti terbakar.
Tidak percuma jenis karang itu dinamakan karang api.
Aku mengamati terumbu karang.
Ikan-ikan beraneka warna berenang keluar-masuk celah dan lubang.
Indah sekali.
Segala sesuatu berkesan begitu tenang di bawah air.
Begitu tenteram.
Begitu damai.
Tapi aku tahu kesan itu menyesatkan.
Aku penyelam berpengalaman.
Aku jagoan selam.
Perenang yang tak terlatih pasti takkan menyadarinya.
Ada gelombang kecil yang melintas di air.
Dan tiba-tiba saja semua ikan menghilang.
Tapi aku merasakannya.
Aku segera mencium bahaya.
Ada sesuatu.
Sesuatu yang mematikan.
Chapter 2 AKU berbalik -dan berhadapan dengan lawanku.
Gurita raksasa! "WAAAA!"
Snorkel-ku sampai copot ketika aku berteriak kaget.
Gurita! Makhluk itu tampak melayang di air, dan tubuhnya yang ungu sebesar aku! Aku memasukkan snorkel kembali ke mulut, lalu mengayunkan kaki dengan sekuat tenaga untuk menjauhi gurita itu.
Tapi sebelum kabur, aku merasa leherku dicengkeram sesuatu yang dingin dan lunak.
Ohhh.
Tentakel gurita yang sebesar lengan manusia.
Cakram pengisapnya menempel kuat pada kulitku.
Aku mulai diseret...
ditarik ke bawah.
Jangan! Sambil megap-megap aku mengangkat kepala dari air untuk menarik napas.
Dengan susah payah aku berteriak minta tolong.
Salah satu, tentakel melilit pinggangku.
Dan satu lagi mencengkeram dadaku.
Aku meronta-ronta dan menendang-nendang.
Tapi makhluk raksasa itu terlalu kuat.
Cakram-cakram pengisapnya berdecap-decap ketika menempel pada kulitku.
Aku terseret...
terseret...
Sampai semuanya menjadi gelap.
Jangan! Jangan! Ternyata aku tidak kehilangan kesadaran.
Kegelapan di sekelilingku disebabkan oleh tinta yang disemburkan si gurita.
Aku memejamkan mata.
Aku berputar-putar dan menggeliatgeliut.
Tapi tentakel-tentakel gurita semakin keras menarikku.
Menyeretku turun ke dalam kegelapan yang pekat.
Aku terbatuk-batuk.
Dan berjuang naik ke permukaan.
Air di sekelilingku bergolak hebat.
Pandanganku terhalang tinta gurita yang hitam.
Cakram-cakram pengisap semakin kuat mencengkeram kulitku.
Tentakel si gurita semakin keras melilit dadaku, perutku....
Aku tak bisa bernapas.
Tak bisa bergerak.
Kusadari aku bakal tenggelam.
Aku bakal celaka! Celaka! Paru-paruku serasa mau meledak.
Aduh! Aku tak mau mati! Aku tak mau mati seperti ini! Pasti ada jalan untuk lolos dari cengkeraman si gurita.
Aku mengerahkan segenap tenagaku yang masih tersisa, dan berhasil membebaskan lengan kananku.
Sekarang bagaimana? Bagaimana? Aku menjulurkan jari ke arah perut si gurita.
Perutnya berwarna ungu dan tampak berdenyut-denyut.
Mataku sudah berkunang-kunang.
Aku sadar waktuku tidak banyak.
Sebentar lagi aku bakal jatuh pingsan.
Aku menjangkau tubuh besar itu.
Dan dengan sisa tenagaku, aku menggerakkan jari.
Moga-moga berhasil, aku berdoa dalam hati.
Moga-moga...
Lalu aku mulai menggelitik.
Chapter 3 JEMARIKU menggelitik perut yang berwarna ungu.
Kitikkitik! Si gurita menggeliat-geliut.
Kitik-kitik! Tentakel-tentakelnya mengendur.
Yes! Yes! Siasatku berhasil.
Ternyata si gurita memang geli! Makhluk raksasa itu bergetar -dan mendorongku menjauh.
"Stop, Billy!"
Si gurita berseru.
"Leluconmu tak lucu! Aku tak mau digelitiki!"
Kemudian si gurita mencubitku.
Oke, oke.
Lawanku bukan gurita, tapi adikku Sheena.
Sheena selalu merusak kesenanganku.
Ia tidak punya daya khayal.
Ia tidak suka permainan pura-pura.
Ehm...
tampangnya memang tidak mirip gurita.
Ia malah mirip aku.
Kurus, dengan rambut lurus hitam.
Tapi rambut Sheena panjang, sedangkan rambutku pendek.
Mata kami sama-sama biru tua, dan alis kami sama-sama tebal.
Sheena berusia sebelas tahun, setahun lebih muda dari aku.
Tapi sikapnya kadang-kadang seperti nenek-nenek.
Ia tidak suka permainan, dan tidak bisa diajak bergurau.
"Kau berlagak jadi apa sih tadi?"
Sheena bertanya dengan nada mengejek.
"Ikan gelitik?"
"Bukan urusanmu,"
Aku menyahut.
Sheena tidak bakal mau mengakui bahwa aku penjelajah bawah laut yang hebat.
Apakah ia sudah lupa soal putri duyung? Aneh, memang.
Adik perempuan biasanya terkagum-kagum pada kakak laki-lakinya.
Tapi Sheena lain.
Seandainya kuberitahu bahwa aku berlagak jadi gurita, Sheena pasti akan terus mengejekku.
"Kau memang konyol, Billy,"
Ia bergumam. Coba itu! Penjelajah bawah laut yang terkenal dibilang konyol! "Awas kau,"
Gerutuku.
Aku paling senang mempermainkan Sheena.
Ia tidak mudah dikelabui.
Tapi aku sudah punya ide.
Aku telah menyusun siasat yang bakal membuatnya kapok -untuk selama-lamanya.
Aku berenang kembali ke kapal.
Aku menaikkan masker dan naik ke Cassandra.
Kapal itu cukup besar dan kokoh, dengan geladak terbuka yang luas.
Panjangnya sekitar lima belas meter.
Di bawah geladak terdapat lab penelitian, dapur, dan beberapa kabin untuk tidur.
Geladak yang putih tampak lengang.
Matahari siang bersinar terik.
Dr.
D.
sedang di bawah, aku tahu.
Kebetulan sekali.
Aku tidak ingin ia melihatku dan membongkar siasatku.
Aku meraih ke bawah tumpukan jaket pelampung.
Kemudian aku mengeluarkan bantal berbentuk bujur-sangkar dari bahan vinil kelabu yang kusembunyikan di situ.
Aku menoleh ke arah terumbu karang.
Sheena sedang asyik menyelam di dekat permukaan.
Bagus.
Rencanaku begini.
Aku akan berenang di bawah air sambil memegang bantal kelabu di atas.
kepala.
Aku akan memegangnya sehingga salah satu sudut menyembul dari air.
Ya, benar.
Persis seperti sirip hiu.
Kemudian aku akan berenang menghampiri Sheena, sekencang mungkin.
Ia pasti akan menyangka bahwa ia mau diterkam hiu! Ia akan ketakutan setengah mati.
Aku sudah tak sabar mendengarnya berteriak-teriak minta tolong.
"Kita lihat saja siapa yang konyol,"
Aku bergumam pelan.
Aku kembali masuk ke air.
Lalu, sambil memegang bantal dalam posisi sirip hiu, aku mulai mengayunkan kaki.
Aku berenang di bawah air dan menuju ke terumbu karang.
Menghampiri Sheena.
Setelah beberapa menit aku muncul di permukaan untuk menganabil napas.
Sheena belum melihatku.
Aku kembali memasang "sirip hiu"
Dan berenang mendekat. Semakin dekat. Kemudian aku mendengarnya. Akhirnya. Sheena menjerit-jerit.
"Hiu!"
Teriak Sheena.
"Tolong! Ada hiu!"
Ha! Ha! Menjeritlah terus, Sheena! Akhirnya aku berhasil mengelabui Nona-Sok-Tahu! "Hiuuuu!"
Ia kembali melolong.
Aku tak tahan lagi.
Aku harus naik supaya bisa menertawakan adikku.
Kepalaku menyembul di permukaan.
Hei! Sheena sedang berenang ke arah kapal.
Dan ia tetap menjerit-jerit seperti orang kesurupan.
Tapi ia tidak memandang ke arahku.
Ia malah sama sekali belum melihatku.
"Hiu!"
Teriaknya sekali lagi sambil menunjuk ke arah terumbu karang. Kemudian aku melihatnya. Sirip hiu raksasa! Sirip hiu sungguhan! Chapter 4
"HAH?"
Aku memekik ketakutan.
Hiu itu sebesar paus! Dari mana hiu itu muncul? Sebelumnya kami sempat diberitahu Dr.
D.
bahwa tidak ada hiu besar di sekitar sini.
Tapi kelihatannya hiu itu tidak tahu seharusnya tidak ada hiu di sekitar terumbu karang.
Hiu itu muncul di permukaan karena terdorong ombak.
Dan aku langsung membelalakkan mata ketika melihat badannya yang berwarna putih-keperakan -dan sebesar perahu dayung! Rahangnya menyambar-nyambar.
KRAK! KRAK! "Oh-oh."
Aku melepaskan bantal dan segera berenang ke kapal. Jautungku berdegup kencang. Airnya mendadak terasa kental seperti lumpur. Kenapa aku tidak bisa berenang lebih cepat? "Ayo, Billy!"
Seru Sheena. Aku menoleh ke belakang. Sirip kelabu raksasa di belakangku membelah air bagaikan perahu motor. Hiu itu meluncur ke arah kami.
"Cepat!"
Aku berseru pada diriku sendiri.
"Lebih cepat!"
Sheena dan aku berenang ke kapal.
Aku tidak menoleh ke belakang lagi.
Aku tidak berani melihat betapa dekat hiu raksasa itu! Napasku tersengal-sengal ketika aku sampai di Cassandra.
Seluruh tubuhku terasa pegal.
Aku berpegangan pada tepi kapal.
Sebentar lagi aku akan selamat.
Sheena lebih dulu menaiki tangga.
"Cepat!"
Aku mendesaknya. Aku berpegangan pada tangga dan menoleh ke belakang. Hiu itu semakin dekat. Saking dekatnya, aku bisa melihat matanya yang hitam. Dan mulutnya yang penuh gigi runcing.
"Cepat, Sheena!"
Teriakku. Aku mendorongnya ke atas, lalu buru-buru memanjat tangga.
"Kita selamat!"
Ujar Sheena terengah-engah. Sambil megapmegap karena kehabisan napas, aku menoleh ke arah air. Hiu itu masih terus meluncur! Bagaikan kapal selam bergigi! "WAAAA!"
Aku memekik kaget ketika ikan raksasa itu menabrak lambung kapal! "WAAAA!"
Seluruh kapal terguncang -dan oleng. Aku segera berpegangan pada pagar kapal.
"Pegangan, Sheena!"
Aku berseru.
"Hiu itu menyerang kita!"
Aku bersiap-siap menghadapi serangan berikutnya. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Hiu itu menghilang di tengah air yang bergolak hebat. Dr. D. muncul di geladak. Ia tampak bingung.
"Ada apa ini?"
Ia bertanya. Sheena dan aku berlari menghampirinya sambil menjerit-jerit.
"Ada hiu! Ada hiu!"
"Apa?"
Dr. D. memandang ke laut. Airnya tampak tenang sekarang. Ombak kecil menjilat-jilat lambung kapal. Hiu raksasa tadi telah lenyap.
"Billy... tak ada apa-apa di sana. Apa maksudmu?"
Dr. D. bertanya.
"Tadi ada hiu! Hiu raksasa! Mengejar-ngejar Billy dan aku,"
Seru Sheena terengah-engah.
"Kapal ini oleng gara-gara ditabrak hiu itu!"
"Ditabrak hiu?"
Dr. D. menggelengkan kepala.
"Tak mungkin. Tak mungkin kapal ini sampai oleng karena ditabrak hiu."
"Tapi hiunya benar-benar BESAR!"
Seruku.
"Sebesar sepuluh hiu!"
"Sebesar dua puluh hiu!"
Sheena menimpali. Dr. D. mengusap-usap bagian kepalanya yang botak.
"Paman kan sudah bilang tadi. Paman sudah memeriksa radar. Paman juga sudah memantau peralatan sonar. Tak ada hiu besar di sekitar sini."
Ia menatapku dan bertanya.
"Kau yakin, Billy? Kau yakin kau melihat hiu?"
"Kami yakin!"
Sheena berkeras. Kami tahu Dr. D. lebih mudah percaya pada Sheena daripada padaku.
"Ayo, coba ikut ke lab Paman,"
Dr. D. berkata. Kami turun ke bawah geladak dan mengikutinya ke salah satu lab. Dr. D. menunjuk akuarium besar di pojok ruangan. Akuarium itu berisi ikan keperakan seukuran anjing besar. Sheena memekik tertahan.
"Wow! Aku belum pernah melihat ikan seperti itu!"
"Paman juga belum,"
Dr. D. berkata serius.
"Justru itu masalahnya."
Aku menatap ikan yang berputar-putar di akuarium. Ikan itu berkesan akrab, tapi aku tidak tahu kenapa.
"Paman belum berhasil mengidentifikasinya,"
Kata Dr. D. kembali.
"Paman belum pernah melihat ikan sebesar ini dengan bentuk seperti ini. Paman sudah memeriksa semua buku, tapi sia-sia!"
Ia menunjuk setumpuk buku tentang biologi kelautan. Aku meraih salah satu dan membukanya. Halaman demi halaman buku itu menampilkan foto-foto segala macam ikan. Dr. D. menoleh padaku.
"Pasti bukan di bagian itu, Billy,"
Katanya.
"Semua ikan di bagian itu berukuran kecil."
Aku membalik satu halaman untuk mencari bagian ikan berukuran besar. Kemudian aku membalik satu halaman lagi -dan memekik tertahan. Dr. D. memegang pundakku sambil menatap foto itu bersamaku.
"Astaga!"
Serunya.
"Tak mungkin!"
Chapter 5 KAMI berkerumun di sekeliling buku sambil menatap foto itu. Foto itu memperlihatkan ikan yang persis seperti ikan di dalam akuarium. Langsing, keperakan... hanya saja ada satu perbedaan besar.
"Itu ikan teri!"
Seru Dr. D.
"Tapi itu tak mungkin!"
Aku membaca keterangan yang tercantum di bawah foto.
"Ikan teri, panjang dua setengah sentimeter."
Aku menatap ikan di dalam akuarium. Panjangnya hampir satu seperempat meter! Dr. D. mengamati ikan itu sambil memicingkan mata.
"Bagaimana mungkin ikan teri bisa tumbuh sebesar ini?"
Ia bertanyatanya.
"Ini harus kuselidiki lebih lanjut."
Sheena dan aku berdiri di belakang Dr. D. Kami memperhatikan bagaimana ia mengamati foto ikan teri di buku melalui kaca pembesar. Kemudian ia berpaling pada teri raksasa di dalam akuarium, dan mengamatinya dengan saksama.
"Ciri-cirinya persis sama,"
Dr. D. bergumam.
"Aku boleh mengintip sebentar lewat kaca pembesar?"
Tanya Sheena.
"Tentu saja."
Dr. D. menyerahkan kaca pembesar itu.
"Ikan teri...,"
Gumam Dr. D.
"Bagaimana mungkin ikan teri menjadi sebesar ini? Mestinya hanya sebesar ikan emasmu, Billy."
Ikan emasku! "Aduh!"
Seruku.
"Aku lupa memberi makan ikan emasku tadi pagi."
"Sebaiknya ikan-ikanmu segera diberi makan,"
Ujar Dr. D. Aku menuju ke pintu lab. Di sebelah kiri aku melihat rak yang penuh botol kaca.
"Apa isinya botol-botol ini, Dr. D.?"
Tanyaku. Ia berpaling dari ikan teri raksasa dan menoleh ke arah rak.
"Oh, itu plankton,"
Sahutnya.
"Plankton terdiri atas jasad renik, baik tumbuhan maupun hewan, yang menggumpal dan mengambang di air. Plankton merupakan makanan pokok banyak jenis ikan. Contohcontoh ini berasal dari perairan di sekitar sini."
Aku mengambil salah satu botol. Tapi yang terlihat cuma air keruh kecokelatan dengan lendir hijau-cokelat mengambang di permukaan. Sheena mengamati plankton itu melalui kaca pembesar.
"Jorok,"
Katanya.
"Bawa saja botol itu, Billy,"
Dr. D. mengusulkan.
"Coba berikan pada ikan-ikan emasmu. Mereka pasti suka."
"Terima kasih, Dr. D."
Sambil memegang botol itu aku menyusuri lorong ke arah kabinku. Ketika membuka pintu, aku berkata.
"Halo, ikan-ikan mungil. Aku punya kejutan lezat untuk kalian!"
Tapi ternyata ikan-ikan itu menyimpan kejutan yang lebih besar lagi untukku. Jauh lebih besar. Aku menatap stoples yang kupakai sebagai akuarium. Dan botol berisi plankton nyaris terlepas dari tanganku. Kemudian aku memekik.
"TOLONG!"
Aku menghambur keluar dari kabin.
"Tolong! To-long! Dr. D.!"
Seruku.
"Ada kepala -kepala orang -di tempat ikan emasku!"
Chapter 6 DR. D. dan Sheena bergegas keluar dari lab. Aku menoleh ke pintu kabinku, dan -gubrak! -bertabrakan dengan Sheena.
"Aduh!"
Sheena merengek.
"Pakai mata dong, Billy!"
"Billy, ada apa?"
Tanya Dr. D.
"A-ada kepala!"
Seruku dengan susah payah sambil menunjuk kabinku. Aku megap-megap. Perutku serasa diaduk-aduk.
"Oh, wow. Oh, wow. Ada... ada kepala di tempat ikanku."
Dr. D. mengerutkan kening. Ia langsung masuk ke kabinku. Aku dan Sheena menyusulnya. Dr. D. membuka pintu... lalu mendadak berhenti sambil menarik napas tajam.
"Tuh, kan!"
Seruku.
Kepala itu menatap kami dengan mata yang terbelalak lebar.
Aku tidak mengerti bagaimana Dr.
D.
dan Sheena bisa tahan melihat pemandangan mengerikan.
Aku sendiri langsung mual.
Aku menelan ludah dan memalingkan wajah.
Sheena cekikikan.
Cekikikan? "Ada apa, Sheena?"
Tanyaku.
"Apanya yang lucu?"
Ia melintasi kabin dan meraih ke dalam stoples ikan.
"Sheena, jangan!"
Aku mewanti-wanti.
"Jangan dipegang!"
Sheena malah tertawa -dan mengangkat kepala itu dengan menarik rambutnya. Kemudian kepala yang basah kuyup itu diayunayunkannya.
"Ohhh,"
Aku mengerang. Aku menatap kepala itu sambil terbelalak. Baru sekarang aku melihatnya dengan jelas. Dan baru sekarang aku sadar bahwa kepala tersebut ternyata bukan kepala manusia. Kepala itu kepala boneka besar.
"Kena kau!"
Ejek Sheena.
"Ini balasannya untuk semua keisenganmu selama liburan ini!"
Dr. D. tersenyum lebar.
"Paman juga nyaris tertipu,"
Ia mengakui.
"Air di dalam stoples ikan membuat kepala boneka itu kelihatan lebih besar dari sebenarnya. Tipuan bagus, Sheena."
"Terima kasih, Dr. D."
Sheena membungkuk sedikit.
Wajahku terasa panas, dan pasti merah padam.
Aku malu sekali.
Bisa-bisanya aku dikelabui dengan tipuan sekonyol ini! Lagi pula, seharusnya aku yang mengelabui orang lain.
Bukan sebaliknya.
Aku menatap stoples ikan.
Rasanya ada yang hilang.
"Hei!"
Kataku.
"Mana ikan emasku? Dan siputku?"
Sheena mengangkat bahu. Aku mencengkeram pundaknya.
"Apa yang kaulakukan dengan piaraanku?"
"Oke, oke, tidak perlu panik,"
Sahut Sheena. Ia mendorongku menjauh.
"Semuanya kupindahkan ke stoples lebih kecil yang kutaruh di kamar mandi."
"Bawa kemari dong!"
Kataku dengan sengit. Aku kesal sekali.
"Sabar, sabar,"
Balas Sheena. Ia membawa ikan emas dan siputku, dan aku mengembalikan semuanya ke stoples semula.
"Awas kalau kau berani mengusik ikan dan siputku lagi!"
Ancamku pada adikku.
"Aku tak mau sampai terjadi apa-apa dengan piaraanku."
Aku memperhatikan ikan-ikanku berenang. Tapi rasanya ada yang tidak beres. Aku menggelengkan kepala.
"Ada sesuatu dengan mereka,"
Ujarku.
"Coba beri sedikit plankton, Billy,"
Dr. D. menyarankan.
"Mereka pasti akan segar bugar lagi."
Aku meraih botol kaca itu dan melepaskan tutupnya. Kemudian kutuangkan sedikit lendir keruh ke dalam stoples. Ikan-ikanku segera naik ke permukaan dan mulai makan. Mereka tampak jauh lebih gembira.
"Wow!"
Kataku.
"Mereka suka sekali!"
"Betul, kan?"
Dr. D. tersenyum, tapi sorot matanya meredup karena kuatir.
"Oke, anak-anak, jangan main-main lagi. Paman harus kembali ke lab untuk meneliti ikan teri raksasa itu. Dan Paman tidak mau diganggu."
"Kami takkan ribut,"
Sheena berjanji. Pandangan Dr. D. menerawang jauh.
"Ada sesuatu yang aneh di sini,"
Ia bergumam.
"Sesuatu yang aneh sekali..."
Kami sama sekali tidak menyangka urusan itu bakal jauh lebih aneh lagi.
Chapter 7 AKU mondar-mandir di geladak sambil memeras otak.
Aku harus secepatnya membuat perhitungan dengan Sheena.
Ia tampak gelisah sepanjang sore.
Mungkin karena waswas akan pembalasanku.
Tapi aku belum mendapatkan ide yang cukup bagus.
Aku berpikir sepanjang malam, sampai akhirnya tertidur.
Sekarang sudah pagi hari berikutnya.
Sheena sudah tidak berjaga-jaga.
Mungkin sudah lupa -dialah yang terakhir mencari gara-gara.
Dan lupa sekarang giliran dia yang bakal kena batunya.
Bagaimana aku bisa membuat bulu kuduknya berdiri? aku bertanya dalam hati.
Bagaimana aku bisa menakut-nakutinya sampai ia menjerit ketakutan? Tipuan ikan hiu dengan bantal kemarin malahan jadi senjata makan tuan.
Karena itu aku harus memikirkan dua tipuan, biar impas.
Mungkin aku bisa menaruh sesuatu yang menjijikkan di tempat tidurnya? Matahari pagi bersinar cerah.
Musim panas di kawasan Karibia selalu benar-benar panas.
Aku mulai sakit kepala.
Tapi akhirnya aku mendapatkan ide yang baik.
Aku mengambil snorkel dan masker selam, dan mengenakan keduanya.
Dr.
D.
sempat berpesan agar kami jangan jauh-jauh dari kapal.
Tapi ia juga tidak mau diganggu.
Karena itu aku memutuskan untuk menyelam.
Dengan masker dan snorkel terpasang, aku mulai menuruni tangga kapal.
"Ha, ketahuan kau!"
Suara Sheena yang cempreng menusuk-nusuk gendang telingaku. Ia selalu memergokiku kalau aku sedang melakukan sesuatu.
"Sedang apa kau?"
Ia bertanya.
"Dr. D. kan sudah bilang kita jangan ke mana-mana."
"Aku takkan jauh-jauh,"
Sahutku.
"Aku kepanasan. Dan aku sudah bosan duduk-duduk di geladak."
"Kalau begitu aku mau ikut."
Sheena mengambil peralatan dan langsung memakainya. Aku melompat ke air. Sheena segera menyusul.
"Seharusnya kita jangan nekat begini,"
Ia berbisik.
"Bagaimana kalau hiu itu kembali lagi?"
"Hiunya sudah pergi,"
Ujarku.
"Jangan kuatir. Takkan ada apaapa."
"Yakin?"
Ia bertanya sambil memasang maskernya.
"Ya. Aku yakin,"
Sahutku.
Suasana cerah dan tenang.
Ombak mengalun lembut bagaikan di danau.
Apa yang perlu dikuatirkan? Sheena dan aku berenang melintasi permukaan air yang berkilauan.
Kami menduga bakal melihat banyak ikan kecil yang indah.
Tapi ternyata kami menemukan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang sama sekali di luar dugaan kami.
Chapter 8 KUBENAMKAN kepala Sheena ke dalam air.
Ketika ia kembali menyembul di permukaan untuk menarik napas, aku berseru.
"Hiu! Hiu!"
Sheena menggebuk kepalaku dengan tangan terkepal.
"Jangan macam-macam, Billy."
Tapi aku melihat ia memandang berkeliling dengan waswas.
Aku juga memantau keadaan sekitar.
Tidak ada sirip yang tampak.
Sekelompok ikan berwarna kuning terang lewat di hadapan kami.
Ikan-ikan itu bersinar bagaikan matahari kecil di dalam air.
Aku mengikuti kelompok ikan itu ke terumbu karang.
Wow, pikirku.
Bentuk terumbu karangnya bagus sekali.
Kawanan ikan itu berenang melalui lingkaran karang, lalu mengelilingi puncak bukit karang yang runcing.
Bukit karang itu diterangi sinar matahari yang menembus permukaan air.
Seekor kepiting kecil mengintip dari lubang karang, lalu segera bersembunyi lagi karena melihat kedatanganku.
Ikan-ikan kuning tadi tiba-tiba berenang naik, mendekati genangan plankton yang mengambang di permukaan air.
Plankton itu persis seperti plankton dalam botol-botol di lab Dr.
D.
Kuperhatikan ikan-ikan itu melahap plankton, sama seperti ikan emasku tadi.
Aku naik ke permukaan.
"Sheena, coba lihat ini,"
Aku berseru. Tidak ada jawaban.
"Sheena?"
Aku melihat air memercik di seberang terumbu karang.
Sekali.
Lalu sekali lagi.
Aku sempat melihat sepatu katak Sheena menampar permukaan air.
Aku mengejarnya.
Ia berenang dengan kepala menghadap ke bawah sambil bernapas melalui snorkel.
Sepertinya ia sedang memperhatikan sesuatu.
Ia mengayunkan sepatu kataknya kuat-kuat, dan dengan irama cepat, sehingga lajunya cukup kencang.
"Sheena!"
Aku memanggil sekali lagi.
Tapi ia tidak mendengarku.
Biarpun aku berenang di sebelahnya dan berteriak keras-keras, ia tetap takkan mendengarku.
Kadang-kadang ia memang seperti itu.
Misalnya kalau ia sedang membuat PR.
Pikirannya begitu terpusat, sehingga ia mengabaikan segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Berkat kebiasaannya itu ia selalu mendapat nilai A.
Orangtuaku selalu membanggakan Sheena.
Aku menghela napas dan terus mengikutinya.
Aku harus menghentikan adikku.
Ia sedang berenang ke laut lepas tanpa menyadarinya.
Sambil berenang, aku memperhatikannya melalui masker selamku.
Ada apa itu di depannya? Ada sesuatu yang janggal, semacam bayangan yang membuat air keruh.
Hei.
Bukan.
Itu bukan air.
Itu sesuatu yang belum pernah kulihat.
Sepertinya Sheena tidak melihatnya.
Ia terus saja berenang maju.
Dan tiba-tiba bayangan itu mulai bergerak! Aku mengembuskan napas melalui snorkel, dan memicingkan mata supaya bisa melihat lebih jelas.
Bayangan itu semakin dekat.
Bayangan tersebut berwarna pink dan berkesan kenyal.
Sepintas lalu mirip gumpalan permen karet.
Bayangan itu mendekati Sheena.
Dan sepertinya membesar.
Aku melihatnya meregang dan menggembung bagaikan parasut pink, sampai lebih besar daripada Sheena.
Astaga, apa itu? aku bertanya dalam hati.
Sheena, awas! Masa ia tidak melihatnya? Masa ia tidak melihat bayangan yang menghadang di depan hidungnya? "Sheena! Awas! Awas!"
Rasanya aku ingin berteriak.
Tapi aku tidak bisa berteriak di bawah air.
Aku mengayun-ayunkan tangan.
Menendang-nendang.
Berputar-putar.
Aku mencoba segala cara untuk menarik perhatiannya.
Sheena! ...Awas! pikirku.
Menyingkirlah! Cepat! Tapi ia tetap berenang sambil memandang dasar laut.
Dan ia terus saja menuju gumpalan pink itu.
Aku tak berdaya ketika gumpalan itu mulai menyelubungi Sheena.
Bagaikan kerang raksasa berwarna pink, gumpalan itu membelah semakin lebar...
dan mencengkeram adikku.
Sheena dicengkeram keras-keras.
Ditarik masuk.
Lalu ditelan.
Chapter 9 SEJENAK, tak ada yang bisa kulakukan selain diam seperti patung.
Kemudian aku naik ke permukaan.
Cepat-cepat aku mencopot masker, lalu berenang ke tempat Sheena.
Air bercipratan ke segala arah ketika aku melesat menghampiri gumpalan pink itu.
Makhluk tersebut menggeliat-geliut dan bergetargetar -dan adikku ada di dalamnya! Apa itu? aku bertanya dalam hati.
Baru kemudian, setelah mendekat, aku menyadari apa yang kulihat.
Makhluk yang kuhadapi adalah ubur-ubur! Ubur-ubur yang lebih besar daripada manusia.
Whoa! Makhluk itu tembus pandang.
Aku melihat selaput putih berlendir serta pembuluh-pembuluh merah yang membuatnya kelihatan berwarna pink.
Dan Sheena -terperangkap di dalamnya! Sheena yang malang.
Ia meronta-ronta.
Menendang-nendang.
Memukul-mukul.
Wajahnya merapat ke kulit ubur-ubur yang penuh pembuluh! Aku melihat matanya mendelik lebar di balik maskernya.
Makhluk mengerikan itu menyelubunginya bagaikan selimut berlendir.
Sheena mendorong-dorong selaput pink di sekelilingnya dengan sekuat tenaga.
Aku tahu ia akan segera kehabisan napas.
Aku harus melakukan sesuatu.
Tapi apa? Wajah Sheena berkerut-kerut karena panik.
Aku harus membebaskannya, ujarku dalam hati.
Serta-merta aku menghampiri gumpalan yang menggeliat-geliut di hadapanku.
Aku berusaha memegangnya.
Oh! Tanganku langsung tergelincir.
Sekali lagi aku mencoba meraih ubur-ubur itu.
Tapi percuma.
Kulitnya terlalu licin.
Rasanya seperti meremas agar-agar.
Kulitnya membentur tubuhku.
Ih, rasanya begitu lengket dan berlendir.
Sheena menatapku dengan mata terbelalak karena ngeri.
Aku mencoba bergulat dengan makhluk mengerikan itu.
Aku mencakarnya dengan kukuku.
Makhluk itu bergetar-getar dan berdenyut-denyut.
Tapi Sheena tetap tidak dilepaskannya.
Tiba-tiba aku mendapat ide.
Gagasan itu membuatku mual.
Tapi aku tahu tidak ada pilihan lain.
Sheena tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Aku sendiri harus menyusup ke dalam ubur-ubur.
Aku harus bisa masuk dan menarik Sheena keluar.
Aku menelan ludah.
Perutku serasa diaduk-aduk.
Aku menunduk dan menyelam ke arah celah tempat gumpalan pink yang menjijikkan itu melipat diri.
Siap-siap! kataku dalam hati.
Aku akan masuk....
Chapter 10 TANGANKU masuk lebih dulu.
Kemudian aku merundukkan kepala dan menarik badanku ke dalam.
Lapisan lendir menggesek wajahku.
Pembuluh-pembuluh berwarna merah membuat kulitku lecet.
Aku menahan napas dan berusaha mendekati kaki adikku.
Kalau saja aku bisa masuk sedikit lebih jauh lagi dan meraih kaki Sheena, mungkin aku bisa menariknya keluar.
Paru-paruku sudah hampir meledak.
Aku tak sanggup menahan napas lebih lama lagi.
Makin dekat, makin dekat...
Aha! Jariku menyentuh sepatu katak Sheena.
Aku menariknya.
Kuat-kuat.
Lebih kuat lagi.
Ia mulai bergerak.
Oh!.
Ya ampun! Sepatu katak Sheena terlepas dari kakinya.
Langsung saja kulepaskan sepatu kataknya.
Tanganku menjangkau agak lebih jauh.
Aku meraih kaki Sheena.
Dan menariknya.
Sheena bergeser ke bawah sedikit.
Sekali lagi aku menarik kakinya.
Ayo dong! pikirku.
Tapi kali ini Sheena tidak beranjak.
Kulit pink yang lengket di sekeliling kami semakin mengencang.
Tubuhku serasa mau meletus! Kami diremas-remas -makin lama makin keras.
Kami akan diremas sampai mati! Chapter 11 AKU tidak bisa bergerak.
Pikiranku kalang kabut.
Bagaimana aku bisa keluar dari sini? Bagaimana? Tapi rasanya tidak ada jalan keluar.
Naga-naganya kami bakal celaka! Kusadari aku sudah mau pingsan.
Sedetik lagi tanpa udara, dan...
Tiba-tiba saja cengkeraman ubur-ubur itu mengendur.
Terdengar bunyi berdecap yang mengerikan ketika makhluk tersebut membelah dan membuka! Kesempatan itu tidak kusia-siakan.
Aku menyambar Sheena dan menariknya ke atas.
Naik, naik, naik.
Sambil megap-megap kami muncul di permukaan laut.
Kami berhasil! Aku langsung menghirup-hirup udara.
Aahh, nikmatnya! Wajah Sheena yang sempat tampak kebiruan mulai normal lagi.
"Kau baik-baik saja?"
Tanyaku. Ia cuma mengangguk. Ia terlalu sibuk menarik napas untuk menjawab.
"Kau yakin? Kau bisa bicara?"
Ia kembali mengangguk.
"Ya, Billy. Aku tak apa-apa. Aku belum pernah merasa lebih enak dari sekarang."
Ternyata ia memang tidak apa-apa. Mulutnya tetap bawel seperti semula.
"Apa yang terjadi?"
Aku berseru.
"Kenapa ubur-ubur itu melepaskan kita?"
Sheena mengangkat bahu.
Kami mencelupkan kepala ke dalam air yang jernih dan memandang ke bawah.
Ubur-ubur itu melayang beberapa meter di bawah permukaan.
Dan kemudian kami sadar mengapa makhluk itu melepaskan kami.
Kami melihat satu lagi bayangan pink, meluncur ke arah uburubur yang pertama.
Makhluk kedua itu tampak melebar, seakan-akan merentangkan sayap di dalam air.
Sepertinya makhluk tersebut mau melahap lawannya.
Kedua makhluk mengerikan itu bertabrakan.
Benturan di antara mereka menimbulkan gelombang yang membuatku dan Sheena terdorong mundur.
Ketika aku menoleh ke bawah lagi, kedua monster itu sedang bergulat.
Saling melipat.
Saling menampar dan memilin.
Sama-sama berusaha menelan lawannya bulat-bulat.
Laut bergolak dengan hebat.
Kedua ubur-ubur itu mundur sedikit untuk mengambil ancangancang, lalu bertubrukan lagi.
Gelombang besar muncul di sekelilingku dan Sheena.
"Kita harus kembali ke kapal!"
Seruku.
Kepalaku dihantam gelombang.
Aku terbatuk-batuk dan menyemburkan air laut yang asin.
Kami berenang menentang ombak, tapi setiap kali kami tergulung lagi dan terseret ke arah laut lepas.
Air begitu berbuih, sehingga kedua ubur-ubur yang sedang bertarung itu tidak terlihat lagi.
Tapi kami bisa merasakan keduanya.
Sekali lagi kami diterjang gelombang.
Aku memandang berkeliling.
"Sheena!"
Ia lenyap. Dengan kalang kabut aku mencarinya ke segala arah.
"Sheena!"
Jangan-jangan ia terbenam lagi? Ombak kembali menggulung.
"Sheena, di mana kau?"
Teriakku.
Akhirnya ia muncul di permukaan.
Ia terbatuk-batuk dan menyembur-nyembur.
Aku menyambarnya dan berjuang melawan ombak.
Dengan susah payah aku menjauhi kedua ubur-ubur yang sedang bertarung mati-matian.
Beberapa detik kemudian, aku dan Sheena naik ke geladak Cassandra.
"Ini tak masuk akal,"
Sheena berkata setelah napas kami kembali normal.
"Ubur-ubur tadi sebesar mobil!"
"Kita harus memberitahu Dr. D. -sekarang juga!"
Seruku. Kami langsung ke lab. Tapi Dr. D. tidak kelihatan.
"Dr. D.!"
Aku memanggil.
"Dr. D.!"
"Coba kuperiksa di dapur,"
Ujar Sheena. Aku bergegas untuk melihat apakah pamanku berada di kabinnya. Tapi ternyata tidak. Ruangan kecil itu kosong.
"Dia tak ada di dapur!"
Seru Sheena.
"Aku tak tahu dia ada di mana!"
"Dr. D.! Dr. D.!"
Aku memanggil-manggil. Tak ada jawaban. Dagu Sheena gemetaran. Aku tahu ia merasa takut. Rasanya memang tidak mungkin. Tapi nyatanya memang begitu.
"D-dia lenyap!"
Seruku. Chapter 12 AKU mulai panik. Dr. D. lenyap -begitu saja! Aku dan Sheena sendirian di tengah laut! "Apa yang harus kita lakukan?"
Tanyaku pelan-pelan.
"Pokoknya jangan panik,"
Sahut Sheena. Tapi suaranya bergetar.
"Cobalah untuk berpikir jernih. Ke mana dia mungkin pergi? Hmm, barangkali dia lagi berenang?"
"Berenang?"
Aku bertanya dengan suara meninggi.
"Kita pasti melihatnya kalau dia berenang. Lagi pula, sejak kapan Dr. D. pergi berenang secara mendadak? Tak mungkin!"
"Siapa tahu dia juga kepanasan?"
Ujar Sheena. Ia memandang berkeliling dengan gelisah. Kelihatan jelas ia memaksakan diri untuk tetap tenang.
"Barangkali dia pergi naik perahu dayung,"
Katanya kemudian. Dr. D. membawa perahu dayung di geladak untuk menempuh jarak pendek.
"Coba kita lihat apakah perahunya masih ada. Barangkali dia pergi mencari kita."
"Ide bagus."
Aku mendapat harapan baru.
Kami bergegas naik ke geladak.
Aku berharap perahu dayung itu tidak ada di tempat.
Kalau perahu kecil itu tidak ada, berarti Dr.
D.
kemungkinan besar tidak apa-apa.
Ia pasti akan segera kembali.
Tapi kalau perahunya masih di tempat semula, dan Dr.
D.
tidak ada di atas Cassandra...
Bagaimana kalau begitu? .
Aku berlari ke arah buritan dan...
"Oh!"
Keluhku. Perahu dayung itu masih di tempat semula. Ternyata Dr. D. tidak pergi naik perahu dayung.
"Billy, aku takut,"
Bisik Sheena. Aku juga ngeri, tapi tidak mau mengakuinya. Paling tidak, untuk sementara waktu.
"Coba kita periksa semua kabin lagi,"
Aku mengusulkan.
"Mungkin Dr. D. lagi di kamar mandi. Mungkin dia tidak dengar kita memanggilnya."
Sheena mengikutiku menuruni tangga. Tapi sebelum aku sampai di bawah, pagar tangganya mulai bergoyang-goyang.
"Jangan macam-macam, Sheena,"
Ujarku dengan ketus.
"Macam-macam apa?"
Serunya. Sekarang seluruh tangga ikut bergetar. Apa yang dilakukan Sheena? Melompat-lompat? Aku menoleh ke belakang. Ternyata Sheena diam seperti patung.
"Tuh! Aku tak berbuat apa-apa!"
Seluruh kapal terguncang dan oleng. Aku berpegangan pada pagar tangga supaya jangan jatuh.
"Ada apa ini?"
Seruku. Chapter 13
"Ini gempa bumi!"
Pekik Sheena.
"Mana mungkin gempa bumi?"
Sahutku.
"Kita kan di tengah laut!"
Kami berlari menaiki tangga.
Kapal oleng, dan kami terlempar ke dinding kabin.
Kami melewati lab.
Botol-botol plankton berdenting-denting di rak.
Semuanya berdenting-denting.
Aku mendengar bunyi gelas pecah berantakan di dapur.
Aku membelok ke gang yang menuju ke kabinku -tapi tidak bisa lewat.
Ada sesuatu yang menghalangi jalanku.
Sesuatu...
"AHHHHH!"
Tahu-tahu aku sudah menjerit.
"Apa itu?"
Teriakku. Sheena muncul di belakangku.
"Hah? Ada apa?"
Dan kemudian ia juga melihatnya. Sook itu tidak mungkin luput dari perhatian.
"Ada monster!"
Jalan ke kabinku terhalang makhluk berukuran raksasa.
Tubuhnya berkilau, hitam, dan licin.
Dan hampir bulat sepenuhnya.
Makhluk itu berada di tengah genangan lendir putih kental.
Aku belum pernah melihat monster seperti itu.
Tapi -ada sesuatu yang berkesan tidak asing lagi.
"Apa sih itu?"
Sheena bertanya dengan suara parau. Monster itu bergerak. Seluruh tubuhnya bergetar. Dan kemudian kepalanya menyembul. Panjang, kelabu, menetes-netes -bagaikan keong raksasa. Dengan sepasang antena di ujung kepala.
"Billy..."
Sheena menarik lengan bajuku.
"K-ke-lihatannya seperti siput!"
"Kau benar,"
Gumamku sambil terbengong-bengong.
"Ini memang siput. Siput raksasa!"
"Bagaimana bisa ada di atas kapal?"
Tanya Sheena.
"Dan bagaimana bisa sampai sebesar ini?"
Tambahku. Perlahan-lahan siput itu mengangkat kepalanya yang berlapis lendir. Makhluk itu menatap kami dengan matanya yang besar dan berair -lalu mengerang.
"Tolong! Tolong!"
Serunya. Chapter 14
"YAAIII!"
Sheena memekik. Langsung saja ia meraih tanganku. Aku juga menjerit.
"Siput itu bisa bicara!"
"Anak-anak! Tolong!"
Siput itu kembali mengerang.
"Ahhhh! Dia bicara! Dia bicara!"
"Billy, jangan panik,"
Siput itu menegurku.
"Jangan teriakteriak! Aku butuh... bantuan!"
Aku dan Sheena tersentak. Baru sekarang kami sadar bahwa bukan siput itu yang berbicara kepada kami, melainkan Dr. D.! "Paman terjepit. Di bawah siput ini!"
Ia berkata dengan susah payah.
"Tak bisa napas. Keluarkan Paman. Cepat."
Sebelah tangan Dr. D. tampak menggapai-gapai dari bawah siput raksasa itu. Jadinya berlumuran lendir putih kental.
"Iiih... lendirnya sekental krim untuk cukur!"
Gumamku.
"Cepat, anak-anak! Tak bisa napas di bawah sini! Lendirnya... masuk hidung!"
"Apa yang harus kami lakukan, Dr. D.?"
Tanya Sheena. Tidak ada jawaban.
"Dia sudah kehabisan napas!"
Seruku.
"Dia tenggelam dalam lendir siput!"
Kami mendengar erangan tertahan dari bawah rumah keong yang berukuran raksasa itu.
"Kita harus bertindak!"
Seru Sheena.
"Aku akan membalik siput itu,"
Kataku.
"Kau harus menarik Dr. D. keluar."
"Oke."
"Dr. D. mengerang."
"Tahan sedikit lagi! Sedikit lagi!"
Aku berseru. Aku mulai mendorong siput itu. Tapi beratnya minta ampun. Siput itu tidak bergerak sedikit pun.
"Coba terus, Billy."
Sheena telah bersiap-siap meraih Dr. D. dan menariknya keluar. Aku menempelkan pundak dan mendorong dengan sekuat tenaga.
"Huh, percuma!"
"Aku ada ide,"
Kata Sheena.
"Lendirnya!"
"Hah? Ada apa dengan lendirnya?"
"Lendir itu bisa membantu kita,"
Sheena menjelaskan. Ia berdiri di belakang siput.
"Siput ini kita dorong dari belakang. Mungkin kita bisa membuatnya menggelincir berkat lapisan lendir!"
Aku mendengar Dr. D. terbatuk-batuk. Rupanya ada lendir yang tertelan olehnya. Aku ikut terbatuk-batuk. Tapi aku menelan ludah. Menahan napas. Berusaha menghalau rasa mual. Aku dan Sheena pasang kuda-kuda.
"Satu, dua, tiga, dorong!"
Ia memberi aba-aba. Kami mendorong dengan sekuat tenaga. Siput itu maju sedikit.
"Sekali lagi -ayo!"
Kami kembali mengerahkan seluruh kekuatan.
Perlahan-lahan siput itu merosot dari tubuh Dr.
D., lalu terempas ke lantai.
Dr.
D.
bangkit dengan susah payah.
Seluruh tubuhnya, dari ujung kepala sampai ujung kaki, berlumuran lendir putih yang lengket.
Ia terbatuk-batuk, lalu meludahkan segumpal lendir.
"Ih, rasanya minta ampun,"
Ia bergumam sambil menggeleng.
"Dr. D.... apa yang terjadi?"
Tanyaku. Ia menyeka lendir yang menutupi matanya.
"Entahlah. Tiba-tiba saja seluruh kapal terguncang hebat. Paman terjatuh. Dan tahu-tahu... GUBRAK! ...Paman sudah tertimpa siput raksasa ini!"
Aku mengamati siput itu. Dari mana asalnya? Dan bagaimana mungkin siput tumbuh sebesar ini? "Siput itu muncul begitu saja,"
Ujar Dr. D.
"Kelihatannya seperti siput yang ada di tempat ikanku,"
Aku berkata.
"Tapi siputku kecil. Hanya seukuran kuku."
"Dr. D.!"
Seru Sheena.
"Billy dan aku melihat sepasang uburubur raksasa tadi! Salah satunya berusaha meremasku sampai gepeng!"
"Apa?"
Dr. D. berpaling kepada Sheena.
"Ubur-ubur raksasa? Ada apa ini?"
Kapal mendadak oleng.
"Hei!"
Aku berseru ketika kehilangan keseimbangan. Kapal miring. Kami semua menabrak dinding.
"Apa lagi sekarang?"
Keluh Sheena.
"Awas, anak-anak!"
Seru Dr. D.
"Kapal ini mau terbalik!"
Chapter 15 KAPAL semakin miring.
Siput raksasa tadi meluncur di lantai dan menubruk dinding.
Semua meja ikut bergeser.
Gambar-gambar berjatuhan ke lantai.
Aku, Sheena, dan Dr.
D.
terdorong ke dinding.
Saking miringnya kapal, kami nyaris dalam posisi berbaring.
"Aduh, ada apa ini?"
Sheena memekik. Gubrak! Pintu kabinku membuka. Di dalam kabinku ada sesuatu yang menggelepar-gelepar.
"Hei, apa itu?"
Tanyaku.
"Ada sesuatu di dalam kabinku!"
BAM, BAM, BAM. Aku mendengar bunyi berdebam-debam.
"Astaga, bunyi apa...?"
Gumam Dr. D. Sheena menelan ludah.
"Kedengarannya seperti monster!"
BAM, BAM, BAM.
"Aku akan memeriksa keadaan,"
Ujarku. Aku berusaha bangkit. Tapi punggungku tetap merapat ke dinding karena kapal terlalu miring.
"Aku tak bisa bangun!"
Seruku. Sheena bergeser pada dinding.
"Coba geser!"
Perlahan-lahan aku menyusuri dinding gang. Sheena dan Dr. D. mengikutiku dengan cara sama. Aku sampai di pintu tertutup -pintu kabin Sheena. Aku berusaha melangkahinya, tapi tarikan gravitasi terlalu kuat. Tanpa sengaja aku bersandar ke pintu itu...
"Aduh!"
Pintu itu terbuka. Aku bakal terjun bebas! Cepat-cepat aku berpegangan pada kusen pintu. Lantai kabin Sheena tampak miring di belakangku. Rasanya seperti berada di rumah ajaib di pasar malam.
"Tahan, Billy!"
Seru Dr.
D.
Lantai miring bagaikan lereng bukit terjal.
Kalau sampai melepaskan pintu, aku bakal meluncur ke bawah.
Dan setelah itu aku akan terpaksa memanjat ke gang -kalau bisa.
Aku bergelantungan di kusen.
Gaya gravitasi menarikku ke kamar Sheena.
"Tolong!"
Kakiku tergelincir. Dan tanganku mulai merosot.
"Jangan sampai lepas!"
Dr. D. memberi instruksi.
"Tarik badanmu ke atas!"
Aku naik dengan susah payah, lalu membuang badan ke kiri.
Punggungku langsung membentur dinding gang.
Aku berhasil.
Aku berhasil melewati kamar Sheena.
Sekarang aku tinggal bergeser ke kabinku.
BAM, BAM, BAM.
Bunyi berdebam-debam itu berasal dari dalam kabinku.
Di belakangku, Sheena dan Dr.
D.
berusaha melewati pintu kabin Sheena yang menganga lebar.
Akhirnya aku sampai di kabinku.
Bunyi berdebam-debam itu bertambah keras.
BAM, BAM, BAM.
Ada apa di dalam situ? Aku mengintip lewat pintu yang terbentang.
"Ikan emasku!"
Pekikku tertahan.
"Ya ampuuun!"
Chapter 16 STOPLES yang kupakai sebagai akuarium ikan emas telah jatuh ke lantai dan pecah berantakan.
Kedua ikan emasku tergeletak di tengah genangan air, dan menggelepar-gelepar.
Paling tidak, makhluk-makhluk itu kelihatan seperti ikan emas.
Tapi ada satu perbedaan -perbedaan besar.
Ikan emas itu mendadak berukuran raksasa! Kabinku sampai penuh sesak.
Kedua ikan itu seukuran paus kecil! Ehm, sebenarnya sih tidak sebesar itu.
Tapi paling tidak, sama besarnya denganku.
BAM, BAM, BAM.
Ekor keduanya membentur-bentur lantai.
"I-ikanku jadi raksasa!"
Aku tergagap-gagap.
"Ada apa ini?"
Sheena memekik.
"Bagaimana caranya ikanikanmu jadi sebesar itu?"
"Ya ampun. Ya ampun!"
Dr. D. berkomat-kamit terus-menerus.
"Ya ampun!"
Sepertinya ia benar-benar bingung.
Kami semua menatap kedua ikan emas itu.
Mula-mula ikan teri, lalu siput, dan sekarang ini.
Sama sekali tidak masuk akal.
Apa yang sedang terjadi? Kenapa semuanya mendadak berukuran raksasa? "Rasanya seperti hidup di semacam dunia dinosaurus,"
Ujarku.
"Hanya saja di sekeliling kita bukan dinosaurus, melainkan makhlukmakhluk raksasa penghuni laut."
Dr. D. menggeleng-geleng untuk menjernihkan pikirannya.
"Aku harus bisa berpikir dengan tenang. Kita menghadapi masalah besar di sini!"
"Masalah raksasa!"
Sheena menimpali.
"Pantas saja kapal kita oleng,"
Dr. D. berkomentar.
"Ikan-ikan itu terlalu besar! Kapal ini sampai miring karena berat badan makhluk-makhluk itu."
"Ikan emasku, ikan emasku!"
Aku meratap.
Mereka tampak indah sekali, serba keemasan dan mengilap.
Setiap sisik kelihatan jelas karena ikan-ikan itu telah menjadi begitu besar -hampir sebesar kuda.
Bercak-bercak kecokelatan pada tutup insang dan sisik-sisik tampak berkilauan karena memantulkan sinar matahari yang masuk melalui jendela.
"Ikan-ikan ini harus kita singkirkan,"
Ujar Dr. D.
"Kalau tidak, kapal kita bisa terbalik."
"Barangkali bisa kita dorong lewat jendela?"
Tanya Sheena.
"Jendelanya terlalu kecil,"
Sahut Dr. D.
"Ikan-ikan ini harus kita tarik ke geladak."
"Dan setelah itu?"
Tanyaku.
"Setelah itu kita ceburkan ke laut,"
Jawab Dr. D. tegas-tegas.
"Ikan-ikan itu tak bisa terus berada di atas kapal."
"Mungkin mereka malah lebih senang di laut,"
Sheena menduga-duga.
"Mereka pasti tidak suka dikurung di stoples yang sempit."
"Tapi ikan emas kan ikan air tawar!"
Aku memprotes.
"Tak ada pilihan lain, Billy,"
Ujar Dr. D. dengan serius.
"Kita takkan bisa bertahan di sini. Kita takkan bisa berlayar ke mana pun -kecuali kalau ikan-ikan raksasa ini kita buang ke laut."
Aku tahu ia benar. Kedua ikan emasku memang harus disingkirkan.
"Kalian berdua pegang ekornya. Paman akan mendorong dari sebelah sini,"
Ujar pamanku. Aku menarik ekor tebal yang berwarna keemasan.
"Uuh... beratnya minta ampun!"
Keluhku. Ikan itu meronta. Ekornya menghantam tangan adikku.
"Aduh!"
Pekik Sheena.
"Pegang kuat-kuat!"
Dr.
D.
memberi instruksi.
Ikan emas yang pertama kami tarik keluar dari kabinku.
Gang menuju ke tangga tidak lagi terhalang siput.
Tapi sisa lendir yang masih berleleran di mana-mana justru memudahkan kami menghela ikan itu ke luar.
Dengan susah payah kami berhasil menyeret ikan itu ke geladak.
"Selamat jalan,"
Kataku. Kami mendorongnya ke laut. Ikan emas itu mengibaskan ekor dan langsung berenang menjauh.
"Sekarang mulai lagi dari awal,"
Sheena menggerutu.
"Dan bagaimana dengan siputku?"
Tanyaku.
"Siput itu lebih besar lagi dari kedua ikan emas!"
"Satu per satu saja,"
Ujar Dr. D. Kapal kami segera kembali tegak begitu ikan emas kedua didorong ke laut.
"Uih, leganya,"
Dr. D. berkomentar sambil mengembuskan napas.
"Sekarang kita bisa berdiri tegak lagi."
"Aku capek,"
Sheena mengeluh.
"Ini hari paling parah yang pernah kualami."
Kami turun ke dek bawah. Keadaannya persis seperti dalam film bencana. Di mana-mana terlihat pecahan kaca, genangan air. Sisa-sisa lendir putih tampak menempel pada lantai dan dindingdinding. Dan si siput raksasa masih meringkuk di sudut ruangan.
"Bagaimana dengan dia?"
Tanya Sheena. Dr. D. menghela napas.
"Untuk sementara kita biarkan saja."
Aku terpeleset karena menginjak genangan lendir ketika hendak masuk ke kabinku.
Kabinku.
Berantakannya minta ampun.
Kesannya seperti ada raksasa yang membalik dan mengguncang-guncangnya dengan keras.
Aku menghampiri lemari untuk mengambil lap.
Tapi kemudian aku berhenti.
Rasanya aku mendengar sesuatu.
Aku pasang telinga.
Ya.
Bunyi langkah.
Di geladak.
"Dr. D.?"
Panggilku.
"Di sini, Billy,"
Sahutnya. Ia sedang membereskan lab. Sheena menyembulkan kepala dari pintu kabin.
"Kau dengar itu?"
Ia bertanya. Aku mengangguk.
"Ada orang di atas."
Dr. D. keluar dari lab sambil menyeka tangan dengan handuk. Ia menatapku, lalu menatap Sheena. Kemudian ia memandang langitlangit.
"Kalau kita semua ada di bawah sini,"
Ia berkata.
"siapa yang mondar-mandir di atas?"
Perlahan-lahan kami menaiki tangga dan keluar ke geladak. Sinar matahari sore terasa terik.
"Tak ada siapa-siapa,"
Aku berkata sambil memandang. berkeliling.
"Coba tengok ke belakang,"
Terdengar suara berat menggelegar.
Kami langsung berbalik.
Dan kami melihat tiga laki-laki.
Tiga orang asing yang sama sekali tidak kami kenal.
Chapter 17 KETIGA laki-laki itu berdiri berdampingan.
Mereka mengenakan celana pendek, kemeja, dan sepatu kanvas.
Orang yang menyapa kami berpotongan kurus tinggi.
Ia memakai kacamata, rambutnya cokelat dan agak panjang.
Di sebelah kirinya ada laki-laki kekar berambut pirang.
Rekannya di sebelah kanan berambut keriting.
Hidungnya panjang dan melengkung, tampangnya mirip burung.
Aku belum pernah melihat mereka.
Kenapa mereka ada di kapal kami? Dr.
D.
berdeham.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Si laki-laki jangkung angkat bicara.
"Saya harap kedatangan kami tidak membuat Anda terkejut. Saya minta maaf karena tidak permisi dulu, tapi kami kuatir. Anda mengalami kesulitan? Kami melihat kapal Anda miring sekali, dan kami pikir ada yang tidak beres."
Dr. D. tertawa kecil. Ia berlagak tenang.
"Kami sempat dihantam gelombang,"
Ia berdalih.
"Tapi sekarang keadaan sudah terkendali."
Dari mana orang-orang ini? aku bertanya dalam hati. Aku melangkah ke tepi geladak dan melihat kapal lain ditambatkan di sisi kapal pamanku.
"Kami kuatir kapal Anda akan terbalik,"
Ujar si jangkung.
"Oh, kami tidak apa-apa. Betul kan, anak-anak?"
Dr. D. berkeras.
"Tidak apa-apa?"
Ujarku.
"Bagaimana dengan..."
Dr. D. meremas pundakku. Keras-keras. Aku langsung terdiam. Kenapa Dr. D. bersikap seolah-olah semuanya beres? Kalau ikan emas mendadak berubah jadi monster, itu tidak bisa dibilang beres.
"Anda baik sekali mau datang kemari dan menawarkan bantuan."
Akhirnya Dr. D. melepaskan pundakku. Aku segera mengusap-usapnya.
"Kami senang kalau bisa membantu."
Si laki-laki jangkung tersenyum.
"Dan saya bersyukur bahwa semuanya baik-baik saja. Sebagai sesama pelaut, kita harus selalu siap tolong-menolong."
Ia mengulurkan tangan kanan.
"Saya Dr. Ritter. Ini kedua asisten saya, Mel Mason dan Adam Brown."
Mel yang kekar dan berambut pirang. Adam yang berambut keriting dan mirip burung. Dr. D. bersalaman.
"Saya Dr. George Deep. Ini dua keponakan saya, Billy dan Sheena."
"Halo, anak-anak. Wow, mereka pasti jago berenang."
Dr. D. tersenyum lebar.
"Memang begitu."
"Anda dokter dalam bidang apa, Dr. Deep?"
Tanya Dr. Ritter.
"Ahli bedah yang sedang berlibur?"
Dr. D. menggeleng.
"Bukan. Saya ahli biologi kelautan. Cassandra ini adalah lab terapung milik saya."
"O ya?"
Kata Dr. Ritter.
"Sesama ilmuwan! Ini kejutan yang menyenangkan."
Dr. Ritter mulai menyusuri geladak sambil mengamati talitemali dan berbagai peralatan. Kedua asistennya terus membuntutinya.
"Saya juga punya lab terapung,"
Ujar Dr. Ritter.
"Malahan tak begitu jauh dari sini."
Ia menghirup udara laut dan menepuk dadanya.
"Ah, ya. Kita para ahli biologi kelautan memang hebat, bukan begitu, Dr. Deep? Kita menyelidiki misteri laut. Inilah misteri terakhir yang masih tersisa di bumi."
Dr. D. mengikutinya.
"Ya. Misteri terakhir,"
Ia membenarkan.
"Apa yang sedang Anda kerjakan sekarang, kalau saya boleh tanya?"
Ujar Dr. Ritter. Dr. D. berdeham.
"Oh, saya sedang menangani beberapa proyek. Tapi saya belum bisa membahasnya, Dr. Ritter. Semuanya masih dalam tahap awal. Anda tentu mengerti."
Ketiga orang asing itu berhenti di tangga tempat kapal mereka ditambatkan.
"Ya. Memang. Saya kira sudah waktunya kami berpamitan,"
Ujar Dr. Ritter.
"Syukurlah Anda tidak apa-apa."
"Terima kasih Anda mau mampir kemari,"
Kata Dr. D. Dr. Ritter meraih pagar tangga. Kemudian ia berhenti.
"Omong-omong -Anda tidak melihat sesuatu yang aneh di perairan ini, bukan?"
"Sesuatu yang aneh?"
Tanya Dr. D.
"Apa maksud Anda?"
"Ikan yang aneh, makhluk yang tidak biasa, hal-hal seperti itu?"
Ikan aneh! Aku tidak tahu lagi.
"Kami melihat segala macam makhluk aneh!"
Aku langsung berseru.
"Ikan emas saya mendadak berukuran raksasa! Dan kami juga melihat ubur-ubur yang lebih besar dari mobil! Aduh!"
Rusukku diterjang sesuatu yang lancip. Ternyata siku pamanku. Oh-oh.
"Wah, aneh betul,"
Kata Dr. Ritter.
"Ya, mengerikan sekali!"
Aku menanggapinya.
"Aduh!"
Sekali lagi aku disikut Dr. D.
"Kenapa Paman menyikutku?"
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. Ada apa? aku bertanya dalam hati. Apa salahku kali ini? "Billy hanya main-main,"
Kata Dr. D. kepada Dr. Ritter. Dengan gugup ia memegang-megang kacamatanya. Dr. Ritter menyahut.
"Main-main? Kau tidak main-main kan, Billy?"
"Ehm..."
Aku melirik kepada Dr. D. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Saya menyesal sekali,"
Ujar Dr. Ritter.
"Saya menyesal sekali kalian melihat makhluk-makhluk itu, Billy. Sebab ini berarti kalian tak bisa saya lepaskan."
"Hah?"
Seruku tertahan.
"Apa maksud Anda?"
"Kalian telah melihat terlalu banyak,"
Dr. Ritter menjawab dengan serius.
"Dan sekarang saya harus memikirkan apa yang akan saya lakukan pada kalian."
Ia menjentikkan jari. Kedua asistennya langsung maju. Chapter 18
"TUNGGU dulu."
Dr. D. merangkul aku dan Sheena.
"Jangan dengarkan Billy. Daya khayalnya memang istimewa."
"Luar biasa,"
Sheena menimpali.
"Dia selalu mengarang segala macam cerita,"
Dr. D. melanjutkan.
"Dia tukang bohong,"
Sheena menambahkan.
"Semua orang tahu Billy selalu mengada-ada."
"Percayalah, Dr. Ritter,"
Pamanku memohon.
"Kami sama sekali tidak melihat hal-hal yang janggal. Coba pikir, ikan emas raksasa? Anda ilmuwan, Dr. Ritter. Anda tentu tahu tidak ada ikan emas raksasa."
Dr.
Ritter hendak menyahut.
Tapi ada sesuatu yang membuatnya berubah pikiran.
Terdengar bunyi nyaring.
GUBRAK! PLOP! Kami semua menoleh dan melihat sesuatu menerobos pintu dan jatuh ke geladak.
Siput raksasa itu.
Aku langsung menutupi wajahku dengan dua tangan.
"Aduh!"
Dr. Ritter mengangkat alis.
"Kelihatannya kakakmu bukan tukang bohong seperti yang kaukatakan,"
Ujarnya kepada Sheena.
"Oh, dia memang tukang bohong,"
Sheena berkeras.
"Dan selain itu dia juga bodoh sekali."
Aku menendang tulang keringnya.
"Aduh!"
Pekiknya.
"Anak-anak, jangan ribut!"
Dr. D. berkata dengan tegas. Aku disergap oleh si laki-laki kekar berambut pirang. Ia menahan kedua lenganku dengan sebelah tangan, dan mencekikku dengan tangannya yang satu lagi.
"Lepaskan aku!"
Jeritku.
"Tanganku sakit!"
"Diam -atau kau akan kubuat betul-betul kesakitan!"
Si rambut pirang mengancam. Rekannya menangkap Sheena. Adikku meronta-ronta dan berusaha menendangnya. Tapi laki-laki itu terlalu kuat.
"Lepaskan mereka!"
Seru Dr. D. Cengkeraman Mel malah bertambah erat.
"Saya minta maaf, Dr. D.,"
Kata Dr. Ritter.
"Sebenarnya saya enggan mencelakakan sesama ilmuwan. Tapi seharusnya Anda jangan jadi mata-mata. Saya benci mata-mata."
Ia menghela napas.
"Sayang sekali Anda masuk ke tempat pembiakan plankton saya. Sayang sekali Anda telah mengganggu eksperimen saya."
"Eksperimen apa?"
Tanya Dr. D. Dr. Ritter menaruh tangannya yang kuat di bahu Dr. D.
"Saya sedang mengerjakan proyek yang cemerlang. Proyek ini bisa mengubah seluruh dunia. Semua masalah dunia akan teratasi!"
"Proyek apa itu?"
"Ha-ha. Anda memang penuh rasa ingin tahu!"
Ujar Dr. Ritter sambil tertawa.
Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu