Ceritasilat Novel Online

Napas Vampir 1


Goosebumps Napas Vampir Bagian 1


Chapter 1

   "KETIKA manusia serigala mengendap-endap di belakangmu pada tengah malam buta, dia akan melangkah begitu pelan sehingga kau takkan mendengar suara apa pun. Kau takkan tahu bahwa si manusia serigala sudah berdiri di belakangmu, sampai kau merasakan embusan napasnya yang panas di tengkukmu."

   Aku membungkuk dan meniup tengkuk Tyler Brown. Anak itu membelalakkan mata. Ia ingin menjerit, tapi yang terdengar dari mulutnya hanya erangan. Aku paling senang menjaga -menjadi baby-sitterTyler. Ia begitu gampang ditakut-takuti.

   "Embusan napas si manusia serigala membuatmu seperti terpaku di tempat, sehingga kau tak bisa bergerak,"

   Kataku berbisik pelan.

   "Kau takkan bisa lari. Kau takkan bisa menggerakkan kaki atau mengayunkan tangan. Kau takkan bisa berbuat apa-apa ketika si manusia serigala mencabik-cabik kulitmu."

   Sekali lagi aku meniup tengkuk Tyler. Ia langsung gemetaran. Dan merintih-rintih pelan.

   "Sudahlah, Freddy. Dia benar-benar ketakutan."

   Kara Simonetti, temanku, menegurku. Dengan cemberut ia menatapku dari kursi di seberang ruangan. Tyler dan aku duduk di sofa. Aku sengaja duduk di dekatnya supaya bisa berbisik-bisik dan membuatnya gemetar ketakutan.

   "Freddy -dia kan masih kecil. Umurnya baru enam tahun,"

   Carla mengingatkanku.

   "Lihat, tuh! Dia sampai gemetaran."

   "Dia suka, kok,"

   Jawabku. Aku kembali berpaling pada Tyler.

   "Kalau kau berada di luar rumah di tengah malam buta, dan kau merasakan embusan napas si manusia serigala di tengkukmu -jangan berbalik,"

   Bisikku.

   "Jangan berbalik. Jangan sampai dia tahu bahwa kau melihatnya. Sebab begitu dia tahu, dia akan langsung menyerang!"

   Kuteriakkan kata menyerang keras-keras.

   Lalu aku menerjang Tyler dan menggelitik tubuhnya.

   Ia memekik.

   Ia menangis dan tertawa berbarengan.

   Aku menggelitiknya sampai ia kehabisan napas.

   Lalu aku berhenti.

   Aku baby-sitter yang baik.

   Aku selalu tahu kapan aku harus berhenti menggodanya.

   Kara berdiri.

   Ia meraih pundakku dan menarikku menjauh dari Tyler..."Kasihan, dong! Dia kan masih kecil, Freddy!"

   Katanya sekali lagi. Tapi aku balas menarik Kara sampai ia terjatuh, lalu mulai menggelitiknya.

   "Si manusia serigala kembali beraksi!"

   Seruku.

   Kemudian aku tertawa terbahak-bahak sambil mendongakkan kepala, meniru serigala yang sedang melolong di tengah malam.

   Bergulat dengan Kara adalah kesalahan besar.

   Ia segera memukul perutku.

   Saking kerasnya, mataku sampai berkunangkunang.

   Aku sampai melihat bintang-bintang berwarna merah dan kuning berputar-putar mengelilingi kepalaku.

   Betul, lho! Dengan susah-payah aku berguling ke samping, megap-megap berusaha menarik napas.

   Pernahkah kau ditonjok sampai tak bisa bernapas? Percayalah, rasanya tidak enak.

   Kau akan menyangka kau takkan pernah bisa bernapas lagi.

   Memukulku sampai pandanganku berkunang-kunang adalah hobi Kara.

   Ia selalu berbuat begitu.

   Dan ia sanggup melakukannya cukup dengan satu pukulan.

   Kara memang jagoan.

   Karena itulah ia sahabatku.

   Kami sama-sama jagoan.

   Kami tak pernah gentar menghadapi apa pun! Coba tanya siapa saja.

   Freddy Martinez dan Kara Simonetti.

   Dua anak jagoan.

   Banyak orang menyangka kami kakak-adik.

   Mungkin karena tampang kami memang mirip satu sama lain.

   Kami berumur dua belas tahun.

   Tubuh kami sama-sama jangkung.

   Kara dua senti lebih tinggi, tapi aku sudah mulai mengejarnya.

   Kami sama-sama berambut hitam berombak, sama-sama bermata gelap, dan sama-sama berwajah bulat.

   Kami bersahabat sejak aku menghajarnya di kelas empat dulu.

   Tapi Kara selalu membual bahwa ialah yang menghajarku waktu itu.

   Enak saja.

   Mau tahu seberapa hebatnya kami? Kara dan aku tahan mendengar bunyi kapur di tangan guru kami berdecit-decit di papan tulis! Kami malah senang.

   Coba itu.

   Tapi kembali ke soal Tyler.

   Rumahnya berseberangan dengan rumahku.

   Kara biasanya ikut kalau aku menjaga Tyler.

   Tyler lebih suka Kara daripada aku.

   Soalnya Kara selalu menenangkannya setelah aku membuatnya ketakutan setengah mati dengan cerita-ceritaku yang menyeramkan.

   "Malam ini malam bulan purnama, Tyler,"

   Kataku sambil mencondongkan badan ke arah anak "Kau sudah melihat keluar jendela? Kau sudah melihat bulan purnama?"

   Tyler menggelengkan kepala. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang pirang pendek. Matanya yang biru terbelalak lebar. Dengan tegang ia menunggu kelanjutan kisah manusia serigala. Aku membungkuk semakin dekat dan merendahkan suara.

   "Kalau manusia serigala terkena cahaya bulan purnama, di wajahnya akan tumbuh bulu,"

   Bisikku.

   "Giginya...akan bertambah panjang, dan juga bertambah runcing. Giginya baru berhenti tumbuh kalau sudah mencapai bagian bawah dagu. Seluruh badannya tertutup bulu, bagaikan serigala sungguhan. Dan di ujung jarinya muncul cakar."

   Aku menggoreskan kuku ke bagian depan T-shirt Tyler. Ia memekik tertahan.

   "Kau betul-betul membuatnya ketakutan. Nanti malam dia takkan bisa tidur,"

   Kara memperingatkanku. Aku tidak menggubrisnya.

   "Dan kemudian si manusia serigala mulai berjalan,"

   Aku berbisik sambil membungkuk di atas Tyler.

   "Dia mondar-mandir di hutan, mencari mangsa. Mencari korban... kelaparan... mencari... mencari..."

   Aku mendengar suara langkah di ruang tamu. Langkah-langkah berat melintasi karpet. Mula-mu1a kupikir aku salah dengar. Tapi ternyata Tyler juga mendengar suara itu.

   "Mencari... mencari..."

   Aku berbisik. Tyler membelalakkan mata. Langkah itu semakin dekat. Kara menoleh ke pintu. Tyler menelan ludah. Suara itu semakin jelas.

   "Manusia serigala!"

   Aku memekik. Kami bertiga menjerit sejadi-jadinya. Chapter 2

   "HEI -jangan ribut, dong!"

   Seru si manusia serigala. Suara langkah yang kami dengar ternyata bukan suara langkah manusia serigala, melainkan suara langkah ayah Tyler.

   "Sedang apa kalian?"

   Tanya Mr. Brown sambil membuka mantel. Ia berambut pirang dan bermata biru, seperti Tyler.

   "Freddy sedang bercerita tentang manusia serigala,"

   Jawab Kara. Mr. Brown geleng-geleng kepala.

   "Apakah tidak ada cerita yang lebih menyenangkan?"

   "Tyler memang suka cerita horor,"

   Jawabku."

   Aku menepuknepuk punggungnya.

   "Ya kan, Tyler?"

   "Ehm, ya,"

   Jawabnya ragu-ragu. Ibu Tyler muncul di belakang suaminya sambil merapikan sweternya. Kau bercerita tentang manusia serigala lagi ya, Freddy?"

   Ia bertanya padaku.

   "Terakhir kali Tyler mendengar cerita horormu, dia bermimpi buruk sepanjang malam.".

   "Enak saja!"

   Tyler memprotes. Mrs. Brown cuma geleng-geleng kepala. Mr. Brown mengeluarkan dompet. Kara dan aku masing-masing diberi selembar uang lima dolar.

   "Terima kasih kalian telah menjaga Tyler. Kalian mau diantar pulang?"

   "Tidak usah,"

   Sahutku. Memangnya aku penakut? "Saya tinggal menyeberang jalan."

   Kara dan aku mengucapkan selamat malam kepada keluarga Brown.

   Aku belum ingin pulang.

   Karena itu aku mengantarkan Kara pulang ke rumahnya.

   Ia tinggal di blok sebelah.

   Bulan purnama bersinar terang.

   Bulan yang besar dan bulat itu seakan-akan mengikuti kami ketika kami menyusuri trotoar.

   Kami menertawakan kisah manusia serigala yang kuceritakan tadi.

   Dan kami juga menertawakan Tyler yang begitu ketakutan ketika mendengarnya.

   Kami tidak menyangka bahwa sesudahnya giliran kamilah yang ketakutan.

   Sangat ketakutan.

   **************************************** Sabtu sore Kara datang ke rumahku.

   Kami segera pergi ke ruang bawah tanah untuk bermain air hockey.

   Beberapa tahun lalu orangtuaku membongkar ruang bawah tanah di rumah kami, dan mengubahnya menjadi ruang santai yang mengaysikkan.

   Kami menempatkan meja biliar dan jukebox tua di sana.

   Mom dan Dad mengisi jukebox itu dengan rekaman-rekaman musik rock-and-roll lama.

   Tahun lalu aku mendapat permainan air hockey sebagai hadiah Natal.

   Kara dan aku sering terlibat pertempuran hockey yang seru.

   Kami bisa main sampai berjam-jam.

   Kalau sudah begitu kami benarbenar lupa waktu.

   Pertandingan hockey kami biasanya berakhir dengan acara gulat.

   Persis seperti pertandingan hockey sungguhan di TV! Kami mengambil tempat di kedua ujung meja dan mulai melakukan pemanasan.

   Kami mendorong-dorong bola hockey tanpa berusaha mencetak gol.

   "Orangtuamu ke mana?"

   Tanya Kara. Aku angkat bahu.

   "Entahlah."

   Ia menatapku sambil mengerutkan kening.

   "Kau tidak tahu mereka pergi ke mana? Memangnya mereka tidak meninggalkan pesan untukmu?"

   Aku menyeringai.

   "Untuk apa? Mereka memang sering pergi."

   "Pasti karena mereka tidak tahan serumah denganmu!"

   Kara berseru. Ia tertawa. Aku baru pulang latihan karate. Jadi kukelilingi meja hockey dan kulancarkan beberapa jurus karate di depan Kara. Tanpa sengaja salah satu tendanganku mendarat di mata kakinya.

   "Hei...!"

   Ia berseru dengan gusar.

   "Awas kau, Freddy!"

   Ketika ia membungkuk untuk mengusap mata kakinya, aku mendorongnya hingga tubuhnya membentur dinding.

   Sebenarnya aku cuma bercanda.

   Tapi rupanya aku mendorong terlalu keras.

   Kara kehilangan keseimbangan dan menabrak lemari antik berisi piring-piring tua.

   Piring-piring itu terguncang-guncang dan bergemeretak keras.

   Tapi tak ada yang pecah.

   Aku tertawa.

   Aku tahu Kara baik-baik saja.

   Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

   Tapi ia malah berseru lantang -dan langsung menerjangku.

   Pundaknya menghantam dadaku.

   Aku mengerang parau.

   Sekali lagi pandanganku berkunang-kunang.

   Sekali lagi bintang-bintang merah dan kuning mengelilingi kepalaku.

   Sementara aku megap-megap, Kara memungut bola hockey dari meja.

   Ia mengambil ancang-ancang untuk menimpukku.

   Tapi aku cepat-cepat memegang pergelangan tangannya, lalu berusaha merebut bola itu.

   Kami tertawa.

   Tapi pergumulan ini cukup serius.

   Jangan salah sangka.

   Kara dan aku sering bergulat seperti ini.

   Terutama kalau orangtuaku sedang tidak di rumah.

   Aku menepis tangannya -dan bola itu terbang melintasi ruangan.

   Kemudian aku berteriak seperti para pendekar karate, dan membebaskan diri dari cengkeramannya.

   Kami tertawa begitu keras, sehingga kami hampir tak sanggup bergerak.

   Tapi Kara tiba-tiba melesat maju dan sekali lagi menabrakku.

   Kali ini aku terpental ke belakang.

   Aku kehilangan keseimbangan.

   Tanganku mendayung-dayung ketika aku membentur sisi lemari piring yang tinggi.

   "Aduuuh!"

   Aku terempas keras. Punggungku menghantam sisi lemari kayu itu. Dan lemari itu pun terbalik! Aku mendengar bunyi piring-piring pecah berantakan. Sedetik kemudian punggungku mendarat di atas lemari.

   "Ohhh!"

   Aku mengerang. Bagaikan kura-kura terbalik aku tergeletak di atas lemari. Aku mengayun-ayunkan tangan dan kaki. Seluruh tubuhku terasa nyeri.

   "Oh-oh."

   Ha nya itu yang keluar dari mulut Kara. Cuma "

   Oh-oh."

   Lalu ia bergegas menghampiriku. Ia membungkuk, meraih tanganku, dan membantuku berdiri.

   "Sori,"

   Gumamnya.

   "Aku tidak sengaja."

   "Aku tahu,"

   Sahutku. Aku memijat-mijat pundakku sambil menelan ludah.

   "Kelihatannya kita bakal dapat kesulitan besar."

   Kami sama-sama berbalik untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. Dan kami sama-sama memekik kaget ketika melihat apa yang tersembunyi di balik lemari kayu antik itu. Chapter 3

   "ADA pintu rahasia!"

   Aku berseru penuh semangat.

   Kami menatap pintu yang terbuat dari kayu licin berwarna gelap.

   Gagang pintu itu tertutup lapisan debu tebal.

   Aku sama sekali tidak menyangka ada pintu di balik lemari tua itu.

   Dan aku yakin Mom dan Dad juga tidak tahu.

   Kara dan aku melangkah maju.

   Aku mengusap gagang pintu dengan sebelah tangan untuk menyingkirkan debu yang menempel.

   "Pintu ke mana ini?"

   Tanya Kara sambil menyibakkan rambutnya yang hitam. Aku angkat bahu.

   "Entahlah. Mungkin ini semacam lemari. Mom dan Dad tidak pernah bercerita bahwa ada ruangan lain di bawah sini."

   Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal.

   "Halo, ada siapa di situ?"

   Seruku. Kara tertawa.

   "Kau pasti kaget setengah mati kalau sampai ada yang menyahut!"

   Ia berkomentar.. Aku ikut tertawa.

   "Kenapa pintu ini disembunyikan di balik lemari?"

   Kara bertanya.

   "Tidak masuk akal."

   "Barangkali ada harta karun perompak yang tersembunyi di sini,"

   Kataku.

   "Barangkali ada satu ruangan penuh keping emas di balik pintu ini."

   Kara geleng-geleng kepala.

   "Yang benar saja,"

   Gumamnya.

   "Mana ada perompak di kota kita? Di sekitar sini kan tidak ada laut!"

   Kara memutar gagang pintu dan mencoba membuka pintu itu.

   Anak lain mungkin ragu-ragu.

   Anak lain mungkin akan berpikir seribu kali sebelum membuka pintu rahasia yang misterius di ruang bawah tanah.

   Anak lain mungkin takkan berani membukanya.

   Tapi Kara dan aku tidak kenal takut.

   Kami tak pernah gentar.

   Kami tidak pernah memikirkan soal bahaya.

   Kami dua anak jagoan.

   Dan ternyata pintunya tidak bergerak.

   "Jangan-jangan dikunci?"

   Kataku. Ia menggelengkan kepala.

   "Bukan. Pintunya tertahan lemari."

   Lemari piring tergeletak di depan pintu.

   Kami mencoba menggesernya.

   Kara memegang bagian atas, aku bagian bawah.

   Ternyata lemari itu lebih berat dari dugaanku.

   Terutama karena piring-piring pecah yang ada di dalamnya.

   Tapi kami terus menarik dan mendorong sampai kami berhasil menyingkirkannya.

   "Oke,"

   Ujar Kara seraya menyeka tangan ke kaki celana jeansnya.

   "Oke,"

   Aku mengulangi.

   "Sekarang coba kita periksa."

   Gagang pintu itu terasa dingin di tanganku. Aku memutarnya dan membuka pintu kayu itu. Pintu itu bergerak pelan. Rasanya berat, dan engsel-engsel yang telah dimakan karat berderit-derit ketika pintu itu membuka.

   "Krek... krek... krek."

   Kemudian, berdiri berdampingan, Kara dan aku mengulurkan kepala dan mengintip.

   Chapter 4 SEMULA aku menduga kami akan menemukan sebuah kamar.

   Sebuah gudang, atau ruangan berisi peralatan pemanas.

   Rumah-rumah tua -seperti rumah Bibi Harriet -kadang-kadang punya gudang untuk menumpuk batubara.

   Tapi bukan itu yang kami lihat.

   Aku memandang kegelapan di hadapan kami sambil memicingkan mata, dan akhirnya menyadari kami berdiri di ujung sebuah terowongan.

   Sebuah terowongan gelap.

   Aku mengulurkan tangan dan menyentuh dinding.

   Batu.

   Batu yang dingin.

   Dingin dan lembap.

   "Kita butuh senter,"

   Kata Kara pelan. Sekali lagi aku meraba-raba dinding batu yang dingin dan lembap itu. Lalu aku berpaling kepada Kara.

   "Maksudmu, kita akan masuk ke terowongan ini?"

   Tanyaku.

   Pertanyaan konyol.

   Tentu saja kami akan masuk ke terowongan itu.

   Seandainya kau menemukan terowongan rahasia di bawah rumahmu, apa yang akan kaulakukan? Kan tak mungkin kau cuma berdiri bengong di mulut terowongan.

   Kau pasti akan menjelajahi terowongan itu.

   Kara mengikutiku ke meja yang dipakai ayahku untuk bertukang.

   Aku mulai membuka laci-laci untuk mencari senter.

   "Kira-kira di mana ujung terowongan ini?"

   Tanya Kara sambil mengerutkan kening.

   "Barangkali di rumah sebelah. Barangkali ini terowongan penghubung antara dua rumah."

   "Tidak ada rumah ke arah sana,"

   Aku mengingatkannya.

   "Di sebelah sana cuma ada tanah kosong."

   "Tapi terowongan ini pasti menuju ke suatu tempat,"

   Sahut Kara.

   "Mana ada terowongan yang tidak menuju ke mana-mana?"

   "Wah, kau memang pintar sekali,"

   Aku menanggapinya dengan nada mengejek.

   Kara mendorongku.

   Aku balas mendorongnya.

   Kemudian aku melihat sebuah senter di laci peralatan.

   Kami berebutan untuk mengambilnya.

   Kami kembali bergulat, tapi hanya sebentar.

   Aku berhasil merebut senter dari tangan Kara.

   "Apa-apaan, sih?"

   Ia berseru.

   "Aku yang menemukan senter ini,"

   Kataku.

   "Kalau mau senter, silakan cari sendiri."

   Beberapa detik kemudian Kara menemukan senter lain di rak di atas meja kerja. Ia menguji senter itu dengan mengarahkan berkas sinarnya ke mataku sampai aku membentaknya.

   "Oke, aku siap,"

   Ujarnya.

   Kami kembali ke pintu rahasia.

   Cahaya kedua senter kami bersilangan di lantai ruang bawah tanah.

   Aku berhenti di ambang pintu dan menyorotkan cahaya senterku ke dalam terowongan.

   Cahaya senter Kara menerangi dinding-dinding batu.

   Dindingdinding itu berlapis lumut hijau.

   Genangan-genangan air tampak berkilau di lantai batu yang licin.

   "Lembap sekali,"

   Aku bergumam. Aku maju selangkah. Cahaya senterku menyapu dinding terowongan. Udara langsung terasa lebih dingin. Aku menggigil.

   "Ihhh,"

   Ujar Kara.

   "Rasanya seperti masuk ke lemari es."

   Aku mengangkat senter dan mengarahkannya lurus ke depan.

   "Wow, ujungnya tidak kelihatan,"

   Kataku.

   "Panjang terowongan ini mungkin bermil-mil."

   "Hanya ada satu cara untuk memastikannya,"

   Sahut Kara. Ia mengangkat senter dan kembali mengarahkannya ke mataku.

   "Ha-ha! Kena kau!"

   "Tidak lucu!"

   Aku memprotes. Aku membalasnya dengan cara yang sama. Selama beberapa waktu kami perang-perangan senter. Tak ada yang menang. Tapi akibatnya mata kami sama-sama berkunang-kunang. Aku kembali berpaling ke arah terowongan.

   "Halllooooo!"

   Aku berseru. Suaraku bergema.

   "Adaaaaaa siapaaaaa diii situuuuuu?"

   Aku memanggil. Kara mendorongku ke dinding yang lembap.

   "Jangan ribut, Freddy. Kenapa sih kau tidak bisa serius?"

   "Aku serius, kok,"

   Sahutku.

   "Ayo, kita masuk saja."

   Aku menabraknya dengan pundakku.

   Aku bermaksud mendorongnya agar membentur dinding.

   Tapi pijakan kakinya terlalu kokoh.

   Ia tidak beranjak sedikit pun.

   Aku mengarahkan senter ke bawah untuk menerangi lantai.

   Sinar senter Kara tetap mengarah lurus ke depan.

   Kami maju perlahan-lahan, sambil menghindari genangangenangan air.

   Semakin jauh kami memasuki terowongan, udara terasa semakin dingin.

   Langkah kami menimbulkan bunyi berkersak-kersak.

   Bunyi itu memantul pada dinding batu.

   Setelah berjalan kira-kira satu menit, aku berbalik dan memandang ke belakang.

   Pintu ke ruang bawah tanah tampak jauh sekali.

   Terowongan itu berbelok, dan dinding-dinding seolah-olah bertambah rapat.

   Perasaan ngeri mulai bangkit dalam diriku, tapi aku cepat-cepat mengusirnya.

   Tak ada yang perlu ditakuti, aku berkata dalam hati.

   Ini cuma terowongan tua yang kosong.

   "Aneh sekali,"

   Kara bergumam.

   "Di mana ujung terowongan ini?"

   "Mestinya kita sudah berada di bawah tanah kosong di sebelah rumahku,"

   Aku menduga-duga.

   "Tapi, untuk apa orang membuat terowongan di bawah tanah kosong?"

   Kara mengarahkan senternya ke wajahku. Ia memegang bahuku agar aku berhenti berjalan.

   "Kau mau kembali?"

   "Tentu saja tidak,"

   Jawabku.

   "Aku juga tidak,"

   Kara cepat-cepat menambahkan.

   "Aku cuma ingin tahu apakah kau ingin keluar dari sini."

   Sorot senter kami kembali menyapu dinding-dinding batu yang lembap ketika kami menyusuri terowongan yang membelok.

   Kami melompati genangan air yang membentang dari dinding ke dinding.

   Terowongan itu membelok sekali lagi.

   Dan kemudian sebuah pintu muncul di hadapan kami.

   Sebuah pintu kayu berwarna gelap.

   Cahaya senter kami menyorot pintu itu ketika kami bergegas mendekat.

   "Halo, ada siapa di situ?"

   Aku memanggil.

   "Halooo!"

   Kugedor pintu itu dengan tangan terkepal. Tak ada jawaban. Aku meraih gagang pintu. Kara kembali menahanku.

   "Bagaimana kalau orangtuamu pulang?"

   Ia bertanya.

   "Mereka pasti kuatir. Mereka tidak tahu di mana kau berada."

   "Hmm, mereka pasti akan melihat lemari yang terbalik kalau mereka turun ke ruang bawah tanah,"

   Jawabku.

   "Dan mereka akan menemukan pintu terowongan yang terbuka. Kemungkinan besar mereka akan menyusul kita ke sini."

   "Yeah,"

   Kara membenarkan.

   "Kita harus menyelidiki apa yang ada di balik pintu ini,"

   Aku berkata penuh semangat. Aku memutar gagang pintu dan mendorong pintunya sampai membuka. Pintunya ternyata cukup berat dan berderit-derit ketika kudorong, persis seperti pintu pertama. Kami mengarahkan senter ke depan.

   "Ada ruangan!"

   Aku berbisik.

   "Ada ruangan di ujung terowongan!"

   Cahaya senter kami menerangi dinding-dinding gelap yang tampak licin. Kami melangkah masuk ke sebuah ruangan kecil berbentuk bujur sangkar.

   "Huh, ternyata tidak ada apa-apa,"

   Ujar Kara.

   "Ini cuma ruangan kosong."

   "Siapa bilang,"

   Kataku pelan-pelan. Aku mengarahkan senter ke benda besar yang tergeletak di tengah lantai. Kami memperhatikan benda itu sambil membisu.

   "Apa itu?"

   Kara akhirnya bertanya.

   "Peti mayat,"

   Sahutku.

   Chapter 5 JANTUNGKU berdegup kencang.

   Aku bukannya takut.

   Tapi seluruh badanku seperti dialiri listrik.

   Mungkin karena aku terlalu bersemangat.

   Kara dan aku menerangi peti mayat dari kayu berwarna gelap yang ada di tengah ruangan itu.

   Berkas cahaya senter kami bergerakgerak karena tangan kami gemetar.

   "Aku belum pernah melihat peti mayat,"

   Kara bergumam.

   "Aku juga belum,"

   Aku mengakui.

   "Kecuali di TV."

   Sinar senter kami memantul dari permukaan kayu yang dipoles. Aku melihat gagang-gagang yang terbuat dari kuningan di kedua ujung kotak panjang itu.

   "Bagaimana kalau benar-benar ada mayat di dalamnya?"

   Tanya Kara. Suaranya pelan sekali. Detak jantungku semakin kencang. Kulitku seperti ditusuktusuk.

   "Entahlah,"

   Bisikku.

   "Tapi, siapa yang dikubur di ruangan rahasia di bawah rumahku?"

   Aku mengalihkan senter dan menyorotkannya berkeliling.

   Empat dinding polos.

   Licin dan kelabu.

   Tanpa jendela.

   Tanpa perabot.

   Hanya ada satu pintu, yaitu pintu yang menuju ke terowongan.

   Sebuah ruangan rahasia di ujung terowongan yang berkelokkelok.

   Peti mayat di ruang bawah tanah yang tersembunyi....

   "Mom dan Dad pasti tidak tahu-menahu tentang ini,"

   Kataku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri peti mayat itu.

   "Hei, mau ke mana?"

   Kara bertanya dengan ketus. Ia sendiri tetap berdiri di dekat pintu.

   "Kita harus memeriksa peti mayat ini,"

   Ujarku, tanpa menghiraukan jantungku yang berdegup kencang.

   "Coba kita lihat apa yang ada di dalamnya."

   "Wah, nanti dulu!"

   Seru Kara.

   "Ku-kurasa itu bukan ide yang baik."

   Aku langsung menoleh. Cahaya senterku menerangi wajahnya. Aku melihat dagunya gemetaran. Ia menatap peti mayat itu dengan mata terpicing.

   "Kenapa? Ngeri, ya?"

   Tanyaku. Aku tak sanggup menahan senyum. Ternyata Kara bisa takut juga. Ini harus dicatat! "Enak saja!"

   Ia membantah.

   "Aku tidak ngeri. Tapi menurutku kita perlu memanggil orangtuamu terlebih dulu."

   "Untuk apa? Kita tidak memerlukan mereka untuk membuka peti mayat tua itu!"

   Cahaya senterku terus terarah ke wajahnya. Sekali lagi aku melihat dagunya gemetaran.

   "Sebab, tidak seharusnya peti mayat dibuka begitu saja,"

   Ia menyahut, lalu menyilangkan tangan di depan dada.

   "Ya sudah... kalau kau tidak mau membantu, biar kukerjakan sendiri,"

   Kataku. Aku berpaling ke arah peti mayat, dan mengusapusap tutupnya. Kayu yang dipoles itu terasa licin dan dingin.

   "Jangan -tunggu!"

   Seru Kara. Ia bergegas ke sampingku.

   "Aku bukannya takut. Tapi... ini mungkin kesalahan besar."

   "Kau memang takut,"

   Balasku.

   "Kau ketakutan setengah mati."

   "Aku tidak takut!"

   Ia membantah.

   "Aku melihat dagumu gemetaran tadi. Dua kali, malah,"

   Ujarku.

   "Terus?"

   "Berarti kau takut."

   "Enak saja!"

   Ia mendengus kesal.

   "Nih, biar kubuktikan."

   Ia menyerahkan senternya padaku. Lalu ia meraih tutup peti mayat dengan kedua tangan dan berusaha mengangkatnya.

   "Wah. Berat benar,"

   Ia mengeluh.

   "Bantu aku."

   Aku langsung merinding.

   Tapi aku memberanikan diri dan menaruh senter di lantai.

   Kupegang tutup peti mayat dengan kedua tangan.

   Aku mencondongkan badan ke depan.

   Dan mendorong penutup itu ke atas.

   Kara dan aku mendorong dengan sekuat tenaga.

   Mula-mula tutup peti mayat yang berat itu tidak bergerak sedikit pun.

   Tapi akhirnya terdengar bunyi berderit ketika tutupnya mulai terangkat.

   Perlahan-lahan kami mendorongnya ke atas.

   Sampai tutup peti mayat itu berhenti dalam posisi tegak lurus.

   Kami melepaskan penutup itu.

   Aku memejamkan mata.

   Sebenarnya aku enggan mengintip ke dalam peti mayat.

   Tapi aku tidak punya pilihan.

   Aku memicingkan mata dan memandang ke peti mayat yang terbuka.

   Ternyata terlalu gelap.

   Aku tidak bisa melihat apa-apa.

   Untung saja, kataku dalam hati seraya menarik napas lega.

   Kara membungkuk dan memungut kedua senter dari lantai.

   Diserahkannya salah satu senter padaku.

   Kami menyorotkan keduanya ke dalam peti, dan mengintip dengan hati-hati.

   Chapter 6 CAHAYA senter kami menerangi bagian dalam peti yang diberi lapisan beludru berwarna ungu.

   Kain itu tampak berpendar di bawah sinar senter kami.

   "T-ternyata kosong!"

   Kata Kara tergagap-gagap.

   "Tunggu, di situ ada sesuatu,"

   Ujarku. Sinar senterku menyorot sebuah benda biru di bagian kaki peti mayat. Aku maju sedikit agar dapat melihat lebih jelas. Rupanya sebuah botol. Sebuah botol kaca berwarna biru tua.

   "Aneh!"

   Seru Kara. Ia juga telah melihatnya.

   "Ya. Aneh sekali,"

   Kataku.

   Kami pindah ke bagian kaki peti.

   Tanganku terasa dingin bagaikan es.

   Kara mengulurkan tangan dan meraih botol itu.

   Ia memegangnya di bawah berkas sinar senterku, dan kami mengamatinya dengan saksama.

   Botol itu bulat dan ukurannya tidak terlalu besar.

   Kara bisa menggenggamnya dengan sebelah tangan.

   Kacanya licin.

   Lehernya tertutup sumbat yang juga terbuat dari kaca berwarna biru.

   Kara mengguncang-guncang botol itu.

   "Kosong,"

   Gumamnya pelan.

   "Botol kosong di dalam peti mayat? Ini benar-benar aneh!"

   Aku berseru.

   "Siapa yang menaruhnya di situ?"

   "Hei -ini ada labelnya."

   Kara menunjuk secarik kertas kecil yang menempel di kaca.

   "Kau bisa membaca tulisannya?"

   Ia bertanya sambil mendekatkan botol itu ke wajahku. Pada label itu terdapat huruf-huruf berkesan kuno yang ditulis tangan. Aku memicingkan mata. Tulisannya sudah sangat kabur. Aku mengarahkan senter, dan akhirnya berhasil membaca tulisan itu.

   "NAPAS VAMPIR."

   "Apa?"

   Kara tercengang.

   "Napas Vampir, katamu?"

   Aku mengangguk.

   "Itu yang tertulis di sini."

   "Tapi, apa maksudnya?"

   Ia bertanya.

   "Apa itu, Napas Vampir?"

   "Entahlah,"

   Jawabku sambil mengamati botol tersebut.

   "Aku belum pernah melihat iklannya di TV."

   Kara tidak tertawa mendengar gurauanku. Diputar-putarnya botol itu untuk mencari keterangan tambahan. Tapi cuma dua kata itu yang tertulis pada labelnya.

   "NAPAS VAMPIR."

   Aku menyorotkan senterku ke dalam peti mayat untuk melihat apakah ada yang luput dari perhatianku.

   Kugerakkan senter itu majumundur.

   Kemudian aku membungkuk dan meraba-raba lapisan kain beludru ungu itu.

   Kain itu terasa licin dan lembut.

   Ketika aku menoleh ke arah Kara, ia sudah mengepit senternya di bawah lengan.

   Dan ia sedang berusaha membuka sumbat botol itu.

   "Hei -sedang apa kau?"

   Aku berseru.

   "Aku mau membukanya,"

   Sahutnya.

   "Tapi sumbatnya keras sekali dan aku tidak bisa..."

   "Jangan...!"

   Seruku.

   "Stop!"

   Matanya yang gelap tampak berbinar-binar ketika menatapku.

   "Kenapa, Freddy? Kau takut, ya?"

   "Ya. Ehm -tidak kok!"

   Aku tergagap-gagap.

   "Aku -ehm -aku setuju denganmu, Kara. Sebaiknya kita tunggu sampai orangtuaku pulang. Mereka perlu melihat ini semua. Sebaiknya kita jangan membuka peti mayat, atau mengambil botol, dan..."

   Aku menahan napas ketika Kara, tanpa memedulikan katakataku, kembali menarik-narik sumbat botol itu. Aku bukannya takut. Aku cuma tidak mau melakukan sesuatu yang bodoh.

   "Sini! Berikan padaku!"

   Aku berseru. Aku berusaha merebut botol itu dari tangannya.

   "Enak saja!"

   Kara segera mengelak.

   Dan tahu-tahu botol itu sudah terlepas dari tangannya.

   Dan jatuh ke lantai.

   Botol itu terempas keras.

   Terpental satu kali.

   Tidak pecah.

   Tapi sumbatnya terlepas.

   Kara dan aku menatap botol itu tanpa berani menarik napas.

   Kami menunggu dengan hati berdebar-debar.

   Sambil bertanyatanya apa yang bakal terjadi.

   Chapter 7 Sssssssssss.

   Aku tercengang sesaat sebelum menyadari dari mana asal bunyi mendesis itu.

   Kulihat kabut hijau keluar dari mulut botol.

   Kabut tebal itu tersembur kencang.

   Dingin dan lembap.

   Aku merasakannya menyelubungi wajahku.

   "Ohhhh."

   Aku mengerang ketika baunya yang menyengat tercium olehku. Dengan terhuyung-huyung, aku mundur sambil terbatuk-batuk. Kuayun-ayunkan tangan untuk menghalau kabut itu.

   "Ihhh!"

   Seru Kara sambil meringis. Ia segera menutup hidung.

   "Baunya bukan main!"

   Kabut bau itu terus menyembur. Dalam beberapa detik saja seluruh ruangan telah dipenuhi kabut.

   "A-aku tidak bisa napas!"

   Ujarku. Aku juga tidak bisa melihat. Kabut itu menghalangi cahaya kedua senter kami! "Ohhh!"

   Kara mengerang.

   "Baunya minta ampun!"

   Mataku pedih sekali.

   Bahkan kabut itu menempel di lidahku.

   Aku langsung mual.

   Perutku serasa diaduk-aduk.

   Leherku seperti dicekik.

   Aku harus menyumbat lagi botol itu, pikirku.

   Kalau botol itu sudah ditutup, kabut menjijikkan ini akan berhenti menyembur.

   Aku berlutut, dan saat itu pula senterku jatuh ke lantai.

   Dalam gelap, aku meraba-raba lantai sampai akhirnya berhasil menemukan botol itu.

   Tanganku yang satu lagi masih mencari-cari, hingga aku berhasil menemukan sumbatnya.

   Sambil berusaha melawan rasa mual, aku memasang sumbat itu ke leher botol.

   Kemudian aku berdiri dan mengangkatnya agar Kara bisa melihat bahwa aku telah menutupnya.

   Tapi ia tidak bisa melihatku.

   Ia sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan.

   Pundaknya bergerak naik-turun.

   Perutku mulai memberontak ketika aku menaruh botol itu di lantai.

   Aku menelan ludah.

   Berkali-kali.

   Tapi mulutku tetap dipenuhi rasa yang menjijikkan.

   Selama beberapa detik kabut bau itu masih menyelubungi kami, sebelum mulai menipis dan turun ke lantai.

   "Kara...?"

   Kataku dengan susah-payah.

   "Kara -kau baik-baik saja?"

   Perlahan-lahan ia menurunkan tangan dari wajahnya. Matanya berkedip beberapa kali, lalu berpaling padaku.

   "Idih,"

   Ia bergumam.

   "Betul-betul menjijikkan! Kenapa kau berusaha merebut botolnya tadi? Ini semua salahmu."

   "Hah?"

   Aku tercengang.

   "Salahku? Salahku?"

   Kara mengangguk.

   "Ya. Kalau kau tak berusaha merebut botol itu, botolnya takkan terlepas dari tanganku. Dan..."

   "Tapi kau yang nekat mau membukanya!"

   Aku memekik.

   "Ya, kan? Kau yang menarik-narik sumbatnya!"

   "Oh iya, ya."

   Kara baru ingat. Ia mengibaskan tangan pada sweter dan jeans-nya, untuk menyingkirkan bau menjijikkan itu.

   "Ayo, Freddy. Kita keluar saja dari sini,"

   Ajaknya.

   "Yeah. Aku setuju,"

   Ujarku. Kali ini kami tidak lagi berbeda pendapat. Aku mengikutinya ke pintu. Tapi sebelum tiba di ambangnya, aku menoleh ke belakang. Aku menatap peti mayat itu. Dan memekik tertahan.

   "Kara -lihat!"

   Bisikku.

   Sesosok tubuh tampak terbaring di dalam peti mayat....

   Chapter 8 KARA menjerit.

   Ia meraih lenganku dan meremasnya begitu keras sehingga aku pun berteriak kesakitan.

   Kami berdiri berimpitan di ambang pintu, memandang ke ruangan yang gelap.

   Menatap sosok pucat di dalam peti mayat.

   "Kau takut?"

   Bisik Kara.

   "Siapa -aku?"

   Sahutku parau.

   Aku harus membuktikan padanya bahwa aku bukan anak penakut.

   Maka aku maju selangkah ke arah peti mayat.

   Lalu satu langkah lagi.

   Kara terus mengikutiku.

   Berkas sinar kedua senter bergoyang-goyang di depan kami.

   Jantungku mulai berdegup kencang.

   Mulutku mendadak kering kerontang.

   Tanganku gemetaran tak terkendali.

   "Itu seorang laki-laki tua,"

   Aku berbisik.

   "Tapi bagaimana dia bisa ada di sini?"

   Tanya Kara, juga sambil berbisik.

   "Sedetik yang lalu tidak ada siapa-siapa di situ."

   Ia kembali meremas lenganku. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Aku terlalu tegang, terlalu heran, terlalu bingung untuk merasakan apa pun. Bagaimana laki-laki tua itu bisa ada di sini? Dan siapa dia? "Apakah dia sudah mati?"

   Tanya Kara.

   Aku tidak menjawab.

   Perlahan-lahan aku menghampiri peti mayat dan mengarahkan senterku.

   Pria tua yang terbaring di dalamnya berkepala botak.

   Tak ada selembar rambut pun di kepalanya.

   Kulitnya kencang sekali, dan licin bagai bola lampu.

   Matanya terpejam.

   Bibirnya pucat, sepucat kulitnya dan terkatup rapat-rapat.

   Tangannya kecil, kurus dan putih.

   Keduanya terlipat di depan dada.

   Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam.

   Modelnya kuno sekali.

   Kerah kaku kemejanya yang berwarna putih menempel di pipinya yang pucat.

   Sepatunya yang hitam dan mengilap diikat dengan kancing, bukan dengan tali.

   "Apakah dia sudah mati?"

   Kara bertanya sekali lagi.

   "Tampaknya begitu,"

   Sahutku dengan suara parau. Seumur hidup aku belum pernah melihat orang mati. Sekali lagi aku merasakan tangan Kara di lenganku.

   "Ayo,"

   Ia berbisik.

   "Kita pergi dari sini!"

   "Oke."

   Aku juga ingin keluar dari ruangan itu.

   Secepat mungkin.

   Tapi ada sesuatu yang menahanku.

   Aku seperti terpaku di tempat.

   Mataku terus menatap wajah tua dan pucat di hadapanku.

   Menatap laki-laki tua yang terbaring di dalam peti mayat berwarna ungu.

   Sekonyong-konyong orang tua itu membuka mata.

   Matanya berkedip-kedip.

   Ia mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.

   Chapter 9 AKU memekik kaget dan dengan terhuyung-huyung melangkah mundur.

   Kalau saja aku tidak menabrak dinding, aku pasti sudah jatuh tunggang langgang.

   Senter terlepas dari tanganku, jatuh menggelinding ke lantai.

   Bunyi itu membuat orang tua di dalam peti mayat menoleh ke arah kami.

   Ia mengedip-ngedipkan mata.

   Kemudian digosok-gosoknya matanya dengan tangannya yang kecil, seakan-akan hendak mengusir kantuk.

   Ia mengerang tertahan.

   Lalu menatap kami.

   Jantungku berdegup kencang.

   Kupikir jantungku bakal meledak.

   Pelipisku berdenyut-denyut, dan napasku terengah-engah.

   "A-aku..."

   Kara tergagap-gagap, Ia berdiri di depanku, dan kulihat seluruh tubuhnya gemetar ketika ia mengarahkan senternya pada orang tua di dalam peti mayat.

   "Di mana aku?"

   Orang tua itu berkata dengan suara parau. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tampaknya ia bingung.

   "Di mana aku? Kenapa aku di sini?"

   Ia memicingkan mata karena silau. Kepalanya yang pucat dan botak tampak mengilap di bawah sorot senter Kara. Matanya pun pucat keperak-perakan. Ia menjilat bibirnya yang putih. Mulutnya berdecap-decap.

   "Aku haus,"

   Ia berbisik dengan suara serak.

   "Aku haus sekali."

   Ia menegakkan badan sambil mengerang panjang. Kulihat ia juga mengenakan jubah sutra berwarna ungu yang senada dengan lapisan beludru di peti mayatnya. Sekali lagi ia menjilat-jilat bibirnya yang kering.

   "Haus sekali..."

   Lalu ia menatap Kara dan aku. Matanya kembali berkedip.

   "Di mana aku?"

   Ia bertanya. Matanya yang keperakan menyorot tajam.

   "Tempat apa ini?"

   "Ini rumahku,"

   Aku menyahut. Tapi suaraku nyaris tak terdengar.

   "Haus sekali..."

   Orang tua itu bergumam sekali lagi.

   Sambil mengerang ia mengeluarkan sebelah kakinya dari peti, lalu yang satu lagi.

   Ia merosot ke lantai.

   Tak ada suara sama sekali ketika kakinya menyentuh permukaan lantai batu.

   Tampaknya ia begitu ringan.

   Aku merinding.

   Aku berusaha mundur.

   Tapi punggungku sudah menabrak dinding.

   Aku melirik ke arah pintu yang terbuka.

   Rasanya pintu itu berjarak seratus kilometer dari tempat aku berdiri.

   Orang tua itu menjilat-jilat bibirnya yang kering.

   Dengan mata terpicing ia menghampiri Kara dan aku.

   Kedua tangannya sibuk merapikan jubahnya.

   "S-siapa Anda?"

   Tanya Kara, suaranya parau.

   "Bagaimana Anda bisa masuk ke sini?"

   Aku berseru.

   "Kenapa Anda ada di ruang bawah tanah rumah saya? Bagaimana Anda bisa masuk ke peti mayat ini?"

   Pertanyaan-pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari mulutku.

   "Siapa Anda?"

   Orang tua itu berhenti dan menggaruk-garuk kepalanya yang botak. Tampaknya ia sedang berusaha mengingat-ingat siapa ia sebenarnya. Lalu ia menjawab.

   "Aku Pangeran Nightwing."

   Ia menganggukangguk, seakan-akan perlu meyakinkan dirinya sendiri.

   "Ya. Aku Pangeran Nightwing."

   Kara dan aku memekik kaget sebelum kami kembali melontarkan rentetan pertanyaan.

   "Bagaimana Anda bisa sampai di sini?"

   "Mau apa Anda di sini?"

   "A-apakah Anda -vampir?"

   Ia menutup telinga dengan kedua tangan dan memejamkan mata.

   "Oh, bisingnya..."

   Ia mengeluh.

   "Tolong, jangan bicara keraskeras. Aku baru bangun tidur. Aku tidur begitu lama."

   "Anda vampir?"

   Aku bertanya pelan-pelan.

   "Ya. Vampir. Pangeran Nightwing."

   Ia mengangguk. Dan membuka mata. Ia menatap Kara, lalu aku, seakan-akan baru sekarang ia melihat kami.

   "Ya,"

   Ujarnya. Ia mengangkat kedua tangan dan mulai bergerak menghampiri kami.

   "Dan aku haus sekali. Haus sekali. Aku tidur begitu lama. Dan sekarang aku haus. Aku harus minum sekarang."

   Chapter 10 PANGERAN NIGHTWING merentangkan tangan dan mengangkat jubahnya. Jubah itu mengembang bagaikan sayap, dan sang pangeran mulai melayang-layang.

   "Haus sekali..."

   Ia bergumam sambil menjilat-jilat bibir.

   "Haus sekali."

   Ia menatap Kara dengan matanya yang keperakan, seakanakan hendak menghipnotisnya.

   Seumur hidup aku belum pernah ketakutan seperti sekarang.

   Aku tidak gampang takut.

   Begitu pula Kara.

   Sudah ratusan kali kami menonton film vampir di TV.

   Filmfilm itu cuma membuat kami tertawa.

   Habis kelihatannya konyol deh, melihat makhluk bertaring yang terbang kian kemari untuk mengisap darah manusia.

   Kami tak pernah takut sedikit pun.

   Tapi itu cuma film.

   Yang berdiri di hadapan kami sekarang adalah vampir sungguhan! Kami baru saja melihat laki-laki tua -yang menyebut dirinya Pangeran Nightwing -bangkit dari peti mayat.

   Peti mayat yang tersembunyi di bawah rumahku! Dan sekarang ia merentangkan tangan dan melayang melintasi ruangan, menghampiri kami.

   Mulutnya terus bergumam bahwa ia haus sekali.

   Matanya yang menyeramkan menatap leher Kara! Jadi, ya -aku memang ngeri.

   Tapi aku masih bisa bergerak.

   "Hei...!"

   Aku memekik sambil menyambar lengan Kara.

   "Ayo!"

   Seruku.

   "Kita pergi!"

   Kara tidak beranjak dari tempatnya.

   "Kara -ayo!"

   Aku menjerit sambil menarik lengannya. Tapi Kara terus menatap wajah pucat si vampir. Ia tidak bergerak. Tidak berkedip. Aku berusaha menyeretnya. Tapi ia tetap berdiri seperti patung, seakan-akan terpaku di lantai.

   "Haus sekali,"

   Orang tua itu berkata lagi dengan suaranya yang parau.

   "Aku harus minum sekarang!"

   "Sadar, Kara!"

   Aku berseru.

   "Sadar! Ayo, cepat dong!"

   Aku menarik Kara dengan sekuat tenaga -dan menyeretnya ke pintu.

   Kara memekik kaget, menarik tangannya dari cengkeramanku dan mulai berlari.

   Kami menghambur keluar dari ruangan kecil itu dan melesat menyusuri terowongan.

   Sepatu kami berdebam-debam di lantai batu yang keras.

   Suaranya bergema.

   Kedengarannya seakan-akan ada seribu anak yang sedang melarikan diri menjauhi si vampir! Kakiku terasa lemas dan tak bertenaga.

   Tapi aku memaksakan diri untuk terus berlari.

   Kami berlari di terowongan yang gelap, menelusuri dindingdinding yang melengkung.

   Kara berlari sekuat tenaga.

   Ia masih membawa senter.

   Cahayanya melompat-lompat kian kemari.

   Tapi kami tidak membutuhkannya.

   Kami tahu ke mana kami hendak berlari.

   Kara pelari yang hebat -larinya lebih cepat dari aku.

   Ketika kami membelok, ia mengayunkan kaki lebih keras dan segera melesat meninggalkanku.

   Aku menoleh ke belakang.

   Apakah si vampir mengejar? Ya.

   Ia berada tak jauh di belakangku.

   Tubuhnya melayang-layang di dekat langit-langit.

   Jubahnya berkibar-kibar.

   "Kara -tunggu!"

   Seruku dengan napas tersengal-sengal.

   Cahaya terang muncul di hadapan kami.

   Pintu! Itu pintu ruang bawah tanah! Kami akan segera melewati pintu itu, kataku dalam hati.

   Begitu keluar dari terowongan, pintunya akan kututup rapatrapat.

   Dengan demikian Pangeran Nightwing akan terperangkap dalam terowongan.

   Kami akan aman kalau sudah sampai di ruang bawah tanah.

   Mom dan Dad pasti sudah pulang sekarang.

   Mudah-mudahan saja! Cahaya terang di hadapan kami semakin terang.

   Kara berlari kencang.

   Dengus napasnya terdengar jelas setiap kali ia mengayunkan kaki.

   Aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

   Aku berlari sekuat tenaga untuk menyusulnya.

   Aku tidak menoleh lagi.

   Tapi kepak jubah si vampir terdengar begitu dekat di belakangku.

   Kara sudah hampir mencapai pintu.

   Cepat, Kara, cepat! aku berkata dalam hati.

   Dadaku serasa mau meledak.

   Tapi aku tidak melambatkan langkah.

   Aku malah menambah kecepatan.

   Aku ingin segera sampai di pintu.

   Dan melompat ke ruang bawah tanah yang aman.

   "Astaga!"

   Aku memekik ketika cahaya terang di hadapan kami mulai mengecil.

   "Pintunya!"

   Aku menjerit.

   "Pintunya menutup!"

   "Jangaaan!"

   Kara dan aku meraung-raung. Pintu itu terbanting dengan keras. Kara tidak sempat berhenti. Ia menabrak pintu. Lalu terpental ke belakang. Aku cepat-cepat meraih pundaknya agar ia tidak terjatuh.

   "Kau tidak apa-apa?"

   Ia tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada pintu yang telah tertutup rapat. Ia mengulurkan tangan, hendak meraih pegangan pintu.

   "Freddy..."

   Ia bergumam.

   "Lihat!"

   Ternyata tak ada pegangannya.

   Tak ada pegangan pada pintu sebelah sini! Tanpa berpikir panjang aku mengambil ancang-ancang -dan membenturkan pundakku ke pintu.

   Berkali-kali.

   Sia-sia.

   Pundakku sampai nyeri berdenyut-denyut.

   Tapi pintu itu tidak bergerak sedikit pun.

   "Tolong!"

   Aku berseru.

   "Tolong! Kami mau keluar!"

   Terlambat. Pangeran Nightwing telah berhasil memojokkan kami. Ia mendarat ringan tanpa suara sambil tersenyum tipis. Matanya yang keperakan terbuka lebar-lebar. Lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering.

   "Kita harus lari melewati dia,"

   Kara berbisik ke telingaku.

   "Kita harus masuk ke terowongan lagi. Barangkali kita bisa memaksanya mengejar-ngejar kita sampai dia capek sendiri."

   Tapi si vampir merentangkan jubahnya untuk menghalangi jalan. Seolah ia bisa membaca pikiran kami. Ia menghampiri Kara sambil mengangkat jubahnya tinggitinggi.

   "Haus sekali..."

   Ia bergumam.

   "Aku haus sekali."

   Kemudian ia membungkuk dan merapatkan wajahnya ke leher Kara. Chapter 11

   "LEPASKAN dia! Lepaskan dia!"

   Aku menjerit. Aku menyambar pinggang si vampir untuk menariknya menjauh dari Kara. Tapi yang terpegang olehku cuma jubahnya.

   "Lepaskan dia! Berhenti!"

   Aku memohon seraya menarik-narik jubah itu. Kara tidak kelihatan. Aku cuma melihat jubah si vampir serta pundaknya ketika ia merunduk untuk mengisap darah Kara.

   "Jangan...!"

   Aku memohon.

   "Akan kuambilkan minuman lain! Jangan! Lepaskan Kara!"

   Di luar dugaanku, Pangeran Nightwing mengangkat kepala. Ia berdiri tegak dan mundur selangkah. Kara meraba-raba lehernya. Matanya terbelalak lebar karena ngeri, dan dagunya gemetaran.

   "Ada yang tidak beres,"

   Ujar Pangeran Nightwing sambil menggelengkan kepala. Ia mengerutkan kening.

   "Ada yang tidak beres."

   Aku berpaling pada Kara.

   "Dia menggigitmu?"

   Tanyaku dengan suara parau. Kara mengusap-usap leher.

   "Tidak,"

   Ia berbisik.

   "Ada yang tidak beres,"

   Si vampir berkata sekali lagi. Ia mengangkat tangan ke mulutnya. Kulihat ia membuka mulut dan memasukkan satu jari ke dalamnya. Ia memejamkan mata.

   "Taringku!"

   Ia akhirnya berseru. Matanya yang keperakan terbelalak. Mulutnya menganga lebar.

   "Taringku! Gigi taringku hilang!"

   Ia berpaling dan kembali memeriksa mulutnya. Inilah kesempatan yang kutunggu-tunggu. Serta-merta aku menggedor pintu ke ruang bawah tanah.

   "Mom! Dad! Aku di sini! Buka pintunya!"

   Aku berteriak-teriak. Pangeran Nightwing tidak menggubrisku. Aku mendengar ia mengerang-erang di belakangku.

   "Gigi taringku yang indah!"

   Ia mengeluh.

   "Hilang. Hilang. Aku bakal mati kelaparan tanpa gigi taringku!"

   Ia membuka mulut lebar-lebar dan berpaling pada Kara dan aku. Gigi taringnya memang tidak ada. Malah tidak ada gigi sama sekali di dalam mulutnya.

   "Kita selamat!"

   Aku berbisik pada Kara. Ia terlalu tua dan lemah untuk menyakiti kami, kataku dalam hati. Vampir tua itu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa gigi taringnya.

   "Kita selamat! Selamat!"

   Aku bersorak-sorai. Tapi ternyata aku keliru. Chapter 12 Si vampir tua terus memeriksa mulutnya sambil menggelenggelengkan kepala dengan sedih. Akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan tangannya.

   "Celaka,"

   Ia berbisik.

   "Celaka. Kecuali kalau..."

   "Maaf, kami tidak bisa membantu Anda,"

   Ujarku.

   "Sekarang tolong bukakan pintu dan biarkan kami keluar dari sini."

   Pangeran Nightwing mengusap-usap dagu. Ia memejamkan mata. Tampaknya ia sedang berpikir.

   "Ya. Biarkan kami keluar dari sini!"

   Kara mendesak.

   "Kami tidak bisa membantu Anda. Jadi..."

   Si vampir tua mendadak membuka mata.

   "Tapi kalian bisa membantuku!"

   Ia berkata.

   "Kalian harus membantuku!"

   Aku menarik napas dalam-dalam.

   "No way! Tak usah ya. Sekarang biarkan kami pergi."

   Ia melayang-layang di atas kami. Menatap kami dengan tajam. Matanya yang keperakan berkesan dingin bagaikan es.

   "Kalian akan membantuku,"

   Ia berkata pelan-pelan.

   "Kalian berdua. Kalau kalian masih ingin pulang ke rumah masing-masing."

   Aku merinding.

   Udara di terowongan itu mendadak sangat dingin, seolah-olah angin dari daerah kutub bertiup kemari.

   Aku melirik pintu.

   Padahal sudah begitu dekat, pikirku.

   Di balik pintu itu kami akan aman dari bahaya.

   Tapi kami tidak berhasil mencapainya.

   Aku berpaling lagi pada si vampir tua.

   "A-apa yang harus kami lakukan?"

   Tanya Kara tergagap-gagap.

   "Ya. Apa yang bisa kami lakukan?"

   Aku mengulangi. Si vampir menurunkan tubuhnya sampai kakinya menjejak di lantai. Roman mukanya mengendur.

   "Botol yang berisi Napas Vampir,"

   Ia berkata.

   "Kalian melihatnya?"

   "Ya,"

   Sahutku.

   "Kami menemukannya. Di dalam peti mayat Anda."

   "Mana? Mana botol itu?"

   Ia bertanya dengan nada mendesak. Diulurkannya tangannya.

   "Ada pada kalian? Cepat, serahkan padaku."

   "Tidak,"

   Kara dan aku menjawab berbarengan.

   "Kami tidak mengambilnya,"

   Aku menjelaskan.

   "Kurasa botol itu kutinggalkan di lantai."

   "Kami -kami menjatuhkannya,"

   Kata Kara tergagap-gagap. Si vampir tua membelalakkan mata.

   "Apa? Apakah botolnya pecah? Apakah Napas Vampirnya tumpah?"

   "B-bukan tumpah, tapi tersembur ke luar,"

   Sahutku.

   "Seluruh ruangan dipenuhi asap. Sumbat botolnya sudah kami pasang lagi. Tapi..."

   "Kita harus mencarinya!"

   Seru Pangeran Nightwing.

   "Aku harus mendapatkan botol itu. Kalau ada sedikit saja Napas Vampir, aku bisa kembali ke zamanku sendiri."

   "Zaman Anda?"

   Tanyaku. Ia menatapku sambil memicingkan mata.

   "Pakaian kalian. Rambut kalian. Kalian berdua bukan dari zamanku,"

   Katanya.

   "Tahun berapa ini?"

   Aku memberitahunya. Ia tercengang dan memekik kaget.

   "Rupanya aku tidur lebih dari seratus tahun!"

   Serunya.

   "Aku harus menemukan Napas Vampir. Aku harus kembali ke zamanku. Ke zaman di mana gigi taringku masih ada."

   Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Terus terang, aku belum mengerti maksud kata-katanya.

   "Maksudnya, Anda akan pergi?"

   Tanyaku.

   "Kalau masih ada sisa Napas Vampir dalam botol itu, Anda akan kembali ke zaman seratus tahun lalu?"

   Si vampir tua mengangguk.

   "Ya,"

   Ujarnya.

   "Aku akan pulang ke zamanku sendiri."

   Tapi kemudian matanya kembali menyorot dingin.

   "Kalau masih ada sisa Napas Vampir,"

   Ia berkata dengan getir.

   "Kalau kalian tidak menumpahkan semuanya."

   "Pasti masih ada yang tersisa!"

   Seruku. Kara dan aku mengikuti Pangeran Nightwing menyusuri terowongan yang gelap. Ia melayang-layang tanpa suara di depan kami. Jubahnya berkibar-kibar.

   "Haus sekali..."

   Ia terus bergumam.

   "Haus sekali."

   "Rasanya tidak masuk akal kita kembali ke ruangan menyeramkan itu,"

   Aku berbisik pada Kara ketika kami berlari di lantai batu yang licin.

   "Rasanya tidak masuk akal kita membantu vampir!"

   "Apa boleh buat. Kita tidak punya pilihan,"

   Balas Kara.

   "Kita ingin dia segera pergi -ya, kan?"

   Aku menginjak genangan air di lantai.

   Kakiku basah sampai ke mata kaki.

   Terowongan itu membelok, dan kami terus mengikutinya.

   Masuk ke ruangan kecil berbentuk bujur sangkar itu.

   Pangeran Nightwing menghampiri peti mayatnya, lalu berpaling menghadap kami.

   "Mana botolnya?"

   Ia bertanya. Aku memungut senterku dari lantai dan mencoba menyalakannya. Satu kali. Dua kali. Tetap tak ada cahaya yang terpancar. Rupanya senterku rusak ketika jatuh tadi. Aku meletakkannya kembali di lantai.

   "Botolnya,"

   Si vampir tua mengulangi.

   "Aku harus mendapatkan botolnya."

   "Seingatku Freddy menaruhnya di dalam peti mayat tadi,"

   Ujar Kara. Ia maju ke tengah ruangan dan menerangi peti mayat dengan senternya.

   "Bukan. Bukan di situ,"

   Pangeran Nightwing berkata tidak sabar.

   "Mana botol itu? Aku harus menemukannya. Kalian tidak bisa membayangkan betapa hausnya aku. Sudah seratus tahun aku tidak minum!"

   Tidurnya nyenyak sekali, kataku dalam hati. Seperti kerbau.

   "Botolnya pasti ada di lantai,"

   Ujar Kara.

   "Kalau begitu, cari! Cepat cari!"

   Si vampir memekik. Kara dan aku mulai mencari botol itu di lantai. Aku berjalan di samping Kara, sebab cuma dia yang memegang senter. Cahaya senternya menyapu lantai. Tapi botol biru itu tidak tampak.

   "Mana botolnya?"

   Bisikku.

   "Mana botolnya?"

   "Mestinya tidak sulit menemukannya di ruangan kosong seperti ini!"

   Seru Kara.

   "Jangan-jangan botol itu menggelinding ke terowongan tadi,"

   Aku menduga-duga. Kara menggigit bibir.

   "Rasanya tidak."

   Ia mengalihkan pandangan dari lantai, lalu menatapku.

   "Jangan-jangan botolnya pecah."

   "Tidak mungkin. Setelah kupasang sumbatnya, kutaruh botol itu di suatu tempat,"

   Sahutku. Aku melirik ke arah si vampir. Ia terus mengamati kami. Matanya melotot.

   "Kesabaranku sudah mulai habis,"

   Ia memperingatkan. Dijilatnya bibirnya yang kering. Pandangannya yang menusuk bergantian menatap kami.

   "Itu dia!"

   Seru Kara.

   Sinar senter berhenti di kaki peti mayat.

   Botol biru yang kami cari tergeletak di sana.

   Aku langsung bergegas maju, membungkuk, dan memungut Napas Vampir.

   Kedua mata Pangeran Nightwing tampak bersinar-sinar.

   Senyum tipis mengembang di bibirnya.

   "Buka -cepat!"

   Ia memerintahkan.

   "Buka botolnya, dan aku akan pergi. Aku akan pulang ke zamanku sendiri. Pulang ke kastilku yang indah. Selamat tinggal, anak-anak. Selamat tinggal. Ayo, buka botolnya! Cepat!"

   Tanganku gemetaran.

   Kugenggam botol biru itu erat-erat.

   Aku meraih tutup kaca yang menyumbat leher botol.

   Aku menariknya sampai terbuka.

   Dan menunggu.

   ĒBYKYLάWάS.BOGŞPOT.ČOM Dan menunggu.

   Tapi tidak terjadi apa-apa.

   Chapter 13 DAN kemudian terdengar bunyi wusssss.

   Botol itu nyaris terlepas dari tanganku ketika tiba-tiba kabut hijau menyembur.

   "Yesss!"

   Aku berseru gembira.

   Ternyata isinya masih ada! Bau menjijikkan langsung menusuk-nusuk hidungku.

   Aku terpaksa menahan napas, tapi aku tidak peduli.

   Aku menyaksikan kabut itu bertambah tebal, menghalangi pandangan, sampai peti mayat di tengah ruangan tak kelihatan lagi.

   Kara tertelan kabut.

   Begitu pula si vampir tua.

   Kabut pekat itu berputar-putar dan bergulung-gulung.

   Rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bersorak-sorai.

   Sebab aku yakin Pangeran Nightwing akan hilang terbawa kabut.

   Dan kami akan aman.

   Kami takkan pernah melihatnya lagi.

   "Kara -kau tidak apa-apa?"

   Aku memanggil. Suaraku terdengar janggal karena teredam oleh kabut yang tebal.

   "Huh, baunya minta ampun!"

   Ia mengerang.

   "Tahan napas,"

   Ujarku.

   "Sebentar lagi kabutnya akan menipis."

   "Menjijikkan!"

   Kara memaki.

   Ia berdiri di dekatku.

   Tapi aku tidak bisa melihatnya karena pandanganku terhalang kabut yang bergulung-gulung.

   Udara terasa begitu lembap dan dingin.

   Tiba-tiba aku seperti berada di dalam air.

   Aku seakan-akan berada di dalam lautan ketika gelombang demi gelombang menerpaku.

   Aku menahan napas selama mungkin.

   Tapi akhirnya aku tidak tahan lagi.

   Dadaku serasa mau meledak, dan aku terpaksa mengembuskan napas.

   Wussss.

   Aku memejamkan mata dan berdoa.

   Berdoa agar kabut itu segera hilang, agar kabut itu turun ke lantai dan lenyap seperti sebelumnya.

   Cepat, cepat -pikirku.

   Jangan sampai Kara dan aku tenggelam dalam kabut menjijikkan ini.

   Beberapa detik kemudian aku membuka mata.

   Sekelilingku gelap.

   Aku berkedip beberapa kali.

   Di kejauhan terlihat cahaya kuning yang memancar pucat.

   Cahaya bulan masuk melalui sebuah jendela.

   Jendela? Di sini kan tidak ada jendela! aku berkata dalam hati.

   Aku berbalik dan memandang Kara.

   Ia tampak bingung.

   Ia melihat ke sekeliling dengan mata terbelalak.

   "D-dia sudah pergi,"

   Ia bergumam.

   "Freddy -si vampir sudah pergi."

   Aku pun mengamati sekelilingku sambil memicingkan mata.

   "Tapi di mana kita sekarang?"

   Bisikku. Aku menunjuk jendela yang terlihat di kejauhan, di ujung ruangan.

   "Jendela itu belum ada tadi."

   Kara menggigit bibir.

   "Ini bukan ruangan yang tadi,"

   Ujarnya pelan-pelan.

   "Ruangan ini jauh lebih besar dan..."

   Ia terdiam.

   "Peti mayat!"

   Aku memekik. Ketika mataku mulai terbiasa dengan suasana remang-remang, aku melihat benda-benda gelap yang terselubung bayang-bayang. Baru kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menatap dua deret panjang peti mayat.

   "Di mana kita?"

   Seru Kara dengan suara gemetar.

   "Ini seperti kuburan!"

   "Tapi kita kan di dalam bangunan,"

   Ujarku.

   "Bukan di luar. Kita berada di ruangan yang panjang sekali."

   Aku memandang langit-langit yang tinggi.

   Dua lampu kristal memantulkan cahaya bulan yang redup.

   Dinding-dinding gelap di sekeliling kami dihiasi lukisan-lukisan besar.

   Dalam suasana remang-remang aku melihat lukisan-lukisan pria berwajah keras dan wanita-wanita dengan baju hitam berpotongan kuno.

   Aku berpaling ke deretan peti mayat -dan mulai berhitung dalam hati.

   "Wah, di sini ada dua lusin peti mayat!"

   Aku berbisik pada Kara.

   "Semua berderet rapi,"

   Kara berkomentar.

   "Freddy, janganjangan...?"

   "Dia membawa kita kemari,"

   Aku bergumam.

   "Hah?"

   Kara menggigit bibir.

   "Pangeran Nightwing. Dia yang membawa kita kemari,"

   Aku mengulangi.

   "Dia kan sudah bilang bahwa dia mau pulang ke kastilnya. Dan kita takkan pernah melihatnya lagi. Seharusnya dia pulang sendirian. Tapi ternyata dia membawa kita kemari, Kara. Ini pasti ulahnya."

   Kara. menatap kedua deret peti mayat.

   "Tidak bisa!"

   Ia memekik.

   "Dia tidak boleh menculik kita!"

   Aku hendak menjawab. Tapi tiba-tiba terdengar sesuatu. Bunyi berderit. Aku merinding ketika bunyi itu terdengar lagi -kali ini lebih dekat. Kara meraih lenganku. Rupanya ia juga mendengarnya.

   "Aduh, Freddy -lihat!"

   Ia berbisik. Aku memicingkan mata.

   "Peti mayatnya...!"

   Semua peti itu membuka pelan-pelan.

   Chapter 14 TUTUP peti-peti mayat terangkat perlahan-lahan.

   Aku melihat tangan-tangan pucat mendorong dari dalam.

   Kara dan aku berdiri berimpitan.

   Kami seakan-akan terpaku di tempat.

   Kami takkan sanggup mengalihkan mata dari pemandangan yang mengerikan itu.

   Erangan memenuhi ruangan ketika dua lusin vampir mulai duduk tegak.

   Tangan-tangan kurus kering mencengkeram pinggiran peti mayat masing-masing.

   Terdengar suara batuk-batuk.

   Dan suara berdeham-deham.

   Perlahan-lahan semua vampir menegakkan badan.

   Wajah mereka tampak kekuningan dalam cahaya bulan.

   Mata mereka bersinar redup.

   "Ohhhh."

   Erangan-erangan tertahan memantul dari dindingdinding yang tinggi.

   Tulang-tulang mereka berderak-derak.

   Mereka tampak begitu tua.

   Belum pernah aku melihat orang setua itu.

   Kulit mereka begitu tipis dan kencang, seperti transparan, sehingga tulang-tulang di baliknya membayang.

   Tengkorak hidup, kataku dalam hati.

   "Ohhhh."

   Sambil mengerang, satu per satu keluar dari peti mayat.

   Aku melihat kaki-kaki mereka yang sekurus kaki labah-labah.

   Kara dan aku akhirnya mampu bergerak.

   Kami mundur ke sudut yang terlindung bayang-bayang, di dekat dinding.

   Sekali lagi terdengar suara batuk.

   Di dekat jendela, salah satu vampir berambut putih berusaha keluar dari peti sambil terbatukbatuk.

   "Aku haus sekali..."

   Vampir yang lain berbisik.

   "Haus sekali... haus sekali..."

   Kawan-kawannya mengulangi. Mereka keluar dari peti mayat masing-masing, lalu meregangkan badan sambil mengerang-erang.

   "Haus sekali... haus sekali..."

   Semuanya berbisik.

   Suara mereka parau.

   Semuanya mengenakan setelan jas hitam.

   Dan kemeja putih dengan kerah tinggi dan kaku yang mencekik leher.

   Ada juga yang memakai jubah panjang mengilap.

   Mereka merapikan jubah masingmasing dengan jari-jemari mereka yang panjang dan sangat kurus.

   "Haus sekali...haus sekali..."

   Mata mereka yang keperakan seakan-akan bertambah terang ketika mereka mulai sadar sepenuhnya.

   Lalu mereka berdiri di antara kedua deret peti mayat, dan mulai mengepak-ngepakkan lengan.

   Mula-mula pelan.

   Lengan mereka berderak-derak setiap kali berayun naik-turun.

   Mata mereka yang keperakan tampak bersinar-sinar.

   Naik, lalu turun.

   Naik, lalu turun.

   Gerakan itu semakin cepat.

   Mereka mengerang-erang dan mendengus-dengus.

   Suara mereka memantul dari dinding-dinding dan langit-langit yang tinggi.

   Lengan mereka bergerak semakin cepat.

   Semakin cepat.

   Dan di depan mata Kara dan aku, orang-orang tua itu mulai mengerut.

   Lengan mereka berubah menjadi sayap yang berkepakkepak.

   Mata mereka menyorot merah, wajah mereka menyerupai wajah tikus.

   Dalam beberapa detik saja Mereka semua telah mengerut dan berubah bentuk.

   Berubah menjadi kelelawar hitam.

   Dan semua berpaling ke arah Kara dan aku.

   Chapter 15 APAKAH mereka melihat kami? Apakah mereka melihat Kara dan aku, yang berdiri dalam bayang-bayang gelap dengan merapatkan punggung ke dinding? Kelelawar-kelelawar terbang di atas peti-peti mayat yang terbuka.

   Sayap mereka berkilau keperakan dalam cahaya bulan.

   Aku mendengar bunyi berderik.

   Tapi bunyi itu segera berubah menjadi desisan.

   Kelelawar-kelelawar itu membuka mulut, memperlihatkan gigi taring yang runcing berwarna kuning -dan semua mendesis-desis.

   Suaranya membuat bulu kudukku berdiri! Semakin lama semakin nyaring dan melengking, sampai akhirnya mengalahkan bunyi kepak sayap mereka.

   Mereka mendesis, siap menyerang.

   Mereka sudah benar-benar siap.

   Siap untuk menyambarku, menjatuhkanku ke lantai, menggigitku dengan taring yang panjang.

   Lalu mengisap darahku...

   mengisap...

   "Freddy...!"

   Kara menjerit. Ia mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajahnya.

   "Freddy...!"

   Aku dikepung suara mendesis yang melengking tinggi.

   Suara itu seakan-akan berasal dari dalam kepalaku.

   Aku langsung menutup telinga, berusaha menghalaunya.

   Dan menunggu serangan mereka.

   Tapi di luar dugaanku, kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang kami.

   Mereka terbang ke atas.

   Berbalik arah.

   Lalu berbaris terbang keluar melalui jendela di ujung ruangan.

   Aku tercengang.

   Baru sekarang aku sadar bahwa sejak tadi aku menahan napas.

   Aku memperhatikan kawanan kelelawar itu terbang menyongsong sinar bulan.

   Sayap mereka berkepak-kepak keras.

   Semakin lama desisan mereka yang melengking semakin jauh.

   Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan-lahan.

   "Kara,"

   Aku berbisik.

   "Kita selamat. Mereka tidak melihat kita di sini."

   Ia mengangguk tapi tidak menyahut. Rambutnya jatuh menutupi keningnya. Ia menyibakkannya dengan tangan gemetar.

   "Wow,"

   Gumamnya sambil geleng-geleng kepala.

   "Wow."

   "Kita selamat,"

   Aku mengulangi, lalu mulai mengamati ruangan panjang tempat kami berada. Peti-peti mayat yang terbuka, berderetderet sampai ke jendela. Kayunya yang gelap tampak mengilap dalam cahaya bulan.

   "Kita selamat,"

   Kataku sekali lagi.

   "Tidak ada siapa-siapa lagi di sini, selain kita."

   Tapi suara langkah di belakang kami membuat Kara dan aku memekik kaget.

   Disusul suara berdeham.

   Serta-merta aku berbalik.

   Begitu cepatnya, hingga aku nyaris terjatuh.

   Pangeran Nightwing memasuki ruangan sambil membawa obor menyala.

   Cahaya obor yang berkerlap-kerlip, menari-nari di wajahnya.

   Matanya yang keperakan terbelalak lebar karena heran.

   "Kenapa kalian ada di sini?"

   Ia bertanya. Aku membuka mulut hendak menjawab. Tapi suaraku seperti tersangkut di tenggorokan.

   "Tempat kalian bukan di sini,"

   Kata si vampir tua dengan suara menggelegar. Ia mengayun-ayunkan obor di hadapannya. Apinya meninggalkan jalur cahaya berwarna jingga.

   "Kalian tidak punya hak untuk berada di sini. Ini zamanku. Dan ini kastilku."

   Ia mulai melayang di atas lantai. Matanya mendadak menyorot seterang obor di tangannya.

   "Tempat kalian bukan di sini!"

   Ia menegaskan dengan nada mengancam.

   "Tapi -tapi...,"

   Aku tergagap-gagap. Perasaan ngeri dan marah dan bingung bercampur aduk dalam diriku.

   "Anda yang membawa kami kemari!"

   Kara memprotes dengan geram, sambil menuding-nuding.

   "Bukan kami yang mengikuti Anda!"

   "Dia benar!"

   Aku akhirnya mampu berkata.

   "Anda sudah berjanji untuk pergi dan tidak mengganggu kami lagi. Tapi Anda malah membawa kami kemari."

   Pangeran Nightwing melayang-layang satu meter di atas lantai. Ia menggenggam obor dengan sebelah tangan, dan mengusap-usap dagu dengan tangan yang satu lagi.

   "Hmmmm,"

   Ia bergumam. Matanya tampak berapi-api.


Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Pendekar Slebor Lembah Kutukan Wiro Sableng Dendam Orang Orang Sakti

Cari Blog Ini