Ceritasilat Novel Online

Misteri Kereta Api Biru 3


Agatha Christie Misteri Kereta Api Biru Bagian 3



Sepi sejenak, lalu M. Poirot membungkuk, meluruskan letak penggaris yang ada di meja Hakim, lalu berbicara langsung pada jutawan itu.

   "M. Van Aldin, kami semua maklum, benar-benar maklum, akan rasa sakit hati Anda dalam membicarakan soal ini -tapi percayalah, Monsieur, sekarang bukan waktunya untuk menyembunyikan apa-apa. Bila hukum harus ditegakkan, kita harus tahu semuanya. Bila Anda renungkan sebentar, Anda akan menyadari sendiri hal itu semua dengan jelas."

   Beberapa menit lamanya Van Aldin berdiam diri, kemudian dia mengangguk membenarkan dengan setengah enggan.

   "Anda benar, M. Poirot,"

   Katanya.

   "Betapapun menyakitkannya, saya tak punya hak untuk menyembunyikan apa pun."

   Komisaris menarik napas lega, dan Jaksa Pemeriksa bersandar kembali ke kursinya serta membetulkan letak kaca matanya yang tanpa gagang di hidungnya yang panjang dan kecil.

   "Barangkali Anda mau menceritakannya dengan kata-kata Anda sendiri, M. Van Aldin,"

   Katanya.

   "segalanya yang Anda tahu tentang laki-laki itu."

   "Peristiwa itu dimulai sebelas atau dua belas tahun yang lalu di Paris. Waktu itu putri saya masih muda sekali, penuh dengan pikiran-pikiran romantis dan bodoh, sebagaimana biasanya gadis-gadis muda. Tanpa setahu saya, dia berkenalan dengan Comte de la Roche itu. Mungkin Anda pernah mendengar tentang dia?"

   Komisaris dan Poirot sama-sama mengangguk.

   "Dia menamakan dirinya Comte de la Roche,"

   Lanjut Van Aldin.

   "tapi saya meragukan apakah dia benar-benar punya hak untuk memakai gelar itu."

   "Anda tidak akan bisa menemukan namanya dalam buku petunjuk Almanac de Gotha,"

   Kata Komisaris membenarkan.

   "Saya juga menemukan begitu,"

   Kata Van Aldin.

   "Laki-laki itu seorang bajingan sejati yang tampan, yang punya daya tarik membahayakan bagi kaum wanita. Ruth tergila-gila padanya, tapi saya segera menghentikan semua hubungan itu. Laki-laki itu tak lebih dari seorang penipu ulung."

   "Anda benar,"

   Kata Komisaris.

   "Comte de la Roche itu sudah kami kenal dengan baik. Kalau saja bisa, kami sudah menangkapnya sekarang, tapi -ma foi! -hal itu tak mudah. Laki-laki itu cerdik, perkaranya selalu berkaitan dengan kaum wanita yang berkedudukan sosial yang tinggi. Bila dia mendapatkan uang dari mereka dengan alasan-alasan palsu atau sebagai hasil pemerasan eh bien! Mereka tentu saja tak mau mengadukannya. Mereka tentu tak mau kelihatan goblok di mata dunia, dan dia punya kekuatan luar biasa terhadap wanita."

   "Memang begitu,"

   Kata jutawan itu dengan berat.

   "Nah, seperti kata saya tadi, saya telah memutuskan hubungan itu dengan tegas. Saya katakan terus terang pada Ruth siapa dia itu sebenarnya, dan dia terpaksa percaya. Kira-kira setahun setelah itu, dia bertemu dengan suaminya yang sekarang dan lalu menikah dengannya. Sejauh yang saya tahu, demikianlah persoalan itu berakhir -tapi baru seminggu yang lalu, saya terkejut sekali karena saya dapati bahwa anak perempuan saya itu memperbaharui hubungannya dengan Comte de la Roche itu. Rupanya dia sering bertemu dengan laki-laki itu di London. Saya menegurnya atas perbuatannya itu, karena bolehlah saya katakan pada Anda semua, Tuan-tuan, bahwa atas desakan saya dia sedang menyiapkan tuntutan perceraian dari suaminya."

   "Itu menarik,"

   Gumam Poirot dengan suara halus, sambil memandang ke loteng. Van Aldin memandangnya dengan tajam, lalu melanjutkan.

   "Saya jelaskan padanya bahwa dalam keadaan seperti ini, amatlah bodoh untuk melanjutkan hubungan dengan Comte itu. Saya sangka dia sependapat dengan saya."

   Jaksa Pemeriksa mendehem perlahan.

   "Tapi kalau melihat surat ini -"

   Dia mulai, lalu berhenti. Rahang Van Aldin terkatup rapat.

   "Saya maklum. Tak ada gunanya ditutup-tutupi. Bagaimanapun tak menyenangkan, kita harus menghadapi kenyataannya. Sudah jelas bahwa Ruth telah mengatur untuk pergi ke Paris dan bertemu dengan de la Roche di sana. Tapi, setelah saya beri peringatan, dia rupanya menulis surat pada Comte itu dan mengusulkan perubahan tempat pertemuan."

   "Kepulauan d'Or,"

   Kata Komisaris merenung.

   "terletak tepat di seberang Hyeres, suatu tempat yang terpencil dan amat cocok untuk bercintaan."

   Van Aldin mengangguk.

   "Ya, Tuhan! Bagaimana Ruth bisa sebodoh itu?"

   Serunya dengan getir.

   "Penulisan buku tentang batu-batu permata itu omong kosong belaka! Dia pasti mengincar batu-batu delima itu sejak semula."

   "Memang ada beberapa permata delima yang terkenal,"

   Kata Poirot.

   "yang asalnya merupakan bagian dari permata-permata mahkota kerajaan Rusia. Bentuknya istimewa, dan nilainya tak terkira mahalnya. Ada desas-desus bahwa permata-permata itu akhir-akhir ini telah menjadi milik seorang Amerika. Apakah benar kesimpulan kami, Monsieur, bahwa Andalah pembeli barang itu?"

   "Benar,"

   Kata Van Aldin.

   "Saya membelinya sepuluh hari yang lalu."

   "Maafkan, Monsieur, apakah Anda telah beberapa lama merundingkan pembelian barang-barang itu?"

   "Dua bulan lebih sedikit. Mengapa?"

   "Hal-hal yang begituan cepat tersiar,"

   Kata Poirot.

   "Lalu lintas permata-permata semacam itu selalu diikuti dengan cermat oleh banyak sekali orang."

   Wajah Van Aldin jadi seakan-akan kejang dan jelek.

   "Saya ingat,"

   Katanya terputus-putus.

   "suatu lelucon yang saya ucapkan pada Ruth waktu saya memberikan permata itu padanya. Saya katakan padanya untuk tidak membawanya ke Riviera, karena saya tak mau dia sampai dirampok atau bahkan dibunuh gara-gara permata-permata itu. Tuhanku! siapa sangka -sama sekali tak terpikir bahwa kata-kata yang kita ucapkan akan menjadi kenyataan."

   Semuanya diam menunjukkan pengertian, kemudian Poirot berbicara tentang sesuatu yang terlepas dari soal di atas.

   "Mari kita susun fakta-faktanya secara berturut-turut dan teratur. Berdasarkan teori kita yang sekarang, beginilah peristiwanya. Comte de la Roche tahu bahwa Anda telah membeli permata-permata itu. Dengan siasat yang mudah saja dia berhasil membujuk Nyonya Kettering untuk membawa permata-permata itu. Kalau begitu, dialah laki-laki yang dilihat Mason dalam kereta api di Paris itu."

   Ketiga pria yang lain mengangguk.

   "Nyonya Kettering terkejut melihatnya, tapi dia mengatasi keadaan itu dengan tegas. Mason disuruh menyingkir, makanan malam hanya dipesan saja. Kita dengar dari kondektur bahwa hanya tempat tidur dalam kamar pertama saja yang disiapkan untuk tidur, dia tidak pergi ke kamar yang kedua, dan bahwa orang dengan mudah bisa bersembunyi di kamar itu supaya tidak dilihatnya. Sampai begitu jauh, Comte itu secara ajaib bisa tersembunyi. Tak seorang pun tahu kehadirannya di kereta api itu kecuali Nyonya Kettering -dia berhati-hati agar pelayannya tidak melihat wajahnya. Wanita itu hanya bisa mengatakan bahwa dia jangkung dan berambut hitam. Semuanya menguntungkan dirinya karena samar. Mereka hanya berduaan -dan kereta api menderu terus membelah malam. Tentu tidak akan ada jeritan, tak ada perkelahian, karena laki-laki itu, sepanjang pengetahuannya, adalah kekasihnya."

   Dia berpaling dengan lembut pada Van Aldin.

   "Kematiannya pasti terjadi seketika, Monsieur. Biarlah bagian itu kita lewati saja cepat-cepat. Comte itu mengambil perhiasan yang sudah siap ambil itu. Sebentar kemudian kereta api berhenti di Lyons."

   M. Carrege mengangguk membenarkan.

   "Tepat,"

   Katanya.

   "Kondektur tidak turun. Mudah sekali orang itu meninggalkan kereta api tanpa dilihat -akan mudah pula baginya untuk naik kereta api lain untuk pergi ke Paris atau ke mana pun yang disukainya. Dan kejahatan itu akan ditentukan sebagai suatu perampokan kereta api biasa. Comte itu tidak akan disebut-sebut, bila saja surat itu tidak ditemukan di dalam tas Nyonya Kettering."

   "Itulah keteledorannya, dia tidak memeriksa tas itu,"

   Komisaris menjelaskan.

   "Dia pasti menyangka bahwa Nyonya Kettering telah memusnahkan surat itu. Memang -maafkan saya, Monsieur -sangat ceroboh untuk menyimpannya."

   "Tapi,"

   Gumam Poirot.

   "lebih ceroboh lagi karena Comte itu tidak terpikir akan surat itu."

   "Maksud Anda?"

   "Maksud saya, kita semua sependapat mengenai satu hal, yaitu bahwa Comte de la Roche benar-benar ahli dalam satu hal yaitu. wanita. Kalau dia memang tahu betul tentang wanita, bagaimana mungkin dia tidak menduga bahwa Nyonya Kettering masih menyimpan surat itu?"

   "Ya -benar,"

   Kata Jaksa Pemeriksa ragu-ragu.

   "ada sesuatu dalam kata-kata Anda itu. Tapi Anda pun tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, orang tak dapat menguasai dirinya. Dia tidak berpikir dengan tenang. Mon Dieu!"

   Tambahnya dengan perasaan.

   "Bila penjahat-penjahat kita bisa berpikiran dengan sehat dan bertindak dengan bijak, bagaimana bisa kita menangkapnya?"

   Poirot tersenyum sendiri.

   "Saya lihat perkara ini sudah jelas,"

   Kata yang lain.

   "tapi sulit untuk dibuktikan. Comte itu orang yang licik, dan bila pelayan itu tak bisa mengenalinya -"

   "Hal mana memang mungkin sekali,"

   Sela Poirot.

   "Benar, benar,"

   Kata Jaksa Pemeriksa sambil menggosok-gosok dagunya.

   "Akan menjadi sulit."

   "Bila memang dia yang melakukan kejahatan itu -"

   Poirot memulai. M. Caux menyelanya.

   "Bila -bila, kata Anda?"

   "Benar, Komisaris, saya katakan bila."

   Komisaris itu memandangnya dengan tajam.

   "Anda benar,"

   Katanya akhirnya.

   "kami telah berpikir terlalu cepat. Mungkin saja Comte itu punya alibi. Maka kita akan kelihatan bodoh."

   "Ah, ini lagi,"

   Sahut Poirot.

   "itu sama sekali tak penting. Kalau dia pelakunya, dia tentu punya alibi. Laki-laki yang pengalamannya begitu banyak seperti Comte itu tidak akan lengah mengambil langkah pencegahan. Tidak, saya tadi mengatakan bila, dengan suatu alasan tertentu."

   "Dan apakah itu?"

   Poirot menggoyang-goyangkan telunjuknya kuat-kuat.

   "Psikologi."

   "Apa?"

   Kata Komisaris.

   "Berlawanan dengan psikologi. Comte itu seorang bajingan -ya, dia seorang penipu -benar. Comte itu menjadikan wanita mangsanya -betul. Dia berniat untuk mencuri permata-permata Nyonya Kettering -sekali lagi benar. Apakah dia seorang laki-laki yang melakukan pembunuhan? Saya katakan -tidak! Laki-laki semacam Comte itu selalu penakut -dia tak mau mengambil risiko. Dia mau yang aman, yang keji, apa yang disebut orang Inggris permainan rendah -tapi pembunuhan, seratus kali tidak!"

   Dia menggeleng kuat-kuat. Namun Jaksa Pemeriksa agaknya tak tertarik untuk sependapat dengannya.

   "Selalu ada waktunya penjahat-penjahat seperti itu kehilangan akal sehatnya dan bertindak terlalu jauh,"

   Katanya dengan bijak.

   "Pasti begitulah keadaannya sekarang. Bukan maksud saya membantah Anda, M. Poirot -"

   "Itu tadi hanya suatu pendapat,"

   Poirot menjelaskan cepat-cepat.

   "Perkaranya tentu berada di dalam tangan Anda, dan Anda akan melakukan apa yang menurut Anda paling sesuai."

   "Saya sendiri berpendapat bahwa Comte de la Roche adalah orang yang harus kita cari,"

   Kata M. Carrege.

   "Setujukah Anda dengan saya, Komisaris?"

   "Setuju sekali."

   "Dan Anda, M. Van Aldin?"

   "Ya,"

   Sahut jutawan itu.

   "Ya, laki-laki itu adalah bajingan kawakan, tak meragukan lagi."

   "Saya kuatir akan sulit menangkapnya,"

   Kata Jaksa.

   "tapi kami akan berusaha sekuat tenaga. Instruksi melalui telegram akan segera dikirimkan."

   "Izinkanlah saya membantu Anda,"

   Kata Poirot.

   "Tak perlu ada kesulitan dalam hal itu."

   "Apa?"

   Orang-orang yang lain melihat padanya dengan terbelalak. Laki-laki kecil itu membalas pandangan mereka dengan tersenyum ceria.

   "Adalah urusan saya untuk mengetahui banyak hal,"

   Dia menjelaskan.

   "Count itu adalah orang yang cerdas. Pada saat ini dia ada di vila yang disewanya, Vila Marina di Antibes."

   Bab 16 POIROT MEMBAHAS PERKARA ITU Semua melihat pada Poirot dengan rasa hormat. Nyata sekali bahwa pria kecil itu telah berhasil merebut rasa hormat orang. Komisaris tertawa -meskipun dengan nada sumbang.

   "Anda mengajar kami semua dalam pekerjaan kami,"

   Katanya.

   "M. Poirot tahu lebih banyak daripada polisi."

   Poirot menatap loteng dengan puas, dan berpura-pura rendah hati.

   "Yah, mau apa lagi, itu hobi saya,"

   Gumamnya.

   "yaitu mencari tahu tentang banyak hal. Tentu saja saya punya waktu untuk menuruti hobi itu. Saya tidak terlalu dibebani oleh bermacam-macam urusan."

   "Ah!"

   Kata Komisaris sambil mengangguk tanda setuju benar.

   "Sedang saya ini -"

   Isyarat hebat yang dilakukannya menunjukkan betapa banyak urusan yang terpikul di pundaknya. Poirot tiba-tiba berpaling pada Van Aldin.

   "Setujukah Anda dengan pandangan tadi, Monsieur? Yakinkah Anda bahwa Comte de la Roche itu pembunuhnya?"

   "Yah, agaknya begitulah -ya, pasti."

   Sesuatu dalam jawaban itu yang terdengar seperti kewaspadaan, membuat Jaksa Pemeriksa memandang penuh ingin tahu pada orang Amerika itu.

   Van Aldin kelihatannya menyadari pandangan itu dan berbuat seolah-olah sedang berusaha akan menghilangkan suatu pikiran.

   "Bagaimana dengan menantu saya?"

   Tanyanya.

   "Sudahkah Anda sampaikan berita ini padanya? Saya dengar dia ada di Nice."

   "Tentu, Monsieur."

   Komisaris merasa ragu-ragu, lalu berkata dengan sangat berhati-hati.

   "Anda pasti tahu, M. Van Aldin, bahwa Tuan Kettering juga merupakan salah seorang penumpang Kereta Api Biru malam itu?"

   Jutawan itu mengangguk.

   "Saya baru mendengarnya waktu akan berangkat dari London,"

   Sahutnya tak acuh.

   "Dia mengatakan pada kami,"

   Sambung Komisaris.

   "bahwa dia tak tahu istrinya bepergian dengan kereta api itu juga."

   "Pasti dia berkata begitu,"

   Kata Van Aldin ketus.

   "Pasti akan merupakan suatu pukulan hebat baginya kalau dia bertemu dengan istrinya di situ."

   Ketiga orang yang lain memandangnya dengan penuh pertanyaan.

   "Saya tidak akan menyembunyikan apa-apa,"

   Kata Van Aldin.

   "Tak seorang pun tahu apa yang harus diderita oleh anakku yang malang itu. Derek Kettering tidak seorang diri. Dia bersama seorang wanita lain."

   "Oh?"

   "Mirelle -penari itu."

   M. Carrege dan Komisaris saling berpandangan dan mengangguk seolah-olah membenarkan suatu percakapan terdahulu. M. Carrege bersandar di kursinya, mempertemukan kedua belah telapak tangannya, dan menatap loteng.

   "Ah!"

   Katanya lagi.

   "Orang memang bertanya-tanya."

   Dia mendehem.

   "Orang memang sudah mendengar desas-desus itu."

   "Wanita itu sangat terkenal keburukannya,"

   Kata M. Caux.

   "Dan juga sangat mahal,"

   Gumam Poirot dengan suara halus. Wajah Van Aldin menjadi merah sekali. Dia bersandar ke depan lalu menghantam meja dengan tinjunya.

   "Dengar,"

   Serunya.

   "menantu saya itu memang bajingan betul!"

   Dia mendelik pada semua orang di situ satu demi satu.

   "Ah, entahlah,"

   Lanjutnya.

   "Tampan dan berpembawaan yang menarik serta santai. Saya sendiri pun pernah terpesona. Saya rasa dia berpura-pura patah hati waktu Anda menyampaikan berita itu padanya, ya -itu pun kalau dia memang belum tahu."

   "Berita itu memang mengejutkannya. Dia benar-benar terperanjat."

   "Anak muda munafik sialan,"

   Kata Van Aldin.

   "Pasti dia berpura-pura sedih sekali, ya?"

   "Ti -tidak,"

   Kata Komisaris dengan berhati-hati.

   "Saya tak bisa berkata begitu -bukan M. Carrege?"

   Jaksa mengatupkan jari-jari kedua belah tangannya, dan setengah menutup matanya.

   "Terpukul, terkejut, merasa ngeri -hal itu memang ya,"

   Dia mengatakan apa adanya.

   "Kesedihan yang dalam -tidak -saya tak bisa berkata begitu."

   Sekali lagi Hercule Poirot angkat bicara.

   "Izinkanlah saya bertanya, M. Van Aldin, apakah Tuan Kettering akan mendapatkan keuntungan dengan kematian istrinya?"

   "Dia akan mendapatkan beberapa juta,"

   Kata Van Aldin.

   "Dolar?"

   "Pound. Jumlah itu sudah saya berikan pada Ruth pada hari pernikahannya. Ruth tidak membuat surat wasiat dan tidak pula punya anak, maka uang itu akan jatuh pada suaminya."

   "Yang akan diceraikannya,"

   Gumam Poirot.

   "Ah -tepat sekali."

   Komisaris menoleh dan memandangnya dengan tajam.

   "Apakah maksud Anda -"

   Dia mulai.

   "Saya tidak bermaksud apa-apa,"

   Kata Poirot.

   "Saya menyusun fakta-fakta, itu saja."

   Van Aldin menatapnya dengan perhatian yang baru timbul. Pria kecil itu bangkit.

   "Saya rasa, saya tidak akan bisa membantu lagi, Tuan Hakim,"

   Katanya dengan hormat, sambil membungkuk pada M. Carrege.

   "Tentu Anda mau memberi tahu saya mengenai kejadian-kejadian selanjutnya, bukan?"

   "Tentu -pasti."

   Van Aldin juga bangkit.

   "Anda tidak membutuhkan saya lagi sekarang?"

   "Tidak, Monsieur, semua informasi yang kami butuhkan sementara ini sudah kami peroleh."

   "Kalau begitu saya ingin ikut M. Poirot sebentar. Kalau Anda tidak berkeberatan."

   "Senang sekali, Monsieur,"

   Kata pria kecil itu dengan membungkuk.

   Van Aldin menyalakan sebatang cerutu besar, setelah menawarkan sebatang pada Poirot.

   Poirot menolaknya lalu menyalakan sebatang rokoknya sendiri yang kecil.

   Sebagai seorang yang berwatak kuat, Van Aldin sudah kembali seperti biasa lagi.

   Setelah berjalan bersama beberapa saat tanpa berkata apa-apa, jutawan itu berkata.

   "Tadi Anda sudah mengatakan bahwa Anda tidak lagi memegang jabatan Anda bukan, M. Poirot?"

   "Benar, M. Van Aldin. Saya mau menikmati hidup."

   "Tapi Anda tetap mau membantu polisi dalam perkara ini?"

   "Monsieur, bila seorang dokter berjalan di jalan dan terjadi suatu kecelakaan, apakah dia akan berkata, 'Saya tidak lagi memegang jabatan saya, saya mau melanjutkan perjalanan saya,' padahal ada orang yang mengeluarkan darah sampai akan mati di kakinya? Seandainya saya sudah berada di Nice, dan polisi meminta saya datang dan meminta bantuan saya, saya akan menolaknya. Tapi peristiwa ini, rupanya sudah diperuntukkan Tuhan bagi saya."

   "Anda berada di tempat kejadian itu,"

   Kata Van Aldin merenung.

   "Adakah Anda memeriksa kamar di kereta api itu?"

   Poirot mengangguk.

   "Anda tentu menemukan hal-hal yang, katakanlah, memberi petunjuk pada Anda?"

   "Mungkin,"

   Kata Poirot.

   "Saya harap Anda mengerti ke mana arah pembicaraan saya,"

   Kata Van Aldin.

   "Kelihatannya perkara terhadap Count de la Roche itu sudah jelas sekali, tapi saya tidak bodoh. Selama jam terakhir ini saya memperhatikan Anda, dan saya menyadari bahwa berdasarkan alasan Anda sendiri, Anda tidak sependapat dengan teori itu."

   Poirot mengangkat bahunya.

   "Saya mungkin keliru."

   "Sekarang kita kembali pada soal bantuan yang saya harapkan dari Anda. Bersediakah Anda bertindak untuk saya dalam perkara ini?"

   "Untuk Anda, pribadi?"

   "Itulah maksud saya."

   Poirot diam beberapa lamanya. Kemudian dia berkata.

   "Apakah Anda menyadari apa yang Anda minta?"

   "Saya rasa begitu,"

   Kata Van Aldin.

   "Baiklah,"

   Kata Poirot.

   "Saya terima. Tapi dengan demikian saya harus mendapatkan jawaban-jawaban yang terus terang atas pertanyaan-pertanyaan saya."

   "Tentu saja. Saya mengerti."

   Sikap Poirot jadi berubah. Tiba-tiba dia jadi tegas dan praktis.

   "Soal perceraian itu,"

   Katanya.

   "Andalah yang menasihatkan agar putri Anda mengajukan permintaan itu, bukan?"

   "Ya."

   "Kapan?"

   "Kira-kira sepuluh hari yang lalu. Saya menerima surat darinya yang mengadu tentang ulah suaminya, dan saya tekankan padanya bahwa perceraianlah satu-satunya jalan ke luar."

   "Bagaimana sifat pengaduannya mengenai kelakuan suaminya?"

   "Orang melihatnya bergandengan terus dengan seorang wanita yang terkenal jahat itu -yang sudah kita bicarakan tadi -Mirelle."

   "Si penari itu. Ah -ha! Dan Nyonya Kettering keberatan. Apakah dia sangat cinta pada suaminya?"

   "Saya tak bisa berkata begitu,"

   Kata Van Aldin ragu.

   "Bukan hatinya yang luka, tapi kehormatannya -itukah yang akan Anda katakan?"

   "Ya, saya rasa bisa dikatakan begitu."

   "Saya dengar perkawinan itu tidak bahagia sejak awal, betulkah begitu?"

   "Derek Kettering itu memang benar-benar busuk,"

   Kata Van Aldin.

   "Dia tak bisa membahagiakan wanita mana pun juga."

   "Pokoknya dia itu orang jahat, begitu bukan?"

   Van Aldin mengangguk.

   "Tres bien! Anda menasihati putri Anda supaya minta cerai, dia setuju -lalu Anda membahasnya dengan penasihat hukum Anda. Kapan Tuan Kettering memperoleh kabar tentang rencana itu?"

   "Saya sendiri yang memanggilnya, dan menjelaskan tindakan apa yang akan saya ambil."

   "Lalu apa katanya?"

   Gumam Poirot perlahan. Wajah Van Aldin memerah mengingat peristiwa itu.

   "Dia kurang ajar sekali."

   "Maafkan saya bertanya, Monsieur, tapi adakah dia menyebut-nyebut Count de la Roche?"

   "Dia tidak menyebut nama,"

   Geram Van Aldin dengan enggan.

   "tapi dia menunjukkan sikap bahwa dia tahu tentang hal itu."

   "Kalau saya boleh bertanya, bagaimana keadaan keuangan Tuan Kettering sekarang ini?"

   "Bagaimana saya bisa tahu?"

   Kata Van Aldin setelah ragu-ragu sebentar.

   "Mungkin saja Anda mencari informasi tentang hal itu."

   "Yah -Anda memang benar, saya memang mencari informasi. Saya mendapat tahu bahwa hutangnya melilit pinggang."

   "Dan sekarang dia memperoleh warisan dua juta pound! La vie -aneh sekali perkara ini, ya?"

   Van Aldin menatapnya dengan tajam.

   "Apa maksud Anda?"

   "Saya berbicara tentang akhlak,"

   Kata Poirot.

   "Saya merenung, saya berbicara tentang falsafah. Tapi mari kita kembali pada soal pokok. Tuan Kettering tentu tak mau diceraikan tanpa perlawanan?"

   Beberapa saat lamanya Van Aldin tidak menjawab, lalu dia berkata.

   "Saya tak begitu tahu apa niatnya."

   "Apakah Anda mengadakan hubungan selanjutnya dengan dia?"

   Tak ada jawaban sejenak, kemudian dia baru berkata.

   "Tidak."

   Poirot menghentikan langkahnya, mengangkat topinya, lalu mengulurkan tangannya.

   "Saya harus mengucapkan selamat berpisah, Monsieur. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk Anda."

   "Apa maksud Anda?"

   Tanya Van Aldin marah.

   "Kalau Anda tidak mengatakan yang sebenarnya pada saya, maka saya tak bisa berbuat apa-apa untuk Anda."

   "Saya tak mengerti maksud Anda."

   "Saya rasa Anda mengerti. Anda harus yakin, M. Van Aldin, bahwa saya pandai menyimpan rahasia."

   "Baik, kalau begitu,"

   Kata jutawan itu.

   "Saya akui bahwa saya tadi tidak mengatakan yang sebenarnya. Saya memang mengadakan hubungan dengan menantu saya."

   "Lalu?"

   "Sebenarnya, saya mengirim sekretaris saya, Mayor Knighton untuk menjumpainya, dengan instruksi untuk menawarkan uang berjumlah seratus ribu pound kontan, bila perkara perceraian berjalan tanpa perlawanan dari pihaknya."

   "Besar sekali jumlah uang itu,"

   Kata Poirot menghargai.

   "lalu apa jawab menantu Anda itu?"

   "Dijawabnya bahwa saya boleh pergi ke neraka,"

   Sahut jutawan itu singkat.

   "Oh!"

   Kata Poirot. Dia sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Pada saat itu dia sedang sibuk menyusun fakta-fakta secara teratur.

   "Tuan Kettering mengatakan pada polisi bahwa dia tidak bertemu maupun berbicara dengan istrinya dalam perjalanannya dari Inggris. Apakah Anda percaya akan pernyataan itu, Monsieur?"

   "Saya percaya,"

   Kata Van Aldin.

   "Saya rasa dia akan berusaha keras untuk tidak bertemu dengan istrinya."

   "Mengapa?"

   "Karena dia bersama perempuan itu."

   "Mirelle?"

   "Ya."

   "Bagaimana Anda sampai tahu hal itu?"

   "Ada orang bayaran saya yang saya suruh mengawasinya, melaporkan pada saya bahwa mereka berdua berangkat dengan kereta api itu."

   "Saya mengerti,"

   Kata Poirot.

   "Dalam hal itu, seperti kata Anda tadi, tak mungkin dia berusaha untuk berhubungan dengan Nyonya Kettering."

   Pria kecil itu berdiam diri beberapa lama. Van Aldin tidak mengganggu renungannya. Bab 17 SEORANG PRIA BANGSAWAN "Pernahkah kau pergi ke Riviera, Georges?"

   Tanya Poirot pada pelayannya esok pagi. George adalah seorang Inggris sejati -pribadi yang berwajah agak kaku.

   "Pernah, Tuan. Dua tahun yang lalu saya kemari, waktu saya bekerja pada Lord Edward Frampton."

   "Dan hari ini,"

   Gumam majikannya.

   "kau berada di sini bersama Hercule Poirot. Suatu peningkatan yang hebat!"

   Pelayan itu tidak menjawab pernyataan itu. Setelah dirasanya sudah cukup lama berdiam diri, dia bertanya.

   "Stelan ber-kolber yang berwarna coklatkah, Tuan? Angin agak dingin hari ini."

   "Ada noda minyak di rompinya,"

   Poirot menyatakan keberatannya.

   "Sepotong daging goreng jatuh di bajuku itu waktu aku makan siang di Ritz hari Selasa yang lalu."

   "Sekarang tak ada lagi nodanya, Tuan,"

   Kata George memrotes.

   "Sudah saya bersihkan."

   "Tres bien!"

   Kata Poirot.

   "Aku senang dengan kau, Georges."

   "Terima kasih, Tuan."

   Mereka berdiaman, lalu Poirot menggumam sambil termangu.

   "Seandainya, Georges yang baik, seandainya saja kau dilahirkan dalam kedudukan sosial yang sama tingginya dengan almarhum majikanmu, Lord Edward Frampton -seandainya kau tidak mempunyai uang, menikah dengan seorang istri yang luar biasa kayanya, tapi istrimu itu lalu minta cerai darimu dengan alasan yang tepat, apa yang akan kaulakukan?"

   "Saya akan berusaha, Tuan,"

   Sahut George.

   "untuk membuatnya mengubah niatnya itu."

   "Dengan cara baik-baik atau cara paksa?"

   George tampak terkejut.

   "Maaf, Tuan,"

   Katanya.

   "tapi seorang pria bangsawan tidak akan berperilaku seperti seorang penjaja jalanan biasa. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang rendah."

   "Tidak ya, Georges? Aku jadi berpikir. Yah, mungkin kau benar."

   Terdengar pintu diketuk. George pergi ke pintu dan membukanya berhati-hati selebar satu atau dua inci. Terdengar percakapan dengan suara rendah, lalu pelayan itu kembali pada Poirot.

   "Ada surat, Tuan."

   Poirot mengambilnya. Surat itu dari M. Caux, komisaris polisi.

   "Kami akan menanyai Comte de la Roche. Bapak Hakim meminta agar Anda mau hadir."

   "Stelanku cepat, Georges! Aku harus bergegas."

   Seperempat jam kemudian, Poirot memasuki ruangan Jaksa Pemeriksa, dengan berpakaian stelan berwarna coklat lengkap dan rapi. M. Caux sudah ada di sana, dan baik dia maupun M. Carrege menyapanya dengan sopan santun.

   "Perkaranya agak melemahkan semangat,"

   Gumam M. Caux.

   "Rupanya Comte itu tiba di Nice sehari sebelum pembunuhan itu terjadi."

   "Bila itu benar, akan selesai dengan baiklah perkara itu bagi Anda,"

   Sahut Poirot. M. Carrege meneguk liurnya.

   "Kita tak bisa menerima alibinya itu begitu saja tanpa menanyai dengan teliti,"

   Katanya.

   Ditekannya bel di atas mejanya.

   Semenit kemudian seorang laki-laki jangkung berambut hitam, berpakaian sempurna, dengan air muka yang agak angkuh, memasuki ruangan itu.

   Comte itu tampak begitu ningrat, hingga akan sangatlah bertentangan rasanya bila dibisikkan bahwa ayahnya hanya seorang pedagang gandum yang tak dikenal di Nantes -hal mana memang suatu kenyataan.

   Bila melihat Comte itu, orang akan mau bersumpah bahwa tak terbilang banyaknya nenek moyangnya yang telah menjadi korban guillotine dalam Revolusi Prancis.

   "Inilah saya, Tuan-tuan,"

   Kata Comte itu dengan angkuh.

   "Bolehkah saya bertanya mengapa Anda ingin bertemu dengan saya?"

   "Silakan duduk, M. Comte,"

   Kata jaksa Pemeriksa dengan sopan.

   "Kami sedang menyelidiki perkara kematian Nyonya Kettering."

   "Kematian Nyonya Kettering? Saya tak mengerti."

   "Saya dengar Anda -ahem! -kenal baik dengan wanita itu, M. Comte?"

   "Tentu saya kenal dengan dia. Apa hubungannya dengan perkara ini?"

   Sambil memasang kaca di matanya, dia memandang berkeliling ruangan itu dengan dingin, pandangannya paling lama berhenti pada Poirot, yang menatapnya dengan rasa kagum yang polos dan terang-terangan, hingga membuat Comte yang perlente itu senang sekali.

   M.

   Carrege bersandar di kursinya dan meneguk liurnya.

   "Barangkali Anda tak tahu, M. Comte," -Dia berhenti sebentar.

   " -bahwa Nyonya Kettering itu terbunuh?"

   "Terbunuh? Mon Dieu, mengerikan sekali!� Rasa terkejut dan sedihnya dinyatakannya dengan demikian baiknya -demikian baiknya, hingga kelihatan tulus dan wajar.

   "Nyonya Kettering dijerat lehernya antara Paris dan Lyons,"

   M. Carrege melanjutkan.

   "dan barang-barang perhiasannya dicuri."

   "Sungguh kejam!"

   Seru Comte hangat.

   "Polisi harus berbuat sesuatu terhadap bandit-bandit kereta api itu. Tak ada seorang pun yang aman, zaman sekarang ini."

   "Dalam tas tangan nyonya itu,"

   Sambung Hakim.

   "kami menemukan sepucuk surat dari Anda kepadanya. Agaknya dia telah mengatur suatu pertemuan dengan Anda."

   Comte itu mengangkat bahunya dan merentangkan kedua belah tangannya.

   "Untuk apa disembunyikan,"

   Katanya berterus terang.

   "Bukankah kita sama-sama laki-laki. Secara pribadi dan di antara kita, saya akui hubungan itu."

   "Apakah Anda bertemu dengannya di Paris lalu pergi bersamanya?"

   Tanya M. Carrege.

   "Itu rencana semula, tapi diubah atas keinginan nyonya itu sendiri. Saya harus menemuinya di Hyeres."

   "Tidakkah Anda menemuinya di kereta api di Gare de Lyon pada malam hari tanggal empat belas?"

   "Sebaliknya, saya tiba di Nice pada pagi hari itu, jadi apa yang Anda katakan itu tak mungkin."

   "Memang begitu, memang begitu,"

   Kata M. Carrege.

   "Sekedar memenuhi formalitas, mungkin Anda bisa menerangkan gerak-gerik Anda pada malam hari sampai tengah malam tanggal empat belas itu."

   Comte itu merenung sebentar.

   "Saya makan malam di Monte Carlo di Cafe de Paris. Setelah itu saya pergi ke tempat perjudian Le Sporting. Saya menang beberapa ribu franc."

   Dia mengangkat pundaknya.

   "Saya pulang mungkin jam satu."

   "Maafkan saya, Monsieur, bagaimana Anda pulang?"

   "Naik mobil saya sendiri."

   "Tak adakah orang lain bersama Anda?"

   "Tak ada."

   "Dapatkah Anda memberikan saksi dalam menunjang pernyataan itu?"

   "Banyak teman saya yang pasti melihat saya malam itu, di sana. Saya makan seorang diri."

   "Apakah pembantu Anda membukakan Anda pintu waktu Anda kembali di vila Anda?"

   "Saya masuk sendiri dengan kunci saya sendiri."

   "Oh!"

   Gumam Jaksa. Dia menekan bel di mejanya lagi. Pintu terbuka dan seorang pesuruh masuk.

   "Bawa pelayan wanita itu masuk,"

   Kata M. Carrege.

   "Baik, Bapak Hakim."

   Mason dibawa masuk.

   "Tolong, Nona lihat pria ini. Menurut ingatan Anda yang sebaik-baiknya, apakah dia yang memasuki kamar majikan Anda di kereta api di Paris?"

   Wanita itu memandang lama dan teliti pada Comte itu. Menurut penglihatan Poirot, Comte itu gelisah ditatap begitu.

   "Saya tak bisa memastikannya, Tuan, saya yakin saya tak bisa mengatakan dengan pasti,"

   Kata Mason akhirnya.

   "Mungkin ya dan mungkin bukan. Mengingat saya hanya melihat belakangnya saja, sulit untuk mengatakannya. Saya rasa dialah pria itu."

   "Tapi Anda tak yakin?"

   "Tidak -,"

   Kata Mason dengan enggan.

   "ti -tidak, saya tak yakin."

   "Pernahkah Anda melihat tuan ini di Curzon Street?"

   Mason menggeleng.

   "Saya tak mungkin melihat seorang pun tamu yang datang di Curzon Street,"

   Dia menerangkan.

   "kecuali kalau mereka menginap di rumah itu."

   "Baiklah, cukup,"

   Kata Jaksa dengan tajam. Jelas kelihatan bahwa dia kecewa.

   "Sebentar,"

   Kata Poirot.

   "Kalau boleh saya ingin mengajukan satu pertanyaan pada Nona?"

   "Silakan, M. Poirot -tentu saja boleh."

   Poirot menanyai pelayan itu.

   "Bagaimana dengan karcis-karcis kereta api?"

   "Karcis, Tuan?"

   "Ya, karcis dari London ke Nice. Apakah Anda atau majikan Anda yang memegangnya?"

   "Nyonya memegang karcis Pullman-nya sendiri, Tuan, yang lain ada pada saya."

   "Diapakan karcis-karcis itu?"

   "Saya serahkan pada kondektur dari kereta api Prancis itu, Tuan. Katanya memang biasanya begitu. Saya harap saya tidak berbuat salah, Tuan?"

   "Oh benar, benar sekali. Sekedar ingin tahu secara terperinci."

   Baik M.

   Caux maupun Jaksa Pemeriksa memandang Poirot dengan rasa ingin tahu.

   Beberapa saat lamanya Mason berdiri tanpa tahu harus berbuat apa, lalu Jaksa mengangguk singkat tanda dia boleh pergi dan dia keluar.

   Poirot menuliskan sesuatu pada secarik kertas lalu memberikannya pada M.

   Carrege yang duduk di seberangnya.

   M.

   Carrege membacanya dan kerut alisnya hilang.

   "Bagaimana, Tuan-tuan,"

   Tanya Comte dengan angkuh.

   "apakah saya akan ditahan lebih lama?"

   "Pasti tidak, tentu tidak,"

   Kata M. Carrege buru-buru dan ramah sekali.

   "Sekarang semuanya sudah jelas mengenai kedudukan Anda dalam peristiwa ini. Mengingat surat Anda pada Nyonya itu, tentulah kami tadi harus menanyai Anda."

   Comte itu bangkit, mengambil tongkatnya yang bagus dari sudut, lalu meninggalkan ruangan itu dengan anggukan singkat.

   "Yah, begitulah,"

   Kata M. Carrege.

   "Anda benar, M. Poirot -lebih baik membiarkan dia merasa bahwa dia tidak dicurigai. Dua orang anak buah saya akan membayang-bayanginya siang-malam, dan sementara itu kita akan menyelidiki tentang kebenaran alibinya. Saya lihat agaknya -kurang meyakinkan."

   "Mungkin,"

   Poirot membenarkan dengan merenung.

   "Saya telah meminta Tuan Kettering untuk datang kemari pagi ini,"

   Sambung jaksa.

   "meskipun sebenarnya saya meragukan apakah akan banyak yang kita dapat darinya. Tapi ada satu-dua keadaan yang mencurigakan -"

   Dia berhenti sebentar sambil menggosok-gosok hidungnya.

   "Umpamanya?"

   Tanya Poirot.

   "Yah,"

   Jaksa mendehem -"wanita itu, yang dikatakan bepergian bersama dia -Nona Mirelle. Dia menginap di sebuah hotel dan Tuan Kettering di hotel lain. Rasanya -eh -agak aneh."

   "Kelihatannya,"

   Kata M. Caux.

   "mereka itu waspada."

   "Tepat,"

   Kata M. Carrege dengan sikap kemenangan.

   "Lalu terhadap apa mereka harus waspada?"

   "Kewaspadaan yang berlebihan mencurigakan, bukan?"

   Kata Poirot.

   "Benar."

   "Saya rasa,"

   Gumam Poirot.

   "kita menanyakan beberapa pertanyaan pada Tuan Kettering."

   Jaksa memberikan perintah-perintah. Sebentar kemudian, Derek Kettering dengan riang sebagaimana biasanya, memasuki ruangan.

   "Selamat pagi, Monsieur,"

   Kata Hakim dengan hormat.

   "Selamat pagi,"

   Kata Derek Kettering singkat.

   "Anda menyuruh saya datang. Adakah perkembangan baru?"

   "Silakan duduk, Monsieur."

   Derek duduk dan melemparkan topi dan tongkatnya ke atas meja.

   "Bagaimana?"

   Tanyanya tak sabar.

   "Sampai sekarang kami belum mendapatkan petunjuk-petunjuk baru,"

   Kata M. Carrege berhati-hati.

   "Menarik sekali,"

   Kata Derek datar.

   "Apakah Anda suruh saya kemari hanya untuk mengatakan itu?"

   "Kami pikir, Monsieur, bahwa Anda tentu ingin diberi tahu tentang kemajuan perkara ini,"

   Kata Jaksa agak marah.

   "Meskipun kemajuan itu tak ada."

   "Kami juga ingin menanyakan beberapa hal."

   "Tanya saja."

   "Anda yakin bahwa Anda tidak bertemu maupun berbicara dengan istri Anda di kereta api."

   "Itu sudah saya jawab. Tidak."

   "Anda tentu punya alasan."

   Derek menatapnya dengan curiga.

   "Saya -tak -tahu -dia -ada -di -kereta api -itu,"

   Dijelaskannya dengan memberi jarak yang jelas pada setiap kata, seolah-olah dia berbicara dengan orang yang bodoh.

   "Itu kata Anda, memang."

   Kata M. Carrege. Wajah Derek berkerut dengan cepat.

   "Saya ingin tahu ke mana arah pembicaraan Anda. Tahukah Anda apa yang saya pikir, M. Carrege?"

   "Apa yang Anda pikir, Monsieur?"

   "Saya pikir polisi di Prancis ini jauh ketinggalan. Anda seharusnya sudah mempunyai petunjuk mengenai perampok-perampok kereta api ini. Sungguh keterlaluan bahwa hal seperti itu sampai bisa terjadi di kereta api semewah itu, dan bahwa polisi Prancis tak berdaya dalam menangani soal itu."

   "Kami sedang menanganinya, Monsieur, jangan kuatir."

   "Saya dengar Nyonya Kettering tidak meninggalkan surat wasiat,"

   Sela Poirot tiba-tiba. Ujung-ujung jarinya dipertemukannya dan dia memandang lekat ke loteng.

   "Saya rasa dia tak pernah membuatnya,"

   Kata Kettering.

   "Mengapa?"

   "Besar juga harta yang Anda warisi, bukan?"

   Kata Poirot.

   "Benar-benar besar."

   Meskipun matanya menatap loteng, dia bisa melihat betapa marahnya wajah Derek Kettering.

   "Apa maksud Anda, dan siapa Anda?"

   Poirot dengan halus melepaskan lututnya yang tertumpu, mengalihkan pandangannya dari loteng, dan memandang laki-laki muda itu tepat-tepat.

   "Nama saya Hercule Poirot,"

   Katanya dengan tenang.

   "dan saya mungkin detektif yang terbesar di dunia. Yakinkah Anda bahwa Anda tidak bertemu atau bercakap-cakap dengan istri Anda di kereta api itu?"

   "Apa maksud kata-kata Anda? Apakah -apakah Anda menyindir bahwa saya -saya yang membunuhnya?"

   Dia tiba-tiba tertawa.

   "Saya tak boleh menjadi marah -ini jelas-jelas tak masuk akal. Bila saya membunuhnya, saya tidak akan perlu mencuri barang-barang perhiasannya, bukan?"

   "Itu benar,"

   Gumam Poirot, dengan sikap agak kecewa.

   "Saya tidak terpikir akan hal itu."

   "Kalau ada suatu perkara pembunuhan dan perampokan yang sudah jelas, inilah dia,"

   Kata Derek Kettering.

   "Kasihan Ruth, permata-permata delima terkutuk itulah yang menjadi gara-gara. Pasti karena dia memilikinya. Saya rasa sebelum ini pun sudah ada pula pembunuhan gara-gara permata-permata itu."

   Tiba-tiba Poirot duduk tegak. Warna hijau yang samar-samar berkilat di matanya. Dia benar-benar kelihatan seperti seekor kucing cerdik yang cukup makan.

   "Satu lagi pertanyaan, M. Kettering,"

   Katanya.

   "Dapatkah Anda memberitahukan tanggal berapa Anda terakhir bertemu dengan istri Anda?"

   "Coba saya ingat-ingat,"

   Kettering merenung.

   "Mestinya -ya lebih dari tiga minggu yang lalu. Sayang saya tak bisa memberikan tanggal pastinya."

   "Tak mengapa,"

   Kata Poirot datar.

   "hanya itu yang ingin saya ketahui."

   "Nah,"

   Kata Derek Kettering tak sabar.

   "ada lagi?"

   Dia melihat ke arah M. Carrege. Yang tersebut terakhir ini, seolah mencari ilham dari M. Poirot, dan isyarat yang diterimanya adalah gelengan kepala yang tak jelas.

   "Tidak ada lagi, M. Kettering,"

   Katanya dengan sopan.

   "Saya rasa kami tak perlu mengganggu Anda lebih lama lagi. Selamat pagi."

   "Selamat pagi,"

   Kata Kettering. Dia keluar sambil membanting pintu. Poirot bersandar ke depan dan berbicara dengan tajam, segera setelah pria muda itu keluar dari ruangan itu.

   "Tolong katakan,"

   Katanya dengan tegas.

   "kapan Anda katakan tentang batu delima itu pada M. Kettering?"

   "Saya tidak mengatakannya,"

   Kata M. Carrege.

   "Baru kemarin petang kita mendengarnya dari M. Van Aldin."

   "Ya, tapi dalam surat Comte ada disebut tentang batu-batu itu."

   M. Carrege kelihatan murung.

   "Saya sama sekali tidak mengatakan tentang surat itu pada M. Kettering,"

   Katanya dengan nada tersinggung.

   "Dalam perkembangan perkara seperti sekarang ini, perbuatan seperti itu amat sembrono namanya."

   Poirot membungkuk dan mengetuk-ngetuk meja.

   "Lalu bagaimana dia sampai tahu tentang permata-permata itu?"

   Tanyanya dengan suara halus.

   "Istrinya tak mungkin menceritakannya padanya, karena mereka sudah tiga minggu tak saling bertemu. Rasanya tak mungkin Van Aldin atau sekretarisnya yang menceritakannya -percakapan mereka dengannya adalah mengenai hal yang lain sekali, sedang dalam surat-surat kabar tak pula ada berita tentang barang-barang itu."

   Dia bangkit lalu mengambil topi dan tongkatnya.

   "Tapi,"

   Gumamnya pada dirinya sendiri.

   "laki-laki itu tahu semua tentang hal itu. Aku jadi ingin tahu, ya, aku ingin tahu!"

   Bab 18 DEREK MAKAN SIANG Derek langsung pergi ke Negresco, di mana dia memesan beberapa gelas cocktail dan menghabiskannya cepat -lalu dia menatap dengan rasa tak senang, jauh ke laut yang biru berkilau.

   Orang-orang yang lalu-lalang hanya dilihatnya tanpa kesadaran -orang-orang yang membosankan, berpakaian buruk, dan sama sekali tak menarik; sulit benar akan melihat sesuatu yang bagus sekarang ini.

   Tetapi dia lalu cepat-cepat mengubah kesannya yang terakhir itu, waktu seorang wanita mengambil tempat duduk agak jauh dari dia.

   Wanita itu memakai baju yang bagus sekali, berwarna jingga dan hitam, dan sebuah topi kecil yang melindungi wajahnya.

   Derek memesan cocktail untuk ketiga kalinya; dia menatap ke laut lagi, lalu dia tiba-tiba terkejut.

   Bau wangi-wangian yang dikenalnya tercium oleh hidungnya, dan dia mengangkat mukanya dan terlihatlah olehnya wanita yang berbaju jingga dan hitam itu berdiri di sampingnya.

   Kemudian dia melihat wajahnya, dan mengenalinya.

   Dia adalah Mirelle.

   Senyumnya menantang dan menggoda seperti yang biasa dikenalnya.

   "Derek!"

   Serunya.

   "Senangkah kau bertemu denganku, atau tidak?"

   Dia duduk di kursi di seberang Derek.

   "Sambutlah aku dengan baik-baik, Orang bodoh,"

   Oloknya.

   "Sungguh tak disangka kesenangan ini,"

   Kata Derek.

   "Kapan kau datang dari London?"

   Wanita itu mengangkat bahunya.

   "Satu atau dua hari yang lalu."

   "Lalu bagaimana dengan Parthenon?"

   "Aku telah meninggalkannya!"

   "Begitukah?"

   "Kau tidak begitu ramah, Derek."

   "Apakah aku harus begitu?"

   Mirelle menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya beberapa lamanya baru berkata.

   "Mungkin kau berpikir bahwa aku kurang berhati-hati, karena kejadian itu masih terlalu baru?"

   Derek menatapnya lalu mengangkat bahunya dan bertanya dengan nada resmi.

   "Apakah kau akan makan di sini?"

   "Tentu saja. Aku akan makan bersamamu."

   "Menyesal sekali,"

   Kata Derek.

   "aku ada janji yang penting sekali."

   "Mon Dieu! Kalian laki-laki ini seperti anak-anak saja,"

   Seru penari itu.

   "Sungguh, tindakanmu terhadapku seperti anak manja saja -sejak hari itu, waktu kau lari meninggalkan flatku, Perajuk. Ah! Tak baik begitu!"

   "Anak manis,"

   Kata Derek.

   "aku benar-benar tak tahu apa yang kaubicarakan itu. Di London waktu itu kita sependapat bahwa tikus-tikus pasti meninggalkan kapal yang akan tenggelam, hanya itu yang bisa kukatakan."

   Kata-katanya memang seenaknya saja, tetapi wajahnya tampak letih dan tegang. Mirelle tiba-tiba menyandarkan tubuhnya ke meja.

   "Kau tak bisa membohongi aku,"

   Gumamnya.

   "Aku tahu -sungguh, aku tahu apa yang telah kaulakukan demi aku."

   Derek tiba-tiba mendongak memandangnya dengan tajam. Sesuatu dalam suara Mirelle menarik perhatiannya. Wanita itu mengangguk padanya.

   "Ah! tak usah takut -aku pandai menyimpan rahasia. Kau memang hebat! Keberanianmu luar biasa, tapi, walau bagaimanapun akulah yang memberimu gagasan hari itu, waktu kukatakan di London bahwa kadang-kadang kecelakaan terjadi. Lalu tidakkah kau berada dalam bahaya? Tidakkah polisi mencurigaimu?"

   "Setan, apa?"

   "Hush!"

   Diangkatnya tangannya yang kecil berwarna putih kuning dengan sebuah permata zamrud di jari kelingkingnya.

   "Kau benar, seharusnya aku tidak berbicara begini di tempat umum. Kita tidak akan membicarakan soal itu lagi, tapi kesulitan-kesulitan kita sudah berakhir -hidup kita berdua akan manis sekali -manis!"

   Tiba-tiba Derek tertawa -tawanya keras dan sumbang.

   "Jadi tikus-tikusnya rupanya kembali, ya? Dua juta memang bisa mengubah keadaan -tentu bisa. Aku seharusnya tahu itu."

   Dia tertawa lagi.

   "Kau ingin membantuku menghabiskan yang dua juta itu bukan, Mirelle? Kau memang tahu caranya, tak ada perempuan yang lebih pandai."

   Dia tertawa lagi.

   "Hush!"

   Seru penari itu.

   "Apa-apaan kau ini, Derek. Lihat -orang-orang menoleh ke arah kita."

   "Ada apa denganku? Akan kuceritakan soalnya. Aku sudah putus dengan kau, Mirelle. Kau dengar itu? Putus!"

   Mirelle tidak menyambutnya seperti yang diharapkan Derek. Mirelle memandangnya beberapa lamanya, lalu tersenyum lembut.

   "Benar-benar seperti anak kecil! Kau marah -kau jengkel, dan itu semua karena aku bersikap praktis. Tidakkah aku selalu berkata bahwa aku memujamu?"

   Dia membungkukkan tubuhnya ke arah Derek.

   "Tapi aku kenal betul padamu, Derek. Pandanglah aku -lihat ini, Mirelle yang berbicara denganmu ini. Kau tak bisa hidup tanpa dia, kau tahu itu. Aku pernah mencintaimu, kini aku akan mencintaimu seratus kali lipat. Akan kubuat hidup ini indah bagimu -indah sekali. Tak ada seorang pun seperti Mirelle."

   Ditatapnya mata Derek dengan tatapan membara. Dilihatnya Derek menjadi pucat dan menahan napasnya, dan dia tersenyum dengan perasaan puas. Dia yakin akan daya tarik dan kekuatannya sendiri terhadap laki-laki.

   "Nah, beres sudah,"

   Katanya lembut, dan tertawa kecil.

   "Sekarang, maukah kau mengajakku makan siang, Derek?"

   "Tidak."

   Dia menahan napasnya lalu bangkit.

   "Maaf, tapi sudah kukatakan tadi -aku ada janji."

   "Kau makan siang dengan orang lain? Bah! Aku tak percaya."

   "Aku akan makan dengan wanita yang di sana itu."

   Dia tiba-tiba menyeberang ke arah seorang wanita yang berbaju putih, yang baru saja menaiki tangga. Dia berbicara dengan wanita itu dengan agak terengah.

   "Nona Grey, maukah Anda -sudikah Anda makan siang dengan saya? Kita sudah bertemu di tempat Lady Tamplin, Anda ingat, bukan?"

   Beberapa saat lamanya Katherine memandanginya dengan matanya yang abu-abu, yang merenung dan penuh arti.

   "Terima kasih,"

   Katanya, setelah berdiam diri beberapa lamanya.

   "saya suka sekali."

   Bab 19 TAMU YANG TAK DIHARAPKAN Comte de la Roche baru saja selesai makan siang.

   Sambil menyeka halus kumisnya yang hitam dan bagus dengan serbet, Comte bangkit.

   Dia melewati ruang tamu vila itu, sambil lalu melihat dengan rasa kagum pada beberapa barang seni yang berserakan sembarang saja.

   Botol sirup dari zaman Louis XV, sepatu satin yang pernah dipakai Marie Antoinette, dan barang-barang kecil lain yang merupakan bagian dari hiasan rumah Comte itu.

   Kepada para tamunya, dia akan menerangkan bahwa barang-barang itu adalah barang-barang warisan keluarganya.

   Sambil berjalan terus ke teras, Comte memandang jauh ke Laut Mediterania tanpa melihat apa-apa.

   Suatu rencana yang sudah dimatangkannya benar-benar telah dikacaukan sama sekali, dan dia harus membuat rencana baru lagi.

   Sambil meregangkan tubuhnya di sebuah kursi rotan, dan memegang sebatang rokok di jarinya yang putih, Comte berpikir dalam-dalam.

   Lalu Hipolyte, pelayannya yang laki-laki, membawakannya kopi dan beberapa macam minuman beralkohol.

   Comte itu memilih brendi tua yang enak sekali.

   Waktu pelayan itu bersiap-siap akan pergi, Comte itu menahannya dengan isyarat kecil.

   Hipolyte berdiri menunggu perintah dengan hormat.

   Wajahnya tidak menarik, tetapi sikapnya yang tak bercacat menutupi kekurangan itu, bahkan lebih dari itu.

   Dia kini merupakan tokoh yang penuh perhatian dan hormat.

   "Ada kemungkinan,"

   Kata Comte.

   "bahwa dalam beberapa hari ini, beberapa orang yang tak dikenal akan datang kemari. Mereka akan berusaha mengorek berita dari kau dan Marie. Mereka mungkin akan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai diriku."

   "Ya, Monsieur Comte."

   "Atau sudahkah hal itu terjadi?"

   "Belum, Monsieur Comte."

   "Tak adakah orang-orang yang tak dikenal di sekitar tempat ini. Yakinkah kau?"

   "Tak ada seorang pun, Monsieur Comte."

   "Baiklah,"

   Kata Comte itu datar.

   "tapi mereka akan datang -aku yakin. Mereka akan bertanya-tanya."

   Hipolyte memandang majikannya dengan pandangan yang membayangkan kecerdasan. Comte berbicara lambat tanpa melihat pada Hipolyte.

   "Kau tahu bahwa aku tiba di sini Selasa pagi yang lalu. Sekiranya polisi atau orang-orang lain yang bertanya, jangan lupakan itu. Aku tiba pada hari Selasa, tanggal empat belas -bukan pada hari Rabu tanggal lima belas. Mengerti?"

   "Mengerti, Monsieur Comte."

   "Dalam perkara yang melibatkan seorang wanita, kita perlu pandai memegang rahasia. Aku yakin, Hipolyte, bahwa kau pandai menyimpan rahasia."

   "Saya bisa menyimpan rahasia, Monsieur."

   "Bagaimana dengan Marie?"

   "Marie juga. Saya yang akan menjawab untuknya."

   "Baiklah kalau begitu,"

   Gumam Comte itu.

   Setelah Hipolyte mengundurkan diri, Comte itu menghirup kopi hitamnya sambil termangu.

   Sekali-sekali dia mengerutkan alisnya, sekali dia menggeleng sedikit, dua kali dia mengangguk.

   Di tengah-tengah renungannya itu Hipolyte datang sekali lagi.

   "Seorang nyonya, Monsieur."

   "Seorang wanita?"

   Comte itu merasa heran. Bukan karena suatu kunjungan seorang wanita merupakan hal yang luar biasa di Vila Marina, tapi pada saat yang istimewa ini, Comte itu tak bisa memikirkan siapa gerangan wanita itu.

   "Saya rasa, Anda tak kenal pada nyonya itu, Monsieur,"

   Kata pelayan itu membantunya. Comte itu jadi makin kebingungan.

   "Antar dia kemari, Hipolyte,"

   Perintahnya. Sesaat kemudian sesosok tubuh yang indah sekali dengan berbaju hitam bercampur jingga, melangkah ke teras, diiringi oleh bau wangi-wangian tajam dari bunga-bunga yang luar biasa.

   "Monsieur Comte de la Roche?"

   "Siap membantu Anda, Nona,"

   Kata Comte itu, sambil membungkuk.

   "Nama saya Mirelle. Anda mungkin pernah mendengar tentang saya."

   "Oh, tentu Nona, siapa orangnya yang tak terpesona oleh tarian Nona Mirelle? Luar biasa!"

   Penari itu menerima baik pujian itu dengan senyum singkat yang tak disadarinya.

   "Kedatangan saya kemari ini tak pada tempatnya,"

   Dia memulai.

   "Silakan duduk, silakan, Nona,"

   Seru Comte, sambil menyodorkan sebuah kursi.

   Di balik sikap jantannya yang halus itu, dia meneliti wanita itu baik-baik.

   Sedikit sekali hal-hal yang tidak diketahui Comte mengenai wanita.

   Memang benar, pengalamannya tidak banyak berhubungan dengan wanita-wanita yang segolongan dengan Mirelle, yaitu golongan yang suka menggaruk kekayaan.

   Jadi dia dan penari itu setali tiga uang saja dalam hal itu.

   Comte itu tahu bahwa keahliannya menggaruk tidak akan bisa berlaku atas diri wanita seperti Mirelle.

   Apalagi wanita itu adalah orang Paris dalam arti sebenarnya pula.

   Namun demikian ada satu hal yang bisa dilihat Comte itu dengan jelas waktu dia melihat wanita itu.

   Dia segera tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sedang marah sekali, dan dia tahu betul bahwa seorang wanita yang sedang marah, selalu berkata-kata tanpa waspada, dan sering merupakan suatu sumber yang menguntungkan bagi seorang pria yang berpikir sehat dan tetap tenang.

   "Anda baik sekali, Nona, memberikan kehormatan pada pondok saya yang buruk ini."

   "Ada beberapa orang yang merupakan teman Anda dan teman saya pula di Paris,"

   Kata Mirelle.

   "Saya mendengar tentang Anda dari mereka, tapi hari ini saya datang menjumpai Anda dengan alasan lain. Saya mendengar tentang Anda sejak saya datang di Nice -dengan cara yang lain, itu perlu Anda ketahui."

   "Oh?"

   Kata Comte itu datar.

   "Saya akan berterus terang,"

   Sambung penari itu.

   "tapi yakinlah bahwa hal itu adalah demi kepentingan Anda. Orang-orang di Nice, Monsieur Comte, mengatakan bahwa Andalah pembunuh wanita Inggris itu, Nyonya Kettering."

   "Saya! Pembunuh Nyonya Kettering? Bah! Sungguh tak masuk akal!"

   Comte berbicara dengan lemah tidak berapi-api, karena dia tahu bahwa dengan demikian dia akan lebih memberinya semangat.

   "Sungguh,"

   Katanya bertahan.

   "seperti yang saya katakan."

   "Orang memang senang ngoceh."

   Gumam Comte itu tak acuh.

   "Aku terlalu tinggi untuk mengacuhkan tuduhan liar seperti itu."

   "Anda tak mengerti."

   Mirelle membungkuk -matanya yang hidup, berapi-api.

   "Itu bukan ocehan iseng orang sembarangan. Melainkan polisi."

   "Polisi -ya?"

   Comte lalu duduk tegak, dia jadi waspada. Mirelle mengangguk kuat-kuat beberapa kali.

   "Ya, ya. Anda mengerti kata-kata saya -saya punya teman di mana-mana. Kepala Polisi sendiri -"

   Kalimat itu tak diselesaikannya, dan dia mengangkat bahunya dengan gaya.

   "Siapa yang akan tahan menyimpan rahasia terhadap seorang wanita cantik?"

   Gumam Comte dengan sopan.

   "Polisi percaya bahwa Anda yang membunuh Nyonya Kettering. Tapi mereka keliru."

   "Tentu mereka keliru,"

   Comte itu membenarkan seenaknya.

   "Anda berkata begitu, tapi Anda tak tahu yang sebenarnya. Saya tahu."

   Comte memandangnya dengan rasa ingin tahu.

   "Anda tahu siapa yang membunuh Nyonya Kettering. Itukah yang ingin Anda katakan, Nona?"

   Mirelle mengangguk dengan bersemangat.

   "Ya."

   "Siapa dia?"

   Tanya Comte dengan tajam.

   "Suaminya."

   Dia membungkuk lebih jauh ke arah Comte, dan berbicara dengan suara rendah yang bergetar karena marah dan kacau.

   "Suaminyalah yang membunuhnya."

   Comte bersandar di kursinya. Wajahnya seolah-olah ditutupi kedok.

   "Boleh saya bertanya, Nona -bagaimana Anda sampai tahu?"

   "Bagaimana saya tahu?"

   Mirelle melompat berdiri, sambil tertawa.

   "Dia telah menggembar-gemborkannya lebih dulu. Hidupnya hancur, dia bangkrut, kehilangan kehormatan. Hanya kematian istrinya yang mampu menyelamatkannya. Begitu katanya pada saya. Dia bepergian dengan kereta api yang sama -tapi istrinya tak boleh tahu. Mengapa begitu, coba Anda jawab? Supaya dia bisa menyelinap dan menyerangnya malam hari -Ah!"

   Dia mengatupkan matanya.

   "Saya bisa melihat bagaimana kejadiannya."

   Comte mendehem.

   "Mungkin -mungkin,"

   Gumamnya.

   "Tapi, Nona, dalam hal itu dia tentu tidak akan mencuri perhiasan-perhiasannya, bukan?"

   "Perhiasan-perhiasan!"

   Desah Mirelle.

   "Perhiasan-perhiasan. Oh! Batu-batu delima itu...."

   Matanya jadi berkaca-kaca, dia merenung jauh. Comte memandangnya dengan rasa ingin tahu, dan berpikir untuk keseratus kalinya betapa besarnya pengaruh batu-batu berharga bagi kaum wanita. Kemudian dia mengingatkannya akan hal-hal yang praktis.

   "Apa yang Anda ingini supaya saya lakukan, Nona?"

   Mirelle lalu menjadi waspada dan praktis lagi.

   "Sederhana sekali. Anda harus mendatangi polisi. Anda harus mengatakan pada mereka bahwa M. Kettering yang telah melakukan pembunuhan itu."

   "Dan kalau mereka tak percaya pada saya? Kalau mereka minta bukti?"

   Dia memandang wanita itu dengan teliti. Mirelle tertawa perlahan, dan merapatkan roknya yang berwarna jingga bercampur hitam itu.

   "Suruh mereka menghubungi saya, M. Comte,"

   Katanya lembut.

   "Saya akan memberikan bukti yang mereka ingini."

   Setelah itu dia pergi, bagai angin puyuh yang pesat, setelah merasa menyelesaikan tugasnya. Comte itu memandanginya dari belakang, alisnya agak terangkat.

   "Orang itu benar-benar marah,"

   Gumamnya.

   "Apa gerangan yang telah terjadi, yang membuatnya gusar seperti itu? Tapi dia terlalu blak-blakan. Apakah dia yakin benar bahwa Tuan Kettering telah membunuh istrinya? Dia ingin aku mempercayainya. Dia bahkan ingin polisi mempercayainya."

   Dia tersenyum sendiri.

   Dia sama sekali tak punya niat untuk mendatangi polisi.

   Dia melihat beberapa kemungkinan lain -kalau dilihat dari senyumnya, semua kemungkinan itu memberikan harapan baik.

   Tetapi kemudian dahinya seakan-akan disaput awan.

   Menurut kata Mirelle, dia dicurigai polisi.

   Hal itu mungkin benar, mungkin pula tak benar.

   Seorang wanita yang sedang marah seperti penari itu, tak mungkin peduli tentang kebenaran pernyataan-pernyataannya.

   Sebaliknya, wanita itu mungkin dengan mudah memperoleh informasi dari dalam.

   Dalam hal itu -mulutnya dikatupkannya rapat-rapat -dalam hal itu dia harus waspada.

   Dia masuk ke rumah dan menanyai Hipolyte sekali lagi dengan bersungguh-sungguh, apakah ada orang yang tak dikenal datang.

   Pelayan itu benar-benar yakin bahwa tidak demikian halnya.

   Comte lalu naik ke kamar tidurnya dan menyeberang ke sebuah meja tulis tua yang tersandar pada dinding.

   Alas meja itu diturunkannya, dan jari-jarinya yang halus mencari sebuah tombol di belakang salah sebuah lubang pada dinding.

   Sebuah laci rahasia terlompat ke luar -di dalamnya terdapat sebuah bungkusan kecil yang terbungkus kertas berwarna coklat.

   Comte mengeluarkannya, lalu menimang-nimangnya di tangan dengan berhati-hati beberapa lama.

   Dia lalu mengangkat tangannya ke kepala, lalu ditarik sehelai rambutnya dengan menggerenyit kesakitan.

   Rambut itu ditaruhnya di bibir laci lalu ditutupnya berhati-hati.

   Sambil tetap membawa bungkusan kecil itu di tangan, dia turun ke lantai bawah lalu keluar rumah -ke garasi, di mana terdapat sebuah mobil kecil berwarna merah tua.

   Sepuluh menit kemudian dia sudah berada dalam perjalanan ke Monte Carlo.

   Beberapa jam dihabiskannya di kasino, lalu dia pergi lagi ke kota.

   Kemudian dia masuk kembali ke mobilnya dan melarikannya ke arah Mentone.

   Agak awal petang tadi dia telah melihat sebuah mobil berwarna abu-abu yang tak menyolok, berjarak beberapa jauhnya di belakangnya.

   Kini mobil itu dilihatnya lagi.

   Dia tersenyum sendiri.

   Jalan menanjak terus.

   Comte menekankan kakinya kuat-kuat pada pedal gas.

   Mobil merah kecil itu telah dirakit khusus berdasarkan rencana Comte sendiri, dan mesinnya jauh lebih kuat daripada yang diduga orang bila melihat penampilannya.

   Mobil itu melesat terus ke depan.

   Dia lalu menoleh dan tersenyum -mobil abu-abu itu menyusul terus di belakang.

   Mobil merah kecil itu berlari terus di sepanjang jalan yang dipenuhi debu.

   Kini jarak antara keduanya genting, tetapi Comte itu adalah seorang pengemudi ulung.

   Kini keduanya menuruni bukit, meliuk-liuk, dan membelok-belok tanpa henti.

   Lalu mobil merah itu mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti di depan sebuah kantor pos.

   Comte itu melompat ke luar, diangkatnya tutup kotak tempat alat-alat, dikeluarkannya bungkusan tadi dari situ, lalu bergegas masuk ke kantor pos itu.

   Dua menit kemudian dia menuju ke arah Mentone lagi.

   Waktu mobil abu-abu itu tiba di sana, Comte sedang minum teh pukul lima menurut kebiasaan orang Inggris, di teras salah sebuah hotel.

   Kemudian dia kembali ke Monte Carlo, makan malam di sana, dan tiba di rumahnya kembali pukul sebelas malam.

   Hipolyte keluar menyambutnya dengan wajah kuatir.

   "Ah! M. Comte baru pulang. Tak adakah M. Comte menelepon tadi?"

   Comte menggeleng.

   "Padahal jam tiga tadi saya menerima telepon dari M. Comte, supaya saya pergi ke Nice, di restoran Negresco."

   "Begitukah?"

   Kata Comte.

   "Lalu pergikah kau?"

   "Tentu, Monsieur, tapi di Negresco mereka tak tahu apa-apa tentang M. Comte. Anda tak ada di sana."

   "Ah,"

   Kata Comte.

   "pada waktu itu Marie tentu sedang keluar berbelanja?"

   "Benar, M. Comte."

   "Ah, sudahlah,"

   Kata Comte.

   "itu tak penting. Suatu kekeliruan saja."

   Dia naik ke lantai atas, sambil tersenyum sendiri.

   Begitu sampai di kamarnya sendiri, ia mengunci pintu, lalu melihat ke sekelilingnya dengan tajam.

   Semuanya kelihatan seperti biasa.

   Dibukanya beberapa laci dan lemari.

   Lalu dia mengangguk sendiri.

   Semuanya sudah dikembalikan hampir sama benar sebagaimana dia meninggalkannya, tetapi kurang sempurna.

   Jelas sekali bahwa kamar itu telah mengalami penggeledahan besar-besaran.

   Dia pergi ke meja tulis lalu menekan sebuah tombol yang tersembunyi.

   Laci itu melompat ke luar, tetapi rambutnya tak ada lagi di tempat tadi dia menaruhnya.

   Dia mengangguk berulang kali.

   "Polisi Prancis kita ini memang hebat,"

   Gumamnya sendiri -"memang jempolan. Tak satu pun yang tak dibongkarnya."

   Bab 20 KATHERINE MENDAPAT TEMAN Esok paginya Katherine dan Lenox sedang duduk-duduk di teras Vila Marguerite.

   Di antara mereka berdua telah timbul semacam persahabatan, meskipun ada perbedaan umur.

   Sekiranya Lenox tak ada, Katherine akan merasa bahwa hidup di vila itu sangat tak tertahankan.

   Perkara Kettering sedang merupakan bahan pembicaraan saat itu.

   Lady Tamplin dengan terus terang memanfaatkan hubungan tamunya dalam peristiwa itu secara menguntungkan.

   Penolakan tegas dari pihak Katherine, sama sekali tak berhasil diresapi oleh Lady Tamplin.

   Lenox mengambil sikap melepaskan diri, dia agaknya geli melihat langkah-langkah yang diambil ibunya, dan memberikan pengertian yang simpatik pada perasaan Katherine.

   Dengan Chubby keadaannya tidak lebih baik -kesenangannya yang polos tak terpadamkan, dan kepada siapa pun juga tanpa pilih bulu, dia memperkenalkan.

   "Ini Nona Grey. Tahukah Anda tentang Kereta Api Biru itu? Dia benar-benar terlibat di dalamnya! Dia sempat berbicara selama beberapa jam dengan Ruth Kettering sebelum pembunuhan itu! Beruntung dia bukan?"

   Pagi itu karena telah beberapa kali mendengar pernyataan seperti itu, Katherine jadi memberikan jawaban yang kasar, yang tak biasa dilakukannya -dan waktu mereka berduaan saja, Lenox berkata dengan cara bicaranya yang lamban.

   "Kau tak biasa dimanfaatkan seperti itu, ya? Kau harus belajar banyak, Katherine."

   "Maaf, aku kehilangan kesabaranku tadi. Aku biasanya tidak begitu."

   "Sudah pula waktunya kau belajar unjuk gigi. Chubby itu memang tak tahu apa-apa -dia tidak membahayakan. Ibuku memang membuat kita kesal, tapi dengan Ibu, biar kau marah sampai langit akan runtuh, dia tak terkesan. Paling-paling dia hanya membuka matanya yang biru itu lebar-lebar dengan sedih dan sama sekali tak peduli."

   Katherine tidak memberikan jawaban atas hasil observasi anak tentang ibunya itu, dan Lenox lalu melanjutkan.

   "Aku lebih banyak seperti Chubby. Aku suka mendengar tentang pembunuhan, apalagi -karena kita kenal pada Derek Kettering, lalu lain jadinya."

   Katherine mengangguk.

   "Jadi kau makan siang dengan dia kemarin,"

   Lenox mengejar terus sambil merenung.

   "Sukakah kau padanya, Katherine?"

   Katherine mempertimbangkannya beberapa saat lamanya.

   "Entahlah,"

   Katanya lambat sekali.

   "Dia menarik sekali."

   "Ya, dia memang menarik."

   "Apa yang tak kausukai pada dirinya?"

   Katherine tidak menjawab pertanyaan itu, atau setidaknya tak langsung.

   "Dia membicarakan tentang kematian istrinya,"

   Katanya.

   "Katanya dia tak mau berpura-pura bahwa kejadian itu malah membawa keberuntungan baginya."

   "Dan kurasa kata-katanya itu sangat mengejutkanmu,"

   Kata Lenox. Dia berhenti sebentar, kemudian menambahkan dengan nada suara yang aneh.

   "Dia suka padamu, Katherine."

   "Dia menraktirku makan siang yang enak,"

   Kata Katherine. Lenox tak mau mengalah begitu saja.

   "Kulihat hal itu waktu dia datang malam hari yang lalu,"

   Katanya merenung.

   "Caranya memandangmu; dan kau bukan tipe teman-teman wanitanya yang biasa -kau benar-benar berlawanan. Yah, kurasa seperti agamalah keadaannya -kita baru punya kesadaran pada umur tertentu."

   "Ada telepon untuk Mademoiselle,"

   Kata Marie, yang muncul di pintu ruang tamu.

   "M. Hercule Poirot ingin berbicara dengan Anda."

   "Wah, makin hebat dan menarik kisahnya. Ayolah, Katherine, pergilah dan berbicaralah panjang-lebar dengan detektifmu itu."

   Suara Hercule Poirot terdengar bersih dan tanpa cacat bagi Katherine.

   "Apakah Nona Grey yang berbicara ini? Bon. Mademoiselle, ada pesan yang harus saya sampaikan pada Anda dari M. Van Aldin, ayah Nyonya Kettering. Dia ingin sekali berbicara dengan Anda, kalau tidak di Vila Marguerite, di hotelnya saja -mana yang lebih Anda sukai?"

   Katherine berpikir sebentar, tapi kemudian dia memutuskan bahwa kalau Van Aldin harus datang ke Vila Marguerite, akan menyusahkan saja, dan itu tak perlu.

   Lady Tamplin akan menyambut kedatangannya itu dengan kesibukan yang luar biasa dan berlebihan.

   Dia tak pernah membuang kesempatan untuk mengambil manfaat dari para jutawan.

   Dikatakannya pada Poirot bahwa dia lebih suka pergi ke Nice.

   "Bagus, Mademoiselle. Saya sendiri akan menjemput Anda dengan mobil. Bagaimana kalau tiga perempat jam lagi?"

   Poirot muncul tepat pada waktunya. Katherine sudah siap menunggunya, dan mereka segera berangkat.

   "Nah, bagaimana keadaan Anda, Mademoiselle?"

   Katherine memandang ke matanya yang berbinar, dan dia membenarkan kesannya yang pertama bahwa ada sesuatu yang menarik pada diri Hercule Poirot.

   "Ini roman kriminal kita berdua, bukan?"

   Kata Poirot.

   "Saya sudah menjanjikan bahwa kita akan mempelajarinya bersama. Dan saya selalu memenuhi janji-janji saya."

   "Anda baik sekali,"

   Gumam Katherine.

   "Ah, Anda mengejek saya -tapi maukah Anda mendengar tentang perkembangan perkara itu, atau tidak?"

   Katherine mengakui keinginannya, dan Poirot mulai melukiskan sepintas lalu tentang diri Comte de la Roche.

   "Apakah menurut Anda dia yang membunuhnya?"

   Tanya Katherine.

   "Itu teorinya,"

   Kata Poirot dengan berhati-hati.

   "Apakah Anda sendiri percaya?"

   "Saya tidak berkata begitu. Dan Anda sendiri, Nona, bagaimana pendapat Anda?"

   Katherine menggeleng.

   "Bagaimana saya bisa tahu? Saya tak tahu apa-apa tentang hal itu, tapi saya berpikir bahwa -"

   "Ya,"

   Kata Poirot memberi semangat.

   "Yah -dari apa yang Anda katakan, Comte itu kedengarannya bukan orang yang benar-benar mau membunuh orang."

   "Oh! Bagus,"

   Seru Poirot.

   "Anda sependapat dengan saya, itulah yang baru saja saya katakan."

   Poirot memandangnya dengan tajam.

   "Tapi sudahkah Anda bertemu dengan Derek Kettering?"

   "Saya bertemu dengannya di Vila Lady Tamplin, dan saya makan siang bersamanya kemarin."

   "Dia seorang yang suka berfoya-foya,"

   Kata Poirot sambil menggeleng.

   "Tapi kaum wanita suka yang begitu, ya?"

   Dia mengedipkan matanya pada Katherine, dan Katherine tertawa.

   "Dia adalah laki-laki yang akan kelihatan di mana pun dia berada,"

   Sambung Poirot.

   "Anda pasti melihatnya juga di Kereta Api Biru?"

   "Ya, saya melihatnya."

   "Di gerbong restoran?"

   "Tidak, saya sama sekali tidak melihatnya pada waktu makan. Hanya sekali saya melihatnya -waktu dia akan masuk ke kamar istrinya."

   Poirot mengangguk.

   "Suatu kaitan peristiwa yang aneh,"

   Gumamnya.

   "Kalau tak salah Anda berkata bahwa Anda terbangun dan melihat ke luar jendela di Lyons? Tidakkah Anda melihat seorang pria jangkung yang berambut hitam seperti Comte de la Roche meninggalkan kereta api?"

   Katherine menggeleng.

   "Saya rasa saya tidak melihat siapa-siapa,"

   Katanya.

   "Ada seorang anak muda yang memakai topi dan mantel yang keluar, tapi saya rasa dia bukan meninggalkan kereta api, hanya berjalan-jalan saja hilir-mudik di peron. Ada seorang Prancis gemuk yang berjanggut, memakai piama dan mantel, yang menginginkan secangkir kopi. Selebihnya hanya petugas-petugas kereta api."

   Poirot mengangguk beberapa kali.

   "Soalnya begini,"

   Katanya membuka rahasia.

   "Comte de la Roche punya alibi. Bukti seperti itu menghancurkan, dan selalu ada kemungkinannya bagi orang yang paling dicurigai sekalipun. Kita sudah sampai!"

   Mereka langsung naik ke kamar Van Aldin, di mana mereka bertemu dengan Knighton. Poirot memperkenalkannya pada Katherine. Setelah sekedar berbasa-basi, Knighton berkata.

   "Akan saya katakan pada Tuan Van Aldin bahwa Nona Grey sudah datang."

   Dia pergi ke sebuah kamar di sebelahnya melalui pintu yang kedua. Terdengar suara-suara bergumam, lalu Van Aldin masuk ke ruangan itu dan berjalan menuju Katherine dengan tangan terulur, sambil menatapnya dengan tajam dan dalam.

   "Saya senang bertemu Anda, Nona Grey,"

   Katanya singkat.

   "Saya ingin sekali mendengar cerita Anda mengenai Ruth."

   Katherine senang sekali melihat ketenangan dan kesederhanaan sikap jutawan itu. Dia merasakan bahwa lawan bicaranya itu sedang mengalami kesedihan yang mendalam, terutama karena dia tak melihat tanda-tanda lahiriah. Dia menarik sebuah kursi.

   "Silakan duduk di sini, dan tolong ceritakan semuanya pada saya."

   Poirot tahu diri dan pergi ke kamar sebelah, meninggalkan Katherine dan Van Aldin berduaan.

   Katherine tidak merasa sulit dalam memenuhi permintaan itu.

   Dengan wajar dan sederhana diceritakannya percakapannya dengan Ruth Kettering, kata demi kata sedapat-dapatnya.

   Van Aldin mendengarkan tanpa berkata apa-apa, sambil bersandar di kursinya, dan sebelah tangannya menutup matanya.

   Setelah Katherine selesai, Van Aldin berkata dengan tenang.

   "Terima kasih."

   Mereka duduk diam beberapa menit lamanya. Katherine merasa bahwa dia tak perlu mengucapkan kata-kata hiburan. Kemudian jutawan itu berkata dengan nada yang berubah.

   "Saya berterima kasih sekali pada Anda, Nona Grey. Saya rasa Anda telah melakukan sesuatu yang meringankan pikiran Ruth pada jam-jam terakhir dari hidupnya. Sekarang saya ingin menanyakan sesuatu pada Anda. Anda tahu -M. Poirot barangkali sudah mengatakannya pada Anda -tentang bajingan dengan siapa gadis malangku itu melibatkan dirinya. Dialah laki-laki yang diceritakannya pada Anda itu -laki-laki yang akan ditemuinya. Menurut Anda, mungkinkah dia mengubah pikirannya setelah dia bercakap-cakap dengan Anda? Apakah menurut Anda dia akan menarik kembali kata-katanya?"

   "Saya benar-benar tak bisa mengatakannya. Dia sudah mengambil keputusan, itu sudah pasti, dan oleh karenanya dia jadi lebih senang."

   "Tidakkah dia memberi bayangan di mana dia bermaksud akan berjumpa dengan penipu itu -di Paris atau di Hyeres?"

   Katherine menggeleng.

   "Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu."

   "Ah,"

   Kata Van Aldin lirih.

   "padahal itulah soal yang penting. Yah, waktu akan menunjukkannya."

   Dia bangkit lalu membuka pintu kamar yang di sebelah.

   Poirot dan Knighton masuk kembali.

   Katherine menolak ajakan jutawan itu untuk makan siang bersama, lalu Knighton mengantar Katherine turun dan terus ke mobil yang sudah siap menunggu.

   Waktu dia kembali didapatinya Poirot dan Van Aldin sedang asyik bercakap-cakap.

   "Kalau saja kita tahu,"

   Kata jutawan itu merenung.

   "keputusan apa yang telah diambil Ruth. Kita harus memilih satu dari barangkali enam kemungkinan. Mungkin dia bermaksud untuk terus pergi ke Prancis Selatan dan memberikan penjelasan pada Comte itu di sana. Kita berada dalam kegelapan -benar-benar dalam kegelapan. Tapi kita sudah mendengar dari pelayannya bahwa Ruth terkejut dan bingung waktu melihat Comte itu muncul di Stasiun Paris. Jadi jelas bahwa itu tidak merupakan bagian dari rencana yang sudah diatur. Sependapatkah kau dengan aku, Knighton?"

   Sekretaris itu terkejut.

   "Maaf, Tuan Van Aldin. Saya tidak mendengarkan."

   "Sedang ngelamun, ya?"

   Kata Van Aldin.

   "Tak biasanya kau begitu. Kurasa gadis itu tadi telah menjadikan kau mabuk."

   Merah muka Knighton.

   "Dia memang gadis yang manis sekali,"

   Kata Van Aldin.

   "Sungguh manis. Adakah kau melihat matanya?"

   "Semua laki-laki akan melihat mata itu,"

   Kata Knighton. Bab 21 DI LAPANGAN TENIS Beberapa hari telah berlalu. Pada suatu pagi Katherine berjalan-jalan seorang diri, waktu dia kembali didapatinya Lenox tersenyum-senyum penuh harapan.

   "Sahabat priamu yang muda terus-menerus meneleponmu, Katherine!"

   "Siapa yang kausebut sahabat priaku yang muda itu?"

   "Orang baru -sekretaris Rufus Van Aldin. Kelihatannya dia amat terkesan padamu. Kau bakal menjadi orang yang membuat orang-orang patah hati. Mula-mula Derek Kettering, dan sekarang anak muda Knighton ini. Lucunya lagi, aku ingat benar padanya. Dia pernah dirawat di Rumah Sakit Perang yang dipimpin ibuku di sini. Waktu itu aku masih kecil, berumur kira-kira delapan tahun."

   "Apakah dia luka parah?"

   "Kalau aku tak salah ingat, kakinya tertembak -agak parah juga. Kalau tak salah, para dokter bersusah-payah menyembuhkannya. Kata mereka dia tidak akan pincang, tapi waktu dia mula-mula meninggalkan tempat ini jalannya masih terhuyung-huyung."

   Lady Tamplin keluar dan menyertai mereka.

   "Sudahkah kaukatakan pada Katherine tentang Mayor Knighton?"

   Tanyanya.

   "Dia anak muda yang baik sekali! Mula-mula aku tak ingat padanya -karena mereka terlalu banyak -tapi sekarang aku ingat semua."

   "Mula-mula dia kurang penting untuk diingat,"

   Kata Lenox.

   "Setelah ternyata bahwa dia sekarang adalah sekretaris seorang jutawan Amerika, soalnya jadi lain."

   "Sayangku!"

   Lady Tamplin menegurnya dengan lirih.

   "Mengenai apa Mayor Knighton menelepon?"

   Tanya Katherine.

   "Dia bertanya apakah kau suka pergi main tenis petang ini. Kalau suka dia akan menjemputmu naik mobil. Ibu dan aku menerima baik ajakan itu, atas namamu. Sementara kau main-main dengan sekretaris jutawan itu, kau bisa memberikan kesempatan padaku dengan jutawannya sendiri, Katherine. Kurasa umurnya kira-kira enam puluh tahun, jadi mungkin dia mencari gadis cantik yang masih muda seperti aku."

   "Aku juga suka bertemu dengan Tuan Van Aldin,"

   Kata Lady Tamplin bersungguh-sungguh.

   "Banyak sekali cerita orang tentang dia. Tokoh-tokoh kasar yang menyenangkan dari dunia Barat itu -"

   Dia berhenti tiba-tiba -"menarik sekali,"

   Gumamnya.

   "Mayor Knighton khusus berkata bahwa Tuan Van Aldin-lah yang mengundang,"

   Kata Lenox.

   "Begitu seringnya dia mengatakan hal itu, hingga aku lalu curiga bahwa itu omong kosong saja. Kau dan Knighton akan merupakan pasangan yang serasi, Katherine. Diberkatilah kalian, Anak-anakku."

   Katherine tertawa, lalu pergi ke lantai atas untuk berganti pakaian.

   Segera setelah makan siang Knighton tiba, dan dengan jantan menahan diri mendengarkan celoteh Lady Tamplin tentang perkenalan mereka.

   Waktu mereka dalam perjalanan ke arah Cannes dia berkata pada Katherine.

   "Lady Tamplin sedikit sekali berubah."

   "Pembawaannya atau penampilannya?"

   "Keduanya. Saya rasa umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, tapi dia masih cantik benar."

   "Memang,"

   Katherine membenarkan.

   "Saya senang sekali Anda bisa ikut hari ini,"

   Knighton melanjutkan.

   "M. Poirot juga akan berada di sana. Alangkah kecilnya pria itu. Apakah Anda kenal baik padanya, Nona Grey?"

   Katherine menggeleng.

   "Saya bertemu dengannya di kereta api dalam perjalanan kemari. Saya sedang membaca sebuah novel, dan waktu itu saya mengatakan bahwa yang tertulis itu tak mungkin terjadi dalam hidup sebenarnya. Saya tentu saja tak menyangka, siapa dia."

   "Dia memang orang yang jempolan,"

   Kata Knighton lembut.

   "dan telah melakukan beberapa hal yang hebat pula. Dia benar-benar ahli dalam menggali persoalan sampai ke akar-akarnya, dan sampai saat terakhir tak seorang pun tahu apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya. Saya ingat, saya pernah menginap di sebuah rumah di Yorkshire, dan barang-barang perhiasan Lady Clanravon dicuri orang. Mula-mula kelihatannya seperti perampokan biasa, tapi polisi setempat benar-benar terkecoh. Saya menyarankan agar mereka memanggil Hercule Poirot, dan mengatakan bahwa dialah satu-satunya orang yang bisa membantu mereka, tapi mereka tetap percaya penuh pada Scotland Yard."

   "Lalu apa yang terjadi?"

   Tanya Katherine ingin tahu.

   "Barang-barang itu tak pernah ditemukan kembali,"

   Kata Knighton datar.

   "Anda benar-benar percaya padanya?"

   "Memang saya percaya betul. Comte de la Roche itu adalah langganan pembuat kejahatan yang licik. Dia sering bisa meloloskan dirinya. Tapi saya rasa dengan Hercule Poirot, ketemu batunya."

   "Comte de la Roche,"

   Kata Katherine merenung.

   "Jadi Anda benar-benar yakin bahwa dia yang melakukannya?"

   "Tentu."

   Knighton melihat padanya dengan terkejut.

   "Anda tidak?"

   "Ya,"

   Kata Katherine buru-buru.

   "Maksud saya, bila itu memang hanya suatu perampokan kereta api biasa."

   "Tentu bisa saja,"

   Knighton membenarkan.

   "tapi agaknya Comte de la Roche cocok benar dalam urusan ini."

   "Tapi dia punya alibi."

   "Ah, itu tak ada artinya!"

   Knighton tertawa, wajahnya jadi berubah, tampan dengan senyumnya yang kekanak-kanakan itu.

   "Anda mengaku suka membaca buku-buku cerita detektif, Nona Grey. Anda tentu tahu bahwa orang yang punya alibi yang sempurna, selalu bisa merupakan tersangka yang kuat."

   "Apakah Anda pikir bahwa dalam hidup nyata, begitu pula keadaannya?"

   Tanya Katherine sambil tersenyum.

   "Mengapa tidak? Cerita-cerita fiktif itu didasarkan atas kenyataan."

   "Tapi sering-sering agak berlebihan,"

   Pendapat Katherine.

   "Mungkin. Bagaimanapun juga, bila saya seorang penjahat, saya tidak akan senang bila Hercule Poirot yang mencari jejak saya."

   "Saya pun tidak,"

   Kata Katherine, dan dia tertawa. Waktu mereka tiba, mereka disambut oleh Poirot. Karena hari panas dia mengenakan stelan dari bahan katun, dengan bunga kamelia putih di lubang kancing bajunya.

   "Bonjour, Mademoiselle,"

   Kata Poirot.

   "Saya seperti orang Inggris asli, bukan?"

   "Anda kelihatan hebat,"

   Kata Katherine dengan bijak.

   "Anda mengejek saya lagi,"

   Kata Poirot dengan ramah.

   "Tapi biarlah. Papa Poirot-lah yang selalu memperoleh kemenangan."

   "Di mana Tuan Van Aldin?"

   Tanya Knighton.

   "Dia akan menemui kita di tempat duduk. Terus terang, Sahabat, dia tidak terlalu senang dengan saya. Ah, orang-orang Amerika itu -mana mereka itu tahu tentang keyakinan dan ketenangan! Tuan Van Aldin itu, maunya saya terbang sendiri mengejar penjahat-penjahat melalui semua lorong-lorong di Nice."

   "Saya sendiri pun berpikir bahwa itu bukannya rencana yang buruk,"

   Knighton berpendapat.

   "Anda salah,"

   Kata Poirot.

   "dalam soal-soal seperti ini bukannya tenaga badaniah yang diperlukan, melainkan siasat. Dalam permainan tenis, orang bertemu dengan orang. Itu penting sekali. Oh, itu Tuan Kettering."

   Derek langsung mendatangi mereka.

   Dia kelihatan nekat dan marah, seolah-olah telah terjadi sesuatu yang menjengkelkannya.

   Dia dan Knighton saling menyapa dengan sikap dingin.

   Hanya Poirot yang agaknya tak menyadari adanya ketegangan, dan mengobrol terus dengan riang dalam usahanya yang baik untuk membuat semua orang tenang.

   Dia mengucapkan pujian-pujian yang tak berarti.

   "Luar biasa sekali, M. Kettering, betapa pandainya Anda berbahasa Prancis,"

   Katanya.

   "Demikian baiknya hingga bila Anda mengaku orang Prancis, orang akan percaya. Jarang orang Inggris begitu."

   "Saya juga ingin begitu,"

   Kata Katherine.

   "Saya sadar benar bahwa bahasa Prancis saya masih sangat berbau bahasa Inggris."

   Mereka tiba di sebuah bangku, lalu duduk. Knighton segera pula melihat majikannya memberi isyarat dari ujung lain lapangan itu, dan dia pergi untuk berbicara dengannya.

   "Saya suka anak muda itu,"

   Kata Poirot sambil tersenyum cerah ke arah sekretaris yang sedang menjauh itu.

   "bagaimana Anda, Mademoiselle?"

   "Saya suka sekali padanya."

   "Dan Anda, M. Kettering?"

   Suatu jawaban cepat sudah akan terlompat dari bibir Derek, tapi dia menahannya -suatu kilatan di mata orang Belgia yang kecil itu telah membuatnya tiba-tiba menjadi waspada. Dia lalu bercakap dengan berhati-hati, dan memilih kata-katanya.

   "Knighton memang orang yang baik sekali,"

   Katanya. Sesaat Katherine melihat bahwa Poirot kecewa.

   "Dia sangat kagum pada Anda, M. Poirot,"

   Katanya, dan diceritakannya beberapa hal yang dikatakan Knighton tadi.

   Dia senang melihat pria kecil itu gembira seperti burung merak, sambil membusungkan dadanya, dan air muka pura-pura rendah hati, meskipun hal itu tak bisa membuat siapa pun terkecoh.

   "Saya jadi ingat, Nona,"

   Katanya tiba-tiba.

   "ada soal kecil yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Waktu Anda sedang duduk bercakap-cakap dengan wanita malang itu di kereta api, saya rasa kotak rokok Anda jatuh."

   Katherine agak terkejut.

   "Saya rasa tidak,"

   Katanya. Dari sakunya Poirot mengeluarkan sebuah kotak rokok yang terbuat dari kulit halus berwarna biru, dengan huruf 'K' yang ditulis dengan tinta emas.

   "Bukan, itu bukan kepunyaan saya,"

   Kata Katherine.

   "Ah, beribu-ribu maaf. Kalau begitu kepunyaan nyonya itu sendiri barangkali. 'K' tentu adalah singkatan dari Kettering. Kami ragu karena di dalam tasnya ada sebuah lagi kotak rokok, dan rasanya aneh kalau dia memiliki sampai dua buah."

   Dia tiba-tiba berpaling pada Derek.

   "Saya rasa Anda tak tahu, ya, apakah ini milik istri Anda atau bukan?"

   Derek kelihatan tertegun sesaat. Dia agak tergagap waktu menjawab.

   "Sa -saya tak tahu. Barangkali ya."

   "Jelas bukan kepunyaan Anda?"

   "Tentu bukan. Kalau itu kepunyaan saya, tak mungkin ada pada istri saya."

   Poirot kelihatan lebih tulus dan kekanakan daripada biasanya.

   "Saya pikir mungkin milik Anda ini jatuh waktu Anda berada di kamar istri Anda,"

   Dijelaskannya dengan jujur.

   "Saya tak pernah berada di sana. Sudah saya katakan hal itu pada polisi berpuluh-puluh kali."

   "Seribu kali maaf,"

   Kata Poirot dengan sikap menyesal.

   "Nona ini yang mengatakan telah melihat Anda masuk ke sana."

   Dia berhenti berbicara dengan sikap malu. Katherine memandang Derek. Wajah laki-laki itu telah menjadi putih, tapi itu mungkin hanya bayangannya. Derek tertawa, dan tawanya cukup wajar.

   "Anda keliru, Nona Grey,"

   Katanya dengan santai.

   "Dari apa yang dikatakan polisi pada saya, saya baru tahu bahwa kamar saya hanya berjarak satu atau dua kamar saja dari kamar istri saya -saya tak pernah menyangka itu. Anda waktu itu tentu melihat saya masuk ke kamar saya sendiri."

   Dia cepat-cepat bangkit waktu dilihatnya Van Aldin dan Knighton mendekat.

   "Sekarang saya harus meninggalkan Anda,"

   Katanya.

   "Saya sama sekali tak tahan melihat mertua saya itu."

   Van Aldin menyapa Katherine dengan sopan sekali, tetapi tampak jelas bahwa dia sedang tak senang.

   "Agaknya Anda suka sekali nonton tenis, M. Poirot,"

   Katanya dengan tak ramah.

   "Memang saya suka,"

   Sahut Poirot dengan tenang.

   "Untung Anda berada di Prancis,"

   Kata Van Aldin.

   "Kami di Amerika memang lebih keras. Pekerjaan harus didahulukan daripada kesenangan di sana."

   Poirot tidak tersinggung -sebaliknya dia malah tersenyum lembut dan tulus pada jutawan yang marah itu.

   "Saya harap Anda tidak marah-marah. Setiap orang punya cara-caranya sendiri. Saya selalu senang kalau bisa menyambilkan pekerjaan dengan kesenangan."

   Dia melihat ke dua orang yang lain. Mereka berdua sedang asyik bercakap-cakap. Poirot mengangguk puas, lalu dia membungkukkan badannya ke arah jutawan itu, berkata dengan berbisik.

   "Saya kemari bukan untuk kesenangan, M. Van Aldin. Perhatikan orang di seberang kita itu, orang tua yang jangkung itu orang yang berwajah kuning dan berjanggut gaya itu."

   "Lalu ada apa dengan dia?"

   "Dia adalah M. Papopolous."

   "Orang Yunanikah dia?"

   "Benar -seorang Yunani. Dia pedagang barang-barang antik yang sudah terkenal luas. Dia punya toko kecil di Paris -dia dicurigai polisi karena dia punya usaha sampingan lain."

   "Apa itu?"

   "Sebagai penadah barang-barang curian, terutama perhiasan. Tak satu pun soal mengenai pengasahan atau pemasangan kembali permata-permata yang tak diketahuinya. Dia berurusan dengan kalangan tertinggi di Eropa, juga dengan golongan jembel di bawah tanah."

   Van Aldin memandang Poirot dengan perhatian yang tiba-tiba besar.

   "Lalu?"

   Tanyanya dengan nada baru dalam suaranya.

   "Saya heran,"

   Kata Poirot.

   "Saya, Hercule Poirot -"

   Ditepuk dadanya dengan dramatis -"saya ingin tahu mengapa M. Papopolous tiba-tiba datang ke Nice?"

   Van Aldin jadi terkesan. Mula-mula dia meragukan Poirot dan menyangka laki-laki itu telah melupakan tugasnya -hanya seorang yang mencari pujian. Kini dalam sekejap saja, dia kembali pada pendapatnya semula. Dia memandang lurus ke detektif kecil itu.

   "Saya harus minta maaf pada Anda, M. Poirot."

   Poirot menolak permintaan maaf itu dengan gerak isyarat yang hebat.

   "Bah!"

   Serunya.

   "Semuanya itu tak penting. Sekarang dengarkan, M. Van Aldin, saya ada berita untuk Anda."

   Jutawan itu memandangnya dengan tajam, seluruh perhatiannya tergugah. Poirot mengangguk.

   "Seperti saya katakan tadi, Anda akan tertarik. Sebagaimana Anda ketahui, M. Van Aldin, Comte de la Roche telah berada dalam pengawasan sejak dia ditanyai oleh Hakim. Sehari setelah itu, waktu dia sedang tak berada di rumah, Vila Marina digeledah polisi."

   "Lalu,"

   Kata Van Aldin.

   "adakah mereka menemukan sesuatu? Saya yakin, tidak."

   Poirot membungkuk ke arahnya.

   "Ketajaman pikiran Anda memang tak meragukan, Tuan Van Aldin. Mereka tidak menemukan sesuatu yang sifatnya berhubungan dengan peristiwa itu. Memang tidak diharapkan mereka akan bisa. Comte de la Roche adalah orang yang kata peribahasa, bukan anak kemarin. Dia pria cerdik dengan pengalaman banyak."

   "Ya, teruskan,"

   Geram Van Aldin.

   "Tentu ada kemungkinannya, bahwa pada Comte itu memang tak ada satu pun yang sifatnya harus disembunyikan. Tapi kita tak boleh mengabaikan kemungkinannya. Jadi kalau ada yang harus disembunyikannya, di mana? Tidak di dalam rumah -polisi telah menggeledah habis-habisan. Tidak pada dirinya, karena dia tahu bahwa dia bisa ditangkap setiap saat. Tinggal satu tempat -di mobilnya. Seperti saya katakan, dia berada di bawah pengawasan. Pada suatu hari dia dibayang-bayangi ke Monte Carlo. Dari sana dia pergi ke Mentone, dia mengemudikan sendiri. Mobilnya bermesin kuat sekali, hingga bisa meninggalkan para pengejarnya jauh sekali, dan selama seperempat jam mereka kehilangan jejaknya sama sekali."

   "Dalam waktu itu, Anda pikir, dia menyembunyikan sesuatu di pinggir jalan?"

   Kata Van Aldin yang sangat tertarik.

   "Bukan di pinggir jalan. Itu tak praktis. Coba dengarkan -saya telah menyarankan sesuatu pada M. Carrege. Beliau senang sekali dan menyetujuinya. Di setiap kantor pos di sekitar ini diusahakan supaya selalu ada seseorang yang kenal wajah Comte de la Roche. Karena tahukah Anda, cara yang terbaik untuk menyembunyikan sesuatu ialah dengan mengirimkannya melalui pos."

   "Lalu?"

   Tanya Van Aldin.

   "Lalu -voila!"

   Dengan sikap dramatis yang berlebih-lebihan Poirot mengeluarkan dari sakunya sebuah bungkusan yang terbungkus dalam kertas berwarna coklat yang talinya sudah dibuka.

   "Selama waktu yang seperempat jam tadi itu, laki-laki itu mengirimkan ini melalui pos."

   "Alamatnya?"

   Tanya jutawan itu dengan tajam. Poirot mengangguk.

   "Mungkin itu bisa memberi petunjuk, tapi sialnya, tidak. Bungkusan ini dialamatkan pada salah sebuah agen surat kabar di Paris, di mana surat-surat dan bungkusan-bungkusan disimpan sampai diambil, dengan imbalan sedikit."

   "Ya, tapi apa yang ada di dalamnya itu?"

   Tanya Van Aldin tak sabar. Poirot membuka kertas berwarna coklat itu dan mengeluarkan sebuah kotak karton kecil persegi empat. Dia memandang berkeliling.

   "Inilah saat yang baik,"

   Katanya dengan tenang.

   "Semua mata tertuju ke permainan tenis. Lihat, Monsieur!"

   Diangkatnya tutup kotak itu tak sampai sedetik lamanya. Jutawan itu berseru dengan amat terkejut. Wajahnya menjadi seputih kapur.

   "Tuhanku!"

   Desahnya.

   "Permata-permata delima itu."

   Beberapa saat lamanya dia terduduk saja, termangu.

   Poirot memasukkan kotak itu ke dalam sakunya lagi dan wajahnya berseri-seri.

   Lalu jutawan itu seperti terbangun dari keadaan kemasukan, dia membungkukkan tubuhnya ke arah Poirot dan meremas-remas tangannya hingga laki-laki kecil itu meringis kesakitan.

   "Sungguh hebat,"

   Kata Van Aldin.

   "Hebat! Anda memang hebat, M. Poirot. Sekali lagi, Anda hebat!"

   "Ini bukan apa-apa,"

   Kata Poirot rendah hati.

   "Aturan dan cara kerja yang disiapkan sebelumnya dalam menghadapi segala kemungkinan -itu saja."

   "Lalu sekarang saya rasa Comte de la Roche sudah ditangkap?"

   Sambung Van Aldin penuh harapan.

   "Tidak,"

   Kata Poirot. Wajah Van Aldin menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.

   "Mengapa? Apa lagi yang kalian perlukan?"

   "Alibi Comte itu masih tak tergoyahkan."

   "Omong kosong."

   "Ya,"

   Kata Poirot.

   "Saya juga merasa itu omong kosong, tapi sialnya kita masih harus membuktikannya."

   "Sementara itu dia akan menghilang."

   Poirot menggeleng kuat-kuat.

   "Tidak,"

   Katanya.

   "dia tidak akan berbuat demikian. Ada satu hal yang tak bisa dikorbankan oleh Comte itu, yaitu kedudukan sosialnya. Bagaimanapun juga dia harus berhenti dan bermuka tebal."

   Van Aldin masih merasa tak puas.

   "Tapi saya tak mengerti -"

   Poirot mengangkat kedua belah tangannya.

   "Beri saya waktu sedikit saja, Monsieur. Saya mempunyai gagasan. Banyak orang mengejek gagasan-gagasan Hercule Poirot -tapi mereka keliru."

   "Nah,"

   Kata Van Aldin.

   "katakanlah. Apa gagasan itu?"

   Poirot berhenti sebentar lalu berkata.

   "Saya akan ke hotel Anda pukul sebelas besok. Sampai saat itu, janganlah katakan apa-apa pada siapa pun juga."

   Bab 22 M.

   PAPOPOLOUS MAKAN PAGI M.

   Papopolous sedang makan pagi.

   Di hadapannya duduk putrinya, Zia.

   Terdengar ketukan pada pintu kamar tamu, dan seorang pelayan masuk membawa kartu yang disampaikannya pada M.

   Papopolous.

   Pria itu memperhatikan kartu itu, mengangkat alisnya, lalu meneruskannya pada putrinya.

   "Ah!"

   Kata M. Papopolous, sambil menggaruk telinga kirinya dengan merenung.

   "Hercule Poirot. Ada apa, ya?"

   Ayah dan anak saling berpandangan.

   "Aku kemarin melihatnya di lapangan tenis,"

   Kata M. Papopolous.

   "Zia, aku kurang senang."

   "Dia pernah menolong Ayah,"

   Putrinya mengingatkannya.

   "Benar,"

   M. Papopolous mengakui! "Dia juga sudah berhenti dari jabatannya yang aktif, begitu kudengar."

   Percakapan antara ayah dan anak itu terjadi dalam bahasa mereka sendiri. Lalu M. Papopolous berpaling pada pelayan dan berkata dalam bahasa Prancis.

   "Persilakan Monsieur masuk."

   Beberapa menit kemudian Hercule Poirot, yang berpakaian apik dan mengayunkan tongkatnya dengan gaya, memasuki kamar itu.

   "Sahabatku M. Papopolous."

   "Sahabatku M. Poirot."

   "Dan Mademoiselle Zia."

   Poirot membungkuk dalam.

   "Maafkan kami melanjutkan sarapan kami,"

   Kata M. Papopolous, sambil menuang secangkir kopi lagi untuknya sendiri.

   "Agak -ehm! -agak awal juga Anda datang."

   "Memang memalukan sekali,"

   Kata Poirot.

   "tapi saya terdesak, harap Anda mengerti."

   "Oh,"

   Gumam M. Papopolous.

   "jadi Anda ada urusan."

   "Suatu urusan yang serius,"

   Kata Poirot.

   "soal kematian Nyonya Kettering."

   "Coba saya ingat-ingat."

   Dengan pandangan polos M. Papopolous memandangi langit-langit.

   "Wanita yang meninggal di Kereta Api Biru itukah? Saya membaca berita itu di surat-surat kabar, tapi tak ada disebut-sebut tentang adanya permainan kotor."

   Mereka diam sebentar.

   "Lalu dengan jalan apa saya bisa membantu Anda?"

   Tanya pedagang itu dengan sopan.

   "Voila,"

   Kata Poirot.

   "baik langsung saya katakan."

   Dikeluarkannya kotak yang diperlihatkannya di Cannes dari sakunya, dan setelah membukanya, dikeluarkannya batu-batu delima itu dan disorongkannya ke seberang meja, ke arah Papopolous.

   Sedikit pun tak berubah air muka orang tua itu, meskipun Poirot memperhatikannya baik-baik.

   Diambilnya permata-permata itu lalu diperiksanya dengan perhatian yang tak diperlihatkannya, kemudian dia memandang ke seberang meja, ke arah detektif itu dengan pandangan bertanya.

   "Luar biasa, bukan?"

   Tanya Poirot.

   "Bagus sekali,"

   Kata M. Papopolous.

   "Menurut pikiran Anda, berapa harganya?"

   Wajah laki-laki Yunani itu agak bergetar.

   "Perlu benarkah dikatakan pada Anda, M. Poirot?"

   Tanyanya.

   "Penglihatan Anda tajam, Monsieur. Saya yakin, permata-permata ini pasti tidak sampai lima ratus ribu dolar harganya."

   Papopolous tertawa, dan Poirot ikut tertawa.

   "Sebagai barang tiruan,"

   Kata Papopolous, sambil mengembalikannya pada Poirot.

   "seperti saya katakan tadi, batu-batu ini bagus sekali. Apakah akan tak sopan bila saya tanyakan, dari mana Anda memperolehnya, M. Poirot?"

   "Sama sekali tidak,"

   Kata Poirot.

   "Saya tak berkeberatan untuk menceritakannya pada Anda sebagai seorang sahabat lama. Barang-barang ini dimiliki oleh Comte de la Roche."

   Alis mata M. Papopolous cepat terangkat.

   "Pan -tas,"

   Gumamnya. Poirot menyandarkan tubuhnya ke depan dan air mukanya kembali polos dan menyembunyikan sesuatu.

   "M. Papopolous,"

   Katanya.

   "saya akan membuka kartu. Permata-permata ini yang asli telah dicuri dari Nyonya Kettering di Kereta Api Biru. Sekarang, ini dulu yang akan saya katakan pada Anda. Saya tak ada urusan dengan kembalinya permata-permata ini. Itu urusan polisi. Saya tidak bekerja untuk polisi melainkan untuk M. Van Aldin. Saya ingin menangkap orang yang telah membunuh Nyonya Kettering. Saya hanya menaruh perhatian pada permata-permata itu, sejauh dia dapat membuka jalan kepada pembunuh itu. Mengertikah Anda?"

   Kedua kata-kata yang terakhir itu diucapkannya dengan tekanan yang jelas. Dengan wajah yang tak berubah, M. Papopolous berkata dengan tenang.

   "Teruskan."

   "Saya rasa, Monsieur, mungkin permata-permata itu akan beralih tangan di Nice -bahkan sekarang mungkin sudah."

   "Ah!"

   Kata M. Papopolous. Dia menghirup kopinya sambil merenung, dan kelihatan agak lebih segar.

   "Saya pikir,"

   Sambung Poirot dengan ramah.

   "alangkah beruntungnya! Sahabat lamaku M. Papopolous ada di Nice. Dia pasti bisa membantuku."

   "Lalu bagaimana saya bisa membantu Anda?"

   Tanya M. Papopolous dingin.

   "Saya yakin, Anda berada di Nice ini pasti untuk suatu urusan."

   "Sama sekali tidak,"

   Kata M. Papopolous.

   "saya di sini demi kesehatan saya -atas anjuran dokter."

   Dia batuk hampa.

   "Sedih saya mendengar hal itu,"

   Sahut Poirot, dengan simpati yang tulus.

   "Tapi selanjutnya. Bila seorang Grand Duke dari Rusia, seorang Archduchess dari Austria, atau seorang pangeran dari Itali ingin menjual permata-permata keluarganya -siapa yang mereka datangi? M. Papopolous, bukan? Anda sudah terkenal di seluruh dunia karena cara Anda yang penuh rahasia dalam menangani jual-beli itu."

   Lawan bicaranya membungkuk.

   "Anda memuji saya."

   "Sikap tutup mulut itu, besar sekali artinya,"

   Renung Poirot, dan sebagai jawaban, suatu senyum simpul tersungging di wajah orang Yunani itu.

   "Saya pun bisa menutup mulut."

   Kedua orang itu saling berpandangan. Kemudian Poirot meneruskan bicaranya lambat-lambat, dan agaknya memilih kata-katanya dengan teliti.

   "Kata saya pada diri sendiri. bila permata-permata itu sudah beralih tangan di Nice. M. Papopolous pasti mendengar beritanya. Dia tahu tentang segala-galanya yang terjadi di dunia permata."

   "Ah!"

   Kata M. Papopolous, lalu mengambil sepotong roti croissant.

   "Perlu Anda ketahui bahwa polisi tidak mencampuri soal ini,"

   Kata M. Poirot.

   "Ini urusan pribadi."

   "Memang ada terdengar desas-desus,"

   M. Papopolous mengaku dengan waspada.

   "Umpamanya?"

   Desak Poirot.

   "Adakah alasannya mengapa saya harus menyampaikannya pada Anda?"

   "Ya,"

   Kata Poirot.

   "saya pikir ada. Mungkin Anda ingat, M. Papopolous, bahwa tujuh belas tahun yang lalu dalam tangan Anda ada semacam barang yang diserahkan sebagai jaminan oleh seorang -er -yang sangat terkemuka. Barang itu Anda yang menyimpannya dan tanpa bisa masuk akal, barang itu hilang. Waktu itu Anda berada dalam kesulitan besar."

   Matanya beralih dengan lembut pada gadis yang ada di samping ayahnya.

   Gadis itu telah menyingkirkan cangkir dan piring, dan dengan bertelekan pada kedua sikunya di atas meja dan menopang dagunya dengan tangannya, dia mendengarkan dengan penuh perhatian.


Wiro Sableng Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar

Cari Blog Ini