Ceritasilat Novel Online

Misteri Kereta Api Biru 5


Agatha Christie Misteri Kereta Api Biru Bagian 5



Poirot membacanya lalu mengembalikannya.

   "Jadi Anda akan kembali ke St. Mary Mead?"

   Katanya.

   "Tidak,"

   Kata Katherine.

   "Untuk apa?"

   "Ah,"

   Kata Poirot.

   "saya keliru. Maafkan saya sebentar."

   Dia pergi ke tempat di mana Lenox sedang bercakap-cakap dengan Van Aldin dan Knighton.

   Orang Amerika itu kelihatan tua dan letih.

   Dia menyapa Poirot dengan anggukan singkat tanpa tanda-tanda persahabatan.

   Waktu dia menoleh untuk memberikan jawaban atas suatu pernyataan Lenox, Poirot menarik Knighton agak menjauh.

   "Van Aldin kelihatan sakit,"

   Katanya.

   "Herankah Anda?"

   Kata Knighton.

   "Skandal tentang penangkapan Derek Kettering itu merupakan beban tambahan baginya. Beliau bahkan menyesal telah meminta Anda untuk menemukan kebenarannya."

   "Dia seharusnya kembali ke Inggris,"

   Kata Poirot.

   "Kami akan berangkat lusa."

   "Itu berita yang baik,"

   Kata Poirot. Dia bimbang, lalu menoleh ke teras di mana Katherine duduk.

   "Saya ingin Anda bisa mengatakan hal itu pada Nona Grey,"

   Gumam Poirot lagi.

   "Mengatakan hal apa?"

   "Bahwa Anda -maksud saya bahwa M. Van Aldin akan kembali ke Inggris."

   Knighton tampak keheranan, tetapi dengan senang hati dia menyeberang ke teras mendapatkan Katherine.

   Poirot memandanginya pergi dan mengangguk dengan rasa puas, lalu dia menggabungkan diri dengan Lenox dan orang Amerika itu.

   Sebentar kemudian mereka bertiga menyertai kedua orang itu.

   Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap biasa, kemudian jutawan itu pergi dengan sekretarisnya.

   Poirot juga bersiap-siap untuk pergi.

   "Terima kasih banyak atas keramahan Anda berdua,"

   Katanya.

   "Sungguh makan siang yang menyenangkan. Ma foi, saya membutuhkannya!"

   Dia membusungkan dadanya lalu menepuknya.

   "Sekarang saya sudah menjadi seekor singa -raksasa. Ah, Mademoiselle Katherine, Anda belum pernah melihat saya dalam keadaan lain. Yang Anda lihat selalu adalah Hercule Poirot yang tenang dan lemah lembut, tapi ada Hercule Poirot yang lain. Sekarang saya akan pergi untuk menggertak, untuk mengancam, untuk menimbulkan rasa takut dalam hati siapa saja yang mendengarnya."

   Dia memandang pada kedua gadis itu dengan rasa puas diri -dan mereka menunjukkan sikap seolah-olah terkesan, meskipun Lenox menggigit-gigit bibir bawahnya, dan sudut-sudut mulut Katherine mulai bergerak.

   "Ya, semua itu akan saya lakukan,"

   Katanya dengan bersungguh-sungguh.

   "Dan saya akan berhasil."

   Baru beberapa langkah dia pergi ketika suara Katherine membuatnya menoleh.

   "M. Poirot, sa -saya ingin mengatakan pada Anda. Saya rasa kata-kata Anda tadi benar. Saya akan segera kembali ke Inggris."

   Poirot menatapnya lekat-lekat, dan wajah Katherine menjadi merah karena tatapan itu.

   "Saya mengerti,"

   Katanya bersungguh-sungguh.

   "Saya rasa Anda tidak mengerti,"

   Kata Katherine.

   "Saya tahu lebih banyak daripada yang Anda sangka, Mademoiselle,"

   Katanya dengan tenang.

   Dia meninggalkan Katherine dengan senyum yang aneh di bibirnya.

   Dia memasuki mobil yang sedang menunggunya, lalu pergi ke Antibes.

   Hipolyte, pelayan laki-laki Comte de la Roche yang berwajah kaku, sedang sibuk melap daun meja yang terbuat dari kaca.

   Comte de la Roche sendiri sedang pergi ke Monte Carlo hari itu.

   Waktu dia melihat ke luar jendela, Hipolyte melihat seorang tamu yang berjalan cepat menuju ke pintu rumahnya.

   Hipolyte yang sudah berpengalaman itu, merasa sulit mengingat-ingat siapa tamunya itu, karena anehnya tamu itu.

   Dipanggilnya istrinya, Marie, yang sedang sibuk di dapur, dan diajaknya melihat tamu yang aneh itu.

   "Bukan polisi lagi, kan?"

   Kata Marie dengan cemas.

   "Lihatlah sendiri,"

   Kata Hipolyte. Marie melihat.

   "Pasti bukan polisi,"

   Katanya.

   "Aku senang."

   "Sebenarnya mereka itu tidak terlalu menyusahkan kita,"

   Kata Hipolyte.

   "Kalau bukan karena peringatan M. Comte, aku tidak akan menyangka bahwa orang asing di rumah minum itu, polisi atau detektif."

   Bel berbunyi dan Hipolyte pergi membukanya dengan sikap serius tetapi sopan.

   "Menyesal sekali, tapi M. Comte tak di rumah."

   Laki-laki kecil berkumis besar itu tetap tenang dan wajahnya berseri.

   "Saya tahu itu,"

   Sahutnya.

   "Anda Hipolyte Flavelle, bukan?"

   "Benar, Monsieur, itu nama saya."

   "Dan Anda mempunyai istri yang bernama Marie Flavelle?"

   "Ya, Monsieur, tapi -"

   "Saya ingin bertemu dengan Anda berdua,"

   Kata orang asing itu, dan dengan cepat dia melangkah masuk melewati Hipolyte.

   "Istri Anda pasti ada di dapur,"

   Katanya.

   "Saya akan ke sana."

   Sebelum Hipolyte dapat mengatur napasnya kembali, tamunya sudah berhasil memilih pintu yang tepat di bagian belakang ruangan itu, menjalani sepanjang lorong dan masuk ke dapur, di mana dia menemukan Marie yang terbelalak dan mulutnya ternganga.

   "Voila,"

   Kata orang asing itu, sambil menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi kayu.

   "saya Hercule Poirot."

   "Ya, Tuan?"

   "Apakah kalian tak kenal nama itu?"

   "Saya tak pernah mendengarnya,"

   Kata Hipolyte.

   "Kalau begitu izinkan saya mengatakan bahwa pendidikan kalian kurang. Itu nama salah seorang besar di dunia ini."

   Dia mendesah lalu melipat tangannya ke dadanya. Hipolyte dan Marie menatapnya dengan gelisah. Mereka tak tahu harus berbuat apa terhadap tamu asing yang tidak mereka harapkan dan begitu aneh.

   "Apakah keinginan Monsieur -?"

   Gumam Hipolyte sebisanya.

   "Saya ingin tahu mengapa kalian berbohong pada polisi."

   "Monsieur!"

   Seru Hipolyte.

   "Saya -saya berbohong pada polisi? Saya tak pernah berbuat begitu."

   M. Poirot menggeleng.

   "Anda keliru,"

   Katanya.

   "Anda telah beberapa kali berbohong. Coba kita lihat."

   Dikeluarkannya sebuah buku catatan kecil dari sakunya lalu dibacanya.

   "Oh ya, sekurang-kurangnya tujuh kali. Akan saya bacakan kembali."

   Dengan suara lembut tanpa emosi dibacakannya garis besar dari tujuh peristiwa. Hipolyte terperanjat.

   "Tapi saya tidak akan membicarakan tentang kejadian masa lalu itu,"

   Sambung Poirot.

   "Ingat, Sahabat, janganlah punya kebiasaan untuk menyangka bahwa Anda telah pandai. Saya akan menunjukkan satu kebohongan khusus yang ada urusannya dengan saya -yaitu pernyataan Anda bahwa Comte de la Roche tiba di vila ini pada pagi hari tanggal empat belas Januari."

   "Tapi itu bukan bohong, Monsieur, itu benar. M. Comte tiba di sini pada pagi hari Selasa, tanggal empat belas. Begitu bukan, Marie?"

   Marie membenarkan dengan penuh semangat.

   "Ya, benar, itu betul sekali. Saya ingat benar."

   "Oh,"

   Kata Poirot.

   "lalu makan siang apa yang Anda hidangkan untuk majikan Anda hari itu?"

   "Saya -"

   Marie diam untuk mencoba berpikir-pikir.

   "Aneh,"

   Kata Poirot.

   "kalau ada orang yang bisa mengingat beberapa hal -sedang yang lain dilupakannya."

   Dia membungkuk lalu menghantam meja dengan tinjunya -matanya berapi-api karena marah.

   "Ya, ya, benar dugaan saya. Anda berbohong dan Anda menyangka tak seorang pun yang tahu. Tapi ada dua orang yang tahu. Ya -dua. Satu di antaranya adalah Tuhan Yang Mahakuasa -"

   Diangkatnya tangannya ke atas, lalu dia duduk dengan nyaman lagi di kursinya, lalu sambil menutup matanya, dia bergumam pula seenaknya.

   "Dan yang seorang lagi adalah Hercule Poirot."

   "Yakinlah, Monsieur, Anda benar-benar keliru. M. Comte berangkat dari Paris, Senin malam -"

   "Betul,"

   Kata Poirot -"naik kereta api Rapide. Saya tak tahu di mana dia menghentikan perjalanannya. Mungkin Anda pun tak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa dia tiba di sini pada hari Rabu pagi, dan bukan pada hari Selasa Pagi."

   "Monsieur keliru,"

   Kata Marie berkeras. Poirot bangkit.

   "Kalau begitu hukum harus turun tangan,"

   Gumamnya.

   "Sayang."

   "Apa maksud Anda, Monsieur?"

   Tanya Marie, dengan bayangan kecemasan.

   "Kalian akan ditangkap dan ditahan karena berkomplot sehubungan dengan pembunuhan Nyonya Kettering. Wanita Inggris."

   "Pembunuhan!"

   Wajah Hipolyte menjadi pucat-pasi, lututnya gemetar. Cepit gulung yang sedang ada di tangan Marie jatuh dan dia mulai menangis.

   "Tapi itu tak mungkin -tak mungkin. Saya sangka -"

   "Karena kalian berpegang teguh pada cerita kalian, tak ada lagi yang bisa dikatakan. Saya rasa kalian berdua tolol."

   Sedang dia berbalik ke pintu, langkahnya tertahan oleh suara panggilan cemas.

   "Monsieur, Monsieur, tunggu sebentar. Sa -saya tak menyangka bahwa begitu persoalannya. Sa -saya sangka ini hanya berhubungan dengan seorang wanita saja. Selama ini tak ada kesulitan yang berhubungan dengan polisi kalau mengenai wanita. Tapi pembunuhan -itu lain."

   "Saya tak sabar menghadapi kalian,"

   Seru Poirot. Dia berbalik menghadapi mereka lalu mengacung-acungkan tinjunya ke muka Hipolyte dengan marah.

   "Apakah saya harus tetap tinggal di sini sepanjang hari, bertengkar begini dengan sepasang orang-orang goblok? Saya ingin kebenaran. Bila kalian tak mau memberikannya, itu urusan kalian. Untuk terakhir kalinya, kapan M. Comte tiba di Vila Marina ini -hari Selasa pagi atau Rabu pagi?"

   "Hari Rabu,"

   Desah laki-laki itu, dan di belakangnya Marie mengangguk membenarkan. Poirot memandangi mereka beberapa lamanya, lalu mengangguk.

   "Kalian memang pandai, Anak-anak,"

   Katanya dengan tenang.

   "Hampir saja kalian berada dalam kesulitan besar."

   Ditinggalkannya Vila Marina, sambil tersenyum sendiri.

   "Satu dugaan sudah dibenarkan,"

   Gumamnya sendiri.

   "Akan kuambilkan kesempatan terhadap yang lain?"

   Pukul enam sore kartu nama M.

   Hercule Poirot diserahkan pada Mirelle.

   Mirelle menatap kartu itu sebentar, lalu mengangguk.

   Waktu Poirot masuk, didapatinya Mirelle sedang berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya dengan gugup.

   Dia berbalik menghadapi Poirot dengan marah.

   "Nah,"

   Serunya.

   "apa lagi sekarang? Belum cukupkah Anda menyiksa saya, kalian semua? Tidakkah kalian yang sampai membuat saya mengkhianati Derek-ku yang malang? Apa lagi yang Anda mau?"

   "Hanya satu pertanyaan saja, Mademoiselle. Setelah kereta api berangkat dari Lyons, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering -"

   "Ada apa?"

   Poirot menatapnya dengan air muka menegur lalu mulai lagi.

   "Kata saya, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering -"

   "Saya tidak masuk."

   "Dan menemukannya -"

   "Saya tidak masuk."

   "Ah, terkutuk!"

   Poirot berbalik menghadapi Mirelle dengan murka dan berteriak padanya, hingga wanita itu mundur kengerian.

   "Apakah Anda akan berbohong pada saya? Dengar, saya tahu betul apa yang telah terjadi, seolah-olah saya sendiri ada di tempat itu. Anda masuk ke kamarnya dan Anda menemukannya sudah meninggal. Percayalah, saya tahu. Berbahaya berbohong pada saya. Berhati-hatilah, Mademoiselle Mirelle."

   Mata Mirelle makin lama makin menurun lalu tertunduk.

   "Sa -saya tidak -"

   Dia mulai dengan tak yakin, lalu berhenti.

   "Hanya ada satu hal yang saya ragukan,"

   Kata Poirot.

   "Saya ingin tahu, Mademoiselle, apakah Anda berhasil menemukan apa yang Anda cari ataukah -"

   "Ataukah apa?"

   "Atau adakah orang yang sudah mendahului Anda?"

   "Saya tidak akan mau menjawab pertanyaan-pertanyaan apa pun lagi,"

   Teriak penari itu.

   Dilepaskannya dirinya dari tangan Poirot yang menahannya, lalu menjatuhkan dirinya ke lantai seperti orang gila, dan berteriak-teriak serta tersedu-sedu.

   Pelayannya yang ketakutan, terburu-buru masuk.

   Hercule Poirot mengangkat bahunya, mengangkat alisnya, dan dengan tenang meninggalkan kamar itu.

   Tetapi dia kelihatan puas.

   Bab 30 NONA VINER MEMBERIKAN PENILAIAN Katherine melihat ke luar dari jendela kamar tidur Nona Viner.

   Hari hujan, tidak lebat, tetapi halus dan terus-menerus tanpa mau berhenti.

   Dari jendela itu kita dapat melihat ke sebidang pekarangan depan dengan sebuah jalan setapak yang menuju ke gerbang, yang diapit oleh galangan-galangan kecil ditanami bunga, di mana bunga mawar, bunga kecil berwarna merah muda, dan hyacint biru kelak akan bermekaran.

   Nona Viner sedang berbaring di sebuah tempat tidur besar model Victoria.

   Sebuah nampan bekas sarapan disisihkannya dan dia sibuk membuka surat-suratnya sambil memberikan komentar-komentar pendek tentang surat-surat itu.

   Katherine sedang memegang sepucuk surat yang terbuka dan sedang membacanya untuk kedua kalinya.

   Surat itu ditulis di Hotel Ritz, Paris.

   "Mademoiselle Katherine yang baik," (begitu surat itu dimulai) -"Saya yakin Anda dalam keadaan sehat walafiat, dan semoga dengan kembalinya Anda ke Inggris yang sedang musim salju, tidak terlalu memasygulkan. Saya sendiri sedang giat mengumpulkan petunjuk-petunjuk. Jangan sangka saya sedang berlibur di sini. Tak lama lagi saya akan berada di Inggris, maka saya berharap akan bertemu lagi dengan Anda. Bisa, bukan? Setiba di London, saya akan menulis surat pada Anda. Anda ingat bahwa kita bekerja sama dalam perkara ini, bukan? Saya yakin Anda tahu itu. Terimalah salam hormat saya yang erat. Hercule Poirot"

   Katherine agak mengerutkan dahinya. Rasanya ada sesuatu dalam surat itu yang menimbulkan pertanyaan dalam dirinya dan yang membuatnya tertarik.

   "Ah, akan diadakan piknik oleh para anggota paduan suara gereja,"

   Kata Nona Viner.

   "Tom Saunders dan Albert Dykes seharusnya ditinggalkan. Aku tidak akan mendaftarkan diri kalau mereka ikut. Selalu yang tak pantas saja perbuatan mereka berdua itu di gereja pada hari Minggu. Tommy menyanyikan sebaris lagu, lalu tak mau lagi membuka mulutnya, dan Albert Dykes makan permen pedas -penciumanku tak bisa ditipu."

   "Saya tahu, mereka itu jahat sekali,"

   Katherine membenarkan. Katherine membuka surat yang kedua, dan pipinya tiba-tiba memerah. Suara Nona Viner rasanya menjauh. Waktu kesadarannya kembali lagi pada sekelilingnya, Nona Viner sedang menutup kisahnya yang panjang dengan sikap kemenangan.

   "Lalu kukatakan padanya, 'Tak mengapa. Kebetulan Nona Grey itu saudara sepupu Lady Tamplin sendiri.' Bagaimana pendapatmu?"

   "Apakah Anda berjuang demi saya? Anda baik sekali."

   "Boleh saja kautafsirkan begitu. Suatu gelar tak ada artinya bagiku. Biarpun dia istri pendeta, perempuan itu memang brengsek. Dia menyindir bahwa kau telah membayar suap supaya bisa diterima dalam masyarakat terkemuka."

   "Mungkin dia tidak keliru."

   "Padahal, lihatlah keadaanmu ini,"

   Sambung Nona Viner.

   "Apakah kau kembali dan berlagak sebagai seorang wanita terkemuka, meskipun sebenarnya kau bisa berbuat demikian? Tidak, kau tetap saja seperti dulu -berakal sehat, memakai kaus kaki tebal yang baik, dan sepatu yang sehat. Baru kemarin aku berbicara dengan Ellen. 'Ellen,' kataku, 'lihat Nona Grey itu. Dia sudah bergaul dengan orang-orang yang paling terkemuka, lalu apakah dia seperti kau, yang suka memakai rok di atas lutut dan kaus kaki sutra yang mudah robek, serta sepatu yang sama sekali tak masuk akal?'"

   Katherine tersenyum sendiri, rupanya ada baiknya dia menyesuaikan dirinya dengan penilaian-penilaian Nona Viner. Wanita tua itu meneruskan bicaranya dengan bersemangat.

   "Aku lega sekali bahwa kau tidak menjadi besar kepala. Beberapa hari yang lalu aku membuka-buka guntingan-guntinganku. Aku menyimpan berita tentang Lady Tamplin dengan rumah sakitnya dalam masa perang dan sebagainya, tapi aku tak bisa menemukannya. Tolong carikan, Sayang -penglihatanmu lebih baik daripada aku. Semuanya ada di dalam laci meja tulis."

   Katherine melihat ke surat yang ada di tangannya, dan akan mengatakan sesuatu -tetapi dibatalkannya sendiri, lalu pergi ke meja tulis, menemukan kotak berisi guntingan-guntingan lalu mulai mencari.

   Sejak dia kembali ke St.

   Mary Mead, dia amat mengagumi Nona Viner yang selalu tenang dan tabah.

   Dia merasa bahwa hanya sedikit yang dapat diperbuatnya untuk sahabatnya yang tua itu, tetapi dari pengalamannya dia tahu bahwa soal-soal kecil, besar artinya bagi orang-orang tua.

   "Ini ada satu,"

   Katanya kemudian.

   "'Viscountess Tamplin, yang telah menjadikan vilanya di Nice sebagai rumah sakit perwira, baru saja menjadi korban perampokan, barang-barang perhiasannya dicuri. Di antaranya terdapat batu-batu zamrud, yang merupakan barang warisan dari keluarga Tamplin.'"

   "Ah, mungkin tiruan,"

   Kata Nona Viner.

   "Banyak perhiasan para wanita terkemuka itu palsu."

   "Ini ada satu lagi,"

   Kata Katherine.

   "Sebuah fotonya. 'Sebuah foto dari Viscountess Tamplin dengan putrinya Lenox.'"

   "Coba kulihat,"

   Kata Nona Viner.

   "Wajah anak itu tak tampak jelas, ya? Tapi aku yakin sebaiknya begitu. Di dunia ini, segala-galanya terbalik, ibu-ibu yang cantik, anak-anaknya buruk sekali. Pasti tukang fotonya menyadari, sebaiknya mengambil fotonya dari bagian belakang kepala anak itu saja."

   Katherine tertawa.

   "'Salah seorang nyonya rumah yang paling menarik di Riviera dalam musim ini adalah Viscountess Tamplin, yang mempunyai sebuah vila di Cap Martin. Saudara sepupunya, Nona Grey, yang baru-baru ini telah mewarisi suatu kekayaan yang berjumlah besar dengan cara yang romantis, sedang berada di tempat itu sekarang.'"

   "Itu yang kucari,"

   Kata Nona Viner.

   "Kurasa sebuah fotomu dalam salah sebuah surat kabar itu, sulit aku mengenalinya -kau kan tahu bagaimana foto-foto itu. Nyonya Anu atau Tuan Itu, di tempat itu atau ini, biasanya membawa tongkat dengan sebelah kakinya terangkat. Bagi orang lain sulit sekali melihat bagaimana wajahnya."

   Katherine tak menjawab. Dia sedang melicinkan guntingan itu dengan tangannya, dan wajahnya kelihatan heran bercampur kuatir. Lalu dikeluarkannya suratnya yang kedua dari amplop. Dia berpaling pada sahabatnya.

   "Nona Viner? Bagaimana ya -ada seorang teman saya, seseorang yang saya temui di Riviera, yang ingin sekali mengunjungi saya kemari."

   "Seorang laki-laki?"

   Tanya Nona Viner.

   "Ya."

   "Siapa dia?"

   "Dia sekretaris Tuan Van Aldin, jutawan Amerika itu."

   "Siapa namanya?"

   "Knighton. Mayor Knighton."

   "Hm -sekretaris seorang jutawan. Ingin kemari. Dengar, Katherine, aku akan mengatakan sesuatu demi kebaikanmu sendiri. Kau gadis baik-baik dan berpikiran sehat, dan meskipun kau bijak dalam banyak hal, satu kali dalam hidupnya seorang wanita tentu berbuat bodoh. Aku berani bertaruh bahwa yang dikejar laki-laki itu adalah uangmu."

   Dia mengangkat tangannya untuk mencegah Katherine menjawab.

   "Aku sudah menyangka hal semacam ini akan terjadi. Apalah seorang sekretaris jutawan itu? Kebanyakannya adalah anak muda yang ingin hidup nyaman. Anak muda yang bertingkah laku baik dan punya selera untuk kemewahan, tak punya otak dan tak punya usaha -sedang pekerjaan yang lebih menyenangkan daripada menjadi sekretaris jutawan adalah mengawini seorang gadis kaya untuk mendapatkan uangnya. Aku tidak mau mengatakan bahwa kau tidak menarik bagi laki-laki. Tapi kau sudah tak muda lagi -dan meskipun kulitmu halus, kau tidak pula cantik. Jadi kuingatkan lagi, Katherine, jangan berbuat bodoh. Tapi kalau kau tetap saja mau berbuat demikian, jagalah supaya uangmu terikat erat-erat di pinggangmu. Nah, aku sudah selesai. Apa yang ingin kaukatakan?"

   "Tak apa-apa,"

   Kata Katherine -"tapi keberatankah Anda kalau dia datang menemui saya?"

   "Asal aku tak ikut bertanggung jawab,"

   Sahut Nona Viner.

   "Aku sudah melakukan tugasku, dan apa pun yang terjadi sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Kau ingin mengajaknya makan siang atau makan malam? Aku yakin Ellen pasti bisa mempersiapkannya -itu pun kalau dia tidak sedang bingung."

   "Makan siang pun baik,"

   Kata Katherine.

   "Anda baik sekali, Nona Viner. Dia minta supaya saya meneleponnya, jadi saya akan mengatakan padanya bahwa kita akan merasa senang bila dia mau makan siang bersama kita. Dia akan datang bermobil dari kota."

   "Ellen lumayan pandainya membuat bistik dengan tomat,"

   Kata Nona Viner.

   "Memang tidak pandai benar, tapi lebih pandai daripada memasak yang lain-lain. Sebaiknya jangan menyuguhkan kue tar, sebab dia tak pandai membuatnya. Tapi dia pandai membuat puding, dan aku yakin kau bisa mendapatkan stilton yang enak di Toko Abbot. Kudengar kaum pria suka stilton. Dan masih banyak anggur bekas ayahku dulu, mungkin sebaiknya sebotol moselle yang berbuih-buih itu."

   "Ah jangan, Nona Viner, itu tak perlu."

   "Omong kosong, Anakku. Tak ada pria yang senang kalau tak disertakan anggur pada waktu makan. Aku ada simpanan whisky dari sebelum perang, kalau kaupikir dia lebih suka itu. Nah, lakukanlah apa yang kukatakan, dan jangan membantah. Kunci kamar penyimpanan anggur ada dalam laci ketiga di bufet, dalam kaus kaki di sebelah kiri."

   Dengan patuh Katherine pergi ke tempat yang ditunjukkan.

   "Ingat, dalam kaus kaki yang kedua,"

   Kata Nona Viner.

   "Dalam kaus kaki yang pertama ada anting-antingku yang berlian dan bros yang berukir."

   "Oh,"

   Kata Katherine agak terkejut.

   "mengapa Anda tak menyimpannya di dalam kotak perhiasan Anda?"

   Nona Viner mendengus panjang dan kuat.

   "Tentu tidak! Aku tidak begitu bodoh untuk berbuat demikian. Aduh, aku ingat benar, ayahku yang malang menyuruh membuat sebuah tempat penyimpanan di lantai bawah. Bukan main senangnya dia dengan hasil gagasannya itu, dan dia berkata pada ibuku, 'Nah, Mary, berikan barang-barang perhiasanmu dengan kotaknya padaku setiap malam, dan aku akan menguncinya untukmu.' Ibuku adalah seorang wanita yang bijak sekali, dan dia tahu bahwa kaum pria suka keinginannya dituruti, dan diberikannya pada Ayah kotak perhiasannya itu. Lalu pada suatu malam pencuri masuk, dan tentulah -dan wajarlah -kalau yang pertama-tama mereka tuju adalah tempat penyimpanan itu! Betapa tidak, ayahku telah mengobral cerita tentang tempat penyimpanan itu ke seluruh kampung dan membangga-banggakannya seolah-olah dia menyimpan semua intan berlian Nabi Sulaiman di situ. Mereka menyapu bersih barang-barang kami, mereka ambil gelas-gelas besar bertutup, cangkir-cangkir perak, dan piring emas yang diterima Ayah sebagai hadiah, dan tentu juga kotak perhiasan ibuku."

   Dia mendesah mengenang.

   "Ayahku ribut sekali mengenai barang-barang perhiasan ibuku, yang terdiri dari suatu perangkat perhiasan dari Venesia dan beberapa buah yang berbatu cameo yang bagus. Ada pula yang berbatu koral yang berwarna dadu pucat, dan dua buah cincin yang bermata berlian besar-besar. Kemudian, Ibu menceritakan pada Ayah, bahwa dia sebenarnya telah menyimpan barang-barang perhiasannya itu di dalam gulungan korsetnya, dan barang-barang itu masih aman di situ."

   "Jadi kotak perhiasan itu kosong?"

   "Oh, tentu tidak,"

   Kata Nona Viner.

   "kalau begitu kotak itu akan terlalu ringan. Ibuku seorang wanita yang cerdas -hal semacam itu dicegahnya. Dalam kotak itu disimpannya kancing-kancingnya. Kancing-kancing sepatu di wadah yang teratas, kancing-kancing celana dalam wadah yang kedua, dan yang terbawah kancing-kancing hias. Anehnya, ayahku jengkel sekali pada ibuku. Katanya, dia tak suka ditipu. Ah, aku tak boleh berceloteh terus padamu, kau mau pergi menelepon temanmu itu. Dan jangan lupa membeli sepotong daging bistik yang bagus, lalu katakan pada Ellen supaya tidak memakai kaus kaki yang berlubang bila dia sedang melayani kita makan nanti."

   "Siapa namanya sebenarnya, Ellen atau Helen, Nona Viner? Saya pikir -"

   Nona Viner menutup matanya.

   "Aku bisa saja mengucapkan huruf 'h' dengan jelas, Nak, tapi Helen itu bukan nama yang cocok untuk seorang pembantu. Jengkel aku melihat ulah ibu-ibu dari golongan rendah zaman sekarang ini."

   Hujan telah reda waktu Knighton tiba di rumah itu.

   Sinar matahari yang redup menyinari rumah itu, dan menyinari kepala Katherine hingga tampak mengkilap waktu dia berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangannya.

   Knighton mendatanginya cepat-cepat, dia kelihatan kekanak-kanakan.

   "Mudah-mudahan saya tidak menyusahkan Anda. Saya ingin cepat-cepat bertemu Anda lagi. Saya harap teman tempat Anda tinggal, tidak berkeberatan."

   "Mari masuk dan berkenalan serta bersahabat dengannya,"

   Kata Katherine.

   "Dia bisa sangat menakutkan, tapi Anda akan segera mendapatkan bahwa hatinya lembut sekali."

   Nona Viner duduk di ruang tamu utama seperti seorang ratu yang sedang bersemayam.

   Dia memakai seperangkat perhiasan berbatu cameo yang terpelihara dengan baik sekali dalam keluarga itu.

   Dia menyapa Knighton dengan anggun dan sopan santun yang sempurna, yang akan melemahkan hati banyak laki-laki.

   Namun Knighton punya sifat menarik yang tak mudah disisihkan -dan sepuluh menit kemudian ternyata bahwa Nona Viner-lah yang mencair.

   Mereka makan dengan riang, dan Ellen -atau Helen -yang memakai kaus kaki baru tanpa lubang, melayani mereka tanpa cacat.

   Setelah itu Katherine dan Knighton pergi berjalan-jalan, lalu mereka kembali untuk minum teh berduaan, karena Nona Viner telah masuk ke kamarnya untuk berbaring.

   Setelah akhirnya mobil Knighton pergi, Katherine naik ke lantai atas perlahan-lahan.

   Terdengar suara memanggilnya, dan dia masuk ke kamar tidur Nona Viner.

   "Sudah pergi tamumu?"

   "Sudah. Terima kasih banyak karena telah mengizinkan saya mengajaknya kemari."

   "Tak perlu berterima kasih padaku. Apakah kausangka aku ini seorang perempuan tua yang kikir dan judes, yang tak pernah mau berbuat baik untuk siapa pun juga."

   "Saya rasa Anda seorang yang amat saya sayangi."

   "Huh,"

   Kata Nona Viner dengan lembut. Waktu Katherine akan meninggalkan kamar itu, dipanggilnya lagi.

   "Katherine?"

   "Ya."

   "Aku keliru mengenai anak muda temanmu itu. Seorang laki-laki, bila sedang berusaha untuk mendekati seseorang bisa ramah sekali dan selalu siap membantu serta penuh dengan puji-pujian tak berarti. Tapi bila laki-laki sedang benar-benar jatuh cinta, mau tak mau dia jadi kelihatan setolol domba. Nah, setiap kali laki-laki itu memandang ke arahmu, dia jadi seperti seekor domba. Kutarik kembali semua perkataanku tadi pagi. Laki-laki itu bersungguh-sungguh."

   Bab 31 TUAN AARONS MAKAN SIANG "Ah!"

   Kata Tuan Joseph Aarons dengan nada memuji.

   Dia menghirup minumannya lama-lama dari gelasnya yang besar, meletakkannya sambil mendesah, menyeka busanya dari bibirnya, lalu memandang tuan rumahnya -M.

   Hercule Poirot -yang duduk di hadapannya dengan berseri-seri.

   Kata Tuan Aarons.

   "Beri saya sepotong daging bistik Porterhouse dan segelas minuman yang bermutu, maka siapa pun boleh mengambil segala macam makanan dari Prancis itu. Ya,"

   Ulangnya.

   "beri saja saya sepotong daging bistik Porterhouse."

   Poirot yang baru saja memenuhi kesukaannya itu, tersenyum penuh pengertian.

   "Bukan karena masakan daging bercampur ginjal itu tak enak,"

   Sambung Aarons.

   "Kue tar apel? Ya, saya mau kue tar apel, terima kasih, Nona, dan segelas besar krim."

   Mereka makan terus. Akhirnya, dengan mendesah panjang, Tuan Aarons meletakkan sendok dan garpunya, lalu membalik-balik keju, baru kemudian menujukan perhatiannya pada soal-soal lain.

   "Ada urusan kecil kata Anda tadi, M. Poirot,"

   Katanya.

   "Kalau ada yang dapat saya bantu, dengan segala senang hati."

   "Anda baik sekali,"

   Kata Poirot.

   "Saya sering berkata sendiri, 'Bila kau ingin tahu apa saja tentang hal ihwal drama, ada satu orang yang tahu segala-galanya dalam hal itu, dan orang itu adalah sahabat lamaku, Tuan Joseph Aarons.'"

   "Dan kata-kata Anda itu tak keliru,"

   Kata Tuan Aarons dengan tenang.

   "Entah mengenai masa lampau, masa kini, atau masa depan, Joe Aarons-lah yang patut didatangi."

   "Tepat. Sekarang saya ingin bertanya pada Anda, M. Aarons, apa yang Anda ketahui tentang seorang wanita muda yang bernama Kidd."

   "Kidd? Kitty Kidd?"

   "Kitty Kidd."

   "Dia hebat sekali. Memainkan peran sebagai laki-laki, menyanyi dan menari -yang itu?"

   "Ya, yang itu."

   "Dia memang hebat sekali. Penghasilannya besar. Tak putus kontrak. Sering memainkan peran sebagai laki-laki, tapi, dia tak bisa digolongkan pada aktris drama."

   "Begitu yang saya dengar,"

   Kata Poirot -"Tapi akhir-akhir ini dia tidak lagi muncul, bukan?"

   "Tidak. Dia tiba-tiba menghentikan segala-galanya. Dia menyeberang ke Prancis dan hidup bersama seorang laki-laki ningrat yang terkemuka. Saya rasa sejak itu dia sama sekali mengorbankan pentas."

   "Berapa lama hal itu sudah berlalu?"

   "Kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketahuilah -khalayak ramai kehilangan dia."

   "Pandaikah dia itu?"

   "Pintar sekali."

   "Tak tahukah Anda nama laki-laki yang menjadi temannya di Paris itu?"

   "Laki-laki itu juga orang hebat, saya tahu itu. Dia seorang yang bergelar Count -atau mungkin Marquis? Ya, sekarang saya ingat, dia adalah seorang Marquis."

   "Dan sejak itu Anda tak pernah tahu tentang dia lagi?"

   "Tidak. Bahkan bertemu secara kebetulan pun tak pernah. Saya rasa dia bepergian terus ke pemukiman-pemukiman orang-orang asing. Maklumlah berteman seorang Marquis. Kita tak bisa menandingi kehebatan Kitty. Dia bisa mempertontonkan kehebatannya itu setiap saat."

   "Saya mengerti,"

   Kata Poirot merenung.

   "Saya menyesal tak bisa menceritakan lebih banyak, M. Poirot,"

   Kata Tuan Aarons lagi.

   "Saya ingin membantu Anda kalau bisa. Anda pernah membantu saya."

   "Oh, kita sekarang sudah seimbang dalam hal itu -Anda pun telah memberi saya bantuan."

   "Jasa baik sepantasnya mendapat balasan, bukan,"

   Kata Tuan Aarons.

   "Pekerjaan Anda ini pasti menyenangkan, ya?"

   Kata Poirot.

   "Lumayan,"

   Kata Tuan Aarons tanpa semangat.

   "Kalau dipikir-pikir keadaan saya tidaklah buruk benar. Kita tak pernah tahu apa keinginan masyarakat kelak."

   "Dalam tahun-tahun terakhir ini, tari-tarian yang menonjol,"

   Gumam Poirot merenung.

   "Saya sendiri kurang suka balet Rusia, tapi orang-orang suka. Menurut saya tarian itu terlalu terpelajar."

   "Saya bertemu dengan seorang penari di Riviera -Mademoiselle Mirelle."

   "Mirelle? Dia sedang populer. Uang mengalir terus pada gadis itu -tapi dia memang pandai menari. Saya pernah melihatnya, dan saya pandai menilai. Saya sendiri tak pernah berurusan dengan dia, tapi saya dengar sukar sekali bekerja sama dengan dia. Dia sering marah-marah dan mengamuk."

   "Ya,"

   Kata Poirot.

   "ya, saya rasa itu benar."

   "Berdarah panas!"

   Kata Tuan Aarons.

   "Ya, mereka sebut itu darah panas. Istri saya juga seorang penari sebelum dia menikah dengan saya, tapi saya bersyukur dia tidak berdarah panas. Kita tidak menginginkan darah panas itu dalam rumah tangga, M. Poirot."

   "Saya sependapat dengan Anda; bukan tempatnya memang."

   "Seorang wanita harus tenang dan simpatik, dan pandai memasak,"

   Kata Tuan Aarons.

   "Mirelle itu belum lama muncul di pentas, bukan?"

   Tanya Poirot.

   "Baru kira-kira dua tahun setengah,"

   Kata Tuan Aarons.

   "Seorang bangsawan Prancis yang menampilkannya pertama kali. Saya dengar dia sekarang berteman dengan bekas Perdana Menteri Yunani. Orang begitu itu pandai menyisihkan uang diam-diam."

   "Itu berita baru bagi saya."

   "Oh, Mirelle itu tidak akan membiarkan kesempatan lewat begitu saja. Kata orang, anak muda yang bernama Kettering itu sampai membunuh istrinya demi dia. Saya tentu tak tahu benar-tidaknya. Tapi dia masuk penjara, dan si Mirelle harus mencari yang lain lagi -dia memang pandai sekali dalam hal itu. Kata orang, sekarang dia memakai permata delima sebesar telur burung dara -yah, saya sih belum pernah melihat telur burung dara, tapi para pengarang selalu membuat perbandingan begitu."

   "Permata delima sebesar telur burung dara!"

   Seru Poirot. Matanya menjadi hijau dan seperti kucing.

   "Menarik sekali!"

   "Saya mendengar berita itu dari seorang teman,"

   Kata Tuan Aarons.

   "Tapi, mungkin saja itu hanya kaca berwarna. Kaum wanita sama saja -mereka tak pernah berhenti berkisah tentang barang perhiasan mereka. Mirelle ke mana-mana membanggakan bahwa permata-permata itu ada kutukannya. Kalau tak salah dia menyebutkan namanya Heart of Fire."

   "Tapi kalau saya tak salah,"

   Kata Poirot.

   "yang disebut Heart of Fire itu adalah delima yang terikat di tengah-tengah seuntai kalung."

   "Nah, benar bukan, kata saya bahwa kaum wanita tak sudah-sudahnya membual tentang barang-barang perhiasan mereka? Yang dipakainya itu batu tunggal, pada rantai emas platina. Tapi seperti saya katakan tadi, saya berani bertaruh bahwa itu adalah kaca berwarna."

   "Bukan,"

   Kata Poirot dengan halus.

   "bukan -saya tetap beranggapan bahwa itu bukan kaca berwarna."

   Bab 32 KATHERINE DAN POIROT MEMBANDINGKAN CATATAN "Anda telah berubah, Mademoiselle,"

   Kata Poirot tiba-tiba. Dia sedang duduk berhadapan dengan Katherine di meja kecil di Savoy.

   "Sungguh, Anda telah berubah,"

   Sambungnya.

   "Dalam hal apa?"

   "Sukar mengatakannya, Mademoiselle."

   "Saya sudah bertambah tua, tentu."

   "Ya, Anda sudah bertambah tua. Tapi bukan maksud saya kerut-merut di wajah Anda sudah banyak tampak. Waktu saya pertama kali bertemu dengan Anda, Anda merupakan sekedar penonton dari kehidupan. Anda tak ubahnya seseorang yang duduk bersandar di kursi penonton, menonton sandiwara dengan tenang dan senang."

   "Dan sekarang?"

   "Sekarang Anda tidak lagi sekedar menonton. Mungkin saya mengatakan sesuatu yang tak masuk akal, tapi Anda kelihatan seperti seorang petinju yang sedang menghadapi suatu pertandingan yang berat."

   "Teman wanita tempat saya tinggal adalah seorang yang sulit,"

   Kata Katherine sambil tersenyum.

   "tapi saya sama sekali tidak sering bertentangan dengan beliau. Baiknya Anda sekali-sekali datang mengunjunginya, M. Poirot. Saya rasa Anda akan menghargai keberanian dan semangat beliau."

   Mereka diam sementara pelayan dengan cekatan menyuguhkan ayam goreng. Setelah dia pergi, Poirot berkata.

   "Pernahkah Anda mendengar saya bercerita tentang teman saya yang bernama Hastings? -Dia mengatakan bahwa saya ini manusia tiram. Eh bien, Mademoiselle, saya menemukan pasangan yang sepadan dalam diri Anda. Anda menangani persoalan seorang diri saja, saya bahkan tidak sampai begitu."

   "Omong kosong,"

   Kata Katherine seenaknya.

   "Hercule Poirot tak pernah omong kosong. Apa yang saya katakan itu kenyataan."

   Keduanya diam lagi. Poirot memecahkan kesunyian itu dengan bertanya.

   "Adakah Anda bertemu dengan salah seorang teman kita di Riviera dulu, sejak Anda kembali, Mademoiselle?"

   "Saya bertemu sebentar dengan Mayor Knighton."

   "Ah-ha. Begitukah?"

   Ada sesuatu dalam mata Poirot yang berkedip, membuat Katherine tertunduk.

   "Jadi rupanya Tuan Van Aldin tinggal di London."

   "Ya."

   "Saya harus mencoba menemuinya besok atau lusa."

   "Apakah Anda menerima berita dari dia?"

   "Mengapa Anda berpikiran begitu?"

   "Saya -ingin tahu, hanya itu saja."

   Poirot memandangi Katherine dengan mata bersinar.

   "Nah, saya bisa melihat, Mademoiselle, banyak yang ingin Anda tanyakan pada saya. Dan itu memang pada tempatnya. Bukankah urusan di Kereta Api Biru itu merupakan roman kriminal kita berdua?"

   "Memang ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada Anda."

   "Eh bien?"

   Katherine mendongak dengan air muka yang tiba-tiba nekat.

   "Apa yang Anda lakukan di Paris, M. Poirot?"

   Poirot tersenyum kecil.

   "Saya menghadap ke Kedutaan Rusia."

   "Oh."

   "Saya lihat hal itu tak berarti apa-apa bagi Anda. Tapi saya tak mau menjadi manusia tiram. Tidak, saya akan membuka kartu, suatu hal yang pasti tak pernah dilakukan oleh -tiram. Anda menduga, bahwa saya tak puas dengan perkara terhadap Derek Kettering, bukan?"

   "Itulah yang sedang saya pertanyakan. Saya sangka, waktu di Nice perkara itu sudah selesai."

   "Anda tidak mengatakan apa yang sebenarnya Anda maksudkan, Mademoiselle. Tapi baiklah saya akui semua. Sayalah -berkat hasil pemeriksaan sayalah -maka Derek Kettering berada dalam penjara. Kalau bukan karena saya, Jaksa Pemeriksa pasti masih berusaha terus untuk menangkap Comte de la Roche dan pasti gagal. Eh bien, Mademoiselle, apa yang telah saya lakukan tidak saya sesali. Saya hanya punya satu tugas -mencari kebenaran, dan jalan untuk itu langsung menuju ke arah Tuan Kettering. Tapi apakah itu berakhir di situ? Polisi berkata ya, tapi saya, Hercule Poirot, merasa tak puas."

   Dia tiba-tiba berhenti.

   "Adakah Anda mendapatkan berita dari Nona Lenox akhir-akhir ini, Mademoiselle?"

   "Hanya satu kali, itu pun merupakan surat pendek yang tak ramah. Saya rasa dia jengkel, karena saya kembali ke Inggris ini."

   Poirot mengangguk.

   "Pada malam hari tertangkapnya M. Kettering, saya bercakap-cakap dengan dia. Dalam banyak hal percakapan itu menarik."

   Dia diam lagi, dan Katherine tidak mengganggu jalan pikirannya.

   "Mademoiselle,"

   Katanya akhirnya.

   "sekarang saya akan menyinggung soal yang peka. Saya rasa ada seseorang yang mencintai M. Kettering. Katakan terus terang kalau saya salah -dan untuk kepentingan orang itulah -ya -untuk kepentingan orang itu, saya berharap semoga saya yang benar dan polisi salah. Anda tentu tahu siapa orang itu."

   Diam sebentar, lalu Katherine berkata.

   "Ya -saya rasa saya tahu."

   Poirot menyandarkan tubuhnya ke meja supaya lebih dekat pada Katherine.

   "Saya tidak puas, Mademoiselle. Semua bukti-bukti menuju langsung pada M. Kettering. Tapi ada satu hal yang tak diperhitungkan."

   "Apa itu?"

   "Wajah korban yang dirusak. Beratus kali saya bertanya pada diri sendiri, Mademoiselle, apakah Derek Kettering itu orang yang mau memukul sampai hancur setelah membunuh? Apa maksudnya? Tujuan apa yang ingin dicapainya? Apakah perbuatan itu sesuai dengan temperamen M. Kettering? Dan jawab dari semua pertanyaan itu sama sekali tidak memuaskan, Mademoiselle. Lagi-lagi saya terbentur pada satu pertanyaan -'mengapa?' Padahal itulah satu-satunya hal yang bisa membantu saya untuk memecahkan masalah itu."

   Dikeluarkannya buku sakunya lalu dikeluarkannya dari buku saku itu sesuatu yang dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

   "Ingatkah Anda, Mademoiselle? Bukankah Anda melihat saya mengambil rambut ini dari selimut di kereta api?"

   Katherine membungkuk, mengamat-amati rambut itu dengan teliti. Poirot mengangguk beberapa kali.

   "Menurut penglihatan saya, rambut ini tak ada artinya bagi Anda, Mademoiselle. Padahal saya rasa Anda telah melihat banyak."

   "Saya punya beberapa gagasan,"

   Kata Katherine lambat-lambat.

   "gagasan-gagasan aneh. Sebab itu saya tadi bertanya apa yang Anda perbuat di Paris, M. Poirot."

   "Waktu saya menulis surat pada Anda -"

   "Dari Hotel Ritz?"

   "Benar, dari Ritz. Saya kadang-kadang memang suka mewah -bila dibayarkan oleh seorang jutawan."

   "Kedutaan Rusia,"

   Kata Katherine, sambil mengerutkan dahinya.

   "Saya tak bisa melihat hubungannya."

   "Memang tak ada hubungannya secara langsung, Mademoiselle. Saya ke sana untuk mendapatkan informasi. Saya bertemu dengan seseorang dan saya mengancamnya -sungguh, Mademoiselle, saya telah mengancamnya."

   "Dengan polisi?"

   "Tidak,"

   Kata Poirot datar.

   "dengan pers -senjata yang lebih mematikan."

   Dia melihat pada Katherine dan Katherine tersenyum padanya, sambil menggeleng.

   "Apakah Anda tidak kembali menjadi tiram lagi. M. Poirot?"

   "Tidak, tidak -saya tak ingin membuat misteri. Dengar, akan saya ceritakan segalanya. Saya mencurigai laki-laki itu sebagai pihak yang aktif mengambil bagian dalam penjualan barang-barang perhiasan milik M. Van Aldin. Saya mengancamnya dengan perbuatannya itu, dan akhirnya saya mendengar seluruh kejadiannya dari dia. Dia memberitahukan di mana barang-barang perhiasan itu diserahkan, dan saya juga jadi tahu tentang laki-laki yang berjalan hilir-mudik di jalan -seorang laki-laki yang kepalanya aneh dan berambut putih, tapi yang langkahnya ringan dan bergaya seperti orang muda -dan orang itu saya beri nama dalam pikiran saya sendiri -nama itu adalah 'Marquis'."

   "Dan sekarang Anda berada di London untuk bertemu dengan Tuan Van Aldin."

   "Tidak semata-mata untuk itu. Saya ada kegiatan lain. Sejak berada di London, saya telah bertemu dengan dua orang lain -seorang agen pertunjukan-pertunjukan drama dan seorang dokter di Harley Street. Dari masing-masing orang itu saya telah mendapatkan informasi pula. Coba Anda gabungkan semuanya itu, Mademoiselle, dan lihat apakah Anda bisa menarik kesimpulan seperti saya."

   "Saya?"

   "Ya, Anda. Akan saya katakan satu hal, Mademoiselle. Pikiran tertuju pada satu hal yang meragukan, apakah perampokan dan pembunuhan itu dilakukan oleh satu orang yang sama. Lama saya meragukan hal itu -"

   "Dan sekarang?"

   "Dan sekarang saya sudah tahu."

   Keduanya diam. Lalu Katherine mengangkat mukanya. Matanya bersinar.

   "Saya tak sepandai Anda, M. Poirot. Setengah dari yang Anda ceritakan itu agaknya tak ada artinya bagi saya. Gagasan yang saya dapatkan, datang dari sudut yang lain sekali -"

   "Ah, memang selalu begitu,"

   Kata Poirot tenang.

   "Cermin selalu memperlihatkan kebenaran tapi semua orang yang melihat ke cermin itu berdiri di tempat yang berbeda-beda."

   "Gagasan saya mungkin tak masuk akal -mungkin sama sekali berbeda dari pikiran Anda, tapi -"

   "Ya?"

   "Coba lihat, apakah ini bisa membantu barang sedikit?"

   Poirot menerima guntingan surat kabar dari Katherine. Dibacanya, lalu dia mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan penuh kesungguhan.

   "Seperti saya katakan tadi, Mademoiselle, orang berdiri dari sudut yang berbeda-beda waktu melihat ke dalam cermin, tapi cerminnya sama dan yang terpantul dari cermin itu pun sama pula."

   Katherine bangkit.

   "Saya harus bergegas,"

   Katanya.

   "Saya harus mengejar kereta api, M. Poirot -"

   "Ya, Mademoiselle."

   "Jangan -jangan biarkan lebih lama ya. Sa -saya tak bisa tahan lebih lama."

   Suara Katherine terputus. Poirot menepuk tangannya untuk memberikan keyakinan.

   "Besarkan hati, Mademoiselle, Anda sekarang tak boleh gagal -perkara ini sudah mendekati akhirnya."

   Bab 33 TEORI BARU "M. Poirot ingin bertemu Anda, Tuan."

   "Terkutuk orang itu!"

   Kata Van Aldin. Knighton diam saja dan menunjukkan pengertiannya. Van Aldin bangkit dari kursinya lalu berjalan hilir-mudik.

   "Kau pasti sudah membaca surat-surat kabar terkutuk itu pagi ini, ya?"

   "Saya hanya melihat sekilas saja, Tuan."

   "Masih hangat terus berita itu."

   "Rupanya begitu, Tuan."

   Jutawan itu duduk kembali lalu menekankan tangannya ke dahinya.

   "Kalau saja aku tahu akan begini jadinya,"

   Erangnya.

   "Demi Tuhan, aku tidak akan pernah menyuruh orang Belgia kecil itu mengorek kebenaran dari peristiwa itu. Pikiranku hanya satu -mencari pembunuh Ruth."

   "Tuan tentu tak ingin menantu Tuan dibebaskan begitu saja?"

   Van Aldin mendesah.

   "Aku lebih suka menangani hukum sendiri."

   "Saya rasa itu tidak akan merupakan penyelesaian yang baik, Tuan."

   "Bagaimanapun juga -benarkah orang itu akan bertemu denganku?"

   "Benar, Tuan. Katanya mendesak sekali."

   "Baiklah. Suruhlah dia masuk."

   Poirot diantar masuk -dia segar dan ceria sekali.

   Dia seolah-olah tak melihat ketidakramahan pada sikap jutawan itu, dan mengobrol dengan riang tentang berbagai hal yang tak penting.

   Dijelaskannya, bahwa dia berada di London untuk menemui dokternya.

   Disebutkannya nama seorang ahli bedah terkemuka.

   "Bukan, bukan bekas tembakan dalam peperangan -ini suatu kenangan waktu saya masih aktif dalam angkatan kepolisian, sebuah peluru dari seorang bandit."

   Dia menunjuk pundak kirinya lalu benar-benar menyeringai.

   "Saya selalu menganggap Anda seorang yang beruntung, M. Van Aldin. Anda tidak seperti anggapan umum di sini mengenai jutawan-jutawan Amerika, yang tersiksa gara-gara terlalu banyak makan."

   "Saya cukup kuat,"

   Kata Van Aldin.

   "Saya hidup sederhana sekali, makan sederhana dan tidak terlalu banyak."

   "Anda pernah bertemu sebentar dengan Nona Grey, bukan?"

   Tanya Poirot polos, sambil menoleh pada sekretaris.

   "Saya -ya, satu atau dua kali,"

   Kata Knighton. Mukanya agak memerah dan Van Aldin berseru keheranan.

   "Aneh, kau tak pernah mengatakan bahwa kau berjumpa dengan dia, Knighton."

   "Saya sangka Anda tidak akan menaruh perhatian, Tuan."

   "Aku suka sekali pada gadis itu,"

   Kata Van Aldin.

   "Memang sayang sekali dia menguburkan dirinya lagi di St. Mary Mead itu,"

   Kata Poirot.

   "Baik sekali dia berbuat demikian,"

   Kata Knighton sengit.

   "Sedikit sekali orang yang mau menguburkan dirinya di tempat yang begitu untuk merawat seorang wanita cerewet yang tak punya hak apa-apa atas dirinya."

   "Saya tak bisa berkata apa-apa,"

   Kata Poirot, matanya agak berbinar.

   "Tapi bagaimanapun saya tetap mengatakan bahwa itu sayang. Nah, sekarang, Tuan-tuan, mari kita membicarakan urusan kita."

   Kedua laki-laki lawan bicaranya memandangnya dengan heran.

   "Saya harap Anda berdua jangan terkejut atau ketakutan mendengar apa yang akan saya katakan ini. Seandainya, M. Van Aldin, ternyata M. Derek Kettering sama sekali tidak membunuh istrinya?"

   "Apa?"

   Kedua laki-laki itu terbelalak benar-benar keheranan.

   "Kata saya, seandainya bukan M. Derek Kettering pembunuh istrinya?"

   "Sudah gilakah Anda, M. Poirot?"

   Kata Van Aldin.

   "Tidak,"

   Kata Poirot.

   "saya tidak gila. Saya lain dari yang lain, mungkin -ada orang berkata begitu; tapi kalau berhubungan dengan pekerjaan saya, saya betul-betul mantap, kata orang. Saya ingin bertanya, M. Van Aldin, apakah Anda akan senang atau menyesal, bila apa yang saya katakan tadi benar?"

   Van Aldin hanya menatapnya saja.

   "Tentulah saya akan senang,"

   Katanya akhirnya.

   "Apakah ini sekedar pengandaian biasa saja, M. Poirot, atau apakah ada kebenarannya di baliknya?"

   Poirot memandang ke loteng.

   "Ada kemungkinannya,"

   Katanya dengan tenang.

   "bahwa rupanya memang Comte de la Roche. Sekurang-kurangnya, saya telah berhasil membatalkan alibinya."

   "Bagaimana Anda bisa berhasil?"

   Poirot hanya mengangkat bahunya menunjukkan kerendahan hatinya.

   "Saya punya beberapa metode sendiri. Saya gunakan sedikit kebijaksanaan, ditambah dengan sedikit akal -dan berhasillah."

   "Tapi permata-permata delima itu,"

   Kata Van Aldin.

   "permata delima yang ada pada Comte itu bukankah palsu."

   "Padahal jelas bahwa dia tidak akan melakukan kejahatan itu kalau bukan untuk permata-permata itu. Tapi Anda tidak melihat satu hal, M. Van Aldin. Mengenai permata-permata delima itu, mungkin sudah ada orang yang mendahuluinya."

   "Itu teori yang benar-benar baru,"

   Seru Knighton.

   "Apakah Anda benar-benar percaya akan semua omong kosong itu, M. Poirot?"

   Tanya jutawan itu.

   "Hal itu tidak dibuktikan,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "Itu memang hanya suatu teori, tapi dengarlah, M. Van Aldin, kenyataan itu pantas diselidiki. Sebaiknya Anda ikut saya ke Prancis Selatan dan pergi ke tempat kejadiannya."

   "Apakah memang benar-benar perlu -maksud saya, memang perlukah saya pergi?"

   "Saya rasa yang penting adalah, apakah Anda ingin ikut atau tidak,"

   Kata Poirot. Nada bicaranya mengandung teguran -hal mana disadari oleh lawan bicaranya.

   "Baik, baiklah,"

   Katanya.

   "Kapan Anda akan berangkat, M. Poirot?"

   "Anda sekarang sedang sibuk, Tuan,"

   Sela Knighton. Tetapi jutawan itu telah mengambil keputusan, dan keberatan yang diajukan sekretarisnya ditolaknya.

   "Kurasa urusan ini harus didahulukan,"

   Katanya.

   "Baiklah, M. Poirot, besok. Kereta api apa?"

   "Saya rasa sebaiknya, kita pergi naik Kereta Api Biru,"

   Kata Poirot, lalu tersenyum.

   Bab 34 SEKALI LAGI KERETA API BIRU Kereta api yang kadang-kadang disebut 'Kereta Api Para Jutawan' itu, membelok di sebuah tikungan dengan kecepatan yang membahayakan.

   Van Aldin, Knighton, dan Poirot duduk diam-diam.

   Knighton dan Van Aldin mengambil dua buah kamar yang berbatasan, sebagaimana yang ditempati Ruth Kettering dan pelayannya dalam perjalanan yang menentukan dulu itu.

   Kamar Poirot sendiri terletak agak jauh di gerbong itu.

   Perjalanan itu memilukan hati Van Aldin, karena membuatnya teringat kembali akan kenangan yang sangat menyiksa.

   Poirot dan Knighton sekali-sekali bercakap-cakap perlahan, supaya tidak mengganggunya.

   Tetapi setelah kereta api menyelesaikan perjalanannya yang lambat mengitari daerah luar kota Paris dan tiba di Gare de Lyon, Poirot tiba-tiba tersentak, menjadi bersemangat.

   Van Aldin menyadari bahwa tujuan dari perjalanan itu antara lain, usaha untuk merekonstruksi kejahatan itu.

   Poirot sendiri yang menjalankan semua peranan.

   Dia berganti-ganti menjadi pelayan yang tergesa-gesa menutup dirinya dalam kamar, menjadi Nyonya Kettering yang mengenali suaminya dan terkejut serta cemas, dan kemudian menjadi Derek Kettering yang menemukan bahwa istrinya sedang bepergian dengan kereta api yang sama.

   Dia mencobakan beberapa kemungkinan, seperti cara yang terbaik untuk menyembunyikan diri dalam kamar di sebelahnya.

   Kemudian rupanya dia mendapatkan suatu gagasan.

   Dia mencengkam lengan Van Aldin.

   "Mon Dieu, saya tak terpikir akan hal itu! Kita harus menghentikan perjalanan kita di Paris. Cepat, cepat, mari kita segera turun."

   Sambil cepat-cepat mengambil kopor dia bergegas meninggalkan kereta api.

   Van Aldin dan Knighton menyusulnya dengan keheranan, tetapi patuh.

   Van Aldin yang sudah terlanjur mengakui kemampuan Poirot, tak mudah melepaskan pendiriannya.

   Mereka ditahan di pagar rintangan.

   Karcis-karcis mereka masih ada pada kondektur kereta api, suatu hal yang dilupakan oleh ketiganya.

   Poirot memberikan penjelasan dengan cepat, lancar, dan tenang, namun semuanya tak berkesan pada petugas yang berwajah kaku.

   "Mari kita selesaikan soal ini,"

   Kata Van Aldin tiba-tiba.

   "Anda agaknya tergesa-gesa, M. Poirot. Demi Tuhan, bayar saja lagi perjalanan dari Calais tadi dan mari kita cepat-cepat melaksanakan apa yang ada dalam pikiran Anda."

   Tetapi kata-kata Poirot yang mengalir itu tiba-tiba terhenti sama sekali, dan dia kelihatan seperti orang yang berubah menjadi batu.

   Lengannya yang sedang terentang untuk menyertai kata-katanya, tetap terentang seolah-olah terserang lumpuh dalam keadaan itu.

   "Tolol sekali saya,"

   Katanya.

   "Ma foi, saya jadi pelupa sekarang. Mari kita kembali dan melanjutkan perjalanan kita dengan tenang. Kalau nasib kita baik, kereta api belum akan berangkat."

   Mereka hampir terlambat, kereta api sudah mulai bergerak waktu Knighton, yang terakhir dari mereka bertiga, melompat naik dengan kopornya.

   Kondektur memberi mereka teguran keras, dan membantu mereka membawa kembali barang-barang bawaan mereka ke kamar.

   Van Aldin tidak berkata apa-apa, tapi jelas kelihatan bahwa dia tak suka akan kelakuan Poirot yang aneh itu.

   Waktu dia berduaan sebentar dengan Knighton, dia berkata.

   "Ini namanya mengejar bayang-bayang. Orang itu sudah kehilangan pegangan. Dia memang punya otak, tapi orang yang pelupa yang berlari kian kemari seperti kelinci ketakutan, sama sekali tak ada gunanya."

   Sebentar kemudian Poirot mendatangi mereka, dengan permintaan maaf yang tulus, dan jelas sangat patah semangat, hingga dia tak perlu lagi diumpat dengan kata-kata kasar.

   Van Aldin menanggapi permintaan maafnya dengan tenang, dan berhasil menahan dirinya supaya tidak mengucapkan kata-kata yang pedas.

   Mereka makan malam di kereta api, dan setelah itu Poirot membuat kedua teman seperjalanannya terkejut lagi, waktu dia mengusulkan supaya mereka bertiga duduk saja tanpa tidur, di kamar Van Aldin.

   Jutawan itu melihat padanya keheranan.

   "Apakah ada sesuatu yang Anda sembunyikan dari kami, M. Poirot?"

   "Saya?"

   Poirot membelalakkan matanya tak mengerti.

   "Pikiran apa itu."

   Van Aldin tidak menjawab, tetapi dia tak puas.

   Kondektur sudah diberi tahu supaya dia tidak menyiapkan tempat tidur bagi mereka.

   Semua keheranannya terhapus oleh persen besar yang diberikan Van Aldin padanya.

   Ketiga orang laki-laki itu duduk berdiaman.

   Poirot gelisah dan kelihatan tak tenang.

   Akhirnya dia berpaling pada sekretaris.

   "Mayor Knighton, apakah pintu kamar Anda sudah dikunci? Maksud saya, pintu yang menuju ke lorong."

   "Sudah, saya sendiri yang menguncinya tadi."

   "Yakinkah Anda?"

   Tanya Poirot.

   "Biar saya pergi untuk meyakinkannya, kalau itu yang Anda ingini,"

   Kata Knighton sambil tersenyum.

   "Tidak, jangan menyusahkan Anda. Biar saya sendiri yang melihatnya."

   Dia melewati pintu penghubung dan sebentar kemudian kembali lagi, sambil mengangguk.

   "Ya, memang benar kata Anda. Maafkan laki-laki tua cerewet ini."

   Pintu penghubung ditutupnya dan dia duduk kembali di sudut sebelah kanan.

   Waktu berlalu.

   Ketiga orang itu tertidur dengan nyenyak, dan tersentak bangun dengan rasa tak nyaman.

   Mungkin tak pernah terjadi sebelumnya, bahwa ada tiga orang yang telah memesan kamar bertempat tidur yang terdapat di kereta api yang paling mewah, lalu menolak memanfaatkan kenyamanan yang telah mereka bayar.

   Poirot sekali-sekali melihat ke arlojinya, lalu mengangguk dan mengatur duduknya kembali untuk tidur lagi.

   Satu kali dia bangkit dari tempat duduknya lalu membuka pintu penghubung, mengintip dengan tajam ke kamar yang di sebelahnya, untuk kemudian kembali ke tempat duduknya sambil menggeleng.

   "Ada apa?"

   Bisik Knighton.

   "Apakah Anda mengharapkan sesuatu akan terjadi?"

   "Saya gugup,"

   Poirot mengaku.

   "Saya rasanya seperti duduk di atas bara. Suatu bunyi yang kecil sekalipun membuat saya terkejut."

   Knighton menguap.

   "Inilah perjalanan yang paling tak enak,"

   Gumamnya.

   "Saya harap saja Anda tahu apa yang sedang Anda perbuat, M. Poirot."

   Dia lalu mengatur duduknya sebaik-baiknya untuk tidur. Dia dan Van Aldin telah tertidur nyenyak, ketika Poirot, setelah melihat ke arlojinya untuk keempat belas kalinya, membungkuk ke arah mereka lalu menepuk bahu jutawan itu.

   "Eh? Ada apa?"

   "Lima atau sepuluh menit lagi, kita akan tiba di Lyons."

   "Oh, Tuhan!"

   Dalam cahaya yang samar itu tampak wajah Van Aldin putih dan letih.

   "Jadi kira-kira jam sekian inilah, Ruth anakku malang, terbunuh."

   Dia duduk menatap ke depan.

   Bibirnya tegang, pikirannya melayang kembali pada tragedi mengerikan yang telah membuat hidupnya menjadi sedih.

   Terdengar bunyi rem mendesah menderik panjang, dan kereta api mengurangi kecepatan lalu masuk ke Lyons.

   Van Aldin menurunkan jendela lalu menjenguk ke luar.

   "Seandainya bukan Derek -bila teori Anda itu benar, di sinilah laki-laki itu turun dari kereta api, begitukah?"

   Tanyanya sambil menoleh ke belakang. Dia terkejut karena Poirot menggeleng.

   "Tidak,"

   Kata Poirot.

   "tak ada laki-laki yang meninggalkan kereta api, tapi saya pikir, seorang wanita yang turun."

   Knighton menahan napas.

   "Seorang wanita?"

   Tanya Van Aldin tajam.

   "Ya, seorang wanita,"

   Kata Poirot sambil mengangguk.

   "Anda mungkin tak ingat, M. Van Aldin, Nona Grey dalam kesaksiannya mengatakan bahwa seorang anak muda yang bertopi pet dan bermantel turun ke peron, agaknya untuk meluruskan kakinya. Menurut saya anak muda itu mungkin seorang wanita."

   "Tapi siapa dia?"

   Wajah Van Aldin menunjukkan rasa tak percaya, tetapi Poirot menyahut dengan serius dan secara tertib.

   "Namanya -Kitty Kid -itu nama yang sudah dikenal umum selama bertahun-tahun. Tapi Anda, M. Van Aldin, mengenalnya dengan nama lain -yaitu Ada Mason."

   Knighton berdiri dengan melompat.

   "Apa?"

   Teriaknya. Poirot berbalik menghadapinya.

   "Oh! -Sebelum saya lupa."

   Ditariknya sesuatu dari sakunya lalu diperlihatkannya.

   "Izinkan saya menawarkan sebatang rokok -dari kotak rokok Anda sendiri. Anda teledor, sampai barang ini jatuh waktu Anda naik ke kereta api ini di pinggiran kota Paris."

   Knighton berdiri menatapnya seperti terbius. Lalu dia membuat suatu gerakan, tetapi Poirot mengangkat tangannya, mengisyaratkan suatu peringatan.

   "Jangan, jangan bergerak,"

   Katanya dengan suara halus sekali.

   "Pintu ke kamar sebelah ini terbuka, dan Anda sedang dibayang-bayangi dari situ saat ini. Saya telah membuka kunci pintu kamar yang menuju ke lorong waktu kita berangkat dari Paris tadi, dan sahabat-sahabat kita, polisi, sudah diperintahkan untuk mengambil tempatnya masing-masing. Saya rasa Anda pun menyadari, bahwa polisi berhasrat besar untuk menangkap Anda, Mayor Knighton -atau haruskah saya menyebut -M. Marquis?"

   Bab 35 PENJELASAN "Penjelasan?"

   Poirot tersenyum.

   Dia sedang duduk berhadapan dengan jutawan di meja makan siang di kamar pribadi jutawan itu di Negresco.

   Pria yang duduk di hadapannya itu tampak lega tetapi tak mengerti.

   Poirot bersandar di kursinya, menyalakan sebatang rokoknya yang kecil, dan menatap merenungi loteng.

   "Ya, saya akan memberi penjelasan pada Anda. Dimulai dari satu titik yang membuat saya tak mengerti. Tahukah Anda titik itu? Wajah yang dirusak. Adalah soal biasa bahwa dalam menyelidiki suatu kejahatan timbul pertanyaan pertama, yaitu soal pengenalan si korban. Itulah pula yang terjadi atas diri saya. Apakah wanita yang meninggal itu benar-benar Nyonya Kettering? Ternyata wanita yang meninggal itu memang benar Nyonya Kettering -kesaksian Nona Grey positif dan sangat bisa dipercaya. Maka gagasan saya yang pertama saya kesampingkan saja."

   "Kapan Anda pertama kali mulai mencurigai pelayan Ruth itu?"

   "Beberapa lama saya tidak mencurigainya, tapi satu hal aneh menarik perhatian saya ke arahnya. Kotak rokok yang ditemukan di gerbong kereta api dan yang dikatakannya pada kita adalah pemberian Nyonya Kettering pada suaminya. Keterangan itu jelas-jelas tak masuk akal, mengingat hubungan kedua suami istri itu. Pernyataan itu menimbulkan keraguan dalam otak saya, mengenai kebenaran semua pernyataan Ada Mason pada umumnya. Ada satu hal lagi yang agak mencurigakan dan harus diingat benar, yaitu bahwa dia baru dua bulan bekerja pada majikannya. Tentulah rasanya tak mungkin ada kaitannya dengan kejahatan itu karena dia ditinggalkan di Paris dan beberapa orang melihat Nyonya Kettering masih hidup sesudah itu, tapi -"

   Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan. Diangkatnya jari telunjuknya lalu diguncangkannya kuat-kuat ke arah Van Aldin.

   "Tapi saya seorang detektif yang baik. Itu perasaan saya. Tak seorang pun dan tak satu pun yang tidak saya curigai. Tak satu pun yang diceritakan pada saya, saya percayai. Saya berkata sendiri. bagaimana kita tahu bahwa Ada Mason memang ditinggalkan di Paris? Dan mula-mula jawab dari pertanyaan itu memuaskan. Ada kesaksian dari sekretaris Anda, Mayor Knighton -seorang orang luar -yang kesaksiannya dapat dianggap sama sekali tak memihak, dan ada pula kata-kata yang diucapkan wanita yang sudah meninggal itu pada kondektur kereta api. Tapi hal yang terakhir ini saya kesampingkan dulu sementara, karena ada suatu gagasan aneh -suatu gagasan yang mungkin hanya khayalan saja dan tak masuk akal -sedang berkembang dalam pikiran saya. Bila gagasan itu benar, maka kesaksian itu jadi tak berlaku.

   "Saya memusatkan pikiran saya pada rintangan utama teori saya, yaitu pernyataan Mayor Knighton bahwa dia bertemu dengan Ada Mason di Ritz setelah Kereta Api Biru berangkat dari Paris. Pernyataan itu kelihatannya cukup meyakinkan, namun setelah mempelajari kenyataan-kenyataannya dengan seksama, saya mencatat dua hal. Pertama, bahwa secara kebetulan yang sangat aneh, dia pun baru tepat dua bulan bekerja pada Anda. Kedua, huruf awal namanya juga -'K'. Seandainya -seandainya saja -itu kotak rokok dia yang ditemukan di gerbong. Kemudian bila Ada Mason dan dia bekerja sama, dan wanita itu mengenali barang itu waktu ditunjukkan padanya, tidakkah dia akan bertindak tepat seperti yang telah dilakukannya? Mula-mula karena sangat terkejut, dia cepat-cepat mengembangkan suatu teori yang masuk akal, yang akan lebih memberatkan Tuan Kettering. Patut dicatat bahwa itu bukan gagasan mereka semula. Comte de la Roche-lah yang semula akan dijadikan kambing hitam, meskipun Ada Mason tidak akan mengenalinya dengan terlalu meyakinkan, karena kuatir kalau-kalau Comte itu bisa mengemukakan alibi. Bila Anda mau mengingat-ingat kembali ke waktu itu, Anda akan ingat sesuatu yang menarik telah terjadi. Saya menekankan pada Ada Mason bahwa laki-laki yang dilihatnya di kereta api bukan Comte de la Roche, melainkan Derek Kettering. Pada saat itu dia tak yakin, tapi setelah saya tiba kembali di hotel saya, Anda menelepon saya dan mengatakan bahwa dia mendatangi Anda dan berkata bahwa setelah memikir-mikirkannya kembali, dia kini yakin benar bahwa laki-laki itu memang benar Tuan Kettering. Saya memang sudah mengharapkan hal itu akan terjadi. Hanya ada satu penjelasan mengenai keyakinan wanita itu yang mendadak. Setelah meninggalkan hotel Anda, dia sempat membicarakannya dengan seseorang, menerima instruksi, lalu bertindak berdasarkan instruksi itu. Siapa yang memberinya instruksi itu? Mayor Knighton. Dan ada lagi satu titik kecil sekali, yang mungkin tak ada artinya, tapi bisa juga berarti banyak. Dalam suatu percakapan santai, Knighton pernah bercerita tentang suatu perampokan barang-barang perhiasan di Yorkshire di sebuah rumah di mana dia sedang menginap. Mungkin hanya suatu kebetulan -mungkin pula suatu mata rantai kecil lagi."

   "Tapi ada satu hal yang saya tidak mengerti, M. Poirot. Saya rasa saya ini kurang tanggap, sebab kalau tidak, saya tentu sudah mengerti sebelumnya. Siapa sebenarnya laki-laki di kereta api di Paris waktu itu? Derek Kettering atau Comte de la Roche?"

   "Itu sederhana sekali. Sama sekali tak ada laki-laki. Ah -tidakkah Anda menyadari kepandaian mereka yang terkutuk itu? Siapakah yang berkata bahwa ada laki-laki di kereta api? Tak lain, Ada Mason. Dan kita percaya pada Ada Mason karena kesaksian Knighton yang mengatakan bahwa wanita itu telah ditinggalkan di Paris."

   "Tapi Ruth sendiri juga telah mengatakan pada kondektur bahwa dia telah meninggalkan pelayannya di Paris,"

   Van Aldin mengemukakan keberatannya.

   "Oh! Saya baru akan menjelaskan hal itu. Kita memang mendapatkan kesaksian Nyonya Kettering itu, tapi sebaliknya, kita sebenarnya tidak mendapatkan kesaksian itu, karena, M. Van Aldin, seorang wanita yang sudah meninggal tentu tak bisa memberikan kesaksian. Itu bukan kesaksian dari Nyonya Kettering, melainkan dari kondektur itu -jadi lain sekali persoalannya."

   "Jadi menurut Anda laki-laki itu berbohong?"

   "Tidak, sama sekali tidak. Dia mengatakan apa yang disangkanya memang benar. Tapi wanita yang berkata padanya bahwa dia telah meninggalkan pelayannya di Paris itu, bukan Nyonya Kettering."

   Van Aldin menatapnya.

   "M. Van Aldin, Ruth Kettering sudah meninggal sebelum kereta api tiba di Gare de Lyon. Ada Mason-lah yang mengenakan pakaian majikannya yang istimewa itu, yang memesan keranjang berisi makan malam, dan yang memerlukan memberi tahu kondektur tentang pelayannya itu."

   "Tak mungkin!"

   "Tidak, tidak. M. Van Aldin -bukannya tak mungkin. Kaum wanita zaman sekarang banyak yang serupa, hingga orang hanya mengenalinya dari pakaiannya saja, bukan dari wajahnya. Ada Mason sama tingginya dengan putri Anda. Dengan mengenakan mantel dari bulu binatang yang sangat mewah itu, dan topi berpolitur merah yang kecil itu dipasang dalam-dalam sampai ke matanya, dengan hanya mengeluarkan sedikit rambut berwarna merah kecoklatan di telinganya, tak heran kalau kondektur itu sampai tertipu. Ingat, dia belum pernah berbicara dengan Nyonya Kettering. Memang dia telah melihat pelayan itu sebentar waktu wanita itu menyerahkan karcis mereka, tapi kesan yang didapatnya hanya seorang perempuan kurus berpakaian hitam. Bila kondektur itu adalah laki-laki yang cerdas, mungkin dia akan berkata bahwa majikan dan pelayan tak banyak berbeda, tapi sangat tak mungkin dia berpikiran sejauh itu. Dan ingat pula, bahwa Ada Mason atau Kitty Kid adalah seorang artis, yang pandai mengubah penampilannya dan nada suaranya, dalam waktu singkat. Tidak, sama sekali tidak akan ada bahayanya bahwa kondektur akan mengenali pelayan yang memakai pakaian majikannya itu, tapi akan ada bahayanya kalau nanti kondektur disuruh mengenali jenazah. Dia mungkin akan menyadari bahwa itu bukanlah wanita yang berbicara dengan dia malam sebelumnya. Sekarang kita lihat alasan, mengapa wajah itu harus dirusak. Bahaya utama yang ditakuti Ada Mason adalah kalau-kalau Katherine Grey mendatangi kamarnya lagi setelah kereta api berangkat dari Paris, dan hal itu dicegahnya dengan cara memesan makan malam dalam keranjang dan dengan mengunci dirinya dalam kamar."

   "Lalu siapa yang membunuh Ruth -dan kapan?"

   "Pertama-tama, ingat baik-baik bahwa kejahatan itu telah direncanakan dan dilaksanakan oleh mereka berdua -Knighton dan Ada Mason yang bekerja sama. Pada hari itu Knighton berada di Paris untuk urusan Anda. Dia naik kereta api di suatu tempat sedang kereta api itu menjalani daerah pinggiran kota Paris. Nyonya Kettering tentu heran melihatnya, tapi dia tidak curiga. Mungkin laki-laki itu memancing perhatian wanita itu supaya dia melihat ke luar jendela, dan waktu wanita itu menoleh, Knighton menjeratkan tali ke leher wanita itu -dan selesailah pekerjaan itu dalam waktu singkat sekali. Pintu kamar terkunci dan dia bersama Ada Mason mulai bekerja. Dibukanya pakaian luar wanita yang sudah meninggal itu. Mason dan Knighton menggulung jenazah dalam sehelai selimut dan ditaruh di tempat duduk di kamar sebelah di antara tas-tas dan kopor-kopor. Knighton turun lagi dari kereta api, dengan membawa peti perhiasan yang berisi permata delima itu. Karena kejahatan itu menurut perkiraan orang dilaksanakan kira-kira dua belas jam kemudian, maka dia benar-benar aman. Dan kesaksiannya diperkuat oleh kata-kata yang menurut persangkaan, diucapkan oleh Nyonya Kettering pada kondektur, akan merupakan alibi yang sempurna pula bagi komplotannya.

   "Di Gare de Lyon, Ada Mason menerima keranjang makan malamnya, dan dengan mengurung dirinya dalam kamar, dia cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan pakaian majikannya, dan memasang dua berkas rambut palsu berwarna merah kecoklatan, lalu bersolek untuk menyamainya semirip mungkin. Waktu kondektur datang untuk menyiapkan tempat tidur, dikatakannya tentang pelayannya yang ditinggalkannya di Paris, sebagaimana yang sudah direncanakan! Sementara laki-laki itu menyiapkan tempat tidur, wanita itu berdiri memandang ke luar jendela, hingga punggungnya menghadap ke lorong kereta api, dan orang-orang yang lalu lalang di sana melihatnya. Itu merupakan tindak penjagaan yang baik, karena sebagaimana yang kita ketahui, Nona Grey adalah salah seorang yang lewat di situ -dan dia sebagaimana juga beberapa orang yang lain, bersedia disumpah bahwa pada jam itu Nyonya Kettering masih hidup."

   "Teruskan,"

   Kata Van Aldin.

   "Sebelum tiba di Lyons, Ada Mason membaringkan jenazah majikannya di tempat tidur, melipat pakaiannya, lalu meletakkannya di ujung tempat tidur -dia sendiri lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian laki-laki dan bersiap-siap untuk turun dari kereta api tanpa diketahui orang. Segera setelah kondektur turun di Lyons, dia pun menyusul, dan berlenggang seenaknya seolah-olah sedang makan angin. Pada saat dia merasa tidak dilihat orang, dia cepat-cepat menyeberang ke peron yang lain, dan naik kereta api pertama yang akan berangkat ke Paris serta langsung ke Hotel Ritz. Di sana namanya sudah dicatatkan sejak malam sebelumnya oleh salah seorang wanita lain anggota komplotan Knighton. Tak ada yang perlu dilakukannya di sana kecuali menunggu dengan sabar kedatangan Anda. Barang-barang perhiasannya tak ada padanya, baik waktu itu maupun sekarang. Karena tak ada kecurigaan atas diri Knighton sebagai sekretaris Anda, dibawanya barang-barang itu ke Nice, tanpa rasa takut sedikit pun juga akan ketahuan. Penyerahan barang-barang itu di sana pada M. Papopolous sudah diatur, dan pada saat-saat terakhir barang-barang itu dipercayakan pada Mason untuk diserahkan pada orang Yunani itu. Keseluruhannya merupakan suatu perampokan yang direncanakan secara apik, sebagaimana yang memang diharapkan dari seorang jagoan dalam bidangnya seperti Marquis itu."

   "Jadi Anda benar-benar yakin bahwa Richard Knighton itu seorang penjahat terkenal, yang sudah bekerja bertahun-tahun?"

   Poirot mengangguk.

   "Salah satu keuntungan laki-laki yang bernama Marquis itu adalah, sikap mencari mukanya yang sempurna. Anda telah menjadi korban daya tariknya itu, M. Van Aldin, waktu Anda menerimanya bekerja sebagai sekretaris Anda, setelah mengenalnya begitu singkat."

   "Saya berani sumpah bahwa dia tak pernah memancing untuk mendapatkan pekerjaan itu,"

   Seru jutawan itu.

   "Hal itu telah dilakukannya dengan cerdik sekali -demikian cerdiknya hingga tertipulah seorang pria yang telah begitu banyak mengenal pribadi manusia, seperti Anda."

   "Saya juga meneliti surat-surat keterangannya. Semuanya baik sekali."

   "Ya, ya, itu merupakan bagian dari permainan itu. Sebagai Richard Knighton, hidupnya memang tak bercacat. Dia lahir dari keluarga baik-baik, pernah mengabdi dengan penuh kehormatan dalam perang, dan agaknya benar-benar tak bisa dicurigai. Tapi waktu saya mengumpulkan informasi mengenai Marquis yang misterius itu, saya menemukan banyak persamaan. Knighton berbahasa Prancis seperti orang Prancis asli. Kehadirannya di Amerika, Prancis, dan Inggris selalu bertepatan waktunya dengan waktu Marquis beroperasi. Yang terakhir terdengar, Marquis berada di Swiss mendalangi beberapa perampokan barang-barang perhiasan, dan di Swiss pula Anda bertemu dengan Mayor Knighton -dan kira-kira pada waktu itu pulalah terdengar desas-desus bahwa Anda sedang dalam rangka pembelian permata-permata delima yang terkenal itu."

   "Tapi mengapa harus membunuh?"

   Gumam Van Aldin terputus-putus.

   "Seorang pencuri yang pandai tentu bisa mencuri barang-barang itu tanpa mempertaruhkan keselamatan dirinya."

   Poirot menggeleng.

   "Ini bukan pembunuhan pertama yang telah dilakukannya. Dia punya naluri seorang pembunuh -dia juga selalu bekerja dengan tidak meninggalkan jejak. Wanita dan pria yang sudah meninggal tidak akan bisa berbicara.

   "Marquis itu punya hasrat besar sekali terhadap barang-barang perhiasan yang terkenal dan bersejarah. Lama sebelumnya dia sudah mengatur rencana dengan menempatkan dirinya sebagai sekretaris Anda dan menyuruh anggota komplotannya untuk mendapatkan kedudukan sebagai pelayan pada putri Anda, karena dia sudah menduga bahwa permata-permata itu Anda beli untuknya. Dan meskipun itu merupakan rencananya yang sudah dipikirkannya dengan cermat, dia tak segan mengambil jalan pintas lain dengan menyewa beberapa orang bajingan untuk mencegat Anda di Paris pada malam hari Anda membeli permata-permata itu. Rencana itu gagal, hal mana saya rasa tidak mengherankannya. Rencana yang satu ini, menurut dia, benar-benar aman. Tak ada kecurigaan yang bisa dilemparkan atas diri Richard Knighton. Tetapi sebagaimana biasanya orang-orang hebat -dan Marquis adalah seorang yang hebat -dia punya beberapa kelemahan. Dia jatuh cinta setulus-tulusnya pada Nona Grey. Dan karena menduga bahwa wanita itu mencintai Derek Kettering, dia tak dapat menahan godaan untuk menudingkan kejahatan itu pada pria itu, begitu kesempatan untuk itu muncul. Dan sekarang, M. Van Aldin, akan saya ceritakan sesuatu yang sangat aneh. Nona Grey sama sekali tak suka berkhayal, namun dia yakin benar bahwa dia merasakan kehadiran putri Anda di sisinya pada suatu hari di taman kasino di Monte Carlo, segera setelah dia berbicara panjang dengan Knighton. Katanya dia yakin benar bahwa almarhumah mencoba dengan sekuat tenaga untuk mengatakan sesuatu padanya, dan dia tiba-tiba menyadari bahwa apa yang ingin dikatakan almarhumah adalah bahwa Knighton-lah yang membunuhnya! Pada saat itu, gagasan itu seolah-olah terlalu diangan-angankan hingga Nona Grey tak mau membicarakannya dengan siapa pun juga. Tapi dia yakin sekali akan kebenarannya, hingga dia bertindak -meskipun kelihatannya tak masuk akal. Dia tidak mencoba menghentikan usaha-usaha Knighton untuk mendekatinya, dan dia berpura-pura yakin bahwa Derek Kettering bersalah."

   "Luar biasa,"

   Kata Van Aldin.

   "Ya, memang aneh sekali. Orang tak bisa menjelaskan soal-soal begitu. Lalu ada satu hal lagi yang membuat saya sangat tercengang. Sekretaris Anda jelas pincang -suatu akibat dari lukanya dalam perang. Sedang Marquis sama sekali tak pincang. Itu merupakan suatu rintangan. Tapi, Nona Lenox Tamplin pada suatu hari mengatakan bahwa ahli bedah yang menangani mayor itu di rumah sakit ibunya merasa heran, mengapa dia pincang. Itu menimbulkan kesan penyamaran. Waktu saya di London, saya mengunjungi ahli bedah tersebut, dan dia memberi saya beberapa penjelasan terperinci, hingga saya menjadi yakin akan kebenaran kesan saya itu. Saya menyebutkan nama ahli bedah itu di hadapan Knighton kemarin dulu. Sebenarnya waktu itu, wajarnya Knighton mengatakan bahwa dia dirawat oleh dokter itu juga dalam masa perang, tapi dia tidak berkata apa-apa -dan soal kecil itu memberikan saya keyakinan terakhir bahwa teori saya tentang kejahatan itu, memang benar. Nona Grey juga memberi saya guntingan surat kabar, yang memberitakan tentang adanya perampokan di rumah Lady Tamplin waktu Knighton berada di sana. Dia menyadari bahwa jalan pikiran saya sama dengan jalan pikirannya, waktu saya menulis surat padanya dari Hotel Ritz di Paris.

   "Saya menemukan kesulitan waktu mencari informasi di sana, tapi saya berhasil mendapatkan apa yang saya ingini -yaitu bukti bahwa Ada Mason tiba di sana pada pagi hari setelah kejahatan itu dan bukan pada malam sebelumnya."

   Lama mereka diam, lalu jutawan itu mengulurkan tangannya di atas meja ke arah Poirot.

   "Saya rasa Anda tahu apa artinya penyelesaian ini bagi saya, M. Poirot,"

   Katanya dengan suara serak.

   "Besok pagi akan saya kirimkan cek pada Anda, tapi tak ada cek di dunia ini yang mampu menyatakan bagaimana perasaan saya mengenai apa yang telah Anda lakukan demi saya. Anda memang hebat, M. Poirot. Anda memang selalu hebat."

   Poirot bangkit, dadanya membusung.

   "Saya hanya seorang Hercule Poirot,"

   Katanya dengan rendah hati.

   "Ya, seperti Anda katakan, saya orang besar dalam bidang saya, sebagaimana Anda pun seorang yang besar pula. Saya senang dan puas telah bisa menolong Anda. Sekarang saya harus membenahi barang-barang bekas perjalanan. Susahnya, pembantu saya, George yang efisien itu tak ada di sini."

   Di ruang tunggu hotel dia bertemu dengan seorang teman yang patut disegani -M. Papopolous, bersama putrinya Zia.

   "Saya sangka Anda sudah meninggalkan Nice, M. Poirot,"

   Kata orang Yunani itu sambil menyambut salam persahabatan detektif itu.

   "Saya terpaksa kembali karena ada urusan, M. Papopolous."

   "Urusan?"

   "Ya, urusan. Dan berbicara soal urusan, saya harap kesehatan Anda sudah membaik, Sahabat."

   "Jauh lebih baik. Kami bahkan akan kembali ke Paris besok."

   "Saya senang mendengar berita baik itu. Saya harap Anda tidak menghancurkan bekas Perdana Menteri Yunani itu."

   "Saya?"

   "Saya dengar Anda sudah menjual sebuah permata delima yang bagus sekali padanya, yang -antara kita berdua saja -dipakai oleh Mademoiselle Mirelle, penari itu?"

   "Ya,"

   Gumam M. Papopolous.

   "Ya, memang benar."

   "Sebuah delima yang tidak berbeda dari Heart of Fire yang terkenal itu."

   "Ada kesamaannya tentu,"

   Kata orang Yunani itu seenaknya.

   "Anda memang bertangan dingin dengan barang-barang perhiasan, M. Papopolous. Saya ucapkan selamat. Mademoiselle Zia, saya merasa sedih Anda akan kembali ke Paris begitu cepat. Saya berharap akan bisa bertemu lagi dengan Anda setelah urusan saya selesai."

   "Apakah saya lancang kalau bertanya apa urusan Anda itu?"

   Tanya M. Papopolous.

   "Sama sekali tidak. Saya baru saja berhasil menangkap Marquis."

   Air muka M. Papopolous seolah-olah menatap jauh ke depan.

   "Marquis?"

   Gumamnya.

   "Mengapa rasanya tak asing nama itu bagi saya? Ah, tidak -saya tak ingat."

   "Saya percaya, Anda tak ingat,"

   Kata Poirot.

   "Yang saya bicarakan itu adalah seorang penjahat yang sangat ulung dan perampok barang-barang perhiasan. Dia baru saja ditangkap karena membunuh Nyonya Kettering, seorang wanita Inggris."

   "Benarkah? Menarik sekali!"

   Mereka saling berpamitan dengan sopan, dan setelah Poirot jauh serta tak dapat mendengar lagi, M. Papopolous berpaling pada putrinya.

   "Zia,"

   Katanya dengan sengit.

   "laki-laki itu setan!"

   "Aku suka padanya."

   "Aku juga suka padanya,"

   M. Papopolous mengakui.

   "Tapi dia tetap setan."

   Bab 36 DI TEPI LAUT Musim bunga mimosa hampir berlalu.

   Baunya yang memenuhi udara, kurang enak.

   Bunga geranium berwarna merah muda merambat di sepanjang langkan vila Lady Tamplin, dan bunga anyelir yang banyak terdapat di bawah, menyebarkan bau harum yang manis.

   Air Laut Mediterania, biru sekali.

   Poirot duduk di teras dengan Lenox Tamplin.

   Laki-laki itu baru saja selesai menceritakan pada Lenox, kisah yang diceritakannya pada Van Aldin dua hari yang lalu.

   Lenox mendengarkannya dengan penuh perhatian dan asyik sekali, alisnya berkerut dan matanya murung.

   Setelah dia selesai, Lenox hanya bertanya.

   "Dan Derek?"

   "Dia dilepaskan kemarin."

   "Dan dia sudah pergi -ke mana?"

   "Dia berangkat dari Nice kemarin malam."

   "Ke St. Mary Mead?"

   "Ya, ke St. Mary Mead."

   Keduanya diam.

   "Saya keliru mengenai Katherine,"

   Kata Lenox.

   "Saya sangka dia tak suka."

   "Dia amat berhati-hati. Tak seorang pun dipercayainya."

   "Dia sebenarnya bisa mempercayai saya,"

   Kata Lenox agak getir.

   "Ya,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "dia sebenarnya bisa mempercayai Anda. Tapi Mademoiselle Katherine itu sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan mendengarkan, dan orang-orang yang biasa mendengarkan, tak mudah berbicara. Kesedihan-kesedihan dan kesenangan-kesenangannya disimpannya sendiri dan tidak dikatakannya pada siapa pun juga."

   "Saya bodoh,"

   Kata Lenox.

   "Saya sangka dia benar-benar suka pada Knighton. Seharusnya saya tahu. Saya rasa, saya mengira demikian karena -yah, saya berharap demikian."

   Poirot mengambil tangan Lenox, lalu meremasnya dengan sikap persahabatan.

   "Besarkan hati Anda, Mademoiselle,"

   Katanya lembut. Lenox memandang lurus-lurus ke laut, dan wajahnya yang kaku sejenak tampak cantik namun menyedihkan.

   "Ah, sudahlah,"

   Katanya akhirnya.

   "itu tidak akan terjadi. Saya terlalu muda untuk Derek -dia itu seperti kanak-kanak yang tak pernah tumbuh. Dia suka pada wanita model Madona."

   Lama mereka tak berbicara, lalu Lenox tiba-tiba berpaling padanya.

   "Tapi, bukankah saya telah memberikan bantuan, M. Poirot -bagaimanapun juga saya ada membantu."

   "Benar, Mademoiselle. Andalah yang memberi saya bayangan kebenaran yang pertama waktu Anda berkata bahwa orang yang melakukan kejahatan itu sama sekali tak perlu berada di kereta api itu. Sebelum itu saya tak bisa mengerti bagaimana hal itu dilakukan."

   Lenox menarik napas panjang.

   "Saya senang,"

   Katanya.

   "Pokoknya -itu adalah sesuatu."

   Dari kejauhan di belakang mereka terdengar bunyi peluit kereta api yang panjang memekakkan.

   "Itu dia, Kereta Api Biru terkutuk itu,"

   Kata Lenox.

   "Kereta api memang sesuatu yang tak punya tenggang rasa bukan, M. Poirot? Orang-orang dibunuh dan mati, tapi kereta api terus juga melaju. Bicara saya omong kosong, tapi Anda tahu maksud saya."

   "Ya, saya tahu. Kehidupan juga seperti kereta api, Mademoiselle. Dia berjalan terus. Dan itu bagus."

   "Mengapa?"

   "Karena kereta api pada akhirnya tiba di tempat tujuan, dan dalam bahasa Anda ada pepatah mengenai hal itu, Mademoiselle."

   "'Perjalanan berakhir setelah terjadi pertemuan cinta.'"

   Lenox tertawa.

   "Hal itu tidak akan berlaku bagi saya."

   "Ya -itu memang benar. Anda masih muda, lebih muda daripada yang Anda duga sendiri. Percayalah pada falsafah kereta api itu, Mademoiselle, karena Tuhan Yang Mahakuasa-lah yang mengemudikannya."

   Peluit kereta api terdengar lagi.

   "Percayalah pada falsafah kereta api, Mademoiselle,"

   Gumam Poirot lagi.

   "Dan percayalah pada Hercule Poirot -karena dia tahu."

   Sumber buku. I -(Trims, ya.) Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check. clickers
http.//facebook.com/DuniaAbuKeisel
http.//facebook.com/epub.lover
http.//epublover.wordpress.com (Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Wiro Sableng Sepasang Manusia Bonsai

Cari Blog Ini