Ceritasilat Novel Online

Monster Telur Dari Mars 2


Goosebumps Monster Telur Dari Mars Bagian 2



Chapter 11

   "JANGAAAAN!"

   Aku memekik nyaring -segera melesat ke tempat cuci piring.

   Aku menerjang dan menarik makhluk itu dari lubang pembuangan.

   Oh, bukan.

   Yang kutarik ternyata segumpal telur dadar! Makhluk itu masih berguling-guling di tempat cuci piring, mulai mengarah ke lubang pembuangan yang berderu-deru.

   Sertamerta kulepaskan gumpalan telur dadar yang kupegang, dan terburuburu kusambar makhluk tersebut sebelum dia tercincang oleh alat itu.

   Makhluk itu terasa panas di tanganku.

   Semua pembuluhnya berdenyut-denyut.

   Seluruh tubuhnya gemetaran.

   Aku mengamatinya dengan saksama.

   Sepertinya semua bagiannya masih utuh.

   "Hei, aku menyelamatkanmu,"

   Aku berkata padanya.

   "Uih! Hampir saja kau celaka!"

   Aku memegangnya dengan hati-hati. Makhluk itu terus gemetaran. Butir-butir cairan mulai timbul di sisi tubuhnya. Matanya yang hitam menatapku tanpa berkedip.

   "Apa sih itu?"

   Tanya Anne sambil bangkit dari kursinya. Dia merapikan rambutnya yang dikuncir.

   "Boneka dari kaus kaki bekas, ya?"

   Sebelum aku sempat menjawab, Mrs. Gravel sudah menggiringku ke arah pintu dapur.

   "Bawa keluar benda itu, Dana,"

   Katanya dengan tegas.

   "Benda itu menjijikkan sekali."

   Dia menunjuk ke bawah.

   "Lihat tuh, lendirnya menetes-netes."

   "A-aku menemukannya di belakang,"

   Ujarku.

   "Aku juga tidak tahu ini apa, tapi...."

   "Keluar,"

   Mrs. Gravel berkeras. Dia membukakan pintu kawat nyamuk untukku.

   "Ayo keluar. Nanti seluruh lantai harus dipel lagi."

   Aku tak punya pilihan.

   Dengan berat hati makhluk telur itu kubawa ke pekarangan belakang.

   Tapi sepertinya dia sudah lebih tenang sekarang.

   Paling tidak, dia tak lagi berdenyut-denyut dan gemetaran sekeras tadi.

   Anne mengikutiku.

   Sinar matahari yang cerah membuat makhluk telur itu tampak berkilau-kilau.

   Tanganku terasa licin dan basah.

   Aku tidak ingin meremasnya terlalu keras.

   Tapi aku juga tidak ingin dia sampai jatuh.

   "Itu boneka, ya?"

   Tanya Anne. Dia membungkuk untuk mengamatinya dari dekat.

   "Ih. Ini hidup, ya?"

   Aku mengangguk.

   "Aku tidak tahu ini apa. Tapi yang jelas, makhluk ini hidup. Aku menemukannya kemarin. Waktu Brandy bikin pesta."

   Anne terus menatap gumpalan kuning itu.

   "Kau menemukannya? Di mana?"

   "Aku menemukan sebutir telur di dekat sungai,"

   Jawabku.

   "Telurnya aneh sekali. Kubawa pulang, dan tadi pagi telurnya menetas. Dan inilah yang keluar."

   "Tapi ini apa?"

   Anne kembali bertanya. Dia menyentuhnya dengan ujung jari, pelan-pelan sekali.

   "Oh, idih. Badannya serba basah dan lembek."

   "Yang pasti bukan ayam,"

   Ujarku.

   "Aduhhh,"

   Anne berkata sambil geleng-geleng kepala.

   "Kau ini memang pintar sekali."

   "Tadinya kupikir telur kura-kura,"

   Kataku tanpa menghiraukan cemoohnya. Anne memicingkan matanya.

   "Eh, barangkali ini kura-kura tanpa rumah. Barangkali kura-kura belum punya rumah pada waktu menetas."

   "Rasanya sih punya,"

   Sahutku.

   "Atau mungkin juga ini semacam kesalahan alam,"

   Anne menduga-duga.

   "Sejenis keajaiban. Seperti kau!"

   Dia tertawa terpingkal-pingkal. Anne memang tukang bercanda. Sekali lagi dia menyentuh makhluk telur itu. Makhluk itu mengembuskan napas pelan-pelan.

   "Barangkali kau berhasil menemukan spesies baru,"

   Kata Arine.

   "Jenis binatang baru yang belum pernah dilihat orang."

   "Bisa jadi,"

   Aku menanggapinya. Aku langsung bersemangat ketika membayangkannya.

   "Kalau begitu, nama binatang ini akan diambil dari namamu,"

   Anne meneruskan.

   "Dia akan diberi nama Dodo!"

   Dia kembali tertawa.

   "Serius sedikit dong,"

   Aku berkata dengan ketus.

   "Jangan bercanda melulu."

   Tiba-tiba aku mendapat ide.

   "Eh, kau tahu apa yang akan kulakukan?"

   Ujarku sambil memegang makhluk telur itu dengan hati-hati.

   "Aku akan membawanya ke lab ilmiah."

   Anne mengerutkan kening.

   "Lab ilmiah yang mana?"

   "Yang itu lho,"

   Sahutku tak sabar.

   "Lab kecil di Denver Street. Cuma tiga blok dari sini."

   "Sori, tapi aku tidak biasa keluar-masuk lab,"

   BalasAnne. Sepertinya dia agak kesal.

   "Aku juga tidak,"

   Kataku.

   "Tapi aku selalu lewat di depannya kalau berangkat sekolah. Ya, makhluk ini akan kubawa ke sana. Di sana pasti ada yang tahu, makhluk apa ini sebenarnya."

   "Aku tidak mau ikut,"

   Kata Anne sambil menyilangkan tangan di depan dada.

   "Aku banyak urusan lain yang lebih penting."

   "Memangnya siapa yang mengajakmu?"

   Ujarku dengan ketus. Dia menjulurkan lidah padaku. Aku rasa dia iri karena aku yang menemukan makhluk misterius ini, dan bukan dia.

   "Tolong ambilkan kotak sepatuku,"

   Aku berkata.

   "Tadi ketinggalan di dapur. Aku mau berangkat sekarang juga."

   Anne masuk sebentar dan kembali dengan membawa kotak sepatu itu.

   "Bagian dalamnya lengket sekali,"

   Ujarnya sambil meringis.

   "Aku tidak tahu makhluk apa itu, tapi yang jelas, dia keringatan terus."

   "Aku rasa dia berkeringat dingin karena ngeri melihat tampangmu!"

   Kataku.

   Hah, sekarang giliran aku yang ketawa.

   Biasanya aku selalu serius.

   Aku jarang berkelakar.

   Tapi kali ini komentarku cukup jitu.

   Anne tidak menggubrisnya.

   Dia terus memperhatikan aku ketika aku memasukkan makhluk itu ke dalam kotak sepatu.

   Kemudian dia kembali menatapku.

   "Ah, ini pasti cuma mainan yang bisa diputar. Kau cuma mau mengelabuiku -ya, kan, Dana?"

   Aku menggelengkan kepala.

   "Tidak. Ini bukan lelucon. Kalau aku sudah pulang dari lab, aku akan mampir di sini dan memberitahumu apa kata orang-orang di sana."

   Aku memasang tutup kotak itu.

   Kemudian bergegas ke garasi untuk mengambil sepeda.

   Aku sudah tak sabar, ingin segera sampai di lab.

   Ternyata ini justru kesalahan besar.

   Seharusnya aku menjauhi tempat tersebut.

   Tapi mana mungkin aku tahu apa yang menantiku di situ? Chapter 12

   "AWAS!"

   Anjing herder Anne melintas di depan sepedaku ketika aku mulai meluncur ke trotoar. Aku langsung menekan rem tangan. Ban sepedaku sampai berdecit-decit -dan kotak sepatu itu nyaris terlempar melewati setang.

   "Stubby -dasar bodoh!"

   Aku marah-marah.

   Anjing itu kabur ke pekarangan belakang.

   Aku rasa dalam hati dia menertawakan aku.

   Sepertinya dia paling senang menjegalku setiap kali ada kesempatan.

   Aku menunggu sampai jantungku berhenti berdegup-degup.

   Kemudian aku membetulkan posisi kotak sepatu pada setang sepedaku.

   Aku mulai mengayuh sepeda menyusuri trotoar.

   Sebelah tangan memegang setang, sebelah lagi memegang kotak sepatu.

   "Para ilmuwan di lab pasti tahu makhluk apa ini,"

   Aku berkata pada diriku sendiri.

   "Mereka harus tahu."

   Biasanya aku sering ngebut.

   Tapi kali ini aku bersepeda pelanpelan.

   Aku berhenti di setiap perempatan untuk memastikan tak ada mobil melintas.

   Aku berusaha menghindari lubang-lubang di jalan.

   Tapi masalahnya, di jalan tempatku tinggal ada banyak sekali lubang.

   Setiap kali ban sepedaku masuk lubang, makhluk telur di dalam kotak sepatu itu terguncang-guncang.

   Asal jangan sampai terlempar ke luar saja, aku berkata dalam hati.

   Aku membayangkan makhluk itu terpental dari kotaknya, jatuh ke jalan, lalu terlindas mobil.

   Aku langsung berhenti untuk membetulkan posisi kotak sepatu itu.

   Kemudian aku melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali.

   Beberapa teman sekolahku sedang bermain sofbol di lapangan.

   Mereka memanggilku.

   Sepertinya mereka mengajakku bermain.

   Tapi aku pura-pura tidak mendengar.

   Aku tidak punya waktu untuk bermain sofbol.

   Ada tugas ilmiah yang harus kukerjakan.

   Tanpa menoleh aku terus mengayuh sepedaku.

   Ketika aku membelok ke Denver Street, sebuah bus kota melewatiku dengan kecepatan tinggi.

   Angin yang ditimbulkan bus itu nyaris membuatku terjatuh.

   Aku berjuang sebisa mungkin menjaga keseimbanganku.

   Tibatiba aku melihat tutup kotak sepatu terangkat sedikit.

   Makhluk telur itu berusaha kabur! Cepat-cepat kukencangkan tutup kotak itu.

   Aku menambah kecepatan.

   Sebentar lagi aku sudah akan sampai di lab.

   Makhluk itu kembali mendorong tutup kotak.

   Aku kembali mengencangkan tutupnya.

   Aku tidak mau meremukkan makhluk itu.

   Tapi aku juga tidak ingin dia sampai lolos.

   Makhluk itu terus memberontak.

   Mendorong-dorong tutup kotak.

   Aku menahan tutupnya dengan sebelah tangan.

   Sebuah station wagon penuh anak-anak menyusulku.

   Salah seorang dari anak-anak itu menyerukan sesuatu, tapi aku tidak mendengarkannya.

   Seluruh perhatianku terpusat pada makhluk ajaib di dalam kotak sepatu.

   Aku menerobos lampu merah.

   Aku bahkan tidak sadar bahwa ada lampu merah.

   Untung saja tidak ada mobil yang melintas.

   Akhirnya aku melihat tempat tujuanku di depan.

   Lab itu berada di sebuah gedung berwarna putih.

   Gedungnya pendek, hanya satu lantai, tapi memanjang.

   Di bagian depannya ada sederetan jendela kecil.

   Sepintas lalu kelihatannya seperti gerbong kereta.

   Aku naik ke trotoar, melintasi pekarangannya.

   Aku melompat turun dari sepeda sekaligus meraih kotak itu.

   Sepedaku kubiarkan jatuh ke rumput.

   Kedua rodanya masih berputar ketika aku menuju ke pintu depan.

   Sambil menggenggam kotak sepatuku erat-erat, aku menghampiri pintu.

   Di samping pintu ada bel, aku segera menekannya.

   Satu kali.

   Dua kali.

   Tak ada jawaban.

   Aku meraih gagang pintu dan mendorongdorongnya.

   Lalu menarik-narik.

   Hmm.

   Pintunya terkunci.

   Aku mencoba mengetuk pintu.

   Lalu aku menggedor-gedornya dengan tangan terkepal.

   Kemudian aku kembali menekan bel.

   Kenapa tidak ada yang membukakan pintu.

   Aku sudah hendak menggedor lagi ketika kulihat tanda di atas pintu.

   Sebuah tanda putih dengan tulisan hitam yang membuatku patah semangat.

   SABTU DAN MINGGU TUTUP.

   Chapter 13 SAMBIL mendesah, aku mengepit kotak sepatuku.

   Aku kecewa sekali.

   Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan makhluk telur yang aneh itu.

   Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.

   Kemudian aku berbalik untuk mengambil sepeda.

   Aku sedang melintasi pekarangan rumput ketika mendengar pintu depan membuka.

   Seketika aku berpaling lagi dan melihat laki-laki agak tua dengan jas lab berwarna putih.

   Rambutnya sudah putih semua, dibelah di tengah, dan disisir licin ke kiri-kanan.

   Kumisnya tebal sekali.

   Matanya berwarna biru muda.

   Dia menatapku sambil mengerutkan kening.

   Senyumnya membuat kulit di sekitar matanya berkerut-kerut.

   "Ada yang bisa saya bantu?"

   Tanyanya.

   "Ehm... yeah,"

   Aku tergagap-gagap, kembali menghampiri pintu. Makhluk telur di dalam kotak masih terus memberontak.

   "Apa itu yang kaubawa? Burung yang sakit, ya?"

   Orang itu bertanya sambil menatap kotak di tanganku.

   "Maaf, kalau begitu saya tidak bisa membantu. Ini laboratorium ilmiah. Saya bukan dokter hewan."

   "Bukan, bukan burung,"

   Aku menyahut cepat-cepat.

   Jantungku berdegup-degup.

   Entah kenapa, aku merasa gugup sekali.

   Barangkali karena aku senang sekali bisa bertemu dengan ilmuwan sungguhan.

   Aku benar-benar merasa hormat dan kagum pada kaum ilmuwan.

   Barangkali juga karena aku akhirnya bakal tahu makhluk apa yang menetas dari telur ajaib itu.

   Dan karena aku bakal diberitahu apa yang mesti kulakukan.

   Laki-laki itu kembali mengembangkan senyumnya yang begitu ramah dan hangat, membuatku merasa lebih tenang.

   "Hmm, bukan burung. Kalau begitu, kira-kira apa, ya?"

   Dia bertanya pelan-pelan.

   "Saya justru berharap Anda bisa memberitahu saya!"

   Jawabku. Kuulurkan kotak itu ke hadapan laki-laki itu, tapi dia tidak meraihnya.

   "Saya menemukan makhluk aneh,"

   Aku segera menambahkan.

   "Maksud saya, saya menemukan sebutir telur. Kemarin. Di pekarangan belakang rumah saya."

   "Sebutir telur? Telur apa, Nak?"

   "Entahlah, saya tidak tahu,"

   Aku berterus terang.

   "Tapi telurnya besar sekali. Dan kulitnya penuh pembuluh yang berdenyut-denyut. Seakan-akan bernapas."

   Dia menatapku sambil memicingkan mata.

   "Hmm, telur yang bernapas."

   Aku mengangguk.

   "Ya. Semalam saya menyimpannya di laci lemari pakaian saya. Dan tadi pagi telurnya menetas. Dan..."

   "Silakan masuk, Nak,"

   Orang itu berkata.

   Roman mukanya berubah.

   Matanya berbinar-binar.

   Tiba-tiba dia kelihatan tertarik sekali.

   Dia menggenggam pundakku dan mengajakku masuk ke laboratorium.

   Aku harus berkedip-kedip beberapa kali dan menunggu sampai mataku terbiasa dengan suasana yang remang-remang di dalam.

   Semua dindingnya berwarna putih.

   Aku melihat sebuah meja tulis dan sejumlah kursi.

   Lalu masih ada meja rendah dengan setumpuk majalah ilmiah di atasnya.

   Hmm, rupanya ruang tunggu, aku berkata dalam hati.

   Semuanya serba bersih dan berkesan modern.

   Di mana-mana ada kaca dan perabot berlapis krom dan jok kulit berwarna putih.

   Orang itu terus memperhatikan kotak di tanganku.

   Dia mengusap-usap kumisnya.

   "Saya Dr. Gray,"

   Dia memperkenalkan diri.

   "Saya pimpinan lab ini."

   Aku memindahkan kotak sepatu ke tangan kiri supaya bisa bersalaman dengannya.

   "Saya bercita-cita jadi ilmuwan kalau sudah besar,"

   Aku berkata tanpa pikir panjang, dan wajahku langsung terasa panas.

   "Siapa namamu, Nak?"

   Tanya Dr. Gray.

   "Oh. Ehm. Dana Johnson. Saya tinggal beberapa blok dari sini. Di Melrose."

   "Selamat datang di lab saya, Dana,"

   Ujar Dr.

   Gray, sambil merapikan jas labnya.

   Dia menghampiri pintu depan.

   Kemudian dia menutupnya, menguncinya, dan memasang gerendel.

   Hei, aneh, aku berkata dalam hati.

   Aku mulai merasa agak ngeri.

   Kenapa pintunya mesti digerendel? Kemudian aku teringat bahwa labnya memang tutup pada akhir pekan.

   Jadi sudah sewajarnya kalau pintu depan dikunci dan digerendel.

   "Mari ikut saya,"

   Dr. Gray berkata. Dia mengajakku melewati lorong sempit yang serba putih. Aku mengikutinya ke sebuah lab kecil. Aku melihat meja panjang yang penuh tabung reaksi, stoples berisi spesimen, dan peralatan elektronik.

   "Letakkan kotakmu di sini,"

   Dr. Gray memberi instruksi, sambil menunjuk tempat kosong di atas meja. Aku menaruh kotak sepatuku. Dr. Gray mengulurkan tangan untuk mengangkat tutup kotak.

   "Jadi kau menemukannya di pekarangan belakang rumahmu?"

   Aku mengangguk.

   "Di dekat sungai."

   Dia melepaskan tutup.

   "Oh, astaga!"

   Dia bergumam. Chapter 14 MAKHLUK telur itu menatap kami berdua. Dia menempel ke sisi kotak, seluruh tubuhnya gemetaran. Di dasar kotak ada genangan lendir berwarna kuning.

   "Hmm, rupanya ada satu lagi,"

   Dr. Gray bergumam sambil memiringkan kotak sepatu. Makhluk itu menggelinding ke sisi lainnya.

   "Satu lagi?"

   Aku mengulangi.

   "Jadi Anda tahu makhluk apa ini?"

   "Saya kira saya sudah berhasil mengumpulkan semuanya,"

   Sahut Dr. Gray sambil mengusap-usap kumis. Dia menoleh ke arahku.

   "Tapi kelihatannya ada satu yang lolos."

   "Makhluk apa ini?"

   Tanyaku. Dia mengangkat bahunya. Dia kembali memiringkan kotak itu, sehingga makhluk telur itu pun kembali menggelinding. Kemudian dia menyentuh punggung makhluk aneh itu dengan hati-hati.

   "Hmm, yang ini masih muda,"

   Dia bergumam.

   "Ya, tapi makhluk apa ini sebenarnya?"

   Aku bertanya tak sabar.

   "Telur-telurnya berjatuhan di seantero kota,"

   Dr. Gray menjelaskan sambil menyodok-nyodok makhluk itu.

   "Bagaikan hujan meteor. Dan hanya di kota ini."

   "Hah?!"

   Seruku.

   "Maksudnya, telur-telur itu jatuh dari langit?"

   Aku terbengong-bengong. Tadinya kupikir Dr. Gray bisa menjawab pertanyaanku, tapi ternyata aku justru bertambah bingung. Dr. Gray berpaling padaku dan menggenggam pundakku dengan sebelah tangan.

   "Kami menduga telur-telur itu berasal dari Planet Mars, Dana. Dua tahun yang lalu Mars dilanda badai besar. Badai itu menimbulkan semacam hujan meteor, dan sekaligus meniupkan telur-telur ini ke ruang angkasa."

   Mulutku sampai melongo mendengar penjelasannya. Aku menatap gumpalan kuning yang gemetaran di dalam kotak sepatu.

   "Jadi i-ini makhluk dari Mars?"

   Aku tergagap-gagap. Dr. Gray tersenyum.

   "Kami menduga begitu. Kami menduga telur-telur itu melintasi ruang angkasa selama dua tahun."

   "Ta-tapi,"

   Aku kembali tergagap-gagap.

   Jantungku berdegup kencang.

   Tanganku mendadak dingin seperti es.

   Betulkah aku sedang menatap makhluk dari Mars? Betulkah aku sempat menyentuh makhluk dari Mars? Kemudian sesuatu yang lebih aneh lagi melintas dalam pikiranku.

   aku menemukannya.

   Aku menemukannya di pekarangan belakang rumahku.

   Apakah itu berarti makhluk itu milikku? Apakah aku pemilik makhluk Mars? Dr.

   Gray mengguncang-guncangkan makhluk di dalam kotak -makhluk milikku.

   Pembuluh-pembuluh makhluk itu berdenyutdenyut.

   Dia menatap kami dengan matanya yang hitam.

   "Kami belum tahu bagaimana telur-telur tersebut berhasil menerobos atmosfir bumi,"

   Dr. Gray kembali angkat bicara.

   "Maksud Anda, telur-telur itu seharusnya hangus terbakar?"

   Ilmuwan itu mengangguk.

   "Hampir semua benda terbakar habis saat memasuki atmosfir kita. Tapi sepertinya telur-telur ini luar biasa kuat."

   Makhluk telur itu berdeguk-deguk, lalu menabrak-nabrak sisi kotak sepatu. Dr. Gray ketawa kecil.

   "Yang ini lucu sekali."

   "Memangnya masih ada lagi?"

   Tanyaku.

   "Mari ikut saya, Dana. Ada yang ingin saya perlihatkan padamu."

   Sambil membawa kotak itu, Dr.

   Gray mengajakku melewati pintu logam yang besar.

   Pintu itu berdentang keras ketika menutup di belakang kami.

   Sebuah lorong panjang -dengan dinding dicat putih -melewati beberapa ruangan kecil.

   Jas lab Dr.

   Gray berkeresak-keresak setiap kali dia melangkah.

   Setelah sampai di ujung lorong, kami berhenti di depan sebuah jendela lebar.

   "Di dalam situ,"

   Dr. Gray berkata pelan-pelan. Aku menatap ke jendela. Aku sampai mengerutkan kening dan memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Apakah dia sudah tidak waras? Ataukah dia ingin mempermainkanku? "S-saya tidak melihat apa-apa."

   Chapter 15

   "

   TUNGGU sebentar. Saya lupa sesuatu,"

   Ujar Dr. Gray. Ilmuwan itu melangkah menghampiri dinding, lalu memencet sakelar lampu. Lampu di langit-langit lorong menyala, dan aku pun bisa melihat menembus jendela.

   "Oh, wow!"

   Aku berseru tertahan ketika mengamati ruangan besar di balik jendela.

   Di ruangan itu ada segerombolan makhluk telur.

   Beberapa lusin.

   Gumpalan-gumpalan kuning.

   Dan semuanya gemetaran.

   Tubuh mereka penuh pembuluh hijau yang berdenyut-denyut.

   Makhluk-makhluk telur itu meringkuk di lantai keramik yang berwarna putih.

   Sepintas lalu kelihatannya seperti gumpalan adonan kue yang siap dipanggang.

   Lusinan pasang mata yang bulat dan hitam menatap kami tanpa berkedip.

   Rasanya seperti dalam mimpi! Aku terbengong-bengong.

   Dengan mata terbelalak kupandangi makhluk-makhluk itu.

   Dalam hati aku berkata bahwa itu semua cuma boneka.

   Tapi nyatanya bukan.

   Makhluk-makhluk itu hidup.

   Mereka bernapas.

   Mereka gemetaran dan berkedut-kedut.

   "Kau ingin masuk?"

   Tanya Dr.

   Gray.

   Ilmuwan itu tidak menunggu jawabanku.

   Dia mengeluarkan remote control kecil berwarna hitam dari sakunya, lalu menekan sebuah tombol.

   Aku mendengar bunyi "klik", dan pintunya membuka.

   Dr.

   Gray membuka pintu lebar-lebar dan menggiringku ke dalam.

   "Oh!"

   Aku memekik kaget karena disambut udara dingin.

   "Ihhhh, dingin sekali di sini!"

   Aku berseru. Dr. Gray tersenyum.

   "Suhunya sengaja kami buat rendah. Sepertinya makhluk-makhluk itu lebih suka udara dingin."

   Dia memegang kotak sepatuku dengan sebelah tangan. Tangannya yang satu lagi menunjuk makhluk-makhluk telur yang bergerombol di hadapan kami.

   "Setelah menetas, mereka tidak suka hawa panas. Mereka akan meleleh kalau suhunya terlalu tinggi,"

   Jelasnya lebih lanjut. Kotak sepatuku diletakkannya di lantai.

   "Dan kami tidak ingin mereka meleleh,"

   Dr. Gray menambahkan.

   "Kalau mereka meleleh, kami tidak bisa meneliti mereka."

   Dia membungkuk dan mengeluarkan makhluk telur yang kutemukan.

   Dengan hati-hati dia menaruhnya di samping tiga atau empat makhluk telur lainya.

   Semua gumpalan kuning itu mulai bergetar-getar.

   Dr.

   Gray mengangkat kotakku, kembali berdiri tegak.

   Dia menatap makhluk baru itu sambil tersenyum.

   "Kau tidak ingin ia meleleh, bukan?"

   Ujarnya.

   "Mereka harus tetap sehat. Karena itu udaranya harus dibuat sedingin mungkin."

   Aku menggigil dan menggosok-gosok lenganku.

   Kulitku sampai merinding.

   Aku tidak tahu apakah karena kulitku yang dingin, atau karena aku terlalu bersemangat.

   Tapi yang jelas, aku menyesal cuma memakai T-shirt yang tipis! Makhluk-makhluk telur itu terus bergetar dan berayun-ayun.

   Aku tidak sanggup mengalihkan pandangan.

   Habis, makhluk-makhluk itu berasal dari Mars! Tiba-tiba semuanya bergerak ke arah kami, cepat sekali.

   Mereka setengah menggelinding, setengah merayap.

   Dan mereka meninggalkan jejak lendir berwarna kuning.

   Ada jutaan pertanyaan yang ingin kuajukan pada Dr.

   Gray.

   "Apakah mereka punya otak?"

   Aku bertanya padanya.

   "Apakah mereka cerdas? Apakah mereka bisa berkomunikasi? Apakah mereka bisa bicara satu sama lainnya? Bagaimana mereka bisa menghirup udara kita?"

   Dr. Gray ketawa pelan.

   "Tampaknya kau memang berbakat menjadi ilmuwan, Dana,"

   Ujarnya.

   "Tapi sebaiknya satu per satu saja. Pertanyaan mana yang harus saya jawab lebih dulu?"

   "Ehm...,"

   Aku mulai berkata.

   Namun kemudian aku mendadak terdiam ketika aku menyadari apa yang dilakukan makhluk-makhluk telur itu.

   Sementara Dr.

   Gray dan aku berbicara, mereka telah membentuk lingkaran dan mengelilingi kami.

   Dan sekarang kami terkepung.

   Aku berbalik.

   Makhluk-makhluk telur itu juga telah bergerak ke belakang kami.

   Mereka menghalangi jalan ke pintu.

   Dan sekarang mereka mulai bergerak mendekat.

   Apa yang hendak mereka lakukan? Chapter 16 AKU langsung panik.

   Cepat-cepat aku berpaling kepada Dr.

   Gray.

   Di luar dugaanku, dia malah tersenyum lebar.

   "K-kita dikepung!"

   Aku tergagap-gagap. Dr. Gray menggelengkan kepala.

   "Kadang-kadang mereka memang bergerak seperti itu. Tapi jangan takut, Dana. Mereka tidak berbahaya."

   "Tidak berbahaya?"

   Seruku. Suaraku terdengar melengking tinggi.

   "Ta-tapi...."

   "Apa yang bisa mereka lakukan?"

   Tanya Dr. Gray. Dia menaruh sebelah tangan di pundakku yang gemetaran.

   "Mereka cuma gumpalan telur. Mereka tidak mungkin menggigit, bukan? Lihat saja, sepertinya mereka tidak punya mulut, Mereka tidak bisa menangkapmu. Atau memukulmu. Atau menendangmu. Mereka tidak punya tangan maupun kaki."

   Makhluk-makhluk itu terus merapat, dan aku terus memperhatikan mereka.

   Leherku serasa tercekik, dan kakiku gemetaran tak terkendali.

   Aku tahu Dr.

   Gray benar.

   Tapi kenapa mereka bersikap seperti ini? Kenapa mereka membentuk lingkaran? Kenapa mereka terus merapat? "Kadang-kadang mereka menyusun formasi segi tiga,"

   Dr. Gray memberitahuku.

   "Kadang-kadang persegi panjang atau bujur sangkar. Sepertinya mereka mencoba berbagai bentuk geometris yang pernah mereka lihat. Barangkali begitulah cara mereka mencoba berkomunikasi dengan kita."

   "Bisa jadi,"

   Ujarku pelan-pelan.

   Dalam hati aku berharap makhluk-makhluk telur itu mundur lagi.

   Sebenarnya mereka cuma gumpalan-gumpalan yang kecil dan basah.

   Tapi aku tetap saja ngeri.

   Aku kembali gemetaran.

   Kepulan-kepulan napas keluar dari mulutku.

   Saking dinginnya, kacamataku sampai berembun! Aku menatap makhluk telur yang kubawa kemari.

   Dia telah bergabung dengan teman-temannya, dan ikut bergetar-getar dan berkedut-kedut.

   Dr.

   Gray berbalik, berjalan menuju ke pintu.

   Aku mengikutinya.

   Aku ingin segera keluar dari lemari es ini! "Terima kasih kau mengantarkan makhluk itu ke sini,"

   Dr. Gray berkata. Dia menggelengkan kepala.

   "Tadinya saya kira saya sudah berhasil mengumpulkan semuanya. Rupanya masih ada yang lolos."

   Dia menggaruk-garuk kepalanya.

   "Kau bilang kau menemukannya di pekarangan belakang rumahmu?"

   Aku mengangguk.

   "Ya, waktu masih berupa telur. Tapi kemudian telurnya menetas di laci lemari pakaian saya."

   Gigiku bergemeletuk. Dinginnya minta ampun! "Apakah itu berarti makhluk tersebut milik saya?"

   Aku bertanya pada Dr. Gray. Senyumnya meredup.

   "Entahlah. Saya tidak tahu bagaimana peraturan mengenai makhluk luar angkasa."

   Dia mengerutkan kening.

   "Barangkali tidak ada peraturan."

   Aku menatap gumpalan kecil itu. Pembuluh-pembuluh hijau di sekujur tubuhnya tampak membengkak. Seluruh badannya berdenyutdenyut dengan kencang. Apakah dia sedih karena aku akan pergi? Tidak mungkin. Itu tidak masuk akal, pikirku.

   "Saya rasa Anda ingin menahan makhluk itu di sini untuk sementara, supaya Anda bisa mempelajarinya,"

   Aku berkata kepada Dr. Gray. Dia mengangguk.

   "Ya. Saya akan melakukan semua tes yang terpikir oleh saya."

   "Tapi apakah saya boleh kembali untuk mengunjunginya?"

   Tanyaku. Dr. Gray menatapku sambil memicingkan mata.

   "Kembali? Dana, apa maksudmu, kembali? Kau takkan ke mana-mana."

   Chapter 17

   "A-APA?"

   Aku berkata dengan susah payah. Aku yakin sekali aku cuma salah dengar. Seluruh tubuhku menggigil tak terkendali. Aku menggosokgosok lengan untuk menghangatkan diriku.

   "Anda bilang saya takkan ke mana-mana?"

   Tanyaku. Dr. Gray menatapku dengan matanya yang biru pucat.

   "Maaf, Dana, tapi saya rasa kau tidak bisa pergi. Kau terpaksa tetap di sini."

   Aku memekik kaget. Dia cuma bercanda! aku berkata dalam hati. Dia tidak mungkin serius! Dia tidak mungkin menahanku di sini, pikirku. Tidak mungkin. Dia tidak boleh menahanku di sini. Itu melanggar hukum.

   "Tapi... kenapa?"

   Aku kembali bertanya. Aku tetap belum bisa percaya.

   "Kenapa saya tidak boleh pulang?"

   "Kau tentu bisa mengerti, bukan?"

   Dr. Gray menjawab dengan tenang.

   "Orang lain tidak boleh tahu mengenai makhluk-makhluk angkasa luar ini. Orang lain tidak boleh tahu bahwa kita diserbu oleh makhluk-makhluk dari Mars."

   Dia menghela napas.

   "Kalau rahasia ini sampai bocor, seluruh dunia akan panik. Dan kau tidak ingin itu terjadi -ya, kan, Dana?"

   "A-a-a...,"

   Aku berusaha menyahut. Tapi aku terlalu takut. Terlalu kaget. Terlalu kedinginan. Dengan gusar aku memelototi Dr. Gray.

   "Anda harus melepaskan saya,"

   Aku berkata dengan suara gemetaran. Roman mukanya melunak.

   "Tolong jangan tatap saya seperti itu,"

   Katanya.

   "Saya bukan penjahat. Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu. Dan saya juga tidak bermaksud menyekapmu di sini. Tapi saya tidak punya pilihan. Saya ilmuwan, Dana. Saya harus melaksanakan tugas saya."

   Aku menatapnya sambil menggigil. Aku tidak tahu harus berkata apa. Pandanganku beralih ke pintu. Pintunya tertutup rapat, tapi tidak digerendel. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku sanggup mencapai pintu itu lebih dulu dari dia.

   "Kau juga harus diobservasi,"

   Dr. Gray melanjutkan. Dia menyelipkan kedua tangan ke kantong jas labnya.

   "Itu sudah kewajiban saya, Dana."

   "Mengobservasi saya?"

   Ujarku.

   "Untuk apa?"

   Dia menunjuk makhluk telur yang kubawa.

   "Kau sempat menyentuhnya, bukan? Kau sempat memegangnya? Sempat mengangkatnya?"

   Aku mengangkat bahu.

   "Ehm, yeah. Saya mengangkatnya. Memang kenapa?"

   "Nah, kita kan tidak tahu apakah kau tertular kuman berbahaya,"

   Balas Dr. Gray.

   "Kita tidak tahu apakah makhlukmakhluk ini membawa kuman atau bakteri berbahaya, atau penyakitpenyakit aneh dari Mars."

   Aku menelan ludah.

   "Penyakit?"

   Dia menggaruk-garuk kumisnya.

   "Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu. Kemungkinan besar kau memang tidak apa-apa. Kau merasa baik-baik saja, bukan?"

   Gigiku bergemeletuk.

   "Yeah, saya merasa sehat. Saya cuma kedinginan."

   "Pokoknya, saya terpaksa menahanmu di sini dan mengobservasimu. Saya harus mengawasimu dengan saksama. Saya harus memastikan bahwa tidak ada perubahan pada dirimu karena kau menyentuh makhluk itu."

   Nanti dulu, aku berkata dalam hati.

   Aku tidak peduli pada kuman aneh dari Mars.

   Aku tidak peduli pada penyakit telur.

   Aku tidak peduli pada ilmu pengetahuan.

   Aku cuma ingin keluar dari sini.

   Aku ingin keluar dari sini dan pulang ke rumahku.

   Anda tidak bisa menahanku di sini, Dr.

   Gray.

   Dan Anda juga takkan menjadikanku sebagai kelinci percobaan.

   Soalnya aku akan kabur! Dr.

   Gray sedang mengatakan sesuatu.

   Mungkin dia masih berusaha menjelaskan kenapa dia ingin menahanku di lab yang dingin ini.

   Tapi aku tidak mendengarkannya.

   Aku justru memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri.

   Serta-merta aku berlari ke arah pintu keluar.

   Makhluk-makhluk telur menghalangi jalanku.

   Tapi aku melompati mereka dengan mudah.

   Dan terus berlari sekencang mungkin.

   Terengah-engah aku sampai di pintu.

   Seluruh tubuhku menggigil dengan hebat.

   Aku meraih gagang pintu.

   Lalu menoleh ke belakang.

   Apakah Dr.

   Gray mengejarku? Tidak.

   Dia belum beranjak dari tempatnya.

   Bagus! pikirku.

   Sepertinya dia tidak menduga bahwa aku akan kabur.

   Sampai ketemu! Aku menekan gagang pintu.

   Kemudian menarik kuat-kuat.

   Pintunya tidak membuka.

   Aku menarik lebih keras lagi.

   Pintunya tetap tidak bergerak.

   Aku berusaha mendorongnya.

   Sia-sia.

   Suara Dr.

   Gray terngiang-ngiang di telingaku.

   "Pintu itu dikendalikan secara elektronis,"

   Katanya dengan tenang.

   "dan sekarang dalam keadaan terkunci. Pintunya tidak bisa dibuka, kecuali oleh orang yang memegang unit pengendalinya."

   Aku tidak percaya. Aku kembali menarik-narik pintu. Kemudian mendorong lagi. Ternyata dia tidak bohong. Pintu itu memang dikunci secara elektronis. Akhirnya aku menyerah. Aku berbalik dan menatapnya.

   "Berapa lama saya harus tinggal di sini?"

   Tanyaku. Suaranya dingin bagaikan es ketika dia menyahut.

   "Kelihatannya untuk waktu yang lama sekali."

   Chapter 18

   "MENYINGKIRLAH dari pintu, Dana,"

   Dr. Gray memberi perintah.

   "Cobalah untuk tetap tenang."

   Tetap tenang? "Kau tidak perlu kuatir,"

   Ilmuwan itu berkata lagi.

   "Semua spesimen selalu saya jaga baik-baik."

   Spesimen? Aku tidak mau tetap tenang. Dan aku tidak berminat jadi spesimen.

   "Saya manusia. Bukan kelinci percobaan,"

   Aku membalas dengan gusar.

   Tapi sepertinya dia tidak mendengarkan aku.

   Dia mengangkatku dan memindahkanku ke samping.

   Kemudian dia menekan remote control yang digenggamnya.

   Pintunya membuka sejenak saja, dan dia cepat-cepat menyelinap ke luar.

   Aku mendengar bunyi "klik"

   Yang keras ketika pintu itu menutup kembali.

   Aku terperangkap.

   Terperangkap di dalam ruangan dingin bersama tiga lusin makhluk Mars.

   Jantungku berdegup kencang.

   Sekonyong-konyong aku mendengar suara peluit yang melengking nyaring.

   Telingaku sampai nyeri karena bunyi itu.

   Pelipisku berdenyut-denyut.

   Aduh.

   Kepalaku serasa mau pecah! Seumur hidup aku belum pernah semarah sekarang.

   Aku berteriak dengan geram.

   Semua makhluk telur mendadak berpencar.

   Aku berbalik dan mengamati mereka denga heran.

   Mereka bersuara bagaikan sekawanan simpanse kecil.

   Rasanya seruangan penuh simpanse yang sibuk berceloteh.

   Tapi makhluk-makhluk itu bukan simpanse.

   Mereka adalah monster-monster dari Mars.

   Dan aku terperangkap bersama mereka, seorang diri.

   Aku telah menjadi sebuah spesimen.

   "Aduuuhhh!"

   Aku kembali meraung, lalu berlari menghampiri jendela yang lebar.

   "Anda tidak boleh mengurung saya di sini!"

   Aku berteriak. Kaca jendelanya kugedor-gedor dengan kedua tangan. Rasanya aku ingin menangis. Ingin menjerit-jerit sampai serak belum pernah aku merasa begitu marah dan ketakutan.

   "Lepaskan saya! Dr. Gray -lepaskan saya dari sini! Anda tidak berhak mengurung saya di sini!"

   Aku berseru-seru.

   Sekali lagi kugedor-gedor kaca jendela dengan sekuat tenaga.

   Jendela ini akan kugedor sampai pecah, aku berkata dalam hati.

   Ya, jendela ini akan kupecahkan.

   Setelah itu aku akan memanjat ke luar dan kabur dari sini.

   Dengan kalang kabut aku menggedor-gedor jendela.

   "Lepaskan saya! Lepaskan saya dari sini!"

   Tapi kacanya tebal dan keras sekali. Aku tak mungkin memecahkannya.

   "Lepaskan saya!"

   Aku berteriak untuk terakhir kali.

   Ketika akhirnya aku berpaling lagi, makhluk-makhluk telur itu sudah berhenti berceloteh.

   Semuanya diam seperti patung.

   Seakanakan mendadak beku.

   Aku bakal beku di sini, aku menyadari.

   Langsung saja aku mulai menggosok-gosok lenganku.

   Tapi usaha itu tidak membantu.

   Kedua tanganku dingin bagaikan es.

   Aku bakal mati kedinginan di sini, aku berkata dalam hati.

   Aku bakal berubah jadi tiang es.

   Makhluk-makhluk telur itu tak bergerak sedikit pun.

   Pandangan mereka tetap terarah padaku.

   Seakan-akan sedang mempelajariku.

   Seakan-akan sedang mempertimbangkan apa yang harus mereka lakukan terhadapku.

   Tiba-tiba makhluk telur yang kutemukan memecahkan keheningan.

   Aku mengenalinya dari pembuluh-pembuluh berwarna biru di bagian depan tubuhnya.

   Dia mulai berceloteh dengan ramai.

   Makhluk-makhluk telur yang lainnya berpaling, seolah-olah mendengarkannya.

   Apakah dia sedang berbicara dengan teman-temannya? Apakah dia sedang berkomunikasi dengan bahasa Mars yang aneh? "Moga-moga kau menceritakan bagaimana aku menyelamatkanmu!"

   Aku berseru padanya.

   "Moga-moga kau memberitahu mereka bahwa aku anak baik. Jangan lupa -kau hampir terisap ke lubang tempat cuci piring di rumah Anne."

   Tapi tentu saja makhluk itu tidak mungkin mengerti apa yang kukatakan.

   Aku sendiri tidak tahu kenapa aku berteriak-teriak seperti itu.

   Barangkali saking takutnya, aku sudah tak mampu berpikir dengan kepala dingin.

   Sementara makhluk telur yang kutemukan sibuk berceloteh, aku mengamati yang lainnya.

   Semua makhluk yang lain mendengarkan sambil membisu.

   Aku mulai menghitung mereka.

   Mereka begitu banyak -dan aku cuma sendirian.

   Apakah mereka bersahabat? Apakah mereka suka orang asing? Apakah mereka suka manusia? Bagaimana perasaan mereka karena terkunci di ruangan yang dingin ini? Apakah mereka punya perasaan? Berbagai macam pertanyaan melintas dalam benakku, dan -terus terang saja -aku tidak terlalu berminat mengetahui jawabannya.

   Aku cuma ingin keluar dari sini.

   Aku memutuskan untuk kembali menggedor-gedor jendela.

   Tapi sebelum aku sempat berbalik, makhluk telur yang kutemukan berhenti berceloteh.

   Dan kemudian yang lainnya mulai bergerak.

   Tanpa bersuara mereka mulai berdesak-desakan dan membentuk barisan kuning yang lebar.

   Dan tiba-tiba saja mereka menyerang.

   Chapter 19

   "HEI...!"

   Aku memekik kaget, langsung bergerak mundur. Barisan kuning itu terus bergulir maju. Aku mundur sampai punggungku membentur jendela. Aku tidak bisa kabur.

   "Mau apa kalian?"

   Aku memekik. Suaraku melengking tinggi karena panik.

   "Mau apa kalian?"

   Aku berbalik dan memukul-mukul jendela dengan telapak tangan.

   "Dr. Gray! Dr. Gray! Tolong!"

   Apakah makhluk-makhluk itu akan menerjangku? Menerjang dan menelanku? Di luar dugaanku, makhluk-makhluk telur itu berhenti beberapa sentimeter di hadapanku.

   Mereka berputar-putar dan melompatlompat, dan kembali membentuk lingkaran.

   Kemudian, dengan gerakan yang cepat dan tanpa bersuara, mereka bergeser-geser, membentuk segi tiga kuning yang besar.

   Aku menatap makhluk-makhluk itu sambil menggigil kedinginan.

   Gigiku bergemeletuk.

   Mereka ternyata tidak bermaksud menyerang.

   Tapi kalau begitu, apa maksud mereka sebenarnya? Kenapa mereka membentuk lingkaran dan segi tiga? Apakah mereka mencoba berbicara denganku? Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

   Kau ilmuwan, Dana, aku berkata dalam hati.

   Bersikaplah seperti ilmuwan.

   Jangan bersikap seperti anak kecil yang ketakutan.

   Cobalah berbicara dengan mereka.

   Selama beberapa detik aku memeras otak.

   Kemudian kuangkat kedua tanganku, membentuk lingkaran dengan merapatkan telunjuk dan jempol.

   Lingkaran itu kuangkat tinggi-tinggi, supaya terlihat oleh semua makhluk telur.

   Setelah itu aku menunggu reaksi mereka.

   Gumpalan-gumpalan kuning tersebut telah membentuk segi tiga besar yang memenuhi hampir seluruh ruangan.

   Aku melihat mata mereka beralih ke lingkaran yang kubentuk.

   Dan kemudian aku melihat mereka menggelinding dan bergulir -membentuk lingkaran! Apakah mereka meniru contohku? Aku meluruskan jari dan jempol, dan membentuk segi tiga.

   Seketika makhluk-makhluk telur itu ikut membentuk segi tiga.

   Ya! Kami berkomunikasi! aku menyadari.

   Tiba-tiba semangatku bangkit kembali.

   Aku merasa seperti seorang pelopor.

   Aku orang pertama di bumi yang berkomunikasi dengan makhluk Mars! Makhluk-makhluk itu ternyata bersahabat, aku menyimpulkan.

   Mereka tidak berbahaya.

   Sebenarnya, aku belum tahu pasti apakah mereka berbahaya atau tidak.

   Tapi aku begitu gembira bahwa aku bisa berkomunikasi dengan mereka, sehingga aku tidak mau berprasangka buruk.

   Dr.

   Gray tidak berhak menahan mereka di sini, pikirku.

   Dan dia juga tidak berhak mengurungku bersama mereka.

   Aku tidak percaya pada alasan dia menyekapku di sini.

   Alasan itu terlalu dibuat-buat.

   Masa sih aku ditahan gara-gara aku sempat menyentuh makhluk telur itu? Gara-gara aku sempat memegangnya? Mana mungkin aku percaya bahwa aku bisa celaka gara-gara hal sepele seperti itu? Memangnya apa yang bisa terjadi? Apakah kulitku tiba-tiba akan mengelupas? Ataukah aku akan ketularan penyakit aneh, atau mendadak berubah bentuk? Yang benar saja! Itu kan tidak masuk akal.

   Aku sempat menggotong gumpalan kuning itu -dan nyatanya sampai sekarang aku tidak apa-apa.

   Makhluk-makhluk itu bersahabat denganku, aku berkata dalam hati.

   Aku tidak mungkin celaka hanya karena menyentuh salah satu dari mereka.

   Aku ilmuwan.

   Paling tidak, aku bercita-cita jadi ilmuwan.

   Karena itu aku harus bersikap ilmiah.

   Aku memutuskan untuk memeriksa diriku sendiri -sekadar untuk memastikan bahwa aku tidak apa-apa.

   Aku mengangkat tangan dan mengamati keduanya dengan saksama, mula-mula yang kanan, lalu yang kiri.

   Keduanya tampak biasa saja.

   Tak ada bintik-bintik yang mencurigakan.

   Tak ada kulit yang terkelupas.

   Jari dan jempolku juga masih lengkap.

   Aku menggosok-gosok lenganku.

   Keduanya masih utuh, tidak kurang apa pun.

   Sebaiknya kuperiksa seluruh badan sekalian, aku berkata dalam hati.

   Aku membungkuk dan menggenggam kaki kiriku.

   Ternyata kakiku lembek sekali! "Aduh!"

   Aku meratap. Sekali lagi kuremas kakiku. Tetap lembek. Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku sedang berubah. Aku sedang berubah menjadi gumpalan telur dadar! Chapter 20

   "ADUH! Oh, jangan -jangan!"

   Aku meremas mata kakiku yang terasa bagaikan spons.

   Aku tidak berani memandang ke bawah.

   Aku tidak tega melihat apa yang sedang terjadi pada diriku.

   Tapi aku tidak punya pilihan.

   Perlahan-lahan aku menundukkan kepala.

   Dan kemudian aku melihat bahwa yang kuremas ternyata bukan kakiku, melainkan salah satu makhluk telur.

   Seketika aku melepaskannya, aku tertawa sendiri dengan lega.

   "Oh, bodohnya aku!"

   Bagaimana mungkin aku menyangka bahwa gumpalan lembek itu kakiku? Aku memperhatikan makhluk Mars mungil itu bergegas kembali ke teman-temannya.

   Aku menggelengkan kepala.

   Meskipun tak ada siapa-siapa di sana, aku merasa konyol sekali.

   Tenang saja, Dana, aku menegur diriku sendiri.

   Jangan panik dong.

   Tapi bagaimana mungkin aku bisa tetap tenang.

   Sepertinya udara di ruangan itu bertambah dingin.

   Aku tak berhenti menggigil.

   Sampai kukunci rahangku pun, gigiku tetap bergemeletuk.

   Aku menjepit hidung.

   Rasanya dingin dan nyaris beku.

   Aku menggosok-gosok telinga.

   Telingaku juga kaku.

   Aduh, ini tidak main-main, pikirku.

   Aku mulai panik.

   Dadaku mulai terasa sesak karena ngeri.

   Aku benar-benar bakal beku kalau tetap di sini.

   Aku berusaha memikirkan hal-hal yang hangat.

   Aku membayangkan suasana pantai di tengah musim panas.

   Aku membayangkan api yang menari-nari di perapian di rumahku.

   Tapi usaha itu tidak membantu.

   Aku tetap menggigil tak terkendali.

   Aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari hawa dingin ini, aku memutuskan.

   Makhluk-makhluk telur di sekelilingku telah menyebar ke seluruh ruangan.

   Aku kembali mengangkat tangan dan membentuk segi tiga.

   Mereka menatap tanganku, tapi tidak bergerak sedikit pun.

   Aku melengkungkan jari untuk membentuk lingkaran.

   Tapi lagi-lagi mereka tidak menggubrisku.

   "Sepertinya kalian sudah bosan dengan permainan ini, ya?"

   Ujarku.

   Aku mencoba membengkokkan jempol dan jari-jariku untuk membentuk persegi panjang.

   Tapi tidak berhasil.

   Jempol dan jari memang tidak bisa membentuk persegi panjang dengan sempurna.

   Kecuali itu, makhluk-makhluk telur itu memang tidak terlalu memperhatikan apa yang kulakukan.

   Aku bakal mati beku, aku kembali berkata dalam hati.

   Beku.

   Beku.

   Beku.

   Kata itu terngiang-ngiang di telingaku.

   Aku duduk di pojok ruangan sambil menyandarkan punggungku ke dinding.

   Aku menarik lutut, untuk menyimpan panas tubuhku.

   Atau apa yang tersisa dari panas tubuhku.

   Tiba-tiba aku mendengar bunyi dari balik jendela.

   Serta-merta aku bangkit lagi.

   Seseorang sedang mendekat.

   Dr.

   Gray? Apakah dia akan melepaskanku? Aku berpaling ke pintu.

   Aku mendengar suara langkah di lorong di luar.

   Lalu ada bunyi logam berdenting.

   Sebuah celah membuka di bagian kiri pintu, beberapa sentimeter di atas lantai.

   Sebuah baki makanan didorong masuk, lalu dibiarkan jatuh begitu saja.

   Aku bergegas menghampiri pintu.

   Makaroni panggang lapis keju dan sekotak susu.

   "Aku benci makaroni panggang!"

   Aku memekik. Tak ada jawaban.

   "Aku benci makaroni! Aku benci makaroni!"

   Aku mulai kehilangan kendali lagi.

   Tapi aku tidak peduli.

   Aku berlutut di depan baki dan mengulurkan tanganku ke atas piring makaroni.

   Uapnya menghangatkan tanganku.

   Paling tidak makanannya masih panas, pikirku.

   Aku duduk di lantai dan menaruh baki itu di pangkuanku.

   Kemudian aku melahap makaroni yang disediakan, sekadar agar tubuhku terasa lebih hangat.

   Rasanya tidak karuan.

   Dan aku benci lapisan keju yang lembap dan kental di atasnya.

   Tapi sehabis makan aku memang merasa lebih hangat.

   Susu kotaknya tidak kusentuh sama sekali.

   Soalnya terlalu dingin.

   Setelah makan, kusingkirkan baki dan bangkit kembali.

   Aku menghampiri jendela dan mulai menggedor-gedornya dengan tangan terkepal.

   "Dr. Gray -lepaskan saya!"

   Aku berseru.

   "Dr. Gray -saya tahu Anda bisa mendengar saya. Keluarkan saya dari sini! Anda tidak boleh mengurung saya di sini, dan memaksa saya makan makaroni panggang lapis keju! Lepaskan saya!"

   Aku berteriak-teriak sampai serak. Tapi tak ada jawaban. Tak ada suara apa pun dari balik kaca. Dengan kesal aku berbalik.

   "Aku harus mencari jalan untuk keluar dari sini,"

   Ujarku.

   "Aku harus bisa keluar!"

   Dan tiba-tiba aku mendapat ide.

   Chapter 21 SAYANG sekali, ide itu ternyata ide yang buruk.

   Ideku termasuk jenis ide yang timbul kalau kita sedang panik karena terancam mati beku.

   Mau tahu apa ideku itu? Aku bermaksud menelepon ke rumah dan minta agar mereka menjemputku di sini.

   Satu-satunya masalah adalah bahwa di tempat aku disekap tidak terdapat pesawat telepon.

   Aku mencari dengan saksama.

   Di dinding belakang ada rak logam yang tingginya sampai ke langit-langit.

   Tapi isinya hanya bukubuku ilmiah dan berbagai berkas.

   Lalu di salah satu sudut ada meja.

   Tapi mejanya kosong.

   Selain itu tidak ada perabot apa pun.

   Tidak ada apa-apa di ruangan itu selain aku dan makhlukmakhluk-telur itu.

   Aku terpaksa mencari ide lain, dan ide itu tidak boleh melibatkan pesawat telepon.


Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong

Cari Blog Ini