Ceritasilat Novel Online

Geger Pesisir Jawa 2


Satria Gendeng Geger Pesisir Jawa Bagian 2



Ketika persediaan bahan obat-obatan habis, Ki Kusumo tak memerintahkan Satria menghentikan kerja teramat berat itu.

   Dia meminta agar Satria mencari beberapa bunga karang yang katanya hanya tumbuh di tepi Pulau Dedemit.

   Khasiat bunga karang tersebut dapat membantu penyembuhan Nyai Cemarawangi, begitu menurut Ki Kusumo.

   Kerja mati-matian untuk si bocah berlanjut terus.

   Dua setengah tahun pun terlampaui.

   Ketika itu Satria tampak di dalam goa karang Pulau Dedemit.

   Tabung bambu berisi bahan obat-obatan Ki Kusumo sudah demikian menipis.

   Sampai saat itu, tak sekali pun si orang tua mengatakan sesuatu.

   Tak juga menanyakan pada Satria apakah tabung-tabungnya masih tersedia cukup banyak.

   Di rak yang sebenarnya hanya semacam lobang persegi empat memanjang di dinding goa, hanya tersisa tiga tabung bambu.

   Menurut perkiraan Satria, tentu dalam satu pekan ke depan, ketiga tabung itu pun akan habis dibawa.

   Kalau sampai saat itu Ki Kusumo tak menyadari tabung-tabungnya telah hampir habis, rasanya tak mungkin.

   Dia pemilik seluruh tabung sekaligus tempat tersebut.

   Sudah bertahun-tahun goa itu ditempatinya.

   Sudah tentu seorang pemilik tak akan lupa berapa banyak benda-benda yang dimiliki di dalamnya.

   Apalagi kalau sekadar tabung-tabung bambu.

   Sementara selama mengobati Nyai Cemarawangi, tentunya Ki Kusumo terus memperhitungkan persediaan bahan obat-obatannya sepanjang masa pengobatan.

   Jadi, mustahil Ki Kusumo lupa atau tak sadar kaiau persediaan tabung sudah hampir habis, simpul Satria.

   Besar kemungkinan, memang masih ada persediaan bahan obat-obatan lain, duganya lebih jauh.

   Mungkin saja Ki Kusumo menaruhnya di tempat lain dalam goa.

   Satria memutuskan untuk mencarinya.

   Supaya besok-besok dia tak perlu repot-repot lagi mencari, pikirnya.

   Lalu dimasukinya ruangan goa agak ke dalam.

   Di dalam, ruangan agak gelap.

   Udaranya pun lembab dan dingin.

   Karena tak dapat melihat dengan jelas, Satria berusaha meraba-raba dinding goa.

   Siapa tahu ada rak di bagian dinding karang yang lain.

   Suatu ketika, tangannya menemukan lobang berukuran kecil yang amat pas dengan ukuran tangannya.

   Satria tentu saja tidak mencari lobang itu.

   Mana mungkin Ki Kusumo menempatkan sebegitu banyak bahan obat-obatan di tempat sekecil itu, pikirnya.

   Satria urung melewatinya begitu saja.

   Karena dia merasakan ada pancaran hawa hangat yang berbeda dari ruangan lain di dalam goa ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh sisi lobang.

   Aneh, pikirnya.

   Apa mungkin ada ruangan terbuka yang terhubung dengan lobang kecil ini, bisik hatinya penasaran.

   Hanya karena dorongan rasa penasaran, dirogohnya juga lobang tadi dengan tangannya.

   Lebih anehnya lagi, lobang itu ternyata buntu.

   Tangan Satria hanya masuk hingga sebatas siku.

   Menyentuh sesuatu yang dirasanya amat ganjil.

   Berarti lobang itu tak menghubungkan dengan ruang terbuka sama sekali.

   Lantas, kenapa terasa hangat? Makin penasaran saja Satria.

   Keingintahuannya menjangkit, makin menjadi-jadi.

   Seingatnya, Ki Kusumo tak pernah bercerita atau mengatakan tentang adanya lobang berhawa hangat tersebut.

   Satria ingin melongok ke dalam.

   Sayang ruangan terlampau gelap.

   Tak kehilangan akal, dicarinya di ruangan goa yang agak terang sesuatu yang bisa dijadikan penerang.

   Pikirnya, masa iya Ki Kusumo tak pernah membutuhkan obor atau semacamnya selama tinggal di tempat Itu.

   Dugaannya terbukti.

   Di samping mulut goa tertancap sebatang obor.

   Kini tinggal masalah apinya.

   Sekali lagi, Satria menduga-duga.

   Pasti pula Ki Kusumo memiliki batu pemantik atau sejenisnya untuk menyalakan obor.

   Dia pun mulai mencari-cari lagi.

   Untuk menemukan yang satu itu, Satria agak menemui kesulitan.

   Sudah dicarinya ke mana-mana, tak ditemukan juga.

   Setelah hampir bosan mencari, benda itu baru ditemukan.

   Terpencil di salah satu sudut sehingga nyaris terlihat menjadi bagian dinding goa.

   Karena terlalu ingin tahu, tak dinyalakannya dulu obor.

   Dibawanya kedua benda tersebut ke dekat lobang.

   Di depan lobang, baru dia berusaha menyalakannya.

   Batu pemantik hitam sebesar kepalan tangan dibenturkannya ke dinding goa di dekat lobang.

   Tak! Tiba-tiba saja sesuatu terjadi tanpa terduga.

   Batu yang semula dianggap Satria sebagai pemantik tak bisa menempel di permukaan dinding.

   Terpikir oleh Satria, tentu ada semacam daya sembrani alam dalam dinding karang tempatnya memukulkan batu pemantik.

   Kalau kenyataannya begitu, tentu tak akan terlalu sulit dia melepaskannya kembali.

   Namun, kala dicobanya ternyata batu melekat ketat dan liat.

   "Apa pula ini,"

   Gumam Satria, kebingungan.

   Dicobanya untuk menarik batu tadi.

   Sulit.

   Tenaga dikerahkan.

   Batu itu tetap tak bergemik dari tempat menempelnya, seakan ada kekuatan magnit alam raksasa yang mengikatnya kuat-kuat.

   Keanehan susulan tersebut menyebabkan Satria semakin penasaran saja.

   Dia tetap bersikeras untuk mencabut batu pemantik tadi dari tempat menempelnya.

   Dikerahkannya kembali seluruh tenaga.

   Sekali ini, tangannya tergelincir dari permukaan batu pemantik.

   Rupanya batu itu cukup licin.

   Satu-satunya cara untuk mengatasi hal itu, Satria harus mempergunakan kelima ujung jarinya.

   Usahanya diianjutkan.

   Satria sekali ini merasa benar-benar harus mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya.

   Jika perlu sampai tak tersisa.

   Dia harus dapat melepasnya pada sentakan terakhir ini.

   Agar tarikannya lebih kuat, sengaja ditopangkannya kaki pada dinding goa.

   Satria memulai dengan satu teriakan keras.

   "Heaaaat"

   Ujung jari-jari yang dipergunakan untuk mencengkeram sudut batu menjadi teramat perih dan sakit luar biasa.

   Padahai solama ini jari-jari itu sudah demikian menebal, kebal dan terlatih selama dipergunakan untuk mendaki gigir bukit karang.

   Batu masih belum beringsut.

   Satria terus berkutat.

   Dia tak sudi menyerah.

   Sampai beberapa saat berlalu, kelima ujung jarinya sudah mengeluarkan darah dari sela-sela kuku.

   Pedihnya tak alang kepalang.

   Satria berusaha untuk tak merasakan itu.

   Dia terus berkutat ketat.

   Kekokohan otot-otot jarinya yang selama ini berubah menjadi demikian kuat serta alot sungguh-sungguh diuji kemampuannya.

   Biarpun dia dapat mengangkat tubuhnya hanya dengan bertahan pada dua jari di gigir karang yang begitu tipis, hal itu tak menjamin dia dengan mudah mencabut batu tadi.

   Sampai batu tadi pun mulai bergeser dari tempatnya.

   Perlahan bergeser mendekati lobang kecil.

   Satria sengaja menggiringnya ke sana.

   Sebab bila batu tersebut sudah tergelincir ke lobang, tentu dia akan terlepas dengan sendirinya.

   Jarak ke lobang makin dekat.

   Satria terus berkutat.

   "Hiaa!"

   Dengan kawalan satu teriakan kembali, batu pemantik itu berhasil digelincirkan ke lobang.

   Pada saat itu pula, terpercik bunga api.

   Menyusul semburan lidah api berasal dari lobang.

   Nyaris saja wajah Satria tersambar andai saja dia tak berdiri lebih rendah dari lobang.

   Tubuh anak yang kini telah tumbuh menjadi pemuda tanggung itu sendiri terpental.

   Bukan karena terkejut.

   Melainkan karena semburan lidah api tadi diiringi ledakan kuat yang melempar tubuhnya amat keras ke sisi dinding goa yang lain.

   Amat keras, punggung Satria menghajar dinding goa.

   Tulang punggungnya terasa remuk-redam.

   Meringis-ringis, dia mencoba bangkit.

   Sebelum tubuhnya sempat ditegakkan kembali, terjadi ledakan kedua.

   Lebih keras dari sebelumnya.

   Lidah api pun menyembur lebih besar dan berkobar.

   Untung saja jarak pemuda tanggung itu sudah cukup jauh.

   Meski begitu, tak urung Satria mengangkat kedua tangannya dl depan wajah, menghalangi hawa panas yang menerjang.

   Bersamaan dengan ledakan tadi terpental keluar sebuah benda dari lobang berapi.

   Meluncur cepat bagai sebutir anak peluru.

   Dan menancap di dinding goa dua jengkal di atas kepala Satria seakan mata tombak yang menembus dinding kayu.

   Saat berikutnya, kobaran lidah api dari mulut lobang kecil perlahan-lahan menjinak, menjinak, menjinak dan akhirnya mati.

   Tinggal asap tipis putih pekat mengepul dan mengambang malas ke segenap ruangan.

   Satria lega, Dia bangkit.

   Benda yang menancap di dinding goa diperhatikannya dengan teliti.

   Hanya sebuah benda berbentuk seperti bambu kuning kecii sepanjang satu jengkal.

   Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas.

   Di sekitarnya mengepul asap putih.

   "Apa ini?"

   Tanya Satria keheranan.

   Tentu panas, pikir Satria.

   Coba-coba disentuhnya.

   Aneh, benda itu justru terasa sejuk.

   Penasaran.

   Ditariknya benda itu dari dinding.

   Tak seperti usaha mengangkat batu pemantik, kali ini dia menemui kemudahan.

   Sebab, dinding dl sekeliling bambu kuning itu telah menjadi abu.

   Kini, terlihatlah wujud sempurnanya.

   Pada ujung yang lain, terdapat logam berwarna serupa dengan hiasan kepala naga.

   Cuma bentuknya menyerupai ekor naga.

   "Menarik juga benda ini. Biar kusimpan saja,"

   Gumam Satria, tak terpikir olehnya hal lain kecuali hanya ingin menyimpan benda itu.

   * * * Seorang anak muda tanggung yang baru menginjak masa akhil baligh tampak berenang gagah di antara gejolak gelombang Laut Selatan pada musim angin barat.

   Pada musim seperti itu, tak ada satu nelayan pun punya nyali untuk turun ke laut.

   Tidak bagi anak muda tanggung ini.

   Bagai seekor hiu jantan perkasa, dibelahnya gelombang demi gelombang.

   Setibanya di tepi pantai, bergegas dia berlari.

   Tubuhnya basah.

   Otot-otot di sekujur tubuhnya kekar kenyal.

   Dadanya bidang.

   Hampir di sekujur tubuh gagah itu tampak bekas luka-luka lama memanjang.

   Rambut basahnya yang berwarna bergumpal sampai ke bawah bahu kekarnya.

   Wajahnya tampan, berdagu kokoh.

   Matanya bergaris setajam sembilu.

   Dialah Satria.

   Hari itu, tepat dua tahun setengah dia melaksanakan tugas yang dibebankan Ki Kusumo kepadanya.

   Di tangan anak muda tanggung itu tergenggam seikat bunga karang.

   "Satria!"

   Terdengar satu panggilan. Satria menoleh ke arah bukit karang di tepi pantai yang menjorok ke laut. Dl sana berdiri Ki Kusumo. Jubah putih panjangnya bergeletar liar dipermainkan angin kencang.

   "Kemari kau!"

   Anak muda tanggung Itu memenuhi panggilan Ki Kusumo.

   Dengan amat ringan, dia berlari.

   Kecepatan kakinya berlari tak seperti anak muda sebayanya.

   Kekokohan kakinya yang selama dua tahun setengah selalu berkutat mengayuh dalam gelombang, membuatnya sanggup berlari seperti seekor rubah.

   Tak beberapa tarikan napas, Satria sudah sampai di atas bukit karang di mana Ki Kusumo berdiri.

   Anak muda tanggung itu hendak menyerahkan seikat bunga karang dl tangannya, tapi Ki Kusumo malah menyuruhnya lebih mendekat.

   "Aku ingin berbicara padamu tentang satu rahasiabyang selama ini aku simpan diam-diam,"

   Katanya datar. Ditepuknya bahu Satria.

   "Rahasia?"

   Satria tak mengerti.

   Dia memang tak akan mengerti sebelum Ki Kusumo mengungkapnya.

   Orang tua berperawakan yang masih tampak gagah itu berjalan mendekati bibir bukit karang.

   Sebentar dia menarik napas, seakan hendak mengangkat sesuatu dari dadanya.

   Matanya terlepas bebas ke arah samudera yang sedang resah.

   Satria menunggu.

   "Sebenarnya, penyakit Nyai Cemarawangi tak dapat disembuhkan...,"

   Ungkap Ki Kusumo, nyaris tersamar deru angin laut.

   "Apa?!"

   Tersentaklah Satria.

   "Apa aku tak salah dengar, Pak Tua?"

   "Tidak, Cah Bagus. Kau tak salah dengar. Penyakit Nyai Cemarawangi sampai sekarang belum diketahui obatnya. Aku sendiri yang sudah mengenal lebih dari seribu satu jenis penyakit dan mempelajari lebih dari seribu satu obat-obatan tak mempunyai daya untuk membantunya...."

   Gusar, Satria mendekati Ki Kusumo. Langkahnya dibanting bagai berniat meruntuhkan karang.

   "Jadi, untuk apa aku berjuang mati-matian selama ini mengarungi lautan?!"

   Protesnya, nyaris berteriak.

   Sungguh, dia merasa telah didustai selama ini.

   Dusta yang telah menyebabkan dirinya mempertaruhkan nyawa demi satu hal yang sia.

   Demi satu pepesan kosong belaka! "Jadi selama ini kau sudah tahu kalau penyakit Nyai Cemarawangi tak bisa disembuhkan?!"

   "Ya."

   "Kau...."

   Satria teramat geram. Rahangnya mengejang. Giginya bergemerutuk. Dicampakkannya kuat-kuat bunga karang dl tangannya ke bibir pantai di bawah sana.

   "Tapi, aku punya alasan sendiri, Satria."

   Ki Kusumo berbalik. Wajahnya tak berubah. Tetap memperlihatkan wibawa dan ketenangan daiam.

   "Aku tak peduli pada alasanmu, Pak Tua. Yang jelas, selama ini kau telah mendustaiku!"

   Lalu digerakkannya kaki. Pergi. Ditinggalkannya Ki Kusumo, membawa segumpal kegusaran yang tumpang-tindih dengan kekecewaan dan kemasygulan.

   "Satria tunggu!"

   Percuma Ki Kusumo berusaha menahan.

   Saat ini, apa pun alasan dikemukakan, tak akan membuat Satria mendengarkan.

   Dia sedang dikungkung galau.

   Percuma untuk menjeiaskan.

   Orang tua itu menyadari.

   Dibiarkannya anak muda tanggung itu pergi.

   Ada saatnya dia bisa menjelaskan secara gamblang alasan rahasianya yang tersembunyi selama ini.

   Ada saatnya....

   Ki Kusumo menarik napas kembali.

   Membiarkan hawa dari Laut Selatan mengisi rongga paru-parunya.

   * * * Membawa kegalauan, Satria tak kembali ke gubuk.

   Dia tak bisa sama sekali memberitahukan semua yang didengar langsung dari pengakuan Ki Kusumo kepada Tresnasari, jika tak ingin dua wanita itu akan menjadi kecewa terlampau dalam.

   Sama saja artinya, mengoyak-ngoyak seluruh harapan gadis itu.

   Sama saja dengan menumbuk hatinya.

   Satria tak mau itu terjadi.

   Dia memilih pergi meninggalkan pantai Tanjung Karangbolong, sekadar untuk mendinginkan rasa panas mendidih dalam dirinya.

   Ditujunya pusat kota Kadipaten Ayah.

   Satria tiba di sana setelah menempuh perjalanan berkuda selama satu hari penuh.

   Hari saat itu menjelang siang.

   Matahari bersinar tak terlaiu menyengat.

   Angkasa dipenati awan putih yang berarak lambat tenang.

   Dimulai dengan menguasai daerah-daerah sekitarnya Pesisir Utara Jawa seperti Jepara, Semarang, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik, pasukan Demak merambat terus mengembangkan sayap kekuasaannya meliputi daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah.

   Daerah Pesisir Selatan Jawa, adalah salah satu wilayah yang mulai pula dikuasainya.

   Termasuk Kadipaten Ayah.

   Namun karena jauh dari pusat kekuasaan Demak, pengawasan untuk daerah itu jadi agak lemah.

   Itu menyebabkan masuk dengan bebas banyak orang dari berbagai kalangan.

   Karena itu pula, Laskar Lawa Merah di bawah pimpinan Dirgasura memilih untuk lebih banyak bergerak di sekitar Pesisir Selatan Jawa.

   Kota kadipatenan saat itu sedang tampak lengang.

   Beberapa orang tampak berjalan mengangkut keranjang-keranjang ikan yang mereka angkut dengan pedati dari pantai.

   Rumah-rumah penduduk berderet berjauhan sepanjang jaian tanah.

   Tiga-empat bangunan tampaknya adalah kelontong dan kedai makan.

   Di tengah-tengah barisan rumah sebelah kiri, berdiri semacam pendapa yang digunakan saudagar ikan untuk menimbang dan membeli hasil tangkapan laut dari para nelayan.

   Sang saudagar adalah seorang Cina dari pecinan di wilayah sekitar.

   Di beberapa tempat, tumbuh pepohonan kelapa yang diam dan melambai kala angin bertiup semilir.

   Ketika Satria memasuki jalan, beberapa pasang mata menatapinya dengan pandangan curiga.

   Mungkin di antara mereka ada yang cemas kalau-kalau Satria atau setiap pendatang asing adalah mata-mata geromboian Laskar Lawa Merah yang hendak mencari mangsa.

   Di depan sebuah kedai, Satria menghentikan kuda tunggangannya.

   Ditambatkan tali kekang binatang itu pada satu pohon kelapa.

   Dia sendiri masuk ke dalam kedai.

   Perutnya mulai mengamuk minta jatah.

   Memang sudah waktunya makan siang.

   Belum sempat melewati mulut pintu, Satria dikejutkan oleh keributan berasal dari dalam kedai.

   Menyusul tubuh seseorang terlempar mundur keluar amat deras dan tiba-tiba.

   Secara refleks, Satria mengelak ke sisi.

   Tubuh orang tadi luput menerjang dirinya.

   Satria sendiri saat itu dibuat terheran-heran dengan kesigapannya berkelit.

   Sungguh dia tak menyangka berhasil lolos dari terjangan tubuh orang tadi.

   Sebab di samping luncuran tubuh orang itu demikian cepat, juga begitu mendadak.

   Sedangkan jaraknya dengan pintu kedai saja tak lebih dari dua langkah.

   Daiam jarak sedekat itu, tentu amat sulit melakukan elakan.

   Tapi kenyataannya, dia dapat melakukan dengan amat sempurna.

   Sementara orang yang terlempar mundur keluar jatuh bergulingan di jalan berpasir, Satria malah terheran-heran pada dirinya sendiri.

   Bagaimana aku dapat melakukan itu? Tanya hatinya tak mengerti.

   Bagaimana aku dapat bergerak secepat dan sesigap itu? Hal itulah yang selama ini tak pernah disadari oieh Satria sendiri.

   Tempaan selama mengarungi Laut Selatan telah menjadikan dirinya pemuda tanggung luar biasa.

   Terbiasanya dia untuk mewaspadai ancaman karang, membentuk ketajaman pandangan matanya layaknya mata seekor rajawali.

   Dan perjuangan berat menembus kekuatan gelombang lautan membuat otot-otot tubuhnya demikian cepat bereaksi.

   Jari-jari tangannya yang terbiasa digunakan untuk mendaki gigir karang, membentuknya menjadi jari sekokoh dan sekuat batang rotan.

   Selain itu, ada hal lain yang tak kalah luar biasa.

   Dan itu belum sempat dialaminya.

   Pun disadarinya.

   Dalam keterperangahan pada diri sendiri, seseorang lain menerjang keluar dari dalam kedai.

   Seorang lelaki berperawakan kasar, berpakaian dan ikat kepala hitam.

   Rambutnya botak.

   Wajahnya cacat.

   Ada sayatan memanjang dari mata kanan ke leher sebelah kiri.

   Dagunya brewok panjang serta kasar.

   Dari bola matanya yang berwarna merah, tampak sekali kalau lelaki itu sedang dalam keadaan mabuk.

   "Kucincang kau, Keparat!"

   Teriaknya seraya menghunus golok besar.

   Satria beringsut mundur satu-dua tindak, memberikan orang berangasan tadi jalan.

   Tindakan Satria rupanya tak cukup bagi si brewok.

   Dia ingin jalannya lebih bebas.

   Tepatnya, dia tak Ingin ada seorang pun di dekatnya! "Minggir kau!"

   Hardiknya seraya mengayunkan golok ke arah Satria.

   Ganas.

   Cepat.

   Arahnya menuju leher! Wukh! Satria tercekat.

   Jaraknya hanya satu tindak dari si penyerang.

   Bagaimana mungkin dia bisa menghindar dalam keadaan tidak siap? * * * KEJADIAN yang tak terduga dialami lagi oleh Satria.

   Dengan gesit, badannya mencondong ke belakang.

   Itu dilakukan tanpa disadarinya sendiri.

   Sebentuk gerak refleks yang lahir begitu saja dalam keadaan terancam.

   Sabetan golok si lelaki kalap tadi pun hanya membabat angin.

   Lagi-lagi, daya refleks yang terlatih selama menghadapi ancaman karang di sekitar Pulau Dedemit telah tercetus keluar di diri pemuda tanggung itu.

   Lagi-lagi pula, Satria dibuat terheran-heran kembali.

   Apa pula yang telah kulakukan? Bagaimana aku dapat dengan cepat menghindari sabetan golok yang demikian dekat? Pertanyaan-pertanyaan ulangan tadi tak mendapat jawaban.

   Karena lelaki brewok di sebelahnya makin kalap.

   Sabetan yang tak berhasil memangsa leher sasaran, membuatnya menjadi lebih berang.

   Makin berangasan.

   Amukan yang mestinya tertuju pada lelaki yang terlempar keluar, akhirnya nyasar kepada Satria.

   "Heaa!"

   Dalam ketercekatan yang makin membengkak, Satria tak bisa lagi berpikir apa yang mesti dilakukannya.

   Namun, ketika matanya menangkap kerjapan mata golok di tangan lelaki brewok hendak membelah kepalanya, Satria bergerak refleks kembali.

   Dia menyingkir ke samping.

   Serangan kedua luput.

   Serangan berikutnya mengejar.

   Sabetan ganas menderu, memburunya.

   Berkali-kali mata golok lelaki brewok hanya memakan angin dan memakan angin.

   Lelaki brewok makin berang.

   Pengaruh arak dalam tubuhnya makin membakar kemarahannya.

   Kekalapan memuncak.

   Serangannya makin gencar, laksana serbuan hujan.

   Sampai akhirnya....

   Begh! Serangan bertubi-tubi, penuh nafsu dan mengurung seluruh ruang gerak Satria pada akhirnya menemukan satu sasaran.

   Saat itu, perhatian si pemuda tanggung terpecah pada tubuh lelaki yang terlempar keluar dari kedai.

   Serbuan serangan lawan telah menggiring keduanya ke dekat lelaki itu.

   Pada saat tusukan golok mengancam perut Satria, di belakangnya lelaki tadi berdiri terhuyung.

   Jika pemuda tanggung itu berkelit ke samping, maka orang di belakangnya akan menjadi sasaran.

   Terpaksa, menghindar ke belakang seraya menerkam tubuh lelaki tadi.

   Saat itulah, satu tendangan silang lawannya datang dari arah kiri.

   Bahunya terkena.

   Tendangan itu sebenarnya begitu keras.

   Dilepas oieh lelaki berotot pula.

   Kalau pemuda lain, tentu akan tersungkur jatuh dua-tiga tombak.

   Tidak untuk Satria.

   Dia hanya tersurut satu tindak ke samping.

   Kakinya tetap tegar memacak bumi.

   Rasa nyeri di bagian bahunya membangkitkan kemarahan pemuda itu.

   Matanya mendadak memerah.

   Pandangannya menghujam.

   Satu tangannya memegangi bahu yang terhajar.

   Tangan itu mengeras, memperlihatkan otot-otot yang mengeras kejang.

   Tangannya mengepal bagai meremuk-redamkan sesuatu dalam genggaman.

   Begitu lelaki brewok melabrak kembali.

   Satria berteriak.

   Sebentuk luapan kemarahan terlempar dari kerongkongannya.

   Bersamaan dengan itu, wajahnya terbakar merah.

   Di keningnya terlihat gelembung urat-urat kemarahan.

   "Heaaaat"

   Disongsongnya gebrakan lawan dengan langkah maju yang berdebam.

   Tanah berpasir jalan tersibak, berhamburan.

   Wukhh Ayunan golok lawan mengincar dadanya.

   Hendak membelah dada bidang pemuda itu dari samping.

   Gerakan refleks seluruh syaraf dan otot Satria kini sudah berbeda dari sebelumnya.

   Jika sebelumnya dia hanya berusaha menyelamatkan diri.

   Sekarang, gerakan itu terpicu pula oleh kemarahan dan kegusarannya.

   Marah atas kesemena-menaan lelaki brewok.

   Gusar pada kelaliman.

   Sambaran mata golok lawan dlsambutnya dengan satu tendangan yang menyerupai gerak kayuhan ekor hiu jantan.

   Wukh!! Krak!! Ketajaman matanya mendukung tendangan tadl tepat mendarat pada pergelangan tangan lelaki brewok.

   Goloknya kontan terpental amat jauh, lantas nyangsang dl atap kedai.

   Pemiliknya sendiri berteriak luar biasa keras.

   Rupanya, hantaman punggung kaki Satria menyebabkan pergelangan tangannya remuk seketika! Sebelum lelaki brewok sempat menikmati rasa sakit yang meruyak sampai ke ulu hati, satu tohokan jari-jemari Satria menanduk langsung ke dadanya.

   Dep!! Tangan kokoh berjari berwarna merah kebiruan yang selama ini selalu menentang kekuatan gelombang dan menaklukkan gunung karang, masuk telak di dada lelaki brewok.

   Seketika itu terdengar suara derak terpendam menggiris hati.

   Hanya dengan kekuatan jarinya, tiga tulang iga lelaki brewok terpatah di dalam.

   Tubuhnya terjajar deras ke belakang.

   Saat yang sama, darah tersembur keluar dari mulutnya.

   Lelaki itu terjengkang ke belakang.

   Di tanah, dia berkelojotan beberapa lama.

   Di akhir gerak, dia mengejang.

   Lalu terkulai.

   Satria berdiri terpana.

   Tangannya bergetar hebat.

   Apa yang baru kulakukan? Apa yang baru kulakukan? Jerit hatinya.

   Apakah aku telah membunuh lelaki itu? Apakah aku telah membunuhnya? Mata pemuda tanggung itu menatapi nanar tangannya yang terus terangkat di depan wajah.

   Itulah keluar biasaan lain yang kini terjadi dalam dirinya.

   Pengaruh ramuan obat-obatan racikan Ki Kusumo yang selama ini diminumnya tanpa diketahui Satria, bahkan oleh sang Tabib Sakti Pulau Dedemit sendiri, telah menyatu dan bersenyawa dengan zat yang terhisap masuk ke dalam tubuh Satria ketika terjadi bencana badai besar dahulu ( Bacalah episode sebelumnya.

   "Tabib Sakti Pulau Dedemit"). Kenyataan seperti itu jauh di luar pikiran dan rencana Ki Kusumo. Orang tua itu sebenamya memberikan ramuan-ramuan yang akan membuat tubuh anak asuhnya akan menjadi kebal terhadap segala jenis racun paling berbisa. Ramuan hasil racikannya sendiri selama dia mendekam di Pulau Dedemit. Ramuan yang belum pernah diketemukan tabib lain. Campuran rumit antara beberapa resep-resep obat-obatan Tiongkok yang dipelajarinya selama puluhan tahun! Dinamainya ramuan tersebut Ramuan Pulau Dedemit, sesuai dengan nama tempat di mana dia berhasil menemukannya. Dengan alasan untuk menghilangkan rasa sakit dan letih tubuh Satria, Ki Kusumo memberikan Ramuan Pulau Dedemit. Tanpa dinyana tanpa diduga, ramuan tersebut justru menjadi berkembang khasiatnya setelah berbaur menyatu dan bersenyawa dengan zat dasar terdalam Samudera Hindia di dalam tubuh Satria. Zat yang menyelubungi sel-sel otak Satria dan membuat seluruh ingatan masa lalunya nyaris menghilang itu akan dapat membangkitkan tenaga tak terduga setaraf dengan tenaga dalam tingkat tinggi seorang datuk dunia persilatan setelah bersenyawa dengan Ramuan Pulau Dedemit. Tenaga dalam itu sebenarnya dapat diatur sekehendak hati oleh Satria. Cukup dengan memusatkan seluruh indra, rasa dan karsanya pada satu titik di bagian otaknya, maka tenaga sakti itu pun tersalur keluar. Titik tersebut amat dekat dengan pengendali rasa marah di satu bagian tengah jaringan otaknya. Tak heran, ketika dia menjadi murka, maka tenaga itu pun terbentuk nyata. Kembali pada Satria. Rasa panik tak terkendali pada kejadian yang tak terbayangkan tadi membuat Satria melarikan diri dari tempat itu. Diburunya kuda. Melompat ke punggungnya. Digebahnya binatang itu, lari liar sepan-ang jalan. Sepeninggalan Satria, seseorang keluar dari kedai. Diawasinya Satria di kejauhan, Bersit keji berbaur sekam penasaran terpancar di kedua bola matanya. Seorang lelaki kurus berkulit hitam. Berkepala botak. Dialah tangan kanan Dirgasura. Lelaki keturunan India. Pandangannya beralih ke arah tubuh lelaki brewok di tepi Jaian. Matanya menyipit geram. Lelaki yang mengalami nasib naas di tangan si pemuda tanggung itu adalah anak buahnya sendiri, seorang anggota gerombolan Laskar Lawa Merah! Suatu hari, nyawa anak buahnya harus dlbayar oleh nyawa pula.... * * * Pemuda tanggung berambut merah, Satria, tiba kembali di Tanjung Karangbolong dengan perasaan tak menentu. Sehimpun perasaan campur aduk mengacau dalam dirinya. Ada perasaan bersalah, ada penyesalan. Ada kemarahan terhadap diri, ada kekecewaan. Ada gusar, galau, dan perasaan-perasaan lain yang sulit terjabarkan. KI Kusumo menyambutnya dengan wajah yang tak memancarkan apa-apa. Muram. Sebabnya bukan karena dia telah mengecewakan Satria beberapa hari lalu. Ada sebab lain. Dan tampaknya dia hendak mengutarakan ganjalan yang memburamkan wajahnya itu pada si pemuda tanggung.

   "Syukurlah kau sudah kembali, Satria."

   Satria turun dari kudanya.

   Dia tak ingin berkata apa-apa.

   Minatnya untuk bicara seperti dikunci mati.

   Bukan karena persoalan tempo hari.

   Sebab, kekecewaannya pada Ki Kusumo sudah tak mengusik lagi.

   Telah digusur habis oleh peristiwa di kota Kadipaten Ayah.

   "Aku hendak mengatakan sesuatu padamu, Satria...,"

   Lanjut Ki Kusumo kembali. Kuyu, Satria menatap orang tua yang selama tiga tahun ini sudah amat dekat bagai seorang kakek bagi dirinya. Ada beban berat ditemukan pemuda itu dalam pandangan Ki Kusumo.

   "Akhirnya, Tresnasari mengetahui tentang rahasia itu, Satria,"

   Keluh Ki Kusumo.

   Satria terpancing.

   Ada sesuatu terjadi pada Tresnasari selama aku tak di sini? Tanya hatinya.

   Gadis ayu yang kini mulai menginjak masa ranumnya selaku seorang dara itu memang mudah mempengaruhi diri Satria.

   Dalam keadaan kacau, pemuda itu masih bisa menikmati desir perasaannya terhadap Tresnasari.

   Gadis itu ibarat gerimis kecil dalam kemarau panjang bagi Satria.

   Ibarat keteduhan yang seringkali dapat menaungi kegersangan hatinya.

   Maklum, di hatinya telah tumbuh makin subur asmara.

   "Kenapa dengan Tresna, Pak Tua?"

   Tanya Satria. Mata tua Ki Kusumo menerawang. Jauh. Teramat jauh, seolah tak dapat diraih siapa pun. Rupanya dia sedang merekam ulang peristiwa beberapa hari lalu ketika dia mengungkap rahasianya pada Satria.

   "ketika kita berbicara waktu itu di atas karang, tanpa sengaja Tresna mendengarnya...."

   Ah, hatinya tentu terkoyak mendengar berita itu, sesal Satria. Luka terlampau dalam setelah selama ini berharap terlalu banyak penyakit ibunya akan dapat disembuhkan oieh Ki Kusumo.

   "Lalu ke mana dia sekarang, KI?"

   "Pergi. Entah ke mana. Dia hanya meninggalkan surat ini...."

   Ki Kusumo mengangsurkan gulungan daun lontar kering berisi surat Tresnasari. Satria menerimanya, membuka, dan dibaca.

   "Aku bukannya tak cinta dengan Nyai. Aku bukan anak yang tak ingin mengabdi dengannya. Tapi, aku tak akan kuasa menemaninya menemui ajal. Tak sanggup aku menungguinya sementara dia hanya menunggu saat akhir hidupnya. Aku kecewa padamu, Pak Tua Kusumo. Bukan karena kau tak bisa menyembuhkan ibuku. Tapi karena selama ini kau telah memberi harapan terlampau tinggi padaku. Juga pada Nyai. Aku pergi. Entah hendak ke mana. Jangan cari aku. Salam untuk Satria. Dia telah banyak berusaha dan berjuang sampai harus mempertaruhkan nyawanya demi seorang wanita penyakitan yang sama sekali bukan keluarganya dan belum lagi cukup lama dikenalnya. Aku dulu telah keliru menilainya. Kini aku sadar, Satria adalah Ksatria. Tresnasari"

   Satria meremas daun lontar di tangannya. Rasa getir menyelinap lebih cepat dari remasan tangannya sendiri. Ada yang dirasa hilang seusai membaca surat Tresna. Hilang bersama kepergian Tresnasari. Getir itu makin pekat. Kian karam di dasar hatinya.

   "Aku turut menyesal, Satria,"

   Desah Ki Kusumo.

   "Semestinya, aku tak perlu memberikan harapan terlampau besar pada gadis itu. Aku yang tua ini, rupanya sudah tak bisa lagi berpikir cukup bijak,"

   Keluhnya.

   "Semua itu kulakukan hanya karena aku teramat berhasrat menjadikanmu murid...."

   "Cukup Pak Tua. Semuanya sudah terjadi. Tak perlu kau sesali terlalu dalam,"

   Ucap Satria.

   "Setelah merenung satu-dua hari ini, aku pun sadar tak sepantasnya aku menyesali perbuatanmu. Jika ini memang kehendak Tuhan, maka itu sama saja aku menyesali ketetapan-Nya.."

   Ki Kusumo tersentuh mendengar kata-kata sekilau permata yang mengalir sejuk dari mulut seorang pemuda tanggung di depannya. Dia merasa jadi seorang anak kecil yang sedang diwejangi orangtuanya.

   "Aku pamit dulu, Ki...,"

   Hatur Satria kemudian.

   Ki Kusumo tak perlu bertanya.

   Dia cukup tahu hendak ke mana Satria.

   Hati yang didekap kasih milik Satria, telah menitahnya untuk segera mencari Tresnasari.

   Kendati Satria belum tahu hendak mencari ke mana.

   Wakau tak pasti apakah pujaan hatinya akan diketemukan....

   * * * HAL yang paling ditakuti oleh penduduk sekitar Pesisir Selatan Tanah Jawa beberapa tahun terakhir adalah sepak terjang Laskar Lawa Merah.

   Kekejaman mereka benar-benar menjadi wabah mengerikan.

   Baik dalam kenyataan maupun dalam benak penduduk.

   Beberapa pekan belakangan, setelah pasukan khusus Demak di bawah pimpinan Bagaspati tak berhasil menemukan gerombolan tersebut, Laskar Lawa Merah mulai menampakkan diri kembali di sekitar wilayah Kadipaten Pandan.

   Wilayah yang diapit oleh Ketawang dan Ayah.

   Sore, Cuaca sumringah.

   Angin bertiup santun.

   Hari seperti dicelup ke dalam warna kemerahan matahari senja.

   Keadaan seperti suasana hati seorang bocah yang riang.

   Tak ada tanda-tanda bahwa hari itu akan segera tersulut malapetaka besar.

   Awalnya, dengan masuknya sepasukan berkuda.

   Terdiri dari lebih tiga puluh lelaki berpenampilan kasar, seram, dan memancarkan hawa membunuh.

   Terutama karena masing-masing penunggang kuda siap dengan berjenis senjata tajam.

   Tak ada tanda-tanda kalau mereka adalah pasukan dari satu kedaulatan kerajaan.

   Bukan pasukan Kerajaan Demak.

   Bukan pasukan Kerajaan Banten.

   Bukan pula dari kerajaan mana pun.

   Karena mereka adalah Laskar Lawa Merah.

   Mereka memasuki gerbang kadipaten.

   Dari cara mereka bergerak lambat dan tak terlalu tergesa-gesa, tampak jelas kalau mereka tak menganggap ada satu ancaman sedikit pun bagi keberadaan mereka.

   Bisa jadi mereka hanya sedang memamerkan kekuatan mereka.

   Atau sekadar berangkuh-angkuh dengan nama gerombolan yang telah berhasil menggetarkan nyali, sekaligus membangun kegegeran di sepanjang Pesisir Selatan Tanah Jawa.

   Dirgasura, berkuda pada barisan paling depan dengan segala pencerminan sikap seorang kepala gerombolan perampok paling ditakuti.

   Di sampingnya, berkuda tangan kanan paling ampuhnya, lelaki keling yang biasa dipanggil Keling Gundul oleh Dirgasura sendiri.

   Nama aslinya hampir tak pernah diketahui.

   Bahkan hampir-hampir dilupakan oleh pemiliknya sendiri.

   Tak ada tujuan yang lebih pasti jika Laskar Lawa Merah sudah memasuki satu daerah, kecuall hendak melakukan perampokan, penjarahan dan meledakkan malapetaka besar-besaran.

   Dan rencana itu rupanya sudah dipersiapkan dengan cermat jauh-jauh hari sebelumnya dengan mengutus dua orang mata-mata.

   Satu orang adalah Keling Gundul dan seorang lagi adalah lelaki brewok yang mati di tangan Satria.

   Ketika bentrok dengan pemuda berambut kemerahan itu di kota Kadipaten Ayah, keduanya sedang mempelajari daerah sasaran perampokan.

   Tanpa sengaja lelaki brewok berurusan dengan Satria.

   Kejadian itu telah dilaporkan secara lengkap oleh Keling Gundul kepada Dirgasura, melengkapi laporan hasil pengamatannya terhadap daerah yang akan dijadikan korban keganasan mereka.

   Untuk gerakan kali ini, Dirgasura tampaknya berminat besar untuk menjalankan gerakan besar-besaran, mengeruk harta dan wanita di tiga wilayah sekaligus.

   Kadipaten Pandan, Tanjung Karangbolong dan terus menyisir ke barat menuju Kadipaten Ayah.

   Mereka bukannya tak tahu kalau pasukan Demak sedang memburu mereka.

   Namun, karena laporan Keling Gundul menyebutkan kalau kedua tempat tersebut aman dari pasukan Demak di bawah pimpinan Bagaspati, Dirgasura memutuskan untuk segera melaksanakan rencana secepatnya.

   Sebelum Demak merembeskan kekuatan pasukan khususnya ketiga wilayah tersebut, iniiah saatnya mereka bergerak, pikir Dirgasura.

   Saatnya mereka membumi hanguskan sehancur hancurnya ketiga wilayah tersebut.

   Selain rencana besar-besaran itu, Dirgasura pun mempunyai rencana lain.

   Dia ingin mencari seorang pemuda tanggung yang telah lancang menghabisi nyawa salah seorang anak buahnya.

   Di benaknya, sudah mengepul-ngepul niat untuk menghabisi pemuda itu di hadapan penduduk.

   Baginya, tindakan serupa itu amat perlu dilakukan.

   Guna dijadikan contoh dan memberi pelajaran bagi siapa saja yang punya nyali menentang Laskar Lawa Merah! Pada saat yang sama, Satria memasuki pula Kadipaten Pandan melalui sisi berlawanan dengan gerakan Laskar Lawa Merah.

   Pemuda itu hendak mencari Tresnasari di sana.

   Menurut pemikirannya, tentu daerah terdekat dengan Tanjung Karangbolong tersebut amat besar kemungkinannya disinggahi oleh Tresnasari.

   Untuk perhitungan jarak, sebenarnya Kadipaten Ayah lebih dekat Iagi.

   Belum lama berselang dia baru saja menyinggahi daerah tersebut.

   Tak dijumpainya Tresnasari selama di sana.

   Dengan begitu, Satria berkesimpulan bahwa ada baiknya kalau dia mencari ke tempat lain yang masih dekat dengan Tanjung Karangbolong dahulu.

   Kejadian beberapa hari sebelumnya, manakala dia untuk pertama kalinya membunuh, masih tetap menghantuinya.

   Setiap kali menyembul bayangan-bayangan tersebut dalam benaknya.

   Menyudutkannya dalam ketakutan, dalam rasa bersalah mendalam.

   Meski bagaimanapun, dia tetap seorang pemuda tanggung yang masih terlalu lugu.

   Perbuatannya dianggap kesalahan paling besar yang pernah dilakukan selama hidup.

   Untuk itu, dia ingin tak memaafkan dirinya.

   Dalam hati, Satria bersumpah tak akan mempelajari ilmu silat.

   Tiba di satu rumah penduduk, Satria mencoba bertanya pada penghuninya.

   Tak ada jawaban memuaskan didapatkan.

   Penghuni rumah tersebut tak pernah melihat seorang gadis seperti gambaran Satria.

   Rumah lain ditanyakan.

   Hasilnya sama saja.

   Mereka tetap tak pernah menyaksikan Tresnasari.

   Beberapa orang yang kebetulan melintas dijalan pun tak luput ditanyakan.

   Mereka juga menjawab sama, tak tahu menahu.

   Sampai suatu ketika, dari kejauhan Satria menyaksikan seseorang keluar dari satu penginapan kecil terletak di pinggiran Kekadipatenan Pandan.

   Seorang gadis sebaya Tresnasari.

   Satria cepat menggebah kudanya.

   Didekatinya gadis tadi.

   Bukan sekadar ingin bertanya.

   Melainkan dia dibuat penasaran karena bentuk tubuh gadis itu amat mirip dengan Tresnasari jika diperhatikan dari belakang.

   Dengan rambut hitam panjang diekor kuda sebatas pinggang.

   Berpakaian seorang pendekar wanita.

   Baju bagian atas berwarna kuning.

   Bercelana pangsi di bawah lutut berwarna merah hati.

   Warna kulitnya juga seperti Tresnasari.

   Hanya satu hal yang berbeda.

   Kalau Tresnasari menyandang dua belati di ikatan pinggangnya.

   Gadis ini menyandang sepasang pedang bersilangan di punggungnya.

   Kalau hanya soal itu, bisa Tresnasari mengganti senjatanya.

   Bukankah di sepanjang Pesisir Utara Tanah Jawa banyak terdapat perkampungan pandai besi.

   Tresnasari bisa memesan dua pasang pedang kembar untuk mengganti senjatanya, pikir Satria.

   Semakin dekat, Satria semakin yakin kalau gadis itu benar-benar Tresnasari.

   Jaraknya semakin dekat.

   Satria tak ragu lagi akan dugaannya ketika gadis tadi menoleh.

   Suara langkah kuda tunggangan Satria memancing perhatiannya.

   "Tresna!"

   Seru Satria kegirangan bukan main.

   Cepat dia melompat turun dari punggung kuda.

   Padat rasa sukacita, Satria menghambur ke arah si gadis.

   Hendak dirangkulnya.

   Selama tiga tahun terakhir semenjak Satria bertekad untuk mambantu penyembuhan Nyai Cemarawangi dengan mengambil segala keperluan Ki Kusumo di Pulau Dedemit, hubungannya dengan Tresnasari menjadi demikian karib.

   Kemana-mana, mereka selalu tampak berdua.

   Pergi bersama, pulang bersama.

   Keceriaan Tresna adalah keceriaan Satria.

   Kegembiraan Tresna adalah kembiraan Satria puia, Mereka bagai api dan asap yang tak terpisahkan.

   Keakraban mereka tak bedanya dengan sepasang adik-kakak yang baru bertemu setelah sekian tahun berpisah.

   Sementara lambat-laun, rasa suka dalam diri keduanya menumbuhkan kecambah-kecambah cinta.

   Srang! Satria dibuat terperanjat dengan sambutan yang diterimanya.

   Gadis Itu meloloskan sepasang pedangnya dengan sinar mata menghujamkan kecurigaan terhadap Satria.

   Diacungkannya sepasang pedang itu ke depan.

   "Tresna, apa yang kau lalukan? Ini aku, Satria...,"

   Perangah Satria.

   "Aku tak kenal kau!"

   Sahut si gadis. Dari sorot matanya tergambar jelas kalau dia tidak main-main dengan ucapan barusan. Juga tidak dimaksudkan untuk berdusta. Satria jadi tak mengerti.

   "Lagi pula namaku bukan Tresna,"

   Tambah sigadis, tegas.

   "Bukan?"

   Satria bertanya ragu.

   Diperhatikannya lagi wajah gadis yang masih mengacungkan pedang.

   Memang dia Tresna, pikir Satria.

   Kalau memang benar, kenapa dia harus menyangkal.

   Apakah Tresna tak ingin bertemu denganku lagi? Satria gundah.

   Tapi, ketika Satria mencari tahu dari sinar mata gadis tadi, tak ada sebetik kebohongan di sana.

   Semua kata-kata yang diucapkan pada Satria tampaknya tak pernah dimaksudkan mengelabui siapa pun.

   Satria bimbang.

   Karena tak yakin, diamatinya lagi wajah gadis tadi.

   Benar-benar mirip.

   Benar-benar membuat Satria yakin kalau dia memang Tresnasari.

   Tapi tunggu dulu....

   Benaknya memperingati.

   Ada satu perbedaan ditemukan Satria.

   Tidak pada fisik gadis itu.

   Untuk hal satu itu, tak ada sedikit pun yang bisa ditemukan perbedaannya dengan Tresnasari.

   Satria justru menemukan perbedaan dalam cara gadis itu memandang.

   Sinar matanya berbeda dengan Tresna.

   Sinar mata gadis itu tak berkesan judes seperti Tresna.

   Lebih lembut, walau membersitkan kecurigaan terhadap diri Satria.

   Lebih dewasa pula.

   Dan satu perbedaan lagi baru disadari Satria.

   Nada suaranyaterdengar cukup santun meskipun agak membentak.

   Jangan-jangan dia memang bukan Tresna, ragu Satria.

   "Kau bukan Tresna?"

   Terjulur juga pertanyaan kebodoh-bodohan dari mulut pemuda tanggung itu. Si gadis menggeleng kecil.

   "Aku Mayang. Mayangseruni,"

   Katanya, memperkenalkan diri.

   "Oh, maaf. Kukira kau adalah seorang yang kukenal,"

   Ujar Satria, akhirnya menyadari kekeliruannya. Gadis bernama Mayangseruni memasukkan sepasang pedangnya kembali ke sarung di punggungnya.

   "Boleh aku bertanya...,"

   Katanya lebih jauh, sewaktu Satria sendiri baru hendak pamit.

   "Apakah kau sedang mencari orang yang amat mirip denganku?"

   Tanya Mayangseruni melanjutkan.

   "Benar. Kau pernah melihatnya?"' baiik tanya Satria, bersemangat.

   "Tidak...."

   Satria kecewa. Mayangseruni hendak menambahkan sebelum teriakan bersahut-sahutan terdengar dari kejauhan. Keduanya dibuat terperanjat.

   "Sesuatu sedang terjadi di sana,"

   Desis Mayangseruni. Matanya menatap nyalang ke arah datangnya jeritan tumpang tindih barusan.

   "Aku harus ke sana!"

   Bertepatan dengan kalimat terakhir Mayangseruni, Satria pun berpikiran sama. Dia sudah lebih dahulu naik ke punggung kuda. Digebahnya kuda.

   "Hey, tunggu! Aku ikut! seru Mayangseruni. Berbarengan teriakannya, tubuh gadis sebaya dan amat mirip Tresnasari itu mencelat ringan ke udara, berputaran beberapa kali, dan hinggap di pelana belakang. Gerak yang cukup sulit, mengingat kuda Satria sudah teianjur berlari kencang. * * * Ki Kusumo didatangi seseorang di gubuknya di tepi pantai Tanjung Karangbolong. Kakek kurus kurus kering berjubah hitam pendek sebatas paha. Berjenggot dan berambut putih awut-awutan amat panjang hingga mencapai lutut. Menurut Dedengkot Sinting Kepala Gundul pada Satria waktu Itu, kakek ini berjuluk Iblis Dari Neraka. Berdiri bertolak pinggang. Pada jarak lebih dari tiga puluh depa dari gubuk yang dipergunakan Ki Kusumo untuk merawat Nyai Cemarawangi.

   "Kusumo! Kusumo keluar kau! Aku tahu kau berada di dalam sana!!"

   Teriak si kakek buluk. Suaranya menggetarkan gubuk. Dari gubuk, tak ada sambutan apa-apa. Pun sekadar sahutan.

   "Bajingan kau, Kusumo! Kau pikir aku sudi terus-menerus main kucing-kucingan denganmu!"

   Seru si kakek buluk kembali.

   Suaranya makin menggelegar saja.

   Seperti ada sehimpun petir yang menyalak berbarengan.

   Menyebabkan gubuk yang jaraknya terbilang jauh dari tempatnya berdiri bergetar kembali.

   Lebih hebat.

   Sampai-sampai beberapa bilah kayu di bagian dinding menjadi berpecahan.

   Sementara Iblis Dari Neraka semakin tak sabar.

   Pipi kendornya bergetar, menahan kegeraman.

   Merah matanya, mempertegas urat-urat halus yang merangas seperti akar.

   "Kusumo!!"

   Untuk yang terakhir kalinya, Iblis Dari Neraka meneriakan nama Ki Kusumo. Itu batas kesabarannya. Setelah itu, akan lain perkara.

   "Baik kaiau itu yang kau mau, Keparat...,"

   Desis kakek buluk Iblis Dari Neraka, padat ancaman.

   "Heeaaa!"

   Teriakan parau mencelat dari kerongkongan tua bangka tokoh kalangan atas dunia hitam itu.

   Seperti suara ribuan ekor kelelawar yang menjerit berbarengan.

   Tangannya bergerak sekedipan.

   Wuush! Lalu, serangkum angin pukulan berhawa amat panas menerjang beringas ke arah gubuk.

   Memangsanya hangus.

   Menjadikannya terbakar dilalap api.

   Sejenak iblis Dari Neraka mengawasi raja merah yang sedang berpesta-pora melalap gubuk itu.

   Terdengar gemeretak ramai kayu terbakar.

   Terdengar deru lidah api yang menggapai-gapai.

   Tapi, tak teriihat sedikit pun tanda kalau di dalamnya ada manusia.

   "Keparat!"

   Merasa telah dipermainkan mentah-mentah, Iblis Dari Neraka semakin panas.

   Tak beda dengan gejolak api ciptaannya yang memangsa gubuk.

   Sampai mata tua nan tajamnya menyaksikan satu bayangan berkelebat cepat ke arah kobaran api.

   Terdengar lagi bunyi gemeretak.

   Kali ini lebih keras, karena ada kayu berapi yang didobrak paksa.

   Iblis Dari Neraka tersenyum.

   Dia sekarang tahu, usahanya tak sia-sia.

   Detik berikutnya, terdengar teriakan lantang.

   Seseorang mencoba menembus kepungan api dari atap yang sudah tuntas dilalap api.

   Kembali terlintas kelebatan bayangan Mencelat keluar.

   Tegak lurus, menjebol atap yang tak lebih kepungan api.

   Pada batas tertinggi, kelebatan bayangan yang sudah membopong sesuatu tadi berjungkir-balik di udara, Menjadikan pucuk pohon kelapa sebagai pijakan.

   Di atas ketinggian pohon, dia kini berdiri.

   Dialah Ki Kusumo.

   Baru saja diselamatkannya Nyai Cemarawangi dari api.

   Memang agak terlambat.

   Jika tidak, tentu gubuknya tak akan bernasib sesial itu.

   Untuk keadaan Nyai Cemarawangi, tak kurang apa-apa.

   Hanya pernapasannya agak terganggu oleh asap.

   Beberapa saat lalu, Ki Kusumo memang tidak berada dalam gubuk.

   Dia sedang keluar mencari beberapa butir buah kelapa untuk diberikan airnya kepada Nyai Cemarawangi.

   Ketika mendengar suara teriakan mengguntur di kejauhan menyebut-nyebut namanya, sadarlah Ki Kusumo kaau bahaya sedang mengancam keselamatan perempuan sakit di dalam gubuknya.

   Orang tua itu cepat kembali.

   Belum lagi tiba, dilihatnya api sudah membumbung tinggi.

   "Akhirnya kau muncul juga, Tabib Keparat!"

   Seru ibiis Dari Neraka, menyambut kehadiran Tabib Sakti Pulau Dedemit.

   Telah bertahun-tahun kakek buluk itu mencari, memburu dan melacak jejak Ki Kusumo.

   Berpuiuh tahun.

   Bagi manusia tua bangka seperti dia, tentu waktu selama itu akan menjengkelkan.

   Usianya makin digerogoti waktu.

   Sementara pencarian tak menemui titik terang.

   Baru hari ini pencarian menjengkelkan itu berakhir.

   Setelah dalam beberapa pekan dia terus melacak jejak demi jejak akhirnya, akhirnya kakek sakti Pulau Dedemit ditemukannya pula.

   "Kenapa kau masih saja mencariku, Ki Ageng Sulut! Bukankah lima tahun lalu sudah kunyatakan padamu, aku tak akan sudi mengobati penyakitmu!!"

   Balas Ki Kusumo dari pucuk pohon kelapa.

   "Jangan bodoh, Kusumo Keparat! Kau tahu, apa akibatnya jika kau menentang permintaanku?!"

   Ki Kusumo terkekeh.

   Beberapa hari belakangan, kekeh khasnya itu menghilang sejak dia mengungkapkan rahasianya pada Satria.

   Sedikit rasa sesal waktu itu mengganggunya karena telah mengecewakan dua muda-mudi tanggung yang sudah begitu lekat di dasar hatinya.

   "Aku tahu, Ki Ageng Sulut. Jelas aku tahu!"

   Sahut Ki Kusumo. Dari caranya menyebut nama asii Iblis Dari Neraka, juga dari caranya menduga arah ancaman kakek buluk tadi, tampak sekali kala Ki Kusumo sebenarnya cukup mengenai Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka.

   "Kalau begitu, kenapa kau tak segera memenuhi permintaanku!!"

   "Karena aku tak pernah takut mati! Terlebih mati di tangan seorang sepertimu, Ki Ageng Sulut, manusia terkutuk. Semoga kau dimurkai Para Dewa!!"

   "Keparat kau Kusumo!!"

   Di ujung makian geramnya, Iblis Dari Neraka mengebutkan telapak tangan....

   * * * SATRIA dan Mayangseruni menemukan pemandangan menggetarkan.

   Sepasukan lelaki berkuda sedang membakar-bakari rumah-rumah penduduk.

   Sebagian yang lain sibuk mengangikuti harta-benda, binatang ternak sampai wanita-wanita muda.

   Kuda-kuda meringkik.

   Hewan ternak memperdengarkan suara-suara.

   Mereka tertawa-tawa.

   Api bergemeletak memangsa kayu.

   Jeritan warga terus berlanjut.

   Kebiadaban Laskar Lawa Merah sedang merebak! "Manusia-manusia busuk!"

   Geram Mayangseruni, menyaksikan seluruh kejadian yang terjadi di depan matanya.

   "ini tidak bisa dibiarkan!"

   Tidak bisa dibiarkan.

   Memang.

   Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka cuma dua muda-mudi tanggung.

   Sementara gerombolan Laskar Lawa Merah tak kurang dari tiga puluh lelaki kasar bersenjata lengkap.

   Dirgasura si Tangan Seribu Dewa ada pula di sana.

   Beserta tangan kanan andalannya sekaligus, Keling Gundul! "Tunggu!"

   Satria berusaha mencegah Mayangseruni yang langsung melompat turun dari pelana.

   Sepasang pedangnya diloloskan tepat ketika kakinya menjejak bumi.

   Usaha Satria sia-sia.

   Mayang seruni sudah lebih cepat berjumpalitan berkali-kali di atas tanah.

   Pedang di tangannya turut berputaran, memantulkan cahaya merah senja.

   Membuat tubuhnya terlihat seperti cakram raksasa berwarna kemerahan.

   "Hiaaattt"

   Srat! Salah seorang anggota Laskar Lawa Merah yang sedang terlaiu masyuk menciumi seorang perawan desa terbabat pedang Mayangseruni.

   Satu pedang membabat lehernya dari kiri.

   Pedang yang lain dari kanan.

   Tak beda terkena gunting raksasa, kepala si begal langsung menggelinding, tanpa sempat mengeluarkan suara teriakan.

   Mayangseruni bergerak lagi.

   Berputar seperti cakram kembali, mendekati seorang anak buah Dirgasura lain yang sedang membopong peti.

   "Heaat"

   Srat! Darah tersembur.

   Badan tersayat.

   Memanjang dari pangkai leher hingga ke perut! Begal satu itu pun menemui ajal.

   Kemarahan Mayangseruni belum tuntas.

   Dia seperti haus darah.

   Buas, sebuas singa betina lapar.

   Gadis tanggung bersenjatakan sepasang pedang itu pun bergerak lagi.

   Didekatinya seorang begal lain dengan cara serupa dengan sebelumnya.

   Kebetulan yang ditujunya adalah Keling Gundul! "Haiiit!"

   Tiba di dekat lelaki hitam kelam itu, badan si gadis tanggung perkasa menerkam lurus layaknya tombak.

   Sepasang pedangnya diacungkan ke depan.

   Hendak ditembusnya dada Keling Gundul.

   Sekali Ini, Mayangseruni tidak menghadapi begal yang mudah ditaklukkan.

   Keling Gundul dengan tangkas membuang tubuhnya ke belakang.

   Dia berjumpalitan, bertepatan dengan lewatnya terkaman Mayangseruni di atasnya.

   Ketika berdiri kembali, lelaki itu sudah berdiri di belakang lawan.

   Mayangseruni berpendengaran tajam.

   Mendengar ada sepasang kaki menjejak di belakangnya, cepat dia memutar pedang disertai dengan putaran otot perut dan pinggangnya.

   Wukh!!! Keling Gundul terbeliak, tak menyangka kalau lawan bisa menduga posisinya begitu cepat.

   Cepat ditundukkannya badan.

   Jika tidak, kepalanya akan langsung menggelinding! Saat merunduk, Keling Gundul mencoba memanfaatkan ruang kpsong pada pertahanan bagian bawah lawan.

   Tangannya mencakar ke depan.

   Kedua lutut Mayangseruni hendak diremukkan dengan cengkeramannya.

   Mayangseruni tak tinggal diam.

   Kaki kanannya melakukan sampokan menyamping.

   Namun tanpa diduga, Keling Gundul menarik kembali cakarnya di tengah jalan.

   Selanjutnya, posisinya berubah amat cepat.

   Kakinya berpindah ke depan, melakukan satu sapuan di atas tanah.

   Tak ayal lagi, tersapulah satu kaki Mayangseruni yang dipergunakan untuk bertahan.

   Gadis itu memekik.

   Tubuhnya oleng.

   Hampir tumbang, kaiau saja dia tak segera berjumpaiitan ke belakang.

   Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak.

   Keling Gundul tertawa cengengesan.

   Satu ujung bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan ejekan.

   Mayangseruni menyilangkan pedangnya di depan.

   Mata bulat indahnya tajam tak berkedip mewaspadai iawan.

   "Kau akan menyesal, Perawan!"

   Cemooh Keling Gundul dengan logat yang kaku.

   Mayangseruni menyahutinya dengan satu ayunan pedang di udara, menciptakan deru keras menyentak.

   Keling Gundul tak mau lagi didahului lawan.

   Dia bergegas menerjang.

   Seruntun tendangan cepat beruntun seperti gasing kembang menuju lawan.

   Wukh!!! Mayangseruni terjajar mundur, menghindari tendangan berantal lawan.

   Tanpa disadarinya, seorang begal lain siap menghujamkan kapak ketengkuk halusnya! "Seruni awass!!!!"

   Ketika mata kapak mendesing cepat, ketika Mayangseruni luput menyadari bahaya yang siap merenggut nyawanya, ketika itulah teriakan seseorang terdengar.

   Disusul dengan terjangan menggila seperti orang kesetanan, menubruk begal dl belakang Mayangseruni seperti menyergap seorang maling.

   Perbuatan siapa lagi kalau bukan Satria? Mayangseruni tak sempat menoleh.

   Dia repot meladeni serangan bertubi-tubi Keling Gundul.

   Di lain sisi, Satria bergumul di atas tanah dengan begal yang disergapnya.

   Keduanya bergulingan.

   Saling himpit, saling tindih.

   Sampai akhirnya.

   "Hih!"

   Satria sempat membebaskan satu tangannya.

   Satu hantaman tinju didaratkan ke wajah lawan.

   Dalam keadaan terjepit dan diamuk kemarahan seperti itu, tanpa disadari kembali menggelegak tenaga sakti yang terbentuk dalam tubuhnya akibat menyatunya ramuan pemberian Ki Kusumo serta zat dasar Samudera Hindia dengan seluruh jaringan sarafnya.

   Tenaga listrik yang terkandung dalam jaringan syarafnya meningkat beratus-ratus kali lipat.

   Yang kemudian terkumpul dalam tinjunya! Drak! Tatkala tinju Satria mendarat, hancurlah wajah si begal.

   Wajahnya yang sudah jelek jadi tambah jelek.

   Hidung peseknya amblas ke dalam.

   Tulang pipinya remuk.

   Demikian juga tulang keningnya.

   Wajahnya nyaris membentuk kepalan tangan! Satria melotot.

   Dia mundur.

   Ketakutan terhadap dirinya sendiri.

   Lagi-lagi aku membunuh! Lagi-lagi aku membunuh! Pekik hatinya tak termuntahkan.

   "Hey, awas di belakangmu!"

   Berganti.

   Mayangseruni kail ini memperingati Satria akan ancaman bahaya dari arah belakang.

   Refleks, Satria membalikkan tubuh.

   Matanya terbelalak mendapati Keling Gundul dengan sehimpun dendam di wajahnya melepas pukulan ganda ke dadanya.

   Mayangseruni berusaha mencegah dengan membabat kaki Keling Gundul.

   Luput.

   Gerak kaki lelaki itu lebih cepat dari ayunan pedangnya.

   Kini tinggal tergantung Satria.

   Dia harus membela diri bila ingin selamat dari pukulan bertenaga penuh yang dapat menghancurkan tulang dadanya seketika.

   Tampaknya pertimbangan untuk menyelamatkan diri tidak terbetik sama sekaii daiam diri pemuda tanggung itu.

   Karena gerak refleksnya sudah terlebih dahulu menentukan tindakan penyelamatan.

   "Khhaaa!!"

   Satria bukannya mundur atau mengelak kesisi, justru melakukan terjangan ke depan! Gendeng, seperti sering disebut-sebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.

   Menjelang berbenturan dengan kepalan Keling Gundul, Satria mengalihkan gerak badannya secara tiba-tiba ke bawah.

   Gerak itu sering dialaminya ketika dia harus mengendalikan tubuh menghindari mata karang yang tinggal beberapa jengkal menyayat tubuhnya di sekitar Pulau Dedemit.

   Pemuda itu berguling sekali.

   Kakinya terangkat tinggi, seolah gerakan lumba-lumba yang hendak menampar udara dengan ekornya.

   Prak! Dari arah menyamping, punggung kaki Satria menghajar telak pelipis Keling Gundul! Wajahnya hancur sebelah.

   Tulangnya jangan dikata.

   Satu biji matanya nyaris terlempar keluar.

   Tubuh Keling Gundui tumbang seketika.

   Beberapa anak buah Dirgasura yang menyaksikan kejadian itu dibuat terpana-pana sesaat.

   Mereka bagai ditenung berbarengan.

   Tak percaya pada penglihatan sendiri.

   Kalau seorang tangan kanan andalan pemimpin mereka dapat mati dengan mudah oleh seorang anak muda tanggung yang tak pernah mereka dengar nama atau julukannya di dunia persilatan! Mayangseruni di samping lega Satria dapat selamat, tak urung terpana juga.

   Dia sendiri harus mengerahkan sekian puluh jurus untuk menghadapi lelaki tadi.

   Itu pun belum ada tanda-tanda dia dapat mengalahkan.

   Tapi, pemuda yang baru dikenalnya dan sama sekali belum diketahui namanya ini mampu membuat mampus hanya dalam sekali gebrakan tak terduga! Gila!! Pendekar muda dari mana dia sebenarnya? Pikir Mayangseruni lebih jauh.

   Tak pernah diketahuinya kalau Satria cuma seorang pemuda kampung yang mengalami banyak kejadian luar biasa.

   Salah seorang yang turut menyaksikan kejadian itu adalah sang pemimpin gerombolan sendiri.

   Dirgasura! Dia menggeram berat parau.

   Matanya menatap beringas ke arah pemuda tanggung yang telah menamatkan riwayat tangan kanannya.

   Rahangnya mengeras, sekeras kepalannya.

   Bergemelutuk.

   Bergemeletak.

   Menurut perkiraannya, tentu inilah pemuda yang diceritakan Keling Gundul.

   Orang yang harus bertanggung jawab atas kematian anak buahnya di kota Kadipaten Ayah.

   Dan kini bertanggung jawab pada seorang tangan kanannya yang mati di depan matanya sendiri! Kalau memperhatikan wajah pemuda itu, Dirgasura merasa pernah melihatnya.

   Entah di mana.

   Entah kapan.

   Tapi, dalam benaknya masih terbekas guratan wajah pemuda itu.

   Hanya ada beberapa perubahan.

   Namun, itu tak terlalu berpengaruh dalam ingatan Dirgasura.

   "Bangsat, aku pernah melihat anak Ini! Kenapa aku jadi tak ingat!!"

   Rutuknya gemas.

   Dl lain kancah, Satria dan Mayangseruni bersiap menghadapi kepungan tujuh begal.

   Keduanya saling merapatkan punggung.

   Mereka dikelilingi.

   Sementara ketujuh orang itu berputar-putar perlahan tak henti, mencoba mengecoh pertahanan kedua lawan dan membuyarkan konsentrasi mereka.

   Manakala seseorang dari mereka memberi isyarat dengan gerak bola mata pada yang lain untuk melakukan sergapan serentak, terdengar seruan lantang membahana.

   "Mereka bagianku!!!"

   Semuanya tersurut mundur, membiarkan menjadi mentah kepungan yang semula sudah terbentuk cukup matang.

   Sebab, yang barusan berteriak adalah seorang yang tak bisa mereka tolak segala perintah pun titahnya.

   Dirgasura.

   Dirgasura berjalan mendekati Satria dan Mayangseruni.

   Langkah-langkahnya berdebam.

   Tubuhnya perkasa seperti karang.

   Cara berjalannya menyiratkan segala kebesaran juiukan dan gerombolan di bawah pimpinannya.

   "Sebutkan namamu, Anak Muda!"

   Gertak Dirgasura, menjelang jaraknya hanya tinggal enam tombak.

   "Tak perlu, Laknat! Kenapa kau pikir kami akan sudi menyebutkan nama padamu?!"

   Caci Mayangseruni, tak gentar menghadapi gertakan tak main-main seorang lelaki setengah raksasa seperti Dirgasura. Dirgasura tergelak. Suaranya pecah bertaburan ke segenap tempat.

   "Kau punya nyali besar, Cah Ayu. Tapi, aku tak bertanya padamu. Aku cuma ingin tahu siapa pemuda yang berada di dekatmu"

   Satria mendengus.

   "Kau lupa padaku, Dirgasura."

   "Ah, jadi kita memang pernah berjumpa?"

   "Di perbatasan hutan Ketawang Jogoboyo. Ketika itu kau menyingkir seperti seorang pengecut hanya karena menghadapi seorang leiaki tua!!"

   Terpukullah harga diri Dirgasura.

   Di depan batang hidung anak buahnya sendiri, dia diremehkan oleh seorang pemuda tanggung yang baru besar.

   Dihina.

   Ubun-ubun nya di injak-injak! Keterlaluan.

   Sekaligus dia ingat siapa pemuda itu sebenarnya.

   Dia ingat dengan jelas sekarang.

   Anak muda itu pernah membuatnya berang karena tak mempan dengan kekuatan tenaga suaranya waktu itu.

   Bocah yang dulu dianggapnya seorang sakti muda yang berpura-pura bodoh.

   "Jadi, kaulah orangnya...,"

   Desis Dirgasura. Terbakar lagi kemarahan yang telah terpendam selama tiga tahun. Dengusan berat terdengar dari hidung lelaki tinggi besar itu. Seperti dengus banteng ketaton yang siap melobangi benteng beton dengan tanduknya.

   "Rupanya, hari ini aku akan memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengirimmu ke neraka!!"

   Kala itu pula, Satria sendiri sudah tak lagi memikirkan penyesalannya terhadap kematian tiga orang anggota Laskar Lawa Merah yang terbunuh olehnya.

   Dia sendiri terbakar kemarahan yang serupa dengan kemarahan Dirgasura.

   Kemarahan yang tertunda selama tiga tahun.

   "Meskipun kau sakti mandraguna seperti Dewa, aku tak akan mundur untuk menghadapimu."

   Sumpah pemuda berhati tangguh itu pun tercetus.

   Pertanda dia tak peduli lagi apakah dia harus membunuh untuk kesekian kalinya.

   Atau sebaliknya, harus terbunuh mengenaskan di tempat itu! Karena kemarahannya adalah kebencian terhadap angkara murka.

   Mendengar ucapan menantang dari seorang pemuda yang dianggapnya terlalu bau kencur, tak ayal lagi Dirgasura menjadi mata gelap.

   "Semestinya, sudah sejak dulu kau kubunuh, Bocah Keparat!"

   Ancamnya, lebih mengerikan dari geraman seekor beruang hitam besar!' Tak gentar pada tatapan Dirgasura yang membersitkan nafsu membunuh, Satria balas menatap.

   Tatapannya menerkam.

   Tak kalah tajam dari tatapan si lelaki bertubuh setengah raksasa yang mendengus-dengus.

   Matanya seperti telah digantikan oleh sepasang bola mata rajawali.

   Mengancam, tegar, perkasa, dan berpancar sekuat karang.

   Sesaat, Dirgasura lelaki yang terkenal buas, keji, berangasan dan bernyali hewan, dibuat terhenyak menemukan tatapan Satria.

   Sungguh, tak pernah ditemukannya tatapan seorang pemuda tanggung semenggidikkan seperti itu.

   Tak pernah dialaminya tatapan yang mampu menikam langsung ke benaknya.

   "Kau ingin membunuhku?! Lakukan, Lelaki Busuk!"

   Desis Satria.

   Dirgasura menyadari ada satu kekuatan hebat dari hati pemuda itu yang menyebabkan tatapannya demikian berpengaruh hebat pada lawan.

   Tatapan itu hanya dimiliki oleh orang-orang waskita dalam batin.

   Entah bagaimana pemuda satu ini bisa memilikinya.

   Sebab sepanjang pengetahuan Dirgasura sendiri, kewaskitaan teramat sulit dirangkul.

   Biasanya hanya orang-orang tertentu memilikinya.

   Itu pun setelah menjalani godokan selama puluhan tahun.

   Dirgasura tak ingin terjebak oleh kekuatan pancaran mata si pemuda tanggung.

   Terutama dia tak ingin terpengaruh oleh kekuatan tatapan calon lawan bau kencurnya.

   Jalan terbaik, dia harus melakukan serangan sebelum dia sendiri tersurut mundur karena pengaruh tersebut.

   Maka....

   "Kurencah kau!!!"

   Terjangan kasar pun dilakukan.

   Dirgasura berlari beringas.

   Kedua kakinya berdebam berat di atas tanah.

   Hal itu sengaja dilakukan dengan menyalurkan tenaga dalam pada setiap jejakan kakinya.

   Tujuannya untuk menggedor nyali lawan.

   Bukan berarti Dirgasura tak cukup memiliki kehandalan peringan tubuh.

   Tapi, Dirgasura salah menduga.

   Meski tergolong bocah bau kencur, tak banyak menelan asam garam dunia persilatan, Satria tak mudah digertak begitu rupa.

   Dengan keberanian seekor naga muda dia malah menyambut terjangan lawan dengan maju ke depan.

   "Heaaatt"

   Pada jarak tiga-empat langkah sebelum keduanya bertemu, tinju geledek Dirgasura melayang deras buas.

   Kepala Satria hendak ditumbuk hancur.

   Kejelian mata Satria tak terpedaya.

   Hanya dengan mengandalkan naluri mempertahankan diri, tangannya menyabet menyamping, menebas tinju lurus Iawan.

   Kedua tangan mereka beradu keras.

   Saat itulah tenaga sakti yang terbentuk tanpa sengaja dalam diri Satria teralir deras menuju lengannya.

   Membludak, Meledak-ledak.

   "Nghh!"

   Dirgasura mengeluh tertahan.

   Bangsat, makinya dalam hati.

   Pergelangan tangannya berdenyar-denyar.

   Rasanya ada puluhan batang jarum terikut dalam aliran darahnya.

   Pemuda keparat ini ternyata tak bisa dianggap remeh, sumpahnya membatin.

   Mestinya, tangan pemuda itu remuk.

   Setidaknya mengalami patah tulang parah.

   Penyebabnya karena Dirgasura telah melepas tenaga dalam dari pernapasan perutnya.

   Tenaga dalam seperti itu bisa dimanfaatkan untuk mematahkan dua bilah balok setebal dua jengkal.

   Kenyataan yang terjadi malah bertolak-belakang! Itu membuat Dirgasura kian gusar.

   Kebengisannya makin meruyak.

   Dia harus berhasil merencah-rencah tubuh pemuda itu menjadi potongan-potongan kecil, agar dapat menyelamatkan mukanya di hadapan sekian puluh anak buahnya sendiri! Selang sekedipan dari tumbukan tangan keduanya, Dirgasura menyusulkan cengkeraman bengis tangan kirinya ke dada kiri lawan.

   Sebagai tindakan awal merencah-rencah lawan, jantung Satria akan dicerabutnya! Tak mudah untuk Dirgasura.

   Sekali lagi ketajaman mata Satria menitah nalurinya untuk bertindak tepat.

   Kakinya terangkat membentuk sudut.

   Dengkulnya naik tinggi, menyodok dari bawah.

   "Ngkh!"

   Dua kali dengan ini, Dirgasura harus mengeluh tertahan.

   "Jahanam!"

   Geramnya, makin dipermalukan.

   Berbarengan dengan cacian, tubuhnya berputar seperti gasing besar.

   Di tengah jaian, putaran yang dimaksud hanya untuk mengelabui berhenti.

   Kakinya melayang di udara.

   Gerakan membabat seperti kayuhan dahsyat menyemping.

   Sekali ini, mata Satria kalah cepat dengan datangnya tendangan iawan.

   Begh! Bahunya terhantam.

   Tubuhnya terpental.

   Bagaimana tidak, kalau tendangan tadi dilakukan oleh seorang lelaki bertubuh dua kali lebih besar dari orang biasa.

   Belum lagi terhitung tenaga dalam yang disalurkan.

   Di tanah, Satria terjengkang.

   Rasa sakit luar biasa memaksa tangannya mendekap bahu.

   Mayangseruni memekik kecli.

   Dia tak tega menyaksikan bagaimana tubuh Satria terpental bagai seonggok daging kering.

   Mendengus sekali, lalu diputarnya sepasang pedang di kedua tangan.

   "Hiaa!!"

   Wukh wukh! Diserbunya Dirgasura dengan dua sabetan pedang saling menyilang.

   Dengan mudah dan gesit biarpun tubuhnya besar, Dirgasura berkelit enteng.

   Hanya disisakannya jarak satu jari dari mata pedang Mayangseruni.

   Seolah dia ingin mempertunjukkan bahwa serangan lawan tak berarti apa-apa baginya, kecuali sekadar angin lalu.

   Mayangseruni geram diremehkan.

   Pedangnya menusuk deras.

   Kedua belah dada gempal berbulu Dirgasura yang berlapis baju baja.

   Suara deru santer tusukan pedangnya mengisyaratkan kalau dua senjata itu sanggup menembus baju baja lawan dan langsung mendekam ke dalam dadanya.

   Dirgasura tahu.

   Tapi dia malah seperti sengaja membiarkan dua tusukan itu mengarah terus ke dadanya.

   Sampai sudah dekat, sepasang tangannya membuat kepakan tanggung ke depan.

   Tusukan pedang Mayangseruni lolos terus.

   Tapi tidak menembus sasaran.

   Melainkan hanya melenceng tipis kedua ketiak lawan.

   Ketika itu juga.

   Dirgasura membuat jepitan menghentak dengan kedua ketiaknya.

   Mayangseruni terkesiap.

   Pedangnya tak bisa ditarik pulang.

   Disentaknya kuat-kuat.

   Tak lepas.

   Sepertinya sepasang pedang itu sedang dijepit dua bukit.

   Dirgasura menyeringai.

   Matanya melalap wajah keruh Mayangseruni dengan buas.

   Lehernya bergerak perlahan kebelakang.

   Otot-otot di bagian itu menggelembung.

   Di iain sisi, Satria membelalak.

   Memang dia masih terlalu buta dengan olah kanuragan.

   Namun, kecerdasannya tak mudah tertipu.

   Cepat dia membuat kesimpulan kaiau Dirgasura hendak memanfaatkan kekuatan otot leher dan kekerasan batok kepalanya untuk menghancurkan wajah Mayangseruni! Satria berlari nyalang.

   Dia tak ingin terjadi apa-apa pada gadis yang baru dikenainya.

   Gadis yang amat mirip dengan seorang yang teramat lengket di hatinya.

   Membayangkan Mayangseruni dalam ancaman maut, seperti menemukan Tresnasari yang terancam bahaya.

   Kepala lelaki setengah raksasa itu! Pekik naluri Satria.

   Bagaimana caranya dia menyerang bagian tubuh lawan yang tersulit seperti itu? Tak sebetik pun terpikirkan caranya.

   Satria hanya menerjang, mengikuti setiap aba-aba nalurinya.

   Tepat ketika leher Dirgasura mulai bergerak cepat, ketika itu pula Satria menyentak kedua kakinya.

   Jarak yang masih cukup jauh dari lawan hendak dipersingkatnya dengan satu terkaman.

   Dia tak menyadari seluruhnya apa yang saat itu diperbuat Yang jelas, tubuhnya melayang ringan, karena sentakan bertenaga luar biasa dari sepasang kakinya.

   Dirgasura tercekat menangkap kelebatan dari arah depan.

   Diurungkannya menghancurkan wajah Mayangseruni.

   Bagi Mayangseruni sendiri, kelengahan Dirgasura dimanfaatkan sebaik-baiknya.

   Pijakannya dilepas dari tanah.

   Sengaja diperberat bobot tubuhnya.

   Tinggi tubuh Dirgasura memungkinkan dia seketika menggelantung dengan berpegang pada kedua gagang pedang.

   Saat yang sama sepasang kakinya membuat sentakan lurus ke atas serta bertenaga ke bawah leher lawan yang sedang menengadah menyaksikan sergapan tinggi tubuh Satria.

   Degh!! Tendangan Mayangseruni ternyata tak cukup kuat untuk menggoyahkan kekokohan tubuh Dirgasura.

   Namun, ada keuntungan lain dari tindakannya itu.

   Sepasang pedangnya dapat ditarik kembali, sekaligus menyayat kulit ketiak Dirgasura.

   Si manusia setengah raksasa berteriak.

   Mirip lolongan serigala.

   Perhatiannya terbelah-belah sudah, memberikan kesempatan untuk Satria hinggap di punggungnya setelah terlebih dahulu memanfaatkan bahu lebar lawan untuk membalikkan posisi badannya.

   Kini, sepasang kaki Satria mutlak menjepit leher Dirgasura.

   Berbahaya hagi Dirgasura! Bukan masalah jauhnya ukuran kaki pemuda tanggung dengan tubuh meraksasa Dirgasura, Akan tetapi, tenaga jepitan kakinya sudah pula tersalurkan tenaga sakti dari dalam tubuh pemuda itu.

   Jepitannya jadi amat menyesakkan.

   Seperti hendak menggunting dua bagian tulang leher Dirgasura! Di atas bahu Dirgasura, Satria sudah bersiap pula mengangkat kedua lengannya.

   Tangannya membentuk sudut rapat.

   Kedua sikunya diarahkan ke telinga lawan.

   Sebeium telinga Dirgasura menjadi tuli seketika oleh hantaman siku bertenaga sakti yang bergolak tanpa disadari oleh si pemuda tanggung sendiri, satu anak panah menikam punggungnya.

   Satria mengejang.

   Anak panah beracun mematikan miiik seorang anak buah setia baru saja bersarang, nyaris menembus dinding paru-paru kanannya! Tak begitu lama, tubuhnya ambruk ke tanah.

   Mayangseruni yang baru saja hendak menghambur kembaii ke arah Dirgasura dipaksa memekik pendek namun menohok angkasa....

   * * * Bagaimana nasib Satria? Siapa Mayang seruni sebenarnya? Bisakah sesepuh para sepuh dunia persilatan, Dongdongka membujuk pemuda gendeng berhati baja itu agar menjadi pewaris kesaktiannya? SELESAI Ikuti Kelanjutan Kisah Satria Gendeng dalam episode.

   "KAIL NAGA SAMUDERA"

   Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Pertentangan Kaum Persilatan Yoe hiap eng hiong 1 Karya OKT Roro Centil Tragedi Pulau Berhala

Cari Blog Ini