Ceritasilat Novel Online

Sukma Kala Wrenggi 2


Roro Centil Sukma Kala Wrenggi Bagian 2



"Maafkan aku kakek. Kukira dalam waktu sementa-ra ini sukma Kala Wrenggi tak akan mengganggu. Aku akan segera menyusulnya ke Tenggara."

   Pendekar tua kaki buntung ini yang pernah ditolong Roro dalam kisah.

   "Misteri Sepasang Pedang Siluman", cuma bisa terpaku memandang Roro.

   "Jadi kau si bocah centil diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan sukma si Kala Wrenggi edan itu?"

   Bertanya Ki Jagur Wedha.

   "Benar, kakek..."

   Sahut Roro dengan tersenyum. Semua jadi membelalak memandang pada Roro Centil. Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek.

   "Bocah sialan! jangan harap kau dapat lolos dari tanganku!"

   WHUUUK! Tanah menyemburat tepat dibawah kaki kedua to-koh persilatan yang usianya berbeda jauh itu.

   Akan tetapi kedua tokoh kita dari pihak golongan putih ini telah melesat lebih dulu dari tempat itu.

   Sesaat tampak dengan bergandengan tangan, Roro dan Ki Jagur Wedha baru saja "hinggap"

   Di atas batu besar.

   Tepat di sisi Ki Panunjang Jagat.

   Si kakek bertubuh jangkung ini menghela napas lega.

   *** Semua mata segera menatap pada sosok tubuh yang telah berdiri tegak di hadapan mereka.

   Kiranya yang barusan menyerang adalah si Datuk alias si Si-luman Setan Belang.

   Bagaimana hingga sampai si ka-kek Datuk dari para harimau jejadian itu bisa sampai ke tempat ini? Juga Roro? Marilah kita ikuti kisah di belakang.

   Saat pertarungan tengah berlangsung seru di dalam ruangan Keraton Kuno tempat bercokolnya si Datuk Siluman Setan Belang, seperti diceritakan Ginanjar nyaris "diperkosa"

   Oleh Rinjani si manusia harimau jejadian.

   Akan tetapi muncul Kasmini yang menolong Ginan-jar.

   Sementara itu pertarungan Roro dengan sang Da-tuk semakin seru.

   Roro tampaknya terdesak oleh ilmu-ilmu si Datuk yang dapat merubah tubuhnya menjadi banyak.

   Se-dangkan upaya Roro mengakali si Datuk untuk mema-suki bumbung bambu ternyata menemui kegagalan.

   Karena si Datuk Siluman Setan Belang ternyata masih berada di luar bumbung.

   Yang menjelma menjadi asap putih tipis dan memasuki bumbung bambu itu cuma ilmu sihirannya belaka.

   Roro terjerat dalam benang-benang sutera ciptaan sang Datuk.....

   Tampaknya sebentar lagi dapat dipastikan oleh si Datuk bahwa Roro akan berhasil jadi tawanannya.

   Saat Roro tengah sibuk menghalau benang-benang su-tera ciptaan itu, si kakek berhidung melesak ini berkelebat seraya menaburkan serbuk halus berwarna putih yang berbau harum.

   Serbuk ini menghalangi pandan-gan mata Roro.

   Tampak tubuh dara perkasa Pantai Se-latan ini terhuyung.

   Belum lagi tubuhnya roboh karena hidungnya telah mengendus bau harum yang dapat membuat orang tak sadarkan diri, lengan sang Datuk telah bergerak menyambarnya.| "Hehehehehe...

   hahaha...

   cah ayu, ternyata tak begitu sukar menawan mu"

   Berkata Datuk Siluman Setan Belang dengan tertawa terkekeh.

   Dipanggulnya tubuh Roro yang tak berkutik untuk dibawa masuk ke ruangan kamarnya.

   Tubuhnya yang tampaknya telah lemah lunglai tanpa tenaga itu diba-ringkan di peraduan.

   Kembali dia tertawa mengekeh.

   Sementara sepasang matanya menjalari lekuk-liku tu-buh korbannya.

   Sepasang matanya membinar-binar menimbulkan hawa birahi.

   Beberapa kali lengannya menyibak, maka tubuh sang dara perkasa yang cantik jelita itu telah dalam keadaan tanpa busana.

   Dengus napaspun mulai terdengar mengembara di sekitar ruangan kamar sang Datuk.

   Sekejap dia sudah lorotkan jubahnya.

   Gemetar lengan tua itu ketika men-jamah kulit pipi sang korban yang bagaikan seorang dewi tengah tertidur pulas.

   "Ohh... cantiknya kau cah ayu..."

   Menggeletar suara sang Datuk.

   Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya menindih tubuh Roro....

   Akan tetapi tiba-tiba kakek tua ini berteriak terta-han.

   Seketika tubuhnya terlompat dari pembaringan-nya bagaikan dipagut ular.

   Sepasang matanya membe-lalak menatap sosok tubuh yang tergolek di pembarin-gan itu.

   Datuk tua ini mengucak-ngucak matanya se-perti tak percaya, karena apa yang dilihatnya adalah...

   sebongkah batu terbujur di peraduannya.

   "Gila! Setan alas! Dedemit...! Mengapa bisa begi-ni????"

   Memaki-maki sang Datuk Siluman Setan Belang dengan wajah merah padam.

   "Aku telah tertipu mentah-mentah!"

   Mendesis si kakek dengan kesal.

   Segera disambar jubahnya.

   Dan se-kali lengannya bergerak, hancurlah batu itu berikut berderak hancur peraduannya.

   Selang sesaat dia telah berkelebat keluar dari ruangan kamar.

   Ternyata yang ditujunya adalah kamar Rinjani, se-telah berteriak-teriak memanggil anak buahnya agar mencari jejak Roro Centil yang tak ketahuan kemana lenyapnya.

   Didapati Rinjani terlentang di lantai kamar dalam keadaan telanjang bulat.

   Akibatnya marahnya, justru Rinjanilah yang jadi korban.

   Sekali lengannya bergerak, tubuh Rinjani yang da-lam keadaan tertotok itu terlempar membentur dinding kamar.

   Tak terdengar jeritannya lagi.

   Karena nyawanya langsung melayang seiring dengan hancurnya tulang-tulang tubuh wanita cabul itu dengan suara yang ber-kelotakan.

   Darah menyemburat ke setiap penjuru.

   Dan sang Datuk telah melompat keluar dari ruangan kamar dengan, kemarahan yang membludak.....

   Melihat di sekeliling tempat itu berkumpul lebih da-ri lima orang kakek si Datuk Siluman Setan Belang mendengus.

   "Heh! ada apakah kalian sobat-sobat berada di wilayah ku ini?"

   Berkata demikian kembali dia memandang pada Roro Centil yang tersenyum-senyum melihat si Datuk yang mendelikkan mata ke arah dia.

   "Kau bocah sialan, jangan harapkan dirimu bisa berlindung di ketiak kakek-kakek moyangmu! huh! awas kau bocah centil! Kau telah mengelabuiku men-tah-mentah. Tapi suatu saat aku akan buktikan uca-panku untuk menawanmu hidup-hidup!"

   "Persoalan apakah gerangan antara kau dengan no-na Pendekar Roro Centil sahabatku ini, sobat? Apakah kau dapat memberi penjelasan?"

   Ki Kutut Praja Setha yang sejak tadi berdiri saja sambil berpeluk tangan ajukan pertanyaan.

   "Maaf, aku tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dan aku tak mau lain orang mencampuri urusanku!"

   Sahut sang Datuk dengan ketus. Selesai berkata si Datuk ini balikkan tubuh, dan melompat pergi dari situ.

   "Heeei! sobat tua! sungguh sombong benar kau? sebutkan dulu siapa nama dan gelarmu biar aku tak pe-nasaran!"

   Teriak Ki Gembul Sona membentak.

   Tubuhnya berkelebatan menyusul.

   Lengan kakek yang berju-lukan si Belut Putih ini menjulur jubah si Datuk.

   Akan tetapi saat itu berdesir puluhan jarum dari ujung tongkat Siluman Setan Belang.

   Kalau saja Ki Gembul Sona tak memiliki kelincahan, sudah dapat dipastikan bahaya maut mengancam jiwanya.

   Untunglah dengan gerakan gesit dia miringkan tubuh.

   Lengan jubahnya yang lebar menghantam jarum-jarum maut itu hingga buyar, Namun ketika dia jejakkan kakinya ke tanah, si kakek jubah hitam itu lenyap.

   Lapat-lapat terdengar suara tertawanya terkekeh.

   "Hehehe... hahaha... nama gelarku adalah si Datuk Siluman Setan Belang! Harap kau jangan coba-coba urusan denganku!"

   Ketika semua mata memandang ke arah Gembul Sona dan ke arah tempat berkelebat lenyapnya sosok tubuh Si Datuk Siluman Setan Belang, saat itu Roro telah berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu.

   Para tokoh tua kaum putih itu cuma bisa gelengkan kepala mengetahui Roro Centil sudah berlalu mening-galkan mereka tanpa permisi lagi.

   *** RORO CENTIL telah jejakkan kakinya di satu kota bernama BOLULAWANG.

   Dalam perjalanannya ke wi-layah Tenggara ini ternyata Roro tak begitu tergesa-gesa.

   Kota Bolulawang tak seberapa besar.

   Melangkah lebih jauh memasuki tengah kota, Roro menampak ke-ganjilan di dalam kota ini.

   Karena warung-warung, penginapan dan toko-toko tak nampak ada yang buka.

   Semuanya tutup.

   Orang-orang yang lalu-lalangpun ter-lihat sepi.

   "Aneh! ada apakah yang terjadi?"

   Pikir Roro. Di ujung jalan Roro melihat seorang laki-laki tua yang baru saja mengangkat papan terakhir untuk me-nutup penginapannya.

   "Heh! Kebetulan. Aku bisa tanyakan pada orang itu!"

   Desis Roro tersenyum. Laki-laki tua ini adalah pelayan penginapan itu yang ker-janya agak lambat. Sementara dari dalam terdengar suara sang maji-kan yang memerintahkan si pelayan agar secepatnya masuk dan mengunci pintu. Ketika tahu-tahu...

   "Paman...! maaf, aku mengganggu. Boleh aku num-pang beristirahat di sini?"

   Terkejut laki-laki pelayan mengetahui seorang. gadis entah dari mana muncul-nya tahu-tahu telah berada disampingnya.

   "Oh, ma... maaf noo... nona. Hari ini kami tak menerima tamu..."

   Tergagap pelayan itu menyahut.

   "Mengapa?"

   Tanya Roro. Akan tetapi belum lagi sang pelayan itu menyahuti telah terdengar suara bentakan dari dalam.

   "Cepat masuk! tunggu apa lagi kau Bejo? apa kau mau mampus siang-siang?"

   Tentu saja membuat pelayan tua ini tak ayal lagi segera melompat masuk tan-pa pedulikan Roro lagi, dan... Bruk! Dia telah tutup pintu penginapan dan sekaligus menguncinya dengan palang pintu.

   "Aneh!?"

   Menggumam Roro. Dia jadi terlongong di muka pintu.

   "Mengapa tampaknya orang begitu ketakutan?"

   Roro putar pandangan ke sekeliling tempat.

   "Hm, benar-benar tak ada manusia yang berani un-jukan diri. Apakah ada iblis yang mengincar nyawa hingga semua penduduk kota ketakutan menyembu-nyikan diri?"

   Pikir Roro dalam benak. Sementara itu di balik pintu penginapan terdengar suara bisik-bisik.

   "Sssst! siapa orang yang mau menginap tadi? seperti kudengar suara perempuan?"

   Suara yang terdengar agak berat itu adalah suara si pemilik penginapan.

   "Seorang gadis, Ndoro..."

   "Cantik?"

   "Wah! coantiik sekali Ndoro. Dia mau menumpang beristirahat, katanya tadi. Tapi Ndoro sudah memang-gilku agar cepat-cepat masuk dan menutup pintu,"

   Menyahut sang pelayan dengan suara berbisik pula.

   "Hm... apa dia masih ada di luar?"

   "Entahlah, Ndoro..."

   "Coba kau periksa!"

   Perintah sang majikan.

   "Baik, Ndoro. Apa disuruh masuk sekalian?"

   Bertanya sang pelayan bernama Bejo itu.

   "Pakai tanya, ya maksudku begitu! kasihan kan gadis secantik gitu kalau mau beristirahat masakan bisa ku tolak?"

   Bisik-bisik itupun berakhir.

   Dan terdengar suara palang pintu dibuka dari dalam.

   Kepala si pelayan tersembul di pintu.

   Matanya jela-latan mencari Roro.

   Akan tetapi dia tak menampak adanya gadis tadi berada di depan pintu.

   Dia melang-kah agak lebih jauh dan memandang ke sekeliling.

   Tak nampak bayangan seorang manusiapun "Ada, Jo...

   ?"

   Terdengar suara agak keras dari dalam.

   "Ti... tidak, Ndoro...! dia sudah pergi"

   Menyahut Bejo.

   "Huuuuh! sudahlah, ayo cepat kau masuk dan kun-ci pintu lagi!"

   Akan tetapi belum lagi Bejo melangkah, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak, diiringi kata-kata keras.

   "Hahahahha... haha... perutku lapar begini, semua warung tak ada yang buka. He! aku mau makan di warung mu, apa kau ada persediaan makanan?"

   Tentu saja si pelayan tua bernama Bejo itu jadi gelagapan, karena tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram orang.

   Ketika dia balikkan tubuh, seorang laki-laki kekar berambut gondrong telah berada di situ.

   Menatap padanya dengan sorot mata seram.

   Laki-laki ini berwajah penuh brewok.

   Bajunya ter-buat dari karung goni.

   Sebelah lengan bajunya yang panjang dibiarkan menggantung seperti tak berlengan.

   Ternyata laki-laki brewok ini memang berlengan satu.

   Jelas terlihat tangan yang sebuah lagi telah kutung sebatas pangkal lengan.

   Di punggungnya terikat sebuah buntalan.

   "Oh, hari ini kami tak punya persediaan makanan. Harap maafkan..."

   Menyahut si pelayan.

   "Apakah kau berkata betul? Kalau ku geledah ternyata ada makanan, apakah kau mau bertaruh dengan kepala mu sebagai taruhannya?"

   Bentak si brewok.

   "Ampun, Raden...! sebenarnya ada, tapi hari ini ka-mi tak bisa menerima tetamu, karena... karena..."

   Tergagap si pelayan mendengar gertakan laki-laki brewok itu.

   "Bagus! hayo, antar aku masuk!"

   Berkata si brewok, Belum lagi si pelayan mengangguk, tahu-tahu tubuhnya serasa terbang.

   Dan sekejap kemudian telah bera-da di dalam penginapan.

   Nyaris bertubrukan dengan si pemilik penginapan yang mau melongok keluar melihat apa yang terjadi.

   Laki-laki gemuk ini belalakkan mata memandang pada si laki-laki berewok yang telah masuk ke dalam penginapan.

   "Ndoro, tet.. tetamu ini mau..."

   Berkata si pelayan dengan gugup. Namun kata-katanya segera dipotong oleh si brewok.

   "Ya! perutku lapar. Aku mau makan. Apa bisa ka-lian sediakan aku makan?"

   "A... ada..! Bejo! segera kau siapkan makanan untuk tuan ini!"

   Perintah si pemilik penginapan, yang memang juga membuka restoran.

   "Tu... tutup pintu itu dulu!"

   Perintahnya lagi pada Bejo.

   "Baik! baik, Ndoro..."

   Bejo cepat bergegas menutup pintu dan memalangnya sekaligus.

   "Ada apakah? tampaknya kalian seperti ketakutan. Kulihat semua orang menutup pintu rumah makan dan tokonya rapat-rapat."

   Berkata si laki-laki brewok.

   Si pemilik penginapan menatap wajah laki-laki bre-wok itu.! Sekali melihat sudah dapat menduga kalau laki-laki itu adalah orang baik-baik.

   Walaupun berwajah penuh cambang-bauk tetapi jelas laki-laki itu punya penampilan gagah.

   Dan di balik brewoknya me-nampakkan ketampanan wajahnya.

   "Boleh aku mengetahui siapa nama Anda? Aku Sin-go Wulung pemilik penginapan dan rumah makan ini."

   Berkata si pemilik penginapan.

   "Hahaha... aku tak punya nama. Tapi baiklah kau panggil aku si BREWOK LENGAN TUNGGAL". Mendengar nama itu, Singo Wulung jadi tersenyum manggut-manggut. Segera dia memaklumi kalau berhadapan dengan seorang tokoh Rimba Hijau.

   "Baiklah sobat Brewok, sebenarnya...."

   Segera Singo Wulung menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi.

   "Laki-laki tua jubah hitam itu memondong seorang gadis yang tak pernah lepas dari pundaknya. Dia dalam keadaan tidak waras!"

   Singo Wulung mengakhiri penuturannya.

   "Gila! dia telah lakukan pembunuhan pada bebera-pa orang penduduk?"

   Tanya si brewok.

   "Benar, sobat brewok...! menyahut Singo Wulung. Sementara itu di luar pintu penginapan sesosok tubuh baru saja menjelma. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Dara perkasa ini memang sejak tadi berada di tempat itu. Ternyata Roro telah mempergunakan aji Hali-munan, hingga tubuhnya tak nampak oleh mata biasa. Kemunculan si Brewok Lengan Tunggal juga telah di-ketahui Roro, termasuk percakapan dari balik pintu penginapan. Yang membuat Roro terkejut bukanlah tentang si manusia laki-laki jubah hitam yang menye-bar maut di kota itu. Akan tetapi kemunculan si laki-laki brewok, yang segera dikenalnya adalah JOKO SANGIT. Terpanar mata Roro memandang ke pintu pengina-pan, seolah mata itu berhasil menembus papan pintu.

   "Joko... ah, Joko Sangit! Apa yang terjadi denganmu? Siapakah manusianya yang telah memutuskan tan-ganmu itu?"

   Berbisik Roro dalam hati.

   Akan tetapi Roro tak dapat berpikir lebih jauh, ka-rena pada saat itu terdengar suara jeritan orang dari arah ujung jalan.

   Tak ayal, Roro segera gerakkan tubuhnya untuk melesat ke sana.

   *** APAKAH yang terjadi di ujung jalan kota sunyi itu? Ternyata seorang laki-laki tua berjubah tengah dike-pung oleh belasan orang.

   Para mengepung itu tak lain dari para prajurit Kadipaten.

   Dua orang telah roboh terjungkal dengan jerit men-gerikan.

   Sebelas pengeroyoknya melompat mundur.

   Sangat mengerikan, karena sekejap kedua tubuh tam-tama itu telah berubah hijau.

   Keris berluk tujuh di tangan laki-laki tinggi besar jubah hitam itu pancarkan sinar hijau.

   itulah keris KYAI NOGO IJO.

   Ternyata laki-laki tua itu tak lain dari KI BOGOTA adanya.

   "Hoahaha... haha... hayo majulah kalian semua ku-tu kutu Kadipaten. Kyai Nogo Ijo akan menghirup da-rah kalian semua! hahaha... haha..."

   Tertawa berkaka-kan Ki Bogota.

   Wajahnya memerah bagai kepiting dire-bus.

   Sebelah tangannya mencekal keris, dan sebelah lagi memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya.

   Tersentak Roro ketika mengenali gadis itu adalah RANDU WANGI.

   Tiga orang perwira saat itu telah me-nerjang dari arah kanan.

   Pedang dan golok berkeleba-tan.

   Mereka adalah tiga orang perwira kelas satu dari pengawal Adipati Bolulawang.

   Khawatir mengenal gadis yang dalam pondongan laki-laki gila itu, mereka menerjang dengan hati-hati.

   Dua orang menabas kaki.

   Sedangkan yang seorang lagi menabas lengan.

   Akan tetapi Ki Bogota dengan tertawa terbahak se-gera melompat.

   Kerisnya digunakan menangkis seran-gan lawan yang mengarah pangkal lengan.

   TRANG..! WHUUT! WHUUT! Dua jeritan kembali terdengar.

   Dua dari perwira Kadipaten itu terlempar dengan perut robek.

   Ternyata dengan kecepatan kilat Ki Bogota telah lemparkan tubuh gadis yang dipondongnya ke udara.

   Di detik itu dia berkelebat menyarangkan kerisnya di perut kedua lawan.

   Sementara tangkisan tadi telah membuat pe-dang lawan tertabas putus.

   Luar biasa memang keris Kyai Nogo Ijo itu.

   Tapi juga luar biasa gerakan tubuh Ki Bogota.

   Karena saat dua tubuh lawannya terlempar, dia telah siap kembali menyangga tubuh gadis itu untuk dipondongnya.

   Akan tetapi belum sempat lengan Ki Bogota me-nyentuh tubuh gadis itu satu bayangan telah mener-jang.

   BUK! Ki Bogota terjungkal berguling-guling.

   Terperanjat laki-laki tua ini, ketika melompat berdiri sesosok tubuh berambut panjang telah berdiri di hadapannya dengan memanggul tubuh gadis itu.

   Roro yang belum mengambil tindakan apa-apa ter-sentak kaget, karena segera mengenali siapa dia.

   tu-buh barusan tak lain dari JOKO SANGIT alias si Bre-wok Lengan Tunggal.

   "Manusia gila! Kau mampuslah!"

   Membentak si brewok.

   WHUUUK! BHLARRR...! Semua mata membelalak menatap dengan mulut ternganga.

   Karena sukar untuk diduga ketika laki-laki brewok itu gerakan lengannya, tahu-tahu terdengar ledakan dahsyat.

   Seiring ledakan itu, mereka melihat tubuh Ki Bogota telah menjadi serpihan-serpihan yang melambung di udara.

   Bercampur dengan menyembu-ratnya tanah dan batu.

   Ketika debu menipis, tampak potongan-potongan tubuh laki-laki tua bekas ketua Partai Lereng Merapi itu yang sudah tak berbentuk lagi.

   Ketika mereka memandang pada si brewok, ternyata orangnya sudah le-nyap entah kemana...

   Roro cuma melihat berkelebatnya bayangan ke arah utara.

   Tak ayal lagi Roro segera mengejar.

   Sementara sembilan tamtama Kadipaten itu cuma bisa terperangah dengan mulut ternganga tanpa ucapkan sepatah kata.

   Berdiri terpaku memandang tubuh manusia edan yang telah membunuhi penduduk dan menewaskan beberapa tamtama itu.

   Dalam keadaan demikian, tanpa seorangpun yang melihat.

   Sepotong lengan yaitu potongan lengan Ki Bogota yang masih erat mencekal keris Kyai Nogo Ijo yang menggeletak di balik bongkah-bongkah batu, tiba-tiba bergerak hidup.

   Potongan lengan yang menggeletak di balik bongkah-bongkah batu itu melayang ke udara.

   Fantastis sekali, karena tiba-tiba potongan lengan itu meluncur ke arah para tamtama itu.

   Sinar hijau berkelebat, dan....

   Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan membe-lah udara.

   Kesembilan tamtama Kadipaten itu roboh satu per-satu hampir berbareng.

   Darah memercik menyiram ta-nah.

   Karena dada dan leher mereka telah terkoyak ke-ris maut Kyai Nogo Ijo.

   Sekejap saja sembilan tubuh itu telah roboh dengan nyawa masing-masing lepas da-ri tubuhnya.

   Kejap berikutnya sinar hijau telah berkelebat mem-belah udara meluncur pesat menuju ke arah utara.

   Seperti menyusul kedua bayangan yang telah lebih dulu melesat dari tempat itu...

   *** RORO CENTIL berkelebat mengejar bayangan tubuh si Brewok yang sudah dapat dipastikan adalah JOKO SANGIT.

   Mana Roro bisa melupakan wajah laki-laki yang telah membuat dia jatuh hati itu? Roro sendiri tak mengetahui mengapa dia bisa jatuh hati pada be-kas berandal itu.

   Apakah karena kebaikan hatinya, ataukah karena Joko Sangit memang berwajah tam-pan? Akan tetapi Roro mengetahui banyak laki-laki seperti SAMBU RUCI alias si Bujang Nan Elok, atau Raja Muda tanah Melayu, Ginanjar dan banyak lagi yang lainnya.

   Namun justru Roro lebih tertarik pada Joko Sangit.

   Dia tak dapat mengelabui isi hatinya untuk mencintai laki-laki itu.

   Joko Sangit memang sudah dapat dikatakan seorang laki-laki yang amat mudah ja-tuh ke tangan wanita.

   Tapi Roro yakin kalau kelakuan tidak baik itu bisa dihilangkan.

   Semua itu karena Joko Sangit seorang laki-laki yang kurang kuat iman.

   Apa-kah rasa cintanya itu timbul karena rasa kasihan pada laki-laki Itu? Entahlah...

   Ketika pada beberapa tahun yang lalu Ki Jagur Wedha guru Joko Sangit bergurau akan mengambil menantu padanya, Roro cuma tersipu dengan wajah berubah merah.

   Biasanya Roro tak ambil peduli dengan setiap laki-laki.

   Karena Roro memang masih mau hidup menyendiri, bebas dari ikatan suami istri.

   Yah, memang jiwa kependekaran Roro lebih tampak menonjol.

   Roro memang lebih mementingkan urusan kependekaran ketimbang urusan pribadi.

   Tapi sebagai manusia Roro tak mampu menolak apa yang namanya "Cinta".

   Walau Roro sendiri tak mengetahui apakah dia jatuh cinta, apakah cuma rasa kasihan pada laki-laki itu.

   Yang jelas, Roro tengah mengejarnya dengan hati trenyuh tak menentu.

   Karena setelah lama tak pernah berjumpa, Roro melihat laki-laki brewok itu muncul dengan ilmu yang tinggi.

   Akan tetapi Joko Sangit telah kehilangan sebelah lengannya.

   Dan berjulukan si Brewok Lengan Tunggal.

   Saat itu senja hampir merambah alam.

   Cuaca tidak lagi terang benderang.

   Matahari hampir redup.

   Bebe-rapa saat lagi akan lenyap terhalang pegunungan.

   Ge-rakan Roro memang agak lambat, karena Roro di samping memikirkan keadaan Joko Sangit, juga memi-kirkan Ginanjar yang gua garbanya kemasukan sukma KALA WRENGGI.

   Dua orang laki-laki muda yang sama-sama mencintai dirinya itu telah muncul.

   Yang seorang adalah masih saudara seperguruannya sendiri, yaitu Ginanjar.

   Sedang Joko Sangit masih ada pertalian hu-bungan antara guru Joko Sangit dengan gurunya, yai-tu si Manusia Aneh Pantai Selatan.

   Namun Roro telah kehilangan jejak ketika mengejar Joko Sangit.

   Mendadak cahaya hijau membersit di atas kepa-lanya.

   "Hahaha... heheh... RORO CENTIL! untuk apa kau mengejar dia? Bukankah kau mau ke Tenggara?"

   Terkejut Roro melihat sepotong lengan yang mencekal sebuah Keris bersinar hijau bisa berkata-kata.

   Nada suara tertawa dan kata-kata itu membuat Roro segera mengetahui dengan cepat.

   Namun membuat Roro jadi terperanjat, karena dia tahu potongan lengan itu adalah potongan lengan manusia edan yang tubuhnya mengalami kehancuran akibat benda peledak yang di-lakukan Joko Sangit alias si Brewok.

   "Kala Wrenggi...!?"

   Sentak Roro dengan mata terbe-lalak. Sekejap dia sudah hentikan langkahnya. Menen-gadah menatap pada potongan lengan yang mencekal keris hijau berlumuran darah.

   "Benar, aku sukma Kala Wrenggi! Segera hentikan pengejaranmu, dan ikut aku ke Tenggara!"

   Menyahut sukma Kala Wrenggi dengan suara seram.

   "Mengapa kau masuk ke dalam lengan kutung itu? Di mana kau tinggalkan tubuh Ginanjar?"

   Bertanya Roro dengan heran. Akan tetapi diam-diam dia bergirang, karena sukma Kala Wrenggi telah keluar dari gua garba Ginanjar.

   "Bagus!"

   Pikir Roro;

   "Aku akan beru-paya agar dia tak memasuki lagi tubuh si tolol itu ..! Akan tetapi aku terpaksa harus tetap ke Tenggara. Walau sampai saat ini aku tak tahu bagaimana caranya melenyapkan manusia iblis pantang mati ini!"

   Roro yang memang telah bertekad untuk menghan-curkan kebatilan, telah menempuh jalan dengan ca-ranya sendiri.

   Tanpa memikirkan resiko lagi, gadis berwatak aneh ini memang mempunyai keberanian yang luar biasa.

   Entah, apakah dia mampu mele-nyapkan manusia iblis pantang mati itu? Kita ikuti sa-ja jalan ceritanya.

   "Bocah laki-laki itu telah kubunuh mampus!"

   Menyahut sukma Kala Wrenggi.

   "HAH!?"

   Tersentak Roro. Keringat dingin mengucur di dahinya. Sejenak dia terhenyak mendengar kata-kata itu.

   "Mengapa kau lakukan itu? mengapaaa!?"

   Suara Ro-ro melengking tajam hingga berpantulan di sekitar tempat itu.

   "Kau... kau dasar iblis! Mengapa tak kau tepati jan-jimu?"

   Gemuruh dada Roro karena terkejutnya.

   "Hohoho... hehehe... dia masih hidup. Aku hanya menakut-nakuti mu!"

   Tertawa mengekeh sukma Kala Wrenggi.

   "Benarkah demikian?"

   Tanya Roro lirih. Sementara matanya menatap lengan kutung yang mencekal keris bersinar hijau itu tak berkedip.

   "Percayalah! aku tak berdusta. Aku hanya menakut-nakuti kau. Dari sikapmu itu aku mengetahui kalau kau memang benar-benar mencintai dia!"

   Roro tersenyum. Sementara diam-diam dia menarik napas lega.

   "Ya! aku memang mencintainya. Tapi pemuda som-bong itu lebih memperhatikan gadis bernama Kasmini ketimbang aku..."

   Sahut Roro berdusta.

   Diam-diam Roro mulai mencari akal untuk membu-juk sukma Kala Wrenggi agar tak memasuki lagi gua garba Ginanjar.

   Tapi Roro harus melihat bukti dulu bahwa Ginanjar masih hidup.

   *** SEMENTARA terjadi percakapan Roro dengan suk-ma Kala Wrenggi, telah didengar oleh sesosok tubuh di balik semak belukar.

   Sepasang matanya yang bersinar tajam menatap dengan aneh pada Roro dan sepotong lengan yang mencekal keris bersinar hijau itu.

   "Sukma Kala Wrenggi?"

   Berdesis pelahan laki-laki itu yang tak lain dari si brewok alias Joko Sangit.

   Tubuh Randu Sari yang tak sadarkan diri dibaring-kan tak jauh dari tempat dia bersembunyi.

   Sementara dia sendiri mendengarkan percakapan itu dengan se-rius, dengan hati berdebar.

   Karena Joko Sangit segera meraba lengan kiri yang telah kutung.

   Lengan yang putus itu telah ditabasnya atas per-mintaan Roro untuk membuktikan CINTAnya pada da-ra perkasa Pantai Selatan itu, Joko Sangit telah nekad memutuskan lengannya sendiri.

   Betapa marahnya Joko Sangit ketika ternyata Roro telah menipunya.

   Dalam keadaan menderita Joko San-git menggelepar kesakitan dengan luka pada lengannya yang putus, hingga dengan kemarahan menggelegak, dia menerjang Roro.

   Joko Sangit yang dalam keadaan mabuk itu akhirnya tergelincir jatuh ke dalam jurang yang dalamnya susah diukur.

   Agaknya nasib baik masih melindungi dia, hingga masih berumur panjang.

   Seorang kakek tua renta telah menolongnya.

   Dialah seorang tokoh persilatan dari Negeri Sakura, bernama MATSUI.

   Peruntungan Joko Sangit justru amat baik.

   Kakek MATSUI memang bertujuan mencari Roro Centil untuk mewariskan sebuah Kitab Pusaka.

   Kitab Pusaka itu berisi ilmu-ilmu persilatan yang bernama NINJA.

   Kakek Matsui yang pernah berhutang budi pada Ro-ro Centil telah mengarungi lautan untuk menyerahkan Kitab Pusaka NINJA itu pada dia.

   Joko Sangit mengambil kesempatan baik itu, untuk membantu Matsui menyampaikan Kitab Pusaka itu pada Roro.

   Tokoh Negeri Sakura itu percaya pada Joko Sangit yang memberitahukan bahwa dia adalah sahabat baik Roro Centil.

   Demikianlah.

   Hingga kemudian Joko Sangit sendiri-lah yang mempelajari ilmu NINJA itu.

   Joko Sangit memang berniat tak akan memberikan Kitab Pusaka NINJA itu pada Roro.

   Joko Sangit yang bekas si pemuja Roro Dentil itu te-lah salah menyangka.

   Karena sebenarnya yang melakukan perbuatan ja-hat menipunya itu adalah GIRI MAYANG.

   Wanita yang amat mendendam pada Roro Centil.

   Dengan menggu-nakan Ilmu Malih Rupa, Giri Mayang telah menyaru Roro Centil.

   Bahkan dengan perbuatannya itu, Roro pernah dituduh sebagai seorang wanita Pendekar be-rakhlak bejat.

   Dan banyak melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

   Joko Sangit yang tak mengetahui kalau Roro tengah mengakali sukma Kala Wrenggi, terkejut mendengar Roro mengatakan bahwa dia amat mencintai pemuda bernama GINANJAR.

   Dia memang mengenal Ginanjar, yang diketahuinya adalah seorang pemuda yang masih saudara seperguruan Roro.

   Seperti diketahui Roro pernah menjadi murid Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti.

   Dan Ginanjar adalah murid Ki Bayu Sheta atau si Pendekar Bayangan, yang punya hubungan antara mereka adalah menantu dan mertua.

   (baca.

   Kisah per-tama RORO CENTIL, berjudul; Empat Iblis Kali Progo).

   Roro sendiri masih terhitung murid Ki Bayu Sheta, karena kakek tua bekas pejuang dari kaum Partai Pen-gemis yang berjulukan si Pendekar Bayangan itu me-nurunkan pula ilmu-ilmu kepandaiannya pada Roro.

   Seketika wajah Joko Sangit berubah merah padam.

   Dadanya bergetar.

   "Pantas dia menipuku! ternyata diam-diam dia telah mencintai si bocah ingusan itu...!"

   Berdesis Joko Sangit dengan geram.

   Namun di samping geram karena cemburunya, juga sakit hati pada Roro yang telah memperdayai dia, Joko Sangit tak habis pikir melihat kejadian di depan matanya.

   Jelas lengan yang putus dan masih memegang keris itu adalah lengan manusia gila yang telah dihabi-si nyawanya dengan ledakan peluru maut.

   Di samping heran dia juga terkejut mengetahui len-gan kutung yang bisa bicara itu adalah karena dima-suki sukma KALA WRENGGI.

   "Siapakah Kala Wrenggi itu? Sukmanya bisa gentayangan dan dapat masuk ke tubuh manusia atau kemana saja yang disukainya?"

   Berpikir Joko Sangit dalam benak dengan 1001 perta-nyaan. Sementara sukma Kala Wrenggi telah mulai buka suara lagi.

   "Heh Bocah Centil, apakah kau mau aku memasuki lagi tubuh pemuda bernama Ginanjar itu lagi?"

   Roro Centil merasa mendapat peluang dengan adanya pertanyaan itu. Segera dia menjawab.

   "Kurasa tidak perlu"

   Sahut Roro.

   "Masih banyak pemuda gagah lainnya yang bisa menawan hatiku. Ta-pi aku lebih menyukai kau Kala Wrenggi. Selain sakti mandraguna kau juga seorang manusia yang pantang mati. Aku amat tertarik padamu. Kalau tak keberatan ingin sekali aku melihat jasadmu di pantai Tenggara..."

   Rayu Roro dengan tersenyum manis. Mendengar jawaban Roro Centil sukma Kala Wreng-gi tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha... hehehe... lucu! sungguh lucu sekali. Kalau gadis secantik dan sehebatmu sampai tak dicintai oleh pemuda bernama Ginanjar itu saja sudah suatu hal yang tak mungkin. Kini kau katakan bahwa kau menyenangi aku yang jasadnya saja belum pernah kau lihat. Bagaimana kalau jasadku itu cuma sesosok tu-lang kerangka?"

   Tersentak Roro mendengar kata-kata sukma Kala Wrenggi.

   "Edan! apakah roh manusia setan ini bisa menerka isi hatiku?"

   Bertanya Roro dalam hati. Namun walaupun demikian Roro tetap mengumbar senyum.

   "Aku tak perduli apakah jasadmu cuma sesosok kerangka atau segumpal daging busuk. Yang jelas aku ingin sekali melihat jasadmu. Bukankah punya suami manusia aneh yang sakti seperti kau banyak sekali keuntungannya? Kau bisa berpindah pada jasad siapa saja. Dan kau tak akan pernah tua. Juga tak kan per-nah mati. Nah aku merasa pilihanku tidak meleset!"

   Ucap Roro dengan tegas. Karuan saja Joko Sangit yang mendengarkan pem-bicaraan Roro jadi belalakkan matanya seperti tak percaya.

   "Jadi si Kala Wrenggi ini adalah manusia setan yang pantang mati? Gila Edan! si Roro juga edan! Dunia Ini memang benar-benar sudah edan!"

   Memaki Jo-ko Sangit kalang-kabut dalam hati. Sementara sukma Kala Wrenggi mulai bicara lagi setelah perdengarkan tertawanya yang terkekeh-kekeh.

   "Bagus! bagus! baiklah! aku tak keberatan dengan keinginanmu itu. Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Tenggara!"

   "Tunggu!"

   Berkata Roro.

   "Bolehkah aku mengetahui mana adanya pemuda bernama Ginanjar itu kini?"

   Bertanya Roro.

   "Hm, segera akan kutunjukkan! Apakah yang akan kau lakukan? Kalau kau sudah tak menyukainya, aku akan segera membunuhnya mampus saja sekalian, se-perti sembilan nyawa para tamtama tadi!"

   "He? kau telah membunuh sisa-sisa tamtama Kadi-paten itu?"

   Terhenyak Roro dengan terkejut. Matanya membelalak menatap lengan kutung yang mencekal keris bersinar hijau itu, yang menggantung di udara.

   "Hehehe... siapa berhak melarang kemauanku?"

   Menyahut sukma Kala Wrenggi.

   "Benar! benar, siapa yang berhak melarang kemauanmu?"

   Timpal Roro. Dia memang tak dapat berbuat apa-apa selain menelan ludah yang terasa menyangkut di tenggorokan.

   "Tidak! kau tak perlu membunuh pemuda itu. Kalau sudah kuketahui dia masih hidup, kita langsung berangkat ke Tenggara. Kelak aku punya cara sendiri untuk melakukan apa yang akan kulakukan pada pemu-da sombong yang angkuh itu!"

   Berkata Roro.

   "Kalau begitu segera kutunjukkan di mana dia".

   "Tunggu! aku tak bisa jalan bersama sepotong lengan yang mengerikan seperti itu. Apakah..."

   Roro berpikir sejurus.

   "Hehehe... apakah kau punya usul bagus?"

   "Ya, apakah tak sebaiknya kau masuk saja ke da-lam cincinku?"

   Ujar Roro seraya mengangkat lengannya dan mengembangkan jemari tangannya. Pada jari manis Roro melekat sebentuk cincin berbatu Merah Delima. Cincin warisan dari gurunya si Manusia Banci, yang tak pernah lepas melingkar di jari manis Roro.

   "Bagus! aku sepenuju dengan usulmu!"

   Sahut suk-ma Kala Wrenggi.

   "Dan keris ini kukira aku tak memerlukannya!"

   Berkata sukma Kala Wrenggi.

   Selesai berkata, tiba-tiba lengan kutung itu bergerak mengibas.

   Jari-jari tan-gannya mengembang.

   Dan...

   meluncurlah keris bersi-nar hijau itu menembus semak belukar.

   Terperanjat Joko Sangit.

   Keringat dingin merembes di tengkuknya.

   Keris maut itu nyaris menembus leher-nya.

   Benda itu menancap tepat di dahan kayu semak belukar tempat dia bersembunyi.

   Ketika dia memandang ke arah Roro.

   Ternyata Roro Centil baru saja berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Dia cuma bisa melihat punggung dara Pantai Selatan itu sesaat sebelum lenyap.

   "Edan! benar-benar manusia sudah pada edan!"

   Memaki si brewok seraya melompat berdiri.

   Tak ada niat Joko Sangit untuk menyusul.

   Segera dia berpaling memandang pada Randu Wangi yang masih tergeletak tak sadarkan diri.

   Terdengar helaan napas laki-laki ini.

   Akan tetapi tersentak dia ketika melihat semak belukar dihadapannya telah menjadi layu.

   Jelas terlihat semak yang layu itu adalah yang da-hannya tertancap keris bersinar hijau itu.

   "Keris beracun!?"

   Sentak Joko Sangit dengan membelalak. Dan lagi-lagi di tengkuknya merembes kerin-gat dingin.

   "Edan...!"

   Makinya.

   Joko Sangit julurkan lengannya mencabut keris itu, lalu mengamatinya.

   Tampak cairan darah yang belum mengering di badan keris itu.

   Akan tetapi Joko Sangit bukan memperhatikan bekas-bekas darah itu, melainkan ukiran berbentuk seekor Naga yang terdapat di badan keris.

   Ukiran Naga itu tergambar sama di kedua belah badan keris itu.

   "Ini pasti sebuah keris Pusaka..."

   Gumam laki-laki brewok ini dengan kerutkan keningnya.

   "Entah siapa manusia gila yang sudah mampus itu. Aku tak menge-nalinya. Dan aku memang tak perlu mengetahuinya lagi, karena toh orangnya sudah mampus!"

   Gerutu si brewok. Tiba-tiba laki-laki ini balikkan tubuhnya dengan ce-pat, ketika merasakan ada syiuran angin halus di be-lakangnya.

   "Berikan benda itu padaku, sobat muda...! Kukira benda itu tak berguna buat anda!"

   Joko Sangit pentang matanya lebih lebar.

   Seorang kakek berjubah putih, kepalanya terbungkus lilitan kain yang juga berwarna putih.

   Seuntai tasbih kuning tergantung di lehernya.

   Pada sebelah lengan kakek itu tercekal sebuah pedang yang masih terbungkus serangkanya.

   Kakek yang ber-jenggot dan berkumis tipis ini memandang pada Joko Sangit dengan tersenyum.

   Suaranya seperti mengan-dung wibawa.

   "Siapakah anda...?"

   Bertanya Joko Sangit yang menatap dengan terpaku.

   "Haiiihi namaku sudah hampir tak diingat orang. Sebenarnya aku enggan menyebutkannya, tapi tak apalah. Kulihat watakmu baik walau kelihatannya kau seorang kasar. Baiklah aku akan memberitahukannya padamu..."

   Menyahut si kakek.

   "Sebenarnya aku seorang pertapa dari gunung Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku digelari orang dengan julukan si Pertapa Tasbih Kuning..."

   Ujar si kakek sambil tersenyum. Tapi belakangan orang menye-butku KYAI SUMBING"

   Joko Sangit manggut-manggut mendengar penjela-san orang tua itu.

   "Terima kasih atas pemberitahuan nama dan gelar anda. Aku sendiri bernama Joko Sangit."

   Laki-laki bre-wok itu perkenalkan dirinya seraya menjura hormat pada kakek tua yang ramah itu.

   "Boleh aku tahu, apakah hubungan anda dengan keris ini?"

   Bertanya Joko Sangit.

   "Bukan saja dengan keris itu, akan tetapi juga dengan gadis yang kau tolong itu aku memang ada hu-bungannya."

   Sahut Kyai Sumbing sambil lengannya menunjuk pada Randu Wangi yang juga masih belum sadarkan diri.

   "Oh, ya...?"

   Terkejut Joko Sangit.

   "Gadis itu bernama Randu Wangi"

   Ujar Kyai Sumbing.

   "Dia adalah anak seorang Empu yang bernama Santri Bubulen. Santri Bubulen adalah masih terhitung kepona-kanku. Dan gurunya adalah sahabatku sendiri yang bernama Kyai Nogo Ijo..."

   Joko Sangit manggut-manggut.

   "Lalu hubungan apakah anda dengan keris ini?"

   Potong Joko Sangit.

   "Keris itu menjadi tanggung jawabku untuk me-musnahkannya. Benda bercahaya itu adalah ciptaan Santri Bubulen keponakanku itu, atas pesanan orang yang bernama Bogota. Manusia bernama Bogota itu te-lah menyandra anak gadisnya yang bernama Randu Wangi selama belasan tahun karena menginginkan ke-ris pusaka yang dimiliki Santri Bubulen. Santri Bubulen memang memiliki sebuah keris pu-saka dari gurunya yang bernama Kyai Nogo Ijo. Nama keris itu memang serupa dengan nama si pemiliknya. Santri Bubulen yang tak mau memberikan pusaka wa-risan gurunya pada Bogota, telah mengatakan bahwa keris pusaka itu telah hilang. Tapi dia sanggup mem-buat keris yang serupa dengan keris Kyai Nogo Ijo jika Bogota menginginkan. Santri Bubulen memang seorang ahli membuat keris dan boleh disebut sebagai seorang Empu. Tapi dikatakan oleh Santri Bubulen bahwa pembuatannya akan memakan waktu lama hingga mencapai belasan tahun. Karena Bogota men-ginginkan mutunya yang sama dengan keris Kyai Nogo Ijo yang asli. Tujuan Santri Bubulen adalah agar Bogo-ta membatalkan maksudnya memiliki keris itu. Tak dinyana manusia itu malah menyandera anak Santri Bubulen. Dia akan mengembalikan anak itu kelak sebatas waktu Santri Bubulen menjanjikan selesainya pem-buatan keris tiruan Kyai Nogo Ijo. Tak terkira sedih dan menyesalnya Santri Bubulen. Dengan dendam yang tersemat di dada dia membuat keris tiruan Kyai Nogo Ijo dan menunggu waktu sampai Bogota men-gembalikan anak gadisnya sambil menjemput keris. Akan tetapi Santri Bubulen telah merendam keris ciptaannya itu dengan racun yang amat ganas. Tu-juannya adalah bila anaknya sudah kembali, dia akan membunuh Bogota dengan keris pesanannya sendiri. Tak dinyana ketika Bogota muncul, justru tak mem-bawa anak gadisnya. Namun tekad Santri Bubulen telah bulat untuk membunuh Bogota. Tapi ternyata justru Santri Bubu-lenlah yang terbunuh oleh keris tiruan Kyai Nogo Ijo itu di tangan Bogota.."

   Tutur Kyai Sumbing.

   "Sayang aku tak mengetahui peristiwa penyande-raan itu sejak awal. Karena Santri Bubulen meraha-siakannya!"

   Sejenak orang tua itu termenung dan menghela napas.

   *** JOKO SANGIT duduk termenung di akar pohon.

   Malam telah merayapi sekitar perbukitan itu.

   Laki-laki brewok ini seperti tenggelam dalam lamunannya dalam keheningan yang membisu.

   Sepotong bulan tampak mengambang di atas awan menyinari Mayapada den-gan cahaya yang tak begitu terang.

   Joko Sangit me-mang tengah tenggelam dalam lamunan mengingat pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini.

   Baru muncul lagi setelah menyembunyikan diri un-tuk mempelajari kitab NINJA.

   Joko Sangit telah mem-bunuh orang.

   Dan orang itu adalah seorang Ketua Par-tai Besar yang bernama Partai Lereng Merapi, menurut penuturan Kyai Sumbing.

   Kyai Sumbing memang tengah mengejar manusia gila bernama Bogota itu, dan berhasil merampas Pedang Pusaka di tangan bekas Ke-tua Lereng Merapi itu.

   Dari penuturan Kyai Sumbing, Bogota ternyata bukanlah orang yang berhak mendu-duki jabatan Ketua di partai Lereng Merapi yang sudah terpecah belah.

   Perbua-tannya banyak yang menyalahi peraturan-peraturan partai itu.

   Kabar yang mengejutkan Joko Sangit adalah bahwa kemunculan sukma Kala Wrenggi telah membuat ke-hancuran Partai Lereng Merapi dan sebuah perguruan lain dengan membantai habis orang-orangnya.

   RANDU WANGI gadis yang telah ditolongnya itu ter-nyata telah ternoda oleh manusia bernama Bogota.

   Gadis yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri itu akan dibawa oleh Kyai Sumbing untuk dipertemukan dengan ibunya yang masih hidup.

   Joko Sangit tak da-pat menghalangi.

   Setelah memberikan keris tiruan Kyai Nogo Ijo, Joko Sangit segera mohon diri untuk pergi meninggalkan tempat itu.

   Sementara Kyai Sumbing pun segera be-rangkat pergi dengan membawa Randu Wangi.....

   Terdengar laki-laki brewok itu menghela napas.

   Dia belum punya tujuan untuk ke mana dia langkahkan kakinya.

   Namun kemunculan RORO dan sukma Kala Wrenggi membuat dia seperti tak dapat tenangkan ha-ti.

   Entah mengapa tampaknya dia seperti mengkhawa-tirkan keselamatan Roro, ataukah memang ingin tahu apa yang terjadi di Tenggara, karena Roro dan sukma Kala Wrenggi tengah menuju kesana.

   "Kukira sebaiknya aku menyusul ke Tenggara..."

   Gumam laki-laki kekar ini, seperti mengambil keputu-san.

   "Aku tak dapat mengetahui apakah aku bisa menjumpai dia atau tidak, karena aku tak tahu ke mana mereka pergi. Tapi dengan perjalanan ini kukira mungkin akan menambah pengalamanku di wilayah Tenggara...!"

   Demikian keputusan Joko Sangit. Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Kepalanya me-nengadah menatap bulan sepotong di atas kepala.

   "Bagus! sekalian aku mencari penginapan di kota. Sudah lama aku tak mencicipi arak. hahaha..."

   Joko Sangit tertawa kecil lalu tubuhnya berkelebat dari atas bukit itu.

   Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi bayangan tubuhnya.

   *** Malam semakin melarut, ketika sesosok tubuh be-rindap-indap mendekati sebuah rumah panggung di sisi kota.

   Di luar cahaya bulan masih cukup menerangi seki-tar tempat itu walaupun cahayanya remang-remang.

   Tetapi berbeda dengan keadaan di dalam rumah pang-gung itu, karena dari luar tak menampak ada cahaya pelita.

   Terhuyung sosok tubuh itu yang semakin mendeka-ti rumah panggung.

   "Rumah siapakah gerangan?"

   Terdengar suara sosok tubuh itu bergumam.

   "Perutku lapar... Apakah yang punya rumah bisa memberikan sedikit nasi untuk me-nangsal perutku?"

   Gumamnya lirih.

   Tampaknya laki-laki itu amat menderita sekali seperti sudah beberapa hari tak bertemu makanan.

   Siapakah gerangan dia? Ternyata tak lain dari GINANJAR adanya.

   Pemuda ini memang dalam keadaan bingung karena ketika sukma Kala Wrenggi meninggalkan gua gar-banya, Ginanjar tak mengetahui dia berada di mana.

   Apalagi cuaca telah berubah gelap dengan pergan-tian siang menjadi malam.

   Dalam keadaan bingung karena tahu-tahu di hada-pannya tak ada lagi gadis bernama Kasmini yang dika-gumi kehebatannya dan telah menyelamatkan dirinya dari perbuatan mesum Rinjani.

   Seingatnya dia men-dengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh dan ber-suara parau yang tanpa kelihatan ujudnya.

   Selanjut-nya sudah tak tahu apa-apa lagi.

   Tentu saja Ginanjar tak menyadari kalau sukma Kala Wrenggi telah memasuki gua garbanya dan tu-buhnya ke mana saja tanpa dia tahu ke arah mana dia pergi.

   Bahkan perbuatan apa yang telah dilakukannya dia tak mengetahui.

   Baru saja dia mau melangkah ma-suk, dari dalam rumah yang gelap itu terdengar suara tertawa mengikik.

   Tersentak Ginanjar bukan kepalang.

   Sebuah bayangan putih tahu-tahu tersembul di pintu rumah dengan rambut putih yang beriapan mena-kutkan.

   Dan yang membuat Ginanjar seperti copot nyalinya adalah muka sosok tubuh itu amat mengeri-kan.

   Sepasang mata yang besar dengan mulut yang menampakkan taring di kedua sisi bibir.

   Hidungnya melesak serta mempunyai kerut-kerut wajah bagaikan kera.

   "Huah!? sse... set... setaaaan!"

   Sentaknya kaget. Suara tertawa makhluk itu semakin menjadi-jadi ketika Ginanjar lari pontang panting dengan terhuyung-huyung jatuh bangun seraya berteriak-teriak.

   "Tolooong! tolooong...! Kun... kun... kuntilanaaaak!"

   Sesaat sosok tubuh Ginanjar telah lenyap di kegelapan malam.

   "Hahahaha... haha... dasar bocah ingusan yang masih bau kencur! Bocah macam kau baiknya tinggal saja di dapur, atau menyusu pada ibumu!"

   Berkata "makhluk"

   Itu.

   Tiba-tiba lengannya bergerak.

   Rambut kepala dijambret terlepas.

   Kulit mukanya juga terkelupas.

   Ternyata hanya sebuah topeng serta rambut palsu be-laka.

   Cahaya rembulan cukup menerangi wajahnya.

   Ternyata si brewok, alias Joko Sangit.

   Entah bagaimana sampai laki-laki brewok itu bisa sampai di tempat itu.

   Sembunyi di dalam pondok dan menakut-nakuti Ginanjar hingga lari pontang-panting ketakutan.

   Joko Sangit tarik buntalannya di pung-gung.

   Lalu dengan cepat telah benahi alat-alatnya untuk kembali dibuntal.

   Dan sekejap kemudian buntalan itu telah disangkutkan kembali di punggungnya.

   "Hm, perutku sudah kenyang menyikat makanan dalam rumah ini. Aku akan teruskan perjalanan ke ko-ta..."

   Berkata sendiri Joko Sangit.

   Selanjutnya dengan beberapa kali lompatan, beberapa kejap kemudian sosok tubuh lak-laki brewok itu telah lenyap di kegelapan malam.

   *** PULAU terpencil di tengah laut itu masih terhalang kabut.

   Tak ada sebuah perahupun yang nampak di dekat situ.

   Akan tetapi dalam keremangan pagi yang masih dinihari, tampak sebuah bayangan berkelebatan di atas ombak.

   Bila diamati orang tak akan percaya kalau sosok tubuh itu adalah manusia biasa.

   Karena satu hal yang tak mungkin bagi pemikiran orang biasa, kalau ada manusia bisa berlari-lari di atas air seperti menginjak tanah saja.

   Sosok tubuh semampai itu memang manusia biasa, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.

   Dialah RORO CENTIL, alias si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

   Tampak senjata Roro si Rantai Genit yang mirip mainan itu tergantung terayun-ayun di pinggang-nya.

   "Di arah sebelah manakah pulau tempat jasadmu itu, sobat Kala Wrenggi?"

   Terdengar suara Roro seperti bicara pada dirinya sendiri.

   "Hehehehe... teruslah ke arah depan, sesaat lagi kau akan melihatnya."

   Terdengar suara sahutan tanpa terlihat ujudnya.

   "Aiiiiih, aku sudah tak sabar untuk melihat jasadmu!"

   Ujar Roro seraya menatap pada cincin di jari ma-nisnya. Dari dalam cincin itulah terdengarnya suara menyahut tadi.

   "Hehehehe... sabarlah! Tak lama lagi kau akan melihatnya!"

   Menyahut sukma Kala Wrenggi.

   Ketika Kabut mulai melenyap Roro Centil sudah je-jakkan kaki di pulau yang baru lahir itu.

   Itulah pulau yang menyembul dari dasar laut.

   Pulau baru yang menjadi tempat tenggelamnya jasad Kala Wrenggi dari atas permukaan laut, ketika tubuhnya dilemparkan dalam keadaan terbelenggu oleh musuh-musuhnya.

   Roro memandang berkeliling dengan takjub.

   Ka-rang-karang yang bertonjolan di sekitar pulau itu seperti mempunyai keindahan tersendiri.

   Akan tetapi ju-ga seperti menimbulkan kesan menyeramkan.

   Pulau yang terlihat seperti mati tanpa penghuni.

   Bahkan tak nampak seekor burung camarpun yang mendekati pulau itu.

   Bau amis mengembara di mana-mana.

   Bang-kai-bangkai ikan yang membusuk seperti menyesak-kan pernapasan.

   Hal itu di sadari Roro ketika kakinya mulai melangkah lebih jauh memasuki pulau itu.

   "Di mana dapat kutemukan jasadmu, Kala Wreng-gi?"

   Roro bertanya lagi. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit. Sementara benaknya terus memikir, akan meng-gunakan cara bagaimanakah dia untuk melenyapkan manusia Iblis yang pantang mati itu? Roro tak men-dengar sahutan suara sukma Kala Wrenggi.

   "He? Kala Wrenggi apakah kau masih berada di dalam cincin ku?"

   Sentak Roro terheran.

   Ditatapnya cincin berbatu Merah Delima yang melingkar di jari ma-nis.

   Tetap tak ada sahutan.

   Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di hadapannya.

   Batu karang yang menonjol setinggi tiga kali tubuh manusia depannya telah runtuh.

   Karang-karang ber-lumut meluruk bergelundungan.

   Roro belalakkan matanya.

   Sementara dia sudah pa-sang panca indranya untuk menghadapi segala ke-mungkinan yang bakal terjadi.

   Matanya semakin membelalak lebar, ketika sesosok tubuh muncul di antara celah-celah batu karang yang bertimbunan.

   Sosok tubuh yang mengerikan.

   Karena persis mayat hidup.

   Sosok tubuh yang sekujur tubuh-nya penuh dengan lumut, dalam keadaan telanjang bulat.

   Lumut-lumut itu menutupi aurat dan sekujur tubuhnya.

   Wajahnya menampilkan wajah seorang ka-kek tua yang berusia 70 tahun lebih.

   Tulang-tulang rusuknya tampak menonjol.

   Rambutnya hampir me-nyerupai lumut yang hijau.

   Sepasang matanya cekung ke dalam, dengan sorot mata memerah bagaikan api.

   Tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai yang baru saja putus.

   Inilah jasad Kala Wrenggi.

   Jasad yang telah terkubur di dasar laut selama dua puluh tahun.

   Roro terperangah memandang.

   Tak terasa kakinya melangkah mundur.

   "Owh? betapa mengerikan..."

   Berdesis suara dara Pantai Selatan ini.

   "Inikah jasad Kala Wrenggi?"

   Sentaknya dengan mata membelalak.

   "Hehehehe... hoho... RORO CENTIL! Jangan terke-jut! Akulah Kala Wrenggi yang telah menyatu lagi dengan sukmanya! Kau telah datang di pulau gersang ini untuk mengantar KEMATIAN!"

   Makhluk berlumut itu tertawa seram, mengumbar kata-kata. Roro kemba-li mundur dua tindak. Jantungnya berdetak keras.

   "Inilah agaknya yang bakal terjadi...?"

   Desisnya tersentak.

   Roro memang tak menduga kalau justru Kala Wrenggi akan bersikap demikian mendadak.

   Namun lambat atau cepat toh dia memang harus mengalami perta-rungan maut.

   Karena dia telah bertekad untuk me-numpas manusia iblis yang bakal membawa bencana dan sudah menyebar maut itu! Sampai saat ini Roro belum tahu akan mempergu-nakan cara bagaimana untuk memusnahkan manusia yang pantang mati itu.

   Agaknya waktu untuk berpikir sudah tak ada lagi.

   Karena tiba-tiba di sekeliling Roro telah bersembulan kobaran api.

   Terperanjat Roro melihat dalam sekejap saja dia telah terkurung oleh kobaran api yang menghalangi pandangan matanya ke seki-tar pulau.

   "Hah!? Edan! dia memang benar-benar mau mem-buat aku terkubur di pulau ini tanpa jasad"

   Gumam Roro dengan mata membelalak.

   "Hoahaha... hahahaha... RORO CENTIL! Hari ini akan kau rasakan kematian! Kau takkan dapat meni-puku, atau mengakali aku. Juga membunuhku! Tak ada lagi jalan keluar bagimu, karena api neraka ini akan membakar tubuhmu sampai luluh!"

   Kala Wrenggi gerakkan tubuhnya seperti terbang.

   Dan...

   WHUUUK! lengannya bergerak menghantam Roro.

   Dari telapak tangan Kala Wrenggi keluar cahaya merah yang mengeluarkan hawa panas seperti lahar.

   BHLARRR! Gemuruh terdengar suara ledakan.

   Batu karang itu seperti luluh mencair terkena sinar merah.

   Akan tetapi Roro telah melambung ke atas sejarak 10 tombak.

   Kakinya hinggap di atas batu karang lainnya.

   Wajah Roro tampak berubah tegang.

   Tiada lagi rasanya pertarungan dahsyat yang dialaminya selain melawan manusia iblis pantang mati ini.

   Akan mampukah Roro membunuh Kala Wrenggi si manusia iblis ini? Ikuti saja pertarungannya.

   Roro telah gunakan tenaga dalam Inti Es untuk me-lindungi tubuhnya dari hawa panas luar biasa.

   Hingga tampak keringat membasahi sekujur tubuhnya.

   Inilah saat penentuan mati dan hidup Roro.

   Sementara itu api berkobar-kobar mengitari seluruh pulau.

   Kala Wrenggi keluarkan suara menggeram menyeramkan.

   Kembali manusia setan itu menerjang Roro.

   Sepasang lengannya terpentang menyambar dibarengi melun-curnya tubuh Kala Wrenggi bagaikan terbang.

   Roro te-lah waspada dan bertekad akan menempur manusia iblis itu mati-matian.

   Dengan membentak nyaring Roro telah gunakan ju-rus pukulannya.

   BHLARRR! BHLARRR! Cahaya perak dan pelangi berkelebatan menyam-bar.

   Roro yang sudah bertekad menghancurkan manu-sia iblis itu telah menghantamnya dengan pukulan-pukulan saktinya, yaitu jurus pukulan warisan Muri Asih.

   Tubuh Kala Wrenggi lenyap terbungkus sinar pe-langi yang berkelebatan di udara.

   Roro segera gunakan mata batinnya untuk mengetahui ke mana lenyapnya tubuh Kala Wrenggi.

   Sementara api semakin berkobar dan kian menyempit mengurung Roro.

   Tenaga Inti Esnya mulai mengendur.

   Dan Roro mu-lai rasakan hawa panas yang menyengat kulit.

   "Celaka...!"

   Tersentak Roro.

   Segera dia gunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk menambah tenaga Inti Esnya.

   Cepat-cepat dia silangkan tangan dl depan da-da seperti sikap orang yang bersemadi.

   Sepasang ma-tanya terpejam.

   Sekejap tubuh dara perkasa Pantai Selatan itu seperti dipenuhi butir-butir salju.

   Mengembun dan keluarkan hawa dingin luar biasa.

   WHUUUUUS...

   BUK! Menjerit Roro Centil ketika me-rasai tubuhnya terlempar.

   Satu hantaman pukulan se-rasa membuat isi tubuhnya serasa remuk.

   Tapi Roro belum hilang kesadarannya.

   Sebelum tubuhnya ter-banting ke batu karang dan tertambus api, dia guna-kan hantaman ke bumi.

   itulah jurus "Kosongkan Perut Menahan Lapar".

   Tubuh Roro melambung ke udara setinggi dua puluh tombak.

   Dan mengambang di udara.

   Tampak Kala Wrenggi tengah menengadah ke atas.

   Se-pasang matanya memancarkan sinar merah yang me-nyala.

   BHLARRRR! Terdengar ledakan dahsyat.

   Apakah yang terjadi? Cahaya merah itu membalik menghantam ke arah pe-nyerangnya.

   Ledakan dahsyat itu telah membuat keja-dian mengerikan.

   Karena tampak batok kepala Kala Wrenggi hancur lumat terhantam sinar merah.

   Melihat keberhasilan pukulannya, Roro bersorak gi-rang dalam hati.

   Dan...

   dengan dibarengi melesatnya tubuh Roro bagaikan anak panah, Roro segera guna-kan pukulan-pukulan "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis"

   Dengan bertubi-tubi.

   Ledakan-ledakan dahsyat terdengar beberapa kali.

   Tak menampak lagi adanya tubuh Kala Wrenggi, karena telah hancur lumat menjadi abu.

   Saat itu langit tampak berubah kehitaman.

   Angin bersyiur keras.

   Cahaya petir menyambar-nyambar di angkasa.

   Mendadak api yang mengelilingi pulau itu padam.

   Bayangan hitam dan cahaya merah itu sirna.

   Cuaca segera berangsur-angsur berubah menjadi te-rang benderang.

   Dan terjadilah pemandangan yang aneh.

   Pulau mis-terius itu mendadak berguncang hebat.

   Ombak laut berdeburan keras.

   Menggelombang dan menyemburat setinggi beberapa kaki.

   Apakah yang terjadi? Ternyata pulau yang baru lahir itu telah tenggelam lagi ke dasar laut.

   Hanya beberapa saat saja di hamparan air itu sudah tak menampak lagi adanya sebuah pulau.

   Pulau itu telah kembali ke asalnya.

   Sesosok tubuh manusia tertelungkup di atas per-mukaan air.

   Saat mana sebuah perahu meluncur pesat membelah ombak.

   Dikemudikan oleh si Brewok Lengan Tunggal.

   Matanya jelalatan memandang ke sekeliling-nya.

   Perahu itu berputar-putar mengelilingi perairan itu.

   "Hah? RORO...? tersentak Joko Sangit mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu. Pucat seketika wajah Joko Sangit bagaikan kertas. Tak lama Roro keluarkan keluhan lirih.. Wajah Joko Sangit berubah cerah. Tampak dia amat girang sekali.

   "Roro...! RORO...!"

   Teriaknya lirih, seraya menggun-cang-guncang tubuh dara itu. Akan tetapi Roro Centil tak menyahut. Namun tam-pak bibirnya tersenyum. Dan perlahan kelopak ma-tanya terbuka. Menatap wajah di dekatnya dengan ta-tapan redup.

   "Roro...! aku masih mencintaimu, Roro...! Aku tak akan mendendam padamu walau aku telah kehilangan sebelah lenganku! Aku akan memaafkan kelakuanmu tempo hari!"

   Ucap Joko Sangit dengan suara mengge-tar. Tapi suara itu tersekat di kerongkongannya. Dia cuma ucapkan dalam hati.

   "Joko... siapakah manusianya yang telah memu-tuskan lenganmu? Katakanlah. Demi langit dan bumi aku akan melumatkan manusia jahanam itu!"

   Ucap Roro dengan suara lirih.

   "Roro, nanti akan kuceritakan siapa orangnya. Apakah yang terjadi denganmu, Roro? Bagaimana dengan sukma Kala Wrenggi?"

   "Dia telah kembali ke asalnya, Joko...! Iblis boleh tidak mati, dan tak akan pernah mati sampai hari kia-mat. Tapi sukma yang gentayangan akan tetap kembali pada Tuhan, bila telah tiba waktunya. Kesaktian apa-pun akan punah. Dan keangkara-murkaan tetap tak akan bisa bertahan lama di atas dunia ini...!"

   Ucap Ro-ro Centil dengan tersenyum. Roro Centil katupkan lagi kelopak matanya. Bibirnya masih tersenyum. Tapi tampak seperti mengharap.

   "Joko...! ah, Joko...! kau tak tahu betapa aku mencintai mu..."

   Bisikan itu teramat lirih. Hampir-hampir Joko Sangit tak mendengar-nya. Camar-camar semakin banyak beterbangan di atas permukaan laut. Joko Sangit semakin mendekatkan wajahnya. Bi-birnya mendesah.

   "Roro...! Roro... aku cinta padamu...! T A M A T E-Book by Abu keisel
https.//www.facebook.com/ DuniaAbuKeisel

   

   

   

Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Raja Petir Empat Setan Goa Mayat

Cari Blog Ini