Ceritasilat Novel Online

Tragedi Pulau Berhala 2


Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Bagian 2



Sosok tubuh seorang laki-laki yang juga ber-kepala botak.

   Laki-laki yang berpakaian jubah hijau dan sudah agak butut itu memang mirip dengan Paderi-Paderi itu.

   Akan tetapi jelaslah kalau paderi ini bukan sego-longan dengan para paderi Pulau Berhala .

   "Keparat! mereka mulai mencari korban lagi! aku harus segera melaporkan!"

   Berbisik mulut paderi ini.

   Sepasang matanya menyorotkan kegemasan mena-tap para paderi Pulau Berhala yang berkelebatan lenyap.

   Dia bangkit berdiri.

   Menyibak semak.

   Dan! berke-lebat ke arah yang berlawanan dengan paderi itu.

   Kita beralih kesatu tempat tersembunyi tak jauh dari pantai.

   Beberapa buah kemah tampak berada di sekitar itu.

   Dan tampak para penjaga yang rata-rata berpa-kaian serupa dengan paderi itu.

   Ketika paderi berjubah hijau itu muncul, dua orang segera melompat untuk menyambut keda-tangannya.

   "Bagaimana? Apakah mereka mulai bergerak hari ini?"

   Tanya salah seorang.

   "Benar! Belasan paderi keparat Pulau Berhala itu sudah menyebar di wilayah ini. Agaknya mereka mulai mengadakan penculikan lagi!"

   Menyahut dia.

   "Segera laporkan pada guru!"

   Berkata kawannya yang menjaga.

   Paderi muda yang rupanya menjadi mata-mata untuk mengintai di sekitar pantai itu mengangguk.

   Segera dia bergegas menghampiri sebuah kemah yang paling besar.

   Pintu kemah agak terbuka.

   Dia segera melongok ke dalam.

   Akan tetapi melongo mulut paderi ini ka-rena tak menjumpai gurunya di situ.

   Beberapa orang segera ke luar dari dalam kemah.

   "Guru tidak ada! apakah kalian mengetahui ke mana perginya beliau?"

   Bertanya paderi muda ini.

   "Kami juga tak mengetahui! Ah, tentu kau mem-bawa berita pengintaian dari pantai!"

   Bertanya kawannya.

   "Ya! belasan orang paderi Pulau Berhala mendarat. Tentu akan memulai lagi penculikan terhadap wanita-wanita. Hal ini harus diketahui guru! Kita tak dapat membiarkan mereka membuat kejahatan lagi!"

   Semua murid-murid yang berada di tempat itu cuma saling pandang karena tak mengetahui ke mana perginya sang guru.

   Sementara itu belasan orang paderi itu telah me-nebar ke pelosok, memasuki desa.

   Terdengar suara jeritan perempuan dari kejauhan.

   Akan tetapi cuma sekejap.

   Suara itu lenyap.

   Dua orang penduduk sal-ing pandang.

   "He? Seperti suara orang menjerit. Coba kau periksa. Jangan-jangan ada kejadian penculikan lagi!"

   "Ya! mari kita periksa!"

   Sahut kawannya.

   Kedua laki-laki itu menghunus golok dan bergegas untuk berlari menghampiri sebuah pondok.

   Itulah pondok yang menjadi arah sumber suara jeritan tadi.

   Tiga sosok tubuh tampak berloncatan dari dalam pondok itu menerjang pintu.

   Benar dugaan kedua laki-laki penduduk itu.

   Karena mereka melihat salah seorang memondong tubuh wanita.

   "Keparat! bangsat tengik! lepaskan gadis itu! Kiranya kalianlah penculik-penculik yang selama ini merajalela!"

   Membentak salah satu dari kedua lelaki desa itu.

   Segera dia tahu gadis itu adalah Mariamah, yang menjadi giliran korban penculikan.

   Dua laki-laki ini melompat menghadang ketiga paderi itu.

   Akan tetapi salah seorang gerakkan tangannya.

   Dua benda berkilat menyambar ke arah tenggorokan kedua laki-laki itu.

   Dan kejap berikutnya, terdengar suara teriakan parau.

   Tubuh dua le-laki desa itu terjungkal roboh.

   Dua benda belati kecil itu telah membenam di tenggorokan mereka masing-masing.

   Berkelojotan tubuh pemuda desa itu.

   Na-mun sejenak terkapar lepaskan nyawa.

   D E L A P A N Sementara itu di Pulau Berhala.....

   Istana Hitam yang angker misterius itu seperti lengang tak berpenghuni.

   Namun sesungguhnya di dalam satu ruangan besar di dalam istana tengah menjalankan upacara.

   Upacara yang dihadiri oleh ratusan paderi ber-kumpul berbaris dengan rapi.

   Di depan mereka pada sebuah altar tempat paderi-paderi berpakaian serba hitam dengan cadar penutup muka, berdiri seperti menanti kedatangan ketua mereka.

   Sementara se-buah pedupaan yang besar kepulkan asap berbau harum.

   Dua orang algojo memegang kapak besar siap menjalankan tugas.

   Upacara apakah ini? inilah upacara keagamaan mereka yang mereka anut.

   Tentu saja upacara yang sesat karena paderi-paderi itu bukanlah paderi yang menjalankan sebagaimana la-zimnya paderi.

   Dalam sebuah ruangan di belakang tembok ruang depan Istana tampak seorang laki-laki bertubuh te-gap.

   Berusia sekitar lima puluh tahun.

   Berkepala separoh botak.

   Akan tetapi pada bagian belakang tampak sedikit rambut yang di kepang menjuntai ke belakang punggung.

   Pada bagian dada orang Ini tampak bertato seekor kelelawar berkepala ular.

   inilah sang ketua mereka yang mempunyai gelar si PADERI MATA SERIBU.

   Paderi tua bertubuh tegap Ini bermuka kasar dengan kulit muka hitam.

   Kumis dan jenggotnya berwarna kelabu.

   Sepasang matanya biru.

   Dia dalam keadaan berdiri separuh telanjang di ruangan itu yang menjadi tempat peristirahatannya.

   Di hadapannya adalah tujuh orang gadis yang da-lam keadaan terikat di tujuh dipan kayu dengan keadaan tanpa busana.

   Ketujuhnya dalam keadaan pucat ketakutan.

   Me-reka tahu apa yang bakal terjadi pada mereka.

   Ka-rena sang ketua ini telah mulai melepaskan jubah bagian bawah.

   Sepasang kaki manusia ini yang ber-telapak besar mulai menghampiri dipan bagian ujung.

   Gadis itu meronta di atas dipan dengan ketakutan.

   Sepasang matanya membelalak menatap si Paderi Mata Seribu yang menyeringai menatap sang gadis dengan mala membinar.

   "Hahahhehe .. heheh ... giliran pertama adalah kau, gadis manis!"

   "Tidak! tidak! lepaskan aku... jangaaan!"

   Teriakan si gadis memecah keheningan dalam ruangan kamar.

   Akan tetapi mana dia mampu menghindar dari nasib yang bakal menimpanya? Dengan derai tawa iblis dan dengus yang me-nyembur-nyembur lengannya menerkam mang-sanya.

   Menggeliat gadis itu tak berdaya.

   Sementara gadis-gadis korban lainnya cuma bisa palingkan muka dengan air mata berderai.

   Bahkan salah satu gadis itu telah menangis terisak-isak.

   Gadis dipan pertama itu tak dapat menghindari lagi.

   Namun dia keburu pingsan sebelum dia menge-tahui kelanjutannya ....

   "Keparat!"

   Ternyata paderi Mata Seribu justru gusar.

   Lengannya bergerak mencengkeram leher; wani-ta itu ...

   Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojotan dan tewas seketika dengan tulang leher remuk.

   Dengan segera dia bangkit menghampiri dipan kedua.

   Selesai dengan hajatnya giliran pada dipan ketiga.

   Demikianlah seterusnya hingga pada dipan ketujuh.

   Manusia ini memang punya tenaga hebat luar biasa.

   Sementara itu di luar para paderi anak buah-nya menanti dengan sabar.

   Ketika tak lama berselang pintu ruangan di bela-kang altar terbuka.

   Dua orang algojo segera masuk.

   Tak lama keluar lagi dengan menyeret sesosok tu-buh wanita yang berlumuran darah.

   Tubuh itu ada-lah tubuh wanita yang tewas di dipan pertama da-lam ruangan kamar tadi.

   Setelah dipertontonkan pada para paderi dua algojo menyeretnya ke dalam satu ruangan.

   Pada ruangan ini terdapat sebuah ruangan dalam tanah.

   Ternyata di ruangan bawah tanah itu penuh dengan ratusan ular.

   Mayat wanita itu dilemparkan ke dalam ruang tersebut.

   Segera sa-ja ratusan ular itu memburunya.

   Ruangan itu ditutup lagi.

   Dua algojo kembali ma-suk ke dalam ruang di belakang altar.

   Kini menyeret sesosok tubuh wanita lagi.

   Pemandangan yang tragis segera dipertontonkan.

   Kepala gadis itu dipenggal putus.

   Kepalanya dilemparkan ke arah ratusan paderi yang menonton upa-cara itu.

   Segera saja terjadi kegaduhan.

   Mereka berebut untuk merebut kepala Itu untuk menghirup darahnya.

   Demikianlah berturut-turut kepala gadis korban lainnya dipenggal untuk kemudian dilemparkan ...

   Dan menjadi rebutan para paderi.

   Perebutan itu ternyata terus berlangsung.

   Kea-daan yang tadinya tenang telah berubah panas.

   Ka-rena akibat perebutan itu nyawa-nyawa para paderi yang berhasil merebut kepala takkan terhindar dari maut.

   Tempat itu bagaikan tempat pertarungan saja layaknya.

   Mereka saling baku hantam sesama ka-wan demi memperebutkan kepala.

   Tujuan utama adalah menghirup darah kepala gadis Itu.

   itulah yang mereka namakan upacara "suci".

   Karena yang berhasil menghirup darah itu akan bertambah kesaktiannya berlipat ganda.

   Namun ten-tu saja mereka harus dapat selamat dari maut.

   Ka-rena kawan-kawan mereka takkan membiarkannya menghirup darah "suci"

   Itu.

   Sementara kejadian itu berlangsung, sang ketua alias si Paderi Mata Seribu menyaksikan dengan tersenyum.

   Puluhan mayat bergelimpangan di ruang Istana hitam.

   Manusia-manusia terdiri dari paderi-paderi itu bagaikan iblis-iblis yang haus darah.

   Jerit dan teriakan terdengar di sana-sini.

   Tak lama keadaanpun usai.

   Tanda berhenti mirip sirine terdengar.

   Mereka pun bubar meninggalkan ruangan.

   Tentu saja dalam keadaan bersimbah da-rah.

   Yang luka-luka tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

   Yang segar bugar berlarian terlebih dulu ke luar berdesakan.

   Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar su-ara bentakan keras.

   "Perbuatan terkutuk! Iblis Paderi Mata Seribu! Kau memang bukan manusia!"

   Bentakan itu diiringi dengan berkelebatnya sesosok bayangan tubuh.

   Dan di lantai altar telah berdiri tegak sesosok tubuh bulat.

   Ternyata seorang paderi berjubah putih.

   Bertubuh pendek, gemuk hingga tampaknya bundar seperti sebuah bola besar.

   WHUUUUUKK! BHLARRR! Si paderi bulat ini langsung hantamkan telapak tangannya ke arah si paderi Mata Seribu.

   Terdengar ledakan keras.

   Dan seketika tembok di belakang altar istana Hitam itu ambrol! Akan tetapi si paderi Mata Seribu telah melesat menghindari pukulan maut itu.

   Terdengar suara ter-tawa mengekeh.

   "Heheheh... hahaha... kiranya kau si DEWA ANGIN PUYUH! Bagus! kau berani menyatroni Pulau Berhala tentu sudah siap menghadapi maut!"

   Orangnya tak kelihatan ke mana berkelebatnya.

   Tetapi paderi bulat ini berteriak kaget ketika sebuah hantaman menyerang ke dada.

   Untuk menghindari hantaman keras bertenaga hebat Itu dia bersalto ke udara.

   Lengannya terangkat untuk menghantam ke depan memapaki serangan.

   BHLAARRR! Akibat benturan kedua pukulan yang mengan-dung tenaga dalam hebat itu tubuh si paderi bulat yang tak lain dari si Dewa Angin Puyuh terlempar ke luar dari dalam pintu Istana Hitam.

   Namun lagi-lagi dia gunakan salto untuk mengimbangi jatuh tubuhnya hingga dia dapat jejakkan kaki di tanah.

   Setetes darah tampak mengalir dari sudut bibir-nya.

   Pukulan Itu telah membuat dia terluka dalam.

   Belasan paderi Pulau Berhala segera mengurung.

   Dan sekaligus menerjang dengan senjata siap me-rencah tubuh bulat paderi tua ini.

   Kakek botak ini menggeram gusar.

   Sepasang tan-gannya merentang dengan mendadak.

   WHUUUUTT! Terdengarlah teriakan silih berganti.

   Tubuh-tubuh paderi Pulau Berhala berhamburan berpelan-tingan ke delapan penjuru.

   Karena mendadak angin puyuh yang dahsyat telah menerjang mereka.

   Itulah jurus sakti si Dewa Angin Puyuh yang bernama Ju-rus Pusaran Angin Puyuh.

   (Jurus Ini pernah diwa-riskan oleh kakek Ini pada Roro Centil).

   Belasan paderi Itu tanpa berkelojotan lagi tewas seketika, karena kemarahannya si paderi bulat Ini keluarkan tenaga lebih dari separuh kekuatan tena-ga dalam.

   "Jurus yang hebat!"

   Terdengar bentakan.

   Dan ber-kelebatlah sesosok tubuh berjubah warna-warni.

   Sosok tubuh seorang paderi yang berkepala botak, namun di belakang kepala mempunyai rambut dike-pang.

   inilah si Paderi Mata Seribu.

   Ketua dari istana Hitam di Pulau Berhala.

   Paderi ini tak terlihat ada pengaruh akibat bentu-ran pukulan tadi menandakan betapa tingginya ilmu orang ini.

   "Dewa Angin Puyuh! Ada apakah kau menyatroni pulauku dan ikut campur urusanku?"

   Bentak Paderi Mata Seribu.

   "Manusia edan! Kau telah mencemarkan nama baik para paderi dengan perbuatanmu yang terku-tuk Itu. Rupanya kaulah biang keladi penculikan-penculikan selama ini!"

   Bentak pula si kakek bulat.

   "Hahaha... memang! semua itu tak salah du-gaanmu! Bukankah kau lihat sendiri, orang-orang yang kuculik itu telah menjadi anak buahku yang amat patuh pada perintahku. Bahkan menuruti aja-ran-ajaran yang ku anut!"

   Mendelik mata si paderi Dewa Angin Puyuh "Be-debah! Aku telah ketelepasan tangan membunuh!"

   Pikirnya dengan tersentak.

   S E M B I L A N KENCARUPA! Lupakah kau akan ajaran guru ki-ta? Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau buat seenak perutmu sendiri! Perbuatanmu melam-paui batas kemanusiaan Kau akan mengundang ba-nyak musuh karena perbuatanmu sendiri!"

   Berkata paderi bulat ini yang memanggil si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.' Ternyata dari pembica-raan si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang saudara seperguruan.

   Peringatan itu ternyata membuat si paderi Mata Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras.

   "Hahahaa... haha... Semua itu sudah kuperhi-tungkan! Aku memang telah siap untuk mengha-dapi. Bukankah dengan demikian akan membuat aku mudah menghancurkan mereka? Dan namaku di dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai serta anutan ku semakin menyebar ke seluruh pelo-sok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa ke-lak, sesuai dengan cita-citaku!"

   Sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara lantang.

   "Manusia takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini harus mampus di tan-ganku!"

   Bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot gusar.

   Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara sepergu-ruan itu.

   Dewa Angin Puyuh telah keluarkan senjata Kipas Bututnya.

   Sementara sepasang matanya menatap tak berkedip pada manusia di hadapan dia.

   Urat-urat tubuhnya tampak menggembung per-tanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan te-naga dalam untuk melabrak si Paderi Mata Seribu.

   "Hahaha ... aku amat menyayangkan kau ka-kak KUMBARA! Walau bagaimana kau adalah bekas ka-kak seperguruanku-Berpuluh tahun tak berjumpa aku masih merasa kau saudara sendiri. Oleh sebab itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu. Tinggallah kau di pulau ini membantuku!"

   Berkata paderi Mata Seribu menyebut nama asli si paderi Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama KUMBARA.

   "Edan! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat sepertimu!"

   Bentak Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya.

   Menerjanglah kakek bulat ini dengan serangan senjatanya.

   Angin puyuh bergulung-gulung mengge-bu menghantam si Paderi Mata Seribu.

   akan tetapi dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat lenyap.

   Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih berkerumun di belakang Istana.

   Namun mendadak angin itu lenyap ketika seber-kas cahaya merah menghalangi.

   "Menyingkirlah kalian semua!"

   Terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat di hadapan mereka sesaat setelah lenyapnya cahaya merah ba-rusan. Tiga paderi jubah merah segera telah berdiri di hadapan Kumbara.

   "Hehehhaha... babi bulat! hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk membunuhmu!"

   Berkata salah seorang sambil tertawa mengejek. Dan ketiga sosok tubuh paderi jubah merah itu berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat Dewa Angin Puyuh dari tiga penjuru.

   "Hmmm, apakah kalian yang menamakan diri si Tiga Naga Merah?"

   Bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut juga karena ketiga manusia yang berasal dari Tibet ini bisa berada di wilayah Pulau Jawa bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu! "Benar!"

   Sahut si kurus muka pucat berkumis ce-riwis di hadapannya.

   "Kami telah bergabung dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan mulia!"

   "Bah!? tujuan mulia? Dengan cara-cara sesat yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan mulia? Hahaha ... hahaha ...."

   Dewa Angin Puyuh tertawa berkakakan hingga tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya mengalir ke luar.

   Tertawanya si Dewa Angin Puyuh bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat luar biasa mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga Naga Merah.

   Ternyata tertawa si Dewa Angin Puyuh juga men-gandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat dahsyat.

   Ketiga paderi jubah merah itu mendadak wajahnya berubah pucat.

   Masing-masing rasakan dadanya menjadi sesak.

   Telinga mereka seperti dimasuki ribuan semut.

   Akan tetapi dengan berbareng mereka keluarkan bentakan.

   Masing-masing satukan lengannya.

   Tubuh mereka bergetaran.

   Dan tampak uap me-rah mengepul dari ubun-ubun kepala.

   Uap itu membentuk asap yang bergulung-gulung berwarna merah.

   Yang sekejap kemudian berubah menjadi ti-ga ekor ular naga.

   Inilah ilmu Setan Naga Merah yang dikeluarkan dengan terpadu.

   Ketiga naga cip-taan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh.

   Sambaran dahsyat dari Tiga Naga Merah ciptaan itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan hentikan tertawanya.

   WHUSSSS! WHUSSSSS! WHUSSSSS! Kipas bututnya digunakan untuk menerjang.

   Sementara tubuhnya mendadak memutar seperti gasing.

   Tiga naga ciptaan terdorong mundur kena hem-busan angin kipas yang dahsyat.

   Akan tetapi seren-tak mereka menerjang lagi dari berbagai jurusan.

   Terjadilah pertarungan seru yang amat luar biasa dan menakutkan.

   Naga-naga ciptaan itu keluarkan suara dahsyat yang menggetarkan jantung.

   Paderi bulat seperti sebuah boneka lucu yang jadi permainan tiga ekor ular naga.

   Dalam saat itu si tiga Paderi Jubah Merah cuma diam tak bergeming dengan membaca mantera-mantera.

   Sepasang lengannya mengatup di depan dada.

   Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan menghadapi ketiga naga.

   Kipasnya yang menerjang selalu dapat dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga.

   Namun dengan semangat besar dan kemarahan semakin menjadi, namun dengan perhitungan yang cukup masak dia segera robah jurus-jurus seran-gannya.

   Kali ini dia bertarung sambil menjauh.

   Keti-ga naga ciptaan terus mengejar.

   Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap tempat.

   Mereka mengurung arena pertarungan, atau siap menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan diri.

   "Setan alas! kalau begini terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi anak buah si Kencarupa telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah aku. Daripada tertawan lebih baik mati!"

   Desis si Dewa Angin Puyuh. Dia melompat menjauh mendekati patung-patung yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh dia tak mengira kalau patung-patung itu mendadak keluarkan asap yang menyemprot ke arah mukanya.

   "Asap beracun!?"

   Teriak si kakek bulat tertahan dengan terperanjat.

   Akan tetapi terlambat.

   Mendadak dia rasakan ke-palanya berat.

   Matanya berkunang-kunang.

   Dia cuma mendengar suara tertawa berkakakan si Paderi Mata Seribu.

   Akan tetapi selanjutnya dia sudah tidak Ingat apa-apa lagi, karena dia segera terkulai roboh tak sadarkan diri.

   Ternyata pada berhala-berhala itu telah dipasangi alat-alat rahasia.

   Kalau di Pulau Berhala tengah terjadi peristiwa-peristiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga pertarungan seru antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari wanita yang di-culik mereka dengan para paderi pesisir pulau.

   Mereka adalah para paderi yang telah kehilangan gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya.

   Ke-beranian luar biasa dari para paderi itu tak mem-buat mereka patah semangat untuk menggagalkan penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru mereka.

   Mereka menjaga di pesisir pantai di tempat per-sembunyian dengan senjata-senjata terhunus.

   Keti-ka belasan paderi Pulau Berhala kembali dari men-culik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala, seren-tak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang paderi-paderi palsu itu.....

   SEPULUH Pertarungan yang menimbulkan pertumpahan da-rah tak dapat dihindarkan lagi.

   Si paderi muda yang menjadi pemimpin penyerbuan itu mengamuk dengan senjata tongkatnya.

   Lawannya seorang paderi bertubuh kasar dan kekar.

   Tiga serangan berantai dari serangan tongkat me-nyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang mematikan mengarah nyawa lawan.

   Pemuda ini tampak gusar karena enam kawannya tewas terbu-nuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma satu yang terluka.

   Diakui ilmu kepandaian paderi Pulau Berhala memang hebat dan berada dua ting-kat di atas kepandaian kawan-kawannya.

   Trang! Tang! Tang! terdengar suara dentingan tiga kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan senjata tipis seperti dua buah piring tipis terbuat da-ri baja.

   "Bocah bau kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!"

   Teriak si paderi Pulau Berhala.

   Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke arah bawah pusar.

   Suaranya berdesing.

   Terkejut paderi muda melihat senjata itu.

   Beberapa inci lagi maka putuslah pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai gasing itu mengancam nyawanya.

   Dengan berteriak tertahan dia membanting di-rinya ke tanah.

   Tongkatnya dipakai untuk me-nangkis ....

   Trak! Tongkat pemuda paderi putus ter-babat.

   Dalam keadaan terperangah itulah seorang paderi Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke punggung.

   Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi.

   Namun pada saat itu terdengar bentakan hebat disertai satu kilatan mencercah di udara.

   Paderi pembokong itu menjerit pendek.

   Darah segar me-muncrat.

   Dan dua potong tubuh yang terbelah men-jadi dua menggabruk di tanah.

   Membelalak mata si paderi muda melihat keja-dian Itu.

   Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah menjadi dua bagian.

   Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang laki-laki muda memegang pedang yang berlumuran da-rah berpakaian serba putih.

   Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias Pendekar Selat Karimata, SAMBU RUCI.

   "Paderi-paderi Pulau Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi!"

   Membentak Sambu Ruci.

   Tubuhnya berkelebat....

   Dan selanjutnya terdengarlah teriakan-teriakan nge-ri saling susul.

   Dalam waktu sekejapan saja tiga belas paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi.

   Karena tubuh-tubuh mereka telah terpotong men-jadi dua bagian.

   Membelalak mata para paderi penyerang itu yang merasa mendapat pertolongan mendadak di saat mereka hampir putus asa, ketiga melihat si Dewa penolong yang masih berusia muda.

   Seorang laki-laki gagah dan berwajah tampan.

   Serta-merta mereka berlompatan menghampiri dan menjura hormat.

   "Terimakasih atas bantuanmu, sobat. Sudikah anda memperkenalkan diri?"

   Bertanya seorang paderi yang berusia cukup tua.

   "Namaku SAMBU Ruci! Aku datang kemari kare-na petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta Prayoga. Dia dalam keadaan sekarat ketika kujum-pai. Sebelum tewas dia mengatakan siapa manusia yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala. Lalu menceritakan tentang adanya paderi-paderi anak buahnya yang berada di pesisir pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagal-kan penculikan para wanita dan menumpas mereka. Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta Prayo-ga?"

   Membelalak seketika mata para paderi itu men-dengar penuturan Sambu Ruci.

   "Benar! Beliau guru kami! Ah ...!? beliau ... te ... tewas?!"

   Teriak kaget si paderi muda.

   "Benar! Aku datang terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-paderi Pulau Berhala yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu aku cepat mengejar kemari. Sayang aku agak ter-lambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang menjadi korban!"

   Berkata Sambu Ruci agak menyesal.

   "Wah bagaimana anda telah berjasa menyela-matkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pa-da anda sobat pendekar Sambu Ruci ..."

   Menyahut si paderi tua bernama Lomambha itu dengan mena-tap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengan-tarkan kami ke tempat jenazah guru kami, agar ka-mi dapat menguburkannya?"

   Ujar Lomambha den-gan mata berkaca-kaca.

   "Tentu saja. Marilah ikut aku!"

   Sahut Sambu Ruci tanpa menolak ....

   Kemunculan Sambu Ruci di pesisir pantai tengga-ra telah membuat para paderi murid-murid Wiku Duta Prayoga menjadi kagum.

   Dalam beberapa hari mereka berkabung setelah kematian guru mereka.

   Ternyata Sambu Ruci memang telah menyelesai-kan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu KI BALUNG PUTIH.

   Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama istrinya CINDERANI yang terpaksa dinikahi karena telah ber-janji dengan si kakek Ki Balung Putih untuk meno-long kakek itu.

   Cinderani ditinggalkan di desa terde-kat tapi cukup jauh dari pantai.

   Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia.

   Walaupun sebenarnya Cinderani bersikeras ikut.

   Oleh sebab itu setelah selesai urusannya mem-bantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta diri.

   Sementara itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas.

   Karena atas pertim-bangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat mengha-dapi paderi-paderi Pulau Berhala.

   Walaupun sebe-narnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk menyerang ke Pulau Berhala.

   Sambu Ruci berlari-lari cepat menuju ke desa di mana dia meninggalkan Cinderani ....

   Sementara itu kita beralih pada Roro Centil yang berada di alam gaib.

   Yaitu di alam negeri Siluman.

   Dara pendekar Pantai Selatan itu tengah duduk di atas batu besar.

   Sementara di hadapannya tampak seberkas cahaya biru membentuk sesosok tubuh manusia.

   Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek guru Roro.

   Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan.

   "Kau telah mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!"

   Berkata Bagawan Bhama Kosala.

   "Aku yakin kau akan mempergunakan un-tuk kebenaran. Akan tetapi kau baru boleh memper-gunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat tangguh! Hanya itulah pesanku!"

   Ujar sang Bagawan.

   "Terima kasih, kakek guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati. Apakah aku sudah diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?"

   Sahut Roro diiringi pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam manusia.

   "Satu syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau berangkat pulang!"

   "Apakah itu, kakek guru?"

   Tanya Roro kebat-kebit.

   "Tinggalkan sepasang senjatamu Itu di sini!"

   Sahut sang Bagawan.

   "He? mengapa? Apakah aku harus gunakan tan-gan kosong tanpa senjata lagi? Padahal senjata itu adalah warisan guruku!"

   Tanya Roro terheran. Cahaya biru itu menjawab dengan tertawa.

   "Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja. Nanti bila kau telah ke luar dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!"

   Berkata Bagawan Bhama Kosala.

   "Hihihi.... Kalau begitu aku menurut saja!"

   Sahut Roro seraya loloskan senjata Rantai genit-nya. Lalu diletakkan di atas batu.

   "Nah! pejamkan matamu. Jangan kau buka sebe-lum ada suara kicau burung di telingamu!"

   Berkata sang Bagawan.

   Tak menunggu diperintah dua kail, Roro segera turuti perintah itu.

   Diam-diam dia amat bergirang hati.

   Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh itu.

   Roro merasa tubuhnya melayang menembus ke awan.

   Padahal dia tetap berada di atas batu itu.

   Ketika dia mendengar suara kicau burung, serentak dia buka kelopak matanya.

   Terkejutlah Roro Centil ketika melihat dia telah berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manu-sia.

   Tempat itu adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar suara kicau burung-burung dari dalam hutan.

   Akan tetapi anehnya dia masih tetap duduk di atas batu besar.

   Cuma saja batu itu telah berubah warna.

   Kalau tadinya dia duduk di atas batu putih bagai pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang berlumut.

   Yang amat membuat lebih aneh lagi adalah, sepa-sang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu.

   Dia jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.

   Namun segera melompat turun untuk menghirup napas le-ga.

   "Oh, senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!"

   Berkata Roro sendiri.

   "Eh, katanya kakek guru akan mengembalikan sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikan-nya?"

   Gumam Roro yang merasa tak betah tanpa membawa senjata. Walaupun-jarang dipergunakan namun Roro me-rasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu. Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara gaib Bagawan Bhama Kosala.

   "Roro Centil, cucuku! Pergunakanlah mata ba-tinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau du-duki. Aku telah mengembalikan sepasang sen-jatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang lebih sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keingi-nan gurumu..!"

   Tentu saja Roro terkejut.

   Segera dia gunakan ma-ta batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas batu tadi.

   Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan bentuk lain.

   Benda itu mem-punyai rantai lebih halus.

   Pada bagian ujung gagangnya bertatahkan mutia-ra.

   Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepa-sang payudara.

   Akan tetapi bentuknya lebih kecil.

   Ketika Roro mau menjamah, mendadak sepasang senjata itu lenyap.

   "Bocah muridku! Kau telah memiliki aji memin-dahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau gunakan ajian milikmu itu? Benda itu adalah benda alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di alam gaib pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukup-lah dengan membaca mantera, benda senjatamu itu akan sudah berada di tanganmu!"

   Suara gaib itu ti-ba-tiba kembali terdengar. Roro terkejut, juga kesima.

   "Ah, sungguh menakjubkan!"

   Seru Roro pelahan tanpa disadari.

   Petunjuk itu dipatuhi.

   Dan Roro segera gunakan cara membaca mantera untuk memindahkan benda itu.

   Ternyata benda itu berubah menjadi sinar kun-ing emas yang melesat dan membelit ke pinggang-nya.

   Dalam pandang mata gaib, Roro melihat senjata Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit dengan seksama di pinggangnya.

   Akan tetapi ketika Roro lepaskan pandangan mata gaibnya, Roro tak menampak apa-apa.

   Bahkan ketika Roro menjamah untuk menyentuh benda itu, Roro merasa tak me-nyentuh apa-apa.

   Sadarlah Roro kalau sepasang senjata Rantai Ge-nit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib.

   Dia cuma bisa gunakan kalau memang dalam keperluan mendadak.

   Saking girangnya Roro sampai berjingkrakan dan berteriak-teriak girang.

   "Oh, terima kasih, kakek guru! Terima kasih, kakek guru yang baik!"

   Teriak Roro berulang-ulang.

   SEBELAS CINDERANI duduk di luar pondok dengan hati ge-lisah.

   Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak bangun.

   Matanya liar menatap ke ujung jalan desa.

   Sementara yang empunya pondok itu cuma mem-perhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda itu.

   Namun tak lama dia segera ke luar dari dalam.

   "Sabarlah, den ayu... Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau sudah waktunya da-tang toh akan datang juga ..!"

   Ujarnya sambil tersenyum.

   "Ah, mbok! Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Ha-tiku tak enak ..!"

   Sahut Cinderani menyahut.

   "Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan se-lamat. Wilayah ini memang kurang aman. Sebaiknya kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak usah cemas. Tak baik bagi kandungan mu."

   Berkata halus wanita tua itu.

   "Tidak, mbok. Biarlah aku di sini saja!"

   Sahut Cinderani menolak.

   Matanya masih saja menatap ke ujung jalan desa.

   Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu Ruci.

   Dan entah mengapa hatinya kini jadi luluh, dan dia mulai merasakan Kalau dia amat mencintai suaminya.

   Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela menikahinya demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri.

   Cinderani memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung Putih.

   Dan lebih dari sepuluh tahun dia bersama si kakek itu.

   Tiba-tiba matanya membinar melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa.

   Hatinya melonjak girang.

   "Akhirnya datang juga!"

   Berkata dia dalam hati.

   Namun dia jadi terheran, karena yang datang; bukanlah Sambu Ruci.

   Perawakannya dari jauh memang agak mirip.

   Dia serasa mengenai laki-laki itu yang kian dekat menghampiri pondok.

   Mendadak darahnya tersirap.

   Laki-laki itu tak lain dari SOMARA! "Aha! Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau sudah melupakan aku?"

   Bertanya Somara. Entah bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bi-sa menjumpainya dan muncul di sini? "Kau ... kau mau apa datang kemari? Dari mana kau tahu aku berada di sini? sahut Cinderani gelagapan.

   "Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah mengetahui. Dan siapa adanya la-ki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinde-rani!"

   Berkata Somara.

   "Tidak! Aku telah bersuami. Kau tak berhak membawaku!"

   Sahut Cinderani terkejut.

   Sementara si mbok melihat kedatangan Somara, buru-buru angkat kaki masuk ke dalam pondok.

   Wajahnya be-rubah pucat.

   Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa.

   Dia merasa bakal terjadi keributan.

   Entah siapa orang laki-laki ini? pikirnya diam benak.

   "Siapa bilang? aku yang lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu adalah anakku!"

   Berkata ketus Somara. Dia nampak gusar.

   "Kau... kau... memang ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..."

   Pucat wajah Cinderani. Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air matanya telah mulai menitik.

   "Sudahlah! tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau ikut aku!"

   Berkata Somara dengan suara berubah lembut.

   "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!"

   Ujarnya lirih. Menggetar tubuh dara cantik ini. Apakah yang harus dia lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat! Namun terluncur juga kata-kata dari bibirnya dengan suara menggeletar.

   "Somara! pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh! Karena itulah perintah guru!"

   Mendengar kata-kata Cinderani Somara tertawa terbahak.

   "Hahaha... Somara bukan anak kecil ke-marin yang dapat diperbuat semaunya! Bukan aku takut menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau, Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus memaksamu!"

   Berkata laki-laki ini.

   Mendadak wajahnya berubah menjadi keras dan kaku.

   Sepasang matanya menatap mata Cinderani tak berkedip.

   Tatapan mata yang menimbulkan ha-wa dingin mencekam.

   Cinderani tersurut mundur.

   Wajah itu menyeringai.

   Cinderani merasa tubuhnya keluarkan keringat dingin.

   Tatapan mata Somara, begitu menakutkan.

   Seperti menembus ke dalam jantung! Dalam keadaan terkesima itulah, lengan Somara berkelebat cepat.

   Tahu-tahu sudah menotok tubuh Cinderani.

   Ga-dis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh.

   Namun dengan gerakan cepat, Somara segera me-rengkuhnya dalam pondongan.

   Sekejap kemudian dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari muka pondok itu.

   Mbok tua penghuni pondok melototkan mata dengan mulut ternganga.

   Mulutnya serasa terkunci walaupun dia sudah keluarkan suara untuk berteriak.

   Namun yang ke luar adalah suara...

   "ah,uh,ah,uh..!. Apakah yang dilihat si mbok tua itu? Dalam pan-dangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud sesosok tubuh menyeramkan mirip seekor lutung besar yang menyeringai menampakkan taring-taringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis itu kemudian melarikannya dengan berkelebat cepat sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunang-kunang. Rasa takut yang luar biasa menggerayangi benaknya. Jantungnya serasa copot. Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat apa-apa lagi. DUA BELAS SOMARA membawa tubuh Cinderani dalam pon-dongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya se-perti hembusan angin! Yang dituju adalah arah ke pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan ber-kelebat menghadang, disertai bentakan keras.

   "Somara! murid durhaka! Berhentilah kau!"

   Melihat sosok bayangan tubuh manusia berkelebat menghadang, Somara cepat berhenti dengan men-dadak. Dan di hadapannya segera terlihat siapa ma-nusianya. Ternyata tiada lain dari KI BALUNG PUTIH.

   "Hm, menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau sudah tak ada urusan lagi denganku!"

   Bentak Somara dengan wajah kaku.

   "Heh? menyingkir?"

   Bentak orang tua ini.

   "Justru kaulah yang harus segera kusingkirkan ke Akhirat. Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati! Lepaskan dia! Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga telah menjadi muridku!"

   Akan tetapi Somara malah mendengus.

   "Tua bangka! Siapa bilang demikian? Apakah matamu buta kalau calon bayi yang berada dalam perut Cinderani adalah anakku?"

   "Persetan!"

   Maki Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut dikatakan syah? Anak itu memang anakmu! tapi kau tak berhak memba-wanya pergi karena dia telah menikah dengan orang lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk membunuhmu!"

   Teriak Ki Balung Putih geram. Betapa dia amat membenci laki-laki bekas murid-nya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran, serta telah mencemarkan nama baiknya.

   "Baiklah Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?"

   Berkata jumawa Somara.

   Di-lemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas kasihan lagi.

   Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman.

   Akan tetapi kembali pingsan.

   Kini dia berdiri te-gak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada kakek tua di hadapannya.

   Bibirnya tampak komat-kamit.

   Uap hitampun mengepul di sekujur tubuhnya.

   Matanya berubah merah.

   Dan...

   kakek itu menyurut mundur ketika tiba-tiba dia melihat perubahan ben-tuk tubuh Somara.

   Karena sekejap kemudian tubuh laki-laki itu telah berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan.

   Dalam keadaan terperangah Itu tahu-tahu Somara telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah dada Ki Balung Putih.

   Tersentak kakek tua ini.

   Sejak melihat kejadian barusan dia sudah merasa kena pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa aneh.

   Hingga menggetarkan jantung.

   Dia seperti ke-na tenung! Memanglah demikian, karena Somara telah guna-kan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan dengan sorot mata yang membersitkan sinar; men-cengkeram.

   Dan menyerang di saat yang baik itu.

   BUK! Terdengar benturan keras.

   Ki Balung Putih terlempar bergulingan.

   Dia tak mampu mengelak.

   Namun sempat mem-bentengi dadanya dengan tenaga dalam.

   Akan tetapi di luar dugaan, tenaga pukulan So-mara amat luar biasa.

   Kakek Itu rasakan dadanya mau pecah.

   Dan tubuhnya terlempar bergulingan.

   Namun sebagai jago tua kawakan, dia masih ber-jumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi.

   Terperanjat kakek ini ketika melihat jubahnya pada ba-gian dada telah hangus.

   Dan sebuah tanda telapak tangan berwarna hitam.

   Sadarlah dia kalau pukulan itu mengandung racun.

   "Hahaha ... kakek tua bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat! Diiringi geraman dahsyat, makhluk menyeramkan itu telah menerjang Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Tapi dia segera telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah terluka akibat pukulan beracun. Terjangan yang mengandung maut itu dapat di-hindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan bentakan terdengar membauri sekitar tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh berkelebat muncul di tempat itu. Ternyata Sambu Ruci. Membelalak mata laki-laki ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi segera dia berteriak tertahan melihat sosok tubuh wanita yang tergolek di dekat semak belukar.

   "Cinderani!?"

   Desisnya terkejut.

   Dan serta-merta dia telah memburunya.

   Gadis cantik yang tengah men-gandung Itu segera diperiksa.

   Akan tetapi pucat wajahnya seketika karena Cin-derani sudah diam membeku.

   Nyawa gadis itu telah melayang bersamaan den-gan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh Somara.

   Tampak dari sudut bibir gadis itu yang agak ter-buka mengalirkan darah kental berwarna hitam.

   "Pasti pembunuhnya makhluk itu!"

   Geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit berdiri. Dan, sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam genggaman tangannya.

   "Iblis keparat! kau harus tebus kematian istriku dengan darahmu!"

   Teriak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas bertubi-tubi dengan jurus Pedang Aksara.

   "Bagus! Sukurlah kau datang membantuku!"

   Teriak Ki Balung Putih yang mulai merasa tenaganya telah mengendur.

   Di samping usia tuanya, juga dia telah terluka dalam akibat pukulan beracun Somara yang ganas.

   Menghadapi serbuan dua lawan, tampaknya makhluk itu agak kewalahan.

   Namun Somara memang bukanlah orang yang be-rilmu kepalang tanggung.

   Lagi-lagi dia membaca mantera.

   Mendadak sepa-sang matanya menyorotkan cahaya merah membara.

   Sepasang mata yang menyilaukan itu menghambat serangan kedua guru dan murid itu.

   Akan tetapi cepat Ki Balung Putih berbisik untuk mengatur siasat.

   Sambu Ruci mengangguk Segera mereka berputar-putar mengelilingi makhluk itu dengan sekali-sekali melancarkan serangan.

   Ki Ba-lung Putih telah memperingati agar jangan menatap pada matanya.

   Hal demikian berlangsung telah lebih dari empat puluh jurus.

   Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak keras.

   Tujuh kilatan pedang berkelebat.

   Dan...

   terdengarlah suara menggeram yang dah-syat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung maut itu mengenai sasarannya.

   Tubuh si makhluk itu terbelah menjadi beberapa potong.

   Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan disertai bermuncratannya darah segar.

   Dan usus serta isi perut yang terburai ....

   Keduanya menatap dengan tertegun.

   Keampuhan jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk Ki Balung Putih, lagi-lagi membuktikan keampuhannya! Baru saja kedua orang itu menghela napas lega.

   Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh mak-hluk itu yang berangsur-angsur berubah menjadi tubuh Somara lagi.

   Terperangah keduanya melihat kejadian aneh itu.

   Karena cahaya merah itu adalah sepasang mata manusia! Itulah sepasang mata mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah ter-dengar suara tertawa berkakakan.

   "Hahahaha... he-hehehahaha... kalian takkan dapat membunuhku! Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah! Aku dapat masuk ke raga manusia lain tanpa kesu-karan."

   "Siapa kau sebenarnya manusia Iblis?"

   Teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan menyurut mundur.

   "Akulah si pemilik PULAU BERHALA. Alias si PADERI MATA SERIBU!"

   Selesai berkata, sepasang cahaya merah dari se-pasang mata Somara segera meluncur ke udara.

   Me-luruk cepat ke arah laut.

   Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk segera lenyap.

   Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala! *** RORO CENTIL baru saja jejakkan kakinya di pan-tai wilayah tenggara.

   Bersitan cahaya merah itu lewat di atas kepa-lanya! Segera tahulah Roro siapa adanya cahaya itu, ka-rena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata Seribu.

   Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di bibirnya yang ranum.

   "Hm, Paderi Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari muka bumi!"

   Mendesis Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu.

   Mendadak tubuh wanita pendekar ini telah me-rubah bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar biasa besarnya.

   Dengan perdengarkan suara menggeram, mak-hluk itu melompat ke udara membersit bagaikan an-gin, mengejar cahaya merah yang menukik lenyap di Pulau Berhala.

   Saat itu di Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan.

   Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si De-wa Angin Puyuh yang tertawan, ternyata dapat melo-loskan diri.

   Pintu penjara masih terkunci.

   Tapi orangnya lenyap.

   Pada lantai batu itu terlihat lubang besar.

   Ternya-ta si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepa-lanya dari sebuah lubang di belakang Istana Hitam.

   Baru saja dia membersihkan tubuhnya yang kotor penuh berlepotan tanah.

   Mendadak terdengar suara bentakan keras.

   "He! babi bulat! kau takkan dapat meloloskan di-ri!"

   Betapa terkejutnya dia melihat si Tiga Naga Merah telah berada di depannya.

   Menggeram kakek bulat int.

   Serta merta dia lang-sung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.

   Terjadilah pertarungan hebat.

   Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi kesempatan lagi untuk gunakan ilmu sihirnya.

   Jeritan maut terdengar ketika dua dari si Tiga Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh pa-deri bulat menggelinding bagai bola.

   Serangan itu lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah berada di belakang tubuh kedua lawannya.

   Tiba-tiba terangkatlah sepasang lengan kakek bundar ini.

   Angin pukulan SELAKSA PETIR dilon-tarkan.

   ZEOOOOOSSS! .......

   PRRAKKK! Hancurlah batok kepala si dua manusia jahat itu.

   Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga ambrol! Tanpa bisa pentang suara lagi, kedua ma-nusia itu tewas seketika.

   Kepalanya hancur jadi bubur! Melihat demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga Naga Merah jadi pucat pias.

   Tak ayal dia segera balikkan tubuh untuk kabur melarikan diri.

   Akan te-tapi tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring mer-du.

   Dan di tempat itu berkelebat muncul sesosok tubuh.

   Siapa lagi Kalau bukan si Macan Tutul Beti-na Pantai Selatan RORO CENTIL! "Hihihi....

   hebat! hebat sekali kau paman bulat! manusia ini serahkan padaku!"

   Berkata Roro.

   Mendadak Roro rentangkan tangannya.

   Dari ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning emas ke arah paderi Tibet itu.

   Bukan main terkejutnya paderi ini karena tahu-tahu seutas rantai telah membelit lehernya.

   Itulah senjata Rantai Genit Roro Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya.

   Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi manusia itu menjerit parau.

   Jeratan rantai itu membuat dia tak bisa berna-pas, hingga lidahnya menjulur ke luar.

   Lengannya meronta-ronta untuk melepaskan diri.

   Tapi tak berdaya.

   Tubuhnya berkelojotan mere-gang nyawa.

   Sesaat antaranya manusia asal Tibet itu pun tewas dengan lidah terjulur, dan mata men-delik ke luar mengerikan.

   "Hoooii! Kau Roro Centil!? ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini, keponakanku! Hayo mari ki-ta tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahui-lah dia adalah bekas adik seperguruanku yang mur-tad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!"

   Teriak si paderi bulat dengan berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro.

   "Hahaha ... kalian cuma mengantar kematian mendatangi Pulau Berhala! Selamat datang pendekar wanita yang hebat!"

   Ti-ba-tiba terdengar suara si Paderi Mata Seribu mem-buat suasana seketika berubah tegang! Segera Roro telah melihat sesosok tubuh berjubah hitam.

   Sosok tubuh kurus berkepala botak yang mempunyai sedikit rambut berkepang di belakang kepala.

   Memang dialah si Paderi Mata Seribu alias KENCARUPA.

   "Iblis jahanam! hari Ini kau bertobatlah sebelum kau mampus!"

   Teriak Dewa Angin Puyuh dengan geram.

   Kemarahannya telah membludak bagaikan air bah.

   Dia melompat menerjang dengan pukulan Se-laksa Petir.

   Akan tetapi sekali laki-laki kurus itu gerakkan tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu.

   Mendadak pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh lenyap bagai disedot masuk ke dalam tongkat.

   "Hehehe ... hahaha ... kakang KUMBARA! Tak gu-na ilmu kehebatan yang kau miliki. Dewa pun tak-kan sanggup menghadapiku!"

   Berkata jumawa si Paderi Mata Seribu.

   "Manusia sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan membawa kejatuhan bagi dirimu sendiri!"

   Berkata Roro dengan ketus.

   Lengannya terangkat.

   Meluncurlah dua sinar kuning emas ke arah laki-laki Itu.

   Satu sinar mengarah ke tongkat, sedangkan satu lagi meluncur ke arah leher.

   Itulah senjata gaib Rantai Genit Roro Centil.

   Tersentak Kencarupa melihat sepasang rantai berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan lehernya.

   Serangan ke arah leher dapat dia egoskan.

   Tapi serangan ke arah tongkat tak dapat di-elakkan lagi.

   Tongkat pusakanya secepat Itu telah terbelit oleh senjata gaib Roro Centil.

   Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat tongkatnya terlepas seketika.

   Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar suara ...

   Krrraaaak! Tongkat pusaka yang mengandung kekuatan he-bat itu telah hancur diremukkan Roro.

   Lagi-lagi dia harus melompat menghindar, ketika rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya.

   "Gila! Senjata apakah ini!?"

   Desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca mantra-mantra.

   Akan tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera ajiannya.

   Terjadilah pertarungan kekuatan batin.

   Tubuh Kencarupa berubah hitam mengerikan.

   Sepasang matanya merah menyala bagai bara api.

   Sementara Roro sendiri telah berganti ujud yang membuat pa-deri bulat jadi ternganga.

   Roro Centil tidak menampak sebagai manusia la-gi, akan tetapi lebih mirip bagaikan area.

   Ya! me-mang terlihat Roro berubah menjadi sebongkah area batu yang sudah berlumut! Sementara Rantai Genit telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan batin ini.

   Roro merapal ajian Tujuh Aksara Suci.

   Tubuhnya memang telah berubah menjadi area batu dalam penglihatan mata biasa.

   Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya yang didapat dari kakek guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala.

   Hal itu membuat Kencarupa kena dikelabui.

   Ka-rena dia menyangka Roro telah terkena ilmu te-nungnya.

   Akan tetapi terperangah dia ketika men-dadak membersit cahaya putih kemilau dari sepa-sang area.

   Dia tersentak untuk menghindar.

   Namun terlambat ...

   BHLARRRR! terdengar suara dentuman dahsyat.

   Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi arang yang bertebaran.

   Ilmu Tujuh Aksara Suci bu-kanlah ilmu hitam.

   Akan tetapi ilmu yang murni, yang tak mau dikotori.

   Cahaya putih berkilauan itu adalah cahaya yang menolak datangnya serangan.

   Hingga tak ampun se-rangan tenaga batin Kencarupa telah berbalik menghantam pada dirinya sendiri ..! Sesaat setelah kejadian itu terdengar suara ber-gemuruh.

   Apakah yang terjadi? Istana Hitam di saat hancurnya tubuh Paderi Mata Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat dan ro-boh terdengar di sana-sini.

   Hingga dalam keadaan beberapa saat saja Istana Hitam itu ambruk rusak binasa.

   Bahkan berhala-berhala yang banyak bertebaran di sekitar pulau itu pun turut hancur.

   Ternganga si paderi bulat Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu.

   Dilihatnya puluhan paderi menghindari diri bencana mengerikan itu.

   Sementara dia sendiri telah melompat menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk re-runtuhan! Ketika keadaan sudah pulih dan suasana beru-bah lengang.

   Matanya jelalatan ke sekitarnya men-cari Roro.

   Akan tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu.

   "Aiiiih! ke mana keponakanku itu?"

   Gumamnya dengan garuk-garuk kepala.

   Lapat-lapat telinganya mendengar suara tertawa yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada tangisan.

   Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya lenyap.

   Tertegun Dewa Angin Puyuh mendengarnya, itulah suara Roro Centil.

   "Ah, ah ... dasar pendekar wanita aneh! ilmunya sungguh luar biasa hebatnya. Sayang... Dia begitu cepat muncul dan begitu ce-pat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!"

   Gerutu si kakek bulat. Namun tak lama dia segera berkelebat ke arah pantai. Menuju ke arah perahunya yang disembu-nyikan di sebelah batu karang..... T A M A T E-Book by Abu keisel

   

   

   

Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Roro Centil Duel Dan Kemelut Di Cipatujah Pendekar Rajawali Sakti Darah Dan Asmara

Cari Blog Ini