Ceritasilat Novel Online

Misteri Hantu Berkabung 2


Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Bagian 2



Orang-orang mulai mengerumuni tempat itu.

   Sehingga, perempuan setengah tua itu merasa malu.

   Didekapnya gadis itu, hendak dibimbingnya pulang.

   Namun Lestari kelihatan tetap bertahan, tak mau beranjak sedikit pun dari tempat berdiri.

   "Lestari! Coba lihat, Nak. Banyak orang yang berada di sini memperhatikanmu. Apakah kau tak malu?"

   Gadis itu tak menjawab. Namun, pandangannya kini menatap perempuan setengah baya itu dengan seksama.

   "Hantu perempuan itu, Mak. Di..., dia memakai baju hijau. Rambutnya panjang, dan... Dan membunuh Kakang Sembada...."

   "Apa?"

   Perempuan setengah baya itu terkejut mendengar penuturan putrinya.

   Namun, sebenarnya pertanyaannya itu asal keluar saja dari mulutnya.

   Telinganya sendiri masih jelas menangkap, apa yang dikatakan putrinya tadi.

   Demikian pula orang-orang yang mengerumuni.

   Jelas sekali mereka mendengar apa yang diucapkan gadis itu.

   "Hantu perempuan berbaju hijau membunuh Sembada?"

   "Di mana hantu itu sekarang?"

   "Ayo, mari kita ke sana beramai ramai!"

   Dalam sekejap, Desa Besakih dibuat heboh oleh cerita yang dibawa Lestari.

   Dengan tergesa-gesa, mereka pergi menuju tempat gadis itu bertemu hantu perempuan berbaju hijau yang telah membunuh Sembada.

   Dan begitu sampai di sana, kegemparan semakin menjadi jadi.

   Mayat Sembada ditemukan dalam keadaan mengerikan sekali.

   Kedua kelopak matanya bolong dan tulang dadanya jebol.

   Sedangkan sekujur tubuhnya bersimbah darah.

   Keadaan itu tentu saja membuat mereka bertanya tanya, siapa kah sebenarnya hantu perempuan berbaju hijau yang dimaksud Lestari? Tapi kenapa di tepi telaga ini tak terlihat orang lain? Bahkan banyak yang menduga kalau itu hanya dilakukan para perampok belaka.

   Namun tak kurang yang membenarkan ucapan Lestari.

   Atau mungkin, juga kejadian yang menimpa Sembada dilakukan oleh salah seorang musuh yang amat membencinya? *** Hari belum lagi terlalu malam ketika dua orang penunggang kuda melewati Desa Besakih.

   Pintu-pintu rumah sepertinya terkunci rapat.

   Sementara beberapa pelita menyala kecil di depan rumah.

   Desa ini sepi bagai di pekuburan saja.

   Agaknya peristiwa beruntun yang menimpa siang tadi, membuat semua penduduk Desa Besakih ketakutan.

   Tiga orang tewas dalam waktu tak terlalu lama.

   Pada hal, tak seorang pun yang tahu, apa penyebab kematian mereka, selain diperkirakan telah dibunuh perempuan aneh berbaju hijau yang tak dikenal.

   Kalau perempuan aneh itu mampu membuat korbannya tewas secara mengerikan, tentu mampu pula menghancurkan Desa Besakih ini dengan seluruh penduduknya.

   Hal itulah yang dipikirkan seluruh penduduk desa ini.

   Makanya, tak ada seorang pun yang berani keluar setelah senja berlalu.

   "Kakang, desa apakah ini? Suasananya sepi sekali seperti di kuburan. Padahal rumah mereka rapat dan tempat ini pun luas. Bagaimana mungkin tak bertemu seorang pun di malam ini...,"

   Tanya seorang gadis berbaju biru muda pada pemuda yang berbaju rompi putih.

   "Aku pun tak bisa menduga apa yang menjadi penyebabnya, Pandan,"

   Sahut pemuda berbaju rompi putih itu pelan sambil memutar pandangannya ke kiri dan ke kanan. Kedua orang ini memang tak lain dari Pandan Wangi dan Rangga. Mereka lebih dikenal sebagai Sepasang Pendekar dari Karang Setra.

   "Apakah kita akan bermalam di sini? Tapi, sejak tadi belum satu pun kulihat rumah penginapan,"

   Kata Pandan Wangi.

   "Kita bisa menumpang di rumah penduduk, dengan memberi sedikit uang kepada pemiliknya...,"

   Usul Rangga.

   "Kalau demikian, biarlah kuketuk pintu rumah itu. Siapa tahu mereka mau menerima kita!"

   Sahut Pandan Wangi cepat.

   Gadis itu segera melompat turun dari punggung kudanya, lalu berjalan cepat memasuki sebuah pekarangan.

   Sementara, Rangga masih tetap berada di punggung kudanya.

   Diperhatikannya gadis itu dengan seksama.

   Pandan Wangi sendiri terlihat mulai mengetuk pintu rumah itu sambil memanggil-manggil pelan.

   "Kisanak, tolong bukakan pintu rumahmu. Kami hendak menumpang menginap!"

   Tak ada sahutan dari dalam.

   Pandan Wangi hanya mendengar derap langkah kaki penghuninya yang berkumpul di satu ruangan.

   Dan ini membuat dahinya berkerut dengan wajah heran.

   Kemudian kembali diketuknya dengan suara yang sedikit lebih keras.

   Namun tak terdengar sahutan dari dalam.

   Setelah sekali lagi mengetuk namun tak juga terdengar jawaban, gadis itu menggeleng lesu.

   Seketika tubuhnya berbalik dan keluar dari pekarangan rumah itu.

   "Entah kenapa, aku pun merasakan ketakutan penghuni rumah ini...,"

   Sahut gadis itu seperti bergumam sambil menuntun kudanya. Sebentar saja dia sudah sampai di dekat Rangga.

   "Barangkali ada sesuatu yang telah terjadi pada mereka sehingga takut menerima tamu asing. Terlebih lagi, di malam hari,"

   Sahut Rangga.

   Pandan Wangi tak menyahut.

   Kakinya segera melangkah ke rumah yang lain.

   Namun begitu tiba di depan pintu satu rumah penduduk, seperti rumah yang pertama diketuknya tadi, dia juga mengalami kejadian sama.

   Tak ada sahutan sedikit pun dari penghuni rumah itu.

   "Bagaimana, Kakang? Agaknya apa yang kau katakan tadi mungkin benar. Mereka takut menerima tamu asing. Tapi apa yang telah terjadi di tempat ini?"

   Pandan Wangi menggelengkan kepala. Segera gadis itu menghampiri kudanya. Lalu segera dia naik ke atas kuda putihnya.

   "Kita bisa bermalam di tempat lain...,"

   Sahut Rangga, seraya menggebah kudanya.

   Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu mulai melangkah membelah jalan.

   Sementara Pandan Wangi mengikuti dari belakang.

   *** Tiba di suatu tempat yang tak begitu jauh dari pinggiran Desa Besakih, Rangga dan Pandan Wangi berhenti dan segera turun dari kudanya.

   Tempat itu memang sejuk dan nyaman, banyak dinaungi daun-daun yang lebat dan tinggi seperti payung raksasa.

   Di dekatnya terdapat sebuah telaga yang cukup luas.

   Dan mereka sepakat untuk bermalam di tempat itu.

   Rangga segera mengumpulkan ranting-ranting yang banyak bertebaran di sekitar situ.

   Setelah sudah cukup banyak, ranting itu ditumpuk-tumpuk dan dibakarnya.

   Kini di hadapan Rangga yang telah duduk bersila, api unggun mulai menghangati sekitarnya.

   "Aku masih tak habis pikir, Kakang? Kenapa penduduk desa itu bersikap demikian pada kita...,"

   Tanya Pandan Wangi, memecah kebisuan.

   Rangga tak langsung menjawab.

   Malah ditambahkannya beberapa buah ranting ke dalam api unggun yang menerangi sekitarnya.

   Diliriknya gadis yang duduk di sebelahnya sekilas sambil tersenyum kecil.

   Wajah Pandan Wangi ditekuk sedemikian rupa, menunjukkan kekesalan hatinya.

   "Barangkali bukan hanya kita yang mengalami. Tapi, orang lain sebelum kita pun mungkin pernah mengalaminya. Hanya mungkin kita tak tahu, apa yang menyebabkan penduduk desa itu bersikap demikian. Jadi jangan berprasangka buruk dulu. Barangkali mereka pernah mengalami sesuatu yang mengerikan atau sesuatu yang menakutkan pernah menimpa desa itu...,"

   Sahut Rangga pelan.

   Pandan Wangi diam tak bersuara lagi.

   Hatinya memang masih kesal, tapi kata-kata Rangga ada benarnya juga.

   Lagi pula, apa hak mereka untuk memaksakan kehendak pada penduduk desa? Kalau para penduduk tak mau menerima, bukankah itu memang hak mereka? Sementara itu Rangga masih duduk menekur sambil memandangi api unggun.

   Sesekali matanya melirik Pandan Wangi.

   Diusirnya nyamuk-nyamuk yang hendak menggigit tubuh gadis itu.

   Dan pada saat itulah mendadak...

   Slappp! "Hei?!"

   Rangga terkejut dan langsung berdiri tegak sambil memandang ke sekeliling tempat itu.

   Jelas, matanya belum lamur ketika melihat sekelebatan bayangan melintas di depan matanya! Slappp! "Hup!" *** Pendekar Rajawali Sakti Нотатки від Pendekar Rajawali Sakti ивні .

   123.

   Misteri Hantu Berkabung Bag.

   4 14.

   September 2014 um 09.16 Bayangan itu kembali berkelebat cepat bukan main.

   Namun, Rangga tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

   Maka, tubuhnya langsung berkelebat cepat mengejar, disertai pengerahan segenap ilmu peringan tubuhnya.

   "Hiyaaa...!"

   "Hup'"

   Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata orang awam, Rangga berusaha mendahului bayangan itu.

   Maka langsung dihadangnya bayangan itu, persis di depannya.

   Tapi, siapa sangka kalau ternyata bayangan itu malah berkelebat ke arah semula, dan terus menghilang.

   "Sial!"

   Pekik Rangga, seraya terus kembali mengejar.

   "Yeaaa...!"

   "Heh?!"

   Rangga terkejut bukan main ketika telinganya mendengar teriakan Pandan Wangi. Segera tubuhnya digenjot ke tempat semula. Sebentar saja dia sudah tiba di tempat semula, dan melihat Pandan Wangi tegak mematung sambil memandang ke sekeliling.

   "Pandan Wangi! Kenapa kau? Apa yang terjadi padamu?"

   Tanya Rangga, cemas. 'Tak ada apa-apa, Kakang. Hanya ada musuh yang agaknya ingin bermain main dengan kita...."

   "Hm.... Kau pun agaknya mengalami kejadian serupa denganku?"

   Tanya Rangga geram sambil memandang ke sekeliling.

   "Kau tadi ke mana, Kakang?"

   Tanya Pandan Wangi sedikit heran.

   "Melihat-lihat. Hm.... Tapi, agaknya mereka tak sendiri. Untunglah aku tak meninggalkanmu jauh dari tempat ini...,"

   Geram Rangga.

   "Hi hi hi...! Sepasang sejoli yang sedang dimabuk asmara tak sadar kalau sesaat lagi maut akan memisahkannya!"

   Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang bergema di sekitarnya. Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu diam membisu sambil menajamkan pendengaran.

   "Kenapa mesti bersembunyi? Katakan saja, apa maksudmu mengganggu kami?!"

   Sahut Rangga. Suaranya terdengar datar, namun seperti menggema di malam hening begini.

   "Hi hi hi...! Punya hak apa kau menyuruh-nyuruhku?!"

   Balas suara itu.

   "Dan kau, punya hak apa mengganggu kami?!"

   Balas Rangga sinis.

   "Hi hi hi...! Aku penguasa tempat ini. Dan kalian telah berada di daerah kekuasaanku. Maka sudah sepatutnya aku menghukum kalian. Itu hakku!"

   "Ha ha ha...! Lucu! Baru sekali ini aku menemui ada seorang penguasa takut menunjukkan dirinya padaku. Kalau tidak pengecut, pasti hanya kere yang memang berlagak jadi penguasa,"

   Balas Rangga, enteng.

   "Kurang ajar! Huh!"

   "Pandan, awas,..!"

   Teriak Rangga memperingatkan ketika mendadak melesat sesosok tubuh dengan kecepatan tinggi ke arah mereka.

   "Jangan khawatir, Kakang! Aku siap menghadapi kuntilanak ini!"

   Sahut Pandan Wangi.

   "Grrrahhhrrr!"

   "Yeaaa...!"

   Gerakan sesosok tubuh itu cepat bukan main.

   Bahkan diikuti desir angin kencang dan dorongan tenaga kuat.

   Untuk sesaat Rangga terkesiap.

   Namun, cepat dipasangnya kuda-kuda.

   Dan dengan agak membuang tubuh ke samping kiri, sebelah kaki kanannya mencoba menyapu bagian pinggang.

   Bet! plas! "Sial!"

   Pendekar Rajawali Sakti merutuk, ketika bayangan itu lebih dulu bersalto ke atas.

   Kemudian, tubuhnya meluncur bagai kilat menerjang Pandan Wangi.

   Tapi, gadis itu memang telah bersiaga sejak tadi.

   Sehingga sebelum serangan datang, dia telah lebih dulu melompat sambil mengayunkan kaki kanan menendang berputar.

   "Yeaaa...!"

   "Uts...!"

   Sesosok bayangan itu cepat meliuk ke samping.

   Lalu cepat dilepaskannya satu pukulan keras, sehingga membuat Pandan Wangi terkejut.

   Masih untung gadis berbaju biru muda itu cepat melompat ke belakang.

   Namun, gerakan bayangan itu lebih cepat lagi saat mengikuti gerakannya.

   Bahkan langsung mengayunkan satu pukulan menderu.

   "Hiyaaat..!"

   Maka pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengayunkan kepalan tangan ke arah bayangan itu. Melihat serangan datang, bayangan itu cepat mengebutkan tangannya, menangkis pukulan Rangga. 'Uts...!"

   Plak! "Hiyaaa...!"

   Pada saat yang sama, Pandan Wangi melepaskan satu tendangan menggeledek ke arah bayangan itu.

   Seketika bayangan itu kembali mengebutkan tangannya, menangkis tendangan Pandan Wangi.

   Plak! Tubuh bayangan itu melompat ke samping, setelah menangkis tendangan Pandan Wangi.

   Tapi, pada saat itulah satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti telah mengancamnya.

   Begitu cepat gerakannya saat menendang, sehingga....

   Begkh! "Aaakh...!"

   Sosok bayangan itu mengeluh kesakitan.

   Tubuhnya kontan terpental, namun cepat berputaran di udara.

   Namun pada saat di udara, sosok bayangan itu menghentakkan tangannya ke arah Pandan Wangi.

   Maka seketika dari telapak tangannya, melesat selarik sinar merah yang menebar bau busuk menyengat ke arah Pandan Wangi.

   Padahal, gadis itu bermaksud melakukan serangan susulan.

   "Pandan Wangi, awas!"

   Teriak Pendekar Rajawali Sakti.

   Seketika Rangga menghentakkan tangannya, melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' untuk memapak serangan.

   Dan....

   *** Glarrr! Terdengar ledakan keras menggelegar ketika kedua pukulan itu bertemu.

   Asap hitam bercampur percikan bunga api, tampak mewarnai tempat itu untuk beberapa saat.

   Dan seketika Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat melakukan serangan susulan.

   "Hiyaaat..!"

   Tapi bayangan itu telah hilang entah ke mana. Pendekar Rajawali Sakti mencari-cari untuk beberapa saat, namun bayangan itu raib seperti ditelan bumi.

   "Kakang, apakah dia tewas?"

   Tanya Pandan Wangi, menghampiri pemuda itu. Rangga menggeleng lemah seperti tak percaya.

   "Dia menghilang...,"

   Kata Rangga pelan.

   "Menghilang? Menghilang bagaimana? Kau tentu tak akan mengatakan kalau kita tadi berhadapan dengan kuntilanak?!"

   Pemuda itu tersenyum.

   "Apakah kau tak melihat kalau pukulanku tadi mengenai sasaran?"

   "Ya, aku tahu. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menghilang secepat itu!"

   "Kenapa tidak?"

   Rangga malah balik bertanya.

   "Ah, Kakang. Aku semakin tak mengerti?"

   Tanya Pandan Wangi bingung.

   "Dia memiliki kecepatan luar biasa. Pada saat benturan pukulan tadi, justru digunakan untuk melarikan diri,"

   Sahut Rangga singkat. 'Tapi..."

   "Hm.... Jangan teralu menganggapku tinggi, Pandan. Di atas langit masih ada langit. Dan di muka bumi ini, bertaburan orang-orang sakti yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Dan yang jadi masalah, siapa perempuan itu. Dan. apa yang diinginkannya dari kita?"

   Kata Rangga, lalu duduk di depan api ungun yang masih menyala.

   Gadis itu terdiam beberapa saat sambil melangkah perlahan mendekati api unggun dan duduk di sebelah Rangga.

   Memang sulit diterima, kejadian barusan.

   Selama ini, dia yakin kalau Rangga memiliki kemampuan sulit diukur.

   Bahkan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya.

   Tapi, kenapa mengejar bayangan tadi dia tak mampu? Mungkin juga apa yang dikatakan Rangga benar.

   Bahwa di atas langit, masih ada langit.

   Kalau begitu, bisa saja sosok bayangan tadi memiliki kepandaian di atas Rangga.

   "Aku bukan tak ingin mengejarnya, Pandan. Tapi aku tak ingin membuat kesalahan dua kali seperti tadi. Aku khawatir, dia itu tidak sendiri. Dan kalau aku mengejarnya, siapa tahu kawan-kawannya menyergapmu. Dan pasti, itu dilakukan untuk memancingku agar berada jauh darimu,"

   Jelas Rangga, sepert mengetahui apa yang dirasakan kekasihnya.

   Pandan Wangi menatap Rangga yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum.

   Betulkah apa yang dikatakan Rangga barusan itu? Dia mengkhawatirkan dirinya? Tapi, sebenarnya hal itu tak membuatnya heran.

   Ucapan seperti itu pernah didengarnya berkali-kali.

   Tapi malam ini, terasa lain.

   Karena dirasakannya, ucapan Rangga tadi begitu tulus.

   Semacam pengungkapan kasih sayang terhadapnya! "Kakang! Menurutmu, apakah dia betul perempuan..., eh! Maksudku, manusia begitu?"

   Tanya Pandan Wangi, mengalihkan pembicaran pada pokok persoalan, setelah pikirannya larut dalam lautan pertanyaan dalam hati.

   "Hm.... Kau pun melihat dan merasakannya, bukan? Kenapa itu kau tanyakan?"

   "Maksudku, apakah dia telah berusia lanjut?"

   "Rasanya tidak. Pada saat menangkis pukulanku tadi, bisa kurasakan kalau kulitnya seperti kulit gadis seusiamu. Sayang wajahnya tak jelas, karena tertutup rambut panjang yang dibiarkannya lepas begitu saja...."

   "Hm. Lalu, apa maksudnya dia menyerang? Apakah ada sangkut-pautnya dengan penduduk desa itu?"

   Tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya sendiri.

   Rangga tak menyahut.

   Dan Pandan Wangi yang mungkin teralu lelah, segera menyandarkan tubuhnya ke dalam pelukan Rangga.

   *** Sesosok tubuh ramping berbaju hijau terus berlari tersaruk-saruk menembus kepekatan malam.

   Beberapa kali terlihat tubuhnya hampir tersandung kayu yang melintang menghadang.

   Namun dengan tangkas dia melompat bagaikan melayang terbang.

   Sosok tubuh yang ternyata perempuan berambut panjang itu seperti tak peduli keadaan sekelilingnya.

   Semak belukar serta hutan lebat telah dilaluinya.

   Namun dia terus berlari seperti tak akan berhenti.

   Jika melihat caranya berlari, jelas kalau perempuan itu memang bukan orang sembarangan.

   Kedua kakinya lincah sekali melompat dari satu cabang pohon, ke cabang pohon yang lain, jika di depannya terbentang penghalang yang tak mampu ditembus dengan berlari cepat.

   Ketika ayam jantan mulai berkokok tanda fajar akan menyingsing, perempuan itu memasuki sebuah lembah yang terlihat sunyi dan angker.

   Bebatuan dan batang pohon terlihat hampir sama besar dan banyaknya.

   Pada suatu tempat yang bertanah datar, dia berhenti berlari dan berdiri tegak.

   Sejenak matanya memandang ke sekelilingnya.

   "Sukesih...! Nilam...!"

   Teriak perempuan itu, nyaring.

   Dia menunggu beberapa saat, sebelum dua sosok bayangan melesat cepat ke hadapannya.

   Mereka sama-sama wanita bertubuh ramping dan berambut panjang yang dalam keadaan awut-awutan.

   Masing-masing berbaju putih, dan berbaju merah.

   "Indrawati! Kenapa kau berkaok-kaok seperti orang kesurupan begitu?"

   Tanya wanita berbaju merah, sambil berkacak pinggang. Da bernama Sukesih.

   "Apa yang kalian lakukan seharian tadi?"

   Tanya perempuan berbaju hijau, yang dipanggil Indrawati.

   "Kau pikir apa yang kami lakukan?"

   Kata wanita berbaju putih yang bernama Nilam, balik bertanya.

   "Kenapa kau? Apa sebenarnya yang terjadi padamu?"

   Tanya Sukesih curiga.

   "Jangan-jangan dia telah kepincut oleh pemuda tampan!"

   Goda Nilam.

   "Hi hi hi...! Benarkah itu, Indrawati?"

   Tanya Sukesih menimpali.

   "Huh! Jangan sebut lagi soal itu! Kita telah sepakat! Tapi ada hal yang membuatku heran...,"

   Dengus Indrawati.

   "Apa itu?"

   Tanya Nilam dan Sukesih hampir berbarengan.

   "Aku baru saja bentrok dengan seorang pemuda..."

   "Nah, coba dengar. Apa kataku tadi!"

   Potong Nilam sambil ketawa nyaring.

   "Nilam, dengar ceritaku!"

   Bentak Indrawati dengan suara melengking tinggi. Agaknya Nilam menyadari kalau kawannya kini tak main-main. Mendengar nada suaranya, dia pasti akan menceritakan sesuatu yang penting. Maka gadis berbaju putih itu menghentikan tawanya.

   "Aku tak tahu, siapa dia. Tapi saat aku bertemu, pemuda itu bersama seorang gadis. Dugaanku, pasti dia lelaki hidung belang yang akan melakukan perbuatan terkutuk terhadap gadis itu. Namun sejauh itu, ternyata mereka hanya duduk-duduk. Aku mulai geram dan kesal. Akan kubunuh mereka berdua! Tapi, ternyata mereka bukan orang sembarangan. Mereka memiliki kemampuan hebat..!"

   Tutur Indrawati.

   "Lalu, kau kabur?"

   Tuding Sukesih.

   "Aku tak punya pilihan lain...,"

   Sahut si Indrawati lesu.

   "Pengecut!"

   Desis Sukesih geram.

   "Sukesih! Kau tak merasakan sendiri kejadian itu...,"

   Kilah Indrawati mencoba memberi alasan.

   "Kau masih ingat ikrar kita? Hidup ini tak berarti. Dan hanya satu keinginan kita, yaitu membalas dendam! Itukah yang kau maksudkan sebagai ikrar kita? Lari dari musuhmu sendiri?! Ayo, jawab! Untuk apa hidupmu saat ini? Apakah kau masih sempat memikirkan mati? Kita sudah mati sejak dulu! Kau harus camkan itu baik-baik!"

   Potong Sukesih, panjang lebar. Suara gadis berbaju merah itu melengking nyaring seperti bergaung. Dan Indrawati diam tertunduk. Demikian pula Nilam. Untuk beberapa saat suasana di tempat itu kembali hening, setelah Sukesih menghentikan ucapannya.

   "Sudahlah. Lupakanlah kejadian barusan...,"

   Lanjut Sukesih dengan suara lebih lunak. Ditepuk-tepuknya bahu gadis baju hijau itu. 'Tapi, bila kau ketemu lagi dengannya, dia harus mampus di tangan kita. Tak ada seorang pun boleh luput dari tangan kita!"

   Desis Nilam seperti memberi semangat. Indrawati menganggukkan kepala.

   "Kau masih ingat wajahnya, bukan?"

   Tanya Sukesih lagi. Gadis berbaju hijau itu menganggukkan kepala.

   "Sudahlah. Aku berjanji, dia akan mampus di tangan kita. Nah, bagaimana tugasmu tadi!"

   Tanya Sukesih.

   "Aku bertemu dengannya. Dia sudah mampus!"

   "Bagus! Nilam pun telah melakukan tugasnya dengan baik. Sekarang, mari kita pulang. Besok pagi aku harus mendapatkan orang itu. Hari ini, dia luput karena pindah entah ke mana. Tapi, besok dia bakal mampus. Meskipun ke ujung langit sekalipun, akan kukejar dia!"

   Dengus Sukesih menggeram.

   "Marilah kita pulang!"

   Ajak Nilam sambil merangkul pundak kedua kawannya.

   Mereka tertawa-tawa cekikikan.

   Kemudian bagai sehelai kapas, ketiganya melayang ke atas, lalu lenyap dari tempat itu secepat kilat! *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .

   123.

   Misteri Hantu Berkabung Bag.

   5 14.

   September 2014 um 09.17 Seorang pemuda berbadan tegap dan agak tinggi tampak cengar-cengir sendiri.

   Dia tengah melangkah tergesa-gesa menuju ke suatu tempat yang agak jauh di atas Bukit Gandul.

   Dari bawah sini, terlihat sebuah rumah sederhana berdiri di atas puncak bukit itu.

   Agaknya, tempat itulah yang akan ditujunya.

   "Hm.... Pasti Mayang telah lama menungguku di sana...,"

   Gumam pemuda itu.

   Hidungnya terlihat kembang-kempis, dan bibirnya menyeringai lebar.

   Pemuda itu makin mempercepat langkahnya.

   Namun kira-kira sepuluh tombak lagi akan mencapai pondok itu, mendadak melintas sekelebatan bayangan di hadapannya.

   Plas! "Hei, apa itu?!"

   Pemuda itu tersentak.

   Seketika pandangannya beredar ke sekeliling.

   Slap! Kembali terlihat sekelebatan bayangan yang menimbulkan desir angin kencang, sehingga mengibarkan rambutnya di bagian belakang.

   Pemuda itu cepat berbalik ke belakang.

   Namun tak ada apa-apa.

   Suasana di tempat itu tetap sepi, kecuali kicau burung pagi yang menyemaraki.

   Tuk! "Hei!"

   Kembali pemuda itu terkejut, ketika sebuah kerikil menghantam pundaknya.

   Kali ini, dia yakin dengan apa yang dilihatnya tadi.

   Pasti ada seseorang...

   Atau, ada sesuatu yang aneh di tempat ini.

   Dan batu itu? Pasti bukan tak sengaja, melainkan...

   Tuk! "Heh?!"

   Kerikil kedua menghantam punggungnya. Kali ini, pemuda itu terlihat marah. Mukanya garang dan kedua tangannya sudah terkepal erat-erat.

   "Siapa yang hendak bermain-main dengan Pardi, ayo keluar! Tunjukkan batang hidungmu cepat!"

   Bentak pemuda yang ternyata bernama Pardi, geram. Tak ada sahutan, selain angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi menyapu alam. Namun tampak daun-daun bergoyang-goyang. Lalu...

   "Hei?"

   Hidung Pardi tiba-tiba mencium bau busuk yang dibawa hembusan angin tadi.

   Seperti bau bangkai yang menyengat, namun tak tahu dari mana datangnya.

   Sudah lama Pardi sering berada di tempat ini, namun belum pernah sekalipun mengalami kejadian aneh seperti sekarang.

   Pemuda itu celingukan sendiri sambil mencari, apa penyebab semua ini.

   "Hi hi hi...!"

   "Heh?!"

   Bukan main terkejutnya pemuda itu, ketika melihat sesosok tubuh berbaju merah dan rambut panjang terurai tengah melayang-layang di atas satu pohon ke pohon lain sambil ketawa cekikikan.

   Dia ingin menegaskan, namun wajah sosok itu terhalang rambut panjangnya.

   Tanpa sadar, Pardi berdecah kagum.

   Namun, sekaligus bulu kuduknya merinding.

   Manusia atau..., hantu? "Siapa kau?!"

   Bentak Pardi, berusaha me nguatkan hati.

   "Apakah kau tak mengenalku, Pardi?"

   Tanya perempuan itu dingin sambil terus melayang-layang memutari pemuda itu.

   "Kau..., kau tahu namaku?! Siapa kau sebenarnya?"

   "Aku adalah mautmu!"

   Sahut perempuan itu dingin. Pardi kontan menggigil. Bukan karena ancaman itu, melainkan karena merasa geram dipermainkan begitu. Amarahnya mulai menyala.

   "Huh! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu?! Biar seribu hantu sepertimu ada di depan mataku, jangan harap aku lari!"

   Dengus Pardi geram.

   "Hi hi hi...! Itulah yang kuharapkan. Seandainya pun kau akan lari, tak akan ada jalan bagimu selain ke neraka,"

   Sahut perempuan berbaju merah itu enteng.

   "Ayo, apa lagi yang kau tunggu?! Kau akan mencabut nyawaku sekarang? Lakukanlah!"

   Tandas Pardi dengan sikap garang.

   "Hm, kenapa tidak?"

   "Huh!"

   Secepat kilat bayangan putih itu melesat bagai kelebatan sinar ke arah pemuda itu.

   Pardi terkesiap kaget.

   Namun sebagai pemuda yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan, bahkan di desanya juga termasuk jawara, dia tak merasa takut mendengar ancaman itu.

   Tapi ketika melihat serangan perempuan berbaju merah itu, nyalinya seketika menciut.

   Gerakan seperti itu belum pernah dilihatnya.

   Bahkan tubuhnya seperti terpaku, sehingga tak mampu untuk bergerak menghindar! Akibatnya....

   Des! "Aaakh...!"

   Pardi kontan terpekik ketika kepalan tangan perempuan berbaju merah itu menghantam telak dadanya. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah. Namun belum lagi menyentuh tanah, satu tendangan kembali menyodok perutnya. Begkh! "Aaakh...!"

   Pemuda itu kembali menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung tersungkur dan menjerit-jerit menahan sakit.

   "Pardi! Kau lihat diriku! Lihat! Lima bulan lalu, kau telah memperdayaiku di pondok itu. Kau rayu aku, lalu kau nodai. Dan setelah itu, kau tinggalkan begitu saja. Maka hari ini, pembalasanku telah tiba!"

   Dengus perempuan itu dingin.

   Kini dia sudah berdiri tegak, di hadapan pemuda yang telah tak berdaya ini.

   *** Pardi terkejut setengah mari ketika melihat rambut perempuan itu tersibak.

   Wajahnya memang manis.

   Namun yang membuatnya seram adalah bola mata yang putih semua dan dua buah taring panjang di tiap sudut mulutnya.Tapi, rasanya Pardi memang pernah mengenal raut wajah itu, walau dalam bentuk yang berbeda.

   Lebih cantik dan tak menakutkan begini.

   "Kau..., kaukah Sukesih...?"

   "Hi hi hi...! Akhirnya kau mengenaliku juga. Tapi, terlambat. Sebentar lagi, kau akan mampus!"

   "Eh, da..., dari mana kau memperoleh kepandaian hebat seperti itu?"

   Tanya Pardi, tergagap.

   "Hi hi hi...! Kau pikir, apakah manusia mampu berbuat seperti ini?"

   Sahut perempuan yang ternyata Sukesih terkikik, sambil melayang-layang di depan Pardi.

   "Jadi kau..., kau..?"

   Tunjuk Pardi dengan bola mata melotot lebar.

   Dalam bayangan Pardi, pasti perempuan di hadapannya ini adalah arwah penasaran.

   Kalau tidak, mana mungkin akan mampu berbuat seperti itu.

   Tapi, pemuda itu tak sempat berpikir lama.

   Karena tubuh Sukesih telah melesat ke arahnya dengan tangan kanan terjulur ke depan.

   "Yeaaa...!"

   Dengan sebisanya, Pardi berusaha menepis tangan yang terjulur itu.

   Namun tanpa diduga, perempuan berbaju merah itu malah menghantamkan tangannya ke tangan Pardi.

   Plak! "Uh! Pardi mengeluh tertahan ketika tangannya patah dihantam Sukesih.

   Dan belum juga Pardi sempat menyadari, perempuan itu telah cepat menyambar lehernya.

   Dan seketika itu pula kedua taring Sukesih menghujam di leher Pardi.

   Crab! "Aaa...!"

   Perempuan itu menyedot darah Pardi yang menggelepar-gelepar tak mampu berontak.

   Karena, sebelah tangan Sukesih memang mendekap tubuhnya erat-erat.

   Pardi hanya mampu melolong ketika perempuan itu terus menyedot darahnya.

   Dan belum lagi tubuh Pardi menggeloso di tanah, tiba-tiba...

   "Pardi! Kau..., kau...!"

   Terdengar sebuah suara tertahan.

   "Hhhng..!"

   Sukesih mendelik garang sambil melepaskan tubuh Pardi yang telah terkulai lesu.

   Bola matanya menatap tajam ke arah sumber suara.

   Ternyata, tak jauh dari situ seorang perempuan setengah baya tengah berdiri mematung.

   Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan.

   Tubuhnya menggigil.

   Sementara di sebelahnya tergolek sesosok tubuh gadis berparas manis yang sudah tak sadarkan diri.

   Rupanya, gadis inilah yang berseru, tak tahan melihat kejadian di depan matanya.

   Kedua wanita yang berasal dari pondok itu mendengar teriakan Pardi tadi, sehingga mereka langsung mendatangi sumber suara.

   "Hm... Kaukah wanita penghuni pondok ini...?"

   Tanya Sukesih dingin.

   Perempuan setengah baya itu mengangguk cepat dengan tubuh semakin gemetar.

   Wajahnya membayangkan ketakutan yang amat sangat.

   Betapa tidak? Selain rambut panjangnya yang awut-awutan seperti kuntilanak, bola mata perempuan itu tidak mempunyai titik hitam sedikit pun.

   Bahkan mulutnya yang memiliki dua buah taring panjang dan runcing, penuh belepotan darah segar.

   "Kau akan mampus!"

   Dengus Sukesih.

   "Oooh!"

   Hampir saja perempuan setengah baya itu terlonjak kaget dan jatuh pingsan mendengar kata-kata Sukesih. Namun sebisa mungkin dia berusaha menguatkan hatinya.

   "Eh! Oh..., ap..., apa salahku padamu...?"

   Tanya perempuan setengah baya itu dengan suara tergagap.

   "Huh! Kau tak menyadari salahmu! Hi hi hi...! Dasar perempuan keparat! Kau memberikan keleluasaan terhadap pemuda bejat itu untuk melakukan perbuatan terkutuk di rumahmu! Dan itu hanya karena kau mengharapkan imbalan beberapa keping uang perak! Cuih! Perempuan sepertimu memang layak mampus!"

   "Eh! Mana mungkin! A.., aku tak pernah berbuat seperti itu...."

   "Hi hi hi...! Kau pikir aku tertarik dengan segala dustamu? Kau akan mampus, Keparat! Kau akan mampus!"

   Tiba-tiba Sukesih meluruk cepat ke arah perempuan setengah baya itu.

   "Aaah..!"

   Perempuan setengah baya itu hanya mampu melenguh. Sukesih menerkamnya.

   "Aaa...!"

   Kembali terdengar teriak kesakitan ketika leher perempuan setengah baya itu dihunjam dua buah taring Sukesih.

   Kemudian dengan cepat darahnya diisap melalui leher.

   Dalam beberapa saat saja, perempuan setengah baya itu terkulai lemas dengan tubuh pucat bagai mayat.

   Darahnya disedot habis oleh Sukesih.

   Seketika Sukesih menghempaskan tubuh korbannya begitu saja.

   "Hi hi hi...! Mampuslah kalian yang telah menghancurkan hidupku. Mampuslah kalian semua! Hi hi hi...!"

   Setelah puas, perempuan itu melesat dari tempat itu seperti terbang.

   Tubuhnya melayang ringan.

   Dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan.

   Entah kenapa, dia tak mengusik gadis yang tadi tak sadarkan diri di sebelah perempuan setengah baya itu.

   *** Semalaman Rangga tak dapat memicingkan mata sama sekali.

   Sementara Pandan Wangi kelihatan terlelap.

   Namun ketika menjelang pagi, gadis itu terbangun.

   Dia lebih banyak termenung sambil memandangi nyala api.

   Sedangkan Rangga sendiri pura-pura tertidur sambil mengawasi keadaan di sekelilingnya.

   "Kita akan berangkat sekarang, Kakang?"

   Tanya gadis itu tanpa menoleh ketika mendengar Rangga menggeliat.

   "Hm.... Belum lagi pagi. Untuk apa buru-buru...?"

   "Ayam jantan telah berkokok, Kakang. Apakah kau akan menunggu matahari memanggang tubuhmu?"

   "Justru sinar matahari pagi membuat tubuh bersemangat,"

   Sahut Rangga enteng.

   Pandan Wangi tak menyahut.

   Kakinya melangkah pelan dan membasuh mukanya di tepi telaga.

   Rangga pun melangkah pelan ke tepi telaga untuk membasuh muka dan kedua tangannya.

   Segar rasanya setelah wajah-wajah sayu mereka tersiram air telaga.

   Setelah merasakan segar, kedua pemuda itu bergegas menyiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan perjalanan.

   Sementara Dewa Bayu dan si Putih tampak sudah merapat di pinggir telaga, sambil sesekali menyodorkan moncongnya pada air telaga untuk minum.

   Rangga lalu mengambil tali kekang kedua kuda itu.

   Tali kekang yang satu diberikan pada Pandan Wangi.

   Dia sendiri melompat ke atas Dewa Bayu.

   "Kakang bermaksud akan kembali ke desa itu lagi?"

   Tanya gadis itu ketika telah berada di punggung kuda putihnya.

   "Ya. Aku merasa kalau peristiwa semalam ada hubungannya dengan sikap penduduk desa itu,"

   Sahut Rangga.

   "Kecurigaan itu tak beralasan, Kakang."

   "Kenapa tidak? Tempat ini tak begitu jauh dari desa itu. Dan lagi, apa alasan perempuan itu menyerang kita?"

   "Yaaah. Terserahlah. Aku menurut saja...

   "

   Sepasang Pendekar dari Karang Setra segera memacu kudanya, kembali menuju desa yang dilewati semalam.

   Jarak antara kedua tempat itu memang tak begitu jauh.

   Memang dari telaga itu sendiri, Desa Besakih sudah terlihat.

   Apa lagi ditempuh dengan berkuda.

   Maka dalam sesaat saja, mereka telah tiba di mulut Desa Besakih.

   Beberapa orang desa yang hidup dari bertani telah mulai keluar dari rumah masing-masing.

   Kebetulan Rangga dan Pandan Wangi bertemu beberapa orang yang kebetulan hendak berangkat ke sawah.

   "Kisanak, maaf mengganggumu sebentar. Apakah di desa ini telah terjadi sesuatu?"

   Sapa Rangga pada salah seorang. Orang itu tak langsung menjawab. Ditatapnya kedua anak muda itu dalam-dalam. Beberapa orang penduduk yang melihat kehadiran kedua penunggang kuda itu segera mendekati. Dan mereka memandang dengan sinar mata curiga.

   "Kisanak! Kami berdua tak bermaksud buruk. Terus terang kamilah yang semalam bermaksud menumpang menginap pada beberapa rumah di desa ini. Namun, tak satu pun dari kalian yang sudi membukakan pintu. Kami segera berlalu dan bermalam di dekat telaga sana, karena mengira kalian merasa takut atas kehadiran kami,"

   Jelas Rangga.

   "Ka..., kalian bermalam di dekat telaga sana?"

   Tunjuk orang yang ditanya. Suaranya terdengar tergagap, dan wajahnya ketakutan.

   "Betul. Memang ada apa, Kisanak? Apakah ada sesuatu yang aneh?"

   Tanya Rangga bingung.

   "Siapa kalian ini sebenarnya...?"

   Tanya orang itu lagi "Kami hanya dua orang pengembara biasa..."

   Jawaban Rangga tentu saja tak mudah dipercaya.

   Bahkan yang lainnya pun sependapat.

   Cara mereka berpakaian saja sudah seperti orang persilatan.

   Apalagi, pedang di punggung.

   Sementara gadis berbaju biru muda itu juga membawa pedang dan kipas yang terbuat dari baja putih.

   Paling tidak, mereka memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup hebat.

   Dan kalau sekadar mengaku sebagai pengembara biasa, pastilah hanya ingin merendah saja.

   Dan melihat paras Rangga dan Pandan Wangi, orang ini merasa yakin kalau kedua orang berkuda itu bukanlah orang jahat.

   "Apakah yang ingin kalian ketahui...?"

   "Apakah benar ada sesuatu yang terjadi di desa ini?"

   Tanya Rangga kembali. Orang itu terdiam beberapa saat. Kemudian diceritakannya apa yang terjadi kemarin di desa ini. Dari mulai kematian Sembada di dekat telaga itu, sampai kematian dua pemuda penduduk desa di pinggir hutan.

   "Hm.... Jadi kalian menduga kalau pelakunya adalah perempuan berbaju hijau...?"

   Tanya Rangga meyakinkan.

   "Saat itu, Lestari bersama Sembada. Dan dialah yang menegaskan kalau perempuan berbaju hijau itulah yang melakukannya. Dia pasti hantu penghuni telaga yang meminta korban kepada penduduk desa ini,"

   Jelas orang itu. Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.

   "Tahukah kalian, siapa sebenarnya perempuan itu?"

   Tanya Rangga kembali. Tak ada satu pun yang tahu, siapa perempuan berbaju hijau itu. Bahkan mereka sepakat mengatakan kalau perempuan itu adalah hantu yang sedang mencari korban.

   "Baiklah. Kalau demikian, kami permisi. Terima kasih atas keterangan Kisanak semua,"

   Ucap Rangga.

   "Sama-sama,"

   Balas para penduduk Desa Besakih, hampir berbarengan. Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu segera menggebah kudanya. Sementara, para penduduk desa itu mengikuti dengan pandangan mereka.

   "Kakang! Apakah kau mempercayai ucapan mereka?"

   Tanya Pandan Wangi ketika telah cukup jauh. 'Tentang apa?"

   "Apa betul perempuan itu bukan manusia?"

   "Kenapa mesti percaya? Kita telah merasakan sendiri, bukan? Perempuan itu bisa menjerit kesakitan. Dengan begitu, dia pasti bisa mati. Sementara tak ada hantu yang bisa mati di tangan manusia. Karena, umumnya mereka tak bisa disentuh kita. Dan aku berhasil menghajar perempuan itu. Nah, apa menurutmu itu?"

   Pandan Wangi diam membisu Gadis itu bukan tak percaya pada keterangan Rangga.

   Namun, dia hanya ingin meyakinkan hatinya saja.

   *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info  To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies.

   By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies.

   Learn more, including about available controls.

   Policy.

   123.

   Misteri Hantu Berkabung Bag.

   6 September 14, 2014 at 9.18am Dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tampak memacu cepat kudanya ke arah tenggara.

   Laki-laki berambut panjang dengan ikat kepala warna kuning dan membawa pedang di punggung itu tampak begitu bernafsu untuk tiba di tempat tujuan.

   Sementara kawannya yang bertubuh gemuk dengan bola mata lebar dan hidung bulat itu berusaha menjajarkan lari kudanya.

   Wajah mereka tampak garang dan terbayang kecemasan.

   Berkali-kali mereka berteriak keras, agar kudanya berlari lebih kencang.

   "Kakang Sudira, apakah kau yakin iblis betina itu berada di sana?"

   Tanya laki-laki gemuk pendek itu kepada kawannya yang dipanggil Sudira. Suaranya sengaja dikeraskan, untuk melawan angkin yang menderu di telinga.

   "Apakah kau tak mendengar apa yang dikatakan orang tadi, Kampanu? Dia mengatakan kalau ketiga iblis perempuan itu tengah membantai murid-murid Perguruan Bambu Kuning. Kita harus cepat ke sana untuk membalas kematian adik Jaya Permana!"

   Geram orang yang dipanggil Sudira itu dengan wajah garang.

   "Huh! Kalau ketemu, akan kupatahkan batang leher mereka!"

   Dengus laki-laki gemuk pendek yang dipanggil Kampanu.

   "Jangan gegabah, Kampanu. Mereka kabarnya memiliki kepandaian tinggi...,"

   Ingat Sudira.

   "Meski memiliki kepandaian seperti setan sekalipun, aku tak takut!"

   Tandas Kampanu.

   "Bagus! Kalau demikian, tak sia-sia aku mengajakmu."

   "Aku sendiri heran. Apa salah Jaya Permana sampai dibunuh? Setahuku, dia anak baik dan tak pernah membuat kesalahan. Kawannya banyak. Bahkan kudengar dia tak pernah memiliki musuh. Anak itu penyabar dan suka mengalah. Dia cepat meminta maaf kalau memiliki kesalahan yang tak disengaja. Hm.... Tega betul orang yang membunuhnya!"

   Gerutu Kampanu bercampur geram.

   "Kita tak bisa menduga hati manusia. Tapi yang jelas, ketiga hantu betina itu pasti tersangkut paut di dalamnya."

   "Kenapa Kakang begitu yakin?"

   Tanya Kampanu.

   "Apakah kau tak mendengar berita belakangan ini?"

   Sudira malah balik bertanya. Kampanu memang jarang mengikurj perkembangan dunia persilatan karena lebih banyak berada di dalam perguruan untuk melatih murid-murid tingkat pertama.

   "Berita apa, Kang?"

   "Banyak terjadi pembunuhan mengerikan. Dan umumnya, korbannya adalah pemuda-pemuda yang masih belia. Kabar itu cepat menyebar, karena korban yang dipilih tak memandang bulu. Sebap desa atau tempat yang dilalui, maka jika para pembunuh itu bertemu seorang pemuda, bisa dipastikan akan menjadi korban,"

   Jelas Sudira.

   "Kenapa Kakang bisa memasbkan kalau pela-kunya adalah bga iblis bebna yang banyak disangka hantu oleh sebap orang?"

   Tukas Kampanu.

   "Ada beberapa orang yang pernah melihatnya. Jika orang awam, akan mengatakan mereka itu hantu. Karena, mampu bergerak cepat sekali. Namun bagi orang persilatan, apalagi yang pernah bentrok, mana mungkin mempercayai kalau mereka hantu. Mereka adalah manusia biasa seperti kita. Hanya saja memiliki ilmu iblis,"

   Jelas Sudira. Kampanu menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Dan mereka terus menjalankan kudanya cepat. Namun tiba-tiba....

   "Coba, dengar. Ada suara pertarungan di depan sana!"

   Tunjuk Sudira sambil menajamkan pendengaran. Kampanu memandang ke arah yang ditunjuk Sudira. Di depan, memang terlihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi yang berjejer rapi dari kayu jati.

   "Itukah Perguruan Bambu Kuning, Kang?"

   Tanya Kampanu.

   Sudira mengangguk sambil terus memacu lari kudanya lebih cepat lagi.

   Kampanu pun mengikuti.

   Keduanya seperti berpacu menuju ke tempat itu.

   Begitu tiba di depan, mereka langsung menerobos pintu gerbang yang sudah terbuka.

   Di dalam perguruan itu memang sedang terjadi pertarungan yang tak seimbang.

   Tiga sosok tubuh yang bergerak amat cepat tengah dikeroyok puluhan orang yang bersenjata lengkap.

   Namun ketiga sosok bayangan itu mudah sekali menghadapi lawan-lawannya.

   Malah jelas terlihat kalau dalam sekejap saja, para pengeroyoknya mampu dibuat kocar-kacir.

   Terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan mengerikan.

   "Kang! Tunggu apa lagi? Mari kita bantu mereka. Aku sudah tak sabar lagi ingin menghajar kuntilanak sial itu!"

   Geram Kampanu sambil mengepalkan tangan.

   "Aku merasa tak enak hati, Kampanu. Takut mereka merasa tersinggung, karena dikecilkan kalau mendapat bantuan dari kita...."

   "Aaah! Peduli amat dengan peraturan itu. Kita punya urusan sendiri dengan kuntilanak keparat itu. Siapa yang mau bantu mereka!"

   Dengus Kampanu. Sudira masih ragu untuk turun membantu murid-murid Perguruan Bambu Kuning. Namun, Kampanu terus mengajaknya. Maka mau tidak mau, dia tergugah juga.

   "Baiklah. Mari kita gempur hantu jahanam itu!"

   Dengus Sudira geram. Sring! "Hantu-hantu keparat! Terimalah ini pembalasan kami...!"

   "Yeaaa...!"

   Kedua laki-laki itu sudah langsung melompat sambil menghunuskan senjata masing-masing. Sudira langsung memainkan ilmu pedangnya yang hebat. Sementara Kampanu sudah mengeluarkan pisau terbangnya yang banyak tersimpan di balik jubahnya yang besar.

   "Uts...!"

   "Hup!"

   "Kurang ajar! Kalian berani mampus datang ke sini!"

   Salah seorang dari tiga sosok tubuh yang sedang dikeroyok itu menggeram marah ketika tenggorokannya hampir saja tersambar pisau Kampanu.

   Sementara beberapa pisau lain berhasil dihindari dengan gerakan gesit oleh kedua kawannya yang lain.

   *** Dengan kedatangan Sudira dan Kampanu, ketiga sosok wanita itu bukannya kerepotan, tapi malah mengamuk kian hebat.

   Dalam beberapa gebrakan lagi korban sudah bertambah dua kali lipat.

   "Hi hi hi...! Kalian akan mampus semua di tanganku! Kalian akan mampus...!"

   "Yeaaa...!"

   "Hiiih!"

   Crab! Cres! "Aaa...!"

   Pekik kematian terdengar saling sambung seiring ambruknya sosok-sosok tubuh terkena hajaran ketiga perempuan iblis itu. Tentu saja Sudira dan Kampanu semakin geram saja. Mereka langsung melesat cepat memapak serangan ketiga wanita iblis itu.

   "Hiyaaat..!"

   "Uts...!"

   "Huh! Rupanya ada juga tikus yang berlagak seperti macan. Kalau demikian terimalah ini bagian untukmu!"

   Dengus salah seorang perempuan yang berbaju merah sambil meluncur deras ke arah Sudira.

   Sementara pada saat yang bersamaan, sosok wanita yang berbaju putih melesat cepat ke arah Kampanu sambil melakukan serangan dengan tubuh berputaran bagai gasing.

   Sedangkan yang berbaju biru menghadapi sisa-sisa murid Perguruan Bambu Kuning yang bagai anak ayam kehilangan induk.

   Memang ketua mereka telah tewas sejak tadi.

   Sudira terkejut bukan main melihat serangan wanita berbaju merah.

   Belum pernah dia melihat orang mampu bergerak secepat itu.

   Namun rasa gugupnya berusaha ditutupi dengan ayunan pedangnya.


Pendekar Perisai Naga Hantu Lereng Lawu Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu

Cari Blog Ini