Ceritasilat Novel Online

Satria Pondok Ungu 1


Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu Bagian 1


.

   178.

   Satria Pondok Ungu ~ Bag.

   1-3 12.

   MArz 2015 um 02.16 Pagi ini cuaca sangat cerah.

   Embun tampak berkilauan di ujung dedaunan, kemudian lenyap di tanah.

   Sebagian menguap di udara yang masih terasa dingn.

   Jalan setapak yang menuju Perguman Pondok Ungu di puncak Bukit Renggawas masih sepi dan lengang.

   Sementara, kegiatan di perguruan itu sendiri telah berlangsung sejak pagi buta tadi.

   Sebagian murid bekerja bercocok tanam di ladang dan sa-wah.

   Sebagian lagi mencari kayu bakar.

   Tidak se-brang pun yang kelihatan berpangku tangan.

   Namun, kegiatan mereka mendadak berhenti, ketika.....

   "Aaa...!"

   Pagi yang cerah dipecahkan teriakan panjang bernada kematian yang berasal dari bawah, tak jauh dari tempat mereka bekerja. Semua yang tengah bekerja kontan menoleh ke arah datangnya suara barusan.

   "Wuaaa!"

   Kembali terdengar teriakan yang cukup meng-giriskan.

   Tiga orang murid Perguruan Pondok Ungu segera berlari ke arah datangnya suara teriakan tadi.

   Dan sebentar saja, mereka telah tiba di tempat kejadian.

   Di tempat itu, mereka mendapati seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk.

   Sedang tepat di bawah telapak kakinya, tergeletak dua sosok tubuh yang telah binasa dalam keadaan menyedihkan.

   Wajah dan tubuh mereka hancur seperti habis dicakar binatang buas.

   Mendengar ada suara langkah kaki mendekati, laki-laki bungkuk itu menoleh.

   Baru jelas kalau wajah kakek itu ternyata sangat mengerikan dengan bekas luka yang telah mengering di wajah tuanya.

   Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing kakek bungkuk itu mengawasi tiga orang murid Perguruan Pondok Ungu yang baru datang.

   Namun begitu melihat tatapan mata merah dan liar milik kakek ini, ketiga murid itu tanpa sadar mundur dua langkah ke belakang.

   "Siapa kau, Kisanak? Mengapa seenaknya main bunuh di daerah kami...?!"

   Tanya seorang murid yang bertubuh gagah.

   "Kalian belum pantas mengetahui namaku! Ki Sangka Lelana sendiri tidak akan berani lancang...!"

   Sahut kakek bungkuk itu, pongah. Ucapannya hambar, dan memandang rendah.

   "Hei! Sopanlah sedikit kalau menyebut nama guru kami!"

   Bentak murid lainnya yang bertubuh kurus.

   "Ha... ha... ha...! Apa kehebatan Sangka Lelana?! Orang lain boleh menghormatinya. Tetapi, aku tidak akan sudi! Kalau tidak percaya, coba saja kalian panggil dia untuk menemui aku di sini!"

   Ujar laki-laki bungkuk itu, bernada mengejek.

   "Keparat! Hadapilah aku dahulu, baru boleh menghadapi beliau!"

   Bentak murid Perguruan Pondok Ungu yang bertubuh kekar.

   "Hua... ha... ha...! Dasar bodoh masih bau kencur! Baru punya kepandaian seujung kuku saja mau berlagak di depanku!"

   Ejek laki-laki bungkuk itu lagi.

   "Malah kalau perlu, sekalian gurumu panggil ke sini"

   Para murid Perguruan Pondok Ungu marah bukan main mendengar guru mereka diejek sedemikian rupa. Maka....

   "Sheaaat!"

   Cangkul di tangan murid yang bertubuh tegap dengan cepat terayun pada pundak laki-laki tua bungkuk ini.

   Maksudnya hanya hendak memberi peringatan saja, agar si bungkuk itu tidak terlalu menghina orang.

   Tetapi, hanya sekali tangkis dengan tongkat cangkul itu terpental, karena terlepas dari genggaman pemiliknya.

   Sementara itu dua murid lainnya segera menerjang menggunakan golok yang telah terhunus sejak tadi.

   Mereka tidak ragu-ragu lagi, karena telah menyaksikan sendiri kehebatan laki-laki tua itu.

   Sebenarnya mereka tidak punya urusan dengan manusia bungkuk yang berilmu tinggi itu.

   Tetapi karena pembunuhan tadi dilakukan di wilayah mereka, maka terpaksa harus membuat perhitungan.

   Sambil tertawa terbahak-bahak, manusia bungkuk itu memutarkan tongkatnya untuk memapak sambaran golok.

   Trak! Trak! Terdengarlah suara bentrokan keras.

   Kembali golok di tangan murid Perguruan Pondok Ungu terlepas dari tangan yang kontan terasa sakit.

   Sementara kulit mereka juga bagaikan hendak terkelupas.

   "Gila! Tenaga orang tua ini bagaikan gajah!"

   Dengus murid yang bertubuh kurus.

   Murid berbadan kekar yang cangkulnya terlempar tadi segera mencabut pedangnya yang terselip di pinggang.

   Langsung dibabatnya pinggang lelaki bungkuk itu.

   Namun sambil mengegos ke kanan, dua jari tangan kiri laki-laki bungkuk ini berhasil menjepit mata pedang yang tajam.

   Dan sambil berputar, kakinya menendang persis mendarat di sambungan lutut.

   Tug! "Aaakh!"

   Pemuda berbadan kekar itu kontan jatuh terduduk.

   Pedangnya terlepas dari tangannya.

   Sementara dua orang segera mencengkeram dari belakang.

   Namun dengan gerakan memutar, kaki laki-laki bungkuk itu melepaskan tendangan beruntun yang bertenaga dalam tinggi.

   Akibatnya....

   Jdug! Dugkh! "Aaakh...! Aaakh...!"

   Kedua orang murid Perguruan Pondok Ungu kontan tersentak kembali ke belakang, dengan kepala puyeng bukan main. Sebelum tubuh mereka menyentuh tanah, tongkat di tangan laki-laki bungkuk itu telah bergerak cepat. Crok! Crok! "Aaa...!"

   Tidak ampun lagi, kedua murid itu ambruk dengan jiwa melayang, begitu ujung tongkat laki-laki bungkuk ini mendarat di tenggorokan mereka.

   Sementara murid-murid bertubuh kekar ini sudah bangkit lagi.

   Segera dia bersiul nyaring.

   Namun sebelum siulan selesai, laki-laki bungkuk itu telah berkelebat dengan ujung tongkat mengarah ke ulu hati.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga....

   Crap! "Aaa...!"

   Dengan teriakan menyayat, pemuda kekar itu roboh dengan darah menyembur begitu ujung tongkat mendarat di ulu hatinya.

   Sebentar laki-laki bungkuk itu memandangi sambil tertawa terbahak-bahak.

   Dan mendadak tubuhnya berkelebat lenyap.

    *** Ketua Perguruan Pondok Ungu yang bernama Ki Sangka Lelana benar-benar terpukul mendengar laporan kalau tiga muridnya telah tewas di tangan seorang tokoh persilatan.

   Dari ciri-ciri luka para murid yang tewas, Ketua Perguruan Pondok Ungu itu bisa menebak kalau semua ini adalah ulah seorang tokoh berjuluk Setan Bungkuk.

   Ki Sangka Lelana tahu betul, siapa Setan Bungkuk itu.

   Dia adalah tokoh sesat yang beberapa puluh tahun yang lalu pernah malang melintang dalam dunia persilatan.

   Namun sepak terjangnya bisa dihentikan oleh tokoh-tokoh aliran putih, yang di antaranya adalah Ki Sangka Lelana.

   Dan sejak itu, Setan Bungkuk tak muncul-muncul lagi dengan membawa dendam dan luka yang dalam, di samping cacat pada tubuhnya.

   Bagian wajahnya yang hancur adalah akibat senjata-senjata tajam para pendekar.

   Kini Setan Bungkuk muncul kembali.

   Dan ke-munculannya langsung membunuh dua orang pencari kayu bakar di Bukit Ranggawas.

   Rupanya tindakan ini hanya untuk memancing keluar para murid Perguruan Pondok Ungu yang terletak di puncak bukit itu.

   Dan begitu pancingannya mengena, para murid perguruan itu dibantai dengan luka-luka yang dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah untuk di kenali.

   Maka tak heran kalau Ki Sangka Lalana langsung dapat mengenali.

   Di perguruannya, laki-laki berusia tujuhpuluh lima tahun itu memberi banyak petunjuk, agar murid-muridnya selalu berhati-hati dan memperketat penjagaan.

   Bahkan sejak saat itu, murid-muridnya dilatih lebih giat lagi.

   Penjagaan di sekitar perguruan pun lebih diperketat.

   Dan di tempat-tempat yang tersembunyi penjaga.

   Tetapi, Setan Bungkuk ternyata tidak pernah muncul lagi di tempat itu.

   Sehingga dua purnama kemudian, Perguruan Pondok Ungu telah melupa-kan peristiwa itu.

    *** Desa Sabrang Lor hari ini tampak tidak teralu ramai.

   Di jalan utama desa, tampak seorang laki-laki tua berwajah buruk dengan tubuh bungkuk berjalan tertatih-tatih, dengan bertumpu pada tongkatnya yang berwarna hitam legam.

   Tongkat itu melingkar-lingkar bagaikan ular melilit sebuah batang kayu.

   Sedangkan tengahnya terdapat lubang yang tembus sampai ke ujungnya.

   Dengan tongkat itu, pemiliknya tampak semakin menyeramkan.

   Malah orang yang berpapasan selalu menyingkir dan memberinya jalan, dengan berbagai pembahan di wajah.

   "Ihhh! Wajahnya sangat menyeramkan! Sudah cacat, wajahnya hancur pula!"

   Ejek seorang pemuda yang sedang berjalan dengan temannya. Saat itu, kedua orang muda ini memang tengah berpapasan dengan laki-laki bertubuh bungkuk yang tak lain dari Setan Bungkuk.

   "Wajahnya mirip hantu kubur!"

   Timpal pemuda satunya. Setan Bungkuk sendiri melirik. Lalu dengan gerakan tidak terduga tubuhnya melenting ke belakang. Begitu mendarat, tongkatnya cepat berkelebat. Kedua pemuda itu berhenti mendadak. Dan.... Crok! Crok! "Aaa...!"

   Kedua pemuda itu kontan ambruk dengan darah menyembur dari tenggorokan yang berlubang.

   Sedangkan orang bungkuk itu terus berjalan dengan bertumpu pada tongkatnya.

   Para penduduk Desa Sabrang Lor yang mendengar jeritan barusan kontan terkejut.

   Begitu yakin kalau laki-laki bungkuk itu yang berbuat, mereka segera mengejar.

   Karena Setan Bungkuk berjalan santai, beberapa orang berhasil mengejarnya dan langsung mengurung dengan senjata terhunus.

   Dengan pandangan tajam mereka mengawasi Setan Bungkuk dari atas sampai ke bawah.

   "Hei, Orang Tua! Tindakanmu begitu kejam. Kau memang orang tidak berperikemanusiaan sama sekali...!"

   Bentak seorang laki-laki setengah baya, penduduk desa ini.

   "Huh! Segala kutu busuk, mau banyak tingkah di hadapanku! Aku paling benci dengan orang-orang usil. Jangan lari kalian semua kalau nanti kubuat berhenti jadi orang!"

   Gertak Setan Bungkuk.

   "Sombong sekali kau, Orang Tua Busuk!"

   Seru penduduk lainnya.

   Kemudian dengan serentak, empat orang penduduk segera menerjang.

   Namun sekali Setan Bungkuk menggerakkan tongkat, senjata mereka menempel pada tongkat.

   Lalu dengan sekali sentak, senjata-senjata itu terlepas dari tangan.

   Sebelum para penduduk sadar apa yang terja-di, Setan Bungkuk telah menggerakkan tongkatnya ke sana kemari.

   Beberapa teriakan kematian segera terdengar, disusul robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa.

   Salah seorang menerjang dari belakang, sambil menusukkan pedangnya pada punggung Setan Bungkuk.

   "Heaaat!"

   Namun tanpa berbalik lagi, tongkat di tangan Setan Bungkuk bergerak cepat menusuk ke bela-kang. Crap! "Aaa...!"

   Dan tongkat itu persis menancap di perut si pombohong sampai menembus punggung.

   Ketika dicabut, orang itu berkelejetan sejenak, lalu diam untuk selamanya.

   Melihat betapa ganas dan saktinya laki-laki bungkuk itu, membuat para penduduk yang belum menyerang malah mundur ke belakang beberapa langkah.

   Tepat ketika lawan terakhir Setan Bungkuk ambruk, para penduduk telah berlarian kabur dari tempat ini.

   Sedangkan Setan Bungkuk dengan santainya melanjutkan perjalanannya.

    *** Seorang laki-laki tua berwajah buruk dengantubuh bungkuk berjalan tertatih-tatih menuruni sebuah lembah yang dikenal dengan nama Lembah Jagad Pangeran.

   Agaknya sosok yang tak lain Setan Bungkuk itu sudah hafal dengan jalan di sekitar.

   Itu terlihat dari langkahnya yang tanpa berhenti.

   Namun dia tampak berhati-hati, jalanan menuju tempat ini benar-benar terjal.

   Kini dengan enaknya, Setan Bungkuk berlon-catan ringan, dari batu yang satu ke batu yang lain.

   Jelas, dia mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.

   Hingga tak lama kemudian, sampailah dia di Lembah Jagad Pangeran.

   "Hoi! Sakurang, keluarlah! Ini aku Kuntara-wang datang berkunjung!"

   Teriak Setan Bungkuk keras, sambil mengedarkan pandangan ke sekeli-ling.

   Tidak terdengar jawaban.

   Kembali Setan Bungkuk yang bernama asli Kuntarawang berteriak.

   Namun lagi-lagi tidak ada jawaban.

   Dengan penuh keheranan kepalanya celingukan ke sana kemari.

   Tiba-tiba....

   Wuuut! Mendadak sebuah batu sebesar anak kerbau meluncur ke arah Setan Bungkuk.

   Namun sebagai tokoh berkepandaian tinggi, laki-laki tua ini hanya menggumam pelan.

   Baru ketika batu itu satu tombak lagi menghantam tubuhnya, tangan kirinya bergerak mengibas.

   Blam...! Hantaman tangan kiri Setan Bungkuk yang berisi tenaga dalam kuat luar biasa, membuat batu sebesar kerbau itu hancur.

   Bersamaan dengan itu, entah dari mana datangnya melesat sesosok bayangan hitam.

   Begitu berdiri berhadapan sosok bayangan itu yang ternyata manusia berkulit hitam itu menerjang dengan kekuatan penuh.

   Begitu kedua tangannya menghentak, angin pukulan berbau amis yang beracun jahat langsung menderu tajam.

   "Hait!"

   Bagai kilat Setan Bungkuk melenting ke atas.

   Dan begitu tubuhnya meluruk, ujung tongkatnya sudah cepat menusuk ke arah pergelangan tangan laki-laki berkulit hitam dan juga berwajah hitam itu.

   Namun tak kalah sigap, laki-laki hitam ini me-mutarkan telapak tangannya, berusaha mencengkeram tongkat di tangan Kuntarawang.

   Dengan cepat Setan Bungkuk menarik tongkatnya.

   Sementara tangan yang satu lagi menghantam.

   Plak! Dua tangan yang berisi tenaga kuat bertemu.

   Terdengar suara nyaring, disertai terdorongnya kedua tubuh tangguh itu.

   "He he he...! Tenagamu bertambah maju, Sakurang!"

   Puji Setan Bungkuk, setelah melenting ke belakang, dan mendarat manis di tanah.

   "Kau sendiri tidak kalah hebatnya, Kuntarawang!"

   Balas laki-laki berkulit hitam yang dipanggil Sakurang, setelah dapat menguasai keseimbangannya.

   "Sudah lama kita tak bertemu. Bagaimana ka-barmu, Sakurang?"

   Tanya Kuntarawang, bernada bersahabat.

   "Aku baik-baik saja,"

   Sahut Sakurang seraya maju beberapa tindak.

   Demikian pula Setan Bungkuk.

   Sebentar kemudian, kedua laki-laki ini saling berpelukan, seperti dua sahabat yang lama telah berpisah.

   Setelah puas melepas rasa rindu, Setan Bungkuk segera menceritakan maksud kedatangannya ke Lembah Jagad Pangeran ini.

   "Jadi maksudmu ingin membalas dendam pada Sangka Lelana?!"

   Tanya Sakurang, setelah Setan Bungkuk menyelesaikan ceritanya.

   "Benar! Tetapi yang kukhawatirkan adalah Aria Pamuji, tua bangka yang menjadi guru Sangka Lelana. Dan dia merupakan sesepuh Perguruan Pondok Ungu!"

   Tegas Kuntarawang.

   "Jangan khawatir! Kita adalah dua orang sahabat! Lagi pula, kita punya persoalan yang sama dengan Sangka Lelana. Dulu, aku pun pernah berurusan dengannya. Sayang, aku tak mampu menghadapinya. Hm.... aku akan ikut membantu sekuat tenaga dan jiwaku sebagai taruhannya!"

   Tandas Sakurang.

   Suaranya terdengar datar.

   Kepalan tangannya bergetar mengingat dulu pemah dipecundangi Sangka Lelana.

    *** Dunia persilatan agaknya mulai digerogoti oleh dendam-dendam manusia yang penuh angkara murka.

   Manusia-manusia telengas yang tak puas oleh keadaan.

   Dua purnama setelah pembantaian tiga orang murid Perguruan Pondok Ungu di puncak Bukit Ranggawas, kembali perguman itu diguncang oleh huru-hara yang diciptakan manusia-manusia telengas yang ingin melampiskan dendam.

   Mereka tak lain adalah Setan Bungkuk dan Sakurang.

   Memang, setelah kedua tokoh sesat ini berlatih penuh selama dua purnama, mereka mulai melancarkan sepak terjangnya.

   Mulai menebar kematian di mana-mana.

   Kini sasaran utama adalah Perguruan Pondok Ungu.

   Telah puluhan murid perguruan itu menjadi korban.

   Mayat bergelimpangan tak tentu arah.

   Bau anyir darah mulai menusuk hidung.

   Sementara sepak terjang Setan Bungkuk dan Sakurang terus berlangsung.

   "He he he...! Bagus! Ayo suruh turun lebih banyak lagi!"

   Seru Setan Bungkuk, mengejek sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

   Kini murid Perguman Pondok Ungu tinggal beberapa orang lagi.

   Dan mereka agaknya mulai jatuh nyalinya.

   Sementara itu, Setan Bungkuk sudah berniat menghabisi para murid perguruan itu.

   Namun sebelum niatnya terlaksana....

   "Tahan...!"

   Sebuah teriakan menggelegar, membuat Setan Bungkuk berpaling. Ternyata yang muncul adalah seorang laki-laki tua berjubah ungu.

   "Akhirnya kau muncul juga, Sangka Lelana,"

   Desis Setan Bungkuk.

   "Maaf, aku sedang bersemadi tadi. Hm.... Sudah lama kita tidak berjumpa! Apa kabarmu se-lama ini, Setan Bungkuk?!"

   Tanya laki-laki tua berjubah ungu yang ternyata Ki Sangka Lelana perlahan.

   "Tidak perlu basa basi lagi, Tua Bangka! Hari ini aku akan membereskan hutan nyawa!"

   Bentak Kuntarawang, langsung. "Apakah kau masih belum juga jera...?!"

   Tanya Ki Sangka Lelana.

   Baru saja selesai ucapan Ketua Perguruan Pondok Ungu itu, dari depan melayang sesosok bayangan hitam.

   Begitu mendarat di samping Setan Bungkuk, baru jelas, siapa yang muncul.

   Dia tak lain adalah Sakurang, seorang tokoh sesat yang memiliki pukulan beracun.

   Dengan pandangan menghina, dia mengawasi Ki Sangka Lelana.

    *** Ki Sangka Lelana terkejut melihat kemunculan manusia tinggi besar berkulit hitam legam bernama Sakurang.

   Disadari kalau kedua orang di hadapannya adalah tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi yang sangat ditakuti saat ini.

   Tetapi, sebagai seorang ketua, Ki Sangka Lelana tidak menampakkan kegentaran di wajahnya.

   "Kalau tidak salah, kau adalah Sakurang yang berjuluk Setan Hitam. Hm.... Agaknya kalian mendendam atas peristiwa lama. Kalau ingin membalas silakan mulai. Tidak perlu banyak cakap lagi!"

   Tantang Ki Sangka Lelana.

   "Hua ha ha...! Semakin tua ucapanmu jadi se-makin besar saja. Baiklah kalau kau sudah tidak sabar untuk berangkat ke neraka. Bersiaplah!"

   Balas Sakurang, mengejek. Baru saja satu sama lain siap menggebrak, sisa murid Perguruan Pondok Ungu yang berjumlah sepuluh orang segera bergerak kembali. Mereka langsung mengepung dua tokoh sesat itu.

   "Guru! Biar kami yang menghadapi mereka!"

   Seru salah seorang murid. Tanpa menunggu jawaban dari Ki Sangka Lelana, mereka bergerak menerjang dengan pedang terhunus. Menghadapi kesepuluh orang yang rata-rata mampu bergerak cepat, kedua tokoh sesat itu ha-nya menyeringai ganas.

   "Heaaa...!"

   Trang! Tring! Tongkat di tangan Kuntarawang, bersiutan melakukan gerakan melingkar untuk melindungi tubuhnya dari ancaman senjata pedang.

   Sedangkan tangan kirinya menyabet dengan sisi telapak tangan.

   Bahkan mencengkeram siapa saja yang berada terialu dekat dengannya.

   Kakinya pun tidak tinggal diam, selalu mengancam daerah kematian di tubuh lawan.

   Sementara manusia berkulit hitam legam yang berjuluk Setan Hitam tidak kalah hebat.

   Begitu para penyerangnya mendekat, kedua tangannya yang mengandung racun langsung menghentak.

   Melihat keselamatan muridnya terancam, Ki Sangka Lelana berkelebat cepat.

   Langsung dipa-paknya serangan Setan Hitam.

   Plak! "Mundur kalian! Biar yang satu ini kuhadapi.

   Kalian membantu yang lain saja! Cepat!"

   Teriak Ki Sangka Lelana.

   Saat itu juga, para murid Ki Sangka Lelana berhamburan, ikut membantu murid lainnya yang menghadapi Setan Bungkuk.

   Dengan menutup pernapasannya, Ketua Perguruan Pondok Ungu itu terus mendesak Sakurang alias Setan Hitam.

   Pedangnya membabat ke atas dan ke bawah, mencari lubang kelemahan.

   Bahkan gerakannya begitu cepat, bagaikan petir menyambar.

   Walaupun demikian, Sakurang masih dapat menghindari serangan dengan melompat-lompat ringan bagaikan kera.

   Dan Ki Sangka Lelana me-ngenalinya sebagai jurus 'Kera Mabuk'.

   Kadang kala, Setan Hitam harus bergulingan, sehingga membingungkan Ki Sangka Lelana.

   Lalu dengan gerakan cepat, dikeluarkannya kipas berwarna merah darah dari balik bajunya.

   Sret! Dengan kipas di tangan, Setan Hitam berhasil menghalau senjata di tangan Ki Sangka Lelana.

   Bahkan tiba-tiba tokoh sesat ini berkelebat sambil melancarkan totokan membahayakan, karena yang ditujunya adalah urat kematian.

   Belum lagi uap beracun yang dikeluarkan dari kibasan kipas merah.

   Jangankan terluka.

   Bila menghisap uap itu terlalu banyak pun dapat menimbulkan kematian! "Sheat!"

   Tang! Trang! Beberapa kali Setan Hitam dan Ki Sangka Lelana terjajar mundur ketika senjata satu sama lain beradu.

   Dari sini bisa terlihat kalau tenaga dalam keduanya tidak berselisih banyak.

   Sehingga pertarungan jadi berlangsung seru.

   Lengah sedikit, kematian akan menjemput.

   Tak heran kalau jurus-jurus andalan telah banyak dihamburkan.

   Tetapi sampai sejauh itu belum ada seorang pun yang terluka.

   Lain halnya Setan Bungkuk.

   Walaupun kepan-daiannya cukup tinggi, tapi bila seorang diri ternyata kewalahan juga menghadapi sepuluh murid Perguruan Pondok Ungu yang menyerang bagaikan gelombang laut.

   Untung saja tenaga dalamnya lebih tinggi.

   Sehingga untuk sementara, dia masih dapat bertahan.

   "Chiaaat!"

   Wuk! Wuk! Tongkat di tangan tokoh sesat itu berkelebat-an, melancarkan sebuah serangan mematikan.

   Putarannya demikian cepat sehingga desir anginnya terasa menyengat kulit.

   Dari tiap putaran, terkadang ujung tongkat itu mematuk-matuk ke jalan darah lawannya.

   Pada saat para pengeroyok terkejut dan terde-sak, Setan Bungkuk menempelkan bibir pada ujung tongkatnya.

   "Phuhhh...!"

   Wusss...! Begitu Kuntarawang meniup ujung tongkatnya, seketika meluncur uap beracun ke arah salah seorang pengeroyok yang tak menduga, hingga terhirup.

   Saat itu juga murid Perguruan Pondok Ungu ini merasa pandangannya gelap.

   Kepalanya kontan berdenyut-denyut.

   "He he he...! Racunku itu tidak ada obatnya, bersiaplah untuk mampus!"

   Seru Setan Bungkuk. Sambil berkata tubuh Kuntarawang melesat ke muka. Tongkatnya cepat menyodok dengan tenaga penuh. Crok! "Aaa...!"

   Tepat sekali ujung tongkat Kuntarawang me-ngenai dada lawannya.

   Tubuh murid ini kontan terguncang dan terdorong mundur.

   Sambil menekap dada, dia terbatuk-batuk.

   Setelah memuntahkan darah berwarna kehitaman, murid Ki Sangka Lelana ini ambruk.

   Kejadian itu hanya berlangsung sekejap.

   Sehingga yang lainnya tidak sempat mencegah.

   Dua orang murid lain, segera menolong dengan jalan menyalurkan tenaga dalam pada punggung dan bekas luka tersodok tongkat.

   Tetapi, semua usaha itu sia-sia belaka.

   Setelah memuntahkan darah kembali, tubuh murid yang terluka ini kelojotan sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.

   Melihat kematian salah seorang temannya bisa dibayangkan betapa marahnya murid-murid Perguruan Pondok Ungu.

   Sambil berteriak garang mereka menerjang Setan Bungkuk.

   Keduanya mengamuk tanpa mempedulikan keselamatan diri lagi.

   "Heaaa...!"

   "Haaa...!"

   Menghadapi amukan kesembilan murid itu, kembali Setan Bungkuk dibuat sibuk. Dia bertahan sambil sesekali melepas serangan. *** "Baiklah...! Kalian terlalu mendesak untuk mati secepatnya. Aku terpaksa harus menuruti keinginan kalian,"

   Desis Setan Bungkuk.

   Sehabis berkata, tubuh Kuntarawang bergetar keras.

   Tongkatnya seketika jadi puluhan jumlahnya.

   Ketika diputar tampak ujungnya jadi tak terhitung jumlahnya.

   Dari seluruh tubuhnya terdengar suara berkerotokan.

   Itu pertanda Setan Bungkuk telah mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncaknya.

   "Heaaat!"

   Sambil berteriak keras, Setan Bungkuk menerjang para pengeroyoknya.

   Begitu tangan kiri Setan Bungkuk disorongkan ke depan dua kali, maka dua rangkum angin pukulan keras bagaikan prahara segera menerjang.

   Dengan serentak para murid Ki Sangka Lelana menggabungkan tenaga, lalu menyorongkannya ke muka menyambuti serangan.

   Blarrr! "Uaarhgk!"

   Empat orang murid langsung jatuh bergulingan ke tanah. Sedangkan Setan Bungkuk hanya tergetar mundur dengan wajah pucat. Kemudian alisnya dikerutkan. Lalu....

   "Huahgk!"

   Dari mulut Kuntarawang menetes darah segar. Tampaknya Setan Bungkuk sendiri mendapat luka lumayan. Namun laki-laki berwajah buruk itu cepat menggunakan kesempatan. Segera ujung tongkatnya ditiup kembali.

   "Phuhhh...!"

   Terpaksa para murid Perguruan Pondok Ungu itu berloncatan menjauhi semburan zat beracun yang keluar dari ujung tongkat Setan Bungkuk.

   Pada saat yang sama Sakurang melihat kesempatan baik.

   Manusia berkulit hitam itu bagai kilat meloncat menjauhi Ki Sangka Lelana.

   Begitu dekat, tangannya menyebarkan racun ke arah para murid Ki Sangka Lelana.

   Tidak menyangka akan mendapat serangan licik tersebut, kesembilan murid itu hanya mampu menjerit.

   Seluruh kulit tubuh mereka bagaikan terbakar dan bagai ditusuki ribuan jarum begitu terkena sambaran racun Setan Hitam.

   Akibatnya, sembilan orang tampak bergulingan bagaikan ayam habis disembelih.

   Tak lama, mereka mengejang kaku dan tewas dalam keadaan kulit melepuh.

   Ki Sangka Lelana yang menyaksikan perbuatan licik itu jadi kalap.

   Dengan seluruh kemampuan yang dimiliki diterjangnya Setan Hitam.

   Pedang di tangannya berkelebatan, bagaikan kunang-kunang mengitari api.

   Sambil berloncatan, Sakurang berkali-kali mengebutkan kipas merahnya.

   Asap tipis berbau amis berwarna kemerahan segera menerjang Ki Sangka Lelana.

   Jelas, asap tipis itu mengandung racun jahat.

   "Aiiit!"

   Untuk menghindari serangan, Ki Sangka Lelana melenting ke udara seraya berjumpalitan beberapa kali.

   Begitu sampai di tanah dia sudah dalam keadaan siap kembali membuka jurus baru yang merupakan andalan Perguruan Pondok Ungu.

   Jurus 'Ular Mematuk Mangsa' yang disertai tenaga dalam penuh! Suara pedang Ki Sangka Lelana mengaung dahsyat.

   Yang diincarnya adalah ulu hati Setan Hitam.

   Tetapi sambil memiringkan tubuh, Sakurang berhasil mengelakkan serangan.

   Bahkan kipas merahnya yang dirapatkan, mendadak menotok ke arah tenggorokan.

   Sedangkan kakinya melepas tendangan beruntun ke arah kepala.

   "Chiaaat!"

   Sambil membuang diri ke belakang, Ki Sangka Lelana menangkis serangan dengan gerakan sulit dan manis.

   Plak! Plak! Begitu terjadi benturan, Ketua Perguruan Pondok Ungu ini mengempos tubuhnya, melenting ke atas.

   Dan sambil berjumpalitan, pedangnya me-nyambar ke arah kepala Setan Hitam.

   Sakurang cepat mengelak dengan membuangdiri ke belakang.

   Namun baru saja menjejak tanah Ki Sangka Lelana telah melesat sambil membabat pinggang dengan kakinya.

   "Sheat!"

   Whuuut! Bagai kilat, Setan Hitam melompat ke atas.

   Tetapi serangan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja.

   Ke mana pun Sakurang mengelak Ki Sangka Lelana selalu membuntutinya.

   Merasa kalau menghindar terus bakal kedo-doran, Setan Hitam segera mengembangkan kipasnya.

   Wuuut...! Kipas Merah itu segera dikebutkan berkali-kali.

   Angin keras berhawa racun jahat dari kebutan kipas itu menerjang Ketua Perguruan Pondok Ungu bagaikan angin raksasa.

   Ki Sangka Lelana terpaksa menghentikan serangannya.

   Tubuhnya cepat melenting ke belakang, kalau tak mau menghirup asap beracun.

   Sekitar lima tombak dia mendarat manis di tanah.

   "He he he...! Sangka Lelana! Jangan harap kau dapat mengalahkan aku! Lebih baik habisilah dirimu sendiri...! Atau biar aku sendiri yang melakukannya...!"

   Ejek Setan Hitam.

   "Huh...! Jangan harap akan semudah itu dapat mengalahkan aku! Manusia keparat! Bersiaplah untuk mampus...!"

   Dengus Ki Sangka Lelana dengan mata merah membara.

   Bentakan Ketua Perguruan Pondok Ungu disusul oleh tubuhnya yang berkelebatan sambil melepas serangan pedang yang laksana gelombang laut.

    *** Setan Bungkuk yang sejak tadi memperhatikan pertarungan, kini ingin cepat-cepat menyelesaikan masalahnya.

   Begitu melihat Ki Sangka Lelana menerjang Setan Hitam, pada saat yang sama dia berkelebat masuk dalam kancah pertarungan.

   Mendapat keroyokan dua manusia sesat yang berilmu tinggi, Ketua Perguruan Pondok Ungu jadi terdesak.

   Terutama menghadapi racun dari manusia berkulit hitam berjuluk Setan Hitam.

   Tanpa setahu orang-orang yang bertarung, dari balik sebuah batu besar dua pasang mata tengah memperhatikan semua kejadian itu dengan pandangan geram.

   Yang seorang adalah pemuda tanggung berwajah tampan.

   Sedangkan yang seorang lagi juga gadis tanggung berwajah cantik.

   Rambutnya dikuncir dua ke belakang.

   Gadis cantik itu tampak meronta.

   Dia berusaha untuk ikut dalam kancah pertarungan.

   Bahkan pedang pendeknya sudah dicabut.

   Sementara, sejak tadi air matanya sudah tak terbendung lagi.

   "Uuu.... Uuh!"

   Gadis muda itu melenguh, mengeluarkan suara di hidung.

   "Tenanglah, Puspita Dewi...! Jangan berbuat yang tidak-tidak. Semua tindakan sembrono akan menimbulkan pengorbanan sia-sia. Tenanglah! Aku juga bukan orang yang takut mati! Tetapi, kalau kita semua mati, siapa yang akan menuntut balas kelak...? Saat ini, kita bukan tandingan mereka. Kita tunggu saja beberapa tahun lagi! Ingadah. Ayahmu, adalah guruku pula. Jadi sudah kewajibanku pula untuk menuntut balas!"

   Cegah pemuda tanggung ini sambil berbisik perlahan.

   "Auuh.... Uuukh...!"

   Kembali gadis itu memperdengarkan suara di hidung.

   "Bangsat! Kau memang seorang gadis pintar! Mari kita perhatikan lagi jalannya perkelahian ayahmu. Ingat, walau apa pun yang terjadi, kita jangan menampakkan diri!"

   Tegas pemuda itu.

   "Shat!"

   Sementara itu sambil berteriak keras, Setan Hitam merangsek maju, hendak mencengkeram dada Ketua Perguruan Pondok Ungu.

   Namun serangannya berhasil dielakkan Ki Sangka Lelana dengan mengegos ke kiri.

   Sambil menggeram marah, tokoh sesat itu menyambar kipas merah di tangan kanannya, hendak menotok pelipis disertai tenaga dalam penuh.

   Namun sambil merendahkan tubuhnya, Ki Sangka Lelana cepat menusukkan pedangnya ke perut Sakurang.

   "Huaet!"

   Sebelum serangan Ketua Perguruan Pondok Ungu mengenai sasaran, pada saat itu Setan Bungkuk telah menyerang punggung dengan tongkat.

   Terpaksa Ki Sangka Lelana berbalik, seraya menangkis dengan pedangnya.

   Setelah berhasil menangkis, pedang Ki Sangka Lelana diputar sambil membabat kaki.

   "Hup!"

   Bagai udang, tubuh Setan Bungkuk melenting ke udara sambil mengirimkan tendangan ke arah kepala.

   Namun dengan gerakan cepat pedang di tangan Ketua Perguruan Pondok Ungu membabat kaki Setan Bungkuk.

   Mau tak mau, laki-laki ber-nama Kuntarawang itu menarik kakinya kalau tidak ingin terbabat buntung.

   "Yeaaat!"

   Pada saat yang bersamaan Setan Hitam telah mencelat melepas tendangan terbang berisi tenaga dalam penuh. Gerakannya cepat bukan mcun. Sehingga... Duk! "Aaakh...!"

   Telak sekali pundak Ki Sangka Lelana kena hajar tendangan Sakurang. Bahkan ketika tubuh Ketua Perguruan Pondok Ungu itu terjajar maju, Setan Hitam telah mengebutkan kipas merahnya yang beracun ke punggung. Dess...! "Aaakh...!"

   Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Ki Sangka Lelana kembali terlempar ke muka dan mencium tanah.

   Namun secepat itu pula, dia berjumpalitan ke muka untuk menghindari serangan susulan.

   Tetapi kedua tokoh sesat itu tidak mau mele-paskannya begitu saja.

   Dengan cepat mereka memburu.

   "Heaaat!"

   "Wuaeee!"

   Sebelum Ki Sangka Lelana berbalik, sebuah kebutan kipas merah milik Setan Hitam berhasil menghajar telak iganya.

   Desss...! Belum sempat Ketua Perguruan Pondok Ungu mempersiapkan diri, sebuah tendangan geledek Setan Bungkuk menghantam dada.

   Desss...! "Aaakh...!"

   Ki Sangka Lelana jatuh bergulingan di tanah. Darah segar menggelogok keluar dari mulutnya. Wajahnya tampak pucat. Jelas, dia mendapat luka dalam yang tidak ringan. Namun dengan semangat membara, laki-laki tua ini berusaha bangkit berdiri.

   "Sheat!"

   Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga, Ki Sangka Lelana meluruk ke depan sambil melepas tendangan.

   Namun, tendangannya cepat ditangkis dengan tongkat Setan Butigkuk.

   Digkh! Sementara Setan Hitam membarengi dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat.

   Wuttt! Desss...! "Aaa...!"

   Ki Sangka Lelana kontan ambruk dengan punggung tertera gambar telapak tangan berwarna hitam legam. Orang tua itu berusaha bangkit dengan napas terengah-engah. Tetapi sebelum maksudnya tercapai, tubuhnya ambruk kembali dengan jiwa melayang.

   "Ha ha ha...! Hutangku telah terbayar lunas! Tua bangka itu telah mampus di tanganku!"

   Teriak Setan Bungkuk sambil tertawa kegirangan. Sedangkan Setan Hitam, turut tertawa keras. Sementara gadis bernama Puspita Dewi yang bersembunyi tampak meronta dengan sekuat tenaga. Dia berusaha menerjang kedua tokoh sesat itu.

   "Uuu.... Ugkh...!"

   "Hei...! Mau ke mana kau...?! Diamlah! Jangan gila-gilaan, Puspita! Kita dapat terbunuh sia-sia semuanya...!"

   Seru pemuda di sampingnya sambil menarik tangan gadis itu.

   "Heh?!"

   Tetapi ternyata suara yang perlahan dapat terdengar kedua tokoh sesat yang berhati kejam itu.

   Dengan serentak, mereka menoleh dan menghampiri ke arah datangnya suara.

   Tentu saja, hati kedua anak muda itu jadi bergetar.

   Keduanya bingung, apa yang hendak dila-kukan sekarang? Sementara, kedua tokoh sesat itu semakin dekat saja...

    *** Karena tidak ada jalan lain, Puspita Dewi dan pemuda di sampingnya segera meloncat dan melarikan diri.

   "Heh?!"

   "Berhenti...!"

   Kuntarawang dan Sakurang terkejut, melihat yang melarikan diri ternyata sepasang anak muda tanggung. Mereka berteriak menyuruh berhenti, tapi kedua anak muda itu tak menggubrisnya.

   "Kejar...! Jangan sampai lolos.... Mereka dapat membahayakan kita kelak di kemudian hari...!"

   Seru Setan Bungkuk, seraya mengejar mendahului temannya.

   "Itu dia.... Mereka menuju daerah pekubur-an...!"

   Teriak Setan Hitam sambil melesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menyusul Setan Bungkuk.

   Melihat kedua tokoh hitam yang kejam itu tidak mau melepaskan, kedua anak muda yang sudah kalap itu semakin menambah kecepatan.

   larinya.

   Yang ditujunya sebenarnya daerah terlarang pada Perguruan Pondok Ungu.

   "Hei...! Ini daerah terlarang bagi perguruan itu!"

   Seru Setan Bungkuk sambil menghentikan larinya, diikuti Setan Hitam.

   "Apa yang ditakuti...? Ayo kejar terus. Atau, kita menyimpan penyakit yang dapat membunuh kita kelak...!"

   Sergah Sakurang.

   Mereka segera mengejar kembali.

   Tetapi, yang dikejar sudah tidak tampak lagi.

   Sakurang segera melompat ke atas pohon yang cukup tinggi.

   Dari sana, pandangannya diarahkan ke empat penjuru.

   Dan usahanya tidak sia-sia.

   Tampak olehnya dua sosok tubuh kecil berlari cepat ke arah pekuburan yang paling besar, menempel pada dinding gunung.

   "Mereka berlari ke arah kuburan yang palingtua...! Cepat kita kejar, jangan sampai kehilangan jejak!"

   Seru Setan Hitam sambil turun dari pohon, dan melesat mengejar. Tindakannya diikuti Setan Bungkuk. *** "Ayo percepat larimu, Puspita. Jangan sampai terkejar mereka...! Karena, kitalah kelak yang harus membalaskan sakit hati ini!"

   Pemuda yang berlari bersama Puspita Dewi memberi semangat sambil menarik tangan gadis itu.

   Begitu sampai di pintu kuburan paling besar yang berupa mulut gua, kedua anak muda itu langsung masuk.

   Keduanya tidak peduli apa yang akan terjadi.

   Yang penting saat ini, dapat meloloskan diri dari kejaran kedua manusia kejam di belakang.

   "Keparat! Setan cilik itu masuk ke dalam gua kuburan itu! Sepanjang yang kutahu, kuburan ini sangat terlarang bagi umum! Bahkan bagi murid Perguruan Pondok Ungu sendiri!"

   Rutuk Setan Bungkuk.

   "Lalu, apa yang harus kita lakukan...? Apakah kita harus kembali dengan tangan hampa. Bahkan membiarkan mereka tumbuh dewasa untuk membalas dendam pada kita...?"

   Tukas Setan Hitam.

   "Baiklah! Mari kejar sampai ke dalam. Aku mau lihat, apa yang akan terjadi nanti!"

   Ujar Setan Bungkuk. Seraya mempersiapkan tenaga dalamnya, Setan Bungkuk menerjang ke dalam. Perbuatannya diikuti Sakurang. Tetapi begitu tubuh mereka masuk ke dalam.... Wuesss...! "

   Mendadak serangkum angin dahsyat meluruk, menghajar kedua tokoh sesat itu.

   "Wuaaa...!"

   "Aaakh...!"

   Bagaikan layangan putus, kedua tokoh sesat ini melayang keluar dari dalam gua.

   Dengan ke-heranan mereka merayap bangkit dengan pandangan menatap ke dalam gua.

   Lalu satu sama lain saling pandang dan mengangguk.

   Secepat itu pula, mereka menerjang kembali dengan tenaga dalam penuh.

   Wuesss! Kembali sebuah tenaga tidak terlihat menerpa dari dalam.

   Tanpa dapat ditahan lagi, kedua tokoh sesat yang ditakuti di kalangan persilatan itu terpelanting keluar, dan jatuh bergelindingan di atas tanah berdebu.

   Napas mereka terasa sesak dengan dada terasa sakit sekali.

   "Hei! Apakah di dalam sana ada hantu...?!"

   Tanya Setan Bungkuk penasaran, seperti untuk diri sendiri. 'Tidak masuk akal! Tenaga gabungan kita berdua, seakan-akan amblas ke dalam bumi!"

   Sahut Sakurang.

   "Mari kita tinggalkan tempat ini untuk sementara. Biar kelak kita kembali lagi!"

   Ajak Setan Bungkuk sambil berbalik.

   Lalu tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu diikuti Setan Hitam.

   Dalam waktu singkat saja, tempat itu telah sepi dan hening kembali.

    *** Sementara itu, Puspita Dewi dan pemuda yang menemaninya telah memasuki gua kuburan yang dingin dan menyeramkan.

   Namun mereka tidak memikirkan apa-apa lagi, yang penting selamat.

   Lorong pekuburan itu gelap sekali.

   Tempat ini memang lebih tepat disebut gua, karena tidak tampak kuburan sama sekali.

   Namun kedua anak muda itu terus merayap maju, sambil berpegangan tangan.

   Semakin ke dalam ruangan semakin luas.

   Sesaat kemudian, mereka melewati sebuah ruangan besar, tetapi gelap gulita.

   Dari dalam ruangan terasa ada angin dingin yang menebar keluar.

   Tanpa terasa tubuh mereka jadi gemetar sambil menatap ke dalam ruangan.

   Tetapi, semuanya gelap.

   Tidak tampak adanya suatu kehidupan dalam ruangan ini.

   "Uuu.... Aaah.... Uaaah...!"

   Puspita Dewi memperdengarkan suara di hidung sambil berpegangan erat pada pemuda di sampingnya.

   "Kau takut, Puspita...? Aku juga takut. Tetapi selama ada aku tidak akan ada yang kubiarkan mencelakaimu... Percayalah!"

   Tegas pemuda itu meyakinkan Puspita Dewi.

   Sambil berkata, keduanya bermaksud melanjutkan perjalanan.

   Tetapi, dari dalam gua kembali berdesir angin dingin.

   Tanpa terasa, tubuh mereka jadi gemetar.

   Ketika mereka memaksa hendak maju ke dalam, hawa dingin yang berasal dari dalam lorong lain di sebelah, seolah-olah ada daya hisap kasat mata yang menarik mereka ke dalam.

   Keduanya berusaha menahan tarikan, tetapi sia-sia.

   Bahkan tenaga keduanya seakan amblas.

   Sehingga, mereka tidak berdaya menahan tarikan berhawa dingin itu.

   "Uuu.... Uuuh...!"

   Lenguh gadis itu sambil mempererat pegangannya pada lengan pemuda di sampingnya.

   "Aaakh! Angin apa ini...? Mengapa daya tarik-nya begitu kuat. Dan, aku tidak berdaya menahannya...!"

   Keluh pemuda itu.

   Mereka berdua terus tertarik dan terseret ke dalam.

   Semakin ke dalam, ruangan itu jadi semakin luas.

   Puspita Dewi dan pemuda itu, terbanting ke sana kemari.

   Kulit tubuh mereka banyak yang luka.

   Tetapi mereka berdua tidak melepaskan pegangan.

   Blug! Kedua anak muda itu terbanting keras pada ruangan yang bersih dan terang.

   Cahaya itu berasal dari lubang yang menembus ke samping gunung di belakang.

   Dengan tubuh terasa sakit, mereka merayap bangkit dari atas tanah dengan pandangan mengawasi ke sekeliling ruangan.

   Dan pandangan itu terhenti pada sesosok tubuh tua renta berwajah bersih.

   Rambutnya putih menjuntai sampai ke pundaknya.

   Pakaiannya sudah compang-camping.

   Usianya juga sulit diterka.

   Hanya pandangan matanya bersinar tajam, menusuk bagi siapa saja yang memandangnya.

   "Siapakah kalian ini...? Mengapa berani memasuki tempat terlarang ini...?!"

   Tanya sosok tua itu dengan suara berat.

   "Namaku Bima Sena. Dan temanku ini adalah Puspita Dewi, putri guruku yang bernama Ki Sangka Lelana!"

   Jawab pemuda tanggung itu seraya menjura hormat.

   "Uuuh.... Auuu...!"

   Puspita Dewi mencoba memberi penjelasan.

   "Hm! Agaknya temanmu tidak dapat berbicara. Apakah terjadi sejak kecil...?!"

   Tanya orang tua berpakaian compang-camping.

   "Benar, Eyang.... Aku teman bermainnya sejak kecil!"

   Sahut pemuda tanggung bernama Bima Sena, lugu.

   "Jadi kau murid Perguruan Pondok Ungu...? Dan gadis ini putri Sangka Lelana? Mengapa Sangka Lelana tidak mengatakan kalau tempat ini terlarang bagi umum. Bahkan bagi murid Perguruan Pondok Ungu sendiri...?!"

   Tanya orang tua itu kembali bertanya dengan pandangan mata tajam.

   Bima Sena segera menceritakan apa yang telah terjadi pada Perguruan Pondok Ungu.

   Mendengar kejadian itu, alis orang tua ini tampak bertautan.

   Pada matanya terlihat sinar berapi.

   Tetapi, itu hanya sejenak.

   Kemudian berubah seperti biasa lagi.

   "Jadi dua orang tadi yang telah memporak-po-randakan Perguruan Pondok Ungu...?"

   Tanya orang tua itu ingin meyakinkan sambil mengepalkan tinjunya.

   "Benar, Eyang!"

   Sahut Bima Sena, pendek.

   "Hm.... Aku sudah tua. Dan, tidak mungkin berkeliaran lagi dalam dunia persilatan! Biarlah tugas ini kalian berdua yang memikulnya. Dan kalian berkewajiban mengamankan dunia persilatan dari setiap angkara murka. Tugas kalian berat sekali. Kelak, kalian harus mengangkat kembali nama baik Perguruan Pondok Ungu. Soal dendam, itu tanggung jawab kalian, asal jangan membabi buta...,"

   Papar orang tua itu memberi penerangan.

   "Semua petunjuk Eyang, akan kami perhatikan dengan baik,"

   Jawab Bima Sena sambil menundukkan kepala.

   "Bagus! Oleh karena itu, kalian harus belajar dan berlatih keras di sini! Aku ini masih terhitung kakek gurumu sendiri! Namaku Aria Pamuji. Hampir tujuh belas tahun aku mundur dari dunia persilatan, sampai akhirnya membuat larangan untuk tidak memasuki tanah pekuburan ini. Larangan itu kusampaikan pada guru kalian, Sangka Lelana untuk ditujukan pada umum, sampai murid Perguruan Pondok Ungu. Maksud tujuanku hanyalah, agar pengasinganku ke sini tidak terganggu oleh pengaruh dunia luar. Sejak itu tidak ada yang berani masuk ke tempat ini. Dan baru kalian berdualah yang kuizinkan masuk ke sini dalam keadaan hidup. Inilah juga karena kalian masih kecil. Maka mulai saat ini kalian tinggal di tempatku. Namun kalian tidak kuizinkan keluar sebelum memenuhi syarat dalam hal kepandaian maupun ilmu olah kanu-ragan."

   "Baik, Eyang. Kami akan belajar sepenuh hati...!"

   Tandas Bima Sena! Sementara, Puspita Dewi menyetujui dengan mengeluarkan suara yang hanya dapat dimengerti Bima Sena seorang.

   Mulai saat itu juga kedua anak muda ini tinggal dalam gua kuburan untuk dididik berbagai ilmu olah kanuragan.

    *** Sekian lama Bima Sena dan Puspita Dewi tinggal, baru tahu kalau gua dalam kuburan itu tembus ke lamping gunung di belakangnya.

   Pada lamping gunung itu terdapat dataran luas yang banyak ditumbuhi pohon buah segar dan enak dimakan.

   Maka walaupun tidak keluar dari gua, mereka tidak takut kekurangan makanan.

   Di tempat itulah Bima Sena dan putti Ki Sangka Lelana dilatih secara keras.

   Dan Eyang Aria Pamuji memang termasuk sesepuh Perguruan Pondok Ungu yang terkenal keras dalam melatih murid-muridnya.

   Kepandaiannya sudah sulit dicari tandingannya lagi.

   Usianya lebih dari sembilan puluh tahun.

   Tak heran kalau orang harus berpikir seratus kali bila ingin berurusan dengannya.

   Bima Sena dilatih tenaga dalam yang dibarengi dengan pengolahan pernapasan.

   Pada mulanya pemuda itu merasa kepalanya pening dan berdenyut keras.

   Darah di tubuhnya seakan mengalir ke arah kepala.

   Pandangannya gelap dan ribuan bintang seakan-akan menari di sekelilingnya.

   Pada puncak daya tahannya, Bima Sena jatuh pingsan.

   Aria Pamuji kemudian segera merawat pemuda itu.

   Dijejalinya obat pulung ke dalam mulut Bima Sena.

   Tidak memakan waktu lama, pemuda itu telah sadar dari pingsannya.

   Napasnya tampak terengah-engah dan memburu.

   "Atur napasmu perlahan-lahan. Jangan seperti kerbau habis membajak sawah...!"

   Ujar orang tua itu.

   Latihan selanjutnya adalah memukul tulang kering kaki Bima Sena dengan dahan kering.

   Pemuda itu hanya dapat meringis, sambil menahan sakit.

   Aria Pamuji memang sangat keras dalam melatih.

   Bila terjadi kesalahan, pukulanlah yang akan didapat Bima Sena.

   Begitu juga yang dialami Puspita Dewi.

   Dalam berlatih ilmu meringankan tubuh, gadis ini ditempa dengan keras.

   Untungnya selain memiliki tenaga kuat, gadis gagu yang cantik ini mempunyai semangat tinggi.

   Pelajaran ilmu pedang yang hampir lenyap dari dunia persilatan, dengan suka rela dan kesadaran penuh dia telah berlatih.

   Ki Aria Pamuji mengawasi mereka berlatih dengan senyum bangga.

   Diam-diam dia mengakui kekerasan hati kedua anak muda mudi itu.

    *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .

   178.

   Satria Pondok Ungu ~ Bag.

   4-6 12.

   MArz 2015 um 02.16 Dua orang yang masing-masing bertubuh bungkuk dan berkulit hitam legam, berjalan dalam lorong batu yang panjang dan lembab.

   Hawa dalam lorong itu sangat dingin dan menusuk tulang.

   Bahkan sampai terasa ke dalam sumsum.

   Namun kedua orang tua yang tak lain Setan Bungkuk dan Setan Hitam terus berjalan seakan tidak merasakan hal itu.

   "Sakurang! Sesaat lagi kita akan sampai!"

   Kata Setan Bungkuk.

   "Benar! Kita harus berlatih bersama untuk dapat mengalahkan manusia dalam lubang kuburan di daerah terlarang Perguruan Pondok Ungu!"

   Sahut Sakurang.

   Kedua tokoh sesat itu terus berjalan menuju ujung lorong batu yang berhawa dingin.

   Sesampainya di ujung lorong, terdapat jalan yang bercabang dua.

   Mereka berdua mengambil jalan ke arah kiri.

   Sesaat kemudian, keduanya sampai di ujung lorong yang ternyata merupakan sebuah lapangan luas, lengkap dengan daun dan lebatnya pohon buah-buahan yang dapat dimakan.

   Ternyata, kedua tokoh itu kini berada dalam jurang yang cukup menyulitkan kalau ditempuh dari atas.

   Selain tebingnya terlalu curam, juga khawatir akan ular-ular berbisa.

   Di tempat itu, kedua manusia sesat ini berlatih keras.

   Setelah menyatroni gua di pekuburan Pondok Ungu, orang yang tidak tampak dalam lorong gua itu.

   Betapa tidak? Orang tak nampak itu berhasil melemparkan mereka sampai dua kali! Kuntarawang yang bertubuh bungkuk, berlatih ilmu tongkat dan ilmu racun merah yang menjadi andalannya.

   Sedangkan Sakurang memperdalam ilmu tangan kosong dan racun yang dikuasainya.

   Setan Hitam tidak takut kekurangan racun, karena dalam lorong yang sebelah kanan pada jalan yang dilaluinya, terdapat berbagai jenis binatang berbisa yang mematikan.

    *** Tanpa terasa, sudah tiga tahun Setan bungkuk dan Setan Hitam berlatih di tempat itu.

   Sehingga tenaga dalam maupun ilmu racun mereka jadi bertambah kuat.

   Bila merasa lapar, mereka dapat mengambil ikan dari dalam danau.

   Atau, buah segar yang ba-nyak tumbuh di pohon.

   Kadang kala, keduanya berlatih tanding bersama.

   Hasilnya sangat menga-gumkan.

   Banyak pohon tumbang dan batu gunung yang keras hancur terhajar pukulan maupun tendangan kedua tokoh sesat itu.

   "Hait!"

   "Yeaaat!"

   Blarrr! Akibat benturan tenaga yang kuat, satu sama lain terlempar mundur.

   Dengan terkejut, Sakurang bersalto beberapa kali di udara.

   Lalu sampai di atas tanah ternyata keadaannya tak kurang suatu apa.

   Demikian pula halnya Setan Bungkuk.

   Melihat hasil yang mengagumkan, kedua tokoh sesat ini tertawa jumawa.

   Suara tawa mereka menggema dalam jurang ini.

   "Ha ha ha...! Kurasa sekarang kita tidak perlu khawatir lagi pada manusia penghuni kuburan tua itu...!"

   Seru Kuntarawang.

   "Benar! Mana mungkin dia melatih bocah cilik itu jadi pendekar yang melebihi kita...? Walaupun kepandaiannya setinggi langit, tidak masuk akal kalau mampu menyulap bocah itu jadi pendekar yang mampu menandingi kita yang telah berusia lanjut ini...?!"

   Tukas Sakurang santai, sambil ter-senyum penuh kebanggaan.

   "Tangan racun merah dan ilmu tongkatku sudah mencapai taraf sempurna. Aku tidak gentar lagi menghadapi mereka!"

   Tandas Setan Bungkuk, sombong.

   "Aku juga telah berhasil mengumpulkan dua mangkuk cairan beracun yang terdiri dari berbagai jenis binatang berbisa. Tengah malam nanti, cairan itu akan kesedot ke dalam kedua tanganku. Setelah itu, kita akan keluar membuat perhitungan pada manusia dalam lorong kuburan tua itu! Lagi pula, aku telah berhasil mengumpulkan berbagai jenis binatang berhisa dalam kantungku!"

   Jelas Setan Hitam.

    *** Malam telah tiba tanpa terasa.

   Purnama bersinar penuh, hingga di tengah lapangan tempat kedua tokoh sesat itu berlatih, tampak terang benderang.

   Sakurang yang berkulit hitam legam tampak berkilat dalam cahaya rembulan yang bersinar penuh.

   Tiba-tiba, awan hitam bergulung-gulung dan menutupi rembulan.

   Dalam cuaca yang seperti itu, tempat mereka berlatih berubah jadi gelap gulita.

   Tetapi, semua itu tidak membuat Sakurang menghentikan latihannya.

   Dua mangkuk tanah tampak di hadapannya.

   Dalam kegelapan yang mencekam, tampak manusia berkulit hitam itu menggerakkan tangan dengan jurus-jurus tertentu.

   Lalu tubuhnya berjumpalitan, dan jatuh duduk tepat di hadapan mangkuk yang terisi cairan beracun.

   Perlahan-lahan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam mangkuk.

   Cairan dalam mangkuk nampak bergerak-ge-rak.

   Tak lama berbusa dan kemudian mendidih, shingga warnanya berubah jadi merah kehitaman.

   Dan perlahan-lahan, cairan itu tersedot habis ke dalam kedua tangannya.

   Setelah kejadian itu, wajah Setan Hitam berubah gelap.

   Dan dahinya tampak berkerut-kerut seperti menahan sakit.

   Kemudian, manusia hitam itu mengeluarkan obat cairan berwarna merah.

   Segera dibalurkannya obat itu pada kedua tangan.

   Kemudian, Sakurang mengambil sikap semadi sambil mengatur jalan napas dan tenaga dalam untuk menguasai racun yang terserap dalam tangannya.

   Lambat laun, Sakurang berhasil mengumpulkan semua racun dalam tangannya.

   "Kuntarawang! Sekarang kita telah berhasilmenyempurnakan kepandaian kita! Sangka Lelana telah berhasil kita binasakan. Kini, muncul persoalan baru, kita harus melenyapkan kedua bocah ingusan itu dulu!"

   Kata Setan Hitam, ketika telah selesai dengan latihannya dan menghampiri Setan Bungkuk yang duduk memperhatikan.

   "Ya...! Hampir empat tahun kita mengurung diri sambil berlatih. Maka, berarti bocah itu bukan seperti dulu lagi. Keduanya pasti telah bembah jadi seorang pemuda dan pemudi yang telah dewasa. Dan walau bagaimana, kita jangan terlalu memandang ringan padanya. Buktinya dua kali kita menggabungkan tenaga, tetap saja tidak berhasil menerobos masuk! Itu suatu pertanda manusia yang berada dalam lorong kuburan, tidak bisa dianggap sembarangan. Dia pasti seorang tokoh sakti yang telah mengasingkan diri. Atau jangan-jangan, si Aria Pamuji yang mempakan sesepuh Perguruan Pondok Ungu yang telah mengasingkan diri...,"

   Kata Kuntarawang, memberi penjelasan sambil menduga-duga.

   "Bisa jadi.... Siapa tahu bocah itu juga telah mendapat pelajaran yang tinggi dari tua bangka itu...,"

   Sahut Sakurang agak menggeram.

    *** Di pagi yang masih terbalut kabut, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda.

   Tampak enam ekor yang dipacu kencang oleh penunggangnya.

   Dari pakaian, terlihat jelas kalau keenam penung-gang kuda itu adalah para perwira Kerajaan Sekar Kuning.

   Di pinggang masing-masing tergantung pedang tajam yang warangkanya dihias indah.

   Mendadak kuda-kuda tinggi besar itu terhalang oleh dua sosok tubuh yang enak-enakan berjalan berlawanan di tengah, pada jarak sekitar dua puluh tombak.

   Anehnya, kedua sosok itu tidak menepi atau menyingkir.

   Mereka malah berjalan terus ke arah kuda yang berlari bagaikan dikejar setan.

   "Heya!" "Heyaaa!"

   Ctar! Ctar! "Hei.... Minggir kalian...! Apakah kalian sudah bosan hidup, berani menghalangi jalan kami...?!"

   Bentak salah seorang perwira kerajaan, seraya menghentikan lari kuda diikuti yang lain, setelah berada pada jarak dua tombak.

   "Eh.... Bukankah mereka Kuntarawang dan Sakurang...?!"

   Seru seorang prajurit lainnya.

   Baru saja kata-kata mereka terhenti, mendadak salah satu sosok yang memang Sakurang alias Setan Hitam melemparkan sesuatu.

   Benda merah itu tepat menempel pada salah satu kuda tunggangan perwira.

   Ternyata, benda itu adalah seekor kelabang merah yang sangat beracun.

   Maka kontan kelabang merah itu menyengat kuda ini.

   Ctot! "Hieee...! leee...!"

   Saat itu juga, kuda ini jadi berjingkrakan.

   Walau penunggangnya berusaha menahan, tetap saja terlempar dari punggung kuda yang besar dan kuat.

   Untung saja, dia masih dapat berjumpalitan dari atas kudanya, dan mendarat manis di tanah.

   Begitu kuda itu jatuh, langsung kelojotan sejenak.

   Baru kemudian, diam dan mati kaku dengan kulit berwarna kehitaman.

   Dapat dibayangkan, betapa jahatnya racun yang digunakan Sakurang.

   Sementara di sebelahnya, sosok satunya yang tidak lain Kuntarawang hanya tersenyum dingin.

   "Heaaat!"

   Ctar! Salah seorang perwira Kerajaan Sekar Kuning yang menyaksikan kekejaman Setan Hitam itu segera mengayunkan cambuk ke arah Sakurang.

   Tetapi, sambil tertawa mengejek Setan Hitam melompat ke samping.

   Bersamaan dengan itu, tangannya kembali mengayunkan beberapa benda ke arah kuda tunggangan mereka.

   Ser! Ser! Ser! Saat itu juga beberapa kelabang merah melekat di tubuh kuda tunggangan para perwira.

   Kembali kuda tunggangan itu meringkik keras setelah tersengat.

   Tanpa memakan waktu lama, kuda-kuda itu berjatuhan dalam keadaan binasa.

   Sementara semua penunggangnya telah berlompatan turun.

   "Hait!" 'Yeat!"

   Kini enam perwira Kerajaan Sekar Kuning memandang tajam ke arah kedua tokoh sesat yang sering membuat onar.

   Bukan saja terhadap dunia persilatan.

   Bahkan terhadap Gusti Prabu Jayasena, Penguasa Kerajaan Sekar Kuning.

   Sehingga, mereka jadi buronan yang dicari pihak kerajaan untuk menerima hukuman.

   Tetapi, kepandaian kedua tokoh sesat ini sudah begitu tinggi.

   Sehingga para prajurit kerajaan banyak yang celaka dan binasa di tangan mereka.

   Bahkan saat ini, menghadapi para perwira kerajaan yang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tinggi, keduanya hanya tertawa-tawa penuh ejekan dan memandang rendah.

   "Huh...! Ternyata setelah sekian tahun tidak muncul, keganasan kalian tidak pernah berubah! Bahkan semakin menjadi-jadi! Sekarang, terimalah kebinasaan kalian...!"

   Bentak salah seorang perwira.

   "He he he...! Dengan jumlah kalian yang ber-enam, mau melawan kami...? Coba sajalah! Kalian akan segera kami berangkatkan ke neraka menyusul teman-teman kalian yang telah mendahului...!"

   Ejek Kuntarawang, sambil mencibirkan bibirnya.

   "Keparat... Kubunuh kau...!"

   Bentak seorang perwira kerajaan.

   Sring! Suutt...! Pedang-pedang berkilat yang saking tajamnya berkelebatan ke arah leher Kuntarawang.

   Tetapi, Setan Bungkuk seolah tidak mengacuhkan serangan.

   Barulah setelah dekat benar, serangan itu dielakkan dengan jalan memiringkan kepala.

   Lalu dengan gerakan cepat, dicengkeramnya dada salah seorang perwira.

   Sebelum perwira itu berontak, telapak tangan kiri Setan Bungkuk menghantam perut sambil mengerahkan ilmu 'Racun Merah'.

   Desss...! "Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat dari mulut perwira kerajaan itu.

   Tubuhnya kontan terlempar.

   Begitu jatuh di tanah jiwanya melayang dengan perut tertera gambar telapak tangan berwarna merah darah.

   "He he he...! Ayo mana lagi yang lainnya...?!"

   Ejek Kuntarawang, pongah.

   "Bangsat! Mari kita adu jiwa!"

   Teriak salah seorang perwira. Saat itu juga kelima perwira itu mencabut pedang masing-masing. Sementara Sakurang dan Kuntarawang tertawa tergelak-gelak dengan pandangan menghina.

   "Heaaa...!"

   Diiringi teriakan membahana bagai hendak membelah langit, kelima prajurit itu serentak menerjang sambil menyabetkan pedang masing-masing.

   Trang! Trang! Serangan pedang mereka ditangkis tongkat Kuntarawang, sehingga membuat tangan jadi ber-getar keras.

   Hampir saja pedang para perwira itu terlepas dari tangan.

   Walaupun demikian tidak mudah bagi Kuntarawang untuk mengalahkan para perwira yang berkepandaian tinggi itu.

   Apalagi, kerja sama mereka sangat kompak dan rapi sekali.

   Sehingga untuk sementara Setan Bungkuk sulit mencari lubang kelemahan mereka.

    *** Setan Hitam kini mulai bergerak kembali, hendak membantu Setan Bungkuk yang tampak kerepotan.

   Kedua tangannya terdengar berkerotokan dan mengeluarkan asap biru kehitaman.

   Bau asap yang keluar dari tangannya sangat amis sehingga membuat sesak pernapasan.

   Seketika, tubuh manusia berkulit hitam ituberkelebat sambil mengirimkan serangan tangan beracun yang mematikan.

   Para perwira yang tengah mengeroyok Setan Bungkuk segera sadar kalau tangan Setan Hitam mengandung racun jahat.

   Maka mereka cepat menghentikan serangan dan melenting menjauh.

   Namun, kedua tokoh sesat itu tidak sudi membiarkan mereka begitu saja.

   Saat itu juga, Sakurang dan Kuntarawang meluruk.

   Lewat sepuluh jurus, kelima perwira kerajaan itu mulai terdesak di bawah angin.

   Mereka mulai bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

   Sehingga, lambat laun mereka hanya dapat menangkis dan main mundur saja.

   Dalam bergerak mundur, pedang kelima perwira itu bergerak bagaikan kilat.

   Namun, tetap saja serangan kedua tokoh sesat itu tidak mampu dibendung.

   Bahkan tiba-tiba Setan Bungkuk menghentakkan telapak tangannya, melepas pukulan dari ilmu 'Racun Merah' yang menjadi andalannya.

   "Hih...!"

   "Bug!" "Aaakh!"

   Telak sekali pukulan beracun itu mendarat didada salah seorang perwira, yang kontan terpental dengan jiwa melayang.

   Begitu menggeletak di tanah, di dadanya tampak tertera tanda telapak tangan berwarna merah.

   Empat sisa perwira tampak terkejut setengah mati.

   Pada saat yang demikian, Setan Hitam memanfaatkan kesempatan.

   Cepat tangannya bergerak ke saku, lalu mengibaskan ke depan.

   Srat! Srat! Saat itu juga, melesat beberapa benda yang ternyata berbagai jenis binatang berbisa.

   Dengan gerakan cepat, para perwira ini mengibaskan pedangnya.

   Tetapi tidak urung beberapa binatang berbisa mengenai dua orang prajurit.

   Cras! Cras...! "Wuahhh...!"

   "Auuukh!"

   Terdengar teriakan menyayat ketika binatang-binatang berbisa itu menyengat dua orang prajurit ini. Mereka kontan berjatuhan dengan tubuh membiru. Yang lebih menyedihkan, mereka binasa dalam waktu singkat tanpa dapat berbuat apa-apa.

   "Ha Ha ha..."

   Sementara, kedua tokoh sesat itu tertawa kegirangan. Namun....

   "Khraaagkh...!" "Heh...!"

   Mendadak dari angkasa terdengar suara menggelegar, membuat Kuntarawang dan Sakurang terjingkat kaget. Kedua tokoh sesat ini langsung mendongak. Dan mereka makin tambah terkejut ketika di angkasa melayang seekor burung rajawali berwarna putih.

   "Hei! Apakah itu...? Dari suara kepak sayap-nya, sepertinya itu burung rajawali...?!"

   Kata Sakurang sambil mengawasi.

   Belum sempat kata-kata Sakurang terjawab, sosok putih yang memang burung rajawali berwarna putih itu menukik ke bawah dengan kecepatan dahsyat.

   Makin ke bawah, makin jelas kalau burung itu ternyata bukan burung sembarangan.

   Dari bentuk dan gerakannya, membuat jantung bergetar.

   Sebelum burung rajawali raksasa itu mendarat, dari punggungnya melompat dengan gerakan indah satu sosok bayangan putih.

   Begitu mendarat kokoh, baru jelas siapa penunggang burung rajawali putih ini.

   Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.

   Rambutnya panjang sebahu.

   Di balik punggungnya, tersembul pedang bergagang kepala burung rajawali.

   Siapa lagi pemuda ini kalau bukan pendekar digdaya yang sangat terkenal dalam rimba persilatan.

   Dialah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

   "Hm.... Agaknya kalian telah mengadakan pembantaian di sini. Sayang, aku datang terlambat. Siapa kalian? Dan mengapa bertindak kejam pada orang-orang Kerajaan Sekar Kuning?"

   Tanya Pendekar Rajawali Sakti.

   "Hm.... Agaknya kau masih buta dengan tokoh persilatan. Baiklah. Aku Sakurang, berjuluk Setan Hitam sedangkan kawanku Kuntarawang, berjuluk Setan Bungkuk. Nah, cepatlah menyingkir. Tak perlulah kau ikut campur urusan kami...!"

   Kata Sakurang, dengan nada menggertak.

   "Aku tidak akan ikut campur kalau kalian tidak bertindak kejam. Tindakan kalian sudah melampaui batas!"


Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pendekar Rajawali Sakti Huru Hara Di Watu Kambang Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur

Cari Blog Ini