Sepasang Taji Iblis 1
Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Taji Iblis Bagian 1
Serial Pendekar Rajawali Sakti SEPASANG TAJI IBLIS oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .
Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se1uruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode .
Sepasang Taji Iblis 128 hal.
; 12 x 18 cm Djvu oleh .
Novo (Catutsana-sini.blogspot.com) Edit teks oleh .
Raynold (www.tagtag.com/tamanbacaan) Pdf oleh .
Dewi KZ
http.//dewi-kz.info/
Matahari mulai bersinar cerah di Desa Loyang.
Sinarnya memecah, menembus celah-celah rerimbunan pohon, Tidak seperti biasa, hari ini tidak seorang pun para penduduk desa ini pergi ke sawah.
Mereka berkumpul di alun-alun desa, untuk merayakan pesta panen tahun ini, Banyak di antara mereka yang mengepit ayam jantan aduan, Sementara yang lain kelihatan hanya menonton untuk meramaikan suasana.
Sudah menjadi kebiasaan desa ini bila selesai panen, mereka mengadakan sabung ayam Hadiah-hadiah yang dipertaruhkan beraneka macam.
Dari yang sekadar iseng, sampai yang bertaruh gila-gilaan.
Maka tidak mengherankan bila pesta sabung ayam ini tidak hanya dihadiri penduduk desa ini, tapi juga dari penduduk desa di sekitarnya.
Bahkan tidak jarang dikunjungi orang-orang dari jauh.
"Hari Ini si Jabu mesti menang melawan si Jago Merahmu, Pandu!"
Kata seorang laki-laki setengah baya dengan muka berseri-seri, pada seorang pemuda berbaju kuning gading.
"Boleh dicoba, K i Balaga.
"
Sahut pemuda yang dipanggil Pandu merendah.
"Si Jago ini tidak pernah terkalahkan sejak tahun kemarin,"
"Ayamku ini kuperoleh dari negeri Andalas, Pandu, Ayam di sana kuat-kuat dan hebat!"
Sergah laki-laki setengah baya bernama Ki Balaga, sedikit jumawa, Pandu hanya tersenyum sambil mengelus-elus ayam jagonya yang berbulu hitam mengkilap, Sesekali matanya melirik ayam jago K i Balaga yang berbulu burik-burik merah.
Tubuhnya besar dengan kedua kaki kokoh.
Dadanya busung ke depan, dan kokoknya nyaring lantang, Sepasang tajinya agak menarik.
Yang sebelah kanan agak panjang, namun bengkok ke dalam.
Sedangkan yang kiri agak runcing laksana mata pisau.
"Apa taruhannya, K i?"
Tanya Pandu mantap karena yakin kalau ayamnya yang bernama si Jago Merah mampu melumpuhkan ayam Ki Balaga yang bernama si Jabu..
"Empat puluh kepeng!"
Sahut Ki Balaga.
"Empat puluh kepeng?"
Ulang Pandu, agak ciut juga nyalinya mendengar taruhan sebanyak itu.
Pandu memang bukan petaruh besar, karena biasanya aturan taruhan diatur bandar yang mengumpulkan uang dari para petaruh.
Sedangkan pemilik ayam boleh bertaruh masing-masing.
Dan jumlah taruhannya tidak terbatas, Tapi, Itu pun tidak bisa meski diperbolehkan, Biasanya mereka menyerahkan soal taruhan kepada bandar, Tapi K i Balaga kelihatannya bernafsu sekali, sehingga langsung menyebutkan jumlah taruhannya.
"Bagaimana, Pandu? Takut?"
Pancing Ki Balaga, tersenyum melecehkan.
"Baiklah..,,"
Sahut Pandu harap-harap cemas.
Meski selama ini ayamnya belum terkalahkan, tapi uang dengan jumlah yang disebutkan itu cukup banyak juga.
Bagaimana kalau ayamnya kalah? Ah, tidak! Pandu membantah sendiri, Selama'ini si Jago telah membuktikan ketangguhannya.
Dia pernah mengalahkan segala jenis ayam jantan yang bagaimanapun hebatnya.
"Sabungan yang bagaimana, K i? Pakai babak atau tidak?"
Tanya Pandu.
"Terserahmu saja,"
Jawab Ki Balaga.
"Baik. Kita menyabung tanpa babak. Jadi kalau ada yang mati atau kabur, berarti kalah!"
Jelas Pandu mantap seperti hendak menggertak Ki Balaga.
Pandu memang yakin betul dengan ayamnya.
Pasalnya, daya tahan dan kekuatan si Jago selama ini sudah terkenal.
Bahkan pernah bersabung tanpa istirahat.
Kiprahnya pun cukup hebat.
Dia telah membunuh lima belas ekor lawan dari lima puluh kali bersabung.
"Setuju!"
Sambut Ki Balaga tidak kalah bersemangat.
Laki-1aki setengah baya Ini bukannya tidak menyadari kehebatan ayam aduan Pandu.
Tapi, dia amat percaya kalau si Jabu pun tidak kalah hebatnya, Ayam itu milik seorang kawannya yang ahli soal ayam di negeri Andalas sana.
Dan selama ini pun, belum pernah terkalahkan.
Sehingga dia merasa yakin akan mampu merontokkan keperkasaan si Jago, Mendengar itu para penonton dan petaruh bersorak.
Mereka akan melihat suguhan yang menarik.
Apalagi melihat ciri-ciri kedua ayam yang kelihatan sama-sama tangguh.
Atas kesepakatan bersama, Ki Balaga dan Pandu memilih wasit yang sudah cukup lihai dalam soal sabung ayam.
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun ditunjuk sebagai wasit.
"Pertandingan akan dimulai!"
Ujar wasit, memberi tahu, Ki Balaga dan Pandu segera mempersiapkan ayam jago masing-masing, Sesekali mereka membisikkan sesuatu ke kuping ayam jantan itu, seolah-olah dianggap bisa mengerti bahasa mereka.
Begitu wasit telah memberi aba-aba, kedua ayam aduan itu pun dilepas, diiringi sorak-sorai penonton yang bertaruh ataupun yang sekadar meramaikan suasana, *** Ayam milik Pandu bergerak gesit, menerjang si Jabu milik Ki Balaga.
Kalau tajinya yang panjang dan runcing seperti hendak memagut leher lawannya, Patuknya pun bergerak cepat mencari sasaran ke arah mata.
Tapi, Ki Balaga agaknya tidak sia-sia menaruh harapan pada si Jabu.
Meski tubuhnya agak besar, tapi gerakannya cukup mantap.
Bila dicecarnya, maka si Jabu menyusup ke balik sayap si Jago, kemudian menjungkirnya sampai sulit bergerak.
Lalu secepatnya dia menerjang ke leher lewat kelebatan taji kaki kanan yang seperti hendak memotes.
"Hebat! Hebat! Bukan main, K i Balaga. Baru sekarang si Jago menemui lawan tanding yang sepadan!"
Seru seorang penonton yang bertaruh memenangkan si Jabu.
"Bukan menemukan lawan sepadan lagi. Si Jabu malah lebih hebat!"
Tukas seorang pendukung si Jabu yang lain.
"Itu belum apa-apa, Sebentar lagi si Jago pasti akan menunjukkan kehebatannya!"
Balas pendukung si Jago.
"Ya! Kalian seperti tidak tahu saja. Si Jago memang biasa mengalah dulu, Tapi nanti sekali mengamuk, dia akan memotes leher si Jabu!"
Teriak yang lain, memenangkan si Jago.
Sementara para penonton dan petaruh berteriak menjadi pendukung, kedua pemilik ayam mulai ketar-ketir melihat jagoan masing-masing yang bertarung semakin buas.
Kepala kedua ayam jantan itu mulai berdarah, setelah jambul-jambulnya terluka.
Demikian pula kedua jenggernya, Tapi sejauh ini belum terlihat siapa yang bakal menjadi pemenang.
Kedua ayam Itu pun kelihatannya sama-sama tangguh dan kuat.
Bahkan memiliki ketahanan yang menakjubkan.
"Ayo, Jabu! Kau datang jauh-jauh ke sini bukan untuk kalah. Tunjukkan keperkasaanmu, Jabu!"
Teriak Ki Balaga.
"Ayo, Jago! Kau harus secepatnya mengalahkan lawanmu, Kalau tidak, tidak akan seorang pun percaya bahwa kau jago dari segala jago!"
Teriak Pandu pula, Tapi agaknya teriakan Pandu tidak berpengaruh kepada jagoannya.
Sebaliknya bagi Ki Balaga, si Jabu seperti mengerti akan teriakan majikannya barusan.
Secepat kilat ayam.
dari negeri Andalas itu melompat tinggi sambil mengepakkan kedua sayapnya, Kaki kanannya mendadak menyambar leher.
Sementara tajinya yang mirip pengait itu seketika merobek leher si Jago yang tak mampu menghindar.
Crasss..
.! "Keekh...!"
SI jago berteriak kesakitan seperti disembelih. Larinya sempoyongan. Sementara darah terus berceceran di lehernya. Ayam itu kemudian roboh sambil menggelepar-gelepar.
"Horeee! Hidup si Jabu..,!"
Teriak Ki Balaga seraya mengepalkan tangan.
Teriakan itu diikuti para pendukung K i Balaga dengan bersemangat.
Dan si Jabu sendiri dengan pongahnya mengepak-ngepakkan sayapnya sambil berkokok lantang meski suaranya agak parau.
Ki Balaga buru-buru menyambar dan membersihkan luka ayamnya.
Dikeluarkannya dahak di kerongkongan si Jabu.
Sementara itu Pandu masih terpaku seperti tidak percaya kalau ayam kebanggaannya kalah dengan cara amat menyedihkan.
"Urat lehernya putus seperti dipotong!"
Desis seseorang yang memperhatikan si Jago.
"Gila! Selama ini jarang yang bisa melakukan hal seperti itu, si Jabu benar-benar hebat!"
Timpal yang lain.
Dan yang mengerubungi si Jabu bukan hanya para pendukungnya.
Tapi juga para pendukung si Jago, Mereka memperhatikan ciri-ciri khusus yang dimiliki si Jabu.
Barangkali hendak mencocokkan dengan ciri-ciri ayam jago yang dimiliki.
Atau barangkali hendak mencari ayam jago yang bentuknya mirip si Jabu.
Tapi semua sepakat bahwa kehebatan si Jabu terletak pada taji kanannya yang aneh itu.
Selain itu, ada yang mungkin tidak diketahui sebagian dari mereka.
Yaitu, semangat bersabung si Jabu serta kecerdikannya mencari peluang untuk melumpuhkan lawan, Kedua hal itu agaknya yang sulit ditemukan pada ayam jago lain.
"Bagaimana, Pandu? Kau telah mempersiapkan empat puluh kepeng perak?"
Tagih Ki Balaga sambil tersenyum-senyum Pandu segera mengeluarkan pundi-pundi yang telah dipersiapkan dan menyerahkannya pada laki-laki setengah baya, Ki Balaga menghitungnya sebentar, Dan ketika jumlahnya tepat, dia buru-buru mengantonginya.
"Cari jagomu yang lain, Pandu! Si Jabu siap menantangnya!"
Ujar orang tua berusia setengah abad itu, seperti melecehkan.
"Jangan sombong dulu, K i! Ayamku masih banyak dan sehebat si Jago."
"Ha ha ha...! Kalau masih setimpal si Jago sebaiknya jangan coba-coba melawan si Jabu. Karena, nasibnya tidak akan lebih beruntung!"
Sahut Ki Balaga sedikit menyombongkan diri.
Pandu hanya bisa memaki orang tua itu di dalam hati.
Kalau saja dia punya ayam yang lebih hebat daripada si Jago, tentu akan ditantangnya lagi si Jabu.
Walaupun harus dengan bertaruh rumah berikut perabotannya, Tapi seperti apa yang dikatakan orang tua itu, agaknya kekalahannya barusan bisaa diterima akal.
Melihat cara bertarung si Jabu tadi rasanya ayam-ayam peliharaannya tidak ada yang sanggup menandingi.
Sementara itu, Ki Balaga semakin sombong saja dengan wajah berseri-seri.
"Ayo, siapa berikutnya yang berani menantang si Jabu? Taruhannya seratus kepeng perak!"
Teriak Ki Balaga pada orang-orang yang ada di sekitarnya sambil memandang ke sekeliling, Namun agaknya tidak ada seorang pun yang berani menyodorkan jagonya untuk menandingi si Jabu.
Mereka sebelumnya sepakat dan sama-sama mengetahui kalau si Jago adalah jawara sabung ayam di desa Ini Maka bila ayam itu telah dikalahkan secara mengenaskan, maka bagaimana pula nasib ayam jago mereka? Kalau taruhannya tidak seberapa, mungkin masih ada yang punya nyali, sekadar menjajal peliharaannya dengan si Jabu.
Tapi seratus kepeng perak adalah jumlah yang cukup banyak.
Dan, tidak ada yang berani mengeluarkannya begitu saja untuk kemenangan yang seperti pasti tidak bisa diperoleh.
Dalam keadaan begitu mendadak...
"Aku si Cupu Manik menantang ayammu untuk bertarung dengan sahabatku!"
Tiba-tiba terdengar seseorang menyambut tangan Ki Balaga dari belakang kerumunan.
"Hei?!" *** Semua orang segera berpaling ke arah datangnya suara, Dan beberapa orang langsung memberi jalan kepada seorang pemuda yang berdandan aneh. Karena, sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu ayam yang beraneka warna. Tapi, pemuda yang mengaku bernama Cupu Manik itu seperti tidak peduli. Dan dia telah berdiri di hadapan K i Balaga.
"Naikkan taruhan kalau kau berani!"
Ujar pemuda berpenampilan aneh dengan nada dingin, Ki Balaga tidak langsung menjawab.
Diperhatikannya pemuda itu dengan tatapan aneh.
Entah orang gila atau karena terlalu memuja ayam, sehingga pemuda ini mendandani dirinya semirip ayam.
Ubun-ubunnya dipasang jambul dari bahan sejenis karet.
Demikian pula jengger di dagunya serta paruh besi yang berada di dahi.
Pada kedua mata kakinya dipasang taji yang berupa pisau baja amat tajam.
Pinggang bagian belakangnya dibentuk menyerupai ekor ayam jantan dengan menjalin bulu-bulu ayam.
"He, kau dengar tantanganku?!"
Bentak Cupu Manik dengan tatapan marah.
"Hm.... Berapa kau berani bertaruh?"
Tanya Ki Balaga tak kalah sinis.
Cupu Manik tidak menjawab.
Tapi tangannya bergerak, mengeluarkan kantung kain yang terikat di pinggang, Lalu dihamparkannya ke tanah.
KI Balaga serta yang lainnya melotot kaget.
Mereka yang semula menanggapi orang gila ini tidak sungguh-sungguh menantang si Jabu, jadi berpikir lagi.
Sebab, isi kantung kain itu berupa kepingan-kepingan emas.
"Isinya dua puluh kepeng emas! Aku masih mempunyai sepuluh kantung seperti itu. Apa taruhanmu?!"
Jelas Cupu Manik.
Melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, Ki Balaga mulai memasang sikap sungguh-sungguh.
Dikeluarkannya semua uang yang dimilikinya.
Tapi kalau dijumlahkan, semuanya baru mencapai lima belas kepeng emas.
Masih kurang lima kepeng emas lagi "Jangan khawatir! Aku bertarung untuk si Jabu!"
Teriak seorang penonton, seraya melemparkan sekeping uang emas, Masih kurang empat lagi! Tapi, agaknya Ki Balaga tidak menunggu terlalu lama.
Karena kehebatan si Jabu telah membuahkan kepercayaan di dalam hati para petaruh.
Sehingga dalam waktu singkat, banyak orang yang bertarung untuk si Jabu sampai jumlah dua puluh kepeng emas genap.
"Ayo, keluarkan jagomu!"
Ujar Ki Balaga, Cupu Manik menurunkan ayam jago yang sejak tadi dikepit di ketiak kirinya. Kemudian dia berjongkok "K ulihat kalian cukup berharta. Maka, aku bermaksud menaikkan taruhan,"
Gumam pemuda ini tanpa menoleh pada orang-orang di sekelilingnya.
Kembali Cupu Manik mengeluarkan pundi-pundi seperti tadi dan mencampakkannya di tanah.
Seorang laki-laki bertubuh tegap yang bertugas sebagai bandar segera menyambar dan menghitungnya.
"Taruhannya jadi lima puluh kepeng emas!"
Seru sang bandar.
"He. gila!"
Semua orang tersentak kaget dengan wajah heran dan mata melotot tidak percaya. Taruhan yang diajukan pemuda aneh itu cukup besar. Bahkan jarang, ada yang bisa menandingi.
"Tidak usah banyak bicara! Kalian pecandu sabung ayam. Dan kini melihat jumlah taruhan begitu saja sudah melotot. Aku bahkan bisa menaikkan taruhan menjadi empat kali lipat!"
Sentak Cupu Manik seraya mengeluarkan semua pundi uang miliknya.
"Semuanya genap dua ratus kepeng emas!"
Teriak bandar, mengumumkan jumlah taruhan pemuda itu.
Entah dari mana asalnya pemuda bernama Cupu Manik itu.
Bahkan tak seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya.
Dan yang membuat mereka heran, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? "Cepat keluarkan taruhanmu!"
Bentak Cupu Manik Ki Balaga tergagap. Dia tidak tahu apa yang mesti dipertaruhkan. Sebab memang tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Kisanak! Aku mau saja bertaruh, Tapi, uangku tidak cukup sebanyak yang kau miliki..,,"
Kata Ki Balaga merendah.
"Kalian boleh mengumpulkan uang. Bahkan seluruh kampung ini boleh membantu. Bukankah kalian percaya, bahwa ayam kepunyaan orang tua ini hebat dan tak terkalahkan?!"
Teriak pemuda itu lantang, kepada orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sebenarnya mereka ketar-ketir juga melihat taruhan yang amat banyak.
Sepanjang sejarah di desa ini, belum pernah ada taruhan sabung ayam sebanyak itu.
Tapi selain percaya kalau si Jabu hebat, mereka juga bernafsu untuk melipatgandakan uangnya untuk bertaruh dengan berpihak pada ayam Ki Balaga, Sebagian yang lain merasa perlu untuk merontokkan kecongkakan pemuda itu sehingga beramai-ramai menyumbangkan uang untuk bertaruh memenangkan si Jabu.
"Masih kurang tujuh puluh kepeng emas lagi!"
Seru sang bandar, memberitahukan taruhan K i Balaga dan para petaruh.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan? Aku tidak punya taruhan sebanyak itu. Bukan berarti aku tidak berani bertaruh denganmu,...
"
Jelas Ki Balaga putus asa.
"Tapi, kau yakin kalau ayammu bisa mengalahkan saudaraku ini?"
Tanya Cupu Manik.
Pemuda aneh ini lantas mengelus-elus ayam jago berbadan tegap dan leher pendek dengan kedua kaki besar dan kuat Sisiknya hitam dan tebal.
Tidak ada yang istimewa dari sepasang taji yang dimiliki ayam jago itu, Kalaupun ada yang membuat mereka merasa seram adalah sepasang matanya yang berkilat tajam penuh nafsu membunuh.
"Tentu saja!"
Sahut K i Balaga yakin, yang disambut para pendukungnya dengan bersemangat.
"Kalau begitu kau boleh bertaruh dengan lainnya,"
Kata pemuda aneh itu.
"Apa maksudmu?"
Tanya Ki Balaga dengan kening berkerut.
"Kau harus pertaruhkan rumah serta sawah ladangmu. Dan kalian pun harus bertaruh. Bila ayammu kalah, maka berhentilah menyabung ayam!"
Permintaan pemuda itu tentang rumah serta sawah ladang sebagai taruhan mungkin tidak mengejutkan, Tapi berhenti menyabung ayam? Itu sesuatu yang konyol dan amat aneh! Seorang pecandu sabung ayam meminta berhenti menyabung ayam yang sudah mendarah daging pada setiap penduduk desa ini, Tentu saja hal itu permintaan yang sulit diterima, Hampir saja mereka membatalkannya, kalau seseorang tidak berbisik ke telinga K i Balaga, Seketika laki-laki setengah baya itu tersenyum seraya mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku penuhi taruhanmu itu, Anak Muda, Nah, persiapkan ayammu!"
Lanjut Ki Balaga, Beberapa orang yang tadi mendukung laki-laki setengah baya itu masih ribut.
Tapi ketika satu persatu mendapat bisikan kawan-kawannya yang telah tahu siasat yang dijalankan orang yang tadi berbisik ke telinga K i Balaga, mereka terdiam sambil tersenyum.
Kemudian kepala mereka mengangguk-angguk dan akhirnya menyetujui.
Sementara Cupu Manik sama sekali tidak mau ambil pusing atas sikap mereka yang mencurigakan.
Dia berjongkok seraya mengelus ayam jagonya.
Sepasang matanya berkilat tajam, memandang si Jabu, Kemudian terdengar dia berkokok seraya mendongakkan wajah, Lalu ayamnya dilepaskan dan telah ditunggu si Jabu.
"Horeee...!"
"Ayo, Jabu! Beri hajaran lawanmu..!"
"Sikat Jabu!" *** Dalam beberapa gebrakan, si Jabu agaknya tidak membuat pendukungnya gembira. Sikapnya tidak garang dan gagah seperti yang diperlihatkannya ketika melawan si Jago, Sebenarnya hal itu tidak dibenarkan. Karena si Jabu sudah demikian lelah, setelah bertanding melawan si Jago. Maka kalau hendak bersabung mesti menunggu satu atau dua minggu, Tapi, ayam pemuda bernama Cupu Manik dua kali lipat lebih kecil dibanding si Jabu. Jambul di kepalanya belum lagi bergerumbul, Dan jenggernya pun tidak ada, ini menandakan kalau ayam itu masih muda. Dan menurut mereka yang suka bersabung ayam, nyali ayam muda lebih kecil ketimbang ayam dewasa. Itulah sebabnya Ki Balaga berani menyabung ayamnya yang masih terluka. Para pendukungnya juga berpikir begitu. Sekali si Jabu mengembangkan bulu-bulu lehernya, maka ayam pemuda itu yang lebih muda dan kecil, tentu akan ciut nyalinya. Bahkan akan kabur tunggang-langgang.
"Ayo Jabu, sikat ayam pitik itu!"
Teriak seorang pendukung.
"Ayo Jabu, perlihatkan kegaranganmu!"
Timpal yang lain, Si Jabu berputar-putar seperti kebingungan dikecoh ayam milik Cupu Manik yang bergerak gesit menyusup di balik kedua sayapnya.
Sesekali ayam pemuda aneh itu menyundul dan berada di antara kedua kaki si Jabu.
Sehingga ayam Ki Balaga ini agak terjungkit.
Kemudian dengan tiba-tiba ayam milik Cupu Manik mematuk dari samping, sehingga telinga kiri si Jabu robek dan berdarah, Bret! "Keokh!"
Si Jabu menjerit kesakitan.
Dan dia berusaha melepaskan diri, tapi paruh lawan melekat kuat.
Sehingga membuat lukanya semakin lebar..Ketika Cupu Manik berkokok, ayamnya seketika menerjang leher si Jabu.
Tapi kaki kiri menancap tepat di tenggorokan, Padahal pada saat yang sama, kulit telinga si Jabu belum juga dilepaskan.
Sehingga, sulit baginya untuk membalas.
"Ayo balas, Jabu! Ayo, balas...!"
Teriak penonton melihat si Jabu tak berdaya, Dan tiba-tiba ayam milik Cupu Manik bergerak cepat menyambar dengan tajinya.
Crab! Crab! ''Keoook...!'' Kembali si Jabu berteriak kesakitan, ketika taji kiri lawannya terus menghujam ke lehernya tanpa henti.
Darah mulai mengucur deras dari leher.
Dan gerakan ayam kesayangan Ki Balaga itu terlihat limbung, Pada saat itu, ayam Cupu Manik bergerak menerjang, Sebelah tajinya langsung menyambar ke arah telinga, Crasss! "Keeookh..,!"
Si Jabu roboh disertai keok kematian. Dan nasibnya tidak lebih baik dari si Jago, begitu taji lawannya menancap di telinga.
"Astaga! Tidak mungkin...!"
Desis para penonton dan petaruh, Mereka seperti tidak percaya melihat kenyataan yang terjadi.
Seekor ayam yang besarnya setengah dari si Jabu punya daya serang begitu hebat.
Rasanya, meski si Jabu masih segar-bugar pun, akan sulit mengalahkan ayam jago milik Cupu Manik.
"Berikan taruhannya!"
Tagih Cupu Manik dingin, setelah menyambar ayam langsung dirampasnya uang taruhan dari tangan sang bandar. Sejenak Cupu Manik mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Dan mulai sekarang, rumah serta sawah ladangmu menjadi milikku. Aku berbaik hati padamu, dan membolehkanmu tinggal bersamaku, Asal, kau mau bekerja untukku,"
Sambung Cupu Manik, berteriak lantang.
"Juga bagi kalian harus menepati janji. Aku akan mengawasinya, bila kalian mungkir. Mulai saat ini juga, sabung ayam dilarang!"
"Kau tidak berhak melarang, sebab sabung ayam telah mendarah daging di desa ini!"
Sahut salah seorang penonton.
"Betul! Kau tidak berhak melarang, Sebab, itu sudah menjadi kebiasaan di Desa Loyang!"
Sambut yang lain tak kalah lantang. Cupu Manik terdiam. Kembali diperhatikannya mereka satu persatu dengan sepasang mata tajam.
"Diam kalian semua...!"
Bentak pemuda aneh itu nyaring.
Seketika mereka yang mendengar tersentak kaget.
Jelas, teriakan itu tidak dikeluarkan sembarangan.
Tapi, lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Kalau tidak, untuk mereka yang mendengarnya tidak akan berdetak lima kali lebih cepat "Sekali kalian telah berhutang padaku, maka jangan harap bisa mungkir untuk melunasinya, Siapa saja yang coba membuatku marah, akan mati saat ini juga!"
Lanjut Cupu Manik dengan sikap mengancam.
"Hei, Bocah Edan! Kau tidak berhak berbuat apa pun di desa ini. Kau sudah menang, maka pergilah. Dan, jangan buat keonaran. Kalau kau mau berdiam di desa ini, maka ikuti saja peraturan yang ada. Kami akan menyabung ayam. Dan itu tidak merugikan siapa pun'"
Bentak seorang laki-laki tegap dengan golok terselip di pinggang, Hampir semua penduduk Desa Loyang tahu, kalau laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu bernama Timpal.
Memang laki-laki ini cukup ditakuti.
Banyak yang percaya kalau dia punya ilmu silat hebat.
Timpal tak segan-segan menampar serta memukul orang bila berbeda pendapat dengannya.
Sehingga selama ini tidak ada yang berani berurusan dengannya.
"Bagi kalian tidak merugikan, Tapi bagi kaumku, kalian tidak berperasaan dan kejam. Aku raja mereka, Dan aku berhak-melindungi mereka!"
Oceh Cupu Manik tegas. Ucapan pemuda itu terdengar aneh dan lucu sekali. Katanya, dirinya adalah raja yang tentu saja maksudnya raja para ayam.
"Hei, Bocah! Kalau tidak sinting mungkin kau tengah kesurupan! Kalau kau menganggap dirimu ayam, itu terserah. Bahkan kami tak ambil peduli kalau kau mengangkat diri sebagai raja ayam. Pergilah sana ke hutan. Dan pimpinlah rakyatmu di sana. Jangan mengusik kesenangan orang! Hei, Raja Ayam! Apa pun yang kau katakan, kami tetap akan menyabung ayam. Dan tidak seorang pun yang bisa melarang!"
Sahut Timpal sambil berkacak pinggang.
"Kalau begitu, kau akan bersabung denganku. Sampai salah seorang dari kita binasa!"
Tantang Cupu Manik, tegas, Kemudian dengan langkah tenang pemuda itu mendekati Timpal. Dan tanpa aba-aba dia sudah langsung melompat menerjang.
"Kreaaakh... !" *** Mendapat serangan demikian, Timpal terkejut. Namun secepat kilat goloknya dicabut menyongsong serangan. Srang! Saat itu juga Timpal membabatkan goloknya ke arah leher Cupu Manik yang tengah meluruk tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda aneh itu menekuk tubuhnya. Sehingga babatan Timpal hanya menyambar angin, Belum juga Timpal mengembalikan tubuhnya, Cupu Manik telah membuat satu gerakan jungkir balik. Dan tiba-tiba, kedua kakinya menjulur ke arah leher Timpal. Lalu,.. Creb! Creb! "Aaa..."
Disertai pekik kematian, Timpal terhuyung-huyung ketika kedua taji di kaki Cupu Manik, menancap di lehernya dua kali berturut-turut.
Darah langsung memancur dari luka-lukanya.
Tubuhnya lalu ambruk dan tewas setelah menggelepar-gelepar meregang nyawa.
"Begitulah rasanya bangsaku mati kalian adu.
"
Desis Cupu Manik disertai senyum sinis, begitu berdiri kokoh di tanah, Untuk sesaat orang-orang di tempat itu terpaku memandang mayat Timpal. Tapi kemudian mereka memandang marah pada pemuda aneh itu.
"Pemuda gila itu telah membunuh Timpal!"
Teriak seseorang sambil menunjuk Cupu Manik Saat itu juga yang lain seperti terbangun dari mimpi.
"Betul! Dia mesti mendapat ganjaran setimpal!"
Sambut yang lain.
"Tangkap dia!"
"Bunuh!"
Seketika, kemarahan memuncak ditumpahkan pada pemuda itu. Maka tanpa seorang pun yang bisa mencegah, mereka menyambar apa saja yang bisa digunakan untuk menghajar Cupu Manik.
"Kreaaakh...J"
Mendadak saja, pemuda itu menjerit keras.
Lalu tubuhnya melompat menyongsong orang-orang itu tanpa kenal rasa takut.
Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, dengan kedua tangan serta kaki yang dilengkapi taji menerjang keroyokan.
Prak! Prak! Bret! "Aaa...!"
Orang-orang yang nekat itu kontan menjerit kesakitan dihantam telapak tangan Cupu Manik yang kuat bagai sayap ayam, raksasa. Belum lagi tendangan serta hujaman kedua taji di kakinya. Dalam sekejap saja, lima orang roboh menggelepar tak bernyawa.
"Gila! Dia betul-betul pembunuh. Dia tidak bisa diberi hati. Habisi pembunuh gila ini!"
Teriak seorang pemuda memberi semangat pada yang lain.
Tapi begitu orang-orang kembali mengeroyok, pemuda itu kabur diam-diam dari tempat ini.
Agaknya dia sudah mencium gelagat yang tidak beres, sehingga lebih baik cari selamat sendiri, Dan itu memang beralasan, Sebab pemuda yang merasa dirinya sebagai bangsa ayam itu ternyata betul-betul gila.
Tubuhnya bergerak gesit.
Dan setiap kali kedua tangannya bergerak, menimbulkan desir angin kencang, Korban-korban kembali berjatuhan.
Dan kali ini, pemuda Desa Loyang akhirnya sadar kalau tidak kuasa melawan pemuda aneh itu.
"Lari...! Lari...!"
Teriak seorang seraya lari paling depan, Karuan saja tempat itu segera ditinggalkan orang-orang, Mereka sibuk menyelamatkan diri.
Sedang Cupu Manik hanya diam, tanpa berusaha mengejar.
Dilepaskannya ayam-ayam aduan yang masih berada dalam kurungan, Kemudian...
"K ukuruyuuu...!"
Terdengar Cupu Manik berkokok nyaring.
"Hari ini kalian bebas dari perbudakan manusia-manusia! Ayo berkokoklah yang lantang. Dan sambutlah kehadiran raja kalian!"
Teriak Cupu Manik lantang, Entah karena kebetulan atau memang mengerti apa yang dikatakan, ayam-ayam itu langsung berkokok nyaring.
"Ha ha ha..,! Bagus! Bagus..,! Ayo, kita keliling kampung ini. Dan kita bebaskan kawan-kawan yang lain!"
Lanjut pemuda itu, berseru lantang dengan wajah berseri-seri.
Kemudian terdengar Cupu Manik berkotek-kotek.
Lalu kakinya melangkah mendekati perkampungan, diikuti barisan ayam jago di belakangnya.
Orang-orang kampung yang melihat kejadian itu dan tempat persembunyian berseru takjub dengan mata melotot tak percaya, Cupu Manik sendiri sebenarnya tidak mengganggu mereka.
Dan dia hanya merusak kandang-kandang ayam serta melepaskan ayam jago yang masih dikurung.
Meski begitu, tidak ada seorang pun yang berani mencegah perbuatannya.
Mereka sadar, mendekatinya sama saja mencari mati.
"Aku peringatkan kepada kalian semua!"
Terdengar suara lantang Cupu Manik berkumandang.
"Mulai sekarang, kalian tidak kuperbolehkan makan daging saudara-saudaraku! Siapa saja yang coba-coba melanggar, maka akan berhadapan denganku! Kalian boleh saja melakukan kegiatan seperti biasa, tanpa merasa terganggu. Yang penting segala tindakan terhadap rakyatku yang berbau penyiksaan, tidak kuperbolehkan'"
Lanjut pemuda aneh ini.
Tapi meskipun begitu, tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri.
Kematian beberapa penduduk desa tadi sudah cukup mengejutkan yang lain.
Bahkan membuat cemas seperti dibayangi ketakutan setiap saat Semua pintu dan jendela tertutup serta dikunci rapat-rapat Bahkan ada yang diganjal lemari serta benda-benda berat lain.
Pemuda itu sendiri tidak ambil pusing.
Dia terus berkeliling desa.
Dan ketika menemukan sebuah pondok yang telah roboh dikelilingi pohon-pohon besar, maka ke sanalah tujuannya, diikuti puluhan ekor rakyatnya, Cupu Manik masuk ke dalam dan berlindung di tempat yang masih bisa terpakai.
Sementara rakyatnya beterbangan ke ranting-ranting pohon, dan sebagian menemaninya, *** Kalau saja Cupu Manik tidak bernaung di sana, sudah barang tentu penduduk Desa Loyang tetap tidak akan mengetahui tentang dirinya.
Maka begitu pemuda itu ke sana mereka langsung teringat akan kejadian beberapa tahun yang lalu.
Malah, kabar tentang kehadiran Cupu Manik telah sampai di telinga Kepala Desa Loyang ini yang dikenal bernama Ki Tambuk.
Kebetulan, rumah laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu berada sekitar tiga puluh tombak arah depan rumah yang ditempati Cupu Manik sekarang ini.
"Dia tinggal di bekas rumah K i Rebong!"
Desis Ki Tambuk, ketika mengintip dari sela-sela jendela depan rumahnya, Istri dan kedua anak K i Tambuk ikut mengintip dari celah-celah jendela, Tapi mereka tidak bisa melihat Cupu Manik, karena terhalang atap yang telah roboh.
"Memangnya kenapa, Kang?"
Tanya perempuan berusia lima puluh lima tahun, istri K i Tambuk.
"Apa , kau tidak ingat peristiwa delapan tahun lalu? K i Rebong dan istrinya mati dibunuh, Empat anak mereka yang lain pun ikut mati secara mengenaskan?"
Sahut Ki Tambuk.
"Astaga! Ya, aku ingat! Mereka punya anak yang namanya... Rangkamaya! Ya, dia punya kesukaan aneh!"
Desis Nyi Tambuk dengan wajah kaget seraya memandang suaminya. Sesaat mereka saling pandang dengan isi kepala yang mungkin sama.
"Apa mungkin pemuda aneh yang mengaku bernama Cupu Manik itu Rangkamaya?"
Gumam K i T ambuk seperti berkata sendiri.
"Mungkin juga, Kang. Paling tidak usia pemuda itu saat ini sekitar dua puluh tahun. Saat itu si Rangkamaya berusia empat belas tahun, Tapi yang lebih menyolok adalah, dia punya kebiasaan, menganggap ayam sebagai saudara-saudaranya,"
Jelas Nyi Tambuk.
"Kenapa dia bisa begitu, Bu?"
Tanya gadis berusia tujuh belas tahun, yang tak lain putri sulung K i T ambuk Namanya, Laksmi. Ketika peristiwa itu terjadi usia Laksmi masih sembilan tahun. Meski tahu kejadiannya, namun dia tidak mengerti kenapa bisa terjadi.
"Rangkamaya mungkin punya kelainan jiwa,"
Jelas Nyi Tambuk.
"Sejak kecil, dia tak hanya sekadar memelihara ayam. Tapi, juga merasa bahwa ayam itu adalah saudaranya. Dia tidur bersama ayam-ayam. Bahkan juga makan beras dan gabah. Ketika orangtuanya memotong ayam, dia berusaha mencegah setengah mati. Hal itu berlangsung terus, dan orangtua serta saudara-saudaranya tidak mau peduli, Pada suatu hari, Rangkamaya kalap ketika keluarganya tengah berpesta-pora makan daging ayam. Seketika dia menghunus golok dan membunuh mereka semua. Setelah itu, Rangkamaya kabur ke hutan dan menghilang beberapa tahun lamanya...."
"Jadi pemuda gila itu sebenarnya Rangkamaya itu?"
Kejar Laksmi.
"Entahlah, Ayahmu...."
Tok! Tok! Tok...! Kata-kata Nyi Tambuk terputus ketika terdengar ketukan dari pintu belakang. Wanita tua itu buru-buru membuka pintu, Ternyata yang datang adalah dua penduduk desa ini yang ingin bertemu dengan suaminya.
"Ada apa, K i Rambat? K i Basur?"
Tanya K i Tambuk, begitu tiba di belakang istrinya. Ki Tambuk segera mempersilakan kedua tamunya masuk, Rumah mereka memang tidak jauh dari sini Dan kemungkinan melihat pemuda aneh itu masuk ke gubuk reot tadi, sehingga menimbulkan praduga yang sama.
"Ada apa?"
Ulang Ki Tambuk ketika keduanya belum juga buka mulut.
"Eh! Anu, Ki Mengenai pemuda itu. Apakah kau punya dugaan?"
Tanya laki-laki tua berambut putih dengan ikat kepala warna-warni. Dialah yang bernama K i Rambat.
"Maksud kalian?"
K i Tambuk malah balik bertanya.
"Menurut kami, pemuda itu pasti si Rangkamaya yang menghilang delapan tahun lalu,"
Cetus laki-laki tua satunya yang berkumis putih, Namanya Ki Basur.
"Benar, Ki!"
Timpal Ki Rambat "Ya, aku pun menduga begitu..,"
Desah K i Tambuk "Lalu tindakan apa yang mesti dilakukan, Ki?"
Tanya K i Basur lagi.
"Dia telah berani membunuh orangtua serta saudara-saudaranya, Tentu tidak segan-segan pula membunuh kita semua, Buktinya kejadian tadi! Kita harus bertindak, Ki, Kalau tidak, dia akan membunuh kita semua!"
Cetus Ki Rambat "Aku pun telah berpikir ke arah situ. Tapi kita tidak bisa gegabah, Jangan-jangan, dia malah mengamuk Kalian tahu sendiri. Kalau dia bisa merobohkan si Timpal dengan mudah, maka apalah artinya kita baginya?"
Tukas Ki Tambak.
"Lalu harus bagaimana, K i? K ita tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini. Dibayang-bayangi ketakutan. Harus ada sesuatu yang mesti dilakukan!"
Tegas K i Basur.
"Benar, Ki!"
Timpal K i Rambat.
"Semua penduduk dicekam ketakutan!"
Ki Tambuk tidak langsung menjawab. Dia berpikir sebentar.
"Aku akan bicara padanya!"
Lanjut Kepala Desa Loyang ini.
"Bicara? Bicara apa?"
Kejar Ki Rambat dan K i Basur hampir bersamaan.
"Siapa tahu dia masih punya sedikit perasaan. Dan mudah-mudahan pula, dia mau angkat kaki dari desa ini..,,"
Desah Ki Tambuk "Itu mustahil, Ki! Dia orang gila, Mana mungkin mau mendengar bicaramu!"
Tukas Ki Rambat.
"Benar, Ki! Jangan-jangan dia malah menambah ancaman buat kita,"
Sambung Ki Basur.
"Aku usahakan dulu secara baik-baik! Kalau tidak bisa, baru ditempuh dengan cara keras, Dalam hal ini, kita mesti menjalankan semua cara, Jangan khawatir. Mungkin tadi dia tengah panas dan penuh amarah, Mudah-mudahan saat ini amarahnya mereda."
Mereka terdiam sesaat "Kapan kau hendak bicara dengannya, Ki?"
Usik K i Rambat.
"Lebih cepat, lebih baik. Kalau perlu sekarang juga!"
Sahut Ki Tambuk mantap, Mereka kembali diam. Dan itu membuat niat Ki Tambuk semakin mantap.
"Baiklah, Aku ke sana sekarang juga, Kalian tunggu saja di sini, Atau, ikut aku?"
Lanjut Ki Tambuk.
"Eh! Kami... lebih baik pulang saja..,,"
Sahut Ki Rambat, mendadak ciut nyalinya, Memang laki-laki tua ini tidak mau menanggung akibat yang tidak diinginkan, Bagaimana kalau dia ikut, ternyata pemuda itu mengamuk dan membunuh mereka? Padahal dia punya banyak anak di rumah.
Kalau dia mati, siapa yang memberi makan mereka? "Biar aku ikut denganmu, Ki!"
Sahut Ki Basur.
"Baik. Ayo kita berangkat sekarang,"
Ajak K i Tambuk.
"Eh! Apa tidak sebaiknya kita berbekal golok, Ki?"
Tanya K i Basur.
"Tidak perlu. Kalau membawa golok, nanti dikira kita siap melawannya, Itu lebih berbahaya lagi,"
Sergah K i T ambuk.
"Baiklah,..." *** Ki Tambuk dan Ki Basur berdiri tegak dengan sikap ragu di depan pondok yang dijadikan tempat tinggal Rangkamaya alias si Cupu Manik. Meski demikian, kepala desa itu berusaha memantapkan hati. Padahal, jantungnya berdegup kencang ketika beberapa ekor ayam mendekati.
"K isanak, aku ingin bicara denganmu,..!"
Teriak Ki Tambuk Sesaat tidak terdengar sahutan. selain suara kokok ayam jantan yang cukup mengejutkan.
"K isanak! Aku kepala desa di sini yang bertanggung jawab atas keselamatan warga, Keluarlah kau. Dan, mari kita bicara!"
Teriak Ki Tambuk lagi.
"Mungkin dia tidak peduli, K i...,"
Gumam Ki Basur.
"K ita tunggu sebentar lagi.","
Ujar kepala desa itu, Mereka diam sesaat Suasana sedikit terusik oleh kokok ayam-ayam jantan.
"K isanak! Kami tahu, kalau kau adalah si Rangkamaya. Kau adalah penduduk desa ini yang dulu menghilang selama beberapa tahun, Keluarlah, Dan, bicaralah padaku! Kami tidak bisa hidup dalam ketakutan yang mencekam seperti ini!"
Teriak Ki Tambuk lagi.
Kata-kata itu bersambut dari dalam pondok terdengar suara langkah terseret Begitu pintu terbuka, tampak seorang pemuda berdiri tegak terpaut kurang lebih sembilan langkah, Jantung Ki Tambuk dan Ki Basur berdetak tiga kali lebih cepat ketika pemuda berpenampilan aneh itu memandang dengan tajam.
"Pergilah! Kali ini aku belum memerlukan kalian,"
Ujar pemuda yang tak lain memang si Cupu Manik pendek.
"Rangkamaya! Kau tidak boleh membuat semua penduduk desa ini ketakutan karena ulahmu..".. ujar Ki Tambuk, sedikit perlahan suaranya tapi mengandung ketegasan.
"Aku tidak berbuat apa-apa? Kalianlah yang ketakutan sendiri, .. kilah Rangkamaya alias si Cupu Manik.
"Kau telah membunuh sebagian penduduk desa dengan cara keji,"
Tandas Ki Tambuk. Seketika tatapan mata pemuda itu langsung menyiratkan ketidaksenangan.
"Jangan bicara sembarangan kalian! Siapa yang lebih dulu mencari gara-gara?!"
Bentak Rangkamaya garang. Hampir saja kedua orang tua ini terjingkat mendengar bentakan barusan. Apalagi saat si Cupu Manik melangkah mendekati mereka.
"Pergilah! Jika nanti kuperlukan, maka datanglah cepat ke sini!"
Ujar si Cupu Manik garang.
"Eh! Kami..., maksudku, kau tidak bisa memerintah seenaknya kepada kami...,"
Sahut Ki Tambuk tergagap.
"Tutup mulutmu!"
Bentak pemuda itu lagi, lebih garang.
"Sudah berapa lama kalian menyiksa bangsaku?! Selama itu, aku berdiam diri. Karena waktu itu aku tidak kuasa menghentikan perbuatan keji yang kalian lakukan. Kalian adu saudara-saudaraku. Kalian potong, kalian robek-robek tubuhnya. Kalian keparat terkutuk! Aku bersumpah mulai hari ini bangsaku akan merdeka. Dan kalianlah yang akan merasakan perbuatan kalian kepada kami dahulu!"
Merasa tidak ada gunanya lagi bicara, K i Tambuk segera berbalik. Kakinya langsung melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Ki Basur dengan terburu-buru. *** "K ita harus bertindak Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja!"
Dengus Ki Basur berang, ketika telah berada di dalam rumah K i Tambuk "Apa maksudmu? K ita ke sana beramai-ramai lalu mengeroyoknya?"
Tanya Ki Tambuk.
"Kenapa tidak? Sebelum dia memperlakukan kita seperti hewan, maka biar dia merasakan betapa tidak enaknya menjadi hewan!"
Tandas Ki Basur.
"Akan banyak yang mati sia-sia...."
"K ita harus coba, Ki! Sehebat-hebatnya dia, mana mungkin bisa mengalahkan keroyokan banyak orang!"
Ki Tambuk tidak langsung menjawab. Namun dia mencoba mencari jalan keluar yang lebih aman.
"Bagaimana, Ki?"
Desak Ki Basur.
"Aku punya cara yang lebih. aman,"
Sahut K i Tambuk sambil tersenyum.
"Apa itu?"
"K ita sewa saja jago-jago bayaran, untuk melumpuhkannya. Kemudian serahkan saja dia pada prajurit kadipaten untuk mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya,"
Papar Ki Tambuk, tentang rencananya.
"Hm, boleh juga. Tapi dari mana kita dapatkan Jago-jago untuk mengalahkannya ?"
Tanya Ki Basur.
"Tentu saja dari desa lain! Aku kenal seseorang yang bisa melumpuhkan si Rangkamaya.
"
"Siapa, Ki?"
"K i Sedang yang tinggal di kaki Gunung Argowayang, Dia memiliki kesaktian hebat. Mudah-mudahan dia mampu melumpuhkan Rangkamaya dengan mudah."
"Tapi, bagaimana cara menghubunginya? Apakah si Rangkamaya akan membunuh siapa saja yang coba keluar dari desa ini?"
"K ita akan berangkat sore nanti,"
"Sore nanti? Maksudmu, kita berdua?"
"Tentu saja! Apakah kau takut?"
"Bukan begitu, Ki. Tapi...,"
"Baiklah,"
Potong Ki Tambuk, seperti memahami ketakutan Ki Basur.
"Kalau begitu biar aku sendiri yang pergi."
"Maaf, Ki. Bukan aku tidak mau mengawani..."
"Tidak apa, Ki Basur. Aku mengerti. Pulanglah...."
"Terima kasih, K i, Eh! tapi, aku masih heran. Kenapa mesti berangkat sore-sore?"
"Kalau si Rangkamaya merasa dirinya ayam, maka dia pun punya penyakit rabun senja. Saat itu, penglihatannya memburuk. Maka dia tidak akan bisa mengawasiku.
"
Jelas K i Tambuk.
"Cerdik juga!"
Puji K i Basur.
*** Sepeninggal K i Tambuk memang tidak ada kejadian apa-apa, Sejak sore tadi, tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah.
Paling-paling hanya mereka yang keluarganya tadi tewas, dibantai Rankamaya.
Itu pun secara diam-diam.
Dan mereka menguburkannya di pekarangan rumah masing-masing tanpa upacara.
Saat itu Desa Layang seketika berubah menjadi desa mati.
Bahkan untuk bersuara pun, para penduduknya takut.
Rasanya, setiap orang takut untuk memejamkan mata.
Mereka membayangkan pemuda itu tiba-tiba saja berada di ambang pintu, lalu mencabut nyawa mereka satu persatu.
Sementara itu ayam jantan telah berkokok saling bersahutan, terdengar amat gaduh di sekeliling gubuk reot yang dihuni pemuda aneh bernama si Rangkamaya alias si Cupu Manik.
Di rumah Kepala Desa Layang, telah hadir seorang laki-laki berusia setengah abad.
Tubuhnya kurus, Sebagian rambut serta jenggotnya yang tipis telah memutih.
Kepalanya memakai ikat berwarna putih.
Pakaiannya sederhana.
Dan di pinggangnya terselip sebilah keris.
"Tidak usah khawatir, K i Tambuk. Dia akan kulumpuhkan dalam waktu singkat!"
Ujar laki-laki bertubuh kurus itu, setelah Ki Tambuk menceritakan seluruh peristiwa yang terjadi di Desa Loyang ini.
"Syukurlah kalau begitu, K i Sedang, Hati kami sedikit lebih lega,"
Desah K i Tambuk.
"Jauhkah tempatnya?"
Tanya laki-laki kurus yang ternyata bernama Ki Sedang.
"Gubuk reot di sana! Dari sini terlihat!"
K i Tambuk berdiri, lantas menunjuk gubuk yang dimaksud dari celah-celah jendela.
"Hm...."
Ki Sedang yang sudah berdiri bergumam pelan seraya mengangguk-angguk "Biar aku ke sana sekarang juga!"
Lanjut laki-laki berbadan kurus itu seraya melangkah.
"Hati-hati, Ki!"
Ingat Ki Tambuk "Jangan khawatir, Aku tidak ingin mengecewakan kalian!"
Sahut K i Sedang terus melangkah mantap keluar pekarangan, Sementara di luar sana keadaan masih terlihat gelap.
Namun ujung bias cahaya matahari mulai melukis sebagian cakrawala.
Pendekar Rajawali Sakti Selendang Sutera Emas Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja