Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 18


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 18



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Ia girang bercampur heran.

   Ia mendongak melihat cuaca.

   Matahari tengah merangkak- rangkak naik ke udara tinggi.

   Dengan mengikuti bau harum tersebut ia melanjutkan perjalanan.

   Selagi berjalan menikmati pemandangan alam dan bau harum itu, tiba-tiba ia mendengar kesiur angin.

   Itulah senjata bidik daun bambu.

   Tentu saja ia tak dapat terlukai.

   Pada detik itu sadarlah dia, bahwa dalam hutan itu bermukim seorang yang berilmu kepandaian sangat tinggi.

   Terus saja ia berseru nyaring.

   "Kami bernama Tarupala, murid pendekar Dipajaya,"

   Sambil berseru demikian, ia menghentikan langkahnya.

   "Karena kami belum pernah bertemu muka dengan Tuan, bolehkah kami mengetahui nama atau gelaran Tuan?"

   Diluar dugaan Tarupala, dihadapannya seorang wanita tua beroman bengis. Wanita tua itu tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga terlongong-longong sejenak.

   "Apakah engkau benar murid Dipajaya?"

   Tanya perempuan tua itu dengan suara mengejek.

   "Dipajaya katanya seorang pendekar yang tinggi ilmunya di kolong langit ini. Dia mengaku seorang pendekar nomor satu. Sekarang engkau berani memasuki hutan bambu dengan membawa-bawa pedang. Pastilah engkau pandai ilmu pedang. Baik, ingin aku mencoba kepandai-anmu. Sebelum bertemu dengan gurumu, apa jeleknya aku mencoba-coba kepandaian muridnya....."

   Tarupala heran. Ia tak berani turun tangan dengan segera. Mendengar bunyi kata-katanya perempuan tua itu pastilah sudah mengenal gurunya. Karena itu buru-buru ia membungkuk hormat seraya berkata dengan suara merendah.

   "Sama sekali kami tak tahu bahwa membawa-bawa pedang melintasi hutan bambu ini melanggar pantangan Eyang. Karena itu perkenankan kami memohon maaf atas kekurang ajaran kami ini."

   Akan tetapi perempuan tua itu bersikap dingin, la mendengus sambil berkata dengan suara kaku.

   "Seribu kali engkau memohon maaf kepadaku tiada gunanya. Paling baik hunuslah pedangmu! Mari kita mencobanya!"

   Dia mendesak dan memaksa. Tarupala jadi kuwalahan ia sudah cukup merendah akan tetapi tiada hasilnya. Maka terpaksalah ia mencabut pedangnya.

   "Kalau Eyang memaksa silakan Eyang memberi pelajaran padaku!"

   Perempuan tua itu lantas saja mengambil sebatang bambu. Ia merengutkan daundaunnya dengan tangannya sehingga menjadi sebilah pedang-pedangan.

   "Baik, jika engkau sanggup mengutung-kan pedang bambuku ini kuijinkan engkau meneruskan perjalananmu. Sebaliknya apabila tidak, maka semenjak saat ini engkau menjadi tawananku sampai gurumu tiba .mengurus dirimu. Meskipun hatinya sedang kusut, akan tetapi Tarupala seorang pemuda yang bersemangat. Ia mendongkol juga mendengar kesombongan perempuan itu. Dalam hati kecilnya ia berpikir, ilmu pedang guruku hampir sudah kuwarisi semuanya. Masakan aku tak mampu menabas pedang bambunya. Sebenarnya aku menghormati engkau, hai orang tua! Tetapi engkau begitu tinggi hati. Apakah kau kira aku takut padamu? Sampai di situ mereka lantas saja bertarung dengan seru. Akan tetapi baru saja akan bergebrak, Tarupala sudah merasa ter- desak. Tiga kali ia mencoba membabat pedang bambu perempuan tua itu. Akan tetapi sama sekali belum memperoleh jalan. Perempuan tua itu yang bukan lain adalah Sirtupelaheli benar-benar gesit. Pedang bambunya seperti terkurung sinar pedang Tarupala, akan tetapi ia masih pandai menyelamatkan diri. Ia membalikkan tubuhnya dan membalas mendesak. Cara berke-litnya merapat pedang lawan, dan mengikuti gerakannya seperti bayangan. Heran Tarupala menyaksikan cara berkelahi Sirtupelaheli. Mengapa ia bisa mengikuti semua gerak-geriknya dengan cepat sekali? Pada saat itu ia mempercepat gerakannya. Tetapi tetap saja Tarupala tak dapat menghalau pedang bambu Sirtupelaheli. Bahkan bajunya saja tak sanggup ia menjadi kaget, heran dan kagum. Kemudian menjadi penasaran. Dengan memusatkan seluruh ilmu kepandaiannya ia mempercepat gerakannya. Begitu Tarupala mempercepat gerakannya. Sirtupelaheli tidak mau kalah. Sebat seperti bayangannya ia tetap mengikuti gerak gerik pemuda itu sambil tertawa dingin.

   "Hmm kiranya hanya begini saja kepandaian pendekar besar Dipajaya... kalau begitu agaknya sudah takdir engkau harus tinggal bersama aku di hutan bambu ini sampai gurumu datang menjemputmu."

   Selagi bertempur, Tarupala melihat cuaca terang benderang.

   Matahari sudah mencapai titik tengah.

   Hatinya menjadi terang sendiri.

   Ia cemas pula mendongkol dan masgul.

   Dengan mati- matian ia mencoba memapas kutung pedang bambu Sirtupelaheli, akan tetapi selalu gagal.

   Akhirnya ia merasa pedangnya kena libat dan sulit untuk meloloskan diri.

   Inilah aneh! Merasa diri tak unggulan lagi, segera ia melepaskan sinar tanda bahayanya untuk meminta bantuan.

   SINAR TANDA BAHAYA yang diperolehnya dari gurunya, terbuat dari bahan yang mengandung racun jahat.

   Bentuknya seperti bola.

   Dapat digunakan sebagai senjata bidik.

   Apabila mengenai tubuh lawan, segera racunnya bekerja dengan cepat.

   Sebaliknya apabila meleset dan jatuh ke tanah, bola itu akan meledak dan sinarnya melambung tinggi ke udara.

   Demikianlah dalam seribu kerepotannya, Tarupala segera menyambitkan peluru beracunnya.

   Melihat berkeredepnya peluru beracun itu, Sirtupelaheli tertawa.

   "Bagus bolamu itu!"

   Pedang bambunya dikibaskan dan peluru beracun itu melambung tinggi di udara dan meledak meletikkan cahaya api.

   Dan seperti hujan gerimis, pecahan peluru beracun itu turun berderai ke bumi.

   Inilah ancaman bahaya yang tak boleh dipandang ringan.

   Maka buru-buru Tarupala menelan obat pemunahnya.

   Di luar dugaan Sirtupelaheli tetap bersikap tenang.

   "Bagus sekali permainan bolamu.

   Biarlah aku bersiul panjang pendek untukmu."

   Sesudah berkata demikian, ia benar-benar bersiul panjang dan pendek melagukan nada senandung yang meresapkan pendengaran.

   Hanya anehnya tiupan siulannya itu mendadak saja membuyarkan debu racun yang turun dari udara.

   Sebentar saja udara di sekitar gelanggang itu bersih bening seperti semula.

   "Nah marilah kita mulai mengadu pedang lagi!"

   Kata Sirtupelaheli dengan tertawa lebar.

   "Aku tadi sudah berkata kepadamu bahwa sudah ditakdirkan dirimu harus menemani aku di dalam hutan bambu ini. Kau percaya tidak?"

   Tarupala benar-benar menjadi mendongkol.

   Lantas saja ia mendesak merapatkan diri.

   Sekarang ia tidak saja menggunakan kelincahan pedangnya, akan tetapi tangan kirinya juga menyambar.

   Hebat sambaran-nya.

   Meskipun tiada dapat menyentuh kulit Sirtupelaheli akan tetapi berhasil merobek lengan bajunya.

   "Ah!"

   Seru Sirtupelaheli kagum.

   "Benar-benar engkau mempunyai kepandaian yang agak berarti. Akan tetapi jangan engkau mimpi untuk bisa meloloskan diri dari tanganku!"

   Setelah berkata demikian segera ia menyerang lagi.

   Tatkala Tarupala melayani, pedangnya terkurung rapat seperti tadi.

   Keruan saja pemuda itu cemas sekali.

   Sambil bertempur, ia berdoa di dalam hati, moga-moga tanda bahayanya terlihat oleh gurunya.

   Apabila bukan gurunya, ia mengharapkan bantuan kakak seperguruannya Letnan Suwangsa.

   Ia percayaLetnan Suwangsa tentu berada di sekitar daerah itumengingat Kapten Wiranegara berkeliaran sampai di Kota Waringin.

   Apabila Letnan Suwangsa datang, pastilah ia bisa melawan nenek tua ini.

   Dengan tak terasa matahari terus merangkak-rangkak.

   Dan hati Tarupala kian menjadi cemas.

   Tiba-tiba pada saat itu melompatlah dua orang memasuki gelanggang.

   Merekalah Prajaka Sindungjaya dan Antariwati Di samping mereka muncul seorang pemuda tampan dan cakap.

   Tarupala tidak kenal siapakah pemudaitu..

   Akan tetapi melihat roman wajahnya, ia percaya bahwa tentu pemuda ini seorang pendekar gagah melebihi kedua adik seperguruannya.

   Dialah sebenarnyaKilatsihyang menonton pertempuran itu dari luar gelanggang semenjak tadi.

   Prajaka Sindungjaya dan Antariwati heran menyaksikan kakak seperguruannya tiada sanggup melawan nenek-nenek tua itu.

   Mereka saling pandang dan saling memberi isyarat.

   Kemudian maju berbareng.

   Berkatalah Antariwati.

   "Kangmas! Biarlah adikmu mencoba beberapa jurus melawan nenek-nenek ini. Dengan jalan begitu adikmu berdua akan mendapat pengalaman yang sangat berguna."

   Tarupala bersangsi-sangsi.

   Ia mengerling mengawaskan kedua adik seperguruannya itu.

   Ia sendiri merasa tak ungkulan melawan nenek tua tersebut, apalagi kedua adik seperguruannya.

   Apakah mereka berdua tak mengenal tingginya langit dan rendahnya bumi.

   Dengan kedatangan kedua muda-mudi itu, Sirtupelaheli lantas melompat mundur sehingga pertempuran terhenti.

   Katanya sambil tertawa.

   "Bagus! Selamanya aku senang pada anak-anak muda yang berjiwa besar. Apakah kalian juga murid Dipajaya? Pelajaran apa saja yang kalian yakinkan? Hayoo, ingin aku mencoba kepandaianmu."

   Tarupala menarik napas lega.

   Mendengar kata-kata Sirtupelahelijelaslah sudah bahwa nenek-nenek itu tiada bermaksud jahat.

   Dengan demikian, tak perlu ia khawatir nenek itu akan mencelakakan kedua adik seperguruannya.

   Lantas saja ia berkata kepada Prajaka Sindungjaya dan Antariwati.

   "Baiklah kamu berdua boleh melayani Eyang.

   Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati."

   Sirtupelaheli lantas bersiaga bertempur. Dengan sembarangan saja ia membawa pedang bambunya di depan dada.

   "Kalau kalian murid Dipajaya, jangan memanggilku eyang. Panggillah aku bibi. Nah, kenapa belum mulai? Hayoo!"

   Mendengar teguran Sirtupelaheli, baik Tarupala maupun kedua adik seperguruannya lantas membungkuk hormat. Kata Prajaka Sindungjaya.

   "Kalau begitu, hendaklah Bibi memberi pelajaran kepada kami berdua."

   Lalu dengan sebat sekaliPrajaka Sindungjaya dan Antariwatimenggerakkan pedangnya dengan berbareng.

   Sebenarnya Prajaka Sindungjaya ahli dalam tata berkelahi dengan tombak.

   Karena terpaksa saja ia menggunakan pedang.

   Mula-mula ia menggerakkan pedangnya ke kanan dan ke kiri.

   Lalu pedang Antariwati merapat dan dengan tiba-tiba mereka berdua menyabat pinggang Sirtupelaheli.

   Menghadapi mereka berdua, Sirtupelaheli tidak memandang sebelah mata.

   Bukankah mereka berdua adik seperguruan Tarupala? Walaupun mungkin sekali mengerti ilmu pedang, akan tetapi sampai dimanakah ilmu kepandaiannya? Akan tetapi setelah melihat serangan mereka yang datang berbareng bagaikan kilat, barulah ia terperanjat.

   Ia pun gugup pula, karena jarak antara mereka sangat dekat.

   Tak sempat lagi ia menangkis.

   Maka dengan terpaksa ia melompat mencelat tinggi.

   Prajaka Sindungjaya tercekat hatinya.

   Buru-buru ia membentur Antariwati dengan sikunya.

   Dan kena benturan siku kakak seperguruannya, Antariwati terhuyung mundur dan Prajaka Sindungjaya sendiri lantas mundur pula dengan cepat.

   Sirtupelaheli yang telah turun di atas tanah tertawa manis di hadapan mereka berdua.

   "Bagus, anak-anak muda! Nah, mari maju lagi!"

   Dia tadi melompat tinggi untuk menolong diri.

   Setelah berada di udara, ia mepersiap-kan pedang bambunya untuk melakukan serangan pembalasan.

   Begitulah, selagi tubuhnya turun, ia membabat.

   Akan tetapi Prajaka Sindungjaya ternyata sangat tajam penglihatannya.

   Pada saat Antariwati hendak terancam bahaya, ia membenturkan sikunya.

   Dengan demikian pedang bambu Sirtupelaheli membabat udara kosong.

   Mau tak mau Sirtupelaheli harus memuji kecerdikan kedua lawannya itu.

   Dia tidak mendongkol atau menyesali diri sendiri yang kalah cepat.

   Akan tetapi sebaliknya, dia merasa senang menyaksikan ketangkasan mereka berdua.

   Segera ia melompat maju untuk mendahului menyerang.

   Prajaka Sindungjaya ternyata seorang pemuda yang cerdik.

   Melihat Sirtupelaheli melompat ke udara, ia sadar akan ancaman bahaya yang datang.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah sebabnya ia membentur Antariwati karena tiada jalan lain yang lebih baik daripada berbuat begitu.

   Mula-mula Antariwati merasa heran.

   Tetapi setelah mengetahui maksud kakak seperguruannya, dia jadi mengerti.

   Diam-diam ia berterima kasih kepada kakak seperguruannya itu yang berkesan sebagai petani dungu.

   Kilatsih sendiri kagum atas kecerdikan pemuda itu.

   Maka benarlah perasaannya, bahwa pemuda itu melebihi kakak seperguruannya Tarupala.

   Sekarang ia tambah mengerti pula apa sebab Antariwati memilih Prajaka Sindungjaya daripada Tarupala.

   Dan oleh pengertian itu dengan tak sekehendaknya "

   Sendiri ia menghela napas.

   Bukankah sampai pada hari itu dia belum dapat menentukan pilihannya? Dalam pada itu Sindungjaya dan Antariwati telah melayani pedang bambu Sirtupelaheli lagi.

   Nenek tua itu berkelahi dengan sungguh-sungguh.

   Ia mencoba mempengaruhi pedang lawan yang masih muda itu.

   Ia insyaf bahwa mereka berdua tidak boleh dibuat gegabah.

   Maka dia nampak bersungguh-sungguh daripada sewaktu melawan Tarupala tadi.

   Karena terus didesak serangan Sirtupelahelimau tak mauPrajaka Sindungjaya dan Antariwati terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya.

   Seperti arus gelombang menjulang tinggipedang mereka berdua meradu, menerjang, menusuk dan membabat pedang bambu Sirtupelaheli.

   Lima puluh jurus telah lewatdan Sirtupelaheli masih belum dapat mengalahkan kedua muda-mudi tersebut.

   Menyaksikan ketangguhan Prajaka Sindungjaya dan Antariwati, Kilatsih tercengang-cengang.

   Ia kagum dan heran melihat Prajaka Sindungjaya bisa menggerakkan pedangnya begitu tepat dan cepat mengimbangi pelbagai jurus Antariwati.

   Kemarin dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan betapa Prajaka Sindungjaya hampir tak mampu melawan pedang Letnan Mangunsentika.

   Apakah justru karena pemuda itu menggunakan tombak? Atau hanya berpura-pura saja untuk memancing Letnan Mangunsentika memasuki rumah perguruannya? Kini Kilatsih menyaksikan hal yang sebaliknya.

   Seperti sedang berlatih, pemuda itu menggerakkan pedangnya demikian wajar.

   "Ah! Benar-benar di dalam dunia ini terdapat banyak sekali ilmu kepandaian yang tinggi. Eyang Dipajaya memang seorang pendekar terkenal. Namanya bisa dijajarkan dengan guru dan Eyang Gagak Seta. Walaupun demikian-^kalau aku tidak menyaksikan keragaman ilmu pedangnya yang diwariskan kepada kedua muridnya inipastilah aku tidak gampang-gampang percaya,"

   Kata Kilatsih di dalam hatinya.

   "Ayunda Titisari pernah menceritakan riwayat Eyang Dipajaya dan Eyang Sirtupelaheli. Kedua orang itu anggota aliran Utusan Suci, yang berpusat di Pulau Lombok. Mereka menjadi anggota karena korban bius racun yang mengeram di dalam tubuhnya dan sampai kini belum memperoleh obat pemunah. Tugas mereka merampas atau mencuri kitab-kitab ilmu sakti yang -terdapat di seluruh pulau Jawa. Apabila mereka sudah dapat menyerahkan kitab- kitab ilmu sakti yang dimaksudkan, barulah mereka dapat terbebas dari racun bius yang mengeram di dalam tubuhnya. Sekarang nampaknya Eyang Sirtupelahelisudah mulai sadar akan kesesatannya. Walaupun racun bius yang mengeram di dalam dirinya belum punah, akan tetapi dia didampingi Eyang Gagak Seta. Sekalipun pada saat-saat tertentu ia harus menelan obat-obat pemunah racun ganja untuk sementara waktu, akan tetapi kesehatannya untuk sementara waktu dapat dikekang oleh Eyang Gagak Seta. Semenjak berpisah dengan Eyang Sirtupelaheli,Dipajayahidup seorang diri dan berjuang sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh racun-racun ganja. Itulah sebabnya dengan mati-matian dia mencoba mengangkangi surat wasiat ayurida Titisari. Melihat keragaman ilmu pedang yang diwarisi oleh kedua muridnya itu, apakah berasal dari surat wasiat Ayunda Titisari? Jika demikianlah halnya, alangkah hebat...!"

   Pertempuran masih tetap berjalan dengan serunya.

   Lambat laun Sirtupelaheli berada di atas angin.

   Pedang bambunya mulai memperlihatkan kewibawaan.

   Keruan saja Prajaka Sindungjaya dan Antariwati menjadi heran.

   Ilmu pedang gabungan mereka bernama ilmu pedang Dwi Murti.

   Mereka pernah mencoba ilmu pedang gabungan itu beberapa kali.

   Dan selamanya belum pernah mereka terkalahkan oleh seorang betapa tingi ilmu kepandaiannya pun.

   Akan tetapi menghadapi Sirtupelaheli ternyata ilmu pedang gabungan Dwi Murti dapat tertindih.

   Semua serangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh nenek tua itu.

   Mau tak mau mereka menjadi cemas.

   Kini tak mampu lagi mereka melakukan serangan pembalasan bahkan untuk membela diri saja pun merasa kuwalahan.

   Pada saat Prajaka Sindungjaya memutuskan untuk menyerah kalah saja tiba-tiba terdengar Sirtupelaheli membentak.

   "Siapa yang datang? Hayo letakkan pedangmu!"

   Membentak demikian Sirtupelaheli lantas saja menyambitkan beberapa helai daun bambu yang menyerang sasarannya dengan cepat.

   Odara lantas saja tak ubah hujan daun-daun bambu.

   Beberapa detik kemudian terdengarlah suara bentroknya- daun-daun bambu itu yang lantas saja jatuh berserakan di atas tanah dan Sirtupelaheli jadi heran.

   Sadarlah dia bahwa seorang lawan yang lebihtangguh dari mereka bertiga datang memasuki gelanggang.

   Memperoleh kesan demikian, segera ia memperhebat serangannya terhadap Prajaka Sindungjaya dan Antariwati untuk memperoleh kepastian.

   Setelah hujan daun-daun bambu itu tersapu bersih dari udara muncullah seorang perwira dari balik rumpun bambu.

   Dengan gerakan ringan sekali, ia memasuki gelanggang.

   Melihat siapa yang datang Tarupala terkejut berbareng gembira.

   Dialah kakak seperguruannya yang tadi diharap- harapkan kedatangannya.

   Benar-benar dia berada di sekitar pesanggrahan gurunya.

   Dialah Letnan Suwangsa, kakak seperguruannya yang tertua dan yang dicintainya.

   "Tarupala! Kau baik-baik saja, kan?"

   Tegur Letnan Suwangsa seraya menghampiri. Tiba-tiba saja kedua matanya mengerling kepada Kilatsih yang pada saat itu juga sudah meraba hulu pedangnya.

   "Ah! Engkau juga berada di sini? Apa inilah yang dinamakan orang sekali tepuk matilah dua lalat sekaligus....."

   Kilatsih hendak menyahut tatkala ia melihat dua orang lagi muncul dari balik rumpun bambu.

   Yang berjalan di depan segera dikenalnya.

   Dialahitu Kapten Wiranegara.

   Sedang yang berada di belakangnya adalah seorang asing.

   Tubuhnya tinggi besar seakan-akan raksasa.

   Kulitnya hitam lekam dan rambutnya kaku dan dipotong pendek.

   Sepasang alisnya tebal dan hampir bersambung.

   Hidungnya besar dan berbulu.

   Kedua bibirnya berkesan kaku dan ketat.

   Matanya bergundu hitam tajam, benar-benar merupakan raksasa yang menakutkan.

   Bagaimana Kapten Wiranegara dan Letnan Suwangsa bisa datang berbareng dengan orang itu? Seperti diketahui Kapten Wiranegara lari terbirit-birit setelah menyaksikan Gagak Seta mempertontonkan ilmu saktinya, Kumayan Jati.

   Di tengah jalan ia berpapasan dengan Letnan Suwangsa dan raksasa hitam itu.

   "Kapten, bagaimana, berhasilkah?"

   Kapten Wiranegara tidak dapat menjawab dengan segera.

   Ia perlu mengatur pernapasannya terlebih dahulu.

   Apabila sudah dapat menguasai ketenangan hatinya kembali, segera ia menuturkan pengalamannya yang pahit.

   Mendengar tutur kata Kapten WiranageraLetnan Suwangsamende-ham beberapa kali.

   Sejak menerima perintah Sri Sultan untuk membawa pulang pedang Kyai Ageng Singkir yang berada di tangan gurunya, Letnan Suwangsa sangat berprihatin.

   Sebagai salah seorang murid, tentu saja tak dapat ia melaksanakan tugas itu.

   Sesudah bertempur di Magelang, segera ia berunding dengan Kapten Wiranegara untuk membagi tugas.

   Kapten Wiranegara dipersilakan untuk melaksanakan tugas Sri Sultan, sedang dirinya sendiri akan mencari Kilatsih dan Manik Hantaya.

   Itulah sebabnya ia muncul seorang diri tatkala mengejar Manik Hantaya, Sukesi dan Kilatsih.

   Setelah gagal menangkap buruannya, segera ia menyusul Kapten Wiranegara.

   Tentu saja ia merahasiakan bahwa dirinya salah seorang murid Dipajaya pula.

   Kini ia mendengar khabar tentang gagalnya Kapten Wiranegara membawa pedang Kyai Ageng Singkir.

   Diam-diam hatinya girang.

   Segera ia berkata menghibur.

   "Kapten! Mari, kuperkenalkan dengan paman guruku.

   Dialah yang menolong Letnan Mangun Sentika."

   Diingatkan tentang Letnan Mangun Sentika, hati Kapten Wiranegara tercekat.

   Barulah dia teringat kepada kawan seperjalanannya itu, yang hilang tiada khabarnya.

   Jelas sekali bahwa Letnan Mangun Sentika kena serangan gelap Gagak Seta.

   Akan tetapi, orang ini menolongnya.

   Keruan saja hatinya penuh syukur.

   "Kau bilang, paman guru?"

   "Benar! Dialah adik seperguruan Guru. Berasal dari Maluku. Namanya Manusama,"

   Letnan Suwangsa menerangkan.

   "Dimana dan kapan kalian bertemu?"

   Kapten Wiranegara bertanya.

   Itulah pertemuan yang terjadi dengan tiba-tiba saja.

   Seperti diketahuiLetnan Suwangsaberprihatin memikirkan kedudukan gurunya, yang dianggap pemerintah sebagai buron.

   Hingga jauh malam dia termenung-menung seorang diri mencari jalan penyelesaian yang sempurna.

   Tatkala itu bulan terang benderang mulai larut malam.

   Biasanya ia tertarik kepada malam cerah.

   Akan tetapi kali itu hatinya lesu dan badannya terasa sangat letih.

   Tak dikehendaki sendiri ia tertidur.

   Tak tahu ia berapa lama dirinya tertidur, yang terasa tiba-tiba panca inderanya yang tajam membangunkannya.

   Begitu terbangun ia mendengar kesiur angin tajam.

   Segera ia melompat bangun dan menjenguk ke luar tenda.

   Seorang Sersan menghampirinya.

   "Seorang yang bertopeng menyelundup ke dalam perkemahan! Dia mengacau di sini,"

   Kata Sersan itu mengadu.

   Letnan Suwangsa kaget.

   Pikirnya, serdadu yang menjaga perkemahan ini dua peleton banyaknya.

   Penjagaannya teratur rapi.

   Mengapa sampai bisa dimasuki seseorang? Pastilah orang itu bukan sem-baranganMemperoleh pikiran demikian ia menegas.

   "Apakah seluruh peleton membiarkan dia mengacau di sini?"

   "Letnan! Seluruh anggota peleton rebah tak berkutik. Yang selamat hanya aku dan beberapa kawan,"

   Jawab Sersan itu. Mendengar jawaban Sersan itu, Letnan Suwangsa bertambah heran.

   "Kenapa begitu? Apa dia pilih kasih?"

   Ditanya demikianSersan itunampak gugup.

   "Bukan begitu Letnan! Soalnya kami kebetulan lagi bertandang di dusun sebelah....."

   Inilah pelanggaran tata tertib militer. Tetapi tatkala hendak mendampratnya, sekonyong-konyong pendengarannya yang tajam mendengar beradunya senjata logam.

   "Siapa? Apakah ada di antara anak buahmu yang mengejar orang bertopeng itu?"

   Tanya Letnan Suwangsa. Sersan itu rupanya mendengar pula suara beradunya senjata. Wajahnya nampak heran.

   "Kukira tidak, Letnan! Kawan-kawan lagi sibuk menolong yang lain."

   Tak ayal lagi Letnan Suwangsa segera menyambar pedangnya dan lari ke arah suara beradunya senjata.

   Bulan nampak semakin jernih.

   Di tengah ladang terlihat berkelebatnya dua bayangan.

   Pedang mereka berkeredepan.

   Saban-saban terdengar benturan pedang mereka.

   Tatkala Letnan Suwangsa menghampiri, ia menjadi tercengang.

   Dua orang yang sedang bertempur seru itu, yang seorang mengenakan topeng.

   Perawakannya tinggi besar.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebagai seorang perwira yang berpengalamantak perlu ia heran atau tercekat hatinyamelihat perawakan orang yang mengacau perkemahan-nya.

   Hatinya pun tidak gentar pula menghadapi topengnya.

   Akan tetapibegitu meli-hatlawan orang bertopeng itu, hati Letnan Suwangsa merasa seperti terpukul.

   Orang itu telah lanjut usianya, rambut dan kumisnya sudah ubanan.

   Dialah gurunya sendiri, pendekar Dipajaya si jago tua.

   Kenapa gurunya tiba-tiba saja berada di sekitar perkemahan ini? Kenapa pula sampai bentrok dengan orang bertopeng itu? Teringat akan tugas yang dibawanya, hatinya berdebar-debar.

   Mungkinkah sehubungan dengan kepergian Kapten Wiranegara? Kalau sampai gurunya mengetahui tugas yang dibawanya, celakalah! Paling tidak, ia akan dikeluarkan dari perguruannya.

   Namanya sebagai seorang murid akan ternoda.

   Hampir saja ia hendak menghampiri gurunya untuk memohon ampun.

   Syukurteringatlah diabahwa gurunya sedang bertempur melawan orang bertopeng itu.

   Kalau sampaiperhatiannya terpecahakan membahayakan jiwa.

   Pedang gurunya bergerak bagaikan gelombang dahsyat menggulung orang bertopeng itu.

   Sebaliknya orang bertopeng itumeskipun berkelahi dengan sungguh-sungguhagaknya tidak mempunyai tujuan untuk membunuh gurunya.

   Ilmu pedangnya hebat sekali.

   Setiapkali kena desak, dengan gerak yang indah sekali ia bisa mengelakkan.

   Ilmu pedang guru maju luar biasa, kata Letnan Suwangsa di dalam hati.

   Akan tetapi ilmu pedang orang bertopeng itu tiada di bawah kepandaian guru.

   Siapakah dia? Semenjak berpisah dengan Sirtupelaheli Dipajaya membangun sebuah rumah perguruan.

   Ia menciptakan ilmu pedang sendiri.

   Jarang sekali ia muncul di dalam pergaulan masyarakat, akan tetapi namanya sangat termasyur di Jawa Tengah.

   Dia hanya berada di bawah nama Sangaji yang termasyur itu.

   Dengan Adipati Surengpati ia sejajar.

   Juga setataran dengan nama Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi.

   Karena itu, orang yang sanggup menandingi ilmu pedangnya hanya beberapa orang saja.

   Sekarang ia menemukan tandingannya.

   Tak mengherankan Letnan Suwangsa jadi sibuk sendiri menduga-duga siapakah orang bertopeng itu.

   Semakin lama nampaklah dengan nyata bahwa orang bertopengitu agaknya menghormati Dipajaya.

   Tak sudi dia membalas menyerang dengan maksud membunuh atau mencelakakan.

   Kalau terpaksa menyerang, maksudnya hanya untuk mendesak mundur saja.

   Menyaksikan hal itu, kembali lagi Letnan Suwangsa berpikir di dalam hati.

   Di kolong langit ini, siapakah pendekar yang sepandai guru, kecuali Sangaji? Makin lama Letnan Suwangsa makin tertawan hatinya sehingga tidak mengetahui bahwa di sampingnya telah berdiri Letnan Matulessi dan Letnan Johan.

   Kedua perwira ini telah menghunus pedangnya masing-masing.

   Mereka bersiaga bertempur pada setiap waktu.

   Dalam hati mereka sudah mengambil keputusan hendak membantu orang yang melawan orang bertopeng meskipun mereka belum kenal, siapa dia sesungguhnya.

   Itulah disebabkan, lantaran mereka berdua tadi kena dirobohkan oleh orang bertopeng itu.

   Setelah memperoleh pertolongan kawan-kawannya Sersan yang baru datang bertandang dari desa sebelah, segera lari mengejar.

   Teringat pengalaman mereka tatkala kena pegat Daniswara yang bertopeng pula, dengan serta merta mereka memperhatikan gerak gerik orang bertopeng itu.

   Sesudah memperhatikan sejenakternyata orang yang bertopeng itu bukanlah Daniswara.

   Ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Daniswara.

   Kalau bukan dia, lantas siapa? Sebaliknya Letnan Suwangsa mempunyai perhatiannya sendiri.

   Dengan bersungguh-sungguh ia mengamat-amati.

   Ia percaya, meskipun orang yang bertopeng itu tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi menghadapi gurunya, tidak bakal dapat meloloskan diri.

   Namun setelah menyaksikan dua tiga puluh jurus lagi hatinya menjadi bimbang.

   Di dalam beberapa jurus lagi gurunya tak nampak lebih unggul.

   Orang yang bertopeng itu jelas belum mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.

   Keruan saja hatinya menjadi terlebih sibuk lagi.

   "Di dalam zaman ini masih terdapat seorang seperti dia. Sungguh mengherankan! Kalau dia memusuhi Kompeni, alangkah berbahayanya!"

   Olehpikirannya itu hatinya menjadi gelisah.

   Kalau saja orang itu bisa dilocoti topengnya, segera ia akan mengetahui siapakah dia sebenarnya? Selagi Letnan Suwangsa sibuk dengan pikirannya, orang yang bertopeng itu mendadak saja mundur satu langkah.

   Pedangnya menuding ke tanah kemudian menutup dadanya.

   Itulah suatu isyarat bahwa dia hendak meninggalkan gelanggang.

   Tetapi justru demikian, Dipajaya melompat dan menyerang dengan dahsyat sekali.

   Pedangnya berkelebat bagaikan seekor ikan raksasa menyemburkan air.

   Di luar dugaan tikaman-nya yang sangatberbahaya itu, gagal membidik sasarannya.

   Ia mengulangi dan mengulangi sampai enam kali berturut-turut, akan tetapi tetap saja gagal.

   Tanpa merasa Letnan Suwangsa berseru.

   "Bagus!"

   Letnan Suwangsamemuji lagi. Tatkala itu terdengarlahbentakan Dipajaya.

   "Bocah yang baik! Engkaukah itu?"

   Itulah bentakan Dipajaya, dan jago tua itu lantas saja meloncat ke samping.

   Melihat Dipajaya meloncat ke samping, orang yang bertopeng itu tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik.

   Segera ia menyerang.

   Dipajaya terkejut setengah mati sampai berseru kaget.

   Akan tetapi walaupun usianya telah lanjut gerakannya tetap gesit.

   Tiba-tiba saja ia meletik seperti ikan terbang.

   Herannyasetelah menyerang orang bertopeng itu tidak mau melejit, la bahkan melompat keluar gelanggang.

   Teranglah, bahwa dia tiada mempunyai tujuan untuk mencelakai Dipajaya.

   Sampai di situ tak sanggup lagi Letnan Suwangsa menahan kesabarannya, la melompat sambil menikamkan pedangnya berbareng dengan Letnan Johan dan Letnan Matulesi yang menerjang serempak.

   Trang! Orang bertopeng itu menangkis ketiga pedang dengan sekali babat.

   Kemudian berdiri tegak dengan sikap menunggu.

   Letnan Suwangsa terkejut.

   Ia kenal gaya tangkisan itu.

   Itulah gaya tangkisan seperti ilmu pedang Kilatsih.

   Apakah dia orang segolongan Kilatsih? Ataukah salah seorang murid Adipati Surengpati yang lain.

   Tak sempat lagi ia menduga-duga.

   Letnan Matulesi dan Letnan Johan kala itu mengulangi serangannya kembali.

   Segera ia ikut merangsak dengan empat tikaman sekaligus.

   Akan tetapi, mereka bertiga hanya menikam udara kosong.

   Dengan kecepatan yang mengagumkan, orang bertopeng itu dapat mengelakkan diri.

   Untuk kesekian kalinya, Letnan Suwangsa menjadi kagum.

   Belum pernah ia menyaksikan seorang yang memiliki ilmu pedang setinggi orang itu.

   Tata berkelahinya campur baur dari berbagai ragam ilmu pedang kelas utama.

   Rupanya orang bertopeng itu kenal akan rahasia serta intisari ilmu pedangnya.

   Itulah sebabnya setiapkali ia menggerakkan pedangnya, orang bertopeng itu selalu dapat mendahului.

   Dengan demikian semua ragam serangannya mati di tengah jalan.

   Tiba-tiba orang bertopeng itu merabu dengan sungguh- sungguh.

   Kedua pedang Letnan Matulesi dan Letnan Johan terpental ke udara, sedang pedang Letnan Suwangsa kena terpukul miring.

   Pada detik itu pula terdengar suara tertawa lembut.

   "Dipajaya!"

   Kata orang bertopeng itu sambil melompat mundur.

   "Sampai di sini saja pertemuan kita. Kau hebat! Akan tetapi jangan engkau bermimpi bisa berlawan-lawanan dengan Sangaji. Baru saja engkau menghadapi aku, tak dapat engkau berbuat banyak. Lantaran itu, hentikan saja usahamu yang sia-sia! Baiklah, kalau engkau belum merasa puas bertanding denganku, beri khabar terlebih dahulu kepadaku dimana Fatimah berada?"

   Setelah berkata demikian, orang bertopeng itu berjungkir- balik mundur lagi. Kemudian lenyap dari penglihatan dan Dipajaya menghela napas perlahan. Katanya kepada Letnan Suwangsa.

   "Bocah baik! Jangan Kejar!"

   Sesudah berkata demikian, Dipajaya nampak bermurung-murung.

   Ia membolang- balingkan pedangnya.

   Itulah pedang Kyai Ageng Singkir, pedang mustika dari kasultanan Yogyakarta.

   Melihat pedang itu hati Letnan Suwangsa berdebar-debar.

   Segera ia mengalihkan perhatian.

   "Guru! Siapakah dia? Dia begitu som-- bong!"

   "Tidak! Dia tidak sombong! Dia bilang sebenarnya,"

   Jawab Dipajaya dengan suara berduka.

   "Aku telah berumur tujuh puluh enam tahun lebih. Walaupun demikian belum berhasil mencapai tataran kesempurnaan dari beberapa macam ilmu kepandaian yang telah aku kenal. Itulah sebabnya aku hanya mengharapkan engkau saja, anakku..."

   Letnan Suwangsa heran mendengar pengakuan gurunya.

   "Siapa dia?"

   "Siapakah dia sesungguhnya, tidaklah penting,"

   Jawab Dipajaya.

   "Rupanya zaman selalu melahirkan orang-orang baru yang berilmu kepandaian tinggi. Memang pernah aku mendengar khabar, bahwa Sangaji adalah seorang pendekar yang pantas menyematkan mahkota di atas kepalanya. Meskipun demikian, ilmu kepandaiannya ternyata tiada berada di bawahku. Hmm....! Tidak salah! Tidak salah! Sekarang mataku terbuka lebar-lebar, bahwa pada zaman ini, hanya Sangaji yang dapat menandinginya."

   Sesudah berkata demikian, Dipajaya bermenung-menung lagi. Wajahnya nampak menjadi guram, la menghela napas beberapa kali. Lalu berkata lagi.

   "Bocah baik! Kiranya banyak sekali rahasiaku yang belum pernah kupaparkan kepadamu. Tetapi dengan ini kunyatakan kepadamu, bahwa mulai detik ini, tak sudi lagi aku menjadi hamba orang. Aku manusia yang dilahirkan sendiri dan akan mati seorang diri pula seperti lain- lainnya. Kenapa aku sudi menjadi budak orang?"

   Tentu saja kata-kata Dipajaya itu tidak dimengerti oleh Letnan Suwangsa.

   Seperti diketahui, Dipajaya termasuk seorang anggota Aliran Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok.

   Lantaran kena obat bius Aliran Suci, puluhan tahun lamanya ia menjadi budaknya.

   Hidupnya sengsara karena tugas yang dipikulkan di atas pundaknya oleh Aliran Suci yang memerintahkan kepadanya agar merampas sekalian buku- buku ilmu sakti yang berada di seluruh Pulau Jawa.

   Pedang Kyai Ageng Singkir yang kini berada di tangannya itu pun adalah salah satu senjata yang dikehendaki Aliran Suci pula.

   "Guru! Sebenarnya Guru hendak berkata apa kepadaku?"

   Letnan Suwangsa minta penjelasan. Dipajaya tidak menjawab. Lagi-lagi ia menghela napas.

   "Sebenarnya pedang ini hendak kuhadiah-kan kepadamu. Keputusan ini terjadi setelah aku bertempur melawan orang bertopeng tadi. Tetapi, justru demikian, tiba-tiba aku teringat akan adik-adik seperguruanmu pula. Dalam hal ilmu pedang, engkau telah mewarisi seluruh kepandaianku. Sebaliknya ketiga adik seperguruanmu. Tarupala, Prajaka Sindungjaya dan Antariwati, belum dapat menjajarimu. Sebagai Guru, aku harus berbuat adil."

   Setelah berkata demikian ia menarik tangan Letnan Suwangsa dan diajaknya menyendiri.

   Letnan Matulesi dan Letnan Johan tidak berani mengganggu.

   Karena orang bertopeng yang mengacau perkemahan sudah pergi, mereka pun lantas balik kembali ke perkemahan untuk mengatur peletonnya.

   "Aku sudah tua. Hari-hariku tidak banyak lagi,"

   Kata Dipajaya.

   "Dalam hidupku ini, aku merasa puas sudah. Ke atas, tiada aku malu terhadap Tuhan. Ke bawah, aku tak usah malu kepada bumi yang kuinjak. Dan memandang ke depan tak usah aku segan * terhadap orang-orang yang hidup se- zaman dengan diriku serta angkatan mendatang. Kecuali satu hal yang membuat hatiku kurang tenteram."

   "Guru! Sekiranya ada sesuatu hal yang membuat guru berduka, nyatakan saja kepadaku,"

   Potong Letnan Suwangsa dengan terharu.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Asal, diriku sanggup, tak akan mengelak."

   Dipajaya tertawa melalui dadanya, la menimbang-nimbang sebentar kemudian berkata.

   "Ontuk saat ini, ingat-ingatlah dua buah nama di dalam benakmu! Yang pertama Brigu dan yang kedua Manusama. Mereka berdua telah memberi khabar kepadaku, akan datang menemuiku dan aku tak sudi menemuinya."

   "Siapa mereka?"

   Letnan Suwangsa heran.

   "Manusama adalah paman gurumu dan Brigu....."

   Jawab Dipajaya berbimbang-bimbang. Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

   "Biarlah tentang dia akan kuceritakan dengan perlahan-lahan kepadamu kelak. Sesudah pertemuan ini, usahakan dirimu, agar bisa menemui aku di dalam bihara! Kau tahu letak biharaku bukan?"

   Letnan Suwangsa mengangguk.

   "Bagus! Sekarang, dengarkan!"

   Ujar Dipajaya dengan sungguh-sungguh.

   "Kau tadi telah menyaksikan, bahwa gurumu, tak dapat berbuat banyak terhadap orang yang bertopeng. Sedangkan sebenarnya, dua puluh tahun lamanya gurumu telah mengumpulkan berbagai ragam ilmu sakti, di pulau Jawa ini. Saudara-saudara seperguruanmu hanya tiga orang. Sedang aku, mengandal kepadamu belaka. Engkau seorang yang pandai. Hanya saja engkau harus menjaga kepandaianmu itu agar jangan tersesat. Kalau salah menempatkan diri, engkau akan menjadi budak nafsUmu sendiri seperti aku."

   Sampai di sini Dipajaya berhenti sebentar. Ia menatap wajah muridnya yang tertua itu.

   "Sekarang telah kuputuskan bahwa engkau kuanggap menjadi ahli warisku. Aku akan menyerahkan sesuatu kepadamu, kecuali pedangku."

   Jago tua itu lantas meraba sakunya dan mengeluarkan se-

   Jilid buku. Itulah kitab ilmu sakti ciptaannya sendiri. Kitab itu lantas diberikan kepada Letnan Suwangsa.

   "Inilah kumpulan ilmu sakti. Kau selami dan kau pahami benar-benar demi menjaga pamor rumah perguruan kita di kemudian hari."

   Keputusan ini sama sekali di luar dugaan Letnan Suwangsa, sehingga hatinya berdebar-debar, la girang dan bersyukur bukan main.

   Hanya saja ia masih berbimbang-bimbang terhadap pedang Kyai Ageng Singkir yang masih berada di tangan kirinya.

   -Seumpama pedang itu diberikan pula kepadanya, maka urusan pun selesailah.

   Pedang itu akan segera dikembalikan kepada yang berhak.

   Sedang untuk dirinya sendiri cukuplah sudah, pedang dari mertuanya.

   Namun ia seorang yang berpengalaman.

   Segera ia dapat menenangkan hatinya, dan menyatakan rasa terima kasih tak terhingga terhadap gurunya.

   Katanya dengan/suara terharu.

   "Guru! Guru begitu percaya kepadaku. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakan pesan guru."

   "Kau sangat pintar, anakku! Kau tidak membutuhkan nasihat-nasihat lagi,"

   Kata Dipajaya.

   "Seperti apa yang kukatakan tadi, engkau tinggal menjaga kepintaranmu itu. Jangan sekali-kali engkau sesat jalan! Kau ingat-ingatlah pesan gurumu ini!"

   Letnan Suwangsa mengangguk.

   Dan sampai di sini Dipajaya tidak berkata lagi.

   Jago tua itu memutar tubuhnya lalu berjalan dengan cepat memasuki tirai malam di bawah cahaya bulan terang benderang.

   Sebentar saja tubuhnya tak kelihatan lagi.

   Hanya saja tiba-tiba terdengarlah dia menyanyi tinggi mengalun.

   Itulah suatu tanda bahwa hatinya merasa sangat puas.

   Lalu terdengar dia berkata sayup-sayup.

   "Anakku! Jangan lupa, esok hari, carilah aku di bihara. Sekiranya aku tidak berkesempatan lagi menceriterakan tentang rahasiaku dan siapa pula orang yang kusebut Brigu, engkau akan menemukan sepucuk surat yang kutulis untukmu....."

   Letnan Suwangsa tertegun hatinya, la kagum luar biasa.

   Benar-benar gurunya mempunyai kesaktian yang susah diukur betapa tingginya.

   Tubuhnya tidak nampak dalam penglihatan, namun demikian suaranya dapat tertangkap jelas.

   Itulah suatu bukti bahwa gurunya memiliki himpunan tenaga sakti yang tinggi.

   Sebaliknya dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Kalau menjawab, dia harus berteriak sekuat- kuatnya.

   Itulah cara yang kurang sopan.

   Selagi tertegun-tegun demikian, tanpa merasa ia mengangguk meng-iakan.

   Kemudian berputar menghadap perkemahannya.

   Bagi Letnan Suwangsa, inilah pengalamannya yang paling hebat.Pertama ia menyaksikan bahwa gurunya menemukan tandingan.

   Kedua.

   di luar dugaan, gurunya mewariskan kitab himpunan ilmu sakti dan yang ketiga.

   esok hari ia diperintahkan agar mencari gurunya di bihara.

   Ketiga-tiganya merupakan suatu peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya.

   Dengan pikiran itu ia kembali ke perkemahan.

   Letnan Matulesi menyongsongnya di depan pintu penjagaan dan memberi laporan bahwa usaha menolong anak buahnya belum berhasil semuanya.

   Sebagian besar mereka masih roboh pingsan.

   Laporan itu membuat hati Letnan Suwangsa tercekat.

   Makin terpancanglah pikirannya kepada orang bertopeng tadi.

   Siapakah dia sebenarnya? Belasan tahun lamanya ia melang- melintang tiada tandingnya sebagai seorang militer.

   Selama itu belum pernah ia melihat seorang pendekar setangguh dia.

   "Apakah mereka kena bius?"

   Letnan Suwangsa minta keterangan.

   "Tidak, Letnan!"

   Jawab Letnan Matulesi.

   "Mereka semua seperti kena pukulan tertentu, sehingga roboh tak berkutik. Walaupun demikian mereka sama sekali tak terluka."

   Bergegas ia memasuki perkemahan dan memeriksa mereka yang roboh tak berkutik. Makin diperhatikan, ia makin menjadi heran. Segera ia mencoba-coba menolong mereka, akan tetapi tidak berhasil. Menghadapi kenyataan itu, benar-benar ia menjadi kagum.

   "Khabarnya pada zaman ini hanya beberapa orang yang berilmu kepandaian melebihi guruku. Yang pertama Sangaji. Kemudian Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati dan Gagak seta. Orang bertopeng tadi jelas sekali bukan salah seorang dari mereka. Lantas siapa?"

   Pikirnya di dalam hati. Selagi pikirannya gelisah tak menentu, tiba-tiba tenda perkemahan tergoyang. Seorang Sersan berseru dari luar tenda.

   "Letnan! Lihatlah!"

   Letnan Suwangsa melompat keluar tenda dan hatinya terkejut.

   Dengan pertolongan cahaya bulan, ia melihat tegas seutas tali yang terikat kuat pada dahan pohon dan ujungnya mengkait tiang tenda.

   Terang sekali, itulah perbuatan orang.

   Yang mengherankan, kapan terjadinya hal itu? Tatkala tadi ia memasuki perkemahan, sama sekali ia belum melihatnya.

   Apakah ujung tali itu dilemparkan dari atas pohon? Kalau benar demikian, itulah bukan perbuatan sembarang orang yang dapat melempar tali mengkait ujung tiang tenda dengan tepat sekali.

   Pada saat itu tali yang terpancang di dahan pohon ke ujung tiang tenda, mulai bergerak.

   Seseorang turun dari dahan pohon melalui tali itu.

   Gerakannya cepat dan gesit seperti seekor kera.

   Dalam cahaya bulan, tubuhnya bagaikan bayangan hitam saja.

   Sekarang tahulah Letnan Suwangsa maksud orang itu.

   Dia tidak menghendaki melalui gardu penjagaan dengan terang-terangan.

   "Apakah orang bertopeng itu datang kembali?"

   Tanya Letnan Suwangsa kepada dirinya sendiri.

   Sekonyong-konyong terdengar jeritan tertahan.

   Lalu saling susul dan beberapa serdadu roboh terguling.

   Mereka terpelanting menungkrapi tanah.

   Keruan saja Letnan Suwangsa terkejut bukan kepalang.

   Dan Letnan Matulesi yang berdiri di sampingnya terpaku oleh rasa terperanjatnya pula.

   Selagi dalam keadaan demikian, dua benda hitam melayang dengan cepat bagaikan peluru meriam.

   Datangnya dari atas tambang yang terpancang dari dahan pohon ke ujung tiang tenda.

   Inilah ancaman bahaya yang tak boleh dipandang ringan! Cepat Letnan Suwangsa menolak tubuh Letnan Matulesi, dengan tangannya.

   Kemudian menangkis benda yang menyambar dadanya dengan pedangnya.

   Ternyata benda itu adalah bola-bola besi sebesar tinju orang dewasa, yang dijadikan senjata bidik.

   Tenaga lemparannya sangat hebat, sehingga tangan Letnan Suwangsa yang menangkis menjadi kesemutan.

   Letnan Suwangsa mendongkol bukan main.

   Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah ia dengan segera, bahwa orang itu bukanlah orang yang bertopeng tadi.

   Perbuatan orang ini sangat kasar.

   Maka insyaflah dia bahwa dia sedang menghadapi lawan berat.

   Maka sebelum menghadapinya, ia menabas tambang yang terpancang dari dahan pohon ke puncak tiang tenda.

   Begitu kena tebasannya, tambang itu terputus, dan orang itu, yang masih tergantung seperti kera pada tambang, terpaksa melompat turun ke tanah.

   Bukan main lincahnya! Selagi terjun ke darat, ia tertawa terkekeh-kekeh.

   Dan begitu kakinya mendarat di atas tanah segera ia menyerang Letnan Suwangsa dengan senjata yang sangat aneh.

   Senjatanya itu bukan pedang bukan golok pula.

   Juga bukan peng-gada.

   Akan tetapi sebuah arca yang terbuat dari perunggu.

   Letnan Johan yang lagi berusaha menolong anak buahnya, kaget mendengar kesibukan itu.

   Dengan menghunus pedang ia lari keluar dan tepat sekali melintas babatan senjata orang itu.

   Secara wajar ia menangkis dengan pedangnya.

   Suatu perbenturan yang nyaring sekali terjadi.

   Hebat kesudahannya.

   Pedang Letnan Johan meliuk dan ia terlempar sejauh tujuh langkah dengan terhuyung-huyung.

   Pada saat itu juga ia melotarkan darah segar.

   "

   Keruan saja Letnan Suwangsa gusar bukan kepalang. Bentaknya sambil menuding bendera panji-panji Kompeni yang berkibar-kibar di atas tenda.

   "Hai! Apakah engkau tidak melihat bendera itu?"

   Orang itu melemparkan pandang ke puncak tenda.

   Dengan pertolongan cahaya bulan, nampak dengan tegas bahwa wajahnya bengis dan berewokan.

   Perawakannya tinggi besar bagaikan raksasa'.

   Melihat panji laskar Kompeni yang berkibar di atas tenda, ia tertawa merendahkan.

   "Panji-panji apa? Bendera apa? Sekalipun bendera raja dari langit masakan aku harus takut? Apa peduliku segala bendera atau panji-panji....."

   "Kau sebenarnya sahabat dari mana?"

   Letnan Suwangsa masih bersikap sabar.

   "Kenapa engkau memusuhi Kompeni?"

   "Aku tidak memusuhi Kompeni. Aku men- * cari seseorang!"

   Sahut orang berewok itu.

   "Menimbang engkau sanggup menangkis kedua peluru besiku baiklah aku mengampuni jiwamu. Akan tetapi engkau harus bisa menerangkan dimana orang yang sedang kucari."

   "Bagus!"

   Letnan Suwangsa tertawa mendongkol.

   "Engkau tidak menggubris panjipanji laskar Mangkunegaran, itulah tidak mengapa. Akan tetapi berkeliaran di dalam wilayah Yogyakarta pastilah engkau harus menghargai majikannya. Lihatlah! Apakah disamping panji-panji Mangkunegaran engkau tidak melihat panji pengawal istana Kasultanan?"

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang berewok itu mengerling. Lalu tertawa terbahak- bahak.

   "Sultan? Sultan apa? Apakah maksudmu orang yang memerintah udara dan tanah ini?"

   Itulah suatu penghinaan di luar batas. Tak dapat lagi Letnan Suwangsa menguasai dirinya. Lantas membentak.

   "Kau bangsat dari mana?"

   "Hmm!"

   Dengus orang berewok itu. Lalu membentak juga.

   "Tadinya aku bermaksud hendak mengampuni jiwamu karena engkau dapat menangkis kedua peluru besiku. Akan tetapi karena engkau memanggilku bangsat maka tak patut engkau kuhidupi lagi!"

   Belum habis gema bentakannya, senjata arcanya bergerak menyambar pinggang Letnan Suwangsa.

   Letnan Suwangsa mengelak dengan lincah dan menikam dengan salah satu jurus ilmu saktinya.

   Ia berhasil mengelakkan diri, akan tetapi tiba-tiba saja tiang tenda roboh oleh sambaran angin arca perunggu orang itu.

   Mau tak mau Letnan Suwangsa heran bukan main.

   "Kalau dia seorang pendekar yang dilahirkan di tanah ini, pastilah mengenal kedua panji-panji yang berkibar di atas tenda ini,"

   Pikir Letnan Suwangsa di dalam hati.

   "Apakah dia salah seorang pembantu Sangaji pula? Menghadapi Kilatsih seorang saja, sudah memusingkan. Tadi muncul seorang bertopeng. Kini muncul lagi seorang berewok. Berewoknya seperti Daniswara. Akan tetapi agaknya ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat daripada Daniswara."

   Tak sempat lagi Letnan Suwangsa berpikir berkepanjangan.

   Kembali lagi ia kena serang boneka perunggu.

   Kali ini dadanya yang menjadi sasaran.

   Angin menyambar sangat tajam.

   Diperlakukan demikian, Letnan Suwangsa benar-benar gusar bukan kepalang.

   Ia memutar pedangnya dan menangkis arca perunggu itu.

   Trang! Akibatnya ia terkejut sendiri.

   Orang berewok itu ternyata luar biasa besar tenaganya.

   Hampir-hampir saja pedangnya terlempar dari tangannya.

   Seumpama ia tidak memiliki himpunan tenaga sakti yang tinggi.tak sanggup ia mempertahankan diri.

   Memang, dia murid Dipajaya semenjak dua puluh tahun yang lalu.

   Dibandingkan dengan ketiga saudara seperguruannya, ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi.

   Itulah sebabnya ia sanggup menghadapi Daniswara di atas panggung tatkala mencoba mengadu kepandaian.

   Dia pun sanggup pula membendung kegesitan Kilatsih, murid Adipati Surengpati, yang sudah mewarisi ilmu sakti Witaradya.

   Seumpama gadis itu tidak memiliki kegesitan dan kelincahan, siang-siang sudah dapat dirobohkannya.

   Sekarang, ia menumbuk batu.

   Biasanya siapa pun tak akan tahan menghadapi gempuran pedangnya.

   Sebaliknya, dialah kini yang bahkan tergetar tangannya.

   Maka tak berani lagi ia mengadu tenaga dengan orang berewok itu.

   Letnan Matulesi yang tadi tertegun-tegun karena rasa terkejutnya lantas saja tersadar.

   Ia berkaok-kaok minta bantuan.

   Dalam pada itu Letnan Suwangsa melayani orang berewok itu dengan kelincahannya.

   Mengadu kelincahannya dan kecerdikan, ternyata dia lebih unggul.

   Dengan gesit ia memainkan tipu-tipu ilmu pedang warisan Dipajaya.

   Ia mengelak sambil berputaran dan setiapkali membalas menyerang.

   Sekonyong-konyong orang berewok itu berseru tertahan.

   "Hai! Apa engkau murid Dipajaya?"

   Seperti diketahui, Letnan Suwangsa, selalu merahasiakan siapakah dirinya.

   Keruan saja mendengar pertanyaan itu, ia hanya mendengus.

   Setelah itu ia menerjang dengan serangan berantai.

   Orang berewok itu sangat mendongkol.

   Tadinya, ia mengira akan dapat merobohkan Letnan Suwangsa dengan mudah saja.

   Tak tahunya, setelah bertempur duapuluh jurus lebih, masih belum ada tanda-tandanya, dapat memperoleh kemenangan.

   Keruan saja ia jadi gelisah sendiri.

   Buru-buru ia menghimpun seluruh tenaga saktinya dan menghajar pedang Letnan Suwangsa dengan arca perunggunya.

   Letnan Suwangsa heran dan kagum bukan main.

   Selama hidupnya baru kali inilah dia melihat lawan yang bersenjata arca perunggu.

   Dan orang itu dengan mahir sekali dapat menggerakkan senjatanya sedemikian rupa sehingga mencekat semua gerakan pedangnya.

   Itulah sebabnya tak berani lagi ia main hantam kromo asal jadi saja.

   Hati-hati ia tetap melayani dengan kege-sitannya.

   la mengelak ke samping dan mundur, kemudian maju menikamkan pedangnya.

   Apabila merasa terjepit, cepat-cepat ia membabatkan pedangnya.

   Tetapi yang diarahnya bukan arca perunggu lawan.

   Sebaliknya pergelangan tangan atau teng-gorokan.

   Dengan demikian membuat orang berewokan itu menjadi sibuk.

   Akan tetapi meskipun dibuat sibuk, kegagahan dan keperkasaannya tidak surut.

   Gagal dalam berbagai serangan, tiba-tiba ia mengebaskan lengannya.

   Mendadak saja mulut arca itu terbuka, lalu menjepit ujung pedang Letnan Suwangsa.

   Inilah kejadian di luar dugaan letnan itu.

   Segera ia menarik pedangnya kuat-kuat.

   Akan tetapi, meskipun telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja belum berhasil.

   Orang berewok itu tertawa terbahak-bahak.

   "Kau sekarang mau apa?"

   Bentaknya.

   Setelah membentak demikian, tangan kirinya bergerak menyambar.

   Itulah serangan yang akan menentukan kalah menangnya.

   Namun tangan kiri Letnan Suwangsa masih merdeka pula.

   Ia menangkis keras lawan keras dan bentrokan itu membuat keduanya terkejut.

   Lengan Letnan Suwangsa tergetar, dan kuda-kudanya tergempur.

   Sebaliknya kedua kaki orang itu melesak ke dalam tanah.

   Lengannya merosot turun ke bawah, dan sebagian tenaganya lenyap.

   Dengan demikian tak dapat ia memusatkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan arca perunggu yang sudah berhasil menggigit ujung pedang Letnan Suwangsa.

   "Inilah ilmu pukulan Dipajaya,"

   Orang berewok itu menggerutu, la meloncat mundur sambil menatap wajah Letnan Suwangsa. Bentaknya.

   "Coba katakan yang terang. Apakah engkau bukan murid Dipajaya? Hayo, bilanglah sebelum.terlanjur!"

   "Siapa kau?"

   Bentak Letnan Suwangsa. Orang berewok itu tertawa mendongkol sebelum menjawab.

   "Aku Manusama."

   Mendengar bunyi nama itu, Letnan Suwangsa tercekat hatinya. Segera teringatlah dia kepada pesan gurunya.

   "Di depan tangsi, masakan aku harus mengenal seorang yang bernama Dipajaya?"

   Manusama tertawa gelak. Lalu dengan berjungkir balik mundur ia berkata.

   "Kalau begitu, aku harus menghajar dahulu teman-temanmu!"

   "Jangan celakai mereka!"

   Seru Letnan Suwangsa tanpa sadar. Manusama terhenyak sejenak. Kemudian tertawa gelak. Sahutnya sambil merabu Letnan Matulesi.

   "Kau boleh mengkerubuti aku kalau ingin mencoba-coba!"

   Yang menyongsong rabuan Manusama adalah Letnan Matulesi dan Sersan Merto-semi. Dengan berbareng mereka menerjang dan menyambarkan pedangnya. Menyaksikan kecerobohan itu, Letnan Suwangsa berteriak.

   "Jangan keras melawan keras! Tenaga kalian berdua bukan tandingannya..."

   Karena mengkhawatirkan kecerobohan kawannya, Letnan Suwangsa melompat pula sambil menikam.

   Akan tetapi Manusama dengan cepat memutar tubuhnya, menangkis tepat.

   Ketiga pedang lantas'ben-trok dengan arca perunggu Manusama.

   Trang! Pedang Letnan Suwangsa berhasil me-rompal lima jari tangan arca perunggu.

   Sedang pedang Letnan Suwangsa terpental hampir terlepas dari genggamannya.

   Untuk menahan hantaman arca perunggu Manusama, Letnan Suwangsa menggunakan tenaga besar pula.

   Ia membentur sambaran arca perunggu itu dengan sekuat tenaga.

   Inilah kesempatan yang bagus sekali bagi Letnan Matulesi untuk menggerakkan pedangnya.

   Terus saja ia membabat.

   Letnan Suwangsa bersama pedangnya terpental mundur terhuyung-huyung.

   Begitu hebat tenaga benturan Manusama, sehingga perwira itu berputaran tubuhnya tatkala mempertahankan diri.

   Dan pada saat itu Letnan Matulesi berhasil membabat kutung kelima jari arca perunggu.

   Sersan Mertosemi menyerang yang paling akhir, la menggunakan tipu-tipu ilmu pedang yang sangat sederhana, akan tetapi tegas dan kuat.

   Sebaliknya Manusama yang benar- benar tangguh dapat menangkis dan membebaskan diri.

   Dalam bentrokan itu jelaslah bahwa Sersan Mertosemi kalah tenaga.

   Meskipun dibantu oleh kedua rekannya, namun ia masih jatuh terguling.

   Selagi ketiga lawannya mundur, Manusama memeriksa arca perunggunya, la kaget tatkala melihat kelima jari arca perunggunya terkutung.

   Segera ia bertanya kepada Letnan Matulesi.

   "Hai! Bukankah engkau Matulesi manusia dari Saparua?"

   Mendengar Manusama \iapat menyebutkan nama dan asal dirinya, Letnan Matulesi girang berbareng khawatir.

   Ia girang karena setidak-tidaknya namanya dikenal orang.

   Tetapi khawatir pula siapa tahu Manusama adalah anak buah Patimura yang menyalakan api pemberontakan di seluruh kepulauan Maluku.

   Sebagai seorang yang dilahirkan di Pulau Maluku, tidaklah pantas apabila dia menjadi seorang perwira Kompeni Belanda yang justru menjadi musuh bangsanya.

   Sebagai seorang militer dalam kebimbangannya dapatlah ia dengan cepat mengambil ketetapan.

   Lantas menyahut.

   "Tidak salah akulah Matulesi dari Saparua. Engkau sendiri siapakah dan berasal dari mana?"

   "Aku pun dari Saparua. Namaku Manusama,"

   Jawab Manusama ringkas. Kemudian sambil berpaling kepada Letnan Matulesi, ia minta keterangan.

   "Dan perwira ini siapakah namanya?"

   Letnan Matulesi berbimbang-bimbang. Tak dapat ia memperkenalkan nama rekannya terhadap seseorang yang masih asing baginya. Lagipula hal itu merupakan suatu pantangan. Di luar dugaan, Letnan Suwangsa, memperkenalkan dirinya.

   "Aku Suwangsa. Sekarang, apa maksudmu?"

   Manusama tertawa lebar sambil memeriksa arca perunggunya. Menyahut.

   "Bukankah engkau murid..."

   Manusama agaknya seorang yang berpengalaman. Tahulah ia menanggapi maksud Letnan Suwangsa. Lalu menanggapi.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau begitu, biarlah aku pergi saja. Lain kali kita berjumpa lagi."

   Manusama memutar tubuhnya dan me-ningalkan perkemahan dengan langkah lebar. Tiba-tiba Letnan Suwangsa berseru.

   "Engkau telah melukai salah seorang temanku. Apakah engkau bisa pergi begitu saja?"

   Manusama menoleh. Ia seperti teringat akan sesuatu. Kemudian berjalan balik kembali dengan tertawa lebar.

   "Benar! Benar! Mari, biarlah kuperik-sanya."

   Demikianlah, Manusama menolong Letnan Johan yang kena gempurannya sehingga melontarkan darah segar.

   Ia menolong pula membebaskan serdadu-serdadu yang masih roboh pingsan.

   Dan pada kesempatan itu ia dapat memberi keterangan tentang maksud kedatangannya dan hubungannya dengan Dipajaya.

   Oleh kata-katanya, sekarang Letnan Suwangsa sadar akan masalah gurunya yang sulit.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Jangan-jangan, Guru mencuri pedang Sri Sultan, semata-mata lantaran merasa wajib tunduk dan patuh kepada Aliran Suci di Pulau Lombok. Kalau begitu, aku harus menolong mencari penyelesaian."

   Dengan pikiran itulah, ia membawa Manusama, keluar perkemahan mencari gurunya.

   Di tengah jalan, Manusama berkata kepadanya bahwa ia menolong Letnan Mangun Sentika yang teringkus.

   Dan dengan petunjuk-petunjuk Letnan Mangun Sentika, menyebabkan dia tahu siapakah diri Letnan Suwangsa.

   "Apakah Letnan Mangun Sentika mengatakan juga bahwa aku murid Dipajaya?"

   Letnan Suwangsa menegas.

   "Tidak! Aku hanya bertanya kepadanya siapakah di antara rekan-rekannya yang memiliki ilmu pedang tertinggi dan dia menjawab, itulah engkau!"

   Jawab Manusama.

   "Dan sesudah aku bergebrak denganmu, maka dengan segera aku mengenal corak ilmu pedangmu."

   Selagi berbicara demikian, bertemulah mereka dengan Kapten Wiranegara.

   Dan mendengar kabar bahwa Kapten Wiranegara gagal mendapat pedang Kyai Ageng Singkir dari tangan gurunya.

   Letnan Suwangsa diam-diam bersyukur di dalam hati.

   OoOoO TATKALA KILATSIH hendak menghunus pedangnya, terdengarlah Sirtupelaheli membentak Letnan Suwangsa.

   "Suwangsa? Kebetulan sekali, aku tidak usah mencarimu. Kau datang ke mari, apakah hendak ikut meramaikan pertemuan ini?"

   Letnan Suwangsa tertawa lebar.

   "Terima kasih, nenek tua! Kulihat engkau sudah memberi banyak pelajaran kepada ketiga adik seperguruanku. Di kemudian hari pastilah banyak faedahnya."

   Sirtupelaheli tersenyum.

   "Ketiga adikmu lumayan juga. Hampir limapuluh jurus terpaksa aku melayani. Dengan begitu, mereka belum disebut telah kukalahkan. Meskipun demikian hatiku belum puas. Baiklah engkau ikut maju pula!"

   "Apakah engkau sanggup kami keroyok berempat?"

   "He, itulah baik sekali!"

   Jawab Sirtupelaheli senang.

   "Memangnya ingin aku menguji kepandaian anak murid Dipajaya."

   Mendengar jawaban Sirtupelaheli, Letnan Suwangsa nampak berbimbang-bimbang. Sejenak kemudian berkata.

   "Engkau telah mengenal namaku. Sudikah engkau memperkenalkan dirimu pula, nenek tua?"

   Tiba-tiba Sirtupelaheli menjadi bengis.

   "Hmm! Jadi selama engkau berguru kepada Dipajaya, belum pernah ia mengatakan tentang diriku? Bagus? Gurumu, Dipajaya merasa diri sebagai orang nomor wahid di kolong langit ini, sehingga tidak memerlukan bantuanku. Kalau dia belum pernah menyinggung-nyinggung namaku apa perlu aku memperkenalkan diri? Kamu, keluarkan saja seluruh ilmu kepandaianmu! Aku ingin melihat, selama ini Dipajaya sudah memperoleh kemajuan atau belum."

   Letnan Suwangsa heran. Mendengar kata-kata Sirtupelaheli, mestinya di antara gurunya dan nenek tua itu telah terjadi suatu peristiwa. Sebagai murid tertua Dipajaya, rasanya tidak sopan apabila terus mendesak. Maka katanya sambil menghunus pedangnya.

   "Kalau begitu kehendakmu, nenek tua, kami akan patuh. Harap engkau memberi maaf sebesar-besarnya kepada kami berempat..."

   Sesudah berkata demikian, dengan sebat pedangnya menikam dan ketiga adik seperguruannya segera menggerakkan senjatanya masing-masing pula.

   Dibandingkan dengan gerakan pedang ketiga saudara seperguruannya, cara bertempur Letnan Suwangsa jauh bedanya.

   Itulah disebabkan dia merupakan seorang perwira yang sudah mempunyai pengalaman banyak.

   Dia tidak mengharapkan dalam satu kali gebrak saja akan dapat memperoleh kemenangan.

   Dengan cermat ia mengikuti gerakan pedang Tarupala atau Antariwati.

   Sekali-kali ia membarengi dan menimpali.

   Dan menghadapi pedang yang saling menimpali itu, Sirtupelaheli mundur tiga langkah.

   Antariwati menjadi girang sekali.

   Di dalam hatinya ia berkata, ilmu pedang cipta-an paman benar-benar istimewa...

   Setelah Letnan Suwangsa terjun ke dalam gelanggang, ilmu pedang ciptaan Dipajaya lantas saja memperlihatkan perbawanya.

   Pukulan-pukulannya sebat, dahsyat dan cepat luar, biasa.

   % Menghadapi gerakan pedang mereka berempat, Sirtupelaheli berkata di dalam hati, sekaranglah baru aku saksikan kepandaian Dipajaya.

   Benar-benar ia telah memperoleh kemajuan.

   Segera ia menggerakkan pedang bambunya.

   Tubuhnya bergerak dengan sangat lincah dan lengan bajunya berkibar- kibar seperti bendera tertiup angin.

   Letnan Suwangsa tidak gentar menghadapi kegesitan Sirtupelaheli.

   Ia pun mengimbangi dengan suatu kesehatan.

   Dengan dibantu oleh ketiga saudara seperguruannya, ia dapat bekerjasama dengan eratnya, sehingga pertandingan itu makin lama menjadi semakin seru.

   Kedua belah pihak bermain sangat gesit, sehingga dalam sekejap mata saja lima puluh jurus telah lewat.

   "Maaf!"

   Tiba-tiba Letnan Suwangsa berseru, la lantas merubah gerakan pedangnya sehingga menjadi lebih gesit lagi.

   Dan baik Antariwati maupun Tarupala dan Prajaka Sindungjaya segera mengimbangi.

   Gerakan pedang keempat murid Dipajaya kini jauh bedanya dengan gerakan pedang mereka tadi.

   Tak lama kemudian terdengar suara beradunya pedang dan memberebet-nya kain.

   Itulah suara pedang bambu Sirtupelaheli yang tertabas oleh kedua pedang Letnan Suwangsa dan pedang Tarupala.

   Pedang bambu nenek tua itu terkutung menjadi empat bagian.

   Juga lengan baju Sirtupelaheli terobek ujungnya.

   "Maaf!"

   Kata Letnan Suwangsa lagi. Dan ia melesat mundur sambil menarik Antariwati. Gerakannya itu diikuti pula oleh Tarupala dan Prajaka Sindungjaya. Sirtupelaheli melemparkan sisa pedang bambunya. Katanya dengan suara lesu,"

   Kalau begitu marilah kita bersama-sama menemui Dipajaya!"

   Beberapa puluh tahun lamanya dia tidak pernah muncul di dalam percaturan masyarakat.

   Ia menekuni ilmu saktinya yang makin lama makin tinggi.

   Maksudnya di kemudian hari hendak menandingi Dipajaya.

   Tetapi di luar dugaan pada hari itu ia roboh di tangan murid-muridnya.

   Letnan Suwangsa berempat segera membungkuk hormat dan mengundurkan diri.

   Dalam hatinya masing-masing, mengagumi kepandaian Sirtupelaheli yang sangat tinggi.

   Sebenarnya apabila dibandingkan dengan ilmu kepandaian gurunya sendiri, mungkin Sirtupelaheli lebih tinggi.

   Akan tetapi pendekar wanita itu telah melemparkan pedang bambunya yang patah menjadi empat bagian ke tanah dengan pandang lesu.

   Kata-katanya menunjukkan pula, bahwa dia merasa kalah dengan Dipajaya.

   Artinya dia mengakui pula, roboh di tangan anak-anak muridnya.

   Apa maksud sebenarnya? Tentu saja, Letnan Suwangsa berempat tidak mengetahui latar belakang Sirtupelaheli.

   Pendekar wanita itu, mempunyai seorang murid, Fatimah namanya.

   Terhadap muridnya, ia lebih memperbudaknya daripada meng-angap sebagai murid benar-benar.

   Maka, apabila dibandingkan dengan kepandaian Letnan Suwangsa berempat, Sirtupelaheli merasa bahwa Fatimah berada di bawahnya.

   Selagi masing-masing sedang tenggelam dalam persoalannya sendiri-sendiri, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin.

   Mereka semua yang berada di hutan bambu itu menoleh.

   Ternyata yang tertawa dingin itu Manusama.

   "Kamu berempat telah berhasil melayani nenek tua itu.

   Baik nenek tua maupun kamu sekalian sudah merasa puas.

   Baiklah, kalian boleh merasa puas.

   Tetapi aku tidak!"

   Sepasang alis Sirtupelaheli terbangun.

   "Siapa kau?"

   Manusama tertawa mendengus.

   "Bukankah, engkau Sirtupelaheli. Memang, antara kita berdua belum pernah bertemu. Tetapi namamu telah terbawa angin oleh Dipajaya sehingga dapat aku tangkap dari luar Pulau Jawa.... Demikianlah dikisahkan, tatkala Dipajaya menantang Ki Gede Rangsang bertempur di dalam telaga Sarangan, tiba-tiba muncullah engkau sebagai pembela yang tangguh. Dipajaya dapat engkau kalahkan dan kemudian kalian berdua hidup satu rumah. Itulah suatu permulaan yang baik. Apa sebab kalian berdua tiba-tiba berselisih?"

   Mendengar disebutnya nama Sirtupelaheli, Letnan Suwangsa berempat ter-cekathatinya.

   Kalau begitu dia...

   dia..., mereka sibuk menduga-duga, akan tetapi tak berani menyelesaikan dugaannya itu sendiri.

   Tertegun mereka mendengarkan percakapan antara Manusama dan Sirtupelaheli.

   Kilatsih yang berada di luar gelanggang pun tak terkecuali.

   Tatkala itu terdengar Manusama berkata lagi.

   "Semalam Dipajaya telah menghadiahkan kitab ilmu sakti kepada salah seorang muridnya. Dan buku itu harus kurampas. Kau pun mengerti sebabnya, bukan? Dipajaya sudah berjasa. Bagaimana dengan engkau? Engkau hendak mempersembahkan apa kepada junjunganmu?"

   Sirtupelaheli menjadi gusar.

   Itulah suatu penghinaan benar baginya.

   Setelah dahulu terbebas dari ancaman Utusan Aliran Suci, oleh pertolongan Sangaji, kemudian bergaul dengan Adipati Surengpati di tengah Pulau Karimun Jawa, sudah timbul keputusan di dalam hati tak sudi tunduk dan patuh lagi kepada Utusan Aliran Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok.

   Keputusan ini berkat campur tangan Adipati Surengpati pula yang ikut berusaha mengikis racun jahat yang mengeram di dalam diri Sirtupelaheli itu.

   Walaupun obat pemunahnya belum diketemukan, akan tetapi selama sekian tahun lamanya, Sirtupelaheli tidak perlu takutlagi.

   Seperti diketahui, tiap tahun sekali, duta-duta Utusan Aliran Suci yang tersebar di Pulau Jawa, diwajibkan mengambil obat pemunahnya pada suatu tempat yang telah ditentukan.

   Apabila sampai kasep mengambil obat pemunah, mereka akan merasakan akibatnya sendiri.

   Dagingnya akan membusuk dan tulang-tulangnya rontok.

   Kemudian mati perlahan-lahan.

   Itulah cara mati yang sangat tidak menyenangkan! "Kau menghendaki aku mempersembahkan sesuatu kepada junjunganmu? Baiklah, sebentar lagi aku akan mempersembahkan kepalamu kepadanya,"

   Kata Sirtupelaheli sengit. Manusama tercengang. Seperti tak percaya kepada pendengarannya sendiri ia menyahut.

   "Apakah engkau tidak takut akan racun yang telah mengeram di dalam dirimu?"

   Sirtupelaheli tertawa melalui hidungnya. Setelah mendengus beberapa kali ia menjawab.

   "Sudah sepuluh tahun lamanya aku tidak membutuhkan obat pemunah lagi. Karena itu, janganlah engkau mengoceh tak keru-keruan! Sebetulnya, siapa engkau?"

   "Aku Manusama. Murid Brigu,"

   Jawab Manusama. Mendengar disebutnya nama Brigu, tiba-tiba berubahlah wajah Sirtupelaheli. Tubuhnya nampak bergoyang-goyang, la seperti melihat makhluk yang luar biasa perkasa dan menakutkan.

   "Apakah... dia pun berada di sini?"

   Manusama tertawa lebar.

   "Selama hidupku, belum pernah aku terpisah jauh dari guruku. Kalau kini aku berada di depanmu, tentu saja guruku pun tidak jauh dari sini."

   Kembali tubuh Sirtupelaheli nampak bergoyang-goyang.

   Selagi bersangsi-sangsi, mendadak saja, nampaklah sesosok bayangan berkelebat.

   Hebat gerakan bayangan itu, sehingga hati Manusama tercekat.

   Buru-buru ia menajamkan penglihatannya.

   Dan ternyata bayangan itu adalah Gagak Seta.

   Jago tua itu tertawa riuh.

   Katanya di antara suara tertawanya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sirtupah! Benar katamu! Apa perlu menggubris ocehan manusia gadungan itu? Kalau dia minta oleh-oleh untuk dipersembahkan kepada junjungannya, biarlah dia menagih kepadaku!"

   Manusama mundur selangkah. Dengan wajah tercengang, ia minta keterangan.

   "Siapa engkau?"

   Gagak Seta tertawa riuh lagi.

   "Terhadap dirimu masakan aku perlu memperkenalkan namaku?"

   Tiba-tiba saja Kapten Wiranegara yang masih mendongkol terhadap Gagak Seta dan Sirtupelaheli, berseru nyaring dari luar gelanggang.

   "Dialah Gagak Seta! Dialah guru Sangaji yang kau tanyakan."

   Mendengar keterangan Kapten Wiranegara serentak Manusama mengeluarkan senjata arca perunggunya.

   Memang di sepanjang jalan tadi ia menceritakan tentang kabar yang pernah didengarnya.

   Itulah mengenai Sangaji yang dapat mengundurkan duta-duta Utusan Aliran Suci yang perkasa pada beberapa tahun lalu.

   Lantaran itu pulalah kini gurunya.

   Brigu dan dirinya dikirimkan ke Pulau Jawa untuk mengadakan pengadilan.

   Sekarang ia mendengar bahwa orang tua itu guru Sangaji.

   Keruan saja ia lantas berjaga sebelumnya, untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Akan tetapi ternyata Gagak Seta tidak mengacuhkan.

   Jago tua itu memutar pandangnya mengarah kepada Kapten Wiranegara.

   Ujarnya dengan tertawa gelak.

   "Eh, Kapten! Kau ini memang besar mulut. Kalau tahu begini tadi pagi mestinya aku harus menyumpal pula mulutmu! Kau sudah kuampuni. Kenapa masih tak tahu diri?"

   Bukan main malu Kapten Wiranegara.

   Semenjak ia terpaksa lari kocar-kacir pada fajar hari tadi, satu-satunya yang dikhawatirkan kalau-kalau anak buahnya melihatnya.

   Kalau sampai terjadi demikian, martabatnya akan runtuh.

   Kini apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi.

   Gagak Seta menelanjangi di depan anak buahnya yang ikut mengiring dari belakang.

   Keruan saja hatinya mengutuk habis-habisan.

   Mengutuk Gagak Seta dan juga dirinya sendiri.Betapa tidak? Seumpama tadi dia bisa menguasai mulutnya, bukankah tak perlu menanggung malu? Gagak Seta kecuali seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, bermulut jahil pula.

   Dia berlagak kegila-gilaan akan tetapi sebenarnya otaknya cerdas luar biasa.Sekiranya tidak demikian tidak bakal namanya bisa sejajar dengan Adipati Surengpati, Kebo Bangah, Kyai Kasan Kesambi, Kyai Lukman Hakim, Pangeran Samber Nyawa dan Pangeran Mangkubumi 1.

   "Eh Kapten! Kau datang lagi ke mari? Pastilah engkau mempunyai andalan. Apakah Letnan itu?"

   Kata Gagak Seta lagi. Setelah berkata demikian, jago tua itu lalu memutar tubuh menghadap Letnan Suwangsa. Kemudian membuka mulutnya lagi.

   "Gurumu Dipajaya masih mempunyai perhitungan dengan aku. Dia membunuh saudara-saudara seperguruanku. Sekarang aku bertemu denganmu. Hari ini, aku pun akan melanggar pantanganku sendiri. Akan kukutungi kepalamu! Hitung-hitung sebagai cicilan hutang gurumu...."

   Mendengar ucapan Gagak Seta, Letnan Suwangsa gusar bukan kepalang. Namun masih bisa ia menguasai diri.

   "Kedudukanmu sejajar dengan guruku. Apakah engkau ingin kumaki sebagai orang yang sejajar dengan diriku?"

   Lagi-lagi Gagak Seta tertawa riuh.

   "Semua orang tahu, aku ini seorang pengemis jembel. Kalau hanya dimaki saja, tak apalah. Tetapi kau Letnan, selain seorang perwira, kabarnya engkau menantu Sri Mangkunegoro. Leluhur Mangkunegaran adalah sahabatku. Dialah seorang pendekar jempolan yang berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi engkau? Sayang.....sungguh sayang..... Meskipun mengenakan pakaian mentereng, tetapi itulah pakaian pinjaman belaka. Bukankah pakaian itu pinjaman dari yang dipertuan agung Kompeni Belanda? Maka jelaslah, engkau bukan manusia yang mempunyai kehormatan diri. Aku, si jembel saja, tidak ngiler melihat pangkat dan dera-jad. Apalagi pangkat yang disematkan oleh Kompeni Belanda! He, apakah kalian yang mengenakan pakaian seragam, bukankah bangsa yang takut tak kebagian nasi?"

   Panas dada Letnan Suwangsa mendengar kata-kata Gagak Seta yang sangat pedas dan tajam. Juga Kapten Wiranegara dan sekalian serdadu-serdadunya.

   "Bangsat!"

   Maki Letnan Suwangsa.

   "Kau berani kurang ajar kepadaku?"

   "He he, kalau aku bangsat, kau pun seorang bangsat pula!"

   Kata Gagak Seta sambil tertawa pula.

   "Mertuamu sendiri tak akan berani memaki sekasar itu terhadapku. Kau begini kurang ajar kepada orang tua? Aku Gagak Seta selama hidupku, tak pernah mengkhianatikata-kataku sendiri. Apa yang terloncat dari mulutku menjadi tanggung jawabku sendiri. Sekarang, kau mau apa?"

   Meskipun pihaknya berjumlah besar, akan tetapi mendengar bentakan Gagak Seta, Kapten Wiranegara tercekat juga hatinya.

   Itulah disebabkan dia teringat akan pengalamannya sendiri.

   Fajar hari tadi, jago tua itu tidak berniat membunuhnya.

   Akan tetapi kali ini, nampaknya dia bertekad hendak membunuh.

   Meskipun pihaknya belum tentu dapat dikalahkan, akan tetapi pasti akan terjadi korban banyak.

   Celaka dia berkata hendak melanggar pantangannya sendiri.

   Dia tadi mengancam aku pula hendak menyumpali mulutku.

   .Kalau sampai terjadi suatu pertarungan, meskipun dia bakal kena dibunuh oleh anak buahku, setidak-tidaknya masih bisa ia mengambil kesempatan untuk mencelakakan dirikudia mengeluh di dalam hatinya.

   Selagi Kapten Wiranegara berbimbang-bimbang, mendadak saja Letnan Suwangsa tertawa terbahak-bahak, la jadi heran.

   "Letnan! Kenapa tertawa?"

   "Hawa pada hari ini sangat buruk,"

   Jawab Letnan Suwangsa.

   "Mungkin orang tua itu terganggu urat syarafnya. Meskipun dia guru Sangaji, akan tetapi ilmu kepandaian Sangaji berada jauh di atasnya dan aku, termasuk salah seorang ahli pedang terbesar di zaman ini. Sekarang dia menantang aku di depan serdadu-serdaduku. Apakah ini bukan suatu kejadian yang lucu?"

   Sengaja Letnan Suwangsa berkata demikian. Memang dia pun seorang perwira yang licin dan banyak pengalamannya. Kena sindir tajam Gagak Seta, ia membalas dengan sindiran tajam pula. Akan tetapi Gagak Seta hanya membalas dengan tertawa terkekeh-kekeh.

   "Jadi benar-benarkah engkau Letnan Suwangsa?"

   "Benar. Akulah Letnan Suwangsa!"

   "Siapakahyang memberi gelar kepadamu sebagai seorang ahli pedang terbesar pada zaman ini?"

   Inilah suatu pertanyaan di luar dugaan. Letnan Suwangsa jadi merasa terdorong ke pojok. Sulit ia menjawab.

   "Akh! Itulah gelaran yang diberikan orang-orang yang kagum kepadaku. Pertanyaanmu ini baru pantas apabila diucapkan oleh mulut Sangaji."

   Lagi-lagi Gagak Seta tertawa terkekeh-kekeh.

   "Tidak salah! Tetapi kebetulan sekali, aku adalah gurunya. Sebagai seorang guru, aku berhak mewakili muridnya. Cobalah jawab engkau mempunyai kepandaian apa sampai mengangkat diri sebagai seorang ahli pedang terbesar di zaman ini? Apakah engkau tepat dijajarkan dengan nama muridku? Hehe! Kaulah manusia kantong nasi. Benar-benar bermulut besar!"

   "Eh, engkau berani mewakili nama muridmu? Kalau begitu engkau jempolan pula seperti muridmu!"

   Letnan Suwangsa tak mau kalah. Ia memangnya tidak takut. Dilawannya ejekan dengan ejekan. Sindiran dengan sindirian.

   "Baiklah! Karena engkau berani mewakili Sangaji, mestinya engkau pun mempunyai satu-dua jurus ilmu kepandaian yang berarti."

   "Benar!"

   Tiba-tiba Manusama ikut menimbrung.

   "Jika engkau dapat mengalahkan arca perungguku ini, engkau akan kubiarkan menghukum Dipajaya."

   Jelas sekali Manusama membantu keponakan muridnya. Dan dikeroyok dua, tabiat Gagak Seta yang angin-anginan, lantas kumat.

   "Hahaha..... jangan repot! Kenapa berebutan tak keruan? He kau kera hitam, bersabarlah dahulu! Biarkan aku menghajar si ahli pedang terbesar di zaman ini! Letnan Suwangsa, jika engkau bisa melayani aku sepuluh jurus saja, aku akan membiarkan dirimu dikumandangkan sebagai salah seorang ahli pedang terbesar pada zaman ini"

   Letnan Suwangsa tidak takut, la mengandal kepada paman gurunya itu yang bersenjata arca perunggu.

   Hanya saja, diam- diam ia mengeluh, karena siasatnya gagal.

   Sebenarnya ingin ia mengadu paman gurunya itu agar turun ke gelanggang menghantam Gagak Seta.

   Di luar perhitungan, jago tua yang cerdik itu, mendesaknya ke pojok.

   Mau tak mau dia khawatir juga.

   Namun sebagai seorang perwira, dapat ia lantas menenangkan diri.

   Pikirnya di dalam hati, Gagak Seta memang seorang pendekar terkenal.

   Akan tetapi dia kini sudah tua bangka.

   Mestinya baik tenaga maupun himpunan saktinya sudah jauh berkurang.

   Dia menantang aku dalam sepuluh jurus saja.

   Mustahil aku tak mampu melawannya.

    Oleh pikiran ini ia menebalkan kulitnya.

   "Baiklah! Silakan kakek tua turun tangan terlebih dahulu! Kau guru Sangaji yang sangat termasyur di seluruh kolong langit ini. Engkau pun hendak mewakili nama muridmu itu. Sebaliknya aku hanya mewakili diriku sendiri. Karena itu aku mohon dengan hormat hendaklah kita membatasi diri hanya saling menyentuh saja. Dengan demikian kita tak usah membuat ahli sejarah repot menuliskan peristiwa besar ini."

   "Lebih baik kau bersiaplah! Jangan ngo-ceh tak keruan. Hunus pedangmu!"

   Bentak Gagak Seta garang.

   Letnan Suwangsa lantas menghunus pedangnya.

   Itulah sebilah pedang dari istana Mangkunegara.

   Melihat Letnan Suwangsa menghunus' pedangnya, Kilatsih segera menghunus pedangnya pula.

   Kemudian menghampiri Gagak Seta dan mengangsurkan pedangnya itu.

   "Eyang! Inilah pedangmu!"

   Gagak Seta tertawa terkekeh-kekeh.

   "Selama hidupku tak pernah aku menyentuh sebatang pedang, karena aku hanya seorang pengemis jembel. Lagipula untuk melayani binatang ini masakan perlu memakai pedang segala?"

   Dengan langkah perlahan ia mematahkan sebatang bambu seperti tadi yang diperbuat Sirtupelaheli tatkala menghadapi murid-murid Dipajaya. Kemudian dengan langkah tenang pula ia balik kembali ke tengah gelanggang.

   "Yang terhormat Letnan Pribumi Suwangsa, begundal Kompeni! Ingat-ingatlah, ini suatu kesempatan bagus dan besar untuk dirimu sendiri. Jika engkau berhasil melayani aku sepuluh jurus saja, namamu akan terangkat tinggi."

   Sebagian orang yang berada di tempat itu memihak kepada Letnan Suwangsa.

   Mereka terperanjat berbareng syukur.

   Gagak Seta boleh sakti tak ubah malaikat, akan tetapi menghadapi pedang Letnan Suwangsa hanya dengan sebatang bambu saja masakan mampu? Apalagi hanya terbatas dalam sepuluh jurus saja.

   Dalam hati, mereka memperoleh kesan bahwa jago tua itu terlalu sombong.

   Hati Kilatsih gelisah.

   Ia pernah bertarung melawan pedang Letnan Suwangsa.

   Perwira itu memang tinggi ilmu kepandaiannya.

   Walaupun ilmu kepandaian Gagak Seta tak perlu kalah melawan perwira itu, akan tetapi kalau melawan pedang tajam hanya dengan sebatang bambu apalagi hanya dalam sepuluh jurus pula, benar-benar mencemaskan.

   Gurunya sendiri, sang Adipati Surengpati yang terkenal besar kepala barangkali tidak berani berbuat demikian.

   Tatkala iti ia melihat tangan Letnan Suwangsa bergemetaran menggerak- gerakkan pedangnya.

   Itulah suatu tanda bahwa perwira itu sudah mengambil ketetapan untuk melakukan pembunuhan saja.

   Maka gadis itu diam-diam mengeluh di dalam hati.

   "Ah! Kenapa Eyang begini sembrono?"

   Tatkala itu kedua jago sudah berdiri berhadap-hadapan.

   Letnan Suwangsa, berkesan muda perkasa dan Gagak Seta yang sudah ubanan berkesan kuyu.

   Namun jago tua itu bersikap acuh tak acuh.

   Ia sibuk memperbaiki pakaiannya dengan ujung pedang bambunya.

   "Letnan Suwangsa! Kita berdua ini seumpama ayam saja.

   Aku, ayam tulen.

   Sedang engkau ayam terondol! Mari kita mencari tempat yang sesuai untuk bisa menguji kepandaian.

   Meskipun aku ini sudah tua bangka, akan tetapi tak sudi aku bekerja kepalang tanggung.

   Mari kita bertarung di depan bihara gurumu.

   Dengan begitu, kalau kau keok nanti, gurumu akan bisa membalas dendam dengan segera!"

   Letnan Suwangsa mendongkol bukan main.

   Biar bagaimanapun juga ia adalah seorang pendekar yang sudah mempunyai nama baik.

   Selain itu ia salah seorang opsir Mangkunegaran dan kebetulan dia menantu Sri Mangkunegara pula.

   Akan tetapi kini, ia dikatakan sebagai ayam terondol.

   Keruan saja rasa gusarnya membuat ia lupa akan rasa jerinya.

   Tatkala itu meskipun Gagak Seta bersenjata mustika dunia, sama sekali ia tak gentar.

   Di dalam hatinya sudah timbul satu keputusan hendak mengadu jiwa.

   Maksud demikian akan mudah dicapai mengingat orang tua itu hanya bersenjata sebatang bambu.

   "Bagus! Tak mengapa sekali-sekali meluluskan permintaan binatang tua yang sudah mau mampus,"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahutnya geram.

   Dengan diikuti serdadu-serdadu Letnan Matulesi, dan sekalian saudara seperguruannya, Letnan Suwangsa mendahului keluar hutan bambu.

   Sebentar saja bihara Dipajaya sudah nampak di depan mata.

   Halamannya cukup luas.

   Di sana sini berdiri pohon-pohon yang terpelihara dengan baik.

   Di sebelah kiri jalan masuk terdapat kolam ikan.

   Airnya jernih dan terawat pula.

   Demikianlah, sesudah memilih tempat, mereka berdua telah berdiri berhadap-hadapan lagi.

   Letnan Suwangsa tak sudi menyia-nyia-kan waktu lagi.

   Terus saja ia menggerakkan pedangnya dengan himpunan tenaga sakti penuh-penuh.

   Dan kena getaran tenaga saktinya pedangnya lantas meraung-raung.

   Gagak Seta lantas tertawa lebar.

   "Bagus! Hanya sayangnya, di luar saja pandai menggertak, sedang dalamnya sama sekali kosong!"

   Pada detik itu Letnan Suwangsa telah menggerakkan pedangnya.

   Sama sekali ia tidak menggerakkan kakinya untuk mengelakkan diri.

   Tikaman Letnan Suwangsa yang sangat dahsyat itu hanya dielakkan dengan menggeserkan tubuhnya sedikit saja.

   Nyatanya ujung pedang Letnan Suwangsa lewat di sisi tubuhnya, menikam udara kosong.

   Dan selagi tubuhnya bergeser, tangannya tidak diam saja.

   Pedang bambunya diangkat ditikamkan mengarah mata.

   Aneh gerakan pendekar tua itu! Tetapi tiba-tiba semua penonton menjadi terkejut.

   Pedang bambu itu mendadak saja meraung keras luar biasa melebihi raung pedang Letnan Suwangsa.

   Keruan saja Letnan Suwangsa kaget setengah mati.

   Buru- buru ia melompat mundur dan untuk pertama kalinya ia merasakan betapa hebatnya tenaga lawan yang sudah tua itu.

   "Hei, Kilatsih!"

   Seru Gagak Seta dengan tertawa nyaring.

   "Kau tolonglah aku menghitung! Ini tadi jurus yang pertama."

   Letnan Suwangsa dengki dan mendongkol bukan main.

   Ia mundur sambil menangkis.

   Setelah itu ia memperbaiki dirinya cepat-cepat.

   Kemudian dengan tiba-tiba ia merang-sak.

   Itulah jurusnya yang kedua.

   Akan tetapi lagi-lagi ia menjadi repot sekali.

   Belum sempat ia membalas terpaksalah ia melakukan jurus ketiga.

   Dan saban-saban, Kilatsih, menghitung jurus- jurusnya dengan suara nyaring.

   Biar bagaimana pun juga, Letnan Suwangsa sesungguhnya seorang jago.

   Pada jurus ketiga setelah membela diri, ia mencoba membalas menyerang, la adalah salah seorang ahli waris pendekar kawakan Dipajaya yang berbakat.

   Itulah sebabnya tak gampang-gampang ia dapat dirobohkan.

   Gagak Seta tetap tidak mengelak.

   Untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang Letnan Suwangsa, ia hanya mengebas ujung pedang sang Letnan dengan memukul hulu pedang.

   Dan kena pukulan tenaga sakti Gagak Seta, telapak tangan Letnan Suwangsa tergetar dan nyeri luar biasa.

   Nyaris saja pedangnya terpental.

   Syukurlah ia tak kehilangan keseimbangannya.

   "Kali ini boleh juga!"

   Kata Gagak Seta sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   "Penjagaanmu kurang tepat. Meskipun rapat, akan tetapi masih terdapat lowongan. Karena itu, maaf, tak dapat kukatakan bahwa jurusmu tadi sudah hebat. Nah sekarang, lihatlah yang terang tiga jurusku!"

   Tatkala itu Kilatsih sudah menghitung lima jurus. Dengan menyebutkan tiga jurus lagi jumlah akan segera menjadi delapan. Dengan demikian tinggal dua jurus saja. Kata jago tua itu.

   "Jangan tergesa-gesa! Perhatikan tiga jurusku ini. Inilah jurus istimewa, yang dahulu pernah kuajarkan kepada muridku Sangaji. Jurus pertama, namanya, Perwira kantong nasi menyembah majikan. Arah bidikannya adalah pundakmu kiri dan kanan. Jurus yang kedua namanya. Perwira pribumi yang sudah kehilangan rasa kebangsaannya. Arah bidikannya adalah tenggorokanmu. Dan yang ketiga, namanya. Perwira cacingan mangsa burung bangau. Jurus ini akan langsung menikam dadamu!"

   Sudah barang tentu, nama ketiga jurus itu, adalah bualan kosong Gagak Seta belaka, la mengarang pada saat itu juga.

   Maksudnya hanyalah untuk mengejek Letnan Suwangsa.

   Walaupun demikian, gayanya seperti seorang guru mengajar muridnya saja.

   Letnan Suwangsa serasa hampir meledak dadanya.

   Selama hidupnya belum pernah sampai terhina sedemikian rupa.

   Meskipun demikian ia merasa beruntung karena sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dahulu ke mana arah bidikan pedang bambu jago tua itu.

   Segera ia mengendapkan rasa gusarnya dan menumpahkan seluruh perhatiannya untuk bertahan.

   "Nah, kini kumulai!"

   Seru Gagak Seta Benar-benar ia mulai menyerang.

   Serangan yang pertama dapat dielakkan.

   Begitu pun yang kedua, la menggunakan tipu-tipu intisari ilmu pedang warisan gurunya.

   Selain itu ia mempergunakan kecepatan dan tenaganya yang besar.

   Untuk menghadapi jurus yang ketiga, antaran tidak memperoleh tipu muslihat yang lain lagi, segera ia menggunakan tipu silat kilat mengejap dan guruh meledak.

   Inilah cara bertahan berbareng menyerang yang hebat.

   Tujuan terpenting hendak membabat pedang bambu Gagak Seta.

   Untuk ini ia bersedia mati andaikata jago tua itu tiba-tiba mengubah jurusnya yang sudah dikhabarkan tadi.

   Kilatsih dengan beruntun menghitung.

   "Jurus enam! Tujuh! Delapan!....."

   Menyaksikan Letnan Suwangsa sudah bersiaga penuh menghadapi jurus yang ketiga, diam-diam Kilatsih mengeluh di dalam hati. Katanya tak jelas.

   "Ah, sayang! Kenapa Eyang menyebutkan jurusnya terlebih dahulu? Coba tidak demikian pastilah Letnan Suwangsa tidak akan dapat menangkisnya. Sekarang tinggal dua jurus lagi. Apabila Letnan Suwangsa nekad, nanti ia tak dapat dirobohkan dalam sepuluh jurus saja.....' Selagi ia bergumam kepada dirinya sendiri, tiba-tiba ia kaget. Pada saat itu ia mendengar suara sangat keras. Tatkala ia menajamkan penglihatannya, berkelebatlah sesosok bayangan melayang tinggi di udara mengarah ke kolam air dan bayangan itu tercebur dengan menerbitkan suara gemuruh. Itulah tubuh Letnan Suwangsa, yang kena dilemparkan Gagak Seta tinggi di udara dan terbanting ke dalam kolam. Tadi, Letnan Suwangsa menggunakan jurus kilat mengendap dan guntur meledak dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Justru demikianlah ia menjadi makanan empuk bagi Gagak Seta yang memiliki ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti tatkala mengajar Sangaji, berkali-kali Gagak Seta mengesankan, bahwa letak perbawa ilmu sakti Kumayan Jati, apabila berhadapan dengan musuh-musuh yang bersedia mengadu tenaga. Dan musuh itu harus tetap berada di tempatnya. Kalau sampai bergerak, samalah halnya dengan seseorang yang menggoyang-goyang seekor bajing yang berada di atas dahan pohon. Itulah sebabnya dengan murah hati ia mengabarkan arah bidikan ketiga jurusnya. Gagak Seta nampaknya seorang angin-anginan dan kegila-gilaan, akan tetapi sesungguhnya dia seorang yang cerdas luar biasa. Dengan mengabarkan arah bidikan ketiga jurusnya, membuat Letnan Suwangsa tidak bergerak terlalu banyak. Pendekar muda itu pasti akan berkutat sekitar pundaknya kiri kanan, tenggorokan dan dadanya. Dengan demikian ia tak ubah sebuah patung yang terpantek pada tempatnya. Dan pada saat itulah Gagak Seta menghantam dengan ilmu sakti Kumayan Jati secara telak sekali. Jangan lagi tubuhnya terdiri dari darah dan daging, sedang sebongkah batu pun akan diangkat himpunan tenaga sakti Kumayan Jati yang dahsyat luar biasa. Syukurlah Gagak Seta hanya menggunakan tenaga saktinya lima bagian saja. Perwira itu hanya terangkat tinggi ke udara dan terbanting mendebur ke dalam kolam. Gagak Seta lantas tertawa panjang.

   "Kilatsih ingat-ingatlah jurus ini! Kalau engkau hendak memukul lawan jangan biarkan lawanmu selalu bergerak seperti seekor bajing berlompatan di atas dahan. Bidikanmu akan luput! Sebaliknya kalau engkau bisa membuat lawanmu tak dapat bergerak banyak sehingga tak ubah sebuah patung saja, itulah sasaran yang paling bagus, untuk melepaskan bidikan yang menentukan. Eh, sudah jurus ke berapa ini tadi?"

   "Jurus yang kesembilan!"

   Sahut Kilatsih nyaring dengan melepas napas lega. Benar-benar ia tak menduga bahwa Gagak Seta dapat menyelesaikan batas jurusnya dengan bagus sekali. Gagak Seta lalu menghampiri kolam. Sambil menjengukkan pandangnya ke dalam kolam, ia berseru.

   "Letnan antek Kompeni, kau dengarlah! Semenjak hari ini dan seterusnya aku larang engkau menyebut dirimu sebagai salah seorang ahli pedang terbesar pada zaman ini! Mengerti!"

   Manusama menggigil mendengar ucapan Gagak Seta. Tak dapat lagi ia menguasai dirinya. Terus saja ia melompat menerjang.

   "Aku pun ingin belajar dengan ilmu pu-kulanmu yang dahsyat itu."

   Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan betapa dahsyat ilmu pukulan pendekar tua itu.

   Lantaran penasaran segera ia menggerakkan arca perunggunya.

   Tenaga raksasa itu memang dahsyat luar biasa.

   Semalam Letnan Suwangsa telah merasakan gempurannya.

   Sedangkan tenaga yang digunakan Manusama hanya dua atau tiga bagian saja.

   Kini menghadapi Gagak Seta ia mengerahkan seluruh tenaganya.

   Tidak hanya tujuh atau atau delapan bagian saja.

   Akan tetapi sepuluh bagian sekaligus! Maka betapa dahsyat tenaganya sudah dapat dibayangkan.

   Menghadapi gempuran dahsyat Manusama ini, Gagak Seta sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, la hanya menangkap kedua tangannya.

   Sungguh aneh! Arca perunggu itu tertahan di udara.

   Dan semua yang menyaksikan berseru tertahan pula karena rasa terperanjat dan kagumnya.

   Tenaga pukulan Manusama memang dahsyat luar biasa.

   Akan tetapi apabila dibandingkan dengan pukulan Kebo Bangah di masa jayanya, masih kalah satu atau dua tingkat.

   Itulah sebabnya bagi Gagak Seta menghadapi pukulan demikian, bukan suatu peristiwa yang mengejutkan.

   Dia seorang pendekar yang mau menang sendiri.

   Begitu yakin ia kepada kemampuan diri sendiri, sehingga berkepala besar seperti Adipati Surengpati.

   Nyatanya, walaupun tenaganya sudah mundur apabila dibandingkan dengan masa jayanya, namun himpunan tenaga saktinya masih kuasa menahan gempuran arca perunggu Manusama yang dahsyat sekali.

   Pada saat itu Gagak Seta lantas menggerakkan tangannya dan Manusama terpelanting mundur dengan berputaran, tatkala melihat seorang lain berdiri tegak di samping Gagak seta.

   Orang itu berambut ikal dan hidungnya bengkung.

   Wajahnya aneh sekali, separo hitam dan separo putih.

   "Hai! Apakah mataku sudah lamur?"

   Pikir Manusama di dalam hati.

   Segera ia mengu-cak-ucak kedua belah matanya, dan menatap orang itu kembali.

   Tiba-tiba saja ia menjadi heran.

   Kedua mata orang itu bergerak-gerak gundunya.

   Akan tetapi wajahnya sama sekali beku.

   Namun ia heran hanya untuk sejenak saja.

   Cepat sekali ia menjadi sadar kembali.

   "Siapa yang berani main gila di depanku dengan memakai topeng segala?"

   Setelah membentak demikian ia menyerang dengan arca perunggunya lagi.

   Orang itu hanya menggerakkan sebelah tangannya.

   Tiba- tiba saja di tangannya telah tergenggam sebatang pedang bersinar hijau.

   Sekali bergerak, ia menangkis arca perunggu Manusama.

   Kedua senjata beradu keras sehingga menerbitkan suara nyaring.

   Arca perunggu berat, dan kuat.

   Akan tetapi pedang hijau itu dapat menetak badan arca perunggu dengan meninggalkan bekas.

   Keruan saja Manusama kaget bukan kepalang.

   Telapakan tangannya, bergemetaran dan merasa nyeri luar biasa.

   Hampir-hampir saja arca perunggunya terpental dari genggamannya.

   Selagi matanya masih berkunang-kunang ia mendengar bentakan orang itu.

   "Kau setan culik, hebat juga! Pantaslah, engkau diberi kesempatan untuk masuk ke Pulau Jawa. Negara tidak berpintu pula, kenapa engkau lancang memasuki? Kau rasakanlah pedangku!"

   Sesudah membentak demikian, orang itu melompat menerjang dengan pedangnya.

   Manusama telah memperoleh pengalaman pahit.

   Maka tak berani ia berlaku sembrono seperti tadi.

   Tak berani ia menangkis mengadu keras melawan keras.

   Tetapi sebaliknya ia mengelak ke samping.

   Dari tempat berpijaknya ia membalas menyerang.

   Tiga kali beruntun ia menghantam ke arah lengan orang itu.

   Hantaman itu tepat sekali.

   Tetapi orang itu sama sekali tidak bergeming.

   Mau tak mau terpaksalah Manusama berpikir di dalam hati.

   "Dia ini manusia atau setan?"

   Menghadapi kejadian yang aneh itu, Manusama lantas saja melompat mundur. Lalu minta keterangan.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa engkau? Selama hidupku belum pernah aku bertarung dengan orang yang masih gelap namanya."

   Orang itu tertawa melalui dadanya.

   Kemudian dengan perlahan-lahan ia melo-coti topengnya.

   Gerakan itu sungguh menarik perhatian Letnan Suwangsa yang sedang merangkak- rangkak hendak berdiri di tepi kolam.

   Itulah orang bertopeng yang semalam melawan gurunya.

   Sekarang orang bertopeng itu bersedia membuka topengnya.

   Keruan saja untuk sementara ia lupa akan rasa penasarannya akibat kena jungkir Gagak Seta dengan mudahnya sehingga mencebur ke dalam kolam.

   Setelah orang itu melocoti topengnya sendiri lalu berkata dengan tersenyum.

   "Lihatlah yang terang! Aku pun paling benci terhadap orang yang main iblis-iblisan! Akulah Manik Angkeran!"

   Sesudah berkata demikian orang yang menyebut sebagai Manik Angkeran itu menghadap Gagak Seta serta membungkuk hormat.

   "Paman Gagak Seta! Terimalah hormat muridmu Kangmas Sangaji.

   Pada saat ini dia pun baru di tengah perjalanan menuju ke mari.

   Aku diperintahkan untuk mendahului berjalan.

   Untuk menghadapi siluman hitam itu tak usahlah Paman sendiri yang turun tangan.

   Biarlah aku saja yang mencoba-coba sampai di mana ketangguhannya."

   Semuaorang terkejut dan heran mendengar orang itu memperkenalkan diri dengan nama Manik Angkeran.

   Tetapi yang merasa syukur bukan main dan bergirang hati adalah Kilatsih.

   Sebab orang itulah yang menolong dan mendukungnya tatkala dirinya dipisahkan dari cinta kasih kedua orang tuanya.

   Dia pulalah yang mengasuhnya.

   Dialah tunangan Fatimah.

   Dia pulalah yang khabarnya menjual gedung Paguyuban Sunda di bumi Jawa Barat.

   Dan pemuda itu jugalah anak kandung ayah angkatnya, Sorohpati.

   Maka tak mengherankan gadis itu lantas saja berseru karena luapan rasanya.

   "Kangmas Manik Angkeran! Aku di sini.....!"

   Manik Angkeran melayangkan pandangnya, la melihat seorang gadis yang cantik jelita. Mula-mula ia heran sehingga keningnya nampak mengkerut. Dan Gagak Seta yang semenjak tadi tertawa lebar segera berkata.

   "Kau sambutlah dia! Dialah adik angkatmu sendiri, Kilatsih!"

   Mendengar keterangan Gagak Seta rasa heran yang terbayang pada wajah Manik Angkeran lenyap sekaligus dan berganti dengan rasa girang dan terharu.

   Pikirnya di dalam hati, Kilatsih! Jadi.....

   inilah anak Suhanda dan Rostika yang mati tak keruan liang kuburnya.

   Tuhan Maha Pemurah! Walaupun tiada berayah bunda, nyatanya dia bisa hidup dalam keadaan segar bugar tak kurang suatu apa.

   Akan tetapi mereka berdua tidak diberi kesempatan untuk bisa saling melampiaskan perasaannya.

   Pada saat itu Manusama telah menyerang kembali dan Manik Angkeran segera menggerakkan pedangnya pula.

   Resminya dia adalah anak murid Tabib sakti Maulana Ibrahim.

   Dan Maulana Ibrahim adalah ahli waris pendekar sakti di Jawa Barat bernama.

   Saha Dewata.

   Selain mewarisi ilmu ketabiban Maulana Ibrahim, Manik Angkeran mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari Sangaji dan Titisari.

   Sebagai seorang yang serius, Sangaji mewariskan semua ilmu kepandaiannya.

   Titisaripun tak terkecuali.

   Itulah sebabnya ia memiliki gabungan ragam ilmu sakti tertinggi di dunia.

   Maka tak mengherankan pula ia dapat menghadapi Manusama dengan wajar saja.

   Gempuran Manusama dahsyat luar biasa tak ubah sebuah biduk menerjang arus.

   Sebaliknya sambaran pedang Manik Angkeran bagaikan gelombang dahsyat membanting biduk yang mencoba menyongsong arusnya.

   Keruan saja begitu pedang dan arca perunggu saling berbenturan, Manusama memekik tinggi.

   Tubuhnya terlempar dan tercebur pula ke dalam kolam.

   "Manusama! Baiklah, aku pun tidak mau menang sendiri. Kau merangkaklah ke luar lagi dan aku akan melayanimu dengan perlahan-lahan. Berkelahi dengan mengadu tenaga saja, samalah dua ekor kerbau tolol!"

   Seru Manik Angkeran dengan suara lapang.

   Manusama muncul kembali ke atas permukaan kolam yang dangkal.

   Pakaiannya basah kuyup.

   Ia sudah berwajah bengis dan hitam lekam pula.

   Tak mengherankan, begitu tubuhnya basah kuyup oleh air kolam, maka perawakan tubuhnya benar-benar mirip seekor kerbau yang baru bangun dari kubangan.

   Meskipun demikian masih bisa ia membentak.

   "Bocah! Engkau sudah kuberi kelonggaran. Ternyata kau tak tahu diri. Kalau begitu, tak perlu lagi aku bersegan- segan....."

   Manik Angkeran tertawa panjang.

   "Dalam sekali gebrak saja, tahulah aku, bahwa engkau sudah menghimpun tenaga ilmu sakti beberapa puluh tahun. Sebenarnya engkau telah memperoleh rahasianya kemahiran ilmu sakti. Hanya sayang, kau baru saja masuk di ruang paseban. Tegasnya, engkau pulang saja untuk belajar lagi sepuluh atau dua puluh tahun! Laporlah kepada gurumu! Bahwa semenjak hari ini, lebih baik engkau menjadi seorang maha guru. Pastilah namamu bakal laris dan dipuja .murid- muridmu."

   Tentu saja inilah bukan suatu pujian melulu.

   Akan tetapi terselip pula ejekan.

   Tak mengherankan, raksasa itu lantas menggerung karena gusarnya.

   Lantas saja ia melompat ke tepi kolam dan merabu bagaikan kerbau edan.

   Dan menghadapi kekalapan Manusama, Manik Angkeran melayani dengan sabar sekali.

   Benar saja! Sekarang dia tidak mengadu keras melawan keras.

   Akan tetapi pedangnya berlenggok- lenggok memperlihatkan kemahirannya dalam ilmu pedang.

   Gerakannya sebat dan gesit luar biasa.

   Manusama kuat dan perkasa, namun tak kuasa ia mengadakan serangan balasan.

   Arca perunggunya seperti terkurung gerakannya.

   Makin lama daerah geraknya makin sempit, dan kini tinggal dalam lingkaran kecil pula.

   Dengan demikian kegarangan Manusama, si raksasa hitam itu turun dengan sendirinya.

   Menyaksikan kepandaian Manik Angkeran, Kilatsih segera sadar.

   Sekarang insyaflah dia, apa arti inti rahasia ilmu pedang.

   Gerakan pedang Manik Angkeran tidak lagi mengutamakan kembang-kembangnya saja yang penuh keindahan dan kegesitan, akan tetapi hanya sederhana saja.

   Tetapi justru gerakan yang sangat sederhana itu dapat menutupi segala gerak lawan.

   Seperti diketahui, Kilatsih menerima ajaran ilmu pedang pula dari Titisari dan beberapa petunjuk dari Sangaji.

   Maka dengan cepat dapat ia mengikuti gerakan pedang Manik Angkeran.

   Manik Angkeran hendak merobohkan Manusama dengan cara yang lain.

   Kalau tadi mengadu tenaga dahsyat, sebenarnya hendak membuyarkan keangkuhan Manusama yang tinggi hati.

   Setelah berhasil membuat hati lawan gugup, segera dia memperlihatkan kemahiran ilmu pedangnya, la tidak segarang tadi.

   Maksudnya hanya untuk menghabiskan napas lawannya.

   Maksud itu tidak terlalu sulit dicapainya.

   Setelah melampaui tiga puluh jurus, Manusama ternyata hanya dapat membela diri saja.

   Napasnya memburu sampai terdengar jelas oleh sekalian orang yang hadir di situ.

   Letnan Suwangsa yang sudah di tepi kolam, senantiasa memasang matanya.

   Sebagai seorang perwira yang banyak pengalaman segera disadarinya bahwa suasana buruk kini berada di pihaknya.

   Kalau tidak segera bertindak, mungkin sekali paman gurunya itu, akan menghadapi bahaya maut.

   Oleh pikiran itu ia segera mengerdipi Kapten Wiranegara.

   Kemudian berkata.

   "Apa perlu kita main pahlawan-pahla- wanan? Serbu!"

   Mendengar aba-aba Letnan Suwangsa, dua peleton serdadunya lantas bermunculan dari balik rumpun bambu dan bersenjata lengkap.

   Dua peleton serdadu itu mengenakan pakaian seragam dua rupa.

   Yang pertama pakaian seragam pengawal istana Kesultanan Yogyakarta dan yang kedua laskar bantuan Mangkunegaran.

   Dua peleton itu sebenarnya dari dua kesatuan yang berlainan.

   Akan tetapi kedua-duanya berada di bawah perintah Patih Danurejo yang memerintah Kerajaan Yogyakarta.

   Serdadu-serdadu itu hanya muncul saja.

   Walaupun bersenjata lengkap, mereka belum bersiaga menerjang.

   Mereka hanya bersikap mengurung, karena Kapten Wiranegara yang memegang tongkat komando, belum memberi aba-aba yang menentukan.

   Sebaliknya melihat munculnya belasan serdadu itu, baik Kilatsih maupun Sirtupelaheli lantas saja bersiaga dengan senjatanya masing- masing.

   Yang nampak tenang-tenang adalah Gagak Seta.

   Pendekar tua itu lagi-lagi tertawa terkekeh-kekeh.

   "Orang-orang yang tidak mempunyai kehormatan diri ini selamanya hanya mengandalkan jumlahnya saja. Kilatsih! Kau sarungkan saja pedangmu! Untuk menghadapi bangsa kurcaci ini masakan aku perlu bantuanmu?"

   Setelah berkata demikian ia menghampiri Sirtupelaheli.

   Kedua jago tua itu tiba-tiba melesat dan terdengarlah riuhnya suara bentrokan senjata tajam.

   Dalam sekejap mata saja semua senjata serdadu-serdadu yang mengepung rapat itu terkutung sekaligus.

   Dengan demikian mereka tak ubah ayam aduan yang telah diterondoli bulu-bulunya.

   Keruan saja Letnan Suwangsa, Kapten Wiranegara dan Letnan Matulesi serta Sersan Martosemi terkejut bukan main.

   Di pihaknya selain mereka berempat, tinggal Manusama, Tarupala, Prajaka Sindungjaya dan Antariwati yang masih bersenjata.

   Mampukah mereka berdelapan menghadapi tokoh-tokoh sakti seperti Gagak seta, Sirtupelaheli, Manik Angkeran dan Kilatsih? Meskipun Kilatsih seorang gadis, akan tetapi ilmu pedangnya tak boleh dipandang ringan.

   Benar-benar berbahaya kedudukan Letnan Suwangsa berdelapan! Seperti mendengar aba, mereka berdelapan lantas mundur berserabutan.

   Sudah barang tentu Manik Angkeran tidak membiarkan mereka bisa kabur dengan enak saja.

   Dengan pedangnya ia meloncat menerjang.

   Terpaksalah Manusama menangkis.

   Dalam sekejapan mata saja terdengar suara tang- ting-tung cepat sekali.

   Itulah suara beradunya arca perunggu Manusama dengan ujung pedang Manik Angkeran.

   "Paman Gagak Seta!"

   Seru Manik Angkeran.

   "Paman atau aku yang akan memampuskan siluman hitam ini? Keruan saja Manusama gusar setengah mati. Selama hidupnya baru kali itulah ia memperoleh hinaan demikian rupa. Ia lantas menggerang sambil menghantamkan arca perunggunya. Justru pada saat ini Gagak Seta memukul dengan ilmunya Kumayan Jati. Tubuh Manusama terlempar tinggi ke udara dan jatuh menggabruk ke tanah. Keruan saja Kapten Wiranegara dan kawan-kawannya kaget setengah mati. Mereka telah menyaksikan sendiri betapa dahsyat tenaga pukulan ilmu Kumayan Jati. Maka melihat tubuh Manusama terpelanting bagaikan selembar .dahan kering, cepat-cepat Kapten Wiranegara memanjangkan langkahnya. Syukurlah tidak demikian perbuatan ' Letnan Suwangsa. Melihat paman gurunya jatuh menungkrap tanah, ia segera menghampiri. Kemudian diseretnya lari dengan cepat. Untuk melindungi mereka berdua Letnan Matulesi dan Sersan Martosemi menghadang dengan pedangnya. Justru demikian perwira itu mendengar bentakan Manik Angkeran.

   "Kau pun harus rebah!"

   Letnan Matulesi dan Sersan Martosemi menggenggam pedangnya erat-erat dalam telapak tangannya.

   Mereka menyambut serangan Manik Angkeran dengan satu tebasan pedang berbareng.

   Cepat Manik Angkeran mengelak.

   Mendadak saja ia menyarungkan pedangnya.

   Kemudian kedua jarinya mulai bekerja mengarah mata.

   Itulah suatu perubahan tata berkelahi di luar dugaan.

   Letnan Matulesi menjadi kerepotan.

   Tak dapat ia melakukan perlawanan, meskipun ilmu pedangnya tinggi juga.

   Didesak dengan cara demikian, ia main mundur dan mundur.

   Namun sia-sia belaka ia berusaha mengelak atau berkelit.

   Selalu saja Manik Angkeran dapat membayanginya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan tahu-tahu tubuhnya roboh terkapar tak berdaya.

   Maka lari terbirit-birit- lah Sersan Martosemi seperti anjing kena gebuk, begitu melihat kawannya roboh terkapar di atas tanah.

   Dengan larinya Kapten Wiranegara, Letnan Suwangsa dan Sersan Martosemi serta robohnya Letnan Matulessi, sekalian serdadu kuncup hatinya.

   Seperti berlomba mereka lantas saja memutar badan dan lari kocar-kacir sekuat-kuatnya.

   Prajaka Sindungjaya dan Antariwati yang semenjak tadi bersikap berbimbang-bimbang, kaget dan heran menyaksikan semua peristiwa yang berjalan dengan cepatnya di depan mata mereka.

   Mereka berdua tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

   Baik Kilatsih maupun Gagak Seta dan Sirtupelaheli serta Manik Angkeran, tidak mempunyai permusuhan mendalam dengan mereka berdua.

   Sebaliknya, karena terikat oleh tata tertib rumah perguruan, mereka lantas ikut lari pula tatkala melihat Letnan Suwangsa lari sambil menyeret tubuh Manusama.

   Tetapi karena pikirannya berbimbang-bimbang mereka berlari-lari dengan ayal-ayalan.

   Tiba-tiba mereka melihat lagi suatu kejadian yang sangat mengherankan.

   Para serdadu yang lari kocar-kacir mundur, mendadak saja berhenti serentak.

   


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini