Kemelut Tahta Naga 2
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 2
Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP
"Kembali ke tempat kalian masing-masing dan kularang bertindak sendiri-sendiri, soal pembunuh ini adalah urusanku, akan kuselesaikan sendiri dan tidak perlu campur tangan siapapun dari kalian!"
Perlahan kerumunan itupun bubar.
Oborobor dimatikan kembali, dan beberapa saat kemudian tempat itu sudah sunyi kembali karena para perajurit tidur kembali.
Sebenarnya memang ada belasan orang kakitangan Ni Keng Giau dalam pasukan Pangeran In Te itu, semuanya diberi perintah untuk membunuh Pangeran In Te secara diam-diam kalau ada kesempatan.
Namun setelah kegagalan Yu Hong, pembunuh-pembunuh lain jadi takut bertindak.
Mereka khawatir akan menjadi mangsa dari penolong tersembunyi yang diam-diam melindungi Pangeran In Te, dan tak diketahui siapa orangnya itu.
Beberapa saat setelah tempat itu sepi kembali, hanya dengkur para perajurit yang terdengar, maka sesosok bayangan bergerak menjauhi tempat itu.
Gerakannya lebih dari sekedar seringan kucing, tapi bahkan seperti hantu karena seolah-olah bisa melayang tanpa menginjak tanah.
Makin jauh dari tempat pasukan itu, imakin cepatlah gerakannya.
Namun di tempat yang agak jauh, tiba-tiba bayangan itu nampak menjadi dua.
Sama ringannya, sama cepamya.
Entah darimana munculnya yang satu lagi, yang membuntuti bayangan yang pertama tadi.
Bayangan yang di depan agaknya mulai merasa kalau sedang dibuntuti, sebab tiba-tiba ia berhenti dan memutar tubuh secepat kilat.
Sambil membentak, sepasang telapak tangannya langsung menghantam ke arah penguntitnya dengan gerak tipu In-hou-kui-san (Menggiring Macan Pulang Gunung).
Angin keras menderu berbareng dengan pukulannya.
Serangan mendadak itu memang hebat, tapi bayangan yang di belakang itu sanggup menangkis dengan mantap tanpa tergetar mundur, malahan sambil mengeluarkan katakata pujian.
"Hebat, Kim Cong-koan! Liok-hapsin-kang (Tenaga Sakti Enam Lapis)mu sudah meningkat pesat!" Bayangan pertama terkejut, apalagi ketika merasakan sengatan hawa panas dari gerakan lawan, menyertai tenaganya sendiri yang terpantul balik. Cepat ia melompat mundur sambil menyiap kan serangan barunya. Sedangkan si bayangan kedua cepat cepat melompat mundur pula sambil berseru.
"Tahan, Kim Cong-koan, aku tak ingin berkelahi denganmu!"
Bayangan yang di depan itu, Kim Seng Pa, mengendorkan sikap tempurnya, lalu tertawa mengejek.
"Kiranya kau, Pak Kiong Liong! Tentu saja kau tidak ingin bertempur, karena tidak mau mengulangi kekalahanmu dulu di tanganku, bukan?"
Bayangan yang kedua itu ternyata juga seorang kakek-kakek yang sebaya dengan Kim Seng Pa.
Dialah Pak Kiong Liong, bekas Panglima Hui-liong-kun yang sejak beberapa tahun yang lalu kehilangan kedudukannya karena menentang Kaisar Yong Ceng dan tetap mendukung Pangeran In Te sebagai pewaris syah tahta.
Menghadapi ejekan Kim Seng Pa itu, Pak Kiong Liong tetap bersikap sabar, sahutnya sambil tertawa.
"Benar, aku takut kalah karena ilmu Cong-koan sudah meningkat dibandingkan dulu Sedangkan tulang-tulangku sudah semakin keropos."
Diam-diam Kim Seng Pa jadi malu sendiri menghadapi sikap merendah itu.
Sikapnya sendiri jadi kelihatan kekanak-kanakan, padahal seluruh rambutnya sudah ubanan.
Selain itu, dalam benturan tangan tadi, dialah yang tergetar mundur.
Jadi, meskipun beberapa tahun yang lalu dia bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, tapi sekarang belum tentu.
Terpaksa ia melunakkan sikap.
"Mau apa kau membuntuti aku, Pak Kiong Liong?"
"Aku hanya mau mengucapkan teri ma kasih kepadamu."
"Terima kasih untuk apa?"
"Karena Cong-koan telah menyelamatkan nyawa Pangeran In Te." Bukan bangga mendapat ucapan terima kasih itu, Kim Seng Pa malah kaget karena perbuatannya yang ingin dilakukan diam-diam itu sudah diketahui oleh Pak Kiong Liong. Memang Kim Seng Pa itulah penolong tersembunyi yang dengan lemparan kerikilnya berhasil menotok lumpuh si pembunuh yang hampir menancapkan belati di jantung Pangeran In Te. Perbuatannya itu dilakukan bukan karena ia baik hati kepada Pangeran In Te, melainkan menggagalkan tugas Ni Keng Giau agar Ni Keng Giau tidak dipercaya lagi oleh Kaisar Yong Ceng. Tentu saja tindakan itu harus dilakukan diam-diam, sebab pembunuhan atas diri Pangeran In Te itu termasuk rencana Kaisar sendiri, menjegal rencana itu berarti juga menentang Kaisar. Maka alangkah cemasnya Kim Seng Pa ketika mengetahui bahwa undakannya tadi ternyata telah diintai oleh Pak Kiong Liong. Seandainya yang dihadapinya bukan Pak Kiong Liong, pastilah sudah dibunuhnya tanpa ampun. Namun Pak Kiong Liong bukanlah kerupuk yang bisa dicaplok begitu saja. Dulu memang ia pernah mengalahkan Pak Kiong Liong, namun beberapa saat yang lalu ia sudah merasakan betapa Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) Pak Kiong Liong sudah meningkat hebat dibandingkan dulu. Kalau bertempur lagi, susah menang sudah pasti akan dialaminya. Karena itulah Kim Seng Pa tidak mau ambil resiko. Sikapnyapun jadi semakin ramah.
"Yah,. begitulah. Aku tidak tega melihat Pangeran In Te yang sudah dijatuhkan itu masih juga hendak dibunuh. Rasa kemanusiaankulah yang tak bisa membiarkan hal itu terjadi."
Pak Kiong Liong sudah kenal bagai mana watak Kim Seng Pa, maka jadi merasa agak lucu juga mendengar Kim Seng Pa omong soal "rasa kemanusiaan"
Segala. Namun ia menganggukangguk, pura-pura percaya, dan berkata setengah menggoda.
"Cong-koan sungguh seorang berbudi amat luhur. Kalau Pangeran In Te kelak kuberi tahu soal ini, tentu dia akan sangat ....... Kim Seng Pa terkesiap.
"Jangan! Tidak usah diberitahu! Bahkan siapapun jangan diberi tahu!"
"Lho kenapa?"
Tanya Pak Kiong Liong purapura tolol.
"Sebab..... sebab kalau sampai didengar oleh Sribaginda, tentu aku akan diragukan kesetiaanku, dan mungkin juga menerima hukuman berat. Apakah kau tega melihatku yang telah menolong Pangeran ln Te ini malah mendapat ben cana?"
"Oooo.... begitu? Baiklah. Aku berjanji takkan mengatakannya kepada siapapun. Tapi kumohon Cong-koan sudi menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
"Celaka, malah aku diperas......"
Keluh Kim Seng Pa dalam hati. Tapi sambil tersenyum ia berkata.
"Silahkan, Goan-swe."
"Ah, jangan lagi panggil aku Goan-swe (jenderal), sebab aku sudah bukan apa-apa lagi kecuali seorang gelandangan tua yang menjadi buronan pemerintah,"
Kata Pak Kiong Liong sambil tersenyum.
"Aku cuma ingin tanya, apakah kira-kira orang yang hendak membunuh Pange ran In Te itu adalah suruhan Ni Keng Giau?"
Kim Seng Pa merasa mendapat kesempaTan untuk memanas-manasi hati Pak Kiong Liong demi kepentingannya sendiri. Ia menjawab sambil pura-pura menarik napas dan gelenggeleng kepala.
"Kalau kau tidak mau lebih dulu bersumpah berat untuk merahasiakan pembicaraan kita ini, aku tak berani mengatakannya."
"Baik. Aku bersumpah demi Thian-hu Te-bo (Ayah Langit Ibu Bumi) untuk merahasiakannya."
"Benar?"
Pak Kiong Liong tertawa dingin.
"Kim Congkoan, pernah kau dengar orang macam apa aku ini? Suka menjilat ludah sendiri? Suka berkhianat untuk keuntungan sendiri? Suka bersumpah kosong?"
"Baik, baik. Aku percaya sekarang. Nah, akan kujawab pertanyaanmu tadi."
Suasana sunyi sebentar.
"Memang benar.
Ni Keng Giaulah yang mendalangi usaha pembunuhan Pangeran In Te, dengan cara yang bermacam-macam.
Di perkemahan, Ni Keng Giau selalu memancingmancing agar Pangeran In Te berbuat kesalahan, agar bisa dijatuhi hukuman mati.
Dan di tempat seperti ini, tak segan ia mengupah pembunuh-pembunuh bayaran seperti tadi."
Sebagai pendukung setia Pangeran In Te, darah Pak Kiong Liong memang menghangat mendengar hal itu. Namun ia tetap bungkam sambil pasang kuping. Sedangkan Kim Seng Pa terus berusaha membangkitkan kemarahan Pak Kiong Liong.
"Pak Kiong Liong, Pangeran In Te adalah seorang bangsawan Manchu. Kau dan aku juga orang-orang Manchu. Relakah kita melihat Pangeran In Te setiap hari harus merendahkan diri dihadapan Ni Keng Giau, tapi masih juga dicari-cari kesalahannya, diejek, dihina, dipermalukan di hadapan perwira-perwira, bahkan hendak dibunuh?" Pak Kiong Liong masih tetap diam, dan Kim Seng Pa melanjutkan bicaranya.
"Apakah pantas seorang bangsawan turunan Aishin Gioro dihina seorang Han keturunan rakyat jelata macam Ni Keng Giau itu? Pantas tidak?"
Mula-mula memang Pak Kiong Liong panas hatinya dan hampir saja kena hasutan Kim Seng Pa. Namun ketika hasutan itu menghebat, Pak Kiong Liong malahan menjadi waspada.
"mendingin"
Dan mulai hati-hati.
Kim Seng Pa memberi dalih kesukuan dalam penjelasannya, suatu dalih yang tak pernah disukai Pak Kiong Liong.
Namun Pak Ki ong Liong tetap diam, membiarkan Kim Seng Pa terus berbicara agar dapat menebak apa kiranya maksudnya yang sebenarnya di balik pertolongannya kepada Pangeran In Te juga di balik hasutan nya tadi.
Melihat Pak Kiong Liong diam saja, Kim Seng Pa mengira Pak Kiong Liong sudah terpengaruh oleh ucapannya, maka usulnyapun jadi semakin berani.
"Begitulah, Pak Kiong Liong. Kita memang pernah bermusuhan, tapi sekarang tibalah saatnya untuk bersatu, membela kehormatan suku kita yang diinjak-injak oleh orang Han hina Ni Keng Giau! "Aku punya usul!"
"Usul apa, Cong-koan?"
Pak Kiong Liong bertanya.
"Karena aku terikat oleh kedudukanku, aku amat tidak leluasa berbuat sesuatu terhadap Ni Keng Giau, biarpun sudah lama aku ingin sekali mengunyah kepalanya. Tapi kau, Pak Kiong Liong, kau dalam keadaan bebas dan ilmumu begitu tinggi. Tidak inginkah mendarma baktikan ilmumu untuk membela Pangeran In Te? Ada suatu cara, bunuhlah Ni Keng Giau! Kalau perlu, aku bisa membantumu dengan menyelundupkanmu kedalam perkemahan!"
Pak Kiong Liong merasa agak diluar dugaan. Ia memang tahu kalau diantara pembantupembantu dekat Kaisar Yong Geng ada sikutsikutan, namun tak menduga kalau Kim Seng.Pa sampai begitu bernafsu mengingini kematian Ni Keng Giau. Pikirnya.
"Hemm, Kim Seng Pa, kau pikir aku begitu tolol untuk menjadikan diriku alat pembunuh bagimu? Kau menyuruhku bukan untuk membela Pangeran In Te, tapi hanya untuk menyingkirkan sainganmu agar semakin rata jalanmu untuk mencapai ambisimu. Setelah aku berhasil membunuh Ni Keng Giau, janganjangan lalu aku dan Pangeran In Te juga akan kau bunuh untuk mencari muka terhadap si Yong Ceng itu?"
Tapi Pak Kiong Liong pura-pura mengangguk-angguk dan berlagak tolol ketika bertanya.
"Tapi, Cong-koan, kalau sampai Ni Keng Giau mati, bagaimana dengan pasukan kekaisaran yang akan kehilangan pimpinan dalam perang ini? Bukankah akan kacau, dan pihak musuh yang akan memetik keuntungan?"
Kim Seng Pa menjawab dengan penuh nada percaya diri.
"Pak Kiong Liong, kau pikir cuma Ni Keng Giau yang sanggup memimpin angkatan perang? Aku juga bisa! Apalagi sebagai seorang Manchu, aku lebih pantas untuk kedudukan itu!"
Pak Kiong Liong hampir tak bisa menahan tertawanya mendengar jawaban itu.
Pikirnya.
"Jadi inilah tujuannya, hendak merebut kedudukan Ni Keng Giau.
Bukan main Tapi meski ilmu silatnya tinggi, mengatur pasukan dalam suatu perang adalah soal yang sama sekali berbeda.
Apa dikiranya mengatur pasukan itu sama dengan menggiring bebek di pinggir-pinggir sawah? Kalau pasukan ini sampai dia pimpin malah akan tak karuan jadinya." (Bersambung
Jilid III) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.
Jilid III Sebagai seorang patriot, Pak Kiong Liong mampu memisahkan kebencian terhadap Ni Keng Giau dengan keselamatan negara.
Agar tentara kerajaan tidak sampai kocar-kacir, dibutuhkan pimpinan yang kuat.
Dan orang macam itu, suka atau tidak suka, saat itu hanyalah Ni Keng Giau.
Ni Keng Giau mati, pasukan pun bubar.
Karena itulah ia mengacuhkan usul Kim Seng Pa.
Tapi Kim Seng Pa dengan gigih terus berusaha membuat Pak Kiong Liong menuruti kemauannya.
"Pak Kiong Liong, setelah aku menguasai pasukan, kau pikir kedudukan itu akan kumanfaat kan untuk diriku sendiri? Tidak. Aku memikirkan juga Pangeran In Te. Akan kugunakan pasukan itu mendukung citacita Pangeran In Te untuk merebut tahta yang memang menjadi haknya. Bahkan aku juga akan memberimu kedudukan, karena akupun kagum terhadap perjuanganmu yang gagah berani."
Bicara sampai di sini, Kim Seng Pa tiba-tiba ketakutan sendiri lalu menghentikan ucapannya. Bagaimana kalau Pak Kiong Liong tiba-tiba "usil mulut"
Dan menyebarluaskan janjinya yang bernada memberontak itu, lalu terdengar oleh Kaisar Yong Ceng? Biarpun Kim Seng Pa tidak berniat.
benar-benar menepati "janji"nya kepada Pak Kiong Liong itu, namun kalau sampai terlanjur didengar Kaisar, benarbenar susah untuk menjelaskan kepada Kaisar yang gampang bercuriga itu.
Tertawalah Pak Kiong Liong melihat sikap ketakutan Kim Seng Pa itu.
"Jangan takut, Congkoan. Karena kau sudah menanam kebaikan atas diri Pangeran In Te, aku berjanji akan meraha siakan kata-katamu tadi."
"Terima kasih,"
Kata Kim Seng Pa lega.
"Tapi bagaimana dengan usulku ta "Jangan takut, Cong-koan. Karena kau sudah menanam kebaikan atas diri Pangeran In Te, aku berjanji akan merahasiakan kata-katamu tadi." di?"
"Bandel juga orang ini dengan ambisinya yang selangit,"
Pikir Pak Ki-ong Liong.
"Sampai dicobanya mengi-ming-ngimingi aku dengan kedudukan segala. Hemm."
"Bagaimana, Pak Kiong Liong?"
Desak Kim Seng Pa.
"Kalau Ni Keng Giau mati, kita bisa membagi keuntungan."
"Terima kasih, Cong-koan, tapi belum bisa kuterima sekarang,"
Pak Kiong Liong menghindar halus.
"Nah, selamat malam dan sekali lagi terima kasih."
Lalu berkelebatlah tubuh Pak Kiong Liong meninggalkan tempat itu, meninggalkan Kim Seng Pa yang termangu-mangu kecewa. Sudah terlanjur ia "buka kartu", ternyata apa yang diharapkan dari Pak Kiong Liong tak diperolehnya.
"Bangsat tengik kau, Pak Kiong Liong. Sulit juga mengatur dirimu,"
Akhirnya Kim Seng Pa menggeram sengit.
Lalu diapun meluncur pergi, menghilang di kegelapan malam.
Ketika matahari terbit, Pangeran In Te memerintahkan pasukannya untuk berjalan lagi.
Si pembunuh yang gagah itupun dibawa dengan tangan diikat, biarpun berkuda.
Pangeran In Te tidak menyinggung-nyinggung dalam pembicaraan dengan siapapun.
Karena itu, baik perajlirit-perajurit yang setia kepada Pa ngeran In Te maupun yang menjadi kaki tangan Ni Keng Giau, tak berani membicarakannya pula.
Khawatir kalau Pangeran In Te marah lagi seperti semalam.
Perwira-perwira kaki-tangan Ni Keng Giau percaya bahwa si tawanan tentu sudah mengaku kepada Pangeran In Te kalau dia disuruh Ni Keng Giau.
Namun merekapun yakin Pangeran In Te takkan berani menghukum berat karena, segan kepada Ni Keng Giau yang sedang memegang kekuasaan besar.
Karena itulah para kaki-tangan Ni Keng Giau jadi bersikap congkak, seolah-olah mau berkata.
"aku dilindungi Ni Goan-swe, siapapun tak berani menghukumku." Biarpun mendongkol karena merasa ditantang, Pangeran In Te berusaha tidak menggubris mereka. Bahkan ketika para kakitangan Ni Keng Giau secara menyolok melayani makan-minum si pembunuh yang gagal itu, seolah menunjukkan kesetia-kawanan. Karuan yang gemas dan hampir-hampir tak kuasa menahan diri adalah perwira-perwira yang setia kepada Pangeran In Te. Namun karena Pangeran In Te tidak memerintahkan apa-apa, mereka pun tidak berani bertindak gegabah. Pangeran In Te benar-benar bersedia berkorban untuk menjaga keutuhan pasukannya. Tepat ketika matahari mulai terbenam, pasukan itu menjumpai sebuah desa orang Hui yang sudah kosong ditinggalkan penduduknya. Pangeran In Te bermaksud mengistirahatkan pasukannya semalam di situ, karena desa itu dikelilingi parit air yang lebar, sehingga mudah dipertahankan seandainya datang serangan. Namun sebelum membawa masuk pasukannya, ia perintahkan beberapa perajurit untuk memeriksa apakah desa itu aman atau tidak. Setelah para perajurit yang di perintahkan itu keluar kembali dan melaporkan keadaannya yang aman, barulah Pangeran In Te membawa pasukan menduduki tempat itu. Penduduk desa itu agaknya sudah pergi mengungsi, menjauhi tempat-tempat yang diperkirakan akan menjadi ajang pertempuran. Parut besar di sekeliling kampung itu sebenarnya dibuat tanpa untuk maksud perang, hanya untuk mencegah agar hewan-hewan peliharaan dalam kampung tidak berkeliaran keluar dan hilang. Namun dengan adanya parit itu, Pangeran In Te jadi merasa lebih gampang mengatur penjagaan untuk malam itu. Sementara itu, di kalangan perajurit mulai terdengar gerutuan, karena selama beberapa hari itu belum pernah satu kalipun pasukan itu dikontak oleh Pasukan Wan Yen Siang yang bertugas sebagai pendukung perbekalan. Seharusnya antara kedua pasukan harus ada kontak teratur, agar bila keadaan darurat bisa saling membantu, saling mengetahui posisi masing-masing. Namun buat Pangeran In Te sendiri, hal itu tidak mengherankan. Ia tahu Wan Yen Siang adalah komplotan Ni Keng Giau, tentu akan lebih senang kalau Pangeran In Te mati. Tidak heran kalau Wan Yen Siang membiarkan saja pasukan Pangeran In Te maju sendirian. Hanya saja, Pangeran In Te cuma menyimpan dugaan itu dalam hatinya, tidak dikatakan kepada siapapun, khawatir kalau membuat merosot sema ngat pasukannya. Ketika malam belum lama berkuasa menggantikan senja, yang muncul di tempat itu malah seorang mata-mata Pasukan Pangeran In Te. Dengan menunggangi kuda dan berpakaian seperti orang Hui, orang itu menderapkan kuda mendekati desa, sambil melambai-lambai kan tangan, sebagai isyarat bahwa dia bukan musuh. Yang memimpin penjagaan di situ kebetulan adalah Lo Peng, cam-ciang yang menjadi kakitangan Ni Keng Giau. Cepat ia menyongsong dengan menyeberangi jembatan sambil melambai lambaikan tangan pula, mengisyaratkati agar penunggang kuda itu berhenti. Setelah dekat, penunggang kuda itu lalu melompat turun dari kudanya dan menghormat Lo Peng. Katanya.
"Aku Go Pek Liong, bawahan cam-ciang Sun Hong Beng, Sian-hong Ciang-kun. Membawa laporan penting!"
Dalam pasukan itu, memang Sun Hong Beng telah diangkat sebagai Sian hong Ciang-kun (panglima perintis) oleh Pangeran In Te.
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tugastugas seorang Sian-hong Ciang-kun antara lain ialah menyebarkan mata-mata untuk menangkap sebanyak-banyaknya keterangan tentang gerak-gerik musuh, lalu melaporkannya.
"Jadi, kau anak-buah Sun Can-ciang? "Benar."
"Membawa laporan tentang gerakan musuh?"
"Benar. Mohon agar segera di ijinkan lewat untu melaporkan kepada Sun Cam-ciang. Beritanya penting sekali." Sebuah pikiran "nakal"
Tiba-tiba saja merasuk di otak Lo Peng. Sambil tersenyum ramah, dia berkata.
"Saudara Go tentunya lelah sekali. Karena itu, biar aku saja yang menyampaikannya kepada Sun Cam-ciang, dan kau boleh langsung beristirahat. Sama saja kan? Nah, apa beritanya?"
Karena yang dihadapi adalah Lo Peng yang juga berpangkat cam-ciang, sama dengan atasannya, Go Pek Liong tidak curiga sedikitpun. Iapun langsung laporan.
"Sebuah pasukan besar campuran orang Kozak dan orang pribumi pem bangkang, sedang bergerak ke arah ini. Jumlah mereka jauh lebih besar dari kita, bersenjata lengkap, bahkan membawa belasan pucuk meriam. Menurut perhitunganku, tengah malam nanti, mereka akan tiba di sini."
"Bagus. Kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang biarkan seorang anak-buahmu mengantarmu untuk beristirahat sebentar. Dan aku yang akan melaporkannya kepada Sun Camciang. Tapi kuharap jangan menceritakan laporanmu kepada siapapun, nanti seluruh pasukan akan menjadi panik. Biar nanti seluruh pasukan mendengar langsung perintah Pangeran In Te, sehingga perintahnya tidak simpang-siur. Mengerti?"
"Mengerti, Cam-ciang."
"Nah, istirahatlah. Jasamu pasti kulaporkan untuk dicatat."
Kemudian Lo Peng berjalan masuk kembali ke dalam kampung itu.
Namun berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada Go Pek Liong, ia tidak langsung meneruskan laporan itu kepada Sun Hong Beng atau Pangeran In Te, malahan lebih dulu ia menemui perwira-perwira yang sekomplotan dengannya, yang sama-sama menjadi kaki-tangan Ni Keng Giau.
Lalu diceritakannya tentang laporan mata-mata tadi.
"... jadi tengah malam nanti, tempat ini akan jadi neraka. Orang Kozak dan pemberontakpemberontak Jing hai akan menyerbu kemari dengan kekuatan jauh lebih besar dari pasukan kita. Dengan demikian kita harapkan saja Pa ngeran In Te akan mampus!" "Tapi apakah kita juga harus ikut mati di sini.?"
"Ya jelas tidak, iru sebabnya kalian kuberitahu soal ini agar bisa segera menyelamatkan diri. Nah, jangan banyak tanya, nanti kita kehabisan waktu. Hubungi diam-diam semua teman-teman kita, lalu berkumpullah di tempat penambatan kuda-kuda yang dekat dengan jembatan sebelah timur. Ingat, diamdiam, artinya jangan sampai seorangpun yang tidak termasuk kelompok kita ikut mendengarnya. Setelah berkumpul, kita akan kabur dari sini dengan alasan meronda keluar desa. Cepat."
"Tetapi..."
Seorang perwira Nampak raguragu.
"Apa lagi?"
Tanya Lo Peng tidak sabar.
"Kita akan selamat, dan Pangeran In Te akan mati sebab tidak tahu adanya musuh yang sedang mendekat. Tapi apa kah ribuan perajurit teman-teman kita juga harus ikut mati, biarpun mereka yang tidak sepaham dengan kita?" Lo Peng menjawab tanpa perasaan.
"Tidak ada jalan lain. Jangan terlalu berbelas-kasihan dalam urusan macam ini, kita sedang di kancah perang dimana orang mati dengan gampang seperti lalat. Kalau perajurit-perajurit itu hendak kita ajak lari sekalian supaya selamat, maka akhirnya Pangeran In Te juga akan ikut menyelamatkan diri pula. Padahal, kapan lagi ada kesempatan sebagus ini? Pangeran In Te akan mati tanpa meninggalkan kesan dibunuh, melainkan terbunuh oleh musuh."
Perwira-perwira lainpun ikut membujuk teman mereka yang ragu-ragu itu.
"Hilangkan keraguanmu, hilangkan beban perasaanmu. Kalau tidak gugur di sini, barangkali mereka juga akan gugur di tempat lain Jadi ya sama saja."
"Benar. Ayo cepat kita ambil kuda."
Tapi perwira yang ragu-ragu tadi tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan berkata dengan tegas.
"Kalian semua pergilah sendiri."
Ucapan itu kontan menimbulkan ke curigaan di hati perwira-perwira lain yang sekomplotan, pikiran mereka dibayangi dugaan bahwa rekan mereka itu akan memisahkan diri dari komplotan dan mengkhianati mereka.
"Kau tidak ikut pergi? Bagaimana maksudmu?"
"Sebagai perajurit, aku tetap menjunjung perintah Goan-swe Ni Keng Giau untuk membiarkan Pangeran In Te terbinasa dalam perang ini. Karena Pangeran In Te dianggap sebagai duri dalam daging. Tapi sebagai perajurit pula, takkan kubiarkan temantemanku sesama perajurit menghadapi maut di tempat ini, sementara aku sendiri kabur menye lamatkan diri. Itu takkan kulakukan."
"Jadi bagaimana? Akan kau ajak semua orang pergi dari sini kecuali Pangeran In Te, begitu?"
Tanya Lo Peng jeng kel.
"Tidak. Aku akan tetap menutup mulutku rapat-rapat, takkan membocorkan tentang laporan kedatangan musuh ini, agar jangan sampai Pangeran In Te tahu lalu pergi dari sini. Tapi aku akan terap di tempat ini, bertempur bersama seluruh pasukan ini. Aku tidak mau me larikan diri."
"Bodoh sekali. Kau akan ikut mampus. Laporan itu menyebutkan bahwa musuh yang bakal datang itu jauh lebih kuat dari pasukan ini. Bahkan membawa belasan pucuk meriam pula."
"Kalau harus mati, apa boleh buat. Daripada terus hidup namun dibayang-bayangi terus oleh teman-temanku yang gugur di sini."
Lo Peng dan perwira-perwira sekorn plotan lainnya saling bertukar pandangan dan gelenggeleng kepala. Tak menduga kalau salah satu teman mereka akan bersikap macam itu.
"Bagaimana, Lo Toa-ko?"
Tanya salah seorang.
Lo Peng jadi nampak agak salah tingkah.
Menyaksikan sikap seorang temannya yang berpegang teguh pada kesetia-kawanan itu, Lo Peng jadi merasa agak disindir.
Ternyata ajaran keras Ni Keng Giau tentang hidup keperajuritan yang selama ini dicekokkan kepada semua perajurit, bukan saja menghasilkan perajurit3 perajurit yang tunduk secara terpaksa sambil menggerutu dalam hati, namun juga menghasilkan perajurit macam teman Lo Peng yang satu ini.
Yang sungguh-sungguh menghayati ajarannya sampai ketulang sungsum.
Air yang sama bisa menumbuhsuburkan pohon mawar yang harum, juga pohon kembang tahi kucing.
Bagi Lo Peng yang berprinsip "meng halalkan segala cara demi tujuan", sikap seorang temannya itu dianggapnya rada goblok, tapi terpaksa dibiarkannya saja.
Katanya.
"Kalau kau bertekad terserahlah kepadamu. Namun kalau sampai kau membocorkan berita itu, berarti kau menyelamatkan Pangeran In Te, dan berarti pula menggagalkan rencana Ni Keng Giau, suatu tindakan yang tidak patut dilakukan seorang perajurit sejati macam kau."
Demikianlah Lo Peng yang licik itu malah balik "memberangus"
Perwira itu dengan nilainilai kebanggaannya sendiri. "Baiklah, Lo Toa-ko. Aku takkan mengkhianati keinginan Goan-swe. Silahkan kalian berangkat."
Lo Peng dan perwira-perwira sekom plotannya pun berpencaran.
Dalam gelapnya malam, bergerak tanpa menimbulkan kecurigaan perajurit-perajurit yang tidak sekomplotan, mereka menuju tempat penambatan kuda.
Lalu masing-masing mengambil seekor, dan kepada perajuritperajurit yang menjaga kuda, Lo Peng berbohong.
"Kami mau berpatroli di sekeliling desa ini. Biarpun nampaknya tidak akan ada musuh yang datang, tapi kita harus selalu waspada."
Dan penjaga-penjaga kuda pun membiarkan mereka.
Begitulah, perwira-perwira yang hendak melarikan diri itu mula-mula lancar dalam segala tindakan mereka.
Tapi ketika mereka hendak keluar desa dengan melewati salah satu jembatan di atas selokan pelindung desa, mereka terkejut ketika melihat Sun Hong Beng dan beberapa perwira yang setia kepada Pangeran In Te telah, menghadang di mulut jembatan.
Bahkan ada sepasukan perajurit bawahan yang membawa obor yang dinyalakan terang-terang.
Di sebelah Sun Hong Beng nampak lah Go Pek Liong, si mata-mata yang tadi laporan pentingnya "dibegal"
Oleh Lo Peng, namun tidak diteruskan kepada Pangeran In Te atau Sun Hong Beng.
Maka sadarlah Lo Peng dan kawankawannya, bahwa maksud buruk mereka mulai tersingkap.
Si mata-mata agaknya tidak tenteram sebelum laporan sendiri kepada Sun Hong Beng sebagai atasan langsungnya, biarpun Lo Peng sudah berpesan agar ia istirahat saja sebab Lo Peng sendiri Myang akan meneruskan la poran".
Kini Lo Peng terancam tuduhan berat, karena telah berani menyembunyikan laporan yang demikian penting.
Dengan wajah merah padam, Sun Hong Beng bertanya.
"Berhenti. Mau ke mana kalian?" Lo Peng masih juga mencoba mendusta.
"Sun Cam-ciang, masa kau tidak sadar kalau kita sedang ada di medan perang dan harus senantiasa waspada? Aku dan beberapa rekan ini bermaksud berpatroli di luar desa ini, siapa tahu ada bahaya yang mengancam kita!"
"Wah, Lo Cam-ciang benar-benar perwira teladan yang mampu memberi contoh kepada perajurit-perajurit kita agar sadar kewajiban,"
Sindir Sun Hong Beng sambil menahan rasa gusarnya yang makin luber.
"Tapi sebelum kau pergi, aku minta sedikit penjelasan."
Lo Peng mulai gelisah.
"Penjelasan apa?"
"Sebelum bicara, bagaimana kalau kalau kalian turun dulu dari kuda, agar kita bisa bicara dengan tenang, tanpa harus berteriakteriak?"
"Katakanlah cepat, Sun Cam-siang!"
"Turun lebih dulu dari kuda!"
"Sun Cam-ciang, jangan berlagak macam itu, aku kan bukan bawahanmu? Mau bicara, bicaralah saja!" "Baik. Setelah kau terima laporan dari Go Pek Liong, kenapa tidak kau teruskan laporan itu kepada Pangeran In Te sebagai pimpinan pasukan? Apa maksudmu di balik tindakan itu?" 'Jangan salah paham, Sun Cam-ciang Setelah mendapat laporan itu, lalu aku merasa terpanggil untuk menjaga keselamatan seluruh pasukan, maka kuajak beberapa teman untuk berpatroli di luar desa. Melihat-lihat situasi, setelah itu baru kulaporkan kepada Pangeran In Te!"
"Berpatroli atau melarikan diri bersama teman-teman sekomplotanmu? Membiarkan kami semua di sini bakal terbantai oleh musuh yang lebih kuat, dan laporan kedatangannya kau sembunyi kan?"
"Melarikan diri? Itu tuduhan gegabah!"
"Lo Cam-ciang, mari kita berdua menghadap Pangeran In Te. Kalau terbukti tuduhanku ngawur, boleh kau gorok leherku dengan tanganmu sendiri!"
Lo Peng sadar, segala bentakannya takkan dipercayai lagi. Karena terpojok, ia jadi nekad. Tiba-tiba ia berteriak.
"Sun Hong Beng, kau tahu siapa yang melindungi aku? Dialah Goan-swe Ni Keng Giau! Kalau kau berani menentang ku, sama saja dengan menentang Goan-swe Ni Keng Giau, Panglima Tertinggi yang kedudukannya jauh di atas Pangeran In Te!"
Tak terduga Sun Hong Beng juga sudah nekad, karena selama ini ia harus menahan rasa muak mencium intrik-intrik kotor dalam pasukan. Sahut nya tak kalah keras.
"Biarpun pelindung mu adalah Kaisar sendiri, tapi dalam pasukan ini kau adalah bawahan Pangeran In Te! Kau harus tunduk kepada disiplin, harus bisa ditertibkan, atau dicap sebagai pengkhianat!"
"Terjang!"
Mendadak Lo Peng berseru kepada teman-temannya.
Dan dengan pedang terangkat tinggi siap untuk disabetkan, ia menderapkan kudanya ke depan secepat kilat.
Kawan-kawannya tak ada jalan lain kecuali mengikutinya.
Kedok sudah terbongkar.
Lebih baik berusaha lolos, daripada kena hukuman dari Pangeran In Te.
Sebenarnya Ni Keng Giau sudah berpesan kepada Lo Peng dan teman-temannya, agar dalam usaha mencelakakan Pangeran In Te itu dilakukan diam-diam, jangan sampai ada orang yang tahu.
Namun kini, karena terjepit, malahan Lo Peng telah berteriak-teriak umumkan siapa "backing"
Nya untuk diperdengarkan kepada seluruh pasukan. Sikap keras dihadapi dengan sikap keras pula oleh Sun Hong Beng. Perintahnya kepada orang-orangnya.
"tangkap semua pengkhianat ini!"
Para perajurit sudah mendengar per bantahan kedua Cam-ciang itu, dan mereka marah mendengar betapa mereka hendak dikorbankan untuk tertimpa bencana, oleh Lo Peng dan komplotannya, sedangkan Lo Peng dan komplotannya sendiri hendak kabur.
Maka biarpun menghadapi perwira-perwira yang berpangkat lebih tinggi, mereka tidak sungkansungkan lagi dan langsung menyerbu Lo Peng dan kawan-kawannya.
"Keparat! Akupun takkan sungkan kepada kalian!"
Lo Peng dan kawan-kawannya melakukan perlawanan ganas dari atas kudakuda mereka.
Karena marah dan panik, mereka pun tak segan membunuh.
Hasilnya, para perajurit jadi tambah marah, tak terkecuali yang menjadi bawahan Lo Peng sendiri.
Ketika beberapa perajurit berhasil menyerempet kaki kuda tunggangan para perwira itu, kudapun roboh, dan para perwira yang hendak kabur itu terpaksa berkelahi tanpa kuda.
Sun Hong Beng dan perwira-perwira Pangeran In Te yang setia, tidak membiarkan para perajurit bawahan itu menjadi keganasan Lo Peng dan teman-temannya.
Mereka berteriak menyuruh para perajurit untuk minggir, lalu maju menghadapi Lo Peng dan kawankawannya.
Maka di tempat itupun terjadi perkelahian seru antara dua golongan yang selama ini diam-diam memang menyem bunyikan pertentangan dan saling membenci.
Kini kebencian dan pertentangan itu tak disembunyikan lagi, malah dipertontonkan terang-terangan di hadapan para perajurit.
Itulah wujud pertentangan antara Ni Keng Giau dan Pangeran In Te selama ini.
Ketika Perkelahian menghebat, dari pusat desa tiba-tiba terdengar derap kuda mendekat.
Ternyata Pangeran In Te sendiri yang muncul diikuti beberapa perwira.
Wajah Pangeran In Te nampak gusar melihat perkelahian itu.
"Hentikan! Apakah kalian sudah gila?!"
Bagaimanapun juga, wibawa Pangeran In Te tak bisa ditentang.
Perwira-perwira yang berkelahi itupun menghentikan perkelahian, lalu saling menahan senjata masing-masing dan berlompatan memisahkan diri, tapi mata mereka masih saling melotot dengan geram.
Dengan marah Pangeran In Te men damprat.
"Percuma saja selama ini aku mengorbankan perasaan dan harga diriku, membiarkan diriku dihina! Semua pengor bananku tak lain hanya untuk menjaga kerukunan kalian, sesama perajurit kaisaran! Maka di tempat itupun terjadi perkelahian seru antara dua golongan yang selama ini diamdiam memang menyembunyikan pertentangan dan saling membenci. Karena kalian memikul tugas yang sama di garis depan, harus saling membantu demi berhasilnya tugas itu. Tugas demi kekaisaran kita yang besar, bukan demi kepentingan pribadi In Te atau Ni Keng Giau! Tapi kalian bertingkah seperti kanak-kanak saja. Tanpa pikir panjang terus saling menghunus senjata dan saling gebrak dengan teman sendiri! Tidak malukah kalian ditonton oleh bawahan kalian?"
"Pangeran, maafkan hamba......"
Kata Sun Hong Beng.
"Hamba tidak dapat menahan diri lagi, karena pengkhianatan Lo Peng sudah sampai taraf yang keji, tak bisa dimaafkan lagi. Hanya untuk mencari muka terhadap Ni Keng Giau."
"Jangan kurang ajar!"
Potong Pangeran In Te.
"Sebut dia semestinya, sebagai Panglima Tertinggimu! Panglima Ter tinggi kita!"
Sun Hong Beng menarik napas untuk menekan rasa penasarannya.
Kadang kadang tak sabar juga ia melihat sikap Pangeran In Te yang dianggapnya terlalu lembek.
Begitu teguh berusaha menjaga kekompakan pasukannya, sampai dia rela dihina dan dikhianati, bahkan ikut menjaga kewibawaan Ni Keng Giau yang memusuhinya.
Sun Hong mengangguk, dan meneruskan kata-kata nya.....
"
Hanya untuk mencari muka terhadap ...... terhadap ..... atasannya. Dia telah menyembunyikan suatu laporan penting yang menyangkut mati hidupnya sekian ribu perajurit. Lalu hendak menyelamatkan dirinya sendiri!"
Ketika Pangeran In Te mengalihkan pandangannya ke arah Lo Peng, dilihat nya perwira itu tidak menunjukkan sikap takut, malah membusungkan dada serta berkata dengan congkak.
"Siapapun yang berani menuduhku, silahkan mengadukan di hadapan Goan-swe Ni Keng Giau! Aku tidak sudi dituduh dan dihukum oleh sembarangan orang!"
Sambil tertawa dingin, Pangeran In Te mencabut bendera kecil Leng-ki dari pinggangnya, diangkat tinggi-tinggi, dan berkata.
"Lo Peng, tahukah kau makna tindakan Goan-swe ketika menyerahkan Leng-ki ini ke tanganku?"
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lo Peng bungkam, dan Pangeran In Te melanjutkan.
"Penyerahan Leng-ki ke tanganku berarti kekuasaan atas pasukan ini hanya di satu tangan, di tanganku! Tidak peduli perajurit yang diambil dari pasukan manapun, bahkan dari pasukan pribadi Sribaginda pun kalau sudah bergabung dalam pasukan ini harus tunduk hanya kepada perintahku! Sun Hong Beng mengangguk-angguk. agak puas melihat sikap Pangeran ln Te kali ini. Sementara itu Suasana sunyi mencekam, tidak ada yang berbicara.
"Lo Peng!"
Bentak Pangeran ln te kemudian.
"Kalau sekarang juga kau ku jatuhi hukuman mati, juga teman-teman mu, kau pikir Goan-swe Ni Keng Ciau akan membela kalian secara terang-terangan? Tidak. Dia akan membiarkan kalian mati, sebab diapun tidak suka menentangku secara terbuka! Dia akan cuci tangan bersih-bersih!" Lo Peng tetap bungkam. Kata-kata Pangeran ln Te itu memang masuk akal. Kalau Pangeran ln Te secara terbuka mengumumkan kesalahannya yang hendak minggat dari pasukan, lalu menghukumnya, maka betapapun besarnya kekuasaan Ni Keng Giau, Ni Keng Giau pasti takkan berani membela Lo Peng secara terang-terangan. Ni Keng Giau pasti takkan mau kehilangan rasa hormat dari bawahannya yang lain, dari seluruh pasukan. Mungkin Ni Keng Giau hanya akan membenci Pangeran ln Te dalam hati, atau berusaha membalas Pangeran ln Te di lain hari, namun batok kepala Lo Peng dan kawan-kawannya pasti sudah terlanjut protol semua. Suasana jadi tambah tegang. Banyak orang menduga Pangeran ln Te sudah habis kesabarannya; dan akan menjatuh kan hukuman berat kepada Lo Peng dan kawankawannya. Ternyata Pangeran ln Te tiba-tiba malahan tertawa, tertawa getir, sehingga semua yang melihatnya jadi heran. Kata Pangeran ln Te, 'Tetapi aku tidak perlu menjatuhi hukuman mati kepada kalian sekarang. Kita semua, seluruh anggaota pasukan ini, memang sudah kan dibiarkan mati oleh Goan-swe Ni Keng Giau Semuanya. Tanpa kecuali."
Semua terkejut. Sementara Pangeran ln Ie melanjutkan sambil menatap Lo Peng ".. termasuk kalian juga..."
"Apa.... apa maksud Pangeran?"
Ta nya Lo Peng gugup.
"Maksud Goan-swe, yang hendak dibiarkan mati itu hanyalah diriku sendiri, namun karena kalian bersama aku jadi kalianpun ikut dikorbankan. Musuh yang jauh lebih kuat sudah tiba, dan kini mereka telah mengurung rapat desa ini. Kita akan dibiarkan mati tanpa per tolongan, mati dengan senjata orang-orang Kozak dan para pemberontak di Jing-hai!"
Orang-orang yang mendengarnya jadi gempar seketika. Lo Peng bahkan sampai memucat wajahnya.
"Be.... benar.... kah i....itu?"
Dan suaranya tenggelam dalam caci-maki semua perajurit yang menyalahkan Lo Peng, karena dialah yang menyembunyikan laporan penting itu dan bahkan hendak kabur demi keselamatannya sendiri.
Dan sekarang ketika laporan itu telah diketahui Pangeran In Te, ma ka saatnya sudah terlambat.
Sedangkan Sun Hong Beng tiba-tiba tertawa mengejek.
"Nah, Lo Cam-ciang, kalau sekarang kau masih mau keluar desa untuk berpatroli, silahkan. Aku takkan menghalangimu lagi. Kalau kau bisa kembali hidup-hidup kemari, bintang jasa pasti akan memenuhi bajumu."
Baru saja seiesai kata-katanya itu, tiba-tiba di luar desa terdengar dentuman meriam menggemuruh, merobek-robek suasana malam.
Suara itu terdengar di beberapa penjuru.
Wajah semua orang menjadi tegang mendengarnya, namun Pangeran In Te justru tertawa dan nampak pasrah sekali.
"Nah, itulah, algojo-algojo kita sudah mengetuk pinta Dan kita tak perlu mengharapkan pertolongan siapasiapa, kecuali bahu-membahu menyelamatkan diri." Lo Peng masih belum bisa percaya bahwa dirinyapun ternyata ikut terkurung di situ dan akan menjadi korban pula, akan ikut "menemani"
Perjalanan Pangeran In Te ke akherat. Ia geleng-geleng kepala dan berkata setengah menangis.
"Tidak! Kalau Goan-swe ataupun Wan Yen Siang tahu aku masih di sini, tentu mereka akan mengirim bantuan, takkan membiarkan aku mati di sini!"
Pangeran In Te tidak menggubris tingkah Lo Peng itu, keluarlah perintahnya kepada seluruh pasukan.
"Semuanya bersiap! Atur pertahanan di tanggul-tanggul parit sebelah dalam. Perkuat penjagaan di mulut-mulut jembatan!"
Para perajuritpun kemudian berpencaran ke segala arah untuk menjalankan perintah itu.
Para komandan regu mengatur anak-buahnya masing-masing, senapan, panah, lembing, pedang dan sega macam senjata pun disiapkan.
Pangeran In Te sendiri berkeliling untuk mengatur pertahanan.
Lo Peng masih berdiri termangu-mangu, bingung campur penasaran, tak tahu bagaimana nasibnya nanti, bila orang orang Kozak sudah menyerbu sementara bantuan datang atau tidak? 'Tidak boleh terjadi.
Tidak boleh terjadi.
Biarpun Wan Yen Siang mengingini kematian Pangeran In Te, tapi kalau tahu aku masih di sini, dia akan tetap menolongku.
Sebab ku adalah sekutunya.
Dia pasti takkan membiarkan aku mati di sini.....
pasti tidak....."
Ia masih mengoceh sendirian sambil geleng geleng kepala. Sementara, sorak-sorai musuh di kejauhan semakin mendekat, bersama gelegar meriammeriamnya. Salah seorang perwira sekomplotan Lo Peng tiba-tiba berkata keras.
"Kalau sampai Wan Yen Siang tidak datang menolong, padahal dia tahu kita masib terkurung di sini, berarti dia itu anak anjing!"
Sahut yang lainnya, 'Tidak ada gunanya berdebat apakah Wan Yen Siang akan menolong atau tidak.
Sekarang, mau tidak mau kita harus ikut bertempur! Ayo kita cari posisi!" Di dataran rumput di luar desa, nampak di kejauhan seperti ada ribuan kunang-kunang mengelilingi desa itu dengan rapat, membuat gelang raksasa yang tak ada celahnya.
Namun itu bukannya kunang-kunang, melainkan oborobor orang-orang Kozak dan para pemberontak yang sulit ditaksir berapa banyaknya.
Pangeran In Te berdiri tegangah-tengah salah satu jembatan, tap ke arah musuh.
Kemudian ia rintahkan.
"Padamkan semua api desa ini. Setidak-tidaknya kita akan mendapat sedikit keuntungan, agar musuh jangan terlalu gampang membidikkan moncong meriammeriam mereka."
Sementara pasukannya sudah siap di balik tanggul-tanggul dalam dari parit besar selingkar desa itu.
Lebar parit hampir sepuluh meter, tapi tidak di ketahui berapa dalamnya.
Bedil-bedil rampasan dari kafilah Kozak beberapa hari yang lalu, merupakan tambahan persenjataan yang memperkuat pasukan Pangeran In Te.
Jadi lebih banyak perajurit yang memegang jenis senjata yang sudah dianggap "modern di abad delapanbelas itu, biarpun bedilnya masih harus memakai sumbu yang tiap kali satu tembakan harus diganti lagi sumbunya.
Namun ada juga perajurit yang biarpun kebagian bedil, malah diserahkan kepada temannya yang belum kebagian.
Sedang ia sendiri malah merasa lebih yakin dengan senjata purba, panah.
Berpuluh-puluh perajurit nampak dengan tergesa-gesa memasang kantong-kantong kecil berisi bubuk peledak di tiang-tiang jembatan yang terbuat dari kayu campur tanah itu.
Lalu kantong-kantong itu dihubungkan dengan sumbu ke bagian dalam tanggul.
Itulah perintah Pangeran In Te, agar jembatan-jembatan dihancurkan sekiranya musuh tak bisa dibendung lagi.
Pangeran In Te cuma tertawa saja, tapi tidak melarang, ketika melihat Lo Peng melepaskan sebuah kembang api ke udara.
Isyarat minta bantuan kepada pasukan Wan Yen Siang yang berkedudukan sebagai, pasukan pelindung belakang.
Namun Pangeran In Te yakin, seandainya Wan Yen Siang sendiri melihat tanda itu, pasti lebih suka menarik selimutnya ke atas dan tidur pulas sampai pagi.
Sementara itu, musuh di luar desa nampak mendorong meriam-meriam mereka lebih dekat ke sasaran.
Sedikitnya ada sepuluh meriam besar di pihak musuh yang bisa dihitung, sedangkan pihak Pangeran In Te tidak ada satupun.
Meskipun perajurit-perajurit Pangeran In Te sudah bertekad untuk bertempur habishabisan, namun melihat meriam meriam besar itu, rasanya sudah bisa diramalkan siapa yang bakal menang, dan siapa yang akan hancur malam itu.
"Inilah malam terakhir aku melihat bintang di langit,"
Desis seorang perajurit yang bersiaga di balik tanggul parit.
"Besok mungkin aku sudah akan menjadi tetangga jangkrik-jangkrik tanah."
"Wah, kalau begitu besok kita tidak akan bertemu lagi, sebab aku akan berada di antara bintang-bintang itu...."
Sahut teman di sebelahnya, yang dalam keadaan setegang itu masih sempat juga mengunyah-ngunyah manisan kulit jeruk, buatan isterinya di "
Rumah.
"Jadi kita tidak bisa pinjam-meminjam uang lagi ya?"
Yang lain lagi berkata.
"Kalau aku harus mampus juga, haruslah lebih dulu kuhabiskan kantong peluruku, untuk kubagi rata ke jidatjidat orang-orang Kozak dan Jing-hai itu."
Yang di sebelahnya menjawab.
"Mudahmudahan kau bertemu dengan musuh musuh yang cukup sabar untuk menunggu kau habiskan pelurumu"
Tiba-tiba gelegar-gelegar meriam terdengar lagi, disertai kilatan-kilatan api.
Kali ini terasa lebih dekat.
Meriam-meriam di jaman itu berpeluru bola-bola besi.
Kalau ditembakkan, pelurunya tidak berjalan lurus, melainkan agak melengkung ke atas, membentuk garis busur sebelum mengenai sasarannya.
Dalam soal ketepatan memang agak susah diandalkan, tapi berguna untuk menobrak dan mengacaukan pertahanan musuh, sebelum barisan depan menyer bu.
Perajurit-perajurit Pangeran In Te berjongkok, membiarkan bola-bola besi itu terbang di atas kepala mereka dan menghantam rumah-rumah serta pepohonan di belakang mereka.
Mereka belum bisa membalas dengan bedil atau panah, sebab jaraknya masih terlalu jauh.
Bertubi-tubi meriam-meriam musuh menghantam dari segala jurusan.
Rumah-rumah dalam desa yang umumnya cuma berdinding kayu campur tanah liat, dan beratap ijuk, segera bagaikan ditebas rata oleh bola-bola maut itu..Sebuah peluru meriam menghantam sebuah rumah yang digunakan untuk meletakkan bubuk peledak dalam jumlah besar.
Maka rumah itupun meledak berkeping-keping, disusul kobaran api yang menjulang tinggi.
Kepingan-kepingan kayu, batu, tanah, daging manusia dan kuda, bagaikan disebarkan ke udara.
Di padang rumput, terdengar orang orang Kozak dan sekutu-sekutu mereka bersorak membahana, ketika melihat hasil tembakan mereka.
Setelah tembakan meriam dianggap cukup, orang-orang Kozak dan para pemberontak itu melompat ke atas kuda-kuda mereka, lalu bagaikan gelombang lautan mereka bergerak mendekat sambil bersorak-sorai.
Derap ribuan ekor kuda yang menghentak dataran itu, menjadikan tanah serasa bergetar.
Suasana malam yang dingin jadi sedikit "menghangat".
Melihat gerakan itu, Pangeran In Te bergumam.
"Nah, begini lebih baik. Sama-sama mati karena ulah Ni Keng Giau, namun lebih baik dengan bertempur melawan musuhdaripada ditikam kawan sendiri selagi tidur."
Seorang perajurit tua, entah kapan tahutahu telah berada di dekat Pangeran In Te, lalu menyeletuk bicara.
"Pangeran tidak boleh mati, sebab Pangeran adalah ahli waris yang syah dari tahta kerajaan. Demi keadilan." Karena sedang memperhatikan gerakan musuh, Pangeran In Te kurang memperhatikan kata-kata perajurit di sebelahnya itu, dianggapnya perajurit itu tentu sekedar menghibur. Namun tiba-tiba ia terkejut sendiri, kenapa suara itu seperti sudah lama dikenalnya? Suara seorang yang dihormatinya dulu, selagi ia masih jaya sebagai putera kesayangan Kaisar Khong Hi yang memegang kekuasaan militer tertinggi, sebelum Ni Keng Giau menipu dan melucutinya? Ia menoleh ke samping dan tertegun. Di bawah cahaya kemerah-merahan kampung yang terbakar, ia melihat seraut wajah dengan rambut putih, kumis putih, alis putih, namun sepasang mata yang tajam sekali. Di dalam pasukannya, tidak ada perajurit setua itu. Orang itu memakai pakaian perajurit rendahan biasa, tidak gampang dibedakan dari perajuritperajurit lain. Tapi wajah itu! Sesaat Pangeran In Te tak percaya akan penglihatannya sendiri, mungkinkah karena selama ini pikirannya terlalu tegang terus sehingga syaraf matanya rusak dan ia salah lihat? "Paman.... paman Pak Kiong Liong ... Benarkah ini, paman?"
Di wajah tua itu terkembang senyum an lebar yang menyejukkan hati, seperti bertahuntahun yang lalu.
"Maafkan hamba, Pangeran. Baru setelah hari menjadi gelap hamba berani menyelundup kemari untuk bergabung dengan Pangeran. Itupun setelah hamba berhasil mendapatkan satu stel seragam perajurit yang pas."
"Kenapa Paman harus menunggu hari gelap?"
"Takut dilihat perajurit-perajurit lain. Pangeran jangan lupa bahwa hamba masih seorang buronan pemerintah, perintah penangkapan atas diri hamba belum dicabut. Nah, bagaimana kalau ada perajurit yang melihat hamba, lalu tergoda memotong kepala hamba untuk ditukarkan dengan hadiah?"
Pangeran In Te mengangguk-angguk, sementara dalam hatinya ia penuh rasa gembira dan terharu.
Bertahun-tahun ia hidup sebagai bangsawan, namun senantiasa tertekan, terhina dan terancam.
Ketika beberapa hari yang lalu ia mendengar pengakuan kesetiaan Sun Hong Beng, hatinya agak terhibur.
Rasanya seperti orang hampit mati tenggelam di laut, lalu tibatiba menemukan sepotong papan terapung.
Tapi kini yang ditemukannya bukan cuma "sepotong papan", namun sebuah "kapal besar"
Yang sanggup dibawa menembus badai.
Salah satu hal yang masih disesali oleh Pangeran In Te ialah ketika dulu ia mengabaikan nasehatnasehat Pak Kiong Liong, sehinggga akhirnya masuk perangkap Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau yang licin, di saat nyawanya sudah di ujung tanduk, tiba-tiba Pak Kiong Liong telah ada di sampingnya, entah kapan dan darimana datangnya.
Sementara itu, musuh semakin dekat ke bagian luar parit.
Bedil-bedil ke dua belah pihak mulai bersahut-sahutan gegap gempita.
Orangorang Kozak dan sekutu-sekutunya memusat kan kekuat an mereka untuk merebut jembatan3 jembatan di atas parit besar itu, tapi dapat ditahan dengan gigih oleh perajurit-perajurit Pangeran In Te.
Korban-korban di kedua pihak sudah mulai berjatuhan kena peluru atau panah.
Kelihatannya pasukan Pangeran In Te dapat bertahan dengan gigih.
Tapi kalau musuh terus mengurung di luar perkampungan itu, lama kelamaan pasukan Pangeran In Te akan mati kelaparan karena kehabisan perbekalan.
Bantuan dari luar tidak mungkin diharapkan selama masih mengandalkan Wan Yen Siang atau Ni Keng Giau.
Sedangkan kalau Pangeran In Te membawa pasukannya untuk menerjang keluar, itu sama saja bencana, karena harus menghadapi kekuatan yang berkali lipat besarnnya.
Beberapa kelompok orang Kozak berusaha merebut jembatan, tapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan Pangeran In Te.
Pangeran In Te diam-diam mulai berhasil membaca siasat musuh.
Rupanya musuh tidak ingin buru-buru merebut jembatan, melainkan sekedar berusaha menekan dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi pasukan Pangeran In Te.
Buktinya, setelah serangan gelombang pertama gagal, mereka mundur menjauh sambil membawa teman-teman mereka yang gugur atau luka-luka.
Kemudian, kembali meriam-meriam mereka menghantam lagi.
Tekanan musuh itu memang perlahan-lahan menampakkan hasil.
Perajurit perajurit Pangeran In Te mulai merasa jemu karena mereka cuma bisa menunggu dan bertahan, sementara pihak lawanlah yang datang dan pergi semaunya.
Gerutuan geram mulai menyebar rata diantara perajurit-perajurit Pangeran ln Te.
Dan perajurit-perajurit itu tambah jengkel ketika melihat dari kejauhan, apa yang dilakukan musuh-musuh mereka.
Orang-orang Kozak nampak menyala kan api-api unggun, dan di sekitar api unggun itu mulailah mereka menari, menyanyi, bersoraksorak dan bertepuk-tepuk tangan seperti dalam pesta saja.
Beberapa dari mereka malah mengeluar kan semacam gitar yang disebut "bala-laika"
Untuk memeriahkan suasana. Keruan perajurit-perajurit Pangeran In Te jadi gondok.
"Gila kita disuruh terus menunggu dengan mata melotot dan hati tegang, sementara mereka malah bersuka-ria."
"Jangan tegang.Cari sebatang rumput dan kunyah-kunyahlah batangnya untuk mengendorkan keteganganmu."
"Aku lebih suka kalau Pangeran ln Te memerintahkan kita melompat ke atas kuda dan menyerbu keluar."
"Jangan gegabah."
Aku pikir, justru musuh-musuh kitalah yang gegabah. Mereka bersuka-ria dan nampak tidak siap. Kalau kita gempur, pasti mereka akan kelabakan."
"Mereka memang nampak menyanyi dan menari, tapi kalau kau kira mereka tidak siap, kau keliru sekali. Kau belum tahu bagaimana sifat-sifat orang-orang Kozak itu."
"Kenapa dengan sifat mereka?" "Mereka tidak menaruh batas antara saat bertempur dan saat bergembira. Di tengahtengah pesta kampung, bisa saja salah seorang hadirin tiba-tiba mengusulkan untuk berperang entah dengan siapa, dan mereka akan langsung berangkat tanpa lebih dulu menengok keluarga di rumah. Di dalam pertempuran, bisa saja mereka tiba-tiba ingin mengadakan acara gembira, tepat di depan hidung musuh mereka, ya "seperti sekarang ini. Setiap lelaki Kozak, kemanapun perginya takkan lupa membawa dua macam benda. Senjata dan alat musik."
"Mereka perajurit sekaligus seniman, begitukah?"
"Benar. Karena itu, kalau sekarang kita keluar menyerang mereka, maka dlam beberapa detik saja mereka sudah akan menyimpan alatalat musiknya, dan siap di punggung kuda mereka dan siap pula dengan senjata masingmasing."
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sinting."
Sementara itu, Pak Kiong Liong yang mendampingi Pangeran In Te, telah berkata, "Pangeran, keadaan seperti ini rasanya tidak bisa dibiarkan.
terus-terusan.
Perajuritperajurit kita dalam keadaan tegang mengawasi musuh, sedangkan musuh malah sempat bersenang-senang macam itu.
Lama kelamaan, semangat perajurit-perajurit kitalah yang akan lebih dulu merosot."
"Habis bagaimana, Paman?"
"Tadi hamba melihat sebuah kembang api dilepaskan keudara oleh salah seorang anggaota pasukan. Apakah itu merupakan suatu isyarat?"
"Benar, Paman. Isyarat minta bantuan kepada Wan Yen Siang yang memimpin sebuah pasukan sebagai pembantu. Tetapi aku tidak mau mimpi mengharapkan bantuan Wan Yen Siang." 'Kenapa?"
"Karena Wan Yen Siang itu begundal nya Ni Keng Giau, sedangkan Ni Keng Giau ingin menggunakan setiap kesempatan untuk melenyapkan aku dari muka bumi ini. Bukannya tanpa maksud Ni Keng Giau memasang Wan Yen Siang di belakangku, bukan untuk membantu, tapi untuk membiarkan aku binasa di tangan musuh. Kini kalau Wan Yen Siang melihat kembang api tanda aku dalam bahaya, tentu dia malah akan gembira, tak mungkin membantu."
Pak Kiong Liong mengertakkan gigi.
"Rupanya Ni Keng Giau itu sudah berotak miring. Perselisihan dalam tubuh sendiri kok dibawa-bawa ke garis depan, selagi kita menghadapi musuh bersama? Ini sama dengan yang hamba alami ketika menghadapi pasukan Jepang di Hek-liong-kang dulu. Ni Keng Giau sengaja melambatkan bantuan, agar hamba binasa oleh orang-orang Jepang."
"Sekarang, apa yang harus kita perbuat?"
"Hamba akan mencoba menerobos kepungan, pergi ke perkemahan pasukan Wan Yen Siang, dan memaksa agar dia menggerakkan pasukannya kemari."
"Paman, itu amat berbahaya!"
Pangeran In Te terkejut.
"Musuh yang mengepung tempat ini tak terhitung banyaknya, mana bisa Paman menembus barisan mereka?" "Dengan gerak cepat yang mendadak mungkin bisa. Hamba harus mencoba. Pangeran. Tak mungkin hamba membiarkan perajurit sebanyak ini cuma menunggu kematian tanpa berusaha apa-apa."
"Tetapi...."
"Hamba mohon diri, Pangeran!"
Dengan gerakan seperti seekor burung saja, Pak Kiong Liong tiba-tiba berkelebat meninggalkan Pangeran In Te.
Kecemasan Pangeran In Te akan keselamatan Pak Kiong Liong agak mereda, ketika melihat betapa masih hebat gerakan sang paman.
Sementara itu, Pak Kiong Liong lebih dulu melengkapi diri dengan sebatang tombak dan beberapa pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Lalu ia berlari menyusuri tanggul parit sebelah dalam, memutari kampung itu untuk mencari tempat dimana dia akan menerobos keluar.
Di sisi tenggara, sekelompok orang Kozak sedang memberi tekanan pada pertahanan pasukan Pangeran In Te.
Mereka dengan beraninya memacu kuda di sebelah luar parit, sambil menembak atau melepaskan panah.
Beberapa orang Kozak tertembus peluru atau panah, dan terpelanting mencebur parit.
Namun beberapa orang perajurit Pangeran In Te juga ikut mencebur pula sebagai mayat-mayat.
Ketika serang-menyerang jarak jauh dari seberang menyeberang parit itu berlangsung sengit, muncullah Pak Kiong Liong di atas tanggul dengan tangan kanan membawa tombak, tangan kiri membawa sepotong papan.
Ia berdiri di tanggul tanpa kelihatan usahanya untuk berlindung dari peluru maupun anak panah yang hilir mudik di udara.
Banyak perajurit-perajurit yang neriakinya.
"He, berlindunglah! Apa kau kepingin mampus?"
Namun "perajurit tua"
Itu tak menggubrisnya.
Papan yang dipegangnya tibatiba dilemparkan ketengah parit lebar itu, ia sendiri lalu melompat ke tengah seolah-olah hendak mandi.
Namun ternyata tidak.
Kakinya menutul ringan ke permukaan papan, tubuhnya mengapung seperti seekor elang, dan sampailah ia ke seberang, ke arah orang-orang Kozak.
Kedua pihak sama-sama tercengang melihat "kakek terbang"
Itu.
Dan selagi kegemparan belum reda, tombak Pak Kiong Liong mulai beraksi merobohkan seorang serdadu Kozak.
Kuda tunggangan si serdadu Kozak lalu dinaiki oleh Pak Kiong Liong.
Orang-orang Kozak sejenak jadi kebingungan menghadapi Pak Kiong Liong.
Mereka tidak menyangka kalau si pengamuk yang hebat itu ternyata cuma seorang kakekkakek yang usianya hampir delapan puluh tahun.
Karena kegemarannya berperang, hampir tidak ada lelaki Koazak mencapai usia setinggi itu.
Kalaupun ada, lelaki setua itu hanya pantas ditugasi menunggu setch (perkampungan Koazak) sambil membuat keju, menyuling minuman kerass, atau mendongeng kepada anak-anak kecil.
Bukan lagi berkeliaran di medan perang.
Pak Kiong Liong dengan tangkas menerjangkan kudanya ke depan sambil memutar dahsyat tombaknya.
Seolah sesosok malaikat yang terjun dari langit, beberapa orang Koazak yang merintanginya telah dibuatnya terjungkal roboh.
Maka gegerlah serdadu-serdadu Kerajaan Rusia itu.
"Kejar dan bunuh tukang sihir itu!"
Seorang perwira Kozak mengomando anak buahnya. Beramai-ramai orang Kozak lalu memburu si "tukang sihir"
Itu, namun belum ada yang berani menembak atau memanah, khawatir akan mengenai teman teman sendiri, sebab Pak Kiong Liong sengaja menyusup tanpa jarak ke tengah-tengah pasukan Kozak.
Dalam situasi macam itu, Pak Kiong Liong terpaksa harus bertindak agak kejam, sebab musuh mengerumuni rapat dan gana dsri segala penjuru.
Puluhan senjata berdesingan menyambar tubuhnya.
Ada kapak tombak, gada berduri, pedang melengkung, bandulan besi berantai dan entah apa lagi, mengerumuni daging busuk.
Sikap keas Pak Kiong Liong itu antara lain dilandasi alas an bahwa lawan3 lawanya adalah serdadu Negara asing yang telah melintasi perbatasan dan melanggar kedaulatan wilayah negaranya.
Pak Kiong Liong juga mengerahkan ilmu Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) dengan cara khusus, agar kuda tunggangannya tidak ikut mati kepanasan.
Biasanya ia melepaskan hawa panas dari ilmunya itu lewat setiap pori pori kulitnya, namun kali ini hanya ia salurkan ke batang tombaknya, sehingga ujung tombaknya kelihatan membara seperti logam baru dikeluarkan dari tanur.
Dan dengan geraknya yang serba cepat, maka ujung tombak maupun tangkai tombak sama-sama berbahaya bagi musuh-musuhnya.
Setelah bertempur sekian lama, merobohkan banyak musuh, ahirnya berhasil juga Pak Kiong Liong menembus kepungan.
Dan kini di depannya sudah terhampar padang rumput yang luas dalam kegelapan malam, sedang di jarak ratusan langkah Nampak sebuah hutan.
Kesanalah Pak Kiong Liong mengarahkan dirinya.
Dengan sebuah sapuan tombakan yang melebar, empat orang serdadu Kozak sekaligus dirontokkan.
Lalu Pak Kiong Liong berderap lolos.
Buru-buru orang-orang Kozak menembak atau memanah namun lawannya sudah hilang ditelan malam.
Orang-orang Kozak menghentikan pengejaran di pinggir hutan.
Dalam pikiran orang orang Kozak itu, kalau seorang kakek setua itu "bisa terbang"
Menyeberangi dan bersenjata tombak "berujung tidak bisa lain orang itu adalah tukang sihir. Orang-orang Kozak menganggap kematian seperti berkunjung ke tetangga saja, namun yang mereka takuti ialah kalau "disihir menjadi katak"
Dipinggir hutan itu orang-orang Kozak berhentik, masing-masing berdoa minta perlindungan dari sihir jahat, lalu mencium salib kecil yang digantungkan sebagai kalung di leher masing-masing.
Pemimpin pasukan orang Kozak itu bernama Gorovka, yang bertubuh mirip beruang dan terkenal kegagahannya di seluruh wilayah Rusia.
Ia marah ketika anak buahnya melaporkan tentang seorang "tukang sihir Tartar"
Yang berhasil lolos dari kampung yang dikepung itu.
Gorovka khawatir, kalau satu saja musuh bisa lolos, tidak lama lagi tentu akan berhasil mengundang bala bantuan.
Karena itu, Gorovka dengan berang segera menyuruh pasukannya agar menyerbu dan menghancurkan kampung itu.
Perintah dipercepat dengan tiupan terompet tanduk.
Maka orang-orang yang tadinya masih menyanyi dan berputar putar di sekitar api, dengan sigap berlompatan ke atas kuda masing-masing.
Di mana-mana terdengarlah teriakan patriotik "untuk memusnahkan para penyembah berhala demi Tanah Rusia yang suci".
Kali Ini mereka bukan sekedar akan menekan lalu mundur, tapi benar-benar akan berusaha menghancurkan, sesuai dengan perintah Gorovka.
Atas petunjuk seorang pribumi Jing-hai yang ikut menjadi pemberontak, dan agak mengenal seluk-beluk perkampungan itu, orang-orang Kozak diberitahu adanya bagianbagian yang dangkal dari parit pelindung perkampungan itu.
Bagian yang memungkinkan diseberangi dengan kuda.
Maka bergerak menyempitlah lingkaran pengepungan itu.
Meriam-merian pun diseret semakin dekat, agar lebih hebat kehancuran yang bisa ditimbulkan pada lawan.
Melihat gerakan musuh, Pangeran In Te sadar apa yang mereka maui.
"Nah, ini baru pertarungan mati hidup yang sebenarnya. Seluruh pasukan bersiap."
Semua perajuritpun bersiap.
Dalam keadaan segenting itu, komplotan kaki tangan Ni Keng Giau tidak bisa tidak harus bekerja-sama dengan orang-orang yang setia kepada Pangeran In Te.
Kini mereka harus sama-sama mempertahankan hidup di arena yang sama, menghadapi musuh yang sama.
Bahkan para kaki-tangan Ni Keng Giau merasa bahwa Wan Yen Siang agaknya takkan mengirim bantuan biarpun melihat isyarat kembang api tadi.
Itu artinya para perwira kaki tangan Ni Keng Giau itupun akan ikut dikorbankan, demi terlaksananya suatu "kebijaksanaan pusat"
Yang menghendaki matinya Pangeran In Te. Kini, yang akan menjadi teman seperjuangan mereka di batas mati-hidup itu justru adalah Pangeran In Te yang hendak mereka khianati demi sekantong uang emas atau kenaikan pangkat istimewa yang dijanjikan.
"Kalau Pangeran In Te benar-benar tewas malam ini, kita akan mendapat kenaikan pangkat,"
Gerutu seorang pengikut Ni Keng Giau dengan sengit.
"Tapi kenaikan pangkat secara anumerta."
Meriam-merian musuh mulai menggelegar lagi.
Kali ini pantat meriam-meriam beroda itu diganjal tinggi, sehingga moncong meriam jadi rendah, diarahkan untuk menghantam tanggultanggul parit tempat perlindungan perajurii- perajurit Pangeran In Te.
Banyak perajuritperajurit.
Pangeran In Te berpentalan tewas.
Perajurit-perajurit Pangeran In Te membalas menembak dan memanah dengan gigih, biarpun persenjataan tidak seimbang.
Orang-orang Kozak dan pemberontakpemberontak Jing-hai yang dibagian depan banyak yang roboh karena derasnya peluru dan panah dari pihak Pangeran In Te.
Namun korban di pihak Pangeran In Te pun cukup besar gara-gara meriam yang terus ''menggonggong"
Galak.
Bagian-bagian tanggul yang dihantam bolabola besi itulah yang terasa paling berat, tanggul-tanggul jadi longsor menyeret perajurit-perajurit yang berlindung di baliknya.
Longsornya tanggul juga menyebabkan parit di bagian itu bertambah dangkal.
Sementara itu, sekelompok orang Kozak lainnya nekad memusatkan serangan ke arah jembatan-jembatan.
Sambil membungkukkan tubuh rapat-rapat di punggung kuda, mereka menyerbu ke jembatan.
Beberapa orang terdepan roboh, dan yang di belakang mereka juga roboh karena menabrak yang di depannya.
Manusia dan kuda bergelimpangan di jembatan.
Tapi gelombang manusia di belakang mereka tetap maju, melompatkan kuda dan menyerbu terus dengan nekad.
Pangeran In Te kebetulan ada dekat dekat situ dan melihatnya.
Cepat ia berteriak.
"Mundur dari jembatan, biarkan mereka masuk jembatan, lalu hancurkan jembatan!"
Perajurit-perajurit yang bertahan di jembatan segera mundur ke arah perkampungan.
Sambil bersorak-sorak, orangorang Kozak menyerbu memasuki jembatan.
Sementara itu di pihak Pangeran In Te, sebuah sumbu mulai disulut.
Desisnya seperti seekor ular, nyala api meletik dan merambat cepat ke arah bumbung-bumbung berisi obat peledak yang dipasang di tiang-tiang jembatan.
Saat itu sudah banyak serdadu berkuda Kozak sampai di tengah jembatan, sampai jembatan kayu campur tanah itu seolah-olah hendak roboh oleh hendak kaki sekian banyak kuda.
Kemudian tiang-tiang jembatan itu mendadak meledak dan jembatanpun runtuh.
Puluhan manusia dan kuda tercebur dalam parit.
Yang mahsi hidup segera mencoba berenang ke pinggir, namun banyak yang belum sampai ke pinggir sudah keburu menjadi mangsa peluru atau panah perajurit-perajurit Pangeran In Te.
Ada empat jembatan di sekeliling perkampungan itu, menghadap ke empat arah, ke empat-empatnya dihancurkan atas perintah Pangeran In Te pada saat dilewati serdaduserdau Kozak.
Gelombang awal serangan musuh dapat dibendung, tapi masih akan menyusul gelombang berikutnya yang lebih hebat.
Penyulut-penyulut sumbu meriam di pihak serdadu Kozak dengan geram terus menembakkan meriam mereka untuk meruntuhkan tanggul-tanggul parit, terutama yang tempat airnya memang dangkal.
Tujuannya ialah "membersihkan"
Perajurit- perajurit Pangeran In Te yang ada di situ, agar paritnya bisa diseberangi Puluhan perajurit terjungkal ke dalam parit bersama longsoran tanggul, sambil memperdengarkan teriak menyayat.
Paritpun segera penuh mayat terapung-apung, baik perajurit-perajurit Pangeran In Te maupun serdadu Kozak serta pemberontakpemberontak pengikut Alai Bu-tan.
Serbuan orang Kozak dan sekutu mereka di bagian-bagian itu akhirnya tak bisa dibendung lagi.
Dipelopori orang orang mereka yang paling berani, mereka menyeberangkan kuda lewat bagian-bagian parit yang dangkal itu.
Masih banyak yang bertumbangan kena peluru a-tau panah, tapi banyak pula yang berhasil menyeberangi parit.
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Disusul teman-teman mereka yang seperti rombongan semut.
Ketika orang-orang Kozak sampai ke perkampungan, maka cara bertempur di bagian-bagian itupun berubah.
Tidak lagi saling menyerang jarak jauh, tapi pertempuran jarak dekat.
Bedil dan panah ditinggalkan, digantikan pedang, tombak atau senjata-senjata lainnya.
Orang Kozak semakin banyak yang berhasil me nyeberang, sehingga pertempuranpun meluas dari tepi-tepi parit ke lorong-lorong perkampungan, halaman-halaman rumah, kebun-kebun sayur, kandang-kandang binatang.
Musuh menyerbu dengan sebaliknya perajuritperajurit Pangeran In Te hanya sebagian kecil yang sempat mengambil kuda.
Terpaksa mereka harus berlari-lari dikejar kuda, dan menghindari senjata musuh yang terayun ayun mengerikan.
Untung di perkampungan itu banyak lorong sempit berbelok-belok, atau pohon pohon besar yang .bisa dimanfaatkan untuk main kucingkucingan sambil berusaha melakukan sergapansergapan mendadak.
Banyak serdadu Kozak dan laskar pemberontak yang kena sergap di tikungan-tikungan lorong yang gelap, dari balik pohon, bahkan dari atas pohon.
Kadang-kadang anak panah dan peluru masih juga berseliweran dalam kegelapan untuk mencari korban.
Namun penyerbu semakin banyak dan semakin ganas pula.
Perajurit-perajurit Pangeran In Te terjebak dalam keadaan yang berbahaya, dimana mereka terpaksa berpencaran dan bertempur sendiri sendiri tidak sebagai satu pasukan.
Musuh yang masuk perkampungan terus mengalir tak hentihentinya.
Pangeran In Te sendiri dan sekelompok pengawal setianya, dengan gagah berani melawan serbuan musuh yang seolah tak ada habis-habisnya.
Sampai pegal lengan Pangeran In Te menggerakkan pedang untuk menangkis serangan yang membanjir.
Pengawalpengawalnya satu-persatu berguguran setelah melakukan perlawanan mati-matian.
"Perajurit-perajurit perkasa..."
Geram Pangeran In Te sambil membabat seorang musuh yang menyambarnya dari atas kuda.
"...... tidak menyesal kalau aku harus gugur bersama kalian." (Bersambung
Jilid IV) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.
Jilid IV Sun Hong Beng berkelahi dalam jarak tidak pernah lebih dari lima langkah dari Pangeran In Te.
Seburuh tubuh dan mukanya sudah penuh percikan darah, darah musuh dan darahnya sendiri.
Dengan bersemangat ia masih memainkan lembing pendeknya.
Sudah belasan orang Kozak maupun laskar pemberontak yang di robohkannya, tapi jumlah itu tak berarti dibandingkan ribuan musuh yang terus berdatangan.
Diam-diam Sun Hong Beng sudah mengukir tekad dalam hati, kalau Pangeran In Te mesti gugur juga, Sun Hong Beng ingin dirinyalah yang gugur lebih dulu.
Di sekitar Pangeran In Te, sebenarnya banyak juga kaki tangan Ni Keng Giau yang ditugasi untuk melenyapkan Pangeran In Te.
Dalam pertempuran kisruh dan campur-aduk, dimana satu sama lain tak sempat memperhatikan dengan cermat, sebenarnya terbuka banyak peluang untuk membunuh Pangeran In Te.
Namun ketika mereka melihat betapa gigihnya Pangeran In Te berkelahi, bukan cuma melindungi diri sendiri tapi juga melindungi orang-orangnya, maka kaki tangan Ni Keng Giau itu malahan menjadi malu sendiri.
Mereka malah berbalik jadi membela Pangeran In Te sekuat tenaga.
Tiba-tiba sebatang lembing meluncur ke punggung Pangeran In Te, dan Pangeran In Te tak ada kesempatan menyelamatkan diri, seorang kaki tangan Ni Keng Giau tanpa pikir panjang lagi melompat, menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perasai Pangeran In Te.
Ketika ia roboh dengan lembing menancap di dadanya, ia masih sempat berseru.
"Pangeran, hamba pernah punya niat yang curang terhadap Pangeran..." Pangeran In Te cepat menjawab.
"Seorang perajurit segagah kau, patut dimaafkan."
"Terima kasih...."
Lalu perajurit itu terkulai menyongsong ajalnya.
Perajurit-perajurit Pangeran In Te semakin menyusut dan tergiring ke sudut sudut yang tidak memungkinkan untuk lolos lagi.
Tapi dimana-mana terjadi perlawanan habishabisan, seperti binatang-binatang liar yang sudah masuk perangkap dan masih berusaha menggigit atau mencakar siapapun yang mendekatinya.
Begitu pula Pangeran In Te sendiri dan sisasisa pengawalnya.
Mereka sadar kalau sedang antri ke gerbang dunia orang mati yang menganga selangkah di depan mereka.
Tapi soal mati hidup sudah tidak lagi membebani pikiran mereka, yang ada hanyalah keinginan bertempur sampai maut menjemput.
Saat itulah di kejauhan tiba-tiba terdengar gemuruh ribuan kuda, disusul suara bedil seperti petasan-petasan di malam Tahun Baru saja.
Pasukan berkuda yang dipimpin Wan Yen Siang telah tiba, dan langsung menyerbu bagian belakang pasukan Kozak dan pemberontak.
Bukan karena Wan Yen Siang tiba-tiba berubah jadi baik hati lalu ingin menolong Pangeran In Te, melainkan karena malam itu Wan Yen Siang tiba-tiba didatangi oleh Pak Kiong liong, yang mengancam dan memaksanya agar Wan Yen Siang menggerakkan pasukan menolong pasukan Pangeran In Te.
Ketika pasukan Pangeran In Te mengetahui datangnya bala bantuan itu, semangat mereka jadi berkobbar kembali.
Harapan hidup yang sudah hampir padam, kini menyala kembali, dan perlawananpun jadi semakin bersemangat.
Bagaimanapun juga, umumnya manusia tentu lebih bersemangat melangkah menuju kehidupan daripada ke kematian.
Sebagian pasukan Wan Yen Siang malah berhasil menerobos masuk kedalam perkampungan, lewat jalan yang sebelumnya digunakan orang-orang Kozak.
Mereka dipimpin oleh perwira-perwira bawahan Wan Yen Siang yang sama sekali tidak tahu-menahu soal intrik-intrik di kalangan atas.
Yang mendorong tindakan mereka hanyalah motif tunggal, rasa setia-kawan untuk menolong rekan-reka sesama perajurit yang sedang terancam bahaya.
Di dataran rumput di luar perkampungan juga berkobar hebat pertempuran berkuda.
Puluhan ribu kuda saling menyambar, puluhan ribu senjata saling terayun, gemerincing berbenturan, puluhan ribu manusia saling mengincar nyawa sesama.
Kalau sudah berada di tengah pertempuran seganas itu, biarpun berangkat dengan terpaksa, Wan Yen Siang mau tidak mau harus bertempur sungguh-sungguh pula.
Kalau tidak, nyawanya akan disambar senjata musuh.
Sedangkan, Pak Kiong Liong dengan menunggangi seekor kuda tegar, berusaha mencari jalan masuk ke perkampungan.
Ia masih tetap mencemaskan keselamatan Pangeran In Te.
Akhirnya di dalam perkampungan yang bising dengan suara pembunuhan massal itu, ia temukan Pangeran In Te pada saat nyawa pangeran itu sudah ibarat telur di ujung tanduk.
Pangeran In Te tinggal sendiri, semua pengawalnya sudah habis, termasuk Sun Hong Beng.
Sedangkan musuh yang dihadapinya amat banyak Ketika itulah Pak Kiong Liong berderap tiba dengan kudanya, pedangnya berkelebatan merobohkan beberapa musuh.
Serunya.
"Bertahanlah Pangeran! Bantuan sudah tiba!"
Semangat Pangeran In Te meluap, kelelahannya mendadak terhapus lenyap, tidak terasa lagi.
Dengan jurus Thai-peng tian-ci (Garuda Mementang Sayap), beruntun ia menikam ke kiri dan kanan dan dua musuh dirobohkannya.
Begitulah, meskipun Pak Kiong Liong datang sendirian, namun cukup membuat pengepungan atas Pangeran In Te jadi kocar-kacir.
Seorang Kozak bertubuh raksasa dengan enaknya ia tangkap hanya dengan tangan kiri, disambar dari kudanya, lalu dilemparkan jauh sehingga terhempas pingsan.
Karuan orang-orang Kozak dan para pemberontak terkejut melihat seorang kakek renta berkekuatan sedahsyat itu.
Kuda orang Kozak yang dilempar tadi, oleh Pak Kiong Liong lalu dituntun ke dekat Pangeran In Te, dan berseru.
"Pangeran, naik!"
Sementara Pangeran In Te menaiki kuda, Pak Kiong Liong menyapu musuh di sekitarnya agar tidak mengganggu Pangeran In Te. Lalu katanya lagi.
"Pangeran harus menyelamatkan diri dari sini."
"Aku tidak bisa meninggalkan perajuritperajuritku menyabung nyawa di sini, Paman. Aku sehidup semati dengan mereka."' "Wan Yen Siang sudah hamba paksa untuk datang membantu, Pangeran. Sedangkan kalau sampai Pangeran sendiri yang jatuh ke tangan Wan Yen Siang si begundal Ni Keng Giau itu, keselamatan Pangeran akan terancam."
Ketika Pangeran In Te masih juga ragu-ragu, tiba-tiba dari sebuah sudut yang gelap terdengarlah suara.
"Benar Pangeran. Lebih baik Pangeran pergi ke suatu tempat yang jauh dari jangkauan tangan Ni Keng Giau." Lalu dari asal suara itu melayang sesosok bayangan dengan ringannya. Seorang yang berpakaian seragam perajurit rendahan, seperti Pak Kiong Liong, dan persamaannya yang lain adalah rambutnya yang juga memutih seperti perak. Cuma, orang ini memakai kedok muka sebatas hidung ke bawah. Kata orang berkedok itu lagi.
"Pak Kiong Liong, mari kita berdua bersama-sama menyelamatkan Pangeran In Te dari kelicikan dan kekejaman Ni Keng Giau serta begundalbegundalnya."
"Siapa kau?"
Tanya Pangeran In Te.
Orang berkedok itu ragu-ragu sebentar, ia sebenarnya ingin tetap bersembunyi di balik kedoknya.
Namun diapun sadar, kalau tidak maau membuka kedoknya, Pangeran In Te takkan mau mengikuti anjurannya.
Lagipula toh Pangeran In Te didampingi Pak Kiong Liong yang kemungkinan besar sudah mengetahui si apa dirinya.
Maka akhirnya, orang itu-pun perlahan-lahan menarik turun kedok nya.
Muncullah raut wajah Kim Seng Pa yang sejak semula memang sudah diduga oleh Pak Kiong Liong, namun masih mencengangkan Pangeran In Te.
Maklumlah, di jaman perebutan kekuasaan antar Pangeran dulu, Kim Seng Pa termasuk pihak musuh, tak terduga kalau sekarang malah mau menyelamatkannya dari neraka ini.
Setelah menunjukkan wajahnya sebentar, Kim Seng Pa kembali memasang kedoknya.
Ia tidak mau kehadirannya di tempat itu diketahui pihak lain lagi, agar tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari.
Ketika itulah belasan orang Kozak muncul dari ujung lorong.
Melihat Pangeran In Te bertiga, mereka langsung memacu kuda mereka, dengan deras.
Namun kali ini mereka salah sasaran.
Segera mereka menjadi korban Pak Kiong Liong dan Kim Seng Pa.
Ringkik kuda-kuda yang bertabrakan bercampur jerit kesakitan serdadu-serdadu Kozak segera hingar-bingar memenuhi tempat itu.
Dan Kim Seng Pa sendiri segera berhasil mendapatkan seekor kuda tegar.
"Marilah, Pangeran. Kami akan mengawal sampai ke tempat yang aman,"
Bujuk Kim Seng Pa pula. Demikianlah, dengan dikawal kedua orang tua yang digdaya itu, Pangeran In Te "diungsikan"
Dari medan laga yang makin lama makin sengit, sebab antara kawan dan lawan sudah campur aduk tak ada batasnya lagi.
Sepak terjang Kim Seng Pa amat kejam terhadap musuh-musuh yang merintangi jalannya, tak jarang dia mencabik-cabik tubuh musuh dengan jari-jarinya yang sekuat ganco.
Tindakan itu mengingatkan Pak Kiong Liong kepada pangeran ke sembilan, Pangeran In Tong, yang sekarang entah di mana.
Pangeran berwatak kejam yang bahkan tega membunuh gurunya yang baik hati, ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou, hanya untuk merebut kedudukan sebagai Ketua Hwe-liong-pang demi ambisinya.
Untung bisa dicegah merebut kekuasaan itu.
Namun, bagaimanapun juga Pak Kiong Liong sekali ini bolehlah menganggap Kim Seng Pa sebagai "teman seperjuangan".
Lain kali tentunya dipertimbangkan lain kali pula.
Ketiga orang itu akhirnya berhasil mencapai suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuknya pertempuran, jauh di t e ngah padang rumput.
Fajar nampak sudah merekah di tepian samudera rumput itu, dan ketiga orang itupun mulai melambatkan lari kuda masing-masing.
"Hamba hanya bisa mengantar sampai di sini, Pangeran,"
Kata Kim Seng Pa kemudian.
"Tetapi hamba mohon dengan sangat, agar Pangeran tidak menceritakan kepada siapapun, tentang apa yang hamba telah lakukan ini, supaya kepala hamba jangan sampai dipenggal oleh Sribaginda apabila mendengarnya."
"Baiklah, Kim Cong-koan. Malah aku yang berterima kasih kepadamu. Bukan cuma kali ini, tapi juga atas pembe laan Cong-koan selama aku masih di perkemahan, pada saat Ni Keng Giau berusaha menginjak martabatku di hadapan sekalian perwira." Demikianlah, dengan dikawal kedua o-rang tua yang digdaya itu, Pangeran In Te "diungsikan"
Dari medan laga yang makin lama makin sengit, sebab antara kawan dan lawan sudah campur aduk tak ada batasnya lagi "Bagaimana denganmu, Pak KiongLiong?"
"Mengingat semalam suntuk kau sudah mempertaruhkan nyawa demi Pangeran In Te, entah apa sebenarnya latar-belakang tindakanmu, tapi aku berjanji akan menutup mulut soal ini."
"Baik. Permusuhan kita selama ini, anggap saja sudah impas. Kalau kelak kita berhadapan dalam urusan baru, entah urusan apa, akan ada pertimbangan baru pula. Nah, selamat tinggal."
Kemudian Kim Seng Pa memutar kudanya, dan mengaburkannya meninggal kan Pak Kiong Liong dan Pangeran In Te.
Sampai wujudnya tak lebih dari setitik hitam di kejauhan, di kehijuan padang rumput.
* * * Pangeran In Te dan Pak Kiong Liong berkuda perlahan di dataran luas seolah tanpa batas itu, dalam udara sejuk pagi hari yang bukan saja menyegarkan tubuh, tapi juga menyegarkan jiwa.
Mereka berkuda ke arah cahaya fajar yang belum terlalu menyilaukan.
Menyongsong babak baru dalam kehidupan Pangeran In Te.
Wajah Pangeran In Te memang berseri-seri, tidak mencerminkan kelelahan biarpun semalam suntuk telah bertempur mati-matian.
Selama beberapa tahun terakhir, sejak ia tertipu sehingga kekuatan militernya dicopoti, dan selanjutnya terus terkurung dalam istana, baru kali inilah dinikmatinya kembali rasa gembira dan aman yang sejati.
Meresap sampai ke relung-relung jiwanya yang terdalam.
Sekiranya tidak malu, tentu ia sudah melompat-lompat sambil meneriakkan kebebasan sekeraskerasnya.
Dan kenikmatan alam bebas itu tak bisa dilepaskan dari peranan penolong penolongnya.
Pangeran In Te sama sekali tidak heran kalau Pak Kiong Liong mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, sebab diketahuinya dari dulu bahwa pamannya ini memang punya watak setia, teguh dalam pendirian.
Tetapi pertolongan Kim Seng Pa masih membingung kan Pangeran In Te.
"Mungkinkah Kim Seng Pa sekarang sudah mulai terbuka mata hatinya, untuk dapat membedakan mana yang adil dan mana yang sewenang-wenang? Yang harus dibela dan harus ditentang?"
Dia berkata sendiri sambil berkuda perlahan. Pak Kiong Liong menoleh mendengar gumam itu, lalu tersenyum sambil menggelenggelengkan kepalanya. Katanya.
"Hamba rasa, penilaian sebagus itu untuk diri Kim Seng Pa masih terlalu pagi. Kalau kita salah menilai orang, di kemudian hari kita bisa terjerumus lagi."
"Maksud Paman?"
"Kamba menyimpulkan, Kim Seng Pa melakukan semua ini demi kepentingannya sendiri, bukan karena nuraninya tergugah oleh rasa keadilan. Ia ingin mendapat kedudukan yang lebih kuat di pusat pemerintahan, dan langkah pertama yang dilakukannya ialah menggoyahkan kedudukan Ni Keng Giau yang saat ini adalah tokoh nomor dua setelah Kaisar sendiri."
"Apa hubungannya antara menolong aku dengan menggoyahkan kedudukan Ni Keng Giau?"
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Erat hubungannya, Pangeran. Ketika semalam hamba menyelundup masuk perkemahan Wan Yen Siang, lalu memak sanya untuk menggerakkan pasukan, hamba juga memaksanya untuk menjelas kan sikapnya. Dia mengaku dengan ketakutan, bahwa dia hanya diperintah Ni Keng Giau, sedangkan Ni Keng Giau di perintah Kaisar Yong Ceng. Itu artinya, selain Ni Keng Giau ditugasi menumpas pemberontak, diam-diam juga diberi tugas rahasia untuk membinasakan Pange ran di Jinghai ini. Entah dengan cara apa, Kim Seng Pa rupanya dapat mencium urusan rahasia ini. Lalu dia menolong Pangeran, artinya pula dia menggagalkan tugas Ni Keng Giau, artinya pula dia ingin agar kepercayaan Kaisar terhadap Ni Keng Giau merosot jauh. Dan dialah yang berambisi menggantikan kedudukan Ni Keng Giau kelak, dengan mencari muka terhadap Kaisar."
"Begitu? Apa Kim Seng Pa itu berpikir begitu gampang menjalankan tugas sebagai Panglima Tertinggi? Ni Keng Giau memang menjemukan, tapi harus kuakui kecemerlangan otaknya dalam memimpin pasukan ini."
"Setidak-tidaknya Kim Seng Pa menganggap dirinya pantas untuk kedudukan itu. Bukan pandangan orang lain yang dihiraukannya."
"Pantas semalam Kim Seng Pa mengenakan tutup muka, kiranya ia khawatir kalau wajahnya dilihat oleh para perajurit, lalu dilaporkan kepada Ni Keng Giau. Pantas pula dia meminta dengan sungguh-sungguh kepada kita, untuk berjanji tidak menceritakan kepada siapa-siapa."
"Begitulah."
"Hem, kiranya ada latar belakang serumit itu di balik tindakannya yang hampir saja kusangka berbudi luhur. Paman, rasanya aku ingin menjadi rakyat kecil saja. Biarpun tiap hari mereka membanting tulang untuk sesuap nasi, mereka bisa hidup tenteram. Dibandingkan aku yang berkedudukan bangsawan dan berpakaian mentereng, hanya kalau di depanku semua orang menghormati ku, namun di belakang punggungku tak henti-hentinya rencana untuk mencelakakan aku. Mampir tiap malam aku mimpi buruk, Paman, sering aku terbangun di te ngah malam dengan keringat dingin membanjiri tubuhku. Ranjang sutera di istana itu rasanya masih kalah nyaman dengan dipan reyot di gubuk-gubuk petani yang bisa tidur begitu pulas tiap malam."
Pak Kiong Liong kontan mengerutkan alis ketika mendengar kata-kata bernada patah semangat itu.
"Pangeran, apakah Pangeran mau lari dari kewajiban yang diamanatkan oleh mendiang Siang-hong (Kaisar almarhum)? Mengecewakan harapan orangtua yang sudah ada di negeri arwah?"
"Paman, aku justru sudah jemu beranganangan untuk merebut tahta, bahkan seandainya bagiku tersedia dukungan kuat sekalipun. Aku berpendapat, saat ini sudah muncul seorang calon kaisar yang jauh lebih baik daripadaku, seperti fajar yang memberi harapan di tengah tengah kabut kesewenang- wenangan saat ini. Aku rela mundur, agar tidak menjadi saingannya."
"Siapa dia?"
"Hong-lik. Putera Kakanda Yong Ceng."
"Dia masih terlalu muda."
"Tetapi sudah berpikiran dewasa, berpendirian kuat, menaruh keprihatinan mendalam untuk kesengsaraan kebanyak an rakyat kecil. Tidak jarang dia menyamar untuk meninggalkan istana guna menolong banyak orang, tanpa mencari nama buat dirinya sendiri. Pernah ia mempertaruhkan nyawa dengan mogok makan sampai lima belas hari, sehingga hampir mati, karena memprotes sebuah peraturan yang memberatkan kehidupan rakyat. Kakanda Yong Ceng terpaksa mencabut kembali peraturan itu, karena mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Pokoknya, masa depan kekaisaran akan cerah kalau dipimpin Hong-lik, bukan aku."
Beberapa saat lamanya Pak Kiong Liong termangu-mangu bungkam. Hanya terdengar suara berdetak lunak dari kaki kuda-kuda mereka di tanah yang ber lapis permadani alam rumput hijau.
"Pangeran, maafkan hamba. Sebaik baiknya Pangeran Hong-lik, kalau kita biarkan dia bertahta, sama saja kita melestarikan kecurangan dalam pewarisan tahta. Orang yang berhak dalam Surat Wasiat Sian-hong malahan tersingkir, sedang yang mendapat tahta dengan cara mencuri dan memalsukan Surat Wasiat, malahan berjaya dan mewariskan tahta kepada keturunannya. Bukankah ini janggal?"
"Aku rasa, Paman, justru lebih janggal kalau kita lebih mengutamakan isi selembar wasiat ataupun garis keturunan, daripada persyaratan seorang pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Rakyat butuh seorang pemimpin untuk meningkatkan kesejahteraan, dan Hong-lik itulah pilihan paling tepat. Aku yakin, seandai nya Ayahanda Khong Hi masih hidup dan melihat apa yang dilakukan Hong-lik, Ayahanda akan sependapat denganku. Rasarasanya Hong-lik adalah penjelmaan kakeknya."
"Maafkan ucapan hamba sebelumnya, Pangeran. Hamba cemas sikap Pangeran ini hanya sebagai dalih karena Pangeran sudah patah semangat, lalu ingin melarikan diri dari tanggung jawab. Hamba cemas keputusan Pangeran ini bukan pemikiran yang matang, namun cuma ledakan kejenuhan setelah tertekan dan kecewa selama bertahun-tahun."
"Aku tidak lari dari tanggung-jawab, Paman. Sebab aku berpendapat bahwa bertanggungjawab kepada kekaisaran bukan berarti harus ngotot untuk menduduki tahta. Kalau aku minggir dari arena persaingan, justru aku memberi peluang kepada negeri ini untuk mendapat seorang pimpinan yang baik. Dalam diri Hong-lik terdapat syarat-syarat seorang pemimpin yang baik, Paman. Aku memperhatikannya selama bertahun-tahun, bukan cuma sepintas lalu terus mengambil keputusan gegabah."
"Tetapi Pangeran Hong-lik masih muda, kepribadiannya belum mantap. Siapa tahu setelah menikmati kekuasaan, lalu berkembang menjadi watak yang buruk seperti ayahandanya? Karena itu. hamba harap Pangeran tetap sudi tampil sebagai suatu kekuatan, setidak-tidaknya sebagai pilihan lain apabila kelak Pangeran Hong-lik mengecewakan harapan."
"Baik. Sebagai pilihan cadangan, bolehlah. Tapi aku tetap menganggap Hong-lik sebagai pilihan yang terutama."
Pak Kiong Liong menarik napas.
Kecewa.
Susah payah selama ini ia mengharapkan Pangeran In Te, tak terduga "jago"nya malah mengharapkan orang lain.
Bertahun-tahun Pak Kiong Liong hidup pontang-panting sebagai buronan, dikejar dan ditekan oleh anak-buah Kaisar Yong Ceng, semuanya itu demi menyiapkan dukungan bagi Pangeran In Te.
Setelah ketemu Pangeran In Te sendiri, kok yang mau didukung malahan "melempem".
"Paman kecewa?"
Pak Kiong Liong cuma menghembus kan napas kuat-kuat.
"Paman kecewa, sebab Paman cuma memandang hakku pribadi. Dan ketika aku bersikap seperti ini, Paman lalu merasa perjuangan Paman selama ini sudah habis, tidak ada kelanjutannya lagi. Tapi kalau Paman pikirkan berjuta juta warga kekaisaran ini, Paman akan mengerti bahwa Paman tetap dibutuhkan. Jangan memandang hanya kepada seorang In Te, Paman, perhitungkan jutaan rakyat dan apa yang mereka perlukan untuk masa depan yang lebih baik."
"Garis perjuangan yang hamba jalani selama ini telah menyita bertahun tahun dari umur hamba, Pangeran, tidak gampang untuk tibatiba membelokkannya atau bahkan memadamkannya sama sekali. Sebuah pohon yang sudah terlanjur tumbuh menjadi besar, takkan bisa ditebang roboh dalam sekali tebasan saja."
"Jangan putus asa, Paman. Negeri tetap membutuhkan orang-orang segigih Paman, biarpun berdiri di luar jajaran pemerintahan. Setidaknya, siapapun yang kelak berkuasa, tidak akan bertindak gegabah kalau tahu adanya kekuatan lain yang tidak dibawah perintahnya-"
Lagi-lagi Pak Kiong Liong cuma menghembuskan napas kuat-kuat.
"Sekarang, kemana kita akan pergi, Paman?"
"Ke sebuah tempat yang tenang, di mana kita bisa berpikir cermat untuk tindakan-tindakan di masa depan."
"Di mana?"
"Sebuah desa kecil yang tidak jauh dari Tiauim-hong. Sejak markas Hwe-liong-pang dihancurkan tentara kekaisaran, aku bersembunyi di desa itu. Bersama anak perempuan hamba, menantu hamba dan kedua cucu kembar hamba."
"Tempat itu tentunya menyenangkan sekali. Barangkali baik juga bagiku kalau sementara waktu menenangkan pikiran di sana. Tetapi aku ada satu permintaan kepada Paman."
"Soal apa?"
"Mulai detik ini, Paman dan keluarga Paman yang lain jangan lagi memanggil ku "Pangeran"
Atau menyebut diri kalian sendiri "hamba", sebab mulai sekarang tidak ada lagi Cap-si Pwelek (Pangeran Ke Empatbelas). Yang ada cuma In Te, warga biasa yang sama dengan jutaan warga lainnya."
Pak Kiong Liong mengangguk agak lesu, rasa kecewanya bertambah-tambah. Agaknya semakin kecillah kemungkinan untuk menjagokan In Te, yang bukan Pangeran lagi, menjadi "ujung tombak"
Perjuangan merebut tahta dari tangan Kaisar Yong Ceng yang lalim.
Merekapun berderap ke arah tenggara.
* * * Makin dekat Wan Yen Siang ke per kemahan pasukan induk, makin keras degup jantungnya.
Biarpun pasukannya berhasil menghancurkan sebagian besar serdadu Kozak Rusia yang melanggar perbatasan untuk membantu pemberontak, namun kegagalan membunuh Pangeran In Te membuat Wan Yen Siang amat takut dimarahi Ni Keng Giau.
Menurut keterangan beberapa perajurit yang lihat, Pangeran In Te diselamatkan dari tengahtengah kemelutnya pertempuran oleh "dua perajurit tua dan salah satunya memakai kedok muka".
Wan Yen Siang menduga bahwa salah satu perajurit tua itu tentu Pak Kiong Liong, tapi yang satu lagi, bagaimanapun ia memutar otak tetap tak bisa menduganya.
Ia jadi bingung bagaimana harus melapor ke pada Ni Keng Giau yang amat keras itu? Tapi ia bergerak terus semakin dekat ke perkemahan pasukan induk.
Ia berharap agar Ni Keng Giau bisa memahami kesulitannya, lalu memaafkan kegagalannya.
Bukankah selama ini hubungan nya dengan Ni Keng Giau cukup baik? Bukan cuma hubungan jenderal dan perwiranya, tapi juga hubungan pribadi, bahkan juga hubungan antara isteri-isteri mereka di Pak-khia.
Tak urung ketika melihat deretan panjang pucuk-pucuk tenda di kejauhan dan benderabendera yang berkibar, Wan Yen Siang merasa agak bergidik juga.
Debar jantungnya makin kencang, ketika melihat Ni Keng Giau sendiri menunggangi kuda, keluar dari perkemahan untuk menyongsong Wan Yen Siang.
Diiringi perwira-perwira bawahannya.
Setelah dekat, Wan Yen Siang menghentikan pasukannya, lalu ia sendiri melompat turun dari kudanya untuk berlutut menghormat.
Wajah Ni Keng Giau kelihatan cerah penuh senyuman.
Ia sudah mendapat laporan tentang kedatangan pasukan Wan Yen Siang ditambah sisa-sisa pasukan Pangeran In Te yang hampir saja tertumpas oleh orang Kozak.
Namun yang paling ingin diketahui Ni Keng Giau bukanlah tentang pertempuran itu, melainkan tentang nasib Pangeran In Te.
Melihat di antara deretan perwira-perwira Wan Yen Siang yang berlutut itu tidak terdapat Pangeran In Te di antaranya, tumbuh harapan Ni Keng Giau bahwa ia akan mendengar "laporan keberhasilan".
"Bangkitlah kalian semua,"
Kata Ni Keng Giau amat ramah dari atas kudanya.
"Aku yakin kalian membawa berita baik."
Lutut Wan Yen Siang agak goyah ketika ia bangkit dari berlutut. Makin besar harapan Ni Keng Giau akan berita "baik", makin berat beban jiwa Wan Yen Siang, makin besar pula kekecewaan yang akan dialami Ni Keng Giau Namun ia menjawab juga.
"Karena rejeki kekaisaran kita yang agung, sebagian besar rencana berjalan dengan memuaskan."
"Bagus. Aku perintahkan pasukanmu untuk beristirahat. Tetapi jangan lupa menghubungi juru-tulis untuk mencatat jasa-jasa kalian yang gemilang. Khusus untuk Wan Yen Siang, aku undang ke kemahku untuk mendengarkan laporan selengkapnya,"
"Baik.... baik...."
Sahut Wan Yen Siang dengan tenggorokan kering.
Ketika hendak naik ke punggung kudanya, Wan Yen Siang harus mengulangi sampai tiga kali, barulah berhasil, karena gugupnya.
Tidak lama kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam kemah pribadi Ni Keng Giau.
Tidak ada orang ketiga dalam kemah itu.
"Bagaimana?"
Tanya Ni Keng Giau tidak sabar.
Dengan gaya bertele-tele, berbelit-belit, dicampur dalih-dalih tidak langsung untuk meringankan kesalahannya sendiri, Wan Yen Siang menguraikan jalannya pertempuran yang berakhir dengan kemenangan pasukannya, meskipun ia tahu bukan itu yang ditanyakan Ni Keng Giau.
Cerita tentang kemenangan itu hanyalah semacam usaha "sedia payung sebelum hujan".
"Payung belum berkembang penuh"
Ketika Ni Keng Giau tiba-tiba menepuk meja dengan keras sambil berkata.
"Yang kutanyakan ialah tentang Pangeran In Te."
"Goan-swe, ketika Pangeran In Te terkepung di sebuah perkampungan, dia melepaskan kembang api isyarat minta bantuan, tetapi aku tidak menggubrisnya."
"Bagus. Bagus."
"tapi.... tapi.... lalu muncul setan tua itu. Muncul di kemahku, lalu memaksa aku dengan kekerasan untuk memajukan pasukanku untuk menolong Pangeran In Te."
"Hah? Setan tua? Siapa?"
"Pak Kiong Liong."
"Ah, sudah beberapa tahun tak terdengar berita tentang bangsat tua itu, kiranya dia masih hidup, bahkan berkeliaran sampai ke Jing-hai ini,"
Bicara sampai di sini, Ni Keng Giau sudah mulai merasa bahwa berita yang bakal di dengarnya bakal tak sesuai dengan harapannya.
"Lalu bagaimana?"
"Karena karena aku dipaksa......ya...ya terpaksa kubawa pasukanku memasuki kancah pertempuran."
"Bagaimana dengan Pangeran In Te?"
"Maaf, Goan-swe. Aku tidak bisa memastikan nasib Pangeran In Te. Kancah pertempuran melebar sampai belasan li di sekitar perkampungan itu. Di segala tempat ada mayatmayat bergeletakan, dan kuperintahkan memeriksa semua mayat. Mayat Pangeran In Te memang belum ditemukan, tapi mungkin masih ada tempat yang belum diperiksa, dan...."
Wan Yen Siang tak sempat menyelesaikan penjelasannya, sebab Ni Keng Giau tiba-tiba menghunus pedangnya secepat kilat dan menebas Wan Yen Siang tepat di lehernya.
Perwira yang malang itupun terkapar sejenak menggelepar seperti ayam disembelih, lalu diam.
Ni Keng Giau memanggil pengawalnya dan menyuruh membawa pergi mayat itu, sambil menyebarkan pengumuman bahwa Wan Yen Siang dihukum mati karena "terbukti menjalankan tugas dengan kurang bersungguhsungguh".
Dan setelah mengambil tindakan itu, Ni Keng Giau jadi kebingungan sendiri, apa yang bisa dilaporkan kepada Kaisar Yong Ceng? Kaisar telah mempercayakan kepadanya tugas untuk melenyapkan Pangeran In Te, dan ternyata hasilnya cuma seperti apa yang dilaporkan oleh Wan Yen Siang.
Kaisar ingin memastikan kematian Pangeran In Te, dan tentu tidak senang kalau mendengar laporan yang serba kira-kira saja.
Akhirnya Ni Kehg Giau memutuskan untuk main untung-untungan.
Ia menulis surat kepada Kaisar, melaporkan bahwa Pangeran In Te "telah gugur kena tembakan meriam, sehingga ujudnya tak bisa dikenali lagi".
Ni Keng Giau berharap agar Kaisar Yong Ceng mempercayai laporan itu, toh Kaisar berada di tempat yang jauhnya laksaan li dari medan pertempuran dan tidak mengetahui sendiri jalannya perang.
Ia tidak tahu, pada saat yang bersamaan Kim Seng Pa juga sedang menuliskan laporan ke Pak-khia.
Dengan wajah berseri-seri, penuh semangat, ia menuliskan hal-hal yang memberatkan Ni Keng Giau.
Diceritakannya tentang "kecerobohan Ni Keng Giau dalam mengatur pasukan"
Serta Pangeran In Te yang "berangkat tapi tidak kembali dan tidak diketahui hidup matinya".
Susunan kalimatnya begitu rupa sehingga menimbulkan keraguraguan Kaisar terhadap Ni Keng Giau.
Tetapi Kim Seng Pa dengan cerdik menghindari kesan bahwa ia tahu tentang pesan rahasia Kaisar kepada Ni Keng Giau untuk melenyapkan Pangeran In Te.
Pesan itu amat rahasia, dan Kaisar tentu tidak suka kalau ada orang lain yang ikut mengetahuinya.
Karena itulah dalam soal pesan rahasia Kaisar itu, Kim Seng Pa berlagak tidak tahu apa-apa.
Jadi kalau ia mengabarkan tentang Pangeran In Te dalam suratnya, ia seolah-olah "hanya mengabarkan"
Saja tapi "tidak tahu apa-apa"
Tentang apa yang, dikehendaki Kaisar. Dengan cermat ia membaca surat itu sekali lagi, memeriksa kalau-kalau ada kata-katanya yang "tergelincir"
Dan kelak bisa menyusahkan dirinya sendiri, dan ia puas dengan suratnya itu.
Lalu sambil bersiul-siul gembira, ia masukkan surat itu ke dalam sampul dan ditutup rapat.
Untuk membawa surat itu sampai ke Pakkhia, Kim Seng Pa juga tidak mau memakai kurir yang disediakan oleh pasukan, tetapi memanggil seorang kepercayaannya.
Sat Siau Kun yang berjulukan Tiat-jiau-hui-ho (Rase Terbang Berkuku Besi), seorang jagoan Manchu yang juga amat membenci Ni Keng Giau.
Orang ini bertubuh kurus, pendek, ditambah bungkuk lagi, dan senjatanyapun aneh, yaitu sebatang pipa tembakau panjang berwarna keperakperakan.
Namun Kim Seng Pa percaya kelihaian silat orang ini tak gampang dicarikan imbangannya.
Ia suruh seorang pengawalnya memanggil orang ini ke kemahnya.
Sebetulnya Kim Seng Pa tentu lebih merasa aman kalau menyuruh anak laki-lakinya, Kim Thian Ki.
Tetapi anaknya adalah salah satu komandan pasukan bawahan Ni Keng Giau yang terikat tata-tertib, tidak bisa semaunya saja meninggalkan perkemahan.
"Serahkan surat ini kepada Sribaginda,"
Kata Kim Seng Pa sambil menyodorkan surat itu kepada Sat Siau Kun yang sudah datang di kemahnya.
"Dan berangkatlah tanpa diketahui oleh Ni Keng Giau dan kaki tangannya di perkemahan ini." Sambil menyimpan surat itu dalam bajunya, Sat Siau Kun menyeringai dan bertanya.
"Wajah Cong-koan kelihatan amat cerah. Apakah surat ini akan menjatuhkan Ni Keng Giau dari singgasana kecongkakannya?"
"Ssstt, jangan bicara sekeras itu, tebalnya kain tenda ini tidak cukup untuk meredam suara sekeras itu. Dan perlu kau ketahui, tidak gampang menjungkirkan Ni Keng Giau si bangsat Han itu dalam sekali gebrak, sebab kedudukannya masih amat kokoh. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendongkelnya pelanpelan, tidak boleh ditabrak langsung. Paham?"
"Kalau kita bunuh saja bagaimana? Bukankah ilmu silatnya tidak seberapa tinggi?"
"Bodoh kau. Akan timbul kegoncangan besar, pengikut-pengikutnya akan mengamuk dan Kaisar sendiri pun akan marah kepada kita. Jadinya kita malahan tidak mendapatkan apaapa."
"Cong-koan memang lebih cermat dari aku yang bodoh ini. yah, yang penting memang kita harus berhasil meyakinkan Sribaginda agar jangan terlalu mempercayai Ni Keng Giau. Menyenangkan sekali kalau melihat dia terjungkal dari kedudukannya. Setelah itu, apakah Cong-koan yang akan menggantikannya sebagai Panglima Tertinggi?"
"Kalau bukan aku, coba pikir, siapa lagi yang pantas?"
Kim Seng Pa ter tawa terkekeh.
"Tetapi jangan bocor dulu pembicaraan ini. Kalau aku kelak mendapat jabatan itu, masa aku takkan memberi rejeki besar kepadamu?"
"Baik. Besok dinihari aku akan berangkat dengan kuda yang tercepat larinya,"
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Sat Siau Kun sambil mengisap pipa tembakaunya dan menghembuskan asapnya.
Kedele Maut Karya Khu Lung Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id