Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 3


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 3



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Setelah berkata demikian, tangan kirinya tiba-tiba bergerak.

   Sifat biji sawo lain dengan senjata bidik yang terbuat dari bahan logam.

   Pada malam hari, sama sekali tidak nampak.

   Tiba-tiba saja seperti hujan lebat biji-biji sawo Gagak Seta menyerang dengan berbondongan.

   Bukan main kagetnya si nenek.

   Untunglah, dia pun seorang pendekar wanita tangguh.

   Kepandaiannya barangkali hanya setingkat di bawah gagak Seta.

   Maka begitu melihat bahaya, dengan berbatuk-batuk ia melompat tinggi ke udara.

   Tangannya berserabutan kalang kabut.

   Setelah berjuang mati-matian, ia dapat turun kembali ke tanah dengan selamat.

   "Bagus! Bagus! Kau pun tidak menyia-nyiakan kasih sayang Guru. Hanya saja kalau penyakitku kumat, belum tentu kau bisa berhasil menyelamatkan diri."

   Sirtupelaheli bergidik.

   Ucapan Gagak Seta bukan omong kosong belaka.

   Kalau bermaksud jahat benar- benar, sewaktu tubuhnya melayang turun, dia bisa kena serang kembali.

   Rasanya sekalipun mempunyai sayap, belum tentu bisa lolos.

   Terlebih-lebih apabila kain pembebat mata tiba-tiba dibukanya.

   Bisa dibayangkan betapa bertambah berbahaya.

   Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia sadar tidak boleh menyia-nyiakan suatu kesempatan bagus.

   Mumpung Gagak Seta masih membebat kedua matanya, cepat-cepat ia menyerang.

   Dan dengan suatu kecepatan luar biasa, tongkatnya bergerak menyabet pundak.

   Inilah suatu serangan tak terduga.

   Tetapi seumpama kedua mata Gagak Seta tidak tertutup, betapa cepat Sirtupelaheli tidak akan seberapa me-nyukarkan pendekar besar itu.

   Sebaliknya, kini kedua matanya terbebat, la hanya mengandal kepada suara sambaran angin.

   Itulah sebabnya tak berkesempatan lagi ia mengelakkan serangan mendadak itu.

   Tiba-tiba pundaknya kena terpukul miring.

   Dengan mengaduh, ia terhuyung mundur beberapa langkah.

   Melihat hal itu, Sangaji kaget bercampur girang.

   Itulah disebabkan ilmu saktinya yang tinggi.

   Pada waktu itu, Sangaji sudah menduduki suatu tingkat sangat tinggi dalam ilmu silat.

   Selain pengalamannya bertambah, ia pun mewarisi salah satu ilmu sakti warisan Pangeran Semono.

   Dengan sekali melihat, ia bisa menduga bahkan meramalkan pukulan-pukulan kedua belah pihak yang bakal mendatang.

   Maka begitu melihat limbungnya Gagak Seta tahulah dia, bahwa gurunya sedang melakukan suatu tipu.

   Pikirnya di dalam hati, Guru membiarkan dirinya kena pukulan, la mundur terhuyung beberapa langkah.

   Sebenarnya dengan diam-diam, ia sedang mengumpulkan senjata rahasia Sirtupelaheli, yang berada dalam lengan bajunya.

   Kalau ia menimpuk, Sirtupelaheli pasti akan mundur ke kiri.

   Pada saat itu, guru pasti membabatkan tongkatnya.

   Dan karena segan terhadap tongkat guru, Sirtupelaheli pasti akan mundur lagi ke kiri.

   Setelah dua kali mundur, tak dapat lagi ia mundur untuk yang ketiga kalinya.

   Inilah suatu kesempatan bagus bagi Guru, untuk mengerahkan segenap himpunan tenaga saktinya.

   Dengan tenaga sakti itu, Guru akan menggebah senjata rahasia Sirtupelaheli yang menempel pada tongkatnya.

   Meskipun belum tentu bisa membinasakan Sirtupelaheli, tetapi setidak-tidaknya akan bisa melukai berat.

   Ah, Guru benar-benar cerdik! Apa yang diduga, ternyata benar belaka.

   Tiba-tiba terlihatlah berkeredipnya senjata rahasia Sirtupelaheli menyerang majikannya.

   Dan seperti dugaan Sangaji, Sirtupelaheli mundur ke kiri.

   Dan pada saat itu, Gagak Seta membabatkan tongkatnya.

   Diluar dugaan, tongkat itu mengenai pundak.

   "Ih!"

   Sangaji terkejut. Mestinya dia bisa mundur ke kiri sekali lagi. Tapi mengapa pundaknya sudah kena? Celaka! Dia pun membalas tipu dengan tipu pula."

   Sesudah mengaduh kesakitan, Sirtupelaheli mundur ke kiri.

   la sengaja menyakiti diri dengan membiarkan kena babatan tongkat untuk memancing Gagak Seta mendekati.

   Dan mendekati dirinya, berarti pula mendekati tanah beracun.

   Pancingannya berhasil.

   Karena perhitungan Gagak Seta agak meleset, ia lantas melom- pat menubruk.

   Ini disebabkan, babatan tongkatnya sudah mengenai sasaran di luar perhitungan.

   Dengan demikian tidak perlu ia menimpukkan senjata rahasia Sirtupelaheli yang menempel pada tongkatnya.

   Justru inilah yang dikehendaki Sirtupelaheli.

   Coba dia tadi mengelakkan babatan tongkat, pastilah dia bakal diserang senjata rahasianya sendiri yang menempel pada tongkat Gagak Seta.

   Cepat ia mundur.

   Pada saat itu Gagak Seta menubruk.

   Tubuhnya melayang dan tongkatnya menyambar.

   Mendadak terdengarlah suatu teriakan nyaring.

   "Awas! Tanah dibawah beracun!"

   Gagak Seta kaget.

   Inilah tipu Sirtupelaheli yang dapat ditangkap Sangaji.

   Begitu melihat Gagak Seta menubruk ia sudah mengeluh.

   Pada detik itu, belasan senjata rahasia menyambar tubuh Gagak Seta.

   Hebat! Hebatlah Nenek Sirtupelaheli.

   Sebenarnya dialah tadi yang terancam bakal kena serangan senjata rahasia.

   Tak tahunya, Gagak Seta kini justru terancam bahaya.

   Inilah berkat kecerdasan otaknya.

   Gerak-geriknya sukar diduga seperti peringatan Titisari.

   Tubuh Gagak Seta pada saat itu berada di tengah udara.

   Tiada kesempatan lagi untuk menghindari atau mundur dengan jungkir-balik.

   Makiumlah, ia berada dalam gerakan menubruk.

   Betapa mungkin bisa mundur berjumpalitan.

   Dan tanah beracun dibawahnya mengancam jiwanya.

   Sekali ini, Gagak Seta benar-benar berada dalam saat- saat tak berdaya.

   Dia dapat menyapu runtuh belasan senjata rahasia yang menyerang dirinya.

   Tetapi untuk mengelakkan tanah yang berada dibawahnya tidak mungkin lagi.

   Tiba-tiba pada saat kakinya hendak meraba tanah, suatu kesiur angin dahsyat mengangkat tubuhnya berbalik tinggi ke udara.

   Dan oleh pertolongan angin itu, dia bisa berjungkir-balik dan hinggap di atas batu yang berada di luar tanah beracun.

   Gagak Seta bergusar bercampur kaget, la bergusar, karena tak mengira bahwa saudara seperguruannya benar-benar menghendaki nyawanya.

   Sedangkan dia sendiri, meskipun sudah membebat kedua matanya tetapi untuk membinasakan Sirtupelaheli dengan sungguh-sungguhmasih belum sampai hati.

   Sebaliknya ia kaget, karena telah memperoleh suatu pertolongan dari seseorang yang berkepandaian sangat tinggi.

   Malahan, mungkin sekali kepandaian si penolong berada diatasnya.

   "Hebat sungguh kepandaian orang ini. Sudah lama dia menonton, namun aku tidak mengetahui. Sekiranya ilmu kepandaiannya tidak berada diatasku, mustahil dia luput dari pengamatanku,"

   Pikirnya di dalam hati.

   Tak terasa keringat dingin membasahi sekujur dahinya.

   Maklumlah, selamanya ia tak pernah gentar menghadapi siapa saja.

   Pada zaman itu, pendekar tingkat wahid adalah Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati, Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim, Kebo Bangah dan Pangeran Sambernyawa.

   Ilmu kepandaian mereka setataran dengan ilmu kepandaiannya.

   Tiga puluh tahun yang lalu, mereka pernah mengadu kepandaian.

   Masing-masing memiliki keunggulannya sendiri.

   Tiada yang menang maupun yang kalah.

   Sebaliknya, kali ini adalah lain.

   Kepandaian si penolong benar-benar berada diatasnya.

   Tak mengherankan, hatinya menjadi ciut.

   "Baru sepuluh tahunan aku menyekap diri. Tak kusangka, dunia melahirkan seorang tokoh lain yang melebihi diriku. Benar-benar tulangku sudah "keropos!"

   Sekarang, baik Gagak Seta maupun Sirtupelaheli telah menderita luka pada pundaknya masing-masing.

   Meskipun tidak berat, betapa pun juga mengganggu ketegarannya.

   Setelah berbatuk-batuk sambil mengenakan topengnya kembali, Sirtupelaheli berputar Ke arah tempat persembunyian Sangaji.

   "Siapakah kau, Tuan yang berani mengacau kegembiraanku? Kalau kau seorang jantan, nah, muncullah dihadapanku,"

   Bentaknya.

   - Mendengar teguran Sirtupelaheli, Sangaji segera hendak menjawab.

   Tiba-tiba ia mendengar teriakan menyayat hati.

   Nanar ia menoleh dan melihat Fatimah rebah terkapar di atas tanah.

   Tiga batang senjata rahasia Sirtupelaheli menancap di dadanya.

   Inilah kejadian diluar dugaan dan terjadi dengan sangat cepat.

   Rupanya Sirtupelaheli mendongkol, karena teriakan peringatan Fatimah tadi kepada Gagak Seta agar berwaspada terhadap tanah beracun.

   Inilah yang membuat rencananya buyar.

   Coba Fatimah tidak berteriak memperingatkan pastilah Gagak Seta bakal mampus keracunan di atas tanah jebakan.

   Itulah sebabnya selagi mulutnya membentak ke arah Sangaji, tangannya bekerja.

   Tiga batang senjata rahasianya ditimpukkan ke arah dada Fatimah.

   Benar-benar sukar diduga gerak-gerik Sirtupelaheli.

   Pantaslah, Gagak Seta yang biasanya berwatak terbuka, tak berani gegabah menghadapi Sirtupelaheli yang ternyata adalah adik seperguruannya.

   Sangaji terkejut bukan kepalang.

   Mimpi pun tidak, bahwa nenek itu bisa berbuat sekejam itu.

   Tanpa berpikir panjang lagi, ia terus melesat tinggi ke udara.

   Sirtupelaheli menimpukkan dua batang senjata rahasianya lagi.

   Dengan mengibaskan tangan, kedua senjata rahasia itu dapat tersapu runtuh.

   Kemudian dengan hati pilu, Sangaji mendarat dan memeluk tubuh Fatimah.

   Ia tak gentar menghadapi racun betapa jahat pun, karena dalam dirinya mengalir getah sakti pohon Dewadaru.

   Dalam keadaan lupa-lupa ingat, Fatimah menyenakkan mata.

   Begitu melihat wajah Sangaji, matanya terbelalak.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Serunya parau.

   "Eh kau Tolol! Benarkah engkau si Tolol?"

   "Benar aku,"

   Sahut Sangaji dengan hati terharu.

   Seperti diketahui, Fatimah selalu memanggilnya dengan si Tolol, la pernah ditolong, tatkala kena siksaan Keyong Buntet dan Mahesasura.

   Kali ini pun demikian.

   Tak mengherankan, ia lega luar biasa.

   Justru demikian, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

   Sangaji tak berani mencabut tiga batang senjata rahasia Sirtupelaheli yang menancap pada dada Fatimah.

   Dengan sekali melihat tahulah dia, bahwa luka yang diderita Fatimah sangat berat.

   Satu-satunya jalan pertolongan pertama hanya menyekat aliran darah dan melindungi tempat-tempat penting dari bahaya racun.

   "Benarkah engkau?"

   Terdengar Gagak Seta berkata. Kedua matanya masih terbebat kain. Namun pendengarannya mengenal suara Sangaji.

   "Benar aku,"

   Sahut Sangaji.

   Mendengar tanya jawab itu, Sirtupelaheli berbatuk- batuk.

   Selagi hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengarlah suara gemerincing di kejauhan.

   Kemudian disusul dengan kata-kata mantram.

   Aneh, suara itu.

   Perlahan, tapi berpengaruh hebat dan merdu.

   Tiba-tiba saja bisa menusuk telinga.

   Mendengar suara itu, jantung Sangaji, Gagak Seta dan Sirtupelaheli sekonyong-konyong terlonjak-lonjak seolah- olah mendengar ledakan halilintar yang dahsyat luar biasa.

   Mereka bertiga adalah pendekar-pendekar yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi pada zaman itu.

   Masing-masing ilmunya sudah mencapai tataran sempur- na.

   Segala kekotoran yang datang dari luar tidak akan dapat merasuk.

   Namun heran! Suara mantram itu, dapat menggetarkan jantung.

   Di antara ketiga pendekar itu, Sangajilah yang paling terkejut.

   Selamanya ia yakin, bahwa dialah manusia satu- satunya di jagad ini yang sudah memiliki ilmu warisan tertinggi.

   Ilmu saktinya memang lebih tinggi daripada ilmu sakti Gagak Seta.

   Kyai Kasan Kesambi dan rekan- rekannya yang lain pun berada di bawahnya.

   Walaupun demikian, begitu mendengar bunyi mantram yang aneh mendadak saja dirinya terasa seperti terombang- ambingkan di angkasa.

   Itulah suatu kejadian yang benar- benar luar biasa.

   "Ting! Ting! Ting!"

   Terdengar bunyi suara yang dibarengi dengan bunyi mantram.

   Di detik lain, suara itu sudah terdengar mendekat.

   Setiap detik bisa berpindah tempat.

   Inilah suatu perpindahan cepat di luar kemampuan manusia.

   Selagi demikian, suara mantram itu kini berubah nada.

   Kalau tadi begitu kaku, sekarang dengan berlagu.

   Enak, nyaman, merdu dan lembut.

   Dalam cuaca malam dan hembusan angin, alangkah menyedapkan.

   Hanya anehnya iramanya seakan-akan kuasa membetot28) nyawa.

   Sangaji segera sadar, bahwa ia lagi menghadapi seorang manusia luar biasa.

   Entah kawan entah lawan, dia belum tahu.

   Dengan memeluk Fatimah, ia berdiri tegak.

   Bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

   Pada saat itu terdengarlah suara berbareng.

   Auuum...! Dan dengan didahului suara dua batang pedang dibenturkan, muncullah tiga orang dari bawah alang- alang.

   Dua diantaranya bertubuh jangkung dan yang berada di sebelah kiri seorang wanita.

   Mereka berdiri dengan membelakangi rembulan, sehingga wajah mereka tidak nampak jelas.

   Namun pakaian yang dikena- kan cukup jelas, karena serba putih dengan potongan jubah panjang.

   Tatkala itu, Gagak Seta sudah melepaskan bebatan kain yang menutupi kedua matanya.

   Begitu melihat mereka, ia lantas tertawa panjang.

   "Ah, kukira siapa,"

   Katanya.

   "Bukankah kalian yang di sebut tiga Pedande undangan Sultan Sepuh?"

   "Benar dan bukan,"

   Sahut yang berada di tengah.

   "Benar dan bukan bagaimana? Didepanku kau jangan berlagak main teka-teki tak keruan,"

   Bentak Gagak Seta sambil tertawa panjang.

   "Dahulu memang kami mengabdi kepada Sultan Sepuh. Sekarang kami adalah pengawal pribadi Sultan Hamengku Buwono III."

   "Eh, bunglon!"

   Ejek Gagak Seta.

   "Sultan Hamengku Buwono III sudah wafat."

   "Karena itu, kami kini mengabdi kepada Pangeran Jarot,"

   Kata yang tengah dengan suara ayem29.) Mendengar jawaban itu, Gagak Seta tertawa terkekeh- kekeh.

   "Aku ini terkenal sebagai manusia edan-edanan. Tak tahunya, kalian lebih gendeng dari-padaku. Bagaimana kalian yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bisa berpindah majikan sampai tiga kali dalam waktu kurang dari sepuluh tahun? Bukankah benar-benar bunglon?"

   "Benar dan bukan."

   "Benar dan bukan bagaimana?"

   "Orang yang bisa melihat gelagat, dialah laki-laki sejati,"

   Jawabnya. Gagak Seta hendak membuka mulutnya kembali, tetapi tiba-tiba mereka mengarah kepada Sirtupelaheli.

   "Puteri! Kau adalah bekas kekasih raja. Tapi raja yang lama sudah wafat. Karena itu, wajiblah engkau bersembah terhadap kami seumpama kami mewakili raja baru."

   "Aku bukan seorang anggota istana. Kau siapa Tuan?"

   Sirtupelaheli berlagak pilon. Mendengar perkataan Sirtupelaheli, mereka saling memandang sebentar. Kemudian berkatalah yang berada di kanan.

   "Kalau kau bukan anggota istana seperti yang dikabarkan kepada kami, nah, pergilah dari sini. Pergi! Pergi!"

   Sirtupelaheli berbatuk-batuk riuh.

   "Selamanya belum pernah aku dihina orang. Raja dari tiga zaman memperlakukan aku dengan hormat. Hm, hm! Sebenarnya apa, sih, kedudukan kalian dalam istana?"

   Tiba-tiba ketiga orang itu bergerak dengan serentak.

   Mereka mendekati dan tangan kirinya mencoba mencengkeram.

   Buru-buru Sirtupelaheli menyapu dengan tongkatnya.

   Entah bagaimana cara mereka menggeser kaki, tahu-tahu kedudukan mereka sudah berubah.

   Tongkat Sirtupelaheli yang berbahaya ternyata hanya menyambar udara kosong.

   Kaget Sirtupelaheli memutar badan.

   Ternyata mereka sudah berada dibelakangnya dan mencengkeram.

   Dengan sekali gerak, ketiga tangan menerkam tubuh Sirtupelaheli dan dilontarkan tinggi ke udara.

   Sangaji terkejut bukan main.

   Sirtupelaheli adalah adik seperguruan Gagak Seta.

   Ilmu kepandaiannya tidak usah kalah ditandingkan dengan pendekar-pendekar kelas satu.

   Andaikata dia dikerubut tiga jago yang paling hebat, belum tentu kena dirobohkan dalam satu gebrakan.

   Tidak demikian halnya kali ini.

   Gerakan kaki ketiga orang itu sangat aneh bin ajaib.

   Dengan segebrakan saja, mereka dapat melontarkan Sirtupelaheli tanpa daya.

   "Ih!"

   Sangaji terperanjat.

   "Bukankah itu..."

   La ragu-ragu.

   la seperti melihat gerakan demikian.

   Tapi di mana? Di mana? Di mana? Tiba-tiba suatu gambaran berkelebat didalam benaknya.

   Bukankah gerakan mereka senyawa dengan kelompok-kelompok ukiran keris Kyai Tunggulmanik? Hanya anehnya, bagaimana bisa dimainkan oleh tiga orang yang bergerak begitu serasi, la berbimbang-bimbang.

   Sebab, kadang-kadang bukan begitu.

   Ataukah karena mereka sudah menguasai intinya? Pada saat itu mendadak saja ia membutuhkan hadirnya Titisari.

   Z4) Bende Mataram

   Jilid 11 mulai halaman 114 -124 !)Bende Mataram

   Jilid 11, halaman 114-124

   "') Kanjeng Raja = Sultan Hamengku Buwono 111, ayah Pangeran Diponegoro ') Pendekar Kebo Bangah **) membetot = menjebol, menarik !) ayem = acuh tak acuh. !) Baca Bende Mataram mulai

   Jilid 7 SEMBILAN JURUS PUKULAN SAKTI WAKTU TERDENGAR suara gemerincing benda logam yang ketiga kalinya, Fatimah tersadar dari pingsannya.

   Ia menyenakkan mata.

   Dadanya terasa sakit luar biasa seperti kena tusuk dari luar.

   Namun karena berada dalam pelukan Sangaji, hatinya terhibur.

   Dan kembali ia memejamkan matanya.

   Sangaji kini dapat melihat wajah mereka.

   Yang bertubuh jangkung memiliki hidung bengkok seperti patuk elang.

   Yang lainnya berambut keriting dan berjenggot tebal.

   Sedang yang wanita, bermata tajam.

   Umurnya paling tinggi dua puluh empat tahun.

   "Guru menyebut mereka dengan Pedande. Apakah mereka pendeta dari Bali?"

   Sekarang ia memperhatikan senjata yang dibawanya.

   Yang laki-laki menggenggam senjata mirip tongkat tetapi agak tipis.

   Tongkat itu nampaknya bersambung-sambung seperti berengsel.

   Setiap digerakkan berbunyi gemerin- cing.

   Sedang yang wanita bersenjata logam bulat seakan-akan piring keemas-emasan.

   Jumlahnya dua.

   Setiap kali hendak bergerak, kedua piringnya digeserkan sehingga bersuara nyaring nyeri.

   "Gagak Seta! Bukankah engkau mengenal kami?"

   Tegur laki-laki yang berhidung bengkok. Gagak Seta tertawa melalui hidungnya.

   "Tentu. Mengapa tidak? Bukankah kalian orang-orang yang datang dari Pegunungan Kapakisan?"

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar. Nah, sesudah kau mengenal anak-keturunan Empu Kapakisan yang termasyur semenjak zaman Majapahit, mengapa tidak cepat-cepat berlutut?"

   Mendengar ucapannya, Gagak Seta tertawa terbahak- bahak.

   "Kalian merasa diri apa sampai berani berbicara begitu terhadap aku? Biar pun kalian keturunan malaikat, apakah dasarnya sampai aku si Jembel harus bertekuk lutut? Hm, hm! Kalian jangan berlagak yang bukan- bukan di depanku. Aku dan kalian seperti telaga dan laut. Masing-masing mempunyai jalannya sendiri."

   Empu Kapakisan hidup pada zaman Majapahit.

   Dia saudara seperguruan Mapatih Gajah Mada.

   Tatkala Mapatih Gajah Mada menyerbu Pulau Bali, Empu Kapakisan membantunya, sehingga Bali dapat dikuasai.

   Itulah sebabnya, dia dihormati sebagai pahlawan negara dan sahabat Mapatih Gajah Mada yang berilmu sangat tinggi.

   "Guru!"

   Sangaji menungkas.

   "Apakah Guru kenal mereka? Mengingat ilmu kepandaiannya, apa sebab Guru tak pernah menyinggung-nyinggung nama mereka!"

   "Hm! Terhadap manusia-manusia bunglon yang tidak berwatak, gurumu tidak mempunyai waktu untuk mengingat-ingat namanya,"

   Sahut Gagak Seta.

   "Kalau kau ingin mengenal namanya, nah, tanyakanlah sendiri!"

   Sangaji memutar pandangnya.

   Orang yang berhidung bengkok lantas mengeluarkan dua potong logam dari dalam sakunya.

   Logam itu bukan baja, bukan pula besi.

   Tatkala digeser, mendadak berbunyi.

   Ting! Ting! Ting! Suara inilah tadi yang mengejutkan jantung Sangaji, Gagak Seta dan Sirtupelaheli.

   Dalam jarak dekat aung dan getarannya terasa lebih hebat.

   "Anak keturunan Empu Kapakisan mesti mempunyai tanda ini,"

   Kata orang berhidung bengkok.

   "Inilah pusaka turun-temurun."

   Sangaji mengamati-amati benda logam itu. Tatkala orang itu merapatkan dua potongan logam dikedua tangannya, hatinya kaget sampai berjingkrak. Itulah sebuah bende yang terbelah menjadi dua.

   "Kami berasal dari Pulau Lombok. Tahukan kau nama ibukota Lombok?"

   Kata si Hidung bengkok lagi.

   "Itulah Mataram. Karena itu, benda ini kami namakan Bende Mataram."

   Tak terasa Sangaji memutar pandang kepada Gagak Seta. Gagak Seta demikian pula. Mereka saling memandang untuk memperoleh pertimbangan. Berkatalah si Hidung bengkok lagi.

   "Kami bertiga bernama Mohe, Jahnawi dan Jinawi. Utusan suci untuk membuat perdamaian dunia."

   "Siapa yang bernama Mohe?"

   "Aku,"

   Sahut yang berhidung bengkok.

   "Mohe! Agaknya kau serumpun dengan jahe,"

   Kata Gagak Seta dengan tertawa terbahak-bahak. Mohe menggeram. Kedua matanya berputar. Terang sekali hatinya bergusar. Namun ia berusaha menyabarkan diri.

   "Semenjak lama padepokan Kapakisan kehilangan tiga pusaka. Sebuah jala, sebuah bende dan sebuah keris. Karena itu, anak keturunannya wajib menemukan ketiga pusaka tersebut. Kami mendengar berada di pusat Pulau Jawa. Itulah sebabnya kami sudi menjadi hamba raja Jawa. Nah, tahulah kau sekarangbahwa tujuan kami adalah hendak mencari ketiga pusaka leluhur kami. Jadi bukan berangan-angan memperoleh pangkat-derajat atau kekayaan orang-orang Jawa. Karena itu, istilah bunglon sungguh kurang tepat!"

   "Benar! Memang bukan bunglon, tetapi cuma bunglon perantauan,"

   Sahut Gagak Seta cepat. Terang sekali mulutnya yang jahil hendak membakar hati mereka.

   "Hm.... Tiap orang memang bisa mengaku sebagai anak- keturunan Empu Kapakisan. Tetapi Kapakisan yang mana? Di Jawa Timur ada Kapakisan. Di Bali ada Kapakisan. Sekarang, di Lombok kalian menyebut-nyebut Kapakisan pula. Hm, hm! Aku si tua bangka paling benci terhadap mulut-mulut bunglon."

   "Tuan!"

   Bentak Jahnawi yang semenjak tadi berdiam diri.

   "Di sini bukan sebuah surau tempat mengajarkan ilmu dan pengetahuan hidup. Kapakisan tetap Kapakisan. Biarpun berada di Pulau Bali atau Pulau Jawa atau di Pulau Lombok. Kapakisan tetap Kapakisan. Sebab nama Kapakisan hanya satu."

   "Benar, benar! Sinting memang tetap sinting!"

   Bentak Gagak Seta pula.

   "Kami mendengar nama Gagak Seta dari pembicaraan orang,"

   Sambung Jahnawi si wanita.

   "Dari mulut orang, kami mendengar kabar, bahwa engkau pernah mempunyai seorang murid yang secara kebetulan memiliki pusaka-pusaka Kapakisan tersebut. Benarkah itu?"

   "Hm, hm! Kalau benar bagaimana? Kalau tidak kalian mau apa?"

   Sahut Gagak Seta pendek.

   Pendekar ini lantas bersiaga.

   Teringatlah dia, bahwa ketiga orang itu dapat melontarkan Sirtupelaheli dalam satu gebrakan.

   Itulah suatu ilmu kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah.

   Ilmu kepandaiannya sendiri memang masih berada di atas Sirtupelaheli.

   Namun untuk dapat melemparkan Sirtupelaheli dalam satu gebrakan, rasanya tidak mungkin.

   Oleh pertimbangan itu, ia merasa diri belum dapat melawan mereka apalagi berangan-angan untuk menang.

   Rasanya belum mendapat pegangan.

   Kecuali apabila dia bisa menimpali gerakan-gerkan Sangaji yang aneh pula seperti yang pernah disaksikan tatkala bertempur melawan Kebo Bangah di padepokan Gunung Damar.

   Ketiga orang itu lantas saja menjadi habis kesabarannya.

   Mohe mengibaskan tangan kirinya.

   Jahnawi dan Jinawi segera mengerti maksud kibasannya.

   Dengan serentak ketiga orang itu bergerak.

   Mereka melompat tinggi dan tahu-tahu sudah berada di depan Sirtupelaheli.

   Diserang dengan mendadak Sirtupelaheli tidak tinggal diam.

   Segera ia menimpukkan enam senjata rahasianya dengan sekaligus.

   Tetapi dengan mudah mereka dapat menyelamatkan diri.

   Mohe merangsak dan mencoba mencengkeram leher Sirtupelaheli.

   Dengan sebat Sirtupelaheli membabat tongkatnya.

   Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja Sirtupelaheli kena terangkat tinggi-tinggi dan punggungnya kena dicengkeram Jahnawi dan Jinawi dengan berbareng.

   Kena cengkeraman itu, Sirtupelaheli habis tenaganya.

   Tubuhnya lantas kena diputar-putarkan pula.

   Mohe lantas menghampiri dan melumpuhkan jalan darahnya dengan pukulan tujuh kali.

   Menyaksikan pertarungan segebrakan itu, berpikirlah Sangaji.

   Melihat gerakannya, tidak terlalu luar biasa.

   Mereka hanya bisa bergerak dengan lancar, licin dan serasi.

   Yang luar biasa adalah cara memancing Nenek Sirtupelaheli.

   Begitu kena terpancing, dengan kerja sama yang rapih kedua rekannya lantas menerkam punggung.

   Meskipun Nenek Sirtupelaheli kena diruntuhkan lagi dalam segebrakan, namun apabila diadu dengan perseorangan, tidak bakal kalah.

   Aku yakin, ilmu kepandaian mereka perorangan tidak akan melebihi Nenek Sirtupelaheli.

   Dalam pada itu, Mohe telah melemparkan tubuh Sirtupelaheli kepada Gagak Seta.

   "Tuan, meskipun Tuan akan membungkam seribu bahasa, namun kami tahudia adalah adik seperguruanmu. Menurut peraturan tata tertib dan peradaban dimana saja, seorang murid tidak boleh mengkhianati perguruannya. Tetapi dia cuma menuruti hawa nafsunya belaka. Lantas meninggalkan perguruan untuk mengabdikan nafsunya kepada seseorang. Eh, tahu-tahu dia meracuninya pula. Lantas pindah majikan berbareng menjual jasa-jasa baik. Kutungkan kepalanya!"

   Gagak Seta terkejut."

   Bukan tentang keputusan untuk mengutungkan kepala adik seperguruannya.

   Tetapi, bahwasanya mereka tahu belaka riwayat perjalanan hidup adiknya seperguruan itu begitu jelas seperti membaca buku.

   Namun ia tak sudi kalah gertak.

   Sahutnya setelah tertawa panjang.

   "Maaf! Perguruan kami tidak mempunyai peraturan begitu. Sebab orang ini lahir tanpa ada yang memerintah. Juga mati tiada yang menyuruh. Dia bebas seperti awan bergerak di atas kepala kita. Seumpama benar keteranganmu, itulah urusan rumah tangga kami. Siapa kesudian minta jasa baikmu."

   "Tapi mulai malam ini kami perintahkan kepadamu. Semua tata tertib perguruan dan peradaban baru, harus tunduk kepada peraturan kami. Kau dengar?"

   Mendengar kata-katanya, Gagak Seta tercengang sejenak. Kemudian tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk-batuk. Katanya mengguruh.

   "Hai! Semenjak kapan otakmu sinting tak keruan? Kau sadar akan kata- katamu itu?"

   "Mengapa tidak?"

   Bentak Mohe.

   "Bukankah kami sudah menyatakan, bahwa kami adalah utusan suci untuk perdamaian dunia? Kedamaian bakal terjadi, apabila tiap orang mengerti akan tata tertib. Kedamaian bakal terjadi, manakala tiap insan sadar akan peradabannya."

   "Eh, kau ngoceh seperti burung!"

   Potong Gagak Seta.

   "Aku Gagak Seta paling benci kepada mulut besar."

   Mohe tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kau benar-benar rewel! Aneh dan lucu! Semenjak tadi kami tahu, bahwa dia berusaha hendak mengambil nyawamu dengan jalan meracuni tanah. Mengapa kau tak mau mengambil nyawanya? Benar-benar aku tak mengerti!"

   Sangaji tercekat. Teringat akan bunyi ringan seringan jatuhnya selembar daun di atas tanah tadi, hatinya terasa meringkas. 'Jadi benar-benar bunyi langkah manusia,"

   Pikirnya.

   "Benar-benar tinggi kepandaiannya. Syukur, aku tadi sudah berada di dalam persembunyiannya. Kalau tidak, aku pun bakal kena intip. Ah, kusangka tadi langkah Daniswara...."

   Dalam pada itu terdengar Gagak Seta membentak.

   "Aku Gagak Seta entah sudah berapa banyak membunuh orang karena kesalahan tangan. Tetapi aku tak bakal membunuh saudara seperguruan betapa jahat pun."

   "Baik! Sungguh baik hatimu!"

   Tungkas Mohe.

   "Tapi kau mesti membunuhnya. Kalau kau menolak, artinya melanggar perintah."

   "Perintah siapa?"

   "Perintah kami. Dan barang siapa berani melanggar perintah, kami akan mengambil nyawanya,"

   Sahut Mohe.

   "Karena kau kini ternyata berani melanggar perintah, maka kami akan mengambil nyawamu dulu. Kemudian baru adikmu."

   Gusar dan geli berkecamuk dalam hati Gagak Seta. Saking tak betahnya, dia lantas tertawa terbahak-bahak. Sejenak kemudian berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.

   "Eh, benar-benar gendeng! Semenjak dahulu sampai sekarang, aku baru mendengar peraturan edan ini. Coba jawablah! Siapa yang memberi kuasa kepadamu untuk melakukan kebajikan suci mendamaikan dunia? Siapa yang memberi hak padamu untuk melakukan hukum mengambil nyawa."

   "Tata tertib dan peradaban Kapakisan,"

   Sahut Mohe. Gagak Seta merasa seperti lagi berhadapan dengan rombongan manusia edan. Namun mengingat kepandaian mereka, tak berani ia berlaku sembrono. Meskipun demikian, tak dapat ia menguasai kemendongkolannya.

   "Baiklah, taruh kata kalian ini utusan suci pembuat perdamaian. Tetapi mengapa belum-belum sudah menghukum orang dengan mengambil nyawa?"

   "Kami tidak hanya membunuh. Kalau perlu membakar kota. Apa bedanya?"

   "Hm, jadi begitulah cara kalian hendak menegakkan perdamaian. Bagus, bagus! Aku si orang jembel paling muak terhadap peraturan-peraturan kosong. Kalian mau bikin apa terhadapku?"

   "Gagak Seta! Kau berani melawan kami?"

   Bentak Mohe dengan mendelik.

   Gagak Seta tidak segera menjawab.

   Ia tertawa lagi panjang-panjang untuk memuntahkan perasaan mendongkolnya.

   Sangaji sendiri yang berwatak sabar luar biasa, pada saat itu merasa jijik terhadap mereka.

   Jadi mereka inilah yang membakar Kota Waringin? Sadar, bahwa gurunya bakal menghadapi bencana, ia meletakkan tubuh Fatimah hati-hati di atas tanah.

   Kemudian berdiri tegak dengan meraba pedang Sokayana.

   "Hai! Kau pun berani melawan kami?"

   Bentak Mohe kepada Sangaji.

   "Hei! Kau boleh main gila di pulaumu sendiri, tetapi jangan mencoba-coba di sini,"

   Kata Gagak Seta.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tanpa sebab tanpa perkara, kalian menantang aku. Biar iblis pun akan mengkentuti mulutmu yang kotor."

   "Binatang!"

   Bentak Mohe.

   "Kesalahanmu sudah terang. Yang pertama tidak mau memberi keterangan tentang muridmu yang dikabarkan mewarisi pusaka- pusaka kami. Dan yang kedua. melanggar dan membangkang perintah kami untuk mengutungi kepala adik seperguruanmu. Manakah yang kurang terang?"

   Gagak Seta mendongak dan tertawa nyaring luar biasa sampai bumi tergetar.

   "Aku Gagak Seta, selamanya hidup malang melintang seorang diri. Aku Gagak Seta, selamanya bekerja dengan cara seorang laki-laki. Kau boleh mencincang aku, membunuh aku tapi kau tak bisa memaksa aku untuk membunuh salah seorang saudara seperguruanku. Apalagi dia kini dalam keadaan tak berdaya. Gagak Seta selama hidupnya belum pernah membunuh seorang yang tidak bisa melawan lagi."

   "Bagus! Benar-benar kau berani membangkang perintah kami,"

   Teriak Mohe.

   "Meskipun Gagak Seta seorang jembel, seorang yang tak kebagian pangkat dan derajat, namun setidak- tidaknya Gagak Seta masih sadar akan tujuan hidup, sebisa-bisanya melakukan perbuatan baik dan menyingkiri segala kejahatan. Demi menjunjung peradaban manusia, Gagak Seta bersedia runtuh di atas tanah. Kepala Gagak Seta boleh jatuh menggelinding di tanah, tapi Gagak Seta tidak akan melakukan perbuatan busuk membunuh adik seperguruan meskipun dia hendak mengambil nyawaku sendiri."

   Sirtupelaheli tidak bisa bergerak, tetapi pen- dengarannya masih terang benderang.

   Begitu mendengar ucapan Gagak Seta yang gagah luar biasa, tak terasa air matanya menetes di atas tanah.

   Sangaji sendiri merasa kagum sekali.

   Memang semenjak dahulu, ia tahu gurunya berwatak ksatria sejati.

   Sepak terjangnya jauh berlainan dengan Kebo Bangah atau mertuanya sendiri.

   Tetapi pada saat itu, kegagahan dan keperwiraan gurunya benar-benar nampak lebih tegas.

   Mohe dan Jahnawi tertawa dengan berbareng.

   "Gila! Gila!"

   Kata mereka. Manusia ini hidup dengan angan- angannya belaka."

   "Dia lagi bermimpi,"

   Jinawi menambahi.

   Sekonyong-konyong dengan membentak keras, mereka menyerang dengan berbareng.

   Gagak Seta segera memutar ilmu tongkatnya yang termasyur untuk melindungi diri.

   Tiga jurus mereka mendesak, namun tidak juga berhasil seperti tatkala merobohkan Sirtupelaheli.

   Sadar bahwa ilmu kepandaian Gagak Seta lebih tinggi daripada Sirtupelaheli, mereka lantas mengeluarkan senjatanya masing-masing.

   Kemudian merangsak dengan berbareng.

   Mohe mengancam batok kepala, sedang Jahnawi menyerang dari samping.

   Cepat luar biasa, Gagak Seta menangkis.

   Traang! Pada detik itu Mohe menggelundung di atas tanah sambil memukul betis.

   Gagak Seta melompat tinggi.

   Di luar dugaan Jinawi yang bersenjata piring logam sudah mendahului melayang ke udara.

   Dengan suara gemerincing, senjatanya yang aneh meng- ancam leher.

   Menghadapi serangan mendadak itu, Gagak Seta mengayunkan tongkatnya.

   Begitu berbentrok, tahu-tahu Jahnawi menggebukkan tongkatnya.

   Mendadak saja, sebelum tongkatnya tiba pada sasaran, suatu tenaga luar biasa telah membetotnya dari belakang.

   Dan tongkatnya kena rampas.

   Inilah kejadian di luar dugaan.

   Hampir berbareng Jahnawi dan Mohe berputar.

   Ternyata yang merampas senjata Jahnawi adalah Sangaji yang tadi tidak begitu dipandang mata.

   Perampasan senjata Jahnawi sendiri, dilakukan Sangaji dengan gerakan yang cepat luar biasa.

   Dengan gusar Mohe dan Jahnawi menyerang dari kiri dan kanan.

   Untuk menyelamatkan diri, Sangaji melompat mundur ke sebelah kiri.

   Diluar dugaan, Jinawi yang kena terpukul balik oleh lontaran tenaga sakti Gagak Sakti, pada deik itu sudah berada dibelakangnya.

   Ia tidak hanya bersenjata piring logam lagi, tetapi tangan kanannya telah mengayunkan senjata rantai yang berkilauan.

   Dan begitu berkelebat, cepat-cepat Sangaji membungkuk.

   Punggungnya kena terhajar.

   Hebat pukulan itu.

   Meskipun Sangaji memiliki tenaga sakti yang tiada keduanya dalam jagad ini, tetapi begitu kena pukulan rantai berkilau matanya lantas berkunang- kunang.

   Kejadian itu membuktikan, bahwa Jinawi memiliki tenaga sakti tak boleh dianggap ringan.

   Untunglah, dalam dirinya mengalir tenaga sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan Getah sakti Dewadaru.

   Sambil melompat ke depan, segera ia menghimpun ketiga tenaga itu.

   Kemudian menenteramkan hatinya.

   Mohe, Jahnawi dan Jinawi yang menamakan diri tiga tusan suci itu, tidak sudi memberi napas kepadanya.

   Segera mereka mengurung dengan rapat.

   Sesudah serang-menyerang beberapa jurus, dengan senjata rampasan di tangan kananSangaji melepaskan pukulan gertakan kepada Mohe.

   Berbareng dengan itu, tangan kirinya menjambret senjata tongkat Jinawi.

   Baru saja ia hendak membetot, mendadak saja Jinawi melepaskan genggamannya sehingga ujung senjatanya membal ke atas dan menghantam pergelangan.

   Seperti diketahui, senjata mereka berbentuk seperti tongkat.

   Tapi agak tipis dan berengsel.

   Itulah sebabnya bisa membal ke atas dan menghantam pergelangan.

   Dan kena hantaman itu, jari tangan Sangaji kesemutan.

   Mau tak mau, terpaksalah ia melepaskan senjata itu yang telah digenggamnya erat-erat.

   Dan begitu terlepas dari - genggaman, Jinawi segera menyambutnya.

   Semenjak memiliki ilmu sakti Kyai Tunggul-manik dan memperoleh pula petunjuk-petunjuk dari Kyai Kasan Kesambi, belum pernah Sangaji memperoleh tandingan.

   Di luar dugaan, dalam menghadapi wanita muda seperti Jinawi, dua kali beruntun ia kena pukulan.

   Pukulan kedua tadi lebih hebat daripada pukulan pertama yang me- ngenai punggung.

   Seumpama dalam dirinya tidak mengalir himpunan tenaga sarwa sakti, pastilah pergelangan tangannya akan patah.

   Sekarangsetelah memperoleh pengalamantak berani lagi ia melayani keras dengan keras.

   Segera ia merubah tata berkelahinya.

   Ia kini membela diri sambil mengamat-amati serangan-serangan mereka bertiga.

   Dilain pihak, ketiga utusan suci itu pun merasa kaget.

   Belum pernah, mereka bertemu lawan seperti Sangaji.

   Tiba-tiba Mohe menundukkan kepalanya dan menyeruduk.

   Inilah serangan yang bertentangan dengan semua ajaran tata berkelahi.

   Menyeruduk dengan bagian tubuh yang terpenting tidak akan diakukan oleh seseorang yang bisa berkelahi.

   Meskipun aneh, Sangaji tak mau masuk perangkap.

   Ia berdiri tegak bagaikan gunung, la mengerti, bahwa serudukan itu pasti hanya digunakan untuk mengelabui lawan.

   Dan serangan susulan yang bakal datang itulah serangan yang benar-benar.

   Dugaannya ternyata benar.

   Tatkala batok kepala Mohe terpisah kira-kira satu kaki dari perutnya, tiba-tiba ia mundur selangkah sambil menggeserkan letak kaki.

   Sekonyong-konyong Jahnawi melompat tinggi dan tatkala tubuhnya melayang turun, ia mencoba duduk di atas ke- pala Sangaji.

   Ini pun serangan yang aneh bin ajaib.

   Buru-buru Sangaji mengegos ke samping.

   Mendadak ia merasa dadanya nyeri.

   Itulah serangan Mohe yang dilepaskan dengan kepala ditundukkan.

   Tetapi Mohe sendiri pun kaget.

   Ia kena terdorong himpunan tenaga sakti Tunggulmanik sampai terhuyung mundur beberapa langkah.

   Ketiga utusan suci itu lantas saja berubah wajahnya.

   Kalau tadi percaya kepada ketangguhan sendiri, kini menjadi pucat.

   Tetapi mereka segera merangsak lagi.

   Selagi Mohe membabat dengan senjatanya, Jahnawi terbang tinggi dan berungkir-balik di udara sampai tiga kali.

   Mau tak mau Sangaji heran menyaksikan cara mereka berkelahi.

   Apa sebab Jahnawi berjungkir-balik sampai tiga kali di udara tanpa alasan? Tetapi sadar bahwa lawannya bisa menyerang di luar dugaan, cepat-cepat ia mengegos ke kiri.

   Mendadak seleret sinar putih berkelebat dan pundaknya kena pukulan senjata Jahnawi.

   Ia terkesiap.

   Itulah pukulan yang sangat aneh.

   Bagaimana cara dia bisa memukul selagi berjungkir-balik? Herannya lagi, apa sebab ia tak berdaya untuk menangkis atau mengelakkan? Pukulan itu sangat hebat.

   Meskipun seluruh tubuhnya dilindungi himpunan tenaga sarwa sakti, rasa sakitnya dapat menggigit sampai ke tulang sungsumnya.

   Kalau bisa, ingin ia mundur.

   Tetapi sekali mengundurkan diri, gurunya pasti dalam bahaya.

   Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi nekat.

   Setelah menarik napas dalam- dalam, ia melompat menghantam dada Jahnawi dengan telapak tangannya.

   Pada detik yang bersamaan, mendadak Mohe yang bersenjata rangkap melompat ke depan sambil memukulkan kedua senjatanya.

   Trang! Sungguh aneh! Himpunan tenaga sakti Sangaji yang dahsyat seumpama dapat merobohkan gunung, lenyap tak keruan perginya, sebelum sadar apa sebabnya, tiba-tiba punggungnya kena hanjar rantai Jinawi.

   Bres! Karena sakit secara wajar kakinya bergerak.

   Sekonyong-konyong selagi hendak mengadakan serangan balasan, pinggangnya terasa sakit luar biasa.

   Itulah tendangan kaki si Brewok Jahnawi yang dikirim dengan mendadak.

   Tetapi kena tenaga tolak himpunan sakti, ia terpental berjungkir-balik.

   Dan saat itu, Mohe berhasil mendaratkan senjatanya di pundak Sangaji lagi.

   Gagak Seta yang berada di pinggir tahu Sangaji dalam kesukaran.

   Berkali-kali ia menyaksikan Sangaji kena pukulan telak.

   Ia sendiri tak dapat membantu, karena mengingat kedudukannya sendiri maupun Sangaji.

   Mereka berdua kini menduduki tingkat teratas.

   Meskipun lawannya berjumlah tiga, namun satu pengucapan.

   Sebaliknya apabila dia turun ke gelanggang, itulah suatu pengeroyokan.

   Sebab ilmu kepandaiannya berbeda dengan ilmu kepandaian Sangaji sekarang.

   Dan apabila peristiwa pengeroyokan itu sampai terdengar diluaran, akan meruntuhkan martabat orang-orang gagah di seluruh tanah air.

   "Anakku! Coba kau minggir! Biar kulawannya lagi...."

   Serunya.

   Sangaji hendak berseru agar gurunya menjauhi atau melarikan diri.

   Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa ia tak boleh memanggil Guru dengan terang-terangan di depan mereka.

   Bukankah gurunya merahasiakan perhubungannya? Pada saat itu, Mohe menghantam dengan senjata engselnya.

   Sangaji segera menangkis dengan senjata rampasannya.

   Trang! Senjata Mohe terlepas dari genggaman.

   Cepat Sangaji melesat tinggi.

   Tangannya menjambret.

   Mendadak bret baju di punggungnya terobek oleh cengkeraman Jinawi.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Goresan kukunya sangat tajam dan pedih.

   Tatkala darahnya keluar, rasa perih menusuk sampai ke jantungnya.

   Apakah beracun? Sangaji tak gentar menghadapi sarwa racun.

   Namun karena serangan itu, gerakannya agak terlambat.

   Tangan Mohe dapat menyambar senjatanya kembali.

   Sesudah bertempur beberapa gebrakan lagi, tahulah Sangaji bahwa tenaga himpunannya menang jauh daripada mereka bertiga.

   Yang sukar dilawan adalah ilmu tata berkelahinya.

   Selain kerjasamanya, senjata mereka aneh pula.

   Tata kerja mereka cepat rapih dan caranya sangat luar biasa.

   Sangaji tahu apabila bisa merobohkan salah seorang dari mereka, akan memperoleh kemenangan.

   Tetapi hal itu ternyata mudah dipikir, sebaliknya sukar dilakukan.

   Dengan menggunakan tenaga himpunanya, Sangaji melepaskan pukulan Kumayan Jati yang dahulu disegani tidak hanya Kebo Bangah tapi pun pendekar-pendekar jempolan lainnya.

   Dan kena pukulan Kumayan Jati, baik Jahnawi maupun Mohe hanya terhuyung mundur.

   Tetapi sama sekali tidak terluka.

   Bukan karena mereka kebal atau memiliki tenaga sakti melebihi pendekar Kebo Bangah atau Adipati Surengpati, tapi tertolong berkat suara benturan senjata Jinawi.

   Bunyi benturan itu gemerincing bening.

   Anehnya, tenaga dorong Kumayan Jati yang terkenal dahsyat seperti punah sebagian besar di tengah jalan.

   Lambat laun Sangaji jadi penasaran juga.

   Ia kini mengarah kepada Jinawi.

   Hanya saja setiap kali bidikannya terlepas, dua rekan lainnya dengan cepat datang membantu.

   Salah seorang dari mereka mengeluarkan bunyi senjatanya yang dapat melarutkan tenaga sakti.

   Demikianlah terus menerus terjadi.

   Apabila yang satu kena serang, dua lainnya segera menolong.

   Kalau dua-duanya diserang, yang satu menyekat dengan bunyi senjatanya yang aneh.

   Sesungguhnya benda logam apakah yang dibuat bahan senjata itu sampai bisa mempunyai tenaga pelarut himpunan tenaga sarwa sakti? Sebaliknya setelah berkali-kali mengadu tenaga, tiga utusan suci itu tidak berani lagi membentur kulit daging Sangaji.

   Setiap kali dipaksa mengadu tenaga, buru-buru mereka menghindari.

   Sebab setiap kali mencoba, selalu kalah jauh.

   1 Tentu saja, Gagak Seta mengetahui kelemahan itu.

   Segera ia memperoleh pikiran.

   Terus saja berteriak.

   "Anakku! Kau gunakan pedangmu itu!"

   Dengan sekali melihat tahulah Gagak Seta, apa daya guna pedang Sokayana yang memiliki ukuran melebihi pedang lainnya.

   Itulah sebatang pedang yang bagus untuk alat menyalurkan tenaga sakti agar terhimpun manunggal.

   Apabila tenaga saktinya bisa tersalur dengan manunggal, akan bisa mengimbangi tenaga gabungan mereka.

   la tak percaya, bahwa di jagad ini masih terdapat semacam tenaga sakti yang bisa berlawanan dengan tenaga himpunan Sangaji.

   "Ia benar!"

   Pikir Sangaji.

   "Senjata mereka bisa melarutkan tenaga himpunanku. Tapi masakan bisa pula memunahkan berat pedang Sokayana yang terdiri dari logam pula?"

   Memikir demikian, tangannya segera meraba pedang Sokayana yang tersisip dipunggungnya.

   Tapi begitu tangannya bergerak, Mohe mendadak menyerang dengan tinjunya.

   Duk! Dengan mengaduh Sangaji mundur.

   Isi perutnya seperti terbalik.

   Benar-benar ajaib! Tenaga sakti apakah yang bisa membodol himpunan tenaga sakti keris Kyai Tunggulmanik yang melindungi-seluruh tubuhnya? Secara wajar ia menatap wajah penyerangnya.

   Sekarang ia mendapat suatu kenyataan, bahwa setiapkali mereka melepaskan serangan, mulutnya berkomat-kamit membunyikan mantram.

   Ah! Adakah mantram sakti di dunia ini yang benar-benar melahirkan tenaga gaib.

   Mendadak teringatlah dia kepada ceramah Panembahan Tirtomoyo dahulu tentang adanya tenaga mantram tak kelihatan.

   Bahwasanya dengan mantram, seseorang bisa memukul lawan dari jauh.

   Bahwasanya dengan mantram, seseorang tahan bertapa beberapa tahun lamanya.

   Bahwasanya dengan mantram, seseorang bisa kebal dari senjata.30) Teringat akan hal itu, segera ia menggigit bibir menahan rasa sakit.

   Kemudian dengan sekali tarik ia membabatkan pedang Sokayana.

   Suatu kesiur angin bergulungan dahsyat, Mohe dan si Brewok Jahnawi kaget.

   Dengan berbareng mereka menghantamkan senjatanya pada bagian pedang Sokayana.

   Inilah kesempatan yang bagus untuk segera mengerahkan dan menyalurkan tenaga himpunannya buat menggempur.

   Diluar dugaan, mendadak saja tangan Sangaji tergetar, sehingga pedang Sokayana hampir terlepas dari genggaman.

   Hatinya mencelos, dan pada saat itu benar- benar ia mengemposkan tenaga saktinya yang meruap keluar bagaikan gugur gunung.

   Merampas senjata lawan dengan mengandalkan senjata engselnya adalah salah satu ilmu keahlian mereka.

   Selamanya belum pernah gagal.

   Sebab bahan senjata itu sendiri sudah mempunyai pengaruh ajaib yang berada di luar nalar manusia.

   Benda apa saja yang kena ditempel senjata engselnya akan kena dirampas dengan mudah.

   Tetapi sekarang mereka menumbuk batu.

   Ternyata Sangaji tidak bergeming.

   Keruan mereka berdua kaget bukan kepalang..Melihat hal itu, si Brewok Jahnawi buru-buru merogoh saku Mohe dan mengeluarkan dua benda gabungan yang berbentuk sebuah bende.

   Dengan membentak, ia segera menempelkan.

   Tenaga berat pedang Sokayana lantas saja menjadi larut seperti terhisap.

   Sangaji sudah menderita luka.

   Walaupun tidak berat, namun mengurangi tenaganya juga.

   Sesudah bertahan beberapa saat lamanya, mendadak Jinawi membantu kedua rekannya pula dengan mengerahkan tenaga saktinya lewat senjata rantainya.

   Pada saat itu, tubuh Sangaji merasa panas seperti terbakar.

   Dan tangannya yang menggenggam pedang Sokayana bergemetaran.

   Heran Gagak Seta menyaksikan kejadian itu.

   Ia hampir-hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri.

   Pada hakekatnya di jagad ini, tiada manusia lain yang memiliki tenaga sedahsyat Sangaji.

   Biarpun bergabung sepuluh dua puluh orang.

   Tapi kini, dengan dilawan tiga tenaga gabungan saja, tenaga himpunan Sangaji yang biasanya tiada habis-habisnya bisa terdesak.

   Orang tua itu, tidak melihat bahwa senjata-senjata mereka yang aneh, sesunguhnya mempunyai kadar kimia yang bisa melarutkan tenaga berat benda berbareng pemunah tenaga sakti.

   Tak ubah air raksa ditambah tenaga gaib pelarut sarwa sakti.

   Paras muka Mohe waktu itu pucat luar biasa.

   Juga si Brewok Jahnawi.

   Dengan mati-matian, mereka mencoba menggosok-gosokkan belahan bendenya pada pedang Sokayana.

   Sekarang sedikit demi sedikit, Sangaji berhasil menyatukan tenaga himpunan saktinya.

   Meskipun dikerubut tiga, ia tak bergeming.

   Perlahan-lahan mulailah ia mengamat-amati senjata mereka bertiga.

   Ternyata masing-masing memiliki senjata rangkap.

   Mohe dan Jahnawi bersenjata engsel rangkap.

   Syukur, Sangaji tadi berhasil merampas sebatang senjata engsel Jahnawi.

   Dengan demikian tenaga perlawanan mereka berdua jadi berkurang.

   Tapi sebagai gantinya, Jahnawi menggenggam senjata belahan berbentuk sebuah bende yang terus menerus bergerak untuk digesek-gesekan.

   Sedangkan Jinawi selain bersenjata dua piring logam keemasan, juga sejalur rantai yang berkilauan.

   Dengan tubuh tak bergerak mereka mengerahkan tenaga saktinya yang paling tinggi.

   Sedangkan Sangaji sudah mulai memasuki tingkatan sakti tataran kelima dan kemudian keenam.

   Maka jelaslah, bahwa tiada maksudnya hendak membunuhnya benar-benar.

   Seperti diketahui, kelompok ukiran sakti keris Kyai Tunggulmanik berjumlah empat belas.

   Dia kini baru menggunakan tingkat kelima dan lagi mulai memasuki tingkat enam.

   Meskipun demikian, mereka bertiga sudah berkutat mati- matian.

   Coba ia menggunakan tingkat kesembilan atau kesepuluh, maka tulang-belulang mereka akan hancur berantakan.

   Dengan kenyataan itu, benarlah dugaan Gagak Seta tadi.

   Sebenarnya dalam jagad ini, hakekatnya tiada yang dapat menandingi tenaga himpunan sakti Sangaji.

   Kalau tadi kelihatan repot, sebenarnya Sangaji hendak mengukur sampai dimana tenaga sakti gabungan mereka, selain ia memang benar-benar sulit mencari titik-tolak dan rahasia ilmu tata berkelahi mereka.

   Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar mulut mereka berkomat-kamit.

   Lapat-lapat mereka menyemburkan kata-kata mantram.

   "Auuum Auuum hawastut purnaum sidha... Aauuum... Sebelum mengerti apa maksudnya, mendadak saja ia merasa dadanya kena ditusuk suatu tenaga tak nampak. Rasanya seperti ruji baja atau jarum panjang yang menelusup memasuki tulang dan terus menggerayangi perut. Hampir berbareng pedang Sokayana kena ditarik tenaga gabungan mereka lewat senjata engsel dan kedua piring logam si gadis. Sangaji kaget. Tetapi sebagai seorang jago kelas utama, dalam kagetnya tak menjadi bingung. Cepat ia meningkatkan himpunan tenaga saktinya ketataran tujuh. Kemudian tangan kirinya meraba senjata rampasannya yang tadi dimasukkan ke dalam saku. Begitu terpegang, ia menggunakan ilmu sakti ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang bernama Sura Dira Jajaningrat Lebur Dening Pangastuti. Seperti diketahui, ilmu sakti itu berpangkal pada gerak hidup yang tiada berkeputusan. Maka begitu senjata rampasan terangkat dari saku, terus dibawanya berputar berlingkaran. Tiba-tiba memapas kempungan ketiga utusan suci. Diserang dengan mendadak, mereka kaget dan serentak melompat mundur. Sangaji terus memasukkan senjata rampasannya kesakunya kembali dan dengan sekali bergerak ia menyambar pedang Sokayana yang terlepas dari genggaman. Benar-benar indah gerakan Sangaji yang dilakukan dengan secepat kilat. Ahli silat dimana pun juga tidak akan dapat melakukan gerakan tersebut. Melepaskan pedang Sokayanamemutar pedang rampasan, memapas dan berbareng memasukkan kembali ke dalam saku dan menangkap kembali pedang Sokayana yang telah melayang runtuh dari genggaman. Gerakannya cepat dan berkesan lembut Itulah gerakan hidup yang berasal dari tataran ketujuh tataran sakti kelompok ukiran keris Kyai Tunggulmanik warisan Pangeran Semono di zaman purba. Bukan main kaget dan herannya ketiga orang itu yang menamakan dirinya tiga utusan suci pembuat perdamaian. Begitu kaget mereka, sampai mengeluarkan seruan tertahan. Mimpi pun tak pernah, bahwa di tanah Jawa ini ilmu saktinya yang tinggi bakal kena dikalahkan oleh seorang pemuda yang berusia belum melebihi - tiga puluh tahun. Begitu berteriak, senjata mereka yang masih melekat pada badan pedang Sokayana kena terbetot Sangaji. Buru-buru mereka mengerahkan tenaga himpunan saktinya dan keadaan mereka pulih seperti sedia kala. Keempat orang lantas saja saling menarik. Beberapa saat kemudian, kembali lagi dada Sangaji terasa sakit seperti tertusuk jarum panjang yang tajam luar biasa. Tetapi sekarang ia sudah bersiaga. Meskipun kena serang, pedang Sokayana tidak bakal terlepas dari genggaman. Untuk menangkis serangan jarum tak nampak itu, cepat-cepat ia melindungi dirinya dengan hawa getah sakti Dewadaru berbareng mengerahkan ilmu sakti Bayu Sejati yang berendeng dengan Kumayan Jati. Heran! Mendadak serangan jarum yang tak nampak itu berubah sifatnya menjadi sejalur benang yang bergerak seperti cacing panjang. Dan cacing panjang itu sedikit demi sedikit bisa menyelusup memasuki ini perut. Sangaji tahu, bahwa itulah tenaga sakti mereka bertiga yang merayap keluar melalui senjata-senjata mereka yang aneh. Seluruh tubuh Sangaji sudah terlindungi himpunan sarwa sakti tak ubah selimut hawa yang membungkus rapat-rapat. Sifatnya panas dan membal. Sebaliknya tenaga sakti mereka bertiga merupakan tenaga manunggal yang bersifat dingin kaku. Sasaran serangannya hanya satu. Karena itu, tenaga himpunan mereka tidak terbagi-bagi. Apabila kena tenaga membal ilmu sakti Sangaji, sifatnya yang kaku berubah lemas dan terus menyusup masuk tak ubah angin memasuki pori-pori. Inilah pengalaman Sangaji yang terhebat dalam sejarah hidupnya.

   "bahwasanya tenaga raksasa belum tentu bisa menangkis tenaga tusukan jarum. Maka benarlah dongeng kanak-kanak bahwa pada suatu kali seekor gajah dapat dikalahkan seekor semut karena semut itu dapat memasuki telinganya. Biarpun demikian, ketiga utusan suci itu kaget dan heran bukan kepalang menyaksikan , ketangguhan Sangaji. Sekian lamanya mereka menyerang, masih saja Sangaji bertahan. Bahkan tenaga perlawanannya makin lama makin tinggi. Ilmu sakti apakah yang tak bisa dilarutkan senjata ajaibnya? Mereka tak pernah menduga, bahwa senjatanya adalah alat untuk memunahkan tenaga sakti yang meruap keluar. Dan bu- kan untuk menyedot tenaga sakti yang bergolak seumpama di belakang tembok bendungan. Itulah sebabnya, mereka merasa seakan-akan menghadapi tembok baja yang kokoh luar biasa. Memang ada keinginan mereka untuk merampas pedang Sokayana itu. Bahkan Jahnawi yang penasaran berangan-angan ingin merampas senjatanya kembali yang berada dalam saku Sangaji. Namun angan-angan itu tinggal angan-angan belaka. Sekali berani mengalihkan perhatian atau menggerakan tangan, mereka akan kena dibobol himpunan tenaga sakti Sangaji yang bergolak hebat. Tatkala itu Sangaji berpikir di dalam hati.

   "Aku bisa bertahankalau perlusatu dua minggu lagi. Tetapi bagaimana dengan urat nadiku yang kena tusuk tenaga sakti tak kelihatan? Barangkali aku pun kena runtuh terkulai sebelum menjelang pagi. Namun dia tidak dapat berbuat lain, kecuali mempertahankan diri."

   Gagak Seta yang semenjak tadi masih belum memperoleh keputusan mendadak berseru.

   "Hai, binatang! Sekian lamanya aku bersikap diam, masakan kalian tidak sadar? Sekali aku memukul kamu bertiga, apakah jadinya! Apakah kamu bisa membagi tenaga?"

   Hebat ancaman Gagak Seta itu. Kalau benar-benar dilakukan, mereka akan mati kutu.

   "Hai, binatang! Kamu mau bertekuk lutut atau tidak?"

   Bentak Gagak Seta lagi.

   "Memang kalau aku memukul dengan tongkatku, semuanya akan terluka. Tetapi aku mempunyai cara lain. Kalian ingin mencoba? Baik! Hai anakku, biarlah aku mencoba menguji kebandelannya. Aku ingin memecahkan kepala mereka dengan Kumayan Jati. Begitu aku mendorong. Lepaskan pedangmu?"

   Sangaji kenal ilmu Kumayan Jati gurunya.

   Hebatnya tak terkatakan.

   Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah dan daging, sedangkan batu raksasa bisa rontok berguguran.

   Memang mereka tadi bisa memunahkan tenaga sakti Kumayan Jati lantaran bunyi gesekan senjata ajaibnya.

   Tetapi senjata mereka kini telah mele- kat pada pedang Sokayana.

   Kecuali itu, tenaga mereka sedang dikerahkan habis-habisan untuk melawan dirinya.

   Dengan begitu, keadaan mereka tak ubah tiga batang tiang yang keropos.

   Jangan lagi bakal dihantam ilmu sakti Kumayan Jati, pukulan seorang anak kecil pun bisa mencelakakan.

   Menurut hati, pantas mereka dihajar demikian.

   Tetapi mengingat pembicaraan mereka.

   Sangaji memperoleh keterangan yang jelas siapakah mereka sebenarnya.

   Siapa pula yang berada di belakang mereka.

   Dan apa sebab mereka kenal Nenek Sirtupelaheli dengan lika-liku hidupnya serta gurunya sendiri.

   Bahkan mereka pun menyinggung-nyinggung dirinya secara langsung mengenai pusaka warisan.

   Di samping itu, ia tertarik pula terhadap ilmu tata berkelahi yang senyawa dengan ilmu sakti warisan Pangeran Semono.

   Terngiang-ngianglah istilah Titisari di dalam pendengarannya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang gam- pang membunuh mereka.

   Tetapi semenjak itu, teka-teki besar bakal lenyap untuk selama-lamanya.

   Memperoleh pikiran demikian, segera ia berseru menyanggah.

   "Tahan! Berilah aku kesempatan untuk berbicara dengan mereka."

   Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.

   "Berbicara dengan kumpulan binatang apakah faedahnya!"

   "Tapi mereka manusia. Masakan manusia tak sudi diajak berbicara?"

   "Ah, hatimu masih semulia dahulu. Kau dengarkan kata-kataku. Kemuliaan belum menjamin keselamatanmu. Berapa banyak pendekar-pendekar bangsa yang mati karena menjadi korban kemuliaannya sendiri."

   Ketiga utusan itu kagum dan kaget luar biasa mendengar Sangaji berani berbicara begitu leluasa.

   Dimana saja seorang yang lagi mengerahkan himpunan tenaga sakti untuk menghadapi suatu perlawanan tidak berani membuka mulut atau memecah perhatian.

   Sebab begitu berbicara, tenaga himpunannya akan buyar berderai.

   Sebaliknya Sangaji dapat berbicara dengan leluasa.

   Dan desakan himpunan tenaga saktinya sama sekali tidak terganggu.

   Dalam pada itu terdengar Sangaji berkata.

   "Mari kita berhenti dahulu untuk sementara waktu. Aku ingin berbicara dengan kalian. Bagaimana? Setuju?"

   Mohe memanggut.

   "Bagus!"

   Sangaji Girang.

   "Dengan saudara-saudaraku di Pulau Lombok, aku sebangsa dan setanah air. Sama sekali tiada permusuhan atau mendendam angan-angan yang tidak baik. Kalau aku kini berkutat melawan kalian, itulah lantaran terpaksa. Kalian yang memaksa aku. Meskipun demikian perkenankan aku memohon maaf. Sekarang, marilah kita menarik tenaga sakti kita masing- masing. Apakah kalian setuju?"

   Kembali lagi Mohe mengangguk mewakili kedua rekannya.

   Sangaji bersyukur.

   Segera ia menarik himpunan tenaga saktinya yang tersalur lewat pedang Sokayana.

   Mereka bertiga pun menarik pulang tenaga saktinya.

   Di luar dugaan, mendadak saja semacam tenaga dingin setajam pisau menikam urat dada Sangaji.

   Seketika itu juga sesaklah napas Sangaji.

   Ia tak dapat bergerak lagi.

   "Ah, tak pernah mengira, bahwa aku bakal mati di sini. Baikiah dimana saja, orang boleh mati, pikirnya di dalam hati.

   "Tetapi bagaimana dengan Himpunan Sangkuriang? Ah, suatu malapetaka dahsyat bakal terjadi lagi di seluruh Jawa Barat."

   Selagi berpikir demikian, Mohe sudah mengangkat senjatanya. Terang sekali ia hendak menghantam batok kepala Sangaji. Pada saat itu Gagak Seta membentak bagaikan guntur. Dan berbareng dengan bentakannya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan.

   "Utusan Suci berada di sini!"

   Terdengar suatu suara nyaring merdu.

   Mohe terkejut.

   Karena kena bentakan Gagak Seta dan munculnya bayangan itu, senjatanya yang tinggal menabas turun berhenti di tengah jalan.

   Bagaikan kilat, bayangan itu mencabut pedangnya dan menubruk Mohe.

   Sangaji terperanjat berbareng girang.

   Ternyata bayangan itu, Titisari yang tiba dengan pedang Sanggabuwana.

   Seperti seekor singa betina Titisari menyerang pukulan ilmu sakti Witaradya warisan ayahnya.

   Itulah pukulan liar yang berintikan mati berbareng dengan lawan.

   Mohe mencelos hatinya, la tak pernah bermimpi, bahwa sesudah memperoleh kemenangan dengan jalan licik, kena diserang dengan mendadak.

   Buru-buru ia menangkis dengan senjata engselnya.

   Traang! Hebat akibatnya.

   Seperti diketahui, pedang Sanggabuwana adalah sebatang pedang yang tajam luar biasa.

   Titisari memperoleh pedang itu dari tangan Edoh Permanasari.

   Sebaliknya senjata Mohe ajaib pula bahannya.

   Ternyata senjatanya tahan berlawanan dengan pedang Sanggabuwana.

   Dengan bergulingan di tanah, Mohe menyelamatkan diri.

   Tatkala bangun berdiri dagunya terasa dingin-dingin lengket.

   Ternyata kulit dagunya kena terpapas pedang Sanggabuwana.

   Benar pedang Sanggabuwana kena dilontarkan balik oleh tenaganya, tapi buktinya masih bisa menyerempet dagunya.

   Hal itu membuktikan betapa tajam pedang Sanggabuwana.

   Seumpama bukan kena tangkis senjatanya yang luar biasa pula, saat itu lehernya telah terkutung.

   Titisari pun tak bebas dari ancaman pedangnya sendiri.

   Begitu terpental balik, mendadak saja memapas rambutnya.

   Syukur, dia gesit.

   Detik itu ia memiringkan kepalanya.

   Yang kena hanya ikatan sanggulnya.

   Rambutnya lantas saja buyar berurai menutupi punggung dan sebagian pundaknya.

   Karena wajahnya memang cantik jelita, maka pada saat itu ia nampak agung ber- wibawa.

   Munculnya Titisari memang pada saat yang tepat sekali.

   Setelah menyerahkan pedang Sokayana kepada Sangaji, dia sendiri lantas menyisipkan pedang Sanggabuwana yang tajamnya tiada keduanya di dunia, la menaruh curiga terhadap Sirtupelaheli, Daniswara dan Fatimah.

   Disamping itu, ia heran menyaksikan sikapnya Gagak Seta.

   Pendekar besar itu tidak seperti biasanya, la nampaknya berusaha mengekang dan mengendalikan diri.

   Hal itu, pasti ada alasannya.

   Tatkala Sangaji lari mengarah ke utara, ia berada di sebelah selatan.

   Kebusukan Sirtupelaheli menaburi bubuk racun pada tanah di depan gubuk, diketahuinya belaka.

   Juga pembicaraan Fatimah.

   Sesudah Sangaji bertempur melawan ketiga orang utusan itu.

   Perhatian Titisari bertambah.

   Aneh gerakan mereka.

   Namun otak Titisari bukan sembarang otak.

   Ingatannya tajam luar biasa.

   Meskipun masih samar- samar, tetapi ia sudah mendapat pegangan untuk menyingkap tabir.

   la girang tatkala melihat Sangaji mulai mengadu tenaga himpunan sakti.

   Seperti Gagak Seta ia yakin bahwa Sangaji bakal memperoleh kemenangan.

   Mendadak terjadilah penundaan adu himpunan tenaga sakti, la kenal watak Sangaji yang mengukur tabiat dan perangai manusia seperti dirinya sendiri.

   Segera ia hendak meneriaki agar berwaspada.

   Tetapi sudah tak keburu.

   Demikianlah, pada detik-detik berbahayaia lantas melesat menyambarkan pedangnya.

   Setelah berhasil dalam jurus pertama, ia membuat setengah lingkaran dan menikam Jahnawi dengan menubrukkan badannya sendiri.

   "Hai!"

   Gagak Seta dan Sangaji kaget.

   Itulah jurus bunuh diri yang bertekat mati berbareng dengan musuh.

   Darimanakah dia memperoleh jurus itu? Gagak Seta dan Sangaji tak pernah mengira, bahwa jurus itu adalah warisan Ratu Fatimah lewat muridnya Edoh Permanasari yang kemudian bersahabat dengan Titisari.

   Jurus itu dipersiapkan Ratu Fatimah untuk menghadapi Ratu Bagus Boang.

   Tekatnya hendak mati berbareng dengan lawannya berbareng kekasihnya.12) Karena watak Titisari mewarisi sebagian besar watak ayahnya, ia mencatat jurus tersebut dengan diam-diam.

   Sebenarnya dia pun merencanakan bunuh diri seperti yang hendak dilakukan Ratu Fatimah, manakala Sangaji benar-benar mengawini Sonny de Hoop.

   Sekarang untuk menolong suaminya dari bencana, dia bersedia mati.

   la tahu, bahwa lawan Sangaji sangat tinggi ilmu kepandaiannya.

   Jangan lagi dirinya, Sangaji sendiri nampak berada di bawah angin.

   Tapi dasar otaknya cerdas dan berwatak liar, masih ia menemukan suatu kemungkinan.

   Waktu itu suatu penglihatan terbesit dalam hatinya.

   "Entah siapa mereka ini sampai Sangaji kuwalahan. Mengingat mereka mengumandangkan diri sebagai utusan suci pembawa perdamaian, terang sekali mereka berangan-angan besar. Orang yang berangan-angan besar paling takut bila mati terlalu cepat."

   Begitu memperoleh penglihatan itu, diam-diam ia sudah bersiaga.

   Demikianlah ia segera membentur senjata engsel lawan dan kemudian barulah menikam dengan pedang Sanggabuwana.

   Diserang dengan jurus bunuh diri itu, baik Mohe maupun Jahnawi kaget sampai terpaku.

   Begitu kecil hatinya, sampai pula tidak berdaya lagi.

   Betapa tidak? Setelah membentur senjata engsel, gerakan yang kedua ialah menikam.

   Seumpama senjata Mohe sebatang pedang, Titisari menembuskan dadanya sendiri dengan tubrukannya tadi dan baru menikam.

   Biarpun berkepandaian tinggi, seseorang takkan bisa meloloskan diri diserang dengan cara demikian.

   Kecuali manakala dia memiliki kecepatan kilat, sehingga tatkala pedangnya kena tubruk, cepat-cepat melepaskan genggaman berbareng meloncat mundur.

   Dengan begitu lawan akan tercublas mati tanpa dapat membalas.

   Mohe sadar akan gerakan berikutnya.

   Namun ia seakan-akan sudah kehilangan diri.

   Untunglah, senjatanya bukan pedang yang berujung tajam.

   Sebaliknya mirip tongkat yang berengsel.

   Begitu kena bentur, membal bergoyangan.

   Saat itulah yang memberi kesempatan bagi Mohe untuk melesat mundur dengan tetap menggenggam senjata engselnya.

   Sebaliknya, Titisari tiada terluka akibat menubrukkan diri tadi.

   Namun tatkala pedang Sanggabuwana digerakkan untuk menikam, mendadak Jahnawi memeluknya dari belakang.

   Dengan pelukan itu, Titisari tak dapat menikam lagi.

   Saat itu insyaflah dia, bahwa bahaya kematian tak dapat dielakkan lagi.

   Tapi lagi-lagi ia ditolong otaknya yang cerdas bukan kepalang.

   Dengan berpangkal pada kerelaan hendak membunuh diri demi menolong suaminya, timbullah pikirannya untuk membalikkan pedangnya menikam dirinya sendiri.

   Pedang Sanggabuwana sangat tajam.

   Mengandal kepada ketajamannya, ia mengharap menembus sedalam hulunya sehingga masih dapat menikam Jahnawi yang memeluk punggungnya.

   Benar-benar suatu ketekatan yang luar biasa.

   Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Jahnawi sadar begitu melihat tangan Titisari bergerak membalikkan hulu pedangnya.

   Begitu melihat berkelebatnya pedang membalik menikam diri, hatinya mencelos.

   Saking takutnya, tangannya menggelendot dan melompat kesamping.

   Kena gerakan itu, tubuh Titisari terputar.

   Inilah justru yang menolong nyawanya.

   Pedang Sangga- buwana menikam meleset dari sasaran yang di- kehendaki.

   Tidak menembus dada tetapi menyerempet lengan dekat ketiak.

   Seketika itu darah Titisari mengucur deras.

   Jahnawi pun tidak luput dari suatu goresan karena gerakan Titisari yang penuh nafsu benar-benar cepat diluar dugaan seorang ahli seperti dia.

   Tahu-tahu pundaknya mengucurkan darah.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Untung dia tadi membuang diri kesamping.

   Seumpama hanya mundur, dadanya akan kena tertembus.

   Pada saat itu, Sangaji sudah berhasil membebaskan diri dari totokan gelap.

   Melihat ketekatan Titisari, dengan menjejakkan ia melesat dan merampas pedang Sanggabuwana.

   "Titisari, mengapa kau...?"

   Titisari masih membungkam.

   Wajahnya pucat lesi.

   Namun dalam keadaan demikian masih saja otaknya bekerja dengan cemerlang.

   Agar memperoleh waktu untuk bernapas, ia merogoh senjata rampasan dalam saku Sangaji.

   Setelah dikeluarkan, segera melemparkan ke dalam tanah beracun.

   Ketiga utusan suci begitu besar sayangnya kepada senjata andalannya melebihi nyawanya sendiri.

   Semenjak tadi, mereka berprihatin tentang senjata Jahnawi yang kena dirampas Sangaji.

   Sekarang senjata itu dilemparkan Titisari di atas tanah terbuka.

   Keruan saja mereka bergirang bukan main.

   Seperti anjing mencium tulang penuh daging bakar, mereka berlari-larian hendak mengambilnya.

   Tapi begitu melihat tanah, mereka sadar akan bahaya.

   Terpaksalah mereka maju lambat-lambat sambil menahan napas untuk melawan racun.

   Inilah yang dikehendaki Titisari.

   "Biarkan mereka mengambil senjatanya kembali,"

   Kata Titisari.

   "Dan begitu mereka memasuki tanah itu, mereka akan kehilangan kegalakannya satu malam ini. Sementara itu, kita bisa berunding Mari kita mencari tempat!" 3) Baca Bende Mataram

   Jilid 3 bagian belakang 1) Baca. Bunga Ceplok Clngu dari Banten. 1) Kegelisahan Titisari dapat dibaca kembali di Bende Mataram dimulai

   Jilid 11-halaman 95 MENCARI BENDE MATARAM - 2 SIRTUPELAHELI TIADA BEDA DENGAN REKAN-REKANNYA Gagak Seta adalah seorang pendekar yang angkuh hati.

   Tetapi mendengar anjuran Titisari, tak berani ia menganggapnya enteng.

   Pasti ada alasannya yang mendasar.

   Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus menguatkan.

   "Benar!"

   Setelah berkata demikian, ia membungkuki Sirtupelaheli yang masih meringkuk tak berkutik di atas tanah.

   Segera ia membebaskan.

   Sangaji mengira, bahwa setelah mengalami perjuangan antara hidup dan mati bersama-sama, pastilah permusuhannya dengan gurunya akan terhapus dari ingatannya.

   Maka kebebasannya disambutnya dengan rasa syukur.

   "Mari!"

   Katanya mengajak sambil mendukung Fatimah.

   Setelah berlari-larian beberapa puluh meter, ia menyerahkan Fatimah kepadanya.

   Sebab meskipun antara Fatimah dan dia tiada terdapat suatu perhubungan istimewa, rasanya ia canggung membawa- bawa seorang gadis dalam dukungannya.

   Apalagi ia berada disamping Titisari.

   - Titisari waktu itu telah mendahului lari paling depan.

   Kemudian Gagak Seta, Sirtupelaheli dengan mendukung Fatimah berada ditengah-tengah, sedangkan Sangaji di belakang sebagai pelindung.

   Sekonyong-konyong terdengarlah bentakan Gagak Seta.

   Orang tua itu ternyata tidak hanya membentak, tetapi tangannya bergerak meninju punggung Sirtupelaheli.

   "Sirtupah! Mengapa lagi-lagi engkau mencoba membunuh Fatimah?"

   Sirtupelaheli kaget. Untuk menangkis pukulan Gagak Seta, ia melemparkan tubuh Fatimah ke tanah. Dia sendiri lantas tertawa mendengus.

   "Mengapa engkau mencampuri urusanku?"

   Sangaji terkejut menyaksikan kejadian diluar dugaannya. Segera ia mendekati Fatimah sambil berkata keras.

   "Kularang kau membunuh manusia dengan serampangan!"

   "Siapa engkau sebenarnya sampai berani melarang aku? Apakah belum cukup engkau mencampuri urusan yang sebenarnya bukan urusanmu?"

   "Belum tentu bukan urusanku,"

   Sahut Sangaji.

   "Musuh akan segera mengejar. Apakah kau ingin mati tanpa liang kubur?"

   Nenek Sirtupelaheli mendengus lalu lari ke jurusan barat.

   Sekonyong-konyong tiga benda berkeredep menyambar kepala Fatimah.

   Sangaji mengebutkan lengan bajunya.

   Dan senjata berkeredep itu berbalik me- nyambar majikannya dengan suara mengaung.

   Dahsyat tenaga balik itu.

   Menyambarnya cepat tak ubah tiga pelor yang meletus lewat larasnya.

   Sirtupelaheli kaget setengah mati.

   Mimpi pun tidak, bahwa Sangaji memiliki tenaga dahsyat demikian besarnya.

   Ia tak berani menyambut.

   Buru-buru ia menggulingkan badannya ke tanah.

   Ketiga benda itu melesat lewat punggungnya dan merobek pakaiannya.

   Jantung Sirtupelaheli bergetar melonjak-lonjak tak keruan.

   Terus saja ia kabur tanpa menoleh lagi.

   Selagi Sangaji membungkuki Fatimah untuk mendukungnya, tiba-tiba Titisari mengeluh sambil menekap pinggangnya.

   "Kau kenapa?"

   Sangaji tercekat dan terus mendekati. Ia terkejut tatkala melihat tangan Titisari berlepotan darah. Ternyata tikaman tipu membunuh diri tadi, benar- benar melukai pinggangnya, meskipun sasarannya ku- rang penuh.

   "Bagaimana? Parah?"

   Tanya Sangaji dengan cemas. Sebelum Titisari sempat menjawab, tiba-tiba terdengar Jahnawi berteriak girang.

   "Ha, ini dia! Sudah kembali? Sudah kembali!"

   "Ah!"

   Titisari mengeluh. Parasnya pucat dan membayangkan rasa putus asa. Katanya tersekat-sekat.

   "Jangan pedulikan aku! Cepat lari! Kau dakilah bukit itu!"

   Pada saat itu, dari suatu tikungan muncul seorang tinggi besar. Dialah Gandarpati murid Sorohpati. Dia terus menghampiri Sangaji sambil menyerobot tubuh Fatimah. Katanya.

   "Biarlah aku yang membawanya. Marilah kutunjukkan suatu tempat yang aman."

   Tanpa berkata lagi, Sangaji meninggalkan Fatimah dan segera memeluk pinggang Titisari. Setelah itu ia membawanya kabur mendaki bukit.

   "Kau ikuti dia..."

   Bisik Titisari.

   "Gurunya dahulu setia kepada Ayah. Aku percaya, dia pun akan berusaha menyelamatkan kita dengan sungguh-sungguh."

   Sangaji mengangguk. Dengan memapah Titisari, ia lari sekeras-kerasnya. Gandarpati yang tadi berada di depan, tertinggal jauh. Dengan napas tersengal-sengal, ia berteiak.

   "Ke kanan!"

   Sangaji lantas berhenti.

   Ia memandang ke kanan dan melihat sebuah gubuk berada di seberang jurang curam.

   Tebing jurang itu berbatu licin.

   Ditengah-tengah melintang sebuah jembatan batu yang hanya cukup untuk dilintasi seorang.

   Ia berbimbang-bimbang sebentar.

   Akhirnya mengambil keputusan untuk menunggu tibanya Gandarpati dan Gagak Seta yang lari sambil melindungi dari belakang.

   "Anakku!"

   Kata Gagak Seta sambil tertawa nyaring.

   "Kau sangat memikirkan isterimu, sampai lari membabi- buta seperti kuda binal. Kau bisa lari, tapi bagaimana dengan murid Sorohpati ini?"

   Sangaji tertawa menyeringai.

   Segera ia turun menyambut tibanya Gandarpati.

   Kemudian dengan sekali tarik, ia membawa Gandarpati naik melompati suatu ketinggian.

   Betapapun juga, Gagak Seta kagum kepada tenaga dahsyat bekas muridnya itu, ia tahu muridnya tiada mempunyai kesombongan hati untuk memamerkan kesanggupannya.

   Semuanya itu terjadi karena rasa gopohnya memikirkan keadaan Titisari dan Fatimah.

   Kalau salah seorang tidak dapat ditolongnya, hatinya akan menyesal seumur hidupnya.

   Sambil melompat menyusul, ia berdoa semoga tiada terjadi sesuatu atas diri mereka berdua.

   Dalam pada itu, setelah ketiga utusan suci mendapatkan senjatanya kembali, mereka segera mengadakan pengejaran.

   Ternyata racun Sirtupelaheli tak dapat mengusiknya karena larut kena perbawa senjata ajaibnya.

   Untung, dalam hal kecepatan berlari mereka kalah jauh dibandingkan dengan Sangaji dan Gagak Seta.

   Melawan kegesitan Gandarpati saja, mereka masih kalah seurat.

   Dengan demikian, mereka baru sampai pada tanjakan pertama tatkala Sangaji, Gagak Seta dan Gandarpati telah tiba di tebing jurang.

   "Itulah pondok Guru,"

   Kata Gandarpati dengan napas terengah-engah.

   "Mari kita menyeberang!"

   Setelah memasuki pondok, Sangaji segera merebahkan Titisari di pembaringan.

   Fatimah pun diletakkan pula di atas pembaringan yang berada tak jauh dari pembaringan Titisari.

   Ia kemudian memeriksa luka mereka berdua.

   Tikaman pedang Sangga Buwana kurang lebih setengah ibu jari dalamnya.

   Meskipun mengeluarkan darah segar, namun luka itu sendiri tidak membahayakan jiwa.

   Tetapi tidaklah demikian halnya yang diderita Fatimah.

   Tiga senjata rahasia Nenek Sirtupelaheli menancap dalam di dadanya.

   Apakah nyawa Fatimah dapat tertolong, masih merupakan suatu teka- teki.

   Dengan dibantu Gandarpati, Sangaji membubuhi obat luka dan membalutnya.

   Gadis itu masih saja tak sadarkan diri.

   Sedangkan Titisari merintih perlahan.

   "Anakku!"

   Kata Gagak Seta.

   "Kau kini agaknya mempunyai pengetahuan pula tentang ilmu ketabiban. Syukurlah!"

   "Aku hanya sedikit mempelajari pengetahuan orang tabib pandai yang katanya tunangan Fatimah. Dia bernama Manik Angkeran. Kabarnya, dialah putera satu- satunya Paman Sorohpati, guru saudara Gandarpati ini,"

   Sahut Sangaji. Gagak Seta tertawa perlahan sambil mengurut-urut jenggotnya. Wajahnya sangat puas. Katanya perlahan.

   "Dengan tambah satu pengetahuan lagi, kau tidak bakal lagi disebut si Tolol!"

   Titisari terganggu kesehatannya oleh tikamannya sendiri. Badannya mulai terasa panas. Tetapi mendengar ucapan Gagak Seta, tak dapat ia menguasai mulutnya. Katanya dari atas pembaringan.

   "Siapakah yang berani menyebut suamiku si Tolol?"

   Gagak Seta tercengang sejenak. Menyahut sambil tertawa berkakakkan.

   "Setidak-tidaknya ayahmu sendiri. Bukankah ayahmu selalu menganggap dirinya sebagai seorang yang paling pandai di jagad ini?"

   Titisari tahu, bahwa antara ayahnya dan gurunya selalu timbul rasa saingan dalam dirinya masing-masing.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah disebabkan riwayat hidupnya semenjak masa mudanya.

   Mereka berdua pernah mengadu kepandaian selama tujuh hari tujuh malam untuk memperebutkan nama.

   Kedua-duanya tiada yang kalah dan menang.

   "Menjelang fajar hari kemarin, aku melihat ayahmu,"

   Kata Gagak Seta "Ah, ya."

   Titisari seperti diingatkan.

   "Bagaimana Paman sampai berada di sini?"

   "Itulah karena surat pengumumanmu,"

   Sahut Gagak Seta pendek.

   "Waktu aku lewat di daerah ini, kebetulan aku melihat cahaya tanda bahaya di udara. Ternyata si Dogol Jaga Saradenta yang melepaskan. Katanya dia lagi memburu Watu Gunung. Tepat pada saat itu, aku melihat berkelebatnya seseorang yang mengenakan jubah abu-abu. Siapa lagi kalau bukan ayahmu. Dialah yang merebut seorang nona kecil dari tangan Watu Gunung."

   Mendengar keterangan Gagak Seta, wajah Gandarpati berseri-seri. Dengan suara gemetaran ia menyambung.

   "Ah! Kalau Gusti Adipati Surengpati sudah turun tangan dan sudi melindungi jiwa adikku, dia pasti selamat."

   "Kau begitu memikirkan bocah itu. Sebenarnya siapakah dia?"

   Gagak Seta menegas. Belum lagi Gandarpati memberi keterangan, di luar terdengar berisiknya langkah mendatang. Gandarpati lantas saja mencelat keluar gubuk sambil berkata.

   "Untuk mengusir mereka, cukuplah dengan tenagaku seorang."

   Gagak Seta tersenyum mendengar kejumawaannya.

   la melemparkan pandang kepada Sangaji.

   Pemuda itu nampak menjadi gugup.

   Itulah disebabkan ia mendengar langkah banyak.

   Tatkala melongok keluar pintu, ia melihat puluhan obor merentep seperti kunang-kunang.

   Pikirnya di dalam hati.

   "

   Melawan tiga orang saja, belum tentu aku dapat merebut kemenangan. Sekarang mereka membawa teman-temannya."

   Ia tidak bisa berbuat lain, kecuali menunggu kedatangan mereka.

   Ia berharap semoga bukit ini tidak memungkinkan ketiga utusan suci itu bisa bekerja rapi dan secepat tadi.

   Ia lantas mengamat-amati sifat jembatan batu yang menghubungkan tebing seberang- menyeberang.

   Setelah itu, cepat ia memindahkan pembaringan Titisari dan Fatimah memipit dinding belakang yang agak sentosa.

   Kemudian melesat keluar gubuk mendampingi Gagak Seta yang berdiri tegak mengawaskan kedatangan mereka.

   Dalam hati ia memutuskan hendak bertempur mengadu jiwa sendiri.

   Tiba-tiba mereka bersorak-sorai sambil mengacung- acungkan obornya.

   Hebat perbawanya.

   Sekitar jurang lantas menjadi terang benderang.

   Selagi demikian, mendadak terdengar suara berdesing.

   "Ah, senapan!"

   Sangaji terkejut.

   "Sebenarnya siapakah mereka?"

   Gagak Seta tidak menjawab.

   Dengan tubuh tak bergeming ia menatap ke bawah.

   Dan pada saat itu, sekali lagi terdengar suara letupan.

   Kali ini bukan senapan lagi.

   Tetapi suatu meriam berukuran sedang yang jatuh meledak di samping rumah.

   Sangaji jadi bingung.

   Pada saat itu, Gandarpati mendekati.

   "Tuanku tak perlu berkecil hati. Guruku dahulu mempunyai sebuah alat simpanan untuk menggebu musuh yang berjumlah terlalu banyak."

   "Apakah itu?"

   Sangaji menegas.

   "Biarlah aku bekerja,"

   Gandarpati menjawab tak langsung.

   Murid Sorohpati itu, lantas lari melesat melalui jembatan penghubung.

   Sampai di seberang ia lari pontang-panting ke kiri dan ke kanan, la membungkuki sesuatu seperti lagi memeriksa sesuatu.

   Ia nampak puas.

   Kemudian berkata nyaring kepada Sangaji "Tuanku! Inilah alat penggebu yang tepat.

   Tumpukan batu pegunungan yang segera akan menggelundung ke bawah."

   Mendengar keterangan Gandarpati, Sangaji girang. Terus saja ia lari melintasi jembatan.

   "Aku akan membantumu,"

   Katanya penuh semangat.

   Sekarang ia mengerti, kata-kata kejumawaannya13) Gandarpati tadi.

   Memang dengan menggelundungkan tumpukan batu- batu dari atas tebing akan bisa mengusir beberapa puluh musuh dengan seorang diri.

   Sebab jalan yang menuju ke tebing tinggi hanya sebuah.

   Sempit dan licin.

   Dan diapit jurang curam pula.

   Pada saat itu, kembali lagi mereka bersorak-sorai dengan mengacung-acungkan obornya.

   Dan melihat hal itu, terbitlah kegembiraan dalam hati Gagak Seta.

   Dengan tertawa berkakakkan, ia berseru nyaring.

   "Anakku! Kau tunggu saja sampai mereka berada tepat di bawahmu. Lantas hujani dengan batu pegunungan. Aku ingin tahu, apakah mereka bangsa malaikat yang tak mempan kena guguran batu."

   Seruan Gagak Seta yang nyaring itu, rupanya menyadarkan mereka yang berada di depan.

   Mereka lantas berhenti dengan tiba-tiba.

   Dan melihat mereka berhenti, Sangaji tak sudi memberi kesempatan berpikir.

   Terus saja ia memberi isyarat kepada Gandarpati agar mulai bekerja.

   "Batu-batu yang diatur guru hanya dijagangi dengan dua cagak besi sebagai penyangga,"

   Gandarpati menerangkan.

   "Sekali kita merobohkan cagak itu, tumpukan batu di atasnya akan meluruk ke bawah."

   "Bagus!"

   Sangaji berseru girang.

   "Kau atau aku yang menggempur cagaknya?"

   Seperti kuda kena lecut, ') dari perkataan jumawa.

   Artinya.

   sombong berkepala besar Gandarpati lantas saja mendepak cagak penyangga.

   Dan begitu kena sentuh kakinya, cagaknya roboh.

   Batu yang berada di atasnya bergoyang-goyang.

   Kemudian menggelundung ke bawah.

   Dan batu-batu sampingan yang agak kecilan, ikut meluruk ke bawah pula.

   Hebat akibatnya gugurnya batu-batu itu.

   Dengan suara bergemuruh, barisan batu menggelundung ke bawah.

   Makin lama makin cepat.

   Dan melihat hal itu, barisan yang berada di depan berteriak kaget.

   "Mundur!"

   Mereka berseru dan lari ber-balik.

   Tetapi gerakan mundur mereka, betapa bisa menandingi kecepatan menggelundungnya batu-batu yang meluruk tanpa rintangan.

   Sebentar saja terdengarlah suara jerit menyayatkan hati.

   Mereka disapu bersih.

   Dilontarkan dan dilemparkan.

   Yang tak sempat menyingkir, lantas saja kena gilas serata tanah.

   Di antara mereka yang jatuh terbalik susun tindih, nampaklah tiga orang berkelebat melompati kepala- kepala mereka.

   Merekalah Mohe, Jahnawi dan Jinawi, ketiga utusan suci yang sakti.

   Mereka bertiga merupakan benteng teguh yang dahsyat tatkala melawan ilmu sakti Sangaji.

   Tetapi menghadapi barisan batu, mereka mati kutu.

   Syukur, mereka dapat bergerak cepat.

   Tubuhnya ringan pula.

   Dan dengan mengandalkan kecepatan itu, mereka berhasil menyelamatkan diri dengan mengorbankan teman-temannya.

   "Sayang! Sayang! Sayang!"

   Kata Gagak Seta nyaring.

   "Mestinya mereka pantas kena giling...."

   Selama hidupnya baru untuk pertama kali itu Sangaji menggunakan batu untuk mengusir musuh. Ia mengerti betapa hebat akibatnya, tetapi tak pernah mengira bahwa dahsyatnya melebihi gambaran pikirannya.

   "Gandarpati, sudahlah!"

   Perintahnya.

   Untuk mengusir mereka tadi, Gandarpati baru melepaskan dua tumpukan batu.

   Walaupun demikian, kedahsyatannya sudah cukup untuk menghadapi mereka.

   Maklumlah, tiap tumpukan berisi lima batu besar dan ratusan batu-batu kecil sebesar kepala.

   Bisa dibayangkan betapa hebat perbawanya, sewaktu meluruk berguguran ke bawah.

   Seperti dilontarkan, batu-batu itu menggelundung melalui jalan berbatu yang licin.

   Setelah melindas semua rintangan yang berada di depan, terus melompat ke dalam jurang pada tikungan pertama.

   Coba, seumpama jalan tiada tikungan, korban yang akan terjadi akan berjumlah berlipat ganda.

   Ketiga utusan suci yang berhasil menyelamatkan diri, sebenarnya tertolong berkat tikungan jalan yang bertebing tinggi.

   Tebing tinggi itulah yang merupakan benteng perlindungan yang tak terusik.

   Setelah mengua- sai ketenangannya, mereka segera memberi perintah mengundurkan diri.

   "Padamkan obor!"

   Teriak Mohe dengan menggerung dahsyat.

   "Biarlah malam ini kita beri mereka kesempatan menyenak napas...."

   Gagak Seta adalah seorang pendekar yang sedikit banyak berwatak setengah liar. Melihat mundurnya ketiga utusan, ia lantas berteriak nyaring sambil tertawa berkakak-kan.

   "Hai, Jahe...! Kenapa lari ngacir14) Hayo, 14) ngacir = berbirit-birit tongolkan kepalamu! Aku ingin melihat apakah kalian masih bisa mengumbar mulutmu yang besar..."

   Mohe menggerung dan memaki-maki tak jelas dari bawah bukit. Dan mendengar makian itu, suara tertawa Gagak Seta bertambah riuh.

   "Paman!"

   Tiba-tiba terdengar suara merdu.

   "Malam ini, mereka takkan mengusik. Esok pun mereka belum tentu berani mencoba-coba mengadu untung. Mari kita beristirahat."

   Gagak Seta menoleh.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia melihat Titisari berdiri dengan bersandar pada tiang pintu.

   Putri Adipati Surengpati itu, tak tahan berada di atas pembaringan, begitu mendengar suara hiruk-pikuk menggelundungnya batu- batu.

   Tanpa memedulikan luka yang sedang dideritanya, ia turun dari pembaringan dan sempat menyaksikan adegan terakhir tadi.

   "Kau puas tidak?"

   Sahut Gagak Seta.

   Titisari tersenyum.

   Pandangnya berseri-seri.

   Sebagai anak Adipati Surengpati yang terkenal ganas ibarat harimau, ia mewarisi sedikit banyak ayahnya, la bisa merasakan kegembiraan hati Gagak Seta seperti ke- gembiraan hatinya sendiri.

   Sebaliknya Sangaji yang berhati mulia, mempunyai kesan sendiri terhadap peristiwa yang berlaku di bawahnya.

   Alangkah cepat kejadian itu.

   Begitu sederhana.

   Batu digelundungkan.

   Lantas semuanya lenyap.

   Dilindas atau dilontarkan ke dalam jurang.

   Dan semuanya itu manusiatak beda dengan dirinya sendiri.

   Itulah sebabnya, ia segera memberi perintah menghentikan menggelundungkan batu.

   Kala itu, alam kembali gelap.

   Bulan di atas mulai suram.

   Udara hanya dipenuhi bintang-bintang yang bergetar lembut.

   Dengan sedikit menundukkan kepala, Sangaji melintasi jembatan batu, Gandarpati mengiringkan beberapa langkah di belakangnya.

   Murid Sorohpati ini nampak puas luar biasa.

   Bukankah jasa itu berada padanya? "Titisari! Kenapa kau turun dari pembaringan?"

   Sangaji menegur isterinya dengan kata-kata halus.

   "Kenapa?"

   "Lukamu."

   "Memang lukaku kenapa?"

   Sahut Titisari nakal.

   "Aku dapat berdiri tegak. Artinya lukaku tidak seberapa. Kau tak perlu khawatir."

   Sangaji tertawa syukur. Lalu menoleh kepada Gagak Seta.

   "Guru, sebenarnya mereka ini rombongan dari mana? Mereka memiliki senapan dan meriam."

   Gagak Seta tertawa.

   "Semenjak kanak kanak kau bergaul dengan kompeni. Kemudian para pendekar. Sekarang memimpin kancah perjuangan laskar Jawa Barat. Siapa lagi yang memiliki senjata begitu, kecuali Kompeni Belanda?"

   "Inggris, maksud Guru?"

   Sangaji menegas.."Belanda,"

   Jawab Gagak Seta. Sangaji heran. Dewasa itu yang memegang pemerintahan di Jakarta adalah Gubernur Raffles. Pemerintah Belanda sudah tiada lagi. Maka heranlah ia, apa sebab gurunya menyebut Kompeni Belanda. Mene- gas.

   "Kompeni Belanda masakan masih berkeliaran di sini?"

   Gagak Seta tertawa.

   "Isterimu menyuruh kita beristirahat dahulu. Mari kita gunakan kesempatan ini untuk memulihkan tenaga. Tentang Kompeni Belanda berada di belakang mereka, nanti kujelaskan dengan per- lahan-lahan...."

   Menuruti kata hati, sebenarnya ingin memperoleh penjelasan dengan segera.

   Banyaklah kejadian-kejadian yang masih merupakan teka-teki besar baginya.

   Seperti.

   siapakah Sirtupelaheli? Mengapa puteri itu mengenakan kedok? Mengapa gurunya bersikap segan terhadapnya? Apakah hubungannya antara Fatimah dan Sirtupelaheli? Dan apa sebab tiba-tiba Fatimah hendak dibunuhnya? Siapa sebenarnya ketiga utusan suci itu yang ternyata kini mendapat dukungan Kompeni Belanda? Untunglah, dia seorang pemuda yang berhati sabar.

   Maka ia bisa menahan gejolak hatinya.

   "Mari kudukung!"

   Katanya mengalihkan perhatiannya sendiri kepada Titisari. Titisari tersenyum senang, la tak menolak tatkala Sangaji memeluk pinggangnya dan mendukungnya ke pembaringan. Gagak Seta yang berada d belakangnya, tertawa senang. Katanya menjahili.

   "Hai anak iblis? Kalau ayahmu melihat engkau kena didukung oleh pemuda tolol itu, ingin aku melihat tampangnya."

   "Memangnya kenapa, Paman?"

   Sahut Titisari cepat.

   "Bukankah muridmu kini suamiku?"

   "Benar. Tetapi aku si orang tua jadi dengki dan iri hati. Baiklah. Aku berjanji hendak mencari seorang pengemis perempuan yang gagah biar bisa mendukung-dukung aku. Kalau aku sampai kena didukung seorang perempuan ketat, bukankah ayahmu jadi jelus juga?"

   Titisari dan Sangaji tertawa mendengar kata-kata Gagak Seta.

   Mereka kenal adat gurunya yang liar dan senang berkelakar.

   Sebaliknya, Gandarpati tak berani mengumbar bibirnya, la takut kena salah.

   Syukur, ia seorang pendiam.

   Maka dapatlah ia menguasai diri.

   "Hai, anak iblis!"

   Kata Gagak Seta lagi kepada Titisari.

   "Sebenarnya ingin aku mendengar alasanmu apa sebab kau menggunakan jurus nekat-nekatan untuk menolong si Tolol? Sebelum tidur, cobalah dengarkan dugaanku. Jurusmu yang pertama bukankah kau ambil dari salah satu jurus ilmu sakti Witaradya gubahan ayahmu sendiri? Itulah pukulan liar yang berintikan mati bersama, dengan lawan. Ayahmu seorang siluman. Meskipun begitu, belum pernah aku melihat dia teringat kepada jurus edan itu. Mengapa kau lebih edan dari ayahmu? Yang kedua, bukahkah salah satu jurus bunuh diri dari Banten? Kukira engkau memperoleh jurus itu dalam perantauanmu ke Jawa Barat kala mencari Sangaji. Bukankah begitu? Dan yang ketiga, hm... hm... darimana kau peroleh jurus terkutuk itu?"

   Titisari terkejut.

   Ia tak pernah menduga, bahwa dengan sekali melihat saja gurunya mengenal jurus-jurus tersebut yang mungkin takkan nampak di depan umum dalam waktu sepuluh tahun untuk satu kali saja.

   Sebab jurus itu hanya muncul bilamana keadaan sudah sangat memaksa.

   "Guru menebak kedua jurus dengan tepat"

   Katanya.

   "Yang ketiga adalah ciptaanku sendiri. Inilah jurus yang kupersiapkan untuk menghadapi Sangaji. Aku kalah jauh dengan dia. Aku tahu, dia takkan menyakiti aku. Pastilah dia akan memelukku dari belakang. Dan pada saat itu, aku menikam diriku dalam-dalam sampai ujung pedang menikam dada Sangaji yang memelukku rapat-rapat. Dengan begitu, bukankah aku dan dia bakal berangkat ke dunia lain dengan berbareng."

   Menggeridik bulu roma Sangaji mendengar keterangan isterinya.

   Itulah jurus bunuh diri dengan berbareng, apabila dirinya benar-benar mengawini Sonny de Hoop.

   Syukur, ia tak jadi kawin.

   Dan jurus terkutuk itu sendiri, membuktikan batapa besar cinta kasih isterinya kepadanya.

   Dan memperoleh kesan demikian, ia lantas memeluk isterinya rapat-rapat.

   Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.

   "Dasar kau anak siluman! Tapi mengapa kini kau gunakan dalam menghadapi ketiga utusan itu?"

   "Karena aku tak rela Sangaji kena dikalahkan. Aku melihat tidak sungguh-sungguh melayani mereka,"

   Sahut Titisari tegas.

   "Tak bersungguh-sunguh?"

   Gagak Seta tercengang.

   "Apa maksudmu?"

   "Bukankah dia hanya menggunakan tenaga saktinya tujuh bagian saja? Kalau aku kena dibunuh mereka, aku percaya dia akan menentukan dendamku."

   Gagak Seta terkejut mendengar keterangan itu.

   Ia memang tahu, muridnya seorang pemuda yang berhati mulia.

   Dalam menghadapi musuh betapa jahat pun, tak pernah terlintas di ingatannya untuk membunuhnya.

   Sebenarnya ini suatu kelemahan yang akan digunakan oleh musuh-musuhnya yang cerdik.

   Sebaliknya, keputusan Titisari hanya bisa terjadi dalam diri seorang siluman belaka.

   Memperoleh pertimbangan itu, ia meng- hela napas.

   Dan ia tak berkata-kata lagi.

   Menjelang tengah malam, keadaan alam berubah.

   Hujan tiba-tiba turun dengan deras.

   Turunnya hujan, membuat hati mereka kian tenteram.

   Setelah memperoleh pengalaman pahit, pastilah laskar Utusan Suci tak berani mengulangi perbuatannya dengan mencoba-coba mengepung buruannya dekat dekat.

   Yakin akan hal itu, mereka lantas tidur dengan nyenyak.

   Kira-kira mendekati fajar hari, Gagak Seta yang berusia lanjut tersadar lebih dahulu dari tidurnya.

   Kala itu, hujan telah reda.

   Dengan penuh kasih, ia mendengarkan suara napas keempat orang yang saling menyahut seakan-akan sedang berlomba.

   Napas Fatimah terdengar agak sesak.

   Napas Titisari perlahan dan panjang.

   Napas Gandarpati pendek-pendek penuh kekuatan.

   Dan yang luar biasa adalah suara napas Sangaji.

   Suara napasnya terdengar seperti terputus dan bersambung.

   Antara ada dan tiada.

   Dan mendengar napas Sangaji, bukan main rasa kagumnya Gagak Seta.

   Dia adalah seorang pendekar besar yang jarang menemukan tandingan.

   Beberapa manusia yang dikenalnya, tidaklah terhitung lagi jum- lahnya.

   Tetapi mendengar napas Sangaji yang luar biasa itu, berkatalah dia di dalam hati.

   "Benar-benar hebat ilmu warisan yang diperolehnya. Pantaslah orang-orang berani mengadu jiwa untuk mendapatkannya."

   Napas Fatimah pun lambat laun berubah aneh pula. Mula-mula sesak karena lukanya yang parah. Kemudian berubah sangat cepat dan perlahan. Itulah suatu tanda, bahwa gadis itu telah memiliki ilmu sakti yang bersifat luar biasa.

   "Aneh,"

   Pikirnya heran.

   "Apakah dia diam-diam memperoleh semacam kesaktian di luar pengetahuan Kyai Kasan Kesambi?"

   Gagak Seta tahu, gadis itu murid Suryaningrat dan Suryaningrat adalah murid Kyai Kasan Kesambi kelima.

   Dengan sendirinya, macam ilmu sakti yang diajarkan kepada Fatimah pastilah sealiran pula.

   Apa sebab, gadis itu memiliki tata napas yang jauh berlainan dengan anak- anak murid Kyai Kasan Kesambi ? Tiba-tiba suatu ingatan berkelebat dalam benak Gagak Seta.

   Tak terasa terloncatlah perkataannya.

   "Ah! Apakah dia..."

   Pada saat itu, mendadak Fatimah membentak-bentak.

   "Sangaji! Kau memang anak setan cilik! Kau bilang mau membawa isterimu kepadaku. Tapi sekian lamanya aku menunggu, kau tak pernah muncul. Kalau tahu begini, siang-siang aku harus meracunimu..."

   Sangaji, Titisari dan Gandarpati tersadar dari impiannya begitu mendengar suara bentakan. Dengan berbareng mereka menoleh.

   "Sangaji!"

   Bentak Fatimah.

   "Kau memang anak tolol! Tapi untungmu besar. Kau tahu, aku hidup sebatang kara dalam benteng batu. Mengapa engkau cepat-cepat pergi, begitu bertemu dengan gadis pilihanmu?.... Gadis pilihanmu itu memang cantik luar biasa. Tapi mengapa engkau hendak kawin dengan anak seorang Kompeni Belanda. Dasar kau anak setan! Seumpama aku jadi Titisari, kau sudah kupotong-potong menjadi dua puluh tujuh bagian... Kau... Kau..."

   Sangaji menghampiri dan meraba pipinya.

   Bukan main panasnya.

   Tak ubah bara menyala.

   Maka tahulah dia, bahwa Fatimah mengigau karena pengaruh suhu badannya.

   Setelah bergaul dengan Manik Angkeran, ia mengerti ilmu ketabiban.

   Tapi pada saat itu, ia tidak membawa ramuan obat dalam.

   Satu-satunya jalan yang dapat dikerjakan, hanyalah merobek ujung bajunya dan dicelupkan ke dalam kubang air.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian meletakkan di atas dahi Fatimah sebagai kompres.

   Kena dingin air, tetap saja Fatimah mengigau.

   Bahkan makin hebat.

   Ia berteriak-teriak tak keruan.

   Jeritnya.

   "Kakak.... Kakak... Kak Wirapati! Mengapa engkau meninggalkan kami? Ayah Bunda mati karena memi- kirkan engkau... Hm! Bukankah kau pergi ke barat lantaran bocah bau itu?"

   Terharu hati Sangaji mendengar bunyi igauan Fatimah.

   Ia tahu siapakah yang dimaksudkan dengan bocah bau.

   Itulah dia sendiri.

   Seperti diketahui, gurunyaWira-pati dan Jaga Saradenta bertaruh dengan Ki Hajar Karangpandan.

   Selama dua belas tahun, Wirapati harus bisa menemukan Sangaji dan Ki Hajar Karangpandan menemukan Sanjaya.

   Mereka bertiga harus mengasuh anak didiknya masing-masing untuk diadu kepandaiannya setelah selang dua belas tahun.

   Karena pertaruhan itu, Wirapati tak berkesempatan berpamit.

   Ia pergi tanpa kabar selama dua belas tahun.

   Dan teringat akan hal itu, bukan main gejolak hati Sangaji.

   Ia merasa diri berhutang budi setinggi gunung.

   "Fatimah! Kakakmu sangat besar budinya kepadaku,"

   Kata Sangaji.

   "Untuk membalas budinya, aku bersedia melakukan apa saja."

   Tentu saja, Fatimah yang berada di bawah sadar tak dapat dibuatnya mengerti. Setelah mengucapkan beberapa patah perkataan yang sukar ditangkap, terdengarlah kata-katanya yang agak terang.

   "Sangaji...Kau ini memang membuat aku susah saja. Coba kau tak berada di dalam bentengku, pastilah aku tidak bakal terseret-seret dalam peristiwa ini. Semua orang lantas tahu, bahwa kau telah menemukan semacam ilmu sakti terhebat dalam dunia ini, berkat mengeram di bentengku. Untuk mencoba-coba mencarimu, mereka tak berani. Lalu akulah yang menjadi kambing hitamnya.... Aku ditawan.... Disiksa.... lantaran mereka yakin, aku mengerti tentang bunyi-bunyi bait ilmu saktimu. Untunglah aku ditolong Bibi Sirtupelaheli. Kau tahu siapa dia? Dialah adik Ratu Mangkarawati.... Kabarnya dia puteri Bupati Pacitan."

   Sangaji menoleh kepada Gagak Seta.

   Orang tua itu mengangguk membenarkan.

   Dan ia jadi tertarik.

   Segera ia menatap wajah Fatimah kembali.

   Tetapi gadis itu, tiba- tiba membungkam.

   Ia tak berkata-kata lagi.

   Wajahnya nampak mengharukan.

   Dan melihat wajah demikian, Sangaji yang berperasaan halus tergetar hatinya.

   Tak dikehendaki sendiri ia menghela napas.

   Berkata kepada Titisari.

   "Bagaimana pendapatmu!"

   Puteri Adipati Surengpati itu mengkerutkan keningnya. Sejenak kemudian menjawab.

   "Bibi kita ini, rupanya menderita sengsara begitu berpisah dengan kita. Hanya sayang, kata-katanya belum begitu jelas untuk dimengerti."

   Sangaji mengangguk. Pada saat itu, mendadak Fatimah menjerit tinggi. Lalu berteriak.

   "Mengapa kau memaksa aku meneguk minuman ini? Bukankah ini mengandung racun?... Oh Bibi, jangan kau berkata bu- kan-bukan. Pangeran Ontowiryo adalah suami saudaraku, Retnaningsih. Mengapa kau menuduh aku hendak merebut suaminya? Aku ini anak apa?.... Tidak, bukan itu yang kau maksudkan. Kau hanya meng- inginkan benda itu pula. Ah, kau pun akhirnya seperti yang lain-lain.... Sangaji! Sangaji! Tolong! Tolong aku. Aku harus meneguk minuman ini. Tolong... aku takut...."

   "Fatimah! Fatimah! Jangan takut! Aku berada disampingmu "

   Seru Sangaji dengan hati tersayat-sayat.

   "Sangaji "

   Bisik Fatimah.

   "Kau merantau ke Jawa Barat. Apakah kau bertemu dengan tunanganku, Manik Angkeran? Bilang padanya, bahwa racun yang mengeram dalam diriku makin lama makin parah. Kalau dia belum berhasil juga menemukan obat pemunahnya... sudahlah. Suruhlah dia pulang menemui aku.... Dan aku akan mati meram...."

   Sangaji terkejut. Minum racun? Ia menoleh kepada Gagak Seta dan Titisari untuk memperoleh pendapatnya. Kedua-duanya ternyata membungkam mulut.

   "Baiklah kukatakan kepadamu...."

   Bisik Fatimah.

   "Aku pernah didatangi seorang yang mengaku bernama Dipajaya. Dialah yang mengajarkan aku semacam ilmu sakti. Untuk bisa mewarisi ilmu saktinya, aku diwajibkan minum obat ramuannya Manik Angkeran bilang, itulah racun. Tapi ia tak bisa menyembuhkan. Lantaran itu, ia minggat lagi entah kemana. Dia bilang mau balik kembali setelah dapat memunahkan racun jahat yang mengeram dalam diriku. Baiklah, hal tu bisa dimengerti. Tapi mengapa engkau yang sudah memiliki ilmu sakti, tidak sudi menolong aku? Iddiih... bukankah engkau sudah memakan habis dua ekor ayamku15) Kau ini memang anak setan!"

   Setelah berbisik demikian, ia lalu bersenandung.

   Jernih suaranya.

   Di atas bukit dalam alam kelam, suara senandung itu terasa meraba-raba perasaan.

   kalau maut tiba nanti siapakah, yang sanggup melarikan diri maka nikmatilah, hari-hari bahagiamu kalau bisa seratus dua ratus tahun sekiranya engkau telah pergi kemanakah tujuanmusayang kau pergi laksana angin tanpa bekas tanpa tujuan danaku...

   siapakah lagi yang bakal menjadi temanku menunggu hari-hari maut tiba ah, sayang...

   semuanya bakal pergi satu demi satu dan aku bakal kesepian bakal pergi ke tempatmu juga Ia mengulangi senandung itu berulang kali.

   Makin lama makin perlahan.

   Dan akhirnya bibirnya tak bergerak 15) Sewaktu Sangaji teriuka parah, ia membawakan dua ekor ayam.

   Baca Bende Mataram

   Jilid 9.

   lagi.

   Dan napasnya yang sebentar cepat dan sebentar perlahan, mulai terdengar kembali.

   Mereka yang mendengar bunyi senandung Fatimah diam dengan merenung-renung.

   Memang benar semua orang yang pernah dilahirkan akan pergi entah kemana.

   Tak peduli ia seorang gagah, sakti, mulia atau jahat.

   Kemana mereka bakal pergi, siapakah dapat menjawabnya.

   Semuanya tak bakal diketahuinya seperti darimana mereka tadinya tiba di dunia.

   Sangaji merenungi Fatimah sebentar.

   Kemudian balik ke pembaringan memeriksa pergelangan tangan Titisari.

   Ia bersyukur, karena ketegaran tubuh isterinya tidak terganggu lagi.

   Sekonyong-konyong di kesunyian itu, Gagak Seta berkata.

   "Ah, benar. Aku sudah mengira. Jadi dia masih hidup?"

   "Siapa?"

   Titisari minta keterangan.

   "Dipajaya. Siapa lagi?"

   "Siapakah Dipajaya?"

   Gagak Seta menghela napas.

   "Itulah berhubungan dengan Sirtupelaheli. Senandung yang dinyanyikan Fatimah adalah ajarannya. Beberapa puluh tahun yang lalu, pernah aku mendengar Sirtupelaheli menyanyikan senandung itu. Hai! Sama sekali tak kusangka, Sirtupelaheli bisa berlaku sangat kejam terhadap anak ini."

   "Paman,"

   Kata Titisari.

   "Kau belum memberi keterangan, siapakah orang yang bernama Dipajaya. Kau malah menghubung-hubungkan dengan Nenek Sirtupelaheli. Kemudian Fatimah. Mengapa Paman mem- beri keterangan terpotong-potong?"

   "Kau ini memang anak siluman! Selamanya kau memaksa aku."

   Gagak Seta meng-gerendeng.

   "Tapi mengingat ayahmu, biarlah kujelaskan. Apakah kau tak dapat menduga bahwa ketiga orang itu berhubungan pula dengan datangnya mereka bertiga yang menamakan diri Utusan Suci?"

   Mendengar ucapan Gagak Seta, baik Sangaji maupun Titisari terkejut. Serentak mereka berkata menegas.

   "Mempunyai hubungan dengan ketiga Utusan Suci?"

   Gagak Seta tertawa melalui dadanya. Kemudian berkata menerangkan.

   "Kamu tahu darimanakah aku datang? Aku ini anak Jawa Timur. Sirtupelaheli anak Jawa Timur. Dipajaya pun anak Jawa Timur. Umur kami bertiga hampir sebaya. Sebenarnya aku lebih tua daripada Sirtupelaheli. Tetapi aku membiarkan diriku dipanggil adik. Hal ini ada sebab-musababnya. Begini...

   "

   Sampai di sini Gagak Seta nampak ragu-ragu.

   Sangaji dan Titisari kenal watak serta tabiatnya.

   Mereka tidak berani terlalu mendesak.

   Kalau ingin memperoleh apa yang dikehendaki, mereka harus berani menunggu kerelaan hatinya.

   Kalau Gagak Seta tak ingin berbicara, siapa pun tak dapat memaksanya.

   Sebaliknya kalau senang mengumbar mulut, orang akan dipaksanya untuk mendengarkan omongannya.

   Pada waktu itu, fajar hari telah menyingsing.

   Hawa pegunungan yang segar dingin mulai menggerayangi kulit dan tulang.

   Gntung mereka yang berada dalam gubuk itu adalah manusia-manusia kuat.

   Mereka tak terpengaruh oleh hawa betapa dingin pun.

   Secara wajar, ilmu saktinya melindungi tubuhnya.

   Fatimah tiada terdengar suaranya.

   Gandarpati yang berada di dekat pintu tetap membungkam mulut seperti sikapnya semalam.

   Ia lagi dirundung malang, karena ditinggalkan gurunya untuk selama-lamanya.

   Tetapi berada di tengah mereka hatinya terhibur.

   Apalagi dia tadi mendengar kabar, bahwa Astika telah diselamatkan Adipati Surengpati.

   Kegelisahan hatinya sirna sebagian.

   "Baiklah kumulai saja siapakah sebenarnya mereka yang menamakan diri Utusan Suci."

   Gagak Seta tiba-tiba membuka mulutnya lagi.

   "Itulah sebuah aliran suatu kepercayaan. Suatu kepercayaan, bahwa mereka yang bernaung di bawah panji-panji alirannya menganggap diri sebagai pembina kedamaian dunia. Terjadinya kepercayaanitu, lantaran sejarah leluhurnya. Ceritanya begini. Alkisah pada zaman Raja jayanegara bertahta di Majapahit, terdapatlah seorang guru besar bernama. Empu Suradharma. Dia mempunyai lima orang murid terkemuka. Gajah Mada, Purusyadasyanta yang kelak terkenal dengan nama Empu Kapakisan, Prapanca, Kertayasya dan Brahmaraja. Prapancha mengutamakan ilmu sastra. Dikemudian hari ia menjadi pujangga istana yang meninggalkan warisan sastera sangat banyak. Tapi sejarah hanya menemukan sebuah karyanya, ialah. Negarakertagama.16) Kertayasya dan Brahmaraja menjadi pujangga pula, tetapi lebih mengutamakan pada ilmu keprajuritan dan ketuhanan. Mereka berdua menjadi 4) Diketemukan di Lombok pada tahun 1904 pendeta pada hari tuanya dan membuka suatu perguruan dengan pahamnya masing-masing. Sebaliknya, Gajah Mada lebih mengutamakan pada soal-soal tata negara dan ilmu negara. Sedangkan Purusyadasyanta unggul dalam hal ilmu kawiryan.17) Mereka berlima bersahabat erat, malahan dikemudian hari bersumpah seia-sekata untuk sama-sama suka dan duka. Setelah turun dari rumah perguruan, Gajah Madalah yang paling beruntung. Ia menjadi Mantrimukya18) Raja Hayam Wuruk. Waktu keempat sahabatnya datang bukan main girangnya. Segera ia memohon kepada Raja, agar Prapancha, Kertayasya dan Brahmaraja diangkat menjadi pujangga-pujangga istana. Mereka semua menerima pengangkatan itu dengan gembira. Sebaliknya Purusyada-syanta malahan menghilang dalam perjalanan ke istana. Gajah Mada menyesal dan kecewa bukan main. Namun ia tak dapat menghalang-halangi atau mencoba mencari kembali sahabatnya seorang itu. Ternyata Purusyadasyanta sudah semenjak lama mendirikan suatu padepokan di atas Gunung Kapakisan. Dan selanjutnya ia menyebut diri sebagai Empu Kapakisan. Di dalam padepokannya itu ia menggubah bermacam-macam ilmu kepandaian yang ditulisnya pada dinding gua. Di antara gubahannya terdapat ilmu sakti bernama Witaradya. Itulah ilmu sakti kebanggaan Adipati Su-rengpati. Bukankah begitu?" 17) Kesaktian 18) Perdana Menteri Titisari tercengang. Hatinya begitu tertarik sampai ia terbangun dari pembaringan. Namun tak berani ia membuka mulut, lantaran takut memotong cerita Gagak Seta. Diluar dugaan Gagak Seta menegas padanya.

   "Bukankah begitu?"

   "Benar."

   Titisari lantas menyahut. Gagak Seta tertawa menang.

   


Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Pendekar Kembar Karya Gan KL Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id

Cari Blog Ini