Pedang Sakti Tongkat Mustika 8
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 8
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Karena itu W irupaksa berempat terpaksa menerima keputusan Aria Puguh.
Mereka berempat tahu, bahwa Aria Puguh bakal menurunkan warisan-warisan ilmu sakti tinggi, yang tentu saja tak boleh dilihat seseorang.
Itulah sebabnya W irupaksa berempat segera pindah kamar, dan Lingga W isnu tidur dengan Aria Puguh.
Aria Puguh menunggu sampai mereka berempat masuk ke dalam kamarnya.
Kemudian ia membawa Lingga W isnu berjalan ke luar penginapan.
Malam hari kala itu sangat pekat, sehingga baik Aria Puguh maupun Lingga W isnu tak dapat melihat tubuhnya masingmasing.
Kata Aria Puguh.
"Ilmu kepandaianku ini kuperoleh dari seorang sakti yang telah berusia lanjut. Aku sendiri belum berhasil menyelami sampai ketataran kesempurnaan. Meskipun demikian, apabila hanya untuk melayani pendekarpendekar kelas dua atau kelas tiga, rasanya sudah cukup. Tatkala aku mewarisi ilmu pukulan ini, orang aneh itu memaksa aku untuk bersumpah kepadanya. Bahwasanya semenjak itu tak boleh aku menghina orang-orang yang berkelakuan baik atau mencelakai seseorang tanpa alasan."
Lingga W isnu seorang anak cerdas.
Segera ia mengerti maksud Aria Puguh.
Katanya di dalam hati .
'Sebelum menerima ajarannya aku diwajibkan bersumpah dengan berlutut.
Aku dibawanya berjalan ditengah alam yang gelap pekat.
Maksudnya bukan aku berlutut kepadanya, akan tetapi kepada diriku sendiri dan bersarbah kepada orang aneh yang memiliki ilmu pukulan sakti yang akan diajarkan."
Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlut ut benar-benar. Sumpahnya.
"Aku Lingga W isnu, dengan ini bersumpah, kepada diriku sendiri, kepada penilik ilmu sakti akan diajarkan kepadaku, kepada bumi dan langit serta Tuhan serta sekalian alam. Bahwasanya set elah aku mewarisi ilmu sakti ini tidak akan kupergunakan untuk menghina orangorang yang bertabiat baik dan mencelakai seorang t anpa alasan. Apabila ternyata dikenudiap hari aku melanggar janji ini, paman Aria Puguh boleh datang kepadaku, untuk membunuh diriku."
Mendengar sumpah Lingga W isnu, Aria Puguh tertawa. Ujarnya.
"Bagus! Berdirilah tegak kembali dan dengarkanlah! Tahukah engkau, ilmu sakti apakah yang hendak kuajarkan kepadamu?"
"Pastilah ilmu sakti yang terelok di dunia ini!"
Jawab Lingga W isnu dengan suara penuh semangat. Sekali lagi Aria Puguh tertawa. Berkata.
"Inilah ilmu sakti Sapu Jagad! Esok pagi bisa kita mulai ..."
Aria Puguh berkata esok pagi, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya melesat.
Gerakan itu mengherankan dan mengagumkan Lingga W isnu.
Gurunya yang baru itu, lenyap dari pengamatannya.
Tatkala menoleh, gurunya sudah berada di belakang punggungnya dan menepuk pundaknya.
"Kau t angkaplah aku!"
Seru gurunya.
Lingga W isnu telah memperoleh dasar-dasar ajaran ilmu sakti Sardula Jenar dari ke empat gurunya, W irupaksa, Kredana, Jabrik dan Putaksa.
Kecuali dasar pembawaannya baik, diapun seorang anak yang cerdik dan cerdas luar bias.
Maka begitu mendengar seruan Aria Puguh, ia tidak segera memutar tubuhnya untuk menangkap.
Akan tetapi mengendapkan pundaknya dahulu, kemudian baru tangan kirinya d igerakkan.
Dan tangan kanannya tiba-tiba menyusul menyambar sambil mendengarkan kesiur angin gerakan tubuh gurunya.
Dan pada saat itulah, kedua tangannya tiba-tiba menyamber ke arah kaki.
"Bagus! Inilah cara menangkap yang tiada celanya sama sekali!"
Seru gurunya.
Namun sambaran yang bagus itu tiada berhasil.
Sebaliknya sekali lagi pundaknya kena ditepuk.
Lingga W isnu terkejut, secepat kilat ia memutar tubuhnya, tetapi tubuh gurunya lagi-lagi luput dari pengamatannya.
Menghadapi kecepatan gerak gurunya itu, otak Lingga W isnu yang cerdik lantas saja bekerja.
Terinaatlah dia ajaran-ajaran keempat gurunya yang pernah memberinya dasar-dasar rahasia ilmu sakti Sardula Jenar.
Sekarang, tidak lagi la memut ar tubuh atau menyambar sasaran.
Sebaliknya, selangkah demi selangkah ia berjalan mengarah ke sebuah batu besar set inggi gubuk.
Begitu menghanpiri, segera ia memut ar tubuhnya dengan dinding batu di belakang punggungnya.
Kemudian berseru girangi "Guru.
Sekarang tak dapat lagi guru menyelinap dibelakang punggungku.
Aku dapat melihat gerakan guru!"
Inilah suatu kecerdikan yang mengagumkan Aria Puguh. Dengan berdiri d i depan sebuah batu besar, tak dapat lagi ia menyelinap di belakang punggung bocah itu. Maka sambil t ertawa ia berkata .
"Bagus! Bagus sekali! Kau cerdik dan mempunyai bakat besar! Dikemudian hari pastilah dapat engkau mewarisi ilmu sakti Sardula Jenar dengan sempurna!"
Keesokan harinya, Aria Puguh mulai memberi pelajaran jurus-jurusnya.
Dalam beberapa hari saja selesailah sudah, seratus delapan jurus yang mempunyai tiga perubahan pada setiap gerakannya.
Mengelak dan menyerang silih berganti, sehingga semua jurusnya berjumlah tiga ratus duapuluh empat.
Seperti diket ahui, Lingga W isnu memiliki ot ak yang cerdas luar yang jarang terdapat di dunia.
Baru saja diajari tiga kali sudah dapat menghafal dan memahami semuanya.
Bahkan dengan perlahan lahan ia dapat pula melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu sakti Sapu Jagad dengan tepat sekali.
Menyaksikan hal itu, diam-diam Aria Puguh bergembira bukan kepalang.
Terus saja ia mulai memecahkan intisari jurus-jurus yang sudah dipahaminya itu.
Pandai sekali Aria Puguh meresapkan ajarannya ke dalam perbendaharaan muridnya.
Sebaliknya, Lingga W isnu yang mempunyai bekal otak cerdas luar biasa dan bersungguh-sungguh, dengan mudah saja dapat menangkap sernua keterangan dan penjelasan gurunya.
Inilah yang dinamakan suatu perjodohan.
Gurunya rajin, ulat dan telaten, sedangkan muridnya memiliki sorangat penuh dan bersungguh sungguh.
Pada setiap malam, tigapuluh jurus dengan pecahan-pecahannya dan perubahannya dapat dilampaui dengan cepat serta sempurna.
Apabila sedang berlatih, bocah tanggung itu tidak mengingat waktu lagi.
Tahu-tahu fajar hari telah tiba.
Pada pagi hari ke-empat, t atkala Aria Puguh berjalanjalan menghirup udara segar, tiba-tiba ia melihat Lingga W isnu masih saja asyik berlatih.
Ia jadi kagum akan kemajuan yang keras.
Setelah memperhatikan selint asan, ia menjadi heran, lantaran muridnya dapat melakukan int i rahasia ilmu Sapu Jagad dengan sempurna.
Padahal ia baru saja mengajarkannya.
Keruan saja ia bersyukur dalam hati.
Dengan berjingkit ia menghampiri muridnya.
Kemudian melompat dengan mendadak serta menghantam punggung muridnya.
Lingga W isnu kala itu sedang bertekun menyelidiki jurus ke sembilan puluh delapan.
Tiba t iba ia mendengar kesiur angin tajam mengancam punggungnya.
Cepat luar biasa ia berputar tubuh sambil meloncat ke sarrping.
Tangan kanannya di tabalkan untuk menangkis berkelebatnya kaki selagi menendang dirinya.
Akan tetapi begitu mengenali siapakah penyerangnya, segera ia menarik t angkisannya.
"Paman Puguh"
Seruhnya girang.
"Jangan berhenti! Hayo, serang terus!"
Sahut Aria Puguh dengan tertawa.
Ia mendahului menyerang kepala.
Dengan cepat Lingga W isnu mengelakkan diri.
Kakinya dimajukan selangkah, agak kesamping dan dari situ ia mulai mengirimkan serangannya mengarah pinggang.
Inilah jurus ke sembilan puluh delapan.
"Bagus! Begitulah seharusnya!"
Puji Aria Puguh.
Guru ini segera menangkis dan kembali menyerang.
Lingga W isnu melayani serangan gurunya beberapa jam lamanya.
Seringkali ia salah langkah dan gurunya segera membetulkan, sehingga ia jadi sangat bersyukur.
Semangat tempurnya makin lama makin menghebat.
Terus-menerus ia melayani gurunya, sehingga habislah semua tiga ratus dua puluh arrpat jurus.
Namun gurunya enggan berhenti.
Bahkan dia menyerang lagi dan mengulang semua jurus-jurus pukulan sampai beberapa kali.
Dan Lingga W isnu sendiri seolah-olah memperoleh suatu mustika yang tak ternilai harganya.
Dengan tak disadari sendiri ia telah menggenggam beberapa macam rahasia pukulan ilmu sakti Sapu Jagad, yang belum pernah diperolehnya dari keempat gurunya dahulu.
"Sekarang marilah kita beristirahat"
Ajak Aria Puguh setelah melihat muridnya itu mandi ker ingat.
Akan tetapi selagi duduk beristirahat ia mulai memberikan berbagai penjelasan penjelasan pent ing.
Dan apabila melihat muridnya sudah cukup beristirahat, kembali lagi ia melatihnya dengan sungguh-sungguh.
Mereka berdua, guru dan murid, terus menerus berlatih sampai tiba saat bersantap pagi hari.
Kemudian kembali mereka berlatih lagi sampai matahari condong ke barat.
Setelah makan siang, lagi-lagi mereka berdua berlatih sampai jauh malam.
Tegasnya, mereka berhenti beristirahat apabila waktu makan tiba.
Tak terasa, tujuh hari lewatlah sudah.
Pada malam hari kedelapan, Aria Puguh berkata kepada Lingga W isnu .
"Anakku, apa yang kumiliki kini sudah kuberikan kepadamu. Sekarang tinggal caramu sendiri meyakinkannya. Apabila menghadapi musuh, seseorang akan mengandal pada tujuh bagian latihannya dan tiga bagian pada kecerdasannya kalau kau hanya mengandal kepada latihanmu saja akan sukarlah memperoleh kemenangan. Sebaliknya apabila engkau hanya mengandal kepada kecerdasanmu belaka, hasilnya sama pula. Engkau tidak akan berdaya, karena engkau melupakan latihanmu. Kedua unsur itu harus saling mengisi."
Dengan bersungguh-sungguh Lingga W isnu merasukkan nasehat gurunya itu ke dalam perbendaharaan hatinya.
Di kemudian hari ia dapat membuktikan kebenaran pesan itu.
Karena rajin berlatih dan dibantu oleh kecerdasan otaknya, ia berhasil melandaskan dendam orang tuanya yang mati tak berliang kubur.
"Esok pagi aku harus bergabung kepada Panglima Sengkan Turunan kembali,"
Kata Aria Puguh lagi.
"Maka semenjak malam in i engkau harus sanggup berlatih seorang diri."
Merah kedua mata Lingga W isnu yang mendengar ucapan gurunya itu.
Hampir-hampir saja tak sanggup ia menahan linangan air matanya.
Benar dia baru berkumpul beberapa hari saja, akan tetapi sepak terjang gurunya itu sangat menawan hatinya.
Dia seorang yang manis budi mengajarnya dengan sungguh-sungguh.
Aria Puguh sebenarnya seorang peperangan yang ulung.
Seringkali ia melihat berbagai peristiwa yang menggoncangkan hatinya.
W alaupun demikian, melihat muridnya itu mendadak menundukkan kepalanya, hatinya tak urung menjadi terharu juga.
Terus saja ia mengusap-usap rambut bocah itu.
Katanya dengan suara membujuk.
"Lingga, jarang sekali aku bertemu dengan seorang yang berbakat dan cerdik sebagai engkau. Hanya sayang sekali, kita berdua t idak di perkenankan berkumpul lebih lama lagi."
"Bagaimana kalau aku ikut paman saja, bergabung dengan Panglima Sengkan Turunan?"
Lingga W isnu mencoba.
"Engkau masih begini keci , Lingga. Belum bisa engkau hidup di dalam kancah peperangan."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Aria Puguh, Lingga W isnu hendak menjawab ucapan gurunya itu.
Mendadak terdengar suara teriakan kaget yang sangat riuh.
Bulu kuduknya lantas saja meremang dengan tak dikehendakinya sendiri! Dan bersama gurunya, ia lari mendaki tanjakan.
Begitu melihat apa yang terjadi dibawah gunung, mereka berdua kaget bukan kepalang.
Seluruh gunung menjadi terang benderang oleh nyala api yang datangnya dari bawah.
Lalu nampaklah berbagai senjata berkilauan.
Itulah gabungan tentara Belanda dan laskar Kasunanan, yang dengan tiba-tiba saja t elah mengurung puncak gunung Merbabu.
Pendekar-pendekar gagah yang bergabung dalam laskar perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, baru saja bubar.
Yang masih berada di atas gunung tidak begitu besar jumlahnya.
Inilah suatu masalah yang menyulitkan! Merekapun tidak berjaga-jaga atau memperoleh berita terlebih dahulu tentang sergapan tentara Belanda dan laskar Kasunanan itu.
Hal itu disebabkan lantaran penjaga-penjaga yang berada di gardu-gardu penjagaan telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian, tiada seodangpun diant ara mereka yang dapat memberi t anda bahaya.
Lingga W isnu sendiri kala itu sedih bukan main, lantaran harus berpisah dengan keempat gurunya yang pernah mendidiknya dengan sungguh-sungguh.
Inilah perpisahan yang amat menyakitkan hatinya.
Perpisahan yang tiada kata-kata selamat jalan atau selamat berpisah, lantaran di paksa oleh keadaan.
Apa yang dapat dilakukannya hanyalah membungkuk hormat beberapa kali t erhadap mereka.
Katanya tersekat-sekat .
"Paman Kardana, paman Jabrik, paman Putaksa. Sampaikan hormatku kepada paman W irupaksa yang ... aku ...
"
Tak dapat Lingga W isnu menyelesaikan katakatanya. Tenggorokannya seakan akan tersumbat. Tatkala ia mencoba menguasai diri, Pangeran Natayuda telah mendahului. Kata Pangeran Natayuda .
"Adikku, jangan engkau berpisah dari gurumu, Aria Puguh. Kau dengarkan setiap perkataannya."
Lingga W isnu masih berkutat dengan perasaan sendiri.
Untuk menjawab kata-kata Pangeran Natayuda, ia hanya dapat memanggut.
Dalam pada itu, suara berisik ditengah gunung terdengar semakin hebat.
Itulah suatu tanda bahwa tentara Belanda dan laskar Kasunanan sudah mulai mendaki bukit yang berada di depan.
"Mari!"
Ajak Jabrik.
"Saudara Aria Puguh, kau berangkatlah sebentar lagi, set elah kita berhasil menyesatkan musuh."
Mereka senua lantas mulai bekerja. Jabrik melihat Aria Puguh tidak bersenjata, maka cepat cepat ia melemparkan goloknya kepadanya sambil berkata setengah berseru .
"Saudara Aria Puguh, sambutlah ini!"
"Aku tidak membutuhkan senjata apapun!"
Sahut Aria Puguh. Ia menyambar golok Jabrik selagi golok itu sedang melayang di udara. Tatkala hendak dikembalikan kepada pemiliknya, Jabrik sudah lari jauh, sehingga ia membatalkan niatnya.
"Mari!"
Katanya kepada Lingga W isnu.
Dengan membawa golok ditangan kanannyaa, ia menarik lengan Lingga W isnu dengan tangan kirinya.
Kemudian dibawanya lari mengarah utara.
Dengan berlari-larian, mereka berdua mengitari belakang pasanggrahan.
Dari sana cahaya api nampak terang benderang.
Dan diant ara nyala api itu, nampak tentara Belanda dan laskar Kasunanan mendaki puncak gunung berlapis lapis.
Entah berapa jumlahnya.
Merekapun mulai menembakkan senjata apinya.
Ada pula diant ara mereka yang melepaskan anak panah bagaikan hujan.
Menyaksikan hal itu, Aria Puguh merandek kemudian ia balik memasuki dapur dan muncul kembali dengan membawa dua buah wajan.
"Inilah tamengmu!"
Katanya kepada Lingga W isnu sambil menyerahkan sebuah wajah kepadanya.
"Mari!"
Dengan berlompatan, mereka berdua memasuki kabut gelap. Dan pada saat itu terdengarlah teriakan serdaduserdadu Belanda dan laskar Kasunanan sambung menyambung .
"Kejar! Kejar!"
Dan laskar Kasunanan serta serdadu-serdadu Belanda itu berserabutan mengejar mereka berdua sambil memanah dan menembakkan senjata api.
Atela Puguh berjalan dibelakang.
Dengan perisai bajanya yang istimewa ia menangkis set iap anak panah dan senjata api tentara Belanda yang menghujani mereka.
Di tengah kesibukan itu tameng istimewanya menerbitkan suara berisik membisingkan telinga.
Lingga W isnu sendiri seperti mengerti akan tugasnya sebagai pembuka jalan.
Ia maju dengan bersenjata tombak pendek.
Tatkala kena pegat serdadu-serdadu yang sedang merangkaki t ebing, terus saja ia menyerang.
Dan belasan serdadu kena dirobohkan dengan gampang.
Akan t etapi tombak pendek itu merupakan senjata yang tidak tepat baginya.
Gerakannya tidak begitu leluasa.
Itulah sebabnya, setelah kena keroyok serdadu dan laskar Kasunanan lainnya, ia hanya dapat melindungi diri.
Tak lama kemudian sampailah mereka dipinggang gunung.
Baru saja mereka melepaskan napas lega, terdengar suara riuh lagi.
Pasukan serdadu Belanda yang dipimpin oleh seorang perwira tiba-tiba saja menerjang dari samp ing.
Perwira itu rupanya bermaksud hendak menangkap Aria Puguh dan Lingga W isnu hidup-hidup.
Itulah sebabnya ia melarang serdadu-serdadunya melepaskan peluru.
Sebaliknya, dengan pedang panjang di tangan ia memimpin pasukannya mengepung rapat rapat.
Aria Puguh menangkis sebatang pedang perwira itu.
Dalam satu bentrokan ia mengetahui bahw a perwira itu bertenaga besar.
Maka dengan sebat ia membalas menyerang.
"Maju"
Perwira itu memberi aba-aba kepada serdadunya.
Tak sudi Aria Puguh melayani perwira itu lama-lama.
Dengan melindungan tameng istimewanya ia mengancam perwira itu dengan golok pemberian Jabrik.
Ia menikam samb il membentak.
Dan celakalah perwira itu.
Tulang iganya kena tusuk sehingga ia berteriak kesakitan.
Sewaktu Aria Puguh mencabut senjatanya, ia menoleh.
Ternyata Lingga W isnu tak terlihat lagi.
Bukan main terkejutnya.
Dengan pandang beringas ia mengembarakan pandangnya.
Di sebelah kirinya ia melihat kerumun serdadu-serdadu sambil berteriak-teriak kalap.
Segera ia melompat dan menerjang.
Dan kena terjangannya, beberapa serdadu mundur dan menyibakkan diri dengan menderita luka-luka parah.
Ternyata Lingga W isnu dikepung oleh t iga orang serdadu yang bersenjata pedang panjang.
Tombak pendeknya sudah terlepas dari tangannya.
Ia melawan dengan jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jemar dengan tangan kosong.
Meskipun terdesak, namun masih bisa ia mempertahankan kedudukannya.
Menyaksikan hal itu, tanpa bersuara lagi Aria Puguh melompat menerjang.
Seorang serdadu roboh terjungkal dan menyusul yang kedua.
Dengan demikian tertolonglah Lingga W isnu.
"Mari!"
Ajak Aria Puguh. Dan sambil menarik tangan Lingga W isnu, ia menyibakkan beberapa serdadu yang masih menghadang di depannya.
"Kejar!"
Seru beberapa serdadu.
Dan mereka lantas saja mengejar beramai-ramai sairb il berteriak sambungmenyambung.
Mendengar teriakan sambung-menyambung itu sepasukan serdadu yang berada di sebelah kiri turun menerjang.
Aria Puguh membalikkan tubuh, dan menikam.
Dua serdadu roboh tertikam dengan sekaligus.
Kemudian ia menerjang yang ketiga yang mencoba merangsak dari depan.
Serdadu itu menjerit tinggi.
Menyaksikan hal itu, serdadu-serdadu lainnya yang sedianya hendak menerjang bersama-sama, tak berani mendesak lebih jauh.
Mereka merandek seperti patungpatung tak bernyawa.
Tentu saja hal itu merupakan kesempatan yang bagus sekali bagi Aria Puguh.
Cepat cepat ia menyambar Lingga W isnu dan kemudian didukungnya.
Dengan menggunakan ilmu saktinya, ia kabur sepesat angin.
Setelah dua ratus meter meninggalkan lawan, barulah ia menurunkan muridnya itu di atas tanah.
"Apakah engkau terluka?"
Aria Puguh mint a keterangan.
Lingga W isnu mengusap mukanya.
Tangannya menyentuh barang bergernyik.
Buru-buru ia memeriksa tangannya dalam cahaya bulan remang-remang.
Dan ia melihat cairan merah.
Itulah darah segar.
Keruan ia terkejut, hatinya tercekat pula tatkala melihat wajah gurunya berlepotan darah.
Gugup ia berseru .
"Paman! Darah ... darah ...!"
"T idak apa. Inilah darah serdadu serdadu yang kena tikamanku,"
Sahut Aria Puguh.
"Kau terluka atau tidak?"
"T idak,"
Jawab Lingga W isnu.
"Bagus,"
Aria Puguh bersyukur. Terus saja menggandeng Lingga W isnu seraya berkata .
"Mari, kita harus pergi secepatnya!"
Mereka lantas menyelusup diantara pepohonan, menghindari bahaya.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam lamanya, sampailah mereka di suatu lembah yang sama sekali tiada pohonnya.
Tatkala Aria Puguh melongok ke bawah, nampak cahaya terang di beberapa tempat.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puluhan serdadu berjalan mondarmandir dengan menyandang senjata.
Keruan saja hatinya terkejut bukan main.
Tak terasa ia berseru tertahan .
"Akh! Tak dapat kita lewat di situ. Kita harus mengambil jalan lain. Di sin i pun tiada semak belukar untuk berlindung."
Dengan t etap membimbing t angan Lingga W isnu, Aria Puguh membelok ke kanan.
Berjalan kira kira tiga ratus meter sampailah dia di depan sebuah goa buntu yang panjangnya hanya dua meter.
Goa itu tertutup oleh seriak belukar.
Karena tiada p ilihan lain, Aria Puguh membawah masuk Lingga W isnu ke dalam goa itu untuk bersembunyi dan melihat keadaan.
Lingga W isnu merasa sangat lelah.
Meskipun semenjak kanak-kanak hidup selalu dikejar-kejar oleh musuh-musuh ayah-bundanya, akan tetapi baru pada malam itulah dia bertempur secara berhadap-hadapan.
Maka begitu merebahkan diri, ia lantas tertidur nyenyak.
Aria Puguh segera mengangkat tubuhnya dan dipeluknya serta dipangkunya.
Setelah itu ia menajamkan pendengarannya agar dapat mengikuti perkembangan keadaan medan perang.
Di luar goa, suara riuh rendah belum juga berhenti.
Kemudian ia mendengar suara gemerotok keras.
Dan udara tiba-tiba menjadi terang benderang oleh nyala api.
Tahulah dia, bahw a perkemahan yang didirikan oleh himpunan laskar perjuangan di atas gunung Merbabu, telah dibakar musna oleh tentara-tentara penyerbu.
Hatinya panas bukan main.
Satu atau dua jam kemudian, terdengarlah suara terompet mengalun di udara.
Itulah suatu tanda bahwa komandan tentara Belanda memanggil laskar-laskarnya agar berkumpul dan turun gunung.
Hati Aria Puguh lantas saja berdebar-debar.
Pendengarannya yang tajam segera menangkap langkah-langkah kaki mereka berderapan.
Hatinya mengeluh dengan sendirinya.
Betapa tidak? Ia mendengar langkah-langkah serdadu penyerbu semakin mendekati goa persembunyiannya sehingga hatinya cemas bukan kepalang.
Kalau sampai serdaduserdadu itu menemukan goa persembunyiannya ...
entah apa jadinya.
dw Tiba-tiba terdengarlah seseorang duduk di luar goa.
Untunglah goa persembunyiannya teraling gerombol semak-belukar, sehingga orang itu tidak melihat dirinya.
Dengan menggengam senjata pemberian Jabrik erat-erat dan tangan kirinya menekap mulut Lingga W isnu, ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Ia terpaksa menekap mulut Lingga W isnu lantaran khawatir bocah itu terkejut dan berteriak.
Beberapa saat lamanya tiada terdengar sesuatu.
kecuali langkah-langkah sibuk.
Lalu tiba-tiba terdengar seseorang membentak .
"Bawa ke mari anjing itu!"
Kemudian terdengar beberapa orang menyeret seseorang berjalan ayal-ayalan. Pastilah itu seorang tawanan yang diseret beberapa serdadu secara paksa.
"Menurut penglihatan salah seorang pembantu kita, engkau menyerahkan senjatamu kepada seseorang. Siapa dia? Dan siapa pula bocah tanggung itu?"
Itulah bentakan seseorang yang memberi perint ah kepada beberapa serdadu membawa tawanannya.
Suaranya nyaring bagaikan genta pecah.
Dan oleh suara nyaring itu, Lingga Wisnu benar-benar tersadar dari tidurnya.
Syukur jauh-jauh sebelumnya Aria Puguh telah menekap mulutnya.
Maka begitu melihat Lingga W isnu tersadar dari t idurnya, segera ia membisiki.
"Diam ..."
Dalam pada itu orang yang memiliki suara nyaring luar biasa t adi, terdengar membentaknya lagi .
"Kau mau bilang apa tidak? Kalau engkau tetap membandel, kukutungi sebelah kakimu terlebih dahulu!"
"Jika engkau hendak mengutungi kakiku, lakukanlah!"
Tantang seorang dengan suara tajam.
"Aku, Jabrik, masakan takut kau kutungi? Meskipun kau kutungi kedua kaki dan tanganku, aku tidak akan merint ih atau menyesal. Kau boleh mengutungi kepalaku sekali! Huh!"
Mendengar suara Jabrik, Lingga W isnu jadi terkejut. Serunya tertahan .
"Paman Jabrik ...!"
"Ssstti Jangan bergerak!"
Bisik Aria Puguh.
"Jadi benar-benar engkau tak sudi mamberi keterangan? Baiklah!"
Lagi-lagi orang yang bersuara nyaring t adi membentak.
"Cah!"
Terdengar jawaban Jabrik. Dari dalam goa, Lingga W isnu dapat membayangkan bahwa gurunya tentulah meludahi orang itu. T iba-tiba ia terkejut t atkala mendengar erang gurunya.
"Aduh!"
Suara orang itu disusul dengan suara terbantingnya benda berat. Rupanya sebelah kakinya benar-benar dikutungi. Karena itu Lingga W isnu tak dapat Biguasai diri lagi. Ia merengut dari tekapan tangan Aria Puguh.
"Paman Jabrik!"
Lingga W isnu memekik sambil terus menerjang ke luar goa Begitu keluar dari mulut goa, ia melihat seseorang mengayunkan goloknya ke arah tanah.
Di antara cahaya api, ia melihat seseorang rebah menggeletak berlumuran darah.
Itulah gurunya, Jabrik! Dengan rasa gusar bukan kepalang, ia menerjang dengan salah satu jurus ilmu saktinya Sardulo Jenar yang mengandung ancaman maut.
Orang yang sedang mengayunkan goloknya itu memekik tinggi, begitu kena pukulan Lingga W isnu.
Matanya berkunang-kunang dan mundur sempoyongan dengan tak dikehendaki sendiri.
Selagi demikian, lengannya pun terasa sakit.
Sedang goloknya kena terampas.
Lingga W isnu tidak kepalang tanggung.
Setelah berhasil menghant am orang itu dan merampas senjatanya, ia membacoknya pula.
Meskipun belum memiliki h impunan tenaga sakti, akan tetapi tenaga jasman inya sudah cukup membuat somplak pundak serdadu itu.
Saking sakitnya, orang itu menjerit tinggi dan jatuh terkapar di atas tanah tak sadarkan diri.
Sebenarnya di depan goa terdapat beberapa serdadu yang bersikap mengurung tawanannya.
Namun peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba.
Lantaran kaget, mereka jadi tertegun saja.
Dan setelah melihat kawannya jatuh terkapar, barulah mereka tersadar.
Serentak mereka menerjang, sambil berteriak-teriak.
Lingga W isnu tidak gentar.
Dengan golok rampasannya, ia menyerang dan membela diri.
Sewaktu berada dalam bahaya, tiba-tiba meloncatlah seseorang dari dalam goa, dengan membawa senjata rant ai berkilauan.
Ternyata rant ai itu terbuat dari perak murni.
Begitu digerakkan di udara remang-remang, lantas saja berkeredepan menyilaukan mata.
Dialah Aria Puguh, yang meloncat keluar goa untuk melindungi Lingga W isnu dan dengan sekali menggerakkan senjata rant ainya, beberapa serdadu menjerit kesakitan.
Senjata mereka terpental ke udara.
Keruan saja serdadu-serdadu itu kaget bukan kepalang.
Beberapa orang yang masih berada d i luar gelanggang, lantas saja berseru seru mengabarkan tanda bahaya.
Sigap luar b iasa Aria Puguh menyambar Lingga W isnu dan dibawanya lari turun gunung.
Dan pada saat itu mereka berdua dihujani anak panah serta tembakan senjata api.
Tiba-tiba diant ara serdadu-serdadu yang kalang kabut itu, muncullah empat orang yang gerakannya sangat gesit.
Dengan sekali melihat, tahulah Aria Puguh bahwa mereka berempat memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
Seorang diant ara mereka memasang gendewanya dan melepaskan anak panah.
Aria Puguh kala itu lari sambil mengempit Lingga W isnu.
Ia berlompatan ke sana ke mari untuk menghindari sambaran anak panah dan mesiu senjata berapi.
Tatkala mendengar kesiur angin tajam mengancam tengkuknya, cepat-cepat ia mengendapkan diri.
Dan t iga batang anak panah lewat di atas kepalanya dengan bersuling nyaring.
Tetapi justeru karena mengendapkan diri, langkah Aria Puguh menjadi terhenti.
Pada saat itu, seorang diantara ke tiga musuh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi melepaskan tiga anak panah lagi.
Ketiga anak panah itu mempunyai arah bidikan yang berbeda-beda.
Yang pertama mengarah kepada Lingga W isnu.
Yang kedua mengarah Aria Puguh dan yang ketiga menjaga gerak larinya.
Melihat ancaman bahaya itu, Aria Puguh memutar senjata rantainya.
Dan ketiga panah itu runtuh di tanah dengan sekali kebasan.
"Paman! Biar aku turun saja!"
Seru Lingga W isnu dengan semangat tempur yang menyala. Aria Puguh menurunkan Lingga W isnu sambil berkata.
"Kamu lari dulu!"
Mereka berdua telah terpisah agak jauh dari tentara Belanda dan laskar Kasuhunan. Akan tetapi keempat orang yang masih mengejarnya seolah-olah bayangannya sendiri. Dengan cepat mereka telah tiba dihadapannya.
"Sahabat! Letakkan senjatamu!"
Salah seorang diant ara mereka berseru.
"Kau serahkan dirimu! Kami berjanji akan memperlakukan dirimu baik-baik!"
Hati Aria Puguh mendadak menjadi sebal ketika mendengar suara orang itu.
Ia menjadi mendongkol.
Sambil lari ia memindahkan senjata di tangan kirinya, kemudian ia menpersiapkan senjata sumpitannya yang terbuat dari paku-paku berujung tajam.
Ia menunggu sampai orang itu datang dekat.
Dan dengan t iba-tiba ia melepaskan senjata bidiknya t iga batang sekaligus.
Orang yang mengumbar suaranya tadi sama sekali tidak menduga bahwa Aria Puguh memiliki senjata bidik istimewa.
Tatkala melihat berklebatnya tiga batang paku, ia kaget setengah mati.
Tanpa ampun lagi ia roboh terjengkang.
Kedua paha orang itu tertancap sebatang paku, sedang tangan kanannya dapat hadiah sebatang paku pula.
Sebaliknya, ketiga kawannya tidak memperdulikan ancaman bahaya.
Mereka mengejar terus seperti saling berlomba.
Melihat datangnya ketiga orang itu yang semakin lama makin dekat, Aria Puguh berkata kepada Lingga W isnu seperti sedang bergurau.
"Anakku, sepasang golok orang itu tepat sekali untuk dirimu. Biarlah kurampasnya sekali unt ukmu i"
Setelah berkata demikian, Aria Puguh memindahkan senjata rantainya ke tangan kanannya kembali, kemudian melompat maju menghampiri salah satu musuhnya yang bersenjata sepasang golok.
Terang sekali maksudnya, ia hendak membuktikan ucapannya.
Akan tetapi orang itu ternyata bukan lawan lemah.
Ia mendahului menyerang berulangkali.
Unt uk beberapa waktu lamanya, Aria Puguh belum berhasil mencapai maksudnya.
Selagi Aria Puguh berkutat dengan orang itu, kedua musuhnya menghampiri Lingga W isnu.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masing-masing bersenjata sebatang pedang panjang dan ruyung besi.
Inilah bahaya bagi Lingga W isnu, karena dia tidak bersenjata sama sekali.
Golok rampasannya tadi tertancap pada pundak orang yang orang yang hendak membunuh gurunya, Jabrik.
Maka dengan tangan kosong ia mencoba membela diri.
Aria Puguh menjadi mendongkol dan kebat- kebit.
Sadarlah d ia, bahw a dirinya tidak boleh terlibat terus menerus oleh napsunya hendak merampas sepasang golok lawan.
Cepat-cepat ia melesat mundur sambil memutar tubuhnya.
Senjata rant ainya diayunkan dan menghantam orang di dekat Lingga W isnu yang bersenjata ruyung.
Maka terdengarlah suara "Prak!"
Kena pukulan senjata rant ai Aria Puguh, orang yang bersenjata ruyung itu terhuyung mundur.
Justeru pada saat itu Lingga W isnu sedang mengayunkan kakinya.
Tepat sekali tendangannya sehingga meskipun tidak sampai mengeluarkan darah, orang itu terguling di atas tanah dengan memaki-maki kalang-kabut.
Kejadian itu membangkitkan rasa amarah orang ketiga.
Dengan sebatang pedang ditangan ia menerjang dan menabas, sementara secepat kilat Aria Puguh melompat dan menangkap pergelangan tangannya.
Kedua orang itu lantas berkutat mengadu tenaga.
Pada saat Aria Puguh berkutat mengadu tenaga dengan orang yang bersenjata pedang itu, yang bersenjata sepasang golok dan ruyung datang mengeroyok.
Mereka menyerang dari sebelah belakang.
Juga orang yang tadi roboh kena paku Aria Puguh, kini juga dapat bangun pula.
Dengan masih menggenggam tombak panjang ia maju tertatih-tatih, kemudian menikam.
Akan tetapi sasarannya adalah Lingga Wisnu.
Inilah saat-saat berbahaya bagi Aria Puguh dan Lingga W isnu.
Meskipun demikian Aria Puguh tidak menjadi bingung atau berputus asa.
Sambil berseru nyaring, ia menghajar orang yang bersenjata ruyung.
Kena pukulannya, orang itu roboh terjengkang.
Begitu hebat cara robohnya sehingga ia menubruk kawan sendiri yang sedang berjalan t ertatih-tatih sambil menggenggam tombak panjang hendak menikam Lingga W isnu.
Karena tadi sudah menderita luka, tak dapat ia mempertahankan diri tatkala kena tubruk kawannya.
Dengan demikian ia ikut terguling pula diatas tanah.
Masih syukur, mereka tidak sampai saling menikam.
Dengan cepat Aria FUguh melompat merampas ruyung.
Kemudian dengan ruyung ini ia menangkis sepasang golok yang menyambar dirinya.
Setelah itu ia menarik tangan Lingga Wisnu dan diajaknya lari secepat mungkin.
Ia tak sudi terlibat terus menerus lantaran serdadu Belanda dan laskar Kasuhunan sudah mulai bergerak mendekati.
Sekarang keempat lawannya tidak berani melawan lagi.
Mereka mulai sadar, bahw a lawannya itu bukan lawan sembarangan.
Namun membiarkan buruannya lolos dengan begitu saja, sudah barang t entu mereka tak rela.
Seperti berjanji, mereka lantas saja melepaskan senjata jarak jauh.
Itulah senjata sumpitan yang bentuknya seperti panah-panah kecil.
Sambil melindungi Lingga W isnu, Aria Puguh menangkis sambaran senjata bidik dengan ruyung dan rant ainya.
Kadangkala ia melompat atau mengelak sambil menyingkirkan Lingga W isnu dari berbagai serangan yang saling menyusul.
Namun karena harus melindungi Lingga W isnu, gerakannya tidak segesit biasanya.
Satu kali ia harus menarik Lingga W isnu kedadanya terlebih dahulu, untuk menangkis sambaran senjata bidik.
Kali ini ia terlambat.
Tiga batang anak panah meraung membuntutinya.
Dua anak panah bisa dielakkan.
Akan tetapi yang ketiga mengenai jitu paha kirinya.
Dia terkejut, sebab mula-mula tiada terasa sakit sama sekali! Mendadak lama-lama menjadi gatal.
Tahulah dia bahw a anak panah itu mengandung racun jahat.
Segera ia mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih kencang lagi.
Tetapi justeru demikian racun yang merayap di dalam dirinya bekerja kian merunyam.
Kakinya lantas saja terasa kaku, sehingga t ak dapat lagi dilangkahkan.
Malahan beberapa saat kemudian ia roboh terguling.
"Paman!"
Lingga W isnu berteriak lantaran kaget bukan main.
Hampir saja ia terguling pula.
Ditengah keremangan malam, keempat penyerangnya samar-samar melihat robohnya Aria Puguh.
Begitu mendengar teriakan Lingga W isnu, mereka bertambah yakin.
Lant as saja mereka berlomba untuk mengejar.
"Lingga!"
Seru Aria Puguh "Lari! Cepat! Aku akan menahan mereka!"
Lingga W isnu kenyang pengalaman pahit. Melihat gurunya roboh, ia seperti teringat akan nasib ayahbundanya sendiri. Maka t anpa perdulikan bahaya, segera ia melompat ke samping gurunya dan bersikap hendak melindungi.
"Lingga! Dengan kepandaianrnu ini, sanggupkah engkau melindungi diriku?"
Kata Aria Puguh terharu, ia tahu muridnya itu sangat cerdas.
Akan tetapi sama sekali tak mengira bahwa ia berbakti pula meskipun baru bergaul selama delapan hari saja.
Dalam pada itu keempat penyerangnya sudah datang semakin dekat.
Mereka semua bersenjata dan bermaksud hendak menawan buruannya hidup-hidup.
Yang membawa sepasang golok dan sebatang pedang panjang memutar ke sebelah belakang dari Lingga W isnu, dan menerjang berbareng.
Yang di arah adalah betis kanan.
Lingga W isnu menjadi terkejut ketika melihat serangan itu.
Ia mengelak dengan melompat.
Sudah barang tentu Aria Puguh tak sudi tinggal diam.
Meskipun kaki kirinya tidak dapat digerakkan, akan tetapi ia memaksa diri berbangkit.
Tadi ia berhasil merampas ruyung besi.
Maka tanpa berpikir panjang lagi ia segera menimpukkannya kepada orang yang bersenjata sepasang golok.
Orang itu kaget bukan kepalang sampai ia tak sempat mengelakkan diri.
Kepalanya terhantam ruyung itu.
Dan pada saat itu pula Aria Puguh melesat menubruk lehernya.
Krak! Dan orang itu terguling roboh, tak bernapas lagi.
Inilah peristiwa hebat bagi ketiga lawannya.
Orang yang bersenjata pedang panjang lantas saja memut ar tubuhnya dan lari terbirit-birit.
Sedang kedua kawannya segera menyusul pula.
Apalagi yang seorang telah terluka pundaknya semenjak tadi.
Aria Puguh sendiri nyaris kehilangan tenaga.
Darahnya mengucur tiada hentinya.
Kaki kanannya beku tak dapat digerakkan lagi.
Namun tak sudi ia menyerah dengan keadaan itu.
Dengan menguatkan hati ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya.
Kemudian dengan bantuan ruyung rampasannya ia mencoba bangkit.
Ia sadar, bahwa ketiga musuhnya tadi lari untuk kembali lagi dengan membawa bala bant uan.
Kesempatan untuk melarikan diri hanya sedikit saja.
"Mari!"
Ia berkata mengajak.
Dengan menyeret kakinya ia berjalan se langkah demi selangkah, dengan bantuan ruyung rampasannya.
Lingga W isnu berjalan di sebelah kanannya.
Ia memasang pundaknya untuk memeluk lengan gurunya dan membiarkan dirinya digelendoti.
Dengan demikian perjalanan agak lancar juga.
Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter, keadaan Aria Puguh bertambah hebat.
Rasa beku yang memendam sebelah kakinya tadi perlahan-lahan naik ke tangan.
Dan tiba-tiba saja tangan itu kehilangan tenaga.
Ia tahu, itulah racun jahat yang sedang bekerja.
Segera ia memindahkan ruyung rampasannya ke t angan kiri dan melanjutkan berjalan sedapat-dapatnya.
Sedangkan Lingga W isnu tak mengerti tentang bekerjanya racun jahat itu.
Yang dirasakan, Aria Puguh menggelendot makin berat.
Meskipun ia mandi keringat, namun tetap membungkam mulut .
Tetapi setelah berjalan dua tiga kitametdt lagi, rasa lelahnya tak tertahankan lagi.
"Paman, didpan nampak sebuah rumah. Mari kita beristirahat di sana,"
Katanya sambil menuding ke depan.
"Bukankah kita bisa bersembunyi di rumah itu?"
Aria Puguh msmanggut sambil mengumpulkan sisa tenagnya. Begitu tiba di depan pintu, habislah tenaganya. Ia roboh terkulai. Lingga isnu mencoba menahannya, akan tetapi gagal. Ia menjadi sangat terkejut.
"Paman!"
Ia memekik. Gugup ia membungkuk hendak membangkitkan.
"Paman, bagaimana?"
Hampir bersamaan dengan waktu itu, terbukalah pint u rumah. Dan seorang perempuan berusia pertengahan muncul di ambang pintu. Melihat munculnya perempuan itu, Lingga W isnu lantas saja berkata mengadu .
"Bibi! Kami di kejar-kejar t entara Belanda. Pamanku ini terluka. Bolehkah kami menumpang satu malam saja di sin i?"
Perempuan itu seorang petani.
Ternyata ia murah hati.
Segera ia memanggut dan memanggil seorang anak tanggung kira-kra berusia delapan atau sembilan belas tahun untuk membantu menggotong Aria Puguh masuk.
Kemudian ia direbahkan di atas dipan panjang yang terbuat dari bambu.
Aria Puguh sebenarnya luka parah.
Akan tetapi karena tangguh dan memiliki h impunan tenaga sakti kuat, ia tidak pingsan atau kalut pikirannya.
Meskipun kaki dan tangannya beku sebelah, dengan tenang-tenang saja ia mint a kepada Lingga W isnu agar mengambil pelita yang menyala di dinding.
Dan dengan penerangan pelita itu ia memeriksa lukanya.
Mereka yang melihat luka t erkejut, karena kaki k irinya tidak hanya bengkak saja tetapi pun nampak matang biru dan bergenik.
Kesannya mengerikan.
Tiba-tiba saja tatkala Lingga W isnu melihat luka itu, terbanglah ingatannya kepada mimpinya yang ajaib.
Ia seperti pernah melihat luka demikian dan pernah pula mempelajari cara pengobatannya.
Dan oleh ingatan itu terus saja ia menerkam pundak Aria Puguh.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman! Luka dipundakrnu harus kubalut dahulu!"
Katanya.
Segera ia merobek lengan bajunya dan menggunakannya sebagai pembalut .
Mula-mula ia membalut pundak Aria Puguh keras kencang.
Setelah itu ia membalut paha untuk mencegah menjalarnya racun jahat ke jantung.
Apabila telah dikerjakan dengan rapih, dengan hati-hati ia mencabut senjata sumpitan beracun yang masih menancap pada paha.
Begitu tercabut darah hitam meleleh keluar.
Melihat darah hitam itu, Aria Puguh menundukkan kepala.
Ia bermaksud hendak menghisap darah hitam itu dari lukanya.
Akan tetapi mulut nya tak sampai.
Lingga W isnu lantas saja melakukannya menggantikan.
Ia menghisap berulang-ulang dan memuntahkannya di atas tanah.
Setelah menyedot dan menghisap kira-kira empat puluh kali, barulah luka itu mengalirkan darah merah.
Aria Puguh menghela napas lega.
Katanya dengan suara haru.
"Alhamdulillah. Ternyata bukan racun yang sangat berbahaya. Lingga, kau kumurlah cepat-cepat."
Perempuan petani milik rumah itu semenjak tadi berdoa dengan maksud menolong meringankan penderitaan Aria Puguh.
Dan mendengar ucapan Aria Puguh, ia girang bukan kepalang.
Dan untuk menyatakan rasa syukurnya, ia berdoa panjang pendek dengan giat sekali.
Keesokan harinya, pemuda t anggung itu keluar rumah untuk melihat keadaan gunung.
Lewat tengah hari ia datang dan melaporkan bahwa tentara Belanda tiada nampak seorangpun lagi.
Berita itu melegakan hati Lingga W isnu.
Akan tetapi melihat keadaan Aria Puguh yang mengkhawatirkan, ia menjadi gelisah.
Benar, bengkaknya mulai kempes, tetapi suhu badannya naik tinggi sehingga seringkali mengigau.
Dua tahun lebih Lingga W isnu berada di samp ing Palupi.
Banyak pula pengetahuannya tentang obatobatan.
Apalagi d ia pernah bermimpi ajaib bertemu dengan Ki Sarapada.
Meskipun demikian, ia tak dapat berbuat sesuatu, malahan ia nampak menjadi bingung.
Hal itu disebabkan karena untuk pertama kali itulah ia merawat orang sakit.
"Denmas *),"
Kata perempuan petani pemilik rumah.
"Racun yang berada di dalam tubuh pamanmu agaknya belum terkuras habis. Apakah denmas mempunyai daya upaya untuk menanggulanginya?"
Lingga W isnu mengerutkan dahinya.
Sebenarnya, dengan ilmu pengetahuannya dapat ia menolong Aria Puguh dengan segera.
Akan tetapi, di atas gunung, dapatkah ia menemukan ramuan obat-obatan yang diperlukan? Karena itu oleh pertanyaan pemilik rumah, ia jadi pepat.
Sahut asal jadi saja .
"Apakah dusun ini dekat dengan kota yang menjual ramuan-ramuan obat?"
"Limabelas pal dari sini terdapat sebuah kota. Mungkin sekali di kota itu denmas bisa bertemu dengan seorang tabib pandai pula."
Jingga W isnu menghela napas. Mengingat saran itu sangat baik, segera ia berkata memutuskan .
"Baiklah. Aku akan pergi ke kota."
Pemilik rumah itu ternyata seorang petani yang benarbenar baik hati.
Ia meminjam gerobak berikut kerbaunya dari tetangga sebelah kemudian disuruhnya mengantarkan Lingga W isnu dan Aria Puguh turun gunung.
Aria Puguh direbahkan di dalam gerobak, sedang Lingga W isnu duduk di samping Dikun, si pemuda tanggung yang memegang kemudi.
*) Denmas = tuan Dikun mengantarkan sampai ke kota.
Dengan pertolongannya pula, Lingga W isnu memperoleh sebuah rumah penginapan.
Setelah semuanya beres segera ia kembali pulang.
Nampaknya berjalan sangat lancar dan sederhana saja.
Akan tetapi gerobak itu sesungguhnya semenjak lama dikunt it beberapa mata-mata laskar Kasunanan.
Begitu melihat Lingga W isnu membawa Aria Puguh memasuki rumah penginapan, mata-mata itu segera lari kencang melaporkan kepada atasannya.
Lingga W isnu masih mempunyai beberapa ringgit sisa uang bekalnya.
Dan dengan uang itu ia mencari beberapa ramuan obat yang diperlukan.
Karena selama itu ia belum pernah memasuki kot a, ia mengajak seorang pelayan ynagai penunjuk jalan.
Setelah memperoleh ramuan obat yang diperlukan, segera ia pulang ke rumah penginapan.
Sama sekali ia tak tahu bahwa dua orang polisi t elah menguntitnya secara diam-diam.
Tiba di rumah penginapan, segera ia memasak ramuan obat-obatnya.
Dalam pada itu Aria Puguh masih tetap rebah di tempat tidur dengan kepala panas bagaikan api.
Belum lagi air mendidih, delapan orang pilisi tiba-tiba memasuki rumah penginapan dan membawa rant ai pembelenggu.
Seorang yang mengenakan pakaian preman menuding kepada Lingga W isnu seraya berkata.
"Dialah orangnya!"
Seorang polisi lant as membentak .
"Hai! Kau pelarian dari gunung, bukan?"
Lingga W isnu kaget tak terkira. Tak tahulah ia apa yang harus dilakukan. Akhirnya dalam b ingungnya ia menjawab sekenanya saja .
"Bukan ..."
Polisi itu tertawa terbahak-bahak. Katanya .
"Bukankah engkau membawa-bawa seseorang yang luka parah? Kenapa dia terluka?"
"Siapa yang terluka?"
Angga W isnu berlagak bodoh. Polisi itu tertawa terbahak-bahak lagi sambil menggerincingkan rantai belenggunya. Bentaknya .
"Kau jangan mimpi bisa mengibuli aku? Apa aku perlu memeriksa kamarmu?"
Hati Lingga Wisnu te rgetar. Takut akan ancaman itu ia lari masuk ke dalam kamarnya dan mencoba membangunkan Aria Puguh. Pada saat itu terdengar rombongan polisi t adi berteriak nyaring.
"Berandal Merbabu bersembunyi di dalam rumah penginapan ini. Kepung. Jangan biarkan lolos!"
Oleh teriakan-teriakan nyaring itu, Aria Puguh tersadar.
Karena kaget, ia bangkit dengan segera.
Maksudnya hendak duduk dan menurunkan kakinya di lantai.
Akan tetapi t ak dapat ia bergerak dengan leluasa.
Begitu kakinya meraba lantai, ia justeru roboh terguling.
Dan pada saat itu masuklah rombongan polisi mengepung kamarnya.
Dalam bingungnya, Lingga W isnu tidak menolong gurunya bangun.
Sebaliknya ia melompat di ambang pintu dan berdiri untuk merint angi.
Dan rumah penginapan itu lantas saja menjadi berisik.
Para tetamu melompat keluar dari kamalnya masing-masing dan berkumpul dipekarangan untuk menyaksikan hambahamba negerl melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap buruannya yang disebutkan sebagai berandal dari gunung Merbabu.
Akan tetapi begitu melihat Lingga W isnu, mereka menjadi keheranheranan.
Apakah pemuda tanggung itu perlu digerebeg sekawanan polisi yang berjumlah delapan orang? Dalam pada itu seorang polisi melemparkan rant ai belenggunya ke leher Lingga W isnu.
Bocah itu mundur mengelakkan diri.
Sama sekali ia tidak berkisar dari ambang pintu.
Niatnya sudah teguh, untuk mencegah kawanan polisi memasuk i kamar.
Bagaimana akibatnya nant i, tak masuk dalam pikirannya.
Polisi itu malu karena tak mampu membekuk seorang anak tanggung.
Sedang dia merasa diri sudah berpengalaman belasan t ahun lamanya.
Lant aran malu, i menjadi gusar.
T angan kirinya bergerak dan menyambar tengkuk.
Lingga W isnu t ak gentar melihat datangnya serangan.
Ia menangkis sambaran tangan yang hendak mencengkeram tengkuknya.
Ia menggunakan salah satu jurus ilmu sakti Sardula Jenar.
Dan begitu tangannya membentur sasaran, polisi itu mundur sempoyongan.
Dia menjadi gusar set engah mati.
Sambil memut ar tubuh, kakinya menendang dan mulutnya memaki.
"Anjing haram"
Lingga W isnu menang gesit.
Melihat berkelebatnya kaki ia mengelak ke samping.
Dengan kedua tangannya ia menangkap kaki itu, terus diangkat dan didorong dengan keras.
itu juga polisi tadi terlempar dan jatuh terbanting di atas tanah Tetamu-tetamu yang berkumpul dipekarangan, menjadi kagum dan bersorak tak terasa.
Terhadap rombongan polisi Belanda mereka nampaknya tak senang.
Meskipun bukan termasuk gerombolan pemberontak, mereka berpihak kepada Lingga W isnu.
Mungkin sekali lant aran melihat Lingga W isnu seorang pemuda tanggung yang sama sekali tidak bersenjata atau berteman.
Namun kedelapan polisi itu nampak beringas dan bengis.
Mereka jadi tak puas, dan bersyukur tatkala melihat Lingga W isnu berhasil melemparkan seorang polisi sampai terbanting di atas tanah.
Ketujuh polisi lainnya heran menyaksikan ketangguhan Lingga W isnu.
Mereka mengira anak itu mempunyai ilmu gaib.
Segera mereka saling memberi isyarat kemudian menerjang berbareng.
Diantara mereka ada yang bersenjata pedang, golok dan penggada kayu.
Dan menyaksikan gerakan mereka, para tetamu kaget, takut dan bingung.
Mereka mundur dengan sendirinya.
Meskipun Lingga W isnu kini sudah mewarisi ilmu sakti Sardula Jenar dari Aria Puguh, akan tetapi tenaganya masih lemah.
Lagi pula ia belum berpengalaman.
Itulah sebabnya, menghadapi keroyokan demikian, ia menjadi bingung.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba melompatlah seseorang dari kamar sebelah.
Orang itu bertubuh besar dan berkulit hitam.
Dengan sekali lompat, ia telah berada di depan Lingga W isnu dan terus menggerakkan kaki dan tangannya.
Entah bagaimana caranya bergerak, secara tiba-tiba saja polisi-polisi yang bersenjata tajam itu kena terampas senjatanya dan dilemparkan berjungkir balik.
Kemudian ia mendesak, menyerang dan menerjang ke kiri dan ke kanan, sampai ketujuh polisi itu babak belur.
Setelah itu ia berteriak nyaring seperti kerbau menguak.
Aneh suaranya! "Siapa kau?"
Seorang polisi menegur.
"Kami hendak menangkap penjahat. Jangan ikut campur!"
Orang itu seperti t uli.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali menggerakkan t angan, ia menjambret dada polisi itu dan mengangkatnya tinggitinggi.
Kemudian dilemparkan hingga polisi itu melayanglayang bagaikan layangan put us, dan roboh di atas tanah tak sadarkan diri.
Menyaksikan hal itu kawanan polisi yang lain bubar berderai dan lari berserabutan keluar rumah penginapan.
Orang itu kemudian berpaling kepada Lingga W isnu.
Ia membuka mulut nya dan tangannya bergerak-gerak, tetapi mulut nya tiada mengeluarkan suara apapun, kecuali.
ah, uh, ah, uh.
Maka tahulah Lingga W isnu bahw a orang itu gagu.
Dan apa yang dikehendaki sangat mudah ditebak.
Beberapa saat lamanya Lingga W isnu bingung menebak-nebak.
Akan tetapi dia memang anak cerdas luar biasa.
Segera ia mengamat-amati gerakan tangan dan gerakan mulut orang itu.
Selagi mengamat-amati mendadak orang itu mengangkat t angannya ke atas lalu ditabaskan ke bawah.
Kedua kakinya digerakkan, dan tahu-tahu ia sudah melakukan jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jenar, dari jurus pertama sampai jurus kesepuluh Setelah itu ia berhenti.
Sikapnya menunggu.
Otak Lingga W isnu yang cerdas luar b iasa segera dapat mengerti kehendaknya.
Buru-buru ia menjawab dengan melanjutkan jurus kesebelas sampai jurus kelima belas.
Dan melihat Lingga W isnu dapat melanjutkan jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jenar, si gagu tertawa lebar sambil memanggut -manggutkan kepalanya.
Sekonyong konyong ia melompat sambil mengulurkan tangannya.
Tahu-tahu Lingga W isnu dipondongnya dan hendak dibawanya pergi.
Lingga W isnu teringat gurunya yang masih rebah di dalam kamar.
Dengan girang ia menuding kamarnya.
Si gagu rupanya mengerti gerakan tangannya.
Segera ia masuk ke dalam kamar sambil menggendong Lingga W isnu.
Terhadap Lingga W ilnu ia seolah-olah menemukan mustika yang tak ternilai harganya.
Tetapi begitu melihat wajah Aria Puguh yang pucat lesi bagaikan mayat, orang itu nampak kaget sekali.
Buru-buru ia menurunkan Lingga W isnu dan menghampiri Aria Puguh.
Ia memijit-mijit menyadarkannya.
Kemudian kedua tangannya digerakkan.
Oleh pijitannya, Aria Puguh tersadar.
Begitu melihat siapa yang memijitnya, wajahnya bersinar terang.
Iapun segera menggerakkan kedua tangannya sambil menunjuk pahanya.
Orang itu mengerti arti gerakan tangan Aria Puguh.
Seketika itu juga ia bekerja.
Dengan tangan kiri ia membimbing Lingga W isnu dan dengan tangan kanannya ia memondong Aria Puguh.
Kemudian dengan langkah lebar ia keluar kamar dan meninggalkan rumah penginapan.
Ia lari sangat pesat begitu tiba di jalan, tak perduli berat tubuh Aria Puguh hampir mencapai delapan puluh kilo.
Baik pemilik rumah penginapan maupun para pelayan, tak ada yang berani merint angi.
Semuanya menyaksikan kegagahannya.
Seorang diri saja ia sanggup mengundurkan delapan orang polisi.
Malah yang seorang dibanting roboh sampai pingsan tak sadarkan diri.
Terhadap orang segagah itu, siapakah yang berani mencoba-coba merintangi kehendaknya? Namun pihak kepolisian tidak mau sudah.
Dua orang mata-matanya segera menguntitnya.
Tentu saja mereka tak berani berada terlalu dekat.
Mereka menguntit dalam jarak dua puluh langkah.
Tujuan mereka hanya ing in mengetahui di manakah tempat tinggal si gagu itu.
Setelah mereka ketahui, mereka akan menyulutkan tanda-tanda tentu untuk mencari bala bant uan.
Aria Puguh masih tak sadarkan diri.
Ia t ak tahu bahwa dirinya dibawa kabur oleh si gagu dari rumah penginapan.
Si gagu sebaliknya tidak mengetahui bahwa dirinya selalu dibayangi dua orang mata-mata.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Lingga Wisnu yang cerdik.
Ia melihat dua orang yang selalu mengikut i.
Diam-d iam ia menarik tangan si gagu.
Dan dengan merronyongkan mulut ia memberi kabar.
Si gagu lantas berpaling.
Namun ia bersikap acuh t ak acuh.
Dengan berlagak pilon ia lari terus dengan cepat.
Lingga W isnu dibawanya lari kencang melint asi tegalan-tegalan sepi.
Kira-kira tiga atau empat kilo meter lagi, tiba-tiba si gagu meletakkan Aria Puguh ke atas tanah.
Agaknya dia hendak beristirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya.
Tetapi tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ia membalikkan tubuhnya, dan melesat ke belakang.
Dalam dua tiga enjotan saja, ia sudah sampai kedepan mata-mata itu yang kaget setengah mati.
Itulah serangan diluar dugaan.
Dalam kaget dan takutnya, kedua mata-mata itu segera memutar tubuh.
Niatnya hendak mengangkat kaki.
Namun sudah kasepi Si gagu sangat cepat gerakannya.
Sebelum mereka berdua dapat menggerakkan kaki, tangan si gagu sudah menghempaskannya.
Tak ampun lagi mereka roboh di atas t anah.
Orang gagu itu bekerja tidak kepalang tanggung.
Melihat kedua lawannya roboh, tangannya mencengkeram rambut mereka.
Kemudian diangkat tinggi-tinggi dan dibenturkan ke sebuah batu yang berada di pinggir tegalan.
Prak! Tak ampun dan tak sempat lagi kedua mata-mata itu berteriak.
Mereka mati dengan kepala pecah! Setelah menamatkan riwayat hidup kedua mata-mata itu, si gagu kembali menghampiri Aria Puguh.
Dengan enteng sekali ia mengangkat tubuh Aria Puguh dan dibawanya berlari lagi.
Larinya cepat bagaikan terbang.
Celakalah Lingga W isnu! Pemuda ini mencoba lari sekencang-kencangnya, agar dapat menjajarinya.
Usahanya sia-sia belaka, meskipun ia t elah mengerahkan seluruh kesanggupannya.
Makin lama ia makin tertinggal.
Akhirnya ia merasa tak sanggup lagi.
Dan dengan napas tersengal-sengal ia menghentikan langkahnya.
Si gagu menoleh.
Ia berhenti pula samb il tersenyum.
Melihat Lingga W isnu kehabisan tenaga, ia menghampiri dengan wajah ramah.
Lalu menyambar tubuhnya dan digendongnya.
Dengan menggendong dua orang, ia lari kencang lagi.
Malahan kini larinya lebih kencang, dibandingkan dengan semula, lantaran ia tidak usah menunggu-menunggu Lingga W isnu.
Setelah berlari-lari sekian lamanya, ia membelok ke kiri dan lari mengarah ke sebuah gunung.
Ia mendaki dengan cekatan.
Dan sama sekali tak mengenal lelah.
Dalam sekejab mata saja dua bukit telah dilalu inya.
Tibatiba nampak sebuah gubuk di depan lamping gunung.
Dengan langkah tetap ia menghampiri gubuk itu.
Seseorang yang berada di ambang pintu lari menyambut.
Dia seorang perempuan berumur tiga puluh tahun lebih.
Dia memanggut kepada si gagu dan si gagu pun membalas anggukannya.
Nampaknya ia heran melihat si gagu membawa-bawa dua orang dalam gendongannya.
Segera ia mengajak masuk.
"Suskandari! Kau sediakan t iga mangkok air teh!"
Seru perempuan itu.
Dari dalam kamar terdengar jawaban.
Dan muncullah seorang gadis kecil membawa niru berisi tiga mangkok air teh.
Ia nampak heran begitu melihat si gagu.
Kemudian ia memandang kepada Aria Puguh dan mengamat-amati Lingga W isnu.
Kedua matanya jernih bening dan meresapkan penglihatan.
Gadis kecil inilah yang bernama Suskandari.
Umurnya kurang lebih duabelas t ahun dan manis kelihatannya.
Setelah menyiasati Suskandari pandang mata Lingga W isnu beralih kepada perempuan muda itu.
Dia seorang perempuan yang cantik, mukanya putih bersih dan halus.
Bibirnya manis dan suaranya meresapkan pendengaran.
Meskipun pakaiannya sederhana, pribadinya berkesan agung.
Dengan ramah ia bertanya kepadanya.
"Umurmu sebaya dengan anakku. Siapa namamu? Bagaimana engkau bisa bertemu dengan dia?"
W aktu itu Lingga W isnu sudah diturunkan ke tanah.
Mendengar lagak lagunya, tahulah ia bahw a si gagu adalah sahabat nyonya rumah itu.
Maka dengan t ulus ia menceritakan pengalamannya.
Ibu Suskandari kemudian memperkenalkan namanya.
Ia bernama Ngrumbini.
Dan set elah memperkenalkan namanya, ia masuk ke dalam lalu keluar lagi dengan membawa dua botol ramuan obat.
Lingga W isnu melihat.
bubuk putih dan merah.
Terbawa oleh rasa girangnya, segera ia menyendoknya sedikit dan diadukkan ke dalam air teh.
Setelah itu ia menegukkan ke dalam mu lut Aria Puguh.
Ngrumbini heran menyaksikan Lingga W isnu mengerti tentang obat-obatan.
Segera ia berkata .
"He, engkau semuda ini sudah mengerti tentang ilmu ketabiban?"
Oleh perkataan itu Lingga W isnu tersadar. W ajahnya menjadi merah. Buru-buru ia membungkuk hormat dan memint a maaf atas kelancangannya dan berkata .
"Maaf, bibi. Maafkan aku ..."
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Ngrumbini t idak merasa t ersinggung, Ia bahkan tertawa manis sekali. Katanya.
"Bagus! T ak usah engkau bersegan segan terhadapku. Rupanya engkau murid seorang t abib pandai. Kalau aku boleh bertanya, siapa gurumu?"
"Sebenarnya aku tidak mempunyai guru. Hanya secara kebetulan saja aku mendapat kesempatan belajar mengenai obat-obatan dipinggang gunung Merapi."
Ngrumbini mengira. Lingga W isnu tidak mau memperkenalkan nama gurunya. Oleh pertimbangan t ata sant un, tak mau ia mendesak. Berkata mengalihkan pembicaraan.
"Apakah engkau membutuhkan alat-alat tertentu?"
"Benar. Apakah bibi mempunyai pisau kecil? Aku harus mengiris lukanya."
Ngrumbini segera menyediakan pisau kecil yang dimint anya.
Dengan cekatan Lingga W isnu mengiris luka Aria Puguh.
Setelah itu ia memborehkan dengan obat bubuk kuning.
Ia menunggu sebentar.
Kemudian luka itu dicucinya kembali dan diborehi bubuk kuning lagi.
Tiga kali ia mencuci dan memborehi luka Aria Puguh.
Dan menyaksikan hal itu Ngrumbini bertambah keheranheranan.
Makin percayalah ia bahw a Lingga W isnu pastilah murid seorang t abib sakti.
Selang beberapa waktu, Aria Puguh membuka mulut nya.
Ia memperdengarkan suara t ak jelas.
"Anakku, engkau benar-benar seorang tabib pandai, Dia ketolonganl"
Seru Ngrumbini dengan suara girang.
Dengan isyarat tangan, ia memanggil si gagu.
Ia mint a tolong kepadanya agar ia membawa Aria Puguh masuk ke dalam kamarnya.
Dan tatkala si gagu membawa Aria Puguh masuk ke dalam kamar, Ngrumbini menutup botol obatnya sambil ia berkata kepada Lingga W isnu .
"Mari, kuperkenalkan dengan anakku, dia bernama Suskandari. Mulai sekarang tinggallah bersama kami di sin i."
Lingga W isnu memanggut.
"Meskipun engkau tidak memperkenalkan nama gurumu, aku bisa menebak delapan bagian. Lantaran engkau menyebutkan gunung Merapi."
Kata Ngrumbini.
"Apakah engkau kenal t abib sakti Ki Sarapada?"
Ngrumbini tidak menunggu Lingga W isnu membenarkan dugaannya, dengan tersenyum manis ia masuk ke belakang.
Dan dengan dibantu Suskandari ia menanak nasi dan menyembelih ayam.
Sebaliknya Lingga W isnu lelah sekali.
Oleh rasa kantuknya, dengan tak dikehendaki sendiri ia tertidur ditepi meja.
Kepalanya terletak diatas tangannya yang bersilang diatas meja.
Apakah dunia hancur pada saat itu, berada di luar ingatannya.
Keesokan harinya, baru saja matahari muncul di udara, Suskandari sudah menarik tangan Lingga W isnu.
Kata gadis cilik itu .
"Mari, cuci muka!"
Lingga W isnu tersentak dari tidurnya. Ia mengucakngucak matanya. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Aria Puguh. Serentak ia menyahut.
"Aku hendak melihat paman dahulu. Bagaimana lukanya ..."
"Paman Ganjur telah membawanya pergi semenjak fajar hari tadi."
Kata Sukandari. Lingga W isnu terperanjat mendengar perkataan Suskandari. Menungkas.
"Paman Ganjur? Siapa paman Ganjur?"
"Paman Ganjur ... si gagu ..."
Jawab Suskandari dengan tertawa. Hati Lingga W isnu tercekat. Menegas dengan wajah berubah.
"Dibawa ke mana paman Aria Puguh?"
Suskandari hendak menjawab. Tetapi pada saat itu, Lingga W isnu tiba-tiba melompat dari kursi dan lari memasuki kamar, benar-benar kosong. Tiada Aria Puguh maupun Ganjur, si gagu. Hati Lingga W isnu terpukul. Terus saja ia roboh terkulai.
"Ibu! Ibu!"
Teriak Suskandari memanggil ibunya. Ngrumbini datang dengan cepat. Meliha keadaan Lingga W isnu roboh terkulai ia berkata membesarkan hati Suskandari.
"T ak apa. Kecuali terkejut, semalam perutnya belum kemasukan sebutir nasipun. Sebentar lagi ia akan sium an kembali."
Setelah berkata demikian, ia menghanpiri Lingga .W isnu dan memijid - m ijid pundaknya. Bisiknya .
"Anakku, pamanmu terluka parah sekali, ia perlu memperoleh pertolongan seorang tabib pandai. Engkau mengenal obat-obatan. Pastilah engkau mengerti pula bahw a obat bubuk kuning semalam hanya merupakan obat darurat saja. Bukankah begitu?"
Lingga W isnu mengangguk. Dengan suara kalap ia menyahut.
"Benar, bibi. Aku hanya memberikan pertolongan pertama. Ia kena racun senjata rahasia yang sangat jahat. Kalau tidak cepat-cepat memperoleh pertolongan yang sempurna, sebelah kakinya bisa mati selamalamanya."
"Anakku Lingga,"
Seru Ngrumbini kagum, dan menambahkan lagi.
"Dari mana engkau memperoleh pengetahuan ketabiban begini sempurna?"
Lingga W isnu terhibur hatinya tatkala mendengar ucapan Ngrumbini. Jawabnya.
"Secara kebetulan saja aku berada dipondok salah seorang murid terpandai t abib sakti Ki Sarapada."
"Oh!"
Seru Ngrumbini dengan suara tertahan.
"Pantaslah. Engkau mahir sekali dalam pengetahuan ilmu ketabiban. Kalau tahu begini aku tidak akan mengijinkan Ganjur membawa Aria Puguh pergi."
Lingga W isnu menghela napas. Katanya.
"Sebenarnya, paman dibawa ke mana?"
"Ganjur membawanya menghadap seseorang. Orang itu berilmu ke pandaian t inggi. Dan pada zaman ini, kukira hanya dia seorang yang dapat menyembuhkan. Kau tunggu saja di sini. Apabila sudah sembuh, pamanmu pasti akan datang ke mari menjengukmu."
Lingga W isnu tahu, apabila gurunya mendapat pertolongan seorang t abib pandai, pastilah lukanya akan dapat disembuhkan.
Hanya saja, lantaran kata-kata Ngrumbini bersikap menghibur, hatinya jadi sedih.
Beberapa saat lamanya ia termangu-mangu.
Ngrumbini segera menolongnya bangun sambil membujuknya lagi.
"Anakku Lingga. Pamanmu pasti sembuh. Sekarang pergilah mencuci muka. Setelah itu kita makan. Semalam aku menyembelih seekor ayam untukmu. Meskipun aku tak pandai memasak, akan t etapi daging ayam itu sendiri pastilah akan menawan seleramu."
Lingga W isnu sadar akan maksud baik Ngrumbini.
Meskipun masih merasa lemas, ia mencoba menguasai diri.
Kemudian mencuci mukanya di sebuah pancuran yang berada di samping rumah.
Setelah itu ia duduk bersama dengan ibu dan puterinya.
Ngrumbini pandai mengambil hati.
Suaranya sendiri sudah meresapkan pendengaran.
Apalagi dia bermaksud membujuk dan membesarkan hati.
Lingga W isnu lantas saja menyerah kalah.
Dengan kemauan sendiri ia menceriterakan riwayat hidupnya.
Dan mendengar riwayat hidup Lingga W isnu, Ngrumbini menghela napas berulangkali.
Katanya pilu .
"Kalau begitu, tinggallah engkau bersama kami di sini. Jangan engkau mencemaskan apa-apa lagi. Kau tunggu saja pamanmu di sini. Apabila sudah sembuh, pastilah dia akan menjengukmu."
Lingga W isnu memanggut.
Semenjak bayi, ia hidup menderita sekali.
Ia dibawa orang tuanya merantau dari tempat ke tempat untuk menghindari lawan-lawan yang datang tiada hentinya.
Setelah berumur delapan tahun, dengan cara yang menyedihkan sekali kedua orang tuanya meninggal di depan matanya.
Sekarang, ia bertemu dengan Ngrumbini yang halus bidi dan manis sekali sepak terjangnya.
Keruan saja ia seperti memperoleh seorang ibu sejati.
Disamping dia masih ada seorang puteri yang manis pula.
Ialah Suskandari.
Gadis itu elok jelita dan senantiasa bersedia menjadi kawannya.
Maka tak mengherankan, baru beberapa hari saja L ingga W isnu merasa betah tinggal di rumah Ngrumbini.
Pada suatu hari Ngrumbini mint a kepada Lingga W isnu agar memperlihatkan ilmu sakti, yang diajari oleh Aria Puguh dihadapannya.
Dan Lingga W isnu tidak berkeberatan.
Segera ia mengabulkannya permint aan Ngrumbini.
Dengan cermat Lingga W isnu melakukan jurus-jurus ilmu-sakti Sapu Jagad.
Dan menyaksikan cara Lingga W isnu melakukan atau mengolah jurus-jurus Sapu Jagad, Ngrumbini memuji tiada hent inya.
Insyaflah dia bahw a hal itu telah terjadi berkat kecermatan dan ketelitian Aria Puguh tatkala memberi pelajaran.
Berselang sepuluh hari, Ngrumbini menganjurkan kepada Lingga W isnu, agar berlatih dengan sungguhsungguh pada set iap hari.
Namun ia tak pernah membenarkan atau menyalahkan.
Dengan seksama ia menilik dan mengikut i gerak-geriknya Lingga W isnu dalam mengolah liku-liku int isari ilmu sakti Sardula Jenar.
Sepatah katapun tak pernah terbersit dari mulutnya yang menyinggung tentang latihan itu.
Malahan, beberapa hari kemudian jarang sekali ia hadir.
Sebaliknya Suskandari mengganti kedudukannya menemani lingga W isnu.
Tetapi tiba-tiba pada hari kedua belas, Suskandari dipanggil ibunya tatkala seperti biasanya menemani Lingga W isnu berlatih sampai rampung.
Lingga W isnu tak pernah menduga jelek.
Ia merasa pastilah ada alasannya apa sebab Suskandari d ipanggil ibunya dan tidak diperkenankan lagi hadir tatkala ia sedang berlatih.
Mungkin sekali hal itu merupakan pant angan besar bagi seseorang yang melihat seorang lagi berlatih diri.
Pada suatu hari Ngrumbini datang kepadanya dan berkata .
"Anakku Lingga, bibi hendak pergi sebentar. Kau temanilah ad ikmu Suskandari. Tetapi jangan kau ajak dia keluar rumah, karena di sekitar rumah ini banyak binatang-binatang buas."
Ngrumbini tidak memberi keterangan ke mana dia hendak pergi.
Tetapi sebenarnya dia hendak ke kota membeli dua perangkat pakaian buat digunakan oleh Lingga W isnu, lantaran pakaian yang dikenakan sudah usang.
Lingga W isnu patuh kepada pesan Ngrumbini.
Ia menjaga Suskandari seperti seseorang menjaga adik kandungnya sendiri.
Suskandari sendiri kelihatan bersikap manja terhadap Lingga wisnu.
Ia berlari-larian ke sana ke mari mengajak bermain petak.
Tiba-tiba gadis itu berkata.
"Kangmas Lingga, mari kita bermain masak-masakan. Biarlah aku membeli seekor ayam dahulu. Kau nanti yang menyembelih."
Tanpa menunggu persetujuan Lingga W isnu, gadis itu lari keluar rumah.
"Kau hendak mencari ayam di mana? Lingga W isnu melayani. Di pekarangan depan. Di sana banyak ubi hutan,"
Sahut Suskandari.
Maka tahulah Lingga W isnu, bahwa ubi hutan itu diumpamakan sebagai ayam.
Ia lantas pergi ke dapur mencari sebilah pisau.
Bukankah dia telah diangkat jadi tukang sembelih ayam? Akan tetapi setelah menunggu sekian lamanya, Suskandari t idak muncul kembali.
Ia jadi tak sabaran.
Memanggil .
"Suskandari! Suskandari!"
Tetapi panggilannya tiada jawaban.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jantungnya jadi berdegupan.
Teringat dia akan pesan Ngrumbini, bahwa disekitar rumah itu banyak berkeliaran binatang-binatang buas.
Dengan pisau di t angan ia melompat keluar rumah.
Dan begitu berada di pekarangan, ia kaget bukan-main.
Seorang laki-laki bertubuh besar nampak mengempit Suskandari dan sedang memutar tubuh hendak pergi.
Keruan saja ia berteriak kalap.
"Hei! Hei! Kau hendak membawanya kemana?"
Orang itu tidak menghiraukan.
Dia melompat keluar halaman.
Pada saat itu Lingga W isnu melesat pula.
Bocah itu tidak hanya mengejar, tetapi menyerang pula dengan pisaunya.
Keruan saja penculik itu kaget.
Sama sekali tak mengira bahw a bocah itu bisa menikam.
Untunglah bahwa Lingga W isnu tidak bermaksud mengarah jiwanya.
Ia hanya menikam kaki.
Justru demikian penculik itu mendongkol dan gusar karena rasa sakitnya.
"Kurang ajar!"
Makinya.
Dia menurunkan Sukandari.
Lalu berbalik sambil menghunus goloknya dan terus menyerang.
Lingga W isnu tidak takut.
Dia menangkisnya dengan tangan kosong.
Tentu saja yang dipukul balik adalah lengan si penculik.
Itulah salah satu jurus ilmu sakti Sapu Jagad warisan gurunya.
Sekali ia menangkis, tangan kanannya segera menyerang.
Heran orang itu! Terpaksalah ia melayani dan terjadilah suatu perkelahian yang ganjil.
Seorang dewasa bertubuh besar dan membawa golok bertempur melawan seorang pemuda tanggung bersenjatakan pisau dapur.
Dalam hal tenaga, tentu saja orang itu menang dua kali lipat.
Goloknya menerbitkan kesiur angin menderu-deru.
Namun dalam hal kegesitan, Lingga W isnu jauh lebih menang.
Ia menghindarkan bentrokan senjata dengan mengelakkan diri dan disaat-saat tertentu ia menikam atau menusuk dengan tiba-tiba.
Selang beberapa jurus, orang itu jadi sibuk sendiri.
Ia heran dan penasaran.
Kenapa ia tak sanggup merobohkan seorang pemuda tanggung yang hanya bersenjata pisau dapur saja? Karena itu ia berkelahi makin sengit tak ubah sedang berhadap-hadapan dencran seorang musuh tangguh yang memiliki ilmu tinggi, goloknya kini membabat mengarah kaki.
Bagus sasarannya akan tetapi sulit untuk dilakukan.
Hal itu disebabkan lantaran lawannya lebih pendek dari dirinya sendiri.
Untuk dapat menyerang kaki, terpaksalah ia harus bergulingan ditanah.
Kemudian ia berjongkok atau membungkuk.
Cara berkelahi demikian itu sebenarnya menghabiskan tenaga.
Akan tetapi Lingga W isnu belum berpengalaman.
Ia menjadi sibuk juga.
Terpaksalah d ia bermain mundur untuk menghindari golok lawan.
Suskandari yang telah terbebas tidak hanya, tinggal menonton saja.
Dia lari ke dalam rumah dan datang kembali dengan membawa pedang panjang.
Dengan senjata itu ia menyerang penculiknya dari belakang.
Ternyata ia pandai memainkan pedang pula, meskipun belum mahir.
"Hai, set an! Kau perempuan cilik ikut -ikut campur pula? Apa kau ingin mampus?"
Bentak penculik itu.
Cepat ia membalikkan tubuh dan mengayunkan goloknya.
Namun ia tidak menggunakannya tenaga sepenuhpenuhnya lantaran tidak menghendaki jiwa Suskandari.
Ia hanya menangkis agar pedang Suskandari terlepas dari t angannya.
Akan tetapi Suskandari seorang gadis cerdik.
Gerakannya gesit pula.
Dia mengelakkan diri dari tangkisan itu sambil melompat ke belakang, ia maju ke samping dan dengan cepat menikam lagi.
Lega hati Lingga W isnu menyaksikan Suskandari bisa menikamkan pedangnya.
Tadi ia khawatir melihat majunya gadis cilik itu.
Setelah melihat serangannya beberapa kali, ia menjadi girang.
Terus saja ia membarengi dengan tikaman berant ai jurus delapanbelas dari ilmu sakti Sardula Jenar.
Dan diserang berbareng itu, si penculik jad i kalang-kabut .
Untuk membela diri maka terpaksalah dia bergerak dengan sebat sekali.
Lingga W isnu memperoleh hati.
Karena memperoleh hati, serangannya makin gencar.
Dan hal in i membuat hati penculik itu bersyukur.
Sebab, meskipun mereka berdua pandai berkelahi, namun baik tenaga maupun keulatannya masih kurang jauh.
Maka dengan sabar ia hanya membela diri saja, dengan mengelakkan berbagai serangan.
Dan dugaannya ternyata benar.
Beberapa waktu kemudian kegarangan Lingga W isnu dan Suskandari makin surut.
Sekarang mereka berdualah yang bergilir menghadapi serangan balasan.
Tatkala Suskandari menikam, penculik itu menangkis dengan tenaga penuh.
Demikian hebat tenaganya, sehingga Suskandari tak dapat mempertahankan diri.
Pedangnya lantas terpental di udara dan jatuh berkelontangan di tanah.
Melihat Suskandari terancam bahaya, Lingga W isnu menerjang dan menikam.
Buru-buru penculik itu menangkis sambil menendang Suskandari dengan sebelah kakinya.
Kena tendandannya itu, gadis cilik itu terguling-guling.
Lingga W isnu kaget dan cemas.
Lupa akan penjagaan diri, ia melompat menikam dengan sembrono sekali.
Tentu saja hal itu membuat girang si penculik.
Ia mengelak lalu merangsak dengan goloknya.
Dan menghadapi rangsakan itu Lingga W isnu buru-buru mengangkat pisau dapurnya untuk menangkis.
Inilah bentrokan yang tak dapat dihindarkan lagi.
Pisau dapurnya lantas saja terlepas dari t angan dan menancap di atas tanah.
Selagi terkejut, pergelangan tangannya kena pula dicengkeram dan diput ar .
Lingga W isnu kesakitan.
Namun dalam kesakitan ia tidak menjadi gugup.
Tangan kirinya segera menyelonong masuk menghantam tulang rusuk.
Penculik itu kaget bukan kepalang.
Dalam kagetnya ia melepaskan cengkeramannya dan melompat mundur.
Begitu berdiri tegak kembali di atas tanah, segera ia melesat menyambar Suskandari dan d ikempitnya.
Kemudian ia memanjangkan kakinya.
W alaupun sedang kesakitan, begitu melihat Suskandari kena dibawa lari, Lingga W isnu menjadi kalap.
Segera ia memungut pisau dapurnya lagi yang tertancap di atas t anah, kemudian ia lari mengejar sambil berteriak .
"Hei! Berhenti!"
"Akh, setan cilik!"
Maki penculik itu.
"Apa kau tak sayang jiwamu?"
Dengan tangan kiri mengempit Suskandari tangan kanannya menggerakkan goloknya sambil ia membalikkan tubuhnya. Ia harus melayani Lingga W isnu yang sudah dapat mengejarnya kembali. Setelah bertempur lima enam jurus, Lingga W isnu kena pundaknya.
"Bagaimana? Apa engkau masih bandel?"
Bentak penculik itu. Lingga W isnu benar-benar tak mengenal takut. Bajunya terobek dan pundaknya mengucurkan darah. Namun ia menjawab dengan garang pula .
"lepaskan Suskandari! Dan aku tidak akan mengejarmu lagi!"
Tentu saja penculik itu tidak menghiraukan ocehannya.
Ia memutar tubuh dan memanjangkan langkahnya.
Dan Lingga W isnu pun tetap mengejarnya sambil terus berteriak-teriak.
Akhirnya penculik itu menjadi kewalahan juga.
Habislah kesabarannya.
Dan timbul ah pikirannya.
"Jika aku t idak membunuhnya, aku akan di ganggunya terus-menerus."
Memperoleh pikiran demikian, ia berhenti dan memutar tubuhnya.
Dengan goloknya ia menyongsong serangan Lingga Wisnu.
Ia kini tidak mau berkelahi setengah hati.
Baru beberapa gebrak saja lagilagi pisaunya Lingga W isnu kena dipentalkan runt uh di atas tanah dan terus saja ia menendang Lingga W isnu sehingga terguling.
Setelah itu ia mengayunkan goloknya hendak menghabisi jiwanya.
Suskandari yang berada dalam kempitannya, melihat ancaman bahaya itu.
Dengan mati-matian ia menggelendoti lengan penculik itu dan menggigitnya.
Kena gigitannya, penculik itu kesakitan sehingga menjerit.
Dan bacokannya gagal pula.
Inilah kesempatan yang bagus bagi Lingga W isnu.
Bocah itu lantas membuang diri dengan bergulingan di tanah.
Lalu kembali merangkak-rangkak memungut pisau dapurnya.
Tentu saja penculik itu mendongkol bukan main.
Dengan penuh dengki ia menjewer telinga Suskandari lalu mengulangi serangannya yang tadi kena digagalkan.
Karena sudah berpengalaman, dengan mudah saja ia dapat melukai Lingga W isnu.
Kali ini jidat si bocah yang termakan golok, sehingga ia mengalirkan darah.
Menimbang bahwa oleh luka kali ini Lingga Wisnu tidak akan dapat berdaya banyak lagi, segera ia memut ar tubuh hendak kabur secepat-cepatnya.
Akan tetapi Lingga W isnu benar-benar berani dan bandel.
Ia melompat dan menubruk kaki yang terus dipeluknya erat-erat.
Karena kehilangan pisau dapurnya, ia kini menggunakan ketajaman giginya.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meniru perbuatan Suskandri, ia menggigit kaki penculik itu sekuat tenaganya.
Penculik itu berkaing-kaing kesakitan sambil memakimaki kalang-kabut .
Dengan geram ia mengangkat sebelah kakinya dan diinjakkan ke kepala Lingga W isnu.
Kemudian mendupaknya dengan sekuat tenaga.
Dan kena dupakan itu, Lingga W isnu terpental menggabruk tanah.
Penculik itu sudah telanjur dengki kepadanya.
Terus saja ia mengejar, dan dengan golok ditangan ia berniat membunuhnya.
Untunglah, pada detik-detik yang sangat berbahaya bagi Lingga W isnu, terdengarlah suara kesiur angin.
Dan tahu-tahu kepala penculik itu terbentur sebuah benda yang menbeletuk.
Penculik itu terkejut.
Ia menoleh.
Dan nampak Ngrumbini sedang mengayunkan senjata bidiknya yang kedua.
Ternyata senjata bidik itu sebutir telur.
Pant aslah, begitu membentur kepalanya, menerbitkan suara merrbeletuk.
Ia jadi kuncup hatinya dan terus saja ia meninggalkan Lingga W isnu, untuk kabur secepat-cepatnya dengan masih mengempit Suskandari.
Tentu saja Ngrumbini tidak menbiarkan penculik itu kabur dengan membawa puterinya.
Ia melepaskan sambaran telurnya yang ketiga.
Kali in i tepat mengenai mata kiri.
Penculik itu menjadi gelagapan.
Meskipun hanya sebutir telur, akan tetapi timpukan itu cukup keras, sehingga matanya berkunang-kunang.
Ia jadi gusar, terus saja ia melepaskan Suskandari.
Sedang tangan kirinya digunakan unt uk mengucak-ucak matanya yang kena pecahan telur.
Ia maju menyerang dengan golok di tangan kanan.
Ngrumbini tak bersenjata.
Ia melayani serangan si penculik dengan kelincahan tubuhnya.
Dalam pada itu Lingga W isnu sudah merayap bangun.
Segera ia memungut pisau dapurnya kembali dan tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia maju menyerang membantu Ngrumbini.
Semangat t empurnya makin lama makin menyala-nyala, dan tidak takut segala akibatnya.
Suskandaripun tidak tinggal diam.
Teringat dia akan pedang panjangnya yang tertinggal di pekarangan rumah tatkala kena gempur penculik itu.
Segera ia lari mencarinya dan datang kembali dengan membawa pedang itu.
Karena didesak Lingga W isnu, penculik itu tak dapat lagi memusatkan serangannya kepada Ngrumbini seperti semula.
Ngrumbini jadi memperoleh kesempatan untuk menerima pedang Suskandari.
Dengan pedang ditangan, ia tak ubah seekor harimau tumbuh sayap.
Namun ia seorang penyabar.
Tak mau ia segera turun ke gelanggang menggunakan pedangnya.
Ia menjumput tiga buah batu dan ditinpukkan.
Keruan saja si penculik jadi kerepotan setengah mati.
Hampir saja ia terkena tikaman pisau dapur Lingga W isnu.
Selagi penculik itu terpaksa mundur Ngrumbini berkata dengan suara sabar.
"Bribil selagi aku tiada di rumah, kenapa engkau hendak menculik anakku? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki sejati?"
Ngrumbini tidak memberi kesempatan Bribil menjawab tegurannya.
Dengan pedang ditangan ia menyerang.
Dan Brib il menjadi sibuk tak keruan.
Cepat-cepat ia menendang Lingga W isnu.
Bocah itu roboh terguling.
Kemudian ia melayan i serangan Ngrumbini dengan sungguh-sungguh.
Ngrumbini nampaknya sedang gusar.
Ia berkelahi dengan hebat.
Setelah mendesak beberapa kali, berhasillah ia melukai pundak Brib il, dan Bribil jadi berkaok-kaok kesakitan.
Karena kesakitan, gerakannya jadi lambat.
Ngrumbini tidak sia siakan kesempatan sebagus itu.
Terus saja ia merangsak dan menghantam golok Bribil.
Dan kena hant amannya, golok Bribil terlepas dari tangannya.
Buru-buru ia melompat sambil berkata .
"Aku berbuat demikian, semata-mata melakukan perint ah suamimu. Engkau hendak membunuhku, nah, bunuhlah! Tetapi aku akan mati penasaran. Apabila aku jadi set an, akan tetap mencarimu di mana saja engkau berada!"
Sepasang alis Ngrumbin i berdiri tegak.
Dengan wajah merah karena marah, pedangnya menikam.
Bribil agaknya sudah menduga demikian, maka cepat-cepat ia menjejakkan kakinya dan melesat mundur, kemudian lari tunggang-langgang menuruni gunung.
Ngrumbini tidak mengejarnya.
Dengan menyarungkan pedangnya ia berbalik menghampiri Suskandari dan Lingga W isnu.
Ia bersyukur karena Suskandari sama sekali tidak terluka.
Akan tetapi melihat Lingga W isnu mandi darah, cepat-cepat ia membimbingnya pulang.
Dengan tangannya sendiri ia membersihkan luka-lukanya dan mengobati dengan bubuk kuning semalam.
Bocah itu itu ternyata mendapat dua luka.
Syukur lukanya tidak berbahaya.
Benar ia mengeluarkan banyak darah, akan tetapi t idak sampai membahayakan jiwanya.
"Kau rebah saja di pembaringan,"
Kata Ngrumbini dengan suara terharu.
Suskandari segera menceritakan pengalamannya.
Dan mendengar tutur kata puterinya, hati Ngrumbini bertambah terharu.
Pikirnya di dalam hati .
'Sama sekali tak kusangka bahw a dia berhati mulia.
Dia masih begini muda, akan tetapi gagah sekali.
Kalau begitu aku harus menolongnya agar mendapat seorang guru yang tepat untuk menjangkau masa depannya.
Oleh pikiran itu ia berkata kepada Lingga W isnu .
"Lingga, kau t idur saja baik-baik. Sebentar malam k ita berangkat."
Baik Suskandari maupun Lingga W isnu heran mendengar perkataan Ngrumbini.
Sebenarnya mereka ingin mint a keterangan, akan tetapi Ngrumbini telah masuk kembali berkemas-kemas.
Ia mempersiapkan dua buntalan dan menunggu datangnya sore hari.
Setelah makan petang, bertiga mereka duduk menghadapi pelita.
Pintu tidak dikuncinya.
Ngrumbini nampaknya seorang wanita gagah yang tidak gentar menghadapi ancaman bahaya apapun juga.
Kira-kira menjelang malam hari, tiba-tiba terdengarlah langkah kaki memasuki pekarangan.
Ternyata dialah Ganjur, si gagu yang baik hati.
Ia nampak angkar berwibawa dan langkahnya ringan sekali.
Jelaslah bahw a ia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Ngrumbini menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya.
Ia berbicara dengan Ganjur dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya.
GAnjur rupanya mengerti akan isyarat tangan Ngrumbini.
Dia nampak memanggut-manggut.
"Paman Aria Puguh kau bawa ke mana?"
Tanya Lingga W isnu mint a keterangan.
"Apakah dia tertolong?"
Ngrumbini segera menterjemahkan perkataan Lingga W isnu. Setelah memperoleh jawaban, maka Ngrumbini mewakili Ganjur. Katanya.
"Dia dalam keadaan baik. Jangan engkau merasa khawatir. Sekarang perkenankan aku berbicara denganmu."
Ngrumbini membawa Lingga W isnu masuk ke dalam kamar. Dia duduk di atas pembaringan, sedangkan Lingga W isnu berdiri di depannya.
"Lingga, duduklah disampingku,"
Kata Ngrumbini sambil menarik tangan Lingga W isnu dengan suara manis.
"Begitu aku melihat dirimu, entah apa sebabnya hatiku berkenan sekali. itulah sebabnya engkau kupandang tak ubah anak kandungku sendiri. Tadi engkau telah berkorban demi Suskandari. Itulah budimu yang pertama kali yang tidak akan ku lupakan se lama hidup. Malam ini kami hendak pergi ke suatu tempat yang jauh sekali. Karena itu pergilah engkau bersama paman Ganjur."
"Oh, jadi bibi tidak mengajak aku bersama?"
Lingga W isnu heran.
"Kukira bibi tadi bermaksud mengajak aku pergi."
Ngrumbini menghela napas. Sahutnya.
"Sebenarnya tak sampai hatiku berpisah denganmu. Akan tetapi aku ingin Ganjur membawamu kepada seseorang. Dialah guru pamanmu, Aria Puguh. Baru beberapa bulan saja pamanmu Aria Puguh belajar ilmu kepadanya. Ternyata dia sudah memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang tiada bandingnya di jagad ini. Dan aku menginginkan engkau berguru kepadanya."
Mendengar kata-kata Ngrumbini, Lingga W isnu terdiam. Hatinya tertarik. Tatkala hendak membuka mulut nya, Ngrumbini meneruskan .
"Seumur hidupnya, orang itu hanya mempunyai dua orang murid saja. Hal itu terjadi pada belasan t ahun yang lampau. W alaupun demikian, sampai kin i dia belum mau menerima seorang murid lagi. Kau seorang yang berbakat. Hatimu mulia pula. Aku percaya dia pasti akan menerimamu sebagai muridnya. Ganjur in i bujangnya. Itulah sebabnya, dengan perantaraannya aku mengirimkan engkau kepadanya. Kau pergilah dengan dia. Seumpama orang itu tidak sudi menerimamu sebagai muridnya, Ganjur akan membawamu kembali kepadaku."
Sampai disitu Lingga W isnu telah mengambil keputusan. Dia memanggut.
"Bagus"
Seru Ngrumbini gembira.
"Sebelum bertemu dengan orang itu, baiklah kuberitahu tentang tabiatnya. Ia seorang aneh. Seumpama engkau tidak patuh kepadanya, segera ia membencimu sampai tujuh turunan. Sebaliknya, andaikata engkau terlalu menurut, diapun akan mencelamu habis-habisan. Dan pastilah engkau akan di katakan sebagai seorang anak yang sama sekali t ak mempunyai semangat hidup. Maka kin i segalagalanya tinggal t erserah kepada nasibmu belaka.
"
Ngrumbini meloloskan sebuah gelangnya dan dikenakan pada pergelangan tangan Lingga W isnu. Ia memijitnya sedikit, sehingga gelang itu tidak akan lolos lagi dari pergelangan tangan si bocah.
"Di kemudian hari, apabila engkau sudah tamat, engkau akan menjadi seorang pemuda yang tinggi besar."
Kata Ngrumbini dengan tersenyum.
"Janganlah engkau melupakan bibimu dan adikmu Suskandari,!"
"Akh, bibi bergurau,"
Sahut Lingga W isnu sungguhsungguh, 'andaikata aku diterima sebagai murid, aku mohon dengan hormat, dikala senggang hendaklah bibi mengajak adik Suskandari datang menjengukku."
Kedua mata Ngrumbini berkaca-kaca. Hatinya t erharu. Jawabnya.
"Baik. Aku akan selalu teringat padamu."
Ngrumbini menulis sepucuk surat. Dan kemudian diserahkan kepada Ganjur. Setelah perbekalan selesai disiapkan, segera ia berkata memutuskan .
"Marilah kita sekarang berangkat!"
Berempat mereka keluar rumah.
Sesampainya di luar halaman mereka berpisah dalam dua jurusan.
Masingmasing dengan tujuannya sendiri.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suskandari bersama ibunya mengarah ke timur, sedang Ganjur mengajak Lingga W isnu mengarah ke barat.
Berat rasa hati Lingga W isnu berpisah dari Ngrumbini dan Suskandari.
Inilah perpisahan yang memilukan untuk yang ke enam kalinya! Yang pertama tatkala berpisah dengan eyang gurunya dan Sitaresmi.
Yang kedua dengan Aruji, yang ketiga dengan keempat gurunya.
Yang kelima dengan gurunya, Aria Puguh.
Dan yang ke enam dengan Ngrumbini dan Suskandari.
Ganjur tahu bahwa Lingga W isnu mengeluarkan banyak darah tatkala menderita luka.
Karena itu ia memondongnya dan dibawanya lari cepat, tak perduli jalan pegunungan sempit dan licin.
Kakinya melesat dengan gesit sekali.
Ia melakukan perjalanan siang dan malam.
Ia baru berhenti beristirahat pada larut malam.
Tetapi bukannya di hotel atau di rumah seseorang, melainkan di tengah-tengah tegalan atau di dalam goa-goa.
Kalau ia memasuk i pedusunan atau kota, semata- mata hanya untuk membelikan barang makanan bagi Lingga W isnu.
Dia sendiri hanya mengisi perutnya sekenanya saja.
Sering Lingga W isnu mint a keterangan tentang dusundusun yang dilalu inya atau ke mana arah tujuannya.
Ganjur hanya menjawab dengan menudingkan tangannya ke arah depan.
Dan setelah tiga hari, jalan yang ditempuhnya makin lama makin menjadi su lit.
Pada waktu itu sampailah dia di sebuah pinggang gunung terjal.
Jalanan hampir boleh dikatakan tiada.
Untuk maju terus Ganjur menggunakan kedua .tangannya merayap atau merangkaki tebing.
Kadang-kadang ia merambat lewat akar-akar pepohonan.
Pada waktu itu Lingga W isnu menggunakan kesempatan untuk melongok ke bawah.
Hatinya ngeri luar b iasa, karena di bawah kakinya adalah jurang yang dalamnya entah berapa ratus meter.
Tak terasa ia memeluk leher Ganjur erat-erat karena takut terlepas.
Dalam hatinya berdoa panjang dan pendek.
Betapa tidak? Sekali terpeleset mereka berdua bakal jatuh di dalam jurang yang sangat dalam.
Dan tamatlah riwayat hidupnya ...
Hampir satu hari lamanya Ganjur memanjat dan merangkaki tebing-tebing terjal.
Dan menjelang petang harinya, sampailah d ia d i sebuah puncak gunung yang tinggi.
Lingga W isnu diturunkan di atas batu.
W aktu itu luka-lukanya sudah menjadi kering.
Hanya di atas alisnya masih tertinggal luka kecil.
Karena itu gerakan kaki dan lengannya t ak terhalang lagi.
Begitu berdiri di atas batu, segera ia melayangkan penglihatannya.
Di depannya tergelar sebidang tanah lebar dengan dipagari hutanhutan cemara yang tinggi- tinggi.
Kesannya sangat indah dan menyenangkan.
Setelah beristirahat sejenak, Ganjur memondongnya lagi.
Kemudian melanjutkan perjalanan.
Hanya sekali itu ia tidak berlari-lari lagi seperti semula.
Setelah melewati enam rumah batu, ia tersenyum gembira.
Kesannya seperti seorang perantau yang melihat kampung halamannya kembali.
Di depan sebuah rumah batu, Ganjur membimbing Lingga W isnu masuk ke dalam pekarangannya.
Lantai rumah batu itu kotor dan banyak kayu-kayu yang malang melint ang.
Itulah suatu tanda bahwa rumah itu lama tiada penghuninya.
Segera Ganjur menyapunya.
Sekarang rumah batu itu nampak rapih dan menyenangkan.
Terus saja ia menyalakan api dan memasak air dan nasi.
Puncak gunung itu tinggi.
Perjalanannya sangat sukar pula.
Entah bagaimana caranya, si gagu Ganjur dapat menyediakan beras dan lauk-pauk yang dibutuhkan.
Lingga W isnu boleh cerdas, akan tetapi tak mampu menjawab teka-teki itu.
Tiga hari tiga malam lamanya Lingga W isnu berada dalam rumah batu itu dengan Ganjur.
Bagi Lingga W isnu hal itu merupakan suatu siksaan karena Ganjur tak dapat dielak berbicara.
Setelah menjelang hari keempat ia jadi gelisah.
Dengan gerakan-gerakan tangannya, ia mencoba berbicara dengan Ganjur.
Ia mencoba mint a keterangan kepadanya, kapan datangnya guru yang dijanjikan.
Ganjur rupanya mengerti pertanyaan Lingga W isnu.
Dia menunjuk ke bawah gunung.
Mengira bahwa-guru yang dijanjikan itu berada di bawah gunung.
Lingga W isnu segera mengajak .
"Mari k ita turun saja!"
Akan tetapi Ganjur menggelengkan kepalanya.
Maka terpaksalah L ingga W isnu berdiam saja meskipun hatinya sangat masgul.
Hal itu disebabkan karena ia merasa kesepian.
Kalau saja ia bisa berbicara dengan Ganjur, hatinya agak terhibur meskipun berada di tempat yang sunyi dan sepi.
Pada suatu malam ia terperanjat dari tidurnya.
Di depan matanya berkelebat cahaya terang.
Segera ia menggeliat dan duduk ditepi pembaringan.
Di depannya berdiri seorang tua membawa lilin menyala.
Orang tua itu berseri-seri w ajahnya, tanda hatinya girang.
Dasar ot ak Lingga W isnu cerdas, cepat cepat ia turun dari pembaringan.
Lantas saja bersimpuh dihadapannya sambil berkata .
"Guru, akhirnya guru datang juga."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Sahutnya .
"Eh! Siapa yang mengidzinkan engkau memanggilku sebagai gurumu? Bagaimana engkau bisa yakin bahw a aku akan menerimamu sebagai murid?"
Lingga W isnu girang bukan kepalang. Oleh kata-kata orang tua itu, jelaslah sudah bahw a dia bakal diterima sebagai murid. Segera ia menjawab.
"Bibi Ngrumbini yang mengajari aku."
"Hmm!"
Orang tua itu mengeluh.
"Artinya ia menambahi kesulitan lagi kepadaku."
Setelah menggerutu demikian, tiba-tiba ia tersenyum. Katanya .
"Baiklah, mengingat mendiang ayahmu, aku bersedia menerimamu sebagai murid."
Bukan kepalang girang Lingga W isnu. Terus saja ia bersembah beberapa kali. Tetapi orang tua itu mencegahnya. Katanya.
"Cukup! Cukup! Sampai besok saja!"
Pada keesokan harinya, sebelum terang t anah, Lingga W isnu sudah bangun dari tidurnya.
Segera ia mencari Ganjur.
Dan melihat kedatangannya, Ganjur girang bukan kepalang.
Untuk menyatakan kegirangannya yang meluap-luap, ia mengangkat tubuh Lingga W isnu dan dilemparkan tinggi-tinggi di udara dan ditanggapi dengan tangannya.
Empat lima kali ia berbuat demikian, sehingga Lingga W isnu te rapung-apung di udara.
Lingga W isnu tahu, bahwa Ganjur ikut bergirang hati karena dirinya diterima menjadi murid.
Lalu ia tertawa cekikikan karena geli.
Guru besar itu segera keluar dari kamarnya, begitu mendengar suara t ertawa riuh.
Menyaksikan lagak-lagu si gagu, ia menghampiri.
Berkata kepada Lingga W isnu .
"Bagus! Kau masih begini muda akan tetapi engkau mengerti perbuatan-perbuatan mulia dan gagah. Engkau telah menolong seorang perempuan. Sebelum engkau mengenal namaku, coba perlihatkan kepadaku, kepandaian apa yang telah kau miliki."
Lingga W isnu menundukkan kepalanya. W ajahnya merah karena malu. Ia segan memperlihatkan ilmu kepandaiannya dihadapan orang tua itu.
"Jika engkau tidak sudi memperlihatkan ilmu kepandaianmu, bagaimana aku bisa mengajari d irimu?"
Kata orang tua itu sambil tertawa. Sekarang barulah Lingga W isnu mengerti dengan maksud orang tua itu. Terus saja menyahut.
"Baiklah, guru."
Setelah berkata demikian, ia mulai memperlihatkan ilmu sakti Sapu Jagad yang diperolehnya dari keempat gurunya dan Aria Puguh.
Orang tua itu mengawasi dengan pandang berseri-seri.
Ia menunggu sampai Lingga W isnu selesai dengan jurus yang terakhir, kemudian barulah dia tertawa.
Katanya .
"Pantas saja Puguh selalu memuji kecerdasanmu. Mulanya aku tidak percaya. Katanya, dia mengajarkan jurus-jurus Sapu Jagad baru beberapa hari saja kepadamu. Nyatanya engkau bisa melakukan begitu rupa. Bagus!"
Mendengar disebutnya nama gurunya, Aria Puguh. Lingga W isnu te rgerak hatinya. Sebenarnya ingin segera ia memperoleh keterangan tentang gurunya. Akan t etapi karena orang tua itu masih berbicara, tak berani ia memutuskan.
"Sekarang, bolehlah engkau mengenal namaku."
Kata orang tua itu.
"Mulai sekarang panggillah aku, Sambang Dalan"
Lingga W isnu membungkuk hormat. Kemudian ia mint a keterangan .
"Guru tadi menyebut nama paman. Di mana d ia sekarang? Apakah dia baik-baik saja?"
Orang tua itu mengerinyitkan dahinya.
Biasanya hatinya tidak senang apabila seseorang mengalihkan pembicaraan dengan tak seidzinnya.
Akan tetapi mengingat bocah itu sangat memikirkan keselamatan gurunya, diam-diam ia menaruh perhatian.
Pikirnya di dalam hati .
"Benar. Dia seorang anak yang mulia hatinya. Sama sekali ia tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Yang ditanyakan adalah keselamatan gurunya."
Kemudian ia menjawab.
"Ia tak kurang suatu apa. Ia sudah kembali kepada pasukannya. Kini berada bersama-sama dengan Panglima Sengkan Turunan."
Lingga W isnu girang bukan main. Hanya saja hatinya menyesal karena tak dapat bertemu lagi dengan gurunya, yang telah mewariskan ilmu sakti Sapu Jagad kepadanya.
"Baiklah,"
Kata orang tua itu.
"Karena kau sudah mengenal namaku, dan akupun telah menerimamu sebagai murid, marilah kita melakukan upacara di dalam."
Apa yang dinamakan upacara, bukanlah semacam upacara sembahyangan. Orang tua itu hanya mengeluarkan selembar kertas lukisan seorang ksatrya beroman alim dan agung. Sambil menyulut lilin ia berkata.
"Inilah gambar Pangeran Mangkubumi I yang kini sudah mengangkat senjata menuntut keadilan. Ksatrya inilah yang harus kau hormati dengan sedalamdalamnya. Nah, perlihatkan hormatmu kepadanya!"
Lingga W isnu segera bersimpuh di hadapan gambar itu. Ia bersembah berulangkali tiada hent inya sehingga membuat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Katanya.
"Sudahlah, cukup!"
Masih saja ia tertawa, atau t iba-tiba dilihatnya Lingga W isnu bersembah kepadanya sambil berkata .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Guru!"
Mau tak mau Kyahi Sambang Dalan menerima sembah calon muridnya itu. Katanya ..
"Mulai sekarang kau adalah muridku yang sah, Sebelum kau tiba di sini, aku mempunyai dua orang murid. Dengan demikian engkau adalah muridku yang ketiga. Terpautmu, sangat jauh dengan kedua kakak seperguruanmu itu. Hal itu disebabkan karena belasan tahun lamanya aku belum menemukan calon murid lagi yang berbakat seperti engkau. Kini sudah kuput uskan bahw a engkau menjadi murid penutup. Karena itu engkau harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari engkau bisa menjaga martabat perguruanmu."
Lingga W isnu manggut berulangkali. Janjinya .
"Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan kehendak guru. Dan Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan pula kepadaku untuk bisa menjunjung tinggi martabat perguruan guru."
"Sudah kukatakan tadi, namaku Sambang Dalan. Orang-orang menyebut diriku Kyahi Sambang Dalan. Kau ingat-ingatlah namaku ini. Sebab aku tidak akan menyebutnya lagi dihadapanmu. Di kemudian hari apabila seseorang bertanya kepadamu siapa gurumu, engkau harus bisa menjawab dengan tepat. Jangan sampai kau lupakan namaku!"
Mendengar kata-kata gurunya, Lingga W isnu tertawa geli di dalam hati.
Tak pernah diduganya bahwa orang tua itu pandai juga bersenda gurau.
Bukankah Ngrumbini berpesan kepadanya bahwa orang tua itu aneh tabiatnya.
Kyahi Sambang Dalan adalah rekan sejaman dengan Kyahi Basaman.
Ia malang-melint ang dua puluh tahun lamanya tanpa tandingan.
Karena tak senang menjual lagak, namanya tak begitu tersohor.
Ia tidak memperdulikan hal itu.
Ia malahan menjadi seorang pendekar yang senang hidup menyendiri.
Tetapi terhadap Lingga W isnu tiba- tiba timbul ah rasa ibanya.
Bocah ini yatim p iatu, pantaslah dia harus d ikasihani.
Demikianlah pikirnya di daiam hati.
Sebagai seorang pendekar besar, sudah tentu ia mendengar kabar tentang kegagahan Udayana.
Ia kagum dan menghargai ayah Lingga W isnu itu.
Anak Udayana inipun berbakat bagus dan berotak cerdas.
Tabiatnya mulia pula.
Oleh pertimbangan-pertimbangan itu mendadak sajalenyaplah tabiat anehnya.
Ia tidak hanya menerima Lingga W isnu sebagai muridnya akan tetapi bersedia bersenda-gurau pula.
"Kedua kakak seperguruanmu berusia jauh lebih tua dari padamu. Umurnya kini barangkali tigapuluh lima tahun lebih."
Kata Kyahi Sambang Dalan.
"Malahan murid-murid mereka ada d i ant aranya yang berusia lebih tua dari pada engkau Maka bisa kejadian mereka akan menyesali aku lantaran aku menerima seorang murid begini muda. Lebih celakanya lagi, apabila engkau tidak berhasil. Seumpama engkau kalah sewaktu diadu dengan murid-murid mereka, kedua kakak seperguruanmu pasti akan mencela diriku."
"Guru, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh,"
Kata Lingga W isnu dengan semangat berkobar-kobar. Kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Apakah paman Aria Puguh murid guru?"
"Puguh, salah seorang perwira andalan Panglima Sengkan Turunan,"
Jawab Kyahi Sambang Dalan.
"T iada waktunya untuk belajar lama-lama kepadaku. Aku hanya mengajari ilmu pukulan Sapu Jagad saja. Karena itu tak dapat dia disebut sebagai muridku."
Ia berhenti sebentar, memalingkan pandangnya. Sambil menuding kepada Ganjur, ia meneruskan.
"Lihat pulalah dia, Setiap kali k ita berlatih, dia menyaksikan. Diam-diam ia menyimpannya di dalam ingatannya. Apa yang diingatnya bukan sedikit. W alaupun demikian, apabila dibanding dengan kedua muridku, bedanya seperti bumi dan langit."
Mendengar kata-kata Kyahi Sambang Dalan, Lingga W isnu te rcengang oleh rasa kagum.
Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa perkasa si gagu itu.
Kepandaiannya tinggi.
Meskipun demikian ia hanya seorang pelayan yang dapat memiliki ilmu kepandaiannya itu dengan jalan mencuri pandang saja.
Gurunya sendiri, Aria Puguh, hanya memperoleh pukulan ilmu sakti Sapu Jagad.
Meskipun demikian gurunya itu seorang pendekar tangguh dan gagah sekali.
Jika ilmu kepandaian mereka berdua hanya dikatakan sebagai satu kepandaian sambil lalu saja, maka betapa tinggi ilmu sakti Kyahi Sambang Dalan, sudah dapat dibayangkan.
Diam-diam ia berpikir di dalam hati .
'Jika aku belajar dengan sungguh sungguh, meskipun tidak dapat menjajari kedua kakak seperguruanku, set idak-tidaknya aku akan bisa memiliki kepandaian set araf dengan paman Ganjur.
Kurasa itupun sudah cukup untuk kubuat bekal membalas dendam kematian ayah bunda.' Dan oleh pikiran ini, ia menjadi girang sekali.
"Rumah perguruan kita ini bernama Sekar Teratai. Selanjutnya engkau bakal disebut orang sebagai kaum Sekar Teratai."
Kata Kyahi Sambang Dalan. Lalu meneruskan keterangannya .
"Kami kaum Sekar Teratai menpunyai berbagai peraturan yang keras. Selain peraturan peraturan keras, ada pula pant angan pantangannya. Yakni, pantang berbuat cabul, pantang melakukan kejahatan, pantang menjadi hamba sahaya musuh bangsa, pantang minum ganja dan lain lainnya. D i kemudian hari akan ku jelaskan lebih lanjut lagi. Sekarang, resapkan segala pesanku kedalam perbendaharaan hatimu. Yang pertama, engkau harus patuh kepada perkataan gurumu! Dan yang kedua, jangan melakukan hal-hal yang t ercela"
"Pasti aku akan patuh kepada setiap patah kata guru, dan aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang buruk,"
Kata Lingaa W isnu dengan suara berkobar-kobar. Kyahi Sambang Dalan-girang mendengar janji Lingga W isnu. Serunya.
"Bagus, anakku! Sekarang, marilah k ita mulai berlatih. Puguh mengajari pukulan pukulan Sapu Jagad yang dilakukan secara selint as saja. Sebenarnya ilmu pukulan Sapu Jagad yang diajarkan kepadamu itu serupa dengan seseorang yang menyikat jalan panjang. Apabila engkau tidak mulai dari ujungnya atau t idak kau selami dari titik pangkalnya, di kemudian hari engkau tidak akan memperoleh kesempurnaan. Karena itu kini aku akan mengajarimu dengan ilmu sakti Sardu la Jenar, sebagai pelajaran dasar dahulu."
"Sardula Jenar?"
Kata Lingga W isnu heran.
"Dahulu pernah aku memperolehnya dari paman W irupaksa. Sama sekali t iada keistimewaannya."
"Oh, begitu? Seumpama benar demikian, kukira belum berarti."
Kata Kyahi Sambang Dalan.
"Apakah engkau sudah merasa dapat mempergunakan ilmu Sardula Jenar? Jika merasa begitu, kau keliru jauh. Sebab, jika engkau sudah mahir memainkan ilmu sakti Sardula Jenar, hanya beberapa orang saja yang dapat mengalahkanmu."
Lingga W isnu tercengang. Ia percaya keterangan gurunya itu. Karena itu tak berani lagi ia membuka mulut nya.
"Apakah engkau kurang yakin?"
Kata Kyahi Sambang Dalan.
"Coba, kau lihatlah! Setelah itu tirukan!"
Setelah berkata demikian, Kyahi Sambang Dalan lant as memberi contoh jurus-jurus Sardula Jenar.
Dan Lingga W isnu dengan penuh perhatian mengikuti setiap gerakan Kyahi Sambang Dalan.
Semuanya mirip, sama sekali tiada bedanya dengan ajaran yang diperolehnya dari W irupaksa.
Ia jad i heran dan tidak mengerti.
Apakah kehebatannya ilmu pukulan Sardula Jenar.
Sedang Lingga W isnu masih'berpikir pulang balik maka Kyahi Sambang Dalan menegurnya.
"Apakah engkau mengira aku membohongimu? Mari kau coba. Kau serang aku. Apabila engkau bisa menyentuh ujung bajuku. Maka benarlah engkau dah mahir."
Tentu saja Lingga wisnu tak berani menyerang gurunya. Ia hanya bersenyum saja. Dan sama sekali tak bergerak dari t empatnya.
"Hayo, maju! Aku sudah mengajarimu salah satu jurus ilmu sakti Sardula Jenar."
Mendengar bahwa gurunya mulai hendak memberi pelajaran.
Lingga W isnu lantas saja melompat masuk ke dalam gelanggang, dengan segera ia menyambar baju gurunya yang berpakaian pendeta.
Menurut perasaannya, ia bakal dapat menyentuhnya.
Alangkah herannyaa! Setiap kali tangannya nyaris menyentuh ujung baju mendadak saja ujung baju gurunya itu mundur sendiri.
lantas melompat menerkam tetapi justeru demikiaian ia kehilangan pengamatan.
Tiba-tiba saja tubuh gurunya lenyap dari depannya.
"Aku di sini!"
Seru gurunya sambil t ertawa.
Tangannya menerkam pundaknya.
Ternyata ia berada di belakang punggungnya.
Lingga W isnu mengasah otaknya.
Dan cepat ia memutar tubuhnya.
Kemudian dengan berjumpalitan ia menghampiri.
Gerakannya gesit sekali.
Kedua tangannya dipentang untuk memeluk.
Tetapi ia hanya memeluk udara kosong melompong.
Sama sekali tubuh gurunya tak dapat disentuhnya.
Dan apabila ia berpaling, gurunya telah berada kira kira sepuluh langkah di belakang punggungnya.
Lingga W isnu jadi penasaran.
Ia melompat sekali lagi dengan gesit.
Tangannya menyelonong ke depan.
Dan pada saat itu gurunya tiba-tiba mengebaskan lengan bajunya.
Dan tubuhnya ikut melesat.
Dengan begitu ia menghindarkan terkaman Lingga W isnu, sehingga bocah itu hanya menangkap angin.
Sekalipun begitu Lingga Wisnu tidak jadi berputus asa.
Lantaran mendongkol, ia malahan jadi bersemangat.
Kini ia tertawa gembira.
Ia mengejar, membiluk dan mengikuti gerakan gurunya.
Tiba-tiba ia melihat si gagu menggerak-gerakan tangannya di luar gelanggang.
Diam-diam ia memperhatikan.
Mendadak saja hatinya tergerak.
Katanya di dalam hati .
'Paman Ganjur menyuruh aku meniru gerakan guru melakukan ilmu sakti Sardula Jenar.
Apakah maksudnya? Memang, guru bergerak dengan langkah langkah Sardula Jenar.
Mengapa bisa begini gesit?' Ia masih mengubar selint asan.
Kemudian dengan perilahan-lahan ia mu lai memperhatikan gerak-gerik gurunya.
Karena otaknya cerdas luar biasa, sebentar saja telah dapat ia memahami semua gerakannya.
Setelah merasa diri dapat menirukan, segera ia mencontoh gerakan gurunya.
Lantas saja kegesitannya bertambah beberapa kali lipat.
Kyahi Sambang Dalan semenjak tadi mengawasi gerak-gerik muridnya.
Diam-diam ia manggut-manggut.
Pikirnya di dalam hati .
'Anak ini benar-benar cerdas.
Ia mengerti apa yang kukehendaki.' Lingga W isnu memperhebat pengejarannya karena kini bisa bergerak lebih sebat dan gesit.
Akan tetapi gerakan gurunya pun bertambah gesit lagi, sehingga usahanya untuk menangkap atau menyentuh ujung baju gurunya menjadi sia-sia belaka.
Tetapi Ganjur yang berada di luar gelanggang bergembira, karena mereka berdua bergerak bagaikan bayangan saja.
Beberapa saat kemudian, mendadak saja Kyahi Sambang Dalan melompat keluar gelanggang.
Kemudian berbalik menubruk muridnya dan diangkatnya tinggitinggi diudara.
Serunya sambil t ertawa .
"Murid yang- baik! Murid yang baik! Engkau seorang anak manis sekali!"
"Guru!"
Seru muridnya pula yang menjadi g irang luar biasa.
"Barulah kin i aku sadar bahw a ilmu sakti Sardula Jenar tidak boleh dibuat gegabah."
"Bagus, anakku! Cukup sudah untuk hari ini,"
Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong