Ceritasilat Novel Online

Angkin Sulam Piauw Perak 3


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 3



Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu

   

   "Sabar,"

   Siauw Hong mencegah.

   "Kau dengar aku bicara. Itu anak tidak ada yang rawat, dari itu aku ambil padanya, tetapi aku hidup tidak karena ia. Aku kasih tahu pada kau, aku selalu ingat kau, di depannya Han Kim Kong, aku selalu dengar-dengar perihal kau."

   "Di depan Han Kim Kong? Jadinya Han Kim Kong sering- sering sebut aku?"

   "Ya. Dia dan Gouw Po toh ada orang yang satrukan kau. Dia pun sering sebut tentang gurumu."

   "Guruku? Apa mereka tahu di mana adanya guruku sekarang?"

   "Sabar,"

   Siauw Hong membujuk pula.

   "Aku tidak ingin bicara tentang gurumu, kau selalu gusar kalau aku sebut-sebut dia. Sekarang ini kau tidak usah kuatir, kalau dahulu mereka tidak pandang padamu, sekarang mereka rada jerih. Kau tahu, kenapa aku angkat saudara sama Sam-thay-thay dari Ouw Gie-su? Itu adalah guna dapat pengaruh. Sekarang belum ada bahaya mengancam, tetapi kau harus hati-hati buat Gouw Po dan Han Kim Kong."

   Tek Hui tidak kata apa-apa, tetapi berulang- ulang ia perdengarkan suara dari hidung.

   "Hm, hm, hm!"

   Siauw Hong cekal pula bahu orang, ia mengawasi mukanya pemuda itu.

   "Kau sabar,"

   Ia membujuk.'",,Sebenarnya aku tidak boleh omong sama kau, asal aku ngomong, kau 163 tentu gusar. Aku ingin kau tidak satroni mereka, inilah aku minta."

   Tek Hui bersangsi, tetapi kemudian ia manggut.

   "Aku tidak satroni mereka, asal mereka jangan mulai ganggu aku!"

   Ia kata.

   "Sekarang aku punya dua encie angkat, aku tidak takut akan nanti diganggu pula,"

   Kata Siauw Hong kemudian.

   "hanya aku tetap masih jadi gundik yang kelima! Apakah artinya itu? Aku tahu aku masih muda, tetapi aku sudah tidak sembabat untuk kau, hanya, bagaimana aku bisa, sedang aku mengharap- harap kau?"

   "Kau boleh perintah aku, aku nanti pertaruhkan jiwaku untuk kau!"

   "Apakah benar?"

   Siauw hong terperanjat, tetapi ia bersenyum.

   "Aku ingin kau sabar dan jangan gampang-gampang berkelahi. Seperti hari itu di muka piauw-tiam, kau bikin aku kaget."

   "Itu pun perkelahian tak berarti,"

   Tek Hui bersenyum.

   "Aku tahu kau gagah, tetapi hatiku tak tenteram."

   Ia kata.

   "Sebenarnya, buat kau menjadi piauwsu saja, aku tidak setuju."

   "Asal aku dapat cari guruku, aku pun tidak mau jadi piauwsu lagi,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Itu bagus. Aku harap aku bisa kasih kau modal untuk berusaha."

   Tapi Tek Hui goyangi kepala, dengan cepat. 164

   "Uangnya Han Kim Kong aku tak inginkan! Uang kau ada uang dia juga, maka uang yang baru ini kau kasih aku, semua aku masih belum pakai, aku niat kembalikan itu pada kau. Kau tahu, waktu aku pergi ke Thio-kee-kauw, aku belikan kau selimut kulit srigala dan mantel bulu kambing. tetapi aku belum bisa kirim itu pada kau."

   Siauw Hong susut bersih matanya, ia tertawa.

   "Hawa sekarang panas, kau kirimkan itu, apa kau ingin aku mati ngelekap?"

   Ia membanyol.

   "Baiklah kau simpan saja itu semua. Di tempatku, kecuali budakku, tak ada orang lain yang boleh diharap. Hweeshio dari kuil ini ada sahabatnya Han Kim Kong, aku bisa berdiam berhari-hari di sini. Tentang persahabatan kita, kedua encieku masih belum tahu, aku pikir, buat sementara baiklah mereka tidak usah ketahui."

   Siauw Hong nampak masgul akan dengar ucapan itu. Dengan pelahan-lahan, sang rembulan menuju ke barat, angin meniup makin dingin. Di muka air, cahaya rembulan berkilau-kilau.

   "Lain kali, kalau kau dapat uang. kau mesti bisa simpan itu"

   Kata Siauw Hong kemudian, sembari lepaskan cekalannya.

   "Aku tidak pakai uang, aku tidak hamburkan itu"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Uangku aku kirim pada pamanku di Bun-tauw-kauw, See-san, ia mengandal padaku." 165

   "Kenapa kau tidak beli saja tanah atau sawah kebun di sana?"

   "Buat itu, uangku masih belum cukup".

   "Aku bisa kasih pinjam uangku, akan tambah kekuranganmu. Asal bisa didapatkan sepuluh bau atau lebih, itu sudah cukup untuk hidupnya satu keluarga. Maka di belakang hari, ayahku, juga guru kau, boleh tinggal sama-sama! Apakah itu tidak bagus? Dengan demikian, kau jadi berrumah tangga dan punyakan milik!"

   "Benar,"

   Tek Hui jawab.

   "Lain kali aku nanti wujudkan usulmu ini. Uangku aku nanti serahkan pada kau, buat kau simpan, kemudian kita gunai itu untuk beli sawah kebun."

   Siauw Hong manggut, ia bersenyum. Ia nampaknya sangat puas. Ia bertindak ke selatan, Tek Hui ikuti ia. Tiba-tiba ia merandak dan menoleh, ia mengawasi, sambil tertawa.

   "Kau lihat, apakah tempat ini tidak bagus?"

   Ia tanya.

   "Benar, bagus,"

   Sahut anak muda itu.

   "Maka lain kali, kalau kita mau ketemu pula, itu mesti kejadian di sini!"

   "Tapi, masih ada urusan apalagi kemudian?"

   Tek Hui tanya.

   "Masih banyak! Lain kali, dalam urusan apa saja, aku sangat mengharap bantuan kau. Dengan susah 166 payah aku dapati kau, aku ingin kau tidak ubah hatimu."

   "Itulah kau boleh percaya!"

   Siauw Hong mengawasi pula.

   "Aku hendak tanya kau"

   Ia lalu kata.

   "Apakah kau belum pernah nikah?"

   "Apa kau maksudkan?"

   Pemuda ini lihat mukanya si elok menjadi merah.

   "Aku maksudkan, apakah pamanmu tidak nikahkan kau atau carikan tunangan untuk kau? Barangkali kau belum menikah, karena uangnya belum siap?"

   Siauw Hong likat waktu ia mengucapkan demikian.

   Tek Hui tidak suka dengar omongan tentang itu, ia justeru lagi pikirkan Gouw Po dan Han Kim Kong, yang bikin darahnya mendidih, dengan tidak menaruh perhatian ia manggut.

   Melihat orang manggut, Siauw Hong tidak puas.

   "Sekarang kau telah jadi piauwsu ternama, uangmu pun banyak, mustahil tidak ada orang yang usulkan kau menikah atau bertunangan?"

   Ia tanya.

   Hampir Tek Hui tuturkan lelakonnya Po Go, baiknya ia ingat bahwa Kim-jie-ie Siauw Hong telah dicuri oleh nona she Louw itu.

   Kalau Siauw Hong ketahui ini, si juwita ini tentunya akan gusari ia, atau 167 ia sedikitnya akan dikatakan kurang gagah dan akan disesali.

   Ia goyang pula kepalanya.

   "Tidak,"

   Ia kata.

   "aku pun tidak inginkan itu. Aku tidak pikir tentang si nona muka hitam atau putih, atau ia pandai mcngetik shui-phoa atau main piauw."

   Siauw Hong jadi tertawa tertahan.

   "Jadinya kau inginkan..... ,"

   Ia kata tetapi ia lalu merandek, akan tertawa pula, ia bikin si anak muda jadi tertegun. Ia mengawasi.

   "Dan bagaimana kau pikir tentang aku?"

   Baru berkata begitu, ia lantas tunduki kepala, ia susut air matanya, yang turun pula dengan tiba-tiba.

   "Sudah,"

   Tek Hui kata.

   "Apa aku mesti bilang lagi tentang kau? Kita berdua rupanya memang telah berjodoh."

   Siauw Hong terharu bukan main, karena girangnya. Ketika itu Tek Hui menguap.

   "Sudah malam,"

   Ia kata.

   "aku ingin mengaso. Orang yang berlatih silat di waktu fajar ia sudah mesti bangun dan ia tidak tidur tengah hari. Sekarang barangkali sudah jam tiga. Kau pun perlu beristirahat. Bukankah sebentar masih mesti dibikin sembahyang?"

   Siauw Hong mendengar, tetapi ia tidak menjawab.

   "Bagaimana kemudian?"

   Tek Hui tanya.

   "Kalau di sini sudah tidak dibikin sembahyang, apa kau masih suka datang kemari? Aku perlu ketahui ini, supaya 168 kalau aku datang, aku tidak sampai tubruk tempat kosong."

   Nona itu terlalu berduka, sampai ia tidak bisa bicara. la susuti terus matanya.

   "Sudah, jangan terlalu berduka,"

   Tek Hui membujuk.

   "Gouw Po dan juga Han Kim Kong, pasti tidak akan berani ganggu kau pula. Jikalau mereka berani ganggu selembar saja rambut kau, hm!, kau nanti lihat!"

   Ia pergi ke kaki tembok, akan ambil pedangnya.

   "Simpan senjata itu, aku takut,"

   Kata Siauw Hong. Tek Hui bersenyum, ia goyang kepala.

   "Aku tidak akan berbuat apa-apa,"

   Ia bilang.

   "Aku toh sudah janji pada kau bahwa aku tidak akan ganggu mereka. Sekarang sudah malam, kau harus beristirahat, aku pun hendak pergi, asal kita bisa sering-sering ketemu."

   Tiba-tiba Siauw Hong cekal pula bahu orang.

   "Kau ingin kita sering-sering ketemu?"

   Ia kata.

   "Tentu saja!"

   Tek Hui pastikan. Siauw Hong menghela napas lega, dengan pelahan-lahan, ia lepaskan cekalannya.

   "Baiklah,"

   Ia kata, Ia sekarang bergirang. Tapi agaknya ia berat akan berpisahan.

   "Aku mau masuk."

   "Pergilah. Barangkali besok malam aku bisa datang pula." 169 Meski ia kata begitu, Tek Hui toh tidak lantas bertindak pergi.

   "Eh, kenapa kau diam saja?"

   Siauw Hong bersenyum.

   "Aku mau tunggu sampai kau sudah berada di dalam. Aku mau tunggu sampai kau sudah kunci pintu."

   Siauw Hong tertawa, dengan mukanya yang ramai dan manis, lantas ia bertindak.

   Di pintu ia disambut oleh budaknya, yang telah lantas membukai pintu itu untuk ia.

   Ia menoleh, sesudah itu, baru ia bertindak masuk.

   Tek Hui menunggu sampai pintu sudah dikunci, baru ia pergi, akan samperi kudanya.

   Suasana sunyi sekali, kecuali suasana berselirnya angin.

   Dengan rembulan sudah doyong rendah di barat, langit tidak terang seperti tadi.

   Bayangan pohon-pohon pun telah nyata doyong ke timur.

   Air sungai kelihatan gelap.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tek Hui tuntun kudanya sedikit jauh, lantas ia loncat naik dan kasih kuda itu lari.

   Di tempat sunyi seperti itu, ia bisa lari dengan merdeka, ia tidak usah kuatir kena tubruk orang.

   Suaranya kaki kuda sampai terdengar berisik.

   Selagi lari, tiba-tiba Tek Hui tahan kudanya.

   "Bagaimana aku bisa pulang ke dalam kota di waktu begini!?"

   Ia berpikir.

   "Pintu kota belum dibuka dan aku mesti menunggu sampai pagi. Taruh kata aku bisa masuk, orang tentu sudah pada tidur. Bagaimana 170 aku mesti menyahut kalau aku ketemu hamba negeri?"

   Di situ pun tidak ada rumah orang.

   Akhirnya Tek Hui ambil putusan akan rebah di udara terbuka.

   Tidur semacam ini ia sering lakukan di waktu ia masih jualan arang.

   Ia samperi sebuah pohon besar, di situ ia tambat kudanya, ia sendiri terus rebah.

   Ia ngantuk dan lelah.

   Sudah lama ia tidak tidur begini, sekarang ia jadi tidak biasa lagi.

   Toh tidak lama, ia sudah pulas.

   Selama turut Pheng Jie belajar silat, Tek Hui telah melatih tidur.

   Ia bisa tidur nyenyak seperti orang kebanyakan, tetapi di waktu yang perlu, ia bisa sadar dengan mendadakan, di waktu yang tepat.

   Di waktu fajar, ia dengar suara berisiknya roda- roda tapi ia tidur terus, ia malas bangun.

   Tapi satu kali ia dengar suara berisik istimewa, seperti kuda congklang mendatangi, tiba-tiba ia tersadar.

   Ia buka matanya, sambil gebriki pakaiannya, ia menoleh ke jurusan yang ia awasi.

   Suara itu datang dari tempat yang jauh, lantas kelihatan debu mengebul naik.

   Nyata itu adalah suara dari tujuh atau delapan penunggang kuda, yang semua kelihatan garang atau jumawa.

   Selagi mereka itu mendatangi makin dekat, Tek Hui bisa lihat mereka dengan tegas.

   Seorang penunggang kuda, di belakang kupingnya tumbuh segumpal rambut hitam sebagai 171 bulu, romannya luar biasa, di bebokongnya menggendol semacam senjata yang dikerebongi tutup, bentuknya panjang seperti suling yang berpasang.

   "Itulah tentu poan-koan-pit,"

   Menduga Tek Hui, yang menjadi kaget.

   Poan-koan-pit adalah semacam senjata model pit, yang istimewa.

   Itu adalah senjata yang tidak sembarang orang bisa gunai.

   Kelihatan penunggang-penunggang kuda itu tidak perhatikan anak muda ini, mereka lewat terus, menuju ke kota.

   "Siapa mereka itu?"

   Tek Hui berpikir sambil mengawasi belakang orang, di mana debu mengulak naik.

   "Apa mereka datang untuk satrukan aku?"

   Ia lantas tarik kudanya, buat diloloskan, kemudian ia loncat naik dan kaburkan binatang tunggangan itu akan masuk di Say-tit-mui, guna pulang ke piauw-tiam.

   Ia jengah sendirinya kalau ia ingat bagaimana apabila Tong Kim Houw ketahui peranannya semalam.

   Di piauw-tiam seperti ada terjadi apa-apa, air muka semua pegawai nampaknya berubah, dan ketika ia ketemu sama Tong Kim Houw, dia ini lantas saja kata.

   "Oh, aku punya toaya, tadi malam ke mana kau pergi, kenapa kau tak pulang? Aku telah kirim orang pergi ke Bun-tauw-kauw akan susul kau, aku kuatir kau tidak dapat dicari, maka baiknya sekarang kau pulang!" 172 Mukanya Tek Hui jadi merah berbareng ia terperanjat.

   "Apakah telah terjadi?"

   Ia tanya.

   "Ada apa?"

   "Tapi kau telah pulang, bagus!"

   Kata piauwsu majikan itu, yang lantas bisa bersenyum.

   "Mari masuk, aku nanti kasih keterangan, pelahan-lahan."

   Tek Hui, yang kudanya telah disambuti oleh bujang, sudah lantas ikuti Tong Kim Houw masuk ke kamar yang menjadi kantoran kuasa piauw-tiam. Ia bawa pedangnya. Ia mengawasi majikan itu, karena ia belum mengerti.

   "Sebenarnya tadi malam kau pergi ke mana?"

   Tanya Tong Kim Houw.

   "Aku dengar ada satu nona kecil datang cari kau. Lauw-tit, kau masih muda, aku tidak heran jikalau kau main-main di luaran. Hanya, di mana sebenarnya kau tidur? Belakang kau, dan muka kau juga, masih menempol tanah."

   Mukanya Tek Hui menjadi merah. Ia tidak bisa mengaku, ia pun tidak biasanya menjusta. Ia memang tak pandai bicara. Tapi Tong Kim Houw tidak niat goda atau tegur anak muda Ini.

   "Duduk, Lauw-tit,"

   Ia kata, dengan air muka sungguh-sungguh. Kemudian ia rnelanjuti dengan suara pelahan sekali.

   "Kemarin lohor, tidak lama seperginya kau, Thie- thian-ong Sie Ngo dari Lie-hap Piauw-tiam telah datang cari aku, akan mengasih kisikan dari kabaran 173 yang ia terima, ialah musuh-musuh kau akan lekas datang, di antaranya terutama ayah dan kanda Poan- koan-pit Siauw Lo Cong, ialah Kwee-seng-pit Lauw Lo Liong dan Giam-ong-pit Lo Tay."

   Baru sekarang Tek Hui sadar.

   "Aku telah lihat mereka, salah satu adalah si orang she Lo!"

   Ia kata.

   "Tapi aku tidak takut!"

   Tong Kim Houw agaknya terperanjat dan berkuatir.

   "Kau dapat lihat mereka?"

   Ia tanya.

   "Di mana? Mereka itu datang tadi malam, kemudian mereka pergi keluar kota, rupanya untuk undang lagi beberapa orang yang ternama, hanya entah siapa."

   "Aku perdulikah siapa mereka itu!"

   Tek Hui bilang dengan sengit.

   "Tadi aku lihat mereka menuju ke kota! Aku si orang she Lauw tak takut sedikit jua!"

   "Dengar dahulu,"

   Kata Tong Kim Houw, dengan sabar.

   "Sekali ini baru datang Lo Tay seorang, ayahnya Lo Liong, akan menyusul belakangan."

   "Siapa juga adanya mereka, aku tidak takut!"

   Berseru Tek Hui, yang masih gusar.

   "Jangan mengucap demikian, Lauw-tit,"

   Kim Houw membujuk pula.

   "Sekarang ini bukan cuma satu atau dua orang yang hendak bereskan kau, kecuali ayah dan kanda dari Lo Cong, juga Kian-mo Say-cu Ciu Toa Cay, si Singa Rintik. Jangan kau anggap Ciu Toa Cay saudara angkat dari gurumu, ia justeru berdengki terhadap perusahaan kita, ia justeru benci 174 sangat pada kau, karena sebagai orang muda kau telah lombai namanya. Ini sebabnya ia sudah mau bantu mereka itu. Tapi ini belum semua. Masih ada lagi, Louw Thian Hiong! Dia ini benci kau, karena gagalnya tipunya bie-jin-kee, ialah kau tidak sudi Louw Po Go, keponakan perempuannya. Katanya ia belum puas, sebelum ia dupak kau keluar dari Pak- khia. Satu orang lagi adalah orang terhadap siapa gurumu sudah berbuat salah! Apakah kau kenal dia? Dia adalah Gie-cian Sie-wie yang berpengaruh dan banyak uangnya, yang pun pandai menggunai golok dan tumbak!"

   Mendengar itu, Lauw Tek Hui berjingkrak bangun bahna gusarnya, sedang tangannya ia kepal keras.

   "Aku tahu!"

   Ia berseru.

   "Malah aku kenal dia! Dia Han Kim Kong!"

   "Kalau kau sudah tahu, bagus,"

   Kata Tong Kim Houw.

   "Dia itu tidak boleh dibuat permainan. Yang Iain-lain adalah Thay- swee-too Han Pa, Hek-houw- pian Ciauw Tay, Say-uy-tiong Ma Hong, Siang-kiam Ya-cee Cian Lok, begitu juga orang-orangnya pihak Lo. Di mana mereka masih mengundang orang, jumlah mereka akan tambah. Kau masih muda, tetapi nama kau telah menindih pamor mereka, tidak heran kalau mereka jadi tidak puas dan membenci kau, hingga mereka niat habiskan jiwamu!" 175 Tek Hui benar tidak takut, ia hanya bersenyum ewah.

   "Tadi malam terus sampai pagi aku tidak tidur barang sekejap,"

   Kata Tong Kim Houw seraya menghela napas.

   "Aku berkuatir sangat karena adanya urusan ini, hingga aku pikir, sekarang tinggal terbuka dua jalan untuk kita. Pertama-tama ialah kau pergi tempur mereka. Dalam hal ini, aku kuatirkan kegagalan. Sebab kepandaiannya Lo Tay tentu ada di atasan kau, sedang mereka dibantu oleh Han Kim Kong, Louw Thian Hiong dan kawan-kawannya semua. Tentulah aku merasa tidak enak hati, apabila kau dapat kecelakaan di tangan mereka. Jalan yang kedua adalah aku tutup piauw-tiam, lantas aku ajak kau pergi ketemui mereka, akan mohon maaf. Aku anggap jalan yang kedua ini terlebih baik."

   Sembari kata begitu, ia awasi anak muda di hadapannya.

   Tampang mukanya Tek Hui menjadi berubah- ubah, pucat dan merah padam, biji matanya bersinar, kedua kepalannya terkepal keras.

   Tapi tidak lama, ia lantas mendelong, rupanya ia ingat suatu apa.

   Adalah akhir-akhirnya, ia kata.

   "Aku tidak takuti mereka semua! Mohon maaf dari mereka? Tidak nanti! Tapi aku sudah ambil putusan, aku tidak mau satroni mereka, aku hendak berdiam di sini, akan lihat tingkah laku mereka! Apa mereka berani datangi aku?" 176 Ini justeru yang Tong Kim Houw kuatirkan. Mustahil Lo Tay semua takut datang? Dan kalau mereka datang, tentulah piauw-tiam yang akan diubrak-abrik terlebih dahulu. Maka itu, ia majukan pikirannya yang kedua, melulu dengan maksud menghasut si anak muda, supaya dia ini pergi satroni Lo Tay. Usui ini akan membawa dua kebaikan bagi ia. Kalau Tek Hui menang, ia akan dapati kemajuan lebih besar. Dan kalau apa lacur, Tek Hui kalah, piauw- tiamnya tidak usah rusak. Ia tidak sangka, bahwa Tek Hui tidak kena diobor. Maka akhir-akhirnya, ia garuk- garuk belakang kuping.

   "Ada lagi satu kabar, yang aku dengar,"

   Kemudian ia kata.

   "Tadinya aku tidak berani beritahukan ini pada kau. Sebenarnya guru kau telah binasa teraniaya oleh Han Kim Kong."

   Kembali mukanya Tek Hui menjadi merah padam, kedua matanya terbuka lebar, ia bingung sekian lama, sampai tahu-tahu air matanya meleleh keluar.

   "Jangan berduka, lauw-tit,"

   Kata Kim Houw, sambil bersenyum.

   "Jikalau kau menangis, kau bukannya satu enghiong. Sekarang tinggal terbuka dua jalan yang aku unjuk padamu, ialah menyerah dan tekuk lutut di depan mereka akan minta ampun, akan selanjutnya jangan ingat lagi gurumu, atau kau 177 adu jiwamu dengan mereka, dengan tidak tunggu mereka datang, kau yang datangi mereka!"

   Ucapan ini kali telah memberi hasil.

   Dengan tiba-tiba Tek Hui cekal gagang pedangnya, buat ditarik, tetapi belum sampai senjata itu terhunus, ia tahan tangannya sendiri, hanya ia lantas susut air matanya, kemudian dengan tidak kata apa-apa, ia bertindak ke luar.

   Tong Kim Houw mengawasi dengan penuh pengharapan.

   la ingin anak muda itu keluar terus, dengan bawa pedangnya.

   Hanya di luar dugaannya Tek Hui telah menuju ke kamarnya sendiri.

   Bukan main panasnya hati Tek Hui.

   Gurunya terbinasa, di tangannya Han Kim Kong? Itulah hebatl Hatinya bisa meledak dan hancur.

   Tetapi, ia sangsikan Tong Kim Houw, sikap dan suara siapa mencurigai.

   Ia pun sangsi kalau gurunya bisa terbinasa secara gampang-gampang, sebab ia tahu betul, tidak sembarang orang bisa tandingi gurunya itu.

   Kalau ia bersangsi, itu disebabkan ia tahu kesehatan gurunya sedang terganggu.

   Maka ia masuk ke kamarnya dengan niat tenangkan hati.

   "Han Kim Kong adalah seorang licin, bisa jadi juga guruku binasa karena tipu-dayanya,"

   Pikir ia kemudian. Tek Hui sekap diri di dalam kamar sampai waktunya bersantap, Tong Kim Houw temani ia dahar, 178 di waktu itu, piauwsu majikan ini lagi-lagi omong perihal Lo Tay dan rombongannya.

   "Benar-benar tadi mereka kembali dari luar kota dengan ajak beberapa orang undangan, melainkan tidak diketahui siapa adanya sekalian jago itu"

   Kata Kim Houw lebih jauh.

   "Jikalau benar ia undang Tin- keng-see Thong loo-thay-swee, sebagaimana katanya orang, benar-benar kau mesti berhati-hati, lauw-tit. Ia adalah tayhiap terkenal dari Pak-khia pada beberapa puluh tahun yang berselang, sudah banyak tahun ia berdiam di tempat sunyi, sebenarnya sukar dipercaya kalau ia mau keluar pula sekarang, cumalah, hati orang siapa yang tahu? Kita harus ketahui, Han Kim Kong berilmu tinggi, bisa jadi ia sanggup undang jago tua itu."

   Tek Hui dahar, kupingnya mendengar, tetapi ia diam saja.

   Ia sudah lantas berpikir.

   Ia anggap, tindakan pertama-tama adalah cari tahu hal gurunya, guru itu benar binasa atau belum.

   Ia sudah pikir, asal gurunya masih hidup dan tidak kurang suatu apa, ia akan tak perdulikan Lo Thay sekalian, ia hendak pegang perkataannya terhadap Siauw Hong untuk bersabar, kecuali sampai di puncaknya kesabaran.

   Hanya, jikalau benar gurunya telah binasa, maka ia terpaksa mesti langgar janjinya pada Siauw Hong, ia mesti adu jiwa.

   Di saat ia ambil putusannya itu, Tek Hui banting kaki, sampai Tong Kim Houw kaget, hanya, berbareng 179 dengan itu, piauwsu majikan ini bergirang, karena ia percaya yang ogokannya sudah memakan.

   "Dahar sudah sekian lama, tetapi arak tidak ada,"

   Kata Tek Hui kemudian.

   "Oh, kau inginkan arak?"

   Kim Houw kata dengan cepat.

   "Kau biasanya tidak suka minum, aku jadi tidak sediakan arak. Kau ingin arak putih atau kuning, aku akan segera sediakan."

   Tapi Tek Hui geleng kepala.

   "Tidak,"

   Ia bilang.

   "aku nanti pergi cari sendiri."

   "Begitu pun baik,"

   Kim Houw bilang.

   "Selama beberapa hari kau benar harus pergi ke rumah makan atau ke warung thee, agar orang dapat lihat kau, jika tidak, nanti orang anggap kau takut."

   Tek Hui tidak menjawab, hanya ia berbangkit, buat terus bertindak keluar.

   "Apakah kau bawa uang receh?"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Kim Houw sambil mengikuti.

   "Tapi tidak bawa uang tidak apa, semua orang kenal kau, asal kau sebut namaku, mereka boleh lantas datang menagih."

   Tadinya Kim Houw mau suruh orang ambilkan pedangnya anak muda itu, tetapi Tek Hui sudah ngeloyor terus, ia batalkan niatannya.

   Hanya karena berkuatir, ia perintah Lay Tauw Sam dan Lauw Cie Siauw-jie pergi mengikuti dari belakang.

   Baru saja Tek Hui muncul di muka piauw-tiam, lantas dua orang yang memotong jalan di depannya, bentur tubuhnya dengan keras.

   Mereka itu adalah 180 orang asing, tubuh mereka kekar, roman mereka garang.

   Coba orang lain, yang dibentur begitu, ia mesti sudah sempoyongan atau rubuh, tetapi sekarang, selagi anak muda kita berdiri tegak, adalah dua orang itu yang ngusruk sendirinya dan hampir jatuh.

   Dengan lantas Tek Hui menduga, bahwa orang lagi cari gara-gara, maka hawa amarahnya lantas naik.

   Dua orang itu, setelah benarkan tubuh, sudah lantas cabut golok masing-masing.

   Tek Hui ingin menyingkir, ia terus bertindak, untuk seberangi jalan besar.

   Di jurusan selatan roda dua penunggang kudo, yang lagi menantikan ketika, kapan mereka ini lihat si anak muda menyebrang jalan besar, dengan mendadak mereka kasih bergerak kuda mereka, akan tubruk anak muda itu.

   Tapi, dengan cepatkan tindakannya, Tek Hui bisa meloloskan diri dari ancaman bahaya itu.

   Melihat demikian, dua penunggang kuda itu lantas mendamprat.

   "Telor busuk!"

   Demikian katanya.

   "Orang kenyi! Orang macam begini mau jadi piauwsu besar! - Hm!"

   Hampir Tek Hui tidak berkuasa pula atas dirinya. Itu adalah hinaan besar. Tapi ada pengaruh lemah lembut, yang bikin ia sabar. 181

   "Tidak, baru saja aku berjanji,"

   Kata ia dalam hatinya.

   Di depannya lantas berbayang Siauw Hong dengan rambutnya yang hitam, romannya yang ayu, suaranya yang merdu.

   Ketika itu Tek Hui berada di lorak atau depan tangganya suatu toko, kalau kedua kuda tubruk ia pula, tidak ada tempat ke mana ia bisa berkelit.

   Ia jadi menyesal kalau ia ingat janjinya pada Siauw hong, ia menyesal yang ia telah keluar dari piauw-tiam.

   Coba ia berdiam terus di dalam rumah.

   Jalan besar itu adalah salah satu jalan besar paling ramai dari kota Pak-khia, selalu banyak kendaraan dan orang berlalu lintas di situ, maka di matanya Tek Hui ia selalu seperti tampak orang- orangnya Lo Tay atau Gouw Po.

   Deretan toko di situ punya lorak yang bertangga dan tinggi serta merk-merk dengan papan yang panjang, antaranya ada yang berlauwteng, di mana ada kedapatan rumah makan atau warung thee.

   Tek Hui keluar dengan niatan cari rumah makan, guna minum arak sambil dengar-dengar tentang gurunya, tetapi sekarang, kendati ia tidak takut, ia ubah tujuannya itu.

   Terang orang telah musuhkan ia, karcna siang-siang orang berani tubruk padanya, tubruk dengan kuda juga.

   "Sekarang sudah terang, selagi aku tidak cari mereka, mereka cari aku,"

   Demikian ia pikir.

   "Aku 182 tidak takut pada mereka, tetapi bagaimana andaikata aku tidak tahan sabar dan kena langgar janji pada Siauw Hong?"

   Selagi Tek Hui bersangsi, mendadak di belakangnya ada orang menegur.

   "Kau lagi bikin apa di sini?"

   Demikian teguran itu. Segera ia menoleh. Ia lihat ia sedang berhadapan dengan seorang dengan air muka tersungging senyuman.

   "Rupanya kau sudah tidak kenalkan aku?"

   Orang itu tanya, sembari tertawa.

   Sebenarnya Tek Hui kenalkan orang itu, saudara angkat gurunya, Ciu Toa Cay, seorang piauwsu, hanya baru saja ia dengar dari Tong Kim Houw yang orang she Ciu itu adalah konconya Gouw Po atau Lo Tay, lantaran mana ia jadi bersangsi.

   Ciu Toa Cay seorang terokmok dan kate, kumis dan jenggotnya rintik, dari itu orang berikan ia julukan Kian-mo Say-cu, si Singa Rintik.

   Tapi ia punya roman sabar dan manis budi.

   "Lauw-tit, aku justeru lagi cari kau!"

   Kata si Singa Rintik itu, sambil tetap tertawa.

   "Mari. Lauw-tit, mari kau ikut aku pergi ke rumah makan, mari kita duduk di sana, aku punya pikiran yang hendak diutarakan kepada kau! Mari ikut aku, Lauw-tit!"

   Di sebelah mereka ada restoran 'lt-hu-cun', maka Lauw Tek Hui ikut Ciu Toa Cay pergi ke rumah 183 makan itu, yang mejanya terdiri dari papan lembaran yang diletaki atas guci-guci arak sebagai kaki meja.

   Di situ sudah banyak tamu-tamu lain, mereka ini pada unjuk hormat atau menegur waktu mereka lihat si orang she Ciu, yang kebanyakan dari mereka kenal.

   Tapi, kapan mereka lihat Lauw Tek Hui, mereka mengawasi saja dengan mendelong.

   Ciu Toa Cay manggut atau bersenyum pada orang-orang yang kenal padanya itu, ia ajak Tek Hui naik ke lauwteng, di mana tamu-tamu sedikit.

   Di situ ia ajak si anak muda duduk di meja yang kosong.

   "Apa kau sudah dahar, Lauw-tit?"

   Tanya Ciu Toa Cay.

   "Baru saja,"

   Sahut Tek Hui, yang sedari tadi berdiam saja.

   "Kalau begitu, mari kita minum saja"

   Kata Toa Cay.

   "Yang perlu adalah agar kita bisa pinjam tempat ini, agar kita bisa bicara. Sebenarnya sudah lama aku niat cari kau, tetapi karena kau ada di tempatnya Tong Kim Houw, aku sangsi untuk pergi ke piauw-tiam dari dia itu. Jangan kau anggap Kim Houw dan aku tidak bersahabat, tetapi sejak ia andalkan kau dan berhasil mengumpul harta, pintu rumahnya pasti aku tidak mau datangi pula."

   Ciu Toa Cay omong dengan sengit, tetapi ia toh teriaki jongos akan minta arak dan sayuran yang jadi temannya. Ia pakai dua lapis ma-kwa, yang selembar ia lolosi, sambil berbuat begitu, ia menambahkan. 184

   "Tek Hui,"

   Demikian katanya.

   "kalau kita bicarakan hal kita, perhubungan kita ada jauh lebih rapat dibandingkan dengan Tong Kim Houw. Kau tahu sendiri, aku adalah saudara angkat dari gurumu, maka, buat bicara terus terang, dengan tidak adanya gurumu, aku bisa menjadi gurumu juga!"

   Tek Hui bersedih kapan ia dengar gurunya disebut-sebut.

   "Apa susiok tahu di mana adanya guruku sekarang ini?"

   Ia tanya.

   "Aku tidak tahu di mana adanya dia, tetapi aku punya jalan untuk mencari tahu,"

   Sahut Ciu To Cay.

   "Aku kenal satu orang, jikalau aku tanya dia itu, dia tentu bisa terangkan di mana adanya gurumu."

   "Siapa orang itu?"

   Tek Hui menanya dengan bernafsu. Ciu Toa Cay tidak lantas menjawab, justeru jongos datang dengan arak dan beberapa rupa sayuran, ia lantas mendahului irup araknya dan gunai sumpitnya.

   "Kau telah tidak kunjungi aku, kau seperti pandang aku sebagai orang lain saja,"

   Ia menjawab, dengan menyimpang.

   "Kau justeru ikuti Tong Kim Houw, yang pergi undang kau, dan setelah sekarang ia berhasil mengumpul uang, kau adalah yang peroleh musuh-musuh!"

   Ia berdiam sebentaran, akan terus melanjuti, dengan berbisik-bisik.

   "Kau tahu apa yang kau telah 185 lakukan? Kau tahu sekarang berapa banyak orang yang niat bikin beres kau?"

   "Aku tidak takut!"

   Kata Tek Hui dengan sengit.

   "Jangan kau main tidak takut saja,"

   Kata Ciu Toa Cay, ia goyang-goyang tangan, tetapi ia tertawa.

   "Nanti kalau telah datang waktunya kau takut, ketika itu sudah kasip. Giam-ong-pit Toa Lo Tay dan Twie- hun-chio Gouw Po hari ini telah undang bala bantuan lagi "

   "Jangan sebut mereka itu!"

   Tek Hui memotong.

   "Aku tidak takut mereka! Tapi aku juga tidak mau berkelahi sama mereka itu! Yang aku perhatikan sekarang adalah guruku, tak satu saat yang aku bisa lupai ia."

   Dengan tak merasa, air matanya pemuda ini menetes turun.

   "Gurumu benar-benar telah dapatkan murid yang berarti,"

   Kata Toa Cay.

   "Sekalipun anak sendiri belum tentu bisa berbakti sebagai kau! Tapi, untuk cari guru kau, kita perlu lebih dahulu cari orang lain. Dia adalah seorang yang ternama besar, yaitu Kim Samya gelar Han Kim Kong!"

   Mendengar nama itu, mukanya Tek Hui menjadi merah dengan mendadakan, karena ia jengah berbareng murka.

   "Apakah perlunya akan cari dia itu?"

   Ia tanya.

   "Dia adalah sahabat baik dari gurumu"

   Jawab Ciu Toa Cay.

   "Buat beberapa tahun, uang yang gurumu 186 hamburkan adalah uang pengasiannya Kim Samya itu. Bukankah kau pun ketahui hal itu?"

   "Ya, aku tahu,"

   Aku Tek Hui yang jujur.

   "Tapi mereka tidak bersahabat kekal."

   "Mereka memang tidak bergaul rapat, tetapi mereka kenalan dari banyak tahun. Han Kim Kong memberikan uang bukan sebab ia takut, tetapi karena ia hargai gurumu, dengan merem-melek, ia layani terus gurumu, maksudnya melulu untuk menolong sahabat. Ia tak ambil perduli yang gurumu beradat aneh, ia tak mau meladeni."

   Tek Hui goyang kepala, ia tak percaya keterangan itu.

   "Han Kim Kong pun sering sebut kau,"

   Kata Ciu Toa Cay, yang juga bicara seperti ia bicara seorang diri, melainkan matanya sering lirik pemuda di depannya itu.

   "la sebenarnya ingin sekali bicara sama kau. Ia kuatir, karena tidak adanya gurumu, kau nanti kena orang tipu. Buat orang hina kau, itulah tidak bisa jadi. Ia bilang sendiri padaku, ia ingin damaikan kau dengan Gouw Po dan Lo Tay, sebab kita semua sebenarnya ada orang-orang asal satu golongan."

   Tapi Tek Hui goyang pula kepalanya.

   "Semua-mua aku tidak bisa percaya!"

   Ia kata. Tiba-tiba Ciu Toa Cay berbangkit.

   "Kau tidak percaya?"

   Ia kata. Agaknya ia mau bersumpah.

   "Mari aku ajak kau keternui Han Kim Kong!" 187 Lauw Tek Hui bersenyum ewah.

   "Aku sudah kenal Han Kim Kong!"

   Ia bilang.

   "Kau kenal ia dahulu,"

   Toa Cay bilang.

   "Sekarang ia lain, ia telah jadi lebih mewah pula! Dahulu ia adalah Gie-cian Sie-wie dari tingkat ketujuh, sekarang dari kelas empat! Begitulah sekarang ia pakai runce besar pada kopiah kebesarannya, setiap hari ia bertemu sama Sri Baginda. Ia sekarang lain dari dahulu! Malah gundiknya yang ia paling sayang, ialah Go-ie Thay-thay, juga telah bisa bergaul sama banyak nyonya-nyonya besar."

   Kembali mukanya Tek Hui menjadi berubah, karena ia mesti dengar ucapan 'gundik yang paling disayang, Go-ie Thay-thay'. Tapi Toa Cay omong terus.

   "Dahulu Han Kim Kong tak masuk hitungan, sekarang lain sekali. Sikapnya sudah berubah jauh. Ia sekarang sabar dan manis budi, ia terutama sayangi anak-anak muda yang punya kepandaian, ia perhatikan betul semua sahabatnya. Tentang gurumu andaikata ia tak tahu di mana adanya, ia tentu juga bisa dayakan untuk mencari. Kau tahu, ia punya banyak kaki tangan, sedang pembesar dari berbagai kota semua adalah sahabatnya atau kenalan."

   Kelihatannya Tek Hui menjadi sabar, apabila ia dengar ucapan yang terbelakang ini dari piauwsu she Ciu itu, yang pandai bawa aksi dan bicara. 188

   "Tapi siapa bisa pergi minta bantuannya?"

   Ia kata.

   "Aku sendiri tidak bisa minta pertolongannya. Aku tidak bisa pergi padanya!"

   "Kenapa begitu?"

   Toa Cay mendesak.

   "Han Kim Kong manis budi, ia suka sekali bergaul. Selama ia mewah, ia makin suka bersahabat dan bergaul, ia hormati orang-orang pintar, sebagaimana sekarang tiap hari ada saja tamu-tamunya. Ia sampai tidak singkirkan isteri dan gundik-gundik dari sekalian tamunya, karena ia hargai dan percaya sahabat- sahabatnya."

   "Tidak, aku tidak bisa pergi ke sana"

   Kata Tek Hui.

   "Lebih baik kau pergi, sekali saja"

   Ciu Toa Cay membujuk.

   "Aku yang akan jadi orang kepercayaan. Sekarang ini ia tentu sudah kembali dari istana, sedang hari ini ia kebetulan dapat kunjungannya satu enghiong tua. Dia ini terhitung sebagai Cian- pwee dari gurumu. Dia tinggal di bukit Dong Jie San di Keng-see, di barat kota Pak-khia ini, sudah dua puluh tahun ia cuci tangan, tidak campur lagi urusan di kalangan Sungai Telaga. Tapi hari ini ia datang juga, atas undangannya Han Samya dan ia berdiam di rumahnya Samya juga."

   "la orang she apa?"

   Tanya Tek Hui.

   "la tentu telah berusia tinggi sekali?" 189

   "Ya, usianya sudah hamplr tujuh puluh tahun,"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Ciu Toa Cay.

   "Ia orang she Thong, tetapi orang biasa panggil dia Thong Loo-thayswee."

   Tek Hui ingat keterangannya Tong Kim Houw tadi, bahwa Lo Tay telah undang Thong Loo-thayswee, ialah orang yang akan dihadapkan padanya. Tiba-tiba ia jadi mendongkol.

   "Belum pernah aku dengar suhu sebut dia itu!"

   Ia kata dengan suara keras.

   "Aku percaya dia bukannya orang yang guruku terlalu hormati. Ia pun sudah berusia tinggi sekali. Tidak perduli ia ternama besar dan bugeenya liehay, aku - aku tidak perlu ketemu sama dia! Aku juga tidak mau pergi ke Han Kim Kong. Tak perduli siapa yang bilang, aku tak percaya ia orang baik, andaikata dia ketahui di mana adanya guruku, dia boleh kirim orang suruhan akan beritahukan itu padaku, waktu itu barangkali aku akan haturkan terima kasihku kepadanya. Tetapi jikalau ia tak mau memberitahukan padaku, atau dia yang bikin celaka guruku, hm, ia nanti lihat!"

   Dalam sengitnya, tangannya Tek Hui merabah ke pinggangnya, agaknya ia hendak hunus pedangnya, tetapi segera juga ia melengak, karena ternyata ia telah tidak bawa senjatanya itu.

   "Lauw-tit, mari minum!"

   Mengundang Ciu Toa Cay, yang isikan cawan orang. Ia juga lantas irup cawannya. 190

   "Jangan bergusar, Lauw-tit"

   Ia lalu membujuk pula.

   "Baiklah, kau berpikir dengan sabar. Aku bicara sama kau secara jujur. Meski pun kau gagah, kau tidak boleh sembarangan mencari musuh. Kau cuma kenal satu Tong Kim Houw, yang lainnya semua musuh, dari itu aku kuatir, satu waktu kau nanti mendapat malu. Maka permusuhan harus dilenyapkan, bukannya diperkeras. Ini juga sebabnya kenapa aku berniat ajak kau pergi pada Han Kim Kong, supaya ia yang majukan diri, akan bikin kau akur sama Lo Tay sekalian, supaya kemudian kau bisa minta bantuan mereka, akan cari atau serep-serepi tentang gurumu. Apakah ini tidak bagus?"

   "Apakah mereka mau bantu aku?"

   Tek Hui tanya.

   "Kenapa tidak? Mereka semua orang Kangouw, yang mereka utamakan adalah muka terang, maka tidak perduli permusuhan bagaimana besar, asal satu pihak mau bikin habis dan berdamai, mereka tentu bersedia akan mengiringi mereka tentu akan berikan bantukan mereka dengan sungguh-sungguh. Guru kau, kendati ia sudah angkat kaki, tidak nanti ia pisahkan diri dari kalangan Sungai-Telaga. Kau sendiri, jangan kau terlalu bangga yang di Pak-khia ini kau sudah angkat nama. Segala seluk beluk di luaran, kau masih belum ketahui semua. Mereka sebaliknya, punya sahabat di mana-mana, asal mereka mau membantu, sahabat-sahabatnya tentu suka membantu 191 juga. Kalau mereka minta bantuan, mereka tentu akan dapat cari gurumu. Kenapa kau mesti berkeras menyatrukan mereka? Kenapa kau tidak mau bikin perdamaian sama mereka itu, agar mereka bantu kau cari gurumu?"

   Pulang-pergi, Ciu Toa Cay gunai lidahnya yang tajam.

   Tek Hui tertarik juga.

   Di mana ia memang tidak mau berkelahi sama mereka, kecuali mereka yang mendahului ia anggap apa halangannya, kalau ia akur sama mereka itu.

   Dengan berdamai, ia benar akan dapatkan dua rupa kebaikan dengan berbareng, sahabat-sahabat, dan sahabat itu akan bantu ia.

   Pun, kalau ia mau pergi, ia memang mesti pergi hari itu pada Han Kim Kong, hari itu Siauw Hong pasti masih ada di kuil.

   "Baiklah"

   Kata ia akhir-akhirnya. Kelihatannya Ciu Toa Cay puas sekali.

   ""Nah, ini barulah aku punya su-tit!"

   Ia kata sambil urut-urut klimisnya.

   "Begini memang keharusan di antara golongan kita, ialah ada sahabat mesti dijadikan sahabat, dengan sahabat jangan kita terbitkan ganjelan. Sekarang baik kita jangan minum banyak, sebentar di rumahnya Han Kim Kong - satu kali persahabatan terikat - tuan rumah tentu akan sajikan barang hidangan! Lauw-tit, aku harap kau perhatikan, di tempatnya Han Kim Kong kita mesti senantiasa bersenyum-senyum dan tertawa dan 192 segala kejadian yang sudah lewat, jangan sekali disebut- sebut pula."

   Tapi, mendengar itu, mendadakan Tek Hui goyang kepalanya, dan air mukanya pun berubah.

   "Kenapa tidak?"

   Ia tanya.

   "Aku mau pergi pada Han Kim Kong justeru untuk cari tahu tentang guruku, bagaimana bisa tidak ditimbulkan soal dulu-dulu?"

   "Sebut boleh, asal jangan secara mendadak,"

   Ciu Toa Cay terangkan.

   "Tentang gurumu ini, baiklah diatur begini saja, urusan kau serahkan padaku. Aku yang nanti tanyakan, dan kau boleh tanyakan padaku. Untuk cari keterangan itu juga kewajibanku. Aku tanggung. dalam tempo satu bulan, aku nanti dapat cari tahu di mana adanya gurumu itu!"

   "Satu bulan? Aku tidak bisa menunggu begitu lama!"

   "Setengah bulan, kalau begitu. Kau mesti kasih ketika cukup untuk orang mencari. Sebab umpama kata gurumu pergi ke Kanglam, ia pun mesti disusul ke sana."

   Dengan terpaksa, Tek Hui menurut. Sebenarnya setengah bulan pun sudah terlalu lama, karena gurunya juga sudah pergi selama banyak hari. la telah jadi sangat tidak sabaran.

   "Marilah kita pergi pada Han Kim Kong!"

   Ia lalu mendesak. 193 Ciu Toa Cay heran juga, ia tidak bisa duga, apa yang anak muda ini pikir, tetapi karena orang tidak bersenjata, ia tidak kuatir.

   "Baik, marilah,"

   Sahut ia akhirnya, sesudah ia makan pula sayurnya dan tenggak cawannya yang terakhir.

   Tek Hui berbangkit leblh dahulu.

   Ciu Toa Cay sembat ma-kwanya untuk dipakai.

   la tidak teriaki jongos akan bayar uang makan itu, sebaliknya si jongos dengan cara sangat hormat sudah antar ia sampai di muka tangga lauwteng.

   Di bawah, banyak mata awasi piauwsu itu.

   "Ciu Toaya mau pulang?"

   Demikian beberapa orang menanya.

   Toa Cay cuma bersenyum dan manggut sedikit pada orang-orang itu.

   Tek Hui kagum dan heran buat orang she Ciu itu, yang orang demikian hormati, sedang ia tahu, susiok ini tidak seberapa ternama.

   Dari situ ia dapat tahu, bugee tinggi cuma membangkitkan rasa takut, tetapi tidak hormat.

   "Dalam hal ini aku perlu belajar sedikit,"

   Akhirnya ia pikir.

   "Rupanya perlu aku berkenalan sama Han Kim Kong, barangkali aku bisa dapat kefaedahannya, sedang juga aku bisa minta ia perlakukan baik pada Siauw Hong."

   Ketika mereka sampai di jalan besar, ada beberapa orang yang unjuk roman garang, tetapi 194 dengan Ciu Toa Cay maini mata, cuma mata mereka mengawasi dengan merongos.

   Tapi Tek Hui tidak gubris mereka, ia jalan terus mengikuti Toa Cay ke selatan.

   Di belakang ia, ia dengar suara orang tertawa nyaring.

   "Lihat,"

   Kata Ciu Toa Cay dengan berbisik.

   "Apakah kau bisa layani mereka itu? Mereka semua orang-orangnya Gouw Po dan Lo Tay. Mereka berjumlah besar dan kau sendirian. Apakah kau kira Tong Kim Houw berani bantu kau? Hm!"

   "Aku tidak takut pada mereka!"

   Kata Tek Hui dengan nyaring.

   "Cuma karena aku telah bersumpah, aku jadi tak sudi layani mereka!"

   "Itu bagus, Lauw-tit!"

   Toa Cay memuji.

   "Aku tidak sangka kau begini cerdik. Aku percaya asal untungmu baik, tidak saja kau dan gurumu akan saling bertemu, juga Han Kim Kong tentulah suka bantu kau, malah siapa tahu, jikalau ia mau keluarkan pokok akan buka piauw-tiam, di mana kau jadi Toa- piauw-tauw! Tek-hui Piauw-tiam! Bagaimana mentereng! la pun bisa nikahkan kau, kau tahu? la punya adik perempuan, nanti aku dayakan agar kau berjodoh sama adiknya itu."

   Tek Hui tidak nyatakan apa-apa, ia antap Toa Cay ngobrol. Tidak lama mereka sudah sampai di sebelah dalam Ciang-gie-mui, di satu gang di situ lantas 195 tertampak rumahnya Han Kim Kong. Di depan rumah itu ada sebuah keret keledai yang baru.

   "Bagus!"

   Berseru Ciu Toa Cay dengan kegirangan.

   "Itulah tentu Kim Samya, yang baru pulang dari kuil. Coba kita datang lebih pagi, ia tentu tidak ada di rumah."

   Begitu lekas mereka sudah sampai di depan pintu, sikapnya Ciu Toa Cay jadi berubah hormat nampaknya. Tapi ini adalah rumah yang tak asing bagi Tek Hui, malah sekarang ia teringat pada pengalamannya sebagai tukang arang........

   "Apakah Kim Samya ada di rumah?"

   Tanya Toa Cay pada dua pengawal pintu, siapa agaknya tercengang melihat piauwsu ini datang sama Tek Hui, jago muda yang mereka kenal, meski demikian lekas- lekas mereka berkata.

   "Silahkan undang dahulu tuan ini ke kamar tamu!"

   Ciu Toa Cay ajak pemuda itu ke kamar tamu sebelah luar.

   "Aku datang bersama Toa-piauw-tauw Lauw Tek Hui dari Moat-wan Piauw-tiam,"

   Kata Toa Cay pada kedua pengawal.

   "kita datang untuk kunjungi Samya."

   Dua pengawal itu manggut, yang satu lantas pergi ke dalam guna mengasih kabar, dan yang satunya pula lalu melayani, tetapi ia sering-sering lirik pemuda itu.

   196 Tek Hui sebaliknya perhatikan gedung orang.

   Ia lihat benar Han Kim Kong telah menjadi terlebih mewah.

   "Ia senang, tetapi bagaimana dengan guruku?"

   Ia pikir.

   "Apa benar guruku telah teraniaya dan binasa? Hal ini aku mesti tanyakan padanya! Asal ia bicara tak benar, aku mesti bunuh dial"

   Dengan tiba-tiba, hawa amarahnya pemuda ini naik sendirinya, sampai ia kepal-kepal tangannya.

   Dengan sekonyong-konyong, di sebelah luar - di luar jendela - terdengar tindakan kaki dibarengi sama tertawa nyaring tetapi halus.*** 197 VIII Terang itu ada beberapa orang perempuan, yang masuk ke dalam dengan ambil jalan dari pintu lain.

   Mereka tidak tertampak dan suara mereka pun tidak terdengar satu persatu.

   Tek Hui percaya, di antara mereka tidak ada Siauw Hong, si nona tentu masih ada di kuil.

   "Di sinilah Siauw Hong tinggal sejak lima atau enam tahun yang lalu"

   Ia lalu berpikir.

   "Di sini ia tidur, makan, berduka dan mengucurkan air mata. Di sini ia menunggui satu orang - ialah aku. Di sini aku menjual arang, ia menimpuk dengan buah apel. Ini adalah tempat bagus, karena di sini kita bertemu. Ini juga tempat busuk, karena di sini Siauw Hong mesti menderita. Dan sekarang aku muncul pula di sini. Ah, apa aku belum sadar dari impianku? Atau, apa di sini aku mesti gunai pedangku?"

   Ciu Toa Cay menantikan dengan masih tetap berdiri, sebagai menteri yang menunggu keluarnya firman raja, Ia agaknya tak leluasa. Sampai sekian lama, barulah pengawal tadi muncul.

   "Samya datang!"

   Ia kata. Dengan cepat sekali Toa Cay menoleh, ia berdiri lempang, dua tangannya menurun. 198

   "Aku mau duduk, aku hendak lihat lagaknya!"

   PikirTek Hui.

   Dan ia duduk dengan roman agung, tidak perduli beberapa kali Toa Cay kedipi mata padanya.

   Di luar jendela kedengaran tindakan kaki yang berat, lantas setelah itu, Han Kim Kong muncul di dalam kamar tamu.

   Di matanya Tek Hui, yang memandang dengan tajam, Han Kim Kong jauh terlebih gemuk, kumisnya terawat baik, mukanya jadi terlebih putih, hingga kalau dahulu ia mirip Ciu Cong, sekarang ia mirip Co Coh.

   Tetap Tek Hui tidak berbangkit, sampai Han Kim Kong, yang memandang padanya, sudah lantas tertawa besar, seraya berkata dengan gembira.

   "Oh, kiranya saudara Tek Hui! Coba kita ada di luaran, pasti aku tidak berani sembarangan aku kau! Benar-benar kalau ada guru yang jempol, mesti ada murid yang sempurna! Tadinya aku melainkan dengar narna kau yang muluk naik, tapi sekarang aku lihat kau, kau begini gagah! Inilah yang dibilang anak muda harus dimalui! Nah, saudara, marilah!"

   Sembari kata begitu, Han Kim Kong ulur tangannya.

   Tek Hui menjabat, tetapi karena ia kuatir orang berlaku curang, ia bersiaga, hanya setelah mereka saling cekal, baru ia rasai tangannya Han Kim Kong 199 lembek sekali, sikapnya lemah lembut, tampang mukanya ramai dengan senyuman.

   "Saudara, kita kenal satu pada lain bukan baru ini kali,"

   Kata tuan rumah, yang manis luar biasa.

   "maka aku tidak mau berlaku seejie. Demikian pun dengan kau, aku harap. Kau telah datang kemari, ini ada di luar dugaanku, maka kau tidak boleh lekas-lekas berlalu pula! Saudara, mari, mari masuk ke dalam, kita mesti pasang omong dengan asik."

   Tek Hui terpaksa bangun, ia jadi malu hati, hingga ia tak tahu mesti mengucap apa. Ciu Toa Cay hampirkan mereka.

   "Samya punya mata tajam!"

   Ia kata dengan sikapnya mengambil-ambil hati, air mukanya tersungging senyuman.

   "Kiranya Samya sudah kenal Lauw Piauwsu inil Aku tahu Samya sangat suka bergaul, tadi di ciu-lauw aku ketemu Lauw Piauwsu, aku telah ajak ia datang kemari, ia baru mau ikut sesudah aku membujuki berulang-ulang. Pepatah bilang, enghiong sayangi enghiong, hoohan sayangi hoohan, maka selagi Samya adalah enghiong dan Lauw Piauwsu hoohan, aku percaya kau akan saling hargakan, sayangi satu pada lain."

   "Sebenarnya juga di antara kita tak ada ganjelan suatu apa,"

   Han Kim Kong bilang.

   "Adalah mulut di luaran yang jail, yang aku tapinya tak ambil perduli. Aku percaya, saudara Tek Hui pun tentu tak akan dengari segala ocehan itu. Kita kenal satu pada lain 200 sejak lama, ketika saudara Tek Hui masih kecil. Mulai waktu itu pun aku sudah suka padanya! Dengan gurunya, Pheng Jie, aku pernah saudara angkat!"

   "Benar, Samyal"

   Toa Cay kata.

   "Siapakah tak ketahui hal ini? Pada Lauw Piauwsu, tadi aku telah bicara banyak. Memang Samya perlakukan Pheng Jie sebagai saudara kandung."

   Air mukanya Han Kim Kong guram apabila ia dengar ucapan itu, agaknya ia sangat terharu. Ia menghela napas.

   "Sayang saudara Pheng Jie terlalu jujur dan keras hatinya,"

   Kata ia.

   "Ketika ia mau angkat kaki, ia telah datang padaku akan kasih tahu, lantaran ia kebentrok sama orang, ia mesti berlalu dari Pak-khia ini. Aku tahu ia berselisih sama Gouw Po, aku nyatakan bahwa aku hendak damaikan mereka, aku bujuki ia supaya ia jangan berlalu dari sini. Aku tahu betul, dengan bugeenya ia bisa bikin segala apa, tetapi adatnya adalah rintangan baginya. Dengan adat itu, ke mana juga ia pergi ia tak akan berhasil. Tapi ia kasih tahu aku, ia bukan jengkel dengan Gouw Po, ia tak mau sebutkan namanya orang itu. Akhirnya karena ia tidak mau memberitahukan dan aku pun tidak mau menanya, aku antap ia pergi. Ia telah minta dua puluh tail perak dari aku. Aku hendak memberikan lebih, ia tampik. Sejak itu hari ia pergi, sampai sekarang sudah berselang lima tahun."

   Han Kim Kong unjuk roman berduka sekali.

   201 Ciu Toa Cay kelihatannya sangat berduka, berulang-ulang ia menghela napas.

   Tek Hui sedih kapan ia ingat gurunya, ia tidak tahu Han Kim Kong omong sebenarnya atau tidak.

   Ia toh berduka, air matanya sampai mengembeng, meleleh turun.

   "Mari!"

   Kata pula Han kim Kong, seraya tepuk pundak orang.

   "Mari, saudara Tek Hui, mari kita bicara. Kau juga, Toa Cay, hayo kau ikut masuk ke dalam!"

   Sampai di situ, Toa Cay ajak Tek Hui ikut tuan rumah, yang bawa mereka ke kamar lain di pedalaman, karena buat itu, mereka mesti lewati pintu kedua dan ketiga, begitu pun dua pintu dalam lainnya.

   Semua ruangan bersih dan terawat, di situ ada pepohonan, bunga dan kurung-kurungan dengan burungnya.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka pun ketemu bujang-bujang perempuan.

   Ciu Toa Cay jalan dengan tunduk, ia jalan di sebelah belakang, karena Man Kim Kong pegangi sebelah tangannya Tek Hui, yang ia tuntun.

   "Sudah lama aku niat cari kau,"

   Kata tuan rumah di sepanjang jalan.

   "tetapi karena kau berdiam sama Tong Kim Houw, aku tidak bisa pergi ke sana. Aku percaya, di belakangku ia tentu omong banyak tentang aku, tentang kejelekanku, malah bisa jadi ia menuduh akulah yang bikin celaka gururnu, atau aku yang gara-gara hingga gurumu dan Gouw Po jadi 202 bermusuh. Tentang itu semua, aku tidak ambil perduli. Aku tahu Kim Houw orang macam apa, apapula sekarang setelah ia andalkan kau, hingga ia bisa kumpul banyak uang. Coba ia dengar ada orang cari kau, tentu matanya terputar sampai bundar."

   Tek Hui anggap lukisannya Han Kim Kong tentang Tong Kim Houw benar.

   Memang Tong Kim Houw andalkan ia dan ia dihormati luar biasa sekali oleh piauwsu itu.

   Ia anggap Han Kim Kong ini boleh diajak bergaul, hanya, kapan ia ingat nasibnya Siauw Hong, hatinya jadi panas pula.

   Karena sikap luar biasa dari Han Kim Kong ini terhadap Tek Hui, Ciu Toa Cay jadi turut dapat muka terang, karena ia telah diajak masuk ke pedalaman, ke dalam sebuah kamar tidur, rupanya kamar tidurnya Kim Samya sendiri.

   Di situ ada beberapa perempuan asik main kartu, melihat ada orang lelaki asing, mereka pada bangun untuk menyingkir.

   "Tidak usah!"

   Han Kim Kong lekas mencegah.

   "Semuanya bukan orang lain! Ini Ciu Toa Cay gelar Kian-mo Say-cu, si Singa Rintik. Lihat saja kumisnya, sudah ternyata ia seorang tua. Maka dari ianya, kau orang tak usah menyingkir! Dan ini,"

   Ia tunjuk pemuda kita.

   "ada piauwsu muda paling terkenal di kota Pak- khia kita dan orangnya jujur."

   Sementara itu, Tek Hui merasa heran kenapa ia diajak masuk ke dalam kamar yang begitu luas dan 203 indah, perlengkapannya terdiri dari barang-barang mahal.

   "Ini barang pengasinya Sri Baginda,"

   Kata Han Kim Kong sambil tangannya menunjuk, untuk membanggai barang- barangnya, hingga Toa Cay jadi sangat kagum, kelihatannya ia menghormati barang itu seperti ia menghormati raja. Hanya Tek Hui yang tak ambil perduli.

   "Dan semua ini kau punya enso,"

   Kemudian Han Kim Kong tunjuk orang-orang perempuan itu, seraya ia menoleh pada tamunya.

   "hanya satu ini adalah adik perempuan aku."

   Ia tunjuk satu di antaranya.

   Di matanya Tek Hui, adiknya Han Kim Kong mirip memedi remaja.

   Baju suteranya mengkilap seperti dicat saja, pupur dan yancienya tebal luar biasa, sebagai ditemploki oleh tukang batu istimewa.

   Maka ia tidak pandang lama-lama nona itu, ia hanya awasi beberapa nyonya itu, di antara siapa ia tidak lihat Siauw Hong, ia lihat tak ada satu nyonya yang elok, yang bisa dibandingkan dengan kekasihnya.

   Dan ia pun dapat anggapan, semua isteri atau gundiknya Han Kim Kong ini bukan orang baik-baik, sebagaimana mereka tidak punya gawe kecuali main top.

   204 Sebaliknya, sikap nyonya-nyonya itu manis budi, kecuali mengundang duduk pada Tek Hui, mereka juga sudah lantas suguhkan thee pada tamu ini.

   "Saudara, jangan kau sungkan-sungkan,"

   Kata Han Kim Kong.

   "Lain kali, kalau di waktu begini hatimu pepat, kau boleh datang cari aku di sini. Setiap hari pada waktu begini, aku ada di rumah, karena selesailah tugasku di istana. Giliranku sepuluh hari sekali. Kecuali lagi bertugas, setiap hari terus sampai malam aku ada di rumah. Kalau kau datang, saudara, masuklah langsung kemari. Terhadap kau, isteri dan adik atau anakku tidak usah menyingkir lagi, sebab kau adalah orang sendiri. Malah andaikata kau nampak kesulitan atau kesukaran apa-apa, kau boleh lantas bicara sama aku, aku selalu bersedia untuk membantu, aku tontu bisa membantu dengan berhasil! Inilah aku janji!"

   "Baik, Han Toako,"

   Sahut Tek Hui, yang ketarik sama orang yang manis budi itu.

   "Jikalau kau begini baik, aku suka bergaul sama kau......"

   Han Kim Kong tertawa sebab girangnya.

   "Bukannya aku puji-puji kau, saudara,"

   Ia kata.

   "orang sebagai kau, jujur, sederhana, berbugee tinggi, ternama besar, masih muda, siapa yang tak sudi bersahabat sama kau? Jangan kita sebut tentang gurumu, umpama kita tadinya belum kenal, aku tentu masih suka bergaul sama kau. Kau ketahui, aku punya 205 suatu maksud lain, cuma tentang itu, aku belum berani utarakan."

   Ia tertawa, ia irup theenya.

   "Mari tambahkan!"

   Ia kata pada gundiknya.

   "Apakah itu, Toako?"

   Tek Hui tanya.

   "Kau bicaralah, aku bersedia akan dengari."

   "Aku seorang jujur, kau jujur juga, tidak ada halangannya kalau aku kasih tahu itu sekarang pada kau,"

   Kata Han Kim Kong kemudian.

   "Hal ini adalah mengenai pekerjaanku. Sebagai Gie- cian Sie-wie, aku tidak bisa disamakan dengan Tiong-tong atau perdana menteri, meskipun demiklan, toh setiap hari aku masuk ke istana, aku bisa menghadap Sri Baginda. Kecuali thaykam, aku adalah orang yang bisa masuk ke pedalaman istana. Sebab, seperti kau ketahui, Sri Baginda pekerjakan aku sebagai pahlawan, untuk lindungi keselamatannya. Hanya, buat bicara terus terang sama kau, bugeeku tidak berarti, sebab sudah terlalu lama aku sia-siakan itu, sudah terlalu lama aku tidak melatih diri. Dari itu, aku memikir untuk dapati kawan pembantu, supaya di waktu aku bertugas, pembantu itu bisa wakilkan aku. Di dalam istana, mana bisa sembarang orang masuk? Adalah sukar buat aku dapatkan pembantu, yang aku butuhkan itu. Buat piauwsu di kotaraja, aku tahu, tidak ada satu yang aku boleh harap. Demikian aku jadi ingat kau. Apabila kau bersedia akan bantu aku, nanti pelahan- lahan aku cari jalan, akan usulkan kau pada Sri 206 Baginda. Satu kali kau telah menjadi sie-wie, kau akan hidup beruntung bersama anak-isterimu, kedudukan itu akan jadi lebih menang daripada kedudukannya piauwsu!"

   "Tentang usulanmu ini, sekarang aku belum bisa terima,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Buat itu, aku mesti lebih dahulu ketemu sama guruku, akan minta pikirannya. Asal ia suka berikan perkenannya, pasti aku suka membantu."

   Mendengar jawaban itu, Han Kim Kong nampaknya tak gembira.

   "Tak apa,"

   Ia kata.

   "ini pun bukannya urusan kesusu. Memang juga bukan urusan gampang akan pujikan satu orang masuk ke dalam istana."

   "Samya memang baik hati,"

   Toa Cay nimbrung.

   "Kalau tidak, kenapa ia tak cari orang lain saja?"

   Nampaknya Tek Hui tidak ketarik sama urusan itu.

   "Han Toako,"

   Ia kata, dengan tak irup lagi theenya.

   "karena sekarang kita telah menjadi sahabat, aku mesti terangkan maksud hatiku kepada kau. Aku datang kemari buat tiga rupa urusan, kalau tidak, kendati pun kau undang aku, tidak nanti aku sudi datang."

   "Apakah itu, saudara?"

   Tanya Han Kim Kong.

   "Coba kau jelaskan semua itu, aku pasti akan berdaya sebisa mungkin untuk bantu kau." 207

   "Pertama-tama,"

   Tek Hui kata.

   "kau mesti kasih tahu aku, di mana adanya guruku sekarang ini. Aku hendak lantas sambangi guruku itu!"

   "Coba aku tahu di mana adanya gurumu, tentu siang-siang aku telah cari atau undang dia datang kemari!"

   Sahut Han Kim Kong.

   "Dunia adalah luas dan gurumu paling gemar merantau, ia pun tak punya rumah tangga, di mana dia bisa dicari? Tapi kau telah datang dan minta aku cari dia, baik, aku janji akan bantu kau dengan sungguh-sungguh hati."

   LauwTek Hui menghela napas.

   "Yang kedua,"

   Ia kata.

   "ialah aku minta kau sampaikan pada Gouw Po serta Lo Tay, bahwa aku sekarang tak ingin tempur pula mereka, kecuali jikalau mereka yang terlalu mendesak aku.........."

   "Inilah gampang,"

   Han Kim Kong memotong.

   "Kita sebenarnya orang sendiri, segala urusan atau dendaman harus dilenyapkan. Aku tidak bersahabat kekal sama Gouw Po, aku kenal Lo Tay baru dalam satu pertemuan, meski demikian, aku nanti sampaikan pengutaraan kau ini. Atau aku undang mereka, supaya di sini kau bisa adakan perdamaian. Dan yang ketiga?"

   Ia tambahkan.

   "Lekas bilang, saudara, apa itu?"

   Sebelum mengucap, mukanya Tek Hui telah menjadi bersemu merah, kelihatannya ia likat.

   Ia masih sangsi akan beber apapula akan bicarakan itu di depan Ciu Toa Cay dan nyonya-nyonya itu.

   Tapi, kalau 208 ia tidak bicara, hatinya belum puas.

   Ia sudah geraki bibirnya, toh ia batal.

   Han Kim Kong tertawa.

   "Bicara saja, saudara!"

   Ia mendesak.

   "Baik dalam urusan uang, atau urusan perjodohan, aku selalu siap untuk bantu kau!"

   Tek Hui heran juga mendengar ucapan itu.

   "Yang ketiga, Toako,"

   Akhirnya ia paksakan akan berkata.

   "aku hanya mau minta kau sudi berbuat baik, terutama terhadap orang-orang di dalam rumahmu sendiri."

   Han Kim Kong tertawa apabila ia dengar usul yang ketiga itu.

   "Terang kau telah dengar omongan orang luar, saudara"

   Ia kata.

   "Bukankah orang katakan aku tak berbakti kepada ayah dan ibuku, dan terhadap adikmu ini, aku tidak berbuat seharusnya, sampai usianya sudah meningkat begini, aku masih belum nikahkan ia? Bukankah orang bilang, bahwa terhadap bujang- bujang aku berlaku kejam? Memang aku tahu ada orang mencela demikian padaku. Kau tentu saja ketahui satu dan tidak dua. Sebenarnya, terhadap siapa juga, aku bisa bicara dengan tak usah merasa malu. Tentang diriku, dengan pelahan-lahan, kau akan ketahui sendiri. Aku ingin sekali kau sering datang padaku, atau kau berdiam sama-sama aku, dengan begitu kau nanti saksikan sendiri aku sebenarnya orang macam apa." 209

   "Samya adalah seorang paling murah hati,"

   Ciu Toa Cay nimbrung.

   "Terhadap siapa saja ia berlaku baik dan bersungguh-sungguh."

   "Saudara, biar aku selalu berbuat baik, orang toh suka caci dan kutuk aku,"

   Kata Han Kim Kong.

   "Orang tidak perhatikan, bahwa aku suka tolong orang, meski dengan uang dan tenaga. Demikian, sedang aku berbuat baik terhadap Pheng Jie, toh ada yang siarkan cerita, bahwa aku yang telah bikin ia celaka! Apa kau mesti bikin terhadap orang luar dengan mulut usilan itu? Maka itu sekarang, saudara, aku ingin bersahabat dan bergaul rapat sama kau, supaya kemudian kau nanti dapat buktikan sendiri sampai di mana benarnya orang luar itu."

   Sekarang, mau atau tidak, Han Kim Kong unjuk roman murka, ia sampai perlihatkan senyuman ewah. Hanya, kemudian, ia menghela napas, karena berduka.

   "Han Toako,"

   Kata Tek Hui, sambil berbangkit.

   "Baiklah dicatat, bahwa mulai hari ini aku telah kenal kau, selanjutnya aku tidak mau dengar lagi ocehannya orang luar. Aku hanya mau minta bantuan kau, untuk mencari guruku. Aku sendiri, dalam tempo satu atau setengah bulan ini, hendak berangkat ke Pak-khia, untuk cari sendiri guruku itu. Saudara, setengah harian lamanya aku telah ganggu kau, harap kau kasih maaf padaku. Sekarang aku hendak pulang."

   Han Kim Kong cegah anak muda ini. 210

   "Jangan kau pergi dahulu,"

   Ia kata.

   "Aku masih hendak bicara sama kau, aku belum sempat omongkan itu."

   "Jangan kesusu, Lauw-tit"

   Toa Cay bantu menahan.

   "Duduklah dahulu, Samya suka sekali bicara sama kau. Ia masih punya urusan."

   Dengan terpaksa, Tek Hui duduk pula.

   "Apakah itu, Han Toako?"

   Ia tanya. Han Kim Kong awaskan piauwsu muda itu, ia tertawa.

   "Tiga macam permintaan kau telah majukan kepadaku,"

   Ia berkata, sambil bersenyum terus.

   "maka sekarang adalah giliranku akan minta tiga rupa keterangan dari kau! Coba kau terangkan padaku, waktu di Thio-kee-kauw, apakah yang kau telah lakukan dengan Louw Thian Hiong dan Louw Thian Hiap?"

   "Mereka hendak nikahkan aku dengan satu nona dan aku tampik,"

   Sahut Lauw Tek Hui dengan ringkas.

   "Nona itu tentu nona Po Go, puterinya Louw Thian Hiap,"

   Kata Han Kim Kong.

   "Ia nona yang kenamaan, selain romannya tak bisa dicela, ilmunya melepas piauw juga jitu luar biasa. Kau menampik karena suara hatimu sendiri atau karena Tong Kim Houw yang mencegah?"

   "Aku yang menolaknya!"

   Lauw Tek Hui jawab.

   "Tong Kim Houw tidak berhak untuk kuasai atau pengaruhkan aku!" 211

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak sangka, saudara!"

   Han Kim Kong tertawa pula.

   "Aku tidak sangka bahwa kau adalah Loo-han besi! Tapi apakah untuk seumur hidupmu kau tak mau menikah? Bagaimana umpama kata ada orang hendak kasihkan kau seorang isteri serta lengkap sekalian pesalinnya, apa kau sudi terlma?"

   "Apa juga, aku tidak inginkan,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Sebelum aku dapat cari guruku, segala apa lainnya aku akan buat pikiran."

   Han Kim Kong berdiam sedetik.

   "Sekarang ada satu enghiong tua ingin ketemu kau, kau suka ketemui ia atau tidak?"

   Ia tanya kemudian.

   "Siapakah dia?"

   Tek Hui tegaskan.

   "Ia adalah enghiong tua yang namanya terkenal di beberapa propinsi Utara. Gurumu dan kau masih terhitung tingkatan lebih muda. Orang umumnya panggil ia Thong Loo- thayswee."

   "Aku telah dengar tentang dia. Ia diundang oleh Gouw Po dan Lo Tay, untuk disatrukan kepadaku. Sebenarnya aku tidak takuti jago tua itu, tetapi karena aku sudah angkat sumpah, aku tidak mau berkelahi lagi."

   "Jikalau kau tidak mau berkelahi lagi, kenapa kau pimpin piauw-tiam?"

   "Sumpahku baru diberikan tadi malam. Laginya Thong Loo-thayswee mesti seorang tua sekali, jikalau aku berkelahi sama ia, orang nanti katakan aku tidak kenal aturan." 212

   "Jangan kuatir,"

   Kata Han Kim Kong sambil ulapkan tangannya.

   "Aku pun tak nanti bikin kau orang, satu tua dan satu muda, jadi berkelahi! Hanya Thong Loo- thayswee punya adat luar biasa. Kedatangannya ini bukan untuk satrukan kau, hanya ia tidak percaya yang muridnya Giok-bin Lo Cia Pheng Jie, dan satu murid yang masih muda sekali, sudah angkat nama di kotaraja. Ia tidak percaya, malah ia tak puas juga, dari itu tidak bisa tidak ia mau juga datang kemari akan lihat kau. Maka itu, aku pikir, kau baiklah ketemui ia."

   "Buat ia ketemui aku, tidak ada halangannya,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Beginilah romanku, aku seorang asal tukang arang, dahulu begini, sekarang pun begini! Umpama ia mau lihat bugeeku, aku juga tidak keberatan aku boleh kasih pertunjukkan di depannya, buat ia tonton, melainkan aku mau tegaskan, aku tidak mengerti segala kembangnya silat, baik bertangan kosong maupun bersenjata!"

   Han Kim Kong tertawa, ia manggut-manggut.

   "Bagus!"

   Ia kata, dengan kegirangan.

   "Baiklah, saudara, silahkan kau tunggu, sebentar mereka semua akan datang. Kau orang boleh pergi ke latar sana, yang luas."

   "Kalau telah sampai temponya aku akan buka mataku!"

   Ciu Toa Cay nimbrung pula.

   "Dan aku akan minta jago tua itu juga turut mengasih pertunjukan." 213

   "Kalau begitu, kau coba tolong,"

   Han Kim Kong kata pada piauwsu itu.

   "Coba kau pergi ke Thian-tay Piauw-tiam akan undang mereka itu, supaya mereka suka lekas datang. Umpamanya Gouw Po dan Ciu Tay mau turut datang juga, jangan kau cegah mereka, di sini aku nanti adakan perjamuan untuk mereka."

   Habis berkata begitu, tuan rumah ini berbangkit.

   "Mari,"

   Ia kata pula, seraya gapekan piauwsu she Ciu itu.

   "aku hendak minta kau tolong uruskan dua hal lain."

   Lantas ia bertindak keluar, diturut oleh Ciu Toa Tay, hingga Tek Hui tidak ketahui mereka pergi ke mana dan apa yang mereka bicarakan.

   !a sebenarnya bercuriga, ia menoleh keluar, tetapi Han Kim Kong, sambil lewat pintu, sudah tarik daun pintu.

   Kamar di mana Tek Hui berada adalah luas dan tinggi lelangitnya.

   Kamar ini sebenarnya berhubungan sama dua kamar lainnya, melainkan dua pintu yang memisahkan.

   Untuk penerangan di waktu malam, di atas lelangit digantung beberapa lentera beling, semua lentera ini adalah pembantu buat lampu biasa.

   Duduk di kursinya, jikalau Tek Hui menoleh ke sebelah kanan, ia bisa lihat sebuah pembaringan kayu serta sebuah meja, di mana duduk beberapa gundiknya Han Kim Kong serta adiknya tuan rumah ini, dan nona ini sambil menggelendot pada satu nyonya, asik nonton orang main kartu, ia nonton sembari tertawa.

   214 Tek Hui kenal macam perjudian itu, yang biasa dimainkan oleh kuli-kuli piauw-tiam, kalau mereka itu main dengan berisik, adalah nyonya-nyonya ini selalu bicara dengan suara pelahan.

   Rupanya mereka ini main benar-benar, sebab siapa kalah bisa meringis, siapa menang bisa tertawa.

   Sering-sering mereka ini minta bujang tuangi thee atau siapkan huncwee.

   Ada juga nyonya yang kalah, yang suruh bujangnya pergi ambil atau pinjam uang.

   Seorang bujang sudah pergi lama juga dan belum balik kembali, bersama dia ini juga tuan rumah, yang keluar sekian lama tetapi masih belum balik, hingga kecurigaannya Tek Hui jadi bertambah, sampai pemuda ini mulai hilang kesabarannya.

   "Eh, kenapa ia belum kembali?"

   Kata pemuda ini akhirnya.

   "Kenapa aku dibikin menunggu lama di sini?"

   Hampir Tek Hui dupak kursi, baiknya ia ingat akan tunggu Thong loo-thayswee, akan lihat macamnya jago tua itu, sedang ia juga sudah berjanji hendak ketemui dia.

   Belum terlalu lama, pintu di buka, kapan Tek Hui menoleh, dengan lekas ia jadi tercengang, mukanya menjadi merah juga.

   Sebab yang masuk itu bukannya Han Kim Kong, hanya budak perempuan muda.

   Itulah Hiang Jie, budak pelayannya Siauw Hong, yang dikenal baik.

   Budak ini menyekal satu bungkusan 215 kecil, rupanya uang rece, boleh jadi itu adalah uang yang si nona suruh bujang tua tadi pergi pinjam.

   "Rupanya Siauw Hong sudah pulang,"

   Pikir Tek Hui.

   Hiang Jie pun heran akan lihat pemuda itu, tetapi di depan orang banyak itu, ia tidak unjuk sikap bahwa ia kenal anak muda ini, ia hanya samperi satu nyonya, akan serahkan bungkusan itu, setelah mengucap satu dua patah ia lantas berlalu lagi dengan tak menoleh lagi pada si anak muda.

   Tek Hui jadi tidak tenteram hatinya.

   "Siauw Hong tentu dapat anggapan jelek tentang diriku, bisa jadi ia gusar yang aku berada di sini,"

   Ia lalu memikir dengan menduga-duga.

   "Pasti Siauw Hong tidak senang aku bergaul sama Han Kim Kong. Laginya, dengan berdiam di sini, bersama dia barangkali akan turut Gouw Po dan Lo Tay. Han Kim Kong katanya hendak jamu mereka. Apa bisa ada perdamaian di dalam kamar ini? Apa bisa tidak terjadi meja dikeprak dan kursi didupak-dupak? Kalau itu sampai terjadi, apa bisa Siauw Hong tak gusari aku? Tidak, aku mesti berlalu dari sini!"

   Lantas Tek Hui bertindak keluar.

   Semua nyonya-nyonya, yang sedang berjudi, lantas berhenti dan mereka semua lantas awasi anak muda ini, agaknya mereka merasa heran.

   Ketika Tek Hui sampai di pekarangan, ia ketemu sama Han Kim Kong, yang lagi perintahkan budak- budaknya kerjakan ini dan itu.

   216 Eh.

   saudara, kenapa kau tidak duduk menunggu di dalam?"

   Tuan rumah ini menegur, apabila ia lihat tamunya keluar.

   "Aku mau pulang,"

   Tek Hui jawab.

   "Jangan, saudara!"

   Han Kim Kong mencegah.

   "Aku sudah suruh Ciu Toa Cay undang mereka, malah aku pun perintah undang Tong Kim Houw, maka baiklah kau tunggui mereka. Aku girang, kalau semua piauwsu dan guru silat dari Pak-khia bisa berkumpul menjadi satu, sebagai anggota-anggota sekeluarga, supaya semua tak memikir yang berlainan! Barang hidangan juga sedang disiapkan. Mari ini semua-mua ada untuk kau seorang, jikalah sekarang kau pergi, apa kau tidak bikin aku malu? Jikalau hari ini aku hilangkan kepercayaan, lain kali undanganku akan tak ada harganya lagi! Atau mereka akan anggap, bahwa kau tak hargakan mereka, bahwa muridnya Giok-bin Lo Cia tidak pandang orang!"

   Tek Hui kena diogok.

   "Benar juga!"

   Ia memikir.

   "Asal aku pergi, mereka sangka aku takut. Kalau aku sendiri yang mendapat malu, tidak apa, bagaimana kalau guru pun turut terhina? Selanjutnya niscaya aku malu akan bertemu suhu."

   Ia lantas berhentikan tindakannya, ia berdiri diam.

   "Jangan pulang dahulu, saudara,"

   Han Kim Kong membujuk pula, sambil ia tarik tangan orang.

   "Tong Kim Houw tahu kau ada di sini, di kantornya ia tidak 217 punya urusan apa-apa, sedang dia pun sebentar akan datang kemari."

   Seperti juga orang yang tak punya tujuan, Tek Hui diajak kembali ke dalam kamar tadi, tetapi segera ia pikir, ia mau tunggu sebentar saja, bila orang tetap tidak datang, ia mesti pergi. Tapi justeru itu, Han Kim Kong telah tegur sekalian gundiknya.

   "He, kau cuma main kartu saja!"

   Demikian suaranya, dengan mata yang bengis sinarnya.

   "Aku telah kedatangan saudaraku, kenapa kau tidak wakilkan aku layani padanya?"

   Kemudian ia melotot pada adiknya perempuan.

   "Eh, Toa Kouwnio, kau toh tidak bisa main kartu, apa yang kau tonton? Mari sini, lekas kau temani Lauw Toako ini!"

   Lantas ia tunjuk Tek Hui.

   "Semua orang ini bukannya orang lain."

   Teguran itu memberi hasil cepat, semua nyonya lantas berhenti, ada yang turun dari pembaringan, ada yang bangun dari kursinya, dan semua mereka datang temani Tek Hui, buat tuangi thee dan ambilkan kue, akan undang ia minum dan dahar kue itu.

   Pun ada yang berkata.

   "Saudara Lauw, maafkan kita, kita terlalu suka main kartu, sampai abaikan kau."

   Cuma adiknya Han Kim Kong yang terus bertindak keluar. Tek Hui merasa tak enak sendirinya mesti terima macam pelayanan itu, ia menjadi likat. 218

   "Malang adalah nasibnya semua orang perempuan ini,"

   Ia pikir kemudian.

   "Kenapa mereka justeru menikah sama Han Kim Kong."

   Han Kim Kong seperti bisa duga pikiran orang, sembari tertawa, ia kata.

   "Oleh karena kau satu Loo- han besi, aku dari itu berani suruh semua enso kau ini layani kau! Kau tahu sendiri, saudara, buat kita yang yakinkan ilmu silat, ilmu ada satu urusan, rumah tangga ada urusan lain lagi, tetapi meski demikian, siapa yakinkan silat, dia tak menjadi padri. Memang sudah umumnya satu orang lelaki tak dapat terpisah dari orang perempuan, sebab siapa tak berdekatan sama orang perempuan, dia seorang tolol! Lihat saja, di mana ada piauwsu yang tak mempunyai isteri? Kecuali Pheng Jie, gurumu! Tapi dia sendiri, dahulu punya sampai dua gula-gula! Tentu dia tidak beritahukan kau hal kelakuannya ini, tetapi aku tahu betul. Adalah aku, Han Kim Kong, seorang yang tak berarti, isteriku banyak, toh aku masih merasai kurang. Buat aku adalah isteri yang banyak, yang bikin aku hidup senang dan terhibur setiap hari! Kau lain, saudara. Aku lihat kau senantiasa kerutkan alis! Kenapa begitu? Itulah tidak selayaknya! Satu laki-laki mesti punyakan sifat laki-laki, pikirannya mesti luas dan terbuka, ia harus bisa gembirakan diri dan bersemangat. Kenapa kau agaknya berduka saja, sebagi kau lagi pikirkan isteri saja? Saudara, kau mesti rubah sifat atau tabiatmu. Kau justeru perlu 219 beristeri, dengan beristeri, kau nanti ubah kelakuanmu, tidak lagi bersikap begini aneh, pasti kau akan doyan bicara, tentu kau gemar bergaul. Saudara, kau rupanya belum pernah pikir kebaikannya orang perempuan! Orang perempuan bisa bikin Loo-han besi menjadi Loo-han kapas! Kau tahu, kalau peluru menjadi bola kapas, kendati terkena paku, bola kapas itu tak akan rusak. Maka itu, jangan kau jadi peluru selamanya. Jangan ayal, saudara, kau mesti lekas punyakan isteri. Aku omong dengan sejujurnya. Atau baik kau lekas pergi ke Thio-kee-kauw, akan nikah sama Louw Po Go! Segala apa buat pernikahan itu, aku yang nanti urus, sedang di sini aku akan siapkan kau kamar pengantin! Atau kau cari orang perempuan lain, nanti aku yang jadi comblangnya akan meminang. Atau kau berbareng nikah dua, buat dua- duanya aku yang nanti tanggung segala apanya! Tidak usah kau tunggui gurumu. Bisa jadi gurumu sudah beruntung, entah ia sembunyi di mana, di mana ia dirikan rumah tangga, akan merasai keberuntungannya mengempo anak!"

   Tek Hui cuma bisa dengari ocehan orang itu, yang dibarengi sama datangnya kuwe-kuwe yang disodorkan oleh tangan yang bergelang dan jeriji yang bercincin, sedang jeriji-jeriji tangan yang kukunya merah ada angsurkan ia buah-buahan.

   Kemudian lagi, bujang-bujang perempuan mulai datang dengan barang hidangan, si baju hijau membawa cawan- 220 cawan arak, si celana sulam menyuguhkan masakan kepiting, telur bebek, daging lapis, udang goreng dan lain-lain.

   "Semua datang!"

   Kata Han Kim Kong dengan gembira.

   "Toa Kouwnio juga suruh keluar! Siauw Hong! Mana dia? Cuma dia yang tak kelihatan."

   Tek Hui terkejut akan dengar namanya Siauw Hong disebut, segera ia merasa tidak tenteram, air mukanya pun turut berubah.

   "Hayo, semua turut minum arak!"

   Terdengar pula Han Kim Kong.

   "Kalau sayurannya kurang, lekas tambah lagi! Koki mesti siapkan keperluan di sini! Untuk pesta besar, boleh belakangan, itulah untuk sebentar malam! Gouw Po, Lo Tay, Tong Kim Houw, mereka semua tak berati, suguhkan mereka yang kurangan lezad, tidak apa! Saudara Tek Hui, kenapa kau sendirian mesti tunggu mereka lebih lama? Mari kita minum lebih dahulu! Aku akan perlakukan kau sebagai saudara! Aku lihat, urusan kau sama Louw Po Go akan tak jadi! Apakah tidak baik jikalau kita bersanak saja?"

   Tek Hui repot dengari suaranya Han Kim Kong, yang nyerocos saja, sedang matanya seperti kabur melihat nyonya- nyonya dan budak-budak begitu repot melayani ia. Ia boleh merasa jemu.

   "Apakah ini bukannya bie-jin-kee?"

   Tiba-tiba ia ingat.

   "Apakah ia hendak gunai akal perempuan cantik ini, akan bikin beres padaku?" 221 Anak muda ini belum sempat memikir benar-benar, ketika ia dibikin tercengang dengan munculnya seorang perempuan lain, nyonya muda yang elok, bajunya sulam, warnanya merah, sebagaimana kunnya, tindakannya halus. Dan si cantik itu adalah Siauw Hong. Sekali pun ia belum irup barang secawan arak, mukanya Tek Hui toh menjadi merah.

   "Tidak ada bicara lagi!"

   Pikir ia.

   Ia kenal si cantik, malah baru tadi malam ia ketemu dan bicara banyak padanya, mustahil sekarang ia bisa berpura-pura tidak kenal si cantik itu.

   Ia pun laki-laki, yang haram akan berjusta.

   Maka ia lantas berbangkit, kedua tangannya ia angkat.

   "Saudara, tidak usah kau kasih hormat!"

   Kata Han Kim Kong, yang mencegah sambil tertawa.

   "Ini adalah gundikku!"

   "Gundik!"

   Bukan main gusarnya Tek Hui dengar ucapan itu, hampir ia samber piring kepiting, buat dipakai menimpuk Han Kim Kong. Tapi Siauw Hong sudah lantas menghampirkan, dua atau tiga tindak.

   "Kepiting ini sudah dingin, kalau dimakan bisa sakit perut, maka saudara Lauw, jangan kau makan ini,"

   Ia berkata.

   "Tunggu saja sebentar, aku nanti suruh tukar dengan barang makanan lain." 222 Suaranya Siauw Hong pelahan tetapi enak didengar, sedang Tek Hui tahu, itu adalah cegahan untuk ia jangan berkelahi. Untuk kendalikan hawa amarahnya, Tek Hui lantas tenggak araknya. Ia bawa sikap biasa lagi.

   "Lihat, bagaimana pandai gundikku ini melayani tamu,"

   Kata Han Kim Kong sambil tertawa.

   "Gundik ini adalah gundikku yang aku paling sayang."

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cukup, sudah cukup"

   Kata Siauw Hong.

   "Jangan kau omong saja."

   Tapi Tek Hui panas bukan main. Han Kim Kong masih saja tertawa.

   "Aku percaya, kalau kau dapati isteri sebagai gundikku ini, kau tentu puas"

   Ia kata.

   "Tidakkah kau mengharap yang begini macam?"

   Mau atau tidak, mendengar itu mukanya Siauw Hong menjadi merah, tetapi untuk tenteramkan diri, ia angsurkan secawan arak pada Tek Hui.

   Pemuda itu menyambuti dan terus minum arak itu, berbareng dengan mana ia merasa kakinya ada orang injak dengan pelahan, maka ia lekas letaki cawan itu, dalam hatinya ia kata.

   "Bagaimana, eh? Kau suguhkan aku arak, lantas kau larang aku minum."

   Tek Hui tidak lihat bagaimana orang kedipi mata padanya.

   Syukur juga Han Kim Kong tidak lihat perbuatan gundiknya itu.

   Barang hidangan telah disajikan lengkap, maka berdua tuan rumah dan tamu mulai bersantap, 223 nyonya-nyonya yang melayani, sebab budak-budak cuma atur meja.

   Han Kim Kong anjurkan tamunya dahar dan mlnum, ia sendiri turut bersantap dan irup arak, hingga sebentar kemudian mukanya sudah berubah menjadi merah.

   Ia pun bicara dengan asik, dengan getol, hal-hal dahulu, bagaimana ia bisa jadi mewah dan bisa piara banyak gundik, bagaimana sekarang sebagai pahlawan raja ia sangat senang.

   Ia bicara terus dengan tidak perdulikan tamunya suka dengar atau tidak.

   Dan ia bicara sampai di jendela kelihatan cuaca terang menjadi suram, tanda bahwa sang sore telah mendatangi.

   Tek Hui merasa tidak merdeka, terutama karena Siauw Hong ada di sampingnya.

   Ia tidak berani bicara sembarangan.

   Pergi ia tidak bisa, duduk ia merasa tak tenteram.

   Ia minum beberapa cawan, tetapi ia rasai kepalanya sudah pusing.

   Melainkan hatinya yang masih jernih.

   "Eh, kenapa Thong Loo-thayswee sekalian masih belum datang?"

   Begitu ia ingat. Sang tempo telah lewat lama sejak Ciu Toa Cay pergi mengundang.

   "Malah Toa Cay sendiri belum kembali, sebagaimana Tong Kim Houw pun belum datang,"

   Demikian ia pikir lebih Jauh. Akhirnya ia tunda cawannya, ia tanya Han Kim Kong. 224

   "Biarkan mereka semual"

   Kim Samya menyahut.

   "Buat apa kita perdulikan mereka! Biar mereka suka datang atau tidak! Aku sudah undang mereka, itu artinya mereka sudah dapat kehormatan! Jikalau mereka tidak hargakan diri sendiri, kita juga jangan ambil tabu lagi! Saudara Lauw, tabahkan hatimu, kau jangan takut terhadap mereka! Kau telah bersahabat sama aku, apa perlunya akan takuti lagi mereka itu? Tak perduli diurus di muka umum atau di bawah tangan, asal ada aku Han Kim Kong, kau tak usah kuatirkan apa jua! Kau tidak akan mendapat susah, siapa juga tak nanti berani ganggu kau! Kau tahu kenapa aku undang kau dan sengaja suruh sekalian gundikku layani kau? Inilah melulu supaya pergaulan kita ini tersiar, supaya orang ketahui apa macamnya pergaulan kita!"

   Mau atau tidak, Tek Hui menjadi heran.

   "Apakah artinya ini?"

   Ia berpikir.

   "Apa benar Han Kim Kong mau bersahabat sungguh-sungguh dengan aku?"

   Waktu itu Han Kim Kong telah perintah nyalahkan api, akan tambah barang makanan, akan tukar arak.

   "Tarik kursi itu, tarik kemari!"

   Kata ia pula. Dan ia suruh semua gundiknya, Siauw Hong tidak terkecuali, akan duduk mengitari meja bersantap sama-sama. Tek Hui seperti juga dikurung dengan pakaian yang indah- indah, malah Siauw Hong ada di dampingnya. 225

   "Eh, apakah kau orang tidak lihat?"

   Demikian Han Kim Kong menegur.

   "Lihat, cawannya saudara Lauw sudah kosong! Kenapa kau alpa mengisikan?"

   Dalam hal ini, tuan rumah keprak meja, sampai cawan bergoyangan.

   "Eh, kenapa kau bengong saja?"

   Begitu Siauw Hong ditegur.

   "Apa sih yang kau pikirkan? Kau berada di sampingnya saudara Lauw, kenapa kau tidak lekas isi ia punya cawan kosong?"

   Siauw Hong terperanjat, buru-buru ia isikan cawannya pemuda itu. Tapi poci arak kuning baru diisi, masih penuh, karena ia gugup, ia bikin arak tertuang beleberan, hingga bajunya Tek Hui kena tersiram. Gusar Han Kim Kong apabila ia saksikan itu.

   "Apa kau bikin, he?"

   Ia keprak meja dengan keras.

   "Kau menghina sahabatku, eh!"

   "Tidak apa, tidak apa"

   Tek Hui kata lekas-lekas.

   "Bajuku terkena sedikit arak, tidak apa. Buat apa kau sentak sengor!"

   Pemuda ini bicara sedikit keras, tangannya ia kepal, hingga agaknya ia hendak tempur tuan rumah.

   Sikapnya ini bikin kaget semua nyonya, berikut Siauw Hong si juwita, hingga ia ini gigit bibirnya, air matanya hampir meleleh keluar.

   Tiba-tiba Han Kim Kong tertawa.

   "Ha, kau lindungi mereka, saudaraku!"

   Kata ia.

   "Jangan heran, buat aku, memaki mereka, merangket 226 mereka, ada perkara biasa saja. Kau harus ketahui, siapa tidak pandai mengajar isteri, dia akan dipermainkan oleh isterinya! Kau rupanya lain, saudaraku, kau lemah lembut dan menyinta. Bagaimana beruntung nona yang bisa menikah sama kau."

   Kembali Han Kim Kong tertawa.

   "Saudara, mari aku bicara terus terang sama kau, agar kau ketahui maksudku,"

   Ia melanjuti.

   "Kau tahu, aku punya adik perempuan, yang usianya sudah dua puluh lima. Dia adalah orang yang tadi kau telah lihat. Aku lihat adikku itu tidak terlalu jelek, tetapi alpa adalah aku, lantaran aku repoti saja isteri dan gundik-gundikku, aku sampai terlantarkan saudaraku itu. Kelambatan menikahnya saudaraku pun karena ucapanku, sebab aku pernah lepas kata, adikku melulu akan menikah sama orang yang banyak hartanya, yang memangku pangkat dan mengerti bugee. Kata-kataku itu telah bikin orang kaget, sampai tak ada yang berani datang untuk meminang. Orang tentu akan tertawakan aku, karena sikapku itu. Bagaimana adikku bisa tidak menikah? Sesudah melihat-lihat, saudara, aku penuju pada kau. Kau benar tidak berharta, tetapi kau ternama, benar kau tidak memangku pangkat, tetapi kau adalah Toa-piauw-tauw kesohor satu-satunya buat kota Pak khia. Tentang bugee kau itu, tak usah disebut-sebut lagi! Aku kuatir Thong Loo- thayswee, Lo Tay, semua bukan tandingan kau! Jikalau kau bisa menjadi iparku, aku tanggung akan siapkan pesalin 227 yang berarti! Asal kau suka terima tawaranku ini, maka kemudian, kita berdua, toako dan moayhu - dengan aku andali bugee kau dan kau andali uang dan pengaruhku buat di kota ini, siapa nanti berani main gila terhadap kita? Saudara, aku omong dengan setulusnya, asal kau manggut, pembicaraan sudah selesai! Percaya aku, kau tidak akan jadi kecele! Cuma, andaikata kau menampik, kau harus pikir baik- baik, kau jangan menyesal belakangan."

   Han Kim Kong tertawa setelah ia berkata-kata, tetapi sepasang matanya dengan tajam mengawasi anak muda di hadapannya. Dengan tak berpikir lagi, Lauw Tek Hui goyang- goyang kepalanya.

   "Tidak, tidak, aku tidak bisa terima!"

   Demikian jawabnya.

   "Aku taksetuju!"

   Matanya Han Kim Kong terbuka lebar sekali.

   "Kalau begitu, kau inginkan isteri macam bagaimana?"

   Ia tanya. Ia rupanya mendongkol, tetapi suaranya tidak menyentak.

   "Apakah kau masih berniat menikahi Louw Po Go dari Thio-kee-kauw?"

   "Dia? Aku tak sudi!"

   Sahut Tek Hui. Lagi sekali, Han Kim Kong tertawa.

   "Kau aneh!"

   Ia kata.

   "Coba bilang, siapa yang kau setuju?"

   "Sebelum ketemu guruku, aku tidak berniat kawin!"

   Jawab si anak muda. Buat kesekian kalinya, Han Kim Kong tertawa. 228

   "Jangan,"

   Ia kata.

   "Jangan kau campur aduk urusan gurumu dan urusan pernikahanmu! Dua rupa urusan itu bukannya satu. Kau boleh bertunangan lebih dahulu, menikah boleh belakangan. Laginya, kalau mau menikah lebih dahulu dan baru kau cari gurumu, apa halangannya? Orang tentu tidak bisa cela kau. Ah!"

   Dan ia menghela napas. Ia seperti sesali si anak muda sebagai orang tolol.

   "Saudaraku, mari kita omong main-main,"

   Kata pula ia kemudian sambil bersenyum.

   "Dalam hal memilih isteri, orang terutama melihat roman, jelek atau bagus, aku percaya sikapmu tentu serupa. Nah, kau lihatlah orang-orang perempuan di hadapan kau sekarang, semua gundikku ini. Mereka ada yang belum tua, ada yang kurus, ada yang montok, ada yang alisnya lentik, ada yang mulutnya kecil-mungil, coba kau pilih, orang macam bagaimana yang kau cita-citakan. Tunjuk saja, tidak apa!"

   Tek Hui heran akan kelakuannya tuan rumah ini.

   "Apakah bisa jadi ia telah ketahui rahasiaku dengan Siauw Hong?"

   Menduga-duga.

   "Apa bisa jadi, dengan gunai ketika ini, ia mau serahkan Siauw Hong padaku? Kalau benar, cara bagaimana aku bisa nikah Siauw Hong, yang telah jadi encieku? Tapi, apa aku perduli? Itu urusan di belakang! Kalau dia benar mau serahkan Siauw Hong, biar aku bawa dia, supaya ia keluar dari rumah ini, supaya ia merdeka dari tangannya Han Kim Kong." 229 Ia lantas pandang semua orang perempuan itu, terutama Siauw Hong. Dia ini tidak bermuka merah karena likat, hanya mukanya pucat, rupanya karena kekuatiran. Tapi ini justeru roman, yang membangkitkan rasa kasihan Tek Hui. Akhir-akhirnya pemuda ini angkat tangannya dan menunjuk.

   "Yang semacam dia!"

   Ia kata, dengan tetapkan hati.

   "Orang semacam dia barulah aku bisa nikah, barulah aku penujui!"

   Semua orang terperanjat, semua mata menoleh pada Siauw Hong. Si cantik sendiri sudah lantas tunduk. Han Kim Kong tertawa, tertawa bergelak-gelak.

   "Saudara Lauw, hayo minum arakmu!"

   Ia kata.

   "Hayo tambahkan arak!"

   Ia perintah satu gundiknya yang lain.

   Sampai di situ, Siauw Hong berbangkit akan undurkan diri dari kamar itu.

   Han Kim Kong tidak cegah orang berlalu.

   Tek Hui menjadi tidak enak hati, bukannya ia takut Han Kim Kong, ia hanya kuatir Siauw Hong gusari ia.

   Ia irup pula separuh araknya, untuk tenangi diri.

   "Saudara,"

   Kata Han Kim Kong kemudian.

   "sekarang sudah sore, kau baik jangan pulang, kau berdiam sama aku di sini. Kalau sebentar malam Thong Loo-thayswee datang, kita nanti bersantap pula bersama-sama, tetapi umpama kata ia terus tidak 230 datang, aku ingin bicara sama kau buat satu urusan. Aku lihat kau pun sudah minum banyak juga, jikalau kau tinggal di sini, aku tangguh tak akan terjadi apa- apa, tetapi apabila kau pulang, inilah aku tidak bisa bilang. Bisa jadi Thong Loo-thayswee tidak akan cari kau, tapi belum tahu dengan Lo Tay atau Gouw Po."

   Mendengar itu, kemurkaan Tek Hui timbul dengan mendadak, sampai ia ketruk cawan arak.

   "Kau memang tidak takuti mereka, tetapi aku pikir tidak ada perlunya akan kau layani mereka itu,"

   Kata pula Han Kim Kong.

   Ucapan ini masuk dalam hatinya si anak muda.

   Ia pun merasa, memang tidak ada harganya untuk ia ladeni Gouw Po semua.

   Dan la pikir, nginap sama Han Kim Kong pun tidak ada halangannya, malah ia boleh sekalian cari Siauw Hong guna bicara sama si cantik itu.

   Ia masih kuatir Siauw Hong gusar dan ia hendak mengasih keterangan.

   "Han Kim Kong hendak bicara sama aku. Ia mau bicarakan urusan apa?"

   Kemudlan ia menduga-duga.

   "Apa bisa jadi ia hendak bicarakan urusannya Siauw Hong sama aku? Gundiknya memang banyak, bisa jadi ia sudah bosan pada gundiknya ini."

   Tek Hui merasa punya harapan, ia mulai tak betah berduduk.

   "Nah, saudara Lauw, minum lagi satu cawan, nanti aku perintah orang antar kau ke kamar yang sudah disediakan untuk kau,"

   Kata Han Kim Kong.

   "Kau boleh 231 tidur, sebentar malam aku nanti kasih kau bangun, untuk kita minum pula. Begini biasanya aku berlaku terhadap sahabat-sahabatku yang sejati. Tentang perjodohan yang aku usulkan, memang belum ada keputusannya, tetapi persahabatan kita bukannya persahabatan baru. Selama beberapa hari ini aku pun dengar apa-apa, maka aku niat sebentar malam kasih kau saksikan suatu pemandangan."

   Ucapan ini ditutup sama suara tertawa berkakakan yang nyaring. Tek Hui rasai kepalanya lagi berat, ia tidak berani minum lagi. Ia pun telah pikirkan satu urusan, untuk mana ia tidak mau jadi sinting, hingga ia tidak bisa lakukan niatannya itu.

   "Untuk cari guruku, aku tidak bisa andalkan Han Kim Kong,"

   Demikian ia pikir.

   "Aku mesti pergi sendiri, meskipun aku mesti merantau. Tapi sebelumnya pergi, aku mesti tolong Siauw Hong dan carikan ia tempat yang aman. Di sini, di sarangnya Han Kim Kong, aku lihat ia terancam. Aku pun malu akan lihat dia tetap menjadi gundiknya sie-wie yang hatinya kejam ini."

   Dalam tempo yang pendek, Tek Hui telah ambil putusannya.

   Ia lantas pura-pura mabok, kepalanya ia letaki di atas meja.

   Han Kim Kong berpura-pura akan panggil bangun pemuda ini buat disuruh beristirahat, setelah ia lihat orang diam saja, ia perintah budak pergi panggil dua pegawai lelaki akan angkat bangun pemuda ini buat 232 dipepayang ke kamar luar sebelah barat, buat direbahkan di atas pembaringan, kemudian ditinggal pergi, dengan pintunya dikunci! Tek Hui terperanjat waktu ia dengar bekerjanya anak kunci itu.

   "Celaka, aku terjebak!"

   Pikir ia.

   "Kiranya benar Han Kim Kong mau bikin celaka padaku!"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam murkanya, Tek Hui berbangkit, sembari duduk di atas pembaringan ia memandang ke empat penjuru.

   Ia lihat jendela di depan dan belakang semuanya tertutup rapat.

   Ia hampirkan jendela belakang akan rabah itu.

   Jendela itu tertempel kertas, waktu ia dorong nyata jendela itu kuat, rupanya dikunci dari luar.

   Jendela depan sama kuatnya.

   "Han Kim Kong, bagus perbuatanmu!"

   Kata ia dalam hatinya, dalam sengitnya.

   "Ciu Toa Cay telah pancing aku datang kemari, kau lantas tipu dan jebak aku! Beginilah kelicinan kau! Tapi nyata kau terlalu memandang enteng padaku!"

   Hampir Tek Hui umbar nafsu amarahnya, akan terjang jendela atau pintu, guna loloskan diri dari situ, untuk kasih bagian pada Han Kim Kong, baiknya ia lantas ingat Siauw Hong dan ia jadi sabar pula.

   "Tidak salah lagi,"

   Demikian ia pikir.

   "perbuatan Han Kim Kong ini bukan karena ia hendak bantu Gouw Po atau Lo Tay, ia sebenarnya mau celakai aku, lantaran perhubunganku sama Siauw hong, karena Siauw Hong berikan aku angkin sulam. Rupanya Han 233 Kim Kong telah dapat tahu pertemuanku dengan Siauw Hong tadi malam di luar kuil. Dengan tak bersenjata, apa aku bisa berhasil tobloskan kurungan ini? Bagaimana kalau selagi aku belum berhasil meloloskan diri, dia ganggu Siauw Hong?"

   Lantas Tek Hui asah otaknya, ia periksa pula jendela belakang, jerujinya ia coba hajar dengan kepalannya, beberapa potong telah patah, tapi ia telah terbitkan suara keras, hingga ia menunda, karena ia kuatir perbuatannya itu kepergok.

   Ia merasa pasti Han Kim Kong punya banyak kaki tangan.

   Dari sela-sela jendela belakang, Tek Hui bisa lihat bagian luar.

   Di situ ada pelataran, yang menghadapi beberapa pintu rumah atau kamar.

   Cahaya api di situ guram.

   Rupanya itu adalah kamar-kamar bujang atau budak.

   Karena ia sangsi akan molos dari depan, kembali Tek Hui geraki tenaganya akan bikin patah jeruji-jeruji lain, hingga di situ terbuka lowongan untuk keluar- masuknya tubuh.

   Ia pun bikin patah pelatok-pelatok sisanya, hingga ia terbitkan suara ramai.

   "Eh, kau lagi bikin apa?"

   Demikian tiba-tiba suara menanya. Tek Hui terperanjat, ia menunda, tetapi ia berpikir, karena ia rasa kenali suara itu.

   "Siauw Hong, Siauw Hong!"

   Ia memanggil. Di luar terdengar tindakan-tindakan menghampirkan. 234

   "Kau, Tek Hui! Kenapa kau ada di sini?"

   Begitu suara di luar. Sekarang Tek Hui dapat kenyataan, suara itu adalah dari budaknya Siauw Hong.

   "Aku tertipu dan terjebak oleh Han Kim Kong,"

   Ia segera kasih tahu dengan jengah sendirinya.

   "Aku berpura-pura mabuk, orang telah kurung aku dalam kamar ini."

   "Sekarang Han Kim Kong ada di depan,"

   Hiang Jie kasih tahu.

   "Di sana datang banyak orang, semua dari piauw-tiam."

   "Aku tahu,"

   Kata Tek Hui.

   "Mereka tentu kawannya Gouw Po dan Lo Tay, itu bangsa kurcaci!"

   "Mereka sedang berpesta-pora! Di antara mereka ada satu tua bangka."

   "Dia tentu Thong Loo-thayswee! Sebenarnya aku telah tahan sabar, melulu untuk Siauw Hong."

   "Kau masih sebut-sebut Siauw Hong, aku punya Go-thay- thay,"

   Kata Hiang Jie.

   "Kau rupanya belum tahu....."

   Hiang Jie bicara seperti berbisik, agaknya ia ketakutan. Tek Hui terperanjat.

   "Apakah sudah terjadi dengan Siauw Hong?"

   Ia tanya. Hatinya memukul. Ia kuatir Siauw Hong telah binasa di tangannya Han Kim Kong yang kejam. 235 Hiang Jie menangis, suaranya ia tahan.

   "Sudah lama Go-thay-thay bebas,"

   Ia kata, dengan pelahan.

   "tetapi tadi Han Kim Kong datang ke kamarnya, dengan membawa cambuk, dengan kalang kabutan Thay-thay telah dirangket, setelah mana ia diringkus, diikat pada pintu, sampai sekarang ini. Ini tentu berhubung dengan urusan pertemuan dengan kau."

   Tek Hui belum dengar sampai habis, hawa amarahnya sudah meluap, tangannya ia kerjakan atas jendela, hingga di antara suara berisik ia telah dobrak daun jendela, hingga merupakan lobang. Hampir di waktu itu, di luar kedengaran.

   "Apa? Apa ini? Apa, Lauw Tek Hui?"

   "Ah, itu binatang cilik!"

   Lalu terdengar suara lain.

   "Lekas buka pintu, lekas! Dobrak saja!"

   "Kasihlah aku yang masuk, nanti aku habiskan jiwanya!"

   Tek Hui tahu, bahwa ia sudah kepergok, tetapi ia tidak takut, malah ia jadi tambah gusar.

   Ia kembali hajar jendela.

   Hiang Jie sudah menyingkir siang-siang.

   Di pintu terdengar suara bacokan pada daun pintu.

   Begitu lekas lihat lowongan, Tek Hui mundurkan diri buat enjot tubuhnya akan loncat keluar, ketika ia sudah molos, di belakang ia terdengar suara menyambar.

   Itulah seorang yang kerjakan goloknya.

   236 Sebat sekali, Tek Hui minggir ke samping, sebelah kakinya ia angkat, alas mana penyerang itu telah terjungkil dan rubuh terbanting, tetapi dengan golok masih di tangan, dia ini lekas-lekas lompat bangun akan merangsek pula, tangannya melayang.

   Di mana sekarang ia tidak dibokong lagi, Tek Hui merdeka akan hadapkan penyerang itu.

   Ia tidak tunggu sampai golok menyamber, ia mendahului lompat maju akan memapaki, selagi golok mau turun, tangannya sudah menyanggah, maka di lain saat senjata tajam itu telah pindah tangan.

   Kemudian, cepat luar biasa, penyerang itu rubuh dengan tubuh terbanting seraya keluarkan jeritan ngeri, sebab goloknya sudah makan tuan.

   Sementara itu Tek Hui sudah kenalkan korbannya itu, ialah orangnya Gouw Po yang dipanggil Kim-gan Ya-cee, siapa tadi sudah naik ke atas genteng akan turun ke bawah, tapi waktu ia sampai di betulan jendela itu, maka ia barengi loncat turun seraya terus membokong.

   Adalah di luar dugaannya keberaniannya ini mestl bayar dengan jiwanya.

   Dari situ, dengan golok di tangan, Tek Hui lari ke ujung kamar.

   Di pojok ia lihat Hiang Jie sedang umpatkan diri, tubuhnya gemetaran.

   "Apakah dia mati?"

   Tanya budak ini. Tek Hui tidak menjawab, hanya ia berkata.

   "Lekas bawa aku pada Siauw Hong!" 237 Dengan tindakan sukar, Hiang Jie pimpin anak muda ini.

   "Itu dia kamarnya,"

   Ia kata setelah mereka sampai.

   Dan ia tidak bisa berkata-kata lebih jauh, melainkan tangannya bisa menunjuk.

   Dengan satu dupakan, Tek Hui bikin daun pintu terpental, setelah mana, ia nerobos masuk ke dalam.

   Di dalam kamar itu ada dua bujang perempuan serta gundik lain dari Han Kim Kong, mereka ini kaget lihat pintu terpentang dan orang masuk dengan golok terhunus, sampai mereka menjerit.

   Sedang si gundik lantas lempar tubuh ke atas pembaringan untuk umpatkan diri dalam selimut.

   Dengan segera Tek Hui lihat Siauw Hong, dengan pakaian dan roman tidak keruan macam, karena rambutnya riap-riapan, mukanya matang biru.

   Nona itu masih pakai pakaiannya yang semalam.

   Tubuhnya telah diikat, kedua tangannya diikat keras pada gelang pintu lemari besar.

   Tadinya nona itu menangis sambil tunduki kepala.

   Ia kaget, waktu ia lihat masuknya si anak muda, terus saja ia menangis pula, air matanya meleleh dengan deras.

   Bukan main sakit hatinya Tek Hui apabila ia saksikan keadaannya si cantik itu yang sedang tersiksa, mirip dengan seekor kambing yang mau disembeleh.

   Maka buru-buru ia gunai goloknya, akan 238 loloskan semua ikatan, setelah mana tubuhnya si nona rubuh di dalam rangkulannya.

   Siauw Hong sangat lelah, ia masih merasa sakit bekas ikatan.

   "Mari kita pergi!"

   Kata Tek Hui.

   "Kau mesti ikut aku!"

   Siauw Hong menangis, ia tidak bisa bicara, kepalanya menggelendot di pundaknya pemuda itu.

   Tek Hui tahu, yang ia tidak boleh sia-siakan tempo, maka ia pindahkan tubuhnya si cantik ke punggungnya untuk digendong, kemudian ia putar tubuhnya buat bertindak keluar.

   Justeru itu dua orang sudah mendatangi dekat.

   "Lauw Tek Hui, keluar! Hayo kau keluar!"

   Demikian suara dari luar.

   Salah satu dari dua orang itu, yang Tek Hui kenalkan, adalah Gouw Po.

   Yang satunya adalah Hek-houw-pian Ciauw Tay, orangnya piauwsu itu.

   Sendirian, Tek Hui tidak takuti musuh-musuhnya itu, tetapi sekarang ia lagi gendong Siauw Hong, hal ini bikin ia bersangsi.

   Ia pun tidak bisa tinggal pada si cantik itu, karena ia tidak bisa bekerja kepalang tanggung.

   Sebagai tindakannya yang pertama, dengan goloknya ia tepuk lampu di atas meja sampai jatuh.

   Tapi di jubin, sumbu tidak lantas padam semua, sedang sepotong sepatu telah kerembet api.

   Sebentar saja, api itu telah menimbulkan asap.

   239 Satu gundik dan dua bujangnya, yang pada bergundukan di atas pumbaringan, jadi ketakutan, satu antaranya lantas berteriak-teriak.

   "Apil Api!"

   "Lauw Tek Hui, orang tak berbudi!"

   Begitu terdengar teguran di luar.

   "Dengan baik hati aku perlakukan kau, kenapa kau bunuh orang, bagaimana kau berani permainkan gundikku?"

   Itu suaranya Han Kim Kong, yang telah muncul dengan cepat, karena apa yang terjadi di pedalaman ini lantas ada yang kabarkan padanya. Bukan main gusarnya Tek Hui, apapula kapan di luar ia dengar ratapan dan jeritannya seorang perempuan.

   "Bukan aku, bukan aku, aku tidak kata apa-apa......"

   Itu suaranya Hiang Jie, yang rupanya disiksa oleh Han Kim Kong.

   "Aku hendak menerjang keluar!"

   Akhirnya Tek Hui kata pada Siauw Hong, yang ia masih gendong.

   "Pegang keras padaku, rangkul batang leherku!"

   Siauw Hong turut permintaan itu.

   Dengan ujung goloknya, Tek Hui congkel daun pintu, yang tadi ia sudah segera rapati, begitu pintu terpentang, ia loncat keluar.

   Tapi berbareng sama melesatnya tubuhnya, tumbaknya Gouw Po pun menyamber ke jurusannya.*** 240 IX Twie-hun-chio berlaku telengas, bukan saja mereka memang musuh-musuh besar, juga selama akhir-akhir ini ilmu tumbaknya ia telah latih dengan keras, hingga dalam tempo pendek ia telah peroleh kemajuan.

   Dan serangannya sekarang adalah serangan yang istimewa.

   Tek Hui berlaku awas dan sebat, maka ia bisa lihat datangnya serangan dengan sekonyong-konyong itu, sambil berlompat ia tangkis tusukan yang mengarah tenggorokannya, Dan ketika Gouw Po berlaku gesit akan tusuk ia berulang-ulang, ia pun saban-sabat tangkis dan bacok ujung tumbak orang itu.

   Ciauw Tay tidak tinggal diam, dari sebelah kiri ia pun maju akan menyerang.

   Tumbaknya ia geraki dengan tak kalah sebatnya.

   Ini Kali ia tidak pakai pian.

   Dalam hal menggunakan tumbak, ia tidak berada di bawahan Gouw Po, sedang tenaganya terang lebih besar.

   Ia senantiasa arah iga kiri orang.

   Kapan tumbaknya Ciauw Tay datang, Tek Hui menangkis sambil berkelit.

   Ia merasa tidak leluasa dengan senjatanya - golok rampasan - karena ia biasa menggunai pedang.

   Di sebelah itu, ia pun menggendong orang, yang minta tenaganya.

   Syukur buat ia, ia punya tenaga besar dan punggung kuat berkat kebiasaannya memanggul arang.

   241 Gouw Po dan Ciauw Tay merangsek terus, keduanya dapat hati, sedang kemudian lantas datang seorang lain yang bersenjata poan-koan-pit.

   "Kasihlah aku yang bikin habis binatang ini!"

   Demikian teriakannya orang lain yang baru datang ini.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku hendak balas sakit hatinya saudaraku yang ketiga!"

   Tek Hui jadi makin berhati-hati, karena ia bisa menduga pasti musuh yang baru ini tentunya Lo Tay.

   Dan tempo senjata yang luar biasa menyamber, hingga ia mesti layani tiga musuh, ia putar goloknya akan singkirkan bahaya.

   Sembari berkelahi, Tek Hui mundur setindak dengan setindak.

   Dengan putar goloknya, ia bisa lindungi diri berbareng keselamatannya Siauw Hong, yang terus menggemblok di punggungnya, kedua kakinya menjepit, kedua tangannya merangkul dengan keras.

   Sebenarnya si cantik ini adalah suatu rintangan bagi bergeraknya kaki tangan dan tubuhnya selagi ia hadapi banyak musuh.

   Di dekat pintu lain, orang tua berdiri dengan angker.

   "Jangan kasih dia lolos!"

   Demikian kata orang tua itu.

   Dari jurusan lain tertampak datangnya beberapa orang lain, ada yang bawa senjata yang tajamnya bersinar-sinar, ada yang bawa lentera yang diangkat tinggi-tinggi, hingga pelataran dalam itu jadi terang.

   242 Di antara orang banyak itu segera tertampak Han Kim Kong.

   "Tahan dulu!"

   Berteriak tuan rumah, pahlawannya raja.

   "Dia mesti diperintah turunkan dahulu orangku itu!"

   Teriakan itu tidak mengasih hasil.

   "Lauw Tek Hui!"

   Demikian ia berteriak pula.

   "Lauw Tek Hui, kau mesti mengerti! Sekali ini kau tidak akan bisa lolos! Gundikku banyak, buat kau rampas satu antaranya, bagiku tidak ada halangannya! Meski demikian, kau tentu tidak bisa kabur! Lihatlah orang- orang, asal mereka meluruk, terang kau akan tidak bisa hidup lebih lama pula! Maka itu, aku masih mau pandang pada guru kau, Lauw Tek Hui, hayo turunkan orangku itu, nanti aku bukai kau jalanan lolos!"

   


Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini