Ceritasilat Novel Online

Angkin Sulam Piauw Perak 4


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 4



Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu

   

   Tek Hui tetap tidak gubris seruan itu, ia tetap melayani dengan gagah pada tiga musuhnya, kepandaiannya cukup, tenaganya besar, kendati ia bersenjatakan golok ia tidak kasih ketika akan tiga senjata musuh coba mengenai tubuhnya.

   Lo Tay nampaknya ibuk dengan ia punya Poan- koan-pit, yang ia tidak berhasil membikin berkenalan sama tubuh musuh.

   Ciauw Tay pun ibuk, karena tumbaknya hampir-hampir kena dibabat kutung! Serangannya Gouw Po juga menjadi lebih kondor, sebab ia telah rasai kedua lengannya mulai gemetaran.

   243 Di dalam saat yang berbahaya itu, Thong Loo- thayswee berseru, ia geraki tubuhnya, akan nyerbu ke dalam medan pertempuran.

   "Jangan, Jangan! Tahan!"

   Tiba-tiba terdengar cegahan. Lauw Tek Hui dengan nyata suara itu - suara dari Louw Thian Hiong, maka ia menjadi heran.

   "Eh, dia pun ada di sini!"

   Ia pikir.

   "Aku tak sudi keponakannya, tentunya ia gusar, maka ia sekarang datang kemari buat bantu musuh."

   Tetapi Louw Thian Hiong majukan diri untuk cegah Thong Loo-thayswee, terang kelihatan ia ibuk luar biasa.

   "Tahan!"

   Demikian cegahannya pula.

   "Ini bukan caranya berkelahi! Kalau Lauw Tek Hui binasa, tentu akan binasa orangnya Samya!"

   Ia lantas hadapi anak muda kita.

   "Tek Hui!"

   Ia lanjuti.

   "Kau satu laki-laki, kenapa kau lakukan pebuatan ini? Hayo kau turunkan orang punya nyonya itu, aku hendak bicara sama kau! Aku tanggung, bahwa orang tidak akan bikin kau celaka!"

   Tek Hui tidak perdulikan ucapan itu, ia menyerang terus, sambil lihat lowongan untuk melarikan diri. Ia mesti bisa keluar dari kepungan, baru ia bisa tolong dirinya - dan tolongi Siauw Hong juga. Di atas genteng waktu itu tertampak dua orang.

   "Kau orang berdua hati-hati!"

   Han Kim Kong teriaki dua orang itu.

   "Jaga supaya dia tidak bisa kabur 244 dengan orang di punggungnya!"

   Ia banting-banting kakinya, karena sengit dan penasaran.

   "Hati-hati menjaga orangku itu!"

   Ia memperingati.

   "Kau, Tek Hui, kau turunkan dia! Kau turunkan, mari kita bicara!"

   "Aku harap kau pandang padaku!"

   Louw Thian Hiong pun berkata pula, apabila ia dapatkan anak muda itu tidak ladeni siapa juga.

   "Ketika aku dengar kabar, aku sudah lantas datang kemari, maksudku adalah untuk datang sama tengah, guna akurkan kau orang. Lauw Tek Hui, Lauw hiantit, aku ingin bicara sama kau!"

   "Aku juga hendak bicara sama kau, untuk berdamai!"

   Kata pula Han Kim Kong, yang lihat juga piauwsu dari Thio-kee-kauw itu tak digubris.

   "Lauw Tek Hui, dengan memandang gurumu, aku tidak nanti bikin kau celaka! Tek Hui, mari kita bicara, kau Jangan kuatir!"

   Semua seruan dan bujukan itu tidak memakan terhadap anak muda kita, karena berbareng dengan itu, sepasang Poan-koan-pit dan tumbak masih saja mendesak ia, dan tumbaknya Gouw Po menyusul di belakang dua senjata kawannya.

   Akhir-akhirnya Thong Loo-thayswee maju lagi, ia geraki toya besinya, yang ia angkat tinggi untuk dipakai menimpa kepalanya pemuda beradat keras itu.

   Tek Hui, dengan tangan kirinya bantu pegangi Siauw Hong, tetap mainkan goloknya.

   245

   "Siapa kesudian berdamai sama kau?"

   Kata ia dengan suara mengejek.

   "Siapa terpedaya itu cuma bisa kejadian satu kali saja! Buat apa kau sebut-sebut guruku? Ketahui oleh kau, hari ini Lauw Tek Hui hendak balaskan sakit hati gurunya, dengan berbareng tolong encie Siauw Hong!"

   Semua orang heran akan dengar Siauw Hong dipanggil 'encie'. Cuma Han Kim Kong, yang menjadi makin ibuk. Tek Hui telah jadi makin sengit.

   "Kau jangan pandang aku Lauw Tek Hui sebagai bukannya satu hoohan!"

   Ia teriak pula.

   "Aku tolongi encieku ini untuk balas budi kebaikannya! Aku tidak ingin encieku teraniaya dan terhina, di mana orang siksa ia! Ketahui oleh kau, Lauw Tek Hui satu laki-laki sejati!"

   Ucapan ini ditutup sama terjangan hebat, untuk meloloskan diri dari kepungan itu.

   Dua ujung tumbak telah menyusul orang yang hendak kabur itu.

   Tapi Tek Hui, dalam sengitnya, membabat keras ke belakang, sebagai kesudahan mana tumbaknya Ciauw Tay kena juga dibikin kutung, hingga satu bacokan lain bikin piauwsu itu rubuh sambil keluarkan jeritan seram! "Jangan kasih ia lolos!"

   Berteriak Lo Tay, yang berseru berulang-ulang.

   Thong Loo-thayswee telah terpaksa turun tangan, ia telah kerjakan toya besinya yang berat.

   246 Dengan kegesitannya Lauw Tek Hui kelit senjata berat itu, maka toyanya jago itu mengenai tanah, mengenai jubin, sampai menerbitkan suara keras dan jubin hancur meletik belarakan.

   Han Kim Kong lompat maju dengan sepasang gaetan Hok-chiu-kauw, tetapi Tek Hui terlalu licin bagi dia, serangannya kena ditangkis.

   Selagi ia tarik pulang tangannya, anak muda itu sudah lewatkan ia, lari ke pintu, hingga sebentar kemudian muridnya Pheng Jie sudah ada di pekarangan lain.

   Gedungnya Han Kim Kong memang panjang dan banyak ruangannya.

   Setelah berada di pelataran depan, Tek Hui jadi terlebih bersemangat pula.

   Gouw Po dengan tumbaknya mengejar di muka, di belakang ia ikut orang-orangnya atau kawan.

   Juga pelataran itu memang ada beberapa orang, yang semuanya bersenjata.

   Lagi sekali Tek Hui kena dikurung, ia berani berbareng ibuk juga.

   Ia telah gunai terlalu banyak tenaga, hingga sekarang ia bernapas sengal-sengal, Siauw Hong di punggungnya bikin ia merasa sangat tidak leluasa.

   Tapi si cantik itu ia tidak bisa turunkan.

   Coba tidak ada orang yang gendoli ia, ia tentu sudah mengamuk sebagai kerbau gila.

   Thong Loo-thayswee telah memburu dengan tongkatnya yang berat.

   247 Selagi Tek Hui repot menangkis macam-macam senjata yang mendekati tubuhnya, mendadakan dua orang rubuh sambil keluarkan jeritan yang mengerikan dan kemudian terdengar seruannya Gouw Po.

   "Awas! Senjata rahasia!"

   Piauwsu ini cuma bisa berteriak satu kali, ia pun menjerit kesakitan dengan tumbaknya terlepas, terlempar ke tanah berbareng sama tergulingnya tubuhnya. Sekejap saja, kekalutan terjadi dalam rombongannya Han Kim Kong.

   "Siapa, siapa, siapa yang lepas senjata rahasia?"

   Ia tanya berulang-ulang, suaranya gugup.

   Ia berkuatir berbareng mendongkol.

   Tek Hui juga turut kaget, karena ia tidak tahu, siapa yang sudah bantu ia secara rahasia itu, tetapi ia tidak mau bingung saja sebagai banyak orang- orangnya Han Kim Kong.

   Selagi serangan mendadak berhenti, ia lari ke depan, ia loncat beberapa kali akan akhirnya ia enjot tubuh, loncat naik ke atas genteng.

   Ia girang bukan main, ia bersyukur tak terhingga, karena ia masih punyai tenaga akan loncat naik bersama-sama gendolannya.

   Di atas genteng juga Tek Hui tidak mau ayal- ayalan.

   Ia lari dengan cepat, melewatkan beberapa wuwungan, hatinya lega waktu ia sampai di genteng terakhir, karena dari situ ia bisa luncat ke tembok 248 pekarangan, akan terus loncat turun ke bawah, Hingga segera ia berada di luar.

   Ia tidak perdulikan ada yang mengejar atau tidak, ia lari di gang-gang, dari yang satu ke lain, hingga sebentar kemudian, ia telah sampai di jalan besar.

   "Tong! Tong!"

   Demikian terdengar suara kentongan. Jadinya waktu itu sudah jam dua. Meski begitu, di antara orang-orang ronda ia masih lihat satu atau dua orang, yang lagi berlalu lintas.

   "Aku bawa golok, inilah berbahaya,"

   Pikir anak muda ini, yang segera lemparkan goloknya, hingga waktu ia lari lebih jauh, ia merasa leluasa sekali.

   Ia gunai kedua tangannya akan pegangi si cantik di punggungnya.

   Sang Puteri Malam memancarkan sedikit cahayanya.

   Supaya bisa menyingkir dari mata orang, Tek Hui lari di sepanjang pinggiran tembok, larinya ia kendorkan sedikit.

   Semua pintu waktu itu telah ditutup atau dikunci, kecuali pintunya satu warung kecil, warung yang Tek Hui kenalkan dengan baik, hingga hatinya jadi lega bukan main.

   Lantas saja ia gendong Siauw Hong masuk ke dalam warung itu.

   Itu adalah warungnya Thio Put Cu, si sahabat baik, siapa lagi kerjakan mie untuk dijual sebentar pagi.

   Dan Phang Toa, kawannya yang lain, lagi bekerja juga, membantu si orang she Thio itu.

   249 Mereka ini terperanjat waktu mendadak mereka dapatkan ada nerobos masuk seorang, dengan orang itu menggendong orang perempuan dengan baju dan kun merah.

   Syukur ada api, yang cukup terang, hingga mereka segera kenalkan pemuda kita hingga hati mereka tidak goncang terlebih jauh.

   "Ah.............!"

   Mereka berseru, dengan hati mereka lantas menjadi lega.

   Tek Hui tidak bilang apa-apa, ia segera turunkan Siauw Hong dari punggungnya, tetapi si nona sudah pingsan dan kakinya tak kuat berdiri akan menahan tubuhnya.

   Maka pemuda itu lekas-lekas pondong orang punya tubuh, buat dibawa masuk ke dalam.

   Tan Moa-cu, yang sedang tidur, mendusin dengan kaget.

   "Apakah artinya ini, eh?"

   Ia tanya sambil berbangkit dan duduk numprah di atas pembaringannya. Justeru itu Thio Put-cu dan Phang Toa ikut masuk.

   "Kami cuma mau beristirahat sebentar di sini, segera kami akan pergi pula"

   Kemudian Tek Hui kata pada sekalian kenalan itu. Dengan hati-hati ia letaki Siauw Hong di atas pembaringan tanah.

   "Jangan kuatir, semua di sini sahabat-sahabatku, semua orang-orang baik,"

   Ia kata pada Siauw Hong. Tan Moa-cu, bersama-sama tikarnya, lekas minggir. Ia kenal si nona itu, maka juga ia nampaknya kaget.

   "Ini toh nona dari keluarga Han?"

   Ia tanya sambil awasi Tek Hui. 250

   "Kau kenal dia, inilah lebih baik pula,"

   Kata Tek Hui, yang napasnya masih memburu.

   "Tapi kau jangan curiga apa-apa. Ia aku punya encie, baru saja aku tolongi bawa ia lari dari rumah keluarga itu!"

   Ketika itu Thio Ciangkui, ayahnya Put-cu, mendusin, ia duduk di atas pembaringannya. Ia nampaknya kuatir, apabila ia ketahui duduknya hal.

   "Tek Hui, hati-hati!"

   Ia kasih tahu.

   "Han Kim Kong tak boleh dibuat permainan! Bawa lari gundik orang pun melanggar undang-undang."

   Mendengar ucapan orang tua itu, Siauw Hong singkap rambutnya yang menutupi matanya.

   "Jangan takut,"

   Ia bilang.

   "Aku adalah saudara dari nyonya Gie-su, aku sanggup lindungi Tek Hui, cuma sekarang belum waktunya. Tek Hui, coba kau pikir, ke mana kita harus pergi. Mereka ini orang-orang dagang, kita tak boleh gerecoki mereka."

   "Aku punya tempat, ialah aku punya piauw-tiam,"

   Tek Hui jawab.

   "Asal aku dapatkan pedangku, aku tak takuti siapa juga!"

   "Tidak, itu bukannya daya,"

   Thio Put-cu bilang.

   "Kau memang pandai mainkan pedangmu, tetapi apa kau kira malam ini mereka akan cari kau? lihat besok! Kalau mereka datang. kau boleh hajar mereka itu, tetapi kalau mereka datang sama orang polisi, bagaimana? Ingat, Han Kim Kong adalah sie-wie! Biar bagaimana, kau bawa minggat isteri orang, kau bersalah." 251

   "Siapa bilang dia ini isterinya!"

   Kata Tek Hui, seraya tunjuk Siauw Hong.

   "Dia ini adalah orang yang dihina, yang dianiaya! Semua gundiknya Han Kim Kong adalah asal rampasan, hingga entahlah berapa banyak orang yang ia telah siksa! Aku bawa lari Siauw Hong untuk tolong padanya!"

   "Bicara pelahan,"

   Kata si nona.

   "Warung ini ada di tepi jalan besar, kalau mereka kebetulan lewat, mereka akan dengar kita."

   Ia lantas menangis, ia susut air matanya.

   "Tek Hui,"

   Ia tambahkan.

   "aku sudah kau tolongi, aku tidak bisa kembali, kembali artinya mati."

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang, sesudah keluar, mana kau bisa kembali,"

   Kata Thio Put-cu.

   "Tek Hui muda dan hatinya baik, inilah kita tahu, tetapi mengenai urusan ini ia tidak bisa berdiam lama di sini. Sebentar pagi, lantas akan datang banyak orang yang hendak belanja."

   "Lebih baik kalau dia pulang ke Bun-tauw-kauw!"

   Thio Ciangkui usulkan.

   "Benarl"

   Tan Moa-cu nyatakan setuju.

   "Tek Hui, bukankah rumah kau adanya di Bun-tauw-kauw? Baik kau ajak si nona ke rumahmu, untuk berdiam buat beberapa bulan. Kau sendiri pun jangan datang- datang ke kota. Bekerja di piauw-tiam mesti saban- saban bertempur, menolongi orang juga mesti bertempur lagi!" 252 Tidak perduli apa yang Tek Hui bilang, Put-cu beramai anggap Siauw Hong sebagai bakal isterinya pemuda ini. Siauw Hong susut air matanya, kepalanya tunduk, kedua bibirnya ditutup rapat. Pada mukanya ada tanda balan bekas pecut, tetapi itu tak melenyapkan kecantikannya. Ia memang masih muda, ia surup buat jadi pasangannya Tek Hui. Sekarang pun ia dandan serba merah, sampai pada sepatunya. Tek Hui diam, ia berduka dan berpikir keras. Ia setuju akan menyingkir ke Bun-tauw-kauw, hanya ia pikir pintu kota telah terkunci semua, bagaimana ia bisa loloskan diri? "Untuk antar Siauw Hong, kita mesti sewa kereta,"

   Kata Tan Moa-cu akhirnya.

   "Kita tidak boleh pakai kereta sini, sebab kusirnya tentu akan lantas kasih kisikan pada Han Kim Kong. Aku punya adik misan yang membawa kereta, yang tinggal di Hap-tat-mui, nanti aku pergi panggil dia. Dia mesti datang dan berangkat sebelumnya terang tanah, dan juga tak boleh ambil jalan dari Ciang-gie-mui, sebab di sana Han Kim Kong tentu pasang orangnya untuk memegat. Kita mesti ambil jalan sedikit jauh, dari Eng-teng-mui di selatan, dari sana baru menuju ke barat, tidak usah sampai jam sepuluh, kau tentu akan sudah lewatkan Louw-kauw-kio."

   Thio Ciangkui akur sama pikiran ini, begitu pun Thio Put- cu, maka Tan Moa-cu lidak tidur lagi, sebagai 253 kawan yang jiatsim ia betuli pakaiannya, ia lantas keluar rumah akan pergi cari saudara misannya itu, guna sewa keretanya.

   Tek Hui kemudian nyatakan ingin pulang dulu ke piauw- tiam, buat ambil uang dan pedangnya, karena itu semua perlu untuk ia guna perjalanannya, guna tempur Han Kim Kong kalau ia sampai dirintangi pula.

   "Baiklah,"

   Thio Put-cu bilang.

   "Tetapi kau mesti lekas pergi dan lekas kembali. Kau harus insaf, di sini ada enso ini, dan Gouw Po beramai yang tinggal di seberang sana kenal kita!"

   "Aku tahu,"

   Kata Tek Hui.

   "aku akan lekas kembali!"

   "Hati-hati, jangan kau kena ditipu mereka,"

   Siauw Hong pesan. Tek Hui geleng kepala, mulutnya bersenyum ewah.

   "Tidak apa, kau jangan kuatir!"

   Ia bilang.

   Kemudian ia bertindak pergi.

   Put-cu ia minta kunci pintu dan padamkan lentera di luar rumah.

   Lalu dengan lewatkan gang-gang ia pergi ke Hoat-lay Piauw-tiam.

   Ia tadinya sangka Han Kim Kong akan susul ia ke piauw-tiam, siapa nyana, ia dapati piauw-tiam sunyi, pintunya dikunci.

   "Rupanya Tong Kim Houw belum ketahui ini,"

   Pikir anak muda ini.

   "Baik aku antar supaya ia tak ketahui sama sekali. Dengan ia tak tahu apa-apa, Han Kim Kong juga akan tak bisa ganggu dia."

   Maka ia tidak ketok pintu, ia enjot tubuh akan loncat naik ke tembok, dari situ loncat turun masuk ke 254 sebelah dalam.

   Ia lihat cahaya api, ia dengar berisiknya suara shui-phoa.

   Dengan hati-hati ia menuju ke kamarnya, yang tidak ada apinya.

   Ketika ia sudah tarik daun pintu, ia lantas bertindak masuk.

   Tiba-tiba ada bayangan hitam berkelebat hingga ia terkejut.

   "Siapa?"

   Ia menegur.

   "Oh, kau baru kembali?"

   Demikian suara jawaban.

   "Mana Go-thay-thay?"

   Tek Hui jadi heran, karena ia kenalkan Hiang Jie.

   "Eh, kenapa kau datang kemari?"

   Ia tanya.

   "Apa orang di sini tak ada yang tahu?"

   "Tidak, tidak ada yang ketahui,"

   Sahut budak itu.

   "Tadi aku telah digaplok dan ditendangi oleh Han Kim Kong, tapi karena mereka repoti kau, aku akhirnya bisa loloskan diri. Aku sangat ketakutan. Selagi aku sembunyi di pinggiran, tiba-tiba ada seorang yang lari padaku, terus aku digendong pergi."

   Tek Hui heran bukan main.

   "Apakah kau tidak kenalkan orang itu?"

   "Tidak. Karena kaget dan takut, aku meram saja. Aku dibawa lari di atas genteng, sekian lamanya, sampai tadi aku dilempar ke dalam pekarangan rumah ini. Orang itu berlalu pula dengan tak kata apa-apa. Dengan pelahan-pelahan baru aku kenalkan piauw- tiam, maka aku masuk ke dalam kamar ini. Aku tak berani nyalahkan api, malah aku tak berani bersuara 255 juga. Aku tunggui kau, baiknya kau pulang! Apa kau berhasil menolong Go-thay-thay?"

   Tek Hui tidak berani berpikir lama.

   "Kau telah ketolongan, bagus,"

   Ia kata.

   "Aku segera akan bawa kau pada Siauw Hong. Jangan kau sebut- sebut lagi Go- thay-thay. Besok aku nanti antar kau keluar kota, ke rumahku."

   Budak itu sesenggukan pelahan.

   "Benar,"

   Ia kata.

   "dengan begini menyatakan kau punya liangsim, bahwa tidak sia-sia kami berlaku baik terhadap kau."

   Tek Hui tidak sahuti budak itu, ia hanya ambil uang simpanannya, juga pedang yang digantung di tembok.

   "Mari,"

   Ia kata kemudian, pada Hiang Jie, yang ia tuntun keluar.

   Tong Kim Houw kedengaran mendehem, shui- phoanya masih berbunyi terus.

   Tek Hui tidak ganggu piauwsu itu, hanya ia lebih perlukan gendong Hiang Jie, buat dibawa keluar dari piauw-tiam.

   Tadinya ia pikir untuk tuntun budak itu, tetapi kapan ia ingat bahwa lari adalah lebih cepat, ia lalu menggendong terus.

   Ia lari baru beberapa tindak, ketika ada suara benda menyamber, sia-sia saja ia berkelit, Hiang Jie ketolongan tapi batu timpah jidatnya yang kanan, hingga ia merasai sakit.

   Ia kaget berbareng murka.

   Hampir saja ia menegur, siapa si penyerang itu.

   256

   "Ini tentu guruku, yang main-main sama aku,"

   Demikian ia pikir kemudian.

   "Orang lain tak ada yang punyai kepandaian sebagai suhu. Dia yang tolong aku di sarangnya Han Kim Kong, tentu dia juga yang tolongi Hiang Jie."

   Lantas ia kata.

   "Suhu, aku tahu kau. Tolong suhu perlihatkan diri kepadaku! Aku mengaku salah, suhu, harap kau maafkan aku."

   Tetapi tidak ada jawaban, sedang hatinya terharu.

   "Lekas!"

   Kata Hiang Jie di samping kupingnya pemuda itu.

   "Kita mesti lekas cari Siauw Hong! Kau bikin apa? Di sini tak ada orang."

   Dengan terpaksa, Tek Hui lari ke arah selatan. Justeru itu, dari jurusan selatan mendatangi serombongan orang. antaranya ada yang bawa lentera besar dan kecil.

   "Tentulah mereka rombongannya Han Kim Kong,"

   Pemuda ini berpikir.

   "Mereka mesti dihajar! Tapi di mana aku mesti tunda Hiang Jie? Suhu ada di sini, ia tidak mau perlihatkan diri, kenapa aku mesti tempur mereka itu? Lebih baik aku tahan sabar, aku pergi pada Siauw Hong. Mereka ini tentu mau cari Tong Kim Houw."

   Oleh karena ini, ia lalu loncat naik ke atas genteng, buat berlari-lari di situ, hingga Hiang Jie ketakutan.

   Rembulan malam itu agak guram, di jalan tidak ada orang lain, cuma rombongan itu yang kasih dengar gerutuan.

   257 Cepat sekali Tek Hui sudah sampai di warung, di mana Hiang Jie ia turunkan.

   Ia segera mengetok pintu, yang baru dibuka sesudah Thio Put-cu menanya dengan melit siapa itu di luar.

   "Lekas, lekas masuk!'' kata tuan rumah begitu lekas pintu dipentang.

   "Apakah kau tidak lihat di Thian-tay Piauw-tiam di sana - begitu banyak orang, begitu berisik, semua pada pasang lentera! Lekas masuk!"

   Tek Hui bertindak masuk sambil tuntun si budak perempuan.

   "Eh, eh, siapa ini?"

   Tanya Put-cu setelah ia kunci pintu. Tapi Tek Hui tidak jawab perlanyaan itu, ia terus masuk ke dalam dengan masih tuntun si nona, sampai mereka berada di dalam. Siauw Hong dan budaknya lantas saja saling rangkul dan menangis.

   "Bagaimana, eh?"

   Tanya Put-cu, yang menyusul masuk.

   "Sudah satu, sekarang jadi dua. Sudah punya isteri, lantas kau tambah anak pungut."

   "Jangan bingung,"

   Tek Hui bilang.

   "Ia bukan anak angkat, hanya budaknya, yang ditolong oleh orang lain dan dibawa padaku, hingga aku mesti ajak ia kemari."

   "Pelahan, pelahan, bicara pelahan."

   Kata Thio Ciangkui.

   "Dia sudah datang kemari, biar saja, sendiri atau berdua mereka toh akan naik kereta. Hanya kau, 258 Tek Hui, sahabatku, bagaimana dengan kau nanti? Ingat, mereka ada dua mulut."

   "Tidak apa,"

   Tek Hui manggut.

   "Pamanku telah peroleh banyak uang dari aku, ia tentu belum hamburkan habis uang itu. Aku sendiri pun bawa uang."

   La keluarkan uangnya serta beberapa potong emas, diserahkan pada Siauw Hong.

   "Tolong kau simpan ini,"

   Ia kata. Nona itu menolak.

   "Lebih baik kau yang pegang sendiri."

   Ia bilang.

   "Kalau aku yang pegang, aku kuatir hilang. Semua perhiasanku tak kena terbawa, ada sedikit uangku aku titipkan pada kedua encie angkatku, maka nanti saja, pelahan-pelahan kita berdaya untuk minta kembali."

   "Tidak usah,"

   Tek Hui mencegah.

   "toh uang itu uang tak halal dari Han Kim Kong! Di piauw-tiam masih ada uangku, aku pun tidak pikir untuk ambil itu. Tong Kim Houw baik, ia sekarang bisa kerembet- rembet, maka biarlah ia pakai uangku itu. Dengan andali kepandaianku, aku nanti cari uang pula. Sekarang ini suhu sudah kembali, orang yang tolongi Hiang Jie mesti ia adanya."

   "Kau masih sebut-sebut gurumu?"

   Kata Siauw Hong.

   "Dia sudah dibikin mati karena jengkel oleh Han Kim Kong! Kau dibenci justeru karena gurumu itu. Aku dengar sendiri, bagaimana Han Kim Kong bersekongkol sama Gouw Po untuk bikin celaka 259 gurumu dan kau juga. Kau tahu, Han Kim Kong sebenarnya taruh harapan padamu, supaya ia bisa nikahkan adik perempuannya, yang tak ada yang sudi, kepada kau, supaya kemudian kau bisa bantu ia mengganas, tapi kau menampik, maka kau dibenci, dimusuhi!"

   Tek Hui mendongkol bukan main, ia tertawa dingin.

   "Han Kim Kong belum kenal Lauw Tek Hui!"

   Ia kata dengan sengit.

   "Sekali pun Louw Po Go dari Thio-kee- kauw aku masih tak penuju, apapula adiknya!"

   "Siapa itu Louw Po Go?"

   Siauw Hong menanya.

   "Apakah dia cantik?"

   Hiang Jie turut menanya.

   "Sudah, jangan perdulikan dia!"

   Tek Hui geleng kepala.

   "Dia tinggal di tempat yang jauh! Kita masih bicarakan urusan kita."

   "Kita toh berangkat dengan naik kereta?"

   Tanya si nona.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar. Tapi siapa tahu kalau kita dipegat?"

   "Masa bodo!"

   Kata si nona dengan sengit.

   "Biar aku mesti binasa, aku tak nanti mau ikut pula padanya!"

   "Aku juga tak sudi kembali!"

   Kata Hiang Jie.

   "Untuk selamanya aku hendak turut Go......."

   Ia ubah perkataannya.

   "Aku akan terus ikuti kau.........!"

   "Bagus!"

   Kata Tek Hui.

   "Dengan pedangku ini, aku sanggup tolong loloskan kau semua!"

   "Ah, kau omong dengan suara keras!"

   Thio Ciangkui peringati.

   "Nanti orang dengar suara kita." 260 Kemudian ia menoleh pada Thio Put-cu, anaknya.

   "Pergi kau keluar. Kau kasih bangun pada Phang Toa dan pembantu kita. Kita mesti bekerja, supaya piauw- tiam di depan lihat kita lagi bekerja dan tak curiga."

   Pikiran itu benar, maka Put-cu banguni Phang Toa dan pembantunya, buat diajak keluar dari kamar untuk terus bekerja.

   Hiang Jie lantas rebahkan diri di pembaringan, Siauw Hong masih numprah, Tek Hui tetap berdiri di depannya.

   Nona ini awasi anak muda itu.

   Ia sudah rapikan rambutnya, hingga kelihatan mukanya yang manis, meski pun adanya tanda balan.

   Ia mirip dengan nona pengantin.

   Dengan pelahan Siauw Hong ulur tangannya, akan cekal tangannya si anak muda.

   "Encie, kau tidurlah,"

   Kata Tek Hui, seraya menyingkir.

   "Pergi kau mengaso, sebentar kita mesti lakukan perjalanan."

   "Kenapa sampai sekarang ini kau masih saja panggil aku encie?"

   Kata si nona.

   "Kau jangan berbuat begitu, nanti orang tertawai kita."

   "Tidak, encie,"

   Tek Hui kata.

   "Aku berlaku jujur, taruh kata suhu ketahui, ia tak akan gusari aku."

   Pemuda ini pakai ikat pinggang dari si nona, hingga kelihatan pinggangnya yang ceklng, dadanya yang lebar, romannya gagah.

   Siauw Hong memandang sebentar, ia menghela napas.

   Justeru itu, ia dengar orang ketok pintu, hingga 261 ia terperanjat, sedang Tek Hui segera siap dengan pedangnya.

   Tapi yang muncul adalah Tan Moa-cu, dengan kabarnya.

   "Kereta sudah didapatkan, sebentar sebelum terang tanah ia akan datang kemari, pasti!"

   Tek Hui manggut. Tan Moa-cu lihat Hiang Jie, yang lagi rebah.

   "Siapa dia itu?"

   Ia tanya.

   Sebelumnya Tek Hui menyahut, Thio Put-cu sudah tarik kawannya itu, maka berdua mereka pergi keluar akan lanjuti pekerjaan mereka membikin kuwe.

   Mereka begitu repot, rupanya ini yang menyebabkan pihak Thian-tay Piauw-tiam tak curigai mereka.

   Atau pihak Han Kim Kong menduga keliru.

   Ialah mereka anggap Tek Hui tidak begitu bodoh akan bawa Siauw hong sembunyi ke warung itu.

   Tan Moa-cu bekerja sambil terus pasang mata keluar, dari itu ia bisa lihat pintu piauw-tiam dikunci dan dari dalam situ tidak tertampak cahaya api.

   Di jalan besar juga masih belum kelihatan orang berlalu lintas.

   Maka akhirnya dengan tabah ia bawakan kuwe buat Tek Hui dan Siauw Hong, begitu pun buat Hiang Jie, yang bangun dari tidurnya.

   Selanjutnya mereka tunggui kereta, yang datang pada jam yang dijanjikan.

   Kedua pihak ambil selamat tinggal.

   Siauw Hong duduk di dalam bersama Hiang Jie, Tek Hui pun mendesak di antaranya, pedangnya diletaki di sampingnya.

   Jendela kereta ditutup rapat.

   262

   "Siauw Lauw, sampai ketemu pula!"

   Kata Tan Moa- cu sambil tertawa.

   "Kionghie!"

   Tek Hui tidak menyahuti, karena kereta sudah lantas dikasih jalan, cambuk berbunyi diantar suaranya roda-roda.

   Sang kuda lari menurut kehendaknya si tukang kereta, tetapi larinya pelahan.

   Bintang tidak sedikit, tetapi sang Puteri Malam guram.

   Tatkala kereta sampai di Eng-teng-mui, bintang dan rembulan sirna, karena waktu itu fajar sudah menyingsing.

   Di situ pun ada beberapa kereta lain, yang berjalan keluar kota, maka keretanya Tek Hui bisa bercampuran.

   Begitu lekas berada di luar kota, si tukang kereta menuju ke arah Barat, mengikuti tembok kota.

   Baru sekarang semua menghela napas lega.

   "Han Kim Kong tak usah dijerihkan lagi!"

   Kata Tek Hui, yang melongok dari jendela kereta.

   Air mukanya Siauw Hong dan Hiang Jie pun terang.

   Sekarang Tek Hui bisa pikirkan, siapa yang sudah bantui ia tadi malam, tetapi percuma saja, ia tak mampu menduga-duga siapa penolong tak dikenal itu.

   Ia tetap menduga gurunya.

   Maka juga ia pikir, setelah titipkan Siauw Hong berdua, ia niat lekas kembali ke kota akan cari gurunya itu.

   "Lekasan sedikit!"

   Ia kata pada kusir.

   Sekarang mereka telah berada di tembok selatan dari kota.

   Mereka seharusnya menuju ke utara, jalan di jalanan batu, langsung ke Barat, tetapi untuk 263 menyingkir dari rintangan Han Kim Kong, mereka ambil jalanan lain, yang tidak rata, hingga kereta bergoncang-goncang hebat sekali, sampai Hiang Jie tertawa dan menjerit berulang-ulang dengan berbareng.

   "Eh, kau gila?"

   Siauw Hong menegur sambil mencubit.

   "Aku girang, karena kita sudah lolos,"

   Sahut budak itu.

   Tetapi Siauw Hong segera susut matanya, dari mana keluar air yang suci.

   Ia ingat pengalamannya, sejak ia diambil oleh Han Kim Kong, dipaksa menjadi gundik.

   Ia dapat makan dan pakai cukup, pakaiannya reboh, budak-pelayan selalu sedia, tetapi kesenangan bathin tidak ada, malah kemudian ia saban-saban mesti ngalami siksaan.

   Baru sekarang ia bisa lolos, tetapi masih belum tentu bagaimana akhirnya.

   "Lekas, lekas!"

   Tek Hui masih saja desak tukang kereta.

   Ia perhatikan jalanan.

   Ia kembali berada di jalanan batu yang rata, ialah jalanan untuk ke Thio-kee-kauw.

   Di sini banyak kereta lainnya, yang pergi dan datang.

   Di sini pun tukang kereta anggap jendela mesti ditutup rapat.

   "Tidak, aku ingin dapat hawa segar,"

   Tek Hui bilang.

   "Lebih baik ditutup, di sini aku tidak ingin ketemu orang yang kenal aku,"

   Siauw Hong kasih tahu.

   264 Sebagai pemecahan, Tek Hui antap Siauw Hong dan Hiang Jie berada di dalam, ia pindah keluar.

   Hawa udara panas sekali.

   Di jalanan batu, roda-roda kereta kasih dengar suaranya yang ramai, yang kemudian disusul sama suara congklangnya kuda di sebelah belakang.

   Apakah ada orang yang kejar mereka? Tek Hui menoleh dengan segera, maka ia lantas dapat lihat dua penunggang kuda lagi lari mendatangi, hingga ia bisa kenalkan mereka sebagai Siang-kan Leng-koan Tan Hong dan Say-uy-tiong Ma Hong, ialah orang-orangnya Gouw Po.

   "Hm!"

   Tek Hui perdengarkan suara di hidung. Cepat sekali, kedua penunggang kuda sudah lewat, nerobos dari timur ke barat. Mereka tidak lihat atau perhatikan keretanya Tek Hui serta penumpangnya.

   "Lekas!"

   Kata Tek Hui, yang merasa heran orang tidak lihat ia.

   Ia tidak takut, tetapi ia sungkan hadapkan pertanggungan jawab di tempat itu.

   Empat kaki kuda berketoprakan terus, roda-roda tetap menggelinding dengan suaranya yang riuh.

   Baru melalui dua lie, dari sebelah belakang kembali terdengar suara kaki kuda - ini kali pun tertampak dua penunggang, ialah Thay-swee-too Han Pa dan Kian-mo Say-cu Ciu Toa Cay.

   Menampak Han Pa, Tek Hui tidak menaruh perhatian, tetapi melihat Ciu Toa Cay, darahnya mendidih dengan lantas.

   265

   "Hm, itu binatang!"

   Pikir ia. Sebentar kemudian, Ciu Toa Cay sudah hampir menyusul. Ia lihat anak muda kita, ia segera berseru.

   "Tek Hui, keponakanku, tahan sebentar keretamu!"

   Tek Hui menoleh, ia mengawasi dengan mata merah bahna mendongkol.

   "Hiantit,"

   Kata pula Ciu Toa Cay.

   "dengan memandang mukaku, tolong kau kembali ke kota! Dalam perkara tadi malam, mereka ada di pihak yang salah, maka itu aku telah kasih tahu mereka, supaya mereka haturkan maaf pada kau! Cuma kau harus kembalikan orang punya Go-ie Thay-thay serta budak perempuannya. Kau tahu, mengenai ini, mukanya Han Kim Kong menjadi guram, dan namamu juga jadi kurang mentereng, malah kau pun cemarkan namanya gurumu."

   "Apa kau bilang?"

   Tek Hui tegaskan, kendati ia telah mendengar nyata. Sembari kata begitu, ia telah tarik keluar pedangnya, hingga Toa Cay menjadi jerih dan mundur.

   "Perbuatan kau tidak terlalu terhormat, hiantit!"

   Kata pula Toa Cay.

   "Laginya, kau pun tidak mampu singkirkan diri!"

   "Bagus perbuatan kau!"

   Tek Hui menegur.

   "Kau telah pedayakan aku, hingga aku kepancing masuk ke dalam rumahnya Han Kim Kong, di mana kau hendak 266 bikin celaka aku! Dan sekarang kau bujuki aku kembali ke kota, untuk aniaya aku! Hm!"

   "Sabar, hiantit."

   "Tidak! Orang yang aku tolongi adalah encieku serta budaknya! Bagaimana kau berani ngaco belo? Aku nanti hajar kau!"

   Waktu itu Thay-swee-too Han Pa telah hunus goloknya. Tek Hui mau loncat turun, tetapi Siauw Hong betot bajunya.

   "Jangan, jangan,"

   Ia mencegah.

   "Di sini jalanan umum, jangan berkelahi!"

   Tek Hui bisa tahan sabar.

   "Lekas!"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia perintah pula kusir.

   Kapan kereta kabur, kedua penunggang kuda pun mengejar, hanya makin lama mereka ketinggalan makin jauh, seperti juga kuda kalah keras larinya sama kuda.

   Si tukang kereta merasa pasti bahwa keangkerannya Tek Hui bikin dua penunggang kuda itu jerih, ia lantas saja mengutuk mereka itu.

   Kuda lari terus, lebih banyak keras daripada pelahan, ia telah mandi keringat.

   Sebentar kemudlan, di sebelah depan tertampak air mengalir.

   Itu adalah sungai Eng Teng Hoo, di atas mana melintang jembatan batu yang besar, ialah jembatan yang dinamai Louw-kauw-kio atau Jembatan Marco Polo.

   Ini adalah salah satu tempat terkenal dari 267 Pak-khia, yang dinamakan 'Louw-kauw Siauw Goat' atau 'Rembulan fajar dari Louw-kauw-kio.*** 268 X Duluan, di waktu ia masih menjual arang, sehari dua kali tentu Tek Hui lewat di jalanan ini tetapi pada saat itu, selagi hawa panas terik, ia tidak lihat seekor onta juga, melainkan singa-singaan di loneng, yang beda satu dari lain, tetap berada di tempatnya.

   Menggelinding di atas jembatan, roda-roda kereta kuda menerbitkan suara jauh terlebih nyaring daripada biasanya.

   Belum sampai di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba di situ muncul beberapa orang, yang semua bersenjata, yang memegat jalannya kereta itu.

   "Tahan! demikian seruan beberapa orang.

   "Lauw Tek Hui, binatang, kau hendak buron dengan orang- orang culikanmu?"

   Tek Hui tidak menjadi terperanjat atau jerih sekali pun ia segera kenalkan orang-orang yang memegat ia, ialah Tan Hong, Ma Hong, Thong Loo-thayswee dan Giam-pit-ong Toa Lo Tay.

   Begitu pun seorang lain tubuh siapa kate dampak dan kumisnya ubanan, tangannya mencekal sebatang poan-koan-pit yang ujung tajamnya lebih panjang, hingga ia bisa duga orang tua itu mesti Kwee-seng-pit Lauw Lo Liong atau ayahnya Lo Tay dan Lo Cong.

   Rupanya orang tua itu baru sampai dan rupanya ia bisa menduga-duga, maka di jembatan itu mereka menantikan.

   269 Jembatan lebar, tetapi di kiri dan kanannya ada air, di depan dipegat, di belakang dikejar oleh Ciu Toa Cay dan Han Pa.

   Thong Loo-thayswee mengancam ketika ia hajar jembatan dengan toyanya yang besar, syukur jembatan itu tangguh, sang toya tak mampu membikin gempur, melainkan menerbitkan suara menulikan kuping saja.

   Tapi ia terus kasih dengar suaranya yang nyaring.

   "Lauw Tek Hui! Sampai usiaku begini tinggi, baru ini kali aku lihat orang muda dengan tingkah jumawa sebagai kau! Bagaimana besar nyalimu, bagaimana sewenang-wenang kau! Bagaimana kau berani rampas isteri orang dari rumahnya sendiri? Kau makhluk apa? Aku nanti hajar kau sampai dagingmu hancur lebur!"

   Lauw Lo Liong pun bersenyum sindir, ketika ia kata.

   "Aku tadinya sangka Lauw Tek Hui berkepala tiga dan bertangan enam, kiranya ia satu bocah macam begini saja, yang rambut susunya maslh belum rontok! Sungguh kedatanganku ini tak berharga sekali! Siapa tahu orang yang melukai anakku di Ma Put-cu Nia hanya bocah cilik ini! Eh, bocah, hayo kau turun dari keretamu! Lekas kau tekuk lutut di atas jembatan ini, lantas kau paserahkan orang empunya Thay-thay, nanti aku si orang tua tak kehendaki jiwa kau!"

   Kereta kuda sudah dikasih berhenti, tetapi untuk menjadi pelindung dari Siauw Hong, Tek Hui belum mau loncat turun.

   Ia pun bisa berlaku sabar, meski 270 dua orang itu telah menghina ia.

   Sambil cekal pedangnya, ia rangkap kedua tangannya menghadapi kedua jago tua itu.

   "Jle-wie Loo-enghiong, jangan kau orang dengari ocehannya orang luar!"

   Ia kata.

   "Apakah kekuasaannya Han Kim Kong, maka ia berani rampas anak-gadis orang, untuk dipaksa menjadi gundiknya, malah di rumahnya ia menganiaya anak gadis itu! Aku datang justeru untuk membela keadilan, akan tolongi Siauw Hong. Dia orang baik-baik, dia adalah encieku!"

   Thong Loo-thayswee gusar, hingga ia angkat toyanya.

   "Apa kau bilang?"

   Ia membentak.

   "Siapa bisa terkena ocehan kau ini? Siapa mau percaya obrolanmu? Lekas! Lekas kau turun dan lemparkan pedangmu, nanti aku kasih ampun, jikalau tidak, aku nanti hajar kau bersama-sama keretamu!"

   Tek Hui mendongkol bukan main, rambutnya seakan-akan berdiri, lalu tangannya diayun akan tabas orang tua itu.

   Cepat sekali.

   Thong Loo-thayswee angkat toyanya menangkis.

   Di pihak lain, dari samping Lauw Lo Liong telah geraki sepasang Poan-koan-pit akan menyerang.

   Dengan satu gerakan langsung, Tek Hui gunai pedangnya akan sampok senjata musuh yang belakangan ini hingga terdengar suara beradunya senjata yang nyaring sekali, setelah mana ujung pedang diteruskan akan dimampirkan pada dadanya 271 jago tua she Thong, sampai dia ini terpaksa mundur sedikit.

   Menyusul gerakan ayahnya, Lo Tay pun maju menerjang anak muda itu, yang jadi kena dikerubuti, tetapi dengan tangkisan yang bengis Tek Hui bikin penyerang ini pun segera mundur pula.

   Menyebalkan bagi Tek Hui adalah Ciu Toa Cay, dengan ajak Tan Hong dan Ma Hong, ia hampirkan kereta akan singkap tenda, dengan niatan keluar dan turun pada Siauw Hong, hingga di dalam keretanya, nona itu mesti menjerit-jerit.

   Dalam sengitnya, Tek Hui putar tubuhnya mengikuti sabetan pedangnya terhadap orang she Ciu itu serta kawan- kawannya.

   Ia berlaku sangat sebat dan memakai tenaga juga, untuk lampiaskan kemendongkolannya.

   Ciu Toa Cay bertiga menggunai senjata, tetapi mereka tidak sanggup pertahankan diri terhadap pedangnya si anak muda.

   Toa Cay menjerit dan rubuh, begitu pun Ma Hong, sedang Tan Hong keburu lompat mundur.

   Lauw Lo Liong menjadi panas, ia maju pula dengan serangannya, dan Thong Loo-thayswee gunai toyanya akan serampang kaki orang.

   Tek Hui telah unjuk kegesitannya, ia telah lakukan dua rupa gerakan dengan berbareng akan selamatkan diri dari dua serangan berbareng itu.

   Ialah ia putar pedangnya akan singkirkan poan-koan-pit, dan ia 272 loncat turun akan kelit toya, berbareng dengan mana ia berseru.

   "Kusir, lekas, lekas berangkat!"

   Dan si kusir, keponakannya Tan Moa-cu, yang cerdik, telah kasih dengar suara menjeter dari cambuknya, akan bikin kudanya geraki empat kakinya tarik kereta dan kabur.

   Lo Tay berseru minta ayahnya dan Thong Loo- thayswee kepung, ia sendiri dengan ajak Tan Hong segera lari akan susul kereta.

   Gerakan mereka berdua gesit sekali, baru tiga tindak mereka sudah dapat candak kereta, hingga mereka bisa geraki senjatanya masing-masing akan serang kereta itu - dengan tak perdulikan di dalamnya ada orang-orang perempuan.

   Dalam saat yang sangat berbahaya itu bagi Siauw Hong, tiba-tiba Lo Tay keluarkan jeritan hebat dibarengi sama terlepasnya ia punya senjata poan- koan-pit dan tubuhnya rubuh lerguling dan darah mengucur keluar.

   Sebab sebatang piauw telah lukai ia.

   Tan Hong juga turut contoh kawannya itu, karena sebatang piauw lain nancap di pahanya, hingga ia mesti terguling juga dan rebah di tanah.

   Dengan begitu, dengan suaranya yang berisik kereta bisa kabur terus.

   Lauw Tek Hui telah mesti layani dua jago tua, yang rangsek ia dengan hebat, meski demikian ia toh bisa saksikan kejadian di tempat lain itu, yang bikin ia terperanjat dan heran.

   Maka sambil berkelahi terus, ia segera dapat kenyataan dari jurusan timur 273 mendatangi satu penunggang kuda kecil dan hitam, dan penunggang itu - seorang perempuan - adalah si pelepas piauw.

   Dan orang perempuan itu, apabila ia ayun pula tangannya, ia bikin Thong Loo-thayswee berkaok seraya lepaskan toyanya dan tubuhnya rebah juga! Lekas sekali, nona itu sudah datang dekat, hingga ia bisa loncat turun dari kudanya, akan putar goloknya terjang Lauw Lo Liong.

   "Lauw Tek Hui, lekas pergi!"

   Nona itu berseru. Tek Hui terkejut akan kenalkan penolong itu, ialah Louw Po Go.

   "Heran!"

   Pikir ia.

   "Dari Thio-kee-kauw, kenapa sekarang ia ada di sini?"

   Selagi anak muda ini berpikir, nona Louw di pihak lain sudah bikin Lo Liong rubuh dengan sebatang piauw lainnya, hingga jago tua itu mesti rebah.

   "Tek Hui, masih kau tidak mau lekas pergi!"

   Menegur si nona.

   "Makhluk tolol! Han Kim Kong masih punya banyak orang, lekas juga mereka akan datang kemari!"

   Tek Hui simpan pedangnya.

   "Nona Louw, bagaimana dengan kau?"

   Ia tanya. Tiba-tiba nona itu tertawa, air mukanya manis, kendati kulitnya hitam, sedang pinggangnya langsing, laksana batang yang-liu. Ia berpakaian ringkas, kedua 274 tangannya mengepal piauw dan menyekal pedang, hingga sikapnya menjadi gagah.

   "Lekas pergi, lekas!"

   Kata pula si nona.

   "Lekas kau lindungi encie dan adik kau! Kalau Han Kim Kong datang, kau jangan buat kuatir, ada aku!"

   Tek Hui malu berbareng bersyukur, ia sampai tak tahu mesti ucapkan apa, maka ia putar tubuhnya ke Barat, ia buka tindakan lebar, akan kejar keretanya Siauw Hong.

   Ia dapat menyandak dengan lekas, karena dengan lenyapnya bahaya, keponakannya Tan Moa-cu tidak lagi bedal kudanya.

   "Lekas, lekas!"

   Kata Tek Hui setelah ia loncat naik ke atas kereta.

   Sebentar saja, kereta sudah lintaskan jembatan.

   Di situ ada beberapa kereta lain, tetapi semua menyingkir, akan kasih lewat pada kereta kuda ini.

   Semua mata mengawasi anak muda itu, karena tadi ia sudah lakukan pertempuran hebat, yang bikin orang menonton dengan hati kebat-kebit.

   Tidak ada seorang juga, yang berani datang sama tengah selagi pertempuran berjalan.

   Mereka juga memangnya tidak mau usilan.

   Kuda kabur terus, ia tak dapat ditahan andaikata si pengendara hendak berhentikan padanya, hanya setelah kabur dua lie lebih, baru ia lari pelahan sendirinya.

   Tek Hui menoloh ke belakang, ke jembatan.

   Di sana ia tak dapat lihat Louw Po Go.

   275

   "Nona itu mengagumkan,"

   Pikir Tek Hui, yang kemball ingat, bahwa ia mesti berterima kasih pada nona itu.

   Sebab tadi, dengan tak ada si nona, yang piauwnya liehay, ia benar-benar menghadapi bencana.

   Ia boleh tidak takuti musuh, tetapi apa ia bisa bikin, kalau kedua jago tua kepung ia dan Ciu Toa Cay rampas Siauw Hong? "Ia tinggal di Thio-kee-kauw, kenapa ia sekarang berada di sini? Apa ia datang sengaja untuk bantu aku? Ia benar baik terhadap aku.

   Ia benar berkepandaian tinggi.

   Bagaimana dengan beberapa korban itu, yang terluka parah dan mesti mendapang di atas jembatan? Apakah perkara bisa habis dengan begini saja? Po Go bantu aku, tetapi aku kabur! Inilah hebat.

   Kalau Han Kim Kong dan pembesar negeri tak dapat cari si nona, mereka tentu akan rembet-rembet Louw Thian Hiong.

   Jikalah mereka terbawa-bawa, apa aku boleh diam saja?"

   Kendati begitu, di saat itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

   "Biarlah,"

   Akhirnya ia ambil putusan.

   "biar sekarang aku pernahkan Siauw Hong dahulu, kemudian aku kembali ke kota, akan cari Po Go, untuk haturkan terima kasih padanya."

   Ketika itu Siauw Hong melongok keluar.

   "Bagaimana?"

   Tanya nona ini.

   "Tadi kau dapat bantuan slapa, maka kau bisa loloskan diri dari kepungan?" 276

   "Seorang perempuan, yang liehay sekali,"

   Kata si kusir selagi Tek Hui belum sempat menjawab.

   "Apa? Seorang perempuan?"

   Si nona tegaskan.

   "Siapa dia?"

   "Satu piauwsu perempuan,"

   Tek Hui jawab, dengan ringkas.

   Ia malu akan tuturkan hal Po Go, si hitam.

   Toh nona itu tidak terlalu hitam, bila dibandingi sama ia, waktu mukanya setiap hari penuh mehongan arang.

   Ia pun tidak berani sebut-sebut si nona Louw, di tangan siapa berada kim-jie-ie dari Siauw Hong.

   Apa kata si nona ini, kalau dia tahu tanda-matanya berada pada si nona she Louw itu? Biasanya orang perempuan berpikiran pendek atau cupat.

   "Aku telah tolong Siauw Hong, ini berarti yang budinya aku telah balas,"

   Tek Hui lalu ngelamun.

   "Budinya Po Go, aku akan balas belakangan. Aku tidak boleh berhutang budi daripadanya. Kenapa Po Go tahu Siauw Hong encieku dan Hiang Jie ia sebut adikku?"

   Sementara itu, kereta jalan terus dengan ayal- ayalan, sampai matahari mulai doyong di barat, baru mereka sampai di Bun-tauw-kauw.

   Di sini Tek Hui merasa sedikit asing.

   Semua onta pun telah dibawa pergi ke daerah dingin, sedang ontanya Lauw Toa Put- cu tidak ada barang seekor jua.

   Rumahnya pun telah berubah, sebagaimana ia lihat ketika ia sampai di depan pintu.

   Rumah itu sudah butut.

   277 Dengan minta kereta dikasih berhenti, Tek Hui letaki pedangnya di atas kereta itu, ia sendiri loncat turun, akan hampirkan pintu pekarangan, akan masuk ke dalam.

   Ia segera lihat Ouw Toaso, tetangganya, yang sekarang sudah ubanan, sedang anaknya tetangga itu, yang lebih muda dua tahun daripada ia, sekarang pun sudah besar.

   "Oh, Tek Hui!"

   Menegur tetangga itu.

   "Kau pulang?"

   "Ya,"

   Sahut anak muda ini yang tak sempat layani tetangganya itu, begitu pun beberapa tetangga lain, yang baru muncul.

   Waktu itu Hiang Jie telah turun dari kereta, akan pimpin Thay-thaynya, bersama siapa ia bertindak ke rumahnya Lauw Toa Put-cu, hingga pamannya Tek Hui dan Ouw Toaso menjadi heran.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Eh, apa itu isterinya Tek Hui?"

   Kata beberapa tetangga, yang menghampirkan. Siauw Hong mesti unjuk hormat pada sekalian tetangga itu, hingga ia mirip dengan isterinya si anak muda. Sebegitu jauh Tek Hui bungkam, karena terhadap sekalian tetangga itu ia tak bisa bilang.

   "Inilah encieku."

   Semua orang tahu ia tidak punya encie. Dan isteri? Isteri pun ia belum punya.

   "Aku antarkan mereka akan tinggal di sini,"

   Akhirnya ia kata, dengan tak lancar. 278 Kamarnya Lauw Toa Put-cu cuma satu dan juga kecil dan kotor.

   "Ajak saja ke rumahku!"

   Kata Ouw Toaso yang baik budi.

   "Engko kau kebetulan tidak ada di rumah, kamarnya boleh dibersihkan, untuk kau tinggali."

   Tek Hui samperi kusir, buat minta dia itu nginap sama ia, karena keponakannya Tan Moa-cu tidak keburu akan kembali hari itu juga. Ouw Toaso benar-benar ajak Siauw Hong dan Hiang Jie pergi ke rumahnya, beberapa tetangga turut masuk.

   "Nona itu tak ada celaannya,"

   Beberapa antaranya saling berbisik.

   "Bagaimana Tek Hui bisa dapati ia? Ia pun bawa-bawa budak pelayan."

   "Aku tidak dengar kau menikah, bagaimana datang-datang kau bisa bawa isteri?"

   Tanya sang paman pada keponakannya.

   "Nanti saja aku kasih keterangan,"

   Sahut Tek Hui dengan pelahan, seraya goyangi tangan. Tentu saja jawaban ini bikin orang heran. Siauw Hong likat, ia diam saja. Lauw Toa Put-cu jadi curiga berbareng kuatir.

   "Hati-hati, Tek Hui,"

   Ia kata.

   "Dari mana kau dapatkan isterimu ini? Jangan kau terbitkan onar di sini." 279

   "Tidak, tidak apa-apa,"

   Nyeletuk keponakannya Tan Moa- cu, si kusir, dari jendela.

   "Aku tahu, tadi malam mereka menikah di warung kuwe."

   "Di warungnya Thio Put-cu?"

   Toa Put-cu tegaskan.

   "Ya,"

   Sahut si kusir.

   "Comblangnya adalah engko misanku. Tan Moa-cu. Nona kemantin tak punya sanak-saudara lagi, ia keponakannya enso misanku."

   Kusir itu cerdik, rupanya ia segera duga duduknya perkara, maka untuk bantu Tek Hui, ia coba tetapkan hatinya si tukang arang tua. Tapi orang justeru percaya, maka lantas orang kasih selamat pada Lauw Toa Put-cu.

   "Bagus, kau telah punya nyonya mantu!"

   Berseru mereka, sedang pada Tek Hui, mereka bilang.

   "Kau harus undang kita minum arak kegirangan!"

   Mau atau tidak, Tek Hui mesti tertawa.

   "Aku sudah lapar,"

   Kemudian ia kata.

   "Di sini ada uang, siapa sudi tolong aku belikan barang makanan?"

   Ia keluarkan sepotong perak.

   "Orang bilang, kau menjadi piauwsu dan beruntung, rupanya pembilangan itu benar adanya,"

   Kata Ouw Toaso.

   "Tapi kami, apakah kau lupakan kami? Di sini, di mana ada warung nasi? Warung kuwe pun tidak! Maka nanti aku tolongi kau masak nasi!"

   "Jangan, Toaso,"

   Mencegah Siauw Hong.

   "Baru saja kami sampai, lantas kami bikin kau repot! Biar aku yang masak sendiri." 280

   "Tidak, nona, tidak!"

   Toaso menolak.

   "Turut aturan di desa kita ini, nona kemantin tidak boleh masak nasi. Biarkan aku saja."

   Selagi Siauw Hong coba mencegah, satu tetangga telah nyalahkan api, maka sekarang kelihatan nyata balan di pipinya, sedang tadinya orang sangka itu pulasan yancie.

   Lantas saja orang menjadi heran.

   Tapi Siauw Hong tidak perdulikan itu, ia pergi ke dapur, dan Hlang Jie lantas tuang air ke dalam kwali.

   Paling dulu mereka masak air akan seduh daun thee, daunnya mereka pinjam dari tetangga, hingga karena itu makin banyak tetangga yang datang untuk tontoni isterinya Tek Hui.

   "Al, Isterinya Tek Hui benar cantik! Ia berani main di dapur, boleh jadi tadinya ia merasai hidup kecil,"

   Demikian kata beberapa orang.

   "Ah, sudah, jangan omong saja! Mari kita bantu urus kamar! Mereka baru sampai, malam ini mereka mesti beristirahat,"

   Demikian yang lain-lain lagi.

   Begitulah orang bantui Ouw Toaso benahkan kamar.

   Siauw Hong dan budaknya antap orang banyak itu, mereka lebih perlukan masak, sedang Tek Hui lantas bercokol menghadapi thee panas, sembari minum, pikirannya melayang pada Po Go, si nona aneh, kepandaian siapa ia kagumi.

   281

   "Inilah sukar,"

   Kata ia dalam hatinya.

   Di sini orang sudah atau amproki ia sama Siauw Hong, di sana Po Go agaknya mendesak ia, dengan jalan melepas budi.

   Ia pikir, ia toh akan bermalam semalam saja dan besok pagi ia akan pergi ke kota.

   Tidak lama, Ouw Toako, ialah putera sulung dari Ouw Toaso, pulang.

   Ia hidup sebagai tukang sewakan keledai, maka itu, setiap hari, beberapa kali ia mesti lewat di Louw-kouw-kio.

   "Hari ini terbit kejadian hebat di jembatan!"

   Kata ia, begitu lekas ia bertindak masuk.

   "Satu piauwsu perempuan telah gunai piauw, dengan apa ia binasakan dan lukakan beberapa orang, kabarnya kebanyakan piauwsu dari dalam kota. Sayang aku tidak saksikan sendiri kejadian itu."

   Kabar ini telah menjadi bahan omongan.

   "Seorang perempuan begitu liehay, ia mestinya iblis,"

   Kata Ouw Toaso. Siauw Hong dan budaknya dengar itu, mereka diam saja. Si kusir pun bungkam, sebagaimana pun Tek Hui.

   "Tek Hui, itulah bagus yang kau pulang bersama isterimu,"

   Kata Ouw Toaso kemudian.

   "Di kota, semua piauwsu bukannya orang baik-baik, bisanya mereka cuma angkat senjata dan berkelahi. Kemarin dulu pun ada orang datang kemari mencari kau, buat minta kau lekas pergi ke piauw-tiam. Jangan kata memangnya kau tak ada di rumah, taruh kata ada, aku pun akan 282 justakan orang itu! Aku tahu, kalau orang piauw-tiam cari kau, tentu dengan maksud tak baik! Baik kau diam di rumah, kau beli onta atau sewa itu, akan berusaha sebagai dulu."

   Tek Hui tidak menjawab, ia melainkan manggut- manggut.

   Tetangga-tetangga sangat baik hati dan sudi gawe.

   Mereka semua membantui Siauw Hong jaga api dan masak nasi, sedang kamar sudah dibenahkan rapi.

   Itu adalah 'kamar pengantin' menurut mereka.

   Itu kamarnya Lauw Toa Put-cu, siapa diminta pindah ke rumah tetangga, sedang Hiang Jie disediakan tempat di kamarnya Ouw Toaso.

   Si kusir boleh tidur di keretanya sendiri.

   Malah pun ada tetangga yang menulis sepasang huruf 'HIE di atas kertas merah, buat ditempel di tembok.

   Selimut, bantal kepala, semua dapat dipinjam dari tetangga.

   Dari Tan Jie-so, yang belum lama nikah, dapat dipinjam sepasang ciaktay sama lilin merahnya.

   Maka ketika datang waktunya, mau atau tidak, Tek Hui dan Siauw Hong dipepayang, diiring masuk ke dalam kamar pengantin, akan kemudlan lagi, dengan berlarutnya sang malam, satu persatu sekalian tetangga mulai bubaran.

   Hingga akhir-akhirnya, sang malam menjadi sunyi dan senyap.

   Siauw Hong duduk di kepala pembaringan tanah, ia tunduk saja, sesudah kamar sunyi, baru ia angkat kepalanya akan pandang Tek Hui, yang cakap dan 283 gagah romannya.

   Tapi anak muda itu duduk jauh di pojok, setahu kapan ia telah ambil pedangnya, pedang itu sekarang sedang disusuti pakai tangan baju.

   Bagi si anak muda, pedang itu rupanya lebih berharga daripada apa juga, hingga Siauw Hong pun ia tak awasi, ia bekerja sambil mulut ditutup rapat.

   Beberapa kali si nona hendak bicara, saban-saban ia urung.

   Lama juga mereka membungkam satu pada lain, akhirnya si nona tak tahan sabar lagi.

   "Eh, kau bikin apa saja?"

   Ia tanya. Baru sekarang pemuda itu angkat kepalanya dan menoleh.

   "Pergilah kau tidur,"

   Ia kata.

   "Aku belum mengantuk."

   Nona itu kerutkan alis.

   "Kalau kau belum mau tidur, marilah kemari, bicara sama aku,"

   Ia kata. Tek Hui berbangkit, ia menghampirkan. Nona itu melirik, ia bersenyum.

   "Hari ini kau girang atau tidak?"

   Ia tanya. Tek Hui manggut.

   "Sejak tadi malam, aku sudah bergirang,"

   Ia menyahut.

   "Aku telah tolongi kau dan sekarang kau ada di rumahku, aku girang sekali."

   "Jangan sebut-sebut hal Han Kim Kong,"

   Si nona memegat.

   "tentang dia semua mesti dilupakan! Sekarang aku ikut kau, demikian pun selanjutnya, 284 maka selanjutnya kita harus atur cara hidup kita yang menyenangkan."

   Tek Hui terperanjat, hingga ia mengawasi.

   "Tidak encie, tidak!"

   Ia bilang, tangannya ia goyang berulang-ulang.

   "Kau jangan dengari ocehannya tetangga- tetangga kita, apa pun yang mereka lakukan, kita jangan anggap. Kita cuma tak bisa bantah mereka, karena bantahan berarti kepusingan, aku ajak kau kemari untuk menyingkir buat sementara waktu saja, kemudian kita nanti pikir pula tempat yang aman dan damai bagi kau. Jangan kau simpan di hati, tak perduli apa yang mereka bilang. Aku bukannya seorang rendah, sekarang ini aku belum bisa nikah kau."

   Siauw Hong terperanjat.

   "Apa?"

   Ia tanya, setelah tercengang sesaat.

   "Percaya aku, aku tak akan melupakan budi,"

   Tek Hui jawab.

   "Tapi apa artinya ini? Aku telah ikuti kau,"

   Kata nona itu.

   "Kau ikuti aku untuk menyingkir buat sementara waktu dari Han Kim Kong,"

   Tek Hui jelaskan.

   "Buat sementara waktu?"

   Kata nona itu.

   "Jikalau tidak untuk kau, buat bicara terus terang, sejak beberapa tahun yang lalu, tak nanti aku menerjang bencana!"

   Dan ia banting-banting kaki, air matanya segera turun dengan deras. Ia lalu sesenggukan, 285 dengan pelahan.

   "Apakah karena aku gundiknya Han Kim Kong?"

   Tek Hui goyang-goyang tangannya.

   "Bukan, bukan!"

   Ia menyangkal.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Itulah bukan maksudku, aku berani sumpah......."

   "Jangan, jangan kau sumpah!"

   Siauw Hong mencegah. Aku tahu, kau memang berhati baik."

   "Karena hatiku baik, aku tak nanti lakukan perbuatan tak berbudi"

   Tek Hui teruskan.

   "Kau berbuat baik terhadap aku, aku berhutang budi."

   "Budi? Budi apakah?"

   Dan si cantik ini banting-banting pula kakinya. Tek Hui jadi sangat terharu.

   "Memang aku berhutang budi,"

   Ia kata.

   "Sejak masih kecil, aku sudah tidak punya ayah dan ibu, aku mesti ikuti pamanku, akan menuntun keledai, akan panggul-panggul arang. Siapa menyayangi aku? Tetapi hari itu kau bagi apel padaku. Apelnya sendiri tak berarti suatu apa, tetapi hatinya orang yang mengasih itu........."

   "Mulai saat itu, aku sudah ketarik sama kau,"

   Siauw Hong akui.

   "Waktu itu aku tak punya guna!"

   Tek Hui bilang.

   ''Waktu itu aku tak mampu piara kau! Waktu itu aku dapati penolongku yang kedua, ialah Pheng Jie, guruku yang baik budi.

   Ia ajarkan aku silat, ia ongkosi 286 makan-pakaiku.

   Sayang, kemudian, karena hatinya keras, sebab itu kebentrok sama Gouw Po, ia telah tinggalkan aku, hingga sekarang ini.

   Ia gusar, ia putuskan perhubungan di antara guru dan murid.

   Ketika itu aku mondok di kuil, melarat sampai tak mampu beli nasi, tidak ada yang perhatikan aku, tetapi datang kau, dengan uangmu, malah kau pun berikan aku ikat pinggang."

   Ia singkap bajunya, akan perlihatkan ikat pinggang yang melibat di pinggangnya yang ceking tetapi kuat. Siauw Hong masih sesenggukan.

   "Untuk ikat pinggang itu, aku mesti bekerja keras,"

   Ia kata.

   "Untuk bikin itu, aku telah tumpleki antero perhatianku. Kau tahu, aku sangat bercelaka, tidak ada orang yang menyayangi aku, maka aku bersyukur yang aku telah ketemu kau."

   "Di mataku, pertama ada guruku, kedua adalah kau,"

   Nyatakan Tek Hui.

   "Aku juga tak banggakan apa yang aku telah berbuat untuk kau. Sekarang ini, aku bukannya desak kau, aku bukannya tak tahu malu. Tetapi, coba pikir, kenapa aku mau ikuti kau? Lihat semua orang di sini, mereka telah anggap kita sebagai suami dan isteri."

   "Tetapi..............."

   "Tetapi apa? Apa kau masih punyakan alasan lain lagi? Sekarang aku telah ikuti kau, buat aku tinggal satu jalan, hidup aku jadi orangmu, mati aku akan jadi setanmu. Untuk selamanya, aku tidak bisa lagi 287 terpisah dari kau. Kecuali kau gunai pedangmu terhadap diriku, hingga aku binasa di depan kau ini................"

   Siauw Hong menangis, tubuhnya limbung.

   Tek Hui ambil pedangnya, akan sembunyikan itu di punggungnya.

   Ia sangat terharu.

   Ia bingung, sampai keringat membasahi jidatnya.

   Ia mengerti Siauw Hong.

   Memang, demikian biasanya kelakuan orang perempuan, yang sedang mencinta.

   "Tapi Siauw Hong belum kenal semua hatiku,"

   Ia kata dalam hatinya.

   "Kalau aku satrukan Han Kim Kong melulu untuk rampas dia, aku bukannya laki-laki sejati! Aku tolong dia, sebab aku kasihan ia menjadi korbannya sie-wie kejam itu, sedang dia begitu manis dan lemah lembut. Sayang guruku tidak ada di sini, kalau ada, aku pasti akan minta pertimbangannya, aku akan mohon pikirannya. Bagaimana sekarang? Aku nikah dia atau jangan? Kalau tidak, kasihan ia."

   Siauw Hong awasi anak muda itu.

   "Andaikata kau tidak suka aku, bilanglah, lekas!"

   Kata nona itu.

   "Lebih baik lagi andaikata aku tak cocok untuk jadi istrimu! Kau memang laki-laki sejati, piauwsu terbesar yang kenamaan! Apa benar kau tidak bisa jawab aku?"

   Tek Hui kedesak. Ia penuju si nona, malah ia cintai, tetapi persahabatan mereka bersifat lain, ia pun tidak pandai bicara. 288

   "Cukup, cukup,"

   Ia kata kemudian.

   "Sekarang sudah malam, kau boleh tidur, besok kita nanti bicara pula."

   "Tidak, aku tak bisa tidur sendirian"

   Siauw Hong goyang kepala.

   "Aku ingin kau berikan kepastian, sesudah ada kepastian, semua baru beres......"

   Tiba-tiba daun pintu tertolak, dari luar loncat masuk satu orang - seorang perempuan muda.

   Dua-dua Tek Hui dan Siauw Hong terperanjat, tetapi mereka tak kaget, karena mereka menyangka pada tetamu, yang hendak godai pengantin.

   Cuma Siauw Hong tidak kenal nona itu, muka siapa hitam dan manis, tubuhnya langsing, pakaiannya indah, tetapi ringkas.

   Pakaiannya warna hijau, di pundaknya tergantung sebuah kantong putih, yang rupanya berat isinya.

   Di punggungnya pun tergendol golok.

   Menghadapi Tek Hui, nona itu bertolak pinggang, mukanya bersenyum.

   "Aku sengaja cari kau!"

   Ia kata, sembari ketawa.

   "Apa ini bukannya kamar pengantin? Kamar ini mesti jadi kepunyaanku! Di Thio-kee-kauw kau telah letaki tanda mata."

   "Apa kau bilang?"

   Tanya Tek Hui. Ia sekarang kenali Po Go, si nona she Louw. Ia mendongkol dengan berbareng hatinya tidak tenteram.

   "Jangan kau ngaco! Kau lagi! Di Lauw-kouw-kio kau telah bantu kita, untuk itu aku berterima kasih dan bersyukur. Aku kagumi ilmu silat dan piauw kau. Untuk budimu itu, 289 tunggu lain waktu, kapan telah datang ancaman bencana bagi kau, lihat, aku nanti berkorban akan bantu kau, guna membalas budi! Sekarang belum waktunya, maka jangan kau sembarang omong yang bisa memalukan diri."

   "Eh, kau nyangkal?"

   Kata nona itu. Ia rogoh sakunya dan keluarkan satu bungkusan kecil dari sutera, yang mana ia buka dan isinya ia perlihatkan pada anak muda itu.

   "Apa ini? Di tanganmu toh ada sebatang piauwku?"

   Benda yang Po Go perlihatkan itu adalah sepasang kim-jie ie, yang ia telah curi dari Tek Hui di Thio-kee- kauw, di malaman turun hujan.

   Ia perlihatkannya dengan hati-hati, karena ia kuatir Tek Hui rampas.

   Tapi ia perlihatkan begitu rupa, hingga Siauw hong turut dapat lihat, hingga nona ini terperanjat.

   Akhirnya kedua perempuan itu mengawasi si anak muda, yang satu dengan senyuman puas, yang lain dengan sinar keheranan.

   Mukanya Tek Hui menjadi merah padam, karena malu.

   "Po Go, kau tak tahu malu!"

   Ia menegur.

   "Siapa tak tahu malu?"

   Nona itu baliki.

   "Kau, kau maki aku di depan orang perempuan ini? Belum pernah aku terima hinaan semacam ini! Kau harus ingat, ketika kau antar piauw ke Thio-kee-kauw, bagaimana pamanku dan Tong Kim Houw telah rekoki jodoh kita, bagaimana kau telah paserahkan tanda- 290 mata ini, hingga ayahku telah serahkan aku kepada kau."

   Keringat dingin ngucur dari jidatnya Tek Hui.

   "Jangan percaya dia!"

   Ia kata pada Siauw Hong, seraya goyang-goyang tangan.

   "Jangan percaya dia, dia ngaco!"

   "Ngaco?"

   Dan Po Go tertawa dingin.

   "Kau anggap aku ngaco? Toh benar aku telah tolong kau, bantu kau! Memang aku telah duga, sepulangnya dari Thio- kee-kauw, kau akan ngalami kesukaran, karena kau seorang masih hijau, kau tidak mengerti sedikit pun tentang dunia Kangouw! Pertama kau muncul, kau lantas angkat nama besar, tidak heran kalau ada orang-orang yang tak puas terhadap kau! Karena ini, aku telah datang kemari, aku berdiam di rumahnya pamanku. Aku tadinya tak tahu yang kau bermusuhan sama Han Kim Kong, sampai tadi malam pamanku pulang dan kasih tahu, bahwa kau telah terjebak oleh Han Kim Kong dan berada dalam bahaya. Mengenai bahaya kau itu, pamanku sudah bicara guna tolong kau, sedang aku, aku sudah lantas menolong kau, hanya aku tidak tahu bahwa kau punya hubungan sama Han Kim Kong punya nona-nona!"

   Tek Hui mundongkol bukan main.

   "Jangan kau ngaco!"

   Ia berseru, karena sengit. Tetapl si nona Louw bersenyum.

   "Aku tahulah!"

   Ia kata.

   "Kau telah terima budi orang, maka kau perlakukan orang sebagai enciemu 291 sendiri. Tidak perduli apa yang orang pikir tentang kau, kau tetap masih hijau! Aku tahu, kau cuma mau menolong si nona, kau tidak pikir untuk nikah dia! Itulah aku tahu, maka aku telah tolongi kau orang semua! Coba tidak, apa kau kira aku sudi menolong kau orang? Ya, aku tahu, kau memang baik hati, dari itu, sekarang aku datang pada kau. Sekarang aku hendak terangkan padamu. Pertama-tama ialah, aku ingin kau tidak lupa bahwa kau telah bertunganan sama aku! Aku bukannya tak tahu malu tetapi siapa suruh maka telah ada urusan di Thio-kee-kauw itu? Barangkali kau bisa lupai aku, aku sebaliknya tidak! Kedua aku hendak kasih tahu, sebab dia ini enciemu, dia juga menjadi encieku, cuma dia tak tolol sebagal kau, maka dengan kedatanganku ini, dia tentu lantas mengerti duduknya hal! Ia tidak nanti bisa rampas kedudukanku. Yang terakhir, yang aku hendak beritahukan kau, adalah urusannya Han Kim Kong. Jangan kau anggap, bahwa urusan sudah berakhir, ia sebenarnya tak mau mengerti! Ia sekarang sudah majukan dakwaan kepada Gie-su dan Ceng-tong dari Pak-gee-mui, bahwa kau telah bunuh orang dan rampas isteri orang! Kau lagi umpatkan diri di sini, apakah kau kira dia tak akan mendapat tahu? Sekarang sudah malam, tetapi besok, besok jangan harap kau orang bisa menyingkir dari sini! Maka sekarang kau mesti ambil putusan, kau mesti bertindak jangan sampai kasep! Apa benar-benar kau 292 orang hendak anggap kamar ini sebagai kamar pengantin? Asal Han Kim Kong datang, kau dan dia juga lantas akan tak bernyawa lagi!"

   Tek Hui menjadi sengit.

   "Aku tidak takut!"

   Ia berseru.

   "Di sini aku akan tunggu Han Kim Kong!"

   Dan dengan pedangnya, ia keprak meja. Siauw Hong ketakutan, ia lantas saja menangis.

   "Jikalau ada tempat, marilah kita menyingkir,"

   Ia kata.

   "Ke mana kita hendak menyingkir?"

   Tek Hui tanya.

   "Aku tak malu dengan perbuatanku ini! Jikalau Han Kim Kong tuduh aku membunuh orang, aku bersedia akan mengganti jiwa, tetapi bila ia katakan aku bawa minggat orang perempuan, hm, itulah tak bisa! Siauw Hong sendiri yang suka turut aku pergi!"

   "Bantahanmu tak ada harganya!"

   Po Go bilang.

   "Dengan siapa pun kau bicara, tak nanti ada orang yang percaya kau! Kalau besok pagi Han Kim Kong dan hamba-hamba polisi datang, apa kau kira mereka akan kasih ketika buat kau banyak omong-omong. Hm!"

   "Tetapi aku tidak takutl Aku bersedia akan berperkara, atau aku akan adu jiwa dengan Han Kim Kong!"

   Kata pemuda itu.

   "Jikalau aku Lauw Tek Hui kenal takut, aku bukannya murid Giok-bin Lo Cia Pheng Jie!"

   Po Go ibuk juga dengan kepala batu itu. 293

   "Apakah artinya itu?"

   Ia kata.

   "Kau mana boleh binasa?"

   Ia menoleh kepada Siauw Hong.

   "Kau bujukilah ia, ia barangkali akan dengar perkataanmu,"

   Ia tambahkan. Siauw Hong berdiam, ia gigit bibirnya. Ia lantas berbangkit.

   "Kau jangan gusar, jangan bersusah hati juga,"

   Ia lalu berkata.

   "Sekarang aku mengerti duduknya hal. Apa yang tadi aku ucapkan pada kau, kau anggap saja telah tidak keluar dari mulutku. Ya, kita harus jadi encie dan adik, perhubungan encie dan adik terlebih rapat daripada suami dan isteri. Sebagai adik, kau mesti dengar enciemu. Adikku, kalau encie kau bilang kau harus pergi, kau mesti pergi."

   Tek Hui tunduk, ia sangat berduka.

   "Apa juga yang kau bilang, aku akan turut,"

   Ia kata.

   "Aku tidak ingin tunggu datangnya Han Kim Kong, hingga ia bisa rampas pulang aku,"

   Kata nona itu.

   "Dan kau orang mesti berangkat sekarang juga"

   Po Go bilang.

   "Aku nanti antar dan lindungi kau sampai di Thio-kee- kauw. Biar nyalinya Han Kim Kong besar, ia tak nanti berani menyusul ke rumahku!"

   Siauw Hong goyang kepala.

   "Aku tak bisa pergi begitu jauh,"

   Ia bilang.

   "Tek Hui, baik kau antar aku ke Lo-thian-sie. Benar semua hweeshio di sana kenal Han Kim Kong, akan tetapi pasti orang tak akan berani lakukan perampasan di 294 rumah suci itu. Memang kurang leluasa untuk seorang perempuan berdiam di kuil lelaki, tetapi di sana masih ada sintjhie dari ibuku dan aku masih berniat membikin sembahyang. Sedikitnya aku mesti pamitan dari arwah ibuku, baru aku bisa pergi ke tempat lain. Di sana pun aku harap kedua encie angkatku bisa berdaya akan tolong atau lindungi aku."

   Nyata Tek Hui setujui pikirannya nona ini.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baik"

   Ia manggut.

   "Ini gampang. Mari aku antar kau sekarangjuga!"

   Tek Hui buktikan yang ia benar suka dengar nona itu. Siauw Hong bisa bersenyum.

   "Kalau kau benar suka jadi adikku, kau memang mesti selalu turut aku,"

   Ia kata. Toh pada tampangnya yang elok, ada sinar kedukaan hebat. Tek Hui tidak kata apa-apa, hanya ia pergi keluar, akan kasih bangun kusir.

   "Siapkan keretamu, kita berangkat sekarang!"

   Ia kasih tahu. Ia pun banguni Ouw Toaso dan anaknya, untuk kasih tahu niat keberangkatannya.

   "Kami hendak menyingkir, sekarang juga, sebab jikalau kami tunggu sampai besok pagi, bahaya bisa datang dan nanti merembet-rembet kau orang juga,"

   Ia kasih tahu.

   295 Ouw Toaso telah membantu, tetapi hatinya tidak tenteram, sejak siang ia curigai kedatangannya Tek Hui bertiga, sedang waktu ia tanya Hiang Jie, budak ini tutup mulut, maka sekarang mendengar keterangan itu, ia terperanjat berbareng lega hati.

   Ia lantas kasih bangun Hiang Jie, yang tidur dalam satu kamar sama ia.

   "Bangun, bangun, kau hendak diajak pergi!"

   Ia kata.

   Hiang Jie mendusin dengan kaget, tetapi ia lantas mengerti duduknya hal, karena ia tidur dengan tak bukaan, ia bisa lantas siap.

   Ketika ia keluar, ia lihat kereta sudah sedia, kemudian ia tampak Thay-thaynya keluar sama satu nona yang ia tak kenal hingga ia jadi heran, hingga ia awasi nona itu.

   "Pergi bilang terima kasih, kita sudah ganggu semua orang di sini,"

   Kata Siauw Hong pada budaknya itu. Ouw Toaso telah keluar.

   "Jangan seejie,"

   Ia kata.

   "silahkan kau lekas berangkat. Jikalau besok ada yang datang, siapa juga, aku tak akan berikan keterangan. Hati-hati di jalan!"

   Bukan cuma pihak tuan rumah, si kusir pun heran waktu ia dapatkan Po Go, yang sudah naik atas kudanya, romannya keren.

   Siauw Hong naik ke atas kereta dibantu oleh budaknya, yang pun turut nyelusup ke dalam.

   Tek Hui tetap duduk di depan, dengan pedang di tangan.

   296 Kusir masih ngantuk, ia nampaknya lesu.

   "Tuan Lauw"

   Katanya.

   "tengah malam buta rata, ke mana kita pergi?"

   "Kau tahu Lo-thian-sie atau tidak?"

   Tek Hui tanya.

   "Kita mau pergi ke sana."

   "Tadi baru menikah, sekarang mau pergi ke kuil hweeshio, mau apa sih?"

   Kata kusir itu.

   "Jangan banyak omong!"

   Kata Po Go dengan bengis, seraya angkat cambuknya.

   "lekas kasih kuda kau lari!"

   Dengan tidak berani kata apa-apa, kusir itu keprak kudanya akan dikasih lari, hingga Ouw Toaso lantas ditinggal pergi.

   Tapi nyonya itu dan anaknya terus kunci pintu.

   Malam itu rembulan guram, tetapi kereta kuda lari keras, berisiknya roda-roda kereta dicampur sama suara kaki kudanya Po Go.

   Di dalam kereta, Siauw Hong nangis sesenggukan, bahna sedihnya.*** 297 XI "Mau apa sih kau menangis?"

   Kata Tek Hui yang toh turut terharu.

   "'Sudah, jangan nangis saja,"

   Hiang Jie pun membujuk.

   "Kita toh tetap berkumpul menjadi satu."

   Tetapi Siauw Hong tidak bisa lantas legakan hati. Kerasnya kereta lari membikin tangisan itu sebentar-sebentar berhenti.

   "Sudah, encie, jangan nangis saja,"

   Po Go pun membujuki.

   "Aku pastikan, asal kau bisa terlepas dari tangannya Han Kim Kong, asal Tek Hui tidak usah adu jiwanya sama Han Kim Kong itu, segala apa nanti bisa diatur."

   Siauw Hong tak dapat dibujuki, meski Po Go telah mencoba beberapa kali. Untuk itu, nona Louw mesti kasih kudanya lari keras dan terus berdampingan di samping kereta, hingga dengan begitu, ia pun jadi berada dekat sama Tek Hui.

   "Buat apa kau ikuti kita?"

   Kata Tek Hui pada nona yang tergila-gila padanya - yang tergila-gila secara gila.

   "Pergilah kau pulang, akan urus pekerjaanmu, untuk kita kau sudah berbuat banyak, budi kau itu pasti aku akan balas. Sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, silahkan kau pulang!"

   Po Go gusar dengan ucapan itu, ia seperti juga telah diusir 298 pergi.

   "Apa?"

   Ia kata dengan keras.

   "Apakah yang kau bilang?"

   "Tetapi aku bilang apa yang hatiku niat bilang,"

   Tek Hui pastikan.

   "Buat apa kau tetap ikuti kami? Sekarang sudah tidak ada urusan kau lagi! Kalau dia tak bisa berdiam di Lo-thian-sie, aku bisa antar ia ke tempat lain, tetapi tidak ke tempat kau di Thio-kee- kauw! Atau, andaikata ada orang yang suka menjadi baba mantu dari keluarga kau di Thio-kee-kauw, pergilah kau cari dia itu, tetapi aku, Lauw Tek Hui - aku omong terus terang - untuk seumur hidupku, aku tak mau menikah!"

   Po Go begitu gusar, hingga sekejap saja ia telah hunus goloknya dan senjata itu diayun ke jurusan si anak muda.

   Tek Hui bisa geraki pedangnya akan tangkis bacokan itu, tctopi sebelum ia bisa berbuat demikian, tangannya si nona sudah lemas sendirinya, bacokan menjadi urung.

   Dan nona itu lalu menghela napas.

   "Kau bisa bikin aku mampus sebab pepat pikiran!"

   Ia kata.

   "Apa benar di dunia ada semacam orang begini tak punya perasaan dan tak menghargai muka terang orang?"

   Selagi begitu, kereta mendadakan berhenti dan si tukang kereta loncat turun.

   "Inilah berbahaya!"

   Ia kata.

   "Kenapa kau main- main dengan senjata tajam? Kalau begitu, baiklah, 299 aku nanti tunggu sampai kau bertempur dan berhenti, agar kau tidak usah kesalahan melukai orang lain! Sungguh, aku masih hendak lanjuti usahaku ini membawa kereta!"

   Dengan sebelah tangan menyekal pedangnya, Tek Hui niat loncat turun dari kereta, apa mau, tangannya yang lain telah dipegang dan ditarik oleh Siauw Hong.

   "Apa kau hendak bikin? Orang toh bermaksud baik terhadap aku, maka ia hendak antar aku ke kuil."

   Suaranya si nona sangat lemah, hingga Tek Hui batal loncat turun.

   "Aku tak perduli ia bermaksud baik atau tidak,"

   Ia kata dengan sengit.

   "Bugeenya, ia punya kepandaian piauw, aku hargakan, tetapi sifatnya, hm! Kenapa ia permainkan aku dengan sepasang jie-ie itu? Inilah aku tak bisa terima!"

   "Sudah, bikin habis saja!"

   Siauw Hong kata.

   "Sekarang aku tidak mau omong apa-apa lagi, asal kau antar aku ke kuil!"

   Sampai di situ, Tek Hui lantas diam.

   Po Go pun simpan goloknya di punggungnya, sambil kasih kudanya jalan mengikuti kereta, saban- saban ia perlihatkan senyum sindir.

   Si kusir keprak kudanya, buat bikin binatang itu lari keras.

   Siauw Hong kembali sesenggukan, mendengar mana hatinya Tek Hui jadi pepat.

   300

   "Sungguh orang perempuan tak boleh dibuat permainan!"

   Ia pikir.

   "Siauw Hong ingin menikah sama aku, lantaran aku goyang kepala, ia lantas menangis tak mau berhenti. Po Go lain lagi, dia ini bermuka sangat tebal, ia desak aku sampai ia berani curi barangku. Ia hitam tapi manis, bugeenya pun aku hargakan, tetapi dengan adanya Siauw Hong, bagaimana aku bisa menikah sama ia? Kelihatannya bagiku, jalan satu-satunya adalah masuk menjadi hweeshio."

   Tek Hui bingung memandang ke depan.

   Suaranya Siauw Hong ia tak ingin dengar, romannya Po Go ia tak ingin tengok.

   Kereta lari dengan keras, si kusir kelihatannya apa jalanan benar, atau ia ingin lekas-lekas sampai, supaya ia bisa pulang dan tidur.

   Tatkala fajar menyingsing, kereta mulai menghadapi sungai yang panjang, maka sebentar pula, Tek Hui lihat ia sudah lintasi sungai dan sadari betulan belakang kuil menuju ke depan, akan berhenti di depan kuil sekali.

   Lo-thian-sie seperti terapit sungai di kiri dan kanan, di atas air tertampak banyak burung walet, yang sudah keluar dari sarangnya, akan cari makanan.

   Di cabang-cabang pohon burung-burung asik cecowetan.

   Hiang Jie turun paling dahulu, akan ketok pintu pekarangan kuil.

   301 Po Go tidak turun dari kudanya, ia awasi Lo-thian- sie, ia lirik Tek Hui, lantas ia kaslh binatang tunggangannya jalan terus ke arah Timur.

   Ketika ada hweeshio yang membuka pintu, Hiang Jie bantui majikannya turun dari kereta.

   Siauw Hong sudah rapikan rambutnya, ia telah susut air matanya, maka sekarang ia bisa bertindak ke kuil dengan roman agung dari seorang nyonya besar.

   Ia disambut dengan hormat, ia diundang ke dalam dengan terus disuguhkan thee.

   "Apakah Ouw Sam-thay-thay dan Kie Jie-thay-thay tidak turut datang?"

   Tanya padri yang melayani.

   "Apakah Thay-thay sendiri hendak bikin sembahyang pula? Sin-cie selalu kami pasangi hio."

   "Terima kasih,"

   Sahut Siauw Hong.

   "Kedua Thay- thay belum tentu datang kemari, dan aku pun tidak mau sembahyang. Aku tidak puas berdiam di rumah, aku datang kemari buat beristirahat, karena di sini sunyi."

   Padri itu cuma manggut, ia tidak menanyakan keterangan lebih jauh, rupanya baginya sudah biasa ada Thay-thay yang 'sembunyi' di kuilnya, kalau di rumah Thay-thay itu sedang mendongkol.

   Ia pun keluar setelah tanya si nyonya tidak perlu apa-apa lagi.

   Siauw Hong melainkan pesan.

   "Siapa juga datang cari aku, bilang tidak ada!" 302 Di dalam kamar tinggal Siauw Hong bersama budaknya dan Tek Hui, dengan satu tanda lirikan mata, si nona pun bikin Hiang Jie undurkan diri.

   "Sekarang bagaimana?"

   Ia tanya setelah mereka berada berduaan.

   "Aku tetap sama pendirianku,"

   Sahut anak muda itu.

   "Aku lihat Po Go tak dapat dicela, ia mengerti silat, juga kau, maka kau orang bisa jadi pasangan yang setimpal."

   Tetapi Tek Hui goyang kepala berulang-ulang.

   "Aku tahu aku memang tak setimpal untuk jadi pasangan kau,"

   Kata pula si nona.

   "Aku pernah ikut Han Kim Kong, kau tidak bisa nikahi aku, aku sendiri yang tadinya tolol dan mengharap yang bukan-bukan. Sekarang aku telah mengerti."

   Tek Hui berdiam.

   "Aku mengerti, kau perlu angkat nama, maka aku tidak boleh jadi rintangan bagi kau. Aku tidak akan menangis pula, kau jangan kuatir............"

   Ia susut air matanya.

   "Aku rasa di sini aku tidak bisa berdiam lama, satu kali Han Kim Kong bisa cari aku. Tetapi, ke mana aku mesti pergi? Aku tidak bisa banduli kau, sedang Po Go, ia mesti cari kau pula, ia belum pernah menikah, ia pun boto, aku tidak bisa jadi rintangan bagi kau orang berdua....."

   "Jangan sebut-sebut itu pula!"

   Tek Hui memotong. 303

   "Ya, sudahlah."

   Kata Siauw Hong.

   "Siapa suruh kita dipertemukan satu pada lain? Di mana aku telah datang ke rumahmu dan semua orang di sana telah anggap kita sebagai suami isteri, aku sudah puas......."

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali air matanya turun, kendati ia sudah berjanji tak akan menangls pula. Tek Hui terharu bukan main, hingga ia mesti kuati hati.

   "Encie, kau perlu apa lagi?"

   Ia tanya.

   "Hari ini aku mesti kembali ke kota, terutama aku mesti cari Tong Kim Houw. Aku jadi piauwsu, aku pergi tak setahu dia, hingga bisa kejadian yang ia sangka aku minggat!"

   "Kalau kau nanti ketemu sama Han Kim Kong?"

   Tanya si nona. Tek Hui goyang kepala, ia bersenyum dengan terpaksa.

   "Tak nanti aku ketemu sama ia! Atau kalau kita toh terpaksa bertemu, ia tak akan mampu cekuk aku! Kemarin ini ada kau, ia jadi bisa jadi banyak tingkah!"

   Siauw Hong menghela napas.

   "Aku tahu, dengan ikuti kau, aku jadi bandulan melulu,"

   Ia kata. Tek Hui nampaknya berpikir.

   "Aku dapat satu ingatan"

   Ia kata.

   "Sebentar di kota, aku akan cari Siang Kiu, aku akan minta ia jangan jual tauwhu lebih jauh, hanya kau orang boleh tinggal 304 sama-sama. Aku nanti carikan satu tempat untuk kau orang, untuk ongkos penghidupan, aku yang nanti tanggung."

   "Apakah artinya itu?"

   "Jangan kau seejie. Siang Kiu adalah ayahmu, ia mirip dengan ayahku, ia tak punya anak lelaki, aku pun bisa menjadl wakil anaknya."

   "Kalau dia inginkan nona mantu, bagaimana?"

   Tek Hui melongo.

   "Dengan ada nona mantu, rumah tangga bisa kusut."

   "Ah, kau angot!"

   Kata Siauw Hong, yang deliki matanya.

   "Tapi, sudahlah,"

   Tek Hui bilang. seraya menghela napas.

   "Aku sekarang mau pergi ke kota."

   "Terserah!"

   Kata Siauw Hong.

   "Sebenarnya, kau pun baik tak usah cari ayahku untuk dipernahkan, sudah cukup kalau kau sering tengok dan bantu ia, kapan ia perlu itu. Yang penting adalah tolong kau menyampaikan kabar pada Ouw atau Kie Thay-thay, supaya mereka suka datang longok aku di sini........."

   Siauw Hong tidak bisa bicara terus, ia menangis sesenggukan. Tapi toh ia bisa kasihkan alamat dari dua nyonya itu dan pesanannya ini.

   "Looya dari Ouw Sam-thay-thay adalah Ouw Gie-su yang Han Kim Kong minta bantuannya untuk tangkap kau, dari itu, kau jangan pergi sendiri ke kantornya, kau suruh orang lain saja......

   " 305 Lantas ia menangis pula. Tek Hui terharu bukan main.

   "Baik, aku nanti lakukan pesanan kau ini."

   Ia janjikan.

   "Aku hanya hendak kasih tahu, kalau sebentar aku pergi ke kota, hari ini aku barangkali tidak akan kembali."

   "Hari ini kau memang tidak usah kembali, asal besok kau datang pula, akan lihat aku,"

   Pesan si nona.

   "Besok pasti aku datang! Aku pergi ke kota akan lihat keadaan, andaikata aku tidak bisa berdiam terus, aku nanti merantau akan sekalian cari guruku. Kau jangan nangis saja, nanti matamu bengul dan jelek dillhatnya."

   Ucapan ini justeru bikin si nona nangis makin sedih.

   Cuma sekali lagi memandang, dengan bawa pedangnya, Tek Hui niat bertindak keluar.

   Siauw Hong niat mengantar, akan tetapi anak muda itu tidak pernah menoleh pula.

   Di luar, Tek Hui ditegur oleh tukang kereta.

   "Tuan Lauw, uang sewaan kereta akan dibayar sekarang atau aku harus minta pada Tan Moa-cu saja?"

   Ia tanya.

   "Sekarang aku mau pergi ke kota, dengan keretamu ini,"

   Jawab anak muda itu.

   Dan ia loncat naik ke kereta, pedangnya diletaki di sampingnya.

   Tenda kereta sebelah depan ia kasih turun.

   Kusir sudah lantas larikan keretanya.

   306 Kapan kereta sampai di Say-tit-mui, Tek Hui singkap tenda akan memandang keluar.

   Ia lihat kota ramai sebagaimana biasa.

   Agaknya orang tidak terpengaruh oleh kejadian di gedungnya Han Kim Kong, atau orang belum umum mengetahui itu.

   Hatinya lega kapan ia dapati keadaan di bahagian Selatan.

   Tiba-tiba kereta dikasih berhenti dan si kusir terdengar bicara.

   Tek Hui curiga.

   Segera ia singkap tenda.

   Berbareng dengan itu, hatinya lega, sebab si kusir lagi bicara sama engko misannya, ialah Tan Moa- cu.

   Cuma engko misan itu tidak lagi pikul dagangannya, malah jidatnya berlepotan darah, romannya ketakutan.

   "Tan Toako,"

   Tek Hui tanya dengan curiga.

   "Kau bikin apa di sini?"

   "Lekas tutup tenda!"

   Kata si pedagang dengan rupa ketakutan.

   "Keadaan adalah hebat! Tadi malam Han Kim Kong dan orang-orangnya satroni kami untuk cari gundiknya dan kau, waktu ia tidak dapatkan apa-apa, ia labrak kami semual Thio Put cu, Phang Toa, telah dilukai secara hebat! Baiknya Thio Ciangkui tidak ada di warung, kalau ada, ia pun pasti celaka! Kwali, dapur, semua diubrak-abrik, semua musna! Aku pun tak terluput, kau lihat!"

   Ia tunjuki jidatnya.

   "Hampir saja aku terkena pada tempilinganku, kalau begitu, pasti aku sudah mampus! Han Kim Kong sungguh tak pakai aturan." 307 Mukanya Tek Hui menjadi merah padam, bahna gusarnya.

   "Dari warung, Han Kim Kong pergi ke Hoat-wan Piauw-tiam,"

   Tan Moa-cu kasih keterangan lebih jauh.

   "Syukur Tong Kim Houw sudah dapat selentingan dan ia menyingkir lebih dahulu dari piauw-tiam mereka pergi ke Kwan-tee-bio, di sana kabarnya mereka telah labrak Siang Kiu, si tua-bangka tukang tauwhu, sampai dia ini hampir masuk ke dalam peti mati. Sebabnya, katanya ialah Siang Kiu adalah ayah dari si gundik."

   Sampai di situ, Tek Hui tak bisa tahan sabar lagi.

   "Hayo ke Kwan-tee-bio!"

   Ia berseru.

   "Aku hendak lihat Siang Kiu!"

   Si tukang kereta bersangsi, hingga dia diam saja. Tan Moa-cu juga melengak.

   "Tuan hendak pergi keluar Lam-shia?"

   Ia tegaskan.

   "Kalau Han Kim Kong atau orangnya lihat kau, apa kau masih bisa sayangi jiwamu? Aku sendiri tak berani pulang, aku sampai bermalam di pondokan, sedang sekarang aku tidak punya tempat bernaung dan tak mampu berdagang pula."

   "Jangan kuatir,"

   Tek Hui bilang.

   "Mari kau naik kereta ini, kita pergi ke Kwan-tee-bio akan tengok Siang Kiu, kemudian ke Thio Put-cu, sesudah itu, kita orang bersantap di Hoat-wan Piauw-tiam." 308

   "Makan nasi di piauw-tiam?"

   Kata Tan Moa-cu.

   "Jangan- jangan dapur dan kwalinya Tong Kim Houw juga sudah hancur lebur!"

   "Tong Kim Houw bisa tak mampu lawan Han Kim Kong, tetapi aku hendak pulang!"

   Kata Tek Hui dengan sengit.

   "Aku percaya Han Kim Kong semua tak berani cari aku! Sebentar malam kita berdiam di piauw-tiam!"

   "Ya, benar-benar tidak ada tempat,"

   Kata Tan Moa- cu.

   "Di rumahnya adik misanku ini ada isterinya."

   Tek Hui jadi sengit.

   "Jikalau ada aku, kau jangan takuti Han Kim Kong!"

   Ia berseru.

   "Kau lihat!"

   Dan ia pertontoni pedangnya.

   "Dengan adanya pedang ini, Han Kim Kong tidak akan berani cari aku!"

   Ia lalu tepuk-tepuk kantong bajunya.

   "Aku punya uang, dengan ini aku bisa tolong obati Siang Kiu dan modali juga kau berdagang pula! Siapa pernah bantu aku, aku nanti balas budinya itu! Tunggu lagi setengah tahun, kalau sudah selesai semua urusanku, aku nanti cari Han Kim Kong, akan adu jiwa padanya waktu itu tak nanti aku rembet-rembet kau orang!"

   Tan Moa-cu berpikir sebentar, lalu ia ambil putusan.

   "Baik, aku akan turut kau!"

   Ia kata.

   "Jikalau kau hendak hajar Han Kim Kong, aku akan bantu kau. Dia telah labrak aku!"

   Lantas ia merayap naik ke atas kereta, yang tendanya ia turunkan pula.

   309 Sang kusir sudah lantas jalankan keretanya, jauh terlebih cepat, akan keluar dari Lam-mui, pintu kota Selatan.

   Ketika mereka sampai di depan Kwan-tee-bio, sang waktu masih pagi.

   Tek Hui dan Tan Moa-cu lompat turun dari kereta, karena Moa-cu kenal baik kuil itu, ia maju di muka.

   Waktu itu masih sepi, karena kawanan pedagang masih belum pada kembali.

   Moa-cu ajak kawannya langsung ke kamarnya Siang Kiu, kamar yang tak berperabotan, maka tidak ada apa-apa yang dapat dirusaki, kecuali Siang Kiu sendiri, yang rebah sambil merintih.

   Benar kepalanya tidak borboran darah, tetapi lukanya di dalam tubuh hebat, hingga ia seperti sedang bergulat sams Malaikat Elmaut.

   "Siang Lauwsiok, Siang Lauwsiok!"

   Tek Hui memanggil berulang-ulang. Siang Kiu buka matanya tetapi ia tak kenali anak muda itu, ia hanya ingat Tan Moa-cu.

   "Ah, Moa-cu,"

   Kata ia dengan pelahan sambil menghela napas.

   "Coba bilang, apakah artinya kejadian ini? Anakku telah dipaksa oleh Han Kim Kong untuk menjadi gundiknya, meski begitu belum pernah aku datang untuk injak rumah tangganya, aku telah paserah sampai anakku pun aku tidak pikirkan lagi. Siapa suruh dia punya banyak uang dan pengaruhnya besar? Ia pun tidak pernah datang padaku, tetapi ini kali, sekali datang ia bawa banyak gundalnya, akan 310 tuduh aku sembunyikan anakku, kemudian dengan tidak kasih ketika akan aku bicara, mereka labrak aku. Ia telah bikin terbalik keranjangku, ketika aku hendak seruduk ia dengan kepalaku, ia tendang aku."

   Tek Hui kepal tangannya, ia kertak giginya.

   "Sungguh jahat Han Kim Kong!"

   Ia berseru. Baru sekarang Siang Kiu kenalkan anak muda itu.

   "Oh, kau Tek Hui?"

   Ia menegur.

   "Kau pernah tinggal di sini. Kau pernah labrak Thian-tay Piauw- tiam, kau seorang kosen! Kabarnya anakku telah ikut kau, apakah itu benar? Itulah bagus! Kau jadinya baba mantuku! Kalau sebentar kau pulang, kasih tahulah anakku akan ia tak usah pikirkan pula tentang aku, aku merasa puas asal ia turut baik-baik sama kau. Aku akan tetap berdiam di sini, untuk tunggui ajalku, supaya kemudian aku bisa pergi menghadap Giam Loo Ong untuk mendakwa Han Kim Kong!"

   Tek Hui gusar berbareng mendongkol sekali.

   Ia kasihan pada Siang Kiu, seorang baik-baik tetapi nasibnya buruk.

   Ia pun kasihan pada Siauw Hong, yang tak ketahui kecelakaan ayahnya itu.

   Ia terharu buat orang tua ini, yang suka terima ia sebagai baba mantu, sedang ia bersangsi akan ambil gadis orang sebagai isterinya.

   "Lauwsiok, kau jangan gusar, jangan berduka,"

   Ia lalu menghibur.

   "Aku nanti balaskan sakit hati kau ini."

   Ia menoleh pada Tan Moa-cu.

   "'Bagaimana sekarang? 311 Ia sudah tua dan tidak bisa bangun, tidak ada yang rawati."

   Tan Moa-cu lantas berpikir.

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Begini saja,"

   Ia jawab.

   "Aku tidak turut kau ke piauw- tiam, aku nanti tinggal di sini akan rawat saudara Siang Kiu. Aku lihat, bagi kau pun ada bahayanya akan pulang ke piauw-tiam. Mustahil Han Kim Kong tak cari kau? Kau bawa uang, bukan? Kau bagi aku sedikit untuk aku beli makanan, buat sekalian rawat mertua kau ini. Aku sekarang tidak bisa dagang lagi, aku sudah tak punya pondokan."

   Nyata Tek Hui setujui usul itu.

   "Bagus,"

   Ia kata. Dan ia rogoh sakunya, akan serahkan pada Tan Moa-cu beberapa potong perak serta sepotong emas. Bukan main girangnya orang she Tan itu, hingga berulang-ulang ia kata.

   "Cukup, cukup, aku jual kuwe, belum pernah aku lihat uang begini banyak! Dalam tempo dua tahun, aku tak akan mampu habiskan uang ini! Maka tetapkan hatimu, aku akan sediakan juga peti mati untuk mertua kau ini! Maaf bual ucapanku ini, tetapi aku janji, bila mertuamu ini sembuh, aku akan antar ia pada kau, supaya ia bisa merasai hidup senang lagi beberapa tahun bersama anak mantunya."

   Tek Hui tidak layani orang bicara.

   "Nah, kau tolonglah,"

   Ia kata, ia memberi hormat, lantas ia berlalu.

   312 Di luar, ia lakukan pembayaran kepada tukang kereta.

   Sesudah orang pergi, ia berdiri bingung sekian lama, pedangnya berada di tangannya, kemudian baru ia bertindak pergi.

   Ia tidak takut sama sekali, di jalan besar ia bertindak dengan gagah.

   Ia lihat kedua pintu dari Thian-tay Piauw-tiam telah ditutup rapat, begitu pun pintunya warung di depan piauw-tiam itu.

   Ia samperi warung itu, ia dorong pintunya, tidak terbuka, maka ia lantas mengetok.

   Sampai lama juga, baru satu bocah menyahuti dengan pertanyaannya.

   "Siapa?"

   "Aku!"

   Sahut Tek Hui.

   "Aku Lauw Tek Hui! Siapa di dalam?'' "Cuma aku seorang diri,"

   Sahut bocah itu, kacungnya tukang kuwe.

   "Kalau begitu, tidak usah kau buka pintu,"

   Tek Hui bilang.

   "Kau terimalah ini!"

   Ia rogoh sakunya, akan keluarkan beberapa potong perak, yang ia terus lemparkan ke dalam, seraya pesan.

   "Kalau Thio Put-cu pulang, kau serahkan uang ini padanya. Bilang padanya, supaya lebih dahulu dia rawat lukanya, kemudian baru berdagang pula. Jangan takut, jikalau Han Kim Kong datang pula, aku yang nanti hadapi dia."

   Habis kata begitu, dengan masih mendongkol Tek Hui putar tubuhnya akan bertindak pergi.

   Ia menyesal yang ia tidak lantas bersomplokan dengan Han Kim Kong.

   313 Ketika ia sampai di depan Hoat-wan Piauw-tiam, ia tak lihat seorang jua yang ia kenal, dan piauw-tiam itu tutup pintu rapat-rapat.

   Tempo ia memanggil-manggil, sampai lama juga barulah ada pegawai yang membukai pintu, ialah Toh-bwee Pa-eng.

   "Pentang pintu!"

   Kata Tek Hui dengan umbar hawa amarahnya.

   "Jikalau ada pekerjaan, kita terima! Siapa mesti ditakuti?"

   "Coba Lauw-ya ada di sini, kejadian tentu tak akan terbit,"

   Kata pegawai itu.

   "Ciangkui telah kabur, begitu pun semua pegawai lain, sampai pun tukang masak pun tidak ada! Ciangkui punya anak dan isteri juga turut kabur, hingga piauw-tiam ini kosong."

   "Sekarang pergi kau cari dia orang itu, supaya semua kembali"

   Tek Hui perintah.

   "Perkara aku sendiri yang terbitkan, maka itu aku sendirilah yang akan bertanggung jawab!"

   "Baik, aku nanti pergi cari mereka. Harap Lauw-ya tunggu rumah!"

   Setelah kata begitu, kacung ini lantas ngeloyor pergi.

   Tek Hui bertindak masuk, pintu ia pentang lebar- lebar.

   Ia pergi ke meja, atas mana ia letaki pedangnya yang terhunus, ia sendiri terus jatuhkan diri atas sebuah kursi.

   Ia ngantuk dan lapar, tetapi ia kuatkan hati.

   Ia sudah menunggu sekian lama, tidak ada orang yang datang, tidak juga Toh-bwee Pa-eng.

   314 Akhirnya, dengan cekal pedangnya ia pergi ke pintu, akan celingukan ke kiri dan kanan.

   Ia tidak lihat siapa juga yang ia kenal.

   Maka akhirnya ia masuk ke dalam, ke dapur.

   Di situ tidak ada makanan apa juga.

   Tadinya belum pernah Tek Hui masuk ke pedalaman, sekarang di situ tidak ada anggota perempuan dari Tong Kim Houw, kendati demikian, tetapi ia tidak mau masuk.

   Perutnya berbunyi bergeruyukan, sebab laparnya.

   Tiba-tiba ia ingat kuwe yang ia beli di Thio-kee-kauw, yang ia duga masih boleh dimakan, maka ia pergi ke kamarnya.

   Di sini ia lihat tidak ada gangguan, semua barang belanjaannya masih ada, maka itu ia jadi masgul.

   Semua barang itu adalah untuk Siauw Hong tetapi ia belum sampai serahkan.

   "Biar bagaimana, budinya Siauw Hong aku mesti balas!"

   Ia pikir.

   Ia periksa kuwenya yang sudah kering dan bulukan juga, hingga ia geleng kepala.

   Mana ia bisa dahar kuwe yang sudah rusak itu? Maka ia kembali ke depan, di meja kuasa ia cari kunci, niatannya untuk kunci piauw-tiam itu agar ia bisa pergi ke rumah makan.

   Tapi kunci tidak ada, hingga ia ibuk juga.

   Toh-bwee Pa-eng tetap belum juga muncul.

   Tek Hui mendongkol kalau ia ingat nyali kecil dari Tong Kim Houw semua.

   315 Di depan piauw-tiam banyak juga orang lewat, begitu pun kereta, tetapi tidak ada yang jual makanan.

   "Mustahil ada pencuri di siang hari!"

   Akhirnya pemuda ini pikir.

   Maka ia ngeloyor pergi ke selatan, dengan antap piauw-tiam tak ada yang jaga.

   Ia mau beli makanan, akan nanti kembali ke piauw-tiam itu.

   Beberapa kali ia menoleh, karena ia kuatir ada orang nyeplos masuk ke dalam piauw-tiam itu.

   Satu kali Tek Hui menoleh pula, tapi ini kali tiba- tiba ada orang jambak bebokongnya dengar keras, sampai ia kaget hingga ia putar tubuh dengan segera.

   Segera ia lihat seorang dengan muka berewokan, dengan pakaian butut, mirip sekall pengemis.

   Jambakan itu membikin ia merasa sakit.

   "Kenapa kau jambak aku?"

   Ia menegur dengan gusar "Apakah kau Han Kim Kong punya?"

   Mereka sekarang berdiri berhadapan, dua pasang mata saling mengawasi. Mendadakan Tek Hui keluarkan seruan kaget.

   "Kau!"

   Ia berseru.

   "Kau, suhu! Oh...........!"

   "Mari ikut aku!"

   Berkata Pheng Jie, demikian si 'pengemis' itu. Tek Hui terharu dengan tiba-tiba, sampai air matanya mengembang.

   "Kenapa suhu jadi rudin begini?"

   Demikian ia pikir. 316

   "Mari, lekas, lekas ikut aku!"

   Kata Pheng Jie, yang tidak kasih ketika akan muridnya ngelamun.

   "Mari!"

   Dengan terpaksa Tek Hui ikuti Giok-bin Lo Cia, siapa dengan cepat bertindak ke dalam satu gang kecil, tetapi di gang ini, di mana ada rumah-rumah orang, pun banyak penduduknya.

   Tidak heran kalau mereka jadi heran dan semua mengawasi pemuda kita yang bawa-bawa pedang telanjang.

   Tindakannya Pheng Jie tidak pernah berhenti, ia lintasi beberapa gang kecil.

   "Kau bernyali besar!"

   Kata guru ini kemudian, setelah melalui banyak gang.

   "Kau tidak takuti Han Kim Kong, tetapi apa kau tidak kuatirkan pembesar negeri? Baiknya......."

   Ia tidak bicara terus, ia putar tubuhnya dan jalan lebih jauh dengan cepat.

   Hampir-hampir Tek Hui tidak sanggup susul gurunya itu, yang bertindak tetap, sedang ia ragu- ragu.

   Baiknya ia lekas lewatkan gang kecil terakhir dan menghadapi jalan besar, di mana ada beberapa hotel.

   Tapi guru ini tidak ajak ia pergi ke rumah penginapan, hanya mereka samperkan sebuah rumah kecil yang pakai merk.

   Say Tong pin, tukang tenung, yang pandai meramalkan rupa-rupa 317 Di depan pintu digantung kere, menyingkap ini, Pheng Jie masuk ke dalam, muridnya mengikuti terus.

   Kamar itu guram.

   Di meja ada sebuah bumbung yang muat sejumlah ciam bambu, begitu pun uang tembaga dan peti kecil dan sejumlah biji tiokie.

   Di kursi menghadapi meja itu duduk satu toosu atau imam tua.

   "He, kenapa romanmu beringas?"

   Tiba-tiba toosu itu kata ketika ia lihat Tek Hui, seraya tangannya membanting sebuah biji.

   "Inilah muridku,"

   Kata Pheng Jie selagi muridnya tercengang. Nyata Pheng Jie dan imam itu kenal sangat baik satu pada lain. Terus saja Giok-bin Lo Cia ajak muridnya masuk ke sebuah kamar kecil.

   "Lambat sedikit saja, orang polisi akan datang ke piauw-tiam akan bekuk kau,"

   Kata si guru sesampainya di dalam.

   "Orang telah lihat kau, kalau mereka tidak berani lantas turun tangan, itulah disebabkan kau siap dengan pedang terhunus. Selagi orang terus pasang mata atas diri kau, yang lain pergi ke kantor Gie-su untuk minta bantuan. Kau salah atau benar, aku toh akan dibekuk terlebih dahulu. Kemarin ini kau keliru sudah bikin kacau di rumahnya Gie-cian Sie-wie Han Kim Kong." 318 Tek Hui melengak di depan gurunya, akan dengar ucapan itu. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi demikian sabar dan hati-hati. Ia tak pernah pikir, bahwa gurunya akan bernyali kecil "Suhu, mustahil kau tidak tahu duduknya hal kemarin ini di rumahnya Han Kim Kong?"

   Ia kata.

   "Bukannya aku yang pergi ke sana, hanya Han Kim Kong perintah Ciu Toa Cay pancing aku. Di sana aku telah dikuncikan pintu di dalam sebuah kamar dan Han Kim Kong pun cambuki gundiknya nama Siauw Hong! Mana aku bisa diam saja? Ia sangat jahat dan kejam!"

   Giok-bin Lo Cia bersenyum, tangannya digoyang- goyang.

   "Tidak usah kau jelaskan lagi, semua aku telah ketahui,"

   Kata guru ini.

   "Kenapa aku pisahkan diri dari kau? Itulah sebab pertempuran di tepi kali di Say-tit- mui, di mana selagi aku tempur Gouw Po beramai, kau telah datang membantui aku. Melihat caranya kau berkelahi, aku menjadi kagum! Aku tidak sangka yang bugee kau dan tenaga kau juga maju demikian pesat. Aku lantas pikir, bahwa kita tidak boleh terus berada sama-sama, karena itu bisa mencegah kau peroleh kemajuan. Kau tidak boleh selalu mengandal sama aku! Begitulah aku tinggal kau, supaya kau bisa berdiri sendiri!"

   Air matanya Tek Hui mengembang, sebab terharu. 319

   "Tapi suhu tinggalkan aku secara getas sekali,"

   Ia bilang.

   "Sejak suhu pergi, aku selalu pikirkan kau......."

   Pheng Jie goyang tangan.

   "Itu bukannya bicaranya laki-laki!"

   Guru ini memotong.

   "Satu laki-laki mesti berdiri sendiri! Tapi kau nampaknya telah bertindak bagus juga. Kau tahu, ketika kita berpisah hari itu, aku tidak lantas angkat kaki dari Pak-khia. Nyata Gouw Po terus desak aku, buat ini ia telah dapatkan anjuran dari Han Kim Kong. Han Kim Kong benci aku, sebab aku telah berada di pihak kau, di muka ia berlaku manis, hatinya sebenarnya memikir jahat terhadap aku. Begitulah ia bekerja diam-diam untuk celakai aku, untuk ambil jiwaku. Karena ini buat sementara waktu, aku toh berlalu juga dari Pak-khia, karena aku tidak pikir untuk berlaku keras terhadap Han Kim Kong. Karena aku mengalah, aku mesti merantau, sampai pada bulan yang lalu, aku kembali, akan tinggal di sini. Lu Tong Pin, adalah sahabat kekal. Dengan cara dandananku ini, orang tidak kenalkan aku. Aku telah lihat kau, kau pun tidak kenali aku. Semua kejadian atas dirimu, juga urusan kau dan gundiknya Han Kim Kong, aku ketahui."

   Mukanya Tek Hui menjadi merah.

   "Tapi aku tidak.... tidak......"

   "Jangan kau bantah aku!"

   Pheng Jie tertawa.

   "Aku tahu kau tentulah tidak akan lakukan perbuatan 320 buruk. Juga nona itu memangnya manis dan baik, ia harus dikasihani. Karena kau telah ajak ia minggat, aku pun setuju akan anggap dia sebagai isteri dari muridku."

   Tek Hui melengak pula.

   "Bagaimana suhu bisa ketahui ini?"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia memikir. Kemudian ia kata.

   "Tapi, suhu Aku tidak berjodoh sama nona itu, meskipun ia sangat baik terhadap aku, kendati semua sahabatku telah paksa aku menikah padanya."

   Tek Hui lantas tuturkan semua lelakonnya.

   "Aku tidak berani ambil ia sebagai isteriku,"

   Ia kata kemudian.

   "Kenapa tidak?"

   Pheng Jie kata.

   "Sebab ia tetap gundiknya Han Kim Kong."

   "Itu bukan alasan! Kapan dia kesudian jadi gundiknya Han Kim Kong? la telah dipaksa untuk berbuat demikian, ia toh telah dirampas! Han Kim Kong sudah punya isteri dan banyak gundik! Siauw Hong lemah, ia harus dikasihani, ia bukannya gundik Han Kim Kong! Ia seorang dengan mata celi, ia bisa lihat kau sebagai seorang yang bisa dibuat andalan. Maka kau mesti tolong dia, tolong dirinya, seumur hidupnya! Jangan kau cela atau sia-siakan nona itu."

   "Aku tidak cela dia, suhu, aku tidak akan sia-siakan padanya,"

   Tek Hui bilang.

   "Ia begitu manis budi, aku malah suka padanya, aku kasihan. Cuma, kalau aku nikah ia, adakah itu perbuatannya satu laki-laki?" 321

   "Kau keliru! Kau toh tolong seorang perempuan lemah! Kau bukannya rampas isteri atau tunangan orang! Kau sebatang kara, juga si nona, malah kalau kau nikah dia, dia jadi punya andalan, kau jadi punya kawan hidup. Tentang Han Kim Kong, kau serahkan dia padaku, umpama aku binasa, kau cuma harus hidup berdua, dengan beruntung."

   Bukan main terharunya Tek Hui, akan dengar ucapannya guru itu, hingga berbareng pun hatinya menjadi lega.

   "Memang, apa halangannya akan aku terima Siauw Hong? Ia benar-benar bukannya gundik dari Han Kim Kong! Ia gadik baik-baik, ia dirampas, ia dipaksa dijadikan gundik! Ia bercelaka, lantas aku tolong dia! Kenapa aku tak mau menolong terus? Aku harus nikah ia secara sah, di muka umum! Cuma............"

   Ia berhenti berpikir, ia lantas ingat Louw Po Go.

   "Po Go telah curi kim-jie-ie pengasihnya Siauw Hong, ia nampaknya tidak tahu malu. Kalau aku nikah Siauw Hong, apa ia mau mengerti? Pasti ia akan ganggu kita."

   "Suhu, di sana ada lagi Louw Po Go,"

   Ia kata pada gurunya, dengan likat.

   "Aku tahu tentang nona itu,"

   Kata Pheng Jie.

   "Louw Thian Hiong dan Louw Thian Hiap, dua-dua sahabatku. Aku tidak nyana yang keluarga Louw bisa melahirkan anak semacam Po Go, bugeenya tinggi, piauwnya liehay. Aku telah buktikan sendiri kegagahannya anak 322 itu, yang tak dapat dicela. Kau tahu, ketika kau dikejar oleh Thong Loo-thayswee, Lauw Lo Liong, Toa Lo Tay dan kawan-kawannya, aku telah kuntit mereka, karena aku hendak bantu kau andaikata kau tidak sanggup tempur mereka itu. Tetapi sebelum aku turun tangan, si nona sudah mendahului, ia telah gunai piauwnya akan rubuhkan semua jago itu! Kau tahu apa kata pamannya Po Go? Setiap ketemu orang, ia kata yang si nona sudah ditunangkan sama kau! Rupanya Louw Po Go datang kemari pada tiga hari yang berselang bersama pamannya, ia pernah datang kemari akan ramalkan dirinya, tentang jodohnya akan terangkap atau tidak. Ketika mereka datang, aku umpatkan diri di dalam kamarku ini, agar ia tak dapat lihat aku. Umpama kata ia lihat aku, pasti ia atau pamannya akan betot tanganku supaya aku suka jadi orang perantaraan buat urusan jodohnya itu."

   "Aku tak penujui nona itu,"

   Kata Tek Hui.

   "Ia kalah daripada Siauw Hong,...."

   "Menurut aku, Po Go pun cocok untuk jadi pasangan kau,"

   Pheng Jie sebaliknya bilang.

   "Teristimewa karena bugeenya itu. Kalau dia jadi isterimu, dia akan jadi pembantu sangat berharga bagi kau. Tapi di sana ada Siauw Hong, memang sukar akan kau menikah dua isteri. Buat tolong orang, kau mesti menolong sampai di akhirnya, apapula nona yang harus dikasihani itu. Kau mesti unjuk, yang dirimu satu laki-laki sejati. Mengenai Po Go, kalau aku 323 ketemu Thian Hiong, aku nanti coba bikin beres. Tapi kau harus ketahui, Thian Hiong pun penuju kau, karena kegagahan dan sifat-sifat."

   "Suhu, aku mesti kembali ke Hoat-wan Piauw- tiam,"

   Kata Tek Hui kemudian.

   "Ketika aku keluar dari sana, piauw-tiam itu kosong dan pintunya juga terpentang."

   "Kalau sekarang kau pergi ke sana, kau seperti antari diri ke dalam jaring,"

   Sang guru bilang.

   "Pasti sekali di sana sudah berkumpul banyak hamba polisi."

   "Itulah tak apa,"

   Tek Hui bilang.

   "Aku justeru hendak cari Thay-thay dari Gie-su. Thay-thay itu adalah encie angkat dari Siauw Hong, dan Siauw Hong pesan aku untuk menyampaikan kabar pada Thay- thay."

   "Itu pun bukannya urusan penting, kau bisa urus itu belakangan,"

   Pheng Jie tetap mencegah.

   "Aku kasih tahu kau, sebentar malam aku nanti satroni Han Kim Kong, akan adu jiwa padanya, dan aku larang kau ikut aku!"

   "Kenapa begitu, suhu?"

   Murid ini sangat tak mengerti.

   "Karena aku tidak ingin kau membunuh orang dan selanjutnya jadi orang gelap!"

   Pheng Jie terangkan.

   "Kau masili muda, pengharapanmu besar, sedang kau mesti menikah, mendapat anak atau turunan, untuk mendirikan rumah tangga guna bangunkan suatu usaha. Sebenarnya, aku pikir tidak pantas buat aku 324 layani Han Kim Kong, tetapi dia sangat jahat, ia terlalu menghina si miskin dan lemah! Lihat saja ia telah ubrak-abrik warung orang dan melukai orang, terutama Siang Kiu yang sudah tua dan lemah! Maka apa aku bisa mengawasi saja kelakuannya ini? Maka aku mesti tempur dia! Tapi kau tidak perlu bantu aku, jikalau kau langgar lagi laranganku ini, tidak saja aku akan putuskan pertalian guru dan murid, aku pun janji satrukan kau! Jangan kau pandang enteng padaku dan anggap aku sendirian tak mampu layani Han Kim Kong!"

   


Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id

Cari Blog Ini