Ceritasilat Novel Online

Durhaka 4


Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 4



Durhaka Karya dari Boe Beng Tjoe

   

   "Toako, lekas kuntji pintu!"

   Lantas ia kabur kedjalan besar. Dengan napas memburu, Siauw Sek Tauw memasuki sebuah rumah penginapan. Ia melihat tuan rumah serta beberapa pegawainja lagi duduk berpesta. Pemilik itu manis budi, sembari tertawa, ia kata.

   "Eh, botjah, mari! Mari duduk minum bersama kami!"

   Siauw Sek Tauw tidak menampik atau menerima, tak sempat ia menghaturkan terima kasih. Ia hanja menanja.

   "Aku numpang tanja apakah kamu kedatangan seorang nona jang menunggang kuda bersama seorang prija?"

   Seorang djongos tertawa.

   "Kau lutju!"

   Katanja.

   "Dihari raja begini mana ada tetamu sekalipun sepotong?"

   Siauw Sek Tauw tidak melajani bergurau, lantas ia lari keluar pula ia pergi kesebuah hotel lainnja.

   Pintu sudah dikuntji, ia mengetuk.

   Lama ia mengetuk-ngetuk, pintu hotel tetap tidak ada jang membuka.

   Djusteru itu diseberangnja ada sebuah hotel lain lagi dan disana kebetulan ada suara berisik, datangnja dari dalam hotel, maka ia lari menghampiri, terus masuk kedalam.

   Kalau hotel lainnja sepi, hotel ini ramai.

   Diluar pun ada dua ekor kuda tengah ditambat dan binatang itu lagi meringkik.

   "Sudah, sudah, djangan berkeiahi!"

   Terdenggr suara seorang djongos.

   "Hebat kalau sampai ada jang terluka atau terbinasa!"

   Segera Siauw Sek Tauw melihat dua orang tengah bertempur.

   Itulah In Tiong Hiap seria seorang lain.

   Mereka sama sama menggunai golok.

   Meskipun goloknja In Tiong Hiap pendek dan lengannja terluka, dia nampak garang, dia dapat mendesak lawannja, jang bukan lain dari pada Ngo Hoa Kiat jang bergelar "Sin-Koen Tiat-Pang,"

   Atau si "Kepalan Sakti Toja Besi."

   Ialah soe-heng, kakak seperguruan, dari Lauw Kie Go. Mungkin karena ia tidak menggunai tojanja, ia terpaksa main mundur.

   "Soeheng, mundur!"

   Tiba tiba terdengar seruan dari ruang dalam.

   Itulah suaranja seorang wanita, ialah nona Lauw.

   Menjusul itu lantas terdengar suara menjambarnja anak panah.

   Menjusul itu pula terlihat Pek Ma Looya roboh.

   Ngo Hoa Kiat madju pula, untuk membatjok lawannja.

   "Djangan bunuh Pek Ma Looya!"

   Teriak satu orang.

   Itulah Siauw Sak Tauw, jang berlompat madju sambil menangkis.

   Ngo Hoa Kiat mendjadi kaget.

   Luar biasa kesudahannja bentroknja kedua sendjata.

   Goloknja sendiri golok besar,golok panghadangnja golok ketjil sekali, tetapi goloknja kena terpapas! Saking heran, ia lompat mundur.

   Ketika itu Nona Lauw muntjul.

   Ia telah menjiapkan panahnja, dengan mata bersinar bengis, ia mengintjar kepada Siauw Sek Tauw.

   Ia gusar sekali terhadap penghadang ini, maka ia hendak memanahnja.

   In Tiong Hiap menahan njerinja, ia lompat bangun.

   Segera ia melintang didepan Siauw Sek Tauw, untuk melindungi tubuh botjah itu.

   "Lauw Kie Go, tahan!"

   Kata ia njaring.

   "Kau djangan panah dia! Kalau kau mau memanah, panahlah aku! Aku berani datang kemari, itulah bukti bahwa aku tidak takut mati! Barusan djuga, kalau bukan Hoa Kiat jang menjerang terlebih dahulu, tidak nanti aku melajani dia! Botjah ini tidak bermusuhan denganmu, djangan kau panah dia! Bukankah kau tjuma menghendaki djiwaku? Inilah kebetulan! Memangnia aku berniat pergi kedunia baka, guna menjusul arwah ajahmu! Baiklah, kau lihat sekarang kau lihat, In Tiong Hiap laki-laki sedjati atau bukan!"

   Menutup kata-katanja itu, djago tua ini menggunai goloknja menikam lehernja sendiri.

   Akan tetapi Siauw Sek Tauw jang berada dibelakangnja, dia lantas menggunakan kedua tangannja, merangkul dan memegang keras tangan si djago tua, mentjegahnja membunuh diri.

   Sambil menangis, dia djuga berkata.

   "Djangan, Looya, djangan !."

   In Tiong Hiap gusar.

   "Djangan kau tjampur urusanku!"

   Bentaknja. Dengan satu tendangan, ia bikin tubuh si botjah terpental. Akan tetapi, satu orang lain, lantas menggantikan Siauw Sek Tauw mentjegahnja. Orang ini terus berlutut didepannja, untuk berkata sambil menangis.

   "Looya, djangan kau berpikiran pendek! Sakit hati Nie Thay Po dan Kwee Hay Peng masih belum terbalaskan, tak dapat kau mengorbankan djiwamu setjara begini ! ..."

   Lauw Kie Go berdiri mendjublak.

   Ia mendjadi heran untuk apa jang ia dengar dan saksikan itu.

   In Tiong Hiap sangat mendongkol, tak dapat ia mengatakan sesuatu, tubuhnja roboh terkulai.

   Siauw Sek Tauw lompat madju, untuK.

   membangunkannja, maka tubuh djago tua itu mendjadi separuh duduk dan separuh rebah.

   Orang jang lainnja itu, ialah Djie Kang jang telah datang menjusul sudah lantas menghampiri nona Lauw.

   Ia memberi hormat sambil mengangguk kepada nona itu, djuga kepada Ngo Hoa Kiat, jg tertjengang seperti si nona.

   Ia kata.

   "Nona dan tuan, aku mohon sukalah kamu menaruh belas-kasihan, djangan kamu membunuh Pek Ma Looya "

   "Kau siapa?"

   Bentak Hoa Kiat mendongkol.

   "Sabar, tuan,"

   Kata Djie Kang.

   "Kau, nona, djanganlah kau memanah dulu! Hendak kami membawa Pek Ma Looya kedalam, untuk dia beristirahat, nanti aku memberikan keterangan kepada kamu, supaja duduknja hal mendjadi djelas."

   "Baik!"

   Kata si nona, masih sengit, sedang dengan mata bengis, ia mengawasi In Tiong Hiap.

   "Biarlah dia hidup lagi sesaat! Dia toh tak akan dapat kabur!"

   Bsrkara begitu, sinona lantas memutar tubuh, buat masuk kedalam kamarnja.

   Djie Kang berbangkit, lanias ia membantu Siauw Ssk Tauw menggolong Pek Ma Kie-Hiap masuk kedalam.

   Mereka dibantu oleh beberapa djongos.

   Setelah itu, ia lantas pergi mentjari Lauw Kie Go, jang lagi menantikan didalam kamarnja.

   Tanpa ragu2, ia memberikan keterangannja, ia mulai hendak mewudjudkan pesan gurunja, untuk mentjari Kie Hay Auw dan In Tiong Hiap, supaja mereka itu dapat membalaskan sakit hati Nie Thay- Po.

   Ia kala, ia menjesal bahwa ditengah djalan ia tertipu dan ditjelakai orang djahat, selain uangnja dirampas pedangnjapun dibawa pergi, bahwa ia terutama memberati pedang itu.

   Karena ia ditolong oleh Siauw Sek Tauw, ia djadi turut botjah itu menemui In Tiong Hiap.

   "Sajang,"

   Katanja pula.

   "karena Pek Ma Kie Hiap menugaskan puteranja, Ong Bong Hiap, urusan mendjadi katjau. Anak itu menjeleweng, dia bukannja membunuh Tjong Haksu, dia bahkan menikah dengan gadisnja haksu itu, bahkan paling tjelaka, dia membunuh ajahmu, nona"

   Sipandai besi itu bertjeritera dengan perlahan dan sabar.

   Mulanja Kie Go sudah tak sabaran, atau achirnja, ia mendjadi sangat ketarik hati, sebab erang membuka tabir rahasia kebinasaan ajahnja.

   Djadi ajahnja itu bukan mati ditangan In Tiong Hiap hanja oleh Ong Bong Hiap.

   Mendadak sadja ia menangis ter-sedu2.

   Lauw Kie Go berusia duapuluh-dua tahun, ia mengundaikan rambutnja.

   Rupanja inilah buat mentjegah orang menggodai atau mengganggunja ditengah djalan.

   Untuk mentjapai maksudnja mentjari balas, tak ingin ia terhalang oleh urusan tetek bengek.

   Ia pula mengenakan pakaian berkabung dan kundainja ditusuk dengan tusuk kundai putih dan diselipkan sepotong tjita putih pula.

   Ia bertubuh djangkung dan langsing, wadjahnja tjukup tjantik.

   Karena ia menangis sedih, ia tak lagi nampak sebengis tadi.

   Sekarang ia ketahui duduknja hal.

   "Ada dimana Ong Bong Hiap sekarang?"

   Tanjanja kemudian.

   "Entahlah, di Ong Ok San atau di Hoa Im,"

   Sahut Lie Djie Kang.

   "Digunung itu, jang mendjadi kampung halamannja, ia kenal seorang nona jang mendjadi patjarnja, maka ada kemungkinan nona itu tak mau melepaskan dia pergi, akan tetapi di Hoa Im, dia telah menikah dengan gadisnja Tjong Haksu. Ini sebabnja maka aku bilang, dia mungkin ada di Hoa Im "

   Kie Go menjusut air matanja, ia mengangguk.

   "Baiklah!"

   Kalanja sabar.

   "Ketika ajahku terbinasa didalam hotel di Tjingtjiu, aku tidak tahu siapa pembunuhnja, aku menduga kepada In Tiong Hiap, karena itu aku pegat dia dipenjeberangan Hong Leng, dimana aku panah padanja. Lalu aku menjusul sampai disini. Tadipun dia jang menjateroni kami disini. Karena urusan telah djadi djelas, baik, aku takkan musuhkan dia terlebih djauh. Tapi anaknja, Ong Bong Hiap, dia tak bakal dapat ampun!"

   "Kalau begitu, su-moay!"

   Kata Ngo Hoa Kiat, jang mendampingi adik seperguruan itu.

   "mari kita berangkat sekarang djuga! Kita pergi ke Ong Ok San mentjari Ong Bong Hiap! Kalau dia tidak ada disana, baru kita susul dia di Hoa Im!"

   Lauw Kie Go setudju.

   "Mari!"

   Kata dia jang segera bersiap.

   "Tunggu sebentar, nona,"

   Kata Djie Kang.

   "Sebenarnja tidak selajaknja aku memberitahukan kamu hal dimana beradanja Ong Bong Hiap, akan tetapi karena urusan mendjadi ruwet begini rupa, aku terpaksa bitjara djuga. Sekarang aku ingin beri tahukan kau satu hal, nona, begitu djuga kau, tuan. Ong Bong Hiap liehay, dia tidak dapat dipandang ringan, sudah begitu, dia sekarang bersendjatakan pedang Pek Kong Kiam jang tadjam luar biasa. Tak tjukup dia dilawan hanja dengan panah ..."

   Kie Go dan Hoa Kiat mengawasi. Mereka heran. Djie Kang berhenti bitjara dengan tiba2, ia mergawasi si nona dengan mata berlinang linang. Nampaknja sangat sulit buat ia meneruskan kara2nja. Tapi achirnja, ia berkata d juga .

   "Aku lihat kamulah orang2 gagah sedjati, maka itu aku pertjaja, disamping kamu dapat mengurus urusan kamu pribadi, mungkin kamu djuga dapat bekerdja guna orang banjak. Untuk orang lain, kumaksudkan. Kamu telah mendengar perihal kedjahatan Tjong Haksu, sudah begitu, sekarang dia mengumbar anaknja berbuat gila2an, mentjelakai orang banjak, karena itu, ada baiknja apabila kamu dapat menjingkirkan dia. Itu bukan berarti kamu tjuma membalaskan sakit hati Nio Thay Po dan Kwee Hay Peng. Djikalau kamu setudju, nona dan tuan, aku minta sukalah kamu menunda keberangkatanmu sekarang, buat menunda sampai besok pagi, nanti aku membuatkan kamu sebatang pedang mustika dengan mana kamu dapat melawan pedang Pek Kong Kiam itu! Dengan membawa pedang mustika, kalau kamu bertemu dengan Ong Bong Hiap, pasti kau tidak usah kuatirkan apa djuga!"

   Kie Go tidak memperhatikan pedang mustika, tidak demikian dengan Hoa Kiat. Dia baru sadja mengenal golok tadjam luar biasa dari Siauw Sek Tauw, sehingga dia djadi ingin sekali memiliki sendjata liebay sematjam itu.

   "Benakah kau dapat membuat pedang mustika?"

   Demikian dia tanja. Djie Kang mengangguk.

   "Golok mustika jang ketjil dari Siauw Sik Tauw itu buatanku!"

   Sahutnja.

   Hoa Kiat sudah lantas berbitjara perlahan dengan adik seperguruannja.

   Nona itu tiap2 kali menepas air matanja, tetapi pada achirnja, ia mengangguk, menjatakan setudjunja.

   Ia kata ia mau mentjari dulu pada Bong Hiap, baru ia mau urus sakit hati Nie Keng Giauw dan Kwee Hay Peng.

   Djie Kang girang, hingga semangatnja djadi terbangun.

   Ia lantas lari balik pada Siauw Sek Tauw.

   Ketika itu si Batu Ketjil tengah melajani In Tiong Hiap, jang sudah sadar dari semaputnja.

   Sesudah lengan kirinja terpanah, sekarang terpanah djuga lengan itu bagian atasnja.

   Ia gusar, bukan terh-dap Nona Lauw, hanja terhadap puteranja, jang mendjadi biang gara2.

   Djie Kang hendak mengadjak Siauw Sek Tauw pulang, akan tetapi, melihat keadaannja In Tiong Hiap, ia mendjadi berdiam.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia sangsi.

   Siauw Sek Tauw sebaliknja merasa tidak aman bagi sidjago tua, kalau djago itu tetap berdiam didalam hotel, maka ingin ia mengadjak pindah kerumah Empe Tjin.

   Sesudah dibudjuk, Pek Ma Kie Hiap suka pindah ke Gang Kwee Seng, tetapi didalem sengitnja, ia kata .

   "Aku tidak mati maka suatu waktu, mesti aku pergi ke Hoa Im mentjari anak tjelaka itu! Terhadap Nona Lauw, aku tidak bersakit hati. Sesudah membalaskan sakit hati Nie Thay Po, guna memenuhi djandji terhadap Kwee Hay Peng, akan kukutungi batang leherku, buat diserahkan pada Nona Lauw itu, sedangkan arwahku, setelah pergi ke neraka, akan pergi memjari Lauw Beng Liong, buat kita mengadu pedang pula.

   "

   Setibanja dirumah, sesudah mempernahkan In Tiong Hiap, Djie Kang menarik Siauw Sek Tauw kedapur, buat mulai bekerdja, terutama untuk segera menjalakan api, dan membikin dapur mereka marong.

   Dalam tempo jang tjepat, mereka sudah membakar besi, mengetuk dan merendamnja.

   Siauw Sek Tauw tetap mendjaga apinja dengan Djie Kang terus meniliknja, untuk mengendalikan api itu.

   Suara tangtingtong berisik sekali.

   Selama itu, djikalau tidak sangat perlu, Djie Kang tidak bitjara.

   Ia bekerdja dengan sangat tekun.

   Hongkui selalu menggebus mengeluarkan anginnja membikin arang batu terus membara.

   Siauw Sek Tauw letih dan ngantuk, napasnja memburu.

   Djie Kang tidak kurang lelahnja, dia sampai ter-bungkuk2.

   Diapun ingin sekali tidur.

   Achir-achirnja, setelah sang fadjar ntuntjul, rampung sudah kedua pedang itu Tjie Tian dan Tjeng Song.

   Karena itu, karena hongkui tidak digunakan pula, dapurpun mulai padam sendirinja.

   "Nah, toako, mari kita beristirahat!"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Sekarang tak usah kita ter-gesa2 lagi. Pek Ma Looya lagi sakit, tidak dapat dia segera membantu kila mentjari musuh."

   "Kita harus tjoba dulu pedang kita ini, adik,"

   Kata si loako.

   "Hanja kau batjok aku!"

   Djie Kang memegang dan mengangkat martilnja.

   Siauw Sek Tauw mendjemput Tjie Tian Kiam.

   Ia rada bersangsi tetapi ia membatjok.

   Mendadak sadja, ia mendjadi girang.

   Pedang itu membikin martil terpapas terbelah.

   Lantas ia mentioba Tjeng Song.

   Kesudahannja sama berhasilnja.

   Djie Kang memeriksa bagian tadjamnja kedua pedang, tidak ada jang gompal, dari itu, ia girang sampai ia lompat bcrdjingkrak dan tertawa berkakak.

   Tiba-tiba ia berhenti tertawa lantas menangis, malah terus ia muntah darah! Siauw Sek Tauw kaget, lekas-lekas dia menolong toako itu.

   "Kau kenapa, toako?"

   Lanjanja heran. Si pandai besi tidak dapat lantas mendjawab, napasnja terus memburu. Tepat waktu itu, di luar terdengar ringkik kuda disusul dengan gedoran pada pintu, disusul pula dengan pertanjaan keras.

   "Apakah Lie Djie Kang tinggal di sini ?"

   Siauw Sek Tauw melengak.

   "Siapakah itu?"

   Tanjanja.

   "Perlu apa pada waktu begini orang datang mentjari?"

   Djie Kang sudah lantas menjembunjikan Tjie Tian ke dalam liang dapur, sedarg Tjeng Song ia ijekal. Sama lekasnja, ia menghadap ke luar dan memberikan djawabannia .

   "Benar! Ngo Hapsu, silahkan masuk!"

   Lalu ia menolak tubuhnja si Batu Ketjil, buat menjuruhnja membuka pintu.

   Belum lagi Siauw Sek Tauv bekerdia atau orang sudah lompat melewati tembjk pekarangan.

   Dia benar Sin Kun Tiat Pang Ngo Hoa Kiat.

   Di luar terdengar ringkiknja dua ekor kuda, itulah tanda bahwa Lauw Kie Go turut datang bersama.

   "Pedang itu sudah rampung dibikin atau belum?"

   Hoe Kiat tanja.

   "Kami akan berangkat sekaiang djuga!"

   Djie Kang berlari lari keluar.

   "Sudah, sudah!"

   Sahutnja. Ia mengangsurkan Tjeng Song Kiam.

   "Inilah dia pedangnja! Tolong hiapsu menjerahkannja kepada Nona Lauw! Aku mohon dengan sangat, tolonglah balaskan sakit hati Nio Thay Po dan Kwee Han Peng?"

   "Aku tahu, tak usah kau memesan lagi "

   Berkata Hoa Kiat, jang menjambuli pedang mustika itu, jang ia lantas periksa, kemudian ia menarik toja besija jang mirip rujung, untuk dtbentrokki satu psda lain.

   Kesudahannja ia mrlengak saking kagum.

   Tojanja itu putus seketika.

   Maka achirnja, ia mendjadi sangat girang.

   "Nah, sampai ketemu pula!"

   Katanja seraja ia lompat pergi melebati tembok pekarangan, hingga di lain saat, terdengarlah derap kuda mereka jang dilarikan ketas. Djie Karng menjender pada pintu, napasnja memburu. Siauw Sek Tauw tidak mengerti.

   "Toako,"katanja.

   "susah-susah kita membuat pedang, kenapa kita berikan pada mereka? Ada hubungan apakah di antara mereka dan kita"

   "Memang tadinja tidak ada hubungan tetapi sekarang mereka telah berdjandji akan bekerdja untuk kita,"

   Sahut si pandai besi "Kita tidak dapat menanti Pek Ma Looya atau Kie Hay Auw jang djauh di kota radja, sedang urusan kita penting sekali, ada baiknja kita rrinta bantuan mereka"

   "Dapatkah mereka itu dipertjaja?"

   Tanja pula Siauw Sek Tauw.

   "Dapatkah mereka diandalkan?"

   "Dapat!"

   Sahui Djie Kang, mengangguk.

   "Lihat sadja buktinja tadi malam. Mereka bermusuh dengan Pek Ma Looya, setelah mendengar keterangan kita, amarah mereka lamas mendjadi reda, kontan mereka tidak memusuhkan Looya lagi, melainkan mau tjari Ong Bong Hiap sadja. Teranglah mereka bangsa jang dapat membedakan keadilan. Aku pertjaja mereka bakal melakukan baik-baik permintaan kita."

   "Kenapa tadinja toako tidak mau berdamai dulu denganku?"

   Tanja Siauw Sek Tauw jang masih bersangsi.

   "Aku kuatir kau kena diakali! Aku lihat Ngo Hoa Kiat mirip Hek Bian Kwe, sedangkan Kie Go seorang wanita, tak dapat dia dipertjaja habis. Mereka pula biasa menggunakan toja dan panah, mana dapat mereka memakai pedang? Benar- benar aku kuatir pedarg itu nanti terdjatuh pula ditangan Bong hiap! Toako, kau sangat djujur, aku kuatir kau tertipu!"

   Djie Kang berdiam, hatinja tergontjang.

   "Tidak apa,"

   Kataja kemudian, menenangkan diri.

   "Aku toh masih mempunjai sebuah jang lain? Kita tunggu sembuhnja Pek Ma Looya, lalu pedang kita itu kita serahkan padanja, biar Pek Ma Looya jang mewakilkan kita menuntut balas."

   Siauw Sek Tauw masih bersangsi, ia tetap berkuatir.

   "Toako, berapa banjak pedang mutika dapat kau bikin?"

   Katanja.

   "Kalau kau bikin satu, kau menghadiahkan satu, bukankah itu berarti, makin banjak, makin banjak sadja kau membuatnja? Aku kuatir, achir-achirnja sakit hati Nie Thay Po dan Kwee Hay Pe ng tak dapat terbalas..."

   Djie Kang mendjublak terus, nampak ia menjesal. Baru ia sadar sesudah mendengar suara tarikan napas dari dalam.

   "Looya tentu telah mendusin."

   Katanja sambil menarik tangan kawannja.

   "Mari kita lihat! Hal ini tak dapat kita beritahukan padanja..."

   Siauw Sek Tauw menurut, keduanja lari masuk.

   Tiba-tiba di dalam, Siauw Sek Tauw kena indjak darah muntahnja Djie Kang, hatinja pilu, ia ingat pula pedang jang diberikan kepada Kie Go, kembali ia berduka, hingga alisnja berkerut rapat.

   Djie Kang berbisik pada kawannja itu .

   "

   Seperti tadi aku bilang, aku tidak dapat menantikan sembuhnja Pek Ma Looya.

   Kau lihat sadja, dia lerluka parah, Diapun tidak boleh tahu apa jang kita lakukan kalau dia tahu, mungkin dia paksa berangkat sekarang djuga, Kalau dia berangkat, ada kemungkinan roboh dan mati ditehgah djalan.

   Bong Hiap itu putranja sendiri, benarkah dia tega membunuhnja meski si putra telah berbuat salah besar? Sekarang ini, kedudukan Tjong Haksu djuga mendjadi kuat sekali.

   Disamping Piauw Hiong Tjay, disana ada Ong Bong Hiap! Itulah sebabnja Kempa aku lantjarg menaruh kepertjajaan atas diri Nona Lauw Kie Go, Meski kita tidak kenal dia, aku pertjaja dialah wanita sedjati.

   Kau tahu, aku djuga tidak tahu kapan aku bakal mati, karenanja, tidak dapat aku main ajal-ajalan.

   Kau tahu, aku sudah melanggar sumpahku terhadap guruku"

   Mendadak ia berhenti, ia menangis terisak, tubuhnja menggigil. Siauw Sek Tauw bingung.

   "Ada lagi jung kukuatirkan,"

   Kata Djie Kang pula.

   "Itulah keselamatan keluarga Kwee. Aku kualir terdjadi sesuatu pada keluarga itu. Njonja Kwee sudah tua dan anak- anaknja semua lemah. Aku takut Ong Bong Hiap nanti pergi mengganggu mereka. Bukankah Tio Tay Tjun pergi mengatakan bahwa Bong Hiap pernah pernah ke rumah keluarga itu? Dengan djandjinja Lauw Kie Go, hatiku tjuma lega sedikit. Meski demikian, adik, ketjurigaan kaupun beralasan... O, adik, aku bingung sekali. Bagaimana kesudahannja nanti? Adik, baik begini sadja. Kau mengerti silat, bukan? Baiklah kau pergi sendiri menjusul Nona Lauw! Kau bawa pedang Tjie Tian ini! Untuk perdjalananmu, akan kuberi kau uang. Kau dapat membeli kuda untuk menjusul!"

   Siauw Sek Tauw mengangguk.

   "Buatku, toako tak perlu menggunakan Tjie Tian Kiam!"

   Katanja.

   "Tjukup untuku menggunakan golokku jang ketjil ini! BaiKlah, toako, aku akan berangkat sekarang djuga! Aku pergi untuk bekerdja sendiri, tak perlu bantuan orang! Akan kubalaskan sakit hati Nie Thay Po dan Kwee Hay Peng! Dengan kepergianku ini, sekalian aku mentjari pengalaman. Toako djangan kuatir, aku akan waspada dan hati-hati supaja tidak gagal. Hanja ..Pek Ma Looya lagi sakit dan toako sendiri muntah-muntah darah, bagaimana hatiku akan tenang pergi djauh? ..."

   "Djangan kuatir, djangan kau pikirkan kami."

   Kata Djie Kang.

   "Luka Looya luka terpanah, djiwanja tidak terantjam bahaja. Aku djuga dapat menanti sampai kau pulang. Disini aku dapat tinggal tenteram, dan sanakmu ini telah aku kenal baik."

   Siauw Sek Tauw mengangguk.

   "Tentang sanakku ini, asal kuulurkan uang, mereka tak usah dikuatirkan lagi,"

   Katanja.

   "Baik toako, sekarang djuga berangkat, aku tidak mau berpamitan dari siapa djuga!"

   "Baik, adik!"

   Kata Djie Kang, jang lantas memberikan sedjumlah uang perak ssrta dua lembar tjek.

   Siauw Sek Tauw pergi mengambil goloknja, dengan itu ia ngelojor keluar.

   Dongan terbungkuk bungkuk, Djie Kang mengantarkan sampai diluar, dimuka djalan besar.

   Siauw Sek Tauw mengawasi warung arak itu, lalu ia menghadapi Djie Kang dan kata.

   "Toako, baik-baiklah kau rawat diri!"

   Djie Kang mengutjurkan air mata, ia terharu sekali.

   Itulah namanja sahabat sedjati.

   Siauw Sek Tauw berlalu dengan kepala diangkat.

   Tjuatja sudah terang ketika ia sampai didjalan besar, ia pergi kesebuah rumah penginapan jang ia kenal, lantas mengeluarkan dua tahil perak, untuk menjewa seekor kuda tunggang dengan mana ia melakukan perdjalanannja.

   ia tidak berkata dengan djelas mau pergi kekota radja katanja ia hendak mendjenguk sahabatnja di ketjamatan lain.

   Ia tidak biasa menunggang kuda tetapi tubuhnja lintjah, dapat ia berduduk terus diatas punggung kuda sewaan itu.

   Dengan tjepat ia meninggalkan Kiok-yauw.

   Matahari pagi membuatnja segar.

   Tudjuannja ialah Selatan.

   Hari itu dilalui sedjauh dua ratus lie lebih, malamnja Siauw Sek Tauw singgah di Kay tjioe.

   Ia merasa puas.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Malam itu ia dapat tidur dengan njenjak, rnpanja ini disebabkan karena siang harinja ia letih habis menunggang kuda demikian djauh dan lama.

   Pada lain harinja, ia berangkat pagi-pagi.

   Kembali ia melarikan kudanja keras- keras.

   Ia telah mulai mendjadi biasa.

   Ia mengambil djalan besar.

   Menuruti hatinja, ingin ia segera tiba di Hoa Im.

   Kira2 tengah hari, tibalah botjah ini dipenjeberangan Hong Leng, hingga ia melihat air sungai Hong Hoo jang kuning bergulung gulung.

   Disana sini tampak lajar-lajar perahu.

   Pada waktu hendak ia menuntun kudanja naik keatas perahu eretan jang besar, untuk menjeberangi sungai, tiba-tiba telinganja mendengar.

   "Eh, eh, apakah itu bukaunja Siauw Sek Tauw?"

   Ia heran. Itulah suara seorang wanita. Lantas ia mendengar suaranja seorang prija.

   "Ja, dialah Siauw Sek Tauw! Eh, Siauw Sek Tauw, kenapa kau ada disini?"

   Dipenjeberangan itu ada empat buah perahu eretan.

   Ada banjak orang jang hendak pergi ketempat lain, mungkin enam atau tudjuh puluh orang.

   Mereka itupun, ada jang membawa barang, ada jang menuntun kuda.

   Bahkan ada segerombolan babi jang akan diseberangkan! Ketika Siauw Sek Tauw menoleh kearali suara orang itu, ia melihat seorang jang lagi menggapai kearahnja.

   Itulah sipria jang barusan menjebat namanja.

   Dia bukan lain daripada Ngo Hoa Kiat, suhengnja Nona Lauw Kie Go.

   Disamping dia ada sinona, orang jang pertama menjebutnja.

   ia lantas menuntun kudanja, menghampiri mereka itu.

   "Ah, kamu berdjalan lebih perlahan daripada aku!"

   Katanja.

   "Ja."

   Sahut Hoa Kiat.

   "Mari, mari kita menjeberang bersama!"

   Siauw Sek Tauw mengangguk.

   Tidak lama, sampailah mereka ditepi lain.

   Tanpa banjak omong, mereka berdjalan bersama.

   Mereka sama2 menunggang kuda.

   Mereka sekarang berada diwilajah Tong Kwan perbatasan antara kedua propinsi Siamsay dan Hoolam.

   Selagi melewati kota terusan itu, mereka tidak mendapat kesulitan dari serdadu2 pendjaga pintu kota jang memeriksa setiap orang jang mundar-mandir disitu.

   Dari kota barat, mereka dapat melihat gunung Hoa San jang tinggi dan hidjau.

   Disebelah barat itu jalah djalan besar untuk Kwan-tiong.

   Angin musim rontok ber-tiup2.

   Ditengah djalan itu, kuda-kereta berlalu-lintas tak putusnja.

   "Sebenarnja kami berniat pergi dahulu ke Ong Ok San,"

   Ngo Hoa Kiat berkata, memetjah kesunjian, sesudah lama mereka sama2 bungkam. Ialah seorang usia pertengahan dan mukanja hitam, wadjahnja gagah.

   "Di Tjiangtjiu kami bertemu beberapa piauwsu diantara siapa ada jang bertjerita bahwa pada suatu bulan jang lalu ada berita dari Hoa Im bahwa Ong Bong Hiap sudah kembali kerumah mertuanja, dan bahwa dia berani omong terus-terang bahwa dialah orang jang menggunakan akal membunuh guruku ...

   "

   "Buat apa mentjeritakan itu ?"

   Menegur Lauw Kie Go jang duduk diatas kuda disamping mereka. Suara sinona kaku dan wadjahnja keren. Hoa Kiat tinggal diam, sedang Siauw Sek Tauw tidak menjahut. Maka bersama-sama, mereka memetjut kuda mereka laju keras. Nona Lauw kabur paling depan.

   "Siauw Sek Tauw, dapat aku menerka kedatangan kau ini,"

   Kata Hoa Kiat ditengah djalan. Mereka ditinggalkan sinona, merela merendengkan kuda mereka.

   "Tentulah tak tenang hati Djie Kang setelah dia memberikan pedang kepada kami, dia lantas menjuruh kau menjusul. Tapi kau djangan kuatir. Kami bangsa laki2! Satu kali kami menerima tugas, kami akan lakukan itu dengan baik! Kami bukan sembarang orang Kang Ouw jang tidak menghargai nama baiknja. Untuk kami, soalnja jalah soal waktu sadja, tjepat atau lambat. Kaupun baik ketahui, sekarang kami sudah mendengar djelas tentang siapa Tjong Haksu itu, jang bernama Kiat. Dialah hartawan busuk, sedang puteranja jang ke-tiga, tidak kurang djahatnja. Anak itu mendjadi okpa, djago djahat, jang dibantu oleh Biauw Hiong Tjay jang kedjam. Maka itu, walaupun Lie Djie Kang tidak minta bantuan kami, kami sendiri ingin menjingkirkan mereka, guna menolong orang banjak dari gangguan mereka! Djuga aku ingin beritahukan kau, sesampainja di Hoa Im, kami akan menunda urusan pribadi kami, kami hendak terlebih dahulu turun tangan menghabiskan djiwa sihaksu durdjana itu, begitu pula sam-siauwya! Selesai itu, baru kami hendak tjari Ong Bong Hiap, buat membalaskan sakit hati ajah atau guru kami ..."

   Kim-Kiong Giok-Kiaw jang djalan didepan itu menoleh pula, ia menegur lagi .

   "Ah, buat apa omong sadja? Lekaslah!"

   Hoa Kiat menurut, ia melarikan kudanja, hingga Siauw Sek Tauw mesti mengikutinja.

   "Siauw Sek Tauw, kaulah seorang botjah tak dapat ditjela,"

   Kata Hoa Kiat sambil djalan.

   "Kau mengarti silat, bukan? Bagus, kau djadinja dapat meiihat tindakan kami nanti. Baik kau ketahui djuga, kami tidak kenal Nie Thay Po dan Kwee Hay Peng, mungkin kau djuga belum pernah melihat mereka, tetapi mereka tentulah orang2 baik jang telah ditjelakai manusia djahat, oleh karena itu kami sebagai orang2 Kang Ouw sedjati, menganggap adalah tugas kami untuk menjingkirkan manusia djahat itu!"

   Siauw Sek Tauw berdiam, ia hanja mengangguk.

   Mereka djalan terus, djalan terus.

   Tak mau mereka berhenti.

   Hoa Kiat bitjara pula dengan Siauw Sek Tauw.

   Kie Go sebaliknja, dia djalan terus tanpa menoleh kebelakang.

   Angin Barat bertiup keras, hampir saputangan jang dipakai melibat kundai sinona beterbangan.

   Terus sadja mereka berlari-lari ditengah djalan.

   Maka achirnja, sebelum mata hari selam diufuk Barat, mereka telah tiba diterapat tudjuan.

   Mereka berhenti di Pak Kwan, kota sebelah utara.

   Disini mereka turun dari kuda, kemudian mereka tuntun untuk pergi ketempat penjewaan kuda dan kereta, diantara siapa, ada jang Hoa Kiat kenal.

   "Kami hendak pergi mendjenguk sanak didalam kota, tak leluasa untuk membawa-bawa kuda,"

   Kata orang she Ngo itu.

   "maka itu, kami ingin menitipkannja disini untuk satu atau dua hari."

   Permintaan itu diterima, apa pula Hoa Kiat lantas membajar uang sewanja sekalian beaja rawatan dan makanan kuda itu.

   Siauw Sek Tauw tidak membilang apa2 tetapi ia dapat menerka kenapa Hoa Kiat menitipkan kuda diluar kota.

   Inilah persiagaan andaikata mereka mesti kabur.

   Dengan membawa-bawa kuda, sulit buat lolos dari pintu kota.

   Tanpa kuda, mereka bisa melompati tembok.

   Tiba di Hoa Im, sikap Kie Go mendjadi tenang, ia nampak seperti nona2 jang lainnja sedangkan selama ditengah djalan, ia berwadjah gagah, wadjahnja tegang.

   Barang bawaannja, jaitu buntalan, panah dan pedang Tjeng Song Kiam, ia bungkus mendjadi dua, ia minta Siauw Sek Tauw jang memikulnja.

   Karena itu, botjah itu merasa berabe.

   Semasuknja kedalam kota, tak djauh dari tembok, mereka lantas mendapatkan rumah penginapan.

   Mereka minta dua buah kamar, satu buat sinona, satu lagi buat kedua pria kawannja.

   Hal ini menjenangkan hati Siauw Sek Tauw.

   Kalau tidak, malu ia tinggal dalam sebuah kamar dengan seorang wanita.

   Diam2 hati Siauw Sek Tauw tegang.

   Belum pernah ia membunuh orang tetapi sekarang ia hendak merampas djiwa Tjong Haksoe.

   Kalau bisa, sekalian ia hendik membinasakan djuga sam-siauwya.

   Tak djeri ia andaikata mesti berhadapan dengan Ong Bong Hiap.

   Golok mustikanja membuat njalinja besar.

   Habis beristirahat sebentar, bertiga mereka keluar dari hotel.

   Nampaknja mereka mau pesiar.

   Djalannja pun ajal dan tenang.

   Kie Go dan Hoa Kiat mirip sepasang suami isteri.

   Siaw Sek Tauw bagaikan katjung atau keponakan mereka itu.

   Untuk mendjadi anak, ia tidak surup.

   Seperti tanpa sangadja, mereka menudju ke djalan Tjonggoan.

   Disini roman Kie Go mendadak mendjadi tegang.

   Itulah sebab hatinja berdebaran.

   Hati Siauw Sek Tauw turut gontjang djuga.

   Bukankah mereka lelah berada didepan gedung musuh? Begitu lekas mereka sampai didepan rumah Tjong Haksoe, lantas ketiganja mendjadi heran, hingga mereka mengawasi gedung dengan tertjengang.

   Gedung itu memakai merek "Tjin Soe Kip-Tee,"

   Artinja keluarga lulusan tjinsoe, tetapi merek itu ditutup dengan kertas putih.

   Waktu mereka melihat para pegawai, jang keluar- masuk, heran mereka bertambah, sebab semua pegawai itu pada mengenakan pakaian berkabung putih.

   Selain penglihatan aneh itu, djuga ada pendengaran jang sama anehnja, jaitu suara tetabuhan jang mendengung dari dalam gedung.

   Itulah tetabuhan pat-im atau musik, pertanda dari perkabungan.

   Ada lagi satu penglihatan lain, jalah didepan pintu bertumpuk abu kertas.

   Kemudian terlihat datangnja serombongan pegawai, masing-masing membawa rumah rumahan, atau lebih benar "gudang emas dan gudang perak,"

   "gunung emas dan gunung perak,"

   Ada sepasang anak-anakan kertas Kim ToDg dan Giok Lie, ada perahu dari kertas, djembatan dari kertas dan lainnja, semua terbuat dari kertas.

   Selagi rombongan itu lewat, beberapa budjang lain, dengan tjambuk ditangan, mengusir orang-orang jang berdiri berkumpul didjalanan untuk menjaksikan leiotan "gudang dan gunung emas"

   Itu. Mereka pun membentak- bentak.

   "Pergi! Pergi!"

   Hampir Siauw Sek Tauw tertjambuk, karena ia pun mendjadi salah seorang penonton.

   Karena itu, Lauw Kie Go lekas-lekas mengundurkan diri.

   Ngo Hoa Kiat djuga mundur, akan tetapi sambil mentjari keterangan.

   Heran dia dan dia ingin mengetahui siapa jang mati didalam gedung haksoe itu.

   Mereka djalan keselatan.

   "Siapakah jang mati?"

   Tanja Siauw Sek Tauw sambil mendekati si orang she Ngo.

   "Apakah kau tidak dengar apa katanja orang tadi?"

   Hoa Kiat balik bertanja.

   "Jang mati ialah Tjong Haksoe sendiri! Tua bangka itu mati sedjak belasan hari jang lalu, lalu setiap tudjuh hari, dia disembahjangi dengan pembakaran segala gudang dan gunung emas dan perak itu dan lainnja. Sampai temponja hari Tjit Tjit, jaitu tudjuh kali tudjuh mendjadi empatpuluh sembilan hari, baru djenazahnja akan dikubur."

   Siauw Sek Tauw tertjengang. Aneh Tjong Haksoe mati! Kenapakah? Dia mati tua atau mati sakit?.

   "Sekarang, apalagi jang hendak dibalaskan?"

   Kata Hoa Kiat pada kawan itu.

   "Orang sudah mampus!"

   Mereka djaian terus Kie Go djalan didepan.

   Mereka masih menudju keselatan.

   Siauw Sek Tauw berdiri mendjublak, hatinja tidak keruan rasa, lantas hatinja mendjadi tawar, hingga semangatnja turut kendor.

   Sekian lama ia berdiam sadja.

   Didepannja ada sebuah rumah makan dengan merek Tjong Goan Kie, banjak tetamu rumah makan itu, tanpa terasa, ia berdjalan kesitu, masuk kedalam, bahkan terus naik kelauwteng.

   Sekarang ia dapat kenjataan, bahwa orang jang berkumpul bukan untuk makan dan minum, hanja lebih banjak jang akan menonton gedungnja Tjong Haksoe itu.

   Dari atas lauwteng ini, leluasa orang memandang kegedung.

   "Lihat!"

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata satu orang.

   "Lihat gunung emas, perak dan lainnja itu, hari ini djauh terlebih banjak dari pada hari jang pertama! Beruntunglah dia jang mati, jang dapat membakar demikian banjak gunung emas itu, di acherat, dia tentu mendapat tempat jang enak!"

   "Kita sebaliknja tidak dapat berbuat begitu,"

   Kata seorang lain.

   "Hidup kita melarat, kalau kita mati dan dibakari semua benda itu, achirnja tjelakalah roh kita! Tentulah roh-roh diachirat, roh-roh jang penasaran, bakal datang saling merebutnja! Kita toh tidak mempunjai redjeki! Dialah lain, dia dari keluarga lulusan Tjinsoe hidupnja sebagai menteri, sudah pulang kekampung halamannja, dia mendjadi haksoe pensiunan, dia tetap berharta, pengaruhnja tetap besar! Hidup dia kaja-raja, banjak isteri dan gundiknja, banjak anak dan tjutjunja, banjak djuga budak budaknja, maka kalau dia pulang ke acherat, Giam Lo Ong djuga bakal menjambutnja dengan hormat, tjukup dia djalan mutar dipintu kota iblis Kwie Boen Kwan, lantas dia djalan terus ke sorga! Bagi kita, bagian kita ialah neraka tempat mendjalankan siksaan!"

   Tak tertarik Siauw Sek Tauw mendengar gurau itu, ia lantas mentjari medja dan kursi dimana ia bisa duduk.

   Tidak ada djongos jang melajani dia sebab djongos- djongos djuga pada pergi ke djendela, untuk melongok keluar, turut menonton.

   Ia duduk diam, pikirannja bekerdja.

   Iapun berduka.

   Menurut Hoa Kiat, mereka itu berdua djadi tidak mau melakukan tugas2nja seperti diminta Lie Djie Kang.

   Alasannja ialah sebab Tjong Haksoe sudah mati sendiri.

   Dengan begitu, maka Kie Go djadi mendapatkan pedang mustika setjara tjuma-tjuma! Bukankah nona itu mendjadi menipunja?.

   "Rupa-rupanja benar Tjong Haksoe beruntung, tak selajaknja dia mati terbunuh."

   Pikir botjah ini pula.

   Maka ia djadi semakin masgul, menjesalnja bukan main.

   Ia bagaikan kehilangan sesuatu.

   Berpikir lebih djauh, ia ingat pada sam-siauwya, putera nomor tiga dari Tjong Haksoe itu! Disana djuga masih ada Ong Bong Hiap, putra menjeleweng dari In Tiong Hiap! Dapatkah mereka itu dibiarkan sadja? Sim-siauwya ialah musuh Kwee Hay Peng.

   Disana pula masih ada Ok Bong Biauw Hiong Tjay si djahat.

   Ketika Siauw Sek Tauw memikir Ong Bong Hiap, tiba- tiba ia mendengar seorang dimuka djendela lauwteng berkata-kata njaring.

   "Lihat! Lihat! Itulah Ong Bong Hiap! Sungguh dia tampan!"

   Ia mendjadi tertarik hati, lantas ia berbangku untuk pergi kedjendela, buat melongok kebawah.

   Disana, didjalan besar Ong Bong Hiap tengah datang.

   Dia menunggang kuda putihnja jang djempolan itu, kudanja In Tiong Hiap, ajahnja.

   Dia mengenakan pakaian putih, jaitu pakaian berkabung, tetapi pakaiannja indah, sedang mukanja putih bagaikan diberi pupur.

   Dia lagi berkabung, tetapi dia tetap menjoreng Pek Hong Kiam, pedang tjahaja Putih itu, sedang tangannja mentjekal tjambuk.

   Melihat wadjahnja, ketjuali pakaiannja itu, dia tak mirip seperti sedang kehilangan mertuanja.

   Sebaliknja, dia nampak gembira.

   Rupanja dia baru habis ngelentjer entah dari mana.

   Tjam Liong Tjongsoe djuga tidak lantas pulang kegedung.

   Dia terus mengintil seorang wanita.

   Ja, dia mengedjar, sebab wanita itu berlari-lari disebelah depannja.

   Karena menunggang kuda, lekas sekali dia dapat menjandak.

   Dengan tjambuknja, dia menjamber kundainja nona itu.

   "Hai, orang perempuan djuga datang kemari turut menonton!"

   Kata pemuda itu dengan tjeriwis.

   "Bagaimana kalau kau Hiong dengan Tjong Haksoe? Bukankah itu berarti tjelaka? Hajo kau lekas pulang!"

   Ia masih mengikuti. Lalu ia tanja.

   "Eh, kau tinggal dimana?"

   Menjaksikan kedjadian itu, diantara orang banjak jang lagi menonton, ada jang tertawa, ada jang menghela napas, ada djuga jang mendongkol. Itulah perbuatan tjeriwis jang kurang adjar.

   "Wanita itu tidak berpendidikan,"

   Kata seorang dengan rasa menjesal.

   "Apa perlunja ia datang menonton? Bukankah ia mentjari malu sendiri? Siapakah tidak kenal Ong Bong Hiat? Kalau dia melihat paras eloc, mana dia sudi melepaskannja?"

   Bukan main mendelunja Siauw Sek Tauw, hampir dia lompat turun dari atas lauwteng, guna menghadjar putera In Tiong Hiap itu.

   Dia melihat wanita itu bukan lain dari pada Nona Lauw Kie Go! Aneh dianja nona Lauw.

   Ia telah dipermainkan tetapi ia tidak kurang senang atau gusar, ia tjuma menjingkir dari gangguan dengan pertjepat tindakannja.

   Ia tidak mentjoba membalas sakit hati Nie Thay Po dengan menggunakan panahnja memanah musuh itu.

   Di sana djuga ada Ngo Hoat Kiat, nampak dia tidak senang hati, akan tetapi dia pun diam sadja, ketika lewat didepan gedung Tjong Haksoe, dia tunduk.

   Dia djalan menudju ke utara.

   Diantara suara tertawa jang ramai, nampak Ong Bong Hiap gembira sekali, dia puas bukan main.

   Sementara itu Biauw Hiong Tjay bersama sedjumlah budjang tengah mengiringi seorang dengan pakaian berkabung djuga.

   Orang itu bermuka putjat, tetapi matanja dibuka lebar- lebar.

   Melihat dari pakaiannja, dialah putera dari orang jang kematian, jaitu putera Tjong Haksoe.

   Memang dialah sam-siauwya.

   Hanja orang tidak perhatikan padanja, sebab orang umumnja tertarik oleh lagaknja Bong Hiap.

   Selagi menonton, Siauw Sek Tauw menoleh dengan tiba2.

   Ia mendengar suara orang menghela napas.

   Ia lantas melihat seorang tua, jang lagi bertindak perlahan kemedjanja.

   Orang tua itu mempunjai kumis dan djanggut pandjang, jang semua telah mer.djadi uban.

   Dia bertubuh kurus dan kulit mukanja kisutan.

   Dilihat dari wadjahnja, sedikitnja dia mesti sudah berumur tudjuhpuluh tahun.

   Badjunja jang pandjang membuat ia miiip seorang guru sekolah.

   Kembali kemedjanja, orang tua itu menghirup araknja perlahan-lahan.

   "Ha, mereka itu orang matjam apa?"

   Kata dia seorang diri.

   "Adakah itu matjam keluarga orang berpangkat besar? Menurut penglihatanku, mereka djusteru semua anak tjelaka! Ja, anak2 tjelaka jang bergaul dengan segala buaja darat."

   Selagi si orang tua berkata begitu, seseorang jang duduk didekatnja menolak tubuhnja. Sjukur ia tidak terkusruk karenanja. Benar ia kurus tetapi nampak tubuhnja masih kekar.

   "Djangan banjak omong!"

   Kata orang jang menolak tadi, jang ternjata bermaksud baik. Melihat wadjahnja, diapun tidak bersikap galak sebaliknja, dia sabar sekali. Orang tua itu bagaikan sadar. Katanja.

   "Aku tjuma bitjara sadja, tidak ada maksud lain. Sekarang ini toasiauwya dan djiesiauwya dari keluarga Tjong berada ditempat lain, mereka lagi memangku pangkatnja, mereka belum sempat pulang. Dan samsiauwya ini, berwadjah tanpa tjela, hanja dia keliru bersikap. Dia lagi berkabung, tak selajaknja muntjul djmuka umum ... Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa apa lagi"

   Orang jang menolak tubuh orang itu berkata.

   "Sudah, kau djangan bitjara lagi! Ingatlah, usiamu sudah landjut sekali, baik kau jangan usilan!"

   Orang tua itu terdiam.

   Ia tunduk, tidak menghiraukan orang bitjara sambil membuka mata lebar-lebar.

   Lalu ia minum araknja.

   Orang jang menolak itupun terus berdiam, dia pergi menonton kedjendela.

   Siauw Sek Tauw masgul, ia mendongkol.

   Ia tidak dapat turun dari lauwteng.

   Didjalan besar ada Ong Bong Hiap dan Biauw Hiong Tjay, kalau ia turun dan terlihat mereka ia bakal dikenali.

   Kalau sampai ia terlihat mereka, tentu bakal terdjadi perkelahian, atau tjelakanja, ia bakal kena dihadjar mereka itu.

   Tak sanggup ia melawan mereka.

   Terpaksa ia menelad sikap Lauw Kie Go, untuk berdiam sadja.

   Lantas ia memanggil djongos, buat minta nasi dan arak.

   Didalam hati, ia kata.

   "Ong Bong Hiap, Biauw Hiong Tjay, Sam- siauwya! Djangan kamu senang dan merasa puas. Tunggulah sampai sebentar malam pada waktu mana kita nanti bertemu muka! Hendak aku mentjoba golok mustikaku!"

   Botjah ini tidak suka minum arak tetapi aa toh menenggak satu tjawan.

   Ia dahar banjak, meski daharnja perlahan-lahan.

   Ini lah siasatnja, guna mengulur waktu.

   Ia tidak mau turun dulu, ia menanti tibanja sang magrib.

   Didjalan besar, didepan gedung Tjong Haksoe, keramaian berdjalan terus, hanja dengan lewatnja sang waktu, lama2 mulai sirap djuga.

   Iiulah bukti bahwa semua gunung-gunungan emas dan lainnju telah selesai dibakar didjadikan abu.

   Sama sekali Siauw Sek Tauw tidak mau turun menonton, ia hanja memperhatikan para tetamu diatas lauwteng itu, jang satu demi satu turun untuk pergi pulang.

   Bahkan siorang tua jang ubanan, jang tadi ngotjeh sendirian, lenjap tak ketahuan entah kemana.

   "Aneh orang tua itu,"

   Pikir Siauw Sek Tauw kemudian. Ia benjuriga akan tetapi tidak dapat menerka sesuatu. Masih botjah ini duduk sadja, sampai djongos djalan mundar-mandir dengan tiap kali melirik kepadanja, sampai achirnja, dia habis sabar dan berkata padanja.

   "Bagaimana, tuan muda? Sekarang sudah tiba saatnja buat tuan pulang! Kami djuga hendak menutup pintu dan bebenah. Harap tuan datang pula besok hari!"

   Dengan terpaksa Siauw Sek Tauw menurut, ia melakukan pembajaran, tak kurang sepeser djuga, sehingga sidjongos merasa tak enak hati sendirmju.

   Dia mengantarkan tetamunja sampai dibawah lauwleng.

   Tetamu itu sebaliknja mengelojor pergi tanpa menoleh pula.

   Lewat didepan gedung Tjong Haksu, Siauw Sek Tauw melihat segalanja serba sepi.

   Tjuma masih ada beberapa buah kereta kuda lagi menanti.

   Lentera besar jang putih, tergantung dengan lilinnja dinjalakan.

   Tumpukan abu kertas meningkat semakin tinggi.

   Pada langit jang gelap, nampak bintang2 berkelak-kelik.

   Angin Barat bersilir membuat muka terasa dingin.

   Dengan kepala jang dirasakan sedikit pening, Siauw Sek Tauw berdjalan mengikuti djalan besar menudju kesel tan, terus kebarat, lalu belok ketimur dan kembali.

   Itu artinja ia djalan mundar-mandir.

   Didjalan besarpun tak nampak orang lain.

   "Inilah Hoa Im, inilah kampung halaman Lie Djie Kang!"

   Pikirnja.

   "Inilah tempat dimana Gouw Bok Ya sipandai besi tua dan buta membuat pedang mustikanja, dimana dia menggantung diri sehingga mati, karena dia hendak menunaikan tugas membalaskan sakit hati saudara tuanja. Ini pula tempat dimana Kwee Hay Peng terbinasa didjalan Tjonggoan Kay! Ah, gara2 sam-siauwya semua, entah berapa banjak orang jang mereka telah bikin tjelaka. Djuga Ong Bong Hiap, setahu berapa banjak wanita jang dia telah ganggu! Disinilah Ok-Bong Biauw Hiong Tjay mendjagoi. Baiklah, segala djahanam. Biarpun sitayhaksu sudah mampus, aku mesti melakukan tugasku, malam ini hendak kutjoba golokku."

   Siauw Sek Tauw masih djalan mundar+mandir, sampai sang malam djadi semakin gelap, hingga djalan umum sangat sepi.

   Tak ada seorangpun jang masih gentajangan disitu.

   Beberapa buah kereta jang tadi berada didepan gedung haksu djuga sudah sepi.

   Dengan gelap pelangnja sang malam, api beberapa lentera mendjadi semakin terang.

   Tiga orang budjang, atau tjinteng, mendjaga didepan pintu gedung.

   Sekarang Siauw Sek Tauw pergi kebelakang gedung.

   Disitu ada sebuah gang jang gelap.

   Melihat tembok jang tinggi, botjah ini bingung.

   Lantas ia mentjoba berlompat, untuk naik keatasnja.

   Sia-sia belaka.

   Tiga kali ia mentjoba, tiga2 kalinja ia gagal.

   Ia mengerti silat tetapi belum pandai ilmu mengentengkan tubuh.

   "Ha, kenapa kepandaianku begini tjetek?"

   Katanja didalam hati. Dari bingung, ia mendjadi bergelisah sendiri nja.

   "Tanpa masuk kedalam, apa jang dapat kubikin? Bukankah ketjewa aku menerima pesan Lie Toako?"

   Pertjuma Siauw Sek Tauw melihat sekelilingnja.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Disitu tidak ada tangga atau batu besar, jang bisa dipakai sebagai landasan.

   Tengah ia bingung tidak keruan, tiba , dengan samar2, ia melihat dua orang lari mendatangi kedalam gang ketjil itu.

   Ia menduga tjinteng keluarga Tjong, maka dengan segera ia mentjekal goloknja, bersiap untuk menjambut.

   Tiba2 terdengar salah seorang menjapa .

   "Siauw Sek Tauw disana? Apakah kau tidak dapat naik tembok ? Mari aku bantu padamu!"

   Lega hatinja sibotjah. Ia mengenali suara Ngo Hoa Kiat. Orangpun sudah lantas datang dekat.

   "Ja, aku,"

   Sahutnja.

   Ngo Hoa Kiat lantas bekerdja.

   Ia mentjekal pinggang orang, untuk diangkat, untuk diapungkan keatas.

   Siauw Sek Tauw tau meringankan tubuh, untuk turut melesat.

   Maka segera dia sampai diatas tembok.

   Hoa Kiat lantas menjusul.

   Orang jang ke-dua, jaitu Nona Lauw Kie Go, sudah mendahului lompat naik ketemboK itu.

   "Siauw Sek Tauw, kau tahu atau tidak, tadi siang kami diperhina oleh Ong Bong Hiap!"

   Kata Hoa Kiat perlahan pada si botjah.

   "Bong Hiap telah permainkan Lauw Su- moay. Perbuatan itu membuat kami mendendam, maka sakit hati ini mesti dilampiaskan mendjadi bersusun tindih. Malam ini kita rampas djiwanja manusia busuk itu! Kau ingat, Siauw Sek Tauw, kalau dapat kau membantu kami, kau bantu, kalau tidak, lekas kau menjingkir! Tak dapat kau perlambat hingga kau nanti djadi mempersulit kami!"

   Botjah itu mengangguk.

   "Diangan kuatir!"

   Katanja.

   "Kamu melakukan tugas kamu, aku akan melakukan tugasku ! Kita djangan saling mempersulit!"

   "Bagus!"

   Kata Hoa Kiat.

   Bersama-sama, mereka lompat turun ke pekarangan dalam.

   Untuk lompat turun, Siauw Sek Tauw pandai.

   Pekarangan itu termasuk bagian taman bunga.

   Daun rontok disitu bertumpuk-tumpuk.

   Rupanja sudah beberapa hari budjang kebun repot membantu urusan perkabungan.

   Sjukur suara daun-daun tidak mendatangkan halangan.

   Bertiga mereka madju ke arah depan.

   Di muka gedung dibikin terop lebar dan tinggi di mana terdapat api terang- benderang.

   Itulah tempat para pendeta mendjalankan upatjara sembahjang.

   Disitupun terdengar suara tetabuannja.

   "Ah, kita datang terlalu siang,"

   Kata Hoa Kiat.

   "Masa ini kesiangan?"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Bukankah sekarang sudah dekat djam tiga? Kita sudah datang, peduli apa! Tak dapat kita bekerdja setjara diam-diam, Kita berterang-terangan. Apakah kamu tidak membawa Tjeng Song Kiam?"

   Lauw Kie Go berdjalan dimuka. dia menoleh.

   "Kamu bitjara apa sadja?"

   Dia menegur.

   "Hati-hati, nanti orang dengar suara kamu!"

   Siauw Sek Tauw menggeleng kepala.

   "Tak nanti ada jang dengar,"

   Katanja.

   "Disini tidak ada manusia lainnja!"

   Bersama-sama mereka madju terus. Sekonjong-konjong, dari atas genting terdengar suara tertawa ter-bahak2.

   "Ooo, kamu sudah datang! kamu sudah datang!"

   Demikian kata-kata sambutan itu jang di usul dengan suara tertawa lebar.

   "Bagus! Bagus! Sudah lama aku berdiam di sini menantikan kamu! Anak jang manis, aku tahu kau memang bakal datang kemari.. Mari, mari, ingin aku mendengar suramu jang merdu"

   Siauw Sek Tauw bertiga terkedjut.

   Inilah mereka tidak sangka.

   Lekas-lekas mereka mendekam.

   Tjuma Lauw Kie Go, jang lompat ke belakang gunung-gunungan untuk menjembunjikan diri sambil mengintai.

   Suara di atas genting itu terdengar pula.

   Dia bitjara sambil berdiri.

   Keras suaranja.

   Katanja.

   "Memang aku sudah tahu sedjak siang tadi, kamu datang kemari tentu ada maksudnja, bahwa kamu tentu akan datang ke sini!"

   Siauw Sek Tauw mengenali suara Ong Bong Hiap. ia mendjadi bertambah kaget.

   "Sungguh dia liehay luar biasa,"

   Pikirnja.

   "Tapi sudah terlandJur, tidak ada djalan lain, aku mesti madju terus!"

   Ia kaget tetapi berani.

   Lantas ia bergerak bangun untuk berlompat madju.

   Djustru pada saat itu terdengar tiga kali suara desingnja anak-anak panah, itulah Lauw Kie Go, jang habis sabar, jang telah menuruti hawa amarahnja sudah lantas memanah Bong Hiap.

   Hanja si nona gagal.

   "Ha, Lauw Kie Go!"

   Berseru Bong Hiap "Wah, adikku! Memanng telah kuduga, kau tentu bakal mentjari aku, kau benar-benar datang! Bukankah kau datang kemari untuk kita menikah? Memang aku lagi kekurangan seorang isteri muda... Kau tjantik melebihi Lee Tiap"

   Berkata begitu. Bong Hiap lompat turun dari genting, untuk menghampiri. Selagi berlompat pedangnja berkilau- an.

   "Mari, mari kau keluar dari tempat sembunjimu!"

   Katanja pula.

   "Kita djangan beritahukan orang lain tentang pertemuan kita ini. Di sana ada sebuah paseban, mari kita pergi kesana. Disana dapat kita pasang omong dengan asjik"

   Kie Go memanah pula, tiga kali beruntun. Bong Hiap liehay, dengan mengulur tangannja, dia tangkap dua-dua anak panah itu. Dia tertawa riang, sembari tertawa, dia bertindak kebelakang gunung- gunungan. Dia kata.

   "Kau djangan menggunakan panah! Buat apakah itu ? Usiamu muda, usiaku muda djuga"

   Kie Go mendongkol bukan main, sebagai gantinja panah, ia menghunus Tjeng Song Kiam. Ia lompat keluar dari tempat sembunjinja sambil berkata.

   "Djahanam, musuhku kau mesti mengganti djiwa ajahku!"

   Terus ia menikam. Bong Hiap tidak menangkis, ia berkelit kesamping.

   "Buat apakah kau raenjebut-njebut urusan itu?"

   Katanja.

   "Bukankah kita sahabat-sahabat turun-temurun?..Kie Go tidak meladeni, ia menikam pula. Kali ini Bong Hiap menangkis, lantas da terkedjut. Kedua sendjata berontak keras, suaranja njaring. Inilah diluar dugaannja, sebab dia menjangka pedang lawan mesti terbabat kutung. Mau tidak mau dia mundur.

   "0, o!"

   Katanja.

   "Kau djuga mempunjai pedang mustika? Dari mana kau dapat itu?"

   Kie Go pun terkedjut. Ia mendapatkan bukti dari liehaynja pedang lawan.

   "Lauw Kie Go,"

   Kata pula Bong Hiap.

   "benar-benarkah kau hendak mengadu diiwa? Aku..."

   Ia tertawa, lantas ia meneruskan.

   "Benar-benar, paling segan aku menempur bangsa wanita... aku tidak tega hati..."

   Ia berhenti setengah djalan. Dibelakangnja, ia mendengar desingan angin atau sambaran golok. Ia memutar tubuh, menjampok dengan pedangnja. Itulah Ngo Hoa Kiat jang menjerang, tetapi serangannja dapat digagalkan.

   "Kau machluk apa?"

   Bentak Bong Hiap gusar.

   Kie Go menjerang pula, maka sipemuda mesti menangkis lagi.

   Tempo Hoa Kiat pun madju, ia djadi dikepung berdua.

   Hoa Kiat berlaku tjerdik, tak mau ia mengadu sendjata, sebab ia tahu, pedangnja bisa terpapas kutung pedang lawan.

   Ketika itu, Siauw Sek Tauw pun madju.

   "Bong Hiap, letakkan pedangmu!"

   Dia berseru seraja dengan goloknja dia menjerang.

   Dengan sendjata ditangan, apapula itu golok mustika, berani dia melawan djago muda itu.

   Bong Hiap melajani tiga orang lawan.

   Ia heran atas keberaniannja Siauw Sek Tauw.

   Katanja dengan rasa mendongkol .

   "O, Siauw Sek Tauw! Kau djuga berni datang kemari? Sungguh njalimu besar!"

   Siauw Sek Tauw tidak mendjawab, ia hanja menjerang.

   Kie Go pun merangsak, Hoa Kiat turut bersama.

   Ia hanja mentjari kesempatan, sebab mesti waspada dan gesit luar biasa.

   Tjam Liong Tjongsu liehay, dikepung bertiga, dia dapat membela diri.

   Pek Kong Kiam berkeredepan disekitar tubuhnja.

   Diapun tabah sekali.

   Dapat dia tertawa.

   "Kie Go, Sudahlah!"

   Katanja.

   "Siauw Sek Tauw, kaupun iparku!"

   Bctjah itu mendongkol, ia mendamprat.

   Pertempuran itu mendatangkan suara berisik, terdengar kedepan dan kedalam gedung.

   Para pendeta sudah lantas berhenti membatja doa atau menabuh alat-alat tetabuhannja.

   Sebagai gantinja, terdengar suara gembreng jang ramai dan terlihat d juga obor-obor jang terang, jang datang dari taman.

   Biauw Hiong Tjay tampak sebagai kepala rombongan, lengannja mentjekal tombaknja jang pandjang.

   ia didampingi Tjui Houw Tjie Tjit si Harimau Mabuk.

   Rombongan itu terdiri dari tjinteng, tukang-tukang pukul dan para pegawai lainnja keluarga Tjong, semuanja membekal pelbagai matjam sendjata.

   Selagi datang, mereka berteriak-teriak.

   "Tangkap! Tangkap! Lekas tangkap!"

   Djumlah mereka itu tak kurang daripada tigapuluh orang. Ngo Hoa Kiat mendjadi djeri.

   "Su-moay, mari kita raenjingkir !"

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia mengadjalc. Kie Go masih gusar, tak sudi dia angkat kaki. Bong Hiap tertawa, katanja.

   "Ja, lekas pergi, lekas pergi ! Pergi kau pulang ke pondokmu! Buat apa kau berbuat begini ? Kita toh tidak bermusuhan"

   Kemudian dia mengulapkan tangan, mentjegah madjunja Hiong Tjay semua. Katanja pada mereka itu .

   "Djangan madju! Inilah sahabat-sahabatku. Mereka datang untuk melakukan pertandingan persahabatan. Kamu djangan tjampur!"

   Diantara sinar obor, Bong Hiap terlihat tampan dan gagah, tidak ada wadjah gusar, sebaliknja, dia bersenjum manis.

   Malam ini dia mengenakan pakaian serba hidjau jang indah.

   Kie Go mendelik pada pemuda itu, lantas ia mengadjak Hoa Kiat mundur ketembok untuk lompat naik keatas dan menjingkirkan diri.

   Ia telah merasa pertjuma untuk melawan terus.

   Biauw Hiong Tjay penasaran.

   "Baba mantu, kenapa kau lepaskan mereka?"

   Ia tanja Bong Hiap.

   "Itulah terlalu bagus bagi mereka!"

   Ketika itu muntjul sam-siauwya bersama Touw Bun Keng, iparnja. Mereka pada mengenakan pakaian berkabung. Sam-siauw'a gusar sekali, sambil mem- banting2 kaki, ia damprat orang2nja .

   "Kamu semua bangsa tak berguna! Kenapa kawanan manusia djahat itu diloloskan?"

   Hiong Tjay tidak mau dipersalahkanKatanja .

   "Diantara mereka ada seorang nona, baba mantu melarang kami turun tangan ..."

   Mendengar djawaban itu, sam-siauwya melengak.

   "Meski begitu, diapun harus dibekuk "

   Katanja kemudian.

   "Dia membikin kaget semua orang, terutama arwah ajahku! Hajo, kamu tjari mereka, kamu bekuk semuanja!"

   Pemuda ini tidak berani menegur Bong Hiap.

   Dia turut pergi mentjari.

   Dia menjangka orang djahat belum melintasi tembok pekarangan, hanja masih bersembunji didalam taman.

   Seorang diri dia pergi kegunung- gunungan.

   Siauw Sek Tauw turut mengundurkan diri, akan tetapi tidak turut lompat naik ketembok, ia hanja pergi sembunji dibelakang gunung buatan itu.

   Maka giranglah ia ketika tiba2 melihat sam-siauwya lagi datang.

   Ia lantas menanti, goloknja ditjekal keras sekali.

   Sam-siauwya berdjalan terus.

   Ia mentjari kebelakang gunung.

   Ia lewat ditempat dimana Siauw Sek Tauw lagi bersembunji.

   Ia tidak melihat botjah itu, orang sebaliknja bersiap sedia.

   Begitu ia lewat, begitu Siauw Sek Tauw muntjul, untuk menikam punggungnja.

   "Aduh!"

   Teriak pemuda busuk itu, jang lantas roboh.

   Biauw Hiong Tjay dan beberapa kawannja mendengar teriakan kongtju mereka, mereka mendjadi kaget, ketika melihat Siauw Sek Tauw, mereka mendjadi gusar sekali, lantas mereka madju meluruk.

   Berbareng dengan itu, terdengarlah suara hiruk-pikuk dari depan gedung.

   Disana para tjinleng dan pegawai bcr- teriak2 .

   "Api Api ! Tolong ! Tolong !"

   Menjusul itu, berisikpula djeritan minta tolong dari orang2 wanita dari dalam gedung dimana orang pada lari kalang kabut.

   Rombongan pendeta djuga berlari2 setjara katjau.

   Segera tampak terop ber-kobar2, apinja naik tinggi.

   Entah siapa jang sudah membakar itu.

   Dengan ditiup angin, api menjambak kelain arah.

   Dalam kebingungan semua orang mendekati api untuk memadamkannja.

   Selagi kekatjauan itu berlangsung, Lauw Kie Go tengah duduk didalam kamarnja dirumah penginapan.

   Ia memeriksa pedang mustikanja, jang udjungnja gompal sedikit.

   Dari sini ia djadi mengetahui Iiehaynja pedang musuh.

   Tanpa Tjeng Song Kiam, terang tak dapat ia melawan musuh.

   Melihat gompalnja pedang, ia merasa sajang.

   Karena ini, ia menjesal berbareng penararan.

   Ia penasaran karena gagal membinasakan musuh jang tangguh itu.

   "

   Musuh tjelaka! Musuh tjelaku."

   Katanja dalam hati.

   Bersama sinona ada djuga Mo Hoa Kiat dan Siauw Sek Tauw, hanja mereka berdiam di kamar mereka sendiri.

   Siauw Sek Tauw dapat meloloskan diri selagi orang katjau.

   Kegagalan itu membuat mereka bertiga tak berani muntjul besok paginja.

   Mereka mengeram diri didalam kamar.

   Mereka kuatir nanti ada orang dari keluarga Tjong atau hamba negara jang mentjari dan menggrebegnja.

   Kalau mereka disergap, hendak mereka lawan mati2an.

   Dihotel itu ramai orang membitjarakan kebakaran digedung haksoe itu.

   "Pasti itu perbuatan orang djahat. Telah turut terbakar enam atau tudjuh kamar. Beberapa budak perempuan telah terlukakan....Nona Lee Tiap, istrinja Ong Bong Hiap, terbakar djuga mukanja. Jang mati jalah samsiauwya, tapi dia bukan mati terbakar, hanja tertikam orang djahat. Katanja datang djuga pendjahat wanita... Sungguh mereka itu berani! Adakah ini soal pembalasan sakit hati? Mungkinkah ini ada hubungannja dengan kematian Kwee Hay Peng baru2 ini? Mungkinkah mereka itu datang karena adjakannja Lie Djie Kang? "

   Demikian orang berbitjara satu sama lain.

   Siauw Sek Tauw dapat dengar itu, puas djuga hatinja.

   Ia telah membinasakan sikongtjoe djahat, maka terbalas sudah sakit hati Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng.

   Hanja disana ada Ong Bong Hiap, jang lagaknja mengetjawakan.

   "Perkara hebat sekali, tetapi sibaba mantu Ong Bong Hiap nampak tidak bingung atau gelisah,"

   Ada lagi tetamu jang berkata.

   "Bahkan tadi ada jang melihat dia pergi kerestoran Tjong Goan Kie untuk duduk minum arak! .... Adalah Biauw Hiong Tjay jang sekarang lagi kelajapan mentjari si orang djahat....Tentu sadja, pendjahat telah kabur djauh! Kemana mereka itu mau ditjari? Rumah keluarga Tjong terdiri dari seratus kamar lebih, jang terbakar tjuma beberapa kamar, itulah tidak berarti. Sekarang upatjara sembahjang dilandjutkan, sama besarnja seperti hari2 jang lalu. Inilah tidak heran... Selain orang mesti mengurus terus djenazah sihaksoe tua, sekarang ditambah pula dengan djenazah puteranja, situan muda, maka djuga gudang dan gunung emas perak dan lainnja, mesti ditambah, dibakar lebih banjak pula"

   "ltulah jang dinamakan pembalasan,"

   Terdengar suara seorang djongos.

   "Tak dapat kalau orang main gunakan pengaruh pangkat dan uang untuk menghina dan menjiksa orang lain ..."

   Siauw Sek Tauw dengar semua itu.

   Ia berdiam didalam kamarnja, tak dapat tidur.

   Ngo Hoa Kiat tak tenang nati, sampaipun waktu djongos muntjul dengan barang hidangan, ia terkedjut sendirinja.

   Pula ia memikirkan Kie Go.

   Entah apa jang dilakukan sinona didalam kamarnja.

   Biar bagaimana hari itu lewat dengan tenang.

   Tak terdjadi sesuatu ketjuali kegemparan hal keluarga Tjong kedatangan pendjahat dan gedungnja terbakar.

   Akan tetapi, kapan sangmilam tiba, maka didalam kamarnja Lauw Kie Go terdengar suara berisik.

   Mulanja terdengar suara wanita berseru kaget, lalu itu disusul dengan tertawa riang gembira.

   "Kau tahu, malam ini sengadja aku datang padamu!"

   Demikian satu suara terang dan tegas, suaranja seorang prija.

   "Aku datang untuk menikah denganmu! Kau tahu, sedjak siang tadi, bukannja aku tidak tahu kamu berdiam dirumah penginapan ini, hanja sengadja aku tidak datang jang lantaran aku merasa tidak leluasa. Sekarang apa jang hendak bilang. Km lihat, bagaimana baik aku berlaku terhadapmu? ..."

   Itulah suara Ong Bong Hiap. Lalu terdengar suara Lauw Kie Gie.

   "Djahanam! "

   "Aku bukannja djahanam aku hanja berlaku manis padamu ... ."

   Kata Bong Hiap sambil tertawa.

   Menjusul itu terdengarlah suara bentrokan sendjata, dari dalam kamar si nona, berpindah keruang luar, ruang tengah.

   Siauw Sek Tauw kaget, lantas dia menjamber goloknja, dengan membawa itu ia lompat keluar dari kamarnja.

   Tapi Ngo Hoa Kiat berlompat untuk mentjegah.

   "Tahan!"

   Tjegahnja.

   "Kita lihat dulu!"

   Tapi bersama-sama, mereka keluar dari kamar. Pertempuran masih berlangsung. Kie Go menjerang, Bong Hiap tjuma menangkis.

   "Kau hendak membalas sakit hati ajahmu? Djangan!"

   Kata Bong Hiap.

   "Akulah jang mentjegah mereka itu mentjari dan menangkap kau. Bukankah samsiuwya sudah mati? Karena itu, marilah kita menikah."

   "Djahanam!"

   Mentjatji Kie Go.

   "Bang Hiap main gila!"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Dia pun harus dibunuh! Dialah anak durhaka, anak murtad dari Pek Ma Looya!"

   Ia lantas lari untuk menjusul.

   Bong Hiap main mundur, dia terdesak sampai diluar.

   Dari situ dia lari, si nona mengedjarnja.

   Siauw Sek Tauw turut mengedjar d uga.

   Ia tak sesabar Hoa Kiat.

   Ketika itu, fadjar lagi datang, langit tak terlalu gelap.

   Bong Hiap lari sampai di Tjonggoan Kay.

   Kie Go mengedjar terus.

   Dibelakang mereka, Siauw Sek Tauw tetap mengintil.

   "Aku sengadja tidak mau menggerebek kau, sekarang kau mengedjar aku sampai disini!"

   Kata Bong Hiap achirnja.

   Dia berhenti berlari, maka dia lantar ditjandak Kie Go.

   Sinona segera menikam.

   Siauw Sek Tauw, jang pun menjandak, turut menjerang.

   Bong Hiap lantas dikepung dua orang.

   Mereka ini berlaku bengis.

   Mereka tidak ragu-ragu sebab sendjata mereka semua sendjata mustika.

   Putera In Tiong Hiap tidak kalah, hanja dia repot djuga.

   Maklum dia dikerubuti berdua.

   Dia mesti berlaku waspada dan gesit.

   Pertempuran berat sebelah tetapi seru.

   Tengah mereka bertarung, mendadak ada orang lompat turun dari atas rumah Tjong Haksoe.

   Dia bersendjatakan pedang jang mengkilat putih.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Diapun sudah lantas berseru bengis.

   "Anak durhaka!"

   Siauw Sek Tauw heran bukan main.

   Itulah Ong Kong Pek alias ln Tiong Hiap, si d jago tua dari Ong Ok San.

   Ketika ia berangkat dari Kiok-yauw, ajah Bong Hiap itu lagi rebah karena luka-luka pada lengannja.

   Kenapa sekarang dia mendadak berada di Hoa Im ini? Dia pula mentjekal Tjie Tian Kiam, pedang Lie Djie Kang.

   Bong Hiap dan Kie Go pun terperandjat.

   In Tiong Hiap madju terus, begitu datang dekat, dia menjerang puteranja! "Ajah!"

   Seru Bong Hiap sambil menangkis dengan Pek Kong Kiam.

   Kedua pidang beradu keras, akan tetapi dasar mustika, keduanja tidak ada jang rusak.

   Kie Go heran tetapi iapun melandjutkan menjerang.

   Ia menikam dari kiri.

   Bong Hiap melihat serangan itu, dia menangkis.

   "Anak durhaka, mesti aku bunuh kau!"

   Teriak In Tiong Hiap.

   "Djikalau aku tidak dapat membunuhmu, aku sumpah tidak mau djadi manusia!"

   Dalam murkanja, djago tua ini lupa segala apa, sehingga ia berkata menuruti hawa amarahnja. Kembali ia menikam dengan bengis. Bong Hiap menangkis, lantas dia lompat kesamping.

   "Ajah!"

   Serunja.

   "Ajah, kau diperdajakan! Wanita ini bernama Lauw Kie Go! Dialah anak Lauw Beng Liong musuh kita!"

   Djusteru dia berkata begitu Bong Hiap dibatjok Kie Go. Sinona berkata sambil menangis.

   "Kau telah membunuh ajahkul Sekarang kau djuga menghina aku! Kau ... kau djahat!"

   Bong Hiap menangkis pedang si nona. Dia tertawa.

   "Habis, kau mau apa?"

   Tanjanja. Sekalipun didepan ajahnja, dia tidak takut. Dia melihat tangan ajahnja terluka dan luka itu menjebabkan si ajah tak segagah biasanja.

   "Paling benar kau menurut aku, menikah padaku"

   Hati Kong Pek mendjadi panas. Puteranja benar2 sangat kurang adjar. Maka ia menjerang dengan hebat sekali. Dengan saling susul ia menggunakan pelbagai matjam tipu silatnja, seperti "Ular djahat menerkam djantung,"

   Atau "Unggas galak mementang sajap."

   Bong Hiap terdesak, ia lompat mundur, ia memutar lubuhnja untuk lari.

   "Kedjar! Kedjar!"

   Siauw Sek Tauw berseru berulang- ulang.

   Dan ia mengedjar.

   Kie Go djuga lari mengubar.

   Berdua bersama si botjah, ia menjusul Kong Pek, si djago tua, jang tanpa banjak suara sudah lompat menjusul puteranja.

   Bong Hiap kabur kearah utara, karena ia tertjardak ia kabur sambil sering-sering memutar tubuh, guna menangkis serangan ajahnja.

   Tjara lari ini menghambat padanja.

   "Ajah, aku akan tidak kenal kau "

   Katanja saking terdesak.

   "Kau telah merusak nama baikku!"

   Sarg ajah berseru.

   "Kenapa tadinja ajah tidak menikahkan aku "

   Kata anak itu. Dia lari pula. Kie Go dapat menjandak, ia lompat dengan pesat sambil menikam punggung musuhnja.

   "Ganti djiwa ajahku!"

   Teriaknja menangis. Udjung Tjeng Song Kiam menikam punggung tetapi Bong Hiap dnpat menghalaunja.

   "Lebih baik kau menikah denganku "

   Kata dia.

   Kong Pek madju pula, ia menikam lagi.

   Ia benar2 terhalang luka dilengannja.

   Nampak tegas bahwa tenaganja telah berkurang, hingga ia mendjadi kurang gesit.

   Ia hanja menang latihan dan pengalaman.

   Kie Go djuga menjerang.

   Maka kedua pedang, Tjie Tian dan Tjeng Song, menikam dengan berbareng.

   Bong Hiap repot melajant kedua pedang itu, tak peduli pedangnja adalah pedang mustika, ia mesti awas terhadap ajahnja.

   sedangkan si nona djuga tidak dapat dipandang terlalu ringan.

   "Bunuh! Bunuh dia!"

   Siauw Sek Tauw berteriak teriak. Boijah ini dapat menjandak, dengan berani ia madju menjerang. Bong Hiap menangkis serangan ajahnja dan sinona, oleh karena serangan sangar hebat, ia menangkis tidak kurang hebatnja.

   "Trang!"

   Demikian suatu suara terdengar njaring luar biasa.

   Tiga buah pedang bentrok satu dengan lain.

   Hanja kali ini, suara njaring itu disusul dengan suara membeletek dan berkontrang.

   Ketiga-tiganja mendjadi kaget dan tertjengang.

   Ketiga pedang Pek Kong Kiam, Tjie Tian Kiam, dan Tjeng Song Kiam patah dengan berbareng.

   Itulah suara membeleteknja.

   Patahan itu djatuh ketanah dengan menerbitkan suara berkontrang.

   Kie Go kaget sehingga ia mendjerit, terus lompat mundur.

   Bong Hiap terkedjut, ia hendak angkat kaki.

   Kong Pek terperandjat tetapi dia tabah dan sadar.

   Dia melihat Siauw Sek Tauw disampingnja, dia rampas golok itu, terus berlompat menjerang pula anaknja.

   Bong Hiap kaget, ia lari, akan tetapi terlambat.

   Ajahnja telah tiba dan membatjoknja.

   Dalam kagetnja, ia menangkis dengan tangan kirinja.

   Atau segera ia mendjerit keras.

   Lengannja telah terbatjok kutung sebatas pundak.

   ia terhujung tapi masih dapat lari terus.

   Kebetulan didckat mereka ada sebuah rumah, ia lompat naik keatas genting, untuk lenjap didalam kegelapan.

   Kong Pek telah menggunakan seluruh tenaganja, tidak dapat ia menjusul lebih djauh.

   Dari pada mengedjar, ia djusteru berdiri dengan napas tersengal-sengal, lalu tubuhnja terhujung, terus ia roboh.

   Diatas tanah menggeletak enam buah potongan pedang buntung.

   Disitu menggeletak sebuah golok ketjil, dalam tjekalannja si djago tua.

   Siauw Sek Tauw kaget, ia bersedih melihat potongan potongan pedang itu.

   Ia lantas memungutinja, dikumpulkan mendjadi satu, Ia pun mengambil goloknja dari tangan si djago tua.

   In Tiong Hiap tidak pingsan, ia hanja sangat letih.

   Masih napasnja memburu keras.

   Kie Go djuga menangis.

   Dengan terlukanja Bong Hiap, hatinja lega, tetapi ia tetap bersusah hati.

   Ia tak puas sepenuhnja.

   Tidak lama datanglah Ngo Hoa Kiat, jang telah menjusul.

   Dia ketinggalan djauh, karena itu dia baru tiba.

   Melihat kutungan tangan dan darah berlumuran, tahulah apa jang sudah terdjadi.

   "Mari!"

   Katanja, mengadjak Kie Go dan Siauw Sek Tauw.

   Bersama-sama, mereka memimpin bangun In Tiong Hiap.

   Djago tua itu djadi sangat lesu, karena hatinja terluka.

   Ia ketjewa mengingat sepak terdjang anaknja jang durhaka itu.

   Sjukur ketika itu djalan umum masih sepi.

   Dengan susah pajah In Tiong Hiap dapat dibawa ke hotelnja Kie Go.

   Hoa Kiat lantas menjuruh seorang djongos pergi mentjari sebuah kereta.

   Ia mengerti keadaan.

   Bahaja masih mengantjam mereka.

   Mereka mesti lekas mengangkat kaki.

   Hoa Kiat membajar sewa kamar, dengan tjepat ia pergi dengan berombongan.

   Kie Go naik kereta.

   Ia mendjaga Kong Pek seperti ia merawat ajahnja.

   Tak lagi ia menganggap orang tua itu sebagai musuh besarnja.

   Sekarang ia telah ketahui duduknja perkara.

   Sidjahat ialah Bong Hiap jang menjeleweng itu, karena dia kena diasut Tjong Haksoe dan djatuh dibawah rajuannja Lee Tiap.

   Mereka keluar dari Pak Kwan.

   Disini Kie Go pergi kehotel dimana mereka menitipkan kuda mereka, untuk mengambilnja dan dibawa pergi.

   Dengan begitu, Hoa Kiat dan Siauw Sek Tauw dapat mengikuti kereta sambil menunggang kuda.

   Mereka meninggalkan Hoa Im dengin niat langsung ketimur.

   Akan tetapi In Tiong Hiap minta mereka pergi dulu ke Lie Kwan, kota selatan.

   Djago tua ini hendak mampir kerumah Kwee Hay Pena, sahabatnja itu.

   Ong Kong Pek tengah beristirahat dirumahnja Empe Tjin di Kiok-yauw ketika itu tidak melihat lagi Siauw Sek Tauw, atas pertanjaannja, Lie Djie Kang tidak berani mendusta, si pandai besi memberitahukan hal jang sebenarnja, jaitu bahwa botjah itu sudah pergi ke Hoa Im.

   Sebagai orang jang tjerdas, ia mengerti.

   Ia dapat menerka apa jang akan terdjadi di Hoa Im.

   Ia djuga malu kalau untuk urusannja saudara, orang lain jang mesti turun tangan.

   Demikianlah, tanpa dapat ditjegah Djie Kang, ia berangkat menjusul.

   Ia tidak menghiraukan jang lengannja masih belum sembuh seluruhnja.

   Ia pergi dengan menunggang kuda, dengan memindjam The Tian Kiam dari si pandai besi.

   Djie Kang suka memberikan pedang itu sebab dia insjaf, tanpa pedang mustika, djago tua ini tidak akan berbuat banjak.

   Musuh liehay dan Bong Hiap memiliki Pek Kong Kiam.

   Karena ia mengaburkan kudanja, ia tiba dengan tjepat di Hoa Im.

   Lebih dulu ia pergi kerumah Hay Peng, baru sore hari nja ia memasuki kota, langsung kegedungnja Tjong Haksoe.

   Inilah sebabnja ia segera dapat membantu Kie Go dan Siauw Sek Tauw mengepung anaknja.

   Kuda putihnja tidak dapat ditjari, kuda itu mati waktu terbit bahaja api.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika rombongan ini tiba di Kwee Kee Toen, Siauw Sek Tauw jang tahu rumah Hay Peng dan mengenal seluruh anggauta keluarganja, menjadi heran.

   Selain njonja djanda Kwee Hay Peng, Kwee Kie Kho, Kwee Siauw Hoen dan njonja Kwee muda, jaitu isteri Kie Kho, serta budjang- budjang disana tambah seorang prija tua jang telah ubanan, jang mukanja perok dan kisut.

   Ia heran sebab ia ingat orang tua itu ialah si orang tua jang tingkahnja aneh jang ia temukan dirumah makan selagi mereka menonton "keramaian"

   Digedung Tjong Haksoe.

   In Tiong Hiap pun he-an, akan tetapi ia kenal orang tua itu.

   Dialah Kie Hay Auw dari Pakhia, kota radja.

   Dialah jang Djie Kang atau Siauw Sek Tauw tahu hanja sebagai pendjaga kuburan Nie Thay Po.

   Semasa mudanja, bersama-sama Kwee Hay Peng dan Gouw Hay Kauw, dialah tangan kanan Nie Keng Giauw.

   Merekalah bertiga jang berdjanji untuk sama-sama membalaskan sakit hati Nie Thay Po.

   Hanja karena banjak sebab, djandji mereka itu belum djuga dapat diwudjudkan, sampai kedjadian Hay Peng mati dikerojok dan Hay Kauw mati buta dan djengkel.

   Selang tigapuluh tahun lebih.

   Mendadak sadja dia ingat kepada djandjinja, maka dia berangkat ke Hoa Im.

   Dialah jang setjara diam-diam membunuh Tjong Haksoe, lalu malam itu, selagi Bong Hiap dikepung, dia membakar terop sembahjang, sesudah mana, dia mendahului kabur pulang ke Kwee Kee Toen.

   Tengah orang berkumpul, Oey Loo Sit muntjul dengan tiba tiba, wadjahnjia gelisah.

   Dia mimbawa berita bahwa peristiwa digedung Tjong Haksoe itu menerbitkan kegemparan besar, karena Tjong Lee Tiap tidak mau mengerti, Biauw Hiong Tjay dan Tjie Tjit lantas bertindak.

   Katanja mereka itu mau pergi mengadu pada pembesar negeri supaja pembesar negeri turun tangan menangkap si orang djahat.

   Pihak Tjong itu menganggap peristiwa ada hubungannja dengan kematian Kwee Hay Peng.

   "Djikalau begitu, kita perlu angkat kaki sekarang djuga!"

   Kata Kie Hay Auw.

   "Paling benar kita pergi ke Shoasay, ke Kiokyauw pada Lie Djie Kang."

   Pikiran ini mendapat persetudjuan. Oey Loo Sit pun suka ikut, sebab ia berpikir akan bekerdja sama terus dengan Djie Kang.

   "Mari kita berangkat!"

   Siauw Sek Tauw kata, Botjah ini ingin lekas-lekas menemui Djie Kang, jang kesehatannja ia kuatirkan.

   Benar-benar semua orang itu tidak berajal lagi.

   Karena djumlah mereka besar, mereka menjewa beberapa buah kereta.

   Uang dan barang barang berharga dibawa semua.

   Semua budjang ditinggalkan untuk merawat rumah, hanja mereka dipesan bagaimana harus mendjawab andaikata pembesar negeri datang melakukan pemeriksaan.

   Kie Hay Auw memisahkan diri ditengah d jalan.

   Tugasnja sudah selesai, maka ia hendak kembali kekota raija, guna terus mendjadi tukang pendjaga kuburan.

   In Tiong Hiap berduka dan menjesal lukanja kambuh, ia mendjadi lemah di tengah djalan.

   Gontjangan kereta pun membuatnja menderita.

   Ia telah memikirkan nasib anak- anaknja, terutama nasibnja sendiri.

   Dalam usia landjut, ia tidak punja anak lagi.

   Bong Hiap tidak dapat diharaplagi, ia pertjaja anak durhaka itu mati dalam perantauan disebabkan lukanja jang parah itu.

   Benar sekarang Kie Go dan Hoa Kiat merawatnja baik sekali, toh kedukaan dan kemenjesalannja tidak dapat dilenjapkan.

   Ia pula menjesalkan kematiannja Beng Liong.

   Maka ia malu sendirinja terhadap Kie Go.

   Ia bersjukur kepada si nona, berbareng merasa tidak enak hati, batinnja tidak tenang.

   Pada suatu hari diterngah djalan, djago tua dari Ong Ok San itu menghembuskan napasnja jang terachir, sehinga membuat semua orang berduka.

   Ditengah djalan orang tidak bisa berbuat banjak, maka djenazahnja diurus dengan tjara sangat sederhana.

   Karena ia menutup mata, djenazahnja hendak dibawa pulang ke Ong Ok San.

   Maka kebetulan sekali, pada lain harinja, mereka bertemu dengan Tjie Eng dan Tjiauw Kiang, jang lagi membuat perdjalanan untuk menjusul gurunja itu.

   Meninggalnja In Tiong Hiap pada saat mereka baru keluar dari kota Tong Kwan dan baru habis menjeberang dipenjeberangan Hong Leng.

   Kedua murid itu berduka sangat.

   Mereka tidak bisa berbuat lain daripada merjambut djenazah itu, buat segera dibawa pulang kegunungnja buat di kubur sebagaimana lajaknja.

   Siauw Sek Tauw jang mengepalai rombongan pulang ke Kiok-yauw.

   Iapun bergembira.

   Kesudahan itu sangat hebat baginja, terutama karena ia sangat menghargai dan menjajangi In Tiong Hiap jang ia pudja.

   Sjukur belakangan ia terhibur djuga.

   Inilah sebabnja mengapa ia tertarik pada Nona Kwee Siauw Hun, jang tjantik dan berlaku baik sekali padanja, hingga kemudian mereka berdua mengikat djandji buat hidup ber-sama membangun rumahtangga.

   Sementara itu, selama ditengah djalan itu, diantara Lauw Kie Go dan Ngo Hoa Kiat dua saudara seperguruan itu-telab terdapat kata sepakat untuk djuga hidup bersama, untuk merangkap djodoh mereka.

   Achirinja tibalah mereka ditempai tujuan.

   Bukan main berdukanja Lie Djie Kang waktu ia mendengar kesudahan peristiwa di Hoa Im dan ditengah djalan itu.Ia hanja merasa lega sebab urusan selesai dan dapat bertemu pula dengan Siauw Sek Tauw jang tidak kurang suatu apa.

   Rumah Empe Tjin mendjadi ramai sebab lantas menampung orang banjak orang.

   Sjukur jenazah In Tiong Hiap sudah dibawa pulang ke Ong Ok San.

   Sedangkan Kie Go, bersama Hoa Kiat, kemudian pulang kerumahnja.

   Oey Loo Sit lantas bekerdja bersama Djie Kang.

   Ia lega hati karena saudara seperguruannja itu masih mempunjai tjukup banjak sisa warisannja mendiang Gouw Bok Ya.

   Ketika Ngo Hoa Kiat minta diri, ia mengatakan kepada Siauw Sek Tauw bahwa satu waktu ia berniat pergi pula ks Hoa Im guna mentjari Biauw Hiong Tjay dan Tjie Tjit untuk membinasakan dua manusia djahat itu.

   Akan tetapi kemudian ternjata, tak usah ia mewudjudkan djandjinja itu.

   Hiong Tjay dan Tjie Tjit telah menerima gandjarannja.

   Putera-putera sulung dan nomor dua dari Tjong Haksu pulang terlambat.

   Mereka pulang karena diwartakan perihal kematian ajah dan saudara mereka.

   Tentu sadja mereka penasaran, maka mereka lantas mengumpul semua pegawai ajahnja, untuk mendengar keterangan mereKa.

   Dari ibu mereka dan dari Lee Tiap, mereka telah mendengar banjak.

   Kesimpulan mereka jalah kedjahatannja Bong Hiap digara-garakan Hiong Tjay dan Tjie Tjit.

   Malah segera diketahui, bahwa kedua pahlawan itu djuga asalnja orang2 djahat.

   Tidak menunggu waktu lagi, dua orang itu diserahkan pada pembesar negeri, jang belakangan telah menghukum mati pada mereka.

   Tinggallah Lee Tiap, jang sedih menjesali nasibnja jang buruk, sebab suaminja, jaitu Bong Hiap, tidak pernah kembali.

   Djuga sinona di Ong Ok San, jang dojan buah heng, mesti menderita, sebab diapun kehilangan Bong Hiap, kekasihnja itu.

   Empe Tjin dan sekeluarga hidup senang, karena mereka terus ada jang tampung.

   Rumahnja telah diperbesar, semua tetamu dapat tempat tinggal jang lumajan.

   Mereka semua telah merupakan beberapa keluarga.

   Siauw Hun hidup rukun dengan Siauw Sek Tauw, ia turut si Batu Ketjil beladjar silat.

   T A M A T DURHAKA -
Kolektor E-Book
DURHAKA -
Kolektor E-Book

   

   

   

   


Delapan Kitab Pusaka Iblis Karya Rajakelana Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id

Cari Blog Ini