Ceritasilat Novel Online

Angkin Sulam Piauw Perak 5


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bagian 5



Angkin Sulam Piauw Perak Karya dari Wang Du Lu

   

   Suaranya Pheng Jie keras dan matanya bersorot tajam, sampai muridnya jerih.

   "Aku tidak ingin kau yang layani Han Kim Kong, karena aku hendak jaga hari kemudian kau,"

   Giok-bin Lo Cia terangkan lebih jauh.

   "Kalau tadinya aku coba menyingkir dari dia itu, itu bukannya sebab aku takut, hanya lantaran aku kuatir kau terembet-rembet, tetapi sekarang, melihat sikapmu, aku berpikir lain. Aku tidak ingin kau kena dibekuk dan dibelenggu! Lihat saja nanti!"

   Tek Hui mesti menepas air mata, sebab bersyukur.

   "Apakah suhu punya uang?"

   Ia tanya. Pheng Jie goyang kepala.

   "Sekarang aku tak membutuhkan uang!"

   Ia jawab.

   "Muridku, meski pun kita adalah guru dan murid, perhubungan kita melebihi sahabat saja atau saudara. Kau malah telah angkat derajadku! Aku tadinya mirip 325 sama buaya darat tapi selanjutnya aku hendak lakukan perbuatan satu jago budiman! Tek Hui, kau dengar aku! Pertama kau tidak boleh layani Han Kim Kong, kedua kau harus sembunyikan diri untuk sementara waktu. Kalau kau hendak ketemui nyonya Gie-su, lakukan saja itu di waktu malam, jangan di waktu siang. Lebih baik kau bicara saja sama pengawal pintu, agar tidak usah sampai orang kenalkan kau. Dan ketiga, kau harus menikah sama Siauw Hong, nona yang berjodoh sama kau itu. Apa kau telah dengar semua?"

   "Aku telah dengar semua, suhu,"

   Sahut murid itu dengan bersangsi.

   "Aku sekarang belum dahar. Apa suhu sudah sarapan?"

   "Kau tunggu di sini, aku nanti pergi beli barang makanan untuk kau,"

   Jawab Giok-bin Lo Cia.

   "Aku akan sekalian tengok lHoat-wan Piauw-tiam. Kau jangan kuatirkan aku, dengan dandanan semacam ini, sekali pun kenalan tak akan kenali aku."

   Tek Hui manggut, ia awasi gurunya yang mukanya dan pakaiannya tak karuan. Sesudah guru itu keluar, ia menghela napas lega, hatinya terbuka.

   "Aku telah ketemu guruku!"

   Kata ia dalam hatinya.

   "Sekarang aku boleh nikah Siauw Hong!"

   Hampir pemuda ini berlalu, akan cari Siauw Hong guna menyampaikan kabar girang itu.

   326 Tek Hui tidak sempat ngelamun, si tukang tenung telah bertindak masuk dan menghampirkannya, maka ia lekas-lekas menyambut seraya memberi hormat.

   Sembari urut kumis dan jenggotnya, sinshe itu bersenyum.

   "Jangan kau pakai adat-peradatan!"

   Ia mencegah.

   "Kau muridnya Pheng Jie, maka kau mirip dengan muridku juga!"

   Tukang tenung ini adalah seorang Kangouw yang luas pengalamannya, ia pandai bicara dan membawa tingkah sebagai sahabat kekal dari Pheng Jie.

   Dia rupanya telah dengar dari sahabatnya itu perihal anak muda ini yang gagah dan jujur, sedang barusan samar-sama ia pun dengar hal 'menikah' dan 'isteri' yang guru dan murid itu bicarakan, hingga ia bisa menduga pada duduknya hal.

   "Coba kau kasih tahu aku peh-jie dari si nona,"

   Kata ia sambil tertawa.

   "Begitu pun peh-jie kau sendiri. Aku akan akurkan jodoh kau orang. Eh anak muda, jangan jadi bermuka merah!"

   Ia tambahkan.

   "Ini urusan yang menggirangkan, kan orang memang mesti menikah, jangan seperti aku. Sekarang aku sudah berusia tinggi, aku senantiasa repot melayani langganan, sampai aku tak pernah menikah! Juga guru kau, sahabatku si Pheng Jie, tak menikah sebagai aku. Maka pergilah kau lekas menikah! Buat apa kau pegangi pedang saja? Benda ini paling bisa ciptakan keonaran! Baik kau lepaskan senjatamu ini." 327 Tek Hui tidak kata apa-apa, ia hanya tunggui gurunya. Sang magrib telah datang dengan cepat, Lu Tong Pin sudah lantas nyalahkan api - ialah pelita yang guram sinarnya. Ia pun pergi ke dapur akan masak nasi, yang wangi baunya, hingga itu menambah membangkitkan keinginan dahar dari si anak muda sampai perutnya kembali kasih dengar suara berulang-ulang. Syukur Tek Hui tidak usah menunggu terlebih lama pula, sebab Pheng Jie lantas kelihatan muncul.

   "Suhu!"

   Menegur murid ini.

   "Suhu pergi begitu lama!"

   "Sst, pelahan!"

   Menjawab guru itu, seraya memberi tanda dengan gerakan tangan dan kedipan mata.

   "Di luar ada beberapa orang, kalau bukan dari pihak kantor Gie-su, tentu dari pihaknya Han Kim Kong. Rupanya mereka tahu kau berada di sini, tetapi mereka tak berani sembarangan menyerbu."

   "Di mana adanya mereka, suhu?"

   Tanya Tek Hui.

   "Mari kita keluar akan ketemu mereka! Di sini kita tidak boleh rembet- rembet empeh tukang khoa-miah ini."

   "Jangan kau terburu nafsu,"

   Pheng Jie mencegah.

   "Kau dahar dulu."

   Pheng Jie sodorkan beberapa potong phia yang ia beli, begitu pun dua ekor ikan asap, kemudian ia mulai dahar. 328 Lu Tong Pin pun sendoki semangkok nasi untuk Tek Hui. Tapi anak muda ini tidak bisa dahar, hatinya panas betul.

   "Siang Kiu telah meninggal karena lukanya,"

   Pheng Jie kasih tahu.

   "Tadi aku bantui Tan Moa-cu beli peti- mati dan rawat mayatnya, yang terus dikubur di tempat kuburan umum di luar kota. Anak perempuannya tidak ada di sini, kau pun belum jadi baba mantu sah dari dia, dari itu siapa bisa tahan mayatnya lama-lama? Maka paling benar adalah untuk kubur ia! Di belakang hari, kau orang boleh pergi sembahyangi arwahnya." *** 329 XII Bukan main dukanya Tek Hui, sampai ia tak bisa berkata apa-apa.

   "Han Kim Kong benar-benar jahat sekali!"

   Kata Pheng Jie untuk lampiaskan kemendongkolannya. Lu Tong Pin bingung dengar cerita itu, hingga nasinya tertunda untuk disuap.

   "Tek Hui,"

   Kata Pheng Jie kemudian.

   "sehabis dahar, kau mesti lekas pergi. Bukankah Siauw Hong ada di Lo-thian-sie? Kau mesti cari nona itu, untuk bawa ia menyingkir dari sini. Kau tahu Thio-kee-kauw, untuk sementara kau boleh pergi pada Louw Thian Hiap. Urusan di sini kau serahkan padaku seorang!"

   Tek Hui bersangsi akan turut ucapan gurunya itu.

   "Ya, kau perlu lekas berlalu dari sini,"

   Lu Tong Pin pun mendesak.

   "Guru kau suruh kau lekas pergi, kau mesti pergi dengan cepat. Kasih tahu pada isterimu, yang mertua kau sudah meninggal dunia dan mayatnya telah dirawat dengan baik, ia jadi tidak usah bersusah hati. Berdua kau orang mesti hidup baik- baik."

   Tek Hui segera berbangkit.

   "Suhu, aku akan berangkat!"

   Katanya.

   "Sampai kapan kita akan bertemu pula?"

   Pheng Jie pandang muridnya, ia bersenyum. 330

   "Buat kau cari aku, itulah sukar,"

   Ia bilang.

   "Adalah lebih gampang untuk aku yang sambangi kau. Sekarang kau jangan banyak pikir, kau boleh lekas pergi! Jikalau nanti kau sudah menikah dan mendirikan rumah, sekali pun di ujung dunia, tidak perduli kapan, aku akan bisa cari kau!"

   "Bagaimana dengan Hoat-wan Piauw-tiam?"

   Tek Hui tanya pula.

   "Tentang Tong Kim Houw, kau tidak usah banyak pikir,"

   Pheng Jie jawab.

   "Benar sekarang ia lagi umpatkan diri, tetapi ia punya banyak sahabat, pertolongan siapa ia minta guna bikin aman dirinya, sedang uang ia punya, guna ongkosi segala keperluannya itu. Kau tahu, ia telah cuci bersih dirinya. Ia bilang, bahwa dengan kau ia tak punya pergaulan, melulu sebab kasihan kau luntang-lantung, ia telah tolong padamu dan bagi kau semangkok nasi, siapa tahu - katanya - kau berulang-ulang timbulkan gara-gara untuk kerugiannya. Ia bilang, selanjutnya ia tak akan pakai kau pula. Malah ia janji, umpama kata ia ketemu kau, ia hendak tangkap kau. Jikalau tidak salah, sebentar malam ia akan bikin pesta di It-hu- cun, banyak orang yang ia undang, di antaranya Louw Thian Hiong, orangnya Gie-su, wakil dari lain- lain piauw-tiam. Pada kau juga ditimpahkan kesalahan perbuatan Louw Po Go, yang telah umbar piauwnya, hingga banyak orang terluka. Maka sebentar, atau sekarang, di It-hu-cun tentu sudah ramai, di sana 331 Tong Kim Houw tentu akan paykui pada Han Kim Kong, untuk haturkan maafnya. Hanya aku sangsi, yang Han Kim Kong sudi hadirkan pesta itu. Bisa jadi Louw Thian Hiong akan berdaya untuk keentengan perbuatan keponakan perempuannya, umpama ia akan berjanji guna untuk tangkap kau, akan tolong carikan Siauw Hong. Mereka tentu tidak ketahui aku berada di sini, coba mereka ketahui, bisa jadi aku pun tak akan dikasih ampun."

   Tek Hui begitu gusar, sampai ia hunus pedangnya.

   "Apa kau mau?"

   Tanya Pheng Jie, seraya rampas pedang itu.

   "Aku tak bisa ijinkan kau terbitkan onar! Kau harus jaga hari kemudianmu. Kau mesti ingat, kau adalah muridku satu-satunya!"

   "Suhu, kau begitu perhatikan hari kemudianku, tetapi sekarang lihat, apa yang orang hendak berbuat?"

   Kata si murid.

   "Bagaimana aku bisa tahan sabar?"

   "Aku yang nanti wakilkan kau akan lampiaskan kemendongkolan kau! Apa kau sangka aku tak sanggup urus segala perkara begini? Kau terlalu tak lihat mata padaku! Sekarang pergilah kau, dengan tangan kosong! Umpama di tengah jalan ada orang hendak tangkap kau, atau orang serang padamu, kau kelit saja dan menyingkir, aku larang kau melawan atau membalas! Jikalau kau tidak dengar perkataanku ini, dengan pedang ini aku yang nanti bunuh kau! Atau aku akan bunuh diri!" 332 Kembali Tek Hui menjadi sangat terharu, ia jadi serba salah.

   "Suhu, kau bikin aku bingung,"

   Ia kata.

   "Aku ingin muridku jadi laki-laki sejati!"

   Kata Pheng Jie, seraya ia gigit kuwenya.

   "Kau punya harapan besar, kau mesti tinggalkan nama! Dengan begitu, kau barulah menjadi muridku!"

   "Sudah, kau pergilah!"

   Lu Tong Pin mendesak pula.

   "Lagi dua hari, kau boleh datang pula kemari! Sudah beberapa hari gurumu tinggal sama aku di sini, aku lihat adatnya telah berubah jadi semakin aneh, ia seperti orang angot, coba kita bukannya sahabat kekal, kita barangkali sudah berkelahi satu pada lain! Jangan kau layani gurumu, besok barangkali ia akan ubah sikapnya."

   Terpaksa Tek Hui mengasih hormat dan bertindak keluar dengan tangan kosong, karena pedangnya ia antap di tangan gurunya.

   *Oz* Langit sudah mulai gelap, tetapi hawa udara yang panas membikin banyak orang berangin di luar rumah.

   Tek Hui menuju ke utara, ia coba menoleh ke belakang, ia tidak lihat orang kuntit padanya, entah dari kejauhan.

   Ia telah sampai di jalan besar yang ramai, tetapi di jalan besarnya ia tidak lihat banyak 333 orang.

   Di sana-sini kedapatan api dan tengloleng.

   Di pinggiran ada banyak tukang buah, di atas lauwteng rumah makan ada orang asik bersantap.

   "Sayang aku tidak boleh pergi ke It-hu-cun, akan satroni Han Kim Kong,"

   Kata ia dalam hatinya.

   "Sebenarnya aku mesti muncul pula di muka umum, supaya orang ketahui aku siapa. Tapi aku mesti lantas pergi pada Siauw Hong, untuk kabarkan kematian ayahnya, guna hiburkan padanya. Dan ke gedung Gie- su, aku pun belum pergi untuk sampaikan pesanannya Siauw Hong."

   Ingat yang belakang ini, Tek Hui lantas cepatkan tindakannya.

   Ia berhasil cari gedung Gie-su, sebuah gedung besar dan mentereng, di depannya digantungi teng besar, di situ pun ada beberapa kereta kurung.

   Ia samperi sebuah kereta dan tanya kusirnya apa itu benar gedung Gie-su.

   Kusir itu bingung mengawasi sebelumnya ia menjawab, hingga Tek Hui jadi tidak puas.

   "Apakah bukannya kau yang menunggang kuda di depan Lo-thian-sie?"

   Kusir itu tanya kemudian.

   "Benar,"

   Tek Hui jawab.

   "Aku datang untuk satu urusan. Kau tahu Siauw Hong, bukan?"

   "Siauw Hong toh ada Go-ie Thay-thay dari keluarga Han?"

   Kusir itu baliki.

   "Ia telah lenyap, Thay-thay kita berkuatir, tadi baru saja Thay-thay pergi ke rumahnya sie-wie untuk cari keterangan, tetapi ia tak berhasil." 334

   "Sekarang Siauw Hong berada di Lo-thian-sie, ia pesani aku agar encie tengoki ia besok,"

   Tek Hui kasih tahu.

   "Jadinya kau orang suruhan dari Siauw Hong?"

   Kusir itu tanya.

   Tek Hui putar tubuhnya dan bertindak pergi sehabisnya ia berkata.

   Ia dengar suaranya si kusir, ia diam saja, ia jalan terus, tidak perduli orang panggil ia berulang-ulang.

   Ia sudah lakukan kewajibannya, hatinya lega sedikit.

   Setelah melewati satu gang, Tek Hui jalan dengan pelahan, tujuannya masih belum tetap.

   "Besok tentu Ie-thay-thay dari Gie-su akan tengok Siauw Hong. Dengan menikah sama Siauw Hong, Thay-thay itu pun menjadi sanakku, maka ia tentu akan lindungi aku. Hal ini tentu hinaan bagi diriku. Baik sekarang juga aku pergi ke Lo-thian-sie, akan sampaikan kabar pada Siauw Hong, sesudah itu aku mesti pergi pula. Nikah Siauw Hong, itu urusan belakang, sekarang aku mesti cari Han Kim Kong, akan mampusi dia, untuk itu aku bersedia akan mengganti jiwa, tidak usah aku terima bantuannya saudara angkat dari Siauw Hong! Suhu pun tidak usah lakukan suatu apa untuk aku!"

   Demikian Tek Hui ngelamun di sepanjang jalan, ketika ia sudah ambil putusan, tindakannya ia bikin cepat, tujuannya sudah pasti. Ia terpengaruh oleh 335 kemedongkolannya. Ketika ia sampai di Cian-mui Toa- kay, ia dengar orang panggil padanya.

   "Lauw...."

   Ia segera menoleh. Di antara sinar api dari suatu toko, ia kenalkan Tan Moa-cu, siapa segera samperi ia untuk ditarik ke tembok.

   "Siang Kiu telah menutup mata, kau tahu atau tidak?"

   "Guruku telah beritahukan itu padaku,"

   Sahut Tek Hul sambil manggut. Tan Moa-cu agaknya terperanjat.

   "Jadinya orang miskin itu Giok-bin Lo Cia Pheng Jie?"

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia kata.

   "Kenapa ia telah berubah menjadi begitu rupa, sampai aku tak kenali padanya? Seperginya kau, aku ibuk sekali, kau tahu? Siang Kiu lantas saja lepaskan napasnya yang penghabisan, matanya terbalik. Baiknya datang Pheng Jie, kalau tidak, sendirian saja apa yang aku bisa bikin? Ketika mau menutup mata, Siang Kiu tinggalkan pesanan untuk puterinya, supaya anak itu mencari balas. Kedua kakinya kaku duluan, kedua matanya tidak lantas dirapati. Demikian aku menjadi seperti si hauwlam yang mengantar orang tuanya ke dunia lain. Pheng Jie lantas kasihkan pikirannya dan aku bekerja dengan dibantu oleh Kang Su. Sekarang, setelah selesai urus mayatnya Siang Kiu, sendiriau saja, aku takut tinggal lebih lama di tempatku, maka aku mau cari pondokan lain. Aku masih punya sisa dari uangmu, aku pikir akan pakai itu untuk keperluan sendiri. Besok atau 336 lusa aku hendak pulang ke kampung, di Pak-khia ini aku tak sanggup tinggal lebih lama pula!"

   Tek Hui tidak kata apa-apa, ia dongak melihat langit yang gelap, di mana sang bintang tertutup mega hitam.

   Ia rasai dadanya sesak, karena kembali ia ingat kejahatannya Han Kim Kong.

   Jalan besar itu ramai, kereta dan orang mundar- mandir.

   Sekian lama anak muda ini berdiam saja, akhirnya ia menoleh pada Tan Moa-cu.

   "Baiklah"

   Akhirnya ia kata.

   "Uang itu kau boleh pakai. Aku masih punya urusan lain, maka sampai kita ketemu pula!"

   La terus bertindak ke arah selatan.

   Ketika ia sampai di Hoat-wan Piauw-tiam, ia lihat pintu tertutup sebelah, di dalam ada sinar api.

   Rupanya Toh-bwee Pa-eng sudah kembali.

   Ia percaya orang telah pada pulang dan Tong Kim Houw sudah 'selamat', sebab piauwsu itu toh sudah haturkan maaf.

   Anggap lebih baik ia cari Han Kim Kong, Tek Hui tak sudi lagi mampir di piauw-tiam.

   Ia jalan terus, akan cari rumah makan It-hu-cun, yang berada tidak terlalu jauh dari situ.

   Ia maju terus ke Selatan.

   Tempo ia sampai di depan rumah makan, tiba-tiba ia merandek.

   Ia lupakan larangan gurunya dan baru sekarang ia ingat larangan itu.

   Di sini pun dahulu ia ketemu Ciu Toa Cay, yang pedayakan padanya, hingga ia kena dijebak di rumah Han Kim Kong.

   337

   "Han Kim Kong adalah okpa, mulutnya manis, hatinya tajam seperti pedang! Bagaimana kejam akan cambuki Siauw Hong, akan lukai Siang Kiu sampai Siang Kiu binasa! Dibanding sama sakit hatiku, sakit hatiku itu perkara kecil. Ia tidak boleh dianggap bisa bersenang-senang lebih lama pula, ia tak boleh diijinkan mendapati korban-korban lain lagi!"

   Ingat demikian, kakinya Tek Hui lalu bertindak maju, masuk ke It-hu-cun yang ramai sekali, terutama di waktu malam.

   Ruangan di bawah sudah penuh, orang rubungi meja dalam rombongan tiga atau lima, mereka dahar dan minum, mereka pasang cerita atau main tebak-tebakan, suara mereka ramai sekali.

   Di antara mereka ada yang ditemani nona-nona tukang nyanyi.

   "Tentu Tong Kim Houw dijamu Han Kim Kong di atas lauwteng,"

   Pikir Tek Hui, yang lihat di bawah sudah tak ada tempat kosong dan si piauwsu tak tertampak di situ.

   "Bagaimana sekarang aku mesti berbuat? Aku naik terus ke lauwteng atau jangan? Kalau aku naik dan mereka sudah berkumpul, mesti aku terjang mereka! Kalau aku tidak naik, apa perlunya aku datang kemari?"

   Ia menoleh ke kiri dan kanan, ia lihat tak ada orang perhatikan dia.

   "Tentu orang tak perhatikan aku, sebab aku tidak bawa pedang,"

   Ia pikir.

   Kapan sebaliknya ia perhatikan sekalian tamu itu, ia lihat mereka itu kebanyakan orang-orang dari 338 kalangan piauw-tiam, sebab banyak yang soren belati di pinggang atau letaki golok di atas meja, atau menaruh toya dan gaetan di atas bangku.

   "Eh, kenapa sih satu juga belum ada yang muncul?"

   Sekonyong-konyong terdengar satu suara.

   "Apa benar- benar mereka telah terpengaruh oleh si orang she Lauw, hingga mereka semua ketakutan?"

   "Tapi Louw Thian Hiong sudah datang!"

   Kata seorang lain "Yang lain-lain tentu akan datang belakangan.

   Sebenarnya, apa yang ditakuti dari bocah nama Lauw Tek Hui itu? Tadi benar ia kembali ke piauw-tiam, tetapi kemudian ia menghilang dengan diam-diam, tinggalkan piauw-tiam kosong melompong! Apa itu bukan menandakan nyalinya yang kecil, ia takut orang cari dia?"

   Ia tenggak araknya, akan kemudian kata pula.

   "Aku lihat pulang-pergi, adalah muka kita kaum piauwsu yang menjadi guram! Lihat kemarin ini di Louw-kouw-kio, yang luka, yang binasa, semua adalah orang kita golongan piauwsu! Dan yang gunai piauw juga orang kalangan kita - itu budak perempuan! Dan hari ini, yang akan menghaturkan maaf, kembali ada piauwsu! Melainkan Lauw Tek Hui, ia piauwsu, toh ia belum pernah menjura pada siapa juga! Kita tidak kenal Lauw Tek Hui itu, dengan Han Kim Kong kita cuma bersahabat, tetapi dia bukannya piauwsu, maka turut aku, sebenarnya tidak usah kita campur urusan mereka, sebetulnya lebih baik kita antap mereka perang!" 339

   "Sebenarnya juga, Lauw Tek Hui ada orang kalangan kita."

   Kata orang pertama.

   "Kenapa kita tidak boleh kenal dia? Bugeenya ada pelajaran turunan dari Pheng Jie. Apakah Pheng Jie bukan piauwsu juga? Lauw Tek Hui bekerja di Hoat- wan Piauw-tiam atas undangannya Tong Kim Houw, biar ia baru satu kali mengantar piauw ke Thio-kee- kauw, ia tetap mesti dibilang satu piauwsu!"

   "Sayang adalah Pheng Jie, yang telah terima murid anak muda itu!"

   Kata sang kawan.

   "Harus disesalkan adalah Tong Kim Houw, hingga sekarang ia jatoh pamor! Kenapa ia pakai piauwsu bocah tak ternama dan tak terlebih dahulu bikin kunjungan ke sana kemari, tahu-tahu ia sudah antar piauw? Bocah itu terlalu andalkan bugeenya, ia menghina kita semua! Celaka juga budak perempuan she Louw itu yang tak tahu malu! Apa yang ia telah perbuat. Di kolong langit cuma ada lelaki yang uber-uber perempuan, tetapi tidak ada perempuan yang kejar-kejar lelaki! Lauw Tek Hui, si bocah, bukan cuma setan paras elok, ia juga tak punya liangsim! Sudah ia tak sudi Louw Po Go, apa mau ia telah rampas gundik orang! Apa itu tidak memalukan? Kita kaum piauwsu tak harus kenal padanya!"

   Tek Hui mendongkol akan dengar semua ocehan itu, tetapi apabila ia ingat lebih jauh, ia tidak heran orang ambil sikap demikian dalam urusannya itu.

   Orang luar tidak ketahui halnya Siauw Hong, mereka 340 tak tahu duduknya perkara.

   Cuma Pheng Jie, guru yang gagah dan mulia hatinya, yang bisa benarkan ia.

   "Maka sekarang aku mesti bertindak akan bikin semua orang kenal aku!"

   Akhirnya ia pikir.

   "Aku mesti beber duduknya perkara, urusan berkelahi ada urusan kedua."

   Tek Hui lantas kendalikan diri.

   Ia tidak ingin orang lihat padanya, ia pergi ke samping tangga, ke tempat di mana orang tak akan perhatikan ia.

   Di situ tidak ada kursi atau bangku, sinar api pun tidak tembus.

   Cuma jongos yang lihat ia, dan menghampirkan, tanya ia hendak minum dan dahar apa.

   Jongos Itu pun hendak geserkan meja dan kursi.

   "Jangan, sebentar lagi,"

   Tek Hui mencegah.

   Kemudian Tek Hui dengar orang sebut-sebut Kim Samya, ialah Han Kim Kong.

   Dari suara mereka, ia dapat tahu ada yang memuji-muji, ada yang cuma hendak menyaksikan keramaian Tapi lebih banyak yang mencela ia.

   Tek Hui telah jadi bulan-bulanan, sebab ia bikin onar di gedungnya Han Kim Kong, karena bawa minggat Siauw Hong.

   Dalam pertempuran di Louw- kouw-kio, orang pun sebut ia sebagai biang keladinya.

   Nyata Han Kim kong telah ciptakan lumpur atas dirinya.

   Tapi, mengetahui semua itu ia bisa tenangkan diri.

   Ia terus pasang mata ke jurusan tangga.

   341 Di antara suara berisik, Tek Hui pun dengar nyanyian si nona-nona manis, yang layani masing- masing tuannya.

   Selagi celingukan, tiba-tiba Tek Hui lihat pintu samping, di mana ada cahaya api guram.

   Di muka pintu, sekelebatan saja ia lihat satu tubuh perempuan, yang menghilang pula dengan cepat.

   Ia tak melihat nyata, maka ia duga itu tentu isteri atau puteri dari pemilik rumah makan.

   Kemudian dari luar kelihatan masuknya beberapa orang, semua dengan pakaian mewah, dengan tindakan lebar, romannya agung-agungan.

   Di antara mereka, Tek Hui cuma kenalkan satu, ialah Tek-thian- ong Sie Ngo dari Lie-hap Piauw-tiam.

   Kemudian kelihatan Tong Kim Houw, dengan pakaian mewah juga, tetapi dengan roman lesu dan guram.

   Selagi rombongan itu masuk, banyak orang pada berbangkit dan mengawasi, dengan begitu Tek Hui jadi kealingan, sampai ia mesti berjingke.

   "Sudah datang, sudah datang!"

   Kemudian terdengar suara gumbreng tetapi pelahan.

   "Tentu Han Kim Kong yang datang,"

   Pikir Tek Hui.

   Ia tak dapat melihat, ia hanya lantas dengar tindakan kaki di tangga lauwteng, suaranya riuh.

   Lantas banyak orang, yang menyusul naik ke lauwteng, rupanya untuk tonton bagaimana Tong Kim Houw akan jalankan 'upacara menghaturkan maaf'.

   342 Tiba-tiba darahnya Tek Hui naik.

   Ia mendongkol untuk Tong Kim Houw.

   "Ia memalukan, tetapi ia tetap toapiauw dan sahabatku,"

   Ia pikir. Selagi anak muda ini bertindak ke jurusan tangga, mendadak dari belakang ada orang yang tarik tangannya. Ia kaget, ia menoleh dengan segera. Di sinarnya api, ia lihat satu kacung umur dua atau tiga belas tahun.

   "Apa kau mau?"

   Tek Hui tegur.

   Kacung itu tidak menyahut, ia hanya membetot, tangannya besar juga.

   Mau atau tidak, Tek Hui mengikuti.

   Ke depan orang tidak bisa maju, maka bocah itu memimpin ke belakang.

   Di situ ada satu pekarangan lain, ada tiga buah kamar, dari satu antaranya terdengar suara bocah menangis.

   "Mau apa kau ajak aku kemari?"

   Tek Hui tanya pula.

   "Ini bukannya kehendakku,"

   Sahut si kacung.

   "Ada orang yang perintah aku ajak kau kemari, untuk kau sembunyikan diri di sini."

   "Siapa orang yang menyuruh kau?"

   Kacung itu tidak menjawab, hanya ia pergi pula ke depan. Tek Hui berdiri diam karena heran.

   "Bocah ini tentu kacung jongos atau magang di dapur,"

   Ia pikir.

   "Kenapa ada orang suruh aku 343 sembunyi di sini? Orang itu bermaksud baik, tetapi aku tidak kenal dia."

   Ia lihat ia berada di tempat gelap, di situ tidak ada orang lain kecuali di dalam kamar.

   Kapan ia dongak, ia bisa lihat nyata lauwteng yang mempunyai empat jendela belakang, tetapi kecil semua, dari situ terdengar suara ramai, ada suara orang, tapi suara itu sukar dikenalkan suara siapa.

   "Aku mesti lihat mereka!"

   Pikir Tek Hui, yang hatinya panas.

   Buat ia, tempat tinggi tak berarti banyak.

   Ia enjot tubuhnya, naik ke genteng, dari situ ia merayap ke jendela.

   Di sini ia tidak bisa berdiam lama, tidak ada alingan untuk ia.

   Maka ia pergi ke jendela yang menghadapi jalan besar, yang lebih besar.

   Dari situ ia lihat dua buah meja panjang, yang penuh makanan, api bercahaya terang.

   Di mulut tangga ada banyak orang, tidak ada yang berani maju lebih jauh.

   Duduk di tengah-tengah adalah Han Kim Kong, yang bawa sikap sebagai Giam Loo Ong.

   Dua bocah mengipasi dari belakang.

   Ia unjuk roman bengis, dua matanya bersinar tajam.

   "Seumurku, belum pernah aku mengalami kejadian sebagai ini!"

   Demikian suaranya Kim Samya.

   "Sejak aku ikuti Sri Baginda Raja, aku tidak suka campur lagi segala urusan di luaran, tetapl sekarang Lauw Tek Hui menghina aku secara keterlaluan! Dan ia telah diangkat oleh Tong Kim Houw!" 344

   "Sudahlah, sudah,"

   Berkata Sie Ngo.

   "Seorang budiman biasanya tak melayani segala siauwjin. Mustahil Tong Kim Houw berani main gila terhadap Samya? Aku tahu, ia dan Lauw Tek Hui sebenarnya tak punya pergaulan kekal."

   Tong Kim Houw berdiri di depannya Han Kim Kong, ia tunduk saja.

   "Memang, aku tidak bersahabat sama dia,"

   Ia kata, dengan tak berani angkat muka.

   "Adalah tadinya aku kenal Pheng Jie dan dia adalah muridnya Pheng Jie."

   "Itulah aku tahu!"

   Kata Han Kim Kong dengan kaku.

   "Maka juga musuhku yang pertama adalah Pheng Jie. Memang soal mulanya aku pun kebentrok sama Pheng Jie, ia yang mulai, aku tidak mau meladeni, karena aku pikir aku orang berpangkat, tidak ada perlunya aku layani dia."

   "Kabarnya Pheng Jie sudah mati,"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Sie Ngo.

   "Orang bilang ia telah pergi merantau, ia telah dapat sakit, tubuhnya rusak tidak keruan, ia mati di rumah penginapan sampai sekali pun peti-mati, ia tidak punya."

   "Memang juga tidak biasanya bagi aku akan layani segala siauwjin,"

   Han Kim Kong kata pula.

   "tetapi di luar dugaanku, Lauw Tek Hui sudah satroni gedungku, di sana ia telah lakukan pembunuhan, ia telah rampas isteri mudaku serta budak perempuan. Dan kemarin ini Louw-kouw-nio." 345 Louw Thian Hiong hadir di samping, mukanya menjadi merah, sambil hadapi Han Kim Kong, ia angkat tangannya berulang-ulang turun dan naik.

   "Sekarang ini di hadapan kalian tuan-tuan, aku haturkan maaf pada Han Shako,"

   Ia kata.

   "Louw Po Go itu keponakan perempuanku. Keliru adalah kanda Thian Hiap, kenapa aturan rumah tangganya ia tidak pegang keras. Setahu bagaimana, seorang diri Po Go sudah datang ke Pak-khia ini. Memang anak itu suka menunggang kuda dan pergi pesiar seorang diri. Dalam hal kesukaannya itu, aku sendiri tidak mampu melarang atau mencegah. Ia sebenarnya tidak kenal Lauw Tek Hui. Aku percaya, kejadian di Louw-kouw- nio adalah kebetulan saja. Rupanya ia lihat orang bertempur, ia lantas campur tangan dengan tak cari tahu lagi duduknya perkara, malah ia gunai piauwnya. Pasti ia tidak sangka, bahwa yang ia tolongi adalah Lauw Tek Hui dan yang ia lukai adalah sahabat- sahabat kita. Mengenai ini, aku telah tegur keponakanku itu. Aku harap kemudian nanti bisa ajak ia ketemu sekalian saudara-saudara di sini untuk ia haturkan maaf."

   "Kalau dia keponakanmu, sudahlah,"

   Kata Han Kim Kong, yang goyangi tangan.

   "mustahil aku mesti layani dia? Tapi benar, lain hari aku ingin tengok keponakanmu itu, aku ingin saksikan bagaimana adanya kepandaiannya maini piauw." 346

   "Lagi dua hari, aku nanti ajak ia datang ke rumah Samya untuk haturkan maaf,"

   Kata Louw Thian Hiong. Han Kim Kong manggut dengan pelahan, ia tidak kata apa-apa lagi.

   "Aku juga hendak haturkan maaf pada Samya,"

   Kata Tong Kim Houw.

   "Aku mohon Samya suka berlaku murah padaku. Aku janji, selanjutnya aku tak berani pakai Lauw Tek Hui lagi."

   "Dengan kau tidak pakai dia lagi, itu masih belum berarti!"

   Kata Sie-wie itu.

   "Aku inginkan kau cari dia!"

   "Sam Looya"

   Tong Kim Houw meringis.

   "Aku tidak sanggup cari dia. Boleh jadi ia sudah pulang ke kampungnya."

   "Tadi pagi kantor gie-su kirim orang ke Bun-tauw di See-san akan cari padanya, ia katanya tidak ada di rumah,"

   Han Kim Kong menjengeki.

   "Aku pun tidak tahu ia pergi ke mana."

   "Kau tidak tahu? Bagaimana kau bisa tak tahu? Tadi terang-terang orang lihat ia pulang ke piauw- tiammu, hanya kemudian ia pergi pula, entah ke mana. Aku percaya, ia belum terpisah jauh dari Pak- khia. Ia punya beberapa tempat, kau tentunya ketahui itu. Lekas bilang!"

   "Benar-benar aku tidak tahu, Sam Looya,"

   Kata Tong Kim Houw, sambil meringis, sambil mewek.

   "Aku memangnya tidak bergaul rapat sama ia, aku tidak tahu pondokannya kecuali warung kuwe dan rumahnya Siang Kiu." 347

   "Hm!"

   Berseru Han Kim Kong.

   "Gubuknya si tukang kuwe aku telah ubrak-abrik! Siang Kiu aku telah hajar sampai setengali mampus! Tapi aku masih belum puas! Seumur hidupku, belum pernah aku terhina secara begini!"

   "Benar-benar aku tidak tahu ke mana perginya Tek Hui,"

   Kim Houw berkata pula.

   "Tadi ia pulang, tetapi aku ketahui itu sesudah ia pergi lagi. Piauw-tiam aku telah kosongkan, isteri dan anakku pun telah menyingkir, karena aku kuatir Sam Looya datang mengumbar nafsu amarah."

   Han Kim Kong angkat dadanya.

   "Aku ini Gie-cian Sie-wie sejati, mustahil aku kesudian mengganggu kau punya piauw-tiam bobrok!"

   Ia kata dengan nyaring.

   "Aku tidak tahu yang Looya begini murah hati,"

   Kim Houw mengangkat.

   "Sekarang, di depan banyak sahabat, aku hendak terangkan pada kau!"

   Han Kim Kong bilang.

   "Aku tidak niat desak kau, tetapi kau adalah majikannya Lauw Tek Hui! Dengan tidak ada kau, ia barangkali sudah mampus karena kelaparan, ia tentu tak akan dapat nama besar! Sekarang kau harus bantu aku dalam satu hal."

   "Sam Looya, kendati kau suruh aku menjadi ayam atau kucing, aku tentu suka bantu kau,"

   Kata Kim Houw dengan cepat.

   "Dengan kau suruh aku bantu kau, itu sudah berarti yang kau hargai aku." 348

   "Bagus!"

   Berseru Han Kim Kong, seraya berbangkit. Ia angkat tangannya, akan ber-kiong chiu terhadap semua hadirin.

   "Sahabat-sahabat, sekarang semua telah menjadi jelas! Aku kasih tahu, jikalau aku tak dapat bekuk Lauw Tek Hui, aku tidak merasa puas! Jikalau aku tidak bisa rampas pulang gundikku, kemendongkolanku belum terlampias! Aku tidak bisa lihat orang lagi, jikalau muka terangku belum dikembalikan! Maka itu sekarang aku hendak minta bantuannya Tong Kim Houw, aku ingin ia suka mengalah sedikit, ialah aku hendak ringkus ia, untuk digantung di depan Hoat-wan Piauw-tiam!"

   Mendengar demikian, bukan kepalang kagetnya Tong Kim Houw, sampai ia mendadakan mandi keringat dingin, hampir- hampir ia lantas jatuhkan diri, akan merayap di depannya pahlawan raja itu. Louw Thian Hiong juga merasa putusan itu kelewatan.

   "Inilah tidak berarti banyak,"

   Berkata Sie Ngo.

   "Tidak mengapa kalau si Tong merasai sedikit seperti tersiksa. Biarlah aku yang ringkus, aku yang gantung padanya. Hanya Sam Looya, berapa lama kau hendak gantung dia?"

   Tek Hui merasakan dadanya hampir meledak, karena sudah sekian lama ia tahan sabar, sekarang ia hampir tak mampu kendalikan diri lagi.

   Tong Kim Houw terlalu hina, tapi ia pun harus dikasihani.

   Semua-mua, Han Kim Kong adalah yang terlalu kejam 349 dan jahat.

   Hampir ia loncat masuk ke dalam jendela, ketika ia dengar pula suaranya Han Kim Kong.

   "Biar bagaimana, Tong Kim Houw mesti digantung di depan piauw-tiamnya,"

   Kata Gie-cian Sie-wie ini.

   "Berapa lama ia mesti digantung, itu bergantung sama munculnya Lauw Tek Hui - begitu Lauw Tek Hui muncul, begitu ia dimerdekakan! Dengan berbuat begini aku bukan musuhnya Tong Kim Houw, hanya aku hendak lihat, Lauw Tek Hui berani muncul atau tidak akan tolong majikan itu! Binatang itu sangat kepala besar, dengan tindakanku ini, aku percaya ia tidak bisa tidak perlihatkan diri! Asal Lauw Tek Hui datang, paling dulu aku hendak paksa ia serahkan gundikku aku nanti cingcang mereka berdua di depan Hoat-wan Piauw tiam!"

   Cukup bagi Tek Hui, ia tidak bisa berkuasa lagi atas dirinya, tetapi di saat ia hendak loncat masuk ke dalam jendela, apa mau dari jendela sebelah sana ia lihat mencelat masuk orang, tangan siapa menghunus pedang, yang tajamnya berkeredepan.

   Dan orang itu seraya berkata.

   "Han Kim Kong, kau terlalu jahat! Aku nanti bikin takaranmu jadi luber, hingga kau mesti binasa di sini juga!"

   Han Kim Kong kaget, tetapi ia masih bisa berbangkit ketika orang itu sampai dan terus bacok padanya.

   Dua orang di sampingnya telah tolongi ia dengan talangi ia menangkis dengan golok mereka masing-masing.

   Justeru ini, ia jadi bisa lihat romannya 350 si penyerang, yang mukanya berewokan dan kotor, yang pakaiannya banyak tambalannya dan rombeng, tubuhnya tinggi dan kurus, romannya ia seperti kenal.

   "Siapa kau?"

   Ia tanya, dengan suara keras.

   "Kau tidak kenali aku, Han Kim Kong?"

   Penyerang itu balilk menanya.

   "Apakah kau lupa pada kau punya Pheng Jie Thay yaya?"

   Kembali Han Kim Kong kaget.

   "Kau Pheng Jie?"

   Ia berseru.

   "Kau Giok-bin Lo Cia? Kau masih hidup?"

   Sementara itu orang-orangnya okpa ini, terutama yang di tangga lauwteng, sudah acungi senjata mereka.

   "Hajar! Hajar dial"

   Mereka berseru-seru.

   "Hajar binatang itu!"

   Meski begitu, Han Kim Kong tidak anjurkan mereka itu, karena ia tahu mereka bukannya tandingan Pheng Jie, sedang Giok-bin Lo Cia adalah gurunya Lauw Tek Hui. Sambil mundur, ia bikin dirinya terhalang dengan kursi.

   "Pheng Jie, kita toh sahabat satu pada lain,"

   Ia kata dengan sabar. Sekarang lenyap sikap atau romannya yang garang.

   "Sudah lama kita tidak ketemu, kenapa sekarang kau ambii sikap begini? Yang aku cari bukannya kau, hanya murid kau, asal Lauw Tek Hui ada di sini, kita bisa bicara." 351

   "Jangan kau bicara manis lagi!"

   Membentak Pheng Jie, seraya menusuk pula.

   "Di dalam perutmu yang busuk, kau simpan golok! Dengan tak ada sebab kau telah labrak Siang Kiu sampai binasa, aku datang untuk menagih jiwa!"

   Han Kim Kong angkat kursinya akan menangkis, lalu dengan kursi itu ia menyerang.

   "Hajar! Hajar dial"

   Demikian orang berteriak-teriak, antaranya ada yang maju.

   "Pheng Jie, sabar!"

   Sie Ngo berseru.

   "Pheng Jie, kau berlaku kurang ajar pada Kim Samya, kau cari mampus sendiri!"

   Sebaliknya daripada Sie Ngo, Tong Kim Houw mundur ke samping.

   "Jangan, jangan bertempur!"

   Louw Thian Hiong berseru.

   "Mari kita bicara!"

   Tapi cegahan itu tidak ada hasilnya, pertarungan secara kusut sudah terjadi.

   Orang-orangnya Han Kim Kong menyerang juga dengan kursi dan meja, hingga piring mangkok pada jatuh hancur dan sumpit terdengar berarakan.

   Waktu itu Tek Hui sudah loncat masuk ke dalam ruangan, ia lihat gurunya pakai pedangnya, ia sendiri bertangan kosong, yang sukar bagi ia.

   Ia tidak berani sembarangan maju, ia kuatir gurunya gusar, sedang kalau ia tidak turun tangan, ia kuatir buat guru itu, yang mesti hadapi begitu banyak musuh.

   352 Seorang diri Pheng Jie layani musuh-musuhnya, hingga ia jadi terintang untuk dekati Han Kim Kong.

   Mau atau tidak, ia menjadi sedikit sibuk, apapula kapan di antara teriakan-teriakan ia dengar.

   "Lekas, lekas pergi pada pembesar polisi! Pergi ke Gie-su Gee- mui!"

   Tek Hui juga turut sibuk, selagi ia bersangsi, dari jendela di belakang ia, ada orang loncat masuk, malah orang itu sambil tolak tubuhnya berseru.

   "Kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak lekas membantui?"

   Kapan pemuda ini menoleh ke belakang, ia lihat Po Go, hingga ia jadi heran. Justeru itu telah terdengar anjuran nyaring.

   "Hayo maju, kau orang! Bunuh padanya, jangan takut! Dia Pheng Jie, penjahat paling tersohor, satu buaya darat! Jaga supaya Kim Samya jangan sampai terluka!"

   Itu adalah suaranya Sie Ngo, yang sekarang telah lupai bahwa Pheng Jie adalah sahabatnya.

   Ia rupanya sangat harap tunjangannya Han Kim Kong.

   Tapi ia tidak bisa berseru terus, ia tidak bisa menganjuri lebih lama pula.

   Tek Hui telah sambar bangku, kapan ia ayun itu, Sie Ngo menjerit, tubuhnya terbanting dengan lupa daratan.

   Muridnya Pheng Jie telah ambil tindakan, sesudah itu ia loncat akan sambar pedangnya Sie Ngo yang menggeletak di pinggirnya di atas lantai lauwteng.

   353 Orang-orangnya Han Kim Kong kaget, beberapa di antaranya maju akan tolongi Sie Ngo.

   Dengan pedang di tangan, Tek Hui tidak perdulikan apa-apa lagi, ia terus menerjang pada suatu orang yang berani melintang di hadapannya.

   Ia pun tidak perduli ada orang menjerit-jerit, hanya ia repot membikin orang rubuh terluka atau binasa.

   Hingga sebentar kemudian, orang melirik ke mulut tangga, akan lari turun.

   Juga Louw Po Go telah turun tangan, dengan putar goloknya.

   Louw Thian Hiong licin, ia mundur akan menyingkir dari ancaman bahaya.

   Han Kim Kong main mundur, karena Pheng Jie telah desak dia.

   Sekarang gurunya Tek Hui ini tidak menghadapi rintangan lagi, ia bisa bergerak dengan leluasa.

   Han Kim Kong pun tidak berdaya, meski ia bersenjatakan bangku, hatinya sudah lemah lebih dahulu.

   Maka sebentar kemudian, satu tikaman bikin ia menjerit dan rubuh, tubuhnya mandi darah tidak berkutik lagi.

   Habis itu, Pheng Jie menoleh pada muridnya, dengan muka merah dan bengis.

   "Siapa suruh kau datang kemari?"

   Ia membentak.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lekas pergi! Jikalau kau tidak dengar aku, aku nanti bunuh kau!"

   "Tapi kau, suhu?"

   Tanya Tek Hui, yang bingung sekali. 354

   "Kau jangan perdulikan aku!"

   Berseru guru itu dengan senyuman tawar. Tapi ia hadapi Po Go, seraya berkata.

   "Nona Louw, aku serahkan Tek Hui pada kau! Lekas kau ajak Tek Hui menyingkir! Pergi kau cari Siauw Hong, akan sama-sama kabur jauh! Lekaslah!"

   Po Go tidak menyahut, hanya ia ulur tangannya akan betot Tek Hui, siapa menurut dengan terpaksa, pikirannya kusut, hatinya berduka. Mereka loncat keluar dari jendela, akan merayap naik ke atas genteng.

   "Kau mirip dengan seorang tolol!"

   Kata Po Go sembari tertawa.

   "Kalau tadi aku tidak suruh si kacung betot kau, tentu kau akan terus berdiam di bawah lauwteng! Hati-hati sedikit, jangan terpeleset, nanti kau jatuh!"

   Tapi Tek Hui masih ingat, bahwa ia berada di atas genteng, gerakannya gesit dan tetap.

   Sebentar kemudian mereka sudah berada di wuwungan akan melihat sekitar mereka yang gelap.

   Ia coba melihat ke bawah, di mana keadaan telah berubah.

   Di situ telah kedapatan banyak lentera besar, ada banyak orang, bergerumutan di depan rumah makan.

   Tidak salah lagi, itu adalah hamba-hamba negeri.

   Pun di antaranya ada terdengar melesatnya anak panah ke jurusan lauwteng.

   "Celaka suhu,"

   Pikir anak muda ini.

   "Bagaimana sekarang?"

   Ia banting-banting kaki. 355

   "Jangan ibuk tak keruan,"

   Kata Po Go.

   "Tunggu sebentar dan lihat!"

   Hampir di saat itu, dari lauwteng melayang turun seorang, dan Tek Hui keluarkan seruan, karena orang itu ia duga pasti adalah gurunya.

   Sesaat itu, orang di jalan besar jadi serabutan, keadaanya kusut.

   Tek Hui duga gurunya lagi di dalam bahaya, ia geraki tubuhnya, akan lari turun buat loncat ke bawah.

   "Jangan!"

   Po Go mencegah, seraya cekal keras tangan orang.

   "Apa gunanya akan loncat turun? Gurumu pun liehay sekali, mustahil ia tak sanggup layani orang-orang tak berguna itu? Kita jangan usil padanya, atau ia akan jadi gusar pula! Bukankah dia suruh kita pergi cari Siauw Hong? Mari kita lekas pergi!"

   Seperti kerbau dituntun, demikianpun Tek Hui. Ia ikuti Po Go, yang ajak ia turun, akan akhirnya mereka loncat turun ke tanah, sampai orang-orang di jalan besar kaget dan semuanya minggir.

   "Akulah yang bunuh Han Kim Kong, yang binasakan dan lukai lain-lainnya!"

   Pheng Jie lantas berseru.

   "Aku adalah Pheng Jie! Orang lain tak ada sangkutannya!"

   Ia menoleh pada Tek Hui, kembali ia perlihatkan sikap bengis.

   "Lekas pergi!"

   Ia menitah.

   Tek Hui masih mau maju akan bantu gurunya, tetapi Po Go tarik ia dengan keras.

   Pun ada seorang lain, seorang lelaki, yang betot ia.

   356 Semua orangnya Gie-su tidak perhatikan anak muda ini, mereka hanya kurung Pheng Jie, yang tidak menyerang atau mengamuk.

   "Ringkus dia, ringkus!"

   Begitu mereka berteriak- teriak, tetapi tidak ada yang berani merapatkan diri. Pheng Jie.awasi semua orang itu, ia tertawa.

   "Jangan berisik, aku nanti pergi ke kantor!"

   Ia kata dengan tenang.

   "Siapa membunuh orang, ia mengganti jiwa, siapa hutang uang, ia membayar uang. Aku Pheng Jie, aku nanti ikuti kau orang, tuan- tuan."

   Tek Hui dengar itu, hatinya seperti diiris-iris, ia pun mesti jalan terus, karena Po Go dan orang lelaki yang ia belum perhatikan siapa, terus tarik ia sampai mereka berada di satu gang kecil.

   Di sini ia berhenti, ia sabarkan diri, ia usap-usap matanya.

   Sekarang, di terangnya rembulan yang guram, ia kenalkan Louw Thian Hiong, orang yang bantu Po Go membawa ia pergi.

   Jauh di depan rumah makan, suara berisik pun sudah sirap.

   "Tentu mereka telah bawa Pheng Jie untuk urus perkara itu"

   Kata Thian Hiong dengan sabar.

   "Perkara itu tidak akan berakibat sehat. Siapa tidak kenal Pheng Jie? Siapa tidak kagumi padanya? Ia punya banyak sahabat, di kantor ia tidak akan dapat susah. Aku percaya, ia tidak akan mengganti jiwanya Han Kim Kong. Semua orang di kantor aku kenal, pelahan- lahan aku nanti akan berdaya, akan mohon bantuan 357 mereka, aku harap tidak sampai dua bulan, Pheng Jie nanti sudah merdeka."

   "Jangan bersusah hati, hiantit,"

   Thian Hiong membujuk.

   "Lihat gurumu, betapa gagah ia itu! Dia barulah satu Hoohan! Satu laki-laki, ia tak akan menangis."

   "Aku pun satu Hoohan!"

   Tek Hui berseru, seraya banting-banting kaki.

   "Aku mesti tolongi guruku!"

   Ia coba geraki kakinya, akan berlalu.

   "Sabar!"

   Berkata Po Go, yang cekal dengan keras tangan orang, untuk ditarik.

   "Untuk tolong gurumu, kita harus bekerja besok!"

   "Gurumu pergi ke kantor, di sana ada undang- undang negara, gurumu tidak akan dapat susah,"

   Thian Hiong turut membujuk.

   "Apakah kau tidak takut, andaikata kau ambil sikap melanggar undang- undang."

   "Bukankah gurumu perintah kita menyingkir?"

   Po Go peringati. Suaranya nona ini pelahan, tetapi nyata.

   "Begitu keinginannya Pheng Jie,"

   Thian Hiong nimbrung.

   "Sekarang mari ikut aku, ke piauw-tiamku, di sana kita akan beristirahat sambil berpikir. Mesti ada daya untuk tolong guru kau, aku berani tanggung jawab!"

   Tek Hui menjublek, akhirnya ia menghela napas.

   "Suhu perintah aku cari Siauw Hong, sekarang juga aku hendak pergi padanya,"

   Ia kata kemudian.

   "Sesudah bicara sama Siauw Hong, aku akan kembali 358 ke dalam kota. Aku mesti serahkan diri, untuk tanggung jawab dalam perkara tadi, supaya suhu dapatkan kemerdekaannya. Aku tidak mau berhenti, sebelumnya suhu merdeka!"

   Thian Hiong tertawa.

   "Kau mirip dengan bocah cilik!"

   Ia kata.

   "Jangan perdulikan dia, siokhu,"

   Kata Po Go pada pamannya.

   "Begini memang adatnya. Sekarang baik siokhu pulang sendiri, aku akan turut ia cari Siauw Hong, nona itu telah bikin ia lupa daratan. Aku perlu ketemu sama Siauw Hong, untuk bicara."

   Dengan begitu, Tek Hui dilepaskan dari cekalan.

   Thian Hiong manggut, ia lantas ngeloyor pergi.

   Dengan tidak kata apa-apa, Tek Hui berlalu dengan masih cekali pedangnya.

   Ia tidak pernah menoleh.

   Po Go, juga dengan membungkam, susul anak muda ini.

   Dengan lewati gang-gang dan jalan besar, Tek Hui menuju ke jembatan tembok-kota antara Say-tit-mui dan Kong-an-mui.

   Itu adalah batas sebelah barat dari kota Pak-khia bagian luar kota.

   Di situ ia selipkan pedangnya di punggung, angkinnya - angkin sulam - ia singsatkan.

   Benar laksana monyet, ia naik di tembok, hingga sebentar kemudian ia sudah berada di atas tembok kota.

   Itu adalah ilmu kepandaian warisan dari Giok-bin Lo Cia.

   359 Di atas tembok kota ada jalanan yang lebar, yang dinamai 'Ma-too'.

   Selewatnya itu orang sampai di terowongan, yang merupakan batas menghadapi kota luar.

   Tek Hui memandang ke bawah, karena sinar bulan guram, ia sukar melihat di sana.

   Di kaki tembok ada tegalan yang luas.

   "Hati-hati sedikit!"

   Tiba-tiba satu suara di belakangnya anak muda ini, sedang punggungnya ada yang jambak. Tek Hui kenalkan suaranya Po Go, ia terkejut.

   "Benar-benar perempuan ini liehay, bugeenya tak ada di bawahan aku,"

   Pikir muridnya Pheng Jie.

   "Ia pun pandai menggunai piauw."

   Ia lantas menoleh, akan awasi nona itu.

   Ia tak bisa lihat nyata kulit muka orang yang hitam manis, tetapi ia bisa pandang potongan tubuh orang yang langsing dan menarik hati.

   Mereka berada berduaan, berdiri dekat satu pada lain, di atas tembok kota yang sunyi dan senyap.

   Di situ tidak ada lain orang lagi.

   Maka mau atau tidak, Tek Hui rasai mukanya panas.

   "Kenapa kau ikuti aku?"

   Ia tanya akhirnya.

   "Berulang-ulang kau telah bantu aku, budimu ini aku tak akan lupakan. Aku harap kau jangan ikuti aku terlebih jauh, karena kau seorang perempuan dan kurang bagus untuk kita berada berduaan saja."

   Po Go tertawa. 360

   "Jikalau kau berada berduaan sama Siauw Hong, apa itu bagus?"

   Ia balik tanya.

   "Siauw Hong adalah lain,"

   Tek Hui jawab.

   "Ia adalah orang dari rumahku!"

   "Jadinya dia orang dari dalam rumahmu?"

   Nona Louw tegasi.

   "Memang,"

   Sahut Tek Hui, dengan terpaksa.

   "Tadinya, sampai tadi pagi aku pikir tidak seharusnya aku nikah Siauw Hong, tapi tadi sore, aku dengar perkataannya guruku bahwa aku harus menikahi dia. Maka sekarang aku hendak cari Siauw Hong, untuk bikin tetap hatinya."

   "Bikin tetap hatinya?"

   Sekarang, mau atau tidak, Po Go ibuk juga.

   "Bikin tetap hatinya dengan kasih ia tahu, bahwa ia akan menikah sama aku,"

   Tek Hui ulangi.

   "Kami sebenarnya sudah menikah, tetapi kami mesti jalankan upacara lagi karena ia harus duduk joli. Itu barulah pernikahan yang sah!"

   "Siapa yang jadi perantara?"

   "Orang perantaraan adalah guruku."

   "Apakah pesalinnya, tanda matanya?"

   "Aku belum kasih ia apa-apa, tetapi ia telah berikan aku angkin sulam,"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan ia tepuk-tepuk pinggangnya.

   "Ini adalah tanda mata, begitu pun siauw-jie-ie, yang kau curi."

   "Lucu, eh!"

   Kata nona Louw.

   "Belum pernah aku dengar ada orang perempuan mengasih tanda mata 361 pada lelaki dan lelaki tidak! Lauw Tek Hui adalah Hoohan, tetapi kulit mukanya tidak tipis. Kau bikin aku gusar, kau tahu?"

   "Maafkan aku, tetapi aku tak berdaya,"

   Tek Hui jawab.

   "Sekarang aku mau pergi pada Siauw Hong untuk mengasih kabar, besok aku akan kembali ke kota guna tolongi guru, atau aku akan gantikan guruku menanggung perkara. Di belakang hari kita akan bertemu pula, nona!"

   Habis kata begitu, Tek Hui enjot tubuhnya akan loncat turun ke bawah tembok kota, yang melebihi sepuluh kali lipat tingginya lauwteng dari It-hu-cun.

   Toh ia sampai di bawah dengan tidak kurang suatu apa.

   Ia percaya Po Go tak akan bisa lawan ilmu lompatnya ini, maka dengan hati tetap ia berlari-lari ke tempat tujuannya.

   Angin malam sejuk sekali, tegalan sunyi-senyap.

   Toh di tengah jalan ia pikirkan gurunya, ia berkuatir.

   "Tapi aku harap suhu tidak menampak kesulitan."

   Ia hiburkan diri.

   "Siauw Hong tentu telah minta bantuannya encie angkatnya. Encie itu pasti akan kisiki Gie-su tayjin, guna ringankan suhu, sedikitnya agar ia lolos dari hukuman mati. Sebenarnya ini bukannya satu cara menolong yang pantas, suhu tentulah tak setuju, malah ia bisa gusar kalau ia mendapat tahu. Tapi, suhu perlu ditolongi dan jalan lain tidak ada." 362 Tek Hui berlari-lari supaya bisa lekas sampai. Kira-kira jam tiga, setelah melalui hampir dua puluh lie, Tek Hui sampai di tepi sungai Tiang-hoo, di kuil Lo-thian-sie. Ia lantas dengar suara bok-hie yang ditabuh tak putusnya, tanda bahwa padri dari kuil itu sedang menjalankan ibadatnya. Bulan tetap guram, bintang-bintang begitu juga. Air sungai mengalir dengan tenang, suaranya tidak kedengaran hanya tertampak sedikit bulan dan bintang di muka perairan. Cabang- cabang yang-liu telah dipermainkan oleh angin yang halus. Untuk masuk ke dalam kuil, Tek Hui loncati tembok. Ia letaki pedangnya di pojokan.

   "Aku perlu tanya dahulu si hweeshio,"

   Pikir ia selagi ia hendak bertindak masuk.

   Ia merasa tak seharusnya ia kunjungi orang perempuan pada waktu tengah malam seperti itu.

   Tentu si nona, dan budaknya juga, sedang tidur.

   Di pendopo, di antara sinar guram dari pelita kuil, kelihatan lima hweeshio sedang liam-keng.

   Ia bertindak terus, dengan kasih dengar suara tindakan hingga ia bikin terperanjat sekalian padri itu.

   Salah satu padri segera menyuluhi.

   "Eh,"

   Ia menegur.

   "kau bukankah yang tadi siang datang sama Han Go-ie Thay-thay?"

   Tek Hui tidak puas mendengar Siauw Hong masih dipanggil Ie-thay-thay - itu sebutan gundik. 363

   "Tetapi apa aku bisa bikin? Semua padri tahu dia memang gundiknya Han Kim Kong."

   "Ya,"

   Ia manggut akhirnya.

   "Sekarang barangkali nyonya sudah tidur, tapi aku hendak ketemui ia, ada urusan."

   Padri itu nampaknya kaget.

   "Mari,"

   Ia katas sambil membetot.

   "mari kita bicara di sana, agar kau tidak ganggu orang yang sedang beribadat."

   Tek Hui kasih dirinya dituntut. Ia heran kalau ia lihat sikap tak biasa dari orang suci itu.

   "Kau jadinya belum tahu?"

   Kata padri itu.

   "Tadi siang kau pergi ke mana saja?"

   "Tadi siang aku pergi ke kota,"

   Tek Hui jawab, dengan hati memukul.

   "Apakah telah terjadi?"

   "Entah ia pergi ke mana, Go-ie Thay-thay telah lenyap, kami tak dapat cari dia,"

   Sahut pendeta itu. Bukan kepalang kagetnya Tek Hui.

   "Coba cerita lebih jelas!"

   Ia kata, pikirannya kusut, hatinya ibuk.

   "Ceritaku adalah menurut keterangannya si budak,"

   Menyahut pendeta itu.

   "Seantero hari Go-ie Thay-thay menangis di dalam kamar, tadi sore ia keluar, ia lenyap."

   "Sebenarnya ia pergi ke mana?"

   "Entah. Kami telah cari ia di sekitar kuil ini, tak ada hasilnya. Apa tidak bisa jadi yang ia telah pergi ke kota juga?" 364 Tek Hui goyang kepala.

   "Sudah malam, pintu kota dikunci,"

   Ia kata.

   "Jalanan pun jauh sekali, bagaimana ia bisa pergi ke kota?"

   Pendeta itu bingung.

   "Tolong beri aku sebuah lentera,"

   Kata Tek Hui.

   "aku hendak cari padanya. Dia tentu belum pergi jauh."

   Pendeta itu kerutkan alis.

   "Sebenarnya aku tak punya tempo,"

   Ia kata.

   "aku belum selesai dengan ibadatku."

   "Aku akan pergi sendiri!"

   Tek Hui bilang.

   "Kau ambil saja lentera, aku yang akan nyalahkan itu!"

   "Aku nanti berikan kau lentera"

   Kata pendeta itu akhirnya.

   "Cuma, ke mana kau hendak cari ia? Begini gelap dan dekat kali. Di sana air semua, tak ada rumah orang, kau akan mencari dengan sia-sia saja."

   Meski demikian, ia ajak Tek Hui ke dalam sebuah kamar, akan berikan lentera putih yang di dalamnya masih ada sepotong puntung lilin, maka lilin itu terus disulut. Tangannya pemuda itu gemetar ketika ia sambuti lentera itu.

   "Jangan-jangan Siauw Hong terjatuh pula ke dalam tangannya orang-orang dari Han Kim Kong,"

   Demikian ia dapat ingat- ingatan yang menggoncangkan hatinya.

   "Tapi si hweeshio bilang, ia menangis saja dan keluar seorang diri. Apa boleh jadi?" 365 Tek Hui tidak berani berpikir terus. Dengan bawa lenteranya, ia bertindak cepat ke kamar yang Siauw Hong pakai. Ketika ia masuk, ia harap Siauw Hong ada di situ, tapi nyatanya ia berhadapan sama si budak, yang sedang meringkuk dengan tak buka kasut lagi.

   "Oh, kau datang!"

   Berseru si budak, apabila ia kenalkan anak muda itu.

   "Aku takut, aku tidak bisa tidur. Ke mana kau pergi? Thay-thay tidak ada."

   "Apa ia tidak kata apa-apa, waktu ia mau pergi?"

   Tek Hui tanya dengan suara keras, tetapi kurang lancar.

   "Aku tak tahu jam berapa ia keluar,"

   Sahut Hiang Jie, sambil menangis.

   "Di waktu bersantap sore, kami berada bersama-sama, tetapi Thay-thay terus menangis, ia tidak dahar sedikit juga. Aku bujuki ia, ia tidak suka dengar. Kemudian ia pergi ke luar, lantas ia tak kembali lagi. Lama aku menantikan, baru aku berkuatir, aku lantas panggil hweeshio, akan sama- sama pergi mencari. Langit sudah gelap, ke mana kami bisa cari Thay-thay? Kami pun takut pergi ke tepi sungai, kuatir jatuh."

   Tek Hui jadi sangat berduka dan berkuatir.

   "Ketika tadi aku pergi dari sini, apa ia tidak sebut- sebut aku?"ia tanya.

   "Ia duga, bahwa kau tidak akan kembali malam ini,"

   Hiang Jie masih menangis.

   "Ia pesan, apabila besok kau kembali, supaya kau antar aku ke kota kepada Ouw Sam Thay-thay atau kepada Kie Jie Thay- 366 thay. Ia bicara sembari menangis, ia pesan angkin yang kau sekarang pakai supaya kau pakai terus, pakai untuk selamanya, jangan bikin lenyap. Ia bilang, dengan pakai angkin itu, kau seperti juga senantiasa ingati dia."

   Tek Hui rabah angkinnya, hatinya perih sekali. Pesanan itu adalah dari hati yang bicara dari Siauw Hong....... ..................................

   "Mari kita keluar!"

   Ia lantas berkata.

   "Mari kita cari dia pula."

   Hiang Jie lekas turun dari pembaringannya, ia terus ikuti anak muda itu yang telah bertindak keluar dengan cepat.

   "Pintu depan sudah dikunci,"

   Ia kata.

   "Tadi pintu samping masih dibuka, kita pergi ke samping saja."

   Sembari kata begitu, Hiang Jie coba mendahului. Dengan bawa lenteranya, Tek Hui mengikuti. Ketika mereka sampai di samping, pintu di situ nyata sudah dikunci.

   "Nanti aku minta kunci."

   "Tidak usah,"

   Tek Hui bilang.

   "Kau baik tunggu saja di sini."

   Budak itu menangis.

   "Aku takut.....,"

   Ia kata.

   Terpaksa Tek Hui mesti mengajak.

   Ia gigit gagang lentera, lalu ia kempit budak itu.

   Dengan enjot tubuhnya ia loncat naik ke tembok, akan dari situ 367 terus loncat turun keluar.

   Setelah lepaskan si nona, ia cekal pula lenteranya.

   Pekerjaan mencari Siauw Hong lantas dimulai.

   Malam adalah gelap, cabang-cabang yang-liu tertampak samar-samar dan air kelihatan mengalir dengan tenang.

   Angin keras juga, beberapa kali api lilin hampir tertiup padam.

   Hiang Jie pegangi keras ujung bajunya si anak muda.

   "Thay-thay! Thay-thay!"

   Ia memanggil berulang- ulang.

   "Siauw Hong! Siauw Hong!"

   Begitu pun suaranya Tek Hui.

   Tidak ada jawaban, kecuali suara angin.

   Masih saja mereka memanggil-manggil, kalau tidak berbareng tentu bergantian.

   Sinar rembulan jadi semakin gelap, tapi hawa jadi makin dingin.

   Tek Hui maju terus, asruk-asrukan, sampai kakinya mulai injak air di pinggiran sekali, di tempat yang cetek, mata kakinya sampai kerendam.

   Di situ pun ada banyak pohon gelaga.

   Satu kali, angin meniup keras sampai lilin padam.

   Sekarang orang sukar melihat apa-apa.

   "Tek Hui! Tek Hui!"

   Hiang Jie memanggil-manggil dari daratan.

   "Kau bikin apa di air? Mustahil Thay-thay ada di dalam air? Mustahil ia bilang dirinya........!" 368 Tek Hui justeru kuatirkan Siauw Hong nekat karena bersusah hati dan ceburkan diri ke kali, dan di dalam gelap gulita itu ia tak dapat cari tubuhnya. Setindak dengan setindak, ia kembali ke darat.

   "Mari kita pulang,"

   Mengajak Hiang Jie, yang ketakutan. Tek Hui penasaran, ia masih berdiri diam, matanya kelihatan ke sekitarnya tetapi ia tidak lihat apa juga.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauw Hong!"

   Ia panggil pula. Bukan main ruwetnya pikiran anak muda ini. Siauw Hong lenyap, Pheng Jie mendekam di penjara, benar Han Kim Kong telah binasa, tetapi akibatnya begini hebat! "Jikalau ia tidak binasa di kali, aku nanti cari ia sampai di ujung dunia,"

   Demikian Tek Hui pikir.

   "Atau nanti aku bunuh diri, supaya kita menjadi suami-isteri di dunia lain." *** 369 XIII Hiang Jie dalam ketakutannya cekal keras lengannya Tek Hui.

   "Mari kita pulang,"

   Ia mengajaki.

   "Tidak,"

   Sahut Tek Hui, yang terus jatuhkan diri ke tanah di mana ia duduk mendelepok.

   Mau atau tidak, Hiang Jie turut numprah di samping pemuda ini.

   Belum berselang lama, budak itu sudah menggeros, tubuhnya nyender di tubuh Tek Hui yang kekar.

   Tek Hui tetap berdiam, beberapa kali ia menarik napas panjang, sampai tiba-tiba ia seperti dengar suara tertawa.

   Ia terperanjat, ia berbangkit sambil berjingkrak, sampai tubuhnya si budak hampir jatuh, baiknya Hiang Jie keburu samber kakinya.

   Tapi budak ini pun kaget.

   "Siapa?"

   Tek Hui tanya.

   "Kau, Siauw Hong? Kau tertawa di sana?"

   Suara tertawa lenyap, jawaban tidak ada.

   "Itu toh suara tertawa orang perempuan,"

   Pikir anak muda ini. Ia jadi masgul.

   "Tidak bisa jadi Siauw Hong permainkan aku. Mustahil ia bersenda gurau. Ah, apakah ini arwahnya?"

   Dengan tak merasa, Tek Hui bergidik.

   "Siauw Hong! Siauw Hong!"

   Ia memanggil pula.

   "Siauw Hong, aku akan nikah kau!" 370 Jawaban tetap tidak ada, kesunyian yang mengitari mereka.

   "Aku lacur.......,"

   Kata Hiang Jie, yang telah bangun berdiri.

   "Thay-thay hilang dan kau nampaknya angot. Kau bicara sama siapa? Apa kau lihat setan?"

   Ia cekal lengan orang dengan keras.

   "Bagaimana sekarang? Besok aku pergi ke mana?"

   Syukur bagi mereka, cuaca sudah mulai terang, tanda dari datangnya sang fajar.

   Kali sekarang bisa teriihat nyata, makin lama makin nyata.

   Di dalam kali tidak ada mayat manusia, hanya ada juga pohon gelaga dan lain-lain.

   Tanda pun tidak ada bahwa Siauw Hong berbuat nekat.

   Kembali Tek Hui menghampirkan pinggiran sungai, ia memeriksa kembali, ia jalan ke Timur, sampai matahari muncul ia tetap tak peroleh hasil, maka akhirnya ia berdiri di pinggiran, dengan bingung saja.

   Hiang Jie tarik tangannya anak muda itu.

   "Mari kita pulang"

   Ia mengajaki.

   Sesudah menjublek sekian lama lagi, baru Tek Hui putar tubuhnya akan balik ke Lo-thian-sie, tetapi di sini ia pergi ke empang, akan mencari lebih jauh, karena ia curigai Siauw Hong menjadi nekat dengan mendadakan.

   Ia masih mencari, selagi si budak duduk di tangga batu di depan kuil, kedua tangannya dipakai menunjang janggut.

   Akhir-akhirnya dari kejauhan, dari jurusan timur, kelihatan tiga buah kereta sedang mendatangi, dua di 371 depan, yang satu di belakang.

   Kereta yang ketiga itu berhenti sebelumnya sampai di depan kuil.

   Dua kereta di depan berhenti di depan kuil, didahului oleh masing-masing seorang budak perempuan, mereka ini lantas pimpin turun nyonya majikan mereka masing-masing.

   Hiang Jie mengawasi, mendadakan ia berhenti akan menghampirkan.

   "Ouw Sam-thay-thay! Kie Jie-thay-thay!"

   Ia berseru - berseru dalam tangisannya yang keras.

   "Jiewie baru datang! Tapi Thay-thayku tadi malam ia pergi sendirian, sampai sekarang ia belum kembali, ia tak dapat dicari!"

   Kedua nyonya itu terperanjat.

   Mereka telah terima kabar dari Tek Hui, mereka menjadi ibuk, maka tadi pagi mereka bangun pagi-pagi sekali dan lantas siap akan pergi ke Lo-thian-sie.

   Mereka memang sudah berkuatir sejak mereka tahu Siauw Hong dan budaknya kena orang bawa kabur dari rumahnya Han Kim Kong, mereka harap keselamatannya saudara angkat itu, yang usianya paling muda.

   Mereka keluar dari rumah dengan tidak beritahukan siapa juga, bahwa mereka mau pergi ke kuil, tetapi waktu mereka sampai di Say-tit-mui, di belakang mereka mengintil kereta yang ke tiga, yang mereka tidak perhatikan, hingga mereka tak ketahul siapa penumpangnya.

   Sekarang, sesampainya di depan kuil, keterangannya Hiang Jie bikin mereka tercengang.

   372 Kemudian Hiang Jie menjelaskan lebih jauh seraya tunjuki siapa adanya pemuda yang berdiri menjublek di tepi empang.

   "Coba panggil ia kemari,"

   Kata Ouw Sam-thay-thay akhirnya. Hiang Jie lari pada pemuda kita, tangan siapa ia tarik.

   "Thay-thay minta ketemu sama kau,"

   Ia kasih tahu. Tek Hui tidak takut, hanya ia likat. Dengan terpaksa, ia menghampirkan buat terus unjuk hormat pada dua nyonya itu, siapa sebaliknya awasi ia dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, hingga ia jadi tambah malu.

   "Kau benar yang telah rampas Siauw Hong dari rumahnya Han Kim Kong?"

   Kata Ouw Sam-thay-thay.

   "tetapi sekarang kau bikin ia minggat! Apakah kau tahu apa kesalahan kau?"

   Tek Hui angkat kepalanya memandang nyonya itu, yang bicaranya keren. Ia dapat kenyataan Ouw Sam- thay-thay memang punya roman berpengaruh. Tapi ia tidak takut, hanya ia sungkan berurusan sama orang perempuan. Ia tunduk pula.

   "Kau tahu tidak yang Siauw Hong adalah adik angkat kami?"

   Nyonya itu tanya pula.

   "Jikalau terjadi apa-apa atas dirinya adikku itu, kau mesti menggantikan jiwa!"

   "Ia tak dapat disalahkan,"

   Kata Kie Jie-thay-thay, yang sikapnya lebih sabar, sambil ia cekal keras 373 tangan sahabatnya "Adalah keliru dari Siauw Hong, kenapa ia tak mau beber segala kesukarannya terhadap kita."

   "Sekarang tunggu di sini, jangan kau pergi,"

   Kata pula Ouw Sam-thay-thay, yang sikapnya masih bengis.

   Tatkala pintu kuil itu telah dibuka dan beberapa hweeshio keluar menyambut, sikap mereka sangat menghormat.

   Hiang Jie awasi Tek Hui, romannya duka, kemudian ia turut masuk.

   Kedua kusir kereta pun sudah lantas perhatikan pemuda kita.

   Begitu lekas nyonya-nyonya itu sudah masuk kedalam, dari kereta yang ketiga keluar seorang lelaki, yang terus bertindak ke jurusan pemuda kita.

   Tek Hui justeru angkat kepala waktu ia lihat orang itu, yang pakaiannya ringkas, sepatunya hijau, romannya sebagai saudagar.

   Ia menjadi masgul dengan tiba-tiba, karena ia kenalkan orang itu ialah Louw Thian Hiong, pamannya Po Go! Thian Hiong datang dekat dan terus tertawa, ia manggut pada pemuda itu.

   "Tadi malam Po Go telah ikuti kau,"

   Ia kata.

   "Ia tentu turut ke luar kota. Apa kau ketemu sama ia?"

   Tek Hui heran berbareng mendongkol. 374

   "Tidak,"

   Ia menyahut, sambil geleng kepala.

   "Aku tak ketemu dial"

   Thian Hiong tidak kelihatan ibuk, hanya ia lesu.

   "Ke mana dia pergi, ha?"

   Ia kata.

   "Mustahil ia minggat pulang."

   Ia memandang ke kali, ke empang, lantas ia berkata sendirian dengan pelahan.

   "Apa ia ceburkan diri ke sungai?"

   Bukan main mendongkolnya Tek Hui, sampai ia jadi gusar. Ia anggap Thian Hiong hendak ganggu ia. Sudah ia kehilangan Siauw Hong, sekarang Po Go pun lenyap.

   "Siauw Hong bisa jadi nekat, Po Go tidak!"

   Ia berpikir.

   "Apa ini bukan berarti terang Thian Hiong hendak goda aku?"

   Meski demikian, Tek Hui masih tidak umbar hawa amarahnya. Thian Hiong adalah piauwsu kenamaan dan ia pernah kenal. Thian Hiong pergi ke tepi sungai akan melihat-lihat, kemudian ia samperi anak muda kita.

   "Hiantit, mari sini, aku hendak bicara sama kau,"

   Ia kata kemudian. Tek Hui bertindak akan ikuti piauwsu itu. Kedua kusir awasi dia.

   "Aku sengaja mau sampaikan kabar pada kau,"

   Kata Thian Hiong dengan pelahan.

   "Kau tahu, Han Kim Kong sudah pergi menghadap Giam Loo Ong. Sekarang ini kota menjadi gempar sekali. Dan gurumu, ia sudah menghadap di kantor polisi. Kendall 375 demikian, orang masih cari kau untuk ditangkap. Twie-hun-chio Gouw Po dan kawan-kawannya coba angkat diri, dengan berserikat sama polisi. Ia berniat bekuk kau, supaya kau bisa dihukum sekalian. Dengan kematiannya Han Kim Kong, perkara tak sampai di akhirnya. Di dalam kota-raja, semua jago telah rubuh di tangan kau, tetapi di luar kota, banyak sahabatnya Han Kim Kong yang tak mau mengerti, kabarnya mereka hendak datang kemari untuk cari kau! Kabarnya mereka sekarang sudah berada di perjalanan. Hiantit, apa benar-benar kau tidak lihat keponakanku Po Go? Harap kau lekas cari dia, supaya dengan bersama-sama, kau bisa pergi ke Thio-kee- kauw, akan singkirkan diri di rumahnya kandaku. Dengan begitu ancaman bahaya akan lewat sama sekali."

   Kapan Thian Hiong lihat muka orang, di mana ada sinar mata bercahaya karena kemendongkolan, ia lekas-lekas bersenyum dan kata.

   "Hiantit, sebagai seorang muda, memangnya kau harus beradat keras, tetapi toh kau harus mengerti keadaan. Sekarang ini kau tidak bisa pergi ke kota lagi. Dua nyonya barusan, yang masuk ke dalam kuil, tak akan sanggup lindungi kau, maka kau mesti lekas angkat kaki! Tidak usah kau kuatirkan gurumu. Ia adalah sahabatku, dalam perkaranya itu aku yang nanti wakilkan kau berdaya, supaya tidak saja ia tak akan menderita, hanya supaya ia bisa merdeka dalam beberapa hari saja, 376 kemudian aku nanti ajak ia menyusul ke Thio-kee- kauw akan susul kau. Jangan kau tak percaya aku, hiantit, kau nanti lihat kepandaianku bekerja, aku bukannya lagi mengambul!"

   Hawa amarahnya Tek Hui kurangan sedikit.

   "Louw Piauw-tauw, aku tidak ingin kau bantu kami,"

   Ia kata.

   "Tidak usah kau tolongi guruku, untuk kebaikan kau aku menghaturkan terima kasih. Di belakang hari, aku kan balas budimu ini. Buat aku pergi ke Thio-kee-kauw bersama-sama keponakanmu, itulah tak bisa jadi. Ia tak berjodoh sama aku!"

   "Aku rasa kau keliru, hiantit,"

   Thian Hiong kata, dengan masih bersenyum.

   "Baiklah kau mengerti, keponakanku itu bukannya tak bisa menikah kecuali dengan kau. Pada masa ini masih ada soal lain."

   "Aku juga tidak memikir demikian,"

   Tek Hui bilang. Ia menghela napas.

   "Syukur jikalau kau beranggapan demikian,"

   Kata Thian Hiong.

   "Sejak dulu ada dibilang, pasangan lelaki pintar adalah perempuan cantik. Benar keponakanku itu berkulit hitam, tetapi ia bukannya orang tolol, dan goloknya tak ada di bawah pedang kau, begitu pun ilmunya lari malam. Kecuali kau, barangkali adalah sukar cari tandingan untuk Po Go. Dan ia pandai menghitung dengan shui-phoa, ia pandai mengurus buku, sedang piauwnya liehay, hingga kalau ia mesti antar piauw, jangan-jangan ia lebih menang daripada kau! Po Go sangat cerdik. Sebagai seorang 377 perempuan, ia faham artinya sam ciong su tek. Ketika di Thio-kee-kauw, bukankah aku telah lamar kau dan kau menampik? Itu sebenarnya urusan biasa, aku juga tidak sesalkan kau. Apa mau, keponakanku pikir lain, ia sangat penuju pada kau, hingga ia telah datang ke Pak-khia untuk cari kau, kebetulan ia hadapkan perbuatannya Han Kim Kong dan Gouw Po, ia jadi sangat panas. Demikian ia telah bantu kau! Coba pikir kejadian malam itu, kau dikepung di gedungnya Han Kim Kong. Coba waktu itu tak ada Po Go, biar kau gagah luar biasa, apa kau bisa loloskan diri, bersama- sama gundik orang? Dan bukan itu, siapakah yang tolong loloskan dari bahaya? Maka aku harap kau jangan berlaga pilon. Bagaimana dengan kejadian di atas jembatan, waktu orang hendak rampas pulang Siauw Hong? Jiwa kau dimaui sekali! Apa kau sangka bisa loloskan diri dengan andali melulu pedang kau? Adalah keponakanku, yang datang memecahkan kepungan! Dan tadi malam di It-hu-cun, jikalau tidak ada keponakanku, aku percaya kau tidak akan terlolos demikian cepat."

   Tek Hui manggut.

   "Benar, semua itu benar,"

   Ia akui.

   "Nanti aku akan balas semua budinya itu!"

   Thian Hiong bersenyum tawar.

   "Balas budinya?"

   Ia kata.

   "Hiantit, kau harus mengerti, kenapa keponakanku itu telah berulang- ulang bantu kau. Kau anak muda, kau mestinya 378 mengerti! Apakah kau pikir keponakanku itu bisa menikah sama orang lain?"

   "Habis, apakah yang kau pikir?"

   Tek Hui tanya.

   "Apa? Apakah kau masih belum mengerti?"

   Thian Hiong tegaskan.

   "Sekarang ini tidak ada orang yang tidak ketahui lelakon kau sama gundiknya Han Kim Kong. Kendati demikian, aku tidak tertawakan kau. Aku hanya anggap, itulah perbuatan kau, seorang muda yang belum berpengalaman, dan kau ketemu seorang perempuan yang hatinya lemah dan gampang berubah."

   "Tidak, kau salah!"

   Tek Hui pegat.

   "Yang benar adalah kami berdua berjodoh! Guruku sendiri anjuri aku menikah sama Siauw Hong!"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pheng Jieko pun belum mengerti semua. Ia sangat girang, yang ia telah dapati kau sebagai muridnya, hingga ia tak tahu mesti bilang apa. Lagi pula kau bukannya putera dari gurumu, maka jikalau kau menikah sama seorang perempuan busuk, ada apa sangkutannya sama gurumu itu?"

   "Tetapi Siauw Hong bukannya perempuan busuk! Hanya sekarang ia pergi, entah ke mana."

   Pemuda itu kembali menjublek. Thian Hiong lihat bahwa di sini ada cinta sejati.

   "Coba tuturkan, bagaimana duduknya persahabatan di antara kau dan Siauw Hong itu?"

   Ia tanya. Ia sekarang bawa sikap sabar dan memperhatikan. 379 Tek Hui berdiam, ia memberikan penuturannya semua, sejak itu hari ia mengantar arang dan Siauw Hong berikan ia apel. Thian Hiong manggut-manggut, agaknya ia seperti orang yang mengerti.

   "Sekarang,"

   Ia tanya.

   "bagaimana andaikata Siauw Hong tetap tak dapat dicari?"

   Tek Hui berdiam, ia tidak menjawab. Air mukanya guram sekali.

   "Bagaimana kalau kau dapat cari ia dan ia belum mati?"

   Thian Hiong tanya pula. Tapi lekas-lekas ia tambahkan.

   "Tapi kau mesti mengerti, sekarang kita belum dapat cari ia. Kita belum tahu ia berada di mana. Jangan kau sangka kamilah yang umpati nona itu, kami tidak nanti berlaku sehina demikian. Kau tahu sendiri, kapan hilangnya si nona, kapan kita berada sama-sama di It-hu-cun, guna saksikan lelakonnya Han Kim Kong, sampai terjadi pertempuran. Sebaliknya daripada mencurigai aku, apabila kau minta bantuan kami, aku percaya kau akan lekas berhasil! Kau tahu sendiri, berapa luasnya pergaulanku, berapa banyaknya orang-orang kami, hingga asal aku buka mulut pasti akan banyak orang yang bekerja guna cari nona itu. Sekali pun ia sudah mati, kita akan dapat cari mayatnya!"

   Kata Thian Hiong dengan tekebur.

   "Hanya, kalau benar ia sudah mati, aku tidak berdaya akan menghidupkannya." 380 Tek Hui menjadi bingung, pikiran ruwet bikin ia seperti putus asa. Thian Hiong begitu pandai bicara, sampai ia suka berikan kepercayaannya. Ia masih muda dan kalah pengalaman.

   "Asal Siauw Hong dapat dicari, aku suka nikah Po Go!"

   Kata ia dengan seperti tak berpikir lagi.

   "Ingatlah ucapannya satu tay-tiang-hu!"

   Thian Hiong peringati. Tek Hui bersangsi, toh ia manggut.

   "Asal aku dapat tahu tentang Siauw Hong, aku merasa puas,"

   Ia bilang.

   "Sebenarnya,"

   Kata Thian Hiong dengan sabar.

   "apabila keponakanku dinikahkan sama kau dengan perjanjian ini, itu adalah kurang bagus dipandangan umum, tetapi apa mau dikata karena Po Go sudah bertindak terlalu jauh, sebab cintanya kepada kau. Baik, sekarang aku mau pulang, aku nanti lepas orang-orangku akan cari Siauw Hong!"

   Habis kata begitu, Thian Hiong berlalu. Ia tidak unjuk roman girang, sekali pun kemenangannya itu, cuma ia coba perhatikan keletakan tempat. Ia cuma pesan.

   "Kalau kau ketemu Po Go, tolong suruh ia pulang ke kota lebih dulu!"

   Dengan keretanya, Thian Hiong kemudian menghilang di jurusan Timur.

   Berbareng dengan itu, Hiang Jie muncul sambil berlari-lari, untuk memanggil si anak muda.

   Tek Hui terpaksa ikut, kendati ia tidak ingin ketemu pula sama 381 dua nyonya itu.

   Ia ingin tahu ia dipanggil buat urusan apa.

   Di satu kamar Ouw Sam-thay-thay berkumpul sama Kie Jie-thay-thay, mata mereka merah, rupanya bekas menangis.

   Sekarang keduanya, lebih-lebih Ouw Sam-thay-thay, tidak unjuk sikap 'bengis' lagi terhadap Tek Hui, rupanya tentang pemuda ini Hiang Jie telah cerita jelas terhadap mereka.

   "Sekarang kita tahu betul urusan kau dan adik angkat kami,"

   Kata Ouw Sam-thay-thay.

   "Anggap saja nasibnya adikku itu buruk sekali. Kau seorang baik, cuma kau rupanya kurang gesit. Boleh jadi sekarang Siauw Hong masih ada di dekat-dekat sini, atau benar- benar ia sudah pergi ke kota. Kau harus cari ia di rumah-rumah suci atau di rumah-rumah sahabat- sahabat ayahnya. Kami juga, kapan sebentar kami pulang, kami akan perintah orang pergi mencari. Kami tahu adatnya Siauw Hong, hatinya lemah, barangkali ia tak sampai nekat. Umpama ia dapat dicari, dan ia suka ikut kau, kami girang sekali, di hari pernikahan kami akan mengirim tanda mata - itu waktu kita akan jadi sanak!"

   Tek Hui berdiri bingung.

   Baru saja ia berikan janjinya pada Thian Hiong, atau sekarang Ouw Sam- thay-thay perdengarkan suara begitu melegakan hati.

   Bagaimana ia mesti bersikap sekarang? "Tidak lain, aku mesti cari Siauw Hong, aku mesti dulukan Thian Hiong mencari sampai dapat!"

   Pikir ia. 382

   "Atau kalau Siauw Hong benar sudah mati, aku nanti bunuh diri, akan susul arwahnya."

   Lantas Tek Hui pergi ke pojok tembok, di mana ia tinggalkan pedangnya, dengan bawa itu ia berlalu dari Lo-thian-sie.

   Ia berduka dan lelah, ngantuk juga, karena terus-terusan ia tak dapat tidur, melulu karena tubuhnya telah terlatih ia bisa pertahankan diri.

   Ia jalan dengan kuping seperti berbunyi, dengan kepala rasanya pusing hingga ia memikir baik ia rebah menggeletak di tanah untuk beristirahat.

   Tapi ia mesti cari Siauw Hong, ia tak boleh mengaso, ia mesti dulukan Thian Hiong.

   Maka ia jalan terus.

   Matahari telah mulai naik tinggi, sinarnya makin lama makin panas.

   Tek Hui jalan di sepanjang gili-gili sungai Tiang- hoo.

   Di situ tidak ada orang, ia cuma dengar suara burung-burung cecowetan.

   Matanya kekunangan kapan ia awasi air sungai yang lagi mengalir, di mana sinar berbalik dari matahari menyilaukan mata.

   Di mana Siauw Hong? Si nona tak kelihatan, sekalipun bayangannya saja.

   Kapan Tek Hui belok ke utara, ia sampai di jalan besar, di mana beberapa kendaraan berlalu lintas.

   Panas terik bikin kepalanya pusing sekali, sedang angin keras yang mengebulkan debu, bikin ia sukar buka matanya.

   Maka sambil menghela napas, ia balik lagi ke tepi sungai.

   Di satu tempat rata, ia jatuhkan 383 dirinya, pedangnya ia letaki di samping.

   Sebagai mayat, ia rebah di situ.

   Berapa lama ia sudah tidur, Tek Hui tidak tahu; waktu ia mendusin sudah kira-kira jam empat.

   Tentu saja, kecuali lesu, ia lapar.

   "Kalau Siauw Hong tidak mati, ia pun tentu sudah lapar,"

   Ia pikir.

   "Di mana Siauw Hong bersantap? Ah, ia harus dikasihani."

   Ia jumput pedangnya dan pentil-pentil itu, hingga suaranya berbunyi nyaring.

   Ia sangat berduka.

   Dengan keraskan hati, Tek Hui pergi pula ke tepi kali, akan lanjutkan usahanya mencari Siauw Hong, ia lantas lihat beberapa orang perempuan sudah mencuci pakaian, dengan suaranya yang berisik karena banting-banting pakaian mereka di atas papan penggilasan.

   Ia sudah memikir akan hampirkan mereka, untuk tanya kalau-kalau mereka itu lihat Siauw Hong.

   Tetapi niatan itu ia batalkan apabila ia lihat mereka itu kebanyak nona-nona, hingga ia likat sendirinya.

   la bertindak terus, ke arah barat.

   "Ha, tempat ini aku kenal!"

   Tiba-tiba ia berseru dalam hatinya, ketika ia sampai di satu tempat, yang menyebabkannya ia ingat sesuatu.

   "Inilah Pak-ouw- cun."

   Tek Hui ingat, ketika pertama kali ia datang ke Lo- thian-sie akan ketemu Siauw Hong, atas pengunjukan orang ia pernah datang ke kampung ini, di mana ada 384 warung thee, di mana ia mampir akan dahar kuwe.

   Di situ pun ada dijual nasi dan mie, pedagangnya seorang tua serta nona umur enam-atau tujuh- belas tahun, yang romannya, meski pun tidak sebagai Siauw Hong, tidak sehitam sebagai Po Go, toh cukup menarik, sedang suaranya enak didengar, sementara kerjanya sebat.

   Lantas Tek Hui bertindak ke kampung itu, yang pemandangan alamnya indah dan tenang.

   Dari setiap rumah ia lihat asap mengebul keluar, maka itu di depan setiap pintu tidak ada orang.

   Juga di bagian luar dari warung tidak tertampak tamu.

   Cuma si nona, yang kebetulan keluar hendak membuang air kotor.

   Di pekarangan belakang, satu bocah dengan sepotong bambu di tangan sedang kejar-kejar babi.

   Si nona nampaknya likat melihat Tek Hui, siapa telah bertindak sampai di depan pintu, di mana dipasang tetarap.

   Tek Hui ingin cari si pedagang tua untuk diajak bicara, dari itu matanya menuju ke dalam.

   Dari jendela ia lihat sebuah meja, di mana berduduk satu tamu perempuan, melihat siapa ia terperanjat, hingga ia lekas putar tubuhnya dan bertindak pergi.

   Tetapi tamu perempuan itu, yang sedang dahar mie, sudah lantas letaki mangkoknya dan memburu keluar.

   "Eh, Tek Hui, mari!"

   Po Go memanggil.

   "Mau apa kau datang kemari?" 385 Tek Hui tidak menyahuti, ia tidak ingin layani tamu itu, ialah Louw Po Go. Ia hanya heran.

   "Kenapa Po Go ada di sini, di waktu begini? Dasar aku yang sial, aku cari Siauw Hong, aku justeru ketemu ia ini!"

   Sembari memikir begitu, ia jalan terus.

   "Eh, Tek Hui, mari!"

   Po Go memanggil pula, seraya terus memburu.

   "Apa kau lagi cari Siauw Hong? Ia ada di sini!"

   Tek Hui merandek, ia terus menoleh.

   "Siauw Hong di sini?"

   Ia tanya.

   "Apa benar?"

   Ia pandang nona itu, siapa melirik sambil bersenyum hingga ia mau menduga si nona sedang justai ia.

   Po Go pakai baju hijau dengan tangan yang sepan, celananya hijau juga, sepatunya kotor dengan tanah atau lumpur.

   Rambutnya terang belum kena sisir.

   Pinggangnya terlibat angkin hijau, di mana nyelip sebatang golok pendek serta tergantung sebuah kantong, tentunya kantong piauw.

   Itu adalah dandanan yang rada luar biasa.

   Dan lebih luar biasa, di waktu demikian ia berada di kampung itu, lagi dahar mie.

   "Kau ada di sini, kau sedang bikin apa?"

   Akhirnya Tek Hui tanya.

   "Aku juga sedang cari Siauw Hong!"

   Jawab si nona sambil tertawa.

   "Aku lihat tadi malam di depan kuil, 386 bersama-sama budak perempuan itu, kau cari Siauw Hong sambil teriak-teriak!"

   Tiba-tiba Tek Hui mengerti kenapa tadi fajar, di depan pintu kuil, ia seperti dengar suara tertawa tetapi orangnya tak ada.

   "Terang itu tertawanya Po Go!"

   Ia pikir.

   "

   Nyatalah ia senantiasa kuntit aku. Benar perempuan ini liehay!"

   Mau atau tidak, ia lantas menghela napas.

   "Kau tahu segala apa, baik,"

   Ia lalu kata.

   "Kau telah dapat cari Siauw Hong, untuk itu terimalah ucapan terima kasih!"

   "Terima kasih kau? Hm!"

   Menyahut si nona.

   "Berulang- ulang aku bantu kau, beberapa kali aku telah tolong kau, toh kau tetap bermuka besi dan berhati besi juga! Kau orang kangouw, tetapi kau tidak kenal persahabatan! Tek Hui, apa kau tidak ingat tanda mata yang kau berikan padaku?"

   "Apa?"

   Tek Hui membentak, dengan mata melotot.

   "Apa kau bilang?"

   "Aku maksudkan kim-jie-ie,"

   Kata Po Go sembari bersenyum.

   "Barang itu ada padaku sekarang, selama kau tidak bisa ambil itu kembali, kau tidak bisa menyangkal bahwa kau telah memberikan tanda mata pertunangan."

   Tek Hui begitu gusar hingga ia angkat pedangnya. Tetapi Po Go tepuk-tepuk dada, berdiri dengan tegak.

   "Jangan kau gertak aku dengan pedang!"

   Ia kata, secara menantang.

   "Aku tahu kau gagah, tetapi aku 387 tidak takut, aku hanya masih tidak ingin gunai piauw akan hajar kau!"

   Tek Hui menjadi lemah dengan medadakan, ia menghela napas.

   
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan kau galak tidak keruan,"

   Ia kata.

   "Asal kau bisa bantu aku mencari Siauw Hong, hatiku tentu menjadi tetap. Kau tahu, pamanmu inginkan kau pulang ke kota, maka pergilah kau pulang."

   Masih saja Po Go unjuk sikap menantang, malah mengejek.

   "Mencari Siauw Hong gampang,"

   Ia kata sambil bersenyum tawar.

   "cuma Siauw Hong yang masih hidup sudah tidak ada, ada juga yang telah meninggal dunia, malah mayatnya sekarang..................."

   Tapi ini telah cukup membikin Tek Hui terperanjat.

   "Apa? Siauw Hong telah menutup mata?"

   Ia berseru. Kalau mata orang mendelik, adalah si nona Louw bersenyum dingin.

   "Tadi malam dia mau buang diri ke kali, tetapi batal,"

   Kata Po Go.

   "Aku dapat lihat dia, aku ketahui niatannya itu, tetapi aku tidak mencegah atau menolongi dia, hanya dari jauh-jauh aku hajar dia dengan sebatang piauw."

   Tek Hui kaget hingga kembali ia angkat pedangnya.

   "Apakah itu benar?"

   Ia tegaskan.

   "Kenapa tidak benar?"

   Sahut Po Go, tetapi sambil bersenyum.

   "Apakah yang aku mesti takuti? Maka itu 388 sekarang aku girang dan puas! Sudah sekian lama aku berdiam di sini, oleh karena aku merasa lapar, aku mampir kemari akan dahar mie. Sehabisnya dahar, aku hendak kembali ke Lo-thian-sie, akan antar pulang pada budak perempuan itu, karena ia pun telah ditolong oleh aku."

   Dalam kemurkaannya itu, Tek Hui masih sangsikan keterangan orang itu.

   "Di mana mayat dari Siauw Hong sekarang?"

   Ia tanya. Po Go menunjuk ke kali.

   "Di sana, di dalam air,"

   Ia menyahut dengan pendek.

   "Pergilah kau cari sendiri, aku tidak punya banyak tempo akan bantu kau pergi mencari! Jikalau kau tidak puas dan penasaran, kau boleh dakwa aku pada pembesar negeri, aku nanti tanggung jawab! Atau kau pergi ke Keng Bun Piauw Tiam, ke rumahnya pamanku Louw Thian Hiong, di sana pedangmu aku nanti tangkis dengan pedang, golokmu aku akan sambut dengan golok juga! Jikalau aku gunai piauw, aku bukannya satu jago wanita!"

   Tek Hui darahnya meluap hingga pedangnya sudah lantas dikasih bekerja. Tapi Po Go tidak diam saja, sebat luar biasa ia hunus goloknya dengan apa ia tangkis bacokan itu, hingga kedua senjata jadi terbitkan suara nyaring. 389

   "Lekas bilang! Siauw Hong benar mati atau tidak?"

   Tek Hui tanya pula, pedangnya mengancam dada orang.

   Kejadian itu bikin kaget tuan rumah, yang lari keluar, begitu pun isterinya.

   Si nona kaget sampai ia tercengang.

   Po Go terus bersenyum, dengan goloknya ia sampok pedangnya Tek Hui, hingga kembali terdengar suara nyaring.

   "Di sini kita bertempur, melulu untuk orang tonton dan tertawakan!"

   Ia kata.

   "Jikalau kau benar punya kepandaian, apa kau berani ikut aku?"

   Dalam murkanya, Tek Hui segera menyusul.

   Kedua kakinya Po Go kecil, akan tetapi ia bisa lari cepat, kedua kakinya itu sebagai juga tak mengenakan tanah, tubuhnya sebagai juga tertiup angin.

   Sembari lari, setiap kali menoleh ia bulang- balingkan goloknya secara menantang.

   Ia pun tertampak bersenyum sindir.

   Tek Hui memburu dengan hati-hati, karena ia kuatirkan piauw orang yang liehay.

   Po Go lari sampai mendekati Lo-thian-sie.

   "Mari, mari!"

   Menantang si nona.

   "Mari, jikalau kau punya kepandaian!"

   Tapi justeru karena tantangan itu, Tek Hui mendadakan berhenti beriari.

   "Aku tak boleh kasih diriku kena ditipu,"

   Demikian ia pikir.

   "Po Go kata, ia telah hajar Siauw Hong dengan 390 piauw, siapa bisa percaya itu? Ucapannya selamanya tidak boleh dipercaya, dia tentu mendusta untuk bikin aku bingung dan gusar. Ia gagah, kalau ia hendak binasakan Siauw Hong, kenapa ia mesti tunggu sampai tadi malam? Hal ini pun aneh! Apa benar di sini sang kebenaran mainkan peranan? Kita sama- sama keluar dari kota, mustahil justeru dialah yang ketemu paling dulu sama Siauw Hong? Ia membohong, akulah yang tolol. Aku pun malu mesti layani seorang perempuan, dan aku tidak boleh kasih diriku terpedaya."

   Selagi Tek Hui bersangsi, Po Go sudah lenyap dari pemandangan, maka itu adalah kebetulan, si anak muda tidak usah mengejar terlebih jauh.

   "Celaka betul, aku tidak bisa cari Siauw Hong,"

   Pikir Tek Hui kemudian dengan masgul.

   "Apa aku mesti mencari balas terhadap Po Go? Nampaknya tidak! Dasar aku sendiri yang bernasib buruk. Jikalau tidak ada aku, sampai sekarang Siauw Hong tentu hidup senang di rumahnya Han Kim Kong dan Louw Po Go niscaya masih di rumahnya di Thio-kee-kauw. Jikalau tidak ada aku, suhu juga tidak akan dapatkan perkara yang hebat. Apa aku mesti bunuh diri saja? Tidak! Sekarang paling benar aku pergi ke kota akan serahkan diri, buat gantikan jiwanya Han Kim Kong, supaya aku bisa tolong suhu keluar dari penjara. Ya, menolong guruku adalah paling penting, aku tidak 391 boleh antap ia mengeram dalam pernjara melulu karena aku." *** 392 XIV Hanya Tek Hui menjadi tawar, pikirannya kusut benar, maka ia menuju ke kota dengan tak takut apa juga, pedang terhunus tetap tercekal di tangannya. la tidak mau menyingkir dari siapa juga. la ikuti aliran sungai akan masuk ke Say-tit-mui. Sesampainya di Kwan-siang, ia cari rumah makan, karena ia tidak tahan laparnya. Lekas sekali ia sudah mulai tangsel perut, sebagai gantinya air minum ia tenggak arak. Dari sini, buat pergi ke kota ia sewa sebuah kereta. Ia cari tahu tempatnya Ouw Gie-su, yang dikenal sebagai Gie-su, karena kewajibannya adalah menjaga keamanan di sekitar lima pintu kota luar dari kota- raja. Karena kekuasaannya yang besar, semua orang kenal atau ketahui Gie-su ini. Maka tukang kereta pun bisa bawa ia langsung ke kantornya Gie-su itu. Seturunnya dari kereta dan setelah membayar sewa, dengan tenteng pedangnya Tek Hui bertindak ke muka kantor, akan lancang masuk. Tidak heran kalau dari Pan-pong memburu keluar dua koanjin akan menghalanginya.

   "He, kau hendak bikin apa? Kenapa kau bawa-bawa senjata terhunus?"

   Demikian suara teguran.

   "Aku datang untuk serahkan diri,"

   Tek Hui jawab dengan alis mengkerut.

   "Aku telah membunuh orang." 393 Dua hamba itu segera bertindak, yang satu maju akan cekal orang punya kedua tangan, yang satunya lari akan ambil tambang belengguan. Tek Hui tahu, bahwa orang hendak ringkus ia, ia tidak mau melawan, karena ia tahu juga setelah itu ia akan dihadapkan pada pembesar negeri. Ia akan diperiksa dan dihukum, hingga kesudahannya gurunya Pheng Jie, akan dapat kebebasan Ia ridlah akan dipenggal batang lehernya, akan gantinya gurunya. Ia tidak bisa lupai Siauw Hong, tetapi ia bisa keraskan hati. Cepat sekali, hamba yang ambil tambang telah kembali.

   "Eh, apa kau hendak bikin?"

   Mendadak terdengar satu suara dari dalam gedung. Apabila Tek Hui menoleh, ia tampak munculnya seorang dengan muka kuning jahe, yang dari sikapnya rupanya adalah kepala opas.

   "Orang ini serahkan diri, katanya ia telah lakukan pembunuhan,"

   Jawab dua koanjin itu.

   "Dan kau percaya dia?"

   Kata kepala itu.

   "Dia ini adalah orang dari piauw-tiam di Cian-mui Toa-kay, otaknya kurang beres, ia seperti orang gila, ia suka pukul orang, sebagaimana ia pun suka terima pukulan! Mana dia bisa bunuh orang? Kalau kau hadapkan dia pada tayjin, nanti di depannya dia ngaco belo! Apa dengan begitu kau tidak akan bikin tayjin menjadi 394 gusar? Seorang gila hendak dilayani, apa begini kerjaan kau?"

   Habis kata begitu, dengan tangannya kepala ini dorong tubuhnya Tek Hui.

   "Cukup, silahkan pergi!"

   Ia kata.

   "Kenapa kau hendak main-main sama kami? Apa kau sudah dahar? Kalau sudah, hayo pergi pulang! Begini besar, tetapi otak tidak beres! Pantas tidak ada orang mau nikahkan gadisnya padamu!"

   Tek Hui menjadi bingung.

   "Aku bukannya sedang memain,"

   Ia kata.

   "Aku datang untuk talangi guruku!"

   "Gurumu sudah pergi ke Tanah Barat akan ambil kitab suci!"

   Kata si kepala opas.

   "Hayo pergi, kau Tie Pat Kay!"

   Lantas ia mendorong, ia menarik, juga ia menggebuk.

   Tek Hui tidak berani bikin perlawanan, ia tidak berani balas menyerang, begitulah ia kena didorong jauh dari kantor, tetapi si kepala opas masih terus tarik ia, sampai mereka berada di tempat di mana tidak ada orang lain.

   "Eh, kau bikin apa?"

   Kata kepala opas ini pada anak muda kita.

   "Apa dengan caramu ini kau bisa tolong guru kau? Apa artinya kebinasaan Han Kim Kong? Mustahil jiwanya sampai mesti ditukar dengan jiwanya gurumu dan kau berdua? Lekas kau pergi! Isterimu Louw Po Go dan Ceekong kau Louw Thian Hiong, 395 sekarang ada di Keng-bu Piauw-tiam sedang menunggu kau! Bukannya kau pergi pada sanakmu, kau sebaliknya datang bikin kacau di sini, kau benar bikin orang menjadi gusar!"

   Kepala opas itu mengawasi, ia tertawa lantas ia ngeloyor pergi. Tek Hui berdiri melongo, tangannya masih menyekal pedang. Ia jadi bingung sekali, sedang kepala polisi itu ia tidak kenal. Kenapa orang tolak ia? "Inilah heran,"

   Ia pikir lebih jauh.

   "Kenapa sekarang aku mesti pergi?"

   Akhirnya ia masuk dalam sebuah rumah makan, ia sebenarnya tidak niat minum, tetapi ia paksa tenggak arak, sampai beberapa cawan, tetapi arak itu tidak bikin ia pusing.

   Ia masih saja bingung.

   Tiba-tiba pedang yang digeletaki di samping, bercahaya berkeredepan.

   Melihat itu, mendadak ia ingat ucapannya Po Go tadi di warung nasi di dalam kampung.

   "Apa benar Po Go sudah hajar Siauw Hong dengan piauw, sampai mati? Dia tentu menjusta! Kenapa Louw Thian Hiong pun cari aku, akan tanyakan Siauw Hong? Kenapa Thian Hiong mau berjanji akan cari si nona? Apa lenyapnya Siauw Hong bukan karena bisanya mereka ini paman dan keponakan, yang sedang main gila terhadap aku? Kenapa si kepala opas suruh aku pergi ke Keng-bu Piauw-tiam, di mana 396 katanya Po Go dan Thian Hiong sedang nantikan aku? Ya, terang aku dipandang sebagai si tolol, yang boleh dipermainkan! Aku mesti cari mereka, atau mereka akan tertawakan aku!"

   Habis memikir begitu, Tek Hui berbangkit.

   Ia rogoh sakunya akan keluarkan uang untuk membayar harganya arak, kemudian sambil jumput pedangnya ia bertindak keluar.

   Cuaca waktu itu adalah cuaca lohor, sudah mendekati sore, Tek Hui tidak merasakan itu, sampai di sana-sini orang telah nyalahkan lentera atau lampu, maka sebentar kemudian jalan jalan besar menjadi terang.

   Rembulan bercahaya guram, tetapi banyak kereta mundar-mandir, banyak orang berlalu lintas.

   Di It Hu Cun, api dipasang terang-terang, tetamu ada banyak, rupanya keonaran yang diterbitkan oleh Han Kim Kong atau Pheng Jie tidak mempengaruhi orang banyak.

   Hanya, sekian banyak tindak dari situ, Hoat-wan Piauw-tiam adalah sunyi senyap, pintunya ditutup rapat, di situ tak kelihatan barang satu orang.

   Nyatalah pamor Tong Kim Houw sudah jatuh, perusahaannya rubuh.

   "Aku mesti bikin bangun piauw-tiam ini!"

   Pikir Tek Hui dalam kemurkaannya.

   Tapi pikiran ini hanya lewat sekejap.

   Di saat lain, pemuda itu menjadi lesu pula.

   Ia insyaf kesukarannya, pikirannya bimbang.

   Ia jalan mundar-mandir, ia berada di tempat di mana sinar lentera tidak sampai.

   397 Mendadak dari sebelah depan kelihatan orang mendatangi.

   Lekas-lekas Tek Hui sembunyikan pedangnya di punggungnya.

   "Apakah kau cari orang dari piauw-tiam ini?"

   Menegur orang tak dikenal itu.

   "Piauw-tiam ini ditutup, orangnya tidak ada semua."

   Tek Hui goyang kepala, tetapi ia lantas berpikir.

   "Apakah ini Keng-bu Piauw-tiam?"

   Ia balik menanya.

   "Bukan, kau salah!"

   Sahut orang itu.

   "Ini Hoat-wan Piauw- tiam, Keng-bu Piauw-tiam ada di sana jalan ke selatan, di Lee-hie Ho-tong."

   Tangannya menunjuk.

   "Jalan saja terus ke selatan, lalu mengkol ke timur. Piauw-tiam itu adalah yang pintunya besar, yang adanya di sebelah utara!"

   "Terima kasih,"

   Kata Tek Hui sambil memberi hormat, kemudian ia bertindak ke arah selatan. Di tengah jalan, Tek Hui merandek sebentaran. Tiba-tiba ia dapat suatu pikiran.

   "Buat apa aku pergi pada mereka? Mereka tentu tidak mau omong dengan sebenarnya! Lagipula Po Go juga tentu akan main gila dengan aku. Apa aku bisa bikin terhadap ia? Baik aku tunggu sampai sebentar tengah malam, baru aku pergi ke piauw tiam mereka, akan cari tahu sepak-terjang mereka itu. Aku harap aku nanti berhasil mendapat keterangan perihal Siauw Hong, ia benar binasa di tangannya Po Go atau bagaimana. Apabila benar Siauw Hong sudah binasa, 398 aku mesti bunuh perempuan she Louw itu! Dan apabila Po Go hanya pedayakan aku, selanjutnya aku tidak mau perdulikan lagi padanya, aku nanti pergi cari Siauw Hong, ke mana juga."

   Maka ia lantas saja mundar-mandir di jalan-jalan besar, sampai kereta dan orang banyak sedikit dengan sedikit menjadi kurangan, sampai juga It-hu-cun punya api telah dibikin padam.

   Sekarang ia mulai merasa lapar lagi.

   Ia lihat tukang tauwhu tua, ia sangsi akan menghampirkan karena ia kuatir ada yang kenalkan ia, tetapi jikalau ia tidak pergi, perutnya menitah ia, mulutnya kemak-kemik sendirinya.

   Maka akhirnya, ia mendekati dengan bertindak pelahan-lahan.

   Pelitanya si tukang tauwhu bercahaya guram, sembari mendekati Tek Hui awasi si tukang tauwhu, yang nyata ada orang yang ia tidak kenal, dari itu ia lekas menghampirkan akan minta satu mangkok.

   Itu adalah masakan tauwhu yang lengkap bumbunya, hingga ia jadi ingat loo-tauwhu buatannya Siang Kiu, itu orang tua yang baik budi, yang mati secara kecewa dan mengenaskan.

   Dan sekarang Siauw Hong pun bernasib malang, entah di mana adanya, entah bagaimana dengan jiwanya.

   "Han Kim Kong binasa di tangan guruku, hingga untuk Siang Kiu ini, untuk gadisnya, aku belum lakukan suatu apa,"

   Tek Hui ngelamun.

   "Malah sekarang aku bikin Siauw Hong lenyap. Benar-benar 399 aku tolol, tak punya guna! Ini semua tentu permainan gila dari Po Go dan pamannya, aku mesti cari mereka, aku tidak bisa mengasih ampun!"

   Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tek Hui dahar habis tiga mangkok, habis itu ia membayar uangnya dan berlalu dengan pedangnya.

   Ia masuk ke Lee-hie Hoo-tong.

   Ia tidak usah jalan jauh akan sampai di depan rumah, yang duduknya di sebelah utara jalanan, yang pintunya besar, tetapi mereka tidak ada, daun pintunya tertutup rapat.

   Hanya di tembok yang putih ada tulisan huruf hitam dan besar, yang di antara sinar guram dari si Puteri Malam, masih bisa dilihat juga.

   Tapi Tek Hui cuma kenalkan huruf 'piauw'.

   "Inilah tentu piauw-tiam yang aku cari,"

   Ia ambil kepastian.

   Maka ia terus enjot tubuhnya akan mencelat naik ke atas tembok, dari mana ia memandang ke dalam pekarangan yang lebar, hanya rumahnya semua kate wuwungannya.

   Meski di dalam rumah tidak kelihatan cahaya api, toh di ruangan luar ia lihat beberapa orang tidur malang-melintang, rupanya mereka hamba-hamba piauw-tiam.

   Di antara mereka ini ada yang belum pulas, hanya mereka sedang awasi si Puteri Malam.

   "Lihat, Gu Long dan Cit Lie akan lekas juga sampai di Thian Hoo!"

   Kata satu di antaranya dengan jenaka.

   Tek Hui tidak perhatikan mereka itu, ia loncat turun di tempat yang sepi.

   Ia merasa syukur yang orang 400 tidak lihat dia.

   Ia hanya pikirkan cara bagaimana ia bisa bekerja dengan leluasa, jikalau mereka itu lama- lama tak mau tidur.

   Di bagian belakang, rumah lebih tinggi daripada di sebelah depan.

   Menduga bahwa Louw Thian Hiong tinggal di rumah tersebut, Tek Hui menuju ke situ.

   Ia loncat naik ke rumah samping, baru ia pergi ke rumah yang lebih besar itu.

   Ia sampai di sebelah belakang dengan tidak usah ganggu orang yang berkumpul di depan itu.

   Di sini, di dalam pekarangan, ada banyak pohon bunga dan tetanaman lain, tetapi hawa udara malam itu mengkedus.

   Di bawah tarap kain tebal, atas kursi malas, rebah seorang lelaki dengan tubuh gemuk, ia mirip dengan satu 'toa-looya'.

   Ia adalah Louw Thian Hiong.

   Di sampingnya ada sebuah meja kecil yang bundar di atas mana ada tehkoan thee dan cawannya, ada cui- hun juga.

   Di sebuah bangku duduk seorang perempuan, rupanya dia adalah nyonya Louw Thian Hiong.

   Satu budak perempuan muncul seduh thee.

   Dengan sebuah kipas, Louw Thian Hiong kipasi tubuhnya.

   Beberapa kali ia kelihatan menghela napas.

   Ia bicara sama isterinya dengan pelahan, hingga Tek Hui tidak dapat dengar apa yang orang omongkan.

   401 Tek Hui, yang umpatkan diri, terus mendekam di atas genteng.

   Ia terus pasang mata dan pasang kuping.

   "Baiklah kau keluar, akan berangin di sini,"

   Akhir- akhirnya terdengar suaranya Louw Thian Hiong, yang bicara sambil menoleh ke dalam rumah.

   "Hawa di sini tidak terlalu panas. Di sini pun tidak ada orang lain. Di dalam kau tidak bisa tidur, kau nangis saja, nanti matamu rusak. Ah, anak, kenapa kau tidak dengar kata? Kau bikin aku turut menjadi ibuk tidak keruan. Baiklah, besok kau pulang ke Thio-kee-kauw, atau suruh ayahmu datang menyambut kau!"

   Kalau Thian Hiong nampaknya berduka, adalah isterinya bisa bersenyum.

   "Anak yang baik, kau dengar aku, marilah keluar akan berangin di sini!"

   Demikian nyonya ini.

   "Atau aku nanti suruh Pui-ma bereskan pembaringan kau, untuk kau tidur saja. Kenapa mesti sekap diri di dalam, selagi hawa udara begini panas? Nanti kewarasan kau terganggu. Anak, kau dengar perkataannya paman dan aku ini."

   Dari dalam tidak ada suara yang menyahuti.

   "Po Go!"

   Akhirnya terdengar Thian Hiong.

   "jikalau tetap kau bawa adatmu ini, kau bukannya anak dari keluarga Louw kita! Anak kita, sekali pun perempuan mesti sama dengan anak lelaki, gesit dan gagah. Sekali pun golok mengancam dadanya, ia tak akan meramkan mata! Kau toh bukannya tidak punya 402 pengalaman? Kenapa kau tidak bisa keraskan hatimu? Tek Hui, itu bocah, pada akhirnya tidak akan lolos dari tangan kita! Tadi pun Thio Tauw-jie dari kantor Gie-su telah kabarkan aku, bagaimana Tek Hui telah datang ke kantor, guna serahkan diri, tetapi ia bisa diusir pergi dengan akal! Kelakuannya itu jenaka. Aku percaya, Tek Hui akan datang kemari, akan mohon bantuan kita, sebab jikalau ia tidak datang, untuk seumur hidupnya ia tak akan mampu cari gundiknya Han Kim Kong!"

   Di tempatnya sembunyi, Tek Hui terperanjat.

   "Jadinya Siauw Hong belum mati?"

   Pikir ia.

   Dalam dirinya sekarang ada rasa kegirangan, hingga ia memikir akan loncat turun akan minta keterangan pada Louw Thian Hiong.

   Justeru waktu itu dari dalam kelihatan keluar dua orang, satu antaranya sambil membawa lentera.

   Itulah Po Go, bersama bujang perempuan, siapa rupanya adalah Pui-ma.

   Beda daripada hari-hari biasa, sekarang ini Po Go lesu dan lemah, ia sedang menangis.

   "Siapa juga tak usah perdulikan aku!"

   Katanya, sambil banting-banting kaki.

   "Aku pun tidak mau pulang ke Thio-kee-kauw! Aku tidak sangka, bahwa perhubungan mereka telah sedemikian rapat."

   Louw Thian Hiong berbangkit, ia goyang-goyang kipasnya. 403

   "Jangan menyesal, Po Go, jangan kau sesalkan aku,"

   Ia bilang.

   "Aku juga tidak tahu, bahwa ia sudah punya perhubungan sama gundiknya Han Kim Kong."

   "Aku ingin satu kali dapat lihat gundik itu,"

   Nyonya Louw turut bicara.

   "Ia sebenarnya siluman macam apa, hingga ia bisa bikin rusak orang punya jodoh?"

   "Kau pun jangan sesalkan orang lain,"

   Thian Hiong kata pada isterinya.

   "Ia memang perempuan yang hatinya gampang berubah. Tentang Lauw Tek Hui, baru tadi pagi di Lo-thian-sie aku bisa omong banyak padanya, karena aku percaya ia bisa serahkan diri pada pembesar negeri, siang-siang aku telah pesan Thio Tauw-jie di Gie-su Gee-mui akan tolak padanya apabila ia datang, supaya ia bisa dibohongi. Benar saja, ia telah datang ke kantor Gie-su, di mana Thio Tauw-jie bisa akali dia, sedang Thio Tauw-jie sendiri terus mengasih kisikan padaku. Aku percaya betul, kalau bukan malam ini, lain hari Tek Hui akan datang kemari. Aku percaya, tidak usah tunggu sampai datangnya Toa-too Ong, ia akan mendahului datang kemari akan minta pertolongan kita."

   Tek Hui heran akan dengar disebutnya nama Toa- too Ong.

   "Siapa dia? Dia orang macam apa? Apa perlunya dia datang ke Pak-khia?"

   Demikian ia tanya.

   "Apa boleh jadi ia datang melulu untuk cari aku?"

   Tek Hui tidak sempat berpikir terus, ia lantas dengar suaranya Po Go. 404

   "Aku ingin bunuh Siauw Hong saja!"

   Demikian suaranya si nona.

   "Buat apa dia dikasih tinggal hidup? Kalau aku sudah bunuh dia, Lauw Tek Hui tentu akan datang cari aku, maka waktu itu aku pun akan bunuh Tek Hui."

   "Jangan, kau jangan lakukan itu!"

   Thian Hiong mencegah, tangannya digoyang-goyangkan.

   "Kita harus bersabar dan memikir dengan tenang. Kalau ini ada kejadian pada dua puluh tahun yang lalu, tak nanti aku ijinkan orang hinakan keponakan perempuanku. Sekarang lain, baik kau sabar, aku tunggu sampai Tek Hui datang kemari."

   Mendengar sampai di situ, Tek Hui menjadi habis sabar, ia lantas berbangkit. Pui-ma kebenaran angkat kepalanya, ketika ia lihat ada orang di atas genteng.

   "Ada orang! Ada orang, di atas genteng!"

   Ia menjerit-jerit.

   "Hus, jangan berisik!"

   Mencegah Thian Hiong.

   "Di luar ada banyak orang."

   Nyonya Louw pun kaget, ia ketakutan.

   Po Go belum melihat nyata, tetapi ia sambar cangkir dengan apa ia menimpuk ke atas, sebagai juga cangkir itu adalah piauw.

   Tek Hui lihat datangnya senjata ke arah mukanya, ia lekas ulur tangannya akan sambuti itu, tetapi hampir berbareng dengan itu, nona Louw sudah mencelat naik, tangannya diayun.

   Hanya, kapan si 405 nona kenali orang di atas genteng itu, tangannya segera ditarik pulang.

   "Oh, kau?"

   Ia kata, secara menghina.

   "Tidak apa yang kau curi dengar pembicaraan kami. Aku kasih tahu pada kau, Siauw Hong masih hidup, tetapi malam ini aku hendak bunuh dia! Aku punya kepandaian akan bunuh perempuan itu, maka jikalau kau punya kepandaian juga, kau boleh coba tolongi dia!"

   "Jangan, kau jangan lakukan itu,"

   Tek Hui kata.

   "Kau tahu ia sudah cukup bersengsara. Aku pun bukannya tidak bisa tidak nikah ia, tetapi dalam urusan kita ini, kita harus omong dengan jelas."

   "Apa yang kau hendak omong?"

   Tanya Po Go, dengan mata mendelik.

   


Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long

Cari Blog Ini