Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 9


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 9



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Nararya terkesiap.

   "Apabila kita tahu bahwa siang itu panas, mengapa kita harus mengeluh kalau berjalan di siang hari? Pun kalau kita tahu bahwa malam itu gelap, mengapa kita meresah kalau berjalan di malam hari? Suka dan duka, tawa dan tangis, gembira dan kecewa, merupakan siksa. Untuk menghilangkan rasa siksa itu maka kita harus menempatkan diri ditengah-tengah. Tak perlu kita harus kecewa karena berpisah dan gembira karena berjumpa. Karena segala apa dalam dunia ini tak kekal sifatnya. Demikian raden, wejangan guruku"

   Nararya mengangguk "Benar, kakang Pagon.

   Aku tak merasa kecewa karena harus meninggalkan tumenggungan ini.

   Tetapi mereka akan kecewa karena kutinggalkan.

   Padahal kekecewaan mereka adalah akibat tindakanku.

   Pada hal pula aku tak ingin membuat orang kecewa karena hal itu sama dengan melakukan penganiayaan batin kepada mereka"

   Gajah Pagon tertawa "Raden benar. Tetapi tak perlulah kiranya raden meresahkan hal itu. Sebelum masuk ke tumenggungan aku sudah membekal sesuatu"

   Ia segera mengeluarkan sebuah kantong kulit dari dalam bajunya "kantong kulit ini, berisi darah ayam"

   "Untuk apa ?"

   Nararya terkejut heran.

   "Begini raden"

   Kata Gajah Pagon "kita mengobrak-abrik perkakas dan pembaringan di bilik ini dan akan kutuangkan ceceran darah di lantai.

   Dengan demikian ki tumenggung tentu akan mendapat kesan bahwa, di bilik ini raden telah bertempur dengan seorang penjahat dan berakhir raden dibawa pergi penjahat itu"

   "Ya, itu sebagai pengaburan yang baik"

   Kata Nararya "tetapi dakkah hal itu akan membuat perasaan mereka gelisah ? Dan bukankah gelisah itu sama halnya dengan bersedih ?"

   "Karena sama2 suatu derita dalam ba n, gelisah dan kecewa adalah sebobot tetapi dak senilai. Gelisah mengandung pikiran memperha kan. Tetapi kecewa mengandung pikiran sesal. Karena gelisah mereka tetap akan mengangan-angan dan memperha kan berita2 diri raden. Berar pada lain kesempatan, raden masih dapat berjumpa dan diterima mereka dengan gembira. Tetapi kecewa, mereka akan geram dan takkan mau berjumpa dengan raden lagi. Maka dengan rencanaku tadi, kelak raden masih dapat berjumpa dan diterima dengan penuh kegembiraan oleh ki tumenggung dan puterinya."

   Merenung sejenak Nararya mengangguk.

   Ia menganggap buah pikiran Gajah Pagon itu memang dapat diterima akal.

   Demikian segera diputuskan Pembaringan dikacau, kursi dan meja dipatahkan kakinya, darah ayam ditaburkan di lantai.

   Setelah itu merekapun segera tinggalkan tumenggungan.

   "Silahkan raden pulang,"

   Kata Gajah Pagon setelah keluar dari pintu gapura. Nararya terkesiap "Dan engkau ?"

   "Dari Tuban aku menuju ke Daha dengan pengharapan akan dapat diterima sebagai prajurit Daha"

   Kata Gajah Pagon "tetapi setelah mengalami peris wa di tumenggungan, ha kupun kecewa. Perasaanku mengatakan bahwa bukan di Daha tempat aku mengabdi"

   "Kakang Pagon hendak kemana ?"

   "Aku ingin meninjau Singasari. Kudengar Singasari juga sedang sibuk membuka kesempatan bagi pemuda2 yang ingin menjadi prajurit. Aku hendak ke Singasari untuk melihat-lihat keadaan disana dari dekat"

   "O"

   Nararya hanya mendesuh. Ia tak tahu harus melarang atau menganjurkan kepada Gajah Pagon supaya ke Singasari.

   "Kakang Pagon"

   Kata Nararya "apabila kakang tak menolak marilah kakang bersamaku saja. Pendirianku hampir sama dengan kakang. Akupun sedang lelana-brata, mencari pengetahuan dan pengalaman"

   Pada kesempatan untuk memandang wajah Nararya lebih dekat dan lebih lekat, Gajah Pagon mendapat kesempatan bahwa pemuda itu memang mempunyai wajah yang berbeda dengan pemuda kebanyakan.

   Seri wajahnya bersinar, memancarkan kewibawaan dan keagungan.

   Dan entah bagaimana, seolah ha nurani Gajah Pagonmengatakan bahwaNararyalahtempat ia mengabdi.

   Ia tak tahu mengapa ia mengandung pemikiran begitu.

   Untuk menuru suara ha nya iapun menerima tawaran Nararya.

   Kelak apabila Nararya ternyata orang yang tak memenuhi harapannya, iapun dapat meninggalkannya.

   Setelah menyatakan kesediaannya untuk ikut pada Nararya, Gajah Pagon meminta keterangan lebih lanjut tentang langkah pemuda itu.

   Nararya pun diam2 meneropong isi ha Gajah Pagon.

   Dari kerut dan sinar matanya, dapatlah ia menduga akan pikiran lelaki kekar itu.

   Namun daklah hal itu memudarkan penghargaannya terhadap Gajah Pagon, kebalikannya ia bahkan menyukainya.

   Hal itu sesuai dengan pendiriannya.

   Kesetyaan itu tak dapat dinyatakan dengan ikrar di mulut, lebih tak dapat dipaksakan.

   Biarlah waktu dan peris wa yang akan menumbuhkan kepercayaan dan menyuburkan kesetyaan dalam hati Gajah Pagon.

   Nararya segera menuturkan tentang peris wa hilangnya gong pusaka peninggalan Empu Bharada.

   Serta perjuangan dari bekel Saloka serta lain2 kawan yang hendak merebutkan kembali gong pusaka itu.

   Tertarik seke ka ha Gajah Pagon akan peris wa itu.

   Mulailah mbul gairah semangatnya untuk mengikuti jejak perjuangan Nararya dan kawan2.

   "Jika demikian, pengeroyokan orang2 tumenggungan terhadap kakang Pamot itu juga dalam rangka raden dan kakang Pamot hendak menyelidiki gong Prada itu, bukan?"

   Nararya mengiakan "Ya, saat itu ku nggalkan Pamot dibelakang karena aku perlu mengejar jejak orang aneh yang masuk kedalam tumenggungan hendak membunuh putera tumenggung itu.

   Untung engkau muncul dan rela mengorbankan diri ditangkap orang2 tumenggungan"

   "Dan raden terus berusaha membebaskan aku dengan kesudahan raden sendiri tertangkap mereka?"

   "Ya"

   Sahut Nararya"

   Tetapi aku dilindungi puteri tumenggung yang melarang para prajurit masuk kedalam keputren"

   "Lalu bagaimana langkah raden sekarang?"

   Nararya kerutkan dahi "Untuk sementara baiklah kita tunggu sampai ki bekel Saloka pulang. Mungkin dia memperoleh suatu berita dalam perjamuan itu"

   "Bilakah kiranya ki bekel akan pulang?"

   "Malam ini perjamuan nikah itu sedang berlangsung. Kemungkinan besok atau paling lambat lusa."

   Dalam pembicaraan selanjutnya Nararya bertanya tentang pengalaman Gajah Pagon. Dengan terus terang Gajah Pagon menuturkan riwayatnya. Ia berasal dari desa Soka tetapi kemudian ia berguru pada seorang begawan di gunung Pandan.

   "Pada suatu hari guru telah menitahkan supaya aku turun gunung melakukan lelana-brata. Pengetahuan dan ilmu yang telah kuturunkan kepadamu, akan bertambah sempurna serta lebih melekat dalam penghayatanmu apabila engkau melakukan lelana-brata. Lakukanlah apa yang telah kuajarkan kepadamu. Semoga lelana-brata itu akan lebih menyempurnakan dirimu lahir ba n,"

   Demikian pesan begawan dari gunung Pandan itu.

   Gajah Pagon mengatakan bahwa tujuannya yalah hendak mengabdikan diri untuk negara.

   Ia menuju ke Daha dan ternyata tak sengaja telah bertemu dengan raden Nararya itu.

   Mengenai keadaan telatah Tuban, Gajah Pagon menyatakan bahwa daerah Datar atau pesisir itu sangat ramai, menjadi kota pelabuhan seperti Ganggu.

   "Seharusnya kerajaan Singasari menempatkan seorang adipa yang kuat di Tuban untuk memperkuat kota bandar itu"

   Katanya lebih lanjut.

   "Mengapa kakang Pagon tak mau bekerja pada adipati Tuban yang sekarang?"

   Tanya Nararya...

   "Aku hendak mencari pengalaman yang lebih luas agar kelak dalam pengabdianku kepada tanah asal tumpah darahku, aku lebih dapat menyumbangkan tenaga dan pengabdian besar"

   Demikian keduanya bercakap-cakap sampai jauh malam.

   Sejak saat itu Gajah Pagonpun menggabungkan diri di Selamangleng.

   -oo-dwkz^ismoyo^mch-oo- II Wukir Polaman atau gunung Polaman saat itu terancam dalam kepekatan malam bisu.

   Gelap gelita.

   Sesosok tubuh menyeruak jalan kecil yang merentang kearah sebuah lembah.

   Dia tak jeri akan cuaca gelap.

   Tak takut akan bayang2 hitam yang bergerak-gerak diatas jalan.

   Iapun tak gentar mendengar bunyi cengkerik, tenggoret dan kelelawar2 yang terbang berkeliaran mencari mangsa.

   Ia tak menghiraukan apapun.

   Langkah yang lebar, menggegaskan kaki agar cepat melintas jalan kecil itu.

   Rupanya ia amat terburu-buru seperti orang berlomba.

   "Aku harus mendahuluinya"

   Kata orang itu dalam ha .

   Ia tertegun berhen karena terkejut.

   Ia sangsi apakah kata2 itu diucapkannya dengan mulut atau hanya dalam ba n.

   Ia kua r, suaranya itu terdengar kesekeliling tempat itu.

   Dalam tempat yang sesunyi seper saat itu, suara yang betapapun kecilnya, mudah terdengar, mudah terbawa angin.

   Bahkan napaspun mungkin terdengar orang.

   Beberapa saat kemudian ia meyakinkan diri bahwa disekeliling tempat itu ada orang lain kecuali dirinya.

   Setelah itu baru ia ayunkan langkah lagi.

   Lebih cepat.

   Lelaki itu bertubuh tegap, masih muda.

   Pinggangnya menyelip sebatang pedang.

   Aneh.

   Saat itu tengah malam dan tempat itu lebih menyeramkan dari tanah pekuburan.

   Mengapa ia datang kesitu ? Ah, tentu ada sesuatu yang pen ng.

   Karena hanya suatu kepen ngan yang luar biasa, entah harta karun entah benda pusaka, akan memikat perhatian orang untuk melupakan segala bahaya.

   Entah apa yang sedang dilakukan orang itu.

   Yang jelas dia mencari sebuah gua yang terletak agak jauh kedalam sebuah lembah.

   Setelah memperha kan jalan dan batu2 karang, akhirnya ia membiluk, menyiak sebuah gerumbul ilalang yang se nggi tubuh manusia lalu menyusup kedalam sebuah batu berlubang.

   Menilik sekujur tubuhnya dapat menyelundup masuk, tentulah batu berlubang itu merupakan sebuah gua.

   Ia terus maju, mencabut pedang untuk bersiap-siap menjaga se ap kemungkinan.

   Dengan agak gemetar langkah, ia terus masuk.

   Seke ka pandang matanya terbeliak ke ka melihat sebuah pemandangan.

   Di lantai gua itu tampak segunduk benda hitam berbentuk bulat dan agak besar.

   Ia berdebar keras.

   Ah, ternyata benda itu sebuah gong.

   Mata orang itu makin berkilat-kilat.

   Sambil menyelipkan pedang ke pinggang, ia segera maju mendekat lalu ulurkan kedua tangan hendak mengambil gong itu "Ah, ternyata benar.

   Pangeran Ardaraja memang bersekutu dengan orang Singosari ..."

   Pada saat ia hendak mengangkat gong itu, sekonyong-konyong entah dari mana dan bilamana datangnya, tahu2 muncul seorang lelaki bertubuh nggi besar yang langsung mencengkeram bahu orang itu sekuat-kuatnya lalu ayunkan tangannya menghantam tengkuk orang, duk.....

   "Uh ....."

   Orang itu terhuyung ke muka.

   Orang nggi besar yang menyerangnya,segera hendak loncat maju menginjak tubuhnya.

   Tetapi sekonyong-konyong bahunya dicengkeram orang dari belakang dan punggungnyapun segera dihunjam sebuah pukulan keras, duk ....

   Plak, ba2 orang ke ga, seorang bertubuh kekar berkumis, terhuyung-huyung ke muka, hampir menubruk orang nggi besar.

   Dia termakan tendangan dari seorang lelaki lain yang mukanya berselubung kain hitam.

   Orang berselubung kain hitam itu cepat loncat ke muka terus hendak menyambar gong.

   Tetapi pada saat itu juga, ketiga orang yang rubuh tadi serempak melenting bangun dan menghantamnya sehingga orang berselubung kain hitam itu terpaksa menyurut mundur.

   "Keparat, siapa engkau!"

   Teriak orang nggi besar. Kemudian ia berpaling kearah orang berkumis lebat yang memukulnya tadi "hai, engkaukah yang memukul aku ?"

   "Dan engkaupun menyerang aku dari belakang. Licik sekali"

   Teriak orang pertama kepada si tingggi besar.

   "Bedebah!"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak orang berkumis kepada orang yang berselubung kain hitam "bukan ksatryalah perbuatanmu menendang aku dari belakang tadi"

   "Karena aku membenci ndakanmu memukul punggung Suramenggala dari belakang itu"

   Sahut o-rang berselubung kain hitam.

   "Hai"

   Teriak orang tinggi besar "engkau tahu namaku ?" ' "Seluruh rakyat Daha tahu dan kenal akan tubuhmu yang tinggi besar"

   "Setan"

   Suramenggala memaki geram.

   "Dengan begitu jelas pangeran Ardaraja, terlibat dalam peris wa ini. Pangeran itu tahu dimana tempat beradanya gong Prada"

   Kata orang berselubung kain hitam dengan nada mencemoh.

   Suramenggala menyeringai "Pangeran Ardaraja tahu, memang sudah selayaknya.

   Karena pangeran berhak dan harus tahu.

   Berhak dan wajib memperoleh gong pusaka itu.

   Tetapi engkau dan orang2 kerdil ini, apa hakmu hendak merebut gong Prada itu?"

   "Gong Prada itu bukan milik Daha"

   Bantah orang berselubung kain hitam "se ap orang berhak untuk merebutnya. Bukan hanya hak pangeran Ardaraja belaka"

   "Keparat!"

   Teriak Suramenggala "siapa engkau? Dan engkau, engkau juga!"

   Suramenggala mengeliarkan pandang tanya kepada lelaki berkumis dan lelaki pertama, yalah orang yang dihantamnya tadi.

   "Apa guna engkau bertanya nama ?"

   Sahut lelaki berkumis.

   "Ya, benar"

   Sambut orang pertama tadi "rupanya kedatangan kita kemari, mempunyai tujuan yang sama.

   Ingin merebut gong pusaka itu.

   Yang pen ng bukan untuk mengetahui siapa nama kita satu demi satu tetapi untuk mengetahui siapakah yang akan berhak mendapatkan gong pusaka itu."

   "Tepat"

   Sambut orang berselubung kain hitam "apa guna menanyakan soal nama. Karena sebentar lagi entah siapa diantara kita yang terpaksa harus menanggalkan nama dan nyawanya"

   "Licik kalian ini!"

   Teriak Suramenggala "terutama engkau, jahanam"

   Ia menggerakkan pandang geram kepada orang berselubung kain hitam "engkau telah menyebut namaku tetapi tak berani memberitahu namamu sendiri"

   "Bukan aku yang menyebut tetapi perawakannya yang nggi besar itu yang mengatakan. Kalau engkau takut mempunyai nama Suramenggala, buang sajalah nama itu."

   "Keparat!"

   Teriak Suramenggala makin melengking nggi "sekarang kita putuskan saja siapa yang berhak memperoleh gong itu"

   "Akhirnya memang begitu"

   Kata-orang berselubung kain hitam "lalu bagaimana caranya?"

   "Tarung"

   Seru Suramenggala.

   "Kita berempat tarung secara acak-acakan?"

   Orang berselubung kain hitam itu bertanya. Suramenggala tertegun. Demikian lelaki berkumis dan lelaki pertama yang bertubuh kekar tadi.

   "Engkau saja yang mengatakan"

   Akhirnya Suramenggala berseru kepada orang berselubung kain hitam itu.

   "Hm"

   Orang berkerudung itu mendengus "kalau kita berkelahi secara bebas, kita tentu akan berhantam acak-acakan.

   Siapa bebas menghantam siapa saja.

   Bagaimana kalau kita atur begini.

   Kita bagi dua kelompok.

   Misalnya, aku bertempur melawanmu, Suramenggala.

   Lalu si kumis lebat ini lawan dia yang pertama masuk kedalam gua ini.

   Lalu yang menang akan bertempur dengan yang menang.

   Yang menang sendiri, akan berhak mengambil gong pusaka itu.

   Setuju ?"

   Karena ada lain cara yang lebih baik dari yang diusulkan orang berselubung kain hitam itu, akhirnya mereka setuju.

   "Gua ini terlalu sempit untuk medan perkelahian"

   Kata orang berselubung kain hitam "bagaimana kalau kita langsungkan di luar saja?"

   Ke ga orang itupun setuju.

   Mereka segera melangkah keluar dan mencari sebuah tempat yang sesuai di sebuah tanah lapang yang tak berapa luas.

   Pada saat keempat orang itu keluar, ba2 dari balik batu yang terseluburig gerumbul ilalang, muncul dua sosok tubuh.

   Kedua orang itu dengan tangkas loncat menyelinap kedalam gua.

   "Kakang, cepat kita angkut gong ini agar mereka kecele"

   Kata salah seorang yang lebih muda.

   Bahkan dia terus mengangkat gong itu, dipanggul diatas bahunya lalu mengajak kawannya menyelinap keluar.

   Kedua orang itu mengambil jalan melintas gunduk2 batu yang banyak memenuhi sekeliling tempat itu.

   Ternyata mereka menyembunyikan gong itu dalam sebuah liang kemudian liang itu ditimbun dengan batu.

   Setelah itu merekapun pergi.

   Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat dua sosok tubuh tegak menghadang di tengah jalan.

   "Siapa kalian?"

   Hardik salah seorang dari kedua orang yang habis menanam gong.

   "Tepat benar"

   Kata orang "apabila kawanan anjing berebut tulang maka yang untung kucing belang"

   Salah seorang yang bertubuh besar dari kedua pendatang itu berseru. Tidak menjawab pertanyaan orang melainkan mengatakan suatu kiasan.

   "Setan, apa maksudmu !"

   Teriak orang tadi.

   "Pada saat keempat orang tadi sedang bertempur untuk memperebutkan gong, kucing belang terus melarikan gong itu. Ha, ha, cerdik benar kucing belang itu"

   "Jahanam, engkau mengintai langkah kami ?"

   Teriak orang itu.

   "Betapa lincah gerak si kucing belang, namun tak mudah lepas dari mata burung hantu yang tajam"

   "Hm"

   Dengus orang itu pula "apa kehendakmu ?"

   "Setelah diketahui, tak seharusnya kucing belang itu menelan sendiri tulang itu tetapi harus membagi kepada burung hantu."

   "Enak!"

   Gumam orang itu "kalau aku menolak ?"

   "Burung hantu terpaksa akan merebut tulang itu"

   "Bagus"

   Seru orang itu "memang telah kuduga engkau juga tergolong mereka yang hendak merebut gong itu. Syaratnya mudah saja. Laluilah kami"

   "Baik"

   Kata orang itu terus hendak melangkah maju. Tetapi ba2 kawannya berbisik "Kakang Pagon ...."

   "Jangan mencemaskan diriku, raden. Aku dapat menghadapi mereka"

   Yang disebut kakang Pagon itu menyahut dengan berbisik pelahan.

   "Hati-hati, kakang"

   Kembali kawannya yang disebut raden itu membisiki pesan. Keduanya tak lain adalah Nararya dan Gajah Pagon.

   "Hanya engkau seorang"

   Seru fihak lawan.

   "Ya"

   Sahut Gajah Pagon "kami tak pernah maju berdua. Salah seorang saja sudah dapat menyelesaikan. Tetapi silahkan kalian maju berdua."

   Kedua orang itu saling bertukar pandang dan mengangguk. Rupanya mereka menganggap persoalan malam itu harus lekas dibereskan. Mereka hendak maju serempak berdua.

   "Jika engkau menghendaki begitu, kami hanya menurut saja"

   Gajah Pagon segera mengambil sikap untuk menerima serangan.

   Dan cepat pula ia menerima serangan dari kedua lawan yang menyerang dari kanan dan kiri.

   Nararya belum tahu bagaimana kedigdayaan Gajah Pagon.

   Ia agak cemas ke ka melihat Gajah Pagon tegak sekokoh karang menghadapi kedua penyerang itu.

   Kecemasan itu segera terhapus ke ka Gajah Pagon mulai bergerak.

   Tangan kanan menangkis serangan dari kanan.

   Tangan kiri menangkis serangan dari kiri.

   Kraakk ....

   Tangan kanan Gajah Pagon yang beradu kekerasan dengan penyerang dari kanan, menimbulkan benturan tulang yang keras.

   Penyerang itu terhuyung mundur selangkah.

   Sementara tangan kiri Gajah Pagon hanya menerpa angin karena penyerang sebelah kiri itu tak mau adu kekerasan melainkan menggelincirkan tangannya ke bawah dan serempak dengan itu, tangan kirinya menghantam Gajah Pagon.

   Untunglah karena penyerang dari sebelah kanan menyurut mundur maka dapatlah Gajah Pagon mencondongkan muka dan tubuhnya ke kanan sehingga terhindar dari pukulan lawan di sebelah kiri.

   Orang di sebelah kiri itu terkejut ke ka pukulannya menemui tempat kosong.

   Secepat menarik kembali tangan kiri tangan kanannya pun terus menerpa lambung Gajah Pagon.

   Dalam pada itu penyerang dari kanan tadipun melangkah maju dan menghantam bahu Gajah Pagon.

   Gajah Pagon tak gugup karena kedua serangan itu.

   Ia menendang perut penyerang sebelah kiri kemudian loncat menghindar ke muka.

   Orang yang menyerang dari kiri tadi terkejut ketika kaki Gajah Pagon menendang perutnya.

   Cepat ia berkisar ke samping, tetapi terlambat.

   Lambugnya selamat, pangkal pahanya termakan ujung kaki Gajah Pagon.

   Orang itu mendesus kejut ke ka tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang, tepat kearah tempat Nararya berdiri.

   Apabila mau, dengan mudah Nararya dapat meringkus orang itu.

   Tetapi ia bahkan menyingkir ke samping.

   Sesaat orang itu berdiri tegak ia hendak maju menyerang lagi.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka melihat kawannya telah dikuasai Gajah Pagon...

   Ia gugup dan tegang sekali.

   Tiba2 ia mencabut belati yang terselip di pinggangnya lalu menaburkan kearah Gajah Pagon.

   Nararya terkejut sekali ke ka melihat Gajah Pagon terancam bahaya.

   Saat itu Gajah Pagon tengah meneliku tangan lawannya dan berdiri menghadap ke arah sana.

   Menurut persangkaan Nararya tentulah Gajah Pagon tak mengetahui layang bela yang dilontarkan dari belakang "Kakang Pagon, awas serangan belati dari belakang!"

   Teriaknya. Gajah Pagon terkejut sekali. Cepat ia condongkan tubuh ke samping seraya menarik tubuh tawanannya itu. Tetapi tubuh tawanannya itu agak kurang cepat bergerak sehingga bela menyambar bahunya "Aduhhh"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang itu menjerit kesakitan dan gemetar tubuhnya. Plak ... Gajah Pagon menampar orang itu hingga terkulai pingsan, kemudian ia berputar tubuh hendak menerjang orang yang melontar bela tadi. Tetapi alangkah kejutnya ke ka orang itu sudah lenyap.

   "Raden, kemanakah orang tadi?"

   Seru Gajah Pagon, Nararya tampak terperanjat juga.

   Tadi ia sedang menumpahkan perha an terhadap keselamatan Gajah Pagon.

   Dan perha annya makin terhisap ke ka melihat darah bercucuran ke tanah.

   Ia terus menghampiri hendak memeriksa keadaan Gajah Pagon.

   Tetapi segera ia hen kan langkah ke ka melihat Gajah Pagon berputar tak kurang suatu apa.

   Selama itu, iapun tak memperha kan lagi gerak gerik penyerang tadi.

   Iapun ikut terkejut mendengar pertanyaan Gajah Pagon.

   "O, dia menghilang ?"

   Serunya heran kejut. Gajah Pagon memandang kesekeliling. Tetapi ia tak dapat melihat dan mendengar suatu apa. Sekeliling empat penjuru gelap pekat.

   "Kakang Pagon"

   Kata Nararya "aku agak lengah tak memperhatikan orang itu"

   "Tak apa raden"

   Kata Gajah Pagon "kita masih menawan yang seorang"

   Orang yang pingsan itu segera ditolong. Dia tampak terkejut dan ketakutan ke ka berhadapan dengan Gajah Pagon dan Nararya. Kemudian ia teringat akan bahunya yang terluka "Ah"

   Ia mendekap bahunya untuk mengurangi rasa sakit.

   "Engkau terluka, ki sanak"

   Kata Nararya dengan nada ramah "oleh pisau kawanmu sendiri"

   "Hm"

   Orang itu mendesuh lalu memandang kian kemari seolah mencari sesuatu.

   "Kawanmu melarikan diri"

   Kata Nararya pula "tinggalkan engkau"

   Mata orang itu membelalak, dahi mengerut lipat dalam2. Namun ia tak menjawab.

   "Darah pada lukamu itu harus dihen kan"

   Kata Nararya pula "akan kurobek ujung bajumu untuk membalutnya."

   Orang itu tak menjawab melainkan mengingsut tubuh dengan sikap yang enggan.

   "Hm, rupanya engkau sayang bajumu yang bagus"

   Kata Nararya pula "baiklah"

   Ia terus merobek ujung bajunya lalu tanpa bertanya apa2, ia-terus membalut luka pada bahu orang itu. Orang itupun diam saja dan membiarkan bahunya dibalut. Rupanya setelah dibalut rasa sakit pada lukanya itupun berkurang.

   "Terima kasih"

   Kata orang itu "siapakah ki sanak ini? Mengapa ki sanak menolong aku?"

   "Menolong orang yang menderita kesusahan, bukan harus mempunyai sebab apa2. Melainkan suatu kewajiban insan manusia"

   Kata Nararya "aku seorang kelana yang sedang berlelana-brata.

   Tak sengaja kulihat ki sanak berdua dengan kawan ki sanak tadi menuju ke lembah ini.

   Malam hari menuju kesebuah lembah yang gelap dengan membekal senjata, tentulah mempunyai tujuan tertentu.

   Timbul kecurigaanku dan lalu mengikuti jejak ki sanak berdua sampai di tempat ini"

   "O, jika demikian"

   Kata orang itu "ki sanak tentu mengetahui ndakanku masuk kedalam gua tadi ?"

   Nararya mengiakan.

   "Dan tahu aku mengangkut gong itu keluar"

   "Ya"

   "Lalu apa maksud ki sanak menghadang kami berdua?"

   "Ke ka berkelana di telatah Daha, pernah kudengar tentang hilangnya gong pusaka Empu Bharada dari desa Lodoyo. Karena melihat ki sanak membawa gong, maka mbullah keinginanku untuk mengetahui gong itu"

   "Jika gong itu benar gong pusaka Empu Bharada lalu apa tujuan ki sanak"

   Tanya orang itu.

   "Aku hanya ingin tahu, hendak ki sanak pengapakankah gong pusaka itu? Menurut keterangan yang kuperoleh, gong pusaka itu milik kerajaan Singasari. Apabila sampai dilarikan orang yang tak bertanggung jawab, Singasari tentu menderita kehilangan besar"

   "O, maksud andika hendak mengembalikan gong pusaka itu kepada Singasari?"

   "Se ap benda tentu ada pemiliknya. Karena gong pusaka itu milik Singasari sudah selayaknya kalau kembali kepada Singasari"

   Kata Nararya.

   "Apakah andika ini kawula Singasari?"

   Tanya orang itu agak tegang.

   "Aku berasal dari desa di kaki gunung Kawi. Dan Kawi itu termasuk telatah Singasari"

   Jawab Nararya pula. Ia memperhatikan bahwa wajah orang itu tampak mulai cerah.

   "Bagus"

   Seru orang itu "jika sejak tadi andika mengatakan demikian tentu tak sampai terjadi peristiwa perkelahian diantara kita"

   Nararya terkejut dalam ha . Namun ia menekan perasaannya "O, apakah ki sanak juga dari Singasari?"

   Tanyanya dengan mencerahkan wajah.

   "Ya"

   Orang itu mengiakan "namaku Seta Arang, lurah prajurit kepatihan"

   "Kepatihan mana ?"

   "Singasari"

   Kata Seta Arang "aku diutus gusti patih untuk menaruh gong itu ke dalam gua."

   Nararya terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya akan keterangan orang itu "Ki Seta mengatakan diutus gusti patih untuk menempatkan gong itu ke dalam gua?"

   Ia menegas.

   "Ya"

   Nararya membelalak "Tetapi mengapa ki Seta mengambilnya pula ?"

   Sebenarnya Seta Arang telah dipesan wan 2 oleh atasannya supaya jangan menceritakan peris wa itu kepada siapapun juga.

   Dan jangan mudah percaya pada orang.

   Tetapi demi rasa menerima kasih atas pertolongan Nararya, kemudian mendengar keterangan pemuda itu dan memperha kan wajah pemuda itu bersinar terang, tanda bukan seorang jahat, mbullah kesan yang baik dalam ha nya "Apa salahnya kuberitahu persoalan itu ? Dia juga seorang pemuda dari telatah Singasari yang ingin mendapatkan gong itu untuk diserahkan kepada kerajaan Singasari"

   Pikirnya.

   "Agar orang2 yang bertempur itu kacau"

   Kata Seta Arang. Nararya tegang sekali. Namun ia tetap berusaha sekuatnya untuk menenangkan diri. Dengan nada ramah ia seolah sambil lalu "O, mengapa hendak mengacau mereka?"

   "Mereka adalah kawanan serigala dari Daha yang amat bernafsu sekali mendapatkan gong pusaka itu"

   Kata Sera Arang "oleh karena itu gus pa h hendak memancing di air keruh. Hendak mengetahui siapa-siapakah senopati Daha yang terlibat dalam peristiwa hilangnya gong Prada itu"

   "O, maksud ki Seta, gong pusaka itu hanya sebagai umpan agar mereka datang ke lembah ini?"

   "Benar"

   Kata Seta Arang "dengan demikian kita dapat mengetahui siapa2 mereka itu"

   "Ah"

   Nararya pura2 menghela napas "apakah permainan itu tidak berbahaya?"

   "Misalnya?"

   Seta Arang menegas.

   "Misalnya mereka dak bertempur diluar guha, ataupun serang menyerang diantara keempat orang itu berakhir dimenangkan oleh orang yang terakhir, bukankah gong itu akan diperolehnya?"

   Seta Arang tertawa "Bukankah aku dan kawanku itu sudah siap menerkam orang itu apabila dia berhasil memperoleh gong Prada"

   "Ah, benar"

   Seru Nararya.

   "Andaikata ki Seta berdua kalah, maaf, ini hanya pengandaian saja, dakkah gong pusaka itu akan dibawa mereka ?"

   Ba2 Gajah Pagon yang sejak tadi berdiam diri, saat itu ikut menyelutuk bicara. Seta Arang tertawa "Dalam hal itu, gus pa h sudah mengatur rencana dengan cerdik. Gong itu sesungguhnya bukan gong Prada ..."

   "Hai!"

   Nararya dan Gajah Pagon berteriak kaget "apa katamu ki Seta?"

   "Gus pa h seorang yang cerdik, cermat dan pandai mengatur siasat. Gong itu sebenarnya benda dari keraton Singasari, bukan gong Prada"

   "Lalu dimanakah gong Prada itu?"

   Nararya mulai tegang "kita wajib merebut dan menyelamatkan dari tangan orang2 yang tak bertanggung jawab"

   Melihat kesungguhan sikap Nararya dalam perjuangannya hendak mendapatkan gong Prada guna diserahkan kepada kerajaan Singasari, kesangsian Seta Arang makin menipis.

   Nararya dan Gajah Pagon terkejut.

   Diam2 mereka memuji kecerdikan pa h Singasari itu.

   Nararya kemudian bertanya lebih lanjut, apa ndakan pa h Singasari setelah mengetahui siapa2 yang terlibat dalam peristiwa gong pusaka itu.

   "Entahlah"

   Seta Arang mengangkat bahu "aku hanya menerima perintah saja. Semua rencana diatur dan diputuskan oleh gusti patih"

   "Kecuali Suramenggala yang telah dikenal sebagai orang pangeran Ardaraja, lalu siapakah ke ga orang yang lain itu?"

   Tanya Nararya. Seta Arang terkedap "Ya. Hampir aku lupa akan tugas itu. Setelah menyembunyikan gong dari keraton Singasari, aku diperintahkan untuk mengiku jejak mereka yang belum diketahui sumbernya"

   "Jika begitu, silahkan ki Seta menjenguk mereka2 yang sedang bertempur itu"

   Kata Nararya.

   "Ki sanak"

   Kata Seta Arang "apakah kalian benar2 hendak berjuang untuk kepentingan Singasari'"

   Nararya menyatakan dengan tegas bahwa dia dan kawannya memang sedang berusaha untuk mencari gong pusaka itu untuk dihaturkan ke Singasari.

   "Jika demikian, bantulah aku"

   Kata Seta Arang "mari kita ringkus orang2 yang sedang bertempur itu"

   Seta Arang, Nararya dan Gajah Pagon segera mencari ke tempat pertempuran. Tetapi mereka tak mendengar suara apa2. Sunyi senyap diseluruh lembah.

   "Aneh"

   Gumam Seta Arang "kemanakah mereka? Apakah pertempuran sudah selesai?"

   "Kita periksa ke dalam guha"

   Kata Nararya. Tetapi dalamguha itupun sunyi senyap. Makin meningkat keheranan mereka "Ah, adakah mungkin mereka....."

   Ba2 Seta Arang bergegas melangkah keluar. Nararya dan Gajah Pagon tercengang tetapi mereka terpaksa mengikuti. Ternyata Seta Arang menuju ke gunduk karang tempat ia menanam gong tadi.

   "Hai"

   Ba2 Seta Arang menjerit. Ia tegak termangu-mangu memandang sebuah liang dibawah gunduk batu karang.

   "Oh"

   Nararyapun mendesuh kejut ke ka ba di-tempat itu "apakah ki Seta menanamnya dalam liang itu?"

   Tanyanya kemudian.

   "Ya"

   Masih gemetar nada suara Seta Arang "liang itu telah dibongkar orang"

   Ia maju menghampiri untuk memeriksa lebih jauh. Nararya danGajah Pagonpun ikut menghampiri "Bagaimana, ki Seta?"

   Tegur Nararya.

   "Gong itu telah hilang diambil orang"

   Kata Seta Arang "jelas kutanam disini dan jelas pula telah dibongkar orang"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa ?"

   Tanya Gajah Pagon "apakah salah seorang dari keempat orang yang bertempur itu?"

   "Mungkin"

   Jawab Seta Arang.

   "Tetapi kemungkinan itu pis"

   Sambut Nararya "jika salah seorang dari mereka, berar pertempuran itu telah selesai dan dimenangkan oleh salah seorang.

   Mungkin Suramenggala, mungkin orang yang mukanya berselubung kain hitam, mungkin orang yang berkumis dan mungkin yang seorang itu lagi.

   Dan se ap pertempuran selesai, tentu akan meninggalkan korban.

   Entah dalam keadaan terluka atau mungkin ma .

   Tetapi jelas penyelidikan kita tadi tak berhasil menemukan mereka.

   Mereka lenyap seperti ditelan bumi"

   "Ya, benar"

   Kata Seta Arang "lalu siapakah yang melakukan pembongkaran itu ?"

   "Ada suatu kemungkinan yang besar kemungkinannya"

   Kata Nararya pula "yalah mereka menyadari kalau pertarungan itu tak berguna. Mereka damai lalu sama2 kembali ke guha. Karena tak menemukan gong pusaka mereka lalu menyelidiki sekitar tempat ini dan dapat melihat kita bertempur ...."

   "Senjata makan tuan"

   Teriak Seta Arang serentak "aku dan kawanku mengambil gong itu ke ka mereka sedang bertempur. Kini mereka mengambil gong itu lagi pada saat kita sedang bertempur ah ....."

   "Jangan terburu menarik kesimpulan dulu, ki Seta"

   Seru Gajah Pagon "apa yang dikatakan kawanku itu baru suatu dugaan. Dan apakah benar demikian masih perlu kita uji. Misalnya, jika mereka berempat benar telah membongkar liang itu, mengapa sama sekali kita tak mendengar suara apa2?"

   "Karena perhatian kita sedang tercurah pada pertempuran tadi"

   Sahut Seta Arang.

   "Yang bertempur hanya kita ber ga tetapi kawanku itu dak. Tentu dia dapat menangkap suara langkah kaki orang. Apalagi gerakan senjata membongkar tanah tentu menimbulkan suara cukup keras"

   "Engkau benar, kawanku"

   Seru Nararya "apabila kemungkinan itu lemah maka ada lain kemungkinan yang lebih mungkin daripada hadirnya seseorang yang tak kita ketahui. Orang itulah yang dapat memanfaatkan keadaan yang paling menguntungkan. Ha, ha, ha"

   Seta Arang dan Gajah Pagon heran melihat Nararya tertawa geli "Mengapa engkau tertawa ki Nararya?"

   Tegur Seta Arang.

   "Aku geli ki Seta"

   Sahut Nararya "dulu ke ka mendengar peris wa semacam ini, akupun tertawa karena tak percaya. Kuanggap orang yang bercerita itu hanya bergurau. Tetapi kini ternyata memang ada. Maka akupun tertawa. Bukan tawa tak percaya tetapi tawa percaya"

   "Soal apakah itu ?"

   Desak Seta Arang.

   "Pencuri kecurian"

   Seru Nararya "inilah yang diceritakan orang itu dan yang kita alami saat ini"

   Mendengar itu Seta Arang dan Gajah Pagon ikut tertawa.

   Beberapa saat kemudian, Nararya berkata "Dikata mencuri, sebenarnya kurang tepat.

   Karena ki Seta hendak mengambil benda yang ditaruh dalam guha itu.

   Pencuri sesungguhnya adalah orang itu.

   Dan dia tentu seorang yang berilmu, cerdik pula"

   Seta Arang menghela napas "Ah, gus pa h tentu akan marah kepadaku. Aku telah menghilangkan kepercayaan gusti patih ..."

   "Ah, gus pa h tentu cukup bijaksana untuk menimbang peris wa ini. Bukan salahmu, ki Seta. Engkau telah melakukan tugasmu dengan baik. Hanya ...

   "

   "O, engkau tak tahu siapa gus pa h itu"

   Tukas Seta Arang "dia pas marah karena aku sampai menghilangkan gong dari istana Singasari"

   "Ki Seta"

   Kata Nararya "siapakah gusti patih yang menitahkan engkau itu?"

   "Eh, apakah engkau belum tahu siapa patih kerajaan Singasari?"

   Nararya tertegun sejenak "Maaf, ki Seta, aku berasal dari desa dilereng gunung Kawi dan baru pertama kali ini lelana-brata.

   Ke ka masih di desa, ayahku dan beberapa orangtua disitu mengatakan bahwa patih kerajaan Singasari itu adalah mentri sepuh empu Raganata"

   "O"

   Seta Arang tertawa "engkau benar2 ke nggalan jeman. Engkau masih bermimpi di siang hari."

   Sebenarnya Nararya sudah mengetahui siapa patih itu namun ia harus bersikap tak tahu.

   "Pa h kerajaan Singasari yang sekarang ini adalah gus pa h Kebo Anengah dan gus pa h Aragani"

   "O, Singasari mempunyai dua orang patih ?"

   Nararya mencetuskan keheranan.

   Seta Arang tertawa pula "Jangan engkau heran, ki Nararya.

   Kerajaan Singasari sebuah kerajaan yang besar dan luas.

   Dan baginda Kertanagara mengandung cita2 yang besar pula untuk mempersatukan nuswantara.

   Dan untuk melaksanakan itu dibutuhkan suatu pemerintahan yang kuat, baik dalam lingkungan ketata- prajaan maupun ketentaraan sebagai tulang punggung.

   Itulah sebabnya baginda perlumengangkat dua orang pa h.

   Gus pa h Kebo Anengah sebagai pa h-luar, mengurus pasukan dan daerah2 seberang.

   Gus pa h Aragani sebagai pa h-dalam yang mengurus soal2 pemerintahan"

   "Lalu siapakah yang menitahkan andika ?"

   Akhirnya tiba pula Nararya pada pertanyaan itu. Tanpa bersangsi lagi Seta Arang mengatakan "Aku orang bawahan gusti patih Aragani"

   "O"

   Seru Nararya agak terkejut dalam ha .

   Kini barulah ia tahu bahwa peris wa hilangnya gong Prada itu telah sampai juga di Singasari "tetapi ki Seta, apakah ndakan gus pa h mengutus andika ini, atas kebijaksanaan gusti patih sendiri ataukah atas titah baginda?"

   Seta Arang merenung sejenak lalu menjawab "Aku tak tahu dengan pas .

   Tetapi kemungkinan atas kebijaksanaan gus pa h Aragani sendiri.

   Mungkin gus pa h Aragani belum memandang perlu untuk menghaturkan laporan kehadapan baginda.

   Mungkin karena gus pa h menganggap dapat mengatasi persoalan itu sendiri"

   "Adakah ki Seta mempunyai alasan untuk penilaian itu?"

   "Bagaimana maksudmu ?"

   Seta Arang balas bertanya.

   "Bahwa ndakan yang andika lakukan ini hanya dari kebijaksanaan gus pa h Aragani dan bukan dari titah baginda"

   Nararya menjelaskan.

   "Apabila sudah diketahui baginda, tentulah baginda akan mengeluarkan tah untuk melakukan pencarian gong itu secara besar-besaran. Misalnya, dengan mengerahkan pasukan kerajaan. Nyatanya, tugas yang kulakukan ini, bersifat rahasia"

   "O,"

   Nararya mengangguk "mengapa gus pa h tak menghendaki peris wa itu diketahui baginda sehingga baginda dapat menurunkan tah mencari gong itu secara giat ? Bukankah ndakan begitu, akan lebih memudahkan dan mempercepat diketemukannya gong pusaka itu?"

   "Mungkin gus pa h tak menghendaki penghamburan tenaga dari pasukan Singasari dan lebih baik pencarian itu dilakukan secara diam2. Menghemat tenaga tetapi hasilnya lebih banyak"

   "Menghamburkan tenaga pasukan Singasari? Bukankah dengan kekuatan sebuah pasukan, pencuri itu tentu ketakutan dan akan menyerahkan gong pusaka?"

   Seta Arang tertawa.

   "Engkau terlalu polos anakmuda"

   Katanya "

   Dakkah engkau dapat menduga apa sebab gus patih memerintahkan aku melakukan rencana ini?"

   Nararya gelengkan kepala sebagai pertanda tak tahu.

   "Adalah karena gus pa h Aragani belum mengetahui dimanakah beradanya gong pusaka itu dan siapakah pencurinya"

   "O"

   Desuh Nararya "benar, benar. Apabila sudah tahu tentulah gus pa h segera menggerakkan pasukan untuk mendapatkannya, bukan?"

   Seta Arang mengangguk-angguk tertawa.

   "Tetapi masih ada sebuah pertanyaan lagi, ki Seta. Adakah ki Seta merasa jemu atas kebodohanku ini?"

   Watak manusia memang senang dianggap lebih pandai dan lebih tahu dari orang lain, terutama lawan cakapnya. Seta Arangpun terbuai dalam perasaan itu.

   "Sudah tentu aku tak jemu, ki Nararya. Ajukanlah pertanyaanmu"

   "Bagaimana peris wa hilangnya gong Prada itu sampai terdengar gus pa h Aragani?"

   Tanya Nararya.

   "Ya, pertanyaan itu memang tepat juga"

   Kata Seta Arang "sebenarnya aku harus mencurigai engkau, anakmuda"

   "Aku? Mengapa ki Seta?"

   Nararya agak terkejut.

   "Karena pertanyaanmu itu bersifat suatu penyelidikan yang layak dilakukan oleh seorang mata- mata."

   Nararya terkejut tetapi cepat ia menghapusnya dengan tertawa "Ah, andika berolok, ki Seta. Bagaimana orang seperti diriku, sesuai menjadi mata-mata? Tahu keadaan diluar pun baru pertama kali ini."

   Seta Arang tertawa.

   "Karena itulah maka kuhapus kecurigaanku. Karena kuanggap engkau seorang kawula Singasari yang hendak berusaha untuk mencari gong pusaka itu, maka akupun bersedia juga untuk menceritakan sesuatu,tentang yang engkau tanyakan itu."

   "Terima kasih, ki Seta"

   Buru2 Nararya berkata "namun apabila tuan terikat oleh wajib dalam tugas tuan, tak perlulah ki Seta menjawab pertanyaanku itu. Itu tak penting hanya sekedar menambah pengetahuan saja. Tidak sangat penting"

   "Seta Arang tak suka berbuat kepalang tanggung. Sudah terlanjur menaruh kepercayaan kepadamu, mengapa aku tak mau percaya penuh?"

   Seta Arang tertawa.

   "Terima kasih, ki Seta"

   "Mula bukanya begini"

   Seta Arang mulai bercerita "pada suatu hari seorang pemuda tak dikenal telah masuk ke halaman Balai Witana tempat para prajurit Singasari berkumpul.

   Pemuda itu hendak mencari bekel Kalingga.

   Kebetulan yang berhadapan dengan pemuda itu juga bernama bekel Lingga tetapi bukan Kalingga ...."

   "O"

   Nararya berdebar.

   "Karena nama hampir sama, maka pemuda itupun salah dengar dan menyerahkan sepucuk surat dari pangeran Ardaraja?"

   "O"

   Nararya makin berdebar-debar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan ha nya "surat dari pangeran Ardaraja?"

   "Ya"

   Jawab Seta Arang.

   "Kepada siapakah surat pangeran Ardaraja itu ?"

   "Pemuda itu tak mengatakan apa2 hanya dipesan pangeran Ardaraja supaya menyerahkan surat itu kepada bekel Kalingga"

   "Siapakah pemuda itu? Apakah bekel Lingga masih mengenalnya?"

   Tanya Nararya pula.

   "Bekel Lingga tidak mengenal dan tidak mengingatnya lagi"

   Kata Seta Arang.

   Diam2 Nararya menghela napas longgar.

   Ia tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu karena pemuda itu bukan lain adalah dirinya sendiri.

   Tetapi kelonggaran perasaannya itu segera disusul dengan rasa keluh dan sesal.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kini jelas bahwa ia telah salah menerimakan surat dari pangeran Ardaraja itu kepada bekel yang tak berhak menerima.

   "Setan bekel itu"

   Gumamnya dalam ha . Tetapi secepat itu pula ia menghen kan kegeramannya kepada bekel "yang salah adalah aku sendiri mengapa tak cermat menerimakan surat kepada orang"

   Nararya selalu memelihara jiwa besar dari seorang ksatrya.

   Se ap kesalahan, se ap kekhilafan yang dilakukannya, tak mau ia mencari-cari kambing hitam kepada lain orang.

   Tak mau ia menciptakan dalih alasan untuk membela diri.

   Selalu ia mengakui kesalahan itu adalah kesalahannya sendiri.

   Ia menganggap, kesalahan itu bukan suatu hal yang memalukan, tetapi suatu cermin pelajaran yang baik, untuk memperbaiki langkah2 perbuatannya lebih lanjut.

   Dan berani mengakui kesalahan itu, adalah sifat seorang ksatrya yang jujur perwira.

   Manusia tak lepas dari kesalahan, betapapun sempurnanya.

   Bahkan dewapun ada kalanya tak terhindar dari kesalahan.

   Manusia yang tak mau mengakui kesalahan apabila dia salah, termasuk bukan manusia yang wajar.

   Juga bukan golongan dewa.

   Melainkan manusia yang berjiwa setan kerdil.

   Atau setan kerdil yang bertubuh manusia.

   "Lalu lepada siapakah surat itu bekel Lingga menyerahkannya? Atau adakah ia menyimpannya sendiri?"

   Nararya mengajukan pertanyaan lagi. ;

   "Kala menerima surat yang menurut pemuda itu dari pangeran Ardaraja, bekel Lingga gelisah sekali. Ia tak merasa mempunyai hubungan apa2 dengan pangeran dari Daha itu. Akhirnya setelah berunding dengan kawannya, bekel Lingga menyerahkan surat itu kepada gusti patih Aragani"

   "O"

   Desuh Nararya "itukah sebabnya maka gus pa h mengetahui tentang hilangnya gong Prada ?"

   Tiba2 Seta Arang kerutkan dahi "Eh, anakmuda, mengapa engkau cepat dapat menduga bahwa surat dari pangeran Ardaraja itu berisi berita tentang hilangnya gong Prada ?"

   Nararya terkejut. Ia menyadari kalau terlalu maju bertanya daripada apa yang harus diketahui. Memang hal itu dapat menimbulkan kecurigaan orang "Ah, aku hanya menduga saja. Hal itu kuhubungkan dengan tindakan gusti patih mengutus engkau, ki Seta"

   Rupanya alasan itu-dapat diterima Seta Arang.

   Berkata orang kepercayaan pa h Aragani itu "Engkau menduga tepat, anakmuda.

   Setelah menerima surat dari pangeran Ardaraja itu, gus pa h terkejut.

   Pertama, baru diketahuinya bahwa gong Prada yang tersimpan di Candi Lodoyo telah hilang.

   Kedua, gus pa h mengetahui bahwa pangeran Ardaraja ternyata mempunyai orang di pemerintahan Singasari.

   Untuk pengungkapan yang pertama, gus pa h telah mengatur rencana dan memerintahkan aku menyebarkan berita di kalangan senopa dan mentri Daha tentang diketahuinya tempat penyimpanan gong Prada yang hilang itu.

   Dengan meneli siapa2 yang datang ke gua ini dapatlah kita ketahui siapa2 yang terlibat dalam peristiwa hilangnya gong pusaka itu"

   "O, gusti patih Aragani sungguh cerdik sekali"

   Puji Nararya.

   "Dan untuk hal yang kedua, gus pa h pun berusaha untuk mengungkap, siapakah orang kepercayaan yang ditanam pangeran Ardaraja dalam tubuh pemerintahan Singasari itu"

   "O"

   Berulang kali Nararya hanya mendesuh saja karena mendengar kejutan2 dalam penuturan Seta Arang itu "berhasilkah gusti patih mengetahui orang itu ?"

   Seta Arang gelengkan kepala "Entah, aku tak tahu.

   Gus pa h tak memberitahukan hal itu kepadaku.

   Dan memang menjadi garis pedoman kerja gus pa h bahwa se ap orang yang dipercayakan untuk melaksanakan suatu rencananya, hanya terbatas pada apa yang harus dilakukan dan apa yang dilakukan itu.

   Lain2 hal, gusti patih tak pernah akan memberi tahu"

   "Sungguh cermat sekali cara kerja gusti patih Aragani itu"

   Kembali Nararya memuji.

   "Menghadapi seorang atasan seper gus pa h Aragani itu, dakkah aku layak mengeluh karena telah menghilang gong dari keraton Singasari itu?"

   Nararya mengangguk tanpa menyatakan apa2.

   "Lalu bagaimanakah tindakan ki Seta sekarang?"

   Tanya Nararya sesaat kemudian. Seta Arang menghela napas "Itulah justeru yang menjadi pikiranku."

   Tiba2 Gajah Pagon menyelutuk "Tiada jalan lain bagi ki Seta kecuali harus kembali ke Singasari"

   "Mengapa?"

   Seta Arang terkesiap.

   "Karena bukankah kawan ki Seta yang tadi telah lolos? Dia tentu kembali ke Singasari menghadap gusti patih Aragani"

   "Ya, benar ki Seta"

   Nararya ikut berkata "tetapi kurasa hal itu akan meringankan beban ki Seta. Dengan kesaksian kawan ki Seta itu, gus pa h tentu percaya bahwa hilangnya gong dari istana Singasari itu diluar dari dugaan dan penjagaan ki Seta. Tetapi ki Seta"

   Ba2 Nararya bertanya "siapakah kawan ki Seta yang lolos tadi ?"

   "O, dialah bekel Lingga itu"

   "Bekel Lingga yang menerima surat dari pemuda itu?"

   Ulang Nararya terkejut. Seta Arang mengangguk "Mengapa tampaknya engkau terkejut, anakmuda?"

   Ah, diam2 Nararya mengeluh pula. Sudah dua kali ini Nararya kurang ha 2, terlalu diburu nafsu sehingga menimbulkan kecurigaan Seta Arang. Diam2 ia menyesali dirinya mengapa kurang tenang.

   "Ah, aku dirangsang rasa heran, ki Seta"

   Kata Nararya "mengapa bekel Lingga juga diutus gus patih melakukan rencana ini"

   "Mengapa heran?"

   "Bukankah menurut keterangan andika tadi, bekel Lingga itu lurah prajurit bhayangkara-luar. Tidakkah bekel itu harus bertugas menjaga keamanan keraton?"

   Kembali Nararya dapat mencari dalih yang baik sehingga hapus pula kecurigaan Seta Arang.

   Lurah bawahan pa h Aragani itu tertawa "Engkau harus tahu akan pengaruh gus pa h Aragani.

   Dari bhayangkara sampaikepada para mentri dan senopa .

   Dari pimpinan yang bertanggung jawab akan keselamatan keraton sampai pada dayang2, gusti patih mempunyai orang kepercayaan"

   "Jika demikian tentulah bekel Lingga itu orang dari gusti patih juga"

   "Ya"

   Kata Seta Arang dengan nada membangga "waktu ini siapakah yang berani tak tunduk pada perintah gusti patih Aragani"

   "Bukankah masih ada seorang gus lain yani gus pa h Kebo Anengah? Apakah kekuasaan gus patih Kebo Anengah itu kalah dengan gusti patih Aragani"

   Tanya Nararya pula.

   "Diluar, gusti patih Kebo Anengah lebih berpengaruh terutama di kalangan prajurit kerajaan. Tetapi di dalam pemerintahan dan keraton, gusti patih Aragani lah yang lebih berkuasa. Dan jangan lupa. Bahwa orang yang paling berkuasa di Singasari itu adalah baginda Kertanagara. Pada hal gusti patih Aragani erat sekali hubungannya dengan baginda. Sedang gusti patih Kebo Anengah sering ke luar daerah."

   "O"

   Desuh Nararya diam2 mencatat dalam hati.

   "Sekarang aku akan kembali ke Singasari. Memang apa yang dikatakan ki Pagon itu benar. Mau tak mau aku harus menghadap gusti patih Aragani karena hal itu tentu sudah dilaporkan oleh bekel Lingga"

   Kata Seta Arang lalu menanyakan kemanakah Nararya dan Gajah Pagon hendak menuju "apabila kalian suka, akan kubawa kalian menghadap gusti patih Aragani. Kupercaya gusti patih tentu senang sekali menerima bantuan tenaga kalian"

   "O, terima kasih, ki Seta"

   Sahut Nararya "pertama, aku masih belum menyelesaikan lelana-brata sebagaimana di tahkan oleh ayahku.

   Kedua, gong pusaka empu Bharada itu belum diketemukan.

   Biarlah kita tetap begini.

   Ki Seta bergerak mencari sebagai rombongan prajurit Singasari dan aku akan berusaha sebagai rakyat biasa.

   Rasanya gerak-gerikku tentu lebih leluasa karena tak mudah menimbulkan kecurigaan orang.

   Terutama pencuri gong pusaka itu"

   "Hm, ya benar"

   Kata Seta Arang "memang sukar agaknya apabila pencarian gong itu dilakukan secara resmi. Karena pencurinya seorang yang cerdik dan licin. Hanya dengan melakukan penyelidikan secara berselubung, tentu akan lebih memberi hasil"

   Demikian Seta Arang segera berpisah. Dia pulang ke Singasari. Sementara Nararya pun masih termenung di lembah itu.

   "Aneh, memang aneh sekali kakang Pagon"

   Ia menghela napas "kemanakah keempat orang yang bertempur tadi? Dan siapakah yang mengambil gong yang disembunyikan Seta Arang itu?"

   "Raden, apabila pandanganku tak salah, agaknya raden terkejut dan tegang ke ka Seta Arang menceritakan tentang seorang pemuda yang menyerahkan surat dari pangeran Ardaraja kepada bekel Lingga. Apakah sebabnya, raden?"

   "Tajam sekali pengamatanmu, kakang Pagon"

   Nararya memuji "ya, memang dalam bagian itu, aku belum menuturkan kepadamu"

   Ia lantas menceritakan pengalamannya membawa titipan surat dari pangeran Ardaraja untuk diterimakan pada bekel bhayangkara keraton Singosari yang bernama Kalingga.

   Karena antara Kalingga dan Lingga itu hampir sama, maka tanpa disadari ia telah menyerahkan pada bekel Lingga.

   Dan salah alamat itu telah menimbulkan peristiwa yang terjadi di guha situ.

   Gajah Pagon tertawa "Raden tak perlu harus menyesalkan diri karena kekhilafan itu.

   Karena surat itulah maka patih Aragani bertindak.

   Dan karena patih Aragani bertindak, maka dapatlah kita ketahui bahwa gong pusaka itu kini merupakan suatu benda yang diselubungi rahasia.

   Di manakah gong pusaka itu, tiada orang yang tahu.

   Tidak pangeran Ardaraja, tidak patih Aragani.

   Juga tidak fihak yang telah mengutus beberapa pengalasan tadi"

   Nararya mengangguk "Menurut hematku, rupanya ada lagi suatu fihak yang menceburkan diri dalam air keruh yang membenam gong Prada. Adakah dia.."

   Gajah Pagon heran karena Nararya ba2 menghen kan kata-katanya dan merenung. Karena sampai beberapa saat belum juga Nararya melanjutkan kata2 aya Gajah Pagon segera bertanya "Siapakah gerangan yang raden maksudkan itu ?"

   Nararyapun lalu menceritakan tentang Lembu Peteng yang saat itu sengaja menyusup ke dalam gerombolan gunung Butak yang dipimpin oleh Pasirian.

   "O, raden maksudkan Pasirian itukah?"

   "Sekurang-kurangnya dia patut diduga begitu"

   Kata Nararya "sayang kita tak dapat mengiku jejak keempat orang yang bertempur tadi"

   "Selain pemimpin gerombolan gunung Butak yang bernama Pasirian itu, apakah masih terdapat lain2 fihak atau orang yang patut diduga?"

   "Ada"

   "Siapa ?"

   "Bekel dari Daha yang bernama Sindung. Dialah yang memerintahkan anakbuahnya untuk mengambil gong pusaka itu. Kemudian ia mengatur rencana agar anakbuah yang mengambil gong itu saling bunuh membunuh sendiri. Dengan demikian rahasia pencurian gong pusaka itu dapat terjamin tiada diketahui orang"

   "Jika demikian"

   Kata Gajah Pagon "langkah penyelidikan kita baiklah ditujukan kepada kedua tempat itu"

   Nararya mengangguk.

   Kemudian keduanya segera nggalkan lembah, pulang ke gua Selamangleng.

   Ternyata kehadiran Nararya dan Gajah Pagon di lembah itu karena mendapat laporan dari bekel Saloka.

   Bahwa ke ka ia menjadi tenaga upahan sebagai pelayan dalam perjamuan di gedung kediaman tumenggung Sagara Winotan, ia dapat mengumpulkan beberapa berita penting.

   Seper sengaja disiarkan orang, maka dalam perjamuan itu ramai juga dibicarakan tentang kabar2 yang menyatakan bahwa gong pusaka telah disimpan di sebuah gua rahasia di gunung Polaman.

   "Bekel Saloka berusaha menyelidiki sumber dari yang menyiarkan berita2 itu tetapi tak berhasil menemukannya. Berita itu cukup santer dan ramai menjadi buah pembicaraan tetapi tak diketahui darimana sumber pembicaraan itu. Dan orang2 yang membicarakan gong pusaka itu, lebih banyak terpikat beritanya mengenai tempat gong pusaka itu daripada mencari tahu sumber pemberitaannya. Hanya sepanjang pengamatan bekel Saloka selama perjamuan peralatan nikah itu berlangsung, ia mendengar juga tentang hadirnya utusan dari baginda Kertanagara dan seorang pengalasan yang mewakili patih Aragani.

   "Jika demikian apakah dak mungkin pengalasan pa h Aragani itu yang sengaja membocorkan berita tersebut. Hal itu disesuaikan dengan keterangan Seta Arang yang mengatakan bahwa pa h Aragani memang mengatur siasat untuk memperangkap siapa2 yang terlibat dalam peris wa gong pusaka itu"

   Kata Nararya.

   Baik bekel Saloka maupun Gajah Pagon menyetujui dugaan itu.

   Sementara Nararya dan orang2 Lodoyo tengah memperbincangkan peris wa2 aneh yang terjadi disekitar hilangnya gong pusaka Empu Bharada, beberapa hari yang lalu, tepatnya keesokan hari setelah bekel Kalingga dibunuh pa h Aragani, maka di kalangan keraton Singasari pun mbul kegelisahan.

   Tetapi kegelisahan itu hanya dialami oleh seorang bhayangkara yang berpangkat bekel, yakni bekel Mahesa Rangkah.

   Dialah yang memberi cupu atau kotak kecil berisi ular weling kepada bekel Kalingga yang dipanggil menghadap pa h Aragani.

   Keesokan harinya ke ka ia mencari bekel Kalingga untuk bertanya tentang hasil pembicaraannya dengan pa h Aragani, ternyata bekel Kalingga telah lenyap.

   Lenyapnya seorang lurah prajurit bhayangkara tentu akan menimbulkan kehebohan besar, paling dak tentu akan menimbulkan pembicaraan ramai.

   Tetapi kenyataan dak demikian.

   Seolah lenyapnya bekel Kalingga itu hanya seper tumbangnya pohon kedalam laut, hilang lenyap kedasar air.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan tahu2 pula pimpinan prajurit bhayangkara dalam telah digan oleh bekel Denta.

   Pengangkatan itu dilakukan begitu saja oleh patih Aragani.

   Bekel Rangkah heran dan terkejut.

   Heran mengapa bekel Kalingga lenyap, terkejut karena ndakan pa h Aragani.

   Prajurit2 bhayangkara merupakan kelompok prajurit yang bertanggung jawab atas keselamatan baginda dan seisi keraton.

   Mereka merupakan prajurit pilih tanding yang telah melalui penyaringan keras.

   Baik tentang kedigdayaan, keberanian dan kesetyaan terutama.

   Tidak mudah diangkat sebagai prajurit bhayangkara, lebih2 sebagai bekel bhayangkara.

   Harus melalui ujian pengabdian yang nyata.Itulah sebabnya bekel bhayangkara Mahesa Rangkah heran mengapa hilangnya bekel Kalingga sesepi angin lalu saja.

   "Hai, Rangkah, mengapa engkau termenung-menung disitu. Adakah tugasmu sudah selesai ?"

   Tiba2 Mahesa Rangkah dikejutkan oleh sebuah suara yang menegurnya. Cepat ia berpaling.

   "Ah, kakang menggung"

   Mahesa Rangkah bersenyum longgar ke ka melihat bahwa yang menegurnya itu tumenggung Bandupoyo, bhayangkara-pendamping dari seri baginda Kertanagara "habis turun dari penjagaan di keputren, kakang menggung"

   Tumenggung yang bertubuh gagah perkasa dan menjabat sebagai pengawal peribadi baginda Kertanagara berkata pula "Agaknya ada sesuatu yang engkau pikirkan Rangkah?"

   Antara bekel Mahesa Rangkah yang mengepalai penjagaan di keputren dengan tumenggung Bandupoyo yang menjadi pengawal peribadi baginda, bersahabat baik.

   Bandupoyo lebih lama sehingga pangkatnya pun lebih nggi.

   Adalah berkat bantuan dari Bandupoyo maka Mahesa Rangkah diangkat sebagai bekel bhayangkara keputren.

   Keduanya saling menghargai kepandaian dan kedigdayaan masing2.

   Mahesa Rangkah menghela napas.

   "Eh, mengapa engkau ini, Rangkah?"

   Mahesa Rangkah tak lekas menjawab melainkan memandang tumenggung itu dengan penuh ar "Ada sesuatu yang mengabut dalam pikiranku, kakang menggung"

   Bandupoyo kerutkan dahi kemudian tertawa "O, ya, kutahu.

   Memang banyak nian yang harus dipikirkan oleh priya bujangan seper engkau ini, Rangkah.

   Adakah engkau memikirkan seseorang wanita yang berkenan dalam ha mu? Engkau gagah, muda, cakap dan berpangkat.

   Siapa yang akan menolak pinanganmu ? Tak baik, Rangkah, untuk memanjakan diri dalam melamun itu.

   Katakanlah, siapa juwita yang telah mengait hatimu itu, aku bersedia meminangkan untukmu."

   Mahesa Rangkah geleng2 kepala.

   "Bukan, kakang menggung. Bukan soal itu yang kupikirkan. Soal itu, kuserahkan saja kepada jodoh yang akan ditentukan dewata"

   "O, lalu apakah yang menjadi pemikiranmu itu ?"

   Menatapkan pandangke wajah tumenggung Bandupoyo,bertanyalah Mahesa Rangkah "Adakah kakangmenggung tak mengetahui suatu peristiwa yang aneh?"

   "Peristiwa apa?"

   Bandupoyo gelengkan kepala "cobalah engkau katakan"

   "Bahwa ki bekel Kalingga telah lenyap"....

   "Hah ? Bekel Kalingga lenyap?"

   Tumenggung Bandupoyo terbeliak. -oo~dwkz^ismoyo^mch~oo-

   Jilid 8 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor . MCH I Lenyapnya seorang prajurit bhayangkara keraton, lebih pula yang berpangkat bekel seper bekel Kalingga, tentu cepat menarik perhatian para bhayangkara yang lain, terutama anakbuah bekel itu.

   "Bagaimana engkau tahu bekel Kalingga telah lenyap,"

   Tanya tumenggung Bandupoyo kepada bekel Mahesa Rangkah yang menuturkan peristiwa itu.

   "Beberapa prajurit bhayangkara yang menjadi anakbuah bekel Kalingga bingung mencarinya. Mereka ada yang datang bertanya kepadaku."

   "O, tahukah engkau ?."

   Bekel Mahesa Rangkah tak lekas menyahut.

   "Rangkah, tahukah engkau tentang diri bekel Kalingga yang lenyap itu ?"

   Tumenggung Bandupoyo mengulang pertanyaannya. Mahesa Rangkah tak menjawab melainkan mengeliarkan pandang ke sekeliling. Sikapnya penuh kewas-wasan.

   "Eh, mengapa engkau Rangkah? Mengapa pagi ini sikapmu agak berbeda dengan adat kebiasaan ?"

   Tegur tumenggung Bandupoyo.

   "Kakang menggung"

   Akhirnya berkatalah Mahesa Rangkah dengan suara pelahan "harap kakang jangan keras2 berbicara."

   "Rahasia?"

   Tumenggung itu makin heran.

   "Lebih baik jangan sampai terdengar orang"

   Bekel Rangkah tak langsung menjawab "akan kuceritakan apa yang kuketahui."

   Tumenggung Bandupoyo mengangguk.

   "Aku mengatakan tak tahu menahu tentang diri bekel Kalingga kepada anakbuahnya itu. Dan atas pertanyaanku, anakbuah itu mengatakan bahwa pimpinan pasukan bhayangkara-dalam telah diganti dengan bekel Denta."

   "Siapa yang mengangkat ?"

   Tanya Bandupoyo.

   "Gusti patih Aragani, kakang menggung."

   "Gusti patih Aragani ?"

   Tumenggung Bandupoyo menegas kejut "aneh benar."

   "Bagaimana kakang menggung ?."

   "Pasukan bhayangkara termasuk dalam lingkungan pasukan Singasari. Kekuasaannya dibawah patih Kebo Anengah. Apakah patih Kebo Anengah tak tahu soal pergantian itu ?."

   "Mungkin dak"

   Kata bekel Mahesa Rangkah.

   "karena saat ini gus pa h Kebo Anengah sedang mengemban titah baginda ke daerah brang-wetan."

   Tumenggung Bandupoyo mendesuh.

   "Mungkin, karena gus pa h Aragani menganggap hal itu pen ng harus segera digan maka tanpa menunggu gus pa h Kebo Anengah lagi, gus pa h Aragani segera mengangkat penggantinya yang baru"

   Kata bekel Mahesa Rangkah.

   "Hm"

   Desuh tumenggung Bandupoyo pula "prajurit bhayangkara merupakan pasukan yang penting karena mereka bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan keraton."

   "Justeru atas dasar kepen ngan itulah mungkin yang mendorong gus pa h Aragani mengambil langkah itu."

   "Ya"

   Kata tumenggung Bandupoyo "tetapi adakah suatu keperluan yang sangat perlu untuk harus segera mengangkat seorang bekel penggan pimpinan bhayangkara-dalam itu, dirnana yang berwewenang sedang tiada di pura kerajaan ?."

   "Adakah ndakan gus pa h Aragani itu tak dapat dibenarkan, kakang menggung ?"

   Mahesa Rangkah memancing-mancing keterangan.

   "Engkau seorang bekel prajurit bhayangkara, Rangkah. Seharusnya engkau tahu bagaimana tata- tertib dalam keprajuritan itu sehingga dapat menjawab sendiri pertanyaanmu."

   Mahesa Rangkah tertawa "Rangkah hanya seorang bekel prajurit, wajib tunduk pada atasan dan peraturan. Beda halnya dengan gusti patih Aragani, kakang menggung."

   "Apa bedanya, Rangkah"

   Sambut Bandupoyo yang tanpa disadari telah terpancing kedalam lingkup pembicaraan Mahesa Rangkah.

   "Sudah tentu berbeda, kakang menggung"

   Kata Mahesa Rangkah "bukankah gus pa h Aragani itu orang kepercayaan baginda ?."

   "Peraturan dibuat dan berlaku untuk semua orang, tanpa membedakan nggi rendah pangkat, harta dan keturunan. Jangan engkau mencemarkan dengan hal2 yang bersifat diluar dari ketentuan2 peraturan itu."

   Mahesa Rangkah tersenyum.

   "Sebagai pengawal pendamping baginda, tentulah kakang menggung dapat mengetahui sampai betapa jauh hubungan antara baginda dengan gus pa h Aragani itu. Bagaimana nasib gus pa h sepuh Raganata, gus demung Wirakre dan gus mentri Wiraraja. Tidakkah mereka menjadi an tangga bagi menjulangnya gusti patih Aragani ke puncak kekuasaan di kerajaan Singasari ?."

   "Rangkah"

   Seru tumenggung Bandupoyo "memang kutahu hal itu semuanya. Tetapi akupun tak kuasa mencegah. Baginda makin penuh kepercayaan kepada gusti patih Aragani"

   "Adakah kakang menggung pernah berusaha untuk membendung langkah gus pa h Aragani itu ?."

   "Sudah, tetapi terhanyut dilanda banjir kepandaian gus pa h Aragani untuk mengambil ha baginda. Misalnya ke ka baginda pernah dalam suatu kesempatan bertanya tentang pendapatku apabila Singasari mengirim pasukan ke Bali. Aku menyatakan memang tepat asal jangan mengerahkan segenap pasukan Singasari sehingga pura Singasari kosong. Pun tentang sikap baginda yang begitu longgar terhadap Daha, pernah secara halus kuberi peringatan agar baginda jangan melepaskan sama sekali pengawasan atas gerak gerik akuwu Jayakatwang. Tetapi tampaknya baginda lebih percaya kepada gusti patih Aragani."

   "Itulah kakang menggung"

   Kata Mahesa Rangkah "lalu bagaimana perasaan kakang menggung menghadapi hal2 yang sedemikian itu?."

   "Menurut suara ha ku, ingin sekali aku mengundurkan diri saja dari kerajaan. Lebih baik aku pulang ke desa, hidup tenteram sebagai petani atau begawan."

   "Jangan kakang menggung"

   Cepat2 Mahesa Rangkah berseru "janganlah kakang menggung mengandung pikiran begitu. Berbahaya;. Sungguh berbahaya bagi kerajaan Singasari."

   "Apa yang engkau maksud berbahaya itu? Bukankah baginda Kertanagara seorang junjungan yang berkuasa besar dan sak ? Bukankah baginda dapat pula mengangkat seorang pengawal- pendamping yang baru untuk menggantikan aku?."

   "Justeru itulah yang harus kakang cegah"

   Kata Mahesa Rangkah "jika kakang merajuk dan mengundurkan diri, tentulah penggan nya itu dipilih dari orang kepercayaan gus pa h Aragani sehingga sempurnalah rencana gusti patih itu untuk menguasai kerajaan Singasari."

   "Hm"

   Desuh tumenggung Bandupoyo.

   "Kakang menggung"

   Kata Mahesa Rangkah "perjalanan ke tangga kekuasaan, memang rumit dan tajam.

   Orang harus tahan menderita dan bersedia mengorbankan perasaan, jiwa dan raga.

   Lihatlah betapa contoh dari beberapa wreddha mentri yang terlalu tak dapat menahan diri.

   Mereka, pa h sepuh Raganata, demung Wirakre dan mentri Wiraraja, terlalu jujur dan berani menentang langkah baginda.

   Mereka mentri2 yang setya dan jujur mengabdi kepada kerajaan Singasari tetapi merekapun tak dapat menahan perasaan dan tak kenal gelagat sehingga dijatuhkan pa h Aragani.

   Hendaknya kakang menggung menyadari akan hal itu, jangan sekali-kali mudah terpancing oleh kemarahan, kekecewaan dan keputus-asaan."

   "Memang kulihat ada suatu gejala akan mbulnya suatu penguasaan dalam keraton Singasari oleh fihak pa h Aragani itu. Selama ini pa h Aragani belum berani terang-terangan melancarkan rencananya itu karena aku selalu mendampingi baginda."

   "Tetapi dengan begitu, kakang menggunglah yang akan menjadi sasaran patih Aragani.."

   "Maksudmu ?"

   Tanya Bandupoyo.

   "Kakang menggung akan dihadapi oleh pilihan yang menekan. Atau kakang menggung berfihak kepada pa h Aragani, atau kakang menggung akan bersedia menghadapi mereka untuk dilenyapkan."

   Bandupoyo tertawa "Ha, ha, ha.

   Mudah sekali engkau mengatakan hal itu kepadaku, Rangkah.

   Selama patih Aragani tidak melakukan hal2 yang membahayakan baginda dan kerajaan Singasari, dia boleh melebarkan sampai berapa luasnya.

   Tetapi apabila pengaruhnya dia hendak menyimpang kearah menguasai kerajaan, aku akan menentangnya habis-habisan."

   Mahesa Rangkah tertawa.

   "Hm, mungkin engkau menyangsikan kekuatanku"

   Kata tumenggung Bandupoyo "aku tak perlu harus memiliki pasukan, atau pengikut yang besar jumlahnya karena aku dapat serentak menghampiri dan membunuhnya.."

   "Tepat sekali kakang menggung"

   Seru Mahesa Rangkah "tetapi lebih tepat pula mencegah daripada menyembuhkan.

   Sikap kakang menggung itu bersifat menghadapi atau kalau ibarat orang sakit, kakang menggung mengoba penyakitnya itu.

   Tetapi kurasa lebih tepat kakang menggung mencegah jangan sampai penyakit itu datang."

   "Bagaimana caranya?."

   "Menurut pandanganku yang picik"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Mahesa Rangkah "untuk tingkat pertama, harus diciptakan suatu kekuatan untuk mengimbangi kekuatan fihak patih Aragani.

   Patih Kebo Anengah harus didukung agar dapat mendesak pengaruh patih Aragani.

   Itu termasuk rencana jangka panjang.

   Dan masih ada rencana jangka pendek untuk mematahkan semangat dan kecongkakan patih itu."

   Tumenggung Bandupoyo terkesiap.

   "Katakan, bagaimana rencana itu"

   Serunya.

   "Kita harus mengadakan suatu gerakan, dimana bekel Denta yang diangkat oleh pa h Aragani itu tak mampu mengatasi sehingga terdengar oleh baginda."

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo mendesuh kejut "maksudmu mengadakan sesuatu yang menimbulkan kegemparan dalam keraton ?."

   "Benar kakang menggung"

   Kata Mahesa Rangkah "suatu gerakan yang menimbulkan kegemparan dalam keraton tanpa bekel Denta mampu berbuat suatu apa tentu akan menyebabkan baginda murka.

   Dengan demikian bekel Denta tentu akan digan yang berar pula suatu tamparan bagi muka patih Aragani."

   Tumenggung Bandupoyo termenung diam.

   "Adakah engkau sudah menemukan suatu cara untuk melaksanakan rencana itu ?"

   Tanyanya.

   "Saat ini belum"

   Kata Mahesa Rangkah "mudah-mudahan dalam waktu secepat mungkin, akan sudah menemukan rencana itu. Dalarn hal ini, asal kakang tahu sajalah."

   Sejenak merenung, tumenggung Bandupoyo mengatakan bahwa hal itu harus cepat2 dilaksanakan, selama patih Kebo Anengah masih bertugas di brang-wetan.

   Demikian percakapan yang berlangsung antara tumenggung Bandupoyo, pengawal-pendamping baginda Kertanagara, dengan bekel Mahesa Rangkah kepala bhayangkara-luar.

   Dalam pembicaraan itu Mahesa Rangkah telah dapat mengungkap isi ha Bandupoyo, menggugah semangat dan menarik perha annya untuk bahaya yang mengancam dalam keraton pusat kerajaan Singasari.

   Mahesa Rangkah tak ingin keraton dikuasai patih Aragani.

   Pengunduran pa h sepuh empu Raganata dan demung Wirakre serta mentri Wiraraja atau Banyak Wide, makin melemahkan kedudukan mentri dan narapraja yang setya kepada baginda.

   Selesai pembicaraan itu Mahesa Rangkahpun pulang.

   Ia masih tak puas karena belum mengetahui bagaimana berita diri bekel Kalingga.

   Pun ia cemas akan isi surat yang menurut dugaannya tentu sudah jatuh ke tangan patih Aragani.

   Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menuju ke luar pura.

   "Aku perlu harus bicara dengan dia"

   Katanya dalam hati "untuk meminta keterangan tentang isi surat itu. Mungkin saja dia tahu bagaimana surat dari pangeran Ardaraja itu."

   La berkuda menuju ke arah barat.

   Saat itu hari masih pagi.

   Ia ingin lekas2 mencapai tempat tujuan.

   Tengah dia menimang- nimang rencana apa yang akan ditimbulkan untuk membuat gaduh keraton, sekonyong-konyong pandang matanya melihat sesuatu benda hitam bergerak di kejauhan sebelah muka.

   Makin lama makin dekat.

   Dan makin jelas bentuknya sebagai seorang manusia yang tengah berlari-lari.

   Walaupun jalan yang merentang ke barat itu merupakan jalan pegunungan yang sepi, namun tidaklah bekel Mahesa Rangkah akan tertarik perhatiannya apabila tidak memperhatikan sikap orang yang begitu tak wajar.

   Orang itu lari dengan kaki agak terpincang-pincang.

   Biasanya dimanapun, kecuali karena didera hujan, orang tentu berjalan apabila menempuh perjalanan.

   Tetapi orang itu berlari dijalan yang sunyi.

   Tidakkah hal itu menimbulkan kecurigaan ? Bukankah hanya bangsa penyamun atau penjahat yang tergopoh-gopoh melarikan diri agar dapat meninggalkan sejauh mungkin orang yang hendak mengejarnya ? Mahesa Rangkah hentikan kuda dan menunggu kedatangan orang itu.

   Tetapi rupanya orang itupun melihat juga Mahesa Rangkah.

   Dia terkejut mengapa Mahesa Rangkah mendadak hentikan kudanya di tengah jalan.

   Apakah dia hendak menghadang aku ? Pikirnya.

   Dan iapun hentikan larinya.

   Jarak antara keduanya masih kira2 sepelepas anak-panah jauhnya.

   Namun orang itu dapat melihat bahwa Mahesa Rangkah membekal senjata pedang.

   Hanya dua kemungkinan bagi seorang lelaki yang menunggang kuda dan menyelip pedang.

   Jika bukan bangsa penyamun tentu prajurit.

   Pikir orang itu lebih lanjut.

   "Ah, celaka"

   Ia mengeluh lalu tiba2 lari menyusup ke dalam hutan yang berada di sisi jalan "lebih baik kuhindari saja kemungkinan2 yang tak diingini. Bukankah gusti patih Aragani memberi pesan agar merahasiakan jejak perjalananku?."

   "Hm, kurang ajar"

   Mahesa Rangkah terkejut ke ka melihat orang itu menyusup ke dalam hutan "dia tentu seorang penjahat yang habis melakukan kejahatan."

   Ia segera memacu kudanya menyusul.

   Tiba di hutan itu, Mahesa Rangkah terpaksa berhenti.

   Sukar untuk berkuda masuk hutan.

   Terpaksa ia turun dari kuda, melepaskannya di gerumbul rumput, lalu ia masuk ke dalam hutan.

   Tetapi ia tak mendengar suara suatu apa.

   Rupanya orang itu sudah jauh menyusup ke dalam hutan atau mungkin bersembunyi.

   Setelah beberapa waktu, akhirnya ia menghentikanpencariannya "Ah, perlu apa aku harus menemukan orang itu ? Lebih baik kulanjutkan perjalanan"

   Ia memutuskan dan terus keluar menuju ketempat kudanya.

   Pada saat menyiak gerumbul semak terakhir yang jaraknya hanya terpisah dua tombak dari tempat kudanya, kejutnya bukan alang kepalang.

   Dilihatnya seorang lelaki tengah berusaha untuk naik ke punggung kudanya.

   Tentulah orang itu bersembunyi.

   Ke ka ia menyusup ke tengah hutan, orang itupun keluar dan menghampiri kuda.

   Maksudnya tentu hendak mencuri kuda dan hendak melarikannya.

   "Bedebah"

   Dengan sebuah loncatan yang disertai pengerahan tenaga, ia melayang ke tempat orang itu dan dengan suatu gerak yang cepat sekali ia menerkam ikat pinggang orang itu terus ditarik sekuat-kuatnya.

   "Uhhh ..."

   Orang itupun memekik kaget ke ka tubuhnya terban ng jatuh ke belakang.

   Walaupun kepala berdenyut-denyut dan pandang mata nanar karena kepala terantuk tanah, namun rupanya orang itu memiliki daya tahan yang kuat.

   Cepat ia melen ng bangun dan terus menerjang bekel Mahesa Rangkah.

   Mahesa Rangkahpun menghindar dan balas melontarkan pukulan dan tendangan sehingga keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang seru.

   Karena tempat itu penuh dengan pohon dan gerumbul, medan pertempuran itupun kurang leluasa.

   Pada suatu ke ka Mahesa Rangkah terantuk kakinya pada akar pohon dan tergelincir jatuh.

   Saat itulah lawannya terus loncat menerkam.

   Dari tinju meninju kini mereka berganti bergumul.

   Orang itu memang bertenaga kuat sekali sehingga Mahesa Rangkah ter ndih dibawah dan bahkan lehernya dapat dicekik orang itu.

   "Mati aku"

   Keluh Mahesa Rangkah ketika merasa mulai kehilangan daya perlawanan lagi.

   Saat itu udara mendung dan pohon2 dalam hutan itu lebat dan rindang daunnya sehingga suasana di tempat mereka bergumulpun agak redup.

   Dan rupanya orang itu tak mau menghiraukan suatu apa kecuali hendak mencekik mati lawannya.

   Dalam keadaan yang gawat, Mahesa Rangkah masih memiliki kesadaran pikiran.

   Untuk melepaskan cekikan orang, ia merasa tak sanggup.

   Satu-satunya jalan hanyalah mencari kelemahan pada lain bagian dari tubuh orang itu.

   Ia harus menggunakan siasat.

   "Akhhh"

   Ia menguak tertahan dan menggelepar-geleparkan tubuhnya seolah sedang meregang jiwa. Kemudian beberapa saat kemudian ia lunglai tak bergerak.

   "Ma "

   Pikir orang itu setelah melihat Mahesa Rangkah tak bergerak lagi.

   Namun ia tak mau segera melepaskan cekikannya.

   Lebih dulu ia hendak melepaskan kakinya yang menekan perut lawan setelah itu baru ia akan mengerahkan cekikannya yang terakhir kali dengan sepenuh tenaga.

   Untuk meyakinkan bahwa korbannya itu benar2 sudah putus nyawanya.

   Demikian rencananya.

   Demikianlah kaki kanan yang menghimpit perut Mahesa segera diangkat dan tubuhnyapun mulai bangkit.

   Saat itu ia sudah akan mengerahkan tenaga untuk mencekik dan semuanya beres.

   Setelah korban mati, ia dapat merampas kudanya dan melanjutkan perjalanan.

   Saat itulah yang dinan -nan kan Mahesa Rangkah.

   Selekas merasa perutnya terlepas dari himpitan kaki lawan, dengan suatu gerak yang tak terduga-duga, ia gerakkan kakinya menendang perut orang itu, plak ....

   Dan sesaat merasa kesakitan orang itu lalu melonggarkan cekikannya, Mahesa Rangkah pun segera rnenye-rempaki dengan menyiakkan kedua tangannya.

   Setelah tangan orang tersiak, cepat ia memasuki lagi dengan meninjukan kedua tinjunya ke leher orang, duk ....

   Dua buah serangan, tendangan dan pukulan, dilakukan secara tak terduga dan hampir serempak dilancarkan.

   Orang itu mengaum keras dan terlempar setombak jauhnya, mendekap perut, terseok- seok mundur bagai kura2 hendak bertelur.

   Kali ini bekel Mahesa Rangkah tak mau memberi kesempatan lagi.

   Ia telah merasakan betapa ngeri perasaannya ke ka hampir ma tercekik.

   Serentak loncat ia hendak mengirim sebuah tendangan pula.

   "Tahan !"

   Teriak orang yang jatuh terduduk bersandar pada batang pohon.

   Ujung kaki Mahesa Rangkah tadi tepat mengenai bagian bawah perut, sehingga perutnya mual sekali.

   Dan nju yang mendarat pada lehernya itupun menyebabkan pandang matanya gelap.

   Masih untung ia dapat paksakan diri untuk memperha kan gerak lawan.

   Ke ka Mahesa Rangkah menerjang hendak melancarkan tendangan maut, barulah ia kerahkan tenaga memekik sekuat-kuatnya untuk menghentikan.

   "Bekel Rangkah ...."

   Teriak orang itu pula seraya menggapaikan tangan. Mahesa Rangkah hentikan gerak kakinya dan maju menghampiri "Siapa engkau ?"

   Tegurnya.

   "Aku bekel Lingga ....."

   "O, engkau kakang Lingga? Mengapa engkau berpakaian seperti itu?"

   Tegur Mahesa Rangkah. Memang orang itu atau bekel Lingga, mengenakan pakaian serba hitam dan menyamar. Ia sengaja memakai kumis dan janggut yang lebat. Dan untuk meyakinkan kepada Mahesa Rangkah, iapun segera menanggalkan kumis dan janggutnya itu.

   "O, maa an, kakang Lingga. Kita salah faham. Dan mengapa kakang dak langsung melanjutkan perjalanan melainkan masuk ke dalam hutan ?"

   Kata Mahesa Rangkah setengah menyesali. Bekel Lingga mengatakan bahwa ia mengira kalau Mahesa Rangkah yang berkuda dan menghadang di tengah jalan itu seorang penyamun.

   "Akupun juga mengira kalau kakang Lingga seorang penyamun maka segera kukejar"

   Mahesa Rangkah tertawa. Demikian setelah saling memberi keterangan dari kesalahan faham itu maka Mahesa Rangkahpun bertanya pula "Tetapi dari manakah kakang Lingga ini ?."

   Wajah bekel Lingga tampak berobah seke ka. Beberapa jenak kemudian baru ia menjawab "Aku dari Daha."

   Mahesa Rangkah yang tajam mata dan tajam pikiran cepat dapat mengetahui perobahan muka bekel Lingga "Ke Daha? Mengapa ? Urusan peribadi atau diutus?."

   Sesaat kemudian agak tersendat bekel Lingga menjawab "Urusan peribadi."

   "Urusan apakah itu, kakang Lingga?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mahesa Rangkah mendesak.

   Ia tahu bahwa mengajukan pertanyaan begitu sesungguhnya kurang layak karena mencampuri urusan orang.

   Tetapi iapun tahu bahwa bekel Lingga itu tentu dak jujur dalam memberi keterangan menilik gerak geriknya yang begitu mencurigakan, ia kuatir bekel Lingga terlibat dalam suatu tindak kejahatan.

   Bekel Lingga menghela napas.

   "Ah, sesungguhnya aku sendiri yang cari perkara sehingga terlibat dalam lingkaran ini"

   Akhirnya ia berkata!.

   "Apakah yang kakang maksudkan?."

   Selama ini Mahesa Rangkah memang terkenal di-antara para bekel bhayangkara sebagai seorang yang bersikap ramah, suka bersahabat.

   Juga terhadap para prajurit bhayangkara, baik yang menjadi orang bawahan maupun bawahan lain pimpinan, ia selalu bersikap baik juga.

   Bekel Lingga termasuk salah seorang yang sungkan dan mengindahkan terhadap Mahesa Rangkah.

   "Begini adi Rangkah"

   Akhirnya ia mulai memberi keterangan "sebenarnya peris wa ini terjadi secara tak sengaja dan salah faham.

   Beberapa waktu yang lalu seorang pemuda yang tak kukenal mencari bekel Kalingga.

   Waktu kukatakan bahwa aku bernama Lingga, ia terus menyerahkan sepucuk surat yang menurut keterangannya titipan dari pangeran Ardaraja."

   Betapa kejut ha Mahesa Rangkah sukar ditekan lagi. Walaupun ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk menahan gejolak kejutnya tetapi airmukanya tetap memancar merah "O, dari pangeran Ardaraja ? Kepada siapakah surat itu akan diberikan ?."

   Untung bekel Lingga tak sempat memperha kan perobahan muka Mahesa Rangkah "Tanpa diketahui yang harus menerimanya."

   "Tanpa nama dari penerimanya?"

   Ulang Mahesa Rangkah diam2 agak longgar perasaannya "bagaimana kakang tahu ? Adakah kakang membuka surat itu?."

   Bekel Lingga gelengkan kepala "Tidak. Gusti patih Aragani yang memberitahu kepadaku."

   "Gus pa h Aragani ?"

   Kali ini kembali airmuka Mahesa Rangkah berombak "adakah engkau berikan surat itu kepada gusti patih ?."

   Bekel Lingga mengiakan "Ya. Karena aku bingung dan atas nasehat Pirang, maka kuhaturkan surat itu kepada gusti patih Aragani. Dengan demikian bebaslah tanggung jawabku atas surat itu ?."

   "Mengapa dak kakang berikan kepada bekel Kalingga ?"

   Tanya Mahesa Rangkah. Diam2 ia memaki dalam hati.

   "Ya, memang seharusnya demikian"

   Kata bekel Lingga "tetapi pertama karena terbujuk Pirang dan kedua aku menaruh curiga atas gerak gerik bekel Kalingga yang mempunyai hubungan dengan pangeran Ardaraja."

   "Dan kakang terus menyampaikan kepada gusti patih Aragani ?."

   "Ya."

   "Apa alasan kakang?."

   "Karena dia patih-dalam yang menguasai keraton dan dekat dengan baginda."

   "Mengapa tidak kakang berikan kepada gusti patih Kebo Anengah ?."

   "Gus pa h Kebo Anengah sukar dan jarang sekali dapat diketemukan. Gus pa h itu lebih mencurahkan perhatian pada pasukan prajurit daripada prajurit2 bhayangkara."

   Memang mengenangkan diri pa h Kebo Anengah, Mahesa Rangkah mendapat kesan bahwa pa h itu memang kurang akrab dengan prajurit2 bhayangkara, sehingga pa h Aragani dapat peluang untuk menanam pengaruhnya dikalangan prajurit bhayangkara.

   "Mungkin pertimbangan kakang benar. Tetapi mengapa kakang berkeluh kesah ?."

   Kembali bekel Lingga menghela napas "Karena ndakanku menyampaikan surat itulah maka aku terlibat sampai ke Daha ini"

   "O"

   Desuh Mahesa Rangkah "jadi kakang Lingga diutus patih Aragani ?."

   Bekel Lingga mengiakan.

   Dengan terus terang ia menceritakan apa yang dilakukan di Daha bersama Seta Arang.

   Dan cerita itu memang sesuai dengan apa yang dituturkan Seta Arang kepada Nararya.

   Walaupun ha dilanda oleh gelombang kejut dan heran, namun Mahesa Rangkah berusaha untuk menekan perasaannya.

   "Jika demikian, gong itu dari keraton Singasari ?."

   "Ya."

   "Dan sekarang juga hilang ?."

   "Ya."

   "Tidakkah gus pa h Aragani akan murka dan akan menjatuhkan pidana kepadamu, kakang Lingga?."

   Bekel Lingga termenung-menung.

   "Kakang"

   Mahesa Rangkah alihkan pertanyaan "tahukah engkau dimana bekel Kalingga berada?."

   Mendengar pertanyaan itu pucatlah segera wajah bekel Lingga. Dan Mahesa Rangkah memperhatikan perobahan air mukanya itu.

   "Kakang Lingga"

   Kata Mahesa Rangkah pula "tahukah kakang bagaimana kedudukanku dalam keraton Singasari ?."

   "Ya, engkau mendapat kepercayaan baginda untuk menjaga keselamatan keputren."

   "Tahukah kakang siapa dan bagaimana pengaruh tumenggung Bandupoyo ?."

   Bekel Lingga terkesiap.

   "Tumenggung Bandupoyo adalah pengawal-pendamping baginda. Sudah tentu ia menjadi tumenggung kepercayaan baginda."

   "Dan dia adalah sahabatku, kakang"

   Kata Mahesa Rangkah "maksudku, jika kulaporkan tentang lenyapnya bekel Kalingga kepada tumenggung Bandupoyo, dakkah baginda akan murka ? Tidakkah kakang akan ditangkap pula ?."

   Makin pucat wajah bekel Lingga.

   "Ada dua hal yang dapat menjadikan kesalahan kakang Lingga"

   Kata Mahesa Rangkah "pertama, hilangnya kakang Kalingga. Kedua, hilangnya gong keraton Singasari. Dalam kedua peris wa itu, kakang jelas tersangkut."

   Gemetar tubuh bekel Lingga.

   "Dan sesungguhnya, tanpa kulaporkan perbuatan kakang itu kepada tumenggung Bandupoyo, kakang pun sudah terhukum sendiri. Terhukum oleh gusti patih Aragani."

   Bekel Lingga menghela napas.

   "Jika tahu akan terjadi begini"

   Katanya dengan nada putus asa "

   Daklah kuterima surat dari pemuda itu. Tidaklah kuserahkan suratnya kepada gus pa h Aragani. Adi Rangkah"

   Ia menghela napas dan memandang Mahesa Rangkah dengan pandang beriba-iba "aku paserah saja kepadamu ....."

   "Jika demikian, kakang tak perlu cemas"

   Kata Mahesa Rangkah "tetapi kakang harus bersikap jujur dan menceritakan semua yang terjadi pada diri bekel Kalingga."

   Dengan tekanan2 itu berhasillah Mahesa Rangkah mendapat keterangan tentang nasib bekel Kalingga yang sudah mati dibunuh patih Aragani.

   "Kakang Lingga"

   Kata Mahesa Rangkah "kurasa baiklah kakang jangan menghadap pa h Aragani dulu. Karena kakang tentu akan terima pidana darinya."

   Bekel Lingga mengangguk "Gus pa h Aragani tak pernah memberi ampun kepada orang yang bersalah."

   "Untuk sementara baiklah kakang bersembunyi dulu. Kelak apabila peris wa gong keraton Singasari itu sudah terbongkar, barulah kakang boleh unjuk diri lagi."

   "Tetapi tidakkah hal itu akan menghapus kemarahan gusti patih Aragani?"

   Tanya bekel Lingga.

   "Tidak"

   Sahut Mahesa Rangkah "tetapi peris wa itu telah diketahui semua mentri dan narapraja bahkan baginda.

   Apabila kakang sampai dipidana atau dibunuh gus pa h Aragani, akulah yang akan melaporkan kepada kakang tumenggung Bandupoyo agar kakang tumenggung dapat menghaturkan hal itu kehadapan baginda.."

   Bekel Lingga masih meragu.

   "Tetapi apabila sekarang kakang menghadap gus pa h Aragani dan menerima pidana, dak ada seorang-pun yang tahu kecuali hanya aku seorang. Pada hal aku tentu dak dapat menjadi saksi yang kuat. Dengan begitu berarti kakang akan kehilangan jiwa tanpa suatu arti."

   Mendengar itu bekel Lingga mengangguk. Memang apa yang dikatakan Mahesa Rangkah itu, beralasan. Akhirnya ia setuju dan menyerahkan bagaimana Mahesa Rangkah hendak mengaturnya.

   "Lalu kemanakah aku harus menyembunyikan diri?"

   Tanya bekel Lingga.

   "Ke Tumapel."

   "Tumapel? Di tempat kediaman siapa?."

   "Empu Raganata"

   Sahut Mahesa Rangkah "empu Raganata seorang yang bijaksana. Akan kubawa kakang menghadapnya."

   Demikian selelah putus dalam pembicaraan, keduanya menuju ke Tumapel menghadap empu Raganata.

   Empu Raganata dapat menerima permintaan Mahesa Rangkah yang hendak menitipkan bekel Lingga.

   Setelah itu Mahesa Rangkah melanjutkan perjalanan pula kearah barat.

   Ia menuju ke gunung Butak.

   -oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- II Serasa meledaklah ruang kepa han ke ka pa h Aragani menghamburkan kemarahannya kepada bekel Seta Arang yang menghadapnya.

   "Keparat!"

   Teriaknya "gong yang engkau bawa itu hilang?."

   Seta Arang gemetar. Ia mengira bekel Lingga sudah menghadap dan menghaturkan laporan kepada patih Aragani ternyata bekel itu tak tampak.

   "Mohon gus melimpahkan ampun kepada diri hamba. Tetapi peris wa itu memang mengherankan sekali. Kakang bekel Lingga tentu dapat memberi kesaksian ke hadapan gusti patih."

   "Bedebah!"

   Teriak Aragani pula "bekel Lingga? Mana dia?."

   "Adakah bekel Lingga belum menghadap gusti patih?"

   Seta Arangpun terkejut.

   "Keparat!"

   Bentak pa h Aragani pula. Jika marah pa h itu memang tak hen -hen nya menghambur hamun makian yang menggebu- gebu "engkau bersama dia, mengapa engkau tak tahu dimana dia berada."

   Dengan gemetar Seta Arang lalu menceritakan semua peris wa yang telah terjadi di guha lembah Polaman itu.

   "Siapa pemuda yang bertempur dengan engkau itu ?."

   "Tetapi jelas bukan dia yang mengambil, gus "

   Kata Seta Arang "karena dia hanya salah faham kepada hamba dan kemudian mengajak hamba untuk mengambil gong itu agar dapat hamba bawa pulang ke Singasari."

   "Dan nyatanya gong itu hilang ?"

   Teriak patih Aragani.

   "Demikian keadaannya."

   "Bedebah engkau!"

   Hardik pa h Aragani seraya mengepalkan nju "dialah yang yang mencuri gong itu. Engkau memang goblok. Dialah yang menyiasa engkau, pura2 bersahabat tetapi sesungguhnya dialah tentu yang mengambil gong itu."

   "Tetapi gusti ....."

   "Tutup mulutmu, bedebah!"

   Bentak pa h Aragani "lekas cari pemuda itu dan tangkaplah dia. Bawa dia kemari. Aku tentu dapat memaksanya untuk memberi keterangan dimana dia menyembunyikan gong itu."

   Seta Arang rnasih meragu dan tak beranjak dari tempatnya.

   "Hai, mengapa engkau masih duduk seperti patung ? Apakah engkau tuli ? Atau memang engkau bersekutu dengan pemuda itu ?"

   Bentak patih Aragani.

   "Baik, gusti patih"

   Seta Arang gopoh menghaturkan sembah dan mohon mengundurkan diri.

   Ia bergegas membawa ga orang kawan menuju kembali ke Daha untuk mencari Nararya.

   Sebenarnya ia heran mengapa bekel Lingga tak muncul tetapi ia tak sempat lagi untuk mencari kawannya itu.

   Sepeninggal Seta Arang, pa h Aragani masih termenung-menung, merenungkan peris wa hilangnya gong dari keraton Singasari itu.

   Memang ia telah merancang siasat untuk mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah mencuri gong pusaka Bharada itu.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pernah ia dalam peninjauan ke daerah selatan, melihat bentuk gong Prada yang tersimpan di candi Simping, Lodoyo.

   Ia mengetahui pula bahwa gong Prada itu sama atau hampir sama bentuknya dengan gong yang tersimpan dalam keraton.

   Gong yang biasanya digunakan pada ap perayaan.

   Karena untuk membuat gong ruan seper gong Prada, tentu memakan waktu.

   Pada hal ia hendak menggunakan kesempatan pada waktu tumenggung Sagara Winotan mengadakan peralatan nikah puteranya, ia akan memerintahkan orang untuk menyebarkan berita2 bahwa gong Prada berada di guha lembah gunung Polaman.

   Memang perhitungan pa h itu tepat sekali dan siasat yang direncanakanpun berjalan lancar.

   Tetapi se kpun ia tak pernah membayangkan bahwa rencana yang sudah berjalan begitu lancar akhirnya harus mengalami kegagalan yang menyedihkan.

   Gong keraton Singasari yang dijadikan umpan untuk memikat perhatian orang2 itu, ternyata bahkan ikut hilang.

   "Keparat !"

   Tanpa disadari pa h Aragani memekik dan melonjak dari tempat duduknya "siapakah yang menggagalkan rencanaku itu ?."

   Ia mengeliarkan pandang ke segenap sudut seolah-olah mencari seseorang atau sesuatu.

   Memang ia ingin membentuk wujud dari seseorang atau sesuatu yang dapat membangkitkan kecurigaannya.

   Untuk mencari siapa yang patut diduga menggagalkan rencana itu, ingatannya-pun segera menumbuhkan beberapa orang yang satu demi satu diteli , dinilai dan dijajagi kemungkinannya "apakah pa h Kebo Anengah ?"

   Demikian mulai ia membentuk-bentuk wajah dari tersangka bayangan itu "ah, dia sedang berada di daerah brang-wetan. Tentu tak mungkin dia akan mengganggu rencanaku itu. Dan apakah tujuannya kalau dia hendak mengganggu hal itu?."

   Demikian cara ia menumbuhkan bayangan dan meneli pertanyaan lalu menjajagi kemungkinan. Apabila jawaban2 yang dijawabnya sendiri itu dak memberi kemungkinan, maka dihapuskannya tersangka-bayangan itu dan beralih pada lain orang.

   "Pangeran Ardaraja ?"

   Kembali ia melahirkan suatu tokoh bayangan lagi "ah, tetapi dia termasuk orang2 Daha yang hendak kuselidiki, bagaimana mungkin dia tahu ndakanku? Kecuali ....

   dia mempunyai orang dalam keraton ini.

   Ya, benar, kecuali dia mempunyai kaki tangan di keraton Singasari, eh .......

   salah.

   Bukan di keraton Singasari karena aku tak membicarakan rencana itu dengan siapapun juga, melainkan dengan diriku sendiri.

   Apakah aku memberitahu kepada pangeran Ardaraja? Gila!"

   Ba2 ia terperanjat karena menyadari akan pikirannya yang ngelantur tak keruan. Masakan ia memberitahu kepada orang tentang rencana yang akan ditujukan kepada orang itu.

   "Ah, aku terlalu tegang"

   Akhirnya ia duduk kembali dan mulai menenangkan pikirannya.

   Dalam ketenangan yang berangsur-angsur mengendapkan pikirannya, mulailah ia menyorot suasana dalam keraton.

   Dan cepat sekali ingatannya singgah pada peris wa pemuda yang memberikan surat dari pangeran Ardaraja kepada bekel Lingga "hm, jelas dalam kalangan mentri entah narapraja entah bhayangkara keraton Singasari, terdapat kaki tangan tersembunyi dari pangeran Ardaraja.

   Menurut pengakuan bekel Kalingga, surat itu harus ia berikan kepada pa h Kebo Anengah ...."

   Mulai benaknya berbuih-buih membayangkan wajah Kebo Anengah, menyorot apa yang mungkin didapatinya pada diri patih itu.

   "Benarkah pa h Kebo Anengah mempunyai hubungan dengan pangeran Daha itu? Dalam rangka dan tujuan apakah hubungan mereka itu ?"

   Mulai ia mengotak-a k pertanyaan untuk menguji dan mengaji kemungkinannya.

   "Tiap hubungan atau kerjasama, tentu mempunyai kepen ngan saling menguntungkan. Apa keuntungan kedua orang itu untuk membentuk hubungan kerjasama? Adakah pangeran Ardaraja hendak menanam pengaruh dan menguasai keadaan keraton Singasari? Mengapa? Bukankah melimpah ruah budi kebaikan baginda Kertanagara terhadap akuwu Jayakatwang ? Bukankah baginda yang mengangkat akuwu Jayakatwang itu sebagai raja Daha ? Bukankah baginda juga mengandung rencana untuk memungut menantu pada raden Ardaraja? Apa kepen ngan pangeran itu hendak memata-matai Singasari lagi? Ah, kurang meyakinkan"

   Akhirnya ia memberi penilaian.

   Lalu ia beralih pada Kebo Anengah "Keuntungan dan kepen ngan apakah yang diperoleh pa h Kebo Anengah dalam hubungan dengan pangeran Ardaraja itu ? Mungkinkah Kebo Anengah memberikan keterangan tentang seluk beluk keadaan pemerintahan dan kekuatan pasukan Singasari kepada pangeran itu ? Apakah imbalan yang diperolehnya ? Uang, pangkat atau wanita ? Ah, menilik pa h Kebo Anengah sudah memiliki ke ga hal itu, kemungkinan tentu bukan itu yang dikehendakinya.

   Lalu apa ? Atau ....

   mungkinkah bekel Kalingga sengaja mengatakan begitu agar aku terkecoh dan mencurigai patih Kebo Anengah ?."

   Agak bimbang juga pa h Aragani memecahkan pertanyaan2 yang direkanya itu.

   Akhirnya ia mendapat akal "Mengapa tak kusuruh seorang bekel bhayangkara untuk menyampaikan surat dari pangeran Ardaraja kepada pa h Kebo Anengah? Bukankah hal itu dapat membuk kan kebenaran dari keterangan bekel Kalingga ?."

   "Benar"

   Ia meninjukan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya sehingga menimbulkan bunyi mendebab yang keras. Serentak ia memanggil seorang pengalasan.

   "Undanglah raden Kuda Panglulut kemari"

   Serunya kepada pengalasan itu. Tak berapa lama pengalasan itu mengiring seorang pemuda cakap, bermata nakal dan sikap angkuh. Dia adalah Kuda Panglulut, menantu patih Aragani.

   "Panglulut"

   Tegur pa h Aragani dengan nada cerah "mengapa engkau tampak pucat dan agak lesu pagi ini ?."

   Kuda Panglulut tak lekas menjawab melainkan berpaling kebelakang memberi isyarat agar pengalasan tadi keluar.

   "Kurang tidur, rama"

   Sahut pemuda itu.

   "Mengapa?"

   Diam2 pa h Aragani menilai kurang baik terhadap putera menantunya. Sudah setahun mereka menjadi mempelai, tetapi masih berkemanjaan kesenangan.

   "Anu rama ...."

   Agak merah wajah Kuda Panglulut "yayi Arini marah kepada hamba."

   "O"

   Desuh patih Aragani "mengapa marah ? Ah, tak baik suami, isteri sering bertengkar."

   "Hamba menginginkan begitu juga, rama"

   Kata Kuda Panglulut "tetapi yayi Arini memang senang mencemburui hamba."

   Mendengar itu tertawalah patih Aragani "O, karena cemburu? Ha, ha, ha ....."

   Ia tertawa "memang sukar untuk meniadakan rasa cemburu itu pada wanita.

   Mungkin sudah menjadi salah satu sifat pembawaan wanita memang begitu.

   Tetapi ketahuilah, angger.

   Cemburu itu pada dasarnya bersifat serakah, ingin memiliki sendiri.

   Tetapi sifat serakah itu bukan soal benda, melainkan dalam soal cinta.

   Isterimu cemburu karena dia sangat mencintai engkau, ingin memiliki seluruh rasa cintamu.

   Dia menghendaki agar engkau jangan mencintai lain wanita kecuali dia."

   "Ya, benar rama"

   Kata Kuda Panglulut "sebenarnya hamba sendiri tak mengandung ha cabang terhadap lain wanita.Tetapi yayi Arini terlalu cemburu terhadap hamba."

   Patih Aragani tertawa "Dia sangat mencintaimu, Panglulut.

   Ketahuilah, sejak masih kecil dia sudah ditinggal oleh ibunya, sehingga dia manja sekali kepadaku.

   Dan sekarang seluruh kemanjaannya ditumpahkan kepadamu.

   Engkau harus sabar dan dapat mengernong-nya.

   Maklumlah angger, kelak seluruh kemuliaan rama tentu akan kuwariskan kepada kalian berdua."

   Kuda Panglulut mengiakan walaupun dalam hati masih belum yakin.

   "Panglulut"

   Kata Aragani pula "rama hendak meminta engkau melakukan pekerjaan."

   "O"

   Bergegas Kuda Panglulut menanggapi "sudah tentu hamba selalu siap melakukan apapun yang rama perintahkan."

   "Raden"

   Kata pa h Aragani "bagaimana perkembangan kedudukanmu dalam pasukan Singasari?."

   "Makin menampil, rama"

   Kata Kuda Panglulut "hanya masih terasa beberapa perwira bekas anakbuah demung Wirakreti masih mengunjuk sikap yang tak bersahabat."

   Pa h Aragani mengangguk "Ya, dapat dimenger .

   Sudah tentu mereka kehilangan pegangan setelah atasannya, demung Wirakre , dilorot kedudukannya.

   Tetapi tak usah hiraukan mereka, angger.

   Yang pen ng engkau harus dapat merebut kepercayaan pa h Kebo Anengah dan anakbuahnya.

   Kelak tentu ada gunanya."

   Kuda Panglulut mengangguk. Ia tak mau mendesak apa yang dikatakan 'kelak tentu berguna' oleh rama mentuanya itu. Menurut talarannya, tentulah hal itu mengenai peningkatan pangkat saja. Pada hal patih Aragani mempunyai tujuan tertentu.

   "Tentang lugas yang hendak kuminta engkau melakukan ini"

   Kata pa h Aragani "tak lain hanyalah menyerahkan sepucuk surat kepada ki patih Kebo Anengah."

   "Tetapi bukankah paman patih Kebo Anengah sedang berada di Blambangan, rama?."

   "Ya"

   Sahut pa h Aragani "engkau harus menemuinya kesana dan menyerahkan surat ini. Katakan bahwa surat itu berasal dari seorang pengalasan pangeran Ardaraja."

   "Pangeran Ardaraja ? Pangeran dari Daha itu ?"

   Kuda Panglulut terkejut. Pa h Aragani mengangguk "Ya, memang dari pangeran Ardaraja"

   Kemudian ia menuturkan tentang pemuda yang menyerahkan surat itu kepada bekel Kalingga tetapi keliru diterimakan pada bekel Lingga dan bekel Lingga lalu diserahkan kepadanya.

   "Apakah isi surat itu, rama?."

   "Memberitahukan tentang hilangnya gong Prada"

   Kuda Panglulut makin terkejut "Gong Prada? Bukankah gong pusaka itu milik kerajaan Singasari yang disimpan di Lodoyo? Bagaimana pangeran Ardaraja mengurus hal itu ?."

   Pa h Aragani lalu menuturkan tentang hilangnya gong Prada yang diduga, kemungkinan tentu diambil orang Daha tetapi entah bagaimana kemudian gong pusaka itu hilang dan sekarang pangeran Ardaraja hendak menyelidiki mentri2 dan senopati Singasari.

   "Jika demikian pangeran itu terlibat pula dalam peris wa hilangnya gong pusaka itu. Kemungkinan"

   Kata Kuda Panglulut lebih tandas "dialah yang memerintahkan untuk mengambil gong pusaka itu."

   Diam2 pa h Aragani girang karena putera menantunya dapat mengupas persoalan itu secara tajam "Itulah sebabnya maka hendak kuminta engkau menyerahkan surat kepada pa h Kebo Anengah untuk membuk kan, benarkah pa h itu mempunyai hubungan dengan pangeran Ardaraja."

   Kuda Panglulut kini tahu jelas apa yang dikehendaki rama mentuanya.

   "Baiklah, rama. Bilakah hamba berangkat?."

   "Sekarang juga"

   Kata patih Aragani "bawalah pengiring secukupnya." -oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- Baginda Kertanagara telah memimpin kerajaan Singasari dengan gemilang.

   Memang baginda seorang raja besar.

   Dalam hal pemerintahan, baginda putus akan sadguna atau enam macam ketata-prajaan.

   Dalam hal agama, beliau teguh bak menyembah kaki Sakya-muni, teguh tawakal menjalankan pancasila, samskara dan abhisekakrama.

   Baginda mengembangkan perimbangan kesejahteraan lahir dan ba n.

   Memajukan pertanian dan meningkatkan hasil bumi, menghidupkan kesenian dan kerajinan seni.

   Terutama pengembangan agama dilakukan dengan giat.

   Rumah2 sudharmma, candi2 dan tempat2 beribadah banyak dibangun di kota maupun daerah2.

   Untuk memelihara kewibawaan dan kesejahteraan kerajaan, maka Singasari pun memiliki angkatan perang yang kuat dan senopa 2 yang gagah perkasa.

   Tiada seorang raja, baik di Singasari maupun Daha, yang sebelumnya mampu mengimbangi taraf kebesaran baginda Kertanagara.

   Baginda ingin mempersatukan nuswantara.

   Ingin meluaskan kekuasaannya sampai jauh ke tanah Malayu, Bali dan lain2 daerah.

   Kertanagara seorang raja besar dan besar pula keinginan cita- citanya.

   Adalah dalam rangka melaksanakan cita-cita itu maka baginda telah mengadakan pembersihan terhadap beberapa mentri tua dalam kerajaan.

   Empu Raganata, mentri tua yang telah menjabat sebagai pa h Singasari sejak rahyang ramuhun Wisnuwardhana, telah digeser dan dipindah sebagai dharmdhyaksa di Tumapel.

   Empu tua itu dianggap tua semangatnya, tua pula nyalinya sehingga menentang kehendak baginda yang akan mengirim pasukan Singasari ke tanah Malayu.

   Empu Raganata meni k beratkan pada kekuatan dalam negeri sebagai sumber kejayaan negara.

   Empu yang bijaksana itu masih melihat, banyak sekali sarana2 yang masih dapat dan perlu dikembangkan dan ditingkatkan demi kemajuan dan kesejahteraan kerajaan Singasari.

   Baginda Kertanagara murka.

   Pa h sepuh itu dipindah ke Tumapel sebagai dharmadhyaksa.

   Demikian pula nasib tumenggung Wirakre dan demung Banyak Wide atau Wira raja yang mendukung pendapat pa h Raganata.

   Mereka juga dilorot kedudukannya.

   Dan baginda mengangkat pa h Kebo Anengah dan Aragani.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terutama kepada Aragani, baginda makin menumpahkan kepercayaan karena patih itu pandai mengambil hati.

   Bersamaan pada masa mbulnya kerajaan Singasari sebagai kerajaan yang besar, di bagian belah bumi utara, pun telah muncul suatu kekuatan baru.

   Seorang maharaja yang gagah perkasa, pandai dan bercita-cita besar, Kubilai Khan.

   Kubilai Khan, adalah cucu dari maharaja Jenghis Khan dari kerajaan Tartar atau Mongolia.

   Kubilai mempunyai seorang kakak, Mongka namanya.

   Mongka inilah yang diangkat sebagai khan atau raja.

   Ia berhasil mengusir kekuasaan Bagdad dan kemudian mengganti menjadi kerajaan Mongolia.

   Kemudian ia melanjutkan perang untuk menguasai Cina.

   Kubilai dikirim ke selatan untuk menundukkan sisa kerajaan Lam Cou.

   Ia berhasil lalu menyerang ke utara, menyeberangi sungai Yangtse dan berhasil menyusup sampai ke bagian tengah.

   Tetapi sekonyong- konyong datang berita bahwa maharaja Mongka wafat.

   Kubilai mengadakan gencatan dan buru2 kembali ke Mongolia untuk ikut serta dalam pilihan khan, menggantikan kakaknya.

   Namun sebelum sampai di Mongolia.

   Kubilai telah diangkat sebagai khan oleh para hulubalang dan pengikutnya.

   Ia takut kalau dalam pemilihan kalah karena ia tahu bahwa banyak rakyat Mongolia yang tak menyukainya.

   Dan akhirnya ia berhasil juga menjadi khan, pengganti Mongka.

   Kemudian ia melanjutkan serbuannya dan berhasil menduduki seluruh daratan Cina, mengangkat diri sebagai maharaja pertama dari kerajaan Yuan atau Goan.

   Kekuasaan dan kekayaan memang sering menyilaukan orang.

   Demikian baginda Kertanagara, demikian pula maharaja Kubilai Khan.

   Dan kedua, raja besar itu hidup sejaman, yang seorang di utara dan yang seorang di selatan.

   Kebangkitan seorang maharaja kuat di benua Cina itu terdengar pula oleh baginda Kertanagara.

   Demikian kerajaan Singasari yang besar dan kuat itupun sampai juga ditelinga Kubilai Khan.

   Maka baginda Kertanagara segera hendak mengambil langkah, mendahului Kubilai.

   Baginda hendak mengirim pasukan ke Malayu untuk menanam pengaruh dan kekuasaan di kerajaan Malayu agar dapat membendung kemungkinan serbuan pasukan Kubilai Khan.

   Tetapi ternyata Kubilai Khan sudah mendahului.

   Maharaja itu mengirim utusan ke selatan dan meminta kepada raja2 di Malayu, Sriwijaya dan Jawadwipa agar menghadap maharaja Kubilai Khan.

   Berita tentang akan datangnya utusan dari Kubilai ke Singasari telah menggemparkan para kawula Singasari.

   Diantara yang paling bingung adalah pa h Aragani.

   Karena lepas dari apa yang akan dihaturkan utusan itu kehadapan baginda Singasari, tetapi baginda menitahkan supaya diadakan penyambutan secara meriah dan terhormat.

   Sudah tentu upacara2 penyambutan itu diiringi dengan gamelan2.

   Untunglah pa h Aragani mendapat akal.

   Segera ia menitahkan pengalasan untuk membuatkan gong sebagai pengganti dari gong keraton yang hilang itu.

   Kuda Panglulut pun telah kembali dengan membawa keterangan bahwa pa h Kebo Anengah marah sekali menerima surat dari pangeran Ardaraja itu.

   Pa h itu tak tahu menahu soal hilangnya gong pusaka peninggalan empu Bharada di Lodoyo,mengapa pangeran Ardaraja mengirim surat kepadanya, pada hal ia tak pernah berhubungan dengan pangeran itu.

   Kemudian pa h Kebo Anengah menyatakan akan meminta keterangan kepada pangeran Ardaraja apabila kelak berjumpa.

   Keterangan itu makin membingungkan pa h Aragani.

   Ia mulai menaruh kecurigaan bahwa bekel Kalingga tidak memberi keterangan sejujurnya.

   Bahwa bekel itu tentu telah mendapat perintah dari orang tertentu.

   Bahwa dengan demikian dalam kalangan mentri dan narapraja kerajaan Singasari, terdapat orang atau golongan yang mengadakan kerjasama dengan Daha.

   Kesimpulan2 itu mendorongnya pada dua langkah.

   Pertama ia harus lebih memperkokoh kedudukannya dan hubungannya dengan baginda.

   Kedua, ia harus meningkatkan kewaspadaan dan penelitian terhadap mentri, senopati dan narapraja di pura Singasari.

   Demikian patih Aragani telah mengatur langkah.

   Singasari bersiap siap menyambut kedatangan utusan raja Kubilai Khan.

   Baginda ingin menunjukkan kebesaran dan kekuatan Singasari maka penyambutan itu harus diadakan secara besar-besaran, lengkap dihadiri oleh para mentri hulubalang dan barisan2 kerajaan.

   Sehari sebelum kedatangan utusan kerajaan Tartar ba, dalam balairung keraton Singasari telah terjadi suatu peris wa yang menggemparkan.

   Keesokan harinya, prajurit bhayangkara telah menemukan sebuah gong di halaman keraton.

   Untunglah bekel Denta, penggan bekel Kalingga menerima laporan.

   Buru2 ia menyimpan gong itu dan mendapatkan pa h Aragani.

   Pa h Aragani terkejut karena tahu bahwa itulah gong dari keraton yang hilang tempo hari.

   Ia segera menitahkan bekel Denta supaya menggan gong yang dipesan dari tukang pandai besi dengan gong yang sudah diketemukan itu.

   Tetapi peristiwa itu terdengar juga oleh patih Kebo Anengah.

   Ia menemui patih Aragani.

   Aragani menimpahkan kesalahan pada bekel Denta.

   Mendengar nama bekel Denta sebagai kepala bhayangkara, patih Kebo Anengah terkejut dan menanyakan tentang diri bekel Kalingga.

   Tetapi dengan kelincahan dan kelicinan bicara, Aragani memberi keterangan bahwa bekel Kalingga telah melenyapkan diri entah kemana.

   Sebenarnya pa h Kebo Anengah hendak mengurus lebih jauh tentang persoalan itu tetapi karena mengingat bahwa banyak pekerjaan yang lebih pen ng menjelang kedatangan utusan dari Tartar, maka ia mengesampingkan urusan bekel itu.

   Tindakannya hanyalah, bekel Denta dilepas dan sebagai gan nya, seluruh prajurit bhayangkara dikepalai oleh bekel Mahesa Rangkah.

   Aragani telah menderita kekalahan.

   Ia penasaran dan marah tetapi terpaksa ia harus membiarkan hal itu terjadi.

   


Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long

Cari Blog Ini