Ceritasilat Novel Online

Pendekar Laknat 2


Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Bagian 2



Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya dari S D Liong

   

   Darahnya bergolak keras.

   Soh-beng Ki-su juga terserut mundur selangkah.

   Hanya penderitaannya lebih kecil dari lawan.

   Setelah tenangkan diri, Siau-liong mengatur siasat.

   Tubuhnya bergerak ke kanan kiri lalu tangannya mengendap ke bawah.

   Tiba-tiba tangannya dibalikkan menampar kekiri.

   Ah, ternyata dia lancarkan jurus pukulan Membalik-langit.

   Dari delapan penjuru, melandalah angin lwekang-panas ke arah Soh beng Ki-su....

   Soh-beng Ki-su cepat menyurut mundur.

   Ia tahu bahwa ilmu pukulan Pek-kut-kang tak berguna terhadap Pendekar Laknat.

   Segera ia gunakan jurus Yang-kek-im-seng atau Hawa-positip-berganti Negatip.

   Jurus itu merupakan salah satu jurus hebat dari ilmu pukulan Thay-im-ki-bun-sip pat-hoan yang terdiri dari delapan belas jurus.

   Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan yang berlawanan sifatnya itu, saling berbentur....

   Tamparan dari sebelah kiri tak berhasil, Siau-liong cepat mengganti dengan tamparan sebelah kanan.

   Gejolak angin menghambur lebih dahsyat.

   Memang tamparan kiri itu berbeda sifatnya dengan tamparan kekanan.

   Lebih mantap dan lebih berat.

   Tetapi Soh-beng Ki-su tetap gunakan salah sebuah jurus dari ilmu Thay-im-ki bun-sip-pat-hoan untuk menghalau serangan pemuda itu.

   Siau-liong marah.

   Ia rangkapkan kedua tangan lalu mendorong kemuka.

   Itulah yang disebut pukulan To-sia-sanho atau Menjungkir-balikkan-gunung-dan-sungai.

   Perobahannya paling banyak dan perbawanya paling dahsyat.

   Tetapi Soh-beng Ki-su dapat tetap menangkis.

   Akhirnya tersadarlah Siau-liong.

   Hanya diimbangi dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song Thian-kun.

   Barulah pukulan lwekang-sakti Bu-kek-sin-kang itu benar-benar dapat mengembang kedahsyatannya.

   Tetapi, ah, jika ia gunakan pukulan Thay-siang-ciang, tentulah dirinya akan dikenal To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang bersembunyi diluar kuil.

   Padahal ia tak menghendaki hal itu.

   Karena keseganan itu maka walaupun sudah bertempur berpuluh jurus, tetap ia tak mampu mengalahkan Soh-beng Ki-su.

   Namun ia tak mau memberi ampun kepada musuh yang telah membunuh Koay suhu atau Pengemis Tengkorak itu.

   Akhirnya ia mendapat akal.

   Sengaja ia pura-pura kalah dan mundur, ketika ia mundur sampai diambang pintu, Soh-beng Ki-su menghunjamnya dengan sepasang pukulan dahsyat dan Siau-liong membiarkan dirinya dilanda angin pukulan lawan.

   Begitu malayang turun diluar kuil, cepat ia kebutkan lengan jubah ke arah To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa.

   Sudah tentu kedua tokoh pengemis itu terkejut bukan kepalang Jika tak cepat lari, tentulah tubuh mereka hangus dilanda lwekang panas Bu-kek-sin-kang.

   Sekali loncat kedua tokoh itu kaburlah.

   Tepat pada saat mereka lari, terdengarlah jeritan ngeri dan rubuhnya tembok kuil.

   Tetapi tokoh-tokoh pengemis itu tak berani berpaling muka.

   Mereka lari terbiritbirit.

   Siasat Siau-liong berhasil.

   Setelah dapat menghalau kedua tokoh Kay-pang itu, ia segera lepaskan pukulan Thay-siangciang disertai lwekang Bu-kek sin-kang.

   Jurus yang dipilih Siau-liong adalah jurus Siu-lo-pan-cha.

   Jurus yang paling dahsyat dan tepat untuk menghancurkan segala macam iblis laknat termasuk seorang durjana besar seperti Soh-beng Kisu.

   Pertapa itu menjerit ngeri.

   Ia terluka parah Tembok kuil yang berada dibelakangnya ambruk.

   Tetapi sebagai rase tua, walaupun dalam keadaan terluka, ia masih dapat menggunakan tipu siasat.

   Darah yang hendak menyembur dari mulut ditekan sekuatnya.

   Dan ia masih tetap melayani serangan Siau-liong dengan tenang.

   Begitu memperoleh kesempatan, tiba-tiba ia semburkan darahnya kemuka lawan.

   Siau-liong terkejut.

   Setitikpun ia tak menyangka akan menerima serangan yang begitu luar biasa.

   Darah yang disemburkan mulut Soh-beng Ki-su itu jauh lebih berbahaya dari segala macam senjata rahasia.

   Jika kena, muka Siau-liong tentu hancur lebur! Cepat pemuda itu loncat menghindar....

   Serempak dengan itu, Soh-beng Ki-su pun lotos keluar dari reruntuhan tembok.

   Siau-liong mengejarnya.

   Menilik sudah terluka parah tentu Soh-beng Ki-su tak dapat lolos.

   Tetapi dasar belum takdirnya mati.

   Setelah melintas lamping gunung, pertapa itu menyusup ke dalam hutan.

   Berkat malam gelap dan hutan lebat, pertapa itu dapat melenyapkan diri.

   Siau-liong terpaksa hentikan pengejarannya.

   Ia berjalan lesu.

   Tiba-tiba ia teringat waktu menolong Tiau Bok-kun dalam biara, diluar biara ia mendengar Soh-beng Kisu berteriak.

   "Hai, Ki Ih, perlu apa engkau berkerudung muka....

   "Hai!"

   Serentak Siau-liong tersadar bahwa wanita berkerudung muka tadi tentulah ibunya.

   Tetapi, ah....

   kembali ia menghilangkan kesempatan baik untuk menemui ibunya itu.

   Segera ia lari mencari wanita berkerudung tadi.

   Tetapi ia kehilangan arah dan tak tahu jalan keluar dari pegunungan situ.

   Akhirnya ia lari ke arah timur.

   Tak berapa lama ia berhadapan dengan sebuah karang buntu.

   Jauh dibawah karang itu, terhampar sebuah jalan yang merentang ke dalam hutan.

   Terpaksa ia menuruni karang yang curam itu....

   Pada saat tiba di bawah, dari dalam hutan disebelah muka, terdengar suara senjata beradu.

   Cepat ia lari memburu.

   Betapa kejutnya ketika melihat Ki Ih sedang dikeroyok To Hun-ki dan rombongan To Kiu-kong yang berjumlah sembilan orang.

   Ki Ih berhasil mengejar Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay.

   Sebenarnya ia dapat membunuh musuh2 suaminya itu.

   Sayang To Hun-ki dan ketiga tokoh Pengemis muncul.

   Kay-pang memang baik hubungannya dengan partai2 persilatan.

   Dan Ki Ih memang tak disuka orang.

   Selain berasal dari seberang lautan, pun wanita itu banyak mengikat permusuhan dengan kaum persilatan di Tiong-goan.

   To Kiu-kong, Pengemis Tertawa, si Pincang kiri Tio Thau dan sipincang kanan Li Ji, segera bantu menyerang Ki Ih.

   Kedudukan segera berobah.

   Ki Ih yang semula menang angin, kini berbalik terdesak.

   Namun wanita sakti itu tak mau menyerah mentah2.

   Ia mainkan pedangnya lebih gencar.

   Salah sebuah jurus ilmu Pedang Kilat yang disebut Guruh-dan-halilintar-menyambar, segera memburu kesembilan pengeroyoknya.

   Mereka jeri dan terpaksa mundur.

   Kesempatan itu digunakan Ki Ih untuk menabur 9 buah senjatan rahasia Hwe-hun-tui ke arah To Hun-ki dan keempat Su-lo.

   Hwe-hun-tui atau Gumpalan-awan-api, merupakan senjata rahasia yang telah mengangkat nama Ki Ih.

   Apabila kelima orang itu binasa, mudahlah ia membereskan keempat tokoh pengemis.

   To Kiu-kong terkejut tetapi tak keburu menolong kelima tokoh Kong-tong-pay.

   Pada saat maut hendak merenggut jiwa tokoh2 Kong-tong-pay itu, tiba-tiba Siau-liong muncul dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat.

   Sambil loncat ke udara, ia kebutkan kedua lengan bajunya.

   Dua buah gelombang sinar merah melanda dan sembilan buah senjata rahasia Hwe-huntui itupun hancur lebur.

   Sesuai dengan namanya, senjata-rahasia Gumpalan-awanapi itu memancarkan hawa panas.

   Hanya tenaga-sakti Bu-keksin- kang yang bersifat panas, dapat menghancurkan senjata rahasia itu.

   Dan selamatiah jiwa kelima tokoh Kong-tong-pay! Sekalian orang terkejut.

   Selain tak menduga akan kemunculan Pendekar Laknat, pun mereka heran, mengapa tokoh gila itu membantu orang2 Kong-tong-pay.

   Dan Ki Ih pun tak kurang kagetnya.

   Menghadapi sembilan musuh tadi, ia sudah kewalahan.

   Apa lagi ditambah dengan seorang Pendekar Laknat.

   Cepat wanita itu melarikan diri.

   Pada saat meluncur turun ke bumi, Siau-liong berputar diri dan lepaskan pukulan dahsyat ke arah sembilan jago pengeroyok itu! Gila! Bukankah tadi Pendekar Laknat menghancurkan senjata rahasia dari Ki Ih? Mengapa sekarang ia berbalik menyerang ke sembilan tokoh2 yang mengeroyok wanita itu? Kesembilan jago itu menghindar ke samping lalu menyerang Siau-liong.

   Tetapi Siau-liong lebih cepat.

   Segera ia lancarkan pukulan yang kedua yakni To-sia-san-ho atau Membalikkan gunung dan sungai.

   Kesembilan jago itu terpental mundur sampai empat langkah.

   Mereka berputar diri terus lari masuk ke hutan Kiranya Siau-liong memang bermaksud hendak menghalau kesembilan orang itu.

   Kemudian ia akan menghadap ibunya dan minta maaf.

   Ia hendak menjelaskan bahwa dia adalah puteranya yang terpisah selama 16 tahun itu! Tetapi ketika berpaling, alangkah kejutnya.

   Ki Ih siwanita berkerudung, sudah lenyap! Siau-liong terpukau.

   Enam belas tahun lamanya ia berpisah dari ibunya.

   Dua kali ia mendapat kesempatan berjumpa tetapi dua kali itu pula ia tak berhasil bicara dengan ibunya.

   Air mata pemuda itu berlinang-linang.

   Akhirnya ia duduk bersemedhi memulangkan tenaga.

   Ketika membuka mata, ia terkejut.

   Di hutan jauh disebelah muka, tampak berkelebat sesosok tubuh wanita.

   Menduga kalau ibunya, cepat ia loncat dan lari menghampiri....

   Ah, hampir ia berteriak girang ketika bayangan itu benar Ki Ih.

   Tetapi pada lain kejab ia tertegun ketika menyadari bahwa saat itu dirinya masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.

   Tak mungkin ibunya akan percaya! Hanya beberapa detik ia tertegun.

   wanita itupun sudah lenyap lagi dari pandangan.

   Cepat Siau-liong mengejar tetapi tak berhasil.

   Akhirnya ia membuka kedok dan pakaian penyamarannya.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu ia duduk melepaskan lelah di tepi sungai.

   "Ma, apakah engkau tahu bahwa puteramu Siau-liong masih hidup dan sekarang sudah begini besar? Ah, mama, betapalah rindu hatiku kepada-mu...."

   Dalam termenung mengenangkan nasib, ia menangis meratapi ibunya. Kemudian ia bertanya pada dirinya.

   "Mama, apakah engkau setuju atas tindakanku? Ma, jika engkau mengetahui maksudku, tentulah engkau dapat menyetujui.... hai!"

   Tiba-tiba ia memekik kaget. Matanya yang tengah memandang permukaan air, tiba-tiba tertumbuk pada wajah seorang gadis. Cepat ia berpaling ke belakang dan ah.... sicantik Tiau Bok-kun.

   "Nona Tiau!"

   Serunya tersipu-sipu menghapus air mata.

   Tetapi gadis itu diam saja.

   Siau-liong mengulang lagi tegurannya namun tiada penyahutan.

   Siau liong memandangnya lekat2.

   Dan terpukaulah ia....

   Nona itu benar-benar menyerupai Tiau Bok-kun tetapi bukan Tiau Bok-kun! "Siapa engkau?"

   Akhirnya nona itu menegur. Siau-liong terkesiap Nada nona itu wajar tetapi galak. Ia tak puas atas sikap si nona yang tak sopan itu.

   "Apa pedulimu aku siapa? "

   Sahutnya.

   "Siapa yang panggil Tiau Bok-kun itu?"

   "Aku salah sangka."

   Muka Siau-liong merah.

   "Dan mengapa engkau menangis?"

   "Karena aku suka menangis!"

   Sahut Siau-liong dengan nada yang tak kurang getas. Dara itu hendak mencabut pedang tetapi tak jadi. Sambil tertawa mengikik ia menggagah dimuka Siau-liong.

   "Ih, jangan marah, bung. Aku memang tak dapat bicara halus tetapi aku ingin berkenalan dengan engkau. Keberatan?"

   "Engkau terlalu bengis, aku tak suka berkenalan."

   "Hm, jika menolak, lebih baik kita berkelahi.

   "Boleh saja akupun tidak takut!"

   Baru Siau-liong berkata begitu, si nona galak sudah merangsang dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut Siau-liong.

   Siau-liong merasa serba salah.

   Berkelahi dengan seorang anak perempuan, sesungguhnya ia malu.

   Tetapi kalau diam saja, dara itu menyerang dengan liar.

   Terpaksa ia menghindar saja....

   Dua jurus kemudian, timbullah pikirannya untuk lolos.

   Ia anggap tak berguna berkelahi dengan seorang anak perempuan yang tak dikenal.

   Setelah berhasil memaksa dara itu mundur, Siau-liong terus melarikan diri.

   Ia menuju ke tepi sungai.

   Tetapi ketika berpaling, ah....

   nona itu tetap mengejarnya Siau-liong loncat ke sebuah perahu sampan, terus meluncur ke tengah menuju kota Siok-ciu.

   Astaga....

   dara itupun loncat ke sebuah perahu dan mengejar.

   Ia memiliki lwekang yang hebat sehingga perahunya dapat meluncur pesat.

   Tetapi betapapun halnya, Siau-liong tetap menang cepat.

   Begitu tiba di pantai, ia terus masuk kota dan mencari sebuah rumah penginapan.

   Habis makan, ia terus masuk tidur.

   Menjelang mahgrib, baru ia bangun.

   Tepat pada saat itu, dua orang pelayan masuk membawa seperangkat pakaian dan senampan hidangan.

   "Tuan, nona yang bertempat di kamar sebelah depan, mengirim pakaian ini untuk tuan,"

   Kata pelayan itu.

   Siau-liong mendengus.

   Ia malu kalau mengatakan tak kenal dengan nona itu....

   Setelah pelayan pergi, ia bimbang sendiri.

   Menerima pemberian itu atau tidak.

   Ia mengintai di jendela.

   Kamar disebelah depan, tampak sepi.

   Ia duduk kembali, memandang hidangan itu.

   Ah, mungkin nona itu salah faham.

   Jelas ia tak kenal padanya.

   Akhirnya ia berbangkit dan melangkah keluar.

   Tetapi baru menyingkap tirai pintu, sesosok tubuh menerobos masuk.

   Karena tak keburu menarik pulang tangannya, tersentuhlah ia pada dua buah benda yang lunak....

   Tersipu-sipu ia menyurut kesamping pintu.

   Seorang dara melangkah masuk dengan berisak tangis Siau-liong tercengang.

   Itulah nona yang mengejarnya tadi.

   "Engkau menghina aku! Engkau menghina aku!"

   Sambil menangis, kedua tangan nona itu mencakari dada Siau-liong.

   Siau-liong biarkan saja agar nona itu jangan semakin kalap.

   Tetapi ia hampir geli karena dadanya seperti di kitik-kitik.

   Tiba-tiba tangan nona itu menusuk jalan darah didadanya.

   Siau-liong terkejut tetapi diam saja.

   Nona itu menjerit kaget dan menarik pulang tangannya sambil mendekap tangan kiri dengan tangan kanannya.

   "Setan, jahat benar engkau!"

   Nona itu meninju dada Siauliong.

   Ternyata dalam diam tadi, Siau-liong kerahkan lwekang Bukek- sin-kang kedadanya.

   Itulah sebabnya si nona menjerit kesakitan.

   Jika tak lekas menarik pulang, tentu tangan nona itu akan cacad.

   Sambil tertawa, Siau-liong menyurut mundur dan memberi hormat.

   "Harap jangan marah dan maafkan kesalahanku!"

   "Huh, mengapa tak mempersilahkan aku masuk!"

   "Hidangan itu adalah pemberian nona, silahkan nona menyantapnya "

   Kata Siau-liong.

   "Bukankah engkau menerimanya?"

   "Tanpa jasa apa2, tak pantas menerima hadiah, aku...."

   "Ah, apa artinya hidangan semacam itu?"

   Tukas si nona.

   Siau-liong tetap menolak.

   Tetapi nona itupun tetap memaksanya.

   Ia terus melangkah masuk, duduk dan suruh Siau-liong duduk juga lalu diajak makan.

   Sambli makan mereka ber-cakap2.

   Nona itu mengatakan bahwa ia berasal dari seberang lautan.

   Namanya Pek Ciang-wi atau Mawar Putih.

   Memang ia gemar berpakaian serba putih.

   Lebih lanjut ia menerangkan bahwa gurunya berpesan.

   Apabila di daerah Tiong-goan supaya mencari seorang sahabat yang baik Ketika berjumpa dengan Siau-liong, ia anggap pemuda itu seorang baik yang tepat dijadikan sahabat.

   Maka makin Siau-liong jual mahal, nona itu makin mengejarnya....

   Atas pertanyaan Siau-liong, si nona memberi jawaban yang indah.

   "Rumahku diseberang lautan, dibawah gunung Dewa. Gunung itu terletak di atas angin. Eh, apa perlumu mengetahui nama tempat itu!"

   Dan ketika Siau-liong menanyakan tentang gurunya, nona itu gelengkan kepala.

   Siau-liong tak mau mendesak.

   Ia sendiripun tak mau mengatakan tentang gurunya kepada lain orang.

   Ketika pertama kali bertemu, Siau-liong tak senang melihat tingkah si nona yang liar itu.

   Tetapi entah bagaimana, kini ia merasa tak marah dengan cara2 liar nona itu.

   Mungkin hal itu disebabkan, karena ia putera dari Ki Ih yang juga berasal dari seberang lautan.

   Kepada si nona, Siau-liong mengaku bernama Kongsun Liong dan minta nona itu memanggilnya Siau-liong.

   Mawar Putih terkesiap.

   Dipandangnya pemuda itu lekat2, dari ujung kaki sampai ke atas kepala.

   Ia geleng2 kepala dan berseru lembut.

   "Siau-liong...."

   Panggilan itu amat menyentuh hati Siau-liong.

   Dalam sikap kewajaran, kejujuran dan keliarannya, Mawar Putih memiliki sifat ke Ibuan yang mesra Untuk pertama kali dalam hidupnya, Siau-liong rasakan indahnya kehidupan....

   Mereka makan dan minum dengan gembira.

   Habis makan, Mawar Putih suruh Siau-liong berganti pakaian yang dikirimkan tadi.

   Setelah ganti pakaian baru, Siau-liong tampak lebih cakap dan gagah.

   Nona itu tertawa gembira.

   Mereka menuju ke kebun belakang, menikmati kolam yang menghias taman.

   "Siau-liong!"

   "Nona Pek!"

   Nona itu menggeliat.

   "Ih, janggal benar panggilanmu itu,"

   "Habis?"

   "Panggil saja Mawar Putih"

   "Mawar.... Putih,"

   Suara Siau-liong agak sember.

   Ia tak dapat melanjutkan kata2nya karena saat itu si nona sandarkan tubuh kedadanya.

   Siau-liong seorang perjaka yang belum pernah bergaul sedemikian mesranya dengan gadis.

   Sejak kecil, ia hanya bergaul dengan pohon2 hijau dan burung2 hutan.

   Sudah tentu ia ter-longong2 melihat tingkah Mawar Putih.

   Ketika hidungnya terbaur hawa harum dari tubuh si dara, semangat Siau-liong serasa melayang-layang....

   Tiba-tiba terdengar derap langkah orang bergegas datang.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Keduanya cepat meluruskan duduknya dan memperhatikan pendatang itu.

   Ah, ternyata pelayan hotel.

   "Tuan, ada tetamu mencari tuan!"

   Katanya. Siau-liong cepat kembali kekamarnya. Ia terkejut melihat beberapa anak buah Kay-pang berkerumun diserambi kamarnya. Mereka tampak tegang.

   "Cousu-ya datang!"

   Anak buah Kay-pang serempak berseru ketika Siau-liong muncul.

   Mawar Putih terperanjat.

   Ia tak menyangka bahwa pemuda yang bernama Kongsun Liong itu ternyata seorang ketua partai Kay-pang.

   To Kiu-kong muncul dari kamar Siau-liong dan mempersilahkan Siau-liong berdua masuk.

   Siau-liong terkejut ketika melihat Tiau Bok-kun berbaring ditempat tidurnya dalam keadaan pingsan.

   Bajunya koyak2 dan berlumuran darah.

   Untunglah nona itu tak begitu parah lukanya.

   Siau-liong segera minumkan beberapa butir pil kemulut nona itu.

   Melihat Siau-liong begitu memperhatikan Tiau Bok-kun, serentak timbullah rasa tak senang dalam hati Mawar Putih.

   Ia duga nona itu tentulah yang dipanggil Siau-liong ketika berjumpa di tepi sungai tadi pagi.

   Setelah memeriksa luka Tiau Bok-kun tak berbahaya.

   Siauliong meminta keterangan kepada To Kiu-kong.

   Kiranya setelah melarikan diri dari serangan Siau-liong sebagai Pendekar Laknat, To Kiu-kong dan rombongan To Hun-ki lalu berpisah.

   Menjelang malam, To Kiu-kong mendapat laporan dari anak buah Kay-pang, bahwa Siau-liong tinggal dirumah penginapan Gun-hian-can To Kiu-kong diminta Toh Hun-ki supaya suka mengundang Kongsun Liong agar membantu partai Kongtong- pay menghadapi Soh-beng Ki-su, Ki Ih dan Pendekar Laknat.

   Dalam rangka membasmi durjana itu, pertama harus mendapatkan Pending Kumala yang berada ditangan Tiau Bok-kun.

   Pending Kumala itu merupakan kunci untuk memperoleh tempat penyimpanan pusaka sakti yang dapat menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran.

   Malam itu juga To Kiu-kong berserta beberapa jago Kaypang berangkat mencari Siau-liong ke Siok-ciu.

   Tetapi ditengah jalan mereka berpapasan dengan Soh-beng Ki-su yang berhasil melukai Tiau Bok-kun dan merebut Pending Kumala.

   To Kiu-kong dan kawan2 segera menyerang pertapa itu.

   Tetapi pertapa itu keliwat sakti bagi mereka.

   Soh-beng Ki-su berhasil lolos dan To Kiu-kong hanya dapat menolong Tiau Bok-kun.

   Pada saat masih dapat ditanya, Tiau Bok-kun menyebut2 nama Kongsun Liong maka To Kiu-kong segera membawanya kerumah penginapan itu.

   "Mana To Hun-ki sekarang?"

   Tanya Siau-liong "Di biara Ji-long-bio di gunung Pit-ka-san,"

   To Kiu-kong menerangkan.

   Karena tak dipedulikan, Mawar Putih merasa terhina.

   Pada saat Siau-liong tengah merenung, diam-diam nona itu menyelinap keluar.

   Setelah To Kiu-kong dan anak buahnya minta diri, barulah Siau-liong mengetahui kalau Mawar Putih lenyap.

   Tetapi ia tak menghiraukan.

   Ia lebih mementingkan untuk mengurut jalan-darah Tiau Bok-kun.

   Tak berapa lama nona itupun tersadar.

   Tetapi sebelum nona itu tersadar benar-benar, Siau-liong mengambil pakaiannya yang lama lalu menyelinap pergi....

   -ooo0dw0ooo- Gunung Pit-ka-san terletak dihulu sungai Kim-sat-kiang.

   Gunung itu mempunyai tiga buah puncak.

   Kedua puncak di kanan kiri, dapat dicapai orang.

   Tetapi puncak ditengah, lurus melandai seperti sebuah tiang penyanggah langit.

   Empat penjuru dikelilingi jurang yang curam.

   Jika tak memiliki ilmu ginkang yang tinggi, tak mungkin dapat mencapai puncak itu.

   Di puncak tersebut terdapat sebidang tanah datar seluas sepuluh tombak.

   Di belakang tanah datar, didirikan sebuah biara yang disebut Ji-liong-bio.

   Kepala biara Liau Liau taysu, seorang paderi dari partai Go-bi-pay.

   Pada saat mengurut Tiau Bok-kun, pikiran Siau-liong menimang.

   Setelah mendapat separoh Pending Kumala yang dimiki nona itu, Soh-beng Ki-su tentu akan mencari To Hun-ki untuk mendapatkan Pending Kumala yang separoh bagian lagi.

   Maka ia harus cepat2 mendahului ke Pit-ka-Soh-beng Kisu pasti akan datang kesitu.

   Kembali Siau-liong menyaru sebagai Pendekar Laknat.

   Tiba di kaki gunung, tampak biara Ji-liong-bio terang benderang, penuh orang.

   Ia menyembunyikan diri.

   Tak berapa lama, muncul beberapa orang.

   Berkelompok kecil terdiri dari dua tiga orang, kemudian rombongan dari tujuh delapan orang.

   Mereka adalah jago2 silat yang sakti.

   Hal itu terbukti dari gerakan mereka yang amat tangkas ketika berloncatan mendaki puncak.

   Beberapa saat kemudian, dari puncak terdengar suara orang bertempur seru.

   Siau-liong terkejut.

   Apakah To Hun-ki dan orang2 Kong-tong-pay diserang musuh? Siapakah musuh itu? Karena tertarik perhatiannya, Siau-liong hendak menghampiri puncak.

   Saat itu rembulan remang.

   Sekeliling penjuru gelap pekat.

   Ia gunakan gerak Burung-hongmenghadap- matahari.

   Dalam tiga empat kali melambung, ia dapat mencapai separoh bagian puncak gunung itu.

   Tetapi pada saat ia hendak melayang ke atas lagi, tiba-tiba ia diserang gelombang angin yang hebat.

   Dan seketika itu juga ia meluncur ke bawah lagi.

   Ia amat terkejut dan berusaha menyambar dahan pohon yang tumbuh disana sini.

   Tetapi tak berhasil.

   Minilik kepandaian yang dimiliki saat itu, tak mungkin ia harus menderita kecelakaan semacam itu.

   Benar, memang itu bukan kecelakaan, tetapi sebuah serangan gelap dari seseorang yang berada di puncak.

   Meluncur dari ketinggian 60-an tombak, tentu hancur lebur.

   Tetapi untunglah Siau-liong sudah memiliki ginkang yang disebut Naga-melingkar-18 putaran.

   Ia berputar-putar dan melayang ke karang buntung disisi kanan puncak.

   Dengan meminjam tenaga tekanan pada dahan pohon, ia melambung lagi ke atas puncak.

   Setelah memperhitungkan telah mencapai ketinggian yang diduga menjadi tempat persembunyian penyerang gelap tadi, ia terus melayang ke karang di sebelah kiri.

   Ia hendak mencari penyerang itu.

   Ternyata penyerang gelap itu adalah Soh-beng Ki-su sendiri.

   Tepat yang diduga Siau-liong, Soh-beng Ki-su mencari Toh Hun-ki.

   Dan ia lebih dulu tiba di gunung Pit-ka-san.

   Tetapi ketika melihat di biara Ji-liong-bio berlangsung pertempuran, ia batalkan rencananya.

   Pada waktu ia melayang turun sampai di tengah gunung, ia melihat Pendekar Laknat bergegas mendaki ke atas.

   Segera ia lontarkan pukulan dahsyat.

   Setelah Siau-liong tenggelam ke bawah, ia melarikan diri.

   Itulah sebabnya maka Siau-liong tak dapat menemukan Soh-beng Ki-su.

   Akhirnya pemuda itu lanjutkan pendakiannya lagi ke atas puncak.

   Ia bersembunyi dibalik gunduk karang.

   Ketika melongok pertempuran di tanah datar, kejutnya bukan kepalang.

   Kiranya lebih dari enam lelaki dan wanita, tegak berjajar di depan biara.

   Dan yang bertempur di lapangan datar adalah Ki Ih lawan keempat Kong-tong Su-lo serta Liau Liau taysu bersama empat orang muridnya.

   Siau-liong duga ibunya tentu hendak mencari balas kepada Toh Hun-kin dan keempat Sulo.

   Diam-diam ia bangga dan girang mempunyai seorang ibu yang setia kepada suaminya.

   Ki Ih memang sakti.

   Menghadapi keroyokan belasan jago2 sakti.

   ia tak gentar, Ilmu pedang Kilat, dimainkan laksana ular naga bergeliatan di permukaan laut.

   Cepat bagaikan kilat menyambar dan gesit seperti ular menyusup ke dalam liang.

   Tetapi Siau-liong tetap mencemaskan keselamatan ibunya.

   Ternyata rombongan paderi yang berjajar diluar biara itu terdiri dari jago2 persilatan yang ternama.

   Antara lain, Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay.

   It Kiau ketua Tiam-jong-pay, tokoh Kun-lun Sam-cu dari Kun-lun-pay.

   Thian-san It-soh dari Thiansan- pay, paderi2 sakti dari Siau-lim-pay serta tokoh2 Bu-tongpay dan Hoa-san-pay.

   Dalam menghadapi kelima Durjana dan Ki Ih, partai2 persilatan itu telah mengirim jagonya yang tangguh, mencari pusaka yang telah tersiar luas di dunia persilatan.

   Hanya dengan memperoleh pusaka itulah kelima durjana dan Ki Ih dapat diberantas.

   Saat itu mereka berhadapan dengan Ki Ih.

   Mengingat Ki Ih itu seorang wanita, jago2 itu sama pegang gengsi.

   Mereka tak mau mengeroyok melainkan mengajukan beberapa jago saja.

   Siau-liong bingung bagaimana harus bertindak.

   Jika muncul sebagai Pendekar Laknat, berpuluh jago persilatan tentu akan menyerangnya.

   Selain sukar menolong ibunya, ia sendiri terancam bahaya.

   Kalau muncul sebagai ketua partai Kay-pang, ia tentu harus memusuhi ibunya, karena Kay-pang bersahabat baik dengan partai2 persilatan.

   Sedang ia belum dapat memutuskan tindakan apa yang akan diambil, keadaan Ki Ih makin payah.

   Tiba-tiba To Hun-ki mendesak dan menyabat pinggang wanita itu dengan cepat dan tak terduga-duga.

   Siau-liong terkejut sekali dan hampir berteriak.

   Untung sebelum membuka mulut, dengan jurus Kilat-membelah-halilintar, Ki Ih dapat menghapus serangan maut itu.

   Siau-liong kucurkan keringat dingin.

   Belum sempat ia menghela napas, tiba-tiba Ki Ih terancam bahaya lagi.

   Karena sedang menghindari serangan To Hun-ki, ke 9 tokoh2 lawannya segera menyerbu.

   Ki Ih alihkan perhatiannya untuk menghalau serangan orang2 itu tetapi sudah terlambat.

   Kini ia dikuasai oleh kesembilan musuh itu dan tak mampu melancarkan serangan balasan.

   Walaupun tak dapat diketahui perobahan muka wanita itu karena ditutup kain kerudung, namun dari tubuhnya yang menggigil, teranglah kalau keadaannya makin payah.

   Ada tanda2 ia hendak meloloskan diri.

   Toh Hun-ki dan kawan2nya tahu juga rencana wanita itu.

   Mereka mendesak lebih gencar sehingga tubuh wanita seperti tertabur sinar pedang.

   Keempat Su-lo dari Kong-tong-pay tak henti2nya tertawa mengejek.

   Pada lain saat Ki Ih menjerit keras.

   Bahunya kiri terpapas pedang Toh Hun-ki.

   Darah membasahi lengan bajunya....

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wanita itu kerahkan seluruh semangat.

   Sekaligus ia lancarkan tiga jurus serangan pedang yang dahsyat, khusus ditujukan pada lawan yang membelakangi jurang.

   Hendak ia desak orang itu supaya menyurut mundur dan jatuh ke dalam jurang! Tetapi kalau orang itu tahu bahaya dan hanya menghindar....

   Ki Ih hendak menggunakan kesempatan itu untuk loncat ke dalam jurang.

   Ia lebih suka mati di dasar jurang daripada mati ditangan musuh-musuh yang dibencinya itu! Dalam sekejab mata saja, 300 jurus telah berlangsung.

   Berkat kenekadannya, dapatlah Ki Ih mendekati tepi karang.

   Dua tiga jurus lagi, ia tentu dapat menghalau musuh yang menghadang dimuka dan akan terbukalah kesempatan untuk lolos.

   Tetapi untuk mencapai tujuan itu bukanlah hal yang mudah.

   Tiga ratus jurus tadi benar-benar telah menghabiskan tenaganya.

   Tubuhnya bersimbah keringat.

   Ia paksakan diri mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya.

   Tetapi ternyata tenaganya sudah habis Pedangnya mulai lambat, tubuh berguncang-guncang dan pandang matanya pun berbinar-binar.

   Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri campur gelak tawa mengejek.

   Toh Hun-ki mendahului kawankawannya menusuk dada wanita itu.

   Pada detik maut hendak merenggut jiwa Ki Ih, sekonyongkonyong sesosok tubuh dalam jubah hitam melayang di udara.

   Dan serempak dengan itu segelombang sinar merah melanda dan tahu2 senjata kesepuluh tokoh yang mengeroyok Ki Ih itu, jatuh berhamburan ke tanah....

   Siau-liong melayang turun dan memandang kesekeliling.

   Melihat Pendekar Laknat muncul, Ki Ih segera sarungkan pedang dan duduk bersemedhi memulangkan tenaga.

   Tahu bahwa ibunya tak terluka, Siau-liong tak mau mengganggunya.

   Kini ia menghadapi berpuluh jago silat yang saat itu sama menghunus senjata dan menghampiri.

   "Hai, setan Laknat, engkau menolong aku tetapi mengapa menolong wanita ganas itu!"

   Tegur Toh Hun-ki. Diam-diam Siau-liong girang. Ia hendak mengulur waktu. Maka tertawalah ia senyaring-nyaringnya.

   "Toh tua salah engkau Seharus memanggil aku Pendekar Laknat yang gila. Gila, ya memang gila! Apakah engkau perlu tahu alasanku?"

   Serunya. Siau-liong tertawa lagi.

   "Aku dapat menolong, pun dapat membunuhmu. Aku dapat menolong Ki Ih, tetapi dapat membunuhnya juga. Bukan sigila Pendekar Laknat kalau tidak bertindak segila. ini!"

   Tiba-tiba ia berputar tubuh dan "bum...."

   Empat orang murid Liau Liau taysu yang menyerang dari belakang, telah disongsong dengan sebuah pukulan.

   Tubuh keempat orang itu terlempar ke dalam jurang.

   Sekalian orang terkejut melihat kesaktian Pendekar Laknat yang jauh lebih sakti dari 20 tahun berselang.

   Liau Liau taysu walaupun marah, tetapi tak dapat berbuat apa2.

   "Pendekar Laknat mengapa engkau mengganas orang secara begitu kejam? Apakah engkau yakin mampu turun dari gunung Pit-ka-san ini?"

   Bentak Toh Hun-ki, ketua Kong-tongpay. Siau-liong tertawa dingin.

   "Menyerang secara gelap, apakah kalian anggap benar? Aku bebas datang dan pergi. Apakah engkau yakin merintangi aku? Hm, jangan gegabah!"

   Tokoh2 yang pernah berjumpa dengan Pendekar Laknat pada 20 tahun yang lalu, diam-diam heran.

   Mengapa sekarang nada tertawa momok itu sedemikian menggerincing dan jauh sekali bedanya dengan tertawa Pendekar Laknat yang dulu? Sikap dan kata2nya juga tak seliar dahulu.

   "Suheng, jangan termakan siasatnya yang hendak mengulur waktu!"

   Tiba-tiba keempat Sulo dari Kong-tong-pay berseru kepada Toh Hun-ki.

   Bersama Liau Liau taysu, keempat Su-lo itu segera maju menyerang.

   Toh Hun-ki cepat mencegah keempat Su-lo tetapi tak keburu merintangi Liau Liau taysu.

   Karena marah kehilangan empat orang muridnya, Liau Liau taysu menyerang dengan cepat sekali.

   Namun Siau-liong acuh tak acuh.

   Tak mau ia melayani serangan paderi itu dengan sungguh2.

   Tetapi Liau Liau taysu makin kalap.

   serangan pertama luput, ia susuli lagi dengan serangan kedua yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

   Sesungguhnya tadi Siau-liong gunakan tenaga dalam untuk menyedot serangan Liau Liau taysu.

   Pada saat paderi itu menyerang yang kedua kali, saat itu juga Siau-liong pentalkan kembali sedotan tenaga-dalamnya.

   Seketika terdengar letupan keras Liau Liau taysu terhuyung beberapa langkah.

   Mulutnya menyembur darah dan jatuhlah ia terduduk di tanah.

   Wajahnya pucat lesi.

   Buru-buru ia pejamkan mata untuk mengatur peredaran darahnya.

   Menyaksikan peristiwa itu, Toh Hun-ki dan rombongannya terlongong-longong.

   Dan pada saat itulah Ki Ih loncat bangun dan terus lari lenyap dalam kegelapan malam! Siau-liong terkejut Diam-diam ia siap untuk memberi bantuan kepada ibunya apabila musuh hendak merintangi.

   Tetapi ia pun merasa kecewa sekali.

   Kesempatan untuk berjumpa dengan ibunya, kembali hilang.

   Kini ia tumpahkan kemarahannya kepada orang2 itu.

   Sambil kerahkan tenaga dalam, ia maju menghampiri mereka.

   Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay, menginsyafi bahwa saat itu akan meletus pertempuran maut.

   Suatu pertempuran yang akan menggoncangkan dan berakibat besar dalam dunia persilatan, Ia ambil posisi ditengah....

   Tokoh2 yang lain pun serentak berbaris dibelakangnya.

   Tahu betapa penting arti pertempuran itu, Toh Hun-ki tak berani bertindak gegabah.

   Setelah dahulu mendesak murid kesayangannya, Tong Gun-liong supaya bunuh diri, ketua Kong-tong-pay itu amat menyesal.

   Karena kematian Tong Gun-liong itu telah membangkitkan kemarahan sicantik Ki Ih.

   Jika saat itu tambah lagi seorang Pendekar Laknat, ah....

   partai Kong-tong-pay tentu hancur....! Diam-diam ketua Kong-tong-pay itu sudah menyiapkan rencana, serunya.

   "Pendekar Laknat. apakah kemunculanmu sekarang ini hendak mengganas.... membunuh.... dan menjagal orang?"' Siau-liong tak menyahut. Ia kehilangan faham bagaimana hendak menyelesaikan dendam kematian ayahnya serta pesan mendiang Koay suhu. Kesempatan itu tak disia-siakan Toh Hun-ki. Ketua Kongtong- pay itu melanjutkan pula.

   "Semua ketua partai persilatan dan para tiang-lo yang berada disini, mempersilahkan saudara turun gunung."

   Habis berkata ketua Kong-tong-pay itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh.

   Sekalian tokoh pun mengikuti tindakannya.

   Detik2 itu amat tegang sekali.

   Sekalian tokoh tak tahu apakah tawaran berdamai itu akan disambut baik oleh Pendekar Laknat.

   Sekonyong-konyong Siau-liong bersuit nyaring lalu melenting tinggi ke udara.

   Berjumpalitan dua kali lalu meluncur turun terus meluncur ke bawah gunung.

   Dalam sekejab, ia lenyap dalam kegelapan.

   Siau-liong hendak menyusul ibunya.

   Tetapi wanita itu sudah lenyap.

   Dalam beberapa kejab saja, ia sudah lari belasan li.

   Tiba-tiba tampak tiga sosok bayangn hitam terapung-apung di permukaan sungai Kim-sat-kiang.

   Ketika dekat, kejut Siau-liong bukan kepalang.

   Ketiga sosok bayangan hitam itu adalah Tiau Bok-kun yang tengah diserang Soh-beng Ki-su, si Pertapa pencabut nyawa.

   Dan yang seorang lagi, bukan lain Ki Ih, ibu Siau-liong.

   Kiranya setelah sadar, Tiau Bok-kun masih perlu bersemedhi memulihkan tenaga Setelah sembuh, ia segera keluar mencari jongos penginapan.

   Dari keterangan pelayan itu, barulah ia mengetahui bahwa yang menolongnya adalah Siau-liong.

   Tetapi ia heran, mengapa Siau-liong tinggalkan dirinya dalam rumah penginapan situ? Kemudian setelah mendengar keterangan sipelayan bahwa Siau-liong bersama seorang nona yang menginap di kamar sebelah, seketika timbullah rasa cemburu dalam hati Tiau Bokkun.

   Ah, Siau-liong telah melupakan dirinya karena terpikat seorang gadis lain! Segera Tiau Bok-kun lari menuju ke sungai Kim-sat-kiang.

   Ia tidak mencari Siau-liong dan merebutnya lagi dari tangan gadis itu.

   Dengan ilmu lari cepat, Tiau Bok-kun tiba di kaki gunung Pit-ka-san.

   Tepat pada saat itu, Soh-beng Ki-su pun turun dari gunung.

   Dan bertemulah keduanya.

   Walaupun sadar bahwa tak dapat menandingi Soh-beng Kisu, namun Tiau Bok-kun tetap hendak merebut kembali separoh bagian dari Pending Kumala yang dirampas pertapa itu.

   Setelah dua tiga kali bertempur dengan Soh-beng Ki-su, Tiau Bok-kun sudah mempunyai pengalaman.

   Ia harus mengembangkan kelebihannya dalam ilmu ginkang, untuk menutupi kekurangannya dalam tenaga dalam.

   Kebalikannya Soh-beng Ki-su tak bersemangat untuk bertempur.

   Ia kuatir akan dikejar Pendekar Laknat atau Ki Ih.

   Tetapi karena tak bersemangat, kebalikannya ia sukar untuk meloloskan diri.

   Dan memang yang dicemaskan itu, ternyata terbukti.

   Saat itu muncullah Ki Ih yang terus menyerangnya.

   Dengan demikian Soh-beng Ki-su makin kelabakan.

   Sesaat membayangkan kemungkinan munculnya Pendekar Laknat, semangat Soh-beng Ki-su makin kacau.

   Ia terus menerus main mundur saja.

   Siasat main mundur itu dimaksud untuk menjauhkan diri dari Pit-ka-san serta menghindari Pendekar Laknat.

   Tetapi diluar dugaan, karena lari tanpa tujuan, Siau-liong malah memergoki mereka.

   Siau-liong amat girang sekali.

   Wanita yang satu, adalah ibunya sendiri.

   Dan yang menjadi lawannya adalah musuh besar Siau-liong.

   Diam-diam ia membulatkan tekad untuk meringkus pertapa itu.

   Segera ia mencari alat untuk meluncur di air.

   Ia berhasil memperoleh dua keping kayu.

   Dengan berdiri di atas keping kayu itu, ia meluncur ketempat pertempuran.

   Melihat kemunculan orang yang paling ditakuti, serasa terbanglah semangat Soh-beng Ki-su Satu-satunya jalan yang paling selamat, hanyalah melarikan diri.

   Saat itu Siau-liong hanya terpisah tiga empat tombak.

   Ia sudah siapkan pukulan maut.

   Pertapa itu pasti hancur lebur.

   Tetapi se-konyong2 ketiga orang yang bertempur itu bubar dan lari, Ki Ih meluncur ke tepi sungai.

   "Ibu."

   Diam-diam Siau-liong menjerit kaget.

   Diantara dua pillhan.

   ibu atau musuh, ternyata ia memilih ibu.

   Dan segeralah ia melesat mengejar Ki Ih.

   Tetapi wanita itu terkejut karena Pendekar Laknat mengejarnya.

   Ia batalkan lari ke tepi sungai dan berputar arah, menuju ke tengah sungai lagi, Ia berasal dari Seberang Laut, kepandaiannya berjalan di atas air, amat mengagumkan.

   Dipermukaan laut yang berombak besar, ia dapat berlari-lari seperti di tanah datar.

   Apalagi hanya permukaan sebuah sungai.

   Tetapi Siau-liong pun ngotot.

   Ia tak mau lepaskan kesempatan untuk menemui ibunya itu.

   Ki Ih menggunakan dahan pohon, sedang Siau-liong memakai keping kayu.

   Yang satu seorang wanita berkerudung muka.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang seorang, seorang tua buruk muka.

   Mereka saling berkejaran di atas permukaan bengawan Kim-sat-kiang.

   Akhirnya melihat pengejarnya makin dekat, Ki Ih berputar tubuh dan menyerang dengan ilmu Pedang Kilat.

   Siau-liong terkejut.

   Betapapun ia tak berani melawan ibunya sendiri.

   Tetapi serangan Pedang Kilat itu benar-benar luar biasa cepatnya.

   Terpaksa ia apungkan tubuh melayang melampaui kepala ibunya.

   Tetapi dengan tindakan itu, keping papan yang dibuat pijakan tadi, terdampar air dan tenggelam.

   Untung Siau-liong masih dapat gunakan ilmu meringankan tubuh ketika ia meluncur ke pe-mukaan air, sehingga ia tak sampai tenggelam.

   Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata ibunya sudah meluncur jauh.

   Tiba-tiba ia melihat keping papan-pinjakannya tadi dibawa arus.

   Cepat ia memburu dan memakainya lagi.

   Ketika hendak mengejar, ibunyapun sudah melarikan diri.

   Tetapi wanita itu tak mau lari jauh.

   Ia berdiri dengan sebelah kaki pada dahan kayu sehingga dapat meluncur pesat.

   Ia tetap mondar-mandir di sepanjang permukaan sungai karena kuatir akan keselamatan Tiau Bok-kun.

   Kalau nona itu kalah ia segera membantunya.

   Kepandaian berjalan di atas air, Siau-liong kalah jauh dengan ibunya.

   Diam-diam Siau-liong kagum melihat ibunya dapat meluncur dengan sebelah kaki.

   Pemuda itu lupa bahwa saat itu ia masih dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat sehingga ibunya melarikan diri.

   Siau-liong meniru menginjak papan kayu dengan sebelah kaki mengejar.

   Seharusnya Soh-beng Ki-su melarikan diri.

   Tetapi ternyata ia masih bertempur dengan Tiau Bok-kun.

   Terang dia tentu mempunyai rencana.

   Tepat pada saat Ki Ih berhasil lolos dari sergapan Siauliong, tiba-tiba Tiau Bok-kun menjerit.

   Bahu nona itu kena ditutuk oleh Soh-beng Ki-su Dan secepat rubuh, tubuh nona itu terus disambar dan dibawa lari oleh pertapa itu.

   Mendengar jeritan itu, Siau-liong berpaling.

   Ketika melihat apa yang terjadi, ia lepaskan ibunya dan terus mengejar Sohbeng Ki-su.

   Tetapi ketika tiba di daratan, ternyata Soh-beng Ki-su sudah hampir mencapai daerah gunung.

   Cepat Siauliong mengejar terus.

   Soh-beng Ki-su benar-benar seorang tua yang licin.

   Ia gunakan siasat menyusup kesana, menyelinap kemari sehingga Siau-liong kehilangan jejak.

   Entah sudah berselang berapa lama mereka berkejaran itu, tahu2 saat itu matahari sudah mulai condong kebarat lagi.

   Karena mengepit tubuh orang, akhirnya letih juga Soh-beng Ki-su sehingga larinya pun kurang cepat.

   Melihat itu Siau-liong percepat larinya.

   Saat itu Siau-liong sudah hampir berhasil menyusul tetapi tiba-tiba Soh-beng Ki-su melesat ke dalam gerumbul dan lenyap! Siau-liong gunakan jurus Naga-melingkar-delapan-kali untuk berloncatan di udara dan melayang ketempat Soh-beng Ki-su lenyap tadi.

   Ternyata di dekat situ terdapat sebuah saluran air seluas dua li.

   Saluran sungai itu menjurus loncatan diantara gugusan batu yang bertaburan disepanjang saluran.

   Dan saat itu hampir mencapai ujung terakhir.

   Siau liong girang karena ujung saluran itu buntu.

   Cepat ia apungkan tubuh ke atas segunduk batu besar.

   Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba batu itu bergerak....

   Cepat ia loncat kembali ketempatnya tadi.

   Batu besar itu berguguran, menghamburkan tanah lumpur ke udara.

   Setelah lumpur lenyap, kejut Siau-liong bukan alang kepalang.

   Ternyata batu yang diinjaknya tadi adalah kepala seekor ular besar.

   Binatang itu mengangkat kepalanya ke atas lalu menyerang Siau-liong.

   Tetapi Siau-liong dapat menghindari.

   Setelah dua tiga kali serangannya tak berhasil, ular itu marah dan menyemburkan segumpal asap beracun....

   Siau-liong menjerit kaget.

   Sambil salurkan tenaga dalam Bu-kek-sin-kang ketelapak tangan, ia berjumpalitan dengan gerak Naga-berputar-18-kali, lepaskan hantaman lalu meluncur ke atas sebatang pohon disebelah kiri.

   Tetapi pukulan sakti Bu-kek-sin-kang tak mampu menghalau uap beracun yang tetap melayang ketempat Siauliong.

   Siau-liong makin kaget.

   Tak mungkin ia dapat menghindar kelain tempat lagi.

   Akhirnya ia nekad, apungkan tubuh melayang ke atas badan ular raksasa.

   Tetapi tiba-tiba sisik ular itu bertebaran menyerangnya.

   Setiap helai sisik, merupakan seperti sebatang badik tipis.

   Untunglah Siau-liong dapat menghalau sisik maut itu.

   Kemudian ia berjumpalitan menyerang punggung ular.

   Rupanya ular itu jeri juga.

   Sambil menyerang dengan kepala dan ekor, binatang itu siap2 melarikan diri.

   Kejut Siau-liong makin besar.

   Ternyata ular raksasa itu bukan ular sesungguhnya tetapi sebuah ular tiruan yang digerakkan dengan alat.

   Setelah mengetahui rahasianya, Siau-liong segera lancarkan serangan hebat dengan tangan kanan dan kiri.

   Terdengar ledakan dahsyat dan ular itu pun hancur berkepingkeping.

   Siau-liong menghela napas longgar.

   Memandang kesekeliling, hanya karang dan batu2 berserakan yang menabur seluruh permukaan sungai itu.

   Tetapi ketika memperhatikan dengan seksama ternyata batu2 itu seperti diatur orang dengan rapi.

   Siau-liong termenung.

   Ia harus menolong Tiau Bok-kun tetapi keadaan tempat disitu amatlah misterius dan berbahaya.

   Tiba-tiba entah darimana, air meluap dan mengalir deras sekali dan cepat merendam batu2 dipermukaannya.

   Sungai meluap, bukan soal.

   Tetapi ia kuatir batu2 itu merupakan alat rahasia yang berbahaya.

   Akhirnya ia gunakan gerak Naga-berputar-18-kali melayang kekarang sebelah muka.

   Tetapi baru kaki menginjak karang itu, ia segera mengeluh.

   "Celaka!"

   Batu karang menonjol itu menyurut ke dalam dan berbareng itu dari kedua samping, berhamburanlah panah beracun serta bermacam senjata rahasia.

   Untunglah Siau-liong tak gugup.

   Ia gunakan ilmu berat tubuh Cian-kin-tui, meluncur kepermukaan air dibawah.

   Tetapi segera ia menyadari bahwa ilmu kepandaianya meringankan tubuh, belum mencapai tingkat dapat berjalan di atas air.

   Namun ia tak putus asa.

   Cepat ia dapat menemukan akal.

   Ratusan batang anak panah dan lain-lain senjata rahasia yang terapung di atas air itu, dapat digunakan sebagai alat berjalan di air.

   Dan ternyata memang benar.

   Dengan menginjak di atas ratusan batang anak panah, dapatlah ia meluncur kemulut saluran sungai.

   Tiba di ujung saluran, cepat ia loncat kekarang sebelah samping.

   Karena ujung saluran itu meluncur ke bawah, merupakan suatu air terjun yang berpuluh tombak tingginya.

   "Pertapa itu tentu mengambil jalan kecil ini, pikirnya sambil mengamati jalan kecil yang terdapat dikarang situ. Sejenak meragu. ia terus melangkah maju. Berjalan beberapa langkah, terdengar gumpalan karang berguguran jatuh. Setelah tenangkan diri, ia lanjutkan langkah lagi. Dan sampai sekian lama, ia tak mendapat gangguan suatu apa lagi. Ujung penghabisan dari jalan itu. merupakan sebuah lembah. Disitu terdapat sebuah pintu raksasa dari batu yang penuh guratan hurup Jun atau musim Semi. Ia tak menyadari bahwa saat itu ia tengah berada di lembah "Ban-jun koh atau lembah Musim-semi.

   "

   Siau -liong tak menghiraukah suatu apa.

   Ia terus maju.

   Ah, serasa ia memasuki sebuah dunia baru.

   Dunia yang beralam keindahan musim Semi.

   Penuh bunga2 mekar, rumput2 hijau dan alam nan segar berseri.

   Hembusan angin sepoi mengantar bau bunga, membuat semangat Siau-liong sedap segar.

   Lembah Musim-semi itu merupakan akibat dari gempa bumi sehingga karang dan batu2 merekah, jaluran air malang melintang bagaikan jaring labah-labah.

   Siau-liong amat gembira.

   Setelah membuka baju luarnya yang basah, ia menyusur jalan kecil ditengah padang bunga.

   Tiba-tiba ia mendengar orang menyanyi lagu 'Keindahan alam dan Kehidupan' Ia terkejut dan cepat memandang kesekeliling.

   Tetapi tak menemukan apa2.

   Ia berhenti.

   Jelas suara nyanyian itu berasal dari seorang wanita.

   Kembali terdengar nyanyian itu mengalun.

   Nadanya melengking tinggi macam orang merintih.

   Siau-liong terkesiap.

   Sekonyong-konyong muncul seekor burung kakak tua besar.

   Dan hampir saja Siau-liong melonjak kaget ketika burung itu dapat berseru seperti manusia.

   "Ada tamu! Ada tetamu....!"

   Belum Siau-liong mengambil suatu tindakan tiba-tiba muncul seekor burung gagak hitam terbang melayang di udara dan berbunyi beberapa kali.

   Siau-liong tersirap dan seketika ingat bahwa saat itu ia sedang mengejar Soh-beng Ki-su.

   Cepat2 ia ayunkan langkah lagi.

   Tetapi jalan disebelah depan penuh dengan lingkaran saluran air kecil yang melingkar-lingkar seperti jaring labah-labah.

   Hutanpun makin lebat sehingga ia kehilangan arah.

   Tiba-tiba burung kakak tua tadi me-lonjak2 di atas dahan pohon lalu melayang kemuka dengan pelahan.

   Seketika timbullah pikiran Siau-liong.

   Jika burung itu dapat bicara, tentulah burung piaraan orang.

   Ia memutuskan untuk mengikuti arah terbangnya kakak tua itu.

   Ternyata pemandangan dalam lembah itu makin lama makin mengagumkan.

   Penuh dengan pohon-pohon bunga dan rumput2 hijau serta desir air mengalir disaluran.

   Angin pun menebarkan bau yang harum.

   Setelah dua kali membelok tikungan dan melintasi beberapa hutan, tiba-tiba kakak tua itu terbang cepat, masuk ke dalam hutan lebat.

   Siau-liong tertegun.

   Saat itu ia tiba dimuka sebuah lembah yang sempit.

   Sebuah batu besar penggunduk ditengah mulut lembah.

   Mirip dengan pintu.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tengah ia bersangsi, tiba-tiba dendang nyanyian itu kembali terdengar melantang dari dalam lembah.

   "Masakan nyanyian itu suara burung kakak-tua?"

   Diamdiam ia meragu setelah mendengar jelas lagu yang dinyanyikan.

   Ia terus maju memasuki mulut lembah.

   Tetapi apa yang terbentang dihadapannya, benar-benar membuatnya terkejut bukan kepalang.

   Di dalam lembah itu ternyata merupakan sebuah tanah datar yang seluas sepuluh tombak.

   Ditengahnya terdapat sebuah empang.

   Di atas empang tertutup oleh asap putih menyerupai awan.

   Dalam kabut putih itu samar-samar tampak 20 lebih wanita cantik yang rambutnya terurai kebahu.

   Mereka tengah bermain-main dalam empang itu.

   Seorang dara yang tengah bersandar pada sebatang pohon liu tengah berdendang lagu.

   Kiranya nyanyian tadi, adalah dara itu yang mendendangkan.

   Siau-liong ter-longong2 mengawasi pemandangan disitu.

   "Kongcu datang!"

   Tiba-tiba seorang gadis cantik berpakaian kuning berteriak.

   Rombongan dara yang tengah bermain-main diempang itu serentak tertegun.

   Cepat mereka pencarkan diri dalam dua rombongan dan tegak dengan khidmat.

   Tak berapa lama dari dalam hutan muncul delapan gadis dengan membawa semacam selendang.

   Mereka menghampiri empang dan berdiri dalam dua rombongan.

   Sesaat kemudian muncullah seorang wanita yang amat cantik, dalam pakaian yang gilang-gemilang.

   Serentak barisan gadis-gadis itupun berdiri memberi hormat.

   Sejenak wanita cantik itu memandang kesekeliling lalu bertanya.

   "Mana Siau-jui!"

   Seorang bujang yang mengawal disamping, segera berteriak.

   "Siau-jui' Siau-jui....!"

   Dari arah hutan terdengar suara penyahutan.

   Dan seekor burung kakak tua segera terbang melayang hinggap di atas bahu wanita cantik itu.

   Ah, kiranya burung kakak tua yang diikuti Siau-liong tadi.

   Sambil tertawa wanita itu mengelus-elus kepala kakak tua lalu menyerahkan kepada seorang bujang.

   Kemudian ia membuka pakaian hendak mandi.

   "Jangan! Jangan mandi ada orang asing!"

   Tiba-tiba kakak tua itu berbunyi nyaring. Nona cantik itu tertegun. Ia tak jadi membuka pakaian. Dan Siau-liong pun terkejut. Cepat ia bersembunyi tetapi terlambat. Dua orang bujang menjerit kaget.

   "Mundur!"

   Bentak nona cantik seraya loncat kemulut lembah. Karena sudah kepergok, terpaksa Siau-liong unjuk diri sekali. Ia memberi hormat dan menjelaskan.

   "Karena tersesat jalan. aku keliru masuk kemari. Harap nona maafkan!"

   Sicantik terkejut mundur selangkah. Ditatapnya Siau-liong dengan tajam. Rambut Siau-liong yang kusut masai terurai kebahu, mata besar, hidung dan mulut lebar serta muka kotor, membuat sicantik tertawa.

   "Nona menertawakan aku...."

   Lama sekali nona cantik itu tertawa. Kemudian berseru.

   "Kalau tak salah tuan tentulah Pendekar Laknat yang termasyhur diseluruh jagad itu?"

   Siau-liong terkesiap.

   Ia menyadari bahwa saat itu ia masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.

   Maka ia mengiakan.

   Nona itu juga tertegun.

   Rupanya ia heran melihat perobahan sikap dan ucapan Pendekar Laknat.

   Rupanya Siau-liong menyadari.

   Buru-buru ia berganti dengan nada parau seperti orang tua.

   "Jika tak salah, nona tentulah pemilik lembah Musim-semi ini."

   Sicantik tertawa mengikikik.

   "Engkau menduga tepat. Konon kabarnya lo-cianpwe disohorkan congkak, angkuh dan ganas. Tetapi kenyataannya lo-cianpwe seorang yang amat ramah!"

   Dipanggil 'lo-cianpwe' Siau-liong terpaksa hanya meringis lalu tertawa gelak2. Sicantik memainkan biji matanya yang indah beberapa jenak, lalu berkata pula.

   "Kabarnya lo-cianpwe sudah mengasingkan diri digunung selama 20 tahun. Entah mengapa lo-cianpwe mendadak mengunjungi lembah yang sunyi ini...."

   Siau-liong hendak menyahut tetapi nona itu cepat mendahului lagi.

   "Sungguh suatu kehormatan besar sekali locianpwe sudi berkunjung kemari. Silahkan masuk ke dalam lembah. Kami hendak menghormat dengan mempersembahkan minuman sekedarnya!"

   Nona itu lalu menyisih kesamping mempersilahkan tetamunya.

   Siau-liong terpaksa masuk ke dalam lembah.

   Ia mempunyai dua alasan.

   Pertama, kemungkinan Soh-beng Kisu tentu mempunyai hubungan dengan nona itu.

   Kedua, ia ingin tahu apakah sebenarnya yang disebut lembah Musimsemi itu! Ternyata ditengah hutan terdapat sebuah jalan yang bersih, menuju kesebuah bangunan gedung besar dan megah.

   Pintunya bercat warna emas dan dihias dengan ukir-ukiran yang indah.

   Empat orang bujang cepat menyambut kedatangan si nona dengan hormat.

   Si nona suruh mereka pergi.

   Kemudian ia mengajak Siau-liong masuk dan duduk dimeja yang penuh hidangan dan minuman.

   Tak lama, terdengar bunyi tetabuhan harpa yang merdu.

   Siau-liong terkesiap.

   Tiba-tiba nona itu berbangkit mengangsurkan secangkir teh wangi kepada Siau-liong.

   "Silahkan minum."

   Siau-liong tertawa menyambut tetapi ia letakkan lagi dimeja.

   Lengan baju si nona bergetar dan setiup hawa wangi menabur hidung Siau-liong.

   Seketika bergeloralah darah Siauliong, nafsu berkobar.

   Berpaling ke arah pemilik lembah, didapatinya si nona tengah menyungging senyum manis, mata mengicupkan sinar kecabulan....

   Saat itu hampir Siau-liong tak kuat menahan diri lagi.

   Ia hendak memeluk nona cantik itu.

   Tetapi sekonyong-konyong ia terkesiap ketika telinganya serasa mendengar bentakan.

   "Jangan!"

   Cepat ia tenangkan pikiran, katanya.

   "Aku sudah tua, mungkin tak dapat memenuhi harapan nona!" - Diam-diam ia pancarkan tenaga - sakti Bu-kek-sin-kang ke arah nona itu. Nona itu terkejut dan terhuyung mundur sampai 5-6 langkah.

   "Kuperlakukan engkau sebagai seorang cianpwe, tetapi engkau...."

   "Ha, ha,"

   Siau-liong menukas tertawa.

   "Jangan banyak omong. Aku akan pergi!"

   Pada saat Siau-liong melangkah muncullah 20 orang gadis dengan menghunus pedang. Siau-liong tertawa.

   "Jika nona tahu siapa diriku, mengapa suruh anak2 perempuan mengantar jiwa?"

   Nona cantik itu menghela napas dan suruh gadis2 itu menyingkir. Kemudian ia berkata kepada Siau-liong.

   "Jika locianpwe hendak pergi, silahkanlah...."

   Tiba-tiba nadanya berobah rawan.

   "Rupanya kita tak dapal keluar dari lembah ini!"

   "Mengapa?"

   Siau-liong terkejut. Kembali nona itu menghela napas.

   "Ah, apakah lo-cianpwe tak tahu? Seluruh tahun lembah ini beriklim hangat seperti musim Semi. Sumber air disini mendidih panas. Hal ini akibat dari hawa panas dari kerak bumi. Dan tanah lembah ini mengandung tambang belirang. Kami yang sejak kecil hidup disini. memiliki jasmani yang beda dengan orang kebanyakan. Apabila kami keluar dari lembah ini, dalam waktu setahun saja, semua ilmu kepandaian kami tentu lenyap dan kami pun mati!"

   Siau-liong tergerak hatinya.

   "Apakah kalian hendak tinggalkan lembah ini?"

   Tanyanya. Nona itu kerutkan dahi.

   "Sebagai wanita persilatan, kami ingin mencari pengalaman dan melakukan dharma kebaikan. Sudah tentu kami ingin sekali keluar dari tempat ini,"

   Siau-liong mengangguk.

   "Lalu dengan cara bagaimana kalian hendak keluar dari lembah ini?"

   Tiba-tiba nona itu berlutut dan bercucuran air mata.

   "Justeru itulah kami hendak minta lo-cianpwe menolong."

   "Ah, tetapi aku seorang tiada berguna,"

   Siau-liong tersipusipu. Nona itu menangis.

   "Lo-cianpwe seorang sakti tiada tanding. Jika tak mau memberi pertolongan, lebih baik kami mati saja!"

   "Nanti dulu,"

   Buru-buru Siau-liong mencegah, asal dapat saja, aku tentu mau membantu!"

   "Asal lo-cianpwe mau, tentu dapat menolong kami,"

   Nona itu tertawa. Ia memberi hormat, berbangkit lalu duduk didepan meja. Siau-liong-pun terpaksa duduk lagi.

   "Kami telah mendapat bantuan Soh-beng Ki-su untuk mencari peta pusaka. Dengan peta pusaka itu kami akan menemukan penyimpanan pusaka. Diantaranya terdapat semacam pil Hian-ki-tan yang berkhasiat membikin tulang2 kita seperti baru tumbuh lagi. Dengan begitu dapatlah kami memiliki jasmani seperti orang biasa. Separoh bagian dari peta itu berhasil direbut Soh-beng Ki-su. Tetapi yang separoh bagian masih berada pada lo-cianpwe. Maka sudilah locianpwe memberikan kepada kami, sesuai dengan kesediaan lo-cianpwe hendak menolong kami tadi!"

   Siau-liong terkejut ketika mendengar kata2 si nona. Ternyata dugaannya benar. Soh-beng Kisu bersembunyi dalam lembah situ. Tetapi dia seorang pemuda yang berhati welasasih. Ia kasihan kepada nasib gadis2 itu.

   "Tetapi benda itu tak berada padaku. Desas-desus dalam dunia persilatan itu tidak benar...."

   Katanya. Seketika berobahlah wajah si nona. Ia tertawa sinis.

   "Benar, memang separoh dari Pending Kumala itu berada ditangan ketua Kong-tong-pay.... Tetapi lo-cianpwe sudah berulang kali menempurnya. Menilik kesaktian lo-cianpwe, tentulah peta itu sudah ditangan lo-cianpwe...."

   Nona itu berhenti sejenak lalu berkata lagi.

   "Apabila kedua peta disatukan, tentulah mudah mencari pusaka itu. Terus terang, pusaka itu disimpan dalam gunung ini. Aku hanya menghendaki pil Hian-ki-tan saja. Lain-lain kuserahkan kepada lo-cianpwe semua!"

   "Tetapi benda itu benar-benar tak berada padaku. Jika tak percaya, terserah!"

   Tetapi nona itu makin ngotot "Sudah 20 tahun lo-cianpwe mengasingkan diri. Jika bukan karena pusaka itu, tak mungkin lo-cianpwe akan muncul lagi!"

   Saat itu barulah Siau-liong menyadari kalau Giok-pwe atau Pending Kumala merupakan penyebab dari kehebohan besar.

   Dan teringat jugalah ia akan kata2 Pengemis Tertawa dalam rapat Kay-pang di biara tempo hari.

   Pengemis itu mengatakan bahwa dunia kacau-balau.

   Keempat durjana Thian, Te, Liong dan Hou bermunculan di dunia persilatan.

   Tentulah mereka juga terpikat oleh peta pusaka itu.

   Siau-liong tertegun.

   "Lalu apakah tujuan lo-cianpwe mengejar Soh-beng Ki-su itu?"

   Tanya nona itu pula.

   "Untuk menolong nona Tiau Bok-kun!"

   "Bukan untuk menolong Pending Kumalanya?"

   Nona itu menyindir. Siau-liong mengkal sekali, sahutnya.

   "Ya, anggaplah begitu karena benda itu warisan keluarganya."

   Nona itu tertawa mengejek. Tiba-tiba wajahnya berobah bengis lalu membentak.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Rusa tua, sudah kuketahui kelicikanmu."

   Siau-liong terkesiap.

   Wanita memang aneh.

   Beberapa saat berselang masih merengek-merengek menyebut lo-cianpwe.

   Sekarang berbalik memaki-maki! "Tak perlu bersilat lidah menutupi maksudmu.

   Aku adalah seorang pembohong besar.

   Tak mungkin engkau dapat mengelabuhi aku"

   Maka tiba-tiba nona itu menghambur ejek.

   "Memang kenyataan begitu, apakah yang harus kukatakan? Jika tak percaya. akan kuserahkan separoh Giok-pwe yang berada pada Toh Hun-ki tetapi nona harus melepaskan nona Tiau!"

   Nona cantik itu tertegun. Ia heran mengapa sekarang Pendekar Laknat berubah menjadi manusia yang menjunjung budi kebaikan? Tetapi ia tak mudah percaya, serunya.

   "Kalau engkau hendak menolong Tiau Bok-kun, apakah engkau mau menemuinya? Dia berada disini!"

   Sebelum Siau-liong menjawab, nona itu sudah bertepuk tangan tiga kali.

   Dinding ruang yang semula merupakan batu marmar hijau, tiba-tiba berderak-derak merekah dan terbukalah sebuah pintu.

   Seorang nenek tinggi besar, memapah keluar seorang gadis yang rambutnya kusut masai.

   Siau-liong terkejut.

   Gadis itu adalah Tiau Bok-kun.

   Menilik wajah dan semangatnya yang sayu lunglai, tentulah gadis itu telah ditutuk jalan darahnya.

   Serentak Siau-liong hendak menghampiri.

   Tetapi nona pemilik lembah mengancamnya.

   "Selangkah lagi engkau berani maju, nona itu tentu kuhancurkan!"

   Siau-liong tertegun.

   "Serahkan!"

   Nona itu tertawa.

   "Apa yang harus kuserahkan?"

   Siau-liong heran.

   "Jangan pura-pura! Serahkan Giok-pwe itu ."

   "Apakah nona tak percaya kepadaku?"

   Tanya Siau-liong.

   "Mengapa aku harus percaya?"

   Siau-liong mendengus.

   "Ho, kiranya engkau juga pembohong"

   Nona itu tertawa ejek.

   "Tadi berbohong sekarang, tukar menukar Separoh Giok-pwe itu dapat ditukar dengan jiwa nona Tiau ini. Bagaimana kehendakmu "

   Sejenak Siau-liong kehilangan faham. Akhirnya ia tertawa.

   "Aha, kita sama2 bermain sandiwara. Engkau menipu aku, aku menipumu. Aku hendak menipu Giok-pwemu, engkau hendak menipu Giok-pweku...."

   "Sekarang baru engkau bicara benar!"

   Dengus nona itu. Siau-liong gelengkan kepala.

   "Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nasib nona Tiau. Menurut hematku, baiklah kita bertaruh. Siapa'yang menang, akan memperoleh kedua potong Giok-pwe itu. Setuju?"

   Nona itu merenung. Memang benar. Membunuh Tiau Bokkun pun tiada sangkut pautnya dengan kepentingan Pendekar Laknat.

   "Rusa tua, katakanlah bagaimana pertaruhan itu?"

   Katanya.

   "Seorang lelaki takkan berkelahi dengan orang perempuan. Orang tua takkan menghina orang muda. Baiklah kita bertaruh dalam soal kepandaian masing-masing dan tidak saling bertempur."

   "Caranya?"

   Tanya si nona.

   Pendekar Laknat mengusulkan untuk mengadu kepandaian melempar gundu ke dalam mangkuk.

   Nona itu terpaksa menyadari karena ia merasa tak menang dengan momok itu.

   Nona itu menyediakan 4 biji benda bundar dan sebuah mangkuk.

   Setelah menaruh benda2 itu di atas meja, Siau-liong mempersilahkan si nona yang melempar lebih dulu.

   Diam-diam nona itu tertawa dalam hati.

   Ia yakin tentu akan menang.

   Dengan gaya yang indah, ia lemparkan keempat gundu itu ke dalam mangkuk.

   Gundu ber-putar2 dan melingkar2 membentuk sepasang huruf ji (dua).

   "Menang!"

   Teriak si nona.

   "Nanti dulu, aku belum,"

   Seru Siau-liong terus mengambil gundu dan dilemparkan ke dalam mangkuk Gundu berputarputar kemudian berhenti dalam bentuk huruf Liok (enam) "Ha, ha, akulah yang menang!"

   Serunya.

   "Tidak, tidak! Gunduku dapat berputar lebih cepat."

   Teriak si nona.

   "Tetapi gunduku dapat membentuk jumlah yang lebih banyak!"

   Sahut Siau-liong.

   "Baiklah, engkau yang menang. Tetapi masih dua kali lagi bertanding,"

   Akhirnya nona itu mengakui. Ia menjeput gundu lalu dilemparkan lagi. Gundu2 itu berhenti berjajar-jajar rapi di tengah mangkuk. Nona itu tertawa bangga.

   "Jangan tertawa dulu,"

   Tukas Siau-liong seraya menjemput gundu lalu dilemparkan ke udara.

   "Klotek".... gundu2 itu berhamburan jatuh dan serentak berhenti ditengah mangkuk.

   "Engkau kalah lagi!"

   Serunya. Tiba-tiba nona itu menuding muka Siau-liong dan memaki.

   "Ho, bagus benar muslihatmu, rubah tua! Engkau sengaja menantang pertandingan bermain gundu ini supaya aku kalah. Tidak! Jika tak mau menyerahkan separoh Giok-pwe itu, jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini!"

   Siau-liong tertawa mengejek.

   "Jika dengan kepandaian, engkau mampu mengalahkan aku, tentu takkan ingkar. Tetapi caramu tidak jujur. Kalau menang, engkau meminta Giok-pwe. Tetapi kalau kalah, engkau cari alasan ini itu. Memang kalau aku sudah mati disini, tentu tak dapat keluar. Tetapi untuk membunuh Pendekar Laknat, lebih sukar daripada mendaki tangga kelangit!"

   Nona itu marah dan malu.

   Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam.

   Serentak ia mencabut pedang.

   Dengan jurus Bianglala-menutup-matahari.

   ia menusuk dada Siau-liong.

   Siau-liong mengendap dan menyurut mundur, Rombongan gadis yang terdiri dari 20 orang itu pun serentak pecah diri membentuk sebuah barisan.

   Kemudian mereka menghunus pedang dan maju menghampiri Siau-liong.

   Karena tak mencelakai gadis2 itu, Siau-liong menyurut mundur.

   Serangan pertama gagal, gadis pemilik lembah menyusuli lagi dengan serangan kedua dalam jurus Ular-putih-menyulur lidah.

   Ia menusuk dada Siau-liong sekuat-kuatnya.

   Saat itu Siau-liong sudah mundur kira2 terpisah dua meter dari tempat Tiau Bok-kun.

   Dengan gesit, ia mengisar dan menendang tangan si nona.

   Nona itu cepat merobah gerakan pedangnya.

   Tetapi diluar dugaan, tendangan Siau-liong itu hanya ancaman kosong.

   Begitu si nona menghindar, secepat kilat pemuda itu berputar diri kesamping sinenek tua dan menutuk punggungnya.

   Dan serempak dengan gerakan menutuk itu, tangan kiri pun menyambar bahu Tiau Bok-kun.

   Ia hendak menerobos keluar dari kepungan.

   "Tubuh tua yang licin!"

   Nona pemilik lembah memekik seraya menyerang dan memberi isyarat agar barisan gadis itu pun ikut menyerbu.

   Dalam keadaan seperti itu, terpaksa Siau-liong harus membela diri.

   Sebuah ayunan tangan kiri, membuat tiga orang gadis tersurut mundur, muntah darah dan terkapar di tanah Siau-liong terkejut.

   Ia menyadari bahwa pukulan yang diayunkan itu adalah ajaran pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun.

   Pukulan Thay-siang-ciang yang amat sakti! "Ha, ha, jangan mengantar jiwa sia-sia!"

   Serunya memberi peringatan.

   Pada saat si nona pemilik lembah tertegun, Siau-liong lepaskan lagi sebuah pukulan.

   Nona itu terkejut dan cepat loncat menghindar.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Siau-liong.

   Dengan gerak Harimau-buas-tinggalkan-gunung, sambil mengepit tubuh Tiau Bok-kun, ia loncat keluar pintu.

   Tetapi pintupun tertutup.

   Siau-liong menghantamnya dengan pukulan Bu-kek-sin-kang.

   "Bum...."

   Terdengar ledakan keras tetapi pintu itu tak kurang suatu apa.

   Siau-liong heran.

   Dalam pada itu rombongan gadis yang dipimpin nona cantik tadi pun tiba.

   Tetapi agaknya nona pemilik lembah itu gentar terhadap Pendekar Laknat.

   Ia tak berani segera menyerang melainkan memaki-maki dari kejauhan.

   Siau-liong cepat memutuskan.

   Kalau tak dapat menembus pintu muka mengapa ia tak mau coba menerjang pintu belakang? Sambil mendukung Tiau Bok-kun, ia loncat melayang keruang besar.

   Ternyata di belakang ruang itu, merupakan sebuah hutan lebat.

   Siau-liong menerobos ke dalam hutan.

   Ia kira, ujung hutan itu tentu merupakan jalan belakang keluar dari lembah.

   Tetapi ternyata, hutan itu gelap sekali.

   Melintas kian kemari, ia tetap hanya berputar-putar dalam hutan itu saja.

   Siau-liong gelisah.

   Ia memandang kesekeliling dengan seksama.

   Sejauh mata memandang, hanya pohon2 bunga yang tampak.

   Jarak pohon itu satu dengan lain hampir sama, sukar dibedakan.

   Sejenak tertegun, mulailah Siau-liong berjalan lagi dengan pelahan.

   Setiap tiga batang pohon diberinya tanda.

   Setelah lebih 40 pohon, ia telah mencapai dua li jauhnya.

   Tetapi ah....

   ternyata ia balik lagi pada jalan semula atau pohon pertama yang telah diberinya tanda tadi.

   Akhirnya ia menghela napas, meletakkan Tiau Bok-kun lalu bersandar pada pohon.

   Nona itu masih meram, tiga buah jalan darahnya ditutuk orang.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekalipun sudah ditolong Siau-liong tetapi nona itu tetap belum sadar.

   Terpaksa Siau-liong mengurutnya.

   Beberapa waktu kemudian barulah nona itu menguak dan tersadar.

   Begitu melihat Siau-liong, nona itu menjerit dan meronta hendak lari.

   "Nona Tiau, mengapa engkau ini?"

   Tegur Siau-liong. Dengan wajah pucat, nona itu menyurut mundur.

   "Engkau.... engkau bukan pendekar Lak...."

   "Jangan kuatir, aku takkan mencelakaimu!"

   Buru-buru Siauliong menukas setelah menyadari dirinya masih sebagai Pendekar Laknat. Tiau Bok-kun berhenti, memandang kesekeliling penjuru. Dengan tertawa, Siau-liong duduk dan berkata.

   "Silahkan duduk, nona."

   Dengan ragu2 nona, itu ikut duduk. Tiba-tiba ia teringat, serunya.

   "Tadi aku seperti ditutuk oleh Soh-beng Ki-su.... locianpwekah yang menolong?"

   Diam-diam Siau-liong geli. Sahutnya.

   "Benar, memang aku yang menolongmu. Tetapi saat ini kita masih terbenam dalam barisan musuh. Entah kita dapat atau tidak keluar dari lembah ini!"

   Buru-buru Tiau Bok-kun menghaturkan terima kasih, ujarnya.

   "Ah, kiranya lo-cianpwe seorang yang berbudi luhur. Desas-desus dalam dunia persilatan itu ternyata tidak benar!"

   "Desas desus bagaimana?"

   "Kabarnya 20 tahun yang lalu lo-cianpwe amat ganas gemar membunuh, congkak, dingin, tak suka bersahabat dan kejam sekali...."

   "Adakah aku sesuai dengan desas-desus itu?"

   Tiau Bok-kun tertawa kecil dan tundukkan kepala "Ku.... rasa tidak sesuai. Lo-cianpwe seorang baik. Aku tak percaya segala omongan orang itu!"

   Diam-diam Siau-liong merasa bahagia.

   Selebat hutan dalam lembah Musim-semi, hatinya terasa pekat sekali hingga tak dapat berkata-kata.

   Setelah beberapa saat, Tiau Bok-kun rasakan tenaganya pulih kembali.

   Melihat Pendekar Laknat diam saja, ia bertanya.

   "Lo-cianpwe, apakah kita tak berangkat lagi?"

   "Mungkin kita terpaksa bermalam disini,"

   Siau-liong tertawa hambar. Tiau Bok-kun terbeliak. Ia heran mengapa seorang tokoh yang sedemikian sakti, tak berdaya keluar dari hutan itu. Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa keras. Dan melengkinglah teriakan garang dari nona pemilik lembah.

   "Rubah tua, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali tergelincir juga. Betapapun saktimu, tetapi kali ini jangan harap engkau mampu keluar dari lembah ini!"

   Tiau Bok-kun berpaling memandang keseluruh penjuru, Tetapi ia tak dapat menentukan arah datangnya suara itu.

   Siau-liong murka.

   Dengan menggembor keras ia menghamburkan lima buah pukulan Bu-kek-sin-kang keempat penjuru, Pohon2 berderak-derak putus dahannya.

   Ranting dan daun bertebaran.

   "Ibiis tua! Pohon berjumlah 2000 batang. Kecuali engkau mampu menghantam habis, barulah engkau mampu keluar dari lembah ini. Tetapi masih ada pula Pagar Harimau, Pagar Singa, Pari Beracun dan lain-lain...."

   Tiba-tiba terdengar lengking suara mirip hantu merintih.

   Tiau Bok-kun pucat, Siau-liong pun tertegun.

   Itulah suara Soh-beng Ki-su, manusia yang dibencinya.

   Tetapi apa daya.

   Ia hanya termenung.

   Saat itu hari mulai petang.

   Tiba-tiba segumpal kabut tipis bertebaran melayang-layang.

   Makin lama makin tebal, baunya mengandung belirang.

   Jelas bukan kabut sewajarnya melainkan ditaburkan orang.

   "Lo-cianpwe, mereka melepas api!"

   Seru Tiau Bok-kun makin cemas. Tetapi Siau-liong tertawa tenang.

   "Api tak jadi soal, tetapi ini...."- ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena batuk2 terserang bau belirang. Tiau Bok-kun pun ikut batuk2.

   "Iblis tua! Jangan lama2, lekaslah engkau ke Neraka!"

   Seru Soh-beng Ki-su pula. Siau-liong tertawa nyaring, serunya.

   "Ha, tahukah engkau bahwa separoh Giok-pwe itu berada dalam tanganku?"

   "Bagus, setelah engkau mati, tentu dapat kita ambil!"

   Seru Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah. Siau-liong tertawa mengejek.

   "Ho, di dunia tak ada hal yang seenak bayanganmu itu! Jika aku mati, tentu lebih dulu Giok-pwe itu akan kuhancurkan...."

   Kata2 Siau-liong itu ternyata membawa pengaruh.

   Sohbeng Ki-su dan si nona pemilik lembah berdiam diri.

   Tetapi dalam pada itu kabut pun mulai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali.

   Andaikata Siau-liong tak menggunakan siasat tadi, tentulah ia dan Tiau Bok-kun sudah binasa.

   Hari makin malam.

   Hutan makin gelap gulita.

   Tiba-liba Tiau Bok-kun terhuyung-huyung dan berbargkit.

   "Lo-cianpwe...."

   "Nona Tiau, mengapa engkau!"

   Siau-liong terkejut. Tiau Bok-kun rubuh ,.... ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 03 Disimpang Jalan Siau-liong terkejut tetapi gadis itu sudah rubuh.

   Buru-buru ia menolongnya....

   Dahi nona itu mengerut gelap, kaki tangan lunglai dan bibirnya gemetar.

   Siau-liong menyadari bahwa kabut belirang tadi tentu mengandung racun....

   Karena ia sudah mendapat saluran tenaga murni dari Koay-suhu simanusia dari gua dan minum darah makhluk aneh serta makan buah Im-yang-som maka ia memiliki daya tahan yang kebal terhadap kabut beracun itu.

   Beda dengan Tiau Bok-kun yang lebih rendah kepandaiannya sehingga tak tahan diserang kabut itu.

   Sejak kecil ikut pada gurunya, tabib sakti Kongsun Liong, Siau-liong pun faham akan ilmu pengobatah.

   Karena tak membekal obat, tak dapat ia menyembuhkan nora itu.

   Akhirnya ia hanya dapat melakukan cara mengurut untuk menekan racun dalam tubuh gadis itu supaya jangan mengembang luas.

   Tak berapa lama Tiau Bok-kun tersadar.

   Memandang Siauliong, nona itu mengeluh.

   "Lo-cianpwe, aku benci...."

   "Siapa?"

   Tiau Bok-kun menghela napas panjang.

   "Aku benci diriku yang bernasib malang ini...."

   Siau-liong tertawa lalu menghela napas.

   "Lo-cianpwe,"

   Kata nona itu pula.

   "dengan kepandaian yang sakti engkau tentu dapat keluar dari lembah ini. Janganlah karena diriku, engkau akan mendapat kesusahan...."

   Siau-liong tertawa.

   "Orang menjuluki diriku Pendekar Laknat. Kegemaranku mengurus hal2 yang tak adil. Sekali campur tangan, tak pernah aku mundur lagi."

   Tiau Bok-kun gelengkan kepala.

   "Nasibku memang malang. Hidupku selalu dirundung kesusahan dan keputus-asaan. Andaikata dapat keluar dari lembah ini, bagiku pun tiada manfaatnya hidup di dunia!"

   Sejenak berhenti, nona itu berkata pula.

   "Lo-cianpwe, apakah engkau mau meluluskan sebuah permintaanku?"

   Siau liong buru-buru mengiakan. Sesaat tampak Tiau Bok-kun meragu tetapi akhirnya ia berkata juga.

   "Ada seorang pemuda gagah bernama Kongsun Liong. Adakah lo-cianpwe kenal padanya?"

   Jantung Siau-liong mendebur keras. Cepat ia menyahut.

   "Dia adalah ketua partai Kay-pang yang termasyhur. Masakan aku tak kenal?"

   Tiau Bok-kun menghela napas.

   "Tolonglah lo-cianpwe suka menyerahkan suratku ini kepadanya. Katakan . ,.... katakanlah, bahwa aku sudah meninggal dunia. Budi pertolongannya kepadaku, terpaksa kelak pada penitisan yang akan datang, baru dapat kubalas!"

   Habis berkata nona itu menangis tersedu-sedu.

   Siau-liong terpaksa ikut mengucurkan air mata.

   Untunglah karena gelap, tiada yang mengetahui keadaannya saat itu.

   Sesungguhnya sudah berulang kali Siau-liong hendak menyingkap kedoknya agar Tiau Bok-kun terkejut girang.

   Tetapi setiap kali, ia batalkan niatnya.

   Kini baru ia mengetahui betapa besar cinta Tiau Bok-kun kepadanya....

   Pikiran Siau-liong mulai melayang-layang jauh....

   Dari keterangan gurunya, yakni tabib sakti Kongsun Sintho, Siau-liong mengetahui bahwa pembunuh ayahnya adalah ketua Kong-tong-pay yang bernama Toh Hun-ki serta keempat tokoh tua dan partai itu.

   Dan Toh Hun-ki itu sesungguhnya adalah guru dari ayah Siau-liong.

   Selama ini beberapa kali ia mempunyai kesempatan untuk membunuh musuh ayahnya itu.

   Tetapi setiap kali teringat akan pesan gurunya bahwa mendiang ayahnya meninggalkan pesan supaya jangan membalas sakit hati itu.

   Terpaksa Siauliong lepaskan musuhnya.

   Mengenai ibunya, Siau-liong sudah beberapa kali berjumpa tetapi setiap kali tentu kehilangan kesempatan untuk bicara.

   Kemudian pikiran Siau-liong melayang jauh pada manusia aneh Pendekar Laknat yang memberinya ilmu kesaktian, Menurut pesan Pendekar Laknat, ia harus membenci semua manusia di dunia.

   Apabila ia tak dapat memenuhi pesan itu, sekurang-kurangnya ia harus dapat membunuh Soh-beng Kisu, pertapa yang berhutang darah Pendekar Laknat.

   Kemudian masih ada seorang lagi yakni Kolo-sin-kay atau Pengemis Tengkorak Song Thay-kun.

   Walaupun tokoh itu hanya berupa tengkorak tetapi dari petunjuknialah ia dapat mempelajari ilmu pukulan Thay-siang-ciang-hwat yang sakti, makan buah Im-yang-som dan minum darah ular naga.

   Dan kini setelah dirinya dinobatkan sebagai Cousu-ya atau ketua dari partai Kay -pang, demi membalas budi Pengemis Tengkorak, ia harus berusaha keras untuk mengharumkan nama baik partai itu.

   Peristiwa2 itu melalu-lalang dibenak Siau-liong.

   Ia menginsyafi, betapa berat beban yang terletak pada bahunya.

   Kini ia telah memiliki berbagai kepandaian sakti.

   Tetapi sejauh itu, satu pun dari beban2 itu belum ada yang berhasil ia laksanakan.

   Bagaimana yang akan terjadi, masih gelap baginya.

   Ah....

   tugas kewajiban masih menumpuk.

   Mengapa ia harus menjerumuskan diri dalam jerat asmara? Demikian ia melamun.

   Tengah ia terbenam dalam lamunan itu, tiba-tiba sebuah suara halus mendesing di udara dan menyambar belakangnya.

   Siau-liong terkejut, Cepat ia mengunakan dua buah jari tangan untuk menjepit senjata gelap itu- Ah, kejutnya bukan kepalang ketika pendapatkan bahwa yang dijepit itu bukan senjata rahasia, melainkan hanya secarik lipatan kertas....

   Hebat! Hanya ahli menutuk jalan darah dari jauh, yang mampu menjentikkan surat itu kepadanya.

   Cepat ia berbangkit dan memandang keseluruh penjuru.

   Tetapi kecuali derak halus dari ranting dan daun2 tertiup angin malam, tiada tampak suatu apa lagi.

   Terpaksa ia duduk kembali serta diam-diam menghela napas.

   "Ah, memang benar, di atas gunung masih terdapat langit yang tinggi, Yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Kesaktian orang itu tak dibawah kepandaianku...."

   Tiau Bok-kun hanya terlongong-longong memandang Siauliong.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi pemuda itu tak sempat lagi memberi keterangan karena ia terus membuka surat lipatan itu.

   Dan membacanya.

   Ilmu silat tiada batasnya.

   Harus faham tenaga luardalam, ilmu pukulan dan senjata, mengetahui barisan Patkwa- kiu-kiong, Ki-bun-ngo-heng, ilmu pengobatan, perbintangan dan pemakaian racun, barulah dia dapat menguasai dunia persilatan.

   Kepandaianmu tinggi tetapi kurang pengalaman dan kurang cermat hingga terjebak dalam barisan pohon bunga.

   Ingat dan hati-hatilah! Dunia persilatan itu penuh tipu muslihat yang ganas...."

   Siau-liong terkejut. Jelas orang itu memberi peringatan kepadanya. Walaupun nadanya congkak tetapi maksudnya baik. Siau-liong lanjutkan membaca lagi.

   "Soh-beng Ki-su adalah murid dari si Iblis penakluk-dunia. Dan nona pemilik Lembah Semi itu anak perempuan dari Dewi Neraka. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan sepasang suami isteri yang selalu kumpul-cerai. Saat ini mereka masuk ke dalam lembah. Lekas tinggalkan tempat ini!"

   Karena tiada tanda siapa penulisnya, Siau-liong bingung.

   "Lo-cianpwe, apakah surat itu...."

   Baru Tiau Bok-kun bertanya, Siau-liong cepat menukas.

   "Ah, dari seorang sahabat pada 40 tahun yang lalu!"

   Tepat Siau-liong mengucap begitu, tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa dingin dan pada lain saat sesosok bayangan hitam loncat menyelinap ke dalam gerumbul.

   Siau-liong terkejut.

   Kiranya orang itu bukan lain adalah orang berpakaian hitam yang pernah bertempur dengannya tempo hari.

   Cepat ia mengajak Tiau Bok-kun pergi.

   Tetapi nona menolak.

   "Silahkan lo-cianpwe pergi sendiri, jangan pedulikan diriku."

   Siau-liong tak mau banyak bicara.

   Cepat ia menyambar Tiau Bok-kun terus dibawa lari mengejar orang berpakaian hitam tadi.

   Orang itu menyusup ke kanan dan ke kiri.

   Kira2 dua li jauhnya, dia sudah berhasil keluar dari barisan pohon bunga.

   Mau tak mau Siau-liong harus mengagumi orang itu.

   Diamdiam ia memutuskan hendak menyingkap rahasia sibaju hitam itu.

   Sekali enjot tubuh, ia menubruk orang itu seraya membentak.

   "Siapakah sesungguhnya saudara ini!"

   Tetapi rupanya orang misterius itu sudah memperhitungkan hal itu.

   Pada saat Siau-liong bergerak, iapun sudah melambung ke udara dan dengan gerak Burung-waletmenembus- awan, ia melayang ke balik sebuah batu besar.

   Diluar daerah barisan pohon bunga itu, merupakan sebuah tanah lapang.

   Dan tak jauh disebelah muka, merupakan sebuah lamping gunung yang melandai curam.

   Karena mengepit tubuh Tiau Bok-kun, gerakan Siau-liong kurang leluasa.

   Pada saat ia hendak layangkan diri mengejar orang aneh itu, tiba-tiba tampak beberapa orang ter-huyung2 lari di atas lamping gunung.

   Cepat sekali mereka sudah mendekati ketempat Siau-liong.

   Walaupun malam gelap tetapi Siau-liong dapat mengetahui bahwa kawanan orang yang datang itu adalah ketua Kong tong-pay yakni Toh Hun-ki bersama keempat tetua Kong-tongpay atau Kong-tong-su-lo.

   Menilik pakaian dan keadaan mereka, rupanya mereka kalah bertempur dan sedang dikejar musuh.

   Mereka lari pontang-panting menuju barisan pohon bunga....

   Dalam keadaan ketakutan mereka tak melihat Siau-liong.

   Melihat rombongan orang Kong-tong-pay, Tiau Bok-kun tampak jeri.

   Ia menjerit pelahan dan cepat bersembunyi di belakang Siau-liong.

   Mendengar jeritan itu, rombongan Toh Hun-ki berhenti.

   Mereka tertegun melihat Siau-liong dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat, berada diluar hutan.

   Geraham Siau-liong berderuk-deruk menahan kemarahan.

   Tak pernah sedetikpun ia melupakan dendam kematian ayahnya.

   Diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti Bu keksin- kang.

   Tetapi pada lain kilas, terngiang pula pesan mendiang ayahnya bahwa ia tak boleh menuntut balas.

   Apalagi melihat keadaan Toh Hun-ki saat itu, pemuda Siauliong tak sampai hati turun tangan.

   "Pendekar Laknat....!"

   Seru Tok Hun-ki.

   Siau-liong melirik ke arah orang itu.

   Tampak pakaiannya berlubang beberapa beberapa tusukan senjata.

   Tubuh penuh bintik2 noda darah, rambut kusut masai terurai kedada.

   Sedang keempat Kong-tong su-lo dibelakangnya dengan kepala menunduk.

   "Menyerang orang yang sedang terluka, bukanlah laku seorang ksatrya Aku masih dapat mencari lain kesempatan untuk membalas dendam padanya,"

   Diam-diam Siau-liong menimang dalam hati. Dan tenaga sakti Bu-kek-sin kang pun diredakan.

   "Kali ini kuampuni jiwa kalian. Tetapi kalau bertemu lagi, jangan harap kalian mendapat kemurahan seperti saat ini lagi!"

   Serunya. Walaupun heran atas tindakan Pendekar Laknat, tetapi Toh Hun-ki tak mau membuang waktu lagi. Ia menghaturkan terima kasih dan terus lari menuju ke dalam hutan.

   "Hai, apakah kalian benar-benar hendak mencari kematian!"

   Tiba-tiba Siau-liong berseru seraya ayunkan pukulan. Serangkum angin menderu menghadang lari rombongan orang2 Kong-tong-pay itu. Toh Hun-ki terkejut. Ia kira Pendekar Laknat merubah keputusan.

   "Hutan itu merupakan barisan pohon bunga dari Lembah Semi. Aku sendiri tadi hampir celaka, apa lagi kalian!"

   Seru Siau-liong dengan tertawa dingin.

   Toh Hun-ki berhenti dan memandang ke arah hutan.

   Ia berterima kasih sekali atas peringatan momok itu.

   Sebagai seorang ketua sebuah partai persilatan, ia berilmu tinggi dan berpengalaman luas.

   Apa yang dikatakan Pendekar Laknat itu memang benar.

   Diam-diam ia malu pada dirinya sendiri dan timbullah rasa mengindahkan kepada momok itu.

   Beberapa saat kemudian, belasan orang bersenjata muncul.

   Mereka hendak mengejar rombongan Toh Hun-ki.

   Tetapi terkejut ketika melihat Pendekar Laknat berada disitu.

   Mereka tak berani sembarangan bertindak dan hanya pecah diri mengepung.

   Siau-liong tertawa.

   Ternyata kawanan pengejar itu adalah Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi sendiri bersama anak buahnya.

   Adalah karena Pendekar Laknat menggunakan siasat untuk menghancurkan separoh dari Giok-pwe yang berada ditangannya, maka Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik lembah itu terpaksa hentikan serangannya dengan kabut beracun.

   Giok-pwe itu adalah benda milik Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

   Lebih baik mereka tunggu kedatangan guru dan ibu guru itu.

   Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi mengetahui bahwa guru dan ibu guru mereka itu sukar diraba sepak terjangnya.

   Tetapi mereka yakin dalam beberapa hari ini, kedua tokoh itu tentu akan kambali ke dalam lembah lagi.

   Kedatangan Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu tak lain hendak mengikuti Siau-liong yang tengah mengejar Soh-beng Ki-su....

   Ketua Kong-tong-pay itu tak pernah melepaskan hasratnya untuk mendapatkan separoh Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su dari Tangan Tiau Bok-kun Yang separoh bagian sudah berada ditangannya.

   Apabila berhasil mendapat yang separoh dari tangan Soh-beng Ki-su, akan lengkaplah peta untuk mencari kitab pusaka berisi ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia.

   Dengan demikian partai Kong-tong-pay pasti dapat mengangkat diri dan menguasai dunia persilatan.

   Dengan harapan itulah maka Toh Hun-ki memberanikan diri untuk memasuki sarang harimau atau Lembah Semi-abadi yang amat berbahaya itu.

   Tetapi gerak-gerik Soh-beng Ki-su dan Siau-liong cepat sekali.

   Mereka menghilang dari pandangan Toh Hun-ki.

   Dan ketua Kong-tong-pay itu kehilangan arah akhirnya tersesat ke belakang lembah.

   Disitu mereka dipergoki Soh-beng Ki-su dan wanita pemilik Lembah Semi-abadi terus diserang.

   Toh Hun-ki adalah ketua partai Kong-tong-pay dan keempat Su-lo itu merupakan jago-jago sakti dari partai tersebut.

   Tetapi Soh-beng Ki su dan wanita pemilik Lembah Semi-abadi adalah murid dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang termasyhur.

   Ilmu Pek-kut-kang (tulang putih) dari Soh-beng Ki-su dan ilmu Yong-kut-kang (pelelah tulang) dari wanita pemilik lembah, memerupakan ilmu sakti yang ganas sekali.

   Maka tak berapa lama, Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu dapat dilukai dan melarikan diri.

   Soh-beng-ki-su dan si nona pemilik lembah memimpin anak buahnya mengejar.

   Pada saat rombongan Toh Hun-ki dapat digiring memasuki barisan pohon bunga, tiba-tiba Pendekar Laknat menolong.

   "Setan tua, rupanya umurmu memang panjang!"

   Seru nona pemilik lembah seraya tertawa mengejek Siau-liong.

   Siau-liong marah sekali.

   Soh-beng-ki-su adalah pembunuh dari Koay suhu.

   Sepak terjang pertapa itupun amat ganas Nona pemilik Lembah Semi, cabul dan ganas.

   Jika kedua manusia itu tak dilenyapkan.

   dunia persilatan tentu menderita.

   Siau-liong tertawa keras seraya melangkah maju.

   Karena sudah beberapa kali menderita pil pahit dari Pendekar Laknat, Soh-beng Ki-su gentar dan cepat kerahkan tenaga-sakti Pekkut- kang.

   Dari jari pertapa itu meluncur sinar putih menyerang Siau-liong.

   Pemuda itu tak mengacuhkan.

   Ia tetap tertawa nyaring.

   Nadanya menyerupai singa mengaum.

   Melihat itu, Son beng Ki-su makin ketakutan.

   Ia perhebat lagi tenaga sakti Pek-kutkang sampai beberapa bagian.

   Sesungguhnya dalam tertawa tadi, diam-diam Siau-liong pun sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

   Pada saat sinar putih Pek-kut-kang tiba, Siau-liong menggembor keras dan lepaskan pukulan Tay-lo-kim-kong, sebuah jurus dari ilmu pukulan Tay siang-ciang yang amat dahsyat.

   Terdengar suara menggelegar keras ketika kedua jenis tenaga-sakti itu saling beradu.

   Hasilnya segera dapat diketahui.

   Sinar putih Pek-kut-kang berantakan lenyap dan Soh-beng Ki-su pun ter-huyung2 ke belakang beberapa langkah....

   Ia terluka.

   "Serahkan jiwamu, jahanam!"

   Siau-liong maju menghampiri dan hendak meaghantamnya lagi.

   Tetapi si nona pemilik lembah segera mengajak anak buahnya menyerbu.

   Siau-liong hanya membenci Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah itu.

   Ia tak mau mengorbankan banyak jiwa yang tak berdosa.

   Belasan anak buah yang terdiri dari lelaki dan perempuan itu, se-olah2 tak mengacuhkan pukulan Siauliong.

   Mereka seperti manusia2 patung yang tak bernyawa.

   Siau-liong tak sampai hati dan terpaksa menarik pulang pukulannya.

   Setelah hantamkan tangan kiri ke arah nona pemilik lembah Siau-liong pun enjot tubuh melambung melampaui kepala orang2 itu lalu melayang ke arah Soh-beng Ki-su.

   Soh-beng Ki-su yang sudah menderita luka itu makin ketakutan.

   Wajahnya pucat sekekita.

   Siau-liong tak peduli dan terus hendak menghantamnya.

   "Tahan!"

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba dari samping terdengar suara orang membentak dan serangkum angin bertenaga lunak mendampar punggungnya.

   Siau-liong terkejut seraya cepat loncat menghindar.

   Ketika bepaling, tampaklah sepasang kakek-nenek berdiri setombak jauhnya.

   Kedatangan kedua orang itu sama sekali tak bersuara.

   Siau-liong terkesiap.

   Kedua kakek-nenek itu sudah lanjut usianya.

   Dahi mereka penuh berhias keriput tetapi mukanya masih berseri segar.

   Sepasang matanya bersinar tajam.

   Yang lelaki bertubuh jangkung tetapi punggungnya bungkuk.

   Jenggotnya menjulai panjang sampai kelutut.

   Rambutnya yang putih terurai lepas pada kedua bahu.

   Alisnya pun panjang sehingga hampir bersambung satu sama lain.

   Hidung bengkok macam burung kukuk beluk.

   Mulutnya aneh, karena bibir bagian atas lebar tetapi yang bawah kecil sehingga tampak baris giginya yang putih.

   Sepintas pandang menyerupai orang hutan.

   Sedang yang perempuan, bertubuh pendek kecil.

   Tingginya hanya sebatas perut sikakek.

   Alisnya tebal, mata besar dan hidung membiak lebar, menaungi mulutnya yang besar.

   Nenek itu mencekal sebatang tongkat Liong-thau-ciang atau tongkat Kepala naga.

   Tongkat lebih tinggi dari orangnya.

   Siau-liong tertegun melihat keadaan kedua manusia aneh itu.

   "Suhu."

   Tiba-tiba Soh-beng Ki-su berteriak girang seraya lari menghampiri dan berlutut dihadapan kakek yang mirip orang hutan itu.

   "Ayah, ibu....!"

   Nona pemilik lembah pun berseru dan lari terus memeluk dada wanita kate. Sambil membelai rambut puterinya dengan mesra, nenek kate itu menghibur.

   "Jangan takut, anakku. Ibumu tentu akan menghimpas penasaranmu!"

   Kemudian nenek itu melangkah maju.

   Saat itu barulah Siau-liong menyadari akan surat peringatan dari orang baju hitam yang mengatakan bahwa kedua momok suami isteri itu sudah datang ke dalam lembah.

   Tak salah lagi, mereka tentulah suami-isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

   Nenek Dewi Neraka berhenti lima langkah di hadapan Siauliong dan memandangnya dengan berapi2.

   Tiba-tiba Dewi Neraka tertawa mengekeh.

   "Heh, heh, setan tua Bu-kek, mengapa 20 tahun tak ketemu, engkau sekarang bertambah tinggi...."

   Tegurnya.

   Siau-liong teringat bahwa kedua suami-isteri durjana itu adalah musuh bebuyutan dari Koay suhu atau Pendekar Laknat.

   Beberapa kali Koay suhu kalah oleh kedua momok itu.

   Diam-diam ia menimang.

   Walaupun sekarang ia sudah memiliki tenaga-sakti dari Koay suhu dan faham ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, tetapi kedua momok itu tentulah juga sudah jauh lebih maju dalam ilmu kesaktiannya.

   Maka Siau-liong tak berani memandang rendah.

   Sambil kerahkan tenaga sakti, ia tertawa nyaring.

   "Sekalipun berpisah hanya tiga hari tetapi harus meneliti lagi. Selama 20 tahun ini aku telah berhasil mempelajari semacam ilmu ajaib. Tubuhku dapat kupanjang-surutkan, kurus-gemuk kan menurut sekehendak hatiku. Pula aku dapat memperpanjang umurku sampai seribu tahun!"

   Sahut Siauliong. Dewi Neraka terperanjat. Tetapi cepat ia tenang kembali Ujarnya.

   "Hanya sayang makin tua engkau makin tak kenal malu. Buktinya, mengapa engkau tak malu menghina kedua muridku ini?"

   Nenek itu mengguncangkan tongkatnya seperti hendak menyerang. Tetapi Iblis Penakluk-dunia cepat loncat mencegah.... Lalu berkata kepada Siau-liong.

   "Setan tua Bukek, kuucapkan selamat engkau masih tetap awet muda dan tambah tinggi!" 'Ho, tak perlu memuji!"

   Siau-liong tertawa tawar. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka saling berpAndangan. Agaknya mereka curiga atas sikap dan kata2 Siau-liong. Iblis Penakluk dunia kerutkan alis, tertawa sinis.

   "Dua puluh tahun tak ketemu, engkau banyak berubah. Kabarnya engkau punya sebuah ilmu baru lagi?"

   "Ilmu jenis Bubuk-makan-kayu saja, masakan pantas dibanggakan,"

   Siau-liong tertawa. Sambil mengurut jenggot, Iblis Penakluk dunia berkata pula.

   "Isteriku telah mengundang seluruh ksatrya dunia persilatan supaya datang kelembah sini untuk mengadu kepandaian. Rupanya engkau merupakan tetamu paling terhormat dari isteriku!"

   "Jika isterimu yang mengundang, tiada alasan aku tak datang,"

   Sahut Siau-liong. Iblis itu tertawa sinis.

   "Dapat atau tidaknya engkau hadir, tergantung bagaimana hasil peyakinanmu selama 20 tahun ini. Mungkin sejak saat ini, dunia akan kehilangan seorang momok yang disebut Pendekar Laknat!"

   Tiba-tiba iblis tua itu menutup kata-kata dengan dorongkan kedua tangannya ke arah Siau-liong.

   Siau-liong memang sudah menduga kemungkinan itu.

   Iapun sudah siap sedia.

   Cepat ia dorongkan kedua tangannya menyongsong.

   Dahulu iblis Penakluk-dUnia termasyhur dengan pukulan sakti Thay-krk-bu-wi-kangnya.

   Setelah memperdalam lagi selama 20 tahun, sudah tentu tenaga saktinya makin sempurna.

   Dess....

   terdengar ledakan keras.

   Debu dan batu seluas beberapa meter, berhamburan keempat penjuru....

   Tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan Thay-siangciang yang dilancarkan Siau-liong berlandas kekerasan dahsyat.

   Sedang tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dari iblis Penakluk dunia mengutamakan tenaga lunak.

   Keduanya paling menggunakan delapan bagian tenaganya.

   Kesudahannya, mereka sama2 terkejut.

   Ternyata tenaga sakti keduanya sama2 lenyap, Tiada yang kalah dan menang.

   Iblis Penakluk dunia paksakan tertawa.

   "Setan tua Bu-kek, dalam 20 tahun ini, hebat sekali kemajuanmu!"

   Dalam berkata-kata itu, iblis Penakluk-dunia tetap pancarkan tenaga sakti ke arah tangannya dan menyerang.

   "Bagus, bagus."

   Seru Siau-liong seraya balikkan kedua tangannya menyambut.

   Mereka saling adu tenaga dalam melalui sepasang tangan masing-masing.

   Sampai sepeminum teh lamanya, keduanya tetap tak bergerak.

   Tiba-tiba iblis Penakluk-dunia menggembor keras.

   Ia deliki mata.

   Tulang2 tubuhnya berderak-derak dan ia tambahkan lagi penyaluran tenaga dalamnya untuk mendesak Siau-liong.

   Tampaknya Siau-liong tak kuat bertahan.

   Kedua lengannya pun sudah menjuntai ke bawah dan tubuhnya mulai condong ke belakang.

   Toh Hun-ki dan keempat Su-lo serta Tiau Bok-kun menyaksikan pertempuran maut itu dengan berdebar-debar.

   Mereka mencemaskan keadaan Siau-liong.

   Jika Siau-liong kalah, merekapun takkan lolos dari tangan maut siiblis Penakluk-dunia.

   Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa Siau-liong.

   Tubuh Pendekar Laknat itu tegak kembali dan bahkan dapat mendesak lawan ke belakang.

   Sepeminum teh lamanya, wajah iblis yang semula merah segar, mulai tampak pucat lesi.

   Keningnya basah dengan keringat.

   Jelas tokoh itu hampir kehabisan tenaga.

   Karena mengenakan kedok penyamaran sebagai Pendekar Laknat, maka perobahan air muka Siau-liong tak terlihat.

   Tetapi jelas, diapun berjuang mati-matian untuk bertahan.

   Sekonyong-konyong terdengar getaran menggelegar dan tahu2 iblis Penakluk dunia serta Siau-liong sama2 menyurut mundur sampai tujuh langkah....

   Debu dan pasir berhamburan hebat.

   Kedua musuh itu tegak berdiri tak kurang suatu apa.

   Beberapa saat kemudian, barulah iblis Penakluk dunia berseru.

   "Setan tua Bu-kek, dua puluh tahun berselang, engkau menghalangi cita-citaku menguasai dunia persilatan. Kini 20 tahun kemudian, engkau tetap merupakan penghalangku yang utama...."

   Ia berhenti sejenak. lalu.

   "Tetapi keadaan sekarang berbeda dengan dulu. Asal engkau berani datang menghadiri pertempuran di dalam lembah, aku sudah sedia cara untuk menguburmu!"

   Siau-liong tertawa nyaring.

   "Dalam hidupku tak pernah kutakut pada manusia siapa saja. Aku tentu datang."

   Tiba-tiba tubuh iblis Penakluk dunia condong kemuka seperti mau rubuh tetapi segera tegak lagi....

   Setelah tertawa terkekeh-kekeh beberapa saat, ia ajak Dewi Neraka dan puteri serta muridnya masuk ke dalam lembah.

   Tak berapa lama mereka lenyap dari pandangan.

   Saat itu hampir menjelang tengah malam.

   Siau-liong memandang rembulan cekung.

   Ia menghela napas dalam.

   "Lo-cianpwe...."

   Tiau Bok-kun lari menghampiri.

   "Pendekar.... Laknat,"

   Toh Hun-ki pun bersama keempat Su-lo menghampiri kemuka Siau-liong.

   Siau-liong tak mengacuhkan.

   Ia duduk di tanah pejamkan mata.

   Toh Hun-ki, Tiau Bok-kun dan keempat Su-lo tak berani mengganggu.

   Mereka tahu Pendekar Laknat seorang manusia aneh.

   Sukar diraba sepak terjangnya.

   Walaupun tadi telah menolong tetapi belum tentu dia tak berpaling halauan.

   Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Siau-liong mengangkat kepala dan muntah darah.

   "Lo-cianpwe, apakah engkau terluka...."

   Tiau Bok-kun berseru cemas. Siau-liong mengiakan.

   "Ya, tetapi si iblis dunia itupun lebih berat dari aku!"

   Toh Hun-ki buru-buru mengambil dua butir pil merah lalu diberikan kepadanya.

   "Pil buatan partai Kong-tong-pay ini. mempunyai khasiat mengembalikan ketenangan darah dan hawa murni...."

   Plak.... tiba-tiba Siau-liong menampar jatuh pil itu dan membentak.

   "Siapa sudi makan pil pemberianmu"

   Toh Hun-ki tersentak kaget.

   Bersama keempat Su-lo, ia mundur beberapa langkah.

   Ia duga momok itu tentu sedang kumat gilanya.

   Tiau Bok-kun pun mengira demikian.

   Ia juga mundur dua langkah.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak berapa lama terdengar Siau-liong menghela napas pula.

   Mendengar itu Toh Hun-ki memberi hormat seraya menghaturkan terima kasih.

   "Pemberian pil tadi berdasarkan rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada saudara."

   "Pergi kau!"

   Bentak Siau-liong.

   "aku tak butuh terima kasihmu. Jika saat ini kalian tak terluka, mungkin kalian sudah jadi mayat!"

   "Silahkan saudara berkata apa saja. Tetapi karena merasa menerima budi, aku tak dapat tinggalkan saudara dalam keadaan terluka,"

   Sahut Toh Hun-ki, terus duduk di tanah diikuti keempat Su-lo. Siau-liong pejamkan mata. Beberapa saat kemudian ia membentak bengis.

   "Toh Hun ki!"

   Ketua Kong-tong-pay itu mengiakan.

   "Aku hendak minta engkau menyelidiki berita seseorang...."

   "Asal tenagaku mampu, tentu akan kulaksanakan,"

   Sahut Toh Hun-ki. Siau-liong mengangguk, katanya.

   "Apakah pada 10 tahun yang lalu engkau kenal akan seorang lelaki yang bernama Tong Gun-liong?"

   Toh Hun-ki terbeliak.

   Tong Gun-liong dikubur di gunung Hongsan.

   Dan ternyata Pendekar Laknat bersembunyi dibalik gunung itu.

   Mungkinkah mayat Tong Gun-liong itu Pendekar Laknat yang menguburnya? Demikian Toh Hun-ki mulai membayang kecemasan.

   Tetapi Pendekar Laknat seorang iblis yang gila dan pendendam.

   Dia tak punya seorang sahabat pun juga.

   Tak mungkin dia mempunyai hubungan apa2 dengan Tong Gunliong.

   Mustahil dia mau mengubur mayat Tong Gun-liong.

   "Lekas bilang, kenal atau tidak!"

   Siau-liong mengulang pertanyaannya.

   "Tong Gun-liong adalah muridku...."

   Toh Hun-ki tergagap lalu menghela napas. Sambil menghitung jari tangan, ia berkata pula.

   "Tetapi pada belasan tahun berselang, dia telah binasa di lembah Hok-liong-koh di gunung Hongsan."

   "Mengapa?"

   Siau-liong tahankan air matanya. Toh Hun-ki menghela napas panjang.

   "Memang kelalaianku sendiri sehingga tak mengetahui bahwa Tong Gun-liong diamdiam telah jatuh cinta kepada Ki Ih. Dari hubungan gelap, mereka melahirkan seorang anak lelaki dan...."

   Toh Hun-ki terpaksa hentikan keterangannya karena mendadak Siau-liong menggembor keras dan muntah darah.

   "Lanjutkan!"

   Teriak Siau-liong. Terpaksa Toh Hun-ki bercerita lagi.

   "Demi menjaga peraturan perguruan, kuputuskan tak mengakui pernikahan itu. Tetapi diluar dugaan Ki Ih marah dan mengamuk Kongtong- pay...."

   Ia berhenti sejenak untuk mengenangkan peristiwa itu lalu melanjutkan.

   "

   Pada saat itu, salju mulai turun dengan deras.

   Jalanan gunung penuh bertutupkan salju.

   Dalam kebingungan, Gun-liong membawa anaknya yang baru berumur belum cukup 100 hari itu melarikan diri.

   Tetapi dia tergelincir jatuh ke bawah karang yang curam dan binasa.

   Ki Ih menyusul lari dan tak ketahuan beritanya lagi...."

   "Kemunculan Ki Ih kedaerah Tiong-goan itu, tentu mencari balas pada kalian, bukan?"

   Tukas Siau-liong.

   "Benar,"

   Sahut Toh Hun-ki.

   Serentak ia teringat akan peristiwa digunung Tay-lian-san tempo hari.

   Bersama tokoh2 Kay-parg, rombongan Toh Hun-ki berhasil mengepung dan melukai Ki Ih.

   Tetapi tiba-tiba pada saat itu Pendekar Laknat muncul menolong Ki Ih.

   Diam-diam Toh Hun-ki menatap Siauliong dengan rasa heran.

   Siau-liong menggeram.

   "Jika putera Tong Gun-liong masih hidup, pantaskah dia menuntut balas kepadamu?"

   Toh Hun-ki mengangguk.

   "Sudah tentu...."

   Tiba-tiba Siau-liong tengadahkan kepala tertawa keras.

   "Toh Hun-ki, engkau telah membunuh jiwa seseorang. Apakah engkau tak menyesal atas peristiwa 16 tahun yang lalu itu?"

   Ketua Kong Tong-pay menghela napas.

   "Sebagai guru dan murid, sudah tentu aku bersedih. Tetapi dalam kedudukan sebagai seorang ketua perguruan yang menjaga ketertiban peraturan, aku tak menyesal sama sekali!"

   Nada jawaban itu mengunjuk kewibawaan sebagai seorang ketua partai persilatan yang termasyhur. Siau-liong merenung diam. Setelah menghela napas, ia berpaling ke arah Tiau Bok-kun.

   "Nona Tiau itu menderita terkena racun. Saat ini aku tak sempat merawatnya...."

   "Serahkan kepadaku yang mengobatinya,"

   Cepat Toh Hunki menanggapi.

   "Tidak! Aku dapat merawat diriku sendiri.... mereka.... mungkin akan membunuhku!"

   Cepat2 Tiau Bok-kun berseru. Siau-liong tertawa hambar.

   "Mereka tak dapat dan tak mungkin berani berbuat begitu...."

   Berpaling kepada Toh Hunki, Siau-liong berkata lebih jauh.

   "Asal kalian mengantar nona itu kekota Siok-ciu dan dapat menyembuhkan lukanya, barulah kuanggap kalian telah membalas budiku tadi...."

   Habis berkata Siau-liong terus berbangkit dan melangkah pergi. Tiba-tiba berhamburan air mata Tiau Bok-kun, serunya.

   "Lo-cianpwe...."

   Siau-liong berhenti dan menanyakan.

   "Apakah lukamu tak mengapa?"

   Tanya nona itu penuh cemas. Siau-liong paksakan tertawa.

   "Mati hidup sudah suratan takdir. Harap nona jangan kuatir...."

   Berkata sampai disitu, meluaplah rasa haru dalam hati Siau-liong sehingga air matanya hampir mencucur keluar. Buru-buru ia berpaling muka dan berjalan lagi.

   "Harap tunggu dulu, aku masih hendak bicara kepada saudara,"

   Baru beberapa langkah Siau-liong berjalan, Toh Hun-ki sudah menghadangnya. Siau-liong tertegun. Toh Hun-ki mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain warna biru, katanya.

   "Bungkusan ini berisi separoh bagian dari Giok-pwe, sebuah pusaka yang menjadi milik Kong-tongpay...."

   Ia berhenti sejenak, melirik ke arah Tiau Bok kun, lalu melanjutkan pula.

   "Dan yang separoh bagian adalah milik nona Tiau itu.... Tetapi sayang telah dirampas Soh-beng Ki-su. Saat ini tentu sudah diserahkan kepada gurunya siibiis Penakluk dunia. Apabila kedua Giok-pwe dipersatukan, akan merupakan sebuah peta rahasia penyimpanan pusaka yang selama ini dikejar-kejar oleh kaum persilatan.... -"

   Kembali ia berhenti sejenak lagi lalu meneruskan.

   "Pusaka itu merupakan simpanan harta karun dan kitab pusaka yang tak ternilai harganya."

   "Semut mati karena manisan, manusia karena harta. Aku tak ingin sama sekali pada harta dunia!"

   Siau-liong tertawa hina.

   "Aku sendiri juga tak mementingkan harta,"

   Buru-buru Toh Hun-ki menerangkan.

   "tetapi dalam tempat penyimpanan pusaka itu, terdapat sebuah kitab. Konon kitab itu adalah karya dari Tio Sam-hong cousu. Jika berhasil memperolehnya, tentu akan mendapat kesaktian yang hebat dan dapat membasmi kawanan durjana, membantu mengamankan dunia persilatan...."

   Ketua Kong-tong-pay itu berhenti sejenak, memandang Siau-liong lalu berkata pula.

   "Terus terang aku tak mampu mendapatkan separoh bagian dari Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su itu. Maka hendak kuhaturkan separoh bagian giok-pwe itu kepadamu...."

   "Sebagai pembalas budi?"

   Tukas Siau-liong.

   "Aku hidup untuk kepentingan umat manusia dan bekerja demi amanat sesama kaum persilatan. Kumohon engkau muncul lagi dalam dunia persilatan untuk menyelamatkan bencana darah!"

   Habis berkata ia angsurkan bungkusan berisi separoh Giok-pwe itu kepada Siau-liong. Tetapi Siau-liong tak mau tergesa2 menyambuti. Katanya tertawa.

   "Apakah engkau percaya kepadaku? Mengapa engkau yakin aku takkan mencelakai dunia persilatan?"

   Sambil menatap Siau-liong, Toh Hun-ki tertawa nyaring.

   "Mataku tak buta. Kupercaya penuh engkau pasti takkan mengecewakan tugas suci dunia persilatan ini!"

   Namun Siau-liong masih bersangsi.

   Jika menerima pemberian Toh Hun ki, musuh besarnya yang membunuh ayahnya, kelak ia tentu sulit untuk membalas dendam Tetapi ucapan Toh Hun-ki itu memang menarik perhatiannya.

   Ia tak menghiraukan segala harta karun.

   Hanya kalau, kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan manusia2 durjana, tentulah dunia persilatan akan terancam bencana kehancuran! ya, Setelah meragu beberapa saat, akhirnya ia menerima juga pemberian itu.

   "Semoga anda diberkahi keselamatan dan selamat jalan!"

   Serasa lapanglah dada Toh Hun-ki setelah Siau-liong mau menerima.

   Ia memberi hormat lalu memanggul Tiau Bok-kun yang masih pingsan dan terus pergi.

   Keempat Su-lo mengiring dibelakang.

   Siau-liong tegak termenung-menung.

   Hatinya pepat sekali.

   Ingin ia tumpahkan air mata untuk melonggarkan kesesakan dadanya.

   Beberapa kali berjumpa dengan Toh Hun-ki tetapi setiap kali tentu tak dapat membalas dendam.

   Dan beberapa kali bersua dengan ibunya tetapi tentu terpisah lagi....

   Ia merasa kalau kepandaiannya sekarang sudah tinggi.

   Siapa tahu dalam pertempuran dengan iblis Penakluk dunia, ia telah menderita luka berat.

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id

Cari Blog Ini